Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 31 No. 2, 2020 : 123 - 134
* Alamat Korespondensi : [email protected]
DOI : http://dx.doi.org/10.21082/bullittro.v31n2.2020.123-134 0215-0824/2527-4414 @ 2017 Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
This is an open access article under the CC BY-NC-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/)
Accreditation Kemenristekdikti Number : 30/E/KPT/2018 123
KERAGAMAN GENETIK 64 AKSESI KUNYIT ASAL INDONESIA
BERDASARKAN MARKA P450-BASED ANALOGUE (PBA)
Genetic Diversity of 64 Turmeric Accessions from Indonesia
Based on P450-Based Analogue (PBA) Marker
Tresna Kusuma Putri1)
, Putri Ardhya Anindita2)
, Noladhi Wicaksana2)
, Tarkus Suganda2)
,
Vergel Concibido3)
, Agung Karuniawan1,2)
*
1)Sekolah Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung 40132
2)Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor 45363
3)Sensient Colors, LLC, 2515 North Jefferson Evenue, Saint Louis, Missouri 63106, USA
INFO ARTIKEL
ABSTRAK/ABSTRACT
Article history:
Kunyit merupakan tanaman penghasil rimpang yang memiliki banyak kegunaan,
baik untuk konsumsi, industri obat, maupun pewarna. Pengembangan varietas unggul
kunyit di Indonesia saat ini perlu didukung oleh adanya informasi keragaman
genetik. Saat ini informasi mengenai keragaman genetik tanaman kunyit di Indonesia
masih belum tersedia. Salah satu cara untuk memperoleh informasi keragaman
genetik adalah dengan menggunakan marka molekuler yang mampu memberikan
hasil yang akurat dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Marka PBA sebagai marka
fungsional mampu mendeteksi gen P450 yang berkaitan dengan pembentukan
metabolit sekunder pada area genom yang luas sehingga dapat dijadikan alternatif
marka untuk mengidentifikasi keragaman genetik. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk memperoleh informasi keragaman genetik 64 aksesi tanaman kunyit
menggunakan delapan pasang primer P450-Based Analogue (PBA). Penelitian
dilakukan di Laboratorium Sentral Universitas Padjadjaran dari Juni 2019 hingga
Januari 2020. Sebanyak 133 pita terdeteksi dengan rentang jumlah masing-masing
alel 8 – 45 pita, dan rata-rata per alel 22,3 pita. Hasil analisis PIC menunjukkan
adanya enam pasang primer PBA yang menunjukkan polimorfisme tinggi pada
rentang 0,90 – 0,98 sehingga marka PBA dikategorikan sangat informatif. Analisis
klaster membagi 64 aksesi kunyit ke dalam dua klaster utama berdasarkan tingkat
kemiripan pada rentang 0,01 hingga 0,83. Aksesi CL-GTL01 yang berasal dari
Gorontalo memiliki kemiripan yang rendah yaitu 0,01 terhadap 64 aksesi lainnya,
sedangkan aksesi CL-NTB01 dan CL-PPB04 memiliki tingkat kemiripan yang tinggi
pada jarak 0,83. Berdasarkan nilai PIC, jumlah pita polimorfik, dan jarak genetik,
kunyit asal Indonesia memiliki keragaman yang luas berdasarkan marka PBA.
Diterima: 30 Juni 2020
Direvisi: 26 Oktober 2020
Disetujui: 11 Desember 2020
Kata kunci:
Curcuma longa; cytochrome P450; dendrogram; PIC; UPGMA
Keywords: Curcuma longa; dendrogram;
PIC; sitokrom P450; UPGMA
Turmeric is a rhizome producing plant with many utilization such as for
consumption, medicine, and colorant industries. The development of superior
turmeric varieties in Indonesia needs to be supported by genetic diversity
information availability. Despite its potential, genetic diversity information of
Indonesian turmeric has not been widely observed. A molecular marker is used to
address genetic diversity information with the accurate result due to minimum
environmental influences. PBA can detect the P450 gene as a functional marker,
which is related to the synthesis of secondary metabolites in a wide genome area.
Thus, it can be used as an alternative marker to identify genetic diversity. This
research aimed to obtain genetic diversity information of 64 turmeric accessions
using eight primer sets of P450-Based Analogue (PBA). The study was conducted in
the Central Laboratory of Padjadjaran University from June 2019 to January 2020.
Results showed that the full 133 bands were detected with a range of allele number 8
- 45 bands and an average of 22.3 bands per allele. PIC analysis showed six primer
sets of PBA had high polymorphisms ranged from 0.90 to 0.98, hence categorized
Keragaman Genetik ... (Tresna Kusuma Putri, Putri Ardhya Anindita, Noladhi Wicaksana, Tarkus Suganda, Vergel Concibido, Agung Karuniawan)
124
PBA as a highly informative marker. Cluster analysis divided 64 turmeric accessions
into two main clusters based on a similarity index ranged from 0.01 to 0.83. The
accession of CL-GTL01 origins from Gorontalo had a low similarity coefficient of
0.01 to the other 64 accessions cluster. On the other hand, CL-NTB01 dan CL-
PPB01 had the highest similarity index of 0.83. Based on the PIC value, the total
number of polymorphic bands, and genetic distance, it can be concluded that local
Indonesian turmeric had wide diversity based on PBA marker.
PENDAHULUAN
Kunyit (Curcuma longa L.) merupakan
tanaman yang memiliki banyak manfaat bagi
industri makanan dan obat-obatan. Secara
tradisional, masyarakat telah mengenal kunyit dan
memanfaatkannya sebagai obat (Kuntorini, 2005).
Masyarakat di India, Cina, dan Asia Tenggara
memanfaatkan kunyit sebagai pewarna, bumbu,
dan pengawet makanan (Ishita dan Khaushik
2004). Penelitian di bidang kesehatan juga
menunjukkan bahwa kunyit memiliki fungsi
sebagai antidiabetes (Shabana et al. 2015), anti-
HIV (Javed et al. 2016), antibakteri (Basir et al.
2018), antikanker (Shakeri et al. 2018),
antioksidan (Kim dan Clifton 2018), dan antijamur
(Sari et al. 2020). Banyaknya manfaat kunyit dapat
memberikan peluang dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat apabila dikelola dengan
baik.
Kunyit merupakan tanaman yang berasal
dari Asia Selatan dan telah digunakan dalam
budaya Vedic di India sejak 4000 tahun lalu
(Prasad dan Aggarwal, 2011). Saat ini kunyit telah
menyebar dan dibudidayakan di Cina, Indonesia,
Bangladesh dan Thailand (Selvan dan Thomas,
2002). Kunyit diperbanyak secara vegetatif
menggunakan rimpang karena jarang
menghasilkan bunga dan biji serta memiliki
sterilitas yang tinggi karena memiliki kromosom
triploid (2n=63) (Ravindran et al. 2007). Di sisi
lain, penelitian menunjukkan adanya perbedaan
genetik antara genotip kunyit di India pada tingkat
gen meskipun tanaman tersebut diperbanyak secara
vegetatif (Verma et al. 2015; Singh et al. 2015;
Singh et al. 2018). Keragaman genetik pada
tanaman yang diperbanyak vegetatif dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme seperti mutasi alami
dan warisan epigenetik transgenerasi (Balloux et
al. 2003).
Indonesia sebagai salah satu produsen kunyit
yang besar memiliki potensi untuk pengembangan
kunyit. Areal pertanaman kunyit yang luas
mendukung Indonesia untuk mengembangkan
tanaman ini sehingga menjadi lebih bernilai secara
ekonomi. Pengembangan tanaman kunyit ke arah
industri pangan dan obat-obatan perlu didukung
dengan adanya pengembangan varietas unggul
yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Menurut
Govindaraj et al. (2015), keberhasilan petani dan
pemulia tanaman dalam mengembangkan
komoditas bergantung pada keragaman sumber
daya genetik plasma nutfah. Evaluasi keragaman
memudahkan pemulia tanaman dalam
mengidentifikasi potensi dan nilai dari plasma
nutfah (Kumar dan Kaur, 2010). Namun, informasi
keragaman genetik kunyit saat ini masih terbatas
sehingga diperlukan suatu upaya untuk
mendapatkan informasi mengenai keragaman
genetik kunyit di Indonesia. Informasi tersebut
diperlukan dalam upaya pemuliaan tanaman untuk
perbaikan genetik dan pengembangan tanaman
kunyit di Indonesia.
Penggunaan marka molekuler dalam
mengidentifikasi keragaman genetik memiliki
beberapa keunggulan. Marka molekular memiliki
kemampuan yang tinggi dalam mengevaluasi
tingkat keragaman, struktur genetik, dan
kekerabatan berdasarkan keragaman dominansi
dan kekayaan alel (Ismail et al. 2019). Selain itu,
marka molekuler dapat menjadi alternatif dari
serangkaian uji BUSS (Baru, Unik, Seragam,
Stabil) dalam perlindungan varietas tanaman
karena mampu membedakan varietas tanaman
(Moeljopawiro 2016). Penggunaan marka
molekuler dapat menunjukkan hasil yang lebih
akurat dibandingkan dengan penggunaan marka
morfologi yang penampilannya dipengaruhi oleh
lingkungan. Sanghamitra et al. (2015)
mengemukakan bahwa beberapa karakter kualitatif
seperti kurkumin, minyak atsiri rimpang, dan
kandungan minyak atsiri pada daun tanaman
bervariasi dan dipengaruhi oleh perbedaan zona
agroklimat. Oleh karena itu, marka molekuler
dapat dijadikan alat untuk mengidentifikasi
keragaman genetik.
Penggunaan penanda molekuler P450-Based
Analog (PBA) merupakan salah satu cara untuk
mengidentifikasi keragaman. Marka ini telah
berhasil mengidentifikasi keragaman pada 51 spesies
tanaman yang tergolong ke dalam 28 famili dengan
jumlah fragmen yang dihasilkan sebanyak 41–63
(Yamanaka et al. 2003). Marka PBA merupakan
marka yang sangat informatif dengan nilai
polymorfism information content (PIC) dan persen
polimorfisme yang tinggi (Wicaksana et al. 2011).
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 31 No. 2, 2020 : 123 - 134
125
Aplikasi marka tersebut pada tanaman cabai
menunjukkan nilai PIC yang tinggi (rata-rata 0,96)
dibandingkan dengan marka RAPD (rata-rata 0,72)
(Dolkar et al. 2019). Hal ini dikarenakan marka
PBA mampu mendeteksi gen yang berperan dalam
proses biosintesis dan biodegradasi metabolit
sekunder (Greule et al. 2018). Penggunaan marka
PBA untuk mendeteksi keragaman diperkirakan
akan mampu menghasilkan sikuen yang lebih
banyak dibandingkan dengan penggunaan marka
SSR pada tanaman kunyit yang menghasilkan 2–8
alel (Senan et al. 2013). Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi keragaman kunyit
berdasarkan marka PBA. Informasi yang
didapatkan dari studi mengenai keragaman genetik
sangat penting dalam konservasi dan perakitan
varietas unggul berbasis sumber daya lokal.
BAHAN DAN METODE
Bahan tanaman yang digunakan pada
penelitian ini adalah 64 aksesi kunyit (C. longa)
koleksi Laboratorium Pemuliaan Tanaman dan
Teknologi Benih Universitas Padjadjaran yang
berasal dari beberapa provinsi di Indonesia dan
tiga varietas unggul milik Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) (Tabel 1).
Bahan tanaman berasal dari populasi kunyit yang
telah dibudidayakan oleh masyarakat. Seluruh
aksesi kunyit ditanam dan dikelola di Kebun
Percobaan Ciparanje, Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran (753 m dpl) pada garis
lintang 6o55’0.72804” S dan garis bujur
107o46’18.46056” E. Kegiatan penelitian
dilakukan di Laboratorium Sentral, Universitas
Padjadjaran dari Juni 2019 hingga Januari 2020.
Isolasi DNA
Daun tanaman kunyit yang digunakan untuk
proses isolasi DNA adalah daun muda yang
terletak pada daun kedua teratas. Prosedur isolasi
DNA pada tanaman C. longa dilakukan mengikuti
Promega (2017). Kualitas DNA hasil isolasi diuji
melalui elektroforesis dengan agarose 1%.
Konsentrasi dan kemurnian DNA dianalisis dengan
menggunakan spektrofotometer NanoDrop.
Amplifikasi DNA dengan PCR
Optimasi Polymerase Chain Reaction (PCR)
dilakukan untuk menentukan konsentrasi primer,
template DNA, serta Taq polymerase yang
memberikan hasil PCR optimal. Individu diambil
secara acak dan diamplifikasi menggunakan
delapan pasang primer (Tabel 2). Campuran
larutan PCR yang digunakan mengacu pada
panduan penggunaan MyTaq polymerase (Bioline),
sedangkan proses amplifikasi DNA dengan PCR
mengacu pada Yamanaka et al. (2003). Sampel
dimasukkan ke dalam mesin PCR (LabCycler
Gradient) dengan tahapan pra-denaturasi pada suhu
940C selama 5 menit, diikuti 32 siklus yang terdiri
atas denaturasi pada suhu 940C selama 1 menit,
annealing pada suhu 520C atau 56
0C selama 2
menit, dan ekstensi pada suhu 720C selama 3
menit. Tahap selanjutnya adalah final extention
pada suhu 720C selama 5 menit yang diikuti
dengan pendinginan pada suhu 40C.
Hasil PCR kemudian difraksinasi dengan
elektroforesis menggunakan campuran pewarna gel
(Gel Red, Biotium) sebanyak 3 µl pada agarose
1,5% (Thermo Fisher Scientific) dalam buffer
TBE, pada tegangan 80 V selama 50 menit. DNA
ladder 100 bp (Genetica Sciences) digunakan
sebagai pembanding ukuran DNA. Hasil
elektroforesis divisualisasikan menggunakan Gel
Documentation (BluPad). Hasil optimasi PCR
menunjukkan terdapat enam pasang primer yang
menghasilkan pita DNA yang jelas.
Analisis data
Scoring dilakukan terhadap fragmen DNA
yang teramplifikasi menggunakan angka biner 1
bila terdapat pita, dan 0 bila tidak terdapat pita.
Data biner digunakan untuk menghitung jumlah
alel dan nilai PIC yang menunjukkan tingkat
informasi keragaman yang diberikan masing-
masing pasangan primer yang digunakan mengacu
pada Botstein et al. (1980). Data biner kemudian
diolah menggunakan Sequential Agglomerative
Hierarchical and Nested-Unweighted Pair-Group
Method with Arithmetic (SAHN-UPGMA)
menggunakan perangkat lunak NTSYS versi 2.0.2.
(Rohlf 2000). Koefisien Jaccard digunakan untuk
mengetahui indeks kemiripan dan keragaman antar
sampel (Shameem dan Ferdous 2009).
Keragaman Genetik ... (Tresna Kusuma Putri, Putri Ardhya Anindita, Noladhi Wicaksana, Tarkus Suganda, Vergel Concibido, Agung Karuniawan)
126
Tabel 1. Deskripsi karakter morfologi aksesi kunyit asal Indonesia
Table 1. Morphological character description of turmeric accessions from Indonesia
No Nomor Aksesi Asal Batang
semu
Tata letak
daun pada
batang
Warna daun
bawah
Warna
daun
atas
Pola
urat
daun
Tepi daun Kepadatan
rimpang
Bentuk
rimpang
Warna
rimpang
Jarak
ruas
rimpang
1 CL-JBR01 Jawa Barat Rapat Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Intermerdiet Lurus Oranye Dekat
2 CL-JBR02 Jawa Barat Terbuka Erect Hijau muda Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
3 CL-JBR07 Jawa Barat Terbuka Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
4 CL-JBR11 Jawa Barat Terbuka Semi-erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Renggang Lurus Oranye Dekat
5 CL-JBR13 Jawa Barat Terbuka Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
6 CL-JBR14 Jawa Barat Rapat Erect Hijau muda Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
7 CL-JBR08 Jawa Barat Terbuka Semi-Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
8 CL-JTG04 Jawa Tengah Terbuka Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
9 CL-JTM02 Jawa Timur Rapat Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
10 CL-JTM06 Jawa Timur Rapat Erect Hijau muda Hijau Dekat Rata Intermediet Lengkung Oranye Dekat
11 CL-JTM07 Jawa Timur Terbuka Semi-Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
12 CL-SSL01 Sumatera Selatan Rapat Erect Hijau Hijau Dekat Rata Intermediet Lurus Oranye Dekat
13 CL-SSL02 Sumatera Selatan Rapat Erect Hijau Hijau Jauh Rata Intermediet Lurus Oranye Dekat
14 CL-SUT01 Sumatera Utara Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
15 CL-SUT02 Sumatera Utara Terbuka Erect Hijau muda Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
16 CL-SUT03 Sumatera Utara Terbuka Semi-Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
17 CL-KLB01 Kalimantan Barat Rapat Erect Hijau Hijau Jauh Rata Renggang Lurus Oranye Dekat
18 CL-SLS01 Sulawesi Selatan Terbuka Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
19 CL-SLT01 Sulawesi Timur Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
20 CL-MLK01 Maluku Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Padat Lurus Oranye Dekat
21 CL-NTB01 Nusa Tenggara Barat Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
22 CL-PAP01 Papua Terbuka Erect Hijau muda Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lengkung Oranye Dekat
23 CL-PAP03 Papua Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lengkung Oranye Dekat
24 CL-PPB01 Papua Barat Rapat Semi-Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
25 CL-PPB04 Papua Barat Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lengkung Oranye Dekat
26 CL-PPB05 Papua Barat Rapat Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Renggang Lurus Kuning lemon Dekat
27 CL-PPB08 Papua Barat Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
28 CL-PPB09 Papua Barat Rapat Erect Hijau Hijau Dekat Rata Renggang Lurus Oranye Jauh
29 CL-PPB12 Papua Barat Terbuka Semi-Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 31 No. 2, 2020 : 123 - 134
127
30
31
CL-NAD01
CL-KBB01
Aceh
Kep. Bangka Belitung
Terbuka
Terbuka
Erect
Semi-Erect
Hijau muda
Hijau muda
Hijau
Hijau
Jauh
Dekat
Rata
Gelombang
Intermediet
Padat
Lurus
Lurus
Oranye
Oranye
Dekat
Dekat
32 CL-SLS02 Sulawesi Selatan Terbuka Semi-Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
33 CL-BAL01 Bali Terbuka Semi-Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
34 CL-GTL01 Gorontalo Terbuka Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
35 CL-KLT02 Kalimantan Timur Rapat Erect Hijau muda Hijau Jauh Rata Intermediet Lurus Oranye Dekat
36 CL-SSL04 Sumatera Selatan Rapat Erect Hijau muda Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
37 CL-MLK04 Maluku Terbuka Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
38 CL-SLT04 Sulawesi Timur Terbuka Semi-Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
39 CL-KBB02 Kep. Bangka Belitung Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Rata Intermediet Lurus Oranye Dekat
40 CL-JMB01 Jambi Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
41 CL-BTN01 Banten Terbuka Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
42 CL-KBB03 Kep. Bangka Belitung Terbuka Semi-Erect Hijau muda Hijau Jauh Rata Renggang Lurus Oranye Dekat
43 CL-NTB03 Nusa Tenggara Barat Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Padat Lengkung Oranye Dekat
44 CL-KBB04 Kep. Bangka Belitung Rapat Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
45 CL-KBB05 Kep. Bangka Belitung Rapat Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Padat Lurus Oranye Dekat
46 CL-BTN02 Banten Rapat Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Padat Lurus Oranye Dekat
47 CL-BKL01 Bengkulu Terbuka Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
48 CL-KTG01 Kalimantan Tengah Terbuka Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Padat Lengkung Oranye Dekat
49 CL-SLU01 Sulawesi Utara Rapat Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
50 CL-STG01 Sulawesi Tenggara Rapat Erect Hijau Hijau Dekat Rata Intermediet Lurus Kuning lemon Dekat
51 CL-STG02 Sulawesi Tenggara Terbuka Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Padat Lurus Oranye Dekat
52 CL-SLS04 Sulawesi Selatan Terbuka Semi-Erect Hijau muda Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
53 CL-MUT01 Maluku Utara Rapat Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Renggang Lurus Kuning lemon Dekat
54 CL-LMP04 Lampung Rapat Erect Hijau Hijau Dekat Even Intermediet Lurus Oranye Dekat
55 CL-SMB01 Sumatera Barat Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
56 CL-NAD03 Aceh Rapat Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Renggang Lengkung Oranye Dekat
57 Turina 1 (T1) Balittro Terbuka Semi-Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
58 Turina 2 (T2) Balittro Rapat Semi-Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Padat Lurus Oranye Dekat
59 Turina 3 (T3) Balittro Terbuka Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
60 CL-JBR16 Jawa Barat Terbuka Erect Hijau muda Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
61 CL-JBR06 Jawa Barat Terbuka Semi-Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
62 CL-JBR12 Jawa Barat Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Padat Lurus Oranye Dekat
63 CL-YOG01 Yogyakarta Terbuka Erect Hijau Hijau Jauh Gelombang Intermediet Lengkung Oranye Dekat
64 CL-LMP02 Lampung Terbuka Erect Hijau Hijau Dekat Gelombang Intermediet Lurus Oranye Dekat
Keragaman Genetik ... (Tresna Kusuma Putri, Putri Ardhya Anindita, Noladhi Wicaksana, Tarkus Suganda, Vergel Concibido, Agung Karuniawan)
128
Tabel 2. Primer dan suhu annealing marka PBA
Table 2. Primer and annealing temperature of PBA markers
Sumber/Source : Yamanaka et al. (2003)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai polymorphism information content (PIC)
dan kesesuaian marka PBA
Hasil amplifikasi DNA menggunakan PCR
menunjukkan variasi jumlah alel pada masing-
masing pasang primer (Gambar 1). Pasangan
primer CYP1A1F/CYP1A1R dan
CYP1A1F/heme2C19 merupakan pasangan primer
PBA yang tidak menghasilkan pita pada tiap
individu sehingga tidak dapat digunakan untuk
mengidentifikasi keragaman genetik tanaman
kunyit. Sementara itu, jumlah pita yang
terampilifikasi menggunakan enam pasang primer
PBA lainnya berjumlah 8 hingga 45 dengan jumlah
total pita keseluruhan sebanyak 133, dan rata-rata
22,3 (Tabel 3). Pasangan primer
CYP2C19F/CYP2B6R mampu mengamplifikasi
sikuen lebih banyak dibanding primer lainnya,
sedangkan jumlah sekuen teramplifikasi paling
sedikit dihasilkan oleh pasangan primer
CYP2C19F/heme2B6.
Marka PBA mampu mengidentifikasi
banyak sikuen yang teramplifikasi pada tanaman
kunyit. Jumlah sikuen yang dihasilkan pada
penelitian ini lebih banyak bila dibandingkan
dengan studi oleh Singh et al. (2012) yang
menggunakan marka Random Amplified
Polymorphic DNA (RAPD) dan marka Inter Simple
Sequence Repeats (ISSR) terhadap 55 aksesi
kunyit. Singh et al. (2012) melaporkan jumlah
sikuen yang dihasilkan masing-masing terdiri atas
5–13 dan 8–11 pita. Semakin banyak jumlah pita
polimorfik, semakin tinggi pula keragaman
genetiknya (Istiqomah et al. 2016). Tingginya
jumlah fragmen yang teramplifikasi menunjukkan
tingkat homologi yang tinggi terhadap berbagai
protein yang ditemukan dan berkaitan dengan
wilayah fungsional yang berbeda pada genom
tanaman (Yamanaka et al. 2003).
Penggunaan marka PBA sebagai marka
fungsional terhadap aksesi kunyit Indonesia
menunjukkan nilai polimorfisme tinggi yaitu
sebesar 100%. Hal ini sejalan dengan penelitian
Wicaksana et al. ( 2011) yang menggunakan marka
PBA pada Zingiber barbatum Wall. asal Myanmar
yang menunjukkan persentase polimorfisme
sebesar 92,15%. Persentase polimorfisme dengan
marka PBA sebesar 94,58% ditemukan pada 12
aksesi temu manga, Curcuma amada asal
Myanmar (Jatoi et al. 2010) dan pada galur hasil
pemuliaan Moringa oleifera L. sebesar 86,44%
(Kumar et al. 2017). Nilai polimorfisme tersebut
memiliki kaitan dengan nilai PIC yang dihasilkan.
Nilai PIC menunjukkan tingkat kesesuaian
marka yang digunakan berdasarkan tinggi
rendahnya tingkat polimorfisme yang diperoleh.
Nilai PIC di atas 0,90 menunjukkan bahwa marka
sangat informatif untuk melihat perbedaan antar
aksesi (Ismail et al. 2019; Botstein et al. 1980).
Berdasarkan jumlah alel yang terdeteksi,
didapatkan nilai PIC sebesar 0,90
(CYP2C19F/heme2B6) hingga 0,98
(CYP2C19F/CYP1A1R) dengan rerata
No. Primer forward/reverse Forward (5’–3’) Reverse (5’–3’) Annealing
(oC)
1. CYP1A1F/heme2B6 GCC AAG CTT TCT AAC
AAT GC
ACC AAG ACA AAT CCG
CTT CCC 56,0
2. CYP2C19F/CYP1A1R TCC TTG TGC TCT GTC
TCT CA
AAG GAC ATG CTC TGA
CCA TT 56,0
3. CYP2C19F/heme2B6 TCC TTG TGC TCT GTC
TCT CA
ACC AAG ACA AAT CCG
CTT CCC 56,0
4. CYP2C19F/heme2C19 TCC TTG TGC TCT GTC
TCT CA
TCC CAC ACA AAT CCG
TTT TCC 56,0
5. CYP2B6F/CYP2B6R GAC TCT TGC TAC TCC
TGG TT
CGA ATA CAG AGC TGA
TGA GT 52,0
6. CYP2C19F/CYP2B6R TCC TTG TGC TCT GTC
TCT CA
CGA ATA CAG AGC TGA
TGA GT 52,0
7. CYP1A1F/CYP1A1R GCC AAG CTT TCT AAC
AAT GC
AAG GAC ATG CTC TGA
CCA TT 56,0
8. CYP1A1F/heme2C19 GCC AAG CTT TCT AAC
AAT GC
TCC CAC ACA AAT CCG
TTT TCC 56,0
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 31 No. 2, 2020 : 123 - 134
129
Tabel 3. Persentase polimorfisme dan nilai PIC 6 pasang primer PBA pada 64 aksesi kunyit
Table 3. Percentage of polimorphism and PIC value of 6 pairs of PBA primers on 64 turmeric accessions
No. Primer Jumlah fragmen
polimorfik
Polimorfisme
(%)
Nilai
PIC Tingkat informatif
1 CYP1A1F/heme2B6 16 100 0,92 Tinggi
2 CYP2C19F/CYP1A1R 22 100 0,98 Tinggi
3 CYP2C19F/heme2B6 8 100 0,90 Tinggi
4 CYP2C19F/heme2C19 12 100 0,96 Tinggi
5 CYP2B6F/CYP2B6R 31 100 0,96 Tinggi
6 CYP2C19F/CYP2B6R
Jumlah
Rata-rata
45
134
22,3
100
100
0,91
0,94
Tinggi
Tinggi
Keterangan: Nilai PIC > 0,5 = sangat informatif, 0,5 > PIC > 0,25 = cukup informatif, dan nilai PIC < 0,25 = sedikit
informatif (Botstein et al. 1980)
Note: PIC value > 0.5 = very informative, 0.5 > PIC > 0.25 = fairly informative, and PIC value < 0.25 = less
informative (Botstein et al. 1980)
.
Gambar 1. Visualisasi DNA beberapa aksesi kunyit pada beberapa primer PBA (a) CYP1A1F/ CYP1A1R, (b)
CYP2C19/heme2C19, dan (c) CYP2B6F/CYP2B6R. Pita polimorfik ditunjukkan dengan tanda panah
berwarna putih.
Figure 1. DNA visualisation of several turmeric accessions on several PBA primers (a) CYP1A1F/ CYP1A1R, (b)
CYP2C19/heme2C19, dan (c) CYP2B6F/CYP2B6R. Polymorphic bands were marked with the white arrow.
200 bp
100 bp
300 bp
200 bp
100 bp
300 bp
100 bp
300 bp
200 bp
Keragaman Genetik ... (Tresna Kusuma Putri, Putri Ardhya Anindita, Noladhi Wicaksana, Tarkus Suganda, Vergel Concibido, Agung Karuniawan)
130
Jaccard Coefficient
0.01 0.08 0.14 0.20 0.27 0.33 0.39 0.46 0.52 0.58 0.64 0.71 0.77 0.83
CL-JBR01 CL-JBR02 CL-JBR07 CL-JTM06 CL-JTM07 CL-SSL02 CL-JBR11 CL-SSL01 CL-MLK04 CL-SLT04 CL-KBB03 CL-NTB03 CL-BKL01 CL-SLU01 CL-MUT01 CL-LMP04 CL-SMB01 T2 T1 T3 CL-LMP02 CL-JBR06 CL-JBR13 CL-JTG04 CL-JTM02 CL-SUT01 CL-BTN01 CL-SUT02 CL-JBR16 CL-JBR12 CL-NAD03 CL-SUT03 CL-PAP03 CL-KLB01 CL-SLS01 CL-SLT01 CL-PPB08 CL-PPB09 CL-JBR14 CL-JBR08 CL-PPB12 CL-SSL04 CL-NAD01 CL-SLS02 CL-KBB01 CL-KLT02 CL-BAL1 CL-KBB02 CL-JMB01 CL-KBB04 CL-KBB05 CL-BTN02 CL-KTG01 CL-STG01 CL-STG02 CL-SLS04 CL-MLK01 CL-YOG01 CL-PAP01 CL-NTB01 CL-PPB04 CL-PPB01 CL-PPB05 CL-GTL01
0,94 (Tabel 3). Nilai tersebut lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penelitian Singh et al. (2018)
yang menggunakan marka SSR pada aksesi kunyit
dengan nilai PIC berkisar dari 0,43 hingga 0,67.
Tingginya nilai polimorfik memiliki kaitan dengan
ukuran genom, persilangan alami, dan
heterozigositas spesies (Pan et al. 2017). Hasil
analisis nilai PIC menunjukkan bahwa enam
pasang primer PBA sangat informatif dan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi keragaman
genetik pada tanaman kunyit.
Analisis kekerabatan dan keragaman genetik
Kekerabatan 64 aksesi kunyit asal Indonesia
dianalisis menggunakan analisis kluster UPGMA
dengan koefisian Jaccard. Hasil analisis berupa
dendrogram yang menunjukkan kekerabatan
genetik antar aksesi kunyit menggunakan marka
PBA. Analisis klaster tersebut menunjukkan
kelompok yang terbentuk berada pada jarak
genetik 0,01 hingga 0,83 atau dengan tingkat
kemiripan 1–83% (Gambar 2). Aksesi CL-PPB04
yang berasal dari Papua Barat dan CL-NTB01 dari
Nusa Tenggara Barat memiliki tingkat kemiripan
yang tinggi dengan koefisien kemiripan sebesar
83%, diikuti oleh aksesi CL-JBR07 dari Jawa
Barat dan aksesi CL-JTM06 dari Jawa Timur
dengan koefisien kemiripan 0,75 atau sama dengan
75%. Menurut Singh et al. (2018) rentang klaster
aksesi kunyit yang berada pada rentang 0,44 – 1,00
mengindikasikan adanya keragaman. Sementara
pada penelitian Verma et al. (2015), jarak genetik
30 genotip kunyit yang berada pada rentang 0,03–
0,59 menunjukkan cukup beragam. Pada penelitian
ini, jarak genetik pada klaster sangat bervariasi
terutama jarak koefisien kemiripan di atas 0,45
yang menunjukkan keragaman yang luas.
Koefisien kemiripan pada rentang jarak
0,01–0,83 mengindikasikan tingkat keragaman
genetik yang luas pada aksesi kunyit. Hal ini
sejalan dengan penelitian Ismail et al. (2019) pada
temulawak yang menunjukkan bahwa tingkat
keragaman temulawak berdasarkan marka PBA
sangat luas dengan tingkat kemiripan pada rentang
0,00–0,83. Penelitian Wicaksana et al. ( 2011)
menunjukkan keragaman genetik yang luas pada
Zingiber barbatum Wall, berdasarkan analisis
marka morfologi dan marka molekuler PBA
dengan rentang koefisien kemiripan genetik
Jaccard 0,21–0,97. Informasi keragaman genetik
yang didapatkan sangat penting untuk dasar
strategi konservasi, pemanfaatan, dan kegiatan
pemuliaan tanaman (Li et al. 2011). Luasnya
keragaman pada aksesi kunyit tersebut mendukung
ketersediaan materi genetik bagi proses pemuliaan
kunyit dan mampu meningkatkan kemajuan seleksi
terhadap karakter yang diinginkan pemulia.
Gambar 2. Dendrogram 64 aksesi kunyit asal Indonesia berdasarkan marka PBA menggunakan koefisien kemiripan
Jaccard
Figure 2. Dendrogram of 64 turmeric accessions from Indonesia based on PBA markers using Jaccard similarity
coefficient
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 31 No. 2, 2020 : 123 - 134
131
Nilai polimorfisme serta keragaman yang
dihasilkan mengindikasikan keragaman genetik
yang luas antar aksesi kunyit di Indonesia.
Keragaman pada tanaman yang diperbanyak secara
vegetatif dapat disebabkan oleh adanya mutasi
alami yang mengakibatkan perubahan susunan
genom tanaman. Hal tersebut dipengaruhi oleh
penyebaran geografis yang diikuti dengan proses
mutasi dan seleksi (Ravindran et al. 1994).
Penyebaran kunyit di Asia Selatan dan Asia
Tenggara memiliki kaitan dengan keragamaan di
bawah pengaruh agama Hindu pada masa Post-
Arya (Sasikumar 2005) dan jalur perdagangan.
Proses penyebaran kunyit tersebut membuat kunyit
perlu melakukan adaptasi dengan lingkungan
tumbuhnya yang menyebabkan adanya akumulasi
mutasi spontan dalam proses evolusi genetik. Klon
tanaman yang diperbanyak secara vegetatif yang
semakin lama menghadapi berbagai cekaman
lingkungan dapat mengakumulasi mutasi dan
berpotensi menimbulkan adanya mutasi somatik
(Pelsy 2010). Menurut Jiang dan Ramachandran
(2010) tingkat mutasi pada tanaman sangat rendah
pada rentang 10-5
hingga 10-8
. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa aksesi kunyit yang ada
hingga saat ini merupakan aksesi yang sudah
beradaptasi dengan kondisi lingkungan.
Hasil analisis klaster mengelompokkan 64
aksesi kunyit ke dalam dua klaster utama pada nilai
koefisien 0,01 (Tabel 4). Kelompok pertama terdiri
atas 63 aksesi dan terbagi ke dalam tiga subklaster
yaitu subklaster I, subklaster II, dan subklaster III
dengan nilai koefisien kemiripan 0,13. Subklaster I
terdiri atas 10 aksesi pada rentang koefisien
kemiripan 0,12–0,75. Subklaster II terdiri atas 47
aksesi dengan koefisien kemiripan 0,13–0,74.
Subklaster III terdiri atas 6 aksesi pada rentang
koefisien kemiripan 0,22–0,8. Sementara pada
klaster II hanya terdiri atas satu aksesi yaitu CL-
GTL01 yang berasal dari Gorontalo dengan
koefisien kemiripan 0,02 dengan subklaster
lainnya. Berdasarkan scoring pita DNA, aksesi
CL-GTL01 menunjukkan pola pita DNA yang
sangat berbeda, sehingga pada analisis klaster
terpisah dari aksesi lainnya.
Dendrogram tidak menunjukkan adanya
variasi yang didasarkan pada lokasi geografis asal
kunyit. Aksesi-aksesi yang berada pada satu
subklaster merupakan aksesi yang berasal dari
provinsi yang berbeda. Spesies jahe liar yang
diteliti oleh Wicaksana et al. ( 2011) juga
menunjukkan tidak adanya hubungan yang
signifikan antara aksesi Zingiber barbatum dengan
wilayah asal koleksinya di Myanmar. Hal tersebut
dapat terjadi karena plasma nutfah berasal dari
daerah yang sama dan ditransfer di dalam maupun
ke luar provinsi (Shen et al. 2010). Beberapa
aksesi kunyit diperoleh dari daerah perbatasan
antar provinsi sehingga ada kemungkinan berbagai
aksesi mengelompok pada klaster yang sama.
Secara morfologi tidak ditemukan kemiripan sifat
tertentu yang membedakan sifat antar aksesi kunyit
dalam satu klaster sehingga perlu dilakukan
penelitian lanjutan mengenai mekanisme genetik
yang terjadi dan diperlukan analisis korelasi antara
keragaman genetik dengan marka molekuler dan
marka morfologi Menurut Balloux et al. ( 2003)
tanaman tanaman yang diperbanyak secara
vegetatif dapat mengalami variasi di tingkat alel
Tabel 4. Pengelompokan aksesi kunyit pada klaster dendrogram berdasarkan metode UPGMA menggunakan
penanda PBA
Table 4. Dendogram cluster of turmeric accessions grouping based on UPGMA method using PBA markers
Klaster Subklaster Aksesi
I I CL-JBR01, CL-JBR02, CL-JBR07, CL-JTM06, CL-JTM07, CL-SSL02, CL-
JBR11, CL-SSL01, CL-MLK04, CL-SLT04
I II
CL-KBB03, CL-NTB03, CL-BKL01, CL-SLU01, CL-MUT01, CL-LMP04,
CL-SMB01, Turina 2, Turina 1, Turina 3, CL-LMP02, CL-JBR06, CL-JBR13,
CL-JTG04, CL-JTM02, CL-SUT01, CL-BTN01, CL-SUT02, CL-JBR16, CL-
JBR12, CL-NAD03, CL-SUT03, CL-PAP03, CL-KLB01, CL-SLS01, CL-
SLT01, CL-PPB08, CL-PPB09, CL-JBR14, CL-JBR08, CL-PPB12, CL-
SSL04, CL-NAD01, CL-SLS02, CL-KBB01, CL-KLT02, CL-BAL01, CL-
KBB02, CL-JMB01, CL-KBB04, CL-KBB05, CL-BTN02, CL-KTG01, CL-
STG01, CL-STG02, CL-SLS04
I III CL-MLK01, CL-YOG01, CL-PAP01, CL-NTB01, CL-PPB04, CL-PPB01, CL-
PPB05
II - CL-GTL01
Keragaman Genetik ... (Tresna Kusuma Putri, Putri Ardhya Anindita, Noladhi Wicaksana, Tarkus Suganda, Vergel Concibido, Agung Karuniawan)
132
pada lokus spesifik akibat adanya mutasi alami.
Meskipun demikian, jika mutasi somatik terjadi
pada fase pertumbuhan tanaman, maka tidak akan
memberikan pengaruh terhadap penampilan
fenotip (Pelsy 2010). Secara keseluruhan, kunyit
yang berasal dari provinsi di Indonesia memiliki
keragaman genetik yang luas yang dipengaruhi
oleh mutasi disebabkan adanya adaptasi dengan
lingkungan tumbuh.
KESIMPULAN
Marka PBA merupakan marka yang sangat
informatif dalam mendeteksi keragaman aksesi
kunyit pada tingkat gen dengan nilai poliformisme
100% dan PIC lebih dari 0,9, dan sesuai untuk
mengidentifikasi keragaman kunyit. Aksesi kunyit
memiliki keragaman yang luas yang terdistribusi
pada klaster dengan koefisien kemiripan 0,02
hingga 0,83. Koefisien keragaman tersebut
menunjukkan adanya kemungkinan mutasi alami
pada tanaman kunyit akibat pola penyebaran secara
geografis. Kunyit yang berasal dari daerah yang
sama cenderung menyebar dan mengelompok
dengan aksesi yang berasal dari daerah yang lain.
Informasi terkait keragaman aksesi kunyit pada
penelitian ini berguna untuk pengembangan
varietas unggul dan konservasi sumberdaya
genetik kunyit Indonesia.
TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Sensient Colors LLC, St. Louis, Missouri, Amerika
yang memberikan dukungan dana untuk penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Balloux, F., Lehmann, L. & De Meeus, T. (2003)
The Population Genetics of Clonal and
Partially Clonal Diploids. Genetics. 164 (4),
1635–1644.
Basir, L., Kalhori, S., Zare Javid, A. & Khaneh
Masjedi, M. (2018) Anticaries Activity of
Curcumin on Decay Process in Human
Tooth Enamel Samples (In Vitro Study).
Journal of the National Medical
Association. 110 (5), Elsevier Inc, 486–490.
Botstein, D., White, R.L., Skolnick, M. & Davis,
R.W. (1980) Construction of a Genetic
Linkage Map in Man Using Restriction
Fragment Length Polymorphisms. American
journal of Human Genetics. 32 (3), Elsevier,
314.
Dolkar, R., Kumar, P., Girigowda, M. & Pallavi,
H.M. (2019) Assessment of Genetic
Diversity in Advance Breeding Lines of
Chilli (Capsicum annuum L.) Using RAPD
and Cytochrome P450 Gene Based Marker
system. 7 (2), 1656–1663.
Govindaraj, M., Vetriventhan, M. & Srinivasan,
M. (2015) Importance of Genetic Diversity
Assessment in Crop Plants and Its Recent
Advances : An Overview of Its Analytical
Perspectives. 2015 (Figure 1).
Greule, A., Stok, J.E., De Voss, J.J. & Cryle, M.J.
(2018) Unrivalled Diversity: The Many
Roles and Reactions of Bacterial
Cytochromes P450 in Secondary
Metabolism. Natural Product Reports.
Royal Society of Chemistry. 35 (8), 757–
791. doi:10.1039/c7np00063d.
Ishita, C. & Khaushik, B. (2004) Turmeric and
Curcumin: Biological Actions and Medical
Applications. Current Science. 87 (1), 44–
53. doi:10.2307/24107978.
Ismail, N.A., Rafii, M.Y., Mahmud, T.M.M.,
Hanafi, M.M. & Miah, G. (2019) Genetic
Diversity of Torch Ginger (Etlingera
elatior) Germplasm Revealed by ISSR and
SSR Markers. BioMed Research
International. doi:10.1155/2019/5904804.
Istiqomah, C.R.P., Pancasakti, H. & Kusdiyantini,
E. (2016) Keragaman Genetik Jahe
(Zingiber officinale Roscoe) menggunakan
Teknik Penanda Molekuler Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD).
Jurnal Biologi. 5 (2), 87–97.
Jatoi, S.A., Kikuchi, A., Ahmad, D. & Watanabe,
K.N. (2010) Characterization of The Genetic
Structure of Mango Ginger (Curcuma
amada Roxb.) from Myanmar in Farm and
Genebank Collection by The Neutral and
Functional Genomic Markers. Electronic
Journal of Biotechnology. 13 (6), 1–11.
doi:10.2225/vol13-issue6-fulltext-10.
Javed, M., Upadhayaya, S.K. & Malik, V. (2016)
Cultivation, Harvesting and Quantitative
Analysis in Curcuma longa. European
Journal of Pharmaceutical and Medical
Research. 3 (3), 423–425.
Jiang, S.Y. & Ramachandran, S. (2010) Natural
and Artificial Mutants as Valuable
Resources for Functional Genomics and
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 31 No. 2, 2020 : 123 - 134
133
Molecular Breeding. International Journal
of Biological Sciences. 6 (3), 228–251.
doi:10.7150/ijbs.6.228.
Kim, Y. & Clifton, P. (2018) Curcumin,
Cardiometabolic Health and Dementia.
International Journal of Environmental
Research and Public Health. 15 (10), 2093.
Kumar, A. & Kaur, V. (2010) Characterisation and
Evaluation of PGR : Principles and
Techniques. In: Division of Germplasm
Evaluation, ICAR-NBPGR, New Delhi.
pp.139–145.
Kumar, P., Dolkar, R., Manjunatha, G. & Pallavi,
H.M. (2017) Molecular Fingerprinting and
Assessment of Genetic Variations Among
Advanced Breeding Lines of Moringa
oleifera L. by Using Seed Protein, RAPD
and Cytochrome P450 Based Markers. South
African Journal of Botany. 111, SAAB, 60–
67. doi:10.1016/j.sajb.2017.03.024.
Kuntorini, E.M. (2005) Botani Ekonomi Suku
Zingiberaceae sebagai Obat Tradisional oleh
Masyarakat di Kotamadya Banjarbaru.
Bioscientiae. 2 (1), 25–36.
Li, G., Ra, W.H., Park, J.W., Kwon, S.W., Lee,
J.H., Park, C.B. & Park, Y.J. (2011)
Developing EST-SSR Markers to Study
Molecular Diversity in Liriope and
Ophiopogon. Biochemical Systematics and
Ecology. 39 (4–6), Elsevier Ltd, 241–252.
doi:10.1016/j.bse.2011.08.012.
Moeljopawiro, S. (2016) Marka Mikrosatelit
sebagai Alternatif Uji BUSS dalam
Perlindungan Varietas Tanamam Padi.
Buletin Plasma Nutfah. 16 (1), 1.
doi:10.21082/blpn.v16n1.2010.p1-7.
Pan, L., Fu, J., Zhang, R., Qin, Y., Lu, F., Jia, L.,
Hu, Q., Liu, C., Huang, L. & Liang, G.
(2017) Genetic Diversity Among
Germplasms of Pitaya Based on SSR
Markers. Scientia Horticulturae. 225, 171–
176. doi:10.1016/j.scienta.2017.06.053.
Pelsy, F. (2010) Molecular and Cellular
Mechanisms of Diversity Within Grapevine
Varieties. Heredity. 104, Nature Publishing
Group, 331–340. doi:10.1038/hdy.2009.161.
Promega (2017) Technical Manuarl Wizard®
Genomic DNA Purification Kit. Promega
Corporation. USA, pp.1–18.
doi:10.1007/978-3-642-58362-9_35.
Ravindran, P.N., Babu, K.N. & Shiva, K.N. (2007)
Botany and Crop Improvement of Turmeric.
In: Ravindran, P.N., Babu, N. & Sivaraman
(eds.) Turmeric The Genus Curcuma.
Medicinal. 45, India, CRC Press, pp.15–70.
doi:10.1017/CBO9781107415324.004.
Ravindran, P.N., Sasikumar, B., George, J.K.,
Ratnambal, M.J. & Babu, K.N. (1994)
Genetic Resources of Ginger (Zingiber
officinale Rosc.) and Its Conservation in
India. Plant Genetic Resources Newsletter.
Rohlf, F.J. (2000) NTSYSpc Numerical Taxonomy
and Multivariate Analysis System. New
York, Applied Biostatistics Inc.
Sanghamitra, N., Sujata, M. & Nagar, K. (2015)
Differential Effect of Soil and Environment
on Metabolic Expression of Turmeric
(Curcuma longa cv. Roma). Indian Journal
of Experimental Biology. 53, 406–411.
Sari, A.R.K., Rahmah, F.A. & Djauhari, S. (2020)
Effectiveness of Nonessential Compounds
from Curcuma spp. on Reducing
Anthracnose Disease of Chilli Pepper Fruit.
Buletin Littro. 31 (1), 21–30.
doi:10.21082/bullittro.v31n1.2020.21-30
Sasikumar, B. (2005) Genetic Resources of
Curcuma: Diversity, Characterization and
Utilization. Plant Genetic Resources. 3 (2),
230–251. doi:10.1079/pgr200574.
Selvan, T.M. & Thomas, K.G. (2002) Turmeric.
In: Production and Utilization Proceedings,
National Consultative Meeting for
Accelerated Production and Export of
Spices. Indian Spi. Cochin, Coconut
Development Board, pp.97–109.
Senan, S., Kizhakayil, D., Sheeja, T.E., Sasikumar,
B., Bhat, A.I. & Parthasarathy, V.A. (2013)
Novel Polymorphic Microsatellite Markers
from Turmeric, Curcuma longa L.
(Zingiberaceae). Acta Botanica Croatica. 72
(2), 407–412. doi:10.2478/botcro-2013-
0002.
Shabana, M.H., Shahy, E.M., Taha, M.M., Mahdy,
G.M. & Mahmoud, M.H. (2015)
Phytoconstituents from Curcuma longa L.
Aqueous Ethanol Extract and Its
Immunomodulatory Effect on Diabetic
Infected Rats. Egyptian Pharmaceutical
Journal. 14 (1), 36.
Shakeri, A., Cicero, A.F.G., Panahi, Y., Mohajeri,
M. & Sahebkar, A. (2018) Curcumin: A
Naturally Occurring Autophagy Modulator.
Journal of Cellular Physiology. 234, 5643-
Keragaman Genetik ... (Tresna Kusuma Putri, Putri Ardhya Anindita, Noladhi Wicaksana, Tarkus Suganda, Vergel Concibido, Agung Karuniawan)
134
5654. doi:10.1002/jcp.27404.
Shameem, M.U.S. & Ferdous, R. (2009) An
efficient K-Means Algorithm Integrated
with Jaccard Distance Measure for
Document Clustering. First Asian
Himalayas International Conferenceon
Internet. 1–6.
Shen, J., Jia, X., Ni, H., Sun, P., Niu, S. & Chen,
X. (2010) AFLP Analysis of Genetic
Diversity of Jatropha curcas Grown in
Hainan, China. Trees - Structure and
Function. 24 (3), 455–462.
doi:10.1007/s00468-010-0413-1.
Singh, A.K., Nanda, P., Singh, A. & Singh, B.
(2015) Genetic Diversity Analysis in
Turmeric (Curcuma longa L.) Based on SSR
Markers. Journal of Biological Engineering
Research and Review. 2 (1), 20–24.
Singh, S., Panda, M.K. & Nayak, S. (2012)
Evaluation of Genetic Diversity in Turmeric
(Curcuma longa L.) Using RAPD and ISSR
Markers. Industrial Crops and Products. 37
(1), Elsevier B.V., 284–291.
doi:10.1016/j.indcrop.2011.12.022.
Singh, T.J., Patel, R.K., Patel, S.N. & Patel, P.A.
(2018) Molecular Diversity Analysis in
Turmeric (Curcuma longa L.) Using SSR
Markers. International Journal of Current
Microbiology and Applied Sciences. 7 (11),
552–560.
Verma, S., Singh, S., Sharma, S., Tewari, S.K.,
Roy, R.K., Goel, A.K. & Rana, T.S. (2015)
Assessment of Genetic Diversity in
Indigenous Turmeric (Curcuma longa)
Germplasm from India Using Molecular
Markers. Physiology and Molecular Biology
of Plants. 21 (2), 233–242.
doi:10.1007/s12298-015-0286-2.
Wicaksana, N., Gilani, S.A., Ahmad, D., Kikuchi,
A. & Watanabe, K.N. (2011) Morphological
and Molecular Characterization of
Underutilized Medicinal Wild Ginger
(Zingiber barbatum Wall.) from Myanmar.
Plant Genetic Resources: Characterization
and Utilization. 9 (4), 531–542.
doi:10.1017/S1479262111000840.
Yamanaka, S., Suzuki, E., Tanaka, M., Takeda, Y.,
Watanabe, J.A. & Watanabe, K.N. (2003)
Assessment of Cytochrome P450 Sequences
Offers a Useful Tool for Determining
Genetic Diversity in Higher Plant Species.
Theoretical and Applied Genetics. 108, 1–9.
doi:10.1007/s00122-003-1403-0.