1
Keragaman Virulensi dan Molekuler Virus Tungro dari Beberapa Daerah Endemis*)
R. Heru Praptana1, YB. Sumardiyono2, Sedyo Hartono2, Y. Andi Trisyono2 dan I. Nyoman Widiarta3
1)Loka Penelitian Penyakit Tungro, 2) Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 3)Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Abstract
Tungro is one of the major diseases in rice which has become a constraint in increasing rice production in Indonesia. Tungro is caused by infection with two different viruses of Rice tungro bacilliform virus (RTBV) and Rice tungro spherical virus (RTSV), both of which can only be transmitted by green leafhoppers especially Nephotettix virescens (Distant) in a semipersistent manner. Since there is an indication of the existance of virulence variation of tungro viruses from different areas and the specific relationship between resistance of varieties and tungro viruses isolates, it is important to study of the virulence and the genetic diversity of tungro viruses from some endemic areas in Indonesia. This study aimed to identify the virulence and the molecular diversity of tungro viruses from several endemic areas in Indonesia. Susceptible variety i.e. TN1 was used in the study. Surveys and collection of infected plants and green leafhoppers were done in several tungro endemic areas, namely West Java, Central Java, Yogyakarta, Central Sulawesi, West Sulawesi, South Sulawesi, Bali and West Nusa Tenggara. Artificial transmission using the test tube method was used in the virulence test. Green leafhoppers caught from the field were used as transmitters. The virulence of tungro viruses was determined on the basis of diseases indexes (DI). The results showed that the virulence of tungro viruses varied among endemic areas in Indonesia. The Central Java isolate was the most virulent and not all isolates from endemic areas in the island of Java were more virulent than those from outside of Java. The presence of RTBV and RTSV was detected in the infected TN1 plants. The existence of molecular diversity of tungro viruses from several endemic areas was observed. The molecular diversity of tungro viruses was not correlated with geographic difference of endemic areas and the virulence. Key words: rice, tungro, RTBV, RTSV, resistant varieties, virulence, molecular diversity
1
Intisari Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada padi yang menjadi
kendala dalam peningkatan produksi padi di Indonesia. Tungro disebabkan oleh infeksi
dua virus yang berbeda yaitu Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan Rice tungro
spherical virus (RTSV), yang keduanya hanya dapat ditularkan oleh vektor terutama
*) Makalah disampaikan pada Seminar Bulanan Puslitbang Tanaman Pangan, 11 April 2013
2
Nephotettix virescens (Distant) secara semipersisten. Adanya indikasi bahwa terjadi
variasi virulensi virus tungro dari daerah yang berbeda dan hubungan spesifik antara
ketahanan varietas dengan isolat virus tungro maka diperlukan suatu kajian tentang
virulensi dan keragaman genetik virus tungro dari beberapa daerah endemis di
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeterminasi keragaman virulensi dan
molekuler virus tungro dari beberapa daerah endemis di Indonesia. Varietas rentan
TN1 digunakan di dalam penelitian. Survei dan koleksi tanaman terinfeksi dilakukan di
beberapa daerah endemis tungro yaitu Jabar, Jateng, DIY, Sulteng, Sulbar, Sulsel, Bali
dan NTB. Penularan buatan dengan metode tabung digunakan dalam uji virulensi virus
tungro. Vektor hasil tangkapan dari lapangan digunakan sebagai penular. Virulensi
virus tungro ditentukan berdasarkan nilai indeks penyakit (DI). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa virulensi virus tungro bervariasi di antara daerah endemis. Isolat
Jateng merupakan isolat paling virulen dan tidak semua isolat dari daerah endemis di
pulau Jawa lebih virulen dibanding isolat dari luar Jawa. Keberadaan RTBV dan RTSV
terdeteksi dalam setiap sampel tanaman TN1 bergejala hasil penularan. Virus tungro
dari beberapa daerah endemis di Indonesia teridentifikasi beragam pada tingkat
molekuler. Keragaman molekuler virus tungro tidak berkorelasi dengan perbedaan
geografi daerah endemis dan virulensi.
Kata kunci: padi, tungro, RTBV, RTSV, varietas tahan, virulensi, keragaman molecular
Pendahuluan
Tungro merupakan salah satu penyakit penting padi yang menjadi kendala
dalam peningkatan produksi padi nasional. Tungro disebabkan oleh infeksi dua virus
yang berbeda yaitu Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan Rice tungro spherical virus
(RTSV), yang keduanya hanya dapat ditularkan oleh wereng hijau (vektor) terutama
Nephotettix virescens (Distant) secara semipersisten. Penyebaran tungro tidak hanya
di Indonesia tetapi juga terjadi di India (Muralidharan et al., 2003), Malaysia, Filipina,
Thailand (Suranto, 2004), dan Vietnam (Du et al., 2005). Di Indonesia, rerata luasan
serangan tungro dalam kurun waktu tahun 2001 - 2006 mencapai 3650 ha per tahun
(Raga, 2008). Pada musim tanam (MT) 2010/2011 terjadi serangan seluas 5828 ha
dan meningkat menjadi 7177 ha pada MT 2011 yang tersebar di 33 provinsi
(Kusprayogie et al., 2011).
Penggunaan varietas tahan virus tungro dan vektor merupakan komponen yang
efektif dalam pengendalian tungro (Angeles et al., 2008), dan sesuai untuk berbagai
ekosistem di Indonesia. Suatu varietas tahan tidak dianjurkan untuk ditanam secara
terus-menerus karena dapat meningkatkan tekanan seleksi vektor dan memungkinkan
3
terbentuknya biotipe vektor baru. Keseragaman varietas tahan yang ditanam di suatu
wilayah juga akan mempermudah vektor untuk beradaptasi dan mempercepat
terjadinya mutasi virus tungro, sehingga ketahanan varietas tidak dapat berlangsung
lama. Ketahanan varietas juga bersifat spesifik lokasi, berarti bahwa suatu varietas
menunjukkan reaksi tahan terhadap isolat virus tungro di daerah tertentu tetapi belum
tentu tahan terhadap isolat virus tungro di daerah lain. Hal tersebut mengindikasikan
adanya variasi virulensi virus tungro dari berbagai daerah yang berbeda.
Selama ini kejadian tungro sering ditemukan pada varietas yang sama di
beberapa daerah, bahkan varietas tersebut tidak memiliki gen ketahanan terhadap
virus tungro maupun vektor. Beberapa varietas tahan yang sudah dilepas tidak
semuanya dapat dikembangkan di seluruh daerah endemis dan umumnya kurang
disukai oleh petani. Pengendalian tungro menggunakan varietas tahan harus
disesuaikan dengan variasi vierulensi virus tungro, sehingga diperlukan ketersediaan
dan pemetaan dalam distribusi varietas tahan. Informasi variasi virulensi dan
keragaman genetik virus tungro dari berbagai daerah endemis di Indonesia sangat
diperlukan untuk mengetahui sebaran virus tungro berdasarkan virulensinya, sebagai
pertimbangan dalam pengendalian tungro menggunakan varietas tahan yang sesuai
serta menjadi dasar dalam perakitan varietas tahan tungro baik secara konvensional
maupun melalui teknik rekayasa genetik. Oleh karena itu, diperlukan karakterisasi
keragaman genetik virus tungro dan kesesuaian varietas tahan dengan variasi virulensi
virus tungro dari berbagai daerah endemis di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah
mendeterminasi variasi biologi dan molekuler virus tungro dari beberapa daerah
endemis di Indonesia.
Bahan dan Metode 1. Persiapan Tanaman
Benih varietas rentan terhadap virus tungro dan vektor (TN1) disemai dalam
pot kemudian dimasukkan ke dalam kurungan kasa dan dipelihara di rumah kaca.
Setelah bibit berumur 21 hari, maka bibit siap dibawa ke daerah endemis untuk
diinokulasi virus tungro menggunakan vektor hasil tangkapan di lapangan.
4
2. Isolat Virus Tungro dan Koloni Vektor
Isolat virus tungro dan koloni vektor berasal dari delapan daerah endemis di
Indonesia yaitu Subang (Jawa Barat), Magelang (Jawa Tengah), Sleman (Daerah
Istimewa Yogyakarta), Tabanan (Bali), Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat), Sidrap
(Sulawesi Selatan), Polewali Mandar (Sulawesi Barat) dan Donggala (Sulawesi
Tengah). Di setiap daerah endemis ditentukan empat lokasi pengambilan sampel untuk
penularan dengan jarak antar lokasi kurang lebih 200 m. Di Subang, penularan
dilakukan di rumah kaca BB Padi Sukamandi menggunakan isolat virus tungro dan
vektor koloni Subang. Di Sidrap, pengamatan, koleksi sampel dan uji penularan
dilakukan di pertanaman bulanan kebun percobaan (KP) Lokatungro.
3. Uji Virulensi Virus Tungro Uji virulensi virus tungro dilakukan melalui penularan buatan terhadap bibit padi
di dalam tabung gelas (test tube method) menggunakan vektor dan sumber inokulum
dari pertanaman terserang di setiap daerah endemis. Isolat virus tungro dan vektor
yang digunakan benar-benar telah berinteraksi di dalam kondisi lingkungan setempat
sehingga kemurniannya dapat terjaga. Efisiensi penularan virus tungro dipengaruhi
oleh spesies dan genotipe vektor (Choi et al., 2009). Hasil uji penularan menunjukkan
bahwa terdapat variasi efisiensi dalam menularkan virus tungro dari beberapa koloni
vektor dari daerah endemis yang berbeda (Widiarta et al., 2004).
Vektor hasil tangkapan dari pertanaman terserang, satu per satu dimasukkan
ke dalam kurungan yang sebelumnya telah diisi dengan rumpun tanaman terinfeksi
(bergejala tungro) yang diperoleh dari pertanaman terserang. Setelah kurang lebih 5
jam, vektor diinfestasikan pada bibit TN1 di dalam tabung gelas yang telah diisi air
setinggi 1 cm masing-masing 2 ekor imago. Penularan dilakukan terhadap 10 bibit TN1
di setiap petak pengamatan (10 tabung per petak pengamatan). Setelah 24 jam
penularan di dalam tabung reaksi, bibit TN1 ditanam pada pot kemudian dimasukkan
ke dalam kurungan kasa dan dipelihara di dalam rumah kaca. Sepuluh bibit TN1
ditanam dalam pot kemudian dimasukkan ke dalam kurungan kasa sebagai
pembanding (tanpa diinokulasi virus tungro).
Pengamatan dilakukan terhadap insidensi tungro, tingkat keparahan gejala
tungro dan tinggi tanaman ketika tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST).
Insidensi tungro ditentukan dengan menghitung jumlah tanaman terserang (tanaman
5
yang menunjukkan gejala tungro) dibagi dengan jumlah tanaman yang diamati
kemudian dikalikan 100%. Tingkat keparahan gejala tungro dievaluasi berdasarkan
sistem skor sesuai dengan Standard Evaluation System for Rice (SESR) (IRRI, 1996),
yaitu sebagai berikut:
Skor 1 = tidak ada gejala serangan
3 = tinggi tanaman lebih pendek 1-10%, perubahan warna daun dari
kuning ke kuning oranye tidak nyata
5 = tinggi tanaman lebih pendek 11-30%, perubahan warna daun dari
kuning ke kuning oranye tidak nyata
7 = tinggi tanaman lebih pendek 31-50%, perubahan warna daun dari
kuning ke kuning oranye nyata
9 = tinggi tanaman lebih pendek >50%, perubahan warna daun dari
kuning ke kuning oranye nyata
Berdasarkan skor tingkat keparahan gejala tersebut kemudian dihitung indeks
penyakit dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
DI = tn
nnnnn )9()7()5()3()1(
DI : Disease Index (indeks penyakit)
n : Jumlah tanaman yang menunjukkan nilai skor tertentu
tn : Total tanaman yang diskor
Tingkat keparahan gejala tungro ditentukan berdasarkan nilai DI, yang berarti
bahwa semakin tinggi nilai DI maka gejala yang ditimbulkan semakin parah dan
sebaliknya. Virulensi virus tungro ditentukan berdasarkan tingkat keparahan gejala,
yang berarti bahwa semakin tinggi nilai DI maka tingkat virulensi virus tersebut
semakin tinggi dan sebaliknya.
4. Analisis Molekuler Virus Tungro
Analisis molekuler ditujukan untuk mendeteksi keberadaan virus tungro di
dalam tanaman TN1 yang menunjukkan gejala pada uji virulensi virus tungro serta
mengetahui keragaman molekuler virus tungro.
6
a. Ekstraksi DNA dan RNA Ekstraksi DNA ditujukan untuk memperoleh DNA RTBV. Ekstraksi DNA
dilakukan mengikuti metode CTAB (Deng et al., 1995) yang dimodifikasi. Modifikasi
dilakukan pada volume buffer CTAB yang digunakan dan tanpa penggunaan RNAse
untuk pemurnian. Ekstraksi RNA ditujukan untuk memperoleh ssRNA RTSV.
Ekstraksi RNA dilakukan menggunakan Isogen RNA Extraction Kit (Amersham
Pharmacia) dengan sedikit modifikasi. Modifikasi yang dilakukan adalah tanpa
penggunakan nitrogen cair untuk ekstraksi sampel dan peningkatan kecepatan
dalam sentrifugasi.
b. Analisis RT-PCR dan PCR Analisis RT-PCR dilakukan untuk membentuk complementary-DNA (cDNA) dari
RTSV. Sebelum dilakukan analisis PCR untuk RTSV, RNA hasil ekstraksi harus diubah
terlebih dahulu menjadi cDNA menggunakan First Strand cDNA Synthesis Kit
(Fermentas) di dalam mesin PCR. Primer yang digunakan untuk pembentukan cDNA
adalah oligo d(T) karena genom RTSV mempunyai poly (A) pada ujung 3‟.
Analisis PCR dilakukan untuk mendeteksi keberadaan virus tungro pada setiap
sampel daun tanaman TN1 hasil penularan. Reagen yang digunakan dalam analisis
PCR untuk deteksi RTBV adalah Mega Mix Blue (MMB) (Microzone Limited) sedangkan
pureTaq Ready to Go PCR Bead (GE Healthcare) digunakan untuk deteksi RTSV. Primer
GCAGAACAGAACTCTAAGGC (F) dan GTCTAAGGCTCATGCTGGAT (R) digunakan untuk
mendeteksi RTBV dengan target amplifikasi sekuen ORF2 yang berukuran sekitar 430
bp. Primer AAACGGTCATTGTGGGGAGGT (F) dan CAGGCCCAGCAACGACATAA (R)
digunakan untuk deteksi RTSV dengan target amplifikasi sekuen CP1 - CP2 yang
berukuran sekitar 1115 bp. Optimasi volume reaksi dan program PCR yang sesuai
untuk deteksi RTBV dan RTSV ditunjukkan pada Lampiran 1.
c. Analisis PCR-RFLP
Analisis PCR-RFLP dilakukan untuk mengetahui keragaman molekuler virus
tungro berdasarkan keberadaan dan posisi restriction site pada sekuen DNA hasil PCR.
Enzim restriksi DraI digunakan untuk analisis DNA RTBV sedang enzim BstYI dan
HindIII digunakan untuk analisis DNA RTSV. Penentuan enzim restriksi didasarkan
pada analisis restriksi terhadap sekuen RTBV dan RTSV yang ada di Gen Bank National
7
Center for Biotechnology Information (NCBI) menggunakan program Genetyx 7.0.
Hasil analisis PCR dan PCR-RFLP dielektroforesis pada PAGE bersama 1 kb DNA ladder
di dalam buffer TBE 1x dan divisualisasi pada UV transilluminator.
Hasil dan Pembahasan
1. Keragaman Virulensi Virus Tungro
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman TN1 memberikan respons
gejala yang berbeda-beda setelah diinokulasi dengan isolat virus tungro dari beberapa
daerah endemis. Gejala serangan yang ditimbulkan bervariasi dari daun yang berwarna
hijau kekuningan hingga kuning serta tingkat kekerdilan yang berbeda dari agak kerdil
hingga kerdil. Umumya, tanaman yang terinfeksi virus tungro menjadi kerdil dan daun
berwarna oranye (Calleja, 2010). Gejala serangan pada tanaman terinfeksi terlihat jelas
berbeda dengan tanaman kontrol terutama perbedaan tinggi tanaman (Gambar 1). Hal
tersebut menunjukkan bahwa vektor hasil tangkapan di pertanaman telah memperoleh
dan berhasil menularkan virus tungro. Keberhasilan penularan dan timbulnya gejala
khas tungro menunjukkan bahwa vektor telah membawa kedua virus tungro dan
menularkannya pada bibit TN1. Vektor dapat memperoleh dan menularkan kedua virus
tungro secara bersama-sama atau RTSV saja dan tidak dapat memperoleh dan
menularkan RTBV jika tidak memperoleh RTSV sebelumnya (Choi et al., 2009).
Rerata insidensi tungro hasil penularan dari setiap isolat virus tungro berkisar
antara 70 - 100% (Tabel 1). Seluruh tanaman TN1 yang diinokulasi dengan isolat
Jateng, Sulteng, Sulsel dan Bali menunjukkan gejala terinfeksi virus tungro, namun
terjadi variasi penurunan tinggi tanaman dan nilai DI. Jika dibandingkan dengan
kontrol, penurunan tinggi tanaman akibat infeksi isolat virus tungro berkisar antara 35
- 57%. Isolat Jateng dan Sulteng menyebabkan penurunan tinggi lebih dari 50%
sehingga tanaman terlihat lebih kerdil dibandingkan dengan tanaman yang diinokulasi
dengan isolat yang lain. Indeks penyakit tungro berkisar antara 6 - 9 dan isolat Jateng
menyebabkan DI yang paling tinggi. Isolat Jateng, Sulteng, Sulsel dan Bali
menyebabkan insidensi tungro yang sama namun penurunan tinggi dan DI berbeda.
Namun sebaliknya, isolat DIY dan Sulsel menyebabkan penurunan tinggi dan DI yang
sama tetapi insidensi tungro berbeda. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masing-
masing isolat mempunyai kemampuan menginfeksi yang berbeda.
8
a
b
c
d
e
f
g
h
Gambar 1. Gejala tungro pada TN1 setelah diinokulasi dengan isolat virus tungro dari
beberapa daerah endemis: a) Jabar; b) Jateng; c) DIY; d) Sulteng; e) Sulbar; f) Sulsel; g) Bali dan h) NTB; K = Kontrol; 1 dan 2 = tanaman TN1 terinfeksi virus tungro
K 1 2 K 1 2
K 1 2 K 1 2
K 1 2 K 1 2
K 1 2 K 1 2
9
Tabel 1. Respons tanaman TN1 setelah diinokulasi dengan isolat virus tungro dari beberapa daerah endemis
Isolat Insidensi
Tungro (%) Tinggi
Tanaman (cm)
Indeks Penyakit
(DI) Gejala
Jabar 90,00 16,83 7,15 ak, kh
Jateng 100,00 12,60 9,00 k, kn
DIY 70,25 19,23 6,35 ak, kh
Sulteng 100,00 14,23 7,85 k, kn
Sulbar 70,00 15,60 7,35 ak, kh
Sulsel 100,00 19,20 6,35 ak, kh
Bali 100,00 16,03 7,00 ak, kh
NTB 90,25 17,73 6,85 ak, kh
Kontrol 0,00 29,35 1,00 h
Keterangan: k = kerdil; ak = agak kerdil; kh = hijau kekuningan; kn = kuning; h = hijau
Setiap isolat virus tungro menunjukkan virulensi yang berbeda walaupun
berasal dari sumber inokulum (varietas padi yang terinfeksi di setiap daerah endemis)
yang sama. Isolat Jateng dan Sulteng menyebabkan gejala paling parah hingga
tanaman menjadi kerdil dan berwarna kuning. Isolat dari daerah endemis yang lain
menyebabkan tanaman menjadi agak kerdil dan variasi perubahan warna daun.
Perbedaan tingkat keparahan gejala tersebut mengindikasikan adanya variasi virulensi
virus tungro dari daerah endemis yang berbeda. Berdasarkan nilai DI, isolat Jateng
merupakan isolat yang paling virulen, sedangkan isolat DIY dan Sulsel lebih rendah
virulensinya dibandingkan dengan isolat yang lain.
Membedakan kemampuan dalam menginfeksi dan tingkat keparahan gejala
yang ditimbulkan merupakan tahap yang diperlukan di dalam identifikasi keragaman
virus tungro (Azzam and Chancellor, 2002). Perbedaan strain virus tungro merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan adanya variasi keparahan gejala tungro (Choi et
al., 2009). Variasi gejala dan respons tanaman menjadi dasar untuk menentukan strain
virus tungro dari berbagai isolat yang berbeda. Hasil penularan isolat virus tungro dari
Manukwari, Medan dan Serang pada varietas TN1 dan FK 135 menggunakan vektor
koloni Subang juga menunjukkan adanya variasi virulensi antar isolat (Suprihanto et
al., 2007). Oleh karena itu, informasi ketahanan dan kesesuaian varietas tahan
terhadap masing-masing isolat virus tungro dari berbagai daerah endemis diperlukan
sebagai dasar pengendalian dan perakitan varietas tahan tungro spesifik isolat.
10
Berdasarkan tingkat keparahan gejala, ada indikasi bahwa terjadi variasi
virulensi virus tungro dari daerah yang berbeda terhadap varietas tahan (Widiarta dan
Kusdiaman, 2002). Beberapa varietas tahan tungro yang sudah dilepas seperti Tukad
Petanu dianjurkan ditanam di seluruh daerah endemis, Tukad Unda terbatas di Nusa
Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan serta Tukad Balian hanya sesuai dikembangkan
di Bali dan Sulawesi Selatan (Widiarta et al., 2003). Hasil uji multilokasi varietas Tukad
Petanu di beberapa daerah endemis menunjukkan adanya perbedaan virulensi virus
tungro dari Bali, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat (Choi, 2004).
Di antara daerah endemis tungro, ada kemungkinan terdapat variasi genetik
virus tungro, sehingga diperlukan beberapa varietas tahan dengan latar belakang
genetik yang berbeda untuk menjaga durabilitas ketahanannya (Azzam and Canchellor,
2002). Oleh karena itu, perakitan varietas berdasarkan sumber gen tahan dan isolat
virus tungro harus terus-menerus dilakukan (Hasanuddin et al., 2001), maka
pengembangan varietas saat ini lebih ditekankan pada perakitan varietas tahan virus
tungro berdasarkan kesesuaian antara tetua tahan dan virulensi virus tungro (Widiarta
et al., 2004), dan mempertimbangkan preferensi pengguna.
B. Keragaman Molekuler Virus Tungro
Hasil analisis PCR menunjukkan bahwa telah terdeteksi adanya RTBV dan RTSV
pada setiap sampel tanaman TN1 hasil penularan yang bergejala tungro. Hasil analisis
PCR ditunjukkan oleh adanya satu pita DNA dengan tingkat kejelasan dan ketebalan
yang berbeda serta ukuran sesuai dengan target amplifikasi dari setiap primer.
Keberadaan RTBV berdasarkan analisis PCR ditunjukkan oleh adanya satu pita DNA
berukuran sekitar 430 bp yang konsisten teramplifikasi pada semua sampel (Gambar
2a). Berdasarkan sekuen lengkap RTBV di DNA Data Bank of Japan (DDBJ) nomor
asesi M65026, target amplifikasi primer RTBV adalah sekuen basa nukleotida antara
576 – 1006 (bagian dari ORF 2). Demikian juga dengan analisis PCR untuk deteksi
RTSV, telah dihasilkan satu pita DNA berukuran sekitar 1115 bp yang konsisten
teramplifikasi pada semua sampel (Gambar 2b). Berdasarkan sekuen lengkap RTSV di
DDBJ nomor asesi M95497, target amplifikasi primer RTSV adalah sekuen basa
nukleotida antara 2494 – 3608 (bagian dari CP1-CP2). Kesesuaian antara posisi pita
DNA pada PAGE dengan ukuran target amplifikasi menunjukkan bahwa analisis PCR
menggunakan primer spesifik sangat sensitif dalam mendeteksi keberadaan RTBV dan
RTSV di dalam tanaman terinfeksi. Deteksi virus tungro pada bibit tanaman dari
11
persemaian dan vektor infektif dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik
terutama RTBV menunjukkan sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik
ELISA (Takahashi et al., 1993). Keberhasilan dalam deteksi kedua virus tungro di
dalam setiap sampel tanaman TN1 hasil penularan menunjukkan bahwa infeksi kedua
virus tungro telah terjadi pada pertanaman di lapangan dan tanaman TN1 hasil
penularan telah teinfeksi kedua virus tungro yang ditularkan oleh vektor hasil
tangkapan dari lapangan.
a
b
Gambar 2. Elektroforesis hasil analisis PCR beberapa isolat virus tungro pada PAGE:
a) Pita DNA RTBV sebesar 430 bp hasil analisis PCR dengan primer RTBV; b) Pita DNA RTSV sebesar 1115 bp hasil analisis PCR dengan primer RTSV; JB = Jabar; JT = Jateng; DIY = DIY; ST = Sulteng; SS = Sulsel; SB = Sulbar; B = Bali; NTB = NTB dan M = Marker
Hasil analisis RFLP dari DNA RTBV hasil PCR menunjukkan bahwa hanya empat
isolat yang dapat dipotong oleh enzim DraI yaitu Sulteng, Sulbar, Bali serta NTB dan
masing-masing isolat tersebut terpotong menjadi 2 pita DNA (Gambar 3a).
Berdasarkan sekuen target amplifikasi pada sekuen RTBV yang ada di DDBJ, enzim
12
DraI dapat memotong sekuen tersebut menjadi dua bagian dengan ukuran masing-
masing sekitar 130 bp dan 300 bp. Isolat Sulbar terpotong menjadi 2 pita DNA dengan
ukuran sekitar 300 bp dan 100 bp, sedang isolat Sulteng, Bali dan NTB terpotong
menjadi 2 pita dengan ukuran sekitar 400 bp dan satu pita sangat pendek sekitar 30
bp yang tidak terlihat pada PAGE.
a
b
c
Gambar 3. Elektroforesis hasil analisis PCR-RFLP beberapa isolat virus tungro pada
PAGE: a) DNA RTBV dengan enzim DraI; b) DNA RTSV dengan enzim BstYI; c) DNA RTSV dengan enzim HindIII; JB = Jabar; JT = Jateng; DIY = DIY; ST = Sulteng; SS = Sulsel; SB = Sulbar; B = Bali; NTB = NTB dan M = Marker
13
Analisis RFLP menggunakan enzim BstYI terhadap DNA RTSV menghasilkan dua
potongan pita DNA pada semua isolat (Gambar 3b). Ukuran dua potongan pita DNA
isolat Sulsel dan Bali terlihat berbeda dengan isolat yang lain. Isolat Sulsel terpotong
menjadi dua pita DNA berukuran sekitar 700 bp dan 400 bp serta isolat Bali sekitar 750
bp dan 350 bp. Sedangkan isolat yang lain terpotong menjadi dua pita DNA dengan
ukuran sekitar 650 bp dan 450 bp. Berdasarkan sekuen target amplifikasi pada sekuen
RTSV di DDBJ, enzim BstYI dapat memotong menjadi dua atau tiga bagian dengan
variasi ukuran, bahkan terdapat sekuen dari suatu isolat yang tidak terpotong.
Demikian juga dengan hasil analisis RFLP menggunakan enzim HindIII yang
menunjukkan bahwa terdapat dua isolat yang tidak terpotong yaitu Sulteng dan Sulbar
(Gambar 3c). Isolat lainnya terpotong menjadi dua dengan ukuran sekitar 700 bp dan
400 bp kecuali dua potongan pita DNA isolat Bali berukuran sekitar 750 dan 350 bp.
Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis PCR-RFLP terhadap sekuen CP1 - CP2 pada
beberapa kelompok isolat RTSV dari daerah endemis yang berbeda menggunakan
kedua enzim yang sama. Hasil analisis menunjukkan bahwa enzim BstYI dapat
memotong sekuen tersebut menjadi dua atau tiga bagian dengan ukuran yang berbeda
antar kelompok isolat dan terdapat kelompok isolat yang tidak dapat terpotong.
Demikian juga dengan enzim HindIII, terdapat beberapa kelompok isolat yang tidak
terpotong dan kelompok isolat yang terpotong menjadi dua bagian dengan ukuran
yang sama antar kelompok isolat (Azzam et al., 2000a). Keberadaan potongan pita
DNA dengan ukuran yang berbeda antar isolat menunjukkan adanya keragaman baik
RTBV maupun RTSV pada tingkat molekuler.
Dendrogram kekerabatan isolat RTBV berdasarkan hasil analisis RFLP
menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok isolat RTBV sesuai dengan kedekatannya
(Gambar 4a). Kelompok pertama terdiri dari isolat Jabar, Jateng, DIY, Sulsel dan
Sulbar, sedangkan kelompok ke dua meliputi isolat Sulteng, Bali dan NTB. Dendrogram
kekerabatan isolat RTSV berdasarkan hasil analisis RFLP menggunakan enzim BstYI
dan HindIII juga menunjukkan adanya dua kelompok isolat RTSV (Gambar 4b). Isolat
Bali terpisah dari kelompok yang terdiri dari tujuh isolat yang lain dan ketujuh isolat
tersebut terbagi menjadi tiga sub kelompok. Hal tersebut menunjukkan bahwa
terdapat pola kekerabatan molekuler yang berbeda antara isolat RTBV dengan RTSV
dari masing-masing daerah endemis.
14
a
b
Gambar 4. Dendrogram kekerabatan molekuler beberapa isolat virus tungro berdasarkan analisis PCR-RFLP: a) RTBV; b) RTSV; JB = Jabar; JT = Jateng; DIY = DIY; ST = Sulteng; SS = Sulsel; SB = Sulbar; B = Bali dan NTB = NTB
Berdasarkan kelompok isolat pada dendrogram kekerabatan, keragaman
molekuler isolat RTBV tidak secara tegas berkorelasi dengan perbedaan geografi.
Terlihat bahwa isolat Sulsel berada di dalam satu kelompok dengan isolat Jabar, Jateng
dan DIY. Demikian juga dengan isolat Sulteng, Bali dan NTB yang targabung di dalam
satu kelompok. Sebaran isolat RTSV di dalam dendrogram kekerabatan menunjukkan
adanya korelasi antara perbedaan geografi dengan keragaman molekuler secara lebih
tegas kecuali isolat NTB. Terlihat bahwa hanya isolat NTB tergabung pada posisi yang
sama dengan isolat Jabar, Jateng dan DIY. Hal tersebut mengindikasikan adanya
kombinasi pada tingkat molekuler antara RTSV dan RTBV di beberapa daerah endemis
dengan geografi yang berbeda. Keberadaan kelompok isolat RTBV yang secara tegas
berbeda dari dua provinsi di Filipina dengan geografi yang berbeda yaitu Isabela dan
15
North Cotabato yang ditunjukkan oleh pola potongan pita DNA hasil analisis RFLP
terhadap sekuen DNA utuh dari setiap isolat (Arboleda and Azzam, 2000). Analisis yang
sama juga telah digunakan untuk menunjukkan adanya keragaman molekuler antar
dan intra isolat RTBV dari empat provinsi di Filipina yaitu Polangui, Isabela, Davao dan
Iloilo (Villegas et al., 1997).
Analisis PCR-RFLP telah dilakukan terhadap sebagian sekuen ORF3 dan ORF4
pada enam isolat RTBV dari daerah endemis yang berbeda di India yaitu West Bengal,
Tamil Nadu, Punjab, Andhra Pradesh, Orissa dan Assam menggunakan enzim MseI
(Joshi et al., 2003), yang menunjukkan adanya keragaman molekuler antar isolat.
Analisis PCR-RFLP juga dilakukan terhadap sekuen CP pada delapan isolat RTBV dari
daerah yang berbeda di Indonesia yaitu Jabar-1, Jabar-2, Jateng, Jatim, Bali, NTB,
Kalsel dan Sulsel menggunakan enzim EcoRV dan PstI (Suprihanto, 2005), serta isolat
dari tiga daerah endemis yang berbeda yaitu Medan, Serang dan Manukwari
menggunakan enzim EcoRV, NsiI dan PstI yang menunjukkan adanya keragaman pada
tingkat molekuler antar isolat (Suprihanto et al., 2007). Demikian juga dengan RTSV,
analisis PCR-RFLP terhadap sekuen CP1 - CP2 pada kelompok isolat RTSV dari dua
provinsi di Filipina yaitu North Cotabato dan Nueva Ecija serta kelompok isolat dari dua
daerah endemis di Indonesia yaitu Bali dan Subang menggunakan enzim BstYI dan
HindIII yang menunjukkan adanya keragaman molekuler antar kelompok isolat (Azzam
et al., 2000a).
Keragaman molekuler RTBV dan RTSV berdasarkan analisis PCR-RFLP dapat
menjadi dasar untuk deteksi dan pemantauan penyebaran virus tungro. Pola potongan
pita DNA pada masing-masing isolat dapat digunakan sebagai penanda (marker) di
dalam identifikasi keragaman isolat di daerah endemis yang sama ataupun di daerah
baru yang tidak ada serangan sebelumnya, dari musim ke musim dan pada berbagai
jenis varietas yang terserang. Perubahan komposisi dan keragaman genetik RTBV dan
RTSV telah diamati pada musim kemarau dan musim hujan di suatu daerah terserang
di Filipina (Azzam et al., 2000b). Keragaman isolat RTBV di daerah yang sama telah
terdeteksi melalui analisis PCR-RFLP dengan waktu pengambilan sampel dan dari jenis
varietas yang berbeda (Joshi et al., 2003). Analisis PCR-RFLP biasa digunakan untuk
mendeteksi atau membuktikan adanya mutasi spesifik pada restriction site yang
ditambahkan atau dihilangkan setelah diketahui peta restriksi sekuen DNA hasil PCR
yang akan dianalisis (McPherson and Moller, 2006).
16
A. Keragaman Molekuler dan Virulensi Virus Tungro
Keragaman molekuler virus tungro berdasarkan analisis PCR-RFLP menunjukkan
bahwa terdapat dua kelompok isolat RTBV dan RTSV. Pola kekerabatan yang terbentuk
tidak memperlihatkan adanya hubungan antara keragaman molekuler dengan virulensi
masing-masing isolat. Isolat Jateng merupakan isolat paling virulen, namun baik RTBV
maupun RTSV isolat Jateng secara konsisten tergabung dalam satu kelompok dengan
isolat Jabar dan DIY yang lebih rendah virulensinya. Demikian juga dengan isolat
Sulteng dan NTB yang tergabung dalam satu kelompok walaupun virulensi kedua isolat
tersebut berbeda.
Pola potongan pita DNA yang terbentuk juga tidak dapat membedakan antara
isolat paling virulen dengan isolat yang lebih rendah virulensinya ataupun antara isolat
dengan virulensi yang sama. Potongan pita DNA pada isolat Jateng sama dengan
isolat Jabar dan DIY yang berlawanan tingkat virulensinya. Isolat DIY dan Sulsel
mempunyai virulensi yang sama tetapi terdapat dua pita DNA yang berbeda pada
masing-masing isolat (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa pola potongan pita
DNA hasil analisis PCR-RFLP dari ORF2 pada RTBV serta CP1 - CP2 pada RTSV tidak
berhubungan dengan virulensi masing-masing isolat. Diketahui bahwa ORF2 serta CP2
- CP2 hanya sebagian dari genom RTBV dan RTSV. Diduga bahwa, virulensi
berhubungan dengan interaksi bagian tersebut dengan bagian-bagian fungsional yang
lain dari genom RTBV dan RTSV. Oleh karena itu, diperlukan amplifikasi bagian genom
yang lain dan dianalisis menggunakan enzim yang disesuaikan dengan peta restriksi
dari sekuen isolat virus tungro yang telah teridentifikasi.
Tabel 2. Potongan pita DNA hasil analisis PCR-RFLP dan virulensi virus tungro dari beberapa daerah endemis
Isolat RTBV RTSV Virulensi
DraI (bp) BstYI (bp) HindIII (bp) DI
Jabar Jateng DIY Sulteng Sulbar Sulsel Bali NTB
430 430 430
400; 30 330; 100
430 330; 100 330; 100
650; 450 650; 450 650; 450 650; 450 650; 450 700; 400 750; 350 650; 450
700; 400 700; 400 700; 400
1100 1100
700; 400 750; 350 700; 400
7,15 9,00 6,35 7,85 7,35 6,35 7,00 6,85
Keterangan: DraI, BstYI dan HindIII = enzim restriksi; DI = indeks penyakit
17
Namun demikian, korelasi antara keragaman molekuler dengan virulensi tidak
bisa hanya dilihat dari salah satu virus tungro saja, karena keparahan gejala ditentukan
oleh infeksi kedua virus tungro. Oleh karena itu, kekerabatan molekuler antar isolat
virus tungro tidak berkorelasi dengan virulensi. Hasil analisis sekuen gen CP pada RTSV
strain Vt6 dan A-Shen yang sangat berlawanan virulensinya menunjukkan bahwa CP
pada kedua strain tersebut tidak berkorelasi dengan virulensi (Isogai et al., 2000).
Persentase kesamaan basa nukleotida dan asam amino dari ORF2 antara RTBV isolat
Filipina dan G2 adalah 100%, namun masing-masing dapat menimbulkan gejala yang
berbeda. Lain halnya dengan RTBV strain G1 dan Ic, bahwa dalam genom keduanya
hanya terdapat sedikit variasi basa nukleotida, namun penularan masing-masing strain
tersebut dengan vektor dan RTSV yang sama pada varietas FK 135 menghasilkan
gejala yang berbeda (Cabauatan et al., 1999). Perbedaan tipe dan tingkat keparahan
gejala dapat disebabkan oleh beberapa isolat Cauliflower mosaic virus (CaMV) dengan
perbedaan sekuen basa nukleotida antar isolat sebesar 5% (Frischmuth, 2002).
Diduga bahwa virulensi virus tungro melibatkan interaksi sejumlah gen dalam
genom virus tungro serta interaksi yang sangat kompleks antara kedua partikel virus
tungro. Virulensi virus dapat ditentukan oleh beberapa gen yang terekspresi secara
bersama-sama (Valkonen, 2002). Perbedaan sejumlah asam amino antara isolat perlu
dibuktikan apakah terdapat korelasi dengan virulensi melalui penelitian lebih lanjut.
Diduga dapat ditemukan lagi sejumlah basa nukleotida yang berbeda di sepanjang
bagian genom lainnya pada masing-masing isolat sehingga memungkinkan adanya
perbedaan sejumlah asam amino. Oleh karena itu, analisis sekuen pada bagian genom
yang lain dari setiap isolat diperlukan untuk memperoleh data keragaman molekuler
virus tungro yang lebih lengkap.
Kesimpulan
Virulensi virus tungro bervariasi di antara daerah endemis di Indonesia. Isolat
Jateng merupakan isolat paling virulen dan tidak semua isolat virus tungro dari daerah
endemis di pulau Jawa mempunyai virulensi yang lebih tinggi dibanding isolat dari luar
Jawa. Virus tungro dari beberapa daerah endemis di Indonesia teridentifikasi beragam
pada tingkat molekular. Keragaman dan hubungan kekerabatan molekular virus tungro
tidak berkorelasi dengan perbedaan geografi daerah endemis dan virulensi. Pola
18
potongan pita DNA hasil analisis PCR-RFLP dapat digunakan sebagai penanda di dalam
deteksi keragaman isolat virus tungro di daerah endemis yang lain maupun di
beberapa daerah dalam satu provinsi atau pulau tertentu untuk mengetahui komposisi
populasi virus tungro.
Daftar Pustaka Angeles ER, Cabunagan RC, Tabien RE and Khush GS. 2008. Resistance to tungro
vectors and viruses. p. 117-141. In Tiongco, E.R., E.R. Angeles and L.S. Sebastian (ed.), Rice tungro virus disease: a paradigm in disease management. Science City of Munoz, Nueva Ecija: Philippine Rice Research Institute and Honda Research Institute Japan Co. Ltd., 2008.
Arboleda, M. and O. Azzam. 2000. Inter- and intra-site genetic diversity of natural field
populations of rice tungro bacilliform virus in the Philippines. Archives of Virology, 145: 275-289.
Azzam, O., M.L.M. Yambao, M. Muhsin, K. L. McNally and K. M. L. Umadhay. 2000a.
Genetic diversity of rice tungro spherical virus in tungro-endemic provinces of the Philippines and Indonesia. Archives of Virology, 145: 1183-1197.
Azzam, O., M. Arboleda, K. M. L. Umadhay, J. B. de los Reyes, F. S. Cruz, A.
Mackenzie, and K. L. McNally. 2000b. Genetic composition and complexity of virus populations at tungro-endemic and outbreak rice sites. Archives of Virology, 145: 2643-2657.
Azzam, O. and T.C.B. Chancellor. 2002. The biology, epidemiology and management of rice tungro disease in Asia. Plant Disease, 86: 88-100.
Cabauatan, P.Q., U. Melcher, K. Ishikawa, T. Omura, H. Hibino, H. Koganezawa and O.
Azzam. 1999. Sequence changes in six variants of rice tungro bacilliform virus and their phylogenetic relationships. Journal of General Virology, 80: 2229-2237.
Calleja, D.O. 2010. Water shortage due to El Niño breeds „tungro‟ in rice plantations.
http://balita.ph/2010/02/17/tungro-rice-disease-alert-up-in-bicol/. Diunduh pada 20 Januari 2012.
Choi, R.I. 2004. Current Status of Rice Tungro Disease Research and Future Program.
p. 3-14. In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta dan Sunihardi (eds.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro: Status dan Program. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7–8 September 2004.
Choi. I.R., P.Q. Cabauatan and R.C. Cabunagan. 2009. Rice Tungro Disease. Rice Fact
Sheet, IRRI, Sep. 2009: 1-4.
19
Deng, Z.N., A. Gentile, E. Nicolosi, E. Domina, A. Vardi and E. Tribulato. 1995. Identification on in vivo and in vitro lemon mutans by RAPD markers. Journal Horticultural Science, 70(1): 117-125.
Du, P.V., R.C. Cabunagan and I.R. Choi. 2005. Rice “yellowing syndrome” in Mekong
river delta. Omonrice, 13: 135-138. Frischmuth, T. 2002. Recombination in Plant DNA Viruses. p. 339-363. In Khan, J.A.
and J. Diikstra (ed.), Plant Viruses As Molecular Pathogens. The Haworth Press. Inc. 2002.
Hasanuddin, A., I.N. Widiarta dan M. Muhsin. 2001. Penelitian teknik eliminasi sumber
inokulum RTSV: Suatu strategi pengendalian tungro. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Menristek dan DRN.
IRRI. 1996. Standard Evaluasi System for Rice. Los Banos, Philippines. 52 p. Isogai, M., P.Q. Cabauatan, C. Masuta, I. Uyeda and O. Azzam. 2000. Complete
nucleotide sequence of rice tungro spherical virus genome of the highly virulent strain Vt6. Virus Genes, 20(1): 79-85.
Joshi, R., V. Kumar and I. Dasgupta. 2003. Detection of molecular variability in rice
tungro bacilliform viruses from India using polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism. Journal of Virological Methods, 109: 89-93.
Kusprayogie, Y., U. Nuzulullia dan D.R. Gabriel. 2011. Prakiraan Serangan OPT Utama
Padi pada MT 2011/2012. Buletin Peramalan OPT, Vol.11/No.2/ Edisi XIII /Okt./2011.
McPherson, M.J. and S. G. Moller. 2006. PCR, Second Edition. Taylor & Francis Group.
305 p. Muralidharan, K., D. Krishnaveni, N.V.L. Rajarajeswari and A.S.R. Prasad. 2003. Tungro
epidemics and yield losses in paddy fields in India. Current Science, 85(8):1143-1147.
Raga, I.N. 2008. Perkembangan Dan Penyebaran Penyakit Tungro Di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Penyakit Tungro: Revitalisasi Strategi Pengendalian Penyakit Tungro Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Beras Nasional, Makassar, 5-6 September 2007.
Suprihanto. 2005. Diferensiasi beberapa isolat rice tungro virus dengan kultivar padi
diferensial dan PCR-RFLP. Tesis. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suprihanto, I.N. Widiarta dan D. Kusdiaman. 2007. Virulensi Virus Tungro dari Tiga
Daerah Endemis di Indonesia. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN 2007.
20
Suranto. 2004. Pengelolaan Virus Tungro Melalui Pendekatan Bioteknologi. Status dan Program Penelitian Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro. p. 15-25. In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta dan Sunihardi (eds.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro: Status dan Program, Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7–8 September 2004
Takahashi, Y., F.R.Tiongco, P.Q. Cabauatan, H. Koganezawa, H. Hibino and T. Omura.
1993. Detection of Rice Tungro Bacilliform Virus by Polymerase Chain Reaction for Assessing Mild Infection of Plants and Viruliferous Vector Leafhoppers. Phytopathology, 83(6): 655-659.
Valkonen, J.P.T. 2002. Natural Resistance to Viruses. p. 367-397. In Khan, J.A. and J.
Diikstra (ed.), Plant Viruses As Molecular Pathogens. The Haworth Press. Inc., 2002.
Villegas, L.C., A. Druka, N.B. Bajet and R. Hull. 1997. Genetic Variation of Rice Tungro
Bacilliform Virus in the Philippines. Virus Genes, 15(3): 195-201. Widiarta, I.N., Yulianto dan A. Hasanuddin. 2003. Pengendalian terpadu penyakit
tungro dengan strategi eliminasi peranan virus bulat. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Puslitbangtan. Balitpa. Hal.: 513-527.
Widiarta, I.N., Burhanuddin, A.A. Daradjat, dan A. Hasanuddin. 2004. Status dan
Program Penelitian Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro. p. 61-89. In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta dan Sunihardi (eds.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro: Status dan Program, Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7–8 September 2004.