Date post: | 02-Aug-2015 |
Category: |
Documents |
Upload: | ibnu-faizal |
View: | 279 times |
Download: | 3 times |
Kondisi dan Distribusi Terumbu Karang pada Zonasi Taman Nasional Kepulauan
Seribu, Provinsi DKI Jakarta Conditions and Distribution of Coral Reefs in the Zoning of Kepulauan Seribu National Park,
Special Capital City District of Jakarta
Ibnu Faizal1, Prof.Dr.Ir.H. Dulmi’ad Iriana
2
1Program Studi Ilmu Kelautan FPIK UNPAD
2Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan distribusi terumbu karang di tiap
zona Taman Nasional Kepulauan Seribu berdasarkan persentase tutupan karang,
keanekaragaman, keseragaman, serta dominasi karang di perairan tersebut. Penelitian
dilakukan di 4 Stasiun yang berada pada tiap zonasi. Penelitian dilakukan pada Bulan
September 2011, dengan pemantauan kondisi awal, pengambilan data, dan identifikasi
dilakukan langsung di lapangan. Pengamatan tutupan karang dilakukan dengan metode
transek garis (Line Intercept Transect/LIT) pada kedalaman 7 meter dengan garis
transek sepanjang 25 meter dan dilakukan tiga kali pengulangan untuk tiap stasiun.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi tutupan terumbu karang pada Stasiun 1
(Zona Inti) 33.71% yang mengalami penurunan sebesar 4.54% dibanding kondisi tahun
2009; Stasiun 2 (Zona Perlindungan) sebesar 26.71% yang mengalami penurunan
sebesar 7.79%; Stasiun 3 (Zona Pemanfaatan Wisata) 56.52% yang juga mengalami
penurunan sebesar 8.07%; dan Stasiun 4 (Zona Pemukiman) 63.17% yang mengalami
kenaikan sebesar 0.19%. Distribusi karang di keempat zona yang berada di Taman
Nasional Kepulauan Seribu merata, dengan nilai Indeks Dominansi, Keanekaragaman
serta Keseragaman yang rendah.
Kata Kunci: Kondisi, Zonasi, Terumbu Karang, Kepulauan Seribu.
ABSTRACT
This research has been done to find out the condition and distribution of coral reefs in
the Kepulauan Seribu National Park based on each zone to know the percentage value
of coral cover, diversity, similarity, and the dominance of corals in these waters. The
study was conducted at four stations located in each zone in September 2011, with
initial condition monitoring, data retrieval and identification performed by means of
field data collection. Observations made with the line intercept transect (LIT) method at
a depth of 7 meters by 25 meters long transect lines and using three repetitions of each
station. The conditions of hard coral reefs covered in Station 1 (Core Zone) were
33.71%, declined 4.54% compared with percentage of two years before (2009); Station
2 (Protection Zone) were 26.71%, declined 7.79%; Station 3 (Utilization Zone) were
56.52%, which also declined 8.07%; and Station 4 (Settlement Zone) were 63.17%,
which increased 0.19%. Distribution of corals in each zone located in the Kepulauan
Seribu National Park was spread evenly, with the dominance index, diversity, and
similarity is low.
Keywords: Condition, Zoning, Coral Reef, Kepulauan Seribu.
PENDAHULUAN
Perairan Indonesia yang luasnya
5,1 juta km2, termasuk zona ekonomi
eksklusif Indonesia ZEEI 2,7 juta Km2
memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi. Salah satu keanekaragaman hayati
Indonesia yaitu berasal dari ekosistem
terumbu karang. Wilayah Indonesia
mempunyai sekitar 18% terumbu karang
dunia, dengan keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia. Jumlah jenis karang
batu di Indonesia tercatat sebanyak 590
jenis, yang di dominasi oleh karang dari
genus Acropora (91 jenis), Montipora (29
jenis) dan Porites (14 jenis)
(TERANGI,2007). Kondisi terumbu
karang saat ini telah mengalami kerusakan
dan penurunan yang disebabkan antara
lain oleh pengeboman ikan, pengambilan
ikan dengan menggunakan bahan beracun
serta pengambilan dan perdagangan
karang hias illegal. Berdasarkan hasil
penelitian Pusat Penelitian Oseanografi
(P2O) LIPI tahun 2002, dari 556 lokasi
yang tersebar di perairan Indonesia
kondisi terumbu karang 6,38 % dalam
kondisi sangat baik, 25,7% dalm kondisi
baik, 36,87% dalam kondisi sedang, dan
30,58% dalam kondisi rusak (Suharsono
dan Gianto, 2003 dalam BTNKpS, 2007).
Taman Nasional Kepulauan Seribu
merupakan salah satu wilayah dimana
terumbu karang banyak terdapat disana.
Taman Nasional Kepulauan Seribu
terletak pada posisi geografis 5°24' -
5°45' LS dan 106°25' - 106° 40' BT,
terbentang seluas 107.489 ha (SK.
Menteri Kehutanan Nomor : 6310/Kpts-
II/2002). Kepulauan Seribu merupakan
gugusan kepulauan yang terletak di
sebelah utara Jakarta, tepat berhadapan
dengan Teluk Jakarta. Kepulauan Seribu
terdiri dari pulau-pulau karang sebanyak
105 buah dengan total luas wilayah
daratan sebesar 8,7 km² (BTNKpS, 2007).
Terumbu karang yang ada saat ini
masih dapat dipertahankan dengan baik
apabila dilakukan pengelolaan secara
profesional. Untuk meningkatkan
kembali produktifitas terumbu karang,
keanekaragaman biota yang ada dalam
ekosistem terumbu karang dapat menarik
perhatian berbagai wisatawan baik
wisatawan mancanegara maupun
wisatawan nusantara yang pada
akhirnya mendukung perkembangan
daerah dan peningkatan pendapatan dari
sektor wisata bahari. Dengan pengelolaan
yang baik maka produksi perikanan dapat
ditingkatkan..
Untuk menjaga kelestarian
ekosistem tersebut maka dibentuklah
Taman Nasional yang berfungsi salah
satunya sebagai bentuk perlindungan
terhadap Ekosistem Terumbu Karang.
Taman Nasional juga harus
mempertimbangkan faktor lain selain
ekologis yaitu faktor ekonomi serta sosial,
maka dengan itu dibuatlah Zonasi
menurut letak dan fungsinya. Pengelolaan
Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu
(BTNKpS) berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Departemen Kehutanan
Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27
Januari 2004 tentang Zonasi Pengelolaan
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu,
membagi zonasi pengelolaan Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu menjadi
4 Zona : Zona Inti, Zona Perlindungan,
Zona Pemanfaatan Wisata dan Zona
Pemukiman. Zonasi di Taman Nasional
Kepuluan Seribu seperti Zona Inti, Zona
Perlindungan, Zona Pemanfaatan Wisata
serta Zona Pemukiman mencakup pulau-
pulau yang berada di Kepulauan Seribu
dimana tiap zona memiliki fungsi dan
manfaat yang berbeda dengan zona
lainnya. Faktor ekologi adalah faktor yang
paling penting harus mendapatkan
perhatian lebih, salah satunya Ekosistem
Terumbu Karang. Namun tiap zona
memiliki permasalahan ataupun tekanan
yang berbeda baik dari faktor alam
ataupun aktifitas manusia. Sebagai contoh
untuk zona inti yang tidak diperbolehkan
adanya aktifitas manusia selain untuk
penelitian seringkali ditemukan
pelanggaran oleh nelayan yang
menangkap ikan dengan alat tangkap yang
dikhawatirkan dapat menganggu keutuhan
terumbu karang di daerah tersebut,
ataupun kondisi terumbu karang di daerah
pemukiman yang sudah rusak dikarenakan
eksploitasi berlebihan oleh masyarakat
sekitar. Perubahan kondisi dan distribusi
terumbu karang di zona-zona tersebut
dapat diketahui dengan melakukan
penelitian kondisi terumbu karang dilihat
berdasarkan persentase penutupan karang
dan distribusinya dilihat berdasarkan
sebaran jenis karang.
Kepulauan Seribu merupakan
gugusan kepulauan yang terletak di
sebelah utara Jakarta, tepat berhadapan
dengan Teluk Jakarta. Kepulauan Seribu
terdiri dari pulau-pulau karang sebanyak
105 buah dengan total luas wilayah
daratan sebesar 8,7 km². Terumbu karang
di Kepulauan Seribu memiliki nilai yang
penting bagi masyarakat Kepulauan
Seribu terutama sumber perikanan dan
bagi masyarakat lain yaitu sebagai tujuan
wisata (Wijayanti, 2008 dalam Setyawan
dkk,2011). Karang bercabang sangat
umum dijumpai dan bentuk pertumbuhan
tersebut merupakan penyusun utama
terumbu Kepulauan Seribu, yang
didukung oleh bentuk foliose (lembaran)
dan massif.
Zonasi di Kepulauan Seribu
diwakili oleh pulau-pulau yang tersebar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Yayasan Terumbu Karang Indonesia
(TERANGI) pada 2009 diperoleh hasil
kondisi terumbu karang dalam kondisi
sedang dimana persentase tutupan karang
keras di Kepulauan Seribu sebesar 34,27%
dengan persentase karang mati mencapai
16,06%. Kondisi tersebut salah satunya
disebabkan oleh fungsi zonasi yang belum
berjalan sesuai dengan fungsi dan
manfaatnya serta pemanfaatan yang tidak
ramah dan berlebih (Setyawan dkk.,
2011). Gosong Sebaru Besar pada tahun
2009 yang termasuk dalam zona
perlindugnan memiliki persentase tutupan
karang keras 34,50%. Pulau Gosong
Rengat yang termasuk dalam zona inti
memiliki persentase tutupan karang keras
tertinggi dibandingkan pulau-pulau
lainnya yang berada dalam zona inti
sebesar 38,25% lebih rendah jika
dibandingkan dengan tutupan karang
keras Pulau Kotok Kecil (64,59%) dan
Pulau Harapan (62,98%) yang berada
dalam dalam zona pemanfataan wisata
dan pemukiman. Regulasi serta
pengawasan yang ketat dan efektif
terhadap suatu pulau atau zona dapat
meningkatkan persentase tutupan karang
keras di wilayah tersebut. Monitoring
secara berkala perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah terjadi perubahan
kondisi terumbu karang di suatu pulau
atau zona pada Taman Nasional
Kepulauan Seribu.
Spesifikasi karang yang diinginkan
adalah persentase penutupan karang
berdasarkan lifeform (bentuk
pertumbuhan) (Lampiran1). Sebagai
upaya monitoring pemilihan lokasi untuk
kondisi dan distribusi terumbu karang
ditentukan berdasarkan melihat pulau
dengan persentase tutupan karang
tertinggi disetiap zonanya. Faktor – faktor
pembatas penyebaran terumbu karang
dengan pengamatan data fisik perairan
seperti arus, salinitas, suhu serta
kecerahan juga diamati sebagai faktor
pendukung pertumbuhan ekosistem
terumbu karang.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Taman
Nasional Kepulauan Seribu terletak pada
posisi geografis 5°24'- 5°45'LS dan
106°25'- 106° 40'BT pada Bulan
September 2011. Pemilihan Lokasi
Pengambilan Data dilakukan di 4 Stasiun
yang berada di zona-zona Taman Nasional
Kepulauan Seribu (Inti, Perlindungan,
Pemanfaatan Pariwisata dan Pemukiman),
yaitu :
1. Stasiun 1 adalah Pulau Gosong
Rengat yang berada pada Zona Inti
dengan koordinat 05⁰ 27.935’ LS
dan 106⁰ 26.228’ BT.
2. Stasiun 2 adalah Gosong Sebaru
Besar yang berada pada Zona
Perlindungan dengan koordinat 05⁰
29.654’ LS dan 106⁰ 33.369’ BT.
3. Stasiun 3 adalah Pulau Kotok Kecil
yang berada pada Zona
Pemanfaatan Wisata dengan
koordinat 05⁰ 41.451’ LS dan 106⁰
31.769’ BT.
4. Stasiun 4 adalah Pulau Harapan
yang berada pada Zona Pemukiman
dengan koordinat 05⁰ 39.057’ LS
dan 106⁰ 34.980’ BT.
Pengamatan tutupan karang
dilaksanakan dengan menggunakan
metode line intercept transect (LIT).
Pengambilan data berdasarkan perubahan
bentuk karang dengan satuan sentimeter
sesuai lifeform. Garis ditarik 25 meter
sejajar dengan garis pantai mengikuti
kontur dasar perairan dengan kedalaman 7
meter dan dilakukan pengulangan
sebanyak 3 kali. Pemilihan satu
kedalaman (7 meter) dilakukan karena
kedalaman tersebut dapat mewakili untuk
perairan dangkal (3 meter) serta perairan
dalam disuatu perairan (10 meter).
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari alat untuk
pengambilan data terumbu karang dan alat
pengukur kualitas air, yaitu: GPS, Scuba
Set , roll meter, sabak dan pensil , buku
identifikasi karang, kamera Under Water,
perahu motor, thermometer , secchi disk,
flouting droudge , refraktometer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Kualitas Perairan
Kondisi kualitas perairan pada
keempat stasiun penelitian memiliki nilai
yang tidak terlalu berbeda (Tabel 1). Suhu
perairan berkisar antara 28-29 °C, kondisi
suhu tersebut menurut Romimohtarto dan
Juwana (2007) merupakan suhu yang baik
untuk pertumbuhan karang yaitu berkisar
antara 22-29 oC. Kondisi ini tidak berbeda
jauh dengan kondisi suhu pada tahun 2009
dengan kisaran suhu antara 28,3-29,3 oC
(Setyawan dkk., 2011).
Tabel 1. Data Kualitas Perairan tiap
Stasiun Pengamatan
Keterangan:
Stasiun 1 : Pulau Gosong Rengat,
Stasiun 2 : Gosong Sebaru Besar,
Stasiun 3 : Pulau Kotok Kecil,
Stasiun 4 : Pulau Harapan.
Intensitas cahaya berhubungan
dengan kecerahan perairan, merupakan
faktor penting pertumbuhan terumbu
karang karena berkaitan dengan
fotosintesis zooxanthellae. Kecerahan
perairan pada stasiun-stasiun pengamatan
berkisar antara 3.85-5.6 m menunjukkan
adanya perubahan nilai kecerahan
dibandingkan dengan dua tahun
sebelumnya (Setyawan dkk., 2011) yaitu
berkisar antara 4.99-7.44 m. Hal ini
mengindikasikan adanya perubahan
kemampuan penetrasi cahaya matahari
yang dapat dipengaruhi oleh suspensi
dalam air (lumpur) akibat pengaruh
musim.
Kecepatan arus permukaan pada
tiap stasiun berkisar antara 0.09-0.26
m/detik dimana pada saat pengambilan
data berlangsung pada musim peralihan
dua dengan masih adanya pengaruh angin
musim timur. Kondisi kecepatan arus
permukaan jika dibandingkan tahun 2009
(Setyawan dkk., 2011) yang berkisar 0.04-
0.13 m/detik menunjukkan adanya
perbedaan walaupun tidak begitu besar.
Pengaruh musim terhadap kecepatan arus
permukaan dilihat dari kecepatan arus
pada stasiun 1 sebesar 0.26 m/detik
dimana titik pengambilan data berada
pada sisi timur pulau tersebut, berbeda
Parameter Stasiun Pengamatan
1 2 3 4
Suhu (°C)
28 29 28.5 29
Kecerahan
Perairan
(m)
3.85
(84%)
3.75
(75%)
5.6
(93%)
5.45
(97%)
Kedalaman
(m)
4.56 5 6 5.64
Arus
Permukaan
(m/detik)
0.26 0.17 0.10 0.09
Salinitas
(‰)
33 33.3 34 34
dengan kecepatan arus permukaan di
stasiun 3 sebesar 0.10 m/detik karena titik
pengambilan data berada disebelah barat
sehingga terlindung dari pengaruh
gelombang. Untuk stasiun 2 dan 4
walaupun berada didekat dengan sisi
timur pulau, kecepatan arus permukaan
cenderung rendah, hal ini disebabkan titik-
titik pengambilan data di setiap stasiunnya
terlindung oleh gosong sehingga kondisi
arus cenderung tenang.
Salinitas perairan adalah parameter
terakhir yang diamati pada penelitian ini.
Pada dua tahun sebelumnya (Setyawan
dkk., 2011) tingkat salinitas berkisar
antara 29-31 ppt dan tingkat salinitas pada
saat penelitian didapatkan nilai berkisar
antara 33-35 ppt. Menurut Nybakken
(1992) tingkat salinitas ini menyerupai
wilayah perairan terumbu karang pada
umumnya. Walaupun terjadi sedikit
kenaikan tetapi kondisi salinitas masih
dalam kisaran salinitas optimum bagi
kehidupan karang yaitu antara 30-35 ppt
(Romimohtarto dan Juwana, 2007).
Persentase Tutupan Karang
Persentase tutupan karang pada
Stasiun 1 (Pulau Gosong Rengat/Zona
Inti) adalah 33.71% dengan tutupan
karang non-Acropora lebih besar
dibandingkan dengan persentase tutupan
karang Acropora. Persentase tutupan
karang Acropora 13.59% sedangkan
tutupan karang non- Acropora mencapai
20.12%.
Di Pulau Gosong Rengat didapatkan
10 lifeform karang keras, terdiri dari 4
jenis Acropora dan 6 jenis non-Acropora
yaitu Acropora Branching (ACB),
Acropora Digitate (ACD), Acropora
Encrusting (ACE), Acropora Submassive
(ACS), Coral Branching (CB), Coral
Encrusting (CE), Coral Foliose (CF),
Coral Massive (CM),Coral Mushroom
(CMR) dan Coral Submassive (CS)
(Gambar 1).
Gambar 1. Grafik Persentase Lifeform
Stasiun 1 (Zona Inti)
Di Stasiun ini persentase lifeform
karang keras tertinggi adalah Coral
Branching (CB) sebesar 7.87% sedangkan
untuk lifeform Acropora tertinggi adalah
Acropora Encrusting sebesar 6.64%.
Tingginya nilai persentase karang mati
yang tertutup alga atau Dead Coral Algae
(DCA) sebesar 23.28% dan juga
persentase Algae tertinggi juga
didapatkan dalam Stasiun ini sebesar
7.11% yaitu dari jenis Algae Asemblage
dan Makroalgae. Di Ekositem Terumbu
Karang Kepulauan Seribu terlihat ada
kaitan antara nilai tutupan karang keras
dengan nilai tutupan alga, daerah yang
memiliki tutupan karang rendah, nilai
tutupan alganya tinggi (Setyawan dkk.,
2011). Hal ini didukung dari besarnya
jumlah persentase Dead Coral Algae dan
dapat menjadi salah satu faktor penyebab
tutupan karang keras di stasiun ini
mengalami penurunan sebesar 4.54%
dimana tutupan karang keras pada tahun
2009 di lokasi ini sebesar 38.25%. Selain
itu persentase Rubble (RB) sebesar
18.36% mengindikasikan adanya
kerusakan karang baik oleh alam ataupun
pengrusakan oleh manusia dikarenakan
pulau ini terletak cukup jauh sehingga
aktivitas manusia yang tidak diizinkan di
dalam zona ini seperti penangkapan ikan
secara ilegal dapat terjadi karena
minimnya pengawasan.
Persentase tutupan karang pada
Stasiun 2 (Gosong Sebaru Besar/Zona
Perlindungan) adalah 26.71% dengan
tutupan karang non-Acropora lebih besar
dibandingkan dengan persentase tutupan
karang Acropora. Persentase tutupan
karang Acropora 11.62% sedangkan
tutupan karang non- Acropora mencapai
15.09%. Di Gosong Sebaru Besar
didapatkan 10 lifeform karang keras,
terdiri dari 4 jenis Acropora dan 6 jenis
non-Acropora yaitu Acropora Branching
(ACB), Acropora Digitate (ACD),
Acropora Encrusting (ACE), Acropora
Submassive (ACS), Coral Branching
(CB), Coral Encrusting (CE), Coral
Foliose (CF), Coral Massive (CM),Coral
Mushroom (CMR) dan Coral Submassive
(CS) (Gambar 2).
Gambar 2. Grafik Persentase Lifeform
Stasiun 2 (Zona Perlindungan)
Persentase lifeform karang keras
tertinggi adalah Coral Massive (CM)
sebesar 8.91% , sedangkan persentase
lifeform karang cabang yaitu Acropora
Branching (ACB) dan Coral Branching
(CB) jumlahnya tidak besar yaitu 1.60%
dan 2.51%. Tingginya Dead Coral Algae
(DCA) sebesar 21.72% dan Rubble
(23.72%) mengidikasikan adanya
kerusakan karang pada stasiun ini, terlihat
juga nilai penurunan persentase karang
keras sebesar 7.79% dari kondisi karang
tahun 2009. Faktor kerusakan karena
aktivitas manusia salah satunya adalah
penurunan jangkar oleh nelayan ataupun
perahu lain. Hal ini ditunjang pada saat
pengambilan data di lokasi ini ditemui
perahu nelayan yang sedang beristirahat.
Nilai kategori Water (WA) sebesar
10.13% menggambarkan bahwa pada
stasiun ini banyak terdapat celah-celah
karena adanya koloni karang besar,
terbukti dengan tingginya persentase
liferform Coral Massive (CM) dilokasi ini
sebesar 8.91%. Kategori Water (WA) ini
merujuk pada celah dengan kedalaman
lebih dari 50 cm dari transek (English et
al., 1997).
Persentase tutupan karang pada
Stasiun 3 (Pulau Kotok Kecil/Zona
Pemanfaatan Wisata) yang berada dalam
zona pemanfatan wisata adalah 56.52%
dengan tutupan karang non-Acropora
lebih besar dibandingkan dengan
persentase tutupan karang Acropora.
Persentase tutupan karang Acropora
23.79% sedangkan tutupan karang non-
Acropora mencapai 32.73%.
Di Pulau Kotok Kecil didapatkan 8
lifeform karang keras, terdiri dari 3 jenis
Acropora dan 5 jenis non-Acropora yaitu
Acropora Branching (ACB), Acropora
Encrusting (ACE), Acropora Submassive
(ACS), Coral Branching (CB), Coral
Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral
Mushroom (CMR) dan Coral Submassive
(CS) (Gambar 3).
Gambar 3. Grafik Persentase Lifeform
Stasiun 3 (Zona Pemanfaatan Wisata) Persentase kategori lifeform
karang keras tertinggi adalah Acropora
Branching (ACB) dengan nilai 14.93%,
karang jenis ini biasanya tumbuh pada
perairan jernih dan lokasi dimana terjadi
pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya
bercabang dan tergolong jenis karang
yang cepat tumbuh, namun sangat rentan
terhadap sedimentasi dan aktivitas
penangkapan ikan (Johan, 2003). Lifeform
Acropora keseluruhan dalam stasiun ini
(Acropora Branching, Acropora
Encrusting, Acropora Submassive)
memiliki persentase tertinggi
dibandingkan stasiun lainnya dengan nilai
persentase mencapai 23.79%. Kondisi
tutupan karang tergolong baik, Kepulauan
Seribu memiliki terumbu karang dengan
tipe rataan dengan tutupan antar jenis
yang rapat dalam bentuk substrat dasar
yang cenderung rata (Setyawan dkk.,
2011). Jumlah Dead Coral Algae (DCA)
yang mencapai 19.56% dan Rubble (RB)
sebesar 10.88% yang mengindikasikan
adanya kerusakan yang menyebabkan
penurunan persentase tutupan karang
keras sebanyak 8.07% dibanding data
awal tahun 2009 (Setyawan dkk., 2011).
Persentase tutupan karang pada
Stasiun 4 (Pulau Harapan/Zona
Pemukiman) adalah 63.17% dengan
tutupan karang non-Acropora lebih besar
dibandingkan dengan persentase tutupan
karang Acropora. Persentase tutupan
karang Acropora 20.79% sedangkan
tutupan karang non- Acropora mencapai
42.39%.
Di Pulau Harapan didapatkan 10
lifeform karang keras, terdiri dari 4 jenis
Acropora dan 6 jenis non-Acropora yaitu
Acropora Branching (ACB), Acropora
Digitate (ACD), Acropora Encrusting
(ACE), Acropora Submassive (ACS),
Coral Branching (CB), Coral Encrusting
(CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive
(CM),Coral Mushroom (CMR) dan Coral
Submassive (CS) (Gambar 4).
\\
Gambar 4. Grafik Persentase Lifeform
Stasiun 4 (Zona Pemukiman)
Persentase Lifeform tertinggi dari
karang keras adalah Coral Foliose (CF)
sebesar 20%. Coral Foliose yang masuk
dalam genus Montipora tumbuh baik
karena stasiun ini memiliki kondisi arus
perairan yang tenang, dimana jenis
Foliose membutuhkan karakteristik
habitat yang terlindung (Assad, I.J. 1999).
Hal ini didukung dengan kecepatan arus
permukaan distasiun ini hanya sebesar
0.09 m/detik, paling rendah dibandingkan
3 stasiun lainnya (Tabel 2).
Karang keras bentuk pertumbuhan
bercabang (Branching) tumbuh baik di
perairan ini, terdiri dari Acropora
Branching (ACB) 7.95% dan Coral
Branching (CB) 11.51%. Bentuk
pertumbuhan bercabang di Kepulauan
Seribu didominasi oleh karang dari genus
Acropora dan Montipora (Suharsono,
2008). Kedua genus ini banyak diwakili
oleh lifeform seluruh Acropora, Coral
Foliose (CF) serta Coral Submassive
(CS). Kondisi Dead Coral Algae (DCA)
serta Rubble (RB) di stasiun pengamatan
ini menunjukkan yang terendah
dibandingkan dengan stasiun-stasiun
pengamatan lainnya dengan nilai masing-
masing sebesar 12.15% dan 9.85%.
Kondisi lokasi stasiun pengambilan data
yang tenang dan terlindung menyebabkan
kondisi tutupan karang di lokasi ini
tergolong baik dan meningkat 0.19% dari
data tahun 2009.
Indeks Kematian Karang
Nilai indeks kematian yang
didapatkan dari perhitungan data lapangan
tiap stasiun pengamatan didapatkan
perbedaan. Nilai indeks kematian terumbu
karang di keempat stasiun pengamatan
berkisar antara 0.161-0.587 (Gambar 5).
Gambar 5.Grafik Indeks Kematian
Karang Tiap Stasiun
Secara keseluruhan pada keempat
stasiun pengamatan menunjukkan adanya
nilai perubahan tetapi tidak terlalu berarti.
Indeks Keanekaragam (Shannon
Wiener), Keseragaman dan
Dominansi
Data pengamatan karang dari
keempat stasiun di Taman Nasional
Kepulauan Seribu diperoleh beberapa nilai
indeks ekologis terumbu karang yaitu
Indeks Keanekaragaman, Indeks
Keseragaman serta Indeks Dominansi
(Gambar 6). Nilai Indeks
Keanekaragaman yang didapat dari
perhitungan data lapangan memiliki nlai
perbedaan dari setiap stasiun pengamatan
dengan nilai berkisar antara 1.855-2.073.
Gambar 6. Grafik Nilai-Nilai Indeks
Ekologi Karang tiap Stasiun
Nilai Indeks Keanekaragaman
tertinggi terdapat pada Stasiun 1 yakni
sebesar 2.073 dan Nilai Indeks
Keanekaragaman terendah berada pada
Stasiun 2 sebesar 1.855 (Gambar 6).
Berdasarkan data Nilai Indeks
Keanekaragaman pada keempat stasiun
didapatkan nilai rata-rata sebesar 1.960.
Menurut Shannon Wiener Nilai Indeks
Keanekaragaman dibawah dua
dikategorikan bahwa kenaneka-
ragamannya rendah.
Nilai Indeks Keseragaman yang
didapatkan dari keempat stasiun
pengamatan memiliki nilai berkisar antara
0.362-0.658. Pada Stasiun 3 dan Stasiun 4
yang memiliki Nilai Indeks Keseragaman
0.658 dan 0.651 menggambarkan bahwa
keseragaman di lokasi tersebut tergolong
sedang dengan kondisi komunitas di
perairan tersebut labil. Sedangkan pada
Stasiun 1 dan 2 yang memiliki Nilai
Indeks Keseragaman 0.454 dan 0.362
menggambarkan bahwa kondisi
komunitas pada kondisi tertekan dengan
keseragaman yang rendah.
Nilai Indeks Dominansi yang
didapatkan dari keempat stasiun
pengamatan memiliki nilai berkisar antara
0.147-0.216. Berdasarkan kisaran indeks,
semua Nilai Indeks Kematian berada
dibawah 0,5 dapat diartikan bahwa
dominansi suatu jenis (lifefrom) tidak
terjadi di keempat stasiun pengamatan
atau dengan kata lain dominansinya
rendah.
Kondisi Terumbu Karang
Gambar 7. Grafik Perbandingan
Tutupan Karang pada 4 Stasiun
Pengamatan
Berdasarkan perhitungan nilai
tutupan karang hidup yang didapatkan
dari keempat stasiun pengamatan di
Taman Nasional Kepulauan Seribu
didapatkan nilai berkisar antara 26.71%-
63.17% (Gambar 7). Nilai tutupan karang
hidup terendah terdapat pada stasiun 2
yaitu Gosong Sebaru Besar yang berada
dalam Zona Perlindungan dan nilai
tertinggi terdapat pada stasiun 4 yaitu
Pulau Harapan yang berada dalam Zona
Pemukiman. Menurut Saleh (2009)
kisaran nilai tersebut dapat dikategorikan
bahwa kondisi terumbu karang berada
dalam kondisi sedang sampai bagus.
Jenis Non-Acropora mendominasi
di seluruh stasiun pengamatan
dibandingkan dengan jenis Acropora.
Coral Massive yang termasuk dalam
kategori jenis Non-Acropora sebagai
contoh, memiliki adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan, mempunyai daya
kompetisi yang tinggi dan dengan harapan
hidup yang panjang (Suharsono,1996) dan
begitu pula dengan jenis Coral Foliose.
Kondisi itu yang membuat karang dari
jenis Non-Acropora lebih dapat bertahan
terhadap tekanan lingkungan, baik alam
ataupun manusia dibandingkan jenis
Acropora. Jenis Acropora menurut Johan
(2003) merupakan golongan karang
berbentuk cabang yang cepat tumbuh
namun rentan terhadap aktivitas manusia.
Kondisi karang yang mengalami
bleaching juga sangat jarang ditemukan di
stasiun-stasiun tempat pengambilan data
mengindikasikan bahwa tidak ada
perubahan suhu ataupun salinitas secara
drastis yang dapat mengakibatkan karang
mengalami pemutihan dilihat dari
perbandingan data salinitas pada tahun
2009 oleh Setyawan.,dkk (2011) dengan
data sekarang. Predator karang yaitu
Ancanthaster plancii (Bulu Seribu) juga
tidak ditemukan di stasiun-stasiun
pengambilan data dimana biasanya
predator ini berada pada jenis karang
Acropora Tabulate yang pada keempat
stasiun tidak ditemukan jenis karang
tersebut.
Secara umum, terjadi penurunan
tutupan karang pada setiap stasiun
dibandingkan dengan data dua tahun
sebelumnya (2009) berkisar antara -
0.19%-8.07%. Stasiun 4 yaitu Zona
Pemukiman merupakan satu-satu nya
stasiun pengamatan yang tutupan
karangnya mengalami peningkatan 0.19%.
Untuk perubahan terbesar dari data
sebelumnya adalah Pulau Kotok Kecil
yang berada dalam zona pemanfaatan
wisata (Stasiun 3) yang mengalami
penurunan persentase sebanyak 8.07%.
Jika melihat secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa ada
kecenderungan terjadi penurunan
persentase tutupan karang jika
dibandingkan dari dua tahun sebelumnya
walaupun relatif kecil. Namun, hal ini
tetap harus mendapat perhatian dari
semua pihak.
Pengelolaan
Kesadaran serta partisipasi
masyarakat merupakan faktor paling
penting, karena kerusakan terumbu karang
ada kaitannya dengan tekanan terhadap
ekosistem terumbu karang disamping
faktor alam itu sendiri. Monitoring serta
pengawasan secara berkala dan ketat
terhadap pulau-pulau secara keseluruhan
dibutuhkan agar fungsi zonasi dapat
berjalan sesuai dengan fungsi dan
manfaatnya. Pengawasan di Zona Inti dan
Perlindungan harus diutamakan. Selain
itu, untuk meningkatkan kondisi terumbu
karang di pulau-pulau sehingga kembali
menjadi baik, dapat dilakukan dengan
pengadaan terumbu karang buatan yang
terbuat dari beton.
Recovery atau Rehabilitasi karang
di Zona Pemanfaatan Wisata dapat
dikorelasikan dengan kegiatan Eco-
Tourism yang berhubungan dengan usaha
rehabilitasi terumbu karang dengan
transplantasi karang salah satunya.
KESIMPULAN
1. Kondisi terumbu karang di keempat
zona yang berada di Taman Nasional
Kepulauan Seribu memiliki kriteria
sedang dan bagus dengan persentase
tutupan karang keras di Pulau Gosong
Rengat (Zona Inti) 33.71% yang
mengalami penurunan sebesar 4.54%,
Gosong Sebaru Besar (Zona
Perlindungan) 26.71% yang
mengalami penurunan sebesar 7.79%,
Pulau Kotok Kecil (Zona
Pemanfaatan Wisata) 56.52% yang
juga mengalami penurunan sebesar
8.07%, dan Pulau Harapan (Zona
Pemukiman) 63.17% yang
mengalami kenaikan sebesar 0.19%
dari persentase tutupan karang keras
tahun 2009.
2. Distribusi karang di keempat zona
yang berada di Taman Nasional
Kepulauan Seribu merata, dengan
nilai Indeks Dominansi,
Keanekaragaman serta Keseragaman
yang rendah.
SARAN
1. Menurunnya kondisi tutupan terumbu
karang keras dari dua tahun
sebelumnya, walaupun belum secara
berarti tetap harus menjadi perhatian
bersama baik bagi masyarakat,
wisatawan serta stakeholder terkait.
2. Pengawasan di Zona Inti dan
Perlindungan harus ditingkatkan
karena cenderung mengalami
kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Asaad,I.J. 1999. Penutupan Karang Hidup
BerdasarkanBentuk Pertumbuhannya
di Kawasan Wisata Bahari Pulau
Nusa Penida, Bali. Sumber:
http://repositori.ipb.ac.id, 10 Oktober
2011.
Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu
(BTNkps), 2007. Jenis – jenis karang
hias hasil transplantasi yang
diperdagangkan di taman nasional
laut kepulauan seribu. Departemen
Kehutanan. Jakarta. 48 hlm.
Direktorat Konservasi dan Taman
Nasional Laut (DKTNL), 2006.
Pedoman Pelaksanaan Transplantasi
Karang. Departemen kelautan dan
perikanan. Jakarta.
Estradivari, E Setyawan, dan S.Yusri,
2009. Terumbu Karang Jakarta,
Pengamatan Jangka Panjang
Terumbu Karang Kepulauan Seribu
(2003-2007). Yayasan TERANGI.
Jakarta. 101 hlm.
Ferianita, M. F, 2007. Metode Sampling
Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Johan, O, 2003. Metode Survei Terumbu
Karang Indonesia. Dalam Makalah
Training Course : Karakteristik
Biologi Karang. Yayasan
TERANGI.
Kordi, K.M.G.H, 2010. Ekosistem
Terumbu Karang: Potensi, Fungsi
dan Pengelolaan. Jakarta. Rineka
Cipta. xvi+212 hlm.
Ludwig, J.A & J.F Reynolds, 1988.
Statistical Ecology: A Primer
Methods and Computing. John
Wiley & Sons, New York: xvii+337
hlm.
Nybakken, J. W, 1992. Biologi Laut:
Suatu Pendekatan Ekologis. Terj. dari
Marine Biology: An Ecological
Approach, (diterjemahkan oleh
Eidman, M., Koesoebiono, D.G.
Bengen, M. Hutomo, & S.Sukardjo.
1992). PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta: xv+459 hlm
Romimohtarto, K dan Sri Juwana, 2007.
Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan
tentang Biota Laut. Djambatan,
Jakarta. 540 hlm.
Saleh, A, 2009. Teknik pengukuran dan
analisis kondisi ekosistem Terumbu
karang.
Setyawan, E., S. Yusri & S. Timotius
(ed.), 2011. Terumbu Karang Jakarta
: Pengamatan Jangka Panjang
Terumbu Karang Kepulauan Seribu
(2005-2009). Yayasan TERANGI.
Jakarta. vi+102 hlm.
Suharsono, 1996. Wisata Bahari Pulau
Belitung. P3O-LIPI. Jakarta. hlm 49-
55
_________, 2008. Jenis-Jenis Karang Di
Indonesia. LIPI. Jakarta. iv+372
hlm.
Gambar. Peta Kepulauan Seribu
(Sumber: TERANGI, 2011)