+ All Categories
Home > Documents > KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah...

KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah...

Date post: 04-Nov-2020
Category:
Upload: others
View: 8 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
14
Diterima: 3 Oktober 2015 Disetujui: 30 Oktober 2015 Direview: 21 Oktober 2015 KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH PERSPEKTIF TEORETIK-RESOLUTIF) Sukaryanto* Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The control/ownership of land in Surabaya is marked by the unique phenomenon of surat ijo; many residents in the municipalities life on state land. Entering Reform Ere (1999), most of the occupants were no longer abide to the existing regulations. Furthermore, solidarity within community of “tanah surat ijo” arises, and has led them to establish their own mass organization and fight for hak milik (HM, land ownership rights) over the land they occupy. It is thus unsurprising that conflict of interest has occurred between the two. Various efforts to resolve this conflict have been undertaken, including mediation and a civil suit, but these have been unsuccessful to date. Similarly, the enactment of Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2014 (Surabaya Municipal By law No. 16 of 2014) was unable to resolve the conflict. This paper attempts to under- stand and explain the context of land control, ownership, and conflict over “tanah surat ijo” in Surabaya. As conclusion, that the system of “tanahsurat ijo”-is a transformation of the colonial land rent system-has affected all aspects (be they social, economic political, cultural, or psychological) of its residents lives. Besides that, to promote conflict resolution, there must be a transformation in “tanah surat ijo” system; this requires the involvement, cooperation, and coordination between rel- evant ministries. Keywor eywor eywor eywor eywords: ds: ds: ds: ds:surat ijo, state land, resolution, conflict, Surabaya Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Penguasaan/pemilikan tanah di Surabaya ditandai fenomena unik tanah surat ijo, yakni permukiman sebagian warga kota di atas tanah negara. Memasuki era Reformasi (1999) sebagian besar warga penghuni tidak lagi patuh pada peraturan yang berlaku. Bahkan, timbul solidaritas komunitas warga pemukim tanah surat ijo yang kemudian membentuk organisasi massa melakukan upaya untuk memperoleh hak milik atas tanahnya. Tak pelak, terjadilah konflik sosial antara keduanya. Berbagai upaya resolusi telah dilakukan mulai mediasi hingga di meja peradilan tertinggi belum bisa menyelesaikan. Demikian pula, pemberlakuan Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2014 tentang pelepasan asset pun belum dapat mewujudkan resolusi konflik. Tulisan ini mencoba untuk memahami dan menjelaskan konteks penguasaan, kepemilikan, dan konflik atas tanah surat ijo di Surabaya. Sebagai simpulan, keberadaan tanah surat ijo –sebagai jelmaan sistem sewa tanah pada era kolonial- telah menimbulkan dampak di semua segi kehidupan warga penghuni, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, hingga budaya/ psikologi. Selain itu, di dalam kerangka upaya mencapai resolusi konflik diperlukan perubahan system tanah surat ijo, untuk itu perlu keterlibatan, kerjasama, dan koordinasi antara beberapa kementerian yang terkait. Kata kunci: Kata kunci: Kata kunci: Kata kunci: Kata kunci: surat ijo, tanah negara, resolusi, konflik, Surabaya * Penulis adalah kandidat doktor Ilmu Sejarah pada Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora Program Pasca Sarjana FIB UGM. E-mail: [email protected]. A. Pendahuluan Pengertian tanah surat ijo adalah permukiman rakyat di atas tanah negara dengan legalitas surat Izin Pemakaian Tanah (IPT). Surat ijo merupakan fenomena hubungan kontraktual antara dua pihak yang saling membutuhkan, yakni warga penghuni dan Pemerintah Kota Surabaya. Seiring berjalannya waktu yang ditandai perubahan peraturan tentang pertanahan, timbullah hambatan interaksi antar keduanya, timbul situasi saling merasa sebagai pihak yang paling berhak atas tanah surat ijo yang berlanjut pada timbulnya konflik interest antar keduanya. Semula, legalitas menyewakan tanah-tanah
Transcript
Page 1: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

Diterima: 3 Oktober 2015 Disetujui: 30 Oktober 2015Direview: 21 Oktober 2015

KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA(SEBUAH PERSPEKTIF TEORETIK-RESOLUTIF)

Sukaryanto*

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The control/ownership of land in Surabaya is marked by the unique phenomenon of surat ijo; many residents in themunicipalities life on state land. Entering Reform Ere (1999), most of the occupants were no longer abide to the existingregulations. Furthermore, solidarity within community of “tanah surat ijo” arises, and has led them to establish their ownmass organization and fight for hak milik (HM, land ownership rights) over the land they occupy. It is thus unsurprising thatconflict of interest has occurred between the two. Various efforts to resolve this conflict have been undertaken, includingmediation and a civil suit, but these have been unsuccessful to date. Similarly, the enactment of Peraturan Daerah No. 16Tahun 2014 (Surabaya Municipal By law No. 16 of 2014) was unable to resolve the conflict. This paper attempts to under-stand and explain the context of land control, ownership, and conflict over “tanah surat ijo” in Surabaya. As conclusion, thatthe system of “tanahsurat ijo”-is a transformation of the colonial land rent system-has affected all aspects (be they social,economic political, cultural, or psychological) of its residents lives. Besides that, to promote conflict resolution, there mustbe a transformation in “tanah surat ijo” system; this requires the involvement, cooperation, and coordination between rel-evant ministries.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywords:ds:ds:ds:ds:surat ijo, state land, resolution, conflict, Surabaya

Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Penguasaan/pemilikan tanah di Surabaya ditandai fenomena unik tanah surat ijo, yakni permukiman sebagian wargakota di atas tanah negara. Memasuki era Reformasi (1999) sebagian besar warga penghuni tidak lagi patuh pada peraturanyang berlaku. Bahkan, timbul solidaritas komunitas warga pemukim tanah surat ijo yang kemudian membentuk organisasimassa melakukan upaya untuk memperoleh hak milik atas tanahnya. Tak pelak, terjadilah konflik sosial antara keduanya.Berbagai upaya resolusi telah dilakukan mulai mediasi hingga di meja peradilan tertinggi belum bisa menyelesaikan. Demikianpula, pemberlakuan Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2014 tentang pelepasan asset pun belum dapat mewujudkan resolusikonflik. Tulisan ini mencoba untuk memahami dan menjelaskan konteks penguasaan, kepemilikan, dan konflik atas tanahsurat ijo di Surabaya. Sebagai simpulan, keberadaan tanah surat ijo –sebagai jelmaan sistem sewa tanah pada era kolonial-telah menimbulkan dampak di semua segi kehidupan warga penghuni, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, hingga budaya/psikologi. Selain itu, di dalam kerangka upaya mencapai resolusi konflik diperlukan perubahan system tanah surat ijo, untukitu perlu keterlibatan, kerjasama, dan koordinasi antara beberapa kementerian yang terkait.Kata kunci: Kata kunci: Kata kunci: Kata kunci: Kata kunci: surat ijo, tanah negara, resolusi, konflik, Surabaya

* Penulis adalah kandidat doktor Ilmu Sejarahpada Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora ProgramPasca Sarjana FIB UGM. E-mail:[email protected].

A. Pendahuluan

Pengertian tanah surat ijo adalah permukimanrakyat di atas tanah negara dengan legalitas suratIzin Pemakaian Tanah (IPT). Surat ijo merupakan

fenomena hubungan kontraktual antara dua pihakyang saling membutuhkan, yakni warga penghunidan Pemerintah Kota Surabaya. Seiring berjalannyawaktu yang ditandai perubahan peraturan tentangpertanahan, timbullah hambatan interaksi antarkeduanya, timbul situasi saling merasa sebagaipihak yang paling berhak atas tanah surat ijo yangberlanjut pada timbulnya konflik interest antarkeduanya.

Semula, legalitas menyewakan tanah-tanah

Page 2: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

166 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

negara hasil konversi tanah hak Barat itu dimulaisebelum pemberlakuan UUPA 1960, kemudiandiformalkan pada tahun 1971, ketika diberlakukanSurat Keputusan (SK) DPR-GR Daerah KotamadyaSurabaya No. 03E/DPRGR-KEP/1971 tertanggal 6Mei 1971 tentang Sewa Tanah. Pada masa selan-jutnya, ketika sudah banyak tanah hak Barat yangdikonversi menjadi status Hak Pakai (HP) dan HakPengelolaan (HPL), maka konsep/istilah sewa tanahdi atas tanah negara itu menjadi kurang tepat,bahkan tidak bisa dibenarkan; karena yang berhakmenyewakan tanah adalah pemilik tanah ataupemegang sertif ikat Hak Milik (HM). Kemudian,untuk menyiasati hal itu, diterbitkan PeraturanDaerah Kotamadya Daerah Tingkat II SurabayaNo. 22 Tahun 1977 tentang Pemakaian dan RetribusiTanah yang Dikelola oleh Pemerintah KotamadyaDaerah Tingkat II Surabaya, sejak saat itu Izin SewaTanah berubah menjadi Surat Izin PemakaianTanah (IPT).

Berdasarkan pembaharuan dasar legalitas,terjadi penggantian istilah “sewa tanah” menjadi“pemakaian tanah”, dua istilah tersebut sebenarnyamempuyai makna yang sama, yakni mewajibkanwarga penghuni membayar sejumlah uang tertentu(retribusi) setiap tahun pada Pemerintah KotaSurabaya. Di kalangan warga penghuni menyebutsurat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagaisurat ijo (surat hijau). Sebutan itu terus berkem-bang di kalangan warga Kota Surabaya, bahkanbisa dikatakan telah melegenda sebagai trade markpengelolaan tanah negara di Surabaya.

Dalam konteks diatas yang menjadi pertanyaanadalah, apakah ketidaklaziman atau keunikan ituakan terus berlanjut tanpa ujung? Bilamanaberlanjut, tidakkah disadari bahwa hal itu bermaknasebagai bersinambungnya rasa ketidakadilan dikalangan warga penghuni tanah surat ijo, di sam-ping rawan konflik? Tulisan ini mencoba mencer-mati konteks tanah surat ijo beserta eksesnya darisudut kesejarahan dengan bantuan konsep ilmu-ilmu sosial/hukum untuk mendapatkan suatu

bentuk pemahaman yang bisa digunakan untukmendukung upaya mencari resolusi konflik tanahsurat ijo.

B. Tata Kelola Tanah Negara di Surabaya

Luas seluruh tanah negara1 yang dikelola Peme-rintah Kota Surabaya mencapai 14.963.717,29 m²atau 1.496,37 hektare. Sebagian tanah negara yangtermanfaatkan untuk permukiman berlegalitas IPTatau tanah surat ijo mencapai tanah seluas8.275.970,28 m² atau 827,60 hektare atau sekitar55,31 % dari seluruh luas tanah negara yang dikelolaPemerintah Kota Surabaya.

Selebihnya masih belum/tidak berstatus IPT,yakni seluas 5.980.963,47 m² atau 598,10 hektareatau 44,69 % dari luas tanah negara yang ada; dantidak selalu berupa lahan kosong tanpa bangunan,melainkan juga tanah yang dihuni warga yangbelum/tidak melaporkan diri ke Dinas PengelolaBangunan dan Tanah (DPBT) Kota Surabaya.2 Disamping itu, juga berbentuk fasilitas umum(fasum) komersial seperti pasar, rumah sakit, per-tokoan, hotel, mall; dan fasilitas sosial (fasos)seperti taman kota, jalan, boezem, dan lain-lainyang non-komersial.

Tanah-tanah surat ijo itu tersebar di 26 keca-matan dari 31 kecamatan yang ada. Kecamatanyang memiliki tanah surat ijo terluas yakni Keca-matan Gubeng (Surabaya Selatan) seluas

1 Tanah Negara adalah tanah yang dikuasai olehnegara, bukan dimiliki negara. Secara keseluruhan, ta-nah negara di Surabaya berasal dari konversi tanah be-kas hak barat, baik bekas tanah eigendom Gemeente Sura-baya maupun bekas tanah partikelir (particuliere landeri-jen). Menjadi tanah negara sebagai konsekuensi ataspemberlakuan UU No. 1 Tahun 1958 tentang Pengha-pusan Tanah Partikelir, dan pemberlakuan UUPA 1960.

2 Hunian di atas tanah negara yang belum/tidakberlegalitas IPT biasa disebut “tanah surat putih”,karena warga yang bersangkutan hanya diberi suratketerangan tinggal yang berwarna putih. Pemegangsurat putih lebih beruntung karena belum/tidak ter-kena beban retribusi, hanya dibebani PBB. Oleh karenaitu, mereka itu memilih “tiarap” tidak mendaftarkantanahnya untuk menjadi tanah IPT.

Page 3: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

167Sukaryanto: Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya, ...: 165-178

1.923.767,44 m² (192,38 hektare), disusul KecamatanWonokromo (Surabaya Selatan) seluas 1.147.179,30m² (114,72 hektare). Di tingkat kelurahan, diantara163 kelurahan ada 88 kelurahan yang memiliki tanahsurat ijo. Kelurahan yang memiliki tanah surat ijoterluas yakni Kelurahan Ngagelrejo (KecamatanWonokromo) yakni 683.129,51 m² (68, 31 Ha), disusulkelurahan Baratajaya (Kecamatan Gubeng) seluas650.625,23 m² (65, 06).

Di dalam dokumen DPBT Kota Surabaya tanahnegara dikelompokkan berdasarkan status tanahseperti Hak Pakai (HP), Hak Pengelolaan Lahan(HPL), tanah Eigendom, tanah Besluit (pembelianpada zaman Belanda), hasil pengadaan PanitiaPengadaan Tanah untuk Negara (P2TUN), danTanah Negara Lain-lain (TNLL). Tentang luas tanahnegara per status hak atas tanah itu selengkapnyaada pada tabel berikut.

Tabel 1. Luas Tanah Negara per Jenis Status HakAtas Tanah 2008

Sumber: Diolah dari Daftar Inventarisasi Tanahyang Dikelola oleh Dinas Pengelolaan Tanah DaerahKotamadya Daerah Tingkat II Surabaya (DPBTKota Surabaya, 2008).

Di atas tanah surat ijo ada 48.200 persil,belakangan jumlahnya berkurang menjadi 46.116persil. Tentang jumlah persil tidak identik denganjumlah hunian, karena ditemukan banyak kasusyaitu satu persil untuk dua hunian atau lebih.3

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Persil

Sumber: Diolah dari Daftar Inventarisasi Tanahyang Dikelola oleh Dinas Pengelolaan Tanah DaerahKotamadya Daerah Tingkat II Surabaya (DPBTKota Surabaya, 1996-2014).

Peningkatan jumlah persil sebagai akibat dariadanya penghuni baru tanah negara dan adanyaupaya mendaftarkan diri warga penghuni “tanahsurat putih” ke DPBT Kota Surabaya. Sedangkanturunnya jumlah persil (2006 dan 2012) sebagaiakibat dari beberapa faktor, antara lain sebagaidampak dari pengalihan peruntukan tanah suratijo, misalnya, yang semula kawasan hunian diubahmenjadi kawasan fasilitas umum komersial, sepertimall, hotel, pasar, pertokoan, pergudangan, danlain-lain; maupun menjadi fasum non-komersialseperti sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, tamankota, dan lain-lain. Selain itu, juga sebagai akibatdari bergesernya status beberapa persil tanah suratijo menjadi status hak milik warga4 dan jugasemakin bertambahnya pemboikot retribusi.

Sistem pengelolaan tanah surat ijo ditandaidengan satu beban retribusi (di samping bebanPBB) pada warga penghuninya yang besarannyaditentukan dalam peraturan daerah, seperti padatabel berikut ini.

3Ada beberapa kasus satu persil untuk dua ataulebih hunian. Biasanya, hal itu sebagai akibat daripewarisan, ahli waris lebih dari satu. Mereka tidakmelapor ke DPBT. Untuk membayar PBB danretribusi dengan jalan patungan.

Status Hak Tanah Luas (m²)

Besluit 379.993,29

Eigendom 4.171.741,00

P2TUN 622.669,50

HP 1.123.494,50

HPL 7.687.775,00

TNLL 978.044,00

Jumlah 14.963.717,29

4 Dengan demikian Pemkot Surabaya bertindakdouble standard, bahkan tripple standard dalammengelola tanah negara untuk hunian warga. Ada yangdistatuskan IPT (surat ijo), ada yang lolos menjaditanah HM, dan ada surat putih (belum ber-IPT danbelum HM). Tanah HM dan tanah surat putih tidakdikenai beban retribusi.

Tahun Persil Keterangan1996 38.4252005 48.8162006 46.965 Terjadi penurunan

2007 47.3472008 48.200

2012 48.116 Terjadi penurunan

Page 4: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

168 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

Tabel 3. Ketentuan Besaran Prosentase untukMenghitung Besaran Retribusi IPT

Sumber: Diolah berdasarkan Perda KotaSurabaya No. 13 Tahun 2013 tentang PemakaianKekayaan Daerah.

Berikut ini contoh penghitungan besaranretribusi yang ditanggung oleh warga penghunitanah surat ijo di kawasan Bratanggede KelurahanNgagelrejo. Luas tanah 185 m² di jalan selebar 6 matau jalan kelas IV (lihat Tabel 3), dan harga NJOPtanah yang tertera pada surat SPPT-PBB sebesarRp 1.147.000,- per m². Penghitungan besaran retri-busi yaitu 0,125 x 185 x Rp 1.147.000,- sama denganRp 265.243,75. Besaran retribusi itu bergantungpada lokasi kelas jalan, luas tanah, dan besaranNJOP yang telah ditetapkan di dalam Surat Pem-beritahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi danBangunan (SPPT-PBB), semakin tinggi kelas jalandan semakin luas tanah maka semakin tinggi pulabesaran NJOP; berkonsekuensi pada semakintinggi besaran nilai retribusi. Bahkan, di beberapakawasan rumah hunian tanah surat ijo besaranretribusinya lebih tinggi dari pada besaran PBB,misalnya rumah-rumah hunian surat ijo di jalanBaratajaya, Ngagel Madya, Pucang Anom, DukuhKupang Barat, Dukuh Kupang Timur, dan lain-lainyang kelas jalannya di atas 12 m (Kelas I dan II).

Contoh hunian di atas terletak di jalan yanglebarnya di atas 15 m (Kelas I), maka besaran retribusi0,200% x 185 x Rp 1.147.000,- sebesar Rp 424.390,-.Jadi, hampir sama dengan besaran PBB (Rp 450.660,-). Oleh karena itu, di kalangan warga kota, tanahsurat ijo biasa disebut “tanah berpajak dobel”,manakala hunian yang dicontohkan di atas itu (bisa)bersertifikat HM, maka hanya dibebani PBB saja.

Adanya perbedaan yang signif ikan tentangbeban tanggungan keuangan per tahun antara

warga pemukim tanah surat ijo dengan pemukimtanah hak milik (HM). Barangkali, perbedaan itumenjadi salah satu faktor (dari sekian banyakfaktor) yang menimbulkan ketidakpuasan wargapemukim tanah surat ijo selama ini.

C. Dampak Pemberlakuan IPT

Penyebutan tanah ber-IPT sebagai tanah suratijo itu berasal dari zaman kolonial, yakni zamangemeente Surabaya. Kini, terjadi pergeseran maknadi kalangan warga penghuni, tanah surat ijoberkonotasi sebagai bentuk ejekan pada wargapenghuni, dan bersamaan itu juga sebagai bentukpelampiasan rasa ketidakpuasan terhadap ke-beradaan surat IPT beserta konsekuensinya.Dipandang dari perspektif semiotik, konsep tanahsurat ijo sebagai tanda (sign) memiliki maknasecara konotatif, yakni fungsi yang tidak disengajadan tersembunyi (latent) yang berada di balikmakna nyata (denotatif).

Pertama, dari aspek sosial, status/derajat sosialwarga penghuni tanah surat ijo dianggap lebihrendah daripada status warga kota pemilik tanahberstatus HM. Rasionalnya, warga penghuni tanahsurat ijo sebagai rakyat Indonesia memiliki ha-rapan/cita-cita yang belum terlaksana yakni kebu-tuhan untuk memiliki papan (tempat tinggal)secara legal, dalam hal ini pemilikan tanah hunianberstatus HM. Jadi, warga penghuni tanah suratijo yang berada dalam kondisi “kurang/tidakberuntung” seperti itu bisa dimaknakan sebagaiwarga kota yang berstatus lebih rendah daripadawarga kota yang memiliki tanah HM, atau pun,sebagai warga yang kurang/tidak sejahtera.

Kedua, dari aspek politik, posisi warga penghunitanah surat ijo selalu menjadi objek politik sikluslima tahunan, yakni menjadi obyek sasaran parapolitisi untuk “berburu suara”. Biasanya, ketikamenjelang pemilu calon legislatif (caleg) atau punpemilihan kepala daerah (pilkada), para caleg/calon walikota (cawali) menebar janji bilamanananti terpilih akan berjuang melepas tanah hunian

No. Klasifikasi Jalan

(m)

Peruntukan Tanah

Keterangan

Permukiman

(%)

Fasilitas Umum

Komersial

Biasa

(%)

Komersial Khusus

(Mall dan Hotel)

(%)

1 I (> 15 m ) 0.200 0.50 3.33

2 II (>12 - 15 m) 0.175 0.45 3.00

3 III (>8 - 12 m) 0.150 0.35 2.33

4 IV (>5 - 8 m) 0.125 0.25 2.00

5 V (< 5 m) 0.100 0.20 1.33

Page 5: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

169Sukaryanto: Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya, ...: 165-178

menjadi hak milik warga penghuni. Namunkenyataannya lain, sudah tiga kali pemilu calegselama era reformasi (2004, 2009, dan 2014) danpemilihan walikota Surabaya (2000, 2005, 2010, dan2015), janji pembebasan para pemberi janji belumterlaksana, baik anggota DPRD Kota Surabaya,DPRD Provinsi Jawa Timur (dari Daerah Pilihan/Dapil Surabaya), DPR RI (dari Dapil I Jawa Timur),maupun walikota Surabaya yang telah terpilih tidaksesegera mungkin mengupayakan pelepasan tanahsurat ijo, akibat lebih banyak sibuk menanganiurusan-urusan lain yang lebih penting. Jadi, wargatanah surat ijo selalu menjadi “bulan-bulanan” parapolitisi, ibarat “habis manis sepah dibuang”.

Ketiga, dari aspek ekonomi, harga pasar tanahsurat ijo tidak setinggi tanah berstatus HM, jugatidak bisa diagunkan ke bank-bank untukmeminjam uang, meskipun bisa diperkenankanuntuk jaminan kredit, itu hanya oleh bank-banktertentu, biasanya bank-bank milik pemerintahdaerah, itupun melalui proses yang lama menungguterbitnya persetujuan/rekomendasi dari pihakPemerintah Kota Surabaya. Untuk jaminan kridithanya dihargai nilai bangunannya saja, sedangtanah tidak dinilai karena dianggap asset milikPemerintah Kota Surabaya (Njo Anastasia, 2006).

Keempat, dalam perspektif budaya, warga peng-huni tanah surat ijo yang nota bene sebagai wargakota kelas rendah, ada kecenderungan psikologis-baik disadari maupun tidak- sebagai pihak yangmenderita rendah diri atau inferioritas bila diper-sandingkan dengan warga kota yang memiliki ta-nah HM, atau bisa juga sebagai warga kota yangtermarginalkan dalam tata pergaulan masyarakatyang demokratis, mungkin bisa diibaratkan sebagaiwarga yang belum seutuhnya diakui sebagai warganegara.

D. Perspektif Teoretik

Dalam perspektif Marxis, dinamika sejarahkehidupan manusia digerakkan oleh material(historis-materialism). Property merupakan salah

satu bentuk materi yang dianggap sangat berhargadalam kehidupan manusia. Tidak bisa diingkaribahwa manusia selalu berupaya mendapatkanmateri, bahkan, tidak jarang terjadi konflik, baikantar individu, antar kelompok/negara, maupunantara individu versus kelompok/negara. Kontekskonflik tanah surat ijo terjadi akibat adanya kepen-tingan (interest) warga untuk memiliki propertidalam bentuk tanah. Sementara itu, Pemkot Sura-baya menganggap tanah negara itu sebagai asetnya,kedua belah pihak sama-sama merasa sebagaipihak yang paling berhak atas tanah surat ijo.

Dalam perspektif Marxis juga dinyatakan bahwaperkembangan/perubahan masyarakat ditentukanoleh faktor produksi (Nezar Patria dan Andi Arief1999, 25). Sedang pihak-pihak yang bermain dalamperkembangan/perubahan itu adalah kelas pemilikmodal dan kelas pekerja, Di dalam kerangka mate-rialisme historis itu konteks tanah surat ijo bolehkiranya dapat dipandang bahwa Pemkot Surabayabertindak sebagai pemilik modal, sementara wargapenghuni sebagai pekerja, dan retribusi sebagaibentuk eksploitasi. Barangkali ada benarnya jikapara pejuang surat ijo menyatakan bahwa retribusidianggap sebagai bentuk pemerasan (PMPMHMT2003), UUPA mengajarkan melarang segala bentukpemerasan di dalam penguasaan/pemilikan tanah.

Negara, dalam hal ini Pemkot Surabaya ber-peran ganda, sebagai perumus suprastruktur dansebagai pemain di ranah basic-structur. Peran gandaitu menimbulkan kemudahan untuk melanggeng-kan penguasaan tanah negara dan juga melang-gengkan proses penghisapan, yakni melalui produklegislasi yang mendukung sinambungnya sistemtanah surat ijo. Perda dibuat sedemikian rupa se-hingga meyakinkan semua pihak bahwa Pemkot Su-rabaya sebagai pemilik sah atas asset tanah surat ijo.5

5 Di dalam perda-perda yang dibuat dari waktu kewaktu selalu terjadi penyempurnaan konsep tanahsurat ijo, semula tanah sewa, barang milik daerah,kekayaan daerah, dan terakhir aset milik PemkotSurabaya.

Page 6: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

170 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

dilihat dari sudut pandang kaum Marxian, di da-lam konteks tanah surat ijo itu negara ikut berperanmenjadi pemilik faktor produksi atau sebagai kelasborjuis.6 Keikutsertaan Pemkot Surabaya dalamranah basic-structur itu telah menyeret negaraberhadapan langsung dengan rakyat, baik dalamsituasi/kondisi kondusif maupun konflik. Peranganda seperti itu tidak lazim, negara tidak dibe-narkan berperan sebagai borjuasi, Jika negara harusberperan dalam basic structur, harus diserahkanpada badan hukum yang bergerak di ranah komer-sial, misalnya BUMN/BUMD dan pihak swasta.

Selanjutnya, tindakan perlawanan yang dilaku-kan warga pemukim itu dalam perspektif struk-turasi Giddens, bisa dinyatakan sebagai tindakanvoluntair dan kepeloporan (agency) sekelompokorang actors atau agents (Anthony Giddens 1984;Philip Cassell ed. 1993, 92-93) yang kemudian diikutioleh warga penghuni lainnya, walaupun tidakseluruh penghuni ikut serta secara aktif.

Keikutsertaan sebagian besar warga penghunitanah surat ijo dalam perlawanan bervariasi tingkatketerlibatannya (Wawancara dengan BambangSudibyo, 2013), yakni terlibat aktif, memberidukungan saja, dan yang apatis. Tipe warga yangterlibat aktif yakni yang ikut di dalam aksi-aksimassa, memboikot retribusi, rapat-rapat rutin,menjadi pengurus organisasi, hingga aktif dalamperjuangan di bidang ligitasi/peradilan. Tipe kedua,yang terlibat secara tidak langsung, yakni hanyamemberikan bantuan (misalnya dana) untukperjuangan namun tidak memboikot retribusi. Tipeketiga yang apatis hanya melihat/mendengar sajadan tetap membayar retribusi. Secara umum,seluruh warga penghuni tanah surat ijo mendukungperjuangan mendapatkan status hak milik atastanah huniannya, karena bila perjuangan berhasil,seluruh warga penghuni ikut diuntungkan.

Pola dan karakteristik gerakan perlawananwarga penghuni tanah surat ijo dilakukan secaraterorganisasi, seperti Gerakan Anti Surat IjoSurabaya (Geratis) dan Gerakan Pejuang HapusSurat Ijo Surabaya (GPHSIS), yang kemudiandisatukan menjadi Perkumpulan MasyarakatPeserta Meraih Hak Milik Tanah (PMPMHMT)dengan Akte Pendirian No. 6 Tanggat 10 Septem-ber 2003 (PMPMHMT 2003, 2). Karakteristikkeanggotaan organisasi bercorak heterogen, tidakdibatasi oleh profesi, agama, etnik, golongan, kelassosial, tingkat pendidikan, jabatan, penghasilan,dan lain-lain. sebagai organisasi yang prural, bukanjuga organisasi seperti dalam gerakan ratu adil yangdigerakkan seorang pemimpin tradisional (SartonoKartodirdjo, 1984). Solidaritas keanggotaanyaterbangun secara alamiah lahir dari kesadaransosial (social soul) rasa senasib dan sepenang-gungan; senasib karena sama-sama tinggal di atastanah surat ijo, dan seperjuangan untuk menda-patkan sertif ikat hak milik atas tanah,7 dalamkonsep Robert E. Park (Muhammad Rivai, 2015)sebagai urban community yang merasa tidak puasyang kemudian melakukan struggle for existence.

Perlawanan warga penghuni itu bisa dianggapsebagai pilihan rasional (rational choice) demimencapai tujuan yang didambakan bersama (HansO. Melberg 1993). Pengalaman-pengalaman ke-gagalan upaya warga penghuni dalam menyerti-f ikatkan tanah huniannya sebelum sampai diKantor Pertanahan Kota Surabaya-akibat tidakpernah mendapatkan rekomendasi dari DPBT KotaSurabaya-telah menimbulkan rasa ketidakpuasandan kekecewaan, bahkan kejengkelan di kalanganwarga penghuni. Pada umumnya, ketidakpuasanyang berlangsung lama bisa menjadi faktor utamabagi timbulnya perlawanan (Kuntowijoyo 2008, 37-39). Perlawanan warga penghuni itu adalah aksi

6 Peran negara sebagai suprastruktur berkewajibanmenjaga keseimbangan di dalam interaksi/dialektikaantara dua pihak di ranah basic-structur, yakni antarakelas pemilik faktor produksi dan kelas pekerja.

7 Di dalam konsep aktivis/pejuang surat ijodikenal dengan “satu tekad, sepikiran, sehati, danseperjuangan untuk memperoleh hak milik atastanah”.

Page 7: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

171Sukaryanto: Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya, ...: 165-178

yang menurut Max Weber (1996) dimotivasi olehtujuan rasional (end rational action) yakni rasio-nalitas ingin memperoleh hak milik atas tanah (landownership). Boleh jadi, HM itu merupakan tujuanakhir sekaligus motivasi utama warga penghunimelakukan perlawanan, dasar perjuangan juga jelasyakni Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 Tahun1979, diatur bahwa tanah hasil konversi hak Baratbisa diajukan untuk disertif ikasikan secara HM olehpenghuninya, hal tersebut didasarkan pada Pasal4 dan 5 sebagai berikut.

“Tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hakBarat yang sudah diduduki oleh rakyat danditinjau dari sudut tata guna tanah dan kese-lamatan lingkungan hidup lebih tepat diperun-tukkan pemukiman atau kegiatan usaha pertanian,akan diberikan hak baru kepada rakyat yangmendudukinya.” (Pasal 4)“Tanah-tanah perkampungan bekas Hak GunaBangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Baratyang telah menjadi perkampungan atau didudukirakyat, akan diprioritaskan kepada rakyat yangmendudukinya setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekaspemegang hak tanah.” (Pasal 5)

Berdasarkan uraian di atas, dinyatakan bahwakonflik tanah surat ijo bukan sekadar akibat per-bedaan persepsi terhadap keberadaan tanah suratijo, sebagaimana dikemukakan oleh para penelitisebelumnya (Binsar Simbolon dkk., 2008), melain-kan sebuah dinamika sosial yang terjadi akibatmotivasi/kepentingan kelompok yang memilikitujuan rasional. Nampaknya, konflik tidak akanberakhir sebelum warga penghuni bisa mencapaitujuan mendapatkan status hak milik atas tanahhuniannya. Di lain pihak Pemerintah Kota Surabayajuga tidak akan bisa nyaman karena kinerjanyaterus terganggu selama konflik belum berakhir. Bisadinyatakan bahwa mempertahankan keberadaansistem tanah surat ijo ibarat memelihara api dalamsekam.

Perbedaan persepsi tidak selalu senantiasaberlanjut pada tingkat konflik/sengketa, perbedaan

persepsi, tidaklah sulit untuk menyatukan kese-pahaman di antara dua pihak yang tengah konflik.Konflik tanah surat ijo lebih terkait dengan kebera-daan tanah sebagai modal dasar kehidupan manusiadalam bermasyarakat, yakni tanah untuk hunian.8

Di dalam masyarakat, khususnya Jawa, pemilikantanah merupakan salah satu tolok ukur tingkatprestise seseorang dalam masyarakat. Artinya,seseorang warga baru diakui sebagai “orang” (Jawa:diuwongke) oleh masyarakatnya ketika yang ber-sangkutan sudah memiliki tanah hunian secara le-gal.

E. Program Pelepasan Tanah Surat Ijo

Salah satu dampak atas adanya beberapatekanan dari warga penghuni semenjak awal erareformasi (1999), yakni timbulnya komitmenpelepasan tanah surat ijo oleh Pemerintah KotaSurabaya kepada warga penghuni, misalnya yangdilakukan oleh Walikota Bambang D.H. pada 2007sempat melakukan konsultasi kepada Kepala BPNRI kala itu, Joyo Winoto. Hasilnya, yakni perlunyaditetapkan beberapa syarat tentang tanah yangboleh dilepaskan, seperti hanya tanah yangdigunakan sebagai hunian, maksimal luasnya 200m², dan letaknya berada di jalan yang lebarmaksimal lima meter (Jawa Pos 11 Februari 2012).Namun, komitmen tersebut belum terlaksanaakibat masih menunggu hasil Putusan PengadilanNegeri Surabaya pada 2007 atas gugatan warga.

Pada tahun 2011, Realisasi atas janji itu, sudahmulai disusun naskah akademik pelepasan tanahsurat ijo oleh tim khusus pelepasan yang dibentukoleh Walikota Surabaya (Jawa Pos 12 Februari 2011),setelah Pemkot Surabaya memenangkan perkaraberdasarkan Kasasi MA Nomor 471K/Pdt/2011tanggal 8 September 2011. Sesuai dengan arahan

8 Pemilikan tanah hunian menimbulkan prestiseseseorang di dalam masyarakat (Jawa). Seseorangdianggap ada/sukses sebagai manusia seutuhnyamanakala yang bersangkutan sudah memiliki tanahhunian secara legal atau berstatus HM.

Page 8: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

172 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

walikota kepada Tim, upaya pelepasan hendaknyadilakukan secara ekstra hati-hati di dalam meru-muskan Raperda (rancangan peraturan daerah)pelepasan tanah surat ijo. Ada yang bekas tanaheigendom, ada bekas tanah hak opstal, ada bekastanah hak erfpacht atas nama gemeente maupunswasta (Ali Achmad Chomsah 2004), agar di kelakkemudian hari tidak timbul konflik/sengketa baru.

Beberapa anggota legislatif menyarankan agarsecepatnya dilakukan pelepasan, misalnya anggotaDPRD Kota Surabaya yang tergabung dalam komisiC DPRD Kota Surabaya, memperjuangkan pele-pasan tanah surat ijo dengan persyaratan yangtidak memberatkan warga penghuni, termasukMenteri ATR sempat menyentil Pemkot (jpnn.com19 September 2014). Hingga tahun 2014 baru dicapaiPeraturan Daerah No. 16 Tahun 2014 tentangPelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya.Beberapa point persyaratan pelepasan yang sudahdirumuskan antara lain:a) Luas tanah maksimal 250 m²b) Sudah dihuni selama minimal 20 tahunc) Surat IPT masih berlaku dan aktif membayar

retribusid) Bila memiliki dua bidang tanah, hanya satu

yang boleh diambile) Tanah yang boleh dilepas hanya untuk

perumahan/hunianf ) Warga wajib membayar kompensasi kerugian

negara sebesar nilai NJOP tanah kepada PemkotSurabaya

Di dalam persyaratan terakhir itu (point “f”)masih terjadi perdebatan/ketidaksepakatan antarapihak pemerintah kota dengan warga penghuni,warga penghuni menghendaki besaran kompensasidi bawah harga NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) ataubila perlu gratis, sebab kebanyakan warga telahmenghuni tanah sudah lebih dari 20 tahun, yangbermakna bahwa yang bersangkutan beritikad baikpada tanah dan tidak dipermasalahkan olehmasyarakat hukum adat dan desa/kelurahan (Pasal24 Ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997).

Harga NJOP tanah di kota Surabaya bisadibilang sangat tinggi, harga minimal NJOP tanahdi klasif ikasi jalan terendah, yakni klasifikasi V yanglebarnya di bawah 5 meter (Perda Kota SurabayaNo. 2 Tahun 2013) sebesar satu juta rupiah per meterpersegi, maka harga NJOP terendah satu bidangtanah surat ijo (yang biasanya seluas sekitar 200m²) sebesar dua ratus juta rupiah. Bilamanadiwajibkan membayar kompensasi sebesar hargaNJOP, maka sebagian besar warga penghuni masihkeberatan, karena tanah surat ijo yang berada dikelas jalan yang lebih tinggi atau lebih lebar, nilaiNJOP-nya tentu lebih tinggi. Pada kenyataannya,sebagian besar warga penghuni tanah surat ijoterdiri atas warga kebanyakan, kelas menengah kebawah. Berdasarkan faktor kondisi seperti itu, pro-gram pelepasan berdasarkan perda di atas akanmengalami hambatan, bahkan jalan buntu. Hinggakini, belum/tidak ada seorang pun warga penghunitanah surat ijo yang mengajukan permohonansertif ikasi (Jawa Pos, 18 Agustus 2015).

Anggapan sebagian besar warga penghuni,makna program pelepasan tanah surat ijo itu yaknipembebasan total tanpa embel-embel kompensasi,jikapun ada, besarannya tidak senilai harga NJOPtanah dan hanya sekadar biaya administrasi penyer-tif ikatan tanah, atau dengan istilah di kalanganpejuang surat ijo sebagai “dana partisipasi pem-bangunan” yang nilai besarannya di bawah NJOPtanah (Wawancara dengan Supadi HS 15 Maret2015).

Menurut Bagir Manan (1992, 14) ada tigalandasan yang perlu dipenuhi sebagai syarat demikualitas suatu peraturan, yakni landasan f ilosofis,yuridis, dan sosiologis. Sedang menurut JimlyAsshiddiqie (2006, 170-174) ditambah dua syaratlagi yakni landasan politis dan administratif.Berdasarkan pendapat dua pakar hukum itu, PerdaNo. 16 Tahun 2014, bisa dinyatakan sebagai pera-turan yang kurang/tidak berkualitas, karena tidakterpenuhinya salah satu persyaratan yang ada, yaknilandasan sosiologis, landasan yang berkaitan

Page 9: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

173Sukaryanto: Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya, ...: 165-178

dengan kenyataan empiris yang ada/hidup dalammasyarakat; seperti kondisi sosial ekonomi, kecen-derungan aspirasi, kebutuhan, cita-cita, harapanmasyarakat selaku warga yang tinggal di atas tanahsurat ijo. Namun, diakui maupun tidak diakui,Perda No. 16/2014 merupakan satu bentuk nyatakomitmen Pemerintah Kota Surabaya dalam upayamemenuhi rasa keadilan warganya, minimalsebagai langkah awal yang positif dalam menujutercapainya resolusi konflik tanah surat ijo.

F. Resolusi Alternatif

Pemberlakuan Perda di atas menunjukkanadanya semangat pemerintah daerah untukmewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyatsebagaimana tertera dalam Pembukaan dan Pasal33 UUD 1945. Oleh karena itu perlu ditindaklanjutilangkah resolutif berikutnya, alangkah baiknyasemua persoalan ditempatkan pada porsinya,sesuai papan dan empan-nya. akan lebih legal/konstitusional manakala kewenangan yang telahdilimpahkan/didelegasikan pemerintah daerah itudiserahkan kembali kepada pihak yang dulu telahmemberikan limpahan wewenang, yakni negara.Di dalam kerangka itu, pihak yang berkompeten/berkapasitas dan sebagai pemberi status hak atastanah adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, melalui institusinya yakni Kantor Pertanahandi tingkat Kabupaten/Kota dan/atau KantorWilayah BPN di tingkat Provinsi.9

Ada mekanisme alternatif non ligitasi untukmenuju tercapainya resolusi konflik yang bisamewujudkan win-win solution, yakni mekanismeAlternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alter-native Dispute Resolution (ADR) yang bisa dicobaditempuh (Maria S.W. Sumardjono 2002, 189; Arie

S. Hutagalung, 2005, 376). Di dalam kerangka itusecara mutlak diperlukan campur tangan Negara,artinya, negara harus turun tangan menjadi prakar-sa sekaligus mediator/arbitrator yang cerdas danarif dalam proses penyelesaian konflik melaluimekanisme APS/ADR. Negara bisa menawarkankepada para pihak, apakah arbitrer diperankan olehKementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN atau bisajuga dipilih lembaga yang professional/independen,misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia(BANI), atau pun lainnya (Arbitrase Center di http://www.baniarbitration.org/ina/procedures.php).

Dasar pemberlakuan status HPL (Boedi Har-sono 1968) adalah Pasal 33 Ayat 3, yang menyiratkanmakna bahwa negara “menitipkan” kewenanganmengelola tanah negara untuk sebesar-besarnyakemakmuran rakyat (Maria S.W. Soemardjono2007; Urip Santoso 2012). Jadi, posisi PemkotSurabaya terhadap tanah berstatus HPL lebihmerupakan semacam hak administratif daripadamemanfaatkan untuk memperoleh profit, jelaslahtanah surat ijo bukan tanah milik pemerintahdaerah (Hukumonline.com 2015; Republika, 15Januari 2015). Pemegang HPL memang berwenangmemanfaatkan tanah negara, namun tujuanutamanya yakni untuk memenuhi rasa keadilan/kesejahteraan, terutama pihak ketiga yang beradadi sekitar atau di atas tanah tersebut (Soemardijono2005; Elita Rahmi 2010, 349-359).

Sebenarnya konflik tanah surat ijo tidak perluterjadi, atau pun tidak berlama-lama. Kedua belahpihak tidak perlu bersitegang beradu otot/argumenmemperebutkan status hak atas tanah negara, ataupun saling mengklaim sebagai pihak yang palingberhak, karena secara yuridis kedua belah pihakbukan pemilik tanah. Pemkot sebagai pihak yangpenerima limpahan kewenangan mengelola, se-dang warga penghuni sebagai pengguna. Sejatinya,kedua belah pihak (kalau boleh) “bukan apa-apadan bukan siapa-siapa” terhadap tanah surat ijo.Apalagi terhadap tanah negara yang masih asliberstatus eigendom.

9 Untuk pemberian status hak milik atas tanahnon pertanian di bawah 3.000 m² merupakankewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.Sedang urusan pemberian status hak milik tanah nonpertanian di atas 3.000 m² hingga 10.000 m² ditanganioleh Kanwil BPN Provinsi.

Page 10: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

174 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

Dalam konteks di atas, semestinya Pemkot tidakbisa semena-mena terhadap “barang titipan” nega-ra, baik hanya sebatas mengklaim (Jawa: ndhaku)tanah HPL sebagai barang milik daerah maupunbertindak melepas/memindahtangankan. Pemkottidak bisa serta merta sekehendak hati secaraotonom melepaskan tanah surat ijo seolah sebagaipemilik, hingga menimbulkan situasi “negaradalam negara” (Ratna Djuita dan Indriayati 2011).Secara etika dan moral, penyelesaian konflik tanahsurat ijo dalam bentuk pelepasan/pemindah-tanganan harus dikembalikan kepada pemberiwewenang, yakni negara. Tentunya melalui lem-baga yang berkompeten, Kementerian Agraria danTata Ruang dan/BPN.

Pemberlakuan Perda No. 16 Tahun 2014 tentangPelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya(dan Peraturan Walikota No. 51 Tahun 2015),terkesan Pemkot Surabaya telah memposisikandiri sebagai pemilik tanah surat ijo, pada hal bukanpemilik, hanya sebatas pemegang HPL, yakni selakupihak yang dipercaya secara administratif untukmengelola tanah negara. Pemberlakuan Perdapelepasan seolah menunjukkan betapa biasnyapemahaman asal-usul status HPL. Atau, belum/tidak disadarinya bahwa status HPL bukanlah HATyang tidak bisa disetarakan dengan status HAT yangtersurat dalam UUPA. Dengan kata lain, kurang/tidak disadarinya bahwa status HPL atas tanahnegara itu berdasarkan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945yang peruntukannya jelas-jelas untuk mencapaisebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Juga, belumdisadari (baca: ikhlas) bahwa status HPL bisadiubah atau pun ditingkatkan statusnya menjaditanah yang berstatus HAT yang legal-konstitusional,dalam arti hak atas tanah yang diatur secaraeksplisit dalam UUPA, dan demi terwujudnyakepastian hukum mengenai hak atas tanah untukseluruh rakyat (Ahmad Nasih Luthfi dkk. 2010, 14).

Tanah HPL dapat dimaknai bahwa tanah suratijo di Surabaya sebagai barang milik negara,sementara itu Pemerintah Kota Surabaya sebagai

pengelola barang milik negara. Menurut UU No. 1Tahun 2004 Pasal 45 Ayat 2 dinyatakan “pemin-dahtanganan barang milik negara/daerah bisadilakukan melalui dijual, dipertukarkan, dihibah-kan, atau disertakan sebagai modal Pemerintahsetelah mendapat persetujuan DPR/DPRD” (Jugatermaktub pada Pasal 54 Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 2014). Bila nilai barang milik negara itubernilai lebih dari seratus milyar rupiah, harusmendapat persetujuan DPR (Pasal 55 PP No. 27Tahun 2014). Berkaitan dengan program pelepasantanah surat ijo yang luasnya mencapai 1.496,37hektare, yang tentunya bernilai trilyunan rupiah,jauh di atas seratus milyar rupiah, semestinyamemerlukan persetujuan DPR, setelah melaluiusulan Menteri Keuangan selaku bendahara umumnegara (Pasal 1 Ayat 2 PP No. 27 Tahun 2014).

Dalam perspektif seperti di atas, pemberlakuanPerda No. 16 Tahun 2014 itu bisa menimbulkankonotasi sebagai kekhilafan pemerintah daerahsetempat dalam memaknai status HPL ataupunsudah paham tentang status HPL, pemberlakuanPerda tersebut mungkin bisa dimaknai sebagaibentuk kealpaan terhadap status/posisi negaraselaku pemberi limpahan wewenang, dan mungkinterlupakan juga bahwa negara merupakan bentukorganisasi rakyat/bangsa Indonesia, yang menda-patkan mandat menguasai tanah dari rakyat (LihatPasal 2 dan Pasal 4 UUPA).

G. Penutup

Tanah surat ijo yang merupakan permukimandi atas tanah negara hasil konversi tanah hak Baratyang telah menimbulkan konflik antara wargapemukim versus Pemerintah Kota Surabaya meru-pakan fenomena unik yang sangat menarik untukdicermati/dikaji lebih jauh. Keberadaan sistemtanah surat ijo itu sebagai varian pemanfaatan tanahHPL di Indonesia, namun esensinya tetap sebagaisistem sewa tanah yang lazim pada era kolonial.

Pemanfaatan tanah berstatus HPL hasil konversitanah hak barat seperti di atas perlu ditinjau

Page 11: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

175Sukaryanto: Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya, ...: 165-178

kembali keberadaannya, terutama yang diplotuntuk permukiman rakyat, karena kurang/tidaksesuai dengan semangat mewujudkan keadilan/kesejahteraan rakyat pada era kemerdekaan. Arti-nya, status HPL yang dilimpahkan kepada peme-rintah daerah harus dibedakan dengan status HPLyang diajukan/diperoleh pihak badan usaha miliknegara/daerah/swasta yang jelas-jelas didasari visi/misi/tujuan komersial murni.

Konflik tanah surat ijo selayaknya menjadi skalaprioritas utama penanganan, seyogyanya disele-saikan sesegera mungkin di bawah payung hukumUUPA dan UUD 1945, sebelum konflik berkembangsemakin kompleks, menggurita, dan rumit. Didalam kerangka mencapai resolusi itu, setidaknyadiperlukan koordinasi tiga kementerian, yakniKementerian Dalam Negeri, Kementerian Agrariadan Tata Ruang/BPN, dan Kementerian KeuanganRepublik Indonesia.

Upaya penyelesaian konflik tanah surat ijomelalui jalur ligitasi yang cenderung menghasilkankeputusan menang-kalah (winner-losser) telahterbukti belum/tidak bisa menyelesaikan masalahkonflik, oleh karena itu perlu dicoba penyelesaianmelalui mekanisme non-ligitasi, misalnya APS/ADR atau pun jalur politik/kebijakan.

Perlu digarisbawahi, bahwa program pelepasan/pemindahtanganan tanah surat ijo ke tangan wargapenghuni dapat menjadi sebuah momentum/ajangpembuktian secara nyata upaya negara dalammewujudkan keadilan/kesejahteraan rakyat sesuaiamanat konstitusi.

Daftar Pustaka

Anastasia, Njo, 2006, “Penilaian atas Agunan KreditBerstatus Surat Hijau” dalam Journal of Man-agement and Entrepreneurship Vol. 8, No. 2(2006), 116-122, Faculty of Economy, Depart-ment of Management, Petra Christian Univer-sity, Surabaya.

Blau, Peter 1964, Exchange and Power in Social Life,Wiley, New York.

Cassel, Philip (ed.), 1993, The Giddens Reader,Stanford University Press, California.

Chomsah, H, Ali Achmad, 2004, Hukum Agraria(Pertanahan) Indonesia, Jilid 1, Prestasi Pus-taka, Jakarta.

Collins, Randall 1974, Conflict Sociology, AcademicPress, New York.

Djuita, Ratna dan Indriayati, 2011, “Eksistensi danKonflik Penguasaan Tanah Masyarakat Hu-kum Adat”, dalam Jurnal Pertanahan, Meng-gagas RUU Pertanahan, Vol. 1 No. 1 Novem-ber 2011, Pusat Penelitian dan PengembanganBPN RI, Jakarta.

Gautama, Sudargo, 1990, Tafsiran Undang UndangPokok Agraria, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,Bandung.

Giddens, Anthony 1984, The Constitution of Soci-ety, Outline of the Theory of Structuration, Pol-ity Press, Cambridge.

Harsono, Boedi, 1968, Undang-Undang PokokAgraria, Sedjarah Penjusunan Isi dan Pelaksa-naannja, Djambatan, Djakarta.

Hukumonline.com 18 Juni 2015 “Ahli: Tanah HPLBukan Aset Daerah” dalam situs http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt558289b221708/ahli—tanah-hpl-bukan-aset-daerah.

Hutagalung, Arie S, 2005, Tebaran Pemikiran Sepu-tar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pem-berdayaan Hukum Indonesia, Jakarta.

Jawa Pos, 12 Februari 2011 “Pelepasan Surat Ijo BerbasisKawasan, Pilihan Rasional Hindari Spekulan”.

Jawa Pos, 11 Februari 2012 “Tanah Surat Ijo BisaJadi Hak Milik, Dewan Usulkan dalam Raper-da Barang Milik Daerah”.

Jawa Pos 30 Juni 2014 “Rencana Pelepasan TanahSurat Ijo di Surabaya, Warga Masih Berke-beratan Nilai Kompensasi”.

Jawa Pos, 18 Agustus 2015 “Pelepasan Surat Ijo tanpaDiskon, Warga Tak Mampu Bayar Pelepasan”

JPNN.com 2014, “Menteri Fery Desak Wali KotaSurabaya Sertif ikatkan Surat Ijo” dalam http://www.jpnn.com/read/2014/11/19/270735/Menteri-Fery-Desak-Wali-Kota-Surabaya-Sertif ikatkan-Surat-Ijo- tanggal 19 November2014.

Page 12: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

176 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

____, 2015 “Menteri Agraria Dukung PelepasanLahan Surat Ijo” dalam http://www2.jawapos.com/baca/artikel/18481/menteri-agraria-dukung-pelepasan-lahan-surat-ijo, Tanggal 6 Juni 2015.

Kartodirdjo, Sartono 1984, Ratu Adil, SinarHarapan, Jakarta.

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentangPokok-pokok Kebijaksanaan dalam RangkaPemberian Hak Baru atas Tanah Asal KonversiHak-hak Barat.

Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentangPelimpahan Kewenangan Pemerintah Pusat kePemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) tentangPertanahan.

Kuntowijoyo 2008, Penjelasan Sejarah (HistoricalExplanation), Tiara Wacana, Yogyakarta.

Luthfi, Ahmad Nasih dkk, 2010, Kronik Agraria In-donesia, Memperluas Imajinasi Lintas Zaman,Sektor, dan Aktor, STPN dan Institut SejarahSosial Indonesia, Yogyakarta.

Melberg, Hans O, 1993, Three Argument about Ra-tional Choice Theory in Sociology, http://home.sol.no/hansom/papers/930520.htm.

Parlindungan, A.P, 1991, Landreform di Indonesia,Suatu Studi Perbandingan, Penerbit MandarMaju, Bandung.

Patria, Nezar dan Andi Arief, 1999, Antonio Gram-sci, Negara, dan Hegemoni, Pustaka Pelajar,Yogyakarta.

Pemkot. Surabaya 1969, Buku Himpunan Peraturan-peraturan Daerah Kotamadya Surabaya,Pemerintah Kotamadya Surabaya.

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat IISurabaya No. 22 Tahun 1977 tentang Pema-kaian dan Retribusi Tanah yang Dikelola olehPemerintah Kotamadya Daerah Tingkat IISurabaya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan BarangMilik Negara/Daerah.

PMPMHMT, 2003, Pemegang Surat Ijo telah MenjadiKorban Pembodohan, Penindasan, danPemerasan Pemerintah Kota Surabaya (SuatuKajian Hukum Agraria, SekretariatPMPMHMT, Surabaya.

Rahmi, Elita, 2010, “Eksistensi Hak Pengelolaan AtasTanah (HPL) dan Realitas Pembangunan In-donesia” dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol.10, No. 3 September 2010, Fakultas HukumUnsoed, Purwokerto.

Republika, 15 Januari 2015 “Yusril Sebut GubernurJateng Salah Persepsi”

Rivai, Muhammad, 2015, “Biografi dan PemikiranRobert Erza Park” dalam http://ensiklo.com/2014/09/biografi-dan-pemikiran-robert-erza-park, Diakses pada 28 Oktober 2015.

Santoso, Urip, 2012, “Eksistensi Hak Pengelolaandalam Hukum Tanah Nasional” dalam JurnalMimbar Hukum Volume 24, Nomor 2, Juni2012, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

Sekarnadji, Agus, dkk, 2005, “Perlindungan Hukumbagi Pemegang Surat Hijau di Kota Surabaya”.Laporan Penelitian, LPPM Unair, Surabaya.

Simbolon, Binsar dkk. 2008, “Surat Hijau di KotaSurabaya, Provinsi Jawa Timur LaporanPenelitian, Sekolah Tinggi PertanahanNasional/STPN, Yogyakarta.

Soemardijono, 2006, Analisis Mengenai HakPengelolaan (HPL), Lembaga PengkajianPertanahan, Jakarta.

Sumardjono, Maria S.W, 2002, KebijakanPertanahan antara Regulasi dan Implementasi.Edisi Revisi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

____, 2007, “Hak Pengelolaan: Perkembangan,Regulasi, dan Implementasi” dalam JurnalMimbar Hukum, Edisi Khusus, September2007, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

Soetojo, M. 1961, Undang-Undang Pokok Agraria danPelaksanaan Land Reform. Untuk Dinas TidakDiperdagangkan. Staf Penguasa PerangTertinggi, Jakarta.

Spencer, Herbert, 1959, Principles of Sociology dalamf i l e : / / / C I / I N T E R N E T / N E TSCAPE /SPENCER.H, dikutip dari Robert Bierstedt,The Making of Society, pp. 253-273, ModernLibrary, New York.

Steele, R.M, 1980, Origins and Occupational Mobil-ity of Livetime Migrants to Surabaya East Java.Vol. 1, A Thesis Submitted for the Degree ofDoctor of Philosophy of The Australian Na-tional University.

Page 13: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

177Sukaryanto: Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya, ...: 165-178

Suarapublicnews.net, 2014, “Adies Kadir Libas PriyoBudi Santoso di Dapil 1 Surabaya-Sidoarjo”dalam Suarapubliknews.net di situs http://suarapubliknews.net/peristiwa-6/item/1827-adies-kadir-libas-priyo-budi-santoso-di-dapil-1-surabaya-sidoarjo. Tanggal 26 April 2014.

Surya Online 20 Januari 2016 “Warga Tanah SuratIjo Mengaku Keberatan MembayarKompensasi Sesuai NJOP”.

Tauchid, Mochammad, 1952, Masalah Agraria,Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemak-muran Rakjat Indonesia, Jilid I dan II, PenerbitTjakrawala, Djakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Verslag Der Stadsgemeente Soerabaja Over 1940,Deel 1, Algemeen Verslag, Soerabaja, 1 Juni 1941.

Weber, Max, Basic Concepts of Sociology. Dikutipdari f ile internet: ///C!/INTERNET/NETSCAPE/BASIC_CONCEPTS.html, Di aksespada 20 Januari 2001.

Wolff, Kurt. Trans, 1950, The Sociology of GeorgeSimmel, pp. 402-408, Free Press, New York.Dalam situs file///CI/INTERNET/NETSCAPE/STRANGER.

Lampiran 1: Contoh SPPT PBB Rumah Hunian di Atas Tanah Surat Ijo

Sumber: Dokumen pribadi warga Bratanggede Kelurahan Ngagelrejo Kecamatan Wonokromo, Surabaya

Page 14: KONFLIK TANAH SURAT IJO DI SURABAYA (SEBUAH …repository.unair.ac.id/89949/1/03 Konflik Tanah Fulltext.pdf · surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau).

178 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

Lampiran 2: Contoh Bukti Pembayaran Retribusi Tanah Surat Ijo

Sumber: Dokumen pribadi warga Bratanggede Kelurahan Ngagelrejo Kecamatan Wonokromo,Surabaya.


Recommended