KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI
DALAM KAITANNYA DENGAN ILMU TASYAWUF
Tri Andiyanto Sekolah Tinggi Agama Islam Ibnu Rusyd (STAI IR) Lampung Utara
E-mail : [email protected]
Abstract
Irfani's epistemology is a branch of philosophical science which then forms autonomous disciplines.
Irfani (the infinitive form of the word ara arafa which means to know / know) is closely related to
Sufism. Therefore, Irfani's knowledge is not obtained based on text analysis but with spiritual
practice, which is at least obtained through three stages: preparation, acceptance (inspiration), and
disclosure. The expressions produced by Irfani thinking often become irregular and out of
consciousness, because they come out when someone experiences a very deep intuitive experience, so
that it is often not in accordance with certain theological and Epistemological rules, so that he is often
blasphemed and judged deviate. The scope of the journey to God to obtain the ma'rifat that applies to
Sufis is often referred to as a "Irfani" framework. The irfani scope cannot be achieved easily or
spontaneously, but through a long process. What is meant by levels (maqam) by Sufis is the level of a
servant before Him, in matters of worship and mental exercises that he does.
Keywords : Irfani's epistemology, Tasyawuf
Abstrak
Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang dari ilmu filsafat yang kemudian
membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti
tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan tasawuf. Karena itu, pengetahuan Irfani tidak
diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah rohani, yang setidaknya diperoleh
melalui tiga tahap: persiapan , penerimaan (ilham), dan pengungkapan. Ungkapan-
ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara Irfani sering kali menjadi tidak beraturan
dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif
yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun
Epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang.
Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku dikalangan sufi
sering disebut sebagai sebuah kerangka ‚Irfani‛. Lingkup irfani tidak dapat dicapai dengan
mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Yang dimaksud dengan
tingkatan (maqam) oleh para sufi adalah tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam
hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.
Kata Kunci : Epistemologi Irfani, Tasyawuf
A. PENDAHULUAN
Pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar
dari kemajuan yang di raih oleh umat manusia. Tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada
sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses mendapatkan ilmu pengetahuan itulah
lazim dikenal dengan istilah Epistemologi.
Secara etimologi, Epistomologi merupakan bentukan dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu Episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang juga berarti pengetahuan
atau informasi. Dari pengertian secara etimologi tersebut diatas dapat dikatakan bahwa
Epistemologi merupakan pengetahuan tentang pengetahuan.
Oleh karena itu Epistemologi ini menempati posisi yang strategis, karena ia
membicarakan tentang cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui yang
benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin
dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutan kepiawaiannya dalam menentukan
Epistemologi, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang
dihasilkan. Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu
pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15 setelah itu, masa keemasan itu
mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu terjadi, karena Islam
dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran besar dalam
kaitannya dengan teori pengetahuan (Epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem
berfikir dalam Islam, yakni Bayani, Irfani, Dan Burhani yang masing-masing mempunyai
pandangan yang berbeda tentang pengetahuan. Tiga sistem atau pendekatan tersebut
dikenal juga tiga aliran pemikiran Epistemologi Barat dengan bahasa yang berbeda yakni
Empirisme, Rasionalisme, dan Intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu
dinyatakan bahwa kebenaran itu bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan
pengalaman pribadi.
Selanjutnya orang yang memiliki corak akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu
dari teks memasukan mereka kepada golongan fundamental literalis. Sedangkan orang
yang memiliki corak berfikir Irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari
wahyu, ilham, wangsit dan sejenisnya. Pada pola berfikir demikian akan membangun akan
membangun sebuah struktur masyarakat yang memiliki hirarki atas bawah.
B. PEMBAHASAN
1. Epistemologi Irfani
a. Pengertian Epistemologi Irfani
Secara etimologis, Irfani adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti
tahu/mengetahui. Seakar pula dengan ma’ruf (kebajikan) dan ma’rifat (pengetahuan).1
Sedangkan secara epistemologi, Irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan
cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diungkapkan secara logis.
Metode irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan
pengalaman langsung atas realitas spiritual agama. Berbeda dengan sasaran bayani yang
bersifat eksoteris, sasaran bidik Irfani adalah esoteris (batin) teks, karena itu rasio
berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spritual tersebut.
Menurut sejarahnya, epistemologi ini telah ada baik dipersia atau yunani jauh
sebelumnya datangnya teks-teks keagamaan baik yahudi, kristen maupun Islam.
Sementara dalam tradisi (sufisme) Islam, ia berkembang sekitar abad ke 3H/9M dan
abad 4H/10M, seiring dengan perkembangan sebagai pengetahuan ma’rifat yang
diyakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang Tuhan. Istilah tersebut digunakan
untuk membedakan antara pengetahuan yang diperoleh kasyf ilham. Iyan atau isyaraq.
Dikalangan mereka Irfani dimengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman
indituitif akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui, (ittihad, al arif al
wa ma’ruf) yang telah dianggap sebagai pengetahuan tinggi, sedangkan para ahli al
Irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai An Nagl dan Al Tauzif,
dan menyingkap wacana Qur’ani dan memperluas ibarahnya untuk memperbanyak
makna, jadi pendekatan Irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalan kajian
pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan arfun untuk mengeluarkan makna batin
lafz dan ibarah, dia juga mereka istimbad al ma’rifah, al qlbiyah dari al qur’an, diman
pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, qalb,
wijban, basirah, dan intuisi.
1 Ahmad Tafsir Dalam Filsafat Umum, Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
(Remaja Rosdakarya: Bandung 2009) hl. 59
b. Konsep Epistemologi Irfani
Pengetahuan Irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga
didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-
rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan
konsep tasawuf. Oleh karena itu, pengetahuan Irfani tidak diperoleh berdasarkan
analisa teks tetapi dengan oleh rohani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan
akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep
kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan
Irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahap:
1) Persiapan
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus
menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang
harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak: taubat, wara’, (menjauhkan diri
dari segala yang subhat), zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan
dunia), faqir ( mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuai
Tuhan SWT), sabar, tawakal, ridla (hilangnya rasa ketidak senangan yang tersisa
hanya gembira dan suka cita).
2) Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan
mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif
(pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapat realitas kesadaran diri
(musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas
yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran
yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihad), yang dalam kajian
mittihad), yang dalam kajian mehdi yazdi disebut ilmu huduri atau pengetahuan
objek.
Pengetahuan semacam ini didunia Islam sering disebut dengan ilham, seperti yang
dikatakan Ali Issa Othman, bahwa pengetahuan yang diperoleh didalam
‚kebangkitan‛ disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian.
Wahyu merupakan kata-kata yang digambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat
secara umum, yang diturunkan Allah dengan maksud supaya disampaikan kepada
orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya
merupakan ‚pengungkapan‛ kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui
batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada
siapa saja yang diperkenankan oleh Allah. 2
3) Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain,
lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan Irfani bukan masuk tatanan
konsep dan representasi tetapi terkait dengan dengan kesatuan kompleks kehadiran
Tuhan dalam diri dan kehadiran dalam Tuhan, sehingga tidak bisa
dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batim yang
diperoleh dari hasil kasyf tersebut adalah: pertama, dapat diungkapan dengan cara
i’tibar atau qiyas Irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyaf
makna dzohir yang ada dalam teks. Kedua diungkapkan syathahat, suatu ungkapan
lisan tentang perasaan (Al Wijdan) karena limpahan pengetahuan langsung dari
sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, ‚maha besar aku‛ dari abu yazid al
bustami (w. 877 M), atau ‘ana al-haqq’ dari al hallaj (w. 913 M). Ungkapan –
ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar
saat orang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga
sering tidak sesuai dengan kaidah teologis dan Epistemologi tertentu, sehingga
karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran Islam yang
baku. Meski demikian, secara umum syathahat sebenarnya diterima dikalangan
sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan
syari’at, dengan syarat bahwa syathahat tersebut harus ditakwilkan, yakni
ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan kepada makna dzahir teks.
Artinya syathahat tidak boleh diungkapkan secara liar dan berseberangan dengan
ketentuan syariat yang ada.
2 Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali Trj Johan Smit Anas Yusuf (Pustaka,
Bandung: 1981) hl. 60
Metode analogi seperti diatas, menurut al jabari juga dikenal dalam pemikiran
dibarat yakni dalam aliran filsafat esoterik yang disebut analogi intuitif. Namun,
dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dilakukan atas dasar
kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi Al-Jabari, dengan tidak
adanya kesetaraan atau kesamaan diantaranya dua hal yang dianalogikan berarti
analogi (qiyas) tersebut jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan Al-Jabari, ia
menggunakan metode analogi barat tersebut menganalisa Irfani Islami, sehingga
menganggap bahwa pengetahuan Irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan
sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreativitas akal yang didasarkan atas imajinasi.
Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsaatisasi mitos-mitos, yang tidak
memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan.
Masyarakat padahal, Irfani Islami sama sekali berbeda dengan mistik dibarat,
meski dibagian ada kesamaan. Irfani cenderung dengan kebersihan jiwa, rasa dan
keyakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi
lebih bersifat positifistik.
c. Perkembangan Irfani
Perkembangan Irfani secara umum dibagi dalam lima fase, yaitu:3
1) Fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriah. Pada masa ini disebut
Irfani baru dalam bentuk laku zuhud. Karakter zuhud pada fase ini adalah
berdasarkan al qur’an dan hadist, yakni menjauhi duniawi meraih pahala
dan menjaga diri dari neraka. Bersifat praktis, tanpa da perhatian untuk
menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. Motifasi zuhudnya
adalah rasa takut, yang muncul dari landasan amal keagamaan secara
sungguh-sungguh.
2) Fase Kelahiran, zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada Allah, bebas dari
rasa takut atau harapan mendapat pahala.
3) Fase Pertumbuhan, pencapaian kebahagiaan cenderung umum difase ini
masih pada psikomoral, belum pada tingkat meta fisis. Ide-ide metafisis yang
3 Sumarna, Cecep, Filsafat Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai, (Pustaka Bani Quraisyi:
Bandung 2004), hl. 53.
belum terungkap secara jelas. Karena itu, Nicholas menyatakan dari segi
teoritis dan praktis, kaum sufisme fase ini telah merancang suatu sistem yang
sempurna tentang Irfan. Akan tetapi, karena bukan filosof, mereka sedikit
menaruh perhatiaan terhadap problem-problem metafisika.
4) Fase Puncak, terjadi pada abad 5 M. Pada masa periode ini Irfani mencapai
masa gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir yang menulis tentang Irfani.
Salah satu terpentinf dalam Irfani adalah puncaknya Al Ghazali menulis
kitab ihya’ ‘ulumuddin yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (Irfani dan
bayani).
5) Fase Spesifik, Irfani praktis tetap tidak sama dengan etika dan Irfani teoritis
berbeda dengan filsafat.
6) Fase Kemunduran, terjadi sejak abad ke 8 H. Sejak abad itu, Irfani tidak
mengalami kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada pemberian
komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lebih menekan bentuk
ritus dan formalisme, yang mendorong mereka menyimpang dari substansi
ajarannya sendiri.
d. Metode Irfani
1) Tahap Pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan
(kasyf), seseorang yang biasanya disebut salik (penempuh jalan spiritual)
harus menyelesaikan jenjang kehidupan spritual.
2) Tahap Kedua, tahap penerimaan, dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada
seseorang akan mendapat realitas kesadaran dirinya sendiri sebagai objek
yang diketahui.
3) Tahap Ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses
pencapaian pengetahuan Ifani, dimana pengetahuan mistik
diinterpresentsikan dan di ungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau
tulisan.
e. Kerangka Berfikir (Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat)
Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku
dikalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‚Irfani‛. Lingkup irfani
tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses
yang panjang. Yang dimaksud dengan tingkatan (maqam) oleh para sufi adalah
tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan-latihan
jiwa yang dilakukannya.
Para sufi secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan hal. Maqam,
menurut mereka, ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang.
Namun perlu dicatat antara maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya
ibarat dua sisi dalam satu mata uang.4
1) Maqam-Maqam dalam Tasawuf
Maqam yang dijalani para sufi umumnya terdiri dari :
a) Taubat : menurut Qomar Kalilani bahwa taubat adalah rasa penyesalan
yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta
meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa.
b) Zuhud : zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari
rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan
mengutamakan kehidupan akhirat.
c) Faqr (fakir) : Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang
telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang dimiliki. Sehingga
tidak meminta sesuatu yang lain. Faqr dapat berarti sebagai kekurangan
harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan didunia.
d) Sabar : sabar jika dipandang sebagai pengengkang tuntutan nafsu dan
amarah, dinamakan Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa, sedangkan
menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani,
kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek.
Menurut Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, sabar ada tiga macam yaitu :
- Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Bersabar bersama Allah, bersabar atas Allah.
4 Anwar Rosihon dkk, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hl. 38
- Syukur : syukur adalah ungkapan rasa terimakasih atas nikmat yang
diterima.
- Rela (Ridha) : berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang
dianugrahi Allah SWT.
- Tawakal : hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah
‘Azza wa Jalla, membersihkan diri dari ikhtiar yang keliru dan tetap
menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan.
2) Ahwal yang Dijumpai dalam Perjalani Sufi
Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain adalah :
a) Waspada dan mawas diri (Muhasabah dan Muraqabah)
Waspada dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran,
perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang menjadi seseorang menjadi hormat,
takut dan tunduk kepada Allah.
b) Cinta (Hubb)
Dalam pandangan tasawuf mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi
segenap kemuliaan hal, seperti halnya tobat yang merupakan dasar bagi
kemuliaan maqam. Dan menurut kaum sufi mahabbah adalah
kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan.
c) Berharap dan takut (raja’ dan khusuf)
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme. Raja’ atau optimisme adalah
perasaan hati yang senang karena menaati sesuatu yang diinginkan dan
disenangi.
C. PEMBAHASAN
1. Epistemologi Irfani dalam Kaitan Tasawuf
Dalam tasawuf, Qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-hakikat,
termasuk didalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat
adalah yang telah tersucikan dari berbagai godaan atau akhlak jelek yang sering
dilakukan manusia. Berbagai uraian di atas bahwa hati menjadi sarana untuk
memperoleh ma’rifat. Untuk memperoleh ma’rifat seseorang harus melalui upaya-
upaya tertentu, antara lain :
a) Riyadhah
Yaitu latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak
melakukan hal-hal mengotori jiwanya. Riyadhah dapat pula berarti proses
internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan
meninggalkan sifat-sifat jelek. Riyadhah perlu dilakukan karena ilmu ma’rifat dapat
diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus-
menerus.
b) Tafakur
Berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam diri
manusia melalui aktivitas yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Nafs kulli
mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu, terutama ilmu
ma’rifat.
c) Tazkiyat An-Nafs
Adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka
tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. Upaya melakukan
penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiap orang yang menginginkan ilmu
ma’rifat. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa dalam menangkap
hakikat : jiwa yang belum sempurna, jiwa yang dikotori perbuatan-perbuatan
maksiat, menurut keinginan badan, penutup yang menghalangi masuknya hakikat
kedalam jiwa, tidak dapat berfikit logis.
d) Dzikurillah
Secara etimologi, dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah
membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Dzikir merupakan
metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni. Dalam pandangan
sufi, dzikir akan membuka tabir alam malakut, yakni dengan datangnya malaikat,
menurut Al-Ghazali dzikir juga berfungsi untuk mendatangkan ilham.
Didalam epistimologi irfani mengandung beberapa pengertian antara lain :
‘ilmu atau ma’rifah, metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam.
Dan al ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadaopsi ke dalam Islam, para ahl al-irfani
mempermudahnya menjadi pembicaraan mengenai : Al-Naql dan al-tawzif dan
upaya menyingkapi wacana qur’ani dan memperluas ibarah untuk memperbanyak
makna. Jadi pendekatan irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam
kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifin dan irfani untuk mengeluarkan
makna batin dari batin lafz dan ibarah,ia juga merupakan istinbat al-ma’rifat al-
qalbiyyah dari Al-Qur’an.5
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada
instrumen pengalaman batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah, dan intuisi. Sedangkan
metode yang digunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi
disebut juga manhaj juga manhaj ma’rifah irfani yang tidak menggunakan indera
atau akal, tetapi kashf dengan riyadhah dan mujahadah.
Pendekatan irfani banyak dimanfaatkan dalam ta’wil. Ta’wil irfani terhadap
Al-Qur’an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. Tetapi ia
merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-Qur’an lewat pemikiran yang berasal dari
dan berkaitan dengan warisan irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan
untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit irfani dari pendekatan irfani lainnya adalah falsafah ishraqi
yang memandang pengetahuan intuitif. Dengan pemaduan tersebut pengetahuan
yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan,bahkan akan mencapai al-
hikmah al-haqiqah. Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyektif,
namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat
melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas
kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipasi. Sifat
intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahapan-tahapan sebagai
berikut. Pertam-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan
melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan
menerima ‚pengalaman‛. Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahapan
konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik dimana
5 Nasrah, Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam, (Yogyakarta: Bayu Media, 2003), hl. 12
perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga
kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan irfani dalam konteks pemikiran keislaman,
adalah menghampiri agama-agama pada tataran substansi dan esensi spiritualnya,
dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman
keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya,
namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada
Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan transreligius diimbangi rasa empati dan
simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya
kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan
peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.6
D. KESIMPULAN
Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang dari ilmu filsafat yang kemudian
membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti
tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan tasawuf. Karena itu, pengetahuan Irfani tidak
diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah rohani, yang setidaknya diperoleh
melalui tiga tahap: persiapan , penerimaan (ilham), dan pengungkapan. Ungkapan-
ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara Irfani sering kali menjadi tidak beraturan
dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif
yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun
Epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang.
Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku dikalangan
sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‚Irfani‛. Lingkup irfani tidak dapat dicapai
dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Yang dimaksud
dengan tingkatan (maqam) oleh para sufi adalah tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya,
dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.
Dalam tasawuf, Qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-hakikat, termasuk
didalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah yang
telah tersucikan dari berbagai godaan atau akhlak jelek yang sering dilakukan manusia.
6 Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Media Bayu, 2003), 25.
Berbagai uraian di atas bahwa hati menjadi sarana untuk memperoleh ma’rifat. Untuk
memperoleh ma’rifat seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu seperti :
1. Riyadhah
Yaitu latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-
hal mengotori jiwanya. Riyadhah dapat pula berarti proses internalisasi kejiwaan
dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan meninggalkan sifat-sifat jelek.
Riyadhah perlu dilakukan karena ilmu ma’rifat dapat diperoleh melalui upaya
melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus-menerus.
2. Tafakur
Berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam diri manusia
melalui aktivitas yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Nafs kulli
mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu, terutama ilmu
ma’rifat.
3. Tazkiyat An-Nafs
Adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka
tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. Upaya melakukan
penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiap orang yang menginginkan ilmu
ma’rifat. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa dalam menangkap
hakikat : jiwa yang belum sempurna, jiwa yang dikotori perbuatan-perbuatan
maksiat, menurut keinginan badan, penutup yang menghalangi masuknya hakikat
kedalam jiwa, tidak dapat berfikit logis.
4. Dzikurillah
Secara etimologi, dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah
membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Dzikir merupakan
metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni. Dalam pandangan
sufi, dzikir akan membuka tabir alam malakut, yakni dengan datangnya malaikat,
menurut Al-Ghazali dzikir juga berfungsi untuk mendatangkan ilham.
Contoh konkrit irfani dari pendekatan irfani lainnya adalah falsafah ishraqi
yang memandang pengetahuan intuitif. Dengan pemaduan tersebut pengetahuan
yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan,bahkan akan mencapai al-
hikmah al-haqiqah. Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyektif,
namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat
melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas
kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipasi. Sifat
intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahapan-tahapan sebagai
berikut. Pertam-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan
melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan
menerima ‚pengalaman‛. Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahapan
konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik dimana
perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran
yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan irfani dalam konteks pemikiran keislaman,
adalah menghampiri agama-agama pada tataran substansi dan esensi spiritualnya,
dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman
keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya,
namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada
Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan transreligius diimbangi rasa empati dan
simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan
terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban
yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir Dalam Filsafat Umum, Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Remaja
Rosdakarya: Bandung 2009)
Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali Trj Johan Smit Anas Yusuf (Pustaka, Bandung:
1981)
Anwar Rosihon dkk, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Nasrah, Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam, (Yogyakarta: Bayu Media, 2003)
Noorsyam, Filsafat Pendidikan Dasar Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional,
Surabaya: 1984)
Sumarna, Cecep, Filsafat Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai, (Pustaka Bani Quraisyi: Bandung
2004)
Khodorisholeh M.Ag, Wacana Baru Filsafat, (Pustaka Pelajar: Yogjakarta 2004)