+ All Categories
Home > Documents > konstrksi identitas sporter solo BAB_I.pdf

konstrksi identitas sporter solo BAB_I.pdf

Date post: 03-Oct-2015
Category:
Upload: dharul-dangers
View: 30 times
Download: 4 times
Share this document with a friend
Description:
thesis
Popular Tags:
48
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Eric Dunning dalam artikelnya di Jurnal Europan Journal on Criminal Policy and Researh yang berjudul Towards Sociological Understanding of Football Holiganism as A Word Phenomenon (2000) menyebutkan bahwa holiganisme adalah fenomena perilaku kekerasan yang sedikit banyak berkaitan dengan ranah sepak bola. Ini bisa meliputi konflik fisik antar kelompok suporter, menyerang pemain lawan, vandalisme terhadap klub lawan dan sejenisnya. Holiganisme dilekatkan pada perilaku suporter sepak bola yang berasal dari Inggris yang terkenal dengan aksi kekerasannya (Dunning dalam Junaedi, 2012:4). Hooliganisme di Eropa telah menjadi wabah dalam pertandingan sepak bola, salah satu puncak dari holiganisme di Eropa terjadi ketika suporter Liverpool secara brutal menyerang suporter Juventus dalam pertandingan Piala Champion pada tahun 1985. Tragedi itu terjadi di Stadion Heysel, Brussel, Belgia bulan Mei 1985, ini menjadi contoh kebrutalan suporter Eropa dan dikenal sebagai tragedy Heysel. Kemenangan 1 0 Juventus harus dibayar mahal dengan tewasnya 39 orang Juventini, dan mencederai puluhan penonton lainnya (Junaedi, 2012:12).
Transcript
  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Eric Dunning dalam artikelnya di Jurnal Europan Journal on Criminal

    Policy and Researh yang berjudul Towards Sociological Understanding of

    Football Holiganism as A Word Phenomenon (2000) menyebutkan bahwa

    holiganisme adalah fenomena perilaku kekerasan yang sedikit banyak berkaitan

    dengan ranah sepak bola. Ini bisa meliputi konflik fisik antar kelompok suporter,

    menyerang pemain lawan, vandalisme terhadap klub lawan dan sejenisnya.

    Holiganisme dilekatkan pada perilaku suporter sepak bola yang berasal dari

    Inggris yang terkenal dengan aksi kekerasannya (Dunning dalam Junaedi,

    2012:4).

    Hooliganisme di Eropa telah menjadi wabah dalam pertandingan sepak

    bola, salah satu puncak dari holiganisme di Eropa terjadi ketika suporter

    Liverpool secara brutal menyerang suporter Juventus dalam pertandingan Piala

    Champion pada tahun 1985. Tragedi itu terjadi di Stadion Heysel, Brussel,

    Belgia bulan Mei 1985, ini menjadi contoh kebrutalan suporter Eropa dan

    dikenal sebagai tragedy Heysel. Kemenangan 1 0 Juventus harus dibayar

    mahal dengan tewasnya 39 orang Juventini, dan mencederai puluhan penonton

    lainnya (Junaedi, 2012:12).

  • 2

    Sepak bola juga menjadi identitas ekspresi identitas perlawanan nasional.

    Perang Balkan dimana Kroasia berusaha meraih kemerdekaan dari Yugoslavia

    yang didominasi oleh Serbia pada awal pertengahan dekade 1990-an adalah

    sebuah fakta bersejarah tentang relasi sepak bola dengan gerakan perlawanan

    politik. Adalah partai big match antara Dinamo Zagreb yang dianggap sebagai

    representasi Kroasia dan Red Star Beograd yang dianggap representasi dari

    Serbia yang dianggap sebagai salah satu bagian penting yang mematik perang

    kemerdekaan Kroasia. Pertandingan dalam Liga Yugoslavia antara kedua klub

    pada tahun 1990 ini berakhir dengan kerusuhan saat pemain Kroasia Zvonimir

    Boban menendang polisi Yugoslavia yang berasal dari Serbia. Tendangan Boban

    ibarat proklamasi kemerdekaan Kroasia yang mematik perang brutal di

    semenanjung Balkan (Junaedi, 2012:4)

    Keterlibatan sepak bola dalam gerakan perlawanan semakin terlihat

    ketika suporter dari dua klub besar di Kroasia, Bad Blue Boys suporter Dinamo

    Zagreb dan Torcida suporter dari Hanjulk Split bergabung dalam milisi Kroasia

    dalam perang melawan kekuatan Serbia yang mewarisi sebagian besar

    persenjataan Yugoslavia. Militasi kedua kelompok suporter ini diabadikan dalam

    monumen yang berisi daftar anggota milisi mereka yang gugur di medan perang

    Balkan.

    Suporter di Indonesia sedang berada dalam periode bertumbuh. Dalam

    lima tahun terakhir ini, muncul kelompok-kelompok suporter terorganisir. Suatu

  • 3

    fenomena yang berdampak amat positif bagi perkembangan sepak bola nasional.

    Kehadiran kelompok suporter ini sedikit banyak merubah gaya dan pola perilaku

    penonton di lapangan. Secara keseluruhan, berdampak pada industri sepak bola

    nasional yang lebih semarak dan berwarna. Dalam perkembangannya banyak

    film yang menggambarkan kegilaan serta identitas dan perilaku suporter. Salah

    satunya Green Street Hooligan yang merupakan kisah kehidupan kelompok

    suporter sebuah klub di dataran Inggris. Film ini mengisahkan dinamika

    kelompok suporter yang rela memberikan apa saja bagi tim kesayangannya.

    Meskipun bukan sebagai tim papan atas,tapi kelompok ini tak segan segan dan

    terus mendukung dan mengorbankan apa saja, termasuk nyawa mereka.

    Beberapa tahun belakangan ini kelompok suporter di Indonesia mulai

    mengadopsi istilah dan perilaku dari suporter yang berasal dari luar negeri.

    Istilah hooligan dan Ultras mulai menjamur di kalangan suporter Indonesia.

    Dengan menyebut diri mereka hooligan mereka ingin menunjukan bahwa

    mereka juga loyal terhadap klub layaknya suporter hooligan di Inggris. Beberapa

    kelompok suporter di Indonesia juga menyebut diri mereka sebagai Ultras,

    dengan menirukan perilaku seorang Ultras, terutama Ultras Italia.

    Dengan kemegahan dan kesuramannya, Ultras adalah fenomena luar

    biasa di Italia. Ultras merupakan representasi masyarakat Italia sekaligus

    identitas calcio. Seperti halnya kualitas Serie A yang menjadi kiblat dunia sepak

    bola, juga strategi permainan ala catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di

  • 4

    dunia, maka Ultras kemudian menjadi rujukan dan refrensi bagi suporter di

    negara negara lain.

    Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif kelompok suporter di Indonesia ini

    mengadopsi gaya suporter luar negeri seperti Barras Bravas (Argentina dan

    sebagian Amerika Latin), Roligan (Denmark), Tartan Army (Skotlandia) dan

    tentunya Italian Ultras. Meski pada perjalanannya terjadi proses kreatif dengan

    lebih banyak menampilkan produk budaya lokal.

    Aristoteles di abad ke 4 SM menyebutkan bahwa manusia sebagai zoon

    politicon. Ia menganggap bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang

    tidak pernah bias lepas dari masyarakatnya. Manusia adalah makhluk kompleks

    yang senantiasa mengarahkan kediriannya kepada ikatan kelompok ataupun

    kepada individu dalam ikatan kelompok (Aristoteles dalam Sema, 2008:2).

    Menurut Festinger keterpaduan kelompok diawali oleh ketertarikan

    terhadap kelompok dan anggota kelompok dan dilanjutkan dengan interaksi

    sosial dan tujuan-tujuan pribadi yang menuntut adanya saling ketergantungan.

    Pada gilirannya kekuatan-kekuatan di lapangan itu akan menimbulkan perilaku

    kelompok yang berupa kesinambungan keanggotaan dan penyesuaian terhadap

    standar kelompok (Festinger dalam Sarwono,2005:7). Berdasarkan hal di atas

    dalam hal ini kelompok suporter sepak bola tetap konsisten dengan kelompoknya

    untuk memberikan dukungan terhadap tim kesayangannya.

  • 5

    Sembilan Februari tahun 2000 lahirlah kelompok suporter klub Pelita,

    bernama Pasukan Soeporter Pelita Sejati atau yang disingkat dengan sebutan

    Pasoepati. Sinergi Pelita dan Pasoepati saat itu menjadi gairah baru yang

    mempersatukan publik bola Solo dan sekitarnya. Pasoepati adalah hasil akal budi

    seorang praktisi periklanan Solo, Mayor Haristanto. Pasoepati Ultras adalah

    salah satu kelompok dalam keluarga besar Pasoepati yang memiliki jiwa atau

    semangat Ultras layaknya Ultras di Italia. Pasoepati Ultras, sebelumnya

    hanyalah sekumpulan beberapa orang yang mengikrarkan kesetiaan pada satu

    klub asli kota Solo yaitu Persis Solo.

    Mengawali tahun 2011, digulirkannya kompetisi Liga Primer Indonesia

    (LPI) dan juga lahirnya klub sepak bola Solo FC, membuat Pasoepati turut serta

    menjadi suporter bagi klub Solo FC yang berkompetisi di Liga Primer. Namun,

    karena pada pertengahan tahun 2011 klub Solo FC melakukan merger dengan

    klub Persis Solo, maka Pasoepati kini hanya menjadi suporter bagi satu-satunya

    klub sepak bola asal kota bengawan, Persis Solo.

    Dalam perjalanannya Pasoepati Ultras membentuk dirinya menjadi

    kelompok dengan anggota yang mencapai ratusan, secara resmi mengikrarkan

    kelahirannya pada 2 November 2009. Banyak halangan dan rintangan dari dalam

    dan dari luar tubuh Pasoepati yang menjadikan Pasoepati Ultras kini lebih

    kompak. Menamakan diri Pasoepati Ultras tidak hanya karena memberikan

  • 6

    dukungan dengan cara ala Ultras, namun mereka memiliki ideologi seorang ultra

    yang kuat. Solid, militan, dan loyal kepada satu klub.

    Dalam hal memberikan dukungannya Pasoepati Ultras ingin seperti

    layaknya Ultras di Italia, namun tidak meninggalkan budayanya sebagai orang

    Indonesia. Bisa dikatakan Pasoepati ingin menjadi Ultras dengan cita rasa

    Indonesia. Mulai dengan pakaian ala Ultras yang dominasi hitam dengan selalu

    menggukan penutup kepala atau hoodi hingga penutup muka, dengan melakukan

    atraksi flares dan smoke dengan kibaran bendera bendera raksasa. Tidak hanya

    sebatas itu, Pasoepati Ultras juga menggunakan mural sebagai ajang untuk

    menunjukan kreatifitas dalam memberikan dukungan kepada Persis Solo.

    Gambar 1. Gambar Mural yang dibuat oleh anggota Pasoepati Ultras

    Mural sebagai salah satu media yang digunakan oleh Pasoepati Ultras untuk

    memPersiskan kota Solo yang selama ini nama besar Persis Solo

    tenggelam di belakang kebesaran nama Pasoepati. (Sumber: Fans Page Pasoepati Ultras)

    Dalam perjalanannya banyak pro dan kontra terkait Pasoepati Ultras,

    pada awal kelahirannya Pasoepati Ultras selalu dituding bukan anggota dari

    keluarga besar Pasoepati, banyak tekanan yang di terima oleh Pasoepati Ultras

  • 7

    termasuk dari rekan rekan Pasoepati yang lain. Pasoepati Ultras juga ikut

    berkontribusi dalam proses perdamaian kelompok suporter Pasoepati dengan

    Bonek, yang notabene pernah menjadi musuh.

    Solo Unity Curva Sud (SUCS), adalah buah karya pemikiran Pasoepati

    Ultras, SUCS adalah sebuah wadah atau tempat saling interaksi beberapa

    kelompok suporter yang berada di tribun sebelah selatan,WAM, Ultras 1923,

    Street Boys, Boys 1923, Dajjal Merah, dan lain lain . SUCS adalah bagian dari

    keluarga besar Pasoepati, seperti layaknya Curva Nord Familia (CNF). Dalam

    awal perjalanannya SUCS memiliki banyak ganjalan, SUCS selalu dianggap oleh

    sebagian orang akan menimbulkan perpecahan di tubuh keluarga besar Pasoepati,

    sama seperti yang terjadi pada saat Ultras 1923 (kini - Pasoepati Ultras) mulai

    berdiri, banyak pihak yang selalu berpikiran bahwa Ultras 1923 adalah bibit

    perpecahan di tubuh Pasoepati, namun pada kenyataannya saat ini Pasoepati

    Ultras dan SUCS adalah adalah dua hal yang saling beriringan di dalam tubuh

    keluarga besar Pasoepati untuk memajukan Persis Solo dan Pasoepati.

    Dari sinilah peneliti mulai tertarik untuk melakukan studi tentang

    kelompok suporter Ultras yang dianggap baru sebagai sebuah fenomena, Ultras

    tentulah sangat menarik untuk dikaji bukan saja menyoal bagaimana Ultras

    berperilaku di dalam stadion serta atribut yang dipakai, tetapi juga bagaimana

    konstruksi identitasnya. Konstruksi identitas inilah yang nantinya membedakan

    antara kelompok suporter Ultras dengan kelompok suporter lainnya. Identitas ini

  • 8

    mengandung adanya perasaan memiliki suatu kelompok sosial bersama,

    melibatkan emosi dan nilai-nilai pada diri individu terhadap kelompok tersebut.

    Individu akan berlomba meraih identitas positif dalam kelompoknya, yang secara

    tidak langsung ini akan mendobrak harga diri (self esteem) individu tersebut

    dalam statusnya sebagai anggota kelompok.

    Akan sangat menarik bila peneliti mampu memahami dan menjelaskan

    permasalahan yang akan diangkat. Mengingat secara pribadi, peneliti juga

    seorang yang sangat mencintai sepakbola. Dengan adanya penjelasan mengenai

    latar belakang yang telah diuraikan panjang lebar tersebut di atas, penulis

    memberikan judul skripsi ini Konstruksi Identitas Suporter Ultras di Kota

    Solo : Studi Fenomenologi terhadap kelompok suporter Pasoepati Ultras

    B. RUMUSAN MASALAH

    Dengan melihat latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan

    masalah bagaimana konstruksi identitas suporter Ultras di Kota Solo ?

    C. TUJUAN PENELITIAN

    Dari rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, mempunyai tujuan

    penelitian untuk mendeskripsikan bagaimana konstruksi identitas suporter Ultras

    di Kota Solo.

  • 9

    D. MANFAAT PENELITIAN

    1. Manfaat Secara Teoritis

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kajian

    sport communication tentang budaya Ultras yang ada di Kota Solo.

    2. Manfaat Secara Praktis

    Penelitian ini dapat diharapkan memberikan wawasan pada

    masyarakat akan konstruksi identitas suporter Ultras di Kota Solo

    terhadap masyarakat luas, serta dapat menjadi bahan masukan kelompok

    suporter sepak bola tersebut.

    E. TINJAUAN PUSTAKA

    1. Penelitian Terdahulu

    Antonio Roversi dan Carlo Balestri dalam penelitiannya yang

    berjudul Italian Ultras Today : Change or Decline mengemukakan bahwa

    Ultras di Italia sangat berbeda dengan hooliganisme sepakbola.

    Tabel 1. Kajian Penelitian Terdahulu tentang Ultras

    Judul Penelitian Italian Ultras Today : Change or Decline

    Inti Kajian Meneliti sejarah dah karakter Ultras Italia dan

    perbandingan Ultras dengan Hooligan

    Dimuat dalam European Journal on Criminal Policy and Research

    Hasil Di Italia, fenomena ini muncul antara tahun 1960-

  • 10

    an dan awal 1970-an dan menyebar ke seluruh stadion

    dari kota kota utama di utara, kemudian ke selatan.

    selama tahun 1980, itu diperluas hingga ke divisi

    amatir kecil. Di Italia, sebaliknya, hubungan antara

    sepak bola dan kelas pekerja dan antusiasme sepakbola

    selalu melibatkan sejumlah besar orang dari semua

    kelas sosial. Oleh karena itu, meskipun kelompok

    Ultras awalnya dipengaruhi oleh model hooligan

    Inggris, komposisi sosial yang cenderung lebih lintas-

    kelas (juga terdiri dari komponen penting perempuan)

    dan khas dengan sistem politik bersama dengan

    kelompok ekstremis politik yang di Italia tahun 1960-

    an dan 1970-an yang terlibat dalam demonstrasi dan

    memberikan contoh yang sangat baik dan kelompok,

    semangat dan kekompakan

    Ciri khusus gerakan Ultras dengan aksi dan

    bentuk organisasi dari bidang politik, dan memberkati

    diri dengan stabil, struktur organisasi yang kompleks

    mampu mebolisasi terhadap kegiatan internal (produksi

    spanduk dan bendera) maupun eksternal (produksi dan

    penjualan gadget, kartu keanggotaan langganan,

  • 11

    hubungan dengan klub, dan sebagainya). Perbedaan-

    perbedaan ini berhubungan dengan dua model

    dukungan.

    Model Inggris, hooligan lebih meninggikan arti

    kelompok tetapi tidak ada komitmen dan konsistensi di

    luar pertandingan itu sendiri. Dan model Italia,

    kelompok Ultras lebih berorientasi dan mampu, berkat

    organisasi yang terstruktur untuk mengatur koreografi

    dan model dukungan yang melibatkan seluruh stadion

    dan membutuhkan pengeluaran uang yang cukup besar,

    tenaga dan koordinasi.

    Pada penelitian terdahulu tentang fenomenologi suporter beberapa

    penulis seperti Ahmad Mukhlis (2008) dalam skripsinya yang berjudul

    Identitas Sosial Aremania : Representasi Dukungan Yang Sportif Dalam

    Sepakbola (Kajian Fenomenologi Terhadap Suporter Arema Malang)

    yang mengkaji tentang konstruksi identitas sosial Aremania dalam

    konteks sejarah kemunculannya. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahuai bagaimana Aremania merepresentasikan dukungan yang

    sportif dalam sepak bola. Dan dari hasil penelitian ini Muklis

  • 12

    mendapatkan hasil penelitian Aremania merupakan sebuah fenomena

    komunitas yang sangat kompleks.

    Tabel 2. Kajian Penelitian Terdahulu tentang Suporter Arema

    Penelitian dan

    Judul Penelitian

    Identitas Sosial Aremania: Representasi Dukungan

    Yang Sportif Dalam Sepak Bola

    (Kajian Fenomenologi Terhadap Suporter Arema

    Malang)

    Inti Kajian Berupaya meneliti konstruksi identitas sosial

    Aremania dalam konteks sejarah kemunculannya.

    Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahuai bagaimana Aremania merepresentasikan

    dukungan yang sportif dalam sepak bola.

    Pendekatan Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah

    dengan menggunakan jenis metode fenomenologis.

    Tujuan

    Penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah:

    1. Mendeskripsikan konstruksi identitas sosial Aremania ditinjau dari sejarah kemunculannya.

    2. Mendeskripsikan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam tubuh Aremania

    3. Dengan adanya poin 1 dan 2, peneliti ingin mengetahui bagaimana Aremania

    mempresentasikan nilai sportivitas dalam

    memberikan dukungan.

    Hasil Aremania sangat dipengaruhi oleh faktor internal

    dan faktor eksternal. Faktor internal yang

    mempengaruhi pembentukan identitas Aremania

    adalah watak masyarakat Malang-an yang terkenal dengan kekerasan dan kegigihan untuk pantang

    menyerah dalam keadaan apapun. Masyarakat

    Malang-an juga terkenal dengan kreatifitasnya dalam menanggapi sesuatu yang baru. Mereka juga

    memiliki keyakinan dan ketaatan yang tinggi

  • 13

    terhadap kebiasaan (nilai) yang ada generasi

    sebelumnya.

    Sementara faktor eksternal yang membentuk identitas

    sosial Aremania adalah keadaan budaya, politik,

    ekonomi serta keberadaan kelompok suporter lain (baik

    di dalam maupun luar negeri). Budaya kekerasan

    dalam sepak bola waktu itu, menjadi salah satu

    indikator mayarakat Malang lebih memilih menjadi

    Aremania ketimbang Ngalamania, meskipun keadaan

    itu bertentangan dengan keadaan politik dan

    ekonomi saat itu dimana kebanyakan masyarakat di

    Indonesia memilih klub yang dikelola oleh pemerintah

    kota/daerah.

    Lahirnya nilai (prototype) baru inilah yang

    kemudian menjadi bukti bahwa Aremania mampu

    mengkombinasikan faktor internal dengan eksternal

    yang ada. Ini juga sekaligus menjadi cara yang

    ditempuh Aremania untuk mempresentasikan

    identitas sosialnya. Proses representasi berjalan

    sesuai dengan fenomena yang melatarbelakangi.

    Dari waktu ke waktu Aremania senantiasa

    merekreasi cara mereka untuk merepresentasikan

    identitas sosialnya. Usaha representasi ini tidak

    hanya dilakukan oleh kelompok suporter secara

    bersama-sama. Akan tetapi juga pada tataran personal.

    Setiap Aremania memiliki cara dan usaha tersendiri

    untuk merepresentasikan identitas sosialnya.

  • 14

    2. Kajian Teori

    a. Konstruksi Sosial

    Teori konstruksi sosial (social construction) yang dikemukakan

    oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann merupakan teori sosiologi

    kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori

    ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial,

    serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk

    memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam

    fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya

    sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia;

    sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu

    nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger dan

    Luckmann, 2012:1).

    Dunia kehidupan sehari-hari yang dialami tidak hanya nyata

    tetapi juga bermakna. Kebermaknaannya adalah subjektif, artinya

    dianggap benar atau begitulah adanya sebagaimana yang dipersepsi

    manusia. Misalnya, Bali dalam masyarakat modern campur-aduk,

    itulah kenyataannya yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

    Masyarakat modern berarti masyarakat yang mengalami modernitas.

    Modernitas merupakan gejala sejarah atau fenomena sosial. Sebagai

  • 15

    fenomena sosial, modernitas memang tidak terelakkan. Bagi Berger,

    modernitas dipengaruhi oleh kapitalisme, yang tumbuh dalam waktu

    yang lama (Berger dan Luckmann, 2012:11-19).

    Berger menjelaskan bahwa realitas itu bukanlah sesuatu yang

    diturunkan oleh Tuhan, tidak juga sesuatu yang dibentuk secara ilmah.

    Tapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Oleh karena itu, realitas

    berwajah ganda atau plural. Setiap orang bisa memiliki konstruksi

    yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai

    pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan tertentu,

    dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan

    realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing (Berger dan

    Luckmann dalam Bungin, 2008:14-15).

    Paradigma konstruktivis melihat bagaimana suatu realitas sosial

    dikonstruksikan. Fenomena sosial dipahami sebagai suatu realitas

    yang telah dikonstruksikan. Karenanya, konsentrasi analisis pada

    paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa

    atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu

    dibentuk. Dalam hal ini komunikasi dilihat sebagai faktor konstruksi

    itu sendiri.

    Ketika manusia coba memahami tentang realitas sosial tadi

    melalui fase eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi maka pada

  • 16

    hakikatnya manusia dalam proses komunikasi. Eksternalisasi, adalah

    suatu pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam

    dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Dalam

    pembangunan dunia, manusia karena aktifitas-aktifitasnya

    menspesialisasikan dorongan-dorongannya dan memberikan stabilitas

    pada dirinya sendiri. Karena secara biologis manusia tidak memiliki

    dunia-manusia maka dia membangun suatu dunia manusia. Manusia

    menciptakan berbagai jenis alat untuk mengubah lingkungan fisik dan

    alam dalam kehendaknya. Manusia juga menciptakan bahasa dimana

    melalui bahasa manusia membangun suatu dunia simbol yang

    meresapi semua aspek kehidupannya. Sama seperti kehidupan

    materialnya, masyarakat juga sepenuhnya produk manusia.

    Pemahaman atas masysrakat sebagai suatu produk aktifitas manusia

    sebagaimana berakar pada eksternalisasi menjadi penting mengingat

    kenyataan bahwa masyarakat tampak dalam pengertian sehari-hari

    sebagai sesuatu yang berbeda dari aktifitas manusia. Transformasi

    produk-produk manusia kedalam suatu dunia tidak saja berasal dari

    manusia tetapi juga kemudian mengahadapi manusia sebagai suatu

    faktisitas diluar dirinya sebagaimana diletakkan dalam konsep

    objektivasi (Berger dalam Bungin, 2008 : 16). Walau eksternalisasi

    dilaksanakan manusia terus menerus, tidak berarti bahwa aktivitas

  • 17

    manusia mengalami perubahan. Manusia cenderung mengulangi

    aktivitas yang pernah dilakukannya (Samuel, 2012:28).

    Objektivasi adalah disandangnya produk-produk aktifitas itu

    (baik fisik maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan

    para produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas)

    yang eksternal terhadap dan lain dari produsen itu sendiri. Dunia yang

    diproduksi oleh manusia kemudian menjadi sesuatu yang berada di

    luar sana. Dunia ini terdiri dari benda-benda, baik materiil maupun

    non materiil yang mampu menentang kehendak produsennya. Sekali

    sudah tercipta maka dunia ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

    Objektivitas dari masyarakat tersebut terlihat jelas dalam

    prosedur-prosedur kontrol sosial, yaitu prosedur-prosedur yang khusus

    dimaksudkan untuk memasyarakatkan kembali individu-individu atau

    kelompok pembangkang. Lembaga-lembaga politik dan hukum dapat

    memberi contoh jelas mengenai hal ini. Objektivitas masyarakat

    mencakup semua unsur pembentuknya. Lembaga-lembaga, peran-

    peran dan identitas identitas eksis sebagai fenomena-fenomena nyata

    secara objektif dalam dunia sosial meskipun semua itu tidak lain

    adalah produk-produk manusia.

    Internalisasi adalah peresapan kembali ralitas tersebut oleh

    manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur

  • 18

    dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif. Melalui

    objektivasi maka masyarakat menjadi suatu realitas sui generis, unik.

    Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat

    (Berger dalam Bungin, 2008 : 17). Jadi internalisasi dapat diartikan

    sebagai proses manusia menyerap dunia yang dihuninya dalam hal ini

    adalah dunia dalam kelompoknya, namun internalisasi tidak berarti

    menghilangkan kedudukan objektif kelompok tersebut.

    Internalisasi berlangsung seumur hidup manusia baik ketika ia

    mengalami sosialisasi primer maupun sekunder. Berdasarkan gagasan

    George Herbert Mead, Berger dan Luckmann mengatakan bahwa

    sosialisasi primer sebagai sosialisasi yang dialami manusia sejak lahir

    hingga tumbuh menjadi individu yang memiliki sikap sikap yang

    lazim dalam masyarakat. Sementara sosialisasi sekunder dapat

    dikatakan sebagai sosialisasi yang dialami individu yang pernah

    mengalami sosialisasi primer (Samuel, 2012:35-36).

    Jadi dapat disimpulkan bahwa konstruksi sosial adalah sesuatu

    hal yang di bentuk atau di konstruksikan dalam masyarakat yang

    berupa suatu kebiasaan dan berlangsung secara terus menerus dan

    sudah menjadi sebuah kebudayaan dalam masyarakat tersebut.

    Dalam hal ini proses konstruksi sosial juga terjadi dalam

    beberapa tahap, tahap eksternalisasi adalah ketika seseorang tidak tahu

  • 19

    apa itu Ultras dan tidak bergabung ke dalam sebuah komunitas Ultras.

    Tahap objektivikasi adalah tahap dimana seseorang sudah mulai

    paham apa itu Ultras, namun belum melibatkan dirinya sebagai

    seorang Ultras. Tahap yang terakhir adalah internalisasi, tahap

    dimana seseorang telah paham apa itu Ultras dan menganggap bahwa

    dirinya adalah seorang Ultras.

    b. Identitas

    Masing-masing orang dibentuk oleh suatu proses yang reflektif,

    dimana persepsi tentang bagaimana kita melihat orang lain merupakan

    bagian yang terpenting. Bahwa kesan tentang individu (self-image)

    dengan kesan kelompoknya (group we-image) merupakan dua hal

    yang tidak terpisah. Pengertian identitas sosial didasarkan atas sebuah

    keyakinan bahwa tindakan sosial manusia harus dipahami dalam

    konteks sosialnya.

    Michael Hecht menyatakan identitas adalah penghubung utama

    antara individu dengan masyarakat dimana komunikasi adalah mata

    rantai dari hubungan tersebut. Komunikasi merupakan alat untuk

    membentuk identitas dan juga mengubah mekanismenya, baik

    menurut diri sendiri maupun orang lain. Hecht juga menguraikan

    identitas dalam empat tingkatan, pertama adalah personal layer adalah

    bagaimana kita menggambarkan keadaan diri kita dalam sebuah situasi

  • 20

    sosial. Tingkatan kedua enactment layer, adalah apa yang orang lain

    ketahui tentang diri kita berdasarkan apa yang kita miliki, kita

    lakukan, dan bagaimana kita bertindak. Tingkatan ketiga relational,

    adalah interaksi hubungan antara diri seseorang dengan orang lain.

    Tingkatan keempat communal, adalah identitas diri seseorang yang

    dihubungkan dengan sebuah kelompok atau budaya yang lebuh besar.

    (Hecht dalam LittleJohn, 2009:131).

    Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal personal

    dan sosial, soal apa yang dimiliki secara bersama-sama dengan

    beberapa orang dan apa yang membedakannya dengan orang lain.

    Identitas sebagai kategori yang stabil, lengkap , sebagian besar bukti

    diri yang didasarkan pada penanda, seperti jenis kelamin, ras, dan

    kelas dimensi yang terdapat didalam individu. Bukan hanya identitas

    yang dilihat sebagai sesuatu yang teratur, masih terdapat pemahaman

    implisit yang salah satu aspek dari identitas merupakan yang paling

    penting bagi seorang individu.

    Identitas manusia terbentuk atau dibangun dalam konteks sosial

    yang lebih luas. Dalam artian meliputi berbagai aspek seperti budaya,

    politik danjuga ekonomi. Mereka yang dilahirkan dan dibesarkan

    dalam konteks budaya, politik dan ekonomi di negara Indonesia

    tentunya memiliki identitas yang berbeda dengan di Amerika ataupun

  • 21

    Eropa. Toomey mengeksplorasikan cara cara dimana identitas di

    negosiasikan dalam interaksi dengan orang lain, terutama dalam

    berbagai budaya. Identitas selalu dihasilkan dari interaksi sosial.

    Identitas dibentuk melalui negosiasi ketika kita menyatakan,

    memodifikasi, dan menantang identifikasi-identifikasi diri kita atau

    orang lain. Hal ini bermula dalam kehidupan keluarga ketika kita

    memperoleh berbagai identitas pribadi dan sosial. Identitas pribadi

    merupakan karakteristik yang lebih unik yang kita hubungkan dengan

    diri kita masing-masing yang pada awalnyajuga dipelajari dalam

    interaksi keluarga (Toomey dalam Littlejohn,2009:132).

    Toomey memfokuskan pada identitas etnik dan kebudayaan,

    terutama negosiasi yang terjadi ketika kita berkomunikasi di dalam

    dan di antara kelompok kelompok kebudayaan. Identitas dibentuk di

    dalam komunikasi dalam berbagai latar kebudayaan. Ketika anda

    berkomunikasi dalam kelompok kebudayaan yang sama, anda akan

    mengalami pengalaman yang lebih dalam hal kerentanan, persamaan,

    kejelasan, keterikatan, dan konsistensi. Tetapi, ketika anda beinteraksi

    dengan budaya, anda dapat mengalami kebalikannya, ketidakrentanan,

    perbedaan, ketidakjelasan, otonomi, dan perubahan yang mengarah

    pada kurang stabilnyadan bahkan kemungkinan akan transformasi

    (Toomey dalam Littlejohn, 2009: 132). Freud mengemukakan bahwa

  • 22

    identitas merupakan proses yang terjadi secara bertahap pada individu

    dan meskipun juga dalam inti kelompok kebudayaannya (Freud dalam

    Isaacs,1993:41).

    Identitas tentu tidak dapat dilepaskan dengan konstruksi sosial,

    dalam teori kritik identitas menyatakan bahwa identitas ada didalam

    konstruksi sosial karena budaya yang lebih luas. Kita memperoleh

    identitas dalam bagian yang lebih luas dari konstruksi yang

    menawarkan identitas itu dari berbagai kelompok sosial dimana kita

    menjadi bagian keluarga, masyarakat, subkelompok budaya, dan

    ideologi dominan. Dengan mengabaikan dimensi identitas gender,

    kelas, ras, seksualitas, identitas juga ditampilkan sesuai atau

    berlawanan dengan norma dan ekspetasi (Littlejohn, 2009: 136-137).

    Perspektif identitas sosial adalah kesadaran diri yang fokus

    utamanya secara khusus lebih diberikan pada hubungan antar

    kelompok, atau hubungan antar individu anggota kelompok kecil.

    Identitas sosial sedikit berbeda dengan identitas diri. Identitas diri

    atau konsep diri adalah pemahaman tentang diri yang berkaitan

    dengan atribut kepribadian ideosyncretic yang tidak dimiliki secara

    bersama dengan orang lain (Aku) atau hubungan personal yang akrab

    diikat sepenuhnya padaorang lain dalam bentuk hubungan yang dyadic

    (aku dan kamu). Secara harfiah, orang akan berpusat pada dirinya

  • 23

    sendiri (akan selalu ada aktivitas untuk berpikir mengenai dirinya

    sendiri),sehingga self adalah pusat dari dunia social setiap orang.

    Konsep diri dibangun dengan skema diri yang mungkin jauh lebih

    kompleks dan detil. Skema diri memainkan peran dalam memandu

    tingkah laku, ini karena skema diri merupakan rangkuman dari semua

    yang dapat diingat seseorang tentang pengetahuannya dan

    imajinasinya tentang diri sendiri. Konsep diri dapat sendiri dapat

    relatif sentral (central self-conception) atau peripheral (peripheral self-

    conception).

    Identitas merupakan satu unsur kunci kenyataan subjektif dan

    berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk

    oleh proses-proses sosial. Begitu ia memperoleh wujudnya, ia

    dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk-ulang oleh hubungan-

    hubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk

    dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial.

    Masyarakat mempunyai sejarah dan di dalam perjalanan sejarah itu

    muncul identitas-identitas khusus; tetapi sejarah-sejarah itu dibuat oleh

    manusia dengan identitas-identitas tertentu (Berger dan Luckmann,

    2012:248).

    Pada dasarnya setiap individu ingin dan selalu berlomba

    memiliki identitas yang positif dimata kelompoknya dalam rangka

  • 24

    mendapatkan pengakuan dari pihak yang lain sehingga nantinya

    mereka akan mendapatkan suatu persamaan sosial. Bahkan menurut

    Laker dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa

    identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka

    akan muncul fenomena misidentification, yaitu upaya

    mengidentifikasi pada identitas atau kelompok lain yang dipandang

    lebih baik.

    c. Sepak Bola sebagai Kajian Ilmiah

    Sebuah catatan tua ditemukan di China dari masa Dinasti Tsin

    (255-206 SM) menurut manuskrip itu, pada zaman Tsin, permainan

    yang diberi nama tsu chu awalnya dipakai untuk melatih fisik para

    prajurit kerajaan, kemudian berkembang menjadi sebuah permainan

    yang menyenangkan kendati sulit berkembang. Legenda menyebutkan

    bahwa para anggota kerajaan sangat menggemari permainan ini, raja

    raja sengaja membangun lapangan untuk bermain tsu chu dan

    mewajibkan sekolah mengajarkan olahraga ini (Wahyudi, 2009:12).

    Pada masa Dinasti Han (206 SM 200 M), ketenaran tsu chu

    mencapai puncaknya. Dokumen dari tahun 50 SM melaporkan adanya

    pertandingan tim China melawan Jepang di Kyoto (Wahyudi,

    2009:13).

  • 25

    Di Yunani, bermain bola sudah dikenal pada tahun 800 SM

    dengan nama episkyro dan harpatrum. Pasukan Romawi yang

    menyerbu Yunani pada 146 SM kemudian mengadopsi permainan ini

    dan menyebarkan seiring penaklukan wilayah wilayah Eropa

    (Wahyudi, 2009:14). Sepak bola mulai modern dan tertib setelah

    Giovani Bardi dari Itali membukukan serentetan aturan ini pada 1580.

    Di Italia, sepak bola di sebut calcio (Wahyudi, 2009:15).

    Banyak cerita menarik bila kita berbicara tentang sepakbola.

    Sepakbola yang begitu digemari oleh manusia dari berbagai penjuru

    dunia, seakan telah menjadi agama baru di era modernisasi seperti

    saat ini. Sepak bola bukan hanya telah menjadi olahraga rakyat,

    melainkan hiburan umat manusia. Sepak bola juga dunia para

    pahlawan. Dalam sepak bola, penonton diajak untuk menikmati para

    pemain yang berupaya mengarahkan kehebatannya melampaui batas

    batas kemampuan kemanusiaannya. Lapangan hijau, teknik, taktik,

    kostum, dan berbagai aksesori telah menyulap para pahlawan itu

    menjadi lebih mempesona. Oleh karena itu, sepak bola lebih dari

    sekedar olahraga biasa, melainkan pertunjukan yang disukai semua

    orang.

    Dalam sepak bola pula, para pemain menjadi manusia yang

    selalu bergulat dengan kerasnya kehidupan. Pergulatan itu tidak selalu

  • 26

    berakhir dengan kemenangan. Akan tetapi, tidak jarang pergulatan itu

    hanya mengantarkan pemain dan penonton yang terlibat dengan

    mereka pada kegagalan. Itulah sebabnya, didalam permainan ini kita

    selalu melihat dan merasakan komedi, tragedi, serta ketabahan untuk

    menerima kekalahan dan keberanian untuk bangkit meraih

    kemenangan. Sepak bola adalah permainan yang tidak hanya

    membawa tawa, tetapi juga tragika (Wahyudi, 2009: 11).

    Sepak bola bukan sekedar olahraga, sepak bola menjadi alat

    untuk memahami seluk beluk dunia dengan segala masalahnya. Ajang

    kejuaraan tingkat dunia (World Cup) diadakan untuk meredam nafsu

    politik perang sejumlah negara dan diwujudkan dalam pertandingan

    sepak bola. Tak heran secara emosional pertandingan sepak bola di

    World Cup sering berlangsung panas. Hingga saat ini, pertemuan

    Jerman dan Inggris selalu dipenuhi retorika Perang Dunia II. Begitu

    pula pertemuan Argentina dan Inggris, dua negara yang berperang

    gara gara berebut Pulau Falklands (Wahyudi, 2009 : 21).

    Klub sepak bola juga menjadi ekspresi identitas perlawanan

    nasional. Warga Catalan yang sudah lama ingin melepaskan diri dari

    Spanyol menjadikan tim Barcelona sebagai identitas dan harapan

    perlawanan terhadap pemerintah. Barcelona boleh kalah dari siapapun,

    asal tidak kalah dari Real Madrid, klub yang dulu sangat didukung

  • 27

    oleh rezim fasis Franco. Sedangkan di Skotlandia, persaingan sepak

    bola menjadi simbol persaingan antar agama. Polisi selalu bersiaga

    penuh jika klun Glasgow Rangers yang didukung warga Protestan

    berhadapan dengan Glasgow Celtics yang didukung warga Katolik.

    Kini, sepak bola menjadi semacam sebuah keyakinan religius.

    Praktek realisasinya juga dilakukan mirip sebuah agama dan bentuk

    kepercayaan. Praktek ini menjadi bentuk ritual yang secara perlahan

    membentuk sistem emosional dan fanatisme (Wahyudi, 2009:28).

    Melihat fanatisme para pendukung dan jangkauan pengaruhnya,

    tak heran jika sejumlah orang mengatakan sepak bola telah menjadi

    agama di Amerika Latin. Nabi nabinya bernama Pele dan

    Maradona. Bahkan, di Argentina terdapat Iglesia Maradoniana (Gereja

    Maradona), sebuah agama parodi yang mendewakan sang bintang

    tersebut. Pengikut kultus ini berjumlah sekitar 15 ribu orang

    (Wahyudi, 2009:27). Di Ukraina, sepak bola adalah bagian dari

    apresiasi dari religiusitas masyarakat. Ketika tim nasional Ukraina

    hendak bertanding, misalnya pemerintah secara khusus menggiring

    para pemain untuk berdoa khusuk di altar selama beberapa jam,

    meminta kepada Tuhan agar diberi kemenangan. Di Iran, sepak bola

    dianggap sebagai gerak sekularisme. Imam Khoemeni adalah

  • 28

    penguasa yang bersikeras melarang perempuan masuk stadion, apalagi

    bermain bola (Wahyudi, 2009:27).

    Sepak bola telah mempertemukan manusia dari berbagai penjuru

    dunia. Sepak bola menjadi media pemersatu bagi manusia. Liga liga

    sepak bola lebih sukses dibandingkan serangkaian konfrensi yang

    telah dilakukan untuk menyatukan seluruh umat beragama di dunia.

    Tidak ada lagi sekat etnis, suku, agama, maupun warna kulit di dalam

    permainan sepak bola. Suporter menjadi kekuatan yang tidak bisa

    dipisahkan dari sepak bola, di Inggris, suporter sepak bola kerap

    berlaku selayaknya pemilik klub, presiden klub, direktur, manajemen,

    atau pemain bisa kalah dengan mereka dalam hal kepemilikan.

    Begitu pula di Italia dan negara negara lainnya.

    Sepak bola bukan perkara kalah dan menang dalam

    pertandingan, melainkan mengandung berbagai macam politik diluar

    lapangan. Itulah sebabnya kaum Protestan di Jerman sering mengolok

    olok klub Bayern Munchen karena dianggap sebagai klub warisan

    Yahudi. Sama halnya dengan otoritas gereja di Inggris yang pernah

    berfatwa agar pertandingan sepok bola tidak dilangsungkan pada hari

    Minggu supaya gereja tetap dikunjungi warga (Wahyudi, 2009:57).

  • 29

    Namun, sepak bola juga memiliki kisahnya yang berhubungan

    dengan vandalisme, peristiwa peristiwa kekerasan dan aksi aksi

    hooliganisme. Tragedi Heysel di Brusel membuktikan betapa

    fanatisme tanpa aturan justru menjadi pengkhianatan terhadap sasaran

    utama. Fanatisme pendukung Liverpool telah mengkhianati sepak

    bola, juga olahraga pada umumnya. Peristiwa ini terjadi pada 29 Mei

    1985 dalam pertandingan perempat final Champions Cup 1985 di

    Stadion Heysel, Brussels, Belgia. Ketika itu, pertandingan belum

    dimulai. Entah siapa yang mengawali, tiba tiba terjadi kekacauan di

    sektor Z stadion. Pagar penyekat yang memisahkan pendukung

    Liverpool dan Juventus ambruk. Penonton pun panik dan berhamburan

    untuk menyelamatkan diri. Beberapa orang tewas karena terinjak

    injak.

    Menurut sosiolog David Robbins, sepak bola sebenarnya sangat

    ideal untuk tempat pelepasan kaum muda. Tekanan sosial dan

    ekonomi yang semakin menghimpit perlu katup untuk

    menyalurkannya. Saluran itu tersedia hanya pada sebuah tontonan

    semacam sepak bola (Wahyudi, 2009:65). Penonton sepak bola bisa

    melepas unek uneknya selama pertandingan berlangsung. Berteriak,

    bersorak, dan bernyanyi. Mereka bebas memaki pemain atau wasit.

    Hanya saja, saluran pelepasan ini kini bukan tempatnya lagi bagi para

  • 30

    pelaku vandalisme. Sepak bola sebagai pertandingan sudah tidak enak

    lagi ditonton. Bukan karena permainannya, tetapi karena ulah

    penontonnya yang brutal.

    Belanda adalah salah satu negara yang memiliki tradisi sepak

    bola yang kuat. Suporter fanatik Ajax berkali kali terlibat

    perkelahian dengan pendukung Feyenoord. Uniknya , walaupun sering

    bertikai ketika mendukung klub, hooligan Belanda bisa bersatu dalam

    waktu tertentu. Misalnya, ketika tim nasional Belanda bertemu

    Jerman, para hooligan itu tiba tiba bersatu dan bersorak mendukung

    tim kesayangan mereka (Wahyudi, 2009:77)

    Dibelahan Amerika Latin hooligan memiliki sebutan lain,

    Barrabravas. Barrabravas paling ekstrem terdapat di Argentina.

    Barrabravas Boca terkenal ekstrem. Apalagi jika Boca bertanding

    melawan rival utama mereka River Plate. (Wahyudi, 2009:79)

    Argentina memiliki banyak kelompok barrabravas. Mereka terpecah

    menjadi berbagai faksi dan terkadang saling bentrok. Mereka bahkan

    sering ikut campur dalam urusan intern klub. Pada september 2003,

    Liga Argentina nyaris dihentikan karena berbagai kekacauan dan

    kerusuhan oleh barrabravas di dalam dan di luar stadion (Wahyudi,

    2009:82).

  • 31

    Di Indonesia, Bonek adalah suporter yang memiliki militansi

    tinggi dan fanatisme serta loyalitas yang tinggi terhadap Persebaya,

    namun banyak stigma negatif tentang Bonek dan sangat identik

    dengan kekerasan yang terjadi pada sepakbola Indonesia, walaupun

    tidak semua yang diberitakan adalah benar.

    d. Budaya Ultras

    Berbicara tentang suporter sepak bola, tentu kita harus mengenal

    kriteria dan perbedaan dari macam macam suporter

    (Wahyudi,2009:101). Hooligan, kaum hooligan adalah fans bola yang

    brutal ketika tim idolanya kalah tanding. Merupakan stereotip suporter

    bola dari Inggris, tapi kemudian menjadi fenomena global. Sebagian

    besar dari Hooligan adalah para back-packer yang telah

    berpengalaman dalam bepergian. Mereka sering menonton

    pertandingan yang resikonya besar. Banyak dari mereka rajin keluar-

    masuk penjara karena sering terlibat bentrok fisik.

    Untuk mengantisipasi adanya kerusuhan, gaya berpakaian

    mereka pun sudah dipersiapkan untuk berkelahi. Mereka jarang

    menggunakan pakaian yang sama dengan tim pilihannya, dan memilih

    berpakaian 'asal' agar tak dideteksi oleh polisi. Meski demikian

    mereka tak mau menggunakan senjata. Para Hooligan biasanya tidak

  • 32

    duduk dalam satu tempat bersama-sama melainkan berpencar - pencar

    (Wahyudi, 2009:101).

    Ultras, diambil dari bahasa latin yang berarti diluar dari

    kebiasaan. Para Ultras ini tak pernah berhenti menyanyi

    mendengungkan yel-yel tim favoritnya selama pertandingan

    berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang permainan dan

    menyalakan gas warna warni untuk mencari perhatian. Jika Anda

    sering melihat pergerakan manusia seperti gelombang di dalam

    stadion, itulah hasil instruksi dari para Ultras yang sangat kreatif

    kepada penonton yang lain. Karakter mereka temperamental seperti

    para Hooligan jika timnya kalah tanding atau diremehkan. Namun

    berbeda dengan Hooligan, tujuan utama mereka adalah mendukung

    tim, bukan untuk unjuk kekuatan lewat adu fisik. Anggota Ultras

    adalah mereka yang sangat setia dan loyal terhadap tim favoritnya

    cukup lama (Wahyudi, 2009:102).

    The VIP, bagi mereka, yang penting bukan menonton bola, tapi

    malah supaya ditonton penonton lain. Sebagian besar kelompok ini

    adalah para pebisnis tingkat tinggi yang menyaksikan pertandingan di

    kotak VIP, demi sebuah gengsi untuk pencitraan diri. Dan karena

    namanya juga bisnis, segalanya dihitung sebagai investasi. Tak heran

    jika dalam areal VIP, atau yang biasa disebut 'skyboxes', para jutawan

  • 33

    ini bisa bertemu dengan rekan bisnis lainnya dan menghasilkan deal-

    deal penting. Mereka tak peduli dengan hasil skor kecuali itu akan

    mempengaruhi bisnis yang digelutinya (Wahyudi, 2009:102).

    Daddy atau Mommy, adalah mereka yang suka melibatkan atau

    membawa anggota keluarga mereka saat menonton pertandingan. Bagi

    mereka, menonton pertandingan bola layaknya sebuah rekreasi

    keluarga untuk mempererat kebersamaan. Karena itu, mereka

    menonton bola jika tiket tidak terlalu mahal atau hanya pada

    pertandingan penyisihan saja (Wahyudi, 2009:102).

    Sebagian dari para Daddy atau Mommy ini adalah karyawan

    profesional yang gemar sepakbola tapi tidak terlalu fanatik. Letak

    tempat duduk mereka saat menonton biasanya jauh dari para fans yang

    ugal-ugalan seperti Hooligan dan Ultras. Mereka tentu khawatir jika

    anak-anak mereka menjadi sasaran jika terjadi kericuhan massa.

    Christmas Tree, dipanggil Christmas Tree atau 'Pohon Natal'

    karena sekujur tubuh dan pakaiannya dipenuhi berbagai atribut tim

    mulai dari pin, badge, stiker, tato, corat-coret wajah dan rambut

    dengan aneka gaya. Berbeda dengan Ultra dan Hooligan yang selalu

    laki-laki, fans Christmas Tree bisa pria maupun wanita, tampil sendiri-

    sendiri maupun berpasang-pasangan. Mereka tak hanya menonton bola

  • 34

    tapi juga berusaha menunjukkan identitas negara atau tim favoritnya

    lewat busana tradisional khas negara mereka. Biasanya duduk

    berkelompok di areal yang jauh dari para Hooligan dan Ultra

    (Wahyudi, 2009:102).

    The Expert, sebagian besar adalah bapak-bapak pensiunan yang

    telah berumur. Mereka tak sayang menggunakan uang pensiunnya

    untuk nyemplung dalam ajang pertaruhan. Tak heran wajah mereka

    selalu tegang sepanjang pertandingan. Tak jarang pula nereka

    meneguk berbotol-botol minuman karena saking tegangnya (Wahyudi,

    2009:102).

    Namun para 'ahli' pertaruhan ini biasanya hanya tertarik pada

    pertandingan sekelas Piala Dunia dan Piala Eropa saja, bukan pada

    pertandingan liga atau antarklub. Di tangan mereka selalu tergenggam

    telepon dan koran untuk memprediksi akhir dari permainan. Letak

    duduk mereka selalu dekat gawang untuk memudahkan mereka

    berteriak memberi semangat. Layaknya pelatih, mereka juga

    mengarahkan strategi apa yang harus dijalankan pemain.

    Couch Potato, mungkin inilah kelompok terbesar dari fans

    sepakbola. Mereka ini tidak menonton langsung di stadion, melainkan

    lewat televisi di rumah. Tipe ini berasumsi bahwa menonton di televisi

  • 35

    lebih enak dan nyaman daripada membuang uang untuk sebuah

    pertandingan yang belum tentu bagus. Prinsip fans jenis ini adalah

    murah meriah. Sambil menonton, tersedia selalu camilan dan

    minuman didekatnya. Tak hanya keluarga, agar acara nonton lebih

    seru, mereka biasa mengundang tetangga dan keluarga besarnya. Di

    Indonesia dikenal istilah nonton bareng alias Nobar, meski hanya di

    depan televisi, mereka juga berdandan seolah - olah ada di dalam

    lapangan. Kaos tim, bendera, dan segala macam atribut ikut

    meramaikan ajang nonton bareng (Wahyudi, 2009:102).

    Fenomena Ultras mulai muncul di Italia pada akhir dekade 1960-

    an. Mereka sering mengklaim suatu titik khusus di stadion saat

    pertandingan berlangsung. Mereka juga memiliki beberapa

    karakteristik dalam mendukung timnya, termasuk menyanyikan yel-

    yel dan lagu-lagu dukungan ketika tim pujaan bertanding, tidak duduk

    selama pertandingan berlangsung, selalu berusaha menonton langsung

    setiap pertandingan, dan menempati tribun atau area tertentu di

    stadion.

    Ultras adalah kelompok suporter yang fanatik dan terkenal

    militan dalam mendukung tim kesayangan mereka. Ultras

    mempelopori suporter yang terorganisir dalam mendukung tim

    kesayangan dengan aksi-aksi yang teatrikal yang kemudian menjalar

  • 36

    ke beberapa Negara seperti Prancis, Denmark, Belanda, dan

    Skotlandia.

    Ultras identik dengan kelompok suporter yang sulit diatur.

    Dalam tradisi sepak bola Italia, Ultras adalah penguasa di dalam

    stadion. Mereka menganggap polisi adalah musuh, sehingga muncul

    istilah ACAB (All Cops Are Bastard), Ultras lebih memilih tribun

    dibelakang garis gawang karena polisi tidak diperkenankan berada di

    tribun ini (Wahyudi, 2009;157). Tribun belakang gawang ini

    kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva, Ultras menempati

    salah satu curva, baik curva nord (utara) maupun curva sud (selatan).

    Kelompok Ultras yang pertama kali muncul adalah Fossa dei

    Leoni (AC Milan) didirikan pada tahun 1968. Setahun kemudian para

    pendukung klub Internazionale Milan mendirikan Inter Club Fossati

    yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre dAzione

    Nerazzura). Fenomena Ultras sempat surut dan muncul lagi untuk

    menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada pertengahan

    tahun 1980-an (Wahyudi, 2009:159).

    Kekerasan juga menjadi hal yang buruk dalam sejarah Ultras di

    Italia, tetapi diluar itu, mereka juga memiliki kode etik tersendiri

    dalam kehidupannya. Biasanya grup Ultras akan bertempat di suatu

  • 37

    tribun di stadion di Italia, dan dipimpin oleh seseorang yang disebut

    CapoTifoso. Masalah timbul apabila ada seseorang (bukan anggota

    Ultras) yang telah memiliki tiket resmi, dan sudah antri untuk masuk

    ke tribun yang kebetulan ditempati Ultras dan mendapat tempat yang

    nyaman, tetapi ketika grup Ultras masuk, maka orang tersebut akan

    diusir dari tempat duduknya, memang tidak fair. Seorang CapoTifoso

    juga memiliki kekuatan tersendiri di tribun tersebut, apabila ia

    memerintahkan untuk melempar benda-benda kelapangan, maka akan

    dilemparkan benda tersebut ke lapangan, tetapi apabila ia melarang,

    maka tidak ada satupun tifosi yang berani melawannya.

    Fenomena Ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi

    yang dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik

    melanda Italia di akhir 1960-an. Ultras adalah simpati politik dan

    representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran

    politik yang beragam, meski mereka mendukung klub yang sama.

    Ultras memiliki andil ikut melestarikan paham-paham tua seperti fasis

    dan sosialis komunis.

    Dalam tradisi Ultras di Italia, terdapat beberapa kode etik yang

    disebut Ultras Codex. Salah satu fungsi kode etik itu adalah untuk

    mengatur pertempuran antar Ultras supaya bias berlangsung lebih adil

    dan berbudaya. Salah satu kode etik itu adalah dalam hal bukti

  • 38

    kemenangan, bendera dari Ultras yang kalah akan diambil oleh Ultras

    yang menang. Kode etik lainnya adalah seburuk apapun para tifosi itu

    mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, tidak diperkenankan untuk

    melapor ke polisi (Wahyudi, 2009:159).

    Pola tindak kebrutalan suporter Italia mengalami perubahan,

    Ultras kini meniru gaya Inggris dengan berhadapan langsung secara

    frontal. Selama ini bentuk kekerasan di persepakbolaan Italia lebih

    condong menggunakan petasan atau kembang api yang di lemparkan

    ke tengah lapangan. Kini pola itu mulai berubah. Seperti di Inggris,

    Ultras tidak lagi menggunakan atribut klub dan bergerak dalam

    kelompok kecil (Wahyudi, 2009).

    F. KERANGKA PEMIKIRAN

    Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggambar bagaimana

    konstruksi identitas Ultras bagi kelompok suporter Pasoepati Ultras di Kota

    Solo. Oleh karenanya diperlukan kerangka berpikir yang akan memberikan suatu

    gambaran konstruksi identitas itu terbentuk. Berikut ini adalah skema dari

    kerangka pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian ini :

  • 39

    Bagan 1. Kerangka Pemikiran

    Identitas merupakan hasil dari adanya konstruksi realitas sosial, faktor

    faktor yang membentuk identitas Ultras terdiri dari empat tingkatan.Personal

    Layer, adalah keadaan sesorang dengan identitas sesungguhnya, dalam penelitian

    ini yang dikatakan seseorang dalam tingkatan Personal Layer adalah seorang

    suporter yang hanya melihat dan mendukung sepak bola tanpa ada ideologi

    ataupun nilai nilai yang mengikat. Enactment layer, adalah saat dimana

    seseoarang mulai mengenal budaya yang lain, kaitannya dalam penelitian ini

    seseorang suporter yang hanya datang ke stadion mendukung tim, namun sudah

    mulai mengetahui dan mengenal ideologi suporter yang dalam hal ini adalah

    Ultras.

    Pada tingkatan ketiga, Relational adalah saat seorang suporter sudah

    mulai mengenal ideologi yang ada, dan ada sebuah ketertarikan untuk menjadi

    Identitas

    Identitas Ultras

    Personal Layer Enactment Layer Relational Communal

  • 40

    bagian dalam sebuah ideologi tersebut. Pada tingkatan terakhir yaitu communal,

    kaitannya dalam penelitian ini adalah seseorang yang sudah mengalamu ketiga

    tahap di atas yang awalnya hanya menjadi seorang suporter biasa, pada akhirnya

    menjadi bagian dalam suatu ideologi yang memiliki sebuah ikatan dalam

    mengekspresikan dukungannya terhadap tim kesayangannya, dalam hal ini

    seseorang telah memiliki ideologi seorang Ultras dan bergabung dalam

    Pasoepati Ultras.

    G. METODE PENELITIAN

    1. Pendekatan Penelitian

    Sebagai penelitian lapangan, penelitian ini dirancang dengan

    menggunakan metode pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan

    tradisi tertentu dalam dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

    bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri

    dan berhubungan dengan orang lain dalam bahasa dan peristilahannya. Dalam

    paradigma ini realitas sosial dipandang sebagai suatu yang holistik atau utuh,

    kompleks, dinamis dan penuh makna. David William (1995) menulis bahwa

    penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah,

    dengan menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh peneliti yang

    tertarik secara alamiah. (William dalam Moleong, 2012:5)

  • 41

    Metode fenomenologi pada awalnya merupakan suatu aliran filsafat.

    Menurut Driyakara (1981) secara etimologis, fenomenologi berasal dari akar

    kata yang berarti sinar, cahaya atau sesuatu yang memancar Akar kata ini

    kemudian dibentuk menjadi kata kerja yang berarti tampak, dan dapat dilihat

    karena bercahaya. Berdasarkan hal tersebut muncul kata fenomenon, yang

    berarti yang tampak. Oleh sebab itu kaum fenomenolog tidak sependapat

    dengan kaum sintis-rasionalis dan materialis yang hanya mengakui bahwa

    eksistensi realitas hanya apa yang dapat ditangkap oleh indera semata, dan

    tidak mengakui eksistensi internal dari realitas yang tampak. Mereka juga

    tidak sependapat dengan kaum idealis yang memandang eksistensi benda

    sebenarnya hanya terdapat dalam fikiran atau ide manusia, karena manusia

    tidak mampu menangkap atau memahami realita (Driyakarya dalam Mukhlis,

    2008:102).

    Fenomenologi dapat diartikan sebagai: 1) pengalaman subyektif atau

    pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran sebagaimana

    dikemukakan oleh Edmund Husserl dan diperbaharui oleh fenomenolog-

    fenomenolog lainnya. Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang

    menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subyektif manusia

    dan interpretasi- interpretasi dunia. Mengenai pendekatannya, peneliti

    mencari suatu formasi identitas sosial dari beberapa orang atau kelompok.

  • 42

    Tradisi studi Fenomenologi menurut Creswell adalah : Whereas a

    biography report the life of single individual, a phenomenological study

    describes the meaning of the live experiences for several individuals about a

    concept or the phenomenon (Kuswarno,2009:127). Dengan demikian,

    penelitian dengan pendekatan fenomenologi berupaya untuk menjelaskan

    pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, dalam hal

    ini adalah suporter Ultras termasuk tentang konstruksi identitasnya.

    2. Data dan Sumber Data

    Sumber data dalam penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam dua

    kelompok:

    A. Sumber Data Primer

    Sumber informan (human resources) yang dipilih berdasarkan

    kedekatan dan pengetahuan informan dengan peristiwa konflik yang

    berlangusung dari berbagai kalangan. Untuk sebuah studi fenomenologi,

    kriteria informan yang baik adalah all individuals studied represent

    people who have experienced the phenomenon (Creswell, 1998:118).

    B. Sumber Data Sekunder

    Sumber bahan cetak (kepustakaan) yang tidak diperoleh dari informan

    maupun dari luarinforman. Data sekunder diperlukan untuk memperkuat,

  • 43

    melengkapi, atau menguji kebenaran data yang diperoleh dari informan.

    Sumber bahan cetak ini meliputi transkripsi atau catatan hasil wawancara

    mendalam dengan para informan; dokumen tertulis, artikel di Koran,

    buku, Foto, Video dan semua data yang memuat informasi tentang

    Pasoepati Ultras.

    3. Teknik Penentuan Informan

    Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik

    purposive sampling atau sampling bertujuan. Sampling bertujuan adalah suatu

    strategi jika seseorang menginginkan agar dapat memahami sesuatu

    mengenai kasus-kasus terpilih tertentu tanpa membutuhkan (atau berhasrat)

    untuk menggeneralisasi kepada semua kasus seperti itu. Peneliti

    menggunakan purposive sampling untuk meningkatkan kegunaan informasi

    yang diperoleh dari sampel yang sedikit. Sampling bertujuan membutuhkan

    informasi yang diperoleh atau diketahui itu dalam fase penghimpunan data

    awal mengenai variasi di antara sub-sub unit sebelum sampel dipilih.

    Creswell mengemukakan, untuk sebuah studi fenomenologis, kriteria

    informan yang baik adalah : all individuals studied represent people who

    have experienced the phenomenon (Kuswarno, 2009:132). Jadi lebih tepat

    memilih informan yang benar benar seorang Ultras yang karena

    pengalamannya dia mampu mengartikulasikan pengalaman dan pandangannya

    tentang sesuatu yang dipertanyakan. Penentuan informan ini dengan kriteria

  • 44

    sebagai anggota Pasoepati Ultras sejak tahun 2009 dan mengetahui awal mula

    perjalanan Pasoepati Ultras.

    4. Teknik Pengumpulan Data

    Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian inidilakukan dengan

    berbagai cara dan teknik yang berasal dari berbagaisumber baik manusia

    maupun bukan manusia. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dan

    informasi yang digunakan adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang

    meliputi studi wawancara mendalam, studi dokumentasi, studi literatur dan

    observasi.

    Untuk menggali informasi dari sumber data yang dipilih digunakan

    sejumlah teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu observasi, wawancara

    mendalam, dan studi dokumentasi.

    a. Observasi atau pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dengan

    menyaksikan secara langsung realitas sosial, fakta sosial, atau peristiwa

    sosial yang menjadi objek penelitian. Pengamatan ini dilakukan pada

    lingkungan Kota Solo dimana anggota Pasoepati Ultras berkumpul,

    terutama untuk menyaksikan bagaimana anggota Pasoepati Ultras

    berkumpul dan melakukan aktivitas ketika sendiri maupun secara

    bersama sama baik ketika sedang mendukung tim Persis Solo maupun

    sedang tidak mendukung Persis Solo di lapangan.

  • 45

    b. Wawancara mendalam (indepth inverview) dilakukan dengan para

    informan baik secara formal maupun informal, interaktif, dan melalui

    pertanyaan dan jawaban yang terbuka. Walaupun pada awalnya peneliti

    sudah mempersiapkan daftar pertanyaan, pada pelaksanaannya, tidak

    kaku mengikuti daftar pertanyaan yang telah dibuat. Wawancara

    mengalir sesuai dengan respon atau jawaban informan. Hal terpenting

    dari kegiatan wawancara adalah dapat menggali semua data yang

    dicari.Seperti pada tradisi fenomenologi sebagaimana dikemukakan

    Creswell (1998:122) for a phenomenological study, the process of

    collecting information involves primarily in-depth interviewrs, maka

    dalam penelitian ini wawancara mendalam merupakan teknik

    pengumpulan data yang diutamakan.

    c. Studi Dokumentasi dilakukan untuk mempelajari sumber-sumber tertulis

    baik berupa laporan penelitian, dokumen, artikel di media massa, dan

    catatan-catatan pribadi, foto dan film, Studi dokumentasi ini dipilih atas

    dasar bahwa dalam sumber-sumber tertulis tersebut akan dapat diperoleh

    data dan pernyataan dari para pakar,informan,dan anggota Pasoepati

    Ultras, para pihak yang terlibat dalam proses perjalanan Pasoepati

    Ultras.

  • 46

    5. Teknik Keabsahan Data

    Triangulasi terdiri dari triangulasi sumber, metode, dan teori. Dalam

    penelitian ini penulis menggunakan pemeriksaan keabsahan data dengan

    menggunakan triangulasi sumber. Menurut Patton, triangulasi dengan sumber

    berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu

    informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam

    penelitian kualitatif (Moleong, 2011:330). Hal tersebut dapat dibandingkan

    dengan cara sebagai berikut :

    1. Membandingkan hasil data pengamatan dengan hasil data wawancara

    2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa

    yang dikatakan secara pribadi

    3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi

    penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu

    4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

    pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang

    berpendidikan menengah atau tinggi, orang yang berada, dan pemerintah

    5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

    berkaitan (Moleong,2011:331).

  • 47

    Berdasarkan pemaparan di atas, dalam penelitian ini keabsahan data

    dilakukan dengan cara sebagai berikut :

    1. Membandingkan hasil pengamatan di lapangan dengan hasil wawancara

    terhadap informan yang dilakukan penulis.

    2. Membandingkan hasil wawancara terhadap informan ketika ia berbicara

    mewakili diri sendiri dengan tanggung jawab yang ada di kelompok

    3. Membandingkan hasil wawancara dengan sumber dokumen terkasit, baik

    artikel, foto, maupun video.

    6. Teknik Analisis Data

    Creswell dalam bukunya yang berjudul Qualitative Inquiry and

    Research Design ; Choosing Among Five Traditions, mengemukakan teknik

    analisis dan representasi data yang agak berbeda untuk penelitian

    fenomenologi (Kuswarno, 2009:71). Secara rinci analisis data penelitian

    fenomenologi menurut Creswell, sebagai berikut :

    1. Peneliti memulai dengan mendiskripsikan secara menyeluruh

    pengalamannya.

    2. Peneliti kemudian menemukan pernyataan (dalam wawancara)

    tentang bagaimana orang orang memahami topik, rinci pernyataan

    pernyataan tersebut (horisonalisasi data) dan perlakukan setiap

  • 48

    pernyataan memiliki nilai yang setara, serta kembangkan rincian

    tersebut dengan tidak melakukan pengulangan atau tumpang tindih.

    3. Pernyataan pernyataan tersebut kemudian dikelompokan ke dalam

    unit unit bermakna (meaning unit), peneliti merinci unit unit

    tersebut dan menuliskan sebuah penjelasan teks (textural

    description) tentang pengalamannya, termasuk contoh contohnya

    secara seksama.

    4. Peneliti kemudian merfleksikan pemikirannya dan menggunakan

    variasi imajinatif (imaginative variation) atau deskripsi struktural

    (structural description), mencari keseluruhan makna yang

    memungkinkan dan melalui perspektif yang divergen (divergent

    persperctives), mempertimbangkan kerangka rujukan atas gejala

    (phenomenon), dan mengkonstruksi bagaimana gejala tersebut

    dialami.

    5. Peneliti kemudian mengkonsstruksi seluruh penjelasannya tentang

    makna dan esensi (essence) pengalamannya.

    6. Proses tersebut merupakan langkah awal peneliti mengungkapkan

    pengalamannya, dan kemudian diikuti pengalaman seluruh

    partisipan. Setelah semua itu dilakukan, kemudian menulis diskripsi

    gabungannya (composite description) (Kuswarno, 2009:72).


Recommended