+ All Categories
Home > Documents > KRITIK KONSUMERISME DI ERA POSMODERN ABSTRACT · consumption is a basic thing for humans. However,...

KRITIK KONSUMERISME DI ERA POSMODERN ABSTRACT · consumption is a basic thing for humans. However,...

Date post: 25-Apr-2019
Category:
Upload: dinhkien
View: 225 times
Download: 4 times
Share this document with a friend
33
KRITIK KONSUMERISME DI ERA POSMODERN Ahmad Rizqi Fadlilah 1 [email protected] ABSTRACT This paper, in detail, wants to highlight consumption. This is nothing else because consumption is a basic thing for humans. However, in this postmodern era, consumption actually had negative impacts, such as environmental, social, and psychology problems. These various problems occur when consumption is excessive. This excessive consumption behavior has even become a kind of new culture called consumer culture. This phenomenon of consumerism is a consequence of shifting the focus of Western society from production to consumption which together with the shift of their paradigm from modern to postmodern, so consumption experiences a shift in orientation, not only as an effort to fulfill needs, but also an effort to obtain social status. The problem is that consumption patterns in consumerism are influenced by materialism and hedonism. As a result, consumption only meets physical needs. In fact, humans are not only composed of material aspects, but also spiritual. Besides that, because the purpose of consumption is pleasure, anything can be done as long as it brings pleasure, although it must exclude moral values. Unlike consumerism, Islam views consumption from the perspective of Tawid, so it must be in line with Allah's instructions. Consequently, consumption will really bring malaah, not cause problems. Keywords: Consumerism, Ecstasy, Libidinal, Life-style, Postmodern. ABSTRAK Makalah ini, secara rinci ingin menyoroti konsumsi. Hal ini tidak lain karena konsumsi merupakan suatu hal yang asasi bagi manusia. Namun, pada era posmodern ini, konsumsi justru membawa dampak negatif, seperti problem lingkungan, soial, dan psikologi masyarakat. Berbagai macam problem inilah yang terjadi apabila konsumsi dilakukan dengan berlebihan. Perilaku konsumsi yang berlebihan ini bahkan telah menjadi semacam kebudayaan baru yang disebut dengan kebudayaan konsumer. Fenomena konsumerisme ini merupakan konsekuensi dari bergesernya fokus masyarakat Barat dari produksi ke konsumsi yang bersamaan dengan bergesernya paradigma mereka dari modern ke posmodern, sehingga konsumsi mengalami pergeseran orientasi, tidak hanya sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan, melainkan juga upaya untuk mendapat status sosial. Masalahnya, pola-pola konsumsi dalam konsumerisme tersebut dipengaruhi oleh paham materialisme dan hedonisme. Akibatnya, konsumsi hanya memenuhi kebutuhan fisik. Padahal, manusia tidak hanya tersusun atas aspek material saja, namun juga spiritual. Selain itu, karena tujuan konsumsi adalah kesenangan, maka apapun boleh dilakukan asalkan mendatangkan kesenangan, meskipun harus mengenyampingkan nilai-nilai moral. Tidak seperti konsumerisme, Islam memandang konsumsi dari kacamata tauhid, sehingga harus sejalan 1 Peserta PKU (Program Kaderisasi Ulama) Universitas Darussalam Gontor Angkatan XII
Transcript

KRITIK KONSUMERISME DI ERA POSMODERN

Ahmad Rizqi Fadlilah1

[email protected]

ABSTRACT

This paper, in detail, wants to highlight consumption. This is nothing else because

consumption is a basic thing for humans. However, in this postmodern era, consumption

actually had negative impacts, such as environmental, social, and psychology problems.

These various problems occur when consumption is excessive. This excessive consumption

behavior has even become a kind of new culture called consumer culture. This phenomenon

of consumerism is a consequence of shifting the focus of Western society from production to

consumption which together with the shift of their paradigm from modern to postmodern, so

consumption experiences a shift in orientation, not only as an effort to fulfill needs, but also

an effort to obtain social status. The problem is that consumption patterns in consumerism

are influenced by materialism and hedonism. As a result, consumption only meets physical

needs. In fact, humans are not only composed of material aspects, but also spiritual. Besides

that, because the purpose of consumption is pleasure, anything can be done as long as it

brings pleasure, although it must exclude moral values. Unlike consumerism, Islam views

consumption from the perspective of Tawḥid, so it must be in line with Allah's instructions.

Consequently, consumption will really bring maṣlaḥah, not cause problems.

Keywords: Consumerism, Ecstasy, Libidinal, Life-style, Postmodern.

ABSTRAK

Makalah ini, secara rinci ingin menyoroti konsumsi. Hal ini tidak lain karena

konsumsi merupakan suatu hal yang asasi bagi manusia. Namun, pada era posmodern ini,

konsumsi justru membawa dampak negatif, seperti problem lingkungan, soial, dan psikologi

masyarakat. Berbagai macam problem inilah yang terjadi apabila konsumsi dilakukan dengan

berlebihan. Perilaku konsumsi yang berlebihan ini bahkan telah menjadi semacam

kebudayaan baru yang disebut dengan kebudayaan konsumer. Fenomena konsumerisme ini

merupakan konsekuensi dari bergesernya fokus masyarakat Barat dari produksi ke konsumsi

yang bersamaan dengan bergesernya paradigma mereka dari modern ke posmodern, sehingga

konsumsi mengalami pergeseran orientasi, tidak hanya sebagai upaya untuk memenuhi

kebutuhan, melainkan juga upaya untuk mendapat status sosial. Masalahnya, pola-pola

konsumsi dalam konsumerisme tersebut dipengaruhi oleh paham materialisme dan

hedonisme. Akibatnya, konsumsi hanya memenuhi kebutuhan fisik. Padahal, manusia tidak

hanya tersusun atas aspek material saja, namun juga spiritual. Selain itu, karena tujuan

konsumsi adalah kesenangan, maka apapun boleh dilakukan asalkan mendatangkan

kesenangan, meskipun harus mengenyampingkan nilai-nilai moral. Tidak seperti

konsumerisme, Islam memandang konsumsi dari kacamata tauhid, sehingga harus sejalan

1 Peserta PKU (Program Kaderisasi Ulama) Universitas Darussalam Gontor Angkatan XII

dengan petunjuk Allah. Dengan demikian, konsumsi akan benar-benar mendatangkan

maslahat, bukan mendatangkan problem.

Kata Kunci: Ekstasi, Gaya Hidup, Konsumerisme, Libidinal, Posmodern.

PENDAHULUAN

Sejak beberapa dekade lalu, masyarakat dunia dihadapkan oleh beragam problematika.

Diantara problem-problem tersebut adalah penipisan lapisan ozon2 yang menyebabkan

pemanasan global (global warming). Penipisan lapisan ozon ini dipicu oleh beberapa sebab,

diantaranya adalah peningkatan aktivitas produksi dan konsumsi manusia.3 Selain itu,

konsumsi yang meningkat hingga taraf berlebih ini juga menyebabkan masalah limbah dan

pencemaran.4 Namun demikian, di tengah-tengah krisis lingkungan yang telah sedemikian

rupa ini, masyarakat belum tergerak untuk beranjak dari kegemaran belanja dan sikap

konsumtif.5 Padahal, perilaku konsumtif ini, selain berdampak negatif bagi aspek lingkungan,

juga berdampak negatif terhadap aspek dan psikologis masyarakat itu sendiri. Sebagai

contoh, demi memenuhi kebutuhan gaya hidup, tidak sedikit individu masyarakat yang

menggadaikan nilai moral, mulai dari manipulasi hingga korupsi. Tujuan masyarakat untuk

hidup dalam kemaslahatan nurani kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual telah dialihkan oleh

sikap konsumtif yang membangkitkan ketergiuran akan barang-barang. Tidak jarang pula,

rasionalitas dikesampingkan demi terpenuhinya citra, prestise, dan status soial.

Pelbagai problematika masyarakat dunia ini dilatarbelakangi oleh banyak hal.

Diantaranya adalah pergeseran paradigma masyarakat dari modern ke posmodern. Wacana

posmodernisme, dalam aspek ekonominya yang kapitalis, menyebabkan peningkatan

kuantitas konsumsi. Fokus masyarakat pun turut bergeser dari produksi ke konsumsi. Realita

ini kemudian memunculkan kebudayaan baru yaitu budaya konsumer atau konsumerisme.

Dalam diskursus konsumerisme, konsumsi tidak lagi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan,

2 Menipisnya lapian ozon banyak diakibatkan oleh pengaruh Gas Rumah Kaca (Karbon Dioksida,

Metana, Nitrus Oksida, Belerang Dioksida, dan Nitrogen Oksida). Meningkatnya jumlah kendaraan dan

peningkatan penggunaan bahan bakar menjadi perhatian utama dalam hal ini. Di indonesia sendiri, Emisi CO2

yang berasal dari kendaraan bermotor meningkat pada tahun 2014 menjadi 126,56 juta ton dari 95,925 juta ton

pada tahun 2010. Lihat Subdirektorat Statistik Lingkungan Hidup, Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2016,

(Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2016), p. 147-150

3 Aktivitas produksi dan industri dalam semua sektor ekonomi, mulai dari industri ekstraktif, pertanian,

energi, transportasi, manufaktur, dan yang semacamnya merupakan penyumbang terbesar bagi problem

lingkungan. Namun demikian, semua aktifitas produksi terebut dipengaruhi secara fundamental oleh pola

konsumsi masyarakat. Lebih-lebih di era konsumerisme seperti saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi

informasi, melalui media dan periklanan, masyarakat didorong untuk terus mengkonsumsi atau membeli

berbagai barang produksi meskipun pada dasarnya barang-barang tersebut tidak begitu dibutuhkan. Lihat The

European Environtment State and Outlook 2010, Consumption and Environtment, (Luxembourg: Publication

Office of the European Union, 2010)

4 Konsumsi yang berlebihan menimbulkan sampah yang menumpuk sehingga menyebabkan

pencemaran tanah. Limbah pabrik dan industri juga tidak dapat dipungkiri menyebabkan pencemaran air. Lihat

Siti Fatimah, Menggali Perkembangan Metode Penelitian Ekologi: Perspektif Pemikiran Fritjof Capra,

(Yogyakarta: Penerbit Depublish, 2013), p. 72

5 Penyelesaian masalah lingkungan selama ini masih terfokus pada aspek fisik-material dari lingkungan

hidup, seperti penggantian kantong plastik sekali pakai dengan kantong bawaan sendiri yang dapat dipakai

berkali-kali. Sedangkan penyelesaian masalah yang menyentuh sikap hidup, gaya hidup, mentalitas, cara

berpikir, dan perilaku belum banyak diangkat dalam berbagai macam diskusi. Lihat Amin Abdullah, Falsafah

Kalam di Era Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), p. 212

melainkan hasrat dan keinginan. Konsumsi tidak lagi dalam rangka memanfaatkan nilai guna,

melainkan lebih kepada nilai tanda (sign value). Logika yang digunakan oleh masyarakat

konsumer tidak lagi logika kebutuhan, melainkan logika hasrat. Konsumerisme, dengan cara

pandangnya yang materialistis dan hedonistis, telah mentransformasikan konsumsi sebagai

pusat aktivitas kehidupan.6 Ruang publik pun penuh dengan stimulus dan ajakan untuk selalu

mengkonsumsi. Kondisi yang sedemikian ini, apabila diteruskan tanpa tindak lanjut melalui

langkah-langkah pencegahan, niscaya yang terjadi adalah berbagai problematika, kekacauan,

dan ketidakseimbangan tata hidup masyarakat.

Pada dasarnya, manusia tidak lepas dari kegiatan konsumsi. Konsumsi adalah naluri

dan tabiat utama manusia, mulai dari makanan, pakaian, tempat tiggal, kendaraan, akses

komunikasi, liburan, hingga penggunaan jasa. Maka, dalam segala hal, manusia adalah

konsumen. Artinya, kegiatan konsumsi merupakan sebuah kegiatan yang wajar dan asasi bagi

setiap manusia. Dalam Islam, konsumsi merupakan aktifitas yang dijamin

keberlangsungannya. Islam tidak melarang manusia untuk menikmati setiap nikmat yang

telah dianugerahkan. Islam juga tidak melarang untuk berlibur menghibur diri maupun

berhias dengan mengenakan pakaian yang indah. Hanya saja, Islam mengatur kegiatan

konsumsi agar senantiasa dalam kondisi yang seimbang dan tidak berlebih-lebihan. Dengan

cara pandang tauhid, Islam menuntun masyarakat kepada keseimbangan yang sempurna

dalam segala hal sehingga menjamin lingkungan dari pengrusakan serta menjaga manusia

dari berbagai problem yang ditimbulkan dari perilaku over consumption.7 Makalah ini

bertujuan untuk mengetahui pola-pola konsumsi dalam kebudayaan konsumer, dampak-

dampak, kritik-kritik, sebab-sebabnya, beserta akhlaq konsumsi dalam Islam sebagai tawaran

solusi atas problem konsumsi dalam konsumerisme.

2. POSMODERN DAN KONSUMERISME

2.1. Posmodern

Diskusi mengenai posmodern merupakan suatu bahasan yang kompleks, luas, beragam,

bahkan penuh pertentangan. Secara harfiah, posmodern tersusun atas kata pos dan modern.8

Pos dapat dimaknai sebagai masa setelah, sehingga posmodern mengandung arti era setelah

modern. Sebagai sebuah gerakan intelektual dan budaya, posmodern berkembang luas

sesudah Perang Dunia II.9 Sayangnya, mendefinisikan posmodern secara spesifik bukanlah

suatu hal yang mudah. Alih-alih sederhana, istilah tersebut justru mengandung silang

6 Douglas Kellner, Jean Baudrillard: From Marxis to Postmodernism and Beyond, (California:

Stanford University Press, 1989), p. 13

7 Ibrahim Abdul Matin, Greendeen: What Islam Teachs about Protecting the Planet, diterjemahkan

oleh Aisyah, (Jakarta: Penerbit Zaman, 2012), p. 58

8 Istilah „modern‟ sendiri berasal dari bahasa Latin modernus, yang digunakan untuk membedakan

keadaan orang-orang Kristen dengan orang-orang Romawi dari masa pagan yang telah lalu. Sesudah itu, istilah

ini digunakan untuk menempatkan kondisi masa kini dalam hubungan dengan berlalunya zaman purba, yang

muncul dan muncul kembali secara pasti selama periode tersebut di Eropa ketika kesadaran terhadap zaman

baru membentuk dirinya melalui hubungan yang diperbarui dengan masa lalu. Modern, secara sederhana juga

disebut dengan masa setelah masa pertengahan (medieval age). Lihat Crane Brinton, The Shaping of Modern

Thought, (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1963), p. 22

9 Kevin O`Donnel, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), p. 7

pendapat di kalangan para teoretikus.10

Menurut Jean Francois Lyotard, posmodern

merupakan bentuk diskontinuitas atau pemutusan hubungan secara total dari segala aspek

kemodernan.11

Bagi Jean Baudrillard, Michele Foucalt, dan Jacquese Derrida, posmodern

adalah bentuk modern yang lebih radikal. Dalam pandangan Anthony Giddens, posmodern

pada dasarnya adalah wajah kemodernan yang telah sadar diri. Sedangkan Jurgen Habermas

lebih mengartikan posmodern dengan „suatu tahap dari proyek modern yang belum selesai‟.

Singkat kata, posmodern merupakan respon atas modern. Oleh karena itu, apabila diajukan

sebuah pertanyaan “pada zaman apakah masyarakat hidup saat ini?”, maka jawabannya

adalah bahwa masyarakat hidup di zaman modern, namun bukan modern sebagaimana di

awal kemunculannya, melainkan modern yang radikal, yang dikritik, atau yang disebut

posmodern.

Istilah posmodern pada dasarnya mencakup dua istilah lainnya, yaitu posmodernisme

dan posmodernitas. Dua istilah ini seringkali dianggap sama sehingga maknanya menjadi

kabur. Istilah posmodernitas sendiri menunjuk pada suatu epos (jangka waktu, zaman, atau

periode) sosial, politik, maupun budaya yang mengiringi modernitas dalam suatu pemahaman

sejarah. Posmodernitas juga merujuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi,

globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme, usangnya negara-bangsa, dan

pengembalian kembali inspirasi tradisi.12

Berdasarkan pelbagai realitas yang ada, masyarakat

dalam era posmodern (baca: posmodernitas) seringkali disebut juga dengan masyarakat

konsumer, masyarakat tontonan, masyarakat komputer, masyarakat pasca-industri, maupun

masyarakat tanda.13

Lain dari pada itu, Istilah posmodernisme lebih menunjuk pada produk

budaya (dalam seni, arsitektur, film, dan semacamnya) yang berbeda dari produk budaya

modern. Posmodernisme juga menunjuk kepada konsep-konsep berpikir kritis dan filosofis

terhadap pandangan dunia, epistemologi, dan ideologi-ideologi modern yang rasional dan

struktural.14

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa posmodernisme dimaknai sebagai

suatu konsep berpikir dan ideologi, sedangkan posmodernitas lebih dimaknai sebagai suatu

kondisi, fenomena budaya, maupun realita masyarakat, sehingga seseorang bisa saja menolak

posmodern(isme), akan tetapi ia tidak bisa mengelak bahwa ia hidup di era posmodern(itas).

Karena posmodern merupakan respon atas modern, maka pembahasan mengenai hal

tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berkaitan dengan hal ini, setidaknya ada

beberapa hal yang membedakan antara watak modern dan posmodern. Pertama, modern

10 Bahkan, The Modern-Day Dictionary of Received Ideas merumuskan istilah posmodernisme sebagai

berikut: “Kata ini tak punya arti. Gunakan saja sebanyak dan sesering mungkin.” Lihat: Mike Featherstone,

Posmodernisme dan Budaya Konsumen, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20XX)

11

Lyotard menyatakan bahwa postmodern merupakan penolakan terhadap grand-narrative. Grand-

narrative atau cerita-cerita besar merupakan narasi yang melegiimasi Ilmu pengetahuan. Menurutnya ilmu

pengetahuan pra-modern dan modern didasarkan atas prinsip atau bentuk kesatuan (unity). Namun, dengan

munculnya teknologi informasi, kepercayaan pada kesatuan ilmu pengetahuan dan narasi besar itu menjadi

lenyap. Lihat Yusuf Akhyar Lubis, Postmodernisme: Teori dan Metode, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), p. 22-

23

12

Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,

1996), p. 24

13

Medhy Aginta Hidayat, Op. Cit.,

14

Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan

Poskolonial, Cetakan ke IV (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016)

mengutamakan nilai guna (use value), sedangkan posmodern lebih mengutamakan nilai tanda

(sign value). Di kalangan masyarakat modern, motif di balik pemilihan objek konsumsi

adalah kegunaannya. Sedangkan di kalangan masyarakat posmodern, objek konsumsi dipilih

atas dasar prestise maupun status sosial yang melekat pada objek tersebut.15

Kedua, modern

mengutamakan yang real, sedangkan posmodern lebih mengutamakan citra. Pada era modern,

segala sesuatu ditempatkan pada posisinya; sebuah simbol menggambarkan aslinya.

Seseorang yang bergamis dan bersurban (simbol) adalah seorang ustadz. Sedangkan pada era

posmodern, terjadi silang-cengkarut tanda. Seseorang yang bergamis dan bersurban, bisa jadi

orang biasa yang dicitrakan sebagai seorang ustadz. Celakanya, masyarakat seringkali

terjebak dalam permainan citra, di mana yang dicitrakan lebih dianggap nyata ketimbang

yang asli itu sendiri.16

Ketiga, modern didominasi oleh budaya tinggi, sedangkan posmodern

lebih didominasi oleh budaya populer. Apabila diteliti, dalam posmodern, gaya, tren, citra,

aspek luaran, dan semacamnya terlihat menonjol daripada substansi dan makna, sehingga

dengan demikian, posmodern menunjukkan wataknya yang lebih menekankan hakikat

superfisial, dangkal, dan keberlakuan masa pendek.17

Apabila modern merupakan upaya sekularisasi, maka posmodern—sebagai kelanjutan

misi dan isi moder—akan dimaknai sebagai fase yang semakin maju, semakin sekular, serta

semakin jauh dari nilai-nilai moral dan spiritual.18

Berbicara masalah moral, pada hakikatnya

berbicara masalah batas-batas, maupun garis-garis pemisah antara yang baik dan yang buruk.

Akan tetapi, dalam wacana posmodern, pembicaraan mengenai moral adalah pembicaraan di

dalam sebuah ruang yang tanpa garis-garis pemisah. Dalam tataran moral, posmodernisme

merupakan sebuah wacana di mana batas-batas pemisah tersebut justru didekonstruksi,

dibongkar, dan dicairkan. Posmodernisme adalah sebuah wacana di mana yang baik dan yang

buruk menjadi bias dan relatif. Suatu hal ang baik bisa jadi dianggap buruk, yang buruk bisa

jadi dianggap baik; yang nyata dapat dikatakan ilusi, yang ilusi dapat dikatakan nyata.

Moralitas dalam posmodernisme merupakan ketidakpastian moralitas itu sendiri.19

2.2. Konsumerisme

Diantara fenomena budaya masyarakat yang tumbuh seiring dengan pergeseran paradigma

masyarakat dari modernisme kepada posmodernisme adalah kebudayaan konsumer atau

konsumerisme. Konsumerisme merupakan ideologi masyarakat posmodern di mana makna

hidup ditentukan oleh kegiatan konsumsi material dan kebahagiaan diukur pada hal-hal

bendawi.20

Dalam kebudayaan konsumer, konsumsi tidak lagi bermakna kegiatan pemenuhan

nilai guna, melainkan nilai tanda dengan pola dan tempo pengaturan tertentu, dan inilah

15 Madan Sarup, An Introdoctury Guide to Post-Structuralism and Postmodernism, diterjemahkan oleh

Medhy Aginta Hidayat, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), p. 254

16

Ibid, p. 257

17

Rahma Sugihartati, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer, (Jakarta:

Penerbit Kencana, 2014), p. 154

18

A. Qodry Azizi, Melawan Globalisasi: Reintrepretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan

Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), p. 13

19

Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital, (Jakarta:

Grasindo, 2004), p. 144

20

Yapi Tambayong, Kamus Isme-Isme: Filsafat, Teologi, Seni, Sosial, Politik, Hukum, Psikologi,

Biologi, Medis, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2013), p. 131

hakikat budaya konsumerisme. Dengan demikian, konsumerisme juga dapat dimaknai

sebagai budaya konsumsi yang ditopang oleh diferensiasi secara berkelanjutan melalui citra,

tanda, dan simbol; ia juga merupakan budaya belanja yang di dorong oleh logika hasrat

(desire) dan keinginan (want), bukan logika kebutuhan (need).21

Pada era posmodern, konsumerisme dicirikan dengan beberapa hal. Pertama,

keberadaan masyarakat yang memformulasikan tujuan hidup dalam rangka mendapatkan

barang-barang konsumsi yang tidak dibutuhkan. Kedua, masyarakat yang menjadikan

barang-barang konsumsi sebagai penanda identitas mereka. Ketiga, keberadaan pemilik

modal yang selalu menarik masyarakat untuk terus membeli barang-barang konsumsi lebih

dari yang mereka butuhkan melalui manipulasi periklanan dan kemasan.22

Dapat

disimpulkan, konsumerisme bukan lagi konsumtif, melainkan gerakan manipulasi tingkah

laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi pemasaran sehingga apa yang dituju

bukan lagi pemenuhan kebutuhan, melainkan kesenangan semata dan pemenuhan hasrat.23

Munculnya konsumerisme di era posmodern tidak lepas dari kapitalisme. Sebagai

ideologi ekonomi, kapitalisme telah mengalami perkembangan. Pada tahap awal

kemunculannya, atau yang disebut kapitalisme pasar, ideologi ekonomi dideskripsikan engan

munculnya pasar nasional yang tersatukan.24

Dalam perjalanannya, kapitalisme pasar

berkembang menjadi kapitalisme imperialis yang ditandai dengan kemunculan suatu jaringan

kapitalisme global seiring dengan upaya kolonialisasi dan penetrasi.25

Seiring dengan

pergeseran paradigma masyarakat dari modernisme ke posmodernisme, kapitalisme

bertransformasi menjadi kapitalisme tahap akhir yang diindikasikan dengan adanya ekspansi

luar biasa besar sehingga lahirlah ideologi kapitalis multinasional.26

Dalam era kapitalisme

multinasional ini, kapitalisme tahap akhir, dicirikan dengan merebaknya ekonomi tanda atau

sign economy dan komodifikasi besar-besaran di hampir semua ruang kehidupan melalui

proses globalisasi.27

Selanjutnya, ideologi kapitalisme lanjut (late capitalism) secara sosial

diterima sebagai budaya konsumer atau konsumerisme.

Dalam wacana posmodern, konsumerisme berkaitan dengan kekuatan industri budaya

yang memengaruhi konsumen agar terus mengkonsumsi produk-produk, termasuk di

dalamnya isu-isu tentang perkembangan kapitalisme, komodifikasi, gaya hidup, dan

semacamnya. Dalam hal ini, diantara pergeseran perilaku dari modern menuju posmodern

yang paling menonjol di kalangan masyarakat adalah, pertama, pergeseran fokus masyarakat

21 Yasraf Amir Piliang, Op. Cit., p. 296

22

Peter N. Stearns, Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire, (New York:

Routledge, 2001), p. ix

23

Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998), p. 251

24

Frederich Jameson, Postmodern or the Cultural Logic of Late Capitalism, p. 36

25

Ibid, p. 36

26

Ibid, p. 37

27

Sebagaimana telah disinggung, globalisasi memang berkaitan erat dengan kapitalisme. Dalam hal ini

globalisasi seperti kendaraan yang mengangkut ideologi kapitalisme dengan cara liberalisasi institusi-institusi

finansial, swastanisasi badan-badan usaha negara, dan penyebaran demokrasi liberal. Pada aspek budaya,

kapitalisme dan globalisasi secara bersama membentuk kultur baru yang disebarkan melalui industri hiburan dan

teknologi informasi untuk mempromosikan (pos)modernitas serta mempropagandakan konsumerisme. Lihat

Akhmad Jenggis Prabowo, 10 Isu Global di Dunia Islam, (Yogyakarta: NFP Publishing, 2012), p. 72

dari produksi menuju konsumsi.28

Pergeseran ini muncul terutama setelah perang dunia ke

dua di mana publik tidak lagi sibuk mendiskusikan isu politik dan lebih fokus kepada upaya

perbaikan pasca perang melalui program tritunggal, perumahan sub-urban, mobil, dan TV.29

Kedua, pergeseran fokus kapitalisme dari pengeksploitasian pekerja ke pengeksploitasian

konsumen. Akibatnya, masalah sosial yang muncul bukan lagi soal eksploitasi buruh,

melainkan hegemonisasi dan manipulasi hasrat konsumen.30

Manipulasi hasrat ini

diantaranya adalah melalui penciptaan alat-alat konsumsi yang sepertinya memudahkan

namun pada kenyataannya justru membujuk masyarakat sebagai konsumen. Sebagai contoh,

penggunaan kartu kredit. Hal ini menyebabkan masyarakat membelanjakan uang lebih

banyak daripada semestinya serta melebihi persediaan uang yang ada. Dengan kondisi seperti

ini, adagium “I Think Therefore I am” agaknya tidak lagi relevan dan telah tergeser posisinya

oleh adagium lain “I Shop Therefore I am.”

3. POLA KONSUMSI

3.1. Konsumsi Libidinal

3.1.1. Pengertian

Salah satu di antara fenomena masyarakat dalam kebudayaan konsumer adalah konsumsi

libidinal. Konsumsi libidinal merupakan pola konsumsi yang memperturutkan libido. Libido

dalam konteks konsumerisme bukan hanya bermakna nafsu naluriah untuk berhubungan

badan, ia lebih bermakna energi emosional, psikis, maupun seksual yang cenderung memilih

objek kepuasan dengan cara melampaui setiap konvensi sosial atau sesuatu yang dianggap

tabu. Libido juga merupakan semacam dorongan nafsu agresif pada barang-barang produksi.

Akibatnya, logika yang digunakan masyarakat mengalami pergeseran dari logika ekonomi

kebutuhan ke logika ekonomi libido (libidinal economy).31

Dengan demikian, fenomena

konsumsi yang menggejala dalam kebudayaan konsumer adalah konsumsi di bawah pengaruh

ekonomi libidinal atau sistem ekonomi yang menjadikan segala bentuk potensi nafsu dan

hasrat sebagai komoditi. Berkaitan dengan hal ini, Lyotard menyampaikan bahwa setiap

potensi dorongan hasrat, setiap energi nafsu, harus dijadikan alat tukar menggunakan trik-trik

untuk mengkapitalisasikan seluruh intensitas libido demi nilai keuntungan. “they are content

to use every petty trick in order to capitalize on libidinal intensities in the interests of

surplues-value”32

Dalam rangka memaksimalkan nilai keuntungan tersebut, kapitalisme lanjutan

berupaya untuk selalu menerapkan model ekonomi libidinal dengan cara memproduksi tanpa

henti, bukan hanya barang-barang, tapi juga rasa kurang (lack) dalam agregat besar,

28 Hal ini diindikasikan dari kenyataan bahwa penciptaan alat konsumsi lebih diprioritaskan ketimbang

penciptaan alat produksi sebagaimana pada masa modern. Tujuannya adalah menjaga perputadan modal agar

tetap stabil, sehingga fokus kapitalisme bergerak dari eksploitasi pekerja ke eksploitasi konsumen. Lihat George

Ritzer, Teori Sosial Posmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), p. 374-5

29

Petrus Madsen, Posmodernisme dan Kapitalisme Akhir, dalam Steiner Kvale (Ed.), Psikologi dan

Posmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), p. 359

30

Ibid, p. 375

31

Jean Francois Lyotard, Libidinal Economy, (indianapolis: Indiana University Press), p. 64

32

Ibid, p. 64

meskipun di mana-mana terdapat kelimpahan. Lebih spesifik, kapitalisme lanjutan

menjalankan sistem ekonomi libidinalnya dengan cara mengontrol penyerapan sumber daya-

sumber daya yang melimpah.

“On the one hand, it alone is capable of realizing capitalism`s supreme goal, which is to

produce lack in the large aggregates, to introduce lack where there is always too much, by

effecting the absorption of overabundant resources.”33

Pada era posmodern ini, kebutuhan pada akhirnya bukan lagi berwujud primer, sekunder,

maupun tersier, melainkan telah melampaui kebutuhan alami, yang lebih mirip hasrat atau

libido yang tidak diketahui letak tapal batasnya. Pelampiasan hasrat seakan-akan menjadi

prasayarat bagi tercapainya perjuangan revolusi kebudayaan.34

3.1.2. Contoh Fenomena

Berkaitan dengan konsumsi libidinal sebagaimana telah diterangkan di atas, praktek yang

terjadi di masyarakat, diantaranya, bagi setiap individu, memenuhi kebutuhan akan moda

transportasi berupa sepeda merupakan suatu hal yang wajar. Ketika kebutuhan meningkat,

dalam rangka menempuh jarak yang lebih jauh misalnya, maka pemenuhan sepeda motor

juga masih dikatakan wajar. Namun, terkadang muncul keinginan untuk membeli sebuah

mobil. Saat sebuah mobil mampu dimiliki, tidak jarang pula ia ingin membeli sebuah mobil

yang lain, dan begitu seterusnya. Dalam kasus ini, semua intensitas keinginan, kesenangan,

senantiasa digali dan dimodifikasi. Tidak cukup satu sepeda motor, satu mobil, satu rumah,

satu kesenangan, dan sebagainya.

Contoh yang lain, seringkali terjadi di kalangan masyarakat aktivitas belanja busana

dan pakaian di pusat-pusat perbelanjaan setiap kali ada diskon, secara khusus pada momen-

momen tahunan seperti menjelang hari raya, tahun baru, dan semacamnya. Hingga level

tertentu, bahkan fenomena seperti ini dianggap suatu hal yang wajar. Dalam hal ini, libido

atau energi nafsu yang dipancing dengan iming-iming diskon menjadikan masyarakat merasa

seakan butuh untuk membelinya meskipun pada dasarnya jumlah pakaian yang dimiliki lebih

dari cukup untuk dikenakan.

Tidak jarang pula, dalam rangka memenuhi dan memperturutkan hasrat, seseorang

mengabaikan nilai-nilai moral. Budaya malu yang harusnya dijunjung tinggi, perlahan mulai

pudar, seperti halnya perilaku beberapa oknum pejabat yang tetap tersenyum di tengah

kerumunan massa, meskipun mengenakan rompi oranye dan dituntun keluar dari gedung

pemeriksaan menuju mobil tahanan. Apabila dianalisa, mereka pada dasarnya bukanlah

bagian dari kalangan miskin. Hanya saja, kekayaan yang dimiliki masih dirasa kurang.

Penyebabnya adalah karena hasrat yang diperturutkan, padahal sifat hasrat adalah

memproduksi rasa kekurangan di tengah kelimpahan.

3.1.3. Dampak dan Kritik

33 Gillez Deleuze & Felix Guattari, Op. Cit., p. 235

34

Sebagaimana disampaikan oleh Guattari “A Great many people today agree that no revolutionary

struggle is really possible any longer that does not also commit itself to the liberation of desire.” Lihat Felix

Guattari, Molecular Revolution, (London: Penguin Book, 1981), p. 86

Perlu dipahami bahwa libido atau energi hasrat merupakan suatu ilusi yang mengecoh jiwa

seseorang. Dalam perspektif Guattari, libido merupakan energi khusus yang tersimpan dalam

diri setiap individu untuk menggerakkan semacam mesin hasrat (desiring machine).35

Mesin

hasrat ini senantiasa memproduksi permintaan yang tidak pernah terpuaskan, atau apa yang

dikenal dengan hasrat (desire) itu sendiri. Hal ini bukanlah suatu hal yang aneh, sebab pada

dasarnya, karakteristik hasrat adalah bahwa ia tidak pernah mau terpancang pada teritorial, ia

bersifat deteritorial. Artinya, hasrat tidak berhenti pada satu kepuasan, melainkan kepuasan-

kepuasan baru meskipun harus melampaui nilai-nilai moral. Akibatnya, seseorang tidak lagi

perlu membedakan antara moral dan amoral.

Libido (Energi Hasrat) Mesin Hasrat Hasrat

Dalam pandangan Lacan, hasrat merupakan energi penggerak yang sifatnya tidak

terbatas, tidak terpuaskan. Dalam teorinya oedipusnya, Lacan membedakan antara kebutuhan

(need), keinginan (demand), dan hasrat (desire). Masing-masing dari unsur tersebut

dikonsepsikan dengan sebutan realitas (the real), imajiner (imaginary), dan simbolik

(symbolic).36

Kebutuhan (need) merupakan energi pendorong dalam diri manusia yang dapat

dipenuhi maupun dilengkapi, meskipun tidak seluruhnya. Sedangkan hasrat (desire),

sebagaimana keinginan, ia merupakan energi dalam diri manusia yang tidak dapat

dipuaskan.37

Secara praktis, hasrat berperan sebagai kekuatan pendorong aparat psikis

(kondisi kejiwaan), yang diarahkan sesuai dengan persepsi tentang sesuatu yang

menyenangkan dan sesuatu yang tidak menyenangkan, yang tidak dimiliki oleh kebutuhan

(need). Nafsu kemudian dikuasai oleh permintaan (demand) yang darinya nafsu lahir dalam

intensitas yang baru. Apabila permintaan (demand) dapat dipenuhi oleh objek-objek, tidak

demikian dengan nafsu. Sebab nafsu selalu menginginkan sesuatu yang berbeda dari objek

yang ditawarkan.38

Berkaitan dengan hasrat, Imam Bushiri mengatakan bahwa ia merupakan energi yang

perlu dikendalikan. Dalam hal ini, Imam Bushiri menganalogikan hasrat dengan bayi yang

menyusui.39

Apabila bayi itu tidak dipisahkan dari susuannya, maka ia akan tumbuh dewasa

dalam keadaan masih menyusui. Begitu pula dengan hasrat, apabila hasrat tersebut tidak

dikendalikan, maka ia akan senantiasa tumbuh seiring dengan pertumbuhan seseorang. Maka,

seabagaimana bayi harus dipisahkan dari susuannya dalam rangka memutus siklus penyusuan

tersebut, begitu pula nafsu harus dibatasi dalam rangka memutus mata rantai ketergantungan.

35 Gillez Deleuze & Felix Guattari, Anti-Oedipus: Capitalism and Skizofrenia, p. 2

36

Jacques Lacan, Ecrits: The First Complete Edition in English, translated by Bruce Fink, (New York:

Norton & Company, 2002), p. 38

37

Diskusi yang lebih jelas dan detail dapat dilihat pada Mark Bracher: Jacques Lacan: Diskursus dan

Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis, (Yogyakarta: Jalasutra)

38

Jacques Lacan, Op. Cit., p. 187

39

Dalam syairnya, Imam Bushiri mengatakan “an-Nafsu ka al-ṭifli in tuhmilhu syabba `ala # ḥubbi al-

raḍā`i wa in tuhmilhu yanfaṭimu” (hawa nafsu itu bagaikan anak kecil apabila engkau tidak melepaskannya dari

susuan niscaya ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan masih menyususi, namum apabila engkau

melepaskannya niscaya ia akan terlepas darinya) Lihat Muhammad bin Muslihuddin Mustafa al-Qujawi al-

Hanafi, Hasyiyah Muhyiddin Syaikh Zadah `ala Tafsir al-Qadi al-Baydawi, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kutub al-

`ilmiyyah, 1999), p. 250

Lebih jauh, kegiatan produksi dalam sistem ekonomi libidinal tidak hanya bertujuan

untuk menciptakan barang, namun juga nafsu (salah satunya melalui media iklan). Akibatnya,

kebutuhan masyarakat yang sebenarnya semu, menjadi kebutuhan biologis—yang harus

dipenuhi—secara tiba-tiba. Apabila kebutuhan-kebutuhan semu tersebut tidak dipenuhi, yang

terjadi adalah kepanikan dan kekhawatiran akan kesan ketinggalan zaman atau tertinggal tren

mode. Seakan-akan, kehidupan hanya akan terwujud dengan membeli barang-barang

tersebut, bila tidak mereka akan frustasi. Dengan terbentuknya mental konsumtif dan

perasaan haus untuk membeli dan membeli lagi produk baru, produsen pemilik modal seolah-

olah hanya memenuhi apa yang diminta konsumen. Hukum permintaan dan penawaran

(supply and demand) pada akhirnya hanya akan membangun keselarasan antara pemilik

modal sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen. Keselarasan ini akan menjadi

siklus permanen sejauh produsen dapat menciptakan masyarakat yang senantiasa merasa

dahaga akan barang-barang produksi sebagai pemuas frustasi.

Lain daripada itu, konsumsi libidinal, apabila diperturutkan akan menimbulkan

beberapa dampak, dalam hal ini moral masyarakat akan tergerus. Industri kapitalis pada

bidang produksi komoditas, media, dan tontonan yang hiperealis telah mereduksi kesadaran

masyarakat akan nurani kemanusiaan dan nilai-nilai moral. Tujuan manusia untuk hidup

dalam kemaslahatan nilai-nilai spiritual, kini telah dialihkan oleh keterpesonaan, ketergiuran,

dan hawa nafsu yang dibangkitkan oleh kondisi ekonomi ekstasi tanpa rasa sungkan atau

malu. Rasa malu tidak lagi ditolak, bahkan diumbar di hadapan khalayak. Dalam sistem

ekonomi libidinal, kehidupan diatur oleh hukum serba terbalik, yang amoral dianggap biasa,

yang semu dianggap nyata, dan yang ilusi dianggap realita.40

Dalam pandangan Islam, kegiatan konsumsi harus dilandasi oleh nilai-nilai moral,

dalam hal ini akhlaq. Keluhuran akhlaq menuntut setiap muslim untuk tidak memperturutkan

hawa nafsu dan berupaya mengurangi kebutuhan material manusia yang memuncak.

Sehingga, manusia tidak lagi mengejar kepuasan bendawi yang tidak ada habisnya namun

lebih kepada menjadikannya sarana untuk menemukan kedalaman spiritual.41

Salah satu langkah yang dapat ditempuh dalam rangka pengendaian hawa nafsu

adalah melatih diri untuk merasa puas (al-qanā`ah). Merasa puas bertujuan untuk

menghilangkan keserakahan dan mencegah timbulnya rasa iri sehingga terwujudlah keadilan

di kalangan manusia. Selain itu, merasa puas akan mematikan mesin hawa nafsu sekaligus

memutus siklusnya yang tidak pernah berkesudahan. Kebutuhan semu manusia yang tidak

realistis di zaman posmodern ini dapat diminimalisir dengan pembiasaan diri untuk merasa

cukup. Apabila kebutuhan semu tersebut dapat dikurangi dan dibatasi kepada hal-hal yang

rasional, maka perasaan takut miskin dapat terhapus dari pikirannya. Walhasil, dengan tidak

memperturutkan hawa nafsu, setiap individu akan merasakan kebahagiaan batin yang

sesungguhnya, yang selama ini dicari dengan membabi buta.

3.2. Konsumsi Kemabukan (Ecstasy) dan Bujuk Rayu (Seduction)

40 Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998), p. 47

41

M. Umer Chapra, Islamic Economics: Theory and Practice, dialihbahasakan oleh Nastangin,

(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), p. 44-48

3.2.1. Pengertian

Konsumsi kemabukan merupakan istilah yang dikaitkan dengan sebuah keadaan tertentu.

Keadaan tersebut merujuk kepada kondisi ketidaksadaran dalam melakukan kegiatan

konsumsi. Penyebabnya beragam, diantaranya karena pengaruh manipulasi yang dilakukan

oleh produsen pemilik modal dengan cara mengubah suatu hal yang sifatnya sampingan

menjadi kebutuhan ataupun sebaliknya, kebutuhan yang sifatnya pokok justru menjadi

sampingan. Akibatnya kehidupan sosial masyarakat menjadi sesak oleh kebutuhan-kebutuhan

yang superfisial dalam segala aspek: kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan sebagainya.

Menurut Baudrillard, kondisi kemabukan atau ekstasi (ecstasy) ini menyebabkan

masyarakat hidup dalam alam yang dibentuk oleh kebudayaan konsumer secara tidak sadar.

Istilah eksatasi mengadung makna metafor, bukan makna sebenarnya. Dalam konteks

konsumerisme, ekstasi merupakan proses perpusaran di luar kendali yang berkelanjutan

hingga semua esensi hilang. Pada akhirnya, sistem yang di luar kendali ini menampakkan

kehampaan dan kekosongan makna.42

Ekstasi adalah kondisi ketidaksadaran mental dan jiwa

seseorang karena pengaruh eksternal hingga sampai pada titik di mana ia merasakan

kehampaan. “Ecstasy is that quality specific to each body that spirals in on itself until it has

lost all meaning.”43

Selanjutnya, dalam banyak hal, konsumsi kemabukan disebabkan oleh adanya

bujukan atau seduksi, utamanya yang dilakukan oleh media dan periklanan. Seduksi secara

terminologi dimaknai sebagai kegiatan merayu untuk melakukan hubungan badan.44

Akan

tetapi, dalam hal ini, seduksi tidak hanya bermakna demikian. Makna seduksi dalam konteks

konsumerisme lebih kepada membujuk dalam rangka menyenangkan hati, entah itu dilakukan

dengan ketulusan atau tidak. Sebagai ilustrasi, dalam jual beli, faktor utama terjadinya

transaksi bisa jadi bukan karena hukum penawaran dan permintaan, melainkan karena

rayuan. Dalam aspek seduksi komunikasi, keterhubungan seseorang dengan beragam sistem

komunikasi seperti televisi, radio, atau jaringan internet komputer yang digunakan lebih

diutamakan ketimbang bagaimana seseorang memahami secara detail informasi yang

disampaikan. Artinya, tujuan utama komunikasi yang berupa tersampainya pesan, tidak lagi

menjadi prioritas. Mengalihkan prioritas menjadi ketertarikan masyarakat untuk

berpartisipasi atas dasar rayuan dalam kesenangan dan kepuasan mereka melalui perangkat-

perangkat tersebut, demikianlah seduksi.45

Seduksi merupakan anti tesis dari produksi. Apabila produksi adalah proses

menghasilkan atau mengkonstruksikan yang baru, maka seduksi adalah proes menghasilkan

sesuatu yang baru dengan kemasan yang lama.46

Seduksi dengan demikian dapat dipahami

42 George Ritzer, Teori Sosial Posmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), p. 173

43

Jean Baudrillard, Fatal Strategies, dalam Mark Poster, Jean Baudrillard: Selected Writings, (USA:

Polity Press, 1990), p. 187

44

Oxford Advanced Learner`s Dictionary 9th Edition, (UK: Oxford University Press), p. 1401

45

Jean Baudrillard, Seduction, (Montreal: Ctheory Books, 2001) Lihat juga Douglas Kellner, Jean

Baudrillard: From Marxism to Postmodern and Beyond, (California: Standford University Press, 1989), p. 148

46

Ibid, 34-35

sebagai mis-produksi, Kata mis- dalam istilah tersebut bermakna kreasi ulang yang baru,

yang di luar motif dan intensitas awal pengkreasian sesuatu tersebut.

3.2.2. Contoh Fenomena

Apabila diilustrasikan, fenomena kemabukan dalam konsumsi tergambar dalam masyarakat

yang tanpa kesadaran, mengalir mengikuti perkembangan cepat mode pakaian mutakhir

sebagaimana ditampilkan oleh media promosi, atau mode gawai, dan semacamnya. Beberapa

periode tertentu, mode tersebut telah terbarukan dengan penambahan aksesoris atau fitur-fitur

baru. Pada kenyataannya, cepatnya perkembangan ini tidak memberikan makna apapun selain

keindahan dan kepuasan semu. Mode fashion, mapun gawai, dalam hal ini merupakan ekstasi

keindahan, sebagaimana kemewahan adalah ekstasi kebahagiaan, dan simulasi adalah ekstasi

realitas.47

Dalam hal bujuk rayu, betapa masyarakat telah termanipulasi oleh kemasan-kemasan

semu. Contoh konkret dari fenomena seduksi dalam khidupan sosial adalah kesibukan

berbelanja sebagian umat menjelang datangnya hari raya idul fitri. Budaya konsumer melalui

periklanan dan tawaran promo menyebabkan sebagian masyarakat menghabiskan waktu dan

tenaga untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang bersifat fisik dan bendawi.

Masih dalam fenomena belanja, umumnya diskon adalah potongan harga yang

diberikan kepada konsumer yang membeli barang dalam jumlah banyak. Namun demikian,

diskon yang diberlakukan oleh sebuah pusat perbelanjaan (shopping mall) pada momen

tertentu, bukanlah potongan harga atas dasar pembelian dalam jumlah banyak, melainkan

seduksi. Maka, dalam hal semacam ini, seduksi bertindak sebagai anti tesis dari produksi di

mana segala sesuatu dikreasikan ulang, diproduksi di luar motif awal, didaur ulang, dan

diputarbalikkan sesuka hati demi berlangsungnya perputaran modal.

3.2.3. Dampak dan Kritik

Sebagaimana telah diuraikan, kondisi ekstasi menimbulkan perasaan senang. Namun

demikian, ekstasi tidaklah memberikan kedalaman makna dalam kehidupan sosial. Sebagai

mana namanya, ekstasi memang hanya bersifat operasional yang dangkal.48

Ekstasi

menyebabkan kepuasan, namun kepuasan itu adalah kepuasan yang temporal.

Dalam pandangan Islam, konsumsi adalah perkara yang primer bagi setiap individu,

Islam sebagai dīn telah memberikan aturan yang komprehensif demi kelangungan hidup

manusia yang seimbang. Oleh karenanya, Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kesederhanaan.

Sederhana merupakan konsep yang sering mengalami mispersepsi, ia tidak bermakna

minimalis atau serba kekurangan, akan tetapi moderasi dan kewajaran. Pada satu sisi, Islam

membolehkan segenap umatnya untuk menikmati berbagai macam kebaikan dunia dan

melarang mereka untuk meninggalkan kesenangan dunia sebagaimana sistem kerahiban,

47 Ibid, p. 187

48

Douglass Kellner, Op. Cit., p. 144

manuisme Parsi, maupun mistisisme Brahma.49

Namun di sisi yang lain, Islam juga melarang

ummatnya untuk berlebih-lebihan.50

Diantara bentuk perilaku berlebihan dalam melakukan

kegiatan konsumsi, utamanya dalam kebudayaan konsumer ini adalah menenggelamkan diri

dalam ekstasi kemewahan. Padahal, perilaku yang semacam ini merupakan perilaku yang

bertolak belakang dengan kebajikan.

Berkenaan dengan konsumsi bujuk rayu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah

bahwa bujuk rayu dalam segala bentuknya adalah sistem yang menempati posisi luaran,

permukaan, penampakan, dan tataran simbol yang kesemuanya mengindikasikan makna-

makna artifisial. Seduksi mengosongkan makna dari sebuah pesan, sehingga yang tersisa

hanyalah penampakan dan aspek kemasan yang semu dan dangkal makna.51

Sebagaimana

bujuk rayu iklan dalam media elektronik, yang menjadi tujuan bukanlah tersampainya pesan,

melainkan keterpesonaan dan munculnya dorongan belanja. Oleh karenanya, seduksi

menyebabkan seseorang terbelenggu dalam kesemuan, kehampaan, serta terhalang dari

substansi dan kedalaman makna.52

Dalam fenomena belanja menjelang hari raya yang

bersifat materi, mulai dari pakaian, perabotan, aksesoris, dan semacamnya, seakan-akan

substansi hari raya adalah pakaian baru. Bujuk rayu kebudayaan konsumer telah menghalangi

masyarakat dari kedalaman makna. Pada kenyataannya, substansi hari raya adalah pencapaian

nilai-nilai spiritual dan menghidupkan semangat pengalaman ajaran agama dalam kehidupan

berupa kebersihan hati yang dicapai melalui ibadah ritual ramadhan, bukan sesuatu hal

semacam pakaian atau akseseoris baru yang hanya kemasan artifisal, sebagaimana sebuah

aforisme mengatakan “laysa al-`id liman labisa al-jadid. Lakinna al-id liman kana imanuhu

yazid.” Dalam hal ini bujuk rayu mengekstraksi makna dari wacana dan mereduksi

kebenaran yang terkandung dalam sebuah makna.53

3.3. Konsumsi Gaya Hidup (Lyfestyle) dan Kebudayaan Kota (Urban Culture)

3.3.1. Pengertian

Pengaruh posmodern dengan seluruh kemajuan teknologi di dalamnya, menyebabkan

individu masyarakat memiliki terpengaruh oleh gaya hidup dalam menampilkan dirinya di

hadapan lingkungannya. Gaya hidup ini berkaitan dengan citra diri dan pembentukan

identitas seorang individu di tengah-tengah kehidupan bermasyarakatnya.54

Secara umum,

gaya hidup diekspresikan melalui apa yang dikenakan seseorang, apa yang dikonsumsi,

bagaimana seseorang bersikap, ataupun berperilaku di antara masyarakatnya.

49 Secara umum, orientasi spiritual kerahiban, biksu, bahkan sebagian sufi cenderung melihat

gratifikasi tuntutan tubuh sebagai hal yang merusak ketinggina spiritual. Hal ini merupakan konsekuensi dari

keyakinan mereka bahwa penolakan terhadap kesenangan dunia dan upaya menjauhkan sarana subsistensi

(nafkah hidup) dalam diri mereka adalah tindakan kebajikan. Lihat Sayyid Abu al-a`la al-mawdudi, First

Principles of Islamic Economics, (Islamabad: IPS Press, 2013), p. 109

50

Ibid, p. 111

51

Jean Baudrillard, Fatal Strategies, Op. Cit., p. 187

52

Ibid, p. 187

53

Jean baudrillard, on Seduction, on Mark Poster, Jean Baudrillard: Selected Writings, (USA: Polity

Press), p. 149

54

Khoirul Faizin, Agama dan Masyarakat Kapitalistik, dalam M. Faishal Aminuddin, Globalisasi dan

Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya bagi Demokratisasi Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,

2009), p. 271

Dalam kajian kebahasaan, gaya hidup dimaknai sebagai jalan yang ditempuh

seseorang atau sekelompok individu dalam melakukan pekerjaan dan menjalani

kehidupannya. Artinya, gaya hidup seseorang itu dapat dilihat dari pakaian, perabotan rumah,

maupun hobinya.55

Dalam pengertian yang lain, gaya hidup dapat dipahami sebagai

sekumpulan kebiasaan, pandangan, pola respon, serta perlengkapan untuk hidup. Dalam

perspektif Bourdieu, gaya hidup adalah produk sistematis dari habitus56

yang diterima oleh

masyarakat dalam hubungan timbal balik mereka melalui seperangkat skema.

“Life-style are thus the systematic products of habitus, which, perceived in their mutual relations

through the schemes of the habitus, become sign systems that are socially qualified”57

Menurut Piliang, gaya hidup adalah karakteristik seseorang yang dapat diamati, yang

menandai sistem nilai serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Karakteristik

tersebut berkaitan dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dsb. Misalnya cara

berpakaian, cara makan, cara berbicara; pilihan teman, pilihan hiburan; tata ruang, tata

busana, dan sebagainya.58

Apabila ditelisik lebih jauh, gaya hidup sebenarnya mengandung makna umum.59

Istilah ini tidak selalu merujuk kepada konotasi yang negatif. Gaya hidup sehat misalnya,

merupakan pola tingkah laku mengkonsumsi seseorang pada kesehariannya dengan cara

menerapkan format makanan yang mengandung nutrisi dan menjauhi makanan cepat saji

(fastfood) serta diselingi dengan olahraga. Contoh lainnya, gaya hidup sederhana. Ia dapat

dipahami sebagai pola tingkah laku seseorang dengan cara memenuhi seluruh kebutuhan

hidupnya apa adanya, meskipun dalam keadaan berlebih. Dua contoh tersebut

mengindikasikan bahwa gaya hidup tidak selalu bermakna kontra positif.

Selanjutnya, perkembangan gaya hidup selalu berjalan beriringan bersama wacana

kebudayaan kota (urban culture) dalam posmodernisme. Oleh karenanya, posmodernisme

juga dimaknai sebagai upaya dominasi budaya dari sebuah kultur agung bernama kapitalisme

lanjutan (advanced).60

Dalam hal ini, posmodernisme memiliki keterkaitan dengan

kebudayaan kota (urban culture). Keterkaitan tersebut ditandai dengan adanya fenomena

urbanisasi penduduk yang berlangsung secara menonjol dan dramatis. Karena sebagian besar

penduduk menempati wilayah perkotaan, dan sebagian besar lain masih dipengaruhi oleh ide-

55 Lihat Oxford Advanced learner`s Dictionary 6

th edition, (UK: Oxford University Press, 2003), p. 684

56

Habitus adalah istilah yang digunakan oleh Bourdieu untuk menyebut suatu hal yang berkenaan

dengan kebiasaan. Lebih jauh, habitus merupakan prinsip generatif suatu penilaian objektif yang dapat

diklasifikasikan (benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas—penulis). Lihat Pierre Buordieu, Distinction: A

Social Critique of the Judgment of Taste, Translated by Richard Nice, (Cambridge: Harvard University Press,

1984), p. 170

57

Ibid, p. 172

58

Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998), p. 225

59

Sebagaimana pengertian sebelumnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak secara khusus

memberikan definisi negatif. Artinya, istilah gaya hidup pada dasarnya bermakna umum. Lihat Kamus Besar

Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), p. 340

60

Lihat Achmad Alchumami, Posmodernisme dan Budaya Kota dalam Suyoto et. al (Ed),

Posmodernisme dan Masa Depan Peradaban, (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), p. 98

ide yang berkembang di wilayah perkotaan tersebut, maka metropolitan menjadi pusat bagi

posmodernisme.61

3.3.2. Contoh Fenomena

Pada era posmodern, kota-kota metropolitan telah berubah menjadi pusat konsumsi,

permainan, maupun hiburan yang sarat dengan tanda dan image. Dalam kebudayaan kota,

kegiatan konsumsi dan transaksi jual beli, tidak lagi natural bersifat ekonomis rasional dan

kalkulatif, melainkan telah bertransformasi menjadi kegiatan lain bernama penghabisan

waktu senggang (leisure) yang menyuguhkan kesenangan.62

Dengan adanya super mall,

sistem perbelanjaan mutakhir secara terus menerus menghadirkan di hadapan masyarakat

seperangkat pelayanan dan penyediaan produk yang dikombinasikan dengan lingkungan

penuh ruah.

Masyarakat konsumer, apabila dihadapkan dengan dua pilihan: antara sepasang sepatu

bermerk dan sepasang sepatu formal dengan kualitas yang sama serta bentuk fisik yang sama,

niscaya akan memilih sepasang sepatu yang bermerk walaupun selisih harganya sangat tinggi

bahkan melampaui tinggi. Alasannya, dalam rangka memenuhi tuntutan gaya hidup, sepasang

sepatu mahal tersebut dapat memberinya citran berupa prestise.63

Berkaitan dengan cara seseorang mengisi waktu luang, kegiatan ini pada dasarnya

bukan sekadar ekspresi dari hobi, melainkan juga merefleksikan pilihan gaya hidup. Dalam

kebudayaan konsumer, waktu senggang umumnya lebih banyak diisi dengan berbagai

aktifitas yang sifatnya kontra-produktif, hedonis, dan lebih banyak mengeluarkan dana

daripada menghasilkan karya. Waktu senggang sering dijalani dengan kegiatan rekreasi di

mana orang pergi ke luar dari diri, menuju ke perangkan-perangkap eksterior semacam

tempat wisata, mall, cafe, dan semacamnya. Dalam kebudayaan kota, warga urban seringkali

menghabiskan waktu senggang di berbagai resto, rumah makan, semacam: starbucks,

breadtalk, ataupun pujasera lainnya untuk sekadar berlari sejenak dari beban rutinitas kerja

yang melelahkan. Bahkan tidak jarang di malam hari, sebagian eksekutif muda menghabiskan

waktu pergi ke bar, karaoke, atau diskotik untuk mencari hiburan yang lebih permisif.

3.3.3. Dampak dan Kritik

Dalam masyarakat konsumer, gaya hidup yang dimaksud adalah gaya hidup yang berkaitan

dengan hedonisme. Hedonisme ini ditandai dengan keinginan untuk mewujudkan kesenangan

yang diciptakan dan dinikmati melalui imajinasi ke dalam kenyataan.64

Sikap yang hedonistik

ini membentuk pola perilaku yang selalu berubah dan tidak pernah terpuaskan. Semuanya

61 Lihat Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam: Pradecament and Promise, (London: Routledge,

1992), p. 18

62

Lihat Mike Featherstone, Consumer Culture and Postmodernism, dialihbahasakan oleh Misbah Z.

Elizabeth, (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2008), p. 242

63

Secara sosiologis, masyarakat urban cenderung selalu ingin mendapatkan legitimasi sosial dari

komunitasnya dalam rangka meningkatkan harga diri, gengsi, atau prestise. Lihat Ade Ma`ruf et.al., Soliloqui:

Pemikiran, Agama, Filsafat, dan Politik, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), p. 84

64

Collin Campbell, The Romantic Ethic and the Spirit of Modern Consumerism, sebagaimana dikutip

oleh Idi Subandy Ibrahim, Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses

Demokratisasi Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), p. 231 -2

serba permisif dan konsumtif. Dengan demikian, pola tingkah laku seseorang dalam

mengkonsumsi di era posmodern ini didasari atas pemenuhan kesenangan dan kemewahan

serta jauh dari kesederhanaan. Lingkungan gaya hidup ini, di kalangan masyarakat konsumer

terbentuk oleh ajakan berbelanja, berwisata, atau memanfaatkan waktu luang (leisure) dengan

bermacam-macam kenikmatan jasmani.65

Dalam hal pemenuhan gaya hidup, konsumerisme menyerang psikologi masyarakat

melalui manipulasi yang sifatnya renik. Diantara muslihat besar yang diyakini masyarakat

adalah bahwasanya benda-benda mewah yang mencerminkan gaya hidup hedonis memberi

mereka nilai, di mana eksistensi seseorang ditentukan oleh benda-benda.66

Akibatnya,

masyarakat tenggelam dalam konsumsi ekstasi, membeli banyak hal meskipun tidak butuh.

Demi terpenuhinya hasrat akan nilai tanda ataupun citra. Dalam konteks ini, penyebab

kegandrungan akan gaya hidup adalah manipulasi nilai tanda yang mengatakan bahwa nilai

seseorang ditentukan oleh benda, sehingga akhirnya rasionalitas dapat dikesampingkan.

Kondisi kehidupan urban di era posmodern juga merupakan salah satu sumber

masalah gangguan psikologi masyarakat. Lingkungan yang menuntut adanya rivalitas

menyebabkan kecemburuan sosial. Lebih-lebih sikap masyarakat urban yang cenderung

individualis menyebabkan kontak sosial menjadi longgar. Ditambah lagi, pola kehidupan

kebudayaan urban yang kompetitif merefleksikan kebudayaan eksplosif sehingga

memunculkan sebagian masyarakat yang mengalami tekanan batin.67

Seringkali, kekuatan kapitalis yang menghadirkan produk budaya industri dengan

berbagai kreasi dan inovasinya, menyebabkan masyarakat gagal melakukan negosiasi antara

dirinya dengan tuntutan pasar, antara membeli atau menahan. Kebutuhan mereka untuk

senantiasa menampilkan nilai simbol dan citra sosial menjadikan masyarakat hanyut dalam

gelombang konsumerisme. Seorang individu memutuskan membeli smartphone baru

terkadang bukan karena alasan disfungsi atau rusak, melainkan tuntutan mempertahankan

image atau citra diri. Dalam kondisi seperti ini, gaya hidup menjadikan seseorang tertelikung

secara tidak sadar oleh budaya konsumer.

Menurut Islam, kegiatan konsumsi harus mengacu pada suatu sistem moral Islam

yang disebut akhlaq. Akhlaq Islam dalam melakukan kegiatan konsumsi tidak mengakui

perilaku materialistis sebagaimana pola konsumsi dalam kebudayaan konsumer. Dalam

kebudayaan konsumer ini, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat semakin

terkalahkan oleh kebutuhan fisik yang superfisial karena faktor-faktor psiokologis. Melalui

faktor-faktor psiokologis inilah kemudian gaya hidup hedonis, prestise, dan dorongan pamer

yang didasari oleh hawa nafsu memainkan peran dominan dalam menentukan bentuk lahiriah

dari kebutuhan fisik masyarakat.

65 Idi Subandy Ibrahim, Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses

Demokratisasi Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), p. 231 -2

66

Ibrahim Abdul Matin, Green-Deen: What Islam Teaches About Protecting the Planet, dialih-

bahasakan oleh Aisyah, (Jakarta: Penerbit Zaman, 2012), p. 47-8

67

Kartini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan, (Jakarta, Rajawali Press, 1997),

p. 10

Berkaitan dengan perilaku dan gaya hidup masyarakat dalam mengisi waktu senggang

(leisure) sebagaimana telah disinggung di atas, Kondisi-kondisi tersebut sebenarnya

merupakan dampak dari lingkungan kebudayaan kota yang sangat erat dengan pola kerja

kantoran yang melelahkan, sehingga waktu senggang adalah semacam oase di padang pasir

yang dicari-cari.68

Dalam Islam, kegiatan konsumsi dilakukan atas dasar kesederhanaan. Kesederhanaan

menjadi manifestasi gaya hidup Islami. Kesederhanaan adalah kemuliaan, ia melahirkan

sikap menghargai kepada ilmu, kerja keras, pengorbanan, dan ikhlas.69

Kesederhanaan

membawa dampak pembebasan jiwa manusia dari perilaku binatang yang tujuan hidupnya

hanyalah untuk makan (baca: mengkonsumsi). Lebih jauh, kesederhanaan akan menimbulkan

kesadaran jiwa untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Apabila kemewahan

menimbulkan kecemburuan sosial, maka kesederhanaan menimbulkan tenggang rasa dan

kerja sama antara masyarakat sehingga tidak terjadi kompetisi dalam rangka

memperjuangkan kebutuhan hidup. Berbeda dengan perilaku hedonis yang gemar

memanfaatkan waktu luang sebagai kesenangan (leisure), perilaku sederhana menanamkan

jiwa masyarakat untuk lebih banyak memanfaatkan waktu dan potensi yang lain untuk

kebaikan dan kemuliaan manusia itu sendiri.70

Kebudayaan konsumer yang lekat dengan konsumsi gaya hidup menjadi pemicu bagi

timbulnya manusia-manusia yang tidak peka terhadap realita sosial. Dorongan untuk selalu

memacu konsumsi pribadi membuat masyarakat melupakan realitas sosial di sekitarnya.

Budaya tradisional dalam bentuk gotong royong, saling membantu telah bertransformasi

menjadi budaya altruistik yang semakin individualis. Masyarakat urban telah melahirkan

jurang lebar ketimpangan, di mana terdapat seseorang yang sangat kaya, bahkan mampu

untuk membeli Ferrari seharga dua belas miliar rupiah meskipun tidak dapat dikendarai di

jalanan ibu kota, namun di sisi lain terdapat sekelompok masyarakat miskin yang tidak bisa

menjamin ketersediaan makanan pada hari itu.71

Tak pelak lagi, konsumerisme telah

menyebabkan hilangnya rasa empati dan kepedulian sosial dari masyarakat.

Kondisi posmodern yang tidak terpisahkan dari kebudayaan kota telah

mentransformasikan kegiatan belanja menjadi kegiatan waktu senggang yang mengandung

nuansa pengalaman, kesenangan, dan fantasi.72

Dengan adanya supermall, masyarakat

senantiasa disuguhkan oleh kombinasi rangkaian produk, pelayanan, dan suasana yang

diremajakan. Kondisi semacam ini, secara tampak mengindikasikan kemajuan. Akan tetapi,

tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan mall ataupun mart sekalipun, memberikan dampak

negatif bagi dunia sosial. Dalam perspektif baudrillard, mall ataupun mart disebut dengan

drugstore.73

Drugstore dianggap sebagai simbol hegemoni yang mengembakbiakkan

68 Bagong Suyatno, Sosiologi Ekonomi:Kapitalisme dan Konsumsi Masyarakat di era Posmodern,

(Jakarta: Kencana, 2014), p. 251-2

69

Nuim Hidayat, Imperialisme Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), p. 135

70

M. Umer Chapra, Op. Cit., p. 58-9

71

Radhar Panca Dahana, Ekonomi Cukup: Kritik Budaya pada Kapitalisme, (Jakarta: Kompas, 2015)

72

Mike Featherstone, Op. Cit.,

73

Secara tegas baudrillard mengatakan bahwa drugstore adalah sebuah tempat yang mensintesiskan di

dalamnya kelimpahan dan kalkulasi, di mana konsumer tidak hanya dapat melakukan aktivitas belanja,

individualisme pemilik modal. Dengan kekuatan kapitalnya, keberadaan drugstore

mengakibatkan basis manufaktur masyarakat menjadi terpuruk. Akibatnya, pedagang maupun

pengusaha lokal harus bersaing dalam keadaan tidak sehat untuk dapat bertahan.74

Kondisi

semacam ini merupakan sebuah fragmen ketidaksetaraan yang seringkali merugikan

masyarakat kelas menengah ke bawah yang mayoritas. Kebudayaan konsumer dengan

supermall dan kebudayaan kotanya, meskipun menawarkan kemajuan, namun menyodorkan

patologi sosial.

Masih berkenaan dengan kebudayaan kota, di satu sisi, ia menampilkan wajah

kemajuan dengan berbagai parameternya. Namun di sisi yang berbeda, ia menampilkan

wajah lain yang paradoksal. Sisi negatif kebudayaan kota memperlihatkan pembangunan

yang cenderung tidak manusiawi sehingga melahirkan kelompok masyarakat yang teralienasi

secara sosial. Selain itu, kebudayaan kota juga melahirkan kelompok masyarakat yang

menderita skizofrenia kultural, yaitu masyarakat yang berwatak keras, berwajah garang, dan

berperilaku kasar seperti preman pasar, pencopet, perampok, dan semacamnya. Maka,

tindakan kriminal dan kejahatan merupakan konsekuensi logis dari wujud dehumanisasi ini.

Fakta sosial ini menunjukkan bahwa, di tengah-tengah masyarakat yang menampilkan

kegemerlapan, kebudayaan kota sebagai anak kandung posmodernisme juga menampilkan

ironi: alienasi sosial, keserakahan, kekerasan, dan anarkisme yang tak terhindarkan.75

3.4. Komoditas, Komodifikasi, dan Konsumsi Sinergistik

3.4.1. Pengertian

Transaksi jual beli yang dilakukan oleh masyarakat, selain alat tukar, juga tidak dapat

dipisahkan dari komoditas. Komoditas tidak dapat dipungkiri, menjadi salah satu syarat

keabsahan transaksi. Dengan kata lain, tanpa komoditas, transaksi jual beli tidak akan pernah

terjadi. Secara sederhana, komoditas dapat dimaknasi sebagai produk karya seseorang, baik

dalam bentuk barang maupun jasa yang sengaja diproduksi untuk dipertukarkan melalui

mekanisme pasar. Sebagai benda ataupun jasa, komoditas secara umum diproduksi dalam

jumlah besar untuk memenuhi permintaan (demand) masyarakat. Tidak jarang pula

komoditas diproduksi secara berulang untuk memenuhi target pasar dan memenuhi

permintaan (demand) transaksi jual-beli oleh masyarakat.

Sebagai objek transaksi jual beli, komoditas memiliki dua aspek penting. Pertama,

nilai guna. Nilai guna adalah ukuran kemanfaatan suatu komoditas dalam rangka pemenuhan

kebutuhan masyarakat. Artinya, semakin besar manfaat suatu komoditas, maka semakin besar

nilai guna komoditas tersebut. Kedua, nilai tukar. Secara umum, nilai tukar suatu komoditas

dipantulkan dan ditentukan dalam bentuk harga.

melainkan juga bermain, berkeliling santai, dan semacamnya yang merupakan kegiatan waktu senggang. Lihat

Jean Baudrillard, Consumer Society, dalam Mark Poster (Ed.), Jean Baudrillard: Selected Writings,

74

Carl Gardner and Julie Sheppard, Consuming Passion: The Rise of Retail Culture, (UK: Unwin

Hyman, 1989), p. 1

75

Amich Alhumami, Posmodernisme dan Kebudayaan Kota, dalam Suyoto (Ed.), Posmodernisme dan

Masa Depan Peradaban, (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), p. 101

Berbeda dengan komoditas, komodifikasi memiliki makna yang tidak serupa.

Komodifikasi merupakan proses menjadikan sesuatu yang bukan komoditas seolah-olah

komoditas dan sekaligus menaturalisasikannya. Pada akhirnya, sesuatu tersebut dianggap dan

diperlakukan sebagaimana komoditas. Dalam pengaruh konsumerisme, proses komodifikasi

terjadi sangant masif, apapun bisa menjadi komoditas, mulai dari penampilan fisik, nafsu,

simbol, ruang publik, dan sebagainya. Demi perputaran modal, apapun dikomodifikasi.

Dengan kondisi seperti ini, proses komodifikasi telah menjadikan segala sesuatu menjadi

sebuah komoditi, yang bahkan melampaui komoditi itu sendiri. Akibatnya, manusia tidak lagi

bertindak sebagai subjek yang mengontrol objek, akan tetapi dikendalikan oleh objek.76

Kondisi seperti ini, oleh Baudrillard, disebut dengan hiperkomoditas (hypercommodity).

Ketika segala aspek kehidupan manusia dikomodifikasi, termasuk hobi dan

ketertarikan masyarakat, maka salah satu pengaruh nyata yang tidak dapat dihindarkan adalah

timbulnya pola konsumsi baru yang disebut dengan konsumsi sinergistik. Sinergi merupakan

gabungan, sedangkan konsumsi sinergistik adalah gabungan dari sekian banyak aktivitas

waktu senggang (leisure), hobi dan ketertarikan masyarakat seperti menonton suatu film,

yang dibarengi dengan membeli mainannya, atributnya, aksesorisnya, memainkan game-nya,

atau mengoleksi pernak-perniknya.

3.4.2. Contoh Fenomena

Sebagaimana telah disinggung, komodifikasi merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh

kapitalis mutakhir dalam rangka memutar modal. Suatu hal yang pada dasarnya bukan

merupakan komoditas, menjadi komoditas baru dengan komodifikasi. Sebagai contoh,

penampilan fisik seorang atlet. Pada dasarnya, penampilan fisik seseorang bukanlah

komoditas. Namun demikian, dalam kebudayaan konsumer yang diikuti dengan

perkembangan media, penampilan fisik seorang atlet mengalamai komodifikasi. Ketika

penampilannya dijadikan objek transaksi oleh suatu korporasi sepatu olahraga untuk

kepentingan promosi dan periklanan, maka penampilan fisik atlet tersebut telah mengalami

komodifikasi

Selain itu, hobi, ketertarikan, dan kegemarang masyarakat tidak lepas dari target

komodifikasi. Hobi yang dikomodifikasi, membentuk semacam pola konsumsi baru, yaitu

konsumsi sinergitik. Fenomena ini banyak terjadi di masyarakat, diantaranya ketertarikan

masyarakat, khususnya kalangan anak-anak dan remaja, terhadap anime. Dalam hal ini,

kapitalis memproduksi dalam jumlah besar komik tertentu. Dalam hal ini, yang diharapkan

adalah ketertarikan masyarakat untuk menonton filmnya, mengunjungi halaman website-nya,

menghadiri karnavalnya, dan mengoleksi mainannya. Bukan hanya kalangan anak-anak,

bahkan remaja dan orang dewasa tidak sedikit yang terjebak dengan pola konsumsi

sinergistik semacam ini di era posmodern. Padahal, secara akal sehat, kebutuhan masyarakat

akan hal tersebut bisa dibilang tidak ada, selain kebutuhan untuk memenuhi kesenangan dan

kepuasan semu.

3.4.3. Dampak dan Kritik

76 Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998), p. 234

Dalam budaya konsumer, perlu disadari bahwa pola konsumsi yang sinergistik sengaja diatur

dan dibentuk sedemikian rupa dalam rangka menumbuhkan sikap masyarakat yang loyal,

adiktif, dan terdiferensiasikan ke berbagai macam produk budaya yang berkaitan. Industri

budaya global, dapat dikatakan sukses merangsang tumbuhnya perilaku sinergistik. Kekuatan

industri kapitalis global mampu membentuk sikap konsumtif dan mencetak gaya hidup yang

berorientasikan kesenangan. Berbagai komoditi dan komodifikasi diciptakan dalam rangka

meningkatkan perputaran kapital, tanpa peduli batas-batas kewajaran.

Kondisi masyarakat posmodern yang penuh dengan manipulasi komodifikasi dan

kondisi ekstasi tontonan, menyebabkan olah raga sepak bola bukan lagi sebagai hobi dan

kegemaran, ia telah menjadi bagian hidup bagian dari hidup yang tak terpisahkan. Sepak bola

menjadi semacam gravitasi baru mengahruskan totalitas pikiran dan jiwa patuh terhadap

hukum-hukumnya.77

dengan sikapnya ini, akal sehat dapat dinomor-duakan. Berapapun harga

tiket tidak jadi masalah, berapapun jauh jarak tidak jadi masalah, bagaimanapun sibuk dengan

kewajiban, harus diluangkan, demi untuk bisa menonton jagoannya secara langsung. Bahkan,

pada titik ekstrem, konsumsi ekstasi mampu mengubah sepak bola sebagai hobi dan hiburan

menjadi suatu bentuk fanatisme buta yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang

seolah-olah mendapat legalitas untuk bentrok antar supporter. Pada kenyataannya, ekstasi

dalam hal ini mereduksi dan mengaburkan rasionalitas dan nalar sehat.

4. ANALISIS KRITIS

Apabila diperhatikan dengan cermat, maka penyebab muncul dan terjadinya pola konsumsi

yang berlebihan dalam budaya konsumer adalah cara pandang yang keliru mengenai

konsumsi itu sendiri. Dalam hal ini, kegiatan konsumsi dipandang hanya sebagai aktivitas

dalam rangka memenuhi kebutuhan dari sisi materi saja, tanpa memandang kepada aspek

moral dan spiritual. Padahal, manusia sebagai subjek atau dalam hal ini konsumen, terdiri

dari aspek jasmani dan ruhani. Akibatnya, kegiatan konsumsi menjadi salah satu alat dalam

rangka memenuhi hasrat, keinginan, dan kesenangan bendawi. Dapat dikatakan, kesalahan

dalam memandang konsumsi ini disebabkan oleh pengaruh materialisme dan hedonisme.

4.1. Materialisme

Sebagai sebuah ideologi, materialisme memiliki makna tertentu. Materialisme diambil dari

kata “matter” yang berarti materi atau suatu objek yang berwujud. Secara definitf,

materialisme adalah ideologi yang meyakini bahwa tidak sesuatu yang eksis kecuali materi

yang bergerak. Materi tersebut merupakan unsur asli dan pokok dari alam semesta. Dalam

pandangan materialisme, alam semesta tidak diatur oleh intelegensi, tujuan, atau sebab yang

bertujuan.78

Selain itu, materialisme tidak mengakui adanya entitas-entitas nonmaterial,

seperti roh, setan, malaikat, dunia adikodrati, bahkan Tuhan sekalipun. Satu-satunya realitas

77 Ibid,

78

Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1996), p. 133

adalah materi dan segala sesuatu, dalam pandangan materialisme, merupakan manifestasi dari

materi.79

Dalam kaitannya dengan nilai, materialisme memandang dunia ini hanya dari aspek

materi saja. Konsekuensinya, tindakan manusia dan perubahan kebudayaannya semata-mata

atau sebagian besar ditentukan oleh faktor materi. Artinya, kebutuhan manusia tidak

dipandang dari sisi lain selain materi, dalam hal ini, kesehatan, kepuasan jasmani, kenikmatan

fisik, atau yang semacamnya, merupakan satu-satunya aspek yang paling bernilai.80

Cara

pandang inilah yang pada akhirnya menyebabkan perilaku sosial yang over konsumtif hingga

saat ini, di mana kehidupan hidup menjadi semakin kompleks.

Padahal, pada dasarnya, kebutuhan manusia adalah sederhana. Kesederhanaan

kebutuhan manusia sebetulnya telah lama disampaikan. Bahkan Lucretius mengungkapkan

Ergo corporean ad naturam pauca videnus

esse opus, quae demant cumque dolorem,

nec domus argento fulget auroque renidet

nec citharae reboant laqueata aurataque templa

Kita mengetahui bahwa yang diperlukan tubuh kita sebenarnya sangat sedikit

tidak lebih dari yang diperlukan untuk menghilangkan rasa sakit

Apa yang salah jika aula tidak bercahaya perak dan bersinar emas,

dan tidak dipahat atau disepuh cincin kasau hingga alunan suara dawai?81

Namun, sebagaimana diuraikan, ideologi materialis posmodern mentransformasikan

kesederhanaan manusia menjadi semakin kompleks dan beragam. Selain itu, kesuksesan,

kemakmuran, dan kesejahteraan hanya diukur dengan parameter materialisme yang

menafikan unsur-unsur spiritual dan moral. Dapat disaksikan, ideologi materialis bersikap

ramah terhadap pemenuhan kebutuhan fisik sehingga kesederhaan mulai dilupakan.

Dalam Islam, pandangan terhadap manusia berbeda dengan cara pandang ideologi

materialis. Islam menjelaskan bahwa kondisi manusia tidak hanya tersusun atas aspek materi

saja. Unsur-unsur penyusun manusia tidak hanya terdiri dari fisik, jasmani, atau tubuh,

melainkan juga ruh. Baik aspek jasmāniyah (fisik) maupun rūhiyah (spiritual), keduanya

memiliki kebutuhan masing-masing yang perlu untuk dipenuhi. Di bawah pengaruh

materialisme, masyarakat posmodern senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan fisik secara

maksimal dan cenderung melupakan kebutuhan ruh. Padahal aspek ruh inilah yang

membedakan antara manusia dengan binatang. Artinya pemenuhan kebutuhan fisik saja tanpa

upaya pemenuhan kebutuhan ruh akan menjerumuskan manusia ke dalam sifat kebinatangan.

Manusia akan terlibat konflik dalam memperebutkan kebutuhan jasmani sebagaimana

binatang saling menyerang demi memenuhi kebutuhan fisiknya. Sejarah telah menjelaskan

79 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005)

80

Ibid, p. 133

81

Alain de Botton, The Consolations of Philosophy, diterjemahkan oleh Ilham Saenong, (Jakarta:

Teraju Mizan, 2003), p. 78

bahwa banyak konfrontasi dan peperangan terjadi demi memperebutkan aspek-aspek material

manusia.82

Dengan demikian, tujuan hidup manusia bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan

fisik semata, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan rūhiyah. Pemenuhan kebutuhan

fisik saja tanpa diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan rūhiyah, akan menimbulkan

perasaan hampa dalam kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari banyak kasus bunuh diri yang

dilakukan oleh orang-orang mapan secara materi, namun hampa secara spiritual. Artinya,

selain kebutuhan fisik, manusia juga membutuhkan kebutuhan spiritual. Berbeda dengan

materialisme yang memandang manusia dari sisi materialnya saja, Islam memuliakannya

dengan memperhatikan sisi ruh atau spiritualnya.83

4.2. Hedonisme

Sebagaimana telah diuraikan, pola konsumsi dalam kebudayaan konsumer sedikit banyak

dipengaruhi oleh hedonisme. istilah ini diambil dari bahasa Yunani, hedy yang artinya manis

dan hedone yang berarti kesenangan. Hedonisme merupakan teori dalam etika yang

menyatakan bahwa kesenangan atau akibat-akibat yang menyenangkan secara intrinsik

adalah suatu hal yang baik.84

Artinya, dalam hedonisme, kebaikan dimaknai dengan

kesenangan hidup sehingga kesenangan indrawi harus menjadi tujuan tertingg dalam

kehidupan manusia.85

Ide-ide tentang hedonisme, tercatat muncul pertama kali digagas oleh Cyrenaics

sebagaimana dinyatakan oleh Aristipus, yang beranggapan bahwa satu-satunya kebaikan bagi

manusia adalah kesenangan hidup pada saat itu juga.86

Gagasan ini semakin mapan setelah

Protagoras menyatakan bahwa pengetahuan tidak lain hanyalah sensasi temporal. Hampir

serupa dengan Cyrenaics, Epikurus, seorang filsuf Yunani penggagas epikureanisme,87

mengatakan bahwa pengajaran kesenangan dan kegembiraan adalah sesuatu hal yang sifatnya

82 Sebagaimana disampaikan oleh Klare bahwa beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan negara-

negara timur tengah terlibat konflik dalam rangka memperebutkan kekayaan sumber daya alam berupa barang

tambang, minyak bumi, dan kayu, bahkan air bersih. Lihat Michael T. Klare, Resources War: The New

Landscape of Global Conflict, (New York: Henry Holt and Company, 2002), p. 190

83

Hamad Hasan Ruqaith, Qadaya Mu`sirah fi Mizan al-Islam, diterjemahkan oleh Azzam, (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2004), p. 29-30

84

Ali Mudhofir, Op. Cit., p. 86

85

Fuad Farid ismail, Mabadi` al-Falsafah wa al-Akhlaq, diterjemahkan oleh Didin Faqihuddin,

(Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), p. 279

86

Hugh Chisholm (Ed.), Hedonism: Encyclopaedia Britannica: A New Survey of Universal Knowledge

Vol. 11, (Chicago: William Benton, 1962), p. 377

87

Epikureanisme, meskipun menjunjung tinggi kesenangan seperti halnya hedonisme, akan tetapi

memiliki sisi perbedaan. Epikureanisme kemudian berkembang menjadi suatu aliran etika sendiri. Dalam

Epikureanisme, kesenangan diartikan sebagai ketiadaan rasa sakit pada tubuh dan kekacauan dalam jiwa. Secara

spesifik, kesenangan puncak, yang juga merupakan kebahagiaan abadi, merupakan kesenangan yang mendalam

ketika jiwa berada dalam keadaan damai dan tenang. Dalam hal ini, tidak sebagaimana hedonisme,

epikureanisme beranggapan bahwa kesenangan lebih bermakna rohani dan luhur. Epikureanisme membedakan

antara kebutuhan alami, keinginan yang dapat ditunda, dan keinginan yang benar-benar sia-sia, “When I am

hungry, curious, and lonely, I desire to eat, to know, and to have company. These are not desires to pleasure. But

I can also eat sweets when I am not hungry, for the sake of the pleasure that they give.” Lihat Encyclopaedia

Britannica: A New Survey of Universal Knowledge Vol. 11, Hedonism, (Chicago: William Benton, 1962), p.

377, bandingkan dengan Zaprulkhan, Fisafat Umum: Sebuah Pendekatan Tematik, (Jakarta: Rajawali Press,

2012), p. 184-5

alamiah.88

Bagi Epikurus, kenikmatan adalah awal tujuan hidup bahagia.89

Oleh karenanya,

merupakan suatu hal yang tidak berguna, mengkalkulasikan kesenangan masa depan dengan

cara menyeimbangkan penderitaan demi mendapatkan kesenangan tersebut. Bagi seorang

hedonis, menarik sebanyak mungkin kesenangan pada setiap momen merupakan sebuah seni

hidup yang sebenarnya.90

Diskusi mengenai hedonisme merupakan sebuah diskusi yang kompleks. Pada

dasarnya, kesenangan tidak hanya terbatas pada kesenangan fisik. Kesenangan bisa berupa

kepuasan fisik, estetis, intelektual, moral, hingga relijius. Artinya, kesenangan pada dasarnya

merupakan suatu hal yang sifatnya subjektif sehingga tidak mudah untuk dapat menjadi suatu

prinsip etis. Selanjutnya, secara teoretis kesenangan mengandung level dan tingkatan, mulai

dari level fisik-indrawi hingga level relijius. Semakin tinggi tingkat kesenangan tersebut,

semakin sulit untuk dicapai, dan semakin banyak tuntutan yang harus dipenuhi untuk

mencapai kesenangannya. Oleh sebab itu, kesenangan relijius begitu mudah diredam oleh

kesenangan fisik yang relatif mudah di dapat.91

Karena kesenangan fisik relatif lebih mudah dicapai ketimbang kesenangan moral,

ataupun relijius, maka makna hedonisme lebih dekat kepada kesenangan fisik tersebut. Pada

akhirnya, penyempitan makna hedonisme tersebut menjadi sangat lekat dengan kebudayaan

konsumer. Konsumerisme sangat relevan dengan hedonisme, lebih mau menikmati daripada

menahan, lebih mau mengkonsumsi daripada memproduksi, lebih mau mencapai kesenangan

meskipun tanpa pengorbanan. Dengan keadaan seperti ini, seorang hedonis lebih suka

mendapat daripada memberi, lebih suka membeli daripada membuat sendiri.

Dalam hedonisme, sesuatu hal yang menyenangkan adalah kebaikan. Apabila hal

tersebut tidak menyenangkan, maka ia bukanlah kebaikan. Artinya, dalam wacana

hedonisme, kesenangan dan kebaikan adalah dua hal yang tidak berbeda. Agaknya,

pernyataan ini perlu ditinjau kembali. Sebab, tak ada satu hal pun yang dapat menjamin

bahwa setiap kesenangan secara otomatis menjadi kebaikan. Menurut Bertens, sebagaimana

dikutip oleh Ekky El-Malaky, kesenangan saja tidak cukup untuk menjamin bahwa suatu hal

itu baik.92

Tidaklah sesuatu itu menjadi baik karena disenangi, akan tetapi sesuatu itu menjadi

menyenangkan karena ia merupakan suatu hal yang baik.

Selain itu, terdapat beberapa problem lain dalam wacana hedonisme, berkaitan dengan

anggapannya yang mengatakan bahwa kesenangan adalah tujuan. Padahal, kepedihan atau

ketidaksenangan merupakan sisi lain yang selalu mengiringi kesenangan. Artinya, harus ada

harga yang dibayar dalam rangka mencapai tujuan tersebut, sebagaimana pepatah mereka

mengatakan “no pain no gain”. Jika tidak demikian, maka penderitaan yang dimaksud bisa

jadi timbul setelah kesenangan tersebut. sebagai contoh, gangguan organ tertentu yang

88 Cahyaningrum Dewojati, Wacana Hedonisme dalam Sastra Populer Indonesia, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010), p. 16

89

Alain de Botton, Op. Cit., p. 57

90

Ibid, p. 377

91

Zaprulkhan, Op. Cit., p. 181-3

92

Ekky Al-Malaky, Why Not?Remaja Doyan Filsafat, (Bandung: Mizan,2003), p. 30

diakibatkan oleh memakan hidangan enak dalam intensitas yang tinggi.93

Dengan demikian,

dalam hidup manusia, kesenangan bukanlah satu hal yang permanen, ia bersifat dinamis,

adakalanya seseorang itu berada dalam keadaan senang, dan adakalanya seseorang dalam

keadaan susah.

Terkait dengan hal ini, ada satu hal lain yang patut digarisbawahi. Dalam wacana

hedonisme, terkandung aspek egoisme etis atau sikap mementingkan diri sendiri. Sikap ini

merupakan sikap yang patut ditolak karena bertentangan dengan prinsip kesamaan. Egoisme

etis juga cenderung mengabaikan sikap moral dasar seperti tanggung jawab, pemenuhan

kewajiban, semangat juang, idealisme yang luhur, ataupun kerelaan mengambil resiko demi

kepentingan bersama sehingga jelas-jelas bermuara pada rusaknya kualitas sumber daya

manusia.94

Hal inilah yang perlu ditelaah ulang bagi seorang hedonis, sebab kebahagiaan

tidak selalu di dapat dengan egoisme etis, melainkan juga dari interaksi, berbagi manfaat dan

makna dengan sesama, serta tujuan hidup lainnya (penggapaian cita-cita, harapan, keinginan,

dsb.).95

5. AHKLAQ KONSUMSI ISLAM SEBAGAI SOLUSI

5.1. Prinsip Tauhid

Prinsip utama konsumsi—pada khususnya, dan semua aspek kehidupan pada umumnya—

dalam Islam adalah tauhid. Tauhid atau pengesaan Allah (sebagai Tuhan yang menciptakan

sekaligus sebagai Tuhan yang patut disembah) merupakan inti dari ajaran Islam yang

melandasi seluruh aspek-aspek kehidupan seorang muslim. Tauhid juga merupakan esensi

pengalaman keagamaan dalam Islam.96

Tidak ada satu aspek kehidupan pun yang bisa

dilepaskan dari tauhid. Oleh karenanya, berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan

fondamen dari segala kebaikan dan ketaatan kepada Allah.97

Sebagai suatu hal yang fundamental dalam Islam, tauhid juga berperan sebagai

pandangan hidup (worldview). Artinya, segala macam keragaman budaya, peradaban,

pengetahuan, kebijaksanaan, dan kekayaan sejarah dalam Islam terangkum dalam sebuah

kalimat tauhid. Ia merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang-

waktu, dan taqdir.98

Konsekuensinya, satu kalimat ini, menuntut manusia untuk

memposisikan diri sebagai hamba di hadapan. Sebab, kalimat tauhid ini merupakan

pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupan secara

menyeluruh.99

Oleh karenanya, kalimat tauhid ini kemudian menjadi asas bagi keseluruhan

93 Saiyad Farid Ahmad & Saiyad Salahuddin Ahmad, God, Islam, and the Skeptic Mind: A Study on

Faith, Religious Diversity, Ethics, and the Problem of Evil, diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam, (Bandung:

Mizan, 2008), p. 256

94

Didin Hafidhuddin (Ed.), Sederhana itu Indah: Hikmah Republika, (Jakarta: Penerbit Republika,

2001), p. 103

95

Ekky Al-Malaky, Op. Cit.,

96

Ismail Raji Al-Faruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, dialihbahasakan oleh Rahmani

Astuti, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988)

97

Ibid,

98

Ibid,

99

Hamid Fahmy Zarkasy, Worldview Islam dan Kapitalisme Barat, Jurnal Tsaqafah Vol. 9, No. 1,

April 2013, p. 21

kegiatan kehidupan manusia di dunia dalam rangka menjalankan kewajibannya sebagai

hamba.

Sebagai pandangan hidup, Islam memiliki karateristik yang membedakannya dengan

pandangan hidup lainnya. Salah satu elemen yang membedakan antara pandangan hidup

Islam dengan pandangan hidup lainnya adalah tauhid. Tauhid atau aqidah Islam inilah yang

menurut Al-Attas melahirkan cara pandang yang tauhidi (integral). Dalam hal ini, tidak ada

pemisahan antara pekerjaan duniawi dengan teologi. Dengan demikian, setiap usaha yang

dilakukan seorang muslim dalam rangka mencari keuntungan, hal ini merupakan bentuk

pengabdian kepada Tuhan (ibadah) sehingga setiap cara yang dilakukan harus sesuai dengan

ajaran-Nya.

Islam = tauhid cara pandang tauhidi (integral)

Berbeda dengan Islam, pandangan hidup kapitalisme yang rasionalis-materialis

melahirkan cara pandang yang dualis (dikotomis). Akibatnya, kapitalisme memisahkan antara

moralitas dengan teologi. Konsekuensinya, ketika seorang kapitalis melakukan usaha untuk

mencari keuntungan, maka hal tersebut tidak perlu dikaitkan dengan pertimbangan moral atau

hal terrsebut tidak lagi bermakna ibadah.

Kapitalisme = rasionalis-materialis-hedonis cara pandang dualis (dikotomi)

5.2. Mengendalikan Hawa Nafsu

Dalam melakukan kegiatan konsumsi, Islam menjunjung tinggi sistem moral Islam yang

disebut akhlaq. Akhlaq Islam dalam melakukan kegiatan konsumsi tidak mengakui perilaku

materialistis sebagaimana pola konsumsi dalam kebudayaan konsumer. Dalam kebudayaan

konsumer ini, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat semakin terkalahkan

oleh kebutuhan fisik yang superfisial karena faktor-faktor psiokologis. Melalui faktor-faktor

psiokologis inilah kemudian gaya hidup hedonis, prestise, dan dorongan pamer yang didasari

oleh hawa nafsu memainkan peran dominan dalam menentukan bentuk lahiriah dari

kebutuhan fisik masyarakat.

Pada dasarnya, kebutuhan masyarakat sederhana, namun kebudayaan konsumer dan

peradaban materialistik posmodern mentransformasikan kesederhanaan kebutuhan

masyarakat ini menjadi seakan-akan kompleks serta beragam. Saat ini, kesuksesan,

kemakmuran, maupun kemajuan di ukur dengan alat ukur materialisme yang menjunjung

tinggi kemewahan dan menegasikan kesederhanaan sehingga nafsu untuk mengejar tingkatan

konsumsi bertambah. Materialisme yang menempati posisi tinggi saat ini terbukti ramah

terhadap hawa nafsu sehingga keinginan menjadi kebutuhan dan kesederhanaan mulai

dilupakan.

Dalam Islam, kegiatan konsumsi harus dilandasi oleh nilai-nilai moral, dalam hal ini

akhlaq. Keluhuran akhlaq menuntut setiap muslim untuk tidak memperturutkan hawa nafsu

dan berupaya mengurangi kebutuhan material manusia yang memuncak. Sehingga, manusia

tidak lagi mengejar kepuasan bendawi yang tidak ada habisnya namun lebih kepada

menjadikannya sarana untuk menemukan kedalaman spiritual.100

Salah satu langkah yang dapat ditempuh dalam rangka pengendaian hawa nafsu

adalah melatih diri untuk merasa puas (al-qanā`ah). Merasa puas bertujuan untuk

menghilangkan keserakahan dan mencegah timbulnya rasa iri sehingga terwujudlah keadilan

di kalangan manusia. Selain itu, merasa puas akan mematikan mesin hawa nafsu sekaligus

memutus siklusnya yang tidak pernah berkesudahan. Kebutuhan semu manusia yang tidak

realistis di zaman posmodern ini dapat diminimalisir dengan pembiasaan diri untuk merasa

cukup. Apabila kebutuhan semu tersebut dapat dikurangi dan dibatasi kepada hal-hal yang

rasional, maka perasaan takut miskin dapat terhapus dari pikirannya. Walhasil, dengan tidak

memperturutkan hawa nafsu, setiap individu akan merasakan kebahagiaan batin yang

sesungguhnya, yang selama ini dicari dengan membabi buta.

5.3. Mempertimbangkan Aspek Primer, Sekunder, dan Tersier (Maslahah)

Kegiatan konsumsi dalam Islam tidak terlepas dari prinsip maslahah. Artinya, konsumsi

harus benar-benar mendatangkan kemanfaatan dan nilai guna. Dengan kata lain, Islam

menganjutkan umatnya untuk menjauhi kegiatan konsumsi yang kontra maslahah. Sebagai

ilustrasi, dalam era posmodern, tujuan kegiatan konsumsi tidak lagi dalam rangka memenuhi

manfaat atau nilai guna suatu produk, melainkan lebih kepada upaya untuk mencapai nilai

tanda atau citra. Pola konsumsi tersebut dapat dikategorikan sebagai konsumsi yang kontra

maslahah. Tidak sama dengan konsumerisme, Islam mensyaratkan unsur kemanfaatan atau

maslahah dalam setiap kegiatan konsumsi.

Terkait dengan konsumsi, maslahah merupakan tujuan, kebaikan, dan kebajikan

paripurna.101

Sesuatu dikatakan maslahah apabila mendatangkan manfaat pada tataran

kolektif maupun perseorangan dan diterima oleh masyarakat sebagai pemenuh kebutuhan.102

Maslahah dapat dikatakan elemen penting yang tidak terpisahkan dalam bagi manusia di

mana ketiadaannya dapat menimbulkan ketidakberaturan tata kehidupan yang mengundang

mafsadah.

Prinsip maslahah dalam Islam merupakan konsep yang tersusun secara sistematis. Ia

dapat dijelaskan dalam sebuah hierarki yang tripartit.103

Pertama, ḍarūriyyah atau primer,

yaitu kebutuhan yang harus ada untuk keberadaan manusia. Tanpanya, keberadaan dan

kebutuhan manusia tidak akan tegak.104

Syaikh Wahbah Zuhaili menambahkan bahwa

maslahah ini mencakup kehidupan dunia dan akhirat.105

Kedua, ḥājjiyyah atau sekunder,

100 M. Umer Chapra, Op. Cit., p. 44-48

101

Muhammad al-Tahir Ibn Ashur, Treatise on Maqāṣid al-Syarī`ah, (London: The International

Institue of Islamic Thought, 2006), p, 113

102

Ibid

103

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam Edisi III, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), p. 234

104

Abū Isḥāq al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī`ah, Jilid IV, (

105

Pada dasarnya, seluruh unsur maslahah mencakup kehidupan dunia dan akhirat. Dalam hal ini,

penyebutan kehidupan dunia dan akhirat cukup diwakilkan pada maslahah pertama, dan secara otomatis

maslahah yang tersisa mengikutinya. Lihat Wahbah al-Zuḥailī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī al-Juz III, (Damaskus:

Dār al-Fikr, 2009), p. 35

yaitu kebutuhan yang menopang terpenuhinya kebutuhan primer.106

Dalam hal ini maslahah

ḥājjiyyah berupa hal-hal yang mendatangkan kemudahan dan keluasan bagi tercapainya

maslahah ḍarūriyyah.107

Ketiga, taḥsīniyyah atau tersier. Maslahah taḥsīniyyah merupakan

kebutuhan yang mengarah kepada kesempurnaan kondisi masyarakat sehingga mampu

menciptakan kehidupan yang mapan.108

Kebutuhan tersier tidak hanya berfungsi sebagai

penyempurna kehidupan, melainkan juga sebagai kebutuhan yang eksistensinya dikehendaki

untuk kemuliaan akhlaq (makārim al-Akhlāq).109

Dengan strukturnya yang hierarkis, pada

setiga unsur maslahah ini berlaku hukum prioritas, di mana primer lebih utama dari pada

sekunder, maupun sekunder lebih utama dari pada tersier. Artinya, apabila dalam unsur

sekunder terdapat hal-hal yang bertentangan dengan yang primer, maka unsur sekunder tidak

boleh diberlakukan. Dengan demikian, apabila mengacu kepada prinsip maslahah, pola

konsumsi pada kebudayaan konsumer yang secara seduktif menjadikan keinginan menjadi

kebutuhan,110

maka hal tersebut tidak sejalan dengan ajaran Islam terkait dengan kegiatan

konsumsi.

5.4. Gaya Hidup Sederhana

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa konsumsi adalah perkara yang primer bagi setiap

individu, Islam sebagai dīn telah memberikan aturan yang komprehensif demi kelangungan

hidup manusia yang seimbang. Oleh karenanya, Islam menjunjung tinggi nilai-nilai

kesederhanaan. Sederhana merupakan konsep yang sering mengalami mispersepsi, ia tidak

bermakna minimalis atau serba kekurangan, akan tetapi moderasi dan kewajaran. Pada satu

sisi, Islam membolehkan segenap umatnya untuk menikmati berbagai macam kebaikan dunia

dan melarang mereka untuk meninggalkan kesenangan dunia sebagaimana sistem kerahiban,

manuisme Parsi, maupun mistisisme Brahma.111

Namun di sisi yang lain, Islam juga

melarang ummatnya untuk berlebih-lebihan.112

Diantara bentuk perilaku berlebihan dalam

melakukan kegiatan konsumsi, utamanya dalam kebudayaan konsumer ini adalah

menenggelamkan diri dalam ekstasi kemewahan. Padahal, perilaku yang semacam ini

merupakan perilaku yang bertolak belakang dengan kebajikan.

Dalam Islam, kesederhanaan adalah kemuliaan. Kesederhanaan membawa dampak

pembebasan jiwa manusia dari perilaku binatang yang tujuan hidupnya hanyalah untuk

makan (baca: mengkonsumsi). Lebih jauh, kesederhanaan akan menimbulkan kesadaran jiwa

untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Apabila kemewahan menimbulkan

kecemburuan sosial, maka kesederhanaan menimbulkan tenggang rasa dan kerja sama antara

masyarakat sehingga tidak terjadi kompetisi dalam rangka memperjuangkan kebutuhan

106 Ibid, p. 29

107

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994), p. 213

108

Muhammad al-Tahir Ibn Ashur, Op. Cit., p. 120

109

Abū Isḥāq al-Syāṭibī, Op. Cit., p. 31

110

Radar Panca Dhahana, Op. Cit., p. 156

111

Secara umum, orientasi spiritual kerahiban, biksu, bahkan sebagian sufi cenderung melihat

gratifikasi tuntutan tubuh sebagai hal yang merusak ketinggina spiritual. Hal ini merupakan konsekuensi dari

keyakinan mereka bahwa penolakan terhadap kesenangan dunia dan upaya menjauhkan sarana subsistensi

(nafkah hidup) dalam diri mereka adalah tindakan kebajikan. Lihat Sayyid Abu al-a`la al-mawdudi, First

Principles of Islamic Economics, (Islamabad: IPS Press, 2013), p. 109

112

Ibid, p. 111

hidup. Berbeda dengan perilaku hedonis yang gemar memanfaatkan waktu luang sebagai

kesenangan (leisure), perilaku sederhana menanamkan jiwa masyarakat untuk lebih banyak

memanfaatkan waktu dan potensi yang lain untuk kebaikan dan kemuliaan manusia itu

sendiri.113

5.5. Menghindari Israf dan Tabdzir

Sebagaimana melarang bermewah-mewahan, Islam juga mengajarkan umatnya untuk

menghindari tabdzīr. Tabdzīr dapat diartikan dengan perilaku boros, menghambur-

hamburkan harta, dan melampaui batas kewajaran penggunaan. Menghambur-hamburkan

harta, dalam Islam, adalah bentuk perusakan dan peremehan terhadap harta tersebut. Sebagai

contoh, menghidupkan lampu di siang hari yang terang, membiarkan keran air terbuka,

membuang-buang dan menyia-nyiakan makanan, membiarkan tanah kosong tanpa ditanami,

ataupun menelantarkan alat-alat tanpa dimanfaatkan. Dengan contoh-contoh ini, teranglah

bahwa tabdzīr merupakan upaya menghilangkan kemaslahatan yang harus dihindari.

Hampir sama dengan tabdzīr, isrāf adalah perilaku yang juga kontradiktif dengan

ajaran Islam. Isrāf merupakan perbuatan melampaui batas dalam mengkonsumsi. Dalam

konteks kebudayaan konsumer, membeli barang untuk kepentingan prestise tanpa hitung-

hitungan yang rasional adalah contoh kegiatan yang masuk dalam kategori isrāf. Isrāf tidak

selalu dalam kapasitas besar, membelanjakan uang untuk suatu barang yang dilarang,

meskipun harganya murah, juga masuk dalam kategori isrāf.

No. Konsumerisme Posmodern Islam

1. Cara pandang materialis-hedonis Cara pandang Tauhid

2. Libidinal: memperturutkan hawa nafsu Mengendalikan hawa nafsu

3. Ekstasi: kebutuhan yang tidak perlu

menjadi perlu

Maslahah: mempertimbangkan aspek primer

(daruriyyah), sekunder (hajjiyyah), dan

tersier (tahsiniyyah)

4. Gaya hidup mewah Gaya hidup sederhana, tidak tabdzir dan israf

5. Berdasarkan kesenangan Berdasarkan kemanfaatan

Tabel 1. Perbedaan Pola Konsumsi Kebudayaan Konsumer dan Islam

6. KESIMPULAN

Seiring dengan bergesernya paradigma masyarakat Barat dari modern ke posmodern,

bergeser pula fokus mereka dari produksi ke konsumsi. Denga watak dan karakter

posmodern, pergeseran fokus ini kemudian memunculkan kebudayaan baru yang disebut

dengan budaya konsumer atau konsumerisme. Sebagai sebuah budaya anyar yang

menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan masyarakat, konsumerisme

melahirkan pola-pola konsumsi tertentu seperti konsumsi libidinal, ekstasi, gaya hidup, dan

sinergistik. Dalam konsumerisme, logika yang digunakan masyarakat dalam mengkonsumsi

bukan lagi logika kebutuhan, melainkan logika hasrat. Orientasi yang di tuju, bukan lagi nilai

guna (use value), melainkan nilai tanda (sign value).

113 M. Umer Chapra, Islamic Economics: Theory and Practice, dialihbahasakan oleh Nastangin,

(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), p. 58-9

Berbagai macam pola konsumsi yang terjadi di kalangan masyarakat konsumer ini

kemudian memunculkan berbagai macam problem pada aspek lingkungan, sosial, maupun

psikologi setiap individu masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya fenomena menipisnya

lapisan ozon, menipisnyanya moral masyarakat, dan dikesampingkannya akal sehat

masyarakat. Hal-hal ini merupakan konsekuensi logis dari kesalahan cara pandang terhadap

konsumsi, di mana konsumsi dipandang dengan cara pandang materialisme dan hedonisme.

Dalam Islam, konsumsi dipandang dengan cara pandang tauhid. Artinya, konsumsi

terikat dengan hukum-hukum yang telah diatur oleh Allah melalui syariahNya. Apabila

konsumsi dalam konsumerisme cenderung memperterutkan libido atau hasrat, maka

konsumsi dalam Islam lebih mengacu kepada pengendalian hasrat. Apabia konsumsi dalam

kebudayaan konsumer dilakukan atas dasar ketidaksadaran atau kondisi ekstasi sehingga

kebutuhan yang tidak perlu menjadi perlu, maka dalam Islam konsumsi dilakukan atas dasar

mashlalah yang mengakibatkan terpenuhinya seluruh kebutuhan primer, sekunder, dan tersier

masyarakat secara urut. Apabila konsumsi dalam konsumerisme dilakukan atas dasar gaya

hidup mewah, maka konsumsi dalam Islam dilakukan atas dasar gaya hisup sederhana.

Apabila konsumsi dalam Konsumerisme dilakukan ata dasar kesenangan, maka dalam Islam,

konsumsi dilakukan atas dasar kemanfaatan. Dengan demikian, secara tidak langsung, Islam

pada dasarnya telah menawarkan solusi bagi segenap problematika yang ditimbulkan oleh

konsumerisme.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, 1995, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ahmad, Saiyad Farid and Ahmad, Saiyad Salahuddin, 2008, God, Islam, and the Skeptic

Mind: A Study on Faith, Religious Diversity, Ethics, and the Problem of Evil,

diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam, Bandung: Mizan

Ahmed, Akbar S., 1992, Postmodern and Islam: Pradecemet and Promise, London:

Routledge

Al-Faruqi, Ismail Raji, 1998, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, dialihbahasakan

oleh Rahmani Astuti, Bandung: Penerbit Pustaka

Al-Hanafi, Muhammad bin Muslihuddin Mustafa al-Qujawi, 1999, Hasyiyah Muhyiddin

Syaikh Zadah `ala Tafsir al-Qadi al-Baydawi, Jilid II, Beirut: Dar al-Kutub al-

`Ilmiyyah

Al-Malaky, Ekky, 2003, Why Not?Remaja Doyan Filsafat, Bandung: Mizan

Al-Syāṭibī , Abū Isḥāq, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī`ah, Jilid IV

Al-Zuḥailī, Wahbah, 2009, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī al-Juz III, Damaskus: Dār al-Fikr

Aminuddin, M. Faishal, 2009, Globalisasi dan Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya

bagi Demokrasi Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka

Ashur, Muhammad al-Tahir Ibn, 2006, Treatise on Maqāṣid al-Syarī`ah, London: The

International Institue of Islamic Thought

Azizi, A. Qodry, 2004, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan

Sumber Daya Manusia, dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Bagus, Lorens, 2005, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka

Baudrillard, Jean P., 2006, Masyarakat Konsumsi Cetakan ke II, Yogyakarta: Kreasi Wacana

________, 2001, Seduction, Montreal: Ctheory Books

Botton, Alain de, 2003, The Consolations of Philosophy, diterjemahkan oleh Ilham Saenong,

Jakarta: Teraju Mizan

Brinton, Crane, 1963, The Shaping of Modern Thought, Englewood Cliffs: Prentice Hall

Bracher, Mark, Jacques Lacan: Diskursus dan Perubahan Sosial, Pengantar Kritik-Budaya,

dan Psikoanalisis, Yogyakarta: Jalasutra

Buordieu, Pierre, 1984, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, translated by

Richard Nice Cambridge: Harvard University Press

Chisholm, Hugh (Ed.), 1962, Encyclopaedia Britannica: A New Survey of Universal

Knowledge Vol. 11, Chicago: William Benton

Deleuze, Gillez and Guattari, Felix, 1982, Anti-Oedipus: Capitalisme and Skizofrenia

Dewojati, Cahyaningrum, 2010, Wacana Hedonisme dalam Sastra Populer Indonesia,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Dhahana, Radhar Panca, 2015, Ekonomi Cukup: Kritik Budaya pada Kapitalisme, Jakarta:

Kompas

Fatimah, Siti, 2013, Menggali Perkembangan Metode Penelitian Ekologi: Perspektif Fritjhof

Capra, Yogyakarta: Penerbit Depublish

Featherstone, Mike, 2008, Posmodernisme dan Kebudayaan Konsumen, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Gardner, Carl and Sheppard , Julie, 1989, Consuming Passion: The Rise of Retail Culture,

UK: Unwin Hyman

Guattari, Felix, 1986, Molecular Revolution: Psychiatri and Politics, London: Penguin Books

Hafidhuddin, Didin (Ed.), 2001, Sederhana itu Indah: Hikmah Republika, Jakarta: Penerbit

Republika

Husaini, Adian, 2005, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-

Liberal, Jakarta: Gema Insani Press

Hidayat, Nuim, 2009, Imperialisme Baru, Jakarta: Gema Insani Press

Ibrahim, Idy Suhandi, 2011, Kritik Budaya Komunikasi: Media dan Gaya Hidup dalam

Proses Demokratisasi Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra

Ismail, Fuad Farid, 2017, Mabadi` al-Falsafah wa al-Akhlaq, diterjemahkan oleh Didin

Faqihuddin, Yogyakarta: IRCiSoD,

Jameson, Frederich, Postmodern or the Cultural Logic of Late Capitalism

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Cetakan ke III, 2002, Jakarta: Balai Pustaka

Karim, Adiwarman A., 2007, Ekonomi Mikro Islam Edisi III, Jakarta: Rajawali Press

Kartono, Kartini, 1997, Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan, Jakarta: Rajawali

Press

Kellner, Douglas, 1989, Jean Baudrillard: From Marxism to Postmodern and Beyond,

California: Stanford University Press

Klare, Michael T., 2002, Resources War: The New Landscape of Global Conflict, New York:

Henry Holt and Company

Kvale, Steiner, 2006, Psikologi dan Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Lacan, Jacques, 2002, Ecrits: the First Complete Edition in English, New York: Norton and

Company

Lyotard, Jean Francois, Libidinal Economy, Indiana Polis: Indiana University Press

________, 1989, the Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Minneapolis:

University of Minnesota Press

Lubis, Akhyar Yusuf, 2016, Postmodernisme: Teori dan Metode, Cetakan III, Jakarta:

Rajawali Press

Ma`ruf, Ade, et. al., 2002, Soliloqui: Pemikiran, Agama, Filsafat, dan Politik, Yogyakarta:

Penerbit Jendela

Martono, Nanang, 2006, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern,

dan Poskolonial, Jakarta: Grafindo Persada

Matin, Ibrahim Abdul, 2002, Green-deen: Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola

Alam, Jakarta: Zaman Media

Mudhofir, Ali, 1996, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press

O`Donnel, Kevin, 2009, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius

Oxford Advanced Learner`s Dictionary Ninth Edition, UK: Oxford University Press

Piliang, Yasraf Amir, 1998, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang

Millenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme, Bandung: Penerbit Mizan

________, 2004, Sebuah Dunia Yang Berlari: Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital, Jakarta:

Grasindo

Poster, Mark, 1990, Jean Baudrillard: Selected Writings, USA: Polity Press

Prabowo, Ahmad Jenggis, 2012, Sepuluh Isu Global di Dunia Islam, Yogyakarta: NFP

Publishing

Ritzer, George, 2003, Teori-Teori Sosial Posmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

________, 1998, the McDonaldization Third Edition, UK: Duke University Press

Ruqaith, Hamad Hasan, 2004, Qadaya Mu`sirah fi Mizan al-Islam, diterjemahkan oleh

Azzam, Jakarta: Pustaka Azzam

Sarup, Madan, An Introductory Guide to Post-Structuralism and Post-Modernism,

diterjemahkan oleh Medhy Aginta Hidayat, Yogyakarta: Jalasutra

Stearns, Peter N., 2001, Consumerism in World History: The Global Transformation of

Desire, New York: Routledge

Sugihartati, Rahma, 2014, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial

Kontemporer, Jakarta: Penerbit Kencana

Sugiharto, Bambang, 1996, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius

Suyatno, Bagong, 2014, Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme, Masyarakat Konsumsi di Era

Posmodern, Jakarta: Penerbit Kencana

Suyoto (Ed.), 1994, Posmodernisme dan Masa Depan Peradaban, Yogyakarta: Aditya Media

Subdirektorat Statistik Lingkungan Hidup, 2016, Statistik Lingkungan Hidup Indonesia,

Jakarta: Badan Pusat Statistik

Syarifuddin, Amir, 1994, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994

Tambayong, Yapi, 2013, Kamus Isme-Isme: Filsafat, Teologi, Seni, Sosial, Politik, Hukum,

Psikologi, Biologi, dan Medis, Bandung: Nuansa Cendekia

Turner, Bryan S., 2008, Teori-Teori Sosiologi Modernitas hingga Posmodernitas,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

The European Environtment State and Outlook, 2010, Consumption and Environtment,

Luxembourg: Publication Office of the European Union

Zaprulkhan, 2012, Fisafat Umum: Sebuah Pendekatan Tematik, Jakarta: Rajawali Press

Zarkasy, Hamid Fahmy, 2013, Worldview Islam dan Kapitalisme Barat, Jurnal Tsaqafah Vol.

9, No. 1, Bulan April


Recommended