Date post: | 13-Aug-2015 |
Category: |
Documents |
Upload: | dasep-padilah |
View: | 72 times |
Download: | 4 times |
Laporan Praktek Lapangan - Home Visit
Gizi Kurang dengan ISPA
Disusun oleh
Kelompok 6 C :
Yuni Purwati G1A010059
Zafir Jehan Andika G1A010060
Dasep Padilah G1A010062
Ad’ha Yulina N. S G1A008087
Pembimbing : dr. Tri Okmawati Handini
NIP :
Puskesmas Kalibagor
BLOK EARLY CLINICAL AND COMMUNITY EXPOSURE I
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
NOVEMBER 2012
Halaman Pengesahan
Laporan Home Visit
Gizi Kurang dengan ISPA
Oleh:
Kelompok 6C
Yuni Purwati G1A010059
Zafir Jehan Andika G1A010060
Dasep Padilah G1A010062
Ad’ha Yulina N G1A008087
Telah dipresentasikan pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 28 November 2012
Preseptor Fakultas
dr. Tri Okmawati Handini
NIP.
I. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA
Nama KK : Ratimin
Usia : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMP/ Sederajat
Alamat lengkap : Desa Karangdadap RT 02 RW 04 Kecamatan Kalibagor, Banyumas
Nama Pasangan : Sumarni
Usia : 31 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA / Sederajat
Alamat lengkap : Desa Karangdadap RT 02 RW 04 Kecamatan Kalibagor, Banyumas
Bentuk Keluarga : Nuclear Family
Tabel 1.1. Daftar Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah
Nama
Kedudukan
dalam
Rumahtangga
L/P UsiaPendidika
nPekerjaan Ket
Ratimin KK L 42 SMP buruh
Sumarni Istri P 31 SLTA buruh
Anak P 9 SD Pelajar
Firman
Dwi
Aditya
Anak L 20
bln
10
hari
II. STATUS PENDERITA
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Firman Dwi Aditya
Umur : 20 Bulan 10 Hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Karangdadap RT 02 RW 04 Kecamatan Kalibagor, Banyumas
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : -
Pendidikan : -
Penghasilan/bulan : -
Tanggal periksa : 26 November 2012
B. ANAMNESIS
1.Keluhan Utama : berat badan menurun
2.Riwayat Penyakit Sekarang :
a. Onset : 2 bulan yang lalu
b. Lokasi : -
c. Kronologi : semenjak Ny. Sumarni menggunakan KB suntik
produksi ASI semakin menurun dan anak mulai susah makan makanan pendamping
ASI sehingga berat badan turun akibatnya daya tahan tubuhnya kurang baik sering
batuk pilek.
d. Kualitas : -
e. Kuantitas : -
f. Faktor yang memperberat : -
g. Faktor yang memperingan : -
h. Gejala penyerta : batuk, pilek, demam dan kadang diare
3.Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Penyakit dahulu : sering batuk pilek, kadang demam disertai diare.
b. Riwayat obat-obatan : pengobatan simptomatis batuk, pilek, demam dan diare
c. Riwayat kecelakaan : -
d. Riwayat alergi : -
4.Riwayat Penyakit Keluarga dan lingkungan
Kakak perempuan Firman alergi terhadap telur
5.Riwayat Sosial Ekonomi
a. Komunitas : Bermain dengan kakak perempuan dan anak tetangga
b. Pekerjaan : -
c. Diet : ASI, MP ASI (dari puskesmas), nasi, sayur (bayam), lauk pauk
(ayam, lele), kebiasaan jajan sembarangan tidak ada.
d. Perilaku : terkadang bermain di luar rumah tanpa alas kaki
6.Review of System
a. Kepala : Dalam batas normal
b. Mata : Dalam batas normal
c. Telinga : Dalam batas normal
d. Tenggorokan : Tampak sedikit hipermeis
e. Pernapasan : Dalam batas normal
f. Kadiovaskuler : Dalam batas normal
g. Gastrointestinal : Dalam batas normal
h. Genitourinaria : Dalam batas normal
i. Neurologi : Dalam batas normal
C. PEMERIKSAAN FISIK
Senin, 26 November 2012
1. Keadaan Umum
Compos mentis dan rewel
2. Tanda-tanda vital
a. Suhu : 380C
b. Tekanan darah: 100/70 mmHg
c. Nadi : 115 kali/menit
d. RR : 26 kali/menit
3. Status gizi :
BB : 7,6 kg
PB : 72 cm
Kesan : anak tampak kurus
4. Kulit : dalam batas normal
5. Kepala : dalam batas normal
6. Mata : dalam batas normal
7. Hidung : tampak discharge
8. Gigi dan Mulut : sudah tumbuh gigi susu, sudah tumbuh 12 buah.
9. Telinga : dalam batas normal
10. Tenggorok : tampak sedikit hiperemis
11. Leher : dalam batas normal
12. Thoraks : dalam batas normal
13. Jantung : dalam batas normal
14. Paru : dalam batas normal
15. Abdomen :
Inspeksi : perut datar
Auskultasi : bising usus positif normal
Perkusi : dalam batas normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
16. Extremitas superior : dalam batas normal
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
III. IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA
A. Fungsi Holistik
1. Fungsi biologis
Keluarga penderita terdiri dari ayah (Tn. Ratimin, 42 Tahun), ibu (Ny. Sumarni, 31
Tahun), kakak perempuan (9 Tahun), dan penderita itu sendiri (Firman Dwi Aditya, 20
bulan). Mereka tinggal dalam satu rumah beranggotakan ayah, ibu dan 2 orang anak.
2. Fungsi psikologis
Hubungan keluarga mereka secara umum terjalin sangat baik, terbukti dengan
permasalahan – permasalahan yang ada diatasi dengan bersama – sama dalam keluarga
ini serta ibu sangat peduli dengan kesehatan anak.
3. Fungsi sosial
Ibu dan ayah penderita ikut dalam salah satu kegiatan masyarakat yaitu arisan di
RT/RW setempat. Penderita tidak merasa terganggu dengan keadaan fisiknya, dia
masih bias bermain denga kakak perempuannya dan tetangga sekitar rumah.
4. Fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan
Penghasilan keluarga ini berasal dari ayah dan terkadang ibu penderita. Ayah dan ibu
bekerja sebagai buruh. Penghasilan dari keduanya sudah cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari hari keluarga tersebut.
Kesimpulan :
Dari poin satu sampai empat dari fungsi holistik keluarga penderita berbentuk nuclear family
yaitu suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan 2 orang anaknya yang tinggal dalam satu
rumah tanpa tambahan anggota keluarga lain (Notoatmojo, 2003).
B. Fungsi fisiologis
Terwujudnya keluarga sejahtera adalah cita-cita semua pihak. Karena apabaila keluarga
sejahtera tersebut berhasil diwujudkan maka berarti telah terwujud pula keluarga yang
sehat (healthy family). Untuk dapat mengukur sehat atau tidaknya suatu keluarga
dikembangkanlah suatu metode penilaian sederhana yang dikenal dengan nama APGAR
Keluarga (Family APGAR). Kelima fungsi keluarga yang dinilai pada APGAR keluarga
adalah:
1. Adaptasi (Adaptation)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang diperlukan
dari anggota keluarga lainnya.
2. Kemitraan (Partership)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kominukasi, urun rembuk dalam
mengambil suatu keputusan dan atau menyelesaikan suatu masalah yang sedang
dihadapi dengan anggota keluarga lainnya.
3. Pertumbuhan (Growth)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang diberikan
keluarga dalam mematangkan pertumbuhan atau kedewasaan setiap anggota keluarga.
4. Kasih sayang (Affection)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi
emosional yang berlangsung dalam keluarga.
5. Kebersamaan (Resolve)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam membagi
waktu, kekayaan dan ruang antar anggota keluarga (Goleman, 2000).
Untuk setiap jawaban sering/selalu diberikan nilai 2, jawaban kadang-kadang diberikan
nilai 1, sedangkan jawaban jarang/tidak pernah diberikan nilai 0. Bila hasil penjumlahan
kelima nilai diatas adalah:
1. 7 – 10 berarti keluarga yang dinilai adalah sehat, dalam arti setiap anggota keluarga
saling mendukung satu sama lain.
2. 4 – 6 berarti keluarga yang dinilai adalah kurang sehat, dalam arti hubungan antar
anggota keluarga masih perlu untuk lebih ditingkatkan.
3. 0 – 3 berarti keluarga yang dinilai sama sekali tidak sehat, dalam arti sangat
memerlukan banyak perbaikan untuk lebih meningkatkan hubungan antar anggota
keluarga (Notoatmojo, 2003).
Untuk mempermudah penilaian, APGAR keluarga biasanya dituangkan dalam formulir
isian sebagai berikut:
Tabel 3.1. Skor APGAR Ny. Sumarni
N
o
A.P.G.A.R Tn. Warsito Rachtomo
Nolopitono terhadap keluarga
SERING
/
SELAL
U
(2)
KADANG-
KADANG
(1)
JARAN
G/
TIDAK
(0)
1
2
3
4
5
Saya puas bahwa saya dapat kembali
kepada keluarga saya, bila saya
menghadapi masalah.
Saya puas dengan cara-cara keluarga saya
membahas serta membagi masalah dengan
saya.
Saya puas bahwa keluarga saya menerima
dan mendukung keinginan saya
melaksanakan kegiatan dan ataupun arah
hidup yang baru.
Saya puas dengan cara-cara keluarga saya
menyatakan rasa kasih sayang dan
menanggapi emosi
Saya puas dengan cara-cara keluarga saya
membagi waktu bersama
Total point = 9
C. Fungsi Psikologik
Penilaian menggunakan SCREEM (Social, Cultural, Religius, Economic, Education,
Medication)
Tabel 3.4. Skor SCREEM keluarga Tn. Ratimin
Sumber Patologi Keterangan
Social Interaksi sosial antar anggota keluarga dan -
anggota masyarakat cukup baik.
Culture Kepuasan atau kebanggaan terhadap
budaya sangat baik.
-
Religius Pemahaman agama baik. -
Economic Ekonomi keluarga cenderung kurang stabil
walau sumber penghasilan keluarga berasal
dari ayah dan ibu penderita.
-
Education Pendidikan dan pengetahuan anggota
keluarga kurang.
-
Medical Tidak mempunyai asuransi kesehatan
namun keluarga sangat memperhatikan
kesehatan keluarga.
-
D. Fungsi Genetik, dijelaskan dengan Genogram
Keterangan :
: laki-laki : perempuan
: klien : menikah
20 bulan
42th
9th
40th 38th 33th 31th
Gambar 3.1. Genogram Keluarga Tn. Ratimin
(Gan, Azwar, dan Wonodirekso, 2004; Rakel, 2002)
IV. Identifikasi Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan
A. Faktor perilaku keluarga
Faktor perilaku dapat dinilai dari tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan.
Tingkat pengetahuan keluarga dan penderita tentang kesehatan sudah cukup baik.
Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan dalam kegiatan program kesehatan seperti
Posyandu, dan penerapan akan pengetahuan kesehatannya dalam kehidupan sehari-
hari sudah cukup baik.
Tingkat pengetahuan ini diikuti dengan sikap yang baik pula oleh keluarga Tn.
Ratimin. Keluarga Tn. Ratimin sangat peduli dengan kesehatan anaknya, yaitu dengan
mencoba mencari cara agar anaknya nafsu makan meningkat dan berobat ke pelayanan
kesehatan apabila sakit. Namun, tindakan tentang kesehtan keluarga ini belum
sepenuhnya didukung dengan lingkungan sekitar dan pengaruh ekonomi keluarga.
B. Faktor non perilaku
Faktor nonperilaku dapat dinilai dari lingkungan rumah keluarga dan pelayanan
kesehatan.
1. Lingkungan rumah keluarga Tn. Ratimin
terasKamar tidur utama
Ruang tamu
Kamar tidur
Ruang keluarga
WC dapur
Gambar 4.1. Skematis Rumah Tn. Ratimin
Rumah keluarga pasien berlokasi di desa dan jauh dari jalan besar. Kepemilikan rumah
keluarga pasien adalah sendiri. Bentuk bangunan keluarga pasien permanen dan tidak
bertingkat.
a. Luas bangunan rumah
Luas rumah keluarga pasien adalah 200 m2, jumlah orang dalam satu rumah adalah
sebanyak 4 orang. Perbandingan luas rumah dengan jumlah penghuni adalah 50
m2/orang. Syarat rumah sehat adalah memenuhi luas rumah yang optimum yaitu
2,5-3 m2 untuk tiap orang (tiap anggota keluarga). Dapat disimpulkan bahwa
perbandingan luas bangunan rumah terhadap jumlah penghuni rumah keluarga
pasien telah memenuhi kriteria rumah sehat (Notoatmodjo, 2003).
b. Bahan bangunan
Bahan bangunan berguna dalam membentuk lantai, dinding, atap, tiang, kaso, dan
reng. Bahan bangunan merupakan hal yang penting ditinjau guna mewujudkan
rumah sehat. Berikut ini adalah kondisi bahan bangunan rumah keluarga pasien :
1) Lantai rumah kedap air
2) Dinding rumah terbuat dari tembok.
3) Atap rumah terbuat dari genteng.
Semua bahan bangunan yang digunakan dalam pembangunan rumah keluarga
pasien telah memenuhi kriteria rumah sehat yang disesuaikan dengan kondisi
tempat tinggal pasien ditinjau dari bahan bangunan yang membentuknya karena
bahan bangunan yang digunakan sesuai dengan daerah tropis, Indonesia. Bahan
bangunan yang digunakan dalam pembuatan sebuah rumah perlu disesuaikan
dengan kondisi lingkungannya (Notoatmodjo, 2003).
c. Ruangan
Rungan dalam rumah keluarga pasien terdiri dari dua kamar tidur, satu dapur, satu
gudang, dua kamar mandi, satu ruang keluarga, dan satu ruang serbaguna.
2. Pelayanan kesehatan
Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga penderita tidak memiliki asuransi
kesehatan baik dari tempat bekerja maupun daerah namun keluarga tersebut sangat
perhatian dengan kesehatan.Terbukti dengan segera mencari layanan kesehatan apabila
ada masalah kesehatan .
: Faktor Perilaku
: Faktor Non Perilaku
Gambar 4.2. Faktor Perilaku dan Nonperilaku Keluarga Tn. Ratimin
Dari faktor perilaku dan nonperilaku di atas, maka dikelompokkan menjadi faktor risiko
eksternal dan faktor risiko internal. Berdasarkan kasus, faktor –faktor yang bermasalah adalah
faktor tindakan dan lingkungan rumah. Jika diklasifikasikan berdasarkan bisa atau tidaknya
diintervensi, maka faktor tindakan termasuk faktor atau masalah yang dapat diintervesi,
sedangkan lingkungan rumah merupakan masalah yang tidak dapat diintervensi.
Tabel 4.1. Faktor yang Dapat dan Tidak Dapat Diintervensi
Faktor yang dapat diintervensi Faktor yang tidak dapat diintervensi
Keluarga Tn. Ratimin
Pengetahuan :Pengetahuan akan faktor-faktor risiko
baik
Lingkungan:Ventilasi kamar anak<10% luas lantai, lantai berdebu
dan tidak rata
Keturunan:Adanya anggota keluarga lain (sepupu) menderita
gizi kurang
Pelayanan Kesehatan:Tidak adanya jaminan
kesehatanTindakan:
Sudah mencoba berbagai cara untuk mengatasi malnutrisi
Sikap:Keluarga setuju bahwa
faktor-faktor risiko tertentu dapat menyebabkan
malnutrisi
Tindakan (perilaku)
a. Penderita
1) Penderita susah makan
2) Sering bermain tanpa alas kaki
b. Keluarga
1) ASI tidak lancar
2) Sepupu ada yang pernah
menderita malnutrisi
Lingkungan rumah
a. Ventilasi kamar anak < 10% dari luas
lantai
b. Lantai tidak rata dan berdebu
c. Banyak tetangga yang mengalami
infeksi saluran pernafasan dan tidak
mengetahui cara mencegah penularan
C. DIAGNOSTIK HOLISTIK & PENANGANAN KOMPREHENSIF
Diagnostic holistik (Multiple Aspek) meliputi :
a) Aspek Personal
Alasan Kedatangan (RFE):
1. KU (Idea)
Berat badan dibawah garis merah pada KMS.
2. Keluhan penyerta (Concern)
Cengeng, Rewel, Batuk, Pilek, Susah makan.
3. Harapan Pasien atau Keluarga (Expected)
Pasien dapat sembuh dari penyakitnya dan pertumbuhan serta
perkembangan pasien menjadi lebih baik (Sesuai KMS) yaitu beratt badan
berada di atas garis merah.
4. Kekhawatiran Pasien atau Keluarga (Anxiety)
Kekhawatiran keluarga pasien adalah pasien terus sulit makan dan
mengalami Gizi buruk serta mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
b) Aspek Klinis
1. Diagnostik Kerja
Gizi kurang dengan ISPA
2. DD
- Kwarsiorkor
- Marasmus
- Marasmik-Kwarsiorkhor
c) Aspek Faktor Risiko Internal (Intrinsik)
Pasien berusia 20 Bulan + 10 hari, berjenis kelamin laki-laki, Pasien
berwarga negara Indonesia, dan bersuku jawa, pasien sangat sulit untuk makan,
nafsu makan pasien sangat rendah, pasien terlihat rewel dan cengeng, pasien juga
gemar bermain diluar rumah dimana keadaan diluar rumah banyak kebun dan
tanah yang lembab terlebih lagi jika musim hujan.
d) Aspek Faktor Risiko Eksternal (Extrinsik)
Perilaku sakit anggota Keluarga Pasien terutama Ibunya sangat perhatian
dan khawatir dengan kondisi pasien, Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya
di rumahnya yang luasnya 66 ubin, dengan lantai yang belum di plester dan
dengan ventilasi dan pencahayaan rumah yang sangat minim. Ayah pasien yang
berusia 42 tahun adalah tamatan SMP yang bekerja sebagai Buruh dengan
penghasilan Rp 20.000 /Bulan, Ibu pasien yang berusia 31 tahun merupakan
tamatan SMEA yang tidak bekerja, jadi pengahsilan keluarga pasien perbulan
adalah Rp 20.000. Keadaan lingkungan sekitar rumah pasien tidak terlalu
berdekatan dan keadaan rumah tetangganya hampir mirip dengan keadaan rumah
pasien. Rumah pasien terletak di dekat sungai dan hutan bambu, Luas tanah 66
ubin dengan lantai yang belum di plester dan belum di keramik, dinding rumah
juga belum di cat, terdiri dari 2 kamar tidur, dan Dapur menggunakan tungku
untuk memasak. ventilasi rumah serta pencahayaan rumah juga sangat kurang.
e) Aspek skala skor (derajat keparahan penyakit):
Skala Skor pada pasien adalah 1. Karena dilihat dari aspek social penilaian
fungsi, terlihat pasien masih dapat beraktivitas normal serta bermain dengan
teman-temannya.
Penanganan Komprehensif meliputi :
a) Personal care:
1. Initial Plan :
- Pemeriksaan/kunjungan di posyandu (melihat KMS).
- Teruskan ASI, nutrisi harus diperbaiki dengan makanan bergizi (tinggi
karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin dan mineral).
- Makanan pendamping diberikan sedikit tapi sering.
- Edukasi ke Ibu tentang pentingnya menjaga Higienitas dan Sanitasi yang
baik (meningkatkan PHBS)
- Perbanyak ventilasi dan pencahayaan di dalam rumah serta menjaga
kebersihan rumah agar bebas dari debu.
- Pemberian Vitamin A dosis tinggi pada anak 1 tahun 2x yaitu pada bulan
Februari dan Agustus.
- Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan adalah pemeriksaan Hb,
pemeriksaan urin dan pemeriksaan tinja.
- Pemeriksaan rontgen, mantoux test, pemeriksaan albumin dan globulin
(Istiono, 2009)
2. Kausatif (Medikamentosa) :
Langkah pertama dalam pengobatan adalah untuk mengoreksi
kelainan cairan dan elektrolit dan untuk mengobati setiap infeksi. Kelainan
elektrolit yang paling umum adalah hipokalemia, hipokalsemia,
hypophosphatemia, dan hypomagnesemia
a) Terapi gizi dengan pemberian susu formula sebagai tambahan ASI untuk
mempercepat pertambahan berat badan.
b) Konsumsi vitamin seperti zat besi, Vit A dosis tinggi dan yodium. Berikan
tambahan vitamin 200.000 SI dan asam folat 5 mg pada hari pertama
selanjutnya 1 mg perhari selama belum ada perbaikan.
c) Tinggi kalori dan tinggi protein cukup mineral dan vitamin makanan mudah
dicerna atau lunak dan pemberian secara bertahap. Berikan makanan tinggi
energy dan protein 60-93 gram.
(Grover, 2009).
Pengobatan pada ISPA antara lain :
Paracetamol digunakan ketika anak mengalami demam dengan
sediaan tablet 500 mg atau sirup 120 mg/5 ml botol 60 ml. Dosis untuk anak
1- 5 tahun 1-2 sendok teh atau 120 mg-250 mg tiap 4-6 jam. Sedangkan
antibiotik seperti amoksilin atau penicillin digunakan untuk mengobati
infeksi saluran pernafasan. Dosis yang diberikan untuk anak dengan berat
badan kurang dari 20 kg diberikan 20-40 mm/kg berat badan perhari, terbagi
dalam 3 dosis.
3. Non Medikamentosa
a. Edukasi Orang tua pasien mengenai
penyakit yang diderita pasien. Beri Pasien ASI secara teratur sampai usia
2 tahun.
b. Berikan makanan pendamping ASI
yang kaya Protein seperti telur, tempe, tahu, ikan.
c. Jaga Higienitas Pasien dan
lingkunagn tempat tinggal pasien
d. Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-
ulang yaitu lebih sering dari biasanya (Jen M, 2010).
e. Peingkatan perilaku hidup bersih
sehat (PHBS)
Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang
berventilasi cukup, tidak berasap. (DepKes RI, 2008).
b) Family Care:
Pemantauan tumbuh kembang anak dengan rutin membawa batita ke
posyandu. Segera mencari pertolongan apabila ditemukan gangguan kesehatan.
Menjauhkan anggota keluarga yang sakit terutama penyakit menular. Menjga
kebersihan lingkungan tempat tinggal (Jen, 2010).
c) Local Community Care:
Penyuluhan tentang gizi seimbang, pemantauan tumbuh kembang anak-
anak. Penyuluhan tentang PHBS dan penularan terhadap penyakit infeksi (Jen,
2010).
D. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gizi Kurang adalah keadaan kurang gizi pada anak berdasarkan indeks berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB) > -3 SD - < -2 SD. Gizi Buruk adalah
keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis
marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor. Marasmus adalah keadaan
gizi kurang yang ditandai dengan tampak sangat kurus, iga gambang, perut
cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput.
Kwashiorkor adalah keadaan gizi kurang yang ditandai dengan edema
seluruh tubuh terutama di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut
buncit, otot mengecil, pandangan mata sayu dan rambut tipis/kemerahan.
Marasmus-Kwashiorkor adalah keadaan gizi kurang dengan tanda-tanda gabungan
dari marasmus dan kwashiorkor (Depkes RI, 2008).
Ada beberapa cara menentukan status gizi pada anak, yaitu :
- Antropometri : BB/U, TB/U, BB/TB
- Klinis : - Kulit otot, jaringan lemak, mata lidah dan bibir
- Kurus, edema, otot trofi, jaringan lemak kurang,
pucat, dermatitits
- Laboratorium : darah, kemih, tinja, mantoux test, albumin
globulin, rontgen.
- Analisa diet/makanan : frekuensi makan, jumlah makanan, jenis makanan,
alergi dan intoleransi makanan.
Tabel 6.1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS
NoIndeks yang
dipakaiBatas
PengelompokanSebutan Status Gizi
1 BB/U < -3 SD BB sangat rendah
- 3 s/d <-2 SD BB rendah
- 2 s/d +2 SD BB normal
> +2 SD BB lebih
2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek
- 3 s/d <-2 SD Pendek
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Tinggi
3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus
- 3 s/d <-2 SD Kurus
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Gemuk
Z-Score meliputi :
1. WAZ ( Weight for Age Score )
WAZ = BB timbang – BB median ( sesuai umur )
SD low atau SD up *
2. HAZ ( Hight for Age Score )
HAZ = PB ukur – PB median ( sesuai umur )
SD low atau SD up *
3. WHZ ( Weight for Height Score )
WHZ = BB timbang – BB median (sesuai PB atau TB)
SD low atau SD up *
Z-Score untuk firman yaitu :
Umur
(bulan)
Anak laki-laki
Median SD low SD up
20 11,8 1,20 1,30
1. WAZ = BB timbang – BB median ( sesuai umur )
SD low
= 7,6 – 11,8
1,20
= - 3,5 BB sangat rendah
Umur
(bulan)
Anak laki-laki
Median SD low SD up
20 64,2 3,10 3,20
2. HAZ = P B timbang – P B median ( sesuai umur )
SD up
= 72 – 64,2
3,20
= + 2,4 tinggi badan normal
Panjang
(cm)
Anak laki-laki
Median SD low SD up
10,0 0,6 0,8
3. WHZ = BB timbang – B B median ( sesuai PB )
SD low
= 7,6 – 10,0
0,8
= - 3 Kurus
Tabel 6.2 Penilaian Status Gizi WHO-NCHS
Klasifikasi Klinis Antropometri
Gizi buruk Tampak sangat
kurus dan atau
edem
<- 3 SD * (bila ada
edem BB bias
lebih)
Gizi kurang Kurus ≥-3 SD - < -2 SD
Gizi baik Normal -2 SD - + 2 SD
Gizi lebih Gemuk >+ 2 SD
Interpretasi hasil
Dari perhitungan Z-Score , diperoleh :
WAZ : - 3,5 ( BB sangat rendah )
HAZ : + 2,4 SD ( PB normal )
WHZ : - 3 SD (Kurus )
Kesimpulan Status Gizi : Gizi kurang
Jumlah pertumbuhan gigi berdasarkan usia
Gambar 6. 1 jumlah pertumbuhan gigi berdasarkan usia
Gambar 6.2 jumlah pertumbuhan gigi berdasarkan usia
Pada anak firman gigi yang telah tumbuh adalah 12 buah meliputi central
incisor, lateral incisor dan caninus. Hal ini menunjukkan pertumbuhan yang
normal (Kiegman, 2007).
B. Epidemiologi
Keadaan gizi kurang dan buruk sering dijumpai pada usia balita,
khususnya 0 - 2 tahun (Marsida, 2002).
C. Tanda dan Gejala
Gambaran status gizi dapat dilihat dari KMS dimana grafik menunjukkan di
bawah garis merah. Keadaan yang terlihat mencolok pada gizi buruk adalah
hilangnya lemak subkutan, terutama pada wajah. Akibatnya ialah wajah si anak
lonjong,berkeriput dan tampak lebih tua (old man face). Otot-otot lemah dan
atropi, bersamaan dengan hilangnya lemak subkutan maka anggota gerak terlihat
seperti kulit dengan tulang. Tulang rusuk tampak lebih jelas. Dinding perut
hipotonus dan kulitnya longgar. Berat badan turun menjadi kurang dari 60% berat
badan menurut usianya (Marsida, 2002).
D. Etiologi
Status gizi penduduk dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks,
seperti keadaan social ekonomi, budaya, kesehatan, lingkungan alam, maupun
penduduk yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya (Grover, 2009).
Penyebab gizi kurang menurut UNICEF ada dua penyebab langsung terjadinya
gizi kurang yaitu pertama kurangnya asupan gizi yang berasal dari makanan. Hal
ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya
tidak memenuhi unsure gizi yang dibutuhkan karena alas an social dan ekonomi
yaitu kemiskinan. Kedua, akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi,
hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa
menyerap zat-zat makanan secara baik. Faktor lain yang dapat mengakibatkan
terjadinya gizi kurang adalah faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan
terjangkau oleh masyarakat, perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan
pengasuhan anak, serta pengelolaan yang kurang dan perawatan kesehatan yang
tidak memadai. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ada 3 faktor
penyebab gizi kurang pada balita yaitu : keluarga miskin, ketidaktahuan orangtua
atas pemberian gizi yang baik bagi anak, dan faktor penyakit bawaan pada anak
seperti jantung, tuberculosis, HIV/AIDS, ISPA, dan diare (Notoatmojo, 2003).
E. Factor resiko
Kejadian Gizi Buruk pada anak balita mengarah pada kondisi kurang gizi pada
anak balita. Kondisi kurang gizi ini secara langsung dapat dipengaruhi oleh:
a. Konsumsi makanan yang tidak adekuat
Konsumsi makanan yang tidak adekuat mengarah pada makanan yang
dikonsumsi oleh anak balita kurang memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi
yang memenuhi syarat gizi seimbang. Konsumsi makan yang tidak seimbang
akan menimbulkan ketidakcukupan pasokan zat gizi ke dalam sel-sel tubuh
(Depkes, 2008).
b. Asupan gizi yang tidak sesuai
Penyebab dari tingginya prevalensi gizi kurang secara langsung adalah
adanya asupan gizi yang tidak sesuai antara yang dikonsumsi dengan kebutuhan
tubuh, dimana asupan gizi secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola
pengasuhan terhadap anak yang diberikan oleh ibu (Notoatmojo, 2003).
c. Konsumsi makanan PMT-P(pemberian makanan tambahan pemulihan) yang tidak
adekuat
Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi gizi buruk adalah dengan
PMT-P. PMT-P bertujuan memulihkan keadaan gizi anak balita gizi buruk
melalui pemberian makanan dengan kandungan gizi yang terukur sehingga
kebutuhan gizi balita terpenuhi. Sasaran PMT-P adalah anak balita gizi buruk
yang dirawat di tingkat rumah tangga (Notoatmojo, 2003).
d. Penyakit infeksi
Anak-anak dengan gizi buruk daya tahannya menurun sehingga mudah
terserang infeksi. Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak dengan gizi
buruk adalah diare dan ISPA. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak
gizi buruk dengan gejala klinis umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti
diare, ISPA, tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi lainnya (Depkes, 2008).
e. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
Bayi baru lahir memerlukan kebutuhan yang sangat spesifik karena pada
hari-hari pertama kehidupannya memerlukan adaptasi fisiologis dan psikologis
dari lingkungan intrauterin ke lingkungan ekstrauterin. Perawatan yang
dibutuhkan terutama berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi,
kebersihan diri, perawatan tali pusat dan kebutuhan istirahat tidur (Depkes, 2008).
Pada bayi dengan berat lahir rendah maka perlu dilakukan perawatan yang
lebih ekstra terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi, karena
akan berpengaruh terhadap status gizinya. Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah
bayi yang lahir kurang dari 2500 gram (2,5 kilogram). Bayi non BBLR dengan
asupan gizi kurang dari kebutuhan serta masa rentan terinfeksi kuman penyakit di
awal kehidupan dapat mengakibatkan penurunan status gizi. Angka teringgi yang
menunjukkan adanya penurunan status gizi anak balita lahir non BBLR di
Indonesia terdapat pada kelompok umur 18–24 bulan. Semakin kecil dan semakin
prematur bayi maka semakin tinggi risiko gizinya (Depkes, 2008)
F. Klasifikasi
Klasifikasi Gomes, berat badan anak dibandingkan dengan anak normal
(persentil ke-50) pada usia yang sama. Hal ini berguna untuk skrining populasi
dan evaluasi kesehatan masyarakat. (pediatrics.uchicago.edu).
Berikut adalah definisi gizi kurang (Grover Z, 2009) :
Singkatan :
BMI : Body Mass Index
HFA : Heigh For Age
MUAC: Mid-Upper Arm Circumference
SD : Standard Deviation
WFA : Weight for Age
WFH : World Health Organization
G. Faktor Predisposisi
Faktor yang berkaitan dengan status gizi balita dapat dilihat dari status gizi
dengan frekuensi sakit, karakteristik keluarga, faktor pengeluaran, faktor hiegine
sanitasi lingkungan, faktor akses kesehatan, faktor pola asuh, faktor perilaku ibu
dan faktor pengetahuan ibu (Istiono et al, 2009).
H. Patogenesis
H. Patofisiologi
Sebenarnya malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat
banyak faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu :
tubuh sendiri (host), agent (kuman penyebab), environment (lingkungan).
Memang faktor diet (makanan) memegang peranan penting tetapi faktor lain ikut
menentukan (William,2001).
Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk
mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi.
Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan;
karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan
bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit,
sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya katabolisme
protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang
segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama puasa jaringan lemak
dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan
asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan
ini berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan sampai memecah
protein lagi setelah kira-kira kehilangan separuh dari tubuh (William, 2001).
I. Terapi
Pemantauan terhadap gizi kurang harus dilakukan terus menerus sampai
sembuh atau anak bergizi baik (Michael, 2008).
1. Terapi perbaikan gizi (Terapi diet) :
Fase Rehabilitasi : 100 kkal atau 420 kJ /100 ml kebutuhan
kalori per hari 1. 150 kkal.
a. Terapi gizi dengan pemberian mentega, keju, susu dan minyak untuk
mempercepat berat badan.
b. Konsumsi vitamin seperti zat besi, Vit A dan yodium.
c. Tinggi kalori dan tinggi protein cukup mineral dan vitamin makanan mudah
dicerna atau lunak dan pemberian secara bertahap.
d. Berikan makanan tinggi energy dan protein 60-93 gram.
e. Pagi : nasi, telur, sayuran, minyak susu, bubuk dan gula
pasir.
Pukul 10.00 : kacang ijo, gula pasir, pisang.
Siang : nasi, daging, tempe, sayur, minyak pisang.
Pukul 16.00 : maizena, gula pasir, susu bubuk,
Malam : nasi, daging, tempe, sayur, minyak, pisang
Pukul 21.00 : biscuit, gula, susu bubuk.
Non-medikamentosa
a) Beri ibu edukasi tentang pengertian, bahaya dan pencegahan terhadap
gizi kurang.
b) Ajarkan ibu untuk selalu datang ke posyandu secara rutin untuk
memeriksakan perkembangan dan pertumbuhan balita.
c) Berikan anak makanan yang tinggi kalori dan protein dengan porsi yang
sedikit-sedikit tapi sering sambil terus ditingkatkan porsinya.
d) Beri ibu edukasi untuk selalu memeriksakan kehamilannya untuk
menghindari faktor risiko lahir BBLR yang bisa berakibat gizi kurang
(Marsida, 2002).
J. Komplikasi
a. Gagal tumbuh kembang
b. Daya tahan tubuh turun sehingga mudah terserang infeksi
c. Gagal jantung
d. Infeksi
e. Gagal ginjal
f. Defisiensi mineral dan vitamin
g. Gangguan gastrointestinal (Hasan, 2002).
K. Prognosis
Tergantung dengan penanganan yang dilakukan jika memang langsung diberi
penanganan dan berat badan bisa naik maka prognosis baik (Hasan, 2002).
VII. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Dari hasil home visit, pasien Firman menderita gizi kurang dengan ISPA.
b. Faktor resiko dominan adalah dari faktor perilaku individu yang sulit untuk
diberitahu seperti ketika anak sulit untuk makan makanan pendamping tetapi
Ny. Sumarni tidak telaten dalam memberikan makanan dengan prinsip sedikit
tapi sering.
c. Fungsi keluarga pada keluarga Firman dilihat dari fungsi fisiologi dan
psikologisnya baik.
2. Saran
a. Perlu memberikan edukasi kepada Ny. Sumarni mengenai faktor resiko yang
dapat memperburuk kondisi Firman.
b. Perlu diberikan edukasi juga pada anggota keluarga yang lain mengenai, hal
hal yang harus dilakukan agar kondisi Firman segera membaik.
c. Perlu diberikan pengertian mengenai pentingnya posyandu dalam memantau
perkembangan anak.
d. Penanganan harus komprehensif
1) Mencakup semua umur
2) Mencakup pelayanan kesehatan berupa promotif, preventif, kuratif,
rehabilitative, dan paliatif
3) Memperhatikan bukan hanya aspek fisik, tapi juga masalah-masalah
sosio-psikologikal
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Kurang.
Available from, URL : http://gizi.depkes.go.id/skpg/download/SKD-KLB-gibur.pdf.
Diakses pada tanggal 26 November 2012
Depkes. RI. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. 2006. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi
Tengah Tahun 2006. Available from, URL :
http://www.depkes.go.id/downloads/profil/sulteng07.pdf. Diakses pada tanggal 26
November 2011.
Goleman , D. 2000. Emotional Intelligence (terj). Jakarta: Gramedia
Grover Z, Ee LC. 2009. Protein Energy Malnutrition. Pediatr Clin North Am : 56 (5) :
1055-68
Hadidjaya, P. 1994. Masalah Penyakit Kecacingan di Indonesia dan Penanggulangannya.
Maj. Kedok. Indon. 44: 215-216
Hassan, Rusepno; Alatas, Husein. 2002. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :FKUI
http://pediatrics.uchicago.edu/chiefs/chronicdisease/documents/pearlshandout.doc
Istiono, Wahyudi. Suryadi, Heni. Haris, Muhammad. Irnizarifka. Tahitoe, Andre
Damardana. Balita. Berita Kedokteran Masyarakat : Vol. 25 No. 3 : 150-155.
Jen M, Yan AC. Syndromes associated with nutritional deficiency and excess. Clin
Dermatol. Nov-Dec 2010;28(6):669-85.
Kliegman et al. Chapter 8 The First Year. Nelson Textbook of Pediatrics 18th ed. 2007.
Saunders Elsevier.
Marsida, Arlina Yunita; Lubis, Nuchsan Umar. 2002. Penatalaksanaan Busung Lapar
Pada Balita. Available from, URL
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_134_masalah_anak.pdf. Diakses pada
anggal 26 November 2011
Michael J, Gibney et al. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC
Notoatmojo, S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka
Cipta
Williams, C.D.2001.Malnutrition Mother and Child Health Delivering the Services
hal. 47