+ All Categories
Home > Documents > LONTAR April 2014

LONTAR April 2014

Date post: 23-Mar-2016
Category:
Upload: veco-indonesia
View: 222 times
Download: 2 times
Share this document with a friend
Description:
LONTAR Edisi April 2014 tentang program pengembangan rantai kayu manis di Kerinci, Jambi.
Popular Tags:
20
Transcript
Page 1: LONTAR April 2014

1LONTAR - #8 - 2014

B u l e t i nT r i w u l a n V E C O I n d o n e s i a #8

2014

KKaayyuu MMaann ii ss,,

ddii PPeegguunnuunnggaann KKeerriinncciiKKeekkaayyaaaann TTeerrsseemmbbuunnyyii

Foto: Anton Muhajir

Page 2: LONTAR April 2014

2 LONTAR - #8 - 2014

2 Dari Redaksi

3 Editorial

4 Reportase

Kayu Manis, Kekayaan

Rersembunyi di Pegu-

nungan Kerinci

11 Organisasi Petani

12 Kabar VECO Indonesia

14 Kabar Mitra

1 6 Kabar Internasional

1 8 Profil

1 9 Resensi

20 Poster

LONTAR (n) daun pohon lontar (Borassus

flabellifer) yang digunakan untuk menulis

cerita; (n) naskah kuno yang tertul is pada

daun lontar; (v) melempar. Maka LONTAR

bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus

kata benda (n). Lontar adalah media

informasi untuk menyampaikan informasi

tentang pertanian yang memperhatikan

ni lai-ni lai lokal, sesuatu yang terus VECO

Indonesia perjuangkan.

Tim Redaksi

Penanggung jawab : Rogier Eijkens

Redaksi : Imam Suharto, Anton Muhajir

Kontributor : Staf dan Mitra VECO

Indonesia

Layout : Syamsul "Isul" Arifin

Alamat Redaksi

VECO Indonesia

Jl Kerta Dalem No 7 Sidakarya Denpasar

Telp: 0361 - 7808264, 727378,

Fax: 0361 - 723217

Email: [email protected],

[email protected]

Website www.vecoindonesia.org

Twitter @vecoindonesia

Redaksi menerima berita kegiatan, pro-

fil, maupun tips terkait praktik pertanian

berkelanjutan terutama yang terkait de-

ngan mitra VECO Indonesia di berbagai

daerah. Tulisan bisa dikirim lewat email

ataupun pos ke alamat di atas.

2 LONTAR - #8 - 2014

Dari Redaksi Daftar Isi

Materi publikasi ini dicetak

menggunakan kertas daur

ulang 50 persen sebagai

komitmen VECO Indonesia

pada ekologi

Banyak Saluran

Pembaca yang budiman. Februari la­

lu, kami mengadakan pelatihan In­

ternet dan publikasi untuk mitra kami di

Kerinci, Jambi. Pelatihan empat hari itu

di ikuti delapan anggota dan pengurus

kelompok Tani Sakti Alam Kerinci (Tak­

tik).

Kegiatan serupa kami adakan tiap

tahun di tempat berbeda. Misalnya pada

tahun lalu di Maumere, Flores, Nusa

Tenggara Timur. Tahun sebelumnya di

Makassar untuk mitra di Sulawesi. Kami

berusaha agar semua mitra kami di wila­

yah program makin terampil mengguna­

kan Internet sebagai sarana dan media

berkomunikasi.

Karena itu selama pelatihan kami tak

hanya memberikan teori tapi juga prak­

tik. Komunikasi tak hanya soal wawasan

tapi juga kebiasaan.

Karena itu pula, j ika organisasi Anda,

para mitra VECO Indonesia, tertarik un­

tuk mengadakan pelatihan serupa, si la­

kan kabari kami. Agar Anda makin

terampil menggunakan Internet dan in­

formasi terkait pertanian juga makin ter­

sedia di dunia maya. [Redaksi]

Dear readers. Last February, we

organised internet and publication

training for your partners in Kerinci,

Jambi. Attending this four­day training

were eight members and managers of

the Tani Sakti Alam Kerinci (Taktik)

farmer group.

We hold a similar event every year in

a different location. For example, last

year, the training was in Maumere,

Flores, East Nusa Tenggara. And the

year before that in Makassar, for

partners in Sulawesi. We try to make

sure that all our partners in the program

areas improve their skil ls in using the

internet as a platform and media for

communication.

For that reason, our training is not

just theoretical; it is practical, too.

Communication is not only a matter of

knowledge, but one of habit, as well .

And so, if your organisation, VECO

Indonesia partner, is interested in having

this kind of training, please let us know.

So you can become more skil led at

using the internet, and so that there is

more information about farming available

in cyberspace. [Editor]

Many Channels

untuk Berbagi Informasi

for Sharing Information

Page 3: LONTAR April 2014

3LONTAR - #8 - 2014

Begitulah sering kali pikiran yang keluar ketika saya mengun­

jungi tempat­tempat terpencil di Indonesia. Begitu pula keti­

ka saya mengunjungi Kerinci, Jambi akhir Februari lalu.

Daerah ini kaya karena kondisi alamnya. Berada di keting­

gian antara 500 – 3.800 meter di atas permukaan dengan ben­

tangan bukit terpanjang di Pulau Sumatera, Kerinci sangatlah

kaya. Daerah ini menghasilkan kayu manis yang bahkan mele­

bihi kebutuhan dunia. Menurut beberapa sumber, kayu manis

dari Kerinci menyumbang sekitar 70 persen pasokan di dunia.

Dari kulit manis yang tersebar di lereng­lereng bukit, petani

setempat bisa mendapatkan uang hingga puluhan juta tiap kali

panen. Namun, sayangnya, panen ini hanya terjadi 10­15 tahun

sekali . Selebihnya, petani membiarkan lahan di bawah rimbun

pohon­pohon kayu manis tersebut menganggur.

Hal serupa terjadi di banyak tempat di Indonesia. Petani

manja karena toh tanpa harus diolah pun tanah sudah subur

dan menghasilkan untuk mereka. Petani merasa sudah cukup

tanpa harus bekerja lebih keras lagi untuk bisa memperoleh

hasil lebih banyak lagi.

Padahal, tanah subur di mana kayu manis tersebut bisa

memberikan hasil yang lebih banyak.

Agar Kekayaan Tak Jadi KutukanJika tak dikelola dengan baik, kekayaan bisa jadi malah berubah menjadi kutukan.

Editorial

VECO Indonesia bersama mitra lokal di Jambi, Mitra Aksi,

ingin agar petani tak terlena oleh kekayaan alamnya. Sejak Ja­

nuari 2013, VECO Indonesia dan Mitra Aksi mendampingi pe­

tani agar bisa meningkatkan pendapatan mereka dari tanah

mereka sendiri .

Pertama melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produk­

si kayu manis. VECO Indonesia mendorong dan mendampingi

petani agar menerapkan Internal Control System (ICS) dalam

produk mereka. Meskipun upaya ini baru dimulai, karena orga­

nisasi petani di sana juga relatif baru, namun saat ini petani

mulai menerapkan sistem tersebut.

Harapannya, j ika kualitas produknya lebih baik, maka petani

bisa menjualnya dengan harga lebih tinggi pula.

Kedua, upaya tersebut dilakukan melalui pemanfaatan la­

han di kebun kayu manis. Petani menanam tanaman selingan

seperti cabai, tomat, maupun sayur lain secara organik. De­

ngan sistem intercroping ini , petani mengolah lahan yang sebe­

lumnya dibiarkan menganggur tidak produktif.

Dengan demikian, petani pun akan tetap bekerja dan

menghasilkan sembari menunggu kayu manis panen dengan

hasil berl impah. [Anton Muhajir]

That's what I often think when I 'm out visiting remote areas

in Indonesia. And that's what crossed my mind when I

visited Kerinci, Jambi, at the end of February.

This region is rich thanks to nature. At a height of 500 ­

3,800 metres above sea level, with the longest expanse of

highland on Sumatra Island, Kerinci is very rich. This region

produces even more cinnamon than the world needs.

According to several sources, cinnamon from Kerinci accounts

for around 70

percent of the

world's supply.

From the

cinnamon that covers

the hil ly slopes, local

farmers can earn tens of

mil l ions every harvest. But

unfortunately, the harvest only

happens once every 10­15

years. The rest of the time,

the farmers just leave

the ground in the

shade of the

cinnamon trees

unused.

The same is

true in many places

in Indonesia.

Stopping Riches Becoming a Curse

Farmers are spoiled because without them having to do

anything, the ferti le soils produce for them. Farmers feel that

there is no point in working harder to be able to earn more.

Even though the ferti le soils on which this cinnamon grows

could generate even more.

VECO Indonesia and its local partner in Jambi, Mitra Aksi,

want farmers to make the most of the natural riches. Since

2013, VECO Indonesia and Mitra Aksi have been supporting

farmers in order to increase the incomes that they get from their

own land.

Firstly, by improving the quality and increasing the volume

of cinnamon production. VECO Indonesia encourages and

supports farmers to adopt the Internal Control System (ICS) for

their products. Although this initiative has just begun, because

farmer organisations there are relatively new, the farmers have

already begun adopting this system.

The expectation is that if the quality of their product

improves, the farmers wil l be able to sell their cinnamon at a

higher price.

Secondly, this initiative involves making use of the land in

the cinnamon gardens. Farmers practice multi­cropping,

growing such crops as chil l i peppers, tomatoes, and other

vegetable organically. With this intercropping system, farmers

work the land that had previously been left unproductive.

And in that way, the farmers wil l continue to work and

produce while waiting for the lucrative cinnamon harvest.

[Anton Muhajir]

I f not managed properly, riches can actual ly become a curse.

Page 4: LONTAR April 2014

4 LONTAR - #8 - 2014

Foto­foto: Anton Muhajir

Foto-Foto: VECO Indonesia

KKaayyuu MMaann ii ss,,

SSuummbbeerr kkeekkaayyaaaann ii ttuu tteerrsseemmbbuunnyyii dd ii ll eerreenngg -- ll eerreenngg bbuukkii tt mmaauuppuunn gguunnuunngg dd ii KKeerrii nncc ii ,,

JJ aammbbii .. LLeebbaattnnyyaa ppoohhoonn --ppoohhoonn dd ii hhuu ttaann ttrraadd ii ss ii oonnaa ll ii ttuu mmeennyyuummbbaanngg bbeessaarr bbaagg ii

ppeennddaappaattaann ppeettaann ii sseetteemmppaatt ..

KKeekkaayyaaaann TTeerrsseemmbbuunnyyiiddii PPeegguunnuunnggaann KKeerriinnccii

Page 5: LONTAR April 2014

5LONTAR - #8 - 2014

Reportase

patkan kira­kira 100 hingga 300 kg kulit

manis basah.

Kulit kayu manis itu kemudian diba­

wa turun ke tempat lebih luas dan la­

pang. Karena medan yang sulit,

kemiringan bukit yang cukup tajam de­

ngan jalan kecil berlumpur, maka Munir

menggunakan kerbau untuk mengangkut

kulit manis basah tersebut.

Proses selanjutnya, kulit kayu manis

tersebut kemudian dikikis bagian paling

luar kulitnya. Dua buruh lain melakukan­

nya di bawah tenda. Menggunakan pi­

sau, mereka mengikis kulit tersebut satu

per satu sehingga warna kulit yang se­

I ncluding Munir, a farmer in TalanKemuning vil lage in the Bukit Kerman

subdistrict of Kerinci. For almost 40

years, Munir has lived off the riches of

the cinnamon that grows on the hil lsides

of Kerinci. Now, he is not only a farmer,

but also a cinnamon trader.

At the end of February, Munir

harvested cinnamon on Pematang

Panjang Hil l , which is around a kilometre

from his vil lage. This hil l , l ike others in

the area such as Sungai Kering,

Setangis, Patoh and Pulau Lebar, is

home to thousands of hectares of

cinnamon estate, which looks more like

forest than productive estate.

That evening, with his five workers,

Munir was harvesting cinnamon that was

more than 30 years old. He was fell ing

the 10 or so metre tall trees, peeling the

bark off one by one, and gathering it up.

Two of Munir's workers, Salman and

Ludri, were doing the same. Cutting

down the cinnamon trees one by one

and peeling off their bark. Around 10

metres away, three other workers – two

Riches for Kerinci Farmers

Begitu pula bagi Munir, petani di De­

sa Talang Kemuning, Kecamatan

Bukit Kerman, Kerinci. Selama hampir

40 tahun, Munir menggantungkan hidup

dan mendapatkan kekayaan dari kayu

manis di lereng­lereng bukit Kerinci. Kini,

dia tak hanya menjadi petani tapi juga

pedagang kayu manis.

Akhir Februari lalu, Munir memanen

kayu manis di Bukit Pematang Panjang,

yang berjarak sekitar 1 km dari desanya.

Bukit ini bersama bukit­bukit lain di seki­

tarnya seperti Bukit Sungai Kering, Bukit

Setangis, Bukit Patoh, dan Bukit Pulau

Lebar, menjadi rumah bagi ribuan hektar

kebun kayu manis yang lebih mirip hutan

daripada kebun produktif.

Bersama lima buruhnya, Munir sore

itu memanen kayu manis yang sudah

berumur lebih dari 30 tahun. Dia memo­

tong pohon­pohon setinggi kira­kira 10

meter tersebut, mengupas kulitnya satu

per satu dan mengumpulkannya.

Dua buruh Munir, Salman dan Ludri,

melakukan hal sama. Memotong pohon

kayu manis satu per satu kemudian me­

ngupas kulitnya. Berjarak sekitar 10 me­

ter dari dua buruh tersebut, dua buruh

laki­laki dan satu perempuan, ikut me­

manen kayu manis tersebut. Dalam se­

hari, mereka bisa memotong 3­6 pohon

tergantung dari besar kecilnya pohon.

Dari satu pohon, mereka bisa menda­

mula kusam abu­abu berubah jadi kuning

keputihan. Kulit manis pun siap dijemur.

Mewah

Untuk mendapatkan kayu manis siap

jual, petani biasa menjemur hingga ka­

dar air hanya 30 persen. Menurut Munir,

perbandingan antara kayu manis basah

dengan yang sudah dijemur kira­kira 60­

70 persen. Artinya, 1 kg kayu manis ba­

sah bisa jadi 0,6­0,7 kg. Harga kulit ma­

nis kering ini variatif, antara Rp 12.000

hingga Rp 14.500. “Tergantung siapa

pembelinya,” kata Munir.

Mari gunakan hitung­hitungan kasar

untuk mendapatkan berapa rupiah yang

diperoleh Munir sebagai petani sekaligus

pedagang kayu manis. Dia membeli ke­

bun kayu manis secara tebasan, mem­

beli pohon di kebun meskipun belum tiba

waktu panen. Untuk membeli sekitar 4

hektar kayu manis tersebut, dia meng­

habiskan Rp 350 juta. Menurut petani di

sana, harga tersebut termasuk murah.

Hasil akhir untuk semua lahan terse­

but, Munir mengaku memperoleh sekitar

150 ton kulit manis kering. Dengan per­

kiraan harga rata­rata kulit manis Rp

13.000 saja, berarti Munir bisa menda­

patkan sekitar Rp 1,95 mil iar dari total

lahan yang dipanen selama satu tahun

tersebut.

Jumlah ini belum dikurangi biaya

This source of wealth is hidden away on the slopes of hi l ls and mountains in Kerinci , Jambi . Thedense trees in the traditional forests there are a hidden source of wealth for local farmers.

men and a woman – were helping with

the cinnamon harvest. They can fell 3­6

trees a day, depending on their size. One

tree, produces an estimated 100 kg ­

300 kg of wet cinnamon.

The cinnamon is then brought down

to a more spacious area. Because the

terrain is difficult, with steep slopes and

narrow, muddy roads, Munir uses buffalo

to transport the wet cinnamon.

The next process is to scrape off the

outer layer of bark. Two other workers do

this in a tent. Using knives, they scrape

Ci nnamon , a Sou rce of

Petani di Kerinci menjemur kul i t manis

untuk mendapatkan produk lebih

berkual i tas.

Page 6: LONTAR April 2014

6 LONTAR - #8 - 2014

Reportase

Foto-foto: Anton Muhajir

upah buruh dan lainnya. Namun, tetap

saja nilai tersebut termasuk besar, lebih

dari Rp 1 mil iar per tahun.

Begitulah gambaran kekayaan warga

Kerinci berasal dan berputar. “Kalau se­

lesai panen kulit manis, warga di sini bi­

sa langsung naik haji , membangun

rumah, atau membeli mobil , ” kata Mad­

ral, petani kayu manis di Desa Talang

Kemuning.

Secara fisik, kekayaan tersebut terl i­

hat pada rumah­rumah petani setempat.

Rumah panggung mereka ukurannya

termasuk besar untuk ukuran petani di

desa, rata­rata bisa sampai 300 meter

persegi dan bertingkat. Bangunannya

pun terkesan mewah meskipun berada

di pedalaman Kerinci.

Dua Pertiga

Kerinci berada di ketinggian antara

500 – 3.800 meter di atas permukaan air

laut (mdpl). Udaranya sejuk berkisar an­

tara 18 – 26 derajat Celcius. Topografi

daerah ini berbukit­bukit dan berikl im

tropis lembab. Kabupaten ini berada di

semacam lembah yang terbentuk alami

oleh Bukit Barisan, bukit terpanjang di

Pulau Sumatera.

Dengan kondisi alam tersebut, kabu­

paten di Jambi yang berbatasan dengan

Sumatera Barat dan Bengkulu ini menja­

di rumah bagi aneka kekayaan alam. Tak

hanya komoditas perkebunan tapi juga

lukisan­lukisan alam, seperti lembah,

bukit, danau, gunung, dan semacamnya.

Dua ikon terkenal di tempat ini adalah

Gunung Kerinci, setinggi 3.805 meter

dan Danau Kerinci seluas 4.200 hektar.

Di lereng gunung dan bukit­bukit ini­

lah kekayaan bernama kayu manis itu

berada. Komoditas ini menjadi hasi l

perkebunan utama kabupaten seluas

380.850 hektar ini . Menurut data Peme­

rintah Kabupaten Kerinci , produksi kayu

manis Kerinci hingga 2012 lalu seba­

nyak 53.623 ton berupa kul i t kayu yang

sudah kering. Adapun luas lahan kayu

manus di kabupaten ini seluas 40.962

the bark off unti l the dull grey turns to

yellow and then whitish yellow. The

cinnamon is then ready for drying.

Lavish

To produce cinnamon ready for sale,

the farmers usually dry it unti l the water

content is just 30 percent. According to

Munir, the ratio of wet to dry cinnamon is

around 60­70 percent. In other words, 1

kg of wet cinnamon produces 0.6­0.7 kg

of dry. The price the dry cinnamon

fetches varies from IDR 12,000 to IDR

14,500. "I t depends who's buying it, " said

Munir.

Let's do a rough calculation of how

much Munir gets as a cinnamon farmer

and trader. He buys the cinnamon

wholesale by the hectare, before it is

harvested. Around 4 hectares of

cinnamon costs him IDR 350 mil l ion.

According to local farmers, that's quite a

low price.

From that area of land, Munir says he

gets around 150 tons of dry cinnamon.

And at an estimated price of IDR 13,000,

Munir gets around IDR 1.95 bil l ion from

that year's harvest.

This is before deducting workers'

wages and other expenses. But even

then, the figure is in excess of IDR 1

bil l ion a year.

That's the story of where the riches of

the people of Kerinci. "After the

cinnamon harvest, the people here go on

pilgrimage, build houses, or buy cars,"

said Madral, a cinnamon farmer in

Talang Kemuning vil lage.

The physical evidence of these

riches in the local farmers' houses. Their

sti lt houses are large for rural farmers,

covering on average 300 square metres

and with several floors. They may be in

rural Kerinci, but these are lavish looking

buildings.

Two Thirds

Kerinci l ies at a height of 500­3,800

metres above sea level. The cool

temperatures range from 18 to 26

degrees Celsius. The topography of this

area is hil ly, and the climate is wet

tropical. This district l ies in a valley

naturally formed by the Barisan Hil ls, the

longest hil l range on Sumatera Island.

With these natural conditions, this

district in Jambi, which is bordered by

West Sumatera and Bengkulu, is home

to a store of natural riches. Not only

estate commodities, but also the scenery

– the valleys, hi l ls, lakes and mountains.

The area's two most famous landmarks

are Mount Kerinci, at 3,805 metres, and

4,200­hectare Kerinci Lake.

I t is on the slopes of these mountains

and hil ls that the riches called cinnamon

grow. This commodity is this 380,850­

hectare district's main estate product.

According to Kerinci district government

data, in 2012 Kerinci 's 40,962 hectares

of cinnamon estate produced 53,623

tons of dried cinnamon.

Of the estate commodities produced

in Kerinci district, cinnamon accounts for

the largest area of estate and the highest

Buruh mengupas kul i t manis dari pohonnya di Kerinci .

Page 7: LONTAR April 2014

7LONTAR - #8 - 2014

Reportase

hektar.

Di antara komoditas perkebunan lain

di Kabupaten Kerinci, kayu manis men­

jadi komoditas dengan areal kebun terlu­

as dan jumlah produksi tertinggi. Di

bawah komoditas kayu manis baru ada

kopi robusta dengan lahan seluas 6.600

hektar dan jumlah produksi 3.919 ton

serta teh seluas 2.625 hektar dan pro­

duksi 28.121 ton selama tahun 2012.

Menurut pengalaman beberapa peta­

ni, mereka bisa mendapatkan sekitar 10

ton kayu manis kering dari tiap hektar la­

han. Karena itu, kayu manis tetap men­

jadi sumber pendapatan bagi petani.

Apalagi komoditas ini menyumbang se­

kitar 70 persen pasokan kayu manis di

dunia.

Dukungan

Sejak awal 2013, VECO Indonesia

melaksanakan program dukungan bagi

petani kayu manis di Kerinci. Program

yang dilaksanakan bersama mitra lokal

di Jambi, Mitra Aksi, ini bertujuan untuk

meningkatkan kualitas maupun kuantitas

produksi petani setempat. Tak hanya un­

tuk komoditas kayu manis tapi juga ko­

moditas lain seperti cabai, tomat, sayur,

dan lain­lain.

Menurut Firman Supratman, Koordi­

nator Lapangan VECO Indonesia di Ke­

rinci, peningkatan kualitas dan kuantitas

kayu manis bisa dicapai melalui pene­

rapan Internal Control System (ICS). Na­

mun, untuk itu terlebih petani harus

berorganisasi terlebih dulu. Karena itu

petani­petani Kerinci sepakat mendirikan

organisasi Tani Sakti Alam Kerinci (Tak­

tik).

Organisasi tani ini merupakan aktor

penting sebagai pemasok kayu manis di

wilayah Kerinci. Kelompok yang baru

terbentuk tahun lalu ini meliputi l ima de­

sa di dua kecamatan yaitu Kecamatan

Bukit Kerman dan Gunung Raya. Saat

ini Taktik mempunyai anggota sekitar

502 petani yang sudah tergabung dalam

program ICS.

Melalui organisasi petani ini , petani

berharap bisa menjual kayu manis seca­

ra langsung ke perusahaan­perusahaan

eksportir kayu manis di Kerinci maupun

Padang. Salah satunya Casia Coop,

perusahaan eksportir kayu manis berpu­

sat di Belanda yang kini membuka kan­

tor di Kerinci.

Meskipun demikian, petani masih

menghadapi tantangan susahnya

menjual kayu manis dengan harga

sesuai keinginan mereka. []

production volume. After cinnamon

comes Robusta coffee, at 6,600 hectares

and total production of 3,919 tons,

fol lowed by tea, at 2,625 hectares and

total production of 28,121 tons, in 2012.

According to several farmers, they

can get around 10 tons of dry cinnamon

from each hectare of land. That makes

cinnamon their main source of income.

And this commodity contributes around

70 percent of the world's supply of

cinnamon.

Support

Since early 2013, VECO Indonesia

has been running a support program for

cinnamon farmers in Kerinci. The

program, which is implemented with

local partner in Jambi, Mitra Aksi, aims to

improve the quality and increase the

volume of commodities the local farmers

produce. Not only cinnamon, but also

other commodities l ike chil l ies, tomatoes

and vegetables.

According to Firman Supratman,

VECO Indonesia Field Coordinator in

Kerinci, the quality and volume of

cinnamon can be increased by adopting

the Internal Control System (ICS).

However, to do this, the farmers must be

organised first, which is why the Kerinci

farmers agreed to set up the farmer

organisation Tani Sakti Alam Kerinci

(Taktik).

As a cinnamon supplier in Kerinci,

this farmer organisation is a key actor.

The group, which was formed only last

year, covers five vil lages in two

subdistricts – Bukit Kerman and Gunung

Raya. Currently, Taktik has around 502

farmer members who are involved in the

ICS program.

Through this farmer organisation, the

farmers hope to be able to sell cinnamon

directly to cinnamon exporters in Kerinci

and Padang. One of these is Cassia

Coop, a cinnamon exporter

headquartered in the Netherlands, which

has now opened an office in Kerinci.

However, the farmers continue to

face the challenge of getting the price

they want for their cinnamon. []

After the cinnamon

harvest, the people here

go on pi lgrimage, bui ld

houses, or buy cars," said

Madral , a cinnamon

farmer in Talang

Kemuning vi l lage.

Kerinci menyumbang sekitar 70 persen

kayu manis dunia

Page 8: LONTAR April 2014

8 LONTAR - #8 - 2014

Reportase

Madral mencampur daun­daun ga­

mal, bunga matahari, batang pi­

sang yang sudah dicacah, mol, dan

urine sapi dalam satu wadah gentong

dari plastik. Dia lalu mengaduk semua

bahan tersebut sebelum kemudian me­

nutup bahan pupuk organik tersebut

agar nantinya siap digunakan.

Setelah difermentasi selama tiga ha­

ri , pupuk pun kemudian siap digunakan.

Hanya dengan modal sekitar Rp

500.000, Madral kini bisa memberikan

pupuk untuk 700 meter persegi lahan

kebunnya yang kini dia tanami cabai.

“Padahal, ketika dulu masih pakai pupuk

kimia bisa sampai habis tujuh juta (rupi­

ah), ” kata Madral.

Berjarak sekitar 500 meter dari tem­

pat dia membuat pupuk organik, Madral

yang juga pegawai negeri sipi l (PNS) itu

menunjukkan kebunnya yang lain. Di la­

han seluas 1.600 meter tersebut, Madral

baru panen tomat dua bulan lalu. Pada

panen pertama, dia mendapat 18 ton.

Pada panen kedua 12 ton. Kini dia se­

dang menyiapkan bibit lagi untuk tana­

man selanjutnya.

Meskipun hasil panen masih sama

antara pupuk kimia dan pupuk organik,

Madral tetap merasa lebih beruntung.

Alasannya, biaya produksi jauh di bawah

sebelumnya. Dia memberikan contoh

pada tanaman cabainya. Jika menggu­

nakan bahan­bahan

kimia dia bisa

menghabiskan

Rp 7 juta, kini cuma Rp 500.000. “Dari

sisi tenaga memang lebih banyak, tapi

pengeluaran jadi jauh lebih hemat,” tam­

bahnya.

Tak hanya biaya produksi yang jauh

lebih hemat. Menurut Madral, perubahan

juga terjadi pada peningkatan kualitas

tomat. Misalnya daya tahan buah tomat

hasil panen. Dulu hanya tiga hari sudah

busuk. Sekarang bisa 10­15 hari masih

bagus.

Keberhasilan Madral menggunakan

bahan­bahan organik untuk bercocok ta­

nam mengundang lebih banyak petani

untuk beralih ke bahan­bahan ramah

Tanaman Tumpang Sariuntuk Menambah Pendapatan

Bersama empat petani lain , Madral membuat pupuk organik di kebun. Petani di De-

sa Talang Kemuning, Kecamatan Bukit Kerman, Kabupaten Kerinci i tu mengguna-

kan bahan-bahan dari sekitar kebunnya.

Page 9: LONTAR April 2014

9LONTAR - #8 - 2014

Reportase

l ingkungan. Sebelumnya, petani di dua

kecamatan ini, Bukit Kerman dan Gu­

nung Raya, lebih sering menggunakan

asupan kimia.

Basri l , petani lain di Kerinci menutur­

kan cerita serupa. Pada tahun 1995, dia

memulai budi daya cabai di lahannya

seluas 1.000 meter persegi. Dia pakai

pupuk kimia seperti NPK dan urea. Mo­

dal untuk membeli pupuk, pestisida, dan

bahan kimia lain itu sampai Rp 15 juta.

Namun, hasil panennya ternyata rusak

karena curah hujan yang terlalu tinggi.

Sejak itu, Basri l kapok tak mau lagi

bercocok tanam cabai. “Modalnya besar

tapi hasilnya tidak ada sama sekali , ”

ujarnya.

Namun, kini Basri l mulai berani men­

coba. Sejak 2013 lalu, dia bergabung

dengan kelompok Tani Sakti Alam Kerin­

ci (Taktik), kelompok petani di Kerinci.

Anggota Taktik berada di l ima desa yaitu

Talang Kemuning, Bintang Marak, Tan­

jung Syam, Selampaung, Sungai Ha­

ngat, dan Talang Kemuning. Lima desa

ini tersebar di dua kecamatan, Gunung

Raya dan Bukit Kerman.

Bersama ratusan anggota Taktik lain­

nya, Basri l belajar cara membuat pupuk

organik maupun budi daya secara orga­

nik. Fasil itatornya dari Yayasan Mitra Ak­

si, mitra VECO Indonesia di Jambi.

Parlan, pendamping petani dari Mitra

Aksi, mengatakan dukungan untuk peta­

ni Kerinci bertujuan agar petani bisa me­

ningkatkan pendapatan. Selama ini,

petani kurang mendapatkan hasil dari la­

han mereka.

Menurut Parlan, hal ini karena tiga

alasan. Pertama, karena petani kurang

menguasai teknologi. Misal, cara pengo­

lahan tanah yang bagus. Kedua, teknis

penanaman juga asal­asalan. Misalnya

jarak tanam atau penggunaan pupuk.

Basri l memberikan contoh, pupuk dasar

untuk ternyata digunakan untuk buah.

Alasan ketiga, kebun kayu manis mi­

l ik petani setempat tidak diurus sehingga

lebih mirip hutan daripada kebun. De­

ngan demikian, lahan di bawah pohon­

pohon kayu manis tidak bisa ditanami.

Padahal, j ika digunakan dengan baik, la­

han tersebut bisa menghasilkan tambah­

an pendapatan.

Kayu manis sendiri termasuk tanam­

M adral is mixing gamal leaves,

sunflowers, chopped banana

stems, local micro­organisms, and cow

urine in a plastic barrel. Then he stirs

everything together and covers the

organic ferti l iser mixture, ready to be

used in a few days.

After fermenting for three days, the

compost is ready. For an outlay of

around IDR 500,000, Madral can now

apply ferti l iser to the 700 square metres

of his garden that he is growing chil l ies

on. "When I sti l l used chemical ferti l iser,

it would cost me as much as seven

mil l ion (rupiahs), " said Madral.

About 500 metres from where he is

making organic ferti l iser, Madral – who is

also a civi l servant – points out another

of his gardens. From this 1,600 m2 plot

of land, Madral harvested tomatoes two

months ago. The first harvest, he got 18

tons. The second yielded 12 tons. Now

he is raising seedlings for the next crop.

Although the production volumes are

the same, whether using chemical

ferti l iser or organic ferti l iser, Madral sti l l

benefits. Because his production costs

are far lower than they used to be.

Using chemical ferti l iser on his chil l ies,

for example, would cost him IDR 7

mil l ion; now he spends just IDR 500,000.

"I t is more labour intensive, but my costs

are much lower," he added.

Not only are production costs lower.

According to Madral, this change has

also improved the quality of the

tomatoes. For example, the tomatoes

produced have a longer shelf l ife. In the

past, they would go rotten after three

days. Now they last 10­15 days.

Madral's success using organic

inputs to farm has motivated other

farmers to switch to environmental

friendly inputs. In the past, farmers in

these two subdistricts – Bukit Kerman

and Gunung Raya – tended to use

chemical inputs.

Basri l , another farmer in Kerinci has

a similar story to tell . In 1995, he began

growing chil l ies on a 1000m2 plot of

land. He used chemical ferti l isers l ike

Multi -cropping

Along with four other farmers, Madral is making organic ferti l iser in the garden. Thesefarmers, in Talang Kemuning vi l lage, Bukit Kerman subdistrict, Kerinci , are making thecompost using materials from their gardens.

to Boost Incomes

Anggota Taktik berdiskusi dengan petugas lapangan Mitra Aksi tentang

pengelolaan tanaman tumpang sari .

Page 10: LONTAR April 2014

10 LONTAR - #8 - 2014

Reportase

an umur panjang. Pohon ini baru bisa di­

panen jika sudah berumur 10­15 tahun.

Selama kurun waktu itu, petani tak pu­

nya pendapatan pasti. Pi l ihannya kemu­

dian mereka akan merantau ke luar desa

atau bahkan luar negeri, seperti Malay­

sia. Jika pohon kayu manis sudah wak­

tunya dipanen, mereka baru kembali ke

desa.

“Karena itu, kita berusaha agar peta­

ni memanfaatkan lahan tersebut melalui

tanaman selingan,” kata Firman Suprat­

man, Koordinator Lapangan VECO Indo­

nesia di Kerinci.

VECO Indonesia mendorong petani

agar mengolah lahan kebun kayu manis

secara organik agar mereka mendapat­

kan tambahan pendapatan. Salah satu

kegiatannya adalah sekolah lapangan di

mana anggota Taktik belajar cara mem­

buat pupuk dan pestisida organik kemu­

dian diterapkan di lahan mil ik anggota,

seperti Madral.

Setelah percobaan berhasil , petani

pemil ik lahan percobaan ini secara tidak

langsung menjadi corong. Apalagi mere­

ka juga belajar melalui kunjungan ke da­

erah lain tentang pertanian organik.

Sejauh ini, perubahan cara produksi

itu mulai terjadi. Satu per satu anggota

Taktik mulai beralih ke pertanian organik.

“Kami tidak hanya berubah dari pertani­

an nonorganik ke organik tapi juga

mengubah pola pikir, ” tambahnya. []

NPK and urea. His outlay on ferti l iser,

pesticide and other chemical inputs was

IDR 15 mil l ion. But his harvest failed due

to excessive rainfall .

Since then, Basri l hasn't bothered to

grow chil l ies again. "The investment was

huge, but it produced nothing at all , " he

said.

But now Basri l has the confidence to

start experimenting. Since 2013, he has

been a member of Tani Sakti Alam

Kerinci (Taktik), a farmer group in

Kerinci. Taktik members live in five

vil lages – Talang Kemuning, Bintang

Marak, Tanjung Syam, Selampaung,

Sungai Hangat, and Talang Kemuning –

in two subdistricts (Gunung Raya and

Bukit Kerman).

Along with hundreds of other Taktik

members, Basri l learned how to make

organic ferti l iser and farm organically.

Their facil itator is from Yayasan Mitra

Aksi, VECO Indonesia partner in Jambi.

Parlan, farmer support from Mitra Aksi,

says that the support for Kerinci farmers

aims to enable the farmers to increase

their incomes. Unti l now, the farmers

have not been getting the most out of

their land.

According to Parlan, there are three

reasons for this. First, because the

farmers are not famil iar with

technologies, such as proper soil

management. Second, they lack

knowledge of cultivation techniques,

such as the appropriate distance

between plants and use of ferti l iser.

Basri l gives the example of base ferti l iser

being used for fruit.

The third reason is the cinnamon

estate that the local farmers own is not

managed, so it looks more like forest

than estate land. Likewise, the land

under cinnamon trees is not cultivated.

Even though, if used properly, this land

could generate additional income.

The cinnamon itself has a long

growing period. The trees are ready to

harvest when they are 10­15 years old.

During that time, the farmers have no

regular source of income. So they

choose to find work outside the vil lage,

or even overseas, in countries l ike

Malaysia. They return to the vil lage only

when their cinnamon trees are ready for

harvesting.

"So that's why we're trying to get the

farmers to practice multi­cropping and

make use of this land," said Firman

Supratman, VECO Indonesia Field

Coordinator in Kerinci.

VECO Indonesia encourages farmers

to manage their cinnamon gardens

organically to generate them extra

income. One of its activities is field

schools, at which Taktik members learn

how to make organic ferti l iser and

pesticide and then apply them on their

land, l ike Madral does.

Following successful trials, the

farmers who own this experimental plot

did not become immediate converts.

They also went on visits to other places

to learn about organic farming.

Production methods are starting to

change. One by one, Taktik members

are starting to switch to organic

farming. "We are not only changing

from non­organic to organic farming;

we're changing mindsets, too, " he

added. []

Dengan membuat pupuk organik, petani

mengurangi jumlah biaya produksi .

Page 11: LONTAR April 2014

11LONTAR - #8 - 2014

Organisasi Petani

Koptan Masagena berawal dari inisa­

tif beberapa pengurus kelompok ta­

ni Bulo. Saat itu jumlah anggota hanya

25 orang. Sampai tahun 2006 Masagena

sudah membawahi tiga kelompok tani

yaitu Bulo, Toddo Puli dan Bulo 1. Jum­

lah anggota Koptan Masagena terus

bertambah dari 59 orang pada tahun

2007 menjadi 116 pada tahun 2013.

Kegiatan koptan Masagena saat itu

misalnya praktik perkebunan yang baik.

Kegiatan ini di bawah bimbingan PT

Mars Symbioscience lewat program pri­

ma cocoa project bekerja sama dengan

Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dis­

hutbun) Luwu Utara. Masagena juga

melaksanakan kegiatan peremajaan ta­

naman kakao lewat program gernas di

lahan seluas 350 ha di Kecamatan Ma­

samba.

Pada tahun 2008, Masagena bekerja

sama dengan Dishutbun, melakukan ke­

giatan fermentasi bi j i kakao untuk mela­

kukan penjualan bersama kepada PT

Armajaro. Kemudian sejak tahun 2009

Masagena menjadi pengecer resmi pu­

puk bersubsidi untuk Kecamatan Ma­

samba.

Sejak 2012, Koptan Masagena be­

kerja sama dengan VECO Indonesia dan

Wasiat sebagai pendampingan dalam

pengembangan kelembagaan koperasi

tani. Tujuan program ini untuk mening­

katkan sumber daya manusia (SDM)

anggota dalam hal kesadaran terhadap

organisasi dan budi daya tanaman ka­

kao, mendapatkan pembinaan manaje­

men dan administrasi koperasi, dan

membantu peluang bisnis.

Program ini juga bertujuan untuk

memfasil itasi koperasi untuk mendapat­

kan dana penguatan kelembagaan baik

dari pemerintah maupun pihak swasta.

Masagena juga membuat demplot seba­

gai tempat percontohan bagi anggota

dalam hal budidaya kakao.

Pengurus tetap Koptan Masagena

periode 2014 adalah Ketua H. Kamalud­

din, Sekretaris Mirna Juhari, Bendahara

Roslina, dan Manager Program Ayu An­

tariksa. Beberapa unit usaha yang dija­

lankan yaitu sarana produksi, budi daya

kakao, dan pemasaran. Masagena me­

ngembangkan unit usaha sertifikasi de­

ngan model outsourching di mana CV

Marewa merupakan pemegang sertifikat

dari Rainforest All iance (RA).

Marewa memil iki staf­staf internal

control system (ICS) andal untuk pembi­

naan kelompok tani dalam memenuhi

standar sertifikasi. Mereka tersebar di

empat kecamatan meliputi Kecamatan

Masamba, Baebunta, Sabbang, dan Ma­

langke. Rata­rata luas lahan yang mee­

ka antara 1­2 ha dengan jumlah petani

sampai saat ini 1.074 petani.

Komoditas utama anggota Koptan

Masagena yaitu kakao dengan jumlah

produksi per tahunnya rata­rata 840

kg/hektar. Luas lahan yang dikelola ang­

gota koptan Masagena melalui CV Ma­

rewa 45 yaitu 1.307,33 hektar, dengan

jumlah produksi yang terus meningkat

dari tahun ke tahun.

Selain memberikan dana program,

VECO Indonesia bersama WASIAT juga

melakukan pendampingan dalam mem­

bangun kelembagaan koperasi, pengu­

atan kapasitas petani, pengembangkan

organisasi petani, bagaimana petani bisa

meningkatkan kualitas produksi hingga

aspek pemasaran bersama.

Pencapaian terpenting dari program

dukungan VECO Indonesia terhadap

Masagena saat ini, yaitu koptan Masa­

gena telah berhasil melakukan sertifikasi

untuk seluruh areal mil ik anggotanya di

empat kecamatan. VECO Indonesia juga

telah memfasil itasi Koptan Masagena

agar dapat berhubungan langsung de­

ngan pihak pembeli yaitu PT Mars untuk

pemasaran bij i kakao. Dalam hal ini CV

Marewa sebagai unit Usaha Masagena.

[Syarifuddin Taba, Pelaksana Lapangan

Rantai Kakao di Sulawesi VECO Indo­

nesia]

Agar Petani BerjayaMasagena merupakan koperasi tani (Koptan) di Desa Pongo, Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara,

Sulawesi Selatan. Sejak 1 0 Oktober 2007 Koptan Masagena telah memi l iki badan hukum tetap.

Koperasi Tani Masagena Foto: Bert Wallyn

Page 12: LONTAR April 2014

12 LONTAR - #8 - 2014

Kabar VECO Indonesia

Empat Staf Baru di VECO Indonesia

Guntingan pita oleh Gubernur

Nusa Tenggara Timur (NTT)

menandai resminya kantor la­

pangan baru VECO Indonesia di

Ende, Pulau Flores, NTT. Kantor

yang diresmikan pada pertengah­

an Februari lalu ini menggantikan

dua kantor lama di dua lokasi Flo­

res yaitu di Maumere untuk wila­

yah kerja NTT 2 dan Ruteng untuk

wilayah kerja NTT 1.

Selain meresmikan, Gubernur

NTT Frans Lebu Raya juga me­

ngunjungi kantor baru di Ende ter­

sebut. Bersama Regional

Representative VECO Indonesia

Rogier Eijkens Gubernur juga me­

nanam pohon sukun di depan

kantor lapangan tersebut. Acara

diikuti seluruh bupati di Flores.

Dalam sambutannya, Guber­

nur berharap, kehadiran VECO Indonesia bisa membantu petani untuk menaikkan posisi tawar mereka dalam pema­

saran. Harapan ini diwujudkan VECO Indonesia melalui program pendampingan di Flores untuk tiga komoditas yaitu

beras sehat, kakao, dan kopi.

Pembukaan Kantor Baru di Ende, Flores

Tahun baru adalah bertambahnya

staf baru bagi VECO Indonesia.

Pada awal tahun ini, VECO Indonesia

menambah empat staf baru. Mereka

adalah Wayan Adiana (Manajer

Keuangan), Catur Utami Dewi

(Koordinator Learning & Monev), Ri­

niaty Liku Bulawan (Petugas

Lapangan Kopi Sulawesi), dan Julia­

nus Arnoldus Yansen Meko (Petugas

Lapangan Beras).

Empat staf ini melengkapi 17 staf

lain di VECO Indonesia. Adiana sebe­

lumnya bekerja di VSO Indonesia.

Dewi pernah bekerja di Satunama,

LSM yang berkantor di Yogyakarta.

Rini pernah bekerja di Yayasan Jaya

Lestari Desa (Jalesa) mitra VECO In­

donesia di Toraja. Adapun Yansen

pernah menjadi staf lapangan Koalisi

Rakyat untuk Kedaulatan Pangan

(KRKP) dalam program Desa Mandiri

Pangan Desa Sejahtera.

Selain empat staf baru tersebut, VECO Indonesia juga melepaskan dua staf yaitu Slamet Pribadi, Manajer Keuangan, dan Hery

Christanto, Koordinator Learning dan Monev.

Foto­foto: VECO Indonesia

Page 13: LONTAR April 2014

13LONTAR - #8 - 2014

Kabar VECO Indonesia

VECO Indonesia menjadi

pelaksana pertemuan regional

FAO tentang Regional Rice Initiative

di Sanur, Bali awal Apri l lalu. Kegiatan

pada 3­5 Apri l ini di ikuti petani dari

tiga negara yaitu Indonesia, Fil ipina,

dan Laos. Peserta mendiskusikan

contoh­contoh cerita sukses

pertanian berkelanjutan.

Rogier Eijkens, Regional

Representative VECO Indonesia

memaparkan contoh keberhasilan

mitra VECO Indonesia di Appoli .

Menurut Rogier, organisasi petani

mitra VECO Indonesia telah berperan

untuk membangun kapasitas,

mengawasi, dan memberi masukan

terhadap anggotanya terkait dengan

penerapan ICS serta memasarkan

produk beras organik dan beras

sehat ke para pembeli baik domestik

maupun internasional.

Pertemuan Regional FAO di Bali

VECO Indonesia menjadi salah

satu sponsor dalam kejuaraan

pertama untuk para penghobi kopi,

Indonesia Latte Art Championship

(ILAC) dan Indonesia Cup Tasters

Championship (ICTC). Kedua lom­

ba ini diadakan di Nusa Dua, Bali

pada awal Maret lalu bersamaan

dengan acara Pameran Food and

Hotel Tourism di tempat yang sa­

ma.

Kejuaraan selama empat hari

tersebut diadakan oleh Asosiasi

Kopi Specialty Indonesia (AKSI).

AKSI merupakan salah satu pihak

swasta yang bermitra dengan VE­

CO Indonesia terutama dalam pro­

gram pemasaran dan pengolahan

komoditas kopi. Sebelumnya, AKSI

turut serta dalam pertemuan ta­

hunan mitra VECO Indonesia di Surabaya, pameran dalam rangka penanda tanganan kerja sama VECO Indonesia dan

pemerintah Indonesia, dan lain­lain.

ILAC dan ICTC merupakan kegiatan yang pertama kali digelar AKSI . Menurut Veronica Herl ina, Koordinator AKSI ,

kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan para pecinta kopi Indonesia agar setara dengan keahlian pecin­

ta kopi internasional.

Kejuaraan Latte Art dan Cup Tasters di Bali

Foto: Asosiasi Kopi Specialty Indonesia (AKSI)

Page 14: LONTAR April 2014

14 LONTAR - #8 - 2014

Kabar Mitra

Kunjungan Belajar ke Boyolali dan Tasikmalaya

Mitra VECO Indonesia di

Mbay, Kabupaten Nage­

keo, Nusa Tenggara Timur (NTT)

melakukan kunjungan belajar ke

petani di Jawa. Kegiatan pada 24

– 28 Februari tersebut diikuti

anggota Asosiasi Petani Organik

Mbay (ATOM), staf Yayasan Mitra

Tani Mandiri , dan pemerintah da­

erah Kabupaten Nagekeo. Kun­

jungan itu menjadi sarana bagi

petani untuk belajar dan mem­

perkuat organisasi petaninya.

Lokasi kunjungan belajar

adalah wilayah program pe­

ngembangan rantai padi organik

di Boyolali , Jawa Tengah dan

Tasikmalaya, Jawa Barat. Wila­

yah tersebut dipi l ih karena kerja

sama bisnis organisasi petani

dengan pembeli beras sudah berkembang bahkan sudah diekspor melalui kerja sama dengan PT. Bloom Agro. Petani di dua wila­

yah ini juga banyak melakukan perbaikan produktivitas dan kualitas padi dengan pola pertanian organik maupun penerapan Inter­

nal Control System (ICS). [Yansen Meko, Pelaksana Lapangan VECO Indonesia di Mbay]

Pavil iun Kedutaan Indo­

nesia di The Reiseliv­

messen Exhibition di Oslo

pada 10­12 Januari dipe­

nuhi kehangatan produk

komunitas. Selama tiga

hari, aneka produk komu­

nitas seperti Kopi Toraja,

Kopi Manggarai, Kopi Ba­

jawa, dan Kayu Manis dari

petani mitra VECO Indone­

sia mencuri perhatian, in­

dra penciuman dan

pencecap pengunjung pa­

meran.

The Reiselivmessen

merupakan pameran turis­

me terbesar di Norwegia.

Tahun ini, Kedutaan Indo­

nesia di Oslo, bekerja sa­

ma dengan sejumlah

organisasi termasuk Perkumpulan Indonesia Berseru. Sehari setelah pameran, Kedutaan memfasil itasi diskusi dengan

pihak bisnis dan lembaga­lembaga yang tertarik untuk menggali potensi pariwisata dan produk komunitas. Dua kegiatan

ini, merupakan langkah awal memperkenalkan produk komunitas yang berkualitas ke wilayah Skandinavia. [Ida Pardosi,

Perkumpulan Indonesia Berseru]

Membawa Kehangatan ke Negeri Dingin

Foto­foto: VECO Indonesia

Foto: Perkumpulan Indonesia Berseru

Page 15: LONTAR April 2014

15LONTAR - #8 - 2014

Kabar Mitra

Mitra VECO Indonesia di

Jambi yaitu Mitra Aksi

dan Tani Sakti Alam Kerinci

(Taktik) mengikuti pelatihan

untuk pelatih Sistem Penga­

wasan Internal (ICS). Selain

dari Mitra Aksi dan Taktik, ke­

giatan selama tiga hari, 5­7

Maret, ini di ikuti staf PT Cas­

sia Coop dan VECO Indone­

sia. Pelatihan difasil itasi

Imam Suharto, Manajer Pro­

gram VECO Indonesia, dan

Etih Suryatin, Konsultan In­

dependen.

Selama pelatihan di kan­

tor lapangan Mitra Aksi ini,

peserta belajar untuk ICS

serta standar mutu Rainforest

All iance dan organik. Peserta

juga diharapkan bisa mening­

katkan pengetahuan dan keterampilan untuk bisa memberikan pelatihan pada petani peserta program pengembangan

Kayu Manis Lestari yang mengacu pada standar RA dan organic EU dan NOP (USDA). [Firman Supratman, Koordina­

tor Lapangan VECO Indonesia di Jambi]

Pelatihan Pelatih Sistem Pengawasan Internal

Mitra VECO Indonesia

dari l ima lokasi

program yaitu Sulawesi,

Flores, Jawa, Jakarta, dan

Kerinci mengikuti pelatihan

sekolah bisnis pertanian

(FBS). Kegiatan yang

diadakan di Yogyakarta

pada 23­24 Maret 2014 ini

di ikuti 20 orang termasuk

staf VECO Indonesia.

Sekolah Bisnis Pertanian

(FBS) merupakan upaya

untuk meningkatkan

pengetahuan petani

produsen tentang pasar dan

pemasaran.

Selama pelatihan,para peserta belajar

antara lain tentang pemahamaman dan penyiapan pelatihan FBS untuk di tingkat petani dan mampu menyampaikanmateri pelatihan sesuai dengan silabus pelatihan yang disiapkan VECO Indonesia. Selain itu, peserta jugamenyempurnakan silabus sesuai dengan kebutuhan petani dampingan masing­masing.

Belajar tentang Sekolah Bisnis Pertanian

Page 16: LONTAR April 2014

16 LONTAR - #8 - 2014

Kabar Internasional

Semua tahu kopi Kongo dalam jum­

lah sangat besar selalu diselundup­

kan ke negara tetangga untuk kemudian

diklaim sebagai produksi negara terse­

but. Petani kopi di Kongo Timur terjerat

oleh tengkulak. Kualitas kopi mereka ju­

ga tak dihargai. Maka, tak usah heran ji­

ka ekspor resmi kopi Kongo turun drastis

dari sekitar 130 ribu ton pada pertengah­

an 1980­an hanya menjadi sekitar 6 per­

sen saat ini.

Berangkat dari fakta tersebut, VECO

Kongo meluncurkan program dengan tu­

juan ambisius. Dengan dukungan Com­

mon Fund for Commodities (CFC),

International Coffee Organisation, peme­

rintahan Belgia melalui DGD dan organi­

sasi Belanda Cordaid, program tersebut

akan dilaksanakan selama empat tahun

hingga 2017 mendatang.

Ambisi tersebut berusaha diwujudkan

Bangkitnya Kembali

melalui pembangunan kapasitas petani

untuk memproduksi kopi dan terhubung

dengan pasar dunia.

Program ini merupakan pengem­

bangan dari konsep yang sudah dilaksa­

nakan pada fase 2013. Selama fase

percobaan, program telah mencoba kon­

sep tempat pengolahan kopi, micro­

washing station (MWS) yang didesain

Andy Carlton, ahli koperasi petani kopi

kecil yang berpengalaman lebih dari 20

tahun di Rwanda, Malawi, Burundi, Tan­

zania, dan Uganda. Hasilnya, 17 MWS

yang diproduksi pertama akan segera

dioperasikan.

Setiap MWS dimil i l iki satu kelompok

yang terdiri dari minimal 100 petani kopi.

Masing­masing petani menyumbang 50

dolar. Karena biaya pembuatan tempat

pengolahan tersebut sekitar 1.000 dolar,

maka 5.000 dolar lain akan diganti de­

ngan bahan­bahan bangunan seperti

atap anti­UV, mesin pencacah, dan lain­

lain.

Pengelola dari setiap unit pengola­

han turut serta dalam lokakarya metode

pengolahan kopi berkualitas tinggi, di

mana manualnya dibuat oleh mereka

sendiri . Manual tersebut bisa dimengerti

setiap orang termasuk yang tidak bisa

baca tulis sekalipun. Secara bersama­

sama mereka mendesain format mana­

jemen transparan untuk anggota. Mere­

ka kemudian mencetak dan

menyebarkan manual tersebut ke selu­

ruh anggota.

Semua unit pengolahan dan area

produksi akan bersama­sama memben­

tuk koperasi pemasaran kopi. Tempat

pengolahan kopi berkualitas tinggi akan

menarik pembeli kopi spesial dari selu­

ruh dunia sehingga membuat kopi

Kongo terkenal di pasar dunia. [Ivan

Godfroid, Perwakilan Regional VECO

Kongo]

Pengamatan seki las di kantor

Badan Kopi Nasional Kongo

(ONC) menyatakan banyak hal .

Produksi kopi di Kongo menca-

pai sekitar 63.000 ton sementa-

ra ekspor resmi pada 201 2

hanya 9.1 80 ton dan pada 201 3

hanya 8.1 67 ton. Rakyat Kongo

tidak terlalu suka minum kopi .

Jadi , ke mana larinya kopi-kopi

tersebut?

Foto­foto: VECO Kongo

Sektor Kopi di Kongo

Page 17: LONTAR April 2014

17LONTAR - #8 - 2014

Kabar Internasional

Vredeseilanden terl ibat dalam diskusi

tersebut. Kami membagi pengalam­

an bekerja sama dengan Colruyt dan

belajar banyak bagaimana perusahaan­

perusahaan membayangkan tantangan

untuk membeli produk dari petani kecil .

“Kami memulai proyek percobaan

untuk melibatkan petani kecil di Peru

agar memasok selada dan tomat untuk

Mc Donalds,” kata Leonardo Correa de

Souza Lima dari Arcos Dourados, peme­

gang cabang McD di Amerika Latin.

“Tentu saja McD membutuhkan pasokan

yang sangat banyak. Karena itu akan ja­

di tantangan besar untuk melibatkan pe­

tani kecil . Tapi, saat ini kami senang

karena melihat sejauh ini percobaan ter­

sebut berhasil , ” Correa melanjutkan.

Bersama LSM Yayasan Syngenta,

petani di latih cara memproduksi karena

mereka tidak mengetahui standar kuali­

tas McD, produksi mereka tidak cukup

banyak, memerika kurang berpengalam­

an dengan tempat budi daya (green ho­

use), tak ada pengalaman pemasaran,

dan ada ketidakpercayaan sesama peta­

ni. Namun, setelah dua tahun berjalan,

petani sukses memasok sayur dan tomat

ke McD sehingga pendapatan mereka

naik hingga 177 persen.

Arcos Durados sekarang merenca­

nakan membuat program serupa di ne­

gara­negara Amerika Latin. Dengan

contoh tersebut, diskusi berlanjut ten­

tang bagaimana organisasi petani, pihak

swasta, dan LSM bisa berkolaborasi ser­

ta bagaimana memperluas keberhasilan

itu ke tingkat lebih struktural.

LSM lain yang presentasi adalah

Catholic Relief Services (CRS). LSM ini

membagi pengalaman kelompok tani

mitra mereka yang bekerja sama dengan

perusahaan cokelat Ritter serta petani

sayur dan buah­buahan yang menjual

produk mereka ke Walmart. “Kami meli­

hat kebutuhan untuk bekerja sama de­

ngan pihak swasta agar misi kami

tercapai, pendapatan yang lebih baik de­

ngan petani. Dan kami melihat ada jalan

tengah melalui diskusi rutin, ” kata Jeffer­

son Shriver dari CRS. Hal serupa juga

dilaksanakan Vredeseilanden.

Perusahaan Heineken bercerita ten­

tang kebijakan lelang lokal mereka di Af­

rika. Sebelum 2020 mereka ingin

membeli 60 persen produk lokal seperti

beras, sorgum, dan singkong untuk

pembuatan bir di pasar Afrika. “Ini sa­

ngat susah dan makan waktu,” kata Paul

Stanger dari Heineken. “Namun, bagi

kami hal itu sangat menghemat pengelu­

aran karena transportasi berkurang se­

kaligus menjaga keberlangsungan

pasokan dalam jangka panjang. Kami ja­

di tidak terlalu tergantung pada pasar

yang labil , ” tambahnya.

Cara itu menurunkan beban ekologis

dan menaikkan pendapatan petani seca­

ra signifikan. Sebagai contoh di Kongo,

kami telah menjangkau 57.000 keluarga

petani sejak 2009 dan rata­rata produksi

petani meningkat sekitar 42 persen sela­

in juga pendapatan mereka. [Saartje Bo­

utsen, Vredeseilanden]

Pengalaman Kolaborasi

Pada 1 2-1 3 Februari , sekitar 60 perusa-

haan, LSM, akademisi , dan ahl i dari ber-

bagai penjuru dunia berkumpul dalam

sebuah lokakarya di Amsterdam, Belan-

da. Mereka mendiskusikan bagaimana

mewujudkan keterl ibatan petani keci l

alam jangka panjang dalam bisnis, pe-

masaran modern.

Petani dan Pihak Swasta

Foto: Vredeseilanden

Namun, bagi kami hali tu sangatmenghemat

pengeluaran karenatransportasi

berkurang sekal igusmenjaga

keberlangsunganpasokan dalam

jangka panjang. Kamijadi tidak terlalutergantung padapasar yang labi l

Page 18: LONTAR April 2014

18 LONTAR - #8 - 2014

Profil

Sebagai Koordinator Divisi Pemasaran, Marselina bertang­

gung jawab untuk mengoordinir pemasaran bersama kopi

anggota Permata. Untuk itu, dia harus berhubungan dengan

pembeli dan melakukan negoisasi terutama soal harga. “Kami

harus mengurusi kopi dari kebun sampai pasar, ” kata Marseli­

na.

Radabata termasuk salah satu desa di mana

petani anggota Permata berada. Seperti desa la­

in di kawasan pegunungan Pulau Flores bagian

tengah, Watu Ata merupakan sentra produksi

kopi baik arabika maupun robusta. Anggota Per­

mata tersebar di dua kecamatan yaitu Golewa

dan Bajawa. Dengan sekitar 9.500 petani kopi,

Kabupaten Ngada menghasilkan kurang lebih

300 ton kopi Arabika Flores Bajawa (AFB) tiap

musim panen.

Namun, petani di sini masih menghadapi tan­

tangan dalam pemasaran. Untuk itulah, Marseli­

na bersama pengurus maupun anggota Permata lain berusaha

untuk melakukan pemasaran bersama.

“Kami berusaha untuk meningkatkan mutu kopi agar me­

menuhi permintaan pasar,” tambah perempuan kelahiran 10

Maret 1976 ini.

Untuk meningkatan mutu kopi, anggota Permata pun bera­

l ih ke pertanian organik. Mereka menggunakan metode­metode

alami agar selain terhindar dari bahan­bahan kimia juga mutu

lebih baik dan jumlah produksi lebih banyak. Sekolah Lapang

(SL) merupakan metode penting bagi petani untuk belajar per­

tanian organik tersebut.

Begitu pula bagi Marselina. Dia kini menerapkan semua

metode pertanian organik seperti penggunaan pupuk organik

cair maupun padat yang dibuat bersama anggota kelompok.

Dia pun menerapkan pemangkasan agar buah lebih lebat dan

besar.

Karena kerja keras para pengurus dan

anggotanya, petani kopi di Watu Ata kini

mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.

Marselina memberikan contoh petani kini lebih

berminat terhadap pertanian organik dari se­

mula tergantung pada bahan­bahan kimia atau

asupan luar yang tinggi. Kini mereka bisa

memproduksi pupuk dan pestisida organik

sendiri .

“Perawatan kebun kopi pun kini lebih ba­

gus,” tambah Marselina yang juga Sekretaris

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Radab­

ata ini.

Difasil itasi Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat

Sipi l (Lapmas), mitra VECO Indonesia di Ngada, Permata pun

bisa menjual langsung kopi tersebut ke pengusaha, tidak lagi

lewat tengkulak. Harganya pun bisa lebih tinggi. J ika ke teng­

kulak hanya Rp 16.000 hingga Rp 17.000, kini mereka bisa

mendapatkan harga Rp 24.000 per kg. Meskipun masih meng­

hadapi banyak tantangan, termasuk sistem pembayaran yang

belum memuaskan bagi petani, setidaknya petani kini memil iki

harapan lebih baik.

“Semoga perubahan ke arah lebih baik ini terus berlanjut, ”

harap Marselina, ibu satu anak ini.

Marselina Terus Berjuang

Meskipun baru setahun bergabung dengan Perhimpunan Petani Watu Ata (Permata) ,

Marsel ina Walu Wajamala sudah dipercaya mendapatkan posisi penting dalam organisasi

petani tersebut. Saat ini , petani di Desa Radabata, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada,

Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut menjadi Koordinator Divisi Pemasaran Permata.

Foto-Foto: VECO Indonesia

Memasarkan Kopi Bajawa

Kami berusahauntuk meningkatkanmutu kopi agarmemenuhi

permintaan pasar

Foto: VECO Indonesia

Page 19: LONTAR April 2014

19LONTAR - #8 - 2014

Subak merupakan jantung Bali . Karena sistem irigasi

pertanian tradisional ini, Bali menjadi tujuan wisata

ternama di dunia. Turis dari berbagai negara datang un­

tuk melihat terasering dengan sawah berundak­undak di

Bali . Karena subak pula masyarakat Bali memil iki budaya

yang amat dekat dengan alam khususnya pertanian.

Namun, subak tak hanya sistem irigasi. Menurut buku

berjudul Subak, Warisan Budaya Dunia subak adalah bu­

daya, hukum adat, sekaligus ikatan sosial bagi petani di

Bali . Karena keunikannya tersebut, maka UNESCO me­

masukkan subak sebagai salah satu warisan budaya du­

nia sejak Juni 2012.

Buku setebal 289 halaman ini membahas seluk beluk

subak dalam tujuh bab. Bab­bab tersebut membahas

pengertian subak, kekuatan dan kelemahan subak, ke­

berlanjutan subak, aspek gender dalam subak, dan lain­

lain. Tulisan­tul isan itu memberikan kerangka teoritis se­

kaligus praktis di lapangan terkait dengan sistem subak

ini.

Dua penulis buku ini, Wayan Windia dan Wayan Alit

Artha Wiguna, adalah orang yang bergelut dengan topik

pertanian di Bali . Windia adalah dosen Fakultas Teknologi

Pertanian Universitas Udayana Bali sedangan Alit adalah

peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

Bali . Karena itu, buku ini memang ditul is orang ahli di bi­

dangnya.

Meskipun ditul is berdasarkan apa yang ada di Bali ,

buku ini juga bisa menjadi

referensi tentang bagaima­

na sistem irigasi pertanian

seharusnya dilakukan. Tak

hanya agar sawah­sawah

bisa terisi air tapi juga agar

ada pembagian yang adil

sesama anggota kelompok

tani. Dengan demikian bu­

ku ini bisa dibaca dan jadi

acuan bagi petani di luar

Bali .

Sebagai sebuah refe­

rensi, buku ini masih ba­

nyak catatan. Misalnya

terlalu banyak isti lah dalam

konteks Bali sehingga kurang bisa dipahami mereka yang

tidak ada di Bali . Kedua, bahasa dalam buku ini terlalu

akademis, kurang populer bagi orang awam. Ketiga, ma­

sih banyak salah ketik dalam buku sehingga agak meng­

ganggu.

Judul : Subak, Warisan Budaya Dunia

Penulis : Wayan Windia, Wayan Alit Artha Wiguna

Penerbit : Udayana University Press, 2013

Tebal : xiv + 289 halaman

ISBN : 978­602­7776­58­6

Resensi

I ndonesia produsen kopi ter­besar ketiga di dunia setelah

Brazil dan Vietnam. Menurut

FAO, pada tahun 2012, Indo­

nesia menghasilkan 657.200

ton di bawah Brazil 3.037.534

ton dan Vietnam 1.292.389 ton

pada tahun yang sama. Kare­

na itulah, Indonesia terus beru­

saha untuk meningkatkan

produksi kopi, komoditas inter­

nasional tersebut.

Selain melalui perluasan

area, peningkatan produksi di­

lakukan pula peningkatan kua­

l itas budi daya. Hal ini perlu

dilakukan karena budi daya kopi di Indonesia masih banyak

yang dilakukan secara amatir dan tradisional.

Untuk itu, buku ini penting sebagai referensi. Buku karya

Ahli Peneliti Muda di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao ini bisa

membantu petani memperoleh informasi teknologi budi daya

dan pengolahan kopi. Buku setebal 212 halaman ini membahas

teknik budi daya kopi hingga pemasaran.

Pada dasarnya, 13 bab dalam buku ini bisa disarikan dalam

tiga topik besar yaitu sejarah dan perkembangan kopi di dunia,

teknik budi daya, serta penanganan pascapanen, termasuk

analisis usaha. Karena itu, materi buku ini lengkap dari A hing­

ga Z terkait kopi. Misalnya, Bab 1 tentang sejarah kopi, Bab 2

membahas pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi,

bab 10 tentang pemeliharaan tanaman kopi, dan bab 11 ten­

tang panen dan pascapanen kopi.

Selain dalam bentuk teoritis, buku ini pun disertai materi­

materi praktis dan teknis. Dengan gaya penulisan yang ringan

dan gambar­gambar maupun ilustrasi di dalamnya, buku ini

mudah dipahami oleh petani awam sekali pun. Namun, buku ini

perlu dibaca tak hanya oleh petani tapi juga peneliti dan pen­

damping petani.

Judul : Kopi, Panduan Budi daya dan Pengolahan Kopi

Arabika dan Robusta

Penulis : Pudji Rahardjo

Penerbit : Penebar Swadaya, 2012

Tebal : iv + 212 halaman

ISBN : 978­979­002­536­3

Rujukan Lengkap Budi Daya dan Pengolahan Kopi

Mengenal Sistem Irigasi Warisan Budaya Dunia

19LONTAR - #8 - 2014

Page 20: LONTAR April 2014

20 LONTAR - #8 - 2014

Tumpang Sari

di Kebun KayuManis


Recommended