+ All Categories
Home > Documents > M - Akademi Fisioterapiakfis.uki.ac.id/assets/jurnalfile/Sinopsis.docx · Web viewRe-edukasi fungsi...

M - Akademi Fisioterapiakfis.uki.ac.id/assets/jurnalfile/Sinopsis.docx · Web viewRe-edukasi fungsi...

Date post: 14-Apr-2018
Category:
Upload: dangdien
View: 215 times
Download: 1 times
Share this document with a friend
30
SENAM VITALISASI OTAK TIDAK MEMBERI MANFAAT SIGNIFIKAN TERHADAP PENINGKATAN STABILITAS PERGELANGAN KAKI PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA Weeke Budhyanti Akademi Fisioterapi Universitas Kristen Indonesia Jl. Mayjen Sutoyo, Cawang, Jakarta Timur 13630 021-8092425 ext 381 [email protected] ABSTRACT Objective: to know the benefits of brain gym to the stability of the ankle in young adult women. Sample: consists of 15 people aged 19-29 years and were selected by purposive sampling technique. Methods: A quasi-experimental to find out the benefits of gymnastics vitalization of the brain to increase the stability of the ankle in young adult women. Data’s normality tested by the Kolmogorov-Smirnov statistical analysis. Results: Using the Wilcoxon test statistic P value obtained was 0.12 while P <α (α = 0.05) meanings that the increase of ankle stabilization period by brain gymnastics were not significant. Conclusion: There was no significant increase in the stability of the ankle through the vitalization of the brain gymnastics.
Transcript

SENAM VITALISASI OTAK TIDAK MEMBERI MANFAAT SIGNIFIKAN TERHADAP PENINGKATAN STABILITAS PERGELANGAN KAKI PADA PEREMPUAN DEWASA

MUDA

Weeke BudhyantiAkademi Fisioterapi Universitas Kristen IndonesiaJl. Mayjen Sutoyo, Cawang, Jakarta Timur 13630

021-8092425 ext [email protected]

ABSTRACTObjective: to know the benefits of brain gym to the stability of the ankle in young adult women. Sample: consists of 15 people aged 19-29 years and were selected by purposive sampling technique. Methods: A quasi-experimental to find out the benefits of gymnastics vitalization of the brain to increase the stability of the ankle in young adult women. Data’s normality tested by the Kolmogorov-Smirnov statistical analysis. Results: Using the Wilcoxon test statistic P value obtained was 0.12 while P <α (α = 0.05) meanings that the increase of ankle stabilization period by brain gymnastics were not significant. Conclusion: There was no significant increase in the stability of the ankle through the vitalization of the brain gymnastics.

ABSTRAKTujuan Penelitian: untuk mengetahui manfaat dari senam vitalisasi otak terhadap nilai stabilitas pergelangan kaki pada perempuan dewasa muda. Sampel: terdiri dari 15 orang berusia 19-29 tahun dan dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Metode: Merupakan jenis penelitian quasi eksperimental untuk mengetahui manfaat senam vitalisasi otak untuk meningkatkan stabilitas pergelangan kaki pada perempuan dewasa muda. Untuk uji normalitas menggunakan analisa statistik Kolmogorov-Smirnov. Hasil: Menggunakan uji statistic Wilcoxon didapatkan nilai P adalah 0.12 dimana P < α (α = 0.05) yang bermakna peningkatan nilai rentang waktu stabilisasi pergelangan oleh senam vitalisasi otak tidak signifikan. Kesimpulan: Tidak terjadi peningkatan yang signifikan pada stabilitas pergelangan kaki melalui senam vitalisasi otak.

Pendahuluan

Stabilitas pergelangan kaki adalah interaksi antara mekanisme statis dan dinamis.

Pada individu yang lahir normal tanpa kelainan kongruensi tulang atau gangguan

ligamen, instabilitas dapat terjadi akibat beberapa hal. Pada perempuan muda, terjadinya

instabilitas dapat terjadi tanpa inisiasi cedera karena mekanisme mekanoreseptor dan

aktivasi neuromuskular yang berbeda serta adanya kecenderungan joint laxity secara

normatif.

Instabilitas fungsional pergelangan kaki secara empiris ditemukan membuat

banyak perempuan muda mengeluhkan kakinya “selip” atau “terpeleset” tanpa penyebab

yang jelas. Pada tuntutan aktifitas yang lebih tinggi, instabilitas fungsional meningkatkan

resiko cedera pergelangan kaki, sebagaimana yang terjadi pada atlet perempuan.

Latihan untuk meningkatkan input propriosepsi, mengaktivasi sistem

neuromuskular dan mere-edukasi postur dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi ini.

Latihan propriosepsi dan aktivasi sistem neuromuskular pada prinsipnya adalah latihan

yang dilakukan pada berbagai arah dan kecepatan gerak, sehingga akan menimbulkan

stimulus pada mekanoresptor; dan dalam tempo yang lambat, sehingga memberi

kesempatan kepada nuclei subkortikal memberi umpan balik kepada CPG; dan pada

gilirannya mere-edukasi sistem neuromuskular untuk terjadinya aktivasi ko-kontraksi

yang benar. Senam vitalisasi otak memenuhi kebutuhan ini dan dengan demikian dapat

digunakan untuk meningkatkan stabilitas pergelangan kaki.

Senam akan dilakukan dalam 16 kali pertemuan dengan frekuensi 4 kali

seminggu yang diharapkan akan memberi hasil yang signifikan.

Stabilitas Pergelangan Kaki

Dengan merangkumkan berbagai definisi mengenai stabilitas, maka peneliti

menyatakan bahwa stabilitas pergelangan kaki adalah kemampuan untuk

mempertahankan posisi sendi baik pada saat menumpu statis maupun selama mobilitas

secara aman dan efisien.

Stabilitas pergelangan kaki terbentuk sebagai hasil interaksi antara struktur

mekanis dan dinamis. Stabilitas dari struktur mekanis disebut sebagai stabilisator pasif,

yang terdiri dari struktur sendi dan ligamen. Stabilitas dinamis disebut juga sebagai

stabilitas fungsional, yang terbentuk dari input mekanoreseptor serta aktivasi dan daya

tahan unit muskulotendinogen.

Sebagaimana digambarkan pada gambar 1, setiap input dari reseptor sendi dan

kulit akan memberikan umpan balik kepada sistem saraf pusat untuk kemudian diarahkan

kembali sebagai umpan maju kepada α dan γ motor neuron sebagai antisipator gerakan.

Kontrol neuromuskuler pada sistem saraf pusat berfungsi untuk menginterpretasikan dan

mengintegrasikan informasi proprioseptif dan kinestetik dan mengontrol otot dan sendi

individual untuk memproduksi gerak terkoordinasi.

Konsep umpan maju dan umpan balik adalah salah satu konsep penting untuk

memahami bagaimana sistem motorik mengontrol postur dan gerakan. Sistem umpan

balik memonitor sinyal sensoris dan menggunakan informasi tersebut untuk

menggerakkan ekstremitas. Gambar 1 mengilustrasikan respons umpan balik tersebut

dalam konteks menangkap bola.

Gambar 1. Kontrol umpan balik

(Ghez, 2000)

Sistem umpan maju menggunakan berbagai sinyal sensoris, seperti visual,

pendengaran dan sentuhan, untuk mendeteksi pertubasi dan menginisiasi strategi

gerakan secara proaktif berdasarkan penglaman. Oleh karena itu sistem umpan

maju seringkali disebutkan sebagai sistem antisipator.

Tidak seperti sistem umpan balik, kontrol umpan maju bertindak lebih

dulu sebelum adanya gangguan. Hanya saja, karena disebutkan sebagai respons

umpan maju, seolah sistem ini terlepas sama sekali dari kebutuhan akan sinyal

sensoris. Faktanya, kontrol umpan maju harus mendapatkan informasi sensoris

yang adekuat disertai pengalaman untuk dapat bekerja dengan benar.

Kontrol umpan maju digunakan oleh sistem motorik untuk mengontrol

postur dan gerakan. Saat berdiri, otot tungkai selalu berkontraksi menyesuaikan

diri sebagai kompensasi perubahan pusat gravitasi yang terjadi saat proses

respirasi, gerakan batang tubuh dan gerakan ekstremitas atas.

Faktor pengalaman sangat penting dalam kontrol umpan maju. Untuk itu,

faktor pembelajaran yang terjadi dalam respons stabilisasi sangat penting untuk

terjadinya stabilitas fungsional yang benar. Gambar 2 menggambarkan kontrol

umpan maju dalam konteks menangkap bola.

Gambar 2. Kontrol umpan maju

(Ghez, 2000)

Yang kemudian perlu dipahami adalah respons sistem saraf terhadap input

sensoris. Dengan adanya kandungan saraf pada kulit, tulang, konjungsi otot-tendo

dan sendi, sistem mekanoreseptor dapat mendeteksi sentuhan, tekanan, nyeri serta

posisi dan gerakan sendi. Pada sendi, sistem somatosensoris memiliki dua sistem

mekanoreseptor, yaitu yang beradaptasi dengan cepat (AC) melalui α motor

neuron, dan yang beradaptasi lambat (AL) melalui γ motor neuron. Jika sendi

mendapatkan stimulus tekanan dan gerak yang kontinu, α motor neuron akan

menurunkan sinyal ke saraf pusat, sementara γ motor neuron yang

mempertahankan sinyal dan kontraksi otot.

Beberapa jaras refleks melibatkan beberapa sirkuit sekaligus. Salah

satunya dalam gerakan pergelangan kaki adalah aktivasi Flexor Reflex Afferent

(FRA) yang menghasilkan crossed extension reflex.

FRA melibatkan jalur refleks monosinaptik dan polisinaptik yang meliputi

interneuron fasilitator dan inhibitor. Karakteristik FRA adalah konvergensi

multisensorial terhadap interneuron yang terlibat di sepanjang jalur, sehingga

stimulusasi FRA terjadi pada berbagai output motorik yang bervariasi. Output

motorik ini dapat dimodifikasi dengan posisi tungkai, komando desendens dan

input aferen.

Proses penerjemahan dalam sistem ini berlangsung pada central pattern

generator (CPG) yang berada di batang otak dan medulla spinalis. CPG dapat

menggenerasikan gerakan lokomotor terkoordinasi tanpa umpan balik dari aferen

yang berhubungan dengan gerakan. CPG dapat mengubah output, bergantung

pada kebutuhan kecepatan dan dalam respons terhadap penghambat. Walaupun

CPG dapat beroperasi tanpa input aferen, aktivitas CPG secara konstan

dimodifikasi oleh ketersediaan input sensoris. Pada setiap momen atau tahap

gerakan, terdapat kepentingan dan konsekuensi dari perubahan input aferen yang

berbeda, yang disebut neuron komando. Neuron komando didefinisikan sebagai

neuron yang merespons input sensoris atau desendens dan menginisiasi aktivitas

CPG. Tanpa memperhatikan inputnya, gerakan atau kondisi yang berbeda akan

mengaktivasi neuron komando yang berbeda. Pada gilirannya, neuron komando

akan mengaktivasi neural spesifik yang bersekuensi pada CPG.

Aktivitas pada CPG dan pola gerakan yang dihasilkan aktivasi CPG

dipengaruhi oleh input pusat supraspinal, tipe dan derajat umpan balik aferen, dan

pengaruh posisi tubuh dan tungkai pada umpan balik aferen

Reaksi postural dikoordinasikan secara kortikal melalui peningkatan

aktivitas yang berkesinambungan antara otot agonis dan antagonis untuk

mempertahankan stabilitas.

Gambar 3. Hubungan propriosepsi dan kontrol neuromuskuler terhadap stabilitas sendi. (Hertel, 2011)

Maka stabilitas pergelangan kaki dipengaruhi oleh faktor sebagai berikut:

1) Kongruensi tulang dalam persendian

2) Kekuatan struktur ligamen

3) Keadaan arthokinematik dan struktur persendian

4) Ketersediaan input mekanoreseptor sendi

5) Aktivasi, daya tahan dan kekuatan unit musculotendinogen

6) Posisi pergelangan kaki terhadap postur selama pembebanan

7) Penggunaan alas kaki dan atau support mekanis lain

Tiga faktor pertama merupakan stabilisator statis yang cenderung tidak akan

mengalami perubahan tanpa didahului cedera, sementara faktor terakhir merupakan

sistem eksternal yang berpotensi besar terhadap stabilisasi.

Ketersediaan input mekanoreseptor, sistem muskulotendinogen dan posisi

pergelangan kaki merupakan faktor yang dapat berubah dan berkembang dengan

dipengaruhi oleh karakteristik gerak individual, pengalaman jaringan terhadap aktivitas

dan latihan.

Stabilitas Pergelangan Kaki Pada Perempuan Dewasa Muda

Pada perempuan dewasa muda, terdapat kelemahan otot dan laxity ligament sendi

yang berlaku normatif. Kondisi ini memacu secara bawah sadar untuk

mengkompensasikan defisiensi tersebut melalui perubahan posisi, baik dalam aktifitas

statis maupun dinamis.

Pengetahuan ini mendorong banyak peneliti mempelajari kinematika perempuan

muda dibandingkan rekan seusianya. Penelitian umumnya dilakukan pada tuntutan

aktifitas yang lebih tinggi untuk memicu terjadinya reaksi kontraksi otot yang lebih besar,

hingga didapatkan deskripsi biomekanika perempuan dewasa muda.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pada posisi single leg squat,

terdapat kecenderungan tidak mampu mempertahankan posisi varus lutut secara adekuat

yang dikompensasikan dengan melakukan lebih banyak dorsi fleksi dan pronasi

pergelangan kaki, dengan posisi hip adduksi, fleksi dan eksorotasi serta lateral fleksi

trunk (Zeller, 2001). Dalam penelitian yang sama juga ditemukan perempuan

menggunakan aktivasi otot yang lebih besar untuk mempertahankan posisi tersebut. Ini

ditemukan dengan penelitian yang lain, bahwa selama pendaratan half squat parasut,

perempuan menunjukkan amplitudo aktivitas tibialis anterior yang lebih rendah, dengan

puncak kecepatan angular dorsi fleksi yang lebih tinggi (Niu W, 2010). Hal ini dapat

terjadi akibat kelemahan otot normatif pada perempuan, yang telah dibuktikan

sebelumnya.

Dalam penelitian yang lain, perempuan mendemonstasikan postur yang lebih

tegak dengan ruang gerak sendi panggul dan pergelangan kaki yang lebih besar saat

melakukan pendaratan setelah meloncat, dengan kecepatan angular maksimal sendi yang

lebih besar. Perempuan juga menunjukkan absorpsi energi dan puncak kekuatan dari

ekstensor lutut dan plantar fleksor pergelangan kaki. Sementara lutut adalah pusat

absorpsi energi pada kedua jenis kelamin, perempuan lebih banyak menggunakan plantar

fleksor pergelangan kaki sebagai kontributor kedua.

Saat dituntut berjalan dengan kecepatan tinggi, perempuan menunjukkan aktivitas

otot tibialis anterior, gerak pergelangan kaki, reaksi tekanan vertikal dan rata-rata denyut

nadi yang lebih tinggi (Min Chi Chiu, 2007).

Gambar 2. Proses Patologis Instabilitas Fungsional(Gheez, 2000)

Akumulasi alterasi posisi ini berlangsung sepanjang perkembangan stabilisasi,

sehingga menimbulkan alterasi dalam sistem pembelajaran posisi pada perempuan muda,

sehingga nuclei subcortical memberi intruksi yang direkam CPG, walaupun sebenarnya

yang terjadi adalah input yang keliru, dan diterapkan sebagai stabilitas fungsional.

Keadaan ini menghambat cerebrum mengenali diskrepansi input mekanoresptor, dan

tidak terjadi dorongan untuk memperbaiki sistem stabilisasi, sehingga terjadi instabilitas

fungsional yang menetap.

Mekanisme Peningkatan Stabilitas Pergelangan Kaki

Stabilitas fungsional dan peningkatan kontrol sensomotorik dapat dicapai dengan

program latihan fungsional hingga tercapai stabilisasi otot dan sendi yang lebih baik.

Latihan peningkatan stabilitas fungsional dilakukan pada posisi closed kinetic

chain, yang memacu beberapa kelompok otot untuk bekerja bersamaan. Kekuatan,

koordinasi dan keseimbangan adalah aspek yang terlibat dalam program neuromuskular

ini. Oleh karena itu, latihan single leg stance (SLS) adalah tekhnik yang paling umum

digunakan untuk meningkatkan propriosepsi. Posisi SLS menuntut pelakunya

menyeimbangkan diri pada satu tungkai tanpa support tambahan.

Pencapaian kontrol sensomotorik juga melibatkan latihan proprioseptif. Latihan

propriosepsi akan menginformasikan presisi gerakan dan refleks muskular yang

berkontribusi terhadap pembentukan stabilitas dinamis sendi. Tujuan latihan proprioseptif

adalah untuk melatih kembali jaras aferen untuk mengembangkan sensasi gerakan sendi

dan aktivasi motorik pada sistem saraf pusat. Pengembangan sistem propriosepsi sangat

penting untuk dilakukan karena umpan balik proprioseptif akan meningkatkan dan

mempertahankan stabilitas fungsional sendi.

Latihan proprioseptif harus menggunakan teknik yang akan membangkitkan

kebutuhan aktivasi otot pronator dan supinator kaki (melatih koordinasi, propriosepsi dan

kekuatan otot stabilisator pergelangan kaki). Aktivasi ko-kontraksi ini diupayakan terjadi

semi otomatis, karena sejatinya aktivitas stabilisasi merupakan sistem yang berlangsung

pada CPG. Hanya saja, berdasarkan penelitian ditemukan bahwa otonomi CPG berkurang

pada manusia. Pada perkembangan manusia fungsi CPG yang benar menjadi bergantung

pada integrasi saraf yang lebih tinggi, yaitu pada sistem saraf pusat, pada korteks cerbral.

Sekuensi temporal aktivasi otot melibatkan CPG spinal dan integrasi sirkuit neural

dengan input pusat otak yang lebih tinggi.

Untuk mencapai gerakan semi otomatis yang dimaksud, maka pada latihan

proprioseptif juga melibatkan gerakan yang lambat dalam setiap perpindahan gerak dan

posisi, untuk memberikan kesempatan pada nuclei subcortical dan basal ganglia

menganalisa sensasi posisi dan mengirimkan umpan balik berupa aktivitas ko-kontraksi

otot yang diharapkan. Pembelajaran inilah yang kemudian akan diadaptasikan kepada

CPG sebagai pola stabilisasi fungsional yang baru.

Senam Vitalisasi Otak

Senam Vitalisasi Otak (SVO) adalah salah satu olahraga yang disusun

berdasarkan memori gerak (kinestetik), yang gerakannya berasal dari berbagai gerakan-

gerakan tarian di Indonesia yang melibatkan berbagai proses imajinasi penglihatan,

pendengaran, sensorik, emosional (fungsi luhur otak) dalam satu gerakan. Dalam SVO

diperlukan sinkronisasi antara gerak napas fisiologis dan gerakan itu sendiri.

Tujuan SVO adalah untuk memelihara berbagai fungsi otak agar dapat bekerja

sesuai fungsi dan kebutuhannya dengan memberi suplai oksigen dan darah yang optimal,

khususnya ke otak. SVO akan memberikan stimulasi yang adekuat pada struktur-struktur

otak tertentu secara unimodal dan pada struktur yang berkaitan/multimodal yang berperan

dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Prinsip dasar dari senam vitalisasi otak adalah:

1) Lambat

Gerakan dalam SVO dilakukan perlahan-lahan dengan tujuan

menyelaraskan pola gerak otot, gerakan ritmis otot-otot pernapasan, dan metabolisme

pada bagian otak yang terstimulasi dan melalui imajinasi saat melakukan gerakan.

2) Dari bawah ke atas

Gerakan selama SVO mengupayakan sistematika gerak dari arah tubuh

bagian bawah terus ke bagian atas, dengan tujuan untuk melatih bagian otot yang

lebih kecil sampai otot yang lebih besar.

3) Berulang-ulang

Gerakan dalam SVO dilakukan dengan beberapa kali pengulangan. Hal ini

penting sekali agar stimulasi gerak dapat terekam dalam otak melalui jaras

proprioseptif (melatih rasa gerakan pada sendi/memori gerak)

4) Melibatkan pandangan mata

Setiap gerakan yang dilakukan oleh tangan maupun kaki pada SVO

senantiasa melibatkan pandangan mata. Hal ini akan membantu meningkatkan

konsentrasi visual dan kemampuan visuospasial (mengenal ruang).

5) Gerak sendi penuh

Gerakan pada SVO dilakukan sampai batas maksimal sendi.

6) Melibatkan pernapasan

Dalam SVO, pernapasan senantiasa dilakukan secara teratur pada setiap

gerakan. Hal ini penting untuk mencapai oksigenisasi yang optimal menuju otak

karena permasalahan pada otak bisa muncul akibat kurangnya oksigen di otak.

Sebaliknya, metabolisme otak optimal dapat tercapai bila oksigen di otak tercukupi.

Dalam SVO, suatu upaya yang terus diarahkan adalah bagaimana proses “pernapasan

dalam” dapat dilakukan setiap melakukan gerak.

7) Dihayati (sesuai gerakan yang dilakukan)

Setiap melakukan SVO, peserta diharapkan menghayati gerakan yang

dilakukannya. Setiap gerakan pada Senam Vitalisasi Otak dilakukan dengan imajinasi

tertentu sesuai dengan rangsang suara atau pola gerakan yang akan menyebabkan

terangsangnya berbagai tempat di otak sehingga terjadi keselarasan antara gerak,

pikiran, dan emosi (body and mind exercise).

Gerakan-gerakan dan posisi pergelangan kaki dalam SVO merupakan gerakan

“ekstrim” yang jarang terjadi pada kehidupan sehari-hari. Selain itu, setiap perpindahan

gerakan pergelangan kaki dilakukan dalam tempo yang lambat, dan setiap posisi

dipertahankan selama beberapa detik. Model gerakan ini memberikan kesempatan

teraktivasinya γ motor neuron pada muscle spindle pada otot agonis dan golgi tendon

organ (GTO) pada otot antagonis sebagai dasar re-edukasi neuromuskular.

Informasi dari mekanoreseptor ini dikonduksikan ke area sub kortikal, batang

otak dan korteks serebral di sistem saraf pusat melalui berbagai tipe serabut saraf. Pada

batang otak, sensasi dari mekanoreseptor di kulit, ligamen, kapsul sendi dan

musculotendinogen dikombinasikan dengan input dari vestibular dan visual untuk

mempertahankan kontrol postur dan keseimbangan.

Input propriosepsi mencapai korteks serebral menghasilkan kesadaran volunter

posisi tubuh dan gerak dan dibutuhkan untuk menginisiasi gerak volunter. Umpan balik

propriosepsi menghasilkan aktivasi ko-kontraksi yang dibutuhkan untuk mempertahankan

posisi optimal sebagai stabilitas fungsional sendi.

Bersamaan dengan masuknya informasi dari mekanoreseptor, penghayatan gerak

sebagai salah satu komponen senam vitalisasi otak meningkatkan keterlibatan aspek

kognitif untuk menciptakan harmonisasi dan keseimbangan fungsi otak, kerja otot dan

stabilisasi emosi.

Gerakan-gerakan dalam senam vitalisasi otak dilakukan berulang-ulang sehingga

perekaman stimulasi gerak menjadi pola pembelajaran yang menetap dan dapat

diteruskan sebagai pola gerak pada CPG. Dengan demikian terjadi re-edukasi

neuromuskular stabilisasi fungsional pada sistem saraf pusat.

Re-edukasi fungsi setelah durasi waktu tertentu akan menghasilkan pembiasaan

koordinasi neuromuskular sehingga pada saat dibutuhkan akan terjadi interaksi otomatis

pada komando motorik volunter dan otot-otot stabilisator.

Pemeriksaan Stabilitas Pergelangan Kaki

Dalam beberapa penelitian, ketidakstabilan postur telah digunakan untuk

memprediksi kerentanan terjadinya sprain pada pergelangan kaki. Tes single leg stance

(SLS, berdiri menumpu dengan satu kaki) memiliki korelasi dengan amplitudo dan

kecepatan ketidakstabilan pada individu normal. Penelitian menunjukkan bahwa resiko

tinggi terdapat pada atlet dengan tes SLS positif walaupun atlet tersebut tidak memiliki

riwayat sprain (resiko relatif= 7.18 (95% CI, 1.06 to 61.7)) (Tropp, 1988).

Dalam pelaksanaan tes, harus diperhatikan bahwa posisi awal kaki

mempengaruhi kemampuan berdiri dengan menumpu pada satu kaki. Subjek diminta

berdiri pada satu kaki. Tungkai yang tidak menumpu tidak boleh menyentuh tungkai yang

menumpu. Subjek memandang lurus ke depan dan berfokus kepada satu titik. Tes

dilakukan tanpa alas kaki.

Gambar . Tes single leg stance.

(wellness springs, 2011)

Tabel di bawah ini menunjukkan rentang nilai single leg stance normal

berdasarkan rentang usia.

Tabel 1. Rataan normal hasil single leg stance test berdasarkan usia.

(www.mobile-pt, 2011)

Usia Mata terbuka Mata tertutup

20-29 29 detik 21 detik

30-39 29 detik 14 detik

40-49 29 detik 10 detik

50-59 28 detik 8 detik

60-69 26 detik 5 detik

70-79 14 detik 4 detik

Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan di Akademi Fisioterapi UKI selama periode Februari dan

Maret 2012 terhadap mahasiswi yang dipilih berdasarkan kriteria purposive sampling

dengan pre-post test research design.

Kriteria inklusi adalah (1) perempuan berusia 17-40 tahun, (2) bersedia mengikuti

16 kali senam vitalisasi otak berturut-turut dan (3) bersedia untuk tidak melakukan

kegiatan yang dicurigai berpengaruh terhadap stabilitas pergelangan kaki, seperti

memakai sepatu hak tinggi baru atau mempelajari olahraga baru.

Kriteria eksklusi ditetapkan apabila subjek baru mengalami cedera pergelangan

kaki (dalam 2 bulan terakhir). Subjek dianggap gugur bila (1) tidak mengikuti senam

selama 3 kali berturut-turut, (2) mengalami cedera pergelangan kaki saat menjalani

program dan (3) menyatakan mengundurkan diri dari penelitian ini.

Subjek yang memenuhi kriteria lalu menjalani single leg stance test. Tes

dilakukan dengan meminta subjek berdiri di atas 1 tungkai selama mungkin hingga

ditemukan tanda instabilitas fungsional seperti membuka lengan, mempronasi-

supinasikan kaki yang menumpu atau menurunkan tungkai kontralateral. Seluruh

prosedur ini direkam sejak sebelum meminta subjek mengangkat tungkai hingga subjek

menurunkan tungkai, dan diulangi 3 kali untuk kemudian dilakukan pada tungkai

kontralateral dengan prosedur yang sama.

Hasil tes pada setiap tungkai dihitung selama subjek dalam keadaan menumpu di

atas satu tungkai dalam satuan detik, dan diambil nilai rataan dari ketiga pengulangan.

Setelah dilakukan tes, subjek menjalani 16 kali senam, selama 4 kali seminggu

dalam waktu 1 bulan. Senam yang digunakan adalah senam vitalisasi otak yang

dipopulerkan oleh Soemarno Markam dan kawan-kawan tanpa dilakukan modifikasi.

Setelah digenapi 16 kali senam, subjek menjalani tes single leg stance kembali

dengan prosedur yang sama untuk kedua tungkai.

Rentang waktu stabilisasi sebelum dan sesudah senam dibandingkan untuk

membuktikan hipotesa penelitian.

Hasil dan Pembahasan

Setelah dilakukan penapisan subjek berdasarkan kriteria inklusi yang telah

ditetapkan, didapatkan 15 orang subjek dengan distribusi usia sebagaimana digambarkan

melalui Tabel 1. Karena pengujian dilakukan terhadap pergelangan kaki kanan dan kiri,

maka didapatkan 30 sampel pergelangan kaki.

Tabel 1

Distribusi sampel berdasarkan usia

Klasifikasi usia Jumlah Persentase (%)

15-19 3 20

20-24 11 73.3

25-29 1 6,7

Total 15 100

Berdasarkan data distribusi usia yang kemudian dihubungkan dengan nilai single

leg stance (Tabel 2) ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan nilai

rentang waktu stabilisasi fungsional. Bahkan dapat dilihat bahwa nilai stabilitas subjek

yang berusia 29 tahun adalah nilai median dari keseluruhan peserta senam.

Tabel 2

Distribusi usia dan nilai single leg stance sebelum latihan

Usia Pre Test Kanan Pre Test Kiri

19 27 5.00

19 22 20.67

19 3 8.33

20 14 14.00

20 3 1.67

20 19 3.67

20 37 23.67

20 19 10.00

20 8 5.67

20 5 4.67

20 7 13.00

21 30 23.67

21 6 20.67

21 8 11.00

29 13 17.67

Hal yang sama tidak berlaku terhadap jumlah kehadiran senam. Sebelumnya telah

dinyatakan bahwa nilai rentang waktu stabilisasi akan meningkat setelah dilakukan 16

kali senam. Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh subjek tidak menghadiri senam

sebagaimana diharapkan. Apabila ditarik korelasi antara jumlah kehadiran dengan

peningkatan nilai stabilisasi, ditemukan bahwa jumlah kehadiran berpengaruh positif

terhadap peningkatan nilai stabilitas pergelangan kaki, dengan angka linieritas 0.936 pada

kaki kanan dan 0.636 pada kaki kiri.

Tabel 3.

Distribusi sampel berdasarkan jumlah kehadiran

Jumlah kehadiran Jumlah Persentase (%)

12 1 6.67

13 4 26.67

14 3 20

15 5 33.33

16 2 13.33

Total 15 100

Setelah dilakukan pengujian ulang, maka didapatkan hasil sebagaimana

digambarkan melalui Tabel 4.

Tabel 4

Nilai single leg stance sebelum dan sesudah senam

Sampel Pre Test (detik) Post Test (detik) Selisih %

1 27 19 -7 -27.50

2 14 16 3 19.51

3 22 8 -14 -62.12

4 3 9 6 180.00

5 19 35 16 82.46

6 30 20 -10 -33.71

7 6 34 28 466.67

8 37 15 -21 -58.18

9 8 14 6 70.83

10 19 15 -4 -19.30

11 8 11 3 33.33

12 5 13 8 150.00

13 3 21 18 540.00

14 13 10 -2 -18.42

15 7 11 4 52.38

16 5 15 10 200.00

17 14 23 9 64.29

18 21 12 -9 -43.55

19 2 10 8 480.00

20 4 15 12 318.18

21 24 23 1 -1.41

22 21 33 12 58.06

23 24 16 -8 -32.39

24 11 16 5 45.45

25 10 7 -3 -26.67

26 6 15 9 164.71

27 5 28 23 492.86

28 8 12 3 40.00

29 18 11 -6 -35.85

30 13 14 1 7.69

Rerata 13.46 16.73 3.2824.36

Simpang Baku 9.02 7.46 10.78

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan nilai rentang waktu stabilisasi

tidak sama antara satu sampel dengan sampel yang lain. Bahkan beberapa sampel

mengalami penurunan nilai rentang waktu stabilisasi.

Dari data hasil pengukuran rentang waktu stabilisasi (tabel 4) menunjukkan

peningkatan yang sangat baik pada sampel pergelangan kaki nomor 7, dimana terjadi

peningkatan sebesar 28 poin (540 %). Subjek dimaksud hadir 16 kali senam, melakukan

senam dengan serius dan maneuver pergelangan kaki yang sesuai dengan pola gerak

normal.

Sampel lain yang mengalami peningkatan nilai stabilisasi adalah sampel

pergelangan kaki nomor 27 dengan peningkatan 23 (492 %) poin. Subjek hadir 14 kali

senam, melakukan senam dengan serius, dan walaupun maneuver pergelangan kaki pada

awal senam selalu mengambil posisi pronasi, sampel mengalami perbaikan posisi setiap

kali senam, sehingga pada minggu terakhir sesi senam, maneuver pergelangan kaki sudah

dalam alignment yang lebih baik.

Sampel pergelangan kaki nomor 8 dengan penurunan nilai stabilisasi sebesar -21

poin (-58%). Sampel dimaksud hanya hadir 12 kali senam, hanya saja walaupun

melakukan senam dengan serius, manuver pergelangan kaki saat menumpu selalu

mengambil posisi pronasi.

Dengan tingkat linieritas kehadiran dan nilai stabilisasi sebesar 0.936 dan 0.636,

sesungguhnya dapat dimengerti bahwa semakin sering mengikuti senam vitalisasi otak,

semakin tinggi peningkatan nilai stabilitas pergelangan kakinya. Hanya saja hal tersebut

belum dapat menjelaskan penurunan nilai stabilitas pergelangan kaki pada sampel yang

lain.

Berdasarkan pengamatan peneliti, selama dilakukannya senam vitalisasi otak,

sampel dengan penurunan nilai single leg stance adalah sampel yang selalu mengambil

maneuver pronasi pergelangan kaki pada penumpuan beban.

Pengaruh senam vitalitas otak terhadap stabilitas pergelangan kaki berhubungan

dengan penggunaan otak secara keseluruhan dimana gerakan lambat dan mudah untuk

dipahami sehingga memberikan pembelajaran sensomotorik kepada sistem vestibular,

visual dan proprioseptif. Posisi yang dilakukan selama pembelajaran semi otomatis

terhadap sistem stabilisasi akan direkam melalui primary motor cortex dan pre motor

cortex untuk selanjutnya diteruskan kepada pembelajaran di CPG sebagai suatu reedukasi

sistem sensomotorik stabilisasi pergelangan kaki.

Pada sampel yang berhasil mempelajari maneuver pergelangan kaki yang normal

dan mereposisi sistem neuromuskularnya selama pembelajaran senam vitalisasi otak,

maka reedukasi tersebut akan memperbaiki postural alignment, sistem proprioseptif dan

sistem kontraksi otot dan memberi suatu umpan maju yang baik dan normal, membentuk

suatu pola pergelangan kaki yang benar dan memperbaiki nilai stabilisasi pergelangan

kakinya.

Pada sampel yang mempertahankan pola maneuver alaminya, dimana terjadi

alterasi sistem proprioseptif dan pola kontraksi otot, alterasi tersebut akan dipertahankan

dan bahkan diperkuat melalui SVO, sehingga justru memberi pembelajaran sensomotorik

yang semakin kacau, sehingga semakin memperparah instabilitas fungsional pergelangan

kakinya, yang dicurigai menurunkan nilai single leg stance.

Faktor yang mempengaruhi peningkatan nilai stabilisasi pergelangan kaki adalah

tingkat kekerapan mengikuti senam, kesungguhan dalam melakukan gerakan, serta

terjadinya re-edukasi sensomotorik dalam pola dan alignment yang benar.

Faktor yang menghambat pada penelitian ini adalah apabila senam tidak

dilakukan secara rutin, dilakukannya aktifitas baru yang juga disinyalir mempengaruhi

nilai stabilitas pergelangan kaki dan gagalnya pembentukan pola gerak yang normal pada

pelaku senam. Pemilihan waktu penelitian juga berpengaruh, karena bila senam dilakukan

pada saat sampel sudah lelah, akan mempengaruhi tingkat atensi dan keseriusan dalam

melakukan senam. Ketelitian pengukuran dan sensibilitas pelaku terhadap perubahan

gerakan dalam senam juga dapat mempengaruhi hasil senam.

Untuk membuktikan hipotesa, maka dilakukan pengujian statistik dengan hasil

sebagai berikut:

Tabel 5

Uji Normalitas Data

IntervensiKolmogorov-Smirnov

KeteranganP Α

Pre Test 0.042 0.05 Tidak Normal

Post Test 0.000 0.05 Tidak Normal

Berdasarkan hasil uji wilcoxon dari data tersebut didapatkan nilai P = 0.12 dan

dengan nilai α yang telah didapatkan adalah 0.05, maka P > 0.05, hal ini berarti Ho

diterima. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

peningkatan nilai stabilitas pergelangan kaki yang signifikan dari pemberian senam

vitalisasi otak.

Kesimpulan

Dengan hasil data statistik yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat

disimpulkan bahwa senam vitalisasi otak tidak memberi manfaat yang signifikan terhadap

stabilitas pergelangan kaki perempuan dewasa muda.

Insignifikansi nilai ini dapat disebabkan oleh tidak optimalnya pembelajaran

umpan maju yang terjadi selama senam atau kurang optimalnya pelaksanaan senam baik

dari segi jumlah kehadiran maupun pemilihan waktu pelaksanaan.

Penelitian berikutnya mungkin perlu dilakukan dengan mengoreksi sistem

pembelajaran dimaksud untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.

Daftar Pustaka

Abrams, Brads, One Leg Standing Balance: Test Yourself, (Mobile Physical Therapy,

2010).

Cameron K. L., Time for paradigm shift in conseptualizing risk factors in sports injury

research, (Journal of Athletic Training, 2010).

Davis, Roger J., The Effects of a Four Week Single Leg Balance Training Program on

Balance Error Scoring System Scores of Trained and Untrained Leg, (Utah State

University, 2009).

De Vita, Paul; Tibor Hortobagyi, Age causes a redistribution of joint torques and powers

during gait, (Journal of Applied Physiology, 2000).

Decker, Michael J., et al, Gender differences in lower extremity kinematics, kinetics and

energy absorption during landing, (Clinical Biomechanics, 2003).

Eckstein F.; et al, Correlation and sex differences between ankle and knee cartilage

morphology determined by quantitative magnetic resonance imaging, (Annual

Rheumatic Diseases, 2004).

Ford, Kevin R.; et al, Gender Differences in the Kinematics of Unanticipated Cutting in

Young Athletes Applied Sciences, (Biodynamics Medicine & Science in Sports &

Exercise, Volume 37, 2005).

Gabriel R.C.; et al, Dynamic joint stiffness of the ankle during walking: gender-related

differences, (Physical Therapy Sport, 2008).

Gribble, Philips et al, The Effects of Fatigue and Chronic Ankle Instability on Dynamic

Postural Control, (Journal of Athletic Training, 2004).

Gwinn DE, et al, The relative incidence of anterior cruciate ligament injury in men and

women at the United States Naval Academy, (American Journal Sports Medicine,

2000).

Hall, Carrie M.; Lori Thein Brody, Therapeutic Exercise: Moving Toward Function, 2nd

Ed, (Lippincott William and Wilkins, 2000).

Hertel, Jay, Functional Anatomy, Pathomechanics, and Pathophysiology of Lateral Ankle

Instability, (National Athletic Trainers' Association, 2002).

Hosea TM, et al, The gender issue: epidemiology of ankle injuries in athletes who

participate in basketball, (Clinical Orthopaedic, 2000).

Huston, Laura J.; Edward M. Wojtys, Neuromuscular Performance Characteristics in

Elite Female Athletes, (The American Journal of Sports Medicine, volume 24,

1996).

Jaap van der Wal, The Architecture of the Connective Tissue in the Musculoskeletal

System—An Often Overlooked Functional Parameter as to Proprioception in the

Locomotor Apparatus, (International Journal Therapy Massage Bodywork,

Massage Therapy Foundation, 2009).

Konradsen, Lars dan Jesper Bohsen Ravn, Ankle instability caused by prolonged

peroneal reaction time, (Acta Orthopaedic Scandinavia, 1990).

Konradsen, Lars, Factors Contributing to Chronic Ankle Instability: Kinesthesia and

Joint Position Sense National Athletic Trainers' Association, (Inc. Journal Athletic

Training, 2002).

Kubo, Keitaro, et al: Gender differences in the viscoelastic properties of tendon

structures, (European Journal of Applied Physiology, 2002).

Lee, Alex J.Y.; Wei-Hsiu Lin, Twelve-week biomechanical ankle platform system

training on postural stability and ankle proprioception in subjects with unilateral

functional ankle instability, (Clinical Biomechanics, 2008).

Lentell G, et al, The contributions of proprioceptive deficits, muscle function, and

anatomic laxity to functional instability of the ankle. (Journal of Orthopaedic

Sports Physical Therapists, 1995).

Mao, De Wei; et al, Characteristics of Foot Movement in Tai Chi Exercise, (Physical

Therapy, 2006).

Mao, De Wei; et al, The duration and plantar pressure distribution during one leg stance

in Tai Chi Exercise, (Clinical Biomechanics, 2006).

Markam, Soemarmo, Latihan Vitalisasi Otak, (Jakarta: Grasindo, 2004)

McKeon, Patrick; et al, Balance Training Improves Function and Postural Control in

Those with Chronic Ankle Instability, (Medicine & Science in Sports & Exercise,

2008).

Min Chi Chiu, Mao Jiun Wang, The effect of gait speed and gender on perceived

exertion, muscle activity, joint motion of lower extremity, ground reaction force

and heart rate during normal walking, (Gait dan Posture, 2007).

Monaghan, Kenneth; et al, Ankle function during gait in patients with chronic ankle

instability compared to controls, (Clinical Biomechanics, 2005).

Niu W., et al, Biomechanical gender differences of the ankle joint during simulated half-

squat parachute landing. (Aviat Space Environment Medicine, 2010).

Olmsted, Lauren C. et al, Efficacy of the Star Excursion Balance Tests in Detecting

Reach Deficits in Subjects With Chronic Ankle Instability, (National Athletic

Trainers' Association, 2002).

Riemann, Bryan, Is There A Link Between Chronic Ankle Instability and Postural

Instability, (Journal of Athletic Training, 2002).

Ross, Brandi, Proprioceptive Exercises Balance Ankle Stability and Activity: The

Combination of Exercises May Reduce The Chance of Recurrent Ankle Sprains

and Injury, (Biomechanics, 2006).

Tropp H, Odenrick P., Postural control in single-limb stance. (Journal of Orthopaedic,

1988).

Vander, Arthur, et al, Human physiology: the mechanisms of body function, (New York:

Mc Graw Hill, 2001).

Vandervoort, Anthony A.; et al, Age and Sex Effects on Mobility of the Human Ankle,

(Oxford Journal, 1991)

Waterman, Brian et al, Analysis of the epidemiology of ankle sprain has revealed

modifiable and non-modifiable risk factors. Understanding these will allow

practitioners to help athletes minimize their risk of acute injury and chronic

sequelae. (Lower Extremity Review, 2011).

Weinhandl JT, Joshi M, O'Connor KM, Gender comparisons between unilateral and

bilateral landings, (Journal of Applied Biomechanics, 2010)

Wilkerson, Ricky; Melanie Mason, Differences in Men’s and Women’s Mean Ankle

Ligamentous Laxity, (The Iowa Orthopaedic Journal, 2000)

Zeller, Brian L.; et al, Differences in Kinematics and Electromyographic Activity Between

Men and Women during the Single-Legged Squat, 27th annual meeting of the

AOSSM, Keystone (Colorado: 2001)


Recommended