+ All Categories
Home > Documents > Majalah Film Plus edisi january 2015

Majalah Film Plus edisi january 2015

Date post: 07-Apr-2016
Category:
Upload: majalah-film-plus
View: 298 times
Download: 17 times
Share this document with a friend
Description:
 
Popular Tags:
68
CERITA DI BALIK PENYELENGGARAAN FFI 2014 EDISI JANUARI 2015 MIRING
Transcript
Page 1: Majalah Film Plus edisi january 2015

CERITADI BALIK PENYELENGGARAAN

FFI 2014

EDIS

I JA

NU

ARI

201

5

MIRING

Page 2: Majalah Film Plus edisi january 2015

Redaksi Redaksi Redaksi RedaksiPemimpin UmumAry Sanjaya

Pemimpin RedaksiHerman Wijaya

Wapemred/ Redaktur PelaksanaSyamsudin N. Moenadi

ReporterNana, Sofyan Lubis, SH, Bob Rafeldi

Dewan RedaksiAry SanjayaHerman Wijaya, Syamsudin N. MoenadiDidang Prajasasmita

Kontributor DaerahM. Syafrin Zaini (Bandung)Damaringtyas B. Kurninda (Yogyakarta) Bambang S. (Surabaya)

Design GrafisM. Ramdlan Nurrohman

FotograferRully Sayapkota

Pemimpin PerusahaanWijaya Saputra

Keuangan Sri Purwati

DistribusiTeuku Anwar Sadat

PenerbitPT AHA KOMUNIKA

Alamat Redaksi:Jl. Bangka 1 No.11 Pela MampangJakarta 12720

Telp. 021-717 907 36/37Fax. 021- 717 929 13email: [email protected]

www.filmplusindonesia.com

Kalimat “tidak korupsi” me mang berkali-kali disam paikan oleh Kemala Atmodjo, di

tengah bisik-bisik dari luar yang mengatakan bahwa Panpel dapat bagian cukup besar dari

penyelenggaraan FFI 2014 yang menelan ang-garan sebesar Rp. 12,2 milyar!

“Panitia sampai sekarang bersih, kita tidak ada yang korup! Honor saya total itu cuma 15 juta!

Bahwa masih ada klaim 13,5 juta, itu harus dibayar dong. Itu kan buat makan menteri

segala macam, masak gua yang bayar!” kata Kemala ketika ditemui Film Plus, empat hari

setelah acara FFI di Palembang.

Menurut Kemala, inilah, mung kin, dalam sejarah untuk pertama kalinya honor Ketua FFI

setara dengan UMR. Semua staf BPI sampai Christine Hakim yang menjadi ikon FFI pun cuma

terima honor Rp.3 juta per bulan. “Bayangkan itu true story, tidak ada yang kita sembunyikan.

Makanya teman-teman BPI tenang!” tandas Kemala. BPI (Badan Perfilman Indonesia), ada-

lah pelaksana FFI 2014 ini.

Januari 2015 | 2

Page 3: Majalah Film Plus edisi january 2015

ConratulationChiko:

“Conratulation atas Terbitnya

Majalah Film Plus, Semoga Benar-

benar dapat menjadi Bacaan

Bernas untuk Orang Cerdas”

Foto: Herman Wijaya

Page 4: Majalah Film Plus edisi january 2015

Teras

SEMOGA BERuMuR PANjANG

Edisi pertama Film Plus akhirnya lahir juga. Harus kami akui, jauh dari sempurna.. Tentu ke depan

semua itu harus diperbaiki. Namun yang menggembirakan Film Plus bisa ikut hadir di acara puncak FFI 2014 yang berlangsung di Palembang. Kami gembira karena bisa ikut menjadi saksi sebuah peristiwa perfilman yang, bukan saja penting, tetapi melahirkan sejarah baru. Inilah untuk pertama kalinya FFI dihadiri oleh Presiden RI, dan penilaian film-film peserta yang, konon, melibatkan 100 orang juri. Hasil liputan FFI 2014 Palembang masih kami turunkan di edisi kedua ini. Semoga ini dapat memberi informasi yang lebih lengkap kepada masyarakat tentang hajat FFI 2014.

Selama di Palem-bang, kami mencoba me nyodorkan maja lah sederhana ini kepada rekan-rekan wartawan, untuk mendapatkan

Teras Teras TerasTerasTeras

feed back berupa komentar atas penampilan maupun isi majalah. Apa pun komentar yang muncul kami terima dengan senang hati, termasuk yang mengatakan, “Ini media tahunan ya. Khusus terbit setiap ada FFI”.

Tentu saja kami berharap majalah ini bisa bertahan, meski untuk sementara tidak diperjual belikan atau memasang tulisan “Pengganti Ongkos Cetak!”. Sebab seperti kami sampaikan dalam tulisan pada edisi perdana, majalah ini adalah karya “Orang-orang Saraf” – ya kami ini.

Ke depan, kami ingin Film Plus menjadi media partner bagi perfilman Indonesia, bukan media partner khusus

bagi event-event perfilman semata. Kami

ingin menjadi

sahabat bagi dunia perfilman secara keseluruhan. Untuk itu Film Plus berusaha menampilkan tulisan-tulisan yang obyektif, faktual, dan dapat dipertanggung jawabkan. Kalau kami kritis, tentu tidak bermaksud menghakimi, melainkan ingin memberi obat agar partner kami -- dunia perfilman -- tumbuh sehat. Semoga kami diberi umur panjang. Amin.

Slamet Rahardjo dengan Maja-lah Film Plus • Foto: Herman

Januari 2015 | 4

Page 5: Majalah Film Plus edisi january 2015
Page 6: Majalah Film Plus edisi january 2015
Page 7: Majalah Film Plus edisi january 2015

Daftar Isi Daftar Isi Daftar Isi Daftar IsiYayu unru:jADI SENIMAN ITu PEKERjAAN DI jALAN TuhAN

Figur Isu Dunia Film

Isu Dunia Film

Opini

Film Lokal Film Impor

Dokumenter

Destinasi

Kabar Film

8 12

22

26

43 52

54

60

31

CERITADI BALIK PENYELENGGARAAN FFI 2014MIRING

PAWAIARTISBERhARAP BANYAK PADA

Setelah Sinetal Kini Sinemon 24

Ego Sektoral Penyelenggaraan Perfilman Oleh Akhlis Suryapati

FFI BuTuh ORANG-ORANG CAKAPOleh: Ary Sanjaya

29

Film-film yang Dilarangdi Indonesia

Battle of SuRABAYAFilm Animasi Indonesia“Kemasan Amerika”

Pesan Persatuan Dalam Film

GARuDALangkah Awal Penggunaan Teknologi Komputer dalam Film Indonesia

Komedi Ala Srimulat Dalam“Kacaunya Dunia Persilatan”

Merry Riana TaklukanPendekar Tongkat Emas

Rumah hantu Amityville, Muncul Lagi

Profil Bayu SantosoPemenang Lomba Disain Poster Maroon 5

PESAN BuAT BIDANDAN IBu hAMILManisnya jeruk KeprokInseminasi Buatan

Istana Ratu BokoLokasi Favorit Pembuat Iklan dan Video Klip

Januari 2015 | 7

Page 8: Majalah Film Plus edisi january 2015

FigurFigur FigurFigur Figur Figur Figur

Yayu unru:

jADI SENIMAN ITu PEKERjAAN DI jALAN TuhAN

Foto

: Her

man

Wija

ya

Januari 2015 | 8

Page 9: Majalah Film Plus edisi january 2015

Figur

jika ia lewat di jalan, tidak banyak yang mengenalnya. Tidak ada gadis-gadis yang menjerit histeris, ibu-ibu

atau bahkan kaum lelaki yang mengajaknya berfoto bersama, atau anak-anak yang meminta tanda tangan. Ya, Yayu Unru memang bukan seorang selebritis, walau pun sesungguhnya di adalah seorang aktor. Anugerah Piala Citra yang diraihnya pada FFI 2014 di Palembang, merupakan bukti keaktoran lelaki kelahiran Sengkang, Wajo, 4 Juni 1967 ini. Yayu mendapat Piala Citra itu sebagai Pemeran Pembantu Pria melalui permainannya dalam film Tabula Rasa.

Yayu memang bukan tipe seorang bintang yang gemerlap. Dia jauh dari publisitas, karena sebalum ia lebih banyak di belakang layar sebagai pelatih (coach) akting, bagi para pemain yang bermain dalam suatu film. Di bekerja sebagai asisten aktor kenamaan Didi Petet, yang merupakan seniornya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Walau pun lebih banyak berkecimpung di teater. Dunia film tidak asing bagi ayah tiga orang anak ini. Sejak tahun 1985 ia sudah diajak main dalam film Kepak Saya Merpati, lalu Tari Kejang (Nawi Ismail) dan lalu Jakarta 66 (Arifin C Noer). “Waktu itu orientasi orang memang main film. Tetapi saya tidak tertarik. Saya ingin main teater saja,” kata Yayu.

Suatu hari Didi Petet yang main dalam film Jermal mengajaknya main, karena ceritanya menarik.

“Saya mau main, tapi yang bikin saya stress, syutingnya di laut, dan saya tidak bisa berenang,” katanya sambil tertawa.

Sebagai lelaki berdarah Bugis, kedengarannya aneh jika tidak bisa berenang. Hal itu terjadi karena sejak kecil Yayu dilarang orangtuanya berenang di kali, karena banyak teman-temannya yang mati di kali. Sampai sekarang ia tidak bisa berenang.

Mengaku sejak kecil sangat nakal, Yayu tidak pernah terpikir untuk memiliki cita-cita dalam hidupnya. Tamat SMA, ketika teman-temannya mengajak akan mendaftar ingin jadi tentara, jadi dokter atau insyinur – sebagaimana umumnya cita-cita anak-anak Indonesia kebanyakan – Yayu tidak terpikir untuk me-lanjutkan kuliah. “Saya begini-gini ajalah,” katanya kepada teman-temannya waktu itu.

Seorang temannya perem-puan lalu menganjurkan agar Yayu masuk IKJ – kebetulan ayah perempuan itu tata usaha di IKJ. “Saya tanya IKJ itu apa? Setelah dikasih tahu itu sekolah kesenian,

saya tertarik, karena sejak kecil saya suka menggambar,” kata Yayu.

Ia lalu pergi ke IKJ untuk men-daftar ke Jurusan Seni Rupa. Ketika lewat di depan Teater Luwes, dia melihat mahasiswa Jurusan Teater seperti Mathias Mucus, Eeng Saptahadi, Deddy Mizwar dan lain-lain sedang berlatih. Ia tertarik melihat mereka, lalu memutuskan masuk Jurusan Teater.

Yayu menyelesaikan kuliah D3nya sampai sepuluh tahun. Walau ada ketentuan Drop Out (DO) bagi mahasiswa yang tidak naik tingkat, Yayu tidak pernah menalaminya. “Mungkin karena saya sering ke luar negeri ikut berkesenian bersama Mas Sar-dono dan yang lain-lain,” ujar Yayu.

Tamat kuliah ia langsung me-ngajar di almamaternya. Karena asistennya S1, dia diminta untuk kuliah S1 oleh almarhum Sena Utoyo. “Setelah saya S1, asisten saya S2. Makanya sekarang saya kuliah S2 di IKJ. Lalu saya bilang sama asisten saya, kamu jangan ambil S3. Saya udah capek ngikutin kamu,” ujar sambil terbahak.

Menjadi seniman merupakan pilihan yang dilakukan penuh kesadaran. Yayu yakin orang bisa hidup dengan menjadi seniman, seperti yang dialaminya. “Menjadi seniman itu sama dengan bekerja di jalan Tuhan. Karena seniman itu menghibur orang, dan tidak semua orang dikaruniai bakat untuk menjadi seniman. Tetapi bukan seniman yang pemabuk ya,” katanya. “jadi seniman itu sama mulianya dengan Pastor,

“jadi seniman itu sama mulianya dengan Pastor,

Kyai, Pendeta atau apalah orang yang

menyebarkan agama,””

Januari 2015 | 9

Page 10: Majalah Film Plus edisi january 2015

FigurFigur FigurFigur Figur Figur Figur

Kyai, Pendeta atau apalah orang yang menyebarkan agama,” tambah Yayu.

Yayu juga pernah mengalami pahitnya sebagai seniman, terutama ketika di awal ia menikah. “Waktu itu di rumah tidak apa-apa sama sekali. Saya tidak tahu mencari uang ke mana. Waktu saya buka pintu, di depan pintu ada amplop. Saya pikir ini anak-anak IKJ yang mau bikin kegiatan, minta sumbangan sama seniornya. Ketika saya buka ternyata berisi uang jutaan. Dari tulisan yang terdapat di amplopnya saya baca, itu uang honor saya ketika membantu kegiatan LSM anak-anak tiga tahun lalu. Tuhan itu luar

biasa dalam membantu umatnya,” tambah Yayu.

Sejak itu Yayu makin yakin bahwa apa pun kebaikan yang diperbuat, pasti akan ada ganjarannya. Dia tidak pernah menolak kalau ada yang ingin belajar akting, walau pun tidak dibayar. Ia bangga orang menjadi seniman. Bahkan ketika anaknya Patih Unru (kini seorang aktor) berusia 4 tahun mengatakan ingin menjadi aktor, dia merasa bangga dan terharu. Patih adalah anak ketiga buah perkawinannya dengan perempuan bernama Mitha. Dua anaknya yang lain perempuan, yakni Widya dan Nasha.

Sebagai seniman ia merasa hidupnya cukup, walau tidak berlebihan. “Saya yakin dengan jalan ini, karena Tuhan yang akan membayar saya,” katanya.

Dengan Piala Citra yang di-raihnya karier Yayu se makin cerah, dan akan berdampak deras nya tawaran main, dan pe ningkatan bandrol Yayu yang lebih tinggi. Akan tetapi ia tetap akan selektif memilih peran. Ia hanya ingin kreatif dan produktif agar bisa bertahan hidup dengan layak. “Prinsip saya, kalau kita tidak bisa melakukan apa-apa, bayi yang lahir hari ini suatu saat akan membunuh kita, makanya saya harus bisa mengerjakan apa saya,” ujar Yayu. (hw)

Yayu Unru:

“Prinsip saya, kalau kita tidak bisa melakukan apa-apa, bayi yang lahir hari ini suatu saat akan membunuh kita, makanya saya harus bisa mengerjakan apa saya”

Foto

: Her

man

Wija

ya

Januari 2015 | 10

Page 11: Majalah Film Plus edisi january 2015

Natural Dead Sea Mud-face & Body Mask

Masker Lumpur Laut Mati Yordania

Sangat Efektif untuk:

Masker RLMengobati biang keringat dan kulit kusam

Mengurangi kantung matadan mengecilkan pori-pori

Mengobati gatal-gatal ataualergi, dan aman untuk anak-anak

Laut Mati yang terletak di Yordania-Israel, terkenal sebagai tujuan wisata yang diminati dunia.

Kandungan kadar garam Laut Mati diketahui 9 kali lipat dibandinglaut lain, sehingga Laut Mati terkenal pula sebagai tempat terapi berbagai masalah kulit, tulang dan darah.

RL Natural Dead Sea Mask adalah produk kesehatan dan kecantikan alami yang bersumber murni dari Lumpur Laut Mati.

- Membasmi Jerawat

- Menghilangkan Flek

- Mengencangkan Kulit

- Menghaluskan Kulit

- Mengangkat Sel Kulit Mati

- Melancarkan Peredaran Darah

- Mengobati Memar dan Luka Terbakar

- Menghilangkan pegal-pegal

- Mengobati gatal-gatal atau alergi

Untuk informasi & pemesanan hubungi: RATNA LISTY - 0811832561

Ratna Listy

Page 12: Majalah Film Plus edisi january 2015

Isu Dunia Film

CERITADI BALIK PENYELENGGARAAN

FFI 2014

MIRING

Suasana di Sekretariat Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang juga merangkap sebagai sekretariat FFI 2014 di Gedung Film Jl. MT Haryono 47 – 48 Jakarta, 22 Desember 2014 lalu mendadak ramai. Hari itu sebagian besar anggota panitia datang untuk menghadiri acara pembubaran Panitia Pelaksana (Panpel) FFI 2014. Seonggok tumpeng diletakkan di atas meja, lalu dipotong oleh Ketua FFI 2014 Kemala Atmodjo, dan dibagikan kepada seluruh anggota panitia. “Kita bersyukur FFI 2014 sudah terlaksana, dan kita merasa lega karena tidak korupsi!” kata Kemala, seperti ditirukan oleh salah seorang anggota panitia kepada Film Plus, yang hari itu juga datang ke Gedung Film.

Januari 2015 | 12

Page 13: Majalah Film Plus edisi january 2015

Kalimat “tidak korupsi” me-mang berkali-kali disam-paikan oleh Kemala Atmodjo, di tengah bisik-bisik dari luar

yang mengatakan bahwa Panpel dapat bagian cukup besar dari penyelenggaraan FFI 2014 yang menelan ang garan sebesar Rp. 12,2 milyar!

“Panitia sampai sekarang bersih, kita tidak ada yang korup! Honor saya total itu cuma 15 juta! Bahwa masih ada klaim 13,5

juta, itu harus dibayar dong. Itu kan buat makan menteri segala macam, masak gua yang bayar!” kata Kemala ketika ditemui Film Plus, empat hari setelah acara FFI di Palembang.

Menurut Kemala, inilah, mung kin, dalam sejarah untuk pertama kalinya honor Ketua FFI setara dengan UMR. Semua staf BPI sampai Christine Hakim yang menjadi ikon FFI pun cuma terima honor Rp.3 juta per bulan.

“Bayangkan itu true story, tidak ada yang kita sembunyikan. Makanya teman-teman BPI tenang!” tandas Kemala. BPI (Badan Perfilman Indonesia), ada lah pelaksana FFI 2014 ini.

Bisik-bisik tentang adanya pat gulipat permainan anggaran dalam FFI 2014 di Palembang memang berhembus meski ti-dak terlalu kencang. Cuma ada beberapa pihak yang merasakan hembusannya. Mulai dari Panpel,

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 13

Page 14: Majalah Film Plus edisi january 2015

perusahaan pemenang tender pelaksanaan FFI (EO) dan pihak pemerintah yang bernaung di bawah Kementerian Pariwisata.

Honor 100 orang juri yang baru dibayar separuh, dan sisanya baru dilunasi lebih dari sepuluh hari setelah FFI usai, dituding sebagai pengaruh pat gulipat itu. “Ini pasti permainan Ukus, Armen dan EO. Kita amprokin aja mereka!” Begitu bunyi pesan yang beredar di grup BB kelompok tertentu. Yang dimaksud Ukus adalah Ukus Kuswara (Sekjen Kemenparekraf), dan Armen ada-lah Armen Firmansyah, (Direk tur Pengembangan Industri Per filman Kemenparekraf-Red.).

Selain kata “amprokin”, ada pula pesan yang bernada kasar yang bisa dikonotasikan sebagai ancaman. “Saya baca copasnya,” kata Armen Firmansyah ketika ditemui di kantornya. “Lho ka-lau mau diamprokin jangan saya atau Pak Ukus. Kita sama sekali tidak tahu menahu soal anggaran.

Itu urusan EO sebagai pemenang tender,” tambah Armen.

Sebagai Direktur, menurut Armen, dirinya sama sekali tidak tahu menahu masalah penggunaan anggaran untuk FFI. Pihak nya hanya mengusulkan ang garan yang semula Rp 17M, kemudian menjadi 12,9 milyar karena ada pemotongan anggaran oleh pemerintah. Anggaran itu

lalu dilelang melalui LPSE (Lelang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara Elektronik) yang diketuai oleh John Tungkir. Dari 54 peserta lelang, PT Barokah Lima Zahra yang menyodorkan HPS 12,2 milyar menjadi pemenang. Pemenang kemudian menandatangani kontrak dengan Panitia Pembuat Komitmen (PPK), dan setelah itu berurusan langsung dengan Panpel.

“Kita tidak sama sekali ikut campur. Apalagi cawe-cawe karena itu diumumkan di website,” kata Armen, meski pun sebagai pejabat pemerintah, dirinya harus ikut bertanggungjawab terhadap penggunaan anggaran itu.

Pelaksanaan FFI 2014 yang sebagian acaranya berlangsung di Palembang, memang mendapat sorotan dari berbagai pihak. FFI kali ini bukan hanya padat modal, tetapi juga padat tenaga kerja. Inilah untuk pertamakalinya FFI menggunakan total 100 orang juri, yang membuat pihak EO

Isu Dunia Film

“Inilah untuk pertamakalinya FFI menggunakan

total 100 orang juri, yang mem-buat pihak eo pusing tujuh

keliling”

Foto: Ary Sanjaya

Januari 2015 | 14

Page 15: Majalah Film Plus edisi january 2015

pusing tujuh keliling memikirkan honor mereka.

Meski pun menurut Kemala Atmodjo dalam wawancara dengan Film Plus sebelumnya, ada juri yang tidak memikirkan honor, tetapi pada kenyataannya, tiap juri ngotot minta bayaran Rp.15 juta. Artinya untuk komponen juri saja EO harus mengeluarkan uang Rp.1,5 milyar! “Itu baru honor, belum lagi uang makan dan transpor setiap kali melakukan penjurian di bioskop, mereka minta dua ratus lima puluh ribu perak sekali datang.” kata salah seorang staf dari pihak EO.

Uang transpor juri itu tadi-nya diminta langsung oleh panitia setiap kali penjurian berlangsung, dikalikan dengan jumlah juri. “Tapi kita bilang kita aja yang bayarin

langsung, karena tidak semua juri datang. Atau kalau pun datang ada yang menjelang penilai berakhir,” tambahnya.

Soal ketidaklengkapan ang-gota juri dalam penilaian juga diungkapkan oleh produser Chand Parwez Servia. Celakanya, ki ner-ja juri yang seperti itu sangat merugikan dirinya yang telah mengirimkan 8 judul film untuk mengikuti FFI 2014. Tidak satu pun filmnya yang masuk nominasi.

“Saya enggak berpikir film saya menang, tapi saya tahu ada kreatif saya yang bekerja luar biasa. Misalnya Slank (film Slank Tidak Ada Matinya) itu konsep soundnya luar biasa. Kalau eng gak masuk nominasi aneh. Mungkin karena masuknya belakangan dan tim jurinya juga mungkin tidak

lengkap. Yang jadi juri banyak teman saya, saya tanya mereka sempat nonton enggak, mereka tidak nonton,” kata Parwez.

Kinerja dan jumlah juri hanyalah satu persoalan yang jadi sorotan dalam FFI 2014 ini. Pelaksanaan pemberian Piala Vidia, Acara Puncak, pawai artis dan insan film yang diundang pun tak luput dari kritik berbagai pihak. Malam Piala Vidia yang berlangsung di di Grand Ballroom Aryaduta Hotel, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (5/12/2014) dinilai kurang sukses karena minimnya bintang-bintang televisi yang hadir, sehingga pemenang dari kategori artis Piala Vidia lebih banyak diwakili. “Bintang FTV kan sama artis (untuk) Citra kan beda. Ka lau di Jakarta lebih efektif. Stasiun televisi banyak di Jakarta, lebih banyak ngundang (artisnya). Tapi mungkin Panpel punya prinsip beda, kita enggak tahulah,” kata Armen Firmansyah.

Dalam RAB (Rancangan Anggaran Belanja) pemberian Piala Citra tertulis di Jakarta. Tetapi karena Pemda Sumsel meminta diadakan di Palembang, maka acara itu dipindah. Konsek-wensinya, Pemda Sumsel mem-berikan tiket pesawat dan ako-modasi untuk 100 orang dari Jakarta

Kemala Atmodjo membantah acara pemberian Piala Vidia sepi artis. “Itu pembaca nominasinya kan papan atas semua. Ada Maudy Koesnaedi, ada Dian Sastro, Tara Basro, dan banyak lagi. Setelah naik ke panggung kan mereka duduk semua, jadi meja kelihatan terisi,” katanya.

Menurut Kemala, sepinya pengunjung di awal acara disebabkan pihak keamanan terlalu ketat, karena mau ada

Malam Piala Vidia dinilai kurang sukses karena minimnya bintang-bintang televisi yang hadir

Foto

: HU

MA

S FF

I 201

4

Januari 2015 | 15

Page 16: Majalah Film Plus edisi january 2015

presiden. “Saya aja dicegat sama paspampres, ditanya ID-nya. Ter-nyata banyak yang tidak boleh masuk, meski di akhir-akhir saya instruksikan boleh masuk,” tambah Kemala.

Kritik terhadap pelaksanaan malam puncak di Sriwijaya Sport Center sehari kemudian, juga tak kalah tajam. Acara malam itu dinilai tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk pelaksanaan malam Piala Vidia dan Pemberian Piala Citra itu kabarnya memakan biaya Rp.4,4 milyar. Biaya itu tidak

termasuk sewa gedung. Tetapi acara yang ditampilkan terasa “garing”. Panggung Piala Citra terkesan sederhana dan kurang cahaya. Orkestra yang diletakkan di panggung bagian atas juga tidak kelihatan. Kedua acara itu “diborong” langsung oleh Ketua Bidang Acara Dewi Gontha.

“Dalam RAB cuma diang-garkan 3,6 milyar, tapi Dewi Gontha ngotot minta 4,4 milyar! Kalau tidak disetujui dia meng-ancam akan membatalkan acara pemberian Piala Citra. Akhirnya permintaannya disetujui. Biaya yang diminta dibayar cash,” kata sumber.

Untuk menangani acara itu Dewi Gontha membuat kon-trak sendiri dengan pihak EO. “Harusnya yang melaksanakan EO. Kenyataannya ada kontrak antara EO dan seksi acara, mengajukanlah angka untuk malam vidia dan malam puncak sekitar sekian-sekian. Sebenarnya tidak boleh itu EO mendelegasikan kepada EO juga. Mereka mengatakan bukan

EO, tapi seksi acara. Yang saya tahu seksi acara tidak banyak orangnya. Seksi acara itu hanya mengelola acara saja, tidak mengelola uang. Tapi sekarang mengelola uang,” papar Armen Firmansyah.

Pihak EO semula tidak me-nyanggupi permintaan Dewi Gontha. Karena perundingan bu ntu, kata sumber, akhirnya Kemala Atmodjo menjanjikan akan mencarikan dana tambahan yang Rp. 800 juta. Namun sam pai waktunya Kemala tidak mam pu menyediakan uang yang dijanjikan, sehingga pihak EO akhirnya menambah kekurangannya. “Kalau saya yang nanganin, dengan 3,6 milyar bisa lebih bagus dari itu,” kata sumber.

Versi Kemala Atmodjo, acara di Palembang itu sudah dibicarakan degan pihak EO dari awal. Dewi Gontha menyodori angka 4,4 milyar kepada EO. Kalau Eo keberatan, ada yang mau dicoret, silahkan coret. “Tapi sampai waktunya dia tidak coret. Dia tetap ngotot dengan angka 3,6 milyar. Panitia lalu

Isu Dunia Film

Kemala Atmodjo:

“Me nurut saya kita merasa bisa mem buat festival yang obyektif. Kita bisa menjadikan FFI milik bersama semua orang”

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 16

Page 17: Majalah Film Plus edisi january 2015

mau nalangin. Tapi kata Pak Arief (Menteri Pariwisata), oh jangan begitu, lebih baik (anggarannya) diadendum saja. Sekarang sudah diadendum. Anggarannya tambah sepuluh persen!” ungkap Kemala.

Mengenai tingginya biaya acara malam puncak, menurut Kemala, karena urusannya un-tuk mengangkut barang yang harus melalui jalan darat dan honor pengisi acara. “Itu kan ada orkestra, ada Kristopher Abimanyu, Ari Lasso dan banyak lagi. Kalau orang bilang jelek, itu soal intepretasi. Kamu bisa saja bilang, oh saya bisa melaksanakan dengan biaya 500 juta, atau 1 milyar. Tapi artisnya kan paling “sakitnya tuh di sini, sakitnya tuh di sini”, atau “iwak peyek, iwak peyek”,” tandas Kemala sembari berdiri dari kursi, menirukan gaya artis menyanyi.

Terkait dengan masalah ter-sebut, baik Dewi Gontha atau PT Barokah sebagai pemenang tender, tidak bisa dihubungi. Dewi Gontha tidak membalas sms permintaan wawancara.

Ketua Sinematek Indonesia yang menjadi Ketua FFI tahun 2004 – 2006 Adisurya Abdy menilai, pelaksanaan FFI 2014 ini terkesan grabag-grubug dan tidak well organized. Minimnya kehadiran insan film “generasi terdahulu” menjadi sorotan. Pro-duser anggota PPFI yang terlihat di Palembang cuma Ram Punjabi, Hendrik Gozali dan Ody Mulya Harahap. Anggota PPFI lainnya yang Kehadiran Ody pun karena ia terpilih sebagai Juri Akhir.

“Harusnya FFI itu disiapkan untuk menjadi pesta insan film, dan mereka harus menyiapkan jauh-jauh hari. Siapa-siapa yang diundang, bagaimana meng-undangnya, berangkatnya naik apa, di mana menginapnya, itu

sudah beres. FFI 2014 ini gerabak-gerubuk. Saya dapat undangan tapi tidak tahu harus berangkat naik apa. Naik getek atau naik apa,” kata Adi, geram. “Sekarang apa kita tahu orang film itu punya duit. Dan mereka datang pun harus dimuliakan. Kalau tidak untuk apa? Saya melihat FFI ini cuma ajang kepentingan kelompok dan proyek!”

Hal senada disampaikan oleh Chand Parwez. “Saya cuma dikasih undangan. Saya tidak tahu mau ke mana, tempat teman tinggalnya di mana. Tidak ada informasi. FFI saya hormati sebagai sejarah perfilman– tapi jangan dijadikan mainan orang tertentu. Mudah-mudahan ke depan lebih baik lagi,” katanya.

Pengaturan undangan dalam FFI 2014 ini memang kacau balau. Nominator yang menjadi calon peraih Piala Citra saja baru mendapat kepastian berangkat ke Palembang, pada tengah malam sehari sebelum acara Puncak. “Saya dapat kabar jam sebelas malam. Jam 3 (dinihari) saya cari taksi sendirian untuk berangkat ke bandara,” kata aktris Dewi Irawan, yang kemudian terpilih sebagai Pemeran Utama Terbaik FFI 2014.

Perihal kekacauan dalam urusan tiket pesawat itu diakui oleh Kemala Atmodjo. Kemala

menuding kesalahan ada pihak EO yang tidak memastikan pesanan tiket di biro perjalanan. Sejak jauh hari panitia memberikan daftar nama yang akan berangkat ke Palembang ke pihak EO, untuk dibookingkan tiket. Tetapi menurut pihak biro perjalanan, EO tidak memberikan uangnya, sehingga biro perjalanan tidak berani memastikan. “Kita kan akan buka-bukaan kapan aja. Aku enggak cerita inside storynya. Bahwa dia (EO) tidak punya uang, saya punya banyak buktinya!” tandas Kemala.

Kemala juga membantah FFI 2014 ini hanya sebagai ajang kelompok tertentu. “Aku termasuk orang independen tidak blok-blokan. Asal tahu aja selama FFI sekalipun aku tidak pernah telepon Mira Lesmana. Tapi coba tanya, berapa kali saya telepon ke Parwez ke Sunil, ke Gope (Samtani) berapa kali. Kita enggak merasa berjarak, kita mau menjalankan apa yang benar. Bahwa itu membuat orang enggak enak ya begitulah,” kata Kemala.

Mengenai apresiasi khusus kepada Mira Lesmana dan Riri Riza yang memutuskan ikut FFI 2014 ini sehingga mengesankan hanya Mira dan Riza orang pen-ting dalam perfilman, Kemala menganalogikan keduanya seperti orang Islam yang kembali. “Saya ini orang Islam. Kalau ada orang Islam balik, harus kita sambut. Bukan berarti orang-orang Islam yang lain tidak baik,” katanya.

Lepas dari berbagai ke lemah-an yang terjadi di Palembang, Kemala merasa FFI 2014 sudah berlangsung dengan baik. “Me-nurut saya kita merasa bisa mem-buat festival yang obyektif. Kita bisa menjadikan FFI milik bersama semua orang, dengan men da tang-kan pak jokowi mendukung usaha perfilman. Teman-teman film rata-rata menyambut baik.” (hawe)

Chand Parwez:

“FFI saya hormati sebagai sejarah perfilman, tapi

jangan dijadikan mainan orang

tertentu”

Januari 2015 | 17

Page 18: Majalah Film Plus edisi january 2015

Isu Dunia Film

hubungan saya dengan EO? Sebenarnya saya tidak tahu menahu ini. Kita punya program namanya

FFI. Berdasarkan program kerja itu kami menyurati BPI untuk melaksanakan FFI 2014. Dari BPI mengirim surat balik, mengusulkan nama ketua siapa, bidang ini siapa, bidang itu siapa. Dibentuklah SK Panpel. Dari situ dana ini yang kita sudah gelontorkan Rp. 17 milyar. Karena ada penghematan, anggaran ciut jadi Rp.3 milyar.

Kita utarakan kita cuma punya dana 3 milyar gimana? Mereka bi-lang sudah lakasakan saja. Lalu kami berjuang tanpa BPI ikut. Kita yang berjuang lho. Jadilah total 14 m.

Ada namanya HPS yang dibuat oleh LPSE. Tim lelang bukan di kewenangan kami. Itu diketuai langsung di sana kita tidak bisa intervensi. Terjadilah lelang yang ikut 54 perusahaan. Kita kasih pagu 13,9 milyar. Lalu diumumkan bisa dilihat di internet.

Kita tidak sama sekali ikut campur. Apalagi direktur, tidak bisa cawe-cawe. Apalagi pak Sekjen, Dirjen. Karena itu independen,

acara. Sebenarnya tidak boleh itu EO mendelegasikan kepada EO juga. Tapi dia mengatakan bukan EO tapi seksi acara. Pengisi acara seharusnya tidak mengelola uang.

Makanya kasihan juga EO nih. Menurut cerita beliau kalau dia sudah ke luar uang 9 – 10 milyar. Besar dong. Yang bilang abal-abal itu yang salah.

Kami serba susah. Saya se-benarnya tidak mau jalan (ke Palembang). Tapi kan kita harus bertanggungjawab. Akhirnya kita malu juga kan di sana, bantu enggak, cuma nonton. Tapi saya kan bertanggungjawab sama keuangan. Kalau acara tidak berhasil bagaimana? Bapak kan tahu orang film. Kira-kira mau enggak orang film diatur-atur. Nanti malah ngadu dia. Ngadu ke media sosial kan namanya ngadu sama rakyat.

Buat kita anggap saja FFI 2014 berhasil. Yang penting penjurian sudah terlaksana, malam vidia dan malam puncak sudah terlaksana. Itu aja sudah. kalau bagus atau tidaknya saya serahkan kepada masyarakat. (hawe)

diumumkan di website. Ada ketuanya namanya John Tungkir. Dia punya tim. Berdasarkan angka yang kita ajukan, dia yang ngelola, kita tidak tahu mekanismenya bagaimana.

Sudah ditentukan pemenang, kita sampaikan agar berkoordinasi dengan panpel. PPK (Pejabat Pem-buat Komitmen) ada tapi tidak ada ikut campur. PPK kontrak sesuai dengan hasil lelang, tidak bisa melenceng. Setelah kontrak EO (pemenang lelang) melaksanakan. Pemerintah sama sekali tidak ikut campur keuangan, apalagi memotong. Apalagi di sebut-sebut Ukus, Armen, Sigit, kita amprokin aja mereka. Lho amprokin jangan saya, EO-nya dong, kenapa tidak dibayar? Lu punya uang enggak?

Kalau menurut aturan yang baik, Panpel itu seharusnya men-jadi konsultan teknis. Super-visi lah. Supaya terselenggara acara ini. Mau beli printer, mau beli artis, dia kasih aja speknya. Harusnya yang melaksanakannya EO. Kenyataannya ada kontrak antara EO dan seksi acara. Karena acaranya sudah mendesak ada kontrak antara EO dengan pengisi

Armen Firmansyah: Direktur Pengembangan Industri Perfilman,

“Orang Film Mana Mau

Diatur?”Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 18

Page 19: Majalah Film Plus edisi january 2015

Kemala Atmodjo:

“Saya Punya Bukti, EO Tidak

Punya Duit!”

Yang penting dipahami da-lam FFI ini melibatkan 3 insitutsi: Kementerian se-bagai Penyelenggara, BPI

Pelaksana, dan EO pemenang tender. BPI tidak ada urusan dengan duit. Kita hanya minta uang mengajukan pembayaran. Dia yang bayar. Baik kepada BPI maupun kepada vendor.

Tapi panitia sampai sekarang bersih. Kita tidak ada yang korup. Honor saya 15 juta, bahwa masih ada klaim 13,5 juta itu harus dibayar. Itu untuk kebutuhan pa-nitia di Palembang. Semua staf BPI sampai Christine hakim itu dapat

enggak semua berangkat. Karena kita cuma dikasih jatah 400. Siapa yang pake 400 itu cek aja.

FFI 2014 ada yang namanya Pedoman FFI. Ditandatangani Ahman Syah (Dirjen EKSB Kemen-parekraf). Di sini sudah tertera mekanismenya, nilainya. Jauh se-belumnya RAB itu berkali-kali dibahas dan disetujui. Hasilnya. Ternyata RAB yang ditenderkan itu beda dengan RAB yang kita buat. Kita sudah complain dari awal mengapa RAB ini yang keluar bukan yang kita rancang. Apa maksudnya ini? Orang kementerian bilang nanti mau

harus bayar juga EO tidak mau bayar, karena tidak ada ang-garannya. Memang tidak ada anggarannya jadi kita sudah berusaha. Kita sudah ngomong sama SCTV, AN Teve, Metro TV tapi semuanya minta bayar.

Kompas TV itu detik terakhir. Satu sampai dua hari menjelang keputusan, saya masih rapat di TVRI. TVRI masih minta duit. Saya lalu cari partner yang free. Ketemulah Kompas TV dan Berita Satu. Mereka kasih free. Kalau dia (pemerintah) nuntut harus siaran di televisi. Mana duitnya? Wong di RAB mu enggak ada.

15 juta. Bayangkan itu true story. Tidak ada yang kita sembunyikan.

Hubungan kita dengan EO baik-baik saja. Soal kekacauan dalam soal tiket dan lain se-bagainya itu akan kita evaluasi. Apa dia tidak punya duit atau dia teledor, bisa saja itu terjadi. Tapi jangan dikira itu asal muasalnya dari panitia. Panitia sudah jauh-jauh hari menyodorkan nama. Kalau mau jujur EOnya kurang care, kurang orang yang profesional. Mungkin kurang modal.

Yang penting FFI sudah ter-laksana, ada kebersamaan di antara insan film. Orang film lama diundang. Bahwa kita enggak menyediakan fasilitas itu karena kita tidak punya uang. Panitia aja

diadendum, tapi enggak terjadi. Dalam pelaksanaan kita su-

dah ada agreemen. Bersama-sama, seluruh tim EO dengan se luruh panitia. Kamu menang 12 milyar, dipotong pajak sekian persen, dipotong keuntungan sepuluh persen, dipotong bunga bank sekian persen, sisanya 9,5 milyar untuk biaya pelaksanaan FFI. Kita enggak mau 9,5 kita minta 8 milyar aja, kita salaman.

Bahwa ada item yang me-lampaui RAB iya. Tapi ada juga yang kruang dari RAB. Saya kasih contoh kecil cetak buku; itu EO tidak bayar. Kok diam aja. Begitu honor juri lewat dia teriak-teriak.

Televisi itu juga free. Kalau

Acara di Palembang itu dari awal itu sudah disodori ke EO untuk direvisi. Itu ada ceritanya. Dewi Gonta menyodori katakanlah 4,6 dia kasih ke EO ini kalau ada yang mau dicoret silahkan coret. Tapi enggak dicoret-coret.

Pada saat yang krusial EO ber tahan dengan angka 3,6 milyar sesuai RAB. Dewi Gonta juga ber-tahan di angka 4,6 karena itu kan urusannyakan ngangkut barang. Kaitannya dengan honor. Tadinya panitia yang mau talangin, karena EO tetap dengan angka itu. Tapi ter akhir kata Pak Arief (Manteri Pariwisata) jangan begitu dong, diadendum aja, pemerintah yang tanggung. Sekarang sudah diadendum naik 10 persen. (hawe)

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 19

Page 20: Majalah Film Plus edisi january 2015

Isu Dunia FilmAdisurya Abdy:

“FFI jADI AjANG KELOMPOK!”F

FI merupakan tolok ukur orang perorang di dunia film, tolok ukur industry film pada tahun itu, dan menja-

di ajang dilaturahmi yang tidak ada dikotomi. Kalau ajang silat-urahmi tidak ada dikotomi antara orang kemarin dan orang lama. Kalau pun ada, hanya persaingan prestasi. Di Hollywood tidak ada

persaingan usia tua dan muda. Kelihatan FFI itu jadi ajang kelom-pok per kelompok, bukan ajang untuk orang film secara keseluru-han.

Sekarang FFI dilaksanakan di daerah dengan anggaran yang be-sar. Harusnya FFI disiapkan untuk menjadi pesta insan film. Mereka (Panitia Pelaksana) harus meny-iapkan jauh-jauh hari. Siapa-siapa yang diundang, bagaimana men-gundangnya, dengan apa berang-katnya, naik apa, di mana mengi-napnya.

FFI 2014 ini gerabak-gerubuk. Saya dapat undangan tapi tidak tahu harus berangkat naik apa,, naik getek atau naik apa. Kalau di Jakarta orang bisa naik taksi, naik busway, naik mikorlet. Sekarang apa kita tahu orang film itu pu-

nya duit. Dan mereka da-

tang pun harus dimuliakan. Kalau tidak untuk apa?

Saya melihat FFI ini cuma ajang kepentingan kelompok dan proyek. Sekarang secara jujur FFI itu mempengaruhi perfilman apa tidak. Dua tiga hari aja pember-itaan tentang FFI sudah selesai.

Jurinya mau 10 orang, 50 orang terserah. Tapi yang naman-ya Penyelenggara harus mem-buat arah, membuat pedoman, tahun di mana FFI dilaksanakan. Di dalam pedoman itulah tertulisa apa yang harus dilakukan.

Kalau FFI hanya di kepala masing-masing bagaimana ment-erjemahkannya.

Apa sih susahnya menye-lenggarakan fesrival. Ada duitnya kok. Yang palign sulit dalam hidup ini nyari duitnya. Kalau ada duitn-ya apa pun bisa kita bikin. Ini gila belasan milyar kok begini. (man)

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 20

Page 21: Majalah Film Plus edisi january 2015

FFI itu kan dananya besar. Harusnya dengan 12 m itu bisa ngundang benar-benar insan film. Itu sangat memungkinkan. Katanya yang berangkat 400 orang, itu siapa saja. Artinya saya tidak

termasuk dari 400 orang yang berpengaruh dalam industri perfilman di Indonesia. Saya juga waktu mau festival saya enggak dihubungin enggak apa, saya cuma dikasih undangan. Saya tidak tahu mau ke mana, tempat teman tinggalnya di mana. Tidak ada informasi. Mer (Meriam Bellina) juga tanya, saya diundang enggak, saya bilang diundang. Saya diundang tapi memang saya enggak berangkat. Saya merasa tidak seperti tidak berada di sana.

Saya udah feeling bahwa saya itu hanya diajak untuk rame-rame aja. Dan satu pun tidak ada film saya yang lolos ke dalam nominasi. Saya paham, saya dianggap produser aktif, produser mainstream yang enggak penting dikasih pengharagaan lah. Jadi yang dapat pengharagaan adalah film-film side-stream.

Saya diimbau untuk ikut, setelah saya ikut apa-kah perhatiaannya sama. Dari 8 film, sudah tidak dapat perhatian. Jadi pada waktu ffi kemarin itu saya juga enggak tahu bagaimana ya. Saya memasu-kan film pada jadwal terkahir pemasukan. Mung-

kin juri nya film-film yang daftar pertama aja dapat perhatian. Kalau memang tengat waktunya begitu harusnya semua diperlakukan sama. Jadi juri banyak teman-teman saya, saya tanya mereka sempat non-ton, mereka tidak nonton di daftarkan yang terakhir. Kayak jurinya 100 sebenarnya enggak 100 juga. Kalau saya lihat pemenangnya saya anggap representatif juga. Mungkin mereka melihat film saya bukan yang harus diperhatikan.

FFI saya hormati sebagai sejarah perfilman– tapi jangan dijadikan mainan orang tertentu. Seka-rang pelaksananya BPI. Padahal BPI itu produk Un-dang-undang no 33/2009. Waktu itu kan pejuang film menolak UU itu. Kok sekarang banyak yang mau duduk di lembaga yang berasal dari UU yang dulu diprotes. Mungkin sekarang mereka merasa nyaman. (hawe)

“FFI jangan jadi Mainan Orang Tertentu”

Ir. Chand Parwez Servia (Produser):

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 21

Page 22: Majalah Film Plus edisi january 2015

Christine Hakim dan Reza Rahadian Nampak sum ringah, sesekali kedua nya melambaikan tangan kepada masyarakat yang melihatnya di pinggir jalan. Tidak jelas benar, apakah keduanya menatap ke arah penonton atau arah lain, karena mengenakan kacamata hitam.

Dalam perjalanan sejauh 4 kilometer di atas jip terbuka, udara panas Kota Palembang memang cukup menyiksa. Sudah pasti sunblock tebal dioleskan agar kulit tidak rusak.

Christine dan Reza Rahadian merupakan dua artis yang dikedepankan dalam hampir seluruh kegiatan FFI kali ini, karena statusnya sebagai “Ikon FFI”. Tak berlebihan jika keduanya berada di kendaraan paling depan. Menyusul setelahnya ada tiga truk terbuka, yang dinaiki oleh artis Dony Damara dan Abimana Artayasa bersama Gubernur Sumsel Alex Nurdin dan Menteri Pariwisata Arief Yahya; kemudian ada truk terbuka yang dinaiki oleh Lukman Sardi, dan Adidia Wirasty, Tara Basro, Jajang C Noer, Alex Komang, dan anggota Panitia.

PAWAIARTISBERhARAP BANYAK PADA

Isu Dunia FilmFo

to: A

ri S

anja

ya

Januari 2015 | 22

Page 23: Majalah Film Plus edisi january 2015

Pawai artis merupakan agenda yang selalu diminta oleh panitia di daerah. “Orang daerah itu enggak kenal yang namanya penjurian, Piala Citra, atau acara di dalam gedung. Yang mereka tahu cuma artis. Syukur-syukur mereka bisa lihat langsung artis pujaannya,” kata seorang pejabat Pemda Sumsel yang ikut menyiapkan FFI 2014 di Palembang.

Pawai artis memang men jadi ukuran sukses tida-knya pe lak sanaan FFI di suatu daerah. Pemerintah rela merogoh kocek asal ada Pawai Artis guna menghibur masyarakatnya. Makin banyak artis yang ikut dalam pawai, makin sukseslah acara FFI di daerah itu. Sayang-nya dalam beberapa kali FFI di daerah, sejak 2007 di Pekanbaru Riau, pawai artis selalu gagal membuat artis tumplek blek di daerah. “Yang paling seru waktu FFI di

Semarang. Artisnya segambreng,” kata Soetrisno Boeyil, koresponden Harian Wawasan di Jakarta.

Di Palembang, artis yang ikut pawai tidak sesuai harapan. “Ha..ha… Memang Pawai Artis ini kita harapkan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Mengenai jumlahnya memang sedikit. Saya melihat hanya tujuh. Kalau saya sebetulnya secara total , saya tidak kecewa. Saya tidak tahu permasalahan mereka, tapi dari kepanitiaan daerah juga tadinya memang melihat bahwa artis itu bisa lebih maksimal di pawai. Tapi nyatanya cuma sedemikian, yah sudahlah. Kita terima ajalah,” kata Akhmad Najid, SH, Mhum, Ketua Panitia Daerah FFI 2014 Palembang.

Berbeda dengan Najib, Ketua Pelaksana FFI 2014 Kemala Atmodjo mengatakan panitia lokal minta disediakan artis 25 orang untuk Pawai Artis. Walau pun banyak artis yang hadir di Palembang, tidak semuanya bisa diturunkan. “Enggak boleh kita ngada-ngadain. Dia mintanya 25 orang, jadi kita enggak bisa semua artis juga. Kalau pun kita ada enggak bisa. Itu bagian dari aktivitas lokal. Kita sih kalau bisa tidak ada pawai-pawaian. Menurut gua lebih dari 10 orang (artis yang ikut pawai). Kalau panitia dihitung ( jumlahnya) lebih dari 30 orang,” kata Kemala.

Pawai artis merupakan mo ment bagi penggemar untuk me lihat idolanya. Para artis se harusnya juga melihat kegiatan itu sebagai momentum untuk “merangkul” masyarakat, di tengah terpuruknya film nasional saat ini. Tapi kalau kudu dibayar dulu baru mau ikut, jangan salahkan masyarakat kalau tidak mau dekat dengan film Indonesia. (hw)

Foto: Herman Wijaya

Foto

: Ari

San

jaya

Foto

: Ari

San

jaya

Januari 2015 | 23

Page 24: Majalah Film Plus edisi january 2015

Isu Dunia Film

Setelah Sinetal Kini Sinemon

Dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta 23 De-sember lalu, Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan perlunya dikembangkan sinema online (sinemaon) atau sinema digital (sinetal), untuk mendukung pasar film In-

donesia. Menurut menteri, banyak pembuat film merugi jika film

tidak sukses di pasaran. “Pasarnya harus di buka. Film dulu ha-nya layar lebar, sekarang ini jumlah layar terbanyak adalah layar handphone. Kalau film digabungkan dengan smartphone, akan menjadi sinema online atau sinemon,” kata Menteri.

Sinemon jika dikembangkan akan merangsang pertum-buhan film. Setiap orang bisa menonton film, tidak hanya di 12 kota besar yang memiliki gedung bioskop seperti sekarang ini. Ide pengembangan sinemon itu sendiri sudah disampai-

Sinetal dan Sinemon bukan lah dua kosa kata baru plesetan anak-anak muda untuk menggambarkan tubuh wanita yang seksi, padat berisi – sintal dan montok. Sinetal dan sinemon adalah dua akronim baru dalam perfilman, yang merupakan kependekan dari Sinema digital (sinetal) dan sinema online (sinemon). Kosa kata baru itu mulai digulirkan oleh Kementerian Parisiwata, untuk mensosialisasikan rencana yang akan dikembangkan untuk “mengobati” industry perfilman Indonesia yang saat ini sedang sakit, utamanya di sektor hilir.

Januari 2015 | 24

Page 25: Majalah Film Plus edisi january 2015

kan kepada insan perfilman, ter-masuk pengusaha bioskop, dalam pertemuan di Kantor Kementerian Pariwisata, 17 Desember lalu.

“Kemarin saya juga diundang ke Kementerian Pariwisata, untuk membicarakan tentang sinema online itu. Katanya akan bekerjasa-ma dengan PT Telkom. Tapi kita belum tahu ke depannya bagai-mana,” kata Coroprate Secretary XXI, Catherine Keng, yang ditemui saat jumpa pers penyelenggaraan Festival Film Pendek XXI di Jakar-ta, pertengahan Desember lalu.

Catherine menegaskan, se-jauh ini XXI belum berpikir un-tuk menyasar segmen lain dalam bisnisnya. XXI tetap akan bertahan untuk segmen menengah ke atas. Tahun 2015 ini XXI bahkan akan melakukan ekspansi ke luar Jawa. “Kami tetap konsentrasi dengan segmen yang sekarang. Karena se-karang saja kita udah kewalahan,” katanya.

Gagasan untuk mendirikan bioskop non konvensional sebe-narnya bukan hal baru. “Dari ta-

hun 97 saya sudah bilang kita harus bikin bioskop satelit. Karena dengan bioskop satelit, film tidak bisa dibajak karena ditayangkan ke seluruh indonesia. Kalau di ja-karta tiketnya 50 ribu di daerah 5 ribu sesuai potensinya saja,” kata Parwez ketika ditemui di kantor-nya, belum lama.

Dengan teknologi baru, menurut Parwez film-film di-kirim ke seluruh bioskop mel-alui satelit atau wifi. Bioskop lalu menggunakan proyektor untuk menayangkannya. “Di Jakarta ada yang mengelola, produser tinggal mengirimkan film, lalu dibuat jad-wal penayangannya.”

Untuk Negara seperti Indo-nesia yang demikian luas dan terpisah-pisah oleh ribuan pulau, bioskop satelit merupakan cara yang tepat. Jika investasi untuk bioskop konvensional membu-tuhkan dana Rp.1 – 5 milyar per layar, dengan satelit mungkin ha-nya butuh seperlimanya. “Dengan cara ini mungkin bisa menumbuh-kan bioskop di tingkat Kabupaten

atau Kecamatan. Kalau yang su-dah ada bioskop konvensionalnya ya enggak usah,” tandas produser yang mengawali usahanya di bi-oskop ini.

Ide pendirian bioskop den-gan menggunakan teknologi tele-komunikasi seperti sinemol, kem-bali mengemuka setelah film-film Indonesia yang diputar di bioskop sepi penonton. “Dari seluruh judul film yang diproduksi, dela-pan puluh persen hancur,” kata Ketua PPFI Firman Bintang, dalam pertemuan dengan Menteri Pen-didikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, pertengahan Desem-ber 2014 lalu. (hw)

Catherine Keng:

“Kami tetap konsentrasi dengan segmen yang

sekarang. Karena sekarang saja kita

udah kewalahan”

Arief Yahya:

“Kalau film digabungkan

dengan smartphone, akan menjadi

sinema online atau sinemon”

Foto

: Her

man

Wija

ya

Foto

: Web

Januari 2015 | 25

Page 26: Majalah Film Plus edisi january 2015

Opini Film Opini Film Opini Film

Penyelenggaraan Perfilman Nasional oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) per-filman di Indonesia, kenyataannya berada di atas bakteri bernama ego sektoral. Yaitu suatu

keadaan di mana kelompok-kelompok sesuai dengan kepenti ngannya bertindak untuk mendapatkan sesuatu yang men-guntungkan diri dan kelompoknya, tanpa sudi berbagi dengan kelom-pok lain. Situasi ini tidak terlepas dari pengaruh politik secara umum, di mana ego sektoral sedang me-warnai karakter kehidupan ber-bangsa dan bernegara menjelang dan sesudah suksesi kepemimp-inan nasional.

Dalam konstelasi politik per-filman nasional, ego sektoral be-lakangan ini semakin menajam, setelah sepanjang satu dekade sebelumnya berlangsung apa yang bisa disebut ‘perpecahan’ atau ba-hasa halusnya ‘kesenjangan’ dan ‘ter-putusnya matarantai kesejarahan’ antar-kelompok kepentingan, sehingga melahirkan dikotomi-dikotomi seperti sineas tua dengan sineas muda, pelaku film aktif dengan pelaku film pasif, kelompok status-quo dengan kelompok independen, serta berbagai dikotomi lainnya.

Kegagalan mengelola perbedaan, kesenjangan, perpecahan, dan segala macamnya, menyeret pada situasi di mana penyelenggaraan perfilman menjadi

Ego Sektoral Penyelenggaraan Perfilman Oleh Akhlis Suryapati

salah urus. Masing-masing kelompok kepentingan saling mengedepankankan ego sektoral. Dalam teori sosial budaya, berlaku prinsip homohominilupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, saling memangsa. Sektor-sektor dalam perfilman nasional

bukan saja bergerak sendiri-sendiri, melainkan libas-melibas satu sama lain.

Dalam pertemuan silaturah-mi insan perfilman yang difasili-tasi Menteri Pendidikan dan Ke-budayaan di Jakarta belum lama, menajamnya ego sektoral dalam masyarakat perfilman semakin nam pak nyata. Sejumlah pendapat, pandangan, dan pernyataan, yang muncul dari sebagian tokoh-tokoh perfilman yang hadir, mempertegas situasi itu. Juga bisa dilihat bagaima-na sebagian tokoh dari 44 orang yang diundang dalam silaturahmi itu

menghindari berlangsung nya dialog terbuka, dengan lebih memilih menja-

lin komunikasi tertutup dengan penguasa untuk mendapatkan akses kekuasaan.Embrio dari merebaknya bakteri ego sektoral

dalam penyelenggaraan perfilman hari-hari ini, me mang tidak terlepas dari kepentingan untuk mendapatkan akses kekuasaan sebagai hak-hak poli-tik insan film yang sebelumnya terabaikan, terutama sepanjang perfilman nasional mengalami mati suri. Pemahaman atas hak-hak politik era reformasi yang

Sektor-sektor dalam perfilman nasional bukan saja bergerak

sendiri-sendiri, melainkan libas-

melibas satu sama lain.

Foto: Doc. Pribadi

Januari 2015 | 26

Page 27: Majalah Film Plus edisi january 2015

dibungkus dengan jargon-jargon demokratisasi, hak asasi, anti KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), da-lam kenyataan berubah menjadi perebutan (akses) kekuasaan dalam semangat homohominilupus tadi. Lebih picik lagi, makin ke sini semakin kelihatan bah-wa ujung-ujungnya adalah rebutan fasilitasi (duit). Semangat ini kemudian memecah-belah masyarakat perfilman sehingga melahirkan dikotomi-dikotomi, kelompok-kelompok kepentingan, aliansi-aliansi, fak-si-faksi, dan hantu-blau entah apa namanya. Bermun-culanlah organisasi-organisasi, asosiasi-asosiasi, lem-baga, badan, komunitas, dan semacamnya, bukan untuk melengkapi yang sudah ada atau untuk pen-guatan peranserta masyarakat perfilman, melainkan dilandasi kepentingan penguatan dikotomi atau pe-mahaman adanya dua aspek besar perbedaan, yang kemudian terpecah-pecah lagi dalam banyak aspek lainnya. Satu pihak ingin meniadakan yang lain.

Sepanjang perfilman di bawah naungan Kemen-terian Kebudayaan dan Pariwisata (2004 - 2011), pe-merintah berupaya memediasi kelompok-kelompok

pemangku kepentingan perfilman, melalui berbagai program penyusunan regulasi dan pelaksanaan fasilita-si. Kulminasi perbedaan yang ditandai dengan ‘perang propaganda’ dan ‘aksi-aksi boikot’ (2005-2007), mulai mencair dengan terbangunnya komunikasi di berbagai forum dan ajang penyelenggaraan perfilman (2008-2010), mendadak-sontak memanas lagi ketika perfil-man menjadi korban kebijakan politik paska reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II (2011). Film berada da-lam naungan dua kementerian, yakni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendik-bud). Kalau sebelumnya yang asyik berkonflik adalah internal masyarakat perfilman, maka sejak tahun 2011 internal pemerintah juga ikut berkonflik dalam kebija-kan penyelenggaraan perfilman, sampai-sampai untuk meredakannya muncul Nota Kesepahaman antara Ke-menparekraf dan Kemendikbud.

Riwayat ketidakharmonisan (kalau tidak mau disebut konflik, perpecahan, perseteruan) sepanjang satu dekade, adalah sesuatu yang patut disayangkan.

Opini Film Opini Film Opini Film

“perfilman akan sepenuhnya berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana diamanatkan undang-undang Perfilman”

Foto: Web

Januari 2015 | 27

Page 28: Majalah Film Plus edisi january 2015

Masa kebangkitan kembali perfilman nasional, mesti-nya menjadi masa di mana potensi dan ‘kesempatan sejarah’ bisa terdayakan secara baik, untuk mencapai arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman nasional sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang dan didambakan masyarakat luas; film sebagai jati diri dan kebanggaan bangsa.

Situasi politik perfilman yang tidak kondusif sepanjang satu dekade itu, membuat kesempatan untuk membangun konstruksi industri perfilman ter-buang sia-sia. Hasil revisi Undang-undang Perfilman tidak memberi manfaat, bahkan menambah tensi perbedaan pen-dapat dalam masyarakat perfilman. Undang-undang sebagai payung hukum juga tidak implementatif, sampai lima tahun diundangkan, hanya satu dari 10 peraturan turun-annya yang bisa dilahirkan untuk menjadi landasan penyelenggaraan perfilman. Semangat memproduksi dan membuat film yang menggelo-ra di masyarakat, sebatas menjadi eforia dan gejala borjuisasi untuk memberlakukan film sebagai media pencitraan yang sexy dan glamour. Jangan terbuai dengan angka kenai-kan jumlah produksi film Indonesia yang mencapai lebih 100 judul tahun ini, karena grafik kenaikan film impor berjumlah tiga kali lipat dibanding film nasional. Belum lagi ka-lau mengamati perolehan penonton film. Lebih dari 60 persen film Indonesia jeblok alias ‘tidak laku’ seh-ingga pemiliknya merugi. Sedang kan film-film impor tetap menjadi idola penonton di bioskop.

Siapa yang rugi dan siapa yang untung tatkala masyarakat perfilman dan pemerintah terus-menerus berkubang dalam ego sektoral seperti sekarang? Dalam teori politik kekuasaan, tidak ada sebuah situasi yang lahir oleh tatanan politik, mengalir begitu saja tanpa adanya rekayasa. Bahkan unsur-unsur dalam masyarakat perfilman maupun pemerintahan, bisa pula ikut memetik keuntungan karena situasi yang tidak kondusif tersebut, seperti sebuah peperangan--meskipun menghancurkan sendi-sendiri kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetap saja ada pihak-pihak mendapat keuntungan besar karena adanya peperangan tersebut.

Ada namanya politik Divide et Impera (pecah belah). Sebuah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi, yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah-belah kelompok besar agar menjadi kelompok-kelompok kecil. Dengan begitu kelompok besar tersebut lebih mudah ditaklukkan. Politik Divide et Impera juga mencegah bergabungnya kelompok-kelompok kecil

untuk menjadi kelompok besar yang kuat. Demikian kata kamus!

Dalam politik perfilman na-sional barangkali bisa kita cermati kemungkinan adanya berlaku teori seperti itu. Pihak siapa dari rezim pemerintah maupun swasta yang mengeluarkan miliaran rupiah dan rajin memberi fasilitas untuk men-ciptakan atau mendorong perpe-cahan dalam masyarakat perfilman guna mencegah aliansi yang bisa menentang dominasi dan kekua-saan industri perfilman di Indone-sia saat ini. Pihak mana dari rezim

pemerintah dan swasta yang dalam satu dekade ini membantu dan mem-

promosikan mereka yang bersedia untuk bekerjasama dengan penguasa yang dominan

di industri perfilman. Pihak mana dari rezim pemer-intah dan swasta yang selalu mendorong ketidak-percayaan dan permusuhan antarmasyarakat perfil-man. Pihak mana yang mendorong konsumerisme di masyarakat dengan mengarahkan film lebih sebagai kekuatan ekonomi (kreatif) dan bukannya karya seni-budaya. Semua itu akan bisa dilihat sebagai ci-ri-ciri berlangsungnya politik Divide et Impera.

Optimisme di akhir tulisan ini adalah: Menurut informasi, perfilman akan sepenuhnya berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana diamanatkan Undang-undang Perfilman. Semoga bisa berarti, kita akan terdidik dan berbudaya kembali. ***

(Jakarta, 28 Desember 2014)

Opini Film Opini Film Opini Film

Lebih dari 60 persen film

Indonesia jeblok alias ‘tidak

laku’ sehingga pemiliknya

merugi.

Januari 2015 | 28

Page 29: Majalah Film Plus edisi january 2015

Opini Film Opini Film Opini Film

FFI BuTuh ORANG-ORANG CAKAPOleh: Ary Sanjaya

Yang namanya FFI memang selalu menarik perhatian. Tidak terkecuali FFI 2014 yang baru saja usai dihelat. Sejak di launching pertengahan Oktober hingga Puncak Acara di

Palembang awal Desember lalu, FFI menjadi tranding topic setidaknya di kalangan wartawan dan insan film. Malah jauh sebelum launching pun FFI sudah menjadi hot isu, terutama menyangkut kepastian penyelenggaraan kegiatannya. Ini bisa dimaklumi lantaran hingga awal September 2014, Tender atau Pengadaan Barang dan Jasa untuk kegiatan FFI tak kunjung jelas. Istilah rekan kami, wartawan dan insan film ketika itu bagai sedang menghitung bunyi Tokek: jadi nggak, jadi nggak?

Kejelasan adanya FFI 2014 baru diperoleh setelah Tender Kegiatan FFI dimulai pertengahan September. Secara matematika, waktu yang tersedia untuk seluruh rangkaian kegiatan FFI berarti tinggal dua bulanan. Sebab yang namanya Tender membutuhkan waktu minimal 1 bulan. Sedangkan Puncak Acara FFI kebiasaannya diselenggarakan pada awal Desember, disesuaikan dengan batas akhir pencairan Anggaran lantaran FFI menggunakan dana APBN. Jelas, ketersediaan waktu yang hanya dua bulan ini sangat sempit untuk hajat sebesar FFI.

Telatnya pelaksanaan Tender FFI nampaknya sudah menjadi penyakit menahun pihak Direktorat Film selaku fasilitator pengadaan kegiatan FFI. Dari tahun ke tahun, Tender tentang FFI kerap diadakan di penghujung tahun, mendekati Acara Puncak FFI. Ini tentu berpengaruh terhadap hasil pelaksanaan FFI itu sendiri. Jika saja Tender diadakan jauh-jauh hari

dengan rentang waktu sedikitnya enam bulan antara Tender dengan kegiatan awal FFI, hasilnya niscaya bakal jauh lebih menggembirakan. Pihak Panitia Pelaksana FFI memiliki waktu cukup untuk menyusun perencanaan dan persiapan yang matang.

Akan tetapi terkait dengan FFI 2014, tentu bukan pikiran cerdas jika harus mengkambing hitamkan waktu. Persoalan sumber daya manusia jauh lebih menentukan ketimbang persoalan waktu. Jika FFI ditangani oleh ahlinya--- tenaga-tenaga kompeten dalam bidang penyelenggaraan FFI, hasil yang memuaskan rasanya menjadi suatu keniscayaan. Sayang pada kepanitian FFI 2014 justru terlihat banyak tenaga tidak cakap.

Sesuai dengan Undang-Undang Perfilman, BPI---Badan Perfilman Indonesia, ditunjuk sebagai Penyelenggara FFI. Terkait dengan peran BPI sebagai Panitia Pelaksana FFI 2014, sebetulnya mengundang perdebatan. Di satu sisi BPI merasa punya kewenangan untuk menjadi Panitia Pelaksana FFI. Di lain sisi, lantaran kegiatan FFI diadakan melalui proses Tender, maka ada institusi lain yang berdasarkan Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa juga punya kewenangan sebagai Pelaksana FFI, yaitu PT. Barokah Lima Zahra sebagai EO Pemenang Tender. Oleh sebab itu, menjadi aneh ketika BPI terlihat lebih dominan posisinya dalam pelaksanaan FFI 2014 dibanding Pihak EO. Kalau pun beralasan ada restu dari pihak Pengguna Jasa yang dalam hal ini Direktorat Film, kerjasama BPI sebagai Pelaksana FFI dengan EO Pemenang Tender berisiko menerima sangkaan telah terjadi Sub Kontrak Pekerjaan. Dalam Undang-

Foto

: Her

man

Wija

ya

Januari 2015 | 29

Page 30: Majalah Film Plus edisi january 2015

Undang Pengadaan Barang dan Jasa, Sub Kontrak Pekerjaan diharamkan jika sebelumnya tidak diatur dalam Dokumen Tender.

Disitulah masalahnya. Banyak pihak yang tidak menyadari soal ini. Padahal persoalan ini terbilang sensitif karena berimplikasi ke ranah hukum. Di mata hukum, Pihak EO lah yang akan dimintai pertanggunganjawab selaku pihak yang terikat Kontrak Pekerjaan FFI.

Hal lain yang juga berpotensi menjadi masalah adalah soal model penjurian untuk film-film peserta. Pada FFI 2014, Panitia Pelaksana melibatkan 100 anggota Dewan Juri ditambah lembaga Akuntan Publik Internasional Deloitte. Pada galibnya, semangat Panitia Pelaksana untuk melakukan pem-baharuan pada sistem penjurian ini pantas diapresiasi. Sayangnya ide penggunaan model penjurian tersebut menurut sumber di Direktorat Film, disodorkan BPI saat Tender FFI sudah dimulai. Ini yang dari sisi pembiayaan menimbulkan masalah cukup serius. Betapa tidak, model penjurian dengan 100 anggota Dewan Juri itu kabarnya menuntut biaya untuk honor juri hingga mencapai Rp 1,5 milyar di luar biaya konsumsi dan transportasi juri selagi bertugas. Sedangkan rancangan Dokumen Tender FFI 2014, merujuk pada model penjurian FFI tahun sebelumnya, yaitu hanya melibatkan 9 anggota Dewan Juri dengan kisaran anggaran Rp 300 juta, sudah termasuk biaya konsumsi untuk Dewan Juri selama melaksanakan tugas penilaian.

Entah langkah apa yang digunakan untuk mencari solusi soal honor juri ini. Paling masuk akal adalah melakukan addendum penambahan anggaran biaya dan revisi spesifikasi pekerjaan. Yang jelas, persoalan honor juri ini kabarnya baru terselesaikan 10 hari setelah FFI rampung.

Soal fulus agaknya menjadi isu paling hot sepanjang kegiatan FFI 2014 berlangsung. Berbagai kelemahan yang terjadi, menurut versi Panitia berpangkal dari ketidaksiapan pihak EO menyediakan

modal kerja. Sementara versi EO, Panitia dinilai terlalu memaksakan kehendak. Cara-cara yang digunakan pun dianggap tidak sehat. Antara lain melakukan tekanan melalui membangun opini di grup BB. Selain soal biaya juri, contoh lain menyangkut biaya Puncak Acara di Palembang. Dalam kontrak kerja EO dengan pihak Pengguna Jasa, anggaran untuk Puncak Acara sebesar Rp 3,6 milyar. Tetapi Panitia yang menyodorkan Dewi Gontha sebagai pihak yang melaksanakan Puncak Acara, mematok anggaran Rp 4,4 milyar. Itu pun tidak termasuk biaya untuk venue

dan MC. Ini lah antara lain hot isu yang terjadi.

Menilik berbagai persoalan yang muncul, bisa dikatakan berpangkal dari kurang matangnya perencanaan dan persiapan pelaksanaan kegiatan. Gagasan model 100 anggota Dewan Juri yang disodorkan Panitia setelah Dokumen Tender dilaunching, bisa dijadikan contoh. Contoh lainnya ada pada Bidang Humas. Peran Humas yang fungsinya membangun imej positif penyelenggaraan FFI, betul-betul melempem. Rilis, produk media yang kerap

menjadi salah satu andalan dalam strategi komunikasi Bidang Humas,

tidak pernah ada sepanjang kegiatan FFI. Bahkan isu-isu miring yang muncul pun

dibiarkan berseliweran tanpa upaya meresponnya. Ini menandakan Humas FFI tidak memiliki perencanaan strategi komunikasi. Penggunaan media partner sebagai ujung tombak promosi, lebih berorientasi untuk pertukaran kesempatan beriklan. Bukan untuk intensitas pemberitaan yang dibutuhkan. Faktanya, diantara sekitar belasan media patner itu terdapat sejumlah media yang terbit bulanan.

Harus diakui suatu urusan sebaiknya diserahkan kepada ahlinya. Orang bijak bilang the right man on the right place. FFI butuh itu. Butuh orang-orang cakap. Cakap dalam menyusun perencanaan (spesifikasi) pekerjaan, cakap dalam pelaksanaan pekerjaan, dan cakap dalam mengatasi dana modal kerja. ***

Opini Film Opini Film Opini Film

“Telatnya pelaksanaan

Tender FFI nampaknya sudah menjadi penyakit

menahun pihak Direktorat

Film”

Januari 2015 | 30

Page 31: Majalah Film Plus edisi january 2015

Kabar Film Kabar Film Kabar Film

Pertengahan Desember lalu, dunia film digemparkan de-ngan terjadinya pelarangan pemutaran film Senyap atau

The Look of Silence di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Pembatalan itu merupa-kan buntut dari beredarnya kabar yang menyebutkan acara itu akan dibubarkan oleh massa anggota Front Anti Komunis Indonesia (Faki). In-formasi itu disampaikan oleh Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan (Kasat Intelkam) Kepolisian Resort Kota Yogyakarta, Komisaris Polisi Sigit Hariyadi.

Empat hari sebelumnya, pe la rangan pemutaran film yang sama juga terjadi di Malang, Jawa Timur, tepatnya Rumah Makan Kelir. Ala-san pembubaran hampir sama, yakni isi film tersebut lebih condong menampilkan “kepenti ngan” PKI. Sebelum di AJI Yog ya karta, penyeleng-garaan acara serupa berlangsung lancar di sejumlah kampus termasuk di Universias Gadjah Mada.

Film-film yang

Dilarangdi Indonesia

Januari 2015 | 31

Page 32: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film Senyap karya sutradara Joshua Oppenheimer merupakan sebuah dokudrama yang meng-angkat kekejaman yang terjadi di Indonesia, pada tahun 1965. Pelarangan terhadap pemutaran film Senyap bukan pelarangan tayang pertama terhadap film di Indonesia. Baik film nasional mau-pun film impor, dengan berbagai alasan dan berbagai pihak yang mela kukan keberatan atau bah-kan me lakukan pelarangan. Ada pula film yang hanya dilarang di da erah tertentu, tapi di daerah lainnya bebas. Alasan pelarangan pun bermacam-macam. Mulai dari soal politik, moral, hingga ke masalah SARA, yang memang sangat sensitif di Indonesia. Soal judul pun bisa jadi persoalan.

Berikut ini adalah daftar film Indonesia yang menghadapi ma-sa lah di masa Demokrasi Terpimp-in, hingga Orde Reformasi, dan alasan-alasannya:

Kawat Berduri (1961), diganyang oleh Partai Komunis Indonesia, diselamatkan Presiden Soekarno, namun tetap tak bisa diputar di bioskop.

Tiada Jalan Lain (1972) karena produsernya, Robby Tjahjadi, ter-libat dalam kasus penyelundupan mobil mewah .

Romusha (1972), dianggap dapat mengganggu hubungan den-gan Jepang.

Inem Pelayan Seksi (1976), diha-ruskan berganti judul dari judul semula Inem Babu Seksi.

Saidjah dan Adinda (1976), judul berubah dari Max Have-laar dan menggambarkan Max Havelaar yang berhati mulia, sementara penguasa pribu-mi justru menghisap rakyat.

Wasdri (1977), skenarionya dianggap bisa menyinggung pejabat Kejaksaan Agung, karena Wasdri, buruh angkut di Pasar Senen, Jakarta, hanya diberi upah oleh seorang istri jaksa hanya separuh dari yang biasanya ia terima.

Yang Muda Yang Bercin-ta (1977), dianggap meng-akomodasi teori revolusi dan kon-tradiksi dari paham komunis.

Bung Kecil (1978), isinya tentang

orang muda yang melawan feo-dalisme.

Bandot Tua (1978), dipang-kas habis-habisan dan diganti judulnya menjadi Cinta Biru, kare-na kata “Bandot” dinilai bermak-na negatif.

Jurus Maut (1978) Film ini sem-pat tertahan selama empat tahun di Badan Sensor Film (BSF) karena adanya kritik terhadap beberapa pejabat dan juga adegan kekeras-an yang berlebihan..

Kuda-Kuda Binal (1978) dilarang karena menggambarkan kehidu-pan seks yang bebas.

Petualang-petualang (1978), judulnya diharuskan di ubah dari “Koruptor, Koruptor”. Film ini mengisahkan berbagai bentuk korupsi besar-besaran.

The Year of Living Dang e-rously (rilis 1982 dan dilarang hingga 1999) film Austral-ia tentang Jakarta di bawah Orde Lama pada tahun 1965.

Perawan Desa (1980) arahan sutradara Franky Rorimpandey yang diperankan Yattie Surach-

Kabar Film Kabar Film Kabar Film

Foto: WEB

Januari 2015 | 32

Page 33: Majalah Film Plus edisi january 2015

man, yang mengisahkan seorang penjual jamu yang diperkosa, sempat dilarang karena dianggap mendeskriditkan kepolisian dan pejabat lokal Yogyakarta.

Buah Hati Mama (1983), memuat dialog tentang kakek yang pintar menyanyi kare-na berteman dengan mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso. Bagian ini digunting habis.

Tinggal Landas, sutradara-nya, Sophan Sophiaan, diminta menambahkan kata Buat Keka-sih menjadi Tinggal Landas buat Kekasih (1984), karena Indonesia saat itu sedang dalam proses tinggal landas.

Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) karena eksploitasi seks.

Kanan Kiri OK (1989), di-haruskan berganti judul dari Kiri Kanan OK karena kata ‹Kiri› memberi kesan PKI.

Nyoman dan Presiden (1989), diminta agar judulnya diubah menjadi Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Merah Pu-tih, atau Nyoman dan Indonesia. Film ini akhirnya berjudul Nyo-man Cinta Merah Putih.

Merdeka 17805 (2001), film Jepang tentang andil Tentara Kekaisaran Jepang dalam proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Buruan Cium Gue (2005), di-protes oleh Abdullah Gymnas-tiar dan Majelis Ulama Indone-sia karena dianggap mengusik perasaan susila masyarakat.

Pocong (2006), Lembaga Sen-sor Film melarang film ini beredar karena dianggap sadis, menimbulkan luka lama, membawa unsur suku, aga ma, ras dan budaya serta pemer kosaan yang brutal.

Suster Keramas (2009), dipro-tes oleh Majelis Ulama Indone-sia karena dianggap mengusik perasaan susila masyarakat.

Balibo (2009), film Australia yang berdasarkan peristiwa Balibo Five, Timor Timur, dianggap membuka luka lama.

Film hollywoodyang DicekalTrue Lies (1994)True Lies merupakan film ko medi Amerika. Namun, kisahnya sedikit menyinggung soal terorisme. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, film ini pun dilarang. Disutradarai James Cameron, True Lies men-dapuk Arnold Schwarzenegger dan Jamie Lee Curtis sebagai pemeran utama. Lewat film ini, Curtin menyabet piala Golden Globe sebagai Aktris Terbaik.

Schindler’s List (1993)Film karya Steven Spielberg menempati Box Office Amerika Serikat. Film ini juga menyabet tujuh Academy Awards dari 12 nominasi yang didudukinya. Film yang diangkat dari buku Schin-dler’s Ark karya penulis Australia Thomas Keneally ini dilarang di Indonesia karena film dinilai terla-lu bersimpati pada kaum Yahudi.

NoahFilm arahan Darren Aronofsky dan diperankan Russel Crowe yang mengkisahkan ulang nabi Nuh dilarang diputar di Indo-nesia, karena dianggap terlalu membelot dari ajaran yang benar.

(herman wijaya dari berbagai sumber).

Januari 2015 | 33

Page 34: Majalah Film Plus edisi january 2015

RIDhO Rhoma:Tinggalkan DANGDuT

Apa Siapa Apa Siapa Apa Siapa

Ridho Rhoma Irama bukan saja dikenal sebagai putra Raja Dangdut Rhoma Irama. Anak muda ini juga dikenal sebagai penyanyi dangdut, karena sejak awal penampilannya selalu membawakan lagu-lagu dangdut ciptaanya ayahnya. Tetapi untuk soundtrack film

Assalamualaikum Beijing, ia membawakan sebuah lagu berirama pop melankolis. Judulnya Move On. Apakah Ridho meninggalkan dangdut?

“Sebenarnya enggak. Dari dulu saya kan menyanyi dangdut walau pun saya menyenangi musik apa saja,” kata putra Rhoma dari pernikahannya

dengan Marwah Ali ini. Lagu Move On menurutnya sudah diciptakan dua tahun

sebelum dijadikan sountrack film. Dia juga awalnya tidak bermaksud ingin membuat soundtrack film. “Karena

produsernya suka setelah mendengar lagu itu, dan memintanya untuk dijadikan soundtrack, ya dengan senang hati saya kasih,” kata Ridho ketika ditemui dalam pemutaran film Asslamualaikum Beijing untuk undangan khusus, di Jakarta, belum lama ini. (damai)

Bertambah lagi penyanyi yang hijrah ke dunia akting. Kali ini kesempatan itu dilakukan oleh Morgan Oey, mantan personil boy band SM*SH. Morgan baru saja tampil dalam film Assalamualaikum Beijing, bersama

Revalina S Temat, Ibnu Jamil dan Jajang C Noer. Dalam film itu ia berperan sebagai pemuda Tiongkok bernama Zhongwen yang jatuh cinta dengan seorang reporter tabloid asal Indonesia, Ashma.

Karena berkewarganegaraan Tiongkok, tentu saja tokoh Zhongwen harus berbicara dengan bahasa leluhurnya, yaitu bahasan Mandarin. “Seru sih di sini gue juga harus memerankan tokoh pria Beijing asli jadi gue harus fasih berbahasa Mandarin logatnya juga harus bagus banget dan saya cuma punya waktu seminggu efektif 4 hari untuk belajar bahasa Mandarin,” kata lelaki keturunan bermarga Oey itu usai pemutaran perdana filmnya di XXI Episentrum Jakarta, pekan lalu.

Meski pun baru pertama kali main dalam lebar, acting Morgan dalam film itu cukup meyakinkan. “Itu karena saya banyak belajar dengan senior. Terutama dengan coach (pelatih) acting film itu, aktor kawakan Arswendi Nasution,” tambah kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat pada 25 Mei 1990. (damai)

Morgan Oey:BELAjAR BAhASA MANDARIN

Foto: Herman Wijaya

Foto: WEB

Januari 2015 | 34

Page 35: Majalah Film Plus edisi january 2015

Apa Siapa Apa Siapa Apa Siapa

Festival Film,Magnet BaruPromosiPariwisata yang berkurang. Tahun 2013 anggaran promosi pari-wisata dalam negeri mencapai 57 miliar rupiah tahun 2014 turun menjadi 35 miliar rupiah.

Dengan anggaran yang kian tipis itu, ia ditugas-kan untuk meng gali potensi daerah yang sekaligus menciptakan sentra –sentra turis baru. “Ini tantangan yang bakal saya jalani,“ katanya kepada Film Plus.

Festival Film Indonesia dilakukan di daerah merupakan magnet baru bagi promosi pariwisata suatu daerah. Magnet baru tersebut patut dikelola sehingga diharap-kan dan mampu meng gerakkan orang Indonesia untuk

melakukan perjalanan ke destinasi di Nusantrara. Hal itu dika-takan oleh Tazbir Abdullah dilantik menjadi Direktur Promosi Pariwisata dalam Negeri, Kementerian Pariwisata.

Tatkala FFI diselenggarakan di daerah, dibutuhkan sara-na ako modasi dan transportasi. Terlebih jika dilangsungkan kegiatan lain seperti seminar maupun bengkel kerja yang dilakukan oleh masyarakat perfilman, dan hal tersebut tentu diperlukan pula suatu tempat memadai.

Mantan Kepala Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogy-akarta itu mengatakan tugasnya semakin berat untuk mem-promosikan pariwisata daerah, karena anggaran promosi

“Kami fokus dan membesarkan beberapa event di daerah. Di Lombok, Manado, Makassar, Banten, provinsi di Pulau Sumatera banyak sekali event. Maka pemerintah pusat, daerah dan industri pariwisata akan berkonstribusi dalam event tersebut. Untuk acara film, tentulah sudah ada lembaga yang mengu-rusi. Kami hanya berkonstribusi saja. (SNM)

Apa Siapa Apa Siapa

Foto: WEB

Januari 2015 | 35

Page 36: Majalah Film Plus edisi january 2015

Apa Siapa Apa Siapa Apa Siapa

Sudah banyak artis yang berperan sebagai warta-wan dalam film. Kali ini yang beruntung mendap-

at peran itu adalah Nadine Candrawinata, yang bermain sebagai wartawan dalam film Erau Lalu apa yang dilakukan Nadine dengan peranannya di film. “Pada saat syuting kan bertepatan dengan Festival Erau, karena itu kita harus menyesuaikan diri dengan Festival Erau. Ketika adegan melipuat festival itu, saya seperti benar-benar berfungsi sebagai jurnalis. Dilepas begitu saja di lapangan. Kata sutradara, kamu bermains aja sebagai jurnalis, nanti kamera mengikuti. Tidak ada kata cut atau action. Pokok-nya one take oke. Pada saat festival berlangsung di situlah tantangan kita,” kata artis kela-hiran Hannover, 8 Mei 1984 ini.

Meskipun sering mela-lukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, gadis yang terpilih sebagai Puteri Indone-sia tahun 2005 ini mengatakan syuting di Kutai cukup berat. Cuaca yang panas membuatnya harus sering mandi. Ia bisa man-di sampai 3 atau 4 kali sehari. Seperti minum obat saja.

“Tapi saya beruntung dapat terlibat di film ini. Saya buka mata lagi, bahwa kita ini anak-anak Nusantara. Kita harus bicara dengan keinginan dan kemampuan kita. Kalau kita mau kita bisa, kalau tidak mau kan tidak bisa. Jadi ini yang bisa kita kerjakan. Ini tantangan kita,” paparnya. Maksudnya opo to nduk? (damai)

Sehari Tiga Kali Mandi…

Nadine Candrawinata:

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 36

Page 37: Majalah Film Plus edisi january 2015

Apa Siapa Apa Siapa Apa Siapa

Bukan hal gampang berakting laga, walau dalam film komedi. “Kaki saya sempat keseleo, lecet juga karena harus adegan berkelahi,” kata artis cantik Vicky Monica, yang berperan

sebagai pendekar wanita Mantrili dalam film Kacaunya Dunia Persilatan.

Ditemui usai pemutaran film komedi arahan sutradara Hilman Muntasi itu di Jakarta, Jum’at (9/1), Vicky mengaku harus ekstra hati-hati dalam memainkan peranannya. Belum lagi ia harus berusaha agar kulitnya tetap terjaga dari sengatan matahari. “Awalnya sih enggak terasa syuting panas-panasan, tapi belakangan baru tahu kalau kulitku tambah hitam. Akhirnya terpaksalah dijaga pakai pelindung kulit dari sengatan matahari (sunblock).

Karena peranannya sebagai pendekar, mau tidak mau ia harus beradegan bak-bik-buk, walau tidak seserius film laga beneran.”Tapi namanya adegan laga, ya tetap aja bahaya. Contohnya waktu adegan lompat, aku sempat nyungsep dengan kepala di bawah walau pakai sling.”

Dalam film KDP adegan perkelahanian

Vicky Monica:

Repotnya jadi Pendekaryang dilakukan wanita 24 tahun berdarah Sunda – Belanda ini memang cukup banyak. “Seru banget sih, tapi aku tuh susah akting dengan Tora Sudiro. Dan yang paling susah itu menahan ketawanya. Mereka lucu-lucu banget,” ujar Vicky

Nama Vicky mulai terkenal sejak diciduk di sebuah klub malam di kawasan Senayan, Sabtu 9 November lalu. Vicky sempat dituding menjadi pengguna narkoba, walau kemudian dibebaskan karena ia hanya mengkonsumsi obat dari dokter. Vicky nampaknya tak ingin mengenak peristiwa itu lagi. “Udah deh jangan tanya itu ah,” katanya kepada wartawan yang terus berusaha bertanya tentang peristiwa kelam itu. (damai).

Apa Siapa Apa Siapa

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 37

Page 38: Majalah Film Plus edisi january 2015

Apa Siapa Apa Siapa Apa Siapa

Siapa yang tidak kenal dengan Tasya Karmila. Peyanyi cilik yang ngetop di era 2000-an kini menjelma menjadi

wanita dewasa telah menjadi Sarjana Ekonomi Akutansi lulusan Universitas Indonesia. Namun demikian, pemilik nama Syafa Tasya Karmila ini sering muncul dilayar televisi bermain FTV dan film layar lebar. Tasya pernah main film horror ‘Rumah Kentang’. Ketika ditanya mana yang lebih menarik antara menyanyi

dan akting, ia mengaku masih mencintai dunia tarik suara. “Aku lebih suka nyanyi, kalau acting aku Cuma iseng saja, karena passion aku di bidang nyanyi,” ujar Tasya di studio Global TV Jakarta Selatan.

Meski kekayaan dan popularitas ada di genggamanya tak membuat gadis kelahiran Jakarta 22 November 1992 ini berhenti meraih cita-citanya me-nge nyam pendidikan yang lebih tinggi. Tasya memiliki segudang impian untuk melanjutkan pen-

didikan ke jen jang S2 di luar negeri. “Tahun 2016 nanti aku ada rencana untuk melanjutkan S2 di Amerika Serikat. Penginnya ambil jurusan public policy,” ujar Tasya kepada Film Plus.

Jurusan kitu dipilih dengan alasan dirinya ingin berbakti kepada Negara jika lulus nanti. “Aku Ingin menjadi menteri yang bisa memegang amanah suara rak yat. Tapi aku masih bingung mau jadi Menteri keuangan atau lingkungan,” tambahnya.(Nana)

TASYA KAMILA:

INGIN jADI MENTERI

Foto: Doc. Pribadi

Januari 2015 | 38

Page 39: Majalah Film Plus edisi january 2015

Apa Siapa Apa Siapa

Qrio Smart LockTekno Tekno Tekno Tekno Tekno

Sebuah proyek urun dana (crowdsourcing) saat ini tengah dikerjakan oleh salah satu perusahaan teknologi

asal Jepang, Sony. Proyek tersebut merupakan pembuatan sebuah kunci pintar yang disebut dengan Qrio Smart Lock. Kunci pintar tersebut memungkinkan penggunanya mengontrol kunci pintu melalui peranti smartphone mereka. Sony memajang proyek urun dananya itu di situs Makuake.com. Di situs itu, Sony menjual prototipe Qrio Smart Lock dengan harga 95 dollar AS (sekitar Rp 1 jutaan) untuk 200 penyumbang pertama. Harga retail dari Qrio Smart Lock sendiri diperkirakan oleh Sony sekitar 126 dollar AS atau sekitar Rp 1,5 juta.

Sony menjelaskan, Qrio Smart Lock selain bisa mengenkripsi kunci pintu melalui smartphone, juga berbagi enkripsi tersebut dengan teman lain. Dengan demikian, pemilik kunci bisa memberikan akses pintu masuk ke temannya melalui jarak jauh, apabila sedang berada di tempat lain, tanpa perlu mendatangi rumah atau apartemen mereka.

Dikutip SolusiHp dari The Wall Street Journal, Jumat (12/12/2014), Qrio Smart Lock yang akan diluncurkan secara resmi akhir bulan Desember ini merupakan hasil kerjasama antara Sony dan World Innovation Lab. World Innovation Lab

adalah perusahaan pendanaan berbasis di AS yang didirikan sejak satu tahun lalu oleh beberapa perusahaan besar di Jepang, seperti ANA Holdings, Nippon Telegraph and Telephone Corp, dan Nissan Motor.

Qrio sendiri bukan menjadi peranti kunci pintar yang pertama. Sebelumnya, perusahaan berbasis di San Fransisco juga memperkenalkan produk yang serupa yang disebut August Smart Lock dengan harga 279,9 dollar AS (sekitar Rp 3,3 juta) Bedanya, jika August Smart Lock mengharuskan pengguna memasang unit di pintu dengan obeng, maka produk buatan Sony diklaim tidak membutuhkan perkakas.[a.f]

Januari 2015 | 39

Page 40: Majalah Film Plus edisi january 2015

Bagi Cinema XXI (dulu dikenal dengan nama Grup 21 / Twenty One), film pendek bukanlah sasaran bisnis

bioskop dengan jaringan terbesar di Indonesia itu, karena film pendek bukanlah lahan bisnis yang menggiurkan. Maka ketika XXI membuat festival film pendek – dan tahun 2015 ini diadakan untuk yang ketiga kalinya, tentu perlu dipertanyakan apa motivasi di balik itu.

“Udah waktunya XXI bikin CSR ((corporate social responsibility) di bidang perfilman. Tidak mungkin XXI bikin bioskop di Indonesia, tapi larinya ke tempat lain. Kita

sengaja bikin film pendek karena film cerita kan sudah ada yang bikin. Dan film pendek ini kan pembuatannya lebih murah jadi bisa menumbuhkan semangat anak-anak muda untuk membikin film,” kata Catherine Keng, Corpo-rate Secretary Cinema XXI kepa-da Film Plus ketika ditemui saat pembukaan XXI Short Film Festi-val 2015 di XXI Kota Kasablanka Jakarta, beberapa waktu lalu.

Agar pembuat film pendek bertambah semangat, para pe-menang kompetisi ini juga akan diberikan hadiah Rp 10 juta, un-tuk 3 project terbaik yang dipilih dari sesi Pitching Presentation.

Presentasi dilakukan pada tanggal 18 Maret 2015 di hadapan Dewan Juri yang terdiri dari produser film yang tergabung di APROFI (Asos-iasi Produser Film Indonesia) dan Panitia XXI Short Festival.

Selain hadiah uang, beberapa sponsor juga menawarkan hadiah berupa beasiswa untuk D3 dan S1 untuk pemenang. “Tapi karena kebanyakan peserta sudah lulus S1, kita minta hadiah yang bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh mereka,” tambah Catherine.

XXI Shot Film Competition ke-tiga ini akan diadakan pada tanggal 18 – 22 Maret 2015 di Epicentrum XXI Jakarta. Panitia telah menerima pendaftaran 641 film pendek untuk tiga kate gori kompetisi, yaitu : Film Pen dek Naratif (471 film), film pen-dek documenter (108), film pen dek animasi (62). Seluruh film akan dise-leksi menjadi 10 fi na lis di setiap kat-egori untuk mem perebutkan Film Pendek Ter baik di masing-masing kate gori, Film Pendek pilihan media, Film Pen dek Penghargaan Khusus

Agenda Agenda AgendaAgenda

Festival Film PendekGruP XXi

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 40

Page 41: Majalah Film Plus edisi january 2015

“film pendek ini kan pembuatannya lebih murah jadi bisa menumbuhkan semangat anak-anak

muda untuk membikin film”

Indonesia Motion Pictures Asso-ciation (IMPAS), dan Film Pendek Favorit.

Film-film pemenang nantinya akan diputar di bioskop XXI, de-ngan harga tiket yang lebih murah dibandingkan tiket umum. Hara-pannya agar masyarakat mau da-tang ke bioskop untuk menonton film film pendek.

Diakui Catherine, jumlah pe-nonton film pendek selama ini memang tidak terlalu signifikan. Tetapi bila pemenangnya dari daerah tertentu, maka film yang diputar di daerahnya penonton cukup banyak. “Jadi saya pikir ini jadi magnitude kalau kita bisa cari local talent itu akan menjadi pembicaraan di daerah,” tambahnya. (hw)

Sebanyak 28 putra-puteri wartawan anggota PWI Jaya mendapat bantuan beasiswa dari PT Bank

Mandiri Tbk. Beasiswa diperuntukan bagi putera-puteri wartawan yang duduk di bangku SD, SMP dan SMA.

Pemberian beasiswa berlangsung di Kantor PWI Jaya, Lt. IV Gedung Graha Sasana Karya, Jl. Suryopranoto Jakarta 16 Desember 2014, diserahkan oleh Ketua Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI) Pusat….Margono dan disaksikan oleh Ketua PWI Cabang Jakarta, Endah Werdiningsih. Beasiswa diterima oleh wartawan anggota PWI Jaya yang putera-puterinya menerima beasiswa. (*)

Beasiswa untuk Putera-Puteri Wartawan

Foto

: Her

man

Wija

ya

Januari 2015 | 41

Page 42: Majalah Film Plus edisi january 2015

impin Redaksi Majalah Film Plus, tampil sebagai Pembicara ditem-ani Syamsuddin Noor Moenadi sebagai moderator.

Diskusi yang diselenggarakan Direktorat Film Kementerian Pa-riwisata ini berlangsung menarik dan penuh gairah. Peserta diskusi tidak hanya menyoroti soal peran kritik film yang belakangan bagai mati suri, tetapi juga mempertan-yakan isu boikot wartawan film pada Puncak Acara FFI 2014 lalu di Palembang. Peserta bahkan menyinggung pula tentang Ma-jalah Film Plus yang lahir di saat industri pers media cetak sedang megap-megap.

Herman berusaha tampil obyektif. Meski diakui liputan pers tentang penyelenggaraan FFI 2014 teramat minim karena Pani-tia FFI 2014 tidak memiliki strate-gi Kehumasan jika dibandingkan dengan FFI tahun-tahun sebelum-nya, Herman menepis isu boikot wartawan pada Puncak Acara FFI lalu. “Faktanya, ada sekitar 40 war-tawan yang meliput Puncak Acara FFI di Palembang,” kata Herman,

Agenda Agenda AgendaAgenda

yang juga datang meliput ke Palembang.

Dari sisi kualitas, tidak bisa dipungkiri peran pers pada per-filman nasional belakangan me-mang mengalami kemerosotan. Ada kecenderungan, pers kini leb-ih mengedepankan kabar tentang masalah pribadi artis ketimbang tulisan bernada positif yang dap-at menjadikan industri per filman nasional lebih berkembang dan membanggakan. Tulisan-tulisan seperti kritik film yang dapat membentuk masyarakat penon-ton dan masyarakat perfilman lebih cerdas dan berkualitas, san-gat langka ditemui saat ini.

Boleh jadi, hal ini lah yang mendorong pihak insan film ter-utama produser film nasional kini seperti memandang sebelah mata terhadap peran pers. Karena toh masyarakat pembaca atau pemir-sa televisi dinilainya sudah ter-bentuk senang hanya pada berita gosip pribadi artis. Biaya promosi yang melibatkan pers, tidak lagi menjadi perhatian serius dalam sebuah produksi film. Cuma ala kadarnya saja. (ary)

hARUS diakui hubungan pers dengan perfilman nasion-al sudah demikian erat bak simbiosis mutualisme. Pers

butuh informasi dari dunia film dan dunia film butuh pers sebagai media promosi. Hubungan sep-erti ini sudah berlangsung amat lama. Saat film masuk dan lahir di Indonesia sekitar tahun 1926, saat itulah hadir pers film nasion-al. Bahkan dalam perjalanannya, wartawan film tidak hanya ber-peran sebagai juru warta tetapi juga banyak yang terjun menjadi praktisi film, mulai dari pemain film, penulis skenario, sutradara hingga produser.

Sejumlah tokoh seperti Asrul Sani, Rosihan Anwar, Motinggo Busye, Abrar Siregar, dua kakak beradik Ilham Bintang dan Firman Bintang adalah contoh kecil war-tawan yang terjun ke dunia film. Malah bapak perfilman nasion-al H. Usmar Ismail pun tercatat memiliki latar belakang wartawan selain sebagai tentara dengan pangkat Mayor. Ia pernah mendi-rikan Koran Harian Rakyat, Patriot dan Majalah Kebudayaan Arena.

Soal hubungan pers dengan perfilman nasional ini lah yang menjadi pokok bahasan dalam diskusi terbatas antara kalangan wartawan film, pemerhati film, penulis skenario dan mahasiswa di kawasan Sirkuit Sentul Bogor perte ngahan Desember 2014 lalu ini. Herman Wijaya, Pem-

MENYOAL

PERAN WARTAWAN FILM

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 42

Page 43: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film Lokal Film Lokal Film Lokal

Bicara film animasi, tentu Amerikalah gudangnya. Mulai dari serial legendaris Mickey Mouse yang

muncul di televise sejak dahulu kala, sampai film-film animasi bioskop yang begitu banyak jumlahnya. Sedangkan film-film animasi buatan anak negeri sampai saat ini belum diperhitungkan. Meski pun akhir-akhir ini sudah ada film animasi berbahsa Indonesia yang diproduksi oleh MD Animation, atau serial Upin-Ipin, produksi Malaysia yang

Melalui kerja keras dan banyak pengorbanan, lahirnya sebuah film animasi berjudul The Battle of Surabaya (Pertempuran Sura-baya). Sesuai judulnya, cerita film itu memang mengambil setting pertempuran di Surabaya, ketika Belanda yang membonceng pasukan sekutu mendarat untuk mengusai Indonesia.

Tokoh sentral film ini ada-lah seorang anak yatim bernama Musa, yang memutuskan menjadi penyemir sepatu untuk memban-tu ibunya, setelah ia kehilangan

Film Animasi Indonesia“Kemasan Amerika”

sebagian animatornya berasal dari Indonesia.

Biaya yang mahal serta waktu pembuatan yang lama, merupakan alasan utama mengapa produser tidak tertarik membuat film animasi. Apalagi pasar dalam negeri yang masih sangat sempit dan cenderung kurang menghargai film animasi produk bangsa sendiri.

Kondisi itu rupanya tidak menghalangi tekad MSV Pic-tures, sebuah studio animasi yang berbasis di Yogyakarta.

Januari 2015 | 43

Page 44: Majalah Film Plus edisi january 2015

ayahnya. Dalam suatu kekacauan di Surabaya, secara tak sengaja ia bertemu dengan seorang anak terluka yang menitipkan surat ke-padanya, dan meminta agar surat itu diberikan kepada seorang ten-tara bernama Pak Moestopo. An-tara rasa takut dan tekad, akhirnya Musa berhasil menyampaikan su-rat itu kepada orang yang dituju.

Setelah berpetualang di be-berapa festival internasional dan memenangkan beberapa peng-hargaan, di antaranya masuk nominasi The Best Foreign Anima-tion Trailer Th2 15th Annual Gold-en Trailer Award Hollywood 2014 dan menang dalam Internation-al Movie Trailer Festival People’s Choice California 2013, The Battle of Surabaya hadir di bioskop XXI.

Meski pun dibuat di Indo-nesia oleh animator-animator In-donesia, kemasan film ini diakui oleh pembuatnya sangat Amerika. “Looknya memang sangat Ameri-ka. Kita sengaja, untuk cari perha-tian dulu dari masyarakat. Sebab kalau langsung dibuat dengan gaya Indonesia dan mengklaim bahwa ini buatan Indonesia, mas-yarakat mungkin akan mikir-mikir untuk menontonnya,” kata Erika

Diana Rizanti, Chief of Public Rela-tion MSV Pictures Animation Stu-dio.

Menurut Erika, The Battle of Surabaya dikerjakan oleh anima-tor-animator Indonesia yang su-dah berpengalaman bekerja di studio animasi luar negeri. Meski pun bayaran di luar negeri jauh lebih memuaskan, mereka mau kembali ke Indonesia untuk me-negaskan jatidiri mereka, selain ingin berbuat sesuatu untuk ne-

geri tentunya. “Banyak pekerja animasi Indonesia yang bekerja di luar negeri, tetapi nama mereka tidak pernah dikenal, karena tidak muncul di credit title. Di sini nama mereka lebih dihargai, walau pun imbalan yang diterima tidak sebe-sar di luar negeri,” katanya.

Pembuatan film animasi mem butuhkan biaya mahal dan waktu yang lama. Untuk film ber-durasai 3 menit saja butuh waktu pengerjaan selama 1 tahun. Film The Battle of Surabaya sendiri dik-erjakan selama 3 tahun mengha-biskan biaya sebesar Rp.15 milyar. Pengerjaan film ini melibatkan 20 animator dan 20 artis. “Yang pal-ing mahal itu membayar artisnya,” tambah Erika.

Bekerja di studio animasi me-nurutnya membutuhkan pengor-banan yang tidak sedikit. Dan The Battle of Surabaya diakuinya diker-jakan dengan “berdarah-darah”

“Lalu apa yang mendorong kami kuat bekerja di animasi? Nah jawabannya adalah, siapa sih artis yang paling kaya di dun-ia? Jawabannya adalah Mickey Mouse. Dialah yang mendorong kami,” tandasnya. Semoga tidak jadi tikus beneran.

Film Lokal Film Lokal Film Lokal

“Banyak animasitor Indonesia yang bekerja

di luar negeri, tetapi nama mereka tidak

pernah dikenal”

Foto

: Her

man

Wija

ya

Januari 2015 | 44

Page 45: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film Lokal Film Lokal Film LokalFilm Lokal Film Lokal

Bangsa Indonesia telah men-galami beberapa kali masa kelam, yang mengoyak per-satuan dan kesatuan bangsa.

Yang masih dikenang sampai saat ini adalah Peristiwa Mei 1998, di mana kerusuhan bernuansa SARA terjadi di beberapa kota di Indo-nesia, yang menyasar etnis mi-noritas Tionghoa. Akibat peristiwa itu perekonomian yang sedang sakit berat menjadi lumpuh, ka-rena harus diakui, etnis Tionghoa adalah motor penggerak pere-konomian di Indonesia, terutama di kota-kota besar.

Peristiwa tahun 1998 mer-upakan akumulasi dari berbagai persoalan yang terjadi di Indo-nesia. Kombinasi antara tekanan ekonomi, kejenuhan terhadap pimpinan politik, kecemburuan

ekonomi, dan mungkin saja ada permainan politik di dalamnya. Akumulasi dari semua itu mela-hirkan sebuah ledakan sosial yang amat dahsyat. Presiden Soehar-to yang telah 32 tahun berkuasa, lengser dari jabatannya; pusat-pu-sat perekonomian luluh lantak. Dan, yang sulit dipulihkan dalam waktu singkat dari peristiwa itu adalah: trauma mendalam, dan sikap saling mencurigai antarses-ama anak bangsa.

Menjaga persatuan dan ke-satuan menjadi sangat penting bagi Negara yang memiliki pen-duduk sangat majemuk seperti Indonesia ini. Sedikit saja gesekan yang berbau SARA terjadi, keutu-han bangsa terancam. Tetapi kita boleh optimis keutuhan bangsa ini masih akan terjaga, karena di

balik peristiwa kelam itu, masih ada orang-orang yang punya nu-rani, dan tidak pernah membeda-kan manusia berdasarkan bentuk fisik maupun keyakinannya.

Pesan itulah yang ingin dis-ampaikan oleh Lukman Sardi, melalui film perdananya, Di Balik 98. Sesuai dengan judulnya, Luk-man mencoba melihat peristiwa tahun 1998 dari perspektif lain, yakni dari kehidupan sosial yang berlangsung di balik peristiwa itu. Walau pun dalam film ini ia men-coba memberi penafsiran tentang apa yang terjadi di kalangan to-koh politik negeri ini, menjelang, ketika, dan setelah peristiwa itu terjadi.

Lukman Sardi mencoba men-gurai peristiwa 1998 melalui ke-hidupan tokoh-tokoh dalam film-

Pesan Persatuan Dalam Film

Januari 2015 | 45

Page 46: Majalah Film Plus edisi january 2015

nya, yakni Dinda (Chelsy Islan) seorang mahasiswi yang memiliki hubungan khusus dengan rekan-nya mahasiswa Daniel (Boy Wil-liam). Sebagaimana umumnya mahasiwa di masa itu, Dinda san-gat aktif mengikuti demonstrasi untuk menjatuhkan rezim yang dinilainya telah menindas rakyat. Sementara Daniel yang memili-ki latar belakang etnis Tionghoa, mengikuti demontrasi hanya ka-rena rasa solidaritas kepada Dinda – gadis yang dicintainya.

Kakaknya yang bekerja di Setneg, Salma (Ririn Ekawati) dan iparnya yang tentara, Bagus (Don-ny Alamsyah) mengingatkan, agar Dinda menghentikan aktivitasn-ya berdemonstrasi, karena telah membuat malu keluarga. Tapi Dinda yang tengah diselimuti se-mangat muda malah melawan nasihat kedua orang yang telah membiayai kuliahnya itu.

Ketika kerusuhan terjadi, Ri-rin yang tengah hamil besar tak bisa kembali ke rumah. Ia meng-hilang tak diketahui kabarnya. Suaminya yang tengah bertugas

mengamankan ibukota, tidak dii-jinkan meninggalkan tugas oleh sang komandan. Melihat situasi itu Dinda berubah pikiran, ia mu-lai menaruh empati kepada kakak iparnya, dan berbaikan. Keduanya lalu berjanji untuk mencari Ririn yang hilang.

Sementara itu Daniel yang diantar pulang oleh Dinda dan rekannya lain, tidak mendapati ayah dan adiknya di rumah yang telah porak poranda. Dalam ke-marahan itu meminta Dinda untuk pergi meninggalkannya. Suatu malam, Daniel hampir men-jadi korban kebrutalan para pela-ku kerusuhan. Ia diselamatkan oleh seorang sopir mobil boks dan dibawa ke tempat penampungan. Di sana ia bertemu dengan ayah dan adiknya.

Pesan PersatuanDi Balik 98 merupakan de-

but Lukman Sardi sebagai sutra-dara, setelah cukup lama meng-geluti dunia akting. Meski pun baru pertama kali menjadi koman-dan tertinggi dalam mengerjakan

sebuah film, hasil kerjanya patut diapresiasi. Film ini enak untuk dinimati, ceritanya menyentuh, dan elemen-elemen penting yang membuat sebuah film menjadi menarik coba dipenuhi. Misaln-ya kebutuhan artistik, fotografi, acting para pemain umumnya tergarap dengan baik. Hampir semua pemain yang terlibat da-lam film ini telah menunjukkan kemampuan akting terbaik nya. Hal itu tentu tidak lepas dari sen-tuhan sutradara.

Sebagai sutradara baru, pemilihan sudut pengambilan gambar yang dipilih Lukman san-gat kreatif. Ia memadukan dua unsur sekaligus, estetika dan po-tret sosial. Lihatlah bagaimana ia menjadikan kehidupan rakyat ke-cil sebagai foreground pengam-bilan gambar, seperti orang yang sedang cukur atau dikerok.

Agus Kuncoro, Amoroso Katamsi, Chelsy Island, atau Ri-rin Ekawati telah mengerahkan kemampuan mereka dalam me-mainkan tokoh yang diperankan-nya. Pujian patut diberikan ke-

Film Lokal Film Lokal Film Lokal

Foto: HUMAS

Januari 2015 | 46

Page 47: Majalah Film Plus edisi january 2015

pada Agus Kuncoro yang telah menunjukkan kelasnya. Ia mam-pu menirukan dengan baik sosok Presiden BJ Habibie. Gesture dan vokal Habibie yang khas mampu dilakukannya. Agus pas ketim-bang Reza Rahadian yang juga memerankan tokoh Habibie da-lam film Habibie dan Ainun.

Meskipun titik tolak cerita ini berawal dari hubungan antara Diana dan Daniel, Lukman Sardi tidak ingin terseret ke dalam cerita melodramatik. Baik Diana mupun Daniel tidak meratapi perpisahan-nya, walau pun di akhir cerita ke-tika Daniel menemui Diana di TK tempatnya mengajar, ada kalimat Diana yang mengatakan, “Kamu tidak tahu kan sakitnya orang di-tinggal pergi…”. Adegan itu terasa wajar, tidak dilebih-lebihkan se-bagaimana layaknya pertemuan dua orang pernah saling mencin-tai, yang berpisah sekian lama. Tetapi yang perlu dicermati dari adegan itu adalah, perpisahan dan perbedaan tidak boleh mela-hirkan dendam.

Lukman Sardi nampaknya ingin menempatkan tokoh Diana dan Daniel sebagai representasi masyarakat yang berbeda latar belakang dan keyakinan, untuk tetap saling menghormati, saling menghargai, walau ada ganjalan di hati mereka.

Lukman juga ingin memperli-hatkan bahwa tidak semua orang yang berbeda itu bermusuhan. Buktinya Daniel diselamatkan dari orang-orang yang mengejarnya oleh seorang sopir mobil boks berpeci putih, peci yang menjadi simbol penting umat muslim. Dan Ririn yang pingsan ketika meng-hindari kerusuhan, diselamatkan oleh seorang yang nampaknya dari etnis Tionghoa. Lukman tidak menggambarkannya secara vul-gar, tapi kita bisa melihat melalui

ciri fisik orang-orang tersebut.Melalui film ini Lukman juga

ingin menggambarkan, di sam-ping banyak yang membenci, so-sok Pak Harto juga seorang yang dicintai. Ketika ia mengumumkan pengunduran dirinya, banyak an-ggota masyarakat yang menangis sedih. Bukan hanya orang-orang di lingkungan istana seperti yang digambarkan dalam sosok yang diperankan oleh Alya Rohali da-lam film ini, tetapi juga masya-rakat di luar istana.

Berbagai adegan dalam film ini juga kerap ditingkahi de ngan musik yang pas. Alunan bio-la para adegan menyentuh, dan soundtrack yang dinyanyikan oleh Angel Pieters maupun musik keras Saint Loco pada suasana chaos. Sentuhan musik dalam film ini membuat suasana adegan menja-di sangat kuat.

Namun seperti pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, film ini pun memiliki beberapa kele-mahan kecil, yang seharusnya bisa dihindari bila dirancang secara cermat. Tokoh pemulung berdial-ek Tegal yang menjadi pembuka film ini, diberikan porsi adegan terlalu besar, padahal dia tidak

Film Lokal Film Lokal

menjadi bagian penting dalam cerita. Pemilihan beberapa kome-dian untuk memerankan tokoh politik penting, justru membuat kesan kuat film ini agak mencair. Pemeran tokoh Amien Rais juga tidak pas. Itulah barangkali yang membuat Lukman perlu me-nekankan dialog antara …..dengan anak buahnya yang mengatakan, “Itu tadi Amien Rais ya..”. Dialog itu seolah untuk meyakinkan pe-nonton bahwa itu adalah tokoh Amien Rais.

Dan yang kurang kuat dalam film ini adalah tata rias. Sebagai bintang yang telah tiga kali meme-rankan tokoh Pak Harto, pemi-lihan aktor kawakan Amoroso Katamsi sudah tepat. Tetapi make-up sang aktor, terutama di bagian rambut, terlihat kasar. Pak Harto memiliki rambut halus yang agak keriting dibagian belakang, bukan berambut lurus agar panjang se-perti make-up Amoroso Katamsi. Tokoh Diana dan Daniel pun tidak terlihat berubah setelah 17 tahun. Dalam telop tertulis Jakarta 2015. Artinya 17 tahun setelah peristiwa Mei 1998, Diana dan Daniel baru bertemu. Wajahnya tetap sama. (Herman Wijaya)

Lukman juga ingin memperlihatkan bahwa tidak semua orang yang berbeda itu bermusuhan.

Foto

: Her

man

Wija

ya

Januari 2015 | 47

Page 48: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film Lokal Film Lokal Film Lokal

Selama ini film Indonesia sep-erti jauh dari kemajuan te-knologi. Padahal penggunaan teknologi komputer yang se-

makin canggih sudah menjadi ba-gian yang tak terpisahkan dalam film-film Hollywood. Bahkan per-an teknologi computer dalam film sudah mendominasi. Itulah yang bisa kita lihat dalam film film Hol-lywood belakangan ini, baik yang bergenre fiksi ilmiah, film-film se-jarah, film animasi maupun film-film horror atua bahkan komedi. Hadirnya film-film seperti sequel Harry Potter, The Hobbit, Exodus dan banyak lagi.

Hadirnya film “Garuda”, yang mulai main tanggal 8 Januari 2014 di bioskop-bioskop Indo-nesia, merupakan angin segar bagi perfilman Indonesia. Karena inilah, untuk pertamakalinya lahir sebuah film yang mencoba meng-gunakan teknologi komputer un-tuk menciptakan efek-efek khusus dalam adegannya. Teknologi yang digunakan adalah “Computer Generated Imagery” (DGI).

Film yang disutradarai oleh X-Jo dengan pemain terdiri dari Rizal Al-Idrus, Agus Kuncoro, Al-exa Key, dan sederet aktor lama seperti Slamet Rahardjo, Robby

Langkah Awal Penggunaan Teknologi Komputer dalam

Film IndonesiaSugara dan Piet Pagau ini mengi-sahkan tentang seorang pemu-da bernama Garuda yang tampil untuk mengatasi kekacauan di sebuah kota, karena ganggung mahluk angkasa luar. Sendirian Garuda berhasil mengusir mahluk angkasa luar, yang mencoba men-jajah bumi.

Tugas Garuda (Rizal Al-Id-rus) belum selesai. Karena alat peledak nuklir bernama Gatotka-ca yang diciptakan oleh para ahli untuk menghancurkan benda lan-git raksasa yang tengah menuju bumi, dikuasai oleh seorang lelaki psikopat bernama Durja (Slamet

Januari 2015 | 48

Page 49: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film Lokal Film LokalFilm Lokal Film Lokal

visualisai adegan yang natural. Efek visual yang ditampilkan masih sangat dekat dengan efek-efek da-lam permainan video game.

Itu kalau bicara teknologi. Dari unsur dramaturgi, cerita film ini belum membawa penonton kepada suatu nilai dramatik yang kuat, sehingga penonton tidak benar-benar larut. Sutradara ter-lalu menonjolkan sisi eksyennya sehingga unsur dramanya kurang kuat. Padahal sebuah film tidak mungkin dilepaskan dari kekuatan

drama, genre apa pun yang di-buat. Dalam beberapa film fiksi laga Hollywood, selalu ditampil-kan kesan humanis pada kisah hidup para tokohnya. Apakah dia seorang yang lugu, seorang lelaki yang gagal dalam kisah cintanya, dan berbagai sentuhan lain yang membuat film itu tidak sema-ta-mata dinikmati karena eksyen maupun kecanggihan teknologi-nya. Itu yang terasa kurang dalam film “Garuda”. (Matt Bento)

Rahardjo). Garuda yang tengah menyepi di Tibet sengaja dipang-gil ke Indonesia untuk membantu petugas keamanan yang dipimpin oleh seorang Kepala Polisi Dipo (Agus Kuncoro).

Tugas Bara tidak mudah, ka-rena Durja King memiliki tiga anak buah yang tangguh. Mereka ada-lah Zyu (Alexa Key), Loco (Jacob Maugeri) dan Gull (Roy Chunonk). Durja King sendiri tak kalah he-bat dibandingkan anak buahnya. Petugas keamanan yang dipimpin Kapten Polisi untuk memberantas mereka, dibuat tak berdaya.

Bara akhirnya kembali ke In-donesia, untuk meringkus Durja King bersama anak buahnya. Ket-iga anak buah Durja King tewas, dan lelaki psikopat itu berhasil di-ringkus. Setelah menguasai kem-bali Gatotkaca, Bara membawa alat peledak ke angkasa luar, un-tuk meledakkan benda langit rak-sasa yang tengah menuju bumi. Akhirnya bumi bisa diselamatkan.

Langkah AwalLahirnya film yang meng-

gunakan teknologi tinggi dan me nampilkan tokoh superhero rekaan asli anak negeri, patut di-sambut gembira. Artinya ke depan masih ada harapan perfilman In-donesia tidak lagi hanya mengan-dalkan cerita drama, komedi atau film-film horor yang masih meng-gunakan teknolgi pembuatan film tahun 70-an.

Film ini tentu saja memiliki beberapa kelemahan yang bisa menjadi catatan demi perbaikan ke depan. Hasil kerja kompugrafik un-tuk menghasilkan visualisasi yang diinginkan baru sebatas bahwa visualisasi bisa dibuat, meski pun belum menggambarkan sebuah

Foto

-Fot

o: W

EB

Januari 2015 | 49

Page 50: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film Lokal Film Lokal Film Lokal

Alkisah dunia persilatan dikuasai oleh dua aliran. Aliran Putih dan Al-iran Hitam. Golongan Putih terdiri dari Si Buta Dari Gua Buat Elu, Broma Membara, Mantrili dan Samurat. Sedangkan dari Golongan Hitam terdiri dari Panci Tengkorak, Batuk Berdahak, Siluman Antik

dan Wiro Sobling. Sesuai dengan nama nya, para pendekar pada kedua aliran ini memiliki karakter yang berbeda. Aliran Putih cenderung baik, se-dangkan Aliran Hitam tergolong jahat.

Suatu hari Pedang Pusaka Dewa milik perguruan Kera Mas pimpinan Beruk Sepuh, hilang dari tempatnya. Kera Mas me minta bantuan para pen-dekar dari Aliran Putih untuk mencari pedang itu. Aliran Hitam rupanya mengincar juga pedang tersebut. Para pendekar dari Aliran Hitam yang mengaku menguasai pedang itu lalu menantang Aliran Putih untuk ber-duel satu lawan satu. Siapa yang menang berhak menguasai pedang itu. Tantangan diterima. Dalam pertarungan, Aliran Putih menang dengan skor 3-2. Belakangan baru diketahui bahwa pedang yang dipegang oleh Ali-rah Hitam palsu. Pedang yang asli diambil oleh isteri Beruk Putih, untuk

memotong kelapa. Pedang itu baru dikembalikan ke tempatnya setelah beberapa lama.

Begitulah cerita dalam film Ka-caunya Dunia Persilatan (KDP) pro-duksi PT. Skylar Pictures. Film yang dibintangi oleh Tora Su diro (sebagai Si Buta Dari Gua Buat Elu), Darius Sinathrya (Broma Membara), Am-ing (Siluman Antik), Datuk Berdahak (Joe Project P), Agung Saga (Panci Tengkorak), Ery Makmur (Samu-rat), Vicky Monica (Mantrili) dan Ian Darmawan (Beruk Sepuh). Film ini disutradarai oleh Hilman Muntasi, yang juga merangkap sebagai pe-nulis skenario.

Komedi ala SrimulatKDP adalah film bergenre

komedi yang memparodikan to-koh-tokoh fiksi terkenal dalam cerita komik maupun sandiwara radio di Indonesia. Karena itu tokoh-tokoh dalam film ini memiliki sosok dan nama yang mirip de ngan tokoh ko-mik atau sandiwara radio itu. Pem-lesetan nama-nama itu merupakan sebuah upaya awal untuk membuat kelucuan.

Menyaksikan KDP tak ubah-nya menonton lawakan Srimulat dalam format film. Kelucuan dalam film ini benar-benar mengandalkan plesetan kata atau komedi slapstick ala Srimulat. Pemain nampaknya dibiarkan ber improvisasi dalam di-alog, sehingga dialog yang mun-cul menjadi sekenanya. Terutama dialog-dialog yang diucapkan oleh Tora Sudiro. Bagi penonton yang memiliki kelebihan hormon endor-fin, bisa jadi plesetan-plesetan itu akan mengundang tawa. Bagian terlucu dari film ini sebenarnya sis-ipan gambar-gambar animasi yang memiliki humor cerdas. (hw)

Komedi Ala Srimulat Dalam

“Kacaunya Dunia Persilatan”

Januari 2015 | 50

Page 51: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film LokalFilm Lokal Film Lokal Film Lokal Film Lokal

Keperkasaan Cempaka atau Pendekar Tongkat Emas (PTE) yang telah menghabisi lawan-lawannya, ternyata tidak berarti apa-apa bagi Merry Riana (MR) – Mimpi Sejuta Dolar. Ketika

berhadapan di bioskop XXI, MR berhasil menaklukan PTE. MR adalah film besutan sutradara Hestu Saputra, sedangkan PTE film arahan sutradara Ifa Isfansyah. Sampai dengan tanggal 3 Januari 2015, MR telah berhasil meraup penonton sebanyak 454.402 sedangkan PTE kurang dari separuhnya, yakni 220.948.

Apa yang diperoleh PTE dalam pemasaran boleh dibilang jauh dari perkiraan, jika ditilik dari biaya produksinya yang total mencapai Rp.25 milyar. PTE sendiri sudah mulai berlaga di bioskop sejak tanggal 18 Desember 2014, sedangkan MR baru “mejeng” di biokop tanggal 24 Desember 2014. Diperkirakan MR akan terus meninggalkan PTE dalam perolehan

penonton, sampai 5 Januari 2014, MR masih bertahan di 36 layar XXI Jakarta, sedangkan PTE tinggal 25 layar. “Kalau perkiraan saya sih maksimal PTE akan mendapat 250 ribu penonton,” kata seorang produser yang tidak bersedia disebutkan namanya.

Selain kalah dari MR, PTE juga tertinggal jauh dengan Supernova produksi PT Soraya Film yang meraih penonton tidak jauh dari MR, yakni 454.311; Kukejar Cinta ke Negeri Cina (256.263), Assalamualaikum Beijing (260.911) dan Rumah Gurita (299.257) pada pencatatan tanggal yang sama. PTE hanya unggul terhadap film-film: Danau Hitam (136.102), Rumah Kosong (99.662), Bidadari Pulau Hantu (66.174), dan Pokun Roxy (85.908). Dari keempat film yang disebutkan terakhir, hanya Rumah Kosong yang kemungkinan jumlah penontonnya akan naik, karena film ini baru diputar pada akhir Desember 2014. (MB)

Merry Riana TaklukanPendekar Tongkat Emas

Januari 2015 | 51

Page 52: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film Impor Film Impor Film Impor

Rumah hantu Amityville, Muncul Lagi

Tak pelak, kisah rumah hantu Amityville merupa-kan tema horor yang paling diminati untuk di-filmkan di Hollywood. Sejak dibuat pertama kali tahun 1979 dengan judul The Amityville Horor,

sequel film ini sudah memasuki yang ke-13, jika karya sutradara Franck Khalfoun jadi dirilis, Januari 2015 ini. Judul yang diangkat untuk sequel terbaru ini adalah Amityville: The Lost Tapes, setelah dirubah dari judul yang direncanakan semula, Amityville: The Awakening.

Untuk film terbarunya ini Franck Khalfoun bek-erjasama dengan penulis skenario Daniel Farrands and Casey La Scala. Para pemeran terdiri dari Bella Thorne sebagai Belle, Cameron Monaghan sebagai James, Jennifer Jason Leigh sebagai Joan, dll.

.Amityville: The Lost Tapes mengisahkan tentang Belle , bersama adiknya Juliet , dan saudara kem-barnya yang sedang koma, James, pindah ke rumah baru bersama ibu mereka yang telah menjanda, Joan.

Januari 2015 | 52

Page 53: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film Impor Film Impor Film Impor Film Impor Film Impor Film ImporUntuk menghemat uang guna membantu membayar perawatan kesehatan yang mahal kakaknya, mereka menyewa sebuah rumah tua.

Sejak tinggal di rumah itu fenomena aneh mulai terjadi. Kakaknya pulih secara ajaib, dan Belle sering mengalami mimpi bu-ruk yang mengerikan. Belle mulai curiga ibunya tidak menceritakan keadaan yang sesungguhnya. Be-lakangan mereka menyadari bah-wa mereka pindah ke rumah Ami-tyville terkenal.

The Amityville Horror atau rumah hantu Amityville adalah sebuah kisah penindasan satu keluarga oleh makhluk gaib di sebuah rumah di Amityville, New York. Sejak kemunculannya, ki-sah ini dipenuhi oleh kontroversi. Apakah kisah ini nyata atau hanya sebuah rekayasa ?

Kisah horor ini dimulai dari sebuah novel best seller berjudul “The Amityville horror : A True Sto-ry” yang ditulis oleh Jay Anson dan diterbitkan tahun 1977. Segera setelah buku ini memenuhi rak buku di Amerika, penjualannya melonjak dengan sangat cepat.

Kisah di buku ini bermula pada tanggal 13 November 1974 ketika satu keluarga yang terdiri dari enam orang yang tinggal di sebuah rumah di Amityville dib-unuh dengan kejam. Kepala kelu-arganya, sepasang suami istri ber-nama Ronald dan Louise DeFeo ditembak ditempat tidurnya keti-ka sedang terlelap. Demikian juga dengan dua anak laki-laki dan dua anak perempuannya. Satu-satun-ya yang selamat dari pembunu-

han itu adalah seorang anggota keluarga lainnya bernama Ron-ald DeFeo Jr (Butch). Ronald di-tangkap atas tuduhan pembunu-han dan dihukum penjara seumur hidup.

Karena seluruh anggota kel-uarga sudah meninggal dan Ron-ald berada di penjara, rumah itu akhirnya dijual. Rumah horor itu tepatnya berlokasi di 112 Ocean Avenue, Amityville, New York.

Tahun berikutnya, tepatnya 23 Desember 1975, sebuah kelu-arga baru, George dan Kathy Lutz bersama tiga anaknya menempa-ti rumah itu. Mereka membelinya dengan harga $80.000 dengan cara mengambil hipotik dari Co-lumbia saving and loans sebesar $60.000. Tak berapa lama, mereka mulai mengalami gangguan dari roh-roh jahat yang menghuni ru-mah itu. Mereka keluar dari rumah itu setelah 28 hari menghuninya.

Menurut mereka, tangan tak terlihat memecahkan pintu dan membuka lemari-lemari. Cairan hijau aneh keluar dari langit-lan-git rumah, sekumpulan serangga menyerang mereka dan wajah ib-lis dengan mata merah menghan-tui mereka pada malam hari dan bahkan iblis itu meninggalkan jejak kaki di halaman rumah yang bersalju.

Kemudian mereka memanggil seorang pastor bernama Mancuso untuk mengusir setan itu, namun ketika pastor itu tiba dirumah itu, satu suara berteriak “Keluar !”. Pastor itu gagal membersihkan rumah itu dari roh jahat.

Akhirnya, karena usaha yang dilakukan gagal untuk mengh-

entikan gangguan itu, keluarga Lutz memutuskan untuk pindah dari rumah itu. Konon pembunu-han yang dilakukan oleh Ronald DeFeo Jr juga benar-benar ter-jadi. Rumah yang terletak di 112 Ocean Avenue juga benar-benar ada. Namun karena alasan priva-si, alamat rumah ini telah diubah untuk menghindari turis yang in-gin melihat-lihat. Dan Pastor yang mengusir setan itu juga benar-be-nar ada. Di buku, namanya dise-but Pastor Mancuso, namun nama asli pastor itu adalah Ralph J Pec-oraro. Ia menolak nama aslinya disebut dibuku itu untuk menjaga privasinya. Saat ini ia sudah men-inggal.

The Amityville pertama kali diangkat ke layar perak oleh Stuar Rosenberg dengan judul The Am-ityville Horror (1979), tiga kemudi-an dibuat oleh Damiano Damiani dengan judul Amityville II: The Possession (1982), setahun beri-kutnya giliran Richard Fleischer mengangkat dengan judul Ami-tyville 3-D: The Demon.

Setelah itu Sandor Stern den-gan judul Amityville 4: The Evil Escapes (1979), Tom Berry/The Amityville Curse, Tony Randel/Amityville: It’s About Time (1992), John Murlowski/Amityville: A New Generation (1993), dan Ste-ve White / Amityville Dollhouse: Evil Never Dies. Barulah sembilan tahun kemudian Andrew Douglas mengangkat dengan judul The Amityville Horror (2005), Geoff Meed / The Amityville Haunting (2011), Andrew Jones/The Ami-tyville Asylum (2013) dan tahun 2015 ini oleh Frank Khalfoun. (hw – dari berbagai sumber)

Januari 2015 | 53

Page 54: Majalah Film Plus edisi january 2015

Dokumenter Dokumenter Dokumenter

Januari 2015 | 54

Page 55: Majalah Film Plus edisi january 2015

Bayu adalah mahasiswa se-mester 3 Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia – ISI Yogyakarta, jurusan Desain

Komunikasi Visual. Gambarnya se buah kepala harimau dengan grafis yang unik, berhasil me-menangkan kontes desain cover album Animals grup music terkenal Maroon 5, adalah sebuah grup musik beraliran pop rock yang berasal dari Los Angeles, California, dengan anggota Adam Levine, Hes Karmaikel, Micky Maeden dan Rayen Dasik.

Untuk mengikuti lomba ter-sebut, proses desain yang di-lakukannya membutuhkan waktu se lama 7 bulan, dan finishing se lama 7 hari. Maka terciptalah gam bar wajah harimau bak ukiran

dengan dominasi warna putih, dipadu abu-abu dan cokelat.

Memenangkan kontes meng-gambar untuk artis asing se be-narnya bukan baru pertama kali ini bagi Bayu. Pada 4 Juli 2014 lalu, ia juga memenangi kontes yang diselenggarakan musisi Amerika Billy Djul. Dalam desainnya, Bayu menggambar sosok Billy Djul dan istana Kremlin dengan warna merah, hitam, dan krem.

Anak muda kelahiran Sleman 16 September 1994 ini lahir se-bagai putera bungsu dari 5 bersaudara. Sejak kecil ia sangat gemar menggambar. Kegemaran itu terus dipupuknya sejak ia ma-suk sekolah dasar hingga se kolah lanjutan pertama. Selepas SMP Bayu kemudian masuk ke SMK I

Kalasan, mengambil jurusan kriya kayu. Sambil menyelesaikan tugas belajarnya di jurusan griya kayu ia terus berusaha menyalurkan hobinya menggambar, sehingga akhirnya bertemu dengan senior-nya yang bersedia membimbing Bayu. Bekal itulah yang kemudian menggiringnya masuk ke Institut Seni Indonesia.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memfilmkan Pro fil Bayu Santoso, untuk mem-beri inspirasi anak-anak seusian-ya agar giat berkreasi dan mela-hirkan prestasi. Pembuatan film dilaksanakan oleh PT Demi Gisela Citra Pro, dengan penulis naskah Herman Wijaya dan Juru kame-ra Tunggu A Rajasa dan Jemmy Yoshimiya.

Profil Bayu SantosoPemenang Lomba Disain Poster Maroon 5

Dokumenter Dokumenter Dokumenter Dokumenter Dokumenter Dokumenter

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 55

Page 56: Majalah Film Plus edisi january 2015

Dokumenter Dokumenter Dokumenter

tingnya, melahirkan lah di pusat layanan kesehatan supaya dapat ditangani oleh tenaga kesehatan.

Inilah pesan yang ingin di-sampaikan film video profil tentang Kesehatan Ibu berjudul “Terima Kasih Ibu” produksi Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes. Tidak seperti kebanyakan film-film penyuluhan umumnya, “Terima Kasih Ibu” digarap dengan pendekatan film cerita dan dengan bahasa dialog sehari-hari. Sangat cair dan sesuai dengan setting cerita yang mengambil lokasi di sebuah desa di wilayah Pulau Jawa. Penyampaian pesan

Angka Kematian Ibu dan bayi di Indonesia sampai saat ini masih tinggi. Meski berb-agai upaya promotif dan

prefentif terus dilakukan Kemen-terian Kesehatan, toh hasilnya masih memprihatin. Berdasarkan riset kesehatan, saat ini Angka Ke-matian Ibu mencapai 228 per 100 ribu kelahiran hidup. Sementara kasus kematian itu lebih banyak terjadi saat ibu melahirkan.

Buat ibu dan calon ibu, ini tentu perlu menjadi perhatian. Ingat lah, merawat dan meme-rik sa kan kehamilan secara rutin itu penting. Dan tidak kalah pen-

mengalir wajar, tidak berkesan menggurui.

Film dibuka dengan ke da-tang an keluarga Anna ke ke-diam an adiknya, pasangan anyar Tuti dan Tono. Saat tiba, keluarga Anna disambut dengan keceriaan sang adik yang lebih dari biasan-ya, membuat Anna dan Simon suaminya heran dan bertanya ke-beruntungan apakah yang sudah diperoleh keluarga Tuti?

Tuti tertawa sumringah. Ia menggamit lengan Anna lalu bilang, “aku hamil, mbak!” Wow kontan terlontar rasa syukur Anna diikuti Simon, suaminya. Suasana

PESAN BuAT BIDANDAN IBu hAMIL

Foto: HUMAS

Januari 2015 | 56

Page 57: Majalah Film Plus edisi january 2015

Dokumenter Dokumenter

pun menjadi penuh keriangan.Sebagai kakak dan ibu satu

anak, Anna lalu berbagi pe-ngalaman kepada Tuti. Mulai dari masalah merawat kehamilan sampai menghadapi masa mela-hirkan. Pengalaman-pengalaman Anna ini dishare ke Tuti melalui cut to cut dengan adegan flashes sehingga alur film mengalir me-narik, tidak membosankan seka-lipun sarat dengan pesan-pesan kesehatan tentang ibu hamil. Hal lain yang menarik, banyak gam-bar bagus disajikan dalam film ini. Setting cerita dengan latar be-lakang alam pegunungan, sawah dan alam pedesaan, digarap se-cara filmis. Pun untuk pemeranan, tidak terlihat adanya miscasting. Para pemain tampil wajar dan pas dengan karakter perannya mas-ing-masing.

Film video profil Kesehatan Ibu ini ditulis Sofyan Sungkar dan disutradari oleh Emil Heradi den-gan Kameraman PC Kintoko Aji alias Koko. Kelak, film ini ditayang-kan di youtube dan media web-site Kementerian Kesehatan se-lain melalui menyebaran DVD ke seluruh perwakilan Kemenkes di

daerah. “Maunya sih ditayangkan di media televisi swasta supaya bisa lebih efektif menjangkau khalayak sasaran, tapi kami tidak memiliki anggaran yang cukup,” kata dr. Rizkiyana Sukandhi, MKes , Kasubdit Bina Kesehatan Ibu Bersalin dan Nifas, Direktorat Kesehatan Ibu Kemenkes selaku Koordinator Tim Teknis produksi film video “Terima Kasih Ibu”. Film video “Terima Kasih Ibu” ini ber-durasi 30 menit dan dimaksudkan untuk menyasar sasaran masyar-akat umum, khususnya kalangan ibu dan calon ibu.

Menurut dr. Rizkiyana, per-soalan masih tingginya Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indo-nesia sesungguhnya bukan cuma berpangkal dari masih kurang-nya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya merawat kehamilan dan bersa-lin di sarana layanan kesehatan. Tetapi peran Bidan pun ikut me-nentukan. Keberadaan Bidan yang lebih banyak terdapat di lingku-ngan masyarakat pinggiran dan pedesaan, secara otomatis men-jadi ujung tombak layanan pera-watan kehamilan dan melahirkan.

Karenanya, kata dr. Rizkiyana, kal-angan Bidan juga menjadi target sasaran promotif edukatif. Mereka perlu selalu diingatkan agar kual-itas layanannya terus meningkat. “Dengan layanan berkualitas, ten-tu berdampak sangat positif bagi kesehatan keselamatan ibu hamil dan bayi yang dilahirkan.”

Khusus untuk sasaran Tenaga Kesehatan Bidan, dibuat film versi lain berjudul “Di Garis Depan”. Versi ini merupakan produksi Direktorat Kesehatan Ibu. Namun tim pelaksana produksi yang menangani, masih tim yang sama dengan film “Terima Kasih Ibu”.

Sekalipun pesan yang ingin disampaikan “Di Garis Depan” le-bih bermuatan teknis layanan ke-sehatan ibu hamil dan melahirkan, versi satu ini juga digarap dengan pendekatan film cerita. Hal ini di lakukan supaya penyampaian pesan jadi menarik, tidak mem-bosankan. Maklum pesan-pesan teknis seperti itu banyak yang bu-kan hal baru bagi kalangan Bidan. “Jadi boleh dibilang ini semacam remainding saja untuk Bidan.”

Cerita film mengambil setting Puskesmas yang melayani rawat inap ibu hamil dan melahirkan. Tokoh cerita meliputi seorang dokter dan 2 Bidan yang sedang bertugas. Dari interaksi mereka inilah semua pesan tentang peran Bidan disampaikan dengan detil, termasuk ke masalah perawatan nifas atau perawatan pasca mela-hirkan. Sama halnya “Terima Kasih Ibu”, film “Di Garis Depan” ini pun menggunakan teknik flashes dengan ilustrasi beberapa gam-bar dokumentasi sehingga terasa tidak menjemukan. (ary).

Dokumenter Dokumenter Dokumenter Dokumenter

Foto: HUMAS

Januari 2015 | 57

Page 58: Majalah Film Plus edisi january 2015

jeruk merupakan buah yang sangat disukai masyarakat, karena memiliki rasa yang manis, asam dan menyegar-

kan, serta memiliki aroma yang khas. Di Indonesia tumbuh beber-apa varietas jeruk, dan namanya dikenal sesuai nama daerah sep-erti Jeruk Medan, Jeruk Ponti-anak, Jeruk Bali, Jeruk Garut dan lain sebagainya. Namun ironisnya sampai saat ini Indonesia masih menjadi pengimpor jeruk terbesar di ASEAN, setelah Malaysia.

Harapan untuk mengurangi impor muncul setelah dikenal va-rietas jeruk yang memiliki penam-pilan menarik dan rasa yang man-is. Varietas yang dimaksud adalah Jeruk Keprok. Saat ini ada dua jenis jeruk keprok yang sangat disukai masyarakat, yakni varie-

Film ILM Film ILM Film ILM Film

Manisnyajeruk Keprok

tas Tejakula dari dataran rendah Tuban, dan varietas Batu 55 yang ditanam di dataran tinggi di Ma-lang.

Untuk mempopulerkan je-ruk keprok yang merupakan jeruk unggulan itu, Kementerian Per-tanian membua filler berdurasi 4 menit yang ditayangkan TVRI. Fill-ter tersebut dibuat oleh PT Demi Gisela Citra Pro dengan kru yang terdiri dari Didang Prajasasmi-ta (Penulis Naskah dan Pengarah Lapangan), serta Juru Kamera Kin-toko Adi.

Pengambilan gambar dilaku-kan di Badan Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Sub Tropik Ke-menterian Pertanian, yang ter-dapat di Kota Batu, Malang, Jawa Timur. (*)

JERUK KEPROK ANDALAN INDONESIA

Foto

: Doc

. Film

Januari 2015 | 58

Page 59: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film ILMFilm ILM Film ILM Film Film ILM Film ILM Film

Inseminasi BuatanI

nseminasi buatan adalah kehamilan pada hewan melalui proses kawain suntik dengan cara memasukan mani (spermatozoa) atau yang dikenal dengan istilah semen yang

dicairkan. Semen berasal dari ternak jantan yang ditampung khusus menggunakan alat yang disebut insemination gun.

Manfaat dari IB adalah memperbaiki mutu genetika ternak, mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam waktu yang lama, serta meningkatkan angka kelahiran denan cepat dan teratur. Selain itu IB dapat mencegah penyebaran penyakit kelamin.

Namun bila tidak hati-hati, IB akan berakibat kerugian. Di antaranya, apabila indentifikasi be-rahi dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat, tidak akan terjadi kebuntingan. Selain itu. akan terjadi kesulitan atau distokia, dan menurunkan sifat-si-fat genetik yang jelek, apabila pejantan donor tidak dipantau sifat genetikanya denan baik.

Untuk mensosialisasikan be tapa pentingnya inseminasi buatan bagi pengembangbiakan sapi, Kementerian Pertanian RI membuat filler berdu-rasai 4 menit yang ditayangkan di TVRI. Syuting pembuatan filler ini berlangsung di Balai Besar Inseminasi Butan (BBIB) Toyomarto, Singosari, Malang, Jawa Timur. (*)

Foto-Foto: Doc. Film

Januari 2015 | 59

Page 60: Majalah Film Plus edisi january 2015

Destinasi Destinasi Destinasi Destinasi

Istana Ratu BokoLokasi Favorit Pembuat Iklan dan Video Klip

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 60

Page 61: Majalah Film Plus edisi january 2015

Destinasi Destinasi Destinasi Destinasi Destinasi Destinasi Destinasi Destinasi

Berbicara tentang candi di Yogyakarta, masyarakat ke banyakan hanya tahu candi-candi terkenal seperti

Candi Borobudur atau Candri Prambanan (Roro Jonggrang). Borobudur --yang terletak di Muntilan, Magelang-- terkenal karena keme gahannya, sedangkan Pramanan karena keindahannya.

Padahal ada satu pening-galan purbakala yang tak kalah cantiknya, yakni Istana Ratu Boko. Tidak terlalu besar memang, ka-rena ada beberapa bagian ban-gunan peninggalan kuno ini yang sudah tinggal puing. Tetapi kein-dahan Istana Ratu Boko cukup

menga ggumkan. Tak heran jika candi yang satu ini menjadi loka-si favorit bagi pembuat film iklan dan video klip.

Candhi Ratu Baka adalah situs purbakala yang merupakan kompleks sejumlah sisa bangunan yang berada kira-kira 3 km di se-belah selatan dari komplek Can-di Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Secara admin-istratif, situs ini berada di wilayah dua Dukuh, yakni Dukuh Dawung, Desa Bokoharjo dan Dukuh Sum-berwatu, Desa Sambireja, Keca-matan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Indonesia.

Situs Ratu Baka terletak di se-buah bukit pada ketinggian 196 meter dari permukaan laut. Bila kita berada di kompleks Candi ini, Gunung Merapi dengan bentuk-nya yang anggun utuh terlihat. Dari sini terlihat pula Candi Pram-banan.

Luas keseluruhan komplek adalah sekitar 25 ha. Situs ini menampilkan atribut sebagai tempat berkegiatan atau situs pemukiman, namun fungsi tepat-nya belum diketahui dengan jelas.

Ratu Boko diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa Sailen-dra (Rakai Panangkaran) dari Ker-ajaan Medang (Mataram Hindu).

Nama “Ratu Baka” ber-asal dari legenda masyarakat setempat. Ratu Baka (Bahasa Jawa, arti harafiah: “raja bangau”) adalah ayah dari Loro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada komplek Candi Prambanan. Kompleks bangunan ini dikaitkan de ngan legenda rakyat setempat Loro Jonggrang. Di dalam kom-pleks ini terdapat bekas gapura, ruang Paseban, kolam, Pendo-po, Pringgitan, keputren, dan dua ceruk gua untuk bermeditasi.

Berbeda dengan peninggalan purbakala lain dari zaman Jawa Kuno yang umumnya berben-tuk bangunan keagamaan, situs Ratu Boko merupakan kompleks

Januari 2015 | 61

Page 62: Majalah Film Plus edisi january 2015

di dirikan di daerah yang relatif lan dai, situs Ratu Boko terletak di atas bukit yang lumayan tinggi. Posisi di atas bukit juga member-ikan udara sejuk dan pemandan-gan alam yang indah bagi para

penghuninya, selain tentu saja membuat kompleks ini lebih sulit untuk diserang lawan.

Pemerintah pusat sekarang memasukkan komplek Situs Ratu Boko ke dalam otorita khusus, bersama-sama dengan pengelo-laanCandi Borobudur dan Candi Prambanan ke dalam satu BUMN, setelah kedua candi terakhir ini dimasukkan dalam Daftar Wari-san Dunia UNESCO. Sebagai konsekuensinya, Situs Ratu Boko ditata ulang pada beberapa tem-pat untuk dapat dijadikan tempat pendidikan dan kegiatan budaya.

Terdapat bangunan tambah-an di muka gapura, yaitu restau-ran dan ruang terbuka (Plaza An-drawina) yang dapat dipakai untuk kegiatan pertemuan dengan kap-asitas sekitar 500 orang, dengan view ke arah utara (kecamatan Prambanan dan Gunung Merapi). Selain itu, pengelola menyediakan tempat perkemahan dan trekking, paket edukatif arkeologi, serta pe-mandu wisata. (Lintang)

Destinasi Destinasi Destinasi Destinasi

profan, lengkap dengan gerbang masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung.

Berbeda pula dengan kera-ton lain di Jawa yang umumnya

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 62

Page 63: Majalah Film Plus edisi january 2015

Destinasi Destinasi Destinasi

Kirana adalah seorang warta-wati yang bertugas meliput Festival Budaya Erau, di Ka-bupaten Kutai Kartanegara

Kalimantan Timur. Dalam tugas-nya ia kerap diantar oleh Reza, seorang dokter yang memilih hidup bebas ketimbang membuka praktek. Keduanya saling tertarik, hal mana membuat wanita yang mencintai Reza dan ibunya kece-wa. Belakangan Kirana difitnah,

bahwa tulisannya justru mengun-dang orang untuk mencuri keka-yaan budaya Kutai Kartanegara. Ia lalu diminta untuk meninggalkan Kukar, dan hubungannya dengan Reza berakhir.

Itulah sekelumit cerita film Erau – Kota Raja yang disutradarai oleh Bambang Drias dan dibin-tangi oleh Nadine Chandrawinata, Denny Sumargo, Ray Sahetapy, Jajang C. Noer , dan Donnie Siba-

rani (Donnie ADA Band). Film ini mulai main di bioskop 8 Januari 2014.

“Harapan saya sebagai bupati anak-anak muda lebih mencintai budaya. Rakyat Indonesia juga mengenal Kutai Kartanegara. Tgl 6 Juni nanti mereka berbon-dong-bondong datang ke Festival Erau. Jadi film ini selain ingin men-ceritakan budaya, juga berharap datang investor yang menanam-

Film “Erau Kota Raja” Ironi Film Daerah

Film Daerah Film Daerah Film Daerah

Foto: Doc. Film

Januari 2015 | 63

Page 64: Majalah Film Plus edisi january 2015

kan modalnya di Kutai kartanega-ra. Apa saja. Bisa membangun ho-tel untuk membantu kartanegara,” kata Bupati Kukar, Rita Widyasari dalam keterangannya kepada wartawan usai pemutaran untuk kalangan terbatas di Jakarta, Sab-tu 6 November 2014.

Menurut Rita, film itu dipro-duksi dengan dana kurang dari Rp 2 milyar, sumbangan sponsor, bu-kan APBD. “Kita minta pada Sekda Asisten 4 saya untuk mengumum-kan kepada masyarakat, PNS, untuk nonton. Kita berharap Pak menteri, pak bupatinya mengajak pns untuk nonton. Sebuah rumah sakit di Bandung sudah beli tiket untuk nonton bareng. Kita sih 100 ribu aja sudah balik modal.”

Mengangkat budaya daerah, mempromosikan daerah, men-gundang investor dan wisata-wan, adalah kalimat-kalimat sak-ti yang selalu dikumandangkan

oleh pejabat daerah setiap kali membuat film. Kalimat itu mer-upakan sebuah pertanggung-jawaban awal terhadap pemaka-ian untuk membiayai produksi film. Yang sudah-sudah, memang tidak pernah terdengar jelas

bagaimana pertanggungjawaban pejabat yang berkompeten, atas pemakaian uang itu. Beruntung, uang yang dihabiskan untuk film Erau ini, berasal dari sponsor, se-hingga pertanggungjawabann-ya cukup secara moral saja, atau tidak perlu dipertanggungjawab-kan karena pihak sponsor sudah lebih dulu mendapat keuntungan dari konsesi-konsesi yang diter-imanya di daerah. Sebagaimana umumnya film-film yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah, film Erau – Kota Raja ini, sama sekali tidak menunjukkan keistimewaan sebagai sebuah karya sinema. Ceritanya dipaksa-kan, logika cerita diabaikan, dram-aturgi kedodoran, dan elemen wisata yang ingin ditampilkan ha-nya sekedar tempelan. Tidak ada kedalaman dari hampir semua unsur di film ini. Bahkan fotografi yang diharapkan dapat memberi

Film Daerah Film DaerahFilm Daerah

“harapan saya sebagai bupati

anak-anak muda lebih mencintai budaya. Rakyat Indonesia juga

mengenal Kutai Kartanegara”

Foto: Herman Wijaya

Januari 2015 | 64

Page 65: Majalah Film Plus edisi january 2015

gambar-gambar indah dan pui-tik, seperti melengos. Bukan saja DOP malas mencari angle menar-ik, pada beberapa shot malah out focus.

Lepas dari kelemahan itu, kita berharap film ini mampu meraup penonton yang lumayan. Apalagi jika sang produser, Bupati Kutai Kartanagara mampu menggera-kan struktur di pemerintahannya untuk menggiring PNS dan kelu-arganya menonton. Berbau Orba memang. Tapi apa boleh buat, untuk menyelamatkan wajah di hadapan sponsor.

Secara empirik, film-film yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah memang kurang sukses dalam peredarannya. Itu mungkin karena produser tidak perlu ber-tanggungjawab penuh atas ke-gagalan film itu. Dan kebanyakan film “daerah” cenderung dibuat

hanya berdasar pesanan, tanpa memperhitungkan bahwa tanta-ngan yang dihadapi sesungguh-nya jauh lebih besar dibandingkan membuat film-film mainstream. Apalagi bila cerita yang diangkat terkait latar belakang sejarah.

Dalam membuat film berla-tar belakang sejarah, tekad pem-buat kerap tidak berbanding lurus dengan kemampuan teknisnya. Se hingga hasil akhir film yang di-buat, selalu mengecewakan.

Tahun 1997 Pemerintah DKI membiayai pembuatan film Fa-tahillah dengan sutradara Imam Tantowi dan Chaerul Umam. Al-ih-alih mampu menampilkan ke-besaran Fatahillah, film itu dengan cepat hilang dari ingatan, karena secara teknis sangat kedodoran. Kita tidak tahu bagaimana per-tanggungjawaban produser ke-pada Pemda DKI, dan pertanggu-

ngjawaban Pemda DKI kepada rakyat.

Fatahillah menceritakan ten-tang tokoh ulama yang berjuang mengusir Portugis dan kemudian mendirikan Jayakarta atau Kota Ja-karta sekarang. Proyek ini pernah disebut menghabiskan lebih dari anggaran sebesar antara Rp 3 – 4 miliar.

Kurangnya riset terhadap kehidupan tokoh yang diangkat serta kehidupan sosial budaya ketika tokoh itu hidup, menjadi kelemahan utama film-film yang mengangkat kisah tokoh sejarah suatu daerah. Hal itu terjadi dalam film Tuanku Tambusai dan Pedang Syahadat (2011).

Seorang anggota masyarakat bernama Khusnul Ridho sem-pat mengirim surat elektronik ke Lembaga Sensor Film (LSF), yang isinya memprotes isi film terse-

Film Daerah Film Daerah Film Daerah Film Daerah Film Daerah

Januari 2015 | 65

Page 66: Majalah Film Plus edisi january 2015

but. “Saya sangat menyayangkan penayangan film Tuanku Tambu-sai dan Pedang Syahadat, karena skenario tidak disusun melalui riset literatur sejarah tentang Tu-anku Tambusai. Sebegitu gam-pangnyakah sebuah stasiun tele-visi mengangkat cerita tentang seorang tokoh pahlawan nasional yang kebenaran skenarionya tidak diketahui sumber sejarahnya, di-tambah kreativitas sutradara dan koreografer yang terlalu mendra-matisir setiap adegan?

Di dalam sejarah Tambusai, tidak dikenal adanya PEDANG SYAHADAT. Jadi mohon agar MNC tidak sembarang memilih tokoh yang akan difilmkan. Jangan sa-makan dengan film-film yang mengangkat tokoh fiktif, tulis Khusnul. Film Raja Ali Haji yang dibiayai dengan APBD Rokan Hulu dengan sutradara Gunawan Pag-garu, mendapat kritik yang deras dari berbagai pihak di Riau. Se-jarawan Kepulauan Riau Aswan-di Syahri, dalam tulisannya yang berjudul Antara Fakta dan Khayal;

Raja Ali Haji Dalam Film dan Seja-rah dalam blog Informasi Wisata dan Budaya menulis antara lain menulis: Terus terang, saya ber-susah hati dan masygul, men-gapa pengerjaan scenario dan pembuatan film yang telah “dika-wal” dengan demikian ketatnya oleh konsultan yang menguasai dengan fasih “biografi” RAH dan seajarah Riau – Lingga, akhirnya menuai kritikan negatif demikian banyak. Bahkan nyaris meruntuh-kan nama besar RAH, dan boleh dikatakan gagal memberikan pe-mahaman sejarah yang paling se-derhana sekali pun tentang RAH dan bagian tertentu dalam sejarah Riau – Lingga kepada masyarakat awam.

Menurut saya ini bukan bu-kan hanya disebabkan alur ce-rita yang tidak mendukung dan sinematografi yang tidak man-tap. Akan tetapi disebabkan oleh riset sejarah yang dangkal dan kemampuan menterjemahkan data dan fakta sejarah ke dalam derita yang akan dibangun ke da-

lam teknik-teknik pembuatan film (sinematografi) modern. Akibat-nya yang dihasilkan hanyalah kha-yalan yang dibalut fakta sejarah sekenanya.

Film produksi daerah dengan sutradara sekelas Hanung Bra-mantyo pun tak luput dari kritik tajam. Seorang penulis bernama Asisi Suharianto dalam Kompa-siana 19 Januari 2014 menulis: Jika dikatakan film ini bertujuan mengharumkan nama daerah dan menarik investor asing, aku makin bingung. Apa kaitan antara film silat ala sinetron dengan investor asing? Apakah mereka menonton film ini? Lagi pula, tidak terlihat kebesaran daerah Sumatra di film ini.

Kolosal? Sama sekali tidak. Gending Sriwijaya hanyalah ben-tuk bioskop dari sinetron-sinetron laga bertema kerajaan di televisi yang pernah ngetop beberapa waktu lalu. Kisahnya silat bak bik buk. Jangan terburu mengharap gam baran kebesaran Sriwijaya sebagai negara maritim adikuasa,

Film Daerah Film DaerahFilm Daerah

“Dalam membuat film berlatar

belakang sejarah, tekad pembuat

kerap tidak berbanding lurus

dengan kemampuan teknisnya”

Januari 2015 | 66

Page 67: Majalah Film Plus edisi january 2015

Film Daerah Film Daerah

atau gelaran pasukan sagelar se-papan menghampar. Takkan anda dapatkan di sini. Jika aku boleh katakan, ini adalah film pendekar.

Film sebagai alat mempro-mosikan pariwisata sudah disadari oleh pemerintah di beberapa Ne-gara. Jadi tidak salah jika pemer-intah daerah memanfaatkan film bioskop untuk tujuan itu.

Menteri Pariwisata Aus-tralia Martin Ferguson secara terang-terangan mengatakan, film Australia (2008), yang di-bintangi oleh Nicole Kidman dan Hugh Jackman jelas-jelas dibuat dengan tujuan mempopulerkan aspek-aspek luar biasa yang dimi-

liki Negara Kanguru.Film yang disutradarai Baz

Luhrmann dan menelan biaya US$ 122 juta. Syuting film dilaku-kan di alam liar di bagian utara Australia untuk menggambarkan suasana seputar Perang Dunia II. Australia membuat film Austra-lia untuk mendongkrak kembali tingkat kunjungan wisman ke negeri mereka. Maklum, sejak euforia Olimpiade 2000 di Sydney, jumlah wisman ke negeri mereka menurun 1,2%. Padahal, sektor pariwisata menyumbangkan 3,7% perekonomian Australia. Austra-lia kali pertama berpromosi lewat film. Pada 1986, film Crocodile

Dundee juga digunakan sebagai kampanye pariwisata.

Untuk mempromosikan se-buah negara melalui film, menurut sineas Garin Nugroho, harus di buat perencanaan matang. Ter utama tentang brand image yang hendak dibawa ke luar, tujuan yang hen-dak dicapai, dan skala dari promosi itu sendiri. Garin mengungkapkan, kebanyakan yang dilakukan saat ini baru berupa propaganda, bu-kan menyampaikan sebuah image. Hasilnya sering kali malah mem-bingungkan atau beberapa malah gampang ditebak. (hw dari ber-bagai sumber).

Film Daerah Film Daerah Film Daerah

Foto: Doc. Film

Januari 2015 | 67

Page 68: Majalah Film Plus edisi january 2015

Recommended