+ All Categories
Home > Documents > MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Date post: 25-Nov-2021
Category:
Upload: others
View: 7 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
27
Jurnal Hukum & Pembangunan 51 No. 1 (2021): 177-203 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no1.3014 MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM PRAKTIK KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA Dian Agung Wicaksono*, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu** *,** Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Korespondensi: [email protected], [email protected] Naskah dikirim: 20 Mei 2020 Naskah diterima untuk diterbitkan: 22 Agustus 2020 Abstract The decision on judicial review of Laws by the Constitutional Court was allegedly not fully obeyed by the parties affected by the decision. One form of disobedience to the judicial review decision by the Constitutional Court was shown by the Supreme Court concerning the decision related to the opening of the opportunity to submit a Peninjauan Kembali more than once, which was responded by the Supreme Court with internal regulations which emphasized that Peninjauan Kembali could only be done once. From the phenomenon, this research tries to trace the concept of judicial restraint in the practice of judicial power in Indonesia, as well as measuring the implementation and justification of the concept of judicial restraint in the practice of judicial power in Indonesia. This is normative legal research that uses secondary data. The results indicate that the Supreme Court and the Constitutional Court are expected to have the awareness to apply judicial restraint in the exercise of judicial review authority. Keywords: judicial restraint, Constitutional Court, Supreme Court, Indonesia. Abstrak Putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi disinyalir tidak sepenuhnya dipatuhi oleh pihak yang terdampak oleh putusan tersebut. Salah satu wujud pembangkangan terhadap putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi ditunjukkan oleh Mahkamah Agung terkait dengan putusan terkait dibukanya peluang pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali, yang direspons oleh Mahkamah Agung dengan peraturan internal yang menegaskan bahwa Peninjuan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali. Beranjak dari fenomena tersebut, penelitian ini mencoba mencari jejak konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia, serta menakar implementasi dan justifikasi konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menggunakan menganalisis data sekunder. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi diharapkan memiliki kesadaran untuk menerapkan judicial restraint dalam pelaksanaan kewenangan judicial review. Kata Kunci: judicial restraint, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Indonesia.
Transcript
Page 1: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Jurnal Hukum & Pembangunan 51 No. 1 (2021): 177-203

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no1.3014

MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM PRAKTIK

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Dian Agung Wicaksono*, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu**

*,** Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Korespondensi: [email protected], [email protected]

Naskah dikirim: 20 Mei 2020

Naskah diterima untuk diterbitkan: 22 Agustus 2020

Abstract

The decision on judicial review of Laws by the Constitutional Court was allegedly not

fully obeyed by the parties affected by the decision. One form of disobedience to the

judicial review decision by the Constitutional Court was shown by the Supreme Court

concerning the decision related to the opening of the opportunity to submit a

Peninjauan Kembali more than once, which was responded by the Supreme Court with

internal regulations which emphasized that Peninjauan Kembali could only be done

once. From the phenomenon, this research tries to trace the concept of judicial

restraint in the practice of judicial power in Indonesia, as well as measuring the

implementation and justification of the concept of judicial restraint in the practice of

judicial power in Indonesia. This is normative legal research that uses secondary

data. The results indicate that the Supreme Court and the Constitutional Court are

expected to have the awareness to apply judicial restraint in the exercise of judicial

review authority. Keywords: judicial restraint, Constitutional Court, Supreme Court, Indonesia.

Abstrak

Putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi disinyalir tidak

sepenuhnya dipatuhi oleh pihak yang terdampak oleh putusan tersebut. Salah satu

wujud pembangkangan terhadap putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah

Konstitusi ditunjukkan oleh Mahkamah Agung terkait dengan putusan terkait

dibukanya peluang pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali, yang direspons

oleh Mahkamah Agung dengan peraturan internal yang menegaskan bahwa Peninjuan

Kembali hanya dapat dilakukan satu kali. Beranjak dari fenomena tersebut, penelitian

ini mencoba mencari jejak konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan

kehakiman di Indonesia, serta menakar implementasi dan justifikasi konsep judicial

restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia. Penelitian ini adalah

penelitian yuridis normatif yang menggunakan menganalisis data sekunder. Hasil

penelitian ini mengindikasikan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

diharapkan memiliki kesadaran untuk menerapkan judicial restraint dalam

pelaksanaan kewenangan judicial review. Kata Kunci: judicial restraint, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Indonesia.

Page 2: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

178 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

I. PENDAHULUAN

Konsepsi negara hukum yang dianut Indonesia memberikan konsekuensi logis

bahwa hukum merupakan kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara.

Konsepsi ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), “Negara Indonesia adalah

negara hukum” 1 , setelah sebelumnya hanya dituangkan dalam penjelasan. Dalam

kaitannya dengan negara hukum demokratis, Hans Kelsen mengargumentasikan empat

syarat rechtsstaat, yaitu: (a) negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan

undang-undang, yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen, anggota-anggota

parlemen itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat; (b) negara yang mengatur

mekanisme pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan

oleh elite negara; (c) negara yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; dan

(d) negara yang melindungi hak-hak asasi manusia. 2 Lebih lanjut, International

Commission of Jurist menempatkan beberapa prinsip yang dianggap penting, yaitu: (a)

negara harus tunduk pada hukum; (b) pemerintah menghormati hak-hak individu; dan

(c) peradilan yang bebas dan tidak memihak. 3 Pencirian atas unsur-unsur negara

hukum tersebut menunjukkan bahwa adanya lembaga peradilan yang bebas dan tidak

memihak merupakan satu hal selalu harus ada.

Dalam konteks Indonesia, kekuasaan kehakiman terbagi menjadi dua cabang,

yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung

dan cabang peradilan konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. 4

Keduanya memiliki tugas dan wewenang masing-masing, dan memiliki kedudukan

yang setara karena Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah penyelenggara

dari kekuasaan kehakiman. Adapun keberadaan Mahkamah Agung sudah ada sejak

negara Indonesia berdiri, berbeda dengan eksistensi Mahkamah Konstitusi yang baru

muncul pada perubahan ketiga UUD 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi

tersebut dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah yang terjadi

dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya namun belum tersedia mekanisme

penyelesaiannya.5

Pada pelaksanaannya, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal memeriksa,

memutus, dan mengadili perkara mengalami perkembangan dalam pelaksanaan fungsi

yudisial. Hal ini dapat dilihat dari berbagai putusan yang dikeluarkan Mahkamah

Konstitusi yang memuat adanya penambahan norma baru (positive legislature),

munculnya bentuk putusan bersyarat, tidak adanya mekanisme pengawasan eksternal

hakim konstitusi, serta berbagai putusan yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi

yudisial cabang kekuasaan kehakiman. Kondisi ini kemudian direspons pro-kontra di

kalangan akademisi, bahkan lembaga negara lain ada yang tidak mengindahkan

putusan tersebut. Padahal, salah satu sifat putusan Mahkamah Konstitusi ialah erga

omnes, artinya putusan mengikat dan harus dipatuhi dan mengikat secara umum.

1 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3). 2 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Press, 2008),

hal. 245-246. 3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal.

122. 4 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Op.cit., hal. 252. 5 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi

sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan

MK RI, 2004), hal. 4.

Page 3: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 179

Salah satu lembaga negara yang dapat dinilai tidak mematuhi putusan

Mahkamah Konstitusi ialah Mahkamah Agung. Konstelasi yang terjadi antara

keduanya menarik dikaji, mengingat Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman. Kondisi yang “tidak harmonis”

tersebut dapat dilihat dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-

XI/2013 yang mencabut Pasal 263 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Atas putusan tersebut,

Peninjauan Kembali diperbolehkan lebih dari satu kali. Namun, Mahkamah Agung

kemudian mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014

tentang Pembatasan Peninjauan Kembali (SEMA No. 7 Tahun 2014).

Surat Edaran yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama

dan tingkat Banding tersebut berisikan petunjuk bahwa terkait peninjauan kembali

dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Menurut Mahkamah Agung, Peninjauan

Kembali lebih dari satu kali hanya terbatas pada suatu objek perkara yang terdapat dua

atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu sama lain dalam perkara

perdata maupun pidana. Lebih lanjut, Mahkamah Agung juga menegaskan bahwa jika

ada Peninjauan Kembali yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam SEMA No. 10

Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali, Ketua Pengadilan tingkat pertama

diinstruksikan untuk tidak menerima perkara tersebut serta tidak mengirim ke

Mahkamah Agung.

Berdasarkan substansi SEMA tersebut, terlihat bahwa Mahkamah Agung

merespons Putusan a quo tidak dalam kondisi yang menunjukkan adanya kepatuhan

dan penghormatan (judicial deference) terhadap Putusan a quo. SEMA secara implisit

dapat dinilai ditempatkan oleh Mahkamah Agung memiliki kekuatan yang lebih

mengikat dibandingkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Kebijakan Mahkamah Agung

dalam memberi petunjuk kepada pengadilan di semua badan peradilan di bawahnya

berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

Padahal sebagaimana diketahui, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama-

sama melaksanakan fungsi yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Fenomena ini menarik kemudian untuk didekati dengan konsep judicial restraint

yang diintroduksi dalam praktik kekuasaan kehakiman Amerika Serikat. Konsep

judicial restraint adalah upaya dari cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak

mengadili perkara yang dapat mengganggu cabang kekuasaan yang lain, pengadilan

hanya diperkenankan untuk mengadili perkara yang ditentukan secara limitatif

berdasarkan hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction).6 Hal ini menjadi

menarik, mengingat sejatinya dalam pendekatan normatif Putusan a quo merupakan

wujud pelaksanaan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah

Konstitusi. Namun, pada sisi yang lain, diakui atau tidak, Putusan a quo secara nyata

“berdampak” pada kewenangan Mahkamah Agung dan direspons dengan tegas oleh

Mahkamah Agung dengan menerbitkan SEMA a quo. Mendasarkan pada uraian

tersebut, menarik untuk diteliti: (a) bagaimana konsep judicial restraint dalam

dinamika kekuasaan kehakiman? (b) bagaimana justifikasi penerapan konsep judicial

restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia?

II. METODE PENELITIAN

6 Philip Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General

Jurisdiction Court Systems”, Seattle University Law Review, Vol. 22, No. 2, April 1999, hal. 707.

Page 4: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

180 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Penelitian dilakukan melalui penelitian hukum, dengan mengkaji dan

menganalisis peraturan perundang-undangan atau bahan hukum lain yang berkaitan

dengan konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Penelitian hukum ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan

(statutory approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual

(conceptual approach).7

Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder atau data yang diperoleh melalui

bahan kepustakaan, sehingga metode pengumpulan data dilaksanakan dengan

melakukan kajian terhadap buku, artikel, hasil penelitian, dan peraturan perundang-

undangan, serta pendapat ahli yang berkaitan dengan konsep judicial restraint dalam

pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Pengumpulan data sekunder yang digunakan

dalam penelitian ini difokuskan pada: (a) bahan hukum primer, berupa peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan tema penelitian; dan (b) bahan hukum

sekunder, berupa buku referensi dan jurnal terkait dengan tema penelitian dan

menguraikan lebih lanjut bahan hukum primer dalam konteks dikotomi teoritik dan

implementasi. Data yang terkait dengan konsep judicial restraint dalam pelaksanaan

kekuasaan kehakiman dianalisis secara deskriptif kualitatif.

III. PEMBAHASAN

3.1. Eksplanasi Konsep Judicial Restraint dalam Dinamika Cabang Kekuasaan

Kehakiman

Introduksi dan pengembangan konsep judicial restraint (atau seringkali disebut

judicial self-restraint dalam literatur, yang membedakan adalah penekanan atas

pembatasan yang dilakukan berasal dari internal) tidak dapat dilepaskan dari praktik

ketatanegaraan Amerika Serikat. Terlebih bila dikaitkan bahwa konsep judicial

restraint hidup dan berkembang pada praktik judicial review dalam kekuasaan

kehakiman Amerika Serikat, khususnya pada federal judicial hierarchy.8 Menurut

Barron dan Dienes, konsep judicial restraint dibebankan kepada lembaga kekuasaan

kehakiman untuk menentukan persyaratan dan kebijakan dalam penerapannya pada

kewenangan judicial review, sehingga hal ini sering disebut sebagai justiciability.9

Judicial restraint menurut Philip Talmadge adalah upaya dari cabang kekuasaan

kehakiman untuk tidak mengadili perkara yang dapat mengganggu cabang kekuasaan

yang lain, pengadilan hanya diperkenankan untuk mengadili perkara yang ditentukan

secara limitatif berdasarkan hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction).10

Konsep judicial restraint, menurut Barron dan Dienes, masuk dalam kategori policy

limitation, spesifik dalam konteks kewenangan judicial review, yang meliputi 4

(empat) aspek:11

a. Rules for constitutional review: the Ashwander rules (Ashwander v.

Tennessee Valley, 1963) are used to avoid unnecessary constitutional

decisions.

7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hal. 93-95. 8 Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and Judicial

Critique of Constitutional Theory”, Notre Dame Law Review, Vol. 90, No. 2, 2014, hal. 636. 9 Jerome A. Barron dan C. Thomas Dienes, Black Letter Outlines: Constitutional Law (Ninth

Edition), (Minnesota: West Academic Publishing, 2013), hal. 3. 10 Philip Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General

Jurisdiction Court Systems”, Loc.cit. 11 Jerome A. Barron dan C. Thomas Dienes, Black Letter Outlines: Constitutional Law (Ninth

Edition), Loc.cit.

Page 5: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 181

b. Presumption of constitutionality.

c. Judicial restraint to avoid unnecessary use of judicial review: the court

follows a policy of “strict necessity” before deciding constitutional

questions.

d. Congressional legislation can override prudential (i.e., non-

jurisdictional) limitations.

Walaupun telah berkembang sedemikian rupa, gagasan mengenai judicial

restraint tidak dapat dilepaskan dari pemikiran James Bradley Thayer yang dituangkan

dalam The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law pada

tahun 1893, yang dianggap mayoritas sarjana sebagai cikal bakal konsep judicial

restraint. Thayer mengemukakan gagasan awal judicial restraint bahwa Supreme

Court harus menegakkan Undang-Undang kecuali jika hakim menganggapnya

inkonstitusional, yang mana inkonstitusionalitasnya terlihat teramat jelas. 12 Hal ini

yang dianggap sebagai ajaran Thayer tentang judicial restraint atau yang disebut

Thayerism, atau juga disebut sebagai “rule of the clear mistake”. 13 Thayer

mendasarkan pemikirannya terkait judicial restraint pada “sense and reflection test”.

Jadi, selain menghendaki adanya kejelasan unsur inkonstitusionalitas, Thayer juga

menekankan pada refleksi atas apa yang dialami oleh masyarakat.14

Thayer menegaskan bahwa hakim dalam melaksanakan kewenangannya,

tentunya dalam konteks Amerika Serikat kala itu, setidaknya dihadapkan pada 3 (tiga)

situasi:15

(1) where judges pass upon the validity of the acts of a co-ordinate

department;

(2) where they act as advisers of the other departments;

(3) where as representing a government of paramount authority, they deal

with acts of a department which is not co-ordinate.

Situasi (1) merupakan situasi yang lazim dan tidak menjadi permasalahan. Namun,

berbeda dengan situasi (2) dan (3), yang mana menurut Thayer dalam kedua situasi

inilah seorang hakim harus menahan diri dan secara konsisten mendasarkan pada

kewenangan yang diberikan oleh konstitusi.

Thayer, sebagaimana diuraikan oleh Posner, menawarkan beberapa konsep

pendukung judicial restraint, yaitu:16

First, authorizing courts to invalidate laws enacted by the national

legislature was an American innovation with a thin basis in the

constitutional text, and was still controversial when he wrote. This argued

for prudential restraint; courts must be wary of going head-to-head with

the other branches of government. Second, often a law goes into effect

years before the courts hear a case in which its constitutionality is

challenged or is ripe for adjudication. […] Third, questions relating to the

12 James B. Thayer, “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law”,

Harvard Law Review, Vol. 7, No. 3, Oktober 1893, hal. 144. 13 Alexander M. Bickel, The Last Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of Politics,

(Indiana: The Bobbs-Merrill Company Inc., 1968), hal. 35. 14 Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,

Boston University Public Interest Law Journal, Vol. 21, No. 1, 2011, hal. 11. 15 James B. Thayer, “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law”,

Op.cit., hal. 153-155. 16 Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Indiana Law Journal, Vol. 59,

No. 1, Januari 1983, hal. 10-18.

Page 6: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

182 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

power of the different branches of government are inescapably political,

and so courts have perforce to use political, rather than just legal, criteria

in answering them. […] Fourth, and most important (and implied by his

first two points), if courts enforced constitutional limitations to the hilt,

legislators would stop thinking about the constitutionality of proposed

legislation and just think about how the courts would react.

Beberapa konsep pendukung di atas merupakan konsep yang perlu diperhatikan dalam

penerapan konsep judicial restraint.

Pemikiran Thayer kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Richard A. Posner

yang secara lebih lengkap memberikan variasi terhadap konsep judicial restraint.

Posner pada tahun 1983 dalam The Meaning of Judicial Self-Restraint, menyebutkan

terdapat 3 (tiga) varian dari konsep judicial restraint, yaitu (a) The Basic

Classification; (b) Separation of Powers Self-Restraint; dan (c) Restraint as a

Contingent Good. Lebih spesifik, dalam menjelaskan varian the basic classification,

Posner menyebutkan terdapat lima definisi dari konsep judicial restraint oleh Posner

sebagai bentuk klasifikasi dasar, yaitu:17

(1) A self-restrained, judge does not allow his own views of policy to

influence his decisions.

(2) He is cautious, circumspect, hesitant about intruding those views.

(3) He is mindful of the practical political constraints on the exercise of

judicial power.

(4) His decisions are influenced by a concern lest promiscuous judicial

creation of rights result in so swamping the courts in litigation that

they cannot function effectively.

(5) He wants to reduce the power of his court system relative to that of

other branches of government.

Secara lebih mendetail, Posner menjelaskan maksud dari masing-masing

pendefinisian di atas sebagai berikut: Pertama, definisi (1) dan (2) dapat

dikategorikan sebagai satu kesatuan yang terkait. Hal ini dikarenakan hampir tidak

mungkin hakim dalam memutus sama sekali tidak menggunakan perspektif

personalnya terhadap perkara yang sedang diadili, khususnya dalam pengujian norma

peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, wujud judicial restraint muncul ketika

hakim merasa ragu-ragu dan ketakutan bahwa perspektif personalnya akan

mempengaruhi putusan yang diambilnya. Walaupun demikian, menurut Penulis,

hakim masih dimungkinkan menerapkan definisi judicial restraint bila hakim

mengadili norma yang memang secara naturalia bertentangan dengan kondisi

personalitasnya. Bila hal ini terjadi dan membuat hakim “menahan diri” dalam

mengadili, maka sejatinya pendefinisian judicial restraint dalam wujud (1) dan (2)

telah dilaksanakan. Posner menyebut hakim yang menerapkan definisi (2) sebagai

“deferential judge”.18

Kedua, pendefinisian (3) dan (4) dalam kategori Posner disebut sebagai wujud

“prudential self-restraint”, yang mana definisi (3) dimaknai sebagai “prudential self-

restraint in political aspect” (menahan diri dengan kehati-hatian dalam aspek politik),

sedangkan definisi (4) dimaknai sebagai “prudential self-restraint in functional

aspect” (menahan diri dengan kehati-hatian dalam aspek fungsi). 19 Definisi (3)

17 Ibid., hal. 10. 18 Ibid. 19 Ibid.

Page 7: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 183

dimaknai bahwa konsep judicial restraint adalah kesadaran terhadap adanya kendala

politik praktis dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kendala politik yang

dihadapi tidak memiliki limitasi yang jelas, namun kendala politik praktis ini

seringkali sangat luas, bahkan lebih luas bila dibandingkan dengan pemaknaan

pembatasan dalam konsep judicial restraint pada varian yang lain.

Adapun definisi (4) lebih menekankan pada kesadaran oleh hakim bahwa

putusan yang dikeluarkan jangan sampai menciptakan kewenangan baru bagi

pengadilan. 20 Hal ini menjadi penting karena kesadaran ini didasarkan pada

pemahaman bahwa putusan yang menambahkan kewenangan pengadilan justru hanya

akan menambah pekerjaan hakim dan membuat peradilan menjadi tidak efektif karena

adanya tambahan beban perkara yang harus diadili oleh hakim. Itulah mengapa

definisi disebut sebagai prudential self-restraint in functional aspect karena

menekankan pada kewenangan pengadilan.

Ketiga, pendefinisian (5) oleh Posner menekankan pada kesadaran hakim bahwa

dalam mengambil putusan cenderung “mengalah” bila terdapat perkara yang berkaitan

dengan cabang kekuasaan negara yang lain, sehingga kewenangan pengadilan seolah-

olah tereduksi.21 Namun demikian, kesadaran ini sebenarnya tidak secara substansial

mengurangi kewenangan pengadilan, namun hanya idiomatis bahwa dengan hakim

menahan diri dalam memutus perkara yang terkait dengan cabang kekuasaan negara

lainnya seolah mengurangi kewenangan pengadilan.

Konstruksi pendefinisian yang dikenalkan oleh Posner sebagai klasifikasi dasar

konsep judicial restraint, sejatinya memiliki irisan bila dikaitkan dengan varian lain

dari konsep judicial restraint, yaitu varian separation of powers self-restraint atau

yang disebut juga sebagai structural restraint, yang menekankan bahwa pengadilan

harus betul-betul menahan diri bila memeriksa perkara yang terkait dengan cabang

kekuasaan negara lainnya, sehingga seolah-olah bentuk menahan diri ini dinilai

mengurangi kewenangan pengadilan. Walaupun tentu berbeda antara tidak

melaksanakan kewenangan sebagai wujud menahan diri dengan tereduksinya

kewenangan karena tidak dilaksanakannya kewenangan.

Hal ini menjadi focal point yang harus dipahami, karena konteks kekuasaan

kehakiman Amerika Serikat yang hidup dalam ajaran common law, yang mana hakim

juga difungsikan sebagai pembuat hukum (judge made law). Dengan demikian, tidak

dilaksanakannya sebuah kewenangan oleh hakim yang dituangkan dalam putusan

dapat menjadi hukum, mengingat dalam praktik common law berlaku asas stare

decesis,22 sehingga putusan hakim sebelumnya akan diacu oleh hakim selanjutnya

dalam memutus perkara yang sejenis atau mirip.

Dalam perkembangan selanjutnya, Posner kemudian menyebutkan

pengembangan tipologi dari konsep judicial restraint yang paling serius harus

mendapat perhatian adalah:23

(1) judges apply law, they don’t make it (call this “legalism” ~ though

“formalism” is the commoner name ~ or, better, “the law made me do

it”);

(2) judges defer to a very great extent to decisions by other officials ~

appellate judges defer to trial judges and administrative agencies, and

20 Ibid., hal. 11. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, California Law Review,

Vol. 100, No. 3, Juni 2012, hal. 521.

Page 8: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

184 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

all judges to legislative and executive decisions (call this “modesty”,

or “institutional competence”, or “process jurisprudence”);

(3) judges are highly reluctant to declare legislative or executive action

unconstitutional ~ deference is at its zenith when action is challenged

as unconstitutional (call this “constitutional restraint”).

Legalism adalah aliran yang secara tegas memisahkan bahwa kewenangan hakim

adalah menerapkan hukum, hakim tidak membuat hukum (judges apply law, they

don’t make it)24. Adapun modesty menurut Posner adalah aliran yang menandaskan

bahwa pada batas-batas tertentu, hakim harus menghormati keputusan yang diambil

oleh lembaga negara lain. 25 Sedangkan constitutional restraint diartikan Posner

sebagai aliran yang menekankan keengganan yang tinggi oleh lembaga peradilan

untuk membatalkan produk dari pemerintah maupun parlemen. 26 Terlepas dari

pengelompokan aliran dalam konsep judicial restraint, tujuan penerapan konsep ini

menurut Posner adalah satu, yaitu agar lembaga peradilan berhati-hati dalam

menggunakan kewenangannya untuk menguji suatu produk hukum.27 Kehati-hatian ini

tidak lain untuk mempertanggungjawabkan independensi yang melekat pada hakim.

Dalam konteks pengujian konstitusionalitas suatu peraturan perundang-

undangan, judicial restraint diartikan sikap menahan-diri, “[...] governs the extent to

which, or the intensity with which, the courts are willing to scrutinise a legislative

decision and the justification advanced in support of that decision”.28 Sikap menahan

diri bukanlah berarti lembaga peradilan tidak boleh atau menolak untuk menguji suatu

produk hukum, tetapi lebih kepada kapan dan untuk persoalan apa lembaga peradilan

harus menahan diri. Lembaga peradilan menurut Kavanagh harus memiliki ukuran

derajat kewenangan yang dimilikinya sebagai parameter kapan harus bertindak dan

kapan harus menahan diri. 29 Berdasarkan hal tersebut, kesadaran dan sikap batin

hakim sangat berkaitan dalam penerapan judicial restraint, sama halnya ketika

membentuk suatu putusan yang terdapat pertimbangan hakim di dalamnya.

Justifikasi penerapan judicial restraint pada prinsipnya merupakan akar dari

pembatasan institusional pengadilan, bersamaan dengan konsepsi kepatutan hubungan

konstitusional antara legislatif dan yudikatif. 30 Pada sisi yang lain pembatasan

institusional pengadilan menurut Kavanagh sangat terkait dengan penalaran yudisial

(judicial reasoning), yang mana terbangun dari 2 (dua) pertimbangan, yaitu:31

The first is an evaluation of the substantive legal merits of the legal

question before the courts. […] We can refer to these considerations as

“substantive reasons”. […] Also of relevance are what might be called

“institutional reasons”. 'Institutional reasons' engage a judge's view

about the extent and limits of his or her institutional role vis-à-vis

Parliament and the constitutional propriety of judicial intervention in a

particular case. […] The first is a question about the content of rights. The

24 Ibid. 25 Ibid. 26 Ibid. 27 Ibid. 28 Aileen Kavanagh, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, The University of Toronto Law

Journal, Vol. 60, No. 1, 2010, hal. 29. 29 Ibid. 30 Ibid. 31 Ibid.

Page 9: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 185

second is a question about the institutional role of the courts in a

constitutional democracy.

Lebih lanjut Kavanagh, menjelaskan 4 (empat) identifikasi institutional reason

untuk menerapkan judicial restraint, yaitu:32

One can identify at least four institutional reasons for judicial restraint.

These are concerns about (1) judicial expertise, (2) the incrementalist

nature of judicial law making, (3) institutional legitimacy, and (4) the

reputation of the courts. […]

The constraint of ‘limited expertise’ reflects the epistemic limitations of the

courts in evaluating certain issues. In situations where judges do not know

(or are unsure about) how a particular issue should be resolved or,

indeed, are unsure what consequences will follow from a particular

decision, such uncertainty may warrant a degree of judicial restraint.

The second reason for restraint arises from the incrementalist nature of

judicial law making. While legislators are relatively free to initiate

legislation on any topic and can engage in radical, root-and-branch

reform of a whole area of law, judges are much more constrained. [...]

Judges are aware that partial reform can be fraught with danger because

it carries the counter-productive or failing to achieve the hoped-for aim.

This concern may give rise to judicial restraint. […]

The third reason for restraint reflects concerns about relative institutional

legitimacy. Sometimes, the courts exercise restraint before interfering with

primary legislation out of a concern that a decision that changed the law

would not be accepted by the public or indeed by the other branches of

government due to the courts' perceived lack democratic legitimacy and

accountability.

The fourth reason is grounded in reputational concerns. When handing

down their decisions, judges have to do so in a way that preserves the

reputation of the courts and inspires public confidence in them as

impartial, fair decision maker.

Mendasarkan pada uraian di atas, maka dapat dilihat faktor yang mempengaruhi

penerapan judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman. Hal yang tidak dapat

dilupakan dari alasan dan faktor di atas adalah bagaimana interplay antara alasan

substantif dan alasan institusional dapat mendorong terwujudnya penerapan judicial

restraint. 33 Namun demikian, kewajiban yudisial untuk peka terhadap peran dan

keterbatasan institusional pengadilan dan untuk mempertimbangkan secara serius

konsekuensi buruk dari putusan pengadilan merupakan sepenuhnya tanggung jawab

moral dari seorang hakim.34

Lebih lanjut, Posner juga menekankan bahwa judicial restraint yang dilakukan

oleh hakim dengan menahan diri dalam pengambilan putusan dianggap sebagai sebuah

kebaikan.35 Hal ini secara tegas dihadapkan dengan konsep judicial activism yang

diasosiasikan sebagai sebuah keburukan. Walaupun memang Posner juga mengakui

32 Ibid., hal. 27. 33 Ibid., hal. 30. 34 Ibid., hal. 34-35. 35 Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Loc.cit.

Page 10: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

186 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

bahwa tidak terdapat konsistensi dalam menilai kapan judicial restraint dilabeli

sebagai hal yang baik, sedangkan judicial activism dilabeli sebagai hal yang buruk.

Hal ini dikarenakan sangat bergantung pada locus dan tempus ketika hakim memutus.

Namun demikian, hal yang pasti adalah judicial restraint sepenuhnya merupakan

kewenangan hakim untuk melaksanakannya atau tidak melaksanakannya dalam

pengambilan putusan oleh hakim.36

Terkait dengan pengambilan putusan oleh hakim, judicial restraint adalah fitur

yang melekat (pervasive) dalam pengambilan putusan.37 Hal ini sejalan dengan Posner

yang juga menjelaskan bahwa konsep judicial restraint sangat terkait dengan tipologi

hakim ketika mengadili. Posner mengidentifikasi setidaknya terdapat 3 (tiga) tipologi

hakim dalam mengadili, yaitu: (a) formalism; (b) result-oriented; dan (c) principled.38

Hakim dengan tipe formalism akan semata melihat pada hukum yang berlaku. Posner,

dengan mengutip Holmes, menekankan bahwa hakim yang formalist, bukanlah hal

yang baik atau buruk, namun menganggap jebakan formalisme terkadang tidak dapat

dielakkan oleh hakim dalam memutus perkara. Adapun result-oriented menekankan

pada hasil yang ingin dicapai oleh hakim dalam mengambil keputusan. Terkadang

cukup sulit dalam membedakan antara result-oriented dengan principled, dikarenakan

cukup sulit membedakan alasan mengambil suatu putusan karena sang hakim sedang

berorientasi pada hasil atau semata karena hakim mengambil keputusan karena hakim

memiliki preferensi prinsip yang diyakini.

Lebih lanjut, Posner menguraikan bahwa konsep judicial restraint tidak terlepas

tafsir konsepsional yang didasarkan dari pengalaman praksis hakim di Amerika

Serikat, yang mana setidaknya terdapat 4 (empat) sarjana yang pandangannya,

menurut Posner, merupakan pengembangan dari Thayer dan dirasa memberikan warna

pada pengembangan konsep judicial restraint, selain tentunya pandangan Posner

sendiri (walaupun Posner tidak pernah mengakuinya), yaitu:39

Pertama, Oliver Wendell Holmes. Holmes mengusulkan sebuah indikator yang

serupa dengan Thayer,40 namun diartikulasikan secara berbeda oleh Shemtob dengan

adanya test of reasonable doubt, yaitu selama terdapat keraguan yang wajar.41 Bila

menurut hakim sebuah peraturan konstitusional dan hakim meyakini hal tersebut maka

tidak ada alasan bagi hakim untuk menyatakan yang sebaliknya. Kedua, Louis

Brandeis. Brandeis menekankan adanya sebuah penelitian empiris untuk menilai suatu

perkara, sehingga alasan yang diperoleh lebih scientific daripada semata keyakinan

hakim.42 Brandeis dengan demikian berusaha membawa ilmu sosial ke dalam praktik

kekuasaan kehakiman. Meskipun hal ini mungkin membuat putusan yang baik,

namun, usaha semacam itu tampaknya cukup bertentangan dengan konsep judicial

restraint. Empirical test ala Brandeis menurut Shemtob tidak memberikan jawaban

yang jelas mengenai apa yang hakim harus lakukan jika sebuah perkara jelas

inkonstitusional, namun data penelitian sosial menunjukkan sebaliknya.43

36 Aileen Kavanagh, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, Op.cit., hal. 23. 37 Ibid., hal. 24. 38 Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 2-10. 39 Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and Judicial

Critique of Constitutional Theory”, Op.cit., hal. 634. 40 Ibid. 41 Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,

Op.cit., hal. 12. 42 Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 526. 43 Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,

Op.cit., hal. 19.

Page 11: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 187

Ketiga, Felix Frankfurter. Pemikiran Frakfurter menyandarkan konsep judicial

restraint kepada preseden yang ada. Pendekatan ini yang relatif berkembang sampai

saat ini terkait ketertundukan pada preseden yang telah ada sebelumnya.44 Muncul

pertanyaan yang menggugat pendapat Frankfurter, yaitu derajat preseden yang

dijadikan acuan dan kaitannya dengan konsep stare decisis. Lebih lanjut, Frankfurter

dalam beberapa putusannya pun tidak merujuk pada pendapatnya sendiri mengenai

gagasan judicial restraint yang diajukannya.45 Keempat, Alexander Bickel. Gagasan

Bickel lebih retoris karena mengusung konsep judicial restraint yang didasarkan pada

“principles”, yaitu asas-asas yang berasal dari sejarah pengadilan, putusan masa lalu,

dan kepercayaan diri dalam proses demokrasi, yang “principles” adalah moralitas

tradisi yang dapat ditemukan di dalam diri yang paling dalam.46 Hal ini membuat

gagasan Bickel hanyalah political idea.47

Dalam pandangan Posner, konsep judicial restraint yang berasal dari Thayerism

saat ini sudah tidak diterapkan dalam praktik kekuasaan kehakiman Amerika Serikat

seiring dengan meninggalnya Bickel pada tahun 1974. 48 Namun demikian, dalam

catatan Posner setidaknya terdapat 2 (dua) hakim yang masih secara konsisten

menerapkan ajaran Thayer, yaitu J. Clifford Wallace dan J. Harvie Wilkinson III.

Wallace menawarkan formula sebagai wujud judicial restraint dalam pengambilan

putusan oleh hakim ketika muncul keragu-raguan, yaitu:49

a. Clarify only as much of the statute as is necessary to decide the case

before the court.

b. Clarify the statute in the fashion that the legislature probably would

have, had the ambiguity been brought to its attention.

c. Follow common-law principles of statutory construction.

d. Clarify the statute in a manner that innovates the least against the

background of prior law, especially in regard to extending causes of

action.

Namun demikian, tawaran Wallace dinilai oleh Posner bukan lagi penjabaran

pemikiran Thayer karena hanya merupakan teknik dalam menginterpretasikan

Undang-Undang. 50 Lebih lanjut, Wilkinson yang dinilai juga menerapkan konsep

judicial restraint ala Thayer dalam putusannya, pun menurut Posner hanya mengikuti

standar Thayer dalam menilai validitas Undang-Undang, namun bukan semangat yang

diusung oleh Thayer.51 Posner sendiri memiliki penilaian terhadap gagasan Thayer,

yaitu:52

I don't think that any of the Thayerians had any idea how legal analysis

would yield an answer to a question arising under one of the many vague

or archaic provisions of the Constitution. [...] the Thayerians were loose

44 Ibid., hal. 22. 45 Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 530. 46 Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,

Op.cit., hal. 23. 47 Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 531. 48 Ibid. 49 J. Clifford Wallace, “Jurisprudence of Judicial Restraint: A Return to the Moorings”, George

Washington Law Review, Vol. 50, 1981, hal. 1-16. 50 Ibid. 51 J. Harvie Wilkinson III, “Of Guns, Abortions, and the Unraveling Rule of Law”, Virginia Law

Review, Vol. 95, No. 2, April 2009, hal. 253-323. Lihat juga Richard A. Posner, “The Rise and Fall of

Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 535. 52 Ibid., hal. 538-539.

Page 12: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

188 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

constructionists, including Thayer himself. And loose construction, when

applied to a provision of the Constitution, is not a theory, but rather a

license to read into the provision a judge's views of sound policy

responsive to modem problems. It is when judges have such a license that

there is pressure for a doctrine of judicial self-restraint.

Oleh karena itu, kemudian Posner menawarkan gagasan mengenai legal

pragmatism 53 atau disebut juga judicial pragmatism 54 , dengan mengedepankan 8

(delapan) prinsip, yaitu:

1. […] The judge can’t refuse to decide a case just because there is no

guidance in an authoritative text, such as a legislative or constitutional

provision or a binding judicial precedent.

2. Law is not limited to the body of orthodox legal materials, and so the

judicial function cannot be limited to deciding cases in accordance with

those materials.

3. In cases in which the orthodox materials do not yield an answer to the

legal question presented, or in which the answer they yield is

unsatisfactory, the judge's role is legislative: to create new law that

decides this case and governs similar future ones.

4. No master theories are available to guide judges in performing their

lawmaking role in a constitutional case, for there are no logical or

empirical methods of choosing one constitutional theory (originalism,

textualism, "living Constitution," etc. ad nauseam) over another. […]

5. The pragmatist must bear in mind not only the consequences of a

decision for the parties, but also its effects on such systemic values as

continuity, predictability, and stability of legal rules and decisions. […]

6. […] Judges need rules for dealing with uncertainty (burden of proof is

the obvious example of such a rule).

7. The judge is to treat the parties to the case as representative parties,

that is, she is to ignore their relative social standing, personal merits,

and political influence. […]

8. A judicial opinion should state the true grounds of the judge's decision.

[…]

Dalam kerangka akademis, berbagai pendekatan dan gagasan Posner terkait

judicial restraint di atas mendapatkan bantahan dari Larry D. Kramer, yang

menyebutkan bahwa titik tolak perkembangan gagasan konsep judicial restraint bukan

berawal dari pendekatan Thayer dan Thayer tidak pernah membuat argumen baru,

yang mana Thayer hanya kembali menegaskan gagasan Jefferson yang jauh lebih

dahulu bahwa otoritas utama untuk menafsirkan Konstitusi terletak pada orang-orang

(popular constitutionalism) dan bukan dengan pengadilan. 55 Menurut Kramer,

pergeseran konsep dari popular constitutionalism menuju doktrin modern tentang

judicial supremacy-lah yang mengubah perdebatan politik dari tentang siapa yang

harus menafsirkan Konstitusi kepada bagaimana Konstitusi harus ditafsirkan.56

53 Ibid., hal. 540-542. 54 Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and Judicial

Critique of Constitutional Theory”, Op.cit., hal. 638-644. 55 Larry D. Kramer, “Judicial Supremacy and the End of Judicial Restraint”, California Law

Review, Vol. 100, No. 3, Juni 2012, hal. 621. 56 Ibid., hal. 622-623.

Page 13: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 189

Pendekatan Kramer yang menekankan pada supremasi yudisial inilah yang

dianggap menjadi titik tolak bahwa lembaga yudisial tidak perlu lagi “dipaksa” untuk

menahan diri atau menerapkan judicial restraint, karena konsep supremasi yudisial

telah diterima secara menyeluruh dalam sistem politik Amerika Serikat bahwa

Pengadilan mampu bertindak tanpa kekhawatiran terkait alas kewenangannya.

Diskursus ilmiah ini menjadi hal yang wajar dalam dunia akademis, sebagaimana tidak

pula satu pahamnya kapan judicial review pertama kali dicetuskan di Amerika Serikat,

apakah oleh Marbury atau sebelumnya sudah terdapat praktik judicial review. 57

Terlepas dari semua eksplanasi konsep judicial restraint di atas, namun yang paling

penting judicial restraint bukan semata teori interpretasi konstitusi atau ajudikasi

konstitusional, namun merupakan wujud dari qualities of judicial excellence.58

Spesifik dalam konteks praktik perkembangan konsep judicial restraint di

negara-negara Asia, Björn Dressel mencatat, perkembangan konsep judicial restraint

tidak bisa dilepaskan dengan judicial politics atau yudisialisasi politik dalam area

mega-politics.59 Area mega-politik yang dimaksud adalah kontroversi politik inti yang

menentukan batas-batas kolektif atau memotong melalui jantung seluruh bangsa, yang

meliputi: (a) judicial scrutiny of executive-branch prerogatives (pemeriksaan yudisial

hak prerogatif cabang eksekutif di ranah perencanaan ekonomi makro atau keamanan

nasional); (b) judicialization of electoral processes (peradilan proses pemilihan); (c)

judicial corroboration of regime transformation (persetujuan hukum atas transformasi

rezim); (d) fundamental restorative-justice dilemmas (dilema dalam pemberian

keadilan restoratif); dan (e) judicialization of raison d’être of the polity (peradilan atas

identitas kolektif formatif atau proses pembangunan bangsa).60

Dalam yudisialisasi politik di Asia, konsep judicial restraint menurut Dressel,

memiliki relasi erat dengan konsep yang lain, yaitu judicial activism, judicial

muteness, dan politicization of the judiciary. 61 Berikut adalah pandangan Dressel

terkait kuadran relasi antara keempat konsep tersebut:

Gambar 1. Tipologi Judicial Politics dalam Mega-Politik

Sumber: Björn Dressel, 2012.

57 William Michael Treanor, “Judicial Review before Marbury”, Stanford Law Review, Vol. 58,

No. 2, April 2010, hal. 455-652. 58 Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, Op.cit., hal. 672. 59 Björn Dressel, “Courts and Governance in Asia: Exploring Variations and Effects”, Hong

Kong Law Journal, Vol. 42, No. 1, 2012, hal. 101. 60 Ibid. 61 Ibid.

Page 14: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

190 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Gambar di atas mencoba memberikan gambaran hubungan antara derajat

kemandirian yudisial secara de facto dengan derajat keterlibatan yudisial dalam area

mega-politik, yang mana setidaknya melahirkan 4 kondisi yang mendorong lembaga

yudisial menerapkan konsepsi tertentu, yaitu: Pertama, Judicial Restraint. Ketika

derajat kemandirian kekuasaan kehakiman dalam praktik semakin tinggi, namun

dipadukan dengan rendahnya keterlibatan yudisial dalam bidang mega-politik. Hal

cenderung melahirkan kekuasaan kehakiman yang “menahan diri” dalam mengadili

perkara-perkara yang masuk dalam ranah mega politik.

Kedua, Judicial Muteness. Ketika derajat kemandirian kekuasaan kehakiman

dalam praktik rendah, namun dipadukan pula dengan rendahnya keterlibatan yudisial

dalam bidang mega-politik. Hal ini melahirkan lembaga yudisial yang memiliki

kecenderungan “diam” dalam merespons perkara yang terkait dengan bidang mega-

politik. Ketiga, Politicization of the Judiciary. Ketika derajat kemandirian kekuasaan

kehakiman dalam praktik rendah, namun dipadukan dengan tingginya keterlibatan

yudisial dalam bidang mega-politik. Hal ini menjadikan lembaga yudisial yang tidak

bisa merdeka dan memiliki kecenderungan turut dalam arus politik. Keempat,

Judicial Activism. Ketika derajat kemandirian kekuasaan kehakiman dalam praktik

tinggi, namun dipadukan pula dengan tingginya keterlibatan yudisial dalam bidang

mega-politik. Hal ini menciptakan lembaga yudisial yang cenderung “aktif dan berani”

dalam mengadili putusan yang di dalamnya kental nuansa politik.

Pilihan untuk mengaitkan lembaga yudisial dengan keterlibatan di bidang mega-

politik menjadi hal yang tidak dapat dielakkan, karena dalam konteks Asia memang

beberapa negara sedang mengalami fase transisi demokrasi, sehingga cabang

kekuasaan negara seringkali bersinggungan. Kekuasaan kehakiman pada negara

dengan fase transisi demokrasi menurut Horowitz penting untuk menerapkan judicial

restraint dan mengupayakan toleransi antar cabang kekuasaan negara. Persinggungan

antar cabang kekuasaan negara dalam era transisi demokrasi inilah yang membuat

konsep judicial restraint memerlukan kontekstualisasi yang cukup signifikan dalam

konteks negara-negara di Asia.62 Terlebih bagi negara yang menerapkan dual structure

of judiciary, tentu konsep judicial restraint harus disesuaikan bukan semata interplay

antar cabang kekuasaan negara, namun lebih lanjut dalam interplay antara sesama

pelaksana kekuasaan kehakiman.

3.2. Justifikasi Penerapan Konsep Judicial Restraint dalam Praktik Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia

3.2.1. Menakar Implementasi Judicial Restraint dalam Praktik Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia

Berdasarkan eksplanasi yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya,

pada bagian ini pembahasan diarahkan dalam upaya untuk melihat justifikasi

penerapan konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia

melalui analisis terhadap padanan implementasi konsep judicial restraint dalam

praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia. Praktik yang dimaksud di sini adalah

putusan dan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pelaksana kekuasaan kehakiman di

Indonesia. Indonesia yang dalam UUD NRI Tahun 1945 menggariskan

diaplikasikannya dual structure of judiciary melalui kelembagaan Mahkamah Agung

dan Mahkamah Konstitusi menghadapi dinamika dan problematika tersendiri.

62 Donald L. Horowitz, “Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers”, Journal of

Democracy, Vol. 17, No. 4, Oktober 2006, hal. 132-133.

Page 15: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 191

Adapun konsep judicial restraint yang dijadikan sebagai acuan dalam

menganalisis putusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga yudikatif adalah

klasifikasi dasar ala Posner dengan 5 (lima) pendekatan, yaitu:63

(1) A self-restrained, judge does not allow his own views of policy to

influence his decisions.

(2) He is cautious, circumspect, hesitant about intruding those views.

(3) He is mindful of the practical political constraints on the exercise of

judicial power.

(4) His decisions are influenced by a concern lest promiscuous judicial

creation of rights result in so swamping the courts in litigation that

they cannot function effectively.

(5) He wants to reduce the power of his court system relative to that of

other branches of government.

Berdasarkan kelima pendekatan di atas, analisis terhadap praktik kekuasaan

kehakiman di Indonesia dapat dianalisis sebagai berikut: Pendekatan Pertama dan

Kedua, hakim menahan diri dengan tidak membiarkan pandangan pribadinya

mempengaruhi putusan yang dibuat dan hakim berhati-hati, ragu akan berpengaruhnya

pandangannya tersebut. Pendekatan Pertama dan Kedua digabungkan, sebagaimana

telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, dapat dikategorikan sebagai satu

kesatuan yang terkait karena hampir tidak mungkin hakim dalam memutus sama sekali

tidak menggunakan perspektif personalnya terhadap perkara yang sedang diadili.

Lebih lanjut, bila hakim merasa ragu-ragu dan takut bahwa perspektif personalnya

akan mempengaruhi putusan yang diambilnya, maka konsep judicial restraint

diperlukan di sana. Dengan berpegang dari pemahaman tersebut, maka Penulis

menggabungkan kedua pendekatan dalam sebagai satu pendekatan dalam menganalisis

praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara

permohonan judicial review yang menunjukkan preferensi cukup tajam dalam

melaksanakan kewenangan yudisial. Diantaranya ialah Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 013/PUU-I/2003 yang diputuskan dengan melihat preferensi hakim. Putusan

tersebut memutus perkara permohonan atas pengujian UU Nomor 16 Tahun 2003

yang semula Perppu Nomor 2 Tahun 2002 yang memberlakukan surut UU Nomor 15

Tahun 2003 (semula Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme). Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU Nomor 16 Tahun

2003 yang menilai peristiwa konkret peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober

2002 yang terjadi sebelum undang-undang ditetapkan ialah bertentangan dengan

konsep hukum yang dianut Indonesia.64 Terdapat lima hakim yang sepakat dengan

pertimbangan tersebut sehingga menyatakan UU Nomor 16 Tahun 2003 bertentangan

dengan UUD NRI Tahun 1945. Kelima hakim tersebut kokoh dalam penegakan asas

non-retroaktif dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan

empat orang hakim memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion) serta menilai

bahwa penerapan asas non-retroaktif tidak bisa dijalankan secara kaku, dan seharusnya

diterapkan dalam kasus bom di Bali.

Berdasarkan hal tersebut terlihat jika mufakat tidak tercapai dalam Rapat

Permusyawaratan Hakim, maka pada akhirnya preferensi hakim yang akan digunakan.

63 Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 10. 64 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003, tanggal 12

Oktober 2002, hal. 45.

Page 16: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

192 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Perbandingan suara hakim yang sepakat penegakan asas non-retroaktif dengan yang

menentang menjadi kunci penentuan putusan kelembagaan Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 44 ayat (7) UU Mahkamah Konstitusi yang

menyatakan, “ Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan

sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara

terbanyak”. Dengan demikian, hukum positif Indonesia mendesain preferensi suara

hakim yang akan menentukan putusan kelembagaan Mahkamah Konstitusi dalam

melaksanakan kewenangan judicial review.

Pendekatan Ketiga, hakim sadar terhadap hambatan politik praktis dalam

pelaksanaan judicial review. Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-

VII/2009 menunjukkan praktik self-restraint dalam hal politik. Putusan tersebut

menyatakan pasal terkait penggunaan hak pilih ditafsirkan konstitusional bersyarat

sehingga memperbolehkan penggunaan KTP dalam pemilihan Presiden tahun 2009.

Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak

perlu mendengar keterangan dari Pemerintah maupun DPR berdasarkan mendesaknya

waktu mendekati Pilpres dan hak Mahkamah Konstitusi yang dapat meminta

keterangan dan/atau risalah rapat saja dari Pemerintah dan/atau DPR. Bahkan dalam

amar putusan, Mahkamah Konstitusi melekatkan seperangkat norma di dalamnya.

Kondisi ini dinilai sebagai sebuah praktik judicial activism yang dilakukan oleh

Mahkamah Konstitusi karena telah menemukan norma baru dan bersifat mengatur.65

Judicial Activism dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “a philosophy of

judicial decision making whereby judge allow their personal views about public policy

among other factors. To guide their decision, usually with the suggestion that

adherence of their philosophy tend to find constitutional violations and are willing to

ignore precedents”.66

Mahkamah Konstitusi sejatinya menyadari bahwa pengaturan terkait politik,

dalam hal ini pemilihan umum merupakan lingkup batasan lembaga legislatif.

Sehingga dengan masuknya Mahkamah Konstitusi mengatur persyaratan penggunaan

hak politis individu menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah melangkah di

luar batasan politik praktis dalam pelaksanaan kewenangannya melakukan pengujian

peraturan perundang-undangan. Pada tahap ini, Mahkamah Konstitusi memiliki

keterlibatan dalam mega politik dan memunculkan praktik judicial activism. Hal ini

sejalan dengan pendapat Björn Dressel dimana independensi MK dalam memutus

perkara sangat tinggi, serta dipadukan dengan keterlibatan MK dalam mega-politik

juga tinggi. Dengan demikian, MK telah menjumpai kondisi dimana seyogyanya

menerapkan judicial restraint sebagaimana pendekatan yang dikemukakan oleh

Posner, namun prinsip tersebut tidak diimplementasikan.

Pendekatan Keempat, hakim sadar bahwa putusan yang dikeluarkan jangan

sampai menciptakan kewenangan baru bagi pengadilan. Akan tetapi pada pelaksanaan

kewenangan judicial review yang dimilikinya, tercatat ada yang menerapkan prinsip

prudential self-restraint yang bertipe functional ini namun ada pula yang

mengabaikan. Tahun 2013, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas

permohonan pengujian Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali

Materi dan Status Hukum MPR Tahun 1960 sampai 2002 yang dimohonkan

65 Martitah, Mahkamah Konstitusi: dari Negative Legislature ke Positive Legislature?, (Jakarta:

Konstitusi Press, 2013), hal. 153. 66 Bryan A. Garner dan Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Eight Edition), (Texas:

West, 2004), hal. 862.

Page 17: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 193

Rachmawati Soekarnoputri.67 Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya

nomor 24/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang

melakukan pengujian terhadap Tap MPR. Putusan ini didasarkan pada argumen bahwa

kedudukan Ketetapan MPR/MPRS berada di atas undang-undang dan di bawah

Undang-Undang Dasar, sehingga tidak termasuk dalam kewenangan Mahkamah

Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013 menegaskan

Mahkamah Konstitusi tidak melangkah di luar kewenangan ‘review’ yang diberikan

Konstitusi, yakni terbatas pada undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. MK

telah menerapkan prinsip prudential self-restraint bentuk kedua, yaitu functional.

Pendekatan ini menurut Posner didasarkan pada pengakuan bahwa suatu

keputusan yang menciptakan hak-hak akan mengarah pada menumpuknya perkara

yang dimohonkan sehingga justru akan mengganggu kemampuan pengadilan

melaksanakan fungsinya.68 Jika Mahkamah Konstitusi menyatakan dirinya berwenang

menguji Tap MPR, akan menambah beban Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan

fungsinya dalam judicial review. Hal ini akan berdampak pada kinerja Mahkamah

Konstitusi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yang justru berpotensi

terbengkalai jika ada penafsiran penambahan kewenangan dan fungsi Mahkamah

Konstitusi. Padahal kewenangan Mahkamah Konstitusi tak hanya mengadili dan

memutus perkara judicial review saja, namun masih ada tiga kewenangan serta satu

kewajiban sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan UU Mahkamah Konstitusi.

Berbeda dengan putusan mengenai Tap MPR, Mahkamah Konstitusi pun tidak

menerapkan prudential self-restraint dengan adanya pendapat hakim MK yang

menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perppu). Asal mula diperbolehkannya Mahkamah

Konstitusi menguji Perppu ialah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

138/PUU-VII/2009, meskipun Mahkamah Konstitusi menyatakan para pemohon tidak

memiliki legal standing sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan,

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum menjelaskan bahwa Perppu dapat

diujikan ke Mahkamah Konstitusi. 69 Mahkamah Konstitusi beralasan Perppu

melahirkan norma hukum baru sehingga dapat menimbulkan tiga kondisi: (a) status

hukum baru; (b) hubungan hukum baru; dan (c) akibat hukum baru. Oleh karena dapat

menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-

undang, maka terhadap norma yang ada dalam Perppu dapat diuji oleh Mahkamah

Konstitusi. Dengan adanya pertimbangan tersebut, terlihat bahwa Mahkamah

Konstitusi memperluas kewenangannya untuk dapat pula menguji Perppu. Uraian ini

menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia,

khususnya dalam hal judicial review, Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dalam

melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman yang dimilikinya.

Pendekatan Kelima, hakim dalam mengambil putusan cenderung

“mengalah” bila terdapat perkara yang berkaitan dengan cabang kekuasaan negara

yang lain. Mahkamah Konstitusi telah menerapkan self-restraint maupun menegasikan

prinsip ini berdasarkan pendekatan kelima. Dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi

menerapkan self-restraint dapat ditemui dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XI/2013 tentang pengujian Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang

67 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013, tanggal 10

September 2013. 68 Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 11. 69 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 1

Februari 2010.

Page 18: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

194 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.70

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi pada

Pasal 24C ayat (1) harus dikaitkan dengan Pasal 22E, sehingga kewenangan

Mahkamah Konstitusi yang mencakup pemilihan umum tidak termasuk pemilihan

kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota). Hal ini dikarenakan pemilihan kepala

daerah bukan termasuk rezim pemilu, namun masuk pada rezim pemerintahan daerah.

Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi mengurangi kewenangan yang dilekatkan

padanya dimana hal ini berkaitan dengan lembaga negara lain.

Sebelumnya, berdasar Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004), “keberatan terhadap penetapan

hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat dilakukan oleh

pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari

setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Adapun

pengalihan kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang

semula berasal dari Mahkamah Agung berubah ke Mahkamah Konstitusi bermula dari

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 yang pada

pertimbangannya Mahkamah Konstitusi memberikan ruang kepada pembentuk

undang-undang untuk memperluas makna pemilihan umum, yang juga mencakup

pemilihan kepala daerah. Putusan ini menjadi dasar perumusan norma di UU Nomor

22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dengan memasukkan

pemilihan kepala daerah sebagai rezim Pemilu. Pada akhirnya, Pasal 236C UU Nomor

12 Tahun 2008 menegaskan adanya pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung

ke Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, terlihat secara jelas bahwa Mahkamah

Konstitusi telah mengimplementasikan self-restraint dalam pendekatan kelima oleh

Posner, yakni mengurangi kewenangan sistem yudisial, dalam hal ini kewenangan

penyelesaian perselisihan pemilihan kepala daerah.

Selain praktik yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung

juga mengurangi kewenangan yang dimilikinya dalam hal hak uji formil peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal ini

terlihat dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Hak Uji Materiil (PerMA Nomor 1 Tahun 2011) yang menegaskan pengujian di

Mahkamah Agung “hanya” terkait uji materiil. Objek permohonan yang diajukan ke

Mahkamah Agung sesuai Pasal 1 angka 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil ialah permohonan keberatan, yang hanya

melingkupi keberlakuan materi muatan. Hal ini tentu tidak selaras dengan apa yang

diatur dalam Konstitusi, mengingat kewenangan Mahkamah Agung secara tegas ialah

“pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

undang”. Pengujian atau review pada hakikatnya meliputi pengujian formil dan

materiil, namun PerMA Nomor 1 Tahun 2011 justru meniadakan kewenangan

Mahkamah Agung yang telah diatur dalam konstitusi.

Berbeda dengan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi lebih

dari sekali melakukan praktik pengabaian prinsip self-restraint dengan pendekatan

yang kelima ini. Perkara pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi serta pengujian

undang-undang penetapan Perppu Mahkamah Konstitusi menjadi contoh praktik

pengabaian self-restraint. Perkara pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi mencuat

dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 yang di dalamnya Mahkamah Konstitusi

70 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, tanggal 19

Mei 2014.

Page 19: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 195

menegaskan bahwa hakim konstitusi bukan merupakan pengertian hakim yang diawasi

Komisi Yudisial.71 Putusan ini diambil Mahkamah Konstitusi dengan mendasarkan

beberapa alasan, pertama alasan original intent perumusan Pasal 24B terkait

pengawasan Komisi Yudisial tidak memiliki keterkaitan dengan ketentuan mengenai

Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan penolakan

atas segala upaya pengawasan Hakim Konstitusi karena akan mengganggu

pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus persengketaan

lembaga negara, terlebih jika salah satu pihak adalah lembaga yang mengawasi

Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi telah

melakukan a contrario dari definisi pendekatan kelima, “to reduce the power of his

court system relative to that of other branches of government” karena telah

mengurangi kewenangan lembaga negara lain, yakni Komisi Yudisial dalam hubungan

dengan lembaga Mahkamah Konstitusi terkait pengawasan Hakim Konstitusi.

Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi juga mengabaikan self-restraint pada

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.72 Putusan ini dapat

disebut sebagai putusan yang menunjukkan luasnya kewenangan Mahkamah

Konstitusi, karena menghilangkan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK)

sebagai wujud sistem pengawasan (eksternal) terhadap Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi tidak hanya menghilangkan kewenangan pengawasan yang

melekat pada suatu kelembagaan, namun juga meniadakan kelembagaan tersebut.

Putusan tersebut berimplikasi pada pengawasan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh

internal Mahkamah Konstitusi sendiri, yaitu oleh Dewan Etik.

Kedua putusan tersebut menegaskan bentuk tidak diterapkannya pendekatan

kelima self-restraint karena menghilangkan kewenangan lembaga lain yang memiliki

keterkaitan dengan pelaksanaan sistem yudisial. Pendekatan kelima Posner ini sangat

berkaitan dengan potensi persengketaan kewenangan yudisial dengan lembaga negara

lain, sehingga self-restraint perlu diterapkan untuk menghindari hal tersebut. Menurut

Ni’matul Huda, perkara pengawasan eksternal terhadap Hakim Konstitusi tersebut

dikategorikan sebagai sengketa lembaga negara melalui pengujian undang-undang.73

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa lembaga yudisial, dalam

hal ini Mahkamah Konstitusi telah menerapkan self-restraint maupun pengabaian

prinsip tersebut sesuai dengan kelima definisi pendekatan yang diajukan oleh Posner.

3.2.2. Menakar Justifikasi Judicial Restraint dalam Praktik Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia

Berpijak pada penelusuran kesesuaian antara praktik kekuasaan kehakiman

dengan klasifikasi dasar konsep judicial restraint pada pembahasan sebelumnya, maka

selanjutnya pembahasan diarahkan pada aspek menakar justifikasi dan rasionalitas

penerapan judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Justifikasi penerapan judicial restraint, sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan

sebelumnya, didasarkan pada penalaran yudisial (judicial reasoning) menurut

71 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 16

Agustus 2006. 72 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014, tanggal 11

Februari 2014. 73 Ni’matul Huda, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Teori dan Praktik di

Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2016), hal. 330.

Page 20: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

196 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Kavanagh, yang terbangun dari 2 (dua) pertimbangan, yaitu alasan substantif dan

alasan institusional.74 Alasan substantif bertumpu terkait substansi dari kewenangan,

sedangkan alasan institusional bertumpu pada peran lembaga yudikatif pada

perkembangan demokrasi konstitusional. Alasan institusional setidaknya dapat dilihat

dari indikator: (1) keahlian yudisial; (2) pembentukan peraturan yang inkremental; (3)

legitimasi kelembagaan; dan (4) reputasi yudisial.

Mendasarkan pada alasan dan indikator atas alasan tersebut, maka dapat

diuraikan justifikasi judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di

Indonesia sebagai berikut: Alasan Substantif, Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi relatif memiliki alasan substantif yang kuat karena kewenangan dalam

judicial review langsung diatribusikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah Agung

melaksanakan kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang terhadap undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal

24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

mana ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut diatur dalam UU Nomor

14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Adapun

Mahkamah Konstitusi melaksanakan kewenangan untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana ketentuan Pasal 24C ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana ketentuan

lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003

jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian

Undang-Undang.

Alasan Institusional Pertama, keahlian yudisial. Dalam rangka menilai

keahlian yudisial antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sejatinya cukup

sulit untuk dilakukan. Terlebih Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,

mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, yang

mana hal ini perwujudan dari asas ius curia novit. Dengan demikian, dapat dikatakan

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi akan selalu menerima perkara yang

datang kepadanya sesuai dengan kewenangannya dalam pengujian peraturan

perundang-undangan. Sejatinya bila memang hendak melihat kapasitas yudisial dapat

dengan melakukan penelusuran terhadap pertimbangan hakim pada setiap putusan

yang dikeluarkan. Namun, kualitas pertimbangan hakim akan sangat bergantung pada

perkara yang ditangani dan komposisi hakim yang menangani perkara, sehingga

penilaian terhadap kapasitas kelembagaan yudikatif dalam menangani perkara relatif

sulit untuk dapat dilakukan karena harus dilakukan secara holistik dalam kurun waktu

yang spesifik dengan memperhatikan karakteristik case by case yang sangat kasuistik.

Alasan Institusional Kedua, pembentukan peraturan yang inkremental.

Inkremental dimaknai secara linguistik adalah berkembang sedikit demi sedikit secara

teratur.75 Sifat inkremental dalam pembentukan peraturan memang menjadi hal tidak

dapat terelakkan, terlebih karena pergulatan politik yang sangat dipengaruhi oleh

konstelasi partai politik di DPR. Namun demikian, dalam konteks Indonesia alasan

kelembagaan ini hanya dapat diaplikasikan pada Mahkamah Konstitusi sebagai

74 Aileen Kavanagh, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, Op.cit., hal. 27. 75 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,

Inkremental, <https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/inkremental>, diakses 19 Mei 2020.

Page 21: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 197

lembaga yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD, karena UU dibentuk

bersama oleh legislatif dan eksekutif. Sedangkan, Mahkamah Agung relatif tidak

terdampak dengan ancaman inkrementalisme dalam pembentukan peraturan karena

Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU yang

notabene dibentuk secara mandiri oleh eksekutif. Pun, Mahkamah Agung mempunyai

kewenangan menguji Peraturan Daerah, namun DPRD dan Kepala Daerah sebagai

pembentuk Peraturan Daerah adalah bagian dari kekuasaan eksekutif. 76 Sekalipun

anggota DPRD juga berasal dari partai politik, namun lingkup materi pengaturan

dalam Peraturan Daerah terbatas sesuai kewenangan yang diberikan yang tidak

diperkenankan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Alasan Institusional Ketiga, legitimasi kelembagaan. Wujud dari legitimasi

kelembagaan dalam pelaksanaan kewenangan yudisial adalah terkait keterbukaan dan

akseptabilitas putusan. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung masing-masing

memiliki catatan untuk alasan kelembagaan ini, yaitu: Catatan Pertama, keterbukaan

proses beracara. Proses beracara yang dimaksud adalah proses beracara dalam

pengujian peraturan perundang-undangan, yang mana pengujian peraturan perundang-

undangan pada Mahkamah Agung tidak mengakomodasi adanya sidang yang

menghadirkan para pihak yang berperkara.77 Hal ini berbeda dengan proses beracara

pada pengujian UU di Mahkamah Konstitusi yang memanggil para pihak berperkara

pada persidangan, yang secara prinsip terbuka untuk umum.78 Perbedaan ini tentu

menjadi permasalahan tersendiri karena terkait asas keterbukaan dalam

penyelenggaraan peradilan. Tanpa adanya persidangan yang menghadirkan para pihak,

hakim tidak dapat menggali keterangan yang bisa jadi memiliki keterbatasan bila

dituangkan dalam pernyataan tertulis. Hal ini tentu menjadi catatan dalam politik

hukum pengujian peraturan di Indonesia, mengapa dalam menguji yang norma

regeling terdapat perbedaan proses beracara.

Catatan Kedua, keterbukaan putusan sebagai informasi publik. Hal ini menjadi

salah satu indikator karena akses terhadap putusan hakim merupakan salah satu bentuk

dari “the right to a fair trial” yang dituangkan dalam Article 6 dari Universal

Declaration of Human Right pada tahun 1948,79 yang dijabarkan lebih lanjut dalam

Article 25 dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). 80

Mahkamah Agung dapat dinilai relatif belum memberikan akses secara penuh kepada

publik untuk dapat mengakses pusat data putusan yang pernah diputus. Pun ada, upaya

yang dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk mengunggah putusan pada laman resmi

Mahkamah Agung hanyalah putusan baru yang belum sistematis dan lengkap. Hal ini

merupakan catatan yang relatif serius, mengingat salah satu wujud

pertanggungjawaban hakim dilihat melalui pertimbangan dalam putusan yang

dibuatnya. Hal ini berbeda dengan tata kelola putusan pengujian UU pada Mahkamah

Konstitusi, yang mana putusan dapat langsung diakses oleh publik pasca putusan

dibacakan pada persidangan yang terbuka untuk umum melalui laman resmi

Mahkamah Konstitusi.

76 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 ayat (2)

dan (3) jo. Pasal 4 ayat (1). 77 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji

Materiil, Pasal 5. 78 Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang

Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 10-28. 79 United Nation, Universal Declaration of Human Right, Article 6. 80 United Nation, International Covenant on Civil and Political Rights, Article 25.

Page 22: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

198 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Catatan Ketiga, akseptabilitas putusan. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah

Agung masing-masing memiliki catatan bila dikaitkan dengan akseptabilitas putusan.

Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Mahkamah

Konstitusi, diindikasikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkadang diragukan

efektivitasnya karena ada kecenderungan tidak dipatuhi dan diabaikan oleh addressat

putusan.81 Hal tersebut secara konsisten terjadi di Mahkamah Konstitusi hingga saat

ini.82 Sedikit berbeda dengan praktik di Mahkamah Konstitusi dengan beban perkara

pengujian yang relatif besar, putusan pengujian peraturan di Mahkamah Agung jarang

mendapatkan sorotan pemberitaan publik mengenai aspek akseptabilitasnya. Hal ini

sedikit banyak juga dipengaruhi karena tidak terdapatnya sidang yang menghadirkan

para pihak yang berperkara. Namun demikian, terdapat catatan yang perlu

diperhatikan dalam praktik pada Mahkamah Agung ketika putusannya justru tidak

diikuti oleh pihak yang memohonkan pengujian.83

Alasan Institusional Keempat, reputasi yudisial. Reputasi yudisial menekankan

pada proses pengambilan putusan yang mendorong terbangunnya kepercayaan publik

pada putusan yang dikeluarkan oleh hakim. Berikut terdapat beberapa hal-hal yang

berkaitan dengan putusan, yang patut diperhatikan dalam menilai alasan kelembagaan

ini, yaitu: Pertama, hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan. Hukum

acara pengujian peraturan perundang-undangan yang dirancang dan ditentukan secara

internal oleh lembaga yudikatif dapat dijadikan salah satu tolak ukur dalam menilai

reputasi yudisial. Hukum acara pengujian peraturan pada Mahkamah Agung tidak

mengakomodasi adanya sidang yang menghadirkan para pihak yang berperkara.84 Hal

ini membuat pihak yang berperkara dan masyarakat umum tidak mengetahui

perkembangan perkara sampai hakim mengeluarkan putusan. Hal ini menjadi catatan

serius bagi pelaksanaan pengujian peraturan di Mahkamah Agung. Hal ini berbeda

dengan pengujian peraturan pada Mahkamah Konstitusi yang mengadakan sidang

dengan menghadirkan para pihak. 85 Perbedaan ini tentu menjadi permasalahan

tersendiri karena terkait asas keterbukaan dalam penyelenggaraan peradilan.

Selain permasalahan ada atau tidaknya sidang, baik Mahkamah Agung maupun

Mahkamah Konstitusi sama-sama tidak memiliki indikator berapa lama suatu perkara

diputus. Betul memang dalam konteks Mahkamah Konstitusi, yang mana jangka

waktu beracara sangat bergantung pada durasi pembuktian yang diajukan oleh para

pihak, jangka waktu menjadi hal yang relatif sulit untuk diukur. Namun, hal yang lain

yang patut diperhatikan misalnya ketika perkara telah selesai proses pembuktiannya

dan memasuki tahapan Rapat Permusyawaratan Hakim, tidak terdapat ukuran berapa

lama suatu putusan harus segera dibacakan. Namun, bila mencermati hukum acara

81 Syukri Asyari, et al., Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), (Jakarta: Pengelolaan Teknologi

Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013), hal. 4. 82 Patricia Saraswati, Tanpa Pengawas, Lembaga Negara Tak Patuh Putusan MK,

<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170820201044-12-236066/tanpa-pengawas-lembaga-

negara-tak-patuh-putusan-mk/>, diakses 19 Mei 2020. Lihat juga Yulistyo Pratomo, SETARA Institute

Sebut Banyak Putusan MK yang Tak Dipatuhi, <https://www.merdeka.com/peristiwa/setara-institute-

sebut-banyak-putusan-mk-yang-tak-dipatuhi.html>, diakses 19 Mei 2020. 83 Lihat Edward Febriyatri Kusuma, LeIP: Celaka Banget yang Ngeyel Putusan MA Itu DPD,

<https://news.detik.com/berita/d-3464593/leip-celaka-banget-yang-ngeyel-putusan-ma-itu-dpd/>,

diakses 19 Mei 2020. 84 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji

Materiil, Pasal 5. 85 Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang

Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 10-28.

Page 23: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 199

pengujian peraturan di Mahkamah Agung yang tidak memanggil para pihak yang

berperkara, tentu hal ini menjadi pertanyaan yang patut ditelusuri lebih lanjut, berapa

jangka waktu beracara dalam pengujian peraturan di Mahkamah Agung, apakah

dengan tidak dipanggilnya para pihak, maka asas peradilan cepat memang dapat

diwujudkan atau tidak.

Kedua, keberlakuan putusan. Keberlakuan putusan yang dimaksud adalah

kapankah putusan pengujian peraturan berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat.

Hal ini relevan untuk menjadi indikator reputasi yudisial karena terkait dengan

pengambilan putusan dan menghasilkan putusan yang menstimulasi kepercayaan

publik. Dalam praktik pengujian peraturan UU di Mahkamah Konstitusi, putusan

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno

terbuka untuk umum.86 Dengan demikian keberlakuan putusan pada pengujian UU di

Mahkamah Konstitusi seketika sejak dibacakan pada sidang yang terbuka untuk umum

langsung berlaku. Hal ini menjadi bertolak belakang dengan praktik di pengujian

peraturan di Mahkamah Agung yang dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan

perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut tidak sah atau tidak berlaku

untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera

pencabutannya. 87 Hal ini patut untuk diteliti lebih lanjut, mengapa putusan atas

pengujian regeling diperlakukan layaknya putusan gugatan atas sebuah beschikking

yang menerapkan asas a contrario actus.88 Bahkan dalam hal instansi pembentuk

peraturan enggan untuk melaksanakan kewajibannya untuk mencabut, peraturan

perundang-undangan baru mempunyai kekuatan hukum terhitung 90 (sembilan puluh)

hari setelah putusan dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan peraturan perundang-undangan.89

Mendasarkan pada analisis di atas, setidaknya dapat disimpulkan dalam tabel

berikut terkait justifikasi penerapan konsep judicial restraint pada kekuasaan

kehakiman di Indonesia:

Tabel 1. Justifikasi Penerapan Konsep Judicial Restraint pada Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia

Penalaran

Yudisial Indikator Sub-Indikator

Lembaga Kekuasaan

Kehakiman

Mahkamah

Agung

Mahkamah

Konstitusi

Substantif Alas Kewenangan

Pengaturan dalam

Konstitusi √ √

Pengaturan dalam

Legislasi √ √

Peraturan Pelaksanaan √ √

Institusional

Keahlian Yudisial Pertimbangan Hakim

dalam Putusan ∞ ∞

Pembentukan

Peraturan yang

Inkremental

- X √

86 Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang

Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 39. 87 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji

Materiil, Pasal 6 ayat (2). 88 Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 116. 89 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji

Materiil, Pasal 8 ayat (2).

Page 24: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

200 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Penalaran

Yudisial Indikator Sub-Indikator

Lembaga Kekuasaan

Kehakiman

Mahkamah

Agung

Mahkamah

Konstitusi

Legitimasi

Kelembagaan

Keterbukaan Proses

Beracara X √

Keterbukaan Putusan

sebagai Informasi Publik X √

Akseptabilitas Putusan √ X

Reputasi Yudisial

Hukum Acara Pengujian

Peraturan Perundang-

undangan

X √

Keberlakuan Putusan X √

Sumber: Diolah Penulis, 2020.

Mencermati tabel di atas dapat disimpulkan justifikasi penerapan konsep judicial

restraint pada praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia. Mahkamah Agung

disinyalir relatif lebih membutuhkan untuk menerapkan judicial restraint dengan

melihat pelaksanaan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan selama

ini. Tabel di atas setidaknya menunjukkan bahwa Mahkamah Agung “masih

memerlukan” judicial restraint sebagai upaya peningkatan kinerja yudisial. Tabel di

atas tidak dapat dijadikan tolak ukur apakah judicial restraint telah dilakukan oleh

Mahkamah Agung atau belum. Bisa jadi pula hakim agung dalam kelembagaan

Mahkamah Agung telah menerapkan judicial restraint, namun implikasinya tidak

ditangkap oleh tabel di atas, karena instrumen dalam judicial reasoning memang

difokuskan untuk menilai apakah judicial restraint masih diperlukan atau tidak untuk

diterapkan.

Putusan pengujian UU yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi juga harus

didasari pada konsep judicial restraint, sehingga menghindari untuk menyinggung

cabang kekuasaan negara yang lain, bahkan terhindar untuk menyinggung sesama

pelaksana kekuasaan kehakiman. Kesadaran Mahkamah Konstitusi untuk turut serta

menerapkan judicial restraint disinyalir akan menciptakan penghormatan yudisial

(judicial deference) terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Hal ini menjadi upaya yang patut dicoba mengingat sudah terdapat penelitian yang

menunjukkan konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi tidak serta merta diikuti dan

dilaksanakan oleh pihak yang terdampak oleh putusan Mahkamah Konstitusi.90

IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan Berdasarkan pada uraian dan analisis di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, eksplanasi konsep judicial restraint dalam dinamika cabang kekuasaan

kehakiman tidak dapat dilepaskan dari introduksi dan pengembangan konsep judicial

restraint dari praktik ketatanegaraan Amerika Serikat. Terlebih bila dikaitkan bahwa

konsep judicial restraint hidup dan berkembang pada praktik judicial review dalam

kekuasaan kehakiman Amerika Serikat, khususnya pada federal judicial hierarchy.

Konsep judicial restraint dibebankan kepada lembaga kekuasaan kehakiman untuk

90 Tri Sulistyowati, et al., Constitutional Compliance atas Putusan Pengujian Undang-Undang

di Mahkamah Konstitusi oleh Adressat Putusan, Laporan Hasil Penelitian Kompetitif Tahun 2019 kerja

sama Mahkamah Konstitusi RI dengan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, (Jakarta: Mahkamah

Konstitusi RI, 2019), hal. 52-82.

Page 25: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 201

menentukan persyaratan dan kebijakan dalam penerapannya pada kewenangan judicial

review. Namun demikian, konsep judicial restraint perlu disesuaikan dengan konteks

ketatanegaraan yang spesifik bila hendak menerapkan konsep judicial restraint.

Kedua, justifikasi penerapan konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan

kehakiman di Indonesia ditelusuri dengan menggunakan penalaran yudisial (judicial

reasoning) menurut Kavanagh, yang terbangun dari 2 (dua) pertimbangan, yaitu alasan

substantif dan alasan institusional. Mahkamah Agung disinyalir relatif lebih

membutuhkan untuk menerapkan judicial restraint dengan melihat pelaksanaan

kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan selama ini. Mahkamah Agung

“masih memerlukan” judicial restraint sebagai upaya peningkatan kinerja yudisial.

Analisis dengan mendasarkan pada penalaran yudisial (judicial reasoning) menurut

Kavanagh tidak dapat dijadikan tolak ukur apakah judicial restraint telah dilakukan

oleh Mahkamah Agung atau belum. Bisa jadi pula hakim agung dalam kelembagaan

Mahkamah Agung telah menerapkan judicial restraint, namun implikasinya tidak

ditangkap oleh tabel di atas, karena instrumen dalam judicial reasoning memang

difokuskan untuk menilai apakah judicial restraint masih diperlukan atau tidak untuk

diterapkan. Putusan pengujian UU yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi juga

harus didasari pada konsep judicial restraint, sehingga menghindari untuk

menyinggung cabang kekuasaan negara yang lain, bahkan terhindar untuk

menyinggung sesama pelaksana kekuasaan kehakiman. Kesadaran Mahkamah

Konstitusi untuk turut serta menerapkan judicial restraint disinyalir akan menciptakan

penghormatan yudisial (judicial deference) terhadap putusan yang dikeluarkan oleh

Mahkamah Konstitusi.

4.2. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: Pertama, putusan

pengujian UU yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi juga harus didasari pada

konsep judicial restraint, sehingga menghindari untuk menyinggung cabang

kekuasaan negara yang lain, bahkan terhindar untuk menyinggung sesama pelaksana

kekuasaan kehakiman. Kedua, kesadaran Mahkamah Konstitusi untuk turut serta

menerapkan judicial restraint disinyalir akan menciptakan penghormatan yudisial

(judicial deference) terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Hal ini menjadi upaya yang patut dicoba mengingat sudah terdapat penelitian yang

menunjukkan konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi tidak serta diikuti dan

dilaksanakan oleh pihak yang terdampak oleh putusan Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konstitusi Press,

2005).

Asyari, Syukri, et al., Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), (Jakarta:

Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, 2013).

Barron, Jerome A., dan C. Thomas Dienes, Black Letter Outlines: Constitutional Law

(Ninth Edition), (Minnesota: West Academic Publishing, 2013).

Page 26: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

202 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Bickel, Alexander M., The Last Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of

Politics, (Indiana: The Bobbs-Merrill Company Inc., 1968).

Garner, Bryan A., dan Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Eight

Edition), (Texas: West, 2004).

Huda, Ni’matul, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Teori dan Praktik di

Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2016).

_____________, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali

Press, 2008).

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah

Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya,

(Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK RI, 2004).

Martitah, Mahkamah Konstitusi: dari Negative Legislature ke Positive Legislature?,

(Jakarta: Konstitusi Press, 2013).

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007).

Sulistyowati, Tri, et al., Constitutional Compliance atas Putusan Pengujian Undang-

Undang di Mahkamah Konstitusi oleh Adressat Putusan, Laporan Hasil

Penelitian Kompetitif Tahun 2019 kerja sama Mahkamah Konstitusi RI dengan

Fakultas Hukum Universitas Trisakti, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2019).

Artikel Jurnal

DeGirolami, Marc O., dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and

Judicial Critique of Constitutional Theory”, Notre Dame Law Review, Vol. 90,

No. 2, 2014.

Dressel, Björn, “Courts and Governance in Asia: Exploring Variations and Effects”,

Hong Kong Law Journal, Vol. 42, No. 1, 2012.

Horowitz, Donald L., “Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers”, Journal

of Democracy, Vol. 17, No. 4, Oktober 2006.

Kavanagh, Aileen, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, The University of

Toronto Law Journal, Vol. 60, No. 1, 2010.

Kramer, Larry D., “Judicial Supremacy and the End of Judicial Restraint”, California

Law Review, Vol. 100, No. 3, Juni 2012.

Posner, Richard A., “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Indiana Law Journal,

Vol. 59, No. 1, Januari 1983.

_______________, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, California Law

Review, Vol. 100, No. 3, Juni 2012.

Shemtob, Zachary Baron, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial

Restraint”, Boston University Public Interest Law Journal, Vol. 21, No. 1, 2011.

Talmadge, Philip, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General

Jurisdiction Court Systems”, Seattle University Law Review, Vol. 22, No. 2,

April 1999.

Thayer, James B., “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional

Law”, Harvard Law Review, Vol. 7, No. 3, Oktober 1893.

Treanor, William Michael, “Judicial Review before Marbury”, Stanford Law Review,

Vol. 58, No. 2, April 2010.

Wallace, J. Clifford, “Jurisprudence of Judicial Restraint: A Return to the Moorings”,

George Washington Law Review, Vol. 50, 1981.

Wilkinson III, J. Harvie, “Of Guns, Abortions, and the Unraveling Rule of Law”,

Virginia Law Review, Vol. 95, No. 2, April 2009.

Page 27: MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM …

Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 203

Artikel Internet

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan RI, Inkremental, <https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/inkremental>,

diakses 19 Mei 2020.

Kusuma, Edward Febriyatri, LeIP: Celaka Banget yang Ngeyel Putusan MA Itu DPD,

<https://news.detik.com/berita/d-3464593/leip-celaka-banget-yang-ngeyel-

putusan-ma-itu-dpd/>, diakses 19 Mei 2020.

Pratomo, Yulistyo, SETARA Institute Sebut Banyak Putusan MK yang Tak Dipatuhi,

<https://www.merdeka.com/peristiwa/setara-institute-sebut-banyak-putusan-mk-

yang-tak-dipatuhi.html>, diakses 19 Mei 2020.

Saraswati, Patricia, Tanpa Pengawas, Lembaga Negara Tak Patuh Putusan MK,

<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170820201044-12-236066/tanpa-

pengawas-lembaga-negara-tak-patuh-putusan-mk/>, diakses 19 Mei 2020.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak

Uji Materiil.

Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang

Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Putusan Pengadilan

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006,

tanggal 16 Agustus 2006.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003,

tanggal 12 Oktober 2002.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014,

tanggal 11 Februari 2014.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009,

tanggal 1 Februari 2010.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013,

tanggal 10 September 2013.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013,

tanggal 19 Mei 2014.

Dokumen Lain

United Nation, International Covenant on Civil and Political Rights.

United Nation, Universal Declaration of Human Right.


Recommended