+ All Categories
Home > Documents > MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 -...

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 -...

Date post: 15-Mar-2019
Category:
Upload: duongkiet
View: 216 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
11
MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 95
Transcript
Page 1: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

95

Page 2: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

96

Page 3: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

97

Hubungan Hasil Uji Tusuk Kulit Alergen Nyamuk Terhadap Keparahan

Klinis Dermatitis Atopik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Indah Permata Sari

1, M.Athuf Thaha

1, Yuli Kurniawati

1, R.M. Suryadi Tjekyan

2

1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedoktera Unsri /RSMH Palembang

2. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unsri

Abstrak

Dermatitis atopik (DA) merupakan inflamasi kulit yang kronik residif. Salah satu etiologi DA yaitu sensitisasi alergen.

Alergi nyamuk disebabkan sensitisasi terhadap alergen nyamuk (protein saliva nyamuk) yang menimbulkan respon IgE

spesifik sehingga dapat didiagnosis dengan uji tusuk kulit. Respon IgE spesifik diduga berperan terhadap keparahan

klinis DA. Meneliti hubungan hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk dengan keparahan klinis DA di RSUP Dr.

Mohammad Hoesin Palembang. Penelitian observasional analitik laboratorik dengan rancangan penelitian potong

lintang dilaksanakan mulai Agustus hingga Oktober 2011 di Poliklinik IKKK Divisi Alergo-Imunologi RSUP MH

Palembang. Total pasien 80 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dipilih secara consecutive random

sampling. Uji tusuk kulit alergen nyamuk dilakukan pada semua pasien kemudian dinilai keparahan klinis berdasarkan

Scoring Atopic Dermatitis (SCORAD). Uji tusuk kulit alergen nyamuk yang positif ditemukan pada 75% pasien dan

terdapat perbedaan proporsi hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk pada berbagai tingkat keparahan klinis DA (p=0.000).

Terdapat hubungan yang kuat antara hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk dengan keparahan klinis DA (p=0.000).

SCORAD dapat diprediksi menggunakan rumus regresi ganda 16.394 + (4.792 x hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk).

Alergi nyamuk mempengaruhi keparahan klinis DA.

Kata kunci: Uji tusuk kulit alergen nyamuk, alergi nyamuk, dermatitis atopik, SCORAD

Abstract

Atopic dermatitis (AD) is a chronic relapsing inflamatory skin condition. Allergen sensitization is one of the etiologic

of AD. Mosquito allergy is due to sensitization to mosquito salivary protein which cause specific IgE response and

diagnosis can define by skin prick test. The specific IgE response seems to contribute to the clinical severity of AD. To

investigate the association between mosquito allergen skin prick test result and clinical severity of AD in Dr.

Mohammad Hoesin General Hospital Palembang. An observational analytic laboratory study with cross sectional

design was done from Agustus to October 2011 in Allergo-Immunology outpatient clinic, Department of

Dermatovenereology Dr. Mohammad Hoesin General Hospital Palembang. A total of 80 AD patients who fulfilled

inclusion and exclusion criteria were recruited by consecutive sampling. Mosquito allergen skin prick test has been

done to all patients and clinical severity of AD were evaluated using Scoring Atopic Dermatitis (SCORAD). Mosquito

allergen skin prick test result showed positive in 75% patients AD and there is a significant different proportion of the

skin prick test result in all clinical severity degree of AD (p=0.000). There is also a strong association between mosquito

allergen skin prick test result with clinical severity of AD (p=0.000). SCORAD can be predicted using multiple

regresion formula = 16.394 + (4.792 x mosquito allergen skin prick test result). Mosquito allergy has contributed to the

clinical severity of AD.

Keywords: Mosquito allergen skin prick test, mosquito allergy, atopic dermatitis, SCORAD, association

1. Pendahuluan

Dermatitis atopik (DA) merupakan kelainan kulit yang

gatal, bersifat kronik residif dengan predileksi khas,

terjadi terutama pada masa bayi dan anak. Karateristik

klinis DA berupa eritem, papul, kadang vesikel dan

medidans terutama pada fase akut serta likenifikasi pada

fase kronik. Etiologi DA diduga dipengaruhi berbagai

faktor yang mengakibatkan defek sawar kulit yaitu

faktor genetic, imunologi dan lingkungan (sesitisasi

alergen).1,2

Dermatitis atopic biasanya terjadi pada

orang degan riwayat atopi baik personal atau keluarga.

Dematistis atopik dapat disertai peningkatan kadar IgE

serum pada 60-80% kasus.3

Prevalensi DA didunia bervariasi kisaran 0,6 hingga

20,5%.3 Penelitian International Study of Asthma and

Allergies in Childhood (ISAAC) mendapatkan

Page 4: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

96

prevalensi DA pada anak bervariasi dari 1% hingga

17% dan berbeda tiap negara. Secara umum prevalensi

DA tinggi di negara Australia, Eropa Utara, namun

rendah di Asia dan Eropa Timur.4 Survei terhadap anak

sekolah di Origon USA, didapatkan prevalensi DA yaitu

17,2%.5 Prevalensi DA pada dewasa lebih sedikit yaitu

kisaran 1-3%.1

Proporsi kunjunga pasien DA di poliklinik Ilmu Kesehatan

Kulit dan Kelamin (IKKK) Rumah Sakit Umum Pusat Dr.

Moehammad Hoesin (RSUP) Palembang mengalam

peningkatan dari tahun 2004 hingga 2006. Proporsi

kunjungan pasien DA menurun pada tahun 2007 hingga

2010.6 Namun hingga saat ini, belum ada data mengenai

tingkat keparahan klinis DA di RSUP MH Palembang.

Angka prevalensi DA di Indonesia bervariasi. Data dari

Departemen Kesehatan tahun 2005 pada 10 rumah sakit di

Indonesia mendapatkan prevalensi DA 36% dari seluruh

kasus.7

Diagnosis DA berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka

yang terdiri dari 4 kriteria mayor dan 23 kriteria minor.

Diagnosis DA ditegakkan apabila memenuhi minimal 3

kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Kriteria diagnostic

Hanifin dan Rajka telah digunakan sebagai baku emas

dalam menegakkan diagnosis DA.1,3,8

Keparahan klinis DA diukur berdasarkan Scoring Atopic

Dermatitis (SCORAD) yang disusun oleh European

Task Force on Atopic Dermatitis (ETFAD). SCORAD

terdiri dari interpretai luas kulit yang terkena, intesitas

lesi DA serta keluhan subjektif. Luas kulit yang terkena

berdasarkan rules on nine; 20% dari skor. Intensitas lesi

terdiri dari 6 yaitu eritem, edem/papul, oozing/krusta,

ekskoriasi, likenifikasi dan kering; 60% dari skor.

Keparahan DA berdasarkan penilaian SCORAD yaitu:

ringan (<25), sedang (25-50), dan berat (>50).9,10

Sensitisasi terhadap alergen hirup diduga berperan pada

keparahan klinis DA.11

Sensitisasi alergen akan merangsang

respon imun berupa IgE spesifik sehinggan terjadi

inflamasi dan gangguan sawar epidermis. Hal tersebut

menyebabkan kulit DA menjadi rentan terhadap faktor

lingkungan seperti alergen, iritan, mikroba, keringat

berlebihan dan kelembapan rendah. Kerusakan sawar

epidermis akan memfasilitasi sensitisasi terhadap

alergen diikuti peningkata respon IgE sehingga diduga

menyebabkan keparah DA.12

Penelitian kasus kontrol

oleh Dhar dkk tahun 2004 memperlihatkan terdapat

perbrdaan bermakna kadar IgE pasien DA dibanding

kontrol serta peningkatan kadar IgE berhungan dengan

keparahan klinis DA.13

Penelitian potong lintang oleh

Schafer dkk pada 2201 anak sekolah mendapatkan

hubungan antara derajat sensitisasi alergen hirup dengan

keparahan DA.12

Penelitian pada 250 anak di Perancis

menunjukan terdapat hubungan antara sensitisasi alerge

dengan keparahan DA yaitu sensitisasi tidak ditemukan

pada DA ringan, namun ditemukan pada 33% DA

sedang dan semua DA berat.14

Alergi nyamuk disebabkan sensitisasi terhadap alergen

nyamuk berupa protein saliva nyamuk. Reaksi alergi

nyamuk merupakan respon imunologi berupa immediate

dan delayed yang terjadi setelah saliva diinjeksikan melalui

gigitan nyamuk. Reaksi alergi ini disebabkan

hipersensitivitas immunoglobulin (Ig) E dan lymphocyte-

mediated spesifik saliva nyamuk. Alergi nyamuk sering

terjadi dan dapat mempengaruhi kualitas hidup

seseorang, namun karena keterbatasan preparat saliva

nyamuk, alergi nyamuk sering tidak terdiagnosis. Saat

ini alergen saliva nyamuk sudah dikembangkan dan

sudah tersedia secara komersil sehingga dapat digunakan

untuk penelitian alergi.15-17

Pada sebagian besar orang terjadi reaksi kulit local akibat

gigitan nyamuk berupa wheal mendadak dan flare dengan

puncak 20 menit. Reaksi lambat juga terjadi berupa

papul eritem indurasi yang gatal dengan puncak 24-36

jam, kemudian menghilang secara bertahap dalam

beberaha hari atau pekan.15

Khultanan dkk tahun 2010

mendapatkan lesi kulit alergi nyamuk yang paling

sering yaitu papul eritem (68.6%), dan wheal mendadak

(67,1%) dengan lokasi tersering di tungkai bawah.18

Terdapat lebih dari 3000 spesies nyamuk di dunia. Culex

quinquefasciatus merupakan spesies nyamuk penggigit

manusia yang paling banyak di Asia.19,20

C. quinquefasciatus

mengandung shared alergen yaitu alergen yang sama

dengan alergen spesies nyamuk lain.21

Diagnosis alergi

nyamuk dapat ditegakkan dengan hasil positif uji tusuk

kulit terhadap alergen nyamuk dan atau setum positif

IgE spesifik C. Quinquefasciatus.18

Uji tusuk kulit (skin prick test) merupakan prosedur

pemeriksaan in vivo yang mudah dilakukan, murah dan

relatif aman. Reaksi alergi merupakan reaksi yang

diperantarai oleh IgE dan dapat dideteksi dengan uji tusuk

kulit dengan prinsip kerja immediate hypersensitivity

(hipersensitivitas tipe I). Hal ini menunjukkan terdapat

IgE spesifik yang terikat pada sel mastosid kulit.

Alergen yang terikat oleh IgE pada mastosid

menyebabkan histamine dan mediator lain (protease,

faktor kemotaktik) keluar sehingga terjadi vasodilatasi

dan peningkatan permeabilitas pembuluh dari. Secara

klinis akan tampak berupa flare/kemerahan dan wheal

pada kulit tersebut.22,23

Beberapa penelitian sebelumnya memperlihatkan alergi

nyamuk lebih sering terjadi pada individu atopi.

Penelitian observasional oleh Harford-Cross tahun 1993

mendapatkan dari 149 pasien dengan riwayat atopi, 30%

cenderung ada peningkatan kerentanan terhadap gigitan

nyamuk.24

Bonifazi dkk tahun 2004 melaporkan serial

kasus 5 pasien alergi nyamuk, dari anamnesis didapatkan 1

pasien memiliki riwayat atopi personal.25

Penelitian

Page 5: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

97

observasional Thomas dkk tahun 2010 pada 50 pasien

urtikaria popular 70% pasien memiliki riwayat atopi

terutama dermatitis atopic.26

Penelitian potong lintang

Khultanan dkk tahun 2010 melaporkan bahwa dari 70

pasien alergi nyamuk yang dilakukan uji tusuk alergen

nyamuk, 41 (58,6%) pasien memiliki riwayat atopi

terutama dermatitis atopic.18

Respon IgE spesifik diduga berperan terhadap keparahan

klinis DA. Pada alergi nyamuk terjadi sensitisasi alergen

nyamuk yang dapat menyebabkan respon IgE spesifik.

Penelitian Schafer dkk dan Guillet menunjukkan

terdapat hubungan antara sensitisasi alergen dengan

tingkat keparahan klinis DA.12,14

Apakah juga terdapat

hubungan antara sensitisasi alergen nyamuk dengan

keparahan klinis DA masih belum diketahui.

Setelah dilakukan penelusuran kepustakaan, hingga saat

ini secara glonal belum ada penelitian mengenai

hubungan alergi nyamuk dengan keparahan klinis DA.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan hasil uji tusuk

kulit alergen nyamuk terhadap keparahan klinis DA.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik

laboratorik dengan rancangan penelitian potong lintang

dilakukan di Poliklinik IKKK Divisi Alergo-Imunologi

RSUP MH Palembang mulai Agustus sampai Oktober

2011. Populasi penelitian ini adalah semua pasien DA

yang datang ke Poliklinik IKKK Divisi Alergo-Imunologi

RSUP MH Palembang selama periode penelitian Sampel

penelitian adalah populasi penelitian yang memenuhi

kriteria penerimaan. Sampel penelitian diseleksi berdasarkan

kriteria penerimaan dan penolakan. Variabel bebas pada

penelitian ini adalah uji tusuk kulit alergen nyamuk.

Variabel terikat pada penelitian ini adalah keparahan

klinis DA. Kovariabel pada penelitian ini terdiri dari

usia, jenis kelamin, onset dan durasi DA, serta riwayat

atopi personal/keuarga. Sampel penelitian diambil dengan

consecutive sampling. Data yang sudah dikumpulkan

dimasukkan dalam format data entry PASW statistics

18.0 (SPSS Inc, Chicago, Illinois). Uji Kappa diolah

menggunakan piranti lunak MedCalc versi 8.0.2.0 (Inc

MedCalc Software, Belgium). Analisis data dilakukan

secara diskriptif dan analisis inferensial.

3. Hasil

Penelitian dilakukan pada 80 subjek penelitian. Data

numerik disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Data

kualitatif disajikan dalam bentuk proporsi atau persentasi.

Perbedaan proporsi uji tusuk kulit alergen nyamuk pada

berbagai tingkat keparahan DA dibandingkan dengan

Chi square (x2) test. Perbandingan hasil uji tusuk kulit

allergen nyamuk terhadap keparahan klinis DA

dianalisis menggunakan uji ANOVA. Hubungan uji

tusuk kulit allergen nyamuk dengan tingkat keparahan

klinis DA diuji dengan regresi ganda metoda stepwise.

Hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk pada subjek

penelitian ini yang menunjukkan nilai positif (+)

sebanyak 60 orang (755). Hasil uji tusuk kulit yang

positif dikelompok menurut wheal berdasarkan Bosquet

(2001) yang terbanyak yaitu positif dua (2+) sebanyak

31 orang (38.8%). Distribusi hasil uji tusuk kulit alergen

nyamuk secara lengkap diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk

Hasil uji tusuk allergen

nyamuk

Frekuensi

N %

Negatif (-) 20 25

Positif satu (1+) 3 3.8

Positif dua (2+) 31 38.8

Positif tiga (3+) 24 30

Positif empat (4+) 2 2.5

Jumlah 80 100

Perbedaan proporsi hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk

berdasarkan kelompok usia sdinilai menggunakan uji

Pearson Chi-square. Hasil yang diperoleh tidak ada

perbedaan bermakna hasil uji tusuk alergen nyamuk pada

berbagai kelompok usia. Nilai uji Pearson Chi-square 2.947

dan p value 0.938.

Hasil uji tusuk kulit yang positif dikelompok menurut

ukuran wheal berdasarkan Bosquet (2001) yang terbanyak

yaitu positif dua (2+) sebanyak 14 orang (35.9%). Proporsi

hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk pada DA ringan

secara lengkap diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Proporsi hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk

pada DA ringan

Hasil uji tusuk allergen

nyamuk pada DA ringan

Frekuensi

N %

Negatif (-) 18 46.1

Positif satu (1+) 3 7.7

Positif dua (2+) 14 36.9

Positif tiga (3+) 4 10.3

Positif empat (4+) 0 0

Jumlah 39 100

Hasil uji tusuk kulit yang positif dikelompok menurut

ukuran wheal berdasarkan Bosquet (2001) yang terbanyak

yaitu positif dua (2+) sebanyak 17 orang (48.6%). Proporsi

hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk pada DA sedang

secara lengkap diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3. proporsi hasil uji tusuk alergen yamuk pada DA

sedang

Hasil uji tusuk allergen

nyamuk pada DA sedang

Frekuensi

N %

Negatif (-) 2 5.7

Page 6: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

98

Positif satu (1+) 0 0

Positif dua (2+) 17 48.6

Positif tiga (3+) 16 45.7

Positif empat (4+) 0 0

Jumlah 35 100

Hasil uji tusuk kulit yang positif dikelompok menurut

ukuran wheal berdasarkan Bosquet (2001) yang terbanyak

yaiti positif tiga (3+) sebanyak 4 orang (66.7%). Proporsi

hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk pada DA berat

secara lengkap diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Proporsi hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk

pada DA berat

Hasil uji tusuk allergen

nyamuk pada DA berat

Frekuensi

N %

Negatif (-) 0 0

Positif satu (1+) 0 0

Positif dua (2+) 0 66.7

Positif tiga (3+) 4 33.3

Positif empat (4+) 2 0

Jumlah 6 100

Proporsi hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk berdasarkan

tingkat keparahan DA dinilai dengan uji Pearson Chi-

square, diperoleh perbedaan yang bermakna (p=0.000).

Proporsi hasil uji tusuk kulit alregen nyamuk antara ketiga

tingkatan keparahan DA ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Proporsi hasil uji tusuk kulit alregen nyamuk

antara ketiga tingkatan keparahan DA

Hasil uji tusuk

kulit

Kategori SCORAD

DA

ringan

DA

sedang

DA

berat

Total

Negative N 18 2 0 20

% 22.5% 2.5% .0% 25.0%

Positif satu

(1+)

N 3 0 0 3

% 3.85% .0% .0% 3.8%

Positif dua

(2+)

N 14 17 0 31

% 17.5% 21.3% .0% 38.8%

Positif tiga

(3+)

N 4 16 4 24

% 5.0% 22.0% 5.0% 30.0%

Positif

empat (4+)

N 0 0 2 2

% .0% .0% 2.5% 2.5%

Total N 39 35 6 80

% 48.8% 43.8% 7.5% 100%

Uji Pearson Chi-Square=55.424; p=0.000

Koefisien Phi digunakan untuk menilai kekuatan hasil uji

Pearson Chi-square antara hasil uji tusuk kulit alergen

nyamuk dengan keparahan klinis DA. Nilai yang diperoleh

untuk koefisien Phi yaitu 0.832, hal ini menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang kuat antara hasil uji tususk kulit

alergen nyamuk dengan tingkat keparahan klinis DA (Tabel

6.)

Tabel 6. Koefisien Phi dari Pearson Chi-square hasil uji

tususk kulit alergen nyamuk dengan tingkat keparahan

klinis DA

Value P

Phi 0.832 0.00

0

Perbandingan hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk

terhadap keparahan DA dinilai menggunakan uji Anova.

Hasil yang diperoleh yaitu ada perbedaan bermakna antar

kategori keparahan klinis DA (p=0.000). Perbandingan

hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk antar kelompok

keparahan klinis DA ditampilkan pada tabel 57.

Tabel 7. Perbandingan hasil uji tusuk kulit alergen

nyamuk antar kelompok keparahan klinis DA

Kategori

SCORAD

Kategori

SCORAD

Hasil uji tusuk kulit p

Mean

difference

Std.

error

DA ringan DA

sedang

-1.6117 0.2710 0.000

DA berat -3.3141 0.5103 0.000

DA

sedang

DA ringan 1.6117 0.2710 0.000

DA berat -1.7024 0.5142 0.000

DA berat DA ringan 3.3141 0.5103 0.000

DA

sedang

1.7024 0.5142 0.000

Pada penelitian ini, terdapat hubungan yang linier

(berbanding lurus) antara hasil uji tusuk kulit alergen

nyamuk dengan keparahan klinis DA, hal ini terlihat pada

kurva mean plots (Gambar 1).

Gambar 1. Gambar mean plots

Perbedaan proporsi kovariabel (usia, jenis kelamin,

durasi dan onset DA, riwayat atopi lain) terhadap

Page 7: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

99

keparahan klinis DA dinilai menggunakan Pearson Chi-

square. Hasil yang diperoleh tidak ada perbedaan

ermakna pada semua kovariabel (usia, jenis kelamin,

durasi dan onset DA, riwayat atopi lain) berbagai

tingkat keparahan DA. Nilai uji Pearson Chi-square

dan p-vauee ditampilkan dalam tabel 5.18. Tabel 8. proporsi kovariabel terhadap keparahan klinis

DA

Kovariabel Keparahan klinis DA

(SCORAD)

Pearson Chi-

square

p

usia 1.726 0.786

Jenis kelamin 1.381 0.501

Onset DA 4.982 0.289

Durasi DA 6.046 0.196

Riwayat atopi lain 0.355 0.837

Hubungan hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk dengan

keparahan klinis DA dinilai menggunakan regresi

ganda.. Hasil yang diperoleh yaitu hanya uji tusuk kulit

alergen nyamuk yang berhubungan dengan keparahan klinis

DA. Seluruh kovariabel tidak ada yang berhubungan

dengan keparahan klinis DA (Tabel 9).

Tabel 9. Hubungan hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk

dan kovariabel dengan keparahan klinis DA

p

Usia 0.913

Onset DA 0.825

Durasi DA 0.906

Jenis kelamin 0.386

Riwayat atopi lain 0.847

Hasil uji tusuk kulit

allergen nyamuk 0.000

Nilai SCORAD dapat diprediksi dari hasil uji tusuk

kulit alergen nyamuk. Model didapatkan dari regresi

ganda metoda stepwise dengan memasukkan SCORAD

sebagai variabel terikat dan hasil uji tusuk kulit alergen

nyamuk yang dapat dimasukkan ke dalam model,

sedangkan variabel lain tidak bermakna. Sehingga rumus

regresi ganda untuk nilai SCORAD yaitu = 16.394 + (4.729

x hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk) (Tabel 10.)

Tabel 10. konstanta untuk prediksi nilai SCORAD

berdasarkan hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk

model Unstandardized Coefficients p

B Std. Error

Konstanta 16.394 1.797 0.000

Hasil uji

tusuk

4.792 .679 0.000

Hasil kekuatan rumus regresi ganda tersebut dapat

dilihat dari R square dengan nilai 0.390. hal ini berarti

rumus prediksi tersebut dapat menggambarkan 39%

populasi. Koefisien determinasi analisis regresi ganda

untuk prediksi SCORAD dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. koefisien determinasi analisis regresi ganda

model R R

Square

Adjusted

R

Square

Std.

Error of

the

Estimate

Durbin-

Watson

.624a .390 .382 9.3191 1.648

4. Pembahasan

Penelitian ini merupakan penelitian observasional

analitik laboratorik dengan rancangan penelitian potong

lintang.Penelitian dilakukan mulai Agustus 2011 sampai

dengan Oktober 2011.Teknik pengambilan sampel

dilakukan secara consecutive sampling.Delapan puluh

pasien DA yang memenuhi kriteria penerimaan dan

penolakan datang ke Poliklinik IKKK Divisi Alergo-

Imunilogi RSUP MH Palembang dimasukkan sebagai

subjek penelitian.Semua subjek penelitian dilakukan uji

tusuk kulit alergen nyamuk dan dinilai tingkat

keparahan klinis DA berdasarkan kriteria SCORAD.Uji

Kappa perlu dikatakan untuk mencapai hasil uji tusuk

kulit dan SCORAD.Uji Kappa perlu dilakukan

mencapai hasil uji tusuk kulit dan SCORAD yang

reliabel dan relevan.Nilai Kappa untuk uji tusuk kulit

alergen nyamuk yaitu 0.967 dan nilai Kappa untuk

SCORAD YAITU 0.924. HASIL uji Kappa ini

menunjukkan bahwa derajat kesesuaian pembacaan

hasil pemeriksaan yang dilakukan peneliti dan observer

sangat baik atau hampir sempurna (nilai Kappa 0.81-

1.00 adalah sangat baik atau hampir sempurna).27

Uji T

juga dilakukan untuk membandingkan hasil pemeriksaan

penelitia dan observer pada uji tusuk kulit dan SCORAD

didapatkan hasil tidak ada perbedaan bermakna antara

peneliti dan observer (nilai p uji tusuk kulit alergen

nyamuk = 0.885; nilai p SCORAD = 0.683). hasil uji

pemeriksaan uji tusuk kulit alergen nyamuk dan

SCORAD pada penelitian ini telah dilakukan dengan

metoda penelitian yang benar.

Alergi nyamuk menjadi perhatian klinis di seluruh dunia

dan dapat menurunkan kualitas hidup banyak orang.15

Karena keterbatasan preparat saliva nyamuk, alergi nyamuk

sering tidak terdiagnosis dan prevalensi alergi nyamuk tidak

banyak diketahui.20

Saat ini allergen yang berasala dari

protein saliva nyamuk telah tersedia dan dapat

digunakan untuk mendiagnosis alergi nyamuk.28

Pada

penelitian ini menggunakan allergen yang diproduksi

oleh Alk Abello Itd. Port Washington tahun 2010.

Page 8: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

100

Reaksi gigitan nyamuk merupakan proses imunologi

yang disebabkan sensitisasi terhadap protein saliva

nyamuk. Mekanisme imun yang terkait perkembangan

reaksi alergi nyamuk belum dimengerti sepenuhnya.Reaksi

mendadak gigitan nyamuk sesuai dengan hipersensitivitas

tipe 1 yang dimediasi IgE. Gigitan nyamuk akan

menginduksi wheal mendadak dan flare yang berkolerasi

dengan kadar IgE spesifik saliva nyamuk. Perkembangan

sensitisasi kulit terhadap gigitan nyamuk juga paralel

dengan IgE dan IgG C.quinquefasciatus yang berkolerasi

terhadap perkembangan reaktivitas kult. Hal ini

menunjukkan bahwa IgE dan IgG spesifik berperan

terhadap proses sensitisasi pada alergi nyamuk.15,17

Sebagian besar subjek penelitian ini menunjukkan hasil

uji tusuk kulit alergen nyamuk yang positif yaitu

sebanyak 60 orang (75%).Pasien dengan riwayat atopi

(terutama DA) lebih sering terjadi reaksi karena gigitan

nyamuk dibanding yang tanpa atopi. Penelitian Harford-

Cross dkk tahun 1993 pada 149 pasien atopic didapatkan 30

& yang cenderung rentan terhadap gigitan nyamuk

dibanding yang tanpa atopi.24

Bonifazi dkk tahun 2004

melaporkan serial kasus lima pasien alergi nyamuk, dari

anamnesis didapatkan satu pasien memiliki riwayat atopi.

Pada penelitian ini, proporsi alergi nyamuk pada DA

cukup tinggi yaitu lebih dari 50%, sehingga alergen ini

diduga berperan dalam eksaserbasi DA. Penelitian

Khultanan dkk tahun 2010 pada 70 pasien alergi nyamuk

yang didiagnosis dengan uji tusuk kulit alergen nyamuk,

mendapatkan lebih dari 70% pasien yang memiliki

riwayat atopi terutama DA.

Hasil uji tusuk alergen nyamuk yang negatif paling

banyak ditemukan pada DA ringan yitu 18 orang

(22.5%).Hasil uji tusuk kuliy yang positif satu (1+)

hanya ditemukan pada DA ringan sebanyak 3 orang

(3.8%). Hasil uji tusuk kulit yang positif dua (2+) dan

positif tiga (3+) paling banyak pada DA sedang yaitu 17

orang (21.3%) positif dua dan 16 orang (20%) positif

tiga. Hasil positif empat (4+) uji tusuk kulit alergen

nyamuk hanya ditemukan pada DA berat sebanyak 2

orang (2.5%). Perbedaan proporsi hasil uji tusuk kulit

alergen nyamuk berdasarkan tingkat keparahn DA dinilai

dengan Pearson Chi-Square test, diperoleh perbedaan yang

bermakna dengan p=0.000. Koefisien Phi digunakan

untuk mengetahui kekuatan hubungan antara hasil hasil

uji tusuk kulit alergen nyamuk dengan keparahan klinis

DA. Koefisien Phi pada penelitian ini 0.832 menunjukkan

terdapat hubungan yang kuat antara hasil uji tusuk kulit

alergen nyamuk dengan keparahan klinik DA.

Pada penelitian ini, hasil uji tusuk kulit yang negatif

paling banyak ditemukan pada DA ringan sedangkan

pada DA berat semua uji tusuk kulit menunjukkan hasil

positif.Hal ini memperlihatkan bahwa derajat sensitisasi

berhubungan dengan menifestasi klinis yang terjadi. Hal

ini sesuai dengan penelitian di Perancis tahun 1992 pada

250 DA anak, menunjukkan bahwa sensitisasi alergen

berhubungan dengan keparahan DA dimana sensitisasi

tidak ditemukan pada DA ringan, sedangkan pada DA

sedang ditemukan sebanyak 33% dan semua DA berat

mengalami sensitisasi.14

Etiologi DA pada penelitiab Aragones dkk yaitu 58%

yang idiopatik dan 42% berkaitan dengan alergen.

Alergen makanan hanya berperan pada 10% pasien

sedang alergen hirup pada 26% pasien.4

Karakteristik

DA yaitu kulit kering, gatal kronik rekuren dan peningkatan

transepidermal water loss yang mempengaruhi kualitas

hidup pasien.11,28

Peranan alergen dalam pathogenesis

DA masi kontroversi, tetapi diketahuo bahwa kontak

dengan alergen hirup dapat memprovokasi DA. Berdasarkan

pengalaman klinis dan diagnostic, diketahui bahwa kontak

dengan alergen hirup dapat mencetuskan DA, hal ini

terutama terlihat pada house dust mite.14

Sensitisasi pada

DA akan mempengaruhi manifestasi kulit yang terjadi.

Kulit dengan kerusakan sawar dapat memfasilitasi alergen

hirup kemudian diikuti dengan respon IgE spesifik. Proses

sensitisasi ini berhubungan dengan keparahan penyakit.

Penelitian kohort tahun 2004 pada 1314 DA anak di

Jerman memperlihatkan bahwa prognosis DA berhubungan

dengan sensitisasi alergen, hal ini dibuktikan pada DA

berat terjadi peningkatan kadar IgE antibody serum

terhadap alergen.29

Sensitisasi yang didapat berkontribusi

terjadap keparahan penyakut dengan pola linear

(berbanding lurus).12

Pada penelitian ini didapatkan

kurva mean plots yang menunjukkan hubungan linear

antara hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk dengan

keparahan klinis DA. Semakin positif hasil uji tusuk

kulit alergen nyamuk, sensitisasi terhadap alergen

nyamuk semakin tinggi dan tingkat keparahan DA juga

semakin tinggi.

Hasil analisis regresi ganda pada penelitian ini menunjukkan

faktor yang berhubungan dengan keparahan klinis DA

hanya hasil uji tusuk kulit alergen nyamuk (p=0.000).

Semua kovariabel (usia, jenis kelamin, onset DA, durasi

DA dan riwayat atopi lain) tidak berhungan dengan

keparahan klinis DA. Hal ini berbeda dengan penelitian

Peroni dkk tahun 2007 yang mendapatkan faktor risiko

keperahan DA selain sensitisasi alergen juga dipengaruhi

riwayar atopi personal terutama rinitis. Usia dan jenis

kelamin tidak berpengaruh terhadap keparahan DA.30

Ben-Gashir dkk tahun 2004 memperlihatkan pasien

dengan riwayat asma dan onset DA sebelum usia satu

tahun cenderung menderita DA yang lebih parah.31

Penelitian retrospektif terkait faktor risiko DA oleh

Ricci dkk tahun 2006 mendapat keparahan DA

berhubungan dengan sensitisasi alergen dan riwayat asma.32

Penelitian Arogones dkk tahun 2009 mendapatkan jenis

kelamin berperan sebagai faktor risiko pada DA.4

Page 9: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

101

Respon IgE spesifik berperan terhadap keparahan

DA.Pada alergi nyamuk terjadi sensitisasi alergen

nyamuk yang juga menyebabkan respon IgE spesifik.

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan terdapat

hubungan antara sensitisasi alergen dengan tingkat

keparahan klinis DA.12,14,16

Proporsi IgE spesifik yang

tinggi dihasilkan oleh house dust mite dan nyamuk

sehingga kedua alergen ini diduga berperan penting

terhadap eksaserbasi DA.33

Penelitian prospektif Dhar

dan Barnerje (2010) pada 50 pasien DA, IgE meningkat

pada 88% pasien dan terdapat hubungan bermakna

dengan keparahan DA.34

Laske dan Niggemann tahun

2004, pada 345 pasien DA juga mendapatkan hubungan

antara keparahan klinis DA berdasarkan SCORAD

dengan kadar IgE serum. Pasien dengan SCORAD

tinggi memperlihatrkan sensitisasi terhadap alergen lebih

sering dibanding SCORAD rendah.35

Pada penelitian ini

didapatkan hubungan yang kuat antara hasil uji tusuk

kulit alergen nyamuk dengan keparahan klinis DA.

Namun, penelitian ini tidak melakukan pemeriksaan IgE

spesifik alergen nyamuk, sehingga tidak diketahui

apakah keparahan DA juga diikuti dengan peningkatan

kadar igE spesifik alergen nyamuk.

Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang

menghubungkan antra alergi nyamuk dengan keparahan

klinis DA. Penelitian lain yang menghubungkan keparahan

klinis DA dan sensitisasi terhadap alergen hidup (house

dust mite) dilakukan oleh Schafer dkk tahun 1999. Hasil

yang diperoleh yaitu terdapat hubungan antara

keparahan klinis DA dengan tingkat sensitasi house dust

mite. Hal ini dapat dijelaskan secara biologi bahwa

derajat sensitisasi semakin tinggi berhubungan dengan

manifestasi klinis yang akan terjadi.12

Pada penelitian

ini didapatkan hubungan antara alergi nyamuk dengan

keparahan klinis DA. Peranan alergen terhadap keparahan

DA dapat terlihat pada penelitian Romagnani tahun 1994

dimana limfosit T pada DA sebelum dirangsang alergen

menunjukkan aktivitas yang sama dengan kelompok

kontrol, menghasilkan IL-4 dan IFN- dalam jumlah

yang setara dengan kontrol. Pada kelompok DA, setelah

dirangsang alergen akan menghasilkan IL-4 yang lebih

banyak dibansing kontrol. Sehingga dapat disimpulkan

aktivitas limfosit T (Th1-Th2) pada DA apabila dirangsang

alergen akan lebih besar dibanding kontrol. Hal ini

disebabkan limfosit T pada DA memiliki reseptor (TCLA)

yang dapat bereaksi dengan antigen. Pada tingkat seluler,

rangsangan alergen tertentu menyebabkan respon

imunologi sehingga terjadi inflamasi.36

Penelitian kasus

kontrol Sutedja dkk tahun 2007, mendapatkan peningkatan

aktivitas Th2 lebih tinggi dibanding Th1 pada DA. Pajanan

alergen pada DA diikuti dengan peningkatan IL-4 yang

akan merangsang limfosit B sehingga menghasilkan IgE

spesifik yang akan menyebabkan keparahan DA.37

Selain

itu, mekanisme alergi nyamuk yang terdiri dari early

phase dan late phase. Early phase terjadi aktivasi sel

Th2 yang akan menghasilkan sitokin IL-4, IL-5 dan IL-

3 yang berperan pada respon inflamasi akut. Pada late

phase terjadi aktivasi Th1 yang mengeluarkan sitokin

berupa interferon ɤ dan peningkatan eosinofil yang berperan

terhadap terjadinya lesi yang kronik persisten.16,17

Mekanisme inilah yang diduga mempengaruhi keparahan

klinis DA.

Nilai SCORAD dapat diprediksi dari hasil uji tusuk

kulit allergen nyamuk berdasarkan rumus regresi pada

metoda stepwise dengan menusukkan SCORAD sebagai

variable terikat dan hasil uji tusuk kulit serta kavariabel

sebagai variable bebas. Rumus regresi ganda untuk nilai

SCORAD yaitu = 16.394 + (4.792 x hasil uji tusuk kulit

allergen nyamuk). Sebagai contoh, jika hasil uji tusuk

kulit allergen nyamuk 2.8, maka nilai SCORAD =

16.394 + (4.792 x 2.8) = 29.8.

Penelitian ini merupakan penelitian berbasis rumah sakit

bukan penelitian berbasis populasi. Hasil penelitian ini

belum tentu sama jika penelitian ini dilakukan berbasis

populasi. Penelitian ini hanya dilakukan terbatas pada

satu senter (Poliklinik Bagian/Departemen IKKK RSUP

MH Palembang) saja. Diagnosis alergi nyamuk pada

penelitian ini ditegakkan berdasarkan uji tusuk kulit

alergen nyamuk dan tidak dilakukan pemeriksaan IgE

spesifik terhadap allergen nyamuk. Selain itu, banyak

faktor lain yang berpengaruh terhadap keparahan klinis

DA, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai

factor lain yang mempengaruhi keparahan klinis DA.

5. Kesimpulan

Penelitian ini mendapatkan hasil uji tusuk kulit allergen

nyamuk pasien DA yang positif sebanyak 60 orang

(75%). Keparahan klinis DA berdasarkan SCORAD

yaitu 48.8% ringan, 43.8% sedang dan 7.5% berat. Hasil

uji tusuk kulit allergen nyamuk yang positif pada DA

ringan yaitu 58.3%, DA sedang 94.3% dan DA berat

100%.

Terdapat perbedaan yang bermakna pada proporsi hasil

uji tusuk kulit allergen nyamuk berdasarkan tingkat

keparahan klinis DA dengan p= 0.000. koefisien phi

menunjukkan hubungan yang kuat antara hasil uji tusuk

kulit allergen nyamuk dengan keparahan klinis DA.

Kurva mean plots menunjukkan hubungan linier antara

hasil uji tusuk kulit allergen nyamuk dengan keparahan

klinis DA.

Analisis regresi ganda metoda stepwise menunjukkan

hanya hasil uji tusuk kulit allergen nyamuk yang

berhubungan dengan keparahan klinis DA. Semua

kovariabel (usia, jenis kelamin, onset dan durasi DA, riwayat

atopi lain> tidak berhubungan dengan keparahan klinis

DA. Hasil uji tusuk kulit allergen nyamuk dapat

memprediksi keparahan klinis DA (SCORAD) dengan

rumus SCORAD = 16.394 + (4.792 x hasil uji tusuk

Page 10: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

102

kulit allergen nyamuk). Simpulan penelitian ini adalah

alergi nyamuk mempengaruhi tingkat keparahan klinis

DA.

Penelitian ini dapat dilakukan lebih lanjut dengan ruang

lingkup yang lebih luas (multisenter). Penelitian yang

sama juga dapat dilakukan dengan populasi yang

berbeda yaitu penelitian berbasis populasi. Hasil uji

tusuk kulit allergen nyamuk dapat dikonfirmasi dengan

pemeriksaan IgE spesifik allergen nyamuk sehingga

diagnosis alergi nyamuk dapat ditegakkan lebih tepat.

Penelitian lebih lanjut untuk mengetahui factor lain

yang berpengaruh terhadap keparahan klinis DA masih

diperlukan.

Daftar Acuan

1. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M.

Atopic dermatitis. In: Wolf K, Goldsmith L, Katz

S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D. Editors,

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th

ed. New York: Mc. Graw Hill Company;

2008.p.146-57

2. Williams HC. Atopic dermatitis. N eng J Med

2005; 352; 2314-24

3. Simpson EL, Hanifin JM. Atopic dermatitis. J Am

Acad Dermatol 2005; 53; 115-28

4. Aragones AM, Toledo RF, Calatayud AM, Mir JC.

Epidemiologic, clinical and socioeconomic factors

of atopic dermatitis in spain: Alergologica-2005. J

Invest Allergol Clin Immunol 2009; 19 (2): 27-33

5. Laughter D, Istvan JA, Tifte SJ, Hanifin JM. The

prevalence of atopic dermatitis in Oregon

schollchildren. J Am Acad dermatol 2000; 43 : 649-

55

6. Data kunjungan pasien rawat jalan poliklinik ilmu

kesehatan kulit da kelamin Rumah Sakit Umum

Pusat Dr. Mohammad Hoesin Tahun 2010

7. Kusmuniarty. Hubungan kadar interleukin-13

dengan hasil uji tusuk kulit penderita dermatitis

atopic. Tesis. Makasar : Pascasarjana Universitas

Hasanuddin Makasar; 2011.h.1-2

8. Brenninkmeijer EEA, Schrarn ME, Leeflang

MMG, Bos JD, Spuls PL. Diagnostic criteria for

atopic dermatitis: a systemic review. Br J Dermatol

2008; 158 (4): 754-65

9. Orange AP, Glazenburg EJ, Wolkerstorfer A,

Waard D. Practical issues on interpretation of

scoring atopic dermatitis: the SCORAD index,

objective SCORAD and the three item severity

score. British J Dermatol 2007; 157: 645-8

10. Charman C, Chambers C, Williams H. Measuring

atopic dermatitis severity in randomizwd controlled

clinical trials: what exactly are we measuring?. J

Invest Dermatol 2003; 120: 932-41

11. Leung DYM, Boguniewichz M, Howell MD,

Nomura I, Hamid QA. New insight into dermatitis

atopic. J Clin Invest 2004; 113: 651-7

12. Schafer T, Heinrich J, Wist M, Adam H, Ring J,

Wichmann HE. Association between severity of

atopic eczema and degree ofsensitization to

aeroallergens in schoolchildren. J Allergy Clin

Immunol 1999; 104 (6): 1280-4

13. Dhar S, Malakar R, Chattopadhyay S, Dhar S,

Banerjee R, Ghosh A. Correlation of the severity of

atopic dermatitis with obsolute eosinophil counts in

peripheral blood and serum IgE levels. Indian J

Dermatol Venereol Leprol 2005; 71:246-9

14. Guillet G, Guillet M. Natural history of

sensitizations in atopic dermatitis. A 3-years follow

up in 250 children: food allergy and high risk of

respiratory symptoms. Arch Dermatol 1992; 128:

187-92

15. Peng Z, Simons FE. A Prospective study of

naturally acquired sensitization and subsequent

desensitizarion to mosquito bites and concurrent

antibody responses. J Allergy Clin Immunol 1998;

101: 248-86

16. Peng Z, Simons FE. Mosquito allergy : immune

mechanism and recombinant salivary allergens. Int

Arch Allergy Immunol 2004; 133: 198-209

17. Peng Z, Simons FE. Advances in mosquito allergy.

Curr Opin Allergy Clin Immunil 2007; 7: 350-4

18. Khultanan K, Wongkamchai S, Triwongwaranat D.

Mosquito allergy, clinical features and natural

course. J dermatol 2010; 37: 1023-31

19. Peng Z, Li H, Simons FE. Immunoblast analysis of

salivary allergens in 10 mosquito species with

world wide distribution and the human IgE

responses to these allergens. J allergy Clin

Immunol 1998; 101: 498-505

20. Peng Z, Beckett AN, Engler RJ, Hoffman DR, Ott

NE, Simons FE. Immune responses to mosquito

saliva in 14 individuals with acute systemic allergic

reactions to mosquito bites. J Allergy Clin Immunol

2004; 114: 1189-94

21. Wongkamchai S, Techasintana P, Wisuthsarewong

W, Khultanan K, Suthipinittharm P, Eakpo P.

Analysis of IgE-binding allergens in culex

quinquefasciatus saliva protein in mosquito bite

allergic patients. Ann Allergy Asthma Immunol

2007; 98: 200-1

22. Lachaplle JM, Maibach HI, The methodology of

prick testing and it’s variant. In : Lachaplle JM,

Maibach HI, editors. Patch testing and prick testing.

Berlin: Springer-verlag; 2009.p.149-62

23. Australasian society of clinical Immunology and

allergiy inc. Skin prick testing for diagnosis allergic

disease, a manual for practitionecrs. ASCIA skin

prick testing working party 2006; 1-31

24. Harford- Cross M. Tendency ro being bitten by

insect among patients with eczema and with other

Page 11: MKS, Th. 46, No. 2, April 2014 - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/5930/1/Hubungan_Hasil_Uji_Tusuk_Kulit_Alergen... · 1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

MKS, Th. 46, No. 2, April 2014

103

dermatoses. British J General pract 1993; 43: 339-

40

25. Bonifazi E, Belloma G, Mazzotta F.

Hypersensitivity to mosquito starting in winter.

EUR J Pediat Dermatol 2004; 14: 17-20

26. Thomas J, Prabu S, Manoharan D, Kumar A,

Chynthia S, Ahmad A. Papular urticaria: an early

marker of atopic march E-jourrnal of the Indian

society of teledermatology 2010; 4(2): 8-13

27. Daly LE, Bourke GJ. Interpretation and uses of

medical statistic. 5th

ed. London: Blackwell

Science; 2007.p.381-412

28. Simon ER, Peng Z. Mosquito allergy recombinant

mosquito salivary antigens for new diagnostic test.

Int Arch Allergy Immunol 2001; 124: 403-5

29. Illi S, Von mutuis E, Lau S, Nickel R, Gruber C,

Niggermann B, dkk. The natural course of atopic

dermatitis from birth to age 7 years and the

association with asthma. J Allergy Clin Immunol

2004; 113: 925-31

30. Peroni DG, Piacentini GL, Bodini A, Rigotti E,

Pigozzi R, Bonner AL. Prevalence and risk factor

for atopic dermatitis in preschool children. British J

Dermatol 2008; 158: 539-43

31. Ben-Gashir M, Seed PT, Hay RJ. Predictor of

atopic dermatitis severity over time. J Am Acad

Dermatol 2004; 50: 349-56Schafer T.

Epidemiology of atopic dermatitis. In: Ring J,

Przybilla B, Ruzicka T, editors. Handbook of atopic

dermatitis. 2th

ed. Berlin: Spinger; 2006.p.21-7

32. Ricci G, Patrizi A, Baldi E, Menna G, Tabanelli M,

Masi M. Long-term follow up of atopic dermatitis:

retrospective analysis of related risk factors and

association with concomitant allergic disease. J Am

Acad Dermatol 2006; 55: 765-71

33. Thomas J. Understanding atopic dermatitis and its

management in children E-journal of the Indian

Society of Teledermatology 2007; 1(1): 3-11

34. Dhar S, Banerjee R. Atopic dermatitis in infants

and children in India Indian J Dermatol Venereol

2010; 76: 504-13

35. Lasken N, Niggemann B. Does the severity of

atopic dermatitis correlate with serum IgE levels?

Pediatr Allergy Immunol 2004; 15: 86-8

36. Romagni S. Regulation of the development of type

2 T helper cells in allergy Curr Opin Immunol

1994; 6: 838-42

37. Sutedja E, Adi S, Soebono H, Indjradinata PS.

Ketidakseimbangan Th-2 dan Th-1 pada dermatitis

atopic. Majalah Kedokteran Bandung 2007; 39(2): 1-7


Recommended