MONOGRAF THE DEVELOPMENT OF EXPRESSIVE...

MONOGRAF

THE DEVELOPMENT OF EXPRESSIVE WRITING

MODULE TO IMPROVE POST-TRAUMATIC GROWTH IN

DISASTER VICTIMS

PENULIS:

DWI NIKMAH PUSPITASARI, M.Psi

AYU DYAH HAPSARI, M.A

YUDI TRI HARSONO, M.A

Dr. FONNY DAMEATY HUTAGALUNG

TEHA APRILYA AZZAHRA

FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MALANG i

2019

ii

THE DEVELOPMENT OF EXPRESSIVE WRITING MODULE TO IMPROVE POST-

TRAUMATIC GROWTH IN DISASTER VICTIMS

PENULIS:

DWI NIKMAH PUSPITASARI, M.Psi





FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

2019

iii

THE DEVELOPMENT OF EXPRESSIVE WRITING MODULE TO IMPROVE POST-

TRAUMATIC GROWTH IN DISASTER VICTIMS

PENULIS: DWI NIKMAH PUSPITASARI, M.Psi





EDITOR: RAKHMADITYA DEWI NOORRIZKI, M.Si

ISBN : 978-623-92327-1-9

PENERBIT:

Fakultas Pendidikan Psikologi

Universitas Negeri Malang

REDAKSI:

Jl. Semarang 5 Malang

Tepl. (0341) 579700

Email: [email protected]

Cetakan pertama, Desember 2019

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun

Tanpa ijin tertulis dari penerbit

mailto:[email protected]

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan kesempatan sehingga laporan akhir penelitian PNBP tahun 2019 ini

berhasil disusun. Kami juga turut berterima kasih kepada pihak Universitas Negeri

Malang, karena pada kesempatan kali ini kami diberi kepercayaan untuk

melaksanakan penelitian dengan dana PNBP. Laporan akhir penelitian ini disusun

dan ditulis sebagai wujud pertanggungjawaban peneliti terhadap institusi dan juga

tanggung jawab keilmuan di bidang Psikologi terkait tema menulis ekspresif sebagai

bentuk intervensi untuk meningkatkan pertumbuhan pasca trauma yang

diakibatkan oleh bencana alam.

Berangkat dari latar belakang intervensi psikologi kepada korban bencana

yang masih membutuhkan variasi dan pengembangan keilmuan, pada kesempatan

kali ini peneliti mengaitkan pertumbuhan pasca trauma yang terjadi akibat bencana

dengan menerapkan menulis ekspresif dan melihat sejauh mana menulis ekspresif

dapat membantu korban untuk meningkatkan pertumbuhan paska bencana.

Kegiatan penelitian kali ini dilakukan oleh sejumlah tiga dosen dari Fakultas

Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang, satu peneliti dari University of

Malaya, dan melibatkan satu mahasiswa dari Fakultas Pendidikan Psikologi

Universitas Negeri Malang. Pada penelitian kali ini masih terbatas di wilayah

Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan kami berharap akan dapat mengembangkan

penelitian di daerah-daerah lain di Indonesia dengan tidak membatasi mengaitkan

dengan satu variable saja.

Kami menyadari bahwa dalam menyusus monograf ini masih terdapat

kekurangan, sehingga masukan dan saran yang membangun sangat kami butuhkan

untuk dapat menyempurnakan penelitian di masa mendatang.

November 2019

Tim Peneliti

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1.Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2 Tujuan Penelitian .............................................................................................................. 3

1.3 Manfaat penelitian ............................................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 5

2.2 Menulis Ekspresif ............................................................................................................. 5

2.3 Post-traumatic Growth ...................................................................................................... 9

2.4 Korban Gempa ................................................................................................................. 12

BAB III METODE PENELITIAN 14

3.1 Lokasi dan Subjek Penelitian ............................................................................................ 14

3.2 Design .............................................................................................................................. 14

3.3 Instrumen ......................................................................................................................... 15

3.4 Analisis Data .................................................................................................................... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................................................. 17

4.2 Deskripsi Partisipan Penelitian .......................................................................................... 17

4.3 Hasil Penelitian ................................................................................................................. 18

4.4 Pembahasan ...................................................................................................................... 28

BAB V PENUTUP 32

5.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 32

5.2 Saran ................................................................................................................................ 32

DAFTAR RUJUKAN ................................................................................................................. 33

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. Desain Eksperimental ................................................................................................. 15

Tabel 3.2. Panduan Menulis Ekspresif ........................................................................................ 15

Tabel 4.1. Deskripsi Subjek Penelitian ........................................................................................ 17

Tabel 4.2 Jadwal Hari ke-1 ......................................................................................................... 19



Tabel 4.5 Daftar Nama Pelaksana Menulis Ekspresif .................................................................. 21

Tabel 4.6 Kagiatan Hari ke-1 ...................................................................................................... 22



Tabel 4.9. Perbandingan Data Hipotetik dan Data Empirik .......................................................... 28

Tabel 4.10 Kategorisasi Partisipan Penelitian ............................................................................. 28

Tabel 4.11. Hasil Uji Wilcoxon.................................................................................................. 28

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Alur Penelitian ........................................................................................................ 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia diketahui memiliki potensi bencana alam yang tinggi, Data Informasi

Bencana Indonesia (2018) menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terjadi 3.397 bencana alam

dengan korban meninggal dan hilang 3.874 orang, luka-luka 21.171 orang, serta terdampak

dan mengungsi 563.135 orang, selain itu kejadian bencana alam terus meningkat dari tahun

2015 sampai 2018. Fenomena gempa yang langka terjadi pada tahun 2018 di Lombok, Bali,

dan Sumbawa. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, total

keseluruhan gempa bumi yang terjadi dari di wilayah-wilayah tersebut sejak tanggal 29 Juli

2018 sampai 30 Agustus 2018 berjumlah 1.973 kali gempa bumi. Gempa yang terjadi

berulang kali tersebut memperparah tingkat kerusakan bangunan dan memperbanyak jumlah

korban jiwa. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),

kerusakan yang diakibatkan oleh rangkaian gempa Lombok 2018 adalah 71.962 unit rumah

rusak, 671 fasilitas Pendidikan rusak, 52 unit layanan kesehatan, 128 unit fasilitas

peribadatan dan infrastruktur rusak. Sedangkan, untuk data korban bencana, diketahui bahwa

sebanyak 460 orang meninggal dunia, 7.733 korban mengalami luka-luka, dan 417.529 orang

harus mengungsi.

Selain kerugian material, tingginya aktivitas gempa yang terjadi di daerah Lombok,

Sumbawa, dan Bali tentu membawa masalah tersendiri bagi kondisi psikologis masyarakat.

Sayangnya penanggulangan kebencanaan di Indonesia saat ini seringkali masih menekankan

pada pemulihan sector fisik, seperti pemberian bantuan yang berupa kebutuhan sandang,

pangan, dan papan. Padahal, selain menyebabkan kerugian dan dampak fisik yang buruk,

bencana alam juga dapat menyebabkan dampak psikologis yang perlu mendapatkan perhatian

yang memadai. Hal ini disebabkan, orang-orang yang mengalami peristiwa bencana berisiko

memiliki masalah kesehatan mental dan fisik dalam jangka panjang (Smyth, 2002), hal ini

disebabkan karena bencana alam merupakan peristiwa yang dapat menyebabkan seseorang

kehilangan harta benda secara mendadak, kematian orang-orang terdekat, kecacatan fisik

secara mendadak atau akibat lainnya yang menyebabkan seseorang dapat mengalami takut

yang berulang dan mengganggu terkait datangnya bencana. Trauma, depresi, dan stress

2

adalah beberapa dampak psikologis yang sering dialami. Kebutuhan intervensi psikologis

untuk mengatasi permasalahan kesehatan mental yang terjadi dalam jangka panjang pasca

bencana sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan bahwa dalam tahun-tahun mendatang Badan

Nasional Penanggulangan Bencana telah memprediksi bahwa Indonesia masih akan banyak

mengalami bencana, baik berupa bencana yang terkait perubahan cuaca maupun bencana

geologis. Ini berkaitan dengan posisi geologis Indonesia yang berada di Kawasan Cincin Api

Pasifik dan merupakan pertemuan beberapa lempeng tektonik.

Adanya kesadaran akan kondisi psikologis masyarakat yang mengalami kerentanan

pasca terjadinya bencana, mendorong berbagai pihak berusaha untuk meningkatkan

kesadaran akan pentingnya perhatian bagi aspek psikologis pasca bencana. Salah satunya

yang dilakukan oleh organisasi Dompet Dhuafa. Dari hasil observasi yang dilakukan oleh

pihak Dompet Dhuafa, diketahui bahwa anak-anak pada umumnya mengalami trauma. Tak

hanya itu, menurut ahli psikologi dari Mataram Dr. Muazar Habibi, dalam keadaan tertentu

warga Lombok mengalami phantom earthquake syndrome atau gempa khayalan akibat

seringnya gempa terjadi di daerah tersebut. Kondisi psikologis pasca terjadinya bencana yang

juga seringkali terjadi adalah post-traumatic stress disorder (PTSD). PTSD mungkin terjadi

pada individu yang mengalami peristiwa mengerikan, salah satunya adalah bencana alam.

Pada PTSD gejala-gejala yang intrusive akan dialami oleh seseorang selama lebih dari satu

bulan dan rentan mengganggu kehidupan sehari-hari. PTSD juga rentan terjadi pada individu

yang kehilangan orang terdekatnya saat terjadinya bencana. Beberapa hal dianggap dapat

membantu seseorang untuk mencegah terjadinya PTSD, namun hal tersebut tentu bergantung

pada kondisi psikologis masing-masing individu dalam menangani stress. Pada

kelanjutannya, trauma akan mengarahkan pada konsekuensi negatif atau positif (Bensimon,

2012). Konsekuensi negatif dari trauma berupa gangguan stres pasca trauma, sedangkan

konsekuensi positif dari trauma disebut sebagai pertumbuhan pasca trauma. Setiap orang

yang pernah mengalami peristiwa traumatis diharapkan mengalami konsekuensi positif

sehingga dapat tumbuh menjadi lebih kuat dan tangguh. Pertumbuhan pasca trauma merujuk

pada kegigihan individu menghadapi stress dan realita pasca bencana (Werdel & Wicks,

2012). Pertumbuhan pasca trauma bukanlah akibat langsung dari trauma, namun sebagai hasil

dari proses perjuangan dan kegigihan individu menghadapi realitas pasca trauma, sehingga

akan menentukan sejauh mana terjadi pertumbuhan pada individu tersebut (Tedeschi dan

Calhoun, 2004c). Proses mencapai pertumbuhan pasca trauma akan lebih cepat dengan

adanya dukungan sosial, penelitian Schexnaildre (2011) dan Bozo dkk. (2009) membuktikan

3

bahwa dukungan sosial memprediksi pertumbuhan pasca trauma. Dukungan sosial terhadap

korban bencana dapat diberikan secara instrumental melalui terapi menulis ekspresif.

Terapi menulis ekspresif merupakan kegiatan menulis tentang pikiran dan emosi

terkait peristiwa yang menjadi masalah besar ataupun traumatik (Pennebaker, 1989, dalam

Gebler & Maercker, 2007). Penelitian Nixon dan Kling (2009) menguji terapi menulis

ekspresif pada 10 orang yang pernah mengalami kejadian traumatis, menemukan bahwa

terapi menulis ekspresif yang berorientasi masa depan secara signifikan menurunkan

gangguan stres pasca trauma, dan simtom-simtom depresi, serta keyakinan trauma yang tak

teratasi. Penelitian lain tentang pengaruh menulis ekspresif pada 10 wanita yang menjadi

korban kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan hasil bahwa menulis ekspresif dapat

menurunkan simtom-simtom stres pasca trauma (Hapsari, 2012). Penelitian Smyth, dkk

(2010) menguji intervensi menulis ekspresif untuk individu-individu yang mengalami post

traumatic stres disorder (PTSD), hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi menulis

ekpresif aman untuk diberikan dan partisipan mengalami peningkatan mood dan pertumbuhan

pasca trauma.

Hasil penelitian terdahulu juga menyebutkan bahwa salah satu intervensi yang

diketahui memiliki dampak positif dalam penanganan kesehatan mental pasca kejadian

traumatic adalah intervensi menulis ekspresif. Menulis ekspresif disebut sebagai intervensi

yang menjanjikan untuk meredakan trauma, menurunkan kecemasan, dan meningkatkan

kesejahteraan psikologis maupun fisik seseorang (Bodor, 2002; Stanton, dkk, 2002). Dalam

kegiatan menulis ekspresif, seseorang akan mampu melepaskan pikiran dan perasaan

negative terkait peristiwa traumatik. Namun pengungkapan pikiran dan emosi yang

mengganggu tersebut juga dapat berakibat negative pada seseorang, oleh karena itulah

intervensi menulis ekspresif ini harus disesuaikan dengan kebutuhan psikososial seseorang.

Sebagai respons terhadap kebutuhan akan model intervensi psikologis pasca bencana,

penelitian ini bertujuan mengujicobakan efektivitas terapi menulis ekspresif untuk membantu

pemulihan kondisi psikologis pasca bencana dan mengembangkan sebuah modul intervensi

yang dapat digunakan dalam penanganan kesehatan mental pasca bencana.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan modul terapi menulis ekspresif yang

berguna untuk meningkatkan pertumbuhan pasca trauma pada korban bencana di Indonesia.

4

1.3 Manfaat penelitian

a. Proses pemberian bantuan terapi secara sederhana yang pada kelanjutannya dapat

dilakukan oleh subjek penelitian secara mandiri bahkan dapat mensosialisasikan

dan membantu orang lain sesama korban bencana

b. Produk riset atau modul yang dihasilkan memiliki kajian Psikologi yang relevan

dengan kebutuhan korban bencana gempa bumi

c. Sebagai riset yang menghasilkan modul atau produk yang dapat digunakan

sebagai sarana pengabdian kepada masyarakat

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Menulis Ekspresif

Salah satu intervensi klinis yang cukup menjanjikan bagi inidividu yang pernah mengalami

peristiwa traumatik adalah menulis ekspresif (Wong & Rochlen, 2009). Selama lebih dari 20 tahun,

penelitian dan perhatian terhadap menulis ekspresif menjadi salah satu wilayah penelitian yang cukup

populer. Banyak penelitian telah menunjukkan bukti-bukti mengenai manfaat menulis ekspresif baik

dari segi fisik maupun psikis (Baikie dan Wilhelm, 2005). Singkatnya, menulis ekspresif telah

membawa banyak dampak positif bagi kesehatan mental seseorang setara dengan terapi psikologis

jangka pendek, yang akan meningkatkan kesehatan fisik seseorang.

2.1.1 Definisi Menulis Ekspresif

Menulis ekspresif didefinisikan sebagai penulisan mengenai pengungkapan diri mengenai

pikiran dan emosi mengenai peristiwa yang menjadi masalah besar bagi seseorang maupun peristiwa

traumatik (Pennebaker, 1989, dalam Gebler & Maercker, 2007). Pence, dkk (2011) menjelaskan

bahwa menulis ekspresif merupakan pembukaan diri seseorang secara emosional mengenai perasaan

dan pikirannya terhadap satu peristiwa yang menimbulkan tekanan melalui tulisan. Boone (2006)

mengemukakan bahwa menulis ekspresif merupakan sebuah teknik yang mendorong seseorang untuk

mengekpresikan perasaan mereka dengan menuliskan perasaan dan peristiwa traumatik tersebut

dalam konteks bahasa tulisan.

2.1.2 Mekanisme Menulis Ekspresif

Beberapa penjelasan dijabarkan untuk mengetahui bagaimana mekanisme menulis

ekspresif bekerja dan dapat bermanfaat bagi kesehatan mental dan fisik seseorang.

Pennebaker, dkk (1988, dalam Daniels, 2008) menjelaskan dua alasan mengapa menghadapi

trauma melalui kegiatan menulis ekspresif dapat bermanfaat. Yang pertama, penelitian telah

menunjukkan bahwa perilaku individu untuk merepres ingatan dan perasaan mengenai

trauma berkorelasi dengan kemunculan penyakit yang berhubungan dengan stres, sedangkan

dalam jangka panjang akan meningkatkan sistem otonomi tubuh seperti tekanan darah dan

denyut jantung, dengan kegiatan menulis ekspresif penekanan yang dilakukan individu

terhadap perasaan dan pikirannya akan berkurang melalui proses katarsis yang terjadi saat

mereka menulis. Alasan kedua adalah bahwa menghadapi trauma melalui kegiatan menulis

ekspresif dapat membuat individu mampu mengasimilasi, melihat kembali, dan menemukan

6

makna dari kejadian tersebut. Terdapat beberapa penjelasan mengenai bagaimana mekanisme

kerja dari menulis ekspresif sehingga dapat memberikan manfaat pada individu, yakni:

a. Katarsis emosi

Gebler dan Maercker (2007) menjelaskan bahwa menulis ekspresif dapat digunakan

sebagai sarana ekspresi emosi yang baik sebab melalui menulis, individu dihadapkan

kembali kepada peristiwa traumatik namun dengan pkiran dan perasaan yang lebih

baru dalam melihat peristiwa traumatik tersebut.

b. Inhibisi emosi dan konfrontasi

Pennebaker (1985, dalam Baikie dan Wilhelm 2005) mengemukakan teori bahwa

menekan ingatan dan perasaan mengenai satu peristiwa traumatik membutuhkan

usaha yang kemudian terwujud menjadi stresor pada tubuh dan peningkatan aktivitas

tubuh seperti sulit tidur, adanya pemikiran obsesif dan ruminasi tentang peristiwa

tersebut, dan penyakit dalam waktu yang lama. Kacewickz, dkk (2007)

mengemukakan bahwa orang-orang yang menghadapi trauma namun tidak

mengungkapkan hal tersebut akan memiliki kesehatan yang lebih buruk. Hal ini

disebabkan karena, saat individu berusaha menghalangi atau menekan pikiran, emosi,

dan perilaku mereka hal itu akan berpengaruh pada sistem kerja tubuh yang lebih

rendah. Menghadapi trauma melalui menulis atau berbicara mengenai peristiwa

tersebut dan menyadari emosi yang dirasakan adalah satu cara untuk mulai

menurunkan kewaspadaan tubuh dan kemudian secara bertahap dapat menurunkan

stres yang ada di seluruh tubuh. Dalam kegiatan menulis ekspresif, dibutuhkan

integrasi kognisi dan pemahaman untuk menuliskan kejadian traumatik dan perasaan

yang menyertainya ke dalam sebuah tulisan, hal ini akan berakibat menurunnya

kewaspadaan tubuh yang berlebihan dan ruminasi. Ini menunjukkan bahwa menulis

tentang peristiwa traumatik dapat menurunkan stres yang dialami tubuh akibat

mengingat kembali kejadian tersebut.

c. Konstruksi narasi koheren

Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Pennebaker (2001) yang menggunakan

program Linguistic Inquiry and World Count (LIWC) untuk menganalisa pelaksanaan

satu program menulis ekspresif, ditemukan bahwa di akhir sesi menulis ekpresif,

partisipan yang diketahui mengalami peningkatan kesehatan yang lebih besar

menggunakan lebih banyak kata-kata dengan muatan emosi positif, lebih sedikit

dalam menggunakan kata-kata dengan emosi negatif dan menggunakan kata-kata

7

yang menunjukkan tentang adanya mekanisme pemrosesan kognisi seseorang

terhadap peristiwa traumatik tersebut (seperti: memahami, menyadari). Satu hal yang

penting dalam bahasa dan percakapan adalah untuk mengkomunikasikan ide secara

koheren dan dapat dipahami. Melalui menulis ekspresif, seseorang dapat menulis

tentang pengalaman traumatiknya dengan lebih terorganisasi, hal ini merupakan cara

yang lebih sehat untuk mengkomunikasikan perasaan ditengah pikiran yang sedang

kacau (Kacewicz, dkk 2007).

d. Pemrosesan kognitif

Terdapat lebih banyak temuan mengenai pemrosesan kognitif sebagai sebuah

mekanisme potensial yang menjelaskan bagaimana menulis dapat membantu individu

untuk mengorganisasikan dan merangkai ingatan mengenai peristiwa traumatik, yang

berimplikasi pada adanya gambaran yang lebih integratif mengenai dirinya, orang

lain, dan dunia luar (Harber dan Pennebaker, 1992., dalam Baikie dan Wilhelm.,

2005). Selain itu kegiatan menulis secara ekspresif mengenai peristiwa traumatik akan

meningkatkan kerja kapasitas memori yang berimbas pada peningkatan kemampuan

seseorang dalam hal pemrosesan kognitif.

e. Pemaparan

Sloan dan Marx (2004, dalam Baikie dan Wilhelm, 2005) mengemukakan bahwa

terdapat beberapa bukti bahwa pemaparan adalah hal yang mendasari peningkatan

kesehatan emosi yang terjadi ketika kita menulis ekspresif, baik jika mereka

menuliskan hanya satu peristiwa traumatic yang sama di setiap sesinya, maupun jika

individu menuliskan peristiwa-peristiwa traumatic yang berbeda dalam setiap sesi.

Melalui pengulangan menulis ekspresif mengenai ingatan tentang peristiwa traumatik,

secara perlahan orang akan mulai mengenali emosi negatifnya dan menjadi lebih

terbiasa untuk mengendalikannya melalui kegiatan menulis.

2.1.3 Prosedur Menulis Ekspresif

Pada program menulis ekspresif, partisipan diminta untuk menulis mengenai peristiwa

traumatik yang pernah dialami dalam tiga hingga lima kali pertemuan, yang setiap sesinya

berlangsung selama 15-20 menit (Baikie dan Wilhelm, 2005). Partisipan diminta untuk

menerjemahkan pikiran dan perasaannya mengenai peristiwa traumatik yang pernah

dialaminya ke dalam bahasa tulisan. Setelah beberapa waktu partisipan akan diminta untuk

menulis peristiwa emosional yang lebih umum atau pengalaman spesifik yang dimiliki

8

partisipan yang lain. Pada sebagian besar penelitian, prosedur menulis ekspresif ini dilakukan

dalam setting penelitian, namun akhir-akhir ini prosedur menulis ekpresif ini banyak pula

dilakukan di rumah maisng-masing peserta, maupun pada setting klinis.

Terdapat beberapa saran yang dikemukakan Baikie dan Wilhelm (2005) dalam

pelaksanaan program menulis ekspresif ini, antara lain adalah:

a. Menulis ekspresif ini dapat dilakukan tidak hanya dalam suatu sesi tatap muka,

namun juga dapat digunakan sebagai pekerjaan rumah bagi klien, atau klien dapat

meneruskan kegiatan menulis di rumah setelah satu sesi menulis ekspresif

dilakukan dalam satu sesi tatap muka. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa,

menulis ekpresif dapat dilakukan tanpa pengawasan oleh klinisi atau terapis,

melainkan dapat dilakukan sendiri oleh klien, setelah klien mendapatkan

penjelasan dan satu kali perlakuan menulis ekpresif.

b. Menulis sebaiknya dilakukan di tempat yang privat dan nyaman bagi klien.

c. Program menulis dapat dilakukan tiga hingga empat kali, di mana dalam setiap

sesi nya dilakukan selama 30 menit, dan masing-masing sesi dapat berjarak

beberapa hari atau minggu. Klien juga dibebaskan untuk menuliskan kejadian

yang paling menjadi beban bagi dirinya.

d. Memberikan penjelasan mengenai kerahasiaan hasil tulisan, anonimitas, dan

penjelasan bahwa sesi menulis tersebut dilakukan untuk kepentingan klien. Dalam

program menulis ekspresif ini, tidak diberikan koreksi maupun umpan balik

terhadap hasil tulisan klien. Dan klien diperkenankan untuk menyimpan sendiri

hasil tulisan mereka.

Instruksi menulis ekpresif yang umumnya digunakan adalah sebagai berikut “Selama

empat hari ke depan, saya mempersilahkan anda untuk menuliskan pikiran dan perasaan

terdalam anda terkait pengalaman yang menurut anda paling traumatic selama hidup anda

atau dapat juga sebuah masalah emosional ekstrim yang telah banyak mempengaruhi hidup

ada. Dalam tulisan tersebut, saya ingin anda sungguh-sungguh mengizinkan diri anda untuk

mengeksplorasi pikiran dan emosi terdalam yang anda rasakan. Mungkin itu adalah

bagiamana hubungan anda dengan orang lain, termasuk orang tua, pasangan, teman, atau

saudara di masa lalu, saat ini, atau maa depan. Atau tentang siapa diri anda, bagaimana anda

di masa depan, atau bagaimana diri anda sekarang. Anda dapat menulis masalah-masalah

umum atau pengalaman yang sama dalam setiap sesi menulis, atau menuliskan topik-topik

yang berbeda pada setiap sesi menulis ini. Semua tulisan anda akan dirahasiakan. Jangan

9

mencemaskan tentang pengejaan, tata tulis atau struktur kalimat. Satu-satunya aturan yang

ada dalam program ini adalah, setiap kali anda menulis, menulislah terus hingga sesi selesai”.

2.3 Post-traumatic Growth

2.2.1 Pengertian Post-traumatic Growth

Post-traumatic Growth didefinisikan sebagai proses perubahan positif pada individu

yang telah mengalami peristiwa traumatis (Tedeschi & Calhoun, 1996). Post-traumatic

Growth oleh Tedeschi dan Calhoun difokuskan pada kondisi yang penuh dengan tekanan dan

kegigihan individu dalam menghadapi realita pasca mengalami peristiwa traumatis. Tedeschi

dan Calhoun mengembangkan konsep Post-traumatic Growth yang memiliki definisi sebagai

proses perubahan psikologi secara positif yang dialami seseorang, hasil dari kegigihannya

menghadapi stres dan trauma dalam waktu yang relatif lama (Werdel & Wicks, 2012). Post-

traumatic Growth merupakan konsep yang memiliki manifestasi dalam aspek-aspek seperti

meningkatnya hubungan dengan orang lain, kekuatan personal, identifikasi kemungkinan

baru, perubahan spiritual yang positif, dan peningkatan dalam mengapresiasi hidup (Tedeschi

& Calhoun, 1996).

Post-traumatic Growth ditandai dengan perubahan positif dalam diri, pertumbuhan

atau bangkit dari rasa keterpurukan, dan mengalami perkembangan serta pertumbuhan

psikologis (Hefferon & Boniwell, 2011). Proses Post-traumatic Growth terjadi seiring dengan

upaya adaptasi terhadap konsekuensi negatif dari trauma yang berpotensi memunculkan

tingkat psikologi distres yang tinggi (Tedeschi & Calhoun, 2004a).

Pengertian yang serupa menyebutkan bahwa Post-traumatic Growth merupakan

perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan terhadap krisis kehidupan yang

sangat sulit (Tedeschi & Calhoun, 2004b). Krisis dalam kehidupan disebabkan kejadian

negatif yang beragam, Joseph dkk., Ai dkk., (dalam Hefferon & Boniwell, 2011)

menyebutkan subjek yang mengalami Post-traumatic Growth telah melewati krisis kehidupan

seperti korban perang dan pertempuran militer, pengeboman, kehilangan atau dukacita,

penderita kanker payudara, mastektomi, penyakit sumsum tulang, serangan jantung,

rheumatoid arthritis, cedera tulang belakang, korban yang mengalami bencana pelayaran,

tornado, kecelakaan pesawat, pemerkosaan, kekerasan seksual masa anak-anak, penembakan,

HIV, infertilitas, ketergantungan obat dan sebagainya.

Tedeschi dan Calhoun (2004c) juga mengungkapkan bahwa Post-traumatic Growth

adalah bentuk perjuangan individu terhadap realitas yang ada pasca trauma yang akan

10

menentukan sejauh mana terjadi pertumbuhan pada individu tersebut, dan bukan sebagai

akibat langsung dari trauma. Dalam hal ini pengalaman terhadap trauma bukanlah yang

mendorong munculnya Post-traumatic Growth, namun proses kognitif yang dapat

mengarahkan pada perubahan positif setelah mengalami peristiwa trumatis (Tedeschi dan

Calhoun, 2004c).

2.2.2 Aspek-Aspek Post-traumatic Growth

Post-traumatic Growth merupakan suatu konsep yang dimanifestasikan dalam lima

aspek, yaitu peningkatan hubungan dengan orang lain, meningkatnya kekuatan personal,

identifikasi kemungkinan atau peluang baru, perubahan spiritual yang positif, dan

peningkatan dalam mengapresiasi hidup (Tedeschi & Calhoun, 1996; Tedeschi & Calhoun

2004b).

a. Kekuatan pribadi (personal strength), yaitu adanya perubahan yang dirasakan

dalam diri, hal ini ditunjukkan oleh individu atau korban yang pernah mengalami

trauma bahwa dirinya merasa menjadi lebih kuat, lebih otentik, percaya diri,

terbuka, empati, kreatif, lebih hidup, dewasa, dan meningkatnya rasa kemanusiaan,

serta rendah hati.

b. Hubungan dengan orang lain (relating to others), yaitu memiliki hubungan lebih

dekat dengan keluarga inti dan keluarga besar, memiliki persahabatan yang erat,

hubungan yang semakin membaik dengan orang yang telah dikenal seperti

tetangga, serta mampu mengawali hubungan baik dengan orang yang belum

dikenal atau orang asing.

c. Penghargaan terhadap hidup (appreciation for life), yaitu meningkatnya kesadaran

eksistensial, memiliki perubahan dalam filsafah kehidupan, mulai merenungkan

masalah yang lebih mendalam seperti, spiritualitas, arti dan tujuan hidup.

Disamping itu juga lebih memahami apa yang penting dalam hidup, serta

memungkinkan untuk membuat perubahan pada prioritas.

d. Identifikasi kemungkinan baru (new possibilities). Hal ini meliputi keinginan

individu untuk mengubah tujuan hidup, seperti mencari informasi untuk

mempelajari hal baru, dan mendapatkan pekerjaan atau memperoleh keterampilan

baru. Secara keseluruhan, identifikasi terhadap kemungkinan baru ini memiliki

fokus pada “saat sini dan sekarang”.

11

e. Perubahan spiritual (spiritual change), dalam perubahan spiritual yang positif,

orang dapat memutuskan untuk kembali pada keyakinan awal yang

ditinggalkannya, aktif berpartisipasi dalam kegiatan agama seperti hadir di tempat

ibadah, dan meningkatnya keyakinan terhadap Tuhan serta rasa syukur.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Post-traumatic Growth

Faktor-faktor yang mempengaruhi Post-traumatic Growth meliputi faktor internal dan

eksternal, beberapa faktor tersebut antara lain:

a. Karakteristik Individu

Karakteristik individu yang memiliki pengaruh terhadap Post-traumatic Growth

antara lain seperti kelekatan dan kepribadian. Tiga pola kelekatan yaitu kelekatan

aman (secure attachment), kelekatan menghindar (avoidant attachment), dan

kelekatan ambivalen-resistan (ambivalen-resistant attachment). Schmidt dkk.

(2011) menemukan bahwa pola kelakatan aman (secure attachment) berkorelasi

secara signifikan dengan Post-traumatic Growth sedangkan pola kelekatan

menghindar (avoidant attachment) berkorelasi secara negatif dengan Post-

traumatic Growth.

Kepribadian dengan Post-traumatic Growth juga ditemukan adanya hubungan

diantara keduanya, penelitian awal Post-traumatic Growth yang dilakukan oleh

Tedeschi dan Calhoun di tahun 1996 menemukan bahwa variabel-variabel seperti

optimisme, ekstraversi, aktivitas dan emosi positif, serta keterbukaan terhadap

perasaan berhubungan dengan Post-traumatic Growth. Garnefski dkk. (2008) juga

membuktikan bahwa Post-traumatic Growth memiliki hubungan negatif dengan

trait kepribadian neurotisme, dan memiliki hubungan positif dengan ekstraversi

dan kesadaran.

b. Spiritualitas

Peran spiritualitas terhadap Post-traumatic Growth dilakukan oleh Subandi dkk.

(2014) menemukan bahwa spiritualitas sebagai prediktor yang signifikan terhadap

Post-traumatic Growth. Pendalaman melalui metode kualitatif menemukan bahwa

spiritualitas yang meliputi berdoa, keyakinan terhadap Tuhan, belas kasih, dan

kesabaran mentransformasi pengalaman distres menjadi pendorong yang lebih

positif terhadap pertumbuhan.

12

Disamping itu, Hafnidar dkk. (2012) juga menemukan bahwa spiritualitas

menjadi prediktor bagi Post-traumatic Growth dan memaafkan (forgiveness)

memiliki potensi menjadi mediator antara spiritualitas dengan Post-traumatic

Growth.

c. Dukungan Sosial

Dukungan sosial adalah suatu tindakan yang diberikan oleh individu lain seperti

pasangan, keluarga, teman, dokter, atau organisasi komunitas, sehingga individu

yang menerima dukungan merasa dicintai, dihargai, dan menjadi bagian dari

jaringan sosial (Sarafino & Smith, 2012). Dalam kaitannya dengan Post-traumatic

Growth, Tedeschi dan Calhoun (2004a) menyebutkan bahwa dukungan sosial

yang meliputi dukungan yang diberikan oleh teman, keluarga dan kelompok

sosial mempengaruhi terhadap proses Post-traumatic Growth. Schexnaildre

(2011) menemukan bahwa dukungan sosial menjadi prediktor yang signifikan

Post-traumatic Growth.

d. Demografi

Faktor demografi yang memiliki pengaruh terhadap Post-traumatic Growth

dibuktikan oleh penelitian Xu dan Liao (2011) bahwa para wanita yang menjadi

korban gempa memiliki Post-traumatic Growth yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan pria. Berkaitan dengan gender, Penelitian Swickert dan

Hittner (2009) juga menemukan adanya hubungan antara gender dengan Post-

traumatic Growth yang dimediasi oleh dukungan sosial.

2.4 Korban Gempa

Bencana alam yang besar, khususnya gempa bumi menyebabkan munculnya

permasalahan psikologis. Peristiwa gempa bumi yang datang secara tidak terduga membuat

penyintas/korban kehilangan keluarga, harta benda, dan diantaranya luka-luka. Kondisi

tersebut merupakan peristiwa yang mengejutkan dan tidak diharapkan. Peristiwa negatif yang

mengerikan, sangat menekan, mengejutkan, dan tiba-tiba atau diluar kendali yang berpotensi

mengancam hidup serta berdampak pada aspek fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku yang

membekas disebut sebagai peristiwa traumatis (Martam, 2009).

Peristiwa traumatis menyebabkan trauma pada seseorang dengan ciri respon antara

lain, memiliki ingatan yang sulit dilupakan tentang peristiwa traumatis yang dialaminya,

13

merasa peristiwa sering terjadi kembali, merasa takut dan terganggu jika mengingat atau

diingatkan terhadap peristiwa yang dialami, kesulitan dalam mengendalikan perasaan karena

tidak mampu melupakan ingatan pada peristiwa traumatis (Martam, 2009).

Pada kelanjutannya, trauma yang dialami seseorang akan memberikan dua

konsekuensi, yaitu konsekuensi negatif atau konsekuensi positif (Bensimon, 2012).

Konsekuensi negatif dari trauma berupa gangguan stres pasca trauma, sedangkan

konsekuensi positif dari trauma disebut sebagai Post-traumatic Growth. Masing-masing

konsekuensi ini memiliki karakteristik-karaktersitik tertentu.

Konsekuensi negatif dari trauma yang sering disebut dengan gangguan stres pasca

trauma memiliki ciri-ciri antara lain, amnesia terhadap peristiwa traumatis, menghindari hal-

hal yang dapat mengingatkan pada peristiwa traumatis, merasa jauh atau memiliki jarak

dengan orang lain, mati rasa secara emosional, dan perasaan pesimis terhadap masa depan

(Foa dkk., dalam Meisenhelder dan Marcum, 2004).

Konsekuensi positif dari trauma yang disebut sebagai Post-traumatic Growth

memiliki ciri-ciri yaitu, adanya peningkatan hubungan dengan orang lain, meningkatnya

kekuatan personal, identifikasi kemungkinan-kemungkinan baru, perubahan spiritual yang

positif, dan peningkatan dalam mengapresiasi hidup (Tedeschi & Calhoun, 2004b).

14

1) UJI EFEKTIFITA S PREVIOUS MODULE

MODUL

MENULIS

EKSPRESIF BAGI

KORBAN

BENCANA

3.

PENYEMPURNA

AN MODUL

2. FOCUS

GROUP

DISCUSSION

(FGD)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kekalik Jaya, Kota Mataram Nusa Tenggara

Barat. Partisipan berjumlah 10 orang, 2 pria dan 8 wanita, rentang usia dari 30-51 tahun,

tingkat pendidikan dari tidak sekolah sampai S1. Partisipan merupakan korban bencana

gempa bumi yang menjadi pengungsi selama dua bulan dan mengalami gempa bumi

berkelanjutan.

3.2 Design

Penelitian ini menggunakan metode penelitian mix method, yang diawali dengan uji

eksperimen dengan desain one group pretest-posttest, kemudian dilanjutkan dengan metode

kualitatif.

Gambar 1. Alur Penelitian

15

Tabel 3.1. Desain Eksperimental

O1 X O2

Pretest Treatment Posttest

Keterangan:

O1 : pre-test

X : pemberian terapi menulis ekspresif

O2 : post-test

3.3 Instrumen

Tingkat Post-traumatic Growth sebelum dan sesudah perlakuan terapi menulis

ekspresif menggunakan skala Post-traumatic Growth yang terdiri dari aspek peningkatan

hubungan dengan orang lain, identifikasi kemungkinan atau peluang baru, kekuatan

personal, perubahan spiritual yang positif, dan peningkatan dalam mengapresiasi hidup. Skala

Post-traumatic Growth sejumlah 21 aitem dengan koefisien reliabilitas 0,891.

Panduan Perlakuan

Terapi menulis ekspresif menggunakan panduan yang dimodifikasi dari tahapan

menulis ekspresif yang dikembangkan oleh Hapsari (2012). Tahapan terapi menulis

eksperesif diberikan selama tiga hari sebanyak tujuh sesi. Panduan terapi menulis ekspresif

dijelaskan pada tabel 2.

Tabel 3.2. Panduan Menulis Ekspresif

Hari Sesi Waktu Kegiatan Tujuan

1 I 30 menit BUILDING RAPORT

1. Perkenalan 2. Penjelasan tujuan

kegiatan

Agar tercipta hubungan yang baik dan

saling percaya antara peneliti dengan

partisipan, maupun antar partisipan.

Partisipan mendapatkan informasi

mengenai tujuan dan proses penelitian.

Partisipan mengetahui hak-haknya selama proses penelitian.

II 30 menit PRA MENULIS

EKSPRESIF

1. Penjelasan mengenai

menulis ekspresif

2. Penjelasan cara

pengisian lembar

harian. 3. Tanya jawab

Partisipan mengetahui tentang menulis

ekspresif.

Partisipan mengerti cara pengisian

lembar harian.

Partisipan mendapatkan informasi yang

cukup mengenai kegiatan yang akan

dilaksanakan

16

III 30 menit SESI MENULIS

EKSPRESIF Partisipan menceritakan dan

menggambarkan kejadian traumatik

atau yang menimbulkan efek negatif

yang pernah dialami melalui media

tulisan.

2 IV Fleksibel SESI MENULIS EKSPRESIF (dilakukan

dirumah/ tempat tinggal

masing-masing

menyesuaikan dengan

kegiatan harian partisipan)

Partisipan menceritakan dan

menggambarkan kejadian traumatik atau yang menimbulkan efek negatif

yang pernah dialami melalui media

tulisan

3 V 30 menit IDENTIFIKASI

MASALAH DAN

HARAPAN:

1. Review pertemuan

sebelumnya

2. Mengetahui permasalahan subjek

3. Mengetahui apa yang

diharapkan subjek

dari menulis ekspresif

Mengetahui permasalahan subjek dalam

sesi menulis sebelumnya

partisipan menceritakan apa yang diharapkan setelah dua kali melakukan

sesi menulis ekspresif.

VI 60 menit SESI MENCERITAKAN

TULISAN EKSPRESIF Partisipan diberi kesempatan untuk

menceritakan pengalaman traumatik

atau yang menimbulkan efek negatif

yang pernah dialami secara lisan

VII 30 menit PENUTUP:

1. Pemberian saran-

saran dari partisipan

mengenai sesi

menulis ekspresif 2. Peneliti menutup

keseluruhan menulis

ekspresif dan

mengucapkan terima

kasih kepada partisipan.

Partisipan memberikan saran-saran bagi

pelaksanaan menulis ekspresif di lain

waktu.

Sumber: Hapsari (2012)

3.4 Analisis Data

Analisis data uji eksperimen menggunakan gain score yang diperoleh dari

perbandingan pre-test dan post test untuk mengetahui efektifitas terapi menulis ekspresif

untuk meningkatkan Post-traumatic Growth. Sementara analisis data pada tahapan kuantitatif

adalah analisis konten yang datanya diperoleh dari hasil FGD (Focus Group Discussion).

17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari awal tahun 2019 dimulai dari penyusunan

proposal, presentasi hingga pada tanggal 2-4 Juli 2019 dilaksanakan di warga Kelurahan

Kekalik Jaya, Kecamatan Sekarbela, Lombok Nusa Tenggara Barat. Kegiatan selama tiga

hari dihadiri oleh keempat peneliti dari Universitas Negeri Malang dan 10 partisipan sesuai

kriteria penelitian. Para partisipan merupakan korban bencana alam (gempa bumi) di Lombok

sepanjang tahun 2018 dan yang masih mengalami masalah psikologis yang belum tertangani,

terlebih partisipan merupakan mereka yang menyetujui kegiatan yang akan dilakukan dengan

sebelumnya mengisi informed consent.

Pelaksanaan menulis ekspresif dilaksanakan di Aula Kelurahan yang setia harinya

difungsikan sebagai tempat olah raga, berukuran kurang lebih 10 x 20 meter, dengan lantai

yang tersusun dari ubin abu-abu, pembatas di kanan kiri ruangan yang menandakan batas-

batas sebagai lapangan olahraga, serta terdapat net bulu tangkis yang masih terpasag di

tengah-tengah ruangan. Suasana ruangan cukup gelap dikarenakan cat tembok bewarna hijau,

akan tetapi cukup terbantu dengan cahaya yang masuk di sela-sela ventilasi yang terdapat di

aula serta pintu-pintu samping dan belakang yang sengaja dibuka.

4.2 Deskripsi Partisipan Penelitian

Penelitian kali ini melibatkan sejumlah 10 orang warga Kelurahan Kekalik Jaya,

Kecamatan Sekarbela, Lombok Nusa Tenggara Barat. Kegiatan yang berlangsung selama tiga

hari mulai tanggal 2-4 Juli 2019 diikuti sepenuhnya oleh para partisipan. Dasar pemilihan

partisipan kegiatan berdasarkan kriteria subjek yang telah peneliti rancang, seperti yang telah

disertakan di bab sebelumnya. Berikut nama-nama partisipan, usia dan pekerjaan sehari-hari:

Tabel 4.1. Deskripsi Subjek Penelitian

No. Nama Pekerjaan

1 Mutiah Ibu Rumah Tangga

2 Nurhayah Ibu Rumah Tangga

3 Meisarah Ibu Rumah Tangga

4 Lutfi Swasta

18

5 Hurmati, S.Pd Ibu Rumah Tangga

6 Herniati Swasta

7 Husniati Swasta

8 Jenani Swasta

9 Zohriah Swasta

10 Musnah Aeny Swasta

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1 Proses Penelitian

Proses penelitian ini secara keseluruhan berlangsung selama 11 bulan mulai Januari

hingga November 2019. Dimulai dari pengajuan proposal, proses review, penyusunan

kegiatan, pelaksanaan, mengikuti kegiatan konferensi ilmiah, hingga penyusunan laporan

akhir.

4.3.2 Persiapan Awal Penelitian

4.3.2.1 Pemberian Skala

Pemberian skala pertumbuhan pasca trauma (post-traumatic growth) diberikan kepada

partisipan sejumlah 10 orang yang memenuhi kriteria dan bersedia menjadi partisipan

pelatihan dan psikoedukasi. Skala ini terdiri dari aspek peningkatan hubungan dengan orang

lain, identifikasi kemungkinan atau terjadinya peluang baru, kekuatan personal, perubahan

sepiritual yang positif, dan peningkata dalam mengapresiasi hidup. Skala pertumbuhan pasca

trauma terdiri dari 21 item. Pengukuran kategori dalam skala ini menggunakan tingkat

pengkategorian berdasarkan norma yang dikembangkan oleh pengembang skala.

4.3.2.2 Penyusunan Modul

Langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah penyusunan modul sebagai acuan

dalam pemberian materi dalam pelatihan. Tujuannya adalah pelaksanaan dan pengujian

seberapa efektif modul yang sebelumnya telah ada yang diterapkan kepada subjek yang

berbeda. Modul yang digunakan merupakan modul menulis ekspresif yang dikembangkan

oleh Hapsari (2012), tahapan menulis ekspresif diberikan selama tiga hari sebanyak tujuh

sesi.

19

4.3.3 Pelaksanaan Penelitian

4.3.3.1 Waktu Pelaksanaan

Pelaksanaan menulis ekspresif dilaksanakan selama 3 hari. Hari pertama menulis

ekspresif dilaksanakan pada Selasa, 2 Juli 2019, hari kedua Rabu, 3 Juli 2019 diisi

psikoedukasi dan melakukan menulis ekspresif di rumah masing-masing, serta hari ketiga

pada Kamis, 4 Juli 2019 berisi kegiatan refleksi, evaluasi dan FGD yang mana semua

kegiatan berlangsung di Aula Kelurahan Kekalik Jaya, Kecamatan Sekarbel, Lombok Nusa

Tenggara Barat. Berikut jadwa kegiatan selama di Lombok:

Tabel 4.2 Jadwal Hari ke-1

(Selasa, 2 Juli 2019)

Pukul Kegiatan

07.30-08.00 Persiapan di Lokasi

08.00-08.15 Registrasi Partisipan

08.15-08.30 Pembukaan

08.30-09.00 Pengisian Pre-test

09.00-10.00 Diskusi dan tanya jawab kondisi terkini

10.00-10.15 Icebreaking

10.15-10.45 Penjelasan Expressive Writing

10.45-11.00 Pelaksanaan Sesi I

Building Rapport

11.00-11.30 Pelaksanaan Sesi II

Pra Menulis Ekspresif

11.30-12.30 Ishoma

12.30-13.30 Pelaksanaan Sesi III

Sesi Menulis Ekspresif

13.30-14.30 Refleksi dan Kesimpulan

14.30-14.40 Penutup dan Pemberian Tugas

20


(Rabu, 3 Juli 2019)

Pukul Kegiatan

08.30-09.00 Registrasi

09.00-09.15 Pembukaan

09.15-09.45 Pre-test

09.45-11.45 Penyampaian Materi Psikoedukasi oleh

Ketua HIMPSI Nusa Tenggara Barat

terkait Kebencanaan

11.45-12.15 Tanya Jawab

12.15-13.15 Ishoma


13.45-14.15 Post-test

14.15-14.30 Penutup


(Kamis, 4 Juli 2019)

Pukul Kegiatan

08.30-09.00 Registrasi

09.00-09.15 Pembukaan dan Penyampaian Materi

09.15-09.45 Pelaksanaan Sesi I

Identifikasi Masalah dan Harapan

09.45-10.45 Pelaksanaan Sesi II

Sesi Menceritakan Tulisan Ekspresif

FGD

10.00-10.15 Icebreaking

10.15-11.15 Pelaksanaan Sesi III - Resume

11.15-12.15 Ishoma


13.15-13.30 Penutup

21

4.3.3.2 Proses Pelaksanaan Kegiatan

A. Laporan Pelaksanaan

a. Waktu Pelaksanaan : Selasa-Kamis (2-4 Juli 2019)

b. Tempat Pelaksaaan : Aula Kelurahan Sekarbela, Kecamatan Kekalik Jaya,

Lombok, Nusa Tenggara Barat

c. Pererta : 10 orang

d. Pelaksana Pelatihan :

Tabel 4.5 Daftar Nama Pelaksana Menulis Ekspresif

No. Nama Profesi/Status Tugas

1 Dwi Nikmah Puspitasari,

M.Psi

Peneliti

Dosen FPPsi Universitas Negeri

Malang

Pemateri, Observer

2 Ayu Dyah Hapsari, M.A Peneliti


Malang

Pemateri, Observer

3 Yudi Tri Harsono, M.A Peneliti


Malang

Pemateri, Observer

4 Teha Aprilya Azzahra Peneliti

Mahasiswa FPPsi Universitas

Negeri Malang

Observer, Pembantu

Lapangan

5 Ismiati Z Warga Kelurahan Sekarbela Observer, Pembantu

Lapangan

6 Joko Pratama Warga Kelurahan Sekarbela Observer, Pembantu

Lapangan

7 Teguh Anugrah Warga Kelurahan Sekarbela Observer, Pembantu

Lapangan

22

B. Gambaran Kegiatan

a) Hari Pertama

Hari dan Tanggal : Selasa, 2 Juli 2019

Tempat : Aula Kelurahan Sekarbela, Kecamatan Kekalik Jaya, Lombok, Nusa Tenggara Barat

Tabel 4.6 Kagiatan Hari ke-1

No. Kegiatan Waktu Deskripsi

1 Persiapan di Lokasi 07.30-08.00 Seluruh peneliti dan petugas lapangan berkumpul di aula dan

mempersiapkan materi yang dibutuhkan, presensi, konsumsi, dan juga

mematikan tata ruang

2 Registrasi Partisipan 08.00-08.15 Partisipan mulai datang, menandatangani presensi, dan mendapat snack

3 Pembukaan 08.15-08.30 Pembukaan disampaikan oleh ketua peneliti Dwi Nikmah Puspitasari,

M.Psi.

4 Pengisian Pre-test 08.30-09.00 Pengisian pre-test

5 Diskusi dan tanya jawab kondisi terkini 09.00-10.00 Diskusi ini dibuka dengan tujuan untuk lebih melihat gambaran

permasalahan psikologis yang masih dialami oleh masing-masing

partisipan, data ini juga dapat diolah secara kualitatif sebagai dampak

atau hasil pelaksanaan expressive writing.

6 Icebreaking 10.00-10.15 Rehat diberikan kepada para partisipan untuk kembali mengembalikan

emosi ke keadaan netral

7 Penjelasan Expressive Writing 10.15-10.45 Secara umum menjelaskan tenang apa itu ekspresif writing dan tata

23

caranya, disampaikan oleh tim peneliti

8 Pelaksanaan Sesi I

Building Rapport

10.45-11.00 Partisipan mendapatkan informasi mengenai tujuan dan proses penelitian.

Partisipan mengetahui hak-haknya selama proses penelitian

9 Pelaksanaan Sesi II

Pra Menulis Ekspresif

11.00-11.30 Partisipan mengetahui tentang tahap-tahap dalam menulis ekspresif.

Partisipan mengerti cara pengisian lembar harian.

Partisipan mendapatkan informasi yang cukup mengenai kegiatan yang

akan dilaksanakan

Memasikan partisipan mengetahui tugas dan urutan kegiatan

10 Ishoma 11.30-12.30 Partisipan mendapat makan siang, rehat dan sholat

11 Pelaksanaan Sesi III

Sesi Menulis Ekspresif

12.30-13.30 Partisipan menceritakan dan menggambarkan kejadian traumatik atau

yang menimbulkan efek negatif yang pernah dialami melalui media

tulisan.

12 Refleksi dan Kesimpulan 13.30-14.30 Dalam sesi ini, partisipan diberikan sejumlah pertanyaan seputar waktu

yang sudah disediakan oleh peneliti dan mengkomunikasikan apa yang

dirasakan selama expressive writing berlangsung.

13 Penutup dan Pemberian Tugas 14.30-14.40 Ditutup oleh peneliti dan memberikan tugas menulis ekspresif yang bisa

dilakukan di rumah atau di tempat yang dianggap nyaman, di luar aula

24

b) Hari Kedua

Hari dan Tanggal : Rabu, 3 Juli 2019




1 Registrasi 08.30-09.00 Partisipan mulai datang ke aula, menandatangani presensi, dan

mendapat snack

2 Pembukaan 09.00-09.15 Pembukaan dilakukan oleh Tim Peneliti, Ayu Dyah Hapsari, M.A.

3 Pre-test 09.15-09.45 Pre-test kali ini dilakukan untuk mengetahui hal apa saja yang

dilakukan oleh peserta ketika berhadapan dengan kecemasan terkait

dengan kebencanaan

4 Penyampaian Materi Psikoedukasi oleh

Ketua HIMPSI Nusa Tenggara Barat terkait

Kebencanaan

09.45-11.45 Materi psikoedukasi disampaikan oleh bapak Lalu Yulhaidir, M.Psi

terkait dengan:

1. Bencana alam dan dampaknya terhadap kondisi psikologis

manusia

2. Pertolongan pertama jika kecemasan datang

3. Ragam dan macam cara untuk meredakan kecemasan

a. Behavioral

b. Kognitif

c. Emosi

25

4. Praktik dilakukan oleh partisipan didampingi pemateri dan

tim peneliti

5 Tanya Jawab 11.45-12.15 Partisipan melakukan tanya jawab terkait dengan kondisi yang kini

dialami dan bagaimana mengatasinya


7 Refleksi dan Kesimpulan 13.15-13.45 Menyimpulkan kegiatan yang telah dilakukan bersama-sama dan

merangkum pemahaman yang didapat

8 Post-test 13.45-14.15 Post-test bertujuan untuk mendaatkan informasi seberapa jauh

partisipan memahami materi, post-test dilakukan dengan cara

wawancara untuk membandingkan sebelum dan sesudah materi

diberikan.

9 Penutup 14.15-14.30 Acara ditutup oleh tim peneliti

26

c) Hari Ketiga

Hari dan Tanggal : Kamis, 4 Juli 2019




1 Registrasi 08.30-09.00 Partisipan mulai datang ke aula, menandatangani presensi, dan

mendapat snack

2 Pembukaan dan Penyampaian Materi 09.00-09.15 Penjelasan dan pemberian deskripsi acara yang akan dilaksanakan

hari ini

3 Pelaksanaan Sesi I

Identifikasi Masalah dan Harapan

09.15-09.45 Mengetahui permasalahan subjek dalam sesi menulis sebelumnya

partisipan menceritakan apa yang diharapkan setelah dua kali

melakukan sesi menulis ekspresif

4 Pelaksanaan Sesi II

Sesi Menceritakan Tulisan Ekspresif

FGD

09.45-10.45 Partisipan diberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman

traumatik atau yang menimbulkan efek negatif yang pernah dialami

secara lisan

5 Icebreaking 10.00-10.15 Rehat diberikan kepada para partisipan untuk kembali

mengembalikan emosi ke keadaan netral

6 Pelaksanaan Sesi III - Resume 10.15-11.15 Partisipan memberikan saran-saran bagi pelaksanaan menulis

ekspresif di lain waktu.


27

8 Refleksi dan Kesimpulan 12.15-13.15 Refleksi dan kesimpulan berisi terkait dengan apa saja yang telah

didapat dan diperoleh partisipan selama kegiatan berlangsung, apa

saja yang masih diharapka

9 Penutup 13.15-13.30 Acara ditutup oleh tim peneliti

28

4.4 Pembahasan

4.4.1 Kuantitatif

Hasil uji efektifitas modul terdahulu dengan subjek penelitian adalah:

Tabel 4.9. Perbandingan Data Hipotetik dan Data Empirik

Variabel Data Hipotetik Data Empirik

Max Min Mean SD Max Min Mean SD

tumbuhan Pasca Trauma

etest)

64 53 58,40 3,893

84 21 52,5 10,5

tumbuhan Pasca Trauma

sttes)

66 60 63,10 1,729

Tabel 4.9 membuktikan mean empirik pertumbuhan pasca trauma pretest 58,40 dan

postest 63,10 lebih tinggi jika dibandingkan dengan mean hipotetik 52,5. Standar deviasi

empirik pretest 3,893 dan postest 1,729 lebih rendah jika dibandingkan dengan standar

deviasi hipotetik 10,5 sehingga partisipan penelitian memiliki kecenderungan pertumbuhan

pasca trauma yang lebih tinggi dengan variasi rendah.

Tabel 4.10 Kategorisasi Partisipan Penelitian

Variabel Rentang Nilai Kategori mlah Subjek Prosentase

tumbuhan Pasca Trauma (Pretest) X< 55

55 ≤ X < 62

X≥ 62

Rendah

Sedang

Tinggi

2

6

2

20,00%

60,00%

20,00%

tumbuhan Pasca Trauma (Postest) X< 61

61 ≤ X < 65 X≥ 65

Rendah

Sedang

Tinggi

1

7 2

10,00%

70,00% 20,00%

Berdasarkan tabel 4.10 ditemukan bahwa sebagian besar partisipan berada pada

kategori sedang untuk pertumbuhan pasca trauma. Dari hasil kategorisasi tersebut dapat

disimpulkan bahwa partisipan penelitian memiliki kecenderungan pertumbuhan pasca trauma

yang sedang.

Tabel 4.11. Hasil Uji Wilcoxon

Variabel Z Sig (p)

Pertumbuhan Pasca Trauma Pretest Postest

-2,942 p=0,013 (p<0,05)

29

Berdasarkan analisis menggunakan uji Wilcoxon pada tabel 5, didapatkan nilai Z

hitung sebesar -2,942 dengan taraf signifikansi p=0,013 (p<0,05), sehingga hipotesis

penelitian diterima.

Penelitian ini membuktikan bahwa terapi menulis ekpresif dapat meningkatkan

pertumbuhan pasca trauma pada korban bencana. Hipotesis penelitian diterima dengan

menggunakan taraf signifikansi 0,05. Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Smyth, dkk (2010) yang menunjukkan bahwa intervensi menulis ekpresif

meningkatkan pertumbuhan pasca trauma. Terapi menulis ekspresif dalam penelitian ini

dilakukan selama tiga kali pertemuan untuk dapat mengurangi simptom stres pasca trauma

yang sama artinya meningkatkan simptom pertumbuhan pasca trauma, sesuai dengan saran

yang dikemukakan oleh Pennebaker & Chung (2007) dan Baikie & Wilhelm (2005).

4.4.2 Kualitatif

Psikoedukasi yang dilakukan di Kecamatan Sekarbela, Lombok, Nusa Tenggara

Barat pada tanggal 3 Juli 2019, menghasilkan beberapa poin terkait dengan kondisi

psikologis warga pasca bencana gempa bumi yang terjadi pada kurun tahun 2018. Sebelum

proses psikoedukasi berlangsung, disediakan sesi diskusi dan tanya jawab terkait kondisi

psikologis perserta. Berikut gambaran kondisi psikologis partisipan. Dari segi afektif, masih

muncul rasa khawatir dan cemas terhadap stimulus yang mengingatkan kejadian bencana.

Dalam hal ini, partisipan mengaku bahwa kekhawatiran dan ketakutan terus muncul

manakala menghadapi situasi yang mirip ketika bencana terjadi. Kecemasan tersebut muncul

dalam situasi seperti ketika tiba-tiba listrik mati, terutama jika terjadi pada malam hari, suara

benda yang jatuh dan menimbulkan suara yang keras, klakson kendaraan, mendengar

keributan, suara binatang yang sedang bertengkar. Hal-hal ini yang mengakibatkan mereka

merasa tdak betah berdiam diri di rumah. Sedangkan dalam aspek kognitif, masih muncul

pemikiran irasional seperti akan datangnya bencana susulan yang disertai tsunami, sehingga

mempengaruhi aktivitas keseharian seperti menjadi menjauhi pantai dan melarang anggota

keluarga untuk pergi ke pantai.

Kegiatan menulis ekspresif pada korban bencana akan menstimulasi integrasi pikiran

dan perasaan yang sekaligus akan memberikan pemahaman, harapan, dan rencana

penyelesaian terhadap masalah traumatik dari bencana yang dialami sehingga meningkatkan

potensi pertumbuhan pasca trauma. Kegiatan menulis ekspresif memfasilitasi pengungkapan

perasaan dan pikiran secara lebih bebas dan privasi sehingga seseorang dapat lebih jujur dan

30

apa adanya khususnya bagi orang-orang yang memiliki sifat lebih tertutup dan tidak terbiasa

menceritikan permasalahan secara lisan.

Pada pelaksanaannya, partisipan menuliskan tentang pikiran dan perasaan tentang

peristiwa bencana yang mereka alami secara bebas, tulisan partisipan tidak dinilai apakah

benar ataupun salah, disamping itu tidak ada aturan baku dalam penulisan. Hal ini dilakukan

karena setiap orang memiliki pikiran, perasaan, pengalaman, dan kemampuan menulis yang

berbeda. Terapi menulis ekspresif merupakan bentuk kegiatan baru bagi partisipan. Partisipan

yang mengikuti terapi menulis ekspresif mengaku senang karena bisa mengungkapkan

perasaannya melalui media tulisan, selain itu mereka mengakui bahwa dengan menuliskan

pikiran dan perasaan mereka mengenai kejadian bencana membuat mereka lebih mampu

melihat permasalahan mereka dan mengambil hikmah dari peristiwa tersebut.

Hasil selanjutnya, secara kualitatif dalam pelaksanaan FGD menunjukkan beberapa

poin diantaranya terkait hasil uji efektivitas menulis ekspresif menunjukkan bahwa dengan

menulis ekspresif mampu meningkatkan pertumbuhan pasca trauma bagi korban bencana.

Masih dengan pendekatan modul dari Hapsari (2012) peneliti mengadopsi untuk diberikan

dengan situasi yang berbeda, jika sebelumnya modul menulis ekspresif diberikan di penyintas

kekerasan domestik, dengan tata cara yang sama diberikan kepada korban bencana dan

ternyata endekatan tersebut mampu secara efektif meningkatkan pertumbuhan pasca trauma.

Seperti yang sebelumnya telah disampaikan, bahwa untuk mengetahui apakan korban

bencana memiliki pertumbuhan pasca trauma yang meningkat setelah melakukan menulis

ekspresif, dapat diketahui dengan pengukuran skala instumen pre dan post tes dengan

inditator muncul atau meningkatnya hubungan interpersonal, muncul dan meningkatnya

kekuatan personal, mampu mengidentifikasi peluang dan kemungkinan setelah bencana,

perubahan spiritual yang lebih positif, dan juga terdapat nuansa positif dalam mengapresiasi

hidup (Tadeschi & Calhoun, 2014).

Partisipan mengaku, pada saat menulis mengenai kejadian gempa bumi, terdapat

reaksi fisik seperti tangan berkeringat, dada sesak, badan panas dingin, ingin menangis

karena mereka harus memanggil memori dan kejadian pada saat bencana, sehingga terkadang

hal ini yang menyebabkan mereka berhenti menulis untuk beberapa saat. Hal ini yang secara

psikologis disebut emotional draining, hal ini dapat terjadi dikarenakan partisipan

dikondisikan untuk memikirkan sesuatu selama waktu yang lama, terlebih jika bermuatan

negatif, sehingga hal ini akan cenderung menguras energi. Dari kondisi inilah, para partisipan

31

meminta untuk diberikan jeda ketika menulis, sehingga terdapat waktu untuk memulihkan

tenanga dan juga menyusun framework selama menulis.

Hal lain yang ditemukan dalam FGD yaitu, tempat dilakukannya menulis ekspresif.

Ketika menulis di tempat yang dikondisikan oleh peneliti, partisipan mengaku membutuhkan

beberapa saat untuk menenangkan diri dengan memejamkan mata, tetapi ketika hal ini terjadi

di luar tempat yang dikondisikan peneliti seperti di rumah, mereka mengaku akan

menyelesaikan tugas yang lain sampai akhirnya perasaan mereka kembali tenang dan netral.

Partisipan juga mengaku setelah mereka berhasil menuliskan apa yang dirasa dan dipikirkan

terkait dengan bencana menjadikan diri mereka terasa lebih tenang, rileks dan dapat lebih

memaknai bencana lewat tulisan. Mereka mengaku dengan menulis juga dapat membuat

partisipan lebih tenang dikarenakan jika bercerita pada orang lain, tidak semua dapat

menerima perasaan dan pendapat mereka. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh

Pennebaker dkk (1998) yang menyatakan bahwa dalam menulis ekspresif meningkatkan

sistem otonomi tubuh seperti tekanan darah dan denyut jantung, dengan kegiatan menulis

ekspresif penekanan terhadap perasaan dan pikiran akan berkurang

Waktu yang dibutuhkan partisipan dalam menyelesaikan tulisan bervariasi, jika

dilakukan di tempat yang dikondisikan oleh panitia, partisipan akan tetap menulis sesuai

dengan aturan, akan tetapi mereka mengaku hasil yang didapat belum tentu mencerminkan

semua pikiran dan perasaannya. Jika dilakukan di rumah, partisipan mengaku dapat

menyelesaikan dalam beberapa jam, karena memungkinkan di sela-sela menulis partisipan

juga melaksanakan tugas yang lain. Akan tetapi hasil yang didapat lebih panjang dan

mendalam. Sehingga hal ini perlu menjadi evaluasi bagi peneliti untuk tetap mengoptialkan

kegiatan menulis ekspresif yang dilakukan di lokasi yang sudah dikondisikan. Partisipan

mengaku tidak keberatan untuk ditugaskan menulis akan tetapi mereka menginginkan adanya

rehat sejenak, hal ini bisa dimanfaatkan peneliti dengan memberikan ice breaking.

32

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Hasil penelelitian uji efektivitas menulis ekspresif untuk meningkatkan post-traumatic

growth menunjukkan adanya perubahan yang efektif bagi pengguna, hal ini dapat

dijelaskan bahwa kegiatan menulis ekspresif dapat meningkatkan kualitas dalam

berhubungan dengan orang lain, mengidentifikasi kekuatan personal, perubahan

spiritual ke arah yang lebih positif dan peningkatan dalam mengapresiasi hidup.

2. Setelah peserta berhasil menuliskan apa yang dirasa dan dipikirkan terkait dengan

bencana, peserta mengaku mereka terasa lebih tenang, rileks dan dapat lebih

memaknai bencana lewat tulisan

3. Waktu yang dibutuhkan partisipan dalam menyelesaikan tulisan bervariasi, jika

dilakukan di tempat yang dikondisikan oleh panitia, partisipan akan tetap menulis

sesuai dengan aturan, akan tetapi mereka mengaku hasil yang didapat belum tentu

mencerminkan semua pikiran dan perasaannya. Jika dilakukan di rumah, partisipan

mengaku dapat menyelesaikan dalam beberapa jam, karena memungkinkan di sela-

sela menulis partisipan juga melaksanakan tugas yang lain

5.2 Saran

1. Modul yang digunakan perlu disesuaikan dengan kondisi korban bencana, seperti

durasi waktu yang digunakan disesuaikan dengan kondisi fisik dan umur dari

partisipan

2. Evaluasi perlu diberikan pada kondisi pelaksanaan dengan memberikan sekat dan

jarak ruangan jika peserta membawa anak-anak agar dapat lebih kondusif

3. Memberikan peserta untuk dapat membangun kerangka ide supaya dapat lebih

menggambarkan perasaan dan pikiran juga perlu diberikan alokasi waktu

33

DAFTAR RUJUKAN

Bensimon, M. (2012). Elaboration on the association between trauma, PTSD, and

posttraumatic growth, the role of trait resilience. Personality and Individual

Differences, 52, 782-787. doi:10.1016/j.paid.2012.01.011

Garnefski, N., Kraaij, V., Schroevers, M. J., & Somsen, G. A . (2008). Posttraumatic growth

after a myocardial infarction: a matter of personality, psychological health, or

cognitive coping?. Journal Clinical Psychology and Medical Settings,15, 270–277.

doi: 10.1007/s10880-008-9136-5

Hafnidar, L., Chang, Lin, H. (2012). Forgiveness as a Mediator for the Relationship between

Spirituality and Posttraumatic Growth in Aceh Conflict Victims, Indonesia.

International Journal of Social Science and Humanity, 2 (3), 237-241.

Hefferon, K., & Boniwell, I. (2011). Positive psychology: Theory, research and applications.

New York: Open University Press.

Martam, I. S. (2009). Mengenal trauma pasca bencana. Pulih Newsletter, 14, 1-4.

Meisenhelder, J. B., & Marcum, J. P. (2004). posttraumatic stress, coping, and religious

outcomes. Journal for the Scientific Study of Religion. 43(4), 547-554.

Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2012). Health psychology: Biopsychosocial interactions (7th

ed). Hobokon, Asia. John Wiley & Sons.

Schexnaildre, M. A. (2011). Predicting posttraumatic growth: coping, social support, and

posttraumatic stress in children and adolescents after hurricane katrina (Master’s

thesis). Diperoleh dari Proquest Dissertations and Theses database.

Schmidt, S. D., Blank, T. O., Bellizzi, K. M., & Park, C. L. (2011). The relationship of

coping strategies, social support, and attachment style with posttraumatic growth in

cancer survivors. Journal of Health Psychology, 17 (7), 1033–1040. doi:

10.1177/1359105311429203

Subandi, M. A., Achmad, T., Kurniati, H., & Febri, R. (2014). Spirituality, gratitude, hope

and post-traumatic growth among the survivors of the 2010 eruption of mount Merapi

in Java, Indonesia. Australasian Journal of Disaster and Trauma Studies, 18 (1), 19-16.

Swickert, R., & Hittner, J. (2009). Social support coping mediates the relationship between

gender and posttraumatic growth. Journal of Health Psychology, 14(3), 387-393. doi:

10.1177/1359105308101677

Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (1996). The posttraumatic growth inventory: Measuring

34

the positive legacy of trauma. Journal of Traumatic Stress, 9(3), 455-471.

Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004a). The foundations of posttraumatic growth: New

considerations. Psychological Inquiry, 15(1), 93-102.

Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004b). Posttraumatic growth: Conceptual foundations

and empirical evidence. Psychological Inquiry, 15(1), 1-18.

Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004c). Posttraumatic growth: A new perspective on

psychotraumatology. Psychiatric times, 21 (4), 58-59.

Werdel, M, B., & Wicks, R. J. (2012). Primer on posttraumatic growth: An introduction

and guide. United States of Amerika: John Wiley & Sons.

Xu, J., & Liao, Q. (2011). Prevalence and predictors of posttraumatic growth among adult

survivors one year following 2008 Sichuan earthquake. Journal of Affective

Disorders, 133, 274–280. doi: 10.1016./j.jad.2011.03.034

Date post:	28-Oct-2020
Category:	Documents
Upload:	others
View:	2 times
Download:	0 times

MONOGRAF THE DEVELOPMENT OF EXPRESSIVE...

Documents