+ All Categories
Home > Documents > NILAI THEOLOGIS DALAM SERAT WEDHATAMA - CORE · jalan menuju sufisme, subtansi ajaran ... Konsep...

NILAI THEOLOGIS DALAM SERAT WEDHATAMA - CORE · jalan menuju sufisme, subtansi ajaran ... Konsep...

Date post: 07-Mar-2019
Category:
Upload: leanh
View: 234 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
9
NILAI THEOLOGIS DALAM SERAT WEDHATAMA oleh Purwadi FBS Universitas Negeri Yogyakarta Abstract Serat Wedhatama is a Javanese literary work by Sri Mangkunegara IV. It contains considerable piwulang luhur (or valuable teachings) in the ethics oflife in social interaction. This article concerns a research aiming at describing the theological values in Serat Wedhatama which are often referred to as Sembah Raga, Sembah Cipta, Sembah Jiwa, and Sembah Rasa. They are said to coincide with what are usually referred to in Moslem sufism as syariat, tarikat, hakikat, and makrifat as well as with what are always referred to in Hinduism as artha, kama, dharma, and muksa. In that work of his, Sri Mangkunegara IV is able to make a successful discourse of harmony among traditional Javanese principles, Islamic principles, and Hindu principles. Serat Wedhatama could thus become important reading for Javanese people. Keywords: theology, Serat Wedhatama, ethics oflife A. PENDAHULUAN Inti pandangan dunia Jawa terletak pada anggapan bahwa di belakang gejala-gejala lahiriah terdapat kekuatan-kekuatan kosmis numinus sebagai realitas yang sebenamya, dan realitas sebenamya manusia adalah batinnya yang berakar dalam dunia numinus itu. Hidup manusia akan berhasil sejauh ia dapat menyesuaikan diri dengan realitas itu, atau sejauh ia dapat menembus sampai padanya. Kriterium keberhasilannya pada akhirnya adalah suatu keadaan psikologis, yaitu keadaan slamet, atau ketentraman batin yang tenang. Nampak pula bahwa keadaan itu hanya dapat tercapai apabila kita memiliki sikap batin yang tepat. Dengan pertanyaan tentang sikap batin yang tepat itu, tergambarkan ciri khas etika Jawa(Magnis Suseno 1993:64) Semboyan sebagai inti bersama usaha semua golongan kebatinan yakni: sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana, yang dapat diterjemahkan scbagai menjadi bebas daTi kepentingan sendiri, melakukan kewajiban-kewajibannya, memperindah dunia (Subagyo, 1973: 82). Hal tersebut merupakan kategori tempat yang tepat sebagai titik acuan fundamental bagi pandangan-pandangan moral. Seseorang yang telah memiliki kematangan batin, tidak takut dan was-was lagi terhadap manunggalnya rohani pada keagungan Ilahi, yang ia resapkan sedalam-dalamnya dan ia jelmakan kembali dalam suasana sunyi sepi (Kamajaya, 1992: 123). Lalu ia simpan kembali dipusat terdalam dalam lubuk hati sanubari. Pada saat itu terbukalah tirai penutup antara dia dengan Tuhannya, sehingga dengan mata hatinya ia dapat melihat Tuhannya, sekejap, seolah-olah hanya dalam jarak waktu antara sadar dan tak sadar. Dengan pusat kalbu yang terdalam, yang dalam keadaanjernih berkilauan, seorang salik mampu melihat Allah Yang Maha Ghaib, jauh tersembunyi dalam pandangan mata biasa. Dalam Serat Wedhatamakarya Mangkunegara IV dikenal adanya istilah sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa yang merupakan derivasi idiom tasawuf Islam syariat, tarikat, hakikat, makrifat. Pada dasarnya keempat sembah tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk akulturasi kebudayaan. Ajaran tasawuf Islam mengalami transformasi dalam budaya Jawa. 81
Transcript

NILAI THEOLOGIS DALAM SERAT WEDHATAMA

oleh Purwadi

FBS Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract

Serat Wedhatama is a Javanese literary work by Sri Mangkunegara IV. Itcontains considerable piwulang luhur (or valuable teachings) in the ethics oflife insocial interaction. This article concerns a research aiming at describing thetheological values in Serat Wedhatama which are often referred to as SembahRaga, Sembah Cipta, Sembah Jiwa, and Sembah Rasa. They are said to coincidewith what are usually referred to in Moslem sufism as syariat, tarikat, hakikat, andmakrifat as well as with what are always referred to in Hinduism as artha, kama,dharma, and muksa. In that work of his, Sri Mangkunegara IV is able to make asuccessful discourse of harmony among traditional Javanese principles, Islamicprinciples, and Hindu principles. Serat Wedhatama could thus become importantreading for Javanese people.

Keywords: theology, Serat Wedhatama, ethics oflife

A. PENDAHULUAN

Inti pandangan dunia Jawa terletakpada anggapan bahwa di belakang gejala-gejalalahiriah terdapat kekuatan-kekuatan kosmisnuminus sebagai realitas yang sebenamya, danrealitas sebenamya manusia adalah batinnyayang berakar dalam dunia numinus itu. Hidupmanusia akan berhasil sejauh ia dapatmenyesuaikan diri dengan realitas itu, atausejauh ia dapat menembus sampai padanya.Kriterium keberhasilannya pada akhirnyaadalah suatu keadaan psikologis, yaitu keadaanslamet, atau ketentraman batin yang tenang.Nampak pula bahwa keadaan itu hanya dapattercapai apabila kita memiliki sikap batin yangtepat. Dengan pertanyaan tentang sikap batinyang tepat itu, tergambarkan ciri khas etikaJawa(Magnis Suseno 1993:64)

Semboyan sebagai inti bersama usahasemua golongan kebatinan yakni: sepi ingpamrih, rame ing gawe, memayu hayuningbawana, yang dapat diterjemahkan scbagaimenjadi bebas daTi kepentingan sendiri,melakukan kewajiban-kewajibannya,memperindah dunia (Subagyo, 1973: 82). Haltersebut merupakan kategori tempat yang tepat

sebagai titik acuan fundamental bagipandangan-pandangan moral. Seseorang yangtelah memiliki kematangan batin, tidak takutdan was-was lagi terhadap manunggalnyarohani pada keagungan Ilahi, yang ia resapkansedalam-dalamnya dan ia jelmakan kembalidalam suasana sunyi sepi (Kamajaya, 1992:123). Lalu ia simpan kembali dipusat terdalamdalam lubuk hati sanubari. Pada saat itu

terbukalah tirai penutup antara dia denganTuhannya, sehingga dengan mata hatinya iadapat melihat Tuhannya, sekejap, seolah-olahhanya dalam jarak waktu antara sadar dan taksadar. Dengan pusat kalbu yang terdalam, yangdalam keadaanjernih berkilauan, seorang salikmampu melihat Allah Yang Maha Ghaib, jauhtersembunyi dalam pandangan mata biasa.Dalam Serat Wedhatamakarya MangkunegaraIV dikenal adanya istilah sembah raga, sembahcipta, sembah jiwa dan sembah rasa yangmerupakan derivasi idiom tasawuf Islamsyariat, tarikat, hakikat, makrifat.

Pada dasarnya keempat sembahtersebut dapat dikatakan sebagai bentukakulturasi kebudayaan. Ajaran tasawuf Islammengalami transformasi dalam budaya Jawa.

81

82

Mangkunegara IV sebagai pujangga berusahauntuk memasukkan unsur-unsur Islam lewat

Serat Wedhatama. Dengan menggunakanmetrum tembang macapat, maka ajaransufisme Jawa yang mengandung nilaikeislaman itu dapat diterima oleh masyarakatsecara mengakar dan meluas. Syair-syair ajaranSerat Wedhatama merupakan bahan refleksispiritual.

Berdasarkan latar belakangsebagaimana deskripsi di atas, makapembahasan ini mempunyai tujuan untukmengungkapkan nilai-nilai theologis dalamSerat Wedhatama.Pembahasan terhadap SeratWedhatama meliputi dasar theologis Jawa,jalan menuju sufisme, subtansi ajarankebatinan, dan mencapai puncak mistik.Dengan pembahasan secara theologis inidiharapkan akan dapat diperoleh pemahamantentang sistem nilai-nilai spiritual Jawa yangmerupakan sumberkearifan lokal.

B. DASARTHEOLOGISJAWA

Pemikiran etik religius MangkunegaraIV pada dasamya .sesuai dengan konsepmusyahadah Al Qusyairi yakni melihat Allahdengan mata hati, kelihatan kesesuaian antarakeduanya. Nilai theologis dalam Wedhatamadijelaskan dengan idiom sinimpen telengingkalbu yakni alat untuk melihat Tuhan setelahterlebih dahulu dibukakantabir yang menutupi-Nya. Pemikiran theologis Jawa yangmenempati strata paling dasar adalah tatacarapanembah kepadaTuhanYangMahaKuasa.

Secara teoritis konsep sembah ataupanembah dikemukakan Mangkunegara IVdalam Serat Wedhatama (Ardani, 1995: 96).Konsep ini dikaitkan dengan kemuliaan budiluhur dan kehinaan budijahat. Sembah dan budiluhur adalah dua hal yang menyatu, senafas dansaling berkait, dalam rangka mendekatkan dirikepada Tuhan sedekat-dekatnya.

Sembah raga ialah menyembah Tuhandengan mengutamakan gerak laku badaniah,atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Carabersucinya sarna dengan sembahyang biasa,yaitu dengan mempergunakan air (wudlu).Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima

DIKSI Vol. : 14. No. 1 Januari 2007

kali sehari semalam, dengan mengindahkanpedoman secara tepat tekun dan terus-menerus,seperti bait berikut:

Sembah raga punikupakartining wong amagang lakusesucine asarana saking warihkang wus lumrah limang wektuwantu wataking wawaton.

Terjemahan:Sembah raga adalahPerbuatana orang yang sedang melakukanBersuci dengan air beningBiasa disebut lima waktu

Saat yang sudah ditentukan

Perjalanan hidup yang panjangditamsilkan sebagai orang yang magang lakuatau penempuh perjalanan hidup kerohanian,sebagai orang yang menjalani tahap awalkehidupan bertapa. Sembah ini didahuluidengan bersuci yang menggunakan air.Sembahraga ditunaikan sehari semalam lima kali. Ataudengan kata lain bahwa untuk menunaikansembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya,lima kali dalam tiap-tiap sehari semalam.Sembah lima waktu merupakan shalat fardluyang wajib ditunaikan terus menerus tiada hentiseumur hidup, dengan keharusan memenuhisegala ketentuan syarat dan rukun yang wajibdipedomani. Watak suatu pedoman harusdipedomani (Hazim Amir, 1994: 71). Tanpamempedomani syarat dan rukun, maka sembahitu tidak sah.

Shalat lima waktu merupakan shalatfardlu yang wajib ditunaikan setiap muslimdengan memenuhi segala syarat dan rukunnya,wantu wataking wawaton. Sembah raga yangdemikian ini wajib ditunaikan terus-menerustiada henti seumur hidup. Dengan keharusanmemenuhi segala ketentuan syarat dan rukunyang wajib dipedomani. Watak suatu watonharus dipedomani. Tanpamempedomani syaratdan rukun, maka sembah itu tidak sah. Sembahraga tersebut, meskipun lebih menekankangerak laku badaniah, namun bukan berartimengabaikan aspek rohaniah, sebaborang yangmagang laku selain ia menghadirkan seperang-

kat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkataspek spiritualnya sehingga ia meningkat ketahap kerohanian yang lebih tinggi.

C. JALAN MENUJU SUFISME

Bagi orang Jawa jalan menujukehidupan sufisme dapat dilalui dengan caraSembah Cipta. Sembah cipta kadang-kadangdisebut kadang-kadang disebut juga denganistilah sembah kalbu, seperti terungkap padabait tembang gambuh sebagai berikut:

Samengko sembah kalbuyen lumintu uga dadi lakulaku agung kang kagungan narapatipatitis teteking kawruhmeruhi marang kang momong

Terjemahan:Sekarang sembah kalbuJika dibiasakan menjadi lakuLaku agung milik sang rajaTepat sebagai sumber ilmuMengetahui kepada yang mengasuh

Apabila cipta mengandung artigagasan, angan-angan, harapan atau keinginanyang tersimpan dalam hati, kalbu berarti hati,maka sembah cipta di sini mengandung artisembah kalbu atau sembah hati, bukan sembahgagasan atau angan-angan. Apabila sembahraga menekankan penggunaan air untukmembasuh segala kotoran dan najis lahiriah,maka sembah kalbu menekankan pengekanganhawa nafsu yang dapat mengakibatkanterjadinya berbagai pelanggaran dan dosa(sucine tanpa banyu, amung nyunyudahardaning kalbu).

Bersuci itu dalam tuntunan Islam ada

empat tingkat. Pertama, membersihkan hadatsdan najis yang bersifat lahiriah. Kedua,membersihkan anggota badan dari berbagaipelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkanhati dari akhlak yang tercela dan budi pekertiyang hina. Keempat, membersihkan hati nuranidari apa yang selain Allah. Cara bersuci yangkeempat inilah thaharah pada Nabi danShiddiqin. Jika thaharah yang pertama dankedua menurut Al-Ghazali masih menekankan

83

bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yangmelekat di badan yang berupa pelanggaran dandosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Caramembersihkannya dibasuh dengan air.Sedangkankotoran yang kedua dibersihkan dandibasuh tanpa air yaitu dengan menahan danmenjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa.Thaharah yang ketiga dan keempat juga tanpamenggunakan air. Tetapi dengan membersih-kan hati dari budijahat dan mengosongkan hatidari apa sajayang selainAllah.

Istilah pan dang an hidup Jawamempergunakan pengertian yang longgar, jadiistilah ini dapat saja diganti dengan istilah-istilah lainyang memiliki arti yang kurang lebihsarna, seperti Filsafat Jawa, Filsafah Kejawenatau istilah lain lagi (Ciptoprawiro, 1986: 18).Tetapi pandangan hidup Jawa, ini tidaklahidentik dengan Aliran Kepercayaan TerhadapTuhanYangMaha Esa atau IslamAbangan atauMistik Jawa dan lebih-lebih dengan ilmu-ilmuklenik. Sementara itu beberapa istilah lainseperti Agama Jawa (Koentjaraningrat, 1984:204), The Religion of Java (Clifford Geertz,1991:29) dan lain-lain, itu tidak identik denganPandangan Hidup Jawa sekalipun tampakadanya beberapa segi persamaan. Arti ini lebihserasi dengan makna yang terkandung dalamkata muslim dan mutaqqi yang berartimenyerah, tunduk menjaga diri dari hukumanTuhan, dengan mematuhi perintah danmenjauhi larangan-larangan-Nya.

Dengan perkataan lain, manusiadiciptakan Tuhan sebenarnya ialah untukberbuat baik dan menjauhi kejahatan, karenaTuhan hanya menyuruh apa yang baik danmelarang yang jahat (Ardani, 1995: 23).Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpandalam hati, sedangkan kalbu berarti hati, makasembah cipta di sini mengandung arti sembahkalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasanatau angan-angan (Poerwadarminta, 1939:286). Secara keseluruhan makna IngkangAkarya Jagat adalah yang membuat dunia.dunia raya seluruhnya ini diyakini oleh orangJawa bahwa ada yang menciptakan. Ilmusangkan paraning dumadi menunjukkan asal-

Nilai Theologis Dalam Serat Wedhatama (Purwadi)

84

usul kehidupan dan tujuannya. Dunia past~adaawalnya dan ada akhirnya. Namun SangPencipta tanpa awal akhir, karena awal akhirhanya menguasai makhluk.

lngkang Murbeng Gesang adalah yangmenguasai kehidupan. Kepasrahan kepadayang menguasai hidup ini membuat orang Jawatidak risau terhadap segala jenis perubahansosial yang sedang terjadi. Dalam logikasederhana, penguasa pesti memiliki kasihsayang terhadap yang dikuasai at aumakhluknya. Duka nestapa selalu dipahamisebagai ganjaran dari lngkang MurbengGesang.

Hyang Suksma Adiluwih artinya adalahTuhan Yang Maha Lebih. Segala yang ada didunia ini selalu di bawah keberadaan Tuhan.

Dengan mengakui YangMaha Lebih ini, orangJawa menghindari sikap sombong. Sebaik-baikmakhluk dan sehebat-hebat ciptaan masih amatjauh dibanding dengan kekuatan yangmenciptakan. Singkat kata antara makhlukdengan yang menciptakan memang tidak bisadibandingkan.

Sembah cipta atau sembah kalbu ialahmenyembah Tuhan dengan lebih mengutama-kan peranan kalbu. Sembah ini, seperti halnyasembah raga, apabila dilakukan terus menerussecara teratur, juga dapat menjadi jalan yangmengantarkan kepada tujuan, bahkanmerupakan jalan raya 'sang raja kerohanian'yang tengah menjalani tarikat dan suluk dalamperjalanan kerohaniannya (yen lumintu ugadadi laku, laku agung kang kagungan narapati)

(Ardani, 1995: 142). Sekalipun sembah kalbulebih mengutamakan kesucian batin, namunbukan berarti meniadakan peranan kebersihandan kesucian lahir. Oleh karena itu thaharah

pada sembah raga perlu dihayati dan diberimakna batini dalam sembah kalbu, sehinggataharah tersebut mengandung makna lahir danbatin secara terpadu (Ardani, 1995: 156).Sekalipun telah cukup jelas petunjuk-petunjukpelaksanaan sembah kalbu seperti disebut dimuka, namun seorang salik perlu memperhati-kan dengan seksama apa yang menjadipenghalang yang bakal menggagalkanperjalanan menujuAllah.

DIKSI Vol. .' 14. No. 1 Januari 2007

Penyebab kegagalan menu rutMangkunegara IV, apabila ia selalumemperturutkan kemauan pribadinya,mengharap apa yang diinginkan terpenuhi,padahal begitu banyak keinginan itu yangbiasanya karena dorongan hawa nafsu, lalumenyebabkan lalai berdzikir kepada Allah. Jikahal yang demikian diperturutkan, gagallah apayang dicita-citakan. Maka hendaklah ia sadardan waspada apa yang menyebabkan gagalnyaperjalanan mencapai tujuan.

D. SUBSTANSI AJARAN KEBATINAN

Pada perjalanan spiritual tertentudiharapkan seseorang dapat memahamisubstansi ajaran kebatinan melalui sembah

jiwa. Sembah jiwa adalah sembah kepadaHyang Suksma dengan mengutamakan peranjiwa. Jika sembah cipta mengutamakan perankalbu, maka sembah jiwa lebih halus danmendalam dengan menggunakan jiwa atau Alruh. Sembah ini hendaklah diresapi secaramenyeluruh tanpa henti setiap hari,dilaksanakan dengan tekun secara terusmenerus seperti tampak padabait berikut:

Samengko kang tinutursembah katri kang sayekti katurmring Hyang Suksma suksmanen saari ariarahendipunkacakupsembahingjiwa sutengong.

Terjemahan:Sekarang yang dituturkanSembah yang ketigaKepada Tuhan yang dihayati sehari-hariDengan tujuan meliputi segalanyaSembahjiwa anakku.

Menurut pandangan ilmu mistikkebatinan orang jawa, kehidupan manusiamerupakan bagian dari jagad raya secarakeseluruhan, dan hanya merupakan bagianyang sangat kecil dari kehidupan jagad rayayang abadi, di mana manusia itu seakan-akanhanya berhenti sebentaruntuk minum. MenurutSerat Jamus Kalimasada, ajaran kebatinanJawa adalah sufi Jawa yang utuh. Iamengajarkan manunggaling kawula Gusti atau

sangkan paraning dumadi. Menurut ajaranJawa, perihal manunggaling kawula Gusti itudapat diibaratkan sebagai rangka umanjingcuriga, tempat keris yang meresap masuk kedalam kerisnya (Haryanto, 1988:76).

Wisesa bertindak sebagai wakil Allah,yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumahbesar, yang merupakan dinding (tirai) yaitubadan atau tubuh kita (yaitu yang merupakanrealisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujudadalah mahkluk, sedang yang disujudi adalahKhalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnyahanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudipmandiri itu sebenarnya telah berkumpulmenjadi satu antaramahkluk dan Khaliknya.

Selanjutnya menurut ajaran Jawa, yangbertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah Sadherek gangsal kalima pancer.Adapun jiwa kita diibaratkan oleh ajaran Jawasebagai mandor. Seorang mandor harusmengawasi kuli-kulinya. Atau lebih singkatnyadikatakan sebagai berikut: Gajah Sena saudaraWrekodara yang berwujud gajah. Singkatnyasaudara yang berjumlah lima itumengibaratkanilmu ke-Tuhan-an. Hal ini perlu dicapai (yaitutiga saudara, empat dan lima pokoknya).Adapun yang bekerja mencari sandang pangansetiap hari itu adalah saudara kita berlima itu.Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagaimandor. Itulah sebabnya mandor harusberpegang teguh pada kekuasaan yang beradaditangannya untuk mengatur anak buahnya,agar semuanya selamat. Sebaliknya apabilaanak buahnya tadi betindak salah dan tindakantersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaanmereka kian berbuat seenaknya. Hal ini akanmengakibatkan penderitaan.

Pengandaian jiwa sebagai mandhordan sedulur papat kalimapancer sebagai kuli-kuli tersebut di atas adalah sangat menarik.Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerjapaksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerahBlora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri darimandor dan kuli. Mandor berfungsi sebagaipengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagaipekerja. Pemakaian kata yang sederhanatersebut oleh ajaran Jawa dikandung maksudagar ajarannya dapat dimengerti oleh siswa-

85

siswanya yang umumnya adalah orang desayang terkena kerja paksa.

Tugas manusia di duma adalah sebagaiutusan Tuhan. Jadi apa yang dialami olehmanusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh

karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit,bahagia dan sedih, harus diterima sebagai halyang wajar. Hal tersebut bisa dilihat padaajarannya yang berbunyi : Menurut perjanjian,manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untukmenambah keindahan jagad raya. Dalarnhubungan ini masyarakat harus menyadaribahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakanperintah. Oleh karena itu apabila manusiamengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedihdan gembira, sehat dan sakit, semuanya harusditerima tanpa keluhan, sebab manusia terikatdengan perjanjiannya. Yang terpenting adalahmanusia hidup di dunia ini harus mematuhihukum Tuhan, yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing. Arah tujuannya agardapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh, sehinggatidak ragu-ragu lagi.

Pelaksanaan sembahjiwa ialah denganberniat teguh dalam hati untuk mengemaskansegenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuatuntuk diarahkan kepada tujuan yang hendakdicapai tanpa melepaskan apa yang telahdipegang pada saat itu. Dengan demikiantriloka Gagad raya) tergulung menjadi satu.Begitu pula jagad besar dan jagad kecildigulungkan disatupadukan. Di situlah tampakdunia yang bersinar gemerlapan. Maka untukmenghadapi keadaan yang menggumkan itu,hendaklah perasaan hati dipertebal dandiperteguhjangan terpengaruh apa yang terjadi.Dalam rangkaian aj aran sembahMangkunegara IV yang telah disebut terdahulu,maka scmbah jiwa ini menempati kedudukanyang amat penting. Ia disebutpepuntoning laku(pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk).Inilah akhir perjalanan hidup batiniah. Carabersucinya tidak seperti pada sembah ragadengan air wudlu atau mandi, tidak pula sepertipada sembah kalbu dengan menundukkan hawanafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspadadan ingat/dzikir) kepada keadaan dunia baka(langgeng), dunia Ilahi.

Nilai Theologis Dalam Serat Wedhatama (Purwadi)

86

Berbeda dengan sembah raga dansembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanansuluk, sembah ini adalah tingkat akhirperjalanan tersebut, sedangkan sembah yangpertama adalah tingkat permulaan (wongamagang laku) dan sembah yang kedua adalahtingkat lanjutan. Dan ditinjau dari segi tata carapelaksanaannya, sembah yang pertamamenekankan kesucian jasmaniah denganmenggunakan alat air dan sembah yang keduamenekankan kesucian kalbu dari pengaruhjahat hawa nafsu lalu membuangnya danmenukamya dengan sifat utama, sedangkansembah ketiga menekankan pengisian selurubaspekjiwa dengandzikirkepadaAllah.

E. MENCAPAI PUNCAK MISTIK

Dalam struktur kepercayaan orangJawa, mencapai puncak mistik dapat dicapaidengan sembah rasa.Sembah rasa ini berlainandengan sembah-sembah yang sebelumnya. Iadidasarkan kepada rasa cemas. Sembah yangkeempat ini ialah sembah yang dihayati denganmerasakan intisari kehidupan makhluk semestaalam, demikian menurut Mangkunegara IV.Beliau adalah sufi Jawa sekaligusraja yang adil,ber budi bawa leksana yang telah mencapaisembah rasa.

Maksud ungkapan ber budi adalahsikap seorang yang murah hati, suka memberiganjaran, berdana ria dan selalu memikirkankesejahteraan bawahan dan rakyatnya.Sese orang memiliki kesempatan yangberlimpah ruah untuk mengumpulkankemakmuran, kenikmatan dan kehormatantanpa banyak harus bersusah payah. Namunbila hasilnya tidak disebarkan secara meratadan adil maka kenikmatan itu akan menjelmamenjadi senjata makan tuan. Bahkan suatu saatakan menjatuhkan diri dan martabatnya.Ungkapan ber budi maknanya asring paringdana. Tindak kongkritnya yaitu anggeganjarsaben dina yang bermakna seorang pemimpinyang pemurah, kreatif, inovatif serta memilikikepribadian agung. Arti ungkapan bawaleksana adalah menepati dan menetapi kata-kata. Sabda brahmana raja sepisan kudu daditan kena wola-wali, mengandung makna bahwa

DIKSI Vol. : 14. No. 1 Januari 2007

perkataan ulama dan umara itu harus bisadipegang. Oleh karena itu sebelum diucapkanharus dipikirkanmasak-masak.

Raja dan brahmana merupakan figurpanutan yang diikuti oleh banyak orang. Idiomesuk dhele sore tempe hanya patut diucapkanoleh pedagang di pasar yang hanya mengejarlaba tak memikirkan dampak kata-katanya.Sangat berbahaya bila pemuka masyarakatcepat-cepat berubah ucapannya hanya untukmenuruti selera sesaat (Poerbatjaraka, 1964:17). Orang yang mencla-mencle akanmenyusahkan. Lire kang bawa leksana anetepipangandika adalah suatu ungkapan yang penuhdengan prinsip luhur yang perlu dipraktikkanpara pemlmpm.

Jika sembah kalbu mengandung artimenyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atauhati seperti disebutkan sebelumnya, sembahjiwa berarti menyembah Tuhan dengan alatbatin jiwa atau rub, maka sembah rasa berartimenyembah Tuhan dengan menggunakan alatbatin inti ruh. Alat batin yang belakangan iniadalah alat batin yang paling dalam dan palinghalus yang menurut Mangkunegara IV disebuttelenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam)atau disebut wosing jiwangga (inti rub yangpaling halus).

Dengan demikian menurutMangkunegara IV, dalam diri manusia terdapattiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/rub daninti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosingjiwangga) yang memperlihatkan susunanurutan kedalaman dan kehalusannya.Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagimemerlukan petunjuk dan bimbingan guruseperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harusdilakukan salik sendiri dengan kekuatanbatinnya, seperti diungkapkan MangkunegaraIV dalam baitberikut:

Semongko ingsun tuturgantya sembah lingkang kaping catursembah rasa karasa wosing dumadidadi wus tanpa tuduhmung kalawan kasing batos.

Terjemahan :Sekarangsayabertutur

Ganti sembah yang keempatSembah rasa yang menjadi inti hidupJadi sudahtanpa arahanHanya dengankekuatan batin

Apabila sembah jiwa dipandangsebagai sembah pada proses pencapaian tujuanakhir perjalanan suluk,pepuntoning laku,makasembah rasa adalah sembah yang dilakukanbukan dalam perjalanan suluk itu, melainkansembah yang dilakukan di tempat tujuan akhirsuluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tibadi tempat yang dituju. Di sinilah akhirperjalanan suluknya. Untuk sampai di sini,seorang salik masih tetap dibimbing gurunyaseperti telah disebut di muka. Setelah iadiantarkan sampai selamat oleh gurunya untukmemasuki pintu gerbang, tempat sembah yangkeempat, maka selanjutnya ia hams mandirimelakukansembah rasa (Darmanto, 1997:28).

Pada tingkatan ini, seorang salik dapatmelaksanakan sendiri sembah rasa sesuai

petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini iadipandang telah memiliki kematangan rohani.Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahlidalam melakukan sembah dengan memper-gunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri. Ciriorang yang sudah mencapai tataran sembah rasaini adalah anteng, meneng,jatmika, sembada,dan wiratama. Anteng bermakna tenang, halus,indah tapi berbobot. Ada pepatah: air beriaktanda tak dalam, air tenang menghanyutkan,yaitu larangan untuk meremehkan hal-hal yangkelihatan remehyang takberdaya.

Sikap anteng akan menimbulkankewibawaan dan mendatangkan rasa hormatdari pihak lain. Dalam proses belajar mengajar,sikap anteng itu sangat diperlukan. Guru akanmerasa dihargaijika siswanya bersikap anteng.Dengan sikap antengberarti siswa memperhati-kan dan memahami ajaran gurunya. Suasanagaduh akan membuat pelajaran tidak bisadipahami dan emosi mudah terbakar.

Dalam forum resmi sikap antengdiperlukan demi kelancaran hal yang sedangdibicarakan. Keputusan yang dihasilkan olehforum yang anteng pesertanya maka hasilnyaakan lebihjemih. Dalam kehidupan sehari-haripribadi yang anteng bisanya mampu berpikir

87

lebih jemih untuk memecahkan berbagaipersoalan (Haryanto, 1988: 63). Menengartinya diam. Namun diam di sini bukan dalamarti tanpa sikap dan tidak tahu persoalan.Seseorang hams diam di kala tertentu agarsuasana tidak menjadi keruh. Suasana yangpanas akibat dari ucapan yang bermacam-macam menambah potensi konflik menajamdan perselisihan meruncing. Pilihan untuk diammerupakan sikap terbaik dan bijaksana. Di sinibisa dikatakan: diam adalah emas. Apabilakonflik memuncak dan ujung kompromi takdiketemukan, biasanya mereka akan berpalingkepada pihak yang tidak banyak bicara. Danbarulah pihak ini memberikan solusi yangjemih dan efektif. Tindakan diam juga bisadigunakan untuk menghadapi orang keras.Orang keras kalau dihadapi secara ftontal akanbertambah beringas. Dengan diam, lama-kelamaan ia akan sadardiri.

F. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka nilaitheologis dalam Serat Wedhatama dikenaladanya istilah sembah raga, sembah cipta,sembah jiwa dan sembah rasa. Syariat atausembah raga adalah tahap yang paling mula,yaitu manusia hams menghormati dan hidupsesuai dengan rukun agama menjalankankewajiban dengan sungguh-sungguh;menghargai dan menghormati orang tua, guru,pemimpin dan raja; mematuhi aturan sosial,danmenjaga keselarasannya; serta mengakuitatanan kosmos (Subagyo, 1976: 82). Manusiasadar bahwa dengan emnghormati orang tua,guru, dan raja berarti menghormati Tuhan sertamengakui ada-Nya.

Tarikat atau sembah cipta adalah tahapyang lebihmaju setapak. Dalam tahap ini segalatingkah laku pada tahap yang pertama lebihditingkatkan dan diperdalam, yaitu denganbertobat dan menyesali segala dosa; menjauhilarangan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya;melakukan puasa yang diwajibkan; mengu-rangi makan, minum, dan tidur (Hadiwijono,1983: 97). Kecuali sikap demikian itudisebutkan pula bahwa orang yang telahmencapai tahap tarikat di antaranya ia akan

Nilai Theologis Dalam Serat Wedhatama (Purwadi)

88

sabar dan tenang dalam segala tindakan;meninggalkan segala yang hal di dalamnyaterdapat keraguan; dan tawakal atau berserahdiri kepada keputusan sertaketetapan Tuhan.

Hakikat atau sembahjiwa adalah tahapyang sempuma. Pencapaian tahap ini diperolehdengan mengenal Tuhan melalui pengetahuanyang sempuma dengan cara berdoa terus-menerus; menyebut nama Tuhan danmencintai-Nya; mengenali Tuhan dan dirinyasendiri; acuh terhadap kesenangan dankesusahan, karena senang-susah, kaya-miskin,nyaman-sakit, semuanya itu merupakan wujudTuhan, yang berarti berasal dari Tuhan. Segalasesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mengaku saja(Zoetmulder, 1991: 138). Tahap ini disebuttahap keadaan mati dalam hidup, dan hidupdalam mati; maknanya yang mati di sini adalahnafsunya.

Makrifat atau sembah rasa adalah

tahap terakhir atau tertinggi, yaitu tahapmanusia telah menyatukan dirinya denganIlahi, tahap manusia telah mencapaikemanunggalan dengan Tuhan. Dalam tahapini,jiwa manusia terpadu denganjiwa semesta,tindakan manusia semata-mata menjadi laku(Mu1yono, 1978: 54). Pada tahap ini, manusiatidak akan diombang-ambingkan oleh suka-duka dunia, berseri bagaikan bulan pumamamenyinari bumi, membuat dunia indah dandamai; menjadi wakil Tuhan di dunia danmenjalankan kewajiban-kewajiban-Nya.Singkat kata, mereka sudah meninggalkandunia sebelum meninggal dunia. Pada akhimyadia akan memperoleh derajatkhusnul khotimah.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhani. 1995. Pemikiran KGPA

Mangkunegara IV Semarang : DaharaPrize.

Ciptoprawiro, 1986. Filsafat Jawa. Jakarta :Gramedia.

DIKSI Vol. : 14. No. 1 Januari 2007

Clifford Geertz, 1991. Santri Abangan Priyayi.Jakarta: LP3ES.

Darmanto, 1997. Ajaran Hidup SeratWedhatama. Surakarta: Cendrawasih

Hadiwijono, 1983. Kepercayaan Orang Jawa.Yogyakarta: Kanisius.

Haryanto, 1988, Pratiwimba AdiluhungSejarah dan Perkembangan Wayang,Jakarta: Djambatan.

Hazim Amir, 1994. Nilai-nilai Etis dalam

Pewayangan, Jakarta: SinarHarapan.

Kamajaya, 1992. Karangan Pilihan KGPAA.Mangkunegara IV. Yogyakarta:Yayasan Centhini.

Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa.Jakarta: Balai Pustaka.

Magnis Suseno, 1993. Etika Jawa. Jakarta :Gramedia.

Mulyono, 1978. Simbolisme, Mistikisme dan

Filsafat dalam Pewayangan. Jakarta :GunungAgung.

Poerbatjaraka, 1964. Kapustakan Jawi, Jakarta:Djambatan.

Poerwadarminta, 1939. Bausastra Jawa,

Groningen, Batavia : JB Wolter'sUitgevers' Maatschappij NY.

Subagyo, 1973. Kebatinan Jawa. Yogyakarta:Kanisius.

Zoetmulder, 1991. Manunggaling KawulaGusti. Jakarta: Gramedia.


Recommended