+ All Categories
Home > Documents > PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT...

PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT...

Date post: 12-Mar-2019
Category:
Upload: duonghanh
View: 224 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
27
TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 173 PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT MELALUI LEMBAGA ADAT DI KABUPATEN PIDIE Nufiar Program Doktor Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh ABSTRACT In Aceh Qanun No. 6 of 2014 on the Law Jinayat, settlement of seclusion divided authority between indigenous settlement through the Indigenous Institute (non litigation) and the Court Syar'iyah (litigation). As for the problems in this study, first, the division of authority on the subject offender spotted and seclusion, while the limitations regarding seclusion itself is not described included no explanation in Aceh Qanun No. 9 of 2008 and Aceh Qanun No. 10 of 2008. The lack of clarity of the explanation is very the potential occurrence of lack of its effectiveness in implimentasi in the field. Second, the actual completion of customary seclusion been practiced before the birth of Qanun Jinayat, but how such practices, especially in Pidie need to be examined, especially after the implementation of the new Jinayat Qanun. The purpose of this study is to explain the process and the settlement pattern of seclusion by Indigenous Institute in Pidie District. This research is a qualitative study that incorporates library (library research) and field study (field research) using the approach of law (statute aproach) and the approach of sociology of law. Legal materials will be examined in this study, the primary legal materials, secondary law, and tertiary legal materials. The results showed that, first, the delegation of authority to the traditional institutions in the resolution of cases of seclusion as a form Life Coaching empowers Indigenous and customs. Secondly, indicated that indigenous settlement in the case in Pidie khalwat not completely worked as expected due to many obstacles such as; Adat weak capacity and lack of standardized guidelines as handle customs and socialization Qanun new Jinayat not maximized. ABSTRAK Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, penyelesaian kasus khalwat dibagi kewenangannya antara penyelesaian adat melalui Lembaga Adat (non ligitasi) dan Mahkamah Syar’iyah (ligitasi). Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, Pertama, pembagian kewenangan hannya pada subjek pelaku khalwat, sementara menyangkut batasan khalwat itu sendiri tidak dijelaskan termasuk tidak ada penjelasannya dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008. Ketidak jelasan penjelasan tersebut sangat berpotensi terjadinya ketidak efektifannya dalam implimentasi di lapangan. Kedua, sesungguhnya penyelesaian khalwat secara adat sudah dipraktekkan sebelum lahirnya Qanun Jinayat, namun bagaimana praktek tersebut khususnya di Pidie perlu dikaji khususnya paska pemberlakuan Qanun Jinayat yang baru. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan proses dan pola penyelesaian khalwat oleh Lembaga Adat di Kabupaten Pidie. Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang menggabungkan kajian perpustakaan (library research) dan kajian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan
Transcript
Page 1: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 173

PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWATMELALUI LEMBAGA ADAT DI KABUPATEN PIDIE

NufiarProgram Doktor Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

ABSTRACTIn Aceh Qanun No. 6 of 2014 on the Law Jinayat, settlement of seclusion

divided authority between indigenous settlement through the Indigenous Institute(non litigation) and the Court Syar'iyah (litigation). As for the problems in thisstudy, first, the division of authority on the subject offender spotted and seclusion,while the limitations regarding seclusion itself is not described included noexplanation in Aceh Qanun No. 9 of 2008 and Aceh Qanun No. 10 of 2008. Thelack of clarity of the explanation is very the potential occurrence of lack of itseffectiveness in implimentasi in the field. Second, the actual completion ofcustomary seclusion been practiced before the birth of Qanun Jinayat, but howsuch practices, especially in Pidie need to be examined, especially after theimplementation of the new Jinayat Qanun. The purpose of this study is to explainthe process and the settlement pattern of seclusion by Indigenous Institute in PidieDistrict. This research is a qualitative study that incorporates library (libraryresearch) and field study (field research) using the approach of law (statuteaproach) and the approach of sociology of law. Legal materials will be examinedin this study, the primary legal materials, secondary law, and tertiary legalmaterials. The results showed that, first, the delegation of authority to thetraditional institutions in the resolution of cases of seclusion as a form LifeCoaching empowers Indigenous and customs. Secondly, indicated that indigenoussettlement in the case in Pidie khalwat not completely worked as expected due tomany obstacles such as; Adat weak capacity and lack of standardized guidelinesas handle customs and socialization Qanun new Jinayat not maximized.

ABSTRAKDalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat,

penyelesaian kasus khalwat dibagi kewenangannya antara penyelesaian adatmelalui Lembaga Adat (non ligitasi) dan Mahkamah Syar’iyah (ligitasi). Adapunyang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, Pertama, pembagiankewenangan hannya pada subjek pelaku khalwat, sementara menyangkut batasankhalwat itu sendiri tidak dijelaskan termasuk tidak ada penjelasannya dalamQanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008.Ketidak jelasan penjelasan tersebut sangat berpotensi terjadinya ketidakefektifannya dalam implimentasi di lapangan. Kedua, sesungguhnya penyelesaiankhalwat secara adat sudah dipraktekkan sebelum lahirnya Qanun Jinayat, namunbagaimana praktek tersebut khususnya di Pidie perlu dikaji khususnya paskapemberlakuan Qanun Jinayat yang baru. Adapun tujuan penelitian ini adalahuntuk menjelaskan proses dan pola penyelesaian khalwat oleh Lembaga Adat diKabupaten Pidie. Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang menggabungkankajian perpustakaan (library research) dan kajian lapangan (field research)dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan

Page 2: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie174

pendekatan sosiologi hukum. Bahan hukum yang akan dikaji dalam penelitian ini,yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Pertama, pendelegasian kewenangankepada lembaga adat dalam penyelesaian kasus khalwat sebagai bentuk upayamemberdayakan Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat istiadat. Kedua,terindikasi bahwa penyelesaian adat dalam kasus khawat di Pidie belumsepenuhnya berjalan sebagaimana yang diharapkan karena banyak kendalaseperti; kapasitas pemangku adat yang lemah dan tidak adanya pedoman yangbaku sebagai pegangan adat dan sosialisasi Qanun Jinayat yang baru belummaksimal.

Kata Kunci: Pelarangan, Pola Penyelesaian, Khlawat, dan Lembaga Adat.

A. PendahuluanPelarangan khalwat secara formal, sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh

sejalan dengan norma-norma agama dan norma adat yang dianut oleh masyarakatAceh dimana antara keduanya berjalan seiring, tanpa dapat dipisahkan (hukumngon adat lagei zat dengan sifeut). Dalam hukum agama khalwat dianggap suatuperbuatan tercela dan maksiat, demikian juga halnya menurut persfektif adat,dimana perbuatan berkumpulnya laki-laki dan perempuan yang belum menikahuntuk tujuan berasyik-maksyuk di tempat-tempat yang tidak diketahui oleh orangramai (khalwat) dianggap sebagai perbuatan ma’sit (jahe).1 Oleh karenanyadengan lahirnya Qanun Jinayat, yang di dalamnya turut diatur tentang khalwatdipandang sangat mendesak (extra ordinary) sebagai upaya maksimal terhadappencegahan khalwat yang sudah membudaya dan sangat meresahkan masyarakatAceh baik di kalangan remaja maupun dewasa.

Khalwat yang dulunya dianggap sebagai perbuatan tabu, sekarang telahmenjadi ajang bersosialisasi antara laki-laki dengan perempuan baik secaraterbuka maupun secara tertutup. Adapun inti dari pengaturan khalwatsebagaimana di atur dalam Qanun Aceh adalah sebagai bentuk penegakkanSyari’at Islam dalam masyarakat Aceh. Pergeseran nilai ini tidak terlepas darimasuknya budaya asing ke dalam masyarakat Aceh. Bahkan khalwat dan ikhtilatsudah menjadi bahagian dari kehidupan muda-mudi yang sudah mencapai padataraf mengkawatirkan. Budaya pembiaran khalwat dianggap sebagai bahagianuntuk merefleksikan jati diri dan bersosialisasi antar sesama sehingga berakibatpada terjadinya perbuatan zina di mana-mana. “Selain itu terdapat upaya-upayayang mencoba mengaburkan nilai-nilai agama dan adat Aceh dengan nilai-nilaihumanisme global yang dikemas dalam bentuk hak-hak azasi manusia”.2

Seiring dengan arus globalisasi yang tak terhindarkan telah terjadihubungan dan persaingan yang tidak seimbang antara kebudayaan negara maju_____________

1Moehammad Hoesin, Adat Atjeh (Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan KebudayaanProvinsi Daerah Istimewa Aceh, 1990), hlm. 184.

2Humanism adalah faham yang menekankan pada nilai dan martabat manusia;penghargaan yang tinggi atas individualism sebagai ekpresi perasaan, pengalaman, dan pemikiranseseorang dan mengedepankan kosmopolitanisme, yaitu penegasan atas kesatuan nasib umatmanusia. Lihata Joel L. Kraemer, Kebangkitan Intelektual dan Budaya pada Abad Pertengahan:Renaisans Islam. Terj. Asep Saipullah (Bandung: Mizan, 2003). hlm. 28. Lihat juga MuhammadGhallab, Inilah Hakikat Islam, terj. B. Hamdany Ali (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 156

Page 3: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 175

dengan kebudayaan negara berkembang. “Globalisasi tidak hannya merasukiwilayah material seperti ekonomi, dan politik tapi juga telah merasuki wilayahnon material seperti etika atau moral”.3 Sebagaimana dipahami bahwakebudayaan Barat itu dibangun atas tonggak sekularitas yang menganut pahampemisahan agama dan dunia sehingga kebudayaan yang bersumber dari ideologisekuler tentunya jauh dari nilai-nilai agama yang dianut oleh pemeluknya.Akibatnya adalah munculnya budaya permisif, faham kebebasan, dan emansipasi.

Budaya permisif, faham kebebasan4 dan faham emansipasi5 telah merasukiumat Islam secara perlahan dan pasti, terutama berkaitan dengan pergaulan bebasantara laki-laki dengan perempuan, khususnya kalangan remaja. Akibatnya adalahterdistorsinya nilai-nilai Islam yang selama ini menjadi jaring pengaman dalampergaulan intim laki-laki dan perempuan. Khalwat yang secara agama dan adatdahulu dipandang sebagai perbuatan tercela, sekarang menjadi sesuatu yang biasabahkan sudah menjadi budaya baru dalam masyarakat Aceh.

Dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Khalwatdidefinisikan sebagai perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyiantara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpaikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak yang mengarah padaperbuatan zina. Paska pengesahannya, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentangHukum Jinayat menjadi satu-satunya pedoman hukum Jinayat di Aceh, olehkarenannya penanganan terhadap kasus khalwat di Aceh tidak lagi menjadikewenangan mutlak Mahkamah Syar’iyah melainkan juga menjadi bahagian darikewenangan Lembaga Adat dalam bentuk penyelesaian adat.6

Dalam Pasal 24 disebutkan bahwa; Jarimah khalwat yang menjadikewenangan peradilan adat diselesaikan menurut ketentuan dalam Qanun Acehtentang pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dan atau peraturanperundang-undangan lainnya mengenai adat istiadat. Adapun dalam penjelasanterhadap Pasal 24 disebutkan bahwa peradilan adat gampong berwenangmenyelesaiakan perkara jarimah khalwat apabila terjadi di gampong tersebut danpelakunya merupakan penduduk di gampong tersebut._____________

3Globalisasi dalam pandangan Yusuf al Qaradhawi adalah bentuk penjajahan lama denganwajah baru yang bertujuan untuk menindas yang lemah. Globalisasi muncul dalam bentukglobalisasi politik, ekonomi, kebudayaan dan globalisasi agama. Globalisasi politik bertujuanmenundukkan semua negara untuk mengikuti politik super power. Globalisasi ekonomi berartikapitalisasi ekonomi. Globalisasi kebudayaan adalah bentuk pemaksaan kebudayaan terhadapbangsa-bangsa lain. Tujuan dari globalisasi kebudayaan adalah memaksakan suatu bangsa untukmencopot identitas dan kepribadian, menggantikannya dengan identitas mereka. Sedangkanglobalisasi agama adalah internasionalisasi Kristen secara massif. Lihat Yusuf al-Qaradhawi,Islam dan Globalisasi Dunia, terj. Nabhani Idris (Jakarta Timur: Pustaka Al-kautsar, 2001), hlm.31.

4Faham kebebasan dalam item Nomor 4 dari advertensi hak azasi manusia di Prancis yangterbit tahun 1879 adalah kemampuan manusia dalam melakukan setiap kegiatan maupunaktifitasnya yang tidak merugikan pihak lain. Lihat Wahbah Az- Zuahili, Kebebasan dalam Islam,terj. Ahmad Minan dan Salafuddin Ilyas ( Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, 2005), hlm. 31

5Persamaan hak dalam hukum antara laki-laki dengan perempuan.6Dalam Pasal 24 disebutkan bahwa; Jarimah khalwat yang menjadi kewenangan peradilan

adat diselesaikan menurut ketentuan dalam Qanun Aceh tentang pembinaan kehidupan adat danadat istiadat dan atau peraturan perundang-undangan lainnya mengenai adat istiadat. Adapunpenjelasan terhadap Pasal 24 disebutkan bahwa peradilan adat gampong berwenangmenyelesaiakan perkara jarimah khalwat apabila terjadi di gampong tersebut dan pelakunyamerupakan penduduk di gampong tersebut.

Page 4: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie176

Terkait dengan pendelegasian kewenangan7 kepada Lembaga Adat dalampenyelesaian khalwat secara adat (non formal), maka (peradilan formal) dalam halini PPns, Polisi, Jaksa dan Mahkamah Syar’iyah tidak lagi menjadi peradilantunggal dalam penyelesaian kasus khalwat di Aceh sebagaimana diatur dalamQanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat sebelumnya. Namun demikianpendelegasian kewenangan tersebut hannya mengatur tentang subjek atau pelakukhalwat sementara menyangkut dengan hakikat perbuatan khalwat tidakdijelaskan secara memadai dalam penjelasan Pasal 24 Qanun Aceh tentangJinayat.

Merujuk kepada dua qanun sebelumnya yaitu Qanun Aceh tentangPembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat serta Qanun Nomor 10 tentangLembaga Adat juga tidak dijelaskan bentuk-bentuk khalwat yang menjadikewenangan adat. Akibatnya dapat berimplikasi pada penerapan di lapangan.8

Mengacu kepada permasalahan di atas, maka hal tersebut menjadipermasalahan utama dalam penelitian ini sehingga menarik untuk dikaji secaramendalam tentang pelarangan khalwat dan pola penyelesaiannya oleh LembagaAdat di Kabupaten Pidie dikaitkan dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentangHukum Jinayat, sehingga tergambar secara kongkrit bentuk-bentuk penyelesaianLembaga Adat terhadap kasus khalwat, khususnya di Kabupaten Pidiesebagaimana diamanatkan oleh Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014.

B. Pola Penyelesaian Kasus Khalwat dalam Peradilan Adat di KabupatenPidie1. Kasus-kasus khalwat di Kabupaten Pidie

Adapun jenis atau macam perbuatan perbuatan khalwat yang selamaterjadi di Kabupaten Pidie dapat dijelaskan sebagai berikut:

_____________7 Pendelegasian kewenangan minimal harus memiliki tiga syarat yaitu; Pertama adanya

printah yang tegas mengenai sabjek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan danbentuk peraturan pelaksana untuk mengatur materi pengaturan yang didelegasikan. Kedua, adanyaperintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana. Ketiga adanya perintah yang tegasmengenai pendelegasian kewenangan dari undang-undang atau lembaga pembentuk undang-undang kepada lembaga penerima kewenangan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang(Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 266.

8 Padahal dalam kaidah hukum disebutkan bahwa aturan hukum yang dirumuskan haruslebih kongkrit dan memberikan pedoman yang lebih jelas bagi perbuatan. Suatu peraturanperundangan yang baik adalah harus memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama gaya peraturannyahendak padat dan sederhana. Kedua, istilah yang dipilih hendaknya bersifat mutlak dan relative,sehingga memperkecil kemungkinan munculnya perbedaan pendapat individual. Ketiga, hukumhendaknya membatasi diri pada hal-hal riil dan aktual dengan menghindari hal-hal yang bersifatmetaforis dan hipotesis. Keempat hukum hendaknya tidak dirumuskan dalam bahasa yang tinggi,oleh karena itu ditujukan kepada rakyat yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, bahasa hukumtidak untuk latihan penggunaan logika melainkan hannya penalaran sederhana yang bisa dipahamioleh orang rata-rata. Kelima, Hukum setidaknya tidak merancukan pokok masalah denganpengecualian, pembatasan atau perubahan. Keenam, hukum setidaknya tidak debatable(argumentative) adalah bahaya merincikan alasan-alasan karena hal itu akan menimnbulkankonflik. Ketujuh, pembentukan hukum setidaknya mempertimbangkan secara matang danmempunyai manfaat praktis dan hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasarkeadilan dan hakikat permasalahan, sebab hukum yang lemah tidak perlu dan tidak adil akanmembawa seluruh sistem perundang-undangan mendapat citra buruk dan menggoyahkanlegitimasi Negara. Lihat Sumarlin, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan PenggantiUU (PERPU) (Malang: UMM Press, 2002), hlm. 124-125.

Page 5: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 177

a. Berduaan di rumah kostKasus berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di

rumah kost sudah menjadi rahasia umum. Kasus ini biasanya terjadi di wilayahperkotaan dan seputaran wilayah kota karena banyaknya rumah-rumah yangdisewakan kepada pendatang. Mereka menyewa rumah untuk beberapa tahunselama mereka menempuh pendidikan atau untuk bekerja. Di antara mereka adayang menduduki jenjang pendidikan sekolah, Perguruan Tinggi, dan sebahagiankecil menjadi pekerja di kawasan Kabupaten Pidie. Keberadaan mereka sangatrentan untuk melakukan pelanggaran terhadap Syari’at Islam, karena berdomisilijauh dari orang tua dan keluarga mereka.

b. Bermesraan di tempat sepiKasus bermesraan di tempat sepi sering terjadi seperti di tempat-tempat

umum seperti rumah sakit pada waktu malam hari, di sekolah-sekolah danperkantoran. Menurut penuturan saudara Kabaruddin9: bahwa sering didapatiremaja di seputaran rumah sakit melakukan khalwat di tempat-tempat sepi(pojokan) di lingkungan rumah sakit pada waktu malam hari dengan caramemanfaatkan waktu kunjungan orang sakit, bahkan pernah dipergok remaja yangsengaja datang ke lingkungan rumah sakit untuk bermesum di malam hari danbiasanya mereka duduk di pojok-pojok tempat gelap.

c. Berduaan dengan isteri orang lain atau jandaModel kasus ini biasanya terjadi pada keluarga yang isterinya ditinggal di

rumah, sementara suaminya keluar rumah mencari nafkah dan pulang dua atautiga hari sekali. Alasan utamanya terjadinya adalah kesepian karena seringditinggal pergi suami. Kasus ini juga sering terjadi pada janda muda yangditinggalkan suami karena perceraian di usia muda.

d. Berkhalwat sampai berzinaKasus model ini tergolong banyak. Menurut penuturan petugas Wilayatul

Hisbah Pidie10, banyak kasus-kasus yang semula ditangkap dalam dakwaankhalwat setelah dilakukan pemeriksaan ternyata mereka sudah sering melakukanhubungan layaknya suami isteri. Namun karena mereka ditangkap dalam kasuskhalwat pelaku hannya dapat dijerat dengan pasal khalwat. Dalam penuturan Tgk.Ilyas, hal yang sama juga terungkap dimana pelaku khalwat yang pernahditangkap di gampong dalam kecamatan Batee dalam pemeriksaan kasus khalwat,si perempuan mengakui bahwa perbuatan tersebut bukanlah baru dilakukan kaliini saja melainkan sudah sering terjadi di tempat lain bahkan sampai melakukanhubungan suami isteri dengan beberapa lelaki lain di tempat yang berbeda-beda.11

e. Berduaan dengan alasan pengobatan di ruangan tertutup

_____________9Wawancara dengan Kabaruddin, Ketua Pemuda Gampong Lampeudeu Baroh, tanggal 4

Mei 201610 Wawancara dengan Tgk, Nasruddin, dan WH Pidie, tanggal 10 Mei 201611Wawancara dengan Tgk. Ilyas, Tgk. Imum Meunasah di Kecamatan Batee, tanggal 13

Mei 2016

Page 6: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie178

Kasus ini merupakan kasus langka dimana pelakunya adalah mereka yangberprofesi sebagai dukun/orang pintar yang biasanya melakukan pengobatanalternatif di rumah/tempatnya secara tertutup.

f. Mengundang lawan jenis ke rumahKemajuan teknologi informasi telah memberikan kemudahan dalam

berkomunikasi manusia dalam kesehariannya. Kadangkala kemudahan tersebutdisalahgunakan sehingga banyak persoalan pelanggaran Syari’at Islam terjadihannya berawal dari adanya komunikasi yang intern lewat Hp/ internet/ facebook.

g. Berduaan di dalam mobil pribadi antara laki-laki dengan perempuanyang bukan muhrim

Penjemputan anak gadis/ perempuan yang bukan muhrim oleh laki-lakiajnabi di kalangan masyarakat sudah menjadi pemandangan yang umum terutamadilakukan oleh anak sekolah dan lainnya.

h. Berboncengan laki-laki dan perempuan bukan muhrim di atas sepedamotor di luar batas kewajaran

Diantara fenomena remaja di Pidie dalam kesehariannya adalahberboncengan dengan lawan jenis di atas sepeda motor layaknya suami isteri,padahal usia mereka rata-rata adalah usia anak sekolah dan usia kuliah. Kondisiini dapat dilihat pada sore hari atau pada malam dan hari minggu dimana merekadengan bebas bergerak di kawasan kota dan luar kota.

Dalam amatan penulis, bentuk kejahatan kasus ini adalah merekamelakukan khalwat (bermesraan dan berpelukan) di atas sepeda motor denganbebas. Kenyataan informasi ini juga sejalan dengan keterangan dari petugas WH,bahwa kondisi remaja yang melakukan pelanggaran syariat Islam berupa berduaandi atas sepeda motor, dari hari ke hari semakin bertambah. Menurutnya, hal inijuga didukung oleh minimnya pelaksanaan razia rutin dari Satpol PP/WH dikawasan rawan kemaksiatan terhadap pelanggar Syari’at Islam.12

i.Berduaan di kamar hotel dengan wanita bukan muhrimPelanggaran khalwat di hotel biasanya sangat sulit dilacak mengingat

lokasi hotel berada di tengah-tengah keramaian kota. Masyarakat gampong tidakmemiliki akses langsung ke suatu hotel. Dari beberapa kasus khalwat di hotelyang terjadi di Pidie, terlaksana secara kebetulan, pelaku khalwat tersebutditangkap secara tidak sengaja.

j. Berduaan dan bermesraan di tempat-tempat wisataSeperti halnya di kabupaten lain di Aceh, tempat-tempat wisata menjadi

lokasi yang ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai usia. Di KabupatenPidie tempat-tempat wisata yang ramai dikunjungi oleh masyarakat adalah daerah,Keumala, Tangse, Gempang, kawasan pesisir pantai seperti Kembang Tanjong,Simpang Tiga dan Kota Sigli. Tempat-tempat ini menjadi tujuan wasatawan lokalseperti anak-anak, remaja dan orang dewasa.

_____________12Wawancara dengan Tgk. Nasruddin, WH Kabupaten Pidie, Tanggal, 23 Mei 2016

Page 7: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 179

k.Pasangan muda-mudi di rek/warung remang-remangBeberapa kasus mesum/khalwat di Pidie terjadi di tempat yang disediakan

seperti rek atau warung remang-remang. Kebanyakan mereka yang berkumpul ditempat tersebut adalah para remaja usia sekolah dan mahasiswa.

l. Bercumbu rayu di tempat cuci mobil (door smer)Kasus khalwat dapat terjadi dimana saja tak terkecuali di tempat cuci

mobil atau tempat kerja. Masyarakat sekitarnya biasanya ada yang memantau danmengamati keadaan di sekitar tempat itu karena wilayah tersebut masuk ke dalamwilayah gampong mereka.

m. Bertamu melewati batas jam malamMasyarakat Pidie, khususnya di gampong-gampong mempuanyai aturan

yang mengatur tentang jam bertamu baik bagi warganya maupun bagi pendatang.Jika aturan tersebut dilanggar maka ada konsekuensi yang harus ditanggung olehmereka. Beberapa kasus khalwat bermula dari waktu kunjungan/ bertamu kerumah.

2. Mekanisme Penyelenggaraan Peradilan Adat terhadap kasus khalwatPeradilan adat yang disebut sebagai peradilan masyarakat sesuai dengan

kearifan lokal yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Aceh padaumumnya dan masyarakat Pidie pada khususnya telah menjadi bahagian yang takdapat dipisahkan dalam penyelesaian kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat,baik kasus perdata maupun pidana.

Adapun mekanisme pelaksanaan peradilan adat terhadap kasuspelanggaran Syari’at Islam dapat dijelaskan sebagai berikut. MenurutTaqwaddin13, tahapan penyelesaian kasus di tingkat gampong dimulai denganpenerimaan laporan/pengaduan, melakukan investigasi/klarifikasi, mengadakanmusyawarah tuha gampong, melakukan persidangan atau mufakat, memberikankesimpulan atau keputusan dan eksekusi penerimaan keputusan.

Untuk jelasnya, alur-alur yang atur dalam penanganan kasus khalwat digampong-gampong dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Memberi pengamanan secepatnya melalui pemberian perlindungankepada kedua belah pihak.

b. Keuchik bersama perangkat gampong, langsung melakukanpenyelidikan dan penyidikan kepada para pihak, dengan berbagai carapendekatan, di luar persidangan musyawarah formal. Geuchik harussudah dapat menemukan prinsip-prinsip keputusan berasaskan “damai”,geuchik, tuha peut atau tokoh lainnya, terus mengusut, menyelidikisesuai dengan kemampuan dan keyakinan yang dimilikinya terhadapsebab-sebab terjadi sengketa pada para pihak dan mencari buktikebenaran pada pihak saksi.

c. Selama proses penyelesaian tersebut, orang-orang tua dari keluarga parapihak harus terus berupaya membuat suasana damai dan sejuk terhadap

_____________13Taqwaddin Husein, Penyelenggaraan Peradilan Adat di Aceh, makalah disampaikan

pada Workshop Best Practice Peradilan Adat yang diselenggarakan oleh MAA dan UNDP diBanda Aceh dan Lhokseumawe, tanggal 13 dan 15 Desember 2012, hlm. 14

Page 8: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie180

para pihak melalui penyadaran atas segala perbuatan dan tingkah lakuyang menyebabkan mereka bersengketa

d. Membuka sidang penyelesaian di Meunasah, apabila suasan kondusiftelah mampu dipertahankan dan data-data pembuktian sudah lengkap,barulah para pihak, wakil keluarga, beserta pihak “ureung-ureung tuha”dibawa ke sidang musyawarah di Meunasah. Penyelesaian sengketadilakukan berdasarkan fakta/bukti yang telah diinventarisir dalampenjajakan awal dan berdasarkan prinsip perdamaian, sebagai landasanhukum pertama dalam penyelesaian perkara adat. Dalam prosesperdamaian ini, diberikan kesempatan kepada masing-masing pihaksecara formal dalam persidangan untuk menyatakan penerimaan ataupenolakan terhadap proses dan hasil perdamaian.

e. Keputusan sidang perdamaian diambil berdasarkan pertimbangan yangmatang dan bijak oleh semua anggota majelis peradilan adat agar dapatditerima oleh para pihak untuk mengembalikan kedamaian dankeseimbangan dalam masyarakat.

f. Eksekusi keputusan oleh geuchik dilakukan dalam suatu upacara yangditetapkan dalam waktu yang telah disetujui bersama. Dalam upacaraperdamaian tersebut disiapkan surat perjanjian harus ditandatanganioleh para pihak yang berisikan perjanjian untuk tidak mengulangi lagidan pelaku harus mengikrarkan kalimat tersebut di hadapan majelisadat.

g. Pemangku adat harus melakukan pemantauan setelah proses eksekusi,karena setelah upacara damai, perkara dapat saja terjadi secaraberulang.

Dari beberapa kasus yang terjadi di Pidie sebagaimana yang diutarakanoleh Rusli Umar14 bahwa: “Terhadap kejadian khalwat yang terjadi di gampong,pasca ditangkap oleh sekelompok pemuda dilaporkan kepada geusyik. Lalugeusyik meminta pelaku dibawa ke Meunasah untuk pengamanan dan geusyikmenghubungi tuha gampong dan cerdik pandai untuk menggelar perkara.Tindakan awal yang dilakukan oleh tuha gampong adalah menghubungi orang tuadari pelaku untuk diberitahukan persoalan dan diminta untuk hadir ke lokasikejadian. Setelah sampai di lokasi, tuha gampong memberitahukan keadaan yangsebenarnya. Tuha gampong melakukan klarifikasi terhadap kedua pelaku dan turutdidengar oleh orang tua kedua belah pihak. Setelah mendapat klarifikasi darikedua belah pihak, tuha gampong mengambil kesimpulan apa langkah yangdilakukan selanjutnya. Biasanya, tuha gampong menyampaikan hasil keputusankepada para pihak dan eksekusi tidak dilaksanakan pada malam tersebut.Lazimnya di sini jika sudah ada kesepakatan maka pelaku diserahkan kepadakeluarga dengan jaminan bahwa putusan yang telah diambil harus dilaksanakanatas jaminan keluarga atau wali.

3. Hakim yang terlibat dalam penyelesaian perkara khalwat di Gampong.Dalam penyelesaian kasus-kasus adat seperti khalwat di dalam masyarakat

pada tingkat gampong biasanya tidak melibatkan keseluruhan masyarakatmelainkan hannya orang-orang yang duduk di lembaga adat gampong, seperti

_____________14Wawancara dengan Rusli Umar, salah seorang Tuha Peut di Kecamatan Pidie, tanggal

3 Mei 2016

Page 9: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 181

Geusyik, Teungku Imum Meunasah, Tuha Peut dan Tuha lapan. Lembaga iniyang berperan selaku pelaku dan pelaksana peradilan di gampong-gampong.Lembaga adat adalah alat kontrol terhadap perilaku masyarakat yang mempunyaikewenangan dalam memberi dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yangmelanggarnya dan sanksi hukum yang diberikan bersifat mengikat bagi semuakomponen masyarakat baik pejabat pemerintah, pemuka/tokoh adat maupunmasyarakat biasa.

Adapun lembaga adat seperti Geusyik, Tuha Peut, Tuha Lapan, dan ImumMeunasah saja yang aktif berperan di dalam peradilan adat gampong karenamereka merupakan lembaga sakral yang memiliki otoritas untukmengatur/mengelola gampong. Peran dan tugas masing-masing lembaga ini telahdiatur secara formal dalam Qanun Aceh baik dalam Qanun nomor 9 tahun 2008maupun dalam Qanun nomor 10 tahun 2008.

Bentuk keterlibatan mereka dapat dilihat dalam berbagai bentuk, antaralain sebagai berikut:

a. Penyelesaian secara personal, yaitu penyelesaian yang dilaksanakansecara pribadi oleh tokoh masyarakat berdasarkan kepercayaan para pihaktanpa melibatkan komponen lain.

b. Penyelesaian melalui pihak keluarga, yaitu penyelesaian yang dilakukandengan pendekatan pihak keluarga dari pihak yang bersengketa yangbiasanya mempunyai hubungan yang masih dekat.

c. Duek ureung tuha, yaitu musyawarah terbatas para tokoh masyarakatuntuk menyelesaikan sengketa berdasarkan laporan para pihak.

d. Penyelesaian melalui Peradilan Gampong, yaitu peradilan adat yangdiikuti oleh perangkat gampong untuk penyelesaian sengketa yangdilaksanakan di meunasah atau mesjid.

Keterlibatan mereka dalam penyelesaian perkara/ kasus di gampongmencakup kasus peradilan perdata dan peradilan pidana. Ini sebagaimanadisampaikan oleh ketua MAA Pidie.

Menurut ketua MAA kabupaten Pidie, dia bersama jajarannya aktif terlibatdan dilibatkan dalam penyelesaian perkara-perkara baik di tingkatkabupaten, kecamatan dan gampong, seperti penyelesaian sengketakecelakaan Laka Lantas, sengketa perbatasan gampong, sengketa antaramasyarakat dan perusahaan yang beroperasi di Pidie, sengketa rumahtangga dan khalwat sekalipun. Dari beberapa kasus yang ditangani adayang berjalan sebagaimana diharapkan dengan berujung pada penyelesaiandamai dan ada juga yang masuk ke ranah yang berwajib15

Hal sama juga dikatakan oleh Khalikul Bahri dimana dia menyelesaikansengketa di tengah-tengah masyarakat sebagai berikut:

Semua perkara yang terjadi di gampong sebagaimana adat dan kebiasaanyang berlaku selama ini akan diselesaikan di tingkat gampong denganmelibatkan semua elemen Tuha Peut dan Tuha lapan. Upaya yangdilakukan adalah upaya mediasi. Beberapa kasus terselesaikan dengan baikdan beberapa kasus tidak ada titik temu. Biasaya kasus-kasus yang yangtidak ada titik temu dibawa ke tingkat kecamatan khususnya ke Polsekuntuk dilanjutkan. Pihak Polsek mempelajari kasusnya dan jika bukan

_____________15 Hasil wawancara dengan Bapak Tarmizi, Ketua MAA Kabupaten Pidie, tangggal 1 Mei

2016

Page 10: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie182

pidana murni maka mereka akan memanggil geusyik dan perangkatgampong untuk bermusyawarah (Polsek sebagai mediator), intinya adalahpihak Polsek akan mengembalikan akhir penyelesaiannya kepadagampong tempat terjadinya sengketa. Dan biasanya jika ini terjadi makadelapan puluh persen (80%) kasus yang terjadi terselesaikan.16

Menyangkut dengan hakim peradilan adat terdapat beberapa ketentuan dankriteria yang harus dimiliki sehingga putusan-putusan peradilan adat dapatberjalan secara kredibel dan diterima oleh semua pihak. Menurut Alfian, hakimadat terdiri dari orang-orang yang mengerti dan memahami makna filosofi budayadan adat Aceh sebagaimana terekam dan tergambar dalam ungkapan hadis majaAceh:

Tuha tuhoTuha turi droeTuha puproeTuha gaseh keu agama dan keu nangroeArtinya;Orang tua adalah orang yang mengertiOrang tua adalah orang yang matang dalam sikap dan kepribadianOrang yang cakap sebagai juru damaiOrang yang mencintai agama dan NegaraMenurut Teuku Muttaqin Mansur, selain hadis maja di atas terdapat hadis

maja yang lain yang patut menjadi penghayatan dan penting diketahui oleh parahakim adat di gampong yaitu:

Di kuta na syedara gampongDi dusun na syedara lingkaPeuputoh peukara bek meuron-ronPeuputoh hukom bek ala kadaArtinya;Di kota ada saudara gampongDi desa ada saudara sekitarMemutus perkara jangan asal asalanMemutus perkara jangan sembarangan

4. Bentuk-bentuk sanksi yang diberlakukan terhadap pelaku khalwat dalammasyarakatMenyangkut bentuk-bentuk sanksi yang selama ini berlaku dalam dalam

masyarakat terkait kasus khalwat di kabupaten Pidie dapat dijelaskan sebagaiberikut:

a. Diserahkan kepada WHKasus-kasus khalwat yang diserahkan oleh masyarakat kepada WH

biasanya terbagi dua macam penyelesaiannya. Pertama, ada kasus yangditeruskan ke Mahkamah Syar’iyyah dan sampai kepada pelaksanaan cambuk.Kedua, kebanyakan kasus yang masuk ke Wilayatul Hisbah ditangani oleh dengancara memanggil pihak-pihak yang terkait ke kantor WH dan diselesaikan di kantorWH dengan cara memediator antara pelaku, orang tua/wali dan perangkat

_____________16Hasil wawancara dengan Khalikul Bahri, Geusyik Gampong Mesjid Tungkop tanggal

27 April 2016.

Page 11: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 183

gampong. Biasanya WH menyiapkan surat pernyataan pelanggar, surat buktipembinaan, berita acara serah terima dan surat perjanjian dari pelaku di atasmaterai dan ditanda tangani oleh para saksi yang terlibat dalam penyelesaiankasus di kantor Satpol PP.

Menurut Tgk. Imran, bahwa selama periode kepemimpinannya, kasus-kasus yang berkaitan dengan khalwat, hanya diserahkan kepada Wilayatul Hisbah.Ketika terjadi penangkapan, maka langsung ditangani oleh perangkat desa danmelaporkan ke WH, sehingga nyaris tidak ada penyelesaian kasus khalwat olehlembaga adat.17

Dalam kasus anak di bawah umur yang melakukan pelanggaran khalwatdimana orang tua/wali tidak mau menerima atau tidak mau membina anaknyamaka WH melakukan pembinaan terhadap anak tersebut. Menurut keteranganTgk, Nasruddin pernah terjadi kasus dimana dia tidak ada orang tua dan walimaka tugas pembinaan diambil alih oleh WH dengan cara memasukkannya kedayah/pesantren untuk belajar agama. Akan tetapi dalam perjalanannya anaktersebut tidak mampu bertahan di pesantren karena tidak ada dana sebagai biayahidup di pesantren. Menurut Tgk. Nasruddin, lembaganya hanya mampu men-support dana secara eksidentil dari hasil sumbangan para anggotanya di awalbulan meskipun tidak seberapa jumlahnya.18

Dalam pasal 24 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Jinayat,disebutkan bahwa Jarimah Khalwat yang menjadi kewenangan peradilan adatdiselesaikan menurut ketentuan dalam qanun Aceh tentang pembinaan kehidupanadat dan adat istiadat dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya mengenaiadat istiadat. Dalam penjelasannya, kewenangan untuk menyelesaikan jarimahkhalwat diberikan kepada lembaga adat jika perbuatan tersebut terjadi digampong. Secara tertulis sudah dijelaskan demikian, namun dalam pelaksanaan,tidak sedikit kemudian kasus khalwat ini diserahkan ke Wilayatul Hisbah. Haldemikian kadangkala menimbulkan dualisme hukum antara hukum positif danhukum adat. Dimana hukum tertulis masih memberikan opsi terkait penyelesaiankasus khalwat. Oleh karena itu untuk menghindari dualisme hukum ini, sudahsepantasnya kemudian para stake holders menjelaskan bagaimana kemudiankriteria-kriteria kasus khalwat yang harus diserahkan kepada WH dan mana yangharus diselesaikan oleh lembaga adat, atau Qanun Jinayat.

b. Pemberian sanksi adatDalam bab VII, Pasal 16 Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 disebutkan

bahwa jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adatmeliputi; nasehat, teguran, pernyataan maaf, sayam, diat, denda, ganti kerugian,dikucilkan oleh masyarakat gampong, dikeluarkan dari masyarakat gampong,pencabutan gelar adat dan bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat.Dalam hal sanksi adat yang diberikan kepada pelaku khalwat selama ini dikabupaten Pidie adalah;

1). DinikahkanDalam hal dinikahkan oleh masyarakat maka biasanya pasca dilakukan

pemeriksaan oleh lembaga adat dimana yang bersangkutan dalam melakukankhalwat sudah melakukan hubungan layaknya suami isteri, maka biasanya_____________

17 Wawancara dengan Muhammad, Imum Mukim Teupin Raya, tanggal 25 Mei2 01618Wawancara dengan Tgk. Nasruddin, Danton WH, Kabupaten Pidie, Tanggal 23 Mei

2016

Page 12: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie184

pasangan ini tidak dilepaskan lagi. Mereka akan memanggil wali, geusyik dariyang bersangkutan (kalau salah satu pasangan dari luar) untuk disampaikantuntutan agar mereka dinikahkan. Beberapa kasus berhasil dilaksanakan danbanyak pula yang tidak terlaksana pernikahan di lapangan, melainkan menikahsendiri di tempat lain.

Perkara dinikahkan antara pelaku khalwat laki-laki dengan pelaku khalwatperempuan merupakan persoalan yang serius, Karena berdasarkan temuan dilapangan, pelaku dinikahkan tanpa menghadirkan wali, bahkan rukun dansyaratnya tidak mencukupi untuk melangsungkan pernikahan, namun pernikahantetap terjadi. Hal ini justru mencederai hukum Islam, karena jika pernikahan tidakmencukupi rukun dan syarat, maka pernikahan itu tidak sah. Siapa kemudian yangharus bertanggungjawab terhadap persoalan ini? jika pelaku dinikahkan,kemudian melakukan hubungan suami istri, maka mereka akan berzina seumurhidup. Jika memang pelaku harus dinikahkan, setidaknya harus diselidiki terlebihdahulu, sudah sejauh mana khalwat yang mereka lakukan, apakah sudah sampaike arah zina. Oleh karena itu, apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat Pidieterhadap pelaku, yaitu dinikahkan, maka harus dilihat kembali kadar khalwatnya,di samping juga harus memenuhi rukun dan syarat nikah dan tentunya harusdisidangkan terlebih dahulu oleh lembaga adat, bukan dieksekusi langsung olehpemuda-pemuda yang tidak terkontrol emosinya.

Sebenarnya terkait dengan hukum nikah pelaku mesum, Aceh sudahmemiliki Keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 03 Tahun2009. Poin pertama disebutkan bahwa menikahkan orang yang berbuat khalwat/mesum bukanlah ‘uqubat menurut Syari’at dan adat. Poin kedua, khalwat/ mesumyang diselesaikan dengan ketentuan adat hendaknya mengikuti Qanun nomor 9tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat. Dan dalampenetapan poin ketiga disebutkan bahwa sekiranya pelaku khalwat/ mesumdinikahkan harus ada kerelaan kedua belah pihak setelah mendapat pembinaan/nasehat dari pemangku adat dan KUA setempat serta memenuhi syarat dan rukunpernikahan.19

Jadi menikahkan pelaku khalwat yang ditangkap di gampong-gampong/tempat sepi tidak boleh dilakukan secara serta merta atau sekehendak masyarakatkarena ada rambu-rambu yang perlu diikuti dan dipenuhi karena jikapundilakukan, hal itu dapat dikatakan sama saja dengan meligitimasi zina dengankedok pernikahan karena tidak memenuhi persyaratan nikah.

2). Diusir dari gampongModel penyelesaian lainnya dalam kasus pelanggaran Syari’at Islam

berupa kasus khalwat yang dilakukan oleh lembaga adat gampong adalahmengusir pelaku dari tempat tinggalnya. Tentunya pengusiran ini dilakukansetelah sebelumnya telah diberikan kesempatan untuk berubah atau bertobat darikesalahan yang selama ini dilakukan. Jika di kemudian hari terbukti pelakumelakukan pengulangan maka yang bersangkutan akan diusir dari gampong dalamjangka waktu tertentu. Jika pelaku sudah berkeluarga maka biasanya yang diusiradalah pelakunya saja, sementara keluarganya dibolehkan tinggal di gampongtersebut.

_____________19 MPU Aceh, Kumpulan Keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, (Banda

Aceh, 2013), hlm. 13.

Page 13: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 185

Beberapa kasus penyelesaian model ini terjadi di Kecamatan Sakti danIndrajaya dimana pelaku yang kebetulan pemuda dari gampong tersebut setelahditangkap melakukan khalwat, maka dia diusir keluar gampong selama dua tahun.Di kecamatan Kota Sigli, pelaku yang telah berulang kali melakukan perbuatankhalwat dan tidak berubah diminta untuk meninggalkan gampong supaya tidakmencemari gampong mereka.

Terkait dengan sanksi pengusiran, maka jika pelaku merupakan penduduksetempat diusir dari gampong dalam jangka waktu tertentu sedangkan jiak pelakuorang luar yang menetap di gampong maka diusir dalam artian tidak boleh lagimenetap di gampong tempat kejadian. Akan tetapi pengusiran dilakukan jikapelaku melakukan residive (pengulangan) terhadap kasus khalwat tersebut, namunmenurut penulis tidak hanya terhadap residive yang diberikan hukuman dengandiusir dari gampong, tetapi terhadap concursus (perbarengan) juga diusir, karenakhalwat bisa saja dilanjutkan dengan perbuatan zina.

3). Dibuatkan surat perjanjianTerdapat juga kasus khalwat atau mesum yang terjadi di Pidie diselesaikan

dalam bentuk musyawarah dan mufakat antara wali dan perangkat gampong untukdiselesaikan di atas perjanjian tertulis yang berisi pengakuan perbuatan dan tidakakan mengulanginya lagi. Perjanjian ditandatangani oleh pelaku denganmembubuhi materai yang menyebutkan bahwa pelaku tidak akan mengulangiperbuatan khalwat. Adapun form surat perjanjian yang dibuat oleh WH danperangkat gampong berbeda. Salah satu perbedaan yang paling mencolok adalahdalam form dari WH tidak menyertakan sanksi yang diberikan, namun hanyamencamtumkan terkait masa pembinaan dan bimbingan saja kepada pelaku.Sedangkan dalam form dari gampong menyertakan sanksi atas pelanggarannya.Pernyataan secara tertulis, merupakan suatu cara untuk kepastian hukum. Inimerupakan suatu azas dalam hukum dimana perjanjian yang dibuat layaknyaaturan bagi yang membuatnya. Dengan demikian surat perjanjian menjadi suatubukti yang paling otentik.

4). DidendaPenyelesaian kasus khalwat dengan didenda biasanya pasca diperiksa dan

atas kesepakatan tokoh adat dan lembaga adat yang ada di gampong untukmenuntut tuntutan kepada pelanggar adat.

Jika merujuk ketentuan dalam Qanun Jinayat menyebutkan bahwa dendabagi pelaku jarimah khalwat adalah 100 gram emas murni, jumlah ini tergolongcukup tinggi, jumlah denda yang sangat tinggi tentunya sebagai suatu bentukupaya preventif terhadap jarimah khalwat. Namun demikian, dalam hal denda didalam masyarakat, lembaga adat tidak mengikuti ketentuan dalam qanun Jinayatmelainkan bermusyawarah kembali untuk penentuan denda yang sesuai dengankearifan lokal masyarakat setempat. Diantara denda yang pernah diterapkan bagipelaku khalwat yang tertangkap adalah membebankan kepada mereka untukmemasang meteran listrik bagi rumah salah seorang miskin/ janda di gampongtersebut dan menyembelih binatang ternak sebagai bentuk pengembalianketentraman bagi warga masyarakat yang sudah tercemar dengan perbuatan-perbuatan tercela.

5). DinasehatiBagi pelaku khalwat yang masih dalam tahapan ringan biasanya setelah

ditangkap akan dinasehati oleh geusyik dan perangkat gampong agar dia tidak

Page 14: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie186

mengulangi perbuatan tercela tersebut. Biasanya tidak dibuatkan surat perjanjiandan hanya dilakukan pemberian nasehat di depan masyarakat umum. Padapelaku-pelaku tertentu yang berasal dari gampong model nasehat sangatbermanfaat dan solutif, sementara bagi mereka yang berasal dari luar biasanyadapat dikatakan tidak efek yang berarti, dan berlalu begitu saja.

Nasehat terkait dengan penyelesaian khalwat, bisa menjadi salah satualternatifnya, Dalam pasal 16 Ayat 1 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, nasehatmerupakan salah satu jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam persengketaanadat. Pada penelitian ini, penulis menemukan adanya nasehat yang diberikankepada para pelaku dan sangat solutif jika pelaku adalah warga setempat, namunjika pelaku berasal dari luar, bisa saja nasehat akan sia-sia, karena tidak adakontrol yang lebih lanjut terhadap pelaku. Oleh karena itu harus ditinjau kembaliterkait dengan penyelesaian dengan nasehat tentunya juga dengan menetapkankriteria-kriteria tertentu misalnya baru sekali melakukan khalwat, atau yangmelakukannya adalah anak-anak di bawah umur.

Nasehat terkait dengan penyelesaian khalwat, bisa menjadi salah satualternatifnya dan dalam pasal 16 Ayat 1 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008,nasehat merupakan salah satu jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalampersengketaan adat. Pada penelitian ini, penulis menemukan adanya nasehat yangdiberikan kepada para pelaku dan sangat solutif jika pelaku adalah wargasetempat, namun jika pelaku berasal dari luar, bisa saja nasehat akan sia-sia,karena tidak ada kontrol lebih lanjut terhadap pelaku. Oleh karena itu harusditinjau kembali terkait dengan penyelesaian dengan nasehat tentunya mempunyaikriteria-kriteria tertentu misalnya baru sekali melakukan khalwat, atau yangmelakukannya adalah anak-anak di bawah umur.

6). Dikirim ke PesantrenSanksi berupa penempatan pelaku di pesantren-pesantren khusus

diberlakukan kepada mereka yang kategori anak di bawah umur dan tidak ada lagikedua orang tua atau walinya, sehingga sanksi pembinaan terpaksa dititip kelembaga pesantren yang ada di Kabupaten Pidie. Menurut keterangan Tgk.Nasruddin, sanksi model ini sangat efektif bagi pelaku pelanggaran khalwatterutama anak usia di bawah umur dan remaja akan tetapi ada konsekuensi yangharus ditanggung oleh pihak yang mengirim mereka ke lembaga pesantren atauDayah yaitu berupa beban anggaran yang harus dikirim tiap bulannya kepadayang bersangkutan dan jika tidak dikirim biaya hidup anak tersebut akan pulangke tempat semula. Kondisi inilah yang menjadi kendala apabila sanksi inidiberikan.20

Dari pemaparan data di atas terlihat aneka sanksi yang diberikan olehmasyarakat adat kepada pelaku khalwat di Pidie yang meliputi sanksi berat berupapengusiran dan sanksi ringan berupa nasehat dan teguran dengan disertaikesepakatan untuk tidak mengulang kembali perbuatan yang sama di kemudianhari. Disamping terdapat beberapa kasus yang oleh lembaga adat, sepakatditeruskan ke Wilayatul Hisbah untuk diselesaikan sesuai ketentuan yang berlaku.

Keseluruhan dari bentuk penyelesaian kasus khalwat tersebut di atas olehhukum adat menghendaki kepada penyelesaian yang menyeluruh secara

_____________20 Wawancara dengan Tgk. Nasruddin, Anggota WH Pidie, tanggal 3 Mei 2016

Page 15: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 187

musyawarah terhadap terjadinya suatu tindak pidana, dengan melibatkan semuapihak merupakan ciri dari restorative justice.

Di samping sanksi-sanksi yang diputuskan oleh lembaga adat di atas masihjuga berlaku perlakuan-perlakuan diluar sanksi adat yang diakui bagi pelakukhalwat saat penangkapan. Perlakuan tersebut berupa pemukulan, pengeroyokan,dimandikan dengan air got atau comberan pada saat penengkapan ataupenggerebekan oleh pemuda gampong sebelum dilakukan peradilan di meunasah.Perlakuan ini biasanya hanya dilakukan terhadap pelaku pria yang dianggapsebagai sumber persoalan. Sementara pelaku perempuan biasanya tidak dipukuloleh massa/pemuda melainkan dilakukan oleh pihak keluarga tetapi dalamperlakuan yang lebih ringan dibandingkan dengan perlakuan terhadap laki-laki.

Menyangkut dengan intensitas perlakuan tersebut di atas baik pemukulan,caci maki, diarak keliling, dan dimandikan dengan air got sangat tergantungkepada tingkat kemarahan massa dan kadar perbuatan yang terjadi. Jika hanyaberkhalwat berduaan tanpa melakukan hal-hal yang mengarah kepada zina makaditangkap dan dipukul satu dua kali. Akan tetapi jika dilihat sudah mengarahkepada perbuatan zina maka tingkat peghakiman massa lebih keras. Menurut Tgk.Ilyas, tingkat perlakuan masyarakat bagi pelaku mesum/khalwat setelahdiramaikan (dipukul sampai babak belur) oleh massa, lalu dilempar ke sungai.21

Bentuk-bentuk penghakiman massa yang terjadi dalam masyarakat padasaat penangkapan kasus-kasus yang terjadi, termasuk di dalamnnya pelanggarankhalwat sulit dikontrol oleh yang geusyik dan perangkat gampong lainnya karenabiasanya yang melakukan penangkapan di lapangan adalah anak muda gampongsedangkan geusyik dan perangkat gampong biasanya diberitahukan setelahkejadian penangkapan. Oleh karenanya sangat sulit dikontrol apalagi jika geusyikdan perangkat gampong tidak memiliki wibawa dimata masyarakat dan anakmuda pada khususnya.

Tidak jarang kasus pemukulan seperti di atas terhadap pelakukhalwat/mesum masuk ke ranah polisi karena dianggap terlalu berlebihan sampaisampai harus diopname. Untuk kasus seperti ini biasaya dipidana oleh korbanterhadap perlakuan yang dia terima. Dalam hal ini Polisi menggunakan SKB yangmengatur tentang tata cara penyelesaian tindak pidana ringan yang terjadi dalammasyarakat dengan langkah awal memanggil para pihak untuk didamaikan. Jikatidak ada jalan keluar, dimana para pihak tidak mau berdamai baru diproses secarahukum di pengadilan karena dianggap tindak pidana penganiayaan.

3. Respon Masyarakat terhadap Penyelesaian Kasus Khalwat di PidieSecara umum pendapat masyarakat dalam penyelesaian kasus khalwat di

Kabupaten Pidie secara adat dapat dijelaskan sebagai berikut:Masyarakat memberikan argumentasi yang beragam menyangkut mengapa

kasus khalwat lebih baik diselesaikan lewat adat gampong diantaranya adalah apayang diungkapkan oleh Rasyidul22: “Bahwa sanksi adat yang diberikan olehlembaga adat di gampong lebih berpengaruh bagi pelaku khalwat karenamemberikan efek rasa malu bagi dirinya dan keluarga mereka”.

_____________21Wawancara dengan Tgk. Ilyas, salah seorang Tgk. Imum Meunasah di Kecamatan

Batee, tanggal 13 Mei 201622Wawancara dengan Rasyidul, Geusyik Gampong Baroh Yaman, Kecamatan Mutiara,

tanggal 29 Mei 2016

Page 16: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie188

Hal senada juga dikatakan oleh Bapak Muslem23: Bahwa pelanggarsyariat Islam dalam kasus khalwat sebaiknya diselesaikan lewat jalur adatgampong. Disamping memberikan efek jera bagi pelaku juga dapat menutup aibgampong. Yansahruddin24 salah seorang Tuha Peut di Kecamatan Grong-Grongmengatakan bahwa: Perbuatan khalwat adalah perbuatan yang tabu dalammasyarakat khususnya masyarakat Aceh yang sedang melaksanakan syari’at Islamdalam segala aspek. Oleh karenanya melakukan khalwat adalah termasuk salahsatu perbuatan maksiat, sehingga pelakunya harus dihukum dengan aturangampong agar tidak terulang lagi dan juga menutup aib gampong.

Azhar, salah seorang Geusyik di Kecamatan Muara Tiga Laweungmenuturkan bahwa: Kasus khalwat yang pernah terjadi di Laweung, dipilihdiselesaikan melalui jalur adat meskipun pelakunya berasal dari luar daerah. Halini dilakukan demi menutup aib gampong kami. Kami tidak mau merekamelakukan perbuatan kotor di daerah kami. Hal yang lebih penting lagi adalahagar tidak terjadi dendam di kemudian hari25

M. Fauzi,26 salah seorang geusyik di Kecamatan Kembang Tanjongmenyebutkan bahwa: “Kasus-kasus yang terjadi selama ini dalam masyarakat digampong kami, sesuai dengan komitmen warga gampong harus diselesaikan digampong, tak terkecuali kasus khalwat yang terjadi di gampong. Langkah inidilakukan untuk menjaga kebersamaan warga masyarakat gampong. Saya selakugeusyik selalu mengingatkan warga agar jangan melakukan perbuatan yangmelanggar Syari’at Islam.

Dari paparan data lapangan di atas menunjukkan bahwa mayoritasmasyarakat di Pidie menghendaki agar kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakattermasuk kasus khalwat dapat diselesaikan secara adat karena hukum adatmerupakan hukum yang hidup dalam masyarakat dan dapat memberikankedamaian bagi warga masyarakat. Menurut Tgk, Rusli Umar:

Bahwa peradilan adat di Pidie merupakan warisan yang sudah berlakusecara turun temurun dari nenek moyang kita dan terus dipelihara.Pengalamannya dalam menyelesaikan kasus-kasus di gampong baik kasuspembagian harta warisan dalam keluarga maupun kasus pelanggaransyariat Islam dilakukan secara gampong. Dan hasilnya adalah semuaputusan lemabaga adat gampong dapat diterima oleh para pihak secarabaik dan jika tidak puas dapat melakukan banding ke tingkat Mukim.27

Meskipun manyoritas masyarakat di Kabupaten Pidie menginginkan agarkasus khalwat dapat diselesaikan secara adat, namun berdasarkan data-data yangdikumpulkan di lapangan menyangkut penyelesaian pelanggaran Syari’at Islamoleh lembaga adat khususnya terhadap perkara khalwat maka masih banyakditemukan kendala-kendala sebagai berikut;

_____________23Wawancara dengan Muslim, Tuha Peut Gampong Kota Bakti, tanggal 30 Mei 201624Wawancara dengan Yansahriddin, Tuha Peut Gampong di Kecamatan Grong-Grong,

tanggal 17 Mei 2016.25Wawancara dengan Azhar, Geusyik Gampong Tgk. Dilaweung, Kecamatan Muara

Tiga, tanggal 18 Mei 201626Wawancara dengan M. Fauzi, Geusyik Gampong Meunasah Keude, Kembang Tanjong,

Tanggal 27 Mei 201627Hasil wawancara dengan Tgk. Rusli Umar, Tuha Peut Gampong Lampeudeu Baroh,

kecamatan Pidie, tanggal 27 April 2016.

Page 17: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 189

Menurut Tgk. Nasruddin28 bahwa dalam penyelesaian kasus khalwatsecara adat di gampong belum berlaku secara adil dan transparan mengingatlembaga adat gampong belum tertata dengan baik dan seringkali orang-orangtertentu yang terkait dengan kekuasaan berperan di gampong dalam penyelesaiankasus-kasus di gampong, termasuk kasus khalwat sedangkan mereka bukanlahsalah satu dari anggota perangkat gampong (lembaga adat).

Menurut Tgk. Banta Saat, bahwa praktek penyelesaian adat terhadap kasuskhalwat di Kecamatan Sakti masih perlu disempurnakan karena seringdipermasalahkan oleh keluarga pelaku khalwat, seperti;

a. Proses penangkapan oleh pemuda gampong tidak jelas kejadiannya.b. Ditangkap di atas sepeda motor yang dikendarai oleh pelaku.c. Tuduhan tidak jelas, namun masyarakat bersikukuh untuk menikahkan

pelaku.d. Proses pernikahan dilakukan/dipaksa oleh sebelah pihak.e. Tidak memenuhi syarat dan rukun nikah.f. Sanksi yang diberikan melampaui kewenangan lembaga adat dengan

mengawinkan pelaku.g. Pasca kejadian, pihak keluarga berpendapat nikah tidak sah karena tidak

mencukupi syarat dan meminta yang bersangkutan untuk tidakpulang/tinggal serumah.

h. Geusyik dan perangkat gampong tidak dapat membendung/mengontroltindakan emosional pemuda gampong.

i. Seyogiyanya peran geusyik dan perangkat gampong menetralisir danmelihat perkara sejernih mungkin sehingga tidak berujung padaperadilan pemuda gampong.29

Menurut Tgk. Nasril Adly, terhadap kasus yang terjadi di KecamatanSimpang Tiga, dimana pelaku setelah ditangkap lalu dibuat perjanjian untukdikawinkan dalam tenggat waktu yang telah dijanjikan. Menurutnya isi perjanjiantersebut sudah berada di luar koridor hukum adat dan agama. Karena tidak semuapelaku khalwat berstatus lajang, ada yang kasus anak di bawah umur dan adapasangan yang memiliki isteri atau suami. Jadi keinginan masyarakat tersebuttidak dapat ditolerir dan hal demikian bertentangan dengan Qanun Nomor 9 dan10 tentang adat dan lembaga adat.30

Menurut Tgk M. Yusuf, menikahkan pelaku khalwat di lokasi kejadiantidak menyelesaikan pokok permasalahan. Mengingat pelaku biasanya dalamkondisi tersudut terpaksa menerima semua permintaan masyarakat yang akanmenghakiminya. Hal yang penting bagi pelaku adalah keluar dari masalah yangsedang dihadapi. Efeknya adalah kebanyakan pelaku setelah dinikahkan tidakmenyatu layaknya suami isteri dan kebanyakan mereka tidak meneruskan ikatantersebut karena memang pernikahan seperti itu tidak diinginkan, mereka akanmencari pasangan hidup masing-masing di luar.31

_____________28Wawancara dengan Tgk. Nasruddin, Anggota WH Pidie, tanggal 3 Mei 201629 Wawancara dengan Tgk. Banta Ajad, Tokoh Adat di Kecamatan Sakti. Tanggal 17

April 201630 Wawancara dengan Tgk. Nasril, Tuha Peut di Kecamatan Simpang Tiga, tanggal 22

April 201631 Wawancara dengan Tgk. M. Yusuf, Tgk. Imum Meunasah di Kecamatan Pidie, tanggal

15 April 2016

Page 18: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie190

Tanggapan yang sama juga disampaikan oleh Tgk. Saifuddin bahwamengawinkan pelaku khalwat sebagai bentuk upaya penyelesaian khalwat digampong tidak dapat diterima baik secara adat dan hukum yang berlaku. Secaraadat tidak ada aturan yang berlaku di gampong tentang boleh tidaknyamengawinkan pelaku khalwat jika tertangkap. “Secara agama sering tidakterpenuhinya syarat dan rukun nikah pada saat berlangsungnya pernikahantersebut”.32

Bapak Armia33 mengatakan bahwa impact dari menikahkan pasangankhalwat secara tidak formal oleh lembaga adat akan berpengaruh pada tidakdiakuinya keberadaan mereka oleh salah satu keluarga dan mereka tidak akandapat memperoleh buku nikah di kemudian hari. Salah satu kasus yang dihadapidi wilayah kerjanya, bahwa pernah terjadi wali dari seorang anak perempuanhendak mengawinkan anaknya. Ternyata anak perempuan tersebut sudahdinikahkan oleh qadhi liar pada saat dia ditangkap karena khalwat dan dia tidakmemberitahukan kepada orangtuanya. Sehingga pernikahan mereka tidak diakuioleh bapaknya karena dia selaku wali tidak pernah merasa telah menikahkannya.

Dalam hal dinikahkan atau dikawinkan di gampong oleh tuha gampong,maka Bapak Saifuddin34 menjelaskan bahwa menikahkan pasangan mesum ataukhalwat yang ditangkap di gampong-gampong bukanlah jalan keluar yangbijaksana. Hal ini berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu: pertama, belumtentu yang bersngkutan ridha untuk dinikahkan, kedua bisa jadi salah satu pihaksudah menikah dan ketiga, belum tentu wali dari kedua belah pihak setuju,sehingga menikahkan pasangan dalam kondisi demikian sangat tidak diharapkanuntuk berbagai alasan.

Menurut Tgk. M.Amin, bahwa dari pengamatannya selama ini khusus diKecamatan Indrajaya perangkat adat atau lembaga adat belum siap dalammelaksanakan peradilan adat di gampong-gampong. Ini dikarenakan kapasitasmereka mulai dari Geusyik, Tgk. Imum dan Tuha peut Gampong sangat lemahpengetahuannya tentang adat-istiadat, ditambah lagi dengan tidak adanyapedoman yang dapat dijadikan sebagai rujukan mereka dalam beracara digampong-gampong.35

Argumentasi yang sama disampaikan oleh Tgk. Zainuddin Sabang dimanamenurutnya praktek peradilan adat di gampong-gampong sekarang jauhmenyimpang dari praktek peradilan adat zaman dahulu. Sebagai contoh bahwaperadilan adat sekarang terkesan sebagai bentuk pelampiasan kekesalan pemudagampong terhadap pelaku pelanggaran di gampong. Di sisi lain kapasitas geusyik,petua meunasah, tuha peut dan lainnya masih perlu dipertanyakan baikmenyangkut hukum agama maupun tentang hukum adat Aceh. Kondisi inimenurut Tgk. Zainuddin tidak sepenuhnya dipersalahkan lembaga adat gampongjuga harus ikut bertanggung jawab lembaga MAA baik yang ada di tingkat_____________

32 Wawancara dengan Tengku Saifuddin, S.Ag, Tgk Imum, Kecamatan Keumala, tanggal19 April 2016

33 Wawancara dengan Bapak Armia, SHI, Kepala Urusan Agama, Kecamatan Indrajaya,tanggal 17 Mei 2016

34 Wawancara dengan Bapak Saifuddin, S.HI, Kepala Urusan Agama Kecamatan Mila,tanggal 17 Mei 2016

35 Wawancara dengan Tgk. Muhammad Amin, Pimpinan Dayah Nurul Huda, KecamatanCaleu, tanggal 10 Mei 2016.

Page 19: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 191

provinsi maupun di tingkat kabupaten. Contoh kasus khalwat yang pernah terjadidi Krueng Seumidun, Kecamatan Peukan Baro, dimana pelaku dipaksakan untukdinikahkan atas desakan pemuda gampong berujung pada penceraian terhadapperempuan tersebut sesaat setelah akad nikah selesai. Dalam kondisi seperti inimaka pihak perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan dalam praktekperadilan adat yang dipaksakan.36

Tgk. Syafruddin menyebutkan bahwa untuk terlaksananya peradilan adatyang benar di gampong-gampong khusus dalam kasus pelanggaran syari’at,geusyik, tuha peut, Tgk.Imum Menasah serta tuha lapan harus benar-benar jelidalam mengamati setiap kasus yang terjadi sehingga tidak merugikan para pihak.Untuk itu perangkat gampong harus punya pengetahuan yang mendalam tentangagama dan adat istiadat. Menurut beliau hukuman dalam adat gampong hanyasebatas memberikan nasehat dan maksimalnya adalah diusir dari gampong,selebihnya peradilan adat gampong tidak diberikan kewenangan. Pelaksanahukum adat harus memahami betul tentang adat namun kenyataannya selama initidak semua mereka memahami tentang adat.37

Menurut ketua MAA Pidie38, model-model penyelesaian dengan carakekerasan dan menyimpang dari aturan agama bukanlah bentuk penyelesaian adatyang ingin dibangun dalam masyarakat, makanya beliau tidak setuju terhadappenyelesaian model tersebut. Di sisi lain perlakuan tersebut bertentangan denganhak azasi manusia dan tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur orang Aceh. Sudahsemestinya hukuman model tersebut dihentikan dan ditinggalkan.

Keberadaan hakim dalam peradilan adat dalam memutuskan berbagaiperkara di gampong sering menjadi sorotan masyarakat sebagaimana dinyatakanoleh Tgk’ Abdul Azis bahwa;

Terdapat kondisi dimana para aparatur gampong dalam menjalankanproses peradilan adat di gampong terhadap pelanggaran-pelanggaran adattidak adil. Seperti kondisi “alang” dan “sigeutu sahoe” dalammenyelesaikan kasus. Contohnya dalam penyelesaian kasus pelanggaranadat di Meunasah biasanya melihat kepada siapa pelakunya, anak siapasehingga aturan adat tidak berjalan sebagaimana yang diatur dalam qanunatau reusam gampong.39

Hal yang sama disampaikan oleh Tgk. Banta:Bahwa posisi ureung tuha gampong dalam penyelesaian kasus-kasus adatdi gampong sangat lemah, ini dikarenakan oleh penempatan ureung tuhagampong sembarangan, asal meupeuduk, alang dan hana meusoe-soe jeutke ureung tuha atawa buet meuron-ron lagei leumo kab sithuek (orang-orang yang tidak memiliki kompetensi diangkat sebagai pemangku adat,yang penting jabatan tersbut terisi) akibatnya adalah mereka tidak mampu

_____________36Wawancara dengan Tgk. Zainuddin, Mantan Anggota DPRA periode 2009-2014 dan

sekarang berdomisili di Kecamatan Peukan Baro, Pidie, tanggal 11 Mei 2016.37Wawancara dengan Tgk. Syafruddin, Tokoh Agama di Kecamatan Kota Sigli, tanggal

12 Mei 201638 Wawancara dengan Bapak Tarmizi, Ketua MAA Kabupaten Pidie, tanggal 26 Mei

2016.39Hasil wawancara dengan Tgk. Abdul Azis, Tokoh Adat, Kecamatan Peukan Baro,

tanggal 15 Mei 2016.

Page 20: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie192

menjadi penengah atau tuha yang baik dalam penyelesaian kasus-kasus digampong.40

4. Analisa terhadap Kewenangan Lembaga Adat dan implimentasinyadalam Penyelesaian Kasus Khalwat di Kabupaten Pidie.

Dalam menganalis terhadap kewenagan Lembaga Adat terhadappenyelesaian kasus khalwat dan peimplimentasiannya di Kabupaten Pidie dapatdijelaskan sebagai berikut.

1. Analisis menyangkut dengan pendelegasian kepada Lembaga Adatdalam penyelesaian kasus khalwat.

Praktek penyelesaian adat terhadap kasus khalwat dalam dalammasyarakat Aceh, khususnya dalam masyarakat Kabuapten Pidie telahberlangsung lama semenjak diberlakukannya Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003tentang Khalwat. Namun yang membedakannya adalah praktek penyelesaian adattersebut tidak dilakukan atas dasar kewenangan yang sah. Dalam Qanun tentangKhalwat, disebutkan bahwa satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangandalam penyelesaian kasus khalwat adalah lembaga peradilan formal (ligitasi),dalam hal ini adalah Wilayatul Hisbah, Polisi, Jaksa dan Mahkamah Syar’iyah.Dalam hal peran serta masyarakat, Qanun tersebut memberdayakan potensimasyarakat dalam hal pencegahan terjadinya khalwat dengan cara melaporkankejadian dan atau menyerahkan pelaku kepada pejabat yang berwenang.41 Olehkarenanya meskipun masyarakat telah mempraktekkan penyelesaian khalwatmelalui peradilan adat itu bukan atas dasar kewenangan yang diberikan olehQanun Khalwat.

Sementara dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayatdalam Pasal 24 dan khususnya dalam penjelasannya dengan tegas disebutkanbahwa peradilan adat gampong berwenangmenyelesaikan perkara jarimah khalwatapabila terjadi di gampong tersebut dan para pelakunya merupakan penduduk digampong tersebut. Dengan dicantumkannya klausul tersebut dalam Qanun Jinayatmaka secara yuridis lembaga adat telah mempunyai kewenangan yang resmidalam hal penyelesaian khalwat yang terjadi di gampong-gampong berdasarkanpelimpahan kewenangan tersebut.

Dalam teori pendelegasian kewenangan dijelaskan bahwa agar pelimpahansuatu kewenangan dianggap sah harus memiliki tiga syarat utama yaitu; Pertamaadanya perintah yang tegas mengenai sabjek lembaga pelaksana yang diberidelegasi kewenangan dan bentuk peraturan pelaksana untuk mengatur materipengaturan yang didelegasikan. Kedua, adanya perintah yang tegas mengenaibentuk peraturan pelaksana. Ketiga, adanya perintah yang tegas mengenaipendelegasian kewenangan dari undang-undang atau lembaga pembentuk undang-undang kepada lembaga penerima kewenangan.42

_____________40Hasil wawancara dengan Tgk. Banta Ajad, Ketua MAA Kecamatan Sakti, tanggal 27

April 201641Meskipun Qanun ini telah dinyatakan tidak berlaku lagi karena sudah lahir Qann Nomor

6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, penulis hannya menjadikannya sebagai bahan perbandingandalam menjelaskan kewenangan adat dalam kasus khalwat. Lihat Qanun Aceh Nomor 14 Tahun2003 tentang Khalwat, Bab IV, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12.

42Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm.266

Page 21: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 193

Dengan demikian dari tiga syarat utama di atas dapat dijelaskan bahwakewenangan yang diperoleh oleh lembaga adat adalah berdasarkan kewenanganyang diperintahkan oleh Qanun Aceh yang dibentuk oleh DPRA (legeslatif)bersama Pemerintah Aceh (eksekutif) dan dinyatakan dalam bentuk imperative(perintah) supaya dapat dilaksanakan.

Namun demikian, sebagai sebuah produk perundang-undangan, QanunAceh terdapat plus dan minus. Hal ini, diakui oleh Tgk. Zainuddin yang pernahterlibat dalam pembahasan beberapa Qanun Aceh, apalagi tidak semua anggotalegislative punya pengetahuan tentang legeslasi (taqnin) dan mengerti betulterhadap mekanisme pembuatan suatu produk perundangan.43 Khusus dalam halpendistribusian kewenangan dan pembatasannya, penulis melihat perlu dipertegaskembali tentang batasan dan kriteria khalwat sehingga jelas wilayah masing-masing institusi yang ikut menangani kasus khalwat.

2. Analisis meyangkut implimentasinya di lapangan.Penyelesaian kasus khalwat melalui lembaga adat di kabupaten Pidie,

tentunya harus melalui proses dan tahapan-tahapan sebagaimana mekanisme yangdiatur. Selain itu dalam pemberian sanksi, lembaga adat juga harus merujukkepada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 dan Qanun Kabupaten Pidie.Berdasarkan serangkaian bentuk penyelesaian kasus khalwat tersebut di atas,hukum adat menghendaki penyelesaian yang menyeluruh secara musyawarahterhadap terjadinya suatu tindak pidana, dengan melibatkan semua pihakmerupakan ciri dari restorative justice. Adapun salah satu ciri restorative justicemenandakan adanya unsur keadilan sebagai pusat perhatian masyarakat pada sifatkomunal (bercirikan persatuan dan kerukunan). Untuk memaknai keadilan dalamkonteks penyelesaian kasus khalwat melalui lembaga adat adalah adanyaketerbukaan informasi. Artinya, segala hal yang berhubungan dengan perkara-perkara tertentu dikompromikan berdasarkan kebutuhan dari masing-masing pihakyang terlibat, baik pelaku maupun korban. Proses ini mengindikasikan bahwasetiap perkara diharapkan memerlukan reaksi penyelesaian secara komprehensif.Hal ini dilakukan dengan maksud hendak mengembalikan perkara tersebut padakonteks pemulihan sosial dari pada memperoleh penekanan dalam bentuk tuntutanpembalasan.

Penyelesaian perkara dalam kerangka berpikir “restorative justice”adalah untuk melindungi kepentingan pelaku tanpa merugikan korban. Konsepkeadilan restoratif menawarkan pendekatan yang berbeda dengan yang biasadianut dalam praktik peradilan pidana selama ini. Penanganan perkara pidanaselama ini cenderung bersifat retributif (pembalasan) dan “utilitarian” ataurehabilitatif (memperbaiki). Sementara metode penyelesaian perkara pidanadalam konsep “restorative justice” adalah secara musyawarah dan mediasi untukmemulihkan keseimbangan dengan melibatkan korban dan pelaku besertakeluarga masing-masing serta wakil masyarakat. Jadi dalam konteks “restorativejustice” ini otoritas penyelesaian perkara pidana diserahkan atau dialihkan darilembaga peradilan sebagai wakil negara kepada masyarakat.

Namun demikian, patut pula dipertimbangkan bahwa setiap penyelesaianperkara terdapat perbedaan mendasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan.Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sementara_____________

43Wawancara dengan Tgk. Zainuddin, Mantan Anggota DPRA periode 2009-2014 dansekarang berdomisili di Kecamatan Peukan Baro, Pidie, tanggal 11 Mei 2016.

Page 22: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie194

sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.Terkadang fokus sanksi pidana terarah pada upaya memberi pertolongan agarpelaku berubah, dan lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). “lamerupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada pihak pelanggar ataupelaku”.44 Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindunganmasyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelanggar atau pelaku. “Dengan katalain, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatanyang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifatsosial”.45

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaanprinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknyaunsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. Sedangkan sanksitindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori legalsystem, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. la semata-mata ditujukan pada preverensi khusus, yakni melindungi masyarakat dariancaman yang dapat merugikan kepentingannya. Atau dengan kata lain, sanksipidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan,sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat.46

Penerapan terhadap penyelesaian pada setiap perkara yang kemudianmengakibatkan adanya pidana, dengan mengacu kepada logika sederhana adalahupaya mencari dan memberi keseimbangan dan rasa damai bagi masyarakat.Tujuan hukum termasuk praktek penyelesaian melalui lembaga adat dengansegala operasionalisasinya, adalah semata-mata ditujukan demi melindungimasyarakat dan memberikan rasa keadilan bagi korban, pelaku maupunmasyarakat. Dengan demikian, hukum tidak akan lepas dari suatu sistem yangberlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat. Sejalan dengan konsep restorativejustice dengan filosofi keadilan dalam praktek sistem hukum tertentu, maka jenissanksi atau penyelesaian terhadap suatu perkara, sesungguhnya mesti mengacukepada tujuan dan pedoman yang dilatari berdasarkan konsep dan filosofisnya.Oleh karena itu, dengan memperhatikan karakteristik perilaku pelanggaran(khalwat), alasan yang melatari adanya kehendak berbuat khalwat, perlu untukdikompromikan serta mengedepankan ketentuan-ketentuan sebagaimana yangtelah dikonstruk melalui hadis maja, seperti yang telah disebutkan di muka.

Hal ini meniscayakan bahwa hukum adat diyakini mampu menyelesaikankonflik yang muncul di dalam masyarakat dan memberikan kepuasan bagi parapihak yang berkonflik. Hukum pidana adat dijiwai oleh sifat kekeluargaan yangreligius magis, dimana yang diutamakan bukanlah rasa keadilan perseorangan;melainkan rasa keadilan kekeluargaan, sehingga penyelesaian kasus yangdilakukan secara damai diyakini dapat membawa kerukunan (harmonisasi lintaskepentingan). Hukum pidana adat tidak bermaksud menunjukkan hukum danhukuman apa yang harus dijatuhkan apabila terjadi pelanggaran, tetapi yang

_____________44Bandingkan dengan Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan

Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 4.45J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: PT Bina Aksara,

1987), hlm. 350.46Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas,

1987), hlm. 360; lihat juga Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia; dariRetribusi ke Reformasi, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1986), hlm. 53.

Page 23: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 195

menjadi tujuannya adalah memulihkan kembali hukum yang pincang sebagaiakibat terjadinya pelanggaran.

Kendati kemudian, sekiranya penerapan sanksi dan prosespenyelesaiannya mesti diperlukan, maka diharapkan proses pemidanaan yangdilaksanakan mampu menjaga pelaku maupun korban dari sudut pandang nilai-nilai moral. Demikian pula usaha menghilangkan faktor-faktor penyebabterjadinya pelanggaran dalam masyarakat berdasarkan konsep sad al-zari’ah.Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dimengerti bahwa tujuan hukumadalah menerapkan hukuman dengan tujuan untuk menciptakan ketentramanindividu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisamenimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat, baik yang berkenaan denganjiwa, harta maupun kehormatan. Atau dengan kata lain, bahwa penerapanhukuman dan pencegahan perbuatan yang dilarang bertujuan untuk merealisasikemaslahatan menuju penegakan nilai-nilai keadilan. Dengan demikian, keadilandidasarkan atas persamaan hak dan kesempatan bagi manusia untuk mencapaipemenuhan dan mengatasi penindasan.

Untuk mengedepankan konsep maslahat, menurut hemat penulis, menuntutsekurang-kurangnya dua hal pokok yang harus dimiliki oleh setiap aturan dalamhukum pidana yang berlaku, yaitu: pertama, aturan pidana mesti mengandungkeseluruhan maslahat yang menjadi kebutuhan dasar bagi manusia. Kedua, aturanpidana harus memberi jaminan pasti pada pemeliharaan kemaslahatan manusia itusendiri berupa kepastian hukum. Penekanan kepada dua acuan di atas, sebagaibentuk kesatuan untuk mementingkan kepentingan umum, yang berorientasi padapembangunan fisik yang sifatnya lebih konkrit, sehingga tidak terlalu banyakmenimbulkan masalah hukum. Kesatuan sosial mengindikasikan pada tatananyang berhubungan dengan rasa cinta kasih, simpati, solidaritas, kebersamaan, dansuasana keharmonisan penuh keseimbangan.

Konkritisasi dari pandangan hukum adat tentang konsep kepentinganumum (mashlahat) didasari atas sifat dari hukum adat itu sendiri, yaitu sifatkonkrit. Sementara konkritisasi ke-adatan itu sendiri telah dijelaskan dalam babsebelumnya dalam disertasi ini. Namun yang menjadi urgensi kesatuan sosialdalam konteks memilih penyelesaian melalui lembaga adat merujuk kepadakebudayaan sebagai faktor dominan, dengan cara konsensus atau mufakat. Karenaitu, pendekatan ke arah ini dinilai cocok dengan cara pandang kehidupanmasyarakat. Masyarakat mewarisi tradisi kebudayaan yang menekankan nilaikeharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan. Untuk itu, peradilan adat lebihmudah untuk diakses, cepat, murah dan fleksibel. Selaras dengan itu, fokusperadilan adat berusaha melakukan rekonsiliasi dalam menyelesaikan konflik atausengketa. Karena pentingnya nilai adat ini, maka yang diperlukan adanyapenegasan bahwa untuk menangani konflik secara efektif perlu memahami nilai-nilai sosial, norma-norma, praktek-praktek yang dapat diterima oleh pihak yangterlibat dalam situasi dan lembaga tertentu.

Secara kongkret, penyelesaian adat dilakukan dengan asas perdamaian.Atas dasar asas inilah, salah satu upaya penyelesaian perkara pidana dalam adatAceh adalah pemaafan. Permintaan maaf membawa akibat harkat dan martabatpihak korban yang sebelumnya telah terpuruk karena kehinaan, diakui dandiangkat kembali. Dengan pemaafan, pihak pelaku mengakui kesalahannya danpihak korban merasakan adanya penghargaan atas harkat dan martabatnya.

Page 24: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie196

Penyelesaian sengketa atau tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat adatAceh, dapat ditempuh dengan dua cara melalui hukum adat Aceh, yaitu denganpenyelesaian tingkat pertama melalui peradilan adat gampong, dan seterusnyapara pihak jika putusan peradilan adat gampong, tidak bisa diterima dapatdiajukan ke peradilan adat tingkat mukim.

Menyangkut tentang analisis implimentasi penyelesaian di lapangan,penulis menjelaskannya sebagai berikut;

a. Jenis perbuatan khalwatJenis perbuatan khalwat di Kabupaten Pidie sangat beragam bentuknyaseperti berdua-duan di rumah kost, berdua-duan di hotel, berdu-duan dirumah janda, berduan dalam mobil dan lainnya. Namun hakikatnyaadalah melakukan perbuatan berada pada tempat tertutup/tersembunyi,berlainan jenis, bukan muhrim tanpa ikatan perkawinan dengan sukarela tanpa paksaan.

b. Pengetahuan masayarakat adat tentang kewenangan Lembaga Adatdalam penyelesaian kasus khalwatPemahaman masyarakat terutama geusyik, tgk.imum, tuha peut dantuha lapan terhadap keberadaan Qanun Aceh, khususnya Qanun AcehNomor 9 dan Nomor 10 Tahun 2008 serta Qanun Aceh Nomor 6 Tahun2014 tentang Hukum Jinayat menjadi kunci utama terhadappelaksanaan hukuman adat/peradilan adat di gampong-gampong.Realitasnya di lapangan bahwa masyarakat tidak begitu paham terhadapkeberadaan Qanun tersebut, terutama Qanun Jinayat yang baru. Iniberkaitan dengan dasar kewenangan penyelesaian kasus khalwat lewatperadilan adat melalui lembaga adat gampong. Penyebabnya adalahsosialisasinya yang masih minim kepada masyarakat luas baik yangdilakukan oleh Dinas Syari’at Islam dalam hal ini petugas WilayatulHisbah dan Majlis Adat Aceh karena erat kaitan dengan Qanun Adatdan Qanun Lembaga Adat.Ada hal penting yang harus dipahami oleh petugas WH, geusyik, tgk.Imum meunasah, tuha peut dan masyarakat luas bahwa tidak semuakasus khalwat dapat diselesaikan di gampong oleh lembaga adatmelainkan hannya pada kasus-kasus tertentu. Maka disinilah letakpentingnya pemahaman terhadap isi Qanun Jinayat dan Qanun Adat.

c. Proses penyelesaian kasus khalwatProses penyelesaian kasus-kasus khalwat yang terjadi di gampong-gampong, khususnya di kabupaten Pidie belum sepenuhnya mengikutipedoman peradilan adat yang ada. Namun dilihat dari proses awalpenyelesaian kasus mulai dari penangkapan, tempat penyelesaian kasus,prosesi dalam beracara sampai pada tingkat pemberian sanksi kepadapelaku mereka mengacu kepada tradisi yang tak tertulis yang sudahmenjadi kebiasaan sehari-hari mereka.Terdapat beberapa permasalahan di lapangan dalam prosespenyelesaian kasus khalwat dimana peran pemuda sangat dominan,bahkan peran mereka dapat mengalahkan peran ureung tuha gampongdalam beracara sehingga terkesan mereka yang mengatur bukan pihakureung tuha. Dalam hal ini peneliti.

d. Kapasitas Lembaga Adat gampong dalam pengambilan keputusan adat.

Page 25: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 197

Seiring dengan harapan masyarakat yang tinggi terhadap penerapanhukum adat atau peradilan adat terhadap penyelesaian berbagai kasusyang terjadi, terutama kasus khalwat maka tidak sebanding dengankapasitas orang-orang yang diangkat dan menduduki jabatan lembagaadat di gampong-gampong. Akibatnya adalah peradilan adat digampong tidak berjalan sebagaimana diharapkan dan banyak putusanadat jauh dari ruh hukum adat itu sendiri.Salah satu penyebabnya adalah salahnya penempatan orang-orang yangduduk dalam jabatan tersebut. Tgk. Zainuddin47 menyatakan bahwakapasitas ureung tuha gampong mulai dari geusyik, peutua meunasah,tuha peut dan tuha lapan sekarang tidak sama seperti orang jamandahulu dalam artian tingkat penguasaan pengetahuan mereka terhadaphukum adat dan hukum agama minim. Menurut peneliti bahwarendahnya kapasitas para pemangku adat di gampong oleh karena sikappermisif masyarakat dalam memilih perangkat gampong, sepertimemilih geusyik, memilih ketua pemuda, memilih tuha peut dan tuhalapan dengan tujuan agar jabatan tersebut terisi untuk memenuhiadministrasi pemerintahan gampong semata.Jika hal-hal seperti ini masih terjadi maka efektifitas peradilan adatgampong akan jauh dari harapan Qanun yang ada.

e. Sanksi-sanksi adat yang dipilih dan diterapkan.Dalam pemberian sanksi adat terhadap pelaku khalwat dilakukanmelalui proses peradilan. Yang menarik untuk dicermati adalahpemberian sanksi berupa dinikahkan. Dari beberapa kasus khalwat yangdinikahkan pihak perempuanlah yang selalu menjadi korban. Sebagaicontoh kasus yang terjadi Kecamatan Peukan Baro, setelah prosesipernikahan, pihak laki-laki langsung menceraikan isterinya pada saat itujuga. Demikian juga halnya dengan kasus khalwat di Kecamatan Miladimana pelaku setelah dinikahkan oleh masyarakat tidak pernah pulangke rumah isterinya apa lagi memberikan nafkah. Kasus yang sama jugaterjadi di Kecamatan Sakti dimana setelah dinikahkan oleh perangkatgampong oleh pihak keluarga melarang anaknya untuk pulang ke rumahisterinya karena menurut mereka pernikahan tersebut tidak sah.Mencermati terhadap kasus di atas maka penulis melihat pihakperempuanlah yang tersandra dalam kasus ini. Di satu sisi wanitatersebut telah diketahui oleh khalayak ramai bahwa dia sudah menikah,namun di sisi lain kesempatan pihak perempuan untuk menikah kembalimenjadi tertutup. Oleh karena itu pemilihan sanksi dinikahkan terhadappelaku khalwat perlu dihindari karena tidak menyelesaikan persoalanyang terjadi.Menyangkut sanksi pengusiran dalam kasus khalwat maka sepertidijelaskan di atas bahwa ada dalam bentuk pelimitan waktu tertentu danada juga dalam bentuk pengusiran permanen. Bentuk sanksi pengusiranakan menjadi masalah jika yang diusir tersebut adalah warga/penduduksetempat karena masa yang telah ditentukan tidak akan ditaati. Biasanyapelaku yang diusir hannya menjalankannya sesaat lalu kembali lagi.

_____________47 Wawancara dengan Tgk. Zainuddin, Mantan Anggota DPRA periode 2009-2014 dan

sekarang berdomisili di Kecamatan Peukan Baro, Pidie, tanggal 11 Mei 2016

Page 26: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

Nufiar: Pelarangan dan Pola Penyelesaian Khalwat di Kabupaten Pidie198

Akan berbeda halnya jika pengusiran dilakukan secara suka rela olehpelaku pelanggaran adat, atas kesadarannya maka sanksi pengusiranakan berlaku permanen karena pelaku tidak hannya pindah sesaat tapijuga menjual rumah dan hartanya untuk pindah ke tempat lain untukmenghindari aib keluarga.Terkait dengan sanksi denda yang dibebankan kepada pelaku khalwat,seperti pembelian cat, memasang listrik di rumah tertentu yang telahditentukan, penyembelihan binatang ternak atau dalam bentuk lainmaka menurut pendapat peneliti mengandung unsur pemaksaanmeskipun kadangkala ide tersebut muncul dari pelaku khalwat yangditangkap.

f. Penghakiman massa terhadap pelakuDalam hukum tidak mengenal sanksi penghakiman massa.Penghakiman massa bukanlah sanksi hukum baik sanksi hukum positifmaupun hukum adat karena penghakiman oleh massa dapat mencederaietika hukum, apalagi jika penghakiman massa dilakukan olehmasyarakat adat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum bisamengontrol diri terhadap para pelaku kejahatan maupun pelanggaran.Peristiwa seperti ini sangat sering terjadi, bahkan pada masyarakatKabupaten Pidie dalam menyelesaikan perkara khalwat. Mereka tidakluput dari metode penghakiman massa, padahal perkara khalwat sudahjelas disebutkan dalam Qanun Jinayat, dimana diberikan kewenangankepada lembaga adat untuk menyelesaikannya, bukan dengan caradihakimi massa melainkan dengan hukum adat yang berlaku, justrupenghakiman oleh massa tidak akan menyelesaikan masalah. Olehkarena itu, untuk mencegah penghakiman massa, sangat dibutuhkanperan daripada lembaga adat yang sifatnya responsif terhadap kasuskhalwat ini, karena jika terjadi pembiaran, maka tidak menutupkemungkinan, penghakiman massa dianggap sebagai sesuatu yangwajar dan tidak melanggar hukum adat dan hukum positif.

E. Kesimpulan1. Pendelegasian kewenangan penyelesaian kasus khalwat secara adat oleh

Lembaga Adat dalam Qanun Jinayat Tahun 2014 merupakan bentukpenguatan Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan KehidupanAdat dan Adat Istiadat serta Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang LembagaAdat. Dan seyogianya kewenangan yang diberikan harus diatur batasannyasecara jelas sehingga tidak menimbulkan konflik antara lembaga ligitasidalam hal ini Mahkamah Syar’iyah dengan Lembaga non ligitasi (LembagaAdat).

2. Ekspektasi masyarakat Aceh, khususnya di Kabupaten Pidie terhadaphukum adat dan peradilan adat sangat tinggi, ini terlihat dari praktekpenyelesaian khalwat baik sebelum dan sesudah lahirnya Qanun Jinayatsecara adat oleh Lembaga Adat di Kabupaten Pidie. Namun demikian,praktek peradilan adat belum sepenuhnya mengikuti tata cara yang diaturdalam Qanun Jinayat dan Qanun Adat. Penyebabnya adalah kapasitas dan

Page 27: PELARANGAN DAN POLA PENYELESAIAN KHALWAT …jurnaleksperimental.com/wp-content/uploads/2018/10/Nufiar-layy-OK... · dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan ... terbuka maupun

TAHQIQA, Vol.10, No. 2, Juli 2016 199

pengetahuan pemangku adat di gampong-gampong tentang hukum adatmasih rendah, tidak adanya lembaga yang dapat mengotrol terhadappelaksanaan putusan adat, dan sosialisasi Qanun Jinayat di Pidie masihterbatas serta lemahnya peran pemerintah Kabupaten Pidie dalampemberdayaan lembaga adat guna menopang Syari’at Islam secara kaffah diPidie.


Recommended