+ All Categories
Home > Documents > PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ......

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ......

Date post: 22-Mar-2019
Category:
Upload: phungnguyet
View: 221 times
Download: 1 times
Share this document with a friend
18
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/318013668 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN MASALAH UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR... Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 READS 52 1 author: Some of the authors of this publication are also working on these related projects: Genetics mapping on local rice varieties View project Scientific Inquiry in Lecture View project Siti Zubaidah Universitas Negeri Malang, Malang, Indonesia 43 PUBLICATIONS 6 CITATIONS SEE PROFILE All content following this page was uploaded by Siti Zubaidah on 29 June 2017. The user has requested enhancement of the downloaded file.
Transcript
Page 1: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:https://www.researchgate.net/publication/318013668

PEMBELAJARANKONTEKSTUALBERBASISPEMECAHANMASALAHUNTUKMENGEMBANGKANKEMAMPUANBERPIKIR...

ConferencePaper·May2017

CITATIONS

0

READS

52

1author:

Someoftheauthorsofthispublicationarealsoworkingontheserelatedprojects:

GeneticsmappingonlocalricevarietiesViewproject

ScientificInquiryinLectureViewproject

SitiZubaidah

UniversitasNegeriMalang,Malang,Indonesia

43PUBLICATIONS6CITATIONS

SEEPROFILE

AllcontentfollowingthispagewasuploadedbySitiZubaidahon29June2017.

Theuserhasrequestedenhancementofthedownloadedfile.

Page 2: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

1

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN MASALAH UNTUK

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS1

Siti Zubaidah

Jurusan Biologi – FMIPA – Universitas Negeri Malang (UM)

[email protected]

Abstrak

Permasalahan lingkungan merupakan isu penting yang sedang dihadapi dunia, termasuk

Indonesia. Sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan biodiversitas tertinggi,

ancaman kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam merupakan hal yang

harus segera dicari solusinya. Kesadaran terhadap pentingnya konservasi harus ditanamkan

pada setiap sumber daya manusia, termasuk siswa. Pembelajaran Biologi dapat berperan

dalam mencapai hal ini, yaitu dengan memberdayakan keterampilan berpikir kritis dan

kemampuan memecahkan masalah. Keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah

pada siswa dapat dilatih melalui penerapan model pembelajaran kontekstual. Beberapa model

pembelajaran yang diuraikan dalam tulisan ini antara lain Problem Based Learning (PBL),

Creative Problem Solving (CPS), dan Inquiry. Ketiga model pembelajaran tersebut

menggunakan pertanyaan mengenai permasalahan yang terjadi di dunia nyata sebagai

komponen utama pembelajaran. Melalui penerapan model berbasis pemecahan masalah,

diharapkan siswa dapat berkembang menjadi warga masyarakat yang mampu menjadi bagian

dalam solusi permasalahan lingkungan di Indonesia.

Kata Kunci: keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, pendidikan berwawasan

konservasi, problem based learning, creative problem solving, inquiry.

PENDAHULUAN

Jika Anda memberi seseorang seekor ikan, dia makan ikan hari itu juga, namun jika Anda

mengajarinya bagaimana mendapatkan ikan, dia makan ikan sepanjang hidupnya - Pepatah

Cina

Sebagai bagian dari masyarakat, siswa tidak terlepas dari segala permasalahan baik

permasalahan di dalam keluarga, masyarakat sekitar, dan juga masalah lingkungan. Masalah

yang terjadi di lingkungan saat ini merupakan permasalahan global, yang dampaknya

dirasakan oleh semua makhluk hidup di bumi. Indonesia sebagai salah satu negara dengan

keanekaragaman hayati tertinggi di dunia menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan

lingkungan seperti pencemaran udara, air, tanah, illegal logging, dan permasalahan

lingkungan lainnya.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Time pada tahun 2014, Indonesia

merupakan negara dengan laju penggundulan hutan (deforestation rate) tertinggi di dunia.

Sekitar 840.000 hektar hutan di Indonesia telah hilang pada tahun 2012, dan semakin

meningkat hingga tahun 2014. Hilangnya hutan juga disebabkan oleh pembukaan lahan untuk

perkebunan kelapa sawit. Tahun 2015 merupakan tahun ketika kebakaran hutan terbesar

terjadi di Indonesia, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bahkan lebih besar dibanding

1 Disampaikan pada Seminar Nasional dengan Tema Mengimplementasikan Pendidikan Biologi Berwawasan

Konservasi dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia yang Berkarakter pada Tanggal 6 Mei 2017 di

Universitas Muhammadiyah Makassar

Page 3: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

2

negara industri seperti Jerman dan Jepang, menghanguskan hutan seluas wilayah

Massachusets dan menyebabkan hilangnya habitat orang utan dan harimau. Selain mematikan

banyak hewan, asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan juga menyebabkan terbentuknya

smog (kabut asap) yang mengganggu kesehatan masyarakat sekitar Indonesia, Malaysia, dan

Singapura. Kejadian ini bahkan menewaskan hingga 100.000 orang.

Selain hutan di daratan, kerusakan juga terjadi pada terumbu karang. Berdasarkan

data BPSPL Denpasar pada bulan April 2016, tingkat pemutihan karang (coral bleaching) di

perairan Indonesia termasuk tinggi. Terumbu karang yang terancam mengalami kerusakan

sudah menyebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Sekitar 51% dari keseluruhan koral

sudah mengalami pemutihan dengan laju lebih tinggi dari normal, dan yang sudah mengalami

kematian akibat pemutihan sudah mencapai 4%. Kerusakan koral bahkan juga terjadi di

Taman Nasional, dan yang tertinggi dialami koraldi TN Karimun Jawa sebesar 41,61%.

Selain pada terumbu karang, kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang

terus-menerus menyusut akibat kegiatan konversi menjadi lahan tambak. Degradasi hutan

mangrove terjadi dalam laju yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar per tahun.

Kerusakan lingkungan yang terjadi diperparah oleh kesadaran masyarakat yang

rendah mengenai konservasi lingkungan. Faktor kesadaran manusia yang masih rendah dalam

konservasi lingkungan ditunjukkan dengan masih adanya pemanfaatan sumber daya secara

berlebihan, perburuan dan perdagangan ilegal, konversi habitat alami untuk kepentingan

manusia, monokulturisme dalam budidaya, serta kemiskinan dan keserakahan. Selain itu,

faktor lain yang turut berperan adalah penggunaan teknologi yang tidak tepat dan tata kelola

yang belum baik. Tata kelola yang kurang baik ini mencakup kebijakan yang eksploitatif,

sistem kelembagaan dan penegakan hukum yang masih lemah.

Pendidikan sebagai wahana pembentuk karakter bangsa memiliki peran penting dalam

upaya mengajak siswa dan membentuk sikap siswa untuk peka terhadap permasalahan yang

ada. Permasalah yang paling dekat disekitar kita misalnya masalah lingkungan. Siswa

seharusnya dibekali keterampilan untuk mampu memecahkan permasalahan yang ada.

Keterampilan ini mencakup keterampilan identifikasi, mencari, memilih, mengevaluasi,

mengorganisir, dan mempertimbangkan berbagai alternatif dan menafsirkan dari berbagai

masalah di sekitarnya. Siswa harus mampu mencari berbagai solusi dari sudut pandang yang

berbeda-beda atas beberapa masalah yang kompleks. Pemecahan masalah memerlukan

kerjasama tim, kolaborasi efektif dan kreatif dari guru dan siswa, serta dapat

melibatkan teknologi sederhana dalam penanganan masalah tersebut.

Pemecahan masalah tidak dapat dilepaskan dari keterampilan berpikir kritis karena

keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan fundamental dalam memecahkan

masalah. Siswa juga harus mampu menerapkan alat dan teknik yang tepat secara efektif dan

efisien untuk menyelesaikan permasalahan. Beberapa keterampilan yang diperlukan untuk

memecahkan masalah meliputi keterampilan berkomunikasi yang mencakup mendengarkan,

berbicara di depan umum, dan menulis; keterampilan investigasi yang mencakup merancang

penelitian, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisis data, keterampilan bekerja

dalam kelompok; serta kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan kerjasama.

KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS

Kata kritis berasal dari bahasa Yunani yaitu kritikos dan kriterion (Paul, dkk., 1997).

Kata kritikos berarti ‘pertimbangan’ sedangkan kriterion mengandung makna ‘ukuran baku’

atau ‘standar’. Secara etimologi, kata ’kritis’ mengandung makna ‘pertimbangan yang

didasarkan pada suatu ukuran baku atau standar’. Johnson (2002) menjelaskan bahwa

berpikir kritis adalah aktivitas mental untuk merumuskan atau memecahkan masalah,

mengambil keputusan, memahami hal tertentu, menemukan jawaban untuk pertanyaan, dan

menemukan jawaban yang relevan. Krulik dan Rudnick (1999) menyatakan bahwa

Page 4: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

3

kemampuan berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Secara etimologi

berpikir kritis mengandung makna suatu kegiatan mental yang dilakukan seseorang untuk

dapat memberi pertimbangan dengan menggunakan ukuran atau standar tertentu (Zubaidah,

dkk., 2015).

Definisi berpikir kritis banyak disampaikan oleh para ahli. Menurut Ennis (2013)

berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang

difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan. Proulx (2004)

mendefinisikan berpikir kritis sebagai sebuah proses menurut langkah-langkah untuk

menganalisis, menguji, dan mengevaluasi argumen. Definisi berpikir kritis menurut Walker

(2006) adalah suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep, mengaplikasikan,

menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil

observasi, pengalaman, refleksi dimana hasil proses ini digunakan sebagai dasar saat

mengambil tindakan. Page dan Mukherjee (2006) menyatakan bahwa berpikir kritis

berhubungan dengan berpikir kognisi tingkat tinggi seperti menganalisis, mensintesis, dan

mengevaluasi. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, berpikir kritis merupakan berpikir

yang melibatkan penalaran dan logika untuk menyelesaikan suatu masalah.

Berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan dan

berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan. Para pendidik telah lama menyadari

pentingnya kemampuan berpikir kritis sebagai salah satu output dari proses pembelajaran.

Trilling dan Fadel (2009) menyatakan berpikir kritis adalah salah satu keterampilan kunci

yang diperlukan di abad 21. Partnership for 21st Century Skills telah mengidentifikasi bahwa

berpikir kritis menjadi salah satu dari beberapa kemampuan yang dibutuhkan untuk

menyiapkan siswa pada jenjang pendidikan dan dunia kerja (Zubaidah, dkk., 2015).

Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan dominan yang harus

diajarkan secara eksplisit (Zubaidah, 2016). Keterampilan berpikir kritis perlu dilatihkan

pada siswa melalui pembelajaran terutama sejak jenjang pendidikan dasar (Friedrichsen,

2001). Meyers (1986) juga menyarankan bahwa keterampilan berpikir tidak harus diajarkan

secara terpisah, tetapi dimasukkan dalam proses belajar mengajar dalam mata pelajaran yang

diajarkan di sekolah-sekolah.

Pembelajaran untuk melatihkan keterampilan berpikir kritis menjadi penting dari

sistem pendidikan nasional (Fuad, dkk., 2017). Hal ini sejalan dengan pendapat Zubaidah,

dkk. (2015) yang menyatakan bahwa berpikir kritis saat ini menjadi salah satu tujuan penting

dari pendidikan. Nur dan Wikandari (2008) juga berpendapat bahwa salah satu tujuan utama

sekolah adalah meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis, membuat keputusan

rasional tentang apa yang diperbuat atau apa yang diyakini. Namun, tidak banyak sekolah

yang mengajarkan siswanya untuk berpikir kritis (Santrock, 2011). Untuk itu, penting sekali

membelajarkan siswa untuk berpikir kritis. Bahkan, Schafersman (1991) menyatakan bahwa

perencanaan pembelajaran IPA oleh guru untuk pengembangan kemampuan berpikir kritis

siswa adalah suatu keharusan.

Menurut Fisher (1998) orang yang berpikir kritis memiliki ciri-ciri yaitu (1) memiliki

tekad melihat sesuatu yang lebih menyeluruh dan rinci, (2) menganalisis ide-ide untuk

mencari penjelasan yang lebih menyeluruh dan rinci, (3) menganalisis ide-ide untuk

menemukan penjelasan yang lebih akurat, dan (4) berpikiran terbuka dan luas. Menurut Ennis

(1996) terdapat 6 unsur dasar dalam berpikir kritis yang disingkat menjadi FRISCO.

Komponen tersebut dijabarkan sebagaimana berikut.

1. F (Focus), memfokuskan pertanyaan atau isu yang ada untuk membuat keputusan tentang

apa yang diyakini.

2. R (Reason), mengetahui alasan-alasan yang mendukung atau menolak putusan-putusan

yang dibuat berdasar situasi dan fakta yang relevan.

Page 5: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

4

3. I (Inference), membuat kesimpulan yang beralasan atau meyakinkan. Bagian penting dari

langkah penyimpulan ini adalah mengidentifikasi asumsi dan mencari pemecahan,

pertimbangan dari interpretasi terhadap situasi dan bukti.

4. S (Situation), memahami situasi dan selalu menjaga situasi dalam berpikir untuk

membantu memperjelas pertanyaan (dalam F) dan mengetahui arti istilah-istilah kunci,

bagian-bagian yang relevan sebagai pendukung.

5. C (Clarity), menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan.

6. O (Overview), meninjau kembali dan meneliti secara menyeluruh keputusan yang diambil.

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak siswa di sekolah dan mahasiswa di

perguruan tinggi merasa kesulitan membuat hubungan antara apa yang mereka pelajari dan

bagaimana pengetahuan harus digunakan. Permasalahannya karena guru/dosen cenderung

menggunakan model pembelajaran konvensional “No Name Learning” atau “Anonymous

Learning” (Corebima, 2016). Oleh karena itu, para guru dan dosen harus melakukan upaya

untuk menemukan dan menciptakan model baru sebagai bahan untuk memperkuat,

memperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan siswa dalam berbagai

pengaturan di sekolah dan luar sekolah atau diperguruan tinggi dalam rangka memecahkan

permasalahan nyata di lingkungannya.

Pada kenyataannya, masih banyak guru yang menggunakan pembelajaran

konvensional. Mereka memiliki peran lebih dominan dibandingkan siswa. Siswa hanya

mendengarkan penjelasan dan melakukan tugas dari guru. Akibatnya, para siswa tidak

merasakan proses pembelajaran yang baik. Menurut Ketter dan Arnold (2003) jika guru tidak

mampu memahami terhadap dunia siswa, maka guru tidak akan dapat mengajar mereka

dengan baik. Dengan demikian, guru harus menggunakan pendekatan yang dapat

menciptakan minat siswa dan mengajak siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran,

sehingga mereka berada dalam proses belajar mengajar yang sesungguhnya. Salah satu

pendekatan yang membantu guru menghubungkan isi mata pelajaran dengan situasi dunia

nyata dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi adalah pembelajaran kontekstual.

Pemikiran lain yang mendasari pembelajaran kontekstual yaitu adanya kecenderungan

untuk kembali pada pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan

diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang

dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi

terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali

anak memecahkan persoalan kehidupan jangka panjang. Pendekatan kontekstual adalah

mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia

nyata siswa. Siswa secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang bermakna sehingga

siswa akan mengingat pembelajaran dalam jangka waktu lama.

Pada awalnya, pembelajaran kontekstual berasal dari teori behaviorisme dan kemudian

dilanjutkan dengan teori konstruktivisme. Menurut Berns dan Ericson (2001) teori

behaviorisme yang diusulkan oleh Thorndike yang menyarankan bahwa pembelajaran

dihasilkan dari hubungan yang terbentuk antara stimulus dan respons melalui pemberian

reward. Pada pembelajaran konstruktivisme siswa bisa membangun pengetahuan mereka

sendiri dengan menguji ide-ide berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya,

menerapkan ide-ide ini pada situasi baru dan mengintegrasikan pengetahuan baru yang

diperoleh dengan membangun intelektual yang sudah ada. Teori konstruktivisme

menekankan dalam adanya pergeseran dari peran guru (teacher centered) dalam

pembelajaran kepada peran siswa (student centered).

Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru

menghubungkan isi mata pembelajaran dengan situasi nyata siswa dan memotivasi siswa

Page 6: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

5

untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam

kehidupan sehari-hari siswa (Berns & Erickson, 2001). Pembelajaran kontekstual adalah

sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran

apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka

menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru

dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Johnson, 2002).

Berdasarkan pengertian tersebut terdapat tiga konsep dasar pembelajaran kontekstual

yaitu: (1) menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi artinya

proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung (2) mendorong agar

siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan

nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di

sekolah dengan kehidupan nyata sehingga materi akan bermakna dan tertanam erat dalam

memori siswa sehingga tidak mudah terlupakan, dan (3) mendorong siswa untuk dapat

menerapkannya dalam kehidupan, artinya pembelajaran kontekstual bukan hanya

mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajari akan tetapi bagaimana materi

itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu pendekatan pembelajaran memiliki

prinsip-prinsip ilmiah. Menurut Johnson (2002) ada 3 prinsip dalam pembelajaran

kontekstual, yaitu: saling ketergantungan (interpendence), diferensiasi (differentiation), dan

pengaturan diri (self regulated). Selain itu, pembelajaran kontekstual memiliki komponen

antara lain:

1. Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pada pembelajaran kontekstual. Pada

pembelajaran konstruktivisme proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan

mereka melalui keterlibatan aktif selama dalam proses pembelajaran, sehingga siswa

menjadi pusat kegiatan.

2. Inquiry (penyelidikan)

Inquiry merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran yang menggunakan

pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diperoleh

dengan cara menemukan sendiri. Oleh sebab itu proses pembelajaran yang dirancang guru

harus berbentuk kegiatan yang merujuk pada kegiatan penyelidikan. Langkah-langkah

pembelajarannya dimulai dengan merumuskan masalah, mengamati, menganalisis, dan

mengkomunikasikan.

3. Questioning (bertanya)

Questioning merupakan strategi yang utama dalam pendekatan kontekstual.

Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,

membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.

4. Learning community (masyarakat belajar)

Learning community merupakan salah satu teknik dalam pendekatan kontekstual.

Teknik ini menekankan kerjasama dengan siswa lain. Hasil belajar diperoleh melalui

sharing antar teman, antar kelompok, dan antara siswa yang sudah paham dan yang belum

paham.

5. Modeling (pemodelan)

Pemodelan adalah pembelajaran yang dilakukan dengan menampilkan model yang

bisa dilihat, dirasa, dan bahkan bisa ditiru oleh siswa. Pada kenyataannya, guru bukan

merupakan satu-satunya model. Model dapat didatangkan dari luar sekolah, misalnya

orang tua siswa, tokoh masyarakat, pengusaha, maupun para pakar.

6. Reflection ( refleksi)

Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa

lalu. Refleksi merupakan tanggapan terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang

Page 7: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

6

baru diterima. Tujuan dari kegiatan refleksi adalah untuk melihat sudah sejauh mana

pengetahuan yang dibangun sebelumnya dan penting untuk dilakukan di setiap

pembelajaran.

7. Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya)

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan

gambaran perkembangan belajar siswa. Kegiatan ini perlu dilakukan guru untuk

mengetahui dan memastikan bahwa siswa telah mengalami proses pembelajaran dengan

benar. Berdasarkan hasil assessment dapat diketahui kesulitan siswa dalam menguasai

kompetensi sehingga guru dapat mengetahui kompetensi yang telah di miliki oleh siswa.

Di sisi lain, Hernowo (2005) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan

pembelajaran kontekstual, yaitu:

1. Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata

pelajaran tersebut.

2. Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang

ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.

3. Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan

dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.

4. Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk

mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.

5. Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang diterimanya

secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar alamiah yang

cocok dengan dirinya.

6. Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka

mengekspresikannya dengan bebas.

7. Bimbing mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga anak

didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa pendekatan kontekstual

bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan

(ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks

lainnya. Dengan transfer diharapkan: (a) siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari

‘pemberian orang lain’; (b) keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang

terbatas (sempit) sedikit demi sedikit; (c) penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan

‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.

MACAM MODEL PEMECAHAN MASALAH

Telah banyak definisi yang menjelaskan tentang masalah dan pemecahan masalah.

Masalah adalah kendala yang dihadapi seseorang dalam mencapai suatu tujuan (Bingham,

1983). Masalah adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dan masyarakat untuk

dipecahkan dalam rangka untuk mencapai keberhasilan. Seseorang yang tidak tahu

bagaimana cara mencapai tujuannya dapat dikatakan mengalami masalah. Jika tidak ada

tujuan artinya tidak ada masalah. Dengan kata lain, jika ada keinginan untuk mencapai suatu

tujuan namun menghadapi sebuah kesulitan maka kondisi tersebut disebut dengan masalah

(Turer, 1997).

Menurut Greeno (1978) masalah adalah kesenjangan yang terjadi di dalam pemikiran

(kognitif). Berdasarkan teori pemrosesan informasi, masalah merupakan suatu keadaan ketika

pengetahuan yang tersimpan dalam memori belum siap pakai untuk digunakan dalam

memecahkan masalah.

Berdasarkan segi cara pernyataannya masalah ada yang bersifat kebahasaan

(lingustic), dan masalah yang bersifat bukan-kebahasaan (non-linguistic). Berdasar segi

perumusan, cara menjawab dan kemungkinan jawabannya, masalah dapat dibedakan menjadi

Page 8: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

7

masalah yang dibatasi dengan baik (well-defined), dan masalah yang dibatasi tidak dengan

baik (ill-defined). Ada juga yang membedakan menjadi masalah yang well-structured

(distrukturkan dengan baik) dan masalah yang ill-structured (tidak distrukturkan dengan

baik). Demikian juga terdapat banyak pendapat tentang proses pemecahan atas berbagai

macam masalah yang ada tersebut. Ada yang berpendapat bahwa proses pemecahan atas

masalah yang well defined maupun yang ill-defined sama, namun ada juga yang berpendapat

bahwa proses pemecahan kedua jenis masalah tersebut berbeda.

Pemecahan masalah mencakup integrasi konsep dan keterampilan untuk mendapatkan

sesuatu yang lebih dari situasi yang tidak biasa (Stones& Lucas, 1994). Pemecahan masalah

berarti menemukan atau menciptakan solusi baru untuk masalah atau untuk menerapkan

aturan baru yang akan dipelajari (Mayer & Wittrock, 1996). Pemecahan masalah adalah cara

penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk

dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan atau jawaban oleh siswa.

Trend di abad 21 lebih berfokus pada spesialisasi tertentu. Salah satu spesialisasi yang

paling penting adalah pemecahan masalah (Dogru, 2008). Pemecahan masalah bukanlah

sekedar berhubungan dengan mental saja, akan tetapi mencakup beberapa sikap dan nilai-

nilai tertentu. Spesialisasi ini, adalah target utama dari pembelajaran guna membekali

individu untuk mengatasi berbagai permasalahan dunia dan lingkungan, menjadi kreatif dan

memberikan fleksibilitas untuk mengubah/mengendalikan lingkungan dan diperlukan sistem

pembelajaran tertentu untuk meningkatkannya melalui berbagai cara (Aksu, dkk., 1990). Saat

ini, paradigma pembelajaran berubah dari pembelajaran tradisional menuju pembelajaran

yang efektif; dari berpusat pada guru menjadi terpusat kepada siswa; dari yang program

pendidikan yang telah ditentukan secara ketat menjadi pengalaman belajar yang fleksibel dan

berbeda; dari pembelajaran pada seluruh menjadi kelompok kecil atau pembelajaran

individual (Siu, 1999). Terdapat beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan untuk

pemecahan masalah, di antaranya Problem Based Learning (PBL), Creative Problem Solving

(CPS), dan Inquiry.

1. Problem Based Learning (PBL)

Sejumlah ahli telah mengemukakan definisi PBL. Torp dan Sage (2002)

mendefinisikan PBL sebagai pembelajaran yang terfokus, terorganisasi dalam penyelidikan

dan penemuan masalah-masalah nyata. Sonmez dan Lee (2003) mendefinisikan PBL sebagai

metode pembelajaran yang menantang siswa untuk mencari pemecahan masalah dalam dunia

nyata (permasalahan ‘terbuka’), secara mandiri atau dalam kelompok. Savery (2006)

menyatakan bahwa PBL adalah metode yang menekankan pada pembelajaran berbasis

student-centered, yang dapat memberdayakan siswa untuk melakukan penyelidikan,

mengintegrasikan teori dan praktik, menerapkan pengetahuan dan ketrampilannya untuk

mengembangkan penemuan solusi atau pemecahan terhadap masalah tertentu.

PBL merupakan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai

konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan memecahkan

masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan konsep yang esensial dari materi pelajaran

(Jones, dkk., 1996). PBL dikenal pula sebagai Experience Based Education, Authentic

Learning, dan Anchored Instruction. Dasar teoritis yang melandasi PBL antara lain: (1) teori

belajar konstrukstivisme-kognitif (Piaget dan Vygotsky), (2) kelas demokrasi (John Dewey),

(3) zone of proximal development (Vygotsky), (4) scaffolding dan pembelajaran penemuan

(Bruner).

Savery (2006) menyebutkan beberapa ciri penting PBL, di antaranya sebagai berikut.

a. Siswa harus mempunyai tanggung jawab terhadap pengetahuannya sendiri.

b. Permasalahan dalam PBL sebaiknya bersifat tidak tentu (ill-structured) dan

memungkinkan untuk berinkuiri secara bebas.

Page 9: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

8

c. Pembelajaran sebaiknya diintegrasikan dengan topik atau disiplin ilmu lain.

d. Menekankan pada kerjasama siswa.

e. Apa yang telah dipelajari siswa selama belajar mandiri harus diaplikasikan kembali untuk

menganalisis dan memecahkan masalah.

f. Sangat penting diadakan kegiatan analisis akhir dari apa yang telah dipelajari terhadap

suatu masalah dan adanya diskusi terhadap konsep dan prinsip yang telah dipelajari.

g. Hendaknya PBL juga disertai asesmen pribadi dan antar teman.

h. Aktivitas dalam PBL hendaknya bernilai dalam kehidupan nyata.

i. Asesmen hendaknya mengukur perkembangan siswa sesuai tujuan PBL.

j. PBL semestinya merupakan dasar pembelajaran dalam kurikulum, dan bukan merupakan

bagian dari kurikulum pembelajaran.

Sintaks model PBL dapat dilihat pada Tabel 1. Model PBL sebagaimana model

pembelajaran pada umumnya memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan PBL antara lain

berikut ini.

1. Pembelajaran yang bagus untuk lebih memahami materi.

2. Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menentukan

pengetahuan baru bagi siswa.

3. Meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.

4. Membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami dan

memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.

5. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan menyesuaikan dengan

pengetahuan baru.

6. Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar.

Adapun kelemahan PBL antara lain berikut ini.

1. Manakala siswa memiliki kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk

dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan mencoba.

2. Keberhasilan pembelajaran melalui pemecahan masalah membutuhkan cukup waktu untuk

persiapan.

3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang

dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.

Tabel 1. Sintaks Model PBL

Fase Indikator Aktifitas / Kegiatan Guru

1 Orientasi siswa kepada

masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik

yang diperlukan, pengajuan masalah, memotivasi siswa

terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

2 Mengorganisasikan

siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan

mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan

masalah tersebut.

3 Membimbing

penyelidikan individual

maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang

sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapat penjelasan

pemecahan masalah.

4 Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan

karya yang sesuai seperti laporan, video, model dan

membantu mereka untuk berbagai tugas dengan

kelompoknya.

5 Menganalisis dan

mengevaluasi proses

pemecahan masalah

Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi

terhadap penyelidikan mereka dalam proses-proses yang

mereka gunakan.

Page 10: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

9

2. Creative Problem Solving (CPS)

Creative Problem Solving (CPS) adalah model pembelajaran yang telah terbukti untuk

mendekati suatu masalah atau tantangan dengan cara yang imajinatif dan inovatif. Model ini

membantu siswa mendefinisikan kembali masalah dan peluang yang dihadapi, memberikan

solusi dan tanggapan secara inovatif untuk kemudian mengambil suatu tindakan (CEF, 2015).

Noller (1977) menjelaskan CPS sebagai gabungan dari kata Creative (adanya unsur kebaruan

dan inovasi), Problem (mengacu pada setiap situasi yang menyajikan tantangan, menawarkan

kesempatan, dan merupakan suatu permasalahan yang mengganggu), dan Solving (merancang

cara untuk menjawab, untuk bertemu, atau untuk menyelesaikan suatu situasi). Menurut

Pepkin (2000) CPS adalah suatu pembelajaran yang memusatkan pada pengajaran dan

keterampilan pemecahan masalah yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Sehingga

ketika dihadapkan pada pertanyaan esai, siswa dapat memilih dan mengembangkan

tanggapannya. Tidak seperti menghafal, CPS mampu memperluas keterampilan berpikir. CPS

tidak hanya sekadar pemecahan masalah. Aspek kreatif sangat dibutuhkan dalam CPS.

Sintaks pembelajaran CPS menurut Pepkins (2000) dapat dilihat pada Tabel 2, dan Alur

berpikir CPS menurut Isaksen & Treffinger (1985) dapat dilihat pada Gambar 1.

Menurut Steiner (2009) terdapat beberapa karakteristik CPS, antara lain sebagai

berikut.

1. Penyelesaian suatu problem dimulai dari proses recursive (pengulangan),

revised (peninjauan kembali), dan redefined (pendefinisian ulang).

2. Memerlukan proses berpikir divergen dan konvergen.

3. Menggagas suatu pemikiran yang bersifat prediktif serta dapat merangsang ke tahap

berpikir logis selanjutnya.

Adapun pola berpikir konvergen yang efektif yang direkomendasikan oleh Mitchel

dan Kowalik (1999) adalah sebagai berikut.

1. Tenang (tidak tergesa-gesa) dan berhati-hati.

2. Eksplisit (tegas dan jelas).

3. Menghindari keputusan yang terlalu dini.

4. Mencari kejelasan.

5. Membangun kebenaran afirmatif.

6. Jangan menyimpang dari tujuan.

Tabel 2. Sintaks Model Pembelajaran CPS

No Fase Kegiatan

1 Klarifikasi

Masalah

Pada tahap ini dilakukan klarifikasimasalah oleh guru dan siswa. Pada

proses ini harus dipastikan bahwa seluruh siswa memahami solusi dari

masalah yang sedang dicari. Proses ini juga termasuk menelaah kriteria

kesuksesan dalam proses penyelesaian masalah.

2 Brainstorming Pada tahap ini dilakukan penyusunan ide oleh guru dan siswa. Pada proses

ini, siswa menyusun ide sebanyak mungkin. Penyusunan ide dilakukan

untuk mendukung kebenaran konsep yang diyakini sehingga diperoleh

solusi yang terbaik.

3 Evaluasi dan

Pemilihan

Pada tahap ini dilakukan evaluasi dan pemilihan ide-ide yang telah disusun

selama proses brainstorming. Pada proses ini siswa mengevaluasi,

memodifikasi, dan mengeliminasi setiap ide yang merupakan produk dari

brainstorming untuk mengambil satu keputusan.

4 Implementasi Pada tahap ini siswa dan guru mengembangkan sebuah rencana untuk

mengimplementasikan satu keputusan yang diambil pada saat proses

evaluasi dan pemilihan.

Page 11: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

10

Problem Sensitivity

Divergent Phase

Convergent Phase

Experiences, roles and

situations are searched

for mess... Openness to

experience, exploring

opportunities.

OBJECTIVE

FINDING

Challenge is accepted and

systematic efforts

undertaken to respond to it

Data are gathered: the situation

is examined

from many different viewpoints;

information, impressions,

feelings, etc. are collected

FACT

FINDING

Most important data are identified

and analyzed

Many possible statement of

problems and sub problems are

gathered

PROBLEM

FINDING

A working problem statement I

choosen

Many alternatives and

possibilities for responding to

the problem statement are

developed and listed.

IDEA

FINDING

Ideas that seem most promising

or interesting are selected

Many possible criteria are

formulated for reviewing and

evaluating ideas.

SOLUTION

FINDING

Several important criteria are

selected to evaluate ideas. Criteria

are used to evaluate, strengthen,

and refine ideas.

Possible sources of assistance

and resistance are considered ;

potential implementation steps

are identified

ACCEPTANCE

FINDING

Most promising solutions are

focused and prepared for action.;

Specific plans are formulated to

implement solution.

Gambar 1. Alur Proses Berpikir CPS

3. Inquiry

Inkuiri adalah pembelajaran yang melatih siswa untuk belajar menemukan masalah,

mengumpulkan, mengorganisasi, dan memanipulasi data serta memecahkan masalah.

Pembelajaran berbasis inkuiri melibatkan siswa dalam penyelidikan IPA melalui

New Challenges

Page 12: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

11

pengalaman nyata. Pada pembelajaran berbasis inkuiri, siswa diikutsertakan dalam

pertanyaan-pertanyaan berorientasi ilmiah (scientifically oriented questions), mengutamakan

fakta dalam merespon pertanyaan, menyusun penjelasan dari fakta, menghubungkan

penjelasan terhadap pengetahuan ilmiah, serta mengomunikasikan dan mempertimbangkan

penjelasan yang dikemukakannya (NRC, 2000).

Inquiry adalah pembelajaran yang melibatkan siswa melakukan pengamatan,

mengajukan pertanyaan, merencanakan investigasi, meninjau bukti, mengajukan jawaban,

menjelasan, melakukan prediksi; dan mengomunikasikan hasil. Kegiatan inkuiri tersebut

membutuhkan identifikasi asumsi, berpikir kritis dan logis, dan pertimbangan penjelasan

alternatif (NRC, 1996). Keselman (2003) menjelaskan Inquiry sebagai suatu strategi

pembelajaran dimana siswa mengikuti metode dan praktik yang serupa dengan metode

profesional Ilmuwan dalam rangka membangun pengetahuan. Terkait hal ini, siswa

merumuskan hipotesis dan mengujinya dengan melakukan eksperimen dan / atau melakukan

pengamatan (Pedastee dkk, 2012). Pembelajaran inquiry menuntut siswa menggunakan

keterampilan proses ilmiah selama penyelidikan (Simsek & Kabapinar, 2010).

Aspek terpenting dalam pembelajaran berbasis inkuiri adalah pertanyaan. Menurut

Hebrank (Rustaman, 2005), inkuiri merupakan seni bertanya tentang gejala alam dan

menemukan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kemampuan bertanya ini

sangat penting bagi calon guru karena melalui pertanyaan calon guru dapat melaksanakan

pembelajaran inkuiri dan menerapkannya dalam pembelajaran di sekolah. Kegiatan yang

dilakukan dalam pembelajaran inkuiri melibatkan kegiatan keterampilan proses IPA, yaitu

melakukan observasi, membuat hipotesis, mengumpulkan data, melakukan eksperimen,

membuat kesimpulan dan sebagainya.

Pembelajaran berbasis inkuiri memiliki karakteristik tertentu. Pertama, siswa diikut

sertakan dengan pertanyaan-pertanyaan ilmiah, peristiwa atau gejala alam. Hal ini

dihubungkan dengan pengetahuan awal siswa, menciptakan disonansi dengan gagasan siswa,

dan/atau memotivasi siswa untuk belajar lebih banyak lagi. Kedua, siswa mengeksplorasi

gagasan melalui hands-on experiences, menyusun dan menguji hipotesis, pemecahan

masalah, dan membuat penjelasan untuk hal-hal yang telah mereka amati. Ketiga, siswa

menganalisis dan menginterpretasi data, mensintesis gagasan mereka, membangun model,

dan mengklarifikasi konsep dan penjelasan bersama guru dan sumber-sumber lain. Keempat,

siswa memperluas pemahaman dan kemampuan baru mereka, dan menerapkan apa yang telah

dipelajari dalam situasi baru. Kelima, siswa bersama guru, mereview dan menilai apa yang

telah dipelajari dan bagaimana mereka mempelajari hal tersebut (NRC, 2000:46).

Terdapat berbagai pendapat tentang macam inkuiri. Berdasarkan tingkatannya,

Bianchi dan Bell (2008) mengklasifikasikan inkuiri menjadi empat macam yaitu inkuri

konfirmasi (confirmation inquiri), inkuiri terstruktur (structured inquiry), inkuiri terbimbing

(guided inquiry), dan inkuiri terbuka (open inquiry).

1. Inkuiri konfirmasi (confirmation inquiri)

Pada inkuiri konfirmasi, siswa diberi pertanyaan dan prosedur (metode), dan hasilnya

telah diketahui sebelumnya. Guru dapat menggunakan inkuiri konfirmasi apabila tujuan guru

untuk memperkuat ide yang diperkenalkan, keterampilan investigasi spesifik sudah

dipraktekkan oleh siswa, seperti mengumpulkan dan merekam data.

2. Inkuiri terstruktur (structured inquiry)

Pada inkuiri terstruktur, guru masih menyediakan pertanyaan dan prosedur. Namun, siswa

menghasilkan penjelasan yang didukung oleh bukti yang telah mereka kumpulkan. Inkuiri

terstruktur penting diterapkan di pendidikan tingkat dasar karena secara bertahap dapat

membantu siswa mengembangkan kemampuan melakukan inkuiri ke jenjang yang lebih

tinggi yaitu inkuiri terbuka.

Page 13: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

12

3. Inkuiri terbimbing (guided inquiry)

Pada inkuiri terbimbing, siswa menyelidiki pertanyaan yang disajikan guru dengan

menggunakan prosedur yang dirancang siswa. Peran guru tidak berarti pasif, karena siswa

memerlukan bimbingan guru untuk mengetahui apakah rancangan eksperimennya sudah

benar.

4. Inkuiri terbuka (open inquiry)

Pada inkuiri terbuka, siswa merumuskan masalah penyelidikan, merancang dan

melakukan penyelidikan dan mengkomunikasikan hasilnya. Dalam memahami inquiri tingkat

ini membutuhkan penalaran ilmiah dan ranah kognitif tinggi dari siswa.

Llewellyn (2013) mengenalkan model Differentiated Science Inquiry (DSI). Model

pembelajaran DSI merupakan pengembangan dari Differentiated Instruction (DI). Pada

pembelajaran DSI, kelas dibagi menjadi 4 grup berdasarkan urutan kemampuan siswa, dari

siswa dengan kemampuan rendah sampai siswa dengan kemampuan tinggi. Level 1

(demonstrated inquiry), pada level ini guru menyediakan permasalahan, perencanaan

prosedur, dan menganalisis hasil. Level 2 (structured inquiry), pada level ini guru berperan

dalam hal menyediakan permasalahan dan perencanaan prosedur, sedangkan yang

menganalisis hasil adalah siswa. Level 3 (guided inquiry), pada level ini guru hanya

menyediakan permasalahan, sedangkan yang melakukan perencanaan prosedur dan

menganalisis hasil adalah siswa. Level 4 (self-directed inquiry), pada level ini siswa

melakukan seluruh kegiatan mulai dari menyediakan permasalahan, perencanaan prosedur,

sampai pada menganalisis hasil (Fuad, dkk., 2017).

Tahapan (Sintaks) Model Pembelajaran DSI

Adapun tahapan model pembelajaran DSI selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3.Tahapan Model Pembelajaran DSI

No Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

1 Inquisition Meminta siswa untuk

mengajukan pertanyaan terkait

dengan materi yang akan

dipelajari/diselidiki

Mengajukan suatu

pertanyaan/rumusan masalah

2 Acquisition Melakukan brainstorming

dengan siswa terhadap

kemungkinan jawaban atas

pertanyaan yang diajukan

Memberikan jawaban sementara

atas pertanyaan yang akan

diselidiki

3 Supposition Mengarahkan siswa untuk

menyeleksi sebuah pertanyaan

yang akan diuji

Berdiskusi dengan teman dan guru

untuk menyeleksi sebuah

pertanyaan yang diuji

4 Implementation Mendorong dan memberi

kesempatan bagi siswa untuk

mendesain dan melaksanakan

rencana penelitian/pencarian

jawaban

Mendesain dan melakukan rencana

penelitian untuk menemukan

jawaban

5 Summation Mendorong siswa untuk

mengumpulkan bukti dan

memfasilitasi siswa untuk

menarik kesimpulan

Mengumpulkan bukti dan menarik

kesimpulan

6 Exhibition Memberikan kesempatan bagi

siswa untuk mengomunikasikan

hasil temuan.

Sharing dengan siswa

Mengomunikasikan hasil temuan

melalui presentasi kelas

Diskusi klasikal

Sumber: Fuad, dkk. (2017) dimodifikasi dari Llewllyn (2013).

Page 14: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

13

Adapula pembagian lain yaitu menurut Callahan & Kellough (1992) yang

menggolongkan inkuiri menjadi tiga tingkatan berdasarkan banyaknya keterlibatan siswa

dalam aktifitas inkuiri. Perbedaan ketiga tingkatan tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Tingkatan Inkuiri

Tingkat 1

(inkuiri tebimbing)

Tingkat 2

(inkuiri terpimpin)

Tingkat 3

(inkuiri bebas)

Identifikasi masalah Oleh guru atau dari

textbook Oleh guru atau textbook Oleh siswa

Proses pemecahan masalah Diputuskan guru atau

dari textbook Diputuskan oleh siswa Diputuskan oleh siswa

Identifikasi solusi tentatif

untuk masalah Dihasilkan siswa Dihasilkan siswa Dihasilkan siswa

(Sumber: Callahan & Kellough, 1992)

Pada inkuiri tingkat 1, masalah dan proses pemecahan masalah masih ditentukan oleh

guru. Tingkat ini disebut juga inkuiri terbimbing, karena siswa dituntun melakukan

penyelidikan untuk menemukan sesuatu, hasil sudah dapat diperkirakan. Siswa akan

kehilangan kesempatan untuk mengembangkan operasi mentalnya yang lebih tinggi dan tidak

memperoleh pengalaman yang lebih memotivasi pemecahan masalah kehidupan nyata. Pada

inkuiri tingkat 2, siswa secara nyata merencanakan proses inkuirinya. Guru menekankan sifat

sementara (tentative) pada kesimpulan, yaitu membuat suatu kegiatan yang lebih menyerupai

pemecahan masalah seperti kehidupan nyata, dimana keputusan selalu diperbaiki. Pada

inkuiri tingkat 3, siswa mengidentifikasi masalah, merencanakan proses inkuiri dan

memperoleh kesimpulannya sendiri.

Pembelajaran inquiry dapat membantu siswa mengenal lingkungan dan mendapat

pengetahuan baru (Llewellyn, 2002), karena pembelajaran Inquiry menuntut siswa untuk

mencari pengetahuan dan mencari tahu tentang suatu fenomena (Zubaidah dkk., 2013).

Terkait hal ini, guru bukan satu-satunya sumber informasi bagi siswa untuk membangun

pengetahuannya (Llewellyn, 2002). Rangkaian atau tahapan dalam inkuri membantu siswa

terlibat langsung dalam menyelediki suatu kasus secara sistematis, kritis, logis dan analitis

sehingga siswa dapat merumuskan penemuannya secara mandiri dan percaya diri (Gulo,

2002).

Andrini (2016), dalam penelitiannya menemukan bahwa model pembelajaran inquiry

memberi kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan mereka sendiri,

menggunakan konsep yang telah diadakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi

dengan kata lain, dan siswa memiliki kesempatan untuk menghubungkan informasi baru

dengan struktur kognitif yang ada sehingga menghasilkan pembelajaran bermakna. Thaiposrii

& Wannapiroon (2015), dalam penelitiannya menemukan bahwa penerapan model

pembelajaran inquiry dalam pembelajaran dapat membantu memberdayakan keterampilan

berpikir tingkat tinggi siswa.

PENGUKURAN BERPIKIR KRITIS

Terdapat beberapa tes terstandar untuk mengakses berpikir kritis. Ennis (1993)

mengembangkan tes standar untuk menilai berpikir kritis, California Critical Thinking

Dispositions Inventory (CCTDI) dan Watson Glaser Critical Thinking Appraisal (WGCTA).

CCTDI terdiri dari75 butir soal Likert. WGCTA memiliki 80 butir soal (Watson & Glaser,

1980). Meskipun WGCTA memiliki beberapa teks berpikir kritis dan mencakup isu

mendalam terkait kehidupan sehari-hari, namun soalnya berupa tes pilihan ganda. Menurut

Stein (2003) soal pilihan ganda bisa saja terjadi bias tes, kurang valid, dan korelasi item yang

rendah untuk penilaian.

Page 15: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

14

Menurut Ennis (2001) tes untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dapat

dibedakan menjadi tes spesifik untuk suatu topik dan tes yang umum (untuk semua topik).

Tes berpikir kritis spesifik untuk suatu topik mengukur hanya satu topik atau subjek saja,

sedangkan tes berpikir kritis umum menggunakan konten dari berbagai bidang atau bersifat

umum. National Academy of Education Committe merekomendasikan untuk

mengembangkan tes berpikir tingkat tinggi yang spesifik untuk suatu subjek. Beberapa

kelebihan tes esai adalah (1) dapat digunakan untuk menilai kemampuan berpikir tingkat

tinggi atau kemampuan berpikir kritis, (2) dapat mengevaluasi proses berpikir dan bernalar

siswa, dan (3) memberikan pengalaman autentik (Olson & Horsley, 2000). Berikut ini adalah

beberapa contoh soal tes berpikir kritis yang spesifik (biologi), yang diharapkan dapat

mengembangkan berpikir kritis siswa.

1. Merokok merupakan kebiasaan yang banyak dilakukan oleh orang Indonesia. Sekalipun

telah diketahui bahaya merokok, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain di

sekitarnya, namun mereka tetap melakukannya dengan berbagai alasan. Beberapa alasan

mereka di antaranya: mereka baru bisa berkonsentrasi dan bekerja jika merokok, adapula

yang menguatirkan nasib petani tembakau dan pekerja yang terlibat dalam pembuatan dan

perdagangan rokok jika tidak ada lagi orang merokok, merokok untuk kesehatan karena

kandungan obat di dalam tembakau, dan lain-lain alasannya. Mereka merokok di berbagai

tempat, bahkan di tempat-tempat umum. Bagaimana pendapatmu atas fenomena ini?

Bagaimana solusi yang dapat kamu tawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut?

Setujukah kamu jika dibuatkan tempat khusus bagi orang-orang yang ingin merokok?

Jelaskan alasanmu!

2. Menurut penelitian diketahui bahwa masing-masing orang di Indonesia menghasilkan

rerata sampah sejumlah 2,5 L dalam satu hari. Jika diakumulasikan maka akan ada

banyak sekali timbulan sampah. Masing-masing orang memiliki cara yang berbeda-beda

dalam menangani sampah. Sebagian orang membakar sampah mereka untuk mengurangi

timbulan sampah dan menggunakan abunya untuk pupuk. Bagaimana pendapatmu atas

fenomena ini? Setujukah kamu terhadap pengelolaan sampah dengan cara membakar

sampah? Jelaskan alasanmu!

3. Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat ke empat di dunia. Seiring dengan

peningkatan jumlah penduduk, areal hutan banyak yang berubah fungsi menjadi areal

pemukiman. Bagaimana pendapatmu atas fenomena ini? Berikan jawabanmu disertasi

alasannya!

Lalu, bagaimana mengukur keterampilan berpikir kritis siswa dari jawaban soal tes

esai tersebut? Zubaidah, dkk. (2015) mengembangkan rubrik penilaian untuk asesmen

berpikir kritis terintegrasi jawaban tes esai, dengan landasan indikator FRISCO. Rentangan

skornya adalah 0-5, dengan penilaian rentangan skor 0-2 mengkategorikan bahwa

keterampilan berpikir kritis siswa belum nampak atau masih kurang berkembang, dan

rentangan skor 3-5 mengkategorikan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa sudah mulai

berkembang sampai berkembang dengan baik. Rubrik tersebut dimodifikasi dari Illinois

Critical Thinking Essay Test yang dikembangkan oleh Finken dan Ennis (1993) dengan

format minimal structure. Asesmen yang dimodifikasi ini dapat digunakan untuk menguji

kemampuan berpikir kritis siswa melalui tes esai. Format asesmen ini disusun berdasarkan

berbagai pertimbangan, diantaranya bentuk soal tes yang sering digunakan para pendidik di

Indonesia. Rubrik ini dapat dikembangkan dengan tujuan agar dapat digunakan dengan

mudah, praktis, dan dapat mengakomodasi masing-masing indikator berpikir kritis secara

efektif dan efisien. Adapun rubrik penilaian dan deskriptor berpikir kritis yang dikembangkan

oleh Zubaidah, dkk. (2015) dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 16: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

15

Tabel 5. Rubrik Penilaian dan Deskriptor Berpikir Kritis

Skor Deskriptor

5 Semua konsep benar, jelas dan spesifik

Semua uraian jawaban benar, jelas, dan spesifik, didukung oleh alasan yang kuat,

benar, argumen jelas

Alur berpikir baik, semua konsep saling berkaitan dan terpadu

Tata bahasa baik dan benar

Semua aspek nampak, bukti baik dan seimbang

4 Sebagian besar konsep benar, jelas namun kurang spesifik

Sebagian besar uraian jawaban benar, jelas, namun kurang spesifik

Alur berpikir baik, sebagian besar konsep saling berkaitan dan terpadu

Tata bahasa baik dan benar, ada kesalahan kecil

Semua aspek nampak, namun belum seimbang

3 Sebagian kecil konsep benar dan jelas

Sebagian kecil uraian jawaban benar dan jelas namun alasan dan argumen tidak jelas

Alur berpikir cukup baik, sebagian kecil saling berkaitan

Tata bahasa cukup baik, ada kesalahan pada ejaan

Sebagian besar aspek yang nampak benar

2 Konsep kurang fokus atau berlebihan atau meragukan

Uraian jawaban tidak mendukung

Alur berpikir kurang baik, konsep tidak saling berkaitan

Tata bahasa baik, kalimat tidak lengkap

Sebagian kecil aspek yang nampak benar

1 Semua konsep tidak benar atau tidak mencukupi

Alasan tidak benar

Alur berpikir tidak baik

Tata bahasa tidak baik

Secara keseluruhan aspek tidak mencukupi

0 Tidak ada jawaban atau jawaban salah (Sumber: Zubaidah, dkk., 2015 hasil modifikasi dari Finken & Ennis, 1993)

PENUTUP Saat ini permasalahan lingkungan merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh

Indonesia dan negara lain di dunia. Permasalahan lingkungan yang terjadi di Indonesia

misalnya pencemaran udara, tanah, air, illegal logging, dan berkurangnya biodiversitas. Laju

deforestasi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, mengakibatkan hilangnya habitat

alami dan ancaman kepunahan pada sejumlah besar flora maupun fauna. Tidak hanya hutan,

permasalahan juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove dan terumbu karang.

Permasalahan lingkungan diperparah oleh kurangnya kesadaran dan kepedulian

masyarakat akan pentingnya konservasi. Pemanfaatan sumber daya alam yang kurang

memperhatikan aspek kelestarian, hingga lemahnya sistem tata kelola menyebabkan

permasalahan tersebut masih belum terpecahkan secara tuntas. Berbagai permasalahan

lingkungan tersebut berdampak pada setiap orang, sehingga masing-masing harus siap

dengan strategi pemecahan masalah yang sesuai.

Kemampuan memecahkan masalah merupakan keterampilan penting yang mencirikan

kualitas sumber daya manusia. Siswa Indonesia hendaknya sudah dipersiapkan dan dibekali

dengan keterampilan memecahkan masalah. Pemecahan masalah berkaitan erat dengan

keterampilan berpikir kritis dan dapat diberdayakan melalui penerapan model-model

pembelajaran kontekstual. Model-model pembelajaran yang berkaitan dengan pemecahan

masalah misalnya Problem Based Learning (PBL), Creative Problem Solving (CPS), dan

Page 17: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

16

macam-macam Inquiry, termasuk Differentiated Science Inquiry (DSI). Model-model

tersebut menggunakan pertanyaan sebagai komponen penggerak pembelajaran. Pertanyaan

tersebut memuat permasalahan sehari-hari atau dunia nyata yang harus dicari solusinya.

Proses belajar siswa dalam strategi PBL, CPS, dan inkuiri diyakini dapat melatih siswa

mengembangkan keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, hingga kemampuan

bekerja sama atau berkolaborasi.

Melalui pembelajaran Biologi yang melatih keterampilan-keterampilan tersebut,

diharapkan dapat membentuk siswa-siswa yang terampil memecahkan masalah berkaitan

dengan konservasi lingkungan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

DAFTAR RUJUKAN Andrini, V. S. (2016). The Effectiveness of Inquiry Learning Method to Enhance Students’ Learning Outcome:

A Theoritical and Empirical Review.Journal of Education and Practice, 7 (3), 38-42.

Berns, R. G. & Erickson, P. M. (2001). Contextual teaching and learning: Preparing students for the new

economy. The Highlight Zone: Research @ Work, 5: 1-9.

Bianchi, H. & Bell, R. (2008). The Many Levels of Inquiry. Science and Children, 70(7), 26-29.

Bingham, A. (1983). Developing problem solving in children. Istanbul: M.E.B. Press.

Creative Education Foundation (2015).Creative problem solving resource guide. (Online). Tersedia di

www.creativeeducationfoundation.org

Dogru, M. (2008). The application of problem solving method on science teacher trainees on the solution of the

environmental problems. Journal of Environmental & Science Education, 3(1), 9 – 18.

Ennis, R.H. (1993). Critical Thinking Assessment. College of Education, 32 (3): 179-184.

Ennis, R.H. (2001). Argument Appraisal Strategy: A Comprehensive Approach. Informal Logic, 21.2(2): 97-

140.

Ennis, R.H. (2013). The Nature of critical thinking: Outlines of general critical thinking dispositions and

abilities. (Online). Tersedia di http://www.criticalthinking. net/longdefinition.html.

Finken &Ennis. (1993). Illinois Critical Thinking Essay Test. Illinois Critical Thinking Project. Departement of

Educational Policy Studies University of Illinois. (Online). Tersedia di

http://www.criticalthinking.net/IllCTEssayTestFinken-Ennis12-1993LowR.pdf

Fisher R. (1998). Teaching Thinking: Philosophical Enquiry in the Classroom. London: Cassell.

Friedrichsen, P.M. (2001). A Biology course for prospective elementary teachers. Journal The American

Biology Teacher, 63(8), 562-568.

Fuad, N. M. 2017.Pengaruh Model Differentiated Science Inquiry dipadu Mind Map terhadap Hasil Belajar,

Keterampilan Berpikir Kritis, dan Kreatif ditinjau dari Gender pada Siswa SMPN di Kabupaten

Kediri. Pascasarjana Universitas Negeri Malang: Malang. Disertasi tidak diterbitkan.

Fuad, N. M., Zubaidah, S., Mahanal, S., & Suarsini, E. (2017). Improving junior high schools’ critical thinking

skills based on test three different models of learning. International Journal of Instruction, 10(1), 101-

116.

Greeno, J.G. (1978). Natures of problem solving abilities. NewJersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.

Gulo,W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:Grasindo

Hernowo. (2005). Pembelajaran kontekstual. Bandung : Alfabeta

Isaksen, S. G. (1995). On the conceptual foundations of creative problem solving: Aresponse to Magyari-Beck”.

Journal of Creativity and Innovation Management, 4(1), 52-63.

Isaksen, S.G dan Treffinger, D.J. (1985). Creative Problem Solving: The Basic Course.

Buffalo, New York: Bearly Limited.

Johnson, D.W. (2002). Meaningful Assessment A Manageable and Cooperative Process. USA: Allyn and

Bacon.

Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and learning :what it is and why it is here to stay.

London:Routledge Falmer.

Jones, B.F., Rasmussen, C.M.,& Moffitt, M.C. (1996). Real-life problem solving: A collaborative approach to

interdisciplinary learning. Washington, DC: American Psychological Association.

Keselman, A. (2003). Supporting inquiry learning by promoting normative understanding of multivariable

causality. Journal of Research in Science Teaching, 40, 898–921.

Ketter, C. T. & Arnold, J. (2003). Implementing contextual teaching and learning: Case study of Nancy a High

School Science Novice Teacher. Final Report. Georgia: Department of Education at University of

Georgia.

Krulik, S. & Rudnick, J.A. 1999). Innovative Task to improve Critical and Creative Thinking Skills. Reston:

National Council of Teachers of Mathematics.

Page 18: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN … · Conference Paper · May 2017 CITATIONS 0 ... kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang ... mendengarkan penjelasan

17

Lavole, R. (1993). The development, theory, application of a cognitive - network model of prediction in

problem solving in biology.Journal of Research in Science Teaching, 30, 767-795

Llewellyn, D. (2002). Inquire Within: Implementing Inquiry-Based Science Standards. Thousand Oaks: Corwin

Press,Inc.

Mayer,R.E.&Wittrock M. C. (1996). Problem solving transfer. Handbook of Educational Psychology: New

York

Meyers, C. (1986). Teaching students to think critically. San Franscisco: Jossey-Bass Publishers.

Mitchell, W.E &Kowalik, T.F. (1999). Creative Problem Solving. NUCEA:Genigraphict Inc.

National Research Council (1996). National science education standards. Washington DC: National Academies

Press.

Noller, R. B. (1977). Scratching the surface of creative problem-solving: A bird's eye view of CPS. New York:

D.O.K.

Nur, M. & Wikandari, P.R. (2008). Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam

Pengajaran. Surabaya: PSMS.

Olson, S. & Horsley, S.L. (2000). Inquiry and The National Science Education Standards, A Guide for Teaching

and Learning. Washington: National Academies Press.

Page, D. & Mukherjee, A. (2006). Using negotiation excercises to promote critical thinking skills. Business

Simulation and Experimental Learning, 30(1): 71-78.

Pedaste, M., Maeots, M., Leijen, A., & Sarapuu, S. (2012). Improving students’ inquiry skills through reflection

and self-regulation scaffolds. Technology, Instruction, Cognition and Learning, 9, 81–95.

Pepkin, K. L. (2000). Creative problem solving in math. (Online). Tersedia

dihttp://hti.math.uh.edu/curriculum/units/2000/02/00.02.04.pdf.

Proulx, G. (2004). Integrating Scientific Method & Critical Thinking in Classroom Debates on Environmental

Issues. The American Biology Teacher, 66(1):1-10.

Santrock, J.W. (2011). Educational Psychology. New York: McGraw Hill.

Savery, J.R. (2006). Overview of problem based learning: definitions and distinctions. The Interdiciplinary

Journal of Problem-based Learning. Vol. 1, No. 1.

Schafersman, S.D. (1991). An Introduction to Critical Thinking. (Online). Tersedia di

http://www.freeinquiry.com/critical-thinking.html.

Simsek, P. & Kabapinar, F. (2010). The effects of inquiry-based learning on elementary students’ conceptual

understanding of matter, scientific process skills and science attitudes. Procedia Social and Behavioral

Sciences 2 (2010), 1190–1194.

Siu, M. (1999). New roles for design teachers. Education Today,49(1), 25-30.

Sonmez, D. and Lee, H. (2003). Problem-based learning in science. ERIC DIGEST. May. http://www.ericse.org.

Stein, J. (2003). Evaluation of An Exercise Based Treatment for Children with Reading Difficulties. Dyslexia, 9:

124-126.

Steiner, G. (2009). The Concept of open creativity: Collaborative creative problemsolving for innovation

generation-a systems approach. Journal of Businessand Management, 15(1), 5-33.

Stone, G. L.& Lucas, J. (1994). Disciplinary counseling in higher education: A neglected challenge. Journal of

Counseling & Development, 72, 234–238.

Thaiposrii, P & Wannapiroon, P. (2015). Enhancing students’ critical thinking skills through teaching and

learning by inquiry-based learning activities using social network and cloud computing. Procedia -

Social and Behavioral Sciences 174 ( 2015 ), 2137 – 2144.

Torp, L. and Sage, S. (2002). Problems as Possibilities: Problem-based Learning for K-16 Education.

Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development.

Trilling, B.& Fadel, C. (2009). 21st Century Learning Skills. San Francisco, CA: John Wiley & Sons

Türer, C. (1992). Developing problem solving skill with training. Symposium of seeks in education, developing

quality in education, Culture College Edition, Ankara.

Walker, G. (2005). Critical thinking in asynchronous discussions. International Journal of Instructional

Technology and Distance Learning,2(6).

Zubaidah, S. (2016). Keterampilan Abad ke-21: Keterampilan yang Diajarkan melalui Pembelajaran. Seminar

Nasional Pendidikan dengan tema “Isu-isu Strategis Pembelajaran MIPA Abad 21 di Program Studi

Pendidikan Biologi STKIP Persada Khatulistiwa, Sintang – Kalimantan Barat, 10 Desember 2016.

Zubaidah, S., Corebima, A.D., & Mistianah. (2015). Asesmen Berpikir Kritis Terintegrasi Tes Essay. Prosiding

Simposium on Biology Education, Jurusan Biologi FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 4-5

April 2015.

Zubaidah, S., Yuliati, L., & Mahanal, S. (2013). Model dan Metode Pembelajaran SMP IPA. Malang: UM

Press.

View publication statsView publication stats


Recommended