Date post: | 22-Mar-2019 |
Category: |
Documents |
Upload: | phungnguyet |
View: | 221 times |
Download: | 1 times |
Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:https://www.researchgate.net/publication/318013668
PEMBELAJARANKONTEKSTUALBERBASISPEMECAHANMASALAHUNTUKMENGEMBANGKANKEMAMPUANBERPIKIR...
ConferencePaper·May2017
CITATIONS
0
READS
52
1author:
Someoftheauthorsofthispublicationarealsoworkingontheserelatedprojects:
GeneticsmappingonlocalricevarietiesViewproject
ScientificInquiryinLectureViewproject
SitiZubaidah
UniversitasNegeriMalang,Malang,Indonesia
43PUBLICATIONS6CITATIONS
SEEPROFILE
AllcontentfollowingthispagewasuploadedbySitiZubaidahon29June2017.
Theuserhasrequestedenhancementofthedownloadedfile.
1
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN MASALAH UNTUK
MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS1
Siti Zubaidah
Jurusan Biologi – FMIPA – Universitas Negeri Malang (UM)
Abstrak
Permasalahan lingkungan merupakan isu penting yang sedang dihadapi dunia, termasuk
Indonesia. Sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan biodiversitas tertinggi,
ancaman kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam merupakan hal yang
harus segera dicari solusinya. Kesadaran terhadap pentingnya konservasi harus ditanamkan
pada setiap sumber daya manusia, termasuk siswa. Pembelajaran Biologi dapat berperan
dalam mencapai hal ini, yaitu dengan memberdayakan keterampilan berpikir kritis dan
kemampuan memecahkan masalah. Keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah
pada siswa dapat dilatih melalui penerapan model pembelajaran kontekstual. Beberapa model
pembelajaran yang diuraikan dalam tulisan ini antara lain Problem Based Learning (PBL),
Creative Problem Solving (CPS), dan Inquiry. Ketiga model pembelajaran tersebut
menggunakan pertanyaan mengenai permasalahan yang terjadi di dunia nyata sebagai
komponen utama pembelajaran. Melalui penerapan model berbasis pemecahan masalah,
diharapkan siswa dapat berkembang menjadi warga masyarakat yang mampu menjadi bagian
dalam solusi permasalahan lingkungan di Indonesia.
Kata Kunci: keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, pendidikan berwawasan
konservasi, problem based learning, creative problem solving, inquiry.
PENDAHULUAN
Jika Anda memberi seseorang seekor ikan, dia makan ikan hari itu juga, namun jika Anda
mengajarinya bagaimana mendapatkan ikan, dia makan ikan sepanjang hidupnya - Pepatah
Cina
Sebagai bagian dari masyarakat, siswa tidak terlepas dari segala permasalahan baik
permasalahan di dalam keluarga, masyarakat sekitar, dan juga masalah lingkungan. Masalah
yang terjadi di lingkungan saat ini merupakan permasalahan global, yang dampaknya
dirasakan oleh semua makhluk hidup di bumi. Indonesia sebagai salah satu negara dengan
keanekaragaman hayati tertinggi di dunia menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan
lingkungan seperti pencemaran udara, air, tanah, illegal logging, dan permasalahan
lingkungan lainnya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Time pada tahun 2014, Indonesia
merupakan negara dengan laju penggundulan hutan (deforestation rate) tertinggi di dunia.
Sekitar 840.000 hektar hutan di Indonesia telah hilang pada tahun 2012, dan semakin
meningkat hingga tahun 2014. Hilangnya hutan juga disebabkan oleh pembukaan lahan untuk
perkebunan kelapa sawit. Tahun 2015 merupakan tahun ketika kebakaran hutan terbesar
terjadi di Indonesia, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bahkan lebih besar dibanding
1 Disampaikan pada Seminar Nasional dengan Tema Mengimplementasikan Pendidikan Biologi Berwawasan
Konservasi dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia yang Berkarakter pada Tanggal 6 Mei 2017 di
Universitas Muhammadiyah Makassar
2
negara industri seperti Jerman dan Jepang, menghanguskan hutan seluas wilayah
Massachusets dan menyebabkan hilangnya habitat orang utan dan harimau. Selain mematikan
banyak hewan, asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan juga menyebabkan terbentuknya
smog (kabut asap) yang mengganggu kesehatan masyarakat sekitar Indonesia, Malaysia, dan
Singapura. Kejadian ini bahkan menewaskan hingga 100.000 orang.
Selain hutan di daratan, kerusakan juga terjadi pada terumbu karang. Berdasarkan
data BPSPL Denpasar pada bulan April 2016, tingkat pemutihan karang (coral bleaching) di
perairan Indonesia termasuk tinggi. Terumbu karang yang terancam mengalami kerusakan
sudah menyebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Sekitar 51% dari keseluruhan koral
sudah mengalami pemutihan dengan laju lebih tinggi dari normal, dan yang sudah mengalami
kematian akibat pemutihan sudah mencapai 4%. Kerusakan koral bahkan juga terjadi di
Taman Nasional, dan yang tertinggi dialami koraldi TN Karimun Jawa sebesar 41,61%.
Selain pada terumbu karang, kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia yang
terus-menerus menyusut akibat kegiatan konversi menjadi lahan tambak. Degradasi hutan
mangrove terjadi dalam laju yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar per tahun.
Kerusakan lingkungan yang terjadi diperparah oleh kesadaran masyarakat yang
rendah mengenai konservasi lingkungan. Faktor kesadaran manusia yang masih rendah dalam
konservasi lingkungan ditunjukkan dengan masih adanya pemanfaatan sumber daya secara
berlebihan, perburuan dan perdagangan ilegal, konversi habitat alami untuk kepentingan
manusia, monokulturisme dalam budidaya, serta kemiskinan dan keserakahan. Selain itu,
faktor lain yang turut berperan adalah penggunaan teknologi yang tidak tepat dan tata kelola
yang belum baik. Tata kelola yang kurang baik ini mencakup kebijakan yang eksploitatif,
sistem kelembagaan dan penegakan hukum yang masih lemah.
Pendidikan sebagai wahana pembentuk karakter bangsa memiliki peran penting dalam
upaya mengajak siswa dan membentuk sikap siswa untuk peka terhadap permasalahan yang
ada. Permasalah yang paling dekat disekitar kita misalnya masalah lingkungan. Siswa
seharusnya dibekali keterampilan untuk mampu memecahkan permasalahan yang ada.
Keterampilan ini mencakup keterampilan identifikasi, mencari, memilih, mengevaluasi,
mengorganisir, dan mempertimbangkan berbagai alternatif dan menafsirkan dari berbagai
masalah di sekitarnya. Siswa harus mampu mencari berbagai solusi dari sudut pandang yang
berbeda-beda atas beberapa masalah yang kompleks. Pemecahan masalah memerlukan
kerjasama tim, kolaborasi efektif dan kreatif dari guru dan siswa, serta dapat
melibatkan teknologi sederhana dalam penanganan masalah tersebut.
Pemecahan masalah tidak dapat dilepaskan dari keterampilan berpikir kritis karena
keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan fundamental dalam memecahkan
masalah. Siswa juga harus mampu menerapkan alat dan teknik yang tepat secara efektif dan
efisien untuk menyelesaikan permasalahan. Beberapa keterampilan yang diperlukan untuk
memecahkan masalah meliputi keterampilan berkomunikasi yang mencakup mendengarkan,
berbicara di depan umum, dan menulis; keterampilan investigasi yang mencakup merancang
penelitian, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisis data, keterampilan bekerja
dalam kelompok; serta kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan kerjasama.
KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
Kata kritis berasal dari bahasa Yunani yaitu kritikos dan kriterion (Paul, dkk., 1997).
Kata kritikos berarti ‘pertimbangan’ sedangkan kriterion mengandung makna ‘ukuran baku’
atau ‘standar’. Secara etimologi, kata ’kritis’ mengandung makna ‘pertimbangan yang
didasarkan pada suatu ukuran baku atau standar’. Johnson (2002) menjelaskan bahwa
berpikir kritis adalah aktivitas mental untuk merumuskan atau memecahkan masalah,
mengambil keputusan, memahami hal tertentu, menemukan jawaban untuk pertanyaan, dan
menemukan jawaban yang relevan. Krulik dan Rudnick (1999) menyatakan bahwa
3
kemampuan berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Secara etimologi
berpikir kritis mengandung makna suatu kegiatan mental yang dilakukan seseorang untuk
dapat memberi pertimbangan dengan menggunakan ukuran atau standar tertentu (Zubaidah,
dkk., 2015).
Definisi berpikir kritis banyak disampaikan oleh para ahli. Menurut Ennis (2013)
berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang
difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan. Proulx (2004)
mendefinisikan berpikir kritis sebagai sebuah proses menurut langkah-langkah untuk
menganalisis, menguji, dan mengevaluasi argumen. Definisi berpikir kritis menurut Walker
(2006) adalah suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep, mengaplikasikan,
menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil
observasi, pengalaman, refleksi dimana hasil proses ini digunakan sebagai dasar saat
mengambil tindakan. Page dan Mukherjee (2006) menyatakan bahwa berpikir kritis
berhubungan dengan berpikir kognisi tingkat tinggi seperti menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, berpikir kritis merupakan berpikir
yang melibatkan penalaran dan logika untuk menyelesaikan suatu masalah.
Berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan dan
berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan. Para pendidik telah lama menyadari
pentingnya kemampuan berpikir kritis sebagai salah satu output dari proses pembelajaran.
Trilling dan Fadel (2009) menyatakan berpikir kritis adalah salah satu keterampilan kunci
yang diperlukan di abad 21. Partnership for 21st Century Skills telah mengidentifikasi bahwa
berpikir kritis menjadi salah satu dari beberapa kemampuan yang dibutuhkan untuk
menyiapkan siswa pada jenjang pendidikan dan dunia kerja (Zubaidah, dkk., 2015).
Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan dominan yang harus
diajarkan secara eksplisit (Zubaidah, 2016). Keterampilan berpikir kritis perlu dilatihkan
pada siswa melalui pembelajaran terutama sejak jenjang pendidikan dasar (Friedrichsen,
2001). Meyers (1986) juga menyarankan bahwa keterampilan berpikir tidak harus diajarkan
secara terpisah, tetapi dimasukkan dalam proses belajar mengajar dalam mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah-sekolah.
Pembelajaran untuk melatihkan keterampilan berpikir kritis menjadi penting dari
sistem pendidikan nasional (Fuad, dkk., 2017). Hal ini sejalan dengan pendapat Zubaidah,
dkk. (2015) yang menyatakan bahwa berpikir kritis saat ini menjadi salah satu tujuan penting
dari pendidikan. Nur dan Wikandari (2008) juga berpendapat bahwa salah satu tujuan utama
sekolah adalah meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis, membuat keputusan
rasional tentang apa yang diperbuat atau apa yang diyakini. Namun, tidak banyak sekolah
yang mengajarkan siswanya untuk berpikir kritis (Santrock, 2011). Untuk itu, penting sekali
membelajarkan siswa untuk berpikir kritis. Bahkan, Schafersman (1991) menyatakan bahwa
perencanaan pembelajaran IPA oleh guru untuk pengembangan kemampuan berpikir kritis
siswa adalah suatu keharusan.
Menurut Fisher (1998) orang yang berpikir kritis memiliki ciri-ciri yaitu (1) memiliki
tekad melihat sesuatu yang lebih menyeluruh dan rinci, (2) menganalisis ide-ide untuk
mencari penjelasan yang lebih menyeluruh dan rinci, (3) menganalisis ide-ide untuk
menemukan penjelasan yang lebih akurat, dan (4) berpikiran terbuka dan luas. Menurut Ennis
(1996) terdapat 6 unsur dasar dalam berpikir kritis yang disingkat menjadi FRISCO.
Komponen tersebut dijabarkan sebagaimana berikut.
1. F (Focus), memfokuskan pertanyaan atau isu yang ada untuk membuat keputusan tentang
apa yang diyakini.
2. R (Reason), mengetahui alasan-alasan yang mendukung atau menolak putusan-putusan
yang dibuat berdasar situasi dan fakta yang relevan.
4
3. I (Inference), membuat kesimpulan yang beralasan atau meyakinkan. Bagian penting dari
langkah penyimpulan ini adalah mengidentifikasi asumsi dan mencari pemecahan,
pertimbangan dari interpretasi terhadap situasi dan bukti.
4. S (Situation), memahami situasi dan selalu menjaga situasi dalam berpikir untuk
membantu memperjelas pertanyaan (dalam F) dan mengetahui arti istilah-istilah kunci,
bagian-bagian yang relevan sebagai pendukung.
5. C (Clarity), menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan.
6. O (Overview), meninjau kembali dan meneliti secara menyeluruh keputusan yang diambil.
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak siswa di sekolah dan mahasiswa di
perguruan tinggi merasa kesulitan membuat hubungan antara apa yang mereka pelajari dan
bagaimana pengetahuan harus digunakan. Permasalahannya karena guru/dosen cenderung
menggunakan model pembelajaran konvensional “No Name Learning” atau “Anonymous
Learning” (Corebima, 2016). Oleh karena itu, para guru dan dosen harus melakukan upaya
untuk menemukan dan menciptakan model baru sebagai bahan untuk memperkuat,
memperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan siswa dalam berbagai
pengaturan di sekolah dan luar sekolah atau diperguruan tinggi dalam rangka memecahkan
permasalahan nyata di lingkungannya.
Pada kenyataannya, masih banyak guru yang menggunakan pembelajaran
konvensional. Mereka memiliki peran lebih dominan dibandingkan siswa. Siswa hanya
mendengarkan penjelasan dan melakukan tugas dari guru. Akibatnya, para siswa tidak
merasakan proses pembelajaran yang baik. Menurut Ketter dan Arnold (2003) jika guru tidak
mampu memahami terhadap dunia siswa, maka guru tidak akan dapat mengajar mereka
dengan baik. Dengan demikian, guru harus menggunakan pendekatan yang dapat
menciptakan minat siswa dan mengajak siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran,
sehingga mereka berada dalam proses belajar mengajar yang sesungguhnya. Salah satu
pendekatan yang membantu guru menghubungkan isi mata pelajaran dengan situasi dunia
nyata dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi adalah pembelajaran kontekstual.
Pemikiran lain yang mendasari pembelajaran kontekstual yaitu adanya kecenderungan
untuk kembali pada pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan
diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang
dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi
terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali
anak memecahkan persoalan kehidupan jangka panjang. Pendekatan kontekstual adalah
mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia
nyata siswa. Siswa secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang bermakna sehingga
siswa akan mengingat pembelajaran dalam jangka waktu lama.
Pada awalnya, pembelajaran kontekstual berasal dari teori behaviorisme dan kemudian
dilanjutkan dengan teori konstruktivisme. Menurut Berns dan Ericson (2001) teori
behaviorisme yang diusulkan oleh Thorndike yang menyarankan bahwa pembelajaran
dihasilkan dari hubungan yang terbentuk antara stimulus dan respons melalui pemberian
reward. Pada pembelajaran konstruktivisme siswa bisa membangun pengetahuan mereka
sendiri dengan menguji ide-ide berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya,
menerapkan ide-ide ini pada situasi baru dan mengintegrasikan pengetahuan baru yang
diperoleh dengan membangun intelektual yang sudah ada. Teori konstruktivisme
menekankan dalam adanya pergeseran dari peran guru (teacher centered) dalam
pembelajaran kepada peran siswa (student centered).
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru
menghubungkan isi mata pembelajaran dengan situasi nyata siswa dan memotivasi siswa
5
untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam
kehidupan sehari-hari siswa (Berns & Erickson, 2001). Pembelajaran kontekstual adalah
sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran
apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka
menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru
dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Johnson, 2002).
Berdasarkan pengertian tersebut terdapat tiga konsep dasar pembelajaran kontekstual
yaitu: (1) menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi artinya
proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung (2) mendorong agar
siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan
nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di
sekolah dengan kehidupan nyata sehingga materi akan bermakna dan tertanam erat dalam
memori siswa sehingga tidak mudah terlupakan, dan (3) mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan, artinya pembelajaran kontekstual bukan hanya
mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajari akan tetapi bagaimana materi
itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu pendekatan pembelajaran memiliki
prinsip-prinsip ilmiah. Menurut Johnson (2002) ada 3 prinsip dalam pembelajaran
kontekstual, yaitu: saling ketergantungan (interpendence), diferensiasi (differentiation), dan
pengaturan diri (self regulated). Selain itu, pembelajaran kontekstual memiliki komponen
antara lain:
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pada pembelajaran kontekstual. Pada
pembelajaran konstruktivisme proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka melalui keterlibatan aktif selama dalam proses pembelajaran, sehingga siswa
menjadi pusat kegiatan.
2. Inquiry (penyelidikan)
Inquiry merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran yang menggunakan
pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diperoleh
dengan cara menemukan sendiri. Oleh sebab itu proses pembelajaran yang dirancang guru
harus berbentuk kegiatan yang merujuk pada kegiatan penyelidikan. Langkah-langkah
pembelajarannya dimulai dengan merumuskan masalah, mengamati, menganalisis, dan
mengkomunikasikan.
3. Questioning (bertanya)
Questioning merupakan strategi yang utama dalam pendekatan kontekstual.
Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
4. Learning community (masyarakat belajar)
Learning community merupakan salah satu teknik dalam pendekatan kontekstual.
Teknik ini menekankan kerjasama dengan siswa lain. Hasil belajar diperoleh melalui
sharing antar teman, antar kelompok, dan antara siswa yang sudah paham dan yang belum
paham.
5. Modeling (pemodelan)
Pemodelan adalah pembelajaran yang dilakukan dengan menampilkan model yang
bisa dilihat, dirasa, dan bahkan bisa ditiru oleh siswa. Pada kenyataannya, guru bukan
merupakan satu-satunya model. Model dapat didatangkan dari luar sekolah, misalnya
orang tua siswa, tokoh masyarakat, pengusaha, maupun para pakar.
6. Reflection ( refleksi)
Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa
lalu. Refleksi merupakan tanggapan terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang
6
baru diterima. Tujuan dari kegiatan refleksi adalah untuk melihat sudah sejauh mana
pengetahuan yang dibangun sebelumnya dan penting untuk dilakukan di setiap
pembelajaran.
7. Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan
gambaran perkembangan belajar siswa. Kegiatan ini perlu dilakukan guru untuk
mengetahui dan memastikan bahwa siswa telah mengalami proses pembelajaran dengan
benar. Berdasarkan hasil assessment dapat diketahui kesulitan siswa dalam menguasai
kompetensi sehingga guru dapat mengetahui kompetensi yang telah di miliki oleh siswa.
Di sisi lain, Hernowo (2005) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan
pembelajaran kontekstual, yaitu:
1. Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata
pelajaran tersebut.
2. Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang
ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
3. Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan
dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
4. Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk
mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
5. Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang diterimanya
secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar alamiah yang
cocok dengan dirinya.
6. Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka
mengekspresikannya dengan bebas.
7. Bimbing mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga anak
didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa pendekatan kontekstual
bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan
(ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks
lainnya. Dengan transfer diharapkan: (a) siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari
‘pemberian orang lain’; (b) keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang
terbatas (sempit) sedikit demi sedikit; (c) penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan
‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
MACAM MODEL PEMECAHAN MASALAH
Telah banyak definisi yang menjelaskan tentang masalah dan pemecahan masalah.
Masalah adalah kendala yang dihadapi seseorang dalam mencapai suatu tujuan (Bingham,
1983). Masalah adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dan masyarakat untuk
dipecahkan dalam rangka untuk mencapai keberhasilan. Seseorang yang tidak tahu
bagaimana cara mencapai tujuannya dapat dikatakan mengalami masalah. Jika tidak ada
tujuan artinya tidak ada masalah. Dengan kata lain, jika ada keinginan untuk mencapai suatu
tujuan namun menghadapi sebuah kesulitan maka kondisi tersebut disebut dengan masalah
(Turer, 1997).
Menurut Greeno (1978) masalah adalah kesenjangan yang terjadi di dalam pemikiran
(kognitif). Berdasarkan teori pemrosesan informasi, masalah merupakan suatu keadaan ketika
pengetahuan yang tersimpan dalam memori belum siap pakai untuk digunakan dalam
memecahkan masalah.
Berdasarkan segi cara pernyataannya masalah ada yang bersifat kebahasaan
(lingustic), dan masalah yang bersifat bukan-kebahasaan (non-linguistic). Berdasar segi
perumusan, cara menjawab dan kemungkinan jawabannya, masalah dapat dibedakan menjadi
7
masalah yang dibatasi dengan baik (well-defined), dan masalah yang dibatasi tidak dengan
baik (ill-defined). Ada juga yang membedakan menjadi masalah yang well-structured
(distrukturkan dengan baik) dan masalah yang ill-structured (tidak distrukturkan dengan
baik). Demikian juga terdapat banyak pendapat tentang proses pemecahan atas berbagai
macam masalah yang ada tersebut. Ada yang berpendapat bahwa proses pemecahan atas
masalah yang well defined maupun yang ill-defined sama, namun ada juga yang berpendapat
bahwa proses pemecahan kedua jenis masalah tersebut berbeda.
Pemecahan masalah mencakup integrasi konsep dan keterampilan untuk mendapatkan
sesuatu yang lebih dari situasi yang tidak biasa (Stones& Lucas, 1994). Pemecahan masalah
berarti menemukan atau menciptakan solusi baru untuk masalah atau untuk menerapkan
aturan baru yang akan dipelajari (Mayer & Wittrock, 1996). Pemecahan masalah adalah cara
penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk
dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan atau jawaban oleh siswa.
Trend di abad 21 lebih berfokus pada spesialisasi tertentu. Salah satu spesialisasi yang
paling penting adalah pemecahan masalah (Dogru, 2008). Pemecahan masalah bukanlah
sekedar berhubungan dengan mental saja, akan tetapi mencakup beberapa sikap dan nilai-
nilai tertentu. Spesialisasi ini, adalah target utama dari pembelajaran guna membekali
individu untuk mengatasi berbagai permasalahan dunia dan lingkungan, menjadi kreatif dan
memberikan fleksibilitas untuk mengubah/mengendalikan lingkungan dan diperlukan sistem
pembelajaran tertentu untuk meningkatkannya melalui berbagai cara (Aksu, dkk., 1990). Saat
ini, paradigma pembelajaran berubah dari pembelajaran tradisional menuju pembelajaran
yang efektif; dari berpusat pada guru menjadi terpusat kepada siswa; dari yang program
pendidikan yang telah ditentukan secara ketat menjadi pengalaman belajar yang fleksibel dan
berbeda; dari pembelajaran pada seluruh menjadi kelompok kecil atau pembelajaran
individual (Siu, 1999). Terdapat beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan untuk
pemecahan masalah, di antaranya Problem Based Learning (PBL), Creative Problem Solving
(CPS), dan Inquiry.
1. Problem Based Learning (PBL)
Sejumlah ahli telah mengemukakan definisi PBL. Torp dan Sage (2002)
mendefinisikan PBL sebagai pembelajaran yang terfokus, terorganisasi dalam penyelidikan
dan penemuan masalah-masalah nyata. Sonmez dan Lee (2003) mendefinisikan PBL sebagai
metode pembelajaran yang menantang siswa untuk mencari pemecahan masalah dalam dunia
nyata (permasalahan ‘terbuka’), secara mandiri atau dalam kelompok. Savery (2006)
menyatakan bahwa PBL adalah metode yang menekankan pada pembelajaran berbasis
student-centered, yang dapat memberdayakan siswa untuk melakukan penyelidikan,
mengintegrasikan teori dan praktik, menerapkan pengetahuan dan ketrampilannya untuk
mengembangkan penemuan solusi atau pemecahan terhadap masalah tertentu.
PBL merupakan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai
konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan memecahkan
masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan konsep yang esensial dari materi pelajaran
(Jones, dkk., 1996). PBL dikenal pula sebagai Experience Based Education, Authentic
Learning, dan Anchored Instruction. Dasar teoritis yang melandasi PBL antara lain: (1) teori
belajar konstrukstivisme-kognitif (Piaget dan Vygotsky), (2) kelas demokrasi (John Dewey),
(3) zone of proximal development (Vygotsky), (4) scaffolding dan pembelajaran penemuan
(Bruner).
Savery (2006) menyebutkan beberapa ciri penting PBL, di antaranya sebagai berikut.
a. Siswa harus mempunyai tanggung jawab terhadap pengetahuannya sendiri.
b. Permasalahan dalam PBL sebaiknya bersifat tidak tentu (ill-structured) dan
memungkinkan untuk berinkuiri secara bebas.
8
c. Pembelajaran sebaiknya diintegrasikan dengan topik atau disiplin ilmu lain.
d. Menekankan pada kerjasama siswa.
e. Apa yang telah dipelajari siswa selama belajar mandiri harus diaplikasikan kembali untuk
menganalisis dan memecahkan masalah.
f. Sangat penting diadakan kegiatan analisis akhir dari apa yang telah dipelajari terhadap
suatu masalah dan adanya diskusi terhadap konsep dan prinsip yang telah dipelajari.
g. Hendaknya PBL juga disertai asesmen pribadi dan antar teman.
h. Aktivitas dalam PBL hendaknya bernilai dalam kehidupan nyata.
i. Asesmen hendaknya mengukur perkembangan siswa sesuai tujuan PBL.
j. PBL semestinya merupakan dasar pembelajaran dalam kurikulum, dan bukan merupakan
bagian dari kurikulum pembelajaran.
Sintaks model PBL dapat dilihat pada Tabel 1. Model PBL sebagaimana model
pembelajaran pada umumnya memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan PBL antara lain
berikut ini.
1. Pembelajaran yang bagus untuk lebih memahami materi.
2. Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menentukan
pengetahuan baru bagi siswa.
3. Meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
4. Membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami dan
memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.
5. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan menyesuaikan dengan
pengetahuan baru.
6. Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar.
Adapun kelemahan PBL antara lain berikut ini.
1. Manakala siswa memiliki kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk
dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan mencoba.
2. Keberhasilan pembelajaran melalui pemecahan masalah membutuhkan cukup waktu untuk
persiapan.
3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang
dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Tabel 1. Sintaks Model PBL
Fase Indikator Aktifitas / Kegiatan Guru
1 Orientasi siswa kepada
masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik
yang diperlukan, pengajuan masalah, memotivasi siswa
terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
2 Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah tersebut.
3 Membimbing
penyelidikan individual
maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapat penjelasan
pemecahan masalah.
4 Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan, video, model dan
membantu mereka untuk berbagai tugas dengan
kelompoknya.
5 Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan mereka dalam proses-proses yang
mereka gunakan.
9
2. Creative Problem Solving (CPS)
Creative Problem Solving (CPS) adalah model pembelajaran yang telah terbukti untuk
mendekati suatu masalah atau tantangan dengan cara yang imajinatif dan inovatif. Model ini
membantu siswa mendefinisikan kembali masalah dan peluang yang dihadapi, memberikan
solusi dan tanggapan secara inovatif untuk kemudian mengambil suatu tindakan (CEF, 2015).
Noller (1977) menjelaskan CPS sebagai gabungan dari kata Creative (adanya unsur kebaruan
dan inovasi), Problem (mengacu pada setiap situasi yang menyajikan tantangan, menawarkan
kesempatan, dan merupakan suatu permasalahan yang mengganggu), dan Solving (merancang
cara untuk menjawab, untuk bertemu, atau untuk menyelesaikan suatu situasi). Menurut
Pepkin (2000) CPS adalah suatu pembelajaran yang memusatkan pada pengajaran dan
keterampilan pemecahan masalah yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Sehingga
ketika dihadapkan pada pertanyaan esai, siswa dapat memilih dan mengembangkan
tanggapannya. Tidak seperti menghafal, CPS mampu memperluas keterampilan berpikir. CPS
tidak hanya sekadar pemecahan masalah. Aspek kreatif sangat dibutuhkan dalam CPS.
Sintaks pembelajaran CPS menurut Pepkins (2000) dapat dilihat pada Tabel 2, dan Alur
berpikir CPS menurut Isaksen & Treffinger (1985) dapat dilihat pada Gambar 1.
Menurut Steiner (2009) terdapat beberapa karakteristik CPS, antara lain sebagai
berikut.
1. Penyelesaian suatu problem dimulai dari proses recursive (pengulangan),
revised (peninjauan kembali), dan redefined (pendefinisian ulang).
2. Memerlukan proses berpikir divergen dan konvergen.
3. Menggagas suatu pemikiran yang bersifat prediktif serta dapat merangsang ke tahap
berpikir logis selanjutnya.
Adapun pola berpikir konvergen yang efektif yang direkomendasikan oleh Mitchel
dan Kowalik (1999) adalah sebagai berikut.
1. Tenang (tidak tergesa-gesa) dan berhati-hati.
2. Eksplisit (tegas dan jelas).
3. Menghindari keputusan yang terlalu dini.
4. Mencari kejelasan.
5. Membangun kebenaran afirmatif.
6. Jangan menyimpang dari tujuan.
Tabel 2. Sintaks Model Pembelajaran CPS
No Fase Kegiatan
1 Klarifikasi
Masalah
Pada tahap ini dilakukan klarifikasimasalah oleh guru dan siswa. Pada
proses ini harus dipastikan bahwa seluruh siswa memahami solusi dari
masalah yang sedang dicari. Proses ini juga termasuk menelaah kriteria
kesuksesan dalam proses penyelesaian masalah.
2 Brainstorming Pada tahap ini dilakukan penyusunan ide oleh guru dan siswa. Pada proses
ini, siswa menyusun ide sebanyak mungkin. Penyusunan ide dilakukan
untuk mendukung kebenaran konsep yang diyakini sehingga diperoleh
solusi yang terbaik.
3 Evaluasi dan
Pemilihan
Pada tahap ini dilakukan evaluasi dan pemilihan ide-ide yang telah disusun
selama proses brainstorming. Pada proses ini siswa mengevaluasi,
memodifikasi, dan mengeliminasi setiap ide yang merupakan produk dari
brainstorming untuk mengambil satu keputusan.
4 Implementasi Pada tahap ini siswa dan guru mengembangkan sebuah rencana untuk
mengimplementasikan satu keputusan yang diambil pada saat proses
evaluasi dan pemilihan.
10
Problem Sensitivity
Divergent Phase
Convergent Phase
Experiences, roles and
situations are searched
for mess... Openness to
experience, exploring
opportunities.
OBJECTIVE
FINDING
Challenge is accepted and
systematic efforts
undertaken to respond to it
Data are gathered: the situation
is examined
from many different viewpoints;
information, impressions,
feelings, etc. are collected
FACT
FINDING
Most important data are identified
and analyzed
Many possible statement of
problems and sub problems are
gathered
PROBLEM
FINDING
A working problem statement I
choosen
Many alternatives and
possibilities for responding to
the problem statement are
developed and listed.
IDEA
FINDING
Ideas that seem most promising
or interesting are selected
Many possible criteria are
formulated for reviewing and
evaluating ideas.
SOLUTION
FINDING
Several important criteria are
selected to evaluate ideas. Criteria
are used to evaluate, strengthen,
and refine ideas.
Possible sources of assistance
and resistance are considered ;
potential implementation steps
are identified
ACCEPTANCE
FINDING
Most promising solutions are
focused and prepared for action.;
Specific plans are formulated to
implement solution.
Gambar 1. Alur Proses Berpikir CPS
3. Inquiry
Inkuiri adalah pembelajaran yang melatih siswa untuk belajar menemukan masalah,
mengumpulkan, mengorganisasi, dan memanipulasi data serta memecahkan masalah.
Pembelajaran berbasis inkuiri melibatkan siswa dalam penyelidikan IPA melalui
New Challenges
11
pengalaman nyata. Pada pembelajaran berbasis inkuiri, siswa diikutsertakan dalam
pertanyaan-pertanyaan berorientasi ilmiah (scientifically oriented questions), mengutamakan
fakta dalam merespon pertanyaan, menyusun penjelasan dari fakta, menghubungkan
penjelasan terhadap pengetahuan ilmiah, serta mengomunikasikan dan mempertimbangkan
penjelasan yang dikemukakannya (NRC, 2000).
Inquiry adalah pembelajaran yang melibatkan siswa melakukan pengamatan,
mengajukan pertanyaan, merencanakan investigasi, meninjau bukti, mengajukan jawaban,
menjelasan, melakukan prediksi; dan mengomunikasikan hasil. Kegiatan inkuiri tersebut
membutuhkan identifikasi asumsi, berpikir kritis dan logis, dan pertimbangan penjelasan
alternatif (NRC, 1996). Keselman (2003) menjelaskan Inquiry sebagai suatu strategi
pembelajaran dimana siswa mengikuti metode dan praktik yang serupa dengan metode
profesional Ilmuwan dalam rangka membangun pengetahuan. Terkait hal ini, siswa
merumuskan hipotesis dan mengujinya dengan melakukan eksperimen dan / atau melakukan
pengamatan (Pedastee dkk, 2012). Pembelajaran inquiry menuntut siswa menggunakan
keterampilan proses ilmiah selama penyelidikan (Simsek & Kabapinar, 2010).
Aspek terpenting dalam pembelajaran berbasis inkuiri adalah pertanyaan. Menurut
Hebrank (Rustaman, 2005), inkuiri merupakan seni bertanya tentang gejala alam dan
menemukan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kemampuan bertanya ini
sangat penting bagi calon guru karena melalui pertanyaan calon guru dapat melaksanakan
pembelajaran inkuiri dan menerapkannya dalam pembelajaran di sekolah. Kegiatan yang
dilakukan dalam pembelajaran inkuiri melibatkan kegiatan keterampilan proses IPA, yaitu
melakukan observasi, membuat hipotesis, mengumpulkan data, melakukan eksperimen,
membuat kesimpulan dan sebagainya.
Pembelajaran berbasis inkuiri memiliki karakteristik tertentu. Pertama, siswa diikut
sertakan dengan pertanyaan-pertanyaan ilmiah, peristiwa atau gejala alam. Hal ini
dihubungkan dengan pengetahuan awal siswa, menciptakan disonansi dengan gagasan siswa,
dan/atau memotivasi siswa untuk belajar lebih banyak lagi. Kedua, siswa mengeksplorasi
gagasan melalui hands-on experiences, menyusun dan menguji hipotesis, pemecahan
masalah, dan membuat penjelasan untuk hal-hal yang telah mereka amati. Ketiga, siswa
menganalisis dan menginterpretasi data, mensintesis gagasan mereka, membangun model,
dan mengklarifikasi konsep dan penjelasan bersama guru dan sumber-sumber lain. Keempat,
siswa memperluas pemahaman dan kemampuan baru mereka, dan menerapkan apa yang telah
dipelajari dalam situasi baru. Kelima, siswa bersama guru, mereview dan menilai apa yang
telah dipelajari dan bagaimana mereka mempelajari hal tersebut (NRC, 2000:46).
Terdapat berbagai pendapat tentang macam inkuiri. Berdasarkan tingkatannya,
Bianchi dan Bell (2008) mengklasifikasikan inkuiri menjadi empat macam yaitu inkuri
konfirmasi (confirmation inquiri), inkuiri terstruktur (structured inquiry), inkuiri terbimbing
(guided inquiry), dan inkuiri terbuka (open inquiry).
1. Inkuiri konfirmasi (confirmation inquiri)
Pada inkuiri konfirmasi, siswa diberi pertanyaan dan prosedur (metode), dan hasilnya
telah diketahui sebelumnya. Guru dapat menggunakan inkuiri konfirmasi apabila tujuan guru
untuk memperkuat ide yang diperkenalkan, keterampilan investigasi spesifik sudah
dipraktekkan oleh siswa, seperti mengumpulkan dan merekam data.
2. Inkuiri terstruktur (structured inquiry)
Pada inkuiri terstruktur, guru masih menyediakan pertanyaan dan prosedur. Namun, siswa
menghasilkan penjelasan yang didukung oleh bukti yang telah mereka kumpulkan. Inkuiri
terstruktur penting diterapkan di pendidikan tingkat dasar karena secara bertahap dapat
membantu siswa mengembangkan kemampuan melakukan inkuiri ke jenjang yang lebih
tinggi yaitu inkuiri terbuka.
12
3. Inkuiri terbimbing (guided inquiry)
Pada inkuiri terbimbing, siswa menyelidiki pertanyaan yang disajikan guru dengan
menggunakan prosedur yang dirancang siswa. Peran guru tidak berarti pasif, karena siswa
memerlukan bimbingan guru untuk mengetahui apakah rancangan eksperimennya sudah
benar.
4. Inkuiri terbuka (open inquiry)
Pada inkuiri terbuka, siswa merumuskan masalah penyelidikan, merancang dan
melakukan penyelidikan dan mengkomunikasikan hasilnya. Dalam memahami inquiri tingkat
ini membutuhkan penalaran ilmiah dan ranah kognitif tinggi dari siswa.
Llewellyn (2013) mengenalkan model Differentiated Science Inquiry (DSI). Model
pembelajaran DSI merupakan pengembangan dari Differentiated Instruction (DI). Pada
pembelajaran DSI, kelas dibagi menjadi 4 grup berdasarkan urutan kemampuan siswa, dari
siswa dengan kemampuan rendah sampai siswa dengan kemampuan tinggi. Level 1
(demonstrated inquiry), pada level ini guru menyediakan permasalahan, perencanaan
prosedur, dan menganalisis hasil. Level 2 (structured inquiry), pada level ini guru berperan
dalam hal menyediakan permasalahan dan perencanaan prosedur, sedangkan yang
menganalisis hasil adalah siswa. Level 3 (guided inquiry), pada level ini guru hanya
menyediakan permasalahan, sedangkan yang melakukan perencanaan prosedur dan
menganalisis hasil adalah siswa. Level 4 (self-directed inquiry), pada level ini siswa
melakukan seluruh kegiatan mulai dari menyediakan permasalahan, perencanaan prosedur,
sampai pada menganalisis hasil (Fuad, dkk., 2017).
Tahapan (Sintaks) Model Pembelajaran DSI
Adapun tahapan model pembelajaran DSI selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3.Tahapan Model Pembelajaran DSI
No Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1 Inquisition Meminta siswa untuk
mengajukan pertanyaan terkait
dengan materi yang akan
dipelajari/diselidiki
Mengajukan suatu
pertanyaan/rumusan masalah
2 Acquisition Melakukan brainstorming
dengan siswa terhadap
kemungkinan jawaban atas
pertanyaan yang diajukan
Memberikan jawaban sementara
atas pertanyaan yang akan
diselidiki
3 Supposition Mengarahkan siswa untuk
menyeleksi sebuah pertanyaan
yang akan diuji
Berdiskusi dengan teman dan guru
untuk menyeleksi sebuah
pertanyaan yang diuji
4 Implementation Mendorong dan memberi
kesempatan bagi siswa untuk
mendesain dan melaksanakan
rencana penelitian/pencarian
jawaban
Mendesain dan melakukan rencana
penelitian untuk menemukan
jawaban
5 Summation Mendorong siswa untuk
mengumpulkan bukti dan
memfasilitasi siswa untuk
menarik kesimpulan
Mengumpulkan bukti dan menarik
kesimpulan
6 Exhibition Memberikan kesempatan bagi
siswa untuk mengomunikasikan
hasil temuan.
Sharing dengan siswa
Mengomunikasikan hasil temuan
melalui presentasi kelas
Diskusi klasikal
Sumber: Fuad, dkk. (2017) dimodifikasi dari Llewllyn (2013).
13
Adapula pembagian lain yaitu menurut Callahan & Kellough (1992) yang
menggolongkan inkuiri menjadi tiga tingkatan berdasarkan banyaknya keterlibatan siswa
dalam aktifitas inkuiri. Perbedaan ketiga tingkatan tersebut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Tingkatan Inkuiri
Tingkat 1
(inkuiri tebimbing)
Tingkat 2
(inkuiri terpimpin)
Tingkat 3
(inkuiri bebas)
Identifikasi masalah Oleh guru atau dari
textbook Oleh guru atau textbook Oleh siswa
Proses pemecahan masalah Diputuskan guru atau
dari textbook Diputuskan oleh siswa Diputuskan oleh siswa
Identifikasi solusi tentatif
untuk masalah Dihasilkan siswa Dihasilkan siswa Dihasilkan siswa
(Sumber: Callahan & Kellough, 1992)
Pada inkuiri tingkat 1, masalah dan proses pemecahan masalah masih ditentukan oleh
guru. Tingkat ini disebut juga inkuiri terbimbing, karena siswa dituntun melakukan
penyelidikan untuk menemukan sesuatu, hasil sudah dapat diperkirakan. Siswa akan
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan operasi mentalnya yang lebih tinggi dan tidak
memperoleh pengalaman yang lebih memotivasi pemecahan masalah kehidupan nyata. Pada
inkuiri tingkat 2, siswa secara nyata merencanakan proses inkuirinya. Guru menekankan sifat
sementara (tentative) pada kesimpulan, yaitu membuat suatu kegiatan yang lebih menyerupai
pemecahan masalah seperti kehidupan nyata, dimana keputusan selalu diperbaiki. Pada
inkuiri tingkat 3, siswa mengidentifikasi masalah, merencanakan proses inkuiri dan
memperoleh kesimpulannya sendiri.
Pembelajaran inquiry dapat membantu siswa mengenal lingkungan dan mendapat
pengetahuan baru (Llewellyn, 2002), karena pembelajaran Inquiry menuntut siswa untuk
mencari pengetahuan dan mencari tahu tentang suatu fenomena (Zubaidah dkk., 2013).
Terkait hal ini, guru bukan satu-satunya sumber informasi bagi siswa untuk membangun
pengetahuannya (Llewellyn, 2002). Rangkaian atau tahapan dalam inkuri membantu siswa
terlibat langsung dalam menyelediki suatu kasus secara sistematis, kritis, logis dan analitis
sehingga siswa dapat merumuskan penemuannya secara mandiri dan percaya diri (Gulo,
2002).
Andrini (2016), dalam penelitiannya menemukan bahwa model pembelajaran inquiry
memberi kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan mereka sendiri,
menggunakan konsep yang telah diadakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi
dengan kata lain, dan siswa memiliki kesempatan untuk menghubungkan informasi baru
dengan struktur kognitif yang ada sehingga menghasilkan pembelajaran bermakna. Thaiposrii
& Wannapiroon (2015), dalam penelitiannya menemukan bahwa penerapan model
pembelajaran inquiry dalam pembelajaran dapat membantu memberdayakan keterampilan
berpikir tingkat tinggi siswa.
PENGUKURAN BERPIKIR KRITIS
Terdapat beberapa tes terstandar untuk mengakses berpikir kritis. Ennis (1993)
mengembangkan tes standar untuk menilai berpikir kritis, California Critical Thinking
Dispositions Inventory (CCTDI) dan Watson Glaser Critical Thinking Appraisal (WGCTA).
CCTDI terdiri dari75 butir soal Likert. WGCTA memiliki 80 butir soal (Watson & Glaser,
1980). Meskipun WGCTA memiliki beberapa teks berpikir kritis dan mencakup isu
mendalam terkait kehidupan sehari-hari, namun soalnya berupa tes pilihan ganda. Menurut
Stein (2003) soal pilihan ganda bisa saja terjadi bias tes, kurang valid, dan korelasi item yang
rendah untuk penilaian.
14
Menurut Ennis (2001) tes untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dapat
dibedakan menjadi tes spesifik untuk suatu topik dan tes yang umum (untuk semua topik).
Tes berpikir kritis spesifik untuk suatu topik mengukur hanya satu topik atau subjek saja,
sedangkan tes berpikir kritis umum menggunakan konten dari berbagai bidang atau bersifat
umum. National Academy of Education Committe merekomendasikan untuk
mengembangkan tes berpikir tingkat tinggi yang spesifik untuk suatu subjek. Beberapa
kelebihan tes esai adalah (1) dapat digunakan untuk menilai kemampuan berpikir tingkat
tinggi atau kemampuan berpikir kritis, (2) dapat mengevaluasi proses berpikir dan bernalar
siswa, dan (3) memberikan pengalaman autentik (Olson & Horsley, 2000). Berikut ini adalah
beberapa contoh soal tes berpikir kritis yang spesifik (biologi), yang diharapkan dapat
mengembangkan berpikir kritis siswa.
1. Merokok merupakan kebiasaan yang banyak dilakukan oleh orang Indonesia. Sekalipun
telah diketahui bahaya merokok, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain di
sekitarnya, namun mereka tetap melakukannya dengan berbagai alasan. Beberapa alasan
mereka di antaranya: mereka baru bisa berkonsentrasi dan bekerja jika merokok, adapula
yang menguatirkan nasib petani tembakau dan pekerja yang terlibat dalam pembuatan dan
perdagangan rokok jika tidak ada lagi orang merokok, merokok untuk kesehatan karena
kandungan obat di dalam tembakau, dan lain-lain alasannya. Mereka merokok di berbagai
tempat, bahkan di tempat-tempat umum. Bagaimana pendapatmu atas fenomena ini?
Bagaimana solusi yang dapat kamu tawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut?
Setujukah kamu jika dibuatkan tempat khusus bagi orang-orang yang ingin merokok?
Jelaskan alasanmu!
2. Menurut penelitian diketahui bahwa masing-masing orang di Indonesia menghasilkan
rerata sampah sejumlah 2,5 L dalam satu hari. Jika diakumulasikan maka akan ada
banyak sekali timbulan sampah. Masing-masing orang memiliki cara yang berbeda-beda
dalam menangani sampah. Sebagian orang membakar sampah mereka untuk mengurangi
timbulan sampah dan menggunakan abunya untuk pupuk. Bagaimana pendapatmu atas
fenomena ini? Setujukah kamu terhadap pengelolaan sampah dengan cara membakar
sampah? Jelaskan alasanmu!
3. Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat ke empat di dunia. Seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk, areal hutan banyak yang berubah fungsi menjadi areal
pemukiman. Bagaimana pendapatmu atas fenomena ini? Berikan jawabanmu disertasi
alasannya!
Lalu, bagaimana mengukur keterampilan berpikir kritis siswa dari jawaban soal tes
esai tersebut? Zubaidah, dkk. (2015) mengembangkan rubrik penilaian untuk asesmen
berpikir kritis terintegrasi jawaban tes esai, dengan landasan indikator FRISCO. Rentangan
skornya adalah 0-5, dengan penilaian rentangan skor 0-2 mengkategorikan bahwa
keterampilan berpikir kritis siswa belum nampak atau masih kurang berkembang, dan
rentangan skor 3-5 mengkategorikan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa sudah mulai
berkembang sampai berkembang dengan baik. Rubrik tersebut dimodifikasi dari Illinois
Critical Thinking Essay Test yang dikembangkan oleh Finken dan Ennis (1993) dengan
format minimal structure. Asesmen yang dimodifikasi ini dapat digunakan untuk menguji
kemampuan berpikir kritis siswa melalui tes esai. Format asesmen ini disusun berdasarkan
berbagai pertimbangan, diantaranya bentuk soal tes yang sering digunakan para pendidik di
Indonesia. Rubrik ini dapat dikembangkan dengan tujuan agar dapat digunakan dengan
mudah, praktis, dan dapat mengakomodasi masing-masing indikator berpikir kritis secara
efektif dan efisien. Adapun rubrik penilaian dan deskriptor berpikir kritis yang dikembangkan
oleh Zubaidah, dkk. (2015) dapat dilihat pada Tabel 5.
15
Tabel 5. Rubrik Penilaian dan Deskriptor Berpikir Kritis
Skor Deskriptor
5 Semua konsep benar, jelas dan spesifik
Semua uraian jawaban benar, jelas, dan spesifik, didukung oleh alasan yang kuat,
benar, argumen jelas
Alur berpikir baik, semua konsep saling berkaitan dan terpadu
Tata bahasa baik dan benar
Semua aspek nampak, bukti baik dan seimbang
4 Sebagian besar konsep benar, jelas namun kurang spesifik
Sebagian besar uraian jawaban benar, jelas, namun kurang spesifik
Alur berpikir baik, sebagian besar konsep saling berkaitan dan terpadu
Tata bahasa baik dan benar, ada kesalahan kecil
Semua aspek nampak, namun belum seimbang
3 Sebagian kecil konsep benar dan jelas
Sebagian kecil uraian jawaban benar dan jelas namun alasan dan argumen tidak jelas
Alur berpikir cukup baik, sebagian kecil saling berkaitan
Tata bahasa cukup baik, ada kesalahan pada ejaan
Sebagian besar aspek yang nampak benar
2 Konsep kurang fokus atau berlebihan atau meragukan
Uraian jawaban tidak mendukung
Alur berpikir kurang baik, konsep tidak saling berkaitan
Tata bahasa baik, kalimat tidak lengkap
Sebagian kecil aspek yang nampak benar
1 Semua konsep tidak benar atau tidak mencukupi
Alasan tidak benar
Alur berpikir tidak baik
Tata bahasa tidak baik
Secara keseluruhan aspek tidak mencukupi
0 Tidak ada jawaban atau jawaban salah (Sumber: Zubaidah, dkk., 2015 hasil modifikasi dari Finken & Ennis, 1993)
PENUTUP Saat ini permasalahan lingkungan merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh
Indonesia dan negara lain di dunia. Permasalahan lingkungan yang terjadi di Indonesia
misalnya pencemaran udara, tanah, air, illegal logging, dan berkurangnya biodiversitas. Laju
deforestasi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, mengakibatkan hilangnya habitat
alami dan ancaman kepunahan pada sejumlah besar flora maupun fauna. Tidak hanya hutan,
permasalahan juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove dan terumbu karang.
Permasalahan lingkungan diperparah oleh kurangnya kesadaran dan kepedulian
masyarakat akan pentingnya konservasi. Pemanfaatan sumber daya alam yang kurang
memperhatikan aspek kelestarian, hingga lemahnya sistem tata kelola menyebabkan
permasalahan tersebut masih belum terpecahkan secara tuntas. Berbagai permasalahan
lingkungan tersebut berdampak pada setiap orang, sehingga masing-masing harus siap
dengan strategi pemecahan masalah yang sesuai.
Kemampuan memecahkan masalah merupakan keterampilan penting yang mencirikan
kualitas sumber daya manusia. Siswa Indonesia hendaknya sudah dipersiapkan dan dibekali
dengan keterampilan memecahkan masalah. Pemecahan masalah berkaitan erat dengan
keterampilan berpikir kritis dan dapat diberdayakan melalui penerapan model-model
pembelajaran kontekstual. Model-model pembelajaran yang berkaitan dengan pemecahan
masalah misalnya Problem Based Learning (PBL), Creative Problem Solving (CPS), dan
16
macam-macam Inquiry, termasuk Differentiated Science Inquiry (DSI). Model-model
tersebut menggunakan pertanyaan sebagai komponen penggerak pembelajaran. Pertanyaan
tersebut memuat permasalahan sehari-hari atau dunia nyata yang harus dicari solusinya.
Proses belajar siswa dalam strategi PBL, CPS, dan inkuiri diyakini dapat melatih siswa
mengembangkan keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, hingga kemampuan
bekerja sama atau berkolaborasi.
Melalui pembelajaran Biologi yang melatih keterampilan-keterampilan tersebut,
diharapkan dapat membentuk siswa-siswa yang terampil memecahkan masalah berkaitan
dengan konservasi lingkungan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
DAFTAR RUJUKAN Andrini, V. S. (2016). The Effectiveness of Inquiry Learning Method to Enhance Students’ Learning Outcome:
A Theoritical and Empirical Review.Journal of Education and Practice, 7 (3), 38-42.
Berns, R. G. & Erickson, P. M. (2001). Contextual teaching and learning: Preparing students for the new
economy. The Highlight Zone: Research @ Work, 5: 1-9.
Bianchi, H. & Bell, R. (2008). The Many Levels of Inquiry. Science and Children, 70(7), 26-29.
Bingham, A. (1983). Developing problem solving in children. Istanbul: M.E.B. Press.
Creative Education Foundation (2015).Creative problem solving resource guide. (Online). Tersedia di
www.creativeeducationfoundation.org
Dogru, M. (2008). The application of problem solving method on science teacher trainees on the solution of the
environmental problems. Journal of Environmental & Science Education, 3(1), 9 – 18.
Ennis, R.H. (1993). Critical Thinking Assessment. College of Education, 32 (3): 179-184.
Ennis, R.H. (2001). Argument Appraisal Strategy: A Comprehensive Approach. Informal Logic, 21.2(2): 97-
140.
Ennis, R.H. (2013). The Nature of critical thinking: Outlines of general critical thinking dispositions and
abilities. (Online). Tersedia di http://www.criticalthinking. net/longdefinition.html.
Finken &Ennis. (1993). Illinois Critical Thinking Essay Test. Illinois Critical Thinking Project. Departement of
Educational Policy Studies University of Illinois. (Online). Tersedia di
http://www.criticalthinking.net/IllCTEssayTestFinken-Ennis12-1993LowR.pdf
Fisher R. (1998). Teaching Thinking: Philosophical Enquiry in the Classroom. London: Cassell.
Friedrichsen, P.M. (2001). A Biology course for prospective elementary teachers. Journal The American
Biology Teacher, 63(8), 562-568.
Fuad, N. M. 2017.Pengaruh Model Differentiated Science Inquiry dipadu Mind Map terhadap Hasil Belajar,
Keterampilan Berpikir Kritis, dan Kreatif ditinjau dari Gender pada Siswa SMPN di Kabupaten
Kediri. Pascasarjana Universitas Negeri Malang: Malang. Disertasi tidak diterbitkan.
Fuad, N. M., Zubaidah, S., Mahanal, S., & Suarsini, E. (2017). Improving junior high schools’ critical thinking
skills based on test three different models of learning. International Journal of Instruction, 10(1), 101-
116.
Greeno, J.G. (1978). Natures of problem solving abilities. NewJersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Gulo,W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:Grasindo
Hernowo. (2005). Pembelajaran kontekstual. Bandung : Alfabeta
Isaksen, S. G. (1995). On the conceptual foundations of creative problem solving: Aresponse to Magyari-Beck”.
Journal of Creativity and Innovation Management, 4(1), 52-63.
Isaksen, S.G dan Treffinger, D.J. (1985). Creative Problem Solving: The Basic Course.
Buffalo, New York: Bearly Limited.
Johnson, D.W. (2002). Meaningful Assessment A Manageable and Cooperative Process. USA: Allyn and
Bacon.
Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and learning :what it is and why it is here to stay.
London:Routledge Falmer.
Jones, B.F., Rasmussen, C.M.,& Moffitt, M.C. (1996). Real-life problem solving: A collaborative approach to
interdisciplinary learning. Washington, DC: American Psychological Association.
Keselman, A. (2003). Supporting inquiry learning by promoting normative understanding of multivariable
causality. Journal of Research in Science Teaching, 40, 898–921.
Ketter, C. T. & Arnold, J. (2003). Implementing contextual teaching and learning: Case study of Nancy a High
School Science Novice Teacher. Final Report. Georgia: Department of Education at University of
Georgia.
Krulik, S. & Rudnick, J.A. 1999). Innovative Task to improve Critical and Creative Thinking Skills. Reston:
National Council of Teachers of Mathematics.
17
Lavole, R. (1993). The development, theory, application of a cognitive - network model of prediction in
problem solving in biology.Journal of Research in Science Teaching, 30, 767-795
Llewellyn, D. (2002). Inquire Within: Implementing Inquiry-Based Science Standards. Thousand Oaks: Corwin
Press,Inc.
Mayer,R.E.&Wittrock M. C. (1996). Problem solving transfer. Handbook of Educational Psychology: New
York
Meyers, C. (1986). Teaching students to think critically. San Franscisco: Jossey-Bass Publishers.
Mitchell, W.E &Kowalik, T.F. (1999). Creative Problem Solving. NUCEA:Genigraphict Inc.
National Research Council (1996). National science education standards. Washington DC: National Academies
Press.
Noller, R. B. (1977). Scratching the surface of creative problem-solving: A bird's eye view of CPS. New York:
D.O.K.
Nur, M. & Wikandari, P.R. (2008). Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam
Pengajaran. Surabaya: PSMS.
Olson, S. & Horsley, S.L. (2000). Inquiry and The National Science Education Standards, A Guide for Teaching
and Learning. Washington: National Academies Press.
Page, D. & Mukherjee, A. (2006). Using negotiation excercises to promote critical thinking skills. Business
Simulation and Experimental Learning, 30(1): 71-78.
Pedaste, M., Maeots, M., Leijen, A., & Sarapuu, S. (2012). Improving students’ inquiry skills through reflection
and self-regulation scaffolds. Technology, Instruction, Cognition and Learning, 9, 81–95.
Pepkin, K. L. (2000). Creative problem solving in math. (Online). Tersedia
dihttp://hti.math.uh.edu/curriculum/units/2000/02/00.02.04.pdf.
Proulx, G. (2004). Integrating Scientific Method & Critical Thinking in Classroom Debates on Environmental
Issues. The American Biology Teacher, 66(1):1-10.
Santrock, J.W. (2011). Educational Psychology. New York: McGraw Hill.
Savery, J.R. (2006). Overview of problem based learning: definitions and distinctions. The Interdiciplinary
Journal of Problem-based Learning. Vol. 1, No. 1.
Schafersman, S.D. (1991). An Introduction to Critical Thinking. (Online). Tersedia di
http://www.freeinquiry.com/critical-thinking.html.
Simsek, P. & Kabapinar, F. (2010). The effects of inquiry-based learning on elementary students’ conceptual
understanding of matter, scientific process skills and science attitudes. Procedia Social and Behavioral
Sciences 2 (2010), 1190–1194.
Siu, M. (1999). New roles for design teachers. Education Today,49(1), 25-30.
Sonmez, D. and Lee, H. (2003). Problem-based learning in science. ERIC DIGEST. May. http://www.ericse.org.
Stein, J. (2003). Evaluation of An Exercise Based Treatment for Children with Reading Difficulties. Dyslexia, 9:
124-126.
Steiner, G. (2009). The Concept of open creativity: Collaborative creative problemsolving for innovation
generation-a systems approach. Journal of Businessand Management, 15(1), 5-33.
Stone, G. L.& Lucas, J. (1994). Disciplinary counseling in higher education: A neglected challenge. Journal of
Counseling & Development, 72, 234–238.
Thaiposrii, P & Wannapiroon, P. (2015). Enhancing students’ critical thinking skills through teaching and
learning by inquiry-based learning activities using social network and cloud computing. Procedia -
Social and Behavioral Sciences 174 ( 2015 ), 2137 – 2144.
Torp, L. and Sage, S. (2002). Problems as Possibilities: Problem-based Learning for K-16 Education.
Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development.
Trilling, B.& Fadel, C. (2009). 21st Century Learning Skills. San Francisco, CA: John Wiley & Sons
Türer, C. (1992). Developing problem solving skill with training. Symposium of seeks in education, developing
quality in education, Culture College Edition, Ankara.
Walker, G. (2005). Critical thinking in asynchronous discussions. International Journal of Instructional
Technology and Distance Learning,2(6).
Zubaidah, S. (2016). Keterampilan Abad ke-21: Keterampilan yang Diajarkan melalui Pembelajaran. Seminar
Nasional Pendidikan dengan tema “Isu-isu Strategis Pembelajaran MIPA Abad 21 di Program Studi
Pendidikan Biologi STKIP Persada Khatulistiwa, Sintang – Kalimantan Barat, 10 Desember 2016.
Zubaidah, S., Corebima, A.D., & Mistianah. (2015). Asesmen Berpikir Kritis Terintegrasi Tes Essay. Prosiding
Simposium on Biology Education, Jurusan Biologi FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 4-5
April 2015.
Zubaidah, S., Yuliati, L., & Mahanal, S. (2013). Model dan Metode Pembelajaran SMP IPA. Malang: UM
Press.
View publication statsView publication stats