+ All Categories
Home > Documents > Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Program Pengembangan ... · berhasil mengelola dana PUAP padahal...

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Program Pengembangan ... · berhasil mengelola dana PUAP padahal...

Date post: 02-Mar-2019
Category:
Upload: trinhnhu
View: 229 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
42
81 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011 Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 1 Oleh Farida Ariyati 2 ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT The approach of this study refers to the principles of descriptive re- search design with case study research. Based on a specific purpose (purposive sampling) defined two Gapoktan in different villages and districtsnamely Gapoktan Maju Bersama, Bincau Village and Gapoktan Berkat Mufakat, Dalam Pagar Village. The results showed that the gen- eral consensus Gapoktan Berkat Mufakat is effective in implementing Gapoktan PUAP Program. Effectiveness was assessed from indicators of the growth of self-supporting community (members Gapoktan) in funds under management and has been functioning quite well and creative. While Gapoktan Maju Bersama is Gapoktan that have not been effective. This is judged from the lack of indicators of community self-reliance (member Gapoktan) and Gapoktan has not been functioning properly and creatively. A. PENDAHULUAN A. 1. Latar Belakang Masalah Menurut Laksono (2010) disparitas perkotaan–pedesaan ternyata berdampak pada masih tingginya jumlah penduduk miskin serta terbatasnya lapangan kerja. Kemiskinan di pedesaan merupakan masalah nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan 1 Ditulis ulang dari Tesis berjudul “Efektivitas Pelaksanaan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaaan (PUAP) di Kabupaten Banjar” yang dibuat oleh Farida Ariyati dibawah bimbingan Dr. Muhammad Aswan, MSi Dr. Muhammad Aswan, MSi Dr. Muhammad Aswan, MSi Dr. Muhammad Aswan, MSi Dr. Muhammad Aswan, MSi dan Dr. Nuri Dewi Dr. Nuri Dewi Dr. Nuri Dewi Dr. Nuri Dewi Dr. Nuri Dewi Yanti, MSc. Yanti, MSc. Yanti, MSc. Yanti, MSc. Yanti, MSc. 2 Farida Ariyati Farida Ariyati Farida Ariyati Farida Ariyati Farida Ariyati adalah mahasiswa Program Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat (MSAP-UNLAM) angkatan III, dan status pekerjaannya saat itu adalah sebagai PNS di Pemkab Banjar, Kalimantan Selatan.
Transcript

81FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Program

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

(PUAP)1

Oleh Farida Ariyati2

ABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACT

The approach of this study refers to the principles of descriptive re-search design with case study research. Based on a specific purpose(purposive sampling) defined two Gapoktan in different villages anddistrictsnamely Gapoktan Maju Bersama, Bincau Village and GapoktanBerkat Mufakat, Dalam Pagar Village. The results showed that the gen-eral consensus Gapoktan Berkat Mufakat is effective in implementingGapoktan PUAP Program. Effectiveness was assessed from indicatorsof the growth of self-supporting community (members Gapoktan) in fundsunder management and has been functioning quite well and creative.While Gapoktan Maju Bersama is Gapoktan that have not been effective.This is judged from the lack of indicators of community self-reliance(member Gapoktan) and Gapoktan has not been functioning properlyand creatively.

A. PENDAHULUANA. 1. Latar Belakang Masalah

Menurut Laksono (2010) disparitas perkotaan–pedesaan ternyata

berdampak pada masih tingginya jumlah penduduk miskin serta

terbatasnya lapangan kerja. Kemiskinan di pedesaan merupakan

masalah nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan

1 Ditulis ulang dari Tesis berjudul “Efektivitas Pelaksanaan Program PengembanganUsaha Agribisnis Perdesaaan (PUAP) di Kabupaten Banjar” yang dibuat oleh FaridaAriyati dibawah bimbingan Dr. Muhammad Aswan, MSiDr. Muhammad Aswan, MSiDr. Muhammad Aswan, MSiDr. Muhammad Aswan, MSiDr. Muhammad Aswan, MSi dan Dr. Nuri DewiDr. Nuri DewiDr. Nuri DewiDr. Nuri DewiDr. Nuri DewiYanti, MSc.Yanti, MSc.Yanti, MSc.Yanti, MSc.Yanti, MSc.

2 Farida AriyatiFarida AriyatiFarida AriyatiFarida AriyatiFarida Ariyati adalah mahasiswa Program Magister Sains Administrasi PembangunanUniversitas Lambung Mangkurat (MSAP-UNLAM) angkatan III, dan statuspekerjaannya saat itu adalah sebagai PNS di Pemkab Banjar, Kalimantan Selatan.

82 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan

kesejahteraan sosial. Menurut Fatah (2007), kemiskinan ternyata juga

mengindikasikan adanya kesenjangan wilayah, karena konsentrasi

kemiskinan banyak pada sektor pertanian, dan sesuai dengan kondisi

alamiahnya bahwa pertanian terkonsentrasi di pedesaan sehingga pada

akhirnya sebagian besar kantong kemiskinan ada di pedesaan.

Merujuk pada Fatah, kemiskinan di pertanian bersumber pada

kemiskinan dari para pelaku utama di sektor ini, yakni para petani.

Para petani miskin ini umumnya tinggal di pedesaan dengan tingkat

pengetahuan dan keterampilan yang sangat bersahaja, permodalan

yang sangat terbatas dan penguasaan teknologi sangat awam, serta

organisasi tani yang masih lemah. Hal tersebut menjadi permasalahan

mendasar yang dihadapi oleh petani yang selanjutnya berimplikasi

langsung terhadap sumber mata pencaharian utama mereka yaitu

kegiatan pertanian, yang pada akhirnya menyebabkan kegiatan

usahatani yang mereka jalankan kurang efisien, sumberdaya tidak

termanfaatkan secara optimal dan produktivitas usahataninya rendah.

Secara faktual, rakyat pedesaan hanya memiliki dua sumberdaya,

yakni tanah dan tenaga kerja. Desa-desa di pulau Jawa misalnya sering

digambarkan sebagai desa yang rata-rata penduduk petaninya berlahan

sempit (< 0,5 hektar). Tanpa memiliki tanah sebagai lahan garapan

ternyata membuat sebagian di antara penduduk desa tidak bisa bekerja

dan secara riil selanjutnya mempengaruhi status kemakmuran yang

mungkin dapat diraihnya. Sementara itu peluang untuk bekerja di luar

sektor pertanian nampaknya kurang prosfektif bagi sebagian penduduk

desa karena ketiadaan keterampilan atau modal kerja sehingga

terjadilah kemiskinan berantai (Sarman, 2008).

Oleh karena itu untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan

masyarakat pertanian di pedesaan yang secara intrinsik berhubungan

dengan pola pemilikan lahan dan produktivitas lahan, struktur

kesempatan kerja dan mekanisme pasar, diperlukan suatu kebijakan

pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup secara

umum melalui perbaikan kesempatan ekonomi bagi petani dan

pengembangan struktur progresif dalam kehidupan masyarakat,

termasuk rekayasa sistem kelembagaan yang diperlukan sebagai

83FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

pendukung. Dalam kaitan itu Saragih seperti yang dikutip Syahyuti

(2006) memandang bahwa agribisnis dapat menjadi tulang punggung

ekonomi nasional karena agribisnis memiliki kemampuan untuk

menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional,

mempromosikan kesejahteraan, pertumbuhan yang berkelanjutan dan

keseimbangan di antara pelaku maupun wilayah. Menurutnya,

agribisnis dan pengembangan sistem agribisnis merupakan pendekatan

yang paling tepat untuk pembangunan ekonomi di Indonesia.

Dari persfektif berbeda, hasil penelitian Darma (2003)

menunjukkan fakta bahwa program penyaluran kredit atau dana

bergulir bagi usaha kecil di Balikpapan mampu membantu masyarakat

yang tidak berdaya menjadi mandiri karena program tersebut tanpa

jaminan dan tanpa bunga, serta dengan prosedur yang relatif mudah.

Dalam konteks itu, Sarman (2008) menunjukkan bahwa strategi

pemberian dana untuk modal usaha tanpa agunan nampaknya adalah

strategi yang paling masuk akal untuk memberantas kemiskinan di

daerah pedesaan. Kelompok miskin pedesaan adalah orang-orang yang

tidak mungkin dipercaya (credible) di mata perbankan dan karena

kemiskinannya, mereka tidak punya sesuatu barang berharga atau

harta yang pantas dijadikan agunan untuk meminjam dana melalui

bank. Oleh karena itu strategi pemberian dana tanpa agunan mestinya

dilakukan oleh pemerintah, dengan catatan sebelumnya harus

ditegaskan bahwa pemberian dana itu bukan semacam hibah.

Pemerintah telah banyak mengeluarkan program-program yang

pada dasarnya bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan, seperti

program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Bantuan Pembangunan Desa

(Bandes-Depdagri), proyek Bantuan Padat Karya (Depnaker), Kredit

Candak Kulak (KCK-Bank Indonesia) dan lain-lain. Pada tahun 2008

Pemerintah juga mengeluarkan program sejenis yang khusus pada

sektor pertanian, yaitu Program Pengembangan Usaha Agribisnis

Perdesaan (PUAP). PUAP merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang

dikordinasikan oleh kantor Menko KESRA. Lokasi PUAP difokuskan

di 10.000 desa miskin atau tertinggal yang memiliki potensi pertanian

dengan total anggaran sebesar Rp 1 triliun.

84 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Salah satu tujuan PUAP adalah untuk mengurangi kemiskinan

dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan usaha

agribisnis di pedesaan sesuai potensi wilayah (Anonimous, 2008).

Secara teknis, setiap desa diberikan dana untuk pengembangan usaha

agribisnis (on farm maupun off farm) sebesar Rp 100.000.000, - yang

dikelola oleh Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) atau Unit Usaha

Otonom Gapoktan. Dana tersebut dipinjamkan kepada anggota

kelompok tani untuk modal pengembangan usahanya. Dengan kesiapan

lembaga pengelola yaitu Gapoktan dan aturan main yang jelas yang

tertuang dalam AD-ART Gapoktan atau Unit Usaha Otonom Gapoktan

serta kemudahan mengakses, diharapkan dana tersebut dapat

berkembang berkelanjutan. Pada akhirnya melalui program ini

diharapkan petani dapat meningkatkan pendapatannya dan

meningkatkan kesejahteraannya (Anonimous, 2008).

Program PUAP layaknya program pemberdayaan masyarakat

adalah merupakan suatu proses dan melalui tahapan-tahapan kegiatan

guna mencapai suatu tujuan. Penting dan baiknya suatu kebijakan

(program) bukanlah jaminan akan berhasilnya pelaksanaan nanti,

namun yang paling penting bagaimana penerapannya di lapangan,

sehingga apa yang menjadi tujuan program bisa terwujud dan

direaliasikan dengan hasil yang memuaskan. Penerapan kebijakan

menyangkut apa yang terjadi dengan adanya suatu kebijakan, yakni

peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah

kebijakan dilakukan, baik itu menyangkut usaha-usaha mengadminis-

trasikannya maupun memberikan dampak pada masyarakat (Wahab,

1990).

Melalui dana PUAP diharapkan usaha kecil di desa-desa semakin

berkembang, namun yang menjadi masalah tenyata belum ada

kepastian dengan jaminan pasar. Meskipun pemerintah telah

menyiapkan pendamping untuk menjalankan usaha agribisnis yaitu

para penyuluh pendamping dan pengurus Gapoktan yang sebelumnya

diberi pelatihan untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan itu, namun

tidak bisa dipastikan para pendamping dan penyuluh itu adalah mereka

yang terlatih dan memang berjiwa wirausaha.

Di tingkat pusat ternyata PUAP menerima berbagai kritik, sinisme,

protes, dan kecaman. Dari hasil Rapat Kerja DPR Komisi IV tanggal

85FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

24 Juni 2008 diperoleh fakta bahwa kekecewaan itu tidak datang dari

masyarakat yang tidak kebagian dana PUAP karena sosialisasi begitu

singkat sehingga masyarakat tidak banyak yang tahu tetapi dari

anggota Komisi IV DPR yang merasa usulannya tidak direspons

Departemen Pertanian. Misalnya, ada anggota dewan yang

mengusulkan 100 desa penerima dana PUAP, tetapi hanya satu desa

yang diterima. Ada yang menyindir kalau program PUAP tidak beda

dengan Bantuan Langsung Tunai karena diberikan tanpa syarat.

Berdasarkan pantauan Kompas, banyak warga desa yang sama sekali

tidak mengetahui program PUAP. Ada yang mendengar, tetapi tidak

tahu bagaimana cara mendaftar dan ke mana mencari informasi

(Harian Kompas, 25 Juni 2008).

Pada tahun 2008 di Kabupaten Banjar, ProvinsiKalimantan

Selatan, ada 35 desa yangtersebar di 11 kecamatan yang mendapat

Program PUAP. Dari pemantauan Tim Evaluator Pusat pada empat

desa sampel dari 35 desa penerima dana PUAP tahun 2008 di

Kabupaten Banjar ditemukan fakta bahwa pada bulan Agustus 2009

hanya Desa Bawahan Selan dari keempat desa sampel tersebut yang

dapat dikategorikan berhasil mengelola dana PUAP. Tiga desa lainnya

yaitu Desa Bincau, Desa Sungai Tuan Ilir dan Desa Kelampaian Ulu

mengalami kesulitan dalam pengembalian dana, atau dengan kata lain

kredit macet sehingga dana tidak dapat bergulir di anggota Gapoktan.

Pada ketiga Gapoktan tersebut juga jarang sekali melakukan rapat

bulanan yang mengindikasikan belum dinamisnya kelompok tani di

desa tersebut. Sedangkan dari penelusuran awal peneliti di lapangan

diketahui bahwa pada Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar

terjadi perkembangan dana yang cukup besar dan dana telah bergulir

di anggota Gapoktan meskipun para penerima dana tidak semuanya

petani. Fenomena tersebut cukup menarik karena meskipun dana yang

diberikan sama, para pengurus Gapoktan dan Penyuluh Pendamping

pun telah mengikuti pembekalan sebelumnya, namun ternyata terdapat

perbedaan dalam pengelolaan dana dan keberhasilan Gapoktannya.

Menurut Tim Evaluator Pusat, tingkat efektivitas pelaksanaan Pro-

gram PUAP dapat dilihat dari tingkat keberhasilan Gapoktan dalam

mengelola dana, serta seberapa besar program tersebut memberikan

manfaat bagi petani yang menjadi kelompok sasaran (client system).

86 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Namun demikian belum ada informasi apakah pada Gapoktan di

Kabupaten Banjar yang telah berhasil mengelola dana PUAP;

anggotanya banyak mendapatkan manfaat dari program tersebut.

Itulah sebabnya kemudian dianggap penting untuk diteliti apa sebab

musabab mengapa ada Gapoktan di Kabupaten Banjar yang belum

berhasil mengelola dana PUAP padahal pedoman teknisnya cukup jelas.

A. 2. Pokok Permasalahan

Program pengentasan kemiskinan seperti layaknya program

pemberdayaan masyarakat (community development) dimaksudkan

lebih untuk mendorong penduduk miskin secara kolektif terlibat dalam

proses penanggulangan kemiskinan mereka sendiri. Program semacam

itu yang pernah diluncurkan oleh pemerintah pada umumnya belum

banyak memberikan perubahan kepada kelompok sasaran. Demikian

pula halnya dengan Program PUAP. Permasalahan pokok yang ditemui

di lapangan adalah masih lemahnya kapasitas Gabungan Kelompok

Tani (Gapoktan) yang mengelola dana PUAP karena masih belum aktif

dan belum dapat melakukan fungsinya dengan baik. Para petani

anggota Gapoktan juga masih belum banyak merasakan manfaat dari

Program PUAP. Oleh karena itu dianggap penting untuk menaruh

perhatian khusus pada persoalan efektivitas pelaksanaan program dan

berapa besar manfaat Program PUAP tersebut bagi petani yang terlibat

di dalamnya.

A. 3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah: Sejauh mana pelaksanaan Program

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) bermanfaat bagi

petani anggota Gapoktan di Kabupaten Banjar?

A. 4. Tujuan PenelitianSesuai dengan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan

untuk: (1) menilai tingkat efektivitas pelaksanaan Program

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) di Kabupaten

Banjar; dan (2) menilai manfaat pelaksanaan Program Pengembangan

87FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) bagi petani anggota Gapoktan

yang terlibat dalam program.

B. METODOLOGI

B. 1. Teorisasi Masalah

Berkaitan dengan bagaimana intervensi program terhadap

komunitas, terdapat beberapa penelitian yang telah mengkaji hal

tersebut, antara lain seperti yang dilakukan oleh Hasbullah (1995),

Adma (2001), Idris (2003), dan Darma (2003).

Ilyas Hasbullah (1995) melakukan penelitian tentang faktor-faktor

sosial ekonomi yang mempengaruhi keputusan petani dalam

mengambil Kredit Usahatani (KUT) padi, dan ternyata variabel

independen (sosial ekonomi) yaitu umur, pendidikan, luas lahan,

jumlah anggota rumah tangga dan status sosial berpengaruh terhadap

variabel dependen (keputusan petani) untuk mengambil kredit

usahatani. Selain itu penggunaan uang pengembalian kredit oleh

pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) untuk keperluan pribadi dan

kegagalan panen ternyata telah menjadi penyebab banyaknya

tunggakan kredit.

Ratna Yulianti Adma (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan

bahwa perubahan model implementasi kebijakan P3DT dari yang

bersifat top down menjadi model sintesis telah mengubah peran

pemerintah dari yang hanya menjalankan perintah atasan menjadi

aparat yang harus mengayomi masyarakat. Selain itu hasil penelitian

juga membuktikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan

proyek P3DT tahun anggaran 1998/1999 ternyata hanyalah mobilisasi

partisipasi.

Muhammad Khairuddin Idris (2003) berdasarkan hasil

penelitiannya menyimpulkan bahwa sosialisasi program yang

dilakukan secara bertingkat mulai dari tingkat kecamatan sampai

dengan tingkat RT dan dalam waktu yang relatif lama dapat

meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk

melibatkan diri dalam program pembangunan tersebut, serta

menyamakan pemahaman masyarakat tentang program. Selain itu

perencanaan pengelolaan dana yang didasarkan pada usulan

kebutuhan masyarakat yang diputuskan dalam forum musyawah RT

88 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

hingga tingkat kelurahan ternyata dapat memberikan peluang kepada

masyarakat untuk memberikan usulan, ide dan keinginan dalam

menghadapi masalah yang mereka hadapi.

Mulya Darma (2003) dari penelitiannya sampai pada kesimpulan

bahwa program penyaluran kredit/dana bergulir bagi usaha kecil

dalam upaya penanggulangan kemiskinan dinilai sangat membantu

masyarakat yang tidak berdaya karena program ini tanpa jaminan dan

tanpa bunga serta dengan prosedur yang relatif mudah. Adanya

pembinaan secara teratur dan terus menerus dari lembaga teknis (PPL/

petugas teknis/tim teknis daerah) ternyata mampu memotivasi

masyarakat agar berdaya dan mandiri.

Penelitian dengan kasus Kabupaten Banjar yang dilakukan oleh

Tim Peneliti dari Universitas Lambung Mangkurat sampai pada

kesimpulan bahwa sejumlah program pengentasan kemiskinan di di

daerah itu cukup efektif (Anonimous, 2009). Untuk program Bantuan

Langsung Tunai (BLT), evaluasinya menunjukkan tingkat efektivitasnya

mencapai 89%, program Keluarga Harapan (PKH) capaiannya sekitar

87%, program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mencapai

95%. Sedangkan program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin)

mencapai angka 94%.

Secara umum hasil penelitian-penelitian tersebut menggambarkan

bahwa intervensi berbagai program-program pemerintah terhadap

komunitas yang diposisikan sebagai kelompok sasaran cukup efektif,

namun belum cukup menjelaskan bagaimana manfaatnya. Itulah

sebabnya kasus Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan

(PUAP) di Kabupaten Banjar justru ingin dilihat dari persepktif manfaat

tersebut.

Program PUAP dapat dikatakan sebagai program pemberdayaan

masyarakat pertanian karena dalam program ini dilakukan berbagai

upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agribisnis

sehingga secara mandiri mampu mengembangkan diri dan dalam

melakukan usaha secara berkelanjutan, dan hal tersebut merupakan

salah satu bentuk pembangunan yang berkelanjutan (sustainable ru-

ral development). Upaya pemberdayaan tersebut dilakukan secara

kolektif dan berkelompok di dalam Gapoktan, oleh karena itu diperlukan

suatu kelembagaan yang kuat.

89FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Program PUAP merupakan salah satu strategi intervensi terhadap

komunitas, dalam hal ini adalah komunitas petani. Proses

pemberdayaan melalui kelompok (komunitas petani dalam Gapoktan)

diharapkan lebih cepat mencapai sasaran program karena di dalam

kelompok akan terbentuk perasaan senasib sepenanggungan sehingga

para anggotanya akan berusaha secara kolektif untuk bangkit dari

keterpurukannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Glen sebagaimana

dikutip oleh Adi (2008) bahwa salah satu tujuan pengembangan

masyarakat adalah mengembangkan kemandirian dan pada dasarnya

memantapkan rasa kebersamaan sebagai suatu komunitas adalah salah

satu unsur dasar yang menjadi ciri khas pendekatan strategi intervensi.

Dalam pelaksanaaan Program PUAP, para petani maupun

peternak tidak hanya diberikan modal yang dikoordinasikan oleh

Gapoktan begitu saja, tapi mereka juga didampingi oleh Penyuluh

Pendamping dan Penyelia Mitra Tani (PMT). Para Penyuluh

Pendamping akan melakukan tugasnya sebagai community worker

yang antara lain berperan mulai melakukan identifikasi potensi ekonomi

desa yang berbasis usaha pertanian sehingga para petani lebih

mengetahui apa yang mereka butuhkan, memberikan bimbingan teknis

usaha agribisnis pedesaan, mendampingi Gapoktan selama proses

penumbuhan kelembagaan hingga memberikan bimbingan teknis

dalam pemanfaatan dana BLM-PUAP. Dalam pelaksanaan program

PUAP, Penyuluh Pendamping selayaknya community worker akan

memegang peranan sebagai pemercepat perubahan (enabler), perantara

(broker), pendidik (educator), tenaga ahli (expert), perencana sosial

(social planner), advokat (advocate) dan aktivis (activist).

Menurut Marquirete (2000), upaya pengentasan kemiskinan dapat

dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk di

dalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman,

pendidikan, keluarga berencana dan tentu saja adalah melalui

pinjaman dalam bentuk kredit mikro. Marquirete memberikan rambu-

rambu bahwa ketika pinjaman diberikan kepada mereka yang sangat

miskin, kemungkinan besar pinjaman itu tidak pernah kembali. Hal ini

wajar saja, mengingat mereka sangat miskin (the extreme poor) tidak

berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Tampaknya

program pangan dan penciptaan lapangan kerja baru akan lebih cocok

90 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

untuk masyarakat sangat miskin tersebut. Sedangkan untuk masyarakat

yang berpenghasilan rendah (low income) memerlukan pendekatan

subsidi atau jenis hibah yang tepat untuk masing-masing kelompok

miskin tersebut.

Wahab (1994) berpendapat bahwa kegagalan pembangunan

(termasuk di dalamnya berbagai program Penanggulangan Kemiskinan)

selama ini antara lain karena kurangnya pastisipasi masyarakat yang

tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan kebijakan pembangunan,

bahkan tidak sedikit kasus yang menunjukkan masyarakat menentang

upaya pembangunan. Menurutnya, keadaan ini dapat terjadi karena

beberapa hal antara lain: (1) pembangunan hanya menguntungkan

segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat; (2)

pembangunan meskipun dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat,

tetapi dalam implementasinya tidak sesuai dengan pemahaman

tersebut; dan (3) pembangunan dapat dipahami dan menguntungkan

rakyat, akan tetapi rakyat tidak diikutsertakan.

Penerapan model pemberdayaan paling banyak digunakan dalam

upaya penanggulangan kemiskinan. Pada hakikatnya, pemberdayaan

merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi

masyarakat berkembang (enabling). Logika ini didasarkan pada asumsi

bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Setiap

masyarakat pasti memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka

tidak menyadari, atau daya tersebut belum diketahui secara eksplisit.

Oleh karena itu daya harus digali, dan kemudian dikembangkan (Ife,

2008).

Dengan kata lain, tujuan dari pemberdayaan adalah membentuk

individu dan masyarakat yang mandiri. Kemandirian merupakan suatu

kondisi yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan,

memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi

pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan

kemampuan dan pengerahan sumber daya yang dimiliki.

Secara regional, permasalahan mendasar yang dihadapi adalah

ketimpangan pembangunan dan pendapatan, terutama antara wilayah

perkotaan dan pedesaan. Secara sektoral, masalah utama yang dihadapi

biasanya menyangkut ketimpangan pendapatan antara sektor

pertanian primer (usahatani) dan sektor industri dan jasa; dan antara

91FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

kelompok masyarakat petani dengan kelompok masyarakat yang bukan

petani. Untuk mengurangi ketimpangan tersebut dibutuhkan upaya

pengembangan sektor ekonomi yang mampu mengintegrasikan

perekonomian antara usahatani dan industri/jasa; antara

perekonomian pedesaan dan perekonomian perkotaan; dan antara

perekonomian wilayah dataran rendah dengan perekonomian wilayah

dataran tinggi. Salah satu sektor ekonomi yang memiliki prospek sebagai

sektor unggulan pembangunan ekonomi di Indonesia adalah sektor

agribisnis. Agribisnis dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi,

penyedia lapangan pekerjaan, mengembangkan pembangunan daerah

dan sumber devisa yang besar (Saragih, 2001).

Merujuk pada Saragih (1998), sistem agribisnis adalah sebagai

wahana industrialisasi pertanian primer mencakup paling sedikit empat

subsistem yaitu agribisnis hulu (up stream agribusiness), usahatani (on

farm agribusiness), agribisnis hilir (down stream agribusiness) dan

agribisnis pendukung (supporting institution). Keseluruhan subsistem

tersebut akan dapat berkembang secara dinamis ke arah skala ekonomi

yang lebih efisien dengan syarat ada upaya peningkatan efisiensi

masing-masing komponen dan subsistem, sehingga pendapatan dan

nilai tambah terdistribusi secara merata.

Memberdayakan agribisnis sama halnya dengan pembangunan

pertanian yang identik dengan upaya pengentasan kemiskinan.

Masyarakat di daerah pedesaan merupakan bagian dari masyarakat

yang terpuruk secara struktural dan sebagian besar pendapatan rendah

dengan kualitas sumberdaya manusia yang minim serta kemampuan

permodalannya yang sangat lemah. Pendekatan yang dilakukan untuk

mengangkat derajat kehidupan petani adalah pendekatan pengentasan

kemiskinan dengan berempati pada kondisi sosiologis dari masyarakat

daerah pedesaan tersebut (Anonimous, 2001).

Dari perspektif lain, Huraerah (2005) menilai bahwa keberhasilan

pembangunan pertanian tidak hanya bergantung pada faktor teknologi

semata, tetapi juga bergantung pada sumber daya alam, sumber daya

manusia dan kelembagaan. Menurut Huraerah, faktor-faktor tersebut

saling menunjang dan merupakan satu rangkaian sistem yang tidak

dapat dipisahkan, jika salah satu atau lebih faktor tersebut tidak ada

atau tidak sesuai, maka kegiatan yang dilakukan tidak dapat

92 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

memberikan hasil yang diinginkan. Pengelolaan faktor-faktor tersebut

harus dilakukan secara berkelompok karena kelompok merupakan

suatu wadah dan wahana manusia untuk melangsungkan hidupnya.

Meminjam pemahaman yang digunakan Syahyuti (2006), tiap

kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat

di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma-

norma yang sudah disepakati dan sifatnya khas. Syahyuti (2010)

memberikan pandangan bahwa pengembangan kelompok-kelompok

tani yang tergabung dalam Gapoktan merupakan suatu proses lanjut

dari lembaga petani yang sudah berjalan baik, dan pemberdayaan

Gapoktan tersebut berada dalam konteks penguatan kelembagaan.

Untuk dapat berkembangnya sistem dan usaha agribisnis diperlukan

penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun

kelembagaan usaha dan pemerintah agar dapat berfungsi sesuai

dengan perannya masing-masing. Dengan kata lain, kelembagaan

petani dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan masyarakat

dan harus tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri. Dan

di sinilah kemudian relevannya model PUAP untuk memberdayakan

petani. Asumsinya adalah: fenomena kemiskinan di pedesaan terutama

disebabkan oleh: (1) Kurangnya akses terhadap sumber permodalan,

pasar dan teknologi; (2) Jumlah lahan yang terbatas; dan (3) Organisasi

tani yang lemah (Anonimous, 2008). PUAP mestinya mampu membuat

petani mandiri melalui bantuan dana yang bersifat langsung, apalagi

di dalam pelaksanaannya juga terdapat upaya pemberdayaan dan

pengembangan kelembagaan yang pada intinya bertujuan untuk

mensejahterakan petani.

B. 2. Metode Penelitian

Secara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini merujuk pada prinsip-prinsip penelitian deskriptif yang merupakan

sebuah model penelitian yang berorientasi pada upaya untuk

menggambarkan adanya hubungan antar variabel atau faktor-faktor

yang mempengaruhi munculnya suatu fenomena sosial yang dijadikan

obyek kajian.

Dari perspektif tujuan penelitian, pilihan desain atau rancangan

penelitian yang kemudian dipilih adalah desain penelitian studi kasus,

93FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

yakni penyelidikan sistematis atas suatu kejadian (event) atau gejala

khusus. Menurut Sarman ( 2004), studi kasus bukan pilihan metodologi,

melainkan sebuah obyek pilihan untuk dipelajari. Studi kasus juga

dikenal sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci

dan mendalam serta diarahkan sebagai upaya untuk menelaah

masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer terhadap

seseorang atau suatu unit sosial selama kurun waktu tertentu. Berikut

ini adalah beberapa alasan digunakannya studi kasus sebagai

pendekatan penelitian:

1. Pelaksanaan program PUAP merupakan isu mutakhir yang

banyak menarik perhatian para pihak untuk mengetahuinya

lebih jauh. Dengan dana yang sangat besar semestinya sebuah

Gapoktan bisa mengelola agar dapat berkembang dan

berkelanjutan. Namun dalam perjalanannya diketahui ada

banyak Gapoktan yang belum bisa mengelola dana, namun tak

sedikit juga Gapoktan yang berhasil mengelola dana dan

mengembangkan usaha agribisnisnya.

2. Efektivitas pelaksanaan Program PUAP pada umumnya belum

jelas karena rentang waktu pelaksanaannya masih sangat

pendek. Melalui studi kasus peneliti dapat menelaah secara

mendalam, detail, intensif dan menyeluruh dinamika yang

terjadi pada sebuah Gapoktan yang menjadi unit analisis.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fakta yang

berkaitan dengan pertanyaan “apa”, “mengapa” dan “bagaimana”

gejala yang terjadi sehingga sebuah Gapoktan bisa berhasil

memanfaatkan program PUAP dan Gapoktan lainnya tidak.

Oleh karena itu dalam penelitian ini observasi dilakukan terhadap

dinamika kelompok dan pengembangan usaha pada Gapoktan kasus.

Sebagai sampel dipilih dua buah Gapoktan pada desa dan kecamatan

yang berbeda dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang

komprehensif tentang gejala yang diteliti. Dua Gapoktan sampel

tersebut adalah: (1) Gapoktan Maju Bersama, Desa Bincau, Kecamatan

Martapura Kota, dan (2) Gapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam Pagar,

Kecamatan Martapura Timur.

94 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Gapoktan Maju Bersama, Desa Bincau, dipilih karena dari hasil

evaluasi Tim Evaluator Pusat ternyata Gapoktan ini selain berada dekat

dengan pusat ibukota Kabupaten Banjar, ternyata diindikasi belum

dapat mengelola dana PUAP yang dibuktikan dengan banyaknya

anggota yang menunggak maupun yang tidak mengembalikan

pinjaman. Sedangkan Gapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam Pagar

dipilih karena berdasarkan observasi pendahuluan untuk penelitian

diketahui telah dapat mengembangkan dana PUAP dengan nilai yang

cukup besar dan mampu menambah jumlah anggota yang

mendapatkan dana PUAP, padahal lokasinya agak jauh dari pusat

ibukota Kabupaten Banjar.

Dengan merujuk pada model studi kasus, maka dalam penelitian

ini digunakan metode triangulasi yang berbasis pada tiga sumber data

yaitu pengamatan (observasi) atas hasil kinerja Gapoktan, wawancara

dengan narasumber (pengurus Gapoktan terpilih), dan verifikasi

dokumen (terutama yang berkaitan dengan Dokumen PUAP, dokumen

Rencana Usaha Bersama (RUB), Buku Kas). Metode triangulasi ini secara

umum dipahami sebagai suatu proses yang menggunakan multi

persepsi untuk membuat klarifikasi makna informasi yang diperoleh

di lapangan, membuat verikasi atas pengulangan observasi dan

akhirnya melakukan interpretasi atas semua itu (Sarman, 2004).

C. HASIL PENELITIANC. 1. Gambaran Kondisional Pelaksanaan Program PUAP

Dalam pelaksanaan pembangunan pertanian, sebagian besar

pelaku/petani menghadapi kendala dalam permodalan, baik modal

yang dari sendiri maupun akses terhadap lembaga permodalan yang

ada. Dalam mengatasi keterbatasan modal petani tersebut, pemerintah

melalui dana APBN mengambil inisiatif untuk memberikan bantuan

modal dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kelompok

tani/Gapoktan. Pola BLM telah dimulai sejak tahun 2000 dan berlanjut

sampai dengan tahun 2008 melalui Program PUAP dan berlanjut

hingga 2010. Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan Program PUAP

adalah PERMENTAN Nomor 16/Permentan/OT.140/ 2/2008 tentang

Pedoman Umum (PEDUM).

95FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Untuk pelaksanaan PUAP, Menteri Pertanian membentuk Tim

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan melalui Keputusan Menteri

Pertanian (Kepmentan) Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007 yang

diketuai oleh Kepala Badan Pengembangan SDM dan dibantu oleh

Staf Khusus Menteri Pertanian Bidang Peningkatan Efisiensi

Pembangunan Pertanian dan Kepala Pusat Pembiayaan Pertanian

sebagai Sekretaris. Di tingkat provinsi diketuai oleh salah satu Kepala

Dinas Lingkup Pertanian dengan Sekretaris adalah Kepala (BPTP)

sedangkan anggota berasal dari instansi terkait lainnya. Di tingkat

kabupaten diketuai oleh salah satu Kepala Dinas Lingkup Pertanian

dan Sekretaris adalah Kepala Kelembagaan yang menangani Penyuluh

Pertanian, sedangkan anggota Tim Pelaksana adalah Penyelia Mitra

Tani (PMT) dan instansi terkait lainnya.

Di tingkat kecamatan diketuai oleh Camat dibantu oleh Kepala

Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sebagai sekretaris, Kantor Cabang

Dinas Pertanian (KCD) dan kepala desa lokasi PUAP sebagai anggota,

dan di tingkat desa terdiri dari Gapoktan dan Penyuluh Pendamping.

Tugas utama dari Tim Teknis Kecamatan adalah melaksanakan

kebijakan teknis yang dirumuskan oleh Bupati/Walikota dan

pengendalian pelaksanaan PUAP di tingkat Desa lingkup kecamatan

(Rivai, 2010).

Di Kabupaten Banjar, pada tahun 2008 terdapat 35 Gapoktan

pada 35 desa yang menjadi lokasi PUAP. Selanjutnya Bupati Banjar

menetapkan 35 Gapoktan tersebut sebagai Gapoktan Penerima Dana

PUAP di Kabupaten Banjar pada Tahun 2008, sebagaimana yang

tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Banjar Nomor 354 Tahun 2008

tanggal 30 April 2008. Sebelumnya Bupati Banjar juga mengeluarkan

Keputusan Nomor 349 Tahun 2008 tentang Pembentukan Tim Teknis

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Kabupaten Banjar

tanggal 29 April 2008, dan Keputusan Nomor 350 Tahun 2008 tentang

Pembentukan Tim Teknis Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

(PUAP) Tingkat Kecamatan di Kabupaten Banjar Tahun 2008 tanggal

29 April 2008. Dalam semua Surat Keputusan tersebut terurai dengan

jelas tugas dan tanggung jawab setiap orang tergantung kedudukannya

masing-masing di dalam Gapoktan maupun di dalam tim.

96 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Tugas utama dari tim Teknis Kabupaten/Kota adalah merumus-

kan kebijakan teknis pengembangan PUAP sebagai penjabaran dari

kebijakan umum pusat dan kebijakan teknis provinsi, mengkoordi-

nasikan pelaksanaan PUAP dengan PNPM Mandiri di tingkat

kabupaten/kota, menyetujui RUB yang diusulkan Gapoktan dan

melakukan pengendalian pelaksanaan PUAP di tingkat kecamatan dan

desa. Tim pelaksana ini bertanggung jawab kepada Bupati Banjar selaku

Ketua Tim Pengarah PUAP.

Gapoktan merupakan kelembagaan tani pelaksana PUAP untuk

penyaluran bantuan modal usaha bagi anggota kelompoktani.

Gapoktan dikukuhkan oleh Bupati dengan susunan terdiri dari Ketua,

Sekretaris dan Bendahara. Tugas pengurus Gapoktan adalah menyusun

RUB, melaksanakan pertemuan rutin, menyalurkan dan memantau

penggunaan dana BLM-PUAP kepada anggota serta menyusun laporan

pelaksanaan PUAP.

Pada tahun 2008 Kabupaten Banjar mendapatkan program BLM-

PUAP sebanyak 35 Gapoktan yang tersebar di 11 kecamatan,

sedangkan pada tahun 2009 Gapoktan yang ditetapkan untuk

mendapat program BLM-PUAP sebanyak 23 Gapoktan yang tersebar

di 9 Kecamatan (Tabel 1). Dengan demikian, setiap Camat yang salah

satu atau beberapa desanya menerima program PUAP, maka Camat

dan Kepala BPP di wilayah tersebut menjadi Tim PUAP Kecamatan.

Untuk mengendalikan pelaksanaan PUAP tahun 2008-2009 di

Kabupaten Banjar telah dilakukan beberapa kegiatan, salah satunya

adalah dengan melakukan kunjungan lapangan dalam rangka kegiatan

monitoring dan evaluasi pada Triwulan IV tahun 2009 yang dibentuk

dalam kelompok kerja Tim Kabupaten. Dari kegiatan monitoring dan

evaluasi ini dapat diketahui berbagai aktivitas yang dilakukan oleh

Gapoktan penerima PUAP tahun 2008 dan 2009, bagaimana

penyaluran dan pemanfataan dana PUAP yang telah diterima oleh

Gapoktan, serta kemungkinan apa saja yang terjadi selama pelaksanaan

program tersebut.

97FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Tabel 1. Daftar Wilayah Balai Penyuluhan yang MendapatTabel 1. Daftar Wilayah Balai Penyuluhan yang MendapatTabel 1. Daftar Wilayah Balai Penyuluhan yang MendapatTabel 1. Daftar Wilayah Balai Penyuluhan yang MendapatTabel 1. Daftar Wilayah Balai Penyuluhan yang Mendapat

Program PUAP Tahun 2008-2009 di Kabupaten Banjar.Program PUAP Tahun 2008-2009 di Kabupaten Banjar.Program PUAP Tahun 2008-2009 di Kabupaten Banjar.Program PUAP Tahun 2008-2009 di Kabupaten Banjar.Program PUAP Tahun 2008-2009 di Kabupaten Banjar.

Sumber: Bapeluh Kabupaten Banjar, 2010

Dari hasil pemantauan Tim Monitoring dan Evaluasi Kabupaten

terhadap 35 Gapoktan penerima dana PUAP tahun 2008 yang tersebar

di 11 kecamatan ditemukan fakta bahwa sebagian besar Gapoktan

masih mempunyai permasalahan yang hampir sama, yaitu minimnya

kemampuan membuat administrasi pembukuan. Masalah lain adalah

masih terdapat pengurus Gapoktan yang belum menyadari akan

pemanfaatan dana tersebut, yaitu untuk dikembangkan secara bergulir

dan berkelanjutan. Gagal panen ternyata menjadi alasan penerima

bantuan menunggak pembayaran, ditambah lagi dengan sistem

kesepakatan dengan sesama anggota kelompok yang belum jelas,

sehingga terkesan tidak ada yang ditanggunggugat. Sebagian kecil

anggota Gapoktan ada yang memanfaatkan dana untuk keperluan lain

yang tidak sesuai Rencana Usaha Anggota (RUA).

Fakta yang tidak jauh berbeda juga ditemukan oleh Tim Evalua-

tor Pusat pada empat desa sampel dari 35 desa penerima dana PUAP

2008 di Kabupaten Banjar. Dari hasil pemantauan mereka ditemukan

98 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

fakta bahwa hanya Desa Bawahan Selan dari keempat desa sampel

tersebut yang dapat dikategorikan berhasil mengelola dana PUAP.

Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau merupakan salah satu dari tiga

desa sampel yang cukup banyak mengalami tunggakan kredit, atau

dengan kata lain kredit macet sehingga dana tidak dapat bergulir di

masyarakat, bahkan nyaris tidak berkembang. Selain itu, juga terjadi

penyelewengan penggunaan dana karena tidak sesuai dengan Rencana

Usaha Bersama (RUB) dan kurang baiknya pembukuan keuangan

karena tidak sesuai dengan petunjuk dari Tim Teknis Kabupaten.

Bahkan, lebih parah lagi tidak dilakukan rapat bulanan anggota

Gapoktan sehingga perkembangan dana sulit terpantau.

Namun demikian pelaksanaan Program PUAP di Kabupaten

Banjar masih mempunyai harapan besar, karena masih ada Gapoktan

yang menunjukkan kinerja cukup baik. Indikasinya antara lain karena

terdapat perkembangan dana, pemanfaatan dana sesuai rencana,

administrasi pembukuan yang tertib serta meningkatnya jumlah

anggota Gapoktan yang menerima dana PUAP. Gapoktan yang

dimaksud adalah: (1) Gapoktan Bina Bersama, Desa Bunipah,

Kecamatan Aluh-Aluh; (2) Gapoktan Mitra Tani, Desa Bawahan Selan,

Kecamatan Mataraman; (3) Gapoktan Maju Bersama, Desa Tajau

Landung, Kecamatan Sungai Tabuk; (4) Gapoktan Harapan Baru, Desa

Telok Selong, Kecamatan Martapura Barat; dan (5) Gapoktan Rukun

Sejahtera, Desa Indra Sari, Kecamatan Martapura Kota. Sedangkan

observasi awal yang peneliti lakukan terhadap Gapoktan Berkat

Mufakat Desa Dalam Pagar diketahui telah terjadi perkembangan dana

yang cukup besar dalam waktu yang cukup singkat. Selain itu, dana

pun telah banyak bergulir pada anggota Gapoktan yang baru.

Program PUAP adalah salah satu program yang bertujuan untuk

mengurangi kemiskinan dan membuka kesempatan kerja melalui

penumbuhan dan pengembangan kegiatan agribisnis di perdesaan

potensi wilayah. PUAP merupakan bentuk fasilitasi bantuan modal

usaha untuk petani anggota, baik petani pemilik, petani penggarap,

buruh tani maupun rumah tangga tani yang dikoordinasikan oleh

Gapoktan. Dalam kasus dua Gapoktan, yakni Gapoktan Berkat Mufakat

dan Gapoktan Maju Bersama, dapat diidentifikasi temuan sebagai

berikut:

99FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

1 .1 .1 .1 .1 . Gapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam PagarGapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam PagarGapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam PagarGapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam PagarGapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam Pagar

Setelah para pengurus Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam

Pagar Kecamatan Martapura Timur dan Penyuluh Pendamping

setempat mengetahui bahwa mereka termasuk sebagai salah satu

penerima PUAP yang tertuang dalam Keputusan Bupati Banjar Nomor

354 Tahun 2008 tanggal 30 April 2008, maka para pengurus Gapoktan

didampingi Penyuluh Pendampingnya segera melakukan berbagai

persiapan yang berkenaan dengan pencairan dana PUAP, termasuk

menyusun Rencana Usaha Bersama (RUB) yang dimulai dari tahap

penyusunan Rencana Usaha Anggota (RUA) dan Rencana Usaha

Kelompok (RUK). Melalui penyusunan RUA para petani diajar

Penyuluh Pendamping untuk mengenal dan berusaha memecahkan

masalah mereka sendiri dan hal ini dapat dikatakan sebagai langkah

awal dari sebuah proses pemberdayaan (empowering process).

Desa Dalam Pagar merupakan desa yang penduduknya bermata

pencaharian bukan saja dari sektor pertanian (41,50%), tapi juga dari

sektor kerajinan (45,40%). Penduduk di desa ini sejak dulu dikenal

sebagai pengrajin usaha kecil seperti sulaman, bordir, perak. Sebagian

lagi bergerak di bidang produksi kue-kue basah untuk memenuhi

permintaan konsumen di pasar Martapura. Penduduk di desa ini juga

dikenal bermata pencaharian ganda, karena tidak jarang ditemui ada

kepala rumah tangga yang menjadi petani atau peternak tapi juga

menjadi tukang, lalu istrinya menjadi pembuat kue basah, dan anak-

anaknya menjadi pengrajin perak atau sulaman. Desa Dalam Pagar

boleh dikatakan sebagai desa yang nilai kekerabatannya cukup erat

dan suasananya agamis, sehingga mayoritas penduduknya lebih

memilih untuk menempuh pendidikan di sekolah-sekolah agama. Selain

itu penduduknya merupakan penduduk asli yang lahir dan besar di

sana. Nilai-nilai agama yang kuat tersebut diduga berpengaruh

terhadap penyaluran dana PUAP dan aturan-aturan yang ditetapkan

dalam pengelolaan dana PUAP tersebut.

Dalam proses penyaluran dana PUAP, Gapoktan memiliki peran

sebagai pengambil keputusan. Pada Gapoktan Berkat Mufakat-Desa

Dalam Pagar, proses peminjaman uang lebih berdasarkan atas

kepercayaan karena mereka beranggapan telah mengenal karakter

masing-masing penduduknya. Seorang calon peminjam cukup mengisi

100 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

formulir dan memperlihatkan barang jaminan karena di desa ini

ternyata juga menggunakan akad murabahah untuk menghindarkan

riba. Mereka beranggapan jika meminjam sesuatu dalam bentuk uang

kemudian membayarnya disertai bunga sudah termasuk riba, oleh

karena itu mereka menggunakan barang yang dimilikinya sebagai

pengganti uang yang dipinjam (sistem murabahah). Pengurus Gapoktan

akan membeli barang tersebut, kemudian anggota yang meminjam uang

akan membelinya kembali dengan jalan menyicil, sehingga tidak terjadi

riba. Nilai barang yang dijadikan alat tukar disesuaikan dengan jumlah

uang yang akan dipinjam seperti yang diakui oleh G, Sekretaris Desa

Dalam Pagar, dalam wawancara pada tanggal 15 Juni 2010.

Meskipun para pengurus Gapoktan, Penyuluh Pendamping,

Aparat Desa maupun anggota Gapoktan sendiri sudah mengetahui

bahwa dana PUAP semestinya hanya disalurkan kepada petani, buruh

tani maupun rumah tangga tani yang menjadi anggota Gapoktan,

ternyata ada sebagian dana yang disalurkan kepada bukan anggota

Gapoktan, tetapi kepada para pengrajin usaha kecil, yaitu pengrajin

sulaman dan pembuat perhiasan perak. Hal tersebut sudah menjadi

kesepakatan dan merupakan hasil rapat anggota Gapoktan dengan

aparat desa serta Penyuluh Pendamping, meskipun dalam Rencana

Usaha Bersama (RUB) yang mereka susun tetap merupakan usaha

agribisnis. Menurut pengakuan Gun, informan yang menjadi pengurus

Gapoktan Berkat Mufakat hal ini dilakukan untuk membantu semua

warga desa.

“Kami tidak bisa meminjamkan dana kepada petani saja, tapi

juga kepada pengrajin, karena jumlah pengrajin di desa kami

hampir separo dari jumlah penduduk di sini. Mereka biasanya

membuat kerajinan sulaman dan pembuat emas. Ada juga yang

berjualan kue basah di pasar. Mereka juga perlu bantuan modal,

tapi mereka dapat dari mana? Mau pinjam di bank kan susah.

Kemarin ada bantuan mesin jahit dari pemerintah, tapi tidak

ada yang dalam bentuk modal, padahal itu yang lebih mereka

perlukan. Jadi dari hasil rapat kami putuskan sekitar 60% dana

untuk petani dan sisanya untuk pengrajin. Di sini kami

mengutamakan kebersamaan. Dan yang penting mereka bisa

101FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

lancar membayar cicilan, dana tidak hilang dan dapat terus

berkembang” (Wawancara dengan Gun, 1 Juni 2010).

Ketika dikonfirmasi dengan salah satu pengrajin di Desa Dalam

Pagar (bernama Dun) yang meminjam dana PUAP untuk usaha

sulaman, ternyata ada perkecualian dalam pelaksanaan program, dan

kebetulan tidak menimbulkan masalah.

“Saya meminjam lima ratus ribu untuk modal beli kain dan

benang. Memang katanya tidak boleh, tapi kami kan lancar

bayar cicilan ditambah uang jasa. Kami ini masyarakat kecil

yang perlu dibantu juga oleh pemerintah. ” (Wawancara dengan

D, 3 Juni 2010).

Rasa saling percaya, kekeluargaan, kebersamaan di antara anggota

Gapoktan dan masyarakat rupanya cukup dapat mendukung pengurus

Gapoktan Berkat Mufakat untuk aktif dalam kepengurusan mereka.

Meskipun secara administrasi tata kelola pembukuan mereka masih

belum bisa dikatakan baik, namun dengan adanya Program PUAP para

pengurusnya telah belajar membuat peraturan atau aturan main yang

telah disepakati bersama di antaranya dengan membentuk “kelompok

penagih” yang terdiri dari pengurus Kelompok Tani Sepakat dan

pengurus Kelompok Tani Mufakat. Setiap tanggal 15 para pengurus

Poktan yang tergabung dalam “kelompok penagih” akan mengadakan

pertemuan dan selanjutnya akan berkeliling desa guna menagih cicilan

kepada setiap peminjam dana PUAP di desa mereka. Para pengurus,

anggota dan aparat desa juga sepakat untuk memotong dana sebesar

56,28% dari laba yang diperoleh setiap bulannya guna operasional

pengurus Gapoktan dan 14,07% untuk biaya administrasi. Para

pengurus memiliki semangat bekerjasama dalam kepengurusannya.

Adanya “kelompok penagih” ini nampaknya cukup efektif untuk

mengembangkan dana PUAP yang ada. Apalagi sebagian besar

peminjamnya bukanlah petani yang memiliki resiko gagal panen atau

peternak yang berisiko ternaknya mati, melainkan para pengrajin yang

memiliki resiko usaha cukup rendah namun memiliki nilai jual produksi

yang cukup tinggi. Akibatnya mereka dapat lebih mampu membayar

meskipun jasa yang dikenakan cukup besar, yaitu 2% per bulan dari

102 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

plafon pinjaman. Perkembangan dana yang cukup signifikan pada

Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar ini dapat dilihat pada

Tabel 2 yang menggambarkan alur dana program.

Tabel 2.

Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada Gapoktan

Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar Periode Maret - September 2009

Sumber: Laporan Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar Periode Maret - September

2009. Diolah.

Berdasarkan laporan terakhir Gapoktan Berkat Mufakat-Desa

Dalam Pagar dari bulan Maret hingga September 2009 telah berhasil

disalurkan dana sebesar Rp168.350.000 kepada 142 orang anggota

melalui dua tahap pencairan. Pada tahap I (Maret 2009) disalurkan

dana sebesar Rp87.500.000, yang murni berasal dari dana PUAP.

Selanjutnya pada tahap II (April–September 2009) disalurkan dana

sebesar Rp80.850.000 yang berasal dari dana PUAP dan angsuran

anggota. Selama kurun waktu enam bulan dari Maret hingga Septem-

ber 2009 telah kembali dana sebesar Rp86.532.250, dengan rincian

Rp71.460.625 dari cicilan pokok dan Rp15.071.625 sebagai keuntungan

Gapoktan. Dengan demikian masih tersisa Rp96.889.375 (57,55%) dari

dana pokok yang belum kembali. Keuntungan sebesar Rp15.071.625

diperoleh berdasarkan akad jual beli dengan sebesar 2% per bulan dari

plafon pinjaman.

Pada Gapoktan ini sebenarnya juga masih terdapat anggota yang

menunggak pembayaran, namun demikian dengan dana yang telah

berkembang tadi ternyata sudah dapat digulirkan ke anggota baru.

Dari 15 orang sampel diperoleh informasi bahwa terdapat sebelas

orang yang lancar membayar cicilan (73,33%), dan empat orang yang

melakukan tunggakan (26,67%). Alasan penunggakan mereka karena

uang digunakan untuk keperluan keluarga dan karena ternak mereka

mati.

103FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Penyuluh Pendamping di desa ini pun cukup aktif membina

petaninya sehingga masalah-masalah yang dihadapi petani dapat

diakomodir. Penyuluh Pendamping memegang peranan yang cukup

penting dalam menyampaikan materi penyuluhan maupun ide-ide

baru. Para penerima dana PUAP di Gapoktan Desa Dalam Pagar ini

merasakan manfaat yang cukup besar dari bantuan modal yang mereka

peroleh, karena sebelumnya ada sebagian yang meminjam dana dari

rentenir dengan bunga yang besar. Dana yang berkembang hingga

September 2009 telah dapat dirasakan oleh 128 orang penduduk di

desa tersebut.

Meskipun penyaluran dana di Gapoktan ini belum sepenuhnya

sesuai sasaran PUAP, namun dari dana yang dipinjamkan tersebut

telah dapat meningkatkan hasil produksi kerajinan perak. Menurut

penuturan As, pada wawancara tanggal 12 Juni 2010, dengan bantuan

dana PUAP sebesar Rp1.000.000, dia dapat menambah jumlah cincin

perak kerajinannya, sehingga penghasilannya tidak hanya tergantung

dari jumlah upahan membuat cincin saja. Hal senada juga diungkapkan

oleh Muh pada tanggal yang sama yang telah dapat menambah

populasi ternak itiknya dari pinjaman sebesar Rp1.500.000 yang ia

terima. Namun demikian, para petani dan pengrajin di desa ini tetap

membutuhkan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan

usaha mereka.

PUAP sebagai sesuatu yang baru ternyata telah mulai dapat

berdifusi di masyarakat, karena ada dukungan dari anggota Gapoktan

dan masyarakat sebagai anggota suatu sistem sosial. Selain itu juga

telah ada Gapoktan sebagai wadah komunikasi yang kepengurusannya

cukup aktif selama Program PUAP ini berlangsung.

2 .2 .2 .2 .2 . Gapoktan Maju Bersama, Desa BincauGapoktan Maju Bersama, Desa BincauGapoktan Maju Bersama, Desa BincauGapoktan Maju Bersama, Desa BincauGapoktan Maju Bersama, Desa Bincau

Setelah mengetahui Gapoktannya merupakan salah satu desa

penerima Program PUAP, maka langkah selanjutnya Gapoktan Maju

Bersama mulai mengadakan rapat guna menyusun langkah

selanjutnya, terutama yang berkaitan dengan pencairan dana. Langkah

pertama adalah menyusun Rencana Usaha Anggota (RUA), kemudian

dari RUA akan disusun menjadi Rencana Usaha Kelompok (RUK) dan

selanjutnya disusun menjadi Rencana Usaha Bersama (RUB). RUB

104 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

harus disahkan melalui Rapat Anggota untuk melengkapi persyaratan

administrasi pengajuan dana PUAP. RUB merupakan sebuah rencana

usaha untuk pengembangan usaha agribisnis yang disusun oleh

Gapoktan berdasarkan kelayakan usaha dan potensi desa. Dari sebuah

RUB akan diketahui secara umum identitas Gapoktan (nama, alamat

Gapoktan, tanggal pengukuhan/pendirian, pengurus, nomor rekening,

nama dan alamat bank), jenis usaha produktif, satuan volume dan

nilainya.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada Yun, Bendahara

Gapoktan Maju Bersama pada tanggal 28 April 2010, diketahui bahwa

Gapoktan ini hanya beberapa kali melakukan rapat anggota, itu pun

hanya pada saat penyusunan RUB di bulan Agustus 2008 dan saat

penyaluran dana di bulan April. Anggota sangat sulit dihadirkan dalam

rapat anggota dengan berbagai alasan, akibatnya banyak hal yang tidak

dapat dikomunikasikan dengan pengurus Gapoktan maupun sesama

anggota. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Ek, Penyuluh Pendamping

desa setempat.

“Saya sudah berusaha melakukan pendampingan mulai dari

penyusunan RUA hingga RUB. Pada awalnya anggota antusias

berhadir dalam rapat. Para anggota kami ajarkan menyusun

rencana usahanya sendiri. Hanya saja setelah dana cair sangat

sulit mengumpulkan mereka meskipun sudah diundang secara

lisan dan tulisan. Katanya, kalau rapat nanti ditagih

pinjamannya, makanya sebagian jadi malas datang”

(Wawancara dengan Ek, 12 Mei 2010).

Pada bulan Maret 2009, berdasarkan usulan dari Tim Pembina

Tingkat Provinsi, Pusat Pembiayaan Pertanian telah memproses

pencairan dana BLM-PUAP melalui KPPN Jakarta V kepada rekening

Gapoktan melalui Bank BRI yang ditetapkan oleh Departemen

Pertanian sebesar Rp100 juta. Sesuai prosedur penarikan dana,

Pengurus Gapoktan PUAP selanjutnya menginformasikan kepada

seluruh petani anggota melalui Poktan bahwa dana PUAP telah masuk

ke rekening Gapoktan. Seluruh Poktan diminta oleh Pengurus Gapoktan

untuk menentukan jadwal penarikan sesuai dengan RUK dan Pengurus

Poktan meminta kepada seluruh petani anggota untuk menentukan

105FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

jadwal penarikan sesuai dengan RUA. Penarikan dana BLM-PUAP

dari Kantor Bank Cabang/Unit Bank Penyalur dilaksanakan secara

bertahap sesuai dengan jadwal pemanfaatan yang disepakati pada

Rapat Anggota dan formulir penarikan dana PUAP harus

ditandatangani oleh Ketua dan Bendahara Gapoktan.

Sesuai prosedur penyaluran dana PUAP, setelah dana berada di

Gapoktan, dana akan diserahkan kepada Ketua Poktan sesuai dengan

RUK, selanjutnya menjadi tugas ketua Poktan untuk menyalurkan dana

tersebut kepada anggota kelompok tani sesuai dengan RUA. Anggota

Gapoktan Maju Bersama ini semuanya adalah petani sayur, oleh karena

itu dana disalurkan sesuai dengan jenis usaha mereka, hanya ada satu

orang yang menggunakannya untuk membeli ternak sapi. Dari hasil

wawancara dengan sejumlah narasumber dapat diketahui bahwa para

penerima dana PUAP di Gapoktan Maju Bersama-Desa Bincau ini

memang berprofesi sebagai petani sayur dan layak menerima dana

tersebut, karena meskipun mereka hanya petani, namun mereka

memiliki usaha dan punya potensi untuk mengembalikan pinjaman.

Pada Gapoktan Maju Bersama-Desa Bincau para anggota dan

pengurus Gapoktan sepakat untuk menerapkan aturan yang ketat

dalam peminjaman uang. Bagi petani yang akan meminjam uang, selain

harus sudah menjadi anggota Gapoktan, dia juga harus memenuhi

kelengkapan permohonan pinjaman/kredit. Hal ini terungkap dari

hasil wawancara dengan sejumlah Gapoktan Maju Bersama Desa

Bincau, termasuk D.

“Kemarin waktu mau pinjam saya harus mengisi formulir kredit,

formulir informasi pokok, menyerahkan fotocopy KTP suami

dan istri, fotocopy kartu keluarga, fotocopy kartu anggota dan

pas foto. Terus pakai materai” (Wawancara dengan D, 8 Mei

2010).

Namun aturan yang ketat pada saat peminjaman uang ternyata

tidak menjamin para peminjam memiliki kesadaran untuk

mengembalikan pinjaman. Apalagi tidak pernah disepakati adanya

sanksi bagi anggota yang tidak pernah membayar pinjaman maupun

yang menunggak pembayaran. Dari wawancara yang dilakukan

kepada sejumlah anggota dan verifikasi dengan pengurus Gapoktan,

106 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

serta merujuk pada buku kas Gapoktan, diperoleh fakta bahwa dari

15 orang anggota Gapoktan yang diwawancarai ternyata hanya tujuh

orang (46,67%) yang lunas membayar pinjaman disertai uang jasa

sebesar 0,5% dari total pinjaman, empat orang menunggak (26,47%)

dan empat orang lainnya (26,47%) tidak pernah membayar cicilan

meskipun disepakati tempo peminjaman selama 12 bulan.

Ketika ditanyakan alasan mengapa mereka menunggak

pembayaran atau tidak pernah mengembalikan pinjaman, ternyata

jawabannya beragam. Ada yang beralasan karena gagal panen, atau

beralasan tidak ada yang menagih, dan juga karena uang PUAP telah

digunakan untuk keperluan keluarga (seperti yang dikemukakan oleh

Sus). Ada pula yang beralasan uangnya telah hilang dicuri maling

sebelum sempat dimanfaatkan untuk modal usaha (seperti yang

dikatakan oleh Par). Sedangkan Sus pada wawancara tanggal 2 Mei

2010 mengaku menunggak karena ikut-ikutan saja, karena dia melihat

banyak anggota lain yang menunggak dan mereka tidak mendapatkan

sanksi apa pun. Nampaknya sikap saling percaya (trust), keterikatan

(cohesiveness) dan saling mendukung (supportiveness) di Gapoktan

ini agak kurang. Para petani yang tergabung dalam Gapoktan Maju

Bersama-Desa Bincau mayoritas bukanlah penduduk asli Desa Bincau.

Penduduk di desa ini umumnya merupakan pendatang dari tempat

yang berbeda, kemudian membeli tanah dan mendirikan rumah di desa

ini. Hal ini diduga menjadi penyebab mengapa rasa kekerabatan di

antara mereka agak kurang.

Alasan penunggakan yang agak berbeda dikemukakan oleh Muh,

pada wawancara tanggal 29 April 2010. Dia menggunakan dana PUAP

jusru untuk dana talangan.

“Sebelum uang PUAP cair kebetulan saya sudah minjam uang

dari PT Pupuk Kaltim. Kemarin agunannya rumah, jadi terpaksa

uang hasil usaha saya bayarkan dulu ke Pupuk Kaltim, nanti

kalau sudah lunas baru saya kembali membayar cicilan PUAP”

(Wawancara dengan M, tanggal 29 April 2010)

Banyaknya anggota Gapoktan penerima dana PUAP yang

menunggak maupun yang tidak membayar cicilan ternyata berimplikasi

terhadap perkembangan dana PUAP itu sendiri. Pada Gapoktan Maju

107FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Bersama-Desa Bincau hanya terjadi sedikit perkembangan dana. Dari

Rp100.000.000 yang disalurkan kepada 53 orang anggota dengan

jangka waktu pinjaman 12 bulan, pada kondisi April 2010 uang pokok

yang kembali hanya Rp47.812.500 (47,81%) ditambah jasa sebesar 0,5%

dari pinjaman sehingga diperoleh keuntungan Rp1.319.500. Berarti

Rp52.187.500 (52, 19% ) uang pokok masih di tangan anggota (Tabel 3).

Tabel 3. Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada Tabel 3. Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada Tabel 3. Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada Tabel 3. Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada Tabel 3. Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada

Gapoktan Gapoktan Gapoktan Gapoktan Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau Periode Maret 2009 - April 2010Maju Bersama Desa Bincau Periode Maret 2009 - April 2010Maju Bersama Desa Bincau Periode Maret 2009 - April 2010Maju Bersama Desa Bincau Periode Maret 2009 - April 2010Maju Bersama Desa Bincau Periode Maret 2009 - April 2010

Sumber: Buku kas Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau periode Maret 2009 – April 2010. Diolah.

Meskipun sebagian besar anggota Gapoktan Maju Bersama Desa

Bincau tidak lancar mengembalikan pinjaman, namun dari cicilan yang

sudah diterima kemudian dipinjamkan kembali kepada anggota yang

telah melunasi pinjamannya, dan beberapa anggota baru lainnya. Fakta

lain, meskipun banyak anggota yang menunggak namun mereka

merasakan manfaat yang cukup besar dari dana PUAP yang diperoleh,

apalagi nilai yang diterima cukup besar untuk menambah modal usaha.

Hal itu dilakukan misalnya oleh F, salah seorang anggota Gapoktan

Maju Bersama-Desa Bincau, yang mengaku bahwa bantuan PUAP

sangat bermanfaat, terutama di saat panen sawi dan timun sedang

gagal yang menyebabkan modal tanam habis. Dengan bantuan dari

PUAP senilai Rp1.400.000, F dapat memulai usahanya kembali dan

memperluas areal usahanya dari lima borong menjadi tujuh borong,

meskipun tanahnya hanya berstatus pinjaman. Dari peningkatan areal

tanam itu F dapat meningkatkan produksi sayurnya; dan F pun dapat

lancar membayar pinjaman pada tahap pertama. Bahkan kemudian

dia meminjam lagi sebesar Rp3.000.000 untuk tahap kedua yang

dipergunakan untuk membeli bibit, obat-obatan serta pupuk.

Di desa kasus, Gapoktan yang telah terbentuk boleh dibilang tidak

aktif, dan bahkan setelah ada program PUAP. Namun demikian,

108 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

sejumlah anggota Gapoktan penerima dana PUAP rupanya tidak

tergantung pada aktivitas pengurus Gapoktan. Sebagai contoh kasus F

misalnya, mengaku tetap berusaha melaksanakan kewajibannya

sebagai peminjam. Hal tersebut juga diakui oleh Y, salah seorang

pengurus Gapoktan. Menurutnya tidak aktifnya kepengurusan

Gapoktan serta belum optimalnya pendampingan dari Penyuluh

Pendamping membuat banyak hal tidak dapat didiskusikan dan

dipecahkan oleh anggota-anggota Gapoktan maupun Pengurus

Gapoktan sendiri. Lokasi tempat tinggal anggota dan pengurus

Gapoktan memang terpisah dengan pusat pemerintahan Desa Bincau

sendiri, sehingga hal ini diduga menjadi penyebab kurang optimalnya

pendampingan Penyuluh setempat.

Menurut E, Penyuluh Pendamping desa setempat, Gapoktanlah

yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap kelancaran pembayaran

cicilan PUAP (Wawancara tanggal 28 Mei 2010). Sedangkan menurut

pendapat B, pejabat pelaksana di Badan Pelaksana Penyuluhan

Kabupaten Banjar, Gapoktan berfungsi sebagai executing dalam

penyaluran dana PUAP, sehingga Gapoktan seharusnya memiliki SDM

yang mampu mengelola usaha agribisnis dan mempunyai

kepengurusan yang aktif. Terjadinya tunggakan ini menurutnya antara

lain diduga karena terlalu singkatnya waktu sosialisasi PUAP,

kurangnya komitmen penerima bantuan terhadap dana yang diterima

dan tidak maksimalnya pembinaan yang dilakukan oleh Penyuluh

Pendamping, PMT dan Tim Teknis Kabupaten (wawancara tanggal

24 Juni 2010).

Dari penelusuran di lapangan diperoleh informasi bahwa belum

terjadi peningkatan kemampuan usaha pada anggota Gapoktan Maju

Bersama Desa Bincau karena memang amat tidak memadai peran

Penyuluh Pendamping. Dalam pemahaman warga masyarakat anggota

Gapoktan, seorang Penyuluh Pendamping semestinya melakukan

pendampingan bukan saja karena ada Program PUAP. Menurut

pengakuan H, anggota Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau, mereka

sangat memerlukan bimbingan dalam berusaha tani, terutama pada

saat pertanaman dan ketika mengalami serangan hama penyakit yang

cukup meresahkan.

109FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Anggota Gapoktan lain, T pada wawancara tanggal 15 Mei 2010

mengungkapkan bahwa Penyuluh Pendamping memang telah

memberikan pendampingan, namun sayangnya materi yang diberikan

terkadang kurang menyentuh kebutuhan mereka. Para petani sangat

membutuhkan ide-ide baru yang dapat mengubah hasil usaha mereka

ke arah yang lebih baik. Demikian pula halnya dengan Program PUAP

dapat dikategorikan sebagai suatu ide baru (inovasi) yang harus

didifusikan oleh seorang Penyuluh Pendamping sebagai agen pembaru

kepada para anggota Gapoktan. Namun kenyataannya kebutuhan

petani tersebut belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh Penyuluh

Pendamping desa mereka

C. 2. Evaluasi Program Pemberdayaan

Program PUAP merupakan salah satu model intervensi kepada

komunitas yang harus melibatkan kreativitas dan kerjasama

masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung di

dalam Gapoktan. Kreativitas dan kerjasama anggota-anggota

Gapoktan antara lain harus diwujudkan dalam proses penyusunan

RUB yang sebenarnya bersifat formal. Semua anggota semestinya

mengetahui dan menjalankan rencana tersebut karena RUB sudah

disahkan melalui rapat anggota dan sudah bersifat aspiratif.

Penyusunan RUB pada Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau dan

Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar telah melalui proses rapat

yang dihadiri oleh pengurus Gapoktan, anggota Gapoktan dan

Penyuluh Pendamping, sehingga RUB tersebut sudah diketahui dan

disahkan oleh peserta rapat, dan boleh dikatakan sudah bersifat

bottom up yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat.

Dengan diikutkannya anggota Gapoktan dalam rapat penyusunan

RUB (perencanaan) tersebut berarti anggota Gapoktan telah ikut

berpartisipasi dalam salah satu tahap proses pembangunan. Partisipasi

sendiri merupakan satu bagian penting dari pemberdayaan dan

penumbuhan kesadaran. Hal ini seperti yang digagas oleh Ife (2008),

bahwa semakin banyak orang yang menjadi peserta aktif dan semakin

lengkap partisipasinya, semakin ideal kepemilikan dan proses

masyarakat serta proses-proses inklusif yang akan diwujudkan.

110 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa RUB disusun

berdasarkan Rencana Usaha Kelompok (RUK), sedangkan RUK

disusun berdasarkan Rencana Usaha Anggota (RUA) yang merupakan

hasil pemetaan masalah dan kebutuhan dari anggota (masyarakat).

Dari fakta tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa masyarakat sudah

mulai belajar mengenal dan berusaha memecahkan masalah mereka

sendiri, dan hal sebenarnya menggambarkan suatu proses

pemberdayaan (empowering process) sebagaimana pendapat Chambers

(2002), bahwa partisipasi dimaknai sebagai suatu proses yang

memampukan (enable) masyarakat lokal untuk melakukan analisis

masalah mereka, memikirkan cara mengatasinya, mendapatkan rasa

percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri

tentang alternatif pemecahan masalah apa yang mereka pilih.

Dari proses partisipasi tersebut di atas diharapkan masyarakat

mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap program

tersebut sehingga mereka merasa ikut bertanggungjawab terhadap

keberhasilan sebuah program. Tumbuhnya rasa memiliki (sense of be-

longing) ini adalah salah satu tujuan dari pembangunan partisipatif.

Hal ini seperti yang dibayangkan oleh Wrihatnolo (2007), bahwa proses

pemberdayaan hendaknya meliputi enabling (menciptakan suasana

kondusif), empowering (penguatan kapasitas dan kapabilitas

masyarakat), protecting (perlindungan dari ketidaadilan), supporting

(bimbingan dan dukungan) dan foresting (memelihara kondisi yang

kondusif tetap seimbang). Pada gilirannya diharapkan akan terwujud

kapasitas ketahanan masyarakat secara lebih bermakna, bukan

sebaliknya bahwa stimulan dan proses menjebak masyarakat dalam

suasana yang penuh ketergantungan.

Dalam model pemberdayaan masyarakat diperlukan adanya peran

pelaku perubahan (Ife, 2002). Bahkan dalam diskursus komunitas,

pelaku perubahan memegang peran sebagai community worker

ataupun enabler. Penyuluh Pendamping dalam Program PUAP

berperan sebagai community worker , dan mestinya mampu

menunjukkan sekurang-kurangnya empat peran dan keterampilan

utama yang nantinya secara lebih spesifik akan mengarah pada teknik

dan keterampilan tertentu yang harus dimiliki seorang community

111FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

worker sebagai pemberdaya masyarakat, yakni: (1) peran dan

keterampilan fasilitatif (facilitative roles and skills); (2) peran dan

keterampilan edukasional (educational roles and skills);(3) peran dan

keterampilan perwakilan (representational roles and skills); dan (4)

peran dan keterampilan teknis (technical roles and skills).

Dalam proses pemberdayaan yang pada hakikatnya merupakan

upaya penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi

masyarakat berkembang (enabling) didasarkan pada asumsi bahwa

tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Setiap masyarakat

pasti memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka tidak

menyadari, atau daya tersebut belum diketahui secara eksplisit. Oleh

karena itu daya harus digali, dan kemudian dikembangkan. Dari

penelitian ini tampaknya petani-petani anggota Gapoktan Maju

Bersama Desa Bincau maupun petani dan peternak anggota Gapoktan

Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar serta para pengrajin di desa Dalam

Pagar yang juga menerima dana PUAP sebenarnya memiliki daya yang

harus terus digali dan dikembangkan.

Meskipun dengan menerima dana PUAP telah mampu

meningkatkan aktivitas agribisnis para petani, namun mereka tetap

membutuhkan pelatihan dan pembinaan. Selama ini materi yang

disampaikan oleh Penyuluh Pendamping sebagian besar kurang

menyentuh kebutuhan mereka, terutama jika dikaitkan dengan usaha

pengembangan agribisnis. Penyuluh Pendamping sendiri belum

mendapatkan pelatihan khusus mengenai strategi pengembangan

usaha agribisnis, padahal pelatihan merupakan peran edukasional yang

paling spesifik karena secara mendasar memfokuskan pada upaya

mengajarkan komunitas sasaran bagaimana cara melakukan sesuatu

hal yang akan berguna bagi mereka secara khusus dan lebih luas lagi

kepada komunitasnya.

Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa pelatihan pada

dasarnya hanya akan efektif bila keterampilan yang diajarkan adalah

keterampilan yang diinginkan oleh masyarakat. Bila pelatihan itu

dikemas karena pelaku perubahan (Penyuluh Pendamping) sebagai

pemberdaya masyarakat merasa bahwa warga perlu mendapatkan

pelatihan itu, si pelaku perubahan harus bersiap-siap kecewa karena

112 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

pelatihan yang dilaksanakan seringkali lebih produktif bila benar-benar

diinginkan oleh warga.

Keswadayaan anggota Gapoktan nampaknya sudah mulai tumbuh

yang dibuktikan dengan mulai berkembangnya dana PUAP di kedua

Gapoktan sampel walaupun dengan jumlah yang jauh berbeda, karena

perkembangan terbesar terjadi di Gapoktan Berkat Mufakat Desa

Dalam Pagar, dan jumlah informan yang menunggak pun lebih sedikit

daripada di Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau, yaitu hanya 26,67%.

Sedangkan pada Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau dari 15 informan

terdapat empat orang menunggak (26,47%) dan empat orang (26,47%)

tidak pernah membayar. Nampaknya berbagai usaha yang sudah

dilakukan oleh Gapoktan, Penyuluh Pendamping dan Tim Teknis untuk

mencapai berbagai sasaran PUAP masih terus harus dioptimalkan.

Membangun agribisnis berarti mengintegrasikan pembangunan

pertanian, industri dan jasa, sedangkan membangun pertanian saja

menyebabkan pertanian, industri dan jasa saling terlepas. Membangun

pertanian saja tidak mungkin mewujudkan perekonomian modern dan

berdaya saing. Oleh karena itu, tampaknya cukup relevan pendapat

Saragih (2001) bahwa kebijakan membangun agribisnis berarti juga

membangun usaha kecil menengah, koperasi, dan membangun daya

saing perekonomian, membangun dan melestarikan lingkungan hidup,

serta membangun bangsa dan negara ini seutuhnya.

C. 3. Evaluasi Pengembangan Kelembagaan

Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan merupakan

terobosan baru dari Departemen Pertanian Republik Indonesia yang

bertujuan mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan

melalui fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik

petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga

tani yang dikoordinasikan oleh Gapoktan. Modal usaha ternyata

merupakan jenis bantuan yang sangat diperlukan oleh masyarakat,

khususnya para petani. Hal ini sesuai pendapat dari Lembaga Penelitian

Universitas Lambung Mangkurat dan Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Banjar (2009) ) ) ) ) yang

menyatakan bahwa bahwa bantuan modal merupakan bentuk pro-

gram yang paling besar persentasenya diharapkan membantu

113FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

memperbaiki keadaan ekonomi penduduk di Kabupaten Banjar dengan

persentase 85,2%. Program PUAP merupakan inovasi baru yang harus

didifusikan ke masyarakat agar terjadi perubahan ke arah yang lebih

baik sehingga tujuan program dapat tercapai. Difusi sendiri menurut

Hanafi (1986) merupakan suatu proses penyebaran inovasi kepada

anggota suatu sistem sosial.

Menurut Rogers (2003), ada empat unsur yang berperan dalam

proses difusi, yaitu 1) inovasi yang ; 2) dikomunikasikan melalui saluran

tertentu; 3) dalam jangka waktu tertentu; kepada 3) anggota suatu

sistem sosial. Dengan merujuk pada pendapat tersebut, dapat dikatakan

bahwa agar Program PUAP dapat didifusikan kepada petani dalam

jangka waktu tertentu, diperlukan suatu wadah sebagai saluran

informasi, dan wadah yang dimaksud tidak lain adalah Gabungan

Kelompok Tani.

Menurut Wahyu (1991) sebuah kelompok berfungsi bagi individu

dalam hal antara lain: (1) memberikan latihan dan dukungan bagi

anggota-anggotanya; (2) memberikan wadah bagi pengembangan

intelektual dan emosinya; (3) memberikan kader-referensi untuk

mengaitkan diri, sehingga muncul loyalitas, kesetiakawanan di antara

anggotanya; (4) memberikan ide-ide, tujuan-tujuan tertentu serta azas-

azas perjuangan hidupnya; dan (5) kelompok dijadikan sebagai

wahana untuk mencapai cita-citanya. Demikian pula halnya dengan

Gapoktan yang terbentuk dari kesamaan masalah yang dihadapi para

petani di suatu wilayah. Agar Gapoktan sebagai wadah komunikasi

para petani dapat melaksanakan fungsinya, dituntut adanya dinamika

kelompok.

Dalam dinamika kelompok, setiap anggota kelompok diberi

kesempatan untuk mengajukan pendapat, kritik-kritik dan lain-lain

yang membawa kemajuan kelompoknya. Desakan-desakan dari luar

biasanya lebih memperkuat rasa persatuan dan mengurangi keinginan

untuk mementingkan diri sendiri di antara anggota-anggota kelompok

yang bersangkutan. Rasa persatuan atau kekompakan (cohesiveness)

adalah daya lekat yang terjadi sebagai akibat dari kekuatan individu-

indidu yang terlihat di dalam kelompok dan untuk tetap tinggal di

dalamnya (Wahyu, 1991). Perbedaan tingkat cohesiveness di antara

Gapoktan inilah yang diduga menjadi penyebab mengapa Gapoktan

114 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar dan Gapoktan Maju Sejahtera Desa

Bincau berbeda dalam efektivitas Gapoktannya.

Pada Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar tingkat cohe-

siveness-nya diduga lebih tinggi jika dibandingkan dengan Gapoktan

Maju Sejahtera Desa Bincau, hal ini dibuktikan dengan adanya

kesepakatan dan kekompakan antara para anggota dan pengurus

Gapoktan Berkat Mufakat memiliki kesepakatan dan kekompakan

untuk mengelola dana yang mereka terima. Kesepakatan dan

kekompakan itu dimulai dari penyaluran dana yang dapat dinikmati

bukan hanya untuk para petani dan peternak, tapi juga untuk para

pengrajin yang mendominasi desa mereka. Cohesiveness berikutnya

mereka wujudkan dalam ‘aturan main’ pada sistem peminjaman dan

pengembalian uang. Selain ditetapkan uang jasa sebesar 2% per bulan,

juga berlaku sistem mubarahah yang bertujuan untuk menghindari

riba. Selain itu para pengurus Gapoktan atas kesepakatan anggota

Gapoktan dan aparat desa membentuk sebuah “kelompok penagihan”

yang selalu melakukan penarikan cicilan pada tanggal 15 setiap

bulannya. Kelompok penagihan yang beranggotakan para pengurus

Poktan ini pun diberi biaya operasioanal untuk melaksanakan tugas

mereka. Pada Gapoktan ini nampaknya telah mulai tumbuh upaya-

upaya untuk menguatkan kelembagaan mereka.

Pada Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar nampaknya

telah terbentuk budaya kelompok. Merujuk pada Amrullah (2004),

iklim yang memberikan konstribusi terhadap pembentukan budaya

kelompok mencakup: (1) Trust (kepercayaan), yaitu anggota saling

percaya satu sama lain, yang berhubungan dengan tugas dan

kepercayaan interpersonal; (2) Cohesiveness, yaitu keterikatan anggota

kelompok terhadap anggota lain, kelompok dan tugas; dan (3)

Supportiveness, yaitu adanya saling mendukung antara anggota satu

sama lain, saling memelihara dan saling menghargai.

Satu hal yang menarik pada Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam

Pagar adalah meskipun sebagian besar pendidikan penduduknya

hanya sampai tingkat dasar (37,37%) namun ternyata mereka memiliki

kesadaran cukup tinggi. Dalam pergaulan sosial mereka tampak sekali

upaya mengutamakan nilai dan rasa percaya mempercayai (trust) itu.

Nahavit dan Ghosal (1998) sebagaimana dikutip Hasbullah (2006)

115FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

meyakini bahwa pada tingkat individual, sumber trust berasal dari

adanya nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan yang dianut,

kompetensi seseorang dan keterbukaan yang telah menjadi norma di

masyarakat. Pada tingkatan komunitas, sumber trust berasal dari norma

sosial yang memang melekat pada struktur sosial setempat. Adanya

nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan yang dianut (Agama Is-

lam) inilah yang juga kemudian berpengaruh terhadap sistem

peminjaman dan pembayaran pinjaman yang berlaku pada beberapa

Gapoktan, yaitu Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar yang

menerapkan sistem Syariah (Mubarahah) yang bertujuan untuk

menghindari riba.

Sebuah Gapoktan akan dapat menjadi wadah komunikasi yang

efektif bagi anggota-anggotanya jika lembaga itu kuat. Merujuk pada

Ngadiyono (1984), kelompok harus merupakan kesatuan organis,

artinya sebagai satu individu yang bulat. Ini berarti bahwa tidak

dibenarkan jika ada anggota kelompok yang berbuat menyimpang dari

kesatuannya. Hanya kelompok yang kompak yang dapat mencapai

tujuan dengan cepat, efektif dan efisien. Dan di lapangan, dinamika

kelompok tersebut cukup jelas diperagakan oleh anggota Gapoktan.

Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar dapat lebih baik mengelola

dan mengembangkan dana PUAP daripada Gapoktan Maju Bersama

Desa Bincau karena anggota-anggota Gapoktan dan pengurus

Gapoktan Berkat Mufakat lebih kompak daripada anggota-anggota dan

pengurus Gapoktan Maju Bersama. Ikatan-ikatan psikologis di antara

sesama anggota kelompok, rasa saling membutuhkan dan saling

bergantung di antara sesama anggota kelompok akan dapat

menimbulkan kesadaran tanggungjawab kelompok terhadap

anggotanya. Ikatan-ikatan psikologis inilah yang kurang didapatkan

oleh anggota-anggota Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau, selain itu

interaksi antar anggotanya bisa dikatakan lemah, sehingga diduga

Gapoktan tersebut merupakan kelompok yang tidak efektif.

Pada sisi lain, hal-hal yang diduga menjadi penyebab banyaknya

tunggakan di Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau tersebut di atas

hampir serupa dengan hasil penelitian Yusuf dkk (1992) sebagaimana

dirujuk oleh Hasbullah (1995). Dari hasil penelitiannya Yusuf dkk

menemukan beberapa faktor yang menghambat kelancaran

116 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

pengembalian kredit usaha tani yaitu: (1) pengetahuan petani belum

dapat mendukung dalam memanfaatkan kredit usaha tani; (2)

kurangnya kesadaran petani memenuhi kewajibannya untuk melunasi

kredit; (3) rendahnya hasil panen yang diperoleh; dan (4) adanya

penggunaan dana kredit oleh aparat pengurus KUD.

Anggota Gapoktan Maju Bersama-Desa Bincau nampaknya belum

siap dan belum disiapkan untuk dapat menerima dan menjalankan

dana karena Gapoktan baru mulai diaktifkan pada saat desa mereka

akan menerima PUAP. Mengorganisir petani dan kelompok tani ke

dalam wadah kelembagaan yang baru seperti Gapoktan memerlukan

waktu yang cukup untuk dapat diterima dan dilaksanakan oleh

masyarakat. Tahap ini tentunya harus dimulai dari upaya pengenalan,

penyadaran serta pengembangan modal sosial yang ada di masyarakat,

terutama di kelompok tani, sehingga kelembagaan tersebut akhirnya

dapat tersosialisasi dan terintegrasi dengan baik di masyarakat.

Selanjutnya penggabungan kelompok tani terjadi bukan karena

pengaruh luar (termasuk adanya proyek), namun karena adanya

kesadaran dan kebutuhan di antara kelompok tani tersebut. Pemberian

bantuan hendaknya dilakukan secara bertahap dan melihat tingkat

kesiapan dari Gapoktan tersebut. Karena pemberian bantuan yang

sekaligus tanpa melihat tingkat kesiapan dan ketersediaan sumberdaya

yang memadai akan menyebabkan Gapoktan tadi tidak mampu

mengelola dana. Dengan demikian diharapkan Program PUAP sebagai

salah satu bagian dari proses pembangunan dapat sejalan dengan

dinamika dan aspirasi masyarakat.

Secara konseptual pembangunan merupakan proses di mana

anggota-anggota dari suatu masyarakat meningkatkan kapasitas

perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola

sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang

berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai aspirasi mereka

sendiri (Amrullah, 2004). Dalam kaitan itu adanya nama ‘bantuan’

dalam pola Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUAP ternyata juga

menyebabkan masyarakat mengartikannya sebagai bantuan gratis dan

tidak untuk dikembalikan apalagi dikembangkan. Akibatnya proses

pengembalian dan permutaran modal di Gapoktan menjadi tidak

berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dana yang disalurkan ini

117FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

sebaiknya dipertegas sebagai dana pinjaman langsung masyarakat

tanpa adanya unsur bantuan, walaupun sebenarnya tetap bersifat

bantuan.

Kekompakan anggota Gapoktan untuk mencapai tujuan

semestinya tidak hanya diwujudkan pada saat penyusunan Rencana

Usaha Bersama (RUA), Rencana Usaha Kelompok (RUK) dan Rencana

Usaha Bersama (RUB) saja. Memang melalui penyusunan rencana yang

mengikutsertakan semua anggota sudah bersifat partisipatif dan

aspiratif, namun itu saja belum cukup jika tidak diikuti dengan

keinginan dan kekompakan untuk melaksanakan rencana yang telah

disusun tersebut, terlebih yang menyangkut perencanaan pengelolaan

uang PUAP. Meskipun anggota Gapoktan Maju Bersama telah

diikutkan dalam penyusunan RUA, RUK dan RUB, ternyata tidak

begitu bermanfaat pada saat Program PUAP berjalan. Anggota

Gapoktan ini berjalan sendiri-sendiri dan hanya dituntut kesadaran

untuk bertanggungjawab terhadap pinjamannya masing-masing.

Pentingnya perencanaan pengelolaan dana PUAP ini sama halnya

dengan temuan Idris (2003) yang dari penelitiannya menyimpulkan

bahwa perencanaan pengelolaan dana yang didasarkan pada usulan

kebutuhan masyarakat yang diputuskan dalam forum musyawah RT

hingga tingkat kelurahan ternyata dapat memberikan peluang kepada

masyarakat untuk memberikan usulan, ide dan keinginan dalam

menghadapi masalah yang mereka hadapi.

Program PUAP merupakan salah satu strategi intervensi terhadap

komunitas, dalam hal ini adalah komunitas petani. Proses

pemberdayaan yang saat ini banyak diterapkan sebagai upaya

menanggulangi kemiskinan melalui kelompok (komunitas petani dalam

Gapoktan) diharapkan lebih cepat mencapai sasaran program daripada

dilakukan secara individual, karena di dalam kelompok akan terbentuk

perasaan senasib sepenanggungan sehingga para anggotanya akan

berusaha secara kolektif untuk bangkit dari keterpurukannya. Itulah

sebabnya secara konseptual dibutuhkan strategi intervensi. Strategi

intervensi terhadap komunitas seperti Gapoktan akan efektif jika

lembaga Gapoktannya sendiri sudah efektif, artinya kelompok yang

kreatif, efektif dan berfungsi secara baik. Menurut Wahyu (1991),

efektivitas, kreativitas atau dinamika suatu kelompok tergantung pada

118 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

anggota-anggota kelompok, sebab kelompok merupakan suatu sistem

interaksi yang terbuka. Menurutnya, interaksi di sini merupakan suatu

situasi yang di dalamnya reaksi seorang anggota merupakan balasan

atau respon terhadap reaksi anggota yang lain. Sedangkan yang

dimaksud dengan sistem terbuka ialah keadaan yang di dalamnya

individu sebagai anggota kelompok bebas untuk mengajukan gagasan-

gagasan, pikiran-pikiran atau aktivitas-aktivitas lainnya untuk

kemajuan kelompok. Wahyu menegaskan bahwa semua itu

menggambarkan dinamika kelompok.

Dalam kasus Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar

tampaknya sejumlah prasyarat untuk munculnya dinamika kelompok

berbasis sistem interaksi terbuka itu cukup terpenuhi. Paling tidak, dalam

dinamika kelompok itu sudah muncul pola komunikasi yang cenderung

informal, menyenangkan dan rileks, dilakukannya kegiatan diskusi

tugas dan tujuan kelompok dipahami dengan baik dan diterima oleh

anggota kelompok. Selain itu Gapoktan ini menyadari apa yang perlu

mereka lakukan antara lain dengan menyusun aturan dalam Gapoktan

mereka. Hal sebaliknya terjadi pada kasus Gapoktan Maju Bersama

Desa Bincau yang sebagian anggotanya masih belum memahami tugas

dan tujuan kelompok sehingga diduga belum dapat dikatakan sebagai

kelompok yang efektif.

D. KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar merupakan

Gapoktan efektif, kreatif dan berfungsi cukup baik sehingga

pelaksanaan Program PUAP di desa ini efektif.

2. Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau masih belum efektif, belum

kreatif dan belum berfungsi dengan baik sehingga pelaksanaan

Program PUAP di desa ini belum efektif.

3. Para petani anggota Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam

Pagar telah banyak merasakan manfaat dari Program PUAP

yang dapat dilihat dari mulai tumbuhnya keswadayaan

masyarakat dalam mengelola dana dan meningkatnya kapasitas

Gapoktan.

119FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

4. Para petani anggota Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau belum

banyak mendapatkan manfaat dari Program PUAP yang dapat

dilihat dari minimnya jumlah pengembalian dana dan belum

meningkatnya kapasitas Gapoktan.

5. Dari perspektif model pemberdayaan masyarakat, program

PUAP pada dasarnya bisa dijadikan contoh model aplikatif

apabila dilakukan perbaikan-perbaikan berdasarkan implemen-

tasi kebijakan program di desa kasus penelitian ini.

DAFTAR RUJUKANAdi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan

Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat.

Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Adma, Ratna Yulianti. 2001. Implementasi Kebijakan Pembangunan

Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) Terhadap

Pembangunan Desa (Studi Kasus di Kecamatan Tenggarong

Seberang Kabupaten Kutai). Program Pasca Sarjana Universi-

tas Brawijaya, Malang.

Anonimous. 2001. Membangun Pertanian Modern. Yayasan

Pengembangan Sinar Tani Indonesia, Jakarta.

_________ . 2008. GIS Kemiskinan Kabupaten Banjar. Badan Pusat

Statistik dan Bappeda Kabupaten Banjar, Martapura.

_________. 2008. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis

Perdesaan (PUAP). Departemen Pertanian RI, Jakarta.

_________. 2009. Kabupaten Banjar Dalam Angka. Badan Pusat

Statistik dan Bappeda Kabupaten Banjar, Martapura.

_________, 2010. Model Pengembangan Simpan Pinjam Berbasis

Masyarakat (LSP-BM). Badan Pemberdayaan Mayarakat dan

Pemerintahan Desa Propinsi Kalsel, Banjarmasin.

Amrullah, Imanuddin, 2004. Program Pemberdayaan Kelompok Tani

di Desa Guntung Papuyu Kecamatan Gambut Kabupaten

Banjar. Tesis Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

120 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Darma, Mulya, 2003. Penanggulangan Kemiskinan dalam Rangka

Pembangunan Ekonomi Daerah (Studi Penyaluran Kredit Dana

Bergulir Bagi Usaha Kecil di Kota Balikpapan). Tesis Program

Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.

Fatah, Luthfi. 2007. Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.

Pustaka Banua, Banjarmasin.

Hamdan, H. 2003. Implementasi Kebijakan Program Pemberdayaan

Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)

Guna Pemberdayaan Masyarakat (Studi Pelaksanaan Proyek

PDM-DKE Tahun 2000 di Kelurahan Air Putih Kecamatan

Samarinda Ulu). Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya,

Malang.

Hanafi, Abdillah. 1986. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Penerbit Usaha

Nasional, Surabaya.

Hasbullah, Ilyas. 1995. Studi tentang Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang

Mempengaruhi Keputusan Petani Mengambil Kredit Usahatani

(KUT) Padi dan Penyebab Terjadinya Tunggakan (Studi Kasus

di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musirawas Sumatera

Selatan). Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.

Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya

Manusia Indonesia). MR-United Press, Jakarta.

Huraerah, Abu dkk. 2005. Dinamika Kelompok, Konsep dan Aplikasi.

PT Refika Aditama, Bandung.

Idris, Muhammad Khairuddin. 2003. Efektifitas Pelaksanaan

Penyaluran Program Bantuan Desa Untuk Kesejahteraan

Masyarakat Miskin (Studi Kasus UED di Kelurahan Sungai

Pinang Luar Kecamatan Samarinda Ilir Kota Samarinda). Pro-

gram Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.

Ife, Jim dan Tesoriero, Frank. 2008. Community Development Alternatif

Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Marquirete, Robinson. 2000. The Micro Finance Revolution, Sustain-

able Finance for The Poor. The World Bank.

121FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Ngadiyono, 1984. Kelembagaan dan Masyarakat. PT Bina Aksara,

Jakarta.

Rifai, Rudy S dkk. 2010. Proposal Evaluasi dan Penyusunan Desa Calon

Lokasi Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP).

Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.

Rogers, Everett M. 2003. Diffusion of Innovations. The Free Press, New

York.

Sa’id, E. G dan Yayuk Eka Prastiwi, 2005. Agribisnis Syariah,

Manajemen Agribisnis dalam Persfektif Syariah Islam. Penebar

Swadaya. Depok.

Saragih, Bungaran. 1995. Agribusiness System Depelopment as a Prime

Mover of the National Economy”. Menteri Pertanian. Jakarta.

_______________. 2001. Suara Dari Bogor, Membangun Sistem

Agribisnis. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor.

________________. 2001. Kumpulan Pemikiran Agribisnis, Paradigma

Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Pustaka

Wirausaha Muda. Bogor.

Sarman, Mukhtar, 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial.

Pustaka FISIP UNLAM. Banjarmasin. Kalsel.

______________, 2008. Dinamika Pedesaan, Sebuah Pendekatan

Sosiologis. Magister Sains Administrasi Pembangunan Univer-

sitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.

______________, dkk. 2008. Program Pemberdayaan Masyarakat

Berbasis LERD (Peluang Kalimantan Selatan). PK2PD dan Pro-

gram MSAP UNLAM, Banjarbaru.

Siagian, Sondang P. 2007. Administrasi Pembangunan. Bumi Aksara,

Jakarta.

Suhaeri, 2001. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Program Pemberdayaan

Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)

Guna Pemberdayaan Masyarakat (Studi pada Kecamatan

Lowokmaru di Kota Malang). Program Pasca Sarjana Univer-

sitas Brawijaya, Malang.

122 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011

Wahab, Solichin Abdul, 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan

Negara. Rineka Cipta, Jakarta.

___________________, 1994. “Kebijaksanaan Desentralisasi untuk

Menjangkau Kaum Miskin”. Majalah Pelopor No. 3 Tahun 1994.

Wahyu, 1991. Pengantar Pemahaman Kelompok. Aulia, Banjarmasin.

______, 2005. Perubahan Sosial dan Pembangunan. PT Hecca Mitra

Utama, Jakarta.

Wrihatnolo, Randy R. & RN Dwidjowijoto, 2007. Manajemen

Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan

untukPemberdayaan Masyarakat. PT Elex Media Komputindo,

Jakarta.


Recommended