+ All Categories
Home > Documents > PenelitianSDPernas - Website Staff UI |staff.ui.ac.id/system/files/users/fuadg/publication/... ·...

PenelitianSDPernas - Website Staff UI |staff.ui.ac.id/system/files/users/fuadg/publication/... ·...

Date post: 28-Jul-2019
Category:
Upload: dokhanh
View: 217 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
92
Kebutuhan Informasi Siswa SD Jakarta BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dapat dilakukan dengan memenuhi tiga kebutuhan penting yaitu makanan yang bergizi yang akan mempengaruhi kekuatan fisik, kesehatan yang membantu lancarnya aktivitas sehari-hari dan pendidikan yang menentukan kulitas intelektual. Pemenuhan makanan yang bergizi bagi masyarakat banyak ditangani oleh instutusi di bidang pertanian, perikanan dan industri. Untuk pemenuhan jaminan kesehatan dilakukan oleh lemabaga kesehatan yang makin menjamur dibawah koordianasi Departemen Kesehatan. Sementara kebutuhan non-fisik dalam bentuk pendidikan dipenuhi oleh institusi pendidikan seperti sekolah. Dalam kegiatan proses belajar-mengajar di sekolah aktifitas yang paling dominan adalah transfer pengetahuan atau informasi dari guru melalui presentasi lisan maupun
Transcript

Kebutuhan Informasi Siswa SD Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dapat dilakukan dengan

memenuhi tiga kebutuhan penting yaitu makanan yang bergizi yang akan mempengaruhi

kekuatan fisik, kesehatan yang membantu lancarnya aktivitas sehari-hari dan pendidikan

yang menentukan kulitas intelektual. Pemenuhan makanan yang bergizi bagi masyarakat

banyak ditangani oleh instutusi di bidang pertanian, perikanan dan industri. Untuk

pemenuhan jaminan kesehatan dilakukan oleh lemabaga kesehatan yang makin menjamur

dibawah koordianasi Departemen Kesehatan. Sementara kebutuhan non-fisik dalam

bentuk pendidikan dipenuhi oleh institusi pendidikan seperti sekolah.

Dalam kegiatan proses belajar-mengajar di sekolah aktifitas yang paling dominan

adalah transfer pengetahuan atau informasi dari guru melalui presentasi lisan maupun

tercetak dalam bentuk buku bacaan. Pemenuhan buku bacaan umumnya dilakukan

melalui buku paket yang telah ditentukan oleh sekolah yang bersangkutan dan dalam

kondisi terbatas oleh perpustakaan sekolah. Padatnya materi pada buku paket yang harus

dipelajari oleh seorang siswa, membuat waktu siswa untuk membaca bahan bacaan

alternatif menjadi terbatas. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan bagi keberadaan

sebuah perpustakaan di sekolah karena energi dan minat siswa sepertinya sudah terkuras

oleh bahan bacaan yang telah disediakan oleh guru kelas.

Tidaklah mengherankan sekarang ini kita melihat pemandangan keadaan sekolah

dasar pada umumnya yaitu:

1. Tidak ada perpustakaan sekolah itu sendiri;

2. Ada perpustakaan akan tetapi kondisinya sangat memprihatinkan;

3. Ada perpustakaan yang relatif baik akan tetapi tingkat pemanfaatan rendah.

Pada poin pertama masalahnya lebih banyak disebabkan kurangnya pemahaman

pengelola sekolah akan pentingnya sebuah perpustakaan sekolah dalam mendukung

peningkatan kualitas pendidikan peserta didik. Banyak faktor yang menjadi penyebab

tidak adanya perpustakaan di sebuah sekolah. Faktor tersebut antara lain: tidak adanya

ruangan, dana dan yang paling penting tidak adanya keinginan pengelola sekolah untuk

menyediakan perpustakaan itu sendiri.

Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan biasanya ditandai oleh ruang

perpustakaan yang sangat kecil dan kumuh atau lebih buruk lagi yang disebut

perpustakaan adalah sebuah lemari yang di dalamnya terdapat buku-buku bacaan.

Koleksi yang sangat terbatas dan berantakan serta tidak adanya petugas ditunjuk untuk

mengelola perpustakaan adalah pemandangan umum lain yang sering dijumpai.

Keberadaan perpustakaan yang cukup memadai dalam hubungannya dengan

kondisi ruangan, koleksi dan pengelolaannya serta petugas yang ditunjuk khusus untuk

mengelola perpustakaan, sebenarnya mulai bermunculan di beberapa sekolah terutama

sekolah swasta atau sekolah-sekolah yang menawarkan program sehari penuh pada hari

tertentu khususnya bagi siswa kelas IV, V dan VI. Akan tetapi, sangat disayangkan

bahwa pemanfaatan perpustakaan, sebagai pendukung peningkatan kualitas proses-

belajar, masih sangat minim. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman

pihak-pihak terkait dengan perpustakaan sekolah mengenai misi sebuah perpustakaan dan

kebutuhan serta perilaku pemakai.

Misi mengacu pada alasan mengapa sebuah perpustakaan ada. Misi utama

perpustakaan adalah memenuhi kebutuhan berbagai macam informasi pemakainya.

Kebutuhan adalah suatu kondisi kekosongan atau kesenjangan (gap) dalam diri

seseorang, dalam hal ini menyangkut informasi, yang harus dipenuhi dan

2

dipuaskan(David Nicholas, 2000). Sementara perilaku mengacu pada bagaimana cara

seseorang memenuhi dan memuaskan kebutuhannya.Untuk mengetahui kebutuhan dan

perilaku pemakai perpustakaan, maka perlu dilakukan suatu penelitian baik secara

kualitatif maupun kuantitatif.

Dalam penelitian yang menggunakan metode kuantitatif ini yang menjadi subjek

penelitian siswa sekolah dasar kelas IV, V dan VI dan objeknya adalah kebutuhan bahan

bacaan dan perilaku mereka dalam hubungannya dengan perpustakaan.

Dijadikannya siswa kelas IV, V dan VI menjadi objek penelitian dikarenakan

pada usia mereka 10 -12 tahun kebutuhan informasi mereka mulai meningkat dan

bervariasi. Kemampuan membaca mereka yang mencakup kecepatan dan pemahaman

pun sudah cukup tinggi. Sementara tujuan membaca mereka juga mulai beragam mulai

dari memenuhi tugas guru, memperluas wawawasan, mendapat pengalaman dari bahan

bacaan sampai pada membaca sebagai hiburan.

Pada tingkatan inilah sebenarnya keberadaan dan peran perpustakaan sekolah

mulai terasa penting. Oleh karena itu mengetahui dan memahami kebutuhan para siswa

khususnya siswa kelas IV, V dan VI menjadi hal sangat penting bagi pengelola

perpustakaan sekolah.

Ada 50 (lima puluh) sekolah dasar baik negeri dan swasta di Wilayah Jakarta

yang menjadi tempat belajar siswa IV, V dan VI yang menajdi responden dalam

penelitian ini.

1.2. Perumusan Masalah

Siswa kelas IV, V dan VI dalam kegiatan belajar mereka memerlukan informasi dalam

bentuk bahan bacaan baik untuk mengerjakan tugas pelajaran kelas, menambah

pengetahuan maupun sekedar mendapat hiburan melalui membaca.

3

Untuk mendukung kualitas pendidikan yang tinggi dalam rangka menghasilkan

sumber daya manusia yang andal kelak, keberadaan bahan bacaan yang tepat sesuai

dengan kebutuhan pemakai adalah suatu keharusan. Perpustakaan sekolah perlu

memahami syarat ini berdasarkan penelitian yang dapat dipakai sebagai acuan atau

pedoman agar keberadaanya dirasakan manfaatnya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini mempunyai rumusan masalah:

Bagaimana kebutuhan informasi siswa kelas IV, V dan VI dalam bentuk jenis buku

bacaan dan perilaku mereka dalam mendapatkannya?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui kebutuhan informasi dalam bentuk jenis bahan bacaan yang

diperlukan para siswa kelas IV, V dan VI;

b. Mengetahui perilaku pencarian informasi mereka.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemahaman lebih

rinci mengenai kebutuhan dan perilaku pencarian informasi siswa sekolah dasar

khususnya siswa kelas IV, V dan VI. Di samping itu penelitian ini dapat memberikan

sumbangan yang berharga bagi pembuatan kebijakan dan strartegi pengembangan koleksi

perpustakaan sekolah.

1.5. Keterbatasan Penelitian

a. Penelitian ini tidak mengkaji kebutuhan informasi yang tersaji dalam media lain

selain buku.

b. Hasil penelitian ini tidak dapat menggambarkan motif pencarian informasi, dan

kebutuhan informasi siswa sekolah dasar secara utuh karena hanya disebarkan kepada

siswa kelas IV, V dan VI dan sifat penelitian adalah non-representative.

4

1.6. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan terhadap siswa

sekolah dasar yang ada di Jakarta untuk mengetahui gambaran perilaku pencarian

informasi dan kebutuhan informasi mereka. Penelitian deskriptif merupakan penelitian

yang memberi gambaran secermat mungkin mengenai individu atau kelompok tertentu

tentang keadaan dan gejala yang terjadi ( Kuntjaraningrat, 1993: 30). Dalam penelitian

ini maka kelompok yang akan diteliti adalah siswa kelas IV, V dan VI sekolah dasar

swasta. di lima wilayah di Jakarta. Sedangkan gejala yang akan diteliti adalah jenis-jenis

kebutuhan informasi dan bagaimana perilaku mereka dalam pencarian informasi,

khususnya dalam kaitannya dengan kegiatan proses belajar

Metode kuantitatif non-representative dipergunakan dengan memilih 50 sekolah

dasar swasta yang ada di lima wilayah DKI Jakarta. Sekolah itu adalah sebagai berikut:

No.

Nama Sekolah Alamat Sekolah

1.Surya Dharma

Jl. Taopekong No. 14 Keb. Lama

2. Kartika X-2 Jl. Anggrek Pesanggrahan Jak- Sel3. Harapan Ibu Jl. H. Banan No. 1 Komp. PU Pd.

Pinang4. MI – Al Falah Jl. Pancoran Barat VII Jak-Sel5. Muhammadiyah Jl. KH. Mas Mansyur 56 Jak – Pus6. Bethel Petamburan Jl. KS Tubun V No. 187. MI- Al Holidiyah Jl. Perintis Kemerdekaan Jak – Ut8. MI – Al Azhar Jl. Anoa Lestari I Klp. Gading9. ST. Theresia Taman Kedoya Permai Jak-Pus10. PSKD Jl Kramat IV No. 29 Kwitang11. MI – Ilham II Jl. Ancol Selatan II No. 12512. Trisula Perwari III Jl. Balai Pustaka Baru I/3813. Al Azhar Jl. Sentra Primer Baru Jak-Tim14. Milenia III Jl. Percetakan Negara No. 31 Jak-Pus15. Hangtuah Jl. Tabah Raya Jak-Ut

5

16. MI – Unwanul Huda Wr. Jati Kalibata Jak-Sel17. MI – Raudatul Mutaalimin Jl. Kuningan Barat Mampang

Prapatan18. Al Wathoniyah 43 Jl. Warudoyang Jakarta Timur19. MI – Almuttaqien Jl. Teratai No. 29 Jakarta Utara20. MI - Alwathoniyah XIV Jl. Rorotan II 07./04 Jak-Ut21. MI- Alhuda Kebon Sirih Barat Dalam 5022. Al Azhar Jl. Boulevar Gading Timur Jak-Ut23. Santa Ursula Jl. Pos No. 2 Jak-Pusat24. Muhammadiyah I Jl. Garuda No. 33 Jak-Pus25. Muhammadiyah 24 Jl. Balai Pustaka Barat No.II Jak-Tim 26. Usaha Kemajuan Jl. Industri VIII No. 8 Jak-Pus27. MI – Ukuwah Islamiyah Jl. Raya Kalibata Jak-Sel28. Sari Putra Jl. Mangga Besar V/15429. YWKA 2 Jl. Komp. PJKA30. Tunas Harapan Komp. BNI Pesing Jak-Bar31. Perguruan Cikini Jl. Cikini Raya 74 Jak-Pus32. Trisula Perwari II Jl. Pegangsaan Tengah No. 2 Jak-Pus33. Al Badar Jl. Menteng Sukabumi IV/75 Jak-Pus34. Lembaga Putra Kita Jl. Sukabumi III/2 Jak-Pus35. MI – Alma’muriyah Jl. Raden Saleh No. 30 Jak-Pus36. PSKD Kwitang I Jl. Taman Kebons Sirih III Jak-Pus37. Budi Mulya Gn. Sahari 91 Jak-Pus38. Taman Siswa Jl. Matraman Dalam II Jak-Pus39. Miranti Jl. Taman Amir Hamzah Jak-Pus40. BPS & K V Jl. Bg Rampai III, No.329 Jak-Tim41. MI – Asyuhada Jl. Malaka IV Jak-Tim42. Bhakti Tugas Jl. Raya Ragunan Jak-Sel43. Strada Jl. Pejaten Raya Jak-Sel44. MI – Assalam Jl. Swadaya I Pejaten Timur Jak-Sel45. MI – Raudhatussa’adah Jl. Tegal Parang Ut. I/136 Jak-Sel46. MI – Al Islamiyah Jl. Pancoran barat Jak-Sel47. YPBN Jl. Kredit C/III Komp. Bank Mandiri

Jak-Bar48. Candra Naya Jl. Jembatan Besi II Jak-Bar49. Kertapawitan Komp. Imigrasi Cengkareng Jak-Bar50. Hati Kudus Komp. Polri Blok A 3 Jak-Bar

Sebanyak 500 kuesioner disebarkan di sekolah-sekolah yang terdaftar di atas.

Setiap sekolah memilih 10 responden dari siswa kelas IV, V dan VI secara acak.

komposisi responden di masing-masing sekolah yang telah dipilih adalah sebagai berikut:

Siswa kelas IV adalah 3 orang;

6

Siswa kelas V adalah 3 orang;

Siswa kelas VI adalah 4 orang.

Kuesioner yang kembali diolah dengan menggunakan cara statistik deskritif yaitu

membuat tabulasi frekuensi dan presentase. Data statistik yang telah tersaji kemudian

dianalisa dengan pendekatan interpretatif (penafsiran). Pada bagian ini wawasan dan

pengetahuan peneliti sangat menentukan kualitas hasil penelitian.

1.7. Batasan Istilah

a. Kebutuhan informasi diartikan sebagai suatu kebutuhan untuk mengisi

kekosongan tertentu dalam diri manusia, yaitu kondisi pengetahuannya.

Pendapat lain mengatakan bahwa kebutuhan informasi adalah pengakuan tentang

adanya ketidakpastian dalam diri seseorang untuk mencari informasi (Krikelas,

1983) dalam Wijayanti (2001).

b. Perilaku pencarian informasi

merupakan aktivitas seseorang yang selalu terus bergerak mencari informasi

untuk menjawab segala tantangan yang dihadapi, memecahkan masalah,

menjawab pertanyaan dan memahami suatu masalah. Perilaku pencarian

informasi dimulai dari adanya kebutuhan informasi dari dalam diri si pencari

informasi.

Merupakan proses dalam bentuk ketrampilan yang diamati (overt) dan yang

tersembunyi atau tidak dapat diamati (covert) yang merupakan salah satu

bagian dari perwujudan sikap.

c. Informasi adalah:

Fakta, data, kepercayaan, pendapat dan pengetahuan yang dapat

memberikan individu jalan keluar dari permasalahannya dan

direpresentasikan dalam bentuk tulisan, ucapan, gambar atau simbol yang

7

tersimpan di dalam dokumen seperti misalnya buku, jurnal, atau bahan

pandang dengar, atau non-dokumen misalnya dalam benak manusia.

Sesuatu alat berharga dan berguna bagi individu dalam usahanya untuk

bertahan hidup. Informasi berguna dan berharga karena dapat mengurangi

ketidakpastian yang dihadapi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pengetahuan mengenai teori kebutuhan dan perilaku pencarian informasi penting

dalam memahami munculnya aneka ragam kebutuhan akaninformasi dalam diri

seseorang. Kebutuhan pada prinsipnya bersifat kondisional atau bersyarat. Hal yang sama

juga berlaku pada perilaku yang selalu menyertai sebuah kebutuhan. Artinya sebuah

kebutuhan muncul akibat adanya dorongan baik internal aksternal untukmengisi suatu

kesenjangan (gap).

2.1. Kebutuhan Pemakai

Kebutuhan Informasi menurut Maurice B.Line ( 1988) didefinisikan

sebagai“what an individual ought to have for his work, his research , his edification,

etc”. Sesuatu yang harus dimiliki seseorang untuk pekerjaannya, penelitiannya,

peningkatan moralnya, dan lain sebagainya. Bouzza (1989); Krikelas (1983) dalam

Wijayanti (2001) menyebutkan bahwa kebutuhan informasi merupakan pengakuan

seseorang atas adanya ketidakpastian dalam dirinya. Rasa ketidakpastian ini mendorong

seseorang untuk mencari informasi. Banyaknya informasi yang beredar sekarang ini,

meningkatkan kualitas hidup masyarakat, yang dikenal sebagai masyarakat informasi

( Martin, 1988), dimana pada masyarakat ini standar hidup, bentuk pekerjaan dan sistem

pendidikan dipengaruhi oleh informasi. Satu hal yang menonjol pada masyarakat

informasi ini adalah adanya kesadaran tentang pentingnya informasi dalam kehidupan

sehari-hari, dan kemampuan untuk memperoleh, mengevaluasi dan menggunakannya

8

untuk tujuan-tujuan tertentu yang lebih luas. Ciri ini disebut melek informasi atau

information literacy .

Menurut Wilson (1997) dalam Wijayanti (2001) akar permasalahan dari perilaku

pencarian informasi adalah konsep kebutuhan informasi. Sebenarnya kebutuhan tersebut

merupakan pengalaman subjektif yang hanya ada di benak orang yang memerlukannya,

yang karenanya tidak dapat diketahui secara langsung oleh seorang peneliti. Pengalaman

akan kebutuhan ini hanya dapat ditemukan melalui proses deduksi dari perilaku atau

melalui laporan dari orang yang melakukannya.

Wilson lebih lanjut menyatakan bahwa kebutuhan informasi bukan merupakan

kebutuhan primer, tetapi merupakan kebutuhan sekunder yang muncul karena kebutuhan

yang sifatnya lebih mendasar yang oleh Maslow (Goble, 1987) dikategorikan sebagai

kebutuhan fisiologis dan psikologis. Wilson menyebut kebutuhan-kebutuhan dasar

tersebut sebagai kebutuhan afeksi, kebutuhan fisiologis dan kebutuhan kognitif. Baik

menurut Maslow atau Wilson kebutuhan-kebutuhan itu kemungkinan tidak dapat saling

dipisahkan. Kebutuhan-kebutuhan itu dapat saling berkaitan, atau bahkan dalam

melakukan suatu kegiatan seseorang dapat memenuhi beberapa kebutuhan sekaligus.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, orang memerlukan

informasi. Berdasarkan beberapa pendapat tentang kebutuhan informasi, maka kondisi

yang menyebabkan munculnya kebutuhan informasi adalah pada saat seseorang menemui

suatu problem yang belum dapat dicari solusinya secara pribadi, sehingga ia memerlukan

informasi dari sumber-sumber di luar dirinya. Dalam pengertian ini kebutuhan dijelaskan

sebagai suatu objek dari kebutuhan, yakni informasi (sebagai obyek) yang dibutuhkan

oleh individu dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya.

Kebutuhan informasi dalam ilmu informasi diartikan sebagai sesuatu yang lambat

laun muncul dari kesadaran yang samar-samar mengenai sesuatu yang hilang dan pada

tahap berikutnya menjadi keinginan untuk mengetahui tempat informasi yang akan

memberikan kontribusi pada pemahaman akan makna (Kulthau 1993). Wersig dalam

Pendit (1997:75) mengajukan teori yang menyatakan bahwa kebutuhan informasi

didorong oleh apa yang dinamakannya sebagai ’a problematic situation’. Ini merupakan

situasi yang terjadi dalam diri manusia (pada’lingkungan internalnya’) yang dirasakan

9

tidak memadai oleh manusia yang bersangkutan untuk mencapai tujuan tertentu dalam

hidupnya. Ketidakmemadaian ini menyebabkan ia merasa harus memperoleh masukan

(input) dari sumber-sumber di luar dirinya maupun yang telah dimilikinya.

Informasi dapat tersimpan dalam dokumen dan non-dokumen. Sarana

penyimpanan informasi disebut sumber informasi (Suwanto, 1997). Sumber informasi

yang berupa dokumen dapat berbentuk buku, majalah, tesis, disertasi, laporan penelitian,

artikel jurnal, abstrak jurnal, sedangkan sumber informasi non-dokumen adalah manusia.

Sumber informasi yang berupa manusia antara lain teman, pusakawan, pakar, dan

spesialis informasi. Apabila dikaitkan dengan pendapat Suwanto, maka pengertian

sumber informasi yang berupa dokumen ini adalah sama dengan pendapat Dervin (1993).

mengenai informasi menurut paradigma fisik.

Perbedaan kebutuhan informasi pada tiap pemakai dapat disebabkan oleh

berbagai faktor, misalnya latar belakang profesi maupun aktivitas sosial. Menurut Prasad

(1982) terdapat 5 (lima) faktor yang mempengaruhi kebutuhan informasi seseorang,

antara lain adalah:

1) cakupan sumber informasi yang tersedia;

2) pemanfaatan informasi;

3) latar belakang, motivasi, orientasi profesional serta karakteristik individu lain dari

pemakai;

4) sistem politik, ekonomi, sosial yang mengelilingi pemakai;

5) konsekwensi atas pemakaian informasi.

Atherton (1986:124) mengungkapkan bahwa kebutuhan informasi seorang

pemakai tergantung pada pekerjaannya, tujuan menggunakan informasi, usia,

kecakapan, kedudukan profesional, dan karakteristik lainnya.

Sedangkan Mauperon ( 1967: 238-239) dalam Purbosari (1994) menyatakan

bahwa ada 5 (lima ) faktor yang mempengaruhi kebutuhan informasi yaitu tipe pemakai,

bidang ilmu pemakai, kemajuan kerja, senioritas serta lingkungan pemakai itu. Dari

pendapat ke tiga ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa latar belakang

pendidikan dan bidang/lingkungan kerja merupakan faktor utama yang mempengaruhi

kebutuhan informasi seseorang, diikuti oleh faktor usia atau senioritas.

10

Dengan demikian terlihat bahwa kebutuhan informasi adalah pernyataan

seseorang atas adanya ketidakcocokan antara tingkat kepastiannya dengan obyek

lingkungan yang sedang dihadapinya. Atau dengan kata lain bahwa kebutuhan informasi

ini muncul pada saat seseorang mulai menganggap bahwa keadaan pengetahuan yang ia

miliki saat itu kurang dari yang dibutuhkannya untuk menyelesaikan suatu masalah.

Kebutuhan informasi ini nantinya akan mendorong adanya perilaku pencarian

informasi ( Information seeking behavior). Proses pencarian informasi akan berakhir,

apabila kebutuhan yang dirasakan telah terpenuhi ( Krikelas, 1983 dalam Hayden, 2001:

6 p.)

Dalam penelitian ini kebutuhan informasi dikelompokkan dalam beberapa sub-

variabel yakni: subjek informasi yang diperlukan pengajar untuk penelitiannya, sumber-

sumber yang dimanfaatkan, serta lokasi perolehan sumber informasi .

Perilaku pencarian informasi dalam pembahasan psikologi merupakan suatu

proses kognitif dalam bentuk ketrampilan yang sangat berkaitan dengan sikap,

pandangan, dan penilaian seseorang terhadap objek tertentu. Kognitif (pengetahuan)

merupakan dominan yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan (overt

behavior). Tindakan yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku

yang tidak didasari pengetahuan.

2.2. Perilaku

Perilaku (behaviour) dapat diartikan sebagai (a) tingkah laku yang ditimbulkan

dari diri seseorang, (b) segala sesuatu yang dilakukan oleh benda hidup yang meliputi

tindakan dan respon terhadap rangsangan serta (c) respon seseorang, sekelompok orang

atau spesies terhadap lingkungan (Salim, 1996). Dalam pengertian umum perilaku adalah

segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup. Kwick (1974) dalam

Notoatmodjo (1985) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu

organisme yang dapat diamati dan bahhkan dapat dipelajari.

11

Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap hanyalah suatu kecenderungan untuk

mengadakan tindakan terhadap suatu obyek dengan suatu cara yang menyatakan adanya

tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi obyek tersebut. Dapat

disiimpulkan bahwa sikap adalah sebagian dari perilaku manusia. Menurut Notoatmodjo

(1989:9) perilaku yaitu suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya. Reaksi

dapat digolongkan menjadi dua yakni dalam bentuk (tanpa tindakan konkrit/nyata) dan

dalam bentuk aktif ( dengan tindakan nyata). Perilaku dapat juga bersifat potensial, yakni

dalam bentuk pengerahuan, motivasi dan persepsi. Bloom (1956) membedakannya 3

(tiga) macam perilaku yakni: cognitive, affective dan psikomotor. Ahli lain menyebut

Knowledge (pengetahuan), attitude (sikap) dan practice (tindakan). Ki Hajar Dewantoro,

menyebutnya: cipta, rasa dan karsa, atau peri akal, peri rasa dan peri tindak.Menurut

Ensiklopedia Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme

terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru akan terwujud bila ada

sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan tanggapan, yakni yang disebut rangsangan.

Dengan demikian maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu

pula.

Sedangkan menurut Blum (1975) dalam Notoatmodjo (1985) dikatakan bahwa

perilaku itu sendiri adalah suatu yang kompleks, merupakan resultante dari berbagai

aspek internal maupun eksternal, psikologis maupun fisik. Perilaku tidak berdiri sendiri ia

selalu berkaitan dengan faktor-faktor yang lain. Sebaliknya perilaku ini juga berpengaruh

terhadap faktor-faktor lain.

Dalam penelitian ini perilaku diartikan sebagai tingkah laku dari diri seseorang

yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas yang berkaitan dengan pencarian informasi.

Pencarian informasi terdiri dari suatu rangkaian aktivitas dan perilaku yang kompleks.

Penggunaan suatu layanan informasi perpustakaan hanyalah sebuah fragmen dari

keseluruhan proses kegiatan seseorang dalam suatu lingkungan pekerjaan tertentu.

Kenyataan ini memperlihatkan bahwa perilaku pencarian informasi tidak dapat dilihat

hanya dari pengamatan terhadap permintaan informasi ketika seseorang memasuki

sebuah perpustakaan atau sistem layanan informasi lainnya.

12

Proses perubahan perilaku atau penerimaan ide baru adalah hasil dari suatu proses

yang kompleks, yang biasanya memerlukan waktu yang cukup lama. Rogers (1971)

menggunakan istilah “innovation descision process” yang berrarti proses kejiwaan yang

dialami individu sejak pertama kali memperoleh informasi atau memperoleh pengetahuan

mengenai suatu hal yang baru, sampai pada saat ia memutuskan untuk menerima atau

menolak informasi baru tersebut. Dengan kata lain dari seseorang tersebut memperoleh

informasi sampai dengan menerima (mengadopsi) perilaku baru atau tyindakan nyata.

Tahap-tahap dalam proses ini:

pengetahuan ( knowledge) , dalam hal ini subyek mulai mengenal informasi baru

dan belajar memahaminya,

persuasi, dimana individu membentuk sikap positif atau negatif terhadap

informasi baru tersebut,

Mengambil keputusan, dimana individu aktif dalam menentukan keputusan untuk

menerima atau menolak informasi yang baru tersebut,

Konfirmasi, dimana individu mencari dukungan dari orang lain di lingkungannya

terhadap keputsan yang telah dibuatnya.

Perilaku dapat diartikan perbuatan yang nampak (performance) dalam

hubungannya dengan kegiatan pencarian informasi, perilaku adalah perbuatan yang

bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam pencarian informasi tersebut.

Pengertian tersebut dapat diterima, karena perilaku pencarian informasi tidak akan

tampak tanpa adanya kemampuan yang dimilikinya dalam mencari informasi.

Dalam spesifikasi pencarian informasi terkandung beberapa unsur :

1) Unsur perilaku nyata (performance) yang berisi unsur-unsur kelakuan yang pasti

diperlihatkan dalam kegiatan pencarian informasi;

2) Unsur isi informasi yang dicarinya, yang dapat dikaitkan dengan tujuan dari

pencarian informasi;

13

3) Unsur penyesuaian, yang berisi unsur-unsur yang memungkinkan seseorang dapat

menyesuaikan diri dengan situasi tertentu yang berkaitan antara proses interaksi

dengan unit informasi. Unsur penyesuaian dapat berupa pengambilan keputusan

untuk menghadapi situasi tertentu yang berkaitan dengan kebutuhan dan perilaku

pencarian informasi;

4) Unsur proses yang berisi unsur-unsur yang berhubungan dengan proses pencarian.

Unsur ini penting sehingga seseorang dapat menemukan informasi yang

dicarinya.

(Diadaptasi dengan beberapa perubahan dari Siswoyo 1981, dalam WA Perwono:

1998: 16-17).

Keempat unsur tersebut mencerminkan bahwa perilaku pencarian informasi tidak hanya

nampak saja (perbuatan yang teramati) dan bersifat ketrampilan, dalam pencarian

informasi. Keempat unsur tersebut menunjukkan bahwa unsur pertama merupakan unsur

ketrampilan sedangkan unsur kedua, ketiga dan keempat adalah merupakan unsur yang

bersifat kognitif.

2.2.1 Pencarian Informasi

Berdasarkan pada strata, tata nilai dan kedudukan pencari informasi pada

komunitasnya, Palmer (1990: 125-129) dalam Suwarsih (2001: 34-35) merumuskan

enam model kelompok pencari informasi sebagai berikut:

1) Kelompok Information overload, “beroperasi” pada sistem secara intensif dan

terkendali serta berusaha menghubungi sejumlah besar sumber informasi, mencari

informasi secara aktif, dan menerima informasi dari berbagai sumber.

2) Kelompok Information enterpreneur, adalah kelompok yang kurang

menunjukkan kepercayaan terhadap sumber-sumber formal, meskipun juga

berhubungan dengan sistem informasi secara ektensif, namun kelompok ini

kurang terkendali bila dibandingkan dengan kelompok overload.

3) Kelompok Information hunter, yang dalam aktivitasnya menentukan sasaran

pencarian informasi yang lebih sempit, sekaligus merupakan pemburu yang aktif.

Pola perilaku pencarian informasi kelompok ini dapat dideteksi dengan mudah.

14

4) Kelompok Information pragmatist, merupakan kelompok pengkonsumsi

informasi yang serba tidak teratur, karena sangat tergantung pada kesempatan

yang ada. Kelompok ini tidak mempedulikan pengendalian sehingga pola

pencarian informasi yang dilakukan tidak beraturan.

5) Kelompok Information plodder, jarang mencari informasi dari sumber-sumber

formal, tetapi mengandalkan pada pengetahuan dan sumber informasi yang

dimilikinya. Mereka tidak pernah memperdulikan sumber informasi yang tersedia,

serta jarang mencari informasi, sehingga tidak pernah ada pengendalian.

6) Kelompok information derelict, dalam aktivitasnya, kelompok ini tidak

menelusuri satu pun sistem informasi dan tidak menggunakan atau membutuhkan

informasi.

2.2.2 Sumber Informasi

Terdapat beberapa kriteria yang digunakan pemakai dalam memilih sumber

informasi. Kemudahan dalam memperoleh informasi merupakan salah satu kriteria yang

digunakan. Ketersediaan informasi sering lebih penting daripada ketepatan informasinya

(Pfeiser, 1981 dalam Purnomowati,1995). Urutan kriteria yang digunakan untuk memilih

sumber informasi adalah kemudahan perolehannya, keakraban dengan sumber karena

sering menggunakan, kualitas tekniknya, relevansi, kedalaman, kemudahan digunakan,

dan biaya untuk memperolehnya. Berdasarkan efektifitas, efesiensi dan daya guna dari

bermacam-macam sumber informasi, pengalaman pribadi dianggap paling efektif,

sedangkan pustakawan dan spesialis informasi menempati urutan paling bawah (Pinneli,

1991).

Menurut Turner (2001: 24p.) secara khusus terdapat dua komponen yang

membedakan sifat dan arti dari perilaku pemakai perpustakaan yaitu:

1) Interaksi antara perpustakaan dan pemakai;

2) Pemanfaatan dan penyimpanan informasi.

Perilaku pemakai perpustakaan mencakup proses pencarian informasi – dari mulai

menyatakan adanya kebutuhan informasi tertentu hingga pengiriman bahan pustaka yang

relevan yang dibutuhkan untuk mengatasi kebutuhan tersebut.

15

Pengertian “tradisional” mengasumsikan bahwa setiap orang yang masuk ke

sebuah perpustakaan sudah mempunyai gambaran yang sangat jelas dan tepat tentang

kebutuhan informasinya, serta sudah dengan jelas dan tepat pula dapat mewujudkan

kebutuhan itu menjadi permintaan (demand). Selanjutnya untuk menyimpulkan

perilakunya, pustakawan tinggal mendata saja jenis permintaan itu. Padahal seorang

pemakai walau bagaimana, adalah bagian dari suatu sistem tertentu. tempat pemakai

hidup dan berkerja. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi perilaku pencarian

informasinya. Jadi konteks lingkungan responden ini harus pula diamati, dan hal ini tidak

dapat dilakukan hanya dengan mendata permintaan informasinya. Untuk mengamati

konteks lingkungan pemakai itulah maka dilakukan penelitian pemakai perpustakaan

mengenai motivasi, kebutuhan informasi, dan perilaku pencariannya yang dilihat dari sisi

pemakai (user-oriented). Hal ini sudah dibuktikan oleh penelitian tentang Perilaku

Pencarian Informasi Staf Pengajar FSUI ( Wijayanti: 2001). Dalam salah satu

kesimpulannya diungkapkan bahwa :” Faktor-faktor penghambat dalam pencarian

informasi adalah hambatan yang berasal dari lingkungan ( Environmental barriers) yang

antara lain terdiri:

Kurangnya fasilitas akses

Terbatasnya koleksi yang memadai

Kebijakan pengelolaan perpustakaan

Waktu perolehan informasi, faktor alam, politik dan ideologi

Kurangnya fasilitas pelayanan perpustakaan “

2.3. Membaca

Kegiatan membaca pada masyarakat kita khususnya mereka yang tinggal di kota-

kota besar telah menjadi pemandangan umum di era reformasi ini. Sering kita lihat di

tempat kios koran dan majalah banyak orang berkerumun memeperhatikan dengan

seksama judul-judul berita yang tertera pada koran, tabloid dan majalah. Kegiatan yang

dianggap sebagai hal yang biasa ini sebenarnya terkandung suatu proses yang

16

mempunyai pengaruh yang besar bagi orang yang melakukan kegiatan yang disebut

membaca ini.

Beberapa ahli mencoba memberikan definisi mengenai pengertian membaca:

1. Membaca adalah memahami bahasa tulisan.

Definisi ini mengisyaratkan pengertian sederhana mengenai kegiatan membaca.

Membaca dinilai sebagai semata memahami simbol-simbol tulisan dengan pemahaman

datar.

2. Membaca adalah suatu proses mental yang rumit

Membaca dalam pengertian ini berarti melibatkan banyak komponen pikiran dan

kejiwaan dengan segala kemungkinan dampak yang ditimbulkan bagi orang

bersangkutan.

3. Membaca adalah berpikir.

Pemahaman bacaan adalah rekonstruksi, interpretasi, dan evaluasi arti isi tulisan

pengarang dengan menggunakan pengalaman yang didapat dari pengalaman hidup. Pada

kegiatan membaca dalam pengertian ini menandakan sebagai kegiatan yang melibatkan

kemampuan komprehensip dari orang yang melakukannya.

2.3.1. Tujuan Membaca

Selama proses membaca, ada semacam interaksi antara pengetahuan yang dimiliki

pemabaca dan isi bacaan. Kemampuan membaca adalah suatu proses aktif dimana

pemabaca memakai pengalaman, bahasa, konsep, dan pengetahuan untuk mengantisipasi

atau memperkirakan dan memahami pemikiran, konsep, dan bahasa pengarang. Dengan

demikian pembaca membawa makna pada bacaan dan mengambil makna dari bacaan.

Keadaan proses membaca berubah seiring kedewasaan seorang pelajar. Pada

masa-masa awal membaca, identifikasi kata menjadi fokus utama. Akan tetapi secara

bertahap, seiring dengan berkembangnya kemampuan membaca, pembaca dapat

17

menggunakan kemampuan membaca untuk hiburan, apresiasi, penambahan pengetahuan,

dan tujuan-tujuan fungsional. seperti untuk memahami karya-karya Hamka.

Pembaca membaca dengan tingkat pemahaman mulai dari tingkat literal,

kemudian meningkat ke tingkat interpretasi, dan mencapai puncaknya pada tingkat kritis

dan kreatif.

1. Tingkat literal berarti pembaca mengenal dan mengingat informasi yang yang

dinyatakan dalam bahan bacaan;

2. Tingkat penafsiran terjadi jika pembaca menggabungkan gagasan dan informasi dari

bahan bacaan dengan pengetahuan, pengalaman, dan imajinasi untuk membentuk suatu

hipotesa. Tingkatan ini menunjukkan bahwa pemabaca menggunakan gagasan dan

informasi yang tidak dinyatakan pada bacaan;

3. Tingkat kritis mengisyratkan bahwa pembaca mampu memberi penilaian pada isi

bacaan dengan membandingkan dengan kriteria diluar bacaan tersebut. Pembaca

mungkin mendaptkan kriteria ini dari pengalaman, bahan sumber lainnya, dan akses i

nformasi yang diberikan oleh ahli masalah yang sedang dibahas.

4. Tingkat kreatif berhubungan dengan respon emosional yang diberikan seorang

pembaca terhadapa bahan bacaan. Pemahaman kreatif dibentuk oleh level-level

sebelumnya. Pembaca mungkin memberikan respon terhadap gaya penulis, simbol-

simbol yang dipakai oleh pengarang.

Membaca bukanlah suatu keterampilan tunggal. akan tetapi ia merupakan

kumpulan keterampilan dan kemampuan. Ada model membaca yang populer yaitu model

Gray-Robinson. Model ini menggabungkan lima komponen utama dalam membaca yaitu:

1. Persepsi: kemampuan pembaca untuk mengidentifikasi sebuah kata dan

menghubungkan makna dengan simbol yang tercetak. Persepsi kata menyangkut

memori, analisis konteks, analisa phonetik, analisa struktural dan pemakaian kamus;

18

2. Pemahaman: menyangkut pemahaman pemabaca terhadap gagasan-gagasan baik

yang eksplisit maupun yang implisit;

3. Reaksi: berhubungan dengan membaca kritis. misal apa pemikiran saya mengenai

bacaan ini? Bagaimana saya menerapkan pengetahuan ini.

4. Asimilasi: penyatuan yang dilakukan oleh pembaca antara pengetahuan yang didapat

dari bacaan dengan pengatahuan yang telah dimilikinya;

5. Kecepatan: penyesuaian kecepatan membaca dengan isi bacaan, tujuan pemabaca, dan

pengetahuan pemabaca terhadap isi bacaan.

2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Membaca

1. Faktor fisik; Kemampuan pancaindra;

a. pengelihatan termasuk didalamanya kemapuan memahami simbol yang dilihat

b. pendengaran ketika membaca bahan bacaan.

c. kesehatan

2. Faktor intelektual; membaca melibatkan kemampuaan berpikir atau beralasan,

analisis abstrak, sintesis dan pemahaman lainnya;

3. Faktor emosional; seperti merasa terisolasi, merasa tidak bisa, tidak stabil, kurang

motivasi, gugup, tidak memperhatikan;

4. Faktor bahasa; bahasa merupakan faktor intelektual;

5. Faktor rumah; suasana rumah yang tenang, nyaman, aman dan peduli akan memicu

seseorang anak untuk membaca;

6. Faktor pendidikan; masih banyak kelemahan dalam pengajaran membaca baik dari

19

tingkat dasar sampai tingkat univesitas.

2.3.3. Kegiatan Membaca bagi Siswa

1. Adalah sangat penting para guru membaca buku yang akan dibicarakan di kelas karena

tidak mungkin bagi seorang guru untuk merencanakan tahap-tahap instruksi tanpa

memahami atau akrab dengan isi buku yang akan dibicarakan di kelas;

2. Mengidentifikasi tema-tema yang terdapat pada buku yang bersangkutan. Pengarang

sering memaparkan banyak tema dalam buku karyanya. Buku Siti Nurbaya misalnya

menggambarkan tema kawin paksa, kesetiaan dan keserakahan Pilihlah tema yang

cocok bagi siswa yang akan dilibatkan dalam membaca;

3. Rencanakan kegiatan untuk tiga tingkatan dalam belajar membaca: sebelum, selama

dan sesudah membaca.

a. Kegiatan sebelum membaca merupakan hal yang penting dalam proses

membaca. Tujuannya adalah:

membangun dan/atau mengaktifkan pengetahuan dasar siswa

mengenai topik atau konsep yang terdapat dalam buku;

membangkitkan perasaan dan reaksi di kalangan siswa terhadap

ide atau masalah yang terdapat pada buku;

membantu siswa untuk mengidentifikasi karakter-karekter dalam

buku;

.membangkitkan keingintahuan siswa dan memotivasi mereka

untuk membaca.

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:

identifikasikan tema-tema besar dalam bacaan yang dipilih;

tulis tiga sampai lima pernyataan yang berhubungan dengan tema

yang dipilih;

20

beri waktu beberapa menit kepada siswa untuk memberikan

responnya terhadap pernyataan-pernyataan yang telah ditulis;

Ajak siswa untuk berdiskusi mengenai pernyataan-pernyataan

tersebut. Siswa diminta memberikan alasan-alasan terhadap

pendapat yang mereka kemukakan.

b. Kegiatan selama membaca dilakukan untuk:

membantu pemahaman siswa;

memfokuskan perhatian siswa pada tema, masalah dan karekter

tertentu;

merangsang siswa untuk bereaksi terhadap ide, peristiwa dan

karekter;

meminta perhatian siswa mengenai pemakaian bahasa yang efektif;

membiarkan siswa menemukan apa yang mereka anggap paling

bermakna pada bacaan yang dipilih.

c. Kegiatan sesudah membaca dimaksudkan untuk:

membangkitkan renungan tentang ide, tema masalah yang

ditemukan pada bacaan;

membantu membuat anlisa dan sintesa ide;

menyatukan pengetahuan awal dengan informasi baru;

memperluas pemahaman di luar bahan bacaan yang disajikan;

membantu mengorganisasi informasi.

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat baca oleh

perpustakaan sekolah anatara lain:

1. menciptakan ruang perpustakaan yang nyaman, santai tanpa menghilangkan kesan

serius;

2. menyajikan bacaan-bacaan yang dapat menghibur, menambah pengetahuan agama dan

pengtahuan keilmuan;

3. membantu guru-guru dalam menyiapkan bahan bacaan yang menarik dan bermanfaat

21

untuk kelas yang mereka ajar;

4. melakukan kegiatan bedah buku;

5. menyelenggarakan perlombaan membaca cerpen, membuat ringkasan bacaan;

6. memberikan pelatihan kepada guru dan siswa mengenai cara membaca yang baik.

2.3.4 Kendala-Kendala Pengembangan Minat Baca di Indonesia

1. Maraknya telivisi swasta.

2. Kurangnya bacaan anak yan bermutu dan mempunyai muatan lokal.

3. Kurangnya kesadaran guru bahwa membaca adalah suatu yang penting dan harus

dipelajari.

4, Perpustakaan sekolah yang belum berkembang.

5. Industri buku yang terbatas.

6. Perhatian orang tua terhadap kemampun membaca anak yang kurang.

7. Pengaruh budaya barat telah banyak merusak anak-anak melalui bacaan.

8. Kurangnya pemahaman mengenai arti membaca itu sendiri. Kebanyakan kita melihat

membaca sebagai proses sederhana yaitu dari tidak tahu menjadi tahu.

9. Budaya kita masih didominasi oleh budaya menonton dan mendengar dan ini

merupakan tantangan.

10. Kemampuan bahasa yang masih sangat terbatas.

Kebiasaan membaca merupakan suatu proses yang panjang, yang tewujud melalui

kegiatan membaca sejak dini yaitu sejak masa kanak-kanak. Untuk membiasakan

membaca, ketertarikan dan minat baca anak perlu dirangsang sehingga anak akan terbiasa

dan memiliki memiliki keinginan untuk baca.

2.4. Buku Bacaan

Hasan (1994) menyatakan bawa sejak di sekolah dasar anak diperkenalkan

dengan dua jenis buku yaitu buku pelajaran (buku teks) dan buku bacaan. Buku pelajaran

berisi sumber informasi yang dibaca secara terjadwal, sedangkan buku bacaan lebih

menyediakan hiburan dan bisa dibaca kapan saja. Tapi ditegaskan bahwa batas antara

22

kedua buku ini sangat tipis, dimungkinkan sebuah buku bacaan mengandung banyak

bahan yang bersifat informatif, tetapi juga bisa dibaca sebagai hiburan diwaktu senggang.

Buku pelajaran dan buku bacaan diperlukan sebagai penunjang bagi perkembangan anak

menuju kedewasaannya. Buku pelajaran disekolah lazimnya dibakukan dan anak tidak

bebas memilih sendiri buku pelajarannya. Menurut Haryadi (2000), buku teks tidak boleh

menyimpang dari ketentuan yang tercantum di kurikulum. Bahasa yang digunakan adalah

ragam ilmiah. Penyajian pada umumnya menggunakan ragam karangan prosa eksposisi.

Materi yang disajikan dengan ragam lain jumlahnya sangat terbatas, bahkan sering tidak

sama sekali. Pemberian buku teks atau buku pelengkap biasanya dilakukan oleh guru

pada waktu disekolah.

Berbeda dengan buku pelajaran, pada buku bacaan anak bisa leluasa untuk

memilih sendiri sesuai dengan minat masing-masing. Bisa dikatakan bahwa buku

pelajaran menimbulkan tuntutan dan tantangan bagi anak untuk menguasai bahannya,

sedangkan buku bacaan lebih menampilkan ajakan dan imbauan untuk dinikmati sesuka

hari dan sesuai dengan selera.

Minat anak terhadap sesuatu cerita sangat ditentukan oleh sejauh mana anak dapat

tertarik dan memahami isi ceritanya sehingga dia dapat membaurkan diri dengan tokoh

cerita dan berlanjut kepada penghayatan akan berbagai peristiwa yang terjadi dalam

cerita tersebut. Peluang bagi terjadinya pembauran diri dan penghayatan itulah yang

membangkitkan minat anak hingga menuntaskan bacaan isi suatu cerita. Tanpa peluang

tersebut sesuatu cerita niscaya akan menjemukan, karena sang anak tidak merasa turut

menghuni dan terlibat dalam dunia yang disajikan cerita tersebut..

Cerita yang dimuat dalam buku anak sebaiknya memuat tokoh-tokoh yang

berbuat sesuatu. Anak tertarik untuk menyaksikan cara bagaimana seseorang mengatasi

kesuliatan yang dihadapinya, bagaimana menyelesaikan suatu keadaan dan tampil sebagi

penolong. Bahkan kenakalan dalam batas tertentu bisa menarik dibandingkan cerita

dalam cara yang monoton yang sarat dengan moralitas.

23

Pada dasarnya bacaan anak dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu fiksi dan non-fiksi.

Margaret R Marshal (1982) membagi bacaan fiksi menjadi bebrapa kelompok penting

yaitu cerita rakyat, cerita berlatar belakang sejarah, cerita tentang sekolah, cerita

keluarga, mite, dongeng, cerita binatang, legenda. Pengelompokan pada ini pada

prinsipnya bersifat tidak mutlak karena bisa dalam suatu cerita beberapa kelompok ini

dipresentasikan misalnya cerita tentang binatang juga mengambarkan cerita petualangan

yang dibumbui oleh mite dan cerita rakyat. Diakui bahwa tidak ada pengelompokan

mutlak dalam bacaan anak. Hal ini disebabkan bagaiman cara ahli melihat isi sebuah

cerita anak. The World Book Encyclopedia misalnya membagi bacaan anak dalam

kelompok besar yaitu fiksi, cerita rakyat, puisi, buku informasi dan biografi. Sementara

Danajaya (1991) membagi bacaan anak menjadi sastra rakyat tradisional, fantasi, fiksi

realitis, puisi, buku informasi dan biografi.

Dalam proses membaca pengelompokan tentunya tidak akan dirasakan oleh

pembaca disebabkan mereka telah terbawa oleh suasana atau setting yang dibuat oleh si

pengarang, dan hampir semua kategori pengelompokan menyatu dalam satu cerita. Kisah

Harry Potter karya J.K. Rowling, pengarang Inggris, yang terjual jutaan eksemplar ini

membawa pembacanya, terutama anak-anak, pada dunia magis dan sihir seperti

tergambar dari buku pertamanya, Sorcerer’s Stone.

Dalam dunia buku bacaan anak cerita fiksi yang ditulis J.K. Rowling telah

menjadi fenomena abad awal abad 21. Jutaan anak diseluruh dunia menantikan

kelanjutan petualangan Harry Potter dalam berbagai macam bahasa. Akan tetapi, para

ahli di bidang budaya seperti Andrew Blake, profesor kajian budaya dari Inggris, yang

menulis dalam The Irresistible Rise of Harry Potter dengan subjudul “Sastra Anak di

Dunia Global” menyamakan buku Harry Potter dengan makanan cepat saji. Ia

menggambarkan buku Harry Potter sama buruknya dengan makanan cepat saji yang

membanjiri negara-negara berkembang.

Sementara itu Jean Bethke Elshtain, pakar filsafat politik dari Universitas Chicago

yang meneliti tentang pengaruh sosial budaya sebuah karya tulis mengatakan bahwa

24

orang perlu bersikap tenang menghadapi cerita Harry Potter. Menurutnya, setan dan

kekuatan jahat tetap dibutuhkan , sebab tanpa itu anak tak akan tahu konsep hidup bersih.

(Koran Tempo , Desember 2003).

Pro dan kontra mengenai Harry Potter memunculkan pemikiran pentingnya

pemahaman sebuah teks secara bulat oleh pembaca agar ia bisa mendapatkan pilihan

terbaik dari pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah karangan.

2.4.1. Jenis Bacaan

Seperti telah disinggung sebelumnya, tidak ada standar mengenai pengelompokan

jenis bacaan. Dalam penelitian ini dicoba dijelaskan mengenai bebrapa jenis cerita yaitu:

1. Legenda sering menggambarkan manusia yang mempunyai kekuatan supranatural

karena dibantu oleh kekuatan yang tidak terlihat atau gaib. Sering legenda

menjadi catatan menganai asal usul suatu kejadian, nama atau tempat;

2. Dongeng menggambarkan aspek moral, kebenaran dan sering juga sindiran.

Dongen sering dianggap mampu membangkitkan imajinasi anak sering tanpa

batas. Dongeng Cinderella atau contoh klasik yang mendunia. Bahkan sekarang

ada istilah Cindrella Sindrom yang mengacu menjadi berhasil edalam sekejap;

3. Fantasi adalah cerita yang sering berkesan tidak masuk akal atau mustahil dan

futuristik. Cerita ini sering menjadi sumber ide kreatifitas;

4. Fiksi ilmiah mengacu pada cerita dengan alur dan peristiwa yang dapat diuji

keilmiahannya. Di beberapa negara maju fiksi ilmiah mendorong terbentuknya

kelompok-kelompok baca yang khusus meggemari buku ini. Anggotanya sering

bertukar pikir mengenai isi dalam buku fiksi ilmiah;

5. Buku Informasi mengenalkan anak kepada dunia penegtahuan ilmiah seperti ilmu

alam, seni, sejarah. Buku kuat dalam segi fakta dan otentik;

6. Biografi berisi catatan perjalanan hidup seseorang terutama mereka yang

dianggap sebagi tokoh dalam masyarakat seperti di bidang politik, ekonomi,

teknologi. Penulisan biografi mulai menjadi tren di Indonesia terutama yang

menyangkut tokoh masyatakat atau bisnis’

25

Dari beragam jensi bacaan ini, pembaca jelas dihadapi berbagi macam pilihan

yang kreteria seharusnya banyak dibuat oleh para orang tuan guru dan pustakawan.

Bab III

Pengolahan dan Analisa Data

Penelitian ini melibatkan 50 sekolah dasar yang tersebar di 5 (lima) wilayah

Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta swasta. Kuesioner yang disebar pada

setiap sekolah adalah sepuluh orang dengan perincian setiap sekolah menyediakan 3

responden murid kelas IV, 3 responden murid kelas V dan 4 responden murid kelas VI.

Total kuesioner tersebar adalah 500 buah dengan jumlah kembali dan valid adalah 490

(98%). Tingginya tingkat pengembalian ini tidak terlepas dari pendekatan aktif yang

dilakukan dan antusias dan partispasi tinggi sekolah yang terlibat. (lihat Tabel I dan 2)

Tabel ISekolah dan Jumlah Responden

No.

Nama Sekolah Alamat Sekolah Jml Responden

1.Surya Dharma

Jl. Taopekong No. 14 Keb. Lama 10

2. Kartika X-2 Jl. Anggrek Pesanggrahan Jak- Sel 10 3. Harapan Ibu Jl. H. Banan No. 1 Komp. PU Pd. Pinang 104. MI – Al Falah Jl. Pancoran Barat VII Jak-Sel 10

5. Muhammadiyah Jl. KH. Mas Mansyur 56 Jak – Pus 10 6. Bethel Petamburan Jl. KS Tubun V No. 18 10 7. MI- Al Holidiyah Jl. Perintis Kemerdekaan Jak – Ut 10 8. MI – Al Azhar Jl. Anoa Lestari I Klp. Gading 7 9. ST. Theresia Taman Kedoya Permai Jak-Pus 1010. PSKD Jl Kramat IV No. 29 Kwitang 1011. MI – Ilham II Jl. Ancol Selatan II No. 125 1012. Trisula Perwari III Jl. Balai Pustaka Baru I/38 1013. Al Azhar Jl. Sentra Primer Baru Jak-Tim 11

26

14. Milenia III Jl. Percetakan Negara No. 31 Jak-Pus 1015. Hangtuah Jl. Tabah Raya Jak-Ut 1016. MI – Unwanul Huda Wr. Jati Kalibata Jak-Sel 1017. MI – Raudatul

MutaaliminJl. Kuningan Barat Mampang Prapatan 10

18. Al Wathoniyah 43 Jl. Warudoyang Jakarta Timur 1019. MI – Almuttaqien Jl. Teratai No. 29 Jakarta Utara 1020. MI - Alwathoniyah

XIVJl. Rorotan II 07./04 Jak-Ut 10

21. MI- Alhuda Kebon Sirih Barat Dalam 50 1022. Al Azhar Jl. Boulevar Gading Timur Jak-Ut 323. Santa Ursula Jl. Pos No. 2 Jak-Pusat 924 Muhammadiyah I Jl. Garuda No. 33 Jak-Pus 1025. Muhammadiyah 24 Jl. Balai Pustaka Barat No.II Jak-Tim 1026. Usaha Kemajuan Jl. Industri VIII No. 8 Jak-Pus 1027. MI – Ukuwah

IslamiyahJl. Raya Kalibata Jak-Sel 10

28. Sari Putra Jl. Mangga Besar V/154 1029. YWKA 2 Jl. Komp. PJKA 1030. Tunas Harapan Komp. BNI Pesing Jak-Bar 1031. Perguruan Cikini Jl. Cikini Raya 74 Jak-Pus 1032. Trisula Perwari II Jl. Pegangsaan Tengah No. 2 Jak-Pus 1033. Al Badar Jl. Menteng Sukabumi IV/75 Jak-Pus 1034. Lembaga Putra Kita Jl. Sukabumi III/2 Jak-Pus 1035. MI – Alma’muriyah Jl. Raden Saleh No. 30 Jak-Pus 1036. PSKD Kwitang I Jl. Taman Kebons Sirih III Jak-Pus 1037. Budi Mulya Gn. Sahari 91 Jak-Pus 1038. Taman Siswa Jl. Matraman Dalam II Jak-Pus 1039. Miranti Jl. Taman Amir Hamzah Jak-Pus 1040. BPS & K V Jl. Bg Rampai III, No.329 Jak-Tim 1041. MI – Asyuhada Jl. Malaka IV Jak-Tim 1042. Bhakti Tugas Jl. Raya Ragunan Jak-Sel 1043. Strada Jl. Pejaten Raya Jak-Sel 1044. MI – Assalam Jl. Swadaya I Pejaten Timur Jak-Sel 1045. MI –

Raudhatussa’adahJl. Tegal Parang Ut. I/136 Jak-Sel 10

46. MI – Al Islamiyah Jl. Pancoran barat Jak-Sel 1047. YPBN Jl. Kredit C/III Komp. Bank Mandiri Jak-

Bar10

48 Candra Naya Jl. Jembatan Besi II Jak-Bar 1049. Kertapawitan Komp. Imigrasi Cengkareng Jak-Bar 1050. Hati Kudus Komp. Polri Blok A 3 Jak-Bar 10

Jumlah Responden 490

Tabel 2

27

Komposisi Responden

Kelas Jumlah Persentase Keterangan

IV 147 30%V 151 30,816%VI 192 39,183%

Jumlah 490 100% Dari 500 (98%)

Secara keseluruhan responden yang mengenal perpustakaan sangat tinggi yaitu

97,34%. Tingginya angka ini merupakan hal yang menggembirakan mengingat

pengenalan perpustakaan semenjak sekolah dasar merupakan modal dasar dalam

membangun kebiasaan mengunjungi perpustakaan ketika mereka melanjutkan ke

pendidikan yang lebih tinggi. Mengenal dan mengunjungi perpustakaan adalah langkah

awal untuk memakai perpustakaan secara efesien dan efektif yang pada gilirannya akan

memberikan manfaat yang tinggi bagi yang bersangkutan dalam kehidupan baik dari segi

ekonomi dan sosial serta yang tak kalah pentingnya adalah segi budaya.

Masalah yang muncul dalam membangunan perilaku positif ini sering bersumber

pada minimnya fasilitas dan koleksi perpustakaan dan tidak terampilnya pengelola dan

kurangnya perhatian pimpinan sekolah. Keadaan yang tidak menguntungkan ini

ditakutkan akan merusak atau mengurangi semangat para murid untuk mengunjungi

perpustakaan, dan akan dapat memberikan cerita negatif tentang perpustakaan dalam diri

peserta didik kelak.

Penelitian ini tidak mengumpulkan data mengenai dari mana para siswa mengenal

perpustakaan. Pengenalan perpustakaan bisa dimulai dari lingkungan keluarga, teman

atau guru. Selama ini di lingkungan sekolah dasar, pengenalan kepada perpustakaan

seakan-akan hanya menjadi tanggungjawab guru Bahasa Indonesia saja. Suatu persepsi

yang jelas salah karena seharusnya penegnalan kepada perpustakaan adalah

tanggungjawab semua pihak di sekolah.

28

Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara murid kelas IV, V dan VI

dalam mengenal terhadap perpustakaan. Hal ini berarti mengenal perpustakaan sudah

terjadi sejak dini. (lihat Tabel 3)

Tabel 3Mengenal Perpustakaan

Kelas Ya Tidak

IV 142 (96,598%) 5 (3,401%)V 147 (97,350%) 4 (2,650%)VI 188 (97,916%) 4 (2,083%)

Jumlah 477 (97,347%) 13 (2,653%)

Satu perlima atau 20% siswa yang menjadi responden menyatakan bahwa di

sekolah mereka tidak ada ada perpustakaan. Dengan kata lain ada 8 (delapan) sekolah

yang dijadikan tempat penelitian tidak mempunyai perpustakaan. Bagi siswa yang telah

mengenal perpustakaan akan tetapi sekolah mereka tidak mempunyai perpustakaan,

keadaan ini tentulah sangat tidak menguntungkan karena akan mengurangi semangat

mereka untuk membaca dan mencari informasi di perpustakaan.

Kebanyakan penyebab dari ketidakberadaan perpustakaan adalah ketidakadaan

ruangan, pengelola perpustakaan, dana dan perhatian pimpinan sekolah. Dari faktor-

faktor dominan ini biasanya faktor dana dianggap yang paling menentukan ada atau

tidaknya sebuah perpustakaan di sekolah (lihat Tabel 4).

Melihat keadaan ini sudah waktunya bagi pihak-pihak terkait terutama

Departemen Pendidikan Nasional untuk membuat standarisasi Sekolah Dasar di

Indonesia di mana di dalamnya ada keharusan untuk mempunyai perpustakaan yang

memadai sebagai syarat operasi kegiatan belajar-mengajar di sekolah.

29

Di samping itu perlu juga menyamakan persepsi para pelaku operasional sekolah

baik itu kepala sekolah dan guru-guru untuk menyadari pentingnya keberadaan

perpustakaan dalam menentukan kualitas mutu pendidikan yang mereka berikan. Mereka

harus menyadari bahwa pengetahuan peserta didik jangan hanya terpaku pada buku paket

yang ditentukan oleh manajemen sekolah. Buku-buku lain yang merangsang

keingintahuan, dan kreatifitas anak, buku-buku yang menumbuhkan apresiasi anak

terhadap karya seni dan budaya dan buku-buku pendalaman agama dan budi pekerti serta

buku-buku yang menyenangkan dan menghibur jiwa perlu juga disediakan.

Tabel 4Keberadaan Perpustakaan

Kelas Ya % Tidak %

IV 112 (76,190%) 35 (23,809%)V 118 (78,145%) 33 (21,855%)VI 159 (82,813%) 33 (17,187%)

Jumlah 389 (79,387%) 101 (20,612%)

Tabel 5 memperlihatkan kurang dari setengah (46,7%) dari jumlah responden

keseluruhan yang sering meminjam buku perpustakaan. Padatnya kegiatan belajar di

kelas dan sering tutupnya perpustakaan sekolah karena ketidakberadaan petugas

merupakan faktor dominan penyebab jarangnya siswa miminjam buku dari perpustakaan

sekolah. Pola pengajaran di sekolah dasar pada umumnya bersandar pada buku paket

yang telah ditentukan oleh pengelola sekolah. Kondisi ini jelas tidak memicu keinginan

siswa untuk mencari sumber bacaan atau informasi di luar buku paket yang telah

diberikan. Di samping itu kreatifitas dan pengetahuan tambahan siswa juga akan kurang

berkembang.

Kegiatan kunjungan ke perpustakaan sekolah biasanya dilakukan ketika mata

pelajaran Bahasa Indonesia atau ketika guru kelas tidak hadir. Hal ini berarti kegiatan

kunjungan ke perpustakaan bukan suatu kegiatan yang dirancang sebagai bagian proses

30

belajar-mengajar. Sekolah-sekolah dasar yang menawarkan program “full-day” pun tidak

menjadikan kunjungan ke perpustakaan sebagai bagian strategi pengajaran.

Penelitian ini tidak mengidentifikasi apa saja dilakukan seorang siswa ketika

mereka berada di perpustakaan. Selama ini yang terjadi ketika siswa berada di

perpustakaan adalah mencari informasi yang diperintahkan oleh guru. Siswa tidak diajak

ke perpustakaan untuk membaca buku pilihan mereka untuk kemudian dilaporkan dalam

bentuk laporan lisan atu tulisan kepada guru yang bersangkutan. Hal ini dapat disebabkan

padatnya pekerjaan yang harus dilakukan seorang guru mengingat mereka adalah guru

kelas yang mengasuh seluruh materi mata ajaran yang ditawarkan pada satu tingkatan

kelas.

Sementara pengumpulan data lainnya memperlihatkan bahwa siswa yang paling

banyak tidak pernah meminjam buku dari perpustakaan berasal dari kelas IV. Sedangkan

yang paling sedikit adalah siswa kelas VI. Mengingat kelas VI merupakan tingkatan

terakhir pendidikan dasar, kebutuhan bahan bacaan dalam rangka persiapan menghadapi

ujian akhir mendorong para siswa kelas untuk pergi ke perpustakaan.

Buku-buku yang akan menarik untuk dipergunakan adalah yang menyangkut

latihan soal-soal ujian akhir. Dengan demikian ditemukan di sini bahwa dalam beberapa

hal kebutuhan tingkat kelas siswa akan berbeda sehingga perpustakaan harus

menyediakan buku yang bervariasi. Mary Leonhardt (1997) mengatakan bahwa anak-

anak harus mempunyai banyak pilihan buku di sekolah. Banyaknya buku di sekolah juga

menunjukkan bahwa sekolah yang bersangkutan menghargai membaca.

Tabel 5

Meminjam Buku Perpustakaan

Kelas Sering Kadang-Kadang Tidak Pernah Keterangan

IV 64 (43,537%) 37 (25,170%) 43 (29,251%) Invalid 3 (2,040%)

V 71 (47,019%) 45 (29,801%) 35 (23,178%)VI 94 (48,958%) 70 (36,583%) 28 (14,583%)

Jumlah 229 (46,734%) 152 (31,020%) 106 (21,632%) 3 (0,512%)

31

Menarik sekali melihat tabel 6 bahwa mata pelajaran IPA dan Matematika disukai

oleh lebih setengah jumlah responden. Sedangkan untuk bidang Ilmu Sosial jumlahnya

mendekati 30% dan Bahasa Indonesia jumlahnya tidak begitu berbeda dengan IPA dan

Matematika.

Diperlakukan sebagai ibu dari logika berpikir, Matematika sering menjadi mata

pelajaran yang sering kali menakutkan. Akan tetapi, di beberapa sekolah saat ini sistem

pengajaran matematika dirancang menjadi menarik. Siswa diberikan contoh-contoh

penerapan hitungan matematika pada kehidupan sehari-hari. Di samping itu

menjamurnya bimbangan belajaran Aritmatika dengan metode Kumon dan Sempoa

membantu membangun citra pelajaran matematika sebagai pelajaran yang dapat dikuasai

oleh siapapun. Hal ini telah menjadikan matematika sebagai mata pelajaran yang

menarik dan mengasyikan.

Sementara itu dalam penelitian ini terlihat bahwa mata pelajaran sejarah hanya

disukai oleh 20% responden. Relatif rendahnya peminat mata pelajaran ini adalah sesuatu

yang memprihatinkan, karena memahami sejarah terutama sejarah bangsa sendiri

merupakan landasan pembentukan ideologi dan jati diri sebagai bangsa Indonesia, yang

perlu dibina semenjak dini. Kurangnya minat siswa terhadap mata pelajaran ini lebih

banyak disebabkan sistem pengajaran yang terkesan monoton dan isi yang normatif.

Siswa tidak diajak berpikir mengapa suatu peristiwa dalam sejarah terjadi dan apa

konsekuensinya. Selama ini siswa diminta untuk mengahapal tanggal, bulan dan tahun

terjadinya suatu peristiwa sejarah. Pada kenyataannya, belajar sejarah apa pun

tingkatannya adalah suatu yang perlu dan menarik. Sejarah memberikan bahan pelajaran

dan informasi serta pengetahuan. Generasi muda akan belajar dari peristiwa kesalahan

masa lalu dan akan berusaha untuk tidak mengulangi. dan kejayaan masa lalu menjadi

motivasi untuk berkarya. Masih banyak sebenarnya yang dapat diepelajari dari suatu

pelajaran sejarah. Oleh karena itu sistem pengajaran sejarah sebaiknya mengalami

32

perubahan tidak lagi menajdi monoton dan cendrung normatif tetapi memberikan ruang

bagi siswa untuk untuk menilai suatu.

Tidak kalah memprihatinkan yang ditemukan dalam penelitian in adalah

rendahnya minat siswa dalam pelajaran bahasa daerah. Siswa kelas VI dalam penelitian

ini hanya 0,5 % yang menyukai bahasa daerah. Melihat kondisi Jakarta yang telah

menjadi kota megapolitan berbagai macam suku bangsa berbaur, keengganan siswa untuk

belajar bahasa daerah dapat dimaklumi. Akan tetapi masalahnya menjadi lain kalau usaha

mempelajari bahasa daerah dinilai sebagai usaha melestarikan kekayaan budaya bangsa

melalui bahasa. Banyak bahasa yang menjadi bahasa mati akibat tidak adanya lagi

masyarakat pemakainya. Oleh karena itu perlu adanya suatu pemikiran dan strategi baru

dalam pengajaran bahasa daerah agar peserta didik tertarik untuk mempelajari dan

mempraktekannya.

Tabel 6Mata Pelajaran yang Disukai

No Mata Pelajaran

Kelas IV(%)

Kelas V(%)

Kelas VI(%)

1. Matematika 88 (59,863) 85 (56,291) 106 (55,208)2. B. Indonesia 83 (56,462) 75 (49,668) 101 (52,604)3. B. Daerah 9 (6, 122) 5 (3, 311) 1 (0,520)4. IPA 81 (55,102) 73 (48,344) 104 (54,166)5. IPS 43 (29,251) 51 (33,774) 70 (36,458)6. Sejarah 30 (20,408) 33 (21,854) 45 (23,437)7. PPKN 40 (27,210) 53 (35,099) 68 (35,416)8. Olah Raga 76 (51,700) 81 (53,642) 120 (62,5)9. Agama 72 (48,978) 71 (47,019) 83 (43,229)

Cerita yang berbasis keagamaan dan kepahlawanan merupakan buku lain yang

paling banyak dibaca oleh 46%-52% responden.(lihat tabel 7). Cerita keagamaan

memberikan suri tauladan dan ajaran moral tentang kebaikan dan keburukan. Cerita para

nabi misalnya menggambarkan kesetiaan, kesabaran, ketabahan dan keikhlasan mereka

dalam menyampaikan pesan Tuhan kepada hambaNya. Pemahaman siswa mengenai

33

konsep Ketuhanan sangat berguna bagi mereka. Pengakuan mereka atas kekuasaan dan

kebesaran Tuhan.

Cerita tentang kepahlawanan memberikan konsep pengorbanan dan kesetiaan

kepada tanah air. Para siswa diajarkan mengenai gigihnya perjuangan yang dilakukan

oleh para pahlawan baik yang merebut maupun yang mempertahankan kemerdekaan

Indonesia. Cerita tentang kepahlawanan kaya akan pesan moral tentang hak dan

kewajiban. Ketulusan dan sikap tanpa pamrih mendominasi warna isi cerita

kepahlawanan. Dengan demikian banyak sekali nilai luhur yang didapat dalam membaca

buku yang bercetita tentang kepahlawanan.

Penelitian ini memberikan gambaran yang menggembirakan mengenai kegemaran

jenis bahan bacaan yang diminati oleh para siswa kelas IV, V dan VI. Kombinasi dua

jenis bacaan ini memberikan landasan moral kuat bagi para siswa untuk melangkah lebih

jauh dalam kehidupan. Perpustakaan sekolah hendaknya menyediakan bahan bacaan

jenis ini agar minat baca siswa yang sudah cukup tinggi ini lebih bisa ditingkatkan dan

pemahaman mereka mengenai keagamaan dan kepahlawanan juga makin mendalam.

Cerita lain yang betemakan lingkungan, cerita detektif dan sastra dalam penelitian

ini juga terlihat relatif banyak juga diminati oleh para siswa. Beragamnya bahan bacaan

yang diminati tentunya menimbulkan konsekuensi bagi pengelola perpustakaan untuk

meragamkan koleksinya dalam rangka memuaskan kebutuhan bahan bacaan pemakainya.

Data yang tersaji dalam penelitian ini memperlihatkan sesuatu yang lain dari apa

yang disarankan Mary Leonhardt dalam bukunya (versi terjemahan) yang berjudul 99

Cara Menjadikan Anak Anda Kerajingan Membaca. Mary menyarankan agar anak

diberikan buku bacaan yang bertemakan kisah-kisah sentimentil, anak yang berusaha

menjadi anak baik, saling menolong anatar sesama, kisah petualangan anak dan

kehudupan desa.

34

Tidak muncul kisah bertemakan keagamaan dan kepahlawanan dalam saran Mary

mengisyaratkan bahwa pola berpikirnya mengacu pada masyarakat barat yang sekuler

dan kolonial. Dalam masyarakat seperti ini pemahaman nilai-nilai keagamaan, moral dan

kepahlawanan menajdi barang langka. Dengan demikian jelas disini bahwa kebiasaan

membaca dan kandungan isinya juga harus memperhatikan faktor kondisi sosial dan

budaya masyarakat yang bersangkutan. Saran Mary dalam beberapa hal nampak tidak

dapat diterapkan dalam masyarakat kita. Dan penelitian ini cukup membuktikannya.

Tabel 7Buku Lain yang Dibaca

No Jenis Buku Kelas IV(%)

Kelas V(%)

Kelas VI(%)

1. Lingkungan 52 (35,374) 49 (32,450) 66 (34,375)2. Sastra Anak 32 (21,768) 42 (27,814) 64 (33,333)3. Cerita Agama 82 (55,782) 73 (48,344) 88 (45,833)4. C. Pahlawan 61 (41,496) 79 (52,317) 99 (51,563)5. C. Detektif 36 (24,489) 43 (28,476) 74 (38,542)

Membeli dan meminjam dari perpustakaan dilakukan oleh setengan jumlah

keseluruhan responden (tabel 8). Sedangkan meminjam dari teman menjadi alternatif cara

untuk mendapatkan bahan bacaan oleh sekitar 17% responden.

Relatif tingginya ketergantungan siswa kepada perpustakaan sekolah selain

dengan cara membeli, sebagai sumber untuk mendapatkan bahan bacaan adalah suatu

yang menggembirakan. Data ini sejalan dengan data yang terpampang pada tabel 5

mengenai kunjungan ke perpustakaan sekolah. Artinya siswa yang datang ke

perpustakaan umumnya melakukan transaksi peminjaman koleksi. Bagi perpustakaan

sekolah data ini dapat menjadi indikator perlunya keberadaan sebuah perpustakaan

sekolah menyediakan buku bacaan untuk dipinjam.

Mendapatkan bahan bacaan dengan cara membeli juga merupakan tanda yang

positif perilaku para orang tua murid dalam memenuhi kebutuhan bacaan anak mereka.

35

Banyak orang tua sekarang ini lebih banyak menghadiahkan anaknya dengan mainan atau

mengajak ke restoran cepat saji. Tidak ada salahnya membeli mainan yang bersifat

edukatif atau mengunjungi restoran cepat saji sekali-sekali, sejauh membeli bahan bacaan

yang dapat menambah pengetahuan, wawasan dan merangsang kreatifitas tidak

terlupakan. Idealnya meminjam buku dari perpustakaan dan membeli menjadi cara yang

paling banyak dilakukan oleh siswa untuk mendapatkan bahan bacaan yang mereka

butuhkan.

Data pada tabel 8 menunjukkan rendahnya pemanfaatan perpustakaan umum oleh

siswa untuk mendapatkan bahan pustaka. Di Jakarta terdapat 5 perpustakaan umum

wilayah yang berada dibawah koordianasi Kantor Perpustakaan Umum Daerah

(PERPUMDA) Pemprop DKI Jakarta. Sejauh ini keberadaan perpustakaan tersebut

sudah cukup memadai dilihat dari segi gedung dan fasilitasnya, koleksi, dana dan

SDMnya. Dari 5 perpustakaan umum tersebut dua berada pada atau dekat lingkungan

sekolah dasar yaitu Perpustakaan Umum Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

Kantor PERPUMDA sudah beberapa kali memberikan pelatihan pengolahan

perpustakaan sekolah kepada guru-guru SD di Jakarta sekaligus juga mempromosikan

keberadaan layanan perpustakaan umum dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang positif

seperti lomba menulis dan bedah buku. Akan tetapi data pada tabel 8 menunjukkan

kurang 4% responden menjadikan perpustakaan umum sebagai tempat untuk

mendapatkan bahan bacaan. Jika dilihat dari segi positifnya data ini dapat dijadikan

pendorong banyak lini pada jajaran PERPUMDA dimana diperlukan usaha yang lebih

keras lagi dalam untuk merangsang siswa memanfaatkan perpustakaan umum.

Meminjam buku bacaan dari teman cukup banyak dilakukan oleh siswa, rata-rata

sekitar 15% responden. Fenomena ini cukup menarik jika dilihat dari segi pemakaian

buku bacaan yang dimiliki, peningkatan minat baca, dan langkah pengehematan dalam

membeli buku, oleh siswa. Kegiatan peminjaman buku bacaan antar teman perlu

dikembangkan sebagai usaha membangun perilaku positif dalam diri siswa. Selama ini

dorongan aktifitas peminjaman buku antar teman merupakan sesuatu yang terlewatkan

36

dalam rangka meningkatkan kebiasaan membaca pada anak-anak. Bahkan dalam buku-

buku teks mengenai perpustakaan dan informasi jarang membahas tentang kegiatan

pinjam meminjam buku ini. Buku Mary Leonhardt, misalnya, tidak menyinggung hal ini.

Walapun masih perlu diteliti, fenomena peminjaman buku bacaan antar teman, dapat

merugikan penerbit yang bersangkutan karena volume penjualan buku mereka dapat

berkurang.

Membeli, meminjam dari perpustakaan sekolah, meminjam dari teman

merupakan cara yang paling dominan dalam usaha siswa mendapatkan buku bacaan.

Masih tingginnya ketergantungan siswa kepada perpustakaan sekolah untuk mendapatkan

bahan bacaan harus minimal dipertahankan dan jika bisa ditingkatkan.

Tabel 8Cara Memperoleh Bahan Bacaan

No Cara Mendapatkan

Kelas IV Kelas V Kelas VI

1. Beli 78 (53,061%) 82 (54,304%) 106 (55,208%)2. Pinj. dr perp. Sek. 67 (45,578%) 76 (50,331%) 107 (55,729%)3. Pinj. dr perp. Um 5 ( 3,041%) 9 ( 5,960%) 2 (1,042%) 4. Pinj. dr teman 18 (12,244%) 25 (16,556%) 33 (17,187%)5. Lain-lain 2 ( 1,360%) 3 ( 1,986%) -

Kisah perang Mahabrata atau Kisah Rama dan Sintha yang terdapat dalam cerita

wayang misalnya sangat minim diminati oleh siswa sekolah dasar. Hanya kurang dari

2% responden (Tabel 9) yang sering membaca cerita wayang. Konflik keluarga Pandawa

dan Kurawa yang mengantarkan pada perang besar Mahabrata sebenarnya sarat dengan

pesan moral dan falsafah hidup.

Tubrukan antara kebaikan yang diwakili oleh Pandawa dengan kejahatan yang

tercermin dalam perilaku Kurawa sebenarnya adalah potret kehidupan sehari-hari umat

manusia. Kesabaran, kejujuran, kesetiaan dan patriotisme selalu mendapat ujian dari

mereka yang menjadikan kebohongan dan penghianatan sebagai jalan hidup. Setelah

melewati rintangan dan kesulitan yang sangat berat, pada akhirnya kebaikan selalu

muncul sebagai pemenang. Banyak gambaran kebajikan yang dapat dijadikan bahan

37

acuan dalam Kisah Mahabrata oleh anak-anak. Akan tetapi membaca epik Mahabrata

dianggap sebagai membaca cerita masa lalu yang hanya pantas dilakukan oleh orang-

orang tua. Anak-anak sekarang merasa bangga membawa-bawa buku Harry Potter

sebagai simbol mengikuti tren jaman. Dengan demikian dapat dimaklumi mengapa kisah

Mahabrata sedikit diminati.

Kesucian dan kesetiaan Dewi Sintha dijaga dengan segala pengorbanan. Di

bawah cengkraman Rahwana, yang ingin memperistrinya, Sintha memperlihatkan

kesetian seorang istri untuk menjaga kehormatan suaminya. Sementara Hanoman

mewakili kesetiaan seorang teman terhadap teman lainnya yaitu Sri Rama yang sedang

dirundung malang karena istrinya diculik oleh Rahwana. Banyak contoh kebaikan yang

dapat ditemui dalam kisah abadi ini. Akan tetapi cerita bernilai tinggi ini bernasib sama

dengan kisah Mahabrata. Anak-anak dan para remaja menganggap ke dua karya besar ini

sebagai cerita usang yang sulit dicerna.

Keadaan ini seakan memaksa kita untuk menggalakan kembali gerakan membaca

kisah-kisak klasik yang banyak mengandung ajaran luhur kepada kalangan generasi

muda. Banyak sekali cara hidup yang dipraktikan oleh sebagian masyarakat sebenarnya

bersumber pada kisah epik Ramayana dan Mahabrata. Tokoh Bima, yang sering diartikan

sebagai simbol kekuatan dan kejujuran, banyak dijadikan idiola oleh para orang tua.

Sedangkan kesucian dan kesetiaan sering diasosiasikan dengan tokoh Sintha.

Untungnya kondisi yang memprihatinkan ini masih diimbangi oleh cukup

tingginya (sekitar 50%) siwa yang menjadi responden dalam penelitian ini membaca

cerita rakyat. Kekuatan supranatural dan misteri kekuatan alam yang tanpa batas serta

muncul dewa atau manusia setengah dewa yang mempunyai kekuatan luar biasa

mendominasi isi cerita rakyat. Tema besar ini banyak dijumpai dalam mite dan legenda.

Cerita rakyat dikategorikan sebagai cerita tradisional yang mengambil setting

dekat dengan masyarakat pembacanya. Mite Sangkuriang atau legenda Si Pitung

menggambarkan kehidupan masyarakat Sunda dan Betawi pada jamannya. Dalam banyak

hal cerita ini juga sarat dengan ajaran moral tentang kebaikan dan kejahatan.

38

Dalam penelitian ini didapat data menarik mengenai cukup tingginya minat siswa

terhadap cerita terjemahan (45%). Cerita terjemahan yang membanjiri Indonesia tidak

saja berasal dari Barat. Cerita terjemahan dari bahasa Jepang mulai mendominasi rak-rak

toko buku atau juga perpustakaan. Di satu pihak kita melihat kecendrungan anak-anak

membaca cerita terjemahan sebagai hal yang positif dalam variasi bacaan dan juga

memperluas wawasan. Akan tetapi juga kita melihat ancaman laten bagi eksistensi cerita

lokal mengingat buku cerita terjemahan sering bersifat futuristik dan sering kaya dengan

adegan kekerasan yang sangat digemari oleh generasi muda. Diakui sangat sulit

membendung kehadiran buku cerita terjemahan karena sudah menyangkut bisnis dengan

keuntungan yang menjanjikan. Hampir tidak mungkin memcegah anak-anak membaca

buku jenis bacaan ini. Oleh karena itu jalan satu-satunya adalah memperbaiki mutu cerita

lokal dengan cara memvariasikan dan mencari tema cerita yang banyak diminati oleh

kelompok generasi muda.

Disadari bahwa isi cerita yang dibaca sangat menentukan dalam membangun

mentalitas seseorang yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilakunya dalam

masyarakat. Sudah banyak media masa baik cetak maupun elektronik melaporkan

beberapa kasus yang menggambarkan pengaruh buruk bahan bacaan pada diri remaja.

Kembali lagi disini perlunya promosi yang lebih gencar mengenai buku-buku cerita asli

Indonesia kepada generasi muda. Hal ini penting agar mereka tidak kehilangan jati diri

bangsanya.

Tabel 9Cerita Fiksi Yang Sering Dibaca

No Jenis cerita Kelas IV Kelas V Kelas VI

1. Crt. Rakyat 62 (42,176%) 72 (47,682%) 112 (58,333%)2. Crt. Binatang 56 (38,095%) 49 (32,450%) 62 (32,292%)3. Crt. Terjemahan 59 (40,136%) 71 (47,019%) 96 (50%)4. Crt. Wayang 1 ( 1,360%) 1 ( 0,662%) 3 (1,562%)

39

Para ahli pendidikan Jerman kini menempatkan komik, seperti Donald Duck dan

Micky Mouse, sebagai bahan bacaan yang mempunyai pengaruh positif terhadap

pengaruh terhadap kebiasaan membaca. Bodo Franzmann dari Asosiasi Membaca Jerman

mengatakan bahwa sangat normal bagi anak-anak untuk melihat komik ketika masih

terlalu muda untuk bisa membaca. Kombinasi antara citra dan teks pendek dalam sebuah

komik merupakan hal yang ideal untuk anak-anak yang sedang belajar membaca. Ia

menambahkan bahwa cara ini tidak menghalangi kebiasaan membaca mereka di masa

yang akan datang. Bahkan remaja yang masih suka membaca komik tidak jadi masalah

( The Jakarta Post, 24 Desember 2003).

Pernyataan Bodo ini sejalan dengan penemuan dalam penelitian ini yang

menunjukkan bahwa 86% responden (tabel 10) menyatakan kegemarannya membaca

komik. Komik dengan dominasi gambarnya sangat membantu dalam memahami pesan-

pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Gambarnya juga membantu imajinasi

membaca terhadap peristiwa atau karekter yang dipaparkan. Membaca komik, yang

hemat kata-kata relatif lebih cepat dibanding dengan membaca cerita buku bacaan

lainnya. Sebab itu wajar bagi anak-anak atau siswa sekolah dasar untuk menyukai komik.

Mempertimbangkan tingginya kegemaran siswa membaca buku komik, maka

perpustakaan sekolah harus juga meletakan bahan bacaan ini di rak-rak mereka sebagai

usaha menarik siswa untuk memakai perpustakaan. Salah satu kendala komik bagi

perpustakaan adalah cepat usang jenis bacaan ini baik karena isi cerita atau kondisi fisik.

Konsekuensinya perpustakaan sekolah harus meningkatkan frekuensi pergantian

koleksinya. Hal ini tentu saja akan berdampak bagi peningkatan kesedian dana bagi

perpustakaan sekolah dalam pembelian jenis koleksi ini.

Tingginya kegemaran siswa sekolah dasar terhadap komik tidak perlu membuat

cemas para orang tua atau para guru. Tindakan penting yang perlu dilakukan oleh mereka

adalah menyeleksi isi komik itu sendiri agar dampak positif yang diharapkan tercapai.

Keterlibatan para orang tua dan guru dalam membantu memilih jenis komik yang dibaca

oleh para siswa mencerminkan pembangunan komunikasi yang baik diantara mereka.

40

Pentingnya seleksi terhadap jenis komik juga diungkapkan oleh Franzmann,

peneliti Jerman di bidang membaca yang menekankan pentingnya para orang tua untuk

memperhatikan jenis komik yang dibaca oleh anak mereka. Beberapa komik Manga

Jepang misalnya tidak cocok dibaca oleh anak belasan tahun seperti murid sekolah dasar

kelas IV, V dan VI. Jenis komik ini dinilai mempunyai kandungan gambar kekerasan

yang tinggi karena kekerasan merupaka sesuatu yang tabu ( The Jakarta Post, 24

Desember 2003).

.

Sebenarnya gambaran kekerasan bukan hanya ditemui dalam komik. Media lain

seperti telivisi pun kaya dengan tayangan kekerasan. Banyak film kartun atau sinetron

anak di Indonesia misalnya mengetengahkan tema kekerasan sebagai daya tariknya.

Keterangan ini makin mengukuhkan semakin pentingnya keterlibatan para orang tua

untuk menyeleksi isi cerita baik dalam bentuk media tercetak maupun eletronik.

Tabel 11 memperlihatkan ketatnya persaingan komik asli Indonesia dengan

komik terjemahan. Siswa kelas IV dan V masih lebih sedikit menyukai komik asli

Indonesia dibandingkan kakak kelasnya. Akhir ini banyak usaha yang dilakukan oleh

pengarang komik Indonesia dalam rangka menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Berbagai

macam pameran dan pekan komik serta seminar telah diselenggarakan untuk

meningkatakan apresiasi masyarakat terhadapa komik lokal. Gejala jalan pintas banyak

juga dilakukan oleh beberapa pengarang lokal dengan meniru beberapa karekter dalam

komik impor. Tentu saja gejala ini menimbulkan keprihatinan bagi sekelompok

pengarang komik yang sudah lama berkecimpung lama dalam dunianya seperti Yan

Mintaraga.

Siswa kelas VI merupakan kelompok yang paling banyak membaca komik

terjemahan (64%). Walaupun perlu diteliti lebih lanjut, variasi atau kebosanan terhadap

komik lokal menjadi pemicu siswa kelas VI untuk membaca komik import terejemahan.

Sisi baik dari peralihan ini adalah bertambahahnya ide atau tema cerita yang diketahui

siswa yang pada gilirannya memperkaya pengetahuan mereka. Cerita Petualangan Tin

41

Tin (dibaca Tan Tan) mengajak pembaca ke tempat-tempat yang jauh dan penih

rintangan seperti padang pasir, kutub utara atau hutan yang sangat luas di pedalaman

Amerika dengan sungai Amazonnya yang luar biasa besar dan buas. Latar seperti ini jelas

jarang ditemukan atau boleh dikatakan tidak ada dalam komik lokal.

Banyak sebab yang menjadikan komik lokal miskin dengan tema. Salah satunya

adalah terbatasnya pengetahuan pengarang itu sendiri. Para pengarang lokal nampaknya

hanya mengandalkan pengetahuan yang telah dipunyai. Mereka jarang melakukan riset

perpustakaan untuk menambah pengetahuan. Timbul kesan bahwa proses penciptaan

karekter dan latar menjadi hak prerogatif pengarang tanpa perlu menghubungkan dengan

realita. Fiksi adalah fiksi itu sendiri. Ada bebrapa pengarang mengambil jalan singkat

dengan meniru tema komik luar. Cara ini jelas akan merugikan usaha mempertahankan

kekhasan dan keunikan komik lokal. Pembaca lokal pun akan bingung membedakan

antara komik lokal dengan komik impor. Jati diri komik lokal akan hilang.

Para penerbit pun menyadari besarnya minat siswa sekolah dasar terhadap komik

seperti tercermin dalam penelitian ini menjadi peluang yang tidak boleh disia-siakan.

Rak-rak toko buku sekarang ini dipenuhi oleh buku komik yang kebanyakan didominasi

oleh komik impor seperti Doraemon, Petualangan Lima Sekawan, Donald Bebek dan Tin

Tin.

Sementara pemandangan berbeda ditemui di perpustakaan sekolah. Rak-rak buku

masih diisi oleh buku-buku pelajaran atau buku serius lainnya. Sudah waktunya

pengelola perpustakaan sekolah merybah paradigma kebijakan pengembangan

koleksinya.

Tabel 10Kegemaran Membaca Komik

Kelas Ya % Td % Keterangan

IV 120 (81,632%) 21 (14,285%) Inv. 6 (4,081%)V 133 (88,079%) 18 (11,920%) -VI 169 (88.020%) 23 (11,979%) -

Jumlah 422 (86,122%) 62 (12,653%) 6 (1,224%)

42

Tabel 11Jenis Komik Yang Sering Dibaca

Kelas Indonesia Asli Terjemahan Keterangan

IV 72 (48,979%) 65 (44,217%) Jml responden ygV 74 (49,006%) 79 (52,317% Menjawab 481VI 68 (35,416%) 123 (64,062%)

Jumlah 214 (44,490%) 267 (54,489%)

Berdasarkan data yang terkumpul, penelitian ini membuat urutan prioritas

komposi jenis buku koleksi bagi perpustakaan sekolah yaitu:

1. Buku Pelajaran;

2. Buku Pengetahuan Umum;

3. Buku Keagamaan;

4. Buku Fiksi;

5. Buku Kesenian;

6. Buku Keterampilan.

Buku pelajaran menjadi kebutuhan utama bagi siswa oleh karena itu harapan

responden akan banyak buku pelajaran pada jajaran koleksinya adalah hal yang wajar.

Sisi menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah posisi buku fiksi yang berada di

atas buku kesenian dan keterampilan sebagi koleksi yang diharapkan ada di perpustakaan

sekolah. Buku fiksi yang banyak menawarkan cerita menarik menjadi variasi yang paling

efektif untuk mengatasi kejenuhan membaca buku pelajaran yang serius. Jika komposi ini

diikuti oleh perpustakaan sekolah, maka konsep “Serius dan Gembira” dalam proses

belajar siswa dapat mereka berikan. Dengan demikian peran perpustakaan nyata terlihat

makin strategis dan penting.

43

Kenyataan lapangan menggambarkan konsep komposisi koleksi sebagai hal yang

terabaikan oleh para pengelola perpustakaan sekolah. Pengembangan koleksi di

perpustakaan sekolah lebih bersifat insidental dan tidak terencana. Kebiasaan ini

seharusnya berubah. Pengelola perpustakaan harus memahami kebutuhan dan perilaku

pemakainya agar pengembangan koleksinys dapat memuaskan kebutuhan mereka.

Dengan demikian perpustakaan dapat berperan penting dalam mendukung keberhasilan

kegiatan proses belaja-mengajar di sekolah yang bersangkutan

Tabel 12Harapan Terhadap Koleksi Perpustakaan

No. Jenis Buku Kelas IV (%)

Kelas V(%)

Kelas VI(%)

1. Pelajaran 84 (57,142) 75 (49,668) 99 (51,562)2. Penget. Umum 70 (47,619) 87 (57,615) 121 (63,020)3. Keterampilan 21 (14,285) 31 (20,529) 38 (19,791)4. Kesenian 21 (14,285) 23 (15,231) 43 (22,395)5. Cerita Agama 49(33,333) 43 (28,476) 55 (28,645)6. Cerita Fiksi 26 (17,687) 36 (23,841) 79 (41,145)

44

Bab IV

Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini mencoba membuat beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan data

dan analisanya. Kesimpulan yang ditarik dalam penelitian ini, karena beberapa kondisi

tidak selalu sama dengan kenyataan yang terdapat di lapangan. Hal ini disebabkan

keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini sendiri seperti sifat penelitian yang non-

representative. Akan tetapi terlepas dari semua itu, kesimpulan dalam penelitian ini dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola perpustakaan sekolah terutama

dalam kaitannya dengan kebutuhan jenis bacaan siswa dan bagaimana mereka

mendapatkannya.

4.1. Kesimpulan

Ada bebarapa kesimpulan yang dianggap penting dalam penelitian ini. Kesimpulan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hampir seluruh siswa sekolah dasar mengenal perpustakaan;

2. Tidak semua sekolah dasar mempunyai perpustakaan ;

3. Jumlah siswa yang sering mempergunakan perpustakaan sekolah masih

tergolong tidak memuaskan disebabkan banyak faktor;

4. Mata pelajaran IPA dan Matematika disukai oleh banyak siswa sekolah dasar;

5. Membeli dan meminjam dari perpustakaan dan teman merupakan cara yang paling

banyak dilakukan oleh siswa sekolah dasar untuk mendapatkan buku bacaan yang

mereka butuhkan;

6. Cerita rakyat dan cerita dalam bentuk terjemahan merupakan bahan bacaan yang

banyak disukai oleh siswa sekolah dasar. Sementara cerita wayang kurang diminati

oleh mereka;

7. Kebanyakan siswa sekolah dasar gemar membaca komik baik karya penulis lokal

maupun penulis luar negeri;

45

8. Buku pelajaran, buku pengetahuan umum dan buku mengenai keagamaan merupakan

buku yang paling diharapkan kehadirannya di perpustakaan.

4.2. Saran

Penelitian ini memberikan awal bagi pemahaman lebih jauh lagi mengenai

kebutuhan informasi siswa sekolah dasar dan juga perilaku mereka untuk memenuhinya.

Beberapa saran yang dikemukakan disini adalah sebagi berikut:

1. Keberadaan sebuah perpustakaan yang memenuhi standar seharusnya menjadi syarat

beroperasinya sebuah sekolah dasar;

2. Perlu lebih digalakan kegiatan pendayagunaan perpustakaan oleh siswa sekolah dasar;

3. Sebaiknya pengasuh mata pelajaran lain seperti sejarah meniru cara yang diterapkan

pengasuh mata pelajaran matematika dan IPA;

4. Para orang tua dan guru mendorong kegiatan meminjam bahan bacaan antar siswa.

Kegiatan ini juga dapat merupakan pembangunan budaya kerja sama yang positif dan

saling menguntungkan;

5. Para orang tua dan guru sebaiknya memotivasi anak-anak untuk menyukai cerita yang

banyak mengajarkan keluhuran perilaku seperti yang terdapat dalam cerita wayang;

6. Kegiatan membaca komik dapat dijadikan sarana untuk menumbuhkan kebiasaan anak

membaca;

7. Para pengelola perpustakaan sekolah harusnya memahami kebutuhan informasi siswa

yang dilayani agar pemanfaatan koleksinya menjadi maksimal.

46

DAFTAR PUSTAKA

Atherton, Pauline (1992). Sistem dan pelayanan informasi. Edisi Bahasa Indonesia oleh :

Bambang Hartono.—Jakarta : Arga Kencana Abadi.

Bouazza, Abdelmajed (1989). Information user studies dalam Allen Kent (Ed.).

Encyclopedia of library and information science.—New York : Marcel Dekker.

Dana Djaja, James. Foklor Indonesia : ilmu gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1991

Dervin, B. & Nilan, M. “Information needs and uses” dalam M. Williams (Ed). Annual

review of information science and technology , Vol. 25 1986: 3 – 33.

Ellis, David. The Derivation of a behavioural model for information retrieval system

design. Disertasi Doktor di University of Sheffield Department of Information

Studies-Sheffield, 1987.

Foster dalam Panuti Sadjiman. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya, 1992.

Heyden, K. Alix (2001:6p). Information seeking models. EDCI 701- The University of

Calgary.

Hildick, Wallace. Children and fiction: a critical study in depth of the artistic and psycological factors involved in writing fiction for and about children. London: Evan Brothers, 1974.

Hudson dalam Panuti Sadjiman. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya, 1992

Kulthau, Carol C. (1991). Inside the searching process information seeking from the

user’s perspective. – Journal of the American Society for Information Science, 43

(5) : 361-71.

Krikelas, James. “Information-seeking behaviour:patterns and concepts”. Drexel Library

Quarterly, 19 (2) Spring 1983: 1-

Norton, Donna E. Through the eyes of a child: an introduction to children’s literature. Colombus: Merril, 1992.

Sarumpaet, Riris K. Toha. Bacaan Anak-anak: Suatu penyelidikan pendahuluan ke dalam hakekat, sifat dan corak bacaan anak-anak serta minat anak pada bacaannya. Jakarta : Pustaka Jaya,1976.

Wilson, T.D.(1981). “On user studies and information need”. The Journal of Documentation, 37 (1) March.

47

LAMPIRAN

Tabel 2Komposisi Responden

Komposisi Responden

147; 30%

151; 31%

192; 39%IV

V

VI

Tabel 3Mengenal Perpustakaan

Gambar 1

Mengenal Perpustakaan Oleh Siswa kelas IV

142; 97%

5; 3%

ya

tidak

48

Gambar 2

Mengenal Perpustakaan Oleh Siswa Kelas V

147; 97%

4; 3%

ya

tidak

Gambar 3

Mengenal Perpustakaan Oleh Siswa Kelas VI

188; 98%

4; 2%

ya

tidak

Gambar 4

Mengenal Perpustakaan Oleh Siswa Kelas IV, V dan VI

477; 97%

13; 3%

ya

tidak

Tabel 4

49

Keberadaan PerpustakaanGambar 1

Keberadaan Perpustakaan oleh Siswa Kelas IV

112; 76%

35; 24%

yatidak

Gambar 2

Keberadaaan Perpustakaan oleh Siswa Kelas V

118; 78%

33; 22%

ya

tidak

Gambar 3

Keberadaan Perpustakaan oleh Siswa Kelas VI

159; 83%

33; 17%

yatidak

Gambar 4

50

Keberadaan Perpustakaan oleh Siswa Kelas IV, V dan VI

389; 79%

101; 21%

ya

tidak

Tabel 5

Meminjam Buku PerpustakaanGambar 1

Meminjam Buku Perpustakaan oleh Siswa Kelas IV

64, 44%

37, 25%

43, 29%3, 2%

Sering

Kadang-kadang

Tidak Pernah

Invalid

Gambar 2

Meminjam Buku di Perpustakaan Oleh Siswa Kelas V

71; 47%

45; 30%

35; 23%

sering

kadang-kadang

tidak pernah

Gambar 3

51

Meminjam Buku Perpustakaan oleh Siswa Kelas VI

94, 49%

70, 36%

28, 15%SeringKadang-kadangTidak Pernah

Tabel 6

Mata Pelajaran yang DisukaiGambar 1

Mata Pelajaran yang Disukai Kelas IV

88; 16%

83; 15%

9; 2%

81; 16%43; 8%30; 6%

40; 8%

76; 15%

72; 14%

Matematika

B. Indonesia

B. Daerah

IPA

IPS

Sejarah

PPKN

Olah Raga

Agama

Gambar 2

Mata Pelajaran yang Disukai Kelas V

85; 17%

75; 14%

5; 1%

73; 14%51; 10%33; 6%

53; 10%

81; 15%

71; 13%

MatematikaB. IndonesiaB. DaerahIPAIPSSejarahPPKNOlah RagaAgama

Gambar 3

52

Mata Pelajaran Yang Disukai Kelas VI

106; 15%

101; 14%

1; 0%

104; 15%70; 10%45; 6%

68; 10%

120; 18%

83; 12%MatematikaB. IndonesiaB. DaerahIPAIPSSejarahPPKNOlah RagaAgama

Gambar 4

Mata Pelajaran Yang Disukai Kelas IV, V dan VI

88; 16%

83; 15%

9; 2%

81; 16%43; 8%30; 6%

40; 8%

76; 15%

72; 14% MatematikaB. IndonesiaB. DaerahIPAIPSSejarahPPKNOlah RagaAgama

Tabel 7Buku Lain yang Dibaca

Gambar 1

53

Buku Lain yang Dibaca Oleh Siswa Kelas IV

52; 20%

32; 12%

82; 31%

61; 23%

36; 14%Lingkungan

Sastra Anak

Cerita Agama

C. Pahlawan

C. Detektif

Gambar 2

Buku Lain Yang Dibaca Siswa Kelas V

49; 17%

42; 15%

73; 26%

79; 27%

43; 15%Lingkungan

Sastra Anak

Cerita Agama

C. Pahlawan

C. Detektif

Gambar 3

Buku Lain Yang Dibaca Siswa Kelas VI

66; 17%

64; 16%

88; 23%

99; 25%

74; 19%Lingkungan

Sastra Anak

Cerita Agama

C. Pahlawan

C. Detektif

Gambar 4

54

Buku Lain Yang Dibaca Oleh Siswa Kelas IV, V dan VI

52; 20%

32; 12%

82; 31%

61; 23%

36; 14%

Lingkungan

Sastra Anak

Cerita Agama

C. Pahlawan

C. Detektif

Tabel 8Cara Memperoleh Bahan Bacaan

Gambar 1

Cara Mendapatkan Buku Oleh Kelas IV

78; 46%

67; 39%

5; 3%

18; 11% 2; 1%

Beli

Pinj. dr perp. Sek.

Pinj. dr perp. Um

Pinj. dr teman

Lain-lain

Gambar 2

55

Cara Memperoleh Buku oleh Siswa Kelas V

82; 41%

76; 39%

9; 5%

25; 13% 3; 2%Beli

Pinj. dr perp. Sek.

Pinj. dr perp. Um

Pinj. dr teman

Lain-lain

Gambar 3

Cara Mendapatkan Buku Oleh Siswa Kelas VI

106; 43%

107; 43%

2; 1%

33; 13%

Beli

Pinj. dr perp. Sek.

Pinj. dr perp. Um

Pinj. dr teman

Gambar 4

Car Mendapatkan Buku oleh Siswa Kelas IV, V dan VI

78, 46%

67, 39%

5, 3%

18, 11% 2, 1%Beli

Pinj. dr perp. Sek.

Pinj. dr perp. Um

Pinj. dr teman

Lain-lain

Tabel 9

56

Cerita Fiksi Yang Sering DibacaGambar 1

Buku Cerita yang Sering Dibaca Siswa Kelas IV

62; 35%

56; 31%

59; 33%

1; 1%

Crt. Rakyat

Crt. Binatang

Crt. Terjemahan

Crt. Wayang

Gambar 2

Buku Fiksi Yang Sering Dibaca Siswa Kelas V

72, 37%

49, 25%

71, 37%

1, 1%

Crt. Rakyat

Crt. Binatang

Crt. Terjemahan

Crt. Wayang

Gambar 3

Buku Fiksi yang Sering Dibaca Siswa Kelas VI

112; 41%

62; 23%

96; 35%

3; 1%

Crt. Rakyat

Crt. Binatang

Crt. Terjemahan

Crt. Wayang

Gambar 4

57

Buku Fiksi yang Sering Dibaca Siswa Kelas IV, V dan VI

62, 35%

56, 31%

59, 33%

1, 1%

Crt. Rakyat

Crt. Binatang

Crt. Terjemahan

Crt. Wayang

Tabel 10Kegemaran Membaca Komik

Gambar 1

Kegemaran Membaca Komik Siswa Kelas IV

120; 82%

21; 14%6; 4%

Ya %

Td %

Invalid

Gambar 2

Kegemaran Membaca Komik Siswa Kelas V

133; 88%

18; 12%

Ya %

Td %

Gambar 3

58

Kegemaran Membaca Komik Siswa Kelas VI

169, 88%

23, 12%

Ya %

Td %

Gambar 4

Kegemaran Membaca Komik Siswa Kelas IV, V dan VI

422, 86%

62, 13% 6, 1%

Ya %

Td %

Invalid

Tabel 11Jenis Komik Yang Sering Dibaca

59

Gambar 1

Jenis Komik Yang Sering Dibaca Siswa Kelas IV

72; 53%65; 47% Indonesia Asli

Terjemahan

Gambar 2

Jenis Komik Yang Sering Dibaca Siswa Kelas V

74, 48%79, 52%

Indonesia AsliTerjemahan

Gambar 3

Jenis Komik Yang Sering Dibaca Siswa Kelas VI

68; 36%

123; 64%

Indonesia AsliTerjemahan

Gambar 4

60

Jenis Komik yang Sering Dibaca Siswa Kelas IV, V dan VI

214, 44%267, 56%

Indonesia Asli

Terjemahan

Tabel 12Harapan Terhadap Koleksi Perpustakaan

Gambar 1

Harapan Siswa Kelas IV Terhadap Koleksi Perpustakaan

84; 30%

70; 26%21; 8%

21; 8%

49; 18%

26; 10%Pelajaran

Penget. Umum

Keterampilan

Kesenian

Cerita Agama

Cerita Fiksi

Gambar 2

Harapan Siswa Kelas V Terhadap Koleksi Perpustakaan

75; 25%

87; 29%31; 11%

23; 8%

43; 15%

36; 12%

Pelajaran

Penget. Umum

Keterampilan

Kesenian

Cerita Agama

Cerita Fiksi

Gambar 3

61

Harapan Siswa Kelas Kelas VI Terhadap Koleksi Perpustakaan

99; 23%

121; 27%38; 9%

43; 10%

55; 13%

79; 18%Pelajaran

Penget. Umum

Keterampilan

Kesenian

Cerita Agama

Cerita Fiksi

Gambar 4

Harapan Siswa Kelas IV, V dan VI Terhadap Koleksi Perpustakaan

84; 30%

70; 26%21; 8%

21; 8%

49; 18%

26; 10%Pelajaran

Penget. Umum

Keterampilan

Kesenian

Cerita Agama

Cerita Fiksi

62


Recommended