+ All Categories
Home > Documents > pengantar metode- metode filsafat

pengantar metode- metode filsafat

Date post: 30-Nov-2021
Category:
Upload: others
View: 16 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
377
Transcript
Page 1: pengantar metode- metode filsafat
Page 2: pengantar metode- metode filsafat

pengantarmetode-metodefilsafat

Chris Daly

Alih Bahasa:Taufiqurrahman

Page 3: pengantar metode- metode filsafat

Pengantar Metode-metode FilsafatChris Daly

Diterjemahkan dari:An Introduction to Philosophical Methods© Chris Daly 2010First Published byBROADVIEW PRESS 2010

Hak terjemahan dalam bahasa Indonesia pada:Antinomi Institute

Terbitan Pertama: Mei 2021 (e-book)Alih Bahasa: TaufiqurrahmanPenyunting: Banin Diar SukmonoPenyelaras Akhir: Tri Kurniawan P.Tata Letak: RéeDesain Sampul: Rée

Hak Cipta dilindungi Undang-undangPenerbit AntinomiJl. Kaliurang km 5,3 No. 12 Sleman 55281 YogyakartaEmail: [email protected]://antinomi.org

ISBN 978-623-96375-2-1

Buku ini dapat diunduh secara gratis melalui antinomi.org/publikasi dan bebasdisebarluaskan untuk kepentingan diseminasi pemikiran. Dilarang keras

menggunakannya untuk keperluan komersial.

Page 4: pengantar metode- metode filsafat

PRAKATA

SAYA sangat berterima kasih kepada Ryan Chynces di BroadviewPress untuk antusiasme dan dukungannya dalam menerbitkan bukuini. Lima penilai anonim dari Broadview Press juga telah membe-rikan saran yang sangat berharga untuk draf awal buku ini. Sayatelah mencoba melaksanakan semua saran-saran mereka, baik yangterkait dengan isi ataupun struktur. Terima kasih juga untuk GregJanzen, pengganti Ryan di Broadview, yang telah mengawasi prosespenerbitan buku ini hingga tahap percetakan. Tara Lowes dan timproduksinya juga telah bekerja dengan sangat baik untuk memper-siapkan buku ini.

Eva Garrard, David Liggins, dan Eric Steinhart dengan baik hatisudi membaca draf seluruh naskah buku ini. Saran-saran merekasangat membantu dalam pengembangan materi. Rina Arya, HarryLesser, Carrie Jenkins, dan Daniel Nolan juga telah memberikanfeedback yang sangat berharga untuk beberapa bab dalam buku ini.

Terima kasih juga untuk Tony Anderson, Eric Barnes, JamesRobert Brown, Earl Conee, Tim Maudlin, John Norton, dan JonathanVogel untuk korespondensinya.

Bob Martin melakukan penyelarasan dan penyesuaian (copy-editing) yang sangat baik untuk naskah ini. Dia juga memberikanbanyak komentar filosofis yang sangat membantu.

Page 5: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Saya berhutang budi untuk orang-orang yang pernah mem-bimbing saya: Jeremy Butterfield, Peter Lipton, dan Hugh Mellor.Mereka sangat memengaruhi saya dalam banyak hal. Kematianmendadak Peter pada November 2007 tetap menyedihkan. Dia ada-lah orang yang hebat dan bukunya Inference to the Best Explanationtelah menjadi buku klasik di bidangnya.

Buku ini didedikasikan untuk Bump dan Moula.

ii C H R I S D A L Y

Page 6: pengantar metode- metode filsafat

Daftar Isi

PRAKATA i

DAFTAR ISI iii

PENDAHULUAN �

� PANDANGANUMUM �

1.1 Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9

1.2 Pembelaan Moore atas Pandangan Umum . . . . . 11

1.3 Definisi Pandangan Umum . . . . . . . . . . . . . . 14

1.4 Pandangan Umum dan Konservatisme . . . . . . . 16

1.5 Pandangan Umum dan Teori . . . . . . . . . . . . . 18

1.6 Studi Kasus: Pembuktian Moore tentang Dunia Eks-ternal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25

1.7 Argumen Kepastian Moore . . . . . . . . . . . . . . 35

1.8 Moore dan Analisis Filosofis . . . . . . . . . . . . . 40

1.9 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 42

� ANALISIS ��

2.1 Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49

2.2 Apa itu Analisis Filosofis? . . . . . . . . . . . . . . . 50

2.3 Model Kerja Analisis Filosofis . . . . . . . . . . . . 54

2.4 Apakah Analisis itu Mungkin? . . . . . . . . . . . . 64

2.5 Studi Kasus: Argumen Pertanyaan Terbuka Moore 65

Page 7: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

2.6 Paradoks Analisis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 82

2.7 Problem Analisis Ganda . . . . . . . . . . . . . . . . 88

2.8 Kemiripan Keluarga . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90

2.9 Rekam Jejak Analisis Filosofis . . . . . . . . . . . . 96

2.10 Evaluasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 99

2.11 Menaturalisasi Analisis: Pandangan Lewis dan Jackson 101

2.12 Menaturalisasi Analisis: Pandangan Rey . . . . . . 105

2.13 Menaturalisasi Analisis: Pandangan Quine . . . . . 119

2.14 Parafrase . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 122

2.15 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 134

� EKSPERIMENPIKIRAN ���

3.1 Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 139

3.2 Contoh-contoh Eksperimen Pikiran . . . . . . . . . 141

3.3 Teori tentang Eksperimen Pikiran . . . . . . . . . . 148

3.4 Skeptisisme terhadap Eksperimen Pikiran Filsafat . 157

3.5 Studi Kasus: Eksperimen Pikiran tentang IdentitasPribadi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 164

3.6 Filsafat Eksperimental . . . . . . . . . . . . . . . . . 175

3.7 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 179

� KESEDERHANAAN ���

4.1 Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 185

4.2 Macam-macam Kesederhanaan . . . . . . . . . . . 186

4.3 Apakah Kesederhanaan merupakan Sebuah Keuta-maan Teoretis? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 194

4.4 Studi Kasus: Teori Identitas Pikiran-Otak . . . . . . 196

4.5 Studi Kasus: Realisme Modal . . . . . . . . . . . . . 201

4.6 Mengapa Sederhana? . . . . . . . . . . . . . . . . . 209

4.7 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 218

� PENJELASAN ���

5.1 Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 223

iv C H R I S D A L Y

Page 8: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R I S I

5.2 Apakah Teori Filosofis Memberikan Penjelasan? . . 225

5.3 Perbedaan antara Teori Filosofis dan Teori Ilmiah . 232

5.4 Penyatuan Teoretik dan Penjelasan Filosofis . . . . 239

5.5 Penyimpulan menuju Penjelasan Filosofis Terbaik . 243

5.6 Studi Kasus: Teori Identitas Pikiran-Otak . . . . . . 251

5.7 Studi Kasus: Hipotesis Dunia Eksternal . . . . . . . 254

5.8 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 263

� SAINS ���

6.1 Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 269

6.2 Naturalisme Quine . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 274

6.3 Studi Kasus: Epistemologi . . . . . . . . . . . . . . 278

6.4 Teori Psikologi dan Epistemologi . . . . . . . . . . . 283

6.5 Sains dan Skeptisisme . . . . . . . . . . . . . . . . . 291

6.6 Problem Sirkularitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . 295

6.7 Problem Otoritas Epistemik . . . . . . . . . . . . . . 301

6.8 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 305

KESIMPULAN ���

GLOSARIUM ���

DAFTAR PUSTAKA ���

INDEKS ���

C H R I S D A L Y v

Page 9: pengantar metode- metode filsafat
Page 10: pengantar metode- metode filsafat

PENDAHULUAN

PA R A filsuf, sebagaimana para ilmuwan, membuat beberapa klaim.Akan tetapi, tidak seperti para ilmuwan, para filsuf tidak meng-gunakan tabung reaksi, teleskop, kamar kabut, atau peralatan lainyang serupa dalam kerja mereka. Ini memunculkan pertanyaan:bukti macam apa yang tersedia untuk mendukung klaim filosofis?Klaim filosofis bersifat spekulatif. Akan tetapi, jika ini berarti bahwaklaim tersebut tanpa dasar, kita mungkin layak bertanya mengapaseseorang harus membuat klaim tersebut dan mengapa ia harusmeyakininya dengan tingkat keyakinan yang paling tipis.

Mengutip karya orang lain yang telah terbit tentu tidak akanmemberi tahu kita tentang dasar macam apa yang dimiliki olehklaim-klaim filosofis karena ia hanya menangguhkan pertanyaan.Kita sekarang perlu tahu dasar macam apa yang tersedia untukmendukung klaim-klaim yang tertulis itu. Alasan apa yang dimilikioleh para pengarang tersebut untuk membuat klaim tersebut? Adapendapat umum tentang nilai evidensial dari testimoni. Bahkan jikatestimoni dapat memberi kita alasan untuk memercayai bahwa pro-posisi P itu benar, maka sumber terakhir dari testimoni itu—yaitu,filsuf yang membuat klaim tersebut pertama kali—masih harus me-miliki alasan lain untuk memercayai bahwa P benar. Kita perlu tahualasan macam apakah itu.

Page 11: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Sekali lagi, merupakan sebuah pelajaran umum yang pentingdalam epistemologi bahwa seseorang bisa layak untuk membuatklaim tertentu bahkan jika orang itu tidak memiliki bukti untukmendukung klaimnya itu.� Akan tetapi, mungkin tidak semua kla-im (bahkan tidak semua klaim filosofis) memiliki status itu. Selainitu, bahkan jika beberapa filsuf bisa membuat sejumlah klaim ter-tentu tanpa memberikan bukti pendukungnya, dan klaim-klaim itukemudian saling bertentangan, kita perlu memilih di antara klaim-klaim itu. Di dalam melakukan pemilihan terhadap klaim-klaimyang diajukan, kita dituntut untuk memiliki alasan terhadap pilihankita sendiri.

Semisal kita setidaknya dapat mengidentifikasi beberapa jenisbukti yang mendukung sejumlah klaim filosofis. Persoalannya tidakberakhir di sana karena kita masih perlu mengevaluasi bukti-buktiitu. Kita perlu tahu seberapa baik bukti itu. Di satu waktu orangberpikir bahwa kondisi perut ayam memberi bukti tentang apayang akan terjadi. Jelas itu bukan cara terbaik untuk memprediksimasa depan. Akan tetapi apakah ada alasan mengapa kita harusmengandaikan bahwa filsuf saat ini lebih sedikit keliru? Ini bukansoal sepele. Beberapa filsuf berpikir bahwa rekam jejak filsafat dalammenemukan kebenaran, yang berbeda dengan mengungkapkankekeliruan, itu tidak lebih baik dibanding rekam jejak pengujianperut ayam sebagai sebuah petunjuk untuk memprediksi masadepan.� Jadi, jika persoalan pertama berkaitan dengan bukti macamapa yang mendukung klaim filosofis, persoalan kedua berkaitandengan seberapa andal klaim itu—seberapa mungkin klaim itumengarah pada klaim yang benar yang berbeda dari klaim yangkeliru.

Fakta bahwa filsuf tidak memiliki laboratorium yang dilengkapidengan alat pengujian dan pengukuran mungkin mendukung keya-

� Untuk mengetahui argumen bagi pandangan ini, lihat van Inwagen (1996).� Lihat, misalnya, Lewis (1991, 58-60) dan Taylor (1968, 618-619).

� C H R I S D A L Y

Page 12: pengantar metode- metode filsafat

P E N D A H U L U A N

kinan bahwa mereka tidak membutuhkannya dan, secara umum,bahwa para filsuf tidak membutuhkan informasi empiris apa pun didalam mengembangkan dan mempertahankan pandangan mereka.Alasannya adalah bahwa jika para filsuf itu tidak bersandar padadata empiris, mereka pasti bersandar pada data non-empiris. Jenisdata ini pasti merupakan data khusus yang dapat diakses melaluirefleksi intelektual di atas kursi. Dan jika hipotesis para filsuf diujioleh data non-empiris, hipotesis itu sendiri tidak mungkin meru-pakan hipotesis empiris. Hipotesis itu tidak akan berupa hipotesistentang dunia empiris, melainkan hipotesis tentang bagaimana kitamemikirkan dunia empiris. Ia adalah hipotesis tentang representasikita atas sesuatu. Filsafat kemudian menjadi sebuah penyelidikantentang hakikat representasi atau konsep kita tentang sesuatu. Inimerangkum ide tentang filsafat sebagai analisis konseptual danhipotesis filosofis sebagai klaim tentang seperti apa itu konsep danbagaimana ia secara niscaya saling terkait dengan konsep lain. Kon-sepsi filsafat yang seperti ini terus berpengaruh.

Namun, rangkaian argumen pada paragraf di atas itu dapatdilawan. Bahkan jika para filsuf tidak memiliki laboratorium dantidak melakukan eksperimen empiris, itu tidak berarti bahwa dataempiris tidak relevan bagi teori filsafat. Data empiris mungkin di-butuhkan oleh teori filsafat. Toh, banyak fisikawan teoretis sendirijuga tidak memiliki laboratorium dan tidak melakukan eksperimenempiris. Akan tetapi, mereka bergantung pada hasil dari penelitianlaboratorium dan penelitian lapangan para fisikawan eksperimentaluntuk memperoleh bukti bagi teori-teori mereka.

Menurut satu konsepsi tentang filsafat—yaitu naturalisme—hi-potesis filosofis itu dapat menerima dukungan empiris (atau ban-tahan empiris). Dukungan itu sering kali tidak langsung. Bahkanmungkin dukungan itu lebih bersifat tidak langsung dibandingdukungan yang diterima teori fisika level-atas dari pengamatanempiris. Akan tetapi, yang jelas dukungan itu ada. Konsepsi fil-

C H R I S D A L Y �

Page 13: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

safat semacam ini mungkin membuat klaim lebih lanjut tentangdukungan tersebut. Untuk memperkuat, ia mungkin mengklaimbahwa bukti empiris memberi bukti filosofis dalam bentuknya yangterbatas terhadap klaim filosofis; bahwa ia adalah dukungan eviden-sial terbaik yang dapat dimiliki oleh klaim filosofis; atau bahwa iaadalah satu-satunya dukungan evidensial yang dapat dimiliki olehklaim filosofis. Kita akan membahas naturalisme dan metodenyasecara khusus di bab 6.

Sesuatu yang kita pelajari dari pembahasan kita sejauh ini ada-lah bahwa, tidak seperti banyak disiplin lain, para filsuf tidak hanyatidak sepakat tentang klaim apa yang terjamin, tetapi juga tentangmetode apa yang harus digunakan dan data macam apa yang da-pat mendukung klaim mereka. Soal metode dan data apa yangseharusnya digunakan oleh filsafat itu menjadi soal yang sama kon-troversialnya dengan masalah-masalah lain di dalam filsafat. Bukuini mengambil pendekatan “rel kembar”. Ia mendeskripsikan se-jumlah metode dan data yang pernah digunakan oleh para filsuf.Ia juga membahas masalah normatif tentang bagaimana seharus-nya metode itu dievaluasi dan seberapa banyak dukungan yangdiberikan oleh beragam jenis data kepada klaim filosofis. Dalammembahas masalah normatif ini, tiap-tiap bab berisi studi kasus:contoh aktual tentang bagaimana metode atau jenis data tertentudigunakan untuk mendukung, atau meruntuhkan, klaim filosofis.Buku ini membahas masalah deskriptif dan normatif sekaligus, ka-rena kita perlu kejelasan tentang bukti apa yang diberikan seorangfilsuf terhadap klaim tertentu dan juga seberapa andal dukunganitu. Tampak tidak ada cara lain yang lebih baik untuk menguji me-tode yang diajukan atau nilai data tertentu selain dengan menelaahseberapa baik ia dalam menyelesaikan masalah filosofis yang rumit.Bertrand Russell pernah mengingatkan kita, “tidak ada nilai apapun yang dapat dikatakan tentang metode kecuali melalui contoh-contoh” (Russell 1914, 240). Jadi penggunaan studi kasus itu sendiri

� C H R I S D A L Y

Page 14: pengantar metode- metode filsafat

P E N D A H U L U A N

merupakan sebuah perangkat metodologis yang takterhindarkan didalam filsafat.

Buku ini akan berkaitan dengan tiga pertanyaan besar tentangmetodologi filsafat:

(P1) Data macam apa yang mendukung hipotesis filosofis danseberapa besar dukungan yang dapat ia berikan?

(P2) Prinsip apa yang mengatur pemilihan hipotesis filosofis?(P3) Hipotesis macam apa yang diandaikan sebagai hipotesis

filosofis?

Data bagi hipotesis filosofis yang dibahas dalam buku ini men-cakup data yang diberikan oleh pandangan umum atau commonsense (bab 1), eksperimen pikiran (bab 3), dan sains (bab 6). Prin-sip pemilihan hipotesis filosofis yang dibahas mencakup prinsipanalisis (bab 2), kesederhanaan (bab 4), dan penjelasan (bab 5).

Persoalan tentang metode dan jenis data yang seharusnya di-gunakan oleh para filsuf terkait erat dengan pandangan tentanghakikat filsafat. Pandangan-pandangan semacam itu menjadi bagiandari apa yang disebut sebagai “metafilsafat”: telaah filosofis terha-dap filsafat itu sendiri. Analisis konseptual dan naturalisme merupa-kan contoh dari pandangan metafilosofis yang berbeda. (“Analisiskonseptual” dan “naturalisme” sebenarnya sama-sama merupakanistilah umum yang mencakup sejumlah pandangan metafilosofis).Pandangan metafilosofis sulit sekali untuk diperdebatkan. Lagi pu-la, banyak filsuf juga tidak memperdebatkan, bahkan juga tidakmempertegas, pandangan metafilosofis apa yang mereka pegang.Seringkali apa pun pandangan metafilosofis yang mungkin merekamiliki adalah asumsi latar belakang yang hanya tersirat di dalamkarya mereka. Praktik ini dapat dipahami: para filsuf ingin tetapfokus menangani masalah filosofis pada “tatanan-pertama” yangberkaitan dengan hakikat pikiran, kebenaran, dunia fisik, dan sema-camnya, bukan masalah pada “tatanan-kedua” yang terkait denganhakikat filsafat itu sendiri. Akan tetapi, soal hakikat filsafat itu juga

C H R I S D A L Y �

Page 15: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

masih merupakan wilayah penyelidikan filosofis yang sah. Dankarena pandangan-pandangan kita tentang wilayah ini, dan ten-tang hakikat problem filosofis sendiri, akan berhubungan denganbagaimana kita menangani problem filosofis pada tatanan-pertama,problem metafilsafat ini juga layak untuk ditelaah.

Meskipun metodologi filsafat berhubungan dengan masalahmetafilsafat yang besar, ini tidak boleh menyesatkan kita. Banyakmetodologi filsafat terdiri dari pembuatan dan penilaian argumen,distingsi dan kualifikasi. Praktik ini sebagian besar bukan tempatkhusus bagi beberapa kelompok metafilsafat tertentu. Sebagianbesar, mereka melakukan upaya bersama.

Pokok bahasan buku ini adalah problem-problem filosofis, prin-sip yang digunakan untuk menyelesaikan problem itu, dan metafil-safat yang mendasarinya untuk merefleksikan problem yang lebihumum terkait kerja teoretis yang ketat di dalam filsafat. Beberapaorang mungkin khawatir soal seberapa jauh buku ini mengabaikansejarah filsafat.� Masalah tentang relasi filsafat dengan sejarah filsa-fat adalah masalah yang kontroversial. Meskipun di dalam bukuini saya tidak mengacu pada sejarah filsafat, itu bukan karena bukuini berkomitmen pada klaim bahwa sejarah filsafat tidak memilikihubungan yang penting dengan bagaimana filsafat seharusnya di-telaah.� Ruang lingkup buku ini memang sengaja dibatasi denganbeberapa cara. Jika sejarah filsafat memiliki hubungan yang pentingdengan soal bagaimana seharusnya filsafat ditelaah, sepertinya pe-lajaran historis yang relevan dapat melengkapi klaim-klaim filosofisnon-historis yang dibuat dalam buku ini.

Ruang lingkup buku ini dibatasi dalam dua hal. Pertama, iatidak akan menelaah setiap sumber bukti yang potensial bagi teorifilsafat. Misalnya, status epistemik testimoni di dalam filsafat tidak

� Moore (2009, 116–17) hanya mengungkapkan kekhawatiran terkait Williamson(2007).

� Untuk masalah ini, lihat Melnyck (2008b).

� C H R I S D A L Y

Page 16: pengantar metode- metode filsafat

P E N D A H U L U A N

akan ditelaah. Beragam metode formal yang digunakan dalam fil-safat juga tidak akan ditelaah. Metode-metode itu telah mengacupada perkembangan dalam logika dan matematika untuk mening-katkan keketatan dan ketepatan di dalam filsafat (Anderson 1998,§1). Namun, beberapa metode itu dibahas dalam (Steinhart 2009),sebuah teks yang terkait dengan buku ini.

Hal kedua yang merupakan batasan buku ini adalah bahwa,bahkan terkait topik-topik yang memang dibahas, buku ini tidakakan membahas setiap aspeknya. Akan tetapi, meskipun buku initidak bertujuan untuk menjadi buku yang komprehensif, semoga iabisa menjadi sumber yang berguna.

C H R I S D A L Y �

Page 17: pengantar metode- metode filsafat
Page 18: pengantar metode- metode filsafat

�PANDANGANUMUM�

�.� Pendahuluan

PA R A filsuf sering kali mengajukan klaim-klaim yang mencolok.Misalnya klaim bahwa waktu tidak ada, bahwa dunia hanya terdiridari atom dan kekosongan, bahwa dunia terdiri dari substansi men-tal yang tak terbatas, bahwa satu sen membedakan antara menjadikaya dan tidak kaya, bahwa tidak ada objek fisikal yang memilikiwarna, bahwa tidak ada orang yang tahu apa pun, bahwa tidak adaorang yang pernah meyakini apa pun. Masalah dari setiap klaimtersebut adalah memahami apa yang sebenarnya ia maksudkan.Masalah lainnya adalah mengevaluasi klaim tersebut. Alasan apayang ada untuk menerimanya? Alasan apa yang ada untuk meragu-kannya? Alasan yang mana yang lebih kuat?

G.E. Moore terkejut dengan apa yang baginya merupakan kon-sekuensi aneh dari sejumlah klaim yang telah dibuat oleh para� Beberapa orang menerjemahkan ‘common sense’ sebagai ‘akal sehat’. Namun, di

sini saya akan menerjemahkannya sebagai ‘pandangan umum’ agar klaim saintifikatau klaim filosofis yang biasanya bertentangan dengan ‘common sense’ itu tidakdianggap sebagai ‘akal yang tidak sehat’ tetapi hanya sebagai ‘pandangan yangtidak umum’—penerj.

Page 19: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

filsuf. Sebagai contoh, beberapa idealis menolak bahwa waktu ituada. Akan tetapi, jika penolakan mereka benar, kata Moore, tidakbenar bahwa dia sarapan pagi sebelum makan siang hari ini, ataubahwa dia memasang kaus kakinya sebelum memasang sepatunya.Namun, ini bertentangan dengan pandangan umum (common sen-se). Selain itu, beberapa idealis juga menolak bahwa ruang itu ada.Akan tetapi, penolakan mereka mengimplikasikan bahwa tidak adayang memiliki relasi spasial dengan sesuatu yang lain. Akibatnya,keliru bahwa jam Moore ada di atas rak perapian, bahkan meskipunpandangan umum mengatakan itu benar. Di dalam pertentanganantara pandangan umum dan filsafat yang muluk-muluk ini, Mooredengan sepenuh hati mendukung pandangan umum. Secara umum,menurut Moore, “pendapat Pandangan Umum tentang dunia itu,dalam segi fundamental tertentu, sepenuhnya benar” (Moore 1925,44), dan setiap klaim filsafat yang bertentangan dengan pandanganumum itu keliru.

Pendekatan Moore mengacu pada pembelaan Aristoteles terha-dap pendapat umum (common opinion) di dalam Metaphysics buku Bdan pada filsafat pandangan umum yang dikemukakan oleh Tho-mas Reid pada abad kedelapan belas (Reid 1764). Pendekatan yangdiambil oleh para filsuf ini memunculkan tiga pertanyaan:

(P1) Apa klaim pandangan umum?(P2) Apa yang menjustifikasi klaim pandangan umum?(P3) Peran apa (jika ada) yang seharusnya dimiliki pandangan

umum di dalam filsafat?

Beberapa klaim kita termasuk pada pandangan umum, semen-tara klaim-klaim yang lain tidak. (P1) bertanya atas dasar apa kla-sifikasi ini dibuat. Ia bertanya: apa yang harus dimiliki oleh klaimtertentu agar bisa menjadi klaim pandangan umum? Setelah mem-buat klasifikasi, (P2) bertanya signifikansi apa yang dimiliki olehklasifikasi ini. Mungkin klaim tertentu lebih dapat dipercaya di-bandingkan beberapa klaim yang lain hanya karena klaim yang

�� C H R I S D A L Y

Page 20: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

pertama itu adalah klaim pandangan umum. Atau mungkin sebuahklaim yang menjadi klaim pandangan umum itu tidak otomatisdapat dipercaya. Dengan jawaban atas (P2), kita dapat menangani(P3). (P3) berkaitan dengan peran apa yang tepat bagi pandanganumum di dalam penyelidikan filosofis.

�.� Pembelaan Moore atas Pandangan Umum

Moore memulai artikelnya “A Defense of Common Sense” dengandaftar klaim tentang tubuhnya dan relasinya dengan berbagai ma-cam objek fisikal yang lain. Sebagai contoh, dia mengklaim bahwadia punya tubuh, bahwa tubuhnya telah ada selama beberapa wak-tu, bahwa ia telah tumbuh di sepanjang waktu itu, bahwa ia belumpernah jauh dari permukaan bumi selama ia ada, dan bahwa iamemiliki jarak tertentu dari berbagai macam objek lain. Moore ke-mudian mendaftar klaim-klaim tentang pikirannya. Dia mengklaim,sebagai contoh, bahwa sekarang dia sadar dan bahwa sekarangdia sedang melihat sesuatu. Moore juga mengklaim “tahu denganpasti” semua klaim di dalam daftarnya (Moore 1959, 32). Dia lebihlanjut mengklaim bahwa dia tahu bahwa ada banyak orang laindan bahwa mereka tahu daftar truisme serupa tentang tubuh danpikiran mereka.

Moore mengikuti strategi tiga-bagian ketika argumen seorangfilsuf bertentangan dengan pandangan umum. Bagian pertama daristrategi Moore ini adalah membalik argumen filsuf. Sekarang kitatandai proposisi bahwa waktu itu tidak ada dengan p. Selanjutnyakita tandai proposisi bahwa saya memakai sepatu saya sebelummemakai kaus kaki�—dengan q. Filsuf idealis memberikan argumen

� Dalam teks aslinya, proposisi tersebut tertulis seperti berikut: “I did not put myshoes on before I put my socks on”. Jika mengikuti teks aslinya, kita tidak akanmenemukan konsekuensi absurd dari tesis idealis tentang waktu. Oleh karena itu,setelah meminta klarifikasi langsung dari penulisnya, saya mengubah proposisitersebut menjadi positif (dengan membuang “did not”) dan menerjemahkannya

C H R I S D A L Y ��

Page 21: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

dalam bentuk seperti berikut:

p,jika p maka q,jadi q.

Moore memberikan argumen tandingan seperti ini:

tidak-q,jika p maka q,jadi tidak-p

Moore menyatakan bahwa karena kesimpulan idealis, q, itu ke-liru, maka premisnya, p, juga keliru. Akan tetapi, ini masih menim-bulkan pertanyaan lain: yang mana dari argumen yang berlawanitu—argumen idealis atau argument Moore—yang seharusnya kitaterima. Bagian kedua dari strategi Moore menjelaskan mengapa kitaharus menerima argumennya:

Satu-satunya cara . . . menentukan mana yang lebih baik di antaraargumen lawan dan argumen saya adalah dengan menentukanpremis mana yang diketahui benar. . . . Dan, selain itu, tingkat ke-pastian kesimpulannya, dalam kedua argumen itu, seandainyatidak ada yang cukup pasti, akan sebanding dengan tingkat ke-pastian premisnya. (Moore 1953, 121-122).

Moore lebih lanjut mengklaim bahwa dia punya tingkat ke-yakinan yang lebih tinggi pada klaimnya terhadap pengetahuandibandingkan tingkat keyakinan lawannya pada premisnya sendiri.Ketika klaimnya tentang pengetahuan akan pernyataan pandang-an umum tertentu dihadapkan dengan sebuah tantangan filosofis,Moore menanggapinya dengan mengatakan:

Dan saya pikir kita dapat dengan aman menantang filsuf ma-na pun untuk mengajukan argumen yang mendukung proposisibahwa kita tidak tahu [pernyataan pandangan umum itu benar]atau proposisi bahwa pernyataan tersebut tidak benar, yang tidakbersandar pada beberapa premis yang, tak tertandingi, kurangpasti dibandingkan proposisi yang dirancang untuk diserang.

menjadi “saya memakai sepatu saya sebelum memakai kaus kaki”—penerj.

�� C H R I S D A L Y

Page 22: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

Tanggapan Moore di sini mengacu pada apa yang mungkin kitasebut kepastian diferensial. Dia lebih yakin secara pasti bahwa setidak-nya satu premis dari argumen lawannya itu keliru dibandingkanbahwa pernyataan pandangan umum itu keliru.�

Bagian ketiga dan terakhir dari strategi argumentatif Mooreadalah bahwa Moore berpikir bahwa dia dapat menolak argumenlawannya tanpa menunjukkan bagaimana dia tahu pernyataan pan-dangan umum itu benar. Dia sekali lagi mengacu pada pertimbang-an kepastian: dia lebih yakin secara pasti bahwa dia tahu pernyataanpandangan umum dibandingkan teori filsafat mana pun yang akanmenjelaskan mengapa kita memiliki pengetahuan itu. Apakah pen-jelasan tersebut akan datang atau tidak, dan apa pun bentuknya,penjelasan tersebut tidak penting bagi pengetahuan kita bahwapernyataan pandangan umum itu benar.

Alhasil, saat seorang filsuf membuat sebuah klaim yang tampakaneh, strategi Moore adalah menarik konsekuensi yang bertentang-an dengan pandangan umum dari klaim tersebut. Menjalankan haltersebut menunjukkan mengapa klaim tersebut aneh—ia bertentang-an dengan pandangan umum—dan ia juga menunjukkan bahwaklaim tersebut keliru dan bahwa argumen apa pun yang mendu-kung argumen tersebut itu tak masuk akal. Argumen tersebut pastimengandung premis yang salah atau langkah penyimpulan yangburuk. Tugas filsafat lebih lanjut adalah menemukan cacat semacamini. Strategi Moore dimaksudkan untuk membuktikan bahwa adacacat semacam itu, sehingga kita layak menolak klaim filsuf terse-but dan argumen apa pun yang dia gunakan untuk mendukungklaimnya.

� Tanggapan Moore didukung, antara lain, oleh Chisholm (1982, 68-69). Pryor (2000,518), Hirsch (2002, 68), Soames (2003, 22-23, 69–70, dan 345), Lemos (2004, 11),Armstrong (2006, 160), Lycan (2007, 93–95), dan Schaffer (2009, 357).

C H R I S D A L Y ��

Page 23: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

�.� Definisi Pandangan Umum

Keith Campbell menunjukkan bahwa Moore tidak menganggapklaim pandangan umum sebagai dasar bagi sistem filsafat yangtepat:

Sebaliknya, klaim pandangan umum justru berfungsi sebagaibatu uji bagi proposisi-proposisi yang diperoleh dari jalur lain.Karena semua proposisi harus sesuai dengan klaim pandanganumum, keyakinan pandangan-umum, bersama dengan apa yangia implikasikan, berfungsi sebagai ukuran negatif yang menentu-kan segala jenis proposisi (Campbell 1988, 163).

Meskipun Moore memberikan daftar contoh yang banyak ten-tang klaim pandangan umum, dia tidak mengatakan apa yang mem-buat sebuah klaim itu menjadi salah satu dari klaim pandanganumum. Akan tetapi, kecuali argumen kepastian diferensial itu ber-tujuan untuk menjaga semua keyakinan populer dari kritik danrevisi, dan bukan hanya keyakinan-keyakinan pandangan umum,kita memerlukan kriteria untuk membedakan keyakinan pandang-an umum dari keyakinan populer semata (Coady 2007, 101). WilliamLycan menawarkan sejumlah cara untuk mengarakterisasi klaimpandangan umum. Karakterisasi Lycan ini memang konservatif.Meskipun semua klaim yang dianggap sebagai bagian dari pan-dangan umum oleh Lycan juga merupakan klaim yang oleh Moorejuga dianggap bagian dari pandangan umum, Lycan membuangbeberapa klaim yang oleh Moore dianggap bagian dari pandanganumum. Secara garis besar, karakterisasi Lycan menyatakan bahwasebuah merupakan bagian dari pandangan umum jika dan hanyajika:

a) klaim itu adalah “tentang sesuatu yang dicatat oleh seseorangdi waktu dan tempat tertentu,”

b) klaim tersebut merupakan contoh dari klaim yang lebih umumyang akan diterima oleh sebagian besar orang jika ia diajukankepada mereka,

�� C H R I S D A L Y

Page 24: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

c) klaim atau generalisasi itu tidak menggunakan istilah teknisatau istilah khusus apa pun,

d) sulit untuk tidak menerima generalisasinya,e) akan terdengar aneh jika masih menegaskan generalisasi itu

karena ia sudah sangat jelas, danf) akan ganjil jika jika menolak generalisasi tersebut. (Lycan 2001,

49-50)

Klaim Moore, misalnya, bahwa Bumi sudah ada bertahun-tahunsebelum tubuhnya dilahirkan. Itu adalah sebuah klaim yang telah di-buat oleh seseorang di tempat dan waktu tertentu. Ia adalah contohdari sebuah generalisasi (yaitu, bahwa Bumi telah ada bertahun-tahun sebelum tubuh orang-orang dilahirkan) yang akan disetujuioleh sebagian besar orang jika ia diajukan kepada mereka. Klaimtersebut dan generalisasinya relatif mudah untuk dipahami: ke-duanya sama-sama tidak menggunakan istilah-istilah khusus ataumemaksudkan makna yang non-harfiah. Secara psikologis, sulitbagi seseorang untuk menghindari keyakinan terhadap generalisasiitu. Karena generalisasi tersebut sudah terlalu jelas untuk ditegas-kan kembali, akan aneh jika kita menyatakannya lagi dalam sebuahpercakapan kecuali dalam konteks tertentu yang memang memerlu-kannya. Dan juga akan aneh jika kita menolak generalisasi tersebutdi sebuah percakapan kecuali, lagi-lagi, ada konteks tertentu yangsesuai untuk menolaknya.

Kata “menerima” sering digunakan dalam filsafat dengan sokteknis. Lycan agaknya memaknai “menerima” dengan meyakini.Akan tetapi, pembacaan yang lebih lemah memaknainya denganbersikap seolah-olah kamu meyakini. Ketika bermain catur melawankomputer, kamu mungkin bersikap seolah kamu yakin bahwa ka-mu sedang bermain melawan seorang pemain yang ambisius danimajinatif tanpa kamu yakin bahwa komputer itu memiliki keadaanmental apa pun. Mungkin penerimaan kita terhadap klaim pandang-an umum ini mensyaratkan kita bersikap seolah kita meyakininya,tetapi tidak mensyaratkan kita meyakininya:

C H R I S D A L Y ��

Page 25: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Pendapat pandangan-umum adalah sebuah konsepsi yang men-jadi dasar berpikir dalam kehidupan sehari-hari sebagian besarorang di dalam lingkup kebudayaan tertentu pada waktu ter-tentu. Mereka tidak harus menganggap sebenarnya pendapat itubenar—mereka, atau beberapa dari mereka, mungkin tahu, atauberpikir, yang sebaliknya: apa yang penting adalah bahwa tin-dakan berpikir mereka yang biasa itu berjalan seolah ia benar.(Dummett 1979, 18)

Namun, setidaknya untuk mempermudah argumen ini, marikita akui karakterisasi Lycan terhadap apa yang disebut sebagaiklaim pandangan umum. Kita mungkin bertanya-tanya apakah se-buah klaim yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan di dalamkarakterisasinya itu memiliki signifikansi epistemik (Conee 2001,58). Syarat-syarat itu secara umum menentukan beragam ciri-ciripsikologis dan sosiologis: beberapa klaim relatif mudah untuk di-kuasai dan sulit untuk dihindari, beberapa yang lain tidak. Akantetapi, mengapa sebuah klaim yang memiliki ciri-ciri tersebut haruslebih masuk akal daripada yang tidak? kemasukakalan sebuah kla-im adalah entah (a) kelayakannya yang disertai dengan bukti awal,atau (b) kemungkinannya berdasarkan semua bukti. Jika (a), ma-ka sebuah klaim K mungkin lebih masuk akal daripada klaim K*yang lain, tetapi kurang terjustifikasi dibanding K*, karena tingkatjustifikasi sebuah klaim itu, dibanding kelayakannya, lebih banyaktergantung pada bukti awal (Conee 2001, 57). Jika (b), maka perta-nyaan di atas perlu untuk dijawab: apa hubungan, jika ada, antaraklaim pandangan umum dan klaim yang masuk akal?

�.� Pandangan Umum dan Konservatisme

Mungkin ada anggapan bahwa pertanyaan tentang hubungan terse-but dijawab oleh pertimbangan konservatisme teoretik (selanjutnyadisebut “konservatisme”). David Lewis menulis bahwa:

�� C H R I S D A L Y

Page 26: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

Hanya konservatisme teoretik satu-satunya kebijakan yang ma-suk akal bagi para teoretikus dengan kekuasaan terbatas, yangsangat rendah hati tentang apa yang bisa mereka capai setelahawal yang baru. Bagian dari konservatisme ini adalah keenggan-an untuk menerima teori yang bertentangan dengan pandanganumum (Lewis 1986, 134).

Menurut prinsip konservatisme, seseorang pada tingkatan ter-tentu dibenarkan untuk mempertahankan sebuah keyakinan terten-tu hanya karena ia memiliki keyakinan itu. Orang-orang kemudi-an memiliki beberapa alasan untuk terus meyakini p jika merekasudah meyakini p. Kita sampai pada filsafat dengan beragam keya-kinan yang sudah ada sebelumnya, termasuk keyakinan pandang-an umum kita. Terkait pertentangan antara keyakinan pandanganumum dan klaim filsafat yang baru ditemui, konservatisme menga-takan bahwa sampai pada tingkatan tertentu kita dibenarkan untukmempertahankan klaim pandangan umum hanya karena kita sudahmempertahankan klaim itu. Konservatisme tidak akan memberikandukungan pada klaim filsafat yang baru dibuat.

Dua tanggapan yang bertentangan dapat dibuat terkait denganpandangan konservatisme ini. Tanggapan pertama lunak karena iamenerima konservatisme; tanggapan kedua keras karena ia menolakkonservatisme. Meskipun tanggapan lunak ini menerima konser-vatisme, ia menganggap prinsip tersebut bisa dibatalkan. Artinya,tanggapan ini memungkinkan bukti yang diberikan oleh prinsiptersebut dapat dibatalkan oleh bukti-tandingan. (Lewis [1986, 134-135] setuju). Konservatisme mungkin memberikan bukti bahwa p,tetapi faktor-faktor lain mungkin bersama-sama membentuk buktiyang lebih kuat dalam menentang p. Pandangan ini sendiri masukakal. Sebagai contoh, teori dan observasi Kopernikan bersama-samamemberikan alasan yang memadai untuk merevisi keyakinan yangsudah lama dipertahankan bahwa Matahari mengelilingi Bumi. Se-lain itu, menganggap konservatisme dapat dibatalkan tidak berarti

C H R I S D A L Y ��

Page 27: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

menganggapnya aneh. Banyak bukti-bukti lain (termasuk perse-psi, memori, dan testimoni) juga dapat dibatalkan. Jadi, dalam halini konservatisme tidak sendirian. Tanggapan lunak ini kemudiandapat menilai satu persatu apakah bukti konservatif untuk bera-gam klaim pandangan umum itu lebih kuat dibandingkan argumenfilosofis apa pun yang menentangnya.

Tanggapan keras menolak konservatisme. Tanggapan ini me-miliki dua elemen. Pertama, ia mengklaim bahwa konservatismesendiri tidak memiliki justifikasi epistemik, bahkan justifikasi epis-temik yang dapat dibatalkan pun ia juga tidak punya (Christensen1994 dan Vahid 2004). Kedua, ada alasan untuk menolak konserva-tisme. Pertimbangkan contoh berikut tentang pelempar koin yangkeras kepala (Christensen 1994, 74). Orang ini melempar apa yangdia anggap koin yang adil dan, tanpa hati-hati, membentuk keya-kinan bahwa koin itu telah mendaratkan bagian bawahnya (tails).Fakta bahwa dia telah membentuk keyakinan ini tidak memberikanalasan baginya untuk mempertahankan keyakinannya bahwa kointersebut mendaratkan bagian bawahnya. Pelempar koin itu seka-dar bersikap dogmatis. Akan tetapi, konservatisme mengatakanbahwa pelempar koin tersebut dibenarkan untuk mempertahankankeyakinannya. Pandangan garis-keras ini menyimpulkan bahwakonservatisme keliru dan ia tidak memberikan jawaban atas per-tanyaan tentang hubungan antara klaim pandangan umum danketerjustifikasiannya.

�.� Pandangan Umum dan Teori

Lycan sendiri berkomentar bahwa “Moore tidak membuat argumendari proposisi yang merupakan bagian dari pandangan umum keproposisi yang memiliki status epistemik positif” (Lycan 2001, 47-48). Tentang persoalan hakikat kemasukakalan yang sulit, Lycanmenulis bahwa:

�� C H R I S D A L Y

Page 28: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

Saya berpendapat bahwa meskipun dasar psikologis dan otori-tas normatif dari putusan “kemasukakalan” merupakan persoal-an filsafat yang pelik dan penting, ia tetap merupakan persoalanfilsafat. (Lycan 2001, 51, catatan akhir 9)

Dengan menyatakan bahwa putusan kemasukakalan memiliki“otoritas normatif”, Lycan memaksudkan bahwa putusan semacamitu berhak untuk memberi tahu kita apa yang seharusnya kita perca-yai. Namun, otoritas putusan kemasukakalan sebagian bergantungpada apa yang diputuskan dan siapa yang membuat putusan itu.(Epistemologi dari persoalan ini sangat mirip dengan epistemologitestimoni). Lycan membandingkan kemasukakalan klaim Moorebahwa dia memiliki tangan dengan asumsi filosofis bahwa setiapobjek memiliki bagian-bagian khusus yang merupakan substansi.Asumsi filosofis tersebut bukanlah asumsi yang akan dipahami bah-kan oleh sebagian besar orang yang bukan filsuf: Apa itu bagiankhusus? Apa itu substansi? Dengan demikian, sebagian besar orangyang bukan filsuf akan merasa bahwa klaim Moorean yang terkenalitu lebih masuk akal.

Namun, masalah tidak selesai dengan memenangkan Moore.Dengan perhitungan yang sama, sebagian besar orang yang bukanilmuwan akan merasa klaim pandangan umum Moore itu lebihmasuk akal daripada klaim bahwa molekul DNA mengandungalel atau klaim bahwa foton tidak memiliki massa. Sulit untuk me-mahami bahwa observasi ini sama dengan mengkritik sains ataufilsafat.

Lycan berpegangan pada klaim-klaim yang masuk akal menurutpandangan umum. Akan tetapi, mengapa membatasi diri kita padaapa yang masuk akal menurut pandangan umum? Ada sumber-sumber informasi lain yang juga andal. Sebagai contoh, ada sesuatuyang masuk akal menurut sains modern (Smart 1966). Sekarang apayang masuk akal menurut satu sumber tidak mesti masuk akal jugamenurut sumber lain yang sejenis. Selain itu, dalam beberapa kasus,

C H R I S D A L Y ��

Page 29: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

apa yang masuk akal menurut satu sumber itu tidak masuk akalmenurut sumber lain yang tak sejenis. Telah lama ada pertentanganantara klaim saintifik dan klaim pandangan umum, dan, setidaknyadi dalam beberapa kasus, klaim pandangan umum layak untuk di-revisi.� Jika pertentangan antara sains dan pandangan umum dapatdiselesaikan dengan memenangkan sains, maka perlu ada sebuahalasan untuk beranggapan bahwa pertentangan antara filsafat danpandangan umum tidak bisa diselesaikan dengan memenangkanfilsafat.

Ini juga memunculkan pertanyaan tentang kekuatan argumenkepastian Moore. Jika argumen itu menunjukkan bahwa filsafattidak diizinkan untuk mengubah pendapat-pendapat kita yangpra-filosofis, alur penalaran yang sama juga mungkin untuk me-nunjukkan bahwa sains tidak diizinkan untuk mengubah pendapat-pendapat kita yang pra-saintifik. Lagi pula, banyak orang lebihyakin pada klaim bahwa ikan paus itu ikan, bahwa kaca bukancairan, atau bahwa dinginnya es batu dipancarkan ke minumantempat ia mengapung, daripada pada teori ilmiah apa pun yang me-ngatakan hal sebaliknya. Argumen Moore cenderung menghasilkankesimpulan yang kebablasan (prove too much).�

Tanggapan Richard Feldman terhadap masalah di atas adalahmengizinkan hasil-hasil empiris untuk menunjukkan bahwa kitatidak memiliki pengetahuan dalam kasus tertentu, dan kemudianmembatasi argumen kepastian sebagai argumen yang hanya me-nentang “argumen filosofis yang sangat abstrak untuk skeptisisme”(Feldman 2001, §3). Sayangnya, dia tidak memberikan alasan un-tuk mempertahankan argumen kepastian versi terbatas ini. Tidak

� McCloskey (1983) dan Wolpert (2000, 2–4) memberikan contoh kekeliruan pendapatpandangan umum tentang gerak.

� Noah Lemos (2004) memberikan banyak pembelaan terhadap pandangan umum.Tetapi pembahasan tentang sikap kritis sains terhadap pandangan umum dalambukunya itu belum banyak dikembangkan, sebagaimana yang dicatat oleh Barber(2007, 179).

�� C H R I S D A L Y

Page 30: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

jelas mengapa hasil empiris yang mendukung skeptisisme tentangpengetahuan kita dalam beberapa bidang harus memiliki kekuatanevidensial yang tidak dapat ditandingi oleh argumen filosofis untukskeptisisme. Dalam ketiadaan alasan untuk sikap asimetris terha-dap hasil empiris dan argumen filosofis ini, pembatasan Feldmantampak ad hoc.

Para Moorean mungkin mengakui bahwa sains telah mengorek-si beberapa klaim yang telah jamak dipegang, tetapi menolak bahwaklaim itu merupakan klaim pandangan umum. Sebagai contoh, te-muan sains bahwa Matahari tidak mengelilingi Bumi itu merevisipendapat umum. Namun, David Armstrong menanyakan batasrevisi:

Apa yang kita lihat benar-benar terjadi. Kita benar-benar melihatbahwa matahari dan bagian bumi yang kita tinggali mengubahrelasinya satu sama lain. Ini jelas adalah pengetahuan. Akan teta-pi, kita secara alami dituntun oleh persepsi yang benar ini untukmemperoleh teori yang buruk tentang pasangan mana dalam hu-bungan ini yang bergerak. . . Truisme Moorean terkadang dibeba-ni dengan teori palsu yang oleh penemuan selanjutnya mungkindiungkapkan sebagai palsu. Akan tetapi, meskipun demikian, se-lalu ada inti pengetahuan yang hadir. (Armstrong 2006, 161)

Jawaban ini mungkin memenuhi tantangan temuan ilmiah teta-pi harus dibayar mahal. Ia mengancam untuk meruntuhkan buktipandangan umum Moore dalam menentang idealisme dan skeptis-isme. Kaum idealis mengklaim bahwa hanya pikiran dan ide yangeksis. Klaim itu tampak bertentangan dengan klaim bahwa Moorememiliki tangan dan bahwa tangan itu bukan pikiran ataupun idea.Akan tetapi, sekarang kaum idealis dapat meniru Armstrong, danmembuat pernyataan berikut:

Apa yang kita lihat benar-benar eksis. Kita melihat rangkaian ide-ide indrawi yang beragam di dalam pikiran kita. Dan kita melihattangan. Itu jelas adalah pengetahuan perseptual. Akan tetapi kitasecara alamiah dituntun oleh persepsi yang benar ini untuk mem-

C H R I S D A L Y ��

Page 31: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

peroleh sebuah teori buruk tentang apa yang sedang kita lihat. Te-ori buruk itu menyatakan bahwa tangan itu objek eksternal yangmenyebabkan ide-ide indrawi kita, dan bahwa kita memersepsitangan dengan memiliki ide. Truism Moorean bahwa kita melihattangan telah terbebani oleh teori palsu yang oleh temuan filoso-fis selanjutnya (karena idealisme!) telah disingkap sebagai palsu.Ada inti pengetahuan yang hadir, tetapi pengetahuan itu meru-pakan bagian dari kumpulan ide-ide yang membentuk tangan.

Poin umumnya adalah bahwa begitu sebuah pembedaan dite-gaskan antara truisme Moorean dan teori (yang mungkin keliru)yang menafsirkan truisme tersebut, ia menjadi persoalan argumenfilosofis sehingga garis di antara keduanya seharusnya ditegaskandalam setiap perdebatan. Para Moorean akan berusaha untuk me-masukkan lebih banyak ke dalam konten truisme itu untuk memun-culkan pertentangan antara pandangan umum dan teori filsafat.Penentang Moorean akan berusaha untuk memasukkan lebih sedi-kit ke dalam konten truisme itu untuk menghilangkan pertentanganantara pandangan umum dan teori filsafat. Menurut penentangMoorean, pertentangan itu terletak di antara teori-teori filsafat yangbersaing—penentang Moorean dan Moorean—dan Moorean bersa-lah karena memahami klaim yang selayaknya hanya menjadi bagiandari teorinya sendiri sebagai bagian dari truisme pandangan umum.

Ini memunculkan persoalan tentang analisis terhadap pandang-an umum dan klaim-klaim lain. Moore sendiri mengakui bahwa diatidak yakin tentang analisis yang tepat terhadap pernyataan tentangobjek eksternal:

Saya sama sekali tidak skeptis tentang kebenaran . . . proposisiyang menegaskan eksistensi objek-objek material. . . . Akan tetapi,dalam hal tertentu, saya sangat skeptis tentang apa analisis yangtepat terhadap proposisi tersebut. (Moore 1925, 53)

Adalah analisis terhadap proposisi [seperti proposisi bahwa iniadalah tangan manusia] yang bagiku tampak menghadirkan per-soalan yang sangat rumit, sementara seluruh pertanyaan tentang

�� C H R I S D A L Y

Page 32: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

hakikat objek-objek material itu jelas bergantung pada analisis ter-sebut (Moore 1925, 53)

Sebelum diselesaikan, persoalan analisis terhadap klaim pan-dangan umum ini tetap menjadi celah utama di dalam strategiargumentatif Moorean. (Kita akan kembali pada persoalan ini di §8bab ini).

Pada persoalan yang lebih sederhana tentang di mana garispemisah antara truisme Moorean dan apa yang dikatakan oleh te-ori (yang mungkin buruk) tentang truisme tersebut, sains empirismungkin dapat berkontribusi untuk persoalan ini (Fodor 1984, Cam-pbell 1988, 166-170, dan Bishop 1992). Satu teori tertentu di dalamsains kognitif menganggap pikiran terdiri dari sejumlah modul. Me-nurut teori ini, masing-masing modul mental itu memiliki fungsikhusus (seperti memori, pemroses-bahasa, dan sebagainya), dania melakukan fungsinya secara sangat otonom dari kerja modul-modul lain. Di antara modul-modul itu adalah modul perseptual:sistem masukan yang terprogram (hard-wirder input systems) yangmengambil informasi dari sel reseptor tubuh dan transduser, danmengubahnya menjadi representasi tentang lingkungan di sekitartubuh. Kerja modul itu dilakukan secara otomatis, taksadar, dan tan-pa campur tangan dari operasi pikiran lain. Jika teori modularitaspikiran ini benar, maka ada dasar empiris untuk membedakan anta-ra apa kontribusi observasi terhadap klaim kita dan apa kontribusiteori terhadapnya. Sebagaimana dikatakan Campbell:

Proposisi-proposisi yang mengekspresikan representasi sepertiyang disampaikan oleh sistem masukan pada pusat pemrosesanakan menjadi bagian dari Observasi. Integrasi proposisi observa-sional ke dalam sistem penjelasan yang sistematis akan menjadibagian dari Teori. . . . (Campbell 1988, 168)

Fodor juga berpikir bahwa ada kategori linguistik tertentu (yangdia sebut “Kategori Dasar”), seperti anjing, kursi, dan pohon, yangditerapkan berdasarakan observasi. Artinya, persepsi tanpa bantuan

C H R I S D A L Y ��

Page 33: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

yang normal pada manusia memberikan dasar yang memadai untukmemutuskan konsep apa yang harus diterapkan.�

Garis pemikiran ini berjanji untuk mengembalikan pembedaanantara apa yang disingkapkan oleh persepsi dan apa yang dikatakanoleh beragam teori tentang apa yang disingkapkan oleh persepsi.Ini bukan benar-benar pembedaan antara apa yang merupakan pan-dangan umum dan apa yang bukan. Beberapa klaim pandanganumum Moore, seperti klaim bahwa Bumi telah ada bertahun-tahunsebelum tubuhnya, tidak dianggap sebagai klaim perseptual dalamgaris pemikiran di atas. Namun, klaim perseptual layak dianggapmengisolasi konten klaim pandangan umum tertentu (“FragmenDasar Observasi” [Campbell 1988, 170]), dan dengan begitu mem-bantu mempertahankan pemisahan Armstrong terhadap apa yangdikatakan oleh persepsi pandangan umum dari apa yang dikatakanoleh teori (yang baik atau yang buruk) tentang persepsi tersebut.Apakah garis pemikiran pemikiran ini benar itu merupakan perso-alan empiris. Tergantung pada bagaimana kamu memahami peransains di dalam filsafat, kamu mungkin menganggap ini sebagaikontribusi sains yang sangat berharga terhadap penelitian filsafat,atau kamu mungkin memahaminya sebagai sesuatu yang berba-haya—karena membuat klaim filsafat bergantung pada perubahanpenelitian empiris. Kita membahas masalah ini lebih lanjut di bab 6.

Sejauh ini kita telah mempertimbangkan pertanyaan umumtentang peran pandangan umum dalam penelitian filsafat. Pentinguntuk mempertimbangkan penerapan metode Moore pada kasustertentu. Moore sendiri menerapkannya pada masalah eksistensidunia eksternal. Selanjutnya, kita akan menilai contoh ini sebagaistudi kasus dari metode Moore. (Metode Moore juga telah diterap-kan pada kasus-kasus lain. Misalnya, Lycan [2003] menerapkannyapada pertanyaan tentang apakah kita memiliki kehendak bebas).

� Untuk jawaban terhadap Fodor, lihat Churchland (1988).

�� C H R I S D A L Y

Page 34: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

�.� Studi Kasus: Pembuktian Moore tentangDunia Eksternal

Kita percaya bahwa ada dunia eksternal: dunia objek yang eksis diluar pikiran kita, seperti tubuh manusia, kelinci, dan pohon. Pro-blem dunia eksternal adalah problem tentang bagaimana keyakinantersebut dapat terjustifikasi. Apa bukti bahwa ada dunia eksternal?Kita memiliki beragam pengalaman. Akan tetapi, sebagaimana yangditunjukkan oleh Descartes, pengalaman-pengalaman itu mungkintidak disebabkan oleh dunia eksternal. Descartes menawarkan pen-jelasan lain yang mungkin tentang pengalaman-pengalaman kita.Menurut hipotesis Iblis Jahat-nya, meskipun tidak ada dunia ekster-nal, iblis yang sangat kuat memberi kita pengalaman yang seolah-olah itu adalah pengalaman tentang dunia eksternal (Descartes 1641,meditasi pertama). Salah satu cara untuk merumuskan problem du-nia eksternal ini adalah dengan menganggapnya sebagai problemtentang apa yang menjustifikasi kita untuk meyakini hipotesis Du-nia Eksternal daripada hipotesis Iblis Jahat.

Di dalam makalahnya “Pembuktian Dunia Eksternal”, Mooremengajukan argumen berikut sebagai sebuah pembuktian bahwadunia eksternal itu eksis (Moore 1939, 146-147). Pertama, dia menca-tat bahwa tangan itu eksis. (Ketika menunjukkan pembuktiannyapada penonton, di titik ini Moore mengangkat satu tangan dan ke-mudian satu tangan lainnya). Jika tangan itu eksis, maka ia adalahobjek eksternal. Oleh karena itu, objek eksternal itu eksis.

Moore menyatakan bahwa ada tiga syarat yang secara indivi-dual niscaya dan secara keseluruhan cukup bagi sebuah argumenuntuk bisa menjadi sebuah pembuktian (Moore 1939, 41). Pertama,premisnya harus berbeda dari kesimpulannya. Kedua, premisnyaharus diketahui benar. Ketiga, premisnya harus mengimplikasikankesimpulannya. Moore menganggap masing-masing syarat itu ha-

C H R I S D A L Y ��

Page 35: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

rus terpenuhi. Sosa (2007, 50) menunjukkan bahwa, bahkan jikasyarat-syarat Moore bagi sebuah pembuktian itu niscaya secara in-dividual, syarat-syarat itu tidak cukup secara keseluruhan.� Dengansyarat pertama, Moore tampaknya memaksudkan syarat bahwasebuah argumen tidak boleh menimbulkan pertanyaan-lanjutan(begging the question)�: harus ada alasan untuk menerima premisyang tidak mengasumsikan kebenaran kesimpulan argumennya. Dibawah ini kita akan membahas apakah syarat ini terpenuhi. Moorejuga menegaskan bahwa argumennya secara deduktif valid, danbahwa dia tahu premis itu: dia tahu bahwa tangan itu eksis, dan diatahu bahwa tangan itu adalah objek eksternal. Moore tidak mem-buktikan bahwa dia tahu proposisi-proposisi itu, tetapi dia menolakbahwa pengetahuannya tersebut merupakan salah satu syarat ar-gumennya untuk menjadi sebuah pembuktian yang dia buktikanpremis-premisnya.

Moore mungkin menjustifikasi penolakan ini dengan cara beri-kut. Jika premis sebuah pembuktian harus dibuktikan, maka akanterjadi regresi pembuktian. Andaikan bahwa sebuah argumen meru-pakan sebuah pembuktian hanya jika semua premisnya dibuktikan.

� Lihat juga Dretske (2003, 114-115)� “Begging the question” merupakan frase yang memiliki makna khusus di dalam lo-

gika klasik. Sebuah argumen dikatakan ‘begging the question’ ketika ia mengandungpremis yang sudah mengasumsikan kebenaran kesimpulannya. Semisal, pernyata-an “Tuhan itu ada, sebab kitab suci mengatakannya demikian”. Jika dirumuskandalam bentuk silogisme, argumen tersebut jadi begini:

P1 : Kitab suci mengatakan Tuhan itu adaP2 : Jika kitab suci mengatakan Tuhan itu ada, maka Tuhan ada.K : Tuhan ada.

Premis argumen tersebut, P1, sudah mengasumsikan kebenaran kesimpulan Kbahwa Tuhan ada. Sebab jika Tuhan tidak ada, tidak ada kitab suci. Dengan katalain, untuk bisa menerima kebenaran P1, kita mesti terlebih dahulu mengasumsikankebenaran K. Orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan tidak akan menerimakebenaran P1 sehingga argumen ini tidak bisa membuktikan keberadaan Tuhan.Argumen semacam ini disebut ‘begging the question’ sebab ia memantik khalayakuntuk memberikan pertanyaan-lanjutan. Oleh karena itu, saya akan menerjemahkanfrasa ‘begging the question’ itu sebagai ‘menimbulkan pertanyaan-lanjutan’—penerj.

�� C H R I S D A L Y

Page 36: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

Pembuktian apa pun, katakanlah P, pasti memiliki premis. Untukmembuktikan premis-premis P itu, kita perlu pembuktian baru,P+1. Akan tetapi, karena P+1 adalah sebuah pembuktian, premis-premisnya juga perlu dibuktikan. Ini memerlukan pembuktian lan-jutan, P+2, yang premis-premisnya juga perlu dibuktikan. Terjadiregresi pembuktian yang takterbatas. Karena kita tidak bisa membe-rikan rangkaian pembuktian sampai jumlahnya takterbatas itu, Ptidak bisa menjadi sebuah pembuktian. Oleh karena itu, kita tidakbisa membuktikan apa pun. Ini memantik tanggapan Moorean bah-wa kita lebih yakin secara pasti bahwa ada pembuktian (setidaknyadi dalam matematika) daripada bahwa premis sebuah pembuktianitu perlu dibuktikan. Tanggapan Moorean ini tetap menolak asumsiawal kita bahwa sebuah argumen merupakan sebuah pembuktianjika semua premisnya dibuktikan.�

Pembuktian Moore kemudian menjadi seperti berikut:

(1) Ini satu tangan, dan ini satu tanganyang lain.

[Datum yang diketahui]

(2) Tangan itu eksis. [Berdasarkan (1)](3) Jika tangan eksis, tangan adalah objek

eksternal.[Asumsi]

(4) ) Objek eksternal itu eksis [(2), (3)]

Mengingat argumen tersebut valid, dan Moore mengetahuipremis-premisnya, ini berarti dia telah membuktikan kesimpulan-nya—bahwa objek eksternal itu eksis. (Ini mungkin merupakanlangkah pendek, tetapi ini merupakan langkah yang ditinggalkanMoore begitu saja, demi menyatakan bahwa dunia eksternal itueksis berdasarkan klaim bahwa objek eksternal itu eksis). Moorememberikan analogi berikut ini. Andaikan kamu telah mengetiksebuah makalah dan ingin mengetahui apakah ada salah ketik didalamnya. Kamu meminta temanmu untuk mengoreksi makalah

� Lihat juga Soames (2003, 20-21)

C H R I S D A L Y ��

Page 37: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

itu. Dia bilang padamu bahwa ada beberapa salah ketik di dalammakalahmu. Kamu terkejut mendengar dia bilang seperti itu, dankarenanya kamu meminta dia untuk membuktikan ucapannya. Diakemudian membuktikannya seperti berikut:

(1*) Satu kata tercetak tidak benar di sini (dia berkata sambil me-nunjuk pada sebuah kata di satu halaman), dan satu kata la-in tercetak tidak benar di sini (dia berkata sambil menunjukpada sebuah kata di satu halaman yang lain).

(2*) Ada beberapa kata yang tercetak tidak benar di dalam maka-lah ini.

(3*) Kata-kata yang tercetak tidak benar itu merupakan salah ke-tik.

(4*) ) Ada salah ketik di dalam makalah ini.

Temanmu telah memberikan argumen yang bagus bagi klaimnyabahwa ada salah ketik dalam makalah tersebut. Selain itu, jika te-manmu itu mengetahui premis argumennya, argumennya memung-kinkan dia untuk tahu kesimpulannya juga. Kamu bisa mengetahuikesimpulannya juga dengan cara yang sama. Inti dari analogi iniadalah bahwa jika argumen temanmu yang membuktikan keber-adaan salah ketik merupakan argumen yang bagus, maka argumenMoore yang membuktikan keberadaan objek eksternal juga tampakbagus.

Siapa yang dituju oleh pembuktian Moore? Andaikan bahwa iaditujukan kepada orang yang ragu terhadap dunia eksternal. Makatampak bahwa pembuktian Moore itu menimbulkan pertanyaan-lanjutan. Siapa pun yang ragu terhadap dunia eksternal akan raguapakah tangan itu ada. Jadi premis (2) itu tidak memberikan alasanbagi sang peragu untuk menerima (4), kesimpulan Moore.

Namun, telah ditolak bahwa argumen Moore itu ditujukan kepa-da orang yang ragu terhadap dunia eksternal (Baldwin 1990, bab 9,§5, dan Sosa 2007, 53). Baldwin dan Sosa menyatakan bahwa Moore

�� C H R I S D A L Y

Page 38: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

tidak sedang mencoba untuk menyangkal skeptisisme—pandanganbahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang dunia eksternal—te-tapi sedang menyangkal idealisme—pandangan bahwa dunia eks-ternal itu tidak ada. Akan tetapi, tidak jelas apakah maksud Mooreitu memungkinkan dia untuk menghindari tuduhan menggunakanpremis yang mengasumsikan kebenaran kesimpulannya sehinggamenimbulkan pertanyaan-lanjutan (question-begging). Kaum idea-lis akan membela dirinya dengan menggunakan setiap tanggapanyang akan diberikan oleh kaum skeptis terhadap argumen Moo-re (Hetherington 2001,170-171). Jadi kaum idealis mungkin men-jawab bahwa premis (2) dari argumen Moore itu menimbulkanpertanyaan-lanjutan terhadap Moore sendiri.

Baldwin juga menyatakan bahwa Moore tidak sedang menco-ba untuk membuktikan bahwa dia memiliki pengetahuan tentangdunia eksternal (Baldwin 1990, 291-292). Menurut Baldwin, Mooremalah sedang mencoba untuk menunjukkan, “menampilkan”, be-berapa hal dari pengetahuan ini di dalam premis (1) dan (2) daripembuktinya.�� Akan tetapi, apakah seseorang memiliki pengetahu-an yang perlu dipertunjukkan itu justru merupakan sesuatu yangakan dibantah oleh kaum idealis.

Baldwin membedakan antara membuktikan keberadaan duniaeksternal dan menunjukkan bahwa seseorang memiliki pengetahu-an tentang dunia eksternal:

Saat sebuah pembuktian tentang pengetahuan mensyaratkan pe-nolakan terhadap argumen skeptis, penunjukan pengetahuan da-pat dilakukan dengan menggunakan pendasaran pada keyakin-an khalayak tentang apa yang diketahui. (Baldwin 1990, 291)

Namun, Moore sedang menghadapi khalayak yang bercabang. Se-tiap khalayak yang realis akan memiliki keyakinan yang sama de-ngan Moore tentang apa yang diketahui—termasuk premis dan

�� Lihat juga Neta (2007, 79).

C H R I S D A L Y ��

Page 39: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

kesimpulan dari pembuktian Moore. Sebuah pembuktian bisa ber-guna jika ia menunjukkan bahwa ada konsekuensi logis (entailment)di antara proposisi tertentu, bahkan jika kita sudah mengetahuiproposisi-proposisi itu. Akan tetapi, konsekuensi logis yang adadalam pembuktian Moore akan tampak tidak terbantahkan untuksetiap khalayak yang realis. Sejauh berkaitan dengan kaum realis,pembuktian Moore tidak ada gunanya. (Sosa [2003, 23] beranggap-an bahwa tujuan Moore dalam menyajikan pembuktiannya adalahuntuk menunjukkan bahwa “tidak perlu pembuktian semacam itusejak awal”. Namun, Sosa [2007, 53] membantah interpretasi terse-but). Sebaliknya, tidak ada kaum idealis di dalam khalayak Mooreyang akan memiliki keyakinan yang sama dengan Moore tentangapa yang diketahui. Misalnya, mereka percaya bahwa, jika tanganmerupakan objek eksternal, maka Moore tidak mengetahui bahwadia memiliki tangan, dan dia juga tidak memiliki pengetahuan ter-sebut untuk ditunjukkan. Akhirnya, setiap khalayak Moore yangbelum menjadi realis dan juga belum menjadi idealis—tetapi “ag-nostik”—seharusnya tetap netral. Secara sepintas, jika argumenMoore menunjukkan bahwa orang yang agnostik harus meyakinibahwa Moore tahu bahwa ada objek eksternal, maka argumen ter-sebut akan membawa kekuatan yang sama untuk melawan kaumidealis. Argumen itu akan menunjukkan bahwa kaum idealis ha-rus menghindari keyakinannya bahwa tidak ada orang yang tahubahwa ada objek eksternal, dan mereka harus meyakini bahwa Mo-ore tahu bahwa ada objek eksternal. Akan tetapi, karena argumenMoore tidak memiliki kekuatan untuk melawan kaum idealis, iajuga tidak memiliki kekuatan untuk melawan kaum agnostik. Ba-gaimanapun, sulit untuk memahami bagaimana argumen itu bisamemiliki kekuatan untuk hanya melawan salah satu dari tiga pihaktersebut.

Kaum idealis akan mendesakkan argumen berikut. Apa dasarMoore menegaskan premis (1), premis bahwa dia memiliki tangan?

�� C H R I S D A L Y

Page 40: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

Agaknya Moore menganggap pengalaman perseptual itu memberi-nya pengetahuan tentang dunia eksternal. Namun, ini mengandai-kan bahwa ada dunia eksternal dan bahwa Moore memiliki penge-tahuan tentangnya. Alasan apa pun yang dimiliki Moore untukmengklaim (2) akan mengandaikan (4), jadi adalah yang sirkularuntuk menyatakan (4) berdasarkan (2) dan (3). Oleh karena itu, ti-dak benar bahwa Moore bisa menjadikan (2) dan (3) sebagai alasangabungan untuk menyimpulkan bahwa (4). Wright (1985, 57-60)membahas apakah jaminan epistemik Moore untuk premis (2) dan(3) itu “mentransmisikan” konsekuensi logis pada (4). Secara garisbesar, Wright menyatakan bahwa pengalaman indrawi memberikanjaminan epistemik bagi premis (2) hanya jika ada alasan bagi (4);bahwa satu-satunya alasan yang bisa ada untuk (4) akan disediakanoleh (2); dan karena itu tidak mungkin ada alasan untuk (4).��

Catat bahwa argumen kaum idealis tidak membuat asumsi apapun tentang hakikat pengalaman perseptual. Ia tidak mengasum-sikan bahwa pengalaman perseptual itu terdiri dari aliran kesandan ide yang darinya keberadaan objek eksternal disimpulkan (He-therington 2001, 171). Argumen idealis hanya mengasumsikan bah-wa pengalaman Moore, bahkan pengalamannya yang tampaknyaadalah tentang objek fisikal, tidak meniscayakan bahwa ada objekeksternal, dan karenanya juga tidak meniscayakan bahwa Mooretahu bahwa ada objek eksternal. Moorean mungkin menetapkanbahwa pengalaman merupakan pengalaman perseptual hanya jikaada beberapa objek eksternal o sedemikian rupa sehingga pengalam-an tersebut adalah pengalaman tentang o. Akan tetapi, penetapanitu memunculkan persoalan bagaimana kamu akan tahu apakahpengalamanmu merupakan pengalaman perseptual yang dipahamidemikian.��

�� Lihat juga Wright (2002). Untuk tanggapan-tanggapan yang pro-Moorean, lihatPryor (2002, 2004) dan Davies (2000, 2003). Wright (2007) dan Neta (2007) menilaitanggapan-tanggapan yang pro-Moorean ini.

�� Wright (2002, §§VIII-X) menyatakan bahwa bersandar pada teori-teori persepsi

C H R I S D A L Y ��

Page 41: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Selanjutnya, argumen idealis tidak mengasumsikan bahwa “pe-ngetahuan bahwa ada objek eksternal secara umum itu secara epis-temik mendahului pengetahuan tentang beberapa objek eksternaltertentu” (Hetherington 2001, 172). Proposisi-proposisi di dalamhimpunan H secara epistemik mendahului proposisi-proposisi didalam H* jika dan hanya jika

mungkin untuk mengetahui semua proposisi di dalam himpun-an H tanpa mengetahui proposisi apa pun di dalam himpunanH*, tetapi tidak sebaliknya.

Kaum idealis tidak mengasumsikan bahwa kamu harus sudah tahubahwa ada objek eksternal agar bisa tahu bahwa kamu memilikitangan. Pertimbangkan, sebagai sebuah analogi, skeptisisme terha-dap pengatahuan tentang malaikat. Orang yang skeptis terhadappengetahuan seperti ini akan skeptis terhadap pengetahuan tentangspesies malaikat yang diduga seperti serafim. Akan tetapi, skeptismacam ini tidak berkomitmen pada tesis prioritas epistemik yangpercaya bahwa pengetahuan bahwa ada malaikat secara umum seca-ra epistemik mendahului pengetahuan bahwa ada serafim. Alih-alihberkomitmen pada tesis prioritas epistemik, orang yang skeptisterhadap pengetahuan tentang X malah berkomitmen pada tesisekuivalensi epistemik berikut: pengetahuan bahwa ada X secaraumum sama sulitnya untuk diperoleh dengan pengetahuan ten-tang spesies X . Orang yang skeptis terhadap pengetahuan tentangmalaikat akan menganggap pengetahuan bahwa ada malaikat seca-ra umum itu sama sulitnya untuk diperoleh dengan pengetahuanbahwa ada serafim. Demikian juga orang yang skeptis terhadappengetahuan tentang dunia eksternal akan menganggap pengeta-huan bahwa ada objek eksternal secara umum itu sama sulitnyauntuk diperoleh dengan pengetahuan bahwa ada tangan—salahsatu spesies dari objek eksternal.

realis langsung itu menghidupkan kembali pembuktian Moore.

�� C H R I S D A L Y

Page 42: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

Hetherington menyatakan bahwa Moore bisa mengetahui bah-wa dia memiliki tangan tanpa harus mengetahui bahwa ada objekeksternal. Hetherington berpandangan bahwa kamu bisa mengeta-hui bahwa kamu memiliki tangan tanpa memiliki konsep tentangobjek eksternal, dan juga tanpa memiliki proposisi bahwa ada objekeksternal. Ini demikian karena “tidak seperti konsep tentang tangan,konsep tentang objek eksternal setidaknya sebagian merupakansebuah konsep filsafat (yang penjelasan tentangnya menghabiskanbanyak halaman dalam makalah Moore)” (Hetherington 2001, 173).Karena kamu mungkin tahu bahwa kamu memiliki tangan tanpaharus tahu bahwa ada objek eksternal, maka Moore tidak menim-bulkan pertanyaan-lanjutan di dalam pembuktiannya dari (2) dan(3) menuju ke (4).

Adalah hal yang meragukan bahwa tuduhan menggunakanpremis yang mengasumsikan kebenaran kesimpulannya sehinggamenimbulkan pertanyaan-lanjutan itu dapat dijawab dengan ca-ra ini. Andaikan kamu sedang bertanya apakah politisi tertentu,Richie Nix misalnya, itu seorang pembohong. Petugas media Nixkemudian memberikan argumen berikut:

Richie Nix meyakini segala sesuatu yang dia katakan.) Richie Nix bukan seorang pembohong.

Mungkin untuk memiliki semua konsep yang digunakan didalam premis tersebut—konsep keyakinan, proposisi, tuturan, ku-antifikasi universal, dan konsep tentang Richie Nix—tanpa memilikikonsep tentang seorang pembohong. Kamu mungkin memiliki se-mua konsep tersebut meskipun kamu tidak pernah bertemu denganorang yang dengan sengaja bilang bahwa apa yang ia yakini itukeliru. Dalam kasus itu, kamu akan mengetahui premisnya tanpamengetahui kesimpulannya. Walaupun demikian, argumen petu-gas media Nix itu menimbulkan pertanyaan-lanjutan. Secara lebihumum, apakah sebuah argumen menimbulkan pertanyaan-lanjutanitu tidak tergantung pada apakah mungkin untuk memahami (atau

C H R I S D A L Y ��

Page 43: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

mengetahui) premis-premisnya tanpa memahami (mengetahui) ke-simpulannya. Sebuah argumen yang ditujukan kepada khalayaktertentu bisa jadi menimbulkan pertanyaan lanjutan jika dan hanyajika ia mengandung setidaknya satu premis yang tidak akan dite-rima oleh khalayak yang dituju argumen tersebut kecuali merekasudah menerima kesimpulan argumennya (Walton 1989, 52 danGovier 1992, 85).��

Salah satu kelemahan dari pembuktian Moore terhadap duniaeksternal adalah karena ia mendasarkan diri pada fenomenologi. Iniadalah pendasaran pada bagaimana sesuatu itu tampak kepadakita secara pra-teoretik. Masih meragukan apakah memang adasesuatu semacam itu yang tampak kepada kita sebagaimana ada-nya tanpa ada asumsi teoretik atau asumsi umum apa pun. Padalevel sub-personal (yaitu pada level di bawah level perhatian sa-dar), pikiran kita mengklasifikasi informasi sebelum informasi itutersedia pada kesadaran akses. (Ingat pembahasan modul mentalFodor di §5). Upaya untuk menemukan secara empiris klasifika-si macam apa yang dibuat oleh pikiran kita itu merupakan tugassains kognitif. Filsuf tidak memiliki pandangan tertentu tentangklasifikasi apa yang dibuat, dan mereka juga tidak memiliki pan-dangan tertentu tentang apa yang merupakan data pra-teoretik danapa yang bukan. Mendasarkan diri pada apa yang telah ditemukanoleh sains kognitif itu sangat berbeda dengan mendasarkan diripada fenomenologi. Pendasaran pada sains kognitif ini merupakanpendasaran pada apa yang dikatakan oleh sains pada kita, bukanapa yang dikatakan oleh persepsi naif. (Pendasaran semacam inimerupakan ciri-ciri dari pandangan filosofis yang dikenal sebagainaturalisme dan pembelaannya terhadap metodologi ilmiah dan

�� Untuk pernyataan lain tentang tuduhan bahwa pembuktian Moore itu menimbul-kan pertanyaan-lanjutan karena premisnya mengasumsikan kebenaran kesimpu-lannya, lihat Jackson (1987, 113-114), dan Beebee (2001, 359). Untuk pembelaan darituduhan ini, lihat Lemos (2004, 85-91) dan Coady (2007, 108-109).

�� C H R I S D A L Y

Page 44: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

hasil-hasil penelitian ilmiah. Lihat bab 6). Selain itu, bahkan jika adaranah tempat sesuatu tampak kepada kita secara pra-teoretik, masihbelum jelas bagaimana kita bisa mengidentifikasi sesuatu itu. Ingatperdebatan antara J.L. Austin dan David Hume tentang apa yangkita persepsi. Austin percaya bahwa kita memersepsi objek-objekfisikal, “barang-barang kering yang berukuran-sedang”, dan pembi-caraan tentang kesan indrawi hanyalah fantasi para filsuf (Austin1962). Hume percaya bahwa kita memersepsi kesan indrawi, danbahwa pembicaraan tentang objek-objek fisikal hanyalah proyeksipikiran (Hume 1739-40, buku I, bagian IV, seksi II). Mereka tidaksepakat tentang fenomenologi persepsi. Jika kita menghubungkanmereka ke pendeteksi kebohongan, mesin pendeteksi itu jelas akanmerekam penjelasan mereka yang jujur tetapi bertentangan tentangapa yang kita persepsi. Mungkin salah satu pihak tertipu oleh diri-nya sendiri: dia sejak awal percaya apa yang dilakukan oleh pihaklain dan dia hanya melaporkan apa yang ia percaya kita rasakan.Mungkin begitu, tetapi fenomenologi tidak akan memberi tahu kitapihak mana (jika ada) yang tertipu oleh dirinya sendiri. Perlu cara-cara independen untuk mengetahui hal itu. Sekali lagi pendasaranpada fenomenologi perlu ditinggalkan.

�.� Argumen Kepastian Moore

Lycan juga membela Moore dari tuduhan menimbulkan perta-nyaan-lanjutan. Dia mengakui bahwa pembuktian Moore ten-tang dunia eksternal memang “hampir” menimbulkan pertanyaan-lanjutan (Lycan 2007, 90). Akan tetapi dia mengingatkan kita padatahap kedua strategi Moore di dalam pembelaannya terhadap pan-dangan umum. Ini merupakan pendasaran Moore pada kepastian.

Kita memiliki tingkat keyakinan atau tingkat kemantapan. Kitalebih yakin, atau lebih mantap, tentang beberapa hal dibandingkanbeberapa hal yang lain. Kita lebih yakin secara tentang apa itu nama

C H R I S D A L Y ��

Page 45: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

kita sendiri daripada tentang apakah ada kehidupan di planet lain;kita lebih yakin secara pasti bahwa Empire State Building itu sangattinggi daripada bahwa ia setinggi 443 meter. Kita membedakankepastian relatif proposisi-proposisi yang berbeda.

Moore membuat pembedaan tersebut. Dia membedakan antaraklaim pandangan umum dan premis serta kesimpulan argumenfilosofis yang skeptis. Lycan melihat Moore berargumen sepertiberikut. Moore memiliki tangan, dan karena tangan adalah objekeksternal, maka objek eksternal itu ada. Moore juga mengetahuifakta itu. Sekarang himpunan premis dari setiap argumen yangmenyimpulkan bahwa Moore tidak tahu bahwa objek eksternal ituada kurang masuk akal dibanding klaim bahwa Moore tahu bahwadia memiliki tangan. Jadi setiap argumen yang mendukung bahwaskeptisisme pengetahuan tentang dunia eksternal dapat dipercayaitu kurang masuk akal dibanding bahwa Moore tidak mengetahuibahwa ada dunia eksternal (Lycan 2001, 39).

Lycan mengklaim bahwa “tidak ada kriteria tertentu tentangkemasukakalan (plausibility), keterpercayaan (credibility) atau kepas-tian komparatif yang digunakan atau perlu digunakan” (Lycan 2001,40). Akan tetapi, bahkan jika tidak ada kriteria kemasukkemasu-kakalanakalan yang digunakan, klaim-klaim tertentu tentang apayang lebih masuk akal dibandingkan apa yang sedang dibuat, danada persoalan tentang dasar pembuatannya. Pandasaran Mooreanpada kepastian menghadapi sebuah dilema (Baldwin 1990, 270-271).Jika ia hanya dimaksudkan sebagai sebuah klaim psikologis (“Aku,sang Moorean, merasa lebih yakin secara pasti bahwa p itu benardaripada bahwa p itu keliru”), tidak jelas apakah klaim Mooreanini memiliki kekuatan argumen. Tampaknya ia hanya merupakanpernyataan otobiografis. Kemungkinan lainnya, jika ia dimaksud-kan sebagai sebuah klaim normatif (“Aku, sang Moorean, memilikialasan untuk lebih yakin secara pasti bahwa p itu benar daripadabahwa p itu keliru), mengapa kita harus menerima klaim itu? Jika

�� C H R I S D A L Y

Page 46: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

ada alasan yang dapat diberikan, alasan itu tidak boleh menimbul-kan pertanyaan-lanjutan untuk melawan para penentang Moore,dan ia tidak bisa bersandar pada sebuah klaim tentang kemasuka-kalan karena klaim tentang kemasukakalan merupakan jenis klaimyang seharusnya didukung oleh alasan tersebut. Pendasaran padakepastian membuat dilema ini takteratasi.

Dilema ini tidak dapat dihindari dengan mengklaim bahwamasing-masing dari kita lebih yakin secara pasti terhadap klaimbahwa kita memiliki tangan daripada terhadap teori filsafat apapun yang mengatakan bahwa kita takterjustifikasi dalam meyakinibahwa kita tidak memiliki tangan. Jika klaim tersebut merupakanklaim sosiologis—sebuah deskripsi tentang apa yang umum diyaki-ni—tidak jelas kekuatan argumentatif apa yang ia miliki. Jika klaimitu dimaksudkan sebagai sebuah klaim normatif—bahwa kita kitaharus memiliki tingkat kepastian seperti itu—maka sebuah argumenperlu membawa kita dari fakta sosiologis bahwa kita sama-samamemiliki tingkat keyakinan yang tinggi menuju klaim bahwa kitaberhak untuk memiliki tingkat keyakinan yang tinggi itu. Sekarangbeberapa filsuf berpikir bahwa klaim psikologis atau sosiologis itumendasari klaim normatif (sebagai contoh, Hanna 2006). Mooreanmungkin tergoda oleh pandangan ini. Akan tetapi, pandangan iniperlu dibuat presisi dan ia juga perlu dipertahankan karena ia masihbelum jelas. Jadi, mengambil pandangan ini akan mengharuskanMoorean untuk memformulasikan dan mempertahankan sebuahpandangan filsafat yang kontroversial dan sulit dipahami. Akantetapi, itu merupakan sesuatu yang sebenarnya ingin dihindari olehargumen kepastian Moore. Kumpulan premis dari argumen itudidukung karena hanya mengandung premis yang jelas dan benar.

Inilah usaha kedua yang mungkin dilakukan Moorean. Lycanmenolak dilema di atas. Menurut Lycan, Moore mencemaskan “ra-sionalitas, gagasan normatif,” dan

[a]gar secara normatif bisa rasional untuk memilih klaim penge-

C H R I S D A L Y ��

Page 47: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

tahuan daripada salah satu asumsi kaum skeptis yang murni fi-losofis, kita perlu menarik bahan lain yang “menetapkan” klaimpengetahuan. . . . (Lycan 2007, 93, catatan kaki 23)

Meskipun secara terbuka menolak dilema tersebut, Lycan tampak-nya sedang menangani bagian kedua dari dilema tersebut. Ini me-nyatakan bahwa jika Moorean mengklaim memiliki alasan untuklebih yakin secara pasti bahwa dia memiliki tangan daripada bahwadia tidak memiliki tangan, maka Moorean itu perlu untuk menjusti-fikasi klaim tersebut. Lycan sepakat bahwa Moorean memiliki lebihbanyak alasan untuk yakin secara pasti bahwa dia memiliki tangandaripada bahwa dia tidak memiliki tangan, tetapi Lycan menolakbahwa Moorean perlu menjustifikasi klaim itu. Pertimbangkan per-debatan yang mengarah pada poin ini. Kaum idealis mengklaimbahwa objek eksternal itu tidak eksis. Moore menjawab bahwa objekeksternal itu eksis dan bahwa dia tahu bahwa objek eksternal itumemang eksis. Moore berargumen untuk mendukung klaimnyadengan dasar bahwa lebih rasional memercayai bahwa ada objekeksternal daripada memercayai premis-premis dari setiap argumenyang diajukan oleh kaum idealis untuk mendukung klaim mereka.Mengapa menerima pembelaan itu? Lycan beranggapan bahwa kitatidak perlu untuk menjustifikasinya. Akan tetapi jika memang de-mikian, tidak jelas mengapa kita bahkan perlu untuk menjustifikasiklaim Moore yang lebih awal bahwa ada objek eksternal dan bahwadia tahu bahwa memang ada objek eksternal. Tampaknya tak perlubertumpu pada pendasaran pada argumen kepastian. Pendeknya,jika tanggapan Lycan memang merupakan tanggapan yang baik, iadapat digunakan pada tahap perdebatan yang lebih awal—tahapketika Moore menyatakan bahwa ada objek eksternal dan bahwadia tahu bahwa memang ada objek eksternal—sehingga argumentkepastian itu menjadi mubazir.

Mungkin saja dijawab bahwa argumen kepastian itu tidak mu-bazir karena ia memberikan justifikasi bagi klaim bahwa ada du-

�� C H R I S D A L Y

Page 48: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

nia eksternal (dan juga bagi klaim Moore bahwa dia mengetahuiitu). Akan tetapi, kecuali klaim normatif yang dibuat oleh argu-men kepastian itu sendiri terjustifikasi, argumen tersebut tidak bisamemberikan justifikasi bagi klaim Moore bahwa dia tahu ada duniaeksternal. Kita tidak melangkah lebih maju.

Pembelaan Lycan terhadap pendasaran Moore pada kepastianjuga melibatkan perbedaan yang tajam antara filsafat dan pandang-an umum:

Seperti halnya tidak ada argumen idealis yang tidak menda-sarkan diri pada beberapa prinsip metafisik atau epistemologisyang abstrak yang diasumsikan begitu saja tanpa pembelaan,juga tidak ada argumen skeptis yang tidak melakukan hal yangsama. Artinya, tidak ada alasan yang baik untuk menerima argumentersebut; prinsip yang takberalasan hanyalah hal yang filosofis. . . .[Tidak] ada alasan rasional untuk lebih memilih bersumpah setiapada [prinsip] tersebut daripada pada kebenaran pandanganumum yang jelas. (Lycan 2001, 41)

Saya sendiri tidak berpikir bahwa setiap klaim filosofis itu benar.Moore sendiri memang kurang menghargai klaim filosofis secaraumum, dan saya yakin Moore benar dalam hal itu (Lycan 2007,86 [catatan kaki dihilangkan])

Dengan mempertahankan kemasukakalan klaim pandanganumum yang lebih besar dibanding klaim yang murni filosofis de-ngan cara seperti ini, Lycan mungkin telah terjebak dalam opti-misme yang keliru. Di dalam menentang tesis kaum idealis bahwatidak ada objek eksternal, Moore tidak hanya menyandarkan diripada premis bahwa tangan itu eksis, tetapi juga pada premis bah-wa tangan merupakan objek eksternal. (Dan, seperti premis-premislain dari pembuktiannya, Moore mengasumsikan bahwa dia me-ngetahui premis itu). Akan tetapi, premis bahwa tangan adalahobjek eksternal itu merupakan prinsip filosofis yang diperoleh darianalisis filosofis. Jadi, beragam umpatan yang disampaikan Lycanpada klaim-klaim yang murni filosofis seharusnya juga dilontarkan

C H R I S D A L Y ��

Page 49: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

pada premis Moore sendiri. Sebab premis Moore itu juga merupa-kan sebuah “prinsip yang takberalasan” dan “hanyalah hal yangfilosofis”.

Hal ini berlaku secara lebih umum pada pembelaan Moore ter-hadap klaim pandangan umum dalam melawan klaim filosofis yanglain. Untuk menciptakan ketidaksesuaian antara klaim filosofis p

dan klaim pandangan umum bukan-q, Moore memerlukan prinsipberbentuk jika p maka q sehingga dia bisa berargumen: bukan-q, jikap maka q, jadi bukan-p. Umpatan Lycan terhadap prinsip filosofistidak hanya bertentangan dengan premis argumen penentang Moo-re tetapi juga bertentangan dengan kontra-argumen Moore sendiri.Hasilnya, pembelaan Lycan terhadap pandangan umum justru me-runtuhkan kontra-argumen Moore sendiri.

Apa yang perlu Lycan ajukan adalah pembelaan yang lebih ber-kualitas terhadap klaim pandangan umum. Pembelaan itu harusmenunjukkan mengapa klaim pandangan umum lebih masuk akaldaripada premis setiap argumen filosofis yang menentang klaim ter-sebut. Akan tetapi, pembelaan itu tidak boleh berkomitmen untukmengatakan bahwa klaim yang murni filosofis itu tidak memberi-kan “alasan yang bagus” untuk menerima argumen-argumennya,atau bahwa ia hanyalah “hal filosofis”.

�.� Moore dan Analisis Filosofis

Pembuktian Moore dimaksudkan sebagai sebuah penolakan ter-hadap idealisme. Akan tetapi, pernyataan-pernyataan tentang du-nia eksternal itu terbuka untuk dianalisis. Salah satu analisis yangmungkin dilakukan adalah fenomenalisme. Fenomenalisme ber-usaha untuk menganalisis setiap pernyataan tentang sebuah ob-jek eksternal sebagai gabungan pernyataan tentang pengalamanyang aktual dan pengalaman yang mungkin. Misalnya, pernyataanbahwa ada sebuah pohon di taman itu dianalisis dalam kaitan-

�� C H R I S D A L Y

Page 50: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

nya dengan pernyataan tentang pengalaman tertentu tentang yangserupa-pohon yang dimiliki, atau akan dimiliki, oleh seseorang ke-tika ia memiliki pengalaman tertentu tentang yang serupa-taman.Kaum fenomenalis kemudian dapat menerima pembuktian Moo-re tetapi menolak bahwa objek eksternal itu eksis secara mandiridari pikiran. Konsekuensinya, pembuktian Moore tidak memilikikekuatan untuk menentang fenomenalisme. (Karena alasan ini, Ba-ldwin [1990, 295] menganggap pembuktian Moore sebagai sebuah“kegagalan total”. Anehnya, Moore sepenuhnya sadar bahwa fe-nomenalisme secara konsisten mengklaim bahwa tidak ada objekeksternal, sebagaimana yang dipahami oleh analisis kaum realisterhadap “objek eksternal”, dan juga bahwa ada tangan manusia[Moore 1942, 669-670]).

Jadi, premis (3) dari pembuktian Moore (“tangan merupakanobjek eksternal”) itu sangat lemah karena analisis fenomenalis ten-tang apa yang menjadi objek eksternal itu tersedia. Tampaknya apayang dibutuhkan Moore adalah analisis tentang apa yang membuatsesuatu itu menjadi tangan (atau, lebih umum lagi, tentang apayang membuat sesuatu itu menjadi objek eksternal) yang belumtersedia bagi para penentangnya. Pertanyaannya kemudian adalahbagaimana analisis ini seharusnya dibangun. Premis (3) tersebut da-pat diperkuat dengan membangun analisis realis sehingga menjadiseperti premis (3’) berikut:

(3’) Tangan adalah objek eksternal dalam pengertian objek yangmandiri dari pikiran

Masalahnya di sini adalah bahwa penentang Moore akan berta-nya apakah (3’) itu benar. Premis awalnya bahwa tangan merupakanobjek eksternal itu diperkenalkan sebagai sebuah definisi. Definisiistilah merupakan ketetapan (stipulation) atau ia hanya melaporkanmakna dari sebuah istilah yang sudah digunakan. Jika Moore seka-

C H R I S D A L Y ��

Page 51: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

dar menetapkan bahwa “objek eksternal” berarti objek yang mandiridari pikiran, maka persoalan pokoknya adalah apakah tangan (atauapa pun yang lain) merupakan objek eksternal dalam pengertianini. Itu bukan persoalan yang dapat diselesaikan dengan ketetapan.Ia memerlukan argumen filosofis. Di sisi lain, jika Moore hendakmengklaim bahwa, sebagai frase yang digunakan dalam kehidu-pan sehari-hari, “objek eksternal” berarti objek yang mandiri daripikiran, maka persoalan pokoknya adalah apakah klaim Mooreitu melaporkan dengan tepat makna dari “objek eksternal”. Kaumfenomenalis akan membantah ketepatan makna tersebut. Bagaima-napun, apa yang perlu ditinggalkan adalah usaha Moore yang cepatdan terpilah untuk membuktikan keberadaan dunia eksternal.

Kita akan membahas argumen lain yang mendukung keberada-an dunia eksternal di bab 5, §7. Ia adalah argumen yang menegaskandunia eksternal itu memberikan penjelasan terbaik tentang peng-alaman indrawi kita.

�.� Kesimpulan

Tidak ada kesepakatan tentang apakah, dan sejauh mana, klaimpandangan umum itu memiliki peran di dalam menilai klaim-klaimfilosofis (Byrne dan Hall 2004). Bahkan para filsuf yang beranggap-an bahwa klaim pandangan umum itu memiliki peran penting disini juga tidak sepakat tentang di titik mana klaim ini meninggalkanfilsafat. Mereka tidak sepakat tentang apakah filsafat harus mene-tapkan agenda yang ambisius atau agenda yang lebih sederhana.Dalam agenda ambisiusnya, filsafat bisa membuat klaim metafisikyang substantif yang konsisten dengan pandangan umum, bahkanjuga bisa melampauinya.�� Dalam agendanya yang lebih sederhana,peran filsafat adalah untuk merekonsiliasikan klaim sains dengan

�� Lihat, misalnya, Sider (2001, xiv-xvi)

�� C H R I S D A L Y

Page 52: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

klaim pandangan umum.��

Alex Byrne dan Ned Hall beranggapan bahwa pelajaran yangperlu diambil dari karya Moore tentang pandangan umum adalahbahwa kita harus lebih memilih filsafat yang sederhana daripadafilsafat yang ambisius. Mereka berargumen seperti berikut: Filsafatyang ambisius itu sangat sulit. Argumen yang mendukung klaimmetafisik yang substantif tentang apa yang eksis, atau apa yang le-bih fundamental dari sesuatu yang lain, seringkali mengandung ca-cat tersembunyi. Pengenalan kita yang semakin meningkat tentanghal ini telah menunjukkan seberapa tinggi standar untuk mencapaikesimpulan metafisik yang substantif dan baru.

Namun, Moore mendukung agenda yang ambisius. Dia berang-gapan bahwa filsafat harus memberikan

gambaran umum tentang keseluruhan semesta, menyebutkan se-mua jenis hal yang paling penting yang tidak kita ketahui secaraabsolut ada di dalamnya, dan juga membahas relasi terpenting diantara berbagai jenis hal tersebut. (Moore 1953, 2).

Salah satu kontribusi Moore terhadap gambaran ini adalah kla-imnya bahwa ada kebenaran tentang kebaikan moral, bahwa ke-benaran tersebut tidak dapat dianalisis dalam kaitannya dengankebenaran tentang dunia alamiah, dan bahwa mengetahui kebe-naran tersebut mensyaratkan kita memiliki fakultas khusus intuisimoral. (Kita akan membahas argumennya yang berpengaruh yangmendukung pandangan non-naturalistik tentang moralitas ini didalam bab 2, §5. Argumen tersebut dikenal sebagai argumen “per-tanyaan terbuka” Moore).

Bahkan jika Moore sendiri tidak mengambil pelajaran yang di-ambil oleh Hall dan Byrne dari karyanya tentang pandangan umum,mereka mungkin telah mengambil pelajaran yang tepat dari karyaMoore, pelajaran yang sayangnya dilewatkan oleh Moore sendiri.

�� Lihat, misalnya, Jackson (1998, 42-44)

C H R I S D A L Y ��

Page 53: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Argumen mereka untuk pelajaran ini didasarkan pada klaim bah-wa filsafat yang ambisius itu sulit dilakukan. Meskipun klaim itubenar, ia tidak menyelesaikan persoalan. Argumennya harus meng-asumsikan bahwa filsafat yang sederhana itu lebih mudah untukdilakukan dibandingkan filsafat yang ambisius. Namun, asumsitersebut juga masih diperdebatkan. Argumen untuk apa yang dise-but klaim metafisik yang sederhana tentang hal-hal yang dapat adabersama dengan hal-hal lain, dan tentang klaim pandangan umumyang konsisten dengan klaim ilmiah, juga sering mengandung cacattersembunyi.�� Standar untuk mencapai kesimpulan yang beralasantentang agenda yang sederhana tampaknya setinggi standar untukmencapai kesimpulan yang beralasan tentang agenda yang ambisi-us.

Di bab 6, kita akan menemukan bahwa pendekatan yang dike-nal sebagai naturalisme filosofis ternyata juga menyetujui agendaambisisus.

Pendekatan ini sengaja mengacu pada metode dan klaim il-mu alam. Secara khusus, ia mengacu pada kesiapan ilmu alamuntuk merevisi klaim-klaimnya demi memperoleh penjelasan yanglebih informatif tetapi ekonomis tentang observasi. NaturalismeQuinean juga memiliki sikap revisioner terhadap klaim filosofiskita, dan pandangan tentang hakikat revisi yang dikendalikan olehobservasi. Namun, sebagaimana yang akan kita lihat, selain me-miliki sikap hormat terhadap sains dan kesediaan untuk merevisikeyakinan-keyakinan kita saat ini, tidak jelas apa lagi yang dimilikioleh naturalism Quinean. Naturalisme dalam satu hal itu sederha-na: ia menahan diri dari membuat klaim yang melampaui klaimyang dibuat sains. Akan tetapi, signifikansi dari hal ini juga tidakjelas sampai ditetapkan klaim apa yang dibuat oleh sains dan apakonsekuensi filosofis dari klaim tersebut.

�� Sebagai ilustrasi, lihat tanggapan untuk Jackson (1998) yang dibuat oleh Stalnaker(2000), dan Laurence dan Margolis (2003).

�� C H R I S D A L Y

Page 54: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

Pertanyaan-pertanyaanuntuk Didiskusikan

1. Moore tidak memberikan kriteria tentang apa yang dianggapsebagai pandangan umum. Apakah kegagalannya untuk mem-berikan kriteria itu merusak proyeknya? Mengapa menyediakankriteria seperti itu merupakan sesuatu yang penting? Bisakah kamumemberikan kriteria mewakili Moore? (Sebenarnya, hal apa yangbisa kamu berikan kriterianya? Coba anjing, kursi, atau permainan.Setelah kamu mencobanya, apakah pendapatmu tentang kelayakanproyek Moore itu berubah?)

2. Reid berpandangan bahwa salah satu “tanda” dari klaim pan-dangan umum itu adalah bahwa klaim itu dipercaya secara luaskarena memang merupakan bagian dari kodrat manusia untuk me-mercayainya: Saya pikir konstitusi alam kita menuntun kita untukpercaya prinsip-prinsip tertentu yang harus kita terima begitu sa-ja dalam masalah hidup bersama, tanpa bisa memberikan alasanuntuk itu. Jika saya benar tentang hal ini, itulah yang kita sebut“prinsip pandangan umum”, dan jika ada sesuatu yang jelas ber-tentangan dengannya kita menolaknya sebagai sesuatu yang jelas“tidak masuk akal”.

Apakah pandangan Reid ini memiliki kelebihan dibandingkanpandangan Moore? Apakah ia memiliki kekurangan?

3. Apakah klaim pandangan umum dapat direvisi? Apa pandanganMoore tentang masalah ini? Lihat Moore (1953, 6–8), tetapikemudian bandingkan Lycan (2001, 40) dengan Coady (2007,114–15). Apa pendapat Reid?

C H R I S D A L Y ��

Page 55: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

4. Contoh klaim pandangan umum yang telah diberikan dalambab ini tampak membosankan. Tetapi apakah ada klaim pan-dangan umum yang tidak membosankan, klaim yang dianggapkontroversial bagi banyak non-filsuf? Misalnya, mungkinkahklaim bahwa Tuhan tidak ada itu merupakan klaim pandanganumum? Georges Rey berpendapat bahwa klaim bahwa Tuhantidak ada itu merupakan bagian dari pandangan umum setidaknyadi dunia Barat, dan bahwa orang Barat dewasa yang percayabahwa ada Tuhan itu sedang menipu diri mereka sendiri (Rey2006, 2007). Apakah Rey benar, atau apakah dia menganggapsebagai pandangan umum (Barat modern) sesuatu yang sebenarnyabukan bagian dari pandangan umum? Bisakah kita menjawabpertanyaan itu tanpa menetapkan kriteria sebelumnya untuk apayang dianggap sebagai bagian dari pandangan umum?

5. Beberapa filsuf berpandangan bahwa banyak klaim pandanganumum seperti “Saya punya tangan” telah dikenal, atau diperca-ya, secara non-inferensial. Artinya, klaim-klaim pandangan umumini diketahui, atau dipercaya, meskipun tidak berdasarkan padapenyimpulan dari beberapa dasar yang unggul secara epistemik.Pengetahuan atau keyakinan kita yang masuk akal terhadap klaimpandangan umum ini dikatakan “sangat mendasar”. Hal ini menim-bulkan pertanyaan tentang klaim mana yang berhak kita anggapdasar. Apakah kamu punya saran? Alvin Plantinga berpandanganbahwa, karena pertanyaan itu sulit untuk dijawab, tidak ada kebe-ratan untuk menganggap klaim seperti “Saya sadar akan kehadiranilahi” sebagai hal mendasar (Plantinga 1981). Apakah pandanganPlantinga masuk akal? Apakah argumennya persuasif?

�� C H R I S D A L Y

Page 56: pengantar metode- metode filsafat

P A N D A N G A N U M U M

Bacaan pokok untuk Bab �

Armstrong, D.M. (2006) “The Scope and Limits of Human Knowle-dge.”

Baldwin, Thomas (1990) G.E. Moore bab IX.Campbell, Keith (1988) “Philosophy and Common Sense.”Coady, C.A.J. (2007) “Moore’s Common Sense.”Kelly, Thomas (2008) “Common Sense as Evidence: Against Revisio-

nary Ontology and Skepticism.”Lemos, Noah (2004) Common Sense: A Contemporary Defense.Lycan, William G. (2001) “Moore Against the New Skeptics.”Moore, G.E. (1925) “A Defence of Common Sense.”Moore, G.E. (1939) “Proof of an External World.”Moore, G.E. (1953) Some Main Problems of Philosophy bab1.Soames, Scott (2003) Philosophical Analysis in the Twentieth Century,

volume 1 The Dawn of Analysis bab 1.

C H R I S D A L Y ��

Page 57: pengantar metode- metode filsafat
Page 58: pengantar metode- metode filsafat

�ANALISIS

�.� Pendahuluan

A N A L I S I S sering dianggap sebagai aktivitas khas filsafat, terutamafilsafat yang ada dalam tradisi yang digagas oleh Gottlob Frege,Bertrand Russell, Bernard Bolzano dan G.E. Moore. Tradisi tersebutbahkan disebut sebagai “filsafat analitik”.

Pertama, kami ingin mengetahui apa yang membedakan ana-lisis semacam ini dari (katakanlah) analisis Freudian atau analisisfungsional. Dikatakan bahwa analisis semacam ini adalah aktivitaskhas sebuah tradisi (“filsafat analitik”) yang digagas oleh filsuf-filsuf tertentu—berarti: analisis semacam ini adalah analisis filosofis,bukan psikoanalisis ataupun analisis fungsional. Meskipun benar,keterangan tersebut itu tidak terlalu membantu.

Kedua, filsuf dalam tradisi Frege-Russell-Bolzano-Moore me-lakukan analisis untuk memperdalam pemahaman mereka danmenghilangkan kebingungan dan kesalahan. Namun, para filsuf da-ri banyak tradisi telah mencoba melakukan hal itu. Perlu dijelaskanbagaimana analisis filosofis bisa lebih memajukan pemahaman danmenghilangkan kesalahan.

Page 59: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Dalam bab 1 kita melihat Moore berpandangan bahwa pan-dangan filosofis harus konsisten dengan intuisi pra-filosofis yangditerima secara luas. Terutama selama tahun 1950-an, banyak filsufdalam tradisi analitik berpandangan bahwa analisis filosofis haruskonsisten dengan apa yang jamak diyakini, atau cenderung diyakini,sebelum refleksi. Secara khusus, para filsuf ini berpandangan bahwaapa yang jamak diyakini, atau cenderung diyakini, oleh orang-orangtentang hal-hal konkret yang aktual ataupun yang mungkin, sebe-lum kita merefleksikannya, itu harus membatasi analisis filosofiskita.� (Keyakinan atau kecenderungan terhadap keyakinan yangada sebelum filsafat ini disebut “intuisi filosofis”). Data primer un-tuk menilai analisis filosofis dianggap berada di intuisi filosofis ini.Selain itu, analisis dianggap dapat diterima hanya jika ia konsistendengan intuisi kita, sehingga pertentangan antara analisis dan in-tuisi yang dipegang kuat adalah alasan yang baik untuk menolakanalisis. Di tahun-tahun belakangan ini, para filsuf jauh lebih kritisterhadap metodologi ini. Mereka ingin mengetahui apa hakikat in-tuisi filosofis, apa sumbernya, dan mengapa ia dianggap memilikiotoritas epistemik semacam itu.

Pertimbangan di atas menjadi agenda untuk bab ini. Ada tigapertanyaan umum yang perlu dijawab:

(P1) Apa yang dimaksud dengan analisis filosofis?(P2) Bisakah ada analisis filosofis dalam pengertian itu?(P3) Bagaimana analisis filosofis dapat diuji?

�.� Apa itu Analisis Filosofis?

Jawaban deskriptif murni untuk (P1) akan mencoba menggambar-kan apa yang dilakukan oleh para filsuf dalam tradisi analitik ketikamereka melakukan analisis. Jawaban normatif untuk (P1) akan me-

� Misalnya, Chisholm (1966, bab 2).

�� C H R I S D A L Y

Page 60: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

ngatakan apa penjelasan terbaik tentang analisis filosofis; ia akanmenjadi penjelasan tentang apa yang harus dilakukan filsuf ketikamereka melakukan analisis. Kami menginginkan jawaban yang me-miliki aspek deskriptif dan normatif. Tidaklah cukup untuk sekadarmendeskripsikan praktik filosofis; kami mungkin perlu memperbai-kinya.�

Ada beberapa jenis analisis filosofis bahkan dalam tradisi anali-tik. Bukan hal yang mudah bagaimana cara terbaik untuk mengkla-sifikasikannya. Alih-alih menawarkan klasifikasi jenis-jenis analisis,kami akan membahas tiga filsuf berpengaruh dalam tradisi analitikdan membandingkan pandangan mereka tentang hakikat analisisfilosofis. Ketiga pandangan itu adalah pandangan Moore, Russell,dan Quine. Masing-masing pandangan mereka menandai subtradisipenting dalam tradisi analitik yang lebih luas.�

MOORE

Moore memegang pandangan berikut tentang analisis filosofis. Ana-lisis filosofis adalah analisis makna: analisis filosofis memberikan mak-na suatu istilah. Analisis makna bersifat dekomposisional: analisismakna terdiri dari pemberian makna kompleks suatu istilah denganmenyatakan makna komponennya yang lebih sederhana. Makna su-atu istilah sering juga disebut konsep. Karenanya, Moore berbicaratentang menganalisis konsep yang kompleks menjadi konsep yanglebih sederhana. Analisis semacam itu adalah sejenis definisi eks-plisit. Konsep yang dianalisis disebut “analisandum”, dan konsepyang menyediakan analisis seringnya disebut “analisan”. Analisissemacam itu memiliki berbagai fitur formal (Došen 1994, §3). Salahsatu yang terpenting adalah bahwa analisisnya tidak sirkular (circu-

� Pertanyaan-pertanyaan ini dengan tangkas dibahas dalam penjelasan tentang anali-sis yang diberikan oleh Petersen (2008).

� Untuk pandangan Frege tentang analisis filosofis, lihat Frege (1879, pengantar),Dummett (1991, bab 2), Blanchette (2007), dan Horty (2008).

C H R I S D A L Y ��

Page 61: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

lar). Analisandumnya “dihilangkan”: ia tidak ada di dalam analisan.Dengan menghindari sirkularitas (circularity), analisis dapat menjadiinformatif.

Ada persoalan tentang apa saja yang menjadi objek anali-sis—apakah yang menjadi objek analisis itu adalah istilah atau mak-na yang diungkapkan istilah (konsep). Kami tidak akan membahaspersoalan ini. Dapat diperdebatkan bahwa pembicaraan tentanganalisis suatu istilah bersifat elips untuk pembicaraan tentang anali-sis kalimat yang mengandung istilah tersebut, dan bahwa pembica-raan tentang analisis suatu konsep bersifat elips untuk pembicaraantentang analisis proposisi yang mengandung konsep tersebut. Ma-salahnya kemudian adalah apakah objek analisis itu kalimat atauproposisi.

Pandangan Moore tentang analisis telah sangat berpengaruh,dan terutama dalam penerapan ide-ide tersebut pada metaetika.Kita akan membahas penerapan ini di §5.

RUSSELL

Russell mengembangkan pandangan pioner berikut tentang anali-sis. Bentuk gramatikal versus bentuk logis: struktur gramatikal sebuahkalimat mungkin berbeda dari bentuk logis yang mendasarinya.Bagi Russell, bentuk logis dari sebuah kalimat adalah struktur yangdimiliki kalimat tersebut yang menentukan peran logis dan sifatlogisnya. Secara khusus, bentuk logis kalimat menentukan kesim-pulan valid apa yang terkandung di dalamnya: dari kalimat manaia dapat disimpulkan secara valid dan kalimat mana yang dapatdisimpulkan secara valid darinya. Keunikan bentuk logis: setiap kali-mat hanya memiliki satu bentuk logis (Russell 1914, 33–53). Russellmengilustrasikan klaim ini dengan teori deskripsinya. Teori itu ber-kaitan dengan kalimat dalam bentuk gramatikal “F adalah sebuahG.” Menurut teori Russell, meskipun kalimat seperti “taman terse-

�� C H R I S D A L Y

Page 62: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

but dipenuhi tanaman” memiliki bentuk gramatikal kalimat subjek-predikat, bentuk logisnya sangat berbeda. Menurut Russell, bentuklogisnya adalah bentuk logis sebuah proposisi yang terkuantifikasi,proposisi yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang secara unikmerupakan taman dan sekaligus dipenuhi tanaman (Russell 1905,dan 1919, bab XVI). Secara lebih umum, analisis Russell terhadapkalimat bentuk “F adalah G” memiliki bentuk berikut:

F adalah G jika dan hanya jika ada satu F dan ia adalah G.

Jenis analisis ini tidak memberikan definisi eksplisit terhadapistilah dalam bentuk F . Analisis semacam itu malah memberikandefinisi implisit terhadap “F” dengan menganalisis setiap kalimatyang mengandung istilah tersebut. Untuk setiap kalimat yang me-ngandung “F”, analisis tersebut memberi analisan berupa kalimatyang secara logis setara tetapi tidak mengandung “F”.

QUINE

Quine mewakili pandangan tentang analisis yang lebih dekat keRussell daripada ke Moore (Quine 1960, §§53–54). Ini adalah pan-dangan tentang analisis yang Quine setujui dari Tarski dan Carnap.�

Quine menolak pandangan Moore di atas tentang analisis, teruta-ma karena penolakannya terhadap asumsi bahwa ada kebenarantentang apa arti istilah (Quine 1960, bab 2).

Quine berpendapat bahwa analisis filosofis adalah rezimentasi. Re-zimentasi (regimentation) adalah penggantian bahasa yang secara fi-losofis sarat masalah dengan bahasa yang secara filosofis tidak saratmasalah. Quine belajar dari Russell tentang gagasan bahwa untukmenganalisis kalimat bahasa sehari-hari (natural language) yang seca-ra filosofis bermasalah, kita harus memarafrasekan kalimat tersebutke dalam bahasa yang secara filosofis lebih jelas, seperti bahasa lo-gika predikat. Quine menyebut penerjemahan seperti itu sebagai� Lihat Carnap (1950, bab 1).

C H R I S D A L Y ��

Page 63: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

“rezimentasi” terhadap bahasa sehari-hari. Merezimentasi suatupenggalan bahasa akan menghindarkan kita dari kebingungan yangtimbul karena kita teperdaya oleh bentuk gramatikal kalimat asli-nya. Tetapi meskipun Russell menganggap setiap kalimat memilikibentuk logis yang unik, Quine membuang asumsi ini (Quine 1960,260). Tidak ada cara unik untuk menerjemahkan kalimat bahasasehari-hari ke dalam kalimat bahasa artifisial. Dan karena Quinemenghindari proposisi, dia tidak berkomitmen untuk mengatakanbahwa bentuk logis yang diatribusikan oleh rezimentasi tertentupada kalimat tertentu adalah soal mengatakan jenis proposisi apayang diungkapkan kalimat itu. Bentuk logis apa yang dimiliki olehsebuah kalimat itu bergantung pada bagaimana kalimat tersebutsebaiknya direzimentasi. Dalam konteks yang berbeda—saat kitatertarik pada fungsi linguistik yang berbeda yang dimiliki oleh ka-limat—apa yang dianggap sebagai rezimentasi terbaik mungkinberbeda.

Tiga pandangan tentang analisis ini—pandangan Moore, Russelldan Quine—menunjukkan sesuatu dari berbagai pandangan yangtersedia tentang topik ini. Dari ketiga filsuf ini, Moore menempatkanpersyaratan terkuat pada sebuah analisis. Di bagian selanjutnya, §3,kita akan membahas model kerja analisis filosofis yang mengacupada pandangan Moore. Dalam §4 kita akan menilai apakah adaanalisis filosofis yang berhasil dengan model tersebut.

�.� Model Kerja Analisis Filosofis

Di bagian sebelumnya, kita telah mendapatkan beberapa petun-juk tentang berbagai pandangan yang telah dikembangkan ten-tang topik ini. Akan sangat membantu jika kita fokus pada modelanalisis tertentu. Model yang dimaksud ini relatif sederhana. Iamengacu pada pandangan Moore tentang analisis. Pandangan Mo-ore tentang analisis—atau apa yang telah dianggap sebagai panda-

�� C H R I S D A L Y

Page 64: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

ngannya—sangat berpengaruh dalam filsafat analitik. Banyak filsufmendukung model analisis tersebut. Banyak juga orang lain yangmenolak sebagian atau bahkan seluruhnya. Dengan mengemuka-kan model ini, kita dapat menemukan berbagai pandangan filosofistentang analisis yang bergantung pada bagian mana dari model iniyang mereka terima, bagian mana yang mereka tolak, dan denganapa mereka menggantinya.

Model ini akan disajikan sebagai model analisis istilah. Carayang sama untuk menyajikan model ini adalah dengan menyajikan-nya sebagai model analisis konsep.

Model tersebut membuat lima klaim berikut:

(1) Analisis itu memiliki bentuk logis bikondisional yang terkuantifikasisecara universal:

(8x)(Fx $ Gx)

Rumus di atas mengatakan bahwa, untuk setiap benda x, x adalahF jika dan hanya jika x adalah G. Biasanya, analisandum diletakkandi sisi kiri bikondisional, dan analisan diletakkan di sisi kanannya.Sebuah analisis memberikan kondisi niscaya dan kondisi cukupuntuk sesuatu menjadi F .

(2) Analisis itu niscaya benar. Analisis tidak hanya berlaku untuk seti-ap hal aktual yang merupakan F . Ia berlaku untuk segala sesuatuyang bisa menjadi F . Analisis terhadap istilah “penyebab”, misal-nya, tidak hanya berlaku untuk setiap penyebab aktual. Analisis iniberlaku untuk segala sesuatu yang dapat menjadi penyebab, untuksetiap penyebab yang mungkin. Jadi, analisis harus dibaca sebagaisesuatu yang mengatakan bahwa, untuk setiap hal yang mungkin,hal itu adalah F jika dan hanya jika ia adalah G. Jadi, jika analisis-nya benar, ia akan niscaya benar. Selain itu, jika analisisnya benar, iabenar karena makna dari istilah-istilah yang ada di dalamnya. Olehkarena itu, jika analisisnya benar, ia benar secara analitik—benar

C H R I S D A L Y ��

Page 65: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

berdasarkan makna istilah yang ada di dalamnya. Mari kita perjelassedikit.

Misalkan F dan G adalah konsep atau makna-kata, dan meru-pakan kebenaran konseptual bahwa F adalah G. Kebenaran kon-septual seharusnya menjadi proposisi yang benar semata-mata ber-dasarkan konsep penyusunnya dan relasi di antara konsep-konsepitu. Sebagai contoh, para pembela pandangan bahwa ada kebenarankonseptual sering mengklaim proposisi bahwa semua rubah betina(vixens) adalah rubah (foxes) itu benar semata-mata berdasarkankonsep RUBAH BETINA, RUBAH, dan KUANTIFIKASI UNIVERSAL,dan konsekuensi logis di antara konsep-konsep tersebut. Para fil-suf ini juga sering membandingkan contoh ini dengan proposisibahwa beberapa rubah betina itu lapar, yang mereka klaim tidakbenar semata-mata berdasarkan konsep RUBAH BETINA, LAPAR,dan KUANTIFIKASI EKSISTENSIAL dan konsekuensi logis di antarakonsep-konsep itu. Sekarang anggaplah kata bahasa bahasa Indo-nesia “rubah betina” mengungkapkan konsep F , dan kata bahasaIndonesia “rubah” mengungkapkan konsep G. Kemudian kalimatbahasa Bahasa Indonesia (k)

(k) Rubah betina adalah rubah

mengungkapkan kebenaran konseptual bahwa F adalah G. Kalimat(k) benar karena ia mengungkapkan kebenaran konseptual. Caralain untuk mengatakan ini adalah dengan mengatakan bahwa (k)merupakan kebenaran analitik (yang berlawanan dengan kebenar-an sintetik). Kebenaran konseptual adalah kebenaran yang niscayasecara konseptual. Jadi (k) mengungkapkan kebenaran yang nis-caya secara konseptual. Cara lain untuk mengatakan ini adalahdengan mengatakan bahwa (k) merupakan kebenaran yang niscayasecara analitik.

(3) Sebuah analisis itu informatif. Analisis terhadap “F” dalam kaitan-nya dengan “G” itu memberikan informasi baru tentang makna “F”.

�� C H R I S D A L Y

Page 66: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

Salah satu cara agar sebuah analisis itu informatif adalah denganmensyaratkan analisis untuk tidak sirkular (non-circular). Artinya,jika “F” dianalisis dengan “G”, “G” tidak dianalisis dengan “F”.Persyaratan untuk tidak sirkular ini juga menentukan arah anali-sis: ia menentukan istilah mana yang merupakan analisandum danmana yang merupakan analisan.

Gambaran yang baik tentang persyaratan ini adalah dilemaEuthyphro. Dialog Plato Euthyphro berisi bincang-bincang antaraSokrates dan Euthyphro tentang apa artinya menjadi salih. Sokratesmengajukan pertanyaan berikut: “Apakah orang salih itu dicintaioleh para dewa karena dia salih, atau apakah dia salih karena diadicintai oleh para dewa?” (Plato Euthyphro 10a). Pertanyaan Sok-rates dapat dilihat sebagai sebuah dilema. Sokrates bertanya apahubungan antara menjadi salih dan dicintai oleh para dewa. Mana-kah yang akan dianalisis dalam kaitannya dengan yang lain? Adadua pilihan: entah seseorang itu menjadi salih karena dicintai olehpara dewa, atau para dewa mencintai orang yang salih karena diasalih.

Pertimbangkan opsi pertama. Ia mengatakan bahwa analisistentang mengapa seseorang menjadi salih adalah karena dia di-cintai oleh para dewa. Tetapi kecuali beberapa alasan diberikanmengapa para dewa mencintai orang itu dan bukan orang lainnya,tampaknya sewenang-wenang dan serampangan bahwa para dewaharus mencintai hal-hal yang dia lakukan. Para dewa mungkin lebihmencintai orang lain. Jadi jika kita akan menganalisis apa artinyamenjadi salih dengan mengatakan bahwa para dewa menyukainya,kita perlu mengatakan mengapa para dewa menyukai orang itu.

Selain itu, apa yang spesial dari para dewa? Manusia juga me-nyukai berbagai hal. Mengapa menjadi salih perlu dianalisis dalamkaitannya dengan para dewa yang mencintainya daripada dalamkaitannya dengan manusia yang mencintainya? Kecuali beberapaalasan diberikan tentang mengapa ada hubungan analitik antara

C H R I S D A L Y ��

Page 67: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

para dewa yang mencintai sesuatu dan sesuatu itu menjadi salih,tampaknya sewenang-wenang menganalisis kesalihan dalam kai-tannya dengan apa yang dicintai para dewa daripada dalam kai-tannya dengan (katakanlah) apa yang dicintai manusia. Jadi kitaperlu menunjukkan bahwa ada hubungan analitik antara dewayang mencintai hal-hal tertentu dan hal-hal yang salih.

Jika kita mengatakan bahwa para dewa menyukai hal-hal itukarena hal-hal itu salih, kita akan beralih ke pilihan kedua. Per-hatikan bahwa kedua pilihan tersebut saling meniadakan. Tidakmungkin sama-sama benar bahwa hal-hal menjadi salih karena pa-ra dewa mencintainya dan bahwa para dewa menyukai hal-hal itukarena mereka salih. Itu akan menjadi lingkaran setan. Dikatakanbahwa hal-hal menjadi salih karena (mengikuti lingkaran) merekasalih. Jadi, analisis tentang mengapa hal-hal menjadi salih itu tidakmungkin karena hal-hal itu salih.

Pilihan kedua menganalisis mengapa para dewa mencintai hal-hal tertentu dalam kaitannya dengan hal-hal itu menjadi salih. Un-tuk menghindari sirkularitas (circularity), apa artinya menjadi salihkemudian tidak dapat dianalisis dalam kaitannya dengan dicintaioleh para dewa. Ini harus dianalisis dengan cara lain.

Dilema yang diajukan Socrates kemudian menjadi seperti ini.Klaim bahwa sesuatu itu salih karena dicintai para dewa tampak-nya membuat hubungan yang sewenang-wenang. Mengapa paradewa? Dan mengapa para dewa menyukai hal-hal itu? Di sisi lain,jika klaimnya adalah bahwa para dewa menyukai hal-hal tertentukarena hal-hal itu salih, apa artinya menjadi salih harus dianalisisdengan cara yang independen—beberapa cara yang terlepas dariklaim bahwa para dewa mencintai hal-hal itu.

Dilema Euthyphro memiliki relevansi langsung dengan teorimoralitas perintah ilahi. Teori ini menganalisis apa yang salah se-cara moral sebagai apa yang dilarang Tuhan dan apa yang benarsecara moral sebagai apa yang diperintahkan Tuhan. Dilema yang

�� C H R I S D A L Y

Page 68: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

dihadapi teori ini adalah bahwa hal-hal itu salah secara moral ka-rena Tuhan melarangnya, atau Tuhan melarang hal-hal tertentukarena hal-hal itu salah secara moral. Bagian pertama dari dilemaini adalah masalah kesewenang-wenangan. Mengapa Tuhan harusmelarang hal-hal tertentu dan bukan hal yang lain? Jika Tuhan ti-dak punya alasan untuk melarang hal-hal itu, maka keputusannyatampak sewenang-wenang. Bagian kedua dari dilema ini menga-nalisis mengapa Tuhan melarang hal-hal tertentu dalam kaitannyadengan hal hal-hal yang salah secara moral. Untuk menghindarilingkaran setan, apa artinya sesuatu yang salah secara moral tidakdapat dianalisis dalam kerangka larangan Tuhan. Singkatnya, dile-manya adalah bahwa teori perintah ilahi secara sewenang-wenangmenganggap apa yang salah secara moral sebagai apa yang dila-rang Tuhan, atau segala sesuatunya tidak salah secara moral karenaTuhan melarangnya.�

Poin umum di balik dilema Euthyphro adalah klaim bahwahubungan analisis tidak refleksif: analisis terhadap konsep F tidakdapat melibatkan konsep yang sama. Akibatnya, tidak mungkinmenganalisis F dalam kaitannya dengan konsep G dan mengana-lisis G dalam kaitannya dengan F . Ini adalah dasar dari tuduhanlingkaran setan yang dibuat di atas. Konsekuensi lainnya adalahbahwa analisis juga merupakan hubungan asimetris: jika F dianali-sis dalam kaitannya dengan G, maka G tidak dapat dianalisis dalamkaitannya dengan F .

Sekarang mari kita lanjutkan dengan klaim yang tersisa darimodel kerja analisis filosofis kita.

(4) Analisis itu dapat diketahui secara apriori. Bikondisional yang me-nyatakan analisis

(8x)(Fx $ Gx)

� Dilema Euthyphro tetap kontroversial. Lihat Joyce (2000) untuk kritik terhadapdilema itu.

C H R I S D A L Y ��

Page 69: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

itu dapat diketahui secara apriori. Selain itu, juga dapat diketahuisecara apriori bahwa bikondisional tersebut pasti benar, bahwa iabersifat analitik, dan bahwa ia memberikan analisis tentang “F”.

Mengingat asumsi tertentu tentang hubungan antara apa yanganalitik dan apa yang dapat diketahui secara apriori, semua klaimini dapat diturunkan dari persyaratan (2) di atas. Dengan asumsibahwa sebuah analisis itu menyatakan kebenaran analitik, dan bah-wa setiap kebenaran analitik dapat diketahui secara apriori, dapatdisimpulkan bahwa pernyataan bikondisional yang menyatakananalisis dapat diketahui secara apriori. Kebenaran analitik adalahkalimat yang benar semata-mata berdasarkan maknanya. Mengi-ngat bahwa kita dapat mengetahui secara apriori apa makna sebuahkalimat, kita dapat mengetahui secara apriori bahwa ia benar ber-dasarkan maknanya. Jika bikondisional tersebut adalah kebenarananalitik, dapat diketahui secara apriori bahwa bikondisional terse-but adalah kebenaran analitik. Terakhir, jika bahwa bikondisionalitu menyatakan analisis tentang “F” merupakan sebuah kebenarananalitik, maka, mengingat asumsi bahwa setiap kebenaran analitikdapat diketahui secara apriori, bahwa bikondisional itu memberi-kan analisis tentang “F” juga dapat diketahui secara apriori.

(5) Analisis itu dapat diuji dengan metode kasus hipotetis. Metode inimembahas bagaimana analisis filosofis itu diuji. Dengan memper-timbangkan apakah kamu akan cenderung menerapkan istilah ter-tentu dalam berbagai situasi hipotetis, tanpa refleksi lebih lanjutkamu dapat menemukan secara apriori berbagai kebenaran anali-tik tentang kondisi niscaya atau kondisi cukup untuk penerapanyang tepat suatu istilah. Ini adalah metode kasus hipotetis—metodependasaran pada intuisi filosofis—yang telah disebutkan dalam §1.

Sebagai contoh, sebuah teori dalam filsafat akalbudi yang dise-but “behaviourisme analitis” menganalisis klaim tentang keadaanmental sebagai klaim tentang bagaimana orang berperilaku dan

�� C H R I S D A L Y

Page 70: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

cenderung berperilaku. Berdasarkan teori ini, klaim bahwa Nedpercaya bahwa hari ini cerah harus dianalisis sebagai klaim bahwaNed melakukan, atau cenderung untuk melakukan, hal-hal sepertimelonggarkan kerah bajunya, memakai krim matahari, menyalakanAC, dan sebagainya. Seberapa masuk akal analisis tersebut? Mi-salkan Ned ternyata robot yang dikendalikan melalui radio olehilmuwan komputer. Semua tingkah lakunya dan kecenderungan-nya untuk berperilaku itu diciptakan oleh para ilmuwan yang me-ngendalikannya. Apakah kamu akan cenderung untuk mengatakanbahwa hal yang kami sebut “Ned” itu percaya bahwa hari ini cerah?Apakah kamu akan cenderung menerapkan frase “percaya bahwahari ini cerah” pada Ned? Apakah yang ingin kamu katakan, apayang menjadi intuisimu, itu cukup untuk memberimu pengetahuanapriori tentang apa yang diperlukan frase “percaya bahwa hari inicerah” untuk dapat diterapkan pada sesuatu apa pun.

Intuisi digunakan untuk menguji analisis dengan cara berikut.Analisis mengatakan bahwa, secara niscaya, segala sesuatu adalahF jika dan hanya jika ia adalah G. Kita membayangkan kasus hipo-tetis yang di dalamnya sesuatu adalah F . Kemudian kita melihatapakah kita memiliki intuisi untuk menggambarkan sesuatu itusebagai G. Jika kita memiliki intuisi demikian, intuisi tersebut men-jadi bukti bahwa analisis tersebut benar. Jika kita memiliki intuisibahwa sesuatu itu bukan G, intuisi tersebut menjadi bukti bahwaanalisisnya salah. Jika kita tidak memiliki intuisi apa pun, kita mem-pertimbangkan kasus hipotetis lain dan melanjutkan hal sepertisebelumnya.

Beberapa intuisi mungkin memberikan bukti yang mendukungsuatu analisis sedangkan intuisi-intuisi yang lain memberikan buktiyang bertentangan dengan analisis yang sama. Bergantung padatimbangan bukti, berbagai intuisi mungkin perlu direvisi atau dibu-ang. Beberapa intuisi mungkin memberikan bukti yang bertentang-an dengan analisis tertentu, tetapi karena analisis tersebut sangat

C H R I S D A L Y ��

Page 71: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

sederhana atau bermanfaat atau membuat beberapa hal menjadigamblang, timbangan bukti mungkin bertentangan dengan intuisitersebut. Contoh hipotetis kami sebelumnya tentang Ned mungkinmenghasilkan intuisi yang menentang behaviourisme analitis. Te-tapi di sini ada contoh hipotetis lain yang mungkin menghasilkanintuisi yang mendukung behaviourisme analitis. Misalkan kamumenemukan bahwa kepala teman-teman terbaikmu itu tidak berisiotak tetapi berisi roda bergigi dan mesin yang mengatur merekaberperilaku terhadap kamu. Apakah kamu memiliki intuisi bahwaini akan menjadi situasi di mana kamu menemukan bahwa apayang kamu anggap sebagai temanmu itu tidak pernah memilikikehidupan mental sama sekali, atau (seperti yang akan diklaim olehbehaviourisme analitis) bahwa kamu menemukan sesuatu tentangperistiwa batin salah satu temanmu yang selama ini perhatian danpeduli padamu? Melakukan analisis filosofis kemudian akan men-jadi soal mempertimbangkan analisis yang bertentangan denganintuisi dan melakukan penimbangan yang masuk akal di antaramereka. Metode ini dikenal sebagai keseimbangan reflektif .�

Lima klaim di atas, (1) – (5), mencirikan model analisis filosofis yangdipegang luas. Klaim (1) – (4) menggambarkan sifat analisis filosofis.Klaim (5) menjelaskan bagaimana analisis filosofis diuji. Sisa babini akan membahas sifat analisis filosofis, dan bab berikutnya akanmembahas metode kasus hipotetis.

Secara ringkas, inilah lima klaim yang membentuk model kerjaanalisis filosofis:

(1) Analisis itu memiliki bentuk logis bikondisional yang ter-kuantifikasi secara universal: (8x)(Fx $ Gx).

(2) Analisis itu niscaya benar.(3) Analisis itu informatif.

� Goodman (1955, 61-66), Rawls (1971, 19-20), DePaul (1998), dan Henderson danHorgan (2000, 72-72). Tetapi lihat juga Cummins (1998).

�� C H R I S D A L Y

Page 72: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

(4) Analisis itu dapat diketahui secara apriori.(5) Analisis itu dapat diuji dengan metode kasus hipotetis.

Sangat membantu jika kita memiliki satu atau dua contoh ten-tang bagaimana model ini seharusnya diterapkan. Contoh sederha-na yang di dalamnya model tersebut tampaknya diterapkan adalahanalisis tentang “x adalah bilangan genap” berikut:

(8x) (x adalah bilangan genap $ x habis dibagi 2)

Contoh lainnya: Misalkan kita ingin menganalisis kalimat ber-bentuk “x adalah orang yang sama dengan y”. Analisis denganmodel kerja kita kita akan menjadi seperti berikut:

(8x) (8y) (x adalah orang yang sama dengan y $ (x adalahorang dan y adalah orang dan x = y))

Analisis tersebut mengatakan bahwa, untuk setiap x dan y, xadalah orang yang sama dengan y jika dan hanya jika x dan y adalahorang dan x identik dengan y. Analisis ini memiliki bentuk bikondi-sional yang terkuantifikasi secara universal. Ini menyatakan kondisiniscaya dan kondisi yang cukup untuk sepasang hal menjadi orangyang sama. Ia juga niscaya benar: ia berlaku untuk pasangan hal apapun yang mungkin. Setidaknya ia cukup informatif. Dan kita da-pat mengetahuinya secara apriori dengan memahami istilah-istilahyang ada di dalamnya, dan dengan mempertimbangkan apa yangakan kita katakan tentang kasus hipotetis hal-hal yang merupa-kan orang yang sama atau kasus hipotetis hal-hal yang merupakanorang dan identik. Contoh ini menunjukkan bagaimana kalimatyang berbentuk “x adalah orang” itu sendiri harus dianalisis. Tugasitu menghadapi kesulitannya sendiri.

Analisis tripartit terhadap pengetahuan juga berupaya meme-nuhi persyaratan model kerja kita. Analisisnya jadi seperti ini:

(8x) (8p) (x tahu bahwa p$ x memiliki keyakinan yang benardan terjustifikasi bahwa p)

Apakah analisis ini benar ditentang terutama oleh Gettier (1963).

C H R I S D A L Y ��

Page 73: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

�.� Apakah Analisis itu Mungkin?

Setelah membangun model analisis filosofis, kita akan mengha-biskan lima bagian berikutnya untuk mencoba meruntuhkannya.Pandangan Moore sendiri tentang analisis memunculkan persoalantentang batas-batas analisis—tentang apakah beberapa konsep ti-dak dapat dianalisis dan, jika demikian, konsep yang manakah itu.Di bagian selanjutnya, §5, kita akan menilai argumen “pertanyaanterbuka” Moore bahwa konsep KEBAIKAN INTRINSIK itu tidak da-pat dianalisis. (Mengikuti konvensi penulisan nama konsep dalamhuruf besar sangatlah membantu. Hal ini membantu menghindaripenggabungan konsep F dengan sifat F atau dengan arti kata “F”.Ada masalah pokok tentang bagaimana hal-hal ini terkait dan kitatidak boleh mengajukan pertanyaan tentang hal itu semua). Jikaargumen Moore bahwa konsep KEBAIKAN INTRINSIK tidak dapat di-analisis itu berhasil, kita mungkin bertanya-tanya apakah argumentersebut dapat digeneralisasi. Jika demikian, mungkin kemudiandapat dikatakan bahwa tidak ada konsep yang dapat dianalisis. Ituakan menjadi hasil yang mengejutkan karena akan membuat modelkerja analisis kita tidak berguna. Tidak akan ada konsep yang dapatdianalisis dengan menggunakan model kerja tersebut. Alur berpikirseperti ini dibahas dalam §6 dalam kaitannya dengan apa yangdikenal sebagai “paradoks analisis.”

Masalah selanjutnya adalah bahwa beberapa konsep tampaktidak hanya dapat dianalisis, tetapi juga tampak dapat dianalisisdengan lebih dari satu cara. Ketersediaan berbagai analisis untuksatu konsep yang sama ini merupakan masalah lebih lanjut bagimodel analisis filosofis kita. Masalah ini akan disajikan dalam §7.

Masalah lainnya adalah bahwa orang dapat memiliki konseptanpa mampu menentukan kondisi niscaya dan kondisi yang cukupbagi penggunannya yang tepat. Pokok soal ini telah ditekankan olehWittgenstein akhir dan juga oleh beberapa teori psikologi baru-baru

�� C H R I S D A L Y

Page 74: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

ini. Kaitannya dengan model analisis filosofis kita akan dibahasdalam §8.

Terakhir, apakah ada analisis filosofis yang berhasil? Rekamjejak analisis filosofis masih terbuka untuk dipertanyakan. Masalahini akan ditinjau dalam §9.

�.� Studi Kasus: Argumen Pertanyaan TerbukaMoore

Moore berpendapat bahwa konsep tertentu itu sederhana dan tidakdapat dianalisis. Secara khusus, dia berpendapat bahwa konsepKEBAIKAN INTRINSIK itu tidak dapat dianalisis dalam kaitannyadengan konsep apa pun yang digunakan sains (termasuk psikologidan ilmu sosial) (Moore 1903, bab 1). Argumennya dikenal seba-gai “argumen pertanyaan terbuka”. Argumen itu menarik karenamemiliki kesimpulan yang sangat ambisius, tetapi juga menarik ka-rena masalah yang ia munculkan untuk pandangan bahwa analisisfilosofis merupakan analisis makna. Berdasarkan pada pandanganseperti itu, bagaimana analisis yang diusulkan itu seharusnya diuji?Apakah ada konsep yang tidak dapat dianalisis? Jika ya, bagaimanakita bisa membedakan konsep yang dapat dianalisis dan konsepyang tidak dapat dianalisis?

Moore fokus pada apa artinya sesuatu menjadi baik secara intrin-sik. Dia membedakan antara kebaikan instrumental dan kebaikanintrinsik. Beberapa hal secara instrumental baik: ia baik karena iaadalah alat untuk sesuatu yang lain. Atap di atas kepalamu itu seca-ra instrumental baik: ia mencegah hujan. Kaus kaki di kakimu itusecara instrumental baik: ia membuatmu tetap hangat. Sesuatu yangmenahan hujan atau menjaga kehangatan itu sendiri secara instru-mental baik: ia baik karena membuatmu tetap hidup. Bagaimanadengan hidupmu? Apakah ia juga merupakan kebaikan instrumen-

C H R I S D A L Y ��

Page 75: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

tal? Mungkin iya—jika kamu masih hidup kamu dapat mengalamikesenangan hidup—atau mungkin ia merupakan kebaikan intrinsik.Bagaimanapun, bagi Moore tampaknya beberapa kebaikan itu ber-sifat instrumental sedangkan kebaikan yang lain bersifat intrinsik.Kebaikan instrumental adalah hal-hal yang baik untuk mendapat-kan hal tertentu lainnya. Kebaikan intrinsik adalah hal-hal yang baikbukan karena ia memberimu hal-hal lain, tetapi karena ia sendiribaik.

Alur pemikiran ini menimbulkan dua pertanyaan. Pertama, halmana yang baik? Secara luas disepakati bahwa jika ada sesuatuyang merupakan kebaikan intrinsik, maka kesenangan merupakankebaikan intrinsik. Akan tetapi, masih kontroversial apakah adahal lain yang merupakan kebaikan intrinsik. Pertanyaan kedua me-nanyakan apa itu kebaikan intrinsik. Moore berpandangan bahwacara lain untuk menanyakan pertanyaan kedua ini adalah denganmenanyakan apa arti dari frase “kebaikan intrinsik” itu. Lebih lanjutMoore berpandangan bahwa ada tiga kemungkinan jawaban untukpertanyaan terakhir ini:

Makna “kebaikan intrinsik” itu sederhana dan tidak dapat diana-lisisMakna “kebaikan intrinsik” itu komplek dan dapat dianalisisFrase “kebaikan intrinsik” itu nirmakna (meaningless)

Moore berpandangan bahwa jawaban ketiga tidak masuk akal. Si-apa pun yang memperdebatkan tentang hal-hal mana yang baiksecara intrinsik, atau hanya setuju bahwa beberapa hal baik secarainstrumental, pasti memahami pembicaraan tentang hal-hal yangsecara intrinsik baik. Jika seseorang memahami pembicaraan sepertiitu, orang tersebut berarti memahami apa makna pembicaraan itu.Oleh karenanya, pembicaraan semacam itu memiliki makna (danorang tersebut telah memahami apa maknanya). Moore juga meno-lak jawaban kedua. Alasannya diberikan oleh argumen pertanyaanterbuka. Dengan eliminasi, Moore menyimpulkan bahwa kebaikan

�� C H R I S D A L Y

Page 76: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

intrinsik itu sederhana dan tidak dapat dianalisis.Sebelum kita mempertimbangkan argumen pertanyaan terbuka,

ada baiknya menilai strategi Moore sebelumnya. Asumsi Moore bah-wa hanya ada tiga kemungkinan jawaban atas pertanyaan tersebutmasih bisa diperdebatkan. Secara khusus, Moore tampaknya telahmengabaikan beberapa kerumitan bagaimana sebuah pembicaraanagar bisa bermakna. Sebagai contoh, beberapa filsuf membedakanantara makna deskriptif dan makna ekspresif. Kalimat “Ottawa ada-lah ibu kota” menggambarkan kota tertentu; kalimat tersebut memi-liki makna deskriptif. Sebaliknya, kalimat “Selamat, Ottawa!” tidakmenggambarkan Ottawa. Kalimat tersebut tidak memiliki maknadeskriptif. Seseorang yang dengan tulus mengucapkan kalimat itubiasanya menunjukkan sikap positif terhadap Ottawa—sikap peng-hargaan atau kasih sayang. Menurut pandangan dalam metaetikayang disebut ekspresivisme, kalimat seperti “Hal-hal yang menye-nangkan itu secara intrinsik baik” tidak memiliki makna deskriptifdan hanya memiliki makna ekspresif. Dalam pandangan ini, sese-orang yang dengan tulus mengucapkan kalimat tersebut biasanyamengungkapkan sikap positif terhadap hal-hal yang menyenang-kan, sikap persetujuan (Ayer 1936, bab 6). Sekarang, kemungkinanjawaban pertama dan kedua yang diasumsikan oleh Moore bah-wa “kebaikan intrinsik” memiliki makna deskriptif, bahwa frasatersebut digunakan untuk menggambarkan sesuatu dengan caratertentu. Ekspresivisme menolak asumsi itu. Kemungkinan jawabanketiga mengatakan bahwa “kebaikan intrinsik” itu tidak ada mak-nanya. Barangkali dikatakan bahwa frasa tersebut tidak memilikimakna deskriptif. Ekspresivisme menawarkan jawaban lebih lan-jut. Ia menyatakan bahwa “kebaikan intrinsik” itu tidak memilikimakna deskriptif tetapi memiliki makna ekspresif. Menariknya, ba-nyak kaum ekspresivis yang telah menerima argumen pertanyaanterbuka Moore sebagai argumen yang menentang jawaban kedua(Ayer 1936, 138-39). Jadi, meskipun strategi Moore cacat, argumen

C H R I S D A L Y ��

Page 77: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

pertanyaan terbukanya mungkin tetap berguna. Mari kita beralihke argumen Moore.

Argumen tersebut ditujukan untuk melawan klaim bahwa mak-na (deskriptif) dari “kebaikan intrinsik” itu kompleks dan dapatdianalisis. Klaim itu dibuat, misalnya, oleh naturalisme etis. Natura-lisme etis berupaya menganalisis makna “kebaikan intrinsik” dansemua istilah etis lainnya dengan menggunakan istilah-istilah alam.Ketika membahas naturalisme etis, Moore tampaknya memahamiistilah-istilah alam sebagai istilah-istilah yang digunakan oleh ilmualam dalam pengertian luas sehingga juga mencakup ilmu psikologi(Moore 1903, 40).� Naturalisme etis mengklaim bahwa makna “ke-baikan intrinsik” dapat dianalisis menggunakan apa yang disebutistilah alam seperti “kesenangan”, “kebahagiaan”, atau “keinginan”.Selain menyetujui adanya analisis semacam itu, naturalis etis tidaksepakat di antara mereka sendiri tentang istilah alam mana yangmemberikan analisis atau menjadi analisan. Salah satu analisis ter-sebut mengatakan bahwa “kebaikan intrinsik” berarti apa yang kitainginkan untuk kita inginkan (what we desire to desire). (Analisis inidiusulkan oleh Russell [1897] dan dihidupkan kembali oleh Lewis[1989].)

Moore menentang naturalisme etis dengan menjadikan analisiskhusus tentang “kebaikan intrinsik” itu sebagai ilustrasi yang baiktentang pandangan tersebut dan kemudian mencoba menunjukkanmengapa analisis tersebut gagal. Dia menulis bahwa:

Untuk mengambil salah satu definisi yang paling masuk akal, mi-salnya, karena salah satu definisi yang diajukan lebih rumit, seca-ra sekilas dapat dianggap dengan mudah bahwa menjadi baikdapat berarti menjadi apa yang kita inginkan untuk kita ingin-kan. Jadi, jika kita menerapkan definisi ini pada contoh tertentudan mengatakan “Ketika kita berpikir bahwa A baik, maka berar-ti kita berpikir bahwa A adalah salah satu hal yang kita inginkan

� Lihat juga Lewy (1964, 295).

�� C H R I S D A L Y

Page 78: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

untuk kita inginkan”, maka proposisi kita mungkin tampak cu-kup masuk akal. Tetapi jika kita melanjutkan penyelidikan lebihlanjut dan bertanya pada diri sendiri, “Apakah baik untuk inginmenginginkan A?”, jelas dengan sedikit refleksi bahwa pertanya-an ini sendiri sejelas pertanyaan awal “Apakah A itu baik?” . . .Tetapi juga jelas bahwa makna dari pertanyaan kedua ini tidakdapat dianalisis menjadi “Apakah keinginan untuk mengingin-kan A itu merupakan salah satu hal yang kita inginkan untuk kitainginkan?”: di dalam pikiran kita tidak ada sesuatu yang serumitpertanyaan “Apakah kita ingin untuk ingin untuk ingin mengi-nginkan A?” (Moore 1903, §13)

Ada banyak perdebatan tentang apa sebenarnya argumen Moo-re itu. Tanpa mempertimbangkan capaian intelektual Moore, anggapsaja Moore menjalankan dua rangkaian argumen berikut ini (Fu-merton 2007, 231). Kita juga akan mengambil argumen ini untukmembahas pertanyaan yang dipahami sebagai tipe-kalimat. Misal-nya, ketika sebuah argumen berkaitan dengan pertanyaan apakahapa yang kita inginkan untuk kita inginkan itu baik, kita akan meng-anggap argumen itu berkaitan dengan jenis kalimat “Apakah apayang kita inginkan untuk kita inginkan itu baik?”

Rangkaian pertama argumen Moore seperti berikut:

(1) Misalkan “A itu baik” artinya sama dengan “A adalah apayang kita inginkan untuk kita inginkan”.

(2) Maka “Apakah apa yang kita inginkan untuk kita inginkanitu baik?” adalah pertanyaan yang sama dengan “Apakahapa yang kita inginkan untuk kita inginkan adalah apayang kita inginkan untuk kita inginkan?”

(3) Tetapi pertanyaan pertama itu penting—akan ada gunanyamenanyakan pertanyaan tersebut—sedangkan pertanyaankedua itu sepele—tidak ada gunanya menanyakannya.

(4) Jadi kedua pertanyaan itu tidak sama.(5) Jadi “A itu baik” tidak berarti “A adalah sesuatu yang kita

inginkan untuk kita inginkan”.

C H R I S D A L Y ��

Page 79: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Premis (1) menyatakan (secara kasar) pandangan naturalis etis yangakan dibantah oleh Moore. Premis (2) menyatakan apa yang diang-gap Moore sebagai konsekuensi dari premis (1). Misalkan “A itubaik” artinya sama dengan “A adalah sesuatu yang kita inginkanuntuk kita inginkan.” Kemudian kita dapat mengambil kalimatyang mengandung istilah “baik” dan mengganti istilah ini denganistilah kompleks “apa yang kita inginkan untuk kita inginkan,” danhasilnya adalah kalimat yang sama. Sebagai kasus khusus, kita da-pat mengambil pertanyaan yang menggunakan istilah “baik” danmengganti istilah ini dengan “apa yang kita inginkan untuk kitainginkan,” dan hasilnya adalah pertanyaan yang sama. Sebagai con-toh, istilah “baik” muncul dalam pertanyaan “Apakah apa yang kitainginkan untuk kita inginkan itu baik?” Jika kita mengganti istilah“baik” itu dengan “apa yang kita inginkan untuk kita inginkan,”hasilnya adalah pertanyaan “Apakah apa yang kita inginkan untukkita inginkan adalah apa yang kita inginkan untuk kita inginkan?”Jika premis (1) benar, maka kedua pertanyaan itu seharusnya me-rupakan pertanyaan yang sama. Namun, premis (3) menunjukkanperbedaan di antara kedua pertanyaan tersebut. Jawaban atas per-tanyaan “Apakah apa yang kita inginkan untuk kita inginkan itubaik?” penting. Ada gunanya mengajukan pertanyaan tersebut ka-rena jawabannya masih belum jelas. Apa yang kita inginkan untukkita inginkan itu ada, dan pertanyaan tersebut menanyakan apakahitu baik. Kita mungkin harus merenung dan berdebat tentang apajawaban untuk pertanyaan itu—apakah ia baik atau tidak. Dalampengertian itu, pertanyaannya masih “terbuka”. Kasus ini berbe-da dengan pertanyaan lainnya. Jawaban atas pertanyaan “Apakahapa yang kita inginkan untuk kita inginkan adalah apa yang kitainginkan untuk kita inginkan?” itu sepele. Tidak ada gunanya me-nanyakan pertanyaan itu karena jawabannya sudah jelas. Ada yangkita inginkan untuk kita inginkan, dan pertanyaan tersebut mena-nyakan apakah ia merupakan apa yang kita inginkan untuk kita

�� C H R I S D A L Y

Page 80: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

inginkan. Jelas jawabannya adalah “Iya”. Kita tidak perlu berefleksidan berdebat tentang apa jawaban untuk pertanyaan tersebut. Da-lam hal ini, pertanyaannya sudah “tertutup”. Jika satu pertanyaanpenting dan pertanyaan lainnya sepele, maka kedua pertanyaan itutidak sama. Premis (4) menarik konsekuensi dari premis (3) bahwapertanyaannya tidak sama. Oleh karena itu, premis (2) salah. Tetapipremis (2) mengikuti premis (1). Premis (5) menyimpulkan bahwa“A itu baik” tidak berarti “A adalah sesuatu yang kita inginkanuntuk kita inginkan”. Analisis naturalis etis pun terbantahkan.

Rangkaian kedua argumen Moore seperti berikut:

(1) Misalkan “A itu baik” artinya sama dengan “A adalah apayang kita inginkan untuk kita inginkan”.

(2) Lalu “Apakah apa yang kita inginkan untuk kita inginkanitu baik?” artinya sama dengan “Apakah apa yang kita ingin-kan untuk kita inginkan adalah apa yang kita inginkan un-tuk kita inginkan?”

(3) Tetapi pertanyaan pertama itu penting—akan ada gunanyamengajukan pertanyaan itu—sedangkan pertanyaan keduaitu sepele—tidak ada gunanya mengajukan pertanyaan itu.

(4) Jadi kedua pertanyaan tersebut tidak memiliki arti yang sa-ma.

(5) Jadi “A itu baik” tidak berarti “A adalah sesuatu yang kitainginkan untuk kita inginkan.”

Rangkaian argumen ini sangat mirip dengan yang pertama, tetapisebenarnya keduanya sangat berbeda. Argumen pertama menyang-kut pengidentifikasian pertanyaan dalam kaitannya dengan jeniskalimatnya. Argumen kedua menyangkut pengidentifikasian perta-nyaan dalam kaitannya dengan maknanya.

Dalam rangkaian argumen kedua, sama seperti sebelumnya,premis (1) menyatakan pandangan naturalis etis bahwa “A itu ba-ik” artinya sama dengan “A adalah apa yang kita inginkan untukkita inginkan”. Premis (2) menyatakan apa yang dianggap Mooresebagai konsekuensi dari premis (1). Di sini klaimnya adalah bahwakedua pertanyaan itu memiliki arti yang sama. Premis (3) sama

C H R I S D A L Y ��

Page 81: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

seperti sebelumnya. Ia mengklaim bahwa salah satu pertanyaanitu penting (“terbuka”) sedangkan pertanyaan lainnya tidak pen-ting (“tertutup”). Dengan perbedaan ini, premis (4) menyimpulkanbahwa pertanyaan-pertanyaan itu berbeda artinya. Oleh karena itu,premis (2) salah. Tetapi premis (2) mengikuti premis (1). Premis (5)menyimpulkan bahwa “A itu baik” tidak berarti “A adalah sesuatuyang kita inginkan untuk kita inginkan.”

Sekarang mari kita periksa setiap rangkaian argumen ini. Dalamrangkaian argumen pertama, penyimpulan dari (1) ke (2) terbukapada kritik. Kita perlu membedakan dua pertanyaan yang memilikiarti yang sama dari pertanyaan yang memiliki jenis kalimat yangsama. Mungkin cara terbaik untuk melihat perbedaan ini adalahdengan mempertimbangkan contoh non-filosofis. Pertimbangkankalimat “Di mana kucing itu?” dan “Where is the cat?” Kalimattersebut memiliki arti yang sama. Tapi keduanya bukanlah jeniskalimat yang sama. Menuliskannya melibatkan berbagai jenis polatinta saat ditulis, dan mengucapkannya melibatkan berbagai jenispola suara (Fumerton 2007, 231). Jika kita membedakan pertanyaandalam kaitannya dengan jenis kalimat yang mengekspresikannya,pertanyaan “Di mana kucing itu?” dan “Where is the cat?” tidakmenanyakan pertanyaan yang sama. Kembali ke rangkaian argu-men pertama, premis (1) tidak meniscayakan premis (2). Misalkan“A itu baik” artinya sama dengan “A adalah apa yang kita ingin-kan untuk kita inginkan.” Itu tidak meniscayakan bahwa “Apakahapa yang kita inginkan untuk kita inginkan itu baik?” adalah perta-nyaan yang sama dengan “Apakah apa yang kita inginkan untukkita inginkan adalah apa yang kita inginkan untuk kita inginkan?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut diungkapkan dengan jenis kalimatyang berbeda. Karena premis (1) tidak meniscayakan premis (2),argumennya tidak valid.

Jika Moore menjalankan dua rangkaian argumen, pembicaraantentang argumen pertanyaan terbuka itu benar-benar keliru. Ketika

�� C H R I S D A L Y

Page 82: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

para filsuf berbicara tentang argumen pertanyaan terbuka, biasanyamereka mengasumsikan rangkaian argumen kedua. Dalam kasusargumen ini, premis (1) meniscayakan premis (2). Jika “A itu ba-ik” artinya sama dengan “A adalah apa yang kita inginkan untukkita inginkan”, maka “Apakah apa yang kita inginkan untuk kitainginkan itu baik?” artinya sama dengan “Apakah apa yang kitainginkan untuk kita inginkan adalah apa yang kita inginkan untukkita inginkan?” Tetapi penyimpulan dari premis (3) ke premis (4)dipertanyakan. Premis (3) mencatat perbedaan antara kedua perta-nyaan tersebut. Yang meragukan adalah apakah perbedaan tersebutmerupakan perbedaan makna di antara kedua pertanyaan tersebut.Jika tidak ada perbedaan makna, penyimpulan dari (3) ke (4) tidakmasuk akal.

Premis (3) mengatakan bahwa pertanyaan “Apakah apa yangkita inginkan untuk kita inginkan itu baik?” itu penting—akan adagunanya mengajukan pertanyaan tersebut karena jawabannya ma-sih belum jelas. Selanjutnya dikatakan bahwa pertanyaan “Apakahapa yang kita inginkan untuk kita inginkan adalah apa yang ki-ta inginkan untuk kita inginkan?” itu sepele—tidak ada gunanyamengajukan pertanyaan itu karena jawabannya jelas “Iya”. Namun,naturalis etis dapat menjawab bahwa apa yang ditunjukkan di si-ni adalah bahwa meskipun (setidaknya menurut naturalisme etis)kedua pertanyaan tersebut memiliki makna yang sama, masih be-lum jelas bahwa keduanya memiliki makna yang sama. Akibatnya,mengganti salah satu istilah ini dengan istilah lain dalam kalimatyang terhadapnya beberapa orang memiliki sikap psikologis terten-tu dapat menghasilkan kalimat yang terhadapnya orang yang samatidak memiliki sikap yang sama, terlepas dari kenyataan bahwaorang-orang ini sepenuhnya memahami kedua kalimat tersebut.Misalnya kalimat:

A secara intrinsik itu baik jika dan hanya jika A secara intrinsikitu baik

C H R I S D A L Y ��

Page 83: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

akan membuat siapa pun yang memahaminya menganggapnyasebagai kalimat yang jelas benar. Mengganti “baik secara intrinsik”yang pertama dalam kalimat itu dengan “apa yang kita inginkanuntuk kita inginkan” akan menghasilkan kalimat:

A adalah apa yang kita inginkan untuk kita inginkan jika danhanya jika A secara intrinsik itu baik

dan orang-orang mungkin memahami kalimat itu tanpa ia membuatorang-orang tersebut beranggapan bahwa kalimat itu jelas benar.Tetapi ini tidak merusak naturalisme etis karena ia bukan bagiandari pandangan bahwa analisisnya tentang “baik secara intrinsik”itu harus benar secara jelas. Analisisnya akan menarik hanya jika iatidak secara jelas benar. Hal serupa berlaku untuk pertanyaan yangdigunakan Moore dalam rangkaian argumen kedua. Pertanyaan:

Apakah apa yang kita inginkan untuk kita inginkan adalah apayang kita inginkan untuk kita inginkan?

akan membuat siapa pun yang memahaminya menganggapnyasebagai pertanyaan yang memiliki jawaban yang jelas. Mengganti“apa yang kita inginkan untuk kita inginkan” yang kedua dalampertanyaan itu dengan kata “baik” akan menghasilkan:

Apakah apa yang kita inginkan untuk kita inginkan itu baik?

Orang-orang dapat memahami kalimat itu tanpa ia membu-at orang-orang itu beranggapan bahwa ia memiliki jawaban yangsudah jelas. Mereka dapat menganggap pertanyaan pertama itu“tertutup” dan pertanyaan kedua itu “terbuka” meskipun mere-ka memahami kedua kalimat tersebut. Tetapi sekali lagi hasil initidak merusak naturalisme etis, dan alasannya sama seperti sebe-lumnya. Karena naturalisme etis tidak mengharuskan analisisnyatentang “baik secara intrinsik” itu benar secara jelas, menanyakanapakah analisis itu benar tidak perlu memiliki jawaban yang je-las. Namun justru itulah yang ditanyakan oleh pertanyaan kedua,

�� C H R I S D A L Y

Page 84: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

pertanyaan “terbuka”. Jadi dengan alasan inilah naturalis etis da-pat mempertanyakan penyimpulan dari premis (3) ke (4) dalamrangkaian argumen kedua Moore.�

Moore mendasarkan argumennya pada apa yang “ada didalam pikiran kita” ketika kita mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dia mengatakan bahwa apa yang ada di dalampikiran kita ketika kita mempertimbangkan pertanyaan kedua itulebih “rumit” daripada apa yang ada dalam pikiran kita ketika kitamempertimbangkan pertanyaan pertama. Dengan mengasumsikanbahwa apa yang ada di dalam pikiran kita adalah makna dari perta-nyaan tersebut, maka dia menyimpulkan bahwa makna pertanyaantersebut itu berbeda.

Pendasaran pada introspeksi ini menimbulkan sejumlah masa-lah. Pertama, kita telah melihat bahwa tampaknya Moore meng-gunakan dua rangkaian argumen ini secara bersama-sama. Yangsatu menyangkut entitas linguistik tertentu, yaitu pertanyaan ter-tentu yang dibedakan berdasarkan jenis kalimatnya. Yang lainnyamenyangkut makna dari pertanyaan-pertanyaan itu. Moore seha-rusnya mengingat makna dari pertanyaan-pertanyaan itu dalampikirannya, tetapi di bagian ini dia menyelinap ke dalam pembahas-an tentang pertanyaan itu sendiri:

Tetapi jelas juga bahwa makna pertanyaan kedua ini [“Apakahbaik untuk ingin menginginkan A?”] tidak dapat dianalisis men-jadi “Apakah keinginan untuk menginginkan A merupakan salahsatu hal yang kita inginkan untuk kita inginkan?”: di dalam pikir-an kita tidak ada sesuatu yang serumit pertanyaan “Apakah kitaingin untuk ingin untuk ingin menginginkan A?”

Naturalis etis dapat menyetujui bahwa “Apakah kita ingin untukingin untuk ingin menginginkan A?” adalah kalimat yang lebih ru-mit daripada “Apakah baik untuk ingin menginginkan A?” Ketikakita mengingat masing-masing pertanyaan ini “di dalam pikiran ki-

� Untuk kritik lebih lanjut terhadap penyimpulan ini, lihat Kalderon (2004).

C H R I S D A L Y ��

Page 85: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

ta” (yaitu, ketika kita membandingkannya), kita dapat mengatakanbahwa pertanyaan pertama memiliki lebih banyak kata daripadapertanyaan kedua, sehingga ia menjadi lebih rumit. Tetapi masa-lahnya bukan apakah pertanyaan itu—jenis kalimatnya—berbedatingkat kerumitannya. Masalahnya adalah apakah makna perta-nyaan tersebut itu berbeda. Ini menimbulkan pertanyaan-lanjutanterhadap kaum naturalis etis jika mereka hanya mengklaim bahwamakna pertanyaan-pertanyaan tersebut itu berbeda.�

Kedua, Moore berasumsi bahwa akses introspektif kita terhadapmakna istilah-istilah tersebut itu mudah. Dia tampaknya berpikirbahwa, untuk setiap pasangan istilah yang kita pahami, jika kita me-nyimpan makna satu istilah “di dalam pikiran kita” dan kemudianmakna istilah lainnya, kita akan segera menyimpulkan dengan da-sar itu apakah makna istilah tersebut itu sama atau tidak. MenurutMoorean:

. . . Jika suatu definisi itu sah, siapa pun yang memahami istilahyang akan didefinisikan dan definisinya, setelah perenungan, ha-rus dapat mengenali definisi tersebut sebagai cara untuk menje-laskan pertimbangan yang memandu penggunaan istilah terse-but. . . . Betapapun kita merenungkan pemahaman kita tentang is-tilah “baik” dan [“apa yang kita inginkan untuk kita inginkan”],pertanyaan apakah sesuatu yang [kita inginkan untuk kita ingin-kan] itu baik tetap signifikan. (Baldwin 2003, 321)

Ada beberapa alasan untuk menolak persyaratan di atas tentangdefinisi yang sah. Pertama, ambil sepasang istilah yang memilikimakna yang sama, seperti “almanak” dan “kalender”.�� Orang da-pat memahami istilah-istilah itu tetapi ragu (dan karenanya tidaktahu) apakah kedua istilah itu memiliki makna yang sama. Orang

� Tuduhan menimbulkan pertanyaan-lanjutan ini awalnya dibuat oleh Frankena(1939). Tuduhan ini tetap konstroversial: lihat Pigden (2007, 246) dan Nuccetelli danSeay (2007, 277-278).

�� Penulis memberi contoh sepasang kata dalam bahasa Inggris “wager” dan “bet”.Saya, sebagai penerjemah dalam bahasa Indonesia, menggantinya dengan sepasangkata dalam bahasa Indonesia “almanak” dan “kalender”—penerj.

�� C H R I S D A L Y

Page 86: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

dapat mempelajari masing-masing istilah itu secara normal tetapisecara terpisah. Mereka bahkan bisa percaya bahwa, untuk setiaphal, hal itu adalah almanak jika dan hanya jika ia adalah kalender.Namun demikian, orang-orang ini dapat secara koheren meragukan,dan karenanya tidak mengetahui, bahwa “almanak” dan “kalender”itu memiliki makna yang sama. Mungkin mereka pernah memilikirekam jejak menganggap sepasang istilah memiliki makna yangsama, tetapi kemudian tahu bahwa istilah-istilah tersebut ternyataberbeda maknanya. Kesadaran mereka akan rekam jejak yang burukitu membuat mereka ragu apakah “almanak” dan “kalender” me-miliki makna yang sama. Ia bahkan menyebabkan mereka percayabahwa kedua istilah itu berbeda maknanya. Terlepas dari keyakinananeh ini, mereka menggunakan kata “almanak” dan “kalender” itusama kompetennya dengan orang lain (Rieber 1992).��

Berikut adalah alasan lain untuk menolak persyaratan Moorebahwa kamu dapat mengetahui dengan introspeksi apakah sepa-sang istilah yang kamu pahami itu memiliki makna yang sama.Pertimbangkan beberapa contoh nyata. Apakah “titik” yang diguna-kan dalam geometri Euclidean memiliki makna yang sama dengan“titik” dalam geometri non-Euclidean? Ketika fisikawan atom men-deskripsikan meja sebagai “padat”, apakah yang mereka maksudadalah apa yang dimaksud Shakespeare dan orang-orang sezaman-nya dengan kata itu? Apakah dengan kata “atom” fisikawan saat inimemaksudkan hal yang sama dengan yang dimaksudkan fisikawandi abad kesembilan belas? Ketika fisikawan mendeskripsikan kacajendela sebagai cairan, apakah yang mereka maksud dengan “cair-an” itu adalah apa yang kamu maksud dengan kata itu? Introspeksitampaknya tidak menjawab semua pertanyaan ini:

. . . Introspeksi tidak memberikan dasar umum untuk kebenaranatau kekeliruan klaim kesinoniman bahkan ketika istilah dalam

�� Lihat juga Salmon (1989, 265-266) dan Soames (2003, 46-47).

C H R I S D A L Y ��

Page 87: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

kelas yang relevan itu dipahami dengan baik oleh kita. (Lancedan O’Leary-Hawthorne 1997, 26)��

Beberapa pembela Moore beranggapan bahwa meskipun argu-men pertanyaan terbuka tidak mensyaratkan bahwa “baik” dan“apa yang kita inginkan untuk kita inginkan” itu memiliki mak-na yang berbeda, argumen tersebut memberikan beberapa tingkatbukti bahwa kedua istilah tersebut berbeda maknanya.

Moore menyarankan bahwa fakta belaka, seperti yang dia kata-kan, bahwa kita biasanya menemukan proposisi yang menyama-kan sepasang istilah [“baik” dan “apa yang kita inginkan untukkita inginkan”] itu setidaknya “dipertanyakan” atau meragukanitu relevan untuk menentukan apakah teori semacam itu benar. . . .Strategi utamanya adalah menggunakan keterbukaan sebagai uji-an bagi kesinoniman. (Bola 1988, 207)��

. . . [A]danya keraguan hanya menunjukkan bahwa analisisnyasalah. (Strandberg 2004, 182)

Argumen Moore. . . cukup untuk membuat beban pembuktianberada pada kaum naturalis etis. . . . [Kaum naturalis etis memi-liki] beban argumentatif untuk menunjukkan bagaimana dua halyang tampaknya berbeda—[kebaikan] dan [apa yang kita ingin-kan untuk kita inginkan], misalnya—itu sebenarnya merupakansatu hal yang sama. (Shafer-Landau 2003, 57–58)

Kutipan-kutipan di atas menyatakan bahwa jika seseorang me-ragukan apakah “kebaikan intrinsik adalah apa yang kita inginkanuntuk kita inginkan” itu benar tanpa meragukan apakah “kebaikanintrinsik adalah kebaikan intrinsik” itu benar, maka itu menjadibukti yang menentang bahwa “kebaikan intrinsik” itu memilikimakna yang sama dengan “apa yang kita inginkan untuk kita ingin-kan”. Tetapi poin yang dibuat dalam contoh “almanak”/“kalender”berlaku sama di sini. Menurut kutipan-kutipan di atas, jika seseo-rang meragukan apakah “almanak adalah kalender” itu benar tanpa

�� Lihat juga Baldwin (1990, 63-64, 88).�� Lihat juga Ball (1991, 8-17) dan Pigden (2007, 258).

�� C H R I S D A L Y

Page 88: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

meragukan apakah “almanak adalah almanak” itu benar, maka ituadalah bukti yang menentang bahwa “almanak” itu memiliki mak-na yang sama dengan “kalender”. Dan karena ini adalah pasanganistilah sinonim yang dipilih secara arbitrer, poinnya berlaku secaraumum untuk pasangan istilah apa pun yang memiliki makna yangsama. Ini menimbulkan dilema. Fakta bahwa seseorang dapat me-ragukan apakah “kebaikan intrinsik” dan “apa yang kita inginkanuntuk kita inginkan” memiliki makna yang sama itu tidak membe-rikan bukti yang menentang analisis kaum naturalis etis. Atau, jikamemang memberikan bukti yang menentangnya, itu memberikanbukti yang sangat lemah, karena jenis bukti yang persis sama jugamenentang pasangan istilah sinonim yang memiliki makna sama.

Dalam keadaan apa sekumpulan informasi e memberikan buktiyang bertentangan dengan hipotesis h? Salah satu saran menyata-kan bahwa e memberikan bukti yang menentang h jika penjelasanterbaik tentang mengapa e terjadi adalah karena h salah (Harman1965, khususnya 90-91). Tetapi, untuk menerapkan saran ini padakasus saat ini, Moorean perlu menunjukkan mengapa penjelasanterbaik tentang mengapa seseorang meragukan bahwa “kebaikanintrinsik adalah apa yang kita inginkan untuk kita inginkan” itubenar adalah karena analisis kaum naturalis etis itu salah. Mooreanharus menunjukkan mengapa itu merupakan penjelasan yang lebihbaik daripada hipotesis bahwa orang tersebut tidak mengetahuimakna kata “baik”, sesuatu yang ditentukan oleh analisis kaum na-turalis etis. Dan Moorean juga harus menunjukkan mengapa taktikmereka tidak terlalu menggeneralisasi sehingga, misalnya, merekaberkomitmen untuk mengatakan bahwa penjelasan terbaik tentangmengapa seseorang meragukan bahwa “almanak adalah kalender”itu benar adalah karena “almanak“ dan “kalender” itu berbeda mak-nanya. (Ide penyimpulan pada penjelasan terbaik akan dibahaslebih panjang dalam bab 5, §5.)

Tom Baldwin mengidentifikasi argumen lain di dalam Moore,

C H R I S D A L Y ��

Page 89: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

sebuah argumen yang perlu dibedakan dari argumen pertanyaanterbuka Moore. Baldwin menyebutnya argumen “pertanyaan berbe-da” Moore (Baldwin 1990, 88–89 mengutip Moore 1903, 13). Dalambagian berikut Baldwin menyatakan bagaimana argumen tersebutakan bertentangan dengan analisis kaum naturalis etis bahwa “baik”berarti sama dengan “menyenangkan”:

. . . Betapapun kerasnya kita mencoba meyakinkan diri kita sen-diri bahwa “baik” ... hanya berarti “menyenangkan”, fakta bah-wa kita terus menganggap pertanyaan apakah semua kesenang-an itu baik sebagai hal yang signifikan menunjukkan bahwa “ba-ik” dan “menyenangkan” tidak sama. Yang penting di sini ada-lah keteguhan perasaan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebutpenting, bahwa jawabannya selalu merupakan “pertanyaan ter-buka”.. . . [Adalah] masuk akal untuk menuntut analisis maknabahwa ia harus memperjelas konsep yang sedang dianalisis sede-mikian rupa sehingga, karena ia meningkatkan pemahaman ki-ta, kita menjadi merasa wajar untuk mengarahkan putusan kitasesuai dengannya. Dalam terang persyaratan inilah pemahamantentang pentingnya pertanyaan Moore itu bermasalah bagi kaumreduksionis etis. Ini adalah bukti bahwa analisis reduktifnya ti-dak persuasif, dan oleh karena itu tidak benar. (Baldwin 1990, 89.Baldwin sendiri mempertanyakan argumen di atas meskipun bu-kan kesimpulannya)

Argumen yang direkonstruksi Baldwin mencakup premis bah-wa pertanyaan apakah “baik” berarti menyenangkan itu merupakanpertanyaan terbuka. Ini juga memperkenalkan premis bahwa jika“baik” dianalisis sebagai bermakna menyenangkan, analisis terse-but harus meningkatkan pemahaman kita tentang “baik”, dan kitaharus merasa wajar untuk menggunakan analisis tersebut dalammembuat putusan. Teka-tekinya adalah bagaimana kedua premisitu seharusnya meniscayakan bahwa “baik” dan “menyenangkan”itu berbeda maknanya. Tampaknya ada asumsi bahwa selama per-tanyaan apakah “baik” berarti menyenangkan tetap ada sebagaipertanyaan terbuka, kita tidak akan merasa wajar untuk membuat

�� C H R I S D A L Y

Page 90: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

putusan berdasarkan klaim bahwa “baik” berarti menyenangkan.Tapi apa artinya “wajar” di sini?

Salah satu saran mungkin menyatakan bahwa pertanyaan ada-lah pertanyaan terbuka jika dan hanya jika jawabannya belum jelas.Jika jawaban atas pertanyaan yang diberikan belum jelas, tidak jelasbahwa kami membuat putusan sesuai dengan jawaban itu. Jadi jika“apa yang kita anggap wajar” berarti “apa yang anggap jelas,” makaasumsi tersebut benar. Selama apakah “baik” berarti menyenangkanmasih menjadi pertanyaan terbuka, tidak jelas bahwa kita membuatputusan sesuai dengan klaim bahwa “baik” berarti menyenangkan.Namun, tidak jelas bahwa kesimpulan bahwa “baik” tidak berar-ti menyenangkan mengikuti ini. Karena kaum naturalis etis tidakperlu (dan tidak seharusnya) menganggap analisis mereka jelas,mereka tidak perlu menganggap jelas bahwa kita membuat putusantentang hal-hal mana yang baik itu berdasarkan analisis mereka.

Dalam arti lain, “apa yang kita anggap wajar untuk dilakukan”berarti apa yang kita lakukan secara spontan atau sigap. Berdasarkanpembacaan ini, asumsi tersebut mengatakan bahwa selama perta-nyaan apakah “baik” berarti menyenangkan tetap ada sebagai perta-nyaan terbuka, kita tidak akan secara spontan atau sigap membuatputusan sesuai dengan klaim bahwa “baik” berarti menyenangkan.Asumsi tersebut, bagaimanapun, masih bisa diperdebatkan. Anali-sis tentang “baik” mungkin tidak sepenuhnya benar. Namun demi-kian, orang-orang yang percaya bahwa analisis tersebut mungkinmenjadi begitu terbiasa dengannya sehingga mereka secara spon-tan menggunakannya untuk menilai hal-hal mana yang baik. Poinumum di sini tidak ada hubungannya secara khusus dengan analisismakna. Apa yang tampak jelas dan wajar bagi seseorang dalam pe-ngertian ini adalah masalah psikologis, dan bahkan jika suatu klaimtidak jelas bagi seseorang, faktor-faktor psikologis lain dapat mem-buat kepercayaan pada klaim tersebut tampak wajar bagi mereka.Sebagai contoh, tidak jelas—atau diragukan—bahwa ada korelasi

C H R I S D A L Y ��

Page 91: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

antara suhu dan ketinggian zat cair tertentu dalam tabung kaca.Tetapi seorang dokter yang percaya bahwa ada korelasi seperti itumungkin secara spontan menggunakan termometer merkuri untukmengukur suhu pasien.

Terakhir, anggaplah kita memberikan pembacaan kedua terha-dap asumsi ini. Artinya, seandainya selama pertanyaan apakah“baik” berarti menyenangkan tetap ada sebagai pertanyaan terbuka,kita tidak akan secara spontan membuat putusan sesuai dengan kla-im bahwa “baik” berarti menyenangkan. Meski begitu, masih belumjelas bagaimana makna “baik” dan “menyenangkan” itu berbeda.Singkatnya, argumen “pertanyaan berbeda” Moore tampaknya jugatidak berhasil sebagaimana argumen “pertanyaan terbuka”-nya.

�.� Paradoks Analisis

Masalah penting yang dikemukakan oleh argumen pertanyaan ter-buka Moore adalah masalah umum tentang analisis filosofis. Ana-lisis filosofis tentang makna istilah harus benar dan menarik. Jikaanalisisnya tidak menarik, maka ia tidak memperdalam pemaham-an kita tentang makna istilah tersebut. Misalnya, analisis yang me-ngatakan bahwa “baik secara intrinsik” memiliki makna yang samadengan “baik secara intrinsik” akan benar tetapi tidak menarik.Tetapi agar sebuah analisis menarik, analisis tersebut harus tidaksecara jelas benar. Naturalisme etis menawarkan analisis tentang“kebaikan intrinsik” yang berupaya memenuhi persyaratan analisisyang benar dan sekaligus menarik ini. Moore, sebaliknya, tampak-nya mensyaratkan analisis tentang “baik secara intrinsik” harusbenar dan jelas. Secara keseluruhan, persyaratan Moore mengesam-pingkan kemungkinan adanya analisis yang benar dan sekaligusmenarik tentang makna “baik secara intrinsik.” Tetapi persyaratanMoore itu sebenarnya juga mengesampingkan kemungkinan ada-nya analisis yang benar dan sekaligus menarik tentang makna dari

�� C H R I S D A L Y

Page 92: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

istilah apa pun. Semisal, kita mencoba menganalisis makna “penge-tahuan” dengan mengatakan bahwa ia memiliki makna yang samadengan “keyakinan yang benar dan terjustifikasi.” Analisis tersebutakan menjadi analisis yang menarik. Tetapi Moore dapat menunjuk-kan bahwa meskipun “pengetahuan adalah pengetahuan” itu jelasbagi siapa saja yang memahaminya, “pengetahuan adalah keyakin-an yang benar dan terjustifikasi” tidak jelas bagi siapa pun yangmemahaminya. Moore akan berkomitmen untuk menolak analisisterhadap makna “pengetahuan” ini karena alasan yang sama sepertiia menolak analisis kaum naturalis etis terhadap makna “baik secaraintrinsik.” Lebih umum lagi, jika argumen pertanyaan terbuka Mo-ore itu valid, ia akan menunjukkan bahwa tidak ada makna istilahapa pun yang dapat dianalisis (Lewy 1964, 302 dan Baldwin 1990,88). Oleh karena itu, analisis filosofis, yang dipahami sebagai anali-sis makna, itu mustahil. Tampaknya argumen Moore menghasilkankonsekuensi logis yang absurd. Diagnosis yang mungkin terjaditerhadap soal di mana letak kekeliruan argumen Moore adalah bah-wa argumen tersebut secara keliru mengasumsikan bahwa analisisapa pun, dan lebih umum lagi kebenaran konseptual apa pun, akandiakui sebagai sesuatu yang jelas benar oleh siapa pun yang mema-haminya. Asumsi itu sepertinya salah. Berikut adalah contoh lainyang berlawanan. Seseorang mungkin memiliki konsep BUYUT dankonsep SEPUPU KEDUA (yaitu, konsep ANAK DARI ORANG YANG

MERUPAKAN ANAK DARI SAUDARA KANDUNG KAKEK/NENEK).Namun demikian, mungkin tidak jelas bagi mereka—mungkin me-rupakan pertanyaan terbuka bagi mereka—apakah sepupu keduaini memiliki buyut yang sama dengannya. Mungkin perlu sedikitwaktu dan alasan bagi mereka untuk menyadari bahwa ini merupa-kan kebenaran konseptual.��

Argumen pertanyaan terbuka Moore tampaknya memanfaatkan

�� Lihat juga Baldwin (1990, 210-211), dan Darwell, Gibbard, dan Railton (1992, 115).

C H R I S D A L Y ��

Page 93: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

apa yang disebut paradoks analisis, sebuah paradoks yang secaratepat mengatakan bahwa analisis filosofis, yang dipahami sebagaianalisis makna, itu mustahil (Wisdom 1934, 79 dan Langford 1942).Langford menulis:

Mari kita sebut apa yang akan dianalisis sebagai analisandum,dan mari kita sebut apa yang melakukan analisis itu sebagai ana-lisan. Analisis kemudian menyatakan hubungan kesamaan yangtepat antara analisandum dan analisan. Dan paradoks analisismenyatakan bahwa, jika ekspresi verbal yang merepresentasikananalisandum memiliki makna yang sama dengan ekspresi verbalyang merepresentasikan analisan, analisis tersebut menyatakanidentitas yang sudah jelas dan trivial; namun jika kedua ekspre-si verbal tersebut tidak memiliki makna yang sama, analisisnyasalah. (Langford 1942, 323)

Paradoks tersebut dapat diuraikan sedikit lebih lengkap seba-gaimana berikut:

(1) Analisis filosofis terhadap sebuah konsep, F , harus menga-takan sesuatu yang identik dengan konsep itu.

(2) Misalkan analisis filosofis tertentu terhadap konsep F me-ngatakan bahwa F itu identik dengan konsep G.

(3) Jadi jika konsep F dan G tidak identik, analisisnya salah.(Berdasarkan (1) dan (2)).

(4) Alternatifnya, jika konsep F dan G identik, maka apa yangdikatakan analisis (bahwa konsep F itu identik dengan kon-sep G) memiliki konten yang sama dengan klaim bahwakonsep F identik dengan konsep F .

(5) Tetapi klaim bahwa konsep F identik dengan konsep F itutidak menarik (“trivial,” kata Langford).

(6) Jadi jika konsep F dan G itu identik, apa yang dikatakananalisis tersebut tidak menarik. (Berdasarkan (4) dan (5)).

(7) Jadi, entah analisis tersebut salah atau tidak menarik. (Berda-sarkan (3) dan (6)).

Premis (4) dapat didukung dengan dua cara. Ini cara pertama.Analisis terhadap konsep F mengatakan sesuatu yang identik de-ngan konsep itu, yaitu konsep G. Jadi analisis tersebut mengatakan

�� C H R I S D A L Y

Page 94: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

bahwa konsep F identik dengan dirinya sendiri. Klaim bahwa kon-sep F identik dengan konsep F juga mengatakan bahwa konsep F

identik dengan dirinya sendiri. Jadi klaim itu mengatakan hal yangsama dengan analisis. Ini cara kedua. Ada prinsip semantik yangdikenal sebagai prinsip komposisionalitas. Prinsip ini mengatakanbahwa makna sebuah kalimat itu ditentukan oleh makna masing-masing komponennya (konsep-konsep yang diungkapkan) dan olehbagaimana komponen itu disusun. Misalkan analisis tersebut benardan konsep F itu identik dengan konsep G. Maka klaim bahwa kon-sep F identik dengan konsep G dan klaim bahwa konsep F identikdengan konsep F itu terdiri dari istilah-istilah yang sama yang disu-sun dengan cara yang sama. Berdasarkan prinsip komposisionalitas,klaim-klaim tersebut memiliki makna yang sama—keduanya me-ngatakan hal yang sama.

Argumen (1)–(7) menimbulkan sebuah dilema bagi setiap ana-lisis filosofis, selama analisis filosofis dipahami sebagai analisismakna. Entah analisis tersebut menangkap konten konsep yangdimaksud atau tidak. Jika tidak, maka analisisnya tidak informatifsehingga tidak menarik. Jika iya, maka analisisnya salah. Paradoksitu muncul karena secara intuitif analisis filosofis tampaknya mung-kin untuk menghasilkan analisis yang benar dan menarik tentangkonsep. Faktanya, paradoks analisis bersifat paradoks ganda karenaparadoks tersebut tampaknya merupakan hasil yang menarik darisebuah analisis terhadap konsep analisis filosofis.

Sebuah upaya sederhana untuk mendapatkan solusi dapat be-rupa upaya metalinguistik (Ackerman 1981, 1990). Simak analisisberikut ini:

(A) (8x)(x adalah menunda-nunda $ x menunda tindakan)

Solusi metalinguistik akan menafsirkan (A) bukan hanya ten-tang konsep menunda-nunda dan menunda tindakan, tetapi jugatentang istilah “menunda-nunda” dan “menunda tindakan.” (A)

C H R I S D A L Y ��

Page 95: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

akan diartikan sebagai (B):

(B) (8x)(konsep yang diungkapkan oleh “menunda-nunda” ber-laku untuk x $ konsep yang diungkapkan oleh “menunda tin-dakan” berlaku untuk x)

Masalah dengan upaya ini adalah bahwa analisis yang samadapat diungkapkan dengan kata yang berbeda. Misalnya, denganmengasumsikan bahwa “menunda-nunda” sama dengan “menun-da hal-hal yang seharusnya dia lakukan”, (A) dapat dinyatakansebagai berikut:

(C) (8x)(x adalah menunda-nunda $ x menunda sesuatu yangseharusnya dia lakukan)

(C) tidak mengatakan apa-apa tentang istilah “menunda tindak-an.” Jadi (C) tidak memiliki makna yang sama dengan (C). Tapi(A) memiliki makna yang sama dengan (C). Jadi (A) tidak memilikimakna yang sama dengan (B) (Rieber 1994, 107–09).

Solusi yang lebih menjanjikan adalah bahwa dalam sebuah ana-lisis, istilah untuk analisandum dan istilah untuk analisan itu harusberbeda secara sintaksis dan harus memiliki struktur semantik yangberbeda. Apa itu struktur semantik? Misalkan I adalah sebuah isti-lah dan masing-masing I1,. . . , Ik adalah komponennya. Struktur se-mantik I adalah sifat istilah yang masing-masing komponennya memilikimakna masing-masing I1,. . . , Ik. Semisal, struktur semantik “rubahbetina” adalah sifat istilah dengan dua komponen yang masing-masing maknanya adalah sifat menjadi betina dan sifat menjadirubah.

[Dua] ungkapan memiliki struktur semantik yang sama jika danhanya jika keduanya sinonim dan untuk setiap komponen yangbermakna dari salah satunya ada komponen yang sesuai dariungkapan lainnya yang maknanya sama. (Rieber 1994, 110)

Oleh karena itu, “ayam jantan” dan “jago”�� memiliki struktur se-mantik yang berbeda. Untuk setiap struktur semantik ada konsep�� Contoh yang diberikan Penulis buku ini adalah “female fox” dan “vixen”. Namun,

�� C H R I S D A L Y

Page 96: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

yang sesuai dengannya. Mungkin ada lebih dari satu struktur se-mantik yang sesuai dengan konsep yang sama. Misalnya, struktursemantik “ayam jantan” dan “jago” sesuai dengan konsep AYAM

JANTAN (atau konsep JAGO). Dengan demikian, struktur semantikitu lebih spesifik daripada konsep. Istilah yang berbeda dapat me-miliki struktur semantik yang sama. Jadi istilah itu lebih spesifikdaripada struktur semantik. Mari perkenalkan notasi “« »” untukmenunjukkan bahwa suatu istilah merujuk pada struktur semantik-nya sendiri. Ingat (A):

(A) (8x)(x adalah menunda-nunda $ x menunda tindakan)

Apa yang dikatakan (A) diberikan oleh (D):

(D) (8x)(konsep yang sesuai dengan «menunda-nunda» itu ber-laku untuk x $ konsep yang sesuai dengan «menunda tindak-an» itu berlaku untuk x)

Istilah “menunda-nunda” dan “menunda tindakan” di dalam(D), dan demikian juga di dalam (A), merujuk pada struktur seman-tiknya. Apa yang dikatakan (A) dapat dikatakan dengan menggu-nakan ungkapan lain asalkan merujuk ke struktur semantik yangsama.

Bagaimana hal ini memecahkan paradoks analisis? Pernyataananalisis mengacu pada struktur semantik istilah-istilah yang ada didua sisi bikondisional. Ingat premis (4) dari paradoks analisis:

(4) Jika konsep F dan G itu identik, maka apa yang dikatakananalisis (bahwa konsep F itu identik dengan konsep G) memilikikonten yang sama dengan klaim bahwa konsepF identik dengankonsep F .

karena bahasa Indonesia tidak memiliki istilah khusus untuk rubah betina sebagai-mana bahasa Inggris punya “vixen”, saya mengganti contoh dari Penulis itu dengan“ayam jantan” dan “jago”. Kedua contoh tersebut pada hakikatnya sama, yaitusama-sama untuk menunjukkan bahwa, meskipun berkaitan dengan konsep yangsama, dua istilah yang berbeda dapat memiliki struktur semantik yang berbedapula—penerj.

C H R I S D A L Y ��

Page 97: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Premis itu mengasumsikan bahwa analisis tersebut hanya ten-tang konsep F . Asumsi itu ditolak oleh pandangan mutakhir. Perluanalisis untuk mengatakan bahwa konsep F , konsep yang sesuai de-ngan satu struktur semantik, itu identik dengan konsep G, konsepyang sesuai dengan struktur semantik lainnya.

Argumen komposisionalitas mengatakan bahwa makna sebu-ah kalimat ditentukan oleh makna komponennya, dan bagaimanakomponen tersebut digabungkan. Namun komposisionalitas tidakberlaku untuk ekspresi yang merujuk pada struktur semantiknyasendiri. “[Kontribusi] yang dibuat oleh ekspresi yang mengacu padastruktur semantiknya sendiri terhadap makna sebuah kalimat itu tidakbergantung pada maknanya sendiri—atau setidaknya tidak hanyabergantung pada maknanya sendiri—melainkan pada struktur se-mantiknya” (Rieber 1994, 112).

Singkatnya, paradoks analisis merupakan tantangan yang kuatbagi model analisis filosofis yang sedang kami kerjakan. Namundemikian, model tersebut dapat dilengkapi dengan penjelasan ten-tang semantik kalimat yang menyatakan analisis yang menawarkansolusi menjanjikan untuk paradoks tersebut.��

�.� Problem Analisis Ganda

Berikut sekali lagi saya catat lima klaim yang mencirikan modelkerja analisis filosofis kita:

(1) Analisis memiliki bentuk logis bikondisional yang terkuanti-fikasi secara universal:(8x)(Fx $ Gx)

(2) Analisis itu niscaya benar.(3) Analisis itu informatif.(4) Analisis itu dapat diketahui secara apriori.(5) Analisis itu dapat diuji dengan metode kasus hipotetis.

�� Untuk solusi mutakhir yang lain terhadap paradoks ini, lihat Richard (2001) danKing (2007, bab 7).

�� C H R I S D A L Y

Page 98: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

Model ini mensyaratkan analisandum dan analisan mengung-kapkan konsep yang sama—bahwa “F” dan “G” memiliki maknayang sama. Ini mengharuskan analisandum tersebut untuk memi-liki analisis yang unik. Jika “G” memberikan analisis tentang “F”,maka, untuk setiap istilah “H”, “H” memberikan analisis tentang“F” jika dan hanya jika “H” memiliki makna yang sama dengan “G.”

Model analisis filosofis ini memiliki problem analisis ganda ka-rena tampaknya salah bahwa setiap analisandum memiliki analisisyang unik, dan akibatnya tampak salah bahwa analisis memberikanmakna istilah untuk analisandum. Jika analisis yang benar dapatditemukan di mana saja, analisis tersebut dapat ditemukan dalammatematika. Mari kita pertimbangkan beberapa analisis matematis.Euclid mengatakan bahwa:

lingkaran adalah gambar bidang datar yang dibatasi oleh satugaris, yang disebut sebagai keliling, dan semua garis lurus yangditarik dari titik tertentu di dalam gambar tersebut ke kelilingnyaitu sama satu sama lain. (Euclid The Thirteen Books of the ElementsVolume 1, Buku I, Definisi 15)

Leibniz mengatakan bahwa lingkaran adalah:

gambar yang dijelaskan oleh gerakan garis lurus di sekitar ujungtetap. (Leibniz 1679, 230)

Terakhir, geometri diferensial mengatakan bahwa lingkaran adalahkurva bidang tertutup dengan kelengkungan konstan. Ketiga anali-sis ini setara, tetapi tidak sama. Analisis Leibniz, misalnya, menggu-nakan konsep GERAKAN, dan karenanya juga menggunakan konsepWAKTU. Namun tak satu pun dari analisis lain yang menggunakankonsep ini. Karena ketiga konsep analisan itu berbeda, tidak semua-nya identik dengan konsep LINGKARAN. Akan sewenang-wenanguntuk memilih salah satu konsep analisan ini. Model kerja analisisfilosofis kita berkomitmen untuk mengklaim bahwa tidak ada dariketiga analisan tersebut yang benar. Ini bertentangan dengan prak-tik matematika karena matematika memperlakukan masing-masing

C H R I S D A L Y ��

Page 99: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

tiga analisis tersebut sebagai analisis yang dapat dipercaya dan be-nar (Anderson 1987, 127–28, 139–41; 1990, 69–71; dan 1993, 215–18).Selain itu, pertimbangan yang sama muncul dalam filsafat. Sebagaicontoh, sebagai upaya pertama, Nozick menganalisis “s tahu bahwap” sebagai berikut:

(i) p benar,(ii) S percaya bahwa p,

(iii) Jika tidak benar bahwa p, tidak akan benar bahwa S percayabahwa p. (Nozick 1981, 172–78)

Sebuah analisis yang berbeda dari analisis di atas, tetapi secaralogis setara, akan membuang (i) tetapi mempertahankan (ii) dan(iii) (Anderson 1987, 161-62, n. 25). Semisal, teori deskripsi Russellmemberikan beberapa analisis yang tidak sinonim terhadap kali-mat berbentuk “S percaya bahwa F adalah G”.�� Orang mungkinmengambil garis tegas dan menganggap hasil ini menunjukkanbahwa contoh-contoh tersebut bukan analisis filosofis. Tetapi tidakjelas mengapa filsafat harus mensyaratkan analisisnya menyatakankesinoniman meskipun matematika tidak membuat persyaratanitu. Tidak jelas manfaat apa yang akan diberikan oleh persyaratanseperti itu, manfaat yang tidak dimiliki oleh analisis matematis.

�.� Kemiripan Keluarga

Dalam model kerja analisis filosofis kita di §3, analisis diklaim me-miliki bentuk logis berupa bikondisional yang terkuantifikasi secarauniversal:

(8x)(Fx $ Gx)

Sebuah analisis kemudian memberikan kondisi yang niscaya dankondisi yang cukup agar sesuatu menjadi F . Apa kondisi-kondisiitu juga diklaim dapat diketahui secara apriori.�� Untuk argumen pendukung, lihat Anderson 1990, 169-171.

�� C H R I S D A L Y

Page 100: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

Wittgenstein akhir sering dianggap menantang klaim ini (1953,§§65–67). Tantangannya sederhana dan jelas. Ambil contoh tertentudari sebuah konsep, seperti konsep PERMAINAN. Kondisi apa yangniscaya dan cukup untuk membuat sesuatu menjadi sebuah per-mainan? Sejumlah besar aktivitas disebut permainan. Tidak semuapermainan melibatkan kompetisi (misalnya, soliter��) atau kesenang-an bagi pemainnya (misalnya, permainan gladiator). Jadi semuaitu bukanlah kondisi yang niscaya bagi sebuah permainan. Dantidak hanya permainan yang diatur oleh aturan atau yang memilikitujuan, karena debat politik dan upacara prabakti juga memilikiciri yang sama. Jadi kondisi itu belum cukup. Pasangan permain-an mirip satu sama lain dalam beberapa hal, tetapi dalam hal ini,pasangan permainan itu berbeda. Wittgenstein membuat analogidengan bagaimana wajah sepasang orang dari keluarga yang samamungkin mirip satu sama lain dalam hal tertentu—mungkin kamumemiliki mata dan dagu yang mirip dengan ayahmu, dan saudaraperempuanmu memiliki hidung yang mirip ibumu—meskipun halini berbeda dari pasangan ke pasangan.

Beberapa filsuf menafsirkan Wittgenstein membuat dua pernya-taan. Pertama, karena kita tidak dapat memberikan kondisi yangniscaya dan cukup yang dapat diketahui secara apriori untuk peng-gunaan berbagai istilah (seperti istilah “permainan”), maka istilahtersebut tidak memiliki kondisi-kondisi semacam itu. Kedua, kitamenyebut hal yang berbeda dengan istilah yang sama hanya karenahal-hal ini memiliki kemiripan keluarga tertentu satu sama lain.Maka keliru untuk menganggap bahwa ada kondisi tertentu yangniscaya dan cukup agar sesuatu dapat disebut dengan benar seba-gai “permainan”. Meskipun pernah hampir menjadi ortodoksi dikalangan Wittgensteinian, penafsiran ini telah dipertanyakan olehbeberapa Wittgensteinian dalam beberapa tahun terakhir (Bangu

�� Soliter adalah permainan kartu yang dapat dimainkan sendiri tanpa ada lawan.

C H R I S D A L Y ��

Page 101: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

2005, 57-58). Sebagaimana diakui Wittgenstein, fakta bahwa hinggasaat ini kita tidak bisa merumuskan kondisi semacam itu mem-berikan sedikit dukungan untuk klaim bahwa tidak ada kondisisemacam itu (Bangu 2005, 58 mengutip Wittgenstein 1964, 18, 35).

Interpretasi alternatif menawarkan tesis yang lebih lemah bah-wa pengguna istilah “F” yang kompeten tidak perlu mengetahuikondisi yang niscaya dan cukup untuk penggunaan “F” (Baker danHacker 1992, 131, Bangu 2005, 60-61).�� Interpretasi ini konsistendengan istilah yang memiliki kondisi seperti itu. Ia hanya meng-klaim bahwa, meskipun ada kondisi seperti itu, seseorang dapatmengabaikannya meskipun merupakan pengguna “F” yang kom-peten. Namun, berdasarkan interpretasi ini, klaim Wittgenstein itukonsisten dengan model kerja analisis filosofis kita. Menurut modelitu, para filsuf harus mencari tahu kondisi apa yang niscaya dancukup bagi penggunaan istilah yang tepat. Jika pengguna biasa isti-lah sudah mengetahui apa kondisi itu, analisis filosofis tidak akanbanyak berbuat.��

Sebuah teori psikologi yang dikenal sebagai teori prototipe telahmenyatakan bahwa orang tidak mengakses konsep dengan menge-tahui kondisi yang niscaya secara satu persatu dan kondisi yangcukup secara bersama-sama (Smith dan Medin 1981, Rosch danMervis 1975, dan Rosch 1987). Ini lebih lanjut mengklaim bahwaorang mengakses konsep dengan memiliki contoh khas tertentudari konsep dalam pikiran (prototipe) dan menilai bahwa kasuslain juga merupakan contoh dari konsep ini jika ia cukup mirip de-ngan prototipe. Karena teori prototipe adalah teori ilmiah, masalahyang dimunculkan adalah masalah yang muncul melalui metodenaturalistik dalam filsafat (lihat bab 6).

�� Lihat juga kritik Geach terhadap apa yang dia sebut sesat pikir Sokrates di dalamGeach (1972, 33-34).

�� Untuk tanggapan lain terhadap tantangan kemiripan keluarga, lihat Chalmers (1996,53-55).

�� C H R I S D A L Y

Page 102: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

Data tertentu yang diambil sebagai bukti pendukung teori initerdiri dari efek tipikalitas atau efek prototipe. Orang mengklasifi-kasi beberapa contoh konsep sebagai contoh konsep yang lebih baikdaripada yang lain. Misalnya, orang mengklasifikasi burung robinsebagai contoh burung yang lebih baik daripada burung unta. Wak-tu reaksi orang untuk mengklasifikasi sesuatu sebagai burung jugalebih cepat dalam kasus robin daripada burung unta. Jika temuanini benar, beberapa psikolog dan filsuf berpikir itu akan mendukungteori bahwa konsep-konsep yang dimiliki orang-orang tersebut ti-dak memiliki kondisi niscaya dan cukup bagi penggunaan yangtepat (Stich 1992, 249 dan Ramsey 1992).

Tidak mengagetkan kebanyakan orang sering menggunakan me-tode “cepat dan kotor”, seperti penggunaan prototipe dan aturanpraktis lainnya, dalam mengklasifikasi sesuatu. Tetapi orang-orangyang sama ini juga sering mengetahui kekurangan cara-cara terse-but. Mereka tahu bahwa mungkin ada “penyemu”: hal-hal yangsesuai dengan prototipe burung meskipun mereka bukan burung(seperti kelelawar). Mereka juga tahu bahwa mungkin ada kasusatipikal: hal-hal yang tidak sesuai dengan stereotip burung meski-pun mereka adalah burung (seperti burung unta dan penguin) (Rey1983, 1985; Keil 1989, dan Fodor dan Lepore 1994). Selain itu, orangsering menggunakan prototipe bahkan dalam kasus konsep yangmemiliki kondisi penggunaan yang niscaya dan cukup, dan saatorang-orang tersebut mengetahui kondisi tersebut. Sebagai contoh,kebanyakan orang yang memiliki konsep BILANGAN PRIMA meng-anggap bilangan seperti 3, 5, 7, dan 11 sebagai bilangan prima yangstereotipikal. Ketika diminta untuk memikirkan bilangan prima,bilangan-bilangan itulah yang langsung terlintas dalam pikiran danyang paling cepat diverifikasi oleh orang sebagai bilangan prima.Orang-orang ini kurang cepat mengklasifikasi bilangan seperti 823,1097, dan 3469 sebagai bilangan prima. Namun semua bilangan iniadalah bilangan prima karena masing-masing memenuhi kondisi

C H R I S D A L Y ��

Page 103: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

niscaya dan cukup untuk menjadi bilangan prima (dapat dibagitanpa sisa hanya dengan dirinya sendiri atau dengan 1), dan orangyang memiliki konsep BILANGAN PRIMA selalu mengetahui kondisiitu. (Armstrong, Gleitman dan Gleitman (1983) menyajikan hasilyang sangat mirip sehubungan dengan kepemilikan orang terhadapkonsep BILANGAN GENAP).

Pelajaran pertama dari pertimbangan ini adalah bahwa kon-sep yang dimiliki orang-orang tidak boleh dicampurkan denganprototipe yang mereka gunakan sebagai perangkat heuristik. Pe-lajaran kedua adalah bahwa penyimpulan dari “Kita tidak dapatmengakses kondisi niscaya dan cukup untuk menggunakan kon-sep” ke “Konsep-konsep tersebut tidak memiliki kondisi niscayadan cukup bagi penggunannya yang tepat” adalah penyimpulanyang meragukan.

Tanggapan lain terhadap data prototipe adalah bahwa, jauh dariteori prototipe yang menyangkal bahwa konsep memiliki kondisipenggunaan yang niscaya dan cukup, teori tersebut menawarkanpandangan khusus tentang kondisi niscaya dan cukup tersebut. Mi-salnya, perlu kondisi niscaya dan cukup untuk menjadi burung,sesuatu yang cukup mirip dengan prototipe burung (Jackson 1998,61). Klaimnya di sini adalah bahwa teori prototipe itu sendiri mena-warkan analisis dalam bentuk:

(Proto)(8x)(x adalah F $ x cukup mirip dengan prototipe F )

Kesulitan yang tampak pada analisis ini adalah bahwa analisistersebut sirkular. Memahami apa itu prototipe F membutuhkanpemahaman tentang apa itu F , dan itu mengembalikan kita ke sisikiri bikondisional. Atau begitulah tampaknya.

Ada dua cara untuk menanggapi ini. Salah satu tanggapannyaadalah melengkapi (Proto) dengan membuat daftar atau menunjukbeberapa prototipe F . Dengan demikian kita dapat belajar, darihal-hal tertentu, bahwa mereka adalah prototipe F . Dengan cara

�� C H R I S D A L Y

Page 104: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

itu, dan (Proto), kita kemudian dapat memahami apa itu F . Sesuatuadalah F jika dan hanya jika cukup mirip dengan hal-hal yangtelah dipilih sebagai prototipe F . (Lewis (1997, terutama §§V danVII) mengembangkan ide ini dalam kasus analisis terhadap istilahwarna.)

Tanggapan lainnya adalah menanyakan signifikansi persyaratannon-sirkularitas (non-circularity). Dalam §3 persyaratan bahwa ana-lisis itu bersifat informatif ditegakkan dengan persyaratan bahwaanalisis harus tidak sirkular. Teori prototipe kemudian tidak dapatdianggap menawarkan analisis konsep dalam kaitannya dengankondisi niscaya dan cukup. Beberapa filsuf berpendapat bahwa ana-lisis dapat bersifat informatif dan juga bersifat sirkular.�� Idenya disini adalah bahwa analisis terhadap istilah “F” mungkin informatifdengan menjelaskan beberapa hubungan analitik antara “F” dan is-tilah lain, bahkan jika pemahaman penuh terhadap salah satu istilahlain ini sendiri membutuhkan pemahaman terhadap “F”. Strawsonmengemukakan pandangan ini dalam kaitannya dengan konsep:

Sebuah konsep mungkin kompleks, dalam pengertian bahwapenjelasan filosofisnya mensyaratkan penetapan hubungannyadengan konsep lain, tetapi pada saat yang sama tidak dapat dire-duksi, dalam arti ia tidak dapat didefinisikan, tanpa sirkularitas,dalam kaitannya dengan konsep-konsep lain yang secara niscayaterkait dengannya. (Strawson 1992, 22-23)

Untuk memulai dengan beberapa contoh non-filosofis, ada hubung-an konseptual antara istilah ekonomi “produsen,” “konsumen”,“persediaan”, dan “permintaan”, tetapi konsep semacam itu tidakdapat dianalisis tanpa sirkularitas. Menurut definisi, produsen itumenyuplai barang kepada konsumen untuk memenuhi beberapapermintaan. Dan juga menurut definisi, konsumen memiliki per-mintaan untuk beberapa barang yang disediakan oleh produsen.

�� Shoemaker (1984, 222); Strawson (1992, bab 2); Anderson (1993, 213-214); dan Carroll(1994, 3-16).

C H R I S D A L Y ��

Page 105: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Definisi ini menggunakan anggota keluarga kecil istilah yang sa-ma. Ada juga hubungan semacam itu di antara konsep hari-haridalam seminggu—merupakan kebenaran konseptual bahwa hariSelasa segera menggantikan hari Senin dan mendahului hari Ra-bu—meskipun konsep-konsep tersebut tidak dapat dianalisis tanpasirkularitas. Contoh filosofis lebih kontroversial. Carroll mengang-gap PENYEBABAN, PELUANG, KONDISI KONTRAFAKTUAL, dan HU-KUM ALAM memiliki hubungan konseptual satu sama lain, tetapidia lebih jauh berpendapat bahwa konsep-konsep tersebut tidakdapat dianalisis tanpa sirkularitas (Carroll 1994, 5–7). Gupta danBelnap mengklaim bahwa konsep yang beragam seperti konsepKEBENARAN, PREDIKASI, KENISCAYAAN, dan OBJEK FISIK itu tidakdapat dianalisis tanpa sirkularitas (Gupta dan Belnap 1993, bab 6dan 7). Pekerjaan teknis telah dilakukan dengan mengatakan jenisanalisis sirkular mana yang dapat diterima (Gupta dan Belnap 1993,bab 4; Humberstone 1997). Namun, masih belum jelas apakah de-markasi formal antara analisis sirkular yang dapat diterima dananalisis sirkular yang tidak dapat diterima itu dapat diberikan (Kee-fe 2002). Meskipun demarkasi seperti itu tidak dapat diberikan, halitu tidak mendiskreditkan saran bahwa ada analisis yang informatiftetapi sirkular.

�.� Rekam Jejak Analisis Filosofis

Analisis filosofis tampaknya memiliki rekam jejak yang buruk. Adarelatif sedikit analisis filosofis yang secara luas disetujui sebagaianalisis yang benar. Dengan satu atau lain cara, hampir setiap anali-sis filosofis yang telah diajukan menghadapi keberatan. Keberatanseperti itu mungkin mengatakan bahwa ada contoh-tandingan yangaktual atau mungkin bagi analisis, atau bahwa analisisnya sirkular,atau bahwa analisannya lebih tidak jelas daripada analisandum-nya. Mungkin keberatan ini bisa diatasi, tapi tidak ada kesepakatan

�� C H R I S D A L Y

Page 106: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

tentang itu juga. Singkatnya, analisis filosofis memiliki sejarah ke-berhasilan yang kecil dan kegagalan dimana-mana (Fodor 1998,69-70).

Sekalipun rekam jejak analisis filosofis seburuk yang diklaim,sejarah kegagalan ini sebenarnya bisa dianggap sebagai bukti yangmendukung proyek analisis filosofis. Georges Rey membanding-kan rekam jejak itu dengan kombinasi keberhasilan dan kegagalanyang dimiliki sains dalam mempostulatkan entitas takteramati (Rey2004, 243-44). Ukuran kesuksesan menunjukkan bahwa sains itu“telah menemukan sesuatu yang penting”. Ukuran kegagalan me-nunjukkan bahwa apa yang dilakukan sains itu tidak semuanyaangan-angan. Karena jika itu semua hanya angan-angan, sains ti-dak akan mengalami kemunduran. Ia akan dapat memutar fiksinyatanpa pemeriksaan. Dalam kasus analisis filosofis, semua pihak se-tuju bahwa kita menemukan alasan untuk menolak banyak analisis.Penolakan kita terhadap analisis ini adalah ukuran kegagalan kitadalam menemukan analisis filosofis. Tetapi fakta bahwa kita me-miliki alasan untuk menolaknya adalah ukuran keberhasilan kitadalam melacak hal-hal yang memberikan alasan tersebut. Rey meng-anggap bahwa apa yang kita lacak adalah konsep, dan pelacakanitu sendiri terdiri dari kompetensi konseptual kita—pemahamankita terhadap konsep yang dimaksud. Bagaimanapun, pola-pola inimembutuhkan penjelasan.

Quine berusaha menjelaskan dengan cara lain pola perilakulinguistik yang oleh filsuf lain dianggap menunjukkan pemahamankebenaran analitik. Dalam pandangannya, kebenaran analitik itumencerminkan klaim yang sentral bagi sistem kepercayaan kita,sehingga mencerminkan klaim yang dipegang teguh. Namun, hipo-tesis sentralitas Quine ini memiliki nilai yang meragukan. Misalnya,klaim pandangan umum Moorean (“ini adalah tangan”, “Saya telahhidup selama beberapa tahun”) itu sentral bagi sistem kepercayaankita, dan itu dipegang teguh. Namun klaim itu tampak tidak seperti

C H R I S D A L Y ��

Page 107: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

kebenaran konseptual. Lebih jauh, Quine menganggap klaim yangsentral bagi sistem kepercayaan kita itu sebagai pemberi penjelasanyang penting. Tetapi tidak setiap kebenaran konseptual itu merupa-kan pemberi penjelasan yang penting (misalnya, jago adalah ayamjantan��) tidak seperti hukum ilmiah.��

Kembali ke masalah rekam jejak analisis filosofis, pencarian ana-lisis itu sangat berharga bahkan jika tidak ada kesepakatan tentanganalisis mana yang benar. Pertimbangkan upaya untuk menganali-sis konsep PENGETAHUAN. Konsep ini telah menjelaskan persoalan-persoalan seperti “penaklukan bukti, kondisi kausal dan kontra-faktual pada pengetahuan dan pembenaran, dan peran epistemikfaktor eksternal seperti konteks sosial dan keandalan mekanismepembentukan keyakinan” (Conee 1996, 265, nomor 9). Pengamatanserupa berlaku untuk konsep filosofis lainnya, seperti PENYEBABAB,PERSEPSI, dan RASIONALITAS. Dalam hal ini, rekam jejak analisisfilosofis terlihat jauh lebih memuaskan.

Bagian sebelumnya membahas gagasan bahwa ada analisis yanginformatif tetapi sirkular. Jika ide ini dapat dipertahankan, makarekam jejak analisis filosofis dapat dinilai kembali. Jika kita hanyamempertimbangkan analisis yang tidak sirkular, maka dapat diakuibahwa analisis filosofis memiliki rekam jejak yang buruk. Namun,jika kita mempertimbangkan analisis sirkular yang informatif, makasemuanya mungkin terlihat sedikit lebih baik. Seperti yang telahkita lihat, analisis terhadap “produsen” dalam kaitannya dengan“konsumen” itu sirkular karena “konsumen” sendiri dianalisis da-lam kaitannya dengan “produsen”. Terlepas dari sifat sirkularitas,penggunaan satu konsep mungkin merupakan kondisi niscaya yang

�� Contoh yang diberikan Penulis adalah “vixens are female foxes”. Contoh ini tidakbisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidakmemiliki sebutan khusus untuk rubah betina sebagaimana bahasa Inggris punya“vixen”. Karenanya, untuk mengatasi masalah itu, saya menggantinya dengancontoh “jago adalah ayam jantan”—penerj.

�� Untuk perbedaan lebih lanjut, lihat Rey (2004, 244-245).

�� C H R I S D A L Y

Page 108: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

penting bagi penggunaan konsep lain; atau mungkin merupakankondisi yang cukup penting bagi penerapan konsep lain. Pemetaan“geografi konseptual” semacam ini dapat bernilai secara filosofis(Carroll 1994, 15-16).

Terakhir, ada beberapa alasan mengapa kita harus mengharap-kan analisis filosofis, bahkan analisis yang sirkular, itu sulit danhasilnya kontroversial. Analisis yang benar terhadap sebuah kon-sep itu akan mengungkapkan aturan yang mengatur penggunaankonsep tersebut. Tetapi pemilik konsep tersebut tidak perlu secarasadar mengetahui aturan itu, apalagi cara merumuskannya. Aturanseperti itu adalah “sub-doksastik”: ia ada di bawah tingkat keyakin-an sadar. Jika orang-orang tidak perlu mengetahui aturan semantikyang memandu penggunaan konsep mereka, satu-satunya cara un-tuk mengetahui apa isi konsep mereka, apa yang ditentukan olehaturan semantik itu, adalah dengan membuat teori berdasarkan apayang mereka introspeksi dan observasi tentang perilaku linguistik.Karena perilaku seperti itu adalah hasil dari sejumlah pengaruhselain aturan semantik yang mengatur konsep, tidak mengherankanjika sulit untuk mencapai konsensus tentang apa yang ditentukanoleh aturan semantik tersebut. Pengamatan ini juga relevan denganmasalah kemiripan keluarga pada bagian sebelumnya. Jika aturanyang mengatur isi konsep bersifat sub-doksastik, dan dengan demi-kian orang tidak memiliki akses sadar ke sana, informasi yang bisamereka akses secara sadar mungkin memiliki karakter yang sangatberbeda, seperti karakter kemiripan keluarga.

�.�� Evaluasi

Mari kita evaluasi pembahasan kita sejauh ini. Kita telah memulaidengan model analisis filosofis tertentu (§3). Kemudian kita mem-bahas berbagai masalah yang dihadapi model ini. Tidak semuamasalah tersebut tampak takteratasi. Moore berpendapat bahwa

C H R I S D A L Y ��

Page 109: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

konsep KEBAIKAN INTRINSIK itu tidak dapat dianalisis, tetapi argu-men pertanyaan terbukanya tampaknya cacat (§5). Paradoks analisis(§6) adalah persoalan bagaimana bisa ada analisis yang informatifjika analisandum dan analisannya mengungkapkan konsep yangsama. Salah satu cara yang menjanjikan solusi adalah menganggapkeinformatifan analisis itu dihasilkan dari istilah-istilah yang secarasintaksis berbeda dan memiliki struktur semantik berbeda tetapimengungkapkan konsep yang sama. Masalah yang lebih serius ada-lah masalah analisis ganda (§7). Masalahnya di sini adalah bahwabisa ada beberapa analisis yang sama baiknya terhadap analisan-dum yang sama yang berbeda artinya. Masalah lain menyangkutkasus kemiripan keluarga (§8). Orang-orang tidak mengetahui kon-disi niscaya dan cukup bagi penggunaan banyak konsep meskipunmereka dapat menggunakan konsep tersebut dengan sukses di ba-nyak kasus. Terlalu sering orang hanya mengetahui serangkaiankemiripan yang longgar di antara hal-hal yang termasuk dalamkonsep tertentu. Namun, kita berpandangan bahwa patut diperta-nyakan jika berdasarkan hal tersebut kita menyimpulkan bahwakonsep itu tidak memiliki kondisi penggunaan yang niscaya dancukup. Terakhir, ada masalah tentang kelangkaan analisis filosofisyang berhasil (§9). Jawaban kuncinya adalah bahwa derajat keber-hasilan dan kegagalan analisis filosofis sesuai dengan apa yang kitaharapkan jika ia terlibat dengan pokok bahasan asli, dan bahwatingkat keberhasilannya lebih tinggi jika kita memasukkan analisissirkular yang informatif.

Di sisa bab ini, kita akan membahas tiga pandangan tentanganalisis yang merupakan alternatif bagi model yang telah disajikandalam §3. Pandangan-pandangan ini secara khusus didorong olehperhatian untuk “menaturalisasi” analisis filosofis—untuk menun-jukkan bagaimana analisis filosofis itu bisa sesuai dengan penyeli-dikan ilmiah dan metode empirisnya. (Pembahasan ini menerka ada-nya penerimaan yang meluas terhadap naturalisme di bab 6.) Ketiga

��� C H R I S D A L Y

Page 110: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

pandangan yang dimaksud di atas adalah pandangan-pandanganyang ditawarkan oleh David Lewis dan Frank Jackson (§11), GeorgesRey (§12), dan W.V. Quine (§13). Pembahasan tentang pandanganQuine akan mengeksplorasi pandangannya tentang analisis filosofissebagai eksplikasi. Ini akan mengarah pada pembahasan tentangpenggunaan parafrase dalam filsafat (§14).

�.�� Menaturalisasi Analisis: Pandangan Lewisdan Jackson

Versi mutakhir yang penting dari analisis konseptual dikenal se-bagai Canberra Plan (Lewis 1994, khususnya 298-303; Jackson 1998,khususnya bab 1–3; Nolan 2005, bab 9; dan Braddon-Mitchell danNola 2009, bab 1). (Nama ini adalah label pada bagaimana berfil-safat di School of Philosophy di Research School of Social Sciencesdi Australian National University, Canberra). Misalkan kita ingintahu pokok soal tertentu yang menarik secara filosofis. Semisal, kitaingin tahu apa itu perubahan temporal atau apa itu identitas atauapa itu warna. Canberra Plan menawarkan program tiga langkahberikut untuk mengetahui sifat dasar pokok soal tersebut.

Pertama: kumpulkan klise orang-orang tentang pokok soal tersebut.Tugas pertama adalah menyusun intuisi tentang pokok soalnya.Yang diinginkan adalah intuisi yang diterima secara luas, jika ti-dak secara suara bulat. Ia adalah intuisi yang dimiliki semua orang.Untuk diterima secara luas, isi dari intuisi ini harus jelas dan tidakkontroversial. (Ingat daftar klaim pandangan umum Moore di bab1, §2.) Oleh karena itu, intuisi yang akan dikumpulkan adalah kliseorang-orang tentang pokok soal yang dimaksud. Sejauh penemuanintuisi apa yang kita miliki dapat dilakukan secara apriori, bagiandari program ini adalah kerja apriori. Misalnya, daftar klise orang-orang tentang warna itu memberikan gambaran tentang konsep

C H R I S D A L Y ���

Page 111: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

WARNA. Daftar ini mencakup omong kosong seperti bahwa war-na tampak sebagai sifat objek yang terlihat, bahwa warna dapatbertahan melalui perubahan kondisi pencahayaan, bahwa warnamenyebabkan pengalaman indrawi kita terhadap warna, bahwa adasesuatu yang terlihat yang dimiliki oleh semua hal yang memilikiwarna sama, dan seterusnya. Dengan mendeskripsikan konsep WAR-NA, daftar klise orang-orang itu menggambarkan peran tertentu,“peran warna”, sebagaimana kita menyebutnya.

Kedua: temukan apa yang menempati peran tersebut. Setelah meng-gunakan omong kosong orang-orang untuk menggambarkan perantertentu, kemudian muncul pertanyaan tentang apa yang menem-pati peran itu. Klise orang-orang tentang warna mengatakan bahwawarna adalah, antara lain, sifat yang terlihat dari permukaan bendadan penyebab pengalaman indrawi kita tentang warna. Tapi apayang menempati peran ini? Jika klise orang-orang ini menggam-barkan suatu peran, tugas lainnya adalah menemukan apa yangmenempati peran itu.

Setidaknya dalam beberapa peran, apa yang menempati perantersebut adalah sebuah fakta kontingen. Barangkali di satu duniayang mungkin, sesuatu mengalami perubahan seiring waktu de-ngan tetap identik sepanjang waktu dan sifat-sifatnya berbeda padawaktu yang berbeda. Barangkali di dunia lain yang mungkin adasesuatu yang mengalami perubahan seiring waktu karena memi-liki bagian temporal yang berbeda. Kita tidak dapat mengatakansecara apriori cara mana yang terlibat agar sesuatu berubah seiringwaktu di dunia nyata (Jackson (1994)). Jadi kita perlu menggunakansarana aposteriori untuk menemukan apa yang menempati peranperubahan dari waktu ke waktu.

Lebih jauh, bahkan dalam kasus peran yang kita dapat kata-kan secara apriori bahwa satu hal tertentu dapat menempati peranitu, masih ada pertanyaan lebih lanjut apakah ada sesuatu yangbenar-benar menempati peran itu. Misalnya, mungkin intuisi kita

��� C H R I S D A L Y

Page 112: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

tentang kebebasan bertindak itu mencakup intuisi libertarian bahwatindakan bebas tidak dapat ditentukan oleh peristiwa di masa lalu.Dengan asumsi bahwa di dunia nyata tindakan kita ditentukan,tidak ada yang secara sempurna mewujudkan peran kebebasanbertindak. Tetapi mungkin ada sesuatu dari kehidupan mental kitayang memenuhi banyak intuisi lainnya tentang kebebasan, teruta-ma banyak intuisi yang lebih penting (Jackson 1998, 44-45). Dalamkasus tersebut, meskipun tidak ada hal yang secara sempurna me-nempati peran kebebasan bertindak, mungkin ada “hal yang secaratidak sempurna menempati peran itu” dan “hal yang secara tidaksempurna layak” bagi ungkapan “kebebasan bertindak.” Sepertiyang dikatakan Lewis, “[ketika] berkaitan dengan soal pendudukansuatu peran, dan dengan demikian soal kelayakan mendapat nama,cukup dekat sudah cukup baik” (Lewis 1996, 58).�� Kita akan memi-liki kebebasan bertindak, meskipun apa yang kita miliki tidak persissama dengan daftar intuisi tentang kebebasan. Sekali lagi, perlu in-vestigasi aposteriori untuk mengetahui apa yang menempati, atauapa calon terbaik untuk menduduki, peran yang telah ditandai olehdaftar intuisi orang-orang.

Ketiga: identifikasi pokok soal tersebut dengan apa yang menempatiperannya. Tahap pertama dari program Canberra Plan mengatakanbahwa klise orang-orang tentang sebuah pokok soal itu menentukanperan tertentu, dan bahwa apa pun yang menempati peran ituidentik dengan pokok soal tersebut. Tahap kedua menginstruksikankita untuk menemukan apa yang menempati peran itu. Oleh karenaitu, apa pun yang menempati peran itu identik dengan pokok soaltersebut. Dalam bentuk slogan: menjadi F berarti menempati peran-F .

Jackson secara resmi memberi analisis konseptual tugas seder-hana untuk mengidentifikasi peran-F dengan mengumpulkan klise

�� Lihat juga Lewis (1989, 92-94) dan Nolan (2005, 223-227).

C H R I S D A L Y ���

Page 113: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

orang-orang tentang F , dan menetapkan apakah klise orang-orangitu konsisten dengan apa yang diklaim oleh sains tentang dunia(Jackson 1998, 42-44). Namun dia juga menempatkan analisis kon-septual pada tugas yang jauh lebih ambisius untuk menentukanpeniscayaan konseptual di antara deskripsi dunia yang berbeda.Ambillah deskripsi yang benar tentang apa pun di dunia. Denganmengambil dua contoh Jackson, ini mungkin berupa psikologi orangatau warna objek. Tugas ambisiusnya adalah berikut ini: berdasar-kan fisikalisme—klaim bahwa segala sesuatu bersifat fisikal—setiapdeskripsi yang benar tentang apa pun di dunia ini secara aprioridapat disimpulkan dari deskripsi tentang dunia dalam kerangkafisika fundamental. Untuk mempertahankan pandangan bahwa adawarna atau pikiran di dunia kita, kita perlu menunjukkan bagai-mana hal-hal yang diceritakan dalam kosakata fisika fundamentalmembenarkan hal-hal yang diceritakan dalam kosakata warna ataupsikologi. Ini mengharuskan kita untuk mendefinisikan pokok soaltersebut, dan untuk melakukan ini kita harus melakukan analisiskonseptual. Ini adalah tesis “hal berdasarkan peniscayaan” Jack-son yang diterapkan pada kasus fisikalisme (Jackson 1998, 6–8).Perhatikan bahwa peran hal berdasarkan peniscayaan yang ambi-sius untuk analisis filosofis ini melampaui peran apa pun dalammengumpulkan dan mensistematisasikan intuisi orang-orang. Di-ragukan bahwa bahkan ada klise orang-orang tentang bagaimanadeskripsi mikrofisika berhubungan dengan deskripsi psikologisatau warna.��

�� Kekhawatiran yang sama diungkapkan oleh Beaney (2001, 523-525). Untuk kritiklain terhadap Canberra Plan, lihat Block dan Stalnaker (1999), Laurence dan Margolis(2003), Mišcevic (2001), Schroeter (2006), Melnyck (2008a), Williamson (2007, 121-129), Polger (2008), dan Balaguer (2009).

��� C H R I S D A L Y

Page 114: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

�.�� Menaturalisasi Analisis: Pandangan Rey

Rey telah berusaha untuk menunjukkan bagaimana analisis filosofisdapat dibuat “diterima secara naturalistik” (Rey 2004, 2005a, b). Inimenunjukkan bagaimana analisis filosofis dapat bersatu denganpenyelidikan empiris ilmu kognitif terhadap struktur konsep, danpenyelidikan ilmiah yang lebih luas terhadap sifat substansi danproses. Bagian ini akan menguraikan dan menilai upaya Rey untukmerekonsiliasi antara analisis konseptual dan ilmu empiris.��

Konsep adalah alat representasi. Ia seperti peta. Konsep HARI-MAU merepresentasikan harimau: ia memberikan informasi tentangharimau (jika memang ada harimau). Demikian pula, konsep HAN-TU merepresentasikan hantu: konsep ini memberikan informasitentang hantu (jika memang ada hantu). Dan seterusnya. Sepertiyang diperlihatkan contoh-contoh ini, beberapa konsep merepre-sentasikan hal-hal aktual (seperti harimau) sedangkan konsep laintidak bisa merepresentasikan hal-hal aktual (seperti hantu). KonsepHANTU merepresentasikan hantu dengan cara yang sama sepertipeta Atlantis merepresentasikan Atlantis. Dalam istilah yang bergu-na, konsep seperti HARIMAU itu “penuh” sedangkan konsep sepertiHANTU itu “kosong”.

Dalam kedua kasus tersebut, satu sumber informasi tentangsebuah konsep disediakan oleh informasi yang dikodekan dalamkonsep itu sendiri. Misalnya, konsep JANDA mengodekan informasiseperti bahwa seorang janda adalah seseorang yang suaminya telahmeninggal. Ini juga mengodekan informasi inferensial. Misalnya, iamengodekan informasi bahwa inferensi apa pun yang berbentuk“x adalah seorang janda, jadi x adalah wanita” itu valid. Seluruhinformasi inferensial yang dikodekan oleh sebuah konsep itu me-nentukan apa yang disebut “peran inferensial” konsep. Memilikikonsep JANDA berarti memiliki representasi mental yang mengode-�� Lihat juga Mišcevic (2005).

C H R I S D A L Y ���

Page 115: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

kan informasi yang relevan, baik informasi proposisional maupuninferensial. Informasi semacam ini tersedia bagi siapa saja yangmemiliki konsep tersebut pada saat refleksi (“di kursi berlengan”).Oleh karena itu, informasi semacam itu secara tradisional dianggapdapat diketahui secara apriori oleh pemilik konsep yang relevan,dan informasi yang dikodekan dalam konsep tersebut mengandungkebenaran konseptual.

Dalam kasus konsep penuh, tersedia sumber informasi tambah-an. Ini adalah informasi yang diberikan oleh hal-hal aktual yangdirepresentasikan oleh konsep tersebut. Konsep HARIMAU merepre-sentasikan hal yang aktual, yaitu harimau; informasi tentang hari-mau merupakan konten tambahan untuk konsep itu. Selain itu, jikaharimau memiliki sifat esensial—sifat yang penting bagi sesuatuuntuk menjadi seekor harimau—dan kita hanya dapat mengetahuisecara aposteriori apa sifat esensial ini, maka penyelidikan ilmiahdiperlukan untuk memberikan informasi tentang harimau ini, dandengan demikian tentang konsep HARIMAU. Andaikan, misalnya,adalah esensial bagi harimau untuk memiliki urutan DNA tertentu.Makhluk yang tidak memiliki urutan DNA tersebut bukanlah hari-mau bahkan jika ia terlihat dan berperilaku secara mencolok sepertiharimau aktual pada umumnya (typical). Ia adalah harimau palsu.Dan makhluk yang memiliki urutan DNA tersebut adalah harimaubahkan jika penampilan dan perilakunya sangat berbeda denganharimau aktual pada umumnya. Ia adalah harimau yang tidak padaumumnya (atypical). Maka konsep HARIMAU hanya merepresenta-sikan hal-hal yang memiliki urutan DNA tersebut. Konsep ini tidakdapat merepresentasikan harimau palsu, tetapi dapat merepresen-tasikan harimau yang tidak pada umumnya. Selain itu, informasibahwa penting bagi harimau untuk memiliki urutan DNA tertentuitu hanya dapat diketahui secara aposteriori. Oleh karena itu, kita ha-nya dapat mengetahui secara aposteriori bahwa konsep HARIMAU

merepresentasikan hal-hal yang secara jelas terlihat dan berperilaku

��� C H R I S D A L Y

Page 116: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

tidak seperti harimau aktual pada umumnya tetapi memiliki urutanDNA yang sama dengan harimau pada umumnya. Demikian juga,kita hanya dapat mengetahui secara aposteriori bahwa konsep initidak merepresentasikan hal-hal yang secara superfisial menyerupaiharimau pada umumnya tetapi tidak memiliki DNA harimau padaumumnya. Ini akan membutuhkan penyelidikan dan teori ilmiahuntuk mengungkap informasi itu.

Singkatnya, ada dua sumber informasi tentang konsep penuh.Ada informasi yang dikatakan konsep tentang hal-hal aktual yangia representasikan—informasi yang dikodekan oleh konsep—danada hal-hal aktual yang direpresentasikan oleh konsep tersebut.Tampaknya tidak ada yang tidak menguntungkan dengan menggu-nakan kedua sumber tersebut saat kita bisa mencari tahu tentangkonsep tertentu. Mendapatkan informasi yang substantif dan dapatdiandalkan tentang apa saja, termasuk isi konsep, itu memang sulit.Kita membutuhkan semua bantuan yang bisa kita dapatkan.

Mari pertimbangkan sumber informasi pertama lebih lanjut.Tiga pertanyaan yang patut ditanyakan:

(P1) Bagaimana kita mengetahui informasi apa yang dikodekan da-lam sebuah konsep?

(P2) Apakah informasi yang dikodekan dalam sebuah konsep ituharus benar?

(P3) Jika tidak, bagaimana kita bisa mengetahui kapan informasitersebut benar?

Bagaimana kita mengetahui informasi apa yang dikodekan da-lam sebuah konsep? Informasi itu secara standar dianggap terdiridari kebenaran konseptual. Jadi pertanyaannya secara ekuivalendapat diajukan: bagaimana kita mengetahui informasi apa yangmengungkapkan kebenaran konseptual? Ambil contoh. Hampirsetiap orang memiliki banyak kepercayaan tentang harimau. Ke-percayaan manakah yang mengungkapkan kebenaran konseptualtentang harimau—informasi yang dikodekan dalam konsep HA-

C H R I S D A L Y ���

Page 117: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

RIMAU— dan kepercayaan mana yang tidak? Mungkin kita bisamendapatkan bukti bahwa proposisi tertentu adalah kebenarankonseptual dengan melakukan jajak pendapat pada orang-orangtentang kalimat mana yang menurut mereka dapat dipahami, tidakdapat dipahami, jelas benar, dan seterusnya. Tapi, pertama, kategorikebenaran konseptual itu melakukan klasifikasi silang terhadap be-berapa kategori ini: kebenaran yang jelas (seperti bahwa uang tidaktumbuh di pohon) tidak perlu menjadi kebenaran konseptual, dankebenaran konseptual (seperti bahwa sepupu kedua memiliki kakekbuyut yang sama dengan kita) tidak perlu terlihat jelas. Selain itu,penilaian orang tentang keterpahamian dan kejelasan itu sensitifterhadap keyakinan mereka tentang dunia dan juga terhadap sebe-rapa membosankan, atau seberapa terlalu bersemangat, imajinasimereka (Rey 1994, 88). Masalahnya di sini terkadang dikemukakanoleh Quinean sebagaimana berikut: Bagaimana kamu membedakanantara kamus dan ensiklopedia? Ide di balik pertanyaan ini adalahbahwa jika kamus mendaftar kebenaran makna sedangkan ensiklo-pedi mendaftar fakta-fakta lain, bagaimana kamu bisa mengetahuiinformasi mana yang harus masuk ke dalam kamus dan mana yangharus masuk ke dalam ensiklopedia? Mungkin kebenaran konseptu-al tentang harimau tersedia untukmu di kursi berlenganmu, tetapibanyak informasi asing tentang harimau juga tersedia untukmu dikursi berlenganmu. Seperti yang dikatakan Gilbert Harman, tidakada perbedaan antara kamus mental kita dan ensiklopedia mentalkita. Masing-masing dari kita memiliki keyakinan tentang harimau,tetapi tidak ada garis tegas antara keyakinan tentang harimau yang(diduga) benar semata berdasarkan makna dan yang benar karenafakta (Harman 1973, 97).

Sangat menggoda untuk mencoba menyaring informasi asingini dengan mengatakan bahwa kebenaran konseptual tentang ha-rimau terdiri dari informasi tentang harimau yang harus kamuperoleh ketika kamu mempelajari makna kata “harimau”, atau yang

��� C H R I S D A L Y

Page 118: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

diturunkan dari apa yang kamu pelajari. Satu kesulitan di sini ada-lah jika kebenaran konseptual tentang harimau dipelajari dengancara ini, maka harus ada pembedaan antara informasi yang diper-lukan untuk mempelajari makna “harimau” dan semua informasilain tentang harimau. Tetapi bagaimana kamu mengetahui apa yangberada di salah satu sisi dari pembedaan ini? Kita kembali ke tempatkita memulai.

Berikut ini satu saran tentang cara menangani masalah terse-but. Ini mengacu pada apa yang disebut “teori penguncian” kontenmental dan kepemilikan konsep (lihat Stampe 1977 atau Dretske1988). Teori ini mendapatkan namanya dari klaimnya bahwa kata-kata dan konsep mendapatkan kontennya dengan memilih, atau“mengunci”, fitur-fitur dunia. Apa yang orang maksudkan dengansebuah kata—yaitu, konsep yang mereka asosiasikan dengan kata—menentukan penggunaan kata tersebut untuk apa, dalam keadaanepistemik yang ideal. Jika seseorang memiliki konsep GAGAK, makadia akan menggunakan konsep itu pada beberapa hal dan tidakpada hal yang lain. Dia melakukan hal itu sebagian karena kontenkonsep tersebut—konsep yang mengatakan bahwa gagak adalahbegini-dan-begitu—dan sebagian karena informasi yang dia milikitentang hal apa saja yang begini-dan-begitu. Biasanya, informasiseseorang tentang dunia itu tidak lengkap atau cacat, dan dia tidakmemproses informasi apa yang dia miliki dengan cara yang sepe-nuhnya rasional (misalnya, dia tidak menghilangkan kontradiksidalam informasinya). Akibatnya, orang tersebut tidak akan meng-gunakan konsep tersebut pada semua gagak dan hanya pada gagak.Meskipun dia akan menggunakan konsep tersebut pada beberapagagak, dia juga akan salah menggunakan konsep tersebut karenadia tidak akan menggunakannya pada beberapa gagak yang lainatau dia akan menggunakannya pada beberapa hal yang bukangagak.

Untuk mengatasi kesulitan ini, pertimbangkan seseorang dalam

C H R I S D A L Y ���

Page 119: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

keadaan epistemik yang ideal. Misalkan orang tersebut sepenuhnyarasional dan sepenuhnya mengetahui tentang hal mana saja yangbegini-dan-begitu. Mengingat konsep orang tersebut mengatakanbahwa gagak adalah begini-dan-begitu, dia akan menggunakan kon-sepnya untuk semua gagak dan hanya pada gagak. Secara umum,seseorang memiliki konsep F jika dan hanya jika orang tersebutakan menerapkan konsep itu ke semua F dan hanya pada F , dalamkeadaan epistemik yang ideal. Keadaan itu adalah keadaan saatorang tersebut sepenuhnya rasional dan tahu informasi tentangsegala sesuatu kecuali tentang hal mana saja yang merupakan F

dan hal mana saja yang bukan F .Penjelasan tentang kepemilikan konsep ini menawarkan jawab-

an atas tantangan Quinean tentang bagaimana membedakan antaramasalah makna dan masalah fakta. Mungkin kamu dan saya ti-dak setuju tentang apa yang harus kita sebut dengan kata “gagak”.Apakah dengan kata “gagak” kita memaksudkan hal yang berbedaatau kita memaksudkan hal yang sama tetapi memiliki keyakinanyang berbeda tentang gagak? Menurut penjelasan yang disarankan,dengan kata “gagak” kamu dan aku memaksudkan hal yang samajika dan hanya jika: mengingat bahwa kita sepenuhnya rasional dandiberi informasi yang lengkap, kita akan setuju tentang hal manasaja yang merupakan gagak. Namun, jika kita berada dalam keada-an epistemik yang ideal, tetapi kita tidak setuju tentang hal apa sajayang harus kita sebut dengan kata “gagak”, maka masing-masingdari kita akan menggunakan kata itu dengan makna yang berbeda(Rey 1983, 255–56; dan 1994, 92–95).

Analisis yang benar terhadap suatu konsep akan mengungkap-kan aturan yang mengatur penggunaan konsep itu. Tetapi pemilikkonsep itu tidak perlu secara sadar mengetahui aturan itu, apalagicara merumuskannya. Aturan seperti itu adalah “sub-doksastik”. Iaberada di bawah tingkat keyakinan sadar dan tidak dapat diaksesoleh introspeksi. Tidak ada yang tidak diinginkan dalam hal ini.

��� C H R I S D A L Y

Page 120: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

Aturan tata bahasa yang ingin dirumuskan oleh ahli bahasa jugasub-doksastik.�� Jika orang-orang tidak perlu mengetahui aturan se-mantik yang memandu penggunaan konsep mereka, maka merekaharus membuat teori tentang konsep tersebut berdasarkan informa-si semantik apa pun yang disediakan oleh introspeksi dan perilakutersebut. Namun, perilaku linguistik orang tidak hanya ditentukanoleh aturan semantik yang mengatur konsep mereka. Secara khusus,keyakinan dan preferensi mereka memengaruhi perilaku mereka.Perbedaan keyakinan dan preferensi orang dapat menyebabkanperbedaan penggunaan konsep tertentu, terlepas dari kenyataanbahwa aturan semantik yang sama mengatur konsep itu. Misalnya,aturan semantik yang mengatur konsep IKAN adalah bahwa kon-sep tersebut berlaku untuk semua makhluk air berdarah dingindengan sirip dan sisik. Seseorang mungkin memiliki konsep ini,tetapi, karena mereka memiliki keyakinan yang salah bahwa pausadalah makhluk air berdarah dingin dengan sirip dan sisik, merekasalah menggunakan konsep tersebut dengan menerapkannya padapaus. Sekali lagi, seseorang mungkin memiliki konsep ini, tetapi,karena mereka menganggap ikan air tawar sebagai ikan yang ti-dak memiliki sisik, mereka salah menggunakan konsep tersebutdengan tidak menerapkannya pada ikan air tawar. Terlepas dari per-bedaan perilaku mereka dari pemilik konsep IKAN pada umumnya,asalkan orang-orang ini memiliki konsep yang melibatkan aturansub-doksastik yang sama, mereka juga memiliki konsep IKAN.

Sampai saat ini kita telah menganggap tantangan Quinean inisebagai tantangan metafisik secara luas: “Apa perbedaan antaramasalah makna dan masalah fakta, antara perubahan makna danperubahan keyakinan?” Tantangan tersebut malah dapat dibuatsebagai tantangan epistemik: “Bagaimana kita bisa mengetahui apa-kah sesuatu adalah masalah makna dan masalah fakta, antara peru-

�� Untuk bacaan lebih lanjut tentang aturan-aturan sub-doksastik, lihat Stich (1978)dan Rey (2004, 84).

C H R I S D A L Y ���

Page 121: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

bahan makna dan perubahan keyakinan?” Kita dapat menggunakanteori penguncian di atas untuk membantu mengatasi tantangan ini.Misalkan kita menganggap seseorang memiliki konsep GAGAK mes-kipun mereka cenderung salah menggunakannya dalam beberapakasus (setidaknya menurut pandangan kita). Kemudian kita harusmengharapkan mereka untuk mengoreksi beberapa kesalahan peng-gunaan tersebut ketika mereka memperoleh lebih banyak informasiatau ketika mereka merenungkan praktik klasifikasi mereka. Jikaprediksi ini terkonfirmasi, maka ia merupakan bukti bagi hipotesisbahwa subjek tersebut memiliki konsep GAGAK. Jika prediksi initakterkonfirmasi, ia memberikan bukti yang bertentangan denganhipotesis tersebut dan mendukung hipotesis bahwa subjek tersebutmemiliki beberapa konsep lain yang ekstensinya tumpang tindihdengan konsep GAGAK.

Bagaimanapun, teori penguncian tentang kepemilikan konsepmenjanjikan pembedaan pokok antara masalah semantik dan masa-lah epistemologis. Namun, perhatikan bahwa metode epistemologisyang menjadi dasar teori penguncian dalam menjelaskan bagai-mana kita bisa mengetahui konsep mana yang dimiliki seseorangitu adalah metode empiris. Namun proyek tradisional analisis fi-losofis mensyaratkan bahwa kita memiliki akses apriori ke kontenkonsep kita, dan kita dapat mengetahui secara apriori informasimana yang termasuk ke dalam konten konsep dan mana yang tidak.Persyaratan itu kemudian tidak akan terpenuhi. Faktanya, telahdiperdebatkan bahwa “semua penjelasan yang tersedia tentang apaartinya memiliki sebuah konsep dengan konten tertentu itu memi-liki konsekuensi logis bahwa [persyaratan tersebut] itu salah ataugagal memberikan penjelasan yang memadai tentang bagaimanahal itu bisa benar” (Melnyck 2008a, 269).

Apakah informasi yang dikodekan dalam konsep harus benar?Banyak filsuf berbicara tentang kebenaran konseptual, dan merekamenganggap fakta bahwa sebuah konsep mengandung sepotong

��� C H R I S D A L Y

Page 122: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

informasi tertentu itu menjamin bahwa informasi itu benar. HartryField dengan tegas menantang pandang itu:

Mengapa fakta bahwa keyakinan atau penyimpulan tertentu tak-terpisahkan dari makna sebuah konsep itu menunjukkan bah-wa prinsip-prinsip ini benar? Mengapa fakta bahwa membuangkeyakinan atau penyimpulan tersebut mensyaratkan perubahanmakna itu menunjukkan bahwa kita tidak boleh membuang ke-yakinan atau penyimpulan tersebut? Mungkin makna yang telahkita sematkan pada istilah-istilah ini adalah makna buruk yangterikat erat dengan kesalahan, dan kebenaran hanya dapat dica-pai dengan membuang makna tersebut demi makna yang berbe-da (yang menyerupai makna tersebut dalam hal-hal utama tetapimenghindari kesalahannya yang tidak dapat diperbaiki). (Bidang2005, 85)

Misalkan konsep C mengodekan beberapa bagian informasi,yaitu proposisi tertentu p. Pembicaraan tentang p sebagai sebuahkebenaran konseptual itu terbuka untuk dua pembacaan. Satu pem-bacaan adalah sebagaimana berikut: jika konsep C mengodekanp, maka p benar. Ini adalah pembacaan yang ditentang oleh Field.Konsep adalah cara untuk merepresentasikan dunia. Fakta bahwap direpresentasikan sebagai benar itu tidak berarti bahwa p benar.Misalnya, fakta bahwa seorang guru, atau sebuah buku yang palingberharga, merepresentasikan proposisi bahwa dunia akan berakhirbesok sebagai proposisi yang benar, itu tidak secara jelas berarti bah-wa dunia akan berakhir besok. Pernyataan guru, buku, dan konsepadalah bentuk representasi. Dengan demikian, fakta bahwa sebuahkonsep merepresentasikan proposisi tertentu p sebagai proposisiyang benar itu tidak berarti p benar.

Ada cara lain untuk membaca klaim bahwa proposisi p adalahkebenaran konseptual. Pembacaan ini berpandangan sebagaimanaberikut: menurut konsep C, p itu benar. Menurut pembacaan ini, Cmerepresentasikan p sebagai benar. Namun, ini tidak berarti p itubenar. Pertimbangkan paralelnya: mungkin, menurut novel terten-

C H R I S D A L Y ���

Page 123: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

tu, Ottawa memenangkan pertandingan. Itu tidak berarti bahwaOttawa memenangkan pertandingan. Novel itu mungkin saja me-ngarang. Bahwa sesuatu (konsep, novel, guru) merepresentasikanp sebagai benar itu merupakan satu hal. Bahwa p benar itu meru-pakan hal yang lain. Dalam pembacaan ini, mengatakan bahwa p

adalah kebenaran konseptual tidak berarti mengatakan bahwa p

benar. Ia hanya mengatakan bahwa, menurut beberapa konsep, pitu benar.

Jika informasi yang dikodekan dalam sebuah konsep tidak ha-rus benar, bagaimana kita bisa tahu kapan ia benar? Salah satucaranya adalah dengan membandingkan informasi yang dikodekandalam konsep dengan informasi tentang hal-hal aktual yang kepa-danya konsep tersebut diterapkan. Jika dua kumpulan informasi itumenghasilkan klaim yang bertentangan, dan kumpulan informasitentang hal-hal aktual dianggap lebih andal, maka ada alasan untukmenolak informasi yang dikodekan dalam konsep tersebut.

Rey menyarankan bahwa:

. . . kita akan menemukan bahwa, dalam banyak kasus [kon-sep lengkap], penghargaan kita pada dunia mengurangi jumlahpengetahuan apriori yang dapat kita harapkan kita miliki berke-naan dengan dunia tersebut. (Rey 2005b, 478)

Dalam karyanya tentang topik ini, Rey tampaknya bekerja de-ngan sebuah dikotomi: entah informasi tentang konsep adalah ten-tang informasi yang dikodekan dalam konsep dan, karenanya, da-pat diketahui secara apriori, atau informasi tentang konsep adalahinformasi tentang contoh-contoh konsep dan, karenanya. hanya bisadiketahui secara aposteriori. Dikotomi ini dapat dilawan.

Pertama, dikotomi tersebut mengabaikan kemungkinan infor-masi tentang sebuah konsep yang dapat diketahui secara aprioriyang bukan informasi yang dikodekan dalam konsep tersebut. Be-berapa filsuf berpendapat sebagai berikut. Kebenaran matematisbukanlah kebenaran konseptual—yang benar berdasarkan konsep

��� C H R I S D A L Y

Page 124: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

penyusunnya. Kebenaran tersebut juga dapat diketahui secara apri-ori karena ia dapat diketahui tetapi tidak dapat diuji dengan obser-vasi. Pengetahuan apriori tentang kebenaran matematis memberikanpengetahuan apriori tentang konsep penyusunnya—pengetahuanapriori yang dalam keadaan lain tidak dapat kita miliki. Sebagaicontoh, pengetahuan apriori bahwa 7 + 5 = 12 memberikan penge-tahuan apriori tentang konsep 7, 5 dan 12. Ini adalah pengetahuanapriori bahwa apa yang direpresentasikan oleh konsep-konsep ter-sebut (yaitu, bilangan tertentu) berada dalam hubungan tertentu.Telah diperdebatkan bahwa apa yang berlaku untuk kebenaran ma-tematis juga berlaku untuk prinsip filosofis tertentu, seperti prinsipbahwa, untuk setiap sifat, terdapat sebuah objek abstrak yang (da-lam pengertian primitif khusus) memiliki sifat itu (Linsky dan Zalta1995). Berdasarkan pandangan ini, hal tersebut memungkinkan ki-ta untuk memiliki pengetahuan apriori tentang beberapa konsepfilosofis yang menarik, seperti konsep OBJEK ABSTRAK dan SIFAT,yang bukan merupakan informasi yang dikodekan dalam konseptersebut.

Kedua, dikotomi tersebut menyatakan bahwa informasi tentangcontoh aktual dari sebuah konsep itu merupakan informasi yanghanya dapat diketahui secara aposteriori. Klaim itu benar hanya jikacontoh aktual dari setiap konsep adalah hal-hal empiris dan kon-kret. Tetapi asumsi itu terbuka untuk dipertanyakan. Jika konsepPROPOSISI, BILANGAN dan HIMPUNAN memiliki contoh, contohnyaadalah objek abstrak—objek yang bukan hal-hal konkret dan empi-ris. Beberapa filsuf yang percaya bahwa ada objek abstrak sepertiitu berpandangan bahwa kita dapat memiliki pengetahuan aprio-ri tentangnya, dan bahwa kita tidak dapat memiliki pengetahuanaposteriori tentangnya.��

Bahkan jika contoh konsep tertentu adalah contoh konkret, be-

�� Lihat lagi Linsky dan Zalta (1995).

C H R I S D A L Y ���

Page 125: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

berapa filsuf meragukan apakah penelitian empiris dapat membe-rikan informasi yang signifikan secara filosofis tentang konsep ter-sebut. Pertimbangkan konsep PENGETAHUAN. Contoh-contohnyaadalah keadaan psikologis tertentu, yaitu keadaan mengetahui. Ta-pi bisakah pengetahuan diperiksa secara empiris seperti (katakan-lah) aluminium? Richard Feldman ragu. Dia mempertimbangkanperbandingan yang dibuat Hilary Kornblith antara metalurgi danepistemologi. Metalurgi tidak menggunakan metode apriori untukmempelajari konsep ALUMINIUM, tetapi menggunakan metode em-piris untuk mempelajari aluminium. Kornblith berpendapat bahwaepistemologi harus meniru metalurgi. Ia seharusnya tidak meng-gunakan metode apriori untuk menelaah konsep PENGETAHUAN,tetapi harus menggunakan metode empiris untuk menelaah penge-tahuan (Kornblith 1995, 243-44). Feldman berkomentar bahwa:

Namun, sulit untuk mengetahui secara pasti mengapa kita harusmenganggap bahwa pengetahuan itu seperti aluminium. Karenasatu hal, apa yang kita cari dalam kasus aluminium adalah pe-mahaman tentang konstitusi fisiknya. Kita ingin tahu ia terbuatdari apa, bagaimana ia berinteraksi dengan bahan-bahan lainnyadan mengapa, dan untuk apa kita bisa menggunakannya. Anali-sis kita tentang pengetahuan tidak memerlukan penjelasan ten-tang konstitusi fisiknya. Sangat diragukan bahwa ada hal seper-ti itu. Kita mungkin juga mencari analisis ilmiah tentang proses,seperti pembelahan sel. Tetapi pengetahuan bukanlah substansiseperti aluminium atau proses seperti pembelahan sel. Jadi, ana-logi seperti ini tidak memberikan alasan untuk mencari analisispengetahuan yang naturalistik. (Feldman 1998, 26)��

Apa yang dikatakan Feldman di sini tentang saran Kornblith me-miliki penggunaan yang jelas untuk penjelasan Rey tentang analisiskonseptual. Feldman akan berpikir bahwa kedua pendekatan terse-but salah paham. Dalam pandangannya, sains tidak dapat memberitahu kita apa itu pengetahuan, dan, untuk alasan yang sama, sa-

�� Lihat juga Feldman (2002, 179).

��� C H R I S D A L Y

Page 126: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

ins tidak dapat memberi tahu kita tentang konsep PENGETAHUAN.Jawaban ini mengangkat isu penting tentang peran sains dalamfilsafat. Kita akan membahas masalah ini secara panjang lebar dibab 6. Perlawanan terhadap bagian kedua dikotomi juga berasaldari bagian lain. Menurut minimalisme semantik, konsep-konsepsemantik, seperti konsep PENGETAHUAN dan PENGETAHUAN, itumengacu ke sifat, tetapi sifat tersebut hanya memiliki peran logis.Secara khusus:

Tidak seperti kebanyakan sifat lainnya, sifat benar itu tidak dapatdijadikan objek analisis konseptual atau ilmiah. (Horwich 1998,5)

. . . jenis sifat yang berbeda yang sesuai dengan peran yang ber-beda yang dimainkan predikat dalam bahasa kita, dan. . . kecualiperbedaan ini dihargai, kita akan tergoda untuk mengajukan per-tanyaan mengenai satu jenis yang secara sah dapat muncul hanyadalam kaitannya dengan jenis lain ... Menurut minimalisme, kitaharus. . . berhati-hati dalam mengasimilasikan sifat benar dengansifat-sifat seperti menjadi pirus, menjadi pohon, atau terbuat daritimah. Jika tidak, maka kita akan menemukan diri kita mencaristruktur konstitutifnya, perilaku sebab akibatnya, dan manifesta-sinya yang khas. . . . Kita akan bingung ketika ekspektasi ini tak-terpenuhi. . . . (Horwich 1998, 37–38)

Terlepas dari apakah minimalisme semantik itu benar atau tidak,ia merupakan posisi penting yang tampaknya terlewatkan olehdikotomi tersebut.

Di awal bagian ini kita mengajukan tiga pertanyaan, (P1–3).Saatnya meringkas jawaban kita. Ketiga pertanyaan tersebut adalah:

(P4) Bagaimana kita mengetahui informasi apa yang dikodekandalam sebuah konsep?

(P5) Apakah informasi yang dikodekan dalam sebuah konsep ituharus benar?

(P6) Jika tidak, bagaimana kita bisa mengetahui kapan informasitersebut benar?

C H R I S D A L Y ���

Page 127: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Di dalam menjawab (P1), teori penguncian konten menawarkanpenjelasan tentang informasi apa yang dikodekan dalam sebuahkonsep dan bagaimana kita dapat membedakan informasi itu. Na-mun, teori ini menawarkan penjelasan yang menurutnya kita hanyadapat mengetahui secara aposteriori informasi apa yang dikodekandalam sebuah konsep. Selanjutnya, kita melihat jawaban Field un-tuk (P2) bahwa informasi yang dikodekan dalam sebuah konseptidak harus benar. Fakta bahwa sebuah konsep merepresentasikanproposisi tertentu p sebagai benar tidak berarti p itu benar. Terakhir,cara kita untuk mengetahui apakah informasi yang dikodekan da-lam konsep tertentu itu benar akan sama dengan cara yang kitagunakan untuk mengetahui apakah sebuah informasi benar.

Penyelidikan kita atas upaya Rey untuk menaturalisasi analisismemiliki pesan yang beragam. Teori penguncian konten memberi-kan penjelasan yang menjanjikan tentang perbedaan antara infor-masi yang dikodekan dalam konsep dan informasi yang tidak diko-dekan di dalamnya. Masalah selanjutnya adalah apakah informasiyang dikodekan dalam konsep sudah benar. Di sini Rey mengklaimbahwa, dalam kasus konsep yang memiliki contoh, “penghormatankita kepada dunia mengurangi jumlah pengetahuan apriori yangdapat kita harapkan kita miliki berkenaan dengan dunia tersebut.”Namun, klaim Rey membuat beberapa asumsi yang dipertanya-kan. Orang yang belum berkomitmen pada naturalisme tidak akanmenerima semua asumsi tersebut.

Dalam kutipan di atas, Rey mengkualifikasi apa yang dikata-kannya dengan mengatakan bahwa hal itu berlaku untuk banyakkonsep penuh, bukan semuanya. Mungkin kualifikasinya adalahuntuk menunjukkan bahwa pandangannya hanya berlaku untukkonsep-konsep seperti DOLFIN dan MESON yang contoh-contohnyadapat diselidiki oleh sains empiris. Tetapi pembatasan seperti itudalam cakupan pandangannya akan mengurangi nilai pentingnya.Pandangan tersebut tidak akan berlaku untuk konsep filosofis yang

��� C H R I S D A L Y

Page 128: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

abadi seperti konsep HIMPUNAN dan PROPOSISI, dan akan tetapterbuka untuk diperdebatkan apakah ia berlaku pada konsep lainseperti PENGETAHUAN, KEBENARAN, atau RUJUKAN.

�.�� Menaturalisasi Analisis: Pandangan Quine

Menurut Quine, filsafat itu mengeksplorasi bagaimana teori sebaik-nya disistematisasi, disimplifikasi, dan diklarifikasi. Ada beberapaaspek dalam proses ini.

(1) Rezimentasi: sistemisasi dicapai dengan menyatakan sebuah teoridalam bahasa yang jelas dan ketat (yang oleh Quine disebut “notasikanonik”). Proses ini melibatkan pemilihan bahasa tertentu seba-gai bahasa kanonik (bagi Quine, ia adalah bahasa logika tatananpertama), dan kemudian menyatakan teori tersebut dalam bahasaitu.

(2) Proses penerjemahan ini membutuhkan eksplikasi: menggantiistilah yang tidak tepat dengan yang lebih tepat.

(3) Reduksi ontologis: fragmen bahasa tertentu tampaknya meng-andaikan komitmen pada jenis entitas tertentu, tetapi pola tersebutdapat diparafrasekan dalam kerangka fragmen lain, dan dengandemikian komitmen ontologis yang terlihat itu bisa dihindari.

(4) Komitmen ontologis: setelah menyatakan teori dalam bahasa ka-nonik, kita kemudian menentukan apa yang perlu ada (“domainkuantifikasi”) agar teori itu benar. Entitas yang oleh teori tersebutdikatakan ada, sesuatu yang kepadanya teori tersebut memiliki ko-mitmen ontologis, itu hanyalah entitas yang dikuantifikasi ketikateori tersebut ditetapkan dalam notasi kanonisnya.

Apa hubungan antara versi teori yang takterezimentasi dan

C H R I S D A L Y ���

Page 129: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

yang terezimentasi? Hubungannya bukan hubungan kesinonim-an (Quine 1960, 159). Versi yang terezimentasi harus menjalankanfungsi apa pun dari versi yang takterezimentasi yang menurut kitapenting. “Kita memilih fungsi tertentu dari ekspresi yang tidak jelasyang membuatnya layak untuk dirisaukan, dan kemudian meran-cang pengganti, yang jelas dan tersusun sesuai dengan keinginankita, yang memenuhi fungsi ini” (Quine 1960, 258–59). Ketika frag-men S dari sebuah bahasa direzimentasi sebagai S’, maka Quinemengatakan bahwa:

tidak ada panggilan untuk menganggap S’ sinonim dengan S.Hubungan S’ dengan S hanyalah bahwa urusan tertentu yangpada kesempatan itu tetap coba dilakukan oleh sang pembicara,dengan antara lain bantuan S, dapat dikelola dengan cukup baikuntuk memuaskan sang pembicara itu dengan menggunakan S’daripada S. Kita bahkan dapat membiarkan dia memodifikasi tu-juannya dalam peralihan dari S ke S’, jika dia mau. (Quine 1960,160)

Karena penerimaan terhadap sebuah parafrase itu bergantungpada “tujuan ilmiah dan filosofis” yang disajikan oleh fragmen ba-hasa tertentu, bagi Quine parafrase yang diusulkan itu dinilai dalamkaitannya dengan fungsi apa yang perlu dilakukan, dan bagaimanafungsi tersebut akan lebih baik jika dilakukan oleh parafrase. Apayang membuat parafrase menjadi baik adalah karena ia membuatteori kita lebih sederhana dan lebih jelas (Harman 1967, 352–56 danSuppes 1968).

Quine mengambil ide eksplikasi dari Carnap. Eksplikasi adalah“transformasi konsep pra-ilmiah yang tidak tepat, yaitu eksplikan-dum, menuju konsep baru yang tepat, yaitu eksplikatum” (Carnap1950, 3). Ada sejumlah persyaratan bagi sebuah eksplikasi. Ekspli-kan harus lebih tepat daripada eksplikandum. Ia juga harus serupadalam beberapa hal dengan eksplikandum, meskipun “kesamaanyang dekat tidak disyaratkan dan perbedaan yang cukup besar di-perbolehkan” (Carnap 1950, 7). Eksplikasi juga harus sederhana

��� C H R I S D A L Y

Page 130: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

dan bermanfaat (yaitu, harus menghasilkan hipotesis yang menariksecara teoritis). Contoh utama eksplikasi Carnap adalah eksplikasiterhadap istilah “hangat” yang tidak jelas dengan istilah “suhu”yang lebih tepat. Istilah “suhu” memiliki peran dalam teori termo-dinamika, dan kesederhanaan serta daya temut (inventiveness) teoritersebut berkontribusi pada kesederhanaan dan kebermanfaataneksplikasi “panas” dengan “suhu”.��

Quine meringkas pandangannya dalam paragraf berikut:

[Dalam sebuah analisis, kita] tidak mengklaim kesinoniman. Kitatidak mengklaim untuk memperjelas dan mempertegas apa yangdipikirkan oleh pengguna ekspresi yang tidak jelas selama ini. Ki-ta tidak mengungkapkan makna tersembunyi. . . . Kita memilihfungsi tertentu dari ekspresi yang tidak jelas yang membuatnyalayak untuk direpotkan, dan kemudian merancang sebuah peng-ganti, yang jelas dan tersusun sesuai keinginan kita, yang meme-nuhi fungsi ini. Di luar kondisi persetujuan parsial tersebut, yangditentukan oleh minat dan tujuan kita, setiap ciri eksplikan bera-da dalam pertimbangn “abaikan”. (Quine 1960, 258–59)

Berguna untuk mempertimbangkan seberapa jauh Quine ber-tolak dari model kerja analisis filosofis yang diuraikan dalam §3.Model itu berkata:

(1) Analisis itu memiliki bentuk logis bikondisional yang terkuan-tifikasi secara universal.

(2) Analisis itu niscaya benar. Ia memang benar secara analitik.(3) Analisis itu informatif.(4) Analisis itu dapat diketahui secara apriori.(5) Analisis itu dapat diuji dengan metode kasus hipotetis.

Singkatnya, eksplikan itu hanya perlu menangkap fungsi-fungsipenting dari eksplikandum. Jadi eksplikasi tidak perlu mengklaimbahwa kalimat yang direzimentasi itu secara material setara denganpasangannya sebelum direzimentasi. Jadi Quine tidak berkomitmen

�� Untuk lebih banyak tentang eksplikasi, lihat Goodman (1951, bab 1), Goodman(1963), Hanna (1968), dan Gustafsson (2006).

C H R I S D A L Y ���

Page 131: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

untuk (1). Eksplikan dan eksplikandum itu tidak sinonim—sebuahgagasan yang menurut Quine tidak jelas. Akibatnya, Quine terhin-dar dari paradoks analisis karena paradoks tersebut mensyaratkanbahwa relata analisis itu sinonim. Quine menolak pandangan bah-wa ada justifikasi apriori (seperti yang akan kita lihat di bab 6, §2).Dan dia meragukan penggunaan filosofis terhadap kasus hipotetis.Hasil keseluruhannya adalah bahwa Quine menolak model kerjaanalisis filosofis kita dan menggantinya dengan ide-idenya tentangrezimentasi, eksplikasi, dan parafrase.

Parafrase adalah perangkat yang sering digunakan dalam anali-sis filosofis. Akan tetapi, sebagaimana ada perbedaan pandangantentang apa itu analisis filosofis, demikian juga ada pandangan ber-beda tentang apa itu parafrase dan apa inti dari parafrase. Akanberguna untuk mempertimbangkan beberapa pandangan yang dipe-gang luas tentang parafrase sebelum mempertimbangkan pandang-an Quine sendiri tentangnya. Ini adalah tugas bagian selanjutnya.

�.�� Parafrase

Memarafrase kalimat berarti menggunakan bentuk kata yang lainuntuk menyampaikan secara lebih jelas atau ringkas setidaknyasebagian dari apa yang dikatakan oleh kalimat asal. Banyak filsufyang ambisius dalam soal apa yang menurut mereka dapat dica-pai oleh parafrase. Sebagai contoh, Arthur Pap, Frank Jackson, danDavid Armstrong menyatakan bahwa kalimat seperti “Merah ada-lah warna” dan “Merah lebih menyerupai oranye daripada biru”tampaknya berkaitan dengan sifat warna tertentu (seperti sifat ke-merahan). Mereka berpendapat bahwa kalimat tersebut tidak dapatdiparafrase menjadi kalimat yang bukan tentang sifat warna. Me-reka menyimpulkan bahwa kalimat tersebut adalah tentang sifatwarna dan kalimat tersebut benar hanya jika sifat warna tersebutada (Pap 1959, Jackson 1977, dan Armstrong 1978, bab 6).

��� C H R I S D A L Y

Page 132: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

Para filsuf dengan pandangan ambisius tentang peran parafraseitu mengikuti program lima langkah:

(1) Komitmen ontologis yang jelas: Misalkan sebuah kelas kalimat,kalimat-K, tampaknya merujuk pada K atau mensyaratkan K un-tuk ada jika kalimat tersebut benar. (Saat kalimat mensyaratkan K

ada jika kalimat itu benar, kalimat tersebut “menguantifikasi” K.)Kalimat-K mungkin termasuk kalimat seperti “Itu adalah K dandemikian juga ini”, “setidaknya ada dua K”, atau “ada K sebanyakplanet”. Contoh pertama tampaknya merujuk pada K, dan duacontoh berikutnya tampaknya menguantifikasi K. Dengan asumsibahwa kalimat yang merujuk pada sesuatu, atau yang menguantifi-kasi sesuatu, adalah benar hanya jika sesuatu itu ada, kalimat dalamcontoh kita itu benar hanya jika K ada. Kalimat-kalimat tersebuttampaknya secara ontologis berkomitmen pada K. Dengan kata lain,kalimat-kalimat tersebut tampak berkomitmen pada keberadaan K.

(2) Parafrase: Misalkan semua kalimat-K dapat diparafrase menjadikalimat yang tidak merujuk pada, atau menguantifikasi, K.

(3) Kesamaan kondisi kebenaran: Terkait parafrase, setiap kalimat yangdiparafrase dan kalimat yang memarafrase kalimat tersebut me-miliki kondisi kebenaran yang sama. Mereka benar (salah) dalamkeadaan yang mungkin sama.

(4) Kesamaan bentuk logis: Kalimat yang diparafrase dan kalimat yangmemarafrase itu memiliki bentuk logis yang sama, tetapi sintakskalimat yang memarafrase lebih baik dalam merefleksikan bentuklogis tersebut.

(5) Komitmen ontologis yang sejati: Sintaks kalimat yang diparafraseitu menyesatkan dan kalimat-kalimat tersebut tidak berkomitmensecara ontologis pada K.

C H R I S D A L Y ���

Page 133: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Berikut ilustrasi dari program ini. Kalimat-kalimat tertentu tam-paknya merujuk pada, atau menguantifikasi, penampakan indrawiatau data indra. Ketika Rachel si pecandu alkohol berhalusinasiseekor tikus merah muda, dia tidak melihat seekor tikus merahmuda, tapi sepertinya dia masih melihat sesuatu. Jadi kita mungkinmengatakan hal-hal seperti “Rachel melihat penampakan tikus me-rah muda.” Kalimat itu rupanya menggambarkan hubungan antaraRachel dan sesuatu yang lain, gambaran mental atau datum indrawi.Kalimat tersebut tampaknya benar hanya jika ada datum indrawiyang terkait dengan Rachel. Jadi, apa yang telah kita katakan ternya-ta berkaitan dengan keberadaan data indrawi. Mengingat bahwakita memercayai apa yang telah kita katakan, dengan demikian kitatampaknya berkomitmen pada keberadaan data indrawi.

Roderick Chisholm menawarkan sebuah parafrase kalimat yangtampaknya merujuk pada, atau menguantifikasi, data indrawi. Kali-mat seperti itu diparafrase oleh kalimat yang menggunakan predi-kat satu-tempat untuk orang. Misalnya, kalimat “Rachel merasakanpenampakan tikus merah muda” akan diparafrase menjadi “Rachelmerasakan-penampakan-tikus-merah-muda”. Chisholm menyebutini sebagai “teori adverbial” tentang laporan perseptual (Chisholm1959, bab 8 dan 1966, 94–96). Seperti yang dia katakan:

Karena dalam mengatakan “Dia diperlihatkan warna putih,”atau “Dia melihat secara putih (whitely),” kita tidak berkomitmenuntuk mengatakan ada sesuatu—sebuah penampakan—yangoleh kata “putih”, dalam penggunaannya yang tepat, ditandai se-bagai sebuah sifat. Sebaliknya, kita mengatakan bahwa ada kea-daan atau proses tertentu—yang diperlihatkan, atau merasakan,atau mengalami—dan kita menggunakan kata sifat “putih”, ataukata keterangan “secara putih”, untuk mendeskripsikan secaralebih spesifik bagaimana proses itu terjadi. (Chisholm 1966, 96)

Setelah melihat ilustrasi tentang bagaimana program parafraseseharusnya bekerja, mari kita menilai programnya. Tiga pertanyaanberikut perlu diajukan:

��� C H R I S D A L Y

Page 134: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

(Q1) Mengapa parafrase?

(Q2) Apakah parafrase tersedia?

(Q3) Apa yang dapat ditunjukkan oleh parafrase?

Pertanyaan-pertanyaan ini tumpang tindih, dan kita telah meli-hat indikasi kemungkinan jawaban. (Q1) menanyakan motivasi un-tuk memarafrase kalimat. Apa gunanya program ini? (Q2) menanya-kan apakah parafrase dapat diberikan (berlawan dengan posisinyayang hanya ada dalam daftar keinginan filosofis). (Q3) menanyakanapa yang dapat diberikan parafrase. Secara khusus, dapatkah para-frase menyusun klaim tentang bentuk logis dan komitmen ontologisyang dibuat dalam (4) dan (5)?

Mengapa parafrase? Parafrase menyederhanakan teori. Salah satucara yang dapat ia lakukan untuk menyederhanakan teori adalahdengan menghindari masalah. Misalkan fragmen bahasa tertentumenimbulkan masalah tertentu. Jika masalah yang sama tidak diha-silkan oleh parafrase, masalah tersebut dapat dihindari. Misalnya,sebuah fragmen bahasa mungkin berisi kalimat seperti “Khatulis-tiwa itu sepanjang 25.000 mil” dan “Kita melintasi Khatulistiwa.”Kalimat-kalimat tersebut ternyata merujuk pada entitas tertentu,yaitu Khatulistiwa, yang (seperti sungai atau jembatan) memilikipanjang dan dapat dilintasi. Tapi seperti apa khatulistiwa itu? Jikaia dianggap sebagai benda fisik, apakah ia memiliki massa? Apakahia berputar mengelilingi bumi (seperti sabuk kipas) atau apakahia diam dan relatif terhadap bumi? Bagaimana kamu bisa tahu?Jika Khatulistiwa dianggap sebagai objek geometris, ia adalah ob-jek abstrak. Objek abstrak biasanya dianggap tidak memiliki lokasispasial. Tetapi jika ada yang disebut Khatulistiwa, ia mengelilingibumi dan dilintasi oleh kapal dan pesawat jet. Bagaimana sesuatubisa menjadi abstrak dan sekaligus memiliki lokasi? Sekarang an-daikan bahwa kalimat yang memuat istilah “Khatulistiwa” yangtampaknya merujuk pada sesuatu itu dapat diparafrase menjadi

C H R I S D A L Y ���

Page 135: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

kalimat yang berbentuk “ lebih dekat ke Khatulistiwa daripada ...,”yang di dalamnya lima kata ini diperlakukan sebagai istilah yangrelatif (Quine 1960, 254). Pembicaraan lepas tentang pelintasan kitadi Khatulistiwa kemudian dapat diparafrase dalam hal kerangkaposisi kita yang lebih dekat dengan Khatulistiwa daripada tujuankita pada satu waktu, dan, di lain waktu, kita tidak lebih dekatdengan Khatulistiwa daripada tujuan kita. Kalimat-kalimat yangsudah diparafrase itu tidak memunculkan masalah yang sama se-perti sebelumnya. Ungkapan “Khatulistiwa” tidak muncul sebagaiistilah tunggal di tempat subjek dalam kalimat yang dihasilkanoleh parafrase. Akibatnya, ungkapan tersebut tidak lagi menjadiungkapan yang merujuk pada objek tertentu. Selain itu, kalimatyang memarafrase tidak menimbulkan masalah sendiri (Stern 1989,35-36). Secara lebih umum, Quine berbicara tentang:

masalah [yang] larut dalam pengertian penting ditunjukkan pa-da kata kerja murni, dan kata kerja murni yang larut dalam pe-ngertian penting yang muncul dari penggunaan yang dapat di-hindari. (Quine 1960, 261)

Kemungkinan untuk memarafrase kalimat-K tidak dengan sen-dirinya menunjukkan bahwa K tidak ada. Apa yang hendak ditun-jukkan oleh parafrase itu adalah bahwa kalimat-K tidak berkomi-tmen pada keberadaan K. Mungkin parafrase semacam itu ditambahpertimbangan kesederhanaan ontologis bersama-sama memberi-kan alasan untuk mengklaim bahwa K tidak ada. (Pertimbangan iniakan dibahas dalam bab 4, §2). Namun, kesederhanaan ontologishanyalah salah satu jenis kesederhanaan. Teori adverbia Chisholmmembutuhkan pengenalan berbagai predikat satu-tempat yang pri-mitif. Ini meningkatkan ideologi teorinya—yaitu jumlah istilah non-logis primitif yang digunakan oleh teori tersebut—dan ini adalahbiaya untuk teori tersebut. (Untuk kesederhanaan ideologis, lihatlagi bab 4, §2). Kemudian menjadi masalah untuk diperdebatkanapakah kompleksitas ideologis teori adverbia itu cukup dikompen-

��� C H R I S D A L Y

Page 136: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

sasi dengan ekonomi ontologis dan penghindaran masalah.Cara terakhir yang di dalamnya parafrase berkontribusi pada

teori kita adalah dengan mengklarifikasi penyimpulan. Rezimentasimemberikan bentuk logis tertentu ke berbagai kelas kalimat, dania mengklarifikasi hubungan logis di antara kalimat dari berbagaikelas tersebut.

Apakah parafrase tersedia? Dalam contoh sebelumnya, kita melihatbahwa kalimat yang memarafrase yang mengandung ungkapan“Khatulistiwa” itu seharusnya menunjukkan bahwa kalimat sepertiitu tidak berkomitmen pada keberadaan jenis objek tertentu, yaituKhatulistiwa:

Ada metode sistematis untuk menerjemahkan (mereduksi) wa-cana yang mungkin tampak mengandaikan jenis objek tertentuke dalam wacana yang melayani tujuan yang sama tetapi tidakmembuat pengandaian itu. (Hylton 2007, 246)

Tetapi apakah ada metode seperti itu, apalagi yang sistematis?Dalam contoh Khatulistiwa, Quine tidak menentukan metode. Diahanya meyakinkan kita bahwa kalimat yang tidak direzimentasi da-pat direzimentasi dan kalimat yang dihasilkan tidak memiliki fituryang tidak diinginkan yang ada pada kalimat aslinya. Peter Hyltonmenawarkan kalimat “keluarga rata-rata memiliki 1,8 anak” sebagaicontoh lain dari kalimat yang membutuhkan rezimentasi. Agaknyakalimat itu akan direzimentasi menjadi kalimat “jumlah anak dalamkeluarga dibagi jumlah keluarga adalah 1,8”. Namun, apa yang di-lakukannya adalah memasangkan kalimat yang tidak direzimentasidengan kembarannya yang direzimentasi. Ia tidak memberi tahu ki-ta bagaimana cara memasangkan dua kalimat tersebut—bagaimanamemilih kalimat mana yang menyediakan parafrase yang sesuai.Selain itu, juga tidak jelas apakah itu merupakan metode yang mem-beri tahu kita kalimat mana yang sudah terezimentasi yang harusdipasangkan dengan setiap kalimat yang belum terezimentasi yangmengandung ungkapan “keluarga rata-rata”. Masih kurang jelas

C H R I S D A L Y ���

Page 137: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

apakah itu akan menjadi metode yang sepenuhnya umum yangmemberi tahu kita kalimat mana yang sudah terezimentasi yang(dalam konteks tertentu) harus dipasangkan dengan kalimat apapun. Singkatnya, tidak jelas apakah metode tersebut itu sistematis.

Sebagai gantinya, kita mungkin menawarkan parafrase secaraad hoc, yaitu memarafrase kalimat tertentu di dalam kelas yangdiperdebatkan ketika ia menghadapi kita. Namun, kelemahan pen-dekatan ini adalah bahwa, dengan tidak adanya metode parafrasetertentu, tidak jelas keyakinan apa yang harus kita miliki dalammengandaikan bahwa kita dapat memarafrase kalimat apa pun didalam kelas yang diperdebatkan. Jadi kita perlu memiliki bebera-pa metode parafrase yang sistematis—“algoritme parafrase”. Carayang paling menjanjikan untuk merancang, dan menjustifikasi, al-goritme semacam itu adalah dengan merancang dan menjustifikasisesuatu yang masih lebih ambisius: teori semantik komposisionaluntuk fragmen bahasa yang dipertanyakan, dan kemudian menun-jukkan bagaimana algoritme itu menjadi konsekuensi dari teoritersebut (Lewis 1983b, 16-17).

Apa yang bisa ditunjukkan parafrase? Kita telah melihat apamanfaat parafrase itu. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentangapa sebenarnya hubungan antara kalimat yang diparafrase dankalimat yang memarafrase dan bagaimana hal itu dapat memberi-kan manfaat tersebut. Ada dua kesulitan yang harus diatasi di sini.Pertama, ada kekurangan dari pandangan tertentu tentang apa iturelasi parafrase. Kedua, ada kesulitan yang lebih umum tentangbagaimana menangkap ketidaksimetrisan relasi parafrase. Mari kitabahas kesulitan ini secara bergantian.

Jika kalimat yang diparafrase dan kalimat yang memarafraseseharusnya memiliki kondisi kebenaran yang sama, maka, sebagaiupaya pertama, kita mungkin menganggap hubungan antara keduakalimat tersebut menjadi ekuivalensi material. Hal ini menghadapimasalah bahwa dua kalimat yang memiliki nilai kebenaran yang

��� C H R I S D A L Y

Page 138: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

sama akan berada dalam relasi parafrase satu sama lain. Dua carauntuk merevisi upaya pertama ini sudah jelas. Salah satu caranyaadalah dengan menambahkan batasan epistemik: dapat diketahuisecara apriori bahwa kedua kalimat itu ekuivalen secara material.Cara lain adalah dengan menambahkan batasan modal: niscayabenar bahwa kedua kalimat itu ekuivalen secara material. Namun,kedua revisi tersebut menghadapi masalah yang sama. Dua kebe-naran logis apa pun itu memenuhi batasan ini, tetapi tidak demikianhalnya dengan dua kebenaran logis yang berada dalam hubunganparafrase. Sebagai contoh, setiap kalimat yang berbentuk “p _ ¬p”dan setiap kalimat yang berbentuk “((p � q) & (q � r)) � (p � r)”merupakan kebenaran logis. Kedua kalimat tersebut secara niscayaekuivalen, dan kita dapat mengetahui itu secara apriori. Namundemikian, tidak ada kalimat semacam itu yang berada dalam hu-bungan parafrase satu sama lain. Kedua kalimat tersebut bahkantidak memiliki bentuk logis yang sama.

Upaya lain adalah dengan menganggap kalimat yang dipara-frase dan kalimat yang memarafrasa itu sinonim. Varian yang lebihberhati-hati akan mengharuskan kalimat-kalimat tersebut itu “di-gunakan secara normal untuk membuat pernyataan yang sama”(Alston 1958, 10). Quine menolak pembicaraan tentang kesinonim-an, tetapi kita telah melihat bagaimana dia menganggap kalimatyang diparafrase dan kalimat yang memarafrase itu memiliki fungsipenting yang sama. Masing-masing pandangan ini menghindarimasalah yang dihadapi oleh upaya-upaya yang dijelaskan di pa-ragraf sebelumnya. Namun, seperti upaya tersebut, pandanganini tidak menangkap ketidaksimetrisan relasi parafrase. Apakahkalimat p dan q ekuivalen secara material, atau ekuivalen secaraniscaya, atau sinonim, atau memiliki fungsi penting yang sama,relasinya adalah simetris. Tetapi jika p memarafrase q, hubungandi antara keduanya tidak simetris. Misalkan p itu sinonim denganq. Haruskah p digunakan untuk memarafrase q, atau q digunakan

C H R I S D A L Y ���

Page 139: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

untuk memparafrase p? Ini berkaitan dengan masalah komitmenontologis. Anggaplah p itu berkomitmen secara ontologis pada K,sedangkan q tidak. Sangat menggoda untuk berpikir bahwa jika p

diparafrase oleh q, maka p terbukti tampaknya saja berkomitmensecara ontologis pada K, tetapi sebenarnya ia tidak berkomitmensecara ontologis pada K. Tetapi itu akan mengasumsikan bahwakarena q tampaknya saja tidak berkomitmen secara ontologis padaK, ia sebenarnya juga tidak berkomitmen secara ontologis padaK. Jika p tampaknya secara ontologis berkomitmen pada K, danpenampakan tidak menipu, p sebenarnya secara ontologis berko-mitmen pada K. Selain itu, karena p dan q adalah sinonim, jika p

sebenarnya secara ontologis berkomitmen pada K, maka q sebe-narnya juga secara ontologis berkomitmen untuk K, dan bahwapenampakan q tidak berkomitmen secara ontologis pada K itu me-nyesatkan. Secara lebih umum, taktik parafrase itu memerlukanbeberapa cara untuk membedakan antara komitmen ontologis yangtampak dan komitmen ontologis yang sebenarnya (dan juga antaratiadanya komitmen ontologis yang tampak dan tiadanya komitmenontologis yang sebenarnya) (Alston 1958; Searle 1969, 107-12; danOliver 1996, khususnya 65-66). Meskipun parafrase adalah hubung-an yang tidak simetris, hubungan yang diteliti di sini—ekuivalensimaterial, ekuivalensi yang niscaya secara apriori, kesinoniman, ke-samaan fungsi yang penting—adalah hubungan yang simetris, dankarenanya hubungan itu tidak menjelaskan kalimat apa yang harusmemarafrase kalimat yang lain. (Masalah yang sama akan munculdalam kasus hubungan non-simetris juga). Apa yang kemudiandibutuhkan oleh taktik paraphrase adalah “pemecah simetri”.

Cara yang baik untuk mengemukakan hal ini adalah denganmempertimbangkan argumen yang digunakan David Lewis un-tuk mendukung keberadaan dunia mungkin (possible world). Lewisberpendapat bahwa kalimat yang berbentuk “mungkin, p” dapatdiparafrase sebagai “di beberapa dunia mungkin, p”. Ada bebera-

��� C H R I S D A L Y

Page 140: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

pa kalimat yang benar dalam bentuk “mungkin, p”. Oleh karenaitu, ada beberapa kalimat yang benar yang berbentuk “di bebera-pa dunia mungkin, p”. Kalimat yang terakhir ini secara ontologisberkomitmen pada dunia mungkin. Oleh karena itu, demikian jugakalimat yang pertama. Inilah yang Lewis katakan:

Jelas benar bahwa hal-hal mungkin menjadi yang sebaliknya da-ripada yang sebagaimana adanya. . . . [S]egala sesuatu bisa sajaberbeda dalam banyak hal. Tapi apa artinya ini? Bahasa sehari-hari mengizinkan parafrase: ada banyak hal yang bisa mengadadengan cara yang berbeda dari caranya mengada saat ini. Secarasepintas, kalimat ini adalah kuantifikasi eksistensial. Ia mengata-kan bahwa ada banyak entitas dengan deskripsi tertentu, yaitu“cara sesuatu bisa mengada”. Saya percaya bahwa segala sesuatubisa berbeda dalam banyak hal; Saya percaya parafrase yang dii-zinkan terhadap apa yang saya percayai; menerima parafrase ituapa adanya, oleh karena itu saya percaya pada keberadaan enti-tas yang dapat disebut sebagai “cara sesuatu bisa mengada.” Sa-ya lebih suka menyebutnya dunia mungkin (possible worlds). (Le-wis 1973, 84)

Untuk tujuan kita, yang paling penting dari kutipan di atas adalahbahwa Lewis menggunakan parafrase sebagai alat inflasi ontolo-gis. Kalimat yang berbentuk “mungkin telah ada keledai yang bisaberbicara” tampaknya tidak secara ontologis berkomitmen padadunia mungkin yang di dalamnya ada keledai yang bisa berbicara.Kalimat tersebut “boleh” diparafrase menjadi kalimat “di beberapadunia mungkin, ada keledai yang bisa berbicara”. Tampaknya, kali-mat terakhir ini secara ontologis berkomitmen pada dunia mungkinyang di dalamnya ada keledai berbicara. Oleh karena itu, demiki-an juga kalimat yang ia parafrase. Kalimat “mundngkin telah adakeledai yang bisa berbicara” tampaknya tidak berkomitmen secaraontologis pada setidaknya satu dunia mungkin yang di dalamnyaada keledai yang bisa berbicara, tetapi parafrasenya menunjukkanbahwa kalimat itu sangat berkomitmen. Tantangan yang dihadapipara penggemar parafrase adalah menjelaskan mengapa sebuah

C H R I S D A L Y ���

Page 141: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

parafrase harus diberi pembacaan yang secara ontologis deflasio-ner—“Pembicaraan tentang dunia mungkin dan apa yang terjadidi dalamnya tidak lebih dari pembicaraan tentang apa yang mung-kin atau nicaya terjadi”—daripada sebuah pembacaan yang secaraontologis inflasioner—”Aneh tapi benar, pembicaraan tentang apayang mungkin atau niscaya terjadi adalah cara terselubung untukmembicarakan dunia mungkin dan penghuninya.”��

Semua ini memperkuat pandangan bahwa taktik parafrase mem-butuhkan “pemecah simetri.” Berbagai kandidat telah ditawarkan.Kita telah melihat bahwa Quine menganggap kalimat yang mema-rafrase tidak hanya memiliki fungsi penting yang sama dengankalimat yang diparafrase. Kalimat yang memarafrase menguraikankalimat yang diparafrase; yang pertama menggunakan istilah yanglebih tepat dan secara teoritis bermanfaat. Ini memberi Quine bahanuntuk memecahkan simetri (lihat juga van Inwagen 1991).

Kandidat lain adalah tanpa malu-malu bersifat metafisik. Me-nurut beberapa filsuf, beberapa jenis hal secara metafisik lebihfundamental daripada jenis lainnya. Dalam terminologi mereka,jenis yang lebih fundamental “mendasari” jenis yang kurang funda-mental. Pandangan ini kemudian menyatakan bahwa kalimat yangmenggambarkan hal yang kurang fundamental harus diparafraseoleh kalimat yang menggambarkan hal yang lebih fundamental,dan bukan sebaliknya. Misalnya, jika pemain kriket lebih funda-mental daripada tim kriket, maka kalimat yang menggambarkantim kriket (seperti kalimat yang menggambarkan semangat tim)harus diparafrase dalam kerangka kalimat yang menggambarkanpemain kriket, bukan sebaliknya. Arah parafrase mengikuti arahpandasaran (Schaffer 2009, 370).

Pandangan terakhir ini menarik, bahkan terlihat lebih menjanji-kan dalam beberapa hal daripada pandangan yang lain. Para filsuf

�� Untuk pembahasan tentang argumen Lewis, lihat Stalnaker (1984, 44-58) dan Jubien(1988, 300-302).

��� C H R I S D A L Y

Page 142: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

menggunakan istilah “parafrase” dalam pengertian kuasi-teknis,dan kita telah menjelaskan bahwa parafrase terhadap kalimat-Kdapat menunjukkan bahwa kalimat-K itu tidak secara ontologisberkomitmen pada K. Pandangan ini tidak bekerja dengan pema-haman itu. Pemain kriket mendasari tim kriket hanya jika pemainkriket dan tim kriket ada. Jadi pandangan tersebut tidak berartibahwa parafrase terhadap kalimat-K meniscayakan kalimat-K ti-dak berkomitmen secara ontologis pada K. Sebaliknya, pandangantersebut mensyaratkan parafrase terhadap kalimat-K meniscaya-kan kalimat-K berkomitmen secara ontologis pada K. Ini mungkindapat diterima dalam kasus kalimat tentang tim kriket; terlihatlebih aneh dalam kasus kalimat tentang (katakanlah) keluarga rata-rata. Kalimat tentang keluarga rata-rata sering kali dijadikan contohutama kalimat yang membutuhkan parafrase, yang di dalamnyaparafrase tersebut menunjukkan bahwa kebenaran kalimat tersebuttidak mensyaratkan keberadaan entitas misterius tertentu, yaitukeberadaan keluarga rata-rata. Sekarang mungkin ada dua gagasanparafrase yang berperan—gagasan Quinean yang eliminatif dangagasan pendasaran yang non-eliminatif—dan kita dapat bekerjadengan keduanya, asalkan kita tidak merancukannya. Namun demi-kian, pandangan pendasaran tidak kemudian memberi kita solusiumum untuk masalah simetri. Tidak ada yang ia sumbangkan un-tuk kasus di mana yang menjadi masalah adalah apakah komitmenterhadap entitas tertentu itu asli atau hanya penampakan.

Atau, dapat dijawab bahwa hanya ada satu gagasan tentangparafrase, yaitu gagasan pendasaran yang non-eliminatif. Kalimattentang keluarga rata-rata, misalnya: jawabannya mengatakan bah-wa keluarga rata-rata ada tetapi itu adalah entitas fiksional. Enti-tas fiksional membentuk spesies objek abstrak, dan objek abstrakitu sendiri didasari oleh objek konkret. (Jawaban ini mengacu pa-da Schaffer [2009, 359].) Menegaskan keberadaan entitas fiksionalmungkin tampak tidak ekonomis secara ontologis dan bertentangan

C H R I S D A L Y ���

Page 143: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

dengan prinsip pisau cukur Ockham. Namun, balasannya berlan-jut, pisau cukur Ockham seharusnya dianggap hanya berkaitan de-ngan entitas fundamental. Dengan dirumuskan secara benar, prinsiptersebut mengatakan: Jangan menggandakan entitas fundamentaltanpa kebutuhan (Schaffer 2009, 361).

Sekarang, membatasi ruang lingkup pisau cukur Ockham de-ngan cara ini menghindari tuduhan tidak ekonomis secara ontologis.Namun, tanpa alasan independen untuk pembatasan tersebut, tam-paknya ini merupakan manuver ad hoc. Pembatasan tersebut dibuatsemata-mata untuk menghindari tuduhan tidak ekonomis secaraontologis. Lebih lanjut, pembatasan yang diusulkan bukanlah sa-lah satu pembatasan yang tercermin dalam praktik inferensial kita.Detektif menggunakan pisau cukur Ockham untuk menyimpulkan,berdasarkan keberadaan sidik jari di TKP yang hanya satu jenis, bah-wa hanya ada satu pembunuh (bukan dua atau lebih pembunuh).Ilmuwan menggunakan pisau cukur Ockham untuk menyimpul-kan, berdasarkan peluruhan Beta, bahwa satu neutrino dengan spin1/2 itu terpancarkan (bukan dua partikel masing-masing denganspin 1/4, atau tiga partikel masing-masing dengan spin 1/6, dan se-terusnya). Detektif dan ilmuwan terlibat dalam praktik inferensialyang baik, tetapi praktik mereka tidak mengharuskan mereka meng-anggap pembunuh atau neutrino sebagai hal yang fundamental.

�.�� Kesimpulan

Kita memulai bab ini dengan melihat sesuatu dalam berbagai carayang di dalamnya analisis filosofis dapat diklasifikasi dan berbagaicara yang di dalamnya analisis filosofis dapat dipraktikkan. Berikutadalah pandangan lain tentang analisis filosofis. Tidak menghe-rankan bahwa ada banyak cara untuk melakukan analisis filosofis.Membicarakan analisis filosofis hanyalah salah cara mewah untukmembicarakan filsafat. Perbedaan pandangan tentang analisis filo-

��� C H R I S D A L Y

Page 144: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

sofis hanyalah perbedaan cara berfilsafat, dan ada cara yang lebihbaik atau lebih buruk untuk berfilsafat. Pandangan lain ini mena-sihati kita untuk berhenti mencoba mencari tahu apa itu analisis,dan lebih memikirkan tentang jenis pekerjaan apa yang menurutkita seharusnya dilakukan oleh teori filsafat dan bagaimana ia harusmelakukannya. Reorientasi energi filosofis ini akan dibahas dalambab 5 saat kita membahas tentang eksplanasi dalam filsafat.

C H R I S D A L Y ���

Page 145: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Pertanyaan-pertanyaanuntuk didiskusikan

1. Beberapa filsuf menyatakan bahwa epistemologi harus menelaahPENGETAHUAN.�� Apakah pandangan mereka harus berasumsibahwa pengetahuan itu hanya dapat diselidiki secara ilmiah?

2. Pandangan Williamson mengatakan bahwa epistemologi seharus-nya tidak berkaitan dengan konsep PENGETAHUAN, tetapi denganpengetahuan itu sendiri. Dengan demikian, ia setidaknya menga-sumsikan bahwa ada yang namanya pengetahuan. Agaknya cabangfilsafat yang lain berhak membuat asumsi yang serupa. Metaeti-ka harusnya tidak berkaitan dengan konsep NILAI MORAL, tetapidengan nilai moral itu sendiri, dan dengan demikian akan menga-sumsikan bahwa ada nilai moral. Filsafat agama seharusnya tidakberkaitan dengan konsep TUHAN, tetapi dengan Tuhan, dan de-ngan demikian akan mengasumsikan bahwa Tuhan itu ada. Danseterusnya.

Apakah pandangan Williamson tersebut benar-benar memilikikonsekuensi semacam itu? Jika ya, apakah konsekuensi semacamitu merupakan kelemahan? Apakah konsekuensi tersebut memberikita alasan untuk menganggap epistemologi dan cabang-cabangfilsafat yang lain itu hanya berkaitan dengan konsep, bukan denganapa yang diandaikan oleh konsep? (Lihat Rey 2005a.)

3. Feldman mengatakan bahwa karena pengetahuan bukansubstansi atau proses, ia tidak dapat diselidiki secara empiris.Apakah premisnya (“bukan substansi atau proses”) mencakup

�� E.g., Williamson (2007, 206, 211).

��� C H R I S D A L Y

Page 146: pengantar metode- metode filsafat

A N A L I S I S

setiap jenis entitas yang dapat dipelajari oleh sains? Bagaimana titikruang-waktu atau bidang radioaktif cocok dengan klasifikasinya?Jika tidak cocok, seberapa penting pengetahuan juga tidak cocokdengan klasifikasi tersebut? Terakhir, bahkan jika apa yangdikatakan Feldman benar, pemerolehan kita terhadap pengetahuanitu merupakan sebuah proses. Dapatkah Feldman memberikanalasan untuk menyangkal bahwa hal itu dapat dipelajari secaraempiris oleh sains?

4. Jika pengetahuan dapat dipelajari secara ilmiah, seperti klaimKornblith, adakah minat filosofis yang tidak dapat dipelajari secarailmiah? Misalnya, filsuf ingin tahu apa itu ada. Bisakah sains me-nemukan apa itu ada? Seperti apa penemuan itu? (Atau apakahtidak masuk akal untuk bertanya seperti apa penemuan itu sebelumpenemuan itu?)

Bacaan utama untuk Bab �

Beaney, Michael (2007) “Analysis” Stanford Encyclopedia of Philo-sophy.

Hylton, Peter (2007) Quine bab 3, 9, dan 10.Jackson, Frank (1998) From Metaphysics to Ethics bab 1–3.Moore, G.E. (1903) Principia Ethica bab 1, khususnya §13.Nolan, Daniel (2005) David Lewis bab 9.Rey, Georges (2004) “The Rashness of Traditional Rationalism and

Empiricism.”Rieber, S.D. (1994) “The Paradoxes of Analysis and Synonymy.”Williamson, Timothy (2007) The Philosophy of Philosophy bab 4.

C H R I S D A L Y ���

Page 147: pengantar metode- metode filsafat
Page 148: pengantar metode- metode filsafat

�EKSPERIMENPIKIRAN

�.� Pendahuluan

E K S P E R I M E N pikiran adalah eksperimen yang dilakukan dalamimajinasi kita. Ini adalah perangkat yang digunakan dalam sains ma-upun dalam filsafat. Dalam eksperimen pikiran, kita mengimajina-sikan situasi tertentu, menyusuri beberapa konsekuensi dari situasiitu, dan kemudian menarik sebuah kesimpulan umum—biasanya,klaim teoretis tertentu. Eksperimen pikiran dalam beberapa hal mi-rip dengan eksperimen di laboratorium fisik. Untuk keperluaanpenamaan, sebut saja eksperimen fisik itu sebagai “eksperimen kon-kret”. Perbedaan antara kedua jenis eksperimen ini adalah bahwaeksperimen pikiran menyangkut contoh imajiner (imagined example)sedangkan eksperimen konkret menyangkut contoh aktual. Tetapiperbedaan keduanya tidak berhenti di sana. Eksperimen konkret re-latif akrab dengan kita. (Namun, relatif baru belakangan ini, filsafatsains telah mengenali beberapa kerumitan yang ada dalam desaindan praktik eksperimental: lihat Gooding 1990.) Tetapi eksperimenpikiran tampaknya lebih membingungkan. Tiga pertanyaan berikutakan menjadi fokus bab ini:

Page 149: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

(P1) Eksperimen pikiran adalah tentang situasi imajiner (imaginedsituation). Bagaimana bisa memikirkan situasi imajiner dapatmemberikan pengetahuan baru tentang dunia aktual?

(P2) Apakah eksperimen pikiran merupakan kasus khusus dari je-nis fenomena yang lebih dikenal, atau apakah ia sendiri unik(sui generis)?

(P3) Apakah ada kesulitan khusus yang dihadapi oleh eksperimenpikiran filsafat?

Saat melakukan eksperimen pikiran, kita mengimajinasikan sebuahsituasi, bukan memersepsinya. (P1) menanyakan bagaimana mengi-majinasikan suatu situasi dapat memberi tahu kita tentang sepertiapa situasi itu jika ia aktual, dan apa konsekuensi teoretisnya. Lebihjauh lagi, hal macam apakah eksperimen pikiran itu? (P2) mena-nyakan apakah kita dapat memahami eksperimen pikiran dalamkerangka beberapa cara yang lebih dikenali, atau lebih mudah di-pahami. Terakhir, eksperimen pikiran sangat penting dalam filsafatkarena ambisi epistemik banyak filsuf. Banyak filsuf menganggapdirinya memiliki pengetahuan modal—pengetahuan tentang apayang sekadar mungkin atau tentang apa yang niscaya. Beberapadari mereka menganggap eksperimen pikiran sebagai sumber dasarpengetahuan modal. Beberapa eksperimen pikiran berusaha untukmenunjukkan bahwa sesuatu yang dapat diimajinasikan itu mung-kin. Eksperimen pikiran yang lain berusaha untuk menunjukkanbahwa sesuatu yang tampak bisa dibayangkan itu mustahil. Namun,filsuf lain percaya bahwa ada masalah khusus yang dihadapi ekspe-rimen pikiran dalam filsafat. Kritik mereka terutama menyangkutbetapa jauhnya situasi imajiner dalam eksperimen pikiran filsafatitu terlepas dari situasi aktual, dan kurangnya detail latar belakangdalam eksperimen pikiran ini. (Q3) menanyakan apakah kritik ituada yang bagus.

Sebelum kita mulai membahas masalah-masalah besar itu, adabaiknya kita mengumpulkan banyak contoh eksperimen pikiran ter-lebih dahulu. Itulah yang akan kita lakukan di bagian selanjutnya.

��� C H R I S D A L Y

Page 150: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

�.� Contoh-contoh Eksperimen Pikiran

APAKAH ALAM SEMESTA ITU TERBATAS?Bayangkan alam semesta itu terbatas dan memiliki batas. Sekarangbayangkan kita melempar tombak ke perbatasan alam semesta itu.Entah tombak itu berhenti di perbatasan atau melewatinya. Lucre-tius berargumen bahwa jika tombak berhenti di perbatasan, pastiada sesuatu di sisi lain perbatasan yang menghentikan tombak,sehingga yang disebut batas bukanlah batas yang asli. Lucretiusjuga menyimpulkan bahwa jika tombak melewati apa yang disebutbatas, maka tidak ada batas yang asli. Bagaimanapun juga, ruangitu tidak memiliki batas. Kesimpulan eksperimen pikiran ini adalahbahwa ruang itu tidak terbatas (Lucretius The Poem on Nature: DeRerum Natura hlm. 40).

EMBER NEWTON

Bayangkan sebuah ember berisi air mulai berputar. Awalnya, per-mukaan air tetap datar, tetapi seiring air mendapatkan gerakanember, permukaannya menjadi cekung. Bentuk cekung menunjuk-kan bahwa air itu berputar. Namun, air tersebut tidak berputarsecara relatif terhadap ember karena keduanya memiliki gerakanperputaran yang sama. Newton menyimpulkan bahwa air tersebutberputar secara relatif terhadap ruang absolut (Newton 1686, buku1, Scholium).

APAKAH BENDA YANG LEBIH BERAT JATUH LEBIH CEPAT DARIPADA

BENDA YANG LEBIH RINGAN?Galileo menggunakan mekanika Aristoteles untuk mengklaim bah-wa benda yang lebih berat jatuh lebih cepat daripada benda yanglebih ringan. (Ada beberapa kontroversi apakah ini merupakan pan-dangan Aristoteles, tetapi kita akan membiarkan ini berlalu demipenyusunan argumen). Galileo menawarkan eksperimen pikiran

C H R I S D A L Y ���

Page 151: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

berikut sebagai keberatan. Bayangkan bahwa benda B lebih beratdaripada benda R. Bayangkan lebih jauh lagi bahwa B terhubungke R melalui sebuah tali. Menurut Aristoteles, benda yang lebih ber-at jatuh lebih cepat daripada benda yang lebih ringan. Jadi apakahbenda gabungan B + R akan jatuh lebih cepat dari B atau akanjatuh lebih lambat dari B? Di satu sisi, mengingat klaim Aristotelesbahwa benda yang lebih berat itu jatuh lebih cepat daripada ben-da yang lebih ringan, dan karena B + R lebih berat daripada B,maka B + R akan jatuh lebih cepat dari B. Di sisi lain, karena R

lebih ringan daripada B, dan mengingat klaim Aristoteles bahwabenda yang lebih berat itu jatuh lebih cepat daripada benda yanglebih ringan, R akan memperlambat jatuhnya B ketika keduanyabergabung bersama, sehingga B +R akan jatuh lebih lambat dariB. Dengan menggabungkan dua kesimpulan ini, klaim Aristotelesbahwa benda yang lebih berat jatuh lebih cepat daripada bendayang lebih ringan itu melibatkan sebuah kontradiksi (Galileo 1638,66–68).

BEPERGIAN DENGAN KECEPATAN CAHAYA

Bayangkan apa yang akan kamu lihat jika kamu bepergian dengankecepatan cahaya. Menurut teori elektrodinamika Maxwell, kamuakan mengamati berkas cahaya sebagai medan elektromagnetikyang takbergerak. Tetapi karena tidak ada hal semacam itu, menurutteori Maxwell, eksperimen pikiran ini menyangkal teori tersebut(Einstein 1949, 53).

BAYANGAN BIRU YANG HILANG

Bayangkan kamu belum pernah melihat bayangan biru tertentutetapi kamu pernah melihat bayangan biru yang sedikit lebih terangatau sedikit lebih gelap darinya. Dapatkah kamu membayangkanbayangan biru yang “hilang” itu? Hume menganggap kamu bisamembayangkannya. Dia menyimpulkan bahwa tidak setiap ide

��� C H R I S D A L Y

Page 152: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

sederhana yang kita miliki itu perlu menjadi “salinan” dari peng-alaman indrawi yang terkait (Hume 1739-1740, buku I, bagian I,seksi I).

OTAK DALAM PANCI

Bayangkan otakmu ditempatkan di sebuah panci yang terhubungke komputer. Komputer tersebut mengirimkan sinyal elektroniktertentu secara langsung ke otakmu sehingga menimbulkan peng-alaman yang secara introspektif persis seperti pengalaman yangakan kamu alami jika kamu menjalani kehidupan normal dan me-mersepsi dunia luar. Situasi imajiner ini mendorong intuisi bahwakamu tidak dapat membedakan apakah kamu adalah otak di dalampanci atau tidak. Kesimpulannya adalah kamu tidak tahu apakahkamu benar-benar memersepsi dunia luar.

MEMORI YANG DITUKAR

Bayangkan seorang tukang sepatu kehilangan semua memori ten-tang kehidupan sebelumnya tetapi tampaknya memperoleh semuamemori yang dimiliki seorang pangeran. John Locke menyimpul-kan bahwa tukang sepatu akan menjadi pribadi (person) yang samadengan pangeran, meskipun mereka berdua adalah lelaki yang ber-beda (yaitu, manusia yang berbeda). Locke menyimpulkan bahwaada perbedaan antara menjadi manusia yang sama (the same humanbeing) dan menjadi pribadi yang sama (the same person); kedua hal itutidak perlu terjadi bersamaan (Locke 1694, bk. II, ch. 27, sec. 15).

RUANGAN TIONGHOA

Bayangkan kamu berada di sebuah ruangan yang memiliki lubanguntuk memasukkan dan mengeluarkan sesuatu. Melalui lubangmasukan (input slot) datang pesan (katakanlah) dalam bahasa Man-darin. Kamu memiliki buku panduan yang memberitahumu pesanapa yang perlu kamu kirim sebagai balasan dalam bahasa Manda-rin melalui lubang keluaran (output slot). Buku panduan itu tidak

C H R I S D A L Y ���

Page 153: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

memberitahumu apa makna pesan berbahasa Mandarin itu dalambahasa Inggris; menggunakan buku panduan itu hanya mengharus-kanmu untuk mencocokkan bentuk masukan berhuruf Mandarindengan apa yang ada di buku panduan, dan menyalin huruf-hurufitu hanya berdasarkan bentuknya. John Searle memiliki intuisi bah-wa kamu tidak mengerti bahasa Mandarin, meskipun kamu (tanpasadar) memberikan jawaban yang tepat dalam bahasa Mandarinuntuk pertanyaan yang berbahasa Mandarin. Dia menyimpulkanbahwa memahami bahasa bukanlah masalah manipulasi simbolyang tepat, dan, secara lebih umum, pikiran bukan hanya sekadarperangkat manipulasi simbol yang dianalogikan dengan komputer(Searle 1980).

MARIA SI ILMUWAN WARNA

Bayangkan Maria adalah seorang ilmuwan warna yang menghabis-kan seluruh hidupnya di sebuah ruangan yang semuanya berwarnahitam-putih serta bernuansa abu-abu. Ilmu fisika pada zamannyabegitu maju sehingga buku teksnya mencatat semua fakta fisik yangterjadi ketika seseorang melihat benda berwarna merah. Denganmembaca buku teks itu, Maria mempelajari semua fakta fisik yangterjadi saat seseorang melihat benda berwarna merah. Jadi, Mariamengetahui semua fakta fisik tentang apa yang terjadi pada sistemsaraf orang-orang ketika mereka melihat benda berwarna merah.Menurut fisikalisme, semua fakta tentang apa yang terjadi ketikaseseorang melihat benda berwarna merah adalah fakta fisik. Tidakada fakta non-fisik yang terlibat. Tetapi ketika Maria meninggalkankamarnya dan melihat tomat yang matang untuk pertama kalinya,dia akan mempelajari sesuatu yang sebelumnya tidak pernah diaketahui. Dia akan belajar seperti apa benda merah itu. Jadi Mariaakan mempelajari fakta baru tentang apa yang terjadi ketika se-seorang melihat benda merah. Namun sebelumnya Maria sudahmengetahui semua fakta fisik yang terjadi saat seseorang melihat

��� C H R I S D A L Y

Page 154: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

benda berwarna merah. Oleh karena itu, fakta baru yang dia pelajariini bukanlah fakta fisik. Ini adalah fakta nonfisik. Jadi fisikalismeitu salah (Jackson 1982).

Terakhir, berikut adalah versi yang lebih singkat dari beberapaeksperimen pikiran filsafat yang lain.

GAMBARAN TERBALIK

Bayangkan semua yang kamu lihat sebagai hijau saya lihat berwar-na merah, dan sebaliknya. Perilaku dan kecenderungan perilakukita akan sama. Jadi melihat sesuatu sebagai merah (atau hijau) itutidak mungkin hanya soal perilaku atau kecenderungan perilakutertentu. Eksperimen pikiran untuk “gambaran terbalik” ini ada diLocke (1694, buku II, bab xxxii, seksi 15), meskipun kesimpulan anti-behavioris diambil hanya setelah munculnya behaviorisme padatahun 1930-an.

ZOMBI

Bayangkan tiruanmu yang sama persis tetapi tidak memiliki peng-alaman sadar. Ia akan menjadi tiruan fisikmu yang secara fisik me-nyerupai kamu dalam setiap aspek dan berperilaku seperti kamu(Doppelgänger atau kembaran-diri), meskipun tidak memiliki kehi-dupan mental. Tiruan fisik seperti itu adalah “zombi”. Fisikalismemengatakan bahwa kamu hanyalah objek fisik. Karena kamu berbe-da secara psikologis dari kembaran zombimu, eksperimen pikiranini menyimpulkan bahwa fisikalisme itu salah (Chalmers 1996).

MUNGKINKAH ADA LEBIH DARI SATU DUNIA SPASIAL?Kamu dapat melakukan perjalanan dari Toronto ke Berlin. NASA

dapat mengirim roket dari Bumi ke Neptunus. Secara umum, tam-paknya ada jalur spasial yang menghubungkan dua tempat spasial.Tetapi apakah ini merupakan kebenaran niscaya? Bayangkan setiapkali kamu tertidur dalam kehidupan urban yang membosankan, ka-mu kemudian seperti terbangun di surga cerah dengan tubuh yang

C H R I S D A L Y ���

Page 155: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

berbeda dari yang kamu miliki dalam kehidupanmu yang mem-bosankan itu. Orang-orang dan pemandangan di sekitarmu jugasangat berbeda dari yang ada di kehidupanmu yang membosan-kan. Dan, kapan pun kamu tampaknya tertidur di penghujung hariyang mulia di surga ini, kamu terbangun kembali dalam kehidu-panmu yang membosankan. Kamu memulai perjalanan di duniamuyang membosankan tetapi kamu tidak pernah menemukan surga,dan sebaliknya. Anthony Quinton mengatakan bahwa dalam situ-asi ini kamu akan mengalami kehidupan di dua dunia yang tidakberhubungan secara spasial. Dia menyimpulkan bahwa dua tem-pat spasial itu terhubung secara spasial itu bukan kebenaran yangniscaya (Quinton 1962).

KUBUS MOLYNEUX

Bayangkan seseorang yang buta sejak lahir merasakan kubus danbola yang memiliki ukuran yang hampir sama. Bayangkan orangitu kelak penglihatannya pulih. Bisakah orang itu mengetahui ha-nya dengan melihat benda mana yang merupakan kubus dan manayang merupakan bola? Molyneux, yang merancang eksperimenpikiran ini, dan Locke sama-sama mengira bahwa orang tersebuttidak dapat membedakan yang mana kubus dan yang mana bola.Locke menyimpulkan bahwa persepsi kita diubah oleh penyim-pulan otomatis yang tidak disadari dan bahwa penyimpulan inidisebabkan oleh pengalaman masa lalu kita: “ide yang kita terimamelalui sensasi sering kali diubah pada saat dewasa oleh putusantanpa kita sadari” (Locke 1694, buku II, bab ix, seksi 8).

BUMI KEMBAR

Bayangkan ada cairan yang memiliki semua kualitas air yang tam-pak, tetapi yang bukan H2O. (Mungkin untuk membantu memba-yangkan cairan ini ditemukan di planet lain, yaitu Bumi Kembar).Apakah cairan itu adalah air? Putnam berpendapat bahwa itu bukan

��� C H R I S D A L Y

Page 156: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

air. Akibatnya, karena kata “air” tidak berlaku untuk cairan sepertiitu, arti kata “air” tidak ditentukan oleh kualitas penampakannyasaja. Struktur mikro air, yang merupakan H2O, menentukan untukapa kata “air” itu digunakan dengan benar. Karena orang mungkintidak mengetahui apa itu struktur mikro air, Putnam menyimpulkanbahwa “‘makna’ tidak ada di kepala” (Putnam 1975, 227).

PEMAIN BIOLA

Bayangkan kamu tiba-tiba terhubung melalui sebuah kabel denganorang asing yang hidupnya bergantung pada sisa masa keterhu-bunganmu dengan orang itu selama sembilan bulan yang bagimusangat tak mengenakkan. Apakah kamu berhak memutus kabelitu? Situasi yang kamu bayangkan tentang dirimu ini sangat miripdengan situasi seorang wanita yang sedang hamil. Judith JarvisThomson menyimpulkan bahwa jika kamu memiliki hak untukmemutus kabel yang menghubungkanmu dengan orang asing itu,dengan alasan yang sama wanita yang sedang hamil juga memilikihak untuk melakukan aborsi (Thomson 1971).

BISAKAH SEGALANYA BERUKURAN GANDA DALAM SEMALAM?Bayangkan segala sesuatu di alam semesta berukuran ganda padatengah malam. Jika kamu tidak dapat membayangkannya, bebera-pa filsuf beranggapan bahwa ini adalah bukti yang menunjukkanbahwa objek-objek tidak terletak di ruang absolut seperti kismis didalam puding. Objek hanya memiliki hubungan spasial satu samalain: tidak ada ruang absolut. (Ini adalah varian dari eksperimenpikiran Leibniz untuk sifat relasional ruang: Leibniz 1715-16, 26.)

ORANG TIRUAN

Bayangkan dua tiruan fisik dan psikologis Kapten Kirk melangkahkeluar dari ruang pengangkut. Akankah kedua orang itu masing-masing menjadi Kapten Kirk? Parfit berpendapat bahwa keduaorang tiruan itu masing-masing tidak dapat menjadi Kirk karena

C H R I S D A L Y ���

Page 157: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

hanya ada satu Kapten Kirk, dan merupakan tindakan sewenang-wenang jika mengidentifikasi salah satu tiruannya dengan KaptenKirk. Parfit menyimpulkan bahwa identitas pribadi adalah masalahyang kurang penting daripada yang sering dipikirkan, dan yanglebih penting adalah kesinambungan psikologis dengan diri masalalu (Parfit 1984, 119-20, 282-87).

Variasi dari contoh-contoh di atas menunjukkan kepada bebera-pa orang bahwa eksperimen pikiran tidak memiliki peran tunggal(Jackson 2009, 100–01). Beberapa eksperimen pikiran memperjelasteori. Eksperimen pikiran lainnya memperjelas konsekuensi darisebuah teori. Yang lain lagi mengungkapkan hubungan yang tidakjelas. Dan yang lain lagi memberikan kasus penguji bagi analisisfilosofis atau teori ilmiah. Mengingat eksperimen pikiran mung-kin memiliki salah satu peran ini, maka tugas untuk menyusunteori tentang eksperimen pikiran menjadi jauh lebih sulit. Bagianselanjutnya akan mengulas beberapa upaya itu.

�.� Teori tentang Eksperimen Pikiran

Hal apakah yang dimaksud dengan eksperimen pikiran? Bagaima-na cara kerjanya? Secara khusus, bagaimana kita bisa mendapatkanpengetahuan baru tentang dunia aktual hanya dengan membayang-kan suatu situasi? Pada bagian ini kita akan menguraikan lima teoritentang eksperimen pikiran yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

(1) Eksperimen pikiran sebagai pemicu (Kuhn 1964). Anomali, atau hasilyang bertentangan dengan prediksi, muncul selama penelitian ilmi-ah. Seringkali ilmuwan mengabaikannya dengan menganggapnyasebagai kesalahan eksperimental atau dengan berharap menangani-nya di tahap selanjutnya. Fungsi eksperimen pikiran adalah untuk

��� C H R I S D A L Y

Page 158: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

memicu ingatan para ilmuwan tentang anomali dan dengan demi-kian mendapatkan kembali pengetahuan tentang anomali tersebut.Mengimajinasikan situasi yang dihadirkan oleh eksperimen pikir-an mendorong para ilmuwan untuk mengingat situasi itu dan apakonsekuensinya. Dengan memanfaatkan ingatannya tentang situasiaktual, para ilmuwan dapat dengan andal mengatakan apa yangakan terjadi jika situasi imajiner itu menjadi aktual. Kuhn meng-klaim bahwa eksperimen pikiran dapat memicu krisis dalam teoriilmiah dan dengan demikian memulai perubahan teori. Denganmendapatkan kembali pengetahuan tentang anomali, para ilmu-wan dapat melihat beberapa kelemahan teori mereka saat ini dankemudian berusaha mengubahnya.

Kuhn mengakui bahwa teorinya tidak berlaku untuk semua eks-perimen pikiran ilmiah. Eksperimen pikiran yang menggambarkansituasi yang mustahil secara fisik adalah pengecualian (misalnya,Einstein yang bergerak dengan kecepatan cahaya). Secara lebihumum, eksperimen pikiran yang menggambarkan jenis situasi yangtakteramati tidak sesuai dengan teori Kuhn. Sebagai contoh, Poinca-ré merancang sebuah eksperimen pikiran (yaitu eksperimen pikiran“Tanah Datar”) yang melibatkan orang-orang dua dimensi yang hi-dup dalam lingkungan dua dimensi (Poincaré 1952, 37-38). Gendler(1998, 2000, 2004) mengembangkan ide Kuhn bahwa eksperimenpikiran dapat membuat kita berpikir tentang teori kita dengan ca-ra baru, tetapi dia melakukannya tanpa mendasarkan diri padapandangan Kuhn tentang eksperimen pikiran sebagai pengingat.

(2) Eksperimen pikiran sebagai pengetahuan apriori tentang dunia Platonik(Brown 1991a, b, 2004a, b, 2007a, b). Beberapa eksperimen pikiranadalah pemahaman intelektual tentang sebuah dunia sifat yangtidak ada dalam ruang atau waktu. Pemahaman ini seperti persepsi:ia memberi akses apriori non-inferensial terhadap sifat-sifat ini danrelasi yang menyerupai hukum di antara sifat-sifat tersebut.

C H R I S D A L Y ���

Page 159: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Teori ini membiarkan epistemologi eksperimen pikiran tetapmisterius: bagaimana pikiran dapat mengetahui tentang hal-halyang tidak ada dalam ruang dan waktu? Brown menanggapi perta-nyaan ini dengan argumen “rekan yang sama-sama bermasalah”�:hal itu sama misteriusnya dengan bagaimana pikiran bisa menge-tahui tentang hal-hal yang ada dalam ruang dan waktu. Meskipunrelatif tidak misterius bagaimana dunia eksternal tampak berdasar-kan pada ujung saraf kita, masih misterius bagaimana perubahanneuron menghasilkan perubahan dalam keyakinan kita (Brown1991b, 65).

Bahkan jika tanggapan ini berhasil, tuduhan misterius itu masihmemiliki kekuatan. Sangat diharapkan untuk meminimalkan jum-lah misteri yang kita akui. Jadi teori lawan yang tidak menyimpanmisteri, dalam hal ini, adalah teori yang lebih baik.�

(3) Eksperimen pikiran sebagai argumen (Norton 1991, 1996, 2004a,2004b). Eksperimen pikiran adalah argumen (induktif atau deduk-tif). Premisnya mungkin tidak begitu gamblang; kesimpulannyaadalah pelajaran yang ditarik dari eksperimen pikiran. Kasus yangmendukung teori ini adalah bahwa berbagai eksperimen pikirandapat direpresentasikan sebagai kumpulan premis yang dikaitkandengan kesimpulan oleh bentuk-bentuk penyimpulan yang diakui.Tentu saja fakta bahwa eksperimen pikiran dapat direpresentasikansebagai argumen tidak meniscayakan bahwa eksperimen pikiranadalah argumen. Tetapi fakta bahwa sangat mencerahkan dan ber-manfaat jika kita merepresentasikan eksperimen pikiran sebagai� Argumen “rekan yang sama-sama bermasalah” (companions in guilt) adalah ar-

gumen untuk membantah tuduhan bahwa sebuah klaim itu bermasalah denganmembandingkannya dengan klaim lain yang serupa yang tidak dituduh berma-salah. Jika klaim pertama dianggap bermasalah, maka klaim kedua yang serupadengannya juga mesti bermasalah. Namun, tidak ada alasan yang kuat untuk meng-anggap klaim kedua itu bermasalah, sehingga klaim pertama, sebagai rekanannya,juga tidak bisa dianggap bermasalah.

� Untuk kritik lain terhadap tanggapan Brown, lihat Norton (1993, 35-36), Sorensen(1992b, 1106-1107), Cooper (2005, 333), dan Haggqvist (2007).

��� C H R I S D A L Y

Page 160: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

argumen itu perlu penjelasan, dan teori bahwa keduanya identikitu memberikan penjelasan yang baik. Misalnya, eksperimen pikir-an dapat memberikan pengetahuan baru karena argumen dapatmembawa kita dari premis yang sudah dikenali menuju kesimpu-lan yang mengejutkan. Teori itu juga membuat eksperimen pikirantidak misterius. Sudah lazim dan tidak misterius bahwa argumendapat memberikan informasi baru dan dapat dipercaya. Argumenmemberikan informasi baru jika kesimpulannya membuat klaimyang belum kita terima. Informasi yang diberikan dapat diperca-ya jika kita memiliki alasan yang kuat untuk menerima kumpulanpremis argumen tersebut. Sekarang, jika eksperimen pikiran adalahargumen, eksperimen pikiran dapat memberikan informasi barudan terpercaya dengan cara yang sama seperti argumen.

Brown menyetujui bahwa beberapa eksperimen pikiran adalahargumen, tetapi menyangkal bahwa semua eksperimen pikiran ada-lah argumen (Brown 1991b, 47). Secara khusus, dia menyangkalbahwa eksperimen pikiran seperti eksperimen pikiran ember New-ton itu merupakan argumen. Ini adalah kasus di mana eksperimenpikiran menetapkan bahwa ada fenomena tertentu (misalnya, ke-adaan air sebelum ember berputar dan saat ember berputar yangrelatif terhadap ember), dan kita menerka sebuah penjelasan untukfenomena tersebut (dalam konteks ini, keberadaan ruang absolut)(Brown 1991b, 40-41).

Tetapi ada cara langsung di mana eksperimen pikiran sepertiitu dapat dipahami sebagai argumen: ia dapat dipahami sebagai pe-nyimpulan menuju penjelasan terbaik. Newton berpendapat bahwafenomena tertentu perlu penjelasan; yaitu, keadaan air yang berbe-da di dalam ember dari waktu ke waktu. Dia kemudian memilihapa yang dia anggap sebagai penjelasan potensial terbaik terhadapfenomena ini; yaitu, bahwa hanya dalam salah satu keadaan ini airdan ember berputar sehubungan dengan ruang absolut. Denganprinsip yang menjamin bahwa penjelasan potensial terbaik terha-

C H R I S D A L Y ���

Page 161: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

dap fenomena tertentu adalah penjelasan yang benar, eksperimenpikiran tersebut menyimpulkan bahwa ada alasan untuk percayabahwa penjelasan Newton itu benar. (Kita membahas penyimpulanmenuju penjelasan terbaik lebih lanjut dalam bab 5, §5.)

Eksperimen pikiran Newton kemudian memiliki bentuk argu-mentatif skematis berikut:

(1) Fenomena tertentu f perlu penjelasan.(2) Penjelasan potensial terbaik terhadap f adalah teori ruang ab-

solut Newton.(3) Jadi mungkin teori Newton tentang ruang absolut itu benar.

Brown menulis bahwa “ruang absolut bukanlah kesimpulandari sebuah argumen, ia adalah penjelasan untuk sebuah fenomenayang sebenarnya dipostulatkan oleh Newton” (Brown 1991b, 48).Tapi Brown membuat oposisi yang salah. Proposisi bahwa ruang abso-lut itu ada adalah kesimpulan dari sebuah argumen—yaitu argumenyang menyatakan penyimpulan menuju penjelasan terbaik—dansekaligus penjelasan Newton tentang perilaku air di dalam ember.

Brown berpendapat bahwa eksperimen pikiran tertentu lainnyabukanlah argumen. Ini adalah kasus di mana eksperimen pikiran di-mulai dengan data tertentu dan diakhiri dengan teori (Brown 1991b,41-43). Sebagai contoh, Brown mengutip eksperimen pikiran Galileobahwa semua benda yang jatuh bebas itu jatuh dengan kecepatanyang sama (Brown 1991b, 41). Ini membingungkan karena sebe-lumnya dalam bukunya Brown mengklasifikasi contoh ini sebagaisebuah argumen; “Ia adalah reductio ad absurdum yang indah” terha-dap teori gerak Aristoteles (Brown 1991b, 34). Eksperimen pikiranitu memiliki bentuk argumentatif skematis berikut:

(1) Benda yang lebih berat itu jatuh lebih cepat daripada bendayang lebih ringan. (Asumsi)

(2) Bayangkan dua tubuh, A lebih berat daripada B.(3) Maka A jatuh lebih cepat dari B.(4) Jadi jika A dan B disatukan, maka B akan memperlambat jatuh-

nya A.

��� C H R I S D A L Y

Page 162: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

(5) Jadi unit A + B itu jatuh lebih lambat dari A.(6) Tapi unit A + B itu beratnya lebih daripada berat A.(7) Jadi unit A + B itu jatuh lebih cepat daripada A. (Kontradiksi

dengan 5.)

Karena teori Aristoteles bahwa benda yang lebih berat itu jatuhlebih cepat daripada benda yang ringan menyebabkan kontradiksi,penalaran serupa menunjukkan bahwa teori bahwa benda yanglebih ringan jatuh lebih cepat daripada benda yang lebih berat jugamenimbulkan kontradiksi. Tetapi ini kemudian menyebabkan bah-wa benda yang jatuh bebas, berapa pun beratnya, itu jatuh dengankecepatan yang sama. Jadi hukum Galileo tentang jatuh bebas meru-pakan akibat wajar dari argumen reductio-nya melawan Aristoteles.(Gendler [1998] mengklaim bahwa salah satu eksperimen pikiranGalileo tidak dapat dipahami sebagai argumen. Untuk tanggapanterhadap klaim ini, lihat Norton [2004b, §4.3].)

Keberatan lain terhadap teori bahwa eksperimen pikiran adalahargumen adalah, karena ada kasus di mana pihak yang berbedamerekonstruksi eksperimen pikiran yang sama sebagai argumenyang berbeda, eksperimen pikiran seperti itu tidak dapat menjadiargumen (Bishop 1999 dan Häggqvist 2009, 61). Perhatikan bah-wa ada juga kasus di mana pihak yang berbeda merekonstruksiargumen yang sama di dalam Kant (Deduksi Transendental-nyaKant) atau di dalam Wittgenstein (argumen anti-bahasa pribadi-nyaWittgenstein) sebagai argumen yang berbeda. Itu tidak bisa menjadikritik yang baik terhadap klaim bahwa Kant dan Wittgenstein me-nawarkan argumen. Dalam kasus seperti itu, jika tidak ada pihakyang dapat disalahkan atas dasar keilmuan, akan keliru jika membi-carakan argumen tersebut dalam teks. Penulis teks tidak cukup jelastentang apa argumennya, atau mungkin pihak yang berbeda cukupcerdik untuk membaca argumen yang tidak terpikir oleh penulisnya.Penalaran serupa dapat diambil sehubungan dengan eksperimenpikiran. Dalam kasus seperti di atas, tidak ada eksperimen pikiran

C H R I S D A L Y ���

Page 163: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

yang unik. Ada pernyataan asli yang mengisyaratkan lebih darisatu eksperimen pikiran, yang masing-masing dapat direkonstruksisebagai argumen.�

Apa yang telah kita lihat sejauh ini adalah sesuatu tentang keser-bagunaan teori bahwa eksperimen pikiran adalah sebuah argumen.Meskipun mungkin terdapat berbagai jenis eksperimen pikiranyang bukan merupakan argumen, hal ini mengabaikan bentuk ar-gumen yang dapat diambil. Seperti yang telah kita lihat, argumendapat menjadi kesimpulan bahwa penjelasan potensial tertentu ada-lah penjelasan terbaik terhadap sebuah fenomena yang disebutkandalam sekumpulan premis. Dengan ini, eksperimen pikiran sepertiember Newton dapat segera diakomodasi sebagai argumen.

Keberatan lain terhadap teori ini bersifat fenomenologis. Te-lah diklaim bahwa menjalankan eksperimen pikiran tampaknyatidak seperti memberikan argumen. “Eksperimen pikiran seringkalimenyenangkan dan mudah, sedangkan argumen biasanya tidak”(Cooper 2005, 332). Tapi kata “biasanya” mengatakan sesuatu tanpasengaja. Mengapa menganggap argumen biasanya membosankandan sulit? (Argumen Bertrand Russell tidak demikian.) Dan, disamping itu, mengapa berasumsi bahwa eksperimen pikiran itu se-perti argumen yang khas? Keberatan lainnya adalah bahwa “ketikakita melakukan eksperimen pikiran, kita membayangkan situasiyang terungkap dalam pikiran kita. Kita tidak mempertimbang-kan premis, mode penyimpulan, dan kesimpulan” (Cooper 2005,332). Namun kita bebas membayangkan situasi yang berkembangsesuka kita. Jadi mengapa kita menganggap bahwa situasi imaji-ner akan terungkap (yaitu, berkembang) dengan satu cara daripa-da cara lainnya? Teori saat ini menawarkan jawaban: mengingat(deskripsi) situasi awal, dan prinsip-prinsip pengembangan yangdipilih (aturan penyimpulan tertentu), situasi tertentu lebih lan-

� Norton (2004b, 63-64) menawarkan jawab yang serupa.

��� C H R I S D A L Y

Page 164: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

jut berkembang (kesimpulan tertentu disimpulkan). Terakhir, adakeberatan bahwa eksperimen pikiran seperti eksperimen Humetentang bayangan biru yang hilang “mengharuskan kita memba-yangkan bagaimana rasanya melihat biru, sesuatu yang tidak dapatdireduksi menjadi bentuk proposisional” (Cooper 2005, 332). Jikadianggap sebagai argumen, eksperimen pikiran Hume jadi sepertiini: ”Kita bisa mengimajinasikan bayangan warna jika kita memer-sepsi sesuatu yang dekat dengannya dalam spektrum warna. Jadikita bisa mengimajinasikan bayangan warna jika kita memersepsiwarna yang dekat dengannya, bahkan jika kita belum pernah me-mersepsi bayangan yang sedang diimajinasikan.“ Mari kita akuibahwa mengimajinasikan bagaimana rasanya melihat bayangan itutidak bersifat proposisional. Argumennya tidak mengasumsikan halsebaliknya. Sesuatu yang proposisional (premis argumen) malah di-gunakan untuk merepresentasikan sesuatu yang non-proposisional(mengimajinasikan bagaimana rasanya melihat bayangan).

(4) Eksperimen pikiran sebagai eksperimen sejati (Sorensen 1992a, Goo-ding 1990). Kesamaan antara eksperimen konkret dan eksperimenpikiran lebih besar daripada perbedaannya. Kedua jenis eksperimenini dapat mematahkan sebuah teori, mengidentifikasi fenomenayang menarik, dan banyak lagi.

Namun demikian, menekankan kesamaan ini tidak menjawabpertanyaan pokok tentang eksperimen pikiran: bagaimana mengi-majinasikan suatu situasi dapat memberitahu kita tentang apa yangterjadi dalam situasi aktual? Karena tidak menjawab pertanyaan ter-sebut, teori ini menjadi tidak sempurna. Teori ini dapat dilengkapidengan penjelasan epistemik. Sorensen, misalnya, mengklaim bah-wa eksperimen pikiran adalah eksperimen dan sekaligus argumen:ia melibatkan “serangkaian proposisi yang masuk akal secara indivi-dual tapi tidak konsisten“ (Sorensen 1992a, 6). Mengingat kombinasiteori ini, tidak jelas pekerjaan apa yang dilakukan oleh teori bahwa

C H R I S D A L Y ���

Page 165: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

“eksperimen pikiran adalah eksperimen sejati”. Gooding berbica-ra tentang “konstruksi narasi eksperimental yang memungkinkankesaksian virtual atau perwakilan” (Gooding 1990, 204–05). Go-oding tidak mengembangkan pernyataan itu dan, dalam kondisiterkininya, pernyataan tersebut dapat ditafsirkan dalam kerangkateori eksperimen pikiran lainnya. Misalnya, pada teori Kuhn ten-tang eksperimen pikiran sebagai pemicu ingatan, yang menganggapmelakukan eksperimen pikiran dapat dipahami sebagai cara me-ngembangkan sebuah cerita tentang eksperimen imajiner, sehinggadengan mendengar cerita ini (“menyaksikannya”) kita bisa mengi-ngat eksperimen yang dilakukan secara aktual dan menghasilkanluaran anomali tertentu.

(5) Eksperimen pikiran sebagai model dunia mungkin (possible worlds)(Nernessian 1991, 1993, Mišcevic 1992, dan Cooper 2005). Ekspe-rimen pikiran memunculkan pertanyaan “bagaimana jika”. Apayang akan terjadi jika tubuh mematuhi mekanika Aristoteles? Apayang akan terjadi jika Maria melihat sesuatu yang berwarna merahuntuk pertama kalinya? Untuk menjawab pertanyaan semacam itu,kita memprediksi bagaimana objek-objek tersebut dalam keadaan-keadaan yang diimajinasikan. Dalam beberapa kasus (seperti kasusAristotelian), kita tahu hukum mana yang akan mengatur objekdalam keadaan yang dibayangkan, dan dengan demikian kita dapatmemprediksi perilaku objek. Dalam kasus lain, kita dapat menggu-nakan pemahaman implisit kita tentang hukum yang tidak dapatkita rumuskan sepenuhnya. Dalam kedua kasus itu, pengetahuanyang kita miliki tentang hukum-hukum ini memungkinkan kitauntuk mengembangkan sebuah model—yaitu sebuah representasidari berbagai situasi yang mungkin.

Teori bahwa eksperimen pikiran adalah model dari dunia mung-kin (possible world) tidak membantu menjawab pertanyaan epistemo-logis apa pun tentang eksperimen pikiran yang telah diajukan. Per-

��� C H R I S D A L Y

Page 166: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

tanyaan awal kita yang utama adalah: bagaimana membayangkansesuatu bisa memberikan pengetahuan yang baru tentang dunia?Teori bahwa eksperimen pikiran sebagai model dari dunia mungkinitu menghadapi variasi dari pertanyaan tersebut: bagaimana me-rancang model bisa memberi kita pengetahuan baru tentang dunia?Fakta bahwa suatu model itu konsisten (atau mustahil) membe-ri tahu kita bahwa ia konsisten (atau mustahil) bagi dunia untukmenjadi sedemikian rupa hanya berdasarkan asumsi bahwa modeltersebut adalah model dunia yang akurat. Namun, kita tidak selalubisa tahu apakah asumsi tersebut benar hanya dari kerja filosofisyang dilakukan di atas kursi berlengan. Sebagai contoh, kita tidakdapat mengetahui hukum alam apa yang bekerja hanya berdasar-kan kerja filosofis dari kursi berlengan. Mungkin apa yang dibawaoleh teori itu adalah pandangan bahwa eksperimen pikiran mengar-tikulasikan klaim kontrafaktual: jika model tertentu adalah modeldunia yang akurat, hal tertentu akan terjadi.�

�.� Skeptisisme terhadap Eksperimen PikiranFilsafat

Skeptisisme terhadap eksperimen pikiran dalam filsafat berasal darisejumlah segi. Kita akan meninjau kritik ini dalam serangkaiansub-bagian.

ALASAN MACAM APA YANG DIBERIKAN OLEH EKSPERIMEN PIKIR-AN?Jika eksperimen konkret dan eksperimen pikiran dapat memberikanalasan epistemik untuk mempercayai sebuah teori ilmiah T , alasanepistemik macam apakah ia? Eksperimen konkret dapat menun-jukkan bahwa T membuat prediksi yang benar dengan menguji

� Untuk pandangan yang sama, lihat Williamson (2007, bab 6), tetapi untuk kritikterhadapnya, lihat Ichikawa (2009).

C H R I S D A L Y ���

Page 167: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

salah satu prediksi T . Sebaliknya, eksperimen pikiran tidak mengujiprediksi sebuah teori. “[F]ungsi eksperimen pikiran dalam sainsadalah untuk menarik implikasi fisik dari teori kita dan mengujikeutamaan nonempirisnya” (Bokulich 2001, 303). Keutamaan teo-retis (atau “nonempiris”) sebuah teori itu mencakup kekuatannyamemberikan penjelasan, kesederhanaannya, konsistensinya, dankesuburannya (yaitu, kemampuannya untuk merumuskan hipote-sis baru). Ada masalah tentang apa pentingnya fakta bahwa suatuteori memiliki keutamaan teoretis tertentu. Secara khusus, apakahitu merupakan alasan untuk memercayai teori tersebut? (Kita akanmengangkat masalah ini dalam masalah kesederhanaan di bab 4,§6.) Mungkin eksperimen pikiran tidak memberikan alasan untukmemercayai (atau tidak memercayai) suatu teori tetapi hanya mema-inkan peran memopulerkan atau peran heuristik dalam menyajikanteori tersebut, komitmennya, dan bagaimana ia dapat diuji denganeksperimen aktual.

APAKAH EKSPERIMEN PIKIRAN MENGHASILKAN KESIMPULAN

YANG KONTRADIKTIF?Jeanne Peijeneburg dan David Atkinson mengklaim bahwa keti-daksepakatan tentang kesimpulan eksperimen pikiran tertentu itumenunjukkan bahwa eksperimen pikiran itu buruk (Peijeneburgdan Atkinson 2003, 308-10). Mereka berpikir bahwa ini mengeksposbanyak eksperimen pikiran filsafat sebagai eksperimen yang bu-ruk: “eksperimen pikiran dalam filsafat analitik kontemporer seringmenghasilkan kesimpulan yang kontradiktif” (Peijeneburg dan At-kinson 2003, 308). Misalnya, seorang filsuf mungkin menyimpulkandari eksperimen pikiran tentang Maria sang ilmuwan warna bahwafisikalisme itu salah. Namun filsuf lain mungkin malah mengklaimbahwa secara psikologis tidak mungkin bagi seseorang untuk me-ngetahui semua fakta fisik tentang kerja otak, dan menyimpulkanbahwa tidak ada pelajaran tentang fisikalisme yang dapat ditarik

��� C H R I S D A L Y

Page 168: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

dari eksperimen pikiran tersebut. Dan filsuf lain mungkin meng-klaim bahwa Maria mengetahui semua fakta fisik tentang warna,kemudian dia akan tahu seperti apa benda merah itu.

Namun, Peijeneburg dan Atkinson mengakui bahwa pandang-an ini juga berlaku untuk eksperimen pikiran tertentu dalam sains,seperti eksperimen pikiran ember Newton (Peijeneburg dan At-kinson 2003, 306). Tanggapan mereka adalah mengatakan bahwateori ilmiah dapat memberi alasan untuk memercayai kesimpulantertentu dari eksperimen pikiran dalam sains (Peijeneburg dan At-kinson 2003, 315). Gagasan mereka tampaknya adalah bahwa jikateori ilmiah T1 lebih baik daripada teori ilmiah tandingannya T2,maka kita harus memercayai kesimpulan yang diperoleh T1 darieksperimen pikiran daripada kesimpulan yang diperoleh T2 (jikakesimpulan tersebut berbeda). Tetapi kemudian tampaknya prinsipserupa dapat digunakan untuk memilih di antara kesimpulan yangbertentangan yang diambil dari eksperimen pikiran dalam filsafat.Peijeneburg dan Atkinson menolak ini, dengan mengatakan bahwa“[dalam] filsafat, bagaimanapun, peralihan ke teori tidak banyakmembantu. Bagaimana kita harus memutuskan antara, misalnya,teori Searle dan Dennett tentang pemahaman, makna, dan kesadar-an?” (Peijeneburg dan Atkinson 2003, 315). Argumen Peijeneburgdan Atkinson dapat direkonstruksi sebagai berikut:

(1) Tidak ada alasan untuk memercayai salah satu teori filsafatdaripada teori filsafat yang lain selain dari tingkat dukunganyang ia peroleh dari eksperimen pikiran.

(2) Satu-satunya alasan untuk memercayai satu kesimpulan ekspe-rimen pikiran filsafat daripada kesimpulan tandingannya ada-lah alasan yang digunakan untuk memercayai salah satu teorifilsafat daripada teori filsafat yang lain.

(3) Jadi tidak ada alasan untuk mempercayai satu kesimpulan eks-perimen pikiran filsafat daripada kesimpulan tandingannya.

Oleh karena itu, kita tidak dapat menentukan eksperimen pikiranmana yang baik (dan teori filsafat mana yang baik) karena alasannya

C H R I S D A L Y ���

Page 169: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

sirkular.Argumen di atas valid. Masalah argumen di atas adalah bahwa

premis (1) sangat kontroversial dan Peijeneburg dan Atkinson tidakmemberikan justifikasi untuk itu. Dan jika premis itu sendiri menya-takan sebuah teori filsafat—yaitu teori filsafat bahwa satu-satunyasumber justifikasi untuk teori semacam itu adalah eksperimen pi-kiran—maka mereka tidak dapat memberikan justifikasi untuk itu,karena ia memuat kontradiksi.

Lebih jauh, apa yang diajarkan Duhem kepada kita tentangeksperimen konkret berlaku dengan kekuatan yang sama untukeksperimen pikiran (Duhem 1914, 188-90, 204).� Ketika sebuah teorimenghadapi diskonfirmasi yang diduga dari eksperimen pikiranatau dari eksperimen konkret, selalu mungkin untuk memodifi-kasi teori untuk menghindari diskonfirmasi. Misalnya, alih-alihmenganggap teori itu salah, mungkin kita harus menganggap be-berapa asumsi latar belakang yang digunakan dalam menguji teoriitu salah. Atau mungkin kita salah berasumsi bahwa faktor-faktoryang berpotensi mengganggu tidak ada. Atau mungkin kita salahberasumsi bahwa faktor-faktor tertentu tidak berbahaya padahalfaktanya faktor-faktor ikut turut berpengaruh. Jika kita membuatrevisi ini, kita tidak perlu menganggap teori itu salah. Masalahnyakemudian adalah apakah kerugian melakukan revisi itu melebi-hi manfaatnya: apakah revisi itu murni ad hoc, apakah ia mem-buat teori menjadi kurang sederhana, atau apakah teori tersebutmenghasilkan manfaat yang lebih banyak dalam hal kekuatannyamemberikan penjelasan? Kedua, eksperimen pikiran selalu terbukauntuk interpretasi, dan dua teori saingan mungkin menawarkaninterpretasi yang berbeda terhadap eksperimen pikiran yang sama.Dalam hal ini, mana yang merupakan interpretasi terbaik terhadapeksperimen pikiran itu akan ditentukan sebelumnya. Masalah ini

� Lihat Bokulich (2001, 288-289) untuk peluasan pandangan Duhem ke eksperimenpikiran.

��� C H R I S D A L Y

Page 170: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

juga muncul di sub-bagian berikutnya.

APAKAH EKSPERIMEN PIKIRAN ITU MENIMBULKAN PERTANYAAN-LANJUTAN?Peijeneburg dan Atkinson juga mengklaim bahwa indikator lainbahwa eksperimen pikiran tertentu adalah eksperimen yang burukadalah jika eksperimen tersebut sudah mengasumsikan intuisi yangseharusnya diperoleh (Peijeneburg dan Atkinson 2003, 311). Kitaakan segera melihat ilustrasinya. Klaim mereka tampaknya menjadikasus khusus dari pendapat umum bahwa setiap argumen yang me-nimbulkan pertanyaan-lanjutan itu cacat. “Kesimpulan yang diam-bil dari eksperimen pikiran itu menimbulkan pertanyaan-lanjutan:ia bergantung pada intuisi yang kebenaran atau kepalsuannya seha-rusnya ditunjukkan oleh eksperimen pikiran itu” (Peijeneburg danAtkinson 2003, 310).� Sebuah argumen menimbulkan pertanyaan-lanjutan ketika ia mengandung setidaknya satu premis yang tidakakan diterima oleh khalayak yang dituju karena mereka belum me-nerima kesimpulan argumen itu. Atau, lebih sederhananya, siapapun akan memiliki alasan untuk menerima semua premisnya hanyajika orang tersebut memiliki alasan tersendiri untuk menerima ke-simpulannya (Walton 1989, 52 dan Govier 1992, 85). Menimbulkanpertanyaan-lanjutan adalah cacat dalam penalaran apa pun. Tetapiadakah alasan untuk berpikir bahwa eksperimen pikiran filsafat itusecara khusus menderita cacat ini?

Pertimbangkan eksperimen pikiran Quinton (lihat §2). Quintonmembayangkan kamu memiliki berbagai pengalaman saat terjagadalam kehidupanmu yang membosankan dan berbagai pengalam-an yang lebih eksotis saat kamu tertidur dalam kehidupanmu yangmembosankan. Dia menafsirkan ini sebagai situasi saat kamu memi-liki pengalaman tentang dua dunia yang tidak berhubungan secaraspasial, dunia yang membosankan dan surga yang eksotis. Dia me-

� Lihat juga Ward (1995).

C H R I S D A L Y ���

Page 171: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

nyimpulkan bahwa setiap ruang secara spasial terkait dengan setiapruang lainnya itu bukanlah kebenaran niscaya. Tapi interpretasi Qu-inton mengasumsikan bahwa ada kemungkinan dua dunia tidakterkait secara spasial—dan itulah kesimpulan yang harus dibuat.

Tetapi hanya karena eksperimen pikiran Quinton mengalamikegagalan ini, tidak dapat diandaikan bahwa setiap eksperimen pi-kiran filsafat itu juga gagal. Eksperimen pikiran tidak menimbulkanpertanyaan-lanjutan hanya karena eksperimen tersebut mengung-kapkan intuisi dalam kesimpulannya. Premis eksperimen pikirandapat memberikan alasan untuk menerima kesimpulannya, dan de-ngan demikian memberikan alasan untuk menerima intuisinya. Ituadalah cara yang sepenuhnya masuk akal untuk dilakukan. Tanpamenjadikan intuisi sebagai salah satu premis argumennya, argumentersebut menunjukkan bahwa intuisinya dihasilkan dari seperang-kat premis yang punya alasan tersendiri untuk dipercayai.

Peijeneburg dan Atkinson juga mengatakan bahwa kesimpulaneksperimen pikiran menimbulkan pertanyaan-lanjutan karena “iaadalah perwujudan dari intuisi-intuisi yang karenanya seluruh eks-perimen pikiran [sic] disusun” (Peijeneburg dan Atkinson 2003, 317).Tetapi hal ini membingungkan motivasi untuk berargumen denganpertanyaan apakah argumen tersebut menimbulkan pertanyaan-lanjutan. Sebuah argumen dapat diberikan untuk menunjukkanbahwa p itu benar. Itu tidak berarti bahwa argumen tersebut me-nimbulkan pertanyaan-lanjutan apakah p benar. Sebagai contoh,saya ingin meyakinkan kamu bahwa Pele itu kaya. Saya mungkinberargumen sebagai berikut: semua pesepakbola kelas dunia itukaya; Pele adalah pesepakbola kelas dunia; jadi Pele kaya. Sayamemberikan argumen itu untuk meyakinkan kamu bahwa Pele itukaya. Tapi argumen itu tidak menimbulkan pertanyaan-lanjutanapakah dia kaya.

Terakhir, jika klaim Peijeneburg dan Atkinson bahwa eksperi-men pikiran filsafat menimbulkan pertanyaan-lanjutan itu benar,

��� C H R I S D A L Y

Page 172: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

klaim mereka tampaknya akan menggeneralisasi sehingga semuaeksperimen pikiran menimbulkan pertanyaan-lanjutan. Jadi eks-perimen pikiran sains juga akan memiliki cacat yang sama. Me-reka berpendapat bahwa konsekuensi ini dapat dihindari karenaeksperimen konkret dapat dilakukan dalam sains untuk mengujikesimpulan eksperimen pikiran (Peijeneburg dan Atkinson 2003,317). Tetapi, pertama-tama, bahkan jika kesimpulan eksperimenpikiran dapat diuji, sulit untuk melihat bagaimana eksperimen pi-kiran itu menjadi sesuatu yang baik. Jika argumen A menimbulkanpertanyaan-lanjutan, argumen tersebut tidak akan menjadi baik ji-ka argumen B yang tidak menimbulkan pertanyaan-lanjutan jugadapat diberikan untuk kesimpulan yang sama. Argumen A tetapmerupakan argumen yang buruk. Demikian pula, jika eksperimenpikiran C menimbulkan pertanyaan-lanjutan, maka ia tidak akanmenjadi eksperimen yang baik jika sebuah eksperimen konkretdapat dilakukan untuk mencapai hasil yang sama seperti yang di-prediksi eksperimen pikiran.

Kedua, kesimpulan dari beberapa eksperimen pikiran sainsyang baik tidak dapat diuji dengan cara ini karena eksperimentersebut menyangkut situasi yang secara fisik mustahil. Eksperimenpikiran Einstein tentang apa yang akan diamati oleh seseorang yangmelakukan perjalanan dengan kecepatan cahaya adalah salah satucontohnya.

Ketiga, kesimpulan dari beberapa eksperimen pikiran filsafatdapat diuji dengan eksperimen konkret. Ruang Tionghoa Searle dancontoh Molyneux semuanya dapat dilakukan dalam eksperimen du-nia nyata. Peijeneburg dan Atkinson menjawab bahwa eksperimensemacam itu “tidak akan menyelesaikan teka-teki filosofis” (2003,317). Tetapi sekarang tampaknya lebih banyak yang dibutuhkan darieksperimen pikiran yang baik daripada kesimpulannya yang dapatdiuji dalam eksperimen konkret. Di sini selanjutnya eksperimendisyaratkan untuk menyelesaikan perdebatan filosofis. Namun, per-

C H R I S D A L Y ���

Page 173: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

syaratan tersebut tampaknya tidak masuk akal mengingat apa yangdikatakan di atas tentang tesis Duhem dan implikasinya terhadapeksperimen pikiran. Tidak ada eksperimen konkret atau eksperi-men pikiran yang dapat dijamin untuk menyelesaikan perdebatanantarteori.�

Kita sekarang memiliki beberapa argumen skeptis terhadap eks-perimen pikiran dalam filsafat. Ada argumen lebih lanjut sepertiitu yang perlu dibahas. Seperti yang telah kita temukan di dua babsebelumnya, cara paling menguntungkan untuk mengejar masa-lah metodologis adalah dengan memeriksa bagaimana metodologitersebut berlaku untuk studi kasus tertentu. Untuk tujuan ini, ki-ta akan membahas studi kasus di §5. Ini akan berkaitan denganskeptisisme terhadap eksperimen pikiran tentang identitas priba-di. §6 akan membahas apakah eksperimen pikiran dalam filsafatitu dapat diuji dengan cara empiris. Sebuah gerakan baru-baru ini,yaitu Filsafat Eksperimental, memperjuangkan pandangan bahwasangat berguna untuk melakukan pengujian empiris semacam itu.Beberapa temuannya sangat menarik karena sangat negatif.

�.� Studi Kasus: Eksperimen Pikiran tentangIdentitas Pribadi

Salah satu teori identitas pribadi mengidentifikasi seseorang dengantubuhnya sendiri. Eksperimen pikiran transplantasi otak berikutini dirancang untuk menantang teori itu. Ada kemungkinan bahwaseluruh otak seseorang ditransplantasikan ke tengkorak baru (atauke dalam panci laboratorium yang telah disiapkan dengan tepat),dan tetap hidup sehingga fungsi otaknya berlanjut seperti sebelum-nya. Otak itu kemudian akan tetap sadar: ia akan menghasilkanpengalaman, pikiran, keyakinan, ingatan yang jelas, dan sebagainya.

� Lihat juga perdebatan antara Cohnitz (2006) dan Peijeneburg dan Atkinson (2006).

��� C H R I S D A L Y

Page 174: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

Memang, tampaknya ada kesinambungan psikologis antara kondisimental otak sebelum dan sesudah transplantasi. Ini mungkin men-dorong intuisi bahwa ke mana otak pergi, ke situ pribadi itu pergi.Sekarang anggaplah pribadi itu identik dengan tubuh aslinya tanpaotak, atau pribadi itu identik dengan otaknya. Misalkan, mungkinberkat eksperimen pikiran, kamu memiliki intuisi bahwa pribadiitu berada di mana pun otaknya berada. Jadi, setelah transplantasi,pribadi tersebut tidak berada di tempat tubuh aslinya berada. Me-rupakan prinsip yang masuk akal yang mengatur identitas bahwax itu identik dengan y hanya jika, pada suatu saat, tempat x identikdengan tempat y (jika x atau y itu bertempat). Oleh karena itu, priba-di tersebut tidak identik dengan tubuh aslinya. Eksperimen pikirantransplantasi otak berpotensi menjadi perangkat yang sangat kuat.Jika berhasil, ia akan menunjukkan teori bahwa pribadi itu identikdengan tubuhnya itu salah.

Apa yang harus kita lakukan dari eksperimen pikiran sepertiitu? Bisakah ia benar-benar menjatuhkan target yang dimaksudkan?Salah satu klaim utama dari buku Kathleen Wilkes Real People ada-lah bahwa praktik pembahasan identitas pribadi dalam kaitannyadengan apa yang dia sebut sebagai kasus spekulatif yang “secarateoretis mustahil” itu salah arah (Wilkes 1988, bab 1). Mark Johnstondan Peter van Inwagen memiliki pandangan serupa (Johnston 1987;van Inwagen 1997, 307–308).

Wilkes dan Johnston masing-masing mengemukakan argumenberikut. Tidak ada latar belakang teori yang dapat digunakan untukmengevaluasi spekulasi semacam itu. Akibatnya, kita menjalankaneksperimen pikiran dengan latar belakang apa yang sudah kitayakini tentang dunia, atau kita menjalankannya dengan latar be-lakang keyakinan yang sangat berbeda. Pada bagian pertama daridilema ini, kita menjalankan eksperimen pikiran dengan latar be-lakang yang mengesampingkannya sebagai sesuatu yang “secarateoretis mustahil,” yaitu sebagai sesuatu yang bertentangan dengan

C H R I S D A L Y ���

Page 175: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

apa yang kita yakini sebagai hukum alam. Pada bagian kedua daridilema ini, kita memiliki fantasi kosong yang setara dengan mem-bayangkan bahwa ada kelinci karnivora di Mars, atau bahwa orangdapat melewati cermin.

Usulan positif Wilkes adalah bahwa pembahasan tentang identi-tas pribadi harus mempertimbangkan hanya manusia dan apa yangsebenarnya terjadi pada mereka. Apa yang terjadi pada beberapamanusia cukup membingungkan dan memprovokasi pemikiranbahwa kasus spekulatif yang liar dapat disingkirkan tanpa kerugi-an.

Mari kita pertimbangkan bagian pertama dari dilema di atas.James Robert Brown menjawab bahwa:

Terlalu sering eksperimen pikiran digunakan untuk menemukanhukum alam itu sendiri; ia adalah alat untuk menggali kemung-kinan secara teoretis atau nomologis. Menetapkan hukum terle-bih dahulu dan mensyaratkan eksperimen pikiran untuk tidakmelanggar hukum tersebut hanya akan merusak penggunaannyasebagai alat yang ampuh bagi penyelidikan alam. (Brown 1991b,30)

Wilkes mungkin menjawab bahwa klaimnya juga konsisten de-ngan pandangan Brown bahwa eksperimen pikiran adalah alatepistemik untuk menemukan hukum alam. Misalkan kita membuatserangkaian eksperimen pikiran yang dirancang untuk menemukanhukum alam. Misalkan eksperimen pikiran pertama kita menemu-kan bahwa H adalah hukum alam. Klaim Wilkes adalah bahwa,dengan penemuan ini, tidak ada eksperimen pikiran berikutnyayang membuat klaim yang tidak sesuai dengan H . Putusan bahwaH adalah hukum tidak dapat direvisi secara rasional berdasarkansebuah eksperimen pikiran.

Meskipun hal tersebut menunjukkan bahwa pandangan Brownkonsisten dengan klaim Wilkes, ia sendiri masih punya beberapacelah. Beberapa eksperimen pikiran sains menyangkut situasi yang

��� C H R I S D A L Y

Page 176: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

“secara teoretis mustahil” dalam pengertian Wilkes. Ingatlah eks-perimen pikiran Einstein tentang apa yang akan dia amati jika diamelakukan perjalanan dengan kecepatan cahaya. Eksperimen pikir-an ini tetap sangat dihargai meskipun fakta bahwa secara teoretismustahil (yaitu, tidak sesuai dengan hukum alam) bagi Einstein un-tuk melakukan perjalanan dengan kecepatan cahaya—seperti yangdiakui Einstein sendiri. Karenanya, klaim Wilkes mencela praktikilmiah terbaik.

Apa yang tampaknya benar dari klaim Wilkes adalah bahwa,jika kita diberi deskripsi tentang situasi yang tidak dapat kita paha-mi, apa pun yang kita katakan tentang situasi tersebut akan menjadidugaan. Akibatnya, apa pun yang mungkin kita katakan tidak akandianggap sebagai bukti untuk mendukung atau menentang keya-kinan kita. Namun, ini tidak mengizinkan larangan menyeluruhatas eksperimen pikiran filsafat. Sekali lagi: larangannya hanya ber-laku untuk deskripsi tentang situasi yang tidak kita mengerti. Danmengatakan deskripsi yang mana yang demikian itu tidak bolehdilakukan dengan santai. Kita harus memikirkan setiap deskripsiberdasarkan kasus per kasus. Jika kita gagal memahami suatu des-kripsi, maka kita setidaknya harus mencoba memahaminya sejakawal (Kitcher 1978, 105). Tak satu pun contoh eksperimen pikiranyang diberikan sebelumnya tampak meminta kita untuk memba-yangkan sesuatu yang tidak masuk akal. Salah satu poin dari be-berapa eksperimen pikiran mungkin menunjukkan bahwa sesuatuyang sekilas tampak dapat dibayangkan itu sebenarnya mustahilatau tidak koheren.

Mengapa Wilkes skeptis terhadap eksperimen pikiran filsafat?Dia memiliki dua argumen. Argumen pertamanya adalah sebagaiberikut. Jika banyak argumen filosofis dinilai bertentangan dengandunia seperti yang kita kenali, ia menggambarkan situasi yang mus-tahil “secara teoritis” atau “secara prinsip”. Karena itu, argumentersebut tidak lebih dari fantasi. Contoh situasi yang mustahil “se-

C H R I S D A L Y ���

Page 177: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

cara teoretis” adalah emas yang tidak memiliki nomor atom 79atau air yang bukan H2O. Emas dan air adalah contoh jenis alami-ah (natural kinds): yaitu koleksi alamiah benda-benda alam. Jenisalamiah lainnya adalah harimau, laba-laba, dan mawar. MenurutWilkes, eksperimen pikiran yang melibatkan jenis alamiah tidakberhasil jika ia menganggap salah satu jenis alamiah tersebut ti-dak memiliki sifat esensialnya. Emas adalah jenis alamiah, dan apayang disebut emas itu secara esensial memiliki nomor atom 79. Airadalah jenis alamiah dan apa yang disebut air itu secara esensialterdiri dari molekul H2O. Oleh karenanya, eksperimen pikiran yangmengandaikan emas atau air tidak memiliki sifat-sifat esensialnyaitu tidak berhasil. Wilkes lebih lanjut mengklaim bahwa manusiamerupakan salah satu jenis alamiah. Akibatnya, dia mengklaimbahwa eksperimen pikiran tentang manusia tidak berhasil jika iamenganggap manusia tidak memiliki sebagian dari sifat esensialnya.Masalahnya kemudian adalah apakah eksperimen pikiran sepertieksperimen pikiran transplantasi otak itu membuat manusia tidakmemiliki sifat esensialnya sama sekali.

Argumen Wilkes mungkin dianggap bisa dihindari. Tanggap-an untuk argumen tersebut berkata sebagai berikut. Tampaknyamungkin bahwa ada pribadi yang bukan manusia (seperti yangtampaknya diakui oleh Wilkes [1988, 36]). Jika demikian, ekspe-rimen pikiran filsafat tentang pribadi yang dikritik Wilkes dapatdisusun ulang dalam kerangka non-manusia yang merupakan pri-badi. Dengan menyusun ulang eksperimen pikiran dalam kerangkaini, kritik Wilkes terpatahkan (Madell 1991, 139). Eksperimen pi-kiran tentang pribadi yang bukan manusia bukanlah eksperimenpikiran yang berakar pada pengamatan dan pengalaman. Sepin-tas lalu, ia adalah eksperimen pikiran tentang makhluk imajinermurni. Namun, ini membawa kita ke argumen kedua Wilkes yangmenentang eksperimen pikiran filsafat.

Argumen keduanya adalah sebagai berikut. Semua eksperimen

��� C H R I S D A L Y

Page 178: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

pikiran membuat asumsi latar belakang. Dalam eksperimen pikiransains, asumsi latar belakang ini dibuat eksplisit. Sebaliknya, banyakeksperimen pikiran filsafat membiarkan asumsi latar belakangnyayang relevan tidak jelas dan hanya implisit. Dalam hal ini, eksperi-men pikiran tersebut menyerupai dongeng. Tetapi meskipun, demicerita yang menghibur, kita mungkin mengesampingkan bagaimanaAlice dapat melewati cermin, eksperimen pikiran filsafat perlu lebihrinci dan ketat. Eksperimen pikiran seperti itu perlu menjelaskanbagaimana, misalnya, otak seseorang dapat berhasil dipindahkandari satu tubuh ke tubuh lain dengan cara yang mempertahankanfungsi mental dan fungsi-fungsi lain dari otak tersebut. Sekali lagi,eksperimen pikiran perlu menjelaskan bagaimana seseorang dapatditeleportasi dari satu tempat ke tempat lain.�

Dengan mengambil contoh kedua, Madell menjawab bahwaargumen Wilkes paling banter hanya menunjukkan bahwa kita ti-dak tahu bagaimana seseorang dapat diteleportasi, tetapi ia tidakmenunjukkan bahwa eksperimen pikiran tersebut tidak koheren(Madell 1991, 139). Wilkes mungkin menjawab bahwa jawaban Ma-dell tidak tepat sasaran. Tuduhannya bukan bahwa eksperimenpikiran teleportasi itu tidak koheren. Tuduhannya adalah, kecualikita diberi tahu bagaimana eksperimen pikiran itu mungkin, tidakada jaminan untuk menganggap bahwa eksperimen pikiran itu ko-heren seperti halnya tidak ada jaminan untuk menganggap bahwafiksi tentang Alice yang melangkah melalui cermin itu koheren.Kecuali jika tantangan ini dipenuhi, tidak ada alasan untuk meng-anggap bahwa eksperimen pikiran itu koheren seperti halnya tidakada alasan untuk menganggap bahwa dongeng apa pun yang tidakmengandung kontradiksi yang jelas itu koheren.

Di sisi manakah beban pembuktian itu berada? Apakah Madellberkewajiban memberikan lebih banyak justifikasi untuk menerima

� Untuk kritik serupa, lihat Cooper (2005, 345).

C H R I S D A L Y ���

Page 179: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

eksperimen pikiran teleportasi sebagai sesuatu yang koheren? Atau-kah Wilkes yang berkewajiban memberikan lebih banyak justifikasiuntuk mempertanyakan koherensi eksperimen pikiran tersebut?Madell berpandangan bahwa beban tersebut ada pada Wilkes un-tuk “menjustifikasi penolakan terhadap eksperimen pikiran [yangtidak terlalu kontradiktif]” (Madell 1991, 139).� Lycan mengemuka-kan hal tersebut secara lebih umum:

Untuk setiap klaim modal bahwa sesuatu adalah kebenaranniscaya, saya akan mengatakan bahwa beban pembuktianberada pada pendukung klaim tersebut. Jika seorang teoretikusmempertahankan sesuatu yang tidak secara jelas mustahilbahwa hal itu mustahil, ia punya tanggung jawab untuk membe-rikan argumennya kepada kita. Dan karena klaim konsekuensilogis merupakan klaim keniscayaan dan kemustahilan, maka halyang sama berlaku untuk klaim tersebut. . . .

. . . Pendukung klaim keniscayaan, kemustahilan, konsekuensi lo-gis, atau ketidakcocokan mengatakan bahwa di dunia mungkinmana pun tidak ada hal yang demikian. Itu adalah kuantifikasiuniversal. Mengingat kekayaan dan keanekaragaman yang luarbiasa dari plurimesta�� [yaitu, pluralitas yang terkandung di se-tiap dunia mungkin], maka pernyataan seperti itu tidak dapatditerima tanpa argumen kecuali untuk kasus intuisi logis dasaryang hampir diterima oleh semua orang. (Lycan 2003, 109)

Namun, berbicara tentang “kekayaan dan keanekaragamanyang luar biasa dari plurimesta” itu tidak menyelesaikan masalah.Persoalannya adalah seberapa kaya “plurimesta” itu. Plurimestamemang berisi segala kemungkinan. Tapi ia masih tergantung padaargumen apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin.

Perselisihan tentang di mana letak beban pembuktian seringkaliberakhir dengan jalan buntu. Ketika eksperimen pikiran menggam-barkan situasi yang fantastis, Madell dan Snowdon menganggap

� Lihat juga Snowdon (1991, 115).�� Terjemahan untuk ‘pluriverse’—penerj.

��� C H R I S D A L Y

Page 180: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

hal itu memang “Biasa Terjadi”. Namun, bagi Johnston dan Wilkes,hal itu adalah contoh dari “Sesuatu yang Telah Berubah dari yangSeharusnya”. Filsuf imajinatif bebas untuk memimpikan sesuatusesuka hati, dan menetapkan bahwa hal itu adalah contoh dari (ka-takanlah) teleportasi. Johnston dan Wilkes memperingatkan bahwaitu tidak menjadikan mereka dapat dikatakan melakukan penemu-an metafisik. Bagi para kritikus ini, merancang eksperimen pikiranyang fantastis itu “gagal untuk membuat kontak dengan kenyataan,dan sulit untuk mengetahui mengapa pembahasan tentang hal-halsemacam itu harus menjadi perhatian [metafisika]” (Maudlin 2007,188).

Para kritikus ini mungkin mengajukan argumen berikut (Stroud1977, 50). Beberapa klaim matematika tidak pernah dibuktikan atau-pun disangkal. Masih merupakan pertanyaan terbuka soal klaimmatematika yang mana yang menyatakan sesuatu yang niscayabenar, dan klaim matematika yang mana yang menyatakan sesuatuyang niscaya salah. Dugaan Goldbach adalah klaim bahwa setiapbilangan genap yang lebih besar dari dua itu dapat diekspresikansebagai jumlah dari dua bilangan prima. Sekarang tampaknya ti-dak ada kontradiksi yang nyata dalam membayangkan pembuk-tian terhadap dugaan tersebut. Mungkin kamu membayangkandirimu bekerja keras dan lama, menuliskan persamaan sampai ka-mu menyimpulkan bahwa dugaan Goldbach benar. Juga tidak adakontradiksi dalam membayangkan penyangkalan terhadap duga-an Goldbach tersebut. Namun eksperimen pikiran ini tidak bisasama-sama berhasil. Masing-masing eksperimen tersebut tidak da-pat mengungkapkan kemungkinan yang asli karena kita mungkinuntuk membuktikan dugaan Goldbach itu hanya jika kita mustahiluntuk menyangkalnya. Jadi, eksperimen pikiran yang tidak terlalukontradiktif dengan dirinya sendiri masih mungkin menggambar-kan sesuatu yang mustahil.

Beberapa filsuf beranggapan bahwa klaim matematika yang

C H R I S D A L Y ���

Page 181: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

tidak dapat dibuktikan ataupun disangkal itu tidak benar ataupunsalah. Kita tidak perlu berselisih dengan para filsuf ini di sini. Mes-kipun dugaan Goldbach tidak dapat dibuktikan ataupun disangkal,poin di atas masih berlaku. Eksperimen pikiran yang menggambar-kan kamu membuktikan dugaan tersebut dan eksperimen pikiranyang menggambarkan kamu menyangkal dugaan tersebut itu tidakdapat menggambarkan kemungkinan yang asli. Mungkin tidak adaeksperimen pikiran yang menggambarkan kemungkinan yang aslikarena dugaan tersebut tidak dapat dibuktikan ataupun disangkal.��

Argumen di atas dapat dipertanyakan (McGrew dan McGrew1998, bagian 3). Pertama, patut dipertanyakan apakah, dengan mem-bayangkan situasi di atas, kamu benar-benar membayangkan duga-an Goldbach itu benar atau benar-benar membayangkannya sebagaisalah. Sebenarnya apa yang dibayangkan dalam situasi pertamaadalah bahwa kamu telah menuliskan serangkaian persamaan danmembentuk keyakinan bahwa kamu telah membuktikan dugaanGoldbach. Itu tidak cukup untuk membuktikan dugaan tersebut:ia konsisten dengan apa yang kamu bayangkan bahwa dugaan itusalah. Demikian pula, membayangkan keyakinanmu—bahkan ke-yakinanmu yang dapat dibenarkan—bahwa dugaan itu salah tidakcukup untuk membayangkan bahwa dugaan itu salah. Perhatikanbahwa tidak ada kontradiksi antara membayangkan keyakinanmuterhadap dugaan tersebut dan membayangkan ketidakyakinanmuterhadap dugaan tersebut.

Madell dan Snowdon mungkin memberikan jawaban lebih lan-jut bahwa, ketika tidak ada bukti dalam bentuk apa pun bahwaeksperimen pikiran tertentu itu mustahil, maka pandangan dasar-nya adalah bahwa eksperimen pikiran menggambarkan kemung-kinan yang sejati. Jika pandangan ini ingin dipertahankan, ia perludirumuskan lebih hati-hati. Karena beberapa eksperimen pikiran,

�� Untuk pembahasan lebih lanjut tentang persoalan ini, lihat Yablo (2000), Gendlerdan Hawthorne (2002, pendahuluan), dan Rosen (2006).

��� C H R I S D A L Y

Page 182: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

seperti eksperimen pikiran Quinton, itu tidak berhasil, dan eksperi-men pikiran bukanlah metode epistemik yang aman dari kegagalan,maka ada beberapa bukti yang menentang kesuksesan eksperimenpikiran tertentu. Ada juga pertanyaan tentang apa yang dianggapsebagai bukti yang menentang eksperimen pikiran tertentu. Apakahmembayangkan bahwa setiap upaya untuk membangun perangkatteleportasi gagal itu dianggap sebagai bukti bahwa teleportasi itutidak mungkin? Akankah eksperimen pikiran itu bertentangan de-ngan eksperimen pikiran Parfit seperti halnya bertentangannya duamacam eksperimen pikiran tentang dugaan Goldbach di atas? Tidakakan membantu jika menyatakan bahwa, kecuali ada cukup buktiyang menentang eksperimen pikiran, pandangan dasarnya haruslahmenganggap eksperimen pikiran menggambarkan kemungkinanyang sejati. Kita perlu diberi tahu berapa banyak dukungan buktiyang diberikan oleh pandangan dasar tersebut, dan sejauh manabukti tandingan yang akan diperlukan untuk mengalahkannya.

Faktanya, diragukan apakah ada kondisi dasar metodologisyang mendukung atau menentang klaim kemungkinan. Mengata-kan bahwa keledai mungkin berbicara berarti mengatakan bahwahal itu konsisten dengan sifat keledai yang berbicara. Memiliki alas-an untuk meyakini klaim semacam itu, atau memiliki alasan untukmeyakini klaim semacam itu salah, sangat bergantung pada apayang seseorang ketahui, atau alasan kuat yang ia miliki untuk me-yakini, tentang sifat tersebut. Jadi, dalam kasus tertentu, pertanyaankunci yang perlu ditanyakan adalah apa alasannya. Ini adalah poinyang dibuat Wilkes dalam penekanannya pada jenis alamiah apayang dimiliki sesuatu. Penilaian tentang apa yang mungkin ataumustahil harus dinilai berdasarkan kasus per kasus, dan bukandengan aturan pengalihan beban.

Apa yang dimaksud dengan asumsi latar belakang eksperimenpikiran? Apakah eksperimen pikiran filsafat membiarkan asumsilatar belakang mereka tidak jelas? Jika demikian, apakah ini berten-

C H R I S D A L Y ���

Page 183: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

tangan dengan eksperimen pikiran tersebut? Bisakah asumsi latarbelakang diperjelas? Jika dibuat jelas, apakah ada persoalan lainyang menghadapi eksperimen pikiran filsafat?

Mungkin eksperimen pikiran filsafat sering membiarkan asumsilatar belakangnya tidak jelas dalam arti bahwa eksperimen tersebuttidak menjelaskan bagaimana asumsi tersebut bisa muncul, atautidak bisa menjelaskan semua konsekuensi penting dari asumsi ter-sebut. Tetapi hal yang sama berlaku untuk eksperimen pikiran sains(Snowdon 1991, 120). Semisal, eksperimen pikiran Einstein tentangapa yang akan diamati seseorang jika mereka melakukan perjalan-an dengan kecepatan cahaya. Einstein tidak berusaha menjelaskanbagaimana pengamat dapat melakukan perjalanan pada kecepatanitu, apa alat penggeraknya, bagaimana pengamat dapat bertahandari peningkatan massa yang dihasilkan, dan sebagainya. Apa yangkita miliki di sini adalah jawaban berbentuk argumen “rekan yangsama-sama bermasalah” untuk Wilkes. Wilkes membuat keberatantertentu terhadap eksperimen pikiran filsafat karena eksperimentersebut gagal menjelaskan bagaimana asumsinya muncul, atau apasemua konsekuensi pentingnya. Kemudian dijawab bahwa setidak-nya beberapa eksperimen pikiran sains juga memiliki ciri-ciri yangsama. Jadi, entah eksperimen pikiran sains ini seburuk eksperimenpikiran filsafat—dalam arti: kedua jenis eksperimen pikiran tersebutadalah “rekan yang sama-sama bermasalah”—atau tidak ada yangdapat disangkal tentang eksperimen pikiran yang memiliki ciri-ciriyang dipertanyakan—kedua jenis eksperimen pikiran tersebut tidakbersalah. Karena Wilkes tidak ingin meragukan eksperimen pikir-an sains, maka tampaknya kritiknya terhadap eksperimen pikiranfilsafat ini gagal.

Untuk meringkas bagian ini, tidak ada asumsi dasar bahwaeksperimen pikiran mendeskripsikan kemungkinan sejati kecualiditampilkan sebaliknya. Eksperimen pikiran perlu dinilai berdasar-kan kasus per kasus. Perhatian khusus perlu diberikan pada asumsi

��� C H R I S D A L Y

Page 184: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

latar belakang yang dibuat yang (mungkin implisit) dan juga padaketahanannya.��

�.� Filsafat Eksperimental

Misalkan sebuah eksperimen pikiran dirancang untuk memperolehintuisi tertentu. Eksperimen pikiran bisa dikatakan berhasil hanyajika ia memunculkan intuisi tersebut pada khalayaknya. Ini me-nimbulkan pertanyaan: seberapa luas intuisi itu? Artikel jurnal dankonferensi memberikan beberapa indikasi tentang seberapa luasintuisi itu di antara para filsuf. Tapi kita perlu mempertimbang-kan efek tokoh-tokoh otoritas filsafat dalam menanamkan intuisipada penggemarnya yang terpesona dan murid-muridnya yangpatuh. Latar belakang pendidikan filsuf akademis juga hampir tidakdikenal oleh penduduk yang lebih luas. Mereka telah menjalanibertahun-tahun pembelajaran khusus yang membenamkan merekadalam teori-teori filosofis yang aneh dan indah. Hasilnya, bisa kitaduga bahwa intuisi mereka penuh dengan teori dan interpretasi.Data yang secara teoretis bias seperti itu membuat bukti kurang da-pat dipercaya daripada yang seharusnya untuk pengujian teori. Inijuga berimplikasi pada model kerja analisis yang disajikan dalambab 2, §3, karena model tersebut menjadikan intuisi tentang kasushipotetis sebagai alat uji bagi calon analisis.

Apa yang perlu dilakukan? Para filsuf harus keluar dari kursiberlengan mereka dan terjun ke lapangan. Mereka perlu melakukaneksperimen konkret. Secara khusus, mereka perlu melakukan sur-vei pada masyarakat umum untuk melihat intuisi apa yang merekamiliki. Begitulah yang dikatakan pendekatan terbaru yang disebut“filsafat eksperimental” (atau singkatnya: “x-fi”). Sampai saat ini,para peneliti dalam pendekatan ini telah melakukan survei untuk

�� Untuk pembahasan lebih lanjut tentang Wilkes, lihat Haggqvist (1996, bab 2) danColeman (2000).

C H R I S D A L Y ���

Page 185: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

mendapatkan intuisi tentang topik seperti pengetahuan, rujukan,tindakan, dan tanggung jawab moral (Alexander dan Weinberg 2007,Kauppinen 2007, Knobe dan Nichols 2008, bagian I-III, dan Swain,Alexander, dan Weinberg 2008). Hasil survei ini sangat menggugahpikiran. Beberapa hasil menggambarkan tanggapan yang berbedadari kelompok yang berbeda untuk kasus yang sama. Hasil lainmenggambarkan tanggapan berbeda dari kelompok yang sama un-tuk kasus serupa. Untuk kasus jenis pertama, Weinberg, Nicholsdan Stich (2008) mengklaim bahwa sebagian besar orang Barat yangdisurvei menilai kasus Gettier tertentu bukan sebagai kasus penge-tahuan, sedangkan sebagian besar orang Asia Timur yang disurveimenilainya sebagai kasus pengetahuan.

Apa yang harus kita buat dari filsafat eksperimental dan hasil-nya? Dalam menyajikan eksperimen pikiran, seseorang menyelidikitanggapan terhadap kasus yang mungkin: “Apa yang akan kamukatakan tentang kasus yang baru saja dijelaskan?” Ambil, misalnya,kisah Locke tentang pangeran dan tukang sepatu (Locke 1694, bukuII, bab 27, seksi 15). Seseorang tersadar. Dia memiliki tubuh pange-ran tetapi dia tidak memiliki ingatan tentang perbuatan pangeran.Namun, dia memiliki ingatan yang jelas tentang perbuatan tukangsepatu itu. Orang lain tersadar. Dia memiliki tubuh tukang sepatutapi dia tidak memiliki ingatan apa pun tentang perbuatan tukangsepatu. Namun, dia memiliki ingatan yang jelas tentang tindakanpangeran. Apakah benar bahwa pangeran dan tukang sepatu ber-tukar tubuh? Pertanyaan tersebut perlu untuk dijawab. Ia adalahmasalah kontingen yang hanya dapat diketahui secara aposterioriseperti apa tanggapan untuk pertanyaan tersebut. Ini saja sudahcukup untuk menunjukkan bahwa sangat berharga bagi filsuf untukmelakukan survei tanggapan terhadap kasus yang mungkin terjadi.Tetapi beberapa kualifikasi perlu dibuat.

Pertama, merancang survei, menyusun pertanyaan yang akandiajukan, melakukan survei, dan mereplikasi semuanya perlu di-

��� C H R I S D A L Y

Page 186: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

lakukan dengan benar. Genoveva Martí berpandangan bahwa seti-daknya satu survei filsafat eksperimental telah dirancang denganburuk. Pertanyaan survei seharusnya mendapatkan intuisi tentangreferensi sebuah nama, tetapi formulasinya justru akan memuncul-kan intuisi berkaitan dengan teori tentang apa yang menentukanreferensi nama (Martí 2009).

Kedua, tidak semua masalah yang diangkat oleh eksperimenpikiran dapat diselesaikan dengan survei (Jackson 2008). Misalnya,satu pelajaran yang ditarik Locke adalah bahwa ada kemungkinankarakteristik tubuh dan karakteristik psikologis seseorang itu bisaterlepas. Ini adalah fakta mengejutkan yang kita pelajari apakahcerita Locke adalah kisah bertukar tubuh atau tidak. Pelajaran lainyang ditarik Locke adalah bahwa berguna jika kita membedakankonsep menjadi pribadi, memiliki tubuh, dan memiliki psikologi.

Ketiga, survei tidak memberi tahu kita pelajaran apa yang dapatdiambil darinya, dan sulit untuk menarik kesimpulan yang pastiberdasarkan data survei yang terbatas. Weinberg dkk. mengambilpelajaran bahwa intuisi epistemik itu bervariasi dari budaya kebudaya, dan juga bahwa intuisi tersebut bervariasi dari satu ke-lompok sosial ekonomi ke kelompok lainnya (Nichols, Stich, danWeinberg 2003, 232). Pelajaran ini kontroversial. Jackson menyaran-kan bahwa pelajarannya mungkin sebaliknya bahwa orang Baratdan Asia Timur memiliki konsep pengetahuan yang berbeda (Jack-son 2008).�� Weinberg dkk. memiliki sejumlah tanggapan (Nichols,Stich, dan Weinberg 2003, 245). Pertama, mereka menjawab bahwajika Jackson benar, maka mungkin para filsuf (apalagi rakyat) meng-gunakan konsep yang berbeda ketika mereka berdebat. Namun ituakan mengancam praktik filosofis standar. Di sini Jackson harusmenjawab bahwa ancaman membicarakan dua hal berbeda tapimasing-masing kita meyakini sedang membicarakan hal yang sama

�� Lihat juga Sosa (2008).

C H R I S D A L Y ���

Page 187: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

itu selalu bersama kita, dan pelajaran yang dia sarankan itu tidakmembuat ancaman itu semakin meningkat. Ini sangat membantumenunjukkan satu area yang di dalamnya kelompok yang berbedasaling berbicara. Sebagai ukuran praktis, tingkat ancaman dalam se-tiap debat dapat dievaluasi dengan melanjutkan debat dan melihatapakah para peserta sangat tidak setuju dalam intuisi mereka (yangmenunjukkan perbedaan konsep) atau apakah ketidaksepakatantersebut relatif terbatas.

Ini juga melucuti pertanyaan lebih lanjut dari Weinberg dkk.Mereka bertanya-tanya apakah masuk akal bahwa setiap ketidak-sepakatan yang jelas itu berasal dari perbedaan konsep. Tetapiusulannya adalah bahwa hanya jika ada ketidaksepakatan yangluas—ketidaksepakatan tentang banyak kasus Gettier, bukan hanyasatu atau dua—dan ketidaksepakatan itu tetap ada setelah refleksi,maka ketidaksepakatan itu harus dinilai terletak pada perbedaankonsep. (Ingat pandangan Rey tentang kepemilikan konsep di bab2, §12.) Terakhir, Weinberg dkk. bertanya apakah berguna jika kitamemiliki konsep pengetahuan Barat (atau Asia Timur). Namun,kerja filosofis utama telah dilakukan untuk menjelaskan kegunaandari setidaknya konsep pengetahuan Barat (Craig 1990).��

Weinberg dkk. berbicara tentang “romantisme yang didorongoleh intuisi” (Weinberg, Nichols dan Stich 2008, 19-21). Mereka ber-pandangan bahwa perbedaan yang ditemukan secara empiris dalamintuisi menimbulkan keraguan terhadap keterpercayaan intuisi ten-tang kasus yang mungkin. Namun, jika intuisi salah satu kelompokbudaya itu dapat dipercaya, maka tidak ada yang mengatakan ke-lompok mana yang dapat dipercaya itu. Jackson menjawab bahwaini

[m]emperlakukan intuisi seolah-olah ia adalah semacam pelepas-an “modul intuisi” di otak yang telah terbukti tidak dapat diper-caya sehubungan dengan, katakanlah, kasus Gettier. Tetapi keti-

�� Untuk kritik lain terhadap tanggapan Jackson, lihat Williamson (2009, 130).

��� C H R I S D A L Y

Page 188: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

ka kita merenungkan kasus Gettier, kita bertanya apakah kasusseperti yang dijelaskan itu termasuk kasus pengetahuan atau ti-dak. Kita tidak melakukan introspeksi; kita mengarahkan perha-tian kita ke kasus tersebut dan menanyakan apa yang kita yaki-ni tentangnya. Tidak ada yang memiliki intuisi tentang suatu ka-sus yang mungkin dan kemudian menilai bahwa kasusnya beginidan begitu. (Jackson 2008)

Tidak jelas apakah itu membahas tuduhan tersebut. Tuduhan-nya adalah bahwa intuisi tidak dapat dipercaya. Fakta bahwa ketikakita berintuisi kita tidak mawas diri, dan bahwa perhatian kitadiarahkan pada kasus yang dipermasalahkan, itu tidak relevandengan persoalan. Pertimbangkan persamaannya: angan-angan di-tuduh tidak dapat dipercaya. Fakta bahwa dalam angan-angan kitatidak mawas diri, dan bahwa perhatian kita diarahkan pada kasusyang dipersoalkan—kasus yang ingin kita peroleh—itu tidak mem-benarkan tuduhan tersebut. (Ada perdebatan besar yang sedangberlangsung tentang keterpercayaan intuisi).��

�.� Kesimpulan

Terlepas dari kekhawatiran apa pun yang mungkin kita miliki ten-tang keterpercayaan intuisi, tampaknya pendasaran terhadap intu-isi juga sangat diperlukan. Berikut adalah proposal skeptis yangtentatif dan spekulatif. Kita perlu menguji analisis filosofis yang diu-sulkan, dan tampaknya satu-satunya cara untuk mengujinya adalahdengan metode kasus hipotetis—metode pengujian atas dasar ke-cenderungan kita untuk menerapkan kata-kata pada kasus imajinertertentu. Asumsi terakhir ini, bagaimanapun, patut dipertanyakan.Sebagai ganti metode contoh hipotetis, kita mungkin menganggap

�� Untuk pendukung intuisi, lihat Tidman (1994, 1996), Pust (2000a, 2000b), Levin(2004), Mišcevic (2004), Sosa (2006), Goldman (2007), dan Liao (2008). Untuk pengk-ritiknya, lihat Hintikka (1999), Morgalis dan Laurence (2003), Kornblith (2002, bab1), Hales (2006, bab 1), Kornblith (2006), Weinberg (2007), dan Feltz (2008).

C H R I S D A L Y ���

Page 189: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

analisis menawarkan penjelasan terbaik terhadap beberapa fenome-na yang diketahui sebelumnya.�� Ambil sebuah contoh. Anggaplah,betapapun beragama keadaannya, kita menemukan bahwa kasuspengetahuan proposisional dan kasus keyakinan yang benar yangdihasilkan secara terpercaya itu memiliki luas cakupan yang sama(bukti kita adalah bahwa segala sesuatu merupakan kasus pengeta-huan jika dan hanya jika sesuatu itu adalah kasus keyakinan yangbenar yang diproduksi secara terpercaya). Kita juga belajar daripengalaman bahwa memiliki pengetahuan proposisional memung-kinkan kita untuk bernavigasi di sekitar lingkungan kita dan untukmemuaskan keinginan kita. Kurang lebih secara mandiri, kita mem-pelajari keyakinan mana yang benar dan dihasilkan oleh prosesyang lebih sering menghasilkan keyakinan yang benar. Proses inimungkin dijelaskan dalam istilah non-teknis atau dalam kosakatakhusus neurologi atau psikologi ilmiah. Penyelidikan lebih lanjutmengungkapkan bahwa keyakinan yang benar dan dihasilkan olehproses yang dapat dipercaya itu diharapkan dapat membantu kitauntuk bernavigasi di sekitar lingkungan kita dan untuk memuaskankeinginan kita. Ini menempatkan kita pada posisi untuk menjelas-kan mengapa pengetahuan juga memiliki ciri-ciri yang sama ini,dan mengapa semua kasus pengetahuan yang diakui sama luasnyadengan kasus-kasus keyakinan yang benar yang dihasilkan seca-ra terpercaya. Penjelasannya adalah bahwa pengetahuan identikdengan keyakinan yang benar yang dihasilkan secara terpercaya.Penjelasan ini juga menjelaskan mengapa pengetahuan tidak me-miliki fitur tertentu lainnya. Kamu dapat mengetahui p itu tanpamemastikan bahwa p atau tanpa mengetahui bahwa kamu tahu bah-wa p. Penjelasannya adalah bahwa kamu dapat memiliki keyakinanyang benar yang dihasilkan secara terpercaya bahwa p tanpa menge-tahui bahwa kamu memiliki keyakinan itu atau tanpa memastikan

�� Ini mengacu pada beberapa ide di dalam Melnyck (2008a, 284-285).

��� C H R I S D A L Y

Page 190: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

bahwa p. Penjelasan tandingan mungkin bisa dibuat, tetapi penjelas-an yang satu ini sangat sederhana dan lugas, dan mengikuti praktikilmiah yang diakui dalam memberikan identifikasi teoretis untukmenjelaskan mengapa fenomena tertentu memiliki fitur yang samadan mengapa fenomena tertentu tidak memiliki fitur tertentu. De-ngan penyimpulan menuju penjelasan terbaik, kita menyimpulkanbahwa pengetahuan itu adalah keyakinan yang benar yang dapatdihasilkan secara terpercaya. Tidak ada pendasaran pada intuisidalam penyimpulan tersebut.

Contoh di atas memperlakukan pengetahuan sebagai fenomenaempiris. Benar atau tidak, pandangan tersebut dapat diterapkan pa-da fenomena yang tampaknya dapat diketahui secara apriori. Dapatdiketahui secara apriori bahwa apa pun adalah fungsi yang dapatdikomputasi secara efektif jika dan hanya jika ia adalah fungsi yangdapat dikomputasi dengan mesin Turing. Hipotesis bahwa keduajenis fungsi ini identik itu memiliki kekuatan untuk memberikanpenjelasan dengan memungkinkan kita untuk membuktikan berba-gai kebenaran niscaya tentang prosedur mekanis dan sistem formal(Anderson 1990, 174-75).

Poin utamanya di sini adalah kasus yang mendukung contohilustrasi analisis ini tidak bergantung pada metode kasus hipotetis.Kasus pengetahuan itu dikenali melalui efek perilakunya. Kasusfungsi yang dapat dikomputasi secara efektif itu dikenali melaluisifat formalnya. Intuisi itu mubazir. Begitulah yang dikatakan olehproposal skeptis.

C H R I S D A L Y ���

Page 191: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Pertanyaan-pertanyaanuntuk Didiskusikan

1. Di akhir §2, kita mencatat pandangan bahwa eksperimenpemikiran yang berbeda memiliki peran yang berbeda. Apakahperan yang terdaftar itu eksklusif? Apakah peran yang terdaftar itusudah mencakup semuanya?

2. Di §3, kita membahas lima teori tentang apa itu eksperimenpikiran. Manakah dari teori-teori itu yang membentuk pasanganyang konsisten? Pasangan mana yang tidak konsisten?

3. Brown berpendapat bahwa eksperimen pikiran memberikanpengetahuan tentang dunia Platonis. Dia mengakui bahwa diatidak memiliki penjelasan tentang bagaimana eksperimen pikiranitu melakukan ini, tetapi mengatakan bahwa kasus pengetahuankita tentang dunia fisik itu tidak berbeda. Kita tidak memilikipenjelasan tentang bagaimana perubahan otak menghasilkanperubahan keyakinan. Apakah pembelaan Brown itu efektif?

4. Jika eksperimen pikiran adalah argumen, apakah eksperimentersebut memiliki struktur yang sama? Jika iya, seperti apastrukturnya? (Untuk beberapa pandangan, lihat Sorensen [1992a,bab 6] dan Häggqvist [2009, 62–68].)

5. Dapatkah kamu membayangkan sesuatu yang bersinar denganwarna abu-abu? Jika tidak, apakah itu alasan untuk percaya bahwasesuatu yang bersinar itu mustahil berwarna abu-abu? Secara lebihumum, apakah imajinasi merupakan sumber pengetahuan modal?Dan, jika iya, apakah itu satu-satunya sumber pengetahuan modal

��� C H R I S D A L Y

Page 192: pengantar metode- metode filsafat

E K S P E R I M E N P I K I R A N

kita?

6. Eksperimen pikiran terkadang menyangkut situasi yangdibuat-buat. Wilkes mengklaim bahwa semakin jauh eksperimenpemikiran terlepas dari kehidupan sehari-hari, semakin “mera-gukan, tidak pasti, dan dapat diperdebatkan” (Wilkes 1988, 47).Johnston berpendapat tentang penilaian intuitif bahwa “akan adaalasan untuk menganggap bahwa penilaian ini semakin tidak dapatdipercaya, maka semakin aneh kasus yang dipersoalkan” (Johnston1987, 63). Apakah kritik ini benar?

7. Dengan berusaha mendeskripsikan kasus-kasus yang jauh darikehidupan sehari-hari, apakah eksperimen pikiran menggunakankata-kata di luar penggunaan normalnya (Coady 2007, 114)? Quinekhawatir bahwa:

Metode fiksi sains memiliki kegunaannya dalam filsafat, tetapi. . .saya bertanya-tanya apakah batasan metode tersebut diperhati-kan dengan benar. Untuk mencari apa yang “secara logis diperlu-kan” untuk kesamaan pribadi dalam keadaan yang belum per-nah terjadi sebelumnya adalah menunjukkan bahwa kata-katamemiliki kekuatan logis di luar apa yang telah dilekatkan olehkebutuhan masa lalu kita. (Quine 1972, 490)

Apakah kekhawatiran Quine itu masuk akal? Bagaimana kekhawa-tirannya harus dipenuhi? (Untuk beberapa pandangan yang rele-van dengan pertanyaan 6 dan 7, lihat Sorensen [1992b, bab 2 dan277–284].)

Bacaan Utama untuk Bab �

Alexander, Joshua dan Jonathan Weinberg (2007) “Analytic Episte-mology and Experimental Philosophy.”

Cooper, Rachel (2005) “Thought Experiments.”

C H R I S D A L Y ���

Page 193: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Gendler, Tamar Szabo (2000) Thought Experiment: On the Powersand Limits of Imaginary Cases.

Knobe, Joshua dan Shaun Nichols (2008) (eds.) Experimental Philo-sophy.

Melnyck, Andrew (2008a) “Conceptual and Linguistic Analysis: ATwo-Step Program.”

Wilkes, Kathleen (1988) Real People bab 1.Williamson, Timothy (2007) The Philosophy of Philosophy bab 6

dan 7.

��� C H R I S D A L Y

Page 194: pengantar metode- metode filsafat

�KESEDERHANAAN

�.� Pendahuluan

P E R T I M B A N G K A N persebaran titik pada sebuah grafik. Setiap titikmerepresentasikan sebuah data. Misalkan kamu ingin menggambargaris melalui titik-titik tersebut. Mungkin kamu akan menggambarkurva paling halus yang menghubungkan titik-titik tersebut. Tetapimengapa menggambar garis yang halus daripada garis yang be-rantakan untuk menghubungkan titik-titik tersebut? Padahal jikaterdapat banyak titik pada grafik tersebut, banyak kurva yang da-pat ditarik melalui titik-titiknya. Mengapa mengistimewakan kurvayang paling halus?

Ambil contoh lain. Misalkan apartemenmu dirampok. Tim yangmenangani kejahatan mengidentifikasi sekumpulan sidik jari kri-minal dan sekumpulan jejak kaki kriminal. Berapa banyak pencuriyang membobol? Berdasarkan bukti tersebut, kamu mungkin ber-anggapan bahwa hanya ada satu pencuri. Tetapi mengapa berang-gapan hanya ada satu pencuri daripada beranggapan ada beberapapencuri, yang salah satunya cukup ceroboh sehingga meninggalkansidik jari, dan yang lainnya cukup ceroboh sehingga meninggalkan

Page 195: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

jejak kaki, sementara semua orang lain yang membantu mereka sa-ngat berhati-hati sehingga tidak meninggalkan jejak apa pun? Adabanyak hipotesis tentang jumlah pencuri yang konsisten denganbukti yang diberikan.

Dalam kedua contoh di atas, pemikiranmu mungkin dipanduoleh pertimbangan kesederhanaan (simplicity). Pertimbangan yangsama juga berlaku dalam sains dan filsafat. Sains dan filsafat mem-perlakukan kesederhanaan sebagai sebuah keutamaan teoretis:

Aturan I: Kita harus mengakui tidak ada lagi penyebab hal-halalamiah selain penyebab yang benar dan sekaligus cukup untukmenjelaskan penampakan hal-hal alamiah tersebut. (Newton1686, buku III)

Entitas tidak boleh digandakan tanpa kebutuhan. Dengan katalain, dalam berurusan dengan pokok soal apa pun, cari tahu enti-tas apa yang jelas terlibat, dan nyatakan segala sesuatu yang laindalam kaitannya dengan entitas tersebut. (Russell 1914, 107)

Prinsip kesederhanaan yang menjadi dasar bagi Newton danRussell itu disebut Pisau Cukur Ockham. Pisau cukur tersebut beru-tang namanya pada William Ockham dan pada praktik abad per-tengahan untuk menghilangkan tinta berlebih atau kesalahan da-ri kertas kulit dengan pisau cukur. Ada masalah interpretatif ten-tang bagaimana Ockham bermaksud menggunakan pisau cukurnya(atau, lebih tepatnya, penghapusnya), tetapi bab ini hanya akanmembahas penggunaan pisau cukur di zaman modern. Salah satucara merumuskan pisau cukur menyangkut jumlah entitas yangdiandaikan: formulasi ini mengatakan bahwa entitas tidak bolehdiandaikan tanpa kebutuhan. Pisau Cukur Ockham dan berbagaiformulasinya akan menjadi topik bab ini.

�.� Macam-macam Kesederhanaan

Pisau Cukur Ockham menimbulkan sejumlah pertanyaan:

��� C H R I S D A L Y

Page 196: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

(P1) Bagaimana seharusnya prinsip kesederhanaan itu dipahami le-bih lanjut?

(P2) Apakah kesederhanaan merupakan salah satu ciri hipotesis il-miah atau hipotesis filosofis yang baik?

(P3) Jika ia merupakan salah satu ciri yang baik, apa yang menye-babkan kebaikannya? Apakah kebaikannya itu primitif ataudapatkah ia dipahami dalam kaitannya dengan ciri-ciri lain da-ri sebuah hipotesis?

Bagian ini akan membahas (Q1). Pertanyaan itu berkaitan de-ngan prinsip kesederhanaan apa pun. (Mungkin ada lebih dari satuprinsip kesederhanaan.) Prinsip kesederhanaan adalah prinsip yangmengatur pemilihan hipotesis. Prinsip semacam itu mengatakan:

Jika hipotesis H1 lebih sederhana daripada hipotesis H2, maka,asalkan hal-hal lainnya tetap sama, H1 adalah hipotesis yang le-bih baik daripada H2, dan kita harus menerima H1 daripada H2.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang hal ini. Perta-ma, kesederhanaan bukanlah hal yang tidak memiliki titik tengah.Kesederhanaan sebuah hipotesis itu memiliki tingkatan.

Kedua, kesederhanaan hipotesis adalah soal perbandingan. Hi-potesis pertama mungkin lebih sederhana daripada hipotesis kedua,tetapi tidak sesederhana hipotesis ketiga.

Ketiga, apakah hipotesis pertama lebih sederhana daripada hipo-tesis kedua itu sebagian bergantung pada soal apa hipotesis tersebut.Kesederhanaan komparatif dari sepasang hipotesis itu ditentukanoleh pokok soal hipotesis tersebut.

Keempat, kesederhanaan hanyalah salah satu di antara sejumlahhal yang disebut “keutamaan teoretis”. Keutamaan teoretis adalahsifat yang diinginkan yang mungkin dimiliki oleh hipotesis terten-tu. Ia mencakup kesesuaian dengan data, kesesuaian dengan teorilatar belakang, kekuatan dalam memberikan penjelasan (explanatorypower), kesuburan (seberapa banyak ide dan penggunaan baru yangdisarankan oleh hipotesis tersebut), dan penghindaran masalahyang sulit diselesaikan.

C H R I S D A L Y ���

Page 197: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Kelima, peran dari klausa “asalkan hal-hal lainnya tetap sa-ma” adalah bahwa kesederhanaan sebuah hipotesis itu ditimbangbersama dengan keutamaan teoretis lainnya. Hipotesis yang lebihsederhana mungkin lebih disukai daripada hipotesis lain meskipunfakta bahwa hipotesis lain itu sedikit lebih disukai dalam kaitannyadengan beberapa keutamaan teoretis lainnya. Namun, kesederha-naan adalah alasan yang tidak dapat dibatalkan untuk menerimasebuah hipotesis. Hipotesis yang kurang sederhana mungkin lebihdisukai daripada hipotesis lain jika hipotesis pertama itu memilikibanyak keutamaan teoretis lain sampai ke tingkat yang jauh lebihtinggi. Misalnya, jika sebuah hipotesis jauh lebih mampu memberi-kan penjelasan dan lebih subur daripada hipotesis saingannya yanglebih sederhana, maka hal ini dapat membuat hipotesis tersebutlebih disukai daripada hipotesis saingannya.

KESEDERHANAAN IDEOLOGIS DAN ONTOLOGIS

Kita telah membiarkannya terbuka apakah ada lebih dari satu jeniskesederhanaan, dan tampaknya memang ada. Ada perbedaan anta-ra apa yang kita sebut kesederhanaan ideologis dan kesederhanaanontologis. Kesederhanaan ontologis (secara kasar) menyangkut sebe-rapa sederhana sebuah hipotesis menjelaskan dunia. Kesederhanaanideologis menyangkut jumlah istilah ekstra-logis yang dianggapprimitif oleh hipotesis, yaitu dianggap sebagai istilah yang takterde-finisikan (lihat Quine 1951). Tingkat kesederhanaan ideologis suatuhipotesis ditentukan oleh jumlah istilah primitif yang diperlukanuntuk merumuskan hipotesis. Mungkin kamu memiliki teori ma-tematika yang berisi istilah “himpunan” dan “bilangan” di antaraistilah-istilah primitifnya. Kamu kemudian menemukan cara untukmendefinisikan “bilangan” dalam kerangka “himpunan”, sehinggateorimu tidak perlu lagi menganggap “bilangan” sebagai salah satuistilah primitifnya. Teorimu masih memiliki sumber ekspresif yangsama seperti sebelumnya; teorimu masih bisa menghasilkan kalimat

��� C H R I S D A L Y

Page 198: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

sebanyak sebelumnya. Tetapi teorimu telah menjadi lebih sederha-na secara ideologis dengan mengurangi satu istilah dari kumpulanistilah primitifnya.

Kesederhanaan ontologis memiliki tiga pembedaan: kesederha-naan kualitatif dan kesederhaan kuantitatif; anti-kuantitas dan anti-kemubaziran; dan kesederhanaan yang relatif terhadap hipotesisdan kesederhanaan mutlak. Pembedaan ini tidak saling meniada-kan, dan sesuatu yang berada di salah satu sisi sebuah pembedaanmasih terbuka di sisi mana ia akan berada pada perbedaan lainnya.

KESEDERHANAAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF

Kesederhanaan kualitatif berkaitan dengan jumlah jenis hal yangdianggap sebagai dasar oleh hipotesis tertentu. Kesederhanaan ku-antitatif berkaitan dengan jumlah contoh yang dikemukakan olehhipotesis tersebut untuk setiap jenis yang dianggap sebagai dasar.Sebagai contoh, pada abad kesembilan belas para astronom telahmengamati gangguan di orbit Uranus dan berusaha menjelaskan-nya. Pada tahun 1845–1846 Leverrier dan Adams mempostulat-kan sebuah planet takteramati (Neptunus) dengan massa dan orbittertentu yang akan menyebabkan anomali yang teramati di orbitUranus. Dengan mempostulatkan sebuah planet, mereka mempos-tulatkan sesuatu yang termasuk dalam jenis hal yang oleh astronomitelah dianggap sebagai jenis dasar. Jadi hipotesis mereka secara kua-litatif sederhana. Dengan mempostulatkan hanya satu hal dari jenisitu, hipotesis mereka secara kuantitatif sederhana. Pertimbangkanhipotesis tandingan imajiner yang berusaha menjelaskan orbit Ura-nus dengan mempostulatkan selusin planet, yang masing-masingplanet itu memiliki massa yang lebih besar daripada massa Nep-tunus dalam perhitungan Leverrier dan Adams (Schlesinger 1963,24). Planet-planet ini dianggap berada di tempat tertentu sehing-ga sebagian saling meniadakan pengaruh gravitasi planet lain diUranus, meskipun pengaruh gabungannya menghasilkan gerakan

C H R I S D A L Y ���

Page 199: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

anomali Uranus yang teramati. Teori “banyak planet” ini secarakualitatif sederhana: ia hanya mempostulatkan jenis hal yang sudahdiakui sebagai dasar oleh astronomi. Tapi secara kuantitatif ia tidaksesederhana teori Leverrier dan Adam. (Untuk contoh serupa, lihatpembahasan teori neutrino di Baker [2003, 245-46].)

Perbedaan kesederhanaan kualitatif di antara dua hipotesis co-cok dengan perbedaan kesederhanaan ideologisnya. Sebuah hipote-sis mempostulatkan adanya jenis dasar baru K jika dan hanya jikahipotesis tersebut memperkenalkan predikat primitif “K.” Pembaca-an dari kiri-ke-kanan terhadap bikondisional ini tampaknya tidakkontroversial: sebuah hipotesis mempostulatkan jenis dasar baruK hanya jika ia memperkenalkan istilah primitif untuk menggam-barkan pengandaian barunya itu. Pembacaan dari kanan-ke-kiriterhadap bikondisional tersebut kontroversial. Ini adalah pemba-caan yang mengatakan bahwa sebuah hipotesis memperkenalkanpredikat primitif “K” hanya jika ia mempostulatkan adanya jenisdasar baru K. Contoh-tandingannya diberikan oleh istilah-istilahnon-sortal seperti “merah” dan “panas” (lihat Weintraub 1997, 115).Tidak seperti istilah sortal seperti “katak” atau “pemanggang roti”,istilah non-sortal tidak memberikan prinsip untuk membedakandan menghitung hal-hal yang diterapkan padanya. Sebagai contoh,kita tidak dapat secara layak bertanya apakah satu benda samapanasnya dengan benda yang lain.

Namun demikian, istilah non-sortal tidak memberikan contoh-tandingan. Sebuah hipotesis memperkenalkan predikat primitifnon-sortal “K” jika dan hanya jika ia mempostulatkan adanya jenisdasar K sedemikian rupa sehingga “K” berlaku untuk semua jenisdasar itu dan hanya pada jenis dasar itu. Dengan memperkenalkan“panas” sebagai salah satu predikat primitifnya, sebuah hipotesisakan mempostulatkan adanya sebuah jenis dasar benda—yaitu ben-da panas. Tidak relevan bahwa predikat juga tidak memberikan carauntuk membedakan dan menghitung hal-hal dengan jenis seperti

��� C H R I S D A L Y

Page 200: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

itu.

KESEDERHANAAN ANTI-KUANTITATIF DAN KESEDERHANAAN

ANTI-KEMUBAZIRAN

Kesederhanaan ontologis dapat lebih jauh dibedakan dalam ke-rangka anti-kuantitas dan anti-kemubaziran (Barnes 2000). Prin-sip anti-kuantitas memberitahu kita untuk mengandaikan sesedi-kit mungkin hipotesis untuk menjelaskan fenomena. Prinsip anti-kemubaziran memberitahu kita untuk tidak mempostulatkan hipo-tesis yang tidak diperlukan untuk menjelaskan data. Berikut adalahilustrasi dari pembedaan ini.

Misalkan teori T1 dan T2 masing-masing sesuai dengan datayang tersedia sama baiknya, tetapi T1 berisi lebih banyak hipotesisdaripada T2. Kemudian prinsip anti-kuantitas mengatakan bahwaT1 tidak sesederhana T2. Namun demikian, setiap hipotesis di T1

mungkin diperlukan oleh T1 untuk menjelaskan data, sedangkanT2 berisi beberapa hipotesis yang tidak diperlukan untuk menjelas-kan data. Kemudian prinsip anti-kemubaziran mengatakan bahwaT2 tidak sesederhana T1. Untuk kembali ke contoh Uranus, teoriLeverrier dan Adams terdiri dari satu hipotesis—yaitu hipotesisNeptunus. Teori banyak planet terdiri dari selusin hipotesis, de-ngan masing-masing hipotesis menjelaskan massa dan jalur mela-lui ruang dan waktu salah satu planet yang diandaikan. Prinsipanti-kuantitas mengatakan bahwa teori Neptunus lebih sederhanadaripada teori banyak planet. Namun demikian, tidak satupun daridua belas hipotesis dalam teori banyak planet yang mubazir dalammenjelaskan pergerakan Uranus yang diamati. Semua hipotesis itudibutuhkan agar teori tersebut memberikan penjelasan. Jadi prinsipanti-kemubaziran tidak mengatakan bahwa teori Neptunus lebihsederhana daripada teori banyak planet.

Ketika ada bukti yang menentang sebuah teori, salah satu caraburuk untuk mencoba menyelamatkan teori tersebut adalah dengan

C H R I S D A L Y ���

Page 201: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

memodifikasinya sedemikian rupa sehingga bukti tersebut tidaklagi menentangnya. Ini dikenal sebagai modifikasi ad hoc terhadapteori. Ini adalah cara yang buruk untuk memodifikasi teori kare-na tidak ada alasan independen untuk memodifikasi teori selainuntuk melindunginya dari bukti. Bukti-tandingan adalah alasanyang sah untuk memodifikasi teori hanya jika modifikasi tersebutakan mengarahkan teori untuk membuat prediksi yang sebelumnyatidak dibuatnya. Jika prediksi baru ini berhasil, berarti ia membe-ri alasan yang sebelumnya tidak dimiliki untuk menerima teoritersebut. Setiap kali suatu teori bersifat ad hoc, ia mudah terkenatuduhan prinsip anti-kuantitas. Misalkan teori T1 menghadapi be-berapa bukti-tandingan. Hipotesis baru ditambahkan ke T1 untukmembuat teori itu konsisten dengan data. Tetapi jika ada teori sa-ingan T2 yang konsisten dengan data, dan teori itu memuat lebihsedikit hipotesis daripada T1 versi yang sudah dimodifikasi, prinsipanti-kuantitas akan memilih T2 daripada T1.

KESEDERHANAAN MUTLAK DAN KESEDERHANAAN YANG RELATIF

TERHADAP HIPOTESIS

Kesederhanaan bisa jadi absolut atau relatif terhadap hipotesis. Kitabisa melihat ini dengan prinsip anti-kuantitas dan anti-kemubaziran.Pertimbangkan prinsip anti-kuantitas. Misalkan H1 dan H2 adalahhipotesis saingan yang masing-masing akan menjelaskan fenomenayang sama. Prinsip anti-kuantitas memberitahu kita untuk mempos-tulatkan sesedikit mungkin hipotesis untuk menjelaskan fenomena.Jadi, dengan relatif terhadap masing-masing hipotesis, hipotesis pe-saing seharusnya tidak diterima. Dalam pengertian itu, kesederha-naan bisa menjadi relatif terhadap hipotesis. Kesederhanaan dapatmenjadi mutlak dalam arti bahwa, dengan latar belakang keyakinanyang sudah mapan, hipotesis yang diberikan tidak boleh diterimakarena tidak perlu diterima. Kesederhanaan mutlak ini dapat di-pahami sebagai kasus khusus kesederhanaan yang relatif terhadap

��� C H R I S D A L Y

Page 202: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

hipotesis, yang di dalamnya keyakinan latar belakang yang mapanadalah hipotesis yang terkonfirmasi dengan baik.

Kemubaziran penjelasan juga bisa menjadi relatif terhadap hi-potesis atau mutlak. Misalkan H1 dan H2 adalah hipotesis sainganyang akan menjelaskan data yang sama. Dengan relatif terhadapmasing-masing hipotesis, hipotesis lainnya menjadi mubazir da-lam hal memberikan penjelasan. Akibatnya, setiap hipotesis itusecara relatif menjadi mubazir jika ada hipotesis pesaing. Dalampengertian ini, kemubaziran bisa menjadi relatif terhadap hipotesis.Kemubaziran malah bisa menjadi mutlak dalam arti bahwa, dengankeyakinan latar belakang yang mapan, hipotesis yang diberikanmenjadi mubazir untuk menjelaskan data tertentu.

Setelah menetapkan berbagai jenis kesederhanaan, ada pertanya-an tentang bagaimana kita seharusnya mempertimbangkan sebuahhipotesis yang tidak sesederhana hipotesis lain yang sama-samasesuai dengan data. Kita dapat membedakan antara apa yang kitasebut pemahaman “ateistik” dan pemahaman “agnostik” (Sober1981, 145–46).

Berdasarkan pemahaman ateistik, jika tidak ada alasan untukmeyakini bahwa ada K, kesederhanaan memberikan alasan untukmeyakini bahwa K tidak ada. Berdasarkan pemahaman agnostik,kesederhanaan memberikan alasan untuk menunda penilaian ten-tang apakah K ada. (Sober mendukung pemahaman ateistik ber-dasarkan beberapa contoh ilmiah.) Perlakuan ini tidak hanya perluberlaku untuk prinsip kesederhanaan ontologis. Misalkan hipote-sis H1 dan H2 memiliki istilah primitif yang sama kecuali jika H2

menggunakan istilah primitif tambahan “K”. Maka H1 secara ide-ologis lebih sederhana dari H2. Tidak ada alasan untuk percayabahwa ada K jika dan hanya jika tidak ada alasan untuk percayabahwa istilah “K” berlaku untuk sesuatu apa pun. Jadi, jika tidakada alasan untuk percaya bahwa “K” berlaku untuk sesuatu apa

C H R I S D A L Y ���

Page 203: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

pun, kesederhanaan ideologis memberikan alasan untuk percayabahwa K tidak ada (pada perlakuan ateistik) atau memberikan alas-an untuk menangguhkan penilaian tentang apakah K itu ada (padaperlakuan agnostik).

Singkatnya, kesederhanaan ditandai oleh pembedaan berikut.Pertama, ada pembedaan antara kesederhanaan ontologis dan ke-sederhanaan ideologis. Kesederhanaan ideologis sebuah hipotesismenyangkut jumlah istilah yang dianggap primitif. Kesederhanaanontologis sebuah hipotesis berkaitan dengan seberapa sederhanahipotesis tersebut memahami dunia ini. Kesederhanaan ontologisitu sendiri dapat dipahami dalam kerangka deretan beberapa pem-bedaan. Ada pembedaan antara kesederhanaan kualitatif—jumlahjenis dasar yang diandaikan sebuah hipotesis—dan kesederhana-an kuantitatif—jumlah contoh yang diandaikan hipotesis tersebutuntuk masing-masing jenis dasarnya. Ada pembedaan antara ke-sederhanaan anti-kuantitatif—yang mengadaikan hipotesis sese-dikit mungkin—dan kesederhanaan anti-kemubaziran—yang ha-nya mengadaikan hipotesis yang bisa memberikan penjelasan. (Inimenggambarkan sedikit apa yang akan dibahas di bab 5.) Akhirnya,ada pembedaan antara kesederhanaan yang relatif terhadap hipote-sis—yaitu apa yang sederhana dalam kaitannya dengan hipotesistertentu—dan apa yang sederhana secara absolut—yaitu apa yangsederhana berdasarkan latar belakang keyakinan yang mapan.

�.� Apakah Kesederhanaan merupakan SebuahKeutamaan Teoretis?

(P2) menanyakan apakah kesederhanaan merupakan ciri yang baik(“keutamaan teoretis”) dari hipotesis ilmiah atau hipotesis filosofis.Karena kita telah membedakan beragam jenis kesederhanaan, (P2)dapat dianggap sebagai pertanyaan tentang yang mana (jika ada)

��� C H R I S D A L Y

Page 204: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

di antara jenis-jenis kesederhanaan itu yang merupakan ciri pen-ting hipotesis. Bahkan jika kesederhanaan merupakan ciri pentinghipotesis ilmiah, kita tidak dapat secara otomatis mengasumsikanbahwa kesederhanaan juga merupakan ciri penting hipotesis filoso-fis. Karena satu hal, penilaian tentang kesederhanaan dalam sainsitu sangat bergantung pada konteks:

Cara paling masuk akal untuk melihat kesederhanaan, menurutsaya, adalah dengan menganggapnya sebagai karakteristik yangsangat relevan, tetapi penerapannya bervariasi dari satu konteksilmiah ke konteks yang lain. Para spesialis dalam cabang sains ter-tentu membuat penilaian tentang tingkat kesederhanaan atau ke-rumitan yang sesuai dengan konteks yang ada, dan mereka mela-kukannya berdasarkan pengalaman yang luas dalam bidang pe-nyelidikan ilmiah tertentu. Karena tidak ada ukuran kesederha-naan yang jelas yang diterapkan pada hipotesis dan teori ilmiah,para ilmuwan harus menggunakan penilaian mereka mengenaitingkat kesederhanaan yang diinginkan dalam konteks tertentu.Jenis penilaian yang saya maksud tidaklah aneh; ini adalah jenispenilaian yang muncul berdasarkan pelatihan dan pengalaman.Pengalaman ini terlalu kaya untuk menjadi hal yang dapat dije-laskan secara eksplisit (Salmon 1990, 563)

Maksud Salmon adalah bahwa penggunaan pertimbangan ke-sederhanaan dalam sains itu bergantung pada ciri-ciri yang sangatspesifik dari situasi yang dimaksud. Menghilangkan ciri-ciri ini ber-arti kamu menghilangkan dasar untuk menerapkan pertimbangantersebut.

Lebih jauh, Sober berpendapat bahwa ada alasan untuk membe-dakan antara kesederhanaan komparatif beberapa hipotesis ilmiahyang membuat prediksi yang bertentangan, tetapi alasan ini tidakmeluas ke hipotesis yang memiliki prediksi yang sama. Karenahipotesis filosofis biasanya tidak membuat prediksi, secara trivialbenar bahwa beberapa hipotesis filosofis itu memiliki prediksi yangsama. Argumen Sober mensyaratkan bahwa tidak ada alasan untukmenerapkan pertimbangan kesederhanaan pada hipotesis semacam

C H R I S D A L Y ���

Page 205: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

ini (lihat Sober 1990; 1996; Forster dan Sober 2004; dan Vahid 2001,§3).

Kita akan membahas dua bidang yang di dalamnya pertimbang-an kesederhanaan telah diterapkan pada hipotesis filosofis. Bidangpertama adalah filsafat akal budi. Masalahnya di sini adalah apakahPisau Cukur Ockham itu mendukung teori identitas pikiran-otak(§4). Bidang kedua adalah modalitas. Masalahnya di sini adalahapakah Pisau Cukur Ockham menentang realisme modal DavidLewis: yaitu pandangan bahwa dunia mungkin yang lain itu adadan merupakan hal yang sama jenisnya dengan dunia aktual (§5).

�.� Studi Kasus: Teori Identitas Pikiran-Otak

Teori identitas pikiran-otak secara khusus dipertahankan oleh J.J.C.Smart (1959, 1984). Argumen utama Smart untuk teori ini dida-sarkan pada Pisau Cukur Ockham. Baru-baru ini, teori Smart danargumennya telah dipertahankan oleh Christopher Hill (1991, 35-40). Kita akan membahas teori itu sendiri, dan kemudian menilaiargumen Smart yang menggunakan Pisau Cukur Ockham.

Teori identitas pikiran-otak adalah teori fisikalis. Ia mengkla-im bahwa pikiran itu identik dengan otak fisik. Lebih lengkapnya,teorinya adalah bahwa setiap sifat (atau jenis) mental itu identik de-ngan beberapa sifat fisikal. Memiliki rasa sakit, atau berpikir bahwaWina adalah ibu kota, atau menginginkan minuman dari kulkas itumasing-masing merupakan sifat mental, dan orang yang berbeda,atau orang yang sama pada waktu yang berbeda, dapat memilikisifat mental yang sama. Teori identitas mengklaim bahwa seseorangyang memiliki sifat mental tertentu itu identik dengan orang yangmemiliki sifat fisikal tertentu—sifat fisikal dari sistem saraf pusat-nya. (Faktanya, Smart sebenarnya tidak pernah bermaksud untukmengklaim bahwa semua sifat mental identik dengan sifat fisikal,meskipun itu adalah teori yang diatribusikan oleh banyak filsuf ke-

��� C H R I S D A L Y

Page 206: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

padanya.) Meskipun teori bahwa sifat mental identik dengan sifatfisikal otak itu merupakan sebuah teori filosofis, tetapi teori itu lebihlanjut menyatakan bahwa adalah tugas sains untuk menemukansifat fisikal mana yang identik dengan sifat mental tertentu. Teori inidisajikan sebagai kebenaran kontingen tentang sifat-sifat mental,sebagai lawan dari kebenaran niscaya tentang sifat-sifat mental. Iajuga dianggap sebagai teori yang perlu didukung oleh bukti empiris.Teori identitas bertentangan dengan dualisme, yaitu teori bahwasifat mental dan sifat fisikal merupakan sifat yang fundamental danberbeda.

Argumen berdasarkan Pisau Cukur Ockham untuk teori identi-tas adalah sebagai berikut. Ada bukti induktif untuk klaim bahwacontoh dari setiap sifat mental itu memiliki korelasi satu-satu de-ngan contoh beberapa sifat fisikal. Jadi, misalnya, ada bukti induktifbahwa seseorang mengalami sakit parah (sifat mental tertentu) jikadan hanya jika orang tersebut memiliki sifat fisikal tertentu di otak-nya. Dalam hal ini, dualis dan fisikalis dapat sepakat: contoh darisetiap sifat mental itu memiliki korelasi satu-satu dengan contohbeberapa sifat fisikal. Bagi dualis, korelasi ini akan menjadi faktakasar. Tetapi sementara kaum dualis mempostulatkan sifat mentaldan sifat fisikal sebagai sifat yang sama-sama fundamental, pen-dukung teori identitas hanya mempostulatkan sifat fisikal sebagaisifat fundamental. Ingatlah bahwa salah satu rumusan Pisau Cu-kur Ockham mengatakan bahwa jika hipotesis H1 lebih sederhanadaripada hipotesis H2, maka, asalkan hal-hal lainnya tetap sama,H1 adalah hipotesis yang lebih baik daripada H2, dan kita harusmenerima H1 daripada H2. Secara khusus, asalkan hal-hal lainnyatetap sama, kita harus lebih memilih hipotesis yang mempostulat-kan lebih sedikit kebetulan—lebih sedikit fakta kasar—daripadahipotesis pesaingannya (Maudlin 2007, 179–80). Oleh karena itu,teori identitas adalah teori yang lebih baik daripada dualisme, dankita harus menerima teori identitas itu daripada dualisme. Secara

C H R I S D A L Y ���

Page 207: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

skematis, argumennya seperti ini:

(P1) Korelasi: untuk setiap sifat mental M , ada beberapa sifat fisikalF sedemikian rupa sehingga contoh M memiliki korelasi 1-1dengan contoh P .

(P2) Kesederhanaan: asalkan hal-hal lainnya tetap sama, mengang-gap M identik dengan F itu lebih sederhana daripada meng-anggap M tidak identik dengan F .

(K) ) Teori identitas: Jadi M itu identik dengan P .

Premis (P1) telah dipertanyakan dengan alasan bahwa makhlukdari spesies yang berbeda dapat memiliki sifat mental yang samameskipun sifat fisikal otak mereka berbeda.� Mungkin manusia me-miliki rasa sakit jika serat-C di otaknya terangsang, lumba-lumbamerasakan sakit jika serat-D di otaknya terangsang, dan gurita me-rasakan sakit jika otaknya memiliki sifat fisikal yang lain lagi. Sifat-sifat mental, demikian klaimnya, diwujudkan secara banyak olehsifat-sifat fisikal yang berbeda.

Menanggapi hal ini, pendukung teori identitas dapat mengkla-im bahwa identitas antara sifat mental dan sifat fisikal itu “terbatas”.Bukan sifat rasa sakit secara umum yang identik dengan perang-sangan serat-C, melainkan sifat rasa-sakit-pada-manusia yang iden-tik dengan perangsangan serat-C. Demikian juga sifat rasa-sakit-padal-lumba-lumba itu identik dengan perangsangan serat-D, bu-kan serat-C. Dan seterusnya. Dalam setiap kasus, sifat mental (yangterbatas) itu diidentifikasi dengan beberapa sifat fisikal (Jackson danBraddon-Mitchell 1996, 99-100).

Bahkan jika kaum dualis mengakui bahwa ada korelasi satu-satuantara contoh setiap sifat mental dan beberapa sifat fisikal, biasanyamereka akan menentang penerapan Pisau Cukur Ockham untukkorelasi ini. Mereka akan mengangkat masalah tentang bagaimanasifat mental bisa identik dengan sifat fisikal. Mereka akan mengkla-im bahwa ada “celah penjelasan” (explanatory gap) antara sifat fisikal

� Lihat, misalnya, Mucciolo (1974).

��� C H R I S D A L Y

Page 208: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

apa pun yang dimiliki makhluk tertentu dan sifat mental apa punyang dimilikinya, dan bahwa celah ini mengeksklusi identifikasisifat mental dengan sifat fisikal (Chalmers 1996, 169). Kaum dualismemiliki dua cara untuk menjelaskan celah penjelasan ini. Pertama,banyak sifat mental memiliki intensionalitas: ia dimaksudkan untukmerepresentasikan bagaimana dunia ini ada. Meskipun beberapahal fisikal juga melakukan representasi, seperti papan penunjukarah dan kata-kata di atas kertas, kekuatan representasinya berasaldari penggunaan kita terhadapnya. Sebaliknya, kekuatan represen-tasi keadaan mental itu bersifat intrinsik. Memikirkan Alberta, ataumengharapkan hari yang cerah, berarti merepresentasikan objekatau situasi tertentu. Keadaan-keadaan ini tidak memiliki kekuatanrepresentasi karena kita menggunakannya dengan cara tertentu,seperti halnya kita menggunakan papan penunjuk arah atau bukuharian. Kaum dualis menyimpulkan bahwa perbedaan jenis antarasifat mental yang representasional dan sifat fisikal yang representa-sional ini mengeksklusi kesamaan keduanya. Kedua, banyak sifatmental memiliki “perasaan mentah” yang bersifat pengalaman: adapengalaman bagaimana merasa gatal, atau merasa takut, atau memi-liki bayangan jingga. Sifat mental ini memiliki kualitas pengalamanyang berbeda (“qualia”). Tidak ada sifat fisikal yang memiliki kuali-tas pengalaman seperti itu. Eksperimen pikiran sederhana memberitahu kita banyak hal: kita dapat membayangkan ras makhluk yangsecara fisik tidak dapat dibedakan dari kita dan berperilaku sepertikita, tetapi tidak memiliki kehidupan mental dan pengalaman. Ar-tinya, mereka adalah “zombi”. (Eksperimen pikiran ini diuraikandalam bab 3, §2.) Kaum dualis menyimpulkan bahwa perbedaanjenis antara sifat mental yang bersifat pengalaman dan sifat fisikalini menghilangkan kesamaan keduanya.

Mungkin teori identitas dapat menyelesaikan ini dan masalahlain yang dihadapi. Kita tidak akan membahas masalah ini lebihlanjut di sini. (Rey [1997, bab 2] membahas apa yang dia sebut

C H R I S D A L Y ���

Page 209: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

“godaan untuk dualisme.”) Poin utamanya adalah bahwa kecualiada kesepakatan umum bahwa teori tersebut dapat memecahkanmasalah ini, tidak akan beralasan untuk menggunakan Pisau CukurOckham untuk mendukung teori identitas. Smart akan setuju (1966,381):

. . . Jika pandangan bahwa pengalaman hanyalah proses otak da-pat dipertahankan dari kritik apriori, ia harus lebih disukai, seba-gai lawan dualisme, sebagai hipotesis yang lebih sederhana, lebihelegan, dan lebih ekonomis.

Tanggapan kaum dualis di atas terhadap argumen Smart yangmenggunakan Pisau Cukur Ockham adalah contoh tanggapan yangdimiliki banyak filsuf ketika kritik dengan menggunakan Pisau Cu-kur Ockham dibuat untuk melawan teori mereka. Tanggapannyamenyangkal bahwa hal-hal lainnya tetap sama di antara dua hipote-sis yang bersaing. Selain itu, jika satu-satunya alasan untuk memilihhipotesis H1 yang bertantangan dengan H2 adalah karena H1 lebihsederhana daripada H2, pembela H1 akan mengakui bahwa dalamsemua hal lain H2 adalah hipotesis yang baik. Itu akan menjadipengakuaan yang substantif, dan mungkin merupakan pengaku-an yang harus ditinjau oleh pembela H1. Misalnya, teori identitastentang pikiran adalah teori fisikalis tentang pikiran. Teori itu kemu-dian bergabung lebih baik dengan teori fisikalis tentang (misalnya)kehidupan daripada dengan dualisme dan itu tampaknya menjadiciri yang baik dari teori identitas.

(P2) menanyakan apakah kesederhanaan merupakan ciri yangbaik dari hipotesis filosofis atau hipotesis ilmiah. Bagian ini tidakmemberikan jawaban langsung atas pertanyaan tersebut, tetapidua poin yang relevan telah muncul. Pertama, dihadapkan padatuduhan bahwa sebuah hipotesis tidak sederhana, pembela hipote-sis tersebut dapat diduga akan mengklaim bahwa hal-hal lainnyatidak lagi sama dan tuduhan itu tidak beralasan. Kedua, jika sebu-ah hipotesis itu sederhana, kita harus mengharapkannya memiliki

��� C H R I S D A L Y

Page 210: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

ciri-ciri bagus lainnya yang tidak dimiliki oleh hipotesis-hipotesispesaingnya.

�.� Studi Kasus: Realisme Modal

Modalitas (atau, lebih tepatnya, modalitas alethic) berkaitan denganapa yang mungkin benar (atau mungkin salah) dan apa yang nis-caya benar (atau niscaya salah). Al Gore kalah dalam pemilihanpresiden AS tahun 2000. Tapi jalannya sejarah politik AS bisa sajaberubah arah. Jika berbagai faktor politik dan sosialnya berbeda,Gore akan memenangkan pemilihan. Dalam hal ini, Gore mungkinsaja memenangkan pemilihan presiden AS tahun 2000. Hal ini dapatdiungkapkan sebagai berikut: di sebuah dunia mungkin (possibleworld) Gore memenangkan pemilihan presiden AS tahun 2000. Se-baliknya, Al Gore pasti telah memenangkan pemilihan presiden AStahun 2000 atau tidak pernah memenangkan pemilihan tersebut.Dalam pengertian itu, adalah niscaya bahwa Gore memenangkanpemilihan presiden AS tahun 2000 atau Gore tidak memenangkanpemilihan presiden AS tahun 2000. Kita mungkin mengatakan inidengan mengatakan: di setiap dunia mungkin, Gore memenangkanpemilihan presiden AS tahun 2000 atau Gore tidak memenangkanpemilihan presiden AS tahun 2000. Tetapi bagaimana pembicaraantentang hal-hal di dunia mungkin ini seharusnya dipahami lebihlanjut?

Tesis David Lewis tentang realisme modal adalah tesis tentangsifat modalitas dan tentang apa yang ada (Lewis 1973, bab 4 dan1986, bab 1). Tesis ini mengatakan bahwa ada banyak sekali semestaspasio-temporal selain semesta kita sendiri. Lebih lengkapnya, me-nurut tesis Lewis, (1) klaim modal harus dipahami sebagai klaimtentang dunia mungkin, (2) dunia mungkin adalah hal yang samadengan dunia aktual, dan (3) dunia mungkin yang lain selain duniaaktual itu ada.

C H R I S D A L Y ���

Page 211: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Klaim (1) mengatakan bahwa klaim modal—yaitu klaim tentangapa yang mungkin atau tentang apa yang niscaya—harus dipahamisebagai klaim tentang apa yang benar di beberapa dunia mugkinatau di semua dunia mungkin. Secara khusus, adalah mungkinbahwa p jika dan hanya jika proposisi p benar di beberapa dunia,dan adalah niscaya bahwa p jika dan hanya jika proposisi p benardi semua dunia. Jadi, misalnya, adalah mungkin bahwa angsa ituberkaki tiga jika dan hanya jika proposisi bahwa angsa itu berkakitiga benar di beberapa dunia, dan adalah niscaya bahwa angsaadalah burung jika dan hanya jika proposisi bahwa angsa adalahburung itu benar di semua dunia.

Klaim (2) adalah klaim tentang apa itu dunia mungkin. Semestakita adalah sebuah dunia mungkin, yang di dalamnya semesta kitaitu adalah sistem objek spasio-temporal terbesar yang terhubungyang mencakup kita sendiri. Setiap dunia mungkin yang lain jugamerupakan sistem spasio-temporal objek-objek konkret (atau seti-daknya sistem objek dalam sesuatu seperti relasi spasio-temporal).Menurut teori Lewis, tidak ada dunia yang secara spasio-temporalterhubung ke dunia lain mana pun, dan tidak ada objek yang adadi lebih dari satu dunia.

Klaim (3) mengatakan pluralitas dunia mungkin itu ada. Menu-rut realisme modal, setidaknya ada banyak dunia yang dibentukoleh prinsip rekombinasi. Prinsip ini mengatakan bahwa, untuksetiap koleksi objek dari sejumlah dunia, ada dunia yang dihunioleh sejumlah salinan objek tersebut (asalkan ada ruang-waktu yangcukup besar untuk menampungnya). Dunia yang kita sebut “duniaaktual” adalah dunia tempat kita berada.

Karena klaim (2) dan (3), realisme modal tampaknya menjadihipotesis yang sangat tidak sederhana. Untuk setiap proposisi yangmungkin benar, ada beberapa dunia tempat proposisi itu benar. Jadiuntuk setiap proposisi eksistensial yang mungkin benar, ada bebera-pa dunia tempat proposisi itu benar. Misalnya, meskipun penghuni

��� C H R I S D A L Y

Page 212: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

Mars dan Yeti tidak ada di dunia nyata, proposisi eksistensial bah-wa penghuni Mars itu ada dan bahwa Yeti itu ada masing-masingmungkin benar. Jadi, menurut realisme modal, ada dunia yang didalamnya setiap proposisi ini benar. Karena dunia semacam itu ada,apa yang mendiami dunia itu juga ada. Dunia yang di dalamnyaadalah benar bahwa penghuni Mars itu ada adalah dunia tempatpenghuni Mars berada. Demikian pula, dunia yang di dalamnyaadalah benar bahwa Yeti itu ada adalah dunia tempat Yeti berada.Jadi penghuni Mars dan Yeti itu ada. Secara umum, jika proposisibahwa K itu ada mungkin benar, maka, menurut realisme modal,ada dunia tempat K berada, dan itu mengatakan bahwa K itu ada.Realisme modal, dengan demikian, berkomitmen pada keberadaanK.

Lewis memiliki jawaban untuk kekhawatiran tentang keseder-hanaan dan realisme modal. Ingatlah pembedaan antara keseder-hanaan kualitatif dan kesederhanaan kuantitatif. Lewis mengakuibahwa realisme modal secara kuantitatif itu tidak sederhana karenaia berkomitmen pada keberadaan pluralitas dunia mungkin. Na-mun dia menyangkal bahwa realisme modal itu secara kualitatiftidak sederhana. Alasannya adalah karena realisme modal tidakberkomitmen pada keberadaan berbagai jenis hal yang berbeda.Lewis berargumen sebagai berikut. Kamu mengakui keberadaandunia aktual. Itu adalah contoh dari satu jenis hal. Jenis hal yangdimaksud adalah jenis dunia mungkin. Itulah satu-satunya jenis yangkeberadaannya diakui oleh realisme modal. Jadi realisme modalsama sederhananya dengan pandanganmu bahwa dunia aktual ituada. Realisme modal berkomitmen pada keberadaan pluralitas du-nia mungkin. Itu adalah komitmen terhadap keberadaan pluralitascontoh dari satu jenis hal saja, yaitu jenis dunia mungkin. Lewis selan-jutnya mengklaim bahwa, dari dua jenis kesederhanaan ontologis,hanya kesederhanaan kualitatif yang secara teoretis penting. Olehkarenanya, ketidaksederhanaan kuantitatif realisme modal itu tidak

C H R I S D A L Y ���

Page 213: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

signifikan secara teoretis. Seperti yang dikatakan Lewis:

Saya menganut pandangan umum bahwa kesederhanaan kuali-tatif itu baik dalam hipotesis filosofis ataupun hipotesis empiris;tetapi saya tidak mengakui anggapan apa pun yang mendukungkesederhanaan kuantitatif. Realisme saya tentang dunia mung-kin itu hanya tidak sederhana secara kuantitatif, bukan secara ku-alitatif. Kamu sudah memercaya dunia aktual. Saya memintamuuntuk memercayai lebih banyak hal semacam itu, bukan hal-halyang baru. (Lewis 1973, 87)

Namun, ada alasan untuk mempertanyakan asumsi Lewis bah-wa kesederhanaan kualitatif itu secara teoretis signifikan sedangkankesederhanaan kuantitatif tidak. Kesederhanaan kualitatif dapatdipahami dalam kerangka kesederhanaan kuantitatif. Setiap jenisbenda itu sendiri merupakan contoh dari sebuah jenis pada tingkatyang lebih tinggi. Ia adalah contoh dari jenis berikut: sebuah jenisbenda. Jika hipotesis H1 mempostulatkan lebih banyak jenis daripa-da hipotesis H2, maka H1, dibandingkan H2, mempostulatkan lebihbanyak contoh jenis dari tatanan yang lebih tinggi. Artinya, kese-derhanaan kualitatif adalah spesies kesederhanaan kuantitatif. Jadiklaim kesederhanaan kualitatif secara teoretis signifikan sedang-kan kesederhanaan kuantitatif tidak itu tidak dapat dipertahankan.Untuk mengakomodasi argumen ini, asumsi Lewis kemudian da-pat dinyatakan kembali sebagai klaim bahwa satu-satunya jeniskesederhanaan kuantitatif yang secara teoretis signifikan adalahkesederhanaan kualitatif. Tetapi pandangan yang disajikan kembalitampaknya kurang jelas dibandingkan asumsi awal Lewis. Jika ke-sederhanaan kualitatif dan kesederhanaan kuantitatif merupakanpertimbangan yang berbeda, maka terdapat beberapa pandanganyang masuk akal bahwa hanya satu di antaranya yang menjadi per-timbangan penting dalam pemilihan hipotesis. Tetapi jika keduanyabukan merupakan pertimbangan yang berbeda, dan terkait sebagaispesies dan genus, maka pandangan tersebut tampaknya kurangmasuk akal.

��� C H R I S D A L Y

Page 214: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

Selain itu, realisme modal tampaknya secara kualitatif juga ru-mit. Ia berkomitmen pada klaim bahwa, untuk setiap jenis hal yangmungkin, ada hal-hal dari jenis itu. Misalnya, naga hijau memben-tuk satu jenis hal yang mungkin, dan begitu pula keledai yang bisaberbicara. Realisme modal berkomitmen pada klaim bahwa adahal-hal dari masing-masing jenis itu. Secara umum, ia berkomitmenpada klaim bahwa ada hal-hal dari setiap jenis yang mungkin ada(Melia 1992).�

Mari kita tinjau masalahnya. Realisme modal Lewis mengatakanada dunia selain dunia aktual. Pandangan itu tampaknya secara ku-alitatif rumit. Lewis membantahnya. Dia mengatakan bahwa setiaporang setuju setidaknya satu dunia mungkin itu ada (yaitu, duniaaktual), dan dia hanya percaya bahwa ada lebih banyak hal darijenis yang sama. Di sini Lewis mencoba untuk menjawab kritik bah-wa teorinya secara kualitatif itu rumit dengan mengatakan kepadakita bahwa jenis yang relevan untuk menilai teorinya adalah jenisdunia mungkin. Ini adalah klaim yang sangat penting. Ini merupakanprosedur umum untuk mempertahankan teori filsafat apa pun darituduhan rumit secara kualitatif.

Perhatikan kembali perdebatan antara dualisme dan fisikalisme.Dualisme mengakui dua jenis hal yang fundamental, yaitu objekfisikal dan pikiran, sedangkan fisikalisme hanya menerima satujenis hal yang fundamental, yaitu objek fisikal. Jadi dualisme tam-paknya secara kualitatif itu rumit. Tetapi, mengikuti contoh Lewis,kaum dualis dapat menjawab kritik ini sebagai berikut: “Kamu,sang fisikalis, mengakui bahwa setidaknya beberapa substansi ituada (yaitu, substansi fisikal). Saya hanya mengakui lebih banyakhal dari jenis yang sama.”

Prosedur umum yang disarankan oleh Lewis sama dengan kar-tu “bebas dari penjara”. Misalkan teori filsafat tertentu T dikritik

� Untuk penggunaan lain Pisau Cukur Ockham dalam menentang realisme modal,lihat Forrest (1982), (2001), dan Divers (1994).

C H R I S D A L Y ���

Page 215: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

karena rumit secara kualitatif, sebab T mempostulatkan A dan B

sedangkan teori pesaingnya T⇤ hanya mempostulatkan A. Seka-

rang ada cara umum untuk mengarakterisasi A dan B. Jika perlu,A dan B dapat dengan mudah dikarakterisasi sebagai bagian da-ri entah jenis A atau jenis B. Berdasarkan karakterisasi ini, T tidaklebih rumit secara kualitatif daripada pesaingnya T

⇤. Setiap teorimempostulatkan adanya hal-hal hanya dari satu jenis, dan jenisnyaentah A atau B. Perbedaan di antara kedua teori itu tidak bersifatkualitatif, tetapi hanya kuantitatif. T hanya mempostulatkan lebihbanyak contoh dari jenis tunggal daripada pesaingnya T

⇤.Jika benar, prosedur umum ini akan menunjukkan bahwa tidak

ada teori yang secara kualitatif lebih rumit daripada para pesaing-nya. Agaknya, Lewis akan menganggap ini sebagai konsekuensiyang tidak diinginkan, tetapi itu menunjukkan bahwa ada yangsalah dengan prosedur umum tersebut. Untuk memblokir konse-kuensi ini, kita mungkin memperkenalkan prinsip metodologisberikut. Ketika sepasang teori tidak setuju tentang apa yang ada,kita harus membingkai ketidaksepakatan di antara mereka dalamkerangka ketidaksepakatan tentang jenis benda apa yang ada. Dua-lisme dan fisikalisme tidak sependapat tentang apa yang ada. Jadikita harus membingkai ketidaksepakatan di antara mereka dalamhal jenis apa yang mereka ajukan. Berikut adalah bagaimana perseli-sihan harus dibingkai: dualisme mempostulatkan adanya dua jenisfundamental, sedangkan fisikalisme hanya mempostulatkan ada-nya satu jenis fundamental. Dualisme dengan demikian dianggapsebagai teori yang secara kualitatif lebih rumit daripada fisikalisme.Aktualisme dan realisme modal juga tidak sependapat tentang apayang ada. Jadi kita harus membingkai ketidaksepakatan di antaramereka dalam hal jenis apa yang mereka ajukan. Salah satu carauntuk membingkai ketidaksepakatan di antara mereka adalah bah-wa realisme modal mempostulatkan adanya hal-hal dari dua jenis,yaitu hal-hal aktual dan hal-hal non-aktual, sedangkan aktualisme

��� C H R I S D A L Y

Page 216: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

mempostulatkan adanya hal-hal hanya dari satu jenis, yaitu hal-halaktual. Realisme modal dengan demikian dianggap sebagai teoriyang secara kualitatif lebih rumit.

Lewis mengatakan istilah “aktual” adalah sebuah kata indek-sikal seperti kata “di sini” (Lewis 1986, 92–96). Di manapun kamuberada, penggunaanmu atas kata “di sini” itu merujuk pada loka-simu. Demikian pula, di dunia mana pun seseorang berada, peng-gunaannya atas kata “aktual” itu merujuk pada dunia tempat diaberada. Untuk setiap dunia d, relatif terhadap d, d itu aktual. Kitatidak perlu berdebat soal ini. Pandangan Lewis bahwa kata “aktual”adalah kata indeksikal berarti bahwa dunia mana yang aktual dandunia mana yang tidak aktual itu relatif terhadap dunia. Meskipundemikian, ini masih menyisakan realisme modal dengan hal-haldari dua jenis, yaitu hal aktual dan hal non-aktual. Hal mana yangtermasuk pada salah satu jenis itu relatif terhadap sebuah dunia.Aktualis tidak mempostulatkan hal-hal dari kedua jenis tersebutrelatif terhadap dunia. Aktualis juga tidak mempostulatkan hal-haldari kedua jenis itu dalam hal yang tidak relatif terhadap dunia.Aktualisme masih muncul sebagai teori yang secara kualitatif lebihsederhana.

Mungkin ada cara lain untuk membingkai ketidaksepakatanantara realisme modal dan aktualisme dalam kerangka jenis yangmereka ajukan. Seperti yang telah kita lihat, Melia (1992) menya-rankan cara lain yang serupa. Tetapi, pada setiap cara lain untukmembingkai ketidaksepakatan ini, realisme modal akan munculsebagai teori yang secara kualitatif lebih rumit daripada aktualisme.

Perhatikan juga bahwa perbedaan kuantitatif apa pun di antaraapa yang diandaikan oleh teori dapat dirumuskan ulang sebagaiperbedaan kualitatif di antara mereka. Semisal, teori T1 mempostu-latkan adanya 20 contoh jenis A, sedangkan teori T2 menyatakanada 30. Akan selalu ada beberapa perbedaan di antara dua hal da-lam jenis A, dan perbedaan tersebut dapat dirumuskan kembali

C H R I S D A L Y ���

Page 217: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

sebagai perbedaan jenis. Sebagai contoh, anggaplah tidak ada A

yang dikemukakan oleh T1 yang memiliki beberapa ciri-ciri terten-tu, tetapi 10 A yang dikemukakan oleh T2 memiliki ciri-ciri itu. Kitakemudian dapat mengklasifikasikan A dalam kerangka ciri-ciri ini.Sebut saja semua A dan hanya A yang memiliki ciri-ciri itu sebagaiB. Jadi perbedaan kuantitatif di antara teori-teori tersebut dapatdisusun kembali dalam kerangka T1 yang menyatakan bahwa ada20 A tetapi tidak ada B, dan T2 yang menyatakan bahwa ada 20A dan 10 B. Oleh karena itu, T1 secara kuantitatif lebih sederhanadaripada T2, dan T1 secara kualitatif juga lebih sederhana daripadaT2. Salah satu konsekuensi dari poin ini adalah bahwa Lewis keli-ru dalam menyatakan bahwa perbedaan kuantitatif di antara apayang diandaikan oleh teori itu tidak relevan sedangkan perbedaankualitatif di antara mereka itu relevan.

Namun, bahkan jika kritik dari kesederhanaan kualitatif inimemiliki kekuatan menentang realisme modal, seberapa besar ke-kuatan yang dimilikinya itu bergantung pada keadaan hipotesis pe-saing. Pesaing ini berbeda dalam pandangan positif mereka tentangmodalitas, tetapi mereka setuju bahwa kebenaran modal bukanlahkebenaran tentang dunia Lewisian, semesta spasio-temporal yangberbeda dari dunia aktual. Mereka setuju bahwa satu-satunya duniaadalah dunia aktual. Karenanya hipotesis pesaing ini disebut “aktua-lis”. Lewis beranggapan bahwa realisme modal memiliki kelebihandapat menjelaskan banyak kalimat—kalimat tentang kebenaranyang mungkin dan niscaya, kontrafaktual, kalimat tentang proposi-si, sifat, kebertopangan (supervenience), penyebaban, dan kebenarankira-kira (approximate truth)—dalam kerangka kalimat tentang du-nia mungkin, dan bahwa memahami dunia mungkin sebagai duniaLewisian itu mereduksi semua kebenaran modal menjadi kebenarannon-modal (Lewis 1986, bab 1). Sebaliknya, kata Lewis, hipotesisaktualis itu tidak dapat menjelaskan rentang kalimat yang samaatau gagal mereduksi semua kebenaran modal menjadi kebenaran

��� C H R I S D A L Y

Page 218: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

non-modal (Lewis 1986, bab 3). Lewis beranggapan bahwa kega-galan ini membuat realisme modal lebih unggul daripada hipotesisaktualis. Keunggulan ini begitu menonjol sehingga, bahkan jikarealisme modal secara kualitatif itu rumit dibandingkan hipotesisaktualis, ia masih merupakan hipotesis yang lebih baik daripadapara pesaingnya. Jika ini benar, argumen berdasarkan Pisau CukurOckham itu gagal melawan realisme modal.

Poin terakhir ini menawarkan ilustrasi lain tentang bagaimanakritik dengan menggunakan Pisau Cukur Ockham terhadap teo-ri tertentu dapat dibalas dengan jawaban bahwa hal-hal lainnyasudah tidak lagi sama. Dalam kasus realisme modal, Lewis sebe-narnya menjawab bahwa teori aktualis itu lebih rendah dalam halkemampuannya memberikan penjelasan daripada realisme modal,sehingga kesederhanaan teori aktualis yang lebih besar dibanding-kan realisme modal itu bukanlah alasan untuk menolak realismemodal. Kasus realisme modal juga menggambarkan bagaimana ke-beratan dari kesederhanaan kualitatif secara krusial menyerang apayang dianggap sebagai jenis hal yang relevan, dan ini sering terbu-ka untuk diperdebatkan. Para filsuf mungkin tidak setuju tentangapakah hipotesis H1 secara kualitatif lebih sederhana daripada H2

karena mereka tidak setuju tentang jenis hal apa yang relevan yangdalam kerangka jenis itu beberapa hipotesis ini harus dibanding-kan.�

�.� Mengapa Sederhana?

(Q3) menanyakan mengapa kita harus menganggap kesederhanaanhipotesis sebagai hal yang baik. Lebih jauh lagi, karena kesederha-naan hipotesis sering dianggap sebagai alasan untuk memercayai

� Untuk penilaian terhadap peran Pisau Cukur Ockham dalam perdebatan tentangapakah objek matematis itu ada, lihat Burges dan Rosen (1997, 214-225), Burges(1998), dan Dieterle (2001, §1)

C H R I S D A L Y ���

Page 219: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

hipotesis tersebut, (Q3) menanyakan apa justifikasi yang ada untuksikap tersebut. Skenario kasus terburuk adalah bahwa kesederhana-an bukanlah sifat penting dari sebuah hipotesis, dan kesederhanaanitu tidak memberikan dasar untuk menerima sebuah hipotesis.�

John P. Burgess telah menolak Pisau Cukur Ockham karena diang-gap sebagai contoh “takhayul abad pertengahan” (Burgess 1983,99). Tampaknya di sini ia sedang memikirkan prinsip anti-kuantitasdari kesederhanaan. Dalam makalah selanjutnya, dia mempertim-bangkan apakah Pisau Cukur Ockham adalah aturan metode ilmiah(Burgess 1998, 197). Dia menyimpulkan bahwa dalam sains “asumsiyang murni serampangan tentang kategori apa pun [yaitu, onto-logi atau ideologi] itu harus dihindari” (Burgess 1998, 211, cetakmiring dari Burgess).� Tampaknya dia di sini sedang memikirkanprinsip anti-kemubaziran. Tetapi tidak jelas mengapa dia memili-ki sikap yang berbeda terhadap prinsip anti-kuantitas dan prinsipanti-kemubaziran. Lebih jauh, prinsip kesederhanaan harus dihi-langkan hanya jika ia tidak memiliki justifikasi. Apakah ia memilikijustifikasi atau tidak itu perlu diperdebatkan.

Patut dipertanyakan apakah prinsip-prinsip kesederhanaan ter-sebut dapat dijustifikasi dengan alasan bahwa alam itu sendiri se-derhana. Sebagai contoh, ilmu pengetahuan Yunani kuno mempos-tulatkan adanya empat unsur (bumi, udara, air dan api) sedangkantabel periodik modern mempostulatkan lebih dari 100 unsur (Hales1997, 357). Dalam hal ini, cara ilmu pengetahuan modern meman-dang alam itu tidak sesederhana ilmu pengetahuan Yunani kuno,dan demikian juga ia memandang alam tidak sesederhana alam itusendiri. (Lebih radikal lagi, teori Thales dan Anaximenes masing-masing hanya mempostulatkan adanya satu elemen, yaitu air danudara.)

� Newton-Smith (1981, 231) dan Brown (1991, 78) beranggapan bahwa kesederhanaantidak memiliki hubungan evidensial dengan hipotesis ilmiah.

� Lihat juga Gunner (1967, 5).

��� C H R I S D A L Y

Page 220: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

Kesederhanaan bukanlah tujuan itu sendiri. Ia mungkin meru-pakan sarana untuk sesuatu yang lain. Tapi apakah itu? Justifikasibagi pendasaran pada kesederhanaan ideologis sebagian terdiri da-ri keuntungan praktis yang diberikannya. Semakin elegan sebuahhipotesis, semakin terlihat jelas ia, dan semakin mudah untuk digu-nakan. Lebih penting lagi, seperti yang diklaim dalam §2, karenakesederhanaan ideologis sebuah hipotesis sesuai dengan kesederha-naan kualitatifnya, justifikasi apa pun yang melekat pada prinsipkesederhanaan kualitatif juga akan melekat pada prinsip kesederha-naan ideologis.

Apakah kesederhanaan ontologis penting dalam sains atau fil-safat? Seorang yang skeptis mungkin menentang pendasaran padakesederhanaan ontologis dengan cara berikut: “Dari semua contohyang diberikan di sini, pendasaran pada Pisau Cukur Ockham yangpaling persuasif itu diberikan dalam contoh Uranus. Tetapi jika ituadalah kasus terbaik yang dapat diberikan untuk Pisau Cukur, danjika kasus terbaik itu gagal, maka penggunaan Pisau Cukur menjaditidak beralasan. Dan contoh Uranus memang gagal. Untuk melihatini, pertimbangkan sebuah variasi dari contoh tersebut. Misalkankita hanya tahu sedikit tentang tata letak fisik Gedung Putih. Harus-kah kita memberikan kepercayaan yang lebih tinggi kepada GedungPutih yang memiliki 70 ruangan daripada Gedung Putih yang me-miliki 71 ruangan? Tidak. Mengingat keadaan pengetahuan kita,kita harus menangguhkan penilaian tentang berapa jumlah ruanganGedung Putih. Demikian pula, mengingat pengetahuan Leverrierdan Adams pada tahun 1846, mereka seharusnya menangguhkanpenilaian tentang jumlah planet yang diduga memengaruhi orbitUranus.”

Namun, pertimbangan kesederhanaan ontologis bukan hanyasoal memilih satu angka daripada beberapa angka lain sebab angkapertama lebih kecil. Contoh kita sebelumnya dalam menggambargaris melalui serangkaian titik menunjukkan bagaimana kesederha-

C H R I S D A L Y ���

Page 221: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

naan dapat melibatkan pertimbangan keseragaman. Dalam kasusplanet, kita mempertimbangkan kelompok hipotesis tentang pla-net tambahan yang akan menjelaskan orbit Uranus. Di kelompokitu, hipotesis bahwa jarak dan jumlah planet seragam itu lebih se-derhana, dan lebih masuk akal, daripada hipotesis apa pun yangmenganggap jarak dan jumlah planet tidak seragam. Apa yang telahkita ketahui tentang jarak dan jumlah planet, sehubungan denganhipotesis keseragaman, memberitahu kita bahwa hanya satu pla-net yang memengaruhi orbit Uranus. Pertimbangan serupa tidakberlaku untuk kasus Gedung Putih, jadi inilah disanalogi antarakedua kasus tersebut. Kita sudah tahu bahwa jumlah ruangan da-lam sebuah gedung berbeda-beda di antara gedung-gedung, danbahwa gedung yang telah kita periksa secara struktural tidak samadengan Gedung Putih. Jadi kita tidak bisa menggunakan pertim-bangan keseragaman untuk menyimpulkan berapa jumlah ruangandi Gedung Putih.

Apakah kesederhanaan kuantitatif itu penting dalam filsafat?Lewis tidak menjelaskan mengapa menurutnya kesederhanaan ku-antitatif bukanlah ciri penting sebuah hipotesis. Pandangan Lewisini telah dibantah dengan pandangan bahwa kesederhanaan kuanti-tatif merupakan ciri penting hipotesis ilmiah (Nolan 1997). Meskibegitu, seorang Lewisian mungkin mengakui bahwa kesederhana-an kuantitatif memang merupakan ciri penting hipotesis ilmiah,tetapi bukan ciri penting hipotesis filosofis. Alasan pendukungnyamungkin sebagai berikut.� Metafisika berkaitan dengan klasifikasientitas menjadi jenis dasar. Jadi metafisika akan memperhatikanpertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah ada K? Apakah K secaraontologis itu dasar? Jika tidak, bagaimana K berhubungan denganhal-hal dari jenis dasar? Pertimbangan kesederhanaan kualitatif iturelevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertim-

� Alasan ini mengacu pada Brock dan Mares (2007, 18).

��� C H R I S D A L Y

Page 222: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

bangan kesederhanaan kuantitatif tidak. Jadi pertimbangan keseder-hanaan kuantitatif itu tidak relevan dengan metafisika. Merupakantugas sains untuk menemukan secara aposteriori berapa banyakcontoh yang dimiliki masing-masing jenis dasar ini. Jadi hanya un-tuk sains pertanyaan: berapa banyak K yang ada? Pertimbangankesederhanaan kuantitatif itu relevan dengan pertanyaan tersebut,sehingga kemudian ia hanya relevan untuk sains.

Alur penalaran di atas patut dipertanyakan. Jika pertimbangankesederhanaan kuantitatif tidak relevan dengan metafisika, argu-men regresi takterhingga juga tidak akan relevan dalam metafisika.Pertimbangkan prinsip KK: prinsip bahwa jika kamu mengetahuibahwa p, maka kamu tahu bahwa kamu tahu bahwa p. Menurutprinsip ini jika Moore mengetahui proposisi bahwa dia memilikitangan, dia juga mengetahui proposisi bahwa dia tahu bahwa diamemiliki tangan. Sejauh ini prinsip tersebut mungkin tampak ma-suk akal bagi sebagian orang. Tetapi prinsipnya juga mensyaratkanbahwa jika Moore mengetahui proposisi bahwa dia tahu bahwadia memiliki tangan, maka dia mengetahui proposisi bahwa diatahu bahwa dia tahu bahwa dia memiliki tangan. Dan prinsip KK

berlaku sekali lagi: jika Moore mengetahui proposisi bahwa dia tahubahwa dia tahu bahwa dia memiliki tangan, maka dia mengetahuiproposisi bahwa dia tahu bahwa dia tahu bahwa dia tahu bahwa diamemiliki tangan. Regresi takterhingga telah muncul. Jika Moore ta-hu bahwa dia memiliki tangan, prinsip KK mensyaratkan bahwa diamengetahui banyak proposisi yang takterhingga, masing-masingdengan kerumitan yang meningkat. Prinsip KK secara ontologisboros karena ia berkomitmen bahwa Moore mengetahui banyakproposisi yang takterhingga jika dia mengetahui satu proposisi apapun. Tapi ini hanya untuk mengatakan bahwa tiadanya prinsip ke-sederhanaan kuantitatif itu bisa membuat prinsip KK ditolak. (LihatNolan 2001, khususnya 534–536).

Inilah bentuk ringkas bagaimana regresi itu muncul:

C H R I S D A L Y ���

Page 223: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

1. Prinsip KK: jika seseorang mengetahui sebuah proposisi, orangtersebut mengetahui bahwa ia mengetahui proposisi tersebut.

2. Jika Moore tahu bahwa p, dia mengetahui sebuah proposisi.3. Jadi jika Moore tahu bahwa p, dia tahu bahwa dia tahu bahwa

p. [Berdasarkan (1) dan (2)]4. Jika Moore tahu bahwa dia tahu bahwa p, dia mengetahui se-

buah proposisi.5. Jadi jika Moore tahu bahwa dia tahu bahwa p, dia tahu bahwa

dia tahu bahwa dia tahu bahwa p. [Berdasarkan (1) dan (4)]6. Jika Moore tahu bahwa dia tahu bahwa dia tahu bahwa p, dia

mengetahui sebuah proposisi.7. Jadi jika Moore tahu bahwa dia tahu bahwa dia tahu bahwa

p, dia tahu bahwa dia tahu bahwa dia tahu bahwa dia tahubahwa p. [Berdasarkan (1) dan (6)]

Pelajaran dari paragraf di atas adalah bahwa pertimbangankesederhanaan kuantitatif itu relevan dengan metafisika. Kita da-pat menjelaskan mengapa ini terjadi sebagai berikut. Semua pihakdalam debat saat ini setuju bahwa pertimbangan kesederhanaan ku-alitatif itu relevan dengan upaya metafisika untuk menemukan jenisdasar apa yang ada. Salah satu cara untuk menyatakan bahwa tidakada jenis hal K adalah dengan menyatakan bahwa tidak ada K.Dan salah satu cara untuk menyatakan bahwa tidak ada K adalahdengan menyajikan argumen regresi takterhingga terhadap keber-adaan K. Argumen ini menunjukkan bahwa jika ada satu K, makaada banyak K takterhingga, meskipun tidak ada alasan independenuntuk percaya bahwa ada banyak K takterhingga. Kerumitan ku-antitatif dari konsekuensi ini diambil untuk menunjukkan bahwatidak ada K.

Justifikasi apa yang dapat ditawarkan untuk prinsip kesederha-naan ontologis? Sober (1981, 151) menawarkan justifikasi berikut:

Pertimbangkan dua klaim keberadaan, yang masing-masing, jikabenar, akan menjelaskan fenomena tertentu F .... [P]isau cukurmenyatakan bahwa sebuah dalil ditolak jika, tidak seperti pesa-ingnya, ia tidak diperlukan untuk menjelaskan apa pun; kemu-

��� C H R I S D A L Y

Page 224: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

bazirannya dalam kasus tertentu bukanlah hal yang penting. Ja-di, saat dua klaim keberadaan masing-masing akan menjelaskanF , yang perlu ditolak adalah klaim yang tidak diperlukan untukmenjelaskan fenomena lain apa pun. Jika hanya satu dari klaim ke-beradaan tersebut yang dianggap sebagai penjelasan fenomenalain, pisau cukur memberi kita dugaan bahwa klaim ini juga me-rupakan penjelasan dari F ; saat klaim keberadaan yang lain di-anggap tidak menjelaskan fenomena lain, maka pisau cukur me-ngatakan bahwa klaim ini juga bukan penjelasan F . Jadi pisaucukur tidak lebih dari prinsip induksi yang berfokus pada kla-im keberadaan. Dalam kata-kata Quine, ini mewujudkan seleraakan mekanisme lama. Ketika berbicara soal menjelaskan feno-mena baru, klaim keberadaan yang telah memainkan peran seba-gai pemberi penjelasan lebih disukai daripada klaim yang tidakmemiliki kredensial seperti itu, bahkan ketika klaim keberadaanbaru tampaknya cukup mampu menjelaskan fenomena baru itu.

Dua hal harus diperhatikan. Pertama, kutipan di atas membahasdua faktor yang berbeda. Salah satunya adalah faktor pemberi penje-lasan: faktor ini menyatakan bahwa jika H1 dan H2 adalah penjelas-an yang bersaing terhadap fenomena F , maka, asalkan faktor-faktorlain tetap sama, kita harus menerima hipotesis mana pun yangmemiliki cakupan penjelasan yang lebih luas (dan menolak saingan-nya). Pertimbangan lain adalah spesies konservatisme epistemik: inimengatakan bahwa jika H1 dan H2 adalah penjelasan yang bersaingterhadap fenomena F , maka, asalkan faktor-faktor lain tetap sama,kita harus menerima hipotesis mana pun yang telah digunakandalam memberikan penjelasan (dan menolak saingannya).

Kedua, beberapa penerapan prinsip kesederhanaan tidak didu-kung oleh pertimbangan ruang lingkup penjelasan yang lebih luasatau oleh konservatisme. Pertimbangkan sekali lagi kasus Uranus.Contoh tersebut mempostulatkan bahwa hipotesis Neptunus danhipotesis banyak planet memiliki ruang lingkup penjelasan yangsama: keduanya hanya menjelaskan pergerakan Uranus. Namundemikian, pertimbangan kesederhanaan mengeliminasi hipotesis

C H R I S D A L Y ���

Page 225: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

banyak planet dan mendukung hipotesis Neptunus. Apa yang tidakkita miliki adalah alasan untuk pertimbangan ini.

Tampaknya kemampuan dalam memberikan penjelasan dan ke-sederhanaan dapat bertentangan. Sekilas, hipotesis H1 yang mem-postulatkan adanya lebih banyak jenis hal, atau mempostulatkanadanya lebih banyak hal dari beberapa jenis, dapat mengembangkankemampuannya memberikan penjelasan meskipun ia lebih tidaksederhana dibandingkan hipotesis lain H2 (Brock dan Mares 2007,178). Demikian pula, konservatisme dan kesederhanaan tampaknyadapat bertentangan. H3 mungkin merupakan hipotesis yang mapansedangkan H4 tidak, terlepas dari fakta bahwa H3 secara kualitatifdan kuantitatif tidak sesederhana H4.

Dalam kasus teori identitas pikiran-otak, pertimbangan kese-derhanaan dan kemampuan memberikan penjelasan tampaknyabekerja bersama-sama daripada berlawanan. Dualisme mengang-gap sebagai fakta kasar bahwa ada korelasi tertentu antara kondisimental dan kondisi otak. Dengan tidak menjelaskan korelasi ter-sebut, ia mengakui jumlah korelasi kasar yang tinggi. Sebaliknya,teori identitas pikiran-otak berusaha menjelaskan korelasi antara ke-adaan mental dan keadaan otak dalam kerangka identitas di antarakeadaan-keadaan tersebut. Dengan menjelaskan korelasi tersebut,teori identitas pikiran-otak mengurangi jumlah korelasi kasar yangdiakuinya.

Kasus ini memunculkan kemungkinan untuk menjustifikasiprinsip kesederhanaan dalam kaitannya dengan keutamaan teoretisyang lain. Kesederhanaan kualitatif dan kesederhanaan kuantitatifmasing-masing dapat dijustifikasi dengan mengacu pada konserva-tisme epistemik. Kita berusaha menjelaskan sebanyak yang kita bisadalam kerangka jenis-jenis hal yang sudah kita andaikan. Jadi jikaH1 dan H2 adalah hipotesis yang bersaing yang akan menjelaskanfenomena yang sama, dan H1 sendiri hanya mempostulatkan ada-nya jenis hal yang sudah ditetapkan oleh latar belakang keyakinan

��� C H R I S D A L Y

Page 226: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

kita, maka kita harus menerima H1 daripada H2. Salah satu hipo-tesis yang kurang sederhana dari dua hipotesis tersebut bergerakpaling jauh dari apa yang sudah kita yakini, dan karena alasan ituia harus ditolak.

Namun, kesederhanaan mengikuti jejak kekonservatifan hanyasaat sebuah hipotesis mengatakan ada lebih banyak hal daripadayang kita yakini saat ini. Pertimbangkan hipotesis yang mengatakanada lebih sedikit hal daripada yang kita yakini saat ini. Hipotesisitu akan lebih sederhana tetapi juga akan merevisi apa yang kitayakini. Di sini kesederhanaan dan kekonservatifan itu bertentangan.Jadi kekonservatifan tidak bisa memberikan alasan umum bagikesederhanaan.

Kesederhanaan kualitatif dan kesederhanaan kuantitatif jugadapat dijustifikasi dengan menggunakan kemampuannya membe-rikan penjelasan. Kasus di atas yang mendukung teori identitaspikiran-otak memberikan ilustrasi tentang hal ini. Contoh Uranusmemberikan ilustrasi lain. Meskipun hipotesis Neptunus dan hipo-tesis banyak planet masing-masing menjelaskan pergerakan Uranusyang diamati, masih menjadi pertanyaan terbuka apakah keduahipotesis tersebut cocok dalam kemampuannya memberikan penje-lasan. Kemungkinan tidak mengamati planet tambahan jika ada duabelas planet tambahan jauh lebih rendah daripada kemungkinantidak mengamati planet tambahan jika hanya ada satu planet tam-bahan. Jadi fakta bahwa kita belum mengamati planet tambahanmembuat hipotesis banyak planet lebih mustahil daripada hipotesisNeptunus. Karena ketidakmungkinannya yang tinggi, kegagalanuntuk mengamati dua belas planet tambahan membutuhkan penje-lasan. Hipotesis Neptunus membantu memberikan penjelasan yanglebih baik tentang ketakteramatan ini daripada hipotesis banyakplanet. Penjelasannya hanya bahwa tidak ada dua belas planet tam-bahan di tata surya kita. Ini hanyalah sketsa dari gagasan bahwahipotesis yang secara kuantitatif sederhana memberikan penjelasan

C H R I S D A L Y ���

Page 227: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

yang lebih baik daripada hipotesis saingannya yang kurang seder-hana. Pemikiran yang memandunya adalah bahwa semakin tidaksederhana secara kuantitatif sebuah hipotesis, semakin ia membi-ngungkan jika kita tidak memiliki bukti independen untuk hal-haltambahannya yang diajukan ada.

�.� Kesimpulan

Pertimbangan kesederhanaan adalah alat yang lazim dan tampak-nya kuat untuk pemilihan hipotesis. Namun banyak filsuf berpikirbahwa penggunaannya dirusak oleh kesulitan dalam memberikanjustifikasi baginya. Sebagai contoh, meskipun menggunakan PisauCukur Ockham, Hill putus asa untuk menjustifikasinya dengan apapun selain “intuisi estetik” (Hill 1991, 40). Kekhawatiran ini tampakterlalu pesimis. Bagaimanapun, pertimbangan kesederhanaan tidakditempatkan lebih buruk daripada bentuk-bentuk penyimpulan danpemilihan hipotesis lain yang non-demonstratif. Ada pertanyaanumum tentang bagaimana prinsip non-demonstratif dapat dijus-tifikasi (Hume 1739–1740, buku I, bagian III, §§vi–vii). Hal yanglebih penting adalah bahwa pertimbangan kesederhanaan memilihhipotesis dari dua hipotesis yang bersaing hanya jika hal-hal laindi antara kedua hipotesis tersebut tetap sama. Kita melihat bahwakaum dualis akan mengklaim bahwa sifat mental memiliki ciri-ciri(seperti intensionalitas intrinsik atau qualia) yang tidak dapat di-miliki oleh sifat fisikal, sehingga Pisau Cukur Ockham tidak bolehdigunakan untuk mengidentifikasi sifat mental dan sifat fisikal. Kitajuga melihat bahwa kaum realis modal akan mengklaim bahwa teo-rinya memiliki manfaat substansial yang tidak dimiliki oleh semuahipotesis aktualis, sehingga Pisau Cukur Ockham tidak boleh digu-nakan untuk mengeliminasi dunia mungkin yang mereka andaikanada. Mengingat relatif sedikit pasangan hipotesis yang sedemiki-an rupa sehingga semua hal lainnya tetap sama di antara mereka,

��� C H R I S D A L Y

Page 228: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

ini menunjukkan bahwa pertimbangan kesederhanaan itu cukupterbatas dalam penerapannya.

C H R I S D A L Y ���

Page 229: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Pertanyaan-pertanyaanuntuk Didiskusikan

1. Bayangkan kita berada pada tahap awal astronomi. Misalkan kitahanya dapat mengamati satu planet lain. Apa yang menyebabkanorbit khusus planet itu? Hipotesis H1 mengatakan bahwa tidakada dewa tetapi ada banyak planet yang tidak diamati danmenyebabkan orbit tersebut. Hipotesis H2 mengatakan bahwa tidakada planet lain, tetapi dewa menyebabkan orbit planet tersebut.Hipotesis mana yang lebih sederhana? (Ini adalah contoh yangdibuat oleh Yafeng Shan.)

2. Berkeley percaya bahwa yang ada hanya pikiran dan ide. Moorepercaya bahwa ada pikiran, ide, dan objek fisik. Moore menjelaskanmengapa kita memiliki ide tertentu dalam kerangka bahwakeberadaan ide tersebut disebabkan oleh objek fisik. Berkeleymenjelaskan mengapa kita memiliki ide dalam kerangka bahwakeberadaan ide tersebut disebabkan oleh Tuhan. Teori mana yanglebih sederhana?

3. Dalam §2 kita membedakan antara kesederhanaan ontologiskualitatif dan kesederhanaan ontologis kuantitatif. Misalkan T1 danT2 adalah teori yang bersaing. T1 mempostulatkan adanya 2 jenishal yang fundamental dan mengatakan bahwa ada 10 contoh darimasing-masing jenis tersebut. T1 mempostulatkan adanya 4 jenisdasar dan mengatakan bahwa ada 4 contoh dari masing-masingjenis tersebut. Apakah salah satu dari teori ini lebih sederhanasecara ontologis? Bisakah kita memilih di antara teori-teori inisemata-mata atas dasar kesederhanaan?

��� C H R I S D A L Y

Page 230: pengantar metode- metode filsafat

K E S E D E R H A N A A N

4. Dalam §2 kita juga membedakan antara kesederhanaan ontologisdan ideologis. Misalkan T3 dan T4 adalah teori yang bersaing.T3 lebih sederhana secara ontologis daripada T4, tetapi secaraideologis tidak sesederhana T4. Apakah salah satu dari teori inisecara keseluruhan lebih sederhana? Bisakah kita memilih di antarateori-teori ini semata-mata atas dasar kesederhanaan?

5. Dalam §6 kita menyelidiki apakah kesederhanaan dapat dijustifi-kasi dalam kaitannya dengan keutamaan teoretis lainnya, sepertikekonservatifan dan kemampuannya memberikan penjelasan. Ka-rena kesederhanaan dapat bertentangan dengan masing-masingkeutamaan ini, apakah itu berarti kesederhanaan tidak dapat di-justifikasi dalam kaitannya dengan salah satu dari mereka ataukombinasi dari semuanya?

Bacaan Utama untuk Bab �

Baker, Alan (2003) “Quantitative Parsimony and Explanatory Po-wer.”

Barnes, E.C. (2000) “Ockham’s Razor and the Anti-Superfluity Prin-ciple.”

Hill, Christopher S. (1991) Sensations: A Defense of Type Materialismhlm. 35–40.

Huemer, Michael (2008) “When is Parsimony a Virtue?”Lewis, David (1973) Counterfactuals hlm. 87.Smart, J.J.C. (1959) “Sensations and Brain Processes.”Smart, J.J.C. (1984) “Ockham’s Razor.”Sober, Elliott (1981) “The Principle of Parsimony.”

C H R I S D A L Y ���

Page 231: pengantar metode- metode filsafat
Page 232: pengantar metode- metode filsafat

�PENJELASAN

�.� Pendahuluan

J I K A dipahami secara informal, teori adalah sekumpulan klaimyang sistematis. Sudah menjadi sifat kedua para filsuf untuk ber-bicara tentang teori filosofis—ada teori pikiran Descartes, teori ke-baikan Aristoteles, teori keadilan Rawls, dan masih banyak lagiyang lainnya. Sesuatu yang dilakukan teori adalah mencoba men-jelaskan beberapa fenomena yang menjadi pokok soalnya. Sebagaicontoh, teori evolusi mencoba menjelaskan mengapa spesies ber-ubah dan berkembang biak. Teori materi berusaha menjelaskanmengapa materi berperilaku seperti itu dalam kondisi yang berbe-da. Dan seterusnya. Teori filosofis tampaknya punya urusan yangsama. Sebuah teori tentang kebaikan berusaha menjelaskan menga-pa orang mengejar hal-hal yang baik. Sebuah teori filosofis tentangpikiran berusaha menjelaskan bagaimana pikiran mengubah, dandiubah oleh, tubuh. Dan seterusnya.

Setidaknya ada tiga cara teori filosofis dapat dievaluasi, yangmasing-masing berkaitan dengan masalah penjelasan.

Pertama, ada argumen untuk mendukung kebenaran beberapateori filosofis dengan alasan bahwa ia menjelaskan fenomena ter-

Page 233: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

tentu. Berbagai argumen untuk keberadaan Tuhan itu seperti ini.Argumen kosmologis berusaha menjelaskan mengapa ada alam se-mesta, atau mengapa ada hal-hal yang kontingen, dengan mengacupada keberadaan Tuhan. Demikian pula, argumen desain berusahamenjelaskan mengapa ada keteraturan di alam dengan mengacupada keberadaan Tuhan. Dalam setiap kasus, ada hipotesis yangsaling bersaing dan masalahnya adalah menentukan mana yangmemberikan penjelasan yang lebih baik.

Kedua, pada bab sebelumnya kita melihat bahwa teori filosofisdan teori lainnya dinilai dari segi kesederhanaannya. Pada akhirbab kita mencatat bahwa satu kemungkinan alasan untuk memilihteori yang secara kualitatif lebih sederhana dari dua teori yangbersaing adalah bahwa teori tersebut adalah teori yang lebih bisamemberikan penjelasan (bab 4, §6).

Ketiga, proses ekuilibrium reflektif melibatkan perbandingandata dengan teori untuk mencapai keseimbangan yang koheren diantara mereka (Bab 2, §3). Proses ini melibatkan penemuan penjelas-an yang paling sederhana dan paling lengkap yang dapat diberikanoleh teori terhadap data, bahkan saat kita mengevaluasi validitasdata berdasarkan koherensinya dengan teori yang dipilih. Sejauhekuilibrium reflektif merupakan model metode filosofis yang tepat,kemampuan untuk memberikan penjelasan memiliki peran kuncidalam pemilihan teori filosofis.

Peran kemampuan untuk memberikan penjelasan dalam pemi-lihan teori ditangkap oleh maksim metodologis berikut:

Jika hipotesis H1 menjelaskan fenomena lebih baik daripada hi-potesis pesaingnya H2, maka, asalkan hal-hal lainnya tetap sama,kita harus menerima H1 daripada H2.

Beberapa terminologi berguna di sini. Dalam sebuah penjelasan,eksplanandum adalah sesuatu yang harus dijelaskan; eksplananadalah sesuatu yang memberikan penjelasan.

��� C H R I S D A L Y

Page 234: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

Peran kemampuan memberikan penjelasan sebagai ciri-ciri teorifilosofis yang diinginkan (sebuah “keutamaan teoretik”) menimbul-kan beberapa pertanyaan yang saling terkait:

(P1) Apakah teori filosofis benar-benar memberikan penjelasan?(P2) Sejauh teori filosofis berbeda dari teori ilmiah, bagaimana teori

filosofis dapat benar-benar memberikan penjelasan?(P3) Apa yang membuat teori filosofis benar-benar memberikan

penjelasan?

(P1) menanyakan apakah teori filosofis bermaksud untuk memberi-kan penjelasan. Mungkin itu merupakan cara berpikir yang benardan berguna tentang teori filosofis. Atau mungkin itu adalah kesa-lahpahaman tentang teori filosofis. Teori-teori ilmiah jelas mencobamenjelaskan banyak hal. (Dalam iklim intelektual lainnya hal initidak terbukti. Beberapa tokoh akhir abad kesembilan belas danawal abad kedua puluh, seperti Kirchhoff dan Duhem, mengklaimbahwa sains tidak mencoba untuk menjelaskan apa pun, dan ia ha-nya menggambarkan hal-hal yang dapat diamati [lihat Duhem 1914,bab 1].) Karena ada beberapa perbedaan antara teori ilmiah danfilosofis, (P2) menanyakan apakah perbedaan ini mencegah teorifilosofis untuk memberikan penjelasan. Terakhir, dengan asumsibahwa teori filosofis juga punya tugas untuk memberikan penjelas-an, (P3) menanyakan jenis penjelasan apa yang ia berikan, dan teorifilosofis apa yang dapat memberikan penjelasan.

�.� Apakah Teori Filosofis MemberikanPenjelasan?

Masalah pertama yang perlu kita bahas adalah apakah ada alasanuntuk menghubungkan hipotesis filosofis dengan peran penjelasan.Selain pertimbangan yang sudah diteliti, ada dua alasan. Yang satumenyangkut sifat masalah filosofis. Yang lain menyangkut hubung-

C H R I S D A L Y ���

Page 235: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

an antara kemampuan teori filosofis untuk memecahkan masalahdan kemampuan memberikan penjelasan.

Robert Nozick berpikir bahwa masalah filosofis dapat disajikansebagai masalah tentang bagaimana sesuatu menjadi mungkin, de-ngan adanya fakta tertentu (Nozick 1981, 8-11). Masalah tersebutmengambil bentuk berikut:

Mengingat ada r, bagaimana mungkin ada p daripada q?

Berikut adalah beberapa ilustrasi tentang bagaimana masalahfilosofis yang sudah dikenal mengambil bentuk ini:

Ada masalah kehendak bebas: Mengingat determinisme (atau:indeterminisme) benar, bagaimana mungkin kita memilikikehendak bebas (daripada tidak memilikinya)?

Ada masalah tentang pengetahuan kita terkait dunia eksternal:Mengingat pengalaman indrawi kita konsisten dengan keber-adaan otak kita di dalam panci, bagaimana mungkin kita tahubahwa ada dunia eksternal (daripada tidak mengetahuinya)?

Dan ada masalah identitas dari waktu ke waktu: Mengingat bah-wa sesuatu yang konkret berubah, bagaimana bisa ia menjadihal yang sama dari waktu ke waktu (daripada tidak menjadi halyang sama dari waktu ke waktu)?

Dalam skema di atas, kita menginginkan penjelasan tentangbagaimana mungkin p itu terjadi daripada q yang terjadi. Biasanya,proposisi bahwa q itu hanyalah negasi dari proposisi bahwa p. Apayang kemudian diinginkan adalah penjelasan tentang bagaimanamungkin p yang terjadi dan bukan non-p. Penjelasan kita dibatasioleh keharusan untuk menunjukkan bagaimana hal itu mungkinmeskipun ada r. Proposisi bahwa r tampaknya mensyaratkan bah-wa p salah. Sebagai contoh, proposisi bahwa dunia itu deterministiktampaknya mensyaratkan bahwa kita memiliki kehendak bebas itusalah. Tugas kita kemudian adalah menjelaskan bagaimana mung-kin kita memiliki kehendak bebas meskipun dunia bersifat deter-

��� C H R I S D A L Y

Page 236: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

ministik. Proposisi bahwa r tidak perlu menjadi kebenaran yangmapan. Ini mungkin hanya teori tentatif atau hanya sesuatu yangdiasumsikan atau diterima begitu saja. Apa pun tingkat dukunganyang ada untuk r, masalahnya adalah tentang konsistensi timbalbalik: bagaimana proposisi bahwa p dan bahwa r itu bisa sama-sama benar? Proposisi bahwa r tampaknya bertentangan denganproposisi bahwa p.

Dua cara untuk memecahkan masalah filosofis muncul dengansendirinya. Kita dapat memberikan penjelasan yang diperlukandengan menunjukkan bahwa proposisi bahwa p dan bahwa r itutidak bertentangan, atau dengan menunjukkan bahwa, meskipunkeduanya bertentangan, proposisi bahwa r itu salah. Perdebatan fi-losofis kemudian dapat terdiri dari satu pihak yang berusaha untukmenunjukkan bahwa r itu meniscayakan non-p, sedangkan pihakpesaingnya berusaha untuk menunjukkan bahwa p dan r itu ti-dak bertentangan, sehingga r tidak meniscayakan non-p. (Mungkinterdapat pandangan lain tentang perdebatan tersebut. Misalnya,seseorang mungkin mempertanyakan apakah ada proposisi sepertiproposisi bahwa p atau proposisi bahwa r, dan apakah kalimat yangmuncul untuk mengungkapkan proposisi ini dapat dimengerti).

Saat ini ada kecenderungan di antara beberapa filsuf untukmembicarakan masalah filosofis sebagai masalah yang terdiri dariberbagai kalimat atau proposisi yang berada dalam “ketegangan”satu sama lain. Perhatikan: “ketegangan” adalah kata yang menye-satkan. Entah ia berarti bahwa kalimat-kalimat tersebut (tampaknya)secara logis saling bertentangan atau saling memustahilkan, yangdalam hal ini para filsuf harus mengatakan hal itu, atau tidak jelasapa yang dimaksudkan, yang dalam hal ini tidak ada alasan menga-pa kita harus berpikir bahwa sebuah masalah telah dinyatakan.

Dalam bab 1, §6 kita membahas apa yang disebut pembuktianG.E. Moore terhadap dunia eksternal dan ternyata ia tidak me-muaskan. Argumen Moore tampaknya menimbulkan pertanyaan-

C H R I S D A L Y ���

Page 237: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

lanjutan. Ciri lain yang tidak memuaskan dari argumennya adalahbahwa bahkan jika Moore telah membuktikan bahwa ada duniaeksternal, dan menunjukkan bahwa dia tahu bahwa ada dunia eks-ternal, dia tidak akan menyelesaikan masalah dunia eksternal. Ma-salahnya tidak hanya pada masalah menunjukkan bahwa ada duniaeksternal atau hanya masalah menunjukkan bahwa seseorang tahubahwa ada dunia eksternal. Masalahnya adalah menunjukkan ba-gaimana seseorang dapat mengetahui bahwa ada dunia eksternal,mengingat bahwa semua pengalaman indrawi kita konsisten de-ngan ketidakpercayaan kita terhadap dunia eksternal (Vogel 1993,242). Dalam satu skenario skeptis kita memiliki aliran pengalamanindrawi yang sama seperti yang kita miliki di dunia aktual, tetapi ki-ta adalah otak di dalam panci yang dikendalikan oleh ilmuwan gila.Dalam skenario itu kita tidak memiliki pengalaman indrawi tentangdunia eksternal. Moore tidak melakukan apa pun untuk menyele-saikan masalah ini. Membuktikan bahwa p itu benar tidak berartimenjelaskan bagaimana mungkin bahwa p itu benar mengingatbahwa r benar, yang di dalamnya p dan r tampaknya bertentangan(Nozick 1981, 10). Ambil contoh dari sains. Sebuah pembuktian (jikakita memang dapat memilikinya) bahwa sisi bulan yang sama selalumenghadap bumi (p) tidak menjelaskan bagaimana mungkin sisibulan yang sama menghadap bumi, mengingat bahwa (r) bulan ituberputar pada porosnya sendiri dan mengelilingi Bumi. Demikianjuga, pembuktian bahwa ada dunia eksternal (p) itu tidak menje-laskan bagaimana mungkin kita tahu bahwa ada dunia eksternal,mengingat bahwa (r) satu-satunya bukti yang kita miliki bahwaada dunia eksternal tampaknya sesuai dengan ketidaktahuan kitabahwa ada dunia eksternal.

Mari kita beralih ke alasan kedua untuk menghubungkan hipo-tesis filosofis dengan gagasan tentang penjelasan. Bagaimana kamumemperdebatkan hipotesis filosofis? Menurut Russell, keberhasilansebuah teori filosofis dalam memecahkan masalah yang tidak da-

��� C H R I S D A L Y

Page 238: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

pat diselesaikan itu dianggap sebagai bukti bagi teori itu (Russell1905, 45). Sekarang jika masalah filosofis adalah sesuatu yang mem-butuhkan penjelasan, teori yang memecahkan masalah itu berartimenjawab panggilan tersebut. Artinya, teori tersebut memberikanpenjelasan. Jadi, kemampuan hipotesis filosofis untuk memecahkanmasalah itu membuktikan kemampuannya untuk memberikan pen-jelasan. Humphreys (1984, 173) secara eksplisit membandingkanpenjelasan filosofis dengan pemecahan teka-teki filosofis. Namunbahkan jika pemecahan teka-teki dipahami hanya dalam arti di ma-na analisis konseptual dipraktikkan, analisis konseptual itu sendiridapat dilihat sebagai upaya dalam memberikan penjelasan. Anali-sis tentang sebuah konsep akan membantu menjelaskan mengapakonsep tersebut memiliki perluasan seperti itu.

Beberapa filsuf (terutama Wittgensteinian dan filsuf bahasasehari-hari) menyangkal bahwa filsafat memberikan penjelasan.(Wittgenstein menulis bahwa “filsafat itu benar-benar murni des-kriptif” [1964, 18], bahwa “kita harus menyingkirkan semua penje-lasan, dan deskripsi saja yang harus menggantikannya” [1953, §109],dan bahwa “jika seseorang mencoba untuk mengembangkan be-berapa tesis dalam filsafat, kita tidak akan pernah mungkin untukmempertanyakan tesis tersebut, karena semua orang akan menye-tujuinya” [1953, §128].) Ini tidak mengherankan karena para filsufitu menyangkal bahwa ada masalah filosofis, dan mereka berpikirbahwa tugas filsafat yang tepat itu salah satunya memberikan pengi-ngat yang membosankan tentang bagaimana kata-kata dalam baha-sa sehari-hari biasanya digunakan. Jika tidak ada masalah filosofis,tidak ada yang perlu dijelaskan dan tidak perlu berteori. Sepertibiasa, cara terbaik untuk mengevaluasi pandangan metafilosofissemacam itu adalah dengan memeriksa secara rinci penerapannyapada kasus-kasus tertentu. Ambil contoh masalah induksi Hume:bagaimana menunjukkan bahwa praktik kita menyimpulkan dariyang teramati ke yang takteramati dapat diandalkan. Para filsuf

C H R I S D A L Y ���

Page 239: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

dari garis di atas telah berusaha untuk “meniadakan” masalah inidengan dasar bahwa masalah itu disebabkan oleh kegagalan untukmemahami bagaimana istilah seperti “bukti”, “tahu”, “masuk akal”dan sejenisnya digunakan dalam konteks sehari-hari. Tetapi upayameniadakan masalah induksi seperti itu telah mengalami kekalahankritis yang berat (Salmon 1957; Skyrms 1966, bab 2; dan Blackburn1973, bab 1). Sampai saat ini, kritik tersebut belum teratasi. Kecualipembongkaran kasus uji semacam itu dapat dilakukan dengan ba-ik, tampaknya tidak ada manfaat dalam skeptisisme menyeluruhterhadap keaslian masalah filosofis dan manfaat membuat teori fi-losofis. Mungkin beberapa masalah filosofis adalah masalah semu(pseudo-problems), tetapi masalah mana yang merupakan masalahsemu itu perlu diperdebatkan berdasarkan kasus per kasus. Hal itutidak bisa ditentukan oleh perintah yang berlaku umum.

Mengingat hipotesis filosofis bermaksud untuk memberikanpenjelasan, penjelasan macam apa yang ia berikan? Ada dua ruteyang mungkin dijelajahi oleh para filsuf. Para filsuf mungkin meran-cang penjelasan yang meniru bentuk penjelasan yang ditemukandi luar filsafat, dan terutama dalam sains. Atau, mereka mungkinberusaha memberikan penjelasan tanpa bergantung pada sesuatuyang lain dan menghasilkan bentuk penjelasan yang khas filsafat.

Mengambil rute kedua ini akan bisa dimengerti. Jika hanya fil-safat yang dapat memecahkan masalah filosofis, dan masalah ituadalah permintaan untuk memberikan penjelasan, maka mungkinsolusi para filsuf memerlukan bentuk penjelasan yang khas filsa-fat. Kerugian mengambil rute ini adalah bahwa hal itu membuatpara filsuf melakukan apa pun yang mereka inginkan tanpa pandu-an apa pun dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apayang membuat penjelasan filosofis yang berbeda terhadap fenome-na yang sama menjadi penjelasan yang bersaing? Bagaimana kitaharus memilih di antara penjelasan yang bersaing itu? Apa yang di-anggap sebagai penjelasan yang baik atau buruk dalam pengertian

��� C H R I S D A L Y

Page 240: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

ini? Setelah memutuskan untuk merancang bentuk penjelasan baru,yang khas filsafat, para filsuf tidak dapat menggunakan kriteriayang digunakan dalam bentuk penjelasan yang ditemukan di luarfilsafat. Status bentuk penjelasan ini masih belum jelas. Tidak akanjelas bahwa hipotesis filosofis benar-benar memberikan penjelasan.

Contoh dari kesulitan ini diberikan oleh interpretasi “dua du-nia” terhadap sebuah tesis metafisik yang disebut Kant sebagai“idealisme transendental” (Strawson 1966). Kita tidak akan meng-angkat masalah eksegesis tentang seberapa akurat atau seberapadapat dipertahankan interpretasi ini. Ketertarikan kita di sini adalahpada konten penjelasannya. Kant berusaha menjelaskan bagaimanamungkin memiliki pengalaman tentang dunia objek dalam ruangdan waktu yang termasuk dalam hukum mekanika dan gravitasiNewton. Menurut penafsiran dua dunia terhadap metafisika Kant,ada dunia benda-dalam-dirinya (“nomena”) yang mencakup dirinomenal kita, dan ada dunia benda-sebagai-penampakan (“feno-mena”) yang mencakup diri kita sebagaimana ia tampak bagi kita.Fenomena adalah objek dalam ruang dan waktu yang dipengaruhioleh hukum Newton; sedangakan nomena tidak. Kita memersepsifenomena; tidak memersepsi nomena. Nomena bertindak berdasar-kan diri nomenal kita untuk menghasilkan dunia fenomenal. Klaimterakhir ini berisi klaim penjelas yang penting dalam penafsiran duadunia. Tapi penjelasan macam apa yang tercakup? Nomena tidaksecara kausal bertindak berdasarkan pada diri nomenal kita untukmenghasilkan dunia fenomenal. Kant secara eksplisit menyatakanbahwa hubungan kausal hanya ada di antara objek-objek fenome-nal. Maka menjadi sangat misterius apa hubungan nomenal ini, danpenjelasan seperti apa, jika ada, yang diberikan Kant.

Mengingat kesulitan yang dihadapi rute ambisius untuk meran-cang bentuk penjelasan filosofis yang khas, mari kita beralih ke ruteyang meniru bentuk penjelasan yang ditemukan di luar filsafat, dankhususnya dalam sains atau matematika. Dengan mengambil rute

C H R I S D A L Y ���

Page 241: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

ini, kita perlu membahas (P2): Sejauh teori filosofis berbeda dari te-ori ilmiah, bagaimana teori filosofis dapat benar-benar memberikanpenjelasan?

�.� Perbedaan antara Teori Filosofis dan TeoriIlmiah

Pada satu tahap dalam karir filosofisnya, Russell menganjurkanpembuatan penjelasan filosofis berdasarkan pada bentuk-bentukpenjelasan ilmiah yang berhasil (Russell 1918, 96):

Apa yang ingin saya sampaikan kepada Anda adalah kemung-kinan dan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip metode ter-tentu yang luas yang telah berhasil dalam penelitian pertanyaanilmiah pada masalah filosofis.

Persoalan yang dihadapi pendekatan ini adalah tidak adanya pan-dangan yang disepakati secara luas tentang sifat penjelasan ilmiah.Tidak ada pandangan tentang penjelasan ilmiah yang sepenuhnyaumum dan bebas dari persoalan. Bahkan tidak ada kesepakatan ten-tang pandangan mana yang menjanjikan untuk ditelaah. Namun, initidak perlu merusak pendekatannya. Kadang kita dapat mengiden-tifikasi beberapa hal dengan benar sebagai K dan mengidentifikasihal-hal lain sebagai non-K, bahkan jika kita tidak dapat mengatakanapa itu K. Misalnya, orang yang bukan ahli biologi dapat denganbenar mengidentifikasi beberapa hal sebagai anjing dan hal-hal lainsebagai bukan anjing, meskipun mereka tidak dapat mengatakanapa itu anjing. (Apa perbedaan antara anjing dan serigala? Apakahdubuk (hyena) itu anjing?) Demikian pula, ada banyak kesepakatantentang teori-teori ilmiah tertentu bahwa teori-teori itu dapat mem-berikan penjelasan (atau setidaknya bisa memberikan penjelasanjika ia benar) dan bahwa teori tertentu lainnya dimaksudkan un-tuk memberikan penjelasan tetapi gagal untuk melakukannya (van

��� C H R I S D A L Y

Page 242: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

Fraassen 1989, 31 dan Swoyer 1999, 127). Paradigma teori ilmiahyang dapat memberikan penjelasan itu meliputi teori pendulumGalileo, teori gerak planet Newton, dan teori elektromagnetismeMaxwell. Contoh teori yang mencoba memberikan penjelasan teta-pi gagal adalah teori Aristoteles tentang bentuk dari sesuatu yangdisebutnya “langit”. Dia menulis bahwa “Bentuk langit pasti bulat;karena bulat adalah bentuk yang paling sesuai dengan substansinyadan juga merupakan bentuk primer” (Aristoteles De Caelo, bukuII, bab 4). (Tidak ada kesepakatan tentang teori filosofis mana yangdapat memberikan penjelasan sehingga tidak akan terlihat bagus dikuartal itu).

Jika filsafat ingin meniru praktik penjelasan ilmiah, kita perlumempertimbangkan objek seperti apa yang mungkin diandaikanada oleh hipotesis filosofis atau hipotesis ilmiah. Ia dapat meng-andaikan adanya objek dari dua jenis: objek abstrak atau objekkonkret. Pembedaan antara objek konkret dan objek abstrak seha-rusnya menyeluruh (setiap objek itu entah abstrak atau konkret)dan eksklusif (tidak ada objek yang abstrak dan sekaligus kon-kret). Tetapi bagaimana pembedaan antara kedua jenis objek iniseharusnya digambarkan itu tetap kontroversial. Untuk tujuan kitasebenarnya cukup memperkenalkan pembedaan dengan menggu-nakan beberapa contoh paradigma dan definisi yang agak stipulatif�

yang setidaknya mengklasifikasi paradigma dengan benar. Contohparadigma objek abstrak antara lain adalah Bentuk Platonik, bi-langan, himpunan murni, dan proposisi. Contoh paradigma objekkonkret antara lain adalah kubis, tupai, dan gunung. Mari kita defi-nisikan “objek abstrak” sebagai sebuah objek yang tidak berada dalam

� Definisi stipulatif adalah jenis definisi yang dengannya istilah baru atau istilah yangsudah ada di dalam kamus diberi makna spesifik yang baru untuk tujuan argumenatau pembahasan dalam konteks tertentu. Semisal, istilah “grue” yang diciptakanoleh Nelson Goodman diberi definisi stipulatif sebagai “sifat sebuah objek yangmembuat objek tersebut tampak hijau (green) jika diamati sebelum beberapa waktuyang akan datang t dan akan tampak biru (blue) jika diamati setelahnya”.

C H R I S D A L Y ���

Page 243: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

ruang-waktu dan tidak memiliki hubungan kausal dengan apa pun, dan“objek konkret” sebagai sebuah objek yang berada dalam ruang-waktudan memiliki hubungan kausal. Definisi ini meninggalkan ketidakjelas-an status, misalnya, tentang dunia mungkin Lewisian (Lewis 1986,81–86). Penghuni dunia semacam itu berada dalam ruang-waktudan mereka memiliki hubungan kausal satu sama lain. Kita akanmenetapkan bahwa dunia Lewisian adalah objek abstrak jika hanyakarena dunia itu (dan penghuninya) tidak berada dalam ruang-waktu aktual dan tidak memiliki hubungan kausal dengan apa pundi dunia aktual. Masalah lainnya adalah bahwa fisika kontemporermenganggap serius pandangan bahwa ruang-waktu adalah pro-duk dari beberapa struktur yang lebih fundamental (Ladyman danRoss 2007, 23). Definisi tersebut mungkin perlu direvisi sehubungandengan hal ini.

Sangat menggoda untuk berpikir bahwa pembedaan antarateori filosofis dan teori ilmiah itu berkaitan dengan pembedaanantara teori yang mengandaikan adanya objek konkret dan teoriyang mengandaikan adanya objek abstrak. Ini tidak benar. Pertama,hipotesis filosofis bahwa ada dunia eksternal itu mengandaikanadanya objek konkret (yaitu, objek-objek di dunia eksternal). Kedua,Quine mengklaim bahwa formulasi kanonik terhadap teori ilmiahsaat ini itu menguantifikasi himpunan, dan dengan demikian meng-andaikan adanya objek tersebut (Quine 1981c, 149-50). Filsuf lainmemperdebatkan apakah teori ilmiah mengandaikan adanya objeksemacam itu. Memasuki debat ini akan membawa kita terlalu jauh.Demi argumen, anggaplah Quine benar. Tugas kita di bagian iniadalah membandingkan (1) teori ilmiah yang mengandaikan ada-nya objek konkret (seperti elektron, virus, atau pergeseran benua)dengan (2) teori filosofis yang mengandaikan adanya objek konkret(seperti hipotesis dunia eksternal), dan juga dengan (3) teori filoso-fis yang mengandaikan adanya objek abstrak. Teori-teori di kelas(1) tidak diragukan lagi memiliki kemampuan untuk memberikan

��� C H R I S D A L Y

Page 244: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

penjelasan. Tapi seberapa mirip teori di kelas (2) atau (3) denganteori di kelas (1) itu?

Teori ilmiah menjelaskan fenomena dengan mengutip hukumalam, tetapi teori filosofis tidak berusaha menjelaskan fenomena de-ngan cara itu. Meskipun demikian, teori filosofis seringkali berusahamenjelaskan sesuatu dengan mengutip berbagai prinsip metafisikyang umum. Prinsip-prinsip ini mencakup ke-takterbedakan-anhal-hal yang identik (the indiscernibility of identicals) (sebuah objekyang diambil dengan satu cara adalah objek yang sama seperti yangdiambil dengan cara lain hanya jika apa yang diambil dengan carapertama memiliki sifat yang sama seperti apa yang diambil dengancara lain), keniscayaan identitas (bahwa hal-hal yang identik ituniscaya identik), dan kebertopangan hal mental terhadap hal fisi-kal (bahwa objek tidak berbeda secara mental kecuali ia berbedasecara fisikal). Semisal, Saul Kripke menjelaskan mengapa niscayabahwa panas itu identik dengan gerak molekul rata-rata denganmenyimpulkannya dari konjungsi penemuan ilmiah bahwa panasitu identik dengan gerak molekul rata-rata dengan prinsip kenisca-yaan identitas (Kripke 1971, 84– 85). Meskipun epistemologi danmetafisika prinsip-prinsip metafisik ini mungkin berbeda dalamberbagai hal dari epistemologi dan metafisika prinsip-prinsip hu-kum alam, keduanya memiliki peran yang sama dalam fungsinyasebagai prinsip umum yang mencakup fenomena yang perlu di-jelaskan. (Humphreys [1984, 174, 179] berpendapat bahwa tidakada kesepadanan dalam filsafat dengan hukum alam, dan berusahamengatasi persoalan tersebut dengan cara lain.)

Teori ilmiah sering menjelaskan fenomena dengan mengutippenyebabnya, tetapi teori filosofis biasanya tidak mencoba menje-laskan dengan mengutip penyebab (Humphreys 1984, 174). DavidArmstrong telah mencoba memanfaatkan pertimbangan ini (Arm-strong 1978, 130):

Dunia partikularia yang bersifat spasio-temporal itu pasti ada (ia

C H R I S D A L Y ���

Page 245: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

mencakup tubuh kita). Apakah sesuatu yang lain ada itu kon-troversial. Jika entitas di luar dunia ini dipostulatkan, tetapi di-tetapkan lebih lanjut bahwa entitas tersebut tidak memiliki tin-dakan kausal terhadap partikularia di dunia ini, maka tidak adaalasan kuat untuk memostulatkan entitas tersebut. Pisau Cukur[Ockham] kemudian memerintahkan kita untuk tidak memostu-latkan entitas tersebut.

Armstrong berpendapat bahwa kita tidak boleh menerima hipo-tesis yang mengandaikan adanya objek abstrak (dalam pengertianyang didefinisikan di atas). Dia berargumen sebagai berikut: (1)Tidak seperti objek konkret seperti kubis dan elektron, objek abs-trak seperti Bentuk Platonis, bilangan, dan proposisi (jika semua itumemang ada) tidak akan ada dalam ruang dan waktu. (2) Objek ber-hubungan secara kausal hanya jika berada dalam ruang dan waktu.(3) Jadi, bahkan jika objek abstrak itu ada, ia tidak akan membuatperbedaan kausal terhadap objek konkret: “... objek abstrak tidakmenghasilkan apa pun di wilayah Alam seperti halnya gen danelektron” (Armstrong 1978, 131, cetak miring dari Armstrong). (4)Jadi, bahkan jika objek abstrak itu ada, ia tidak akan membantumenjelaskan perilaku objek konkret secara kausal. (5) Jadi tidak adaalasan untuk percaya bahwa objek abstrak itu ada. (6) Jadi, denganpemahaman ateistik terhadap Pisau Cukur Ockham, ada alasanuntuk percaya bahwa tidak ada objek abstrak yang ada. (Untuk pe-mahaman ini, lihat bab 4, §2.) Konsekuensi dari argumen ini adalahbahwa hipotesis filosofis yang mengandaikan adanya objek abstrakitu tidak bisa memberikan penjelasan dan harus ditolak.

Eksperimen pikiran berikut sering digunakan untuk mendu-kung premis (2). Pertimbangkan pertanyaan: Apakah bilangan ituada? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita mung-kin berpikir tentang seperti apa bilangan itu jika ia ada. Nah, jikabilangan itu ada, kamu tidak akan berharap menemukannya dibawah meja dapurmu atau di bawah tiang tambang atau di suatutempat di luar angkasa. Kamu tidak akan mengharapkan bilangan

��� C H R I S D A L Y

Page 246: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

itu berada di mana pun, bahkan di beberapa wilayah ruang yangterserak. Demikian pula, kamu tidak akan berharap bilangan itumuncul pada waktu tertentu—katakanlah, pada siang hari tanggal4 Juni 1564. Secara umum, jika bilangan itu ada, bilangan tidakakan bertempat di mana pun di ruang atau waktu. Perbedaan apayang akan disebabkan oleh keberadaan bilangan, atau ketiadaanbilangan, terhadap perilaku objek apa pun di dunia konkret? Kare-na bilangan tidak berada dalam ruang atau waktu, maka ia tidakakan memengaruhi kubis atau elektron. Secara lebih umum, bahkanjika bilangan itu ada, ia tidak akan memberikan pengaruh kausalpada objek konkret apa pun, termasuk pada alat pengukur dan alatindra kita. Tapi kemudian sulit untuk melihat pekerjaan membe-rikan penjelasan macam apa yang bisa dilakukan oleh bilangan,bahkan jika bilangan itu ada. Bilangan akan menjadi entitas yangmenganggur, dan mengandaikannya ada akan mubazir dalam halpemberian penjelasan (Armstrong 1978, 128-29).�

Langkah penting dalam argumen Armstrong adalah langkah da-ri (3) ke (4): dari keberadaan bilangan yang tidak bisa memberikanpenjelasan secara kausal ke ketiadaaan alasan untuk memercayaibahwa bilangan itu ada. Langkah ini tampaknya mengasumsikanbahwa satu-satunya bentuk penjelasan adalah penjelasan kausal.Tetapi tidak setiap penjelasan ilmiah itu bersifat kausal: sains jugamenjelaskan fenomena dalam istilah geometris atau dengan prinsipstatistik non-kausal seperti regresi ke arah rata-rata (regression to themean). Berikut ini contohnya. Lempar seikat tongkat ke udara, danpotretlah tongkat tersebut begitu ia jatuh. Dalam potret tersebut,lebih banyak tongkat yang akan berada di dekat sumbu horizon-tal daripada sumbu vertikal.� Kenapa? Ada penjelasan non-kausalsederhana terhadap fenomena ini: ada dua sumbu horizontal dan

� Van Fraassen (1975, 39) memberi eksperimen pikiran ini sebuah pelintiran tambah-an.

� Lihat Lipton (2004, 31-32).

C H R I S D A L Y ���

Page 247: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

hanya ada satu sumbu vertikal. Jadi sains itu sendiri menggunakanbentuk penjelasan selain penjelasan kausal, dan tidak valid untukmenyimpulkan objek yang tidak memiliki daya kausal sebagai objekyang tidak mampu memberikan penjelasan. Jadi para filsuf yangmengandaikan adanya objek abstrak dapat mengakui bahwa objektersebut tidak memiliki daya kausal tetapi tetap mengklaim bah-wa ia memiliki peran dalam memberikan penjelasan tanpa secararadikal menyimpang dari praktik ilmiah.�

Selanjutnya, beberapa hipotesis filosofis mengandaikan adanyaobjek yang aktif secara kausal. Hipotesis bahwa ada dunia eksternaltelah dikemukakan sebagai penjelasan kausal terhadap pengalamankita (Armstrong 1978, 131-32). Hipotesis bahwa ada pikiran laintelah dikemukakan sebagai penjelasan kausal tentang perilaku ma-nusia lain. Dan hipotesis bahwa Tuhan itu ada telah dikemukakansebagai penjelasan kausal atas keteraturan yang ada di alam.

Tanggapan ini meninggalkan dua masalah terbuka. Pertama,apakah hipotesis filosofis yang non-kausal merupakan penjelas-an yang baik? Ini termasuk hipotesis yang hanya mengandaikanadanya objek abstrak. Hipotesis ini menjadi sasaran argumen Arm-strong. Kita telah mengkritik argumen Armstrong itu, tetapi da-patkah ada kasus positif yang dibuat untuk mengklaim bahwahipotesis semacam itu bisa memberikan penjelasan? Kita akan mem-pertimbangkan dua jawaban: seruan untuk penyatuan teoretik (§4)dan seruan pada penyimpulan menuju penjelasan terbaik (§5). Ki-ta kemudian akan membahas sebagai studi kasus teori identitaspikiran-otak yang memberikan penjelasan non-kausal tentang kore-lasi antara sifat-sifat mental dan sifat-sifat fisikal.

Masalah kedua yang dibiarkan terbuka adalah apakah hipotesisfilosofis yang kausal merupakan penjelasan yang baik. Dalam §7,kita akan membahas sebagai studi kasus apakah hipotesis dunia eks-

� Lihat Oddie (1982) dan Colyvan (2001, bab 3) untuk pembahasan lebih lanjut.

��� C H R I S D A L Y

Page 248: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

ternal merupakan penjelasan yang baik tentang aliran pengalamankita.

�.� Penyatuan Teoretik dan Penjelasan Filosofis

Beberapa filsuf berpendapat bahwa penjelasan ilmiah terdiri dariteori yang menggambarkan berbagai jenis fenomena yang tampak-nya beragam dan independen dengan menggunakan sejumlah kecilistilah yang sama. Hal ini memungkinkan banyak jenis yang tam-paknya independen dikurangi jumlahnya. Dengan menyatukanjenis fenomena ini, teori itu menjelaskannya (Friedman 1981). Se-bagai contoh, sebelum mekanika Newton, perilaku planet, pasangsurut, proyektil terestrial, dan benda langit tampaknya merupakanjenis fenomena yang independen, yang masing-masing memerlu-kan penjelasan tersendiri (jika memang memiliki penjelasan samasekali). Mekanika Newton menjelaskan perilaku masing-masing je-nis ini dalam hal massa, kecepatan, dan gaya gravitasi yang bekerjapadanya. Mekanika Newton menyatukan apa yang tadinya tampakseperti kumpulan jenis benda yang heterogen. Dengan mencapaipenyatuan ini, teori Newton mengurangi jumlah jenis benda yangindependen, dan dengan demikian menjelaskan perilaku benda darisetiap jenis dalam satu kumpulan.

Terlepas dari daya tarik intuitif pandangan tentang penjelas-an ilmiah ini, telah terbukti sulit untuk merumuskan secara tepatgagasan penting “jenis fenomena yang independen”. Selain itu,kedekatan hubungan antara penyatuan dan penjelasan itu terbu-ka untuk dipertanyakan (Barnes 1992, Humphreys 1993). Denganmengingat persoalan ini, mari pertimbangkan apakah filsafat dapatmeniru praktik penjelasan dengan penyatuan ini. Berbagai filsufmemandang diri mereka sendiri menjelaskan fenomena dengan me-nyatukan fenomena tersebut. Tampaknya Plato juga melakukannya(Cherniss 1936). Baru-baru ini, Swoyer melihat teori tentang sifat

C H R I S D A L Y ���

Page 249: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

memberikan “penjelasan terpadu dan terintegrasi” tentang fenome-na matematis, semantik dan ilmiah tertentu (Swoyer 1999, 126). Kitatelah melihat di bab 4, §5 bahwa David Lewis mengklaim adanyapluralitas dunia mungkin, yang di dalamnya dunia mungkin ada-lah hal yang sama jenisnya dengan dunia aktual. Lewis berusahamenjelaskan isi kalimat, dan banyak lagi selain itu, dalam kaitannyadengan dunia mungkin (Lewis 1986, ch. 1). Bagian dari argumennyauntuk teorinya tentang realisme modal adalah penyatuan teoretikyang menurutnya dapat dicapai (Lewis 1986, 3-5). Realisme modalbahkan telah digambarkan “memberikan penjelasan terbaik tentanghakikat sains dan dunia” (Bigelow dan Pargetter 1990, 345).

Namun, kemampuan teori Lewis dalam memberikan penjelasantelah ditentang. Michael Friedman menyatakan keberatan berikut(Friedman 1981, 13-14, cetak miring dari Friedman):

Harus mungkin untuk menunjukkan bagaimana makhluk se-perti kita memperoleh dan menggunakan bahasa dengan sifat-sifat yang oleh teori semantik dianggap melekat padanya. Ha-rus mungkin untuk menunjukkan bagaimana struktur teoretisyang diasumsikan dalam teori semantik memainkan peran da-lam proses aktual akuisisi dan penggunaan bahasa. . . . Tetapi da-lam semantik dunia-mungkin struktur semantik yang dipostu-latkan tampaknya benar-benar terpisah dari proses psikologisakuisisi dan penggunaan bahasa. Bagaimana kita, sebagai makh-luk yang terbatas di dunia ini, berhubungan dengan entitas (dankumpulan entitas, dan kumpulan dari kumpulan entitas. . . ) didunia mungkin yang lain? Jika memang ada, semantik dunia-mungkin membuatnya lebih sulit untuk menghubungkan teorilinguistik dengan teori sosial dan psikologis daripada sebelum-nya. Semantik dunia-mungkin tampaknya menjauh dari, daripa-da menuju pada, penyatuan teoretis.

Keberatan Friedman bukanlah bahwa dunia mungkin Lewisiantidak secara kausal memengaruhi objek di dunia aktual. Keberatantersebut berkaitan dengan teka-teki tentang bagaimana apa yangterjadi di dunia mungkin yang lain dapat memberikan penjelasan

��� C H R I S D A L Y

Page 250: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

yang relevan terhadap apa yang terjadi di dunia aktual—misalnya,dalam pembelajaran dan penggunaan aktual kita terhadap bahasa.Akibatnya, Friedman menyatakan bahwa teori Lewis memisahkanteori semantik dan teori psikologis kita.�

Kekhawatiran yang lebih umum tentang seruan filosofis padapenyatuan sebagai penjelasan adalah bahwa meskipun setiap penya-tuan merupakan deskripsi ulang tentang fenomena tertentu, tidaksetiap deskripsi ulang merupakan sebuah penyatuan, dan beberapadeskripsi ulang mungkin menyamar sebagai penyatuan dan tidakbenar-benar dapat memberikan penjelasan (Kraut 2001, 155–56).Astrologi mengatakan bahwa setiap peristiwa yang ditakdirkanharus terjadi, dan itu mendeskripsikan ulang setiap peristiwa darisetiap jenis sebagai peristiwa yang ditakdirkan. Astrologi dengandemikian adalah teori yang komprehensif, tetapi ia adalah penje-lasan potensial yang buruk tentang peristiwa apa pun. Jadi, jikakita menjaga hubungan antara penyatuan dan penjelasan, astrologibukanlah teori yang menyatukan.

Alasan utama mengapa astrologi adalah penjelasan potensi-al yang buruk adalah karena astrologi tidak memiliki kekuatanprediksi apa pun. Selain itu, ia tidak memiliki penjelasan tentangbagaimana penyebab yang diandaikan (pergerakan bintang) itu da-pat menghasilkan akibat yang dikatakan dijelaskan oleh penyebabtersebut. Apalagi, menurut teori ilmiah yang saat ini kita terima,persebaran planet dan bintang pada suatu waktu tidak bisa membe-rikan penjelasan yang relevan pada terjadinya (katakanlah) badaiatau hasil undian. Para pendukung realisme modal mengklaim bah-wa mengandaikan adanya dunia mungkin itu menawarkan carakomprehensif untuk menggambarkan fenomena yang berbeda. Tapiapakah itu merupakan penjelasan yang bagus tentang fenomena ter-sebut? Seperti yang sudah dicatat, Friedman tidak dapat melihat re-

� Lihat Swoyer (1979) untuk sebuah tanggapan.

C H R I S D A L Y ���

Page 251: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

levansi distribusi dunia mungkin dengan akuisisi atau penggunaankita terhadap bahasa. Pendukung Platonisme matematis mengklaimbahwa mengandaikan adanya bilangan menawarkan cara untukmenggambarkan kondisi yang di dalamnya klaim matematika itubenar atau salah. Menurut Platonisme matematis, ada klaim mate-matis yang benar dan klaim itu benar karena ia menggambarkandomain objek matematis yang abstrak. Tetapi apakah Platonismematematis merupakan penjelasan yang baik tentang kondisi yangdi dalamnya klaim matematis itu benar? Beberapa filsuf, seperti vanFraassen, tidak dapat melihat relevansi pendapat tersebut denganpraktik penghitungan dan pengukuran kita. Masalahnya, kemudian,adalah bagaimana teori realis modal atau realis matematis ditem-patkan lebih baik daripada astrologi. Jika suatu teori filosofis adalahpenjelasan yang buruk, maka menerapkannya pada banyak feno-mena tidak akan membuatnya menjadi penjelasan yang lebih baik.Hal itu hanya akan berarti menggunakan penjelasan buruk yangsama secara lebih luas. Itu tidak membantu memberikan penjelasan.Itu hanya menambah ketidakjelasan.

Kita mungkin secara masuk akal menolak penjelasan astrologisebagai penjelasan yang buruk karena “kita perlu mengacu padahubungan nomik yang objektif, hubungan sebab akibat, atau jenismekanisme fisik yang lain jika kita ingin memberikan penjelasanilmiah yang memadai” (Salmon 1989, 145). Tapi seperti halnya as-trologi yang tidak memenuhi persyaratan penjelasan ini, realismemodal atau Platonisme matematis juga demikian. Realisme modalsudah tepat tidak mengklaim bahwa hubungan sebab akibat atauhukum alam itu berlaku di antara dunia mungkin Lewisian yangdalamnya ada keledai berbicara dan orang-orang di dunia aktualyang berpikir tentang keledai berbicara. Demikian juga, Platonismematematis sudah tepat tidak mengklaim bahwa hubungan semacamitu ada di antara bilangan yang tidak terletak dalam ruang-waktudan apa yang dihitung atau diukur orang di dunia aktual. Di wak-

��� C H R I S D A L Y

Page 252: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

tu tertentu, ada teori ilmiah yang cukup baik yang mengandaikanadanya fenomena tertentu meskipun teori tersebut belum dapatmenentukan mekanisme yang dianggap bertanggung jawab atasfenomena itu. Misalnya, selama beberapa saat setelah dirumuskan,teori genetika tidak dapat menentukan mekanisme gen mengha-silkan sifat-sifat yang diwariskan. Namun demikian, ada prospekbagus untuk menemukan mekanisme ini dan pencariannya seringkali ternyata berhasil, seperti dalam kasus teori genetika. Namun,dalam kasus realisme modal dan Platonisme matematis, tidak adaprospek untuk menemukan mekanisme yang memediasi antarayang modal atau yang matematis dan kita, seperti yang diakui olehkaum realis modal dan kaum Platonis matematis sendiri.

�.� Penyimpulan menuju Penjelasan FilosofisTerbaik

Banyak filsuf berpandangan bahwa sains secara ekstensif meng-gunakan strategi penyimpulan yang dikenal sebagai abduksi ataupenyimpulan menuju penjelasan terbaik (Harman 1965). Beberapafilsuf ini selanjutnya berpandangan bahwa filsafat juga mengguna-kan strategi ini. Tapi apa sebenarnya yang tercakup dalam strategiini?

Penyimpulan menuju penjelasan terbaik adalah metode untukmembuat penyimpulan menuju hipotesis tertentu yang kemungkin-an besar benar. Misalkan ada fenomena F yang ingin kita jelaskan.Misalkan juga ada sekumpulan pasangan hipotesis yang berten-tangan H1, H2, . . . , Hn. (Jika hipotesis dalam rangkaian itu menjadi“pasangan yang bertentangan” berarti bahwa jika kamu mengambilsepasang hipotesis ini, dua hipotesis yang kamu ambil itu salingbertentangan). Andaikan hipotesis ini sedemikian rupa sehingga,untuk setiap hipotesis Hi, seandainya Hi itu benar, ia akan menje-

C H R I S D A L Y ���

Page 253: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

laskan F . Manakah dari hipotesis tersebut (jika memang ada) yangharus diterima sebagai penjelasan F ? Wajar jika ingin menyimpul-kan hipotesis yang paling mungkin. Tetapi hipotesis mana yangpaling mungkin? Kita tidak melangkah lebih jauh, dan tidak jelassumber apa yang tersedia bagi kita untuk menjawab pertanyaantersebut.

Metode penyimpulan menuju penjelasan terbaik membalik urut-an kita dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tugaspertama kita adalah memilih hipotesis mana, jika ia memang benar,yang paling baik menjelaskan F . Atas dasar itulah kita kemudianmengatakan hipotesis mana yang paling mungkin benar. Tugas per-tama melibatkan penimbangan kemampuan setiap hipotesis dalammemberikan penjelasan. Ini adalah tugas komparatif: kita mem-bandingkan kemampuan masing-masing H1, H2, . . . , Hn denganhipotesis pesaingnya. Untuk melakukan ini kita perlu mempertim-bangkan faktor-faktor seperti konsistensi internal hipotesis, ruanglingkupnya, keberhasilannya, apakah ia konsisten dengan hipotesisyang sudah kita terima, sejauh mana menerimanya akan mening-katkan komitmen ontologis dan ideologis kita (dalam pengertianQuine), sejauh mana ia menghindari peningkatan masalah yangsulit diselesaikan, dan sebagainya.� Kita juga perlu mempertim-bangkan pertanyaan sulit tentang bagaimana berbagai faktor iniharus dipertimbangkan satu sama lain. Satu hipotesis mungkin me-miliki keutamaan teoretik tertentu hingga tingkat yang lebih tinggidaripada yang lain, meskipun hipotesis kedua mungkin memilikikeutamaan teoretis tertentu yang lain yang lebih tinggi daripadayang pertama. Jika kita harus memilih di antara kedua hipotesistersebut, mana yang harus kita pilih? (Lihat bab 4, §6 dan Lewis1986, 133–34).

Untuk kembali ke masalah utama, anggaplah bahwa anggota

� Thagard (1976) dan McAllister (1989) menguraikan beberapa faktor ini.

��� C H R I S D A L Y

Page 254: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

kumpulan hipotesis kita dapat dipilih sebagai penjelasan potensialterbaik terhadap F . Anggap juga bahwa hipotesis ini merupakanpenjelasan potensial terhadap F yang cukup baik untuk dapat di-terima; bahwa ia memenuhi beberapa persyaratan minimal untukdapat memberikan penjelasan. Kita mungkin juga mensyaratkanbahwa hipotesis tersebut secara signifikan lebih baik daripada hipo-tesis pesaingnya yang terdekat (Dorr dan Rosen 2001, §7). Menurutstrategi penyimpulan menuju penjelasan terbaik, kita terjamin un-tuk menyimpulkan bahwa hipotesis tersebut merupakan penjelasan(yang paling mungkin) terhadap F . Artinya, kita membuat penyim-pulan dari hipotesis yang paling baik dalam menjelaskan F , danyang memenuhi standar yang sesuai untuk dapat memberikan pen-jelasan, ke hipotesis yang paling mungkin untuk menjelaskan F .Potensi hipotesis untuk memberikan penjelasan itu memberi kitaalasan untuk memercayai bahwa hipotesis tersebut kemungkinanbesar benar.

Sebuah hipotesis dapat memiliki probabilitas epistemik yangrendah secara absolut, tetapi memiliki probabilitas epistemik yanglebih tinggi daripada masing-masing hipotesis pesaingnya. Bentukpenyimpulan yang lebih hati-hati menuju penjelasan terbaik tidakakan membuat penyimpulan menuju hipotesis yang kemungkinanbesar benar (yang memiliki probabilitas epistemik yang tinggi se-cara absolut), tetapi hanya menuju hipotesis yang lebih mungkinbenar (memiliki probabilitas epistemik yang lebih tinggi) daripadahipotesis pesaingnya.�

Dari dua strategi penyimpulan yang dipertimbangkan di si-ni—penyatuan teoretik dan penyimpulan menuju penjelasan ter-baik—yang terakhir adalah yang paling banyak digugat oleh parafilsuf. (Namun yang terakhir itu tidak selalu dibedakan dari yangpertama). Sebagai contoh, Swoyer beranggapan bahwa penyim-

� Lihat Okasha (2000, 697-698).

C H R I S D A L Y ���

Page 255: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

pulan menuju penjelasan terbaik dari kebenaran tertentu tentangmatematika, semantik, atau hukum alam itu menjamin kesimpulanfilosofis tentang keberadaan sifat, yang dipahami sebagai universa-lia atau sifat-sifat yang identik di antara contoh-contoh partikularuniversalia (Swoyer 1999, esp. §§5–7). Armstrong, Bigelow danPargetter juga menggunakan strategi ini untuk menyimpulkan hi-potesis filosofis tertentu (Armstrong 1997, 235, dan Bigelow danPargetter 1990, 344-45).

Ada dua kesulitan utama yang dihadapi para filsuf yang me-nyerukan penyimpulan menuju penjelasan terbaik. Pertama, adapertanyaan yang cukup umum tentang justifikasi, dan bahkan rasio-nalitas, dari strategi itu sendiri (van Fraassen 1989, bab 6).� Kedua,ada kekhawatiran khusus tentang penggunaan strategi ini dalamfilsafat (van Fraassen 1995, §Iv). Kita akan fokus pada kesulitankedua.

Penyimpulan menuju penjelasan terbaik melibatkan pengambil-an sekumpulan penjelasan potensial, dan menyimpulkan anggotakumpulan penjelasan yang paling mungkin benar, jika ia memangbenar, akan memberikan penjelasan terbaik terhadap beberapa fe-nomena yang ingin dijelaskan. Penyimpulan menuju penjelasanterbaik dapat berupa penyimpulan dari hal-hal dari satu jenis kehal-hal lain dari jenis yang sama. Biasanya, penyimpulan seperti ituberasal dari contoh K yang memiliki ciri umum, F , ke kesimpulanbahwa setiap K memiliki F , atau banyak K yang belum diperiksamemiliki F . Semisal, sebuah penyimpulan mungkin berasal darifakta bahwa lokasi spasial planet yang teramati itu membentuk elipske kesimpulan bahwa semua posisi spasial planet—orbitnya—itumembentuk elips. Penyimpulan semacam itu adalah penyimpulandari hal-hal dari satu jenis ke hal-hal dari jenis yang sama, tetapibeberapa contoh filosofis yang penting dari penyimpulan menuju

� Untuk tanggapan, lihat Lipton (2004, 107-117, 151-163), Kvanvig (1994), dan Okasha(2000).

��� C H R I S D A L Y

Page 256: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

penjelasan terbaik bukanlah contoh dari jenis penyimpulan sema-cam itu. Semisal, penyimpulan dari pengalaman indrawi ke keber-adaan objek fisikal ataupun penyimpulan dari fenomena modalke keberadaan dunia mungkin Lewisian bukan merupakan jenispenyimpulan semacam itu. Contoh-contoh ini lebih baik dimodel-kan sebagai penyimpulan dari entitas satu jenis ke entitas lain jenis.Penyimpulan jenis ini dalam sains mencakup penyimpulan daripengamatan terhadap pembengkokan gelombang cahaya di luarangkasa ke keberadaan lubang hitam, dan penyimpulan dari pe-ngamatan terhadap gerak Brown ke keberadaan molekul. Dalamkasus ilmiah ini, entitas yang disimpulkan itu efektif secara kausal,dan hipotesis ilmiah yang menyimpulkannya membuat prediksibaru. Sehubungan dengan hipotesis tambahan yang tidak secarakhusus tentang lubang hitam, hipotesis ilmiah tentang lubang hi-tam cukup rinci untuk membuat prediksi baru yang selanjutnyadapat dikonfirmasi atau disangkal. Hal serupa berlaku sehubungandengan hipotesis ilmiah tentang molekul. Sebaliknya, hipotesis fi-losofis tentang keberadaan dunia eksternal atau keberadaan duniamungkin tidak menghasilkan prediksi baru. Akibatnya, hipotesisfilosofis secara tidak sempurna meniru hipotesis ilmiah.

Kita telah melihat bahwa penyimpulan menuju penjelasan ter-baik itu mengizinkan penyimpulan kebenaran hipotesis tertentuhanya jika hipotesis tersebut merupakan penjelasan potensial yangcukup baik untuk dapat diterima. Dalam sebuah penyimpulan me-nuju penjelasan terbaik, kumpulan penjelasan potensial mungkin“tidak disaring” dan mencakup semua kandidat penjelasan yangmungkin, tidak peduli seberapa anehnya penjelasan itu. Atau mung-kin “disaring” dan hanya menyertakan kandidat penjelasan yangmenjanjikan. Mengasumsikan bahwa kelompok penjelasan tidakdisaring akan sangat menyimpang dari pemilihan teori dalam prak-tik ilmiah yang aktual. Dalam kasus terakhir kita tidak memulaidengan mempertimbangkan semua teori yang mungkin tentang

C H R I S D A L Y ���

Page 257: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

beberapa fenomena karena kumpulan hipotesis itu akan terlalu be-sar untuk dihasilkan atau ditangani (Lipton 2004, 119). Tetapi jikakumpulan hipotesis tersebut disaring, sehingga hanya apa yangsebelumnya dianggap sebagai kandidat hipotesis yang menjanjikanyang diterima, maka teori filosofis tertentu yang sudah dikenal bera-da dalam bahaya dikeluarkan sejak awal.� Sebagai contoh, “tatapantidak percaya” yang dihadapi realisme modal menunjukan betapabanyak filsuf yang menemukan teori itu tidak masuk akal (Lewis1986, 133–35). Mengeluarkan realisme modal dari kumpulan hipote-sis karena alasan itu berarti mendiskualifikasinya sebagai kandidatuntuk menjelaskan fenomena modal. Kaum realis modal mungkinmempermasalahkan pengaturan penyaringan yang mengeluarkanteorinya dari kumpulan hipotesis. Tetapi jika perdebatan antarakaum realis modal dan penentangnya terjadi pada tahap awal ini,itu mencegah kita untuk melanjutkan ke tahap berikutnya: meng-ambil kumpulan kandidat yang diterima dan menyimpulkan pen-jelasan potensial terbaik terhadap fenomena yang akan dijelaskan.Dengan demikian, penyimpulan menuju penjelasan terbaik harusmenunggu pemecahan perselisihan yang terjadi sebelumnya antarakaum realis modal dan penentangnya yang tidak percaya, daripa-da memberikan pemecahan itu sendiri. Ini akan membuat peranpenyimpulan menuju penjelasan terbaik dalam filsafat menjadi ku-rang berguna dan kurang menarik daripada yang dijanjikan. Iahanya akan menjadi “pengamat” untuk perdebatan penting antaraLewis dan penentangnya, dan perdebatan itu harus dilakukan disepanjang garis yang independen.

Apa yang ditunjukkan oleh kritik ini? Seorang teman yangmenggunakan penyimpulan menuju penjelasan terbaik dapat mem-peringatkan agar tidak menyamakan keefektifan metode penyim-pulan ini dengan keabsahannya (Vahid 2001, §5). Menunjukkan bah-

� Kekhawatiran ini dibagikan oleh Nozick (1981, 12).

��� C H R I S D A L Y

Page 258: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

wa penyimpulan menuju penjelasan terbaik itu absah berarti me-nunjukkan bahwa ia merupakan penyedia-jalan-kebenaran (truth-conducive): bahwa mengikuti metode ini lebih sering mengarah padahipotesis yang benar daripada yang tidak benar. Mengikuti Sober,Vahid mengacu pada peran asumsi latar belakang dalam memandupemilihan hipotesis. Dia mengklaim bahwa asumsi tersebut men-justifikasi penggambaran hipotesis tertentu sebagai yang hipotesisterbaik dari sejumlah hipotesis. Selain itu, jika asumsi tersebut ada-lah asumsi yang andal, jika ia terkonfirmasi dengan baik, “dasar kitauntuk memilih penjelasan terbaik akan tertanam kuat di dalam kebe-naran.” Tetapi untuk bisa menjadi metode penyimpulan yang efektifsecara epistemik, metode tersebut tidak bisa begitu saja memberi-tahu kita hipotesis mana yang terbaik dalam kumpulan hipotesistertentu secara sewenang-wenang. Hipotesis itu mungkin hanyamerupakan hipotesis terbaik dari sekelompok hipotesis yang buruk.Agar efektif secara epistemik, kumpulan hipotesis yang kepada-nya metode tersebut diterapkan perlu disaring dengan tepat. Vahidmencari teori pengetahuan yang substansial untuk menyediakanpenyaringan ini. Sebagai gambaran, ia mempertimbangkan teoripengetahuan alternatif yang relevan, seperti yang ditemukan dalamDretske (1981). Diterapkan pada kasus yang dipermasalahkan, teorialternatif yang relevan akan mengatakan bahwa untuk mengetahuibahwa hipotesis H benar, seseorang tidak perlu mengesampingkansetiap alternatif untuk H . Seseorang hanya perlu mengesampingkansetiap alternatif yang relevan dengannya. Kumpulan hipotesis yangdarinya H dipilih hanya mencakup semua alternatif yang relevanuntuk H . Konteks (termasuk pengandaian bersama dalam komuni-tas epistemik kita dan kemungkinan objektif dari situasi tertentu)menentukan hipotesis mana yang relevan.

Mengacu pada hipotesis yang terkonfirmasi dengan baik se-bagai hipotesis latar belakang menimbulkan pertanyaan tentangmetode apa yang digunakan untuk mengonfirmasi hipotesis terse-

C H R I S D A L Y ���

Page 259: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

but. Jika metode konfirmasi yang digunakan adalah penyimpulanmenuju penjelasan terbaik, maka pembelaan terhadap keabsahanpenyimpulan menuju penjelasan terbaik ini bersifat sirkular (cir-cular). Kita akan mendasarkan diri pada hipotesis tertentu yangdisimpulkan oleh penyimpulan menuju penjelasan terbaik untukmempertahankan keabsahan penggunaan penyimpulan menujupenjelasan terbaik untuk menyimpulkan hipotesis tertentu yanglain. Namun yang menjadi masalah adalah keabsahan penggunaanpenyimpulan menuju penjelasan terbaik untuk menyimpulkan hi-potesis apa pun. Beberapa pandangan lain tentang konfirmasi selainpenyimpulan menuju penjelasan terbaik perlu dijadikan acuan juga.Dan jika akan muncul pandangan independen, kita harus diberita-hu untuk apa metode penyimpulan menuju penjelasan terbaik itudiperlukan.

Sirkularitas (circularity) juga mengancam penggunaan ilustratifteori pemilihan hipotesis alternatif yang relevan. Teori ini meng-acu pada konteks untuk menentukan hipotesis mana yang rele-van, dan konteks tersebut melibatkan kemungkinan objektif situasitertentu. Sekarang membuat pemilihan seperti itu membutuhkanpengetahuan tentang apa konteksnya. Ia kemudian akan membu-tuhkan pengetahuan kemungkinan objektif dari situasi tersebut.Tapi bagaimana itu bisa dilakukan? Ia tidak akan dilakukan de-ngan penyimpulan menuju penjelasan terbaik, karena klaim tentangkemungkinan objektif harus bisa digunakan sebagai bagian daripenyaringan terhadap hipotesis potensial. (Ancaman sirkularitasini, dan yang terdahulu, terutama menghadapi pandangan Harman[1965] dan Lycan [1998, 128] yang menurutnya “semua penalaranyang terjustifikasi adalah penalaran yang mampu memberikan pen-jelasan secara fundamental yang bertujuan untuk memaksimalkan“koherensi penjelas” dari sistem keyakinan total seseorang.”) Un-tuk menghindari sirkularitas, beberapa metode lain harus tersediauntuk mengetahui kemungkinan objektif dari berbagai klaim. Jika

��� C H R I S D A L Y

Page 260: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

metode seperti itu akan ada, kita mungkin bertanya-tanya apakahmetode tersebut dapat digunakan secara lebih umum dalam meng-erjakan kemungkinan objektif hipotesis, dan karenanya kita harusdiberi tahu mengapa metode penyimpulan menuju penjelasan ter-baik masih diperlukan.

Dalam dua bagian berikutnya kita akan membahas dua studikasus penjelasan filosofis: penyimpulan menuju penjelasan terbaikuntuk teori identitas pikiran-otak, dan penyimpulan menuju penje-lasan terbaik untuk postulasi dunia eksternal.

�.� Studi Kasus: Teori Identitas Pikiran-Otak

Dalam bab 4, §4 kita menelaah teori identitas pikiran-otak. Teori inimenyatakan bahwa setiap sifat mental itu identik dengan bebera-pa sifat fisikal otak. Christopher Hill telah mengacu pada strategipenyimpulan menuju penjelasan terbaik untuk membuat penyim-pulan menuju kebenaran teori ini. Dia berpendapat sebagai berikut(Hill 1991, 23):

(P1) Penyimpulan menuju penjelasan terbaik: “Jika suatu teorimemberikan penjelasan yang baik tentang sekumpulan fakta,dan penjelasan tersebut lebih baik daripada penjelasan yangdiberikan oleh teori pesaingnya, maka seseorang memiliki alas-an yang baik dan cukup untuk percaya bahwa teori tersebutbenar.”

(P2) Klaim kecukupan penjelasan: Teori identitas memberikan pen-jelasan yang baik tentang korelasi satu-satu antara contoh sifatmental dan contoh beberapa sifat fisikal: yaitu, bahwa sifat ter-sebut identik.

(P3) Klaim keunggulan penjelasan: Penjelasan teori identitas lebihunggul dari penjelasan yang diberikan oleh semua teori pesa-ingnya.

(K) Jadi ada alasan yang baik dan cukup untuk memercayai teoriidentitas pikiran-otak.

(P2) menyatakan bahwa korelasi antara contoh-contoh sifat men-

C H R I S D A L Y ���

Page 261: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

tal dan sifat fisikal paling baik dijelaskan dengan hipotesis bahwasifat-sifat tersebut identik. Agak mirip, penjelasan terbaik mengapakorban Cincinnati Strangler selalu merupakan pacar masa lalu FredJones adalah karena Cincinnati Strangler dan Fred Jones merupakanorang yang sama. Berbeda dengan teori identitas, Hill mengklaimbahwa “‘Penjelasan’ dualistik terhadap hukum psikofisikal biasa-nya tak jauh berbeda dari cara eufemistik untuk mengakui bahwahukum tersebut memiliki status primitif yang takterjelaskan” (Hill1991, 25).

Kaum dualis akan membuat beberapa keberatan yang samaterhadap argumen Hill yang berdasarkan pada pertimbangan ke-mampuan memberikan penjelasan seperti keberatan yang merekabuat terhadap argumen yang mendukung teori identitas berdasar-kan Pisau Cukur Ockham. Teori identitas adalah penjelasan terbaiktentang korelasi antara contoh-contoh sifat mental dan sifat fisikalhanya jika mungkin bahwa teori itu benar. Kaum dualis akan meng-angkat masalah sebelumnya secara logis tentang apakah mungkinsifat mental dan sifat fisikal itu identik, dan biasanya mereka akanberpendapat bahwa itu tidak mungkin. Mereka akan berpendapatbahwa sifat mental memiliki ciri-ciri seperti intensionalitas intrin-sik atau kualitas pengalaman yang tidak dapat dimiliki oleh sifatfisikal. Jika argumen itu berhasil, teori identitas tidak bisa menjadipenjelasan terbaik tentang korelasi mental-fisikal karena teori itutidak mungkin benar.

Dengan mengesampingkan tanggapan ini, kita mungkinbertanya-tanya apakah pendukung teori identitas Hill menghadapituduhan yang sama dengan tuduhan yang dia buat terhadap kaumdualis. Kaum dualis dituduh menerima hal primitif tertentu yangtakterjelaskan, yaitu, korelasi mental-fisikal. Tetapi pendukung teoriidentitas menghadapi tuduhan yang sama menerima hal primitiftertentu yang takterjelaskan, yaitu, identitas antara sifat mental dansifat fisikal. Entah identitas ini tidak memiliki penjelasan atau ia me-

��� C H R I S D A L Y

Page 262: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

miliki penjelasan. Jika identitas tersebut tidak memiliki penjelasan,maka tuduhan terhadap pendukung teori identitas tetap berlaku. Ji-ka identitas tersebut memiliki penjelasan, maka tuduhan menerimahal primitif tertentu yang takterjelaskan dapat dibuat sehubungandengan penjelasan mereka, atau sehubungan dengan apa pun yangmenjadi penjelasan terakhir yang diterima oleh teori identitas. Padatahap tertentu pendukung teori identitas akan kehabisan penjelasandan harus menerima hal primitif tertentu yang takterjelaskan. Hillmungkin menjawab bahwa seberapa jauh kamu bisa memperluasserangkaian penjelasan itu penting. Kaum dualis menyerah terlalucepat, dan pendukung teori identitas melakukannya lebih baik de-ngan mengambil penjelasan setidaknya satu tahap lebih lanjut (Rey1998, 5-6).

Wajar untuk menganggap fakta bahwa H1 menjelaskan lebihbanyak daripada H2 itu merupakan salah satu faktor dalam menen-tukan nilai pentingnya, dan akan berkontribusi pada kesimpulanbahwa H1 adalah teori yang lebih baik daripada H2 (yang di da-lamnya “lebih baik daripada” berarti secara keseluruhan lebih baikdaripada, dan tidak hanya berarti pemberi penjelasan yang lebih baikdaripada). Tetapi tidak jelas apakah praktik ilmiah membuktikan halini (van Fraassen 1980, 94–96). Newton dengan sengaja menolakmenjelaskan mengapa gravitasi terjadi. Dia juga dengan sengaja me-nolak untuk menjelaskan mengapa ada enam planet (seperti yangdia dan orang-orang sezamannya itu andaikan ada). Versi teori ku-antum yang diterima secara luas tidak menjelaskan mengapa adakorelasi dalam perilaku partikel yang telah berinteraksi di masalalu. Mungkin satu alasan mengapa tugas menjelaskan fenomenaini dilalaikan adalah karena teori yang tersedia yang akan menje-laskannya tidak akan membuat prediksi baru yang benar (sepertidalam contoh Newtonian), atau teori tersebut secara observasionaltidak akan seakurat teori standar (seperti dalam contoh teori kuan-tum). Hipotesis yang menjelaskan hampir semua hal mungkin saja

C H R I S D A L Y ���

Page 263: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

buruk karena kosong: misalnya, menjelaskan apa pun yang terja-di sebagai kehendak Tuhan. Jika teori filosofis tidak punya tugasuntuk membuat prediksi, tetapi masih punya tugas memberikanpenjelasan, mungkin kendala ini tidak akan berlaku. Jika demikian,prinsip metodologis yang disebutkan di awal paragraf ini dapatlangsung diterapkan pada perselisihan antara teori identitas dandualisme. Namun, pandangan lain menyatakan bahwa penjelasanmerupakan keutamaan teoretik karena ia dapat memberi jalan un-tuk menghasilkan prediksi yang akurat dan luas (van Fraassen 1980,92). Pandangan tersebut bukanlah ancaman bagi status penjelasteori identitas. Teori itu memprediksi, misalnya, penemuan kore-lat neurologis bagi keadaan mental. Namun, pandangan tersebutmenantang status penjelas berbagai teori filosofis yang lain. Baik re-alisme modal maupun Platonisme matematis, misalnya, sama-samatidak membuat prediksi. Jadi klaim teori-teori tersebut sebagai pen-jelasan itu bertentangan dengan pandangan van Fraassen.

Singkatnya, argumen berdasarkan faktor penjelas yang men-dukung teori identitas pikiran-otak itu menghadapi beberapa ke-beratan yang dihadapi argumen kesederhanaan yang mendukungteori itu. Lebih lanjut, argumen tersebut perlu menjawab pertanyaanumum tentang apakah penjelasan yang tidak menghasilkan kekuat-an prediksi tambahan perlu diterima.

�.� Studi Kasus: Hipotesis Dunia Eksternal

Jonathan Vogel berpendapat bahwa strategi penyimpulan menujupenjelasan terbaik dapat menunjukkan bahwa kita memiliki alasanuntuk percaya bahwa kita bukanlah otak di dalam panci dan bahwakita memiliki pengalaman tentang dunia fisikal (Vogel 1990).�� Vogelmenyajikan persoalan dalam kaitannya dengan bagaimana membu-

�� Lihat juga Weintraub (1997, 116-120) dan Feldman (2003, 148-152)

��� C H R I S D A L Y

Page 264: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

at pilihan rasional di antara dua hipotesis yang bersaing. Menuruthipotesis dunia eksternal, kita memiliki pengalaman tentang duniafisikal dan setidaknya banyak dari keyakinan pandangan umumkita tentang seperti apa dunia fisikal itu benar. Menurut hipotesisotak dalam panci, hanya ada otakmu dan komputer yang membe-rinya data. Semua yang kamu alami adalah data, tetapi data itumenipumu dengan memberikan kesan bahwa kamu mengalami du-nia objek fisikal. Untuk setiap objek fisikal yang diajukan ada olehhipotesis dunia eksternal, dan untuk setiap sifat yang dapat diamatidari objek semacam itu, hipotesis otak dalam panci mengajukanadanya objek yang terkait dengan sifat yang terkait. Objek yangterkait itu akan menjadi objek digital: beberapa informasi disimpandalam memori komputer. Sebagai contoh, menurut hipotesis duniaeksternal ada katak di kolam taman. Kemudian, menurut hipote-sis otak dalam panci, program komputer akan menyimpan berkastentang katak di dalam kolam. Demikian pula, untuk setiap sifatfisikal yang diatribusikan oleh hipotesis dunia eksternal kepadakatak, hipotesis otak dalam panci akan mengatribusikan sifat yangterkait, meskipun berbeda, ke berkas tentang katak.

Dengan cara ini, kedua hipotesis tersebut tidak dapat dibedakanoleh pengalaman kita sendiri. Tetapi Vogel berpikir bahwa hipotesistersebut berbeda dalam tingkat kerumitannya. Dia berusaha untukmemperjelas ini dengan berfokus pada masalah sifat lokasi—yaitusifat terletak di tempat tertentu pada waktu tertentu. Hipotesis du-nia eksternal mengatribusikan lokasi dalam ruang dan waktu padaobjek fisikal. Vogel, bersama dengan banyak filsuf lainnya, berpen-dapat bahwa objek fisikal itu diatur oleh prinsip bahwa objek fisikalyang tidak identik itu tidak terletak di tempat yang sama pada wak-tu yang sama. Katak itu ada di dalam kolam. Menurut prinsip ini,katak lain tidak dapat menempati tempat yang sama pada waktuyang sama dengan katak lainnya. Menurut Vogel, prinsip bahwaobjek fisikal dengan jenis yang sama tidak berada di tempat yang

C H R I S D A L Y ���

Page 265: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

sama pada waktu yang sama adalah kebenaran niscaya. “Kita tidakmembutuhkan hukum atau keteraturan empiris untuk menjelas-kan [prinsip] tersebut; ia adalah kebenaran niscaya yang berkaitandengan sifat objek fisikal bahwa tidak mungkin ada dua objek ditempat yang sama pada waktu yang sama” (Vogel 1990, 664). (Prin-sip Vogel masih kontroversial. Benda tiga dimensi seperti patungdan sebongkah perunggu dapat ditempatkan di tempat yang sa-ma pada waktu yang sama. Namun, dapat dikatakan, patung danbongkahan perunggu itu tidak identik karena perunggu tetap adameskipun patung itu dilebur dan perunggu dibentuk menjadi bola.Vogel akan menyangkal objek-objek tersebut merupakan bagiandari jenis yang sama, tetapi apakah itu ad hoc?)

Sekarang jika hipotesis otak dalam panci bermaksud untuk me-nandingi hipotesis dunia eksternal dalam kemampuannya membe-rikan penjelasan, hipotesis pertama harus memiliki prinsip yangsesuai. Perlu ada prinsip yang mengatakan bahwa objek digitalyang tidak identik tidak direpresentasikan memiliki lokasi spasialyang sama pada waktu yang sama. (Program komputer mungkinmerepresentasikan tempat sebuah objek berada dalam ruang danwaktu dengan menetapkan rangkaian koordinat dalam berkasnya.Sebut sifat ini sebagai “lokasi semu” objek). Namun, prinsip inibukanlah kebenaran niscaya. Dalam sifat objek digital atau dalamsifat program komputer, tidak ada yang mengeksklusi program se-perti itu menjadikan objek digital yang tidak identik memiliki lokasisemu yang sama. Oleh karena itu, kata Vogel, hipotesis otak dalampanci harus menganggap prinsip tersebut sebagai “keteraturan em-piris tambahan, yang di dalam [hipotesis dunia eksternal] tidak adaketeraturan tambahan semacam itu” (Vogel 1990, 665). Akibatnya,dengan menambahkan keteraturan empiris semacam itu, hipotesisskeptis ini tidak sesederhana hipotesis dunia eksternal; dan jikaketeraturan tambahan itu dihilangkan, hipotesis skeptis menjadikurang mampu memberikan penjelasan dibandingkan hipotesis

��� C H R I S D A L Y

Page 266: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

pesaingnya. Penyimpulan menuju penjelasan terbaik mengatakanbahwa hipotesis yang lebih mampu memberikan penjelasan daripa-da hipotesis saingannya itu lebih cenderung menjadi hipotesis yangbenar. Kita kemudian diperbolehkan untuk menyimpulkan bahwahipotesis dunia eksternal merupakan hipotesis yang lebih mungkinbenar.

Ernest Sosa berpendapat bahwa pertimbangan berdasarkan ke-mampuan memberikan penjelasan untuk menanggapi skeptisismeterhadap dunia eksternal itu salah. Pendasaran semacam itu meng-klaim bahwa kita dapat mengetahui bahwa ada objek eksternal ka-rena ia memberikan penjelasan terbaik tentang pengalaman indrawikita. Akibatnya, lebih lanjut diklaim bahwa kita tahu bahwa kitatidak sedang bermimpi. Sosa bertanya, “Seberapa masuk akal bah-wa seseorang dapat menemukan bahwa ia tidak bermimpi sebagaihasil sampingan dari penyimpulan semacam itu?” Dia menawarkananalogi berikut:

Bandingkan kasus ketika seseorang mengetahui tentang kecepat-an seseorang saat ini hanya dengan membaca spidometernya.Dan anggaplah pengetahuan ini bergantung sepenuhnya padasebuah penyimpulan menuju penjelasan terbaik dari pembacaanspidometer ke kecepatan sebenarnya. Dengan demikian, dapat-kah seseorang menemukan, dan mengetahui, bahwa spidometerseseorang telah terhubung dengan benar sehingga peka terhadapkecepatannya? Jika seseorang bertanya pada dirinya sendiri apa-kah spidometernya telah terpasang dan beroperasi dengan be-nar, seseorang hampir tidak dapat menyelesaikan masalah itu ha-nya dengan menyimpulkan kecepatan aktual seseorang berdasar-kan pembacaan spidometer, sebagai sebuah penyimpulan menu-ju penjelasan terbaik, sehingga dapat menarik kesimpulan lebihlanjut bahwa alat tersebut memang harus dipasang dan berope-rasi dengan benar. (Sosa 2007, 59)

Dalam bagian ini Sosa menanyakan apakah kita bisa mengeta-hui apakah spidometer dapat diandalkan dengan menyimpulkanbahwa pembacaan spidometer dijelaskan oleh kecepatan kita saat

C H R I S D A L Y ���

Page 267: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

ini. Dia mengklaim bahwa kita tidak bisa, tetapi kita perlu mencaritahu apa alasannya untuk mengklaim ini. Dia mengatakan bahwakita tidak dapat mengetahui bahwa spidometer dapat diandalkanhanya dengan menyimpulkan bahwa pembacaan spidometer di-jelaskan oleh kecepatan kita saat ini. Namun, justru inilah yangmenjadi masalah. Sosa berpikir bahwa penjelasan menuju penjelas-an terbaik itu tidak dapat memberikan pengetahuan dalam kasussaat kita harus bergantung secara eksklusif pada penyimpulan itu.Lawan Sosa percaya bahwa penyimpulan menuju penjelasan terba-ik merupakan sumber pengetahuan, dan bahwa, setidaknya dalambeberapa kasus, penyimpulan tersebut memberi kita pengetahuan(atau setidaknya keyakinan yang terjustifikasi) yang tanpanya tidakakan kita miliki. Sebagai contoh, Vogel berpikir bahwa penyimpulanmenuju penjelasan terbaik adalah sumber pengetahuan kita tentangdunia eksternal, dan kita harus bergantung secara eksklusif padapenyimpulan itu untuk memiliki pengetahuan tersebut. Artinya, diaberpikir bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang kita milikitentang dunia eksternal adalah penyimpulan menuju penjelasan ter-baik dari pengalaman indrawi kita. Jadi Sosa justru mengasumsikanhal yang dipersoalkan dalam debat dengan Vogel.

Dalam mengasumsikan bahwa penyimpulan menuju penjelas-an terbaik itu tidak dapat memberikan pengetahuan dalam kasussaat kita harus bergantung secara eksklusif pada penyimpulan itu,Sosa tampaknya mengasumsikan bahwa penyimpulan menuju pen-jelasan terbaik memberikan pengetahuan bahwa p hanya jika adabeberapa cara independen untuk menemukan apakah p itu benar.Kita dapat membuat penyimpulan menuju penjelasan terbaik daripembacaan spidometer ke kecepatan kita saat ini. Namun, kecua-li jika ada cara untuk mengetahui berapa kecepatan kita saat iniyang tidak bergantung pada penyimpulan tersebut, kita tidak dapatmengetahui berapa kecepatan kita, dan kita tidak dapat mengeta-hui apakah spidometer kita itu dapat diandalkan. Demikian pula,

��� C H R I S D A L Y

Page 268: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

kita dapat membuat penyimpulan menuju penjelasan terbaik daripengalaman indrawi kita ke keberadaan dunia eksternal. Namun,kecuali jika ada cara lain untuk mengetahui apakah dunia eksternalitu ada yang tidak bergantung pada penyimpulan tersebut, kitatidak dapat mengetahui apakah dunia eksternal itu ada.

Ada alasan untuk menolak asumsi bahwa harus ada cara tersen-diri untuk menguji penyimpulan menuju penjelasan terbaik. Parafilsuf sains telah mengakui bahwa beberapa penjelasan dapat mem-buktikan dirinya sendiri (Hempel 1965, 370-74). Di dalam penjelas-an yang membuktikan dirinya sendiri (self-evidencing explana-tion), sebuah teori T menjelaskan fenomena F meskipun F membe-rikan satu-satunya bukti untuk T . Sebagai contoh, hukum Dopplermenghubungkan kemunduran sebuah objek dengan pergeseran-menuju-merah (spektrum khas yang bergeser ke arah merah). Hu-kum tersebut, sehubungan dengan fakta bahwa suatu galaksi mun-dur dari kita pada kecepatan tertentu, menjelaskan fakta bahwagalaksi tersebut menunjukkan pergeseran-menuju-merah. Namunsatu-satunya bukti bahwa galaksi sedang surut pada kecepatan ter-sebut adalah fakta bahwa galaksi tersebut menunjukkan pergeseran-menuju-merah. Secara standar, para filsuf ilmu berpendapat bahwapola penalaran seperti itu bukanlah penalaran yang tidak berhargaatau penalaran yang sirkular secara licik. Ia bukanlah lingkaransetan karena satu hubungan (yaitu, hubungan penjelasan) berlakudi antara eksplanan dan eksplanandum (dalam urutan itu), sedang-kan hubungan yang berbeda (yaitu, hubungan konfirmasi) berlakudi antara eksplanandum dan eksplanan (dalam urutan itu). Ini tidaksia-sia karena satu-satunya cara kita dapat memiliki pengetahuantentang entitas ilmiah yang takteramati adalah melalui penyimpul-an menuju penjelasan terbaik berdasarkan entitas yang teramati,dan (kaum realis ilmiah akan mengklaim) kita memang memilikipengetahuan semacam itu.

Vogel terbuka untuk mengklaim bahwa penyimpulan menuju

C H R I S D A L Y ���

Page 269: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

penjelasan terbaik dari pengalaman indrawi kita ke keberadaan du-nia eksternal itu merupakan penjelasan yang membuktikan dirinyasendiri, dan demikian juga penyimpulan dalam contoh spidome-ter Sosa. Penyimpulan tersebut tidak terpengaruh oleh hal itu jika,seperti yang tampaknya terjadi, penjelasan yang membuktikan di-rinya sendiri itu diterima secara luas dalam praktik ilmiah saat ini.Tentu saja, Sosa mungkin ingin mempermasalahkan kecenderunganini dalam sains, tetapi kemudian dia perlu mengatakan apa yangsecara umum salah dengan penjelasan yang membuktikan dirinyasendiri.

Juga terbuka bagi Vogel untuk mengklaim bahwa kekuatanpersuasif apa pun dalam contoh spidometer Sosa tidak terletak pa-da lingkaran setan yang diandaikan ada dalam kecepatan mobilyang menjelaskan pembacaan spidometer dan pembacaan spidome-ter yang menjadi satu-satunya bukti kecepatan mobil. Sebaliknya,mengingat betapa minimnya contoh yang dijelaskan, tampaknyatidak ada alasan untuk mengklaim bahwa penjelasan terbaik terha-dap pembacaan spidometer adalah karena kecepatan mobil dapatdipantau secara andal. Contoh tersebut tidak memberi tahu kitaapa pun tentang cara kerja spidometer—apakah ia adalah modelyang standar, apakah ia telah rusak, dan sebagainya. Mengingatkekurangan informasi ini, kita mungkin enggan berpikir bahwahipotesis keandalan adalah hipotesis yang jauh lebih baik daripadahipotesis pesaingnya yang terdekat. Namun, dalam kasus masalahdunia eksternal, kita telah melihat Vogel berpandangan bahwa hi-potesis dunia eksternal itu secara nyata lebih sederhana dari, dansetidaknya dalam hal itu lebih baik dari, hipotesis skeptis. (Aneh-nya, Vogel telah menemukan contoh yang mirip dengan Sosa danmengarahkannya melawan reliabilisme dalam epistemologi [Vogel2000, 613]. Contoh Sosa kemudian mungkin berfungsi sebagai adhominem.)

Apa yang penting bagi argumen Vogel adalah klaim bahwa hi-

��� C H R I S D A L Y

Page 270: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

potesis skeptis tidak sesederhana hipotesis dunia eksternal. AlasanVogel untuk klaim ini adalah bahwa hipotesis skeptis mengandai-kan adanya keteraturan empiris meskipun hipotesis dunia eksternaltidak mengandaikan adanya hipotesis yang terkait. Apakah inimenunjukkan bahwa hipotesis skeptis kurang sederhana masihdapat diperdebatkan karena dua alasan. Pertama, menurut Vogel,hipotesis dunia eksternal mengandaikan adanya kebenaran nisca-ya—yaitu, bahwa objek fisikal yang tidak identik dari jenis yangsama tidak menempati lokasi ruang-waktu yang sama—meskipunhipotesis skeptis tidak mengandaikan adanya kebenaran niscayayang terkait. Jadi situasinya tampaknya adalah bahwa hipotesisskeptis mengandaikan adanya keteraturan empiris saat hipotesisdunia eksternal tidak mengandaikan adanya keteraturan empirisyang terkait dengannya, dan hipotesis dunia eksternal mengandai-kan adanya kebenaran niscaya saat hipotesis skeptis tidak meng-andaikan adanya kebenaran niscaya yang terkait dengannya. Tetapikemudian tampak bahwa hipotesis skeptis bukan lagi hipotesisyang kurang sederhana dibandingkan hipotesis dunia eksternal; ke-duanya tampak sebagai hipotesis yang sama-sama sederhana (dansama-sama rumit). Kedua, kita harus mempertimbangkan kemba-li asumsi bahwa hipotesis dunia eksternal tidak mengandaikanadanya keteraturan empiris yang terkait dengan keteraturan em-piris hipotesis skeptis. Menurut Vogel, adalah kebenaran niscayabahwa objek fisikal yang tidak identik dari jenis yang sama tidakmenempati lokasi ruang-waktu yang sama. Tetapi (dugaan) kebe-naran niscaya itu memerlukan generalisasi empiris bahwa objekfisikal yang tidak identik dari jenis yang sama tidak menempatilokasi ruang-waktu yang sama. Jika merupakan kebenaran niscayatentang sifat objek fisikal bahwa objek fisikal dari jenis yang samatidak menempati lokasi yang sama dalam ruang dan waktu, makamerupakan fakta umum yang dapat ditemukan melalui observasibahwa objek fisikal dari jenis yang sama tidak menempati lokasi

C H R I S D A L Y ���

Page 271: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

yang sama dalam ruang dan waktu. Jadi, tidak benar bahwa hi-potesis dunia eksternal tidak memiliki keteraturan empiris yangterkait dengan keteraturan empiris hipotesis skeptis bahwa objekdigital yang tidak identik tidak memiliki lokasi semu yang sama.Argumen Vogel untuk mengklaim bahwa hipotesis dunia eksternallebih sederhana daripada hipotesis skeptis itu tampaknya salah.

Selanjutnya, karena hipotesis dunia eksternal mengandaikanadanya kebenaran niscaya sedangkan hipotesis skeptis tidak meng-andaikan adanya kebenaran niscaya yang terkait dengannya, tam-paknya hipotesis dunia eksternal kurang sederhana dibandingkanhipotesis skeptis. Salah satu versi Pisau Cukur Ockham mengatakanbahwa beberapa keniscayaan tidak boleh berlipat ganda melebihikeniscayaan. (Forrest [2001, 93] menyebut ini sebagai “Pisau CukurHume.”) Hipotesis dunia eksternal mengandaikan adanya sebuahkeniscayaan saat hipotesis skeptis tidak mengandaikannya. Tetapsaja, bahkan jika Vogel mengakui ini, dia mungkin menjawab bahwameskipun hipotesis dunia eksternal kalah dalam hal kesederhana-an, ia memang dalam hal kemampuannya memberikan penjelasan.Karena hipotesis dunia eksternal dapat dijelaskan bahwa tidak adaobjek fisikal yang tidak identik dari jenis yang sama yang beradapada lokasi yang sama dalam ruang dan waktu. Hal ini dijelaskanoleh kebenaran niscaya bahwa tidak ada objek fisikal yang tidakidentik dari jenis yang sama yang berada di lokasi yang sama dalamruang dan waktu. Karena hipotesis skeptis tidak mengandaikankebenaran niscaya yang terkait, ia tidak dapat menjelaskan dengancara ini keteraturan empiris yang terkait. Dan tak satu pun dari ke-teraturan empiris lain yang diandaikan ada oleh hipotesis tersebuttampak mampu menjelaskan keteraturan empiris yang dimaksud.Jadi hipotesis skeptis tidak dapat menjelaskan keteraturan samasekali.

Hipotesis mana (jika ada) yang harus kita terima? Hipotesisyang lebih mampu memberikan penjelasan tetapi kurang seder-

��� C H R I S D A L Y

Page 272: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

hana, atau hipotesis yang lebih sederhana tetapi kurang mampumemberikan penjelasan? Strategi penyimpulan menuju penjelas-an terbaik perlu dilengkapi tidak hanya dengan penjelasan rincitentang masing-masing keutamaan teoretik, tetapi juga dengan pen-jelasan rinci tentang bagaimana membuat pilihan teori rasionaldalam kasus-kasus seperti di atas.��

�.� Kesimpulan

Para filsuf yang berpandangan bahwa ada sesuatu yang disebutpenjelasan filosofis cenderung hanya beranggapan bahwa penjelas-an filosofis itu ada. Mereka tidak berpikir bahwa asumsi merekaperlu diperdebatkan. Bahkan Kant, yang menyebut dirinya sebagaikritikus metafisika rasionalis dan pretensinya dalam memberikanpenjelasan, tampaknya telah berpikir dia menyatakan cara yang te-pat untuk memberikan penjelasan filosofis: kita memersepsi duniasebagai dunia yang mengandung F (sebab dan akibat, substan-si dalam ruang dan waktu, . . . ) karena pikiran kita menstrukturpersepsi kita seperti itu. Bagi Kant, tidak diragukan lagi bahwafilsafat bertugas memberikan penjelasan. Perbedaan utamanya de-ngan lawan-lawan rasionalisnya adalah bahwa dia menganggappenjelasan ini terletak pada kekuatan khusus pikiran. Kant tidakberpikir bahwa kekuatan ini akan ditemukan oleh psikologi empiris.Kekuatan itu adalah domain khusus pengetahuan sintetik apriori.

Tantangan serius terhadap gagasan penjelasan filosofis munculhanya dalam karya Hume, Mach dan kaum positivis logis. Tantang-an tersebut dikaburkan oleh ide-ide yang lebih menonjol dalamkarya mereka—empirisme ketat Hume dan Mach dan teori verifika-sionis positivisme logis tentang makna. Tapi sekadar membantahpandangan ini tidak menjawab tantangan tentang penjelasan. An-

�� Untuk kritik lebih lanjut terhadap penggunaan strategi ini untuk menyelesaikanproblem skeptis, lihat Wright (1985, 68-71), Fumerton (1992), dan Vahid (2001, §2).

C H R I S D A L Y ���

Page 273: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

daikan benar bahwa (berbeda dari pandangan kaum positivis logis)pembicaraan tentang hal-hal yang takteramati itu bisa bermakna.Andaikan juga benar bahwa (berbeda dari pandangan Hume danMach) mungkin ada alasan epistemik untuk memercayai pembica-raan hal-hal seperti itu. Namun, masih ada tantangan bagaimanafilsafat yang mengandaikan adanya hal-hal seperti itu seharusnyamenjelaskan apa pun. Penjelasan macam apa yang terlibat? Bagai-mana cara kerjanya? Ini adalah titik tolak untuk bab ini.

Sebagai penutup, tiga pendekatan terbaru terhadap penjelasanfilosofis penting untuk diperhatikan.

FUNGSIONALISME TENTANG PENJELASAN DAN EKSPLANASIONISME

Untuk banyak jenis hal, pembedaan dapat ditarik antara peran sesu-atu dari jenis tertentu dan apa yang mewujudkan peran itu dalamkasus tertentu. Misalnya, peran kunci adalah untuk mengamankansesuatu dari pembukaan yang tidak diinginkan. Dalam kasus yangberbeda, hal yang berbeda dapat mewujudkan peran kunci. Padapintu gudang peralatan, peran kunci dapat diwujudkan oleh pa-sak yang didorong masuk ke pengait. Sebaliknya, pada brankasuang, peran kunci dapat diwujudkan oleh tombol kombinasi danmekanisme pasak.

Pandangan filosofis yang dikenal sebagai fungsionalisme ten-tang penjelasan membedakan antara peran penjelasan dan apa yangmerealisasikannya.�� Pandangan tersebut membuat dua klaim uta-ma. Pertama, peran penjelasan berkaitan dengan upaya menjawabpertanyaan mengapa. Kedua, peran tersebut dapat diwujudkanoleh berbagai hubungan konsekuensi non-inferensial yang berbeda.Klaim pertama mengatakan bahwa peran penjelasan adalah mem-berikan pemahaman, memberikan pengetahuan tentang mengapa,atau bagaimana bisa, ada p daripada ada q, mengingat ada r. Klaim

�� Pandangan ini didasarkan pada ide-ide yang ada di dalam Jenkins (2006, 2008) danmerupakan pokok bahasan buku monografnya yang akan terbit.

��� C H R I S D A L Y

Page 274: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

kedua mengatakan bahwa dalam kasus yang berbeda, peran ini da-pat ditempati atau diwujudkan oleh relasi yang berbeda. Hubunganini mencakup konsekuensi logis, konsekuensi nomik, konsekuensiprobabilistik, konsekuensi matematis, dan “hubungan konsekuensinon-inferensial” lainnya.

Fungsionalisme tentang penjelasan kemudian dapat dikombi-nasikan dengan pandangan lain yang oleh Carrie Jenkins disebut“eksplanasionisme”: pandangan bahwa pandangan filosofis tentangtopik apa pun harus menjadikan gagasan penjelasan memiliki peransentral dalam pandangan tersebut. Sebut saja pandangan kombinasiini sebagai “proyek”. Proyek tersebut tidak perlu dianggap sebagaistrategi yang berlaku untuk semua. Bagi Jenkins, proyek ini seringkali merupakan strategi yang menjanjikan untuk dicoba di bidangtempat teori kausal atau teori modal (misalnya) telah ditawarkantetapi belum berhasil.

ANALISIS KONSEPTUAL

Pendekatan lain untuk penjelasan filosofis terlihat pada analisis kon-septual. Berdasarkan pendekatan ini, penjelasan filosofis diberikanmelalui deskripsi hubungan konseptual antara konsep eksplanandumdan konsep eksplanan. Ambil beberapa contoh:

Tindakan Abe baik karena tindakan tersebut memaksimalkankebahagiaan.

Beth yakin akan turun hujan karena dia berada dalam keadaanfungsional tertentu.

Adalah mungkin bagi Chuck untuk menghitung sampai sepuluhkarena ada dunia mungkin (yang dapat diakses) tempat Chuckmenghitung sampai sepuluh.

(Kita akan berasumsi bahwa contoh-contoh itu benar. Tidak adayang memengaruhi contoh-contoh khusus ini. Contoh-contoh terse-but digunakan hanya untuk tujuan ilustrasi.) Oleh karena konsep

C H R I S D A L Y ���

Page 275: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

yang ada dalam tindakan Abe yang baik dan dalam tindakan Abeyang memaksimalkan kebahagiaan, tindakan Abe itu baik dan iabaik karena tindakan Abe itu memaksimalkan kebahagiaan. Seca-ra umum, berdasarkan pendekatan ini, penjelasan filosofis adalahanalisis konseptual (yang parsial atau lengkap) (Schnieder 2006,32-33).

PENDASARAN METAFISIK

Pendekatan ketiga melihat ontologi. Berdasarkan pendekatan ini,penjelasan filosofis melibatkan gagasan primitif tentang pendasaranmetafisik (metaphysical grounding). Pendasaran adalah relasi yangada di antara berbagai macam hal. Relasi ini bersifat irrefleksif,asimetris dan transitif. Jenis hal yang lebih fundamental mendasa-ri jenis hal yang kurang fundamental (Schaffer 2009). Perhatikanbahwa pendekatan ini dan pendekatan analisis konseptual tidakmemberikan hasil yang sama. Pertimbangkan tiga contoh berikut:

Gromit adalah seekor anjing karena dia adalah seekor anjingpemburu.

Chris adalah paman Suzie karena dia adalah saudara laki-laki da-ri ibu Suzie.

Jack berada di depan Ginger karena Ginger melangkah di bela-kangnya.

Mari kita akui bahwa kalimat-kalimat di atas benar setidaknyasebagian karena hubungan konseptual antara konsep yang ada da-lam eksplanandum dan eksplanan. Namun, barangkali tidak ada satupun kalimat eksplanan yang menggambarkan jenis hal yang lebihfundamental daripada jenis hal yang digambarkan oleh kalimateksplanandum. Ini seharusnya membuat kita bertanya-tanya apakahfilsuf bekerja dengan satu gagasan penjelasan filosofis dan bahwamereka terlibat dalam upaya berbeda untuk menangkapnya.

��� C H R I S D A L Y

Page 276: pengantar metode- metode filsafat

P E N J E L A S A N

Pertanyaan-pertanyaanuntuk Didiskusikan

1. Dalam §2 kita melihat Nozick menyatakan bahwa masalah filoso-fis memiliki bentuk khusus sebagai berikut:

Mengingat adanya r, bagaimana mungkin ada p daripada q?

Apakah ada cara untuk membantah klaim Nozick? Apakah adacontoh yang berlawanan dengan klaimnya?

2. §3 menekankan perbedaan tertentu antara penjelasan ilmiah danpenjelasan filosofis. Seberapa jelas perbedaan itu? Kita sudah tahubahwa ada beberapa perbedaan antara sains dan filsafat (apakahkeduanya sejenis atau setingkat). Jadi, apakah membuat daftarperbedaan antara penjelasan ilmiah dan penjelasan filosofis itumenambahkan sesuatu? Secara khusus, apakah perbedaan tersebutbenar-benar mendiskreditkan gagasan bahwa ada penjelasanfilosofis?

3. Apakah ada gagasan tunggal tentang penjelasan filosofis? Apakahkesimpulan memberikan banyak alasan untuk berpikir bahwa filsufyang berbeda bekerja dengan pengertian yang berbeda tentangpenjelasan filosofis? Apakah penting jika mereka memang bekerjadengan cara demikian?

Bacaan Pokok untuk Bab �

Armstrong, D.M. (1978) Nominalism and Realism: Universals and Sci-entific Realism Vol. I bab 12.

Friedman, Michael (1981) “Theoretical Explanation”.

C H R I S D A L Y ���

Page 277: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Harman, Gilbert (1965) “The Inference to the Best Explanation.”Kraut, Robert (2001) “Metaphysical Explanation and the Philosophy

of Mathematics: Reflections on Jerrold Katz’s Realistic Rationa-lism.”

Nozick, Robert (1981) Philosophical Explanations bab 1.Oddie, Graham (1982) “Armstrong on the Eleatic Principle and

Abstract Entities.”Swoyer, Chris (1999) “How Ontology Might Be Possible: Explana-

tion and Inference in Metaphysics.”Thagard, Paul R. (1976) “The Best Explanation: Criteria for Theory

Choice.”Vahid, Hamid (2001) “Realism and the Epistemological Significance

of Inference to the Best Explanation.”Vogel, Jonathan (1990) “Cartesian Skepticism and Inference to the

Best Explanation.”

��� C H R I S D A L Y

Page 278: pengantar metode- metode filsafat

�SAINS�

�.� Pendahuluan

D A L A M bab 1 kita membahas peran pandangan umum (commonsense) dalam filsafat karena pandangan umum merupakan sumberbanyak informasi. Sekarang sains juga merupakan sumber banyakinformasi. Seperti pandangan umum, sains menggunakan indra dankekuatan penalaran kita untuk memberikan informasi. Sains jugamenggunakan teknik khusus observasi, penalaran dan pembuatanteori untuk memberikan informasi yang mencolok. Pertimbanganini memunculkan tiga pertanyaan berikut:

(P1) Bagaimana hubungan sains dan filsafat?(P2) Dapatkah bukti ilmiah mendukung, atau meruntuhkan, klaim

filosofis?(P3) Bisakah masalah filosofis diselesaikan dengan teori ilmiah?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan tumpang tindih.(P1) adalah pertanyaan yang paling umum. Semua pihak sepakatbahwa sains dan filsafat bukanlah satu disiplin yang sama. (P1)

� Istilah ‘science’ di sini akan secara bergantian diterjemahkan menjadi ‘sains’ atau‘ilmu’ sebab kedua istilah itu dapat dipertukarkan. Demikian juga dengan istilah‘scientific’ akan diterjemahkan menjadi ‘saintifik’ atau ‘ilmiah’.

Page 279: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

menanyakan apa lagi yang bisa dikatakan tentang sains dan filsa-fat. Apakah sains dan filsafat berbeda jenisnya, atau apakah hanyaberbeda tingkatannya? Apakah sains dan filsafat pada dasarnyaberbeda metode dan tujuannya, atau keduanya memiliki metodedan tujuan yang sama? Sekarang sains menggunakan observasi daneksperimen. (P2) menanyakan apakah bukti yang dikumpulkan de-ngan menggunakan observasi dan eksperimen dapat memberikanmendukung, atau menentang, teori filsafat. Teori filsafat berusahauntuk memecahkan masalah filosofis. (P3) menanyakan apakahteori ilmiah, yaitu teori yang didukung oleh observasi dan ekspe-rimen serta dirancang untuk memecahkan masalah empiris, dapatmemecahkan masalah filosofis.

(P1-3) mungkin memunculkan dua pandangan yang sangat ber-beda. Seperti yang akan kita lihat, kedua pandangan ini berdiri padatitik yang berlawanan pada spektrum pandangan yang mungkin.Penting untuk mempertimbangkan pandangan ekstrem ini terlebihdahulu karena keduanya membantu membingkai perdebatan dankarena keduanya memiliki beberapa pembela terkemuka.

Misalkan kita beranggapan bahwa filsafat membahas masalahsecara fundamental tidak seperti yang dilakukan oleh sains, danbahwa ia menggunakan metode dan prinsip filosofis yang unik un-tuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika kita memiliki pandangansemacam itu tentang filsafat, kita akan cenderung berpikir bahwa ti-dak ada titik temu yang menarik antara sains dan filsafat. Kita akanberpikir bahwa temuan ilmiah tidak ada sangkut pautnya denganteori filsafat apa pun, dan bahwa tidak ada kemungkinan teori ilmi-ah apa pun yang dapat menginformasikan, apalagi menggantikan,teori filsafat apa pun. Menurut pandangan tersebut, filsafat itu oto-nom dari sains: ia memiliki metode, standar, dan tujuan yang tidaksejalan dengan sains. Sebut saja pandangan tersebut sebagai “pan-dangan Otonomi”. Quine menyebutnya sebagai “Filsafat Pertama”karena pandangan tersebut menganggap filsafat harus lebih didahu-

��� C H R I S D A L Y

Page 280: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

lukan, dan lebih fundamental, dari sains (Quine 1981b, 72). Quinemengambil frase “Filsafat Pertama” dari Buku Metafisika AristotelesBagian �, yang di dalamnya Aristoteles mengatakan bahwa Filsa-fat Pertama harus mengidentifikasi prinsip paling mendasar yangdigunakan dalam semua penalaran.

Pandangan Otonomi memiliki sejumlah pendukung selainAristoteles. Dalam paragraf pembuka Meditasi, Descartes menun-jukkan bahwa metode keraguan filosofisnya dirancang untuk mem-berikan dasar bagi pengetahuan ilmiah:

Saya yakin bahwa saya harus dengan sungguh-sungguh berusa-ha untuk melepaskan diri saya dari semua pendapat yang telahsaya terima sebelumnya, dan mulai membangun kembali dari da-sar, jika saya ingin membangun struktur yang kokoh dan tetapdalam sains. (Descartes 1641 Meditasi 1)

Descartes selanjutnya berpendapat bahwa dasar tersebut terdiridari kebenaran yang kebal terhadap keraguan dan terbukti dengansendirinya bagi intelek, terutama Cogito: “Saya berpikir, karena itusaya ada.”

Wittgenstein (1922) membuat pernyataan tegas berikut ini:

4.111 Filsafat bukan salah satu ilmu alam.4.112 Filsafat bertujuan untuk melakukan klarifikasi logis terha-

dap pemikiran ...4.1121 Psikologi tidak lebih terkait erat dengan filsafat daripada

ilmu alam lainnya ....4.1122 Teori Darwin tidak lebih berkaitan dengan filsafat daripa-

da hipotesis lain dalam ilmu alam.

Pada satu tahap dalam karirnya, Russell menggemakan senti-men seperti itu:

[Proposisi filosofis] itu benar di semua dunia mungkin, terlepasdari fakta-fakta yang hanya dapat ditemukan oleh indra kita.

[Proposisi filosofis] harus bersifat apriori. Proposisi filosofis ha-rus sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibuktikan atau di-sangkal oleh bukti empiris. Terlalu sering kita temukan dalam

C H R I S D A L Y ���

Page 281: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

buku-buku filsafat argumen yang didasarkan pada perjalanan se-jarah, atau konvolusi otak, atau mata ikan kerang. Fakta khususdan aksidental semacam ini tidak relevan dengan filsafat, yanghanya harus membuat pernyataan yang sama benarnya bagaima-napun dunia aktual itu dibentuk. (Russell 1918, 107)

Salah satu alasan mengapa Russell menganggap filsafat sebagaisumber pengetahuan apriori adalah karena dia mensyaratkan kla-im filosofis untuk memberikan sudut pandang yang cukup amandan independen untuk mengevaluasi klaim-klaim non-filosofis, dankhususnya klaim ilmiah tertentu. Misalnya, Russell menganggaptugas filsafat adalah untuk menentukan apakah materi itu ada dan,jika memang ada, apa sifatnya (Russell 1911, bab 2 dan 3). Dia jugaberanggapan bahwa pembuatan teori ilmiah itu mengasumsikanadanya keteraturan di alam, dan filsafat diperlukan untuk menjus-tifikasi asumsi itu (Russell 1911, bab 6). Secara umum, pada tahapkarir filsafatnya ini, Russell mensyaratkan filsafat untuk tidak ber-gantung pada, dan secara epistemik mendahului, sains.�

Sebaliknya, andaikan kita menganggap sains dan filsafat ituberkaitan sangat erat. Kita mungkin berpikir bahwa sains dan filsa-fat memiliki metode dan prinsip yang sama, dan bahwa masalahyang ditangani sains dan filsafat itu hanya berbeda dalam tingkatkeumumannya. Ini membuka kemungkinan temuan-temuan ilmiahrelevan dengan pengujian teori-teori filsafat, dan beberapa masalahyang sebelumnya dibahas oleh teori-teori filsafat mungkin lebihbaik jika ditangani oleh teori-teori ilmiah. Dalam karier filsafatnyayang belakangan, Russell mengambil pandangan ini dengan tepat.Mengomentari buku Ryle The Concept of Mind (Ryle 1949), Russellmenulis bahwa

Sikap Profesor Ryle terhadap sains membuat penasaran. Dia pas-ti tahu bahwa para ilmuwan mengatakan hal-hal yang merekayakini relevan dengan masalah yang dia diskusikan, tetapi dia

� Pembela mutakhir pandangan yang serupa adalah Bealer (1987), (1992), (1996).

��� C H R I S D A L Y

Page 282: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

cukup yakin bahwa filsuf tidak perlu memperhatikan sains. Diatampaknya percaya bahwa seorang filsuf tidak perlu mengetahuisesuatu yang ilmiah di luar apa yang diketahui pada zaman ne-nek moyang kita ketika mereka mewarnai diri mereka sendiri de-ngan woad�. Sikap inilah yang memungkinkannya untuk berpikirbahwa filsuf harus memperhatikan cara orang yang takberpen-didikan berbicara dan harus memperlakukan dengan jijik baha-sa rumit orang yang terpelajar .... Banyak masalah filosofis sebe-narnya merupakan pertanyaan ilmiah yang belum siap ditanganioleh sains. Sensasi dan persepsi berada dalam kelompok masalahini, tetapi sekarang, jadi saya harus membantah, masalah sensasidan persepsi itu dapat ditelaah secara ilmiah dan tidak bisa dita-ngani dengan baik oleh siapa pun yang memilih untuk mengaba-ikan apa yang dikatakan sains tentang keduanya. (Russell 1958,8–9)

Berikut adalah dua ilustrasi lain tentang jenis filsafat yang di-kecam oleh Russell. Pertama, psikologi binatang. Beberapa filsufmembuat klaim tentang binatang tanpa bukti empiris sama sekali.Misalnya, Davidson terkenal berpendapat bahwa binatang tidakmemiliki keyakinan atau keinginan, sementara pada saat yang samadia tampak sama sekali mengabaikan literatur psikologis tentangmasalah tersebut (Davidson 1975). Kedua, psikologi moral. Bebera-pa filsuf mengklaim bahwa setiap orang yang sepenuhnya rasionalakan bermoral. Bukti empiris bahwa beberapa psikopat itu sepenuh-nya rasional tetapi acuh tak acuh terhadap moralitas itu memilikipengaruh yang jelas pada tesis ini (Nichols 2002). (Ingat pembahas-an filsafat eksperimental di bab 3, §6.)

Pandangan bahwa metode dan hasil penelitian ilmiah itu ber-harga, atau bahkan sangat diperlukan, bagi filsafat dikenal sebagainaturalisme. Pada akhir abad kedua puluh W.V.O. Quine sangatmemperjuangkan naturalisme, dan pandangannya terus menarikbanyak pengikut dalam filsafat analitik. Dalam bab ini kita akan

� Woad adalah tanaman Eropa yang berbunga-kuning, yang dulu sering digunakansebagai bahan untuk membuat cat berwarna biru—penerj.

C H R I S D A L Y ���

Page 283: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

membahas apa saja yang diandaikan oleh pandangan tersebut danbeberapa argumen yang mendukung atau menentangnya. Untuktujuan ini, bagian selanjutnya akan membahas naturalisme Quine.Kita kemudian akan membahas naturalisme dalam epistemologi(atau dikenal sebagai “epistemologi naturalis”) sebagai studi kasus(§§3 dan 4). Tiga bagian setelah studi kasus ini (§§5–7) akan memba-has berbagai masalah naturalisme dan menilai seberapa baik kaumnaturalis dapat menangani masalah tersebut.

Sebelum menutup bagian ini, ada dua hal yang perlu diper-hatikan. Pertama, tidak ada pandangan tunggal yang dapat di-identifikasi dengan naturalisme. Pada bagian berikut kita akanmempertimbangkan sejumlah pandangan yang secara standar di-klasifikasikan sebagai pernyataan tentang naturalisme. Meskipunpandangan-pandangan ini berbeda kontennya, mereka biasanyadikaitkan dengan sikap pro- dan anti- tertentu. Setiap pandangandikaitkan dengan sikap hormat terhadap klaim sains, dan kecuriga-an terhadap sumber informasi filosofis murni, seperti pengetahuanapriori. Kedua, dan untuk mengulangi satu hal, tesis Otonomi dannaturalisme bukanlah satu-satunya jawaban yang dapat diberikankepada (P1-3). Ada pandangan ketiga tentang peran sains dan filsa-fat yang menengahi tesis Otonomi dan naturalisme, dan kita akanmembahas beberapa pandangan yang paling menjanjikan nanti dibab ini.

�.� Naturalisme Quine

Naturalisme Quine memiliki dua komponen utama. Kita dapatmenyebutnya (1) naturalisme metafisik dan (2) naturalisme meto-dologis.

(1) Naturalisme metafisik adalah pandangan tentang jenis enti-tas apa yang ada. Pandangan ini menyatakan bahwa satu-satunyaentitas yang ada adalah entitas alamiah. Entitas alamiah adalah

��� C H R I S D A L Y

Page 284: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

entitas yang dapat ditelaah oleh ilmu alam (seperti fisika, kimia danbiologi) atau entitas yang keberadaan dan perilakunya ditentukanoleh entitas yang dapat ditelaah oleh ilmu alam. Jadi, sebagai contoh,elektron, asam, dan tata surya adalah entitas alamiah karena masing-masing dapat ditelaah oleh ilmu alam. Begitu juga tabel dan sistemcuaca, karena apakah tabel cuaca dan sistem cuaca itu ada, danbagaimana perilakunya, itu ditentukan oleh perilaku entitas yangdapat ditelaah oleh ilmu alam. Ada beragam penjelasan tentang apaitu relasi determinasi. Hellman dan Thompson (1975) menganggaprelasi determinasi sebagai relasi komposisi: relasi antara berbagaikomponen dengan hal yang ia susun. Filsuf lain menganggapnyasebagai relasi kebertopangan (supervenience relation) (Papineau1993, bab 1). Untuk pandangan Quine sendiri, lihat Quine (1977).Ada juga masalah bagaimana ilmu alam harus dikarakterisasi. Disini ilmu alam hanya dibuat daftarnya. Tetapi bagaimana ilmu-ilmuyang ada dalam daftar itu dikarakterisasi? Jika istilah "fisika", misal-nya, digunakan hanya untuk fisika saat ini, ia tidak akan mencakupbanyak tahapan fisika di masa lalu atau masa depan sebagai fisika.Maka, tampaknya lebih baik untuk menganggap "fisika" berlakupada beberapa versi ideal fisika saat ini (Papineau 1993, bab 1, §10).Poin serupa berlaku untuk setiap ilmu lain yang terdaftar sebagaiilmu alam.

(2) Naturalisme metodologis Quine terdiri dari tiga tesis. Tigatesis tersebut adalah:

(2a) tesis Tidak Ada Filsafat Pertama,(2b) tesis Kesinambungan, dan(2c) tesis Tidak Ada Kebenaran Apriori. (Pembacaan terhadap

Quine ini mengikuti Colyvan [2001, 23–24])

(2a), tesis Tidak Ada Filsafat Pertama, mengatakan bahwa kitaharus meninggalkan Filsafat Pertama dan melihat ke sains untukmenjawab pertanyaan tentang dunia. “[Naturalisme] adalah pe-ngakuan bahwa di dalam sains itu sendirilah, dan bukan di dalam

C H R I S D A L Y ���

Page 285: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

beberapa filsafat sebelum sains, realitas itu harus diidentifikasi dandijelaskan” (Quine 1981, 21).

(2b), tesis Kontinuitas, mengatakan bahwa sains dan filsafatitu berkesinambungan dan filsafat adalah bagian dari usaha ilmi-ah. Argumen Quine untuk kedua tesis ini berasal dari tesis ketiga,(2c), yaitu tesis Tidak Ada Kebenaran Apriori. Tesis ini mengatakanbahwa tidak ada pernyataan yang terjustifikasi secara apriori. Sa-lah satu argumen Quine untuk tesis Tidak Ada Kebenaran Aprioriadalah argumen berdasarkan sejarah sains (Quine 1951, §6). Menu-rut Quine, sejarah sains menunjukkan bahwa setidaknya beberapapernyataan yang telah dianggap mengungkapkan kebenaran nis-caya (khususnya, kebenaran analitik atau "kebenaran berdasarkanmakna") kemudian ditolak karena pertimbangan empiris.

Yang lebih penting, Quine menawarkan penjelasan tentang alas-an sains dalam membuat revisi semacam itu. Keyakinan kita mem-bentuk sebuah sistem yang saling terkait, yaitu “jejaring keyakinan”(“web of belief”). Pengalaman hanya memengaruhi secara langsungkeyakinan yang ada di tepi jejaring ini. Tetapi tidak ada keyakinanyang secara prinsipiil “kebal dari revisi”. Ketika sebuah pengalamanbertentangan dengan sistem keyakinan kita, kita memiliki beberapakeleluasaan untuk menentukan keyakinan mana yang harus direvisiuntuk menyelesaikan pertentangan tersebut. Revisi semacam itudiatur oleh dua ketentuan, yaitu konservatisme dan prinsip keseder-hanaan. Konservatisme berarti bahwa, dengan bukti baru, kita harusmerevisi keyakinan sesedikit mungkin, dan semakin kuat suatu ke-yakinan didukung oleh keseluruhan bukti yang kita miliki, semakinsegan kita untuk merevisi keyakinan tersebut. Prinsip kesederha-naan berarti bahwa kumpulan keyakinan kita harus sesederhanamungkin.

Apa hubungannya ini dengan tesis Tidak Ada Kebenaran Ap-riori? Quine mengasumsikan bahwa jika sebuah pernyataan di-justifikasi secara apriori, maka tidak ada pengalaman yang dapat

��� C H R I S D A L Y

Page 286: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

melemahkan justifikasi itu. Sejarah sains dan penjelasan Quine yangmenyertainya bersama-sama menunjukkan bahwa tidak ada per-nyataan yang kebal terhadap revisi dengan dasar empiris. Quinemenyimpulkan bahwa tidak ada pernyataan yang terjustifikasi se-cara apriori. Pandangan Otonomi mengatakan bahwa filsafat tidakmenggunakan metode empiris sains dan bahwa filsafat menjustifika-si klaim-klaimnya secara apriori. Tetapi karena tidak ada pernyataanyang terjustifikasi secara apriori, pandangan Otonomi itu salah. Inimenetapkan (2a), tesis Tidak Ada Filsafat Pertama. Dan karena tidakada pernyataan yang terjustifikasi secara apriori, data dan metodeyang digunakan oleh filsafat tidak berbeda jenisnya dari yang digu-nakan oleh sains. Ini menetapkan (2b), tesis Kesinambungan, tesisbahwa pengetahuan itu berkesinambungan (Hylton 2007, 11).

Akibatnya, Quine dan pengikutnya membuat klaim seperti beri-kut:

[P]engetahuan, pikiran, dan makna adalah bagian dari duniayang sama yang harus mereka telaah, dan. . . harus ditelaahdalam semangat empiris yang sama yang menjiwai ilmu alam.Tidak ada tempat untuk filsafat apriori. (Quine 1969a, 26)

Metode filsafat yang tepat adalah metode ilmiah yang diterap-kan secara sadar diri pada masalah-masalah yang lebih umumdaripada yang biasanya dibahas dalam ilmu tertentu. [Filsafatadalah] ilmu yang sadar-diri. (Harman 1967, 343)

[Metafisika] sebagian besar merupakan aktivitas klarifikasi kon-septual dalam upaya mencapai pandangan yang paling masukakal tentang alam semesta dalam kerangka sintesis berbagai il-mu. kemasukakalan (plausibility) dalam kerangka keseluruhan il-mu adalah batu uji ahli ontologi. Dalam pandangan ini tentu sajatidak ada garis pemisah yang tegas antara sains dan metafisika.Metafisika adalah akhir dari keseluruhan ilmu yang paling bersi-fat terkaan dan paling menarik secara konseptual .... Klaim onto-logisnya harus diuji dengan kemasukakalan ilmiah yang umum.Sebagian besar kemasukakalan adalah soal koherensi maksimal

C H R I S D A L Y ���

Page 287: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

keyakinan kita dengan pengalaman yang sering kali suka menen-tang: dengan kata lain, keyakinan teoretis tidak hanya harus sa-ling berhubungan satu sama lain, tetapi juga harus sesuai dengankeyakinan yang diturunkan dari pengamatan dan pengalaman.(Smart 1989, 50–51)

Tesis Tidak Ada Filsafat Pertama dan tesis Kesinambungan Qu-ine adalah klaim penting tentang apa itu filsafat dan tentang ba-gaimana filsafat itu harus dikembangkan. Untuk memahami tesistersebut dengan lebih baik, dan untuk mengujinya, ada baiknya kitamempertimbangkan bagaimana jika tesis tersebut diterapkan padabidang filsafat tertentu dan pada masalah yang ditemukan di bidangitu. Quine sendiri memelopori penerapan naturalisme metafisik danmetodologisnya pada epistemologi. Dia menyebut pandangan yangdihasilkan itu sebagai “epistemologi naturalis” (naturalized epistemo-logy). Ahli epistemologi lain telah mengikuti petunjuk Quine danmengembangkan pandangan mereka sendiri tentang epistemologinaturalis. Goldman (1986) dan Kornblith (2002b) adalah dua bukuyang memberikan penjelasan panjang tentang hal itu. Topik episte-mologi naturalis kemudian menjadi studi kasus naturalisme. Studikasus ini akan menjadi fokus bagian selanjutnya.

�.� Studi Kasus: Epistemologi

Secara tradisional epistemologi menetapkan sejumlah tugas. Ia ber-usaha untuk menentukan prinsip-prinsip justifikasi epistemik, danmenjustifikasi prinsip-prinsip itu. Mengingat bahwa prinsip-prinsipitu terjustifikasi, selanjutnya epistemologi berusaha untuk mene-tapkan jenis klaim apa yang dapat kita ketahui atau kita yakinisecara benar. Tugas terakhir ini secara tradisional melibatkan pena-nganan tantangan skeptis terhadap kepemilikan kita akan pengeta-huan atau keyakinan yang terjustifikasi. Saat mengevaluasi penje-lasan tentang epistemologi naturalis, kita perlu mempertimbangkan

��� C H R I S D A L Y

Page 288: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

tugas mana (jika ada) yang ia lakukan dan dalam bentuk apa iamelakukan tugas tersebut.

Proyek Quine tentang epistemologi naturalis memiliki kom-ponen negatif dan positif. Komponen negatifnya adalah tentangbagaimana epistemologi dikembangkan hingga saat ini. Kompo-nen positifnya adalah tentang bagaimana seharusnya epistemologidikembangkan. Kita akan bahas komponen ini secara bergantian.

Menurut Quine, epistemologi tradisional mensyaratkan bahwapengetahuan memiliki fondasi. Fondasi ini diandaikan berupa ke-yakinan yang terjustifikasi tetapi tidak terjustifikasi oleh keyakinanyang lain. Epistemologi tradisional mengeksplorasi keyakinan ma-na yang menjadi fondasi dalam pengertian ini. Pandangan tentangkeyakinan mana yang dianggap sebagai keyakinan fondasionalitu mencakup keyakinan perseptual tertentu dan keyakinan ten-tang pengalaman seseorang saat ini. Epistemologi tradisional jugamensyaratkan adanya prinsip epistemik tertentu yang menunjuk-kan bagaimana justifikasi itu dapat ditransmisikan dari keyakinanfondasional ke keyakinan lain. Keyakinan non-fondasional harusdijustifikasi dengan diturunkan dari keyakinan fondasional melaluiprinsip-prinsip epistemik ini. Epistemologi tradisional kemudianberusaha untuk menunjukkan bagaimana semua dan hanya keya-kinan yang terjustifikasi yang termasuk dalam struktur seperti yangdijelaskan. Keyakinan ini bisa berupa keyakinan fondasional, ataukeyakinan yang secara tepat dihubungkan dengan keyakinan fon-dasional oleh prinsip epistemik. Tujuan epistemologi tradisionaladalah untuk menunjukkan apa itu keyakinan yang terjustifikasi,keyakinan mana yang dianggap terjustifikasi karena berada dalamstruktur fondasional, dan bagaimana mengembangkan kumpulankeyakinan kita—keyakinan mana yang harus dipertahankan dankeyakinan mana yang harus direvisi. Tantangan khusus untuk pro-yek ahli epistemologi tradisional diajukan oleh skeptisisme tentangjustifikasi: pandangan bahwa hanya sedikit, jika ada, keyakinan

C H R I S D A L Y ���

Page 289: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

kita yang terjustifikasi. Epistemologi tradisional berusaha untukmembantah skeptisisme ini. Quine beranggapan bahwa proyekepistemologi tradisional itu bermula dari Descartes (1641) hinggasetidaknya Carnap (1928). (Namun, kita tidak boleh mengabaikanperbedaan utama di antara epistemologi filsuf seperti Descartes danCarnap. Carnap menganggap pengalaman perseptual sebagai salahsatu fondasi pengetahuan. Descartes tidak. Seperti disebutkan diatas, fondasi pengetahuan bagi Descartes hanya terdiri dari apayang dia anngap sebagi kebenaran yang kebal terhadap keraguandan terbukti dengan sendirinya terhadap intelek.)

Komponen negatif dari epistemologi naturalis Quine adalah kla-im bahwa epistemologi tradisional merupakan program penelitianyang gagal. Tidak ada keyakinan yang memenuhi syarat sebagaifondasi dalam arti itu, dan tidak ada prinsip epistemik yang me-nunjukkan bagaimana semua keyakinan lainnya yang terjustifikasidapat diturunkan dari calon keyakinan fondasional biasa. Quinetidak menawarkan argumen pendukung untuk klaim tersebut. Padasaat penulisan, dia mungkin berpikir bahwa argumen pendukungtidak perlu diberikan dan pelajaran anti-fondasionalis telah dipela-jari oleh para filsuf. Apapun pemikiran Quine, proyek fondasionalistidak boleh diabaikan begitu saja. Keyakinan fondasional hanyaperlu menjadi keyakinan yang terjustifikasi yang tidak terjustifikasioleh keyakinan lain; itu tidak perlu takteragukan (kebal terhadapkeraguan) atau takterkoreksi (kebal terhadap kesalahan). Kritik ter-hadap fondasionalisme dengan alasan bahwa tidak ada keyakinanyang memiliki ciri-ciri yang terakhir itu salah arah (Alston 1976).Lebih lanjut, fondasionalisme tidak perlu mengharuskan keyakinannon-fondasional terjustifikasi hanya jika ia dapat diturunkan darikeyakinan fondasional. Fondasionalisme dapat memungkinkan hu-bungan evidensial yang lebih lemah antara keyakinan fondasionaldan keyakinan non-fondasional.

Namun, perhatian utama kita tertuju pada komponen positif

��� C H R I S D A L Y

Page 290: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

dari epistemologi naturalis Quine. Mari kita bahas itu. Komponenini terdiri dari sebuah alternatif terhadap proyek fondasionalis. Se-telah meninggalkan tujuan untuk memberikan dasar bagi sains danpandangan umum, Quine menulis bahwa:

. . . epistemologi masih berlangsung, meskipun dalam kerang-ka baru dan status yang lebih jelas. Epistemologi, atau yang se-macamnya, termasuk salah satu cabang psikologi dan karena-nya merupakan bagian dari ilmu alam. Ia mempelajari fenomenaalam, yaitu subjek manusia fisikal. Subjek manusia ini diberi po-la iradiasi masukan tertentu yang dikontrol secara eksperimentaldalam berbagai frekuensi, misalnya, dan dalam waktu yang cu-kup lama subjek tersebut memberikan keluaran berupa deskripsitentang dunia eksternal tiga dimensi dan sejarahnya. Hubunganantara masukan yang sedikit dan keluaran yang banyak itu ada-lah hubungan yang harus kita pelajari karena alasan yang agaksama yang selalu mendorong epistemologi; yaitu, untuk melihatbagaimana bukti terkait dengan teori, dan dengan cara apa teoriseseorang tentang alam itu melampaui bukti yang tersedia. (Qui-ne 1969b, 82–83)

Dalam kutipan di atas, Quine membuat rekomendasi tentangarah yang harus diambil oleh epistemologi. Tapi apa yang Quinerekomendasikan adalah masalah yang diperdebatkan. Satu pemba-caan umum menganggap Quine merekomendasikan penggantianepistemologi dengan psikologi. Secara khusus, Quine dianggapmerekomendasikan agar kita mempelajari proses psikologis yangmendasari bagaimana pengalaman kita menyebabkan keyakinankita, dan agar kita mengabaikan masalah evaluatif tentang apakahpengalaman ini memberikan bukti untuk keyakinan tersebut. Alih-alih mempelajari apakah pengalaman kita mendukung keyakinankita, kita hanya mempelajari bagaimana pengalaman kita memun-culkan keyakinan kita. Masalah epistemologi tradisional tentangrasionalitas dan justifikasi dengan demikian dikesampingkan.� Na-

� Pembacaan ini di antaranya didukung oleh Stroud (1984, bab 6), Kim (1988, 390),Kitcher (1992), dan Feldman (1998, 4-5, 23).

C H R I S D A L Y ���

Page 291: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

mun demikian, diragukan apakah ini adalah pembacaan yang aku-rat terhadap pandangan Quine. Quine sendiri menolak pembacaantersebut (Quine 1990, 19-21), dan pada waktu yang hampir bersa-maan dengan saat ia menulis makalah “Epistemology Naturalized”,Quine ikut menulis buku yang secara eksplisit merupakan bukutentang epistemologi normatif (Quine dan Ullian 1970).�

Alih-alih menganggap Quine sebagai pendukung tesis bahwapsikologi harus menggantikan epistemologi, kita mungkin lebihberguna menganggapnya sebagai pendukung relevansi psikologidengan epistemologi. Komponen positif dari epistemologi naturalisQuine itu memiliki dua ciri. Pertama, ada klaim bahwa epistemologidapat dan harus menggunakan hasil empiris dari teori ilmiah terba-ik yang kita miliki, dan, khususnya, apa yang telah dikatakan teoripsikologi tentang bagaimana keyakinan kita itu muncul. Sepertiyang dikatakan Alvin Goldman:

Dalam menelaah dan mengkritik prosedur kognitif kita, kita ha-rus menggunakan kekuatan dan prosedur apa pun yang sebelum-nya kita miliki dan terima. Tidak ada "mulai dari awal". . . . (Gold-man 1978, 522)

Ciri kedua komponen positif epistemologi naturalis Quine adalahbahwa masalah skeptis muncul dari dalam sains:

. . . tantangan skeptis muncul dari sains itu sendiri, dan da-lam mengatasinya kita bebas menggunakan pengetahuan ilmiah.(Quine 1974, 3)

Kornblith setuju:

Karena sains menunjukkan kepada kita bagaimana berbagai as-pek pendapat pandangan umum kita tentang dunia mungkin sa-lah, kita mengajukan pertanyaan apakah kita mungkin sepenuh-nya salah dalam cara kita memandang dunia. Tetapi karena per-tanyaan ini muncul dari dalam sains, maka sangat tepat untuk

� Lebih banyak tentang bagaimana sebaiknya membaca karya Quine tentang episte-mologi naturalis dan tempat normativitas di dalamnya, lihat Haack (1993), Foley(1994), Roth (1999), Hylton (2007, 84), dan Gregory (2008).

��� C H R I S D A L Y

Page 292: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

memanfaatkan sumber-sumber (misalnya) dari sains untuk men-jawabnya. (Kornblith 1995, 240-41)

Kami akan memeriksa dua ciri komponen positif epistemologinaturalis Quine ini di dua bagian berikutnya.

�.� Teori Psikologi dan Epistemologi

Menurut Quine, epistemologi itu “menelaah fenomena alamiah,”yaitu, pengetahuan kita, dan fakta atau metode sains apa pun yangtampaknya relevan dengan kajiannya dapat dijadikan acuan (Qu-ine 1969b, 82). Demikian pula, menurut Kornblith, pengetahuanadalah jenis alamiah (natural kind), dan, seperti jenis alamiah yanglain, kita harus menyelidikinya dengan menggunakan metode em-piris (Kornblith 1994b, 48-49). Filsuf lain mengungkapkan sentimenserupa:

Bagaimana mungkin kapasitas dan keterbatasan psikologis danbiologis kita tidak relevan dengan kajian tentang pengetahuanmanusia? (Kitcher 1992, 58)

Dengan demikian, diperlukan perpaduan antara filsafat danpsikologi untuk menghasilkan prinsip-prinsip keterjustifikasian(justifiedness) yang dapat diterima. (Goldman 1994b, 314)

Ada dua pandangan yang bisa dibedakan. Satu pandangan bisadisebut psikologisme. Ini adalah pandangan bahwa teori epistemo-logi harus, antara lain, berkaitan dengan proses psikologis yangmenyebabkan keyakinan kita. Secara khusus, pandangan tersebutmengklaim bahwa keyakinan itu terjustifikasi berdasarkan prosespsikologis yang menghasilkannya. Pandangan lain adalah epistemo-logi naturalis, yaitu pandangan bahwa menggunakan metode ilmualam dalam epistemologi itu merupakan sesuatu yang tepat dandisarankan. Sangat menggoda untuk beranggapan bahwa psikolo-gisme itu menyiratkan epistemologi naturalis, tetapi kesimpulan itu

C H R I S D A L Y ���

Page 293: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

dipertanyakan. Psikologisme tampaknya tidak menyiratkan bahwadata psikologis yang empiris dapat atau harus digunakan untukmendukung teori epistemologi. Alhasil, psikologi tampak konsistendengan pandangan bahwa proses psikologis tersebut harus diselidi-ki dengan metode apriori. Berdasarkan pandangan terakhir ini, caraseseorang memperoleh, mengintegrasikan, dan mempertahankanpengetahuan itu harus diselidiki dengan menggunakan metode ap-riori. Kombinasi psikologisme dengan apriorisme ini dipertahankanoleh Anne Bezuidenhout:

Bahkan jika penyelidikan epistemologis kita harus fokus padaproses psikologis, mungkin tidak ada pengertian yang menarikatau substantif saat penyelidikan terhadap proses ini dibatasi olehpenyelidikan psikologis yang empiris terhadap proses tersebut.(Bezuidenhout 1996, 753)

Sebuah poin tentang peristilahan: Pandangan yang di sini dise-but “psikologisme”—kajian tentang proses psikologis yang menye-babkan keyakinan—oleh Goldman disebut “naturalisme substantif”,dan dia membedakannya dari naturalisme metodologis (Goldman1994b, 302). Berdasarkan pilihan peristilahan Goldman, pandangankeseluruhan Bezuidenhout menerima naturalisme substantif tetapimenolak naturalisme metodologis.

Sangat menggoda untuk berpikir bahwa psikologi empiris harusberperan dalam epistemologi karena penting bagi ahli epistemologiuntuk mengetahui kemampuan dan keterbatasan psikologis manu-sia. Namun, itu adalah alasan yang meragukan. Dengan cara yangsama, penting bagi ahli epistemologi untuk mengetahui kemampu-an dan keterbatasan fisik manusia—seberapa lama mereka dapatbertahan hidup tanpa tidur atau makan. Namun tampaknya sedikitalasan untuk berpikir bahwa ilmu kedokteran harus memainkanperan substantif dalam epistemologi (Bezuidenhout 1996, 754).

Pandangan bahwa proses psikologis dapat diselidiki denganmetode apriori mungkin tampak sebagai pandangan yang takpro-

��� C H R I S D A L Y

Page 294: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

duktif. Bukankah Quine telah menunjukkan bahwa tidak ada keya-kinan yang kebal dari revisi dengan dasar empiris? Ada dua carauntuk menjustifikasi sebuah keyakinan. Salah satu caranya bersifatholistik: cara ini mengacu pada seluruh sistem keyakinan, dan pa-da kesederhanaan serta kemampuan sistem tersebut memberikanpenjelasan. Cara lainnya bersifat lokal: cara ini mengacu pada sub-himpunan keyakinan kita dan praktik penyimpulan tertentu. Quinemenulis seolah-olah justifikasi selalu bersifat holistik:

keyakinan kita menghadapi pengadilan pengalaman hanya seba-gai kumpulan keyakinan. (Quine 1951b, 41)

Namun, metode justifikasi yang bersifat lokal dan holistik tidaksaling mengeksklusi. Jadi, klaim Quine bahwa keyakinan itu diu-ji oleh pengalaman hanya sebagai kumpulan keyakinan itu tidakberdasar (Rey 2004, 228). Selain itu, metode justifikasi yang bersifatholistik dapat menunjukkan bahwa teori yang paling terkonfirma-si adalah teori yang mengatakan bahwa di antara bentuk-bentukjustifikasi yang bersifat lokal itu ada bentuk justifikasi apriori. Meng-ingat justifikasi holistik terhadap klaim bahwa ada justifikasi apriori,kita kemudian dapat mulai mengidentifikasi klaim spesifik manayang terjustifikasi secara apriori (Rey 2004, 237).

Selanjutnya, anggaplah Quine telah menunjukkan bahwa tidakada keyakinan yang kebal terhadap revisi dengan dasar empiris.Hasil tersebut akan menunjukkan bahwa tidak ada keyakinan yangterjustifikasi secara apriori hanya dengan asumsi bahwa keyakinanyang terjustifikasi secara apriori akan membuatnya kebal terha-dap bukti-tandingan empiris. Beberapa pembela kebenaran apri-ori menolak asumsi tersebut.� Lebih lanjut, beberapa filsuf telahmengemukakan teori justifikasi apriori yang dimaksudkan untukmembuatnya diterima secara naturalistik.� Menurut pandangan

� Rey (1998, 39), dan Casullo (2003, bab 2 dan 5).� Rey (1996, §6), (1998), (2004, 238-239); Goldman (1999), dan Antony (2004).

C H R I S D A L Y ���

Page 295: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

epistemologis yang dikenal sebagai reliabilisme, apakah cara ter-tentu dalam membentuk keyakinan membuat keyakinan tersebutterjustifikasi itu bergantung pada apakah cara itu terpercaya, apa-kah cara itu lebih cenderung menghasilkan keyakinan yang benardaripada yang salah. Rey, Goldman, dan Antony masing-masingmenyarankan bahwa keyakinan itu terjustifikasi secara apriori jikacara pembentukannya dapat terpercaya dan tidak memiliki masuk-an apa pun dari indra. Andaikan, misalnya, pikiran kita memilikimodul penalaran yang membuat kita meyakini teorema kalkulusproposisional tanpa memerlukan masukan apa pun dari indra. Ke-yakinan kita pada teorema semacam itu akan terjustifikasi karenakeyakinan tersebut diproduksi oleh proses yang terpercaya, dankeyakinan tersebut akan terjustifikasi secara apriori karena indratidak terlibat dalam memproduksinya.

Rey berpendapat bahwa, berdasarkan pandangan di atas, seseo-rang dapat mengetahui secara apriori bahwa p tanpa mengetahuibahwa dia mengetahui secara apriori bahwa p (Rey 1994, 92; 1998,36; dan 2004, 237–38). Apakah seseorang mengetahui secara aprioribahwa p itu tergantung pada keterpercayaan proses yang mengha-silkan keyakinannya dan pada proses yang tidak membutuhkandata apa pun dari indra dalam menghasilkan keyakinan itu. Orangyang bersangkutan tidak perlu memiliki keyakinan apa pun, dan,karenanya, pengetahuan apa pun, tentang apakah kondisi terse-but terpenuhi. Oleh karena itu, Rey dan Kornblith masing-masingberanggapan bahwa:

apakah ada pengetahuan apriori atau tidak itu merupakanmasalah empiris. (Rey 1998, 25)

. . . klaim bahwa kita memiliki pengetahuan apriori itu sendi-ri merupakan klaim empiris. Apakah kita harus percaya bahwapengetahuan apriori semacam ini benar-benar ada perlu ditentu-kan oleh penelitian eksperimental. (Kornblith 2007, §5)

��� C H R I S D A L Y

Page 296: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

Saya ragu apakah klaim-klaim ini memiliki konsekuensi logis.Poin asli Rey adalah bahwa:

(1) x mengetahui secara apriori bahwa p

tidak meniscayakan bahwa:

(2) x mengetahui bahwa x mengetahui secara apriori bahwa p.

Namun, poin asli Rey tidak meniscayakan bahwa:

(3) x mengetahui secara apriori bahwa p

meniscayakan bahwa:

(4) x tidak mengetahui secara apriori bahwa x mengetahui secaraapriori bahwa p.

Poin asli Rey tetap terbuka apakah ada yang tahu secara aprioribahwa mereka tahu secara apriori bahwa proposisi tertentu benar.Berdasarkan penjelasannya tentang justifikasi apriori, x mengetahuisecara apriori bahwa p jika keyakinan x bahwa p itu diproduksioleh metode yang terpercaya dan tidak ada masukan dari indrayang diperlukan agar keyakinan tersebut dapat diproduksi. Penje-lasan ini memungkinkan seseorang dapat mengetahui secara aprioribahwa dia mengetahui proposisi tertentu secara apriori asalkan pro-ses dia membentuk keyakinan bahwa dia mengetahui proposisitertentu secara apriori itu terpercaya dan tidak memerlukan ma-sukan dari indra untuk menghasilkan keyakinan tersebut. Karenapenjelasan itu memungkinkan orang dapat memiliki pengetahuanapriori tingkat tinggi, penjelasan tersebut tidak berkomitmen untukmengklaim bahwa keberadaan pengetahuan apriori “perlu ditentu-kan oleh penelitian eksperimental”. (Rey [2005b, 480] menyatakanbahwa penjelasannya memungkinkan pengetahuan apriori tingkattinggi seperti itu. Poin kuncinya adalah bahwa x mengetahui secaraapriori bahwa p itu kompatibel dengan fakta bahwa x mengetahuisecara apriori bahwa p itu hanya dapat diketahui secara aposteriori.)

C H R I S D A L Y ���

Page 297: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Rey menganggap penjelasan naturalistiknya tentang kebenaranapriori itu menantang asumsi bahwa “jika ada pengetahuan apriori,keberadaannya sebagai pengetahuan apriori harus siap untuk diten-tukan baik oleh introspeksi atau uji perilaku.” Dia mengatribusikanasumsi ini pada “Quine dan sekaligus penentangnya dari kalanganRasionalis tradisional” (Rey 2004, 228). Di sini Rey mengasumsikanbahwa, jika ada bukti pendukung untuk pengetahuan apriori, ma-ka bukti pendukung untuk pengetahuan apriori itu dapat denganmudah ditetapkan oleh introspeksi atau oleh uji perilaku. Namunsangat diragukan apakah ada yang membuat asumsi tersebut. Rasio-nalis seperti Leibniz dan Spinoza berpikir bahwa beberapa proposisiyang mereka ketahui secara apriori—bahwa entitas fundamentaladalah substansi mental yang sederhana (Leibniz), atau bahwa Tu-han dan alam adalah identik (Spinoza)—sama sekali tidak mudahditetapkan. Kritikus Leibniz dan Spinoza tidak menolak klaim me-reka atas pengetahuan apriori dengan dasar (dalam ungkapan Rey)“permukaan introspektif atau perilaku dari kehidupan kita.” Kantberpikir bahwa tidak kurang dari 600 halaman Critique of Pure Rea-son-nya dibutuhkan untuk meluruskannya.

Salah satu konsekuensi menarik dari penjelasan naturalistikterhadap kebenaran apriori di atas adalah bahwa mungkin ada buk-ti pendukung pengetahuan apriori tentang kebenaran kontingen.Bahwa kamu ada itu kontingen. Jadi, bahwa kamu ada dan tahusegalanya itu kontingen. Misalkan kamu mengetahui secara aprioribahwa p. Jika kamu tidak pernah ada, kamu tidak akan tahu secaraapriori bahwa p. Oleh karena itu, bahwa kamu mengetahui secaraapriori bahwa p, itu kontingen. (Apa yang mungkin niscaya adalahbahwa jika kamu mengetahui bahwa p, kamu mengetahui secaraapriori bahwa p.) Catatan di atas memungkinkan kamu mengetahuisecara apriori bahwa kamu mengetahui secara apriori bahwa p. Jikaitu mungkin, itu berarti kamu mungkin mengetahui secara apriorikebenaran kontingen.

��� C H R I S D A L Y

Page 298: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

Singkatnya, pandangan Bezuidenhout bahwa epistemologi da-pat menyelidiki proses psikologis hanya dengan menggunakanmetode apriori tampaknya dapat dipertahankan. Oleh karena itu,klaim bahwa teori epistemologi harus berkaitan dengan proses psi-kologis yang menyebabkan keyakinan kita itu tidak menyiratkanklaim epistemologi naturalis bahwa menggunakan metode ilmualam dalam epistemologi itu tepat dan disarankan.

Berikut adalah alasan lain untuk mempertanyakan apakah adaimplikasi seperti itu. Pembahasan sejauh ini telah berbicara tentanginformasi empiris dan informasi ilmiah seolah-olah istilah yangdigunakan dapat dipertukarkan. Padahal sebenarnya tidak. Infor-masi ilmiah adalah jenis informasi empiris yang khusus dan bersifatteknis, dan ada jenis informasi empiris lain yang tidak terspesialisa-si dan non-teknis. Ia adalah informasi empiris pandangan umum(common sense). Informasi ini tersedia secara gratis bagi para filsufuntuk digunakan dalam teori epistemologi mereka. Kemudian tidakjelas apakah informasi empiris khusus teori psikologi itu diperlukandalam epistemologi. Untuk mengambil satu contoh saja, Goldmanmengacu pada hasil empiris eksperimen dalam psikologi yang me-nunjukkan bahwa pengenalan objek visual lebih dapat diandalkandalam beberapa keadaan daripada yang lain (Goldman 1994b, 304-06). Tetapi kesimpulan yang sama telah ditarik oleh pandanganumum. Pandangan umum mengatakan bahwa kita melihat sesuatudengan lebih baik dalam beberapa kondisi daripada yang lain—kitamelihat dengan baik di siang hari bolong dan melihat dengan bu-ruk dalam gelap. Sekali lagi, pandangan umum memberitahu kitabahwa orang terkadang bernalar berdasarkan sampel yang terlalusedikit, bahwa alasan mereka terbuka untuk bias dan angan-angan,dan sebagainya. Mengutip hasil psikologi kognitif hanya memberi-tahu kita sesuatu yang sudah kita ketahui, setidaknya secara garisbesar (Feldman 1998, 16-18 dan 2002, 175-76). Apa yang dikatakanpsikologi kognitif kepada kita adalah seberapa luas penalaran bu-

C H R I S D A L Y ���

Page 299: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

ruk tersebut, apa bentuknya yang membuat kita sangat rentan, danmengapa.�

Keberatan di atas terhadap epistemologi naturalis berkaitan de-ngan relevansi informasi ilmiah dengan epistemologi. Keberatanini memberikan kekuatan pada dilema berikut untuk epistemologinaturalis (Feldman 1998, 8-10 dan 2002, 171-72). Dilemanya ada-lah bahwa epistemologi naturalis itu benar tetapi trivial, atau tidaktrivial tetapi tampaknya salah. Dilema ini muncul dengan menga-jukan pertanyaan berikut: Seberapa luas seharusnya epistemologidipahami?

Andaikan bahwa epistemologi dipahami secara luas, sehinggaia dipahami sebagai kajian tentang pengetahuan manusia. Kajian se-perti itu akan sangat luas. Ia akan mencakup “kajian sejarah tentangapa yang orang ketahui, kapan dan bagaimana pengetahuan telahtumbuh (atau hilang) dari waktu ke waktu, kajian dalam ilmu saraftentang cara otak memproses informasi, kajian psikologis tentangproses kognitif yang terlibat dalam pembentukan keyakinan, kajiansosiologis tentang cara pengetahuan disebarkan dalam masyarakat,dan seterusnya” (Feldman 1998, 8). Nah, jika epistemologi dipahamibegitu, maka informasi ilmiah dan informasi empiris lainnya rele-van dengan epistemologi. Memang, informasi semacam itu akanmenjadi penting untuk epistemologi, dan mungkin tidak ada yangakan membantah sebaliknya. Tetapi jika ini adalah pemahamantentang epistemologi yang digunakan oleh epistemologi naturalis,maka epistemologi naturalis itu dapat diterima dan benar secaratrivial.

Alternatifnya, jika epistemologi dipahami lebih sempit, sehing-ga hanya berkaitan dengan pertanyaan filosofis tentang pengetahu-an dan justifikasi, epistemologi memiliki ruang lingkup yang lebihkecil daripada kajian tentang pengetahuan manusia. Namun, klaim

� Lihat hasil empiris yang dikumpulkan di dalam Kahneman, Slovic dan Tversky(1982).

��� C H R I S D A L Y

Page 300: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

bahwa informasi ilmiah relevan dengan epistemologi seperti yangdipahami epistemologi naturalis itu jadi sangat tidak jelas.

�.� Sains dan Skeptisisme

Di akhir §3 kita mengidentifikasi dua ciri komponen positif epis-temologi naturalis Quine. Salah satu cirinya adalah relevansi datapsikologis dengan epistemologi. Kita memeriksa klaim itu di bagi-an sebelumnya. Ciri lainnya adalah klaim bahwa masalah skeptismuncul dari dalam sains. Mengutip Kornblith lagi:

Karena sains menunjukkan kepada kita bagaimana berbagai as-pek pendapat pandangan umum kita tentang dunia mungkin sa-lah, kita mengajukan pertanyaan apakah kita mungkin sepenuh-nya salah dalam cara kita memandang dunia. Tetapi karena per-tanyaan ini muncul dari dalam sains, sangat tepat untuk menggu-nakan sumber-sumber (misalnya) dari sains untuk menjawabnya.(Kornblith 1995, 240–41)

Mark Colyvan menggemakan pandangan ini:

Jika skeptisisme berasal dari dalam sains, maka masuk akal jikaahli epistemologi terjustifikasi dalam menggunakan bagian sainsapa pun yang mereka butuhkan untuk memerangi skeptisisme.(Colyvan 2001, 26)

Bagian ini akan memeriksa ciri kedua kontribusi positif Quineterhadap epistemologi.

Quine tampaknya benar tentang titik mula filsafat. Kita mulaiberfilsafat dengan banyak keyakinan. Pada waktu tertentu, hanyasebagian dari keyakinan tersebut yang dapat dievaluasi dan direvi-si. Evaluasi dan revisi terhadap beberapa keyakinan mensyaratkankeyakinan lain digunakan dalam melakukan evaluasi dan revisi.Selama proses evaluasi itu, keyakinan lain itu sendiri tidak akandievaluasi. Quine mengacu pada metafora Neurath yang menyebutkeyakinan kita itu seperti papan yang menyusun perahu (Quine

C H R I S D A L Y ���

Page 301: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

1960, 3). Saat berada di laut, saat menggunakan keyakinan kita un-tuk mengelilingi seluruh dunia, kita tidak dapat mengganti semuapapan itu sekaligus. Tetapi kita dapat menggantinya sedikit demisedikit dan dengan demikian secara bertahap meningkatkan ke-layakan kapal kita. Selanjutnya, di antara keyakinan tersebut adakeyakinan kita tentang epistemologi. Ini termasuk keyakinan kitatentang apa yang membuat keyakinan itu terjustifikasi atau menjadipengetahuan, dan tentang keyakinan mana yang memiliki statussebagai keyakinan yang terjustifikasi.

Atas dasar ini, Quine menolak proyek epistemologi tradisionalyang memberikan justifikasi bagi sains dari sudut pandang di luarsains. Dia mengklaim bahwa justifikasi untuk sains harus diberikandari dalam sains (Quine 1960, 275). Namun, tidak jelas apakah klaimQuine lebih lanjut ini terjamin.

Mari kita akui bahwa tidak ada tempat yang menguntungkan diluar seluruh sistem keyakinan kita yang dengannya sistem itu dapatdievaluasi. Ini tidak berarti bahwa tidak ada tempat yang meng-untungkan di luar sains yang dapat dievaluasi (Siegel 1995, 50-51).Quine sering mengaburkan dua pengertian “sains” (Haack 1993,339). Dalam pengertian sempit, “sains” hanya mencakup ilmu alam.Dalam arti yang lebih luas, sains mencakup keyakinan kita yangbiasa dan non-spesialis dan keyakinan kita yang bersifat matema-tis, logis, dan filosofis, serta keyakinan ilmiah yang lebih sempit.Pengertian sains yang luas digunakan dalam kutipan berikut ini:

[S]ains adalah pandangan umum yang sadar diri. Dan filsafat, pa-da gilirannya, sebagai upaya untuk memperjelas sesuatu, tidakharus dibedakan metode atau tujuannya yang penting dari sainsyang baik atau yang buruk. (Quine 1960, 3–4)�

Pengertian sempitnya digunakan di kutipan berikut ini:

Bagaimanapun, sains berbeda dari pandangan umum hanya da-lam tingkat kecanggihan metodologisnya. (Quine 1969c, 129)

� Lihat juga Quine (1960, 22) dan Hylton (2007, 2, 8, 11, dan 15).

��� C H R I S D A L Y

Page 302: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

Dan kedua pengertian tersebut ditemukan di kutipan ini:

[S]truktur kalimat yang saling berkaitan ini adalah satu sainsyang saling berhubungan yang mencakup semua sains dan apapun yang pernah kita katakan tentang dunia. (Quine 1960, 67–68)

Bagian dari kemasukakalan klaim bahwa epistemologi itu ber-kesinambungan dengan sains itu terletak pada pemaknaan sainsdalam arti luas. Namun, dengan menggabungkan kedua pengertian“sains”, klaim bahwa epistemologi berkesinambungan dengan sa-ins—dalam arti sempit kata “sains”—itu tampak masuk akal tetapisebenarnya tidak.

Bagaimana dengan klaim bahwa masalah skeptis muncul da-ri dalam sains sehingga pantas untuk mengacu pada sains dalammenyelesaikan masalah tersebut? Quine, Colyvan dan Kornblithmungkin memikirkan masalah skeptis tentang dunia eksternal: yai-tu masalah tentang bagaimana menjustifikasi keyakinan bahwa apayang menyebabkan pengalaman indrawi kita adalah objek eksternal.Sains memberi tahu kita banyak hal tentang fisika dan fisiologi per-sepsi. Dalam menjelaskan cara kerja indra, sains juga menjelaskankepada kita bagaimana indra bisa tertipu dan bagaimana penyebabpengalaman kita bisa tampak berbeda dari yang sebenarnya. Karenaperspektif yang salah, jarak, kelelahan atau halusinogen, sains men-jelaskan bagaimana kita dapat salah memersepsi lingkungan kita.Jadi tampaknya sains tidak hanya menunjukkan bahwa kita bisasalah tentang apa yang kita persepsi, tetapi juga bisa memberitahukita tentang dalam situasi apa kita salah. Tampaknya sains dapatmemecahkan masalah dunia eksternal dengan mengidentifikasikondisi-kondisi yang kita persepsi secara benar dan kondisi-kondisiyang tidak kita persepsi secara benar.

Dua tanggapan untuk hal tersebut. Pertama, sains tidak diperlu-kan untuk memunculkan masalah skeptis tentang dunia eksternal.Eksperimen pikiran Descartes bahwa dia sedang bermimpi dan ti-dak memersepsi dunia eksternal itu tidak bergantung pada apa pun

C H R I S D A L Y ���

Page 303: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

yang dikatakan sains kepada kita. Namun eksperimen pikirannyaitu cukup untuk menghasilkan masalah skeptis tentang bagaimanakita dapat mengetahui bahwa kita terjaga dan sedang memersepsidunia eksternal daripada tertidur dan sekadar memimpikannya.

Kedua, bahkan jika masalah skeptis itu muncul di dalam sains,tidak berarti sains dapat menyelesaikannya. Suatu disiplin atauteori dapat memunculkan masalah tetapi tidak berarti bahwa sum-ber dayanya cukup untuk memecahkan masalah itu. Berikut duacontoh. Pertimbangkan mekanika Newton. Ini adalah teori tentangperilaku materi. Satu masalah yang muncul dalam teori ini ada-lah efek elektromagnetisme pada materi. Mekanika Newton tidakdapat menjelaskan efek ini. Selanjutnya, pertimbangkan teologi.Masalah-masalah skeptis muncul dalam teologi. Salah satunya ada-lah masalah kejahatan. Ini adalah masalah bahwa perbuatan jahatterjadi, tetapi jika Tuhan itu mahakuasa, mahatahu, dan sempur-na secara moral, maka Dia memiliki kekuatan, pengetahuan danmotivasi untuk mencegah kejahatan itu terjadi. Masih bisa dipe-rdebatkan apakah teologi dapat memecahkan masalah ini. Kembalike soal sains, segala sesuatu yang diberitahukan sains kepada kitaitu mengasumsikan bahwa kita sering memersepsi dunia denganandal. Karena masalah skeptis tentang dunia eksternal itu menim-bulkan masalah tentang bagaimana asumsi tersebut dapat dijus-tifikasi, mengacu pada klaim ilmiah untuk menjustifikasi asumsitersebut tampak sirkular. Situasi di sini pada dasarnya tampak samadengan yang ada dalam pembahasan tentang pembuktian Mooreterhadap dunia eksternal (bab 1, §6). Sains dan pandangan umummasing-masing berasumsi bahwa kita memersepsi dunia denganandal. Skeptisisme tentang dunia eksternal membuat asumsi itu di-pertanyakan. Tampaknya tidak absah jika mengacu pada apa yangdikatakan sains atau pandangan umum untuk mempertahankanasumsi tersebut. Namun, tuduhan sirkularitas ini adalah salah satuyang disadari oleh Quine dan pendukung epistemologi naturalis

��� C H R I S D A L Y

Page 304: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

lainnya. Mereka berusaha mengatasinya dengan beberapa cara. Kitaakan membahas beberapa di antaranya di bagian selanjutnya.

�.� Problem Sirkularitas

Quine tidak hanya menolak klaim tradisional bahwa epistemologiharus memberikan fondasi bagi keyakinan ilmiah dan pandanganumum, dia juga berpandangan bahwa sains dapat mengevaluasiklaim dan metode penyelidikannya sendiri. Seperti yang dikatakanoleh filsuf lain:

[Naturalisme berusaha] untuk mendapatkan keterpercayaanmetode kita dari teori psikologi dan fisika, dari teori tentangbagaimana pikiran sampai pada keyakinan melalui interaksidengan lingkungannya. (Friedman 1979, 370)��

. . . saat alasan ilmiah sudah tidak ada, maka tidak alasan samasekali... Dan saat sains puas dengan tidak adanya alasan lebihlanjut, maka tuntutan skeptis akan adanya alasan lebih lanjut itusama sekali tidak absah. (Rosen 1999, 467. Rosen tidak boleh di-anggap mendukung pandangan ini; dia hanya melaporkannya disini)

Catat bahwa pandangan Quine bahwa sains tidak memerlukanjaminan ekstra-ilmiah dari Filsafat Pertama itu tidak memerlukanpandangannya lebih lanjut bahwa satu-satunya alasan yang men-dukung klaim ilmiah adalah klaim ilmiah itu sendiri. Apa argumenuntuk pandangan Quine lebih lanjut? Argumennya akan mengguna-kan dikotomi yang keliru untuk menyatakan bahwa karena FilsafatPertama tidak dapat menjustifikasi klaim ilmiah, maka sains dapatmenjustifikasi klaimnya sendiri. Ini mengabaikan pilihan skeptisbahwa klaim ilmiah sama sekali tidak memiliki justifikasi. Selainitu, orang yang skeptis dapat mengajukan keberatan bahwa sainstidak dapat menjustifikasi klaimnya sendiri tanpa lingkaran setan.�� Lihat juga Hylton (2007, 17-18).

C H R I S D A L Y ���

Page 305: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Bagaimanapun, numerologi (misalnya) tidak dapat menjustifikasiklaimnya sendiri tanpa lingkaran setan, dan akan menjadi pembe-laan khusus untuk mengatakan bahwa sains dapat menjustifikasiklaimnya tanpa lingkaran setan.

Quine menjawab tuduhan sirkularitas dengan mengatakan bah-wa:

Keraguan semacam itu terhadap sirkularitas itu tidak ada guna-nya begitu kita berhenti bermimpi untuk menyimpulkan sainsdari observasi. Jika kita hanya ingin memahami hubungan antaraobservasi dan sains, kita sangat disarankan untuk menggunakaninformasi apa pun yang tersedia, termasuk yang disediakan olehsains yang kaitannya dengan observasi ingin kita pahami. (Quine1969b, 76–77)

Namun, masalah sirkularitas itu muncul, apa pun jenis justi-fikasi yang dipersoalkan—entah itu justifikasi deduktif ataupunnon-deduktif. Masih akan menjadi lingkaran setan jika kita menya-takan bahwa adalah mungkin bahwa sains itu benar karena sainsmengatakannya demikian. Bahkan jika jenis justifikasi yang ada da-lam pikiran Quine adalah justifikasi non-deduktif, dan dia menolakimpian “menyimpulkan sains dari observasi,” masalah sirkularitastetap ada (Teller 1971, 379 dan Hylton 1994, 269–70).

Sering ada pembedaan antara argumen atau metode sirkularyang baik dan yang jahat.�� Meskipun argumen sirkular yang jahatitu buruk, argumen sirkular yang baik itu tidak. Bagaimana meng-klasifikasi argumen sirkular sebagai baik atau jahat itu tetap sulitdan kontroversial. Kita telah melihat bagaimana Quine memban-dingkan revisi sedikit demi sedikit terhadap keyakinan kita denganpara pelaut yang membangun kembali kapal mereka di tengah lautpapan demi papan. Tetapi, meskipun revisi keyakinan semacam itumasuk akal, tidak jelas apakah itu merupakan contoh autentikasidiri—yang terjadi saat metode tertentu, atau serangkaian klaim ter-

�� Misalnya, Goodman (1955, 63-64) dan Haack (1993, 352).

��� C H R I S D A L Y

Page 306: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

tentu, menunjukkan bahwa metode itu merupakan metode yangmasuk akal, atau bahwa klaim tersebut diterima secara masuk akal.Tampaknya masuk akal jika kita menggunakan satu klaim untukmenjustifikasi klaim lain untuk menunjukkan bahwa klaim terakhiritu terjustifikasi jika klaim pertama terjustifikasi. Tapi menjustifikasiserangkaian klaim, S, dengan S berarti hanya menunjukkan bah-wa anggota S terjustifikasi jika anggota S terjustifikasi. Jika sainsmengevaluasi sains itu merupakan hal yang sirkular, maka evalu-asi apa pun terhadap sains—yang secara tradisional merupakantugas Filsafat Pertama—harus cukup independen dari sains. Quinetampaknya berpikir bahwa ini akan mensyaratkan Filsafat Perta-ma terjustifikasi lebih baik daripada sains (Quine 1960, 235). Tetapidengan menjadi cukup independen dari sains untuk melakukankritik, Filsafat Pertama tidak membutuhkan lebih banyak justifikasidaripada sains (Siegel 1995, 51-52).

Peter Hylton menawarkan rekonstruksi pemikiran Quine beri-kut:

Naturalisme Quine [mengklaim bahwa] tidak ada perspektif, ti-dak ada sudut pandang, kecuali sudut pandang beberapa teori,yang darinya teori kita dapat dinilai sesuai atau tidak dengankenyataan. Kita sekarang dapat merumuskan kembali gagasanini. Berbicara dalam suatu bahasa—dan karenanya, setidaknyamenurut pandangan Quine, memikirkan pemikiran tentang kom-pleksitas yang signifikan—berarti menerima sekumpulan peni-laian yang besar meskipun tidak jelas. Secara khusus, ini berar-ti menerima kenyataan dari setidaknya beberapa objek yang di-bicarakan oleh teori kita tentang dunia. Oleh karena itu, tidakada posisi yang koheren yang darinya realitas semua objek sema-cam itu—atau kebenaran semua penilaian semacam itu—dapatdisangkal: upaya penolakan memotong bahasa tempat ia dibu-at, dan karenanya membuat kita tidak memiliki pernyataan yangkoheren sama sekali. (Hylton 1994, 275)

Sangat diragukan apakah argumen di atas itu valid. Anggapberbicara dalam suatu bahasa (yang, bagi Quine, setara dengan

C H R I S D A L Y ���

Page 307: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

menerima sebuah teori) itu melibatkan penerimaan sejumlah klaim.Bahwa orang yang berbicara dalam bahasa yang berbeda dengan de-mikian menerima sejumlah klaim yang berbeda—bahkan sejumlahklaim yang terpisah—itu konsisten dengan ini. Kemudian mungkinbagi penutur bahasa B1 untuk menolak semua klaim yang terkaitdengan bahasa lain B2. Penutur B2 dapat mengikuti penalaran ini,dan dengan demikian memahami bahwa ada posisi koheren yangdarinya realitas semua objek yang mereka ajukan ada—atau kebe-naran semua penilaian yang mereka buat—itu dapat disangkal. Iniadalah posisi penutur B2. Argumen yang direkonstruksi Hylton da-ri Quine membutuhkan pekerjaan lebih lanjut untuk membuatnyavalid.��

Menurut Hylton, penting bahwa kutipan dari Quine itu berbica-ra tentang pemahaman, dan bukan justifikasi. Hylton mengklaimbahwa “jika tujuan kita adalah salah satu pemahaman daripadajustifikasi, maka sirkularitas ini sama sekali tidak jahat” (Hylton2007, 83). Namun mengubah masalah dari justifikasi ke pemahamantampaknya tidak membuat perbedaan yang berarti. Jika informasiilmiah membantu kita memahami teori ilmiah, informasi tersebutharus terpercaya: informasi tersebut harus memberikan pemaham-an yang sebenarnya daripada hanya ilusi pemahaman. Tetapi meng-apa menganggap informasi tersebut terpercaya? Misalkan alasansatu-satunya adalah bahwa teori ilmiah kita mengatakannya demi-kian. Itu menimbulkan pertanyaan: mengapa menganggap teori itusendiri tepercaya? Anggaplah satu-satunya alasan untuk berang-gapan demikian adalah karena informasi tersebut mengatakannyademikian. Itu akan menjadi argumen sirkular—yang tidak jauh ber-beda dari sirkularitas yang dihasilkan ketika masalahnya adalahsoal justifikasi. Akibatnya, jika sirkularitas justifikasi itu jahat, tidakjelas bagaimana kejahatan itu dihalau dengan menyusun kembali

�� Untuk kritik Hylton sendiri terhadap argumen ini, lihat Hylton (1994, 276-278).

��� C H R I S D A L Y

Page 308: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

persoalannya dalam kerangka pemahaman.Hylton mengantisipasi sesuatu seperti keberatan di atas. Dia

menjawab bahwa:

Dalam pandangan Quine, [keberatan] tersebut membuat tuntut-an yang tidak mungkin, dan mungkin juga tidak koheren. Tuntut-an itu hanya dapat dipenuhi oleh sumber pengetahuan yang sa-ma sekali berbeda jenisnya dari pengetahuan teoretis biasa, yangindependen dan lebih dahulu ada, yang dengan demikian akanmemberi kita sebuah perspektif yang darinya semua pengetahu-an biasa kita dapat dievaluasi secara kritis. Quine menyebut ideini secara merendahkan sebagai “Filsafat Pertama”, dan menolak-nya sepenuhnya. (Hylton 2007, 90)

Jawaban Hylton itu merupakan uraian baru tentang naturalismeQuine. Namun naturalisme Quine justru adalah masalahnya. Jadi ti-dak jelas bagaimana jawaban Hylton itu meningkatkan perdebatan.Fakta (jika itu memang fakta) bahwa keberatan tersebut membuattuntutan yang tidak mungkin itu tidak secara otomatis dianggap se-bagai tantangan terhadap keberatan tersebut kecuali kita berasumsidi awal bahwa pandangan Quine benar. Namun, berasumsi bahwapandangan Quine benar itu menimbulkan pertanyaan-lanjutan. Se-bagai analogi, pertimbangkan masalah induksi. Kaum induktivismembuat penyimpulan induktif: penyimpulan dari yang teramatike yang takteramati. Masalah induksi memberikan tuntutan padakaum induktivis; yaitu, tuntutan untuk menjustifikasi penyimpul-an induktif. Jika penyimpulan induktif tidak dapat dijustifikasi,maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mungkin.Fakta (jika itu memang merupakan fakta) bahwa masalah induksimembuat tuntutan yang tidak mungkin pada kaum induktivis itutidak secara otomatis dianggap sebagai tantangan terhadap masa-lah tersebut dan menjamin kita “untuk menolak masalah tersebutsepenuhnya”. (Analogi dengan masalah induksi ini sangat tepat,karena Quine menganggap masalah induksi sebagai masalah aslidan mengakui kepada Hume bahwa penyimpulan induktif tidak

C H R I S D A L Y ���

Page 309: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

dapat dijustifikasi. Lihat Quine 1969b, 72 dan Hylton 2007, 83.)Pendukung epistemologi naturalis selain Quine telah mencoba

untuk menunjukkan bahwa menggunakan metode dan klaim sainsuntuk menjustifikasi metode dan klaim yang sama itu merupakansirkularitas yang baik.�� Kornblith berpendapat bahwa sirkularitastersebut baik karena tidak ada jaminan bahwa penyelidikan ilmiahakan mengonfirmasi keterpercayaan mekanisme produksi keyakin-an kita:

Meskipun memang benar bahwa penyelidikan ini sendiri dilaku-kan dengan menggunakan mekanisme produksi keyakinan yangketerpercayaannya dipertanyakan, hal ini tidak menjamin bahwapenyelidikan tersebut akan memastikan keterpercayaan metodeproduksi keyakinan kita. (Kornblith 1995, 246)��

Pemikiran Kornblith tampaknya sebagai berikut. Argumen sir-kular yang jahat itu memasukkan kesimpulannya sebagai salah satuanggota serangkaian premisnya. Dengan demikian, argumen sirku-lar yang jahat juga merupakan argumen yang valid. Argumen yangvalid itu memastikan kesimpulannya dalam arti bahwa, jika semuapremisnya benar, maka kesimpulannya benar. Argumen sirkularyang jahat akan memastikan kesimpulannya. Dengan kontrapo-sisi, argumen yang tidak memastikan kesimpulannya itu bukanargumen sirkular yang jahat. Sekarang tidak ada kepastian bahwapenyelidikan ilmiah akan mengonfirmasi klaim ilmiah. Jadi, me-nyatakan bahwa penyelidikan ilmiah mengonfirmasi klaim ilmiahmutakhir itu bukan argumen sirkular yang jahat.

Kelemahan dalam argumen Kornblith adalah bahwa ia terbu-ka untuk kritik yang sama yang dihadapi respon Quine terhadapmasalah sirkularitas. Sebagaimana dicatat, masalah tersebut mun-cul, apa pun jenis justifikasi yang dipertanyakan. Memang tidak

�� Misalnya, Friedman (1979, 370-373) dan Kitcher (1992, 90-93). Lihat Tiel (1999,315-318) untuk beberapa tanggapan.

�� Lihat juga Friedman (1979, 371).

��� C H R I S D A L Y

Page 310: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

ada jaminan bahwa penyelidikan ilmiah akan mengonfirmasi klaimilmiah terkini. Itu membuat tidak jelas apakah penyelidikan ilmi-ah mengonfirmasi klaim-klaim ilmiah terkini. Tampaknya masihsangat sirkular untuk menyatakan “Klaim dan metode ilmiah itusebagian besar benar karena klaim dan metode ilmiah (yaitu, penye-lidikan ilmiah) mengatakannya demikian.” Berikut ini analoginya.Apakah Richie Nix pembohong? Tidak ada jaminan bahwa jika kitabertanya padanya apakah dia pembohong, dia akan berbohong ke-pada kita. Mungkin dia bukan pembohong biasa dan akan memberikita jawaban yang jujur pada kesempatan ini. Namun demikian,masih tampak sirkular untuk membantah dengan cara berikut: “Ri-chie Nix bukan pembohong karena dia mengatakan kepada sayabahwa dia bukan pembohong.”

�.� Problem Otoritas Epistemik

Bagian sebelumnya membahas satu masalah yang dihadapi natura-lisme. Itu adalah masalah sirkularitas yang jahat dalam penggunaanmetode ilmiah untuk menjustifikasi klaim naturalis. Bagian ini akanmembahas masalah yang terkait erat. Masalah ini tidak terbataspada naturalisme tentang epistemologi. Ini adalah masalah ten-tang otoritas epistemik apa yang dapat dimiliki oleh satu persoalan,mengingat kita adalah naturalis tentang persoalan itu.

Masalah otoritas epistemik bagi naturalisme tentang sains di-munculkan oleh dua klaim yang dibuat secara khas oleh kaumnaturalis. Klaim (1): sains adalah sumber informasi terbaik kita (Kor-nblith 1994b, 40; Colyvan 2001, 23; Ladyman dan Ross 2007, bab1). Klaim (2): tidak ada perspektif di luar sains untuk menilai sains.Pada bagian sebelumnya kita melihat Quine menganggap klaim(2) sebagai konsekuensi dari penolakan terhadap Filsafat Pertama.Pendukung epistemologi naturalis

C H R I S D A L Y ���

Page 311: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

tidak lagi memimpikan filsafat pertama, yang lebih kuat daripa-da sains, yang dapat menjadi dasar bagi sains; dia keluar untukmembela sains dari dalam, melawan keraguan dirinya. (Quine1974, 3)

Sekarang apa alasan untuk membuat klaim (1), klaim bahwasains adalah sumber informasi terbaik kita? Mengingat klaim (2),klaim (1) harus ditegaskan dari perspektif sains. Tapi kemudian kla-im (1) sama dengan ini: Dari perspektif sains, sains adalah sumberinformasi terbaik. Klaim itu mungkin benar, tetapi tidak setara de-ngan klaim bahwa sains adalah sumber informasi terbaik. Bisa jadi,dari sudut pandang guru saya, guru saya adalah sumber informasiterbaik tentang dunia. Tetapi meskipun itu mungkin benar, tidakberarti bahwa guru saya adalah sumber informasi terbaik. Pendu-kung epistemologi naturalis perlu mengatakan apa yang spesial dariperspektif sains. Apa yang memberinya status epistemik istimewayang tidak dimiliki guru saya? Sayangnya, tampaknya tidak adacara bagi pendukung epistemologi naturalis untuk menjawab perta-nyaan ini. Klaim (2) menyangkal bahwa ada perspektif netral yangnon-ilmiah yang dapat digunakan untuk membuat perbandinganantara perspektif sains dan perspektif guru saya.

Itulah yang kemudian disebut masalah otoritas epistemik. Kla-im (1) mengatakan bahwa sains secara epistemik lebih unggul daridisiplin ilmu lain. Klaim (2) mengatakan bahwa sains tidak dapat di-bandingkan dengan disiplin ilmu lain secara netral. Entah klaim (1)runtuh menjadi klaim yang tidak menarik bahwa sains mengatakansains adalah yang terbaik, atau perbandingan yang perlu dilakukanoleh klaim (1) tidak dapat dilakukan.

Mari kita jelajahi masalah ini dalam latar lain—yaitu natura-lisme tentang matematika. Praktik kognitif memiliki tujuan. Sainsadalah praktik seperti itu. Salah satu tujuannya adalah memprediksidan menjelaskan perilaku fenomena alam. Menurut naturalismeQuine, jika menerima kalimat ilmiah tertentu K akan membantu

��� C H R I S D A L Y

Page 312: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

sains mencapai tujuan itu, dan jika mencapai tujuan itu tidak dapatdilakukan jika K tidak diterima, maka K dapat diterima. Justifikasilebih lanjut terhadap keberterimaan K itu tidak diperlukan ataubahkan tidak tersedia. Penggunaan kita terhadap teori himpunanjuga merupakan praktik kognitif. Salah satu tujuan dari praktik iniadalah untuk memberikan kerangka kerja yang memodelkan semuamatematika klasik. Menurut naturalisme matematika Penelope Ma-ddy, jika menerima kalimat matematis tertentu M akan membantuteori himpunan mencapai tujuan itu, dan jika mencapai tujuan itutidak dapat dilakukan tanpa menerima M , maka M dapat diterima.Justifikasi lebih lanjut terhadap keberterimaan M itu tidak diper-lukan atau bahkan tidak tersedia. Naturalisme, menurut Maddy,adalah pandangan bahwa

sebuah bidang yang berhasil, entah itu sains atau matematika ...tidak boleh menjadi sasaran kritik dari, dan tidak membutuhkandukungan dari, beberapa sudut pandang eksternal yang diang-gap lebih tinggi. (Maddy 1997, 184)

Naturalisme Quine dan Maddy menganggap sains dan mate-matika masing-masing menjadi otonom dalam arti bahwa klaimdan metode yang tidak termasuk dalam praktik ini tidak relevandengan justifikasi terhadap klaim yang dibuat, dan metode yangdigunakan, dalam praktik tersebut. Secara lebih umum, naturalismetentang praktik kognitif tertentu menjadikan praktik itu kebal darikritik dari luar. Praktisi mana pun akan menganggap ini sebagaiciri-ciri yang diinginkan. Jadi, kecuali sains dan matematika diisti-mewakan, naturalisme tentang setiap praktik kognitif lain adalahpilihan terbuka yang dapat diambil oleh para praktisinya.

Sebagai contoh, astrologi adalah praktik kognitif. Salah satutujuannya adalah menemukan hubungan mistis antara planet dankehidupan manusia. Biarkan naturalisme astrologi menjadi tesisbahwa jika menerima kalimat astrologi tertentu A akan membantuastrologi mencapai tujuan itu, dan jika mencapai tujuan itu tidak

C H R I S D A L Y ���

Page 313: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

dapat dilakukan tanpa menerima A, maka A dapat diterima. Justi-fikasi lebih lanjut terhadap keberterimaan A itu tidak diperlukanatau bahkan tidak tersedia. Artinya, klaim astrologi adalah bahwaA itu tidak terbuka terhadap kritik eksternal.

Contoh naturalisme astrologi yang satu ini menjadi tantanganbagi Quine dan Maddy. Tantangannya bagi mereka adalah untukmemberikan prinsip yang mendukung naturalisme tentang sains,atau tentang matematika, tetapi tidak tentang astrologi dan ilmusemu (pseudo-sciences) lainnya (Rosen 1999, 471). Dalam kutipan diatas, Maddy berbicara tentang naturalisme terkait “bidang yangberhasil”. Tetapi menurut standar manakah naturalisme itu berha-sil? Meskipun matematika berhasil menurut standarnya sendiri,tampaknya astrologi juga berhasil menurut standarnya sendiri. Me-mang benar bahwa beberapa matematika berhasil digunakan dalampenerapannya pada fenomena empiris. Namun tidak semua mate-matika memiliki penerapan empiris. Jadi rute ini akan mendukungnaturalisme matematika paling banter hanya terkait dengan bebera-pa cabang matematika, tidak semua cabang matematika.

Meski begitu, Maddy tampaknya mengambil rute ini untukmengatasi masalah tersebut. Dia mengatakan bahwa matematikasangat diperlukan untuk praktik ilmiah sedangkan astrologi tidak(Maddy 1997, 204–05). Tetapi, jika ini adalah jawaban yang dipilih-nya, jawabannya tidak sesuai dengan klaimnya bahwa matematikaitu otonom dan “tidak dapat dipersalahkan melalui pengadilan rea-litas ekstra-matematis” (Maddy 1997, 184).�� Lebih jauh, apa yangdiinginkan adalah sesuatu yang lebih umum daripada sekadar pem-belaan terhadap naturalisme matematis. Yang diinginkan adalahprinsip yang memisahkan sains dan matematika dari bidang-bidangyang lain. Jika naturalisme tentang sains itu absah, maka penda-saran Maddy pada pertimbangan ketakterhindaran menunjukkan

�� Untuk kritik ini, lihat Dieterle (1999), Rosen (1999, 472), dan Roland (2007, 435-436).

��� C H R I S D A L Y

Page 314: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

bahwa matematika (atau setidaknya matematika terapan) dapatdilegitimasi juga. Tetapi ini tidak menunjukkan bahwa naturalismetentang sains itu absah tetapi naturalisme tentang astrologi tidakabsah. Tanggapan Maddy tidak lengkap.��

�.� Kesimpulan

Bab ini memiliki pesan yang beragam. Para filsuf cenderungmelebih-lebihkan seberapa banyak mereka dapat berkembang tanpamengacu pada informasi empiris. Namun demikian, akan berlebih-an untuk menganggap informasi empiris tanpa refleksi filosofisdapat menyelesaikan masalah filosofis apa pun. Bab ini dimulaidengan membedakan antara naturalisme metafisik dan metodolo-gis. Naturalisme metafisik mengatakan bahwa semua entitas adalahentitas alamiah. Entitas alamiah adalah entitas yang dapat ditelaaholeh ilmu-ilmu alam. Ilmu alam sendiri akan dikarakterisasi sebagaiversi ideal yang sesuai dari ilmu alam saat ini.

Beralih ke naturalisme metodologis, ada pertanyaan tentangbagaimana naturalisme metodologis itu sebaiknya dipahami. Misal-nya dikatakan bahwa informasi empiris dapat mengonfirmasi ataumendiskonfirmasi teori-teori filsafat. Misalkan epistemologi meng-ajukan hipotesis tentang keyakinan atau pengetahuan apa yangdapat dijustifikasi, dan setidaknya beberapa justifikasi ini dianggapbersifat empiris. Informasi empiris kemudian dapat digunakan un-tuk menguji apakah orang-orang memiliki justifikasi tersebut, danmenguji apakah hipotesis tersebut benar.

Sebagai alternatif, andaikan naturalisme metodologis dianggapmengatakan bahwa informasi empiris diperlukan untuk mengon-firmasi, atau menyangkal, teori-teori filsafat tertentu, dan bahwahanya sains yang dapat menyediakan informasi ini. Masalahnya

�� Untuk pembahasan lebih lanjut, lihat Roland (2009).

C H R I S D A L Y ���

Page 315: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

adalah apakah klaim itu dapat dijustifikasi.Seberapa masuk akal salah satu opsi ini? Ada dua jenis kasus

yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ada kasus saat bukti empirisdianggap sangat diperlukan untuk mengonfirmasi atau mendiskon-firmasi teori filsafat. Sekarang bukti dari indra diperlukan untukmendukung hipotesis bahwa ada dunia eksternal. Bukti adanya ke-jahatan diperlukan untuk mendukung hipotesis bahwa ada masalahkejahatan bagi teisme. Bukti bahwa tubuh manusia lain berperilakuseperti tubuhmu diperlukan untuk mendukung hipotesis bahwaada pikiran lain. Dan seterusnya. Tetapi di dalam semua kasus inibukti empiris tidak harus disediakan oleh sains. Dalam setiap kasus,bukti itu dapat disediakan oleh observasi pandangan umum tanpabantuan instrumen atau teori ilmiah.

Kasus jenis kedua menyangkut kasus-kasus saat naturalis meto-dologis mungkin berpendapat bahwa bukti ilmiah dapat mengon-firmasi atau mendiskonfirmasi teori filsafat, bahkan jika itu bukanbukti yang sangat diperlukan. Contohnya kontroversial, tetapi disini ada dua kandidat. Pertama, catatan fosil dan bukti lain untuk te-ori evolusi adalah bukti yang bertentangan dengan argumen desain.Kedua, bukti untuk teori relativitas adalah bukti yang bertentangandengan klaim Kant bahwa geometri ruang itu niscaya bersifat Eucli-dean. Namun, tantangannya terus berlanjut, meskipun bukti ilmiahini bertentangan dengan teori-teori tersebut, bukti ilmiah tersebuttidak mutlak diperlukan. Ada alasan non-ilmiah yang cukup untukmenolak teori tersebut. Kritik filosofis Hume terhadap argumendesain cukup jitu untuk menjustifikasi penolakan terhadap argu-men tersebut. Metode matematika yang sama yang menunjukkankonsistensi geometri non-Euclidean juga membantah klaim Kantbahwa geometri ruang itu niscaya bersifat Euclidean. Secara lebihumum, dalam kasus apa pun saat bukti ilmiah dapat mengonfirmasiatau mendiskonfirmasi teori filsafat, bukti tersebut dapat diabaikankarena alasan non-ilmiah dapat memberikan setidaknya tingkat

��� C H R I S D A L Y

Page 316: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

dukungan yang sama.Singkatnya, tantangan tersebut mengatakan bahwa entah bukti

empiris yang berkaitan dengan teori filsafat itu tidak dapat diabai-kan tetapi tidak harus bersifat ilmiah; atau bukti empiris itu bersifatilmiah tetapi dapat diabaikan. Dalam kasus apa pun bukti empiristidak bersifat ilmiah dan diperlukan untuk mengonfirmasi, ataumenyangkal, teori filosofis.

Para naturalis tidak akan membiarkan tantangan ini tidak ter-jawab. Pertama, penerapan metode ilmiah pada teori-teori filsafattidak mensyaratkan bahwa teori-teori tersebut dapat secara lang-sung diuji secara empiris—yaitu, dengan mengamati pokok bahasandari teori tersebut. Bagaimanapun, pokok bahasan dari banyak teoriilmiah itu tidak dapat diuji secara langsung karena pokok bahasanitu terlalu kecil atau terlalu jauh, tetapi (setidaknya banyak ilmuwandan filsuf ilmu beranggapan) hal itu tidak mencegah teori tersebutuntuk menerima dukungan empiris. Kedua, mengingat banyaknyapokok bahasan teori filsafat, akan mengejutkan jika tidak satu pundari teori itu yang terbuka untuk pengujian empiris. Misalnya, fil-safat fisika tampaknya hampir tidak dapat dibedakan dari fisikateoretis tingkat lanjut. Disiplin-disiplin ini (atau disiplin ini?) Padadasarnya berkaitan dengan cara terbaik untuk merumuskan danmemahami fisika saat ini. Perbedaan antara fisikawan teoretik danfilsuf fisika mungkin hanya bersifat administratif dan tidak substan-tif. Pengamatan serupa berlaku untuk perbedaan antara linguistikdan filsafat bahasa, atau psikologi kognitif dan filsafat akal budi(Cooper 2005, 329). Dan jika temuan ilmiah mendukung teori-teoritersebut, temuan tersebut tidak secara jelas diduplikasi oleh pe-ngamatan pandangan umum yang takterarah. Cabang filsafat lainmungkin tampak kurang peka terhadap hasil empiris. Para filsuflogika yang menelaah sifat konsekuensi logis tampaknya terlibatdalam pekerjaan yang jauh dari pengamatan empiris. Sebagai tang-gapan, Quineans cenderung menekankan gambaran “jejaring keya-

C H R I S D A L Y ���

Page 317: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

kinan” (seperti yang dibahas dalam §2 di atas). Pengamatan empirisdapat memiliki konsekuensi di pusat jejaring yang menjadi tem-pat keyakinan kita tentang logika dan matematika. Pertimbangankemampuan memberikan penjelasan dan kesederhanaan, pada prin-sipnya, dapat membenarkan revisi terhadap keyakinan inti tersebut.Akan tetapi, apakah gambaran Quinean tentang struktur keyakinankita harus diterima itu ditantang oleh para pembela pandanganOtonomi (Bonjour 1998, 74-76).��

�� Lihat Kornblith (2000).

��� C H R I S D A L Y

Page 318: pengantar metode- metode filsafat

S A I N S

Pertanyaan-pertanyaanuntuk Didiskusikan

1. Salah satu rumusan naturalisme melibatkan penghormatanpada otoritas epistemik ilmu alam. Apakah ada justifikasi untukmengistimewakan ilmu alam di atas ilmu-ilmu lainnya? Formulasilain melibatkan penghormatan pada otoritas epistemik ilmu secaralebih umum. Apa yang dianggap sebagai ilmu (science)? Apa yangmembedakan ilmu dari non-ilmu?

2. Dalam §4 kita membahas klaim bahwa ilmu kognitif dan psiko-logi tidak memiliki relevansi dengan filsafat untuk mengatakansesuatu yang belum dikatakan oleh pandangan umum. Seberapamasuk akal klaim itu? Apakah karya dalam filsafat eksperimen-tal (bab 3, §6) itu cenderung mendukungnya atau meruntuhkannya?

3. Misalkan Eric yakin bahwa p. Jika benar bahwa p, bukti yangmenyiratkan bahwa p salah itu merupakan bukti yang menyesat-kan. Jadi Eric harus yakin bahwa bukti apa pun yang menyiratkanbahwa p salah merupakan bukti yang menyesatkan. Jadi Eric seha-rusnya tidak merevisi keyakinannya meskipun dia menerima buktiyang menentang keyakinannya itu. Sekarang, jika p benar, buktibahwa p benar tidak perlu menjadi bukti yang menyesatkan. Jadikeyakinan Eric bahwa p itu dapat didukung oleh bukti, sehinggatingkat keyakinannya bahwa p itu dapat meningkat. Ginger percayabahwa p itu salah. Jika p salah, maka bukti yang menyiratkan bahwap itu merupakan bukti yang menyesatkan, sedangkan bukti yangmenyiratkan bahwa p salah itu tidak perlu menjadi bukti yang me-nyesatkan. Dengan penalaran paralel, keyakinan Ginger bahwa p

salah dapat didukung oleh bukti, dan tingkat keyakinannya bahwa

C H R I S D A L Y ���

Page 319: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

p salah dapat meningkat.Mengapa kasus Eric dan Ginger bersifat paradoks? Bagaimana

seharusnya paradoks itu diselesaikan? (Paradoksnya adalah para-doks Kripke: lihat Harman 1973, 148–49.)

Bacaan Pokok untuk Bab �

Feldman, Richard (2002) “Methodological Naturalism in Epistemo-logy.”

Foley, Richard (1994) “Quine and Naturalized Epistemology.”Hylton, Peter (2007) Quine bab 1 dan 4.Kim, Jaegwon (1988) “What is Naturalized Epistemology?”Knobe, Joshua dan Shaun Nichols (2008) (eds.) Experimental Philoso-

phy.Kornblith, Hilary (2002a) “In Defense of Naturalized Epistemology.”Quine, W.V.O (1969b) “Epistemology Naturalised.”

��� C H R I S D A L Y

Page 320: pengantar metode- metode filsafat

KESIMPULAN

K I TA akan menutup buku ini dengan meninjau tiga pertanyaan:Data dan metode apa yang harus kita gunakan dalam filsafat? Ba-gaimana kita seharusnya menjustifikasi pemilihan data dan metodetersebut? Dan, dengan pemilihan data dan asumsi tertentu, bagai-mana kita harus mulai berfilsafat?

Data dan metode apa yang harus kita gunakan dalam filsafat? Jenisdata dan prinsip apa yang dapat diterima dalam filsafat itu sendiriterbuka untuk perdebatan filosofis. Tidak ada yang tidak baik dalamhal ini. Dengan cara yang sama, kita tidak boleh berharap untukmemajukan program filosofis tanpa membuat asumsi yang dapatdiperdebatkan (Nozick 1981, 19). Jika kita hanya mengambil asumsi-asumsi yang disetujui oleh semua filsuf, kumpulan asumsi itu akanterlalu lemah atau kosong untuk dijadikan sebagai dasar bagi pro-gram filosofis yang substantif. Membuat asumsi yang kontroversialmembuat kita terbuka terhadap tuduhan bias atau parokialisme.Tuduhan bias paling baik ditanggapi dengan menunjukkan man-faat hipotesis yang didasarkan pada apa yang dianggap bias itu.Tuduhan parokialisme berlaku untuk pandangan yang picik, dansolusi untuk itu adalah dengan menanggapi perkembangan yangada dalam, dan kritik dari, program filosofis yang lain.

Ada beberapa asumsi filosofis yang lugas. Dalam pendahuluankita melihat bahwa metode filosofis apa yang akan digunakan itu

Page 321: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

sebagian bergantung pada pandangan tentang apa itu filsafat danapa hakikat masalah filosofis (“metafilsafat”). Tetapi asumsi tentangseperti apa dunia itu juga dibuat:

Di dalam filsafat, sama seperti di dalam sains, praktik metodo-logis itu mengandaikan komitmen teoretis yang substantif; agarpraktik metodologis tertentu menjadi tepat, baik dalam sainsataupun dalam filsafat, dunia harus bekerja sama dengan caratertentu. (Melnyck 2008a, 267–68)

Bagaimana kita seharusnya menjustifikasi pemilihan data dan metodetersebut? Sangat menggoda untuk mencoba menghindari pertanya-an sulit tentang penjustifikasian pemilihan dan penggunaan dataatau prinsip tertentu dengan mengklaim bahwa merupakan kebe-naran epistemik yang jelas bahwa data dan prinsip tersebut diisti-mewakan secara epistemik, bahwa data dan prinsip itu harus dipilihdan digunakan. Yah, mungkin ada kebenaran epistemik tertentuyang jelas, tetapi mengakui hal ini tidak memberi kita izin untukmengakui sebagai kebenaran epistemik yang jelas bahwa data danprinsip pilihan kita itu diistimewakan. Kita harus meminimalkanjumlah kebenaran epistemik yang kita anggap dasar:

Dalam tindakan biasa, kita secara sah menolak hipotesis, antaralain, karena terlalu rumit, ad hoc, atau hanya karena tidak didu-kung oleh data. Berbagai sifat itu—kerumitan, bersifat ad hoc, ti-dak didukung oleh data—dengan demikian dianggap memilikikesamaan, yaitu bahwa sifat-sifat itu adalah dasar dari diskonfir-masi epistemik. Namun, pengajuan alasan tambahan yang sangatberbeda untuk menolak hipotesis membuat lebih sulit untuk me-lihat sifat-sifat itu semua sebagai aspek dari satu hal. (Vogel 1993,243–44, cetak miring dari Vogel)

Dengan pemilihan data dan asumsi tertentu, bagaimana kita harusmulai berfilsafat? Salah satu metode yang terpikirkan adalah meto-de “analisis kekurangan-kelebihan” (Lewis 1983a, dan Armstrong1989, 19-20). Untuk mencapai solusi bagi masalah filosofis tertentu,

��� C H R I S D A L Y

Page 322: pengantar metode- metode filsafat

K E S I M P U L A N

kita mempertimbangkan argumen yang mendukung, dan argu-men yang menentang, setiap teori yang mengusulkan untuk me-nyelesaikan masalah tersebut. Kita kemudian menyusun “neraca”.Neraca itu mencatat kekuatan dan kelemahan masing-masing teo-ri—seberapa sederhana, seberapa mampu memberikan penjelasan,seberapa koheren dengan teori yang sudah diterima, intuisi manayang konsisten dengannya, mana yang tidak konsisten dengannya,dan sebagainya. Kita membandingkan kekurangan setiap teori de-ngan kelebihannya, membentuk peringkat teori. Teori di peringkatteratas, yaitu teori yang memiliki kelebihan paling banyak dan ke-kurangan paling sedikit, adalah teori yang harus kita terima secaratentatif.

Mungkin dianggap keliru jika menerapkan metode penilaianini pada filsafat. Berikut adalah empat komentar dalam memper-tahankan metode ini. Pertama, metode ini mengacu pada sesuatuyang akrab dan masuk akal: ketika mencari tahu apa yang harusdiyakini, kita harus mencari tahu di mana letak keseimbangan bukti.Itulah yang dilakukan pertimbangan rasional. Dalam setiap bidangkehidupan kognitif, kita harus mencoba mencari tahu di mana le-tak keseimbangan bukti. Akan sangat mengherankan jika ini bukancara yang tepat untuk berfilsafat (DePaul 1998). Metode kekurangan-kelebihan juga memasukkan metode keseimbangan reflektif yangdijelaskan dalam bab 2, §3. Keseimbangan reflektif yang sempit beru-paya membuat teori filsafat sejalan dengan intuisi dengan membuatrevisi bijaksana terhadap yang satu atau yang lain. Keseimbanganreflektif yang luas berusaha membuat teori filsafat sejalan dengandata yang lebih luas: intuisi, observasi, dan teori lain yang relevan(Daniels 1980). Keseimbangan reflektif dapat dicapai dengan ba-nyak cara, tergantung pada teori mana atau potongan data manayang direvisi atau dikorbankan. Hasil yang berbeda kemudian per-lu dibandingkan secara kritis untuk menetapkan mana (jika ada)yang merupakan cara terbaik untuk mencapai keseimbangan reflek-

C H R I S D A L Y ���

Page 323: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

tif. Metode kekurangan-kelebihan menjanjikan kita jawaban untukpersoalan ini.

Kedua, model kekurangan-kelebihan dapat dikritik dengan alas-an bahwa kekurangan dan kelebihan yang dipertimbangkan hanya-lah bersifat pragmatis. Kritiknya adalah bahwa meskipun model itumungkin memberi kita alasan untuk percaya bahwa teori tertentuadalah teori terbaik untuk digunakan, ia tidak memberi kita alasanuntuk percaya bahwa teori itu benar (Rosen 1990, 338, catatan kaki18.) Namun, kritik ini tampaknya diarahkan dengan tepat bukankepada model kekurangan-kelebihan itu sendiri, melainkan kepa-da jenis kekurangan dan kelebihan tertentu yang dipilih. Selainitu, kritik ini memiliki konsekuensi yang jauh melampaui modelkekurangan-kelebihan. Kritik umumnya adalah bahwa keutamaanteoretik seperti kesederhanaan, kemampuan memberikan penjelas-an atau kesuburan hanyalah pertimbangan pragmatis, dan faktabahwa sebuah teori memiliki ciri-ciri seperti itu bukanlah alasanuntuk memercayainya. (Kita melihat kritik ini dibuat dari pertim-bangan kesederhanaan dalam bab 4, §6.) Kritik ini berhadapan de-ngan pemilihan-teori di dalam sains dan juga di dalam filsafat (vanFraassen 1980, 87-89).

Ketiga, mungkin dikeluhkan bahwa model kekurangan-kelebihan itu cacat karena hasilnya yang buruk. Misalnya, DavidLewis memperjuangkan penggunaan model ini dalam argumennyauntuk realisme modal (Lewis 1986, 3–5.) Namun, keluhan tersebutmengatakan, model ini memiliki hasil yang buruk dengan mengkla-im bahwa realisme modal adalah teori modalitas yang benar, dan itumendiskreditkan model ini. Namun, model tersebut memiliki hasilseperti ini hanya karena pembobotan tertentu yang diberikan Lewispada masing-masing kekurangan (seperti ketakhematan ontologis-nya) dan kelebihan (seperti cakupan fenomena yang kepadanyaia diterapkan), dan perhitungan yang Lewis lakukan berdasarkanpembobotan itu. Pembobotan Lewis terbuka untuk diperdebatkan.

��� C H R I S D A L Y

Page 324: pengantar metode- metode filsafat

K E S I M P U L A N

Sebagai contoh, kita melihat di bab 4, §5 beberapa filsuf berpendapatbahwa Lewis memberikan penekanan yang tidak cukup pada ketak-hematan ontologis realisme modal. Mungkin dia juga meremehkanpersoalan yang dihadapi epistemologi dunia mungkin Lewisian.Jika kritik ini dan kritik yang serupa itu benar, maka neraca untukrealisme modal itu sangat berbeda dari neraca Lewis. Akibatnya,model kekurangan-kelebihan tidak mendukung realisme modalsehingga model ini tidak dapat didiskreditkan atas dasar tersebut.

Keempat, beberapa calon kritikus metode ini mungkin tidakmenolak metode ini seperti halnya menolak pembobotan yang di-berikan pada berbagai kekurangan dan kelebihan. Secara khusus,para kritikus mungkin memberikan bobot lebih pada teori filsa-fat yang tidak jauh berbeda dari pandangan filosofis yang tersiratdalam pandangan umum dan cara literal kita yang biasa dalamberbicara tentang berbagai hal. Di sini konservatisme epistemik(menerima teori hanya jika ia konsisten dengan keyakinan kita se-belumnya, terutama keyakinan filosofis orang biasa) diberi bobotyang kuat. (Ingat pembahasan tentang pandangan umum dan kon-servatisme dalam bab 1, §4.) Para filsuf yang tampaknya mengkritikmetode kekurangan-kelebihan sebenarnya dapat menerima metodetersebut. Perlawanan mereka mungkin malah mengarah pada filsuflain yang memberikan bobot yang lebih lemah pada konservatismeepistemik dibandingkan faktor-faktor seperti kesederhanaan ataukemampuan memberikan penjelasan. Pelakunya di sini terutamatermasuk metafisikawan revisionis. Metafisika revisionis pada be-berapa tingkatan bertentangan dengan dengan metafisika rakyatatau metafisika deskriptif, dan mendukung perevisian metafisikadeskriptif (Strawson 1959, bab 1). Tempat perdebatan antara sahabatmetafisika rakyat dan metafisikawan revisionis bukan pada soalkelayakan metode kekurangan-kelebihan. Perdebatannya adalahsoal faktor mana yang merupakan kekurangan, mana yang meru-pakan kelebihan, dan bobot apa yang akan diberikan kepadanya.

C H R I S D A L Y ���

Page 325: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Kita juga dapat membandingkan hasil jangka panjang yang dicapaioleh masing-masing pembobotan yang berbeda ini, dan membentukpenilaian berdasarkan informasi tentang bobot mana yang palingbermanfaat.

Bacaan Lebih Lanjut

Maddy, Penelope (2007) Second Philosophy: A Naturalistic Method.Williamson, Timothy (2007) The Philosophy of Philosophy.Wilson, Mark (2006) Wandering Significance: An Essay on Conceptual

Behaviour.

��� C H R I S D A L Y

Page 326: pengantar metode- metode filsafat

GLOSARIUM

Ad hoc Penyesuaian ad hoc suatuteori berarti memodifikasi teoritersebut untuk mengakomodasibukti yang bertentangan dengancara yang tidak didukung; Jenismodifikasi kosong ini adalahpraktik teoretik yang buruk.

Analisis Analisis filosofismencari pemahaman yang lebihdalam tentang suatu klaimdengan mengidentifikasi klaimyang lebih jelas atau mendasaryang ada di dalamnya.

Analisis konseptual Analisisfilosofis yang dipahami sebagaipenentuan makna kata dankalimat, penentuankonsep-konsep yang ada dalamsuatu pernyataan.

Argumen pertanyaan terbukaIstilah “F” dan “G” itu berbeda

maknanya jika mungkin bagiorang yang kompeten secarakonseptual untuk meragukanbahwa F adalah G.

Domain kuantifikasi Domainkuantifikasi teori itu terdiri darientitas apa yang harus ada agarteori itu benar.

Eksperimen pikiranEksperimen yang dilakukandalam imajinasi.

Eksplikasi Penggantian istilahyang tidak jelas dan tidak tepatdengan istilah yang lebih jelasdan tepat.

Ekuivalen secara logis Duaproposisi itu ekuivalen secaralogis jika dan hanya jikakeduanya memiliki nilaikebenaran yang sama dalam

Page 327: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

setiap situasi yang mungkin.Misalnya, proposisi bahwa semuaanjing pemburu adalah anjing itusecara logis ekuivalen denganproposisi bahwa tidak benar bahwabeberapa anjing pemburu bukananjing.

Ekuivalensi Dua proposisi ituekuivalen jika dan hanya jikakeduanya benar atau keduanyasalah.

Fenomenalisme Pandangantentang analisis pernyataantentang objek fisikal. Setiappernyataan tentang objek fisikaldapat dianalisis sebagaigabungan pernyataan tentangpengalaman aktual danpengalaman yang mungkin.Pembicaraan tentang objekfisikal ternyata merupakanpembicaraan tentangpengalaman seperti apa yangbisa dan memang kita miliki.

Filsafat eksperimental Filsafatyang bertumpu pada dataempiris, seperti hasil surveipendapat orang yang bukanfilsuf.

Himpunan premis Himpunanpremis sebuah argumen adalahhimpunan semua premis dalamargumen tersebut.

Idealisme Pandangan bahwarealitas pada dasarnya bersifatmental.

Intuisi Kecenderungan untukmeyakini klaim hanyaberdasarkan pada pemahamantentang klaim tersebut.

Kebenaran analitik Kalimatyang mengungkapkankebenaran konseptual. Iniberbeda dengan kebenaransintetik.

Kebenaran konseptual Sebuahproposisi merupakan kebenarankonseptual jika dan hanya jikaia benar berdasarkan isi konsepyang dilibatkannya. Contoh:proposisi bahwa semua kucing ituadalah binatang keluarga kucing.

Kebenaran kontingenKebenaran yang bukankebenaran niscaya.

Kebenaran niscaya Sebuahproposisi itu niscaya benar jika

��� C H R I S D A L Y

Page 328: pengantar metode- metode filsafat

G L O S A R I U M

dan hanya jika ia benar dalamsetiap situasi yang mungkin. Iniberbeda dengan kebenarankontingen.

Kebenaran sintetik Sebuahproposisi yang kebenarannyabukan hanya soal sifat konsepyang terlibat. Ini berbedadengan kebenaran analitik.

Kemiripan keluarga (familyresemblance) Hal-hal yangdisebut memiliki kemiripankeluarga itu tidak memilikikesamaan; pasangan daribenda-benda itu mirip satusama lain dengan cara yangtidak dibutuhkan oleh pasanganlain.

Kepastian Keyakinan bisadipegang dalam tingkatkekuatan tertentu. Kita memilikiderajat keyakinan, atau tingkatkemantapan. Kita lebih yakin,atau lebih mantap, bahwabeberapa keyakinan kita benardaripada keyakinan lain.Misalnya, Moore lebih yakinbahwa dia punya tangandaripada bahwa ada argumenbagus untuk klaim bahwa dia

tidak punya tangan.

Kesederhanaan ideologisKesederhanaan ideologissebuah teori adalah ukuranjumlah istilah non-logis yangprimitif yang digunakan olehteori tersebut.

Kesederhanaan ontologisKesederhanaan ontologissebuah teori adalah ukuranjumlah entitas yang diandaikanada teori tersebut.Kesederhanaan ontologis dapatdibedakan lebih lanjut dalamhal jumlah jenis entitas yangdiandaikan ada oleh teoritersebut (kesederhanaankualitatif) atau jumlah contohdari jenis entitas yangdiandaikan ada oleh teoritersebut (kesederhanaankuantitatif).

Keseimbangan reflektifIntegrasi yang koheren terhadapteori dan intuisi. Ini dapatdicapai dengan modifikasi disalah satu atau kedua bidang.

Keyakinan dasar Keyakinantertentu seseorang itu

C H R I S D A L Y ���

Page 329: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

merupakan keyakinan dasarjika masuk akal bagi orangtersebut untuk memegangkeyakinan itu meskipunkeyakinan itu tidak terjustifikasioleh keyakinan lain yangdimiliki oleh orang tersebut.

Komitmen ontologisKomitmen ontologis sebuahteori adalah entitas yang harusada jika teori itu benar.Komitmen ontologis seseorangadalah entitas yang harus adajika teori yang dia yakini itubenar.

Konsep Cara mentalmerepresentasikan sesuatu.Konsep TIKUS, misalnya,merepresentasikan semua tikusdan hanya tikus. Konsep seringjuga diartikan sebagai maknakata, sehingga konsep TIKUSadalah makna dari kata dalambahasa Indonesia “tikus”, katabahasa Inggris “rat”, katabahasa Jerman “ratte”, danseterusnya.

Konservatisme epistemikPosisi bahwa kamu sudahmeyakini p itu merupakan

alasan bagimu saat ini untukmeyakini bahwa p.

Kontraposisi Kontraposisi dariproposisi bahwa semua F adalahG adalah proposisi bahwa semuanon-G adalah non-F . Misalnya,kontraposisi dari proposisibahwa semua anjing itumenggonggong adalah proposisibahwa semua hal yang tidakmenggonggong itu bukan anjing.Sebuah proposisi dankontraposisinya itu ekuivalensecara logis.

Menimbulkanpertanyaan-lanjutan (Beggingthe question) Sebuah argumenmenimbulkanpertanyaan-lanjutan jikapremisnya mengasumsikankesimpulan argumen tersebut.

Naturalisme Naturalismemetodologis mengatakan bahwafilsafat harus mengadopsimetode penyelidikan ilmiah danharus menggunakan hasililmiah. Naturalisme metafisikmengatakan bahwa filsafatharus mengandaikankeberadaan semua dan hanya

��� C H R I S D A L Y

Page 330: pengantar metode- metode filsafat

G L O S A R I U M

entitas yang diakui oleh sains.

Objek abstrak Objek yangtidak terletak dalam ruang atauwaktu. Contohnya termasukangka, proposisi, dan jenis. Iniberbeda dengan objek konkret.

Objek konkret Objek yangterletak di dalam ruang atauwaktu. Contohnya termasukpohon, tulisan kata dan kalimat,pengalaman yang kamu alamisekarang, dan keyakinanmubahwa kamu sedang membaca.(Karena tulisan adalah tulisan ditempat tertentu, maka ia terletakdi dalam ruang. Karenapengalaman dan keyakinanadalah sesuatu kamu milikipada waktu tertentu, tetapitidak di waktu yang lain, makaia berada di dalam waktu). Iniberbeda dengan objek abstrak.

Pandangan umum (Commonsense) Apa yang umumnyaditerima secara spontan dankuat oleh suatu komunitas.

Paradoks analisis Sebuahanalisis itu benar hanya jika iatidak menarik, dan ia menarik

hanya jika ia salah.

Parafrase Menggunakan bentukkata lain untuk menyampaikanapa yang diucapkan olehkalimat dengan lebih jelas atauringkas.

Pengetahuan aposterioriPengetahuan proposisionalyang diperoleh melaluipengalaman indrawi. Iniberbeda dengan pengetahuanapriori.

Pengetahuan aprioriPengetahuan proposisionalyang diperoleh semata-matadengan memahami proposisidan penalaran, dan independendari pengalaman indrawi. Iniberbeda dengan pengetahuanaposteriori.

Pengetahuan modalPengetahuan tentang apa yangmungkin atau tentang apa yangniscaya.

Penjelasan dengan unifikasiMenjelaskan jenis fenomenayang berbeda denganmengklasifikasikannya sebagai

C H R I S D A L Y ���

Page 331: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

bagian dari sejumlah kecil jenisfenomena yang lebihfundamental.

Penjelasan yang membuktikandirinya sendiri (Self-evidencingexplanation) Penjelasan yangsatu-satunya pendukungnyaadalah fenomena yang iajelaskan. Misalnya, kamu dapatmenjelaskan jejak tertentu disalju dengan hipotesis bahwaseseorang telah lewat dengansepatu salju, meskipunsatu-satunya bukti bahwaseseorang telah lewat dengansepatu salju adalah jejak di saljuitu sendiri.

Penyimpulan menujupenjelasan terbaikMenyimpulkan bahwa hipotesistertentu merupakan penjelasanyang benar atas beberapafenomena karena hipotesis itumemberikan penjelasanpotensial terbaik terhadapfenomena tersebut.

Pisau cukur Ockham Prinsipbahwa teori tidak boleh lebihrumit dari yang seharusnya,dan tidak boleh mengandaikan

keberadaan lebih banyak entitasdaripada yang dibutuhkan.

Prioritas epistemik Kita tahubahwa beberapa proposisi itubenar hanya karena kita tahubahwa beberapa proposisi lainbenar. Proposisi yang disebutterakhir itu secara epistemiklebih utama daripada proposisiyang disebut pertama. Proposisidalam himpunan H secaraepistemik lebih utama daripadaproposisi dalam himpunan H

jika dan hanya jika mungkinuntuk mengetahui semuaproposisi dalam himpunan H

tanpa mengetahui proposisidalam himpunan H

⇤, tetapitidak sebaliknya.

Problem analisis gandaAnalisis yang sama baiknyaterhadap konsep yang samatidak perlu memiliki maknayang sama.

Proposisi Sepotong informasiyang diekspresikan oleh sebuahkalimat (sering kali relatifterhadap sebuah konteks).

Realisme modal Pembicaraan

��� C H R I S D A L Y

Page 332: pengantar metode- metode filsafat

G L O S A R I U M

tentang kemungkinan dankeniscayaan harus dipahamisebagai pembicaraan tentangdunia mungkin, di mana duniamungkin yang lain adalahhal-hal yang sama jenisnyadengan dunia aktual.

Teori identitas pikiran-otakSifat mental itu identik dengansifat fisikal otak.

C H R I S D A L Y ���

Page 333: pengantar metode- metode filsafat
Page 334: pengantar metode- metode filsafat

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, D.F. (1981) “The Informativeness of Philosophical Ana-lysis” Midwest Studies in Philosophy volume VI: 313–20.

Ackerman, D.F. (1990) “Analysis, Language, and Concepts: TheSecond Paradox of Analysis” Philosophical Perspectives 4, 1990,Action Theory and Philosophy of Mind: 535–543.

Alexander, Joshua and Jonathan M. Weinberg (2007) “Analytic Epis-temology and Experimental Philosophy” Philosophy Compass 2:56–80.

Alston, William P. (1958) “Ontological Commitments” PhilosophicalStudies 9: 8–17.

Alston, William P. (1976) “Two Types of Foundationalism” Journal ofPhilosophy 73: 165–85.

Anderson, C. Anthony (1987) “Bealer’s Quality and Concept” Journalof Philosophical Logic 16: 115–164.

Anderson, C. Anthony (1990) “Logical Analysis and Natural La-nguage: The Problem of Multiple Analyses” in Peter Klein(ed.) Praktische Logik (Gottingen: Vandenhoeck and Ruprecht):169–179.

Anderson, C. Anthony (1993) “Analyzing Analysis” PhilosophicalStudies 72: 199–222.

Anderson, C. Anthony (1998) “Alonzo Church’s Contributions toPhilosophy and Intensional Logic” The Bulletin of Symbolic Logic

Page 335: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

4: 129–171.Antony, Louise (2004) “A Naturalised Approach to the A Priori”

Philosophical Issues 14: 1–17.Aristotle, Metaphysics, W.D. Ross (trans. and ed.) (1924) (Oxford:

Oxford University Press).Aristotle, De Caelo, J.L. Stocks (trans.) in W.D. Ross (ed.) (1930) The

Works of Aristotle volume 2 (Oxford: Clarendon Press).Armstrong, D.M. (1978) Nominalism and Realism: Universals and Sci-

entific Realism volume I (Cambridge: Cambridge UniversityPress).

Armstrong, D.M. (1989) Universals: An Opinionated Introduction (Bo-ulder, CO: Westview Press).

Armstrong, D.M. (1997) A World of States of Affairs (Cambridge:Cambridge University Press).

Armstrong, D.M. (2006) “The Scope and Limits of Human Knowle-dge” Australasian Journal of Philosophy 84: 159–166.

Armstrong, Sharon L., Lila R. Gleitman, and Henry Gleitman (1980)“What Some Concepts Might Not Be” Cognition 13: 263–308.

Austin, J.L. (1962) Sense and Sensibilia (Oxford: Clarendon Press).Ayer, A.J. (1936) Language, Truth and Logic (London: Victor Gollancz).Baker, Alan (2003) “Quantitative Parsimony and Explanatory Po-

wer” British Journal for the Philosophy of Science 54: 245–259.Baker, Gordon and P.M.S. Hacker (1992) An Analytical Commentary

on Wittgenstein’s Philosophical Investigations volume 1 (Oxford:Blackwell).

Balaguer, Mark (2009) “The Metaphysical Irrelevance of the Compa-tibilism Debate (and, More Generally, of Conceptual Analysis”)Southern Journal of Philosophy 48: 1–24.

Baldwin, Thomas (1990) G.E. Moore (London: Routledge).Baldwin, Thomas (2003) “The Indefinability of Good” Journal of

Value Inquiry 37: 313–28.

��� C H R I S D A L Y

Page 336: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Ball, Stephen W. (1988) “Reductionism in Ethics and Science: AContemporary Look at G.E. Moore’s Open-Question Argument”American Philosophical Quarterly 25 (3): 197–213.

Ball, Stephen W. (1991) “Linguistic Intuitions and Varieties of EthicalNaturalism” Philosophy and Phenomenological Research 51: 1–38.

Bangu, Sorin (2005) “Later Wittgenstein on Essentialism, FamilyResemblance and Philosophical Method” Metaphysica 6: 53–73.

Barber, Alex (2007) “Review of Noah Lemos, Common Sense: AContemporary Defense” Philosophical Books 48: 177–80.

Barnes, E.C. (2000) “Ockham’s Razor and the Anti-Superfluity Prin-ciple” Erkenntnis 53: 353–74.

Barnes, Eric (1992) “Explanatory Unification and Scientific Unders-tanding” Philosophy of Science Association 1992 volume 1: 3–12.

Bealer, George (1987) “The Philosophical Limits of Scientific Essenti-alism” Philosophical Perspectives 1, Metaphysics: 289–365.

Bealer, George (1992) “The Incoherence of Empiricism” Proceedingsof the Aristotelian Society supplementary volume 66: 99–138.

Bealer, George (1996) “A Priori Knowledge and the Scope of Philo-sophy” Philosophical Studies 81: 121–42.

Beaney, Michael (2001) “From Conceptual Analysis to Serious Meta-physics” International Journal of Philosophical Studies 9: 521–42.

Beaney, Michael (2006) “Appreciating the Varieties of Analysis: aReply to Ongley” The Bertrand Russell Society Quarterly 128–29:42–9.

Beaney, Michael (2007) “Analysis” Stanfo-rd Encyclopedia of Philosophy <ht-tp://plato.stanford.edu/entries/analysis/index.html>.

Beebee, Helen (2001) “Transfer of Warrant, Begging the Question,and Semantic Externalism” Philosophical Quarterly 51: 356–74.

Bezuidenhout, Anne (1996) “Resisting the Step Toward Naturalism”Philosophy and Phenomenological Research 56: 743–70.

C H R I S D A L Y ���

Page 337: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Bigelow, John and Robert Pargetter (1990) Science and Necessity (Cam-bridge: Cambridge University Press).

Bishop, Michael (1992) “Theory-ladenness of Perception Arguments”Philosophy of Science Association 1992 volume 1: 287–99.

Bishop, Michael (1999) “Why Thought Experiments Are Not Argu-ments” Philosophy of Science 66: 534–41.

Blackburn, Simon (1973) Reason and Prediction (Cambridge: Cambri-dge University Press).

Blanchette, Patricia (2007) “Frege on Consistency and ConceptualAnalysis” Philosophia Mathematica 15: 321–46.

Block, Ned and Robert Stalnaker (1999) “Conceptual Analysis, Dua-lism, and the Explanatory Gap” Philosophical Review 108: 1–46.

Bokulich, Alisa (2001) “Rethinking Thought Experiments” Perspecti-ves on Science 9: 285–307.

Bonjour, Laurence (1998) In Defense of Pure Reason (Cambridge: Cam-bridge University Press).

Braddon-Mitchell, David and Robert Nola (2009) (eds.) Conceptu-al Analysis and Philosophical Naturalism (Cambridge, MA: MITPress).

Brock, Stuart and Edwin Mares (2007) Realism and Anti-Realism (Che-sham: Acumen).

Brown, James Robert (1991a) “Thought Experiments: A PlatonicAccount” in Tamara Horowitz and Gerald Massey (eds.) Thou-ght Experiments in Science and Philosophy (Savage, MD: Rowmanand Littlefield): 119–28.

Brown, James Robert (1991b) The Laboratory of the Mind: ThoughtExperiments in the Natural Sciences (London: Routledge).

Brown, James Robert (2004a) “Peeking into Plato’s Heaven” Philoso-phy of Science 71: 1126–38.

Brown, James Robert (2004b) “Why Thought Experiments TranscendExperience” in Christopher Hitchcock (ed.) Contemporary De-bates in Philosophy of Science (London: Routledge): 23–43.

��� C H R I S D A L Y

Page 338: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Brown, James Robert (2007a) “Counter Thought Experiments” inAnthony O’Hear (ed.) Philosophy of Science (Cambridge: Cam-bridge University Press): 155–77.

Brown, James Robert (2007b) “Thought Experiments in Science,Philosophy, and Mathematics,” Croatian Journal of Philosophy 10:3–27.

Burgess, John P. (1983) “Why I Am Not a Nominalist” Notre Dame ofFormal Logic 24: 93–105.

Burgess, John P. (1998) “Occam’s Razor and Scientific Method” inMatthias Schirn (ed.) Philosophy of Mathematics Today (Oxford:Oxford University Press): 195–214.

Burgess, John P. and Gideon Rosen (1997) A Subject with No Object:Strategies for Nominalistic Interpretation of Mathematics (Oxford:Oxford University Press).

Byrne, Alex and Ned Hall (2004) “Necessary Truths: Scott Soames’sPhilosophical Analysis in the Twentieth Century” Boston ReviewOctober/November 2004: 34–36.

Campbell, Keith (1988) “Philosophy and Common Sense” Philosophy63: 161–174.

Carnap, Rudolf (1928) Der logische Aufbau der Welt (Berlin:Weltkreis-Verlag).

Carnap, Rudolf (1950) Logical Foundations of Probability (Chicago:University of Chicago Press).

Carroll, John W. (1994) Laws of Nature (Cambridge: Cambridge Uni-versity Press).

Casullo, Albert (2003) A Priori Justification (Oxford: Oxford Universi-ty Press).

Chalmers, David (1996) The Conscious Mind (Oxford: Oxford Univer-sity Press).

Cherniss, H.F. (1936) “The Philosophical Economy of Plato’s Theoryof Ideas” American Journal of Philology 57: 445–56. Reprinted inH.F.

C H R I S D A L Y ���

Page 339: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Cherniss (1977) Selected Papers, L. Taran (ed.) (Leiden: E.J. Brill):121–132.

Chisholm, Roderick M. (1959) Perceiving (Ithaca: Cornell UniversityPress).

Chisholm, Roderick M. (1966) Theory of Knowledge (2nd edition;Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall).

Chisholm, Roderick M. (1982) The Foundations of Knowing (Brighton:The Harvester Press).

Christensen, David (1994) “Conservatism in Epistemology” Noûs28: 69–89.

Churchland, Paul M. (1988) “Perceptual Plasticity and TheoreticalNeutrality: A Reply to Fodor” Philosophy of Science 55: 167–87.

Coady, C.A.J. (2007) “Moore’s Common Sense” in Susana Nucce-telli and Gary Seay (eds.) Themes from G.E. Moore: New Essaysin Epistemology and Ethics (Oxford: Oxford University Press):100–18.

Cohnitz, Daniel (2003) “Personal Identity and the Methodologyof Imaginary Cases” in Klaus Petrus (ed.) On Human Persons(Frankfurt: Ontos Verlag): 145–81.

Cohnitz, Daniel (2006) “Poor Thought Experiments?” Journal forGeneral Philosophy of Science 37: 373–92.

Coleman, Stephen (2000) “Thought Experiments and Personal Iden-tity” Philosophical Studies 98: 53–69.

Colyvan, Mark (2001) The Indispensability of Mathematics (Oxford:Oxford University Press).

Conee, Earl (1996) “Why Solve the Gettier Problem?” in Paul Moser(ed.) Empirical Knowledge: Readings in Contemporary Epistemology(2nd edition; Lanham, MD: Rowman and Littlefield): 261–65.

Conee, Earl (2001) “Comments on Bill Lycan’s Moore Against theNew Sceptics” Philosophical Studies 103: 55–59.

Cooper, Rachel (2005) “Thought Experiments” Metaphilosophy 36:328–47.

��� C H R I S D A L Y

Page 340: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Craig, Edward (1990) Knowledge and the State of Nature: An Essay inConceptual Synthesis (Oxford: Oxford University Press).

Cummins, Robert (1998) “Reflections on Reflective Equilibrium” InMichael DePaul and William Ramsey (eds.) Rethinking Intuition:The Psychology of Intuition and Its Role in Philosophical Inquiry(Lanham, MD: Rowman and Littlefield): 113–28.

Daniels, Norman (1980) “Reflective Equilibrium and ArchimedeanPoints” Canadian Journal of Philosophy 10: 83–103.

Darwell, Stephen, Allan Gibbard, and Peter Railton (1992) “TowardsFin de Siécle Ethics: Some Trends” Philosophical Review 101:115–89.

Davidson, Donald (1975) “Thought and Talk” in Samuel Guttenplan(ed.) Mind and Language (Oxford: Oxford University Press): 7–24.Reprinted in Donald Davidson (2001) Inquiries into Truth andInterpretation (2nd edition; Oxford: Oxford University Press):155–171.

Davies, Martin (2000) “Externalism and Armchair Knowledge” inPaul Boghossian and Christopher Peacocke (eds.) New Essayson the A Priori (Oxford: Oxford University Press): 384–414.

Davies, Martin (2003) “The Problem of Armchair Knowledge” inSusanna Nuccetelli (ed.) New Essays on Semantic Externalism andSelf-Knowledge (Cambridge, MA: MIT Press): 25–55.

DePaul, Michael R. (1998) “Why Bother With Reflective Equilibri-um?” in Michael R. DePaul and William Ramsey (eds.) Rethin-king Intuition: The Psychology of Intuition and Its Role in Philoso-phical Inquiry (Lanham, MD: Rowman and Littlefield): 293–309.

Descartes, Rene (1641) Meditations on First Philosophy, Donald A.Cress (trans.) (1993) (3rd edition; Indianapolis: Hackett Press).

Deutsch, Max (2009) “Experimental Philosophy and the Theory ofReference” Mind and Language 24: 445–466.

Dieterle, J.M. (1999) “Mathematical, Astrological, and TheologicalNaturalism” Philosophia Mathematica 7: 129–35.

C H R I S D A L Y ���

Page 341: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Dieterle, J.M. (2001) “Ockham’s Razor, Encounterability, and Onto-logical Naturalism” Erkenntnis 55: 51–72.

Divers, John (1994) “On The Prohibitive Cost of Indiscernible Con-crete Worlds” Australasian Journal of Philosophy 72: 384–89.

Dorr, Cian and Gideon Rosen (2001) “Composition as a Fiction”in Richard Gale (ed.) Blackwell’s Guide to Metaphysics (Oxford:Blackwell): 151–74.

Došen, Kosta (1994) “Logical Constants as Punctuation Marks” inDov M. Gabbay (ed.) What Is A Logical System? (Oxford: OxfordUniversity Press): 273–96.

Dretske, Fred (1981) “The Pragmatic Dimension of Knowledge”Philosophical Studies 40: 363–78.

Dretske, Fred (1988) Explaining Behaviour: Reasons in A World ofCauses (Cambridge, MA: MIT Press).

Dretske, Fred (2003) “Skepticism: What Perception Teaches” in Ste-ven Luper (ed.) The Skeptics: Contemporary Essays (Aldershot,Hampshire: Ashgate): 105–18.

Duhem, Pierre (1914) The Aim and Structure of Physical Theory, Phi-lip P. Wiener (trans.) (1952) (2nd edition; Princeton: PrincetonUniversity Press).

Dummett, Michael (1979) “Common Sense and Physics” in G.F.Macdonald (ed.) Perception and Identity: Essays Presented to A.J.Ayer with his Replies to Them (London: Macmillan): 1–40.

Dummett, Michael (1991) The Seas of Language (Oxford: Oxford Uni-versity Press).

Einstein, Albert (1949) “Autobiographical Notes” in Paul A. Schilpp(ed.) Albert Einstein: Philosopher–Scientist (La Salle, IL: OpenCourt): 665–88.

Euclid, The Thirteen Books of the Elements, Volume 1: Books 1 and2, Thomas Heath (trans. and ed.) (2000) (2nd edition; London:Dover Publications).

��� C H R I S D A L Y

Page 342: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Feldman, Richard (1998) “Naturalism in Epistemology” EurAmerica28: 1–39.

Feldman, Richard (2001) “Naturalized Epistemo-logy” Stanford Encyclopedia of Philosophy.<http://www.seop.leeds.ac.uk/entries/epistemology-naturalized/>.

Feldman, Richard (2002) “Methodological Naturalism in Epistemo-logy” in John Greco and Ernest Sosa (eds.) The Blackwell Guideto Epistemology: 170–186.

Feldman, Richard (2003) Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Pren-tice Hall).

Feltz, Adam (2008) “Problems with the Appeal to Intuition in Epis-temology” Philosophical Explorations 11: 131–41.

Field, Hartry H. (1981) “Mental Representation” (and Postscript) inNed Block (ed.) Readings in the Philosophy of Psychology volumeII (Cambridge, MA: Harvard University Press): 78–114.

Field, Hartry (2005) “Recent Debates about the A Priori” in TamarGendler and John Hawthorne (eds.) Oxford Studies in Epistemo-logy (Oxford: Oxford University Press): 69–88.

Fodor, Jerry (1984) “Observation Reconsidered” Philosophy of Science51: 23–43.

Fodor, Jerry (1998) Concepts: Where Cognitive Science Went Wrong(Oxford: Oxford University Press).

Fodor, Jerry and Ernest Lepore (1994) “The Red Herring and ThePet Fish: Why Concepts Still Can’t Be Prototypes” Cognition 58:253–70.

Foley, Richard (1993) “What’s to Be Said for Simplicity?” Philosophi-cal Issues, Volume 3, Science and Knowledge: 209–24.

Foley, Richard (1994) “Quine and Naturalized Epistemology” Mi-dwest Studies in Philosophy volume XIX: 243–60.

Forrest, Peter (1982) “Occam’s Razor and Possible Worlds” The Mo-nist 65: 456–64.

C H R I S D A L Y ���

Page 343: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Forrest, Peter (2001) “Counting the Cost of Modal Realism” in Ger-hard Preyer and Frank Siebelt (eds.) Reality and Humean Supe-rvenience: Essays on the Philosophy of David Lewis (Lanham, MD:Rowman and Littlefield): 93–103.

Forster, Michael and Elliott Sober (2004) “How to Tell When Simpler,More Unified, or Less Ad Hoc Theories Will Provide MoreAccurate Predictions” British Journal for the Philosophy of Science45: 1–36.

Frankena, W.K. (1939) “The Naturalistic Fallacy” Mind 48: 464–77.Frege, Gottlob (1879) Begriffschrift. Preface translated in Michael

Beaney (ed.) (1997) The Frege Reader (Oxford: Blackwell): 48–52.Friedman, Michael (1979) “Truth and Confirmation” Journal of Philo-

sophy 76: 361–82.Friedman, Michael (1981) “Theoretical Explanation” in R. Healey

(ed.) Reduction, Time and Reality (Cambridge: Cambridge Uni-versity Press): 1–16.

Fumerton, Richard (1992) “Skepticism and Reasoning to the BestExplanation” in Enrique Villaneuva (ed.) Philosophical Issues Vo-lume 2: Rationality in Epistemology (Atascadero, CA: RidgeviewPublishing): 149–169.

Fumerton, Richard (2007) “Open Questions and the Nature of Philo-sophical Analysis” in Susana Nuccetelli and Gary Seay (eds.)Themes from G.E. Moore: New Essays in Epistemology and Ethics(Oxford: Oxford University Press): 237–43.

Galilei, Galileo (1638) Dialogues Concerning Two New Sciences (1991)(Buffalo: Prometheus Books).

Geach, P.T. (1972) Logic Matters (Oxford: Blackwell).Gendler, Tamar Szabo (1998) “Galileo and the Indispensability of

Scientific Thought Experiments” British Journal for the Philosophyof Science 49: 397–424.

Gendler, Tamar Szabo (2000) Thought Experiment: On the Powers andLimits of Imaginary Cases (New York: Garland/Routledge).

��� C H R I S D A L Y

Page 344: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Gendler, Tamar Szabo (2004) “Thought Experiments Rethought —and Reperceived” Philosophy of Science 71: 1152–63.

Gendler, Tamar Szabo and John Hawthorne (2002) (eds.) Conceivabi-lity and Possibility (Oxford: Oxford University Press).

Gettier, Edmund (1963) “Is Justified True Belief Knowledge?” Ana-lysis 23: 121–23.

Goldman, Alvin I. (1978) “Epistemics: The Regulative Theory ofCognition” Journal of Philosophy 75: 509–23.

Goldman, Alvin I. (1986) Epistemology and Cognition (Harvard: Ha-rvard University Press).

Goldman, Alvin I. (1994a) “Epistemic Folkways and Scientific Epis-temology” in Hilary Kornblith (ed.) Naturalizing Epistemology(2nd edition; Cambridge, MA: MIT Press): 291–315.

Goldman, Alvin I. (1994b) “Naturalistic Epistemology and Reliabi-lism” Midwest Studies in Philosophy volume XIX: 301–20.

Goldman, Alvin I. (1999) “A Priori Warrant and Naturalistic Episte-mology” Philosophical Issues 13: 1–28.

Goldman, Alvin I. (2007) “Philosophical Intuitions: Their Target,Their Source, and Their Epistemic Status” Grazer PhilosophischeStudien 74: 1–26.

Gooding, David (1990) Experiment and the Making of Meaning: Hum-an Agency in Scientific Observation and Experiment (Dordrecht:Kluwer Academic Press).

Goodman, Nelson (1951) The Structure of Appearance (Harvard: Ha-rvard University Press).

Goodman, Nelson (1955) Fact, Fiction and Forecast (Cambridge, MA:Harvard University Press).

Goodman, Nelson (1963) “The Significance of Der Logische Aufbauder Welt” in P.A. Schilpp (ed.) The Philosophy of Rudolf Carnap(La Salle, IL: Open Court): 545–58.

Govier, Trudy (1992) A Practical Study of Argument (3rd edition;Belmont: Wadsworth).

C H R I S D A L Y ���

Page 345: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Gregory, Paul A. (2008) Quine’s Naturalism: Language, Theory, and theKnowing Subject (London: Continuum Press).

Grim, Patrick, Gary Mar, and Paul St. Denis (1998) (eds.) The Philo-sophical Computer: Exploratory Essays in Philosophical ComputerModelling (Cambridge, MA: MIT Press).

Gunner, D.L. (1967) “Comments on Professor Smart’s ‘Sensationsand Brain Processes’” in C.F. Presley (ed.) The Identity Theory ofMind (St. Lucia: Queensland University Press): 1–20.

Gupta, Anil and Nuel Belnap (1993) The Revision Theory of Truth(Cambridge, MA: MIT Press).

Gustafsson, Martin (2006) “Quine on Explication and Elimination”Canadian Journal of Philosophy 36: 57–70.

Haack, Susan (1993) “The Two Faces of Quine’s Naturalism” Synthe-se 94: 335–56.

Haggqvist, Soren (1996) Thought Experiments in Philosophy (Stoc-kholm: Almqvist and Wiksell International).

Haggqvist, Soren (2007) “The A Priori Thesis: A Critical Assessment”Croatian Journal of Philosophy 19: 47–61.

Haggqvist, Soren (2009) “A Model for Thought Experiments” Cana-dian Journal of Philosophy 39: 55–76.

Hales, Stephen D. (1997) “Ockham’s Disposable Razor” in PaulWeingartner, Gerhard Schurz, and Georg Dorn (eds.) The Roleof Pragmatics in Contemporary Philosophy: Contributions of theAustrian Ludwig Wittgenstein Society (Vienna: Holder-Pichler-Tempsky): 356–61.

Hales, Stephen D. (2006) Relativism and the Foundations of Philosophy(Cambridge, MA: MIT Press).

Hanna, Joseph F. (1968) “An Explication of ‘Explication’” Philosophyof Science 35: 28–44.

Hanna, Robert (2006) Rationality and Logic (Cambridge, MA: MITPress).

��� C H R I S D A L Y

Page 346: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Harman, Gilbert (1965) “The Inference to the Best Explanation”Philosophical Review 74: 88–95.

Harman, Gilbert (1967) “Quine on Meaning and Existence: II” Reviewof Metaphysics 21: 343–67.

Harman, Gilbert (1973) Thought (Princeton: Princeton UniversityPress).

Hellman, Geoffrey and Frank Wilson Thompson (1975) “Physica-lism: Ontology, Determination and Reduction” Journal of Philo-sophy 72: 551–64.

Hempel, Carl G. (1965) Aspects of Scientific Explanation and OtherEssays in the Philosophy of Science (New York: Free Press).

Hempel, Carl G. (1966) Philosophy of Natural Science (EnglewoodCliffs, NJ: Prentice–Hall).

Henderson, David and Terry Horgan (2000) “What Is A Priori, andWhat Is It Good For?” Southern Journal of Philosophy supplemen-tary volume 38: 51–86.

Hetherington, Stephen (2001) Good Knowledge, Bad Knowledge: OnTwo Dogmas of Epistemology (Oxford: Oxford University Press).

Hill, Christopher S. (1991) Sensations: A Defense of Type Materialism(Cambridge: Cambridge University Press).

Hintikka, Jaakko (1999) “The Emperor’s New Intuitions” Journal ofPhilosophy 96: 127–47.

Hirsch, Eli (2002) “Quantifier Variance and Realism” in EnriqueVillaneuva (ed.) Philosophical Issues, 12, Realism and Relativism,2002 (Atascadero, CA: Ridgeview Publishing): 51–73.

Horty, John F. (2008) Frege on Definition: A Case Study of SemanticContent (Oxford: Oxford University Press).

Horwich, Paul (1998) Truth (2nd edition; Oxford: Oxford UniversityPress).

Huemer, Michael (2008) “When is Parsimony a Virtue?” PhilosophicalQuarterly 59: 216–36.

C H R I S D A L Y ���

Page 347: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Humberstone, I.L. (1997) “Two Types of Circularity” Philosophy andPhenomenological Research 57: 249–80.

Hume, David (1739–40) A Treatise on Human Nature, David Fate Nor-ton and Mary J. Norton (eds.) (2000) (Oxford: Oxford UniversityPress).

Humphreys, Paul (1984) “Explanation in Philosophy and in Scien-ce” in James H. Fetzer (ed.) Principles of Philosophical Reasoning(Lanham, MD: Rowman and Littlefield): 172–89.

Humphreys, Paul (1993) “Greater Unification equals Greater Un-derstanding?” Analysis 53: 183–88.

Hylton, Peter (1994) “Quine’s Naturalism” Midwest Studies in Philo-sophy volume XIX: 261–82.

Hylton, Peter (2007) Quine (London: Routledge). Ichikawa, Jonathan(2009) “Knowing the Intuition and Knowing the Counterfactu-al” Philosophical Studies 145: 435–43.

Jackson, Frank (1977) “Statements about Universals” Mind 86:427–29.

Jackson, Frank (1982) “Epiphenomenal Qualia” Philosophical Quar-terly 32: 127–36.

Jackson, Frank (1987) Conditionals (Oxford: Blackwell).Jackson, Frank (1994) “Metaphysics by Possible Cases” The Monist

77: 93–110.Jackson, Frank (1998) From Metaphysics to Ethics: A Defence of Concep-

tual Analysis (Oxford: Oxford University Press).Jackson, Frank (2008) “Review of Joshua Knobe and

Shaun Nichols (eds.) Experimental Philosophy” No-tre Dame Philosophical Reviews, December 2008. <ht-tp://ndpr.nd.edu/review.cfm?id=14828>.

Jackson, Frank (2009) “Thought Experiments and Possibilities” Ana-lysis Reviews 69: 100–09.

Jackson, Frank and David Braddon-Mitchell (1996) Philosophy ofMind and Cognition (Oxford: Blackwell).

��� C H R I S D A L Y

Page 348: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Jenkins, Carrie (2006) “Knowledge and Explanation” Canadian Jour-nal of Philosophy 36: 137–64.

Jenkins, Carrie (2008) “Romeo, Rene, and The Reasons Why: WhatExplanation Is” Proceedings of the Aristotelian Society 108: 61–84.

Johnston, Mark (1987) “Human Beings” Journal of Philosophy 84:59–83.

Joyce, Richard (2002) “Theistic Ethics and the Euthyphro Dilemma”Journal of Religious Ethics 30: 49–75.

Jubien, Michael (1988) “Problems with Possible Worlds” in D.F.Austin (ed.) Philosophical Analysis (Kluwer: Kluwer AcademicPress): 299–322.

Kahneman, David, Paul Slovic, and Amos Tversky (1982) ReasoningUnder Uncertainty: Heuristics and Biases (Cambridge: CambridgeUniversity Press).

Kalderon, Mark Eli (2004) “Open Questions and the Manifest Image”Philosophy and Phenomenological Research 68: 251–89.

Kauppinen, Antti (2007) “The Rise and Fall of Experimental Philo-sophy” Philosophical Explorations 10: 95–118.

Keefe, Rosanna (2002) “When Does Circularity Matter?” Proceedingsof the Aristotelian Society 102: 275–92.

Keil, Frank (1989) Concepts, Kinds, and Cognitive Development (Cam-bridge, MA: MIT Press).

Kelly, Thomas (2008) “Common Sense as Evidence: Against Revisio-nary Ontology and Skepticism” Midwest Studies in Philosophy32: 53–78.

Kim, Jaegwon (1988) “What is Naturalized Epistemology?” Philoso-phical Perspectives, 2, 1988, Epistemology: 381–405.

King, Jeffrey C. (2007) The Nature and Structure of Content (Oxford:Oxford University Press).

Kitcher, Patricia (1978) “On Appealing to the Extraordinary” Meta-philosophy 9: 99–107.

C H R I S D A L Y ���

Page 349: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Kitcher, Philip (1992) “The Naturalists Return” Philosophical Review101: 53–114.

Knobe, Joshua and Shaun Nichols (2008) (eds.) Experimental Philoso-phy (Oxford: Oxford University Press).

Kornblith, Hilary (1994a) “Introduction: What is Naturalized Episte-mology?” in Naturalizing Epistemology (2nd edition; Cambridge,MA: MIT Press): 1–14.

Kornblith, Hilary (1994b) “Naturalism: Both Metaphysical and Epis-temological” Midwest Studies in Philosophy volume XIX: 39–52.

Kornblith, Hilary (1995) “Naturalistic Epistemology and its Critics”Philosophical Topics 23: 237–55.

Kornblith, Hilary (2000) “The Impurity of Reason” Pacific Philoso-phical Quarterly 81: 67–89.

Kornblith, Hilary (2002a) “In Defense of Naturalized Epistemology”in John Greco and Ernest Sosa (eds.) The Blackwell Guide toEpistemology: 158–69.

Kornblith, Hilary (2002b) Knowledge and Its Place in Nature (Oxford:Oxford University Press).

Kornblith, Hilary (2006) “Appeals to Intuition and the Ambitions ofEpistemology” in Stephen Cade Hetherington (ed.) EpistemologyFutures (Oxford: Oxford University Press): 10–25.

Kornblith, Hilary (2007) “The Naturalistic Project in Epistemology:Where Do We Go From Here?” in Chienkuo Mi and Ruey-linChen (eds.) Naturalized Epistemology and Philosophy of Science(Amsterdam: Rodopi Press): 39–59.

Kraut, Robert (2001) “Metaphysical Explanation and the Philosophyof Mathematics: Reflections on Jerrold Katz’s Realistic Rationa-lism” Philosophia Mathematica 9: 154–83.

Kripke, Saul (1971) “Identity and Necessity” in Milton K. Munitz(ed.) Identity and Individuation (New York: New York Universi-ty Press): 135–64. Reprinted in A.P. Martinich and David Sosa(eds.) (2001) Analytic Philosophy: An Anthology (Oxford: Blac-

��� C H R I S D A L Y

Page 350: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

kwell): 72–89.Kripke, Saul (1972) “Naming and Necessity” in Gilbert Harman and

Donald Davidson (eds.) Semantics of Natural Language (Reidel:D. Dordrecht): 253–355, 763–69. Reprinted as Saul Kripke (1980)Naming and Necessity (Oxford: Blackwell).

Kuhn, Thomas S. (1964) “A Function for Thought Experiments”in L’Aventure de la science, Mélanges Alexandre Koyré 2: 307–34.Reprinted in The Essential Tension (Chicago: University ofChicago Press): 240–65.

Kvanvig, Jonathan L. (1994) “A Critique of van Fraassen’s Volunta-ristic Epistemology” Synthese 98: 325–48.

Ladyman, James and Don Ross with David Spurrett and John Collier(2007) Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford:Oxford University Press).

Lance, Mark Norris and John O’Leary-Hawthorne (1997) The Gram-mar of Meaning: Normativity and Semantic Discourse (Cambridge:Cambridge University Press).

Langford, C.H. (1942) “The Notion of Analysis in Moore’s Philoso-phy” in P.A. Schilpp (ed.) The Philosophy of G.E. Moore (La Salle,IL: Open Court): 321–42.

Laurence, Stephen and Eric Margolis (2003) “Concepts and Con-ceptual Analysis” Philosophy and Phenomenological Research 67:253–82.

Leibniz, Gottfried (1679) “On Universal Synthesis and Analysis,or the Art of Discovery and Judgment” in Leroy E. Loemker(trans. and ed.) (1956) Philosophical Papers and Letters volume 1(Chicago: Chicago University Press): 229–34.

Leibniz, Gottfried (1715–16) The Leibniz-Clarke Correspondence, H.G.Alexander (ed.) (1956) (Manchester: Manchester UniversityPress).

Lemos, Noah (2004) Common Sense: A Contemporary Defense (Cam-bridge: Cambridge University Press).

C H R I S D A L Y ���

Page 351: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Levin, Janet (2004) “The Evidential Status of Philosophical Intui-tions” Philosophical Studies 121: 193–224.

Lewis, David (1973) Counterfactuals (Oxford: Blackwell).Lewis, David (1983a) “Introduction” in Philosophical Papers volume

1 (Oxford: Oxford University Press): i–xiii.Lewis, David (1983b) “New Work For A Theory of Universals” Aus-

tralasian Journal of Philosophy 61: 343–77. Reprinted in DavidLewis (1999) Papers in Metaphysics and Epistemology (Cambridge:Cambridge University Press): 8–55.

Lewis, David (1986) On The Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell).Lewis, David (1988) “What Experience Teaches” Proceedings of the

Russellian Society 13: 29–57. Reprinted in David Lewis (1999)Papers in Metaphysics and Epistemology (Cambridge: CambridgeUniversity Press): 262–90.

Lewis, David (1989) “Dispositional Theories of Value” Proceedings ofthe Aristotelian Society supplementary volume 63: 113–37. Rep-rinted in David Lewis (2000) Papers in Ethics and Social Philoso-phy (Cambridge: Cambridge University Press): 68–94.

Lewis, David (1991) Parts of Classes (Oxford: Blackwell).Lewis, David (1994) “Reduction of Mind” in Samuel Guttenplan

(ed.) A Companion to the Philosophy of Mind (Oxford: Blackwell):412–31. Reprinted in David Lewis (1999) Papers in Metaphysicsand Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press):291–324.

Lewis, David (1996) “Desire as Belief II” Mind 105: 303–13. Reprintedin David Lewis (2000) Papers in Ethics and Social Philosophy(Cambridge: Cambridge University Press): 55–67.

Lewis, David (1997) “Naming the Colours” Australasian Journal ofPhilosophy 75: 325–42. Reprinted in David Lewis (1999) Papersin Metaphysics and Epistemology (Cambridge: Cambridge Uni-versity Press): 332–58.

Lewy, Casimir (1964) “G.E. Moore on the Naturalistic Fallacy” Pro-

��� C H R I S D A L Y

Page 352: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

ceedings of the British Academy 50: 251–62. Reprinted in AliceAmbrose and Morris Lazerowitz (eds.) (1970) G.E. Moore: Essaysin Retrospect (London: George Allen and Unwin): 292–303.

Liao, S. Matthew (2008) “A Defense of Intuitions” Philosophical Stu-dies 140: 247–62.

Linsky, Bernard and Edward N. Zalta (1995) “Naturalized PlatonismVersus Platonized Naturalism” Journal of Philosophy 92: 525–555.

Lipton, Peter (2004) Inference to the Best Explanation (2nd edition;London: Routledge).

Locke, John (1694) An Essay Concerning Human Understanding, PeterH. Nidditch (ed.) (1975) (Oxford: Oxford University Press).

Lucretius, Titus The Poem on Nature: De Rerum Natura, C.H. Sissons(trans.) (2003) (London: Routledge).

Lycan, William G. (1998) Judgement and Justification (Cambridge:Cambridge University Press).

Lycan, William G. (2001) “Moore Against the New Skeptics” Philoso-phical Studies 103: 35–53.

Lycan, William G. (2003) “Free Will and the Burden of Proof ” in An-thony O’Hear (ed.) Minds and Persons (Cambridge: CambridgeUniversity Press): 107–22.

Lycan, William G. (2007) “Moore’s Anti-skeptical Strategies” in Susa-na Nuccetelli and Gary Seay (eds.) Themes from G.E. Moore: NewEssays in Epistemology and Ethics (Oxford: Oxford UniversityPress): 84–99.

Lynch, Michael (2006) “Trusting Intuitions” in Patrick Greenoughand Michael P. Lynch (eds.) Truth and Realism (Oxford: OxfordUniversity Press): 227–38.

McAllister, James W. (1989) “Truth and Beauty in Scientific Reason”Synthese 78: 25–51.

McCloskey, Michael (1983) “Intuitive Physics” Scientific American248: 122–30.

C H R I S D A L Y ���

Page 353: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

McGrew, Tim and Lydia McGrew (1998) “Psychology for ArmchairPhilosophers” Idealistic Studies 28: 147–57.

Machery, Edouard, Ron Mallon, Shaun Nichols, and Stephen P. Stich(2004) “Semantics, Cross-Cultural Style” Cognition 92: B1–B12.

Maddy, Penelope (1997) Naturalism in Mathematics (Oxford: OxfordUniversity Press).

Maddy, Penelope (2007) Second Philosophy: A Naturalistic Method(Oxford: Oxford University Press).

Madell, Geoffrey (1991) “Personal Identity and the Idea of a HumanBeing” in David Cockburn (ed.) Human Beings (Cambridge:Cambridge University Press): 127–42.

Margolis, Eric and Stephen Laurence (2003) “Should We Trust OurIntuitions? Deflationary Accounts of the Analytic Data” Procee-dings of the Aristotelian Society volume 103: 299–323.

Marti, Genoveva (2009) “Against Semantic Multi-Culturalism” Ana-lysis 69: 42–48.

Maudlin, Tim (2007) The Metaphysics Within Physics (Oxford: OxfordUniversity Press).

Melia, Joseph (1992) “A Note on Lewis’s Ontology” Analysis 52:191–92.

Melia, Joseph (2003) Modality (Chesham, Buckinghamshire: AcumenPress).

Melnyck, Andrew (2008a) “Conceptual and Linguistic Analysis: ATwo-Step Program” Noûs 42: 267–91.

Melnyck, Andrew (2008b) “Philosophy and The Study of Its History”Metaphilosophy 39: 203–19.

Mišcevic, Nenad (1992) “Mental Models and Thought Experiments”International Studies in the Philosophy of Science 6: 215–26.

Mišcevic, Nenad (2001) “Science, Commonsense, and Continuity:A Defense of Continuity (A Critique of ‘Network Apriorism’)”International Studies in the Philosophy of Science 15: 19–31.

��� C H R I S D A L Y

Page 354: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Mišcevic, Nenad (2004) “The Explainability of Intuitions” Dialectica58: 43–70.

Mišcevic, Nenad (2005) “Rescuing Conceptual Analysis” CroatianJournal of Philosophy 15: 47–63.

Moore, A.W. (2009) “Not to be Taken at Face Value” Analysis Reviews69: 116–24.

Moore, G.E. (1903) Principia Ethica (revised edition, 1993; Cambridge:Cambridge University Press).

Moore, G.E. (1925) “A Defence of Common Sense” in J.H. Muirhead(ed.) Contemporary British Philosophy, second series (London:George Allen and Unwin): 193–223. Reprinted in G.E. Moore(1959) Philosophical Papers (London: George Allen and UnwinLimited): 32–59.

Moore, G.E. (1939) “Proof of an External World” Proceedings of theBritish Academy 25: 273–300. Reprinted in G.E. Moore (1959)Philosophical Papers (London: George Allen and Unwin): 127–50.

Moore, G.E. (1942) “A Reply to My Critics” in Paul Arthur Schi-llp (ed.) The Philosophy of G.E. Moore (Evanston and Chicago:Northwestern University Press): 535–677.

Moore, G.E. (1953) Some Main Problems of Philosophy (London: GeorgeAllen and Unwin).

Moore, G.E. (1959) Philosophical Papers (London: George Allen andUnwin).

Mucciolo, Laurence F. (1974) “The Identity Theory and Neuro-psychology” Noûs 8: 327–42.

Nernessian, Nancy J. (1991) “Why Do Thought Experiments Work?”Proceedings of the Cognitive Science Society volume 13 (Hillsdale,NJ: Lawrence Erlbaun): 430–38.

Nernessian, Nancy J. (1993) “In The Theoretician’s Laboratory: Tho-ught Experiments as Mental Modelling” in D. Hull, M. Forbesand K. Okruhlik (eds.) Proceedings of the 1992 Biennial Meeting ofthe Philosophy of Science Association volume 2 (Michigan: Philo-

C H R I S D A L Y ���

Page 355: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

sophy of Science Association): 291–301.Neta, Ram (2007) “Fixing the Transmission: The New Mooreans”

in Susana Nuccetelli and Gary Seay (eds.) Themes from G.E.Moore: New Essays in Epistemology and Ethics (Oxford: OxfordUniversity Press): 62–83.

Newton, Isaac (1686) Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica, An-drew Motte’s 1729 translation into English, revised by FlorianCajori (1966) (Berkeley: University of California Press).

Newton-Smith, W.H. (1981) The Rationality of Science (London: Rout-ledge and Kegan Paul).

Nichols, Shaun (2002) “How Psychopaths Threaten Moral Rationa-lism, or Is It Irrational to Be Amoral?” The Monist 85: 285–304.

Nichols, Shaun, Stephen Stich, and Jonathan M. Weinberg (2003)“Metaskepticism: Meditations in Ethno-Epistemology” in Ste-phen Luper (ed.) The Skeptics: Contemporary Essays (Aldershot:Ashgate Press): 227–47.

Nolan, Daniel (1997) “Quantitative Parsimony” British Journal for thePhilosophy of Science 48: 329–43.

Nolan, Daniel (2001) “What’s Wrong with Infinite Regresses?” Meta-philosophy 32: 523–38.

Nolan, Daniel (2005) David Lewis (Chesham, Buckinghamshire: Acu-men Publishing).

Norton, John D. (1991) “Thought Experiments in Einstein’s Work”in Tamara Horowitz and Gerald J. Massey (eds.) Thought Expe-riments in Science and Philosophy (Lanham, MD: Rowman andLittlefield): 129–48.

Norton, John D. (1993) “Seeing the Laws of Nature” Metascience 3:33–38.

Norton, John D. (1996) “Are Thought Experiments Just What YouThought?” Canadian Journal of Philosophy 26: 333–66.

Norton, John D. (2004a) “On Thought Experiments: Is There Moreto the Argument?” Proceedings of the 2002 Biennial Meeting of the

��� C H R I S D A L Y

Page 356: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Philosophy of Science Association, Philosophy of Science 71: 1139–51.Norton, John D. (2004b) “Why Thought Experiments Do Not Tran-

scend Experience” in Christopher Hitchcock (ed.) ContemporaryDebates in Philosophy of Science (London: Routledge): 44–66.

Nozick, Robert (1974) Anarchy, State and Utopia (New York: BasicBooks).

Nozick, Robert (1981) Philosophical Explanations (Cambridge, MA:Harvard University Press).

Nuccetelli, Susana and Gary Seay (2007) “What’s Right with theOpen Question Argument” in Susana Nuccetelli and Gary Seay(eds.) Themes from G.E. Moore: New Essays in Epistemology andEthics (Oxford: Oxford University Press): 261–82.

Oddie, Graham (1982) “Armstrong on the Eleatic Principle andAbstract Entities” Philosophical Studies 41: 285–95.

Okasha, Samir (2000) “Van Fraassen’s Critique of Inference to theBest Explanation” Studies in the History and Philosophy of Science31: 691–710.

Oliver, Alex (1996) “The Metaphysics of Properties” Mind 105: 1–80.Pap, Arthur (1959) “Nominalism, Empiricism and Universals — 1”

Philosophical Quarterly 9: 330–40.Papineau, David (1993) Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell).Parfit, Derek (1984) Reasons and Persons (Oxford: Oxford University

Press).Peijeneburg, Jeanne and David Atkinson (2003) “When Are Thought

Experiments Poor Ones?” Journal for General Philosophy of Science35: 304–22.

Peijeneburg, Jeanne and David Atkinson (2006) “On Poor and NotSo Poor Thought Experiments, A Reply to Daniel Cohnitz”Journal for General Philosophy of Science 38: 159–61.

Petersen, Stephen (2008) “Analysis, Schmanalysis” Canadian Journalof Philosophy 38: 289–300.

Pigden, Charles R. (2007) “Desiring to Desire: Russell, Lewis, and

C H R I S D A L Y ���

Page 357: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

G.E. Moore” in Susana Nuccetelli and Gary Seay (eds.) Themesfrom G.E. Moore: New Essays in Epistemology and Ethics (Oxford:Oxford University Press): 244–60.

Plantinga, Alvin (1981) “Is Belief in God Properly Basic?” Noûs 15:41–51.

Plato, Euthyphro, Chris Emlyn-Jones (trans.) (1988) (London: BristolClassical Press).

Poincare, Henri (1952) Science and Hypothesis, William Greenstreet(trans.) (New York: Dover Books).

Polger, Thomas (2008) “H2O, ‘Water’, and Transparent Reduction”Erkenntnis 69: 109–30.

Pryor, James (2000) “The Skeptic and the Dogmatist” Noûs 34:517–49.

Pryor, James (2004) “What is Wrong with Moore’s Argument?” Phi-losophical Issues 14: 349–78.

Pust, Joel (2000a) “Against Explanationist Skepticism RegardingPhilosophical Intuitions” Philosophical Studies 106: 227–58.

Pust, Joel (2000b) Intuitions as Evidence (New York: Garland Press).Putnam, Hilary (1975) “The Meaning of ‘Meaning’” in his Mind,

Language and Reality: Philosophical Papers volume 2 (Cambridge:Cambridge Philosophical Press): 215–71.

Quine, W.V.O. (1951a) “Ontology and Ideology” Philosophical Studies2: 11–15.

Quine, W.V.O. (1951b) “Two Dogmas of Empiricism” PhilosophicalReview 60: 20–43.

Quine, W.V.O. (1960) Word and Object (Cambridge, Massachusetts:MIT Press).

Quine, W.V.O. (1969a) “Ontological Relativity” in Epistemology Natu-ralised and Other Essays (Columbia: Columbia University Press):26–68.

Quine, W.V.O. (1969b) “Epistemology Naturalised” in EpistemologyNaturalised and Other Essays (Columbia: Columbia University

��� C H R I S D A L Y

Page 358: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Press): 69–90.Quine, W.V.O. (1969c) “Natural Kinds” in Epistemology Naturali-

sed and Other Essays (Columbia: Columbia University Press):114–38.

Quine, W.V.O. (1972) “Review of Milton K. Munitz (ed.) Identity andIndividuation” Journal of Philosophy 69: 488–97.

Quine, W.V.O. (1974) The Roots of Reference (La Salle, IL: Open CourtPress).

Quine, W.V.O. (1977) “Facts of the Matter” in Robert W. Shahan (ed.)American Philosophy from Edwards to Quine (Norman: Universityof Oklahoma Press): 176–96.

Quine, W.V.O. (1981a) “Things and Their Place in Theories” in The-ories and Things (Cambridge, MA: Harvard University Press):1–23.

Quine, W.V.O. (1981b) “Five Milestones of Empiricism” in Theoriesand Things (Cambridge, MA: Harvard University Press): 67–72.

Quine, W.V.O. (1981c) “Success and Limits of Mathematization” inTheories and Things (Cambridge, MA: Harvard University Press):148–55.

Quine, W.V.O. (1990) Pursuit of Truth (Cambridge, MA: HarvardUniversity Press).

Quine, W.V.O. and J.S. Ullian (1970) The Web of Belief (New York:McGraw-Hill Humanities).

Quinton, Anthony (1962) “Spaces and Times” Philosophy 37: 130–47.Ramsey, William (1992) “Prototypes and Conceptual Analysis” Topoi

11: 59–70.Rawls, John (1971) A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard

University Press).Reid, Thomas (1764) An Inquiry Into the Human Mind on the Principles

of Common Sense, Derek R. Brookes (ed.) (1997) (Pennsylvania:Pennsylvania State University Press).

C H R I S D A L Y ���

Page 359: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Rey, Georges (1983) “Concepts and Stereotypes” Cognition 15:237–62.

Rey, Georges (1985) “Concepts and Conceptions” Cognition 19:297–303.

Rey, Georges (1994) “The Unavailability of What We Mean: A Replyto Quine, Fodor and Lepore” Grazer Philosophisce Studien 46:61–101.

Rey, Georges (1997) Contemporary Philosophy of Mind (Oxford: Blac-kwell).

Rey, Georges (1998) “A Naturalistic A Priori” Philosophical Studies92: 25–43.

Rey, Georges (2004) “The Rashness of Traditional Rationalism andEmpiricism” in Maite Ezcurdia, Robert Stainton, and Christo-pher Viger (ed.) New Essays in the Philosophy of Language andMind, Canadian Journal of Philosophy supplementary volume 30:227–58.

Rey, Georges (2005a) “Philosophical Analysis as Cognitive Psycho-logy: the Case of Empty Concepts” in Henri Cohen and ClaireLeferbvre (eds.) Handbook of Categorization in Cognitive Science(Dordrecht: Elsevier): 71–89.

Rey, Georges (2005b) “Replies to Critics” Croatian Journal of Philoso-phy 15: 465–80.

Rey, Georges (2006) “Does Anyone Really Believe in God?” in DanielKolak and Raymond Martin (eds.) The Experience of Philosophy(6th edition; Oxford: Oxford University Press): 335–53.

Rey, Georges (2007) “Meta-atheism: Religious Avowal as Self-Deception” in Louise M. Antony (ed.) Philosophers without Gods:Meditations on Atheism and on the Secular Life (Oxford: OxfordUniversity Press): 243–265.

Richard, Mark (2001) “Analysis, Synonymy and Sense” in C. An-thony Anderson and Michael Zeleny (eds.) Logic, Meaning andComputation: Essays in Memory of Alonzo Church (Dordrecht, Rei-

��� C H R I S D A L Y

Page 360: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

del: Kluwer University Press): 545–71.Rieber, S.D. (1994) “The Paradoxes of Analysis and Synonymy”

Erkenntnis 41: 103–16.Rieber, Steven (1992) “Understanding Synonyms without Knowing

That They Are Synonyms” Analysis 52: 224–28.Roland, Jeffrey W. (2007) “Maddy and Mathematics: Naturalism or

Not” British Journal for the Philosophy of Science 58: 423–50.Roland, Jeffrey W. (2009) “On Naturalizing the Epistemology of

Mathematics” Pacific Philosophical Quarterly 90: 63–97.Rosch, Eleanor (1987) “Wittgenstein and Categorization Research

in Cognitive Psychology” in Michael Chapman and Roger A.Dixon (eds.) Meaning and Growth of Understanding: Wittgenste-in’s Significance for Developmental Psychology (Berlin: Springer):151–66.

Rosch, Eleanor and C.B. Mervis (1975) “Family Resemblances: Studi-es in the Internal Structure of Categories” Cognitive Psychology7: 573–605.

Rosen, Gideon (1990) “Modal Fictionalism” Mind 99: 327–54.Rosen, Gideon (1999) “Review of Penelope Maddy, Naturalism

in Mathematics” British Journal for the Philosophy of Science 50:467–74.

Rosen, Gideon (2006) “The Limits of Contingency” in Fraser MacBri-de (ed.) Identity and Modality (Oxford: Oxford University Press):13–39.

Roth, Paul (1999) “The Epistemology of ‘Epistemology Naturalized’”Dialectica 53: 87–109.

Russell, Bertrand (1897) “Is Ethics a Branch of Empirical Psycholo-gy?”, paper read to the Apostles society, Cambridge University.Reprinted in Kenneth Blackwell, Andrew Brink, and NicholasGriffin (eds.) (1983) The Collected Papers of Bertrand Russell, Volu-me 1, Cambridge Essays, 1888–1899 (London: George Allen andUnwin): 100–04.

C H R I S D A L Y ���

Page 361: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Russell, Bertrand (1905) “On Denoting” Mind 14: 479–93. Reprintedin Robert C. Marsh (ed.) (1956) Logic and Knowledge: Essays1901–1950 (London: George Allen and Unwin): 41–56.

Russell, Bertrand (1911) The Problems of Philosophy (Oxford: OxfordUniversity Press).

Russell, Bertrand (1914) Our Knowledge of the External World as a Fieldfor Scientific Method in Philosophy (London: Routledge).

Russell, Bertrand (1918) “On Scientific Method in Philosophy” (Oxfo-rd: Oxford University Press). Reprinted in Bertrand Russell(1954) Mysticism and Logic and Other Essays (Harmondsworth:Penguin Books): 95–119.

Russell, Bertrand (1919) Introduction to Mathematical Philosophy (Lon-don: George Allen and Unwin).

Russell, Bertrand (1958) “What is Mind?” Journal of Philosophy 58:5–12.

Ryle, Gilbert (1949) The Concept of Mind (London: Hutchinson Press).Salmon, Nathan (1989) “Illogical Belief” Philosophical Perspectives 3,

1989, Action Theory and Philosophy of Mind: 243–85.Salmon, Wesley C. (1957) “Should We Attempt to Justify Induction?”

Philosophical Studies 8: 33–48.Salmon, Wesley C. (1989) Four Decades of Scientific Explanation (Min-

neapolis: University of Minnesota Press).Salmon, Wesley C. (1990) “Rationality and Objectivity in Science

or Tom Kuhn Meets Tom Bayes” in C. Wade Savage (ed.) Sci-entific Theories, Volume 14, Minnesota Studies in the Philosophy ofScience (Minneapolis: University of Minnesota Press): 175–204.Reprinted in Martin Curd and J.A. Cover (eds.) Philosophy of Sci-ence: The Central Issues (London: W.W. Norton and Company):551–83.

Schaffer, Jonathan (2009) “On What Grounds What” in David J.Chalmers, David Manley and Ryan Wasserman (eds.) Metame-taphysics (Oxford: Oxford University Press): 347–83.

��� C H R I S D A L Y

Page 362: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Schlesinger, G. (1963) Method in the Physical Sciences (London: Rout-ledge and Kegan Paul).

Schlesinger, George N. (1983) Metaphysics: Methods and Problems(Oxford: Basil Blackwell).

Schnieder, Benjamin (2006) “Truth-making without Truth-makers”Synthese 152: 21–46.

Schroeter, Laura (2006) “Against A Priori Reductions” PhilosophicalQuarterly 56: 562–86.

Searle, John (1969) Speech Acts (Cambridge: Cambridge UniversityPress).

Searle, John (1980) “Minds, Brains and Programs” Behavioral andBrain Sciences 13: 585–642.

Shafer-Landau, Russ (2003) Moral Realism: A Defense (Oxford: OxfordUniversity Press).

Shoemaker, Sydney (1984) “Causality and Properties” in Identity,Cause and Mind: Philosophical Essays (Cambridge: CambridgeUniversity): 206–33.

Sider, Theodore (2001) Four-Dimensionalism: An Ontology of Persisten-ce and Time (Oxford: Oxford University Press).

Siegel, Harvey (1995) “Naturalised Epistemology and ‘First Philoso-phy’” Metaphilosophy 26: 46–62.

Skyrms, Brian (1966) Choice and Chance (Belmont, CA: Dickenson).Smart, J.J.C. (1959) “Sensations and Brain Processes” Philosophical

Review 68: 141–56.Smart, J.J.C. (1966) “Philosophy and Scientific Plausibility” in Paul

Feyerabend and Wilfrid Sellars (eds.) Mind, Matter and Method:Essays in Philosophy and Science in Honor of Herbert Feigl (Minne-sota: University of Minnesota Press): 377–90.

Smart, J.J.C. (1984) “Ockham’s Razor” in James H. Fetzer (ed.) Prin-ciples of Philosophical Reasoning (Lanham, MD: Rowman andLittlefield): 118–28.

C H R I S D A L Y ���

Page 363: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Smart, J.J.C. (1989) “Methodology and Ontology” in Kostas Gavro-glu, Yorgos Goudaroulis, Pantelis Nicolacopoulos (eds.) ImreLakatos and Theories of Scientific Change (Dordrecht: Kluwer Aca-demic Press): 47–57.

Smith, Edward E. and Douglas L. Medin (1981) Categories and Con-cepts (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press).

Snowdon, P.F. (1991) “Personal Identity and Brain Transplants” inDavid Cockburn (ed.) Human Beings (Cambridge: CambridgeUniversity Press): 109–26.

Soames, Scott (2003) Philosophical Analysis in the Twentieth Century,Volume 1, The Dawn of Analysis (Princeton: Princeton UniversityPress).

Sober, Elliott (1981) “The Principle of Parsimony” British Journal forthe Philosophy of Science 32: 145–56.

Sober, Elliott (1990) “Let’s Razor Ockham’s Razor” in Dudley Kno-wles (ed.) Explanation and Its Limits (Cambridge: CambridgeUniversity Press): 73–94.

Sober, Elliott (1996) “Parsimony and Predictive Equivalence” Er-kenntnis 44: 167–97.

Sorensen, Roy (1992a) Thought Experiments (Oxford: Oxford Univer-sity Press).

Sorensen, Roy (1992b) “Review of James Robert Brown The Labora-tory of the Mind: Thought Experiments in the Natural Sciences”Foundations of Physics 22: 1103–09.

Sorensen, Roy (1992c) “Thought Experiments and the Epistemologyof Laws” Canadian Journal of Philosophy 22: 15–44.

Sosa, David (2006) “Skepticism about Intuition” Philosophy 81:633–48.

Sosa, Ernest (2007) “Moore’s Proof ” in Susana Nuccetelli and GarySeay (eds.) Themes from G.E. Moore: New Essays in Epistemologyand Ethics (Oxford: Oxford University Press): 49–61.

Sosa, Ernest (2008) “Experimental Philosophy and Philosophical In-

��� C H R I S D A L Y

Page 364: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

tuition” in Joshua Knobe and Shaun Nichols (eds.) ExperimentalPhilosophy (Oxford: Oxford University): 231–40.

Stalnaker, Robert (1984) Inquiry (Cambridge, MA: MIT Press).Stalnaker, Robert (2000) “Metaphysics without Conceptual Analysis”

Philosophy and Phenomenological Research 62: 631–36.Stampe, Dennis (1977) “Towards A Causal Theory of Linguistic

Representation” Midwest Studies in Philosophy volume II: 42–63.Steinhart, Eric (2009) More Precisely: The Math You Need to Do Philoso-

phy (Peterborough, ON: Broadview Press).Stern, Cindy D. (1989) “Paraphrase and Parsimony” Metaphilosophy

20: 34–42.Stich, Stephen (1978) “Beliefs and Sub-Doxastic States” Philosophy of

Science 45: 499–518.Stich, Stephen (1992) “What is a Theory of Mental Representation?”

Mind 101: 243–61.Strandberg, Caj (2004) “In Defence of the Open Question Argument”

Journal of Ethics 8: 179–96.Strawson, P.F. (1959) Individuals: An Essay in Descriptive Metaphysics

(London: Methuen Press).Strawson, P.F. (1966) The Bounds of Sense: An Essay on Kant’s Critique

of Pure Reason (London: Methuen Press).Strawson, P.F. (1992) Analysis and Metaphysics: An Introduction to

Philosophy (Oxford: Oxford University Press).Stroud, Barry (1977) Hume (London: Routledge).Stroud, Barry (1984) The Significance of Philosophical Scepticism (Oxfo-

rd: Oxford University Press).Suppes, Patrick (1968) “The Desirability of Formalization in Science”

Journal of Philosophy 65: 651–64.Swain, Stacy, Joshua Alexander, and Jonathan Weinberg (2008) “The

Instability of Philosophical Intuitions: Running Hot and Co-ld on Truetemp” Philosophy and Phenomenological Research 76:138–55.

C H R I S D A L Y ���

Page 365: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Swinburne, Richard (2001) Epistemic Justification (Oxford: OxfordUniversity Press).

Swoyer, Chris (1979) “Sense and Nonsense” Canadian Journal ofPhilosophy 9: 685–700.

Swoyer, Chris (1982) “The Nature of Natural Laws” AustralasianJournal of Philosophy 60: 203–32.

Swoyer, Chris (1999) “How Ontology Might Be Possible: Explana-tion and Inference in Metaphysics” Midwest Studies in Philosophyvolume XXIII: 100–31.

Taylor, Richard (1968) “Dare to be Wise” Review of Metaphysics 21:615–29.

Teller, Paul (1971) “Review of W.V.O. Quine, Ontological Relativityand Other Essays” British Journal for the Philosophy of Science 22:378–82.

Thagard, Paul R. (1976) “The Best Explanation: Criteria for TheoryChoice” Journal of Philosophy 75: 76–92.

Thomson, Judith Jarvis (1971) “A Defence of Abortion” Philosophyand Public Affairs 1: 47–66.

Tidman, Paul (1994) “Logic and Modal Intuitions” The Monist 77:389–98.

Tidman, Paul (1996) “The Justification of A Priori Intuitions” Philo-sophy and Phenomenological Research 56: 161–71.

Tiel, Jeffrey R. (1999) “The Dogma of Kornblith’s Empiricism” Syn-these 120: 311–24.

Vahid, Hamid (2001) “Realism and the Epistemological Significanceof Inference to the Best Explanation” Dialogue 40: 487–507.

Vahid, Hamid (2004) “Varieties of Epistemic Conservatism” Synthese141: 97–122.

van Fraassen, Bas C. (1975) “Platonism’s Pyrrhic Victory” in A.L.Anderson, R.B. Marcus, and R.M. Martin (eds.) The Logical En-terprise (New Haven: Yale University Press): 39–50.

��� C H R I S D A L Y

Page 366: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

van Fraassen, Bas C. (1980) The Scientific Image (Oxford: OxfordUniversity Press).

van Fraassen, Bas C. (1989) Laws and Symmetry (Oxford: OxfordUniversity Press).

van Fraassen, Bas C. (1995) “‘World’ Is Not a Count Noun” Noûs 29:139–57.

van Fraassen, Bas C. (2002) The Empiricist Stance (New Haven: YaleUniversity Press).

van Inwagen, Peter (1991) “Searle on Ontological Commitment” inErnest Lepore (ed.) John Searle and His Critics (Oxford: Blackwe-ll): 345–58.

van Inwagen, Peter (1996) “It Is Wrong, Everywhere, Always, andfor Anyone, to Believe Anything upon Insufficient Evidence” inJeff Jordan and Daniel Howard-Snyder (eds.) Faith, Freedom, andRationality: Philosophy of Religion Today (Lanham, MD: Rowmanand Littlefield): 137–54.

van Inwagen, Peter (1997) “Materialism and the Psychological-Continuity Account of Personal Identity” Philosophical Pers-pectives, 11, Mind, Causation and World: 305–19.

Vogel, Jonathan (1990) “Cartesian Skepticism and Inference to theBest Explanation” Journal of Philosophy 87: 658–66.

Vogel, Jonathan (1993) “Dismissing Sceptical Possibilities” Philoso-phical Studies 70: 235–50.

Vogel, Jonathan (2000) “Reliabilism Leveled” Journal of Philosophy97: 602–23.

Walsh, Dorothy (1979) “Occam’s Razor: A Principle of IntellectualElegance” American Philosophical Quarterly 16: 241–44.

Walton, Douglas (1989) Informal Logic: A Handbook for Critical Argu-mentation (Cambridge: Cambridge University Press).

Ward, David E. (1995) “Imaginary Scenarios, Black Boxes and Philo-sophical Method” Erkenntnis 43: 181–98.

C H R I S D A L Y ���

Page 367: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

Weinberg, Jonathan M. (2007) “How To Challenge Intuitions Empiri-cally Without Risking Skepticism” Midwest Studies in Philosophyvolume XXXI: 318–43.

Weinberg, Jonathan M., Shaun Nichols and Stephen P. Stich (2008)“Normativity and Epistemic Intuitions” in Joshua Knobe andShaun Nichols (eds.) Experimental Philosophy (Oxford: OxfordUniversity): 17–45.

Weintraub, Ruth (1997) The Sceptical Challenge (London: Routledge).White, Roger (2005) “Why Favour Simplicity?” Analysis 65: 205–10.Wilkes, Kathleen V. (1988) Real People: Personal Identity without Thou-

ght Experiments (Oxford: Oxford University Press).Williamson, Timothy (2007) The Philosophy of Philosophy (Oxford:

Blackwell).Williamson, Timothy (2009) “Replies to Kornblith, Jackson and Mo-

ore” Analysis Reviews 69: 125–35.Wilson, Mark (2006) Wandering Significance: An Essay on Conceptual

Behaviour (Oxford: Oxford University Press).Wisdom, John (1934) “Is Analysis a Useful Method in Philosophy?”

Proceedings of the Aristotelian Society supplementary volume 13:65–89.

Wittgenstein, Ludwig (1922) Tractatus Logico-Philosophicus (London:Routledge).

Wittgenstein, Ludwig (1953) Philosophical Investigations (Oxford: Blac-kwell).

Wittgenstein, Ludwig (1964) The Blue and Brown Books (2nd edition;Oxford: Blackwell).

Wolpert, Lewis (2000) The Unnatural Nature of Science (Harvard:Harvard University Press).

Wright, Crispin (1985) “Facts and Certainty” Proceedings of the BritishAcademy 71: 429–72. Reprinted in Thomas Baldwin and Timo-thy Smiley (eds.) (2004) Studies in the Philosophy of Logic andKnowledge (Oxford: Oxford University Press): 51–94.

��� C H R I S D A L Y

Page 368: pengantar metode- metode filsafat

D A F T A R P U S T A K A

Wright, Crispin (2002) “(Anti-)sceptics simple and subtle: Moore andMcDowell” Philosophy and Phenomenological Research 65: 330–48.

Wright, Crispin (2007) “The Perils of Dogmatism” in Susana Nucce-telli and Gary Seay (eds.) Themes from G.E. Moore: New Essaysin Epistemology and Ethics (Oxford: Oxford University Press):25–48.

Yablo, Stephen (2000) “Textbook Kripkeanism and the Open Textureof Concepts” Pacific Philosophical Quarterly 81: 98–122.

C H R I S D A L Y ���

Page 369: pengantar metode- metode filsafat
Page 370: pengantar metode- metode filsafat

INDEKS

abduksi, 243aborsi, 147Adams, John Couch, 189, 191,

211aktualisme, 206, 207analisan, 51–53, 55, 57, 68, 84, 86,

89analisandum, 51, 55, 57, 84, 86,

89, 100analisis filosofis

Canberra Plan, 101, 103argumen pertanyaan

terbuka Moore, 65–68,72, 73, 78, 80, 82, 83,100, 317

kemiripan keluarga, 91, 99,100, 319

model kerja dari, 54, 59, 62,64, 88–90, 92, 121, 122,175

paradoks dari, 84, 85, 87,88, 100, 122, 321

problem analisis ganda, 89,322

rekam jejak dari, 65, 97, 98analisis kekurangan-kelebihan,

312Antony, Louise, 286apriorisme, 284argumen

argumen anti-bahasapribadi, 153

argumen kepastian, 14, 20,37–39

eksperimen pikiransebagai, 150, 151

menimbulkanpertanyaan-lanjutan,33, 161, 320

regresi takterhingga, 213,214

argumen dan metode sirkularanalisis sirkular, 96, 98, 100

Aristoteles, 10, 141, 142, 152, 153,

Page 371: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

156, 223, 233, 271bentuk langit, 233teori gerak, 152teori kebaikan, 223

Armstrong, David, 21, 24, 122,235–238, 246

astrologi, 241, 242, 303–305astronomi, 189, 190, 220Atkinson, David, 158–163Austin, J.L., 35

Baldwin, Tom, 28, 29, 79, 80behaviorisme, 145Belnap, Nuel, 96bentuk gramatikal, 52–54bentuk logis, 52–55, 62, 88, 90,

121, 123, 125, 127, 129Bezuidenhout, Anne, 284, 289Bigelow, John, 246Bolzano, Bernard, 49Brown, James Robert, 150–152,

166, 182Bumi Kembar (eksperimen

pikiran), 146Burgess, John P., 210Byrne, Alex, 43

Campbell, Keith, 14, 23Carnap, Rudolf, 53, 120, 121, 280Carroll, John W., 96Chisholm, Roderick, 124, 126Colyvan, Mark, 275, 291, 293

Davidson, Donald, 273definisi istilah, 41Descartes, Rene, 25, 223, 271,

280, 293dilema Euthyphro, 57–59domain kuantifikasi, 119, 317Dretske, Fred, 249dualisme, 197, 200, 205, 206, 216,

254Duhem, Pierre, 160, 164, 225

eksperimen konkret, 160dunia mungkin, 130–132, 156,

170, 196, 201–205, 208,218, 234, 240–242, 247,265, 271, 282, 291, 315,323

dunia spasial, 145

Einstein, Albert, 149, 163, 167,174

eksperimen konkret, 155, 157eksperimen pikiran

filsafat eksperimental, 164,175–177, 309

identitas pribadi, 148,164–166

ekspresivisme, 67entitas fiksional, 133epistemologi

alasan epistemik, 157, 264informasi empiris, 289, 290,

305

��� C H R I S D A L Y

Page 372: pengantar metode- metode filsafat

I N D E K S

informasi ilmiah, 289–291,298

tesis prioritas epistemik, 32Euclid, 77, 89, 306

Feldman, Richard, 20, 21, 116,136, 137

fenomenafenomenalisme, 40, 41, 318fenomenologi, 34, 35

Field, Hartry, 113, 118filsafat

filsafat analitik, 49, 55, 158,273

fondasionalisme, 280intuisi filosofis, 50, 60naturalisme filosofis, 44positivisme logis, 263

Filsafat Pertama, 270, 271, 275,277, 278, 295, 297, 299,301, 302

fisikalisme, 104, 144, 145, 158,205, 206

identitas pikiran-otak, 196Fodor, Jerry, 23, 34fondasionalisme, 280Frege, Gottlob, 49Friedman, Michael, 240, 241fungsionalisme, 264, 265

Galileo, 141, 152, 153, 233generalisasi, 15, 261

Gettier, Edmund, 63, 176, 178Goldbach, 171–173Goldman, Alvin, 278, 282, 284,

286, 289pengenalan objek, 289prosedur kognitif, 282

Gooding, David, 156Gore, Al, 201Gupta. Anil, 96

Hall, Ned, 43Harman, Gilbert, 108, 250Hellman, Geoffrey, 275Hetherington, Stephen, 33Hill, Christopher, 196, 218,

251–253hipotesis dunia eksternal, 25,

234, 239, 255–257,260–262

Hume, David, 35, 142, 155, 229,263, 264, 299, 306

induksi, 215, 229, 230, 299persepsi, 34

Hylton, Peter, 127, 297–299

idealisme, 21, 22, 29, 40transendental, 231

intuisiomong kosong

orang-orang, 102romantisme yang didorong

oleh intuisi, 178

C H R I S D A L Y ���

Page 373: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

istilah non-sortal, 190

Jackson, Frank, 101, 103, 104,122, 177, 178

jatuh (kecepatan), 142, 152, 153jejaring keyakinan, 276, 308

Kant, Immanuel, 153, 231, 263,288, 306

Deduksi Transendental,153

geometri ruang, 306kasus hipotetis, 60–63, 88, 121,

122, 175, 179, 181kebaikan intrinsik, 64–68, 78, 79,

82kebenaran

kebenaran analitik, 97, 276,318

kebenaran konseptual, 56,83, 96, 98, 106–108,112–114, 318

kebenaran matematis, 114,115

kebenaran niscaya, 145,162, 170, 181, 197, 256,261, 262, 318

klaim matematis, 242kecepatan cahaya, 142, 149, 163,

167, 174kemasukakalan, 36, 37, 39, 277,

293

kemiripan keluarga, 91, 99, 100kepastian diferensial, 13kesederhanaan

kesederhanaananti-kemubaziran, 194

kesederhanaananti-kuantitatif, 194

kesederhanaan ideologis,211, 319

kesederhanaan kualitatif,189, 190, 194, 203, 204,208, 209, 211, 212, 214,216, 217, 319

kesederhanaan kuantitatif,189, 194, 203, 204,212–214, 216, 217, 319

Kirchhoff, Gustav, 225komposisionalitas, 85, 88konservatisme epistemik, 215konservatisme teoretik, 16kontraposisi, 300, 320Kornblith, Hilary, 116, 137, 278,

282, 283, 286, 291, 293,300

Kripke, Saul, 235, 310Kuhn, Thomas S., 149, 156

Langford, C.H., 84Leibniz, Gottfried, 89, 147, 288Leverrier, Urbain, 189–191, 211Lewis, David, 196, 201–209, 212,

240, 241, 248, 314

��� C H R I S D A L Y

Page 374: pengantar metode- metode filsafat

I N D E K S

Locke, John, 143, 145, 146, 176,177

Lucretius, 141Lycan, William, 14–16, 18, 19,

35–40, 170, 250

Mach, Ernst, 263, 264Maddy, Penelope, 303–305Madell, G., 169, 170, 172makna deskriptif, 67makna ekspresif, 67Maria (ilmuwan warna), 144,

156, 158, 159Martí, Genoveva, 177Maxwell, James Clerk, 142, 233metafisika, 212, 214, 231, 235,

263, 271, 277, 315naturalisme metafisik, 274,

278, 305, 320pendasaran metafisik, 266

Molyneux, William, 146, 163Moore, G.E., 9–12, 213, 220, 227,

228, 294, 319

naturalisme, 295, 297, 299,301–305

naturalisme etis, 68, 73, 74,82

naturalisme metodologis,274, 275, 284, 305, 320

Neurath, Otto, 291Newton, Isaac, 141, 151, 152, 186,

231

ember Newton, 141, 151,154, 159

mekanika Newton, 239, 294Nolan, Daniel, inomena, 231Nozick, Robert, 90, 226, 267

objek abstrak, 115, 125, 133, 233,234, 236, 238, 321

objek konkret, 133, 202, 233, 234,236, 237, 321

ontologi, 210, 266, 277kesederhanaan ontologis,

126, 188, 189, 191, 193,194, 203, 211, 214, 220,221, 319

komitmen ontologis, 119,123, 125, 130, 244, 320

reduksi ontologis, 119otak dalam panci, 255, 256

pandangan Otonomi, 270, 271,277, 308

Pap, Arthur, 122Parfit, Derek, 147, 148, 173Pargetter, Robert, 246Peijeneburg, Jeanne, 158–163pemahaman agnostik, 193pemahaman ateistik, 193pengetahuan

pengetahuan apriori, 272,274, 286–288

C H R I S D A L Y ���

Page 375: pengantar metode- metode filsafat

P E N G A N T A R M E T O D E - M E T O D E F I L S A F A T

pengetahuan modal, 140,182, 321

perilaku linguistik, 97, 99, 111metalinguistik, 85

Pisau Cukur Ockham, 186,196–198, 200, 209–211,218, 236, 252, 262, 322

Plato, 57, 239plurimesta, 170Putnam, Hilary, 146, 147

Quine, W.V.O, 53, 54, 97, 98, 101,119–122, 126, 127, 129,132, 183, 215, 234, 244,270, 273–277

Quinton, Anthony, 146, 161, 162,173

realisme modal, 196, 201–203,205–209

Reid, Thomas, 10, 45representasi, 3, 23, 105, 113, 156,

199Rey, Georges, 46, 97, 101, 105,

114, 116, 118, 178,286–288

rezimentasi, 53, 54, 119, 122, 127Ruang Tionghoa, 163Russell, Bertrand, 4, 52–54, 68,

90, 154, 228, 232, 271,272

Ryle, Gilbert, 272

Salmon, Wesley C., 195Searle, John, 144, 159, 163Smart, J.J.C., 196, 200Snowdon, P.F, 170, 172Sober, Elliot, 193, 195, 214, 249Sokrates, 57Sorensen, Roy, 155Sosa, Ernest, 26, 28, 30, 257, 258,

260Spinoza, Baruch, 288Stich, Stephen, 176Strawson, P.F, 95Swoyer, Chris, 239, 245

Tanah Datar (eksperimenpikiran), 149

Tarski, Alfred, 53teori prototipe, 92, 94, 95teori semantik, 128, 240, 241

Vahid, Hamid, 249van Fraassen, Bas C., 242, 254van Inwagen, Peter, 165Vogel, Jonathan, 254–256,

258–262

Wilkes, Kathleen, 165–171, 173,174, 183

Wright, Crispin, 31

Yunani (kuno), 210

zombi (eksperimen pikiran), 145,199

��� C H R I S D A L Y

Page 376: pengantar metode- metode filsafat

Produksi pengetahuan hari-hari ini nyaris selalu membutuhkan topangan (pe)modal. Tepat ketika produksi pengetahuan itu menyandarkan diri sepenuhnya pada modal, maka saat itulah juga terjadi produksi kekuasaan—yang pada akhirnya juga akan memproduksi ketidaksetaraan: ada orang yang mampu mengakses pengetahuan, juga ada yang tidak mampu mengaksesnya. Antinomi Institute, sebuah organisasi nonprofit yang membaktikan dirinya untuk pengembangan pengetahuan, ingin memutus ketergantungan produksi pengetahuan pada modal—yang watak primordialnya adalah selalu untuk melipatgandakan dirinya—dan juga ingin memastikan bahwa pengetahuan itu bisa dinikmati oleh semua orang.

Sejauh ini, Antinomi Institute telah melakukan produksi dan distribusi pengetahuan melalui dua bentuk: situs web dan buku. Semuanya dikerjakan dengan semangat untuk memproduksi pengetahuan, bukan untuk mengakumulasi kapital. Semua konten di situs web kami bisa diakses secara gratis, beberapa buku cetak dijual hanya untuk mengganti biaya produksi, selebihnya dibagikan secara gratis, dan semua buku elektronik (ebook) yang kami buat juga dibagikan secara gratis. Namun, untuk memastikan keberlanjutan itu semua, kami memerlukan keterlibatan Anda sebagai pembaca dan penikmat pengetahuan untuk memberikan bantuan dan dukungan material.

Sebagaimana moto “Sci-Hub”, kami ada untuk “removing barriers on the way of knowledge”.

Be the lights in the dark!

Jika kalian merasa terbitan-terbitan Antinomi penting, kaliandapat membantu kami untuk tetap konsisten dalam memproduksipengetahuan yang dapat diakses semua orang melalui:

BCA: 521-1386-747 (Fajar Nurcahyo)HSBC: 623-608643-844 (Fajar Nurcahyo)DANA: 081294567235 (Fajar Nurcahyo)OVO: 081294567235 (Fajar Nurcahyo)LINKAJA: 081294567235 (Fajar Nurcahyo)

Page 377: pengantar metode- metode filsafat

pengantarmetode-metodefilsafat

9 7 8 6 2 3 9 6 3 7 5 2 1

ISBN 978-623-96375-2-1 (PDF)

Para filsuf, sebagaimana para ilmuwan, membuat klaim-klaim. Namun, jika para ilmuwan biasanya menjelaskan metodenya sebelum ia sampai pada klaim ilmiah tertentu, para filsuf biasa mengajukan klaimnya begitu saja tanpa menjelaskan apa metode yang ia gunakan sehingga ia sampai pada klaim tersebut. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa filsafat tidak punya metode. Filsafat memiliki metode dan buku ini menjelaskan beberapa metode yang biasa digunakan oleh para filsuf—meski hampir tidak pernah dijelaskan secara eksplisit laiknya laporan hasil temuan penelitian ilmiah. Demikianlah, buku ini penting untuk dibaca oleh siapa saja yang ingin tahu filsafat dan/atau ingin berfilsafat.

Buku ini merupakan terbitan kedua dari proyek Urundana Antinomi. Oleh karenanya terbitnya buku ini tidak lepas dari dukungan semua pihak, terutama donatur, baik dalam bentuk material maupun moral. Melalui buku ini kami berharap dapat membuka alternatif produksi pengetahuan yang melulu terpusat pada akumulasi kapital menjadi milik publik. Dengan demikian pengetahuan menjadi lebih mudah diakses oleh semua orang.

U R U N D A N A P R O J E C T


Recommended