PENGARUH PENERAPAN SURGICAL SAFETY CHECKLIST DENGAN KEJADIAN INFEKSI LUKA OPERASI PADA PASIEN SECTIO
CAESAREA DI RSUD TENRIAWARU KABUPATEN BONE TAHUN 2017
EFFECT OF SURGICAL SAFETY CHECKLIST IMPLEMENTATION ON SURGICAL INJURY INFECTION OF CAESAREAN SECTION PATIENTS
IN TENRIAWARU HOSPITAL BONE DISTRICT 2017
ANDI ADRIANA AT
P1806213514
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PENGARUH PENERAPAN SURGICAL SAFETY CHEKLIST DENGAN KEJADIAN INFEKSI LUKA OPERASI PADA PASIEN SECTIO CAESAREA DI RSUD TENRIAWARU
KABUPATEN BONE TAHUN 2017
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
.
Program Studi
Kesehatan Masyarakat
Disusun dan diajukan oleh
ANDI ADRIANA AT
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Andi Adriana A T Nomor mahasiswa : P1806213514 Program studi : Kesehatan Masyarakat
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 28 November 2017 Yang menyatakan,
Andi Adriana A T
v
PRAKATA
Bismillahirahmanirahim
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Penerapan Surgical Safety
Checklist Dengan Kejadian Infeksi Luka Operasi Pada Pasien Sectio
Caesaree DI RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone TAHUN 2017”.Tesis ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kesehatan pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program
Pasca sarjana Universitas Hasanuddin.
Penyusunan tesis ini dapat penulis selesaikan berkat kesediaan
pembimbing untuk meluangkan waktunya memberikan petunjuk, arahan
dan motivasinya. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada Ibu Dr. Fridawaty Rivai, SKM. MARS dan Bapak Dr.dr.
Khalid Saleh, Sp.PD (K), FINASIM. MARS selaku Pembimbing I dan
Pembimbing II, yang penuh kesabaran memberikan bimbingan, masukan
dalam proses penyusunan tesis ini.
Selain itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus
serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Hasanudin dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin Makassar.
vi
2. Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli Abdullah, M.Kes, selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar dan
Dr.Syahrir A. Pasinringi, MS selaku Ketua Konsentrasi Administrasi
Rumah Sakit.
3. Dr. dr. Noer Bahry Noor, M.Sc., Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, MPH dan
Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM, M.Kes, M.Sc.PH selaku Tim
Penguji yang telah memberikan saran, arahan dan kritikan yang
bermanfaat selama penyusunan tesis ini.
4. dr. Hj. Nurminah A. Yusuf, MARS selaku direktur RSUD Tenriawaru
Bone serta seluruh pegawai yang terlibat dalam proses penyusunan
tesis ini.
5. Segenap dosen pengajar Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Program Pascasarjana khususnya Bagian Manajemen Rumah Sakit
atas segala ilmu yang dicurahkan.
6. Teman-teman seperjuangan Bagian Magister Administrasi Rumah
Sakit. Dr. Resti Elvira Sarlim, drg. Mufidah Al’amri, Dian Ekawati,
dr.Sri Sumarti, Sukmasari Dwi, dan semua teman-teman angkatan
2013 Terima kasih kerjasama dan motivasinya.
7. Staff administrasi Bagian Magister Adminitrasi Rumah Sakit, kak Ija
dan Fuad terima kasih atas seluruh kemudahan dan bantuan yang
diberikan.
8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan dalam penyusunan tesis ini.
vii
Sembah sujud dan kupersembahkan tesis ini terkhusus kepada
orang tua tercinta Ayahanda Andi Tabrani dan Ibunda Hj. Andi Caya.
Terima kasih atas segala pengorbanan, kesabaran, dukungan, semangat,
dan doa restu di setiap langkah ini, kiranya amanah yang diberikan kepada
penulis tidak tersia-siakan. Terima kasih juga penulis berikan kepada
seluruh keluarga atas dukungan dan perhatian yang diberikan kepada
penulis selama menempuh pendidikan di Program Magister Kesehatan
Masyarakat Unhas.Terima kasih yang tak terhingga kepada suami terbaik
sepanjang masa dr.Buyung Sugianto, dengan kasih dan cinta serta
keikhlasannya memberikan ruang dan dukungan kepada saya untuk
menempuh pendidikan dan menggapai cita-cita. Setia dan sabar
mendampingi baik suka maupun duka.
Akhirnya tiada yang dapat penulis lakukan selain memohon maaf
atas segala kekhilafan dan keterbatasan yang ada, sekaligus semoga Allah
SWT membalas segala budi baik yang telah diberikan dan memberkati kita
semua. Akhir kata semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
Makassar, November 2017
Penulis
viii
ABSTRAK
ANDI ADRIANA. Pengaruh Penerapan Surgical Safety Checklist Terhadap Kejadian Infeksi Luka Operasi Pada Pasien Sectio Caesaria di RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone (dibimbing oleh Fridawaty Rivai dan Khalid Saleh).
Tingginya kejadian infeksi luka operasi pada pasien pasca pemebedahan menjadi salah satu masalah global. WHO membuat program Safe Surgery Saves Live sebagai upaya untuk keselamatan pasien dengan cara menggunakan Surgical Safety Checklist. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan Surgical Safety Checklist terhadap kejadian infeksi luka operasi apda pasien Sectio Caesaria di RSUD Tenriawaru Bone. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bone. Penelitian bersifat observasional analitik dengan rancangan Kohort Prospektif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien Sectio Caesarea di Ruang IBS dan di ruang rawat inap dengan prosedur penarikan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu mengambil responden dengan cara memperhatikan kriteria yang telah ditetapkan dan diperoleh total melalui observasi, kuesioner, dan dokumentasi. Analisis multivariat dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara penerapan prosedur surgical safety checklist pada tahap sign-in dengan kejadian infeksi setelah operasi SC dengan nilai p (0.048) < 0.05. hasil uji analisis statistik, diperoleh hasil terdapat hubungan antara penerapan prosedur Surgical Safety Checklist pada tahap time-out dengan kejadian infeksi setelah operasi SC dengan nilai p (0.027) < (0.05). Hasil uji analisis statistik, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara penerapan prosedur Surgical Safety Checklist pada tahap sign-out dengan kejadian infeksi setelah operasi SC dengan nilai p (0.488) > 0.05 Kata Kunci: Surgical Safety Checklist, Infeksi Luka Operasi, Sectio Caesarea
ix
ABSTRACT
ANDI ADRIANA. Effect of Surgical Safety Checklist Implementation on Surgical Wound Infection of Caesarean Section Patients in Tenriawaru Hospital Bone District (supervised by Fridawaty Rivai dan Khalid Saleh).
The high incidence of surgical wound infections in post-surgical patients becomes one of the global problems. WHO created Safe Surgery Saves Live program as an effort to patient safety by using Surgical Safety Checklist. This study aims to determine the effect of the application of Surgical Safety Checklist to the incidence of wound infection surgery apda patients Sectio Caesaria in Tenriawaru Bone Hospital. This research was conducted in Bone District.
The research is analytic observational with Prospective Cohort design. The population in this study were all patients of Sectio Caesarea in the IBS Room and in the inpatient ward with the sampling procedure was done by purposive sampling that took the respondents by taking into account the predetermined criteria and obtained the total through observation, questionnaire, and documentation. Multivariate analysis in this research was done by using logistic regression test.
The result showed that there was correlation between application of surgical safety checklist procedure at sign-in stage and incidence of infection after SC surgery with p value (0.048) <0.05. the result of statistical analysis test, it can be seen that there is a relationship between the application of Surgical Safety Checklist procedure in the time-out stage with the incidence of infection after SC operation with p value (0.027) <(0.05). The result of statistical analysis test showed that there was no correlation between the application of Surgical Safety Checklist procedure at the sign-out stage with the incidence of infection after SC surgery with p value (0.488)> 0.05. Keywords: Surgical Safety Checklist, Surgical Wound Infection, Caesarean Section
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………….. i
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………….. iii
PRAKATA ………………………………………………………….. v
ABSTRAK …………………………………………………………….. viii
ABSTRACT …………………………………………………….…….. ix
DAFTAR ISI……………………………………………………….…... x
DAFTAR TABEL ………………………………………………..……. xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….….. xiv
DAFTAR ISTILAH ………………………………………………….. xv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………… 1
B. Kajian Masalah ……………………………………………… 8
C. Rumusan Masalah …………………………………………. 14
D. Tujuan Penelitian …………………………………………… 15
E. Manfaat Penelitian …………………………………………. 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang SSC……….……............................... 18
B. Tinjauan Tentang Sectio Caesarea…..…………………… 26
C. Tinjauan Tentang Keselamatan Pasien.………………….. 31
D. Tinjauan tentang Rumah Sakit…………………………….. 36
E. Sintesa Penelitian Terdahulu………….…………………… 42
F. Kerangka Teori………………………….…………………… 44
G. Kerangka Konsep……………………………………………. 45
H. Hipotesis……………….……………………………………... 45
I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif….……………... 47
xi
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian……………….……..……………………. 51
B. Lokasi dan Waktu Penelitian …..…………..……………... 52
C. Populasi dan Sampel...….…………………………………. 52
D. Teknik Penentuan Sampel.………………………………… 52
E. Teknik Pengumpulan Data….……………………………… 54
F. Pengolahan Data…..……..………………………………… 54
G. Analisis Data………..……………………………………….. 55
H. Etika Penelitian……..……………………………………….. 57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ................................................................ 60
1. Analisis Univariat.......................................................... 61
2. Analisis Bivariat ............................................................ 69
3. Analisis Multivariat ....................................................... 73
B. Pembahasan .................................................................... 75
C. Dampak Manegerial Rumah sakit terhadap Kejadian Infeksi
Luka Operasi Serta Penaggulangannya .......................... 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..................................................................... 121
B. Saran .............................................................................. 122
DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 123
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Hal 1 Sintesa Penelitian Terdahulu 42
2 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 47
3 Tabel Perbandingan Proporsi Kelompok 56
4 Distribusi Pasien Berdasarkan Karakteristik di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
61
5 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum Induksi (Sign-In) di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
63
6 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksaan Prosedur Sign-In di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
64
7 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum Incisi Kulit (Time Out) di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
65
8 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksaan Prosedur Time-Out di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
65
9 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum Pasien Meninggalkan Kamar operasi (Sign-Out) di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
66
10 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksaan Prosedur Sign-Out di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
67
11 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksaan Prosedur Surgical Safety Checklist di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
67
12 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Infeksi Luka Operasi SC di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
68
13 Distribusi Pasien Berdasarkan Infeksi Luka Operasi SC di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
68
14 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan Surgical Safety Checklist tahap Sign-In dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
69
15 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan Surgical Safety Checklist tahap Time-Out dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
70
16 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan Surgical Safety Checklist tahap Sign-Out dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
71
xiii
Tabel Judul Hal
17 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan Surgical Safety Checklist dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
72
18 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Setelah Operasi SC Tahun 2017
74
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1
Judul Halaman
Kerangka Kajian Masalah 12
2 Kerangka Teori 44
3 Kerangka Konsep 45
4 Rancangan Penelitian Kohort 51
xiv
xv
DAFTAR ISTILAH
1. SSC : Surgical Safety Checklist
2. AHA : American Hospital Association
3. ILO : Infeksi Luka Operasi
4. KTD : Kejadian Tidak di Harapkan
5. MDG’s : Millenium Development Goals
6. MENKES : Kementerian Kesehatan
7. NPSA : National Patient Safety Agency
8. RS : Rumah Sakit
9. SDM : Sumber Daya Manusia
10. SPM : Standar Kepuasan Minimal
11. SOP : Standar Operasional Prosedur
12. USA : United State American
13. UK : United Kingdom
14. WHO : World Health Organization
15. SURPASS : Surgical Patient Safety System
16. IBS : Instalasi Bedah Sentral
17. NNIS : National Nosocomial Infection Surveillace
18. SPO : Standar Prosedur Operasional
19. JCI : Joint Commission International
20. VAP : Ventilator Associated Pneumonia
21. ASA : American Society of Anesthesiologists
22. SC : Sectio Caesarea
23. KKP-RS : Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
24. KARS : Komite Akreditasi Rumah Sakit
25. BLUD : Badan Layanan Umum Daerah
26. RR : Relative Risk
xv
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Uraian Halaman
1 Lembar observasi Penelitian 129
2 Output Analisis Data 135
3 Surat Izin Penelitian 147
4 Dokumentasi 148
5 Curriculum Vitae 151
1
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan anugerah yang paling bermakna sebagai
manusia. Setiap manusia yang sakit pasti akan pergi ke pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan dengan
terapi konservatif, namun tidak jarang pula klien yang sakit harus
mendapat tindakan pembedahan untuk proses penyembuhan
penyakitnya.
Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting
dalam pelayanan kesehatan. Tindakan pembedahan bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi.Namun
demikian, pembedahan yang dilakukan juga dapat menimbulkan
komplikasi yang dapat membahayakan nyawa (Haynes, 2009). Oleh
sebab itu diperlukan pelayanan pembedahan yang aman untuk mengatasi
komplikasi pembedahan.
Berbagai penelitian menunjukkan komplikasi yang terjadi setelah
pembedahan. Data WHO tahun 2009 menunjukkan komplikasi utama
pembedahan adalah kecacatan dan rawat inap yang berkepanjangan 3-
16% pasien bedah terjadi di negara-negara berkembang. Secara global
angka kematian kasar berbagai operasi sebesar 0,2-10%. Diperkirakan
hingga 50% dari komplikasi dan kematian dapat dicegah di negara
berkembang jika standar dasar tertentu perawatan diikuti (WHO, 2009).
2
World Health Organization (WHO) memperkirakan sedikitnya ada
setengah juta kematian akibat pembedahan yang sebenarnya bisa
dicegah . Di Inggris dan Wales, National Patient Safety Agency (NPSA)
melaporkan 127.419 insiden terkait pembedahan pada tahun 2008. Di
negara bagian Amerika Serikat yang hanya berpopulasi kurang dari 2%
dari total populasi Amerika Serikat dilaporkan terjadi 21 operasi pada sisi
yang salah hanya dalam satu tahun (Oktober 2008 s/d Oktober 2009).
Keadaan sesungguhnya kemungkinan lebih banyak lagi karena sebagian
besar insiden tidak dilaporkan (Amirullah Nurul, 2014).
Patient Safety juga merupakan salah satu dimensi mutu yang saat ini
menjadi pusat perhatian para praktisi pelayanan kesehatan dalam skala
nasional maupun global. World Health Organization (WHO)
memperkirakan sedikitnya ada setengah juta kematian akibat
pembedahan yang sebenarnya bisa dicegah. Program Safe Surgery
Saves Lives memperkenalkan dan melakukan uji coba Surgical Safety
Checklist sebagai upaya untuk keselamatan pasien dan mengurangi
jumlah angka kematian di seluruh dunia. Tujuan utama dari SSC untuk
menurunkan Kejadian Tidak diharapkan (KTD) di kamar operasi (Siagian,
2011). WHO (2009), menjelaskan bahwa SSC di kamar bedah digunakan
melalui 3 tahap, masing-masing sesuai dengan alur waktunya yaitu saat
sebelum induksi anestesi (Sign In), sebelum dilakukan insisi kulit (Time
Out) dan sebelum mengeluarkan pasien dari kamar operasi (Sign Out).
SSC tersebut sudah baku dari WHO yang merupakan alat komunikasi
3
praktis dan sederhana dalam memastikan keselamatan pasien dalam
tahap preoperatif, intraoperatif dan pasca operasi.
SSC adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan pembedahan
yang aman dan berkualitas pada pasien. Safety & compliance, SSC
merupakan alat komunikasi, mendorong kerja tim untuk keselamatan
pasien yang digunakan oleh tim profesional diruang operasi untuk
meningkatkan kualitas dan menurunkan kematian serta komplikasi akibat
pembedahan, dan memerlukan persamaan persepsi antara ahli bedah,
anestesi dan perawat.
Uji coba telah dilakukan terhadap penggunaan SSC di delapan rumah
sakit di dunia. Kota Toronto (Kanada), New Delhi(India), Amman
(Yordania); Auckland (Selandia Baru), Manila (Filipina), Ifakara
(Tanzania), London (Inggris), dan Seattle, Okt 2007-Sept 2008) yang
mewakili berbagai kondisi ekonomi dan populasi dengan beragam pasien
Hasil penelitian menunjukkan penurunan kematian dan komplikasi akibat
pembedahan. Menurut Howard (2011), komplikasi bedah setelah
penggunaan SSC secara keseluruhan turun dari 19.9% menjadi 11,5%,
dan angka kematian menurun dari 1,9% menjadi 0,2%. Pelaksanaan SSC
telah membuktikan pengurangan dalam angka morbiditas dan mortalitas
dalam perawatan di rumah sakit.
Penelitian Weizer (2008), studi implementasi WHO SSC ujicoba yang
dilakukan di delapan rumah sakit yang sama didapatkan penurunan
komplikasi pada operasi darurat sebesar 63,6%, penurunan angka
4
kematian di rumah sakit akibat operasi dari 3,7% menjadi 1,4% angka
Infeksi Luka Operasi (ILO) turun dari 11,2% menjadi 6,6% dan kehilangan
darah lebih dari 500 ml turun dari 20,2% menjadi 13,2%. Penelitian
Latosinsky et al., (2010) jika SSC dilaksanakan secara konsisten akan
menurunkan angka kematian dari 1,5% menjadi 0,8% dan menurunkan
komplikasi yang terjadi dari 11% menjadi 7%. Selain penggunaan
checklist kelompok studi ini juga melakukan intervensi perkenalan diri dan
perannya dalam tim, kondisi pasien sebelum operasi, potensi penyulit
yang mungkin muncul, kebutuhan peralatan khusus, posisi pasien dan
lain-lain. Tim operasi bisa jadi bekerja tanpa saling mengetahui nama
masing- masing dikarenakan kurangnya perkenalan diantara tim,
akibatnya akan sulit bagi anggota tim untuk bertanya, mengingatkan atau
memberitahu jika ada masalah yang terjadi.
Penelitian Haynes et al., (2009), dalam penerapan 19 Item SSC
terbukti menurunkan angka kematian dari 1,5% menjadi 0,8%, penurunan
komplikasi dari 11% menjadi 7% dan penurunan infeksi nosokomial dari
6,2% menjadi 3,4%.
Penelitian Vries et al., (2009) pada salah satu studi analisis kohort
retrospektif oleh “ a SSC System (SURPASS)” didapatkan bahwa
walaupun waktu pemberian antibiotik profilaksis dengan menerapkan SSC
praoperasi lebih lama dari 23.9 –29.9 menit menjadi 32.9 menit, tetapi
proporsi pasien yang tidak menerima antibiotik sampai insisi kulit menurun
sebesar 6%.
5
Berdasarkan survey yang dilakukan di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, didapatkan bahwa SSC sudah
tersedia di Instalasi Bedah Sentral (IBS), sedangkan penggunaannya
checklist sendiri belum rutin. Berdasarkan wawancara dengan koordinator
Patient Safety di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II mengatakan
bahwa pelaksanaan SSC di Instalasi Bedah Sentral (IBS) rumah sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dimulai sejak bulan maret 2013
lalu, SSC yang digunakan mengacu pada SSC buatan WHO. Koordinator
SSC adalah perawat bedah atau anestesi yang mengikuti operasi
tersebut. Selama penerapan SSC di IBS kendala yang sering terjadi jika
ada operasi yang bersamaan penerapan SSC sering terlewat dan juga
belum adanya pelatihan mengenai patient safety di IBS dan penggunaan
SSC itu sendiri.
Ada penelitian lain, satu tim bedah melaporkan penurunan delay
sebesar 82% setelah implementasi briefing. Infeksi dan angka kesakitan
post operasi lainnya juga menjadi perhatian yang serius di seluruh dunia.
Penelitian sebelumnya mengindikasikan pengukuran yang terjamin
seperti antibiotik profilaksis segera sebelum insisi dan konfirmasi sterilitas
alat tidak secara konsisten diikuti. Hal ini sering diakibatkan bukan karena
kurangnya sumber daya atau biaya tetapi karena buruknya sistematisasi.
Sebagai contoh antibiotik yang diberikan perioperatif pada kedua negara
kaya dan miskin, tetapi keduanya sering memberikan terlalu awal, terlalu
terlambat atau tidak teratur (Joint Commision International, 2011).
6
Pada penelitian di negara berkembang meskipun peningkatan
pengetahuan mengenai pembedahan yang aman telah dilakukan, tetapi
sebagian kejadian yang tidak diinginkan tersebut terjadi selama pelayanan
pembedahan. Di negara berkembang terdapat infrastruktur dan peralatan
yang kurang lengkap, kapasitas dan pelatihan personel yang inadekuat,
serta kurangnya biaya memberikan kontribusi yang besar terhadap
kesulitan masalah keselamatan tersebut. Oleh karena itu, SSC dan
pelayanan yang berkualitas muncul sebagai global untuk mempromosikan
pendekatan sebuah sistem yang luas, yang tidak hanya merupakan tugas
seorang operator tetapi oleh sebuah tim pelayanan kesehatan
professional yang bekerja sama dalam mendukung sistem untuk
keselamatan pelayanan pembedahan (WHO, 2009).
RSUD Tenriawaru kabupaten Bone merupakan salah satu rumah sakit
yang melayani pembedahan yang dibagi beberapa jenis, pembedahan
besar, sedang dan kecil. Kamar operasi RSUD Tenriawaru Bone
digunakan untuk bedah umum, THT, mata, kulit, bedah ortopedi dan
obgyn. Tindakan pembedahan di RSUD Tenriawaru dilakukan oleh tim
operasi yang terdiri dari 3 dokter spesialis bedah umum, 1 dokter spesialis
ortopedi, 3 dokter spesialis kandungan, 1 dokter spesialis mata, 2 dokter
spesialis THT, 1 dokter spesialis kulit, 1 dokter spesialis bedah ortopedi, 1
dokter anastesi, 4 perawat Ka tim, 20 perawat pelaksana dan 3 penata
anastesi. Pembedahan dilakukan dengan melibatkan 5-7 petugas operasi
terdiri dari 1 operator bedah, 1 dokter anastesi, 1 asisten (perawat), 1
7
perawat instrument, 1 perawat sirkuler (on loop) dan 1 penata anastesi
(Profil RSUD Tenriawaru, 2017).
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa pelayanan persalinan
Normal di RSUD Tenriawaru tahun 2015 meningkat 31,8 %, Persalinan
Sectio Caesarea mengalami penurunan 33% dibandingkan tahun 2014.
Berdasarkan survey hasil pembedahan pada tahun 2016 untuk
operasi bedah umum sebanyak 276 orang, bedah kandungan sebanyak
754 orang, bedah THT sebanyak 89 orang. Sectio Caesarea merupakan
salah satu operasi kandungan yang berjenis mayor di RSUD Tenriawaru
Bone. Pada tahun 2016 didaptkan tindakan SC sebanyak 643 orang dan
yang mengalami infeksi luka operasi sebanyak 13 kasus.
Jadi pelaksanaan SSC masih belum terlaksana 100%, dengan jumlah
operasi SC pada tahun 2016 yaitu sebanyak 643 tindakan pembedahan,
pelaksanaan SSC baru terlaksana 55% dengan kategori 60 % yang
lengkap dan 35% masih belum lengkap. dan sepanjang tahun 2016 ada 7
kasus kejadian KNC (Kejadian Nyaris Cedera) di kamar operasi serta
kasus infeksi luka yang terdata sebanyak 13 kasus. Data pasien yang
mengalami ILO di RSUD Tenriawaru Bone masih banyak yang belum
terdeteksi karena sistem pelaporan kejadian infeksi masih kurang.
Sesuai dengan peraturan Depkes no.1691 tentang keselamatan
pasien dan Komite Akreditasi Rumah Sakit (Kars) menuntut pelaksanaan
SSC di kamar operasi harus 100% untuk mengeliminasi masalah yang
mengkhwatirkan termasuk kejadian infeksi luka operasi pasca operasi dan
8
kemungkinan kekeliruan diselesaikan dalam tindakan operasi dimana
pelaksanaan SSC dilakukan pada semua item yang telah ditentukan.
Keselamatan pasien merupakan prinsip dasar dalam pemberian
pelayanan dan merupakan komponen sangat penting dalam manajemen
pelayanan kesehatan di rumah sakit (WHO,2009)
Berdasarkan data tersebut peneliti ingin mengetahui bagaimana
pengaruh penerapan SSC dengan kejadian infeksi luka operasi pada
pasien Sectio Caesarea di RSUD Tanriawaru kabupaten Bone.
B. Kajian Masalah
Infeksi luka operasi (ILO) merupakan infeksi yang sering terjadi pada
pasien pasca pembedahan (Pandjaitan, 2013). Survey World Health
Organization (WHO) melaporkan bahwa angka kejadian ILO di dunia
berkisar antara 5% sampai 15% (WHO, 2015). Data WHO menunjukkan
bahwa sekitar 5%-34% dari total infeksi nosokomial adalah ILO (Haryanti
dkk, 2013). National Nosocomial Infection Surveillace (NNIS, 2010) United
States America mengindikasikan bahwa ILO merupakan infeksi ketiga
tersering yang terjadi di rumah sakit sekitar 14-16% dari total pasien di
rumah sakit mengalami ILO. Penelitian di Nigeria tahun 2009 melaporkan
bahwa dari pasien post operasi yang dilakukan pemeriksaan kultur ILO
5%-10% diantaranya berkultur positif mengandung bakteri (Setyarini,
Barus & Dwitari, 2013).
9
Menurut DEPKES RI tahun 2011 angka kejadian ILO pada rumah
sakit pemerintah di Indonesia sebanyak 55,1% (Asyifa, Suarniant & Mato,
2012). Hasil penelitian Aprilia (2011), membuktikan bahwa angka kejadian
ILO di RS Dr. Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang sebanyak 56,67%
yang terdiri dari ILO superfisial incision 70,6%, ILO deep incision 23,5%
dan ILO organ 5,9%. ILO ditemukan paling cepat hari ketiga dan yang
terbanyak ditemukan pada hari ke lima dan yang paling lama adalah hari
ketujuh.
Faktor kejadian ILO antara lain dari pasien misalnya diabetes
mellitus, obesitas, malnutrsi berat serta faktor lokasi luka yang meliputi
pencukuran daerah operasi, suplai darah yang buruk ke daerah operasi,
dan lokasi luka yang mudah tercemar sedangkan, faktor operasi misalnya
lama operasi, penggunaan antibiotik profilaksis, ventilasi ruang operasi,
tehnik operasi (Suatmadji, 2015). Faktor kejadian ILO pada pra operasi
meliputi persiapan kulit yaitu tidak membersihkan daerah operasi atau
tidak melakukan pencukuran didaerah bedah dengan rambut yang lebat
(Riyadi & Hatmoko, 2012).
Menurut Asyifa (2012), hari perawatan luka >5 hari akan
meningkatkan terjadinya ILO. Prosedur perawatan luka harus
dilaksanakan sesuai yang ditetapkan bertujuan agar mempercepat proses
penyembuhan dan bebas dari infeksi luka yang ditimbulkan dari infeksi
nosokomial (Pujianti, 2015).
10
Menurut Tirtabayu (2014), mengatakan luka operasi dikatakan
terinfeksi apabila luka tersebut mengeluarkan nanah atau pus dan
kemungkinan terinfeksi apabila luka tersebut mengalami tanda-tanda
inflamasi. Potter dan Perry (2006), yang menyatakan bahwa infeksi luka
operasi merupakan salah satu masalah utama dalam praktek
pembedahan dan infeksi menghambat proses penyembuhan luka
sehingga menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas bertambah besar
yang menyebabkan lama hari perawatan. Lama perawatan yang
memanjang disebabkan karena beberapa faktor, yaitu faktor ekstrinsik dan
faktor intrinsik.
Tingginya kejadian ILO pada pasien pasca pembedahan maka
perawat dituntut bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di rumah
sakit, salah satunya mengurangi angka kejadian ILO (Septiari, 2012).
Menurunkan kejadian infeksi terkait dengan pencegahan ILO bisa
dilakukan oleh pelayanan kesehatan pada pasien, petugas kesehatan,
pengunjung serta fasilitas pelayanan kesehatan (Pandjaitan, 2015). Faktor
kejadian ILO pada pasien dari penyakit penyerta yang dialami pasien
seperti diabetes atau pada pasien yang memiliki kelebihan gula darah
yang tidak terkontrol saat operasi diketahui dapat meningkatkan risiko
terhadap ILO (Faridah, Andayani & Inayati, 2012). Pasien dapat
melakukan perbaikan keadaan sebelum operasi meliputi diabetes mellitus,
malnutrisi, infeksi, obesitas sehingga menurunkan angka kejadian ILO
(Septiari, 2012).
11
Berdasarkan data yang diperoleh di bagian IBS (instalasi bedah
sentral) RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone Instalasi Bedah Sentral
mempunyai 4 kamar operasi. Kegiatan operasi yang dilaksanakan bersifat
elektif dan cito (darurat).
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pelaksanaan SSC di
Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Tenriawaru Bone
didapatkan kesenjangan bahwa sudah ada Standar Prosedur Operasional
(SPO) pelaksanaan pembedahan, tetapi dalam pelaksanaannya masih
belum sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing dari tim bedah.
Peran dan tugas semua tim bedah belum dijalankan sesuai dengan
pedoman yang berlaku. Serta berdasarkan data yang didapatkan dari
Instalasi rekam medis RSUD Tenriawaru Bone didapatkan bahwa pada
tahun 2015 dilaporkan ada 8 pasien post pembedahan mengalami
komplikasi yaitu ILO kemudian pada tahun 2016 periode januari sampai
Agustus didaptkan angka kejadian ILO < 5% , jumlah pasien yang
melakukan operasi Sectio Caesarea (obgyn) tahun 2014 sebanyak 1.597
dan tahun 2015 sebanyak 1.240.
12
Gambar 1. Kajian Masalah Penelitian Menurut WHO, 2008
Standar SKP.4 Akreditasi RS 2012 / IPSG.4 JCI mensyaratkan
agar rumah sakit memiliki kebijakan dan prosedur pembedahan yang
memastikan benar lokasi, benar prosedur, dan benar pasien. Hal ini
sangat penting, karena kesalahan lokasi, kesalahan prosedur, dan
kesalahan pasien saat operasi masih sering terjadi, dan berakibat
fatal. Oleh karena itu, rumah sakit perlu menyusun dan menerapkan
kebijakan dan prosedur tersebut. Kebijakan tersebut mencakup
Faktor Individu Pasien 1. Usia 2. Nutrisi/gizi 3. Penyakit Kormobid 4. Merokok 5. Alkohol dan obat-obatan 6. Jenis Luka dan keparahan (connor MFO, Roizen MF 1997)
Penerapan Safety surgery cheklist (Sign in, time out, sign out)
(WHO,2009)
Kejadian ILO pada pasien SC 2,02 % (standar WHO 1,5%)
Faktor Lingkungan Kerja 1. Kerja sama Tim 2. Peralatan dan Sumber Daya Manusia
(Pendidikan dan Pelatihan) 3. Organisasi / strategi ( National Patient Safety Agency, 2012)
13
definisi pembedahan yang di dalamnya terkandung setidaknya
prosedur yang menyelidiki dan / atau menyembuhkan penyakit dan
gangguan tubuh manusia melalui pemotongan, pengangkatan,
pengubahan atau pemasukan alat diagnostic / terapi. Kebijakan ini
berlaku di semua lokasi di rumah sakit, di mana prosedur itu dilakukan
(bukan hanya di kamar operasi). Untuk memastikan kebijakan dan
prosedur yang kita miliki benar, kita perlu merujuk kepada The (US)
Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site,
Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Koordinator SSC adalah perawat bedah atau anestesi yang
mengikuti operasi tersebut. Selama penerapan SSC di IBS kendala
yang sering terjadi jika ada operasi yang bersamaan penerapan SSC
sering terlewat dan juga belum adanya pelatihan mengenai patient
safety di IBS dan penggunaan SSC itu sendiri.
Safety briefing memungkinkan anggota tim saling memperkenalkan
diri dan perannya dalam tim, kondisi pasien, potensi penyulit yang
mungkin muncul, kebutuhan peralatan khusus, posisi pasien,dll.
Tanpa perkenalan yang cukup, tim operasi bisa jadi bekerja tanpa
saling mengetahui nama masing -masing. Akibatnya, akan sulit bagi
anggota tim untuk bertanya, mengingatkan atau memberitahu jika ada
masalah yang terjadi. Meskipun masih banyak dokter dan perawat
yang masih menganggap proses ini tidak penting, tetapi pada
kenyataannya briefing berhasil meningkatkan komunikasi dalam tim,
14
mengurangi terjadinya kesalahan dan keterlambatan yang tidak
diharapkan. Selain itu, kerjasama tim yang kurang baik diketahui
berhubungan dengan peningkatan komplikasi dan kematian.
Keselamatan pasien adalah proses yang dijalankan oleh organisasi
yang bertujuan membuat layanan kepada pasien menjadi lebih aman.
Proses tersebut mencakup pengkajian risiko, identifikasi dan
pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisa insiden, dan
kemampuan belajar dari suatu keadaan atau kejadian, menindak
lanjuti suatu kejadian, dan menerapkan solusi yang tepat untuk
mengurangi risiko tersebut terjadi kembali ( Asyifa, 2012).
C. Rumusan Masalah
Komplikasi yang terjadi pada operasi Sectio Caesarea adalah
infeksi setelah operasi, dimana infeksi pada operasi bedah
seharusnya tidak lebih dari 1,5% tetapi pada data yang diperoleh
terdapat kejadian infeksi post operasi section caesarea sekitar 2,02%.
WHO merumuskan tools / alat berupa SSC untuk mengurangi
komplikasi akibat pembedahan salah satunya site surgery infection.
Peneliti tertarik untuk meneliti tentang“ Bagaimana pengaruh
penerapan SSC terhadap kejadian infeksi luka operasi pada pasien
Sectio Saecarea di RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone. Berdasarkan
latar belakang masalah yang sudah dikemukakan, Rumusan masalah
dalam penelitian ini memfokuskan pada sebagai berikut :
15
a) Apakah ada pengaruh penerapan SSC, sign in terhadap
kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien Sectio
Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.
b) Apakah ada pengaruh penerapan SSC, time out terhadap
kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien Sectio
Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.
c) Apakah ada pengaruh penerapan SSC sign out terhadap
kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien Sectio
Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.
d) Apakah sign in, time out, atau sign out, tahapan yang paling
berpengaruh dalam terjadinya kejadian infeksi luka operasi
(ILO)
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan
SSC terhadap kejadian infeksi luka operasi pada pasien Sectio
Saecarea di RSUD Tenriawaru Bone”.
2. Tujuan Khusus Penelitian
a) Untuk mengetahui pengaruh penerapan SSC, sign in
terhadap kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien
Sectio Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.
16
b) Untuk mengetahui pengaruh penerapan SSC, time out
terhadap kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien
Sectio Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.
c) Untuk mengetahui pengaruh penerapan SSC sign out
terhadap kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien
Sectio Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.
d) Untuk mengetahui tahapan yang paling berpengaruh dalam
terjadinya kejadian infeksi luka operasi (ILO)
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang
perkembangan di bidang mutu khususnya mutu pelayanan
klinis.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat Bagi peneliti
Penelitian ini dapat berguna secara praktis bagi peneliti
sebagai pengaplikasian ilmu atau teori yang telah
didapatkan sebelumnya yaitu tentang pentingnya
penerapan SSC yang baik dalam pelaksanaan operasi di
ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS).
17
b. Manfaat bagi Institusi Rumah Sakit
Dapat memberikan bahan masukan yang positif serta
sebagai evaluasi bagi instansi terkait dalam memberikan
pelayanan kepada pasien, khususnya instalasi rawat
inap dan ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD
Tenriawaru Bone.
c. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
kajian literatur untuk pengembangan ilmu dalam
memberikan pelayanan kesehatan terutama yang
meninjau keselamatan pasien dalam mengurangi infeksi
luka operasi.
d. Manfaat Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
literatur untuk Peneliti selanjutnya dengan kajian
penelitian yang sama yaitu penerapan SSC dalam
mengurangi infeksi luka operasi.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Surgical Safety Checklist 1. Definisi dan latar belakang
World Health Organization (WHO) menyusun SSC untuk membantu
tim operasi dalam mengurangi angka kejadian tidak di harapkan (KTD),
dimana sebelumnya telah berkonsultasi dengan para ahli bedah, dokter
anastesi, dan perawat untuk mengidentifikasi hal-hal penting dalam
tindakan keselamatan operasi. Tujuan program ini untuk mengatasi isu-
isu keselamatan pasien termasuk tidak memadainya keselamatan
pasien dalam tindakan anastesi, menghindari infeksi nosokomial,
meningkatkan komunikasi saat operasi diantara anggota tim. Tim
operasi harus berlatih menggunakan checklist, dan
mengintegrasikannya ke dalam alur kerja di ruang operasi.
Studi WHO “Safe Surgery Saves Lives” juga menjelaskan hasil
studi uji coba checklist di delapan rumah sakit di enam negara WHO
dengan 3733 pasien sebelum implementasi dan 3955 pasien setelah
implementasi. Setelah uji coba implementasi checklist, kematian akibat
operasi menurun 47% dan komplikasi berkurang 36%. Penelitian
Latonsky et al, (2010) jika SSC dilaksanakan secara konsisten akan
menurunkan angka kematian dari 1,5% menjadi 0,8% dan menurunkan
angka komplikasi yang terjadi dari 11% menjadi 7%. Tujuan utama dari
SSC untuk menurunkan kejadian tidak diinginkan di kamar operasi
19
(WHO, 2009). Tujuan dari checklist ini dalam prakteknya juga untuk
memperkuat/membina kerjasama dan komunikasi yang lebih baik
diantara tim operasi, membantu memastikan setiap langkah yang ada
di checklist telah dijalankan secara konsisten sehingga meminimalkan
dan menghindari risiko cedera terhadap pasien. Checklist memberikan
panduan dengan cara melakukan interaksi secara lisan (komunikasi)
kepada seluruh tim untuk mengkonfirmasikan apakah standar
pelayanan sudah sesuai untuk setiap pasien yang akan dioperasi.
Williams, et al. (2007), melaporkan kegagalan komunikasi seorang
dokter bedah terhadap tim operasi merupakan penyebab yang sangat
sering dan menyebabkan kejadian tidak diinginkan sebesar 31%.
Kegagalan komunikasi tersebut menyebabkan penundaan perawatan
pasien sebesar 77% dan sebanyak 48% waktu tim operasi terbuang
sia-sia. Masloman (2014), selain komunikasi, kerjasama tim yang
kurang baik diketahui berhubungan dengan peningkatan komplikasi dan
kematian.
WHO collaborating center for patient safety pada tanggal 2 mei
2008 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solution”
(sembilan solusi life saving keselamatan pasien di rumah sakit).
Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan
pasien dan lebih 100 negara, dengan mengindentifikasi dan
mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien. Salah satunya
20
adalah pencegahan cedera pada pasien yang akan menjalankan
operasi.
2. Strategi Surgical Safety Checklist
Pentingnya satu orang koordinator untuk memimpin checklist
merupakan suatu keberhasilan dalam melaksanakan setiap tahapan
yang ada di checklist. Dalam pelaksanaan suatu operasi mungkin saja
terjadi suatu kesalahan baik dalam perispan praoperasi, intraoperasi,
atau pascaoperasi. Koordinator checklist di setiap tahapan harus
mengkonfirmasi apakah setiap tahapannya sudah dilaksanakan
sebelum melanjutkan tahapan berikutnya. Semua langkah harus tepat
dilaksanakan oleh anggota tim dan diperiksa secara lisan untuk
memastikan bahwa tindakan-tindakan utama telah dilakukan.
Koordinator checklist sebelum induksi anastesi akan memastikan
secara lisan kepada pasien, dokter anastesi dan ahli bedah mengenai
identitas pasien, informed consent, prosedur operasi yang akan
dilakukan serta sisi yang akan dioperasi. Jika perlu koordinator akan
menandai sisi yang akan dioperasi dan menanyakan kepada dokter
anastesi mengenai risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi
alergi, dan mesin anastesi apakah berfungsi dengan baik atau tidak,
serta ketersediaan dan kelengkapan obat anastesi. Sebaiknya ahli
bedah dalam tahapan ini hadir untuk menjelaskan dan memberikan
masukan kepada tim mengenai kemungkinan kehilangan darah selama
21
operasi, riwayat alergi, ataupun faktor-faktor yang mempersulit jalannya
operasi.
3. Pelaksanaan Surgical Safety Checklist
Pelaksanaan SSC memerlukan seorang koordinator untuk
bertanggung jawab untuk memeriksa checklist. Koordinator biasanya
seorang perawat atau dokter atau profesional kesehatan lainnya yang
terlibat dalam operasi. SSC dibagi tiga tahap yaitu sebelum induksi
anestesi (Sign In), periode setelah induksi dan sebelum bedah sayatan
(Time Out), dan periode selama atau segera setelah penutupan luka
tapi sebelum mengeluarkan pasien dari operasi kamar (Sign Out). Pada
setiap fase, koordinator checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi
bahwa tim telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan kegiatan
lebih lanjut.
a. Fase Sign In
Fase sign in adalah fase sebelum induksi anestesi, koordinasi
secara verbal memeriksa apakah identitas pasien telah
dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan
dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah diberikan,
pulse oxymetry pada pasien berfungsi. Koordinator dengan
professional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien apakah pasien
ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi.
22
b. Fase Time Out
Fase time out adalah fase setiap anggota tim operasi
memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi
memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal.
Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim
mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan
operasi yang benar, pada pasien yang benar. Mereka juga
mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam
60 menit sebelumnya.
c. Fase sign out
Fase sign out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang
telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons,
penghitungan instrument, pemberian label pada specimen,
kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah
terakhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan
memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta
pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi.
4. Adverse Event Pascaoperasi
Kejadian Tidak diharapkan atau adverse event adalah suatu kejadian
yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera pasien akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. Kejadian tidak diharapkan diruang operasi bisa
meliputi kejadian operasi salah sisi, kejadian operasi salah orang, kejadian
23
salah tindakan, tertinggalnya kassa, komplikasi anastesi karena over
dosis, dan reaksi anastesi. Menurut National Surgical Quality Improvement
Program (NSQIP) postoperative adverse event suatu kejadian yang timbul
setelah operasi sampai 30 hari setelah operasi.
Postoperative adverse event seperti Infeksi Luka Operasi (ILO),
penggunaan ventilator lebih dari 24 jam, pasien dioperasi ulang tanpa
terencana perdarahan yang memerlukan transfusi 4 unit darah atau lebih
dalam 72 jam setelah operasi, dan kematian.
Jenis-jenis Adverse Event Pascaoperasi :
a. Infeksi Luka Operasi (ILO)
Infeksi Luka Operasi (ILO) Menurut Centers for Disease Control and
Preventions (CDC) didefinisikan sebagai suatu infeksi yang terjadi
pada luka operasi dalam waktu 30 hari setelah pembedahan. CDC
membagi kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO) dalam tiga kategori,
yaitu:
1) Superficial Incisional
Infeksi yang timbul setelah pada saat selesai pembedahan
dilakukan sampai dengan 30 hari setelah pembedahan, infeksi
hanya terjadi meliputi kulit dan jaringan subkutan pada luka insisi
2) Deep Incisional
Infeksi pembedahan yang timbul pada saat setelah pembedahan
sampai 30 hari setelah pembedahan jika tidak terdapat implant atau
24
satu tahun jika terdapat implant. Infeksi yang terjadi melibatkan
jaringan lunak bagian dalam (fascia dan otot) dari insisi.
3) Organ atau Space
Infeksi pembedahan yang terjadi dalam waktu 30 hari pasca
pembedahan dengan atau tanpa implant atau dalam satu tahun bila
ada implant dan infeksi yang timbul berhubungan dengan tindakan
pembedahan yang dilakukan. Infeksi yang terjadi mengenai bagian
organ atau rongga tubuh yang lain dari tempat insisi yang telah
dibuka maupun dimanipulasi selama operasi berlangsung
b. Pengguna Ventilator lebih dari 48 jam
Penggunaan ventilator lebih dari 48 jam berhubungan dengan
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang
didapat di rumah sakit yang terjadi pada pasien yang menggunakan
ventilasi mekanis melalui pipa endotrakeal atau trakeostomi selama
kurang dari 48 jam yang menyebabkan tingginya morbiditas dan
mortalitas pasien. Menurut Hendrik (2014), pada pasien bedah
permasalahan pernafasan setelah pembedahan disebabkan oleh
ventilasi yang tidak memadai karena dampak sisa obat anastesi,
obstruksi trakea atau bronkus, usia, keadaan paru seperti penyakit
emfisema dan bronchitis kronik, dan aspirasi.
c. Pasien dioperasi Ulang
Menurut American Collage of Surgeon (ACS) tidak terencananya
pasien kembali ke ruang operasi didefinisikan sebagai pasien setelah
25
operasi (rawat inap atau rawat jalan), kembali ke ruang operasi akibat
komplikasi atau hasil yang tidak diinginkan selama 30 hari terkait
dengan operasi awal. Penyebab tidak terencananya pasien kembali ke
ruang operasi disebabkan oleh perdarahan, infeksi, luka jahitan yang
terlepas.
d. Perdarahan yang Memerlukan Transfusi 4 Unit atau Lebih Darah
dalam 72 jam Setelah Operasi
Perdarahan merupakan penyulit pada pasien yang menjalani operasi.
Pasien yang akan menjalani operasi harus ditentukan terlebih dahulu
apakah ada risiko perdarahan. Hal ini penting untuk mencegah
timbulnya penyulit baik selama operasi maupun sesudah operasi.
Perdarahan setelah pembedahan sering dihubungkan dengan
perdarahan terlambat dan terjadi karena masalah jahitan atau
kauterisasi pembuluh darah. Perdarahan yang tidak disangka
biasanya diketahui dari menurunnya hematokrit atau munculnya
hematoma.
e. Kematian
Kasus kematian setelah pembedahan berhubungan dengan kondisi
penyakit dan keadaan kesehatan sebelum dilakukan tindakan operasi.
Menurut Cahyono (2012), penetapan American Society of
Anesthesiologists (ASA) oleh dokter anastesi sebelum dilakukan
operasi merupakan faktor predisposisi yang kuat terhadap kematian
setelah pembedahan
26
B. Tinjauan Tentang Sectio Caecarea
1. Pengertian
Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin
yang dilahirkan melalui insisi atau penyayatan pada dinding perut dan
dinding rahim dengan syarat rahim ibu dalam keadaan baik dan berat
janin diatas 500 gram (Chandaranita, 2009). Persalinan sectio
caesaria adalah proses melahirkan janin melalui insisi pada dinding
abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi), (Vries 2009).
Istilah Caesar berasal dari bahasa Latin caedere yang artinya
memotong atau menyayat. Tindakan yang dilakukan tersebut
bertujuan untuk melahirkan bayi melalui tindakan pembedahan
dengan membuka dinding perut dan dinding rahim (Ezra, 2007).
Sectio Caesarea adalah persalinan buatan yang dilakukan dengan
cara penyayatan atau insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim ibu dalam keadaan baik dan berat janin diatas
500 gram dengan pertimbangan medis untuk memperkecil timbulnya
risiko pada ibu dan bayinya.
2. Istilah tindakan Sectio Caesarea
a. Sectio caesarea primer (elektif), Tindakan operasi
direncanakan karena janin yang akan dilahirkan tidak bisa
lahir dengan kelahiran normal sehingga dilakukan tindakan
Sectio caesarea, misalnya pada ibu dengan panggul sempit.
27
b. Sectio caesarea sekunder yaitu menunggu kelahiran normal
(partus percobaan), bila tidak ada kemajuan persalinan atau
partus percobaan gagal, kemudian dilakukan sectio caesarea.
c. Sectio caesarea ulang Ibu pada kehamilan yang lalu
mengalami sectio caesarea (previous caesarean section) dan
pada kehamilan selanjutnya dilakukan sectio caesarea ulang.
d. Sectio caesarea histerektomy Suatu operasi dimana setelah
janin dilahirkan dengan sectio caesarea, langsung dilakukan
histerektomy oleh karena suatu indikasi.
e. Operasi Porro. Suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari
kavum uteri (janin sudah mati) langsung dilakukan
histerektomy, misalnya pada keadaan infeksi rahim yang berat
3. Indikasi Sectio Caesarea
Didasarkan atas 3 faktor :
a) Faktor janin.
I. Bayi terlalu besar
Berat bayi 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan
bayi sulit keluar dari jalan lahir. Dengan perkiraan berat
yang sama tetapi pada ibu yang berbeda maka tindakan
persalinan yang dilakukan juga berbeda. Misalnya untuk ibu
yang mempunyai panggul terlalu sempit, berat janin 3000
gram sudah dianggap besar karena bayi tidak dapat
melewati jalan lahir. Selain janin yang besar, berat janin
28
kurang dari 2,5 kg, lahir prematur, dan dismatur, atau
pertumbuhan janin terlambat , juga menjadi pertimbangan
dilakukan sectio caesarea.
II. Kelainan letak
- Letak sungsang
Risiko bayi lahir sungsang dengan presentasi bokong pada
persalinan alami diperkirakan 4x lebih besar dibandingkan
keadaan normal. Pada bayi aterm, tahapan moulage kepala
sangat penting agar kepala berhasil lewat jalan lahir. Pada
keadaan ini persalinan pervaginam kurang menguntungkan.
Karena ; pertama, persalinan terlambat beberapa menit,
akibat penurunan kepala menyesuaikan dengan panggul
ibu, padahal hipoksia dan asidosis bertambah berat. Kedua,
persalinan yang dipacu dapat menyebabkan trauma karena
penekanan, traksi ataupun kedua-duanya. Misalnya trauma
otak, syaraf, tulang belakang, tulang rangka dan visceral
abdomen.
- Letak lintang
Kelainan letak ini dapat disebabkan karena adanya tumor
dijalan lahir, panggul sempit, kelainan dinding rahim,
kelainan bentuk rahim, plesenta previa, cairan ketuban
pecah banyak, kehamilan kembar dan ukuran janin.
Keadaan tersebut menyebabkan keluarnya bayi terhenti
29
dan macet dengan presentasi tubuh janin di dalam rahim.
Bila dibiarkan terlalu lama, mengakibatkan janin
kekurangan oksigen dan meyebabkan kerusakan otak
janin.
- Gawat janin
Diagnosa gawat janin berdasarkan pada keadaan
kekurangan oksigen (hipoksia) yang diketahui dari denyut
jantung janin yang abnormal, dan adanya meconium dalam
air ketuban. Normalnya, air ketuban pada bayi cukup bulan
berwarna putih agak keruh, seperti air cucian beras. Jika
tindakan sectio caesarea tidak dilakukan, dikhawatirkan
akan terjadi kerusakan neurologis akibat keadaan asidosis
yang progresif.
- Janin abnormal
Misalnya pada keadaan hidrosefalus, kelainan kromosom
dan kerusakan genetik.
e) Plasenta
1. Plasenta previa
Posisi plasenta terletak di bawah rahim dan menutupi
sebagian dan atau seluruh jalan lahir. Dalam keadaan ini,
plasenta mungkin lahir lebih dahulu dari janin. Hal ni
menyebabkan janin kekurangan oksigen dan nutrisi yang
biasanya diperoleh lewat plasenta. Bila tidak dilakukan SC,
30
dikhawatirkan terjadi perdarahan pada tempat implantasi
plasenta sehingga serviks menjadi tipis dan mudah robek.
2. Solusio plasenta
Keadaan dimana plasenta lepas lebih cepat dari corpus
uteri sebelum janin lahir. SC dilakukan untuk mencegah
kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban pada janin.
Terlepasnya plasenta ditandai dengan perdarahan yang
banyak, baik pervaginam maupun yang menumpuk di
dalam rahim.
3. Plasenta accreta
Merupakan keadaan menempelnya sisa plasenta di otot
rahim. Jika sisa plasenta yang menempel sedikit, maka
rahim tidak perlu diangkat, jika banyak perlu dilakukan
pengangkatan rahim.
4. Vasa previa
Keadaan dimana adanya pembuluh darah dibawah rahim
yang bila dilewati janin dapat menimbulkan perdarahan
yang banyak.
f) Faktor Ibu
Indikasi yang paling sering terjadi yaitu, disproporsi Sefalo-
pelvik yang merupakan ketidakseimbangan antara ukuran
kepala bayi dengan ukuran panggul ibu (Ezra, 2007). Selain
itu dapat juga disebabkan oleh disfungsi uterus, ruptur uteri,
31
proses persalianan yang tidak maju yang merupakan
persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara,
dan lebih dari 18 jam pada multipara yang terjadi meskipun
terdapat kontraksi uterus yang kuat, janin tidak dapat turun
karena faktor mekanis (Mochtar Rustam, 2011).
C. Tinjauan Tentang Keselamatan Pasien
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk
rumah sakit. Ada 5 (lima) isu penting yang terkait dengan keselamatan
(safety) di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien (patient safety),
keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan
dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan
pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang
berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan “bisnis”
rumah sakit yang terkait kelangsungan hidup rumah sakit. Namun harus
diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien.
Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk
dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumah
sakitan (Depkes RI, 2008).
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit/ KKP-RS, mendefinisikan
bahwa keselamatan (safety) adalah bebas dari bahaya atau risiko
(hazard). Keselamatan pasien (patient safety) adalah pasien bebas dari
cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang
32
potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/ sosial/ psikologis, cacat,
kematian dan lain-lain), terkait dengan pelayanan kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/
VIII/ 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen
risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden
dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil.
Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk
menyelamatkan pasien sesuai dengan yang diucapkan Hippocrates kira-
kira 2400 tahun yang lalu yaitu Primum, non nocere (First, do no harm).
Namun diakui dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi
pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi semakin
kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan-KTD
(Adverse Event) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati karena di rumah
sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat
dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi
yang siap memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus.
Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola
dengan baik dapat terjadi KTD (Depkes RI, 2008).
33
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah
setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan
atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien,
terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian
Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang
mengakibatkan cedera pada pasien. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya
disingkat disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai
terpapar ke pasien. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC
adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.
Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang
sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau
cedera yang serius (Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).
1. Pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Menurut Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 bahwa
rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib
melaksanakan program dengan mengacu pada kebijakan nasional
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Setiap rumah
sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana
kegiatan keselamatan pasien. TKPRS yang dimaksud bertanggung
jawab kepada kepala rumah sakit. Keanggotaan TKPRS terdiri dari
34
manajemen rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah
sakit. TKPRS melaksanakan tugas:
I. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit
sesuai dengan kekhususan rumah sakit tersebut;
II. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program
keselamatan pasien rumah sakit;
III. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi,
konsultasi, pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi)
tentang terapan (implementasi) program keselamatan pasien
rumah sakit;
IV. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah
sakit untuk melakukan pelatihan internal keselamatan pasien
rumah sakit;
V. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta
mengembangkan solusi untuk pembelajaran;
VI. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah
sakit dalam rangka pengambilan kebijakan keselamatan pasien
rumah sakit; dan
VII. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit
2. Sasaran Keselamatan Pasien
Dalam Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 menyatakan bahwa
setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran
35
Keselamatan Pasien. Sasaran Keselamatan Pasien meliputi
tercapainya hal-hal sebagai berikut :
a. Ketepatan identifikasi pasien;
b. Peningkatan komunikasi yang efektif;
c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan
f. Pengurangan risiko pasien jatuh
Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) merupakan syarat untuk
diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi
Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada
Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari World Health
Organization (WHO), Patient Safety, yang digunakan juga oleh Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKP-RS, PERSI), dan dari
Joint Commission International (JCI). Maksud dari Sasaran
Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam
keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang
bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta
solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan
ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu
tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada
solusi-solusi yang menyeluruh.
36
D. Tinjauan Tentang Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 tahun 2009
tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi dan
kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu
meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat agar terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
serta menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan rawat
darurat.
Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan tempat
menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap
kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya
kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan,
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif),
yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana
kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi melakukan upaya kesehatan
dasar, kesehatan rujukan dan upaya kesehatan penunjang.
37
Gambaran Umum RSUD Tenriawaru Bone
RSUD Tenriawaru merupakan rumah sakit milik pemerintah
Kabupaten Bone yang terletak di Jalan DR. Wahidin Sudirohusodo
Watampone, Kelurahan Macanang, Kecamatan Tanete Riattang Barat.
Rumah sakit ini dibangun pada tahun 1985 atas bantuan Bank Dunia dan
mulai dioperasionalkan pada tanggal 1 Juli 1987. RSUD Tenriawaru
diresmikan oleh Menteri Kesehatan RI pada tanggal 18 Oktober 1988
sebagai rumah sakit kelas C. RSUD Tenriawaru didirikan di atas tanah
seluas 40.000 m2. Jangkauanpelayanan RSUD Tenriawaru tidak hanya
meliputi wilayah Kabupaten Bone saja, tetapi hingga wilayah kabupaten
sekitarnya seperti Kabupaten Sinjai, Kabupaten Wajo dan Kabupaten
Soppeng.
Sebagai institusi yang memberikan pelayanan dibidang kesehatan,
RSUD Tenriawaru senantiasa berusaha meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan. Pada tanggal 6 Februari 2008, RSUD Tenriawaru telah
mendapatkan pengakuan dari KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit)
sebagai rumah sakit yang terakreditasi penuh tingkat dasar untuk 5 (lima)
jenis pelayanan. Jenis pelayanan tersebut meliputi pelayanan administrasi
dan manajemen, pelayanan medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan
keperawatan dan pelayanan rekam medis.
Upaya peningkatan kualitas pelayanan ini terus dilakukan secara
berkelanjutan yang ditandai dengan terakreditasinya RSUD Tenriawaru
untuk dua belas jenis pelayanan pada tanggal 31 Desember 2010.Dua
38
belas pelayanan yang dimaksud meliputi pelayanan administrasi dan
manajemen, pelayanan rekam medis, pelayanan farmasi, pelayanan
medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan kamar operasi, pelayanan
radiologi, pelayanan laboratorium, pelayanan keperawatan, pelayanan
perinatal risiko tinggi, pengendalian infeksi di RS, keselamatan kerja,
kebakaran dan kewaspadaan bencana. Dan pada tanggal 6 Desember
2016, RSUD Tenriawaru telah mendapatkan pengakuan dari KARS
(Komite Akreditasi Rumah Sakit) versi 2012 dengan akreditasi Paripurna.
Pada tahun 2009, status RSUD Tenriawaru meningkat menjadi
Rumah Sakit Kelas B Non Pendidikan. Peningkatan status ini sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1000/MENKES/SK/XI/2009 tanggal 10 November 2009 tentang
Peningkatan Kelas RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone dari Kelas C
menjadi Kelas B Non Pendidikan.
RSUD Tenriawaru resmi berstatus Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) pada tanggal 23 Nopember 2010 sesuai dengan Surat Keputusan
Bupati Bone Nomor 33 Tahun 2010.
Visi dan Misi RSUD Tenriawaru memiliki Visi menjadi rumah sakit pendidikan yang
berkualitas dan mandiri untuk mewujudkan pelayanan kesehatan
paripurna menuju masyarakat Bone yang sehat. Untuk melaksanakan visi
tersebut di atas, RSUD Tenriawaru mempunyai misi :
a. Meningkatkan kualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana
b. Meningkatkan kualitas dan ketersediaan tenaga medis profesional
39
c. Meningkatkan kualitas manajemen pelayanan melalui peningkatan
pengaturan dan penegakannya
d. Meningkatkan profesionalisme manajemen keuangan dan
operasional yang efektif dan efisien
e. Meningkatkan fungsi rumah sakit dalam pelayanan promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Tugas dan Fungsi
RSUD Tenriawaru adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna dengan mengutamakan pengobatan dan pemulihan tanpa
mengabaikan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Pelayanan kesehatan yang diberikan meliputi penyediaan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, gawat darurat dan tindakan medik.
a. Tugas pokok RSUD Tenriawaru adalah :
1) Menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah di bidang
penyelenggaraan upaya penyembuhan dan pemulihan
kesehatan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu dan
berkesinambungan dengan upaya peningkatan kesehatan dan
pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan sesuai
peningkatan kesehatan dan pencegahan serta melaksanakan
upaya rujukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
40
2) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Bupati
sesuai dengan bidang tugasnya.
b. Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud tersebut
diatas, RSUD Tenriawaru melaksanakan fungsi sebagai berikut :
1) Pengumpulan, pengelolaan dan pengendalian data berbentuk
database serta analisa data untuk menyusun program kegiatan.
2) Perencanaan strategis bidang pelayanan kesehatan perorangan.
3) Perumusan kebijakan teknis bidang pelayanan kesehatan
perorangan.
4) Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah bidang pelayanan kesehatan perorangan.
5) Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang pelayanan kesehatan
perorangan.
6) Penyelenggaraan dan pengawasan standar pelayanan minimal
yang wajib dilaksanakan bidang pelayanan kesehatan.
7) Penyelenggaraan urusan kesekretariatan pada Rumah Sakit
Umum Daerah
8) Pengkoordinasian, integrasi dan sinkronisasi kegiatan bidang
kepegawaian di lingkungan Pemerintah Daerah.
9) Penyelenggaraan administrasi Pegawai Negeri Daerah.
10) Pelayanan medik.
11) Pelayanan penunjang medik dan non medik.
12) Pelayanan dan asuhan keperawatan.
41
13) Pelayanan rujukan.
14) Pendidikan dan pelatihan bidang kesehatan dan bidang lainnya
sesuai kebutuhan rumah sakit.
15) Penelitian dan pengembangan.
16) Pengelolaan sumber daya rumah sakit.
17) Pelayanan fungsi sosial dengan memperhatikan kaidah ekonomi.
18) Perencanaan program, rekam medik, evaluasi dan pelaporan
serta humas dan pemasaran rumah sakit.
19) Pembinaan dan pelaksanaan kerjasama dengan masyarakat,
lembaga pemerintah dan lembaga lainnya.
42
E. Sintesa Penelitian Terdahulu
Penulis (tahun)
Judul Lokasi Rancangan penelitian
sampel Hasil Persamaan Penelitian
Perbedaan Penelitian
Haynes,et al. 2009
Mengukur hubungan implementasi SSC dengan penurunan kematian dan komplikasi pembedahan
RS dari 8 kota di dunia: Amman, New Delhi,Seatlle, Ifakara, Manila, Toronto, London, Auckland (8 RS).
Studi prospektif pre dan pasca intervensi SSC. Pengamatan sampai discharge atau 30 hari pasca pembedahan.
intervensi 3733 dan 3955 pasien setelah intervensi
Angka kematian menurun dari 1,5% menjadi 0,8%. Komplikasi menurun dari 11 menjadi 7%. Ada hubungan antara implementasi SSC dengan penurunan angka kematian dan Komplikasi pembedahan.
Implementasi SSC
Pengamatan sampai discharge atau 7 hari pasca pembedahan
Fridawaty Rivai, Tjahjono Koentjoro, Adi Utarini 2013
Determinan Infeksi luka Operasi pasca bedah sesar
RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
Studi obeservasional prospektif Pengamatan sampai discharge atau 30 hari pasca Pembedahan
154 orang Ada hubungan antara waktu pemberian antibiotik profilaksis lama rawat prabedah dan lama rawat pasca bedah dengan kejadian ILO
Implementasi SSC
Pengamatan sampai discharge atau 7 hari pasca pembedahan
Hendrik Hermawan 2014
Gambaran penerapan SSC fase time out
RS PKU Muhammadiyah Gombong
Deskriptif kualitatif
- Hasil kegiatan yang dilakukan oleh petugas kategori baik sesuai pedoman Surgical Patient Safety
Implementasi SSC
Tahapan yang diamati fase sign in, time out, sign out
42
43
Penulis (tahun)
Judul Lokasi Rancangan penelitian
sampel Hasil Persamaan Penelitian
Perbedaan Penelitian
Tirtabayu 2014
Praktik Keselamatan pasien bedah di rumah sakit umum daerah X
RSUD X Cross sectional survey
93 pasien Pelaksanaan SSC secara konsisten (100%) ditemukan pada cek kelengkapan anestesi dan fungsi pulse oximeter (fase sign in), dan review sterilitas peralatan pembedahan (fase time out). Tidak satupun jenis ceklis pada fase sign out yang diterapkan.
Implementasi SSC
Studi obeservasional prospektif
43
44
F. Kerangka Teori
Gambar 2. Kerangka teori pengaruh penerapan SSC dengan kejadian infeksi luka operasi pada pasien Sectio Caecarea
Kejadian Infeksi Luka Operasi
1. Kulit di sekitar luka jahitan tampak kemerahan, meradang atau bengkak
2. Terasa sangat gatal. 3. Keluar cairan putih
kekuningan (nanah) atau darah disela-sela jahitan.
4. Terasa panas di daerah jahitan dan nyeri bila ditekan
5. Dehisence adalah terbukanya luka partial atau total
6. Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh darah melalui irisan
(WHO, 2009)
Faktor Individu pasien
1. Usia 2. Nutrisi/gizi 3. Penyakit Kormobid 4. Merokok 5. Alkohol dan obat-obatan 6. Jenis Luka dan keparahan (connor MFO, Roizen MF 1997)
Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien
(Penerapan Safety surgery cheklist)
(Sign in, time out, sign out) (WHO,2009)
Faktor Lingkungan Kerja
i 1. Kerjasama Tim 2. Peralatan dan Sumber Daya
(Pendidikan dan Pelatihan) 3. Organisasi / strategi ( National Patient Safety Agency, 2012)
45
G. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3. Kerangka Konsep penerapan surgical safety checklist dengan kejadian infeksi luka operasi pada pasien Sectio
Saecarea
H. Hipotesis penelitian
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
a. Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety Checklist, sign
in, dengan terjadinya infeksi luka operasi pasca pembedahan
Sectio Caesarea pada pasien di RSUD Tenriawaru Bone.
b. Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety Checklist ,time
out, dengan terjadinya infeksi luka operasi pasca pembedahan
Sectio Caesarea pada pasien di RSUD Tenriawaru Bone.
Penerapan Safety surgery cheklist
(WHO, 2008)
Sign in
Time Out
Sign Out
Kejadian Infeksi Luka operasi (ILO) pada
pasien Sectio Caecarea
( WHO, 2009)
46
c. Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety Checklist, sign
out, dengan terjadinya infeksi luka operasi pasca pembedahan
Sectio Caesarea pada pasien di RSUD Tenriawaru Bone.
2. Hipotesis Null (H0)
a. Tidak Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety
Checklist, sign in, dengan terjadinya infeksi luka operasi
pasca pembedahan Sectio Caesarea pada pasien di RSUD
Tenriawaru Bone.
b. Tidak Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety
Checklist, time out, dengan terjadinya infeksi luka operasi
pasca pembedahan Sectio Caesarea pada pasien di RSUD
Tenriawaru Bone.
c. Tidak Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety
Checklist, sign out, dengan terjadinya infeksi luka operasi
pasca pembedahan Sectio Caesarea pada pasien di RSUD
Tenriawaru Bone.
47
I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
No Variabel Definisi Teori Definisi Operasional
Indikator Alat Ukur Skala Hasil ukur
1 Surgical Safety Checklist
Daftar periksa untuk memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien. SSC merupakan alat komunikasi untuk keselamatan pasien yang digunakan oleh tim profesional di ruang operasi
Hasil observasi peneliti di RSUD Tenriawaru tentang kelengkapan implementasi SSC
1. Sign In 2. Time Out 3. Sign Out
Lembar observasi
Nominal Jawaban Ya : Jika dilkukan Tidak : Jika tidak dilakukan
2 Sign In Fase sebelum induksi anestesi koordinator secara verbal memeriksa apakah identitas pasien telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah
Hasil observasi peneliti di RSUD Tenriawaru tentang fase Sign In.
Sebelum Induksi anastesi pada pasien
Lembar Observasi
Nominal Jawaban Ya : Jika dilkukan Tidak : Jika tidak dilakukan
47
48
No Variabel Definisi Teori Definisi Operasional
Indikator Alat Ukur Skala Hasil ukur
diberikan, pulse oxymetri pada pasien berfungsi
3 Time Out Fase setiap anggota tim operasi memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien yang benar.
Hasil observasi peneliti di RSUD Tenriawaru tentang Time Out.
Sebelum sayatan di kulit pasien
Lembar Observasi
Nominal Jawaban Ya : Jika dilkukan Tidak : Jika tidak dilakukan
4. Sign Out Fase tim bedah akan meninjau operasi yang telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan
Hasil observasi peneliti di RSUD Tenriawaru
Sebelum pasien meninggalkan ruang operasi
Lembar Observasi
Nominal Jawaban Ya : Jika dilkukan Tidak : Jika tidak dilakukan
48
49
No Variabel Definisi Teori Definisi Operasional
Indikator Alat Ukur Skala Hasil ukur
instrumen, pemberian label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani
tentang fase Sign out.
5. Kejadian Infeksi Luka Operasi
Suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik local maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat
Hasil observasi peneliti di rumah sakit Tenriawaru tentang kejadian infeksi luka operasi
Dikategorikan infeksi luka operasi apabila
1. Kulit di sekitar luka tampak kemerahan, meradang atau bengkak, serta gatal
2. Keluar cairan putih kekuningan (nanah) atau darah di sela-sela jahitan.
3. Perdarahan dapat menunjukkan
Lembar Observasi
Nominal Jawaban Ya : Jika terjadi infeksi Tidak : Jika tidak terjadi infeksi
49
50
No Variabel Definisi Teori Definisi Operasional
Indikator Alat Ukur Skala Hasil ukur
adanya pelepasan jahitan, darah sulit membeku pada garis jahitan
4. Dehiscence adalah terbukanya luka partial atau total
50
51
BAB III
Metode Penelitian
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasional analitik dengan desain observasional prospektif.
Penelitian kohort adalah suatu penelitian yang digunakan untuk
mempelajari dinamika korelasi antara faktor risiko dengan efek melalui
pendekatan longitudinal ke depan atau prospektif. Artinya, faktor risiko
yang akan dipelajari diidentifikasi dahulu kemudian diikuti ke depan
secara prospektif timbulnya efek, yaitu penyakit atau salah satu
indikator status kesehatan. Pengumpulan data dilakukan dengan
prospektif. Dengan kata lain, studi kohort bersifat prospektif jika
paparan tidak terjadi sebelum peneliti memulai penelitiannya.
(Notoatmodjo, 2010). Hasil pengamatan juga disusun dalam tabel 2x2,
untuk kemudian ditentukan insiden terjadinya efek pada kelompok
tertentu dan dan dihitung risiko relative atau resioko insiden (RR).
(Tambunan, 1995).
Gambar 4. Rancangan Penelitian Kohort
Subjek Penelitian - Faktor Risiko - Efek
Faktor Risiko (+)
Faktor Risiko (-)
Efek (+)
Efek (-)
Efek (+)
Efek (-)
52
B. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone.
Penelitian dilakukan pada bulan Mei – Juli 2017.
C. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diamati.
Populasi meruapakan kesatuan sekelompok subjek yang menjadi
sasaran penelitian (notoatmodjo,2010). Populasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah semua pasien SC yang ada di RSUD
Tenriawaru kabupaten Bone.
Sampel peneltian adalah sebagian dari jumlah populasi yang akan
diambil sebagai subyek atau obyek penelitian dan dianggap mewakili
populasi. Sampel penelitian ini adalah pasien Sectio Caesarea di
Ruang IBS dan di ruang rawat inap.
D. Teknik Penentuan Sampel
Teknik penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Prosedur Penarikan sampel yang dilakukan
secara purposive sampling yaitu mengambil responden dengan cara
memperhatikan kriteria yang telah ditetapkan. Menggunakan rumus :
53
n = 56.29055
n = 57
Nilai proporsi dalam sampel ini diperoleh dari penelitian yang dilakukan
oleh haugen, et al (2015) tentang Effect of The WHO Checklist (SSC) on
Patient Outcomes.
Adapun kriteria inklusi responden yang dapat menjadi sampel
penelitian adalah:
a) Pasien sectio caesarea di ruang OK
b) Pasien rawat inap sectio caesarea
c) Bersedia menjadi responden penelitian.
d) Responden dalam kondisi sadar dan dapat melakukan komunikasi
dengan baik.
Kriteria ekslusi adalah kriteria yang memungkinkan sebagian subjek
yang memenuhi kriteria inklusi yang tidak dijadikan responden dalam
penelitian :
a. Pasien sectio caesarea dengan penyakit Diabetes Mellitus (DM)
b. Pasien sectio caesarea non indikasi medis (atas permintaaan
pasien)
54
c. Pasien dengan persalinan umum di ruang rawat inap
d. Pasien masih dalam keadaan tidak sadar
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :
Alat pengumpul data yang terdiri atas beberapa item pertanyaan
dalam bentuk daftar pertanyaan yang akan digunakan sebagai
alat pengumpul data dan untuk mengontrol karakteristik sampel
agar sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
2. Jenis Dan Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh
peneliti dan dibantu oleh beberapa orang tenaga yang dilatih
dengan menggunakan instrument lembar observasi.
b. Data Sekunder
Data yang dikumpulkan dari profil di RSUD Tenriawaru
Kabupaten Bone serta dokumen laporan lainnya.
F. Pengolahan Data
Langkah pengolahan data yakni sebagai berikut :
a. Editing
Setelah semua data diedit ulang, kemudian dilakukan pemeriksaan
kelengkapan data, kesinambungan data keseragaman data.
b. Coding
55
Untuk memudahkan pengolahan data, maka semua jawaban diberi
simbol-simbol tertentu untuk setiap jawaban dengan pengkodean.
c. Tabulating
Menyusun data-data kedalam tabel yang sesuai dengan analisis dan
selanjutnya data tersebut dianalisis.
G. Analisis Data
Sebelum dilakukan analisis data, maka dilakukan pengujian
terhadap instrumen yaitu pengujian validitas dan reliabilitas. Analisis Data
sebagai berikut :
1. Analisis Univariat
Analisis data yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran
umum dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang
digunakan dalam penelitian yaitu dengan melihat gambaran
distribusi frekuensinya dalam bentuk tabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk melihat
hubungan dua variabel yaitu antara variabel bebas dan variabel
terikat. Ukuran asosiasi yang digunakan adalah Relative Risk
(RR), yaitu perbandingan proporsi kelompok terpapar dengan
proporsi kelompok tidak terpapar.
56
Vaiabel
Independen
Kondisi Pasien Jumlah
Buruk Baik
Positif A b a+b
Negatif C d c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d
RR = a/(a+b)/c(c+d), interpretasi hasilnya adalah sebagai
berikut :
a. Bila RR = 1, berarti tidak ada asosiasi faktor paparan penelitian
dengan hasil kejadian.
b. Bila RR < 1, berarti asosiasi faktor paparan penelitian dengan hasil
kejadian adalah efek perlindungan (efek proteksi).
c. Bila RR > 1, berarti asosiasi faktor paparan penelitian dengan hasil
kejadian adalah efek penyebab.
3. Analisis Multivariat
Selanjutnya dilakukan analisis multivariat, yaitu untuk melihat
hubungan antara satu variabel dependen dengan seluruh variabel
independen, sehingga dapat diketahui variabel independen yang
paling dominan berhubungan dengan kualitas hidup dengan
melakukan uji Regresi Logistik.
57
Agar diperoleh model regresi yang dapat menjelaskan
hubungan antara variabel independen dan dependen maka
dilakukan tahapan sebagai berikut:
a. Memasukkan variabel kandidat dalam proses analisa multivariat
Regresi Logistik, dengan cara memilih variabel independen dengan
nilai p < 0,25. Alasan penggunaan standar nilai p < 0,25 adalah
karena penetapan nilai standar dengan p value < 0,05 seringkali
gagal dalam menjelaskan variabel yang dianggap penting. Dengan
penggunaan nilai p value < 0,25 beberapa variabel yang secara
terselubung sesungguhnya sangat penting dimasukkan di dalam
analisa multivariat(Murti, 2010)
b. Melakukan analisis semua variabel independen yang masuk dalam
pemodelan, dengan cara mengeluarkan variabel independen yang
memiliki nilai p terbesar, sehingga didapatkan model awal dengan
variabel faktor penentu yang memiliki p ≤ 0,05.
c. Hasil uji multivariat yang mempunyai nilai p < 0,05 merupakan
model akhir dari penentu faktor risiko yang mempengaruhi ILO.
H. Etika Penelitian
Dalam penelitian ini responden dilindungi dengan memperhatikan
aspek-aspek beneficence, self determination, privacy, anonymity, justice,
protection from (Polit and Beck, 2008). Peneliti juga membuat informed
58
consent sebelum penelitian dilakukan. Peneliti akan mengusulkan
rekomendasi ethical clearance untuk proses pengumpulan tersebut.
1. Prinsip Etika
a. Beneficience
Responden dijamin akan terbebas dari risiko yang membahayakan
fisik, psikologikal, sosial dan ekonomi. Penelitian ini juga menjamin
bahwa tidak ada ekploitasi informasi yang diberikan responden.
b. Self determination
Responden diberi kebebasan untuk menentukan pilihan bersedia
atau tidak bersedia untuk mengikuti kegiatan penelitian setelah
semua informasi yang berkaitan dengan penelitian dijelaskan.
c. Privacy
Kerahasian informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya
kelompok data tersebut saja yang akan disajikan atau dilaporkan
sebagai hasil penelitian. Data yang telah dikumpulkan peneliti akan
disimpan dengan baik dan jika sudah tidak diperlukan lagi, data
responden akan dimusnahkan.
d. Anonymity
Selama kegiatan penelitian, seluruh responden diberikan kode
penomoran tanpa mencantumkan nama. Responden sejak awal
diberikan informasi bahwa namanya tidak akan dicantumkan dalam
laporan hasil penelitian ini.
59
e. Justice
Peneliti tidak melakukan diskriminasi saat memilih responden
penelitian. Pada penelitian ini responden dipilih berdasarkan kriteria
inklusi dan ekslusi penelitian.
f. Protection from discomfort
Peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk
menyampaikan ketidaknyamanan selama penelitian yang dapat
menimbulkan masalah psikologis atau fisik. Peneliti menjalain
hubungan saling percaya dengan responden dengan menjelaskan
lembar informed consent serta bila responden merasa kelelahan
memberitahu peneliti sehingga proses pengumpulan data melalui
angket akan ditunda dan akan dilanjutkan sesuai keinginan
responden.
2. Informed consent
Perlindungan hak-hak responden dijamin dan tercantum dalam
lembar persetujuan. Sebelum responden setuju berpartisipasi dalam
penelitian, responden harus memahami tentang penelitian yang akan
dilakukan.
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Tenriawaru Bone dari tanggal 22
Mei sampai dengan 22 Juli 2017.Unit sampel (unit observasi)
adalahpasien sectio caesarea. Jumlah sampel yang diobservasi adalah 57
pasien.
Variabel yang dianalisis adalah prosedur pelaksanaan operasi sectio
caesarea (sign in, time out, dan sign out) dan infeksi yang dirasakan pada
post operasi seperti yang tertuang dalam tujuan khusus penelitian.
Penarikan sampel dari populasi penelitian dilakukan dengan cara non
random sampling, yaitu purposive sampling. Besarnya sampel yang ditarik
dari populasi penelitian berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus
sampel adalah 57 pasien sectio caesarea.
Setelah dilakukan pemeriksaan pada pasien dan telah memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan, memenuhi syarat untuk diikutkan dalam
pengolahan dan analisis data. Alat ukur yang digunakan adalah lembar
observasi yang berisi isian Ya dan Tidak, yang disesuaikan dengan tujuan
khusus penelitian yang akan dicapai.
Hasil pengolahan data yang telah dilakukan kemudian disajikan dalam
bentuk tabel deskriptif maupun tabel uji. Hasil analisis pengaruh variabell
61
independen terhadap dependen secara sistematis disajikan sebagai
berikut:
1. Analisis Univariat
a. Karakteristik Pasien
Dengan analisis ini, dimaksudkan untuk menilai beberapa karakteristik
umum atau data umum pasien di lokasi penelitian yang sedang diamati,
yang disajikan sebagai berikut :
Tabel 4.1 Distribusi pasien Berdasarkan Karakteristik di RSUD Tenriawaru Tahun 2017
Karakteristik n % Kelompok Umur a. 16-25 tahun b. 26-35 tahun c. 36-45 tahun
27 21 9
47.4 36.8 15.8
Pekerjaan a. IRT b. PNS
42 15
73.7 26.3
Lama Perawatan a. 4 hari b. 5 hari c. 6 hari
24 28 5
42.1 49.1 8.8
Pembayaran a. BPJS b. SW
54 3
94.8 5.2
Kelas Perawatan a. Kelas 1 b. Kelas 2 c. Kelas 3 d. VIP e. VIP Utama
21 3
21 9 3
36.8 5.3
36.8 15.8 5.3
Jumlah 57 100.0 Sumber : Data Primer
Dari Tabel 4.1 menunjukan bahwa kelompok umur dengan proporsi
tertinggi adalah 16-25 tahun (47.4%) sedangkan jumlah proporsi terendah
62
adalah kelompok umur 36-55 tahun (15.8%).Berdasarkan jenis pekerjaan,
73.7% pasien berprofesi sebagai IRT dan 26.3% sebagai PNS.
Tabel 4.1 juga menunjukkan bahwa pasien yang terlibat dalam
penelitian ini yang lama perawatan 5 hari sebanyak 28 pasien (49.1%)
sedangkan yang 6 hari sebanyak 5 pasien (8.8%). Dari jenis pembayaran
biaya perawatan, 94.8% pasien menggunakan BPJS dan 5.3% pasien
yang menggunakan uang pribadi. Sedangkan berdasarkan kelas
perawatan sebanyak 21 pasien (36.8%) menggunakan kelas 1 dan 3
pasien (5.3%) yang menggunakan kelas VIP Utama.
b. Variabel Penelitian
Bagian ini memperlihatkan distribusi pada tiap variabel yang sedang
diamati di lokasi penelitian, yang disajikan sebagai berikut :
1) Prosedur Pelaksanaan Operasi SC
Pelaksanaan SSC memerlukan seorang koordinator untuk
bertanggung jawab untuk memeriksa checklist. Koordinator biasanya
seorang perawat atau dokter atau profesional kesehatan lainnya yang
terlibat dalam operasi. SSC dibagi tiga tahap yaitu sebelum induksi
anestesi (Sign In), periode setelah induksi dan sebelum bedah sayatan
(Time Out), dan periode selama atau segera setelah penutupan luka tapi
sebelum mengeluarkan pasien dari operasi kamar (Sign Out). Pada setiap
fase, koordinator checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi bahwa
tim telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan kegiatan lebih
lanjut.
63
a) Sebelum Induksi (Sign-In)
Fase sign in adalah fase sebelum induksi anestesi, koordinasi secara
verbal memeriksa apakah identitas pasien telah dikonfirmasi, prosedur
dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai,
persetujuan untuk operasi telah diberikan, oksimeter pulse pada pasien
berfungsi. Koordinator dengan professional anestesi mengkonfirmasi risiko
pasien apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas,
reaksi alergi.
Tabel 4.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum Induksi (Sign-In) RSUD Tenriawaru,Tahun 2017
Sebelum Induksi (Sign-In)
Hasil Observasi Ya Tidak
N % n % Konfirmasi identitas pasien 57 100.0 0 0.0 Penandaaan area operasi 54 94.7 3 5.3 Pemeriksaan obat dan mesin anesthesia 57 100.0 0 0.0
Oksimetri nadi/kapnograph telah dipasang pada pasien dan bekerja dengan baik
57 100.0 0 0.0
Pasien mempunyai riwayat alergi 4 7.0 53 93.0
Risiko kesulitan nafas 9 15.8 48 84.2 Risiko kehilangan darah > 500 cc 4 7.0 53 93.0
Sumber : Data Primer
Tabel 4.2 menunjukkan prosedur pengisian SSC pada tahap sebelum
induksi (sign-in). Dari hasil observasi 100.0% melakukan konfirmasi
identitas pasien, pemeriksaan obat dan mesin anestesi, dan kapnograph
yang telah dipasang. Sebanyak 5.3% tidak melakukan penandaan area
operasi. Masing-masing sebanyak 4 pasien (7.0%) yang mempunyai
64
riwayat alergi dan risiko kehilangan darah > 500 cc. Sedangkan risiko
kesulitas nafas sebanyak 9 pasien (15.8%).
Tabel 4.3 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksanaan Prosedur Sign-In di
RSUDTenriawaruTahun 2017 Sign-In n %
Ya 38 66.7 Tidak 19 33.3
Jumlah 57 100.0 Sumber : Data Primer
Tabel 4.3 menunjukkan pelaksanaan prosedur pada tahap sign in.
sebanyak 66.7% melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 33.3%
dianggap tidak melakukan prosedur pada tahap sign-in.
b) Sebelum Incisi Kulit (Time-Out)
Fase time out adalah fase setiap anggota tim operasi
memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi memastikan
bahwa semua orang diruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan
sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras
mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien yang benar. Mereka
juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60
menit sebelumnya.
65
Tabel 4.4 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum Incisi Kulit (Time Out) di RSUD Tenriawaru Tahun 2017
Sebelum Incisi Kulit (Time-Out)
Hasil Observasi Ya Tidak
N % n % Pastikan semua anggota tim telah memperkenalkan diri 33 57.9 24 42.1
Pastikan nama pasien, prosedur, dan letak incise 54 94.7 3 5.3
Antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit terakhir
57 100.0 0 0.0
Antisipasi keadaan kritis pada dokter anesthesia 57 100.0 0 0.0
Antisipasi keadaan kritis pada tim perawat 57 100.0 0 0.0
Sumber : Data Primer
Tabel 4.4 menunjukkan prosedur pengisian SSC pada tahap sebelum
incise kulit (time-out). Dari hasil observasi 100.0% melakukan antiobiotik
profilaksis 60 menit sebelum operasi, antisipasi keadaan kritis pada dokter
anestesi, dan antisipasi keadaan kritis pada tim perawat. Sebanyak 42.1%
tidak memperkenalkan anggota tim. Dan sebanyak 5.3% tidak
memastikan nama pasien, prosedur, dan letak incisi.
Tabel 4.5 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksanaan Prosedur Time-Out Di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017 Time-Out n %
Ya 33 57.9 Tidak 24 42.1
Jumlah 57 100.0 Sumber : Data Primer
Tabel 4.5 menunjukkan pelaksanaan prosedur pada tahap time out
sebanyak 57.9% melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 42.1%
dianggap tidak melakukan prosedur pada tahap time-out.
66
c) Sebelum Pasien Meninggalkan Kamar operasi (Sign-Out)
Fase sign out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang
telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan
instrument, pemberian label pada specimen, kerusakan alat atau masalah
lain yang perlu ditangani. Langkah terakhir yang dilakukan tim bedah
adalah rencana kunci dan memusatkan perhatian pada manajemen post
operasi serta pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar
operasi.
Tabel 4.6 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum Pasien Meninggalkan Kamar operasi (Sign-Out) di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017 Sebelum Pasien
Meninggalkan Kamar (Sign-Out)
Hasil observasi Ya Tidak
N % n % Perawat konfirmasi secara verbal nama prosedur tindakan
29 50.9 28 49.1
Kelengkapan jumlah instrument kassa dan jarum 28 49.1 29 50.9
Penglabelan specimen 11 19.3 46 80.7 Hal penting yang harus disampaikan sehubungan dengan pemulihan dan penanganan pasien oleh dokter dan perawat
50 87.7 7 12.3
Sumber : Data Primer
Tabel 4.6 menunjukkan prosedur pengisian SSC pada tahap sebelum
pasein meninggalkan kamar (sign-out). Dari hasil observasi 49.1%
perawat tidak melakukan konfirmasi secara verbal nama prosedur
tindakan. 50.9% tidak mengkonfirmasi kelengkapan jumlah instrument
kassa dan jarum. 80.7% tidak melakukan penglabelan specimen. Dan
67
12.3% tidak menyampaikan hal-hal yang dianggap penting baik
penanganan dan pemulihan terhadap pasien.
Tabel 4.7 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksanaan Prosedur Sign-Out di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017 Sign-Out n %
Ya 31 54.4 Tidak 26 45.6
Jumlah 57 100.0 Sumber : Data Primer
Tabel 4.7 menunjukkan pelaksanaan prosedur pada tahap sign out.
sebanyak 54.4% melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 45.6%
dianggap tidak melakukan prosedur pada tahap sign-0ut.
Tabel 4.8 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksanaan Prosedur SSC di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017 Prosedur SSC n %
Ya 32 56.1 Tidak 25 43.9
Jumlah 57 100.0 Sumber : Data Primer
Tabel 4.8 menunjukkan pelaksanaan prosedur SSC sebanyak 56.1%
melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 43.9% dianggap tidak
melakukan prosedur SSC.
2) Infeksi Luka Operasi SC
Postoperative adverse event seperti Infeksi Luka Operasi (ILO),
penggunaan ventilator lebih dari 24 jam, pasien dioperasi ulang tanpa
terencana perdarahan yang memerlukan transfusi 4 unit darah atau lebih
dalam 72 jam setelah operasi, dan kematian.
68
Tabel 4.9 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Infeksi Luka Operasi SC di RSUD Tenriawaru Tahun 2017
Infeksi Luka Operasi SC Hasil observasi
Ya Tidak N % n %
Pendarahan 0 0.0 57 100.0 Risiko Ruptur Uteri 0 0.0 57 100.0 Jahitan tampak kemerahan dan meradang/bengkak 6 10.5 51 89.5
Gatal pada area jahitan 6 10.5 51 89.5 Keluar cairan putih-kekuningan (nanah) dan darah disela jahitan
3 5.3 54 94.7
Terasa panas di daerah jahitan 0 0.0 57 100.0
Terasa nyeri bila ditekan 0 0.0 57 100.0 Sumber : Data Primer
Tabel 4.9 menunjukkan infeksi luka setelah operasi SC. Dari hasill
observasi 100.0% pasien tidak mengalami pendarahan, risiko rupture
uteri terasa panas di daerah jahitan, dan terasa nyeri bila ditekan.
Masing-masing 10.5% pasien mengalami jahitan yang tampak
kemerahan dan meradang/bengkak dan gatal pada area jahitan.
Sedangkan 5.3% pasien mengalami keluarnya cairan putih-kekuningan
(nanah) dan darah disela jahitan.
Tabel 4.10 Distribusi Pasien Berdasarkan Infeksi Luka Operasi SC di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017
Infeksi Luka Operasi SC n % Ya 9 15.8 Tidak 48 84.2
Jumlah 57 100.0 Sumber : Data Primer
69
Tabel 4.10 menunjukkan infeksi luka setelah operasi SC. Dari hasil
observasi 9 pasien (15.8%) mengalami infeksi setelah operasi SC dan 48
pasien (84.2%) tidak mengalami infeksi.
2. Analisis Bivariat
Berdasarkan kerangka konsep yang diajukan dalam penelitian ini
dapat dilakukan pengujian terhadap hipotesis yang diajukan melalui
analisis bivariat yaitu untuk melihat hubungan antara variable independen
dengan variable dependen. Hasil pengujian disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4.11 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan SSC tahap Sign-In dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017 Pelaksana
an Prosedur
Tahap Sign-In
Infeksi Post Operasi SC Jumlah
Nilai p PR (95% CI) Ya Tidak
n % n % n % Tidak 6 31.6 13 68.4 19 100.0
0.048 4.813 (1.095-21.160) Ya 3 7.9 35 92.1 38 100.0
Jumlah 9 15.8 48 84.2 57 100.0 Sumber : Data Primer
Tabel 4.11 menunjukkan hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC
pada tahap sign-in dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika petugas
kesehatan tidak melaksanakan tahap ini dengan baik maka akan terjadi
infeksi post operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19
pasien yang tidak menjalani prosedur sign-in secara lengkap diantaranya
6 pasien (31.6%) yang mengalami infeksi dan 13 pasien (68.4%) tidak
mengalami infeksi post operasi SC. Sedangkan yang menjalani prosedur
70
sign-in sebanyak 38 pasien, diantaranya 3 pasien (7.9%) yang mengalami
infeksi dan 35 pasien (92.1%) tidak mengalami infeksi post operasi SC.
Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p
(0.048) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara penerapan
prosedur SSC pada tahap sign-in dengan kejadian infeksi setelah operasi
SC. Nilai PR sebesar 4.0 yang berarti bahwa prosedur yang tidak
diterapkan pada tahap sign-in akan berisiko 4 kali mengalami infeksi post
operasi SC dibandingkan dengan yang melaksanakan prosedur sesuai
aturan.
Tabel 4.12 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan SSC tahap Time-Out dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017 Pelaksanaan Prosedur
Tahap Time-Out
Infeksi Post Operasi SC Jumlah Nilai p PR
(95% CI) Ya Tidak N % n % n %
Tidak 7 29.2 17 70.8 24 100.0 0.027 4.813
(1.095-21.160) Ya 2 6.1 31 93.9 33 100.0 Jumlah 9 15.8 48 84.2 57 100.0
Sumber : Data Primer
Tabel 4.12 menunjukkan hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC
pada tahap time-out dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika
petugas kesehatan tidak melaksanakan tahap ini dengan baik maka akan
terjadi infeksi post operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
24 pasien yang tidak menjalani prosedur time-out secara lengkap
diantaranya 7 pasien (29.2%) yang mengalami infeksi dan 17 pasien
(70.8%) tidak mengalami infeksi post operasi SC. Sedangkan yang
menjalani prosedur time-out sebanyak 33 pasien, diantaranya 2 pasien
71
(6.1%) yang mengalami infeksi dan 31 pasien (93.9%) tidak mengalami
infeksi post operasi SC.
Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p
(0.027) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara penerapan
prosedur SSC pada tahap time-out dengan kejadian infeksi setelah
operasi SC. Nilai PR sebesar 4.813 yang berarti bahwa prosedur yang
tidak diterapkan pada tahap time-out akan berisiko 4.813 kali mengalami
infeksi post operasi SC dibandingkan dengan yang melaksanakan
prosedur sesuai aturan.
Tabel 4.13 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan SSC tahap Sign-Out dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017
Pelaksanaan Proseuder
Tahap Sign-Out
Infeksi Post Operasi SC Jumlah Nilai p PR
(95% CI) Ya Tidak n % n % n %
Tidak 6 23.1 20 76.9 26 100.0 0.488 1.677
(0.464-6.058) Ya 3 9.7 28 90.3 31 100.0 Jumlah 9 15.8 48 84.2 57 100.0
Sumber : Data Primer
Tabel 4.13 menunjukkan hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC
pada tahap sign-out dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika
petugas kesehatan tidak melaksanakan tahap ini dengan baik maka akan
terjadi infeksi post operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
26 pasien yang tidak menjalani prosedur sign-out secara lengkap
diantaranya 6 pasien (23.1%) yang mengalami infeksi dan 20 pasien
(76.9%) tidak mengalami infeksi post operasi SC. Sedangkan yang
menjalani prosedur sign-out sebanyak 31 pasien, diantaranya 3 pasien
72
(9.7 %) yang mengalami infeksi dan 28 pasien (90.3%) tidak mengalami
infeksi post operasi SC.
Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p
(0.488) < 0.05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara
penerapan prosedur SSC pada tahap sign-out dengan kejadian infeksi
setelah operasi SC. Nilai PR sebesar 1.677 yang berarti bahwa prosedur
yang tidak diterapkan pada tahap sign-out akan berisiko 1.677 kali
mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan dengan yang
melaksanakan prosedur sesuai aturan.
Tabel 4.14 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan SSC dengan
Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD Tenriawaru Tahun 2017
Pelaksanaan SSC
Infeksi Post Operasi SC Jumlah Nilai p PR
(95% CI) Ya Tidak N % N % n %
Tidak 7 28.0 18 72.0 25 100.0 0.034 4.480
(1.018-19.716) Ya 2 6.3 30 93.7 32 100.0 Jumlah 9 15.8 48 84.2 57 100.0
Sumber : Data Primer
Tabel 4.14 menunjukkan hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC
dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika petugas kesehatan tidak
melaksanakan prosedur dengan baik maka akan terjadi infeksi post
operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 25 pasien yang
tidak menjalani prosedur secara lengkap diantaranya 7 pasien (28.0%)
yang mengalami infeksi dan 18 pasien (72.0%) tidak mengalami infeksi
post operasi SC. Sedangkan yang menjalani prosedur sebanyak 32
73
pasien, diantaranya 2 pasien (6.3%) yang mengalami infeksi dan 30
pasien (93.7%) tidak mengalami infeksi post operasi SC.
Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p
(0.034) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara penerapan
pelaksanaan SSC dengan kejadian infeksi setelah operasi SC. Nilai PR
sebesar 4.480 yang berarti bahwa prosedur yang tidak diterapkan akan
berisiko 4.480 kali mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan
dengan yang melaksanakan prosedur sesuai aturan.
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk beberapa variabel yang
berpengaruh terhadap kejadian infeksi setelah operasi SC. Dengan
menggunakan uji regresi logistik ganda bertujuan untuk mencari faktor
yang mempengaruhi kejadian infeksi setelah operasi SC. Meskipun
demikian analisis untuk multivariate yang menggunakan uji regresi logistik
oleh sebagian ahli dianggap sebagai penelitian untuk membangun
hipotesis (hypothesis generating research), yang berarti hasil analisis
multivariat dapat digunakan sebagai latar belakang untuk
mengembangkan penelitian baru yang menguji asosiasi antara variabel
independen dan variabel dependen dengan desain penelitian yang lebih
sederhana dan terarah.
74
Tabel 4.16 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Setelah Operasi SCTahun 2017 Variabel B Nilai p OR 95% CI
Step
3
Tahap Time-Out Constant Nagelkerke R Square
1.854
0.887 16.2
0.030 6.382 1.191-34.214
Sumber : Hasil Penelitian, 2017 (data primer)
Maka didapatkan model akhir persamaan regresi logistik untuk
menentukan faktor yang paling mempengaruhi kejadian infeksi setelah
operasi SC. Hasil dari regresi logistik tidak bisa langsung diinterpretasikan
dari nilai koefisiennya seperti pada regresi linier. Interpretasi dapat
dilakukan dengan melihat nilai dari exp(B) (nilai estimasi odds rasio) atau
nilai eksponen dari koefisien persamaan regresi yang terbentuk.
Secara keseluruhan model ini dapat memprediksi besar/kecilnya,
tinggi/rendahnya pengaruh faktor yang ada dalam pengaruhya terhadap
kejadian infeksi setelah operasi SC sebesar 16.2%. Jadi dari hasil regresi
logistik tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa variabel yang sangat
berpengaruh dalam kejadian infeksi setelah operasi SC adalah prosedur
pelaksanaan SSC pada tahap time out dengan besar pengaruh sebesar
6.382 kali dibandingkan variable yang berpengaruh lainnya.
75
B. Pembahasan
1. Pengaruh Penerapan Surgical Safety Checklist (Sign In, Time
Out, Sign Out) Terhadap Kejadian Infeksi Luka Operasi.
Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting
dalam pelayanan kesehatan.Tindakan pembedahan merupakan salah
satu tindakan medis yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa,
mencegah kecacatan dan komplikasi. Namun demikian, pembedahan
yang dilakukan juga dapat menimbulkan komplikasi yang dapat
membahayakan nyawa (WHO, 2009).
Implementasi SSC memerlukan seorang koordinator untuk
bertanggung jawab untuk memeriksa checklist. Koordinator biasanya
seorang perawat atau dokter atau profesional kesehatan lainnya yang
terlibat dalam operasi. SSC dibagi tiga tahap yaitu sebelum induksi
anestesi (Sign In), periode setelah induksi dan sebelum bedah sayatan
(Time Out), dan periode selama atau segera setelah penutupan luka tapi
sebelum mengeluarkan pasien dari operasi kamar (Sign Out). Pada setiap
fase, koordinator checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi bahwa
tim telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan kegiatan lebih
lanjut
Kematian dan komplikasi akibat pembedahan dapat dicegah. Salah
satu pencegahannya dapat dilakukan dengan SSC. SSC adalah sebuah
daftar periksa untuk memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas
pada pasien. SSC merupakan alat komunikasi untuk keselamatan pasien
76
yang digunakan oleh tim profesional di ruang operasi. Tim profesional
terdiri dari perawat, dokter bedah, anestesi dan lainnya. Tim bedah harus
konsisten melakukan setiap item yang dilakukan dalam pembedahan
mulai dari the briefing phase, the time out phase, the debriefing phase
sehingga dapat meminimalkan setiap risiko yang tidak diinginkan (JCI,
2011).
SSC disusun untuk membantu tim bedah untuk mengurangi angka
kejadian yang tidak diharapkan (KTD). Banyaknya kejadian tidak
diinginkan (KTD) yang terjadi akibat pembedahan mengakibatkan WHO
membuat program SSC untuk mengurangi kejadian tidak diinginkan
(KTD). Dalam praktiknya SSC bermanfaat untuk mengurangi angka
kematian dan komplikasi, beberapa penelitian menunjukkan angka
kematian dan komplikasi berkurang setelah digunakan SSC. Penelitian
Haynes menunjukkan angka kematian berkurang dari 1,5% menjadi 0,8%
dan angka komplikasi berkurang dari 11% menjadi 7,0% (Haynes, et al.
2009). Penelitian Latonsky menghasilkan hal yang serupa bahwa jika SSC
dilaksanakan secara konsisten maka angka kematian mengalami
penurunan dari 1,5% menjadi 0,8% dan angka komplikasi turun dari 11%
menjadi 7% (Latonsky, et al., 2010).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan hubungan antara prosedur
pelaksanaan SSC dengan kejadian infeksi post operasi (ILO) SC di RSUD
Tenriawaru Kabupaten Bone. Jika petugas kesehatan tidak melaksanakan
prosedur dengan baik maka akan terjadi infeksi post operasi SC. Hasil
77
penelitian menunjukkan bahwa dari 25 pasien yang tidak menjalani
prosedur SSC secara lengkap diantaranya 7 pasien (28.0%) yang
mengalami infeksi dan 18 pasien (72.0%) tidak mengalami infeksi post
operasi SC. Sedangkan yang menjalani prosedur SSC lengkap sebanyak
32 pasien, diantaranya 2 pasien (6.3%) yang mengalami infeksi dan 30
pasien (93.7%) tidak mengalami infeksi post operasi SC. Angka tersebut
menunjukkan bahwa tingkat infeksi post operasi SC di RSUD Tenriawaru
Bone masih tinggi karena berdasarkan defenisi sectio caesarea
merupakan pembedahan “bersih” dan seharusnya memiliki angka infeksi
tidak lebih dari 2%.
Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p
(0.034) <0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara penerapan
pelaksanaan SSC dengan kejadian infeksi setelah operasi SC. Nilai PR
sebesar 4.480 yang berarti bahwa prosedur yang tidak diterapkan akan
berisiko 4.480 kali mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan
dengan yang melaksanakan prosedur sesuai aturan.
Petugas di instalasi bedah sentral di RSUD Tenriawaru Bone telah
mendokumentasikan semua fase dalam SSC yaitu fase sign in pada saat
pasien masuk ke kamar operasi dan pra anestesi, fase time out dimana
sebelum insisi tim bedah melakukan konfirmasi tentang pasien dan
masalah yang mungkin dihadapi, fase sign out yaitu sebelum dokter
operator menutup dinding perut, petugas instrument menghitung alat dan
78
kasa kemudian memastikan tidak ada yang tertinggal di dalam rongga
perut.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Fridawati rivai
dkk (2013), dengan judul determinan infeksi luka operasi post bedah SC,
hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara waktu pemberian
antibiotik profilaksis (OR = 1,16; 95% CI = 1,09 -1,37), lama rawat
prabedah (OR = 1,12; 95%CI = 1,02 -1,24) dan lama rawat postbedah
(OR = 1,21; 95% CI = 1,04-1,39) dengan kejadian ILO. Faktor lainnya
tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian ILO. Hasil
uji regresi logistik ganda menemukan lama rawat post bedah merupakan
faktor yang paling dominan terhadap kejadian ILO.
Hal senada juga di jelaskan oleh penelitian Weiser yang menunjukkan
angka infeksi luka operasi (ILO) mengalami penurunan setelah dilakukan
penelitian dengan menggunakan SSCL. Angka ILO turun dari 11,2%
menjadi 6,6% dan risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml turun dari
20,2% menjadi 13,2% (Weizer, et al. 2008).
Penelitian yang dlakukan oleh Takala, et al, 2011 di Findland
ditemukan bahwa dari 1748 tindakan operasi, khususnya yang
berhubungan dengan kinerja antara dokter bedah, dokter anastesi, dan
perawat sirkuler. Dengan membandingkan hasil sebelum implementasi
dan setelah implementasi SSC. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa
konfirmasi identitas pasien meningkat dari 62,7 % menjadi 84,0 % oleh
79
dokter anastesi, 71,7 % menjadi 85,5 % ole dokter bedah dan 81,6 %
menjadi 94,2 % untuk perawat sirkuler.
Peneliti lainnya yang dilakukan oleh Geraldo, et al, di Brazil yang
dilakukan terhadap 502 dokter bedah orthopedi, didapatkan 40,8 %
memiliki pengalaman tentang kesalahan letak operasi dan 25,6 %
diantaranya diindikasikan karna faktor kurangnya komunikasi sebeagai
penyebab utama. 35,5 % tidak memberikan tanda pada pasien sebelum
pasien masuk ke kamar operasi. 65,3 % operator tidak mengetahui
sebagian atau keseluruhan tentang SSC. Serta 72,1 % dari operator
belum mendapatkan pelatihan tentang penggunaan SSC.
Studi yang dilakukan WHO “Safe Surgery Saves Lives” juga
menjelaskan hasil studi ujicoba checklist di delapan rumah sakit di enam
negara WHO dengan 3733 pasien sebelum implementasi dan 3955
pasien setelah implementasi. Setelah ujicoba implementasi checklist,
kematian akibat operasi menurun 47% dan komplikasi berkurang 36%.
Penelitian latonsky et al (2010) jika SSC dilaksanakan secara konsisten
akan menurunkan angka kematian dari 1,5% menjadi 0,8% dan
menurunkan angka komplikasi yang terjadi dari 11% menjadi 7%. Tujuan
utama dari SSC untuk menurunkan kejadian tidak diinginkan di kamar
operasi (WHO, 2009). Tujuan dari checklist ini dalam prakteknya juga
untuk memperkuat/membina kerjasama dan komunikasi yang lebih baik
diantara tim operasi, membantu memastikan setiap langkah yang ada di
checklist telah dijalankan secara konsisten sehingga meminimalkan dan
80
menghindari risiko cedera terhadap pasien. Checklist memberikan
panduan dengan cara melakukan interaksi secara lisan (komunikasi)
kepada seluruh tim untuk mengkonfirmasikan apakah standar pelayanan
sudah sesuai untuk setiap pasien yang akan dioperasi.
Williams, et al. (2007) melaporkan kegagalan komunikasi seorang
dokter bedah terhadap tim operasi merupakan penyebab yang sangat
sering dan menyebabkan kejadian tidak diinginkan sebesar 31%.
Kegagalan komunikasi tersebut menyebabkan penundaan perawatan
pasien sebesar 77% dan sebanyak 48% waktu tim operasi terbuang sia-
sia. Masloman (2014), selain komunikasi, kerjasama tim yang kurang baik
diketahui berhubungan dengan peningkatan komplikasi dan kematian.
Menurut peneliti teknik perawatan luka juga menentukan terjadinya
infeksi luka operasi. Semakin baik perawatan luka dilakukan maka
kemungkinan terjadinya Infeksi Luka Operasi (ILO) semakin kecil, tetapi
sebaliknya semakin buruk perawatan luka dilakukan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya Infeksi Luka Operasi (ILO). Perawatan luka yang
baik pun harus sesuai dengan standar operasional yang ditetapkan
masing-masing rumah sakit. Penderita yang telah dioperasi, seharusnya
2–3 hari kemudian diganti balutannya, kecuali apabila sebelumnya sudah
kotor oleh darah, sekret luka atau kontaminasi dari luar seperti air kotor
maupun debu, maka segera diganti. Namun dalam kenyataannya juga
ditemukan 4 pasien dengan perawatan luka baik tetapi mengalami Infeksi
Luka Operasi (ILO), hal ini dimungkinkan disebabkan oleh faktor
81
penyebab yang lain, diantaranya faktor usia, dan faktor-faktor yang tidak
diteliti peneliti seperti nutrisi atau kebersihan luka sewaktu di rumah.
Infeksi luka operasi (ILO) lebih banyak terjadi di Instalasi Rawat Jalan
yaitu terutama Poli kandungan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor
dari luar rumah sakit dan berbagai keadaan ketika pasien berada di rumah
seperti halnya kebersihan luka sewaktu di rumah. Selain itu kejadian
infeksi yang terjadi ketika pasien masih berada di Ruang Perawatan yaitu
faktor eksogen yang meliputi teknik perawatan luka dan endogen yang
meliputi umur dan penyakit komplikasi memiliki korelasi yang signifikan
dengan Infeksi Luka Operasi (ILO) pada pasien post operasi di RSUD
Tenriawaru Bone.
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di
semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit.
Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Pasal 8 Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 1691 Tahun 2011 dan Nine Life- Saving Patient Safety
Solutions dari WHO Patient Safety yang digunakan juga oleh Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint
Commission International (JCI).
Salah-lokasi, salah-prosedur, salah pasien pada operasi, adalah
sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit.
Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak
adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di
dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk
82
verifikasi lokasi operasi. Di samping itu pula asesmen pasien yang tidak
adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang
tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah,
permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca
(illegible handwriting) dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-
faktor kontribusi yang sering terjadi.
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan
tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-pasien. Kesalahan ini adalah akibat
dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak kuat antara anggota tim
bedah, kurang atau tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi
operasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi
operasi. Penandaan lokasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan pada
tanda yang mudah dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten
di rumah sakit. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus
termasuk sisi (laterality), multiple struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau
multivel level (tulang belakang).
Kebijakan verifikasi praoperatif :
1. Verifikasi lokasi, prosedur,dan pasien yang benar
2. Pastikan bahwa semua dokumen, foto, hasil pemeriksaan yang
relevan tersedia, diberi label dan dipampang dengan baik
3. Verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant-implant
yang dibutuhkan
4. Tahap Time Out (Tahap sebelum insisi):
83
1. Memungkinkan semua pertanyaan/kekeliruan diselesaikan
2. Dilakukan ditempat tindakan,tepat sebelum dimulai,
3. Melibatkan seluruh tim operasi
5. Pakai surgical safety check-list (WHO . 2009)
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar
dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk
mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional
pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk
pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran
darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan
dengan ventilasi mekanis).
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi
risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Rumah sakit mengadopsi
atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan
sudah diterima secara umum dari WHO Patient Safety. Rumah sakit
menerapkan program hand hygiene yang efektif. Kebijakan dan/atau
prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara
berkelanjutan risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
(a) Surgical Safety Checklist (Fase Sign In)
Penerapan SSC pada Fase sign in adalah fase sebelum induksi
anestesi, koordinasi secara verbal memeriksa apakah identitas pasien
84
telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang
akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah
diberikan, pulse oxymetry pada pasien berfungsi. Koordinator dengan
professional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien apakah pasien ada
risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap prosedur pengisian SSC
pada tahap sebelum induksi (sign-in). Dari hasil observasi 100.0%
melakukan konfirmasi identitas pasien, pemeriksaan obat dan mesin
anestesi, dan kapnograph yang telah dipasang.Sebanyak 5.3% tidak
melakukan penandaan area operasi. Masing-masing sebanyak 4
pasien (7.0%) yang mempunyai riwayat alergi dan risiko kehilangan
darah > 500 cc. Sedangkan risiko kesulitan nafas sebanyak 9 pasien
(15.8%).
Dari hasil pelaksanaan prosedur pada tahap sign in. sebanyak
66.7% melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 33.3% dianggap
tidak melakukan prosedur pada tahap sign-in.
Peneliti lainnya yang dilakukan oleh Geraldo da Rocha Mota Filho
et al, 2013 di Brazil yang dilakukan terhadap 502 dokter bedah
ortopedi, didapatkan 40,8 % memiliki pengalaman tentang kesalahan
letak operasi dan 25,6 % diantaranya diindikasikan karena faktor
miskomunikasi sebagai penyebab utama. 35,5 % tidak memberikan
tanda pada pasien sebelum pasien masuk ke kamar operasi. 65,3 %
operator tidak mengetahui sebagian atau keseluruhan tentang SSC.
85
Serta 72,1 % dari operator belum mendapatkan pelatihan tentang
SSC.
Yuan CT et al , 2008-2009 di 2 RS di Liberia, dengan melakukan
penelitian pada 232 pasien selama 2 bulan pada pasien yang belum
diintervensi oleh penerapan SSC dan 249 pasien selam 2 bulan yang
relah diintervensi oleh penerapan SSC. Seca signifikan terjadi
penurunan komplikasi pada lokasi pembedahan (OR:0,28;95 % Cl:
0,15-0,54) dan penurunan komplikasi (OR:0,45:95 %CI:0,15-0,54) dan
penurunan komplikasi (OR:0,45:95 %CI:0,26-0,78) serta secara
keseluruhan hal ini berhubungan dengan penerapan atau disebabkan
oleh penggunaan SSC (OR:0,35:95 %CI:0,16-0,76)
Hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC pada tahap sign-in
dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika petugas kesehatan tidak
melaksanakan tahap ini dengan baik maka akan terjadi infeksi post
operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19 pasien yang
tidak menjalani prosedur sign-in secara lengkap diantaranya 6 pasien
(31.6%) yang mengalami infeksi dan 13 pasien (68.4%) tidak
mengalami infeksi post operasi SC. Sedangkan yang menjalani
prosedur sign-in sebanyak 38 pasien, diantaranya 3 pasien (7.9%)
yang mengalami infeksi dan 35 pasien (92.1%) tidak mengalami
infeksi post operasi SC.
Berdasarkan hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square
diperoleh nilai p (0.048) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan
86
antara penerapan prosedur SSC pada tahap sign-in dengan kejadian
infeksi setelah operasi SC. Nilai PR sebesar 4.0 yang berarti bahwa
prosedur yang tidak diterapkan pada tahap sign-in akan berisiko 4 kali
mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan dengan yang
melaksanakan prosedur sesuai aturan.
Infeksi pada luka operasi pada fase Sign In menandakan infeksi
yang timbul karena prosedur operasi dimana tindakan tersebut
dilakukan di rumah sakit. Oleh karena itu, pada umumnya kuman
penyebab infeksi ini banyak yang sudah resisten terhadap antibiotik.
Penanganan infeksi tidak harus menunggu hingga hasil kultur keluar.
(b) Surgical Safety Checklist (fase Time Out)
Fase Time Out adalah fase setiap anggota tim operasi
memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi
memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal.
Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi
dengan suara yang keras mereka melakukan operasi yang benar,
pada pasien yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa
antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan prosedur pengisian SSC
pada tahap sebelum insisi kulit (time-out). Dari hasil observasi 100.0%
melakukan antiobiotik profilaksis 60 menit sebelum operasi,
pemberian antibiotik profilaksis diberikan di IRD Obgyn, antisipasi
keadaan kritis pada dokter anestesi, dan antisipasi keadaan kritis
87
pada tim perawat. Sebanyak 42.1% tidak memperkenalkan anggota
tim. Dan sebanyak 5.3% tidak memastikan nama pasien, prosedur,
dan letak incise.
Dari hasil pelaksanaan prosedur pada tahap time out.sebanyak
57.9% melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 42.1% dianggap
tidak melakukan prosedur pada tahap time-out.
Hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC pada tahap time-out
dengan kejadian infeksi post operasi SC di RSUD Tenriawaru
Kabupaten Bone. Jika petugas kesehatan tidak melaksanakan tahap
ini dengan baik maka akan terjadi infeksi post operasi SC. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 24 pasien yang tidak menjalani
prosedur time-out secara lengkap diantaranya 7 pasien (29.2%) yang
mengalami infeksi dan 17 pasien (70.8%) tidak mengalami infeksi post
operasi SC. Sedangkan yang menjalani prosedur time-out sebanyak
33 pasien, diantaranya 2 pasien (6.1%) yang mengalami infeksi dan
31 pasien (93.9%) tidak mengalami infeksi post operasi SC.
Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai
p (0.027) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara
penerapan prosedur SSC pada tahap time-out dengan kejadian infeksi
setelah operasi SC. Nilai PR sebesar 4.813 yang berarti bahwa
prosedur yang tidak diterapkan pada tahap time-out akan berisiko
4.813 kali mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan dengan
yang melaksanakan prosedur sesuai aturan.
88
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan time out di
RSUD Tenriawaru Bone sudah berjalan sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan oleh KARS tahun 2012. Keberadaan sumber daya
manusia yang bertugas dalam pelaksanaan sign out masih sangat
terbatas pada RSUD Tenriawaru Bone .Meskipun pelaksanaan Sign
Out terbatas akan tetapi Koordinator selalu melaksanakan tugasnya
menceklis pasien operasi pada pelaksanaan time out yang terstandar
sesuai dengan aturan KARS.
Pada kegiatan konfirmasi tentang kesiapan ahli bedah, kesiapan
anestesi, kesiapan perawat, konfirmasi identitas pasien, konfirmasi
lokasi operasi dan konfirmasi prosedur operasi dilakukan oleh
koordinator, Selama penelitian di RSUD Tenriawaru Bone belum ada
kasus salah sisi operasi, salah pasien maupun salah prosedur.
Petugas operasi selalu melakukan cross check rekam medis pasien
dan anggota tim saling mengingatkan, sehingga kejadian salah sisi,
salah pasien dan salah prosedur tidak terjadi. Hal-hal diatas penting
dilakukan untuk meningkatkan keselamatan pasien dalam proses
pembedahan di kamar operasi dan mengurangi terjadinya kesalahan
dalam prosedur pembedahan di RSUD Tenriawaru Bone.
Fase Time Out merupakan langkah kedua yang dilakukan pada
saat pasien sudah berada di ruang operasi, sesudah induksi anestesi
dilakukan dan sebelum ahli bedah melakukan sayatan kulit. Tujuan
dilakukan time out adalah untuk mencegah terjadinya kesalahan
89
pasien , lokasi dan prosedur pembedahan dan meningkatkan
kerjasama diantara anggota tim bedah, komunikasi diantara tim bedah
dan meningkatkan keselamatan pasien di RSUD Tenriawaru Bone
selama pembedahan. Seluruh tim bedah memperkenalkan diri dengan
menyebut nama dan peran masing-masing. Menegaskan lokasi dan
prosedur pembedahan, dan mengantisipasi risiko. Operator di RSUD
Tenriawaru Bone menjelaskan kemungkinan kesulitan yang akan di
hadapi ahli anestesi menjelaskan hal khusus yang perlu diperhatikan.
Tim perawat menjelaskan ketersedian dan kesterilan alat. Memastikan
profilaksis antibiotik sudah diberikan. Memastikan apakah hasil
radiologi yang ada dan diperlukan sudah ditampilkan dan sudah
diverifikasi oleh 2 orang.
(c) Surgical Safety Checklist (fase Sign Out)
Fase Sign Out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang
telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons,
penghitungan instrumen, pemberian label pada spesimen, kerusakan
alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah akhir yang
dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan memusatkan perhatian
pada manajemen post operasi serta pemulihan sebelum memindahkan
pasien dari kamar operasi (WHO, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan prosedur pengisian SSC
pada tahap sebelum pasein meninggalkan kamar (sign-out). Dari hasil
observasi 49.1% perawat tidak melakukan konfirmasi secara verbal
90
nama prosedur tindakan. 50.9% tidak mengkonfirmasi kelengkapan
jumlah instrument kassa dan jarum. 80.7% tidak melakukan
penglabelan specimen. Dan 12.3% tidak menyampaikan hal-hal yang
dianggap penting baik penanganan dan pemulihan terhadap pasien.
Hal ini cukup penting sebab ada kondisi dimana pasien atau
kelurga pasien membutuhkan keterangan dan penjelasan mengenai
kondisi setelah pembedahan, misalnya kapan pasien boleh minum dan
makan, kapan boleh bergerak kanan kiri, kapan boleh bangun atau
menggerakkan anggota badan. Serta tindakan apa yang dilakukan jika
terjadi muntah jika pasien yang kesadarannya belum pulih sepenuhnya
atau keluar darah dari luka operasi setelah pemulihan. Pada keadaan
ini dokter terkadang harus memberikan informed consent kembali yang
berhubungan dengan pemulihan ataun setelah tindakan pembedaha
untuk mempertegas consent sebelum operasi karena perubahan atau
kondisi lain yang tidak dapat diprediksi sebelumnya saat dilakukan
tindakan pembedahan.
Dari hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan prosedur pada
tahap sign out. sebanyak 54.4% melaksanakan prosedur tersebut
sedangkan 45.6% dianggap tidak melakukan prosedur pada tahap
sign-out.
Hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC pada tahap sign-out
dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika petugas kesehatan tidak
melaksanakan tahap ini dengan baik maka akan terjadi infeksi post
91
operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 31 pasien yang
tidak menjalani prosedur sign-out secara lengkap diantaranya 6 pasien
(19.4%) yang mengalami infeksi dan 25 pasien (80.6%) tidak
mengalami infeksi post operasi SC. Sedangkan yang menjalani
prosedur sign-out sebanyak 26 pasien, diantaranya 3 pasien (11.5%)
yang mengalami infeksi dan 23 pasien (88.5%) tidak mengalami infeksi
post operasi SC.
Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh
nilai p (0.488) < 0.05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan
antara penerapan prosedur SSC pada tahap sign-out dengan kejadian
infeksi setelah operasi SC. Nilai PR sebesar 1.677 yang berarti bahwa
prosedur yang tidak diterapkan pada tahap sign-out akan berisiko
1.677 kali mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan dengan
yang melaksanakan prosedur sesuai aturan.
Fase Sign Out merupakan tahap akhir yang dilakukan saat
penutupan luka operasi atau sesegera mungkin setelah penutupan lua
sebelum pasien dikeluarkan dari kamar operasi. Koordinator
memastikan prosedur sesuai rencana, kesesuaian jumlah alat, kasa,
jarum, dan memastikan pemberian label dengan benar pada bahan-
bahan yang akan dilakukan pemeriksaan patologi.
Pada tahap akhir, sebelum mengeluarkan pasien dari ruang
operasi. Dokter bedah, anestesi dan perawat harus memperhatikan
rencana pemulihan post operasi. Sebelum pasien dikeluarkan dari
92
ruang operasi anggota tim melakukan pemeriksaan keselamatan,saat
pasien dipindahkan dari ruang operasi maka anggota tim bedah
memberikan informasi tentang pasien kepada perawat yang
bertanggung jawab di ruang pemulihan. Tujuan dari langkah ini adalah
efisiensi dan tepat trasfer informasi penting untuk seluruhtim (Wizer et
al, 2008).
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem yang
digunakan untuk mengurangi angka kematian pasien pembedahan
maka diperkenalkanlah SSC WHO yang dibagi ke dalam tiga tahap
sesuai dengan waktunya, sebelum dilakukan induksi anestesi (Sign
in), setelah induksi dan sebelum dilakukan sayatan bedah (Time out),
dan periode selama atau segera setelah penutupan luka dan sebelum
mengeluarkan pasien dari ruang operasi (Sign out).
Tujuan utama dari SSC untuk menurunkan KTD di kamar operasi
dan dalam prakteknya juga digunakan untuk memperkuat atau
membina kerjasama dan komunikasi yang lebih baik diantara tim
operasi, membantu memastikan setiap langkah yang ada telah
dijalankan secara konsisten sehingga meminimalkan dan menghindari
risiko cedera terhadap pasien.
Dampak yang ditimbulkan dari kejadian tidak diharapkan (KTD)
dapat merugikan baik pihak rumah sakit, staf yang terlibat terutama
pasien yang menerima layanan. Dampak yang ditimbulkan antara lain
menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan
93
kesehatan (Walshe & Boaden, 2006), rendahnya kualitas atau mutu
asuhan yang diberikan, karena keselamatan pasien adalah bagian
dari mutu (Cahyono, 2008), dan tentunya tuntutan hukum terkait
cedera yang dialami pasien karena rumah sakit wajib mendahulukan
keselamatan nyawa pasien (Undang-Undang Kesehatan Nomor 36
Tahun 2009). Kondisi ini harus mampu diantisipasi oleh
penyelenggara layanan agar keselamatan pasien terjamin, kontinuitas
pelayanan dan organisasi tetap berjalan.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya kejadian infeksi
luka operasi diakibatkan karena ketidakpatuhan petugas kesehatan
dalam melaksanakan SSC di Kamar Operasi, ada beberapa faktor
yang menjadi penyebab terjadinya infeksi luka operasi di RSUD
Tenriawaru Bone. Dalam hal pemahaman tentunya hal tersebut tidak
lepas dari tingkat pendidikan. Menurut Cavoukian (2009), pendidikan
dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan
tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang diperoleh secara
mandiri. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin tinggi tingkat
keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan.
Menurut Notoatmodjo (2010), salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat pengetahuan adalah pendidikan, sehingga apabila
sebagian besar pendidikan perawat sudah cukup tinggi maka tingkat
pemahaman dalam kategori baik merupakan suatu kewajaran saja.
menunjukkan bahwa pemahaman dan kesadaran pentingnya
94
penerapan SSC masih kurang dan alasan terbanyak terkait hal
tersebut adalah kurangnya sosialisasi dan SDM yang kurang.
Sosialisasi yang kurang dapat dikaitkan dengan hasil penelitian ini
mungkin disebabkan oleh karena pada masa kerja yang lebih pendek
petugas bisa saja belum mendapatkan sosialisasi terkait penggunaan
SSC sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap pemahaman
dan kepatuhan pengisian SSC : Sign In, time out, dan sign out, bisa
juga meskipun petugas tersebut masa kerjanya lama namun
pendidikannya rendah akan menyebabkan kinerjanya juga rendah.
Selain itu mungkin sosialisasi tentang penggunaan SSC belum atau
jarang dilakukan sehingga perawat anestesi baik dengan masa kerja
yang pendek maupun yang telah lama tidak paham terhadap
penggunaan SSC. Tidak patuhnya pengisian SSC tidak terjadi hanya
karena satu atau dua penyebab melainkan banyak penyebab yang
bisa berkontribusi, mulai dari sistem yang menggerakan pelayanan
kesehatan, sarana dan prasarana sampai dengan kinerja
perseorangan yang bersentuhan langsung dengan pasien, yang
kesemuanya berkolaborasi sehingga kepatuhan tidak tercapai.
Demikian pula pada pengendaliannya, suatu variabel yang berisiko
menyebabkan insiden keselamatan pasien harus dikendalikan secara
menyeluruh meliputi sistem dan lingkungan yang melingkupinya. Pada
penelitian ini dilakukan analisis terhadap lima variable yang
berkontribusi terhadap kepatuhan penggunaan SSC, yaitu usia,
95
pendidikan, masa kerja, kompetensi, dan Standar Prosedur
Operasional (SPO).
Agency for Healthcare Research and Quality (2009), mengatakan
bahwa faktor yang dapat menimbulkan kejadian tidak diharapkan
(KTD) adalah: komunikasi, arus informasi yang tidak adekuat,
masalah SDM, hal-hal yang berhubungan dengan pasien, transfer
pengetahuan di rumah sakit, alur kerja, kegagalan teknis, kebijakan
dan prosedur yang tidak adekuat.
Penelitian yang dilakukan Aprilia (2011) menyebutkan dua
kelompok besar faktor penyebab terjadinya kejadian tidak diharapkan
(KTD) yaitu kesalahan atau kegagalan yang bersifat aktif (active errors
or active failure) dan kondisi laten (latent condition). Kegagalan aktif
lebih kepada tindakan yang tidak aman yang dilakukan oleh staf yang
memberikan pelayanan langsung kepada pasien atau langsung
bersentuhan dengan sistem (Reason, 2007). Tindakan yang tidak
aman ini dalam variasi yang berbeda dapat berupa: kehilangan
memori atau lupa, di luar perhitungan, kesalahan dan pelanggaran
prosedur. Kondisi laten merupakan bdibuat oleh para penyusun
kebijakan, manajemen puncak. Kondisi laten ini dapat berupa tekanan
waktu, kekurangan tenaga, peralatan yang tidak adekuat, kelelahan
dan kurang pengalaman.
96
(d) Mengetahui pengaruh penerapan Surgical Safety Checklist
dengan kejadian Infeksi Luka Operasi
Haynes, et al, 2008 dalam penelitiannya di 8 rumah sakit di 8
kota, dengan jumlah pasien 3733 pasien sebelum implementasi
SSC dn 3955 pasien setelah implementasi. Hasil penelitiannya
didapatkan rata-rata penrunan komplikasi dari 11,0% menjadi 7,0 %
setelah implementasi SSC. Tingkat kematian rata-rata di Rumah
Sakit sebesar 1,5 % turun menjadi 0,8%. Secara keseluruhan
kasus komplikasi berupa infeksi luka operasi dan membutuhkan
tindakan re operasi turun secara signifikan (P<0,001 dab P=0,047).
Mereka juga menemukan angka penggunaan antibiotik meningkat
dari 56 % menjadi 83 % yang berhubungan dengan menurunnya
angka kejadian infeksi sebesar 33 %. Dalam bidang obstetric
pemeriksaan secara spesifik kadar hemoglobin maternal,
merupakan prioritas utama sebelum suatu tindakan sectio
caesarea.
Weiser, TG et al, 2010 di 8 rumah sakit di Boston. USA,
didapatkan hasil rata-rata komplikasi menurun dari 18,4 % menjadii
11,7 % setelah SSC diperkenalkan. Rata-rata kematian menurun
dari 3,7 % menjadi 1,4 %.
Dalam penelitian ini didapatkan dari 25 pasien yang tidak
menjalani prosedur secara lengkap diantaranya 7 pasien (28.0%)
yang mengalami infeksi dan 18 pasien (72.0%) tidak mengalami
97
infeksi post operasi SC. Infeksi yang didapatkan pada pasien post
operasi SC adalah gatal pada area jahitan, keluar cairan putih-
kekuningan (nanah) dan darah disela jahitan dan jahitan tampak
kemerahan dan meradang/bengkak. Dari hasil observasi, infeksi
yang didapatkan pada pasien yang tidak menjalani prosedur secara
lengkap adalah keluar cairan putih-kekuningan (nanah) dan darah
disela jahitan sebanyak 6 orang dan gatal pada area jahitan
sebanyak 1 orang. Sedangkan infeksi yang didapatkan pada pasien
yang menjalani prosedur secara lengkap adalah jahitan tampak
kemerahan dan meradang/bengkak sebanyak 2 orang.
Pasien yang tidak menjalani prosedur secara lengkap dan
tidak mengalami infeksi luka operasi bisa disebabkan karena usia
yang masih muda pada saat SC atau persalinan pertama
(primipara), proses penyembuhan luka yang baik, dan perawatan
luka yang baik pada saat pasien pulang ke rumah serta nutrisi yang
baik pada pasien tersebut. Sedangkan yang menjalani prosedur
sebanyak 32 pasien, diantaranya 2 pasien (6.3%) yang mengalami
infeksi dan 30 pasien (93.7%) tidak mengalami infeksi post operasi
SC. Pasien yang menjalani prosedur secara lengkap dan
mengalami infeksi luka operasi bisa disebabkan karena perawatan
luka yang kurang baik pada saat pasien pulang ke rumah serta
nutrisi yang kurang baik pada pasien tersebut.
98
Dengan hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi
square diperoleh nilai p (0.034) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat
hubungan antara penerapan pelaksanaan SSC dengan kejadian
infeksi setelah operasi SC. Nilai PR sebesar 4.480 yang berarti
bahwa prosedur yang tidak diterapkan akan berisiko 4.480 kali
mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan dengan yang
melaksanakan prosedur sesuai aturan.
Penelitian ini merupakan suatu proses implementasi dari
suatu kebijakan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan di
rumah sakit dalam hal peningkatan mutu pelayanan dan
keselamatan pasien.
C. Dampak Manegerial Rumah sakit terhadap Kejadian Infeksi
Luka Operasi Serta Penaggulangannya.
Salah satu contoh masih adanya kejadian tidak diharapkan
(KTD) di RSUD Tenriawaru Bone di mana masih adanya kejadian
Infeksi luka operasi post SC yang diakibatkan berbagai macam
faktor salah satunya ketidakpatuhan dalam pengisian SSC di ruang
operasi. Beradasarkan kejadian tersebut menyebabkan dampak
yang cukup signifikan bagi manajerial Rumah Sakit Umum Daerah
Tenriawaru Bone.
Dari hasil peneltian di atas dapat dilihat betapa besarnya
dampak yang ditimbulkan dari infeksi luka operasi SC. Karena
selama ini penelitian tentang infeksi luka operasi SC belum pernah
99
dilakukan di RSUD Tenriawaru Bone kita ketahui bahwa Infeksi
luka operasi SC sangat merugikan pasien dan rumah sakit itu
sendiri.
Infeksi luka operasi SC merupakan suatu komplikasi post
bedah yang sangat merugikan pasien dan rumah sakit jika tidak
dikendalikan. Komplikasi infeksi luka operasi SC efektif
menyebabkan outcome luka pasien menjadi jelek bahkan bisa
terjadi kematian, bagi rumah sakit dapat menyebabkan pendapatan
rumah sakit menjadi menurun dan reputasi rumah sakit menjadi
jelek. Ruang operasi bisa merupakan salah satu tempat terjadinya
infeksi apabila keadaan ruang operasi tersebut tidak sesuai dengan
prosedurnya.
Angka kejadian infeksi akibat operasi/ nosokomial telah
dijadikan salah satu tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit. Izin
operasional suatu rumah sakit dapat dicabut jika tingginya kejadian
infeksi nosokomial/ (KTD). Dan hasil penelitian ini juga dapat
dijadikan acuan untuk mengurangi kejadian ILO dan dapat
digunakan untuk kepentingan akreditasi RSUD Tenriawaru Bone.
Corrad, 2011 menyebutkan beberapa hipotesis yang
berhubungan dengan implementasi perubahan pelayanan
kesehatan yaitu transparanasi, pengawasan dan akuntabilitas,
kepemimpinan, pengorganisasian proses pelayanan, motivasi dan
kompetensi, dengan kata lain perubahan suatu pola pelayanan
100
yang terstruktur dan memiliki standar sbagian besar ditentukan oleh
peran organisasi dan manajemen dalam hal ini Rumah Sakit dan
mulai dari tigkat Direktur sampai jajaran terendah dari manajemen
dalam harus merubah pola pikir atau mind set. Pada hasil penelitian
msih ditemukan 25 checklist yang belum terisi secara lengkap,
artinya dalam pengimplementasian protokol yang belum
dilaksanakan secara penuh.
Dalam proses implementasi SSC di IBS RSUD Tenriawaru
perlu pengawasan yang dilakukan oleh manajemen dengan menata
dan mengevaluasi kembali proses di kamar operasi serta
memotivasi dokter bedah, anastesi dan perawat. Kesadaran
petugas yang terlibat bahwa keberhasilan , operasi bukan hanya
pada keterampilan, pengalaman dan kepandaian seorang operator,
tetapi kepatuhan pada standar dan prosedur termasuk mematuhi
pengisian checklist, sebagai bagian dari peningkatan mutu dan
kualitas hasil pembedahan demi keselamatan pasien.
Implementasi SSC membutuhkan peran Manajemen sebagai
regulator, penggerak dan penentu kebijakan. Peran staf dalam hal
ini melakasanakan tugas pokok dan fungsinya dalam implmentasi,
juga bertanggung jawab dalam pelaksanaan di lapangan baik
secara individu maupun tim. Pasien dalam hal ini dalan sasaran di
samping memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan bermutu dan
berkualitas juga memilliki kewajiban untuk mematuhi ketentuan
101
sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya rumah sakit untuk
memaksimalkan pelayanan kesehatan dan penyembuhan pada
pasien itu sendiri. Penelitian ini mlibatkan pasien sebagai fokus
pengisian checklist melalui mekanisme komunikasi (informed
consent) dalam menerima tindakan medis. Peran dokter dan
perawat memastikan segala sesuatu sudah dilaksanakan dan
segala aspek yang berhubungan dengan tindakan medis dan
risikonya telah disiapkan dan diantisipasi. Kepastian semua telah
dilaksanakan dan disiapkan dibuktikan dengan checklist ini.
Pada penelitian ini terjadinya infeksi memang bukan sesuatu
yang tidak dapat dihindarkan. 9 infeksi yang terjadi dikaitkan
dengan audit klinis, perlu dievaluasi apakah dari aspek prosedur
uang telah dilaksanakan dengan baik terutama dalam pengelolaan
pasien yang akan atau telah dilakukan pembedahan. Audit klinis
perlu dlkaukan untuk mengevaluasi dimana letak kesalahan atau
kelemahan dalam melakukan standar operasional prosedur pasien
di kamar operasi.
Kejadian infeksi merupakan pembahasan komite medik
(subkomite mutu) dalam upaya mempertahankan mutu profesi dan
pengendalian mutu profesi komite medik. Tindak lanjut untuk
kejadian yang terjadi di IBS RSUD Tenriawaru dengan memantau
kulaitas pelayanan misalnya morning report kasus sulit, kasus
kematian (death case), audit medis.
102
Bagi rumah sakit Tenriawaru Bone perlu adanya
perkembangan perencanaan keperawatan khususnya mengenai
perawatan luka yang disesuaikan dengan teori atau standar yang
telah ditentukan .Serta meningkatkan mutu dan standar operasional
prosedur khususnya untuk perawatan luka sebagai upaya
mengoptimalkan pencegahan terjadinya Infeksi Luka Operasi (ILO).
Bagi perawat ruang di RSUD Tenriawaru Bone diperlukan adanya
peningkatan pelayanan dalam hal perawatan luka dan mengikuti
berdasarkan standar perawatan luka yang ada. Selain itu juga
memandang dan meminimalkan faktor-faktor penyebab infeksi yang
lain untuk lebih meminimalkan kejadian infeksi luka operasi. Dan
diperlukan supervisi yang ketat dari kepala ruangan untuk
mengawasi pelaksanaan teknik perawatan luka. Peningkatan mutu
pelayanan dalam hal perawatan luka. Dalam perawatan luka
sebaiknya sesuai standar yang ditetapkan di rumah sakit, serta
memberi obat pada luka tersebut dan tidak hanya ditutup dengan
kassa steril saja. Bagi Perawat di Poli Bedah dan Poli Kandungan
perlu diberlakukannya peningkatan perawatan luka yang sesuai
dengan standar di RSUD Tenriawaru Bone. Selain itu untuk pasien
infeksi diperlukan kontrol ulang sampai luka benar-benar
membaik.Dalam hal ini tidak hanya memandang dari satu faktor
penyebab infeksi luka operasi, tetapi dari faktor-faktor yang lain
103
supaya infeksi luka operasi (ILO) bisa diminimalkan angka
kejadiannya.
Dampak dari infeksi luka operasi SC efektif menyebabkan
ketidak-berdayaan fungsional, menyebabkan tekanan emosional,
lama hari perawatan bertambah panjang, penderitaan bertambah,
dan kadang-kadang akan menyebabkan kondisi kecacatan
sehingga menurunkan kualitas hidup, serta biaya perawatan dan
pengobatan meningkat. Rumah sakit akan merugi karena
pendapatan rumah sakit menurun dan reputasi rumah sakit
menjadi jelek (Haugen, 2015).
Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun
2009 yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety)
adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan
pelayanan kepada pasien secara aman termasuk didalamnya
pengkajian mengenai risiko, identifikasi, manajemen risiko terhadap
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar
dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk
mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko.
Patient safety adalah pasien bebas dari cedera yang tidak
seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan
terjadi (penyakit, koma, cedera fisik/ social psikologi, cacat,
kematian ) terkait dengan pelayanan kesehatan ( KKP-RS, 2008 ).
Patient safety ( keselamatan pasien ) rumah sakit adalah suatu
104
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.
Hal ini termasuk : assement risiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan risiko pasien, laporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil ( Depkes,2008).
Mengacu kepada standar keselamatan pasien, maka rumah
sakit harus mendesign (merancang) proses baru atau memperbaiki
proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD), dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta keselamatan pasien. Proses perancangan tersebut
harus mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan
pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik
bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi
pasien sesuai dengan ” Tujuh Langkah Keselamatan Pasien
Rumah Sakit”
Berkaitan hal tersebut diatas maka perlu ada kejelasan perihal tujuh
langkah keselamatan pasien rumah sakit tersebut :
105
1. Bangun Kesadaran akan Nilai Keselamatan Pasien
Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.Langkah
penerapan:
A.Bagi Rumah Sakit :
a. Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang mejabarkan apa
yang harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden,
bagaimana langkah-langkah pengumpulan fakta harus
dilakukan dandukungan apa yang harus diberikan kepada staf,
pasien dan keluarga
b. Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan
peran dan akuntabilitas individual apabila ada insiden,
tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang
terjadi di rumah sakit.
c. Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian
keselamatan pasien.
B.Bagi Unit/Tim :
a. Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara
mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan apabila
ada insiden
b. Demonstrasikan kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai
di rumah sakit anda untuk memastikan semua laporan dibuat
secara terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta
pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.
106
2. Pimpin dan Dukung Staf
Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang
Keselamatan Pasien di rumah sakit anda.Langkah penerapan:
A.Untuk Rumah Sakit :
a. Pastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung
jawab atas Keselamatan Pasien
b. Identifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang dapat
diandalkan untuk menjadi ”penggerak” dalam gerakan
Keselamatan Pasien
c. Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat
Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit
d. Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan
staf rumah sakit anda dan pastikan pelatihan ini diikuti dan
diukur efektivitasnya.
B.Untuk Unit/Tim :
a. Nominasikan ”penggerak” dalam tim anda sendiri untuk
memimpin Gerakan Keselamatan Pasien
b. Jelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta
manfaat bagi mereka dengan menjalankan gerakan
Keselamatan Pasien
c. Tumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden.
107
3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko
Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan
identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah. Langkah
penerapan:
A. Untuk Rumah Sakit :
a. Telaah kembali struktur dan proses yang ada dalam
manajemen risiko klinis dan non klinis, serta pastikan hal
tersebut mencakup dan terintegrasi dengan Keselamatan
Pasien dan Staf
b. Kembangkan indikator-indikator kinerja bagi sistem
pengelolaan risiko yang dapat dimonitor oleh Direksi/Pimpinan
rumah sakit
c. Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari
sistem pelaporan insiden dan asesmen risiko untuk dapat
secara proaktif meningkatkan kepedulian terhadap pasien.
B.Untuk Unit/Tim :
a. Bentuk forum-forum dalam rumah sakit untuk mendiskusikan
isu-isu Keselamatan Pasien guna memberikan umpan balik
kepada manajemen yang terkait
b. Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam
proses asesmen risiko rumah sakit
108
c. Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk
menentukan akseptabilitas setiap risiko, dan ambil lah langkah-
langkah yang tepat untuk memperkecil risiko tersebut
d. Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai
masukan ke proses asesmen dan pencatatan risiko rumah
sakit.
4. Kembangkan Sistem Pelaporan
Pastikan staf Anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/
insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS).Langkah penerapan :
A. Untuk Rumah Sakit :
a. Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke
dalam maupun ke luar, yang harusdilaporkan ke KPPRS -
PERSI.
B. Untuk Unit/Tim :
a. Berikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara
aktif melaporkan setiap insiden yang terjadidan insiden yang
telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena mengandung
bahan pelajaran yang penting.
5. Libatkan dan Berkomunikasi dengan Pasien
Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan
pasien.Langkah penerapan :
A.Untuk Rumah Sakit :
109
a. Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas
menjabarkan cara-cara komunikasi terbuka tentang insiden
dengan para pasien dan keluarganya
b. Pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang
benar dan jelas apabila terjadi insiden
c. Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada
staf agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarganya.
B.Untuk Unit/Tim :
a. Pastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan
pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden
b. Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga
apabila terjadi insiden, dan segera berikan kepada mereka
informasi yang jelas dan benar secara tepat
c. Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati
kepada pasien dan keluarganya
6. Belajar dan Berbagi Pengalaman tentang Keselamatan Pasien
Dorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk
belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul.Langkah
penerapan:
A.Untuk Rumah Sakit :
a. Pastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian
insiden secara tepat, yang dapatdigunakan untuk
mengidentifikasi penyebab
110
b. Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria
pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause
Analysis/RCA) atau Failure Modes and Effects Analysis (FMEA)
atau metoda analisis lain, yang harus mencakup semua insiden
yang telah terjadi dan minimum satu kali per tahun untuk
proses risiko tinggi.
B.Untuk Unit/Tim :
a. Diskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis
insiden
b. Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak
di masa depan dan bagilahpengalaman tersebut secara lebih
luas.
7. Cegah Cedera melalui Implementasi Sistem Keselamatan Pasien
Gunakan informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk
melakukan perubahan pada sistem pelayanan.Langkah penerapan:
A.Untuk Rumah Sakit :
a. Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari
sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, dan audit
serta analisis, untuk menentukan solusi setempat
b. Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang sistem
(struktur dan proses), penyesuaian pelatihan staf dan/atau
kegiatan klinis, termasuk penggunaan instrumen yang
menjamin keselamatan pasien.
111
c. Lakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang
direncanakan
d. Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS - PERSI
e. Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang
diambil atas insiden yang dilaporkan
B.Untuk Unit/Tim :
a. Libatkan tim anda dalam mengembangkan berbagai cara untuk
membuat asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.
b. Telaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim anda
dan pastikan pelaksanaannya.
c. Pastikan tim anda menerima umpan balik atas setiap tindak
lanjut tentang insiden yang dilaporkan.
Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan
panduan yang komprehensif untuk menuju keselamatan pasien, sehingga
tujuh langkah tersebut secara menyeluruh harus dilaksanakan oleh setiap
rumahsakit.
Dalam pelaksanaan, tujuh langkah tersebut tidak harus berurutan
dan tidak harus serentak. Pilih langkah-langkah yang paling strategis dan
paling mudah dilaksanakan di rumah sakit.Bila langkah-langkah ini
berhasil maka kembangkan langkah-langkah yang belum dilaksanakan.
Bila tujuh langkah ini telah dilaksanakan dengan baik rumah sakit dapat
menambah penggunaan metoda metoda lainnya.
112
Berdasarkan Permenkes No. 1691 Tahun 2011, tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, insiden kesalamatan pasien terdiri
dari :
1. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
Suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan
cedera pada pasien akibat melaksanakan suau tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan bukan
karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien. Kejadian
tersebut dapat terjadi di semua tahapan dalam perawatan dari
diagnosis, pengobatan dan pencegahan (Reason, 1990 dalam
To Err Is Human :Building A Safaer Health System)
2. Kejadian Tidak Cerdera (KTC)
Suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak
mengakibatkan cedera.
3. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
Terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.
Misalnya suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan,
tetapi, staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat
diberikan kepada pasien.
4. Kejadian Potensial Cedera (KPC)
Kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera,
tetapi belum terjadi insisden.Misalnya obat-obatan LASA (Look
Alike Sound Alike) disimpan berdekatan.
113
5. Kejadian Sentinel
Suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera
yang serius.Biasanya dipakai untuk kejadian yang sangat tidak
diharapkan atau tidak dapat diterima seperti operasi pada
bagian tubuh yang salah. Pemilihan kata sentinel terkait
dengan keseriusan cedera yang terjadi (misalnya amputasi
pada kaki yang salah) sehingga pencarian fakta-fakta terhadap
kejadian ini mengungkapkan adanya masalah yang serius pada
kebijakan dan prosedur yang berlaku.
The Institute of Medicine’s (IOM’s), melalui laporannya yang
berjudul To Err is Human : Building a Safer Health System
yaitu:
“Health care is composed of large set of interacting system-
paramedic, and emergency, ambulatory, impatient care, and
home health care; testing imaging laboratories; pharmacies;
and so fort-that are coupled in loosely connected but intricate
network of individuals, teams; procedures, regulations,
communications, equipment, and devices that function with
diffused management in a variable and uncertain environment.
Physicians in community practice may be so tenuously
connected that they do not even view themselves as part of the
system of care”
114
Laporan tersebut menekankan bahwa yang meningkatkan
pencegahan terhadap insisden (adverse event) adalah berupa
factor yang sistemik, artinya, tidak hanya berasal dari kinerja
seorang perawat, dokter, atau tenaga kesehatan lain (Hickam
et al, 2003). Laporan tersebut juga member perhatian pada
factor komunitas manusia yang terlibat pada masalah
pelayanan kesehatan.Insiden keselamatan pasien dihasilkan
dari interaksi atau kecenderungan dari beberapa faktor yang
diperlukan kecuali beberapa faktor yang tidak sesuai.
Kekurangan pada faktor-faktor tersebut terlihat pada sistem,
telah lama ada sebelum terjadi suatu insiden. Yang menjadi
poin penting adalah pada pemahaman bahwa ada kebutuhan
untuk menyadari dan memahami fungsi dari banyaknya sistem
yang masing-masing berkaitan dengan setiap penyedia layanan
kesehatan dan bagaimana kebijakan serta tindakan yang
diambil pada suatu bagian (dalam sistem tersebut) akan
berdampak pada keamanan, kualitas, dan efisiensi pada sistem
bagian lainnya.
Manajemen risiko dalam Pelayanan Kesehatan merupakan
upaya untuk mereduksi KTD yang dalam pelayanan kesehatan
apabila hal ini terjadi akan merupakan beban tersendiri,
terlepas dari KTD tersebut karena risiko yang melekat ataupun
memang setelah dianalisis karena adanya error atau
115
negligence dalam pelayanan. Apabila KTD sudah terjadi, beban
pelayanan tidak hanya pada sisi finansial semata, namun
beban psikologis dan sosial kadang-kadang terasa lebih
berat.Untuk mencegah KTD dan menempatkan risiko KTD
secara prorposional beberapa pendekatan dapat dilakukan
pada sumber penyebab itu sendiri, baik pada faktor
manusianya (pasien dan tenaga kesehatannya), maupun dari
sisi organisasinya.
Rumah sakit sebagai instansi pelayanan kesehatan yang
berhubungan langsung dengan pasien harus mengutamakan
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit (Undang-Undang
tentang Kesehatan dan Rumah Sakit Pasal 29b UU
No.44/2009). Pasien sebagai pengguna pelayanan kesehatan
berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya
selama dalam perawatan di rumah sakit (Undang-Undang
tentang Kesehatan dan Rumah Sakit Pasal 32n UU
No.44/2009).
Secara umum dapat dikatakan bahwa kejadian yang tidak
diharapkan dalam pelayanan kesehatan semakin meningkat.
Kejadian yang tidak diharapkan (KTD) atau dalam literarur
berbahasa Inggris dikenal dengan istilah adverse event adalah
116
kondisi akibat pelayanan yang menimbulkan rasa tidak
nyaman, tidak sembuh, kecacatan bahkan kematian.KTD pada
dasarnya adalah risiko yang melekat dari tindakan pelayanan
kesehatan, hal ini mengingat bahwa dalam pelayanan
kesehatan yang diukur adalah upaya yang dilakukan (inspaning
verbentenis), bukanlah hasil akhirnya (resultante
verbintennis).Dalam hal ini kejadian tidak diinginknan (KTD)
tidak dapat dikatakan malpraktik medik apabila terbukti nantinya
upaya yang dilakukan sudah benar walaupun kenyataannya
hasil pelayanan tersebut bisa saja menyebabkan kecacatan
bahkan kematian.
Keselamatan pasien saat ini menjadi isu global dan
terangkum dalam lima isu penting yang terkait di rumah sakit
yaitu: keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja
atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan
di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan
pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green
productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan
dan keselamatan ”bisnis” rumah sakit yang terkait dengan
kelangsungan hidup rumah sakit. Keselamatan pasien
merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan terkait dengan
isu mutu dan citra perumahsakitan (Depkes, 2008).
117
Keselamatan pasien merupakan langkah kritis pertama
untuk memperbaiki kualitas pelayanan. Tercermin dari laporan
Institute Of Medicine (IOM) tahun 2008 tentang KTD (adverse
event) di rumah sakit kota Utah dan Colorado sebesar 2,9%
dan 6,6% KTD berupa meninggal dunia. Di kota New York KTD
(adverse event) sebesar 3,7% dan 13,6% KTD berupa
meninggal dunia. Angka kematian akibat KTD pada pasien
rawat inap di Amerika adalah 33,6 juta di tahun 1997, di kota
Utah dan Colorado berkisar 44.000, sementara di New York
98.000 per tahun (IOM, 2008). Laporan tersebut mencerminkan
bahwa keselamatan pasien kurang diterapkan, sehingga
banyak KTD yang akhirnya menciptakan pelayanan kesehatan
yang kurang bermutu. Menanggapi hal ini Indonesia telah
mendirikan KKP-RS (Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit) oleh PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia)
(Depkes, 2008).
Pandjaitan (2015), menyatakan bahwa budaya
keselamatan merupakan faktor dominan dalam upaya
keberhasilan keselamatan dan kunci bagi terwujudnya
pelayanan yang bermutu dan aman. Kedisiplinan, ketaatan
terhadap standar, prosedur dan protokol, bekerja dalam tim,
kejujuran, keterbukaan, saling menghargai adalah nilai dasar
yang harus dijunjung tinggi. Manajemen diperlukan dalam untuk
118
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Seluruh tingkatan
manajer dituntut untuk memiliki kemampuan kepemimpinan dan
menjalankan fungsi manajerial. Pemimpin bertugas
membangun visi, misi, mengkomunikasikan ide perubahan,
menyusun strategi sehingga setiap komponen dalam organisasi
akan bekerja dengan memperhatikan keselamatan (Cahyono,
2012).
Mutu pelayanan sebagai hasil dari sebuah sistem dalam
organisasi pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh komponen
struktur dan proses. Organisasi (struktur dan budaya),
manajemen, sumber daya manusia, teknologi, peralatan,
finansial adalah komponen dari struktur.Proses pelayanan,
prosedur tindakan, sistem informasi, sistem administrasi, sistem
pengendalian, pedoman merupakan komponen proses.
Keselamatan pasien merupakan hasil interaksi antara
komponen struktur dan proses. Mutu pelayanan rumah sakit
dapat dilihat dari segi aspek-aspek sebagai berikut: aspek klinis
(pelayanan dokter, perawat dan terkait teknis medis), aspek
efisiensi dan efektifitas pelayanan, keselamatan pasien dan
kepuasan pasien (Donabedian 1988, dalam Cahyono, 2012).
Hasil penelitian Hasri (2012) dengan judul “Praktik
Keselamatan Pasien: SSC” mengungkapkan bahwa tujuan
utama dari keselamatan pasien adalah mencegah terjadinya
119
cidera yang diakibatkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak melaksanakan tindakan yang
seharusnya diambil.Tujuan tersebut dapat ditempuh dengan
upaya peningkatan mutu pelayanan medis di rumah sakit yang
dilakukan secara gotong-royong oleh tenaga medis, staff
kesehatan fungsional dengan melakukan pelayanan medis
yang bermutu. Pelaksanaan audit medis di rumah sakit
merupakan salah satu upaya yang efektif dan efisien untuk
melakukan monitoring peningkatan kualitas pelayanan.
Indikator patient safety goals (IPSG) merupakan ukuran
yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien
selama dirawat di rumah sakit. Indikator patient safety
bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang
dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang
berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi
menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan mendasarkan pada
IPSG ini maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya
yangdapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak
diharapkan pada pasien (Asyifa, 2012). Secara umum IPSG
terdiri atas 2 jenis, yaitu IPSG tingkat rumah sakit dan IPS
tingkat area pelayanan.
Akar penyebab kesalahan keselamatan pasien paling
umum disebabkan antara lain: Masalah komunikasi, kurangnya
120
informasi, masalah manusia, pasien yang berhubungan dengan
isu-isu, transfer pengetahuan dalam organisasi, staffing pola /
alur kerja, kegagalan teknis, kurangnya kebijakan dan
prosedur. Tujuan umum keselamatan pasien antara lain :
Mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan
komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan obat,
hilangkan salah- tempat, salah-pasien, prosedur tindakan yang
salah, mengurangi risiko infeksi terkait perawatan kesehatan
dan mengurangi risiko bahaya pasien jatuh .
121
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian mengenai pengaruh SSC terhadap kejadian
infeksi luka operasi di RSUD Tenriawaru Bone, menunjukkan adanya
hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC dengan kejadian Infeksi
Luka operasi (ILO) SC di RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone. Jika
SSC dilaksanakan secara konsisten akan menurunkan angka kejadian
Infeksi Luka Operasi.
1. Pelaksanaan prosedur SSC pada tahap sign in diperoleh hasil,
penerapan prosedur SSC pada tahap sign-in berpengaruh
terhadap menurunnya kejadian infeksi setelah operasi SC.
2. Pelaksanaan prosedur SSC pada tahap time-out diperoleh hasil,
penerapan prosedur SSC pada tahap time-out berpengaruh
terhadap kejadian infeksi setelah operasi SC.
3. Pelaksanaan prosedur SSC pada tahap sign-out diperoleh hasil,
penerapan prosedur SSC pada tahap sign-out tidak berpengaruh
terhadap menurunnya kejadian infeksi setelah operasi SC.
4. Pelaksanan prosedur SSC pada tahap time out merupakan tahap
yang sangat berpengaruh terhadap menurunnya kejadian infeksi
setelah operasi SC.
122
B. Saran
1. Petugas
a) Perlu adanya kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai
pentingnya keselamatan pasien dan makna implementasi SSC
bagi semua pihak di Instalasi Bedah Sentral RSUD Tenriawaru.
b) Dokter dan perawat yang terlibat dalam tindakan pembedahan
memaksimalkan keselamatan pasien dengan melaksanakan
tindakan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
2. Manajemen Rumah Sakit
a) Perlu peran serta yang lebih besar dari pihak manajemen Rumah
Sakit khususnya dari aspek mutu dalam hal ini keselamatan
pasien melalui upaya penyusunan pedoman, implementasi di
lapangan dan evaluasi melalui komite keselamatan pasien di
RSUD Tenriawaru.
b) Meaksimalkan peran komite mutu dan keselamatan pasien
dengan tugas diantaranya perlunya pengaturan alur mekanisme
pelaporan jika terjadi sentinel event sebagai bagian dari
penerapan keselamatan pasien di RSUD Tenriawaru terutama
dalam upaya melaksanakan standar akreditasi RS dan
dokumentasi kejadian yang berhubungan dengan keselamatan
pasien.
123
DAFTAR PUSTAKA Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ),2009 AHRQ Quality
Indicators Guide to Patient Safety Indicators., 4.2.
American Society of Anesthesiologist Task Force on Obstetric Anesthesia,
2007. Practice Guidelinesfor Obstetric Anesthesia: An Update
Report by the American Society of Anethesiologists Task Force
on Obstetric Anesthesia.
Aprilia,S., 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam
penerapan internasional patient safety goals (IPSG) pada
akreditasi JCI (Joint Commission Iinternational ) di instalasii
rawat inap RS swasta tahun 2011. Universitas Indonesia.
Andayani & Inayati 2012. Pengaruh Umur dan Penyakit Penyerta terhadap
Risiko ILO pada Pasien Bedah,Gastrointestinal. 2(2).
Asyifa, A.& Mato,S.,2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan ILO
di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.1(2).
Athifah N, Pasinring, S.A. & Kapalawi,I.2014. Gambaran Budaya
Keselamatan Pasien di RSUD Syekh Yusuf Kabupatan Gowa.
Repository Unhas, pp. 1-16
Basri, H.,2007. Pengembangan Manajemen Kinerja Perawat dan Bidan
Evaluasi Pelatihan di Kulon Progo. Available at :
http://www.kinerjaklinik-perawatbidan.or.id[Accessed December
20, 2016].
Cahyono, J.S.B., 2012, Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam
Praktik Kedokteran, Yogyakarta: Kanisius
Cavoukian, A, 2009, Surgical Safety Checklist, Canada: Council of
Canadian Academies.
Chandranita, I.A., 2009. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita.
Jakarta: EGC
DEPKES . 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Dharma,K.K.2011. Metodologi Penelitian Keperawatan ; Trans Info Media,
Jakarta.
124
Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan keteknisian Medik Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI.2011. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Keperawatan
di Rumah sakit.Jakarta.
Evi, H., 2005.Ciri-Ciri, Iklim Organisasi, dan Kinerja Perawat di Instalasi
Rawat Inap RS Dr.Achmad Moechtar Bukittinggi. Universitas
Gadjah Mada.
Gillies,D.A., 2006. Manajemen Keperawatan (Suatu Pendekatan Sistem).
2nd ed., Philadelphia : WB Saunders Company.
Faridah, I.N. & Andayani, T.M., 2012. Pengaruh Umur dan Penyakit
Penyerta Terhadap Resiko Infeksi Luka Operasi Pada Pasien
Bedah Gastrointestinal. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, 2(2),
pp.187-194.
Haryanti, L. dkk ., 2013. Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Luka Operasi
Pasca-Bedah. Sari Pediatri. 15 (4), pp. 207-212
Hasri, E.T., 2012. Praktik Keselamatan Pasien: Surgical Safety Checklist.
Repository UGM
Haugen, AS. 2015, Effect of the World Health Organization checklist on
patient outcomes. Annal of Surgery, 261 (5), pp.491-499.
Haynes, A.B, et al., 2009. A Surgical Safety Checlikst to Reduce Morbidity
and Mortality in a Global Population. New England Journal of
Medicinie, 360 (5), pp. 491-499.
Hermawan, I., Saryono & Sntoso, D., 2014. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan, Volume 10, No. 3. Jurnal Ilmiah Keperawatan,
10(3), pp. 124-132.
Hendrik, H, 2014. Gambaran Penerapan Surgical Patient Safety Fase
Time Out di RS PKU Muhammadiyah Gombong.
Hickam, et al. 2003. The Effect Of Health Care Conditions On Patient
Safety. Evidence Report/Technology Assessment. AHRQ
Publication 3 (31).
125
Howard, A.W, 2011, Surgical Safety WHO SSC, The New England Journal
of Medicine.
Institute of Medicine, 2008, To Err is Human: Building a Safer Health
System. Washington D.C: The National Academies Press..
Joint Commision International (JCI). 2011 Patient Safety, essentials for
health care. (International Edition).USA.
Karina, 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan
Keselamatan Pasien di Kamar Bedah. Repository UGM.
Kemenkes, 2011. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 1691 / MENKES / PER / VIII /2011.
Khofiyah, 2015. Evaluasi pelaksanaan SSC di rumah sakit
muhamdiyah:gombong:Stikes Muhammadiyah.
Khon, L.T., Corrigan,J.M. & Donaldson, M.S., 1999. To Err is Human:
Building a Safer Health System Co. on Q. of H.C. In America,
ed., Washington DC: National Academy Press.
Latosinsky, S., Thirlby, R., Urbach, D. 2010 Use of a SSC to Reduce
Morbidity and Mortality. Canadian Journal of Surgery, 53(1) pp.
64-66.
Masloman, A.P., dkk., 2012.. Analisis Pelaksanaan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Kamar Operasi RSUD. Dr. Sam
Ratulangi Tondano., pp.238-249.
Menteri Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien
Rumah Sakit.Departemen Kesehatan RI.
Mochtar Rustam. 2011. Sinopsis Obstentri Fisiologi dan Obstentri
Patofisiologi. Edisi 3 Jilid I. Jakarta.EGC.
Mulyati, L. dan Sufyan. A. 2008. Pengembangan Budaya Patient Safety
Dalam Praktik Keperawatan. Yogyakarta.
National Patient Safety Agency. 2012. Manchester Patient Safety
Framwork. Manchester : University of Manchester.
126
National Nosocomial Infections Surveillance (NNIS) System Report, 2010,
Publich Health Service, US Departement of health and Human
Service Atlanta, Georgia.
Notoatmodjo,S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka
Cipta.
Nursyahfitri.2011.Pengaruh Budaya Kerja dan Komitmen Karyawan
Terhadap Kinerja Karyawan Pada Karyawan Divisi Produksi
PT. Marumitsu Indonesia. Repository USU.
Pandjaitan, C., 2013. Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit harus
diantisipasi. Politik Indonesia
Pandjaitan, C., 2015. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Meningkatkan Mutu Layanan Kesehatan.Continuing Nurse
Education. Yogyakarta.
Permenkes. 2009. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Potter, P. & Perry,A., 2006.Buku Ajar Fundamental Keperawatan :Konsep,
Proses, dan Praktik. 4th ed. R.Komalasari, Jakarta:EGC.
PPNI. 1999. Panduan Keperawatan dan Praktek Keperawatan,Jakarta,
Indonesia : PPNI.
Profil 2017, Rumah Sakit Umum Daerah Tenriawaru Kabupaten Bone.
Profil 2016, Rumah Sakit Umum Daerah Tenriawaru Kabupaten Bone.
Pujianti A., 2015 . Pengaruh Implemantasi SSC Terhadap keselamatan
Pasien di RS Khusus mata Yogyakarta. Aisyiyah Yogyakarta.
Putra, R., & Asrizal. 2012. Tindakan Perawat dalam Pencegahan Infeksi
Nosokomial luka Pasca Bedah.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit.
Rivai, F., Koentjoro, T, & Utarini, A., 2013. Determinant of Surgical Site
Infection Post-Section Caesarea. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 8(5),pp.235-240.
127
Riyadi, S., & Hatmoko, 2012. Standar Operating Procedure Dalam Praktik
Klinik Keperawatan Dasar.Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Riyadi S, Kusnanto H. 2006. Motivasi dan Perilaku.Semarang:Dahara
Prize.
Robbins P. S .2006. Perilaku Organisasi Indonesia. Jakarta: PT Indeks.
Kelompok Gramedia.
Rustam, Mochtar. 2012. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri
Patologi. Jakarta: EGC.
Setyarini, E.A., Barus, L.S., & Dwitari, A., 2013. Perbedaan Alat Ganti
Verband Antara Dressing Set and Dressing Trolley terhadap
Risiko Infeksi Nosokomial dalam Perawatan Luka Post
Operasi..
Septiari, B..,2012. Infeksi Nosokomial. Yogyakarta: NuhaMedika
Siagian, E., 2011 Pelaksanaan Surgical Patient Safety Terhadap Adverse
Events Pasca operasi Bedah Digestif di Instalasi Bedah RSUP
DR. Sardjito Yogyakarta. Universitas Gajah Mada.
Sinaga, E. 2007. Karakteristik Ibu Yang Mengalami Persalinan Dengan
Seksio Sesarea Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Umum
Daerah Sidikalang. Repository USU.
Suatmadji., 2015. Hubungan Motivasi Tim Bedah Terhadap Penerapan
SSC di RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
Suyanto., 2011. Metodologi dan Aplikasi Penelitian Keperawatan:
Yogyakarta.
Takala. S., et al. 2011. A Pilot Study of the Implementation of WHO
Surgical Safety Checklist . FInland
Tirtabayu, AE. 2014. Praktik Keselamatan Pasien Bedah di RSUD
X.,Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Vries, E.N., Hollmann, M.W., Smorenburg, S.M., Gouma, D.J.,&
Boermeester, M.A. 2009, Depelovement and Validation of the
Surgical Patient Safety System (SURPASS) checklist, QualSaf
Health Care., 18, pp. 121-6.
128
Weiser, T.G., Regenbogen, S.E., Thompson, K.D., Haynes, A.B., Lipsitz,
S.R., Berry, W.R., Et,al. 2008. An estimation of the global
volume of surgery: a modeling strategy based on available
data. Lancet, 372 (9633), pp. 139-44.
Wijaya, Ganda. 2012. Penerapan Manajemen Kinerja Klinik Berbasis Tri
Hita Karana pada Komitmen Kerja, Kepuasan Kerja Locus of
Control terhadap Peningkatan Kinerja Perawat dan Bidan di
RSU Bangli. Program Magister Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat.Program Pascasarjana. Universitas Udayana
Denpasar.
Williams, R.G., et al. 2007, Surgeon Information Transfer and
Communication. Ann Surg, 245(2) February, pp. 159-69.
World Health Organization Collaborating Center for Patient Safety
Solutions. 2008. Patient safety solution spreamble.
World Health Organization, 2009, WHO guidelines for safe surgery
Geneve, Switzerland.
Yuan, T.C, et al. 2012. Incorporating the World Health Organisation
Surgical Safety Checklist into Practice at Two Hospitals in
Liberia.
135
LAMPIRAN 2 OUTPUT ANALISIS DATA Analisis Univariat Frequency Table
KERJA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid IRT 41 71.9 71.9 71.9
ITR 1 1.8 1.8 73.7
PNS 15 26.3 26.3 100.0
Total 57 100.0 100.0
LAMA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 4 24 42.1 42.1 42.1
5 28 49.1 49.1 91.2
6 5 8.8 8.8 100.0
Total 57 100.0 100.0
Kat_Usia Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1.00 27 47.4 47.4 47.4
2.00 21 36.8 36.8 84.2
3.00 9 15.8 15.8 100.0
Total 57 100.0 100.0
Sex
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Perempuan 57 100.0 100.0 100.0
136
BAYAR Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid BPJS 53 93.0 93.0 93.0
NPJS 1 1.8 1.8 94.7
SW 3 5.3 5.3 100.0
Total 57 100.0 100.0
KELAS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 21 36.8 36.8 36.8
2 3 5.3 5.3 42.1
3 21 36.8 36.8 78.9
VIP 9 15.8 15.8 94.7
VIP UTAMA 3 5.3 5.3 100.0
Total 57 100.0 100.0
B01B
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 54 94.7 94.7 94.7
2 3 5.3 5.3 100.0
Total 57 100.0 100.0
B01E
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 4 7.0 7.0 7.0
2 53 93.0 93.0 100.0
Total 57 100.0 100.0
B01F
137
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 9 15.8 15.8 15.8
2 48 84.2 84.2 100.0
Total 57 100.0 100.0
B01G
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 4 7.0 7.0 7.0
2 53 93.0 93.0 100.0
Total 57 100.0 100.0
B02A
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 33 57.9 57.9 57.9
2 24 42.1 42.1 100.0
Total 57 100.0 100.0
B02B
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 54 94.7 94.7 94.7
2 3 5.3 5.3 100.0
Total 57 100.0 100.0
B03A
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 29 50.9 50.9 50.9
2 28 49.1 49.1 100.0
Total 57 100.0 100.0
138
B03B Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 28 49.1 49.1 49.1
2 29 50.9 50.9 100.0
Total 57 100.0 100.0
B03C
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 11 19.3 19.3 19.3
2 46 80.7 80.7 100.0
Total 57 100.0 100.0
B03D
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 50 87.7 87.7 87.7
2 7 12.3 12.3 100.0
Total 57 100.0 100.0
Jahitan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 6 10.5 10.5 10.5
Tidak 51 89.5 89.5 100.0
Total 57 100.0 100.0
Gatal
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 6 10.5 10.5 10.5
Tidak 51 89.5 89.5 100.0
Total 57 100.0 100.0
139
Cairan_Putih Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 3 5.3 5.3 5.3
Tidak 54 94.7 94.7 100.0
Total 57 100.0 100.0
Post_Operasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 9 15.8 15.8 15.8
Tidak 48 84.2 84.2 100.0
Total 57 100.0 100.0
Kat_SignIn
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 19 33.3 33.3 33.3
Ya 38 66.7 66.7 100.0
Total 57 100.0 100.0
Kat_TimeOut
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 24 42.1 42.1 42.1
Ya 33 57.9 57.9 100.0
Total 57 100.0 100.0 Kat_SignOut
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 31 54.4 54.4 54.4
Ya 26 45.6 45.6 100.0
Total 57 100.0 100.0
140
Kat_Prosedur Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 25 43.9 43.9 43.9
Ya 32 56.1 56.1 100.0
Total 57 100.0 100.0
AnalisisBivariat Kat_SignIn * Post_Operasi
Crosstab
Post_Operasi
Total Ya Tidak
Kat_SignIn Tidak Count 6 13 19
% within Kat_SignIn 31.6% 68.4% 100.0%
Ya Count 3 35 38
% within Kat_SignIn 7.9% 92.1% 100.0%
Total Count 9 48 57
% within Kat_SignIn 15.8% 84.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance
(2-sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.344a 1 .021 Continuity Correctionb 3.711 1 .054 Likelihood Ratio 5.033 1 .025 Fisher's Exact Test .048 .030
Linear-by-Linear
Association
5.250 1 .022
N of Valid Cases 57
141
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kat_SignIn (Tidak /
Ya)
5.385 1.172 24.746
For cohort Post_Operasi = Ya 4.000 1.121 14.269
For cohort Post_Operasi = Tidak .743 .540 1.022
N of Valid Cases 57 Kat_TimeOut * Post_Operasi
Crosstab
Post_Operasi
Total Ya Tidak
Kat_TimeOut Tidak Count 7 17 24
% within Kat_TimeOut 29.2% 70.8% 100.0%
Ya Count 2 31 33
% within Kat_TimeOut 6.1% 93.9% 100.0%
Total Count 9 48 57
% within Kat_TimeOut 15.8% 84.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance
(2-sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.579a 1 .018 Continuity Correctionb 3.977 1 .046 Likelihood Ratio 5.658 1 .017 Fisher's Exact Test .027 .023
142
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kat_TimeOut (Tidak
/ Ya)
6.382 1.191 34.214
For cohort Post_Operasi = Ya 4.813 1.095 21.160
For cohort Post_Operasi = Tidak .754 .575 .989
N of Valid Cases 57 Kat_SignOut * Post_Operasi
Crosstab
Post_Operasi
Total Ya Tidak
Kat_SignOut Tidak Count 6 25 31
% within Kat_SignOut 19.4% 80.6% 100.0%
Ya Count 3 23 26
% within Kat_SignOut 11.5% 88.5% 100.0%
Total Count 9 48 57
% within Kat_SignOut 15.8% 84.2% 100.0%
Linear-by-Linear
Association
5.481 1 .019
N of Valid Cases 57
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.79.
b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .650a 1 .420 Continuity Correctionb .195 1 .659 Likelihood Ratio .664 1 .415 Fisher's Exact Test .488 .333
Linear-by-Linear
Association
.638 1 .424
143
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kat_SignOut (Tidak /
Ya)
1.840 .412 8.223
For cohort Post_Operasi = Ya 1.677 .464 6.058
For cohort Post_Operasi = Tidak .912 .731 1.138
N of Valid Cases 57 Kat_Prosedur * Post_Operasi
Crosstab
Post_Operasi
Total Ya Tidak
Kat_Prosedur Tidak Count 7 18 25
% within Kat_Prosedur 28.0% 72.0% 100.0%
Ya Count 2 30 32
% within Kat_Prosedur 6.3% 93.8% 100.0%
Total Count 9 48 57
% within Kat_Prosedur 15.8% 84.2% 100.0%
N of Valid Cases 57 a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.11.
b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance
(2-sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 4.993a 1 .025 Continuity Correctionb 3.492 1 .062 Likelihood Ratio 5.112 1 .024 Fisher's Exact Test .034 .031
Linear-by-Linear
Association
4.906 1 .027
N of Valid Cases 57 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.95.
144
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kat_Prosedur (Tidak
/ Ya)
5.833 1.091 31.193
For cohort Post_Operasi = Ya 4.480 1.018 19.716
For cohort Post_Operasi = Tidak .768 .592 .996
N of Valid Cases 57 AnalisisMultivariat Logistic Regression Block 0: Beginning Block
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Kat_SignIn(1) 5.344 1 .021
Kat_TimeOut(1) 5.579 1 .018
Kat_SignOut(1) .650 1 .420
Overall Statistics 8.156 3 .043 Block 1: Method = Backward Stepwise (Likelihood Ratio)
Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig.
Step 1 Step 8.078 3 .044
Block 8.078 3 .044
Model 8.078 3 .044
Step 2a Step -.188 1 .664
Block 7.889 2 .019
Model 7.889 2 .019
Step 3a Step -2.231 1 .135
Block 5.658 1 .017
b. Computed only for a 2x2 table
Variables in the Equation B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant 1.674 .363 21.238 1 .000 5.333
145
Model 5.658 1 .017
a. A negative Chi-squares value indicates that the Chi-squares value has
decreased from the previous step.
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 41.645a .132 .227
2 41.833a .129 .222
3 44.064a .094 .162
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates
changed by less than .001.
Classification Tablea
Observed
Predicted Post_Operasi
Percentage Correct Ya Tidak
Step 1 Post_Operasi Ya 0 9 .0
Tidak 0 48 100.0
Overall Percentage 84.2
Step 2 Post_Operasi Ya 0 9 .0
Tidak 0 48 100.0
Overall Percentage 84.2
Step 3 Post_Operasi Ya 0 9 .0
Tidak 0 48 100.0
Overall Percentage 84.2
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Kat_SignIn(1) 1.148 .852 1.816 1 .178 3.152 .594 16.743
146
Kat_TimeOut(1
)
1.726 1.136 2.310 1 .129 5.617 .607 52.010
Kat_SignOut(1) -.448 1.041 .185 1 .667 .639 .083 4.922
Constant .502 .584 .739 1 .390 1.653 Step 2a Kat_SignIn(1) 1.217 .830 2.150 1 .143 3.377 .664 17.183
Kat_TimeOut(1
)
1.451 .905 2.569 1 .109 4.265 .724 25.135
Constant .408 .538 .576 1 .448 1.504 Step 3a Kat_TimeOut(1
)
1.854 .857 4.681 1 .030 6.382 1.191 34.214
Constant .887 .449 3.904 1 .048 2.429 a. Variable(s) entered on step 1: Kat_SignIn, Kat_TimeOut, Kat_SignOut.
Model if Term Removed
Variable
Model Log
Likelihood
Change in -2 Log
Likelihood df Sig. of the Change
Step 1 Kat_SignIn -21.747 1.849 1 .174
Kat_TimeOut -22.189 2.734 1 .098
Kat_SignOut -20.917 .188 1 .664
Step 2 Kat_SignIn -22.032 2.231 1 .135
Kat_TimeOut -22.345 2.856 1 .091
Step 3 Kat_TimeOut -24.861 5.658 1 .017
Variables not in the Equation Score df Sig.
Step 2a Variables Kat_SignOut(1) .186 1 .666
Overall Statistics .186 1 .666
Step 3b Variables Kat_SignIn(1) 2.253 1 .133
Kat_SignOut(1) .569 1 .451
Overall Statistics 2.430 2 .297
a. Variable(s) removed on step 2: Kat_SignOut.
b. Variable(s) removed on step 3: Kat_SignIn.
147
151
CURRICULUM VITAE
Data Pribadi
1. Nama : Andi Adriana AT
2. Tempat/tanggal lahir : Jaling, 26 Juni 1986
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Jl. Urip Sumoharjo, Perumahan Graha Taqia A/5
6. E-mail : [email protected]
7. Telepon/HP : 081342606686
B. Riwayat Pendidikan
1. Tamat SD Inp 10/73 Otting Tahun 1997
2. Tamat SMP Negeri 2 Watampone Tahun 2000
3. Tamat SMA Negeri 1 Watampone Tahun 2003
4. Tamat S1 Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia Makassar Tahun 2009
151