+ All Categories
Home > Documents > PENINGKATAN KEMAMPUAN SISWA MEMAHAMI SUDUT …mahasiswa.mipastkipllg.com/repository/Karya...

PENINGKATAN KEMAMPUAN SISWA MEMAHAMI SUDUT …mahasiswa.mipastkipllg.com/repository/Karya...

Date post: 30-Apr-2019
Category:
Upload: duongminh
View: 223 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
13
PENINGKATAN KEMAMPUAN SISWA MEMAHAMI SUDUT MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA DI KELAS V SD NEGERI 62 LUBUKLINGGAU TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Oleh: Tiya Agustasari 1 , Sukasno 2 , Idul Adha 3 Email: [email protected] ABSTRACT This thesis entitled "Improvement of Student Understanding Approach Angle Through Indonesian Realistic Mathematics Education in Class V of Elementary School number 62 Lubuklinggau academic year 2015/2016". Problems in this study is whether the use PMRI approach can improve the ability of students to understand the material in the corner of the class V SD Negeri 62 Lubuklinggau academic year 2015/2016. This study was conducted at SD Negeri 62 Lubuklinggau with class V research subjects and the number of students 23 people, consisting of 10 men and 13 women. This research is a classroom action research (PTK) are conducted in two cycles. Implementation of class action procedure consists of four components for each cycle, namely 1) the action plan; 2) implementation of the action; 3) observation; 4) reflection. Data collection technique used is the technique of observation and tests in the form of a description. Data were analyzed using the calculation of the average. The classical mastery learning students in the first cycle of 30.43% with an average value of 43.35 and the second cycle of 82.61% with an average value of 86.13. Improved learning outcomes after a given action by 172.24%. As for the average activity of students in the first cycle of 50.31% and the second cycle of 67.70%. Based on this so that in this study it can be concluded that the use PMRI approach can improve the ability of students to understand the material in the corner of the class V SD Negeri 62 lubuklinggu the school year 2015/2016. Keywords: PMRI, Learning Activities, PTK PENDAHULUAN Kline (dalam Suherman, 2001:19) mengemukakan bahwa “Matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam”. Matematika mempunyai fungsi sebagai alat, pola pikir dan ilmu atau pengetahuan. Dengan demikian proses belajar mengajar matematika perlu mendapat perhatian khusus agar dapat memberikan sumbangan yang besar dalam upaya mencerdaskan
Transcript

PENINGKATAN KEMAMPUAN SISWA MEMAHAMI SUDUT

MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

INDONESIA DI KELAS V SD NEGERI 62 LUBUKLINGGAU

TAHUN PELAJARAN 2015/2016

Oleh: Tiya Agustasari1, Sukasno

2, Idul Adha

3

Email: [email protected]

ABSTRACT

This thesis entitled "Improvement of Student Understanding Approach Angle

Through Indonesian Realistic Mathematics Education in Class V of Elementary

School number 62 Lubuklinggau academic year 2015/2016". Problems in this

study is whether the use PMRI approach can improve the ability of students to

understand the material in the corner of the class V SD Negeri 62 Lubuklinggau

academic year 2015/2016. This study was conducted at SD Negeri 62

Lubuklinggau with class V research subjects and the number of students 23

people, consisting of 10 men and 13 women. This research is a classroom action

research (PTK) are conducted in two cycles. Implementation of class action

procedure consists of four components for each cycle, namely 1) the action plan;

2) implementation of the action; 3) observation; 4) reflection. Data collection

technique used is the technique of observation and tests in the form of a

description. Data were analyzed using the calculation of the average. The classical

mastery learning students in the first cycle of 30.43% with an average value of

43.35 and the second cycle of 82.61% with an average value of 86.13. Improved

learning outcomes after a given action by 172.24%. As for the average activity of

students in the first cycle of 50.31% and the second cycle of 67.70%. Based on

this so that in this study it can be concluded that the use PMRI approach can

improve the ability of students to understand the material in the corner of the class

V SD Negeri 62 lubuklinggu the school year 2015/2016.

Keywords: PMRI, Learning Activities, PTK

PENDAHULUAN

Kline (dalam Suherman, 2001:19) mengemukakan bahwa “Matematika itu

bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri,

tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam

memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam”. Matematika

mempunyai fungsi sebagai alat, pola pikir dan ilmu atau pengetahuan. Dengan

demikian proses belajar mengajar matematika perlu mendapat perhatian khusus

agar dapat memberikan sumbangan yang besar dalam upaya mencerdaskan

kehidupan bangsa, terutama dalam menghadapi tantangan masa depan (Suherman,

2001:65).

Matematika merupakan ilmu yang penting dan harus dipelajari oleh siswa

akan tetapi dari hasil observasi dilapangan banyak siswa yang mengalami

kesulitan dalam belajar matematika, tidak suka bahkan takut pada pelajaran

matematika. Oleh karena itu, pembelajaran matematika hendaknya dimulai

dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).

Melalui soal kontekstual memudahkan siswa membayangkan soal secara visual,

menangkap maksud soal, dan dapat mengkomunikasikan dan mengilustrasikannya

dalam bentuk yang berbeda (Armanto, 2008).

Dalam pembelajaran matematika di kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau,

materi pengukuran sudut masih dianggap sulit oleh siswa. Hal ini karena dalam

kegiatan belajar mengajar guru hanya mengajarkan matematika secara abstrak.

Untuk meningkatkan kemampuan siswa memahami materi matematika khususnya

mengenai sudut, peneliti akan mencoba memulai pembelajaran dengan masalah

kontekstual dengan menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik

Indonesia (PMRI). Dimana siswa akan diberikan masalah kontekstual yang

selanjutnya siswa akan menyimpulkan sendiri pengertian dari sudut dan dapat

mengukur sudut dengan benar.

Adapun kelemahan dalam proses pembelajaran matematika di kelas V SD

Negeri 62 Lubuklinggau antara lain yaitu:

1. Pada proses belajar mengajar matematika, guru belum mengaitkan materi sudut

dengan kehidupan nyata. Guru hanya menyampaikan definisi, langkah-langkah

penyelesaian, contoh soal dan latihan kepada siswa tanpa menggunakan alat

bantu yang sesuai dengan lingkungan di sekitar siswa yang mendukung proses

belajar mengajar.

2. Aktivitas siswa selama proses belajar berlangsung terlihat pasif dan kurang

semangat. Saat guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya,

siswa cenderung diam dan saat guru memberikan pertanyaan seputar materi

sudut yang telah dijelaskan sebelumnya, hanya ada beberapa siswa yang

menjawab pertanyaan tersebut dengan orang yang sama. Terdapat banyak

siswa yang tidak dapat mengukur sudut dari soal yang diberikan oleh guru.

3. Rendahnya pemahaman siswa mengenai materi sudut. Hal ini tampak dari hasil

ulangan harian matematika siswa. Ulangan harian dilakukan disetiap akhir bab

dan telah dilaksanakan sebanyak tiga kali, yaitu ulangan harian bab 1 dengan

materi bilangan cacah dan bilangan bulat, ulangan harian bab 2 dengan materi

waktu, dan ulanga harian bab 3 dengan materi sudut. Pada ulangan harian bab

1 nilai rata-rata kelas sebesar 57,83 dengan Kriteria Ketuntasan Minimal

(KKM) yang ditetapkan sekolah tersebut sebesar 65. Dari 23 siswa, hanya

47,83% atau sebanyak 11 siswa yang dinyatakan tuntas dan 52,17% atau

sebanyak 12 siswa yang belum tuntas. Pada ulangan harian bab 2 nilai rata-rata

kelas sebesar 63,04 dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang

ditetapkan sekolah tersebut sebesar 65. Dari 23 siswa, hanya 65,22% atau

sebanyak 15 siswa yang dinyatakan tuntas dan 34,78% atau sebanyak 8 siswa

yang belum tuntas. Pada ulangan harian bab 3 nilai rata-rata kelas sebesar

23,78 dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah

tersebut sebesar 65. Dari 23 siswa, hanya 8,70% atau sebanyak 2 siswa yang

dinyatakan tuntas dan 91,30% atau sebanyak 21 siswa yang belum tuntas.

Mencermati hasil ulangan harian siswa pada bab 3, timbul dugaan bahwa

kondisi tersebut disebabkan karena kegiatan pembelajaran kurang ralistik

sehingga siswa kesulitan menggunakan busur derajat dalam menyelesaikan

masalah yang berhubungan dengan sudut.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, guru hendaknya memilih dan

menggunakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa agar aktif dalam

belajar secara mental, fisik, dan sosial. Penyampaian materi pelajaran juga harus

disesuaikan dengan kemampuan siswa, karena keberhasilan siswa dipengaruhi

oleh penguasaan guru dalam penyampaian materi kepada siswa. Salah satunya

dengan pendekatan PMRI dimana pembelajaran ini tidak sekedar menunjukan

adanya suatu koneksi dengan dunia nyata (real-word) tetapi lebih mengacu pada

fokus pendidikan matematika realistik dalam menempatkan penekanan

penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan (imageneable) oleh siswa

(Wijaya, 2012:20)

Pendekatan PMRI menekankan kepada konstruksi dari konteks benda-benda

konkrit sebagai titik awal bagi siswa guna memperoleh konsep matematika.

Benda-benda konkret dan obyek-obyek lingkungan sekitar dapat digunakan

sebagai konteks pembelajaran matematika dalam membangun keterkaitan

matematika melalui interaksi sosial. Benda-benda konkrit dimanipulasi oleh siswa

dalam kerangka menunjang usaha siswa dalam proses matematisasi konkret ke

abstrak. Siswa perlu diberi kesempatan agar dapat mengkontruksi dan

menghasilkan matematika dengan cara dan bahasa mereka sendiri. Kegiatan

refleksi juga diperlukan terhadap aktivitas sosial sehingga dapat terjadi pemaduan

dan penguatan hubungan antar pokok bahasan dalam struktur pemahaman

matematika.

Salah satu manfaat dalam mempelajari matematika adalah untuk

menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari, atau untuk menyelesaikan

permasalahan sehari-hari dengan menggunakan konsep-konsep matematika.

Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa secara bertahap dibimbing untuk

menguasai konsep matematika terutama tentang sudut, untuk meningkatkan

keefektifan pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah Apakah penggunaan pendekatan PMRI dapat meningkatkan kemampuan

siswa memahami materi sudut di kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau tahun

pelajaran 2015/2016?

LANDASAN TEORI PMRI adalah suatu cara pandang terhadap pembelajaran matamatika yang

ditempatkan sebagai suatu proses bagi siswa untuk menemukan sendiri

pengetahuan matematika berdasarkan pengalaman dalam pemanfaatan lingkungan

dan pengetahuan informal yang dimiliki siswa. Dalam pandangan ini matematika

disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat dipindahkan oleh guru ke dalam

pikiran siswa, tetapi siswa menemukan sendiri dan menggunakan matematika

untuk menyelesaikan masalah.

Menurut Gravemeijer (dalam Armanto, 2008) terdapat tiga prinsip utama

dalam PMRI, yaitu 1) Guided reinvention and progressive mathematization

(penemuan terbimbing dan bermatimatika secara progresif); 2) Didactical

phenomenology (fenomena pembelajaran); dan 3) Self-developed models (model

pengembangan sendiri).

Prinsip pertama, yaitu penemuan terbimbing berarti siswa diberi

kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan

menyelesaikan berbagai soal kontekstual. “proses bermatika secara progresif

siswa”, artinya dalam mempelajari matematika perlu diupayakan agar dapat

mempunyai pengalaman dalam menemukan sendiri berbagai konsep, prinsip

metematika, dan lain sebagainya melalui proses matematisasi horizontal dan

vertikal. Matematika horizontal, siswa diharapkan mampu mengidentifikasi soal

kontekstual sehingga dapat ditransfer ke dalam soal bentuk matematika berupa

model, diagram, tabel (model informal) untuk lebih dipahami. Sedangkan

matematika vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika formal atau non

formal dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur

matematika yang berlaku.

Prinsip kedua dalam PMRI adalah fenomena didatik atau pembelajaran yang

menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik

matematika kepada siswa. Situasi yang berisikan fenomena yang dijadikan bahan

dan area aplikasi dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan

yang nyata terhadap siswa sebelum mencapai tingkatan matematika secara formal.

Dalam hal ini dua macam mathematization haruslah dijadikan dasar untuk

berangkat dari tingkat belajar matematika secara real ke tingkat belajar

matematika secara formal. Pada prinsip ini memberikan kesempatan bagi siswa

untuk menggunakan penalaran (reasoning) dan kemampuan akademiknya untuk

mencapai generalisasi konsep matematika.

Prinsip ketiga dalam PMRI adalah model yang dikembangkan sendiri yaitu

pada saat menyelesaikan masalah nyata (kontekstual), siswa mengembangkan

model sendiri. Peran self-developed models merupakan jembatan bagi siswa

antara pengetahuan matematika tidak formal dan formal dari siswa, artinya siswa

membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Didalam menyelesaikan

soal kontekstual dari situasi nyata, siswa menemukan “model dari” (model-of )

situasi tersebut (bentuk informal), dan kemudian diikuti dengan penemuan “model

untuk” (model-for) bentuk tersebut (bentuk formal matematika), hingga

mendapatkan penyelesaian masalah tersebut dalam bentuk pengetahuan

matematika yang standar. Model tersebut dimaksudkan sebagai wahana untuk

mengembangkan proses berpikir siswa, dari proses berpikir yang paling dikenal

oleh siswa ke arah proses berpikir yang lebih formal.

Menurut Suwarsono (dalam Julie, 2008) Pendekatan PMRI mempunyai 5

karakteristik yaitu:

1) Konteks nyata

Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI bertitik pangkal

dariMasalah-masalah yang kontekstual. Kemudian siswa membahasakan

masalah-masalah yang kontekstual itu kedalam bahasa matematika, selanjutnya

siswa menyelesaikan masalah itu dengan alat-alat yang ada didalam

matematika, dan akhirnya dapat membahasakan kembali jawaban yang

diperoleh yang masih dalam bahasa matematika kedalam bahasa sehari-hari.

Dengan demikian pemahaman siswa terhadap konsep tersebut menjadi lebih

baik. Penggunaan konteks nyata tersebut diwujudkan dalam soal kontekstual.

Penggunaan soal kontekstual ini mempunyai beberapa fungsi seperti yang

dikemukakan Van den Heuvel-Panhuizen (dalam Armanto, 2008) yaitu

membantu siswa agar soal dapat dipecahkan, menunjang terbentuknya ruang

gerak dan transparansi soal, dan dapat melahirkan berbagai variasi strategi.

Matematisasi konseptual atau proses pengembangan ide dan konsep

matematika yang dimulai dari dunia nyata oleh De Lange digambarkan

dalam suatu tahapan yang sederhana

.

2) Model-model

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang

dikembangkan oleh siswa sendiri. Peran pengembangan model oleh siswa

sendiri adalah untuk jembatan bagi siswa dari situasi nyata ke situasi abstrak.

Ada beberapa tahap pemodelan, yaitu situasional, model-of, model-for dan

pengetahuan formal. Pada awalnya, situasi dihubungkan dengan aktivitas

nyata. Siswa dapat membayangkan pengalaman yang telah dimiliki, strategi

dan penerapannya ke dalam situasi. Kemudian model digeneralisasi dan

formalisasi menjadi model-of, diungkapkan secara tertulis. Selanjutnya,

siswabekerja dengan bilangan dengan penalaran matematik tanpa berpikir

situasi kembali, model-of menjadi model-for yang pada akhirnya menjadi

pengetahuan formal. Model-model tersebut dapat digambarkan sebagai

berikut:

Abstraksi dari formalisasi

Matematisasi dan aplikasi Matematisasi dan refleksi

Dunia nyata

Formal

Knowledge

Model -for

Model - of

Situation

Berikut ini contoh iceberg dengan materi sudut:

Gambar 1 Iceberg atau gunung es PMRI materi sudut

3) Produksi dan konstruksi siswa

Di dalam proses pembelajaran siswalah yang aktif untuk mengkonstruksi

pengetahuannya, bukan guru yang mentransfer pengetahuan kepada siswa.

Peran guru adalah sebagai fasilitator, sehingga siswa dapat mengkonstruksi

pengetahuannya. Dengan penggunaan “produksi bebas” siswa didorong untuk

melakukan refleksi pada bagian yang dianggap penting dalam proses

pembelajaran. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur

pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam

pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkondtruksi

pengetahuan matematika formal.

4) Interaksi

Interaksi merupakan karakteristik dari proses pembelajaran, dimana

interaksi antara siswa yang satu dengan yang lainnya, antara siswa dengan guru

merupakan hal yang mendasar dalam PMRI. Secara eksplisit bentuk-bentuk

interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju,

pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-

bentuk informal siswa.

5) Keterkaitan

= = =

Contoh permasalahan

kontekstual pada

materi sudut

“membaca sudut”

Pembentukan

Skema (Model of)

dengan

menggunakan

model desain jam

Membangun

pengetahuan,

besar sudut satuan

=

Matematika

Abstrak,Membaca besar

sudut menggunakan sudut

satauan dan busur derajat

Unit-unit dalam matematika saling berkaitan satu sama lain. Jika dalam

pembelajaran matematika kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang lain,

maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan

matematika, diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks tidak hanya unsur-

unsur dalam matematika tetapi juga bidang lain. Dalam pembelajaran dengan

pendekatan PMRI, siswa diharapkan di dalam mengkonstruksi pengetahuannya

tidak hanya memandang satu cabang dengan cabang yang lain itu saling lepas,

melainkan sebagai suatu kesatuan yang saling mendukung.

Menurut Soedjadi (2007:9-10) mengemukakan bahwa langkah-langkah

PMRI sebagai berikut:

1) Mempersiapkan Kelas

a) Persiapkan sarana dan Prasarana pembelajaran yang diperlukan, misalnya

buku siswa, Lembar Kerja Siswa (LKS), alat peraga dan sebagainya.

b) Kelompokkan siswa jika perlu (sesuai dengan rencana).

c) Sampaikan tujuan atau kompetensi dasar yang diharapkan dicapai serta

cara yang akan dipakai pada hari itu.

2) Kegiatan Pembelajaran

a) Berikan masalah kontekstual atau mungkin berupa soal cerita (secara

lisan atau tertulis). Masalah tersebut untuk dipahami siswa.

b) Berilah penjelasan singkat dan seperlunya saja, jika ada siswa yang

belum memahami soal atau masalah kontekstual yang diberikan.

Mungkin secara individual ataupun secara kelompok. (Jangan

menunjukkan penyelesaian, boleh mengajukan pertanyaan pancingan).

c) Mintalah siswa secara kelompok ataupun individual, untuk mengerjakan

atau menjawab masalah kontekstual yang diberikan dengan caranya

sendiri. Berilah waktu yang cukup siswa untuk mengerjakannya.

d) Jika dalam waktu yang dipandang cukup, siswa tidak ada satupun yang

dapat menemukan cara pemecahan, petunjuk seperlunya atau berilah

pertanyaan yang menantang. Petunjuk itu dapat berupa LKS ataupun

bentuk lain.

e) Mintalah seorang siswa atau wakil dari kelompok siswa untuk

menyampaikan hasil kerjanya atau hasil pemikirannya (bisa lebih dari

satu orang).

f) Tawarkan kepada seluruh kelas untuk mengemukakan pendapatnya atau

tanggapannya tentang berbagai penyelesaian yang disajikan temannya di

depan kelas. Apabila ada penyelesaian lebih dari satu, ungkaplah semua.

g) Buatlah kesepakatan kelas tentang penyelesaian manakah yang dianggap

paling tepat. Terjadi suatu negosiasi. Berikanlah penekanan kepada

penyelesaian yang dipilih atau benar

h) Bila masih tidak ada penyelesaian yang benar, mintalah kepada siswa

memikirkan cara lain.

Menurut De Lange dalam (Zani, 2008), pembelajaran matematika dengan

pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut:

1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi

siswasesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga

siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.

2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan

yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.

3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara

informal terdapat persoalan/ masalah yang diajukan.

4) Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan

memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami

jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya,

menyatakan ketidaksetujuan,mencari alternatif penyelesaian yang lain

dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau

terhadap hasil pelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan langkah-langkah

pembelajaran pendekatan PMRI yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

1) Mempersiapkan sarana dan prasarana atau perlengkapan pembelajaran

yang diperlukan.

2) Memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari yang

berkaitan dengan materi yang akan dipelajari.

3) Memberikan penjelasan singkat dan seperlunya jika ada siswa yang

belum memahami masalah kontekstual yang diberikan.

4) Siswa mengerjakan atau menjawab masalah kontekstual yang diberikan

dengan cara sendiri atau secara kelompok.

5) Meminta seorang siswa atau wakil dari kelompok untuk

menyampaikan

hasil pemikirannya di depan kelas.

6) Meminta siswa yang lain untuk menanggapi tentang penyelesaian

masalah yang di sampaikan oleh temannya.

7) Mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan.

Menurut Suwarsono (dalam Masbied, 6 April 2015) terdapat beberapa

kelebihan dan kelemahan dari PMRI. Beberapa kelebihan PMRI antara lain

yaitu:

1) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas

kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan

sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.

2) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas

kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang

dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh

mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

3) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas

kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak

harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang

lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri,

asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau

masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian

yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara

penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan

tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.

4) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas

kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses

pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani

proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep

matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya

guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut,

pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.

Sedangkan beberapa kelemahan dalam penerapan pendekatan PMRI antara

lain sebagai berikut:

1) Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai

hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah

kontekstual, sedangkan perubahan itu merupakan syarat untuk dapat

diterapkannya PMR.

2) Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang

dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah

untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-

lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-

macam cara.

3) Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan

berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

4) Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat

melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip

matematika yang dipelajari.

METODE PENELITIAN

Penelitian tindakan ini dilakukan dua siklus. Menurut Kurt Lewin (dalam

Arikunto, 2010:131) model penelitian tindakan terdiri dari empat komponen

pokok yang juga menunjukan langkah, yaitu: 1) perencanaan (planning), 2)

tindakan (acting), 3) pengamatan (observing) dan 4) refleksi (reflecting).

Hubungan antara keempat komponen tersebut menunjukan sebuah siklus atau

kegiatan berulang. “Siklus” inilah yang sebetulnya menjadi salah satu ciri utama

dari penelitian tindakan, yaitu bahwa penelitian tindakan harus dilaksanakan

dalam bentuk siklus, bukan hanya satu kali intervensi saja.

Subjek penelitian tindakan ini adalah siswa kelas V SD Negeri 62

Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016. Teknik pengumpulan yang digunakan

dalam penelitian tindakan ini adalah observasi dan tes. Observasi dilaksanakan

selama proses pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan dengan cara

mengamati dan mancatat segala aktivitas yang dilakukan siswa dalam proses

belajar mengajar dengan pendekatan PMRI. Observasi dilakukan juga untuk

mengetahui aktivitas guru selama proses pembelajaran. Dalam kegiatan ini

peneliti dibantu oleh 2 orang observer untuk mengamati atau mencatat aktivitas

siswa dan guru selama pelaksanaan tindakan berlangsung. Lembar observasi

siswa dilakukan sebanyak 4 periode dalam setiap pertemuan. Dimana setiap

periode waktunya 15 menit.

Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan

untuk mengukur keteramplan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat

yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Arikunto, 2010:193). Tes yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah tes hasil belajar siswa, yaitu tes yang

digunakan untuk mengukur ketercapaian hasil belajar siswa setiap akhir siklus.

Langkah-langkah analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menentukan nilai rata-rata, persentase aktivitas siswa, dan keberhasilan pemberian

tindakan.

INDIKATOR KEBERHASILAN

Berdasarkan dari semua siklus yang telah dilakukan maka dapat dikatakan

berhasil apabila aktivitas dan hasil belajar siswa meningkat. Peningkatan yang

terjadi pada aktivitas belajar siswa, dapat dilihat dari hasil pengamatan secara

langsung dalam proses pembelajaran di kelas berdasarkan kriteria indikator

sebagai berikut: 1. Aktif dalam memperhatikan atau mendengarkan penjelasan

guru; 2. Siswa mampu menanggapi pendapat orang lain; 3. Mengajukan

pertanyaan; 4. Mengajukan pendapat; 5. Mencatat kesimpulan materi

pembelajaran selama proses pembelajaran berlangsung; 6. Siswa mampu

mengerjakan LKS dengan diskusi dalam kelompok; 7. Menggunakan alat atau

benda dalam memecahkan masalah pada LKS.

Sedangkan untuk hasil prestasi belajar siswa telah mencapai tingkat

keberhasilan apabila ketuntasan klasikal 80% dari jumlah siswa. Kriteria-

kriteria tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan dari keadaan sekolah yang

memiliki keterbatasan sarana yang kurang mendukung dalam proses pembelajaran

serta kemampuan siswa dalam berfikir masih tergolong lemah. Sehingga dalam

hal ini siklus dapat dihentikan apabila kriteria keberhasilan tersebut telah tercapai.

PEMBAHASAN

Dalam proses penelitian yang dilaksanakan di kelas V SD Negeri 62

Lubuklinggau ini peneliti menggunakan pendekatan PMRI dan dilaksanakan pada

materi sudut. Jumlah pertemuan yang dilakukan peneliti adalah sebanyak enam

kali pertemuan, dengan rincian pertemuan pertama dan kedua, pemberian tindakan

siklus pertama, pertemuan ketiga pelaksanaan tes siklus pertama, pertemuan

keempat dan kelima, pemberian tindakan siklus kedua, pertemuan keenam

pelaksanaan tes siklus kedua.

Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan Pendekatan PMRI

dilaksanakan di kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau dengan jumlah siswa

sebanyak 23 orang yang terdiri dari 10 orang laki-laki dan 13 orang perempuan.

Selama proses pembelajaran siswa dibagi menjadi 5 kelompok pada siklus

pertama dan 6 kelompok pada siklus kedua. Pembagian kelompok dilakukan

secara acak. Pengelompokkan seperti ini dapat memberikan kesempatan siswa

untuk saling mengenal dan saling berdiskusi. Siswa diharapkan membantu antar

anggota kelompoknya, berdiskusi, dan berargumentasi, saling berbagi

pengetahuan yang dimiliki serta saling mengisi kekurangan masing-masing

anggota kelompok dalam memahami materi yang diberikan.

Setelah peneliti melaksanakan pembelajaran yang diawali dengan masalah

kontestual, pembentukan skema (model of), membangun pengetahuan (model for),

pengetahuan formal. Masing-masing kelompok Lembar Kerja Siswa (LKS).

Setiap kelompok bertanggung jawab terhadap LKS yang diberikan. Dalam upaya

memahami dan menyelesaikan LKS yang telah diberikan, setiap anggota

disarankan untuk bekerja sama dan tidak hanya mengandalkan satu ornag teman

saja. Setelah waktu untuk diskusi dirasa sudah cukup, guru menunjuk salah satu

kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas. Kemudian siswa lain

menanggapi jika ada kesalahan atau hal-hal yang belum jelas tentang materi tersebut.

Hasil pengamatan aktivitas siswa pada siklus I menunjukkan kategori kurang

karena rata-rata persentase hasil pengamatan aktivitas siswa baru mencapai 50,31%.

Adapun rincian persentase untuk aspek memperhatikan penjelasan guru, mengerjakan

LKS dengan berdiskusi kelompok sebesar 100%. aktivitas menggunakan alat atau benda

dalam memecahkan masalah pada LKS sebesar 91,30%, aktivitas mengajukan

pertanyaan sebesar 28,26%, aktivitas mengajukan pendapat sebesar 13,04%, aktivitas

menanggapi pendapat orang lain sebesar 4,35% , aktivitas mencatat kesimpulan sebesar

15,22%. Jumlah siswa yang tuntas belajar sebanyak 7 orang ( 30,43% ).

Penilaian terhadap hasil belajar siswa bertujuan untuk mengetahui sejauh mana

telah mencapai sasaran belajar. Pada siklus I, rata-rata hasil belajar yg telah dicapai

sebesar 43,35 dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 0. Indikator keberhasilan

secara klasikal pada siklus I baru mencapai 30,43%. Dengan melihat hasil tes akhir siklus

I secara klasikal ternyata dari 23 siswa masih terdapat 16 siswa yang belum tuntas

sehingga perlu dilakukan tindakan perbaikan pada siklus kedua.

Selama proses pelaksanaan tindakan siklus pertama, ditemukan hal-hal sebagai

berikut:

a. Pembelajaran masih terlihat seperti pembelajaran kelompok biasa. Pada siklus satu

guru hanya menggunakan desain jam sebagai media.

b. Siswa masih banyak yang bingung cara menggunakan mistar busur derajat. Hal ini

diperkuat dengan kurangnya contoh cara menggunakan mistar busur derajat.

c. Siswa yang bertanya, mengajukan pendapat, dan menanggapi pendapat orang lain

masih sangat sedikit. Siswa bertanya, mengajukan pendapat adalah siswa dengan

orang yang sama. Waktu banyak terbuang karena terlalu lama memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pendapat.

d. Peneliti kurang detail dalam menjelaskan materi pada pokok bahasan membaca sudut.

Guru tidak menetapkan sudut yang akan dibaca pada jarum jam apakah sudut yang

lebih dari atau yang kurang dari .

e. Jumlah anggota kelompok terlalu banyak dan posisi meja kurang mendukung sehingga

sulit bagi siswa untuk berdiskusi.

Secara garis besar pelaksanaan siklus pertama berlangsung cukup baik dan

kondusif, tetapi kegiatan pada siklus pertama perlu diulang agar kemampuan siswa dalam

mempelajari materi pelajaran menggunakan pendekatan PMRI dapat ditingkatkan. Oleh

sebab itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan dalam melaksanakan tindakan

pembelajaran di kelas pada siklus kedua.

Pada siklus kedua, hasil pengamatan aktvitas siswa menunjukkan kategori cukup

baik karena rata-rata persentase hasil pengamatan siswa telah mencapai 67,70. Dengan

rincian aktivitas siswa untuk aspek memperhatikan penjelasan guru, mengerjakan LKS

dengan berdiskusi kelompok, dan menggunakan alat atau benda dalam memecahkan

masalah pada LKS sebesar 100%, aktivitas mengajukan pertanyaan sebesar 52,17%,

aktivitas mengajukan pendapat sebesar 56,52%, aktivitas menanggapi pendapat orang lain

sebesar 19,57%, aktivitas mencatat kesimpulan sebesar 45.65%.

Dengan melihat hasil tes akhir siklus II secara individu, siswa yang kurang aktif

dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar sudah berkurang dibandingakan siklus I. Data

hasil tes siklus II menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa mencapai 86,13

dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 55. Indikator keberhasilan secara klasikal

pada siklus II mencapai 82,61%. Hal ini berarti terdapat peningkatan jumlah siswa yang

tuntas belajar sebanyak 12 orang (52,17%). Peningkatan rata-rata hasil belajar dari siklus

pertama ke siklus kedua sebesar 98,69%. Sedangkan peningkatan hasil belajar setelah

diberi tindakan sebesar 172,24%. Berdasarkan hasil tersebut, indikator keberhasilan yang

dirumuskan sudah tercapai.

Tabel 11

Distribusi Frekuensi Hasil Belajar Setelah Diberi Tindakan

Rentang

Nilai

Tes

Keterangan Pra Siklus Siklus 1 Siklus 2

F Persentase F Persentase F Persentase

0 – 64 21 91,30% 16 69,57% 4 17,39 % Meningkat

65 - 100 2 8,70% 7 30,43% 19 82,61% Meningkat

Selama proses pelaksanaan tindakan siklus kedua, ditemukan hal-hal sebagai

berikut:

a. Penampilan siswa dalam menyajikan materi pelajaran di depan kelas sebagai wakil

dari kelompok sudah percaya diri, tidak malu-malu dengan kawan-kawannya. Hal ini

karena siswa sudah terbiasa tampil di depan kelas.

b. Keberanian siswa dalam mengeluarkan pendapat semakin tampak.

c. Pembelajaran matematika juga terlihat lebih realistik karena selain di dalam

kelas kegiatan pembelajaran juga dilakukan di luar kelas. Kegiatan di luar kelas

siswa mengukur langsung benda yang memiliki sudut dengan busur.

d. Media yang digunakan lebih realistik. Media tersebut salah satunya adalah jam

dinding. Hal ini dimaksudkan agar siswa mengetahui bahwa sudut yang

dibentuk oleh jarum jam tidak selalu tepat berada pada angka jika tidak berada

tepak pada angka maka siswa harus menggunakan busur derajat untuk

membaca sudut yang dibentuk oleh jarum jam tersebut. Secara garis besar pelaksanaan siklus kedua sudah baik karena indikator yang

diharapkan sudah tercapai. Pada siklus kedua siswa sudah terbiasa dengan pembelajaran

yang dilaksanakan, sehingga ketertarikan siswa dengan pembelajaran ini meningkat.

Dengan demikian penerapan pendekatan PMRI dapat meningkatkan pemahaman siswa

kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau pada materi sudut.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dari siklus pertama sampai siklus kedua maka

dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan PMRI di kelas V SD Negeri 62

Lubuklinggau dapat meningkatkan kemampuan siswa memahami materi

Pengukuran sudut (membaca sudut, menggambar sudut, dan mengukur sudut).

1. Hasil Belajar Siswa

Ketuntasan belajar siswa secara klasikal pada siklus I sebesar 30,43%

dengan nilai rata-rata sebesar 43,35 dan pada siklus II sebesar 82,61% dengan

nilai rata-rata sebesar 86,13. Peningkatan hasil belajar siswa setelah diberi

tindakan sebesar 172,24%

2. Aktivitas Belajar

Berdasarkan hasil observasi aktivitas belajar siswa terdapat peningkatan.

Hal ini dapat dilihat dari rata-rata aktivitas siswa dalam pembelajaran

matematika dengan menerapkan pendekatan PMRI pada siklus pertama sebesar

50,31% dengan kategori kurang sekali sedangkan pada siklus kedua sebesar

67,70% dengan kategori cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta.

Armanto, Dian. 2008. Matematika Adalah Jembatan untuk Kehidupan yang Lebih

Baik. Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIV.

Julie, Hongki. 2008. Matematika adalah Jembatan untuk Kehidupan yang Lebih

Baik. Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIV.

Masbied. 2010. Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik Setting

Kooperatif Materi Aritmetika Sosial Pada Siswa Kelas VII SMP. [online]

http://www.duniapelajar.com/2010/03/20/implementasipembelajaranmatem

atika-realistik-setting-kooperatif-materi-aritmetika-sosial-pada-siswa kelas-

vii-smp/ [6 April 2015].

Purwanto, Ngalim. 2010. Prinsip-prinsip dan teknik evaluasi pengajaran.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Soedjadi, R. 2007. Dasar-dasar Penddidikan Matematika Realistik Indonesia,

Jurnal Pendidikan Matematika. Vol I (2), 9-10.

Suherman, Eman. dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.

Bandung.

Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik. Yogyakarta: Graha Ilmu

Zani, M. Yusri. 2008. Matematika adalah Jembatan untuk Kehidupan yang Lebih

Baik. Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIV.

75


Recommended