Date post: | 31-Mar-2016 |
Category: |
Documents |
Upload: | photo-district-jakarta-pd-jkt |
View: | 219 times |
Download: | 2 times |
January 29, 2010
PICTURE POST
February 2010
STASIUN KOTA Street Walk Jakarta
IYOK THE GRAVEDIGGER by Rony Zakaria
TIBET TRAVEL PHOTOGRAPHY by Benny Asrul
PHO
TO D
IST
RIC
T JA
KA
RTA
Cover photo: Mathias Japri
HANYA SATU RUSA YANG DIBURU… by Manik Narendro Jati
This is a
picture
magazine.
It’s a nice
try of it.
Maybe even
not so nice. Maybe just a rough
idea of what a picture magazine
could look like.
I’m a photo editor, not a graphic
designer, nor a Quarkexpress or
Indesign magician, nor a writer
or a layouter or anything else.
And all and a lot more would be
needed to make this a real
magazine.
But that’s the idea - to get some
people interested and to get
their support.
Hey, you! Interested to use your
talents and skills to publish such
a magazine?
Then get in touch with us, let’s
discuss and
LET’S DO IT!
Yes, we will get rich with this.
Just not now and soon. First let’s
get famous, ‘coz then you’ll get
more.
So please let me know, what you
think about this idea. Comments
are more than welcome - in
Bahasa no problem as well!
Hope to hear from you soon.
All the best and keep on
shooting!
Thomas Apitzsch
Photo Editor PD-JKT
email: [email protected]
Stasiun Jakarta Kota
© Mathias Japri
Street Walk Jakarta
Jakarta Kota Station (Indonesian: Stasiun Jakarta Kota) is a train station at the west of Jakarta, Indonesia.
The station was appointed as a historical and cultural landmark in 1993.
The station was first named as the Batavia Zuid (or South Batavia), the name of which was used until at
the end of the 19th century. The station was also popularly known as the BEOS station as an abbreviation
from the Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij or the East Batavia's Train Transportation Company.
© Mathias Japri
© Arie Puncs © Manik Jati
© Wirman Haslim
© Denny Ardhia
© Khanif Nudiyanto
© Mathias Japri
© Mathias Japri
© Mathias Japri
Mathias Japri
Mathias Japri
Mathias Japri
Mathias Japri
HANYA SATU RUSA YANG DIBURU…by Manik N. Jati
“Hunting di Stasiun Jakarta Kota benar-benar exciting. Arsitekturnya mantap dan orangnya macem-macem”.
Kalimat ini terucap dari salah seorang sahabat saya saat kita menunggu kereta api listrik jurusan Pasar Baru suatu ketika. Wajah sumringah dengan kamera analognya yang sudah dikokang dan siap untuk membidik, menunjukkan bahwa memang space ini merupakan surga baginya, sebagai photographer jalanan. Kemudian dia bersama enam teman kami lainnya-yang bermazhab serupa-menghabiskan 15 menit kedepan dengan menjepret moment-moment sesuai dengan intens masing-masing sembari menunggu kereta datang.
Stasiun Jakarta Kota bukan merupakan satu-satunya tempat favorit komunitas kecil ini. Pasar tradisional, pelabuhan, terminal bus, gang-gang senggol seputaran ibukota, aktivitas dalam metromini hingga objek yang sering kali dianggap remeh oleh orang lain adalah
komoditi tepat untuk mengintroduksikan ide-ide mereka. Batasan tematik tidak pernah mengekang objek-objek jepretan mereka saat mereka ber-flanuering.
Moment
“Subjek yang memotret adalah aku yang sadar akan sesuatu” (kutipan filsuf terkenal Jean-Paul Sartre)
Dengan kesadaran masing-masing dan latar belakang pemikiran yang berbeda mereka memulai perburuan ʻdecisive momentʼ versi masing-masing. Sangat menggairahkan bagi saya mengikuti perburuan ini. Tapi ada yang lebih menarik ketimbang memperhatikan kegiatan menjepret itu, yaitu-tak ada satupun dari mereka yang menggunakan kamera digital, alias semua menggunakan kamera analog dengan amunisi roll negatif film yang terbatas. Bukan karena mereka tidak mahir dalam menggunakan kamera digital, melainkan lebih karena pilihan. Bahkan beberapa
!
Manik N.Jati
diantara mereka memulai senang menjepret menggunakan kamera digital dan sekarang digitalnya tersimpan rapi dalam kardus selama lebih dari setengah tahun.
“Dalam setiap kegemaran, apapun, beragam aliran pasti akan muncul seiring berkembangnya ide. Biar kata orang old fashion, become analog adalah pilihan kami”, kata salah seorang diantaranya. Wah, di jaman digitalisasi ini masih ada juga yang susah-susah cuciin roll film? pikir saya.
Analog-Street Photographer
Mungkin mereka hanya sekumpulan kecil pencinta kamera analog, namun yang lebih saya tertarik adalah aktifitas perburuan mereka yang menurut saya masuk dalam kategori ʻstreet photographyʼ. Praktik yang lazim di sebut sebagai potografi jalanan dikalangan jurnalis ini, mengingatkan kita pada seorang wartawan foto terkenal, Henri Cartier-Bresson, yang termasyur karena kesempurnaan dan keakurasian menangkap moment.Ketika kemajuan teknologi kamera berkembang sedemikian hebatnya dan saat dunia industri potografi modern telah
melahirkan gurita konsumerisme, sekelompok anak muda ini tetap setia pada nikmatnya memasang roll film, mengokangnya, mengintip lubang bidik, mengatur ritme dan merasakan getaran shutter saat pirantinya menangkap cahaya. Mereka tidak beralih pada kecanggihan digitalisasi yang dapat mengklik sekenanya ribuan momen dan dengan mudahnya menghapus saat tidak sesuai dengan keinginan.Hidup di jamanya pak Bresson pasti tidak sempat menikmati era digitalisasi. Era saat dimana dalam space 10 meter kita
bisa menangkap puluhan, bahkan ratusan moment dan dalam 5 menit kemudian kita bisa menyeleksi serta mengeleminasi menjadi sebuah moment yang benar-banar kita cari. Pada fase ini, minat orang hanya diarahkan pada kepemilikan peranti kamera yang canggih tanpa menyadari kebutuhan yang semestinya. Pun tidak jarang kepemilikan peranti fotografinya melebihi
kemampuan memotretnya. Fase dimana memotret hanya sekadar untuk bergaya dan merekam momen seadanya. Dengan keyakinan bahwa foto adalah bukti rekaman tentang kebenaran realitas dan fenomena yang tak terbantahkan, teman-teman saya ini menjalani aliran street potografi, aliran yang menghalalkan kebebasan perburuan ribuan moment tapi dijalani dengan piranti manual serta amunisi terbatas. Seperti seekor singa yang mengacuhkan puluhan rusa lainnya, tapi tidak buruannya…(Manik Narendro Jati, seorang pemula dalam potografi)…begitukah teman-teman?
!
Manik N.Jati
A native of Karawang, Sugih bin Jaiman, 57, is known by his colleagues as ʻPak Iyokʼ.He came to Jakarta in 1993 and works as a grave digger at the Kampung Kandang cemetery. Now he and his three sons are
Taking Care of the Forgotten Iyok the Grave Digger
Photography by Rony Zakaria
© Rony Zakaria
See the whole story as a slideshow with audio by Okky Ardya W. onPD-JKT.com.
“Traveling in black and white” - the not so common photographs of Benny Asrul
Traveling is a hobby for many people nowadays. Going far and beyond is not any more the privilege of the rich or Buzz Lightyear. And of course taking pictures while sight seeing is a must and very convenient with a modern point and shoot camera. Benny Asrul, an Indonesian, takes another approach to it, his pictures are often black and white. He uses different camera formats and still goes even the analogue way to get his message across:
“We have the options and freedom to take whatever we like, but travel photographs are always about telling a story. A story about the place, the people, the scenery, etc.”
His pictures are not just made for the record of the travel, “Look, I’ve been here and here”. Benny is trying to narrate about his experience and shares the moments and impressions with the readers:
“Travel photograph is about sharing, to let our viewer feel the environment, to feel the weather, to enjoy the scenery or even to let them travel with us on the picture.”
© Benny Asrul
Photo District Jakartawww.pd-jkt.comfacebook.com/pdjkttwitter.com/pdjkt
Arie PuncsBenny Asrul
Denny ArdhiaKhanif Nudiyanto
Manik JatiMathias JapriRony Zakaria
Wirman Haslim