113
PROBLEMATIKA KETERSEDIAAN AIR BAKU DALAM UPAYA
PENCAPAIAN TARGET SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS
DI INDONESIA: STUDI KASUS DAERAH ALIRAN SUNGAI
BATANGHARI WILAYAH SUMATERA BARAT
Arief Setiawan, S.IP. MPS.1, Hesti Nurina Paramita, S.T. M.Sc.2
Abstract
The damage of the Batanghari River Basin (DAS) in West Sumatra has caused the
raw water supply in the area to be disrupted. Those damages could have implications for
Indonesia's achievements in sustainable development goals (SDGs). Such conditions can
also disrupt to the achievement of SDGs globally. This happens because the SDGs are
designed in such a way as to adapt the concept of earth system in which each smallest
unit in human life can have global implications. In this case, the Government of Indonesia
carried out a series of efforts so that the raw water supply from the Batanghari River did
not decrease in its debit. Various measures and strategies, both in the form of regulations
and development planning, have been prepared in such a way and are considered to be
in line with SDGs targets. This article is a collaborative work of two authors with a much
different scientific background. This shows that the study of contemporary international
relations has a high flexibility in responding global phenomena(s).
Keywords: Earth System, Sustainable Development Goals, river basin, raw water
1 Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Brawijaya Malang. Email: [email protected] 2 Pegawai Balai Wilayah Sungai Sumatera V Direktorat Jenderal Bina Sumber Daya Air
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. Email: [email protected]
114
Pendahuluan
Sungai Batanghari merupakan salah satu sungai penting di Indonesia yang
membelah Pulau Sumatera. Daerah aliran sungai (DAS) ini merupakan yang terbesar
kedua di Indonesia dengan luas 46.504 km², meliputi Provinsi Sumatera Barat dan
sebagian besar Provinsi Jambi (lihat tabel 1) (Balai Wilayah Sungai Sumatera VI, 2016:
5). Dengan kondisi DAS yang cukup luas, Sungai Batanghari memunyai peran strategis
bagi masyarakat sekitarnya, terutama dalam pemenuhan air bersih untuk konsumsi dan
sanitasi. Kondisi ini menyebabkan Sungai Batanghari senantiasa menjadi sorotan karena
fungsi vitalnya bagi pemenuhan kebutuhan air masyarakat sekitar DAS.
Tabel 1. Luas Daerah Aliran Sungai Dalam Wilayah Sungai Batanghari
Kabupaten / Kota
Luas Area (km²)
DAS
Batanghari
DAS
Air
Hitam
Total Wilayah
Sungai
dalam
(km²)
dalam
Persen
A. Provinsi Jambi
1 Kota Jambi 166 166 0,36%
2 Kab. Sarolangun 5.902 5.902 12,69%
3 Kab. Batanghari 4.685 4.685 10,07%
4 Kab. Muaro Jambi 2.326 1.150 3.476 7,48%
5 Kab. Bungo 4.673 4.673 10,05%
6 Kab. Tebo 6.387 6.387 13,73%
7 Kab. Merangin 6.536 6.536 14,05%
8 Kab. Kerinci 2.601 2.601 5,59%
9 Kab. Tanjung Jabung Timur 2.516 799 3.315 7,13%
10 Kota Sungai Penuh 153 153 0,33%
B. Provinsi Sumatera Barat
11 Kab. Solok 1.165 1.165 2,50%
12 Kab. Solok Selatan 3.589 3.589 7,72%
13 Kab. Dharmasraya 3.067 3.067 6,60%
14 Kab. Sijunjung 790 790 1,70%
115
TOTAL 44.556 1.949 46.504 100%
Sumber : Balai Wilayah Sungai Sumatera VI, 2016
Tabel di atas menunjukan, DAS Batanghari di Provinsi Sumatera Barat hanya
sebagian kecil saja. Namun, meski kecil, posisinya menjadikan wilayah ini sangat
strategis karena sumber mata air Sungai Batanghari berada di Pegunungan Bukit Barisan
(Sumatera Barat). Akibatnya, DAS Batanghari di wilayah Sumatera Barat senantiasa
menjadi sorotan publik karena kualitas dan kuantitas air ditentukan di lokasi ini.
Kerusakan di hulu sungai dapat menyebabkan turunnya kualitas dan kuantitas air sungai
sehingga hal tersebut berpotensi mengganggu pasokan bahan air baku untuk keseluruhan.
Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) Tahun 2015-2019
disebutkan, ada lima DAS yang mengalami kerusakan parah disamping sepuluh DAS
lainnya yang masuk dalam prioritas pemulihan secara nasional (Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2015:
5-5). Dalam hal ini, DAS Batanghari menjadi salah satu dari 10 DAS yang masuk dalam
prioritas pemulihan nasional. Pemulihan ini penting karena menjadi penyedia bahan air
baku permukaan untuk wilayah sekitar DAS dan saat ini mengalami penurunan kualitas.
Penurunan kualitas air sungai ini diduga akibat pembuangan limbah industri yang berada
di sepanjang Sungai Batanghari. Selain itu, juga diduga akibat aktivitas pertanian dan
kegiatan domestik (Vigil, Kenneth M., 2003: 111-112). Watershed hulu Sungai
Batanghari menunjukan fenomena seperti paparan di atas. Hutan hujan tropis beralih
fungsi seluas 826.269 Ha dalam selama 1997-2002 (Wibowo, Arief, n/d: 38-39).
“Secara umum kualitas air pada Wilayah Sungai Batanghari relatif masih cukup
baik, namun demikian pertumbuhan berbagai hal dapat menjadi penyebab
menurunnya kualitas air di sebagian sungai dan danau yang menjadi sumber air
bersih. Pada sungai penurunan kualitas air disebabkan oleh meningkatnya
limbah yang dibuang ke sungai, hal ini dapat dipicu oleh meningkatnya industri
maupun rendahnya kesadaran masyarakat yang membuang limbah rumah
tangganya ke sungai-sungai/saluran drainase lingkungan. Selain itu, penurunan
kualitas air sungai juga disebabkan oleh tidak terkontrolnya penggunaan pupuk
kimia pada lahan pertanian dimana hal ini terakumulasi dalam proses drainase
lahan ke sungai-sungai (hal. 38-39).”
116
Tabel 2. Peta Lahan Kritis Wilayah Sungai Batanghari
Sumber: Balai Wilayah Sungai Sumatera VI, 2016: 199
Persoalan penurunan kualitas dan kuantitas air sungai Batanghari ini bisa menjadi
gambaran kondisi DAS di Indonesia pada umumnya. Ledakan jumlah penduduk dan
eksploitasi sumber daya air menjadi keniscayaan. Desakan demografi dan eksploitasi
sumber daya alam yang massif menyebabkan kuantitas dan kualitas air baku di Indonesia
mengalami regresi cukup serius (Samoen, 2018). Berdasarkan data Direktorat Jenderal
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup,
dari 100 aliran sungai di 33 provinsi selama 2013-2015, 52 sungai di antaranya berstatus
cemar berat. Selain itu, 20 sungai berstatus cemar sedang hingga cemar berat. Sebanyak
tujuh sungai berstatus cemar ringan hingga berat. Sedangkan 21 sungai lainnya berstatus
memenuhi baku mutu hingga tercemar ringan (Gerintya, Scholastica, 2018).
Persoalan ketersediaan air baku memang menjadi persoalan pelik di Indonesia.
Jangankan pinggiran Indonesia, ibukota negara saja juga mengalami problem serupa. Air
bersih yang tersedia di Jakarta ternyata tak bisa dirasakan oleh seluruh warga Jakarta.
Akses pipa yang tak merata dan volume air baku sangat kurang menyebabkan krisis air
117
bersih sangat mudah terjadi di ibukota negara (Ningrum, Desi Aditia, 2017). Hal ini
tergambar dari rumah tangga yang mendapatkan layanan air bersih hingga Maret 2017.
Ternyata, hanya 60% rumah tangga saja yang mendapatkan pasokan air bersih di Jakarta
(Octaviyani, Putri Rosmalia, 2017).
Status sebagai ibukota negara ternyata tak simetris dengan kemudahaan akses
memperoleh air bersih bagi warganya. Jakarta yang cukup tragis menjadi tanda bahwa
wilayah Indonesia lainnya yang jaraknya lebih jauh dari ibukota negara berpotensi
mengalami kejadian serupa, bahkan lebih buruk lagi. Berdasarkan hasil penelitian
Universitas Brawijaya dan The Pristine Institute Indonesia, kawasan timur Indonesia
mengalami problem serius dalam hal ketersediaan air bersih dan sanitasi (Trisnanto,
Anggun, 2018: 10-25). Salah satu temuan dalam penelitian yang dilakukan pada 2017 di
Kabupaten Biak Numfor (Papua), Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur), dan
Sikka (Nusa Tenggara Timur) ini menyatakan, ketersediaan air bersih menjadi salah satu
problem besar dalam program perbaikan sanitasi dalam masyarakat (hal. 10-25). Tak
hanya di wilayah timur, fenomena sama juga terjadi di kawasan barat Indonesia (Oxfam
Aceh, 2008).
Kerusakan pada DAS dan ketersediaan air bersih yang kurang memadai ternyata
kontras dengan kondisi perekonomian dan sumber daya air di Indonesia. Indonesia
merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan salah satu yang
perekonomian paling berkembang pesat (The World Bank, 2018). Indonesia juga kaya
dengan sumber daya air tawar dalam bentuk sungai. Karena itu, Pemerintah Indonesia
membagi sungai-sungai tersebut dalam 128 daerah aliran sungai (DAS) (Hatmoko, et al,
2015). Disamping itu, menurut data Asian Development Bank atau ADB (2016: 3), juga
memunyai lebih dari 5.700 sungai dengan ragam bentuk pemanfaatan debit airnya,
seperti: bendungan, bendung, dan kanal.
Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia mengalami kenaikan pesat
sejak 20 tahun terakhir. Perkembangan perekonomian yang cukup baik tersebut ternyata
tak selaras dengan sektor ketersediaan air bersih untuk konsumsi dan sanitasi. Kontradiksi
ini tampak dari adanya 20 juta penduduk Indonesia memunyai masalah besar terkait air
bersih. Selain itu, terdapat 51 juta penduduk tidak punya akses terhadap fasilitas sanitasi
yang baik (water.org, n.d.).
118
“Indonesia´s short-term economic prospects are positive, with real GDP growth
expected to remain at about 5% in 2018 and 2019, mainly driven by domestic
demand. Private consumption is robust due to lower credit cost, increasing
employment and an expansion of social welfare. Investment growth is driven by
infrastructure improvement (construction of new roads, ports and power
stations).” (APAC, 2018).
Kondisi demikian merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia di tengah upaya
pencapaian target agenda 2030 masyarakat dunia yang tertuang dalam program
sustainable development goals (SDGs). Dalam skala tertentu, apa yang terjadi di DAS
Batanghari akan berpengaruh pada capaian Indonesia terhadap target nomor 6 SDGs,
bahkan bisa berdampak global. Dampak global tersebut, minimal, berupa tidak
tercapainya target SDGs secara keseluruhan atau memperparah trend global yang mana
ketersediaan air bersih selama 25 tahun mengalami penurunan sebesar 26,1% per kapita
(Ripple WJ, Wolf C, Newsome TM, et al., 2017: 1027). Disamping itu, juga bisa
menyebabkan terjadinya krisis air bersih di daerah sekitar DAS Batanghari yang curah
hujannya rendah. Hal ini terjadi karena target-target SDGs dirancang secara eksplisit
untuk mengatasi perubahan global dalam kerangka “earth system” (Steffen, Will, et al.,
2005: 7; Norichika Kanie, Ruben Zondervan, Casey Stevens, 2016: 5). Kondisi demikian
menyebabkan program SDGs dinilai selaras dengan upaya menjaga bumi dalam
minimalisasi dampak dari aktivitas menusia (Monkelbaan, Joachim, 2018: 9).
Pada segi lain, ketersediaan air bersih bertemali erat dengan upaya pelaksanaan
tanggung jawab negara terhadap hak asasi manusia (HAM). Negara dalam konteks HAM
memunyai tanggung jawab untuk melindungi, menghormati, memenuhi, dan
menegakannya. Berdasarkan artikel nomor 6 dan 12 Merida Declaration (OHCHR,
2015), SDGs merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya pemenuhan tanggung jawab
negara terhadap HAM. Terkait air bersih, pemenuhannya merupakan tanggung jawab
negara. Negara dalam hal ini bertanggungjawab untuk memastikan ketersediaan air bersih
bagi warganya sebagaimana termaktub dalam kovenan hak ekonomi, sosial, dan budaya
yang ditegaskan kembali dalam komentar umumnya (OHCHR, 2015). “(General
Comment of ICESPR) They set out the minimum essential level of water necessary for
meeting the core obligations – that is, water for basic needs – as well as setting standards
119
for safety and cleanliness of water and ensuring equal access, both physical and
economic” (Cahill-Ripley, A, 2011: 21).
Kerangka Pemikiran
Pasca selesainya agenda global Millenium Development Goals (MDGs) (United
Nations, 2000) pada 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan program
lanjutan. Program yang secara prinsip memunyai kemiripan dengan MDGs, tapi lebih
komprehensif (khusunya untuk isu berdimensi lingkungan), ambisius, universal (semua
negara anggota PBB berkomitmen mencapai target), dan integratif atau ada
keterhubungan pada tiap target (ICLEI, 2015: 1-4). Melalui Resolusi Majelis Umum PBB
70/1 tertanggal 25 September 2015, program yang dinamakan SDGs (United Nations,
n.d.) menjadi agenda global baru bagi masyarakat dunia. Agenda yang menitikberatkan
pada upaya penciptaan dunia yang lebih baik dan berkeadilan.
“This Agenda is a plan of action for people, planet and prosperity. It also seeks
to strengthen universal peace in larger freedom. We recognize that eradicating
poverty in all its forms and dimensions, including extreme poverty, is the
greatest global challenge and an indispensable requirement for sustainable
development” (United Nations, 2015).
Program SDGs bertemali erat dengan adanya perubahan global yang memunyai
dimensi sangat luas. Hal ini terjadi karena perubahan global tersebut berdampak pada
semua aspek kehidupan manusia beserta lingkungan yang melingkupinya akibat aktivitas
manusia (Brook, B.W., 2013: 396). Para ahli geologi-antropologi menyebut fenomena ini
sebagai era ‘antropocene’ (Powell, Robin dan Setiawan, Agus, 2012). Dari berbagai
penjelasan tersebut, konsepsi perubahan global di atas dapat menjadi rujukan dalam
menempuh berbagai upaya melindungi kehidupan. Karena itu, konsep perubahan global
ini dapat menjadi landasan pentingnya ada usaha bersama warga planet bumi untuk
kepentingan keberlanjutan pembangunan melalui SDGs.
Dalam SDGs terdapat 17 target yang harus dicapai pada 2030. Salah satu target
tersebut, yakni ketersediaan dan keberlanjutan manajemen air dan sanitasi untuk semua
((United Nations, 2015: 20-21). Ketersediaan air bersih, kelestarian lingkungan di sekitar
daerah aliran sungai (DAS) dan sumber air lainnya, serta sanitasi yang baik menjadi
contoh dari penjabaran target tersebut (hal. 20-21). Oleh karena itu, target ini menyasar
120
pada pengelolaan air baku (baik permukaan maupun dalam tanah) agar tetap terjaga
kualitas dan kuantitasnya. Tata kelola air baku menjadi bagian integral dari target besar
masyarakat global, termasuk Indonesia. Sebagai bagian dari masyarakat global dan
anggota PBB, Indonesian pun melakukan serangkaian upaya agar dapat memenuhi target
yang telah dicanangkan bersama tersebut.
Kompleksitas masalah terkait ketersediaan dan pengelolaan air baku perlu
mendapatkan perhatian bersama. Tak hanya Indonesia, juga masyarakat dunia karena
ketersediaan air baku untuk konsumsi dan sanitasi menjadi kebutuhan dasar karena
keberadaanya terkait dengan keamanan manusia (Sandler, Todd, 2004: 17-20). Dalam
MDGs, ketersediaan air bersih dan sanitasi yang baik menjadi komitmen global dan
diimplementasikan dalam pada target 7C (United Nations, n.d.). Rencana aksi global
dalam program Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan
Berkesinambungan (TPB) ini merupakan target bersama masyarakat dunia untuk
penghidupan lebih baik dengan menyediakan tools yang memunyai dampak terbesar
terhadap perilaku pemerintah, organisasi internasional, dan aktor-aktor non-pemerintah
(Biermann, Frank, et al., 2017: 75). Isu ketersediaan air bersih dan sanitasi menjadi
perhatian tersendiri dalam program global ini dan tertuang dalam tujuan 6 SDGs, “Ensure
Access to water and sanitation for all” (United Nations, n.d.).
“The new ladder for global monitoring of sanitation also incorporatesa higher
level of service that takes into account the disposal and treatment of human waste.
In 2015, 2.9 billion people used a “safely managed” sanitation service, defined
as a basic facility that safely disposes of human waste. Another 2.1 billion people
used a “basic” service—an improved facility that is not shared. And 600 million
people used a “limited” service—an improved facility shared with other
households” (United Nations, 2017: 30)
Dalam konteks Indonesia, resolusi tersebut kemudian diadaptasi dalam hukum
nasional melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 Tentang
Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Adaptasi tersebut
merupakan bagian dari compliance Indonesia sebagai negara anggota terhadap Resolusi
Majelis Umum PBB PBB dan pengimplementasian asas pacta sunt servada dalam hukum
internasional. Juga menjadi instrumen guna membangun reputasi baik dalam konstelasi
dan kontestasi politik internasional yang mana hal ini ditegaskan dalam bagian
121
“Menimbang” Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 Tentang
Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Di sisi lain, sebagai bagian
tak terpisahkan dari agenda HAM, norma kepatuhan dalam kerangka monitoring dan
evaluasi capaian target juga harus dipenuhi. Dalam ini, norma kepatuhannya dapat
dianalogikan dalam kerangka hukum HAM, yaitu: ratifikasi, pelaporan secara periodik,
terkodifikasi dalam hukum nasional, dan perilaku konsisten dalam tataran domestik
(Schmitz, Hans Peter dan Sikkink, Kathryn, 2002: 529). Kepatuhan Indonesia dalam
mengakomodasi Resolusi Majelis Umum PBB tersebut merupakan bentuk dari iktikad
baik mengingat tak ada kewajiban untuk melaksanakannya. Disamping itu, RPJMN
2015-2019 juga menghendaki adanya akses universal terhadap air minum yang aman
dengan memenuhi unsur: kuantitas, kualitas, kontinuitas, dan keterjangkauan (Nuryetty,
Mariet Tetty, et al., 2016: v).
“...the Sustainable Development Goals will depend critically on how thousands of
agents already engaged in governing human affairs—ranging from local councils
and national governments to international organizations such as the World Bank,
the International Monetary Fund, and the World Trade Organization - respond
within their respective domains” (Underdal, Arild dan Kim, Rakhyun E., n.d.:
242).
Oleh karena itu, ketersediaan air baku untuk kebutuhan konsumsi secara legal-
formal sudah mendapatkan tempat semestinya dari Pemerintah Indonesia sehingga tahap
implementasi menjadi sangat penting untuk mendapat perhatian serius (Yekti, Mawiti
Infanteri, 2017: 14; Lihat, Perpres No. 59/2017). Selain itu, RPJMN 2015-2019 dan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 juga menegaskan posisi
ketersediaan air baku dalam kerangka ketahanan (pangan) nasional dan target SDGs
secara keseluruhan. Kerangka tersebut memunyai sasaran terpenuhinya kebutuhan air
baku untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, perkotaan, dan industri.
Pembangunan Infrastruktur dan Pengembangan Air Baku Berkelanjutan
Pembangunan infrastruktur untuk mendukung ketersediaan air baku dalam
konteks regulasi memunyai posisi sangat kuat. Posisi ini akan menjadi sia-sia apabila
pada level operasional hanya mendapatkan porsi kecil dibandingkan pembangunan
infrastruktur lainnya. Operasionalisasi tersebut erat dengan proses perencanaan, baik dari
122
sisi anggaran maupun sasaran dan waktu pelaksanaan. Indikator adanya peningkatan
kapasitas prasarana air baku untuk melayani rumah tangga, perkotaan, dan industri
sebesar 51,44 m3/det menjadi 118,6 m3/det menjadi pedoman dalam implementasinya
(Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2015: 5-5). Di samping itu, pemerintah juga menargetkan terpenuhinya target
SDGs terkait pemenuhan kebutuhan air baku pada 2019 (Hidayah, Bambang, 2016: 5).
Untuk mencapai sasaran di atas, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memunyai kebijakan dan strategi khusus (Pusat
Air Tanah dan Air Baku, 2018: 5-7). Kebijakan dan strategi tersebut ditujukan agar
kuantitas dan kualitas air baku untuk kebutuhan sehari-hari tetap terjaga. Kebijakan dan
strategi tersebut, yaitu: “a) Pembangunan saluran pembawa air baku; b) Penyediaan
sumber air keperluan rumah tangga yang tidak tersambung SPAM konvensional; c) Eco-
Sustainable Water Infrastructure/ESWIN; d) Mempermudah dan memberikan insentif
jaringan distribusi dan sambungan air skala rumah tangga yang belum layak secara
finansial; e) Mengembangkan sistem penyediaan air baku yang bersifat regional yang
juga didukung dengan memanfaatkan inter basin transfer; f) Pengendalian pencemaran
air ke sumber-sumber air, dan mendorong penerapan insentif kebijakan tarif air terkait
pengelolaan limbah cair rumah tangga; g) Menerapkan prinsip efisiensi pemanfaatan air
melalui prinsip reduce, reuse, dan recycle, termasuk insentif penghematan air misalnya
melalui produksi dan penggunaan peralatan rumah tangga hemat air; serta h) Mendorong
peran serta masyarakat dalam menjaga kualitas air dan operasi pemeliharaan jaringan
distribusi air serta mendorong partisipasi swasta dalam pembiayaan pembangunan
prasarana air baku” (hal. 5).
Strategi yang dibangun Pemerintah Indonesia selayaknya dapat berjalan lancar
dengan melihat potensi sumber daya airnya. Potensi sumber air Indonesia sangat besar,
yaitu 3.9 triliun m3, tapi pemanfaatannya hanya mencapai ± 13,8 milyar m3 atau ± 58 m3
perkapita yang dapat dikelola melalui reservoir. Angka ini jauh lebih rendah dari Thailand
1.277 m3 per kapita dan satu tingkat di atas Ethiopia (38 m3/Kapita) (Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2015). Potensi ini cukup besar dan bisa
dimanfaatkan optimal jika didukung tata kelola yang memadai. Gambaran angka tersebut
bisa menjadi pedoman implementasi strategi, termasuk penerapan skala prioritas
pembangunan infrastruktur. “Managing water resources certainly requires knowledge of
123
the relevant physical sciences and technology. But at least as important, if not more so,
are the multiple institutional, social and political issues confronting water resources
planners and managers” (Loucks, D. P. dan van Beek, E., 2005: 4)
Pembangunan infrastruktur secara massif akhir-akhir ini menjadi potensi sangat
baik untuk pengembangan air baku di Indonesia. RPJMN Tahun 2015-2019,
pembangunan infrastruktur air baku untuk ketahanan air menjadi isu penting dalam
dokumen tersebut (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014: 6-154). Dalam hal ini, pengembangan bukan
hanya berarti pembangunan hal baru saja, juga termasuk perbaikan sarana yang sudah ada
tapi tak optimal. Meski sangat dibutuhkan, pengembangan air baku dalam konteks
pembangunan infrastruktur tetap berpijak pada prosedur atau kaidah umum yang berlaku.
Prosesnya harus tetap sesuai tahapan semestinya, yaitu: analisis kebutuhan, analisis
ketersediaan, perencanaan, pelaksanaan (pembangunan), dan pengelolaan penyediaan
dan pemanfaatan air baku dengan mengutamakan sumber air permukaan (Pusat Air Tanah
dan Air Baku, n.d.).
Pembangunan infrastruktur air baku dalam berbagai ukuran membutuhkan tata
kelola yang memadai agar hasilnya optimal. Tanpa adanya tata kelola memadai,
pembangunan tersebut bakal tak berarti. Hal ini terjadi karena persoalan atas sumber daya
air tak hanya memunyai dimensi teknis saja, juga menyangkut problematika sosial,
ekonomi, dan budaya (Loucks dan van Beek, 2005: 4). Oleh karena itu, dalam
pengembangan dan pengelolaan sumber daya air perlu mempertimbangkan berbagai
aspek. Aspek-aspek tersebut, yaitu: sumber air dan air, nilai sosial ekonomi air,
lingkungan, ketersediaan air baik secara kuantitas maupun kualitas, pengguna air
(stakeholders), serta kebijakan pemerintah dalam pengaturan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya air (Balai Wilayah Sungai VI Sumatera, 2016: 151).
Pembangunan infrastruktur yang massif di bidang sumber daya air memunyai
tantangan tersendiri ketika dihadapkan pada persoalan air baku. Air baku merupakan
muara pengelolaan sungai, mulai dari daerah aliran sungai hingga aspek sosial-ekonomi
yang ada di dalamnya. Mengelola air baku berarti menata semua aspek dari hulu hingga
hilir yang mana persoalannya sangat kompleks. Mulai dari kerusakan lingkungan,
bencana alam, aspek manusia yang hidup di sekitarnya, hingga terkait eksploitasi alam
dalam konteks ekonomi (Erik, Swyngedouw, 2009: 42). Apalagi, berdasarkan data Asian
124
Development Bank, kualitas air di Indonesia secara umum mengalami penurunan.
Penurunan tersebut akibat banyak faktor, antara lain: pertambangan, industri,
perkebunan, dan limbah rumah tangga (ADB, 2016: 23-24). Kompleksitas dalam
pengelolaan air baku tak hanya bisa dihadapi dari sisi teknis saja, juga perlu mendapatkan
gambaran utuh terkait nilai yang hidup dalam masyarakat sekitar DAS. Karena aspek
manusia memegang peran penting sehingga pendekatan multidispliner sangat diperlukan
agar infrastruktur yang sudah, sedang, dan akan dibangun bisa lebih berdaya guna
(Trisnanto, 2018: 93-101).
Revitalisasi Hulu DAS Batanghari
Gambaran kompleksitas pengelolaan air baku dapat dilihat dalam tata kelola DAS
Batanghari. DAS Batanghari membentang mulai dari Sumatera Barat dan Jambi. Meski
“hanya” 19 persen dari sekitar 775 Km DAS Batanghari, Sumatera Barat memunyai peran
sentral karena menjadi lokasi utama hulu sungai ini (Ditjen Sumber Daya Air, 2012: 1-
3). Juga menjadi sumber bagi pasokan air baku bagi masyarakat sekitar DAS (lihat tabel
3). Berbagai perubahan di wilayah Sumatera Barat yang menjadi DAS Batanghari
(seperti: geologi, demografi, dan sosial) akan berdampak besar bagi ketersediaan air baku
dan tata kelola sumber daya air di wilayah tersebut.
Tabel 3. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Air Baku
(Rekap Eksisting vs Rencana)
Sumber: Paramita, 2018
125
Secara umum, wilayah hulu sungai Batanghari dalam keadaan kritis, baik di
Sumatera Barat maupun Jambi yang mayoritas akibat deforestasi (Duanto, 2013).
Padahal, kualitas dan kuantitas air Sungai Batanghari memunyai arti penting bagi
masyarakat Sumatera Barat, khususnya di sekitar DAS (lihat tabel 4 dan 5). Pembiaran
kerusakan di wilayah tersebut akan berdampak besar bagi semua aspek terkait kerusakan
DAS Batanghari. Mulai dari ketersediaan air baku, irigasi, hingga aspek sosial-ekonomi
masyarakat. “The main negative economic impacts are on health, tourism, recreation,
biodiversity, fishery, agriculture, production of drinking water, real estate costs near
surface water areas, and pressure on groundwater” (ADB, 2016: 23-24).
Tabel 4. Jumlah Penduduk WS Batanghari Prov. Sumbar
Th.2014 – 2017 dan Proyeksinya s/d Th.2024
Sumber: Paramita, Hesti Nurina, 2018: 9
Tabel 5. Kebutuhan Air Baku
126
Periode 2014-2017 dan Proyeksi 2024
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Barat dan Hasil Analisis, 2018 dalam Paramita, 2018:
11
Tabel 6. Neraca Air Tahunan (Eksisting s/d 20 Tahun ke Depan)
Pendayagunaan Sumber Daya Air
Sumber: Hidayah, 2018: 18
Dalam RPJMN 2015-2019, pemulihan DAS Batanghari menjadi salah satu
prioritas untuk dipulihkan kondisinya (Kementerian Perencanaan Pembangunan
127
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2015: 5-5). Pemulihan ini
bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan melalui ketersediaan air baku yang meningkat
dan berkualitas (lihat, Tabel 6). Pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan industri
strategis menjadi sasaran utamanya (hal. 5-5). Juga menjadi bagian dari upaya konservasi
sumber daya alam hayati untuk menjaga kelestarian lingkungan dan bagian dari usaha
atau pencegahan terjadinya perubahan iklim global. Untuk mencapai sasaran tersebut, ada
kriteria umum dalam penyediaan air baku yang harus dipenuhi ketika melakukan
pengembangan, inter-alia: “1) Kelayakan Alokasi Air; 2) Kelayakan Kontinuitas; 3)
Kelayakan Kualitas Air Baku (sebagai air baku untuk air minum); 4) Kelayakan Teknis
Infrastruktur Air Baku (Pengambilan, Reservoir, Jaringan Transmisi) beserta Utilitasnya;
5) Kelayakan Proses Pembangunan; 6) Kelayakan Ekonomi; 7) Kelayakan Operasional;
dan 8) Kelayakan Keberlanjutan Pemanfaatan Prasarana Air Baku” (Kasubdit Air Tanah
dan Air, 2015).
Dalam konteks konservasi DAS Batanghari Wilayah Sumatera Barat, pemerintah
berupaya melakukan perbaikan dengan pembangunan infrastruktur. Pembangunan
infrastruktur tersebut tertuang dalam Rencana Jangka Menengah dan Panjang Konservasi
Wilayah Sungai Batanghari yang berbentuk: 1) pembangunan stasiun pemantau
pencemaran air; 2) pembangunan cek dam pengendali sedimen; serta 3) pembangunan
instalasi pengolahan limbah (domestik dan/atau industri) (Hidayah, 2018: 13). Rencana
tersebut diimplementasikan dalam bentuk usulan kegiatan (fisik dan non-fisik) pada 2019
dalam bentuk pembangunan infrastruktur (enam proyek) dan lima aktivitas konsultasi
(Paramita, 2018: 24-25). Berbagai kegiatan tersebut merupakan bagian dari usaha
memenuhi target terpenuhinya target SDGs sesuai rencana.
Pengelolaan air baku merupakan pekerjaan yang kompleks karena menyangkut
kepentingan banyak sektor. Pekerjaan ini membutuhkan dukungan sistem kelembagaan
yang kuat dan terstruktur. Dari aspek kelembagaan, sistem pengelolaan air baku secara
garis besar dapat dipilah secara sederhana menurut fungsi yang terdiri atas lima unsur,
yaitu: regulator, operator, pengembang, penerima manfaat, dan wadah koordinasi (Balai
Wilayah Sungai VI Sumatera, 2016: 152-153). Kelima unsur ini memunyai peran masing-
masing dan terintegrasi satu sama lain. Karena menyangkut dari hulu hingga hilir, aktor
atau pihak yang terlibat dalam proses ini secara otomatis sangat banyak.
128
Kompleksitas dan banyaknya institusi yang berkepentingan dalam penyediaan air
baku dapat dilihat dalam pengorganisasian pengelolaan air baku Sungai Batanghari.
Sinergi di antara institusi-institusi tersebut merupakan kunci bagi keberhasilan
pembangunan berkelanjutan penyediaan air baku untuk masyarakat. Berdasarkan laporan
Balai Wilayah Sungai Sumatera VI, ada lebih dari 33 institusi yang berkepentingan akibat
keberadaan DAS Batanghari berada di dua propinsi dan beberapa kabupaten/kota (hal.
154-156). Perubahan kebijakan politik Indonesia terkait hubungan pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah menjadi penyebab utama pentingnya koordinasi di antara
daerah otonom. Desentralisasi di Indonesia tak hanya berpengaruh terhadap aspek politik
saja, juga pengelolaan sumber daya air secara umum karena dapat menimbulkan konflik
antar daerah (Yekti, 2017: 14).
The new policy of decentralization increases the responsibility of local
governments in matters relating to regional environmental. Local governments
have the authority to give permits for certain activities. This means that they
have the responsibility of controlling the environmental impacts of those
activities and to sanction any violators of environmental regulations. To practice
this new responsibility, some local governments have enacted new regional
regulations. Some of them have even prepared their own Local Agenda 21
(United Nations, 2004) .
Tahapan awal pencapaian target SDGs harus melalui penyelarasan kebijakan
nasional dengan agenda global. Good governance dan the rule of the law pada level
nasional dan internasional merupakan pilar utama agar pembangunan berkelanjutan dapat
berjalan dengan semestinya (Biermann, Frank, et al., 2017: 78-91). Karena itu, proses
pembuatan kebijakan menjadi sangat penting agar produknya tetap bisa berjalan
beriringan dengn target global. Dalam konteks kerangka regulasi, kebijakan (pembuatan
dan/atau rehabilitasi) Pemerintah Indonesia terkait air bersih dan sanitasi dinilai selaras
dengan target dalam TPB (Smeru, 2017: 3). Dengan demikian, persoalan awal dari suatu
program pembangunan dapat teratasi. Implementasi dari target yang hendak dicapai
tersebut menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagi pengelola DAS Batanghari dan
pemerintah Indonesia pada umumnya.
129
Penutup
Persoalan ketersediaan air baku untuk kebutuhan konsumsi, industri, dan lainnya
merupakan persoalan krusial yang harus segera mendapatkan perhatian serius. Penurunan
kualitas dan kuantitas air baku di Indonesia merupakan fakta nyata dari kompleksitas
pengelolaan sumber daya air. Mulai dari anakronisme regulasi di tiap sektor hingga
situasi sosial-budaya masyarakat menjadi penyebab penurunan tersebut. Kepentingan
industrialisasi dan desakan demografis menjadi pemicu utama terjadinya fenomena ini.
Meski demikian, tata kelola sumber daya air baku yang baik dan penegakan regulasi yang
adil akan membawa dampak signifikan bagi upaya menjaga ketersediaan air baku.
Penegakan hukum, konservasi lingkungan, sinkronisasi kebijakan, pembangunan
infrastruktur, dan rekayasa sosial merupakan alternatif untuk menjaga kelestarian air
permukaan. Penurunan kuantitas dan kualitas air baku mayoritas disebabkan oleh
aktivitas ekonomi masyarakat (industri manufaktur, perkebunan, dan pertambangan).
Tentunya, kebijakan yang diambil sifatnya kompehensif, tak ada lagi ada yang
berkepentingan konservasi sedangkan lainnya eksploitasi. Meski tampak sebagai utopia
di tengah kompleksitas kondisi ekonomi-politik, usaha ini bukanlah tak mungkin tidak
terwujud. Perlu kerja sama semua pihak di berbagai level kepentingan dan kebijakan
untuk mewujudkannya.
Paparan persoalan pada dua paragraf di atas memunyai dampak signifikan
terhadap ketersediaan air baku dari DAS Batanghari Wilayah Sumatera Barat.
Problematika yang sangat kompleks tersebut menyebabkan perlu adanya upaya sistematis
untuk memperbaiki keadaan. Kondisi demikian menyebabkan target pemenuhan
ketersediaan air baku dalam SDGs yang hendak dicapai pada 2019 terganggu. Dalam
konteks ini, DAS Batanghari Wilayah Sumatera Barat menjadi salah satu penyumbang
tidak terpenuhinya target tersebut. Hal ini terjadi karena beberapa pembangunan
infrastruktur air baku dilakukan pada 2019. Tentunya, untuk bisa memanfaatkannya
dengan optimal butuh proses cukup lama karena pembangunan infrastruktur tak bisa
dilakukan dalam waktu sangat cepat. Meski demikian, dari perspektif regulasi, aturan
yang ada sudah selaras dengan target SDGs terkait ketersediaan air bersih dan sanitasi
yang lebih baik (nomor 6)..
Berbagai paparan di atas menegaskan, aspek water governance dalam
pengelolaan air baku menjadi sangat penting karena keberadaannya sangat tergantung
130
dengan sikap pemerintah. Dalam hal ini, juga termasuk tindakan yang diambil pemerintah
agar semua target yang hendak dicapai terkait TPB/SDGs dapat terpenuhi. Karena itu,
pemerintah memegang peran kunci dalam upaya meningkatkan ketersediaan air baku dan
menjaga kuantitas serta kualitas pasokannya. Tentunya, dalam pengelolaanya perlu juga
melibatkan masyarakat yang berfungsi sebagai user dan keeper bagi ketersediaan air
baku.
131
DAFTAR PUSTAKA
APAC. (2018). APAC Country Report Indonesia 2018. Retrieved from
https://atradius.dk/rapporter-og-guides/apac-country-report-indonesia-2018.html diakses
pada 12 Agustus 2018 pukul 22.40 WIB
Asian Development Bank. (2016). Indonesia: Country Water Assessment. Mandaluyong
City: Asian Development Bank
Balai Wilayah Sungai Sumatera VI. (2016). Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air
Wilayah Sungai Batanghari (tidak diterbitkan). Jambi: Balai Wilayah Sungai VI
Sumatera Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia
Biermann, Frank, et.al. (2017). “Global Goal Setting for Improving National Governance
and Policy.” dalam Kanie, Norichika & Biermann, Frank (eds.). Governing
through Goals: Sustainable Development Goals as Governance Innovation.
Massachusetts: The MIT Press
Brook, B. W., Ellis, E. C., Perring, M. P., Mackay, A. W., & Blomqvist, L. “Does the
terrestrial biosphere have planetary tipping points?” Trends in Ecology &
Evolution, 28 (7), 2013. Hal. 396–401. doi:10.1016/j.tree.2013.01.016
Cahill-Ripley, A. (2011). The Human Right to Water and its Application in the Occupied
Palestinian Territories. Oxon: Routledge
Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (2012). Pola
Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai
Batanghari.http://sda.pu.go.id/produk/mfhandler.php?file=2012_Pola%20PSD
A%20Batanghari.pdf&table=newsmain&field=Attachment&pageType=view&k
ey1=140
Duanto. (2013). DAS Batanghari Jambi Sudah Kritis. Retrieved from
http://jambi.tribunnews.com/2013/10/20/das-batanghari-jambi-sudah-kritis
Erik Swyngedouw. (2009). “Troubled Waters: The Political Economy of Essential Public
Services.” José Castro, Esteban and Heller, Léo (eds.). Water and Sanitation
Services: Public Policy and Management. (London: Earthscan, 2009)
Hatmoko, W., Radhika, Purnama, B., Firmansyah, R., and Fathoni, A. Pengelompokan
Wilayah Sungai di Indonesia dengan Analisis Komponen Utama. Paper
presented on Annual Meeting of HATHI XXXII in Malang 2015. Retrieved
132
from
https://www.researchgate.net/publication/303907841_pengelompokan_wilayah_
sungai_di_indonesia_dengan_analisis_komponen_utama diakses pada 13
Agustus 2018 pukul 21.09 WIB
Hidayah, Bambang. Rancangan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai
Batanghari. (Bahan Presentasi, Mei 2016, tidak dipublikasikan). Jambi:
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air, Balai Wilayah Sungai Sumatera VI
ICLEI. (2015). Local Governments for Sustainability. Retrieved from
http://localizingthesdgs.org/library/251/From-MDGs-to-SDGs-What-are-the-
Sustainable-Development-Goals.pdf diakses pada 19 Agustus 2018 pukul 21.35
WIB
Gerintya, Scholastica. (2018). Periksa Data: Bagaimana Mutu dan Akses Air Bersih di
Indonesia? https://tirto.id/bagaimana-mutu-dan-akses-air-bersih-di-indonesia-
cGrk diakses pada 15 September 2018 pukul 21.25 WIB
Kasubdit Air Tanah dan Air Baku Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Pengembangan dan Pemanfaatan Air Baku (Bahan Presentasi, Juni 2015, tidak
dipublikasikan). Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Republik Indonesia
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. (2015). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-
2019: Buku I Agenda Pembangunan Nasional. Jakarta: Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
13.1/PRT/M/2015 Tentang Rencana Strategi Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019.
Loucks, D. P. dan van Beek, E. (2005). Water Resources Systems Planning and
Management: An Introduction to Methods, Models, and Applications. Bangalore:
Unesco
Monkelbaan, Joachim. (2018). Governance for the Sustainable Development Goals
Exploring an Integrative Framework of Theories, Tools, and Competencies.
133
(Singapore: Springer Nature Singapore Pte Ltd., 2018), hal. 9. Retrieved doi:
https://doi.org/10.1007/978-981-13-0475-0
Ningrum, Desi Aditia. (2017). Karena air baku yang terbatas.
https://www.merdeka.com/khas/karena-air-baku-yang-terbatas-krisis-air-
bersih.html diakses pada 15 September 2018 pukul 21.15 WIB
Norichika Kanie, Ruben Zondervan, Casey Stevens (eds.). Ideas on Governance ‘of’ and
‘for’ Sustainable Development Goals: UNU-IAS/POST2015 Conference Report.
Retrieved from
https://collections.unu.edu/eserv/UNU:6195/conference_report.pdf
Nuryetty, Mariet Tetty, et. al. (2016). Mewujudkan Aksesibilitas Air Minum dan Sanitasi
yang Aman dan Berkelanjutan Bagi Semua: Hasil Survey Kualitas Air Minum di
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2015. (Jakarta: Badan Pusat Statistik
Octaviyani, Putri Rosmalia. (2017).2 Dekade Jakarta Krisis Air
Baku.http://mediaindonesia.com/read/detail/98228-2-dekade-jakarta-krisis-air-baku
OHCHR. (2015). Merida Declaration: The Role of National Human Rights Institutions
in implementing the 2030 Agenda for Sustainable Development. Retrieved from
https://nhri.ohchr.org/EN/ICC/InternationalConference/12IC/Background%20In
formation/Merida%20Declaration%20FINAL.pdf
Oxfam Aceh. (2008). Kurangnya Air Bersih dan Sanitasi di Indonesia.
https://oxfamblogs.org/indonesia/oxfam-aceh-kurangnya-air-bersih-dan-sanitasi-di-
indonesia/ diakses pada 15 September 2018 pukul 21.52 WIB
Paramita, Hesti Nurina. (2018). Penajaman Usulan Kegiatan Air Tanah Dan Air Baku
Ws. Batanghari Ta. 2019 BWS Sumatera V (presentasi dan tidak dipublikasikan).
Padang: Balai Wilayah Sungai Sumatera V
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Powell, Robin dan Setiawan, Agus. (2012). Zaman Holocene Berakhir, Zaman
Anthropocene Dimulai. https://www.dw.com/id/zaman-holocene-berakhir-
zaman-anthropocene-dimulai/a-15848226 diakses pada 29 September 2018 pukul
22.15 WIB
Pusat Air Tanah dan Air Baku Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Republik Indonesia. Pengembangan Air Tanah dan Air Baku Menunjang RPJMN
134
Tahun 2015-2019 (presentasi tidak diterbitkan). Jakarta: Pusat Air Tanah dan Air
Baku Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Ripple WJ, Wolf C, Newsome TM, et. al. (2017). “World scientists’ warning to humanity:
a second notice”. BioScience bix125. doi: https://doi.org/10.1093/biosci/bix125
diakses pada 28 September 2018 pukul 23.05 WIB
Resolusi Majelis Umum PBB 70/1 tertanggal 25 September 2015
Resolusi Majelis Umum PBB 55/2 tanggal 18 September 2000 United Nations
Millennium Declaration.
http://www.un.org/millennium/declaration/ares552e.pdf
Samoen, Samsuhadi. Editorial: Air Bersih dan
Permasalahannya.https://pii.or.id/editorial-air-bersih-dan-permasalahannya
diakses pada 15 September 2018 pukul 21.34 WIB
Sandler, Todd. (2004). Global Collective Action. New York: Cambridge University Press
Schmitz, Hans Peter & Sikkink, Kathryn. (2002). “International Human Rights.”
Carlsnaes, et. al. (eds.). Handbook of International Relations. London: Sage
Publications Ltd.
Smeru. “Dari MDGs ke SDGs: Memetik Pelajaran dan Menyiapkan Langkah Konkret.”
Buletin Smeru No. 2/2017
Steffen, Will, et al. (2005). “An Integrated Earth System“. Global Change and the Earth
System: A Planet Under Pressure. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg
The World Bank. The World Bank in Indonesia. Retrieved from
http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/overview. Diakses pada 21
Agustus 2018 pukul 22.15 WIB
Trisnanto, Anggun. (2018). Sanitasi di Indonesia Timur: Keberlanjutan dan Inovasi
Kebijakan. Malang: UB Press
United Nations. (n/d). 17 Goals to Transform Our World. Retrieved from
https://www.un.org/sustainabledevelopment/ diakses pada 15 Agustus 2018 pukul
20.55 WIB
United Nations. (2015). Transforming Our World: The 2030 Agenda For Sustainable
Development. Retrieved from
https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/21252030%20Agenda
%20for%20Sustainable%20Development%20web.pdf
135
United Nations. http://www.un.org/millenniumgoals/environ.shtml diakses pada 25
September 2018 pukul 22.17 WIB
United Nations. (n/d). Goal 6: Ensure access to water and sanitation for all.
https://www.un.org/sustainabledevelopment/water-and-sanitation/
United Nations. (2017). Sustainable Development Goals Report 2017. Retrieved from
https://unstats.un.org/sdgs/files/report/2017/TheSustainableDevelopmentGoalsR
eport2017.pdf
United Nations. Fresh Water Country Profile: Indonesia.
http://www.un.org/esa/agenda21/natlinfo/countr/indonesa/Freshwaterindonesia0
4f.pdf diakses pada 15 September 2015 pukul 21.20 WIB
United Nations. (n/d). Goal 6: Ensure access to water and sanitation for all.
https://www.un.org/sustainabledevelopment/water-and-sanitation/
United Nations. (2017). Sustainable Development Goals Report 2017. Retrieved
fromhttps://unstats.un.org/sdgs/files/report/2017/TheSustainableDevelopmentGo
alsReport2017.pdf
Vigil, Kenneth M. (2003). Clean Water: An Introduction to Water Quality and Water
Pollution Control (2nd edition). Oregon: Oregon State University Press
Water.org. (n/d). Indonesia's water and sanitation crisis. https://water.org/our-
impact/indonesia/ diakses pada 12 Agustus 2018 pukul 22.30 WIB
Wibowo, Arif. Current Status of Water and Waste Water Management in Indonesia
(presentation not published). Jakarta: Ministry of Environment of Indonesia.
Yekti, Mawiti Infanteri. (2017). Role of Reservoir Operation in Sustainable Water Supply
to Subak Irrigation Schemes in Yeh Ho River Basin. Leiden: CRC Press/Belkema