+ All Categories
Home > Documents > PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori...

PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori...

Date post: 09-Dec-2020
Category:
Upload: others
View: 26 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
279
Transcript
Page 1: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 2: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IV

DIREKTORIMINI TESIS-DISERTASI

1

Page 3: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 4: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE

DEVELOPMENT IV

DIREKTORI

MINI TESIS-DISERTASI

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Editor: Dr. Guspika, MBA., dkk.

1

Page 5: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

iv

Sanksi Pelanggaran Pasal 72Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta

Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau denda pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Direktori MINI TESIS-DISERTASI PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IV JILID 1

©2020 oleh Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Jangan menggandakan dan/atau menggandakan semua dan/atau bagian dari buku ini tanpa izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.

Penanggung Jawab : Kapusbindiklatren

Editor : Dr. Guspika, MBA, Wignyo Adiyoso, S.Sos., MA, Ph.D., Ali Muharram, S.IP., M.SE, MA., Rita Miranda, S.Sos., M.PA., Wiky Witarni, S.Sos., M.A., Epik Finilih

Kontributor : Brahmanti Maulana Abadi, Ari Prasetyo, Isni Kartika Larasati, Testianto Hanung Fajar Prabowo, Aris Rusyiana, Yogi Catuma Perdana, Adhi Santoso Handaru Mukti, Melliane Merkusi, Novian Eko Prasetyo, Akonijaya, Ika Dwi Melisa, Deddy Irwan, M. Hadi Saputra, Elok Ayu Fa’Izati, Tomi Hendratno, Basyier Gemaning Insan, Ansori, Niramaya Kusuma Wardhani, Dita Nurul Prasetia

Exterior & Interior Design : Den Binikna & Rafika Nabila

Cetakan pertama, September 2020

ISBN Jilid Lengkap: 978-623-92028-5-9

ISBN Jilid 1: 978-623-92028-6-6

Diterbitkan oleh

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Republik Indonesia

Jalan Proklamasi Nomor 70, Jakarta Pusat 10320

Page 6: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

v

Daftar Isi

Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix

01 ANALISIS SISTEM PEMBERIAN TAMBAHAN PENGHASILAN PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KOTA YOGYAKARTA) Brahmanti Maulana Abadi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 001

02 FAKTOR-FAKTOR KRITIS KEBERHASILAN IMPLEMENTASI PENGADAAN BARANG DAN JASA SECARA ELEKTRONIK DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) REPUBLIK INDONESIAAri Prasetyo . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 019

03 PENGARUH SUMBER DAYA INTERNAL ORGANISASI TERHADAP INOVASI ORGANISASI DI KANTOR PUSAT LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARAIsni Kartika Larasati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 035

04 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD DI BADAN STANDARDISASI NASIONALTestianto Hanung Fajar Prabowo . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 049

05 WHAT COULD STATISTICIANS DO IN UNDERSTANDING VIOLENT COMMUNAL CONFLICT IN DECENTRALIZED INDONESIA?: 2003-2014Aris Rusyiana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 071

06 PENGHIDUPAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG KOTA STUDI KASUS PROGRAM PENANGANAN WILAYAH KUMUH KOTAKU DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI KOMUNITAS TERMINAL HUJAN DI KAMPUNG KEBON JUKUT KOTA BOGORYogi Catuma Perdana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 085

Page 7: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

vi

07 ANALISIS FAIR TRADE PADA PERDAGANGAN KOPI DI GUNUNG MALABAR STUDI KASUS KELOMPOK TANI RAHAYU PANGALENGANAdhi Santoso Handaru Mukti . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 103

08 DETERMINANTS OF E-GOVERNMENT MATURITY IN SOUTHEAST ASIAMellianae Merkusi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 117

09 WHY IS CREDIT UNPOPULAR AMONG SMALL FIRMS IN INDONESIA? A CASE OF PEOPLE’S BUSINESS CREDIT IN WEST BANDUNG REGENCY Novian Eko Prasetyo. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 129

10 EVALUATION OF DECISION MAKING PROCESS ON COMMUNITY-BASED SOCIAL HARMONY PROGRAM FOR CONFLICT PREVENTION IN INDONESIA (CASE STUDY IN LAMPUNG PROVINCE)Akonijaya. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 143

11 PENGARUH ISU TSUNAMI TERHADAP PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN DI KOTA PADANG STUDI STUDI KASUS: KECAMATAN PADANG UTARA DAN KECAMATAN KURANJIIka Dwi Melisa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 151

12 KONTRIBUSI PERKEBUNAN KOPI SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL DI KABUPATEN ACEH TENGAHDeddy Irwan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 161

13 CLIMATE CHANGE IMPACT ON SPECIES DISTRIBUTION OF STYRAX SUMATRANA IN NORTH SUMATRA USING MAXIMUM ENTROPY MODELING APPROACHM. Hadi Saputra . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 175

14 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PELESTARIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA LAWEYAN SURAKARTA Elok Ayu Fa’izati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 185

15 NON-MOTORIZED TRANSPORTATION (NMT) POLICY DEVELOPMENT IN TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT (TOD)AREA: CASE STUDY OF BLOK M, JAKARTATomi Hendratno . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 197

Page 8: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

vii

16 IMPLIKASI PENERAPAN TRANS JATENG TERHADAP BIAYA TRANSPORTASI BEKERJA BURUH INDUSTRI (STUDI KASUS: KORIDOR I KEDUNG SEPUR)Basyier Gemaning Insan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 209

17 PERENCANAAN AGROFORESTRI SEBAGAI STRATEGI PENANGANAN KONVERSI LAHAN HUTAN DIKPHP UNIT VII HULU SAROLANGUNAnsori. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 223

18 EFEKTIFITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL GILI MENO, GILI AIR DAN GILI TRAWANGAN (GILI MATRA) DARI PERSEPSI PENGGUNA SUMBERDAYA Niramaya Kusuma Wardhani . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 237

19 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJAPEGAWAI BALAI JASA KONSTRUKSIDita Nurul Prasetia. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 255

Page 9: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

viii

Page 10: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

ix

Kata Pengantar

Dalam rangka menjamin pencapaian tujuan pembangunan nasional diperlukan adanya rencana pembangunan yang berkualitas, baik di pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah. Perencanaan yang berkualitas tersebut dibangun oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kompeten di instansi perencana pusat dan daerah.

Sesuai dengan Permen PPN/Bappenas No. 4 Tahun 2016, Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) pun melaksanakan salah satu tugas dan fungsinya dari Kementerian PPN/Bappenas, yaitu memfasilitasi para pegawai Kementerian PPN/Bappenas serta perencana di instansi pusat dan daerah melalui program beasiswa pendidikan dan pelatihan. Program beasiswa pendidikan dan pelatihan tersebut ditujukan sebagai upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perencana di pusat dan daerah melalui penyediaan beasiswa pendidikan gelar jenjang S2 dan S3 serta pelatihan nongelar di bidang perencanaan pembangunan.

Program beasiswa pendidikan dan pelatihan ini secara rutin diselenggarakan setiap tahun, sehingga tentunya telah menghasilkan banyak hasil penelitian, baik berupa tesis maupun disertasi. Mengingat manfaat yang dapat diperoleh dengan tersebarluasnya tesis maupun disertasi tersebut, maka Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) memandang perlu untuk menerbitkannya dalam bentuk sebuah buku Direktori Mini Tesis-Disertasi.

Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi ini terdiri atas dua seri buku yang memuat berbagai tema tesis dan disertasi. Adapun tema-tema tesis dan disertasi yang dibukukan kali ini meliputi Administrasi Publik, Studi Pembangunan, Perencanaan dan Pembangunan, Perencanaan Wilayah dan Kota, Ekonomi Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Ekonomi Pembangunan, Ilmu Ekonomi, Ilmu Lingkungan, Sistem dan Teknik Transportasi, serta Doctor of Philosophy in International Development.

Semoga kehadiran buku ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia aparatur pemerintah yang bertugas pada bidang perencanaan pembangunan, baik di pemerintah pusat maupun di daerah dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing.

Jakarta, September 2020

Kapusbindiklatren

Page 11: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 12: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

01Analisis Sistem Pemberian

Tambahan Penghasilan

Pegawai (Studi Kasus

pada Instansi Badan

Kepegawaian Pendidikan

dan Pelatihan Kota

Yogyakarta)

Nama : Brahmanti Maulana Abadi

Instansi : Pemerintah Kota Yogyakarta

Program Studi : Magister - Administrasi Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 13: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

002 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Pemerintah Kota Yogyakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang telah memberikan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) bagi PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Pemberian TPP bertujuan untuk meningkatkan kinerja, disiplin, dan semangat kerja pegawai Pemerintah Kota Yogyakarta. Tambahan penghasilan pegawai (TPP) diberikan berdasarkan bobot jabatan, prestasi kerja dan kedisiplinan.

Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kota Yogyakarta adalah organisasi perangkat daerah di wilayah Kota Yogyakarta yang merupakan agen pelaksana dan perumus TPP. Tetapi sebagai pelaksana dan perumus TPP ternyata BKPP belum bisa mencapai tujuan dari pemberian TPP karena hasil LAKIP Kota Yogyakarta tahun 2016, BKPP mengalami penurunan capaian kinerja dari tahun sebelumnya, yakni 143,74% turun menjadi 128,71% pada tahun 2016. Padahal pada tahun 2016, Besaran pokok TPP mengalami kenaikan 100% dari tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem pemberian TPP yang dipakai oleh Pemerintah Kota Yogyakarta pada BKPP belum bisa mencapai tujuannya untuk meningkatkan kinerja pegawai. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab ketidakmampuan sistem pemberian TPP sebagai pendorong dalam mengoptimalkan kinerja BKPP Kota Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data triangulasi melalui wawancara mendalam dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan melakukan pemahaman dan pendalaman secara menyeluruh dan utuh dari objek yang diteliti dengan tiga sub proses yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan/verifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pemberian tambahan penghasilan pegawai (TPP) belum dapat meningkatkan kinerja pegawai di BKPP Kota Yogyakarta disebabkan beberapa hal tetapi yang menjadi faktor utamanya adalah regulasi dari TPP yang sudah usang dan tidak ada perubahan yang signifikan dari pertama kali dikeluarkan pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2018. Di dalam regulasi tentang TPP tersebut terdapat beberapa penyebab dari sistem pemberian TPP yang belum dapat meningkatkan kinerja di BKPP. Pertama, Pemerintah Kota Yogyakarta dalam membangun suatu sistem kompensasi berbasis kinerja melalui suatu kebijakan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) mengabaikan manajemen kompensasi. Kedua, akibat dari tidak dilakukannya manajemen kompensasi secara komprehensif

Page 14: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

003 ANALISIS SISTEM PEMBERIAN TAMBAHAN PENGHASILAN PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI

BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KOTA YOGYAKARTA)

adalah terjadinya ketidakadilan pada parameter pemberian TPP khususnya pada unsur bobot jabatan. Ketiga, penyebab dari ketidakmampuan sistem TPP untuk mendorong kinerja pegawai BKPP adalah subyektivitas dan dualitas penilaian kinerja pegawai. Keempat, justifikasi kedisiplinan yang digunakan dalam sistem pemberian TPP hanya menggunakan parameter absensi tingkat kehadiran pegawai.

• Kata Kunci: kinerja, tambahan penghasilan pegawai, manajemen kompensasi, keadilan kompensasi

Page 15: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

004 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRACT

Yogyakarta City Government is one of the areas in Indonesia that has provided Additional Income Employees (TPP) for civil servants in the Government of Yogyakarta. Giving TPP aims to improve the performance, discipline, and morale of employees of the Government of Yogyakarta City. TPP is given based on the weight of position, job performance and discipline.

The Personnel Board of Education and Training (BKPP) of Yogyakarta City is a regional apparatus organization which implementing and formulating the TPP granting system. However, as the implementer and formulator of TPP, BKPP has not been able to achieve the objective of TPP due to the result of LAKIP of Yogyakarta City in 2016, BKPP has decreased performance from the previous year ie 143.74% decreased to 128.71% in 2016. Yet in year 2016, TPP’s principal amount increased 100% from the previous year. This indicates that the TPP granting system used by the Yogyakarta City Government to BKPP has not been able to achieve its objective to improve employee performance. The purpose of this study is to determine the cause of the inability of TPP granting system as an optimizing factor for BKPP Yogyakarta’s performance.

This research uses qualitative descriptive type. Data collection techniques through in-depth interviews and documentation. Data analysis technique is done by thoroughly understanding and deepening and intact from the object under study with three sub interrelated processes: data reduction, data presentation and conclusions/verification.

The results showed that the system of TPP has not been able to improve employee performance in BKPP Yogyakarta City due to several things as follows but the main factor is the regulation of TPP which is outdated and no significant change from first issued in 2007 until by 2018. In the regulation of TPP there are several causes of the TPP grant system that has not been able to improve performance in BKPP. First, the Yogyakarta City Government in establishing a performance-based compensation system through TPP policy ignores compensation management. Second, the result of the failure of comprehensive compensation management is the occurrence of injustice on the parameters of TPP especially on the element of weight of position. Third, the cause of the inability of the TPP system to encourage the performance of BKPP employees is the subjectivity and the duality of employee performance appraisal.

Page 16: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

005 ANALISIS SISTEM PEMBERIAN TAMBAHAN PENGHASILAN PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI

BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KOTA YOGYAKARTA)

Fourth, the disciplinary justification used in the TPP granting system only uses the attendance of the employee as a parameter.

• Keywords: performance, additional employee income, compensation management, justice compensation

Page 17: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

006 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangPemerintah Kota Yogyakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang telah menerapkan konsep pay-for-performance melalui Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) bagi PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Pemberian TPP bertujuan untuk meningkatkan kinerja, disiplin, dan semangat kerja pegawai Pemerintah Kota Yogyakarta. Tambahan Penghasilan Pegawai Kota Yogyakarta adalah tambahan penghasilan yang diberikan secara bulanan kepada pegawai Pemerintah Kota Yogyakarta di luar gaji, tunjangan jabatan struktural, tunjangan jabatan fungsional dan tunjangan fungsional umum. Tambahan penghasilan pegawai (TPP) diberikan berdasarkan bobot jabatan, prestasi kerja dan kedisiplinan yang diatur dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan bagi Pegawai Pemerintah kota Yogyakarta. Berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 66 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kota Yogyakarta bahwa salah satu tugas pokok dari BKPP adalah melaksanakan pengelolaan pemberihan tambahan penghasilan pegawai, sehingga BKPP menjadi leading sector dalam pemberian TPP di lingkungan pemerintah Kota Yogyakarta.

Tetapi tujuan dari pemberian TPP di atas cukup kontras ketika dibandingkan dengan hasil Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Kota Yogyakarta tahun 2016, Badan Kepegawaian Pendidikan Pelatihan (BKPP) mengalami penurunan capaian kinerja dari tahun sebelumnya, yakni 143,74% turun menjadi 128,71% pada tahun 2016. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem pemberian TPP yang dipakai oleh Pemerintah Kota Yogyakarta pada BKPP belum bisa mencapai tujuannya untuk menaikkan kinerja pegawai. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Shiomy Suci (2014) pelaksanaan TPP yang dilaksanakan di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya menunjukkan bahwa belum ditemukan adanya dampak secara optimal terhadap peningkatan kinerja organisasi DCKTR secara keseluruhan.

Kegagalan penerapan pay-for-performance systems menurut Eskew dan Haneman (1996) adalah pay-for-performance systems yang didesain dan dikelola secara buruk akan menghasilkan demotivasi dan kecemasan dari karyawan. Menurut Dolan (1996), terdapat 5 persoalan yang menyebabkan konsep pay-for-performance systems menjadi tidak efisien, yakni: (1) Ukuran kinerja tidak jelas atau tidak berdasarkan spesialisasi jabatan; (2) Atasan atau supervisors tidak cukup terlatih dalam mengevaluasi kinerja karyawan; (3) Nilai reward insentif terlalu rendah; (4) Hubungan antara tingkat kinerja dan reward yang lemah; (5) Instansi gagal menentukan kisaran pembayaran yang sesuai bagi karyawan;

Page 18: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

007 ANALISIS SISTEM PEMBERIAN TAMBAHAN PENGHASILAN PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI

BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KOTA YOGYAKARTA)

Kegagalan pencapaian tujuan pemberian TPP pada BKPP Kota Yogyakarta dapat dilihat melalui penerapan sistem pemberian TPP yakni berdasarkan pada bobot jabatan, penilaian kinerja pegawai dan kedisiplinan. Pertama, salah satu penentuan dari besaran nominal TPP yang diterima pegawai menggunakan komponen bobot jabatan. Bobot jabatan adalah bilangan yang menunjukkan tingkat beban kerja pada masing-masing jabatan pegawai di Pemerintah Kota Yogyakarta. Bobot jabatan menjadi faktor penentu angka pengkali dengan indeks nominal rupiah dalam menentukan besaran nominal TPP yang diberikan kepada pegawai. Tetapi bobot jabatan yang disusun dalam TPP mempunyai kelemahan karena didasarkan pada jenjang jabatan struktural, perbedaan golongan pada jabatan fungsional umum (PNS dengan jabatan sebagai seorang analis golongan III dengan PNS jabatan petugas verifikator golongan III akan memperoleh bobot jabatan yang sama, padahal secara beban kerja terlihat berbeda) dan terdapat perbedaan nilai bobot jabatan pada fungsional tertentu auditor dengan jabatan fungsional tertentu lainnya.

Kedua, prestasi kerja merupakan salah satu komponen dalam penentuan pemberian TPP di Pemerintah Kota Yogyakarta. Bobot Prestasi kerja merupakan hasil penilaian prestasi kerja yang didasarkan pada Peraturan Walikota Yogyakarta 23 tahun 2007 tentang Penilaian Kinerja Pegawai. Parameter yang digunakan untuk mengukur prestasi kerja terdiri dari Kepemimpinan, Keterampilan, Prakarsa dan Capaian Kinerja. Penilaian Kinerja dilakukan setiap 6 bulan sekali dan dilakukan secara 360 derajat. Penilaian dilakukan oleh teman sejawat, atasan langsung maupun oleh bawahan.

Ketiga, kriteria kedisiplinan didasarkan kepada tingkat kehadiran pegawai. Kedisiplinan digunakan sebagai parameter untuk mengetahui tingkat kinerja pegawai secara langsung. Kedisiplinan menjadi parameter yang paling mudah untuk mengetahui kinerja pegawai. Kedisiplinan adalah kriteria yang digunakan secara umum. Bersifat umum karena parameter ini dimiliki oleh semua kelompok pegawai. Meskipun demikian, porsi kedisiplinan antar kelompok pegawai berbeda-beda. Di tingkat fungsional umum, kedisiplinan memiliki porsi lebih besar dibandingkan dengan pejabat struktural. Kriteria kedisiplinan menggunakan mekanisme yang sama dengan prestasi kerja. Penilaiannya bisa dilakukan setiap bulan, hal ini disebabkan parameter yang digunakan lebih sederhana yaitu menggunakan kehadiran atau absensi. Laporan tingkat kehadiran tersebut kemudian digunakan sebagai dasar pemberian TPP untuk kriteria kedisiplinan. Kedisiplinan seharusnya bukan ditentukan oleh kehadiran tapi berdasarkan kinerja yang dimiliki oleh pegawai apabila memberikan kontribusi dengan kehadiran menjalankan tugas-tugasnya di kantor.

Page 19: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

008 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan pemberian tambahan penghasilan PNS dengan Judul “Analisis Sistem Pemberian Tambahan penghasilan Pegawai (Studi Kasus pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kota Yogyakarta)”.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah “Mengapa sistem pemberian tambahan penghasilan pegawai belum dapat meningkatkan kinerja pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Pemerintah Kota Yogyakarta?”

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab ketidakmampuan sistem pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) sebagai pendorong dalam mengoptimalkan kinerja Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Pemerintah Kota Yogyakarta.

Metode penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif karena bukan bermaksud untuk menguji hipotesis tertentu tetapi menggambarkan mengenai suatu variabel, gejala, keadaan atau fenomena sosial. Peneliti menggunakan metode ini karena peneliti mencari tahu dan mengamati fenomena terkait dengan sistem pemberian TPP pada Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kota Yogyakarta. Kemudian juga peneliti menilai dengan menggunakan metode kualitatif ini dapat memberikan gambaran persoalan yang paling mendasar dari sebuah penelitian.

Penelitian ini dilakukan di BKPP (Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan) Kota Yogyakarta, karena pada BKPP terjadi suatu anomali ketika diberikan kenaikan nominal dari jumlah TPP tetapi kinerja dari instansi tersebut malah menurun dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menggali lebih lanjut tentang hal-hal atau fenomena penyebab kegagalan sistem pemberian TPP dalam meningkatkan kinerja pada BKPP Kota Yogyakarta.

Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif maka pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan sesuai dengan anjuran Miles dan Huberman dimana analisis data dilakukan dengan tiga sub proses yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan/verifikasi

Page 20: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

009 ANALISIS SISTEM PEMBERIAN TAMBAHAN PENGHASILAN PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI

BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KOTA YOGYAKARTA)

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Ketentuan Umum Pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai

Tambahan Penghasilan Pegawai adalah penghasilan yang diberikan secara bulanan kepada pegawai di luar gaji/upah, tunjangan jabatan struktural, tunjangan jabatan fungsional tertentu dan tunjangan jabatan fungsional umum berdasarkan bobot jabatan, penilaian kinerja dan kedisiplinan. Pemberian TPP bertujuan untuk meningkatkan kinerja, disiplin dan semangat kerja.

Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah pasal 63 ayat (2) dikatakan Pemerintah Daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada Pegawai Negeri Sipil Daerah berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan ayat (2) tambahan penghasilan diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan prestasi kerja, tempat bertugas, kondisi kerja dan kelangkaan profesi.

Berdasarkan pada pasal 39 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, Pemerintah Kota Yogyakarta membuat kebijakan mengenai pemberian tambahan penghasilan yang diberikan kepada pegawai melalui peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 43 Tahun 2015. Besaran TPP dihitung berdasarkan penetapan bobot jabatan, prestasi kerja dan kedisiplinan pegawai.

Sistem pemberian TPP pada Pemerintah Kota Yogyakarta mendasarkan pada 3 kriteria yakni bobot jabatan, prestasi kerja dan kedisiplinan. Bobot jabatan adalah bilangan yang menunjukkan tingkat beban kerja pada masing-masing jabatan pegawai. Bobot Jabatan dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu 1) pejabat struktural; 2) pejabat fungsional umum; 3) pejabat fungsional tertentu; 4) pejabat fungsional tertentu auditor. Besaran angka bobot (range) yang digunakan meliputi 30 jenis jabatan yang ada pada pegawai di lingkungan Kota Yogyakarta dengan bobot terendah adalah 0,6 dan yang tertinggi adalah 7.

Untuk kriteria bobot jabatan pegawai titipan dari luar Pemerintah Kota Yogyakarta adalah sebesar 50% dari ketentuan bobot jabatan PNS Pemerintah Kota Yogyakarta sesuai dengan jenjang jabatan. Bobot jabatan pegawai yang mutasi pindah wilayah kerja ke Pemerintah Kota Yogyakarta adalah sebesar 70% dari ketentuan bobot jabatan PNS Pemerintah Kota Yogyakarta sesuai dengan jenjang jabatan sampai dengan pegawai tersebut mempunyai hasil penilaian kinerja. Bobot jabatan CPNS adalah sebesar 80% dari ketentuan bobot jabatan PNS Pemerintah Kota Yogyakarta sesuai dengan jenjang jabatan.

Page 21: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

010 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Bobot prestasi kerja adalah hasil penilaian prestasi kerja yang dicapai oleh masing-masing pegawai berdasarkan pada Peraturan Walikota Nomor 23 tahun 2007 tentang Penilaian Kinerja Pegawai. Unsur penilaian kinerja terdiri dari Prestasi Kerja dan Perilaku. Untuk unsur prestasi kerja terdiri dari kepemimpinan, keterampilan, prakarsa dan capaian kinerja. Unsur perilaku terdiri dari kerja sama dan ketaatan.

Penilaian kinerja dalam satu tahun dilaksanakan 2 periode penilaian. Periode penilaian pertama dilaksanakan pada bulan Juni, sedangkan periode kedua dilaksanakan pada bulan Desember. Penilaian kinerja dilakukan secara 360 derajat, artinya penilaian dilakukan oleh pimpinan, rekan sejawat maupun bawahan. Hasil dari penilaian kinerja pegawai kemudian digunakan sebagai salah satu dasar penetapan TPP masing-masing pegawai.

2. Pengabaian Manajemen KompensasiManajemen kompensasi merupakan fase-fase komprehensif yang harus dilalui oleh suatu organisasi untuk menghasilkan sistem kompensasi yang efektif. Untuk melihat manajemen kompensasi pada Pemerintah Kota Yogyakarta maka diuraikan tentang proses terbentuknya TPP kemudian dihubungkan dengan fase-fase dari manajemen kompensasi. Regulasi TPP mulai dirancang oleh Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun 2006 tetapi kemudian regulasi tersebut bertentangan dengan aturan setingkat diatasnya yakni Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan yang mengakibatkan temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kemudian sebagai tindak lanjut dari temuan tersebut dan mengakomodasi serta mengimitasi aturan yang setingkat diatasnya maka Pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan regulasi baru tentang TPP pada tahun 2007. Sehingga secara regulasi, pengabaian manajemen kompensasi sudah terlihat pada saat perumusan dari regulasi TPP yang bukan mengacu pada fase-fase manajemen kompensasi tetapi mengacu dengan regulasi diatasnya. Secara komprehensif dibahas dalam sub bab dibawah ini.

Dari perumusan awal TPP sudah terlihat jelas bahwa Manajemen Kompensasi diabaikan dalam perumusan sistem kompensasi TPP. Fase manajemen kompensasi pertama adalah mengidentifikasi dan mempelajari pekerjaan dengan melakukan analisis pekerjaan. Embrio TPP membagikan tambahan penghasilan berdasarkan golongan dan jabatan pegawai tanpa melakukan analisis pekerjaan pada masing-masing jabatan.

Proses terbentuknya regulasi TPP di Pemerintah Kota Yogyakarta belum melakukan tahapan atau fase manajemen kompensasi secara baik menurut Werther dan Davis. Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melahirkan TPP pada tahun 2007

Page 22: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

011 ANALISIS SISTEM PEMBERIAN TAMBAHAN PENGHASILAN PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI

BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KOTA YOGYAKARTA)

tidak melakukan fase-fase manajemen kompensasi secara komprehensif. Yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta adalah mengimitasi atau mengikuti aturan yang berada diatasnya tanpa melakukan analisis terhadap kebutuhannya sendiri. Sehingga manajemen kompensasi pada tahun 2007 tidak dijalankan dalam menentukan pemberian TPP di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta.

Pengabaian fase-fase manajemen kompensasi dalam perumusan TPP menghasilkan sistem kompensasi yang tidak efektif. Menurut Amos et al., dalam Simanungkalit dengan merangkum dari beberapa pendapat menyebutkan beberapa kriteria kompensasi yang efektif salah satunya adalah terkait dengan kinerja. Kompensasi dapat mendorong kerja yang efektif dan produktif. Oleh karena itu, organisasi atau perusahaan harus mengetahui bagaimana prestasi dihargai dan memerankan skema insentif serta bonus. Dengan tidak efektifnya sistem pemberian TPP maka justru menghambat dari kinerja Pemerintah Kota Yogyakarta khususnya BKPP.

3. Ketidakadilan Bobot JabatanBobot jabatan merupakan salah satu variabel pengkali dengan besaran pokok TPP di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta yang menghasilkan jumlah kotor dari TPP sebelum dilakukan penghitungan dengan Penilaian Kinerja Pegawai dan kedisiplinan. Berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2016 tentang Penetapan Besaran Pokok Tambahan Penghasilan Pegawai di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta adalah sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Sehingga bobot jabatan merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan pemberian TPP. Kepuasan terhadap TPP yang diterima dari seorang pegawai merupakan elemen utama terciptanya kepuasan kerja pegawai tersebut. Sedangkan elemen utama yang akan mempengaruhi kepuasan pegawai terhadap TPP yang diterimanya adalah keadilan yang dirasakannya terhadap TPP yang diterimanya tersebut.

Sistem pemberian TPP pada Pemerintah Kota Yogyakarta berupaya mengakomodir keadilan kompensasi melalui salah satu parameter yang disebut dengan bobot jabatan. Seperti yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya bahwa, perumusan TPP pada tahun 2007 tidak dilakukan evaluasi jabatan untuk menentukan besaran bobot jabatan yang digunakan sebagai dasar pemberian TPP, tetapi didasarkan pada gradasi jabatan struktural (berdasarkan eselon) dan untuk pejabat fungsional umum didasarkan pada gradasi pangkat golongan ruang serta untuk pejabat fungsional tertentu berdasarkan gradasi jabatan fungsionalnya. Sebagai akibat dari tidak dilakukannya fase keadilan internal manajemen kompensasi berupa evaluasi jabatan adalah terjadi ketidakadilan dalam bobot jabatan tersebut yang dirasakan oleh pegawai. Sampai dengan tahun 2018 bobot jabatan

Page 23: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

012 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

yang dirancang sejak tahun 2007 tidak pernah mengalami perubahan, sedangkan nomenklatur jabatan bergerak terus secara dinamis. Hal ini mengakibatkan bobot jabatan tidak mampu mengakomodasi arus perubahan diluar dan terjadilah ketidakadilan.

4. Subjektivitas dan Dualitas Penilaian Kinerja Pegawai

Bobot prestasi kerja adalah hasil penilaian prestasi kerja yang dicapai oleh masing-masing pegawai berdasarkan ketentuan berlaku yang mengatur tentang Penilaian Kinerja Pegawai yakni Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2007 tentang Penilaian Kinerja Pegawai. Pengertian penilaian kinerja pegawai menurut Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2007 adalah penilaian kinerja pegawai dalam kurun waktu tertentu yang dilakukan oleh atasan, teman sejawat dan bawahan PNS yang dinilai.

Penilaian kinerja dalam satu tahun dilaksanakan 2 (dua) periode penilaian. Periode penilaian pertama dilaksanakan pada bulan Juni, sedangkan periode kedua dilaksanakan pada bulan Desember. PKP dilakukan secara 360 derajat, artinya penilaian dilakukan oleh pimpinan, rekan sejawat maupun bawahan. Hasil dari penilaian kinerja pegawai kemudian digunakan sebagai salah satu dasar penetapan TPP masing-masing pegawai.

Parameter yang digunakan dalam PKP adalah prestasi kerja, perilaku dan kedisiplinan. Parameter prestasi kerja terdiri dari (1) kepemimpinan; (2) keterampilan; (3) prakarsa; (4) capaian kinerja. Sedangkan parameter perilaku terdiri dari unsur kerja sama dan ketaatan. Untuk parameter kedisiplinan, angka bobotnya dihitung berdasarkan tingkat kehadiran pegawai. Unsur kepemimpinan dalam parameter prestasi kerja diperuntukkan bagi penilaian terhadap pemangku jabatan struktural atau yang kedudukannya disamakan dengan jabatan struktural.

Parameter yang digunakan dalam Penilaian Kinerja Pegawai diatas apabila disandingkan dengan parameter Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) terlihat terdapat banyak kesamaan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS, unsur-unsur yang dinilai dalam DP3 adalah kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa, dan kepemimpinan.

Unsur-unsur yang ada dalam PKP cenderung menilai karakteristik pribadi pegawai sehingga menghasilkan penilaian yang subjektif bukannya objektif. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian dari Sarwanto (2014) bahwa PKP yang dilakukan berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2007 belum menunjukkan penilaian kinerja yang objektif.

Page 24: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

013 ANALISIS SISTEM PEMBERIAN TAMBAHAN PENGHASILAN PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI

BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KOTA YOGYAKARTA)

Penilaian Kinerja seharusnya dipahami secara komprehensif, tidak hanya berpusat pada kinerja pegawai saja sebagai salah satu unsur pemberian TPP. Karena kinerja merupakan suatu konstruk multidimensional yang mencakup banyak faktor yang memengaruhinya. Faktor yang memengaruhi kinerja adalah:

1. Faktor personal/individual meliputi: pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu;

2. Faktor kepemimpianan meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader;

3. Faktor tim, meliputi kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, keppercayaan terhadap sesame anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim;

4. Faktor sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi dan kultur kerja dalam organisasi;

5. Faktor kontekstual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal.

Jadi, kinerja individual masing-masing pegawai akan mempengaruhi kinerja tim/kelompok yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja dari organisasi. Oleh karena itu, perlu dimasukkan untuk unsur kinerja organisasi dalam hal ini adalah masing-masing OPD pada Pemerintah Kota Yogyakarta, tidak hanya terpaku pada kinerja masing-masing pegawai untuk variabel dalam pemberian TPP.

5. Justifikasi Kedisiplinan Menggunakan AbsensiKriteria kedisiplinan didasarkan kepada tingkat kehadiran pegawai. Kedisiplinan digunakan sebagai parameter untuk mengetahui tingkat kinerja pegawai secara langsung. Kedisiplinan menjadi parameter yang paling mudah untuk mengetahui kinerja pegawai. Kedisiplinan adalah kriteria yang digunakan secara umum. Bersifat umum karena parameter ini dimiliki oleh semua kelompok pegawai. Meskipun demikian, porsi kedisiplinan antarkelompok pegawai berbeda-beda. Presentase kedisiplinan pegawai pada sistem pemberian TPP adalah sebagai berikut.

1. Pejabat Struktural yang memangku Jabatan Sekretaris Daerah dan Asisten Sekretaris Daerah adalah 20%.

2. Kepala SKPD, Camat, Lurah, dan Kepala Bagian pada Sekretariat Daerah porsi unsur kedisiplinan adalah 40%.

3. Pejabat Struktural selain yang sudah disebutkan diatas, Pejabat Fungsional Umum dan Pejabat Fungsional Tertentu porsi unsur kedisiplinan adalah 60%.

Page 25: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

014 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Semakin tinggi hierarkhi jabatannya maka semakin rendah prosentase untuk unsur kedisiplinan sebagai parameter dari pemberian TPP. Perbedaan porsi diantara jabatan ini menimbulkan masalah terkait ketidakadilan.

Kedisiplinan pegawai diidentikan dengan tingkat kehadiran pegawai, padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS yang dimaksud dengan disiplin PNS adalah kesanggupan PNS untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Kewajiban dan larangan terdapat dalam PP 53 Tahun 2010 sebanyak 17 kewajiban dan 15 larangan. Tingkat kehadiran hanya salah satu dari kewajiban yang ada pada PP 53 tahun 2010. Sehingga masih banyak elemen kedisiplinan selain tingkat kehadiran.

Jadi memasukkan unsur kedisiplinan sebagai salah satu parameter pemberian TPP yang tujuannya untuk meningkatkan kinerja pegawai di Pemerintah Kota Yogykarta sudah sejalan dengan gagasan yang disampaikan oleh Mondy dan Noe diatas. Kemudian yang menjadi titik fokus selanjutnya adalah terkait penegakan kedisiplinan serta penerapan kriteria atau indikator yang tepat tentang kedisiplinan yang diharapkan dapat memacu kinerja dari pegawai.

Kriteria kedisiplinan menggunakan mekanisme yang sama dengan prestasi kerja. Penilaiannya bisa dilakukan setiap bulan, hal ini disebabkan parameter yang digunakan lebih sederhana yaitu menggunakan kehadiran atau absensi. Laporan tingkat kehadiran tersebut kemudian digunakan sebagai dasar pemberian TPP untuk kriteria kedisiplinan.

Parameter pemberian TPP dalam unsur kedisiplinan yang dihitung berdasarkan tingkat kehadiran ternyata menimbulkan beberapa celah yang sering dimanfaatkan oleh oknum pegawai. Oleh karena itu unsur kedisiplinan seharusnya bukan hanya ditentukan oleh tingkat kehadiran tetapi bisa ditambahkan dengan kinerja harian dari masing-masing pegawai melalui suatu kertas kerja harian yang berisi target dan implementasi pekerjaan secara harian yang diisi oleh pegawai. Sehingga tingkat kehadiran pegawai secara harian dapat terkontrol dan kinerja pegawai secara harian dapat terlihat dengan jelas.

D. KesimpulanHasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pemberian tambahan penghasilan pegawai (TPP) belum dapat meningkatkan kinerja pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Pemerintah Kota Yogyakarta disebabkan beberapa hal tetapi yang menjadi faktor utamanya adalah regulasi dari TPP yang sudah usang dan tidak ada perubahan yang signifikan dari pertama kali dikeluarkan pada

Page 26: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

015 ANALISIS SISTEM PEMBERIAN TAMBAHAN PENGHASILAN PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI

BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KOTA YOGYAKARTA)

tahun 2007 sampai dengan tahun 2018. Di dalam regulasi tentang TPP tersebut terdapat beberapa penyebab dari sistem pemberian TPP yang belum dapat meningkatkan kinerja di BKPP.

Pemerintah Kota Yogyakarta dalam membangun suatu sistem kompensasi berbasis kinerja melalui suatu kebijakan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) mengabaikan manajemen kompensasi. Proses perumusan regulasi TPP dilakukan dengan mengakomodasi saran dari pihak BPK untuk mengikuti aturan setingkat diatasnya yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dimana pemberian tambahan penghasilan dimaksudkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai serta kriteria yang digunakan sebagai dasar pemberian adalah beban kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi atau prestasi kerja. Oleh Pemerintah Kota Yogyakarta kriteria yang diadopsi adalah bobot jabatan, penilaian kinerja dan kedisiplinan. Jadi, proses manajemen kompensasi tidak dilakukan secara komprehensif dalam penentuan sistem pemberian TPP, tetapi hanya melakukan imitasi terhadap aturan diatasnya.

E. RekomendasiBerdasarkan kesimpulan mengenai analisis sistem pemberian TPP pada Pemerintah Kota Yogyakarta, maka saran yang paling utama dan segera untuk dilaksanakan adalah melakukan perubahan regulasi tentang sistem pemberian TPP pada Pemerintah Kota Yogyakarta. Regulasi merupakan pondasi awal yang dilakukan untuk perbaikan suatu sistem. Sehingga dengan berubahnya pondasi diharapkan sistem pemberian TPP yang berada di dalamnya akan mengikuti berubah. Di dalam regulasi tersebut memuat beberapa perbaikan sebagai berikut:

1. Perumusan ulang parameter yang digunakan dalam pemberian TPP melalui tahapan-tahapan manajemen kompensasi. Yang pertama adalah melakukan identifikasi dan analisis jabatan kemudian dilanjutkan dengan melakukan evaluasi jabatan yang menghasilkan kelas jabatan sebagai penentu dari bobot masing-masing jabatan dengan tujuan untuk menghasilkan keadilan internal. Kemudian melakukan studi banding ke daerah lain dalam satu provinsi untuk melakukan survei tunjangan di masing-masing daerah sebagai pertimbangan dalam menentukan besaran dari tunjangan TPP sebagai keadilan eksternal. Kemudian tahapan yang terakhir adalah menetapkan sistem dan besaran TPP dengan melihat keadilan internal dari kelas jabatan serta keadilan eksternal dari survei tunjangan ke daerah lain. Sehingga menghasilkan sistem dan besaran TPP yang mengakomodir keadilan internal dan eksternal.

Page 27: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

016 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2. Penilaian kinerja pegawai individu dan kinerja organisasi sebagaiparameter dalam pemberian TPP. Untuk penilaian kinerja individu dapatmenggunakan SKP untuk menghindari duplikasi yang dimodifikasi dengancara penilaian 360 derajat yang dilakukan oleh atasan, teman sejawat maupun bawahan yang dilakukan setiap bulan. Kemudian penilaian kinerja organisasididasarkan pada realisasi fisik dan realisasi keuangan yang dilakukanpenilaian setiap bulan. Hasil dari penilaian kinerja digunakan sebagai plafonpenerimaan TPP yang akan memacu pegawai untuk meningkatkan kinerjanyadan berpengaruh pada kinerja organisasi sehingga tujuan dari pemberian TPPuntuk meningkatkan kinerja dapat tercapai.

3. Kriteria kedisiplinan yang didasarkan kepada tingkat kehadiran pegawaimasih bisa dipakai tetapi dengan perbaikan pada skema proporsi dimanaseluruh pegawai tidak memandang apakah pejabat struktural atau stafmemiliki proporsi yang sama untuk tingkat kehadiran sebagai salah satu dasarpemberian TPP. Kemudian adanya perhitungan akumulasi untuk pegawaiyang tidak masuk kerja, keterlambatan maupun pulang mendahului sebagaifaktor pengurang dalam penerimaan TPP. Diharapkan dengan adanya sistemakumulasi maka akan membuat pegawai berpikir dua kali untuk melakukankesengajaan terlambat maupun pulang mendahului. Kemudian diatur jugaabsensi ketika jam istirahat ditengah-tengah waktu bekerja, sehingga tingkatkehadiran dari pegawai dapat terjaga dan terpantau.

4. Saran yang terakhir adalah perubahan dari sisi besaran pokok TPP denganmelihat tren inflasi yang terjadi di Provinsi DIY serta dengan memperhatikankeuangan daerah sendiri. Besaran pokok TPP juga ditentukan melalui surveike daerah lain di dalam satu Provinsi DIY untuk menjaga keadilan eksternaldari sistem kompensasi.

Page 28: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

017 ANALISIS SISTEM PEMBERIAN TAMBAHAN PENGHASILAN PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI

BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KOTA YOGYAKARTA)

Page 29: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 30: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

02Critical Success Factors of Electronic Procurement Implementation in The

Ministry of National Development Planning/National Development

Planning Agency (Bappenas) Republic of Indonesia

Nama : Ari Prasetyo

Instansi : Bappenas

Program Studi : Magister Administrasi Publik

Negara Studi : Indonesia - Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 31: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

020 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Pengadaan barang dan jasa pemerintah memainkan peran penting dalam pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah, dengan fakta bahwa 40% dari anggaran tersebut dimanfaatkan untuk pengadaan barang dan jasa. Karena penerapan sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah menghadapi banyak tantangan, pemerintah mulai menerapkan pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik (e-procurement) sebagai kebijakan pemerintah untuk menyediakan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang lebih baik. Tujuan dari sistem e-procurement adalah untuk membuat proses pengadaan barang dan jasa menjadi lebih ekonomis, efisien, dan efektif, untuk mengurangi korupsi dan konspirasi dan juga untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi e-procurement dan mengidentifikasi faktor-faktor kritis keberhasilan (Critical Success Factors/CSFs) yang mendukung keberhasilan implementasi e-procurement di tingkat kementerian. Penelitian awal merekomendasikan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menjadi lokasi penelitian. Penelitian ini menerapkan sequential exploratory mixed method design. Metode ini menggabungkan penelitian kualitatif untuk menganalisis keberhasilan implementasi e-procurement di Bappenas dan penelitian kuantitatif dengan Exploratory Factor Analysis (EFA) untuk mengidentifikasi pengaruh CSFs terhadap keberhasilan implementasi e-procurement di Bappenas. Hasilnya menunjukkan bahwa Bappenas berhasil menerapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip e-procurement dalam praktik. Lebih lanjut, hasil analisis EFA menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi e-procurement di Bappenas dipengaruhi oleh delapan faktor kritis keberhasilan, yaitu sistem e-procurement (13,34%), keamanan sistem (12,48%), pendidikan dan pelatihan (11,75%), dukungan manajemen puncak (11,63%), rekayasa proses bisnis (8,82%), manajemen perubahan (8,54%), strategi e-procurement (7,78%), dan penyedia barang dan jasa yang kompeten dan kapabel (6,84%). Metodologi dan hasil penelitian ini memiliki arti penting bagi lembaga pemerintah dalam mengidentifikasi faktor-faktor penentu keberhasilan untuk meningkatkan keberhasilan penerapan e-procurement pada instansi pemerintah.

• Kata Kunci: Bappenas, pengadaan secara elektronik (e-procurement),keberhasilan implementasi e-procurement, faktor kritis keberhasilan (CSF),pengadaan barang dan jasa pemerintah, Exploratory Factor Analysis (EFA)

Page 32: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

021

CRITICAL SUCCESS FACTORS OF ELECTRONIC PROCUREMENT IMPLEMENTATION IN THE MINISTRY OF NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING/NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING AGENCY

(BAPPENAS) REPUBLIC OF INDONESIA

ABSTRACT

Public procurement plays an important role in the utilization of the Government of Indonesia’s state and local budget due to the fact that 40% of government budget was spent on the procurement of goods and services. Since the implementation of public procurement system faces many challenges, the government started implementing electronic government procurement (e-procurement) as the government policy to provide better public procurement. The aims of e-procurement system was to make the purchasing process of goods and services more economical, efficient, and effective, to reduce corruption and conspiracy and to increases transparency and accountability as well. For these reasons, this research aimed to describe the implementation of e-procurement and identify the Critical Success Factors (CSFs) which supported the successful implementation of e-procurement in ministerial level. The preliminary research recommended the Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency (Bappenas) to be the research’s location. This research implemented sequential exploratory mixed method design. This method combined the qualitative research to analyze the successful implementation of e-procurement in Bappenas and the quantitative research with Exploratory Factor Analysis (EFA) to identify the CSFs’ influences toward the successful e-procurement implementation in Bappenas. The results show that Bappenas succeeded in implementing the values and principles of e-procurement in practice. Furthermore, the result of EFA shows that the successful e-procurement implementation in Bappenas was influenced by the eight Critical Success Factors, namely: the e-procurement system (13.34%), the system security (12.48%), education and training (11.75%), top management support (11.63%), re-engineering business process (8.82%), change management (8.54%), the e-procurement strategy (7.78%), and competence and capable providers (6.84%). The methodology and result of this research could have significance for the government institutions in identifying the critical success factors to enhance the successful e-procurement implementation.

• Keywords: Bappenas, electronic procurement (e-procurement), successfule-procurement implementation, Critical Success Factors (CSF), publicprocurement, Exploratory Factor Analysis (EFA)

Page 33: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

022 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundThe e-procurement system became one of the most important milestone of procurement reforms in Indonesia. During the 2000s, the e-procurement systems were growing very rapidly. Based on the Presidential Instruction Number 5 Year 2004 regarding the Acceleration of Corruption Eradication, President ordered his cabinet to consistently implement the Presidential Decree Number 80 Year 2003 regarding the Implementation Guideline of Government Procurement, to prevent various leakage and wasteful use of APBN and APBD. In addition, this regulation instructed the Coordinating Minister for Economic Affairs, the Minister of Finance, and the State Minister of National Development Planning to conduct research regarding e-procurement and trial for the implementation of e-procurement system that can be shared by to other government institutions.

Implementing the Presidential Order, Bappenas through the Center for Policy Development on Public Goods and Services Procurement developed the first Electronic Procurement Service (LPSE) in Indonesia using domain name www.pengadaannasional-bappenas.go.id and the server was located in Jakarta. Bappenas and Ministry of National Education in 2007, conducted first electronic auction through the LPSE (KPK, 2015).

Since Bappenas developed the first LPSE in 2007, the system has also been implemented by other government institutions, such as provinces, cities and regencies. Based on data from LKPP in 2015, there are 635 LPSE that have covered 34 provinces in Indonesia and 731 government institutions.

Government has developed standard system of e-procurement implementation, although the result of implementation might be different for each government institution. This is because the government issued limited guidance in terms of action, especially the guidance on how the policy is implemented. Furthermore, the e-procurement policy may conflict with other policy areas because of its competing objectives or priorities. Then it proves hard to reach the policy goals in the prescribed timeframe (Hardy and Williams, 2006). Although, Public sector agency has identified e-procurement as a priority to be implemented, it lacks in evaluation and assessment on the critical factors that influence the success of the e-procurement initiative (Vaidya, Sajeev, & Callender, 2006).

Massive development and implementation of e-procurement in Indonesia led many researchers to conduct research related to the implementation of e-procurement at several region (Yuwinanto, 2013; Kustanti, et.al. 2014; Nurchana, et.al. 2014; Nurmandi and Kim, 2015). In contrast, none of the studies evaluate the implementation of e-procurement in the central level government institutions and identified the critical success factors that influence the implementation of e-procurement.

Page 34: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

023

CRITICAL SUCCESS FACTORS OF ELECTRONIC PROCUREMENT IMPLEMENTATION IN THE MINISTRY OF NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING/NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING AGENCY

(BAPPENAS) REPUBLIC OF INDONESIA

In order to fill up the gap on the e-procurement evaluation and assessment in central level government, this research will study on the critical factors of electronic procurement in central level government institutions, which can be the determinant factors of an organization’s success in implementing e-procurement.

B. Research Problem and MethodologyThe preliminary research yield shows that Bappenas has an evidence on the successful implementation of accountability in either financial management or performance including the procurement performance. Since Bappenas implemented e-procurement system in the procurement process, this research will inquire the successful implementation of electronic procurement in Bappenas. Based on the previous discussion that were elaborated in the previous section, the research questions raised in the study are:

1. How is the implementation of e-procurement in Ministry of NationalDevelopment Planning/National Development Planning Agency?

2. What are the critical factors that influence the implementation ofe-procurement in Ministry of National Development Planning/NationalDevelopment Planning Agency?

This research had employed mixed method research since the discussion on the Critical Success Factors (CSFs) of e-procurement implementation needs a comprehensive point of view. By using the mixed method, the researcher can obtain the comprehensive, valid, reliable and objective data, because the data which were obtained by qualitative approach were validated using the quantitative approach and vice versa. On the contrary, the weaknesses of this mixed method research are time consuming in the implementation and it needs extra efforts and extra costs, because researcher have to conduct two steps of research processes (Sugiyono, 2015).

This research used the mixed method research with sequential exploratory design to address the objectives of this research. This design involved first phase of qualitative data collection and analysis, followed by the second phase of quantitative data collection and analysis that were constructed based on the result of the first qualitative phase (Creswell, 2009). For further step, the data analysis in both qualitative and quantitative research were presented in a descriptive analysis to obtain the concrete and details picture of the areas that were considered successful in e-procurement implementation and identification.

Page 35: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

024 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

C. Data Analysis and Results

1. Successful E-procurement ImplementationThis research applied semi-structured interviews and observation to collect the primary data on e-procurement implementation in Bappenas. The primary data conjoined with the documentation of secondary data were optimized to observe the implementation of e-procurement in Bappenas.

Bappenas considered that the lowest price is not just the sole consideration to determine the providers but emphasized on the value for money and quality of goods and services. This results are in line with the finding of MacManus (2002) research, which shows that the procurement executives have shifted their standpoint to award the contract to the provider that offers the best value rather than only giving the contract to the lowest price with low quality of product.

To implement this mechanism, Bappenas needs to gain and keep the public trust. Therefore, the implementation of e-procurement encourages transparency and accountability in the e-procurement process by implementing the e-governance process. This strategy was also revealed by Armstrong’s (2005) research which proposed integrity, transparency and accountability as holistic approach to enhance the public trust in public administration. In addition, Bappanas has been enacting internal regulations to ensure the access to e-governance process including the publicly open audit process.

In the attempts to develop the accountable process of e-procurement, Bappenas established the standard operating procedures as materialization of control mechanism in e-procurement process. The standardization of process ascertains the equity amongst the providers, they are treated equal to create the conducive market mechanism. In prudence principle implementation, the auditor’s involvement in every single stage of e-procurement became the efforts to achieve the accountable e-procurement process. In addition, consistency on regulatory implementation ascertains the equity, open competition and competitiveness in the e-procurement process.

Furthermore, Bappenas provides the reports of e-procurement implementation for the stakeholders to preserve the accountable achievement. The reports are served in monthly report to monitor the budget absorption. Quarterly reports are used as a tool to monitor the performance based on the evidence of target achievement. The last is annual report as an evaluation tool on the performance of e-procurement implementation.

Page 36: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

025

CRITICAL SUCCESS FACTORS OF ELECTRONIC PROCUREMENT IMPLEMENTATION IN THE MINISTRY OF NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING/NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING AGENCY

(BAPPENAS) REPUBLIC OF INDONESIA

The last criterion of success implementation of e-procurement is the human being aspect. The human resource is positioned as one of the most important aspect within e-procurement system in Bappenas. This finding is consistent with the Leipold et al., (2004) result, in which they argued that the technology were used to develop the sophisticated system which are available on the market, meanwhile, the success of e-procurement implementation is determined by the human beings who are involved.

Bappenas emphasize on the professionalism of e-procurement implementers. This had been seen on the mastery of e-procurement system both in administration and technical implementation. The procurement expertise is the consideration to allocate the human resource in the procurement system. In addition, human resource capacity building is an important aspect which underlies the education and training program in Bappenas. Furthermore, the pact of integrity as an integral part of e-procurement system can be a code of conduct for the implementer in carrying the e-procurement process. Therefore, Bappenas enacted the internal regulations to maintain the professionalism and integrity for the procurement stakeholders.

2. Critical Success Factor FrameworkBased on the previous researches finding, the successful of e-procurement implementation in the organization is influenced by several critical success factors. Hence, the inquiry is needed to identify which critical success factors are more influential the implementation of e-procurement in Bappenas. The EFA result shows that Bappenas has eight critical success factors that influence the successful implementation of e-procurement. Those eight CSFs explained 81.217% of variance. Thus, the finding of eight critical success factors that influence success implementation of e-procurement in Bappenas addressed the second research question of this research.

a. Electronic Procurement System

The implementation of e-procurement system in Bappenas has a significantrole as a successful factor of e-procurement implementation. The resultshows that the influential indicators on this factor are the standard system,system content and technical system of e-procurement which comply withthe regulation. The compliance with the regulation is important because itgives the clear boundary and corridor for the government to carry out thee-procurement system. Therefore, Bappenas implemented the e-procurement standard system which complies with the government regulation. Thisresult supported the previous research yields from Davila et al. (2002) which

Page 37: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

026 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

emphasize that the successful implementation of e-procurement depends on the readiness of the institution to adopt the system. In addition, this result is also reinforced by Rotchanakitumnuai (2012) research that shows the system capability is the most important factor of successful e-procurement implementation.

In the implementation, the system has to be guided by the laws and regulations. In fact, occasionally related laws and regulations provide inadequate arrangement regarding the technical e-procurement procedures. Therefore, the technical guideline is needed to ensure the detailed procedures are consistently applied in the e-procurement implementation. In the effort to advance the reliability and accountability of e-procurement system, Bappenas developed the internal standardization of e-procurement mechanism which is materialized by establishing the internal Standard Operating Procedures as a guideline of detailed e-procurement implementation. This result is strengthened by the Hardy and William’s (2006) argument, since the e-procurement policy provides limited implementation guideline, the technical actors need to concrete the detailed procedures of implementation.

b. Security System

Security system is the second influential factor on successful e-procurementimplementation in Bappenas. The most influential indicator underlying thisfactor is the guarantee that Bappenas has security system on authentic andlegal e-procurement data protection, due to the fact that e-procurementprocess contains the confidential financial data transaction. Therefore,Bappenas merely gives access to the authorized people by giving them useridentity and password to enter the system. This finding is also supportedby Neupane et al. (2014) result. They argued that the high level offinancial security transaction in e-procurement has a positive impact on thedevelopment of the stakeholders trust to use the e-procurement system.

The indicators that influence security system as a successful factor in theimplementation of e-procurement can be identified as follows: Bappenasprovide authentic and legal data, Bappenas has the reliable hardware andsoftware system and the reliable web security system. Those indicatorscontributes to the security of transactions. Furthermore, the e-procurementsecurity system in Bappenas is directly coordinated by Planning andDevelopment Data and Information Center, therefore Bappenas couldcontrol the security system policy.

Page 38: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

027

CRITICAL SUCCESS FACTORS OF ELECTRONIC PROCUREMENT IMPLEMENTATION IN THE MINISTRY OF NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING/NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING AGENCY

(BAPPENAS) REPUBLIC OF INDONESIA

c. Education and Training

Third factor that influenced the successful e-procurement implementation iseducation and training factor. Under this factor, the most influential indicator is the regular training. Human resource has the important role on successfule-procurement implementation. The shifting from conventional to electronicprocurement led to the transformation in the procurement approach.Therefore, organizations needs to intensify the education and training tothe e-procurement implementer to adapt to the change, particularly in thenew system of information communication and technology which wereadopted by newest version of e-procurement system.

That result is in line with the Vaidya et al. (2006 & 2009) and the Leipoldet al. (2004), in which the education and training are placed as one ofthe most influential successful factor that influence the e-procurementimplementation. They recommended that multiple training methods must be offered including online demonstration and laboratories, even for the mostintuitive easy-to-use system. The education and training which is conductedin Bappenas becomes the means to develop competency and capability ofprocurement implementer. Since Bappenas has limitation on the humanresource, the management have to carefully manage and allocate the humanresources.

d. Top Management Support

E-procurement implementation success is closely related to the supportfrom the top management in the organization. This research confirmedthat top management factor have a significant impact on the successfule-procurement implementation. Bappenas top management considered thate-procurement is an important process to be adopted in Bappenas. SinceBappenas implements e-governance system, the adoption of e-procurementsystem is inevitable. Therefore, the top management gave their supportto the implementation of e-procurement. This result is correspondingwith the Moon (2005) finding, which argued that the implementation ofe-procurement offers both opportunities and challenges for the manageriallevel. The implementation of e-procurement offers opportunities to gainbetter results in procurement for organization, meanwhile, the managerswill experience new responsibilities by implementing this system.

Therefore, the top management in Bappenas takes the opportunity toimplement the e-procurement system within organization due to thefact that implementation of e-procurement becomes the leverage factorof an organization performance. The implementation of e-procurementhave a significant valuation portion that determine the performance of

Page 39: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

028 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

organization. Since the implementation of e-procurement gives a positive impact for the organization, this research’s finding also revealed that the top management in Bappenas has an ability to create the conducive procurement within organization.

e. Re-engineering Business Process

This research accounted re-engineering business process as an influencingfactor of successful implementation of e-procurement. Since Bappenas isimplementing the e-procurement system, it requires the re-engineeringof existing procurement process. The result was that Bappenas is able toadapt with the change and maintain the system to achieve success on theimplementation. This result is in accordance with the Bricks et al. (2001)argument as cited in Vaidya et al. (2006), the business process might bechanged when the organization implementing e-procurement systemrequires the staffs to adapt according to these.

The result shows that the most influential success indicator is that thee-procurement process was conducted complying with the procurementprocedures and regulations. In addition, the adoption of e-procurementbusiness process brought the positive impact to the organization. Thee-procurement implementation makes the process more efficient interm of cost efficiency, time effectiveness and achievement of value formoney. Furthermore, the implementation of e-procurement improvesthe transparency of procurement process, which gives the access to thestakeholders to conduct the supervision toward the process. The resultshows that the implementation of new e-procurement business processobtain positive response from the procurement stakeholders either internalor external stakeholders. This result confirms the Panayiotou et al. (2004)findings. By implementing e-procurement system they could eliminate theproblem on procurement system and increase the efficiency, effectivenessand transparency and reduce the transaction cost as well.

f. Change Management

There is little doubt that change management gives a tremendous impacton the success e-procurement implementation. Therefore the changemanagement becomes the success factor of e-procurement implementationin Bappenas. One of the most influential aspect in change management isthat the process of e-procurement in Bappenas are free from the corruption,collusion and nepotism practice. Many studies on e-procurement researchconfirmed the same finding with this research, that the initiative ofe-procurement implementation reduces the potential corruption in practice

Page 40: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

029

CRITICAL SUCCESS FACTORS OF ELECTRONIC PROCUREMENT IMPLEMENTATION IN THE MINISTRY OF NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING/NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING AGENCY

(BAPPENAS) REPUBLIC OF INDONESIA

(Vaidya et al., 2009; Croom and Brandon-Jones, 2007; Rotchanakitumnuai, 2012&2013; Neupane et al., 2014).

In addition, the most common problem in Indonesia is high cost in public work implementation. Therefore, the main objectives of e-procurement implementation in Bappenas is reducing the transaction cost. Meanwhile, beside the implementation of change management, Bappenas conducted the regular monitoring and the impact assessment of the e-procurement implementation. This can be a useful effort to mitigate the potential barriers of e-procurement implementation. Furthermore, Bappenas also provides help desk or information center that can assist the procurement stakeholders to get the information or submitting the complaint on the process. This results are appropriate with the finding from Davila et al. (2002). They argued that e-procurement implementation effected organizational efficiency, reduced cost and cycle times. However, the organization have to identify the risks which includes internal and external business risk, technology risk and the risks on process control of the system.

g. Electronic Procurement Implementation Strategy

The Organization need to develop executable strategy of e-procurementimplementation (Hardy and Williams, 2006). This makes the e-procurementstrategy become one of the critical factor that influence the successfulimplementation of e-procurement in Bappenas. The Bappenas e-procurement implementation existing strategy not only emphasizes on the e-procurementsystem development but also internalizes the procurement principles andvalue into the organization. To perform their strategy, Bappenas hadinvolved the stakeholders through intensive communication and strategydissemination to obtain the practitioners feedback. Furthermore, Bappenasalso developed the procedures and mechanism to monitor and evaluate theimplementation strategy.

This results were supported the Hardy and Williams (2006) findings whichstated that the development of e-procurement policy could not be designed as desired by merely using a single perspective. Therefore, in the e-procurementstrategy formulation, government should explore the complex terrain ofe-procurement policy and practice.

h. Competent and Capable Providers.

The last influential factor on successful e-procurement implementation is theproviders’ competency and capability. The final purpose of e-procurementprocess is obtaining the competent and capable providers to provide the bestgoods and services for the institution. This research yields the confirmation

Page 41: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

030 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

that e-procurement process in Bappenas could produce the competent providers, which means that the providers have a competency or ability to produce or provide the best goods and services as required in the auction term of reference. In addition, the implementation of e-procurement could produce the capable or qualified providers as well.

This results was appropriate with the Dooley and Purchase (2006) study’s result which revealed two out of four factors influencing the usage of e-procurement are the supplier willingness and supplier readiness. These implies that there has been change in the supplier attitude toward the use of e-procurement system. Their intention to use the e-procurement system not only merely guarantee them the benefits that they get from this system but also the fact that they have the quality to perform and compete within the e-procurement system.

D. ConclusionsThis research fill up the gap in the challenge of e-procurement implementation by establishing the critical success factors of e-procurement implementation in the government institution especially in ministries level. This research generated valuable contributions in identifying the critical success factors that affect the success of e-procurement implementation in Bappenas. The conclusion of this research are to be presented as follows:

1. Based on the qualitative data analysis, this research reviewed the implementation of e-procurement in Bappenas by summarizing the established criteria ofthe successful e-procurement implementation indicators. The mentionedindicators of successful implementation in Bappenas of e-procurementpractice are as follows: (1) Efficiency, by implementing e-procurement,Bappenas could obtain the budget saving every year and implement thevalue for money principle. (2) Transparency, Bappenas has the clear regulationframework and openness on information access with the prudence principleof e-procurement management. (3) Accountability, the procedure of systemimplementation including the auditing process and reporting based on legalcompliance. (4) Fairness and open competition, by using the standard processand using electronic media with national coverage, it guaranties the equity onthe process. (5) Professionalism and integrity, by affirming the procurementexpert certification, implementing the education and training, the integritypact and reward and punishment system.

2. Based on the quantitative data analysis by using the questionnaire survey,this research could explore the respondent perception on CSFs that influencethe success of e-procurement implementation in Bappenas. The set of

Page 42: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

031

CRITICAL SUCCESS FACTORS OF ELECTRONIC PROCUREMENT IMPLEMENTATION IN THE MINISTRY OF NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING/NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING AGENCY

(BAPPENAS) REPUBLIC OF INDONESIA

questionnaire was developed based on the 10 CSFs and encompassed the 54 indicators of successful e-procurement implementation. Based on the respondents’ perception, the result showed that all indicators were considered important as the success factors of e-procurement implementation with mean value of above 3.0. However, nine indicators have no significant impact on successful e-procurement implementation by obtaining less than 60% agreed and strongly agreed from the respondents.

3. The result of exploratory factor analysis proposed eight factors, in whichthey covered 32 success indicators and influenced 81.217% of variance ofthe successful e-procurement implementation. Those eight factors are (1)e-procurement system (13.34%); (2) security system (12.48); (3) education andtraining (11.75%); (4) top management support (11.63%); (5) re-engineeringbusiness process (8.82%); (6) change management (8.54%); (7) e-procurementstrategy (7.78%); (8) competence and capable providers (6.84%). Those eightCSFs can be categorized into three dimension of success e-procurementimplementation, first related to the system and technology, second associatedwith the organization and management and third bound with the practicesand processes of e-procurement.

E. RecommendationsIn spite of the great result to confirm that Bappenas was successful in maintaining the implementation of e-procurement, the research yielded some factors still needs serious attention and improvement from the policy maker, such are described as follows:

1. From the eleven factors suggested by the previous literatures, one factor isomitted due to the inappropriateness with the government nature. Meanwhile, among the ten, two factors disappeared and only eight was proposedto be the critical factors that influenced the successful of e-procurementimplementation. This affirmed that the policy makers in Bappenas have tobe alert to this warning because the two disappeared factors are related to(1) the system integration, accordingly the result shows that the integration,interconnection and interoperability of e-procurement system with othersystems are low. This research proposed to connect the e-procurement systemwith other e-governance system. (2) Performance measurement, this couldbe understandable, because the measurement could not be implementedsince Bappenas applied the ad hoc personnel and non-permanent structuralorganization in performing the e-procurement. At the same time, theperformance measurement affirmed the personnel and organization criteriato be key performance indicator, then respectively it is difficult to implementthe performance measurement in an ad hoc personnel and non-permanent

Page 43: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

032 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

organization. This research proposed to establish the Procurement Service Unit (ULP) as the permanent structural working unit in Bappenas.

2. Most of previous studies emphasized the obstacles of e-procurementimplementation in government institution, and the result of those studiescould not generalized since the government institutions have differentcharacteristics and conditions. In contrast, this research offer the differentpoint of views, to which it concentrated on the critical success factors ofthe e-procurement implementation. The results generated the issues thatcould be implemented in every government organization with variouscharacteristics and conditions. This research recommends to conduct the sameresearch in the wider scope to identify critical success factors of e-procurementimplementation in government institutions. The research has had coverageof both central and local government institutions that indicated success inimplementing e-procurement system. The results could be developed as theself-assessment criteria of government institution to achieve the success ofe-procurement implementation.

Page 44: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

033

CRITICAL SUCCESS FACTORS OF ELECTRONIC PROCUREMENT IMPLEMENTATION IN THE MINISTRY OF NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING/NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING AGENCY

(BAPPENAS) REPUBLIC OF INDONESIA

Page 45: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 46: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

03Pengaruh Sumber Daya Internal

Organisasi Terhadap Inovasi Organisasi di

Kantor Pusat Lembaga Administrasi Negara

Nama : Isni Kartika Larasati

Instansi : Lembaga Administrasi Negara

Program Studi : Magister Administrasi Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Sriwijaya

Page 47: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

036 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Inovasi sektor publik menjadi perhatian penting akibat semakin meningkatnya persaingan antar lembaga penyedia layanan dan semakin kompleksnya perkembangan perubahan sosial. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sumber daya internal organisasi terhadap inovasi organisasi di kantor pusat Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan mengetahui bagaimana bentuk model pengaruh tersebut. Sumber daya internal organisasi yang mempengaruhi inovasi organisasi diperoleh dari hasil telaah pustaka penelitian terdahulu, yang terdiri dari kepemimpinan, budaya organisasi, knowledge management dan sumber daya manusia. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan pendekatan survei dengan teknik pengumpulan data melalui penyebaran kuesioner. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 215 orang pegawai negeri sipil di kantor pusat LAN. Teknik yang digunakan untuk menentukan sampel adalah proporsionate stratified random sampling. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah Structural Equation Modeling (SEM). Berdasarkan hasil uji kesesuaian model, model yang diajukan dinyatakan fit dengan data. Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas konstruk, dinyatakan bahwa indikator-indikator dalam penelitian mampu menjelaskan masing-masing konstruk penelitian. Hasil penelitian membuktikan bahwa kepemimpinan dan budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap inovasi organisasi, sedangkan knowledge management dan sumber daya manusia berpengaruh positif terhadap inovasi organisasi, namun tidak secara signifikan. Kepemimpinan memiliki pengaruh terhadap inovasi organisasi sebesar 63,2%, sedangkan budaya organisasi memiliki pengaruh sebesar 38,1%, manajemen pengetahuan memiliki pengaruh sebesar 19,3%, dan sumber daya manusia memiliki pengaruh sebesar 31,2% terhadap inovasi organisasi. Penelitian ini merekomendasikan agar penerapan knowledge management dilakukan dalam struktur yang baik dan menyeluruh, memperkuat pengelolaan sumber daya manusia untuk mendukung inovasi, serta menciptakan pengelolaan inovasi yang mapan agar dapat menjamin tumbuh kembang inovasi organisasi.

• Kata Kunci: kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen pengetahuan,sumber daya manusia, inovasi organisasi, structural equation modeling (SEM)

Page 48: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

037 PENGARUH SUMBER DAYA INTERNAL ORGANISASI TERHADAP INOVASI ORGANISASI DI

KANTOR PUSAT LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

ABSTRACT

Innovation in public sector is become an important concern because of increasingly competition between public service organizations and complexity of the social change. The purpose of this research is to determine the effect of organizational internal resources on organizational innovation within the head office of National Institute of Public Administration (NIPA) and determine how the model is. Organizational internal resources that influence the organizational innovation are obtained from the literature review of previous research, consisting of leadership, organizational culture, knowledge management and human resources. This is a quantitative research using survey approach by distributing questionnaires. The sample of this research is 215 civil servant of the head office of NIPA. The technique used to determine the sample is proportional stratified random sampling. The method used to analyze data is Structural Equation Modeling (SEM). Based on the results of the model suitable test, the proposed model is declared fit to the data. Based on the results of construct validity and reliability test, it is stated that the indicators in this research are able to explain each research construct. This research prove that leadership and organizational culture have a positive and significant effect on organizational innovation, while knowledge management and human resources have a positive effect on organizational innovation too, but not significantly. Leadership has an effect on organizational innovation by 63.2%, while organizational culture has an effect of 38.1%, knowledge management has an effect of 19.3%, and human resources has an effect of 31.2% on organizational innovation. This research recommends that the implementation of knowledge management be carried out in a good and comprehensive structure, strengthen the human resources management to support innovation, and create a proper management of innovation in order to guarantee the growth of organizational innovation.

• Keywords: leadership, organizational culture, knowledge management,human resources, organizational innovation, structural equation modeling(SEM)

Page 49: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

038 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangDalam menyelenggarakan fungsi merumuskan, melaksanakan, serta melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan inovasi administrasi negara, pada tahun 2014 LAN telah mengembangkan Handbook Inovasi Administrasi Negara yang dapat dijadikan pegangan dalam pengembangan inovasi administrasi negara. Selain itu, sebagai upaya untuk turut mengambil peran penting dalam proses perumusan PP Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah yang digawangi oleh Kemendagri, LAN juga menyusun policy brief yang berjudul “Penguatan dan Sinkronisasi RPP Inovasi Daerah” yang memberikan rekomendasi kebijakan agar inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, akuntabel dan terkoordinasi.

Dengan tugas baru ini, LAN semakin melebarkan sayapnya dalam mendorong penyebaran “virus” inovasi ke berbagai wilayah di negara Indonesia. Dalam menyelenggarakan fungsi memberikan bimbingan teknis dan fasilitasi inovasi administrasi negara, sejak tahun 2015 LAN telah menggagas program Laboratorium Inovasi yakni program yang berbentuk pendampingan, asistensi, dan fasilitasi untuk mendorong penciptaan dan pelaksanaan inovasi sektor publik pada tataran kolektif dan organisasional dengan menggunakan metode 5D. Metode 5D terdiri dari drum-up (pemberian motivasi untuk berinovasi), diagnose (menemukan permasalahan atau kebutuhan untuk berinovasi), design (rancangan inovasi yang akan diimplementasikan), deliver (pelaksanaan dan monitoring inovasi), dan display (publikasi inovasi, misalnya dalam bentuk pameran maupun dokumentasi dalam buku). Hingga tahun 2017, sebanyak 36 pemerintah daerah telah bekerja sama dengan LAN dalam program Laboratorium Inovasi dan akan semakin bertambah setiap tahunnya. Untuk menjawab tantangan semakin meningkatnya ketertarikan stakeholder akan program Laboratorium Inovasi, sementara sumber daya yang dimiliki LAN terbatas jumlahnya, maka muncul urgensi untuk mencetak fasilitator-fasilitator di luar lingkungan LAN, yang dihasilkan melalui kegiatan Workshop Champion Innovation yang rutin dilaksanakan baik di lingkungan LAN maupun atas permohonan dari stakeholder.

Atas keberhasilan dan dampak positif yang diperoleh dari kegiatan ini, pada tahun 2018, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2017 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018, LAN mendapat mandat untuk melaksanakan salah satu Program Prioritas Nasional yang terbingkai dalam kegiatan “Akselerasi Inovasi Tata Pemerintahan dalam Meningkatkan Daya Saing Daerah”. Tiga agenda utama dalam kegiatan ini adalah 1) Laboratorium Inovasi, 2) Workshop Champion Innovation dimana keduanya lebih diprioritaskan untuk pemerintah daerah di wilayah timur dalam rangka mendukung pemerataan inovasi daerah, serta 3) Pengukuran Dampak Inovasi (pada daerah terpilih yang telah menjadi lokus Laboratorium Inovasi tahun 2015 dan 2016).

Page 50: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

039 PENGARUH SUMBER DAYA INTERNAL ORGANISASI TERHADAP INOVASI ORGANISASI DI

KANTOR PUSAT LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

Selain menjalankan fungsinya untuk kemajuan stakeholder, LAN juga memberikan perhatian khusus pada pengembangan inovasi di internal organisasinya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa untuk mampu menyebarkan budaya kreativitas dan inovasi kepada stakeholder, LAN hendaknya berupaya untuk membangun organisasinya menjadi role model organisasi yang inovatif. Pengembangan inovasi dalam internal LAN terus-menerus diupayakan dengan membuka seluas-luasnya akan munculnya ide, gagasan, dan pemikiran kreatif dari pegawai serta mendorong inovasi untuk pelaksanaan tugas dan fungsi secara lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, para pegawai dapat menghayati pengalamannya bekerja di dalam organisasi yang inovatif untuk kemudian ditularkan kepada rekan-rekan yang bertugas di institusi lainnya. Untuk mengatur kegiatan pengembangan inovasi secara internal, LAN telah mengeluarkan Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 34 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Inovasi Administrasi Negara di Lingkungan Lembaga Administrasi Negara.

Menindaklanjuti kebijakan tersebut, sejak tahun 2016 pimpinan puncak menginstruksikan setiap unit kerja untuk menghasilkan minimal sebanyak dua inovasi atau proyek perubahan setiap tahunnya. Inovasi yang dinilai berhasil dan terbaik melalui lomba inovasi internal yang dinilai oleh pakar dan praktisi di bidang inovasi, akan diberikan apresiasi berupa reward. Dari 22 unit kerja LAN yang tersebar di seluruh Indonesia, untuk tahun 2016 telah dihasilkan sebanyak 66 ide inovasi dan pada tahun 2017 terjadi peningkatan menjadi 88 ide inovasi. Namun demikian, peningkatan ini tidaklah terjadi secara merata di setiap unit kerja.

Inovasi yang lahir dalam organisasi ini cenderung bersifat top-down dimana kemunculannya didasarkan pada dorongan atau instruksi dari pimpinan puncak. Dari proses tersebut kemudian lahir inovator yang meskipun hanya menginisiasi perubahan atau inovasi yang sederhana, tapi mampu memberikan cara-cara baru dalam bekerja. Cara ini tentu saja merupakan cara yang lebih baik dari sebelumnya, bukan cara yang lebih berbelit-belit. Namun demikian, resistensi akan adanya perubahan tetap ada dimana sebagian pegawai masih mengganggap instruksi untuk berinovasi ini menjadi beban. Akibatnya, kadangkala inovasi yang telah dirancang mengalami stagnansi dan tidak dikembangkan lebih lanjut. Hal ini juga ditengarai karena pengelolaan inovasi belum dilakukan secara mapan sehingga inovasi yang telah dijalankan menjadi terancam keberlanjutannya karena minimnya monitoring dan pengawasan. Untuk hal ini, tidak ada punishment yang diberikan oleh jajaran pimpinan puncak.

Memandang inovasi dalam institusi yang mengemban tugas dan fungsi sebagai fasilitator dalam pengembangan inovasi administrasi negara menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Bagaimana inovasi itu digalakkan dalam institusi,

Page 51: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

040 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

bagaimana inovasi menjadi budaya organisasi dan kreativitas menjadi karakter bagi pegawainya, lalu selanjutnya setelah muncul inovasi-inovasi yang berdampak positif bagi peningkatan kinerja, bagaimana pengelolaannya dan dilakukan oleh siapa agar inovasi-inovasi tersebut terjamin berkelanjutannya, merupakan hal yang penting untuk dianalisis. Namun demikian, agar pembahasan menjadi lebih fokus, penelitian ini dibatasi dari sisi kemunculan ide inovasi organisasi.

Hasil penelitian terdahulu telah membuktikan beberapa variabel yang mempengaruhi inovasi organisasi, baik yang berasal dari dalam organisasi maupun yang berasal dari luar organisasi. Dalam kajian manajemen strategis, pandangan baru yang muncul adalah mengenai Resource-Based View (RBV) yang memberikan asumsi bahwa untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan sehingga mampu bertahan dalam jangka panjang, sebuah organisasi harus dapat memfokuskan perhatian pada pengelolaan sumber daya internal. Inovasi merupakan salah satu upaya untuk mencapai keunggulan bersaing dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jadi, organisasi sektor publik dapat mendeteksi sumber daya yang dimilikinya, baik berupa aset, kemampuan, dan kompetensi yang potensial untuk menciptakan organisasi yang inovatif. Sumber daya internal yang paling berpengaruh terhadap inovasi ini sangat penting untuk dianalisis, sebab untuk dapat berkembang menjadi organisasi yang inovatif, bila pola hubungan pengaruh sumber daya internal terhadap inovasi organisasi sudah diketahui, maka faktor-faktor tersebut dapat dimanipulasi untuk mendukung akselerasi inovasi di dalam organisasi. Dengan demikian, penelitian ini berjudul

“Pengaruh Sumber Daya Internal Organisasi Terhadap Inovasi Organisasi di Kantor Pusat Lembaga Administrasi Negara”.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah sumber daya internal organisasi berpengaruh terhadap inovasiorganisasi di kantor pusat Lembaga Administrasi Negara dan berapa besarpengaruh tersebut?

2. Bagaimana model pengaruh sumber daya internal organisasi terhadap inovasiorganisasi di kantor pusat Lembaga Administrasi Negara?

Rancangan atau desain penelitian berfungsi sebagai panduan bagi peneliti, yang berisikan rencana dan prosedur bagaimana suatu penelitian akan dilakukan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang didasarkan pada paradigma positivisme. Penelitian ini akan menguji besaran pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi, knowledge management, dan sumber daya manusia sebagai variabel

Page 52: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

041 PENGARUH SUMBER DAYA INTERNAL ORGANISASI TERHADAP INOVASI ORGANISASI DI

KANTOR PUSAT LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

bebas (eksogen) yang dianggap sebagai sumber daya internal organisasi yang mempengaruhi inovasi organisasi sebagai variabel terikatnya (endogen). Adapun pendekatan penelitian kuantitatif yang peneliti gunakan adalah penelitian survei melalui penyebaran kuesioner kepada para responden. Dalam penelitian ini menggunakan dua macam data berdasarkan klasifikasi jenis dan sumbernya, yaitu:

1. Data primer, yang diperoleh secara langsung di lokasi penelitian melaluipenyebaran kuesioner kepada responden untuk mendapatkan pernyataanakan persepsi pegawai tentang variabel yang diteliti.

2. Data sekunder, yang diperoleh secara tidak langsung, yakni melalui penelitianterdahulu yang relevan dengan penelitian, peraturan yang sah dan berlaku,dokumen rencana strategis organisasi, serta laporan kegiatan yang terkaitpengembangan inovasi internal organisasi.

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik survei menggunakan alat bantu instrumen penelitian berupa kuesioner. Kuesioner berisi daftar pernyataan tertutup yang disusun berdasarkan indikator yang telah dikembangkan dari teori untuk mengukur masing-masing variabel penelitian. Untuk mendapatkan tanggapan dari responden, mereka diminta untuk memilih secara objektif salah satu alternatif jawaban yang dianggap paling tepat. Skala yang digunakan dalam instumen penelitian ini adalah Skala Likert dikarenakan kesesuaian dengan fungsinya, yakni menentukan tingkat persetujuan responden terhadap suatu pernyataan dengan memilih salah satu dari pilihan yang tersedia sehingga dapat diketahui bagaimana persepsi responden terhadap variabel yang diteliti. Pernyataan dalam kuesioner disusun sejenis berbentuk pernyataan positif untuk mempermudah pemahaman responden dan mempermudah dalam analisis mengingat jumlah item kuesioner yang diajukan cukup banyak.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Implikasi TeoritisDalam teori RBV ditekankan pentingnya organisasi untuk mengelola sumber daya internal dalam mencapai dan mempertahankan keunggulan bersaing. Sukses atau tidaknya sebuah organisasi akan sangat ditentukan oleh kekuatan dan kelemahan yang ada dalamnya. Sumber daya internal itu meliputi sumber daya fisik (sistem dan teknologi, sarana dan prasarana), sumber daya manusia (pelatihan, pengalaman, dan wawasan yang dimiliki pegawai), dan sumber daya organisasi (struktur formal, proses perencanaan dan strategi organisasi). Dalam penelitian ini, hanya difokuskan kepada sumber daya manusia yang semua proses

Page 53: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

042 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

yang terjadi di dalamnya yakni kepemimpinan dan budaya organisasi sebagai bentuk interaksi sosial antar SDM dalam organisasi, knowledge management sebagai bentuk inventarisasi dan pemanfaatan pengetahuan dan pengalaman pegawai, serta sumber daya manusia itu sendiri.

Adapun inovasi dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah bertujuan untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan untuk mencapai tujuan tersebut, sasaran inovasi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, salah satunya melalui peningkatan daya saing. Oleh karena itu, inovasi dalam penelitian ini juga merupakan salah satu upaya untuk mencapai keunggulan bersaing dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini, teori RBV tidak dapat dibuktikan secara penuh berdasarkan data empirik yang ditemui di kantor pusat LAN. Hal ini diduga disebabkan karena dalam penelitian ini peneliti hanya mengambil beberapa bagian dalam teori RBV, tanpa melihat keseluruhan indikator sumber daya dalam teori RBV, yakni sumber daya organisasi yang meliputi struktur formal, proses perencanaan dan strategi organisasi. Variabel tersebut juga dapat diprediksi mempengaruhi inovasi dan dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya untuk menghasilkan model yang baru untuk menganalisis keterkaitannya dengan inovasi organisasi.

Sangat penting pula untuk memperhatikan teori-teori yang digunakan dalam mengukur masing-masing variabel agar menghasilkan temuan yang tepat. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian juga penting untuk diperhatikan agar pegawai mengerti apa yang dinyatakan dalam kuesioner dan memberikan persepsi yang objektif. Keterbatasan populasi dan sampel juga menjadi kendala dalam penelitian ini sebab populasi pegawai LAN yang tersebar di beberapa satuan kerja di beberapa wilayah di Indonesia kurang memungkinkan untuk diambil seluruhnya sehingga dalam penelitian ini hanya diambil populasi dari lingkungan kantor pusat saja.

Koch dan Hauknes (2008) dalam penelitiannya mengatakan bahwa inovasi tidak akan terjadi tanpa adanya faktor pendorong yang didominasi oleh kekuatan yang berasal dari internal dan eksternal organisasi. Selain kekuatan internal yang mencakup kepemimpinan, budaya yang terbuka dengan perubahan, personil yang mendukung, dan pendanaan yang tepat yang penting untuk diperkuat, juga penting untuk dianalisis apa saja kekuatan yang berasal dari luar organisasi. Dengan demikian, teori analisis stratgei tradisional memang tidak dapat dilupakan begitu saja. Teori analisis strategi tradisional dan RBV bukanlah teori yang saling bertabrakan, namun keduanya adalah pendekatan yang sifatnya saling

Page 54: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

043 PENGARUH SUMBER DAYA INTERNAL ORGANISASI TERHADAP INOVASI ORGANISASI DI

KANTOR PUSAT LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

komplementer. Sebuah organisasi tidak mungkin menepis dinamika eksternal, karena itu seberapa besar pengaruh faktor eksternal terhadap inovasi organisasi dapat diamati dalam penelitian lebih lanjut.

Selain itu, karena proses pencapaian tujuan organisasi akan bermuara pada pembahasan mengenai kinerja yang dihasilkan, maka penting untuk mengetahui bagaimana inovasi organisasi dapat berperan dalam peningkatan kinerja organisasi. Apakah inovasi merupakan prediktor dalam menentukan kinerja organisasi, ataukah dipandang sebagai hasil dari kinerja organisasi. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya.

2. Implikasi PraktisPraktik kepemimpinan dan budaya organisasi yang sudah berjalan di LAN harus dapat dipertahankan karena telah terbukti mendukung tumbuh kembang inovasi dalam organisasi berdasarkan data empirik penelitian ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemimpin yang menduduki posisinya secara personal telah mampu membangkitkan motivasi pegawai untuk menghasilkan cara-cara baru dalam bekerja. Budaya organisasi yang kuat telah mendukung lahirnya inovasi di lingkungan kantor pusat LAN. Kedua variabel ini, apabila lebih diperkuat, maka akan sangat membantu LAN mencapai misinya, yakni memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan kapasitas aparatur negara dan sistem administrasi negara guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik, salah satunya melalui pengembangan inovasi administrasi negara.

Namun demikian, praktik knowledge management dan sumber daya manusia perlu menjadi perhatian khusus agar dapat berpengaruh secara signifikan terhadap inovasi organisasi. Praktik knowledge management perlu diperkuat dengan struktur yang baik dan perlu dilaksanakan secara menyeluruh baik pada unit inti maupun unit lini dalam organisasi. Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki pegawai merupakan aset berharga dalam suatu organisasi. Dengan diterapkannya knowledge management yang terstruktur dengan baik, maka pengetahuan dan pengalaman pegawai akan menjadi pendukung utama dalam menumbuhkembangkan inovasi organisasi.

Sumber daya manusia juga merupakan aset penting dalam organisasi. Sumber daya manusia menjadi tidak signifikan dalam penelitian ini karena masih berbicara mengenai hal-hal dasar, yakni tentang kemampuan, keterampilan, pengetahuan, pengalaman dan sikap. Sedangkan dalam kajian manajemen SDM, hal yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bagaimana pengelolaan SDM itu sendiri, yang meliputi perencanaan, rekrutmen, penempatan, pendidikan dan pelatihan, serta

Page 55: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

044 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

perencanaan pengembangan karir pegawai. Dengan penerapan manajemen SDM yang baik, maka akan dapat mempengaruhi SDM sebagai individu untuk berkontribusi dalam inovasi organisasi.

Moussa, et al., (2018) mengatakan bahwa salah satu tantangan utama bagi para praktisi di sektor publik adalah mengembangkan sistem, proses, dan iklim yang mempromosikan dan menunjukkan inovasi dan kreativitas. Secara keseluruhan, berdasarkan hasil pengamatan peneliti, dalam pengelolaan inovasi di LAN ini masih terdapat beberapa kelemahan. Salah satu yang penting adalah mengenai manajemen inovasi dalam organisasi. Inovasi hendaknya dilembagakan dengan baik, dan diperlukan satu unit khusus yang ditugaskan untuk melakukan manajemen inovasi dalam internal organisasi. Dimulai dari proses perencanaan inovasi hendaknya dilakukan secara formal, seperti yang dilakukan dalam perencanaan program. Inovasi yang muncul dari bawah kerap mengalami tumpang tindih antara satu inovasi dengan inovasi lain, terutama inovasi yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini terjadi sebagai dampak dari proyek perubahan yang wajib dihasilkan oleh seluruh pegawai yang mengikuti Diklat Kepemimpinan, dimana proyek perubahan sangat didominasi oleh inovasi yang berbasis TIK, tanpa memperhatikan bagaimana integrasinya dengan sistem-sistem yang sudah ada. Oleh karena itu, upaya untuk integrasi sistem informasi yang berkembang harus segera dilaksanakan.

Dari segi implementasinya, inovasi membutuhkan monitoring secara berkala seperti halnya kegiatan dan program rutin yang dijalankan organisasi. Bagaimana kontrol terhadap inovasi yang sudah berjalan juga harus dilakukan secara ketat. Beberapa inovasi mengalami stagnansi karena kurangnya pengawasan dan tuntutan untuk terus menerus memperbaharui inovasi tersebut, atau kalaupun memang harus berhenti, maka harus digantikan dengan inovasi yang baru. Dengan manajemen inovasi yang baik, maka tumbuh kembang inovasi di LAN akan maksimal dan membawa pada perubahan yang lebih baik demi pelayanan publik yang semakin responsif.

D. KesimpulanBerdasarkan analisis sebelumnya maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikt:

1. Dari hasil telaah pustaka ditemukan sumber daya internal organisasi yangberpengaruh terhadap inovasi organisasi dalam penelitian ini terdiri dariempat variabel, yakni kepemimpinan, budaya organisasi, knowledgemanagement, dan sumber daya manusia.

Page 56: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

045 PENGARUH SUMBER DAYA INTERNAL ORGANISASI TERHADAP INOVASI ORGANISASI DI

KANTOR PUSAT LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

2. Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap inovasi organisasi di lingkungan kantor pusat LAN. Besarnya nilai pengaruh kepemimpinanterhadap inovasi organisasi adalah 63,2%. Hal ini menunjukkan indikasibahwa pimpinan dalam organisasi telah mampu menciptakan iklim yangmendukung untuk inovasi, memberi pengakuan informal dan penghargaanformal bagi para inovator, mempromosikan inovator, dan mendiseminasikankeberhasilan inovasi dalam organisasi. Variabel kepemimpinan dalam menilaipengaruhnya terhadap inovasi organisasi diukur dengan menggunakan 13indikator, di mana berdasarkan hasil analisis SEM, indikator yang terbuktivalid dalam model dan terbukti berpengaruh terhadap inovasi organisasi ada12 indikator, yang terdiri dari kemampuan dan keahlian (KP1), rasa hormatdari bawahan (KP2), asumsi dari keputusan (KP3), keyakinan atas gagasan,nilai dan kepercayaan (KP4), bertindak dengan integritas (KP5), optimis dalampenyelesaian rencana (KP7), inspirasi untuk berbuat lebih (KP8), penghargaanatas pertanyaan, gagasan dan pendapat yang bernilai penting (KP9), cara-cara baru dalam pekerjaan (KP10), pemecahan masalah dengan logis (KP11),perlakuan bawahan sebagai individu yang berbeda (KP12), dan pemberianpelatihan dan petunjuk (KP13), sedangkan indikator yang tidak terbuktiberpengaruh terhadap inovasi organisasi hanya indikator visi dan standaryang harus dicapai (KP6).

3. Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap inovasiorganisasi di lingkungan kantor pusat LAN. Besarnya nilai pengaruhkepemimpinan terhadap inovasi organisasi adalah 38,1%. Hal inimenunjukkan indikasi bahwa budaya yang berkembang di dalam organisasitelah berhasil memperkuat inovasi organisasi di LAN. Variabel budayaorganisasi dalam menilai pengaruhnya terhadap inovasi organisasi diukurdengan menggunakan tujuh indikator, dimana berdasarkan hasil analisisSEM, indikator yang terbukti valid dalam model dan terbukti berpengaruhterhadap inovasi organisasi ada empat indikator yakni kejelasan hasil yangdiharapkan (BD3), keberpihakan keputusan organisasi terhadap kemajuanSDM (BD4), tingkat kerja sama dalam organisasi (BD5), dan iklim kompetitifdalam organisasi (BD6), sedangkan indikator yang tidak terbukti berpengaruhterhadap inovasi organisasi terdiri dari kebebasan menyelesaikan pekerjaandengan cara yang berbeda (BD1), perhatian terhadap rincian uraian pekerjaan (BD2) dan kestabilan individu dan organisasi (BD7).

4. Knowledge management berpengaruh positif terhadap inovasi organisasidi lingkungan kantor pusat LAN sebesar 19,3%, namun pengaruh tersebutterbukti tidak signifikan. Hal ini diduga disebabkan karena penerapanknowledge management belum terstruktur dengan baik dan belumdilaksanakan secara menyeluruh di semua unit kerja dalam organisasi.Variabel knowledge management dalam menilai pengaruhnya terhadap

Page 57: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

046 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

inovasi organisasi diukur dengan menggunakan lima indikator, dimana berdasarkan hasil analisis SEM, indikator yang terbukti valid dalam model dan terbukti berpengaruh terhadap inovasi organisasi ada tiga indikator, yakni ketersediaan wadah untuk mendokumentasikan pengetahuan (KM2), frekuensi forum komunikasi berbagi pengetahuan dan pengalaman (KM3), dan fungsi knowledge management dalam peningkatan kompetensi (KM4), sedangkan indikator yang tidak terbukti berpengaruh terhadap inovasi organisasi terdiri dari tingkat pengembangan pengetahuan baru (KM1) dan struktur penerapan knowledge management dalam organisasi (KM5).

5. Sumber daya manusia berpengaruh positif terhadap inovasi organisasi dilingkungan kantor pusat LAN sebesar 31,2%, namun pengaruh tersebutterbukti tidak signifikan. Hal ini diduga disebabkan karena pengelolaansumber daya manusia, yakni yang terkait dengan perencanaan, rekrutmen,penempatan, pendidikan dan pelatihan, serta perencanaan pengembangankarir pegawai belum diarahkan pada tujuan pengembangan inovasi organisasi. Variabel sumber daya manusia dalam menilai pengaruhnya terhadapinovasi organisasi diukur dengan menggunakan lima indikator, dimanaberdasarkan hasil analisis SEM, indikator yang terbukti valid dalam modeldan terbukti berpengaruh terhadap inovasi organisasi ada tiga indikator,yakni pengetahuan pegawai terhadap tugas fungsi jabatan dan organisasi(SDM1), pelatihan dan penempatan pegawai berdasarkan kriteria yangobjektif (SDM2), kemampuan dan motivasi dalam bekerja (SDM3), sedangkanindikator yang tidak terbukti berpengaruh terhadap inovasi organisasi terdiridari penggunaan pengalaman dalam bekerja (SDM4) dan kesungguhan untukmenghasilkan pekerjaan yang berkualitas (SDM5).

6. Variabel inovasi organisasi dalam model fit yang dihasilkan dalam penelitianini dapat diukur menggunakan beberapa indikator yang terbukti valid, yangterdiri dari ketersediaan banyak layanan yang diberikan (IN2), dukunganteknologi baru dan teknologi yang disederhanakan (IN3), proses kerjamenjadi lebih cepat dan sederhana (IN4), kemampuan dan pencegahanmasalah dalam pelayanan (IN6), dan pemberdayaan masyarakat dan pegawai(IN7). Sementara indikator koordinasi kegiatan dengan beberapa organisasi(IN1) dan pelibatan stakeholder untuk kepentingan publik (IN5) bukanlahmerupakan indikator yang valid dalam mengukur inovasi organisasi dalammodel fit yang dihasilkan dalam penelitian ini.

E. RekomendasiSaran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah:

1. Untuk mendukung tumbuh kembang inovasi organisasi di internal LAN, sangat diperlukan stimulus dari sosok pimpinan yang bergaya transformasional dan

Page 58: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

047 PENGARUH SUMBER DAYA INTERNAL ORGANISASI TERHADAP INOVASI ORGANISASI DI

KANTOR PUSAT LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

dorongan agar inovasi dapat tumbuh secara bottom-up. Oleh karena itu, praktik kepemimpinan dan budaya yang sudah berkembang dalam organisasi saat ini perlu dipertahankan dan terus ditingkatkan di masa mendatang.

2. Sumber daya manusia dengan segenap kemampuan, pengetahuan danpengalaman yang dimilikinya sangat penting dalam mendukung tumbuhkembang inovasi dalam organisasi. Untuk mencapai hal tersebut, sumberdaya manusia perlu dikelola dengan lebih baik lagi dan diarahkan padakegiatan-kegiatan yang terkait dengan pengembangan inovasi. Selain itu,praktik knowledge management hendaknya dilakukan secara terstruktur danmenyeluruh di semua unit dalam organisasi.

3. Inovasi dalam organisasi membutuhkan pengelolaan yang memadai, olehkarena itu, agar memiliki perencanaan yang baik, pelaksanaan yang sesuaidengan rencana, dan keberlanjutannya terjamin, maka organisasi hendaknyamemiliki wadah atau satu unit khusus yang berkapasitas untuk melakukanfungsi manajemen inovasi internal. Dengan demikian, inovasi dapat salingterintegrasi dan tidak saling tumpang tindih sehingga secara bersama-samaakan mampu meningkatkan kinerja.

4. Untuk penelitian selanjutnya disarankan dapat melihat pola hubungan antarainovasi organisasi dan kinerja organisasi untuk menjawab apakah inovasimerupakan prediktor dari kinerja, atau apakah inovasi merupakan hasil darikinerja.

5. Untuk penelitian selanjutnya juga dapat mengembangkan model yangmemuat hubungan konstruk-konstruk lain yang berpengaruh terhadapinovasi organisasi, misalnya faktor eksternal organisasi, struktur organisasi,dan strategi organisasi.

6. Penelitian yang sama namun dilakukan pada objek penelitian yang berbedajuga disarankan untuk penelitian selanjutnya.

Page 59: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 60: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

04Analisis Penerapan Perencanaan Kinerja

dengan Menggunakan Balaced Scorecard di Badan Standarisasi

Nasional

Nama : Testianto Hanung Fajar Prabowo

Instansi : Biro Perencanaan, Keuangan, dan Tata

Usaha

Program Studi : Magister Administrasi Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Brawijaya

Page 61: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

050 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Latar belakang penelitian ini adalah tingkat transparansi dan akuntabilitas atas kinerja suatu instansi pemerintah menjadi tuntutan dan perhatian serius dari masyarakat dalam era keterbukaan saat ini. Oleh karena itu, instansi pemerintah harus melakukan keterbukaan informasi publik dan akuntabilitas dalam manajemen kinerjanya berbasis outcome (Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah). New Public Management (NPM) bentuk gerakan reformasi dan modernisasi yang dapat memperbaiki sistem manajemen kinerja publik karena berbasis outcome dan adanya standar kinerja (Mahmudi, 2015) Balanced scorecard salah satu pendekatan berbasis NPM yang dapat memperbaiki kinerja suatu iinstansi pemerintah dan berorientasi outcome (Niven, 2003). Konsep balanced scorecard sesuai dengan Perpres No. 29 Tahun 2014 sehinggga balanced scorecard direkomendasikan digunakan untuk pengelolaan kinerja instansi pemerintah di Indonesia (Kemenkeu, 2016). Badan Standardisasi Nasional menerapkan perencanaan kinerja perspektif balanced scorecard sejak tahun 2015 (Renstra BSN dan Kepka BSN No. 28A/KEP/BSN/2015). Namun perencanaan kinerja perspektif BSC di BSN selalu berubah setiap tahunnya (dalam 5 tahun) sehingga menyebabkan inkonsistensi dan ketidakberlanjutan dalam kinerjanya serta tidak sesuai dengan Perpres No. 29 Tahun 2014 . Selain itu, berdasarkan hasil evaluasi melalui surat Menpan No.B/664/M.A.A.05.2018, perencanaan kinerja BSN dalam perspektif balanced scorecard belum mencerminkan outcome dan cascading yang tepat sesuai dengan visi organisasi.

Rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimana penerapan perencanaan kinerja dengan menggunakan balanced scorecard di Badan Standardisasi Nasional? (2) Apa saja faktor yang menghambat dan mendorong penerapan perencanaan kinerja dengan menggunakan balanced scorecard di Badan Standardisasi Nasional? dan (3) Bagaimana usulan model perencanaan kinerja organisasi publik yang tepat dengan menggunakan balanced scorecard di Badan Standardisasi Nasional?

Metode penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis deskriptif studi kasus. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, studi dokumentasi. Teknik analisis yang digunakan, yaitu analisis data model interaktif dari Miles, Huberman, dan Sadana (2013).

Hasil penerapan perencanaan kinerja organisasi publik dengan menggunakan balanced scorecard di Badan Standardisasi Nasional sebagian besar sudah melakukan sesuai dengan enam tahapan perencanaan balanced scorecard sesuai teori Rohm. Tahapan yang telah dilakukan yaitu assesmen, penyusunan strategi,

Page 62: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

051 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

DI BADAN STANDARDISASI NASIONAL

sasaran, peta strategis, dan penyusunan ukuran kinerja. Namun masih terdapat beberapa catatan terkait adanya tahapan perencanaan yang belum dilakukan BSN yaitu tahapan penyusunan inisiatif strategis. Sementara itu untuk segi penerapan empat perspektif balance scorecard dari masing – masing tahapan diketahui bahwa terdapat beberapa tahapan yang telah menerapkan balanced scorecard yaitu perumusan sasaran, peta strategis dan penyusunan ukuran kinerja. Namun ketiga tahapan tersebut hanya menerapkan tiga perspektif saja dan belum menerapkan perspektif finansial. Sementara itu tahapan assesmen dan penyusunan strategi belum menggunakan empat perspektif balanced scorecard. Terdapat beberapa faktor penghambat utama yang perlu diantisipasi dan dicari solusinya, yaitu berasal dari manajemen terkait tidak adanya pedoman atau standar operasional prosedur terkait pengelolaan kinerja berbasis balanced scorecard di BSN dan konsultan yang berganti-ganti dalam melakuka perencanaan tersebut. Kemudian dari sisi personel yaitu kurang komitmennya pimpinan terhadap balanced scorecard yang telah ditetapkan dan staff yang tidak dilibatkan dalam perencanaan kinerja tersebut. Sementara itu untuk faktor pendukung, yaitu sumber daya terkait ketersediaan anggaran yang meningkat setiap tahun dan adanya sarana prasarana serta teknologi informasi yang lengkap dalam mendukung perencanaan kinerja berbasis BSC di BSN serta adanya budaya kerja Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2015 yang dapat meningkatkan keteraturan dalam bekerja. Selain itu, visi yang telah ditetapkan secara berkelanjutan juga dapat mendukung perencanaan kinerja di BSN. Model tahapan yang ada saat ini tidak secara lengkap karena tidak adanya tahapan penysuunan inisiatif strategis. Sehingga diusulkan model baru yang sesuai dengan tahapan Six Steps to Build Organizational’s Balanced Scorecard yaitu dengan penambahan inisitaif strategis. Selain itu juga perlu penambahan empat perspektif balanced scorecard pada tahapan assesmen, penyusunan strategi, dan inisiatif strategis. Kemudian juga perlu penambahan perspektif finansial pada tahapan perumusan sasaran, peta strategis dan penyusunan ukuran kinerja. Selain itu dalam usulan model perencanaan tersebut juga perlu penambahan SOP atau pedoman dalam pengelolaan kinerja berbasis balanced scorecard di BSN dan pengikutsertaan staff dalam sosialisasi balanced scorecard di BSN.

• Kata Kunci: perencanaan, kinerja, sektor publik, balanced scorecard

Page 63: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

052 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRACT

The background of this research is the level of transparency and accountability for the performance of a government agency being a serious demand and concern from the public in the current era of openness. Therefore, government agencies must conduct public information disclosure and accountability in their outcome-based performance management (Presidential Regulation No.29 of 2014 about Government Institution Performance Accountability Systems). New Public Management (NPM) forms a reform and modernization movement that can improve public performance management systems because of outcome-based and the existence of performance standards (Mahmudi, 2015). Balanced scorecard is one of the NPM-based approaches that can improve the performance of government agencies and outcome-oriented (Niven, 2003). The concept of the balanced scorecard is in accordance with Presidential Regulation No. 29 of 2014 so that the balanced scorecard is recommended to be used to manage the performance of government agencies in Indonesia (Ministry of Finance, 2016). The National Standardization Agency has implemented a balanced scorecard perspective performance planning since 2015 (Renstra BSN and Kepka BSN No. 28A/KEP/BSN/2015). However, the BSC perspective performance planning at BSN always changes every year (within 5 years), causing inconsistencies and unsustainability in its performance and not in accordance with Presidential Regulation No. 29 of 2014. In addition, based on the results of the evaluation through the letter of Menpan No. B/664/M.A.A.05.2018, BSN performance planning in the perspective of a balanced scorecard does not yet reflect the outcome and cascading that is in accordance with the organization’s vision.

The formulation of the problem in this study are (1) How is the implementation of performance planning using the balanced scorecard in the National Standardization Agency?, (2) What are the factors that hinder and encourage the implementation of performance planning using the balanced scorecard in the National Standardization Agency?, and (3) How do you propose an appropriate performance planning model using the balanced scorecard in the National Standardization Body?

This research method is a qualitative approach with a descriptive type of Case Study. Data collection techniques through interviews, observation, documentation studies. The analysis technique used is interactive model data analysis from Miles, Huberman, and Sadana (2013).

Results of the study show that the implementation of public organization performance planning using the balanced scorecard at the National Standardization Agency has largely been carried out in accordance with the six stages of balanced

Page 64: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

053 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

DI BADAN STANDARDISASI NASIONAL

scorecard planning according to Rohm’s theory. The steps that have been made are asesmen, strategy development, goals, strategic map, and performance measures. However, there are still some notes related to the planning stages that have not been carried out by BSN, namely the stages of preparing strategic initiatives. Meanwhile, in terms of the application of the four perspectives of the balanced scorecard from each stage it is known that there are several stages that have implemented the balanced scorecard, namely the formulation of targets, strategic maps and the preparation of performance measures. However, the three stages only apply three perspectives and have not applied the financial perspective. Meanwhile the stages of asesmen and strategy formulation have not used the four balanced scorecard perspectives. There are several main inhibiting factors that need to be anticipated and sought for a solution that is derived from management related to the absence of guidelines or standard operating procedures related to performance management based on balanced scorecard in BSN and consultants who alternate in carrying out the planning. Then in terms of personnel, namely the leadership’s lack of commitment to the established balanced scorecard and staff not involved in the performance planning. Meanwhile, the supporting factors are resources related to the availability of the budget which increases every year and the availability of complete infrastructure and information technology to support BSC-based performance planning in BSN and the work culture of the ISO 9001: 2015 Quality Management System which can improve work orderliness. In addition, the vision that has been set in a sustainable manner can also support performance planning in BSN. The current stage model is incomplete because there are no stages in strategic initiatives. So that it is proposed a new model that is suitable with the Six Steps to Build Organizational’s Balanced Scorecard stage, namely by adding strategic innovation. It also needs the addition of four balanced scorecard perspectives at the asesmen stage strategy development, and strategic initiatives. Then also need to add a financial perspective at the stage of goal formulation, strategic maps and performance measurement. In addition, the proposed planning model also needs the addition of SOPs or guidelines in performance management based on balanced scorecard in BSN and staff participation in the socialization of balanced scorecard at BSN.

• Keywords: planning, performance, public sector, balanced scorecard

Page 65: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

054 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangBalanced scorecard merupakan metode urutan pertama yang banyak digunakan dari 15 alat manajemen kinerja yang digunakan di dunia (Bain & Company, 2011). Seperti halnya di lingkup internasional, hampir seluruh lembaga baik swasta dan publik di Indonesia juga telah menerapkan balanced scorecard sebagai sistem manajemen kinerja. Sebagian besar organisasi sektor publik atau pemerintah di Indonesia juga telah menerapkan balanced scorecad sebagai pengelolaan atau manajemen kinerja antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2003, Kementerian Keuangan pada tahun 2008, Kementerian Perdagangan pada tahun 2010, Kementerian Luar Negeri pada tahun 2010, Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2008, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada tahun 2016, Kementerian Pariwisata tahun 2018 dan lain sebagainya.

Kondisi penerapan balanced scorecard di organisasi pemerintah dan organisasi publik lainnya pada umumnya berjalan dengan baik dan berhasil meningkatkan kinerja organisasi walaupun masih terdapat beberapa hambatan. Keberhasilan tersebut ditandai dengan adanya sinergi pimpinan dan penanggung jawab indikator kinerja, kejelasan visi-misi level unit organisasi, komunikasi, employee engagement, reward dan punishment berbasis kinerja individu, sarana dan prasarana yang memadai dan peranan organisasi meningkatkan kompetensi pegawai sehingga menjadi contoh bagi institusi lainnya dalam menerapkan manajemen kinerja. Sementara itu, Kabupaten Ciamis sebagai organisasi publik di daerah juga berhasil menerapkan balanced scorecard dengan baik dengan telah mencapai target yang telah ditentukan (Wahyuni, 2017). Namun menurut Griffiths (2003) dan Hastiana (2013) terdapat sebagian organisasi publik yang mengalami hambatan dalam menerapkan balanced scorecard antara lain karena adanya ketidakkonsistenan tujuan dan pengukuran kinerja, balanced scorecard tidak digunakan sebagai sistem reward dan punishment, kurang jelasnya sosialisasi dan pemahaman balanced scorecard terhadap pegawai.

Salah satu organisasi publik yang telah menerapkan balanced scorecard, yaitu Badan Standardisasi Nasional. Badan Standardisasi Nasional (BSN) merupakan salah satu institusi pemerintah di Indonesia yang juga telah meggunakan pengelolaan kinerja dengan perspektif balanced scorecard. Pengelolaan kinerja dengan perspektif balanced scorecard di BSN berdasarkan arahan dari Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 dan hasil dari benchmarking pada Kementerian PAN RB dan Kementerian Keuangan agar kementerian dan lembaga pemerintah membuat indikator kinerja sebagai ukuran yang dapat mencerminkan adanya outcome dan akuntabilitas kinerja yang melibatkan stakeholder. BSN merupakan institusi pemerintah pusat yang mempunyai tugas untuk mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia. BSN telah merencanakan kinerja

Page 66: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

055 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

DI BADAN STANDARDISASI NASIONAL

dengan perspektif balanced scorecard sebagai pedoman pengelolaan dan alat ukur kinerja selama 5 tahun yaitu pada tahun 2015—2019. Hal tersebut dituangkan dalam dalam Kepka BSN Nomor 28A/KEP/BSN/2/2015 tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama di Badan Standardisasi Nasional yang kemudian diubah menjadi Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 201A/KEP/BSN/5/2019 tentang Perubahan Kelima Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 28A/KEP/BSN/2/2015 tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Badan Standardisasi Nasional. Di dalam kebijakan tersebut memuat tentang kebijakan kinerja BSN yang berbasis balanced scorecard. Hal tersebut Sesuai Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPENAS Nomor 5 Tahun 2014 menjelaskan dalam penyusunan Rencana Strategis Kementrian/Lembaga (Renstra-K/L) harus berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), bahwa di rencana strategis dan indikator kinerja Kementerian/Lembaga berlaku selama 5 tahun dan bersifat long lasting.

Balanced scorecard di BSN juga digunakan sebagai pedoman dalam rangka peningkatan laporan kinerja. Namun, kinerja BSN dirasa belum dilakukan secara optimal sehingga hasil laporan kinerja masih belum dapat memenuhi target dalam empat tahun terakhir. Nilai laporan kinerja BSN masih belum dapat meningkat secara signifikan begitu pula dengan outcome kinerja BSN. Hal itu dibuktikan dengan Hasil Evaluasi dari Kementerian PAN dan RB No. B./835/M.AA.05/2018 bahwa penilaian Hasil Evaluasi Akuntabilitas Kinerja BSN hanya mendapatkan nilai “B” di tahun 2015, 2016, 2017, dan 2018. Sehingga belum ada peningkatan tingkat akuntabilitas kinerja selama penggunaan pengelolaan kinerja dengan perspektif balanced scorecard.

Perlu dilakukan analisis terhadap penerapan proses perencanaan kinerja dengan menggunakan balanced scorecard di Badan Standardisasi Nasional, faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam penerapan perencanaan kinerja dengan perspektif balanced scorecard serta model yang tepat pada perencanaan kinerja dengan menggunakan balanced scorecard. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh Northcott (2012) dalam makalah yang berjudul Using the balanced scorecard to manage performance in public sector organizations bahwa perlunya untuk memodifikasi dimensi BSC dan merancang langkah-langkah yang menangkap hasil kualitatif yang penting. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu dan menjadi pedoman dalam merencanakan kinerja dengan menggunakan balanced scorecard untuk meningkatkan kinerja BSN dan menyusun pengelolaan kinerja yang dapat diukur sesuai dengan permasalahan yang ada. Sehingga dapat dilakukan pengelolaan kinerja yang tepat, akuntabilitas dan akurat dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat terutama terkait dengan sertifikasi SNI dan akreditasi.

Page 67: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

056 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisDari permasalahan yang terdapat di latar belakang tersebut, maka penelitian akan dirumusakan permasalahannya sebagai berikut

1. Bagaimana penerapan perencanaan kinerja dengan menggunakan balancedscorecard di Badan Standardisasi Nasional?

2. Apa saja faktor yang menghambat dan mendukung dalam penerapanperencanaan kinerja dengan menggunakan balanced scorecard di BadanStandardisasi Nasional?

3. Bagaimana usulan model perencanaan kinerja dengan menggunakanbalanced scorecard yang tepat di Badan Standardisasi Nasional?

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan yaitu terkait proses penerapan perencanaan kinerja dengan menggunakan balanced scorecard di Badan Standardisasi Nasional. Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian ini tidak menganalisa data-data yang diwujudkan dan diterjemahkan ke dalam angka. Akan tetapi sifat penelitian kualitatif akan lebih memperhatikan aspek alamiah yaitu teori dikembangkan berdasarkan pada kenyataan atau data murni di lapangan.

Lokasi penelitian ini adalah tempat dimana diadakannya suatu penelitian, yaitu pada Kantor Badan Standardisasi Nasional Republik Indonesia yang terletak di Gedung BPPT 1, Jl. MH. Thamrin No. 8, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Alasan mengambil lokasi ini dikarenakan Badan Standardisasi Nasional merupakan salah satu Lembaga pemerintah yang telah menerapkan kinerja dengan menggunakan balanced scorecard sejak 2016 namun mengalami ketidakonsistenan dalam indikator kinerja dan rendahnya nilai perencanaan kinerja. Situs penelitian ini akan dilakukan di ruang pimpinan BSN untuk melakukan wawancara dan ruang Biro Perencanaan dan Keuangan BSN dalam rangka observasi dalam terkait penerapan perencanaan kinerja organisasi publik dengan menggunakan balanced scorecard di BSN yang telah dilakukan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Penerapan Perencanaan Kinerja denganBSC di BSN

Asesmen yang dilakukan BSN dalam menyusun fondasi organisasi belum menggambarkan karakteristik balanced scorecard. Sehingga perlu dilakukan

Page 68: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

057 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

DI BADAN STANDARDISASI NASIONAL

penyusunan asesmen yang berbasis balanced scorecard supaya dapat menjadi awal yang baik dalam perencanaan kinerja berbasis balanced scorecard di BSN.

Pada perspektif stakeholder, setelah dianalisis terdapat 5 (lima) pernyataan yang termasuk dalam SWOT perspektif stakeholder. Sementara itu dalam perspektif internal porses terdapat 6 (enam) pernyataan yang termasuk dalam SWOT perspektif internal proses. Selanjutnya terdapat tiga pernyataan yang termasuk dalam perspektif learning and growth. Dalam asesmen tersebut belum manganalisis perspektif finansial, padahal seharusnya ada yaitu terkait penyerapan anggaran tahun sebelumnya telah mencapai >95% dan adanya peluang terhadap penambahan anggaran melalui hibah non-APBN yang dapat dimanfaatkan. Untuk itu peneliti mengusulkan dimasukkannya hal tersebut.

Penyusunan strategi di BSN dilakukan oleh top management (eselon I-II), tim Akuntabilitas Kinerja BSN, dan pejabat struktural di BSN dalam forum perencanaan kinerja BSN. Semua pihak tersebut saling berkontribusi dalam mencapai kesepakatan hasil strategi yang telah dilakukan. Strategi tersebut memuat arah kebijakan untuk barang berstandar ke luar negeri dan dalam negeri serta adanya layanan infrastruktur mutu (standar, akreditasi, dan pengukuran). Berdasarkan analisis, maka strategi dan kebijakan tersebut belum mencerminkan empat perspektif balanced scorecard sehingga didapatkan bahwa penyusunan strategi yang dilakukan belum berbasis balanced scorecard, sehingga bila BSN menerapkan balanced scorecard pada perencanaan kinerjanya, maka diharuskna menggunakan empat perspektif balanced scorecard. Perspektif stakeholder yang merupakan outcome BSN dapat mengambil pernyataan strategi terkait peningkatan pengawasan dan peningkatan jaminan kualitas ekspor produk SNI. Untuk perspektif internal proses dapat ditinjau dari pernyataan strategi terkait peningkatann kualitas dan kapasitas kemampuan layanan infstarktur mutu (standardisasi, akreditasi, metorlogi) yang dilakukan oleh BSN. Sementara itu perspektif learning and growth dan finansial belum terdapat dalam pernyataan strategi sehingga peneliti mengambil strategi berdasarkan hasil dari assessmen yang dilakukan dan berdasarkan teori Niven (2002), yaitu terkait peningkatan SDM standardisasi di BSN dan peningkatan kapasitas pengelolaan anggaran BSN.

Dalam penyusunan sasaran, BSN belum menyertakan perspektif finansial sebagaimana yang harus dilakukan pada saat menggunakan perspektif balanced scorecard. Hal itu dikarenakan ketidaktahuan para pegawai BSN dan tidak ada penjelasan perspektif tersebut oleh konsultan. Top management dan Tim AKIP BSN beranggapan bahwa perspektif finansial tidak diperlukan karena BSN merupakan organisasi publik dan bukan merupakan organisasi yang berorientasi profit. Untuk itu, peneliti merekomendasikan penyusunan sasaran dilakukan dengan empat perspektif strategis yaitu dengan penambahan perspektif finansial dengan

Page 69: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

058 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

sasaran meningkatkan kapasits pengelolaan anggaran BSN. Sesuai dengan teori dari Niven (2003) bahwa perspektif finansial dalam organisasi publik berisi terkait anggaran yang ada dan yang digunakan dalam sehingga penulis mengusulkan sasaran strategis untuk perspektif finansial yaitu meningkatnya anggaran Badan Standardisasi Nasional.

Dari beberapa hasil analisis proses tahapan di atas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa tahapan yang tidak dilakukan disertai analisis terhadap setiap tahapan tersebut. Analisis tersebut disimpulkan dalam penjabaran tabel sebagai berikut :

Tabel 1. Analisis Penerapan Perencanaan Kinerja BSC di BSN

No. Tahapan/Proses Keterangan Hasil Analisis BSC

1. Assessmen (Penyusunan fondasi organisasi)

Dilakukan pada saat awal perencanaan kinerja berbasis balanced scorecard

Dalam melakukan assesmen atau penyususnan pondasi organisasi, BSN melakukan analisis potensi dan permasalahan secara umum dan belum menggunakan empat perspektif balanced scorecard sesuai dengan petunjuk Rohm. Sehingga perlu dilakukan assessmen berbasis eempat perspektif balanced scorecard.

2. Penyusunan Strategi

Dilakukan dengan mengacu pada ssessmen yang telah dilakukan

Dalam menyusun strategy dan kebijakan, BSN juga belum menggunakan empat perspektif balanced scorecard. Penyusunan tersebut menghasilkan 3 Strategi secara umum berdasarkan assesmen yang telah dilakukan. Sehingga direkomendasikan perlu dilakukan perumusan strategi dan kebijakan dengan empat perspektif balanced scorecard.

3. Penyusunan Sasaran

Dilakukan dengan mengacu pada tahapan sebelumnya

Dalam melakukan perumusan tujuan dilakukan menghasilkan 6 sasaran. Perumusan sasaran tersebut juga telah menggunakan perspektif balanced scorecard sesuai dengan petunjuk Rohm. Namun perspektif yang digunakan hanya yaitu stakeholder, internal proccess dan learning and growth. Sasaran di ketiga perspektif tersebut sudah memenuhi kaidah dan ketentuan yang ditentukan oleh Rohm (2003). Namun dengan belum adanya perspektif finansial, sehingga direkomendasikan perlu dilakukan perumusan sasaran dengan penambahan perspektif financial sehingga berbasis empat persektif balanced scorecard.

Page 70: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

059 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

DI BADAN STANDARDISASI NASIONAL

No. Tahapan/Proses Keterangan Hasil Analisis BSC

4. Penyusunan Peta Strategis

Dilakukan Penyusunan peta strategis dilakukan setelah penyusunan sasaran. Peta strategis ini juga hanya menggambarkan tida perspektif yaitu stakeholder, internal proses, dan learning and growth. Ketiga perspektif tersebut sudah terhubung dengan tepat. Namun pada penyusunan ini tidak terdapat perspektif finansial. Padahal menurut Niven (2003) seharusnya perencanaan kinerja perspektif BSC terutama peta strategis harus terdapat empat perspektif yaitu stakeholder, internal process, learning and growth dan financial. Sehingga BSN perlu menambahkan perspektif finansial disertai dengan sasaran strategisnya.

5. Penyusunan Ukuran Kinerja

Dilakukan Penyusunan ukuran kinerja atau indikator kinerja utama dilakukan setelah peta strategis. Namun pada penyusunan ini juga tidak terdapat perspektif finansial. Padahal menurut Niven (2003) seharusnya indikator kinerja perspektif BSC harus terdapat empat perspektif yaitu stakeholder, internal process, learning and growth dan financial supaya terjadi keseimbangan. Sehingga BSN perlu menambahkan finansial perspektif disertai dengan indikator kinerja dan target-targetnya. Selain itu, beberapa indikator kinerja yang disepakati terutama dalam perspektif stakeholder dan internal porses belum sesuai kriteria SMART-C dan perlu dilakukan perbaikan perencanaan tersebut. Karena masih terdapat penghitungan indikator yang bersifat local dan indikator yang masih berupa proses bukan outcome. Sedangkan di learning and growth banyak indikator yang masih berpedoman pada penilaian eksternal sehingga perlu mendapat pengawasan yang khusus.

6. Penyusunan Inisiatif Strategis

Tidak Dilakukan

BSN tidak melakukan karena ketidaktahuan terkait penyusunan program inisiatif.

Page 71: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

060 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2. Analisis Faktor Penghambat dan PendukungMenurut Kaplan dan Norton (2000) balanced scorecard merupakan metode dalam manajemen kinerja yang sangat sesuai untuk mendefinisikan visi kinerja suatu organisasi. Begitu pula dengan diterapkannya balanced scorecard di BSN yaitu untuk mendefinisikan visi secara jelas hingga dapat memenuhi target dan outcome untuk meningkatkan kinerja BSN. Namun dalam perencanaan tersebut tentunya terdapat faktor yang dapat menghambat dan mendukung dalam perencanaan kinerja dalam perspektif balanced scorecard. Faktor pendukung harus dimaksimalkan dan dimanfaatkan potensinya untuk keberlanjutan perencanaan, sedangkan faktor penghambat harus diminimalkan resikonya supaya tidak terjadi konflik dalam perencanaannya. Faktor pendukung dan penghambat yang ditemukan dalam penelitian yaitu sebagai berikut :

a. Faktor pendukung

1) Manajemen

Menurut hasil penelitian yang didapatkan, BSN telah melakukan budaya kerja tersistem yaitu dengan menggunakan Sistem Manajemen Mutu (SMM) berbasis SNI ISO 9001:2008 sejak tahun 2010 yang kemudian diperbarui dengan SNI ISO 9001:2015. Fungsi dari SMM tersebut yaitu untuk mengatur dan mengelola sistem administratif setiap tugas, pokok dan fungsi di setiap unit kerja BSN sehingga lebih tertata dan professional, sehingga SMM tersebut merupakan suatu potensi yang menjadi budaya kerja untuk mendukung sistem perencanaan kinerja dengan balanced scorecard. Penerapan SNI ISO 9001 : 2015 tersebut telah menjadi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang kemudian menjadi keputusan Kepala Biro SDM, Organisasi dan Hukum BSN

2) Sumber Daya

Faktor pendukung lainnya yang dapat dimanfaatkan adalah sumber daya. Sumber daya (resources) di BSN sangat potensial untuk mendukung balanced scorecard di BSN. Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa hal yang mendukung dalam sektor sumber daya antara lain

a. Sumber daya sarana prasarana

Sarana prasarana ini yang dimaksud meliputi ketersediannya komputer di setiap meja dan jaringan infomatika yang tehubung dengan baik sehingga diharapkan adanya sarana dan teknologi ini dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja dan mendukung dalam otomatisasi BSC yang direncanakan di BSN.

Page 72: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

061 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

DI BADAN STANDARDISASI NASIONAL

b. Sumber daya anggaran

Anggaran di BSN setiap tahunnya mempunyai tren naik. Sehingga dengan adanya sumber daya tersebut dapat menjadi modal untuk dapat meningkatkan kualitas proses perencanaan kinerja berbasis BSC dan juga implementasi dari perencanaan tersebut dalam mencapai outcome BSN.

3) Visi

Visi mempunyai peran penting dalam keberhasilan balanced scorecard di suatu organisasi. Hal itu dikarenakan visi merupakan acuan utama dalam mencapai outcome badan standardisasi nasional. Visi yang disusun menjadi faktor pendukung dalam keberhasilan perencanaan kinerja BSC di BSN.

b. Faktor penghambat

1) Manajemen

Menurut Kaplan dan Norton (2000) manajemen merupakan faktor yang dapat menjadi penghambat dalam merencanakan balanced scorecard. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa manajemen menjadi penghambat. Salah satunya adalah tidak adanya pedoman pengelolaan kinerja dengan meggunakan balanced scorecard. Padahal di beberapa kementerian/lembaga yang telah menjadi benchmarking sudah mempunyai peraturan terkait pedoman pengelolaan kinerja balanced scorecard di instansinya masing – masing. Menurut Permen KKP, pedoman menajemen kinerja adalah suatu ketentuan yang digunakan untuk dapat mengatur terkait penyusunan dan penerapan manajemen kinerja perspektif balanced scorecard di lingkungan KKP.

Dengan tidak adanya pedoman pengelolaan kinerja khususnya perencanaan kinerja BSC maka sistem perencanaanya kan menjadi tidak terkontrol dan menjadi kurang konsisten sehingga mengalami ketidakberlanjutan kinerja berbasis BSC Untuk itu diperlukan pedoman atau ketentuan dalam pengelolaan kinerja dan disosialisasikan ke tim perumus serta staff untuk dapat mengetahui cara atau pedoman dalam merencanakan kinerja BSC.

Selain itu, terdapat hambatan yang lain yaitu konsultan perencanaan BSC yang berganti – ganti setiap tahun perencanaan. Dengan bergantinya konsultan tersebut maka berganti pula grand theory dan pemikiran BSC terhadap top management dan pegawai BSN. Pada tahun awal – awal terdapat konsutan PT.A kemudian pada tahun 2017 terdapat konsultan PT.MC, kemudian perubahan yang terkahir di tahun 2019 berganti pula

Page 73: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

062 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

konsulntannya yaitu PT VA2. Sehingga dengan bergantinya sudut pandang terkait BSC maka membuat perencanaan kinerja berbasis BSC di BSN menjadi tidak berkelanjutan.

2) Personel

Kemudian faktor penghambat selanjutnya adalah terkait orang atau personel. Berdasarkan hasil penelitian personel yang menghambat yaitu pimpinan. Pimpinan adalah seorang yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mengarahkan ataupun mengkoordinasi untuk mencapai tujuan dalam suatu organisasi (Setiawati,2000). Komitmen adalah sebagai perjanjian atau keterikatan untuk melakukan sesuatu yang terbaik dalam organisasi atau kelompok tertentu (Aranya & Ferris, 1984). Sehingga dapatdikatakan komitmen pimpinan merupakan kunci dari perencanaan suatu program. Pimpinan di BSN cenderung kurang percaya diri terhadap kemampuan menajemen kinerja BSN. Hal tersebut karena pada tahun 2015-2019 merupakan masa transisi dari sistem kinerja tradisional menjadi sistem kinerja yang berbasiskan balanced scorecard. Sehingga pimpinan masih terus belajar terkait hal tersebut dan juga kesibukan pimpinan yang membuat pembahsaan dan perencanaan kinerja di BSN menjadi tidak maksimal.

Namun di BSN pimpinan cenderung tidak komitmen terhadap apa yang dilakukannya. Sehingga perencanaan kinerja serting tidak konsisten dan tidak berkelanjutan. Selain itu tidak adanya partisipasi staff dalam perencanaan maka penerapannya menjadi tidak maksimal dan menjadi kurang konsisten. Sebaiknya partisipasi juga dilakukan dengan staff seperti misalnya sistem bottom up, penjaringan partisipasi dari staff maupun masyarakat dan sosialisasi balanced scorecard kepada staff.

Page 74: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

063 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

DI BADAN STANDARDISASI NASIONAL

3.U

sula

n h

asil

per

enca

naa

n k

iner

ja d

eng

an m

eng

gu

nak

an b

alan

ced

sco

reca

rd d

i B

SN (

lan

juta

n h

alam

an k

edu

a)

Sasa

ran

Ind

ikat

or

Kin

erja

Uta

ma

Def

inis

iC

on

tro

l-

Val

idit

yIn

isia

tif

Stra

teg

is

Stak

eho

lder

Per

spek

tif

1Te

rwu

jud

nya

d

aya

sain

g p

rod

uk

ber

stan

dar

di

pas

ar d

om

esti

k d

an g

lob

al

1Pe

rsen

tase

p

ertu

mb

uh

an e

ksp

or

Pro

du

k N

asio

nal

ya

ng

did

uku

ng

SNI,

Lab

ora

tori

um

, Le

mb

aga

Sert

ifik

asi

dan

Met

rolo

gi

(Sta

nd

ar

Nas

ion

al S

atu

an

Uku

ran

)

Surv

ei a

ng

ka

per

tum

bu

han

eks

po

r te

rhad

ap s

amp

le k

lien

LP

K y

ang

dia

kred

itas

i K

AN

.

10%

Mo

der

at

e-Ex

act

- Pe

nin

gka

tan

ker

jasa

ma

den

gan

K

emen

teri

an P

erd

agan

gan

- Pe

nin

gka

tan

ker

jasa

ma

den

gan

LP

K t

erak

red

itas

i ya

ng

ber

ori

enta

si

eksp

or

- Pe

nyu

sun

an r

egu

lasi

ter

kait

SN

I p

rod

uk

eksp

or

- Pe

nel

itia

n b

idan

g p

rod

uk

eksp

or

ber

-SN

I

2Pe

rsen

tase

p

ertu

mb

uh

an p

rod

uk

ber

-SN

I d

i p

asar

ret

ail

dal

am n

eger

i

Surv

ei p

rod

uk

SNI

waj

ib

dan

su

kare

la k

e re

tail

bes

ar y

ang

mem

ilik

i b

anya

k ca

ban

g s

elu

ruh

Ind

on

esia

.

50%

Mo

der

at

e-Ex

act

- Pe

nin

gka

tan

ker

jasa

ma

den

gan

re

tail

- Pe

nel

itia

n b

idan

g p

rod

uk

SNI

dal

am

neg

eri

- K

ebij

akan

pen

ing

kata

n S

NI

di

pro

du

k d

alam

neg

eri

- Pe

rum

usa

n S

NI

pro

du

k d

alam

n

eger

i

3In

dek

s ke

pu

asan

m

asya

raka

t te

rhad

ap

efek

tivi

tas

Sist

em

Stan

dar

dis

asi

dan

Pe

nil

aian

Kes

esu

aian

Surv

ei y

ang

dil

aku

kan

un

tuk

men

gu

kur

tin

gka

t ke

pu

asan

mas

yara

kat

terh

adap

efe

ktif

itas

Si

stem

Sta

nd

ard

isas

i d

an

Pen

ilai

an K

eses

uai

an.

4.5

(ska

la 5

)

Mo

der

at

e-Ex

act

- So

sial

isas

i d

an E

du

kasi

ten

tan

g

SNI

dan

akr

edit

asi

- Pe

nja

rin

gan

Asp

iras

i d

an K

elu

han

m

asya

raka

t te

rkai

t SN

I-

Pen

elit

ian

ten

tan

g b

ud

aya

ber

-SN

I d

i m

asya

raka

t

Page 75: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

064 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Sasa

ran

Ind

ikat

or

Kin

erja

Uta

ma

Def

inis

iC

on

tro

l-

Val

idit

yIn

isia

tif

Stra

teg

is

Inte

rnal

Pro

ses

Pers

pek

tif

2M

enin

gka

tkan

K

apas

itas

d

an K

ual

itas

Pe

ng

emb

ang

an

Stan

dar

4Pe

rsen

tase

Sta

nd

ar

Nas

ion

al

Ind

on

esia

(S

NI)

yan

g d

itet

apka

n (m

asih

akt

if)

Stan

dar

Nas

ion

al

Ind

on

esia

(SN

I) a

dal

ah

satu

-sat

un

ya s

tan

dar

ya

ng

ber

laku

sec

ara

nas

ion

al d

i In

do

nes

ia

yan

g d

itet

apka

n o

leh

BSN

Hig

h-

Exac

t-

Peru

mu

san

SN

I te

rkai

t is

u t

erb

aru

- Pe

nin

gka

tan

ab

oli

si S

NI

yan

g s

ud

ah

tid

ak r

elev

an-

Pen

ing

kata

n p

rese

nta

se r

evis

i u

lan

g SN

I ya

ng

ter

dap

at m

kder

nis

asi

5Pe

rsen

tase

SN

I ya

ng

har

mo

nis

den

gan

st

and

ar i

nte

rnas

ion

al

SNI

yan

g h

arm

on

is

den

gan

sta

nd

ar

inte

rnas

ion

al a

dal

ah

SNI

yan

g d

ikem

ban

gka

n se

nd

iri

atau

SN

I h

asil

ado

psi

.

Exac

t

Hig

h-

Exac

t-

Pen

ing

kata

n k

erja

sam

a d

eng

an I

SO

dan

bad

an s

tan

dar

lai

nn

ya-

Pen

ing

kata

n j

um

lah

SN

I ya

ng

dia

do

psi

men

jad

i St

and

ar D

un

ia

3M

enin

gka

tkan

K

apas

itas

d

an K

ual

itas

Pe

ng

elo

laan

St

and

ar

Nas

ion

al

Satu

an U

kura

n

6Pe

rsen

tase

Ser

tifi

kat

Kal

ibra

si y

ang

tert

elu

sur

ke S

tan

dar

N

asio

nal

Sat

uan

U

kura

n (

SNSU

)

Sert

ifik

at k

alib

rasi

ya

ng

ter

telu

sur

adal

ah s

erti

fika

t ya

ng

dit

erb

itka

n o

leh

Lab

ka

lib

rasi

ter

akre

dit

asi

KA

N y

ang

ter

telu

sur

ke

SI m

elal

ui

SNSU

.

Exac

t

Hig

h-

Exac

t-

Pen

ing

kata

n s

erti

fika

si

lab

ora

tori

um

di

ind

on

esia

- Pe

nin

gka

tan

SD

M a

sses

sor

kali

bra

si

Page 76: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

065 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

DI BADAN STANDARDISASI NASIONAL

7Ju

mla

h k

emam

pu

an

pen

gu

kura

n d

an

kali

bra

si y

ang

dia

kui

inte

rnas

ion

al

Kem

amp

uan

kal

ibra

si

dan

pen

gu

kura

n ya

ng

ter

sed

ia u

ntu

k p

elan

gg

an s

ebag

aim

ana

dip

ub

lika

sika

n d

alam

b

asis

dat

a K

CD

B d

ari

CIP

M M

RA

.

Pro

xy

Mo

der

at

e-Pr

oxy

- Pe

nin

gka

tan

ker

jasa

ma

den

gan

B

IPM

- Pe

nin

gka

tan

pen

gu

sula

n (

no

tifi

kasi

) d

an p

arti

sip

asi

Ind

on

esia

dal

am

sid

ing

pen

gu

kura

n d

un

ia

4M

enin

gka

tkan

K

apas

itas

d

an K

ual

itas

Pe

ng

elo

laan

A

kred

itas

i

8Pe

rsen

tase

Lem

bag

a Pe

nil

aian

Kes

esu

aian

(L

PK)

yan

g d

iakr

edit

asi

Pen

ilai

an K

eses

uai

an

men

caku

p k

elem

bag

aan

dan

pro

ses

pen

ilai

an

un

tuk

men

yata

kan

kese

suai

an s

uat

u ke

gia

tan

ata

u s

uat

u p

rod

uk

terh

adap

SN

I te

rten

tu.

Exac

t

Hig

h-

Exac

t-

Pen

ing

kata

n a

kred

itas

i LP

K d

i In

do

nes

ia-

Pen

ing

kata

n k

ual

itas

SD

M a

sses

sor

akre

dit

as

9Ju

mla

h p

eng

aku

an

akre

dit

asi

seca

ra

inte

rnas

ion

al

Pen

gak

uan

akr

edit

asi

seca

ra i

nte

rnas

ion

al

mer

up

akan

pen

gak

uan

ya

ng

dib

erik

an o

leh

org

anis

asi.

Pro

xy

Mo

der

at

e-Pr

oxy

- Pe

nin

gka

tan

ker

jasa

ma

den

gan

A

PLA

C/I

LAC

- Pe

nin

gka

tan

par

tisi

pas

i d

an u

sula

n ak

red

itas

i d

alam

sid

ing

APL

AC

/ILA

C

5M

enin

gka

tkan

K

apas

itas

d

an K

ual

itas

Pe

ner

apan

St

and

ar d

an

Pen

ilai

an

Kes

esu

aian

10Pe

rsen

tase

SN

I ya

ng

dit

erap

kan

SNI

yan

g d

iter

apka

n ad

alah

SN

I ya

ng

dit

erap

kan

org

anis

asi

dib

ukt

ikan

den

gan

se

rtif

ikat

.

Exac

t

Hig

h-

Exac

t-

Pen

ing

kata

n s

osi

alis

asi

dan

b

imb

ing

an p

ener

apan

SN

I-

Pen

ing

kata

n j

um

lah

ske

ma

pen

erap

an S

NI

Page 77: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

066 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Sasa

ran

Ind

ikat

or

Kin

erja

Uta

ma

Def

inis

iC

on

tro

l-

Val

idit

yIn

isia

tif

Stra

teg

is

11Pe

rsen

tase

pro

du

k b

erta

nd

a SN

I ya

ng

sesu

ai d

eng

an

per

syar

atan

SN

I

Efek

tifi

tas

pen

erap

an

SNI

dan

Pem

enu

han

p

rod

uk

ber

tan

da

SNI

yan

g s

esu

ai d

eng

an

per

syar

atan

SN

I d

ilak

uka

n m

elal

ui

uji

pet

ik P

elak

san

aan

uji

pet

ik.

Exac

t

Mo

der

at

e-Ex

act

- Pe

nin

gka

tan

pen

gaw

asan

pro

du

k SN

I d

i p

asar

- So

sial

isas

i d

an e

du

kasi

SN

I W

ajib

ke

ind

ust

ri d

an k

on

sum

en

Lear

nin

g a

nd

gro

wth

Per

spek

tif

6M

enin

gka

tkan

ki

ner

ja s

iste

m

pen

gel

ola

an

ang

gar

an,

sum

ber

day

a m

anu

sia,

tat

a ke

lola

dan

o

rgan

isas

i ya

ng

pro

fesi

on

al

12Ti

ng

kat

pel

aksa

naa

n R

efo

rmas

i B

iro

kras

i B

SN

Ref

orm

asi

bir

okr

asi

adal

ah u

pay

a u

ntu

k m

elak

uka

n p

emb

ahar

uan

dan

p

eru

bah

an m

end

asar

te

rhad

ap s

iste

m

pen

yele

ng

gar

aan

pem

erin

tah

an.

Exac

t

Low

-Ex

act

- Pe

nin

gka

tan

ku

alit

as r

efo

rmas

i b

iro

kras

i B

SN

13Ti

ng

kat

kual

itas

ak

un

tab

ilit

as k

iner

ja

BSN

Eval

uas

i A

KIP

dil

aku

kan

dan

din

ilai

ole

h K

emen

PAN

RB

den

gan

tu

juan

men

ing

katk

an

aku

nta

bil

itas

ata

s o

utc

om

e te

rhad

ap

pen

gg

un

aan

an

gg

aran

.

Exac

t

Low

-Ex

act

- Pe

nin

gka

tan

ket

erca

pai

an k

iner

ja

dan

AK

IP d

i B

SN-

Pen

ing

kata

n k

ual

itas

per

enca

naa

n d

an m

on

ev

Page 78: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

067 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

DI BADAN STANDARDISASI NASIONAL

14Ti

ng

kat

op

ini

atas

La

po

ran

Keu

ang

an B

SNO

pin

i at

as L

apo

ran

Keu

ang

an n

-1 y

ang

dik

elu

arka

n o

leh

BPK

.

Exac

t

Low

-Ex

act

- Pe

nin

gka

tan

ku

alit

as l

apo

ran

keu

ang

an B

SN

15Pr

esen

tase

Pen

erap

an

Bu

day

a K

erja

BSN

Pen

ilai

an p

ener

apan

b

ud

aya

kerj

a u

nit

di

lin

gku

ng

an B

SN d

eng

an

krit

eria

met

od

e ko

nte

s an

taru

nit

ker

ja.

Exac

t

Hig

h-

Exac

t-

Sosi

alis

asi

dan

ed

uka

si b

ud

aya

kerj

a B

SN-

Pen

ing

kata

n k

ual

itas

ker

ja b

erb

asis

n

ilai

-nil

ai B

SN

Fin

anci

al P

ersp

ekti

f

7M

enin

gka

tkan

ka

pas

itas

p

eng

elo

laan

an

gg

aran

BSN

16Pe

rsen

tase

pag

u an

gg

aran

BSN

ya

ng

dis

etu

jui

dan

d

iako

mo

das

i

Pag

u a

ng

gar

an y

ang

tela

h d

iset

uju

i D

PR d

an

Kem

enke

u

>90

%

Mo

der

at

e- E

xact

- Pe

nin

gka

tan

pro

gra

m u

ng

gu

lan

dan

pri

ori

tas

BSN

- Pe

nja

jaka

n p

rog

ram

nas

ion

al k

e d

alam

pro

gra

m B

SN

17Pe

rsen

tase

pen

yera

pan

an

gg

aran

BSN

Tota

l Pe

nye

rap

an

ang

gar

an y

ang

dil

aku

kan

ole

h s

elu

ruh

un

it k

erja

di

BSN

>95

%

Hig

h-

Exac

t-

Pen

ing

kata

n p

enye

rap

an a

ng

gar

an

BSN

set

iap

un

it k

erja

- M

on

ito

rin

g d

an E

valu

asi

pen

yera

pan

an

gg

aran

sec

ara

ber

kala

Sum

ber

: H

asil

an

alis

is,

2019

Page 79: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

068 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan analisis pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya terhadap penerapan perencanaan kinerja organisasi publik berbasis balanced scorecard di Badan Standardisasi Nasional, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Penerapan perencanaan kinerja organisasi publik dengan menggunakanbalanced scorecard di Badan Standardisasi Nasional sebagian besar sudahmelakukan sesuai dengan enam tahapan perencanaan balanced scorecardsesuai teori Rohm. Tahapan yang telah dilakukan yaitu assesmen, penyusunanstrategi, sasaran, peta strategis, dan pengukuran kinerja. Namun masihterdapat beberapa catatan terkait adanya tahapan perencanaan yangbelum dilakukan BSN yaitu tahapan penyusunan inisiatif strategis. Hal itudikarenakan BSN tidak mengetahui terkait hal penyusunan inisiatif strategis.Sementara itu untuk segi penerapan empat perspektif balance scorecard darimasing – masing tahapan diketahui bahwa terdapat beberapa tahapan yangtelah menerapkan balanced scorecard yaitu perumusan sasaran, peta strategisdan pengukuran kinerja. Namun ketiga tahapan tersebut hanya menerapkantiga perspektif saja dan belum menerapkan perspektif finansial. Sementaraitu tahapan assesmen dan penyusunan strategi belum menggunakan empatperspektif balanced scorecard.

2. Terdapat beberapa faktor penghambat utama yang perlu diantisipasi dandicari solusinya yaitu berasal dari manajemen terkait tidak adanya pedomanatau standar operasional prosedur terkait pengelolaan kinerja berbasisbalanced scorecard di BSN dan konsultan yang berganti – ganti dalammelakuka perencanaan tersebut. Kemudian dari sisi personel yaitu kurangkomitmennya pimpinan terhadap balanced scorecard yang telah ditetapkandan staff yang tidak dilibatkan dalam perencanaan kinerja tersebut. Sementara itu untuk faktor pendukung yaitu sumber daya terkait ketersediaan anggaranyang meningkat setiap tahun dan adanya sarana prasarana serta teknologiinformasi yang lengkap dalam mendukung perencanaan kinerja berbasis BSCdi BSN serta adanya budaya kerja Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2015yang dapat meningkatkan keteraturan dalam bekerja. Selain itu, visi yangtelah ditetapkan secara berkelanjutan juga dapat mendukung perencanaankinerja di BSN.

3. Model tahapan yang ada saat ini tidak secara lengkap karena tidak adanyatahapan penysuunan inisiatif strategis. Sehingga diusulkan model baruyang sesuai dengan tahapan Six Steps to Build Organizational’s BalancedScorecard yaitu dengan penambahan inistaif strategis. Selain itu juga perlupenambahan empat perspektif balanced scorecard pada tahapan assesmen,penyusunan strategi, dan inisiatif strategis. Kemudian juga perlu penambahan perspektif finansial pada tahapan perumusan sasaran, peta strategis dan

Page 80: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

069 ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN KINERJA DENGAN MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

DI BADAN STANDARDISASI NASIONAL

pengukuran kinerja. Selain itu dalam usulan model perencanaan tersebut juga perlu penambahan SOP atau pedoman dalam pengelolaan kinerja berbasis balanced scorecard di BSN dan pengikutsertaan staff dalam sosialisasi balanced scorecard di BSN.

E. Rekomendasi1. Dalam rangka peningkatan kualitas perencanaan kinerja, perlu adanya

perbaikan-perbaikan terutama dalam proses perencanaan kinerja berbasis balanced scorecard terutama terkait penambahan tahapan inisiatif strategis dan melengkapi tahapan yang telah dilakukan tersebut dengan empat perspektif balanced scorecard. Hal tersebut supaya kinerja berbasis balanced scorecard tersebut dapat mencapai outcome yang tepat dan sesuai dengan cita – cita dari Badan Standardisasi Nasional.

2. Perlu peningkatan pengetahuan dan pemahaman seluruh pegawai BSNterutama top management, pejabat struktural dan tim AKIP BSN terkaitmanajemen kinerja dengan menggunakan balanced scorecard yang dapatdilatih dan didampingi oleh konsultan yang bernar-benar mengerti balancedscorecard untuk diterapkan dalam organisasi pemerintahan, sehinggaperencanaan kinerja yang dilakukan dapat berkelanjutan melalui proses dancara yang baik dan benar.

3. Perlu dukungan manajemen terkait perencanaan kinerja balanced scorecardyaitu perlu adanya kebijakan berupa pedoman pengelolaan kinerja berbasisbalanced scorecard. Selain sebagai kebijakan, pedoman tersebut juga dapatberfungsi untuk menambah pengetahuan para pegawai terkait balancedscorecard. Selain itu, beberapa faktor seperti komitmen pimpinan dan timAKIP, keterlibatan seluruh staff, budaya kerja Sistem Manajemen MutuSNI ISO 9001 : 2015 di BSN perlu ditingkatkan dan diperkuat supaya dapatmenghasilkan perencanaan kinerja dengan menggunakan balanced scorecardsecara optimal.

4. Usulan model yang telah dianalisis berdasarkan hasil penelitian dapatdigunakan untuk perencanaan kinerja dengan menggunakan balancedscorecard pada tahun berikutnya, sehingga penerapan perencanaan kinerjaberbasis balanced scorecard tersebut diharapkan dapat berjalan secara lebihbaik dan lebih tepat tingkat ketercapaiannya sesuai dengan tugas pokok danfungsi Badan Standardisasi Nasional.

5. Bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti terkait hasil implementasi kinerjadengan menggunakan balanced scorecard atau hasil pengukuran kinerjadengan menggunakan balanced scorecard di BSN maupun organisasi publiklainnya. Mengingat keterbatasan data yang diperoleh, maka diharap penelitiselanujutnya dapat lebih mengeksplorasi data dan fakta secara mendalamterkait penerapan balanced scorecard di organisasi publik.

Page 81: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 82: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

05What Could Statisticians Do

in Understanding Violent Communal

Conflict in Decentralized

Indonesia?: 2003—2014

Nama : Aris Rusyiana

Instansi : Badan Pusat Statistik

Program Studi : Magister Administrasi Publik

Negara Studi : Indonesia - Jepang

Universitas : Universitas Brawijaya – University of

Ritsumekan

Page 83: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

072 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 84: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

073 WHAT COULD STATISTICIANS DO IN UNDERSTANDING VIOLENT COMMUNAL CONFLICT IN

DECENTRALIZED INDONESIA?: 2003—2014

ABSTRACT

This study aims to frame two questions in examining what the statisticians could do to understand violent communal conflicts in decentralized Indonesia (2003—2014). First, this study seeks the answer regarding geographical distributions and statistical trends of violent communal conflict in the period of decentralized Indonesia. Second, this study assesses general patterns of roots as well as an association of communal conflict violence with demographic, socio-economic, environmental and political indicators, both at district and village levels. This study focuses on macro-level explanations in understanding similarities of factors of communal conflicts. This study has limitations in finding the uniqueness of communal conflict on the macro level, which is probably inadequate in elaborating the variations, geographical distributions, and forms of violent communal conflicts. One reason of this weakness refers to the basic assumption that dynamics of violent communal conflict in Indonesia range from periods of time, determinants, and places. Despite this limitation, this study is still important in contributing to communal conflict’s literature as well as decentralization’s literature from the point of view of a statistician.

This study examines the trends and geographical distribution of communal conflict in Indonesia (2003—2014). Trends of communal conflict show decrease significantly from 2003 to 2005, however, increase slightly from 2005 to 2014. Despites were showing lower intensity during decentralization period, communal conflicts outbreak in post-conflict areas: Aceh, Central Kalimantan, Central Sulawesi, Maluku, North Maluku, and Papua. Communal conflict also repeatedly occurred in West Java Provinces (Indramayu District and Cirebon District). Likewise, this study links between decentralization and communal conflict in Indonesia. Data come from the Village National Census (PODES) 2003-2014 (N=301,974). Results of multilevel logit regression show that only administrative decentralization that significantly associated with reducing communal conflict, while fiscal decentralization is not. The main findings suggest that decentralization work for reducing communal conflict through better capacity of local bureaucrats. Other main findings show that district economic inequality and poverty increase likelihood of communal conflict. Likewise, the result confirms that communal conflicts strongly depend on ethnic heterogeneity and religious fractionalization (religious heterogeneity). While key determinants of communal conflict at the village level are related to institutional determinants, the role of local traditional leader, converted landuse misregulation, inequality in housing and living (density of slum areas), competition to access limited natural resources, natural disaster, access to television and daily crimes.

• Kata Kunci: communal conflict, decentralization, Indonesia

Page 85: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

074 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundThe increasing communal conflict in Indonesia in the period of 1999 to 2014 seems to be linked with political transition in this country. Since 2001, Indonesia embraced radical decentralization that transformed the country’s local government political system. Decentralization has given every district or local government the power to perform the key functions of state, including the provision of health, education, environmental and infrastructure services. They are also accompanied by abundant resources from central government. Further reforms in 2005 allowed citizens to elect their own mayor and parliament through direct local elections. By the end of 2006, more than half of all districts had conducted direct local elections (The Ministry of Home Affair, 2007). Abundant resources within district government and new local political power have also encouraged communal conflict during this period (Tadjoeddin, 2014).

Many studies on episodes of communal conflicts which are related to decentralization reform in the early 1999 in Indonesia have been conducted. However, these studies were still limited and show inconsistent results. Some of the studies documented that decentralization reforms were positively associated with communal conflicts in some places (see for example Tajima 2009; Welsh 2008; and Van Klinken, 2007), while other studies showed negative association between decentralization reform and communal conflict (see for example Diprose, 2009; Diprose and Ukiwo, 2008; Murshed, Tadjoeddin and Chowdhury, 2009).

Although several prior studies show interesting result, several limitations are notified. First, previous literatures ignore the lower level of administrative tiers. Several prior studies use provincial and district levels in addressing the relationship between decentralization and communal conflict. By ignoring the lower administrative tiers, the study could not capture the effect of decentralization and communal conflict properly. Those studies may not lead us to see that the mostly prone areas of communal conflict laid at lower level administration tiers rather than in districts or provinces. Second, prior researches use limited geographical coverage. Prior studies used only limited geographical coverage (see for example see Murshed, Tadjoeddin, and Chowdhury, 2009; Diprose, 2009). Third, prior studies link no simultaneously all dimensions of decentralization. Some of them only examine the linkage between the fiscal decentralization and communal conflict, while the others only discuss the linkage of political decentralization and communal conflict. Fourth, prior studies ignore multilevel dimension of communal conflict. From a temporal variation perspective at the national level, most prior studies ignore multilevel dimension of communal conflict. Ignoring multilevel dimension of communal conflict may result in bias in which the results are unable to control unobserved contextual influences across villages within districts that may relate to shift communal conflict (Blalock, 1984).

Page 86: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

075 WHAT COULD STATISTICIANS DO IN UNDERSTANDING VIOLENT COMMUNAL CONFLICT IN

DECENTRALIZED INDONESIA?: 2003—2014

Given the current situation of the research, this study tends to fill those open gaps in several ways. First, this study covers until lowest administrative tiers (village level). By analyzing the association of decentralization and communal conflict until Indonesia’s lowest administrative tier (village (desa) and neighborhood (kelurahan), this study reveals effect of decentralization on the areas mostly prone to communal conflicts. Second, this study differs from some of the prior studies which used only limited geographical coverage (see for example see Murshed, Tadjoeddin, and Chowdhury, 2009; Diprose, 2009). By using larger coverage of districts and municipalities, villages and neighborhoods within whole the provinces of Indonesia, this study contributes to enhancing results and findings which can be generalized within communal conflicts across districts in Indonesia. Third, this study discusses more simultaneously measurement of decentralization policy. This study discusses not only about fiscal decentralization but also about administrative decentralization, and proliferation policy and their effect toward communal conflict. By considering more than one measurement of decentralization simultaneously, this study provides more robust findings. Fourth, this study considers multilevel dimension of communal conflict. By considering the multilevel model, this study could examine the link between decentralization (at district level) and communal conflict (at village level). This analysis can be used to address multilevel heterogeneity by assuming that the association between the dependent variable and its covariates varies between district and village level (Ballas and Tranmer, 2012).

B. Research Problem and MethodologyTwo questions frame this study in examining what statisticians could do to understand violent communal conflict in decentralized Indonesia (2003—2014): (1) How are the geographical distributions and statistical trends of violent communal conflict in decentralized Indonesia (2003—2014)?, (2) What are the general patterns of roots in communal conflicts and their relations with demoghraphic and social, economic, institutional, and environmental indicators, both at district and village levels?

This study adopts a quantitative approach. First, this study uses descriptive statistics in examining geographical distributions and statistical trends of violent communal conflict in decentralized Indonesia (2003—2014). Second, this study uses a multilevel regression analysis to examine the link between decentralization (at district level) and communal conflict (at village level). This analysis can be used to address multilevel heterogeneity, by assuming that the association between the dependent variable and its covariates vary between a district and individual level (Ballas and Tranmer, 2012). Hence, the model accounts for the clustering of

Page 87: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

076 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

villages within a district by separating their variance in communal conflict from the districts’ variance (Rabe-Hesketh and Scrondal, 2012). Using this model is thus the most appropriate to test hypotheses about the effects of varying districts and villages characteristics on communal conflict. This study uses several main independent variables, a dependent variable, and control variables as well.

1. Independent and Dependent VariablesFollowing to Schneider (2003), there are three types of decentralization, as follow: (1) Fiscal Decentralization, (2) Political Decentralization, and (3) Administrative Decentralization. However, this study only adopts fiscal and administrative decentralization. Regarding focus of the study, political decentralization has not been examined in this study.

There are two main independent variables for measuring decentralization indicators for this study, as follow:

1. Fiscal decentralization, measured by local expenditures on Fungsi Keamanandan Ketertiban (Peace and Order function key) and divided with the transferred blocked grant (DAU) distributed to each district;

2. Administrative decentralization, measured by the proportion of level ofeducation of local villages level in each districts.

C. Data Analysis and ResultsThe question of post communal conflict studies whether the communal conflict in Indonesia decreases or increases after decentralization policy comes up with the significance of decentralization policy towards communal conflict prevention. In the broad sense, The question of what the nexus of decentralization and communal conflict has long been of interest to social scientists in developing countries. Likewise, the question of what contributes to the communal conflict has long been of interest, too. However, this has rarely been explored in the context of Indonesia with comprehensive geographical coverage and simultaneously long period of census dataset. Using the condition of radical decentralization in Indonesia, We examine simultaneously the trend and geographical distributions of communal conflict in Indonesia after 2001. The main trends show that communal conflict in Indonesia decreases significantly after 2003, however communal conflict still breaks with lower intensity in in areas of Indonesian which major conflict violence occurred such as in Aceh, Central Kalimantan, Maluku, North Maluku, and Papua.

Following that trends and distribution, We come up with deepening study with statistical analysis about the effect of administrative decentralization, and

Page 88: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

077 WHAT COULD STATISTICIANS DO IN UNDERSTANDING VIOLENT COMMUNAL CONFLICT IN

DECENTRALIZED INDONESIA?: 2003—2014

fiscal decentralization on communal conflict. The main results show that fiscal and administrative decentralization reduced communal conflict. However, the administrative decentralization which shows the significant importance in preventing communal conflict while fiscal decentralization is not. The greater share of high-level education of street level bureaucrats decreases communal conflict and have a significant association in reducing communal conflict. In contrast, null findings are found that the greater share of local government’s expenditure on public, law and order function shows significant negative association with communal conflict. However, it shows no significant association.

This contrasting result seems to signal that decentralization in Indonesia decreases communal conflict through the better capacity and competency on administrative aspect of district government, rather than through better financing capacity in delivering public services. The higher capacity and competency of administrative street level bureaucrats share significance role in preventing and mediating communal conflict. Both the significant negative association of fiscal and insignificant negative association of administrative decentralization confirms the finding of Duncan (2007) and Ascher and Mirovitskaya (2016). However, these studies were examining the nexus between administrative decentralization and fiscal decentralization on a communal conflict by quantitative study at districts and villages level in Indonesia. Its findings are thus unique, in that they show that decentralization could decrease communal conflict because of greater commitment and authority in deficit fund.however the capacity and competency of street level bureaucracy not only shows by the higher education attained but also the integrity and commitment to avoid political dynasty and corruptions. These interesting findings show that the limited finance still enables the emergence of local leaders who have the capability to enhance the unity. This competency and the capability of the local leader could become the pathway to avoid small protests and demonstrations may end up in a large communal riot. The better capacity of street level bureaucrats, not only shows by his/her higher education performance but also their ability and integrity.

Other main findings show that district’s economic inequality and poverty increase likelihood of communal conflict. Decentralization allows local governments to increase government expenditure in escalating development in districts/cities and spending government’s budget in increasing economic growth. However, this could create a wider gap of economic inequality, and create more poor people in fulfilling their basic needs. This gap could lead to communal conflict. As consequences, this result confirms Ukiwo (2008), as mentioned in his manuscript studying nexus of horizontal inequality and communal conflict in Nigeria, that if socioeconomic horizontal inequality and poverty are not high, then development policy in district level not sufficient to provoke communal conflict.

Page 89: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

078 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

The result confirms that communal conflicts are strongly associated with ethnic heterogeneity. The significantly positive association of ethnic heterogeneity and communal conflict confirms the postulates of Hegre (2001) that communal conflicts are rooted in the dynamics of difference within inter-group relations where groups saw themselves as different due to ethnic and culture background. Likewise, this result confirms the findings of Green (2008) that in developing countries, such as in Uganda, a communal conflict that strongly associated with ethnicity. For Indonesian context, this result confirms the arguments of Van Klinklen (2007) that ethnic heterogeneity is the main determinants of communal conflict in Indonesia. Variation in ethnic diversity is seen across islands although provinces and districts in the Island of Java are more likely to be homogeneous, less fractionalized and less polarized than provinces and districts outside Java Island (Arifin, et al., 2015). That is why communal conflict related to heterogeneity of ethnicity commonly occurred in provinces and districts outside Java island (for instance see Aragon, 2001 and Bertrand, 2016). This result also confirms the postulates of Nasikun (1993), who stratified the social structure in Indonesia as horizontal and vertical, that competing in heterogeneity communities could make cross-cutting its social stratification and lead to communal conflict. Districts and cities with more heterogenic ethnicity lead to a likelihood of communal conflict. Hence, these findings mean that in Indonesia, communal conflict seems to occur commonly related to more diversity of ethnicity rather than decentralization policy.

The significance of competition between migrants and indigenous people on communal conflict is shown in this study. In the model, I find that areas within districts with a higher number of migrant are more prone to communal conflict than those with less number proportion of migrant. The positive association of proportion migrant may relate with increasing conflict and violence in districts with a greater number of balancing fund. It indicates that the higher decentralizations could increase the potential of communal conflict incidences between migrant and indigenous people in competing for natural resources, and access to public services. In another case, the socio-economic marginalization of an indigenous group could escalate the communal conflict. For example, Smith (2005) shows that in Central Kalimantan, the socio-economic marginalization of Dayak (indigenous) from Madurese( migrants) meet the failed districts’ capacity may provoke the communal violence outbreak.

Some findings at village level contradict while others confirm prior studies. For instance, First, the result contradicts Kingsley (2012) and Brauchler (2015) that at villages level, Local traditional leaders have beneficial roles in resolving communal conflict conversely. While in this study, the result shows that in a most prone area to communal conflict, The presence of the role of local traditional leaders

Page 90: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

079 WHAT COULD STATISTICIANS DO IN UNDERSTANDING VIOLENT COMMUNAL CONFLICT IN

DECENTRALIZED INDONESIA?: 2003—2014

is associated with higher level of communal conflict. How can we interpret this finding? It may be that the traditional leader associated with ethnic diversity. In ethnicity diverse communities, the local leader role’s embedded to the ethnicity entities. Another possible way to interpret this finding is that It may be that the local traditional leaders play some integrative role, even in areas with which are ethnically diversion. In more heterogenic areas, the role of traditional leader may positively associate in communal conflict rather than in less homogenous ethnicity. This finding accordance with religious diversity. That in a more heterogenic faith area, communal conflict potential to present. In the previous study, Barron, Kaiser, and Pradhan (2009) show that in areas with significant ethnic diversity, but relative religious homogeneity, such as NTT provinces, religious bodies are often the only authority that has the respect of all elements of society.

Second, the result confirms Barron, Kaiser, and Pradhan (2009) that key determinants of communal conflict in village level related to competition to access limited natural resources, natural disaster and cropland shrinking to noncropland use. In economic determinant perspective, the presence of mining areas and natural disasters at villages level shows the manifestation of competition over scarce and the access rights in controlling them. Indeed, some research has shown that competing for scarce natural resource and drought are associated with communal conflict such as in Indonesia and Syria (For example respectively see, Tadjoeddin (2007) and Gleick (2014). For instance, in Indonesia, Sukmawan and Yuwono (2012) shows by their qualitative study that competition over clean water could escalate to communal conflict between two villages in the border Boyolali District and Semarang District. The same pattern is shown by the nexus between converting land and communal conflict. In another case, The land conversion from agricultural use into nonagricultural use is the likelihood of communal conflict. At villages level when cropland, especially communal cropland is shrinking in availability and turn into noncropland use could trigger to communal conflict. Firstly, these conflicts emerge due to common reason that communal cropland represents an unclear property right to whom the land belongs to (Barron, Kaiser, and Pradhan, 2009). Secondly, that if main incomes of villagers are in agricultural sectors, conversion of cropland to noncropland use makes the agricultural land is scarce resources (Lambin and Meyfroidt, 2011) and farmers lose their main income (Lambin and Meyfroidt, 2011; Fazal, 2001). For instance, in India, expansion of Saharanpur city emerged substantial loss of agricultural land and associated with urban expansion which is encroaching upon a fertile agricultural land. Thirdly, The unfair allocation of land and housing could lead to communal conflict (McIlwaine and Moser, 2001). While in Guaetamala, communal fighting commonly over land tenure due to the reasons that people felt unfairly dealt for the allocation of land and housing.

Page 91: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

080 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

The also results confirm (Sanyal and Mukhija, 2001) that slum areas could be a latent factor in creating communal conflict related to mismanagement in housing allocation in Mumbai India. The variability of communal conflict is positively associated with inequality in housing and living (as measured by density of slum areas in villages level). The presence of slum areas shows that development yet not fulfills economic equality and prosperity.

Moreover, two fruitful findings at village level shows the linkage of access toward television and daily crimes and communal conflict respectively. First, the findings confirm that access to television associates with communal conflict. Altough the role of access toward television with communal conflict still puzzling, this result may predict that access toward television could not neglect some bad contents of television, such as violences movies in prime times on cable television. These bad contents link to violent behavior which may be escalated to communal conflict (Sheehan, 1991; Bridgman, 1996; Weaver, 1996; Smith, Nathanson, and Wilson, 2002). For instance, Sheehan (1991) shows viewers on television were more prone to influence from real televised violence as opposed to fictional or unreal televised violence. Further research must be conducted more cautious to examine the influence of bad content of television toward communal conflict. Likewise, Reporting victims and incidents of communal conflict with biased media may worsen communal conflict. Likewise, We adjusted that this density of television channel in the villages and neighborhoods are related to its violence contents, e.g. violenced and rated R tv series, prime time film tv, breaking news, crimes film, and criminal news. This density also may represent in biased reporting about two conflicting group, related to the owner of media and their own interests. Sidney Jones, in her transcription of speech at the asiasociety website, indicates that biased media could be attended to a factor in the conflict. Sidney Jones (2014) stated: “…..Clearly the way these conflicts are portrayed in the media (newspapers and the broadcast media in particular) is critical. In Indonesia, one of the things that are striking is how much the Muslim side of the conflict is portrayed in the media and how much the international press focuses almost exclusively on the Christian victims. In fact, there are an equal number of victims and perpetrators on both sides. It is critically important that the media be attended to as a factor in the conflict…” (Asia society). This preliminary argument that access toward television as greater as its risk of biased media in reporting communal conflict must be evaluate in further research with some more representative datasets, not only access to television, but also news content and the affiliation of media’s owner.

Moreover, the results confirm (Scambary, 2009) that daily crimes, as measured by low-level violence may turn into riots in villages could predict variability of communal conflict in villages.

Page 92: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

081 WHAT COULD STATISTICIANS DO IN UNDERSTANDING VIOLENT COMMUNAL CONFLICT IN

DECENTRALIZED INDONESIA?: 2003—2014

D. ConclusionsAll in all, from this research, it can be concluded that:

1. The main results show that administrative decentralization has significantly reduced communal conflict, while fiscal decentralization has not. High-level education of street level bureaucrats significantly decreases communal conflict. Likewise, the greater share of balancing fund for local government’s expenditure work in reducing communal conflict, however, this policy shows no significant association. Districts with a deficit of balancing fund still could perform a key function of public law and order function in reducing communal conflict without a greater share of total balancing fund allocation from central government.

2. Other main findings show that district economic inequality and poverty increase likelihood of communal conflict. Development and economic growth may create a wider gap of economic inequality, and create more poor people in fulfilling their basic need. This could lead to communal conflict. Development policy should drive economic equality for citizens and poverty reduction, rather than economic growth itself.

3. The result confirms that communal conflicts are strongly associated with ethnic heterogeneity and religious fractionalization (religious heterogeneity). The results also confirm that population density and migrant proportion are strongly associated with communal conflict.

4. Other findings at village level confirm the arguments of privious studies. Key determinants of communal conflict at the village level are related to institutional determinants, the role of local traditional leader, landuse regulation, inequality in housing and living (density of slum areas), competition to access limited natural resources, natural disaster, access to television and daily crimes.

5. This study has several important contributions on the literature and communal conflict management policy in developing countries which is very rare (for example see Sakai 2002 and Brancati 2006). First, by the perspective of a statistician and by operationalizing comprehensive numerical evidence, this study highlights that communal conflicts show lower intensity in mostly prone areas in which the major headline communal violence out broke in Indonesia before decentralization policy was implemented. Despites communal conflicts become threat as repeated cycle of violences as World Bank observed in 2011, decentralization in Indonesia seems could work in reducing communal conflict.

6. Decentralization could work through better competency of bureaucracy in improving decentralization outcomes such as in respectively study on improving the quality of citizen happiness, poverty reduction, and corruption

Page 93: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

082 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

eradication (for example see Sujarwoto and Tampubolon 2015; Jutting, et al. 2004; Kaufman 1969). In this study, I found that through better competency of street level bureaucracy could improve decentralization outcomes in communal conflict resolution in Indonesia. In terms of communal conflict reduction depends on the competence and the capability of local governments in controlling how small protests and demonstrations not to end up in large escalated communal riot.

7. Our findings suggest that the ultimate goal of decentralization should notnecessarily to increase economic growth, but more importantly to improveeconomic equality and poverty reduction, and to do so through the provisionof better policies and services. This policy make socioeconomic and politicalstability in delivering peace and order until lower administrative tiers level tosucceed the sustainable development.

8. This study takes into account external determinant of communal conflictbesides decentralization. For instance, This study shows that ethnic and religious diversity at districts level could alleviate the risk factor of some variabilityof communal conflict until lower administrative tiers, e.g. local traditionalleaders. Ethnic and religious diversity may cause that local traditional leadersnot effective in handling conflict in heterogeneous areas, even are associatedwith higher level of communal conflict. This study also shows similarityas other key determinants of communal conflict at villages level, e.g. slumareas, access to television and daily crimes. This study contributes to findingsof Barron, Kaiser, and Pradhan (2009), that this variable could be additionalkey determinants in associating with communal conflict’s variability in loweradministrative tiers.

E. RecommendationsBased on main findings, this study proposes six main recommendations as follows:

1. Decentralization should take into account the improvement of thecompetency and capability of local government in avoiding small protestsand demonstrations turning into large communal riot. Indeed, as thecommunal conflict is mostly prone to occur at the lower administrative tiers,this improvement in capacity building should be focused on street-levelbureaucracies in villages or neighborhood level. Although with the limitedfinance, a village leader with better capacity is still able to enhance the unityin resolving communal conflicts. This policy recommendation is urgent because nowadays in Indonesia, village and neighborhood level are granted largeradministrative autonomy through Law No.6/2014 about Village Autonomy.Hence, if larger autonomy is not followed by strengthening the leader

Page 94: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

083 WHAT COULD STATISTICIANS DO IN UNDERSTANDING VIOLENT COMMUNAL CONFLICT IN

DECENTRALIZED INDONESIA?: 2003—2014

capacity, this may end up with escalating communal conflict, corruption, and inappropriate goals of this village autonomy itself.

2. The local government’s expenditure on public, law and order function has asignificant effect in reducing the risk of communal conflict with or withouttotal balancing fund from the central government. Thus, local governmentshould evaluate their priority program and strengthen the allocative efficiency which may reflect their good commitment in decreasing communal conflict.

3. Because communal conflicts associated with economic inequality, poverty,ethnic diversity, and religious fractionalization, and they are likely to occurin poor districts rather than in rich districts, local development goals shouldtake into account poverty reduction and equality of economic growth. Thisinclusive development policy could give benefit to poor people, deprivedvillages, more ethnically heterogenic areas, and poor districts.

4. Similar key factors of communal conflicts at villages level are local traditionalleaders, slum areas, converted land, mining areas, access to television, dailycrimes, and natural disaster. In decentralization era, development policy mustaddress these key factors not to become significant determinants of communal conflict by proposing appropriate policy in these sectors.

5. Given the fact that villages in recent years experience less communal conflictcompared with the early period of decentralization, local governments mustbe aware of Law No.6/2014 in order to prevent the potential of communalconflict.

6. Although the fact shows communal violences still occurred with lower intensity in those previous-major areas of Indonesian communal violence (Aceh, NTT,Central Sulawesi, Central Kalimantan, Maluku, North Maluku, and Papua),the central and local governments must be aware for the repeated cycle ofcommunal conflict in those disadvantaged areas. This model also shows on-off event communal violences in two districts near the coastal areas in WestJava Provinces (Indramayu District and Cirebon District). This study alerts thatin those areas, the central and local governments should give more attentionand policies related to prevent the repeated cycle of communal conflict, bothin latent or contagious.

7. This model may work in predicting the potential of communal conflict inmostly prone areas. To avoid that potential happens, development policy could compromise inclusive development and strengthening social engagementbetween government and citizens.

Page 95: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 96: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

06Penghidupan dan Pemberdayaan

Masyarakat Kamput Kota Studi

Kasus Program Penanganan

Wilayah Kumuh Kotaku

dan Pemberdayaan Ekonomi

Komunitas Terminal Hujan di

Kampung Kebon Jukut Kota

Bogor

Nama : Yogi Catuma Perdana

Instansi : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Program Studi : Magister Studi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Teknologi Bandung

Page 97: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

086 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Di antara penduduk yang tinggal di perkotaan, terdapat masyarakat yang hidup dengan keterbatasan di lingkungan permukiman padat. Individu tersebut bergantung pada sumber daya bersama, misalnya rumah tangga menambah usaha memanfaatkan fasilitas rumah dan lingkungannya. Dalam kehidupannya masyarakat mengelola hubungan sosial dan institusional komunitas perkotaan. Hubungan antara kondisi kehidupan, pilihan, dan upaya yang dilakukan, dapat ditunjukan melalui perspektif penghidupan (livelihood). Penyediaan layanan publik tidak dapat dilakukan komunitas lokal, untuk itu diperlukan keterkaitan pihak luar dan pemberdayaan menjadi penting. Upaya itu sudah dilakukan pemerintah, individu dan kelompok masyarakat perkotaan sejak lama, namun terdapat keterbatasan program yang tidak memunculkan kemandirian.

Terlepas dari kondisi berhadapan dengan kebutuhan ekonomi, domestik, dan lingkungannya, seseorang atau kelompok memiliki hak sama untuk mencapai tujuan. Pilihan ekonomi keluarga dapat berdampak pada kepentingan domestik (double burden). Keterlibatan pihak di luar komunitas lokal dan pemerintah memunculkan pilihan dan kemandirian. Pemberdayaan sedianya memberikan kebebasan dan keadilan, sehingga masyarakat dapat berdaya dan mendapatkan manfaat dari prosesnya. Kedekatan pemberdayaan dengan kepentingan lokal dapat memunculkan aksi bersama. Hal ini berkaitan dengan pilihan masyarakat dalam penghidupannya yang menjadi fokus pandangan livelihood.

Melalui pendekatan livelihood, peneliti menelusuri pandangan masyarakat terhadap penghidupan dan keterkaitan dengan pihak luar dalam pemberdayaan pemerintah dan komunitas. Demikian juga pandangan atas pilihan yang ada, tindakan yang dilakukan, dan berhasil atau tidaknya muncul aksi bersama. Pengaruh aksi terhadap hubungan antar pelaku menegaskan pandangan terhadap proses pemberdayaan. Penelitian dilakukan dengan kerangka penghidupan berkelanjutan (SLA) dan studi kasus Kampung Kebon Jukut, Kota Bogor dalam program penanganan permukiman kumuh Kotaku dan kegiatan usaha produksi bersama komunitas Terminal Hujan.

Berdasarkan penelusuran, masyarakat memiliki pilihan keterlibatan dalam kelembagaan dan pekerjaan pembangunan infrastruktur. Kemudian kegiatan usaha produksi khususnya bagi ibu rumah tangga. Penyediaan fasilitas juga bermanfaat pada kegiatan lingkungan dan melibatkan pemuda. Tindakan yang dilakukan sebagai komunitas untuk mencapai tujuan kepentingan lingkungan kampung memunculkan aksi bersama. Namun, berdasarkan perbandingan antar kasus masyarakat memandang pilihan yang ada sebagai kesempatan ekonomi sementara. Pemberdayaan pemerintah dan komunitas dalam hal ini tidak memberikan kemandirian dan mengekslusikan penerimanya.

Page 98: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

087

PENGHIDUPAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG KOTA STUDI KASUS PROGRAM PENANGANAN WILAYAH KUMUH KOTAKU DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI KOMUNITAS

TERMINAL HUJAN DI KAMPUNG KEBON JUKUT KOTA BOGOR

Analisis studi kasus mengungkap makna berdasarkan pandangan peneliti dan penekanan. Melalui pengamatan kegiatan dan artifak diketahui terjadi translasi tindakan pelaku komunitas. Pergeseran tujuan membentuk relasi yang baru sehingga masyarakat kembali ke penghidupannya untuk mencapai tujuannya sendiri. Sementara dari pemahaman pola kasus terlihat praktik penggunaan kekuasaan dalam pemberdayaan. Dengan mengikuti akses kedua kegiatan, didapat pengaruh aksi bersama terhadap proses pemberdayaan. Kelembagaan lingkungan RT/RW berperan dalam keterlibatan masyarakat dan penerimaan pemberdayaan, didukung pemuda pada organisasi keagamaan. Hal tersebut berasal dari pengalaman kegiatan rumah belajar dan pandangan belum adanya manfaat langsung pemberdayaan untuk pemuda.

• Kata Kunci: pilihan penghidupan, aksi bersama, pemberdayaan

Page 99: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

088 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRACT

Among residents living in urban areas, there are people who live with limitations in densely populated neighborhoods. These individuals depend on shared resources, for example households business are utilizing home and environmental facilities. In their lives the community manages social and institutional relations in urban communities. The relationship between living conditions, choices, and efforts made, can be shown with livelihood perspective. Provision of public services cannot be carried out by local communities, therefore it is necessary to have external linkages and empowerment to be important. These efforts have been carried out by the government, individuals and urban groups for a long time, but there are limitations to programs that do not create independence.

Regardless the conditions faced with economic, domestic, and environmental needs, a person or group has the same right to achieve their goals. Economic choice of the family can have an impact on the double burden. Involvement of parties outside the local community and the government raises choices and independence. Empowerment is supposed to provide freedom and justice, so that people can be empowered and benefit from the process. The closeness of empowerment with local interests can bring action together, this is related to the choice of the community in their livelihood, which is the focus of the livelihood.

Through the livelihood approach, researchers trace community views on livelihoods and linkages with outside parties in government and community empowerment. Likewise, the views on the choices that exist, the actions taken, and whether or not the collective action appears. The effect of action on relations between actors confirms the view of the empowerment process. The research was conducted with a sustainable livelihood framework (SLA) and a case study of the Kampung Kebon Jukut, Bogor City in the Kotaku slum settlement program and production business activities with the Rain Terminal community.

Based on the search, the community has the choice of involvement in institutional and infrastructure development work. Then production business activities especially for housewives. Provision of facilities is also useful in environmental activities and involving youth. Actions taken as a community to achieve the objectives of the interests of the village environment led to collective action. However, based on comparisons between cases the community views choices as temporary economic opportunities. Empowerment of government and community in this case does not provide independence and exclude recipients.

Case study analysis reveals meaning based on the views of researchers and emphasis. Through observation of activities and artifacts, it is known that there is

Page 100: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

089

PENGHIDUPAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG KOTA STUDI KASUS PROGRAM PENANGANAN WILAYAH KUMUH KOTAKU DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI KOMUNITAS

TERMINAL HUJAN DI KAMPUNG KEBON JUKUT KOTA BOGOR

a translation of the actions of community members. Shifting the goal of forming new relationships so that people return to their livelihoods to achieve their own goals. While understanding the pattern of cases shows the practice of using power in empowerment. By following the access of the two activities, the influence of collective action on the empowerment process is obtained. Neighborhood institutions RT/RW play a role in community involvement and acceptance of empowerment, supported by youth in religious organizations. This comes from the experience of home learning activities and the view that there is no direct benefit of empowerment for youth.

• Keywords: livelihood choice, collective action, empowerment

Page 101: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

090 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangTahun 2045 Indonesia diperkirakan mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi, 24,7% dari saat ini mencapai 318 juta jiwa. Proporsi di perkotaan juga ikut bertambah dari 53,1% pada 2015, menjadi 67,1% populasi nasional (Bappenas). Dengan demikian, di masa datang sangat penting mewujudkan kota yang layak dihuni. Untuk itu diperlukan berbagai upaya yang berkelanjutan dalam mendorong kehidupan masyarakat sebagai tujuan pembangunan perkotaan.

Masyarakat perkotaan berasal dari berbagai wilayah, bekerja di sektor formal dan informal, serta diantaranya terdapat individu yang hidup dengan keterbatasan. Berbagai pekerjaan tersedia tidak memberikan penghasilan yang layak, namun masyarakat tetap mengusahakan penghidupan dan tinggal dalam kondisi tersebut, misalnya di permukiman padat. Dalam kehidupannya, individu mendapatkan dan mempertahankan akses sumber daya dengan menghadapi berbagai resiko.

Ketidakmampuan individu memenuhi kehidupan yang layak dipandang sebagai kemiskinan. Pemerintah tahun 2018 mengklaim telah menekan angka kemiskinan (9,82%, BPS, Kompas.com), namun status rentan menjadi tantangan. Pada 2017, 9,78 juta penduduk tergolong sangat miskin, dan 69 juta di garis kemiskinan. Sebagian penduduk tersebut terdapat di perkotaan dengan persentase 7,02% (2018) dengan konsentrasi di kawasan barat termasuk Jawa. (Kontan.co.id)

Pada permukiman padat, fasilitas lingkungan, jalan, air bersih, drainase, sanitasi, dan ruang terbuka sangat penting. Individu bergantung pada sumber daya bersama (commons), dan menggunakannya untuk tinggal dan berkegiatan di lingkungan dengan kondisi yang disebut kampung kota. Kebutuhan domestik dan sosial dipenuhi di dalam atau luar rumah. Pertimbangan ekonomi membuat sebagian rumah tangga menambah usaha memanfaatkan fasilitas rumah dan lingkungan.

Lingkungan tempat tinggal, prasarana dan sarana merupakan kepentingan publik yang disediakan pemerintah. Masyarakat mengelola keterkaitan rumah tangga dan sosial institusional komunitas perkotaan, sebagai upaya memenuhi kesejahteraan (Becker, 1981, Beall, Kanji, 1999). Terdapat pengaruh kondisi, tujuan bersama, dan proses serta konstruksi sosial, yang terlihat dalam kelompok masyarakat, termasuk rumah tangga yang menambah usaha-usaha ekonomi.

Di dalam rumah tangga kepala keluarga memilih produksi yang menghasilkan kesejahteraan bersama, anggota menjalankan dan menyeimbangkannya dengan kebutuhan domestik. Keluarga yang memiliki anak dan memanfaatkan rumah untuk usaha merelakan anak-anaknya berada di luar dan terpengaruh lingkungan. Hubungan antara kondisi kehidupan dan pilihan yang dimiliki serta upaya yang dilakukan, dapat ditunjukan melalui perspektif penghidupan (livelihood).

Page 102: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

091

PENGHIDUPAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG KOTA STUDI KASUS PROGRAM PENANGANAN WILAYAH KUMUH KOTAKU DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI KOMUNITAS

TERMINAL HUJAN DI KAMPUNG KEBON JUKUT KOTA BOGOR

Pandangan penghidupan tidak berarti menggantungkan solusi pembangunan pada masyarakat. Penyediaan layanan publik tidak dapat dilakukan komunitas lokal secara kolektif (Castells, 1983) dan kebutuhan lingkungan sering tidak dipenuhi, sehingga perlu dibuka keterkaitan kelompok luar komunitas (Evans, 2002). Agar kepentingan lokal simultan dengan tujuan yang luas dan prosesnya berkelanjutan, diperlukan kemampuan berpartisipasi dan menentukan tujuan bersama. Untuk itu upaya pemberdayaan menjadi penting, agar pergulatan masyarakat dapat berhasil.

Gagasan pemberdayaan muncul dari kegagalan konsep trickle down mengatasi kemiskinan. Di Indonesia program IDT dan JPS dilakukan sejak 1970-an, namun tujuan ditetapkan tanpa melibatkan kelompok miskin sehingga tidak menjadikan masyarakat responsif. Pada akhir 1990-an Bank Dunia merilis Urban Poverty Project dengan strategi pembangunan berbasis komunitas. Sejak itu program dilakukan melalui Kota (P2KP - PU), Kecamatan (PPK - Dagri), kelompok usaha (KUBE - Depsos), petani dan nelayan (P4K, PEMP - Deptan). Berbagai penelitian melaporkan keberhasilan dan kekurangan program-program tersebut.

Tahun 2007 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) diluncurkan sebagai pengembangan P2KP dan PPK. Kegiatannya penyediaan prasarana sarana permukiman, kredit mikro khususnya bagi perempuan, dan peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat. Kemudian dilanjutkan Program KOTAKU (NUSP) yang memperkuat peran daerah dan kolaborasi masyarakat. Program berdampak meningkatnya akses layanan dasar, kesempatan usaha, lapangan kerja, dan penghasilan rumah tangga serta penghidupan masyarakat.

Di sisi lain, terdapat keterbatasan pemberdayaan ekonomi melalui kredit mikro sebagaimana pada program lain (KUBE, PEKKA) yaitu bantuan terbatas pada usaha tertentu. Belum tercipta sistem kondusif bagi usaha untuk mendapatkan akses di lembaga keuangan. Kemudian bantuan modal cenderung menimbulkan ketergantungan masyarakat atau membuat terjebak pada perekonomian subsisten, sehingga tidak memunculkan kemandirian.

Upaya pemberdayaan juga dilakukan individu dan kelompok dalam masyarakat. Sejak lama terdapat kesadaran adanya opresi, eksploitasi, dan berbagai tindakan untuk merubahnya, termasuk pemberdayaan perempuan dalam kerangka gender and development. Kesadaran bersama dipengaruhi latar belakang ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sama. Kedekatan program dengan kepentingan masyarakat memunculkan aksi bersama, sesuai pilihan penghidupan, dan didasari kapabilitas serta keagenan manusia, yang menjadi fokus pandangan livelihood.

Program pemberdayaan memiliki tujuan akhir masyarakat madani atau terciptanya community engagement. Dalam Peta Jalan PNPM 2012 hal itu dicapai dengan partisipasi dan kelembagaan yang berkelanjutan. Pemberdayaan dan

Page 103: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

092 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

pengentasan kemiskinan disampaikan oleh Bappenas dimulai dari keluarga, melalui perluasan kesempatan dan pengelolaan sumber daya. Kepentingan masa depan, isu ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, menjadi pintu masuk menumbuhkan kepedulian. Sejalan dengan target penurunan kemiskinan dan bonus demografi, diperlukan peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan sumber daya manusia.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisTerdapat masyarakat di perkotaan yang hidup dengan keterbatasan aset dan akses penghasilan dan pekerjaan yang menambah usaha ekonomi. Masyarakat tersebut tinggal di permukiman padat dan kurang fasilitas lingkungan serta ruang untuk beraktivitas. Rumah tangga dan keluarga pelaku usaha berhadapan dengan masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, domestik, dan lingkungannya. Terlepas kondisi seseorang atau kelompok kesulitan memperbaiki taraf hidupnya, setiap keluarga memiliki hak sama untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Keluarga dengan keterbatasan memerlukan upaya lebih, namun usaha tersebut berdampak pada rumah tangga dan masa depan (double burden). Pilihan ekonomi yang ada belum memberikan kemandirian, sedangkan alternatif usaha produksi juga tidak memperluas kapabilitas masyarakat dan keluarga untuk memilih serta mencapai cita-cita yang dianggap bernilai. Jika keterkaitan dalam lingkungan tidak dapat memenuhi hak anggota keluarga, maka dibutuhkan tanggung jawab lebih luas. Keterlibatan masyarakat di luar komunitas lokal dan peran pemerintah dalam program kegiatan memunculkan pilihan-pilihan tersebut.

Program pembangunan dan pengentasan kemiskinan yang dilakukan pelakunya belum berhasil mencapai tujuan pemberdayaan. Meskipun sasaran peningkatan akses, kesempatan, dan penghidupan tercapai, pelaksanaan melalui penyediaan prasarana dan sarana serta fasilitas usaha ekonomi menyebabkan ketergantungan. Aksi bersama dan pilihan yang diambil masyarakat tidak berhasil menciptakan masyarakat yang mandiri sesuai dengan gagasan pemberdayaan.

Pemberdayaan sedianya memberi jalan keluarga mendapatkan kebebasan untuk menentukan tujuan dan memperluas kapabilitas untuk mencapai cita-citanya serta mendapatkan keadilan untuk seluruh anggota keluarga. Keberhasilan terjadi jika masyarakat menjadi berdaya dan mendapatkan manfaat dari proses yang terjadi. Untuk itu keluarga, lingkungan, masyarakat luas, dan pemerintah perlu menjadi bagian dalam proses pembelajaran yang inklusif.

Pandangan masyarakat terhadap diri dan lingkungannya dipengaruhi hubungan dengan pihak lain. Keterkaitan tersebut dalam kasus ini dilihat pada program

Page 104: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

093

PENGHIDUPAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG KOTA STUDI KASUS PROGRAM PENANGANAN WILAYAH KUMUH KOTAKU DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI KOMUNITAS

TERMINAL HUJAN DI KAMPUNG KEBON JUKUT KOTA BOGOR

pemberdayaan, baik hal yang dilakukan pelakunya dan tanggapan masyarakat. Pertanyaan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana masyarakat memandang kondisi penghidupan dan keterbatasan serta keterkaitan dengan pihak-pihak di luar kelompok lokal?

2. Bagaimana pemberdayaan oleh pemerintah dan komunitas memberikan pilihan bagi masyarakat serta kebebasan untuk keluarga?

3. Bagaimana tindakan masyarakat dapat memunculkan aksi kolektif dan mempengaruhi proses pemberdayaan?

Dengan pertanyaan diatas, didapat pandangan terhadap pemerintah dan komunitas dalam pemberdayaan. Pandangan menunjukan manfaat yang diterima masyarakat, atau indikasi ketergantungan dan ketidakmandirian. Aksi bersama menegaskan pandangan dan keberhasilan menjadi berdaya dari prosesnya, serta kelemahan program pada kasus. Kemudian dapat direkomendasikan cara pencapaian tujuan masyarakat madani melalui community engagement, partisipasi dan kelembagaan yang berkelanjutan, dalam proses pembelajaran yang inklusif.

Penelitian masyarakat perkotaan dan pemberdayaan berpusat pada penghidupan (livelihood), tidak hanya mendapatkan penghasilan, juga mempertahankan akses sumber daya, menghadapi resiko, mengelola hubungan rumah tangga, sosial dan institusional. Fokusnya kapabilitas dan keagenan manusia, memperhatikan pilihan individu meningkatkan pendapatan, lingkungan layak, dan keterkaitan sosial, serta mempertimbangkan kerentanan masyarakat yang berada dalam kemiskinan.

Pendekatan livelihood menekankan keterkaitan aset yang dapat dimanfaatkan dan pilihan yang diakses masyarakat untuk menjaga penghasilan dan bertahan dengan berbagai cara penghidupan. Penilaian keberlangsungan urban livelihood melalui Sustainable Livelihood Analysis (SLA) dengan komponen yang saling terkait: aset (manusia, alam, fisik, finansial, modal sosial); kerentanan dalam konteks trends, shocks, seasonality; kebijakan, kelembagaan, proses di semua tingkatan; pilihan dan strategi penghidupan; serta outcome untuk masyarakat.

C. Pembahasan Hasil AnalisisKondisi masyarakat dengan keterbatasan di lingkungan padat kampung kota sebagaimana Kebon Jukut Kota Bogor dipengaruhi aksi kolektif di perkotaan. Masyarakat memandang program pemerintah dan komunitas dari luar kelompok sebagai suatu pilihan penghidupan sesuai akses anggotanya. Masyarakat terlibat dalam program dan mengikuti kegiatan dan mendapatkan manfaat langsung dari

Page 105: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

094 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

proses tersebut berupa aset fisik infrastruktur, penghasilan ekonomi, pengetahuan, dan kelembagaan sosial yang mendukung kegiatan serta penghidupannya.

Keterlibatan masyarakat di dalam program pemerintah membuat kampung mendapatkan prioritas penanganan lingkungan. Masyarakat yang melakukan kegiatan dan usaha ekonomi di lingkungan rumah mendapatkan manfaat langsung prasarana sarana permukiman yang lebih baik. Kerentanan lingkungan yang terkait dengan penghidupan juga mendapatkan solusi melalui adanya penanganan permukiman. Hal ini karena upaya-upaya di dalam dan dari luar kampung yang meningkatkan kualitas manusia serta keterkaitan sosial di masyarakat.

Partisipasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur memberikan pengalaman, sekaligus solusi sementara kesempatan pekerjaan untuk masyarakat. Sementara melalui kegiatan produksi, masyarakat mendapatkan pengetahuan yang diberikan anggota komunitas dari luar kelompok lokal. Pemberdayaan mendorong keterlibatan masyarakat dalam kelembagaan dan pelaksanaan. Keterlibatan dalam kelembagaan menjadi jalan untuk menentukan keputusan kegiatan. Keterkaitan dengan pelaku pemberdayaan memberikan pilihan penghidupan penerima manfaat yang terbatas baik disadari atau tidak.

Namun, proses pemberdayaan ternyata membuat keterikatan masyarakat pada sumber daya, instrumen, dan cara-cara yang dilakukan. Perubahan pandangan terhadap infrastruktur, disertai ketergantungan terhadap anggaran dan pekerjaan pembangunan fisik infrastruktur yang memunculkan ketidakmandirian. Kemudian pemberdayaan dalam komunitas, melalui pembentukan yayasan, penyediaan alat, serta pelatihan mengalihkan aksi dari tujuan semula. Ekslusivitas hubungan antara pelaku membatasi masyarakat dari pengalaman mandiri dan berdaya, sehingga kembali kepada cara-cara semula, untuk mencapai tujuannya di masa depan.

Di luar tujuan awal, masyarakat menganggap pemberdayaan sebagai kesempatan ekonomi dan sosial. Keterlibatan dalam pekerjaan pembangunan infrastruktur dilakukan dengan penyesuaian prosedur. Di sisi lain dukungan diberikan pada kegiatan komunitas. Di samping pelaku pemberdayaan dalam komunitas juga melakukan upaya lain atas kondisi tersebut, masyarakat yang tereksklusikan mendapatkan solusi sendiri di luar pemberdayaan.

Keluarga dengan keterbatasan memerlukan usaha yang lebih untuk mencapai tujuan yang dicita-citakannya. Pemberdayaan dalam program pemerintah dan komunitas menjadi satu jalan, namun upaya tersebut sedianya dilatarbelakangi adanya kesadaran bersama. Permasalahan lingkungan permukiman sedianya menjadi pertimbangan memprioritaskan penanganan kawasan, kenyataannya

Page 106: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

095

PENGHIDUPAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG KOTA STUDI KASUS PROGRAM PENANGANAN WILAYAH KUMUH KOTAKU DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI KOMUNITAS

TERMINAL HUJAN DI KAMPUNG KEBON JUKUT KOTA BOGOR

masyarakat lebih memerlukan lapangan pekerjaan. Pemberdayaan harus dekat dengan kepentingan masyarakat agar dapat menumbuhkan aksi bersama, dan mendukung kemandirian masyarakat yang didasari adanya kapabilitas serta keagenan manusia dalam pandangan livelihood.

Sementara usaha produksi rumah tangga berhadapan dengan peran perempuan dan pemenuhan kebutuhan domestik. Pilihan usaha ekonomi belum memberikan kemandirian pada keluarga. Alternatif pemberdayaan dalam komunitas tidak menambah kapabilitas karena masyarakat tidak merasa terikat dengan usahanya. Dengan demikian tidak terdapat aset dan akses untuk mencapai cita-cita, serta mendapatkan keadilan untuk anggota keluarga. Keberhasilan pemberdayaan tercapai jika masyarakat mendapatkan manfaat dari proses yang terjadi. Untuk itu pembelajaran dalam keluarga, lingkungan, komunitas, masyarakat luas, serta pemerintah perlu didorong untuk lebih inklusif.

Tindakan menemukan solusi di dalam dan di luar pemberdayaan memunculkan aksi kolektif. Pembentukan kelembagaan dan keterwakilan memberi kesempatan bagi masyarakat terlibat dalam penentuan keputusan. Kemudian penyelenggaraan kegiatan lingkungan dengan melibatkan pemuda memberikan solusi di luar pemberdayaan. Sejalan, upaya peserta di dalam dan luar komunitas mendorong solusi individu dan keluarga. Dukungan pengurus lingkungan terhadap komunitas memberi kesempatan masyarakat terlibat membantu secara langsung atau tidak.

Aksi bersama ini menggerakan keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan. Pengalaman anggota masyarakat dalam kelembagaan bermanfaat bagi kampung mendapatkan akses kegiatan. Keikutsertaan masyarakat sebagai penerima manfaat dan sebagai pekerja memberikan modal untuk mempertahankan akses tersebut. Pemanfaatan hasil pembangunan dengan kegiatan lingkungan melibatkan pemuda memberi kesempatan masyarakat yang lebih luas.

Aksi kolektif pelibatan masyarakat pemuda dalam kegiatan lingkungan dan dukungan komunitas menentukan penerimaan program dan saling ketergantungan pemerintah, komunitas, serta masyarakat. Keterlibatan mendukung berjalannya pemberdayaan, memperluas kemanfaatan pada anak-anak dan ibu rumah tangga. Aksi diwadahi organisasi keagamaan pemuda, terbentuk karena kondisi wilayah kampung. Sebagian anggotanya menjadi pengurus lingkungan dan kelembagaan program. Keterlibatan mengubah pandangan masyarakat terhadap pemberdayaan dan kemampuannya walaupun tidak mendapat manfaat langsung.

Masyarakat dengan keterbatasan bukan tidak memiliki aset-aset untuk berdaya, namun memerlukan akses, proses dan kebijakan dalam komunitas. Pengalaman dalam program tidak memunculkan kemandirian karena tidak ada kontinuitas.

Page 107: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

096 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Sementara inklusivitas komunitas terjadi karena kegagalan proses yang lebih luas di perkotaan, sehingga kembali memilih penghidupan yang dikenal. Dengan pengelolaan sumber daya bersama dalam program yang berkelanjutan dan inklusif diharapkan masyarakat dapat mencapai tujuan saat ini dan masa depan.

Pemberdayaan yang dilakukan pemerintah membuat masyarakat terikat dengan sumber-sumber daya program dan bergantung pada cara dan instrumen pekerjaan serta memunculkan ketidakmandirian. Sementara hubungan yang terbentuk antara pelaku pemberdayaan komunitas juga tidak inklusif dan membatasi masyarakat dari pengalaman mandiri dan berdaya. Kedua hasil studi kasus memunculkan kesimpulan bahwa program pemberdayaan yang ada belum menghubungkan penerima manfaat dengan akses sumber daya yang diperlukan.

D. KesimpulanSuatu program baik pemerintah dan komunitas, fisik atau intangible, yang berhubungan dengan masyarakat harus memperhatikan keberlanjutan (sustainability) program. Hal ini menjadi penting karena keterkaitan masyarakat dengan pihak luar mempengaruhi penghidupannya. Dari penelitian ini dipelajari bahwa program pemberdayaan perlu lebih dekat dengan kepentingan masyarakat agar terdapat aksi bersama, dan mendukung kemandirian sesuai kapabilitas serta keagenan manusia dalam pandangan livelihood. Pemberdayaan juga harus memberikan manfaat masyarakat dari proses yang terjadi, melalui pembelajaran dalam keluarga, komunitas, dan pemerintah yang inklusif.

Berdasarkan pembelajaran kasus dapat disampaikan beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan dalam program dan pemberdayaan yang berkelanjutan. Pertama, program yang ditujukan pemberdayaan harus dekat dengan masyarakat. Kepentingan dan kebutuhan berdasarkan pandangan penerima manfaat harus menjadi awal dari proses pemberdayaan. Saat ini program-program pembangunan tidak terkecuali program fisik infrastruktur cenderung didorong supaya terdapat community engagement. Cara-cara berkaitan kedekatan dengan masyarakat yang memiliki kepentingan dalam pelaksanaan program.

Namun demikian, diperlukan parameter atau kriteria suatu program dianggap dekat dengan masyarakat. Berdasarkan kesimpulan, peneliti mengajukan poin berikutnya sebagai kriteria kedekatan program dan pemberdayaan dengan kepentingan masyarakat yang menjadi sasaran.

Page 108: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

097

PENGHIDUPAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG KOTA STUDI KASUS PROGRAM PENANGANAN WILAYAH KUMUH KOTAKU DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI KOMUNITAS

TERMINAL HUJAN DI KAMPUNG KEBON JUKUT KOTA BOGOR

Gambar 1. Perubahan pandangan terhadap penghidupan dan pemberdayaan

Tabel 1. Perbandingan penghidupan, proses, dan keberlanjutan pemberdayaan

PenghidupanProses

PemberdayaanKeberlanjutan

Pemberdayaan dalam Program Pemerintah Penanganan Kawasan Kumuh KOTAKU

Masyarakat terlibat dalam program dan mendapatkan manfaat aset fisik infrastruktur, penghasilan ekonomi, pengetahuan, kelembagaan sosial.

Kampung mendapat penanganan. Kegiatan dan usaha mendapatkan prasarana sarana lebih baik.

Kerentanan lingkungan mendapatkan solusi penanganan permukiman.

Faktor: Keterlibatan dalam penentuan keputusan

Partisipasi pembangunan infrastruktur memberi pengalaman, dan solusi sementara kesempatan pekerjaan untuk masyarakat.

Proses membuat keterikatan pada sumber daya, instrumen, cara-cara, ketergantungan, dan ketidakmandirian.

Faktor: Keterlibatan dalam kelembagaan memberikan pilihan yang terbatas.

Permasalahan lingkungan sedianya menjadi pertimbangan prioritas penanganan, ternyata lebih melihat lapangan pekerjaan.

Faktor: Pemberdayaan tidak dekat dengan kepentingan masyarakat keterbatasan penghasilan.

Faktor: Pelibatan pemuda dalam kegiatan oleh pengurus lingkungan, adanya organisasi keagamaan karena kondisi kampung.

Page 109: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

098 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

PenghidupanProses

PemberdayaanKeberlanjutan

Pemberdayaan dalam Program Ekonomi Produksi Masyarakat bersama Komunitas

Masyarakat mengikuti kegiatan dan mendapatkan aset, penghasilan ekonomi, dan pengetahuan.

Masyarakat yang melakukan usaha mendapatkan dukungan dari luar meningkatkan keterkaitan sosial.

Faktor: Kedekatan pemberdayaan dengan ekonomi usaha rumah tangga.

Melalui kegiatan produksi, masyarakat mendapatkan pengetahuan dari anggota komunitas di luar kelompok lokal.

Pembentukan yayasan, penyediaan alat, pelatihan mengalihkan aksi dari tujuan.

Faktor: Ekslusivitas pelaku membatasi dari pengalaman mandiri dan berdaya.

Faktor: Dukungan lingkungan dan dari luar pada kegiatan komunitas, keterlibatan pemuda berjenjang.

Usaha produksi belum memberikan kemandirian pada keluarga.

Faktor: Masyarakat tidak merasa terikat dengan usahanya.

Poin kedua, program menjadi dekat melalui perencanaan dan pelaksanaan yang dilakukan dengan nilai inklusivitas. Pembuat kebijakan atau pelaksana program harus menyadari setiap program dirancang dengan sasaran masyarakat tertentu. Manfaat program tidak akan dirasakan keseluruhan anggota masyarakat karena adanya kemampuan akses yang berbeda-beda. Program dan kegiatan menyasar kelompok prioritas yang dipandang memerlukan dan dapat dijangkau. Karena itu akan selalu terdapat anggota masyarakat di luar kelompok sasaran.

Strategi yang dapat dilakukan adalah menjaga program tidak eksklusif, tertutup kemungkinan manfaat untuk kelompok masyarakat lain, atau tidak dapat dikritisi secara seimbang. Untuk itu penting identifikasi kelompok berpotensi tereksklusi, berdasarkan kemungkinan yang ada. Kemudian bagaimana terjadi kedekatan, yaitu tidak ada bagian masyarakat yang berpotensi terabaikan, termarjinalkan, terkeksklusikan. Berkaitan dengan target dari social engagement, kesadaran dan antisipasi menghindari atau meminimalkan adanya eksklusivitas.

Poin ketiga, perlunya terdapat partisipasi, dan pentingnya keterlibatan dari pelaku non-pemerintah dalam pembelajaran komunitas. Pelaku tersebut dapat terdiri dari berbagai kelompok kepentingan spesifik di masyarakat, baik formal dan informal. Perlu identifikasi pihak yang menjadi pelaku non-pemerintah terkait kompetensi dan latar belakang yang mendorong inisiatif serta keterlibatan kelompok tersebut. Pelaku dapat merupakan kelompok tradisional, atau memiliki tradisi pembelajaran sebelumnya. Kemudian dalam program dan pemberdayaan bagaimana pelaku memiliki peranan, bagaimana fiturnya dan ciri-cirinya.

Page 110: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

099

PENGHIDUPAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG KOTA STUDI KASUS PROGRAM PENANGANAN WILAYAH KUMUH KOTAKU DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI KOMUNITAS

TERMINAL HUJAN DI KAMPUNG KEBON JUKUT KOTA BOGOR

Berdasarkan kedua studi kasus yang diteliti, terdapat temuan adanya keterlibatan kelompok pemuda. Untuk itu perlu dijelaskan fitur kelompok pemuda sehingga membuat program ini dapat berkelanjuta. Fitur utama kelompok pemuda yang paling penting berdasarkan penelitian adalah sebagai kelompok lokal yang paling berpotensi terkena risiko kerentanan lingkungan. Kelompok pemuda merupakan yang paling terkeksklusi, sehingga penting untuk dapat terlibat.

Jika demikian dapat diterangkan secara spesifik, bahwa identifikasi pihak pelaku non-pemerintah dapat dimulai dari kelompok yang paling berpotensi tereksklusi, termarjinalkan. Untuk itu kemungkinan perlu dipertimbangkan untuk disusun skala prioritas kelompok. Kemudian bagaimana kelompok tersebut dapat dilibatkan, apalagi jika kelompok tersebut ternyata kekurangan sumber daya (resourceless), misalnya kekurangan penghasilan, pendidikan, dan sebagainya. Kondisi demikian dapat mempersulit pelibatan.

Maka pada poin berikutnya, setelah diidentifikasi kelompok-kelompok tersebut perlu disusun juga cara-cara dengan pemberdayaan khusus supaya kelompok yang berpotensi tereksklusi dan kekurangan sumberdaya bisa terlibat dan berpartisipasi. Berdasarkan pengalaman pemberdayaan pada studi kasus, terdapat penjenjangan keterlibatan secara natural dan sukarela kelompok tereksklusi dalam masyarakat yang lebih luas yang menjadikan anggotanya semakin mampu. Dalam kasus lain kelompok yang tereksklusi dapat memiliki kemampuan yang tidak seimbang. Untuk itu program yang dilakukan mungkin membutuhkan penjembatan. Berdasarkan poin-poin tersebut, dapat disusun rekomendasi operasionalnya supaya pembelajaran ini bisa diterapkan ke kasus-kasus bukan hanya yang dikaji, sehingga bermanfaat luas.

E. RekomendasiBerdasarkan program penanganan permukiman dan lingkungan pelaksanaan sedianya direncanakan masyarakat bersama pemerintah. Pembentukan organisasi masyarakat dapat dilakukan untuk perencanaan dan koordinasi kegiatan, namun pengalokasian anggaran membutuhkan pendampingan. Peraturan yang berjalan perlu dilihat kembali mengakomodasi keragaman pelaksanaan kegiatan di daerah, dengan sistem yang memudahkan penyesuaian. Sejak awal harus ditekankan tujuan dan sasaran program kepada masyarakat luas agar pandangan masyarakat sesuai yang diharapkan. Khusus penanganan permukiman sedianya dilaksanakan dengan tujuan dan target tertentu sesuai kebutuhan masyarakat.

Sementara dalam pemberdayaan ekonomi perlu dipastikan terbentuk keterkaitan masyarakat dengan sumber daya. Untuk usaha ekonomi rumah tangga diperlukan tersedianya akses pasar untuk hasil produksi. Sumber-sumber daya yang lain

Page 111: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

100 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

dapat berasal dari hasil program lingkungan. Untuk itu pemberdayaan ekonomi dan penanganan permukiman harus terintegrasi dengan tujuan yang ditetapkan sebagai tema pemberdayaan untuk perbaikan penghidupan masyarakat. Integrasi juga diperlukan agar keluarga dapat menentukan pilihannya.

Berdasarkan perbandingan pemberdayaan pemerintah dan masyarakat, terdapat hubungan individu di dalam dan luar kelembagaan dan kegiatan. Suatu upaya berhubungan dengan masyarakat dan pemberdayaan memiliki sasaran spesifik baik direncanakan atau tidak. Individu yang tidak mendapatkan manfaat langsung atau terekslusikan akan terhubung berbagai keterkaitan dan organisasi masyarakat sesuai dengan agensi dan kemampuan individu mencapai tujuan.

Agar tindakan masyarakat dapat memunculkan aksi kolektif dan mempengaruhi penggunaan kekuasaan dalam proses pemberdayaan, harus disadari hubungan antara pelaku-pelaku dalam berbagai lembaga di luar program dan kegiatan. Pemberdayaan yang dilakukan pemerintah dan prakarsa masyarakat tidak dapat hanya dengan satu sasaran misalnya pembangunan infrastruktur fisik. Namun upaya dengan sasaran beragam, baik dalam satu program atau bekerjasama dengan pelaku lain, baik antar institusi, masyarakat, atau pihak luar.

Dengan demikian, pembangunan sosial memiliki jalan untuk berkembang sesuai karakteristik suatu wilayah. Hal ini sesuai tujuan pembangunan berkelanjutan perkotaan dan permukiman inklusif, contohnya penanganan permukiman kumuh. Dalam tujuan tersebut terdapat indikator struktur partisipasi perencanaan dan pengelolaan yang berjalan terus-menerus dan demokratis, yang dapat dicapai melalui lembaga-lembaga di masyarakat. Berkaitan dengan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak, upaya yang inklusif memastikan kesempatan bagi masyarakat dalam tingkatan penentuan keputusan.

Page 112: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

101

PENGHIDUPAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG KOTA STUDI KASUS PROGRAM PENANGANAN WILAYAH KUMUH KOTAKU DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI KOMUNITAS

TERMINAL HUJAN DI KAMPUNG KEBON JUKUT KOTA BOGOR

Page 113: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 114: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

07Analisis Fair Trade pada Perdagangan

Kopi di Gunung Malabar Studi Kasus

Kelompok Tani Rahayu Pengalengan

Nama : Adhi Santoso Handaru Mukti

Instansi : Biro Hukum Sekretariat Jenderal

Kementerian Perdagangan

Program Studi : Magister Studi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Teknologi Bandung

Page 115: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

104 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Inisiatif fair trade adalah salah satu gerakan grass-root yang dikatakan dapat menjadi solusi dalam permasalahan ketidakseimbangan ekonomi antara negara utara dan selatan yang mengakibatkan permasalahan kesejahteraan produsen di negara berkembang seperti harga jual produk dan pendapatan produsen yang rendah, pekerja yang tidak terampil, proses produksi yang tidak berkelanjutan, dan eksploitasi pekerja. Beberapa studi menyatakan bahwa fair trade berhasil dalam menciptakan pasar baru, meningkatkan pendapatan produsen, serta menghasilkan produk dengan nilai dan kualitas yang tinggi, namun beberapa menyangsikan keuntungan dari fair trade bagi petani mikro dan buruh tani di Negara berkembang sebagai kelompok produsen yang tingkat ekonominya paling rendah.

Tesis ini akan menganalisa aktivitas fair trade pada perdagangan kopi di Indonesia dengan studi kasus kelompok petani di Kabupaten Bandung untuk memberikan gambaran mengenai implikasi fair trade terutama bagi kesejahteraan petani mikro dan buruh tani di Indonesia. Tesis ini juga akan mengidentifikasi siapa saja aktor-aktor fair trade dan bagaimana peran mereka dalam kemajuan perdagangan kopi di Indonesia.

• Kata Kunci: fair trade, kesejahteraan produsen, petani, kopi

Page 116: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

105 ANALISIS FAIR TRADE PADA PERDAGANGAN KOPI DI GUNUNG MALABAR STUDI KASUS

KELOMPOK TANI RAHAYU PANGALENGAN

ABSTRACT

The fair trade initiative is one of the grass-root movements which is said to be a solution to the problem of economic imbalances between the northern and southern countries which results in problems of producer’s welfare in developing countries such as low product prices and producer’s income, unskilled workers, unsustainable production process, and exploitation of workers. Several studies state that fair trade is successful in creating new markets, increasing producer’s income, and producing products with high value and quality, but some argue about the benefits of fair trade for small-scale farmers and farm workers in developing countries as the producers with lowest economic level.

This thesis will analyze the fair trade activities in the coffee trade in Indonesia with a case study of farmer’s group in Bandung Regency to provide an overview of the implications of fair trade, especially for the welfare of small scale farmers and farm workers in Indonesia. The thesis will also identify who are the fair trade actors and how they play a role in the development of the coffee trade in Indonesia

• Keywords: fair trade, producer’s welfare, farmers, coffee

Page 117: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

106 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangPrinsip fair trade sudah digunakan dalam memutuskan beberapa kebijakan perdagangan internasional terutama di ranah business to business (B2B). Salah satunya dalam putusan komisi Eropa yang melarang impor minyak kelapa sawit dari Indonesia ke Negara Uni Eropa dengan alasan produk minyak kelapa sawit dari Indonesia diproduksi dengan cara-cara yang merusak lingkungan, di mana produksi minyak kelapa sawit berkontribusi pada semakin meningkatnya angka deforestasi di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai Negara penghasil emisi rumah kaca peringkat ke- 5 di dunia (World Resources Institute, 2019), salah satu studi juga menyebutkan bahwa deforestasi di Kalimatan akibat produksi minyak kelapa sawit menyebabkan punahnya lebih dari 100.000 Orangutan Borneo dari tahun 1999 (Voigt dkk., 2018). Tren dan peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa telah terjadi diskursus pada perdagangan internasional yang mulai berfokus pada praktik perdagangan yang beretika tidak hanya pada negara-negara maju namun juga pada negara-negara berkembang.

Salah satu produk komoditas potensial Indonesia yang “wajah”nya juga ikut berubah akibat dari rezim fair trade adalah produk kopi, hal ini tak lepas dari berkembangnya tren kopi global yang disebut dengan “Third Wave of Coffee”. Tren “Third Wave of Coffee” atau “Coffee Craft” yang dibawa oleh negara maju menyebabkan evolusi struktural dalam perdagangan kopi (Daly J. dkk., 2018).

Pada satu sisi rezim fair trade yang mendorong lahirnya tren “third wave of coffee” dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani karena adanya praktik perdagangan langsung “direct trade” yang membuat petani saat ini berperan tidak hanya sebagai produsen namun juga sebagai penjual serta hadirnya komunitas barista dan pengolah minuman kopi yang mendisruptif rantai perdagangan kopi, namun di sisi lain tren ini juga dapat melahirkan isu-isu baru akibat dari standar-standar kualitas kopi dan sistem perdagangan yang masih di dominasi negara maju.

Beberapa penelitian telah menunjukkan implikasi dari fair trade, di mana pada studi koperasi kopi di Costa Rica (Ronchi, 2002) menemukan bahwa fair trade dapat menguatkan organisasi dan dapat meningkatkan pendapatan produsen kecil, kualitas hidup serta partisipasi mereka dalam organisasi. Penelitian lain menyebutkan bahwa inisiatif fair trade telah meningkatkan kesejahteraan petani mikro karena adanya kemudahan akses ke pembiayaan dan peningkatan kapabilitas untuk menghasilkan produk yang berkualitas (Murray, 2003) serta peningkatan pendapatan dari harga jual produk yang lebih tinggi (Becchetti dan Constantino, 2008). Di sisi lain berdasarkan hasil riset-riset University of Sussex yang dihimpun oleh Fair Trade Foundation terhadap implikasi produk fair trade di negara-negara berkembang, ditemukan bahwa fair trade memang

Page 118: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

107 ANALISIS FAIR TRADE PADA PERDAGANGAN KOPI DI GUNUNG MALABAR STUDI KASUS

KELOMPOK TANI RAHAYU PANGALENGAN

memberikan peningkatan pada pendapatan dan kesejahteraan petani skala kecil namun terdapat beberapa isu seperti adanya additional cost yang menyebabkan petani sulit berkembang dan petani kecil sulit untuk memenuhi standar fair trade sehingga tidak mampu untuk masuk ke pasar produk fair trade, pasar buyer yang sedikit sehingga menyebabkan ketergantungan pada satu buyer tertentu serta upah buruh tani yang masih kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari meskipun sudah mengalami kenaikan (Fair Trade Foundation, 2011). Namun dari temuan yang disampaikan tidak menjelaskan secara komprehensif bagaimana relasi sebab-akibat dari aktivitas fair trade yang dilakukan oleh produsen sehingga kurang menggambarkan realitas yang terjadi pada petani secara umum terutama bagi petani skala kecil dan buruh tani.

Dari penelitian dan jurnal-jurnal sebelumnya sebagian besar peneliti mengkaji mengenai dampak ekonomi dari inisiatif fair trade dalam third wave of coffee secara macro maupun implikasinya hanya pada first level producers dan dilakukan pada Negara-negara berkembang wilayah Amerika Selatan, namun belum terdapat penelitan yang komprehensif mengenai analisis fair trade dari sisi implikasi terhadap petani skala kecil dan buruh tani yang merupakan golongan masyarakat yang tingkat ekonominya paling rendah terutama di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan kajian terhadap bagamana isu-isu dan implikasi dari praktek perdagangan kopi fair trade, di mana dalam penelitian ini Peneliti mengambil ruang lingkup petani di Gunung Malabar, Kabupeten Bandung, Provinsi Jawa Barat dengan meneliti bagaimana perkembangan tren “third wave of coffee” dan perdagangan fair trade tersebut mempengaruhi perdagangan kopi di Kabupaten Bandung terutama di Gunung Malabar. Dalam penelitian ini juga dilakukan kajian apakah praktik perdagangan fair trade tersebut memberikan pengaruh pada rantai perdagangan kopi di Gunung Malabar. Responden yang peneliti tentukan pada penelitian ini adalah kelompok tani (poktan) Rahayu di Kecamatan Pangalengan karena poktan Rahayu adalah salah satu keompok tani yang paling sukses dalam membudidayakan kopi specialty di Gunung Malabar, dan produksinya telah disertifikasi fair trade serta merupakan salah satu aktor penting dalam perdagangan kopi di Gunung Malabar.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisPenelitan ini akan menganalisa dan mengeksplorasi defisiensi isu-isu dan permasalahan fair trade pada literatur dan penelitian sebelumnya yang menunjukkan keharusan untuk melakukan penelitian terhadap petani skala kecil dan buruh tani yang belum terungkap pada penelitian sebelumnya. Adapun rumusan permasalahan pada penelitan ini antara lain:

Page 119: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

108 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

1. Bagaimana implikasi dari fair trade terhadap aktivitas dan kondisi ekonomi petani maupun buruh tani, yang merupakan salah satu golongan masyarakat yang tingkat ekonominya paling rendah.

2. Bagaimana pengaruh fair trade terhadap kegiatan perdagangan kopi terutama bagi petani skala kecil dan buruh tani di Gunung Malabar.

Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif di mana tujuan penelitian kualitatif adalah memahami situasi, peristiwa, peran, kelompok, atau interaksi sosial tertentu (Locke, Spirduso, dan Silverman, 1987). Penelitian ini dapat diartikan sebagai proses investigasi yang di dalamnya peneliti secara perlahan-lahan memaknai suatu fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan, dan mengklasifikasikan objek penelitian.

Sumber data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer pada penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok, yaitu pemerintah, produsen, dan pekerja. Responden dari pemerintah yaitu pegawai pada Dinas Pertanian Kabupaten Bandung untuk memperoleh informasi kebijakan-kebijakan Pemerintah dalam perkembangan budi daya kopi di Gunung Malabar. Responden produsen adalah pengurus poktan Rahayu untuk memperoleh informasi mengenai bagaimana business process pada poktan Rahayu terutama dari sisi fair trade. Responden pekerja, yaitu petani skala kecil dan buruh untuk mengetahui implikasi dari kebijakan pemerintah maupun praktik fair trade yang diselenggarakan oleh poktan Rahayu.

Data sekunder meliputi data yang peneliti peroleh untuk memperkaya data utama seperti informasi-informasi dari keterangan singkat petani di wilayah Gunung Malabar, hasil observasi di lahan perkebunan kopi dan wilayah sekitar Gunung Malabar, dokumen-dokumen wilayah, Peraturan Perundang-Undangan, hasil penelitian sebelunya terkait fair trade, serta literatur-literatur terkait perdagangan kopi.

C. Pembahasan Hasil AnalisisPerdagangan fair trade memiliki prinsip fairness yang berbeda dengan prinsip perdagangan konvensional berbasis free trade namun bukan berarti dalam pelaksanaanya fair trade bertentangan dengan sistem perdagangan dunia yang berada dalam naungan WTO tersebut. Fair trade justru dapat mendukung perdagangan konvensional terutama dalam melahirkan pasar baru, baik pasar konsumen dan produsen, serta peningkatan shared-benefit terutama bagi produsen yang berekonomi lemah. Fair trade juga menawarkan prinsip equality dan redistribusi pendapatan namun bukan dalam konteks Negara sebagaimana diusung GATT melainkan pada konteks produsen hulu di negara

Page 120: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

109 ANALISIS FAIR TRADE PADA PERDAGANGAN KOPI DI GUNUNG MALABAR STUDI KASUS

KELOMPOK TANI RAHAYU PANGALENGAN

berkembang. Perkembangan inisiatif fair trade memberikan pandangan lain menganai bagaimana distribusi benefit dari perdagangan internasional dengan memperhatikan aspek sosial dan hak asasi manusia, dalam hal ini inisiatif fair trade memperdebatkan kembali siapakah yang seharusnya mendapatkan benefit dari perdagangan dan ukuran fairness seperti apa yang seharusnya diterapkan. Inisiatif fair trade sejauh ini dapat berjalan selaras dengan regulasi perdagangan dalam kerangka GATT, bahkan di masa yang akan datang sangat dimungkinkan prinsip-prinsip fair trade kemudian diadopsi dalam regulasi perdagangan internasional.

Berdasarkan analisa aktor yang peneliti lakukan, Peneliti berkesimpulan bahwa keberhasilan perdagangan kopi yang di Gunung Malabar khususnya pada poktan Rahayu tidak hanya berasal dari peran langsung organisasi-organisasi fair trade namun justru tidak lepas dari peran aktor-aktor baik pada level niche dan rezim yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh rezim fair trade. Aktor-aktor tersebut terdiri dari pemerintah, yaitu perhutani dan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, swasta, yaitu investor-investor kopi yang mengembangkan budi daya kopi specialty, aktor-aktor petani dan masyarakat Pangalengan, serta peran tidak langsung dari media yang mengekspos keunggulan produk kopi Gunung Malabar. Kolaborasi aktor-aktor tersebut menghasilkan pembangunan yang dapat dikatakan inklusif, hal ini terlihat dari lahirnya artefak-artefak alat pengolahan kopi, pengolahan hilir dan produk kopi specialty yang memberikan nilai tambah terhadap nilai kopi yang sebelumnya, serta meningkatnya keberdayaan petani dengan lahirnya usaha-usaha budi daya dan perdagangan kopi baru yang diusung oleh petani maupun pengusaha skala kecil dari masyarakat Pangalengan.

Peneliti mencatat perkembangan budi daya kopi berbasis fair trade di Pangalengan terutama pada poktan Rahayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain

Faktor internal:

1. Cultural knowledge, adanya pengetahuan dasar dari masyarakat Pangalengan yang mayoritas petani dan memiliki riwayat historis dari sejak zaman kolonial sebagai petani yang berpengalaman dan terampil sehingga petani mudah untuk menangkap knowledge dari teknik budi daya tanaman kopi specialty yang relatif sulit.

2. Kondisi demografis tenaga kerja yang mayoritas petani sehingga poktan Rahayu tidak kekurangan SDM bidang pertanian.

3. Aktivitas tengkulak/bandar pada perdagangan kopi yang relatif sedikit dibandingkan dengan perdagangan sayur di Pangalengan

4. Government intervention, yaitu adanya intervensi dan dukungan pemerintah dalam pengembangan budi daya kopi melalui program PHBM yang diprakarsai

Page 121: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

110 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

oleh Perhutani dan petani Pangalengan, serta adanya bantuan teknis berupa pendampingan dari Dinas Pertanian Kabupaten Bandung.

5. Dukungan geografis dan iklim yang ideal untuk menanam komoditas kopi yang merupakan produk unggulan fair trade.

6. Public Awareness, maraknya sorotan media terhadap keberhasilan budidaya kopi specialty di Gunung Malabar menumbuhkan kesadaran konsumen dan pasar terhadap keunggulan hasil produk kopi Gunung JMalabar serta mulai adanya organisasi-organisasi fair trade di Indonesia yang sudah menjalin afiliasi dengan pemerintah.

7. Willingnes to Pay, mulai lahirnya kelompok-kelompok konsumen di kalangan urban yang menyadari eksistensi fair trade dan kualitas kopi specialty dan bersedia untuk mengonsumsi produk kopi tersebut meskipun dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar.

Peneliti menemukan fair trade memberikan implikasi positif yang cukup sejalan dengan apa yang diuraikan pada penelitian terdahulu, antara lain:

1. Peningkatan pendapatan petani.

Pada poktan Rahayu, petani anggota poktan mendapatkan share pengelolaan lahan dari lahan perhutani yang dikelola oleh poktan Rahayu sehingga petani mendapatkan benefit dari hasil produksi kopi yang dijual langsung kepada poktan Rahayu. Petani poktan dan buruh tani juga mendapatkan pendapatan dari upah bekerja harian yang nilainya lebih tinggi dari rata-rata upah di Pangalengan.

2. Ketersediaan fasilitas pembiayaan dan alat-alat produksi pertanian dengan manajemen produksi yang baik.

Poktan Rahayu menyediakan fasilitas pembiayaan dan alat-alat produksi pertanian yang mudah diakses sehingga dapat mendukung dan memberikan kemudahan bagi kegiatan usaha petani. Sistem pendampingan dan monitoring yang rutin dilakukan oleh poktan Rahayu menumbuhkan kepercayaan petani kepada poktan dalam hal pengelelolaan hasil produksi kopi serta menjaga solidaritas dan silaturahmi antar petani.

3. Peningkatan kapabilitas dan pengetahuan petani terkait teknik budi daya dan pengelolaan lingkungan yang baik.

Salah satu ciri khas dari produk fair trade adalah produk premium yang berkualitas tinggi dan dihasilkan dari proses produksi yang memperhatikan kondisi ekosistem. Kualitas produk kopi poktan Rahayu yang tinggi tidak lepas dari meningkatnya pengetahuan petani terkait budidaya kopi dan tumbuhnya kesadaran bagi petani untuk menjaga lingkunganya.

Page 122: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

111 ANALISIS FAIR TRADE PADA PERDAGANGAN KOPI DI GUNUNG MALABAR STUDI KASUS

KELOMPOK TANI RAHAYU PANGALENGAN

4. Lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi petani.

Fasilitas transportasi dan perlengkapan keamanan yang disediakan oleh poktan serta adanya kebijakan yang memberikan keringanan bagi pekerja wanita dan anak, berhasil menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi petani.

5. Akses ke pasar produk premium.

Skema fair trade menghasilkan produk berkualitas tinggi sehingga produsen dapat menjual produknya dengan harga tinggi. Dalam hal ini pasar produk premium juga didorong oleh semakin tumbuhnya consumer awareness akan produk kopi specialty.

D. KesimpulanPada penelitian ini peneliti menemukan beberapa isu baru yang dapat berpotensi menghambat penerapan prinsip-prinsip fair trade, antara lain:

1. Terbatasnya kepemilikan fasilitas pengolahan dan pengolahan hilir dan pengetahuan terkait budi daya kopi specialty.

Fair Trade Foundation (2011) mengindikasikan bahwa salah satu isu pada fair trade adalah adanya beban biaya tinggi yang dihadapi produsen, namun dari hasil survei lapangan, peneliti menemukan bahwa isu biaya yang tinggi lebih dirasakan produsen non-fair trade yang sulit untuk masuk pasar premium karena keterbatasan biaya atau fasilitas pemberi nilai tambah. Artefak yang penting untuk menghasilkan kopi dengan kualitas specialty adalah alat-alat dan mesin pengolah kopi, namun dikarenakan diperlukan pengetahuan khusus untuk mengolah kopi dan harga dari alat-alat pengolah kopi yang relatif mahal masih sedikit petani di Pangalengan yang memiliki sumber daya tersebut, di mana pada kelompok petani yang tergabung dalam LMDH hanya poktan Rahayu yang memiliki pengetahuan dan fasilitas pengolahan yang lengkap. Hal ini menyebabkan sebagian besar petani masih menjual produk kopinya dalam bentuk red cherry yang memiliki nilai tambah yang rendah karena ketidakmampuan mereka untuk mengolah red cherry tersebut sehingga menyebabkan petani kopi tidak memiliki banyak pilihan untuk menjual produk kopinya dan bergantung pada kapasitas poktan Rahayu dalam menyerap hasil produksi kopi sehingga apabila produk kopi petani tidak mampu diserap oleh poktan Rahayu, petani terpaksa untuk menjual produknya ke bandar dengan harga yang rendah. Keterbatasan tersebut juga menyebakan petani tidak mampu masuk ke dalam pasar premium (barrier to entry) sehingga tidak mampu mengembangkan potensi dirinya.

Page 123: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

112 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2. Akses ke pasar ekspor yang terbatas.

Meskipun pada pasar dalam negeri baik retail maupun konsumen langsung permintaan terhadap produk kopi premium (specialty) sudah cukup tinggi namun akses ke pasar internasional masih terbatas meskipun adanya demand yang sangat tinggi. Hal ini dapat disebabkan aktivitas business matching yang belum efektif sehingga produsen masih memiliki pilihan yang terbatas untuk menjual produknya ke luar negeri.

3. Shared benefit bagi buruh tani yang masih rendah.

Berbeda dengan temuan Fair Trade Foundation (2011) yang menyatakan bahwa shared benefit bagi petani masih rendah, hasil temuan peneliti menunjukkan bahwa petani skala kecil yang bekerja pada produsen fair trade menyatakan kepuasan atas pendapatan yang mereka peroleh. Berdasarkan perbandingan dengan UMP, pendapatan yang mereka peroleh juga dapat dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, meskipun poktan Rahayu sudah memberikan upah buruh tani dengan nilai yang lebih tinggi dari nilai rata-rata upah buruh tani di Pangalengan, namun upah yang diberikan kepada buruh tani tersebut masih tergolong rendah. Hal tersebut dapat dikarenakan upah rata-rata buruh tani di Pangalengan yang juga masih sangat rendah dengan Rp20.000,00-Rp30.000,00 per hari, sedangkan upah yang diberikan oleh produsen tidak selisih jauh dari upah rata-rata buruh tani tersebut. Selisih upah buruh yang tidak terlalu jauh tersebut dapat menjadi penyebab masih banyak petani yang lebih memilih untuk menjadi petani sayur di Pangalengan meskipun dengan upah yang lebih rendah. Produk kopi specialty setelah diolah akan memiliki nilai tambah yang tinggi dalam hal ini buruh tani kurang memperoleh benefit dari nilai tambah tersebut.

4. Kurangnya partisipasi petani mikro dan buruh tani dalam kegiatan/program peningkatan kapasitas;

Meskipun poktan Rahayu memiliki sistem pendampingan petani dalam budi daya kopi yang berjalan efektif dan partisipatif, namun poktan Rahayu kurang memberikan perhatian pada pemberian pelatihan maupun peningkatan kapasitas kepada petani mikro dan buruh tani di luar tugas pokok mereka sehari-hari. Hal ini dapat menyebabkan petani mikro dan buruh tani tidak mampu mengembangkan potensi pendapatanya karena tidak memiliki alternatif pendapatan lain diluar pekerjaanya sehari-hari menjadi petani poktan Rahayu.

Page 124: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

113 ANALISIS FAIR TRADE PADA PERDAGANGAN KOPI DI GUNUNG MALABAR STUDI KASUS

KELOMPOK TANI RAHAYU PANGALENGAN

5. Belum efektifnya program-program untuk meningkatkan taraf hidup buruh tani.

Salah satu prinsip penting dari fairness adalah terpenuhinya hak-hak dasar yang dapat tercermin dari jumlah pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan hidup layak sehari-hari. Keberhasilan budi daya kopi di Pangalengan tidak memberikan implikasi positif yang signifikan bagi buruh tani karena pendapatan yang diterima oleh buruh tani poktan Rahayu tidak jauh berbeda dengan pendapatan buruh tani lain meskipun nilainya lebih tinggi. Hal ini juga dapat dikarenakan kebijakan pemerintah yang ada kurang tegas dalam menerapkan standar pendapatan bagi pekerja buruh sehingga meskipun pemerintah sudah menetapkan standar upah minimum bagi pekerja buruh, namun pada kenyataanya pendapatan buruh tani Pangalengan masih di bawah standar upah minimum tersebut. Selain itu program-program bantuan pemerintah yang ada hanya dapat mengurangi pengeluaran namun tidak berimplikasi pada peningkatan pendapatan sehingga bantuan pemerintah yang diberikan kurang efektif dalam meningkatkan taraf hidup petani.

E. RekomendasiInisiatif fair trade di Indonesia masih tergolong baru dan belum dikenal secara luas baik oleh masyarakat maupun pemerintah, namun terdapat beberapa potensi yang dapat mendukung berkembangnya inisiatif tersebut terutama pada perdagangan kopi, yaitu:

1. Masih besarnya potensi pemanfaatan lahan perkebunan kopi milik negara (perhutani) yang juga sejalan dengan program pemerintah existing (perhutanan sosial/reformasi agraria).

2. Semakin meningkatnya popularitas perdagangan kopi specialty (third wave of coffee) di Indonesia di mana prinsip-prinsipnya sejalan dengan prinsip Fair Trade.

3. Public Awareness yang mulai terbentuk dengan adanya afiliasi antara pemerintah dengan stakeholder kopi yang menjalankan prinsip-prinsip fair trade.

Di samping itu, untuk mengoptimalkan inisiatif fair trade di Indonesia agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani dan buruh tani diperlukan beberapa upaya yang dapat dipertimbangkan pembuat kebijakan sebagai berikut:

Page 125: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

114 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

1. Penyediaan platform yang dapat menyerap produk petani dengan minimum harga pasar.

Salah satu masalah yang dihadapi petani adalah terbatasnya kapasitas poktan untuk menyerap produk kopi dari petani dengan harga yang tinggi sehingga menyebabkan petani tidak punya pilihan dan menjual produknya ke bandar dengan harga murah. Dengan tersedianya platform alternatif yang dapat menyerap produk petani dengan harga yang fair, maka petani memiliki pilihan dan kepastian dalam pemasaran produknya sehingga petani akan dapat memiliki pendapatan yang berkelanjutan dan terlepas dari ketergantungan. Salah satu kebijakan existing yang dapat mendukung terwujudnya upaya tersebut adalah sistem resi gudang yang sejauh ini masih belum berjalan dengan efektif.

2. Peningkatan dukungan pemerintah dalam fasilitasi perdagangan antara petani dengan buyer dari pasar internasional.

Berdasarkan catatan kami, poktan Rahayu kurang mendapatkan dukungan dalam hal fasilitasi perdagangan dengan buyer dari luar negeri. Dukungan pemerintah dalam hal ini menjadi krusial karena petani tidak mempunyai informasi, relasi, dan sumber daya yang memadai untuk masuk dalam pasar internasional meskipun sebenarnya kualitas produk yang dihasilkan sudah mampu bersaing di pasar internasional. Keberhasilan business matching antara produsen petani dengan buyer terutama buyer fair trade, secara tidak langsung akan memutus mata rantai perdagangan dan menciptakan sistem perdagangan yang efisien dan menguntungkan untuk semua. Selain itu, dalam mendukung business matching Pemerintah juga perlu menyediakan mekanisme pembiayaan bagi petani yang produknya siap ekspor untuk mengatasi permasalahan keterbatasan dana petani untuk masuk ke pasar internasional.

3. Kebijakan standar upah minimum dan harga jual produk petani yang efektif.

Masih adanya buruh tani yang upahnya masih di bawah standar upah minimum yang ditetapkan pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan standar upah minimum belum berjalan dengan efektif dalam hal ini diperlukan upaya sosialisasi, monitoring, dan evaluasi yang lebih tegas untuk memastikan bahwa pemberi pekerjaan memberikan upah minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk menetapkan ketentuan harga penjualan petani untuk produk-produk ekspor unggulan seperti produk kopi atau setidaknya menyediakan sistem informasi harga pasar yang mudah untuk diakses dan dijadikan rujukan oleh petani, dengan harapan dapat memberikan perlindungan bagi petani terhadap praktik penekakan harga oleh bandar serta dapat meningkatkan pendapatan petani dan shared benefit dari produk yang dijual oleh petani.

Page 126: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

115 ANALISIS FAIR TRADE PADA PERDAGANGAN KOPI DI GUNUNG MALABAR STUDI KASUS

KELOMPOK TANI RAHAYU PANGALENGAN

Sebagai saran untuk penelitian selanjutnya yang lebih komprehensif diperlukan analisa mengenai perspektif buyer baik dari dalam dan luar negeri yang sudah menerapkan prinsip fair trade, adanya analisis komparatif dengan produsen/petani lain yang menerapkan prnsip fair trade, serta analisis dengan data kuantitaif yang lebih luas untuk melihat implikasi fair trade terhadap masyarakat secara umum.

Page 127: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 128: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

08Determinants of E-Goverment

Maturity in Southeast Asia

Nama : Mellianae Merkusi

Instansi : Bappeda Pemkot Palangkaraya

Program Studi : Master of International Development

Studies

Negara Studi : Jepang

Universitas : Takushoku University

Page 129: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

118 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 130: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

119 DETERMINANTS OF E-GOVERNMENT MATURITY IN SOUTHEAST ASIA

ABSTRACT

This study emphasizes on factors that may contribute to e-government maturity in 11 Southeast Asian countries, inspired by prior studies done by Ifinedo that investigated an identical topic in other parts of the world. There are four factors covered in this study which are politic, economic, social, and technology. In this study, e-government maturity refers to how advance the features presented on each government website that reflects the actual level of online service growth made by the entire country.

This study uses the UN’s e-government maturity model as it provides global, comparative data on the web measure/online service index measures for countries around the world. The political, economic, social, and technological (PEST) and Modernization Theory (MT) analysis framework are used as the basis to contribute for the conceptual background for this research. Specifically, this study aims to explore the influences of possible factors of e-government maturity in 11 Southeast Asian countries. Publicly and trusted available data sources such as published by the United Nations and the World Bank are used for this study during a 5-year period. This study is using Ordinary Least Squares (OLS) regression and panel data regression to analyze the data.

The result of this study indicates that GDP and civil liberties does not have positive relationship with e-government maturity. Meanwhile, the coefficient sign of HDI, technology infrastructure and Rule of Law show positive relationship.

• Keywords: electronic government (e-government); e-government maturity; Southeast Asia; panel data; ols regression

Page 131: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

120 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundDue to the incredible rapid growth of the Internet which is now used by 3.82 billion users or 51% of the world’s population by August 2017 (Kemp, 2017), enormous changes have taken place in how the Internet users communicate, are entertained, shop, obtain information, and interact. It has also changed how governments interact with their citizens. Leaders of governments around the world are now trying to embrace the best use of new technologies to deliver services to their citizens due to so many demands for a more open and responsive government. For example, government websites are being used to improve the citizen access to government services and to influence them to use online transactions.

There are many sources of e-government definitions, but all refer to the use of ICT (Information and Communications Technology) so the citizen can access government information and services, change administrative procedures, and boost citizen input and participation. In other words, e-government can be defined as the ICT tool that is used to communicate with, engage and empower the citizen by delivering and integrating workflows and processes in government administration, by effectively managing data and information, by improving public service delivery and by broadening communication channels (United Nations, 2014).

Countries all over the world can be more efficient, providing better services and responding to demands for transparency and accountability through e-government. In other words, addressing development issues and as a force for effective participation and governance can be done by e-government. Therefore, e-government itself has become an important and powerful mechanism for both national and local level governments. It can also help governments to stimulate economic growth, promote social inclusion and promote effective management of natural resources as well (United Nations, 2014; See, 2015). Moreover, e-governments can serve many different processes that can give resulting benefits such as increased transparency, less corruption, revenue growth, cost reductions and greater convenience. The processes are involving better interactions with citizen and business sector, better delivery of government services, easier access to information that can empower the citizen, and more efficient government management (World Bank, 2004).

Because of its potential and the recognizing of the role of ICT in the public sector, e-government has become increasingly widespread not only in the economically developed world, but in developing countries as well. The nations continue to invest enormous efforts and funds to support their e-government visions and strategies. According to Ifinedo (2011), however, not all countries have been able to successfully develop their e-government initiatives. Some emerging countries

Page 132: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

121 DETERMINANTS OF E-GOVERNMENT MATURITY IN SOUTHEAST ASIA

with transiting economies and which are developing in Southeast Asia are included (except Singapore) and are relatively slow in incorporating or implementing sophisticated features into their e-government websites.

As Holliday (2002) and Warf (2017) states in their publications that e-government has made steady progress in Southeast Asia countries, but they generally lag leader countries such as South Korea and Japan. The development and implementation of e-government in developed and developing countries highly differs in pace. The 2014 UN survey also reveals that e-government implementation efforts in developing countries have been recognizable over the years but still fall behind compared to developed countries due to significant challenges such as lack of sufficient ICT infrastructure and limited availability of resources (United Nations, 2014). As a result, these nations fail to realize the promised benefits of e-government, such as increased transparency, less corruption, revenue growth, cost reductions and greater convenience. Therefore, e-government is only considered a second option rather than a dominant means of communication for government in those nations (Ifinedo, 2011).

B. Research Problem and MethodologySome studies have examined the influencing factors of e-government maturity all over the globe in prior research. While this focus is useful for comparative analyses at a global level, it is yet arguable that when research efforts particularly focus attention on issues in specific parts of the world, more useful information will come to enrich the knowledge base. Therefore, it is important for research efforts to specifically focus on such regions (in this case, Southeast Asia region) to present a thorough understanding of the development of e-government issues in those regions. In other words, specifically, this study is designed to provide answers to this question: what factors influence or shape e-government maturity across Southeast Asia countries?

Therefore, this study aims to do so and is inspired by the prior studies of Ifinedo, namely Drivers of E-government Maturity in Two Developing Regions: Focus on Latin America and Sub-Saharan Africa (2012), Determinants of E-government Maturity in the Transition Economies of Central and Eastern Europe (2011) and Factors Influencing Maturity in Transition Economies and Developing Countries: A Longitudinal Perspective (2011). Specifically, this study aims to explore the influences of e-government maturity in 11 Southeast Asian countries. Publicly and trusted available data sources such as published by United Nations and the World Bank are used during a 5-year period. What makes this present research different than previous studies are the analysis tools used. The studies utilized Partial Least Squares (PLS) and Ordinary Least Squares (OLS) Regression methods to analyze the data, while this study uses not only OLS, but also scatter plot and panel data.

Page 133: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

122 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

If compared with other previous e-government studies in general or in Southeast Asia countries that used the method of quantitative research, the focus here is on a single country; therefore, the focus of information provided in those earlier studies are often limited. Furthermore, very few studies can grasp the development of e-government in a certain region of the world that has used longitudinal or time-series data (Wong & Welch, 2004; Ifinedo, 2011). Therefore, it is expected that more knowledge will be generated when development of e-government over the years in Southeast Asia are sufficient presented.

C. Data Analysis and ResultsWhen comparing the period random effects regression to the last pooled data regression, the results are very similar. All the variables are statistically significant, and the coefficient signs are the same (negative for GDP and civil liberties). The adjusted R2 is even the same. This suggests that omitted variable bias may not be present in the pooled data regressions and especially after it is incorporated in the period random effects. A discussion of the regression results for each of the explanatory variables included in the period random effects model follows.

GDP per capita: The estimated coefficient on GDP -0.1082 shows that the data analysis does not indicate evidence in support of the positive relationship between the national wealth and e-government maturity. In other words, the sign of the coefficient does not match the expected results as e-government maturity is expected to rise when the GDP improves. This is an interesting finding because according to Das et al. (2016), although most of researchers acknowledge the role of GDP in e-government maturity; some find it debatable. For example, Cruz-Jesus et al. (2016), report a nonlinear effect of GDP, suggesting that its effect is greatest for poorer countries. This makes sense because most of Southeast Asian countries are not categorized as poor countries.

Another reason is, according to Azad et al. (2010) whose study also found a negative relationship, it can be caused by the countries that are adopting e-government systems in large numbers; some are not moving beyond the adoption stage. In other words, it is only to gain legitimation but often does not follow up (or is not able to) the adoption stage with actual implementation. It also can be taken into consideration the many failures of high budget e-government projects in Southeast Asian countries. One example is Thailand’s Smart ID Card project that was initiated in 2003 by the Thai Cabinet as part of its desire to use smart ID cards, a state-of-the-art technology, to revolutionize the national public administration system and transform Thailand into a world leader in public service modernization. The use of new ICT in the public sector was expected to reduce corruption, increase transparency, and improve governance. The project was to

Page 134: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

123 DETERMINANTS OF E-GOVERNMENT MATURITY IN SOUTHEAST ASIA

be implemented in four stages and to conclude by 2007. However, the targeted achievement were not fulfilled according to that timeline. The original target covering all 64.6 million Thai citizens, however, merely 12 million ID cards were completely issued. Moreover, these cards could not replace the identity cards, civil servant cards, and medical care cards that people already used because it had no electronic functionality. Other problems cumulatively lead it to project failure (Gunawong et al, 2017). This case is like the multi-billions E-KTP project in Indonesia which lead to a giant corruption case.

Human Capital: The coefficient sign of HDI and the level of significance are consistently the same from the scatter plot analysis until OLS regression and panel data regression which is positive and highly statistical significant. These indicate that the result of all analysis matches the expected results as the greater level of human capital resource available in a country, the higher the e-government maturity in that country in the context of Southeast Asia countries. This result is not surprising, especially since previous studies (Ifinedo (2011), Moon et al. (2005) and Singh et al. (2007)) have found strong positive correlations between these two variables in cross-section data. According to Ifinedo, this result is consistent with dictates in the neoclassical economic theories to affirm that countries in a region with greater capabilities and knowledge are better poised in using technological products for developmental purposes, including governance. Meaning that the quality of human resource perhaps may lead to a better understanding of how to deploy and use advanced e-government features to better serve their wellbeing.

Moreover, not only the users but also the providers of e-government need this quality of human resources. Saarrankan (2010) mentioned that human capital is important in the process of e-government of a country. Therefore, countries around the world including the Southeast Asian countries are attempting to revitalize their public administration by innovations and empowering human capital, utilizing ICT and financial resources for service delivery to citizens. For example, one of Indonesian strategies to Develop ICT R&D is the Empower 950 Higher Education Institutions (HEI) that has ICT related study programs (Ministry of Communication and Information Technology Republic of Indonesia, 2015).

Technology Infrastructure: The coefficient sign of HDI is all positive across the analysis. The p-value becomes statistically significant in the third OLS regression after its polynomial term is removed. In the period random model, the significance of the estimated coefficient (0.5468) and p-value (0.0000) implies the strong correlation between the technology infrastructure and the e-government maturity. It means that the more advanced technology infrastructure a country has the more maturity the e-government maturity is. One possible explanation is that the development of basic infrastructure can capture the advantages of new

Page 135: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

124 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

technologies and communications tools which are essential for implementing e-government. New cheaper and easier ways for accessing the e-government websites need to be sought and thought about by governments in order that all members of society, including the poor and disable can be served (Ndou, 2004). Realizing the importance of the technological infrastructure, all the Southeast Asian countries, even the newer ones, have been in the process to further develop technological infrastructure over these past years. For example, in Timor Leste, access to mobile phones and internet in Timor-Leste has been improving recently. In 2011 the Government decided to expand the telecommunications sector, two new telecommunication companies have been allowed to operate in 2013 to help increase services at a cheaper price. Timor Telecom As the largest and longest telecommunications operator in Timor-Leste has improved their service and capability. Recently its network already covers all districts in the territory and reaching over 94% of the population of Timor-Leste with voice and Internet services.

Rule of Law: Similar with HDI and technology infrastructure, the coefficient sign of Rule of Law is all positive across the analysis. The p-value is all statistically significant in the OLS regression but insignificant in cross-section fixed effects and mixed fixed effects. However, in the chosen model or period random model, the significance of the estimated coefficient (0.1298) and p-value (0.0025) indicates the strong relationship between the Rule of Law and the e-government maturity. Therefore, the higher the Rule of Law index a country has, the more mature the e-government is. According to Ifinedo (2011), one reason why some countries are slow in implementing e-government is because of not strong or unavailability national governance institution factors. Thus, a country government with more favorable and stable conditions i.e. agents who have confidence in and abide by the rules of society, including the quality of contract enforcement, property rights, the police, and the courts, as well as the likelihood of crime and violence will face less problems in applying advanced features in their government websites. Therefore, citizen participation and empowerment in governance can be fully facilitated and encouraged.

Civil Liberties: As mentioned before in the introduction to variables, both Political Rights and Civil Liberties are indexes published by Freedom House in its annual report called Freedom in the World. The political rights cover three subcategories: Electoral Process, Political Pluralism and Participation, and Functioning of Government. The civil liberties cover four subcategories: Freedom of Expression and Belief, Associational and Organizational Rights, Rule of Law, and Personal Autonomy and Individual Rights. Unfortunately, during the OLS regression, the Political Rights factor was removed from the variable lists due to high potential of multicollinearity with other independent variables. Therefore, now only Civil

Page 136: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

125 DETERMINANTS OF E-GOVERNMENT MATURITY IN SOUTHEAST ASIA

Liberties are left to measure the rights and freedoms protecting an individual from the state. The analysis in this study for Civil Liberties has the similar result to GDP, the estimated coefficient on Civil Liberties -0.2856 shows that the data analysis does not indicate a positive relationship between the Civil Liberties and e-government maturity. Therefore, the sign of the coefficient does not match the expected results as e-government maturity is expected to improve when the Civil Liberties index is improving. This result indicates the opposite result with other studies such as Martin and Feldman (1998), Islam (2006), Katchanovski & La Porte (2005), and Azad et al. (2010) which show that nations who honor democratic values tend to develop the dissemination of information, technological innovations and e-government development (Ifinedo, 2011). It can be assumed that, in the context of Southeast Asian Countries, favorable civil liberty does not mean that there will be a positive effect on e-government maturity, because the next issue would be the citizens’ engagement with the e-government itself. According to Gerodimos (2006), engagement is an umbrella term that comprises two elements. The first one is motivation: not all individuals are interested to engage with government process and decision making. Additionally, not all individuals are educated enough to feel that they can participate meaningfully with their government. Another element is trust because mistrust can cause disengagement.

D. ConclusionsThis study analyzed the impacts of macro-environmental factors (the major external and uncontrollable factors) of political, economic, social, and technological dimensions on e-government maturity in the Southeast Asian countries. A panel data analysis of Online Service Index helps to determine the effect of politic, economic, social and technology on e-government maturity. The panel data allows for control of unknown or immeasurable variables present within 11 Southeast Asian countries over a 7-year data period to provide insight and the results suggest that:

1. The findings of the pooled OLS regressions find robust results for most of the included variable p-values but the technology infrastructure is the strongest. The empirical results show that increased technology infrastructure index leads to a higher e-government maturity level. It is followed by rule of law and HDI which are also robust, significant and positive as expected. The sign of the coefficient also matches the expected results as e-government maturity is expected to rise when the rule of law and HDI increases. The p-values for GDP and Civil Liberties are also robust and significant in the end of regressions. However, the coefficients of both variables are negative. This does not match the expected results as e-government maturity is expected to rise when the GDP and Civil Liberties improve.

Page 137: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

126 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2. On the same line with OLS regressions, the period random effects have a similar result. The variables are mostly statistically significant, and the coefficient signs are the same (negative for GDP and civil liberties). The estimated coefficient on GDP and civil liberties show that the data analysis does not indicate evidence in support of the positive relationship with e-government maturity. Meanwhile, human capital, technology infrastructure and rule of law are all positive. These indicate that the result of the analysis matches the expected results as the greater the level of human capital, technology infrastructure and rule of law in a country, the higher the e-government maturity in that country in the context of Southeast Asia countries. This result is not surprising since previous studies have also found strong positive correlations between these variables in cross-section data. But GDP and civil liberties are unique because previous studies found the opposite result especially for the civil liberties. Further research should focus on the potential problems with this research such as this finding and the differences in developed and developing countries in Southeast Asian countries. This research failed to separate the observations into those countries that are developed and those that are developing. The differences between the two types of countries are likely significant and may affect the outcomes of the regressions.

E. RecommendationsTo improve Indonesia e-government maturity, the author recommends:

1. The result of both regressions shows that technology infrastructure has the strongest effect on e-government maturity. This means Indonesian government need to focus on developing and building infrastructure development of and access to information and communication technology (ICT). This would be achieved if the national government and stakeholders have a clear vision and planning for the development of the ICT in Indonesia. In other word, strong leadership with appropriate governance mechanisms are necessary to ensure that the benefits of ICT are fully realized and contribute to the livelihood of the people. Moreover, partnerships and collaboration at the national and regional level in ICT projects and investments are necessary as well to facilitate sharing of resources, expertise and experiences.

2. The human capital also has a strong relationship with e-government maturity. A qualified human resource perhaps has a better understanding of how to deploy and use advanced e-government features to better serve their wellbeing. Moreover, not only the users but also the providers of e-government need this quality human resource. It means the government needs to improve the government website content; make it more interesting, stimulating and educating for the visitors. For example, by promoting local digital content (ITU,

Page 138: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

127 DETERMINANTS OF E-GOVERNMENT MATURITY IN SOUTHEAST ASIA

2012) would do much to increase usage of their various website, as this would improve general access and stimulate local applications of technology. The lack of local content on government websites prompts the need for capacity building in designing and active encouragement of development of local content. Websites with content written in the local language will increase the number of citizens who can read and access the information. Also, the need to provide capacity building in ICT skills and knowledge should be a priority for the government staff. The potential use of mobile applications for testing water quality, early disaster warnings, weather updates, communications between patients and medical practitioners, dissemination of agricultural advice also need to be invested in.

3. Rule of law has the same positive effect toward e-government maturity. Thus, any efforts by the government to create a more favorable and stable condition, i.e. including the quality of contract enforcement, property rights, the police, and the courts, will find it necessary to improve e-government infrastructure. Such efforts could be by ensuring regular updates of policies and regulations and keeping an eye on the implementation as well as monitoring and evaluation of projects.

4. The results suggest that GDP has negative relationship to e-government maturity. This study assumes that the lack of success of some big ICT projects can be the cause of this issue. It leads to the need for an integrated approach to ICT development. Progress in the establishment of national ICT frameworks, policies and plans in Indonesia has been quite impressive. However, the real challenge now is the implementation of these policies. Not only the implementation, there is a need for monitoring and evaluation to assess the impact of all ICT development projects during and post implementation against measurable outcomes and indicators.

5. Civil liberties also have a negative relationship to e-government maturity. This study assumes that the cause of this issue is the citizens’ engagement with the e-government itself which can be contributed by the lack of motivation and education. The resolution for the government is quite like what previously has been suggested, such as by making the government website more interesting, stimulating and educating i.e. promoting local digital content and providing mobile applications for daily necessities (testing water quality, early disaster warnings, weather updates, communication between patients and medical practitioners, dissemination of agricultural advice, etc.). Training and capacity building for the society and government officers may also be necessary.

Page 139: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 140: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

09Why is Credit Unpopular Among

Small Firms in Indonesia? A Case

of People’s Business Credit in West

Bandung Regency

Nama : Novian Eko Prasetyo

Instansi : Bappelitbangda

Program Studi : Master of International Development

Studies

Negara Studi : Jepang

Universitas : Nagoya University

Page 141: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

130 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 142: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

131 WHY IS CREDIT UNPOPULAR AMONG SMALL FIRMS IN INDONESIA? A CASE OF PEOPLE’S BUSINESS

CREDIT IN WEST BANDUNG REGENCY

ABSTRACT

Small firms are an important part of the Indonesia’s Economy. They represent 99 percent of businesses in Indonesia and employ 97 percent of the country’s workforce. However, they face financial problem in their activity. Accordingly, the government has introduced a policy of providing a special access to credit for small firms called the People’s Business Credit (KUR). KUR is a loan scheme for the small firms which are feasible yet not bankable. The scheme does not require fixed asset as a collateral which is helpful for the small firms.

Nonetheless, according to the Bank Indonesia, less than one-fourth of the firms access the credit scheme. This phenomenon brings up a question: Why do not they access the credit? It seems that there some reasons that hinder them from accessing credit. This study aims to figure out the reasons behind the low access of the small firms to credit.

This study is a case study of small firms in West Bandung Regency of West Java Province. In-depth interviews with 51 small firm owners were conducted during the fieldwork. Additionally, three informants from the government agencies were also interviewed. The study finds that the factors hindering the small firms from accessing finance is mixed and largely include religious value and experience of the firm owners. As most of the firm owners are Muslims who are prohibited from dealing with interest, they refuse to access credit from the banks which charge interest. Moreover, the bad experiences of some firm owners with debt collectors also worsen their refusal of accessing credit from the bank.

Page 143: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

132 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundPoverty has been a chronic problem for the world. In 2013, there were 768.5 million people living in poverty globally, which accounts for 10.7 percent of the world population (World Bank, 2016). Even in the Sustainable Development Goals, poverty eradication becomes the first goal. The similar thing happens in Indonesia as a developing country. In 2016, there are 28 million people who live below the national poverty line. It is equivalent to 10.9 percent of the population (BPS - Statistics Indonesia, 2017).

To tackle the problem, the government established an ad-hoc team called The National Team for the Acceleration of Poverty Reduction (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). The team has launched several programs. One of the programs is to empower the small firms.

Small firms are important parts of Indonesia’s Economy. Data from the Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises (MCSME) shows that from 2007 to 2013 small firms accounted for 99 percent of all firms in Indonesia. In addition, the small firms created 97 percent of the total employment in Indonesia (MCSME, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013). It means that the small firms may influence the income of most people and also may reduce the number of unemployment which may reduce poverty in Indonesia and improve the people’s welfare.

However, there are several challenges faced by small firms. Tambunan’s (2011) research on small firms’ development in Indonesia suggested that there are two main constraints of small firms in Indonesia: financial and market. Moreover, the financial constraint is mainly caused by the lack of access to financial service. Interestingly, the financial problem may also cause the marketing problem as the enterprises do not have enough resources to expand their market. The government should overcome the problem by increasing the access to finance for the small firms, including banks.

Another study on small firms by the Indonesian Central Bank (2015) suggests that the challenges of small firms can be divided into two categories. The first one is internal challenges. These challenges include financial, human resources, legality, and accountability. The second challenge is the external challenges, which include bureaucracy, infrastructure, and market. This study suggests that the small firms need help to overcome challenges either internally or externally.

There is an issue that keeps occurring, which is the financial issue. Small firms face financial constraint which mainly caused by lacking access to financial service (Tambunan, 2011; Bank Indonesia, 2015).

Page 144: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

133 WHY IS CREDIT UNPOPULAR AMONG SMALL FIRMS IN INDONESIA? A CASE OF PEOPLE’S BUSINESS

CREDIT IN WEST BANDUNG REGENCY

To encounter the problem, microcredit has been considered as one of the solutions. Many studies argue that microcredit has significant effects on small firms. For example, Mahmood and Rosli (2013) in their study on small firms in Malaysia argue that microcredit programs have a great effect on the performance of small firms. The government should implement programs covering the need of financial resources of the small firms and by the end increased the achievement of the firm. Along with the programs, government support also should have similar effects to the small firms’ performance.

Another study by Olowe, Moradeyo, and Babalola (2013) on small firms in Nigeria explains that the growth of small firms in Nigeria is positively affected by the microfinance bank. The study also suggests that the lighter condition of loans gives great effect to the small firms’ performance. In addition, providing training and information on government programs are also needed to increase the firms’ performance.

Another study which is also related to the topic is the one held by Kisaka and Mwewa (2014), which suggests that there is a positive and significant relationship between the growth of small firms and microcredit. Moreover, with the access to credit, small firms may have the cash they need to expand their business. Furthermore, access to finance also increases the survival rate of small firms.

From some studies on small firms and their financial challenges, we can conclude that providing the small firms with access to financial services is very important in order to maintain their performance. Actually, the Indonesian government has made the same effort to address the problem by providing small firms with credit through the banking system. The policy was reinforced by the Law Number 20/2008, which states that the government should facilitate small firms to access credit from financial institution including banks.

Nevertheless, the number of small firms accessing credit is still considered low. A report states that, in 2016, there was only 23 percent of the small firms that access bank financing and in the previous year, there was 20.6 percent of them accessing finance (Bank Indonesia, 2017). This phenomenon raises questions: Even though the Indonesian government has established a policy to provide special access to financial resources for the small firms, why the number of small firms accessing those financial resources still low? Why are they not interested in using loans for developing their business? Therefore, this research examines the reasons behind the low number of small firms accessing credit from the bank.

Page 145: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

134 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

B. Research Problem and MethodologyThe existing studies suggest that financial difficulty is the prominent issue of small firms in Indonesia. To tackle the problem, the government formulated a policy in 2007 for the small firms to access credit from the bank with People’s Business Credit scheme which can give low interest of seven percent and require no fixed assets as collateral. However, the number of small firms accessing credit from the banking system remains low. Why are the small firms in Indonesia not accessing the credit scheme provided by the Government? Is there any special reason behind this phenomenon? This research answers these questions.

Based on its objective to identify the reasons behind the low number of small firms accessing credit from banks, the study is an explanatory study. A case study approach was chosen because this is a unique phenomenon. Microcredit for small firms is widely accepted in many countries, while in Indonesia, the number of small firms accepting credit is considered low.

Moreover, respondents of the study, which were interviewed, are selected through snowballing sampling. In total, there are 54 respondents of the study which consist of 51 small firms owners in the West Bandung Regency and 3 informants from the MCMSE, the West Java Province Representative Office of Bank Indonesia, and the local government agency of Cooperatives and Small and Medium Enterprises. In addition, the fieldwork was conducted from February to April 2018.

Furthermore, a qualitative analysis is used in this study in order to get a better insight into the rationale behind the low number of small firms accessing credit in Indonesia. Similarly, an in-depth interview was conducted during the fieldwork to gather deeper information about the behavior of small firms on accessing credit.

C. Data Analysis and Results

1. Religious Value as a Reason of Policy RejectionsThe small firm owners consider blessing (keberkahan) as the most important thing in doing business, even in life. They believe that with blessing, they can find tranquility in life. Furthermore, out of 37 respondents, which will not access credit from the bank, 26 of them consider having a loan from the bank as a bad deed. Hence, in order to obtain a blessing from God, they avoid having a loan from the bank. It means that their religious value as a Muslim hinders them from accessing credit.

Page 146: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

135 WHY IS CREDIT UNPOPULAR AMONG SMALL FIRMS IN INDONESIA? A CASE OF PEOPLE’S BUSINESS

CREDIT IN WEST BANDUNG REGENCY

Interestingly, out of 26 interviewees, who consider having a loan from the bank as a bad deed, five interviewees had accessed loan in the past and an interviewee currently having a loan to the bank. Even, in this group, there are two small firm owners who formerly working in a bank. Their banking experience cannot convince them to access credit from the bank. Additionally, in the same group, there are 16 small firms in the industry business and seven small firms are in the trade business. Accordingly, the other small firms are in the agriculture, fishery, and service.

In addition, the finding of this study, that religious value as a Muslim is one of the reasons for rejecting loan, is another evidence of the growing consciousness of Islam in Indonesia. The respondents aware as Muslims they are prohibited from accessing loan with interest.

In brief, one of the reasons for the low number of small firm owners accessing credit to banks is religious value. As explained above, many interviewees consider taking a loan from the bank as a bad deed. It is considered a bad deed for it has an interest which is considered as riba. In addition, as a Muslim, they try to achieve blessing from God by avoiding His prohibitions including riba. Therefore, their belief as a Muslim hinders them from taking a loan with interest.

2. Banking Experience as a Reason of Policy Rejections

Another thing which comes up from the fieldwork is that there are some respondents who have experiences in accessing credit, yet, they refuse to access it again in the future. From the interviewee’s explanation, we can see that the improper manner of the debt collectors has made her disappointed. It makes her stop accessing loan from the bank. In other words, bad experience with banks stops her using the service.

Eventually, the bad experience with debt collectors also happens to several other respondents. All of them say that they were intimidated by the debt collectors. Even they could not sleep well due to the disturbance. Hence, they also quit accessing loan from the bank.

Moreover, their statements of the bad experience with debt collectors are acknowledged by other small firm owners which are former workers of a bank. The interviewee, who started his business a few years ago, says that the system of debt collection is improper. A debt collector will intimidate a debtor if he or she cannot pay the loan. Moreover, the debt collector will intimidate not only the debtor but also his or her relatives, friends and colleagues. The intimidation will stop if the debtor pays off the loan.

Page 147: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

136 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

From the explanation above, we can see that the debt collection system is improper. Even it is prohibited by the law to intimidate debtors. It seems that the banks have a problem with their debt collection system. If this system continues to happen, there may be more people who quit their service.

In other words, the experience of small firm owners in accessing loan from the bank may also hinder them from accessing it again in the future. Their personal experience, especially the experience with debt collector has caused rejections to the KUR policy.

3. Small Firms’ Strategy without LoanMost small firm owners refuse to access credit from the bank. It means that they run their business without any loan from the bank. This section discusses the small firms’ strategy of running their business without any loan from the bank. At least three strategies are done by the small firms in running their business without credit.

The first strategy is to sell their product in cash. Instead of selling their products to the big retailers, with whom the payment should be made within two or three months, they prefer to sell their products to the small retailers who will pay their products in cash. Unlike those who sell to the big retailers, the small firms who sell in cash do not need a lot of capital to do their business. Hence, they do not need to borrow from the bank.

Moreover, this strategy is used mostly by the small firms in the food processing industry business. They sell their products at a lower price in order to attract the small retailers to buy their product in cash. Even though the profit is not as high as those who sell to the big retailers, by selling in cash to the small retailers, the small firms can directly use the payment for a new cycle of production.

As an example, a respondent, who uses this strategy, explains that he prefers to sell his product in cash to the small retailers. Previously, he sold his products to the big retailers. Yet, he had to wait up to three months before receiving his payment. The previous system cost him a lot of money for production. Hence, he changes his system by selling in cash, which does not need a lot of capital for production.

The second strategy is to ask for a payment in advance from their customers. This strategy is used by the small firms in the industry business as they need to provide capital for production. Moreover, the strategy is used if they get a considerable amount of orders which they do not have enough financial resources to fulfill the orders. By asking advance payment they do not need to add more capital for production. Therefore, they do not need to ask for a loan.

Page 148: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

137 WHY IS CREDIT UNPOPULAR AMONG SMALL FIRMS IN INDONESIA? A CASE OF PEOPLE’S BUSINESS

CREDIT IN WEST BANDUNG REGENCY

A small firm owner explains that the strategy of asking advance payment is useful if her firm receives a lot of orders, yet, she does not have enough resources for fulfilling the orders. Usually, she asks 50 percent of payment before the production. Accordingly, she will ask the rest of the payment after completing the production and sending the products to the customers.

The last strategy is by buying the raw materials for production in a deferred payment system. They will pay the material after their products are sold or when they purchase another material. By doing this strategy the small firms can reduce their production cost. However, they need to build trust with the supplier to do this strategy.

Moreover, this strategy is used by the small firms in the industry business as they need to buy the raw materials for production. However, the small firms in the trade business also can implement the same strategy for buying the merchandises. They will pay the merchandises after they sell the goods or when they buy other goods from the supplier. Additionally, the small firms do not always use this strategy for their business. They use it only if they do not have enough financial resources for buying raw materials or merchandises.

4. Small Firms’ Rejection Pattern to the KUR PolicyThe small firms are important parts of Indonesia’s Economy. By empowering the small firms, the government tries to improve the economic development of Indonesia. One of the policies of empowering the small firms is by providing access to finance in which is KUR loan scheme.

However, the implementation KUR scheme is not as expected. Many small firm owners refuse to use the loan because of their religious value and personal experience. These two elements are mixed and construct the rejection of small firms. Therefore, the effect of the policy on Indonesia’s economy is not as expected. In other words, the religious value of small firm owners affected the economy of Indonesia.

This finding is in line with Petrakis (2014) who argues that cultural factors influence the ratio of people. It means that cultural factors have an effect on the people’s choice in every aspect including the economy. Therefore, economic development is influenced by culture. Nevertheless, the findings of the study cannot be generalized to all small firms in Indonesia since this study is a study case of small firms in a particular regency in Indonesia. Yet, this study may contribute to the body of knowledge by providing evidence of determinant factors hindering small firms from accessing credit in West Bandung Regency.

Page 149: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

138 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

D. ConclusionsAccording to some studies, the small businesses in Indonesia experience financial difficulties (Bank Indonesia, 2015; Tambunan, 2011). It means that they need financial resources to run their business. Therefore, the government issues policies for providing access to finance for the small firms. One of the policies is providing KUR loan scheme for the feasible yet non-bankable businesses. The scheme provides a loan for small businesses which does not require fixed asset as collateral.

Nonetheless, a study by Bank Indonesia (2017) explains that less than a quarter of small firms in Indonesia accesses credit from banks. It means that the number of small firms accessing credit from the bank is relatively low. There is something that hinders the small firms from accessing the loan.

Therefore, this study examines the factors that prevent small firms from accessing the loan. This study identified determinant factors hindering small firms from accessing finance. Moreover, this study employed a case study approach by focusing on West Bandung Regency.

In-depth interviews were conducted in order to get primary data for this study. 51 small firm owners were interviewed in this study. From those small firms, 40 small firms are classified as micro enterprise and 11 of them are classified as a small enterprise. A majority of the small firms are in the industrial businesses which are food processing industry, fashion industry, and handicrafts.

Additionally, three informants from the government agencies were also interviewed. Those informants are from the MCSME, the West Java Province Representative Office of Bank Indonesia, and the local government agency of Cooperatives and Small and Medium Enterprises. From these informants, I can obtain information about the government policy on providing access to finance for small firms.

Furthermore, this study figured out that only 10 out of 51 interviewees have loans to the bank. This finding confirms the previous study of Bank Indonesia (2017) that only a small part of the small businesses access loan from the bank. Additionally, 37 respondents refuse to access loan from the bank in the future. This study found that there are two main reasons for their rejections.

The first one is the religious value of the respondents. As most of the respondent considered themselves as Muslims, they try to apply Islamic values in all aspects of their life. They try to obtain a blessing from God by avoiding His prohibitions and obeying His commandments. Moreover, Islamic values considered interest as riba

Page 150: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

139 WHY IS CREDIT UNPOPULAR AMONG SMALL FIRMS IN INDONESIA? A CASE OF PEOPLE’S BUSINESS

CREDIT IN WEST BANDUNG REGENCY

which is prohibited in Islam. However, as we know, the loans from conventional banks use interest. As a result, 26 of the respondents refuse to access the loans because they believe that having a loan with interest is a bad deed.

In addition, this finding provides another evidence of the growing consciousness of Islam in Indonesia. The phenomenon which started a few decades ago still exists to date. It means that more Muslims in Indonesia aware of the importance of practicing Islam.

Regarding the KUR loan scheme, most of the banks which provide the scheme are conventional banks. Currently, out of 34 banks which provide KUR, only one Islamic bank provides the service. It is not enough for accommodating the need of Islamic loan scheme of the small firms.

The other reason is the experience of respondents who accessed the loan in the past. Some respondents consider their experience in accessing loan as a bad experience. They believe that when they had loans, they could not rest well. They also could not get tranquility in their life. Moreover, some of them experienced intimidation by debt collectors. The misconduct of debt collectors caused traumatic experience for the respondents. As a consequence, they do not want to access any loans from the bank.

Furthermore, as many respondents do not access any loans, they run their business with several strategies in order to avoid using a loan. There are three strategies used by the businesses. First, instead of using consignment system, they try to sell their product in cash. The second strategy is to ask their buyers advance payment before they start producing their products. The last one is by buying the raw material or merchandise from the suppliers in a deferred payment system. They ask for some time to pay for the raw material.

In addition, the first and second strategies are mainly used by the small firms in the industry business, while the third strategy is used not only the industry small firms but also the trade small firms. The small firms use this strategy alternately based on their condition. They may use the first strategy to run their business, yet, if they receive an order which they cannot afford, they will use the second strategy by asking advance payment to their customer. Similarly, the third strategy is also used by the small firms if they do not have the financial resources to buy the raw material or merchandise from their supplier.

Furthermore, since this study is a study case approach focusing on a regency in Indonesia, the findings of the study cannot be generalized to all small firms in Indonesia. It may only contribute an empirical evidence of factors that hinder small firms from accessing loan in West Bandung Regency.

Page 151: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

140 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

To sum up, there are rejections from the small firms on the KUR loan scheme. The reasons for the rejections are mixed and draw from two elements. Those elements are religious value and experience of the small firm owners. In addition, the rejections have made the small firms come up with some strategies to avoid accessing loan. Those strategies are to sell their product in cash, to ask for advance payment from their buyers, and to buy the raw material in deferred payment. Moreover, these strategies are used by the small firms alternately based on their condition.

E. RecommendationsBased on the findings of this study, there are two recommendations that the government may consider for improving the acceptance of KUR policy. The recommendations are as follows:

1. The government should consider the religious value of the people which are mostly Muslims. Since Islamic value prohibited interest, the government should provide the KUR scheme with Islamic system by providing the scheme through Islamic banks. The current situation with only one Islamic bank providing the scheme is not enough for accommodating the small firms. Therefore the government should add more Islamic banks to provide the loan scheme;

2. The government should enforce the debt collection regulations to protect the right of the customer. Moreover, some people suffer a trauma due to the intimidation of debt collectors. As a result, they do not want to use the bank in the future including the KUR loan scheme. Hence, by enforcing the regulation of debt collections, banks will regain the people’s trust to use their services.

Page 152: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

141 WHY IS CREDIT UNPOPULAR AMONG SMALL FIRMS IN INDONESIA? A CASE OF PEOPLE’S BUSINESS

CREDIT IN WEST BANDUNG REGENCY

Page 153: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 154: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

10Evaluation of Decision

Making Processon

Community-Based Social

Harmony Program for

Conflict Prevention in

Indonesia (Case Study in

Lampung Province)

Nama : Akonijaya

Instansi : Dinas Pekerjaan Umum Dan Penataan

Ruang Pemkab Tulang Bawang

Program Studi : The Graduate School Of Sciences And

Technology For Innovation

Negara Studi : Jepang

Universitas : Yamaguchi University

Page 155: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

144 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundIndonesia is an archipelagic country, and its society has heterogeneous in ethnicities, religions, races and groups. The diversity is the wealth of the nation, but on the contrary, it could change to social conflicts anytime if not managed well when connected with the exploitation or inequality in economic, political conditions and cultures that exist in society.

Many social conflict events have occurred in several cities in Indonesia, such as Ambon, Poso, Sambas, Sampit, and Aceh. It is historical evidence that the threat of the social conflict occurrence has been never absent. The experience of this social conflict events provides a valuable lesson to all of us that social conflict is not solely happen suddenly, but other factors lie behind them.

Based on the data from the General Directorate of Politics and Public Administration, Ministry of Home Affairs noted from 2013 to 2015 occurred 201 social conflicts with various group of issues. The issues include the clash between citizen, security issue, ethnicity, religion, race, inter-group relations, social discrepancy, conflict in an education institution, non-governmental organisation, land dispute and excess of political conflict.

Therefore it is indispensable to take preventive steps and efforts so that the potency of conflict in society will not transform into open conflict. By those social conflicts, Ministry of Social Services through the Directorate of Social Protection for Social Victims Assistance since 2006 scheduled to Community-Based Social Harmony Program as one of the steps and precautions to social conflicts.

B. Research Problem and MethodologyImplementation of social harmony program involves every element within the community such as ethnic, religion and group. Also, several conflict potencies in the community will become an obstacle for solving the program. These conditions will undoubtedly be a challenge in every program stages, from planning, implementation, utilisation and maintenance. The Research Questions are:

1. How is the implementation of Social Harmony Program in reducing social conflict in Tulang Bawang Regency?

2. What is supporting and constraining factors in the implementation of Social Harmony Program in Tulang Bawang Regency?

The study uses qualitative research strategy, particularly descriptive study, in order to identify, analyze, describe and interpret the phenomena related with research problem. Researcher uses and collects primary data and secondary data. Primary

Page 156: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

145 EVALUATION OF DECISION MAKING PROCESS ON COMMUNITY-BASED SOCIAL HARMONY

PROGRAM FOR CONFLICT PREVENTION IN INDONESIA (CASE STUDY IN LAMPUNG PROVINCE)

data is the data gathered by direct observation and in depth interview by using semi-structured guided questions. Secondary data is gathered by collecting data from formal documents such as monthly or annual report and some regulation documents related with the topic of study.

In order to gather primary data, the researcher conducted interviews to 27 villagers from three villages, respectively, eight people from Kahuripan Jaya village, ten people from Dwi Warga Tunggal Jaya Village and nine people from Bujuk Agung Village. In total, 27 villagers were interviewed to collect information about the village meeting conducted in 2014.

Every villager represents his community unit in his village. In interview, there were 20 questions asked to villagers to gain information in correlation with the meeting process including the following items; Villagers knowledge about the program, representation of villager in meeting, meeting leadership, decision making process, villagers opinions and their suggestions.

C. Data Analysis and Results

1. The Effect of Representation on Conflict in Village Meeting

The higher level of representation, the probability of conflict occurence in the village meeting become higher as well as participation level in implementation of meeting result. This situation happens because each participant will submit a proposal that represents the interests of their group. In village meetings, the participants are usually the representatives of Community Unit, Neighborhood Unit, Youth Figure, Religious Leaders, Ethnic Leaders, Women and others. The common problems encountered in developing countries, especially in rural areas are the lack of infrastructure facilities. This condition contributes the type of proposed activity during the deliberations. The participants of meeting want their regions could get assistance in the form of infrastructure development.

In order to overcome the deadlock in the deliberations caused by each side maintaining their respective opinions, the participants decide to conduct field visits to the proposed areas for infrastructure development. It is intended that the participants can directly assess the level of feasibility and accuracy of a region to obtain aids from Social Harmony Program.

The role of community leaders is also considered very important in providing explanations and understanding to the community if the results of village meeting have not accomodated what is proposed by the their region.

Page 157: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

146 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

The Social Harmony Forums as executor of Social Harmony Program activities felt Social Companion Officer was very helpful in running the activity of Social Harmony Program in their village. In case of village meetings, the headman often take on the role as village meeting leaders, especially during the formation of Social Harmony Forums. The drawback of the headmans is the lack of their facilitation skill, that is why the role of skilled Social Companion Officer is needed.

2. The Effect of Representation on Contribution in Implementation of Meeting Results

As the level of representation of participants affects the conflicts in village meetings, it also affects the level of participation of villager in the implementation of village meetings results. The people who contribute to the program are those who are also involved in the village meetings. In order to achieve the goal of creating social harmony in the community for conflict prevention, it is necessary to create intensive interaction among villagers. This should be realized in every stage of the program, not only during the planning phase of the program, but also at the time of implementation of the results of the planning stage.

Therefore, the more elements of society involved in the planning phase, the more elements of society will be involved in the implementation process. It provides a positive influence in an attempt to create harmony in the community because more people means more interaction.

Especially for the Bujuk AgungVillage, the researcher found the facts that there is exclusivity in the ethnic group of Bali. Villager form ethnic of Bali judged by other villagers are less participate in community works organized by the villagers. They only want to participate in the community work activities which is held by ethnic group of Bali. This of course can lead to disharmony within the village community. Therefore, to overcome such problem the village apparatus appointed person from ethnic group of Bali to become leader of community unit in their neighborhood. After it was done it turns out more Balinese people participate in community work activities because of the man who ordered to join community work is the head of community unit that obviously comes from their ethnic.

It can be a lesson that, in order to increase the participation of a certain group within the community, it is necessary to consider to take one of of the group leaders to occupy positions in the administration of village, whether at the village level, community unit or neighborhood unit.

For rural areas that have been developed or in other words city-like village found the fact that the level of participation in community work is very low. As the case

Page 158: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

147 EVALUATION OF DECISION MAKING PROCESS ON COMMUNITY-BASED SOCIAL HARMONY

PROGRAM FOR CONFLICT PREVENTION IN INDONESIA (CASE STUDY IN LAMPUNG PROVINCE)

in Dwi Warga Tunggal Jaya Village, the villagers who were involved in community work are those who living in Community Work 9 where the road infrastructure was developped. The reason was because the Dwi Warga Tunggal Jaya village location is near the trading center in the Tulang Bawang Regency. This has caused many villagers become seller in the market. Due to the busyness in the market, the villagers other than Community Unit 9 did not participate in community work activities.

For other villages such as Kahuripan Jaya Village and Bujuk Agung Village, the majority of the villagers work as farmers. Therefore, the residents of the two villages are relatively more flexible in allocating their time for community work activities. However, the reason for the busyness of some villagerss has become an obstacle for them to engage in Social Harmony Programs activities such as village meeting and community work. For example what the researcher found in the Bujuk Agung village which the villagers from the ethnic of Mesuji never involved in the village activities because of they work outside of village area.

Infrastructure development by involving the community in every stage whether it is planning, implementation, supervision, utilization and maintenance resulted in a higher level of satisfaction than the development undertaken by a third party appointed by the government. Satisfaction in the quality and quantity of infrastructure was built.

This is because during the development process the community is involved in the process so that they can monitor it directly. Due to their awareness that the infrastructure will be used for their own purposes so they will do it as well as possible. In addition there are savings in terms of development costs, this is due to labor costs can be suppressed because of the community work carried out by the villagers. Moreover, the community also voluntarily provides assistance either in the form of materials or developmental equipment. For example of what happened in the Kahuripan Jaya Village, the community donated more than 60 m3 of soil for podium development need through the community work. Furthermore there is also a community donation in the form of organizing heavy equipment to crush onderlagh pavement that has been done. Crown it all, in the village of Bujuk Agung where the headman uses his pickup car for operational of Social Harmony activities.

Based on the results of interviews that researcher do, it was found that after the Social Harmony Program was done there is an increasing the frequency of village meetings. This is positive signal, considering the habitual of deliberation in resolving the problems within the community can prevent the occurrence of physical conflict.

Page 159: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

148 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

D. ConclusionsThe conclusion of the research are as following:

1. The success of the Social Harmony Program is strongly influenced by the level of community participation in each stage whether it is the planning stage, implementation stage and maintenance and utilization.

2. The level of representation of the community is a very important factor in the creation of conflict within the village meeting. The higher the level of representation then the potential for conflict will be higher. To overcome these conflicts, village meetings need to be facilitated by person who have skills in managing deliberations. Such authority rests on the shoulders of the social companion officers, but it found the fact that the officer concerned is not equipped with such skills.

3. In addition to the above mentioned level of representation of villagers in the deliberation also turned out to affect the level of citizen participation in the community work activities in order to run the results of village meeting decisions. The higher the level of representation of citizens in the deliberation, the higher the level of citizen contribution in the implementation of the deliberation results in the form of community work.

4. Each village has special characteristics that distinguish it from other villages, this is what needs to be given more attention when we want to run the Social Harmony Program in the village. Beside that, there are some things that become similarities between one village with another village so that the similarities is supposed to underlie the principal thoughts in the implementation of the Social Harmony Program.

5. Various motives underlying the occurrence of social conflicts within the community always exist and evolve, therefore the sustainability of conflict prevention programs such as social harmony activities is very important in order to maintain harmony within the community.

E. RecommendationsSome recomendatians for fruitfullness of the program are:

1. For the successful implementation of the program, firstly it is necessary to build consensus in areas to be held Social Harmony Program. Therefore, to achieve such goal, it is necessary to provide secretariat that have function as information center for the people who want to get an explanation of the Social Harmony Program.

Page 160: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

149 EVALUATION OF DECISION MAKING PROCESS ON COMMUNITY-BASED SOCIAL HARMONY

PROGRAM FOR CONFLICT PREVENTION IN INDONESIA (CASE STUDY IN LAMPUNG PROVINCE)

2. The Social Harmony Forum as the organizing committee of the activities must involve all elements in the community, such as ethnic groups, religious leaders, community leaders, youth groups, women and others in every phase of the Social Harmony Program so that the objectives of the program can be realized.

3. Local governments should make Social Conflict Hazard Map in their area. This is necessary in order for the provision of Social Harmony Program assistance could right on target and give prioritize to the areas with high risk of conflict disasters.

4. The fund disbursement of Social Harmony Program must be on schedule, because if it is late then its implementation will be constrained by the wet season. This will affect the infrastructure development especially related to the development of drainage as experienced by the Bujuk Agung Village at that time.

5. For the sustainability of the program, considering the budget of central government is very limited, it is better for the village government through the allocation of village funds to allocate the funds for activities related to conflict prevention.

6. So far, the Social Harmony Program seems to have not paid special attention to the maintenance of the infrastructure that has been built. It is important to take the right steps so that the infrastructure can get maintenance and maintenance.

Page 161: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 162: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

11Pengaruh Isu Tsunami Terhadap Pemilihan Lokasi Perumahan di

Kota Padang Studi Kasus: Kecamatan

Padang Utara dan Kecamatan Kuranji

Nama : Ika Dwi Melisa

Instansi : Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan

Permukiman Pemprov Sumatera Barat

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Andalas

Page 163: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

152 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Pada tahun 2004 terjadinya gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, hal ini sedikit banyaknya membawa dampak terhadap perubahan perkembangan Kota Padang, apalagi pada tahun 2009 Kota Padang diguncang gempa 7,9 skala Richter sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pola bermukim masyarakat menjauhi pantai. Dengan adanya kecenderungan tersebut wilayah Timur kota pascagempa dan isu tsunami menjadi pemilihan lokasi perumahan. Tujuan penataan ruang Kota Padang mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang Tahun 2010—2030 bahwa Arah Timur kota dikembangkan sebagai kawasan permukiman dan pusat pendidikan, sedangkan arah Barat kota dikembangkan sebagai kawasan komersial perkotaan dan pusat bisnis. Hal ini sejalan dengan pembangunan kota yang berbasis mitigasi bencana. Pemindahan pusat pemerintahan Kota Padang ke wilayah Timur (Air Pacah, Kecamatan Koto Tangah) pada tahun 2010 adalah salah satu upaya mengurangi konsentrasi penduduk di kawasan pinggir pantai.

Data BPS Kota Padang menunjukkan terjadinya penurunan jumlah penduduk di Kecamatan Padang Utara pascagempa dan isu tsunami tahun 2009. Akan tetapi, pada tahun 2010 sampai tahun 2015 terjadi pertambahan penduduk. Sementara di Kecamatan Kuranji pascagempa dan isu tsunami terjadi pertambahan jumlah penduduk sampai tahun 2015. Pertambahan jumlah penduduk ini diduga karena terjadinya perpindahan penduduk yang bermukim di daerah rawan tsunami menuju daerah aman tsunami. Dengan meningkatnya jumlah penduduk maka salah satunya akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan perumahan. Kebutuhan terhadap rumah merupakan hal penting karena rumah berfungsi sebagai tempat tinggal, sementara lahan/tanah yang tersedia adalah terbatas. Dari permasalahan tersebut maka penting dilakukan sebuah penelitian tentang pemilihan lokasi perumahan pada daerah rawan tsunami dengan pertanyaan penelitian bagaimana pengaruh isu tsunami terhadap pemilihan lokasi perumahan di Kecamatan Padang Utara dan Kecamatan Kuranji.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pengisian kuesioner dan studi dokumentasi. Pengaruh isu tsunami dianalisis dengan Model Probabilitas Linier dengan melakukan pengujian asumsi klasik dan uji kelayakan model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemilihan lokasi perumahan pasca adanya ancaman tsunami. Dari empat variabel yang diteliti yaitu variabel tsunami, sewa rumah, biaya transportasi dan pendapatan kepala keluarga terdapat tiga variabel yang mempunyai signifikansi kecil dari 0,05, yaitu variabel tsunami, sewa rumah dan biaya transportasi.

• Kata Kunci: pemilihan lokasi, tsunami, sewa rumah, biaya transportasi, LPM

Page 164: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

153 PENGARUH ISU TSUNAMI TERHADAP PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN DI KOTA PADANG

STUDI KASUS: KECAMATAN PADANG UTARA DAN KECAMATAN KURANJI

ABSTRACT

In the 2004, Aceh and Nias Province were hit by earthquake and tsunami, and in the 2009, the city of Padang was also hit by a 7.9 Richter scale earthquake, it has an impact on changes in the development of the city of Padang. The urban trand for residential/living zone was change to be avoinding from the coast area. With this background, the East District of the city became the new trend of decision of housing location. Re-arrangement of Padang City’s master plan is regulated on Government Regulation No. 4 year 2012 for RTRW of Padang City year 2010—2030. The regulation mentioned that the city’s east district is developed for residential/living zone and education center, and the city’s west district is developed for urban commercial zone and business center. This regulation has already in line with city development based on disaster mitigation.

Based on BPS Padang City data, there was a decrease in population in North Padang Sub-district after the earthquake and tsunami issue in 2009. However, in 2010 to 2015 there was an increase in population. Whereas in the Kuranji sub-district after the earthquake and tsunami there was an increase in population. This increase in population is presumably due to the migration of people living in tsunami prone areas to tsunami safety zone. With the increase in population, one of them will have an impact on increasing housing needs. The need for housing is important because the house functions as a place to live, while the available land/land is limited. From these problems it is important to conduct a study on the decision of housing locations with research questions how the impact of the tsunami issue on the decision of housing locations in the North Padang sub-district and Kuranji sub-district.

This research is descriptive qualitative with survey method. Data collection is done through interviews, filling out questionnaires and study documentation. The impact of the tsunami issue is analyzed by the Linear Probability Model by testing the classical assumptions and the model feasibility test.The results showed that there was an influence on the decision of housing location after the tsunami issues. From the four variables studied, the tsunami issue, house rent, transportation costs and family head income, there are three variables that have a significance of less than 0.05, namely the tsunami variable, house rent and transportation costs. The output of the LPM regression model shows that the constant value is positive,is meaning that the proportion of respondents in selecting housing locations in tsunami prone areas is greater than tsunami safety zone.

• Keywords: location selection, tsunami, house rent, transportation costs, LPM

Page 165: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

154 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangPerumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar (basic need) manusia. Rumah berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal untuk kehidupan keluarga. Pembangunan perumahan akan selalu menjadi permasalahan karena meningkatnya jumlah penduduk tiap tahun. Oleh sebab itu, diperlukan pembangunan perumahan yang dikembangkan, berencana, dan berkesinambungan. Menurut Bintaro (dalam Paruntung, 2004) permukiman menempati areal paling luas dalam penataan ruang.

Karakteristik ruang Kota Padang menghadap Samudra Hindia dan dikelilingi oleh Pegunungan Bukit Barisan. Perkembangan perkotaan Padang ke arah utara kota dan arah timur kota. Penataan ruang Kota Padang mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang Tahun 2010-2030, bahwa tujuan penataan ruang Kota Padang untuk mengatasi permasalahan kota dan mengembangkan potensi kota yang sejalan dengan tujuan pembangunan kota.

Arah timur Kota Padang dikembangkan sebagai kawasan permukiman dan pusat pendidikan, sedangkan arah barat kota dikembangkan sebagai kawasan komersial perkotaan dan pusat bisnis. Hal ini sejalan dengan pembangunan kota yang berbasis mitigasi bencana. Salah satu upaya pemerintah Kota Padang adalah melakukan pemindahan pusat pemerintahan kota ke wilayah timur kota pada tahun 2010. Dengan demikian akan berkurang kepadatan penduduk pada kawasan pinggir pantai.

Pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman khususnya di kawasan perkotaan khususnya Kota Padang harus senantiasa memperhatikan penataan ruang yang berlaku di kota yang bersangkutan sehingga terdapat sinkronisasi atau kesesuaian antara pembangunan perumahan dan permukiman dengan penataan ruang kota.

Berdasarkan RTRW Kota Padang tahun 2010—2030, salah satu permasalahan pokok yang dihadapi Kota Padang saat ini adalah rawan terhadap bencana, karena berada pada jalur patahan dan adanya potensi gelombang dari laut. Sementara potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung penataan ruang wilayah Kota Padang adalah:

1. fungsi Kota Padang sebagai ibu kota Provinsi Sumatra Barat;

2. peranan Kota Padang sebagai pusat koleksi-distribusi barang bagi kawasansekitarnya;

3. Kota Padang sebagai orientasi perkembangan bagi kawasan sekitarnya;

4. ketersediaan dan kelengkapan sarana dan prasarana pelayanan, baik untukskala kota maupun skala regional;

Page 166: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

155 PENGARUH ISU TSUNAMI TERHADAP PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN DI KOTA PADANG

STUDI KASUS: KECAMATAN PADANG UTARA DAN KECAMATAN KURANJI

5. nilai strategis dan historis Kota Padang;

6. ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia yang lebih memadaidibandingkan dengan daerah sekitar.

Padang sebagai kota pesisir, selain menguntungkan secara geografis tetapi juga merupakan daerah yang rawan bencana tsunami. Gelombang tsunami yang selalu didahului oleh gempa, sering menimbulkan dampak dari berbagai aspek tata ruang/daerah pesisir. Pada tahun 2004 terjadinya gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, hal ini sedikit banyaknya membawa dampak terhadap perubahan perkembangan Kota Padang, apalagi pada tahun 2009 Kota Padang diguncang gempa 7,9 skala Richter sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pola bermukim masyarakat menjauhi pantai. Dengan adanya kecenderungan tersebut daerah timur Padang pascagempa dan isu tsunami menjadi pemilihan lokasi perumahan.

Berdasarkan data dari BPS Kota Padang dalam angka tahun 2016, bahwa jumlah penduduk Kota Padang pada tahun 2015 mencapai 902.413 jiwa. Sebagai kota dengan jumlah penduduk tinggi, maka penduduk membutuhkan perumahan yang layak untuk huniannya, terutama untuk penduduk yang memiliki keterbatasan dalam membeli rumah dengan harga tinggi, sehingga mereka cenderung untuk memilih rumah sewa, salah satu alasannya adalah karena nilai pendapatan yang cenderung lebih kecil serta dekat dengan tempat bekerja.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan data BPS Kota Padang, di Kecamatan Padang Utara dari tahun 2009 sampai tahun 2010 terjadi penurunan jumlah penduduk sebesar 77.509 jiwa menjadi 69.119 jiwa. Jumlah penduduk ini merupakan data sensus penduduk 2010 serta diduga karena terjadinya perpindahan penduduk dan adanya penduduk yang meninggal akibat reruntuhan bangunan ketika gempa bumi terjadi pada 30 September 2009. Akan tetapi pada tahun 2010 sampai tahun 2015 terjadi pertambahan penduduk sebesar 1.325 jiwa sehingga pada tahun 2015 jumlah penduduk di Kecamatan Padang Utara sebesar 70.444 jiwa atau dengan pertumbuhan penduduk sebesar 0,38% per tahun.

Berdasarkan data BPS Kota Padang, di Kecamatan Kuranji dari tahun 2009 sampai tahun 2015 pascagempa dan isu tsunami terjadi pertambahan jumlah penduduk sebesar 123.771 jiwa menjadi 141.342 jiwa atau dengan pertumbuhan penduduk sebesar 2,18% per tahun. Pertambahan jumlah penduduk ini diduga karena terjadinya perpindahan penduduk yang bermukim di daerah rawan tsunami menuju daerah aman tsunami.

Page 167: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

156 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Dengan meningkatnya jumlah penduduk maka salah satunya akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan perumahan. Kebutuhan terhadap rumah merupakan hal penting karena rumah berfungsi sebagai tempat tinggal, sementara lahan/tanah yang tersedia adalah terbatas. Dengan demikian pemerintah bertanggung jawab terhadap ketersediaan perumahan bagi masyarakatnya. Dalam kondisi seperti ini, maka pendekatan pembangunan perumahan dan permukiman harus disesuaikan dengan kondisi fisik, ekonomi dan sosial budaya suatu kawasan. Pemerintah kota mempunyai tanggung jawab untuk membangun perumahan dan permukiman di kota agar sesuai dengan standar dan perencanaan kota yang baik ataupun dapat meningkatkan standar perencanaan itu, setidak-tidaknya suatu perumahan dan permukiman dapat memenuhi syarat-syarat kesehatan ataupun mempunyai harkat dan martabat penduduk sebagai manusia.

Pascagempa besar dan isu tsunami yang melanda Kota Padang tahun 2009, maka terlihat perubahan secara nyata dalam perpindahan penduduk dan dalam jumlah yang cukup signifikan. Perpindahan tersebut menuju arah timur kota yang kondisi topografinya lebih tinggi dari daerah pusat kota Padang yang dekat dengan Samudra Hindia, di mana perkembangan Kota Padang sebelum tsunami cenderung berkembang ke arah pesisir pantai. Berdasarkan peta rawan bencana tsunami dari RTRW Kota Padang bahwa Kecamatan Padang Utara merupakan salah satu kecamatan yang semua kelurahannya merupakan daerah rawan tsunami (zona merah), sedangkan Kecamatan Kuranji yang merupakan bagian timur Kota Padang adalah daerah yang aman tsunami (semua kelurahannya merupakan zona hijau). Untuk itu diperlukan kajian lebih lanjut untuk mengantisipasi pemilihan lokasi perumahan di masa yang akan datang. Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian, yaitu :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat Kecamatan PadangUtara dan Kecamatan Kuranji dalam memilih lokasi perumahan?

2. Bagaimana pengaruh isu tsunami terhadap pemilihan lokasi perumahanmasyarakat Kecamatan Padang Utara dan Kecamatan Kuranji?

3. Kebijakan apa yang harus diambil dalam meminimumkan dampak negatif isutsunami terhadap pemilihan lokasi perumahan?

Penelitian tentang perumahan ini berlokasi di Kecamatan Padang Utara dan Kecamatan Kuranji Kota Padang. Kecamatan Padang Utara terdiri atas 7 (tujuh) kelurahan, yaitu Kelurahan Gunung Pangilun, Kelurahan Ulak Karang Selatan, Kelurahan Ulak Karang Utara, Kelurahan Air Tawar Timur, Kelurahan Air Tawar Barat, Kelurahan Alai Parak Kopi dan Kelurahan Lolong Belanti, sedangkan Kecamatan Kuranji terdiri atas 9 (sembilan) kelurahan yaitu: Kelurahan Anduring, Kelurahan Pasar Ambacang, Kelurahan Lubuk Lintah, Kelurahan Ampang,

Page 168: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

157 PENGARUH ISU TSUNAMI TERHADAP PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN DI KOTA PADANG

STUDI KASUS: KECAMATAN PADANG UTARA DAN KECAMATAN KURANJI

Kelurahan Kalumbuk, Kelurahan Korong Gadang, Kelurahan Kuranji, Kelurahan Gunung Sarik, dan Kelurahan Sungai Sapih.

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan terhadap analisis variabel yang diduga memengaruhi pemilihan lokasi perumahan di Kecamatan Padang Utara dan Kecamatan Kuranji, sedangkan analisis kuantitatif yang akan dipakai adalah analisis Linear Probability Model. Berdasarkan hasil analisis regresi LPM serta analisis deskriptif di atas dapat dirumuskan beberapa implikasi kebijakan yang dikaitkan dengan kondisi saat ini dan program yang dilaksanakan pemerintah.

C. Pembahasan Hasil AnalisisTabel 1. Impikasi Kebijakan Terhadap Penelitian Pengaruh Isu Tsunami Terhadap

Pemilihan Lokasi Perumahan Pada Daerah Rawan Tsunami

No Kondisi Rekomendasi

1. Sebanyak 40 responden memilih rumah sewa dekat terhadap laut (memilih pada daerah rawan tsunami).

Sebaiknya pemerintah selalu rutin mengadakan simulasi evakuasi tsunami kepada masyarakat khususnya kepada kepala rumah tangga, karena dengan meningkatnya pengetahuan kepala keluarga akan kebencanaan maka akan memudahkan dalam proses evakuasi.

2. Semakin meningkat harga sewa rumah maka probabilitas pemilihan lokasi perumahan pada daerah rawan tsunami akan menurun.

Hal ini disebabkan oleh pertimbangan dekatnya rumah dengan tempat bekerja/fasilitas umum. Jadi sebaiknya pemerintah melakukan pengadaan sertifikat kepada masyarakat dengan penghasilan rendah untuk menyewa rumah selama waktu tertentu.

3. Semakin meningkat biaya trasnportasi maka probabilitas pemilihan lokasi perumahan pada daerah rawan tsunami akan meningkat.

Sebaiknya pemerintah menetapkan tarif berdasarkan jarak (tarif kilometer).

Sumber: Hasil kuisioner

D. KesimpulanBerdasarkan hasil analisis penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari hasil penelitian, faktor dominan yang mempengaruhi kepala rumahtangga memilih lokasi rumah sewa adalah karena mata pencaharian (sebesar79 responden dari 160 responden atau sebesar 49,375%) sebagai pedagang/

Page 169: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

158 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

wirausaha. Hal ini dikarenakan alasan masyarakat memilih lokasi perumahan karena dekat dengan tempat bekerja/fasilitas umum.

2. Terdapat pengaruh pemilihan lokasi perumahan pasca adanya ancamantsunami dapat dilihat dari 4 (empat) variabel yang dianalisis denganmenggunakan Linear Probability Model. Dari empat variabel yang ditelitiyaitu tsunami, harga sewa rumah, biaya transportasi dan pendapatan kepalakeluarga, hasil dari regresi LPM menunjukkan 3 (tiga) variabel berpengaruhsecara signifikan terhadap pemilihan lokasi perumahan yaitu variabel tsunami, harga sewa rumah dan biaya transportasi.

3. Berdasarkan hasil regresi LPM, dapat disimpulkan beberapa rekomendasikebijakan sebagai berikut:

- Sebaiknya pemerintah selalu rutin mengadakan simulasi evakuasi tsunamikepada masyarakat khususnya kepada kepala rumah tangga, karena dengan meningkatnya pengetahuan kepala keluarga akan kebencanaan maka akan memudahkan dalam proses evakuasi.

- Pemerintah menyediakan pengadaan sertifikat sewa rumah yang diperuntukkan kepada penduduk miskin.

- Pengadaan sertifikat sewa rumah yaitu memberikan semacam sertifikat kepada masyarakat dengan penghasilan rendah untuk menyewa rumah selama periode tertentu.

- Untuk mengurangi biaya transportasi, sebaiknya pemerintah menetapkan tarif berdasarkan jarak (tarif kilometer).

E. RekomendasiDari hasil penelitian diperoleh beberapa saran, yaitu:

1. Berdasarkan hasil penelitian, maka pemerintah Kota Padang sebaiknyamemberikan bantuan sewa rumah murah pada masyarakat.

2. Pemerintah sebaiknya melakukan peningkatan sarana pendukung transportasi seperti peningkatan atau perbaikan ruas jalan terutama yang merupakanjalur evakuasi bencana.

3. Rumah-rumah yang akan dibangun pada daerah rawan tsunami sebaiknyadalam proses perizinannya rumah tersebut merupakan rumah tahan gempadan adanya shelter untuk evakuasi untuk rumah lebih dari dua lantai.

Page 170: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

159 PENGARUH ISU TSUNAMI TERHADAP PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN DI KOTA PADANG

STUDI KASUS: KECAMATAN PADANG UTARA DAN KECAMATAN KURANJI

Page 171: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 172: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

12Kontribusi Perkebunan Kopi

Sebagai Basis Pengembangan

Ekonomi Lokal di Kabupaten Aceh

Tengah

Nama : Deddy Irwan

Instansi : Bappeda Kabupaten Aceh Tengah

Program Studi : Magister Perencanaan Wilayah dan

Kota

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Teknologi Bandung

Page 173: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

162 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Perkebunan kopi adalah sumber penghidupan utama 73,53% Kepala Keluarga (KK) dan merupakan sektor basis di Kabupaten Aceh Tengah. Hal ini terlihat dari perannya sebagai kontributor terbesar Produk Domestik Bruto Daerah (PDRB) dan kemampuannya dalam memberikan sumbangan devisa yang cukup besar, sehingga dalam pengembangan ekonomi lokal peran perkebunan kopi sangat penting. Namun, seiring dengan perkembangan kebutuhan hidup, pergeseran paradigma masyarakat, pertumbuhan jumlah penduduk, serta keterbatasan dan daya dukung lahan, timbul kekhawatiran tentang kontribusi perkebunan kopi ini sebagai basis pengembangan ekonomi lokal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kontribusi perkebunan kopi sebagai basis pengembangan ekonomi lokal.

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode campuran (mixed-methods) dengan strategi concurrent triangulation di Desa Atu Lintang dan Desa Bies Penentan. Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pemenuhan standar kehidupan minimal, pengurangan ketimpangan, dan proses produksi berkelanjutan berdasarkan kompenen keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal yang dikemukan oleh Blakely dan Leigh (2013).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, kontribusi perkebunan kopi terhadap pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Aceh Tengah berdasarkan komponen pemenuhan standar kehidupan minimal ada dalam kondisi yang mengkhawatirkan, karena masih rendahnya tingkat pendapatan sebagian besar petani, walaupun dari tinjauan komponen hidup layak petani kopi relatif masih mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sementara itu, dari komponen pengurangan ketimpangan di daerah, perkebunan kopi mampu mendorong desa sentra penghasil kopi untuk memiliki sarana dan prasarana umum serta kualitas pelayanan yang memadai. Disamping tidak terjadinya diskriminasi berdasarkan gender, umur, etnis, dan asal pelaku usaha dalam usaha perkebunan kopi. Namun perlu diwaspadai tingginya harga lahan, keterbatasan lahan, dan perbedaan penghasilan yang terjadi akibat faktor penguasaan lahan, latar belakang pendidikan, serta keterampilan petani. Kemudian pada komponen proses produksi berkelanjutan, kontribusi perkebunan kopi pada pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Aceh Tengah ada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Karena dalam prakteknya perkebunan kopi sudah merambah kawasan hutan dalam besaran yang cukup signifikan serta rendahnya praktek usaha perkebunan keberkelajutan yang dilakukan oleh petani.

• Kata Kunci: kontribusi perkebunan, pengembangan ekonomi lokal,perkebunan berkelanjutan

Page 174: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

163 KONTRIBUSI PERKEBUNAN KOPI SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

DI KABUPATEN ACEH TENGAH

ABSTRACT

Coffee plantation is the main source of livelihood for 73.53% of household and also a sector base in Central Aceh District. Seen from its role as the largest contributor for Gross Regional Domestic Product (GRDP) and significant contribution for national income. Caffee plantation has an important role of contribution for local economic developmnet. But as the necessities of life keeps increasing, paradigm shift of society, land limitation, and carrying capacity of land, concerns arise about contribution of caffee plantation important role as local economic development base. Therefore, it is necessary to conduct research that aims to find out the extent of coffee plantation contribution as regional economic developmnet base.

This research was conducted using mixed-methods with concurrent triangulation strategy in Atu Lintang and Bies Penentan Villages. The objectives of this study were to identify the fulfillment minimum standard of living, reduces inequality, and sustainable production processes based on components of local economic development sustainability submitted by Blakely and Leigh (2013).

From the results of this research, the contribution of coffee plantation to local economic development in Aceh Tengah Distric, based on the minimum standards component of living there is an alarming condition, due to the low income level of most farmers, although from the review of decent living component, coffee farmers are still relatively able to meet the needs of their life.

Meanwhile, from the inequality reduction in the region, coffee plantation is able to encourage the village of coffee producing center to have public facilities, infrastructure and adequate quality of services. In addition to there is no discrimination based on gender, age, ethnicity, and the origin of business actors for coffee plantation business. However, it is important to be aware of the highly price of land, land limitations, and the differentiation of income due to land tenure, educational background, and farmers’ skills. Then according to the components of the sustainable producti Tengah District is in a fairly apprehensive condition. Because practically coffee plantations has penetrated the forest area in significant quantities and due to the lack sustainable plantation practices done by farmers

• Keywords : plantation contributions, local economic development, sustainable plantation

Page 175: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

164 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangPosisi perkebunan kopi sebagai sumber penghidupan masyarakat lokal di Kabupaten Aceh Tengah mulai dikhawatirkan oleh berbagai pihak, terutama para pemangku kepentingan, pelaku usaha, dan masyarakat lokal, khususnya para petani kopi itu sendiri. Salah satu kekhawatiran itu adalah mengenai kemampuan perkebunan kopi dalam memenuhi kebutuhan hidup dewasa ini, seiring dengan peningkatan standar kebutuhan hidup akibat perkembangan teknologi, perkembangan ekonomi, dan proses globalisasi. Mengingat keterbatasan lahan yang dimiliki oleh para petani, serta kemampuan lahan untuk terus menghasilkan sudah mulai menurun, karena umumnya lahan sudah diolah cukup lama. Bahkan pada sebagian kawasan, lahannya sudah diusahakan sejak masa penjajahan, kekhawatiran ini juga diakibatkan oleh adanya persaingan pasar baik lokal maupun internasional, serta kemampuan dan kapasitas petani dalam mengusahakan perkebunan kopi itu sendiri yang masih terbatas.

Ditinjau dari sisi ketersediaan lahan untuk pengembangan ke depan, potensi lahan juga memiliki keterbatasan, baik dari kesesuaian lahannya maupun dari segi aturan hukum. Dari segi kesesuaian lahan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 49/Permentan/OT.140/4/2014 tentang pedoman teknis budidaya kopi yang baik. Menyebutkan bahwa, ketinggian yang sesuai untuk pekebunan kopi adalah pada ketinggian dengan rentang antara 850-1.750 Mdpl dengan tingkat kelerengan antara 0—25%, dan yang paling sesuai pada ketinggian antara 1.000—1.500 Mdpl. Kesesuaian lahan ini sangat penting agar perkebunan kopi dapat terus diusahakan dan terus menghasilkan. Mengacu pada petunjuk teknis tersebut, maka berdasarkan ketinggian lahan, wilayah Kabupaten Aceh Tengah yang sesuai untuk perkebunan kopi mencapai 75,85% atau setara 333.877,58 ha, sedangkan untuk kelerangan yang memenuhi kriteria sekitar 32,59% atau seluas 145.176,36 ha. Namun deliniasi ketinggian dan kelerengan ini juga dibatasi oleh posisi Kabupaten Aceh Tengah sebagai wilayah penyangga Kawasan Ekosistem Lauser (KEL). Dimana 79,26% luas wilayahnya adalah kawasan hutan, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan RI No. 865/Menhut-II/2014 tentang kawasan hutan dan konservasi perairan di Provinsi Aceh. Untuk Kabupaten Aceh Tengah ditetapkan bahwa Areal Penggunaan Lain (APL) hanya seluas 102.664,08 ha atau sebesar 20,74% dari total luas wilayah yang mencapai 445.404,27 ha, sedangkan yang 80,26% wilayahnya adalah kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung, hutan taman buru, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas. Dari segi penggunaan lahan, APL di Kabupaten Aceh Tengah sendiri sekitar 57.185,16 ha atau 55,7% diperuntukkan sebagai kawasan perkebunan dan secara eksisting berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2016 saja luas areal perkebunan kopi telah mencapai 48.701 ha dan tanaman perkebunan lain mencapai 2.578 ha. Sehingga kemungkinan

Page 176: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

165 KONTRIBUSI PERKEBUNAN KOPI SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

DI KABUPATEN ACEH TENGAH

pengembangan lahan perkebunan kopi kedepan hanya sekitar 5.906,16 ha. Bahkan Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah sendiri menyatakan bahwa hanya ada sekitar 200 ha luas lahan yang memilki potensi untuk pengembangan perkebunan kopi ke depannya.

Dari sisi ketenagakerjaan, pekebunan kopi menjadi sumber penghidupan bagi 36.996 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 73,53% KK dari total jumlah 50.314 KK yang ada di Kabupaten Aceh Tengah (BPS Aceh Tengah, 2017; Distan Aceh Tengah, 2017). Tidak ada data pasti dari BPS atau Dinas Ketenagakerjaan yang menyatakan berapa besar jumlah tenaga kerja yang bekerja di perkebunan kopi, namun bila melihat besarnya jumlah KK petani kopi yang mencapai 73,53% dari jumlah total KK yang ada di Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2016. Maka petani kopi merupakan pekerjaan utama yang digeluti oleh sebagian besar masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah, belum lagi masyarakat yang berkerja sebagai buruh perkebunan, buruh industri, atau pengusaha industri pengolahan biji kopi, pedagang pengepul, pedagang besar, dan eksportir kopi.

Perkebunan kopi di Kabupaten Aceh Tengah ini juga menarik bagi masyarakat dari daerah lainnya, baik untuk terjun sebagai petani kopi, sebagai buruh tani atau buruh pengolahan hasil panen, bahkan sebagai pedagang maupun eksportir kopi. Bahkan ada beberapa investor baik lokal maupun luar negeri yang juga telah menyatakan ketertarikannya untuk ikut menggarap perkebunan kopi yang ada di Kabupaten Aceh Tengah. Hal ini karena memang besarnya potensi perkebunan kopi di Kabupaten Aceh Tengah yang diperkirakan pada tahun 2016 mampu memberikan sumbangan devisa bagi negara mencapai 5 triliun Rupiah. Selain itu, Kabupaten Aceh Tengah juga merupakan salah satu wilayah yang menjadi daerah tujuan transmigrasi di Provinsi Aceh. Bahkan keberadaan masyarakat pendatang yang mengusahakan perkebunan kopi sudah ada sejak masa penjajahan, dimana pihak Belanda banyak mendatangkan pekerja dari Pulau Jawa, dan pasca kemerdekaan juga sudah beberapa kali terjadi transmigrasi ke Kabupaten Aceh Tengah. Berdasarkan penggunaan lahan di Kabupaten Aceh Tengah, ada dua kecamatan yang dijadikan daerah transmigrasi, yaitu Kecamatan Linge dan Kecamatan Atu Lintang dengan total luas lahan sebesar 1.947,89 Ha. Keberadaan pendatang ini baik sebagai petani kopi, maupun menjadi buruh di perkebunan kopi dan parbrik pengolahan, serta sebagai pedagang atau investor dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya ketimpangan di Kabupaten Aceh Tengah, baik ketimpangan spatial/ kawasan, ketimpangan demografi, maupun ketimpangan akibat adanya pengelompokkan pelaku ekonomi. Pengelompokkan pelaku ekonomi ini, bisa terjadi akibat perbedaan kemampuan atau pengalaman, akibat perbedaan asal pelaku ekonomi (penduduk asli dan pendatang), dan akibat perbedaan unit ekonomi (pemain besar dan kecil), serta akibat perbedaan status sosial (kaya dan miskin).

Page 177: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

166 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisPara petani kopi di Kabupaten Aceh Tangah pada umumnya masih mengusahakan perkebunan kopi secara konvensional atau tradisional, sehingga menyebabkan rendahnya produktifitas perkebunan kopi di Kabupaten Aceh Tengah. Hal ini ditandai dengan tingkat produktifitas yang hanya mencapai 745 kg/ha dalam setahun. Produktifitas kopi di Kabupaten Aceh Tengah masih rendah apabila dibandingkan dengan daerah penghasil kopi lainya di Indonesia, seperti Sumatera Utara yang mencapai 1.050 kg/ ha, Riau sebesar 900 kg/ha, dan Sumatera Barat sebesar 962 kg/ha (Dirjen Pekebunan, 2016). Permasalahan ini, ditambah lagi dengan tingkat kepemilikan lahan perkapita petani yang semakin kecil akibat pewarisan, penjualan, dan konversi lahan, serta adanya pergeseran paradigma masyarakat terutama generasi mudanya yang menganggap bahwa pekerjaan sebagai petani kopi tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan perkembangan zaman dewasa ini. Jadi berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, perlu kiranya dilakukan suatu kajian tentang sejauh mana peran perkebunan kopi dalam pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Aceh Tengah, hal ini menjadi penting agar para pemangku kepentingan dapat merumuskan kebijakan yang tepat, serta masyarakat terutama petani kopi dan pelaku ekonomi di bidang perkebunan kopi juga memahami posisi perkebunan kopi dalam perkembangan daerah. Untuk itu yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: “Sejauh mana kontribusi perkebunan kopi dalam memberikan penghasilan yang mampu memenuhi standar kehidupan minimal? Kemudian bagaimana peran perkebunan kopi dalam mengurangi ketimpangan di daerah? Serta bagaimana keberlanjutan proses produksi dalam perkebunan kopi?”

Penelitian ini menggunakan metode kombinasi (mixed method), dengan desain concurrent trianggulation. Menurut Sugiyono (2016), metode kombinasi desain concurrent trianggulation adalah metode penelitian yang menggabungkan antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan cara mencampur kedua metode tersebut secara seimbang.

C. Pembahasan Hasil AnalisisTemuan studi dalam penelitian ini berdasarkan komponen-komponen yang telah ditetapkan, dijabarkan sebagai berikut :

1. Penciptaan lapangan pekerjaan

a. Pada indikator penyerapan tenaga kerja ditemukan bahwa perkebunankopi mampu menyerap angkatan kerja dengan latar belakang usia danpendidikan yang berbeda, dan merupakan pekerjaan utama sebagianbesar masyarakat;

Page 178: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

167 KONTRIBUSI PERKEBUNAN KOPI SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

DI KABUPATEN ACEH TENGAH

b. Untuk indikator pembentukan lapangan kerja turunan, terilihat bahwausaha perkebunan kopi mampu mendorong terbentuknya lapangankerja turunan pada bidang pengolahan dan pemasaran. Kemudianperkebunan kopi juga memiliki pengaruh pada perkembangan lapanganusaha lainnya, karena pendapatan petani perkebunan kopi mampumemicu pertumbuhan jumlah konsumsi;

c. Sedangkan pada indikator penghasilan yang layak, berdasarkan UMPAceh yang menjadi acuan UMK Aceh Tengah ditemukan bahwa sebagianbesar petani kopi masih memiliki pendapatan di bawah UMK dan masihmemerlukan sumber penghasilan tambahan.

2. Pemenuhan kebutuhan hidup

a. Petani perkebunan kopi mampu memenuhi kebutuhan konsumsimakanan pokok dan lauk pauk yang bervariasi, namun tingkat konsumsidaging/ ayam dan ikan segar masih relatif rendah. Kemudian petani kopijuga mampu memenuhi kebutuhan sandang dan perlengkapan rumahtangga;

b. Petani kopi mampu memenuhi kebutuhan akan rumah yang layak hunidan dilengkapi dengan fasilitas pendukung berupa instalasi listrik, airbersih, MCK, dan sanitasi walaupun masih ada yang kesulitan pasokan airbersih pada musim-musim kemarau;

c. Pada indikator akses kesehatan, petani kopi mampu mengakses layanankesehatan dan seluruhnya memiliki jaminan kesehatan. Namun tingginyakepemilikan ini dikarenakan adanya program jaminan kesehatan daripemerintah;

d. Dari segi akses pendidikan, petani kopi mampu menyekolahkan anak-anaknya pada pendidikan SD sampai dengan SLTA. Namun padapendidikan perguruan tinggi kemampuan petani dalam menyekolahkananak-anaknya mulai menurun. Kemudian dari tingkat kepemilikanasuransi pendidikan, tidak ada satupun petani yang memilikinya;

e. Pada indikator Akses transportasi, terlihat bahwa seluruh petani kopimemiliki kendaraan pribadi minimal kendaraan roda dua. Serta tidak adakendala dalam mengakses angkutan umum dan jaringan jalan.

f. Petani kopi mampu menyisihkan sebagian penghasilannya dalam bentuktabungan ataupun aset lain berupa logam mulia, tanah, ataupun ternak.Serta petani kopi memiliki waktu luang untuk rekreasi.

Page 179: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

168 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

3. Ketahanan ekonomi

a. Pada indikator produksi, ditemukan bahwa kendala utama produksidalam perkebunan kopi adalah keterampilan petani yang masihkurang, keterbatasan lahan dan kurangnya dukungan modal usahatani. Sedangkan untuk ketersediaan tenaga kerja, pada musim panenterkadang para petani kesulitan untuk mendapatkan pekerja;

b. Dari segi pemasaran, komoditas kopi memiliki peluang pasar, tingkatpenyerapan pasar, dan daya saing yang cukup tinggi serta harga yangstabil. Namun upaya peningkatan nilai tambah yang dilakukan petanimasih rendah.

c. Tingkat kepemilikan lahan petani masih mencukupi, kemudian petanijuga memiliki kecenderungan yang tinggi untuk tidak menjual lahannya.Namun untuk keperluan pewarisan bagi generasi berikutnya makahampir semuanya menyatakan bahwa lahannya tidak mencukupi lagi.

d. Keterampilan petani dalam berkebun kopi masih dirasa kurang, walaupun sebagian besar petani pernah mengikuti pelatihan. Hal ini disebabkanoleh intensitas pelatihan yang rendah dan jumlah tenaga penyuluhpertanian yang masih sangat terbatas, serta porsi program/ kegiatanpeningkatan kapasitas yang masih kurang.

e. Sebagian besar petani mengandalkan modal pribadi dalam usahaperkebunan kopi dan jika mangalami kesulitan hanya dapatmengandalkan pinjaman dari saudara atau tentangga, serta kurangnyadukungan modal dari lembaga keuangan.

f. Sarana produksi untuk perkebunan sudah cukup memadai, dan tidak adakesulitan dalam pengangkutan, pemasaran, pengolahan hasil panen,dan mendapatkan input perkebunan. Namun belum semua kebun petanidapat diakses oleh kendaraan, terutama roda empat.

4. Ketimpangan kawasan, masih terdapat ketimpangan pada pembangunanantara desa dengan kota yang dirasakan oleh petani kopi, tetapi ketimpangan dengan desa-desa yang lain relatif kecil. Kemudian tingkat ketersediaansarana, prasarana, dan utilitas serta pelayanan di desa-desa sudah cukupmemadai bila mengacu pada Pemendagri No. 9 Tahun 2009.

5. Ketimpangan demografi, tidak terjadi diskriminasi berdasarkan gender, etnis,dan usia pada usaha perkebunan kopi.

6. Ketimpangan berdasarkan kelompok pelaku ekonomi

a. Penerimaan masyarakat lokal/ petani kopi terhadap pendatang cukuptinggi, sehingga tidak terjadi diskriminasi berdasarkan asal pelaku;

Page 180: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

169 KONTRIBUSI PERKEBUNAN KOPI SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

DI KABUPATEN ACEH TENGAH

b. Harga lahan perkebunan kopi cukup tinggi dan untuk membuka lahantidak dimungkinkan lagi, hal ini juga menyebabkan para calon petani baru kesulitan untuk mendapatkan lahan untuk memulai usaha perkebunan.

c. Penyebaran informasi kenaikan harga dan manfaat kenaikan hargaterdistrusi dengan cukup baika antar kelompok pelaku usaha, pengusaanlahan oleh pemain besar juga masih kecil. Namun terdapat perbedaantingkat pengahasilan yang terjadi dikarenakan faktor penguasaan lahan,latar belakang pendidikan, serta keterampilan petani.

7. Pemanfaatan sumber daya berkelanjutan

a. Kesesuaian lahan para petani baik dari sisi kelerengan, ketinggian, danjenis tanah relatif sesuai, pengetahuan petani untuk meremajakan ataurevitalisasi lahan juga cukup baik.

b. Sebagian besar petani mengetahui cara pembuatan pupuk organik danmanfaat dari integrasi ternak, namun dari segi pelaksanaannya masihrelatif rendah. Metode untuk mendapatkan pupuk organik yang dilakukan umum hanya sebatas pemanfaatan sisa gilingan dan pemanfaatan gulma.

8. Penangan limbah non organik yang dilakukan oleh petani cukup baik, limbahnon organik yang dihasilkan juga relatif sedikit dan hanya berasal darikemasan pupuk dan obat-obatan kimia Sedangkan untuk limbah organikbaik dari usaha perkebunan maupun usaha turunannya dapat dimanfaatkankembali oleh para petani sebagai pupuk.

9. Fungsi konservasi perkebunan kopi cukup baik, karena sebagian besarperkebunan menggunakan tanaman pelindung serta memiliki tanamantumpang sari yang cukup beragam. Namun dalam aktiftasnya, sebagianperkebunan kopi sudah mulai merambah kawasan hutan.

10. Dari segi pemanfaatan material berbahaya bagi lingkungan, ditemukanbahwa para petani kopi menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia dalamusaha perkebunan yang mereka lakukan.

D. KesimpulanDari penelitian tentang kontribusi perkebunan kopi sebagai basis pengembangan ekonomi lokal yang ditinjau berdasarkan tiga komponen keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal yang dikemukan oleh Blakely dan Leigh (2013) di Kabupaten Aceh Tengah, berdasarkan analisis dan temuan-temuan yang didapatkan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan komponen pemenuhan standar kebutuhan hidup minimal,kontribusi perkebunan kopi terhadap pengembangan ekonomi lokal di

Page 181: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

170 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Kabupaten Aceh Tengah ada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Karena tingkat pendapatan sebagian besar petani masih berada di bawah UMK Aceh Tengah yang ditetapkan berdasarkan Pergub No. 67 Tahun 2017 tentang Upah Minimum Provinsi Aceh sebesar 2,7 Juta Rupiah. Pendapatan dari perkebunan kopi umumnya hanya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar sesuai dengan Komponen Hidup Layak (KHL) dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 21 Tahun 2016 Tentang Kebutuhan Hidup Layak. Rendahnya tingkat penghasilan ini juga menyebabkan, sebagian besar petani masih merasa perlu adanya sumber penghasilan tambahan. Kondisi ini juga menyebabkan kurangnya kemampuan petani dalam menyekolahkan anak-anaknya sampai pada jenjang perguruan tinggi. Di sisi lain, kemampuan petani kopi dalam menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SLTA serta akses layanan kesehatan juga masih bergantung pada program pendidikan dan jaminan kesehatan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan keunggulan komparatif komoditas kopi lokal yang cukup tinggi, tidak adanya kendala dalam pemasaran, serta sarana dan prasarana yang sudah cukup memadai. Rendahnya tingkat pendapatan petani kopi ini juga cukup mengkhawatirkan, mengingat perkebunan kopi merupakan sumber penghasilan sebagian besar masyarakat, mampu mendorong terbentuknya lapangan kerja turunan, menyerap angkatan kerja dengan latar belakang usia dan pendidikan yang berbeda, serta berpengaruh besar pada lapangan usaha lainnya, karena pendapatan pelaku usaha perkebunan kopi mampu memicu pertumbuhan konsumsi di daerah.

2. Dari komponen pengurangan ketimpangan, perkebunan kopi mampu memberikan kontribusi terhadap pengurangan ketimpangan di daerah, hal ini dikarenakan desa-desa yang menjadi sentra produksi kopi memiliki tingkat ketersediaan sarana, prasarana, dan utilitas serta pelayanan yang cukup memadai, bila mengacu pada Permendagri No. 9 tahun 2009 tentang pedoman penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas perumahan serta permukiman di daerah. Selain itu dalam usaha perkebunan kopi tidak terjadi ketimpangan demografi berdasarkan gender, etnis, usia, dan asal pelaku ekonomi. Karena perkebunan kopi dapat memberikan pekerjaan pada kaum perempuan, masyarakat dengan latar belakang suku dan asal yang berbeda, serta generasi muda maupun masyarakat yang sudah tua. Namun dalam pengurangan ketimpangan ini ada hal yang perlu diwaspadai, yaitu mulai adanya kesulitan pada kelompok pelaku usaha baru untuk mendapatkan lahan perkebunan, dikarenakan tingginya harga lahan dan sulitnya proses untuk membuka lahan baru. Ditambah terjadinya perbedaan tingkat pengahasilan yang disebabkan oleh faktor penguasaan lahan, latar belakang pendidikan, serta keterampilan petani.

Page 182: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

171 KONTRIBUSI PERKEBUNAN KOPI SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

DI KABUPATEN ACEH TENGAH

3. Sedangkan pada komponen proses produksi berkelanjutan, kontribusi perkebunan kopi pada pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Aceh Tengah ada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Karena dalam prakteknya perkebunan kopi sudah merambah kawasan hutan dalam besaran yang cukup signifikan serta rendahnya praktek usaha perkebunan yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan yang dilakukan oleh petani. Hal ini terlihat dari penggunan pupuk dan obat-obatan kimia dalam usaha perkebunan dengan tingkat penggunaannya yang cukup tinggi, rendahnya integrasi ternak/ pemanfaatan kompos, kondisi dan kecukupan tanaman pelindung, serta penurunan kualitas lahan akibat faktor umur lahan ataupun material berbahaya bagi lingkungan.

E. RekomendasiKontribusi perkebunan kopi terhadap pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Aceh Tengah ini merupakan hal penting, mengingat potensi pasarnya yang sangat besar, kemampuannya menyerap tenaga kerja, dan prinsip pengusahaannya yang bisa dilakukan secara berkelanjutan, seperti ramah pada lingkungan, seluruh limbahnya dapat dimanfaatkan kembali sebagai input pertanian organik, dan fungsi konservasinya yang cukup baik. Namun, berdasarkan hasil temuan dan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini, memperlihatkan secara umum bahwa kontribusi perkebunan kopi dalam pengembangan ekonomi ada dalam kondisi yang mengkahawatirkan. Oleh karena itu, untuk dapat terus dikembangkan dan bertahan sebagai basis pengembangan ekonomi lokal, sebagai sumber penghasilan masyarakat dan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Maka melalui penelitian ini ada beberapa poin rekomendasi yang disampaikan, yaitu :

1. Peningkatan keterampilan dan kapasitas petani dalam usaha perkebunan kopi, supaya petani lebih mampu untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan serta mampu menerapkan prinsip-prinsip pertanian yang berkelanjutan.Stakeholder: Dinas Pertanian berkersama dengan lembaga swadaya masyarakat, asosiasi perkopian, dan koperasi memberikan pendidikan atau pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan petani kopi.

2. Mendorong peningkatan nilai tambah pada level petani serta dilakukannya pola perkebunan yang terintegrasi dengan peternakan, agar petani mendapatkan dua manfaat sekaligus. Yaitu sebagai sumber penghasilan tambahan dan sebagai sumber pupuk organik bagi perkebunan.

Stakeholder: Bappeda bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan dalam menyusun program kebijakan dan kerjasama lintas Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK).

Page 183: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

172 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

3. Merealisasikan terwujudnya konsep hutan sosial dalam perkebunan kopi,mengingat pengalokasian Areal Penggunaan Lain (APL) yang hanya 102.664,08 ha (20,74%) berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No.865/Menhut-II/2014Tanggal 29 September 2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi PerairanProvinsi Aceh.

Stakeholder: Bappeda, Dinas Pertanian, Kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan(KPH) berkerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk menyusunkonsep pemanfaatan hutan sosial.

4. Memperkuat kapasitas dan jumlah tenaga penyuluh pertanian pada subsektor perkebunan kopi.

Stakeholder: Dinas Pertanian dan Bappeda bekerja sama untuk menyusunprogram kegiatan yang meningkatkan kapasitas dan jumlah personil tenagapenyuluh pertanian.

5. Memperkuat peran dan fungsi kelembagaan petani dalam mendukung usahaperkebunan masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat petani kopi dapat lebih mudah disalurkan dan terserap dalam kebijakan maupun program/ kegiatanpembangunan daerah.

Stakeholder: Dinas Pertanian, asosiasi perkebunan kopi, dan lembaga swadaya masyarakat berkerja sama memberikan kesadaran kepada para petani tentang pentingnya manfaat kelembagaan yang baik dalam usaha perkebunan.

Page 184: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

173 KONTRIBUSI PERKEBUNAN KOPI SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

DI KABUPATEN ACEH TENGAH

Page 185: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 186: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

13Climate Change Impact on Species

Distribution of Styrax sumatrana in North Sumatra using Maximum Entropy Modeling Approach

Nama : M. Hadi Saputra

Instansi : Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Aek Nauli Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan

Program Studi : Magister Perencanaan Wilayah dan

Kota

Negara Studi : Indonesia - Jepang

Universitas : Institut Teknologi Bandung -

Hiroshima University

Page 187: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

176 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 188: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

177 CLIMATE CHANGE IMPACT ON SPECIES DISTRIBUTION OF STYRAX SUMATRANA IN

NORTH SUMATRA USING MAXIMUM ENTROPY MODELING APPROACH

ABSTRACT

The impact of climate change shown by the ecosystem changing such as in aquatic, land and the forest area. Forest as the larger terrestrial ecosystem senses the impact of climate due to the changes in temperature and precipitation. The changes in climate and land use and land cover affected the suitable area for the tree to distribute in the specific condition. The Styrax sumatrana as one of the tree species that has a higher value in North Sumatra region has threatened by the changes of climate as well as the human activities. The objectives are to identify the environment variable that contributed to Styrax sumatrana distribution in North Sumatra region and forecast the future potential distribution by considering the climate changes scenario and land use and land cover changes. Four models and two scenarios from CMIP5 implemented in this research followed by the model of land use and land cover changes to predict the distribution of Styrax sumatrana in the year of 2050 and 2070. Maximum Entropy (MaxEnt) model produced present and future potential distribution with 63 presences of Styrax sumatrana as the sample and bioclimatic, biophysical, and anthropogenic as environmental data. The result shows the mean temperature of the coldest quarter give the higher contribution to the model followed by elevation and land use and land cover changes. The suitable area in the year 2050 reduces to 3.87% and decline to 3.54% in 2070 by 4.5 scenario. The 8.5 scenario shows the suitable area below 3.04% and drops to 1.365 in the year 2050 and 2070 respectively. The changes in land use and land cover shows that tree distribution in forest and crop classification will reduce while nearest with shrub and garden and rice field increase the probability for Styrax sumatrana to distribute with small changes

• Keywords: Climate change, CMIP5, land use land cover, Styrax sumatrana,North Sumatra, SDMs, MaxEnt

Page 189: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

178 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundClimate change is the important issue that influences human activities in the world. This condition has the impact not only on the human, but also for the nature such as plant, animal, and microbiological species over the whole earth. The impact of this condition can be seen in the aquatic environment (Dove-Thompson, Lewis, and Gray 2011), in agriculture plant (Dait 2015), and also in forestry as well by fluctuating the intensity, frequency, timing or duration any kind of disaster such as fire, drought and many more (Dale 2001). In another place, it may occur in pathogen outbreaks (Ray et al. 2008).

Recently the impact of climate change directly or indirectly affected the tree species. In term of tree growths, the climate change impact notes significantly. The research shows that the circular ring of the tree in Thailand decrease as the result of long-term climate change (Vlam et al. 2014). In China, tropical acacias that have been planted were destroyed by cold damage in inland areas and typhoon damage in coastal areas (Booth, Jovanovic, and Harwood 2014). The pines species in Southeast Asia will face the threat from the increasing temperature in the lowland area (Zonneveld et al. 2009). This fact gives the preliminary sight that climate change will give the impact to the tree species that spreading around the tropical area such as Indonesia with the vast biodiversity threatened.

Indonesia as one of the tropical country experience the climate change for centuries. Mostly in the developed area where many trees have been cutting and land conversion increase rapidly. After a decade, the climate change in Indonesia gives the significant impact in every sector such as the economy, poor population, human health, and the environment and biodiversity. In environment and biodiversity aspect, the forest fire that occurs as El Nino create 2 million hectares of peat swamp forests were burned, warming temperatures and precipitation changes will affect the phenology of fruit trees, and treat the orangutan live as the result (Measey 2010). North Sumatra was known as one of the province in Indonesia that has the enormous amount of forest area. Based on Ministry Decree No. 579/Menhut-II/2014 the total area of Terrestrial Forest Area in North Sumatra is 3,055,794Ha in 2014. However, the cover decreasing for the year. Nowadays, the total amount of forest cover area is only 26.1% of the total of land area. Most of the area converted into plantation and crop area. This condition leads to biodiversity lost especially the indigenous one. One of the valuable trees that has a traditional identity for North Sumatra ethic like Batak tribe is Styrax sumatrana. This tree has a long history for indigenous people in North Sumatra.

Styrax sumatrana as one of the valuable trees in North Sumatra has known since 17th century. The Sumatra benzoin mostly uses in many aspects such as pharmacy, food, industry and also traditional ceremony (García-Fernández, Casado, and

Page 190: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

179 CLIMATE CHANGE IMPACT ON SPECIES DISTRIBUTION OF STYRAX SUMATRANA IN

NORTH SUMATRA USING MAXIMUM ENTROPY MODELING APPROACH

Ruiz Pérez 2003; Jayusman 2014; Silalahi and Sunandar 2017). The area of this species distributed along the North Sumatra mostly founded around Lake Toba Catchment Area (LTCA) (Sunandar 2012). However, this species be threatened by the land use changes and the climate condition that might shift the distribution of the species in the future as well as the reducing the quality of its gum (Anas and Kholibrina 2017, 2018; Kholibrina, Anas, and Susilowati 2018).

Although many activities that have been conducted by the government, local people, an even non-government organization to rehabilitate this area, the degradation of biodiversity and land still exists and increase gradually. Most of the rehabilitation trees are not suitable due to the land use and community interest. The income value for the trees not matched compare with the other crop plantation (Affandi and Harianja 2008). Moreover, the climate change involves this condition by affected the tree growth in the rehabilitation program. Most of the trees are burned by the fire and drought by the long-term dry season (Utomo, Dalimunthe, and Hutagalung, 2015).

This reason makes the understanding about species distribution of Styrax sumatrana, as one of the valuable trees and ecologically beneficial for rehabilitation and reforestation, and the threat in future condition need to consider. This information will be used to formulate the best management to protect the species and at the same time plan the future scenario that will suit regarding the rehabilitation and reforestation of the North Sumatra region.

B. Research Problem and MethodologyThe problem that faced by Indonesia as the country with huge biodiversity is the shifting of tree suitability that occurs as the result of climate change. This impact will be affected the important species like Styrax sumatrana that need to notice in the future. Considering the background, several questions that need to be answered:

1. What variable that contributed to the distribution of Styrax sumatrana inNorth Sumatra?

2. How the climate change impact the distribution of Styrax sumatrana in thefuture scenario?

In this research, we used 3 softwares to produce the appropriate data for analyzing procedures. They are ArcGIS version 10.3.1, QGIS version 2.18.21 with the plugin which is MOLUSCE (NextGIS 2018) and Maximum Entropy (MaxEnt) for Species Distribution Modeling version 3.4.1 (Phillips, Dudík, and Schapire, 2017). ArcGIS purpose to convert and adjust the data for the same extension and domain for MaxEnt modeling process. QGIS was installed by add MOLUSCE plugin to produce the prediction LULC map for future scenario analysis.

Page 191: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

180 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

C. Data Analysis and Results

1. Maximum Entropy ResultMaximum entropy provides the result of potential distribution for Styrax sumatrana in certain areas that sufficient by environment requirement. Styrax sumatrana is the species that rely on the dry soil which mean it cannot survive in the inundated area. The high porosity on soil is important for this species to survive (Jayusman, 2014). The result shows that mean temperature of the coldest quarter and precipitation of coldest quarter have a great contribution to the model. This means that the temperature and precipitation in the coldest quarter is the variable that creates the limitation for the species to survive. The MaxEnt result present that the high probability for Styrax sumatrana distribution located in the area with the temperature ranges around 12—20oC and precipitation between 390—400 mm/day in the coldest quarter.

The temperature increase in the future scenario shows the extinction for most of the current location in the North Sumatra region. The high temperature over the species sufficient threshold can lead to the extinction and drought for the species (Sohel et al., 2017). Most of the area that suitable in current condition was distributed on the altitude more than 600 m. However, the future scenario shows that most of the tree in lower altitude will be extinct and survive in the mountainous area.

The future scenario shows that the increase in temperature in 2050 and 2070. This condition shifting the suitable area for Styrax sumatrana from the area around LTCA to the northern of LTCA (showed in Figure 10). This area has the high altitude rather than other places. This shows that the temperature has a linear correlation with the increasing of elevation. This distribution area has a similar condition with the research that shows the pines tree in Southeast Asia will increase in highland and reduce in lowland area due to the increasing of mean annual temperature, seasonal temperature and annual precipitation (Zonneveld et al., 2009), the research by Rodrigues (2015) shows the reduction area for three species in Brazilian tropical dry forest and completely lost by 2080. In his research precipitation of wettest quarter and temperature seasonality have the high percent contribution for the suitability area probability.

The altitude of styrax distribution ranged from 600 to 2,000 m above sea level (Jayusman, 2014). This altitude provides the best condition for the Styrax sumatrana to distributed as the result form MaxEnt probability distribution prediction area. This result supported by the same research for Styrax sumatrana that being implemented in North Sumatra region using the GIS analysis that gives the high value for elevation as the important variable for Styrax sumatrana to

Page 192: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

181 CLIMATE CHANGE IMPACT ON SPECIES DISTRIBUTION OF STYRAX SUMATRANA IN

NORTH SUMATRA USING MAXIMUM ENTROPY MODELING APPROACH

distribute in the area (Sunandar 2012). This variable followed by the LULC of the area. The jackknife analysis interpreted that LULC is the important variable that will decrease the probability of distribution when its omitted from the model. Styrax sumatrana is the species that mostly spread around human settlement as Styrax garden (García-Fernández et al., 2003) besides in Forest and shrub area where the competition of nutrition is less (Jayusman, 2014). The changes of the LULC give the direct impact on the distribution of Styrax sumatrana due to the decreasing of the forest and crop area where the species occurrence is highest besides the garden and rice field and shrub area.

2. Impacts of land use changesThe management of Styrax sumatrana has been developed for a decade in the indigenous forest management systems (García-Fernández et al. 2003). This management represents the harmony of the economic, ecological and social objective in forest management. However, the changes of LULC create the disturbances in this management from the economic, ecologic and in the social aspect.

One of the indigenous forest management in North Sumatra is Benzoin garden or known as the Styrax sumatrana garden. This species is important for the forest community that depends on the benzoin from the Styrax sumatrana yield. The research shows that the total area of Styrax sumatrana has a positive correlation with the production of Styrax sumatrana benzoin (Purba, Budiani, and Mardhiansyah 2017). This condition shows that the reduction of area for the Styarx sumatrana to distributed will decrease the income for the forest community as also known as the benzoin farmers. In economic value, Styrax sumatrana benzoin gives the income for the benzoin farmers around 47.64% to 79.23% from the total income. This sample collected from 3 - 4ha area of benzoin garden which produces 98 - 554kg/ha benzoin per year(Jayusman, 2014; Purba et al., 2017).

For the ecological aspect, the reducing of suitable area correlated with the land use change of the forest and crop area. The research shows this area give the high percentage of the Styrax sumatrana to regrowth from the coppice system which is used to regenerate the trees without cutting the trees(García-Fernández et al. 2003). MaxEnt result shows the high probability of this species to distribute are in the crop, forest, open area and garden and rice field. Meanwhile, the scenario from MOLUSCE model shows the deforestation increase by the changes to plantation (5%) and open area (2%). Even the other suitable area such as garden and rice field and open area increase, the value is below the deforestation and conversion from crop to other land use. These land use changes give the impact to the future projection of Styrax sumatrana distribution that will decrease.

Page 193: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

182 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

In social aspect, the land use change mostly occurs as the intervention of plantation company that occupied the forest, crop and garden area from the benzoin farmer and other forest community (Ambarita and Sitorus, 2015). The benzoin or styrax garden is an important area that contributes to forest and green area protection. The yield from the Styrax sumatrana as the non-timber product is essential in rehabilitation and reforestation program. However, the changes in LULC and the impact of climate change in the future will be the challenge for the forest management authority. In one hand the rehabilitation with the valuable tree species (Styrax sumatrana) is beneficial, on the other hand, the suitable area will decrease in the future. When the authority changes the species, most of the farmers will be shifting from the benzoin farmer to other farmers such as coffee, vegetable, or migration to the urban area. Furthermore, the forest sustainability will decrease and change into the plantation, or residential area. While many farmers loss of a job and income.

The MaxEnt result shows the suitable area for Styrax sumatrana in the present time is 8.91% of the total area of North Sumatra which is 71,068.68 km2. However, the forest area in LULC classification will reduce. The scenario shows that in 2050 and 2070 this area will decrease by 2.9% and 3.01 % respectively. Moreover, the suitable area in the RCP scenario will decrease 3.87% in 2050 and 3.54% in 2070 by RCP 4.5 and 3.04% in 2050 and 1.36% in 2070 by 8.5 scenario.

Finally, the land use change will give the impact on economic, ecologic and social aspect for the benzoin farmers, Styrax sumatrana distribution and forest management system. The Styrax sumatrana distribution in the future will decrease as the impact of climate change that supported by the land use changes.

3. Limitations and future worksThis research uses the Maximum entropy model to assess the impact of climate change on the Styrax sumatrana distribution and the MOLUSCE program to predict potential changes of LULC for the years of 2050 and 2070. However, several limitations were raised during the research as follows:

a. The input data used in this research still have limitations. The numberof sample and diversity is low, which give the drawback to analysis thedata using MaxEnt model. The input data for LULC collected from thesecondary data which is needed to produce the more suitable prediction.

b. The number of station and climate data need to increase for betterevaluation and validation. The future climate data used in this research islimited to four models from CMIP5 and two scenarios such as RCP4.5 andRCP8.5.

Page 194: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

183 CLIMATE CHANGE IMPACT ON SPECIES DISTRIBUTION OF STYRAX SUMATRANA IN

NORTH SUMATRA USING MAXIMUM ENTROPY MODELING APPROACH

c. The resolution that was used is around 1km2 is rather rough for LULCanalysis. The detail of LULC area can be a merge between one classification with another classification. The higher resolution (around 30 meters) canbe used to produce more detail classification of LULC.

Those limitations above can be improved in the future works to give the better result from the Species Distribution Models for multi-species and extended the research area.

D. ConclusionsThe impact of climate change threatened the tree species distribution regarding their ability to survive in the suitable area.

1. Potential distribution of Styrax sumatrana mostly spread around

a. the area with a mean temperature of the coldest quarter between below23o C

b. near with human settlement such as garden, rice field, and crop, whilefew in forest area

c. altitude above 600 meters

2. Mean Temperature of Coldest Quarter is the main variable that determines the seasonal distribution for Styrax sumatrana with highest percent contributionby 28.5%.

3. The anthropogenic factor that represented by land use and land coverchanges is important to underline the reduces of the suitable area for Styraxsumatrana in the current and future prediction.

4. The climate changes impact on species distribution of Styrax sumatranashowed that the suitable areas will be degraded.

5. The species distribution in the future may distribute in shrub, garden, and ricefield areas meanwhile it will decline in the crop, forest, and plantation areas

Based on the above conclusions, we recommend that the authority to conserve the Styrax garden that was used for the farmer’s community for a decade. Moreover, Styrax sumatrana need to be protected by allocated the space for conservation area (mostly in the northern part and highland). Regarding the prediction of LULC changes in the 2050 and 2070, it is important for the authority to reduce the conversion land and deforestation. The reforestation using Styrax sumatrana as the potential trees need to anticipate due to the small probability for the suitable area in the future.

Page 195: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 196: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

14Pengendalian Pemanfaatan Ruang

dalam Pelestarian Kawasan Cagar

Budaya Laweyan Surakarta

Nama : Elok Ayu Fa’izati

Instansi : Dinas Pekerjaan Umum Dan Penataan

Ruang Pemkot Surakarta

Program Studi : Magister Perencanaan Wilayah dan

Kota

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 197: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

186 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Pengendalian menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Dengan kata lain pengendalian berfungsi menjaga agar pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak sesuai dengan arahan dalam rencana tata ruang, termasuk di dalamnya adalah menjaga ketertiban pemanfaatan ruang dalam kawasan cagar budaya. Laweyan sebagai kawasan bersejarah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. PM.03/PW.007/MKP/2010 tentang penetapan kawasan Laweyan sebagai kawasan cagar budaya, Surat Keputusan Walikota Surakarta No. 646/1-R/I/2013, dan masuk dalam salah satu dari 51 objek vital pariwisata berdasarkan SK Menteri Pariwisata RI No. KM.70/UM.001/MP/2016 sehingga keberadaannya baik itu secara fisik, spasial dan sosial budayanya harus dilestarikan. Melihat kecenderungan di lapangan, kawasan bersejarah Laweyan telah bertransformasi menjadi kawasan yang bercirikan perdagangan jasa. Statusnya sebagai kampung wisata, bangunan kuno berarsitektur indis sudah mengalami perubahan fasad karena direnovasi dan dibongkar oleh sang pemilik. Muncul bangunan-bangunan baru berlanggam modern. Kondisi seperti ini mengancam kelestarian kawasan cagar budaya yang jika terus dibiarkan dapat mengurangi ke khasan kawasan Laweyan. Studi ini menggunakan pendekatan Metode deskriptif kualitatif yang mencakup pendekatan teori bentuk dan fungsi dalam upaya pelestarian dan teori evaluasi kebijakan publik yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kemudian melahirkan variabel dan indikator. Dalam studi ini secara keseluruhan ditemukan bahwa bangunan kuno di JL. Sidoluhur lebih dari separuh telah mangalami renovasi, dimana tembok-tembok tinggi dan regol-regol besar khas laweyan mulai berubah menjadi showroom-showroom modern. Laweyan yang tengah tertekan oleh pembangunan dan modernisasi menyebabkan terjadinya perubahan fisik kawasan yang mengancam kelestarian Laweyan sebagai kawasan cagar budaya. Hal tersebut juga disebabkan oleh peraturan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang belum optimal dalam menjaga kelestarian nilai penting fisik dari kawasan cagar budaya Laweyan. Faktor-faktor yang menyebabkan kurang optimalnya pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam mengendalikan perubahan fisik yang terjadi adalah kurangnya komitmen dalam penganggaran, komitmen dalam melibatkan TACB secara optimal dan komitmen dalam penerapan aturan dan sanksi yang tegas.

• Kata Kunci: Kawasan Cagar Budaya, Laweyan, Pelestarian, Pengendalian,Surakarta

Page 198: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

187 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PELESTARIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA

LAWEYAN SURAKARTA

ABSTRACT

Controlling spatial utilization according to The Constitution Law Number 26 of 2007 concerning spatial planning is an effort to realize orderly spatial planning. In other words, control functions to ensure that the use of space by all parties is in accordance with the directions in the spatial plan, including maintaining order in spatial use in the cultural heritage area. Laweyan as a historical area that has been designated as a Cultural Heritage area in the Regulation of the Minister of Education and Culture No. PM.03/PW.007/ MKP/2010 concerning the determination of Laweyan area as a cultural heritage area, Surakarta Mayor Decree No. 646/1-R/I/2013, and included in one of 51 vital tourism objects based on Minister of Tourism Decree No. KM.70/UM.001/MP/2016 so that its existence, physically, spatially and socially, must be preserved. Seeing the tendency in the field, the historic area of Laweyan has transformed into an area characterized by service and trade. Its status as a tourism area, an ancient building with an indische architecture has undergone a change in facade because it was renovated and demolished by the owner. New buildings with modern designs appear. Conditions like this threaten the preservation of cultural heritage area which if allowed to continue can reduce the repertoire of the Laweyan area. This study uses a qualitative descriptive method approach that includes the approach to form and function theory in conservation efforts and public policy evaluation theory used to answer research questions which then give birth to variables and indicators. In this study as a whole, it was found that ancient buildings at JL. Sidoluhur more than half has undergone renovation, where high walls and large laweyan regols have begun to turn into modern showrooms. Laweyan, which is under pressure from development and modernization, has caused a physical change in the area that threatens Laweyan’s sustainability as a cultural heritage area. This is also caused by the regulation and control of the use of space that has not been optimal in maintaining the preservation of the physical importance of the Laweyan cultural heritage area. The factors that led to the less optimal control of space utilization carried out by the Surakarta City Government in controlling physical changes that occurred were a lack of commitment in budgeting, a commitment to involving TACB (cultural heritage expert team) optimally and a commitment in the application of strict rules and sanctions.

• Keywords: cultural heritage area, preservation, control of spatial utilization, Laweyan, Surakarta

Page 199: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

188 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangPengertian pengendalian pemanfaatan ruang menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang, dengan kata lain pengendalian pemanfaatan ruang berfungsi menjaga agar pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak sesuai dengan arahan dalam rencana tata ruang, termasuk di dalamnya adalah menjaga ketertiban pemanfaatan ruang dalam kawasan cagar budaya.

Pelindungan sebagai upaya pelestarian menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya adalah mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya. Kaitannya terhadap penataan ruang di kawasan cagar budaya, peraturan zonasi (zoning regulation) menjadi penting artinya terutama yang berkenaan dengan upaya pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan cagar budaya (Mulyadi, 2012), karena peraturan zonasi yang terdapat di dalam RDTR Kota Surakarta menjadi instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang sehingga bisa menjadi acuan dalam perizinan, penerapan insentif/disinsentif, pengawasan dan penertiban ruang.

Kampung Batik Laweyan sebagai kawasan bersejarah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya dalam Surat Keputusan Walikota Surakarta No. 646/1-R/I/2013 tentang penetapan bangunan-bangunan dan kawasan kuno bersejarah di Kota Surakarta, sehingga keberadaannya baik itu secara fisik, spasial dan sosial budayanya harus dilestarikan.

Pada tahun 1930—1970 merupakan masa kejayaan batik tulis dan cap Laweyan, namun mulai 1970an sampai 2000an batik mengalami kemerosotan dikarenakan serangan batik print dari China yang dapat memproduksi lebih banyak serta motif dan warna yang jauh lebih bervariasi, hal tersebut menyebabkan banyak saudagar batik Laweyan yang gulung tikar, hingga tersisa sekitar 9 pengusaha batik saja yang setia memproduksi batik tulis dan cap. Sampai pada akhirnya batik mulai bangkit dan bersinar lagi pada tahun 2006/2007 dimana pemerintah dan para saudagar batik sepakat untuk membangkitkan kembali Batik Laweyan sehingga lahirlah “Kampung Batik Laweyan” yang kemudian mendapatkan beberapa bantuan dari Pemerintah Kota Surakarta berupa penataan lingkungan kampung pada tahun 2008, dan bantuan dari Pemerintah Kota Surakarta berupa IPAL pengolahan limbah produksi batik, pada tahun 2004 didirikanlah FKPBL (Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan) berdasarkan penunjukan dan penugasan dari Bappeda Kota Surakarta Nomor: 050/I 250.

Page 200: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

189 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PELESTARIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA

LAWEYAN SURAKARTA

Keberadaan kawasan kampung batik Laweyan telah melalui sejarah yang cukup panjang, sehingga tidak heran jika arsitektur yang mendominasi di kawasan ini adalah berciri kan arsitektur Indis dengan tembok-tembok tinggi, bukaan-bukaan serta ornamen khas perpaduan kolonial dan jawa yang mampu menciptakan atmosfer kawasan yang unik dan khas, sehingga terus menarik pengunjung yang tidak sebatas wisatawan domestik namun juga wisatawan mancanegara. yang pada akhirnya kawasan bersejarah ini makin lama makin menampakkan ciri sebagai kawasan ekonomi/perdagangan sebagai respon atas tingginya peminat seni batik tulis dan cap khas Laweyan. Kawasan cagar budaya Kampung Batik Laweyan yang sudah ditetapkan di dalam SK Walikota sehingga perlakuannya haruslah sesuai sebagaimana kawasan cagar budaya yang diatur di dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, namun yang terjadi adalah kawasan cagar budaya kampung batik laweyan telah banyak mengalami perubahan wajah kawasan yang mengancam kelestarian cagar budaya di dalamnya. Menurut Priyatmono (2004) faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya perubahan morfologi di Laweyan adalah fungsi kawasan yang awalnya sebagai sentra industri batik berubah menjadi multifungsi, dan faktor pendukungnya adalah adanya pembagian warisan yang kemudian diikuti dengan perubahan bantuk dan ukuran kapling yang kemudian mendorong perubahan fisik lainnya.

Menurut Sunaryo dalam situs https://www.merdeka.com/peristiwa/ bangunan-cagar-budaya-di-kampoeng-batik-laweyan-solo-berubah-modern.html/ menyatakan bahwa kondisi bangunan kuno di Laweyan sudah banyak yang terlantar, sekitar 30% dari 100 bangunan kuno sudah mengalami perubahan bentuk menjadi toko, ruko dan resto yang bergaya modern. Hal senada juga dinyatakan oleh Budi dalam situs https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/3179567/banyak-bangunan-kuno-di-solo-jadi-agunan-bank-dan-dijual-eceran/ menyatakan bahwa kondisi kawasan bersejarah Laweyan berdasarkan keterangan dari salah satu anggota paguyuban di sana, sudah banyak bangunan kuno di Laweyan yang dirobohkan bahkan bagian-bagian bangunan yang dinilai antik sudah dijual eceran.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisMelihat kecenderungan di lapangan, kawasan Laweyan sedikit demi sedikit bertransformasi menjadi kawasan yang bercirikan perdagangan jasa, statusnya sebagai kampung wisata bangunan-bangunan kuno berarsitektur indis sudah mengalami perubahan fasade karena direnovasi dan dibongkar oleh sang pemilik. Kondisi seperti ini mengancam kelestarian kawasan cagar budaya, yang jika terus dibiarkan dapat mengurangi ke khasan kawasan Laweyan. Melihat kondisi

Page 201: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

190 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

permasalahan yang mengancam kelestarian kawasan cagar budaya, mendorong munculnya pertanyaan berikut:

1. Bagaimanakah kondisi bentuk dan fungsi bangunan di Laweyan, terutama di sepanjang Jln. Sidoluhur?

2. Bagaimanakah hasil pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya di kawasan cagar budaya Laweyan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta?

C. Pembahasan Hasil AnalisisPengendalian pemanfaatan ruang mengemban amanat sebagai upaya mewujudkan tertib tata ruang suatu kota tidak terkecuali di kawasan cagar budaya yang merupakan bagian dari kota. Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan kaidah pelestarian ke dalam peraturan dan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang karena peraturan dan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang mempengaruhi kondisi bentuk dan fungsi bangunan di kawasan cagar budaya.

Variabel-variabel yang digunakan dalam mengevaluasi pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang oleh pemerintah Kota Surakarta saling terkait dengan variabel yang digunakan untuk menggambarkan kondisi bentuk dan fungsi bangunan di Laweyan. Seperti yang digambarkan pada bagan berikut ini.

Sumber: Hasil Analisis, 2018

Gambar 1. Keterkaitan antara upaya-upaya (variabel) pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Surakarta dengan kondisi bentuk dan fungsi

bangunan di Laweyan

Perubahan fisik yang terjadi di Laweyan diakibatkan oleh tekanan dari pembangunan/pengembangan era modern di perkotaan yang menuntut adanya fungsi-fungsi tertentu terutama fungsi/kegiatan wisata. Transfomasi yang terjadi

Page 202: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

191 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PELESTARIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA

LAWEYAN SURAKARTA

menandakan bahwa Laweyan berada pada posisi yang rentan atau membahayakan bagi kelestarian Laweyan sebagai kawasan cagar budaya. Oleh karena itu, dibutuhkan peran pemerintah Kota Surakarta sebagai pengelola daerah untuk membuat regulasi khusus kawasan cagar budaya yang tidak disamakan dengan kawasan lainnya, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang bertujuan untuk mewujudkan tertib tata ruang dan kelestarian kawasan cagar budaya.

Berdasarkan pada pemabahasan sebelumnya menunjukkan komitmen pemerintah yang belum banyak berpihak pada pelestarian kawasan cagar budaya Laweyan. seperti yang terlihat pada Gambar 5.30 upaya melibatkan TACB yang belum nampak dalam penyusunan rencana/peraturan dan pelaksanaan pengendalian digambarkan dengan garis putus-putus berwarna merah. Peraturan-peraturan yang tidak mengatur arahan yang jelas dalam pemanfaatan ruang dan intensitas bangunan di Laweyan, menjadi acuan dalam pelaksanaan pengendalian berupa perizinan (IMB), insentif, sanksi serta pengawasan dan penertiban. Upaya untuk melibatkan TACB juga belum nampak dalam perizinan IMB dan pengawasan penertiban di Laweyan.

Perizinan (IMB), insentif, sanksi, serta pengawasan dan penertiban menjadi tidak berpihak pada pelestarian kawasan cagar budaya yang akhirnya mempengaruhi langsung terhadap kondisi bentuk dan fungsi bangunan di Laweyan. Sama halnya dengan upaya Pemerintah Kota Surakarta yang belum optimal dalam mengedukasi masyarakat, walaupun tidak berpengaruh langsung terhadap kondisi bentuk dan fungsi bangunan di Laweyan namun berpengaruh langsung terhadap kesadaran/mindset masyarakat Laweyan terhadap pentingnya pelestarian bangunan/kawasan cagar budaya yang merupakan tempat tinggal mereka. Jika masyarakat sudah peduli terhadap nilai penting dari kawasan cagar budaya maka mereka dengan sendirinya akan berusaha untuk menjaga kelestarian aset mereka yang berupa bangunan-bangunan kuno.

Berdasarkan hasil evaluasi pada pembahasan di dalam bab ini, membuktikan bahwa:

1. Upaya pemerintah Kota Surakarta yang belum optimal dalam melibatkan TimAhli Cagar Budaya ternyata turut mempengaruhi efektivitas pengendalianpemanfaatan ruang dalam mencapai kelestarian kawasan cagar budayaLaweyan. Kondisi tersebut mendukung pernyataan Baroldin dan Mohd Din(2012) yang menyatakan bahwa jika peran tim ahli tidak optimal maka akanmenyebabkan upaya pelestarian menjadi tidak efektif dalam melindunginilai penting bangunan/kawasan cagar budaya. Hal tersebut dikarenakanTACB sebagai institusi yang paling memahami prinsip arkeologi, strukturbangunan, kesejarahan, sosial dan budaya suatu kawasan cagar budayaseharusnya dilibatkan dalam pengendalian pemanfaatan ruang, karena di

Page 203: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

192 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

dalam Perda Kota Surakarta no. 10 tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah membentuk Tim Ahli untuk mewujudkan pelestarian cagar budaya di Daerah, dimana tugas dan wewenang TACB tidak hanya melakukan kajian terhadap benda/bangunan/kawasan cagar budaya, namun juga memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Walikota dalam pelestarian cagar budaya.

2. Upaya pemerintah Kota Surakarta yang kurang intensif dalam mengedukasi masyarakat juga menjadi salah satu penyebab tidak efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan pelestarian kawasan cagar budaya Laweyan. Hal tersebut mendukung pendapat Panjaitan bahwa kurangnya kesadaran masyarakat yang diakibatkan oleh kondisi sosial ekonomi yang rendah merupakan salah satu faktor yang menjadi kendala dalam upaya pelestarian bangunan cagar budaya (Antariksa, 2017). Sehingga salah satu yang menjadi peran pemerintah dalam upaya pelestarian adalah dengan memberikan bimbingan dan pengarahan serta edukasi tentang pentingnya pelestarian cagar budaya secara intensif dan efektif kepada masyarakat agar mereka memiliki kesadaran untuk mempertahankan, melindungi dan merawat bangunan cagar budaya (Akbar, 2014; Prasetyo, 2014).

3. Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang oleh pemerintah Kota Surakarta yang tidak efektif dalam mencapai tujuan pelestarian kawasan cagar budaya Laweyan, ditandai dengan tidak terjaganya nilai penting fisik kawasan cagar budaya Laweyan. Hal tersebut mendukung pendapat Ashworth (1997), Budiharjo (1997), Mulyadi (2012), Prasetyo (2014), Utami dan Wahyuningtyas (2015), Kleden dan Fanani (2015); dan Risdiasari (2018) bahwa peraturan dan pelaksanaan pengendalian ruang dapat memengaruhi atau menentukan bentuk dan fungsi bangunan di kawasan cagar budaya. Hasil penelitian menemukan 59% bangunan kuno di sepanjang Jl. Sidoluhur telah mengalami perubahan karena direnovasi oleh pemilik yang sebagian besar dijadikan showroom batik terutama setelah Laweyan ditetapkan sebagai destinasi wisata “Kampoeng Batik Laweyan’ pada tahun 2004, penelitian juga menemukan 60,24% kegiatan renovasi dan pembangunan dilakukan setelah tahun 2004. Kondisi tersebut bertentangan dengan kaidah pelestarian cagar budaya yang bertujuan untuk mempertahankan bukti bendawi yang terdiri dari unsur bentuk/desain, bahan, arsitektur/fasad bangunan (Mulyadi, 2012; Budiharjo, 1997; Antariksa, 2017; Saputra dan Purwantiasning, 2013; Utami dan Wahyuningtyas, 2015), tanpa bukti bendawi nilai-nilai penting hanya menjadi wacana atau dongeng belaka sehingga aspek fisik harus dipertahankan keaslian dan keutuhannya (Mulyadi, 2012).

4. Dalam upaya pelestarian cagar budaya, fungsi dapat berubah-ubah dan bervariasi namun bentuk (form) seminimal mungkin untuk berubah. Louis Henri Sullivan menyatakan bahwa “fungsi menciptakan dan mengorganisasi

Page 204: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

193 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PELESTARIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA

LAWEYAN SURAKARTA

bentuk dan bahwa bentuk haruslah mengekspresikan fungsi tersebut”, teori tersebut biasa dikenal dengan form follows function. Teori tersebut tidak dapat diterapkan di dalam konsep pelestarian cagar budaya, karena dalam pelestarian/konservasi form (bentuk) sebagai aspek fisik yang dilindungi tidak selamanya harus menyesuaikan dengan fungsinya, justru diharapkan fungsi lah yang harus bisa bervariasi untuk menghidupkan kawasan cagar budaya tanpa menimbulkan kerusakan fisik (bentuk) bangunan.

D. KesimpulanDari hasil analisa dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Laweyan yang tengah tertekan oleh maraknya modernisasi dan pembangunan membuat kondisi fisik kawasan cagar budaya Laweyan semakin terancam kelestariannya. Peraturan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surakarta yang ternyata belum cukup untuk mengendalikan perubahan fisik yang terjadi di Laweyan. Hal tersebut ditandai dengan kurangnya komitmen pada penganggaran, komitmen untuk melibatkan TACB secara optimal dan komitmen dalam penerapan aturan dan sanksi yang tegas, sehingga membuatnya tidak efektif dalam mencapai tujuan (outcome) pelestarian kawasan cagar budaya Laweyan.

E. RekomendasiKawasan cagar budaya merupakan salah satu dari kawasan lindung yang diamanatkan di dalam rencana pola ruang Perda No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Surakarta, sehingga seharusnya mendapatkan perlakuan yang khusus dalam pengendalian pemanfaatan ruangnya yang tidak bisa disamaratakan dengan kawasan yang lainnya, karena sebagai kawasan cagar budaya tentunya pelaksanaan pengendalian harus mengacu pada kaidah-kaidah konservasi/pelestarian sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Berikut saran/masukan yang penulis ajukan :

1. Penyusunan Perda peraturan zonasi yang mendelineasi sebaran cagar budayasesuai dengan hasil inventaris dari BPCB, serta memberikan arahan yang jelaspemanfaatan ruang di zona cagar budaya.

2. Perda No. 8/2016 tentang bangunan gedung sebaiknya memberikan arahanintensitas bangunan secara spesifik di kawasan cagar budaya.

3. Mengutamakan terwujudnya tertib tata ruang dan pelestarian kawasan cagarbudaya dibandingkan target reribusi/PAD. Perijinan terkait tata ruang (IPR,IMB, izin siteplan) jangan dibebani oleh target retribusi/PAD.

Page 205: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

194 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

4. Melibatkan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dalam rapat-rapat pertimbangan perizinan IMB di setiap rencana investasi di kawasan cagar budaya.

5. Lebih berkomitmen dalam penganggaran pelestarian cagar budaya melalui pemberian insentif

6. Menetapkan sanksi yang tegas ketika terjadi pelanggaran di kawasan cagar budaya

7. Menempatkan/merekrut SDM yang paham nilai penting KCB (Arkeolog, sejarah, arsitektur pelestarian) di Dinas Kebudayaan

8. Lebih berkomitmen dalam penganggaran honor tim pengawasan dan penertiban

9. Mengoptimalkan sosialisasi/edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian kawasan cagar budaya melalui forum, media cetak, elektronik, dan internet.

10. Mengoptimalkan peran TACB dalam penyusunan perencanaan/peraturan dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan cagar budaya.

Page 206: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

195 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PELESTARIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA

LAWEYAN SURAKARTA

Page 207: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 208: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

15Non-Motorized Transportation (NMT) Policy Development in Transit Oriented Development (TOD) Area: Case Study of

Blok M, Jakarta

Nama : Tomi Hendratno

Instansi : Puslitbang Kebijakan dan Penerapan

Teknologi Kementerian PUPR

Program Studi : Magister Perencanaan Wilayah dan

Kota

Negara Studi : Indonesia - Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada - National

Graduate Institute

Page 209: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

198 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Dalam beberapa tahun terakhir, arah pengembangan transportasi, terutama di Asia, telah lebih terfokus pada transportasi bermotor daripada transportasi tak bermotor (NMT). Kota-kota besar di Indonesia menghadapi masalah yang timbul dari banyaknya penggunaan kendaraan bermotor. Konsep pengembangan berbasis transit (TOD) mengintegrasikan tata guna lahan (kepadatan tinggi, campuran) dengan perencanaan transportasi (transportasi publik) untuk mengurangi dampak negatif kendaraan bermotor, dengan mendorong mobilitas pengguna melalui berjalan atau bersepeda. Namun, pengembangan NMT kurang mendapatkan perhatian, terutama di area TOD. Penelitian ini berusaha untuk mencari kendala dalam pengembangan kebijakan NMT dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengguna untuk menggunakan NMT di area TOD dengan studi kasus area Blok M.

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, yang dilakukan melalui observasi lapangan, wawancara semi-terstruktur, dan survei kuesioner. Tiga aspek dianalisis untuk menjelaskan masalah, yaitu: 1) perilaku perjalanan, 2) lingkungan binaan (fasilitas), dan 3) aspek hukum dan kelembagaan.

Analisis menunjukkan bahwa preferensi transportasi bermotor, kepemilikan kendaraan pribadi, kondisi lingkungan terbangun, dan kurangnya koordinasi antar lembaga menjadi penghambat dalam pengembangan kebijakan NMT. Meskipun demikian, keinginan pengguna untuk berjalan dan bersepeda menunjukkan hasil positif setelah fasilitas diperbaiki. Perbaikan tersebut meliputi desain jalan, aksesibilitas penyandang cacat, dan pencahayaan jalan untuk berjalan.

Untuk bersepeda, perbaikan fasilitas meliputi pengaturan lalu lintas, konektivitas jalur-sepeda, jalur sepeda bebas rintangan, aksesibilitas ke transportasi umum, dan tempat parkir sepeda. Berdasarkan temuan tersebut, penelitian ini dapat digunakan pada tahapan perumusan kebijakan dalam pengembangan kebijakan terkait NMT.

• Kata Kunci: transportasi tidak bermotor, berjalan kaki, bersepeda,pengembangan kebijakan, area transit, Jakarta

Page 210: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

199 NON-MOTORIZED TRANSPORTATION (NMT) POLICY DEVELOPMENT IN TRANSIT ORIENTED

DEVELOPMENT (TOD) AREA: CASE STUDY OF BLOK M, JAKARTA

ABSTRACT

In recent years, the direction of transportation development, especially in Asia, has been more focused on motorized transportation than on non-motorized transportation (NMT). Major cities in Indonesia are facing problems arising from the extensive use of motor vehicles. The concept of Transit Oriented Development (TOD) is integrating land use (high-density, mixed use) along with transportation planning (public transportation) to reduce the negative impact of motorized transportation. It supports high mobility of users on foot or by bicycle. Yet, the development of NMT does not receive the level of attention it requires, especially in TOD areas. This paper investigates the constraints of NMT policy development and the factors that influence people to use NMT in TOD areas with a case study of Blok M area.

This research predominantly employs qualitative methods, conducted through field observation, semi-structured interviews, and questionnaire surveys. Three aspects were analyzed to explain the problems, namely: 1) travel behavior, 2) built environment (facilities), and 3) legal/institutional settings.

The analysis shows that the preference of motorized transportation, private vehicle ownership, built environment condition, and lack of coordination between institutions become a deterrent for people to use NMT. However, the likelihood of walking and cycling showed positive results after the improvement of facilities. The improvements include walkway design, universal accessibility, and walkway lighting for walking. For cycling, improvements include traffic calming, bike-lane connectivity, obstacle-free bike lane, accessibility to public transportation, and bike parking space. Based on these findings, this research can be utilized in policy formulating step on the development of NMT policy.

• Keywords: non-motorized transportation, walking, cycling, policydevelopment, transit area, Jakarta

Page 211: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

200 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundIt is widely understood that any development project undertaken in major cities today must meet the criteria of sustainability. Sustainable development simply means an effort to meet one’s current needs without compromising the needs of future generations. In addition, it is also important to reach all parties without exception and in various aspects especially social, economic, and environmental (Brundtland, 1987). One important factor in our effort for sustainable development is developing a sustainable urban transport system. The Energy and Resources Institute/TERI (1999), as cited in Kumar (2014), defined sustainable urban transportation as “a transportation system in which every person or user of transportation in a city is able to fulfill their mobility needs in a quick, affordable, safe, reliable, comfortable, energy-efficient, and environmentally benign manner” (p. 8). It can be interpreted as an attempt to reduce the consumption of the fossil fuels that are used in private vehicles. There are three important pillars to reduce the use of private vehicles: land use, public transportation, and non-motorized transportation (Li and Zhao, 2017; Pongprasert and Kubota, 2017; Thomas and Bertolini, 2015). Land use planning, when implemented through mixed use and high-density development in transit area, will affect travel distance. This land use planning then actualized through the concept of Transit Oriented Developmen (TOD). Transit Oriented Development (here after, TOD) can be described as the development of transit area into mixed use, high density supported by sufficient public transportation (Papa and Bertolini, 2015). Furthermore, a mixed-use and high density area as a commercial, government administration, housing, and public facilities area will facilitate the mobility of citizens, thus distance to be traveled and the use of private vehicles can be reduced. The development of public transport and Non-Motorized Transportation (here after, NMT) will enhance urban mobility, especially in TOD area. This explains why urban planning must be integrated with transportation planning and non-motorized transportation to achieve sustainable development. In the few past years—especially in developing countries— government policies have been promoting high-speed motorized forms of transportation, and this has resulted in people continuing to use motor vehicles even when traveling short distances (Leather et al., 2011; Rahul and Verma, 2014; Tiwari et al., 2016).

In recent years, the relationship between Non-Motorized Transportation and sustainable urban transportation has gained importance as a research issue. NMT is a mode of transportation that utilizes human power (such as walking and cycling). It is the healthiest and most environmental-friendly means of transportation (Kumar, 2014). Some studies that focused on the relationship between NMT and public transportation have concluded that NMT has an important role as a means of access (feeder) for public transportation (Takiguchi & Mizuno, 2013). Yet

Page 212: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

201 NON-MOTORIZED TRANSPORTATION (NMT) POLICY DEVELOPMENT IN TRANSIT ORIENTED

DEVELOPMENT (TOD) AREA: CASE STUDY OF BLOK M, JAKARTA

another study by The Global Designing Cities Initiative [GDCI] and The National Association of City Transportation Official [NACTO] (2016) found that the improvement in NMT facilities will increase transit ridership in transit area. There are a number of research studies on NMT in developing countries, but little is known about NMT (walking and cycling) development related to Transit Oriented Development, especially in Indonesia.

B. Research Problem and MethodologyCurrently in Indonesia, regulation related to TOD have been composed in national level through Ministerial regulation of Agrarian Affairs and Spatial Planning No 16 Year 2017. While in provincial level, only Governor’s Regulation of Jakarta Province No. 44 Year 2017 regulates the development of TOD. Transit Oriented Development concept has been adopted by some city administrators in Indonesia in their urban and regional planning documents (RTRW) for example Jakarta and Bandung (Widyahari and Indradjati, 2015). All those regulations related to TOD have mandated the provision of NMT facilities (not only for pedestrian but also cyclist) in TOD area.

Jakarta’s provincial government has integrated transportation and urban planning to realize sustainable development in the city. The development of public transportation (Bus Rapid Transit (BRT), Mass Rapid Transit (MRT), Busway feeder, etc.) in Jakarta, along with the implementation of Transport Demand Management (restrictions on private car use based on license plate, three in one system, etc.) are the embodiments of sustainable transportation planning. The development of the MRT station as a transit area of intermodal transportation (e.g. BRT, conventional bus, MRT, LRT, etc.) is an integrated part of urban and transportation planning. The transit area has the characteristics of mixed use a nd high-density development. Currently, some areas have been stipulated for Transit Oriented Development in the Jakarta Province Spatial and Regional Planning 2030. Moreover, the regulations also mandate the provision of NMT (e.g. walking and cycling) facilities within the TOD area. Nevertheless the implementation is still far from what had been planned, as showed by a recent study conducted by Hasibuan et al. (2014), which stated, “The area of transit stations in Jakarta has the characteristics of moderate mixed-land use, and also has not been pedestrian- friendly” (p. 628). This study raises three research questions:

1. What are the constraints on the NMT policy development in Blok M Area?

2. How are the likelihood of transit area users to use NMT in Blok M area?

3. What are the factors that influence people to use NMT in Blok M area?

Page 213: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

202 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

This research predominantly employs qualitative methods, utilizing field observation, semi-structured interview, and survey questionnaires to obtain primary data. The three methods were chosen to address the research questions and triangulate information which has been gathered.

The data collection of this research was conducted in three steps. For the first step, field observation was conducted to detect the weak areas in the existing condition of pedestrian and cyclist facilities in Blok M area. In addition, documents/reports, regulations, maps, and semi-structured interviews were used to find out more about the NMT policy in South Jakarta Administrative City, specifically Blok M area.

C. Data Analysis and Results

1. Theoretical DiscussionFrom the research findings, it can be seen that there are potential as well as obstacles in the development of NMT in Blok M Area. From the travel behavior analysis, it informed us the modal share and vehicle ownership of the Blok M area. It can be assumed that users preferred to use motorized transportation despite short distance to access TOD area, some of the reasons were the ownership to motorized transportation and the ease of access to online based transportation. The number of NMT use are usually linear with the use of public transportation. Moreover, low level of NMT and public transportation user indicates low quality of NMT infrastructures (Tiwari et al., 2016). Therefore, to increase the number of NMT and transit ridership -especially in transit-oriented development- improvement of NMT (walking and cycling) facilities are needed. This supported by (Muhtadi et al., 2017) which stated that, “If the infrastructure for walking and cycling is improved, it will increase the use of public transportation”. Major cities in Indonesia —for example Jakarta— are having problem from the increasing number of private vehicle ownership. Furthermore, research in some developing countries claim that private vehicle ownership reduces the likelihood of people to use public transportation unless the infrastructure of the NMT is improved (Rahul and Verma, 2014, 2013).

Research conducted by Cervero and Duncan (2003) conclude that built environment factors have little impact on NMT policy. This was supported in later research in Bogota by Cervero et al. (2009) which suggested that the use of NMT were more affected by configuration, connectivity, and density of streets. On the contrary, different findings were discovered by Pratt (2012) as cited from Khan et al. (2014), which argued that built environment (facilities) and policies are the most important factors determining the use of NMT. Furthermore, study by Ewing

Page 214: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

203 NON-MOTORIZED TRANSPORTATION (NMT) POLICY DEVELOPMENT IN TRANSIT ORIENTED

DEVELOPMENT (TOD) AREA: CASE STUDY OF BLOK M, JAKARTA

and Cervero (2010) using meta-analysis found that built environment (land use, intersection density, and number of destination) has strong relation with travel behavior. Similar results also coined by Khan et al. (2014) explained that street structure alongside accessibility affected the decision to use NMT. Based on the above discourse, this research took stance on a later theory. From the analysis, it was proved that the condition of built environment affected the likelihood of the user to use NMT.

From the previous sub chapter, it can be seen that legal frameworks constitute the development of Transit Oriented Development in national level as well as provincial level (at the moment Jakarta Province). In addition, regulations related to provision of pedestrian and cyclist facilities are already compiled. Nevertheless, those regulations are not integrated, instead at the level of implications are still lacking.

Not only from legal frameworks Leather et al. (2011) conclude that lack of responsibility and coordination becomes a factor that hinder the improving of walkability and cyclability. Moreover, the study proposed dedicated institution responsible to the improvement of NMT facilities. This theory was in line with the analysis from the semi-structured interview of this research.

2. Policy Development of NMT in Blok M areaThe development of public policy can be described as a process which started from Problem identification, Agenda settings, Policy formulation, Policy legitimation, Policy implementation, and Policy evaluation. This research is trying to give an explanation of steps taken to arrange policy formulation. Later process: policy legitimation and policy implementation were not included in the scope of this research. Problem identification was carried out and conclude that there is gap between the planning and implementation of TOD in a term of mobility and transit ridership. The next step after identifying problem is setting policy agenda, which focused on three aspects that need to be addressed: travel behavior, built environment, and legal/institutional settings. Model which is chosen in the policy formulation process determined based on the complexity of issue or problem and the availability of resources. Therefore, based on 14 policy formulation model proposed by (Nugroho, 2014), Rationality model was chosen. Rationality model (rational – comprehensive) have the characteristics of facilitating public preference and implementing organization then choosing the efficient and effective option. Therefore, policy that can be formulated for the development of NMT in Blok M area and other transit area were based on the findings of built environment and user preference factors. Moreover, the policy suggestion can be grouped into two major strategy, non-physical intervention and physical intervention.

Page 215: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

204 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

a. Non-Physical Intervention

Non-physical intervention can be done among others: at the provincial leveland in the integration and role sharing mechanism between institutions. Itis important to strengthen the coordination among institutions with specialregulations for allotment of pedestrian and cyclist facilities in TOD area (in aform of Governor Decree) that contain technical details as a guideline for theauthorized institutions to implement NMT. More importantly, the regulationcan be applied and integrated with the development of other TOD areas asa whole. Moreover, raising awareness about the importance of NMT amongusers through public campaign by local government is also crucial (Pettingaet al., 2009). Furthermore, it is aforementioned in the discussion that one ofthe obstacles of developing NMT was the presence of informal sectors/streetvendors. Therefore, conflict resolution was needed to accommodate thesestreet vendors, for instance relocate and facilitate it to nearby green/openspace.

b. Physical Intervention

Several strategies can be proposed under physical interventions based on thefindings of built environment requirements and user needs. User needs canbe described as factors which have strong correlation with the likelihood towalking and cycling in Blok M area. The improvements of walking facilitiesthat the users want to see are the design of pedestrian paths (wide, level,and clean), accessibility for people with disabilities, and the impressionof safety. With regard to the improvements in cycling facilities, usersconsider the availability of bike parking traffic calming measures, bike-laneconnected to activity centers, bike lane free from obstacles, and accessiblepublic transportation as important. Furthermore, the improvements needto be prioritized on certain road segments and based on zoning. Core area(radius 0–350 m), which is effective for walking, is preferred for pedestrianfacilities improvement, while outer area (radius 350–700 m) can be optimizedfor cyclist facilities. This is supported by a study by Lee et al. (2016), whichstated that the use of bicycle to access public transportation can increase thecoverage of transit area (see. Figure 5.20).

Another intervention that may be proposed to support NMT policy in Blok Mis by initiating the “bike-sharing system”. Bike sharing system began to growrapidly in many Asian countries, especially in East Asia countries (Singapore,Taiwan, South Korea, Japan, and China). However, based on research by(Mateo- Babiano, 2015) stated that some cities in South-East Asia (Philippine,Bangkok, and Bandung) have implemented the scheme. Previous researchalso showed that bike sharing system was used in Rio de Janeiro, Mexico

Page 216: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

205 NON-MOTORIZED TRANSPORTATION (NMT) POLICY DEVELOPMENT IN TRANSIT ORIENTED

DEVELOPMENT (TOD) AREA: CASE STUDY OF BLOK M, JAKARTA

City, Guangzhou, Taipei, Teheran, etc. to access BRT (Muhtadi et al., 2017). Moreover, Asian Development Bank has planned to implement pilot project in three South-East Asia cities, one of them is Jakarta. Currently bike sharing system was being implemented in Monas, Jakarta (Kompas Media, 2018). Based on above reasons, this paper would like to suggest the implementation of bike-sharing system in Blok M area. The operating area of the system is restricted from 350 m to 700 m from the core of transit area (see. Figure 5.20), as the bike-sharing system is considered effective within range 300 m between bike stations (NACTO, 2013).

D. ConclusionsPublic transportation, NMT, and urban planning are an integral part of the realization of sustainable urban development. The role of NMT and public transportation is crucial to support urban mobility in transit-oriented development areas. NMT policy is needed to improve mobility and transit ridership of transit- oriented development area.

The development of NMT in TOD area is still low because of several constraints. The constraint that hampers NMT policy development with regard to travel behavior is the high dependency of people on motorized transportation reduce transit ridership within TOD area. From the field observation, it can be concluded that pedestrian and cyclist facilities are still lacking in various aspects. The constraint from legal and institutional aspects is a lack of coordination between institutions and role sharing mechanism.

The effectiveness of NMT development not only depends on built environment but also preferences from the users. From the survey questionnaire it can be concluded that there is high likelihood of TOD users to use NMT (walking or cycling), if the quality of NMT facilities is improved.

Lastly, to ensure the sustainability of NMT policy, the likelihood of TOD users to use NMT must be increased by improving walking and cycling facilities. The improvements should facilitate walkability and cyclability index as technical requirements which meet user preferences. The improvements of these facilities may positively impact the likelihood of users to use NMT. The improvements in walking facilities that users want to see are in terms of walkway design (wider, level, clean pedestrian paths), universal accessibility, and walkway lighting. For cycling facilities, users want improvements in traffic calming, bike-lane connectivity, obstacle-free bike-lanes, accessibility to public transportation, traffic volume, and bike parking. The improvements of these facilities will positively impact the likelihood of TOD users to use NMT. Moreover, it is hoped that TOD concept in

Page 217: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

206 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Indonesia will be more effective in reducing the use of motorized transportation by utilizing NMT policy.

The development of NMT policy process is started by identifying NMT development in TOD as policy problems. The next step is determining transit ridership, improve NMT facilities, provide regulation, and role sharing mechanism as agenda setting. Finally, the result and finding of this research then used to formulate policy suggestion into physical and non-physical intervention, which afterwards will be legitimate into regulation and implemented as public policy.

E. RecommendationsThis research has observed the potential and constraint to develop NMT policy in terms of travel behavior, built environment, and legal/institutional settings. Policy formulation can be derived from those findings which grouped into non-physical and physical intervention. Non-physical intervention can be translated into providing regulation to ensure the provision of walking and cycling facilities within TOD area, as well as organize role sharing mechanism between institutions. Furthermore, conflict resolution through dialogue is needed to manage informal sectors/street vendors to ascertain walking and cycling path is free from obstacle. Lastly, public campaign is also needed to encourage and raise awareness of urban citizen to use NMT. Physical intervention can be explained through improvement of walking and cycling facilities, especially in road segments which have low level of walkability and cyclability. The improvement of the facilities is prioritized to walkability/cyclability variables which considered important to TOD users. This variable was considered as being important factors determining the likelihood of TOD users to use NMT (walking or cycling). In addition, improvement of the NMT facilities can be prioritized into two area, “inner core” (0 – 350 m) which more focused on walking facilities, and “outer core” (350–700 m) which focused on cycling facilities. To support cycling in TOD area, the author also proposed the implementation of “bike-sharing system” focused to expand TOD service area, and operates between range 350 to 700 m from the core of TOD.

Those policy formulations then need to be institutionalized into regulation before it can be implemented and take effect. Moreover it needs to be evaluate as input for future improvement.

Page 218: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

207 NON-MOTORIZED TRANSPORTATION (NMT) POLICY DEVELOPMENT IN TRANSIT ORIENTED

DEVELOPMENT (TOD) AREA: CASE STUDY OF BLOK M, JAKARTA

Page 219: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 220: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

16Implikasi Penerapan Trans Jateng Terhadap

Biaya Transportasi Bekerja Buruh

Industri (Studi Kasus: Koridor I Kedung

Sepur)

Nama : Basyier Gemaning Insan

Instansi : Badan Perencanaan Pembangunan,

Penelitian, dan Pengembangan

Daerah Pemprov Jawa Tengah

Program Studi : Magister Perencanaan Wilayah dan

Kota

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro Semarang

Page 221: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

210 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Kebutuhan transportasi untuk bekerja mendominasi biaya transportasi buruh industri setiap bulannya. Perjalanan bekerja dilakukan 5—6 hari dalam seminggu oleh buruh industri dan menjadi menjadi pola perjalanan utama setiap harinya. Berdasarkan survey terdahulu menyebutkan bahwa biaya transportasi buruh industri sebesar 23% dari pengeluaran rumah tangga setiap bulannya. Disisi lain, perhitungan biaya transportasi buruh industri pada Upah Minimum Regional (UMR) hanya berkisar pada 10-15%. Defisit tersebut menyebabkan buruh industri mengurangi pemenuhan kebutuhan lainnya untuk memenuhi kebutuhan transportasi.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Provinsi Jawa Tengah berinisiatif mengoperasikan Trans Jateng Koridor I Kedungsepur sebagai salah satu upaya untuk mengakomodir kebutuhan transportasi yang terjangkau bagi buruh industri. Pemerintah menerapkan tarif Rp1.000,00 pada awal pengoperasian (2017) dan menjadi Rp2.000,00 pada tahun 2019 untuk satu kali perjalanan bagi buruh industri. Pemerintah memberikan subsidi kurang lebih sebesar Rp15 Milyar setiap tahun pada pengoperasian Trans Jateng Koridor I Kedungsepur. Namun demikian sejauhmana pemberian subsidi tersebut tepat sasaran serta mampu mengurangi biaya transportasi buruh industri sehingga kesejahteraan mereka dapat meningkat.

Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan Trans Jateng terhadap pengurangan biaya transportasi bekerja buruh industri melalui sampel responden buruh industri pengguna Trans Jateng setiap harinya. Studi ini akan menganalisis perubahan biaya transportasi bekerja buruh industri sebelum dan sesudah menggunakan Trans Jateng melalui pendekatan biaya langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung adalah biaya riil yang dikeluarkan buruh industri untuk kebutuhan transportasi sedangkan biaya tidak langsung adalah manfaat yang diterima buruh industri seperti pengurangan resiko kelelahan dan kecelakaan.

Berdasarkan hasil analisis maka penerapan Trans Jateng mampu menurunkan biaya langsung transportasi bekerja buruh industri dari 14,10—16,92% menjadi 6,58—7,89% jika dibandingkan dengan rata-rata pendapatan setiap bulannya. Selain itu, jika memperhitungkan biaya langsung dan tidak langsung maka biaya transportasi turun menjadi 2,82—4,13% setiap bulannya. Nilai tersebut jauh berada di bawah komponen transportasi pada UMR. Penurunan biaya transportasi tersebut berdampak pada peluang pemenuhan kebutuhan rumah tangga buruh industri lainnya serta peningkatan kesejahteraan buruh industri.

• Kata Kunci: Trans Jateng, buruh industri, biaya transportasi, subsidi,kesejahteraan

Page 222: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

211 IMPLIKASI PENERAPAN TRANS JATENG TERHADAP BIAYA TRANSPORTASI BEKERJA BURUH

INDUSTRI (STUDI KASUS: KORIDOR I KEDUNGSEPUR)

ABSTRACT

Cost of transportation for work dominate industrial worker’s transportation cost every month. Work trip is 5—6 days in a week by industrial workers and becomes a major trip. Based on the previous survey, industrial worker’s transportation cost is around 23% by their income every month. Instead of that due to transportation cost in wages minimum calculation (UMR), transportation cost is only around 10—15%. There is a deficit in industrial worker’s transportation cost every month. That condition can affect industrial worker’s welfare and regional economic welfare.

The Government of Central Java Province has an initiative to implementation Trans Jateng Corridor I Kedungsepur to accommodate industrial worker’s transportation need. The Government has been providing alternative and affordable transportation for industrial workers by set the tariff Rp1,000 in 2017 and then increase to Rp2,000 in 2019. The Government has subsidies this corridor around Rp15 Billion every year. According to that condition, this study wants to know how the subsidies can reduce industrial worker’s transportation cost and affect their welfare.

This study aims to evaluate the implementation of Trans Jateng to reduce industrial worker’s transportation cost. Samples of this study are industrial workers who used Trans Jateng for work trip every day. The study analyzes the industrial worker’s transportation cost before and after using Trans Jateng. Transportation cost in this study is direct cost dan benefit cost. Direct cost is a real cost that industrial workers pay for transportation services and benefit-cost is fatigue and accident cost.

The study concludes that implementation of Trans Jateng can reduce industrial worker’s transportation cost from 14,10—16,92% to 6,58—7,89% by monthly income. Furthermore, the industrial worker’s transportation cost can reduce until 2,82—4,13% by considering direct cost and benefit-cost. That value is under the transportation component in Minimum Regional Wage (UMR). Transport cost reduces affect industrial worker’s daily need fulfilled and welfare condition.

• Keywords: Trans Jateng, industrial workers, transportation cost, subsidies,wellfare

Page 223: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

212 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangSetiap tahun penetapan upah minimum regional (UMR) oleh pemerintah selalu diwarnai polemik serta tarik ulur kepentingan antara buruh industri dengan pengusaha, hal tersebut terjadi di seluruh Indonesia tanpa terkecuali di Semarang. Para pengusaha berusaha untuk menekan biaya produksi agar dapat terus bersaing, sedangkan di sisi lain kaum buruh mengharapkan kenaikan upah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat (Tjiptoherijanto, 2003). Lewis (2003) dalam Mariyanti (2010) menjelaskan bahwa, para pengusaha akan memaksimalkan serta menginvestasikan lagi keuntungan agar dapat bertahan serta terus berkembang sehingga upah buruh harus sesuai dengan nilai produk marjinal, selain itu upah buruh tidak akan mengalami kenaikan selama penawaran tenaga kerja masih lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan. Kondisi tersebut ibarat dua sisi mata pisau dimana satu sisi kesejahteraan buruh diperjuangkan sedangkan di sisi lainnya pertumbuhan serta keberlangsungan industri dibutuhkan.

Pada dasarnya, perusahaan memberikan upah kepada buruh industri mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dimana terdapat 60 komponen salah satunya adalah transportasi. Komponen transportasi rata-rata sebesar 10%—15% termasuk di dalamnya komponen non fisik lainnya seperti rekreasi, pendidikan/bacaan dan obat-obatan. Namun pada kenyataannya, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Rumah Diah Pitaloka pada tahun 2015 di 7 kota besar di Indonesia salah satunya Kota Semarang menyebutkan bahwa, biaya transportasi buruh industri masih menjadi salah satu pengeluaran terbesar yaitu sebesar 23% dari anggaran rumah tangga. Tingginya biaya transportasi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah fenomena urban sprawl yang mengakibatkan meningkatnya jarak dan waktu perjalanan, terbatasnya pelayanan transportasi umum serta ketergantungan terhadap kendaraan pribadi (Litman, 1995; The World Bank, 2002). Selain itu, penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh Pemerintah semakin memperparah kondisi tersebut sehingga dapat menghambat aktivitas sehari-hari para buruh industri.

Kebutuhan transportasi utamanya untuk pergi bekerja telah menjadi kebutuhan pokok bagi buruh industri karena aktivitas tersebut dilakukan secara rutin dan hampir setiap hari. Kebutuhan tersebut apabila tidak dapat terpenuhi atau tidak terjangkau dapat menjadi masalah dan mempengaruhi kondisi kesejahteraan buruh industri (Willoughby, 2002; Churchill & Smyth, 2019). Pemerintah perlu melakukan terobosan untuk mengatasi masalah tersebut melalui kebijakan transportasi yang berkeadilan dalam rangka penyediaan layanan transportasi

Page 224: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

213 IMPLIKASI PENERAPAN TRANS JATENG TERHADAP BIAYA TRANSPORTASI BEKERJA BURUH

INDUSTRI (STUDI KASUS: KORIDOR I KEDUNGSEPUR)

yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat (Jin, Schmöcker, & Maadi, 2019; Guzman & Oviedo, 2018). Setiap golongan masyarakat diharapkan dapat mengakses transportasi tanpa terkecuali, sehingga Pemerintah perlu memberikan subsidi untuk mencapai keseimbangan ekonomi dan keberlanjutan sosial masyarakat golongan tertentu seperti buruh industri (Guzman & Oviedo,2018). Selain itu, pendekatan perencanaan transportasi saat ini tidak hanya fokus untuk memenuhi kebutuhan perjalanan saja namun lebih ditekankan pada manajemen biaya sosial lainnya seperti kenyamanan, keselamatan dan kesehatan (Boarnet & Randall, 2001). Berbagai upaya tersebut dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin akses transportasi kaum buruh sehingga mereka dapat beraktivitas menuju tempat bekerja dalam rangka untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.

Biaya transportasi menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan moda bagi rumah tangga utamanya masyarakat berpenghasilan rendah seperti buruh industri (Train & McFadden, 1978). Mereka rela menempuh jarak lebih jauh ataupun lebih lama asalkan biaya transportasi lebih murah. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berinisiatif mengoperasikan Trans Jateng sebagai salah satu upaya untuk mengurangi biaya serta memberikan alternatif moda transportasi kepada kaum buruh untuk pergi bekerja. Pada awal pengoperasian tahun 2017, pemerintah menetapkan tarif sebesar Rp1.000,00 bagi buruh yang kemudian naik menjadi Rp2.000,00 per 1 April 2019. Dalam rangka mencapai nilai keekonomian, pemerintah memberikan subsidi rata-rata sebesar Rp15 milyar pertahun untuk pengoperasian koridor I Kedungsepur (Stasiun Semarang Tawang-Terminal Bawen). Koridor ini dipilih oleh Pemerintah karena melihat tingginya pergerakan komuter serta perkembangan kawasan industri yang cukup pesat di sepanjang koridor tersebut sehingga kehadiran Trans Jateng diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan transportasi kaum buruh untuk pergi bekerja. Berdasarkan hal di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana penerapan Trans Jateng tersebut mampu mengakomodasi serta mengurangi biaya transportasi bekerja buruh industri sehingga berdampak pada peningkatkan kesejahteraan mereka.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Penelitian

1. Fenomena Urban Sprawl dan Peningkatan Biaya Perjalanan

Sprawl sering diartikan pada kondisi seseorang memerlukan perjalanan jauh untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Burchfield, Overman, Puga, & Turner, 2006). Kondisi tersebut dapat kita lihat di Kota Semarang dimana perkembangan

Page 225: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

214 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

kota terjadi secara sprawl hingga melampaui batas administrasi menuju kawasan perkotaan disekitarnya, salah satunya Kabupaten Semarang. Industri berkembang secara cepat di Kabupaten Semarang dalam satu dasawarsa ini, industri yang berkembang adalah industri padat karya seperti garmen. Industri tersebut berkembang di sepanjang koridor jalur arteri primer Kota Semarang-Bawen (Kabupaten Semarang) utamanya di Kecamatan Ungaran Timur dan Bergas. Di Kecamatan Ungaran Timur, industri berkembang dari 11 unit menjadi 16 unit, sedangkan di Kecamatan Bergas, industri berkembang dari 39 unit menjadi 57 unit. Peningkatan tersebut terjadi selama kurun waktu 7 tahun yaitu tahun 2010—2017 (Badan Pusat Statistik, 2019). Tumbuhnya kawasan industri terutama industri padat karya tentu akan meningkatkan kebutuhan tenaga kerja dimana penyediaan tenaga tersebut tidak hanya dipenuhi dari kawasan tersebut namun dari kawasan lainnya utamanya dari Kota Semarang.

Perkembangan kota secara sprawl pada umumnya memiliki ciri kepadatan rendah dimana dalam kondisi tersebut masyarakat lebih cenderung menggunakan kendaraan pribadi untuk mengakomodasi kebutuhan transportasi sehari-hari (Litman, 1995). Perkembangan kota tersebut mengakibatkan jarak antara tempat tinggal dengan tempat bekerja seperti pabrik menjadi sangat jauh sehingga berdampak pada tingginya biaya transportasi buruh industri. Selain itu ketidakmampuan layanan angkutan umum dalam menyediakan kebutuhan perjalanan yang tinggi tersebut menyebabkan buruh industri memilih sepeda motor sebagai moda utama selain angkutan umum untuk memenuhi kebutuhan transportasi saat ini (Herwangi et al., 2017). Penggunaan sepeda motor memerlukan investasi untuk memiliki moda tersebut, hal itu tentu dapat menjadi beban tersendiri bagi kaum buruh industri. Di sisi lain, penggunaan sepeda motor juga memiliki berbagai dampak negatif lainnya seperti resiko kecelakaan, kelelahan, ketidaknyamanan serta kesehatan (Widyastuti & Mulley, 2005).

2. Fenomena Upah Buruh dan PerkembanganIndustri

Peningkatan jumlah penduduk yang bekerja di sektor industri dan jasa disebabkan oleh peningkatan pengetahuan serta perubahan persepsi masyarakat terhadap pekerjaan. Sektor industri dan jasa dianggap oleh sebagian masyarakat mempunyai daya tarik lebih karena lebih modern, berkonotasi tidak kumuh dan kotor serta mempunyai tipe pekerjaan yang lebih variatif (Tjiptoherijanto, 2003). Kondisi tersebut menyebabkan tenaga kerja yang ada tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia sehingga menyebabkan nilai upah menjadi rendah. UMR Kabupaten Semarang pada tahun 2019 berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 560/68 tahun 2018 sebesar Rp2.055.000,00. Berdasarkan nilai

Page 226: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

215 IMPLIKASI PENERAPAN TRANS JATENG TERHADAP BIAYA TRANSPORTASI BEKERJA BURUH

INDUSTRI (STUDI KASUS: KORIDOR I KEDUNGSEPUR)

tersebut maka biaya transportasi rata-rata buruh industri sebesar Rp475.000,00 perbulan atau Rp15.800,00 per hari jika dihitung biaya transportasi sebesar 23% dari pendapatan.

Pada sisi lainnya, para pengusaha berusaha menekan biaya produksi agar produk dapat bersaing di pasar regional maupun global sehingga berdampak pada upah buruh. Keberlanjutan sektor industri perlu menjadi perhatian mengingat industri pengolahan menopang pembangunan sebesar 27,88% di Kota Semarang dan 38,83% di Kabupaten Semarang (Badan Pusat Statistik, 2019). Kontribusi sektor industri terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto pada tahun 2018 sebesar Rp48,68 trilyun di Kota Semarang, sedangkan di Kabupaten Semarang kontribusi sektor industri sebesar Rp17,95 trilyun. Sektor industri terbukti sebagai kontributor terbesar bagi perkembangan ekonomi di Kota dan Kabupaten Semarang.

3. Masalah Utama dan Pertanyaan PenelitianBerdasarkan fenomena di atas maka, Pemerintah Jawa Tengah memberikan subsidi pada Trans Jateng agar dapat melayani kebutuhan transportasi kaum buruh industri untuk pergi bekerja dengan tarif terjangkau serta jam operasional yang dapat mengakomodir kebutuhan transportasi dari pagi hingga petang. Tarif Trans Jateng Rp2.000,00 bagi buruh hanya berlaku untuk kepentingan pergi bekerja sehingga pengenaan tarif tersebut hanya pada hari kerja diluar hari minggu dan libur nasional. Pemberian subsidi oleh Pemerintah diharapkan dapat mengurangi biaya transportasi bekerja buruh industri sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan buruh. Namun demikian, berdasarkan data Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Tengah tahun 2018 disebutkan bahwa persentase penumpang buruh industri masih sangat rendah yaitu sebesar 13% jika dibandingkan dengan kategori penumpang lainnya yaitu umum 71% dan pelajar 16% terhadap load factor Trans Jateng sebesar 88%. Berdasarkan berbagai kondisi tersebut di atas maka terdapat suatu pertanyaan penelitian yang menarik yaitu bagaimana implikasi penerapan Trans Jateng terhadap peningkatkan kesejahteraan buruh industri?

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan Trans Jateng terhadap pengurangan biaya transportasi bekerja buruh industri sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan melalui studi kasus koridor I Kedungsepur (Stasiun Tawang-Terminal Bawen). Penelitian ini menggunakan paradigma positivisme dimana paradigma tersebut memandang sebuah kejadian dapat diklasifikasi dan dijelaskan secara ilmiah (Sugiyono, 2009). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif berdasarkan data statistik untuk menggambarkan bahwa kesejahteraan dapat dicapai apabila buruh industri dapat memenuhi kebutuhan transportasi bekerja dengan tarif yang terjangkau.

Page 227: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

216 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Sebelum melakukan perhitungan biaya perjalanan, telah dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik buruh industri penumpang Trans Jateng serta faktor apa saja yang mendorong mereka mengunakan moda tersebut dan pola perjalanan buruh industri sebelum dan sesudah menggunakan Trans Jateng. Pola perjalanan tersebut meliputi pemilihan moda, jenis moda (moda tunggal, multimoda), jarak dan waktu tempuh serta jarak dari dan menuju halte. Dalam rangka untuk mengetahui berbagai hal tersebut di atas, penelitian ini menggunakan pendekatan metode survei. Metode survei menurut Cresswell (2012) terdiri dari desain survei, populasi dan sampel, instrumen serta analisis data.

C. Pembahasan Hasil AnalisisBerdasarkan hasil analisis di atas, terdapat beberapa temuan menarik dari studi implikasi penerapan Trans Jateng terhadap peningkatan kesejahteraan buruh antara lain sebagai berikut:

1. Buruh industri pengguna Trans Jateng yang bekerja di Kabupaten Semarang mayoritas (98,02%) bertempat tinggal di Kota Semarang. Tempat tinggal mereka sebagian besar berada di Kecamatan Banyumanik (53,47%), Tembalang (13,86%) dan Semarang Utara (13,86%). Jarak antara tempat tinggal menuju tempat bekerja kurang lebih 22—27 km. Kondisi tersebut menyebabkan buruh industri membutuhkan waktu perjalanan lebih lama serta biaya transportasi semakin mahal.

2. Buruh industri pengguna Trans Jateng didominasi oleh wanita yaitu sebesar 95,65%. Sebagian besar buruh industri tersebut (80%) telah menikah dan mayoritas pasangan mereka (95,65) juga bekerja. Pemilihan tempat tinggal merupakan bentuk kompromi untuk kemudahan akses bekerja suami dan istri sehingga Kecamatan Banyumanik (53,47%) dan Tembalang (13,86%) merupakan kawasan yang dipilih untuk kemudahan akses pusat Kota Semarang dan daerah industri di Kabupaten Semarang.

3. Jumlah kepemilikan sepeda motor memiliki keterkaitan dengan pemilihan penggunaan angkutan umum. Buruh industri sebagian besar hanya memiliki 1 unit sepeda motor dalam 1 keluarga. Sepeda motor digunakan oleh suami mereka untuk bekerja dan mobilitas sehari-hari anggota keluarga. Kondisi tersebut menyebabkan buruh industri sangat bergantung pada angkutan umum untuk pergi bekerja.

4. Mayoritas buruh industri 94,78 rutin menggunakan Trans Jateng untuk pergi bekerja. Namun demikian hanya 74,32% yang menggunakan untuk pergi dan pulang bekerja, sedangkan sisanya 25,68% hanya menggunakan pada saat pulang bekerja. Kondisi tersebut diakibatkan karena buruh industri harus

Page 228: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

217 IMPLIKASI PENERAPAN TRANS JATENG TERHADAP BIAYA TRANSPORTASI BEKERJA BURUH

INDUSTRI (STUDI KASUS: KORIDOR I KEDUNGSEPUR)

mengejar jam masuk kerja sehingga memilih menggunakan moda angkutan yang tersedia pada pagi hari. Selain itu pada jam puncak di pagi hari, Trans Jateng sering tidak mampu mengangkut penumpang karena kondisi bus telah terisi penuh. Kondisi tersebut sangat berbeda pada saat jam pulang dimana buruh industri memiliki waktu yang lebih longgar dan jam pulang yang beragam yaitu antara pukul 15.00 – 19.00 WIB tergantung jam lembur.

5. Buruh industri pengguna Trans Jateng sebagian besar (72,17%) merupakanlulusan SMA/sederajat. Penghasilan rata-rata buruh industri setiap bulansebesar Rp2.171.304,34. Nilai tersebut tidak jauh dari UMR KabupatenSemarang pada tahun 2018 sebesar Rp2.055.000,00.

6. Sebelum menggunakan Trans Jateng, sebagian besar buruh industriyaitu 78,22% adalah pengguna angkutan umum. Mereka menggunakanangkutan AKDP Semarang-Salatiga dan Semarang-Solo dengan tarifrata-rata Rp4.000,00—7.000,00 per perjalanan. Selain itu, 20,79% buruhindustri menggunakan sepeda motor dan 0,99% mengunakan ojek untukpergi bekerja. Biaya rata-rata menggunakan sepeda motor adala sebesarRp10.450,00 per perjalanan, sedangkan tarif ojek rata-rata sebesar Rp16.000per perjalanan.

7. Secara umum penerapan Trans Jateng mampu mengakomodasi sertamengurangi biaya transportasi bekerja buruh industri. Namun demikianterjadi peningkatan biaya untuk mengkases dari tempat tinggal menuju halteserta dari halte menuju tempat bekerja. Penempatan halte yang kurang tepatmenyebabkan buruh industri yang semula dapat mengakses angkutan umumdengan berjalan kaki harus beralih menggunakan sepeda motor, ojek atauangkutan umum ketika menggunakan Trans Jateng.

8. Terdapat sekitar 20,96% kawasan industri yang berada diluar koridor TransJateng seperti di Kecamatan Pringapus. Kawasan tersebut berjarak kuranglebih 5 km dari halte terdekat sehingga buruh industri harus menggunakanmoda angkutan umum dari halte Trans Jateng menuju pabrik atau sebaliknya.Tarif yang dibayarkan kurang lebih sebesar Rp2.000,00 sekali jalan. Kondisitersebut tentu menyebabkan biaya transportasi buruh industri menjadi tinggi.

9. Setelah menggunakan Trans Jateng, buruh industri mampu mengurangibiaya transportasi setiap bulan dari Rp306.081,10—Rp367.297,32 menjadiRp142.796,03-Rp171.355,24 bergantung pada jumlah hari kerja. Jika dihitungberdasarkan pendapatan rata-rata setiap bulan maka persentase biayatransportasi bekerja buruh industri turun dari 14,10-16,92% menjadi 6,58—7,89%.

10. Jika dihitung berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung makaburuh industri mampu mengurangi biaya transportasi dari Rp306.081,10-Rp367.297,32 menjadi Rp61.144,32-Rp89.703,52 setiap bulan. Jika dihitung

Page 229: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

218 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

berdasarkan pendapatan rata-rata setiap bulan maka peresentase biaya transportasi bekerja buruh industri hanya atau sebesar 2,82-4,13%.

11. Melalui penerepan Trans Jateng, Pemerintah mendapat manfaat sebesarRp841.599.067,52 setiap tahunnya atau sebesar 46,26% jika dibandingkannilai subsidi. Peningkatan jumlah penumpang Trans Jateng tentu akansemakin meningkatkan nilai manfaat yang diterima oleh Pemerintah.

D. KesimpulanFenomena urban sprawl di perkotaan Semarang menyebabkan biaya transportasi bekerja buruh industri semakin tinggi. Tingginya biaya transportasi tersebut disebabkan oleh meningkatnya jarak dan waktu tempuh, ketergantungan pada kendaraan pribadi serta terbatasnya akses angkutan umum atau penggunaan moda angkutan yang lebih banyak. Sebelum menggunakan Trans Jateng, buruh industri menggunakan angkutan umum (78,22%), sepeda motor (20,79%) dan ojek (0,99%).

Pada penerapan Trans Jateng Koridor I Kedungsepur, Pemerintah memberikan subsidi transportasi bagi buruh industri kurang lebih sebesar Rp1,8 milyar dari total nilai subsidi sebesar Rp15 milyar pada tahun 2018. Nilai tersebut dihitung berdasarkan persentase penumpang Trans Jateng kategori buruh industri sebesar 13% pada tahun 2018. Melalui pemberian subsidi tersebut, Pemerintah mendapatkan manfaat senilai Rp841,59 juta setiap tahun atau 46,26% dari nilai subsidi. Nilai tersebut dihitung berdasarkan pengurangan biaya langsung dan tidak langsung transportasi bekerja buruh industri ketika menggunakan Trans Jateng. Peningkatan jumlah pengguna Trans Jateng khususnya buruh industri, dapat semakin meningkatkan nilai manfaat yang diterima oleh Pemerintah.

Berdasarkan hasil survei, buruh industri rutin menggunakan Trans Jateng untuk pergi bekerja. Namun demikian, belum seluruhnya buruh industri dapat memanfaatkan Trans Jateng untuk pergi dan pulang bekerja. Sebagian buruh industri (25,68%) tidak dapat memanfaatkan Trans Jateng ketika berangkat bekerja, mereka menggunakan Trans Jateng hanya pada saat pulang bekerja. Hal tersebut terjadi akibat keterbatasan layanan Trans Jateng pada jam puncak di pagi hari. Buruh industri terpaksa memilih moda angkutan umum reguler yang tersedia agar lebih cepat sampai ke lokasi bekerja, sedangkan pada waktu pulang buruh industri memiliki waktu yang lebih longgar dan fleksibel untuk memilih moda transportasi. Penggunaan Trans Jateng oleh buruh industri untuk pergi dan pulang bekerja akan semakin mengurangi biaya transportasi bekerja buruh industri karena memiliki tarif yang lebih murah dibandingkan dengan angkutan umum reguler.

Page 230: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

219 IMPLIKASI PENERAPAN TRANS JATENG TERHADAP BIAYA TRANSPORTASI BEKERJA BURUH

INDUSTRI (STUDI KASUS: KORIDOR I KEDUNGSEPUR)

Walaupun terjadi penurunan biaya transportasi bekerja buruh industri setelah menggunakan Trans Jateng yaitu rata-rata sebesar Rp4.082,13 sekali perjalanan, terdapat kenaikan biaya pada saat awal dan akhir perjalanan. Hal tersebut terjadi akibat peletakan halte yang kurang tepat sehingga jarak halte semakin jauh dari lokasi tempat tinggal atau tempat bekerja. Hal tersebut menyebabkan buruh industri terpaksa menggunakan kendaraan bermotor atau angkutan umum pada awal atau akhir perjalaan. Penggunaan kendaraan dan angkutan umum menyebabkan kenaikan rata-rata biaya pada awal dan akhir perjalanan buruh industri. Selain itu, ketergantungan penggunaan sepeda motor oleh buruh industri pada awal perjalanan masih cukup tinggi yaitu sebesar 57,69%. Hal tersebut terjadi akibat tidak ada pelayanan transportasi yang mampu menjangkau kawasan permukiman buruh industri dimana sebagian besar buruh industri tersebut tinggal di Kecamatan Banyumanik (53,47%), Tembalang (13,86%), dan Semarang Utara (13,86%).

Sebelum menggunakan Trans Jateng, biaya transportasi bekerja buruh industri rata-rata sebesar Rp15.304,06 setiap hari atau Rp306.081,10—Rp367.297,32 setiap bulan. Pengeluaran transportasi bekerja buruh industri kurang lebih sebesar 14,10—16,92% dari pendapatan setiap bulan. Setelah menggunakan Trans Jateng, biaya transportasi bekerja buruh industri turun menjadi Rp142.796,03—Rp171.355,24 setiap bulan bergantung pada jumlah hari kerja (5 atau 6 hari kerja dalam seminggu) atau 6,58—7,89% dari rata-rata pendapatan setiap bulan. Selain itu, jika memperhitungkan biaya tidak langsung, maka biaya transportasi bekerja buruh industri turun menjadi Rp61.144,32—Rp89.703,52 setiap bulan atau 2,82—4,13% dari rata-rata pendapatan setiap bulan. Penerapan Trans Jateng mampu mengurangi biaya transportasi bekerja buruh industri dibawah komponen biaya transportasi dalam Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebesar 10-15%. Akibat dari penurunan biaya tersebut, maka buruh industri dapat meningkatkan daya beli untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya sehingga kesejahteraan hidup mereka meningkat.

Melalui penerapan Trans Jateng, Pemerintah mampu meningkatkan kesejahteraan buruh industri melalui pengurangan biaya transportasi. Subsidi transportasi secara tidak langsung turut menjaga nilai UMR tetap kompetitif tanpa mengesampingkan kesejahteraan buruh industri. UMR yang kompetitif akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan sektor industri di perkotaan Semarang pada khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya. Sektor industri akan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi di perkotaan Semarang dan Jawa Tengah sehingga target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7% dapat tercapai.

Page 231: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

220 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

E. RekomendasiBerdasarkan kondisi tersebut maka dapat diusulkan beberapa rekomendasi kepada pihak terkait dalam rangka perbaikan pelayanan Trans Jateng antara lain adalah:

1. Pemerintah perlu mengembangkan jaringan angkutan pengumpan padakawasan permukiman Kota Semarang utamanya Kecamatan Banyumanik,Kecamatan Tembalang dan Kecamatan Semarang Utara mengingat 59,41%buruh industri yang tinggal dikawasan tersebut masih bergantung padasepeda motor untuk mencapai halte. Ketersediaan angkutan perkotaan yangterkoneksi secara sistem dan tarif dapat mengurangi biaya transportasi buruhindustri.

2. Pemerintah perlu meningkatan jumlah armada atau perapatan headwayTrans Jateng pada pagi hari terutama dari Stasiun Tawang Semarang menujuTerminal Bawen. Hal tersebut perlu dilakukan agar dapat mengakomodasikebutuhan transportasi buruh industri untuk berangkat kerja mengingatmasih 25,68% buruh industri yang tidak dapat menggunakan Trans Jatengakibat keterbatasan daya tampung.

3. Diperlukan upaya perbaikan letak halte oleh pengelola utamanya disekitarlokasi pabrik agar 25,13% buruh industri yang semula berjalan kaki tetapdapat menuju pabrik dengan berjalan kaki. Sedangkan 16,46% buruhindustri yang sejak awal menggunakan angkutan umum karena letakpabrik yang terlampau jauh (1,6—.2,1km) dari jaringan angkutan umumseperti di Kecamatan Pringapus, dapat disediakan angkutan karyawan/pengumpan oleh kelompok industri. Pemerintah mendorong penyediaanangkutan tersebut melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) untukmembeli layanan angkutan eksisting. Angkutan tersebut beroperasi padasaat jam masuk dan pulang kerja sehingga diharapkan dapat mengurangipengeluaran transportasi buruh secara signifikan mengingat saat ini buruhindustri membayar Rp2.000,00—2.500,00 untuk angkutan jarak dekat.

4. Pemerintah tetap memberikan subsidi transportasi utamanya bagi golongantertentu seperti buruh industri tidak hanya pada kawasan industri diKabupaten Semarang namun beberapa kawasan penyangga Kota Semaranglainnya seperti Kabupaten Kendal dan Demak. Pemberian subsidi dapatmengurangi biaya rumah tangga buruh industri utamanya transportasi untukbekerja mengingat kebutuhan untuk pergi bekerja telah menjadi kebutuhanpokok dan dilakukan rutin setiap hari. Selain itu, melalui pengurangan biayakebutuhan buruh industri maka dapat menjaga UMR tetap kompetitif agarsektor industri dapat terus maju dan berkembang di Jawa Tengah utamanyadi kawasan Kedungsepur.

Page 232: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

221 IMPLIKASI PENERAPAN TRANS JATENG TERHADAP BIAYA TRANSPORTASI BEKERJA BURUH

INDUSTRI (STUDI KASUS: KORIDOR I KEDUNGSEPUR)

Page 233: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 234: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

17Perencanaan Agroforestri Sebagai Strategi Penanganan

Konversi Lahan Hutan di KPHP Unit VII Hulu Sarolangun

Nama : Ansori

Instansi : Balai Pengelolaan Hutan Produksi

Wilayah IV Jambi Kementerian

Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 235: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

224 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

KPHP Unit VII Hulu Sarolangun merupakan unit pengelola Kawasan Hutan tingkat tapak yang berada di kawasan hulu Kabupaten Sarolangun. Seiring meningkatnya jumlah penduduk kebutuhan akan lahan meningkat sehingga konversi lahan hutan menjadi penggunaan lahan non hutan juga akan meningkat. Konversi la han ini akan meng hambat keberhasilan pengelolaan kawasan hutan. Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui pola konversi lahan hutan pada areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun; (2) mengetahui klasifikasi kelas kemampuan lahan pada areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun; (3) mengetahui arahan pengelolaan areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun; (4) memprediksi konversi lahan di KPHP Unit VII Hulu Sarolangun pada Tahun 2025; dan (5) merumuskan arahan strategi pengembangan program agroforestri yang direncanakan pada areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun.

Data yang digunakan terdiri dari data primer, yaitu hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan teknik purposive sampling, wawancara menggunakan kuesioner dengan responden para pakar serta data sekunder data tutupan lahan hutan tahun 1990, 1996, 2003, 2009, 2015, 2016, dan 2017, peta sistem lahan, data curah hujan, data jumlah penduduk dan tingkat perekonomian serta mata penca harian dan tingkat bahaya erosi, data perizinan dalam kawasan hutan (IUPHHK HTI) dan data Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah overlay peta dengan menggunakan perangkat lunak Arch GIS 10.1, Metode CA Markov dengan menggunakan perangkat lunak Idrisi Selva, Analisis Kemampuan Lahan dan Analisis AWOT.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat tujuh jenis penggunaan lahan eksisting tahun 2017, yaitu belukar (6,3%), hutan primer (72%), hutan sekunder (8,1%), permukiman (0,0%), perkebunan (3,0%), pertanian (10,3%), dan tanah terbuka (0,3%). Pola konversi lahan hutan rentang tahun 1990 - 2015 bersifat dinamis, perubahan paling besar terjadi pada periode tahun 1996 -2003 yaitu seluas 24.487 ha (47,9 %). Kelas kemampuan lahan teridentifikasi menjadi lima kelas yaitu kelas II, III, IV, VI dan VII dengan faktor pembatas terberat adalah erosi (e4), dominan pada kelas IV dan VI. Arahan pengelolaan terdiri dari pola agroforestri seluas 11.361 ha, reboisasi seluas 11.228 ha, usulan TORA seluas 3.013 ha, pengelolaan lainnya sesuai RKUPHHK dan RPHJP seluas 102.928 ha. Prediksi penggunaan lahan skenario BAU tahun 2025 HS berkurang 3,6%, skenario penerapan RPHJP HS berkurang 0,5%, dan skenario penerapan strategi agroforestri HS bertambah 105,3%. Strategi terpenting dalam pengembangan pola agroforestri di KPHP Unit VII Hulu Sarolangun adalah pembentukan legalitas kelembagaan kerjasama masyarakat dan KPHP dalam pengelolaan Kawasan Hutan.

• Kata Kunci: penggunaan lahan, overlay, Ca-Markov, prediksi, kelaskemampuan lahan, arahan pengelolaan, strategi

Page 236: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

225 PERENCANAAN AGROFORESTRI SEBAGAI STRATEGI PENANGANAN KONVERSI LAHAN HUTAN DI

KPHP UNIT VII HULU SAROLANGUN

ABSTRACT

KPHP Unit VII Hulu Sarolangun is a site level forest management unit located in the upstream area of Sarolangun District. increasing population increas the need for land which cause the conversion of forest land to non-forest land that will in turn inhibit the success of forest area management. This study aims (1) to find out the conversion pattern of forest land in area of KPHP Unit VII Hulu Sarolangun (2) to find out the classification of land capability class in area of KPHP Unit VII Hulu Sarolangun (3) to find out the direction management of KPHP Unit VII Hulu Sarolangun (4) Predict land conversion in KPHP Unit VII Hulu Sarolangun in 2025 and (5) Formulate direction on strategies for developing agroforestry programs planned in the area of KPHP Unit VII Hulu Sarolangun.

The data that used consisted of primary data namely field observations and interviews with purposive sampling technique. Interviews using questionnaires with expert respondents. Secondary data on forest land cover data in 1990, 1996, 2003, 2009, 2015, 2016, and 2017, land system map, rainfall data, population data and economic and levels of livelihoods and erosion hazard levels, permit data in forest areas (IUPHHK HTI), regional spatial planning data (RTRW). The method used in this study is map overlay using Arch GIS 10.1 software, CA Markov method using Idrisi Selva software, Land Capability Analysis and AWOT Analysis.

The results showed that there were seven existing types of land use in 2017, namely belukar (6.3%), hutan primer (72%), hutan sekunder (8.1%), pemukiman (0.0%), perkebunan (3.0 %), pertanian (10.3%) and tanah terbuka (0.3%). The pattern of forest land conversion in 1990 - 2015 was dynamic, the biggest c hange occurred in the period 1996-2003, covering an area of 24,487 ha (47.9%). The land capability class was identified into five classes, namely class II, III, IV, VI and VII with the heaviest limiting factor was erosion (e4), dominant in grades IV and VI. Management directives consist of agroforestry pattern covering 11,361 ha, reforestation area of 11,228 ha, proposal of TORA covering 3,013 ha, other management according to RKUPHHK and RPHJP covering 102,928 ha. Prediction of land use for BAU scenario in 2025 shows HS will reduce 3.6%, the scenario of implementing RPHJP HS will reduce 0.55%, and the scenario implementing agroforestry strategy HS will increase 105,3%. The most important strategy in developing agroforestry patterns in KPHP Unit VII Hulu Sarolangun is the establishment of institutional legality for community and KPHP cooperation in the management of forest areas.

• Keywords: land use, overlay, Ca-Markov, prediction, land capability class,management direction, strategy

Page 237: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

226 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangLahan merupakan sumber daya penting dalam perkembangan dan pembangunan suatu wilayah. Semakin berkembangnya suatu wilayah, maka kebutuhan akan sumber daya lahan semakin meningkat. Hal tersebut menjadi pemicu terjadinya berbagai bentuk konversi lahan yang kadang kala tidak mempertimbangkan aspek ekologi dan hanya mementingkan aspek pemenuhan kebutuhan semata. Menurut Kurniati et al. (2015) kebutuhan lahan permukiman meningkat dan mengkonversi lahan pertanian mengindikasikan terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan ter hadap rencana tata ruang yang berakibat terjadinya kerusakan lahan.

Salah satu bentuk konversi lahan yaitu perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan dikarenakan semakin sulitnya memperoleh lahan tersedia. Menurut Ilyas (2014) kepadatan penduduk merupakan faktor yang mempengaruhi konversi lahan hutan menjadi non hutan. Seringkali pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat dilakukan tanpa memenuhi aturan sebagaimana ketentuan dalam pemanfaatan kawasan hutan yang berdampak terhadap meningkatnya tekanan kelestarian kawasan hutan. Menurut Irawan et al. (2016) pada umumnya klaim masyarakat akan lahan hutan diawali dari kegiatan pemanfaatan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Meningkatnya perubahan penggunaan kawasan hutan juga diperparah dengan adanya areal open access yang merupakan areal bekas izin hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang ditinggal begitu saja oleh pemegang izin dan lemahnya pengelolaan oleh pemerintah pasca areal tersebut menjadi areal open access. Hal ini disebabkan adanya akses menuju hutan berupa jalan yang dibangun oleh perusahaan penebangan hutan sehingga memudahkan masyarakat sekitar hutan masuk ke dalam hutan untuk melakukan penebangan ikutan (Widianto, 2003).

Tingkat perekonomian masyarakat yang berada di sekitar hutan umumnya masih rendah dan mata pencaharian utama adalah di sektor pertanian, sehingga keberadaan lahan sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Hasil penelitian menunjukkan permasalahan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan adalah rendahnya tingkat pendidikan, tingginya jumlah tanggungan keluarga, keterlibatan masyarakat dalam kelompok masih rendah, proses capacity building berjalan lambat, dan rendahnya pendapatan masyarakat dalam memenuhi kebutu han hidupnya. Sebanyak 65% masyarakat hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan dibawah garis kemiskinan (Kadir et al. 2012). Hal serupa dikemukakan hastanti dan Triantoro (2011) bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat sekitar hutan menyebabkan adanya motivasi ekonomi masyarakat dalam penggunaan lahan dengan mengesampingkan dampak ekologis yang timbul.

Page 238: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

227 PERENCANAAN AGROFORESTRI SEBAGAI STRATEGI PENANGANAN KONVERSI LAHAN HUTAN DI

KPHP UNIT VII HULU SAROLANGUN

Pengelolaan sumber daya hutan dilakukan untuk memenuhi tiga fungsi yaitu fungsi ekologis hutan sebagai penyangga kehidupan manusia, fungsi ekonomis hutan untuk yang dapat mendukung kehidupan ekonomi masyarakat terutama masyarakat yang berada di sekitar hutan dan fungsi sosial terkait berbagai bentuk ketergantungan secara adat budaya antara manusia dengan hutan.

Untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan tersebut maka perencanaan yang tepat sangat dibutuhkan. Menurut Sitorus (2017) Perencanaan penggunaan lahan menyajikan pendekatan pembangunan yang memberikan kontribusi untuk pencegahan konflik penggunaan lahan, adaptasi penggunaan lahan dengan kondisi fisik dan ekologi, perlindungan lahan sebagai sumber daya alam, penggunaan lahan berkelanjutan yang memenuhi semua persyaratan ekologi ekonomi dan sosial. Perencanaan tersebut perlu mendapatkan kajian sehingga akan berdampak terhadap keberhasilan penerapan perencanaan tersebut di lapangan.

Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit VII Hulu Sarolangun adalah salah satu unit pengelolaan hutan tingkat tapak yang terdapat di Kabupaten Sarolangun. Kecenderungan konversi lahan hutan menjadi non hutan pada areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun terus meningkat seiring meningkatnya kebutu han akan lahan. Berdasarkan data RPHJP dengan sumber data penafsiran citra landsat tahun 2009, penggunaan lahan sebagai hutan pada areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun hanya sebesar 43,82% dan 56,16% lainnya telah menjadi penggunaan lain selain hutan hal ini akan mengakibatkan bertambahnya intensitas konflik tenurial antara masyarakat dan KPHP. Dalam rangka penanganan konversi lahan hutan tersebut maka perencanaan pengelolaan harus disusun berdasarkan kondisi eksisting di lapangan. Pengelolaan hutan dengan pola agroforestri merupakan salah satu alternatif pola pengelolaan yang dapat direncanakan karena memiliki peran positif bagi peningkatan perekonomian masyarakat dan dapat memperta hankan fungsi ekologi serta fungsi sosial hutan. Melalui penerapan agroforestri diharapkan tujuan pengelolaan hutan untuk mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forestry) dapat diwujudkan.

B. Kajian Permasalahan dan Metode PenelitianPermasalahan utama dalam pengelolaan areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun adalah semakin meningkatnya konversi lahan hutan yang disebabkan pemanfaatan areal KPHP oleh masyarakat secara ilegal. Hal ini berakibat semakin menurunnya fungsi ekologis hutan. Meningkatnya konversi lahan hutan berdampak ter hadap peningkatan konflik tenurial antara masyarakat dan KPHP yang akan menghambat pencapaian tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forestry). Untuk itu maka pengelolaan areal memerlukan perencanaan yang tepat yang didukung

Page 239: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

228 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

berbagai informasi terkait kondisi terkini areal yang dikelola untuk dijadikan dasar perencanaan tersebut. Kecenderungan konversi lahan hutan dari waktu ke waktu akan sangat mempengaruhi perencanaan pengelolaan ke depan, sehingga diperlukan informasi terkait pola konversi lahan hutan yang terjadi. Keberhasilan pemanfaatan lahan sangat tergantung dari tingkat kemampuan fisik lahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis untuk mengetahui kelas kemampuan la han pada areal kelola.

Guna mempertahankan fungsi ekologis hutan, maka diperlukan arahan pengelolaan areal yang tepat. Arahan pengelolaan areal tersebut disusun berdasarkan informasi kelas kemampuan lahan dan kondisi penggunaan lahan eksisiting. Salah satu alternatif pola pengelolaan yang dapat diterapkan adalah adalah pola agroforestri. Agroforestri secara ekologi berperan positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan (run off), memperbaiki kesuburan tanah, dan menjaga keseimbangan tata air. Hal tersebut dikemukakan dalam penelitian Nilda et al., (2015) dan Noordwijk et al., (2004) yang mensimulasikan skenario HKm pada daerah DAS menghasilkan kondisi hidrologi yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi semak belukar atau lahan kosong sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Menurut Rendra et al., (2016) agroforestri dapat diterapkan pada lahan yang berlereng curam, dengan sistem multistrata dapat mencegah tanah longsor dengan membentuk bahan organik tanah, memperbaiki struktur tanah, dan membuat tanah menjadi lebih stabil. hal yang sangat penting yang perlu diperhatikan juga adalah kebutuhan akan kayu yang terus meningkat setiap tahun, keberadaan hutan alami baik luasan maupun produktivitasnya yang semakin menurun maka peranan hutan tanaman sangatlah penting (Malau et al., 2013).

Pengaruh penerapan pola agroforestri tersebut terhadap konversi lahan dapat diketahui dengan melakukan prediksi penggunaan lahan pada masa yang akan datang yaitu pada tahun 2025. Arahan strategi yang dapat mendukung penerapan pola agroforestri juga perlu untuk dirumuskan sehingga dapat menunjang keber hasilan penerapannya di lapangan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pola konversi lahan hutan pada areal KPHP Unit VII HuluSarolangun?

2. Bagaimana klasifikasi kelas kemampuan lahan pada areal KPHP Unit VII HuluSarolangun?

3. Bagaimana arahan pengelolaan areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun?

4. Bagaimana prediksi konversi lahan hutan di KPHP Unit VII Hulu Sarolangunpada Tahun 2025?

5. Bagaimana arahan strategi pengembangan program agroforestri yangdirencanakan pada areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun?

Page 240: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

229 PERENCANAAN AGROFORESTRI SEBAGAI STRATEGI PENANGANAN KONVERSI LAHAN HUTAN DI

KPHP UNIT VII HULU SAROLANGUN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2018 sampai dengan November 2018, bertempat di areal kelola KPHP unit VII Hulu Sarolangun Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data tutupan lahan hutan tahun 1990, 1996, 2003, 2009, 2015, 2016, dan tahun 2017, peta sistem lahan, data curah hujan, data jumlah penduduk dan tingkat perekonomian serta mata pencaharian, tingkat bahaya erosi, data perizinan dalam kawasan hutan (Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri/IUPHHKHTI), data Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Data-data tersebut diperoleh dari berbagai instansi yaitu dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Planologi KLHK), Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Sarolangun (BAPPEDA Kabupaten Sarolangun), Balai Pusat Statistik Kabupaten Sarolangun (BPS Kabupaten Sarolangun), Balai Pengelolaan DAS Batang hari (BPDAS Batang hari), Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah IV Jambi (BPHP Wilayah IV Jambi) dan KPHP Unit VII Hulu Sarolangun.

Alat yang digunakan dalam pengumpulan data terdiri dari seperangkat komputer dengan dilengkapi peragkat lunak Microsoft Office, Arc GIS 10, Idrisi Selva, dan perlatan survei lapangan terdiri dari Global Positioning Sytem (GPS), kamera digital dan alat tulis. Analisis pola konversi lahan hutan bertujuan untuk mengetahui bentuk perubahan penggunaan lahan hutan dalam kurun waktu tahun 1990 hingga 2015 yang dilakukan dengan cara membandingkan peta penggunaan lahan beberapa titik tahun. Sistem klasifikasi kemampuan lahan mendefinisikan dan mengkomunikasikan keterbatasan biofisik tentang penggunaan lahan, termasuk iklim, tanah dan topografi (Brown et al. 2010 dan Price 2011) Evaluasi kemampuan lahan dilakukan untuk mengetahui daya dukung lahan yang merupakan pertimbangan penting dalam perencanaan tata ruang wilayah, agar mampu mendukung aktivitas pemanfaatan lahan secara berkelanjutan (Sadesmesli et al. 2017).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Strategi Pengembagan Pola Agroforestri diAreal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun

Analisis strategi pengembangan pola agroforestri pada areal dengan penggunaan lahan non hutan yang berada di areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun dilakukan untuk mendapatkan strategi yang tepat untuk mendukung keberhasilan pengembangan pola agroforestri sebagai salah satu upaya untuk mengurangi angka deforestasi. Komponen SWOT yang disimpulkan pada analisa ini adalah berdasarkan data-data KPHP yang tertuang dalam RPHJP serta melalui wawancara dengan beberapa pakar yang terlibat langsung dalam pembangunan KPHP Unit VII Hulu Sarolangun yang berasal dari Universitas Jambi dan Instansi terkait.

Page 241: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

230 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2. Identifikasi Faktor SWOTStrategi dalam pengembangan pola agroforestri di areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun dilakukan dengan pertimbangan faktor-faktor SWOT, yaitu terdiri dari faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan, serta faktor eksternal berupa peluang dan ancaman. Strategi umumnya dirumuskan berdasarkan kekuatan dan peluang (SO), kekuatan dan ancaman (ST), kelema han dan peluang (WO), serta kelema han dan ancaman (WT). Untuk itu sebagai langkah awal dari perumusan strategi tersebut, maka perlu terlebih dahulu diidentifikasi faktor SWOT yang ada berdasarkan penelitian lapangan, studi literatur maupun pendapat pakar. Identifikasi faktor SWOT untuk pengembangan pola agroforestri di areal KPHP Unit VII Hulu sebagaimana Tabel 34.

a. Faktor Internal

1. Kekuatan

a) Kelembagaan KPHP sudah terbentuk secara definitif sebagaioraganisasi pengelola kawasan hutan tingkat tapak

b) Pemahaman Masyarakat tentang Kawasan Hutan cukup tinggic) Mayoritas masyarakat di sekitar KPHP adalah petanid) Masyarakat sudah mengenal agroforestri seder hana melalui kegiatan

berladange) Areal KPHP memiliki potensi yang baik untuk pengembangan berbagai

jenis tanaman agroforesti

2. Kelemahan

a) Belum adanya kepastian hukum pengelolaan kawasan olehmasyarakat.

b) Tingkat ekonomi masyarakat rendahc) Masyarakat hanya mengetahui pola agroforesti sederhana

b. Faktor Eksternal

1. Peluang

a) Semakin bertambahnya kebutuhan akan hasil hutan (kayu dan hasilhutan bukan kayu)

b) Semakin besar dukungan pemerintah daerah dan pusat terhadappembangunan kehutanan

c) Semakin tingginya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutand) Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi terkait

pengelolaan hutan

Page 242: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

231 PERENCANAAN AGROFORESTRI SEBAGAI STRATEGI PENANGANAN KONVERSI LAHAN HUTAN DI

KPHP UNIT VII HULU SAROLANGUN

2. Ancaman

a) Tidak stabilnya harga komoditi agroforestri yang dihasilkanb) Peraturan yang membatasi pengelolaan kawasan hutan

3. Strategi Pengembangan Pola AgroforestriBerdasarkan Analisis SWOT

Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal yang teridentifikasi berdasarkan literatur dan pendapat pakar yang dapat mempengaruhi pengembangan pola agroforestri. disusun beberapa strategi dengan mempertimbangkan kedua faktor tersebut. Strategi disusun berdasarkan kombinasi antara faktor kekuatan dan peluang (SO), kekuatan dan ancaman (ST), kelemahan dan peluang (WO), serta kelemahan dan ancaman (WT). Strategi yang dirumuskan berdasarkan faktor-faktor tersebut adalah:

1. Membentuk legalitas kerjasama KPHP dan masyarakat dalam pengelolaanKawasan Hutan;

2. Meningkatkan dukungan KPHP terhadap pengembangan pola agroforestrioleh masyarakat baik dalam sarana prasaran maupun permodalan;

3. Meningkatkan kerjasama pemasaran hasil tanaman agroforestri KPHP dengan pasar;

4. KPHP mendukung pengembangan teknologi pengolahan hasil agroforestriuntuk meningkatkan nilai hasil produksi dari pola agroforestri;

5. Peningkatan pengetahuan teknis masyarakat terkait pola agroforestri;

6. Dukungan peraturan yang mendukung program agroforestri;

7. Meningkatkan kerjasama KPHP dan NGO/LSM dalam Pengembanganagroforestri.

Penentuan strategi prioritas dalam pengembangan agroforestri dilakukan dengan cara pembobotan setiap strategi berdasarkan metode AHP. Setiap strategi yang dirumuskan berdasarkan tingkat kepentingannya menurut para pakar. Penilaian dilakukan dengan cara perbandingan berpasangan (pairwise comaprison) dengan menggunakan skala perbandingan Saaty (1980).

Tingkat prioritas strategi dinyatakan dalam nilai Eigen yang dihasilkan melalui analisis AHP. Semakin tinggi nilai Eigen suatu strategi menunjukkan bahwa strategi tersebut memiliki prioritas lebih utama untuk diterapkan pada suatu areal. Nilai Eigen dan penetapan strategi sangat erat kaitannya dengan kondisi di areal yang dikelola, sehingga tingkat prioritas strategi tersebut akan berbeda bila diterapkan pada areal yang berbeda. Berdasarkan hasil analisis, maka strategi pengembangan pola agroforestri yang direncanakan di areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun menurut tingkat prioritasnya adalah sebagai berikut:

Page 243: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

232 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

1. Membentuk legalitas kelembagaan kerjasama KPHP dan masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Hutan. Strategi ini dianggap sangat penting karena mengingat bahwa areal KPHP adalah merupakan Kawasan Hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Terdapat aturan-aturan terkait pengelolaan di dalamnya serta juga terdapat sanksi terhadap pelanggaran pengelolaan Kawasan Hutan tersebut. Adanya legalitas kerjasama antara masyarakat dan KPHP atau IUPHHK HTI akan perlindungan hukum masyarakat yang akan berpartisipasi dalam pengembangan pola agroforestri. Selain itu dengan adanya legalitas kerjasama, akan memperjelas bentuk hak dan tanggungjawab para pihak dalam pengelolaan hutan, sehingga memberikan kepastian para pihak dalam kerangka kerjasama tersebut.

2. Meningkatkan dukungan KPHP terhadap pengembangan pola agroforestri oleh masyarakat baik dalam sarana prasaran maupun permodalan dan meningkatkan kerjasama KPHP dengan NGO dalam Pengembangan Agroforestri. Kedua strategi ini sangat terkait dengan keterbatasan kemampuan masyarakat dalam pengembangan pola agroforestri, baik dari sisi permodalan maupun pengetahuan dan teknologi agroforestri, sehingga tidak menjamin adanya keberlangsungan program.

3. Dukungan peraturan untuk mendukung pengembangan agroforestri sangat penting terutama terkait dengan pran agroforestri dalam menangani konversi lahan hutan yang semakin meningkat. Konversi saat ini tidak hanya terjadi pada hutan dengan fungsi Hutan Produksi atau Hutan Produksi Terbatas saja, akan tetapi telah meluas ke Kawasan Hutan dengan fungsi Hutan Konservasi atau Hutan Lindung. Akan tetapi pengembangan pola agroforestri pada areal konservasi dan lindung masih terbatasi peraturan pemerintah, sehingga pola agroforestri belum sepenuhnya dapat diterapkan pada areal hutan Konservasi atau Hutan Lindung.

4. Peningkatan pengetahuan teknis masyarakat terkait pola agroforestri merupakan strategi yang juga penting karena pola pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat secara ilegal di areal KPHP umumnya adalah pola bertani sederhana atau sering disebut berladang dan komoditas yang dikembangkan adalah komoditas yang turun temurun telah dikembangkan masyarakat. Untuk meningkatkan keberhasilan pola agroforestri maka peningkatan pengetahuan masyarakat terkait budidaya dan penggunaan teknologi penting untuk dilakukan.

5. Pengembangan teknologi pengolahan hasil agroforestri untuk meningkatkan nilai hasil produksi dari pola agroforestri merupakan strategi untuk meningkatkan keuntungan finansial dari pola agroforestri. Dengan meningkatnya keuntungan yang diperoleh dari pola agroforestri akan meningkatkan minat masyarakat untuk ikut berperan dalam pengembangan pola agroforestri di KPHP Unit VII Hulu Sarolangun.

Page 244: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

233 PERENCANAAN AGROFORESTRI SEBAGAI STRATEGI PENANGANAN KONVERSI LAHAN HUTAN DI

KPHP UNIT VII HULU SAROLANGUN

6. Meningkatkan kerjasama pemasaran hasil tanaman agroforestri KPHPdengan Pasar adalah strategi untuk meningkatkan nilai jual dari produkhasil agroforestri untuk meningkatkan keuntungan masyarakat. Umumnyaharga hasil pertanian di sekitar hutan jauh lebih rendah akibat dariaksesibilitas yang kurang memadai, yang mengakibatkan tingginya biayatransportasi pemasaran hasil. Kerjasama pemasaran dapat memotong matarantai perdagangan sehingga dapat meningkatkan nilai jual produk hasilagroforestri.

D. KesimpulanBerdasarkan uraian pada bab hasil dan pembahasan dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Terdapat tujuh bentuk penggunaan lahan tahun 2017 di areal KPHP unit VIISarolangun yaitu hutan primer seluas 92.488 ha (72%) dan hutan sekunderseluas 10.440 ha (8,1%), belukar seluas 8.054 ha, permukiman seluas 14 ha,perkebunan seluas 3.822 ha, pertanian seluas 13.280 ha dan tanah terbukaseluas 433 ha. Perubahan penggunaan lahan menunjukkan menunjukkanpola yang dinamis dalam kurun waktu tahun 1990 hingga tahun 2015. Periodetahun 1990 hingga tahun 1996 tidak terjadi perubahan penggunaan lahanhutan primer dan hutan sekunder, periode tahun 1996 hingga tahun 2003tidak terjadi perubahan pada hutan primer, namun terjadi perubahan hutansekunder seluas 24.487 ha menjadi belukar seluas 3.713 ha, perkebunan seluas2.181 ha, pertanian seluas 5.814 ha dan tanah terbuka seluas 10 ha. Periodetahun 2003 hingga tahun 2009 perubahan terjadi pada hutan sekunderseluas 435 ha menjadi belukar seluas 323 ha, pertanian seluas 97 ha. Periodetahun 2009 hingga tahun 2015 perubahan terjadi pada hutan primer seluas549 ha menjadi belukar, hutan sekunder, pertanian dan tanah terbuka danhutan sekunder seluas 2.726 ha menjadi belukar, pertanian, sawah dan tanahterbuka.

2. Kelas kemampuan lahan pada areal KPHP Unit VII Hulu Sarolangun terdiridari dari 5 kelas yaitu kelas II seluas 3.963 ha, kelas III seluas 3.093 ha, kelas IVseluas 56.930 ha, kelas VI seluas 57.475 ha dan kelas VII seluas 7.070 ha. Kelaskemampuan lahan terendah adalah kelas VII dengan faktor pembatas yaitutingkat bahaya erosi dan kelerangan.

3. Pengelolaan areal KPHP unit VII Hulu Sarolangun diarahkan untuk agroforestri seluas 11.361 ha, reboisasi hutan seluas 11.228 ha, usulan sebagai tanah objekreformasi agraria seluas 3.013 ha, pengelolaan lainnya sesuai RKUPHHK danRPHJP seluas 102.928 ha.

Page 245: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

234 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

4. Prediksi penggunaan lahan tahun 2025 menunjukkan bahwa penerapan strategi agroforestri pada areal KPHP dapat mengurangi laju konversi lahan hutan ditunjukkan dengan peningkatan luas hutan sekunder sebesar 105,3% dibandingkan tahun 2017.

5. Strategi terpenting untuk pengembangan pola agroforestri di KPHP Unit VII Hulu Sarolangun adalah membentuk legalitas kelembagaan kerjasama KPHP dan masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Hutan.

E. RekomendasiSaran yang dapat diberikan yaitu:

1. Perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk menentukan komoditas yang dapat dikembangkan dalam arahan pola agroforestri ini.

2. Perlu dilakukan evaluasi terhadap RPHJP yang telah ditetapkan, terutama terkait perencanaan agroforestri di wilayah tertentu yang tidak didukung dengan kelas kemampuan lahan yang tepat.

3. Strategi penerapan pola agroforestri pada areal KPHP perlu diterapkan untuk mengurangi konversi lahan hutan menjadi penggunaan lahan non hutan.

Page 246: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

235 PERENCANAAN AGROFORESTRI SEBAGAI STRATEGI PENANGANAN KONVERSI LAHAN HUTAN DI

KPHP UNIT VII HULU SAROLANGUN

Page 247: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 248: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

18Management Effectiveness of Gili

Meno, Gili Ayer and Gili Trawangan (Gili Matra) Marine Protected Area

from Resource Users Perspectives

Nama : Niramaya Kusuma Wardhani

Instansi : Balai Kawasan Konservasi Perairan

Nasional Kementerian Kelautan Dan

Perikanan

Program Studi : Regional Planning And Development

Graduate School

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Hasanuddin

Page 249: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

238 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Rencana pengelolaan dan zonasi di TWP Gili Matra telah diimplementasikan pada tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra dari persepsi masyarakat lokal (pengguna sumber daya).

Penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai instrumen utama untuk mengumpulkan data primer. Responden adalah pengguna sumber daya di kawasan (53 nelayan dan 52 pekerja wisata bahari). Indikator yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari indikator biologis, sosial ekonomi dan tata kelola. Responden diminta untuk mengukur pencapaian masing-masing indikator menggunakan sistem skor. Selain itu, analisis konten berdasarkan jawaban dari pertanyaan terbuka digunakan untuk membandingkan respon dari responden.

Hasil penelitian ini menunjukkan variasi dalam pencapaian kinerja dari kawasan konservasi perairan TWP Gili Matra. Secara keseluruhan pencapaian tujuan pengelolaan TWP Gili Matra, yang dinyatakan dalam bentuk indeks (skor komposit) untuk indikator biologis, sosial ekonomi dan tata kelola, secara berturut-turut, sebesar 25%, 45% dan 44%. Studi ini menunjukkan pentingnya perspektif pengguna sumber daya untuk melengkapi dan mengkonfirmasi hasil dari metode lain yang telah digunakan dalam mengevaluasi efektifitas kawasan konservasi perairan di suatu lokasi secara spesifik. Selain itu, evaluasi pengelolaan kawasan konservasi secara spesifik di TWP Gili Matra memberikan masukan yang relevan untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan tersebut.

• Kata Kunci: efektivitas pengelolaan, kawasan konservasi perairan, pengguna sumber daya laut, persepsi

Page 250: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

239 MANAGEMENT EFFECTIVENESS OF GILI MENO, GILI AYER AND GILI TRAWANGAN (GILI MATRA)

MARINE PROTECTED AREA FROM RESOURCE USERS PERSPECTIVES

ABSTRACT

The MPA management plan and zonation in Gili Matra was enacted in 2014. This research aims to examine the effectiveness of the management of Gili Matra MPA from the perception of local communities (resource users).

This research used questionnaires as the main instrument to collect the primary data. The respondents were MPA resource users (53 fishers and 52 marine tourism operators). Indicators considered in the study were biological, socio-economic and governance indicators. The respondents were asked to measure the achievement of each indicator using a scoring system. In addition, content analysis of the open-ended questions was used to compare the response of respondents.

The result of this research shows that the performance of Gili Matra MPA has resulted in a mix of achievements. Overall achievements against stated management aims, scored as an index (composite scores) for biological, socioeconomic and governance indicators, respectively, were 25%, 45% and 44%. This study demonstrates the importance of resource users’ perspectives for completing and confirming the results of other methods of evaluating MPA performance in specific sites. Furthermore, site-specific evaluation of management in Gili Matra provides locally relevant suggestions for improving the MPA performance.

• Keywords: management effectiveness, marine protected area, resource users, perception

Page 251: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

240 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundGili Matra (Gili Meno, Gili Air and Gili Trawangan) is one of Marine Protected Area in Indonesia which is being developed for marine tourism by using conservation principles. It is categorised as Marine Tourism Park and category V in (Day et al., 2012; IUCN, 1994) categories (Suraji, Ruchimat, Saad, & Wibisana, 2014). The Gili Matra MPA management plan and zonation, which has been enacted since October 2014, regulates activities that may, or may not, be carried out within the MPA area (Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia, 2014). MPAs usually consists of several zones with different functions, whereas in Gili Matra, there are six zones (see Table 1 and Figure 1). Although the establishment of Gili Matra MPA is intended primarily for marine tourism, the Gili Matra MPA management plan and zoning system shows that the purposes of the MPA are explicitly intended for multiple use.

Furthermore, based on the regulations, the Gili Matra MPA management plan has several objectives to be achieved, related to biological, socio-economic and governance aspects. One of the objectives of the Marine Protected Area of Gili Matra is to increase community participation in management. Other objectives are related to biological and socio-economic aspects including sharing of economic benefits, improving cover of hard coral and fish abundance in Gili Matra (Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia, 2014).

Despite the government’s effort to protect and manage the area, several issues have arisen in Gili Matra MPA. These including the issues related to a documented decline in coral reef percentage cover (Tarigan et al., 2017) and tourist dissatisfaction with the coral condition (Bachtiar & Mayes, 2014). On the other hand, local communities have a dependency on the MPA for their livelihood in the fisheries and tourism sector (Kartawijaya et al., 2012).

Furthermore, by the end of 2018, Gili Matra management plan and zoning system have been implemented for almost five years. The success of an MPA is often measured by whether or not the MPA are meeting goals and objectives (Giakoumi et al., 2018). Achieving multiple objectives simultaneously and having more than one mandate in managing Gili Matra MPA could be challenging for the MPA managers. However, success in one aspect and less success in others may affect the sustainability of the MPAs in the future (Christie, 2004). Thus, monitoring MPA progress against the mandated goals, to ensure the success of the MPA is a critical issue for MPAs in many marine regions (Dalton, Forrester, & Pollnac, 2015; Pendleton et al., 2018) including Gili Matra MPA. Besides recording the progress of the MPA (Dalton et al., 2015), the evaluation process could assist in identifying aspects that are already successful and aspects that need improvement (Hockings,

Page 252: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

241 MANAGEMENT EFFECTIVENESS OF GILI MENO, GILI AYER AND GILI TRAWANGAN (GILI MATRA)

MARINE PROTECTED AREA FROM RESOURCE USERS PERSPECTIVES

Stolton, & Dudley, 2000; Hockings, Stolton, Leverington, Dudley, & Courrau, 2006). Based on the recent reported status of the MPA and a number of local issues in Gili Matra, there is an urgency for an assessment of the effectiveness of Gili Matra MPA.

The evaluation process is a crucial stage to ensure Gili Matra MPA effectiveness. Assessing the effectiveness of an MPA requires comprehensive evaluation using integrated indicators concerning biophysics, socioeconomic and governance indicators (Ahmad Kamil, Hailu, Rogers, & Pandit, 2017). Furthermore, measuring the achievement of an MPA on one aspect might neglect the importance of the other aspects needing improvement (Giakoumi et al., 2018). Interactions between the social and conservation aspects might also affect the MPA in achieving their intended goals (Christie, 2004). Thus, MPA managers should consider these aspects when evaluating MPA management effectiveness.

Evaluation of the effectiveness should involve various stakeholders, including the local community, to provide complete viewpoints of the evaluation (Giakoumi et al., 2018; Leverington, Hockings, Pavese, Costa Lemos, & Courrau, 2008). Local communities have the potential to become evaluators of MPA performance in Gili Matra. Fishers and marine tourism service providers are included as main stakeholders of Gili Matra MPA and are essential for the management of the Gili Matra ecosystem (Suana & Ahyadi, 2012). It is assumed that communities, as direct users of the MPA, have a deeper understanding of MPA effectiveness (Neis et al., 1999), particularly in assessing the management outcomes where local communities experience the impact of MPA, directly (Hockings et al., 2006). The assessment of the output and outcome elements might show the success of management of an MPA as they show the tangible results of the MPA (Hockings, Stolton, & Dudley, 2004; Kapos et al., 2009; Pomeroy, Parks, & Watson, 2004).

Furthermore, involving the local community in the process of evaluation might be beneficial for the improvement of MPA management. It can also build transparency and public trust (Carter, Soemodinoto, & White, 2010a; Leverington, Hockings, & Costa, 2008; Pomeroy et al., 2004). Many studies have shown the contribution of community perspectives as an approach for evaluating MPA management effectiveness, for example investigating the governance aspects on MPA effectiveness in Malaysia (Islam et al., 2017), management of MPAs in Thailand (Nathan James Bennett & Dearden, 2014b), biological changes of MPAs in the Philippines (Yasue, Kaufman, & Vincent, 2010), management strategy of MPA in Italia (Pulina & Meleddu, 2012) and MPA performance in France (Leleu et al., 2012). From previous results in other research, it emerges that research on community perceptions is essential when considering how to manage an MPA (Nathan James Bennett, 2016; Pulina & Meleddu, 2012).

Page 253: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

242 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Although it is essential to attend to community perspective in the process of evaluation, only a few studies have assessed the utility of resource users’ perspectives in evaluating and developing MPA management strategies in Indonesia. For example, using community perspectives to compare two close proximity MPAs in Sabang, which found different perceptions on management effectiveness between the two communities (Kusumawati & Huang, 2015). Moreover, Gili Matra management plan was implemented in 2014 and required the MPA manager to conduct regular self-assessment on Gili Matra MPA management effectiveness. However, monitoring of resource users’ perceptions, particularly evaluating regarding the effectiveness of the MPA on biological, governance and socioeconomic aspects after the implementation of zoning regulations, has not been done in Gili Matra. Therefore, it is crucial to evaluate the status of Gili Matra management effectiveness to gain insights into the community’s perspective to improve management. Besides the results from this research being a significant contribution to the database on the Gili Matra MPA, it will also give a better understanding of involving stakeholders in evaluating and developing MPA management strategies (Nathan J. Bennett et al., 2017; Nathan James Bennett, 2016; Charles & Wilson, 2009; Fox et al., 2014; Jefferson et al., 2015).

B. Research Problem and MethodologyWhat is the status of MPA management effectiveness in Gili Matra, viewed from the resource users’ perspective?

This research used a mixed-method approach. Mixed methods research is research that “…involves collecting, analysing, and interpreting quantitative and qualitative data in a single study or in a series of studies that investigate the same underlying phenomenon” (Leech & Onwuegbuzie, 2009, p.1). The duration of the research was three months in total, consisting of one month for preparation and two months for data collection from October to December 2018. The study was carried out under research permits (Appendix 1) issued by the Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia (number: 1354 BRSDM/VIII/2018) on 10 August 2018 and from North Lombok Regency local government (number: 070/110/BAPPEDA/VI/2018) on 25 June 2018.

The study was conducted in Gili Matra MPA, Lombok Utara District, Nusa Tenggara Barat Province, Republic of Indonesia (Figure 1). Gili Matra MPA is located in Gili Indah village, Pemenang Sub-district, North Lombok district, West Nusa Tenggara from 116°01’34” E to 116°05’18” E and 8°20’02” S to 8°22’16” S. Gili Matra has a

Page 254: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

243 MANAGEMENT EFFECTIVENESS OF GILI MENO, GILI AYER AND GILI TRAWANGAN (GILI MATRA)

MARINE PROTECTED AREA FROM RESOURCE USERS PERSPECTIVES

total area of approximately 2954 hectares including 665 hectares of land area (Gili Ayer Island is approximately 175 ha, Gili Meno Island is approximately 150 ha and Gili Trawangan Island is approximately 340 ha) and the rest is marine area (Agency of National Marine Protected Areas-Kupang, 2016b).

C. Data Analysis and ResultsMPA effectiveness was assessed according to achievement in three indicator categories. Results were analysed using both quantitative and qualitative techniques to produce a broad-based research output. The discussion section of this study highlights the achievements of the MPA, identifies drawbacks and lessons learned on how the MPA could increase its effectiveness.

1. Management Effectiveness of Gili Matra MPAFrom the biological standpoint, Gili Matra MPA achieved high positive responses from the resource users in 2014. However, the achievement of improvements in coral condition and fish abundance between 2014 and 2018 was low. Based on the results of ecological monitoring by Indonesian Institute of Science in 2014, the percentage of hard coral cover at eight observation stations in Gili Matra was varied, with an average of 24.48%, which was categorised as poor (Ministry of Environment the Republic of Indonesia, 2001; Zamani & Madduppa, 2011). The results of biophysical monitoring in the same observation sites in 2018, showed a significant decrease in coral cover in each zone, with an average hard coral cover of just 8% (Lubis, 2018). The average abundance of coral fish on similar observation site (ten stations) in Gili Matra MPA between 2012 and 2016 also declined from 32030 no.ha-1 (± 7210 SE) to 11065 no.ha-1 (± 1023 SE), with the decline occurred on each observation stations (Tarigan et al., 2017).

This study may support the similar findings in other research which mentioned that the perceptions of resource users “…may not align perfectly” (Dalton et al., 2012, p.1234) with the results of biological monitoring (Dalton et al., 2012; Daw, Robinson, & Graham, 2011; Garces et al., 2013; Yasue et al., 2010). Community perception of the coral condition at Gili Matra in 2014 seems mismatched with the results of biophysical monitoring in the same year. In part, this may be because resource users’ assessment of coral condition will be based on observations at the locations which they frequently visit such as diving spots and fishing ground areas, so there will be locational bias in the perception of coral condition (Dalton et al., 2012; Garces et al., 2013). Ecological monitoring in 2014 shows that hard coral percent cover varied widely between monitoring sites. For example, hard coral cover at one observation station in the sustainable fisheries zone near

Page 255: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

244 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Gili Meno was more than 46%, far higher than a comparable station in the sustainable fisheries zone near Gili Air with less than 8%. At yet another station in the utilisation zone near Gili Trawangan, hard coral percent cover was about 26% (Indonesian Institute of Science, 2014). Although there was no comparable data between community perception of fish abundance at Gili Matra in the same year, monitoring on fish abundance in 2012 and 2016 also showed a variety of results. Fish abundance at one observation station in the sustainable fisheries zone near Gili Meno was 43537 no.ha-1 (± 15147 SE) in 2012 and 15130 no.ha-1 (± 2984 SE) in 2016, higher than other station in the sustainable fisheries zone near Gili Trawangan which was around 15053 no.ha-1 (± 3089 SE) in 2012 and 11227 no.ha-1 (± 3019 SE) in 2016. At another station in the utilisation zone near Gili Trawangan, fish abundance was 57040 no.ha-1 (± 34190 SE) in 2012 and 9720 no.ha-1 (± 2447 SE) in 2016.

However, not all the perceptions about the coral condition and fish abundance were mismatched with the results of monitoring. Almost thirty percent of respondents mentioned a decline in coral condition and fish abundance at Gili Matra between 2014 and 2018. The response (see the reason for this negative response in section 4.6) for the decline in fish abundance and coral condition requires further investigation. The violation of zoning rules is shown from the results of monitoring. Based on activity monitoring within the MPA from February to December 2015, in 23 times of monitoring surveys, showed 19% of the total of 151 capture fisheries activities violated zoning regulations, including violation of the rules regarding the prohibition of destructive fishing practices (Agency of National Marine Protected Areas-Kupang, 2016a). The reason for the decline in coral condition is supported by the results of coral bleaching monitoring in 2016. Sea surface temperature in Lombok Island increased to 30.20C in March and reached a peak in April 2016 with a temperature of 30.40C. At a total of eight observation sites, 49.54% of coral colonies in Gili Matra were bleached, 0.76% were dead, 18.42% were pale and only 31.42% were in normal conditions.

Perceived impacts of Gili Matra MPA on socioeconomic outcomes are mixed. It has had fewer positive effects on fishers, and more positive effects on tourism, on all three indicators, resulting in an overall 50% achievements inequality share of benefit among respondents. Providing an equal distribution of Gili Matra MPA benefits on all people in the community, with two contrasting use types in MPA utilisation, would be very difficult. According to Eriksson et al. (2016), the main utilisation of Gili Matra MPA were small scale fisheries and marine tourism. Since then, however, the marine tourism activity has likely dominated the utilisation on Gili Matra, as evidenced by the different proportions of the population associated with each activity (section 3.2.1). Activity monitoring within the MPA

Page 256: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

245 MANAGEMENT EFFECTIVENESS OF GILI MENO, GILI AYER AND GILI TRAWANGAN (GILI MATRA)

MARINE PROTECTED AREA FROM RESOURCE USERS PERSPECTIVES

from February to December 2015 in 23 times of monitoring showed the marine tourism activities dominated (about 900 activities), compared to about 150 fishing activities in the same period (Agency of National Marine Protected Areas-Kupang, 2016a). The dominance of marine tourism is probably reflected in respondents’ perceptions of the socioeconomic impact of the MPA.

Although the results of this study cannot be assumed to represent the situation in other MPAs, the socioeconomic impact in Gili Matra, specifically for fishers as extractive users, consistent with those shown in other MPAs such as in Thailand. The local communities around 17 MPAs in Thailand perceived negative impacts on the implementation of MPAs for their livelihood because it decreased their access to the utilisation of natural resources (Nathan James Bennett & Dearden, 2014b). Other consistent response also showed in the result of research in the Jurien Bay Marine Park (mid-north coast of Western Australia) which mentioned that “the social impacts are not distributed uniformly among stakeholders, with some groups of extractive users suffering the majority of the negative impacts..”(McNeill, Clifton, & Harvey, 2018, p.106).

Perception of respondents on the governance indicators was also mixed from higher percentages on awareness of MPA rules and lower percentages on participation capacities. The high percentage of respondents who know about zoning rules shows the success of managers efforts to disseminate information about zoning rules. However, the compliance of rules achievement had lower percentages. Based on activity monitoring within the MPA from February to December 2015 in 23 times of monitoring showed 19% of the total of 151 capture fisheries activities violated zoning regulations, while 3% of marine tourism activities from the total of 900 activities violated the zoning rules (Agency of National Marine Protected Areas-Kupang, 2016a). Compliance to the rules is a continuous and inevitable challenge in the management of natural resources (Cinner et al., 2012; Sutinen & Kuperan, 1999). The response (see the reason for this negative response in section 4.6) needs to be a concern for the MPA managers, in purpose to increase resource user compliance (Read et al., 2015). Strong law enforcement is an effective approach to prevent compliance breakdown when voluntary compliance is less of a success (Sutinen & Kuperan, 1999). The strength of enforcement in Gili Matra which measured by resource users was neither high nor low (52%). The respondents perceived the positive impact of law enforcement for their security, but they felt the lack of intensity of patrols in the area. Fishers, who perceived that the enforcement tended to burden fishers, probably because the regulation prohibited fishing activities in utilisation zone while in sustainable fisheries zone both marine tourism and fishing activities share the access (Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia, 2014).

Page 257: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

246 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

The respondent’s participation in the period between 2014 and 2018 seems to have a low percentage in capacity (section 4.5). However, when it viewed from the percentages of respondents who participated and did not participate at all in five capacities of participation (section 4.4), the participated respondents are over than 80%. Public awareness events seem to be the most common mechanism for involving the resource users in MPA management in Gili Matra (Table 17), which probably shows the interest of resource users to participate in collective activities. These results are supported by other research, which mentioned that fishers in Gili Matra tend to be involved in collective events (Sabil, 2014). Research on 31 MPAs in the Caribbean revealed that the ocean-related workers or resource users tend to participate in the MPAs management (Dalton et al., 2012) which in turn reinforces the theory stated by (Heck, Dearden, McDonald, & Carver, 2011) that a person who has dependencies or linked to the resources tend to participate in the management.

Although community support and satisfaction with the management were more likely to be perceived by the respondents as lower achievement, it can be a driving force for the MPA managers to improve their performance. The reasons underlying negative responses to community support and satisfaction to the management, including the access issue, are similar to the responses toward biological and socioeconomic outcomes. The access issue, related to delimitation or reduction of access to the utilisation of natural resources, was consistent with the result of research in three MPAs in the Calamianes Islands, Philippines (Garces et al., 2013, p.54). Regarding the respondent who believed that they rarely had seen the MPA managers possibly because the main office is located in the mainland, not on one of the islands in Gili Matra and may also because the number of Gili Matra MPA officers was less than ten people. However, the response from resource users become valuable input for MPA managers to enhance the effort to increase public trust in the future.

The analysis of the correlation between different categories of MPA performance (table 18 section 4.5) denotes that social characteristics of respondents may be correlated with the perceived impact on socio-economic and governance. The respondents who had a higher level of education more likely perceived positive on socioeconomic and governance. These findings support the study by Twichell et al. (2018) which showed a positive relationship between higher level of education of respondents villagers that were associated with MPAs in the Philippines and the perceived of the MPA performance. According to Twichell et al. (2018), the findings denote the potential of a positive influence of education to acceptance of the MPA.

Page 258: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

247 MANAGEMENT EFFECTIVENESS OF GILI MENO, GILI AYER AND GILI TRAWANGAN (GILI MATRA)

MARINE PROTECTED AREA FROM RESOURCE USERS PERSPECTIVES

Individuals who have lived longer in the community, which is also in line with their age, are more likely to have negative perceptions of socioeconomic and governance aspects. Thirty-four percent of respondents, which 39 years and above, were fishers. Moreover, 49% of respondents, which had lived in Gili Matra community for more than ten years were also fishers. The reason of this is perhaps that the older people who mostly are fishers, have more experience on the management of MPAs in the past which they did not consider as success or may do not change, making them to perceived less optimistic (Dalton et al., 2012). Thus, it not surprising that resource users from the group of marine tourism operators more likely to perceive positive in socioeconomic and governance.

The respondents who perceived positive socioeconomic outcomes are more likely to perceived positive perceptions also for governance indicators. These findings support the theory that the perceived positive impacts of the MPA correlated with the positive input to the management (Ostrom, 1990; Ostrom et al., 1994; Twichell et al., 2018; Webb et al., 2004). In contrast, the respondent’s perception of biological changes is not related to social outcomes or governance perception. It is not clear why biological changes are not related to other measures. Gili Matra respondents, as resources users, probably perceived the biological impact of the MPA based on other social characteristics, such as their personal observation, experience, belief in the ecological conditions (Dalton et al., 2012; Holland & Quinn, 1987; Leleu et al., 2012; Paolisso, 2002) and self-identity with nature (J. L. Davis, Green, & Reed, 2009; Twichell et al., 2018) which could not be assessed in this research. For all the indicators, it shows that measuring correlations between indicators in the form of indices could be challenging (Hargreaves-Allen, Mourato, & Milner-Gulland, 2017) because each indicator, within the MPA, may have a different and unique driver (Cinner et al., 2012; Lester et al., 2009). The status of the Gili Matra area, after the implementation of zoning rules, may show not only the uniqueness of this MPA, but also the similarity with other MPAs, thus making it possible to transfer lessons learned between MPAs.

It is worth to acknowledge that in most analysis of the indicators on this research, resource users were considered as one group to allow for adequate sample sizes for analysis. The aggregation of data precluded more detailed comparative analysis of individual user groups (Dalton et al., 2012) based on their location (Gili Meno, Gili Air and Gili Trawangan) and main occupation (fishers, dive operator, snorkelling operator and boatman). Thus, the result cannot be applied specifically for those different groups.

Page 259: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

248 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2. Lesson Learned: Challenges and SuggestionLesson learned from a biological standpoint pertained to the comparison of the result between scientific results and community perception. The analysis suggests that the resource users’ perspectives complement and confirm the results of ecological monitoring but not to fully replace detailed ecological surveys (Dalton et al., 2012; Garces et al., 2013; Huntington, 2000; Mackinson, 2001; Yasue et al., 2010) done by the MPA managers, particularly in terms of recent changes in the resource condition. These perspectives can help to understand issues which have affected the resource conditions since zoning was implemented. The perspectives of resource users can confirm resource conditions and identify possible causes of environmental degradation (Downs, Woodley, Richmond, Lanning, & Owen, 2005). Although there is some mismatch in the results of evaluations between biophysical monitoring and community perceptions, resource users’ input is essential to help frame management strategies to improve MPA performance (Dalton et al., 2012). The different impressions of resource condition within the communities are essential for MPA managers to consider when developing management strategies.

Almost similar with biological standpoints, although perceived impact in socioeconomic may not be similar to the actual impact, the strong dichotomy in responses to socioeconomic benefits is in itself is useful for managers (Nathan James Bennett & Dearden, 2014b). The results presented in this study point to a complex relationship between fishers and marine tourism operators in Gili Matra, and also resource users from outside Gili, in the implementation of zoning rules. The challenges in the management of Gili Matra are not only synergising the two utilisation segments, fisheries and tourism, but also on how managing the access between local users and outsider. Similar to two previous indicators, in the governance indicators measurement, providing insight from the resource user perspective, which also complements the data regarding the management of the MPA. The main reason underlying negative responses of the governance of the MPA are quite similar to the other two indicators. This could be useful to help develop strategies and programs related to community outreach (Dalton et al., 2012).

All positive responses indicate optimism from resource users in Gili Matra toward the management of the MPA, which needs careful analysis to interpret (Yasue et al., 2010). The positive responses of the respondents showed the potential strength and opportunities for the management of Gili Matra MPA, for example viewing the MPA as an asset that should be preserved shows the importance of MPA for resource users. Furthermore, the importance of this research is to reflect

Page 260: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

249 MANAGEMENT EFFECTIVENESS OF GILI MENO, GILI AYER AND GILI TRAWANGAN (GILI MATRA)

MARINE PROTECTED AREA FROM RESOURCE USERS PERSPECTIVES

on the drawbacks or challenges in the current management system. Negative responses may indicate management weaknesses or challenges, as well as aspects that might need improvement.

The boundary markers issue was one of the reasons for the respondents to disobey the rules. Thus, one of the recommendations would be to arrange an agreement with resource users regarding zoning boundaries. Several options can be used as boundary markers between the zone. For example, fishers in Port Stephens-Great Lakes Marine Park, a multiple-use MPA located in the Hunter Region of NSW Australia, used zoning plan map, GPS, posted sign and buoys and landmarks as a reference to differentiate the zones (Martin, Momtaz, Jordan, & Moltschaniwskyj, 2016). The respondents suggested providing buoy for mooring. The facility can also be a marker for dive spot locations.

An issue of natural resources degradation, which is seen as an impact of tourism activities, may need further attention from the MPA managers. These issues have become challenges for MPA managers to find evidence that indicates marine tourism as one of the causes of resource degradation. This issue shows the urgency of MPA management to base investigations on science and evidence (Cvitanovic, McDonald, & Hobday, 2016; Stevens, 2002). Thus for this issue may result in a recommendation for conducting scientific research, for example, to measure the carrying capacity of the area (D. Davis & Tisdell, 1995) and providing code of conduct for marine tourism activities.

Other option could be collaborative management between the MPA authority, local government, NGO, private company and community. Marine tourism service providers have initiatives to carry out rehabilitation in the MPA. Partnership with the NGOs and local government also an option for conducting ecological surveys. The collaboration is expected to help overcome the challenges on Gili Matra for the requirement of continuity of scientific data. Collaboration between the MPA managers and the local community also suggested. For example, to conduct regular visits to the MPA sites, as well as to communicate the results of the ecological monitoring to the stakeholders via seminars or dissemination of printed materials such as leaflets in local events. This strategy may also assist the MPA managers in overcoming the issue regarding the intensity of management practices or patrols in the MPA, as well as for tackling the issue regarding the respondents who not yet know zoning regulations. Another option for increasing public awareness, besides direct communication as mentioned above, the concept of social marketing for informing conservation regulations, promoting the behaviour change and enhancing community pride to the MPA seems promising (Maibach, 1993). This concept may also help in establishing and optimising voluntary compliance which also becomes an issue in the management of Gili Matra MPA.

Page 261: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

250 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Another issue is climate change. Although the MPA manager already takes into consideration this issue by including climate change and disaster mitigation in the management plan. Protection and rehabilitation of the habitat, such as mangroves and seagrasses which have a contribution to carbon sequestration may be an option to strengthen the resilience of the MPA from climate change. A healthy ecosystem is expected to be more resilience to face the threats (Crooks, Herr, Tamelander, Laffoley, & Vandever, 2011; Hopkins et al., 2016; Otero, Garrabou, & Vargas, 2013). As mentioned before, the MPA manager has the opportunity to collaborate with marine tourism service providers to carry out rehabilitation.

Regarding the access issue, synergising the two utilisation segments, fisheries and tourism could be challenging. These including on how to manage the access between local users and outsider. Supplementary income for fishers can be an alternative to replace the loss of access in many MPAs (Webb et al., 2004) such as for fishers in Brazil (Lopes, Pacheco, Clauzet, Silvano, & Begossi, 2015) who perceived more financial benefit when they involved in tourism activities. However, more than half of fisher respondents in Gili Matra are over 39 years old, while the tourism workers are younger. An alternative livelihood for fishers should complement their abilities. Moreover, the strategies for access loss probably should be more than providing alternative income.

Combining MPA approach with rights-based fisheries management (RBFM) may become an option (Barner et al., 2015). There are various kinds of usage rights, as described by Charles (2002), which include access and withdrawal rights. This approach has the purpose of dealing with overfishing. The countries who had success to apply this program included Japan and Mexico (Poon & Bonzon, 2013). Both countries put society at the centre of the management process. The same concept or theory of RBFM can be adapted into different techniques in their application which depends on the characteristics of each area (Poon & Bonzon, 2013). Gili Matra MPA managers can modify the system of RBFM and ecotourism by combining the management of fisheries and marine tourism to issue permits or access to marine resources and allocate space to different groups based on location and take into consideration the people who live near to or far from a resource or area. For example, by setting a time or quota for the number of activities in the sustainable fisheries zone where marine tourism and fishing activities meet. Including on how to create a mechanism for resolving conflicts (if they occur). Definitely, all the process should through an agreement with the community as the users of the area.

The result from resource users’ perspective showed up the issue and possible option for coping the issues. From the issues and relevant suggestions offered, it appears that suggestion of improvement in one aspect may have a benefit

Page 262: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

251 MANAGEMENT EFFECTIVENESS OF GILI MENO, GILI AYER AND GILI TRAWANGAN (GILI MATRA)

MARINE PROTECTED AREA FROM RESOURCE USERS PERSPECTIVES

to overcome several issues all at once. The evaluation of MPA management effectiveness from resource users’ perspectives has the potential to improve the management, including for undertaking adaptive management.

D. ConclusionsAssessing resource users’ perceptions on three categories of management effectiveness resulting in different attainment of Gili Matra MPA indicators. These results showed that the MPA had both elements of success and elements with less than satisfactory results. From biological perspectives, Gili Matra MPA had less success in improving resource condition during the period of zoning rules implementation. While from socioeconomic criteria, Gili Matra had less performance on sharing equal benefits among different sectors. The result from socioeconomic criteria linked to the performance of governance indicators as socioeconomic has a positive correlation with the governance indicators. Having more than one mandate which should be attained, the achievement of Gili Matra MPA may indicate reasonable progress during the implementation of MPA zoning regulations. The findings showed the importance of detailed site-specific evaluation of MPAs to generate specific management advice, in this case from the view of resource users. Different percentages of achievement on findings also highlight that measuring and analysing the achievement of each indicator in the early stage of the evaluation process is more important than directly combining all indicators into one composite measure of MPA performance. One of the reasons because it can show the possibility of a correlation between different outcomes which may result in a different strategy for a specific site.

Learning from successes and less successful aspects is an adaptive management process, including in MPA management. This study demonstrates a lesson of conducting an assessment on the perception of resource users, not only as a complement and for a way to confirm the results of other evaluation methods that have been conducted by the MPA managers but also to find out what are the obstacles for the implementation of zoning rules. The challenges of the current management system in Gili Matra MPA related to on how to compromise to the impact of less access to the natural resource for community livelihood, to deal with a potential conflict of access between resource users, boundary markers, enforcement and natural resource degradation.

To further strengthen Gili Matra MPA management in the future, thoughts from the resource users can be taken into consideration including the recommendation for increasing dissemination of information to the stakeholders; providing a plausible alternative livelihood for fishers, building visible MPA boundary markers, creating and enforcing access rules in detail for each zone, conducting scientific

Page 263: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

252 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

research to measure the carrying capacity of the area, providing code of conduct for marine tourism and fishing activities, combining MPA approach with other approach such as Right Based Fisheries Management and ecotourism system may be promising and furthering community pride and ownership to the MPA.

It is hoped that this research could improve the information currently being used by those involved in the establishment and management of current and future MPAs in Indonesia and elsewhere. In particular, for improving the synergy between fisheries and marine tourism on multiple-use MPA. This research showed the importance of community involvement in the assessment process. It is suggested to integrate the result of scientific research and local knowledge perspectives to evaluate the progress of MPA in the future.

Page 264: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

253 MANAGEMENT EFFECTIVENESS OF GILI MENO, GILI AYER AND GILI TRAWANGAN (GILI MATRA)

MARINE PROTECTED AREA FROM RESOURCE USERS PERSPECTIVES

Page 265: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN
Page 266: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

19Analisis Faktor-Faktor yng Mempengaruhi

Kinerja Pegawai Balai Jasa Konstruksi

Nama : Dita Nurul Prasetia

Instansi : Balai Jasa Konstruksi Wilayah Vi

Makassar, Direktorat Jenderal Bina

Konstruksi Kementerian PUPR

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Pengembangan Wiilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Hasanuddin

Page 267: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

256 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 268: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

257 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJAPEGAWAI BALAI JASA KONSTRUKSI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisa (1) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi dan (2) besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi.

Penelitian ini menggunakan metode analisis faktor dan deskriptif kuantitatif. Adapun untuk menganalisa besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi digunakan metode regresi berganda. Data diperoleh melalui kuisioner.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi, yaitu kemampuan komunikasi, kesesuaian jabatan dengan kompetensi, orientasi hasil reward dan punishment, lingkungan kerja dan kesesuaian pendapatan dan (2) faktor orientasi hasil memiliki pengaruh tertinggi sebesar 45,4% dalam peningkatan kinerja pegawai balai jasa konstuksi diikuti dengan faktor lingkungan kerja sebesar 28,7%, faktor reward dan punishment sebesar 24,4%. Faktor-faktor kesesuaian jabatan dengan kompetensisebesar 17,8% dan faktor kesesuaian pendapatan sebesar 14,1%. Adapun, faktor kemampuan komunikasi berpengaruh tidak siginifikan terhadap kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi. Melalui peningkatan efektivitas perencanaan dan pengembangan SDM, penerapan perencanaan berorientasi hasil secara sisteatis dan berkelanjutan, penerapan sistem reward dan punishment dengan tepat dan konsisten, menciptakan lingkungan kerja yang produktif serta memberikan kompensasi tambahan, baik berupa materil mapun non materil dapat meningkatkan kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi.

• Kata Kunci: analisis faktor, kinera pegawai

Page 269: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

258 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangSalah satu permasalahan umum pada birokrasi di Indonesia adalah pola pikir dan budaya kerja aparatur yang belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif, produktif dan profesional (Perpres 81, 2010). Efektivitas organisasi sangat tergantung dari kualitas sumber daya manusia yang tersedia didalamnya karena sumber daya manusia merupakan aset paling penting dalam sebuah organisasi. Terutama dalam era globalisasi saat ini, organisasi dituntut untuk terus meningkatkan kinerja agar dapat bersaing di lingkungan industri yang semakin kompetitif. Oleh sebab itu organisasi menuntut agar para pegawainya mampu menampilkan kinerja yang optimal karena baik buruknya kinerja yang dicapai oleh pegawai akan berpengaruh pada kinerja dan keberhasilan organisasi secara keseluruhan.

Kinerja pegawai tentu saja tidak berdiri sendiri, sebab banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Dalam bekerja, tentu pegawai harus memiliki kompetensi yang memadai agar dalam bekerja pegawai dapat memberikan kinerja yang optimal. Kompetensi yang dimiliki pegawai secara individual harus mampu mendukung pelaksanaan strategi organisasi dan mampu mendukung setiap perubahan yang dilakukan manajemen (Rivai, 2009). Dengan kata lain, kompetensi yang dimiliki individu dapat mendukung sistem kerja berdasarkan tim. Dengan demikian, untuk mewujudkan keberhasilan program-program yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi, maka setiap pegawai didalamnya diharuskan memiliki standar kompetensi yang diperlukan.

Selain kompetensi kerja, budaya organisasi juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan kinerja pegawai. Budaya organisasi mengacu pada hubungan yang unik dari norma-norma, nilainilai, kepercayaan, dan cara berprilaku yang menjadi ciri bagaimana kelompok atau individu dalam menyelesaikan sesuatu. Budaya organisasi mengandung nilai-nilai yang harus dipahami, dijiwai, dipraktikan bersama oleh semua individu atau kelompok yang terlibat didalamnya. Budaya berhubungan dengan bagaimana organisasi membangun komitmen mewujudkan visi, memenangkan hati pelanggan atau stakeholder, memenangkan persaingan dan membangun kekuatan organisasi. Budaya menentukan kemajuan setiap organisasi, tidak peduli apapun jenis organisasi tersebut (Huntington dalam Zebua, 2009).

Budaya yang ada pada suatu organisasi akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara pegawai atau anggota dalam organisasi tersebut dalam berperilaku serta menyebabkan para pegawai atau anggota tersebut memiliki cara pandang yang sama dalam melaksanakan aktivitas pekerjaan. Perilaku yang selaras dengan kebijakan perusahaan akan mampu menciptakan kepuasan kerja bagi pegawai sehingga kepuasan kerja itu dapat menjadi pemicu kinerja pegawai

Page 270: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

259 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJAPEGAWAI BALAI JASA KONSTRUKSI

yang berkualitas sesuai harapan organisasi. Pegawai yang sudah memahami keseluruhan nilai-nilai organisasi akan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai kepribadian organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian mereka dalam bekerja, sehingga budaya organisasi juga akan memiliki dampak pada efisiensi dan efektivitas organisasi.

Budaya organisasi sebaiknya dimiliki oleh instansi pemerintah agar pegawai memiliki nilai-nilai, norma, acuan, dan pedoman yang harus dilaksanakan. Budaya organisasi juga sebagai pemersatu pegawai, peredam konflik dan motivator pegawai dalam melaksanakan tugas dengan baik, sehingga berpengaruh positif terhadap perilaku dan kinerja. Suatu perusahaan atau organisasi yang memiliki budaya yang kuat akan menghasilkan kinerja yang baik dalam jangka panjang. Budaya yang kuat artinya seluruh karyawan memiliki satu persepsi yang sama dalam mencapai tujuan organisasi.

Pegawai sebagai aset organisasi yang sangat berharga harus dikelola dengan baik oleh organisasi agar dapat memberikan kontribusi yang optimal. Salah satu hal yang harus menjadi perhatian utamaorganisasiadalahkepuasan kerja para karyawannyakarena karyawan yang dalambekerja mereka tidak merasakan kenyamanan, kurang dihargai, tidak bisamengembangkan segala potensi yang mereka miliki, maka secara otomatiskaryawan tidak dapat fokus dan berkonsentrasi secara penuh terhadappekerjaannya.

Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan hal yang bersifat individual, setiapindividual memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda– beda sesuaidengan keinginan dan sistem nilai yang dianutnya(Handoko, 2001).Semakin banyak aspek dalam pekerjaannya yang sesuai dengan keinginandan sistem nilai yang dianut individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yangdidapat. Demikian pula sebaliknya, semakin banyakaspek dalampekerjaannya yang tidak sesuai dengan keinginan dan sistem nilai yang dianutindividu, semakin rendah tingkat kepuasan yang didapat. Kepuasan kerjaadalah keadaan emosional yang menyenangkan dengan bagaimana parapekerja memandang pekerjaan mereka.Kepuasan kerja mencerminkanperasaan seseorang terhadap pekerjaannya yang dapat terlihat dari sikapkaryawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu di lingkungan pekerjaannya.

Balai Jasa Konstruksi merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) pada Direktorat Jenderal Bina Konstruksi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang mempunyai tugas melakukan pemberdayaan dan pengawasan bidang pembinaan jasa konstruksi. Organisasi pembinaan jasa konstruksi terus mengalami dinamika perubahan seiring waktu dan tahun 2016 menjadi titik awal penentuan standar kinerja Balai Jasa Konstruksi untuk lima tahun kedepan. Balai Jasa Konstruksi sebagai ujung tombak penyelenggaraan

Page 271: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

260 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

pembinaan jasa konstruksi dituntut untuk memberikan pelayanan optimal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat jasa konstruksi di Indonesia serta lebih siap dan sigap menghadapi tantangan-tantangan penyelenggaraan pembinaan jasa konstruksi kedepannya.

Beberapa permasalahan Sumber Daya Manusia pada Balai Jasa Konstruksi antara lain moratorium yang masih berlangsung, sedangkan jumlah pensiun terus bertambah sehingga terdapat banyak kekurangan pegawai berstatus ASN, berimplikasi pada jumlah Non-ASN yang melebihi jumlah seharusnya. Komposisi dan penempatan tidak sesuai dengan kompetensi, dimana latar belakang pendidikan tidak langsung berhubungan dengan deskripsi jabatan yang dipegang.Penilaian kinerja pegawai belum dilakukan secara menyeluruh, pegawai yang dinilai kinerjanya adalah ASN sedangkan untuk Non-ASN belum ada instrumen baku dalam menilai kinerja mereka. Penilaian prestasi kerja ASN masih bersifat normatif, belum menggambarkan kinerja sesungguhnya sehingga berdampak pada tunjangan kinerja yang diperoleh belum menggambarkan prestasi kinerja individu, tapi masih berdasarkan presensi. Selain itu, belum adanya kepastian karier yang jelas serta tingkat kesadaran akan disiplin yang masih rendah masih terjadi di lingkungan Balai Jasa Konstruksi.

Dalam upaya memberdayakan dan mengembangkan sumber daya manusia, manajemen telah banyak membekali pegawainya dengan menyelenggarakan program-program pelatihan setiap tahunnya, dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi pegawai dan meningkatkan kompetensi pegawai. Dengan meningkatnya kompetensi diharapkan karyawan dapat mengkomunikasikan ide-ide atau gagasannya kepada atasan, rekan sekerja maupun bawahannya dengan lebih baik, mampu memotivasi untuk bekerja lebih baik, mampu menjalankan peran dalam suatu posisi sejalan dengan kebutuhan organisasi untuk mencapai sasaran organisasi. Selain itu, diharapkan pegawai mampu mengelola emosinya dengan lebih baik, menunjukkan perilaku kerja yang baik terutama saat menghadapi situasi atau permasalahan yang sulit mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, yang berdampak pada kinerja karyawan.

Di sisi lain permasalahan yang menonjol sebagai akibat proses transformasi organisasi yaitu tidak mudah merubah budaya di dalam organisasi yang birokratis, rigid dan cenderung tertutup selama berpuluh-puluh tahun mengakar, menjadi budaya yang open-minded, entrepreneurial, dan independent, seperti layaknya sebuah entitas bisnis.

Page 272: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

261 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJAPEGAWAI BALAI JASA KONSTRUKSI

B. Kajian Permasalahan dan Metode PenelitianDari latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi?

2. Berapa besar pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi?

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didasarkan pada aliran positivistik dan bersifat deskriptif. Dengan pendekatan ini, diharapkan hasil yang diperoleh di lokasi penelitian dapat dijadikan sebagai generalisasi terhadap populasi yang telah ditetapkan. Data yang dibutuhkan untuk memberikan informasi pada penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden terkait berupa data kuantitatif yang dihimpun melalui penyebaran kuesioner.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan sensus, mengingat jumlah populasi yang sedikit. Pengertian sensus adalah teknik penentuan sampel apabila semua anggota populasi digunakan sebagai responden (Sugiyono, 2016). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa sensus teknik penentuan sampel menggunakan semua anggota populasi, sehingga peneliti mengambil jumlah sampel sama dengan jumlah populasi yaitu 156 orang pegawai Balai Jasa Konstruksi. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pembagian kuesioner kepaada responden, sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen pendukung terkait tujuan penelitian. Setiap responden diminta pendapatnya melalui pemberian jawaban atas pertanyaan ataupun pernyataan yang diajukan untuk mendapatkan data tentang indikator-indikator yang sedang dikembangkan dalam penelitian ini. Pertanyaan ataupun pernyataan tersebut dibuat dengan menggunakan skala Likert. Skala Likert yang digunakan adalah skala yang berisi lima tingkatan jawaban yang merupakan skala jenis ordinal yang terdiri dari sangat setuju (bobot 5), setuju (bobot 4), kurang setuju (bobot 3), tidak setuju (bobot 2), dan sangat tidak setuju (bobot 1).

C. Pembahasan Hasil AnalisisHasil perhitungan analisis pada tabel 14menunjukkan bahwa kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi akan optimal bila didukung dengan adanya kesesuaian jabatan dengan kompetensi, orientasi hasil, reward dan punishment, lingkungan kerja dan kesesuaian pendapatan. Hasil penemuan ini memperkuat hasil penelitian dari Ni Putu Adi Muliani (2017) yang menyatakan bahwa sistem

Page 273: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

262 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

reward mempengaruhi kinerja pegawai. Risdha (2017) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa kompensasi, iklim organisasi dan penempatan pegawai memiliki pengaruh terhadap kinerja pegawai.

Pada Balai Jasa Konstruksi, faktor orientasi hasil memilki pengaruh tertinggi dalam peningkatan kinerja pegawainya sebesar 45,4% diikuti dengan faktor lingkungan kerja sebesar 28,7%; faktor reward dan punishment sebesar 24,4%; faktor kesesuaian jabatan dengan kompetensi 17,8% dan faktor kesesuaian pendapatan sebesar 14,1%.

1. Pengaruh Kemampuan Komunikasi terhadap Kinerja Pegawai

Dari hasi uji t diperoleh hasil bahwa faktor kemampuan komunikasi berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi. Kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi tidak terlalu menuntut adanya kemampuan komunikasi yang baik, selama kemampuan individual lainnya dapat menghasilkan kinerja yang optimal. Hal tersebut bertentangan dengan hasil penelitian Laras (2006) yang menyatakan bahwa kompetensi komunikasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

Pada Balai Jasa Konstruksi, komunikasi kerja antar pegawai telah terjalin dengan sangat baik sehingga menciptakan unsur saling memahami satu sama lain. Meskipun rekan kerja memiliki kemampuan komunikasi yang kurang baik, kinerjanya masih dalam kategori bagus karena adanya dukungan dari rekan kerja yang memahami kondisi tersebut. Sehingga mereka saling membantu dalam mencapai tujuan organisasi bersama.

2. Pengaruh Kesesuaian Jabatan dengan Kompetensi terhadap Kinerja Pegawai

Dari hasi uji t diperoleh hasil bahwa faktor kesesuaian jabatan dengan kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi, sehingga semakin baik tingkat kesesuaian jabatan yang dipegang seorang pegawai dengan kompetensi yang dimilikinya maka akan semakin baik kinerja pegawai tersebut.

Proses penempatan merupakan suatu proses yang sangat menentukan untuk memperoleh pegawai yang kompeten karena penempatan yang tepat dalam suatu posisi jabatan akan dapat membantu organisasi dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan bahwa penempatan pegawai harus didasarkan pada job description dan job specification yang telah ditentukan sebelumnya serta berpedoman pada prinsip “The right man on the right place and the right man behind the job”(Hasibuan, 2005).

Page 274: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

263 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJAPEGAWAI BALAI JASA KONSTRUKSI

Menempatkan seseorang ke posisi pekerjaan yang tepat akan mempengaruhi jumlah dan kualitas pekerjaan yang dihasilkannya (Mathis dan Jackson, 2006). Kesesuaian jabatan dengan kompetensi yang dimiliki seorang pegawai memiliki keterkaitan dengan peningkatan kinerja pegawai, hal ini terjadi pada Balai Jasa Konstruksi,hal ini terjadi pada Balai Jasa Konstruksi. Hal ini juga mempengaruhi tingkat adaptasi pegawai Balai Jasa Konstruksi terhadap pekerjaan yang dikerjakannya. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Suwarti (2017) yang menyatakan bahwa kesesuaian penempatan jabatan dan kompetensi pegawai mempengaruhi kinerja pegawai. Implikasi kebijakan yang disarankan untuk memperoleh kinerja pegawai yang optimal adalah melakukan penempatan pegawai secara efektif sesuai dengan kompetensi yang dimilki.

3. Pengaruh Orientasi Hasil terhadap Kinerja Pegawai

Dari hasi uji t diperoleh hasil bahwa faktor orientasi hasil berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi, sehingga semakin tinggi tingkat orientasi hasil pegawai terhadap pekerjaannya akan diikuti oleh tingginya kinerja pegawai. Orientasi hasil sebagai bagian dari budaya organisasi, hal ini sejalan dengan penelitian Kadafi (2010) bahwa orientasi hasil mempunyai peran yang penting dalam peningkatan kinerja pegawai yang menunjukkan sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut. Sehingga harus dijadikan sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman pegawai untuk membantu organisasi dalam meningkatkan kinerja pegawainya.

Pada Balai Jasa Konstruksi, tuntutan pimpinan terhadap hasil pekerjaan sangatlah tinggi karena setiap jenis pekerjaan memiliki output yang harus dicapai. Output ini merupakan cerminan kinerja organisasi dan individu, sehingga semakin tinggi pencapaian jumlah output yang dikerjakan oleh pegawai maka kinerja organisasi pun akan semakin baik. Meskipun mengejar terpenuhinya target output tersebut, proses pencapaian yang ada didalamnya tetap diperhatikan. Terbukti dengan para pegawai yang senantiasa memperhatikan hal detail dalam penyelesaian setiap pekerjaan yang dilakukan berdasarkan prosedur yang ditetapkan meskipun pimpinan tidak berada dikantor.

4. Pengaruh Reward dan Punishment terhadap Kinerja Pegawai

Dari hasi uji t diperoleh hasil bahwa faktor reward dan punishment berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi, sehingga semakin baik sistem reward dan punishment akan diikuti oleh baiknya kinerja pegawai.

Page 275: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

264 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Reward atau penghargaan adalah balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawan atas dasar pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran (Sutrisno, 2009).Tujuan utama yang diharapkan oleh organisasi dari program reward adalah untuk menarik orang yang memiliki kualifikasi, mempertahankan karyawan agar terus datang untuk bekerja serta untuk memotivasi karyawan untuk mencapai kinerja yang tinggi (Ivancevich, 2006). Punishment adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja atau seseorang sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan (M. NgalimdalamPurwanto, 2006).

Dari beberapa pendapat diatas, punishment adalah suatu perbuatan yang kurang menyenangkan, yang berupa hukuman atau sanksi yang diberikan kepada pegawai yang diberikan kepada pegawai secara sadar ketika terjadi pelanggaran agar tidak mengulangi lagi. Jika reward merupakan bentuk yang positif, maka punishment adalah sebagai bentuk yang negatif,tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat perangsang pegawai untuk meningkatkan kinerjanya. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang dilakukan adalah untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruslan dan Rendra (2016) yang menyatakan bahwa reward dan punishment berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Pemberian reward dan punishment yang tepat bagi pegawai Balai Jasa Konstruksi akan menstimulus kinerja yang optimal terhadap organisasi. Namun sayangnya, saat ini pemberian reward dan punishment yang ada pada Balai Jasa Konstruksi dirasakan masih belum konsisten dan belum tepat pada sasaran.

5. Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Pegawai

Dari hasi uji t diperoleh hasil bahwa faktor lingkungan kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi, sehingga semakin baik kondisi lingkungan kerja akan diikuti oleh baiknya kinerja pegawai. Pegawai Balai Jasa Konstruksi merasakan bahwa organisasi saat ini memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengaktualisasikan diri dengan baik, hubungan kerja yang terjalin dengan baik menciptakan kemudahan dalam bekerjasama serta adanya perasaan senang terhadap kondisi lingkungan kerja yang ada sehingga mendukung terciptanya lingkungan kerja yang produktif.

Lingkungan kerja merupakan suatu alat ukur yang akan berpengaruh terhadap kinerja pegawai jika lingkungan kerja yang ada pada instansi itu baik (Winardi, 2007). Semakin baik lingkungan kerja meliputi hubungan yang harmonis dengan

Page 276: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

265 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJAPEGAWAI BALAI JASA KONSTRUKSI

atasan, rekan kerja, maupun bawahan, serta didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai akan membawa dampak yang positif bagi pegawai, sehingga kinerja pegawai dapat meningkat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ferry (2017) yang menyatakan bahwa lingkungan kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

6. Pengaruh Kesesuaian Pendapatan terhadap Kinerja Pegawai

Dari hasi uji t diperoleh hasil bahwa faktor kesesuaian pendapatan berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi, sehingga semakin baik tingkat pendapatan pegawai akan diikuti oleh baiknya kinerja pegawai.

Fitri (2009) menyatakan dalam penelitiannya bahwa pegawai dengan pendapatan rendah cenderung kurang fokus terhadap pekerjaan, pelayanan kurang memadai, sering meninggalkan tempat kerja rendahnya upaya meningkatkan profesionalisme dan lain sebagainya. Sehingga peningkatan pendapatan disinyalir dapat mampu menjadi trigger bagi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya.

Tingkat pendapatan pegawai Balai Jasa Konstruksi sendiri selama ini disesuaikan dengan kinerja yang diberikan pegawai terhadap organisasi, walau masih belum konsisten sehingga memerlukan komitmen yang serius dari para pimpinan. Masih terdapat adanya pegawai yang merasa tidak memperoleh keadilan dalam hal pendapatan yang diberikan, baik dalam bentuk insentif maupun non insentif serta ketidakadilan terhadap kesempatan peningkatan karir.

D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi antara lain kemampuan komunikasi, kesesuaian jabatan dengan kompetensi, orientasi hasil, reward dan punishment, lingkungan kerja dan kesesuaian pendapatan.

2. Faktor orientasi hasil dan lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi dibandingkan faktor lainnya karena kinerja pegawai saat ini didasarkan pada pencapaian jumlahoutput pekerjaan, sehingga semakin cepat pencapaian target output pekerjaan terlaksana maka kinerja pegawai akan dinilai semakin tinggi. Faktor lingkungan kerja pada Balai Jasa Konstruksi saat ini mampu memfasilitasi pegawai untuk

Page 277: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

266 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

mengaktualisasikan diri terhadap tujuan organisasi. Hal ini menciptakan hubungan kerja yang baik terjalin antar pegawai sehingga tidak ditemukan kesulitan dalam bekerja sama dalam pencapaian tujuan organisasi. Kondisi inilah yang dirasakan nyaman bagi para pegawai, sehingga mereka dapat menghasilkan kinerja yang optimal.

E. RekomendasiBerdasarkanhasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, berikut merupakan saran-saran yang perlu disampaikan guna meningkatkan kinerja pegawai Balai Jasa Konstruksi antara lain:

1. Meningkatkan efektivitas perencanaan dan pengembangan SDM melaluipeningkatan manajemen SDM meliputi peningkatan kualitas, penempatanSDM yang kompeten pada tempat dan waktu yang sesuai, sistem polakarir yang jelas dan terukur, pengelolaan SDM berbasis kompetensi, sertakeakuratan dan kecepatan penyajian informasi SDM sesuai kebutuhanmanajemen.

2. Menerapkan perencanaan berorientasi hasil secara sistematis danberkelanjutan. Tidak hanya dari segi kuantitas melainkan juga kualitas hasildari setiap program kerja yang akan dilaksanakan.

3. Menerapkan sistem reward dan punishment dengan tepat dan konsisten.

4. Menciptakan lingkungan kerja yang produktif melalui komunikasi yang baikantar rekan kerja, memberikan kebebasan pada pegawai untuk menciptakanruang kerja yang senyaman mungkin bagi mereka, support positif dari pihakmanajemen melaluiprogram mentoring dan coaching.

5. Memberikan kompensasi tambahan baik materiil maupun nonmateriil.

Page 278: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

267 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJAPEGAWAI BALAI JASA KONSTRUKSI

Page 279: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IVpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori Mini Tesis... · PEGAWAI (STUDI KASUS PADA INSTANSI BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN

Recommended