Date post: | 14-May-2018 |
Category: |
Documents |
Upload: | truongxuyen |
View: | 213 times |
Download: | 1 times |
PSIKOLOGIS TOKOH UTAMA DALAMNOVEL SANG PENCERAH
KARYA AKMAL NASERY BASRAL (TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)
SKRIPSI
Skripsi Ini Ditujukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Sastra (S-1) Pada Program Studi Sastra Indonesi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Halu Oleo
OLEH
ADAR SALIM
C1C1 11 122
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’allamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah Swt. Yang Maha Pengasih lagi maha penyayang atas limpahan rahmat, karuni
dan hidaya-Nya yang diberikan seperti dalam firman-Nya:
“Barang siapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu
adalah untuk dirinya sendiri” (Q.S. Al-Ankabut : 6).
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan maka apabila engkau telah
selesai (dari suatu urusan), maka kerjakan urusan yang lain dengan sungguh-
sungguh” (Q.S. Al-Insiyarah : 6-7).
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka
mengubah diri mereka sendiri” (Q.S. Ar-Ra’d : 11).
Dijadikan sebagai motifasi serta penyejuk hati dan pikiran penulis sehingga
dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul Psikologis Tokoh Utama
dalam novel sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral (Tinjauan Psikologi Sastra).
Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.
besert keluarga dan para sahabatnya, sebagai pembawa kebenaran sepanjang zaman
dan menjadi panutan terbaik bagi umat Islam.
Selama penulisan hasil penelitian ini banyak mengalami kendala dan
tantangan, namun berkat hidayah-Nya dan semangat penulis serta bantuan dari
berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Dalam kesempatan ini juga
penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua
v
orang tua penulis La Sariman, dan Wa Sunia untuk semuah kasih sayang, Materil,
semangat, nasehat serta doa terbaik yang selalu dipanjatkan kepada Allah Swt untuk
kelancaran dan kesuksesan penulis. Terima kasih juga penulis hanturkan kepada
Yanin Taeri, S.Pd., M.Sc. dan Eli Saniaiti Ole, S.Pd. yang telah memberikan
dukungan, secara moral maupun material kepada penulis selama mengikuti
pendidikan hingga hasil penelitian ini selesai.
Dengan penuh kerendahan hati dan rasa ikhlas, secara khusus penulis
mengucapkan terimakasih kepada Dr. La Ino, S.pd., M.Hum. selaku pembimbing I
dan Faika Burhan, S. S., M. A. selaku pembimbing II yang telah meluangkan
waktu, tanaga pikiran, dalam memimbing, mengoreksi, arahan, dan motifasi sejak
penulisan usulan penulisan hingga penulisan skripsi ini selesai.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis kepada Rektor Universitas
Halu Oleo Bapak Prof. Dr. Ir. H.Usman Rianse, M.S., Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Unifersitas Halu Oleo Ibu Dra. Wa Ode Sitti Hafsah, M.Si, serta Ketua Program
Studi Satra Indonesia FIB Universitas Halu Oleo Dr. La Ino, S.Pd., M.Hum. Ucapan
terima kasih juga penulis hanturkan kepada Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu
Budaya pada umumnya dan Program Studi Sastra Indonesia pada Khusunya yang
telah banyak memberikan bekal pengetahuan kepada penulis selama mengikuti
pendidikan.
Tak lupa pula penulis ucapan terimakasi kepada rekan-rekan (angkatan 2011)
Nani Sudarmin, Wa unia, Andika Sri Iyami, Fardin, Haina, Nurtini, Fitra Wati, Laode
Adi Rasyd, Marlina, Laode Muhammad Syadikin, La ode Asis Muliadin, Herlianti,
vi
Wa baria, Satrianti. Terima kasih telah mennghibur dan bantuan selamua pendidikan.
Ucapan terima kasih juga penulis kepada rekan-rekan KKN Nusantara 11 di
Kecamatan Palannga Desa Onembute Kabuten Konawe Selatan: Putri Rahayu, Jusri
Adin, Muammad Ridwan, Sinta, Nur, Hasrulalah, Apri, Rafi, Syarif, yang sama-sama
berjuang untuk menyelesaikan salah satu Tridharma perguruan tinggi yaitu
pengabdian kepada masyarakat. Seluruh pihak yang telah membantu melancarkan
penelitian dan penulisan ini yang tidak tersebutkan namanya ucapan terima kasih
tidak terhingga dari penulis.
Akhirnya penulis penyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak dan apabila masih terdapat kesalahan dalam hal ini, sekiranya
memberikan koreksi dan masukan untuk lebih baiknya tulisan ini. Semoga tugas
akhir ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Kendari, November 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iv
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii
ABSTRAK .................................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 7
1.6 Batasan Operasional .......................................................................... 8
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................... 9
2.1 Pengertian Psikologi Sastra ................................................................... 9
2.2 Teori Psikoanalisis Sigmud Freud ........................................................ 14
2.3 Landasan Konsep .................................................................................. 26
2.4 Konsep Novel ........................................................................................ 26
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 29
3.1 Metode dan Jenis Penelitian .................................................................... 29
3.2 Data dan Sumber Data ........................................................................... 29
3.3 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 30
3.4 Teknik Analisis Data .............................................................................. 30
BAB VI PEMBAHASAN .......................................................................... 32
4.1 Deskripsi Tokoh Utama dalam Novel Sang Pencerah .................. 32
4.2. Id, Ego, dan Superego Tokoh Ahmad Dahlan ................................ 37
4.2.1 Id Tokoh Ahmad Dahlan ............................................................... 37
4.2.2 Ego tokoh Ahmad Dahlam ............................................................. 39
4.2.3 Superego Tokoh Ahmad Dahlan .................................................... 44
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 48
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 48
5.2 Saran ................................................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA
viii
ABSTRAK
Adar salim (C1C1 11 122) Kondisi Psikologis Tokoh Utama Dalam Novel
Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral (Tinjauan Psikologi Sastra).
Dibimbing oleh Dr. La Ino, S.Pd., M.Hum., dan Faika Burhan, S.S., M.A. Penelitian
ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan untuk mengetahui psikologis tokoh utama
dalam novel tersebut. Alasan memilih psikologis tokoh utama dalam novel ini
karena ingin melihat proses dan bentuk perjuangan tokoh Ahmad Dahlan dalam
menyiarkan agama Islam semasa hidupnya di Kauman, Yogyakarta. Jenis penelitian
ini adalah kepustakaan dengan menggunakan metode deskripti kualitatif. Data yang
terdapat dalam penelitian ini adalah data yang berupa teks yang terdapat dalam
novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral. Penelitian ini menggunakan
Tinjauan Psikologi Sastra yang menekankan aspek psikogis tokoh utama dengan
menerapkan teori psikoanalisis Sigmud Freud berupa id,ego, dan superego. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tiga aspek kepribadian yakni id, ego, dan superego
sangat berperan dalam perjalanan hidup serta proses perjuangan yang ditempuh oleh
Ahmad Dahlan sebagai tokoh utama dalam novel tersebut. Dari data analisis
diperoleh hasil bahwa Ahmad Dahlan sebagai tokoh utama mengendalikan dirinya
melalui peranan superego yang cukup dominan. Hal tersebut diperoleh melalui data-
data penelitian yang menunjukkan perjuangan, dedikasi, dan pengaruh seorang
Ahmad Dahlan sebagai pelopor dan pembaharu dalam kehidupan masyarakat di
Kauman.
Kata kunci: Ahmad Dahlan, muhammadiyah, dan psikoanalisis
ix
ABSTRACT
Adar Salim (C1C1 11 122) Psychological Condition Main Figures In The
Enlightenment Novel Akmal works Nasery Basral (Psychology Review Letters). Supervised by . La Ino, S.Pd., M.Hum., And Faika Burhan, S.S., M.A. This research
is motivated by an interest to know the psychological condition of the main character
in the novel. The reason for choosing the psychological condition of the main
character in this novel because he wanted to see the process and forms of struggle
Ahmad Dahlan figures in broadcast the Islamic religion during his lifetime in
Kauman, Yogyakarta. This type of research is the literature by using qualitative
descriptive method. Data contained in this research is data in the form of text
contained in the.
Enlightenment novel Akmal works Nasery Basral. This study uses a
Psychology Literature Review which emphasizes aspects psikogi main character by
applying Freud's psychoanalytic theory Sigmud form of id, ego, and superego. The
results showed that the three aspects of the personality of the id, ego, and superego
was instrumental in the journey of life and the process of struggle adopted by Ahmad
Dahlan as the main character in the novel. From the data analysis of the obtained
results that Ahmad Dahlan as the main character to control him through superego a
dominant role. This is obtained through the research data that show the struggle,
dedication, and the influence of Ahmad Dahlan as a pioneer and innovator in the lives
of people in Kauman.
Keywords: Ahmad Dahlan, Muhammadiyah, and psychoanalysis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Karya sastra merupakan hasil karangan manusia yang menceritakan tentang
realitas sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang terjadi di sebuah wilayah. Isi yang
terkandung di dalamnya mempunyai makna sehingga mampu menggugah perasaan
untuk dijadikan renungan dan introspeksi diri sebab karya sastra bukan hanya
sekedar tumpukan kata-kata indah semata.
Karya sastra menurut ragamnya terbagi menjadi tiga, yaitu prosa, puisi, dan
drama. Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji prosa yang berbentuk sebuah
novel. Karya novel biasanya mengangkat berbagai fenomena yang terjadi di
masyarakat. Karya-karya yang menarik itu dapat mempengaruhi jiwa pembaca
sehingga dapat menyelami dan seolah-olah hadir dalam cerita tersebut.
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang memiliki dua unsur
yaitu unsur intrisik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang
kehidupan manusia dengan bermacam-macam masalah dalam interaksi dengan
lingkungan dan sesamanya. Novel sebagai sebuah karya sastra menawarkan sebuah
dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan. Novel yang dibangun melalui
berbagai unsur intrisik seperti peristiwa plot, tokoh (penokohan), latar, sudut
pandang dan lain-lain. Kesemuanya itu bersifat non eksistensial yang sengaja
dianalogikan dengan dunia nyata beserta peristiwa dan latar aktualnya, sehingga
2
tempat sungguh ada dan terjadi, serta terlihat berjalan seperti sistem koherensi sendiri
(Nurgiyantoro, 2005: 4).
Novel Sang Pencerah misalnya, merupakan cerita yang mengisahkan
perjuangan seorang tokoh pemuda yang menuntut ilmu untuk mengubah pola pikir
dalam kehidupan sosial masyarakat yang selalu mengagungkan nilai tradisi
dibandingkan nilai religius. Aspek keagamaan ini menjadi suatu pedoman
menyeluruh dan mengubah tradisi-tradisi yang berkembang dalam kehidupan,
misalnya, perubahan arah kiblat, penyetaraan kasta sosial, yasinan, penyambutan
bulan ramadhan yang selalu dihiasi dengan penaburan bunga dan beras di pojok
masjid dan lain-lain.
Novel Sang Pencerah sengaja dipilih oleh peneliti untuk dianalisis karena
memiliki keterkaitan dengan kehidupan nyata tokoh K.H. Ahmad Dahlan sebagai
pendiri Muhammadiyah. Tokoh utama dalam novel tesebut menggambarkan sosok
dan kerja keras Ahmad Dahlan dalam menjalankan dakwahnya. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk menganalisis peran id, ego, dan superego sang tokoh utama
dalam mencapai misinya.
Selain itu, novel Sang Pencerah memiliki beberapa kelebihan yang dapat
diteliti dari segi isi dan bahasanya. Dari segi isi, novel megisahkan kehidupan K. H.
Ahmad Dahlan dan perjuangannya mendirikan Muhammadiyah, seorang yang
sedikit bicara tapi kaya gagasan, teguh hidup sederhana tetapi mampu
mengembangkan amal yang mengubah dunia, suka berdebat tapi hangat bersahabat.
3
Ia adalah seorang yang mampu mendudukkan antara kata dengan tingkah laku
sehingga betul-betul iman itu tidak hanya diyakini, tetapi juga diamalkan dalam
bentuk nyata. Isi novel tersebut mengispirasi kita untuk selalu berpikir dan berkarya
nyata melalui keikhlasan, agar memberi manfaat untuk kita semua.
Kelebihan lain dari novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral ini,
yaitu terletak pada gaya bahasasnya yang seolah-olah mampu membuat pembaca
merasakan sendiri peristiwa yang terjadi dalam cerita. Hal itu terlihat dari
kepiawaiannya dalam menyusun kata-kata yang menggambarkan keadaan di sana
menjadi nyata dan hidup. Selain itu, penggunaan bahasa yang lugas, komunikatif dan
mudah dipahami menjadikan pembaca dapat dengan mudah merasakan pengalaman
batin melalui penceritaan yang diekspresikan pengarang dalam setiap susunan
kalimatnya.
Wellek dan Werren (1993:95) berpendapat bahwa pengarang sebagai pribadi
mempunyai kebebasan atau seniman boleh mencampuradukkan antara kenyataan
dengan khayalan pada tokoh-tokohnya. Pengarang secara sadar dapat mengontrol
masuknya imajinasi-imajinasi dalam alam bawah sadar yang kemudian mengalami
metamorfosis dalam cerita naratif yang dihadirkan melalui tokoh cerita. Tokoh
merupakan tiruan dari orang-orang yang hidup dalam masyarakat dan tokoh-tokoh
dengan sifat yang diciptakan sendiri oleh pengarang.
Kehidupan yang digambarkan oleh pengarang dalam karya sastra (novel)
adalah kehidupan rekaan panjang. Kehidupan di dalam karya sastra adalah
4
kehidupan yang telah diwarnai dengan sikap pengarang, latar belakang pendidikan,
dan sebagainya (Pradopo,1997:36). Oleh karena itu, novel dengan manusia
mempunyai hubungan erat, sebab novel sebagai karya sastra merupakan hasil dan
budi daya pikir manusia yang didasarkan pada pengamatan dan pengalaman pribadi
pengarang tentang kehidupan manusia.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti
memfokuskan penelitian pada kondisi psikologis tokoh utama novel Sang Pencerah
Karya Akmal Nasery Basral dengan pendekatan psikologi sastra. Ditinjau dari segi
penciptaannya novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral menceritakan
gejolak hidup tokoh K.H. Ahmad Dahlan dan perjuanganya mendirikan
Muhammadiyah.
Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku
manusia, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya.
Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak,
tingkah laku yang disadari maupun yang tidak disadari. Dapat diketahui bahwa
pengertian psikologi merupakan ilmu tentang tingkah laku. Pada hakekatnya tingkah
laku manusia itu sangat luas, semua yang dipahami dan dilakukan manusia
merupakan tingkah laku.
Psikologi sastra merupakan kajian sastra yang memandang karya sebagai
aktivitas kejiwaan. Psikologi muncul dalam dunia sastra bukan tanpa sebab
melainkan adanya beberapa faktor. Pertama, ilmu psikologi dibutuhkan dalam sastra
5
untuk mengkaji psikologi pengarang, pembaca serta tokoh-tokoh rekaan dalam karya
sastra dan hubunganya dengan teori psikologi sastra yang dikenal dengan id, ego dan
superego (Endraswara, 2008).
Berdasarkan pengamatan peneliti di Perpustakaan UHO, sudah ada beberapa
peneliti yang mengangkat psikologi tokoh dalam sebuah karya sastra sebagai bahan
penelitan mereka. Akan tetapi, penelitan dengan objek kajian berupa psikologis
tokoh dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral belum perna
dianalisis.Yamin (2005) Universitas Halo Oleo kendari dengan judul penelitan
“Analisis Aspek psikologis dalam Novel Dari lembah ke Coolibah karya Titis
Basino”. Berdasarkan hasil analisisnya, ada tiga aspek yang dirasakan oleh tokoh
dalam novel ini yaitu aspek mentalitas yang dialami oleh tokoh aku tergambar
dalam perjalanannya ke Mekkah inilah yang menjadi waw-was karena perjalanannya
tidak didampingi oleh muhrimnya, aspek moralitas sebagai salah satu aspek
psikologi dari dalam tokoh aku mengalami pertahanan ego yang terdiri dari resepsi,
penokohan, pengalihan proyeksi, khayalan, rasionalisasi.
Muhamad Yobi (2011) dengan judul “Analisis Psikologi Tokoh Novel Batas
Memanjang karya A.D.Donggo”. Berdasarkan hasil analisinya, dengan kesimpulan
bahwa latar tempat yang terdapat dalam novel ini ada dua, yaitu latar waktu dan latar
tempat. Kemudian berdasarkan aspek psikologi tokoh dalam novel ini apabila
dianalisis menggunakann teori Sigmud Freud, tokoh dalam novel ini id lebih besar
daripada ego dan superego.
6
Penelitian lain yang sejenis dengan penelitian ini oleh Niswa Ningsi
dengan judul “Psikologi Tokoh Cerita novel Anak-anak Langit karya Zhenal
Fanani”. Berdasarkan hasil analisisnya, dengan kesimpulan bahwa latar yang
terdapat dalam novel ini yaitu ada dua, latar tempat dan latar waktu. Berdasarkan
aspek psikologi tokoh dalam novel Anak-anak langit secara umum id lebih besar
daripada ego dan superego.
Dari ketiga penelitan tersebut ada perbedaan dan persamaan yang akan
dilakukan peneliti. Perbedaan dari ketiga penelitan di atas dengan penelitan yang
akan dilakukan peneliti adalah terletak pada objek penelitian. Sedangkan
persamaanya terletak pada teori yang digunakan dan pendekatannya. Adapun objek
yang digunakan peneliti dalam penelitiannya yaitu novel Sang Pencerah karya Amal
Nasey Basral dengan mengunakan teori Sigmund Freud.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana peran id, ego, dan superego tokoh utama dalam novel Sang Pencerah
karya Akmal Naseri Basral.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui Id, Ego, dan Superego pada Tokoh Utama dalam novel Sang Pencerah
karya Akmal Nasery Basral.
7
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian terbagi menjadi dua jenis yaitu manfaat teoretis dan
manfaat praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis, diharapkan member kontribusi pengembangan kajian-kajian
sastra, kusunya kajian psikologi tokoh berdasarkan teori Sigmund Freud.
2. Adapun manfaat praktisnya yaitu:
a..Penelitin novel Sang pencerah karya Akmal Nasery Basral dapat menambah
referensi penulisan karya sastra dan membuat wawasan kepada pembaca tentang
aspek sosial
b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi mahasiswa khusunya
mahasiswaprogram studi Sastra Indonesa
c. Penulisan ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam mengungkapkan makna
psikologi tokoh yang terkandung dalan novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery
Basral
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup penelitian ini yaitu mengungkap mengenai kondisi psikologis
toko utama.Peneliti kemudian membatasi satu tokoh yang akan dikaji yaitu K.H.
Ahmad Dahlan dalam novel Sang Phencerah karya Akmal Nasery Basral dengan
teori Sigmud Freud yaitu id,ego, dan ansuperego
8
1.6 Batasan Operasional
Dalam penelitian ini ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan untuk menghindari
kesalapahaman. Istilah-istilah yang dijelaskan adalah:
a. Novel adala cerita prosa yang yang menceritakan suatu kejadian luar biasa
sehingga melahirkan suatu konflik yang mengakibatkan adanya perubahan
nasib pelakunya (Sumaryanto, 2010: 64). Novel merupakan sebuah karangan
prosa yang tergolong panjang yang mengandung susunan cerita kehidupan
seseorang dengan orang yang berada di sekitarnya. Selain itu, dalam novel juga
menonjolkan watak setiap tokoh.
b. Tokoh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelaku yang mengembangkan
peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita.
c. Kondisi psikologi yang dimaksud adalah peran id, ego, dan superego tokoh
utama dalam menjalankan tujuan perjuangan.
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Psikologi Sastra
Untuk menganalisis tokoh utama dalam novel Sang Pencerah maka digunakan
pendekatan Psikologi Sastra dengan menggunakan teori Psikoanalisa Sigmund Freud
dengan memusatkan penelitian pada Id, Ego dan Superego tokoh utama.
Menurut Sangidu dalam Semi (2004: 30) Psikologi sasrtra adalah suatu
disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu karya yang memuat peristiwa-
peristiwa kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner yang ada di
dalamnya atau mungkin juga diperankan oleh tokoh-tokoh faktual. Dengan kata lain,
psikologi sastra adalah suatu disiplin yang menganggap bahwa sastra menuat unsur-
unsur psikologis.
Menurut Goldman (dalam Hafiud Udin 2013: 19) subjek karya sastra bukan
personal melainkan impersonal yang diidentifikasi oleh kelas-kelas sosial tertentu.
Relevansi analisis psikologi diperlukan pada saat tingkat perbedaan mencapai
kemajuan, pada saat manusia kehilangan pengendalian psikologi.
Tujuan psikologi sastra tidak bermaksud memecahkan masalah-masalah
psikologis praktis seperti di atas. Secara defenitif, tujuan psikologi sastra adalah
memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun
10
demikian bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan
kebutuhan masyarakat, sesuai dangan hakikatnya memberikan pemahaman kepada
masyarakat secara tidak langsung.
Secara defenitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek
kejiwaan yang terkandung di dalam suatu karya pemahaman teradap para tokoh,
misalnya, masyarakat memahami perubahan kontradiksi dan penyimpangan-
penyimpangan lain yang terjadi di masyarakat, khususnya yang tekait dengan psikis.
Ada tiga cara yang dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan
sastra, yaitu: (a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, (b)
memahami unsur-unsur kejiwaan para tokoh fiksional dalam karya sastra, dan (c)
memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca Pada dasarnya psikologi sastra
memberikan perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh fiksinal yang tekandung
dalam karya sastra ( Minderop, 2013: 54).
Menurut Minderop dalam Endraswara (2013: 59) Psikologi sastra adalah
sebuah iterdisiplin antara psikologi dan dan sastra. Mempelajari psikologi sastra
sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam. Mungkin
aspek dalam ini yang acap kali bersifat objektif, yang membuat para pemerhati sastra
mengangapnya berat. Sesungguhnya belajar psikologi sastra amat indah, karena kita
dapat memahami sisi keadaan jiwa manusia, jelas amat luas dan amat indah.
Dayatarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melikiskan potret jiwa.
Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa
11
orang lain. Setiap pengarang kerap kali menambahkan pengalaman sediri dalam
karyanya dan pengalaman pengarang itu sering pula dialami orang lain.
Tanpa kehadiran psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiwaan,
kemungkinan pemahaman sastra akan timpang. Kecerdasan sastrawan yang sering
melampaui batas kewajaran mungkin bisa dideteksi lewat psikologi sastra. Itulah
sebabnya pemunculan psikologi sastra perlu mendapat sambutan. Setidaknya sisi lain
dari sastra akan terpahami secara personal dengan penelitian psikologi sastra.
Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan
proses dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting
yang perlu dipahami adalah sejau mana keterlibatan psikologi pengarang dan
kemampuan pengarang memikirkan para tokoh rekaan yang telibat dengan masalah
kejiwaan.
Sebenarnya sastra dan psikologi dapat bersimbiosis dalam perannya terhadap
kehidupan, karena keduanya memiliki fungsi dalam hidup ini. Keduanya sama-sama
berurusan dengan persoalan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sossisal.
Keduanya memanfaatkan landasan yang sama yaitu menjadikan pengalaman manusia
sebgai bahan telaah oleh karena itu pendekatan psikologi sangat penting dalam
penelitian karya sastra.
Menurut Minderop dalam Abrams (2013: 61-62) terkait dengan hubungan
antara sastra dan psikologi, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan pertama,
suatu karya sastra harus merefleksikan kekuatan, kekaryaan dan kepakaran
penciptanya. Kedua, harus memiliki keistimewaan dalam hal gaya dan masalah
12
bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang. Ketiga,
masalah gaya, struktur dan tema karya sastra harus saling terkait dengan elemen-
elemen yang mencermimkan pikiran dan perasaan individu.
Menurut Minderop dalam Endraswra (2013: 55) psikologi sastra dipengaruhi
oleh beberapa hal. Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan
dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious)
yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk conscious. Kedua, telaah psikologi
sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologis dalam diri para tokoh yang
disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca merasa terbuai oleh
problema psikologis kisahan yang kadang kala merasakan dirinya terlibat dalam
cerita.
Menurut Endraswara (2013: 97-98) pada dasarnya, psikologi sastra terdiri atas tiga
pendekatan yaitu,pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologiis
tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif- pragmatik, yang mengkaji
sapek psikologis pembaca sebagai pemikat karya sastra yang terbentuk dari, serta
proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga pendekatan ekspresif,
yakni pendekatan yang mengkaji aspek psikologi sang penulis ketika melakukan
proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya.
Dalam pandangan Endaswara (2013: 98-99), psikologi sastra mempunyai
empat penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologis sebagai tipe atau sebagai
pribadi. Studi ini cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti berusaha menangkap
kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menciptakan karya sastra. Kedua,
13
penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi ini berhubungan
pula dengan psikologi proses kreatif. Bagaimana langkah-langkah psikologis kita
mengekspresikan karya sastra menjadi fokus. Ketiga, peneliti hukum-hukum
psikologi yang ditetapkan pada karya sastra. Dalam kaitan ini studi dapat diarahkan
pada teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis kedalam sebuah teks sastra. Studi
ini yang benar-benar mengangkat teks sastrasebagai wilayah kajian. Keempat,
penelitian dampak psikologis teks sastra pada pembaca. Studi ini lebih cenderung
kearah aspek-aspek pragmatik psikologis teks sastra terhadap pembacanya. Dalam
penelitian ini, penulis akan fokus pada psikologi karya menggunakan psikoanalisis
Sigmund Freud.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, teori psikologi yang dominan dalam
menganalisis karya sastra adalah teori Freud (1991) yang membedakan kepribadian
menjadi tiga macam, yaitu: id, ego, dan superego. Banyak pendapat yang
mengatakan bahwa teori Freud hanya hasil mengungkap genesis karya sastra, jadi
sangat dekat dengan penelitian proses kreatif. Teori Freud dengan demikian tak
terbatas untuk menganalisis unsur serta proses kreatif yang diduga sebelumnya.
Tugas psikologi adalah menganalisis kesadaran jiwa manusia yang terdiri
dari unsur-unsur struktural yang sangat erat hubungannya dengan proses-proses
panca indra. Kaitannya dengan psikologi sastra, Wellek (1990: 41) mengemukakan
bahwa karakter dengan cerita novel-novel lingkungannya serta plot yang terbentuk
sesuai dengan kebenaran dalam psikologi kadang-kadang ilmu jiwa dipakai oleh
pengarang untuk melukiskan tokoh-tokoh serta lingkungannya.
14
2.2 Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Teori psikoanalisis Sigmund Freud banyak memberikan kontibusi dan
megilhami pemerhati psikologi sastra.dengan pertimbangan bahwa karya sastra
mengandung aspek-aspek kejiwaan yang sangat kaya maka amalisis psikologi sastra
perlu dikembangkan secara lebih serius (Minderop: 2013: 2).
Psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar 1900-an oleh Sigmund
freud. Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan pandangan mental
manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan kontribusi
besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini.
Minderop dalam Koeswara (2013: 9) meyatakan bahwa dalam psikologi terdapat
tiga aliran pemikiran salah satunya adalah psikoanalisis yang menghadirkan manusia
sebagai bentukan dari naluri-naluri dan konflik-konflik struktur kepribadian.
Konflik-konflik sruktur kepribadian ini ialah konflik yang timbul dari pergumulan
antara id, ego, dan superego.
Menurut para psikoanalisis, istilah kepribadian ialah pengutamaan alam bawah
sadar yang berada di luarkesadaran yang membuat struktur berpikir diwarnai oleh
emosi. Mereka beranggpan, prilaku seseorang sekedar wajah permukaan
karateristiknya, sehingga untuk memahami kepribadian seseorang, harus diamati
secara simbolis dan pikiran-pikiran yang paling mendalam dari orang tersebut.
Anggapan di atas memperoleh tempat utama dalam teori kepribadian Sigmund freud.
15
Dalam teori psikoanalisisnya, Sigmud Freud mengemukakan gagasanya bahwa
kesadaran merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan sebahagiaan
besarnya adalah ketidaksadaran atau atau tidak sadar. Kesadaran ini dapat menyublik
ke dalam proses kreatif pengarang.
Menurut Endraswara dalam Ningsi (2015:22) Teori kepribadian yang
diungkapkan oleh Sigmund Freud terkenal dengan nama psikoanalisa. Dalam teori
ini kepribadian dipandang sebagai sebuah struktur yang terdiri atas tiga struktur
atau sistem, yaitu id, ego, dan superego. Kajian psikologi sastra berusaha
mengungkapkan psikoanalisis kepribadian yang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu
id, ego, dan superego. Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan
serta membentuk totalitas, dan tingkah laku manusia tak lain merupakan produk
interaksi ketiganya.
Koeswara dalam Freud (1991:32) menyatakan bahwa dalam teori psikoanalisa,
kepribadian dipandang sebagai suatu struktur yang terdiri dalam tiga unsur atau
sistem yakni id, ego, dan superego. Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki fungsi
kelengkapan, prinsip-prinsip operasi, dinamisme, dan mekanisme masing-masing,
ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain berkaitan serta membentuk suara
totalitas. Tingkah laku manusia tidak lain merupakan produk interaksi antara id,
ego, dan superego itu. Mengenai kepribadian dalam rangka psikoanalisa, diuraikan
ketiga sistem kepribadian.
16
a. Id
Id (istilah Freud; dan Es) sistem kepribadian yang paling mendasar, sistem
yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Untuk dua sistem yang lainnya, ia
adalah sistem yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur energi yang
dibutuhkan oleh sistem-sistem tersebut untuk operasi-operasi atau kegiatan-kegiatan
yang dilakukannya. Dalam soal energi ini, id tidak bisa mentoleransi penumpukan
energi yang bisa menyebabkan meningginya taraf tegangan organisme atau individu
secara keseluruhan. Bagaimanapun, bagi individu meningginya tegangan itu akan
merupakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Karena itu, apabila tegangan
pada organisme meningkat, baik karena adanya situasi dari luar (suhu, cahaya, dan
bunyi bunyi intesif tinggi) maupun karena adanya stimulasi dari dalam (lapar, haus,
kekurangan oksigen), maka id akan berusaha meredam atau mengurangi tegangan
yang meninggi itu serta mengembalikannya pada taraf semula.
Dorongan-dorongan dari Id dapat dipusatkan melalui proses primer yang
dapat diperoleh dengan tiga cara:
a. Perbuatan
Seorang bayi yang sedang timbul dorongan primitifnya,misalnya menangis
karena ingin menyusu pada ibunya. Bayi akan berhenti menangis ketika ia
menemukan puting susu ibunya dan mulai menyusu.
17
b. Fungsi kognitif
Yaitu kemampuan individu untuk membayangkan atau mengingat hal-hal
yang memuaskan yang pernah dialami dan diperoleh. Dalam kasus ini individu akan
berhayal terhadap hal-hal yang nikmat atau menyenangkan.
c. Ekspresi dari Efek atau Emosi
Yaitu dengan memperhatikan emosi tertentu akan terjadi pengurangan
terhadap dorongan-dorongan primitifnya. Namun, segera memuaskan kebutuhan ini
tidak selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh
prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita
inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku
semacam ini akan mengganggu dan secara sosial tidak dapat diterima. Menurut
Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip
kesenangan melalui proses utama yang melibatkan pembentukan citra mental dari
objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.
Dari sini bisa diperoleh gambaran bahwa id dalam menjalankan operasinya
dilandasi oleh maksud mempertahankan konsentrasi (the principle of constancy) yang
ditunjukan untuk menghindari keadaan yang menyenangkan (the pleasure principle).
Untuk keperluan mencapai maksud dan tujuan itu, id memiliki perlengkapan
berupa dua macam proses. Proses yang pertama adalah tindakan-tindakan refleks,
yakni suatu bentuk tingah laku atau tidakan yang mekanisme kerjannya yang
18
otomatis dan segera, serta adanya pada individu yang merupakan bawaan. Contohnya
refleks mengisap, batuk, mengedipkan mata, dan bersin. Proses yang kedua adalah
proses primer, yakni suatu proses yang melibatkan sejumlah psikologis yang rumit.
Proses primer ini bermaksud bahwa id (dan organisme secara keseluruhan) berusaha
mengurangi tegangan dengan cara membentuk bayangan dan objek yang bisa
mengurangi tegangan. Orang yang sedang lapar tidak akan menjadi kenyang dengan
membayangkan makanan atau mimpi memakan makanan. Dengan demikian,
organisme atau individu membutuhkan sistem lain yang bisa menggerakkannya
kepada pengurangan-pengurangan ketegangan secara nyata atau sesuai dengan
kenyataan. Sistem yang dihubungkan ini tidak lain adalah ego.
b. Ego
Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah kepada
dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya bedasarkan prinsip
kenyataan. Apabila dikaitkan dengan contoh orang yang sedang lapar maka bisa
diterapkan bahwa ego bertindak sebagai petunjuk atau pengarah pada orang yang
sedang lapar ini kepada makanan. Artinya, menurut petunjuk ego, orang yang
sedang lapar tersebut akan berpikir bahwa pihak tegangan yang dirasakan akibat
kebutuhan akan makanan (lapar) hanya bisa diatasi dengan jalan memakan makanan.
Ego mempunyai beberapa fungsi diantaranya:
a) Menahan menyalurkan dorongan
19
b) Mengatur desakan dorongan-dorongan yang sampai pada kesadaran
c) Mengarahkan suatu perbuatan agar mencapai tujuan yang diterima
d) Berpikir logis
e) Mempergunakan pengalaman emosi-emosi kecewa sebagai tanda adanya suatu
yang salah,yang tidak benar,agar kelak dapat dikategorikan dengan hal lain
untuk memusatkan apa yang akan dilakukan sebaik-baiknya.
Menurut Freud, ego terbentuk pada struktur kepribadian individu sebagai
hasil kontak dengan dunia luar. Adapun proses yang dimiliki dan dijadikan ego
sehubungan dengan upaya memasukan kebutuhan atau mengurangi tegangan oleh
individu adalah proses sekunder. Dengan proses sekunder ini, ego meformulasikan
rencana bagi pemuasan kebutuhan dan menguji apakah rencana tersebut
dilaksanakan dengan baik atau tidak.
Sekilas akan tampak bahwa antara id dan ego hampir selalu terjadi konflik
atau pertentangan. Tetapi bagaimanapun, menurut Freud, ego dalam menjalankan
fungsinya tidaklah ditunjukkan untuk menghambat pemuasan kebutuhan-kebutuhan
atau naluri-naluri yang berasal dari id, melainkan bertindak sebagai perantara dari
tuntutan-tuntutan naluriah organisme di satu pihak dengan keadaan lingkungan di
pihak lain. Yang dihambat oleh ego adalah pengungkapan naluri-naluri yang tidak
layak atau tidak bisa diterima oleh lingkungan, jadi fungsi yang paling mendasar
dari ego itu tidak lain sebagai pemelihara kelangsungan hidup individu.
20
c. Superego
Superego (istilah Freud: das Ueberich) adalah sistem kepribadian berisikan
nilai-nilai atau aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik buruk).
Menurut Freud, superego terbentuk melalui intenalisasi nilai-nilai atau aturan-
aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh, atau berarti
bagi individu tersebut seperti orang tua dan guru. Adapun fungsi utama superego
adalah: (a) sebagai pengendali dorongan-dorongan atau implus-implus naluri id agar
implus-implus tersebut disalurkan dalam cara atau bentuk yang dapat diterima oleh
masyarakat; (b) mengarahkan ego pada tujuan-tujuan yang sesuai dengan moral
ketimbang dengan kenyataan; dan (c) mendorong individu kepada kesempurnaan.
Berdasarkan hukum ini Freud mengajukan gagasan bahwa energi fisik bisa
diubah menjadi energi psikis, dan sebagainya. Yang menjembatani energi fisik
dengan kepribadian adalah id dengan naluri-nalurinya.
d. Naluri
Dalam konsep Freud, naluri atau insting adalah representase psikologis
bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) pada tubuh yang diakibatkan
oleh munculnya suatu kebutuhan tubuh. Menurut Freud, naluri akan menghidupkan
sejumlah energi psikis apabila suatu kebutuhan muncul, dan pada gilirannya naluri
ini akan menekan atau mendorong individu untuk bertindak ke arah pemuasan
21
kebutuhan yang nantinya bisa mengurai tegangan yang ditimbulkan oleh tekanan
energi psikis itu.
e. Jenis-jenis Naluri
Freud tidak berusaha membuat daftar rinci tentang jenis-jenis naluri, sebab ia
merasa tidak cukup mengetahui tentang sumber-sumber atau keadaan-keadaan
kebutuhan yang menjadi asal mula dari naluri-naluri itu. Meskipun demikian, Freud
berpendapat bahwa naluri- naluri yang terdapat pada manusia bisa dibedakan ke
dalam dua macam naluri-naluri, yakni naluri-naluri kehidupan dan kematian.
Naluri kehidupan adalah naluri yang ditunjukan pada pemeliharaan ego (the
conservation of the indifidual) dan pemeliharaan kelangsugan jenis (the conservation
of the species). Dengan perkataan lain naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan
kepada pemeliharaan kehidupan manusia sebagai individu maupun sebagai species.
Contoh dari naluri kehidupan itu adalah lapar, haus, dan seks. Sementara naluri
kematian “Thanatos” ( kadang-kadang Freud menyebutnya naluri merusak) adalah
naluri yang ditujukan kepada perusakan atau penghancuran atas apa yang telah ada
(organism atau individu itu sendiri). Freud mengjukan gagasan mengenai naluri
kematian ini berdasarkan fakta ditemukanya bahwa tujuan semua makhuk hidup
atau organisme adalah kembali kepada onorganis.
Freud selanjutnya menyatakan bahwa naluri kematian itu pada individu
bisa ditujukan kepada dua arah, yakni kepada diri sendiri dan kepada orang lain atau
keluar diri. Naluri kematian yang diarahkan kepada tampil dalam tindakan bunuh diri
22
masokhis (tindakan menyakiti diri sendiri), sedangkan naluri kematian yang
diarahkan ke luar kepada orang lain menyatakan diri dalam bentuk tindakan
membunuh menganiayah atau menghancurkan orang lain.
f. Penyaluran dan Penggunaan Energi Psikis
Dalam teori Freud dinamika kepribadian bersumber dari aspek psikis yang
kemudian disalurkan dan digunakan oleh id, ego, dan superego. Karena jumlah
energi itu terbatas maka diantara ketiga sistem kepribadian tersebut hampir selalu
terjadi persaingan dalam penggunaan energi. Suatu sistem ingin mengambil kendali
dan memperoleh energi lebih banyak dari yang lainnya. Apabila ternyata suatu
sistem memperoleh energi yang lebih banyak dan karenanya menjadi kuat, maka
sistem-sistem yang lain akan kekurangan energi dan menjadi lemah, sampai energi
yang lain ditambahkan kepada sistem yang lain.
g. Kecemasan
Peranan atau pengaruh lingkungan terhadap kepribadian individu ditunjukkan
oleh fakta bahwa di samping bisa memuaskan atau menyenangkan individu,
lingkungan juga bisa membuat frustasi, tidak menyenangkan bahkan mengancam dan
membahayakan individu. Terhadap stimulus-stimulus tertentu yang dihadapinnya,
dalam hal ini stimulus yang mengancam dan membahayakan, individu biasanya
menunjukkan reaksi ketakutan, lebih-lebih apabila stimulus tersebut tidak bisa
diatasi atau sulit dikendalikan. Apabila stimulus yang membahayakan itu terus-
23
menerus mengetahui atau mengancam individu, maka individu ini akan mengalami
kecemasan.
Sigmud Freud membagi kecemasan ke dalam tiga kecemasan real, kecemasan
neurotis, dan kecemasan moral. Yang dimaksud dengan kecemasan real adalah
kecemasan atau ketakutan individu terhadap bahaya-bahaya nyata yang berasal dari
dunia luar (api, binatang buas, orang jahat, penganiayaan, hukuman). Sedangkan yang
dimaksud dengan kecemasan neorotis adalah kecemasan atas tidak terkendalinya
naluri-naluri primitif oleh ego yang nantinya bisa mendatangkan hukuman.
Kecemasan neurotis ini pada dasarnya berlandaskan kenyataan, sebab hukuman yang
ditakutkan oleh ego individu berasal dari luar. Adapun yang dimaksud dengan
kecemasan moral adalah kecemasan yang timbul karena tekanam superego atas ego
individu berhubung individu telah atau sedang melakukan tindakan yang melanggar
moral.
. Freud percaya bahwa kecemasan sebagai hasil dari konflik bawah sadar
merupakan akibat dari konflik pulsi id dan pertahanan dari ego dan superego.
Kebanyakan dari pulsi tersebut mengancam individu yang disebabkan oleh
pertentangan nilai-nilai personal atau bersebrangan dengan nilai-nilai dalam suatu
masyarakat.
Mekaniame Pertahanan Ego
Dalam mekanisme pertahanan ego terdapat beberapa pokok yang perlu
diperhatikan. Pertama, mekanisme pertahanan konstruk psikologis berdasarkan
24
observasei terhadap prilaku individu. Kedua, menyatakan bahwa prilaku seseorang
(misalnya, proyeksi, atau rasionalisasi, atau represi) membutuhkan informasi
deskriptif yang bukan penjelasan prilaku. Ketiga, semua mekanisme dapat dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari orang normal.
Menurut Freud, mekanisme pertama ego itu adalah mekanisme yang rumit
dan banyak macamnya. Berikut diuraikan tujuh macam mekanisme pertahanan ego
yang menurut Freud umum dijumpai.
1. Represi
Represi itu sendiri adalah mekanisme yang dilakukan oleh ego untuk meredakan
kecemasan dengan jalan menekan dorongan-dorongan atau keinginan-keinginan
yang menjadi penyebab kecemasan tersebut ke alam tak sadar. Upaya meredakan
kecemasan melalui represi ini, menurut Freud bukan tanpa resiko. Ia mengingatkan
bahwa dorongan-dorongan yang direpresi atau ditekan itu tetap aktif di alam tak
sadar, dan memerlukan energi psikis yang besar untuk menjaganya agar tidak
muncul ke alam sadar.
2. Sublimasi
Sublimasi adalah mekanisme pertahanan ego yang ditujukan untuk mencegah atau
meredamkan kecemasan dengan cara mengubah dan menyesuaikan dorongan
primitf id yang menjadi penyebab kecemasan ke dalam bentuk (tingkah laku) yang
bisa diterima dan bahkan dihargai oleh masyarakat.
25
3. Proyeksi
Proyeksi adalah pengalihan dorongan, sikap atau tingkah laku yang menimbulkan
kecemasan kepada orang lain.
4. Displacemen
Displacement adalah pengungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan
kepada objek atau individu yang kurang berbahaya atau kurang mengancam
dibanding dengan objek atau individu
5. Rasionalisasi
Istilah rasionalisasi menunjuk kepada upaya individu menyelewengkan atau
memutarbalikan kenyataan, dalam hal ini kenyataan yang mengancam ego,
melalui dalih atau alasan tertentu yang seakan-akan masuk akal, sehingga
kanyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu yang bersangkutan.
Rasionalisasi memiliki dua tujuan: pertama, untuk mengurangi kekecewaan
ketika kita gagal dalam mencapai suatu tujuan. Kedua, memberikan kita motif yang
dapat diterima atas prilaku Minderop dalam Hilgrat et al (2013: 34).
6. Reaksi formasi
Kadang-kadang ego individu bisa mengendalikan dorongan-dorongan
primitif agar tidak muncul sambil secara sadar mengungkapkan tingkah laku
sebaliknya.
26
7. Regresi
Regrasi adalah suatu mekanisme di mana individu, untuk menghindar dari
kenyataanyang mengancam, kembali kepada taraf perkembangan yang lebih rendah
serta berting kah laku seperti dia berada dalam taraf yang lebih rendah itu.
Interaksi dari Id, Ego dan Superego
Dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana
konflik mungkin timbul antara id, ego, dan superego. Freud menggunakan kekuatan
ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-
kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat secara efektif
mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau
terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.
2.3 Landasan Konsep
2.4 Konsep Novel
Novel mempunyai peluang untuk mengetengahkan ide, lengkap dengan uraian dan
jabarannya, menjadikan jenis karya sastra ini tak ubahnya menyajikan kehidupan
yang utuh. Persoalan aktual yang muncul di tengah masyarakat bisa diangkat ke
dalam kisah novel, baik mencakup kehidupan seluruh tokoh atau sengaja mengambil
bagian yang terpenting saja. Pada umumnya, wujud novel berupa suatu konsentrasi
kehidupan manusia dalam suatu kondisi kritis yang menentukan. Berbagai
ketegangan muncul dengan bermacam persoalan yang menuntut pemecahan
27
(Nursisto, 2000: 167).kiskan puncak-puncak kehidupan seseorang mengenal
kejadian-kejadian luar biasa yang kehidupannya melompat-lompat dan berpindah-
pindah.
Novel mempunyai peluang untuk mengetengahkan ide, lengkap dengan uraian
dan jabarannya, menjadikan jenis karya sastra ini tak ubahnya menyajikan kehidupan
yang utuh. Persoalan aktual yang muncul di tengah masyarakat bisa diangkat ke
dalam kisah novel, baik mencakup kehidupan seluruh tokoh atau sengaja mengambil
bagian yang terpenting saja. Pada umumnya, wujud novel berupa suatu konsentrasi
kehidupan manusia dalam suatu kondisi kritis yang menentukan. Berbagai
ketegangan muncul dengan bermacam persoalan yang menuntut pemecahan
(Nursisto, 2000: 167).
Novel merupakan sebuah karya sastra berbentuk prosa panjang yang berisi
kehidupan tokoh yang menimbulkan satu impresi dan emosi. Menurut Tarigan
(1986:74) kata novel berasal dari bahasa latin noveleus yang berarti “baru”.
Dikatakan baru karena bila dibandingkan dengan karya sastra lainnya seperti puisi,
drama, dan lainnya, maka jenis novel baru muncul.
Arifin (1991: 80) mengatakan bahwa novel adalah cerita rekaan yang
melukiskan puncak-puncak peristiwa kehidupan seseorang mengenai kejadian-
kejadian yang luar biasa dan hidup secara melompat-lompat atau berpindah-pindah.
Tidak berbeda jauh dengan pendapat Syamsir (1991: 80) yang menjelaskan bahwa
novel adalah cerita rekaan yang melukiskan puncak-puncak kehidupan seseorang
mengenai kejadian-kejadian luar biasa dalam kehidupannya. Cerita kehidupan
28
tersebut terjadi secara melompat dan berpindah-pindah yang mengubah nasib tokoh
tersebut.
Nurgiyantoro (2005 :9) menjelaskan bahwa novel merupakan karya prosa
fiksi yang cakupannya tidak terlalu panjang namun tidak terlalu pendek. Hal ini
sejalan dengan Sudjiman (1986: 53) bahwa roman atau novel merupakan prosa
rekaan yang panjang isinya diangkat dari kehidupan sehari-hari, baik itu masalah
kejiwaan sejarah, atau masalah sosial yang mengukuhkan tokoh-tokoh dan
menampilkan serangkaian peristiwa-peristiwa yang latarnya secara tersusun.
Sumaryanto (2010: 64) menyatakan bahwa novel adalah cerita prosa yang
menceritakan suatu kejadian luar biasa sehingga melahirkan suatu konflik yang
mengakibatkan adanya perubahan nasib pelakunya. Tidak jauh beda dengan pendapat
Syamsir (1991: 80) yang menjelaskan bahwa novel adalah cerita rekaan yang
melukiskan puncak-puncak kehidupan seseorang mengenal kejadian-kejadian luar
biasa yang kehidupannya melompat-lompat dan berpinda-pinda.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel
merupakan salah satu jenis prosa berukuran luas dan panjang yang berisi tentang
kehidupan manusia, baik tokoh laki-laki maupun perempuan yang masing-masing
memiliki watak yang berbeda-beda dengan menampilkan berbagai aspek kehidupan
sehingga mampu membawa pembaca kearah pengetahuan mengenai isi cerita
sehingga memberikan kesan tersendiri bagi pembacanya.kiskan puncak-
puncakkehidupan seseorang mengenal kejadian-kejadian luar biasa yang
kehidupannya melompat-lompat dan berpindah-pindah.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Dikatakan deskriptif karena dalam penelitian ini mendeskripsikan data berdasarkan
kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai data yang ditemukan. Dikatakan
kualitatif karena dalam menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan satu sama lain
dengan menggunakan kata-kata atau kalimat bukan angka-angka statistik.
Jenis penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (libarary recearch) yang
didukung oleh referensi novel Sang Pencerah dan buku penunjang lainya yang
berhubungan dengan masalah penelitian ini.
3.2 Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini adalah data tulis yang berupa teks yang memuat kondisi
psikologi tokoh dalam novel Sang Pencerah karya Akal Nasery Basral. Sumber
data dalam penelitian ini adalah novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral
diterbitkan oleh Mizan Media Utama cetakan ke- 2 Juli 2010 Ujungberung,
Bandung tebal novel 461 halaman.
30
1.3.Teknik Pengumpulam Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik baca
analitis dan catat terhadap novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral. Adapun
teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Membaca dengan cermat dan diteliti secara berulang-ulang novel Sang
Pencerah karya Akmal Nasery Basral.
2. Setelah membaca selanjutnya akan dilakukan tahap identifikasi terhadap
permasalahan dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral
Selain langkah-langkah tersebut penulis juga melakukan kegiatan membaca terhadap
buku-buku yang relevan dengan penelitian ini sebagai rujukan dalam melakukan
analisis lebih jauh terhadap novel yang menjadi objek penelitian.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra
yang menekankan pada kondisi psikologis tokoh dengan menggunakan teori
Segmund Freud. Adapun prosedur analisis data pada penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Membaca teks sastra (dalam hal ini novel Sang Pencerah karya Akmal
Nasery Basral)
31
2. Menentukan ujaran yang mengandung psikologis tokoh secara tersurat
maupun tersirat.
3. Mencari, menentukan, dan menganalisis penokohan yang ada dalam novel,
berdasarkan teknik penokohan Sigmend Freud .
4. Menyimpulkan kondisi penokohan berdasarkan temuan pada point 3
32
BAB IV
PEMBAHASAN
Bab ini akan menyajikan hasil penelitian mengenai kondisi psikologis tokoh
utama dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral yang kemudian
kondisi tersebut akan dianalisis menggunakan teori psikoanalisis Sigmud Freud.
4.1.Deskripsi Tokoh Utama dalam Novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery
Basral
Dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral terdapat beberapa
tokoh. Akan tetapi yang akan diteliti adalah tokoh K.H. Ahmad Dahlan yang beperan
sebagai tokoh utama dalam novel ini. Tokoh K.H. Ahmad Dahlan merupakan anak ke
empat dari pasangan K.H. Abu Bakar dan Siti Aminah binti Ibrahim.Sejak kecil,
K.H.Ahmad Dahlan telah banyak menuntut ilmu agama Islam di berbagai pesantren
yang ada di lingkungan sekitarnya yaitu di Desa Kauman Yogyakarta. Pada umur 10
tahun, K.H. Ahmad Dahlan telah menghatamkan bacaan Al quran.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhamad Darwis, ia merupakan
anak laki-laki pertama dari tujuh orang bersaudara. Ia termasuk keturunan yang
kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali songo, yaitu pelopor
penyebaran Islam di Jawa. Silsilah lengkapnya adalah sebagai berikut: Maulana
Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad
Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribing (Djatimon), Demang
33
Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kiai Ilyas, Kiai
Murtadla, K.H. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis
(K.H. Ahmad Dahlan).
Sejak kecil, Muhammad Darwis sudah mempunyai pemikiran kritis tentang
kebiasaan-kebiasaan yang dijalankan oleh umat Islam di sekitarnya, seperti pada
peringatan 40 hari atau 100 hari bagi orang yang telah meninggal, sebuah keluarga
diharuskan mengadakan acara yasinan. Menurutnya, Rasulullah tidak memberikan
tuntunan mengenai hal tersebut. Sang tokoh utama menganggap acara yasinan
cenderung menjadi beban bagi keluarga, padahal Islam itu rahmatan lil alamin,
rahmat seluruh alam.
Muhammad Darwis juga mengkritisi ada kebiasaan-kebiasaan saat menjelang
bulan suci Ramadhan yaitu padusun dan ruwatan. Dalam acara ruwatan masyarakat
membersihkan lingkungan sekitar, masjid dan kemudian menabur bunga dan beras
di setiap pojok masjid. Sementara, padusun merupakan bagian dari ruwataan dimana
anak-anak kecil mandi di sungai dengan membawa sabun sendiri. Dengan padusun,
masyarakat percaya bahwa dosa dan kotoran akan terbuang bersama aliran sungai
sehingga saat bulan suci Ramadhan, badan juga telah bersih. MenurutMuhammad
Darwis, pelaksanaan tradisi tersebut tidak memiliki dalil dalam kitab suci Alquran.
Selain itu juga ada rutual-ritual lain seperti nyadran yang dikritisi oleh Muhammad
Darwis karena tidak sesuai dengan ajaran Islam.
34
Muhammad Darwiskemudian membulatkan tekatnya untuk menutut ilmu di
Mekkah. Lalu, ketika dia berumur 15 tahun, orang tuanya mengirimnya ke Mekkah
untuk belajar agama Islam.Selama lima tahun, ia belajar ilmu agama Islam di Mekkah
dengan berguru kepada para kiai yang terkemuka.Setelah itu Muhammad Darwis
kembali ke Indonesia dengan gelar “Ahmad Dahlan” dari salah satu gurunya imam
Masjidil Haram yang merupakan orang Melayubernama Syaikh Ahmad Khatib Al-
Minagkabawi. Pemberian nama baru tersebut bertujuan untuk mendukung dakwah
dan disematkan kepada setiapsantri yang berasal dari negara non Arab.
Ahmad Dahlan kemudian dilantik oleh Sri Sultan Hemengkubuwono ke VII
untuk menggantikan posisi bapaknya sebagai khatib dan imam Masjid Gedhe
Kauman. Pada saat itu ia berusia 28 tahun. Jiwa kritis Ahmad Dahlan tentang tradisi
dan ritual-ritual yang sering dilakukan oleh warga setempat meningkat. Hal itu ia
tunjukkan kembali pada khutbah Jumat pertamaya sehingga menyebabkan para
penjaga tradisi di tempat tersebut menjadi tersinggung.
Salah satu hal yang membuat kontroversi antaralain, Ahmad Dahlan mengajar
santri-santrinya dengan menggunakan alat musik biola. Selama ini biola dianggap
sebagai alat musik haram oleh para ulama setempat. Selain itu, salah satu bentuk
pemikiran kritis Ahmad Dahlan pada saat itu adalah mengubah arah kiblat masjid-
masjid di Jawa yang selama puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun ternyata salah.
Salah satunya yang paling kontra, bahkan berakhir dengan kericuhan adalah arah
kiblat Masjid Gedhe Kauman yang dibangun ratusan tahun sebelumnya pada masa
Sri Sultan Haamengkubuwono I. Masjid tersebut menurut Ahmad Dahlan tidak
35
menghadap kiblat (Mekkah) melainkan mengadap ke Afrika. Hal tersebut mendapat
pertentangan keras dari kalangan para ulama dan warga setempat. Meskipun Ahmad
Dahlan menyampaikan maksudnya dengan bahasa santun dan ilmiah serta tanpa
emosi, tetapi ulama-ulama saat itu cukup emosional. Bahkan Mushola Langgar Kidul
tempat Ahmad Dahlan mengajar para muridnya dibongkar paksa karena arah
kiblatnya dianggap berbeda dengan masjid lainnya.
Pembongkaran paksa Langgar Kidul menimbulkan luka hati Ahmad Dahlan
dan juga murid-muridnya, bahkan membuatnya sempat terlarut-larut dalam
kesedihaan. Ketika berada dalam situasi tersebut, sosok Siti Walidah sebagai istri
Ahmad Dahlan tetap gencar memberikan semangat dan mendukung sang suami
untuk bangkit kembali. Hal inilah yang menjadi awal semangat baru tokoh Ahmad
Dahlan untuk berjuang demi umat Islam yang terbelakang saat itu.
Selanjutnya, setelah berhasil mendirikan mushola baru, Ahmad Dahlan mulai
ikut belajar berorganisasi dengan Dr. Wahidin Sudirhusodo, pendiri Budi Utomo
yang begerak di bidang pendidikan dan kesehatan.Ahmad Dahlan kemudian
bergabung dengan organisasi Budi Utomo. Ini membuat bahan fitnah dari ulama-
ulama lain yang menganggap Ahmad Dahlan telah kafir. Tuduhan itu beralasan
karena Ahmad Dahlan telah ikut-ikutan mengenakan stelan jas seperti gaya
berpakaian orang Belanda meskipun ia tetap menggunakan sorban. Selain itu, Ahmad
Dahlan juga ikut mengajarkan agama Islam pada sekolah anak-anak Belanda dan
priyayi.
36
Tak berselang lama, Ahmad Dahlan akhirnya berhasil mendirikan sekolah
Madrasah Dinayah setingkat SD yang saat itu tempat mengajarkan ilmu agama Islam.
Ini cikal bakal perkumpulan Islam Muhammadiyah yang bergerak di bidang
pendidikan bersama murid-muridnya.
Nama Muammadiah adalah pemberian dari salah satu muridnya sekaligus
adik tirinya yang bernama Sangidu. Arti Muhammadiyah adalah pengikut Kanjeng
Muhammad Saw. H. Ahmad Dahlan mengharapkan kelak pengikut Muhammadiyah
bisa mengikuti perkataan dan prilaku yang dicontohkan oleh Mabi Muhammad Saw.
4.2 Id, Ego, dan Superego Tokoh Ahmad Dahlan
4.2.1 Id Tokoh Ahmad Dahlan
Id (istilah Freud: das es) adalah sistem kepribadian yang paling mendasar,
sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Id merupakan wadah dari
jiwa seseorang yang berisi dorongan-dorongan primitif dan menghendaki untuk
segerah dipenuhi. Apabila dorongan primitif itu tidak dipenuhi maka dengan segera
akan menimbulkan ketidakpuasan yang berujung pada munculnya rasa sedih serta
kecewa.
Dorongan primitif yang terjadi pada novel Sang Pencerah karya Akmal
Naseri Basral ditujukkan oleh tokoh utama yaitu Ahmad Dahlan. Ketika berumur
sepuluh tahun, Ahmad Dahlan tiba-tiba dilanda rasa kesedihan dan kecemasan ketika
melihat ayah temannya meninggal dunia. Saat itu, ia diajak oleh bapaknya ke rumah
37
Peno untuk menghadiri acara yasinan 40 hari Pak Poniman. Dalam perjalanannya
kerumah tersebut ia melihat bapaknya sedang bercerita dengan jamaah lain yang
tidak dia mengerti. Lalu, tiba-tiba muncul rasa sedih dihatinya. Berikut
kutipannya.
Pikiranku sendiri melayang membayangkan bagaimana rasanya jika aku berada di
posisi Peno, kehilangan bapak ketika umurku 10 tahun. Tiba-tiba melintas rasa sedih
di hatiku: akan kuat kah aku ? (Basral, 2010: 26).
Kutipan tersebut menunjukkan kesedihan dan kecemasan yang dialami
Ahmad Dahlan. Kehilangan sosok ayah yang dialami oleh teman sepermainannya
membuat Ahmad Dahlan juga diliputi kecemasan. Ia takut jika sosok ayah yang
menjadi panutannya juga ikut menghilang seperti almarhum Pak Poniman.
Bentuk id Ahmad Dahlan ketika kecil juga bisadilihat dari keinginan
menggebu-gebunya untuk menang saat mengikuti permainan gobak sodor di
lapangan samping Masjid Gedhe. Ambisinya untuk memenangkan permainan
membuatnya bekerja keras untuk meraih tujuan. Ia dan kawan-kawannya berambisi
ingin memenangkan permainan tersebut. Berikut kutipannya:
Posisiku di bagian belakang yang terkepung lawan sangat tidak menguntungkan.
Mataku jelalatan ke kiri kanan, mengatur stretegi agar anak buahku ada yang lolos
dari kepungan. Tapi aku pantang menyerah dan sempat melihat sebuah celah kecil di
samping Sukar yang bisa dipakai untuk meloloskan diri. Ini saat yang harus
langsung dimanfaatkan dengan baik. (Basral,2010: 22-23)
Kutipan di atas menunjukkan keinginan besar Ahmad Dahlan untuk
memenangkan permainan gobak sodor bersama rekan-rekan satu timnya.Waktu itu ia
ditunjuk sebagai ketua tim dalam permainan tersebut. Sebagai ketua tim, ia selalu
38
berusaha untuk mencari jalan keluar dalam memecahkan masalah yang dihadapi
olehtimnya.Selain itu, Ahmad Dahlan juga memiliki sikap disiplin, cerdas dan bisa
memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, serta selalu termotivasi untuk meraih
cita-cita yang dia inginkan.
Ketika dewasa, Ahmad Dahlan juga diliputi rasa kesedihan dan kecemasan
saat langgar tempatnya mengajari santri dibongkar paksa oleh jamaah lain. Langgar
Ahmad Dahlan dibongkar karena dianggap memiliki arah kiblat yang berbeda dengan
arah kiblat masjid lain di kota itu. Berikut kutipannya:
Aku peluk badan pakde yang sudah seperti bapak kandungku itu dengan sangat erat.
Badanku berguncang hebat, terbelah perasaan kemarahan yang memuncak dan
kekhawatiran terhadap para santriku. “Aku sudah mendengar semuanya, Dahlan,”
ujar Pakde. “Kamu harus bisa mengendalikan diri. Istighfar.” (Basral, 2010: 243).
Kutipan tersebut menunjukkan adanya kemarahan dan kekhawatiran yang
dialami tokoh utama. Ketika melihat langgar pengajiannya dibongkar paksa, ia tak
bisa menyembunyikan emosinya yang meluap-luap hingga tubuhnya menjadi
bergetar. Akibat peristiwa tersebut, ia mengalami fase kejatuhan yang
menyebabkannya hampir patah semangat. Hal tersebut terlihat ketika Ahmad Dahlan
megajak anak dan istrinya untuk meninggalkan Kauman. Berikut kutipannya.
Rasanya tak ada lagi masa depan bagi kami untuk tetap tinggal dan berdakwah di
Kauman, paling tidak untuk sementara ini. Mungkin kami harus pindah ke
Semarang, kota yang tidak telalu jauh dari kota Jogja untuk bisa tetap
mendengarkan perkembangan kabar dari Kauman, tapi juga tidak terlalu dekat untuk
membuat istri dan anak-anakku mendengar berulang kali tuduhan kiai kafir yang
menyakitkan itu. (Basral, 2010: 253-254).
39
Kutipan tersebut menunjukkan fase-fase kejatuhan yang dialami oleh tokoh
Ahmad Dahlan setelah terjadinya peristiwa pembongkaran langgarnya secara paksa.
Ia juga menunjukkan kecemasan yang pada akhirnya memaksanya untuk pergi
menjauh sementara waktu.
4.2.2 Ego Tokoh Ahmad Dahlan
Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu
kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip
kenyataan (the reality principle) . Sebagai individu, manusia mempunyai kebutuhan
dan apabila kebutuhan itu disebabkan oleh adanya hubungan dengan dunia luar, maka
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan harus sesuai
dengan dunia luar kenyataan.
Bentuk ego yang pertama yaitu ketika Muammad Darwiskecil mulai
penasaran dengan cerita bapaknya, Kiai Abubakar yang berkisah tentang riwayat
leluhur mereka, Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang sering disebut Syaikh Gersik
oleh masyarakat di Pulau Jawa pada saat itu. Setelah mendengar cerita dengan
panjang lebar, dia mulai diliputi rasa ingin tahu mengenai silsilah keturunan
leluhurnya.Berikut kutipannya.
“Dimana persisnya Syaikh Maulana dimakamkan, Pak ?” (Basral,2010: 17).
Kutipan di atas menunjukkan keingintahuan Muhammad Darwis mengenai
kisah Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Ia juga ingin tahu mengapa Syaikh Maulana
40
Malik Ibrahin menjadi salah satu tokoh yang terkenal. Setelah mendapatkan informasi
tentang tokoh tersebut itu, ia semakin termotivasi untuk banyak belajar ilmu agama.
Selain itu, ego Muhammad Darwis juga mulai terlihat ketika ia berada di
Masjid Gedhe Kauman. Sejak kecil, ia selalu memperhatikan maksura tempat sholat
di dalam Masjid Gedhe yang khusus disediakan untuk Sri Sultan Hamengkubuwono.
Saat itu, ia mulai bertanya-tanya mengapa terdapat perlakuan khusus untuk Sultan di
dalam masjid? Berikut kutipannya.
Tapi kenapa lantai maksura itu lebih tinggi dibandingkan lantai untuk
jamaah yang lain, Bapak? (Basral, 2010: 19).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Muhammad Darwis ingin tahu alasan
perlakuan khusus yang diterima Sultan di dalam masjid. Ia diliputi keheranan sebab
menemukan perbedaan derajat dalam pelaksanaan ibadah. Ia selalu berpikir tentang
kesetaraan semua orang dihadapan Allah swt ketika sedang beribadah.
Ego Muhammad Darwis juga terlihat dari kegelisahannya setelah mengikuti
acara yasinan 40 hari kematian ayah sahabatnya, Peno.Sepulang dari acara yasinan
tersebut, sederet pertanyaan mulai mengisi kepalanya karenaia mulai berpikir dan
ingin tahu tentang ajaran Islam yang mewajibkan umatnya untuk melaksanakan
tradisin yasinan walaupun harus berhutang ke orang lain lantaran penyelenggara tidak
memiliki dana yang cukup. Berikut kutipannya
Apakah hal itu tidak memberatkan yang masih hidup? Apakah hal itu diajarkan
kanjeng Nabi Muhammad penuntun umat manusia? (Basral, 2010:32).
Selain kutipan di atas, kegelisahan Muhammad Darwis juga ditunjukkan oleh
kutipan berikut ini:
41
Bagaimana kalau keluarga itu setelah berusaha tetapi tidak punya uang untuk
membuat acara 40 hari atau 100 hari bagi yang sudah mati? Apakah amal pahala
almarhum atau almarhumah menjadi sia-sia? Ataukah arwahnya akan gentayangan di
muka bumi karena syarat untuk bisa tentram di alam kubur masih kurang? Mengapa
pula keluarga yang sedang berduka itu harus membuat makanan yang mewah seperti
ayam rebus, padahal dalam keadaan sehari-hari ayam bukanlah makanan yang biasa
mereka makan. Mengapa bukan para jamaah yang justru membawakan makanan
untuk mengurangi penderitaan mereka? Mengapa pula harus berjenis-jenis kembang
dan barang-barang lain bersama makanan lain? Apa hubungannya, khususnya orang
yang sudah meninggal? (Basral, 2010: 32-33)
Kutipan tersebut menunjukkan kegelisahan tokoh Muhammad Darwis. Ia
menemukan ketidakcocokan konsep pemahaman agama yang ia miliki dengan
prakteknya di lapangan. Ajaran Islam yang ia pahami bahwa Islam itu sederhana dan
membawa rahmat untuk umatnya, tetapi kenyataan yang ia temui justru berbeda. Ia
bahkan menemukan bahwa tradisi agama telah menyusahkan umat yang sedang
berduka.
Kegelisahan-kegelisahan sejak kecil yang dialami Muhammad Darwis
membuatnya semakin termotivasi untuk mendalami ilmu agama. Bahkan sejak kecil
ia sudah mempunyai keinginan atau cita-cita untuk kelak menjadi seorang
pendakwah ketika sudah dewasa nanti. Ia berniat berdakwahuntuk meluruskan
keyakinan yang dianut oleh warga setempat. Berikut kutipannya.
Aku meneruskan kerja bapakku saja. Aku suka bingung melihat warga pada shalat
dan mengaji tapi rajin kasih sesajen di kuburan. (Basral,2010: 45). (Basral, 2010:
45).
Kutipan tersebut menunjukkan kebingungan Muhammad Darwis terhadap
pengamalan ajaran agama Islam para warga. Menurutnya, warga kebanyakan masih
terkontaminasi dengan kemusyrikan. Oleh karena itu, ia bertekad kelak belajar ilmu
agama untuk memperbaiki pengamalan ilmu agama warga di Kauman.
42
Selanjutnya, kegelisahan Muhammad Darwis juga terlihat ketika ia mengikuti
pertemuan takmir (pangurus) Masjid Gedhe dalam rangka membahas pelaksanaan,
tradisi ruwatan pada saat memasuki bulan Ramadhan. Usaimengikuti pertemuan
tersebut, benaknya dipenuhi pikiran tentang ruwatan.Selain itu, ia juga sangat heran
ketika melihat Kiai Penghulu Kamaludiningrat yang diikuti oleh kiai lainnya
sebelum memasuki bulan Ramadhan terlebiH dahulu menabur bunga melati dan beras
dalam jumlah cukup banyak dipojok-pojok Masjid Gedhe Kauman. Berikut
kutipannya.
Tapi yang tak kumengerti adalah mengapa harus menabur bunga-bunga melati dan
beras dalam jumlah cukup banyak, karena Kiai Kamaludiningrat kemudian juga
melakukannya di pojok-pojok lain dari Masjid Gedhe ini. Apa hubungannya antara
melati, beras, dan doa? (Basral,2010: 73).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Muhamad Darwis ingin mencari tahu
alasan mengapa Kiai Penghulu menaburbunga melati dan beras dalam jumlah cukup
banyak diseluruh pojok Masjid Gedhe. Ia ingin tahu hubungan Ramadham dengan
segala tradisi yang dilakukan para kiai di kampungnya itu.
Ego Muhammad Darwisjuga terlihat ketika ia mengikuti rapat bersama para
kiai. Keinginannya untuk menyatakan pendapat takterbendung lagi sehingga Iia
tidak ingat lagi bahwa dirinya merupakan hadirin yang paling muda di tempat itu,
dan biasanya selalu berdiam diri pada rapat-rapat sebelumnya. Pada saat itu dia igin
tahu apakah Nyadran itu perlu dilakukan. Kalau memang hal itu sangat perlu
apakah harga-harga barang yang mahal dan memberatkanmasyarakat tidak bisa
43
dijadikan pertimbangan dalam pelaksanaan tredisi Nyadran tersebut. Berikut
kutipannya:
Maaf, Kiai. Mengingat kondisi kita sekarang yang sedang prihatin, apakah tidak
sebaiknya acara Nyadran dibuat sederhana saja?” tanyaku. “Masudnya sederana itu
cukup berdoa saja, tidak perlu berlebih apalagi dengan memberikan sesajen . Uang
pembuatan sesajen itu bisa dimanfaatkan sebagai sedekah bagi fakir miskin sehingga
hasilnya juga akan lebih jelas. (Basral, 2010: 84).
Kutipan di atas menunjukkan penolakan Muhammad Darwis terhadap tradisi
nyadran yang dianggapnya tidak sejalan dengan ajaran Islam. Menurutnya, tradisi
tersebut tidak berpihak pada kepentingan masyarakat kecil.
Selanjutnya, ego Muhammad Darwis juga terlihat ketika ia menempuh
perjalanan tahap pertamanya pergi berhaji sekaligus menuntut ilmu di Makkah
dengan menaiki kereta apai jalur Jogja-Semarang melalui Solo. Kala itu dia melihat
jalur perkeretapian yang dibangun oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Sejak saat itu
ia mulai memikirkan alasan perusahaan asing berlomba-lomba berinvestasi di
Indonesia. Berikut kutipannya:
Apa yang menyebabkan mereka begitu bersemangat ? Apakah karena ingin melihat
tanah Jawa, termasuk orang-orangnya maju? Atau karena kebodohan orang-orang
Jawa yang begitu saja membiarkan bangsa asing masuk dan menguras kekayaannya,
sehingga masyarakat Jawa melarat semiskin-miskinnya? (Basral, 2010: 124).
Kutipan di atas menunjukkan kegelisahan tokoh Muhammad Darwis
memikirkan keberadaan kompeni Belanda di Indonesia. Seketika ia mengalami
kecemasan real akan keberadaan orang-orang asing itu. Ia kemudian mulai berpikir
tentang dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan bangsa asing tersebut.
Ketika Ahmad Dahlan dilantik oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII
sebagai Imam Masjid Gedhe Kauman, ia tiba-tiba mengalami kesedihan karena tidak
44
disaksikan oleh bapaknya. Akan tetapi kesedihan tersebut segera teratasi dengan
kemunculan ego yang merasionalkan pikirannya. Berikut kutipannya.
Aku merasakan satu jenis kebahagiaan yang aneh karena hatiku akan merasa akan
lebih baik jika Bapak melihat pengukuhanku oleh Sri Sultan ini. Tapi di sisi lain,
akalku langsung mengingatkan bahwa jabatan ini hanya bisa kupangku setelah
Bapak tiada. Kalau Bapak masih hidup, tentu saja jabatan khatib Masjid Gedhe
Kauman tak akan berpindah kepada siapa pun termasuk diriku. Jadi, haruskah aku
gembira atau bersedih karena kejadian ini? Kejadian yang menjadi salah satu takdir
hidupku untuk melanjutkan peran dakwah baik sebagai pribadi Muslim maupun
sebagai keturunan ke- 11 dari Makdum Ibrahim A-marqandiy Alias Syaikh
Maulana Malik Ibrahim. (Basral, 2010: 173)
Kutipan tersebut menunjukkan berantainya peran id dan ego dalam pikiran
tokoh Ahmad Dahlan. Secara neurotis, ia mengalami kesedihan, akan tetapi
keberadaan ego kemudian menjadikan pikiran dan tindakannnya kembali stabil.
4.2.3 Superego Tokoh Ahmad Dahlan
Superego merupakan sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai aturan
yang bersifat evaluative(menyangkut baik dan buruk). Superego merupakan
penyeimbang dari id. Semua keinginan-keinginan id sebelum menjadi kenyataan, di
pertimbangkan oleh superego. Apakah kinginan id ini bertentangan atau tidak dengan
nilai-nilai moral yang ada pada masyarakat. Jadi, superego berisi nilai-nilai moral
yang ditanamkan pada diri seseorang.
Dorongan superego yang yang terjadi pada novel Sang Pencerah karya Akmal
Nasery Basral, ditunjukkan oleh tokoh Ahmad Dahlan ketika ia berusaha
memperbaiki arah kiblat masjid yang ada di seluruh Pulau Jawa. Dorongan tersebut
tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses berpikir disertai dengan
45
pembuktian menggunakan teknologi berupa kompas. Untuk melaksanakan misinya,
Ahmad Dahlan melalui serangkaian tantangan dan perlawanan dari orang-orang
sekitarnya. Berikut kutipannya:
Perasaanku mengatakan ada yang kurang sesuai dengan posisi ini karena tidak akan
mengarah ke kiblat, ke Kabah yang berada di Masjidil Haram Makkah. Maka
kukeluarkan kompas. Ternyata betul, posisinya melenceng agak jauh. Aku mencari-
cari posisi arah kiblat yang sesuai arah kompas... (Basral, 2010: 191).
Kutipan di atas menunjukkan dilema awal yang dialami oleh Ahmad Dahlan ketika
memikirkan arah kiblat yang dianggapnya kurang tepat. Ia kemudian mengadakan
pertemuan dengan para tokoh agama untuk memusyawarahkan tentang arah kiblat
Masjid Gedhe Kauman yang kurang tepat itu, agar diperbaiki sesuai arah yang benar
secara terbuka. Berikut kutipannya.
Tapi jika upaya pembicaraan arah kiblat ini tidak dimulai dari sekarang, lantas siapa
yang akan mengambil inisiatif untuk membahasnya untuk kemaslahatan publik ini?
Sebab dari hasil pengamatanku selama ini, ternyata cukup banyak yang tahu
mengenai melencengnya arah kiblat ini, tapi mereka memilih untuk tidak
membahasnya secara terbuka. (Basral, 2010: 201).
Kutipan tersebut menujukkan tekad Ahmad Dahlam untuk mengadakan
pertemuan dengan para kiai yang ada di seluruh Pulau Jawauntuk membahas
persoalan arah kiblat Gedhe Kauman. Pada saat itu ia memaparkan hasil temuannya
secara terperinci serta menujukkan bukti atau hasil temuannya, dan alat yang ia
gunakan berupa peta dunia dan kompas.
Melalui perenungan dan usaha pembuktian, ia akhirnya berhasil meyakinkan warga
jika pendapatnya benar. Akan tetapi, dalam proses pembuktian tersebut, ia mengalami
berbagai ancaman dan perlawanan dari orang-orang di sekitarnya. Berikut kutipannya:
46
Setelah lewat peringatan tertulis yang tidak aku indahkan itu, apa lagi kiranya yang
akan terjadi? Apakah dia mengambil tidakan lain yang lebih keras yang belum aku
tahu apa bentuknya sekarang ? Atau, akankah Kiai Kamaludiningrat langsung
menyerahkan masalah ini Ngarsa Dalem sebagai Sayydin Panatagama
Khalifahtullah, yang diyakini memiliki wewenang yang tertinggi untuk mengatur
penghidupan bearagama di tanah Jawa? (Basral, 2010: 232).
Kutipan tersebut menunjukkan rasa khawatir yang dialami Ahmad Dahlan
ketika berhadapan dengan sikap perlawanan Kiai Penghulu Kamaludiningrat. Ia telah
tiga kali berturut-turut mendapat surat peringatan agar menghentikan aktivitas yang
dilakukan di Langgar Kidulnya yang dianggap menyebarkan provokasi mengenai
arah kiblat. Namun, meski menghadapi serangkaian perlawanan dan ancaman,
Ahmad Dahlan tetap berpegang pada keteguhannya untuk menyebarkan ajaran Islam
yang sesungguhnya. Untuk memperlihatkan keteguhannya, maka ia aktif memberikan
khutbah pencerahan kepada warga Kauman. Berikut kutipannya:
Allah Swt. berfirman bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh
alam semesta,” ujarku membuka kutbah Jumat. “Islam harus menjadi rahmat bagi
siapa saja yang bernaung di dalamnya, baik Muslim maupun bukan Muslim.
Merahmati itu artinya melindungi, mengayomi, membuat damai, tidak mengekang
atau membuat takut umat, atau membuat rumit dan berat kehidupan Muslim dengan
upacara-upacara dan sesajen yang tidak pada tempatnya....” (Basral,2010: 175)
Kutipan tersebut menunjukkan aktivitas Ahmad Dahlan ketika memberikan
pemahaman tentang ajaran Islam terhadap warga melalui khutbah Jumat pertamanya
di Masjid Gedhe Kauman.
Selain berceramah di kalangan santri, Ahmad Dahlan juga memutuskan untuk
memperluas pergaulannya di organisasi Budi Utomo dengan tujuan menyiarkan
agama Islam. Meski demikian, niat Ahmad Dahlan tersebut mendapat kecaman dari
47
berbagai kalangan khususnya kalangan para orang agamis di sekitarnya. Ahmad
Dahlan dituduh telah bergaul dengan orang-orang kafir. Berikut kutipannya:
Aku sedang belajar cara membuat perkumpulan dan beroganisasi yang lebih benar,
cara membuat sekolah, cara mengajar. Semua itu untuk mewujudkan cita-citaku
mendidik umat Islam supaya kehidupan umat Islam di Pulau Jawa ini khususnya
lebih baik,” jelasku.“Belajar itu bisa di mana saja, Sudja,” jawabku. “Yang penting
kunci belajar itu harus berpikiran terbuka dan berprasangka baik kepada siapa pun.
Ketika Allah menurunkan wahyu pertama kepada Kanjeng Nabi Muhammad Iqro’,
bacalah, maka seruan untuk membaca itu adalah perintah untuk belajar,
memperhatikan, melihat dengan teliti. Apa saja, khususnya yang ada di dekat kita,
apa yang ada di kalangan muslim, apa yang ada di kalangan kafir. Tapi soal Budi
Utomo, jangan dengan gampang kamu sebut itu kelompok kafir, Sudja. Bahkan
sesungguhnya kita harus sangat berhati-hati dalam menggunakan kata itu ketika
menunjuk orang lain.” (Basral,2010: 343-344).
Kutipan tersebut menunjukkan cara pandang Ahmad Dahlan terhadap
organisasi Budi Utomo. Melalui penjelasan dalam kutipan tersebut terlihat nilai-nilai
pluralisme yang dianut oleh sang tokoh utama. Ia kemudian menjelaskan kepada
salah satu santrinya maksud dan tujuannya bergabung dengan organisasi Budi
Utomo. Ia juga menunjukkan penghargaannya kepada semua kalangan dan
menerapkan sikap simpati terhadap orang lain.
48
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan mengenai kondisi psikologis
tokoh utama dalam novel Sang Pencerah, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dalam teori psikoanalisa, kepribadian dipandang sebagai suatu struktur
yang terdiri dalam tiga unsur atau sistem yakni id, ego, dan superego.
Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki fungsi kelengkapan, prinsip-
prinsip operasi, dinamisme, dan mekanisme masing-masing, ketiga sistem
kepribadian ini satu sama lain berkaitan serta membentuk suara totalitas.
Tingkah laku manusia tidak lain merupakan produk interaksi antara id,
ego, dan superego itu. Id merupakan sistem kepribadian paling
mendasaryang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Selanjutnya,
ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah kepada
dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan
prinsip kenyataan. Sementara, superego merupakan sistem kepribadian
yang berisikan nilai-nilai atau aturan-aturan yang sifatnya evaluatif
(menyangkut baik buruk).
2. Berdasarkan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud,
tiga aspek kepribadian yakni id, ego, dan superego sangat berperan dalam
49
perjalanan hidup serta proses perjuangan yang ditempuh oleh Ahmad
Dahlan sebagai tokoh utama dalam novel tersebut. Dari data analisis
diperoleh hasil bahwa Ahmad Dahlan sebagai tokoh utama mengendalikan
dirinya melalui peranan superego yang cukup dominan. Hal tersebut
diperoleh melalui data-data penelitian yang menunjukkan perjuangan,
dedikasi, dan pengaruh seorang Ahmad Dahlan sebagai pelopor dan
pembaharu dalam kehidupan masyarakat di Kauman.
3. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah merupakan sosok anak
muda pendobrak tradisi yang berniat menjadikan agama Islam menjadi
rahmat bagi semesta alam.
5. 2 Saran
Baerdasarkan hasil penelitian novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery
Basral, penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral diharapkan untuk
dibaca oleh pembaca atau penikmat sastra untuk meningkatkan
ketajaman berpikir kritis tentang kondisi psikologis.
2. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi peneliti-
peneliti selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin Sugira. 1991. Kamus Sastra Indonesia. Padang. Angkas Jaya.
Basral, Nseriy Akmal. 2010. Sang pencerah. Bandung. PT Mizam Pustaka.
Endraswara, Suwadi. 2013. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta. PT. Buku
Baru.
Hafiudin. 2011. Analisis Psikologi Tokoh Utama Dalam Novel Jalan Hikmah
Menuju Cinta Krya Iin Yakub. Kendari: FKIP UHO (Tidak dipulikasikan).
Koeswara. E. 1991. Teori-teori Kepribadian. Bandung: Eresco.
Minderop, Alberitne. 2013. Psikologi Sastra. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor
Dunia.
Ningsi, Niswa. 2015. Analisia Aspek Psikologi Tokoh Novel Anak-anak Langit
Karya Zhacnal Fahmi. Kendari FIB UHO (Tidak dipublikasikan).
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian fiksi. Yogyakarta. Gadjah Mada
Universiti.
Nursisto. 2000. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Jakarta: Adicita Karya Nusa.
Pati, Sudjiman. 1986. Kamus Itilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.
Pradopo, Djoko. 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra Teori dan pebelajarannya.
Yogyakarta: Gadja Mada Unifersiti Pers.
Semi,Atar. 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung. Angkasa.
Sumaryanto, S.S. 2010. Ensiklopedia Kesusastraan Indonesia. Semarang: Aneka
Ilmu.
Tarigan, Hemari Guntur.1986. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung Angkasa.