RAGAM BAHASA PADA INTERAKSI JUAL BELIDI PASAR SENTRAL SUNGGUMINASA
KABUPATEN GOWA
Variety of Languages in Interaction in the Central MarketBuy Sell Sungguminasa Gowa
TESIS
ANDI RAHMANIANIM: 04.06.645.2011
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
RAGAM BAHASA PADA INTERAKSI JUAL BELIDI PASAR SENTRAL SUNGGUMINASA
KABUPATEN GOWA
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
ANDI RAHMANIANIM: 04.06.645.2011
kepada
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : Ragam Bahasa pada Interaksi Jual Beli di PasarSentral Sungguminasa Kabupaten Gowa
Nama Mahasiswa : Andi RahmaniaNIM : 04.06.645.2011Program Studi : Pendidikan BahasaKekhususan : Bahasa dan Sastra Indonesia
MenyetujuiKomisi Pembimbing,
Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum.Ketua Sekretaris
Mengetahui
Ketua Program Studi Direktur Program PascasarjanaPendidikan Bahasa Universitas Muhammadiyah Makassar,dan Sastra Indonesia,
Dr. Abd, Rahman Rahim, M. Hum. Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M. Pd.NBM 866922 NBM 988463
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSARPROGRAM PASCASARJANA
Jl. Sultan Alauddin No. 259 Telp. 0411866972 Fax 0411-865588Makassar 90221
SURAT KETERANGAN PERBAIKAN TESIS
Berdasarkan Hasil Ujian tesis Program Magister:
Nama : Andi RahmaniahNo.Pokok : 04.06.645.2011Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra IndonesiaJudul Tesis : Ragam Bahasa pada Interaksi Jual Beli di Pasar
Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa
oleh Tim Penguji, harus dilakukan perbaikan. Perbaikan tersebut dilakukan
dan telah disetujui oleh Tim Penguji.
No Nama Tim Penguji Jabatan DisetujuiTanggal
TandaTangan
1. Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. Ketua
2. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. Sekretaris
3. Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M.,M.Pd. Anggota
4. Dr. Abd, Rahman Rahim, M. Hum. Anggota
Kata Pengantar
Syukur alhamdulillah, penulis ucapkan ke hadirat Allah subhanahu wa
taala berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini. Tesis ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan akademik
untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi
Pendidikan Bahasa, Kekhususan Pendidikan Bahasa Indonesia Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penyusunan tesis ini banyak mendapat bantuan dalam bentuk
bimbingan, petunjuk, saran, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang telah membantu penulis. Pertama-tama, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Tadjuddin Maknum, S.U.
pembimbing I dan Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. pembimbing II yang
telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran kepada penulis
dalam penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar beserta staf, yang telah memberikan bantuan dan
kemudahan kepada penulis, baik pada waktu mengikuti perkuliahan,
penelitian, maupun pada saat penulisan tesis. Ucapan terima kasih pula
kepada seluruh dosen dan Ketua Prodi. Kekhususan Bahasa Indonesia yang
telah membekali penulis berbagai pengetahuan selama perkuliahan sampai
pada hasil penelitian ini.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
kepada yang tercinta suami tercinta dan anakda yang tersayang, serta
seluruh keluarga yang senantiasa setia mendoakan penulis agar dapat
meraih kesuksesan.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat terhadap
pengembangan bahasa Indonesia, khususnya ragam berbahasa. Semoga
bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak mendapatkan pahala dari
Allah Swt.
Makassar, Juni 2014
Penulis,
ABSTRAK
Andi Rahmaniah, 2014. Ragam Bahasa pada Interaksi Jual Beli di PasarSentral Sungguminasa Kabupaten Gowa. Tesis. Dibimbing oleh TadjuddinMaknun sebagai Pembimbing I dan Andi Sukri Syamsuri sebagaiPembimbing II.
Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan (1) Wujud ragambahasa jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa. (2) Polainteraksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa KabupatenGowa. (3) Tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada interaksijual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian iniadalah tuturan yang diperoleh dari peristiwa tutur antara penjual dan pembelidi Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa. Bahasa merupakan objekpenelitian dan pemakaian bahasa (penjual dan pembeli) menjadi subjekdalam penelitian ini. Sumber data berupa tuturan penjual dan pembeli, yangterjadi dalam transaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa KabupatenGowa yang dilakukan bulan Mei sampai dengan Juli 2013. Metode yangdigunakan dalam mengumpulkan data yaitu metode observasi, simak, rekam,dan catat. Analisis data dilakukan dengan menganut alur analisis data modelalir yang mencakup empat langkah kegiatan, yakni (1) pengumpulan data, (2)reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan/verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Wujud ragam bahasa jualbeli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa terdiri atas (a) Penjualdan pembeli menggunakan bahasa Makassar; (b) Penjual dan pembelimenggunakan bahasa Indonesia dialek Makassar; (c) Penjual dan pembelimenggunakan bahasa Bugis; (d) Penjual menggunakan bahasa Indonesiadialek Makassar dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialekJakarta; (e) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialekJakarta; (f) Penjual menggunakan bahasa Makassar dan pembelimenggunakan bahasa Indonesia; (g) Penjual menggunakan bahasaMakassar alih bahasa Indonesia dan pembeli menggunakan bahasaIndonesia; (h) Penjual menggunakan bahasa Makassar alih bahasa Bugisdan pembeli menggunakan bahasa Bugis; (i) Penjual dan pembelimenggunakan bahasa campur kode bahasa Makassar atau bahasa Bugisdan bahasa Indonesia. (2) Pola interaksi pada interaksi jual beli di PasarSentral Sungguminasa Kabupaten Gowa terdiri atas (a) tujuan transaksi; (b)hubungan penjual dengan pembeli bersifat personal: (c) tawar-menawar; (d)penjual di dalam interaksinya mengembangkan persuasi verbal; (e) pembelidalam interaksi mengembangkan persuasi verbal. (3) Tingkat tutur penjualdan pembeli pada interaksi jual beli di Pasar Sentral SungguminasaKabupaten Gowa terdiri atas tingkat tinggi, sedang, dan madya.
ABSTRACT
Andi Rahmaniah, 2014. Variety of Languages in Interaction in the Central MarketBuy Sell Sungguminasa Gowa. Thesis. Guided by Tadjuddin Maknun as Supervisor Iand Andi Sukri Syamsuri as Supervisor II.
The purpose of this study is to describe (1) The form of buying and selling avariety of language in the Central Market Sungguminasa Gowa. (2) The pattern ofinteraction in the buying and selling interaction in Central Market SungguminasaGowa. (3) The level of speech used in the interaction of buyers and sellers in the saleof Central Market Sungguminasa Gowa.
This study used a qualitative approach. The data of this study were obtainedfrom the speech said events between sellers and buyers in the Central MarketSungguminasa Gowa. Language is an object of research and the use of language(sellers and buyers) to subjects in this study. Sources of data in the form of speechsellers and buyers, which occurs in the sale and purchase transactions in the CentralMarket Sungguminasa Gowa conducted from May to July 2013. Methods used incollecting the data is the method of observation, see, record, and record. Data analysiswas performed by following the flow of data analysis models that include a four-stepflow of activities, namely (1) data collection, (2) data reduction, (3) presentation ofdata, and (4) conclusion / verification.
The results showed that (1) The form of buying and selling a variety oflanguage in the Central Market Sungguminasa Gowa consisting of (a) the seller andthe buyer to use the native language; (b) Sellers and buyers using IndonesianMakassar dialect; (c) The seller and the buyer uses the Bugis language; (d) The selleruses dialect Makassar Indonesian and Indonesian buyers using Jakarta dialect; (e)Sellers and buyers using Jakarta Indonesian dialect; (f) The seller and the buyer to usethe native language using Indonesian; (g) The seller uses the native language thanIndonesian and Indonesian buyers use; (h) Seller uses language interpreter BugisMakassar and Bugis buyers use; (i) The seller and buyer using mixed language codeof the language or languages of Bugis and Makassar Indonesian. (2) The pattern ofinteraction in the buying and selling interaction in Central Market SungguminasaGowa consisting of (a) the purpose of the transaction; (b) the buyer seller relationshipis personal: (c) a bargain; (d) the seller interaction in the developing verbalpersuasion; (e) a buyer in the interaction develop verbal persuasion. (3) The level ofsaid sellers and buyers on the buying and selling interaction in Central MarketSungguminasa Gowa consists of high-level, medium, and intermediate.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Tujuan Penelitian 7
D. Manfaat Penelitian 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 9
A. Kajian Pustaka 9
1. Sosiolinguistik 9
2. Masyarakat Bahasa 14
3. Bahasa 15
4. Komunikasi 24
5. Interaksi dan Situasi Kebahasaan 26
6. Peristiwa Tutur 33
7. Tingkat Tutur 35
8. Register 38
B. Kerangka Pikir 39
BAB III METODE PENELITIAN 42
A. Variabel dan Variabel Penelitian 42
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 44
C. Definisi Istilah 44
D. Data dan Sumber Data 44
E. Metode Pengumpulan Data 45
F. Teknik Analisis Data 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 49
A. Hasil Penelitian 49
B. Pembahasan Hasil Penelitian 80
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 86
A. Simpulan 86
B. Saran 87
DAFTAR PUSTAKA 89
LAMPIRAN 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap kelompok sosial manusia yang ada dalam suatu masyarakat
selalu melakukan proses interaksi sosial, yaitu suatu interaksi antaranggota
kelompok dalam masyarakat, baik yang bersifat verbal maupun yang bersifat
nonverbal. Proses interaksi sosial yang bersifat verbal menggunakan bahasa
sebagai medium sentralnya. Bentuk-bentuk proses interaksi sosial, seperti
musyawarah, bertegur sapa, negosiasi, diskusi, berkhotbah, dan bercerita
merupakan aktivitas sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium
verbal utamanya, sedangkan proses interaksi sosial, seperti kerja bakti,
pertandingan sepak bola, menari, cara duduk merupakan aktivitas sosial
yang mempunyai medium nonverbal sebagai sentralnya (Santoso, 2003:23).
Interaksi antarmasyarakat dalam berbagai konteks tersebut
menempatkan bahasa sebagai medium yang esensial. Bahasa juga menjadi
faktor pembeda yang utama antara manusia dengan makhluk lainnya. Melalui
bahasa, manusia dapat mengekspresikan pikiran dan perasaannya, baik
secara lisan maupun tertulis kepada orang lain.
Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi satu dengan
yang lain sepanjang hidupnya. Manusia yang hidup senantiasa
1
2
membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Agar manusia
dapat berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain dengan sempurna
(efektif), diperlukan bahasa sebagai alat komunikasi. Tanpa bahasa,
komunikasi yang efektif tidak akan tercipta karena hanya bahasa yang
mampu menyampaikan sesuatu yang dirasakan dan diinginkan seseorang
kepada orang lain dengan jelas.
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Keraf (1984: 32) yang
menyatakan bahwa dengan adanya bahasa, maka semua yang berada di
alam sekitar mendapat tanggapan dalam pikiran manusia dan diungkapkan
kembali sebagai bahan komunikasi. Bahasa memungkinkan setiap orang
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Di
samping itu, bahasa dapat menjadi alat untuk mengekspresikan diri dalam
mempengaruhi tingkah laku orang lain. Menurut Trudgill (1987: 2), fungsi
utama bahasa sebagai alat komunikasi adalah alat untuk menyatakan diri
dan wahana untuk memeliharan hubungan dengan orang lain.
Dewasa ini, sangat sedikit orang yang hanya menguasai satu bahasa
(monolingual). Kedwibahasaan merupakan fenomena yang paling umum
pada masyarakat dewasa ini. Penggunaan dua bahasa dalam berkomunikasi
terjadi dalam semua ranah atau domain, termasuk ranah jual beli di pasar.
Fenomena penggunaan dua bahasa atau lebih dalam ranah jual beli jelas
bukan sesuatu yang janggal. Penggunaan bahasa harus sesuai dengan
3
keadaan (situasi) pada ucapan, tujuan, dan suasana yang ada (Hymes-
SPEAKING) (Hymes, 1972).
Manusia dalam kehidupan berkomunikasi dan berinteraksi sebagai
bentuk dari aktivitas sosial. Salah satu alat yang digunakan untuk
berkomunikasi, baik antarindividu maupun kelompok adalah bahasa. Chaer
(2003: 32) mendefinisikan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer
yang digunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerja sama,
berkomunikasi dan mengidentifikasi diri, dan sebuah bahasa diperoleh ketika
masih anak-anak hingga dewasa. Di daerah Kabupaten Gowa, bahasa
komunikasinya sangat variatif. Sebagian ada yang menggunakan bahasa
Indonesia, bahasa Makassar, kadang bahasa Bugis, dan bahasa Jawa. Hal
tersebut disebabkan oleh keadaan geografisnya, yaitu letaknya yang
berdekatan dengan Kota Makassar dan penduduk yang bermukim di daerah
ini berasal dari berbagai daerah. Di daerah ini, bisa dikategorikan masyarakat
bahasa atau masyarakat tutur, karena sedikitnya telah menguasai tiga
bahasa (multilingual) yaitu bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan
berbahasa Jawa, terutama orang Jawa yang sudah lama tinggal dan
bermukim di wilayah Sungguminasa.
Ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam kajian
sosiolinguistik, karena sosiolinguistik mengkaji tentang ciri-ciri khas variasi
bahasa, dan bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam sebuah
masyarakat tertentu. Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki kaidah-
4
kaidah. Penggunaan bahasa yang tentu sudah disepakati oleh masyarakat
pemakai bahasa itu sendiri, sehingga dapat terjadi komunikasi yang efektif
antara pengguna bahasa, karena masyarakat pengguna bahasa tersebut
sudah mengetahui arti dan maksud tentang bahasa yang digunakan.
Menurut Rahardi (2001: 13) sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan
memperhitungkan hubungan bahasa dengan masyarakat khususnya
masyarakat penutur bahasa.
Salah satu perwujudan ragam dan variasi bahasa dapat dijumpai
dalam keramaian dan interaksi sosial seperti di pasar. Pasar merupakan
tempat penjual dan pembeli bertemu, barang dan jasa tersedia untuk dijual
dan akan terjadi pemindahan hak milik (Suharsono, 2003: 50). Pertemuan
penjual dan pembeli memungkinkan tejadinya interaksi sosial. Dalam
interaksi hampir tidak mungkin tanpa melibatkan bahasa meskipun dalam
batas-batas tertaentu dimungkinkan manusia berintraksi tanpa menggunakan
bahasa, akan tetapi kesempurnaan interaksi itu hanya dapat dijamin melalui
bahasa.
Dalam proses komunikasi di pasar, interaksi dapat bermacam-macam
bentuknya, misalnya bekerja, bermain-main, bersenda gurau dan salah
satunya adalah tawar-menawar dalam jual beli antara penjual dan pembeli.
Proses inilah yang memicu situasi kebahasaan dengan berbagai jenis dan
bentuknya.
5
Dalam interaksi sosial di pasar seperti tawar-menawar di dalamnya
tentu melibatkan bahasa. Dengan demikian, tawar-menawar termasuk salah
satu peristiwa tutur (speech event). Sebagai salah satu peristiwa tutur, wujud
pemakaian bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti situasi dan
peristiwa, peserta tutur, tujuan berbicara, norma-norma interaksi dan
sebagainya (Suharsono, 2003: 1). Kegiatan tawar menawar yang dipengaruhi
faktor tersebut, sudah tentu akan mengakibatkan pemakaian bahasa yang
beragam. Misalnya, dari segi penutur yaitu penjual dan pembeli yang berasal
dari berbagai latar belakang, geografis dan status sosial yang berbeda, maka
tuturan yang muncul akan berbeda pula.
Perlu ditekankan bahwa keragaman bahasa itu disebabkan karena
adanya para penutur yang tidak heterogen, tetapi dalam wacana jual beli
terutama jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa, juga disebabkan adanya
hubungan keintiman antara penjual dan pembeli. Tuturan antara penjual dan
pembeli yang sudah kenal dan akrab karena seringnya pembeli berbelanja di
tempat tersebut. Akan berbeda dengan bentuk tuturan antara penjual dengan
pembeli baru yang belum kenal sama sekali. Pada dasarnya, ragam bahasa
yang digunakan dalam jual beli mempunyai makna tertentu. Tawar menawar
akan menghasilkan ragam bahasa yang berbeda. Oleh sebab itu, penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian ragam bahasa bagi penutur di Pasar
Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.
6
Pengamatan sepintas di Pasar Sentral Sungguminasa menunjukkan
bahwa dwibahasawan seringkali menggunakan bahasa-bahasa yang
dikuasainya secara bergantian, bergantung pada keadaan pertuturan.
Pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian disebabkan oleh faktor-
faktor tertentu lazim dinamakan alih kode (code switching). Variasi atau
ragam bahasa tersebut terjadi akibat faktor sosial dan tujuan komunikasi.
Misalnya, pembeli yang awalnya menggunakan bahasa Indonesia saat
mengawali percakapan dengan penjual, lalu beralih ke bahasa Makassar. Hal
ini disebabkan oleh keinginan pembeli untuk mengakrabkan diri dengan
penjual dengan harapan dan dispensasi harga yang ditawarkan.
Penelitian tentang variasi bahasa dalam situasi jual beli masih kurang
dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian Pomiati (2001) dengan judul
penelitian “Ragam Bahasa Transaksi Jual Beli Daging Sapi di Pasar Pagi
Pemalang, Cilacap dengan Kajian Sosiolinguistik”. Penelitian lain yakni Sidiq
(2004) yang mengkaji tentang alih kode dan campur kode dalam khotbah
Jumat di Kabupaten Selayar. Penelitian Nuraeni (2010) dengan judul ”Alih
Kode dan Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa pada Ranah Keagamaan
(Analisis Pemakaian Bahasa Majelis Taklim) di Kabupaten Gowa”. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa banyak peristiwa alih kode dan campur kode
dalam khotbah Jumat tersebut (dari bahasa Indonesia ke bahasa Selayar,
dan ke bahasa Arab). Hal ini dipengaruhi oleh faktor situasi penutur (jamaah),
ingin menghibur, gengsi, dan menekankan maksud (isi) khotbah yang
7
disampaikan. Kurangnya penelitian ragam bahasa dalam situasi jual beli
memotivasi penulis mengkaji masalah yang relevan dengan judul ”Ragam
Bahasa Indonesia pada Interaksi Jual Beli di Pasar Sentral Sungguminasa
Kabupaten Gowa”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana wujud ragam bahasa jual beli di Pasar Sentral
Sungguminasa Kabupaten Gowa?
2. Bagaimana pola interaksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral
Sungguminasa Kabupaten Gowa?
3. Bagaimana tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada
interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten
Gowa?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan:
1. Wujud ragam bahasa jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa
Kabupaten Gowa.
8
2. Pola interaksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral
Sungguminasa Kabupaten Gowa.
3. Tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada interaksi
jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan
untuk perkembangan linguistik pada umumnya dan kajian sosiolinguistik
pada khususnya. Selain itu, penelitian ini dapat menambah perbendaharaan
peristilahan dalam ragam jual beli. Selain itu, hasil penelitian ini dapat
bermanfaat untuk mengetahui situasi kebahasaan dalam interaksi jual beli
bagi masyarakat di Sungguminasa.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca untuk dapat menggunakan bahasa sebagai cara untuk
menghormati seseorang yang diajak berbicara di pasar dalam komunikasi
jual beli. Hasil penelitian ini dapat pula dijadikan referensi peneliti selanjutnya
yang relevan dengan penelitian ini.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan
linguistik, dua bidang ilmu empiris yang memunyai kaitan sangat erat. Untuk
memahami sosiolinguistik, terlebih dahulu dibicarakan yang dimaksud
dengan sosiologi dan linguistik. Sosiologi telah banyak batasan yang telah
dibahas oleh para sosiolog yang sangat bervariasi, tetapi intinya adalah
bahwa sosiologi itu adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia
di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang
ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana
masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Mempelajari gejala sosial
dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara
manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, cara mereka
bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di
dalam masyarakat.
Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang
ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian,
secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu
9
10
antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan
bahasa itu di dalam masyarakat.
Sosiolinguistik cenderung memfokuskan diri pada kelompok sosial
serta variabel linguistik yang dipergunakan dalam suatu kelompok, sambil
berusaha mengorelasikan variabel tersebut dengan unit-unit demografik
tradisional pada ilmu-ilmu sosial, seperti: umur, jenis kelamin, kelas sosial
ekonomi, pengelompokan regional, status, dan lain-lain. Bahkan, pada akhir-
akhir ini juga diusahakan korelasi antara bentuk-bentuk linguistik dan fungsi-
fungsi sosial dalam interaksi intrakelompok, untuk tingkatan mikronya, serta
korelasi antara pemilihan bahasa dan fungsi sosial dalam skala besar untuk
tingkat makronya (Ibrahim, 1995: 9).
Sosiolinguistik bukan sekadar mengacu kepada pemakaian data
kebahasaan dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut
kehidupan sosial. Sebaliknya, sosiolinguistik juga mengacu kepada data
kemasyarakatan dan dianalisis ke dalam linguistik. Misalnya orang bisa
melihat adanya dua ragam bahasa yang berbeda dalam satu bahasa,
kemudian mengaitkan dengan gejala sosial seperti perbedaan jenis kelamin
sehingga bisa disimpulkan, misalnya, ragam A didukung oleh wanita dan
ragam B didukung oleh pria dalam masyarakat itu. Sebaliknya, orang bisa
memulai dengan memilah masyarakat berdasarkan jenis kelamin menjadi
wanita dan pria, kemudian dianalisis bahasa atau tutur yang biasa dipakai
wanita dan tutur yang biasa dipakai pria (Sumarsono dan Partana, 2004:49).
11
Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati
sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, tetapi dilihat
atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat
manusia. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai cabang linguistik yang
mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan
perilaku sosial. Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa,
fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini
selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu
masyarakat tutur (Fishman, 1972: 10).
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi
sosiolinguistik sehingga Kridalaksana (2001: 10) mendefinisikan
sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan
saling pengaruh antara variasi bahasa dan perilaku sosial. Ia mengutip
pendapat Fishman yang mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang
mempelajari ciri dan fungsi variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa
dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.
Sosiolinguistik merupakan kajian bahasa dalam kritik sosial
pemakaiannya. Tujuannya untuk menunjukkan kesepakatan-kesepakatan
atau kaidah-kaidah penggunaan bahasa (yang disepakati oleh masyarakat),
dikaitkan dengan aspek-aspek sosial dan kebudayaan dalam masyarakat itu.
Hudson (1987: 10) mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan kajian
tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat dan sosiologi bahasa
12
merupakan kajian mengenai masyarakat dalam hubungannya dengan
bahasa. Selanjutnya, ia mengatakan sosiolinguistik adalah kajian atau
pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa. Nababan (1984:
10) mengatakan sosiolinguistik adalah kajian atau pembahasan bahasa
sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.
Pateda (1992: 11) mengemukakan tentang sosiolinguistik tanpa
menambah definisi yang telah dikemukakan para ahli sebelumnya, bahwa
dengan sosiolinguistik dapat terpanggil untuk mempelajari dan
menyelesailcan konflik bahasa dan perencanaan bahasa di daerah tertentu,
dengan mengemukakan komponen-komponen sosiolinguistik sebagai suatu
cabang linguistik, kita (orang) mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa
dalam konteks sosial dan budaya.
Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of
California, Los Angeles, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi
dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan masalah
dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dan penutur, (2) identitas
sosial dan pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan
sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dan
dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan
perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan
(7) penerapan praktis dan penelitian sosiolinguistik (Dittmar, 1976: 11).
Ketujuh dimensi ini hanya tiga aspek yang berkaitan dengan kajian penelitian
13
ini, yaitu (1) identitas sosial dan penutur, (2) identitas sosial dan pendengar
yang terlibat dalam proses komunikasi, dan (3) lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur terjadi.
Identitas sosial dan penutur antara lain dapat diketahui dengan
pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya
dengan lawan tuturnya. Identitas penutur dapat berupa anggota keluarga
(ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib,
atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang
yang dituakan, dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi
pilihan kode dalam bertutur.
Identitas sosial dan pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur.
Identitas pendengar itu pun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, adik,
kakak, paman, dan sebagainya), teman karib, guru, murid, tetangga, orang
yang dituakan, dan sebagainya. Identitas pendengar atau para pendengar
juga akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur tejadi dapat berupa ruang
keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di dalam mesjid, di lapangan sepak
bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa
tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur.
Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara
yang tidak keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras,
malah di ruang yang bising dengan suara mesin-mesin kita harus berbicara
14
dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh
lawan bicara kita.
Sehubungan dengan konsep konteks situasi, Hymes dalam artikelnya
yang berjudul Model of Interaction of Language and Social Life (1972)
membahas komponen tutur (speech component). Komponen tutur ini
dianggap sebagai konteks sosial yang banyak mempengaruhi wujud wacana
yang dituturkan oleh seseorang dalam suatu adegan tutur atau peristiwa tutur
(speech event).
Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa sosiolinguistik
sebenarnya tidak memperhatikan “aturan permainan” dalam bahasa (tata
bahasa), tetapi yang diperhatikan bagaimana pemakaian bahasa sehingga
dapat menjalankan fungsinya semaksimal mungkin. Sebelum lahir
sosiolinguistik, orang lebih banyak memperhatikan struktur. Setelah timbul
konflik-konflik bahasa karena fungsinya, maka orang mencari jalan dan
lahirlah sosiolinguistik. Dengan uraian ini, jelaslah bahwa sosiolinguistik lahir
karena ingin menempatkan bahasa sesuai dengan fungsinya. Fungsi utama
bahasa yakni sebagai alat komunikasi. Kalau demikian, sosiolinguistik
banyak bersangkut-paut dengan bahasa sebagai alat komunikasi.
2. Masyarakat Bahasa
Chaer dan Agustina (2004: 36) mengemukakan yang disebut
masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan
15
bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang
sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Fishman (dalam Chaer
dan Agustina, 2004: 36) masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang
anggota-anggotanya setidaknya mengenal satu variasi bahasa serta norma-
norma yang sesuai dengan penggunaannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat Sungguminasa
merupakan masyarakat bahasa atau masyarakat tutur, karena sedikitnya
telah mengusai tiga bahasa (multilingual) yaitu bahasa Indonesia, bahasa
Makassar, dan bahasa Bugis beserta norma-normanya. Pemakaian ketiga
bahasa tersebut juga mempunyai peran dan fungsinya masing-masing.
3. Bahasa
a. Pengertian Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakaan manusia bisa
juga dikategorikan sebagai alat penghubung manusi dalam berkomunikasi
dan berinteraksi denagan lawan bicara. Bagian-bagian yang terdapat dalam
bahasa yaitu yang meliputi: pengertian bahasa, fungsi bahasa, jenis bahasa,
dan ragam bahasa.
Menurut Kridalaksana (2007: 1) bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang abriter yang dipergunakan dalam masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa dipergunakan manusia
dalam segala aktivitas kehidupan. Dengan damikian, bahasa merupakan hal
16
yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Recing Koen (dalam Aslinda
dan Safyahya, 2007: 5) menyatakan, bahwa hakekat bahasa bersifat
mengerti, individual, kooperatif dan sebagai alat komunikasi.
Berdasarkan beberapa pandangan mengenai bahasa tersebut maka
dapat dikatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi dan interaksi sosial di
dalam suatu masarakat yang berwujud lambang bunyi atau simbol yang
bersifat abriter, konvsional dan bermakna yang dapat membentuk identitas
pemakainya serta mengembangkan budaya suatu masyarakat tertentu.
b. Fungsi Bahasa
Menurut Soeparno (2002: 5) fungsi umum bahasa adalah sebagai alat
komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling
hubungan antar anggota. Untuk keperluan itu dipergunakan suatu wahana
yang dinamakan bahasa. Dengan demikian, setiap masyarakat dipastikan
memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada
masyarakat tanpa bahasa dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat.
Menurut Chaer dan Agustina (2004: 14) fungsi bahasa secara
tradisional kalau ditanyakan apakah bahasa itu, akan di jawab bahasa adalah
alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi,dalam arti, alt untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan.
17
Dari pendapat pakar tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulaan bahwa
bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan berinteraksi yang dilakukan
manusia pada umumnya.
c. Ragam Bahasa
1) Pengertian Ragam Bahasa
Sebagai langue, sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem
yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, faktor penutur
bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan
kumpulan manusia yang homogen. Oleh karena itu, wujud bahasa yang
konkret disebut parole, menjadi tidak seragam. Dengan demikian, bahasa
menjadi bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan
hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, melainkan juga
karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam.
Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman
bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut
digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang
sangat luas. Misalnya, bahasa Indonesia yang wilayah penyebarannya dari
Sabang sampai Marauke.
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang
berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan
pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium
18
pembicara. Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam
yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan
terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di
dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat
dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Chaer dan Agustina (2004: 73) menyatakan bahwa berbicara
mengenai variasi bahasa yang berkenaan dengan penutur dan
penggunaanya secara konkret. Begitulah dalam pembicaraan variasi bahasa
itu berkenaan dengan idiolek, dialek, soiolek, kronolek, fungsiolek, ragam,
dan register. Pembicaran tentang variasi bahasa itu tidak lengkap bila tidak
disertai dengan pembicaraan tentang jenis bahasa yang juga melihat secara
sosiolinguistik. Hanya bedanya dalam pembicaraan jenis ini bukan hanya
berurusan dengan suatu bahasa, serta variasinya, juga berusaha dengan
sejumlah bahasa baik yang dimiliki repertoir suatu masarakat tutur maupun
yang dimiliki dan digunakaan oleh sejumlah masarakat tutur.
Chaer dan Agustina (2004: 61) mengemukakan variasi atau ragam
bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik. Sedangkan
variasi itu adanya bentuk yang lebih dari satu. Sumarsono dan Partana
(2004: 31) menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa yang
digunakan dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan tertentu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variasi atau ragam
bahasa merupakan bagian dari kajian sosiolinguistik sebagai perwujudan
19
interaksi masyarakat bahasa yang pemakaiannya disesuaikan berdasarkan
fungsi, situasi dan perasaan sosial pemakaian bahasa itu sendiri.
2) Jenis Ragam Bahasa
Bahasa dapat dipandang secara diakronis dan sinkronis. Secara
diakronis, dapat dibedakan tahapan-tahapan bahasa yang berbeda-beda dari
waktu ke waktu. Secara sinkronis, variasi-vriasi bahasa dapat dibedakan
menurut pemakaian bahasa dan pemakai bahasa. Dari segi pemakai bahasa
dialek regional (geografis), terdiri atas (1) dialek sosial, (2) dialek khusus dan,
(3) idiolek. Dari segi pemakaian bahasa, variasi-variasi bahasa disebut ragam
bahasa, yang dapat dibagi menurut bidang pembicaraan, cara berbicara, dan
hubungan di antara pembicara (Kridalaksana, 2007: 93).
Chaer dan Agustina (2004: 62) membagi variasi bahasa dari berbagai
segi yaitu:
a) Variasi Bahasa dari Segi Keformalan (Situasi)
Berdasarkan tingkat keformalan (situasi) dapat dibagi atas:
(1) Ragam baku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang
digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi.
Ragam resmi atau formal. Ragam bahasa yang digunakan dalam
situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi. Ragam ini pada
dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar.
20
(2) Ragam usaha atau ragam konsultatif. Wujud ragam usaha ini berada
di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai.
(3) Ragam akrab atau ragam intim, adalah variasi bahasa yang biasanya
digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Ragam
ini ditandai dengan pengunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-
pendek, dan artikulasi yang sering kali tidak jelas.
(4) Ragam santai atau ragam kasual. adalah variasi bahasa yang
digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang- bincang
dengan keluarga atau teman akrab.
b) Variasi Bahasa dari Segi Sarana
Berdasarkan segi sarana dibagi menjadi dua tingkatan yaitu:
(1) Ragam lisan, menyampaikan informasi secara lisan dapat dibantu
dengan nada suara, gerak-gerik tangan dan sejumlah gejala fisik
lainya.
(2) Ragam tulisan, dalam berbahasa tulis lebih menaruh perhatian
agar kalimat-kalimat yang disusun bisa dipahami pembaca.
c) Variasi Bahasa dari Segi Penutur (Pemakai)
Berdasarkan penutur berarti, siapa yang menggunakan bahasa itu,
apa jenis kelaminnya dan kapan bahasa digunakan. variasi dari segi penutur
ada variasi yang disebut:
(1) Idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan.
21
(2) Dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau
area tertentu.
(3) Sosiolek atau dialek sosial yakni variasi bahasa yang berkenaan
dengan status, golongan dan kelas sosial pada penuturnya.
(4) Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang
digunakan oleh kelompok sosial pada zaman tertentu.
d) Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian
Variasi dari segi pemakaian atau penggunaanya berarti bahasa untuk
itu digunakan untuk apa, bidang apa, apa jalur dan alatnya dan bagaimana
situasi keformalannya. Variasi bahasa menurut penggunaannya
pemakaiannya fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register. Variasi
bahasa berdasarkan bidang pemakain menyangkut bahasa itu digunakan
untuk keperluan atau bidang apa, sehingga muncullah beberapa ragam
bahasa, seperti: (1) variasi bahasa atau ragam bahasa sastra, (2) ragam
bahasa jurnalistik, (3) ragam bahasa militer, (4) ragam bahasa ilmiah, (5)
ragam bahasa niaga atau perdagangan (ragam jual beli).
Menurut Soeparno (2002: 71-78) ragam bahasa atau variasi bahasa,
dapat dibedakan atas:
(1) Variasi kronologis yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh keurutan
waktu atau masa (kronolek).
22
(2) Variasi geografis yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor
geografis atau regional(varia regional).
(3) Variasi sosial yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor
perbedaan sosiologis (sosiolek).
(4) Variasi fungsioal yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor
perbedaan fungsi pemakaian bahasa (fungsiolek).
(5) Variasi gaya yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor
perbedaan gaya bahasa (style).
(6) Variasi kultural yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor
perbedaan budaya masyarakatnya.
(7) Individual yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor perbedaan
perorangan (idiolek).
Dengan demikian variasi bahasa sangat ditentukan oleh faktor waktu,
faktor tempat, faktor sosiokultural, faktor situasi dan faktor medium
pengungkapan. Faktor waktu menimbulkan perbedaan bahasa dari masa ke
masa. Variasi regional membedakan bahasa yang dipakai di satu tempat
dengan yang ada di tempat lain atau disebut dialek sosial. Variasi situasional
timbul karena pemakai bahasa memilih ciri-ciri bahasa tertentu dalam situasi
tertentu sehingga timbul adanya ragam bahasa formal dan informal. Faktor
medium pengungkapan membedakan bahasa lisan dan bahasa tulis. Ragam
bahasa juga dibagi menurut situasi, sarana, pemakai dan pemakaian.
Sedangkan ragam menurut situasi dibedakan atas formal dan informal.
23
Sedangakan menurut saran ragam bahasa dibedakan atas tulisan dan lisan.
Menurut pemakaian ragam bahasa dibedakan atas empat (4) macam yaitu
idiolek, dialek, sosiolek dan kronolek. Sedangkan menurut pemakaian ragam
bahasa dibedakan atas ragam jual beli, ragam sastra, ragam jurnalistik,
ragam hukum dan ragam ilmiah sedangkan sosiolek dibedakaan atas
pendidikan, pekerjaan, usia dan jenis kelamin.
3) Ciri-Ciri Ragam Bahasa Jual Beli
a) Wujud Tuturan Penjual dan Pembeli
Menurut Kridalaksana (2007: 248) bahwa tuturan dapat diartikan
wacana yang menonjolkan rangkaian peristiwa dalam serentetan waktu
tertentu, bersama dengan partisipan dan keadaan tertentu. Sedangkan
wujud, diartikan sebagai bentuk. Wujud tuturan penjual dan pembeli diartikan
bentuk ujaran penjual dan pembeli.
b) Pola Interaksi Penjual dan Pembeli
Suharsono (2003: 5-7) menyatakan bahwa faktor-faktor yang bersifat
sosial, misalnya yang berhubungan dengan diferensiasi kerja, tujuan
interaksi, dan hubungan peranan di antara penjual dan pembeli,
mempengaruhi pola interaksi jual beli, yang pada akhirnya mempengaruhi
pula wujud dan bentuk tuturan. Mengenai model interaksi antara penjual dan
24
pembeli dapat diihat dari lima segi, yaitu: (a) sifat organisasi, (b) tujuan
interaksi, (c) sifat hubungan, (d) harga.
Model interaksi antara penjual dan pembeli memiliki ciri-ciri berikut: (a)
Memberi peluang pertukaran kata bersifat goal oriented, tetapi juga untuk
mengembangkan hubungan interpersonal, (b) Hubungan bersifat
interpersonal, tidak temporer, (c) Tawar menawar merupakan bagian tidak
terpisahkan dalam interaksi penjual dan pembeli. (d) Masing-masing pelaku
dalam interaksi mengembangkan persuasi verbal.
4. Komunikasi
a. Pengertian Komunikasi
Menurut Uchjana dan Effendi (2007: 9) istilah komunikasi atau dalam
bahasa Inggris communication berasal dari kata latin communicatio, dan
bersumber dari kata kommunis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya
adalah sama kata. Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya
dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung
selama ada kesamaan makna apa yang sedang dipercakapkan. Kesamaan
bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan
kesamaan makna. Akan tetapi, pengertian komunikasi yang dipaparkan di
atas sifatnya dasar, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus
mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat.
25
Chaer dan Agustina (2004: 17) mengutip dari webster menyebutkan
komunikasi adalah proses pertukaran informasi antarindividu melalui sistem
simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum. Pengertian komunikasi itu
paling tidak melibatkan dua orang atau lebih, dan proses pemindahan
pesannya dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara komunikasi yang
dilakukan oleh seseorang.
Menurut Chaer dan Agustina (2004: 17) dalam setiap komunikasi
harus ada komponen pokok, yaitu:
1) Partisipan, yaitu pihak yang berkomunikasi, pengirim dan penerima
informasi yang dikomunikasikan. Pihak yang terlibat dalam proses
komunikasi tentunya ada dua orang atau ada dua kelompok orang,
yaitu pertama yang mengirim (sender) informasi, dan kedua yang
menerima (receiver) informasi.
2) Informasi yang dikomunikasikan. Informasi yang dikomunikasikan
tentunya berupa suatu ide, gagasan, keterangan, atau pesan.
3) Alamat yang digunakan dalam komunikasi. Alat yang digunakan
dapat berupa simbol atau lambang seperti bahasa.
Dengan demikian proses komunikasi akan berjalan dengan lancar dan
bahasa sebagai media komunikasi apa bila dalam interaksi ditandai adanya
umpan balik dari penerima pesan (receiver) atau lawan tutur kepada pengirim
pesan (sender) atau penutur dan komunikasi menurut jenisnya dibagi
menjadi dua macam yaitu verbal dan nonverbal.
26
b. Jenis Komunikasi
Menurut Chaer dan Agustina (2004: 20) membagi jenis komunikasi
menjadi dua macam:
1) Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal atau komunikasi bahasa adalah komunikasi yang
menggunakan bahasa sebagai alatnya. Bahasa yang digunakan dalam
komunikasi ini tentunya harus berupa kode yang sama-sama dipahami oleh
pihak penutur dan pihak pendengar yaitu yang berupa bahasa tulis dan
bahasa lisan.
2) Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan alat,
seperti bunyi peluit, cahaya (lampu, api), isyarat bendera (semaphore).
5. Interaksi dan Situasi Kebahasaan
Interaksi merupakan bagian dari fungsi bahasa. Di sebuah
masyarakat, lingkungan pendidikan bahkan di Pasar sekalipun manusia
sering melakukan interaksi. Dengan adanya interaksi bahasa tersebut berarti
manusia melakukan sebuah kontak sosial dan komunikasi.
Menurut Suharsono (2003: 64) bentuk umum proses sosial adalah
interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan antara orang-orang,
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi
27
sosial dimulai pada saat itu, mereka saling menegur, berjabat tangan, saling
bicara atau bahkan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu,
adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. kontak sosial dapat bersifat
positif atau negatif yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama,
kontak sosial yang bersifat negatif pada suatu pertentangan atau bahkan
sama sekali tidak menghasilkan interaksi sosial.
Apabila seorang pedagang menawarkan barang dagangannya kepada
calon pembeli serta diterima dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya
jual beli, maka kontak tersebut bersifat positif. Lain halnya, apabila pembeli
tampak bersungut-sungut sewaktu ditawarkan barang dagangan maka,
kemungkinan besar tidak akan terjadi jual beli. Dalam hal ini terjadi kontak
negatif yang menyebabkan tidak berlangsungnya interaksi sosial. Dalam
interaksi mencakup tiga hal, yaitu diglosia, alih kode, dan campur kode.
a. Diglosia
Di dalam masyarakat bahasa khususnya di daerah Sungguminasa
bahasanya sangat bervaiatif. Sebagian daerah tertentu ada yang
menggunakan bahasa Makassar sebagian daerah lain ada yang
menggunakan bahasa Bugis bahkan ada pula yang menggunakan bahasa
Indonesia.
Menurut Ferguson (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 92) bahwa
keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa
28
yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu
disebut diglosia. Ferguson juga membagi pengertian diglosia menjadi tiga
yaitu:
1) Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana
selain terdapat sejumlah dialek utama (lebih tepat, ragam-ragam utama)
dari satu bahasa terdapat ragam lain.
2) Dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa dialek biasa, dan bisa
berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.
3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri: Sudah
sangat terkodifikasi. Gramatikalnya lebih komplek. Merupakan wahana
kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati. Dipelajari melalui
pendidikan formal. Digunakan dalam bahasa tulis dan bahasa lisan
formal. Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk
percakapan sehari-hari.
Kriteria diglosia yang sangat penting menurut Ferguson (dalam Chaer
dan Agustina, 2004: 93) adalah bahwa dalam masyarakat diglosis terdapat
dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi dan yang
kedua disebut dialek rendah.
Dengan demikian bahwa masyarakat Sungguminasa khususnya para
penjual pembeli merupakan masyarakat bahasa (masyarakat tutur) yang
memiliki variasi bahasa dan ini bisa mengakibatkan timbulnya bahasa
29
campuran (campur kode) dan peralihan bahasa dari bahasa satu ke bahasa
lain atau biasa disebut alih kode.
b. Alih Kode
Menurut Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 106) alih kode adalah
gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi yang
disebabkan oleh datangnya orang ketiga dan dilakukan dengan sadar dan
sengaja dengan sebab tertentu.
Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) menyatakan bahwa
alih kode adalah apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari
suatu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain. Fasold (dalam Chaer dan
Leoni, 2004: 115) berpendapat bahwa alih kode adalah apabila suatu klausa
jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya
disusun menurut struktur gramatikal bahasa lain.
Variasi bahasa lain yang dapat dijumpai dalam pergaulan masyarakat
adalah peralihan kode yang digunakan untuk menyesuaikan diri penutur
dengan peran. Di samping penyesuaian peran yang dihadapi oleh penutur,
alih kode juga dapat di sebabkan oleh dorongan batin penutur, misalnya
karena adanya perasaan kecewa, ketidakpuasan dan tanggapan terhadap
sesuatu yang sedang dialami dan dilihat pada saat itu.
Istilah bahasa kadang-kadang digunakan dalam makna yang sama
dengan istilah kode, namun mengandung arti yang lebih umum dan biasanya
30
berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi
oleh anggota masyarakat bahasa (Thaha, 1985:4). Alih kode tidak terjadi
secara kebetulan, tetapi berhubungan erat dengan berbaga situasi tertentu,
misalnya perubahan dalam situasi penuturan, perubahan kehendak atau
suasana hati penutur secara tiba-tiba atau karena faktor kompetensi
berbahasa dan berbagai faktor kebahasaan lainnya (Thaha, 1985:5).
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang
lain. Jadi, apabila seorang penutur menggunakan kode A (misalnya dalam
bahasa Indonesia) dan kemudian beralih menggunakan kode B (misanya
bahasa Makassar), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti ini
disebut alih kode (code switching).
Dalam alih kode, penggunaan dua bahasa atau lebih ditandai oleh
setiap bahasa mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya
dan (berkategori) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi
yang relevan dengan perubahan konteks. Syamsuddin dkk., (1997:121)
mengatakan bahwa alih kode merupakan salah satu aspek analisis
percakapan yang lengkap di dalam pembahasan wacana dialog dan alih
kode erat pula hubungannya dengan sistem bertutur, peristiwa tutur, tindak
tutur, variasi bahasa, dan ragam bahasa tutur. Bahkan, erat sekali
hubungannya dengan rasa berbahasa dan tatakrama berbicara dalam
percakapan pada semua tingkatan atau status pemakai bahasa.
31
Kridalaksana (2001: 7) mengemukakan bahwa alih kode adalah
penggunaan-variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau
keadaan lain. Penyesuaian diri yang dimaksud adalah dalam bentuk
penyesuaian bahasa dalam tindak tutur dari penutur kepada lawan tuturnya
apabila ada istilah yang dapat dipahami oleh lawan tuturnya.
Alih kode dapat pula terjadi karena beralihnya persoalan ke persoalan
yang lain yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Hal ini sejalan dengan
pendapat Pateda (1992: 85) bahwa alih kode adalah peralihan kode. Seperti
yang dikemukakan oleh Appel, yaitu siapa yang berbicara dan mendengar,
pokok pembicaraannya, konteks verbal, bagaimana bahasa dihasilkan, dan
bekas pembicaraan (Pateda, 1987: 36).
c. Campur Kode
Di dalam bahasa Indonesia sering ditemui suatu keadaan ketika
seseorang mencampur dua atau lebih bahasa dalam satu tindak berbahasa.
Apabila diperhatikan hubungan antara kemampuan dalam dua bahasa
tersebut pada orang yang berdwibahasa secara penuh dan seimbang,
kemampuan dan tindak laku dalam kedua bahasa tersebut adalah berpisah
dan bekerja secara sendiri-sendiri yang dapat menyebabkan terjadinya
campur kode. Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia, campur kode adalah
(1) interferensi, (2) penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke dalam
bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di
32
dalamnya pemakaian kata, frasa, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya
(Depdikbud, 2005: 168).
Nababan (1984: 32) menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa
yang lain ialah bagaimana orang mencampur dua atau lebih bahasa ragam
bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada
sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa.
Dalam kondisi demikian, hanya kesantaian penutur dan kebiasaannya yang
dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.
Kridalaksana (2001: 35) mendefinisikan campur kode sebagai
penguraian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk
mempertegas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya
pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Hymes bahwa campur kode ini bukan hanya terjadi antar
bahasa, melainkan dapat pula terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya
dalam suatu bahasa (Chaer dan Agustina, 2004: 142).
Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling
memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain secara
konsisten dan apabila dalam satu tuturan terjadi pencampuran atau
kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam satu klausa yang sama
(Suwito, 1983: 77). Apabila dalam suatu tuturan terjadi pencampuran atau
kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam suatu klausa yang
sama, maka peristiwa itu disebut campur kode (Suwito, 1983: 76).
33
Peristiwa campur kode lazim terjadi di dalam masyarakat yang
dwibahasa ataupun yang multibahasa. Keduanya memiliki persamaan yang
besar sehingga seringkali susah dibedakan. Persamaaanya ialah
digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua variasi dari sebuah bahasa
dalam satu masyarakat tutur, rasional, alih gaya atau alih register
berhadapan dengan lawan tutur.
Menurut Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) campur
kode adalah apabila didalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun
frase-frase yang digunakan terdiri dari kalusa dan frase campuran (hybrid
clauses, hybrid prases), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi
mendukung fungsi sendiri-sendiri. Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2004:
115) menyatakan bahwa campur kode adalah apabila seseorang
menggunakan satu kata atau frasa dari suatu bahasa.
6. Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur adalah terjadinya atu berlangsungnya interaksi linguistik
dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melebihi dua pihak, yaitu penutur
dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam waktu, tempat dan
situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang
dan pembeli di Pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur (Chaer dan
Agustina, 2004: 47).
34
Percakapan yang tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi),
tanpa tujuan ditentukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap-
cakap, dan menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti tidak disebut
sebagai peristiwa tutur apabila memenuhi delapan komponen tutur, yang
dihuruf-huruf pertanyaan dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING,
Delhemes dalam (Chaer dan Leoni, 2004: 48) komponen itu adalah:
S = Setting and scene
P = Partisipant
E = End: purpuse and goal
A = Act sequncs
K = Key: tenor sepirit of act
I = Instrumentalistis
N = Norm of interaction and interpretation
G = Genres
Dari beberapa pendapat pakar tersebut dapat ditarik sebuah
kesimpulaan bahwa komunikasi merupakaan proses pertukaraan informasi
antar individu yang berupa simbol, tanda gerak, atau tingkah laku yang
umum. Kemudiam jenis komunikasi di bagi menjadi dua bagian yaitu verbal
dan nonverbal. Komunikasi yang dilakukan manusia pada umumnya ialah
komunikasi verbal, sebuah komunikasi yang dilakukan oleh manusia yang
menggunakaan bahasa lisan yang berupa kata atau kalimat yang terjadi pada
peristiwa tutur itu dipengaruhi oleh tempat dan waktu, pihak yang
35
berkomunikasi, nada tutur, sarana tutur, jenis tutur. Di daerah Sungguminasa
tidak menutup kemungkinan akan terjadi interaksi, karena daerahnya yang
dekat dengan perbatasan maka akan menimbulkan variasi bahasa, dari
variasi bahasa itu akan timbul campur kode dan alih kode sebagai alat
komunikasinya, itu dikarenakan agar komunikasi yang dilakukan bisa berjalan
dengan lancar. Berkomunikasi dan berinteraksi tidak akan terlepas pada
peristiwa tutur.
7. Tingkat Tutur
a. Pengertian Tingkat Tutur
Tingkat tutur atau disebut dengan istilah undha usuk, Chaer dan
Agustina (2004: 40) menyebutkan bahwa variasi bahasa yang
penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial. Dijelaskan adanya
tingkat-tingkat bahasa ini menyebabkan penutur dari masyarakat tutur
tersebut untuk mengetahui terlebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya
terhadap lawan bicaranya.
Rahardi (2001: 52-53) menyebutkan bahwa tingkat tutur dapat dikatakan
sistem kode dalam masyarakat tutur. Kode dalam jenis ini faktor penentunya
adalah relasi antara si penutur dengan mitra tutur.
b) Faktor yang Memengaruhi Tingkat Tutur
Mengenai berbagai faktor yang menyebabkan adanya bentuk tingkat
tutur, Rahardi (2001: 53) membagi ke dalam beberapa faktor, yakni dihormati
36
atau tidak dihomati karena bentuk dan kondisi tubuhnya, kekuatan ekonomi,
status sosialnya, kekuatan dan pengaruh politisnya, alur kekerabatan, usia,
jenis kelamin, dan kondisi psikisnya.
Tingkat sosial para penutur sangat menentukan dalam menentukan
variasi tingkat tutur. Terdapat anggota masyarakat tertentu yang sangat perlu
dihormati, tetapi ada juga golongan masyarakat yang tidak perlu
mendapatkan penghormatan khusus.
Untuk mengetahui keterkaitan tersebut, Kuntjaraningrat dalam Chaer
dan Agustina (2004: 39-40) membagi masyarakat terkecuali masyarakat di
Sungguminasa atas empat tingkat, yaitu (a) masyarakat biasa, (b) golongan
pedagang, (c) golongan pejabat, (d) golongan orang kaya. Penggolongan di
atas jelas adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa
Makassar, berdasarkan tingkat-tingkat sosialnya. Lebih jelasnya bahwa pihak
yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih
tinggi, yaitu krama, dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan
tingkat bahasa yang lebih rendah.
c) Bentuk-Bentuk Tingkat Tutur
Sehubungan dengan tingkat tutur, bentuk tingkat tutur bahasa terbagi
atas dua, yaitu tingkat tinggi dan tingkat rendah. Di antara tingkat tinngi dan
rendah masih terbagi menjadi beberapa tingkat. Uhlenbeck (dalam Chaer
37
dan Agustina, 2004: 40) membagi tingkat variasi bahasa menjadi tiga, yakni:
tinggi, madya, rendah.
1) Tingkat Tinggi
Tingkat tutur ini memiliki rasa yang tidak berjarak antara penutur dan
mitra tutur. Hubungan antar keduanya tidak dibatasi oleh rasa segan. Bentuk
ini sering muncul antara percakapan teman sejawat, tidak memperhatikan
kedudukan dan usia (Purwadi dkk., 2005: 22).
2) Tingkat Tutur Madya
Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah yang berada di
antara tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kadar kesopanan tigkat tutur madya
tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah atau sedang-sedang saja. Dengan
kata lain, tingkat tutur madya memiliki ciri-ciri setengah sopan dan setengah
tidak sopan.
3) Tingkat Tutur Rendah
Tingkat tutur rendah adalah tingkat yang memancarkan arti penuh
sopan santun antara sang penutur dengan mitra tutur. Penggunaan tingkat
tutur ini menandakan adanya perasaan segan di antara penutur. Sebagai
rasa hormat atau kedua penutur saling menghormati kemungkinan
disebabkan karena relasi antara penutur dan mitra tutur belum terjalin baik
(akrab).
38
8. Register
Variasi bahasa berdasarkan fungsi lazim disebut register. Dalam
pembicaraan tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah dialek.
Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana,
dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan
untuk kegiatan apa (Chaer dan Agustina, 2004: 69).
Register merupakan konsep semantik yang dapat didefinisikan
sebagai suatu susunan makna yang berhubungan secara khusus dengan
susunan situasi tertentu dari medan, pelibat dan sarana (Halliday dan Hasan,
1994: 53. Kemudian dijabarkan bahwa regiser dapat didefinisikan sebagai
ragam bahasa yang digunakan pada saat itu, tergantung pada apa yang
sudah dikerjakan dan sifat kegiatannya. Register itu mencerminkan tingkat
sosial dalam arti proses yang merupakan macam-macam kegiatan sosial
yang biasanya melibatkan orang (Halliday dan Hasan, 1994: 56).
Halliday dan Hasan (1994: 57) juga menyebutkan register itu beragam,
di satu sisi, terdapat register yang berorientasi pada kegiatan, yang di
dalamnya banyak kegiatan dan sedikit percakapan, yaitu yang kadang-
kadang disebut bahasa tindakan dan terdapat pula register yang berorientasi
pada bicara, yang kebanyakan isinya bersifat kebahasaan dan tidak banyak
hal lain yang terjadi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa register
adalah jenis ragam bahasa berdasarkan fungsinya yang pemakaiannya
39
ditentukan oleh sifat dan bidang kegiatan pada saat itu, tergantung peran
sosial masyarakat pemakai bahasa. Register akan terus berkembang sesuai
jenis kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat melalui kontak bahasa baik
komunikasi maupun berinteraksi satu sama lain.
Ciri ragam bahasa jual beli yaitu yang berupa, wujud tuturan pola/
bentuk interaksi tingkat tutur dan register.
B. Kerangka Pikir
Wacana jual beli adalah suatu bentuk interaksi yaitu antara penjual
dengan pembeli yang bersifat informal. Interaksi tersebut tidak terlepas dari
pemakaian bahasa dalam komunikasi baik verbal maupun nonverbal dengan
tujuan untuk menyampaikan pesan dari setiap penutur.
Kerangka pikir penelitian digambarkan dari yang menjadi patokan dan
teori dalam penelitian ini sehingga menunjukkan sistem matriks yang
disesuaikan dengan penelitian kenyataan yang terdapat di daerah penelitian.
Urut-urutan kerangka pikir ini sebagai berikut: bahwa masyarakat bahassa
mengunakan bahasa, dan bahasa di bagi menjadi empat aspek yaitu,
pengertian bahasa, fungsi bahasa, jenis bahasa, ragam bahasa. Kemudian
fungsi bahasa, dibagi menjadi dua aspek yaitu sebagai alat komunikasi dan
berinteraksi. Kemudian wujud dari komunikasi yaitu berupa verbal dan
nonverbal. Dari interaksi itu akan timbul diglosia (variasi bahasa) dan dari
variasi bahasa akan mengakibatkan timbulnya alih kode dan campur kode.
40
Komunikasi verbal yaitu berupa tulis dan lisan sedangkan nonverbal
berupa cahaya dan bunyi. Komunikasi verbal atau komunikasi yang dilakukan
secara lisan yaitu berupa kata, kalimat,dan peristiwa tutur, (SPEAKING).
Jenis bahasa dalam penelitian dini yaitu berupa bahasa Makassar, Bugis,
Jawa, dan bahasa Indonesia. Kemudian ragam bahasa dibagi menjadi empat
faktor yaitu faktor situasi, sarana, pemakai, dan pemakaian. Dari faktor situasi
bahasa yang digunakaan, formal, dan informal, dari faktor sarana, bahasa
tulis dan bahasa lisan, dari faktor pemakai yaitu, idiolek, dialek, sosiolek, dan
kronolek. Ragam bahasa dari faktor pemakaian di pisahkan atas, ragam jual
beli, ragam sastera, ragam jurnallistik, ragam hukum, dan ragam ilmiah.
Ragam bahasa menurut pemakai pada sosiolek yaitu dipengaruhi oleh faktor
pendidikan, pekerjaan, dan usia. Kemudian yang mencakup kedalam ciri-ciri
ragam bahasa jual beli yaitu berupa, wujud bahasa/tuturan penjual dan
pembeli, pola/bentuk interaksi, dan tingkat tutur. Untuk lebih jelasnya,
kerangka pikir yang menjadi dasar penelitian dapat dilihat pada bagan berikut
ini.
41
Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir
Interaksi Jual Beli di PasarSentral Sungguminasa
Pembeli sebagaiPenyampai dan
Penerima Informasi
Penjual sebagaiPenyampai dan
Penerima Informasi
Ragam (Variasi)Bahasa
BahasaBugis/Makassar (B-1)
Bahasa Indonesia(B-2)
Bahasa Jawa(B-2)
Ragam Bahasa Penjual dan Pembeli pada InteraksiJual Beli di Pasar Sentral Sungguminasa
Kabupaten Gowa
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Variabel Penelitian Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif maksudnya adalah membuat gambaran, lukisan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat dan hubungan fenomena yang
diteliti (Sudaryanto, 1993: 8).
Penelitian ini termasuk penelitian sosiolinguistik yang didesain secara
deskriptif kualitatif. Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2000) menjelaskan
bahwa penelitian dengan desain kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan
orang-orang tersebut dalam bahasa dan dalam peristilahannya. Selain itu,
Bogdan dan Taylor (1975) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata
tertulis atau lisan dan orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu
peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut
perspektif peneliti sendiri (Usman dan Akbar, 2000). Hasan (1990)
42
43
mengungkapkan bahwa ciri penelitian kualitatif adalah sumber data yang
berupa natural setting. Data dikumpulkan secara langsung dari lingkungan
nyata (natural setting) dalam situasi sebagaimana adanya yang dilakukan
oleh subjek dalam kegiatan sehari-hari.
Ciri-ciri terpenting penelitian kualitatif adalah: (1) memberikan
perhatian utama pada makna dan pesan sesuai dengan hakikat objek, (2)
lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil penelitian sehingga makna
selalu berubah, (3) tidak ada jarak antara peneliti dengan objek penelitian,
peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung di
antaranya, dan (4) penelitian bersifat alamiah karena terjadi dalam konteks
budaya masing-masing.
Di dalam penelitian bahasa, metode penelitian deskriptif cenderung
digunakan dalam penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini dikatakan sebagai
pencarian data dengan interpretasi yang tepat, terutama dalam
mengumpulkan data, serta menggambarkan data secara ilmiah. Penelitian
kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena sosial termasuk fenomena
kebahasaan yang telah diteliti.
2. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah wujud, pola, tingkat, dan register bahasa
penjual dan pembeli dalam interaksi jual beli pada Pasar Sentral
Sungguminasa Kabupaten Gowa.
44
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat pengambilaan data ini yaitu di Pasar Sentral Sungguminasa,
Kabupaten Gowa. Pasar ini tergolong pasar besar dan beroprasai setiap hari
sehingga berpeluang terjadinya situasi kebahasaana yang beragam.
Penelitian ini direncanakan berlangsung mulai bulan Maret sampai dengan
Mei 2013.
C. Definisi Istilah
Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ragam
bahasa, pola tuturan, dan tingkat tuturan.
Ragam bahasa merupakan varian dari bahasa yang digunakan oleh
penjual dna pembeli dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa.
Pola tuturan adalah suatu model, situasi (konteks), sifat, dan tujuan
komunikasi seperti sifat organisasi, tujuan interaksi, sifat hubungan, dan
harga. Tingkat tuturan yang dimaksud adalah suatu tataran bahasa yang
dikomunikasikan antara penjual maupun pembeli yang disebabkan oleh
strata sosial.
D. Data dan Sumber Data
1. Data
Data dalam penelitian ini berbentuk tuturan yang diperoleh dari
peristiwa tutur antara penjual dan pembeli dalam peristiwa komunikasi jual
45
beli (tawar menawar) di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa yang
sungguh-sungguh terdapat dalam masyarakat bahasa. Bahasa merupakan
objek penelitian dan pemakaian bahasa (penjual dan pembeli) menjadi
subjek dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
Sumber data berupa tuturan penjual dan pembeli, yang terjadi dalam
transaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa yang
dilakukan bulan Mei sampai dengan Juli 2013.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu metode
observasi, simak, rekam, dan catat. Teknik tersebut dilakukan untuk
menyediakan data selengkap-lengkapnya. Observasi dilakukan dengan
mengamati proses interaksi jual beli bahasa yang digunakan. Hal ini
dilakukan untuk menyediakan data. Penyediaan data merupakan upaya
peneliti menyediakan data secukupnya. Data di sini dimengerti sebagai
fenomena lingual khusus yang mengandung dan berkaitan langsung dengan
masalah yang dimaksud.
Dalam tahap penyediaan data, sekurang-kurangnya melalui tiga
tahapan kegiatan, yaitu: 1) mengumpulkan yang ditandai dengan pencatatan,
2) pemilihan dan pemilah-milah dengan membuang yang tidak perlu, 3)
46
pendataan menurut tipe atau jenis terhadap apa yang telah dicatat, dipilih
dan dipilah-pilahkan itu (Sudaryanto, 1993: 11)
Pada tahap penyediaan data digunakan metode simak, yaitu cara
yang digunakaan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak
penggunaan bahasa, dengan menggunakan teknik sadap sebagai teknik
dasarnya. Sebagai teknik lanjutannya menggunakan teknik Simak Bebas
Libat Cakap (SBLC ) bahwa peneliti terlibat dalam dialog, konversasi atau
timbal wicara. Jadi, ikut serta dalam proses pembicaraan orang yang saling
berbicara dan menggunakan teknik rekam memakai head phone (HP)
sebagai alatnya. Kemudian semua rekaman yang telah diperoleh ditrankripsi
secara fonemis diteruskan dengan klasifikasi data sebagai langkah akhir
tahap penyediaan data.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menganut alur analisis data model
alir. Miles dan Huberman (1992: 15-20) mengemukakan bahwa teknik
analisis data model alir memiliki dua ciri yang menonjol, yakni (1) model
analisis data dan (2) analisis data selama dan setelah pengumpulan data.
Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup empat
langkah kegiatan, yakni (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian
data, dan (4) penyimpulan/verifikasi. Analisis data dapat dilakukan selama
pengumpulan data dan setelah pengumpulan data berakhir. Analisis data
47
pada saat pengumpulan data diperlukan untuk menyeleksi data yang
berhubungan dengan rumusan permasalahan. Sementara itu, analisis data
setelah pengumpulan data mengacu pada kerangka kerja kualitatif yaitu
pengumpulan data catatan lapangan dan rekaman.
Langkah-langkah analisis data dijelaskan sebagai berikut.
1. Peneliti melakukan observasi dan perekaman tuturan penjual dan pembeli
pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.
Observasi dan perekaman menghasilkan data kasar. Data kasar
selanjutnya diamati dan dipahami secara hermeneutik berdasarkan
masalah penelitian, yakni ragam bahasa Indonesia penjual dan pembeli
pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.
2. Peneliti mencermati dan memahami secara hermeneutik seluruh sumber
data dan data penelitian tentang ragam bahasa penjual dan pembeli pada
interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa,
kemudian peneliti menandai dengan kode tertentu. Langkah ini
menghasilkan transkrip data.
3. Peneliti mengidentifikasi dan mengklasifikasi seluruh data sesuai dengan
butir masalah. Hal tersebut dimaksudkan sebagai proses sajian data.
4. Peneliti menafsirkan data teridentifikasi dan terklasifikasi dalam usaha
menentukan kesatuan, kepaduan, dan hubungan antardata sehingga
48
diperoleh makna yang utuh. Hal tersebut dimaksudkan sebagai proses
sajian data dan penarikan kesimpulan.
Langkah tersebut oleh Glasser (dalam Biklen dan Bogdan, 1982)
disebut the constant comparative method, yang meliputi langkah (a)
pengumpulan data, (b) menemukan unsur peristiwa atau sesuatu yang
berulang terjadi dalam kategori tertentu, (c) mengumpulkan data dan
memberi banyak contoh kategori yang dijadikan fokus untuk melihat berbagai
variasi dimensi kategori, (d) menguraikan secara tertulis kategori yang diteliti
untuk mendeskripsikan dan memahami semua aspek yang terdapat dalam
data yang terkumpul sambil terus mencai hal-hal baru yang berkaitan dengan
permaslahan, (e) mengolah data sesuai dengan tujuan, dan (f) melakukan
pengodean dan uraian tertulis dengan memusatkan analisis pada kategori
inti.
Langkah analisis data yang telah diuraikan di atas, diharapkan
diperoleh kesimpulan akhir, yaitu wujud ragam bahasa Indonesia penjual dan
pembeli pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten
Gowa.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Wujud Ragam Bahasa Jual Beli di Pasar Sentral Sungguminasa
Kabupaten Gowa
a. Penjual dan Pembeli Dominan Menggunakan Bahasa Makassar
Dominasi penggunaan bahasa Makassar sebagai wujud ragam
bahasa yang dimaksud adalah suatu bentuk penggunaan bahasa yang intens
digunakan dalam interaksi jual beli. Dominasi penggunaan bahasa akibat
penutur merupakan penutur asli yang bersangkutan. Perhatikan data berikut
ini!
Peristiwa tutur:
Topik Pembicaraan: Penjual ikan
Penjual : Daeng segar, segar, beru battu, Karaeng.(…baru datang)
Pembeli : Berapa ini, Daeng (sambil menunjuk kumpulanikan bolu)
Penjual : Limassabbu na tiga ekor, Karaeng. (limaribu….)
Pembeli I : Empat ribumo na tiga nah? (Empat ribu saja, tigaekor nah?)
Penjual : Tanre antu nissawala, Bu. (tidak dapat untung, Bu)Pembeli II : Appaq assitanggahmo na tallu (empat setengah
saja, tiga)Penjual : Ki allemi, eh kita juga ambil makiq sama ini Ibu.
(silahkan dimbil ......)
49
50
Pembeli : Anjomo deh, ka tenamo naganna doeqka. (itusaja, sudah tidak cukup uang)
Penjual : Punna eroqkiq teamakiq jukuq bolu, ini saja yangkecil, Bu. (kalau mau, tidak usah ikanbandeng............)
Pembeli : Patoa-toinna anne, nitawari jukuq na nasareangkijukuq maraengaiignga. (kurang ajarnya ini,ditawari ikannya diberikan yang lain )
Penjual : Tena ni patoa-toi anjo, Bu, ditunjukkanki yangcocok na doeqtaq (tidak kurang ajar itu, Buuangnya)
Pembeli : Tena lalo nalabbusuq jukuqnu, Daeng. (mudahhantidak habis ikanmu)
Penjual : Jangankiq marah, Bu. (ketika pembeli itu sudahjauh)
Berdasarkan konteks tuturan tersebut, tampak dominasi penggunaan
bahasa Makassar dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa,
Kabupaten Gowa. Penjulan dan pembeli rata-rata menggunakan bahasa
Makassar. Sesuai dengan data tersebut, bahasa Makassar dijadikan sebagai
sarana komunikasi bagi penual dan pembeli dalam menjalankan aktivitas juali
belinya.
Dominasi penggunaan bahasa Makassar tersebut merupakan
perwujudan dari pemertahanan bahasa Makassar bagi penjual yang terus
menggunakan bahasa Makassar dalam merespon pembeli. Upaya penjual
menggunakan Makassar menjadi pemicu bagi pembeli untuk beralih bahasa
dari bahasa Indonesia ke bahasa Makassar.
Peristiwa tutur:
Lokasi/setting : Penjual Pecah-Belah Situasi : Santai (pasar) TopikPembicaraan : Pengembalian barang
51
Penjual : Kenapa dikembalikan?Pembeli I : Kemarin waktu saya ambil ini pantenta retakki, tidakku
perhatikan.Penjual : Anggapa memang tena niparessai. (mengapa tidak
diperiksa)Pembeli I : Jadi, tidak bisa ditukar? untuk apa dibeli kalau pecah
begini.Penjual : Jangan marah, Bu! kulleji nisambei mingka kitambai,
eroqjaki? (... dapat digantikan tapi menambah, Ibu mau?)Pembeli II : Biar begitu ditambahji? Biasanya ditukar.Penjual : Bisa rugi saya Bu. Pabalu ka antu tena tonjana
poterangngi. Kalau pecah, ya pecah.Pembeli II : Oh begitu, jari annambai siapa. (...jari menambah berapa?)
Penjual: Ya, berapa yang pecah, anjo reppeka nitambai,satu piring seribu rupiah.
Pembeli I : Teamakiq, bajikangngangi nierang motereq (tidak usahlebih baik dibawa pulang)
Penjual : Ya, sudah, erammi ammotereq. (Ya sudah, bawa sajapulang)
Penggunaan bahasa Makassar tampak mendominasi dalam interaksi
jual beli sesuai dengan data tersebut. Penjual dan pembeli rata-rata
menggunakan bahasa Makassar dalam proses jual beli, walaupun pada
awalnya penjual dan pembeli menggunakan bahasa Makassar. Akan tetapi,
penjual telah memahami bahwa pembeli saat itu merupakan penutur bahasa
Makassar sehingga membuka dan memulai percakapan selanjutnya dengan
bahadsa Makassar. Variasi bahasa yang demikian adalah situasi kebhasaan
yang lazim terjadi di pasar Sungguminasa yang masyarakatnya adalah rata
penutur bahasa Makassar sehingga peluang komunikasi bahasa Makassar
yang terbuka.
52
Pada peristiwa tutur tersebut, diketahui pula bahwa penjual dan
pembeli menggunakan tingkat tutur yang santai disebabkan oleh penjual dan
pembeli umurnya sebaya atau seumuran, penjual dan pembeli sudah saling
mengenal sehinga peristiwa tutur kelihatan akrab dan bahasa yang
digunakan, mengunakan bahasa Makassar yang santai dan sedikit humoris.
b. Penjual dan Pembeli Dominan Menggunakan Bahasa IndonesiaDialek Makassar
Dominasi penggunaan bahasa Indonesia sebagai wujud ragam
bahasa yang dimaksud adalah suatu bentuk penggunaan bahasa yang intens
digunakan dalam interaksi jual beli. Dominasi penggunaan bahasa akibat
penutur merupakan penutur asli yang bersangkutan serta tidak dapat beralih
bahasa sesuai dengan konteks dan aktivitas saat itu. Perhatikan data berikut
ini!
Peristiwa Tutur:
Topik Pembicaraan: Pembelian barang campuran
Pembeli : Berapa sabunta satu bungkusPenjual : Dua ribu asokanya, lamoroji.Pembeli : Tidak kurangmi itu?Penjual : Kalau banyak taambil, kukurangiji. (... .Saya berikan
murah)Pembeli : Maukaq ambil enam bungkus. Mau jakiq?Penjual : Mau banyaki?Pembeli : Tidak, untuk persiapan satu bulanPenjual : Eeh, begini kurangmo dua ribu rupiah.Pembeli : Bungkuskan makaq nah?Penjual : Ada kantong plastiktaq?Pembeli : Tidak ada kasi maka, satu kantongta.Penjual : Tiga ratus ini, Bu, tarik saja.
53
Konteks interaksi penjual dan pembeli sesuai dengan data tersebut
adalah pembelian dan tawar menawar barang campuran, seperti sabun dan
sebagainya. Dalam proses jual beli tersebut, penjual dan pembeli dominan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat interaksinya. Penggunaan
bahasa Indonesia secara menyeluruh dalam proses jual beli antara penjual
dan pembeli disebabkan oleh pembeli saat itu yang bertahan pada
penggunaan bahasa Indonesia. Sebenarnya, varian bahasa memungkinkan
terjadi saat interaksi tersebut ketika penjual mencoba menggunakan bahasa
Makassar sebgaai bahasa sehari-hari dalam proses jual beli dengan
membuka percakapan sebagai peralihan bahasa, yaitu menggunakan kata
lamoroji “murah”. Namun, pembeli tetap merespons dengan bahasa
Indonesia terhadap informasi penjual tentang kemurahan barang yang dijual.
Peristiwa Tutur:
Topik Pembicaraan: Pembelian alat-alat kosmetik
Penjual : Cari apaki mbak?Pembeli : Mau lihat-lihat dulu.Penjual : oh, iya silakan dicoba, adaji testernyaPembeli : Da bedakta yang produksi WardahPenjual : Oh, kita ndak jual Wardah, yang ada rata-rata merek
Pondsji
Pada peristiwa tutur tersebut, pejual mengguakan bahasa Indonesia
dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia itu disebabkan karena pejual
mengimbagi pembeli yang berasal dari luar kota dan bahasa yang digunakan
pembelipun menggunakan bahasa Indonesia sehingga penjual mengimbangi
54
kode yang digunakan pembeli. Dari faktor ekonomi penjual termasuk
golongan fundamental (golongan bawah) sedangkan pembeli golongan
segmental golongan (atas), yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dan
gengsi menggunakan bahasa daerah, apalagi pembeli seorang gadis
perempuan yang tentunya selalu berupaya untuk mempertahankan sebagai
statusnya sebagai gadis masa kini dan modern.
c. Penjual dan Pembeli Dominan Menggunakan Bahasa Bugis
Dominasi penggunaan bahasa Bugis sebagai wujud ragam bahasa
yang dimaksud adalah suatu bentuk penggunaan bahasa yang intens
digunakan dalam interaksi jual beli oleh penjual dan pembeli sampai
terwujudnya interaksi jual beli. Dominasi penggunaan bahasa akibat penutur
merupakan penutur asli yang saat itu sedang digunakan, termasuk pembeli
yang beretahan pada penggunaan bahasa Bugis. Perhatikan data berikut ini!
Peristiwa Tutur:
Topik Pembicaraan: Penjualan sembako
Penjual : Ibu, mie aga yang kisappa, maiki yolo!Pembeli : Iya sappaka mie goring, degage di sebelah.Penjual : Mie goreng aga?Pembeli : Engka mie goreng Jawa?Penjual : Cappuqni stoknyaPembeli : Mie goreng lainnge?Penjual : engka mua sari mie, gaga 100, sop mie, soto, tarea ki
eloki? siaga dos, Puang?Pembeli : Siaga seqdi dos sop mie.Penjual : Delapan belas, mau ki siaga dos.Pembeli : Tiga dosna.Penjual : kikasiq ki tujuh belas.
55
Pembeli : Kasiqmakaq tiga dosPenjual : lyeq
Berdasarkan konteks tuturan tersebut, tampak dominasi penggunaan
bahasa Bugis dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa,
Kabupaten Gowa. Penjulan dan pembeli rata-rata menggunakan bahasa
Bugis. Sesuai dengan data tersebut, bahasa Bugis dijadikan sebagai sarana
komunikasi bagi penual dan pembeli dalam menjalankan aktivitas juali
belinya.
Dominasi penggunaan bahasa Bugis tersebut merupakan perwujudan
dari pemertahanan bahasa Bugis bagi penjual yang memulai bahasa Bugis
dalam merayu pembeli karena sudah mengetahui bahwa pembeli merupakan
penutur bahasa Bugis. Hal ini diketahui berdasarkan hasil simakan pembeli
yang telah menggunakan bahasa Bugis saat bertanya pada penjual di
sebelahnya.
d. Penjual Menggunakan Bahasa Indonesia Dialek Makassar danPembeli Menggunakan Bahasa Indonesia Dialek Jakarta
Proses penggunaan bahasa Indonesia yang berbeda dialek pada
penjual dan pembeli terjadi akibat kedua peserta komunikan tersebut sangat
berbeda latar belakang sosial dan budaya. Hal tampak pada proses interaksi
jual beli berikut ini.
56
Peristiwa Tutur:
Topik pembicaraan: Pembelian Sayuran
Pembeli : “Mas ada yang terong belanda mas”Penjual : “Iye?”Pembeli : “Ada terong belanda enggak?”Penjual : “Ini adaji bu, mauki berapa kilo”Pembeli : “Yang ini harganya berapa mas”Penjual : “Yang itu tiga ribuji satu kilo”Pembeli : “Eh mahal juga ya, apa sekarang lagi mahal
ya mas sayuran?”Penjual : “Tidak mahal itu bu, terong belada memang
begitu harganya dari dulu”
Pada peristiwa tutur tersebut, pejual mengguakan bahasa Indonesia
dialek Makassar dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialek
Jakarta. Hal itu disebabkan karena penjual tidak mampu mengimbagi pembeli
yang berasal dari luar kota dan bahasa yang digunakan pembeli pun
menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta sehingga penjual tidak
mampu mengimbangi kode yang digunakan pembeli.
e. Penjual dan Pembeli Menggunakan Bahasa Indonesia Dialek Jakarta
Proses penggunaan bahasa Indonesia dialek Jakarta pada penjual
dan pembeli terjadi akibat kedua peserta komunikan tersebut menguasai
logat dan dialek Jakarta dan walaupun berbeda latar belakang sosial dan
budaya. Hal tampak pada proses interaksi jual beli berikut ini.
57
Peristiwa Tutur:
Topik Pembicaraan: Pembelian daging kambing
Penjual : “Mas kambing mas?”Pembeli : “Oh iya mau lihat-lihat dulu”Penjual : “Silahkan pak”Pembeli : “Yang ini berapa pak?”Penjual : “Yang itu mahal mas itu kan kambing PE,
harganya beda dengan kambing yang lainitu tanduknya panjang, bulunya bagus lagi”
Pembeli : “Berapa mas?”Penjual : “Dua mas?”Pembeli : “Dua … kurangi ya?”Penjual : “Boleh, minta berapa ?”Pembeli : “lima belas ya”Penjual : “Belum sampe kalau segitu” dah sembilan
belas ya?”Pembeli : “Ya, gimana ya…dah delapan belas aja
gimana ?”Penjual : “Ya udah lah silahkan”
Pada peristiwa tutur tersbeut, penjual mengguakan bahasa Indonesia
dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia itu disebabkan karena pembeli
mengimbagi pembeli yang setatus sosialnya lebih tinggi dibandingkan
penual dan bahasa yang di gunakan penjual menggunakan bahasa Indonesi
sehingga pembeli mengimbangi kode yang digunakan penjual yang dilihat
dari latar belakanya penjual berasal dari Jakarta.
58
f. Penjual Dominan Menggunakan Bahasa Makassar dan PembeliDominan Menggunakan Bahasa Indonesia
Peristiwa Tutur:
Topik Pembicaraan:
Penjual : Ibu, juku beru, juku beruPembeli : Lihat duluPenjual : Iye, cini-cinikirong nampa riballiPembeli : Ikan maironya berapa yang satu tempat iniPenjual : Ehhh, lammoroji njo, sappulo sabbujiPembeli : lima belas dua tempat yaPenjual : Ki allemi
Penjual menggunakan bahasa Makassar dan pembeli menggunakan
Indonesia. Hal itu dikarenakan oleh latar belakangnya yang berbeda. Penjual
berbahasa Makassar, sedangkan pembeli latar belakangya berbahasa
Indonesia. Akan tetapi, walupun keduanya menggunakan dialek masing-
masing, komunikasi tetap berjalan karena kebanyakan masyarakat di Gowa
merupakan masyarakat multibahasa walupun tidak bisa mengungkapkan
dialek bahasa Makassar, tetapi mereka mengetahui maksud yang dituturkan
oleh lawan tutur.
g. Penjual Menggunakan Bahasa Makassar Alih Bahasa Indonesia danPembeli Dominan Menggunakan Bahasa Indonesia
Penggunaan bahasa Makassar Alih bahasa Indonesia bagi penjual
dan pembeli dominan menggunakan bahasa Indonesia adalah suatu proses
59
interaksi antara penjual dan pembeli yang salah satu di antaranya (pembeli)
tidak menguasai bahasa penjual, yakni bahasa Makassar.
Peristiwa Tutur: Penujalan Ikan
Penjual : Ibu, juku-juku, lammoro kibalukangPembeli 1 : Oh iya pak, ini yang kakap minta berapa?Penjual : Oh itu, itu dua belas saja satu ekor buPembeli 2 : Bisa kurang ya, saya juga ambilPenjual : Ya, bisa ibu nawar berapa?, ambil berapa
ekor?Pembeli 1 : Dua puluh ribu dua ekor nah, tapi kasih
yang besar itu!Pembeli 2 : Iya, bisa itu nahPenjual : Iya sinimi
Pada konteks komunikasi tersebut, penjual menggunakan mengunakan
bahasa Makassar dan pembeli 1 dan 2 menggunakan bahasa Indonesia.
Pejual pada awalnya mengunakan bahasa Makassar dan beralih ke bahasa
Indonesia yang disebabkan untuk mengimbangi pembeli 1 dan 2 yang
menggunakan bahasa Indonesia. Di sini penjual sebagai orang yang
menguasai lebih dari 1 bahasa (multi bahasa) karena penjual dilihat dari letak
geografisnya yang berada di daerah Bugis Makassar sehingga dia
menguasai lebih dari dua bahasa. Pembeli 1 menggunakan bahasa
Indonesia karaena latar belakangnya berasal dari masarakat kalangan atas
yang kemungkinan bahasa Indonesia adalah bahasa pertama sehingga
dalam berkomunikasi pun menggunakan bahasa Indonesia.
Pada peristiwa tutur tersebut, penjual mengalami perubahan bahasa
(alih kode) dari bahasa Makassar berubah ke bahasa Indonesia dan
60
peralihan bahasa itu disebabkan oleh tujuan tutur, yakni melancarkan proses
komunikasi jual beli.
h. Penjual Menggunakan Bahasa Makassar Alih Bahasa Bugis danPembeli Menggunakan Bahasa Bugis
Penggunaan bahasa Makassar Alih bahasa Indonesia bagi penjual
dan pembeli dominan menggunakan bahasa Indonesia adalah suatu proses
interaksi antara penjual dan pembeli yang salah satu di antaranya (pembeli)
tidak menguasai bahasa penjual, yakni bahasa Makassar.
Peristiwa tutur:
Topik Pembicaraan: Penjualan kain/sarung
Penjual : Antamaki bu!Pembeli : Engka, sarung sutrataq?Penjual : Engka, kuitai oloq! Banyak yang baru,Pembeli : Siaga seddi lipaqtaq.Penjual : Magello iya lipagna, de nalunturu.Pembeli : Engka warna mabalo Puang, kiitai oloq?Penjual : lye, cocok ladde dipake pi pesta. Hargana seratus dua
puluh lima ribu.Pembeli : Masoli laddePenjual : Tawarini gare, siaga elota?Pembeli : Siratuna, meloqki?Penjual : Aslina iye ibu, idiq ambil saja seratus sepuluh, dikurangi ki
limabe las ribu.Pembeli : Ajaq nah, kalau teaki.
Pada konteks komunikasi tersebut, penjual menggunakan mengunakan
bahasa Makassar dan pembeli 1 menggunakan bahasa Bugis. Penjual pada
awalnya mengunakan bahasa Makassar dan beralih ke bahasa Bugis yang
61
disebabkan untuk mengimbangi pembeli yang menggunakan bahasa Bugis.
Di sini penjual sebagai orang yang menguasai lebih dari 1 bahasa (multi
bahasa) karena penjual dilihat dari letak geografisnya yang berada di daerah
Bugis Makassar sehingga dia menguasai lebih dari dua bahasa. Pembeli
menggunakan bahasa Bugis karaena latar belakangnya berasal dari
masarakat kalangan Bugis yang kemungkinan bahasa Bugis adalah bahasa
pertama sehingga dalam berkomunikasi pun menggunakan bahasa
Indonesia. Selain itu, pembeli yang kurang mahir berbahasa Makassar
sehingga tetap bertahan dan memicu penjual untuk menggunakan bahasa
Bugis.
Pada peristiwa tutur tersebut, penjual menggunakan bahasa Makassar
alih bahasa Bugis, pembeli menggunakan bahasa Bugis. Penjual
menggunakan bahasa Makassar alih bahasa Bugis itu dikarenakan faktor
latra belakang yang berbeda, penjual latar belakangnya berbahasa Makassar
sedangkan pembeli latar belakangnya berbahasa Bugis. Di sini penjual
mengalami perubahan dialek dari bahasa Bugis ke bahasa Makassar itu
dikarenakan penjual ingin mengimbamgi dialek yang digunakan pembeli
agar komunkasi berjala dengan lancar.
62
i. Penjual dan Pembeli Menggunakan Bahasa Campur Kode BahasaMakassar atau Bahasa Bugis dan Bahasa Indonesia
Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling
memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain secara
konsisten dan apabila dalam satu tuturan terjadi pencampuran atau
kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam satu klausa yang sama.
Apabila dalam suatu tuturan terjadi pencampuran atau kombinasi antara
variasi-variasi yang berbeda dalam suatu klausa yang sama, maka peristiwa
itu disebut campur kode.
Peristiwa campur kode lazim terjadi di dalam masyarakat yang
dwibahasa ataupun yang multibahasa. Keduanya memiliki persamaan yang
besar sehingga seringkali susah dibedakan. Persamaaanya ialah
digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua variasi dari sebuah bahasa
dalam satu masyarakat tutur, rasional, alih gaya atau alih register
berhadapan dengan lawan tutur.
Peristiwa campur kode bahasa Makassar dan Bahasa Indonesia
dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa
tampak berikut ini.
Peristiwa Tutur:
Topik pembicaraan : Tawar-menawar
Penjual : Ini Bu, murahnya . Pembeli :Banyak rusaknya ini.Penjual : Biasa itu Bu, deqna magaga, dipilih saja yang bagus.Pembeli : Satu ikat berapa? (Sambil mengangkat kacang panjang)
63
Penjual : Seribu,Pembeli : Kurang nah? Maukaq ambil banyak.Penjual : lyeq engka kantongtaq? (Ada kantongnya? )Penjual : Ada, ini. Mauki juga? (bertanya pada pembeli yang lain)Pembeli : Segar ini kacangtaq? Kenapa banyak sekali namakan ulat.
(segarkah ini kacang?, mengapa banyak sekali dimakanulat?)
Penjual :Masih segar Bu? pitu ratu polu sisio. (... tujuh ratus limapuluh satu ikat)
Pembeli : Enam saja.Penjual : Deqna runtui modalaqna. (tidak dapat medalnya)
Konteks tuturan tersebut menggambarkan wujud campur kode antara
bahasa Indonesia dan bahasa daerah Bugis. Campur kode tampak pada
penjual yang menggunakan dua bahasa secara silih berganti, yaitu pertama-
tama menggunakan bahasa Indonesia, lalu menggunakan bahasa Bugis, dan
kembali menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tampak pada salah satu
tuturan penjual ”Biasa itu Bu, deqna magaga, dipilih saja yang bagus.
Peristiwa campur kode yang dilakukan oleh penjual dipengaruhi oleh
kebiasaan, latar belakang budaya yang menguasai bahasa Bugis, serta
pembeli yang merupakan langganan dan diketahui penutur bahasa Bugis.
Situasi kebahasaan dalam interaksi jual beli seperti tampak pada data
tersebut merupakan suatu peristiwa yang fenomenal yang sering terjadi di
pasar Sungguminasa. Sebab, warga yang ada dan sering berbelanja adalah
warga yang berasal dari banyak budaya, termasuk Bugis dan Makassar.
64
Peristiwa Tutur:
Topik Pembicaraan : Tawar-menawar
Pembeli I : Boleh dicoba dulu? (Sambil mengambil buahlangsat).
penjual : Dua ribu sekilo.Pembeli : Seqre sitanggah nah? (Satu setengah nah)Penjual : Ibu mau juga? Tena antu nakacci (ketika melihat
calon pembeli yang lain) Ibu mau juga? Tidakkecut itu.
Pembeli II : Ya, satu kilo mo nah?Penjual : Coba makiq roloq, Bu (Silahkan dicoba dulu).Penjual I : Satu setengah nah?Penjual : Tenamo katte nakurang. (Sudah tidak kurang)
Berdasarkan konteks tuturan tersebut tampak peristiwa campur kode
oleh penjual dalam merespons pembeli. Campur kode yang dilakukan
sebagai bentuk variasi dan situasi kebahasaan dalam interaksi jual belai
adalah campu kode bahasa Makassar dan bahasa Indonesia. Campur kode
tampak pada penjual yang menggunakan dua bahasa secara silih berganti,
yaitu pertama-tama menggunakan bahasa Indonesia, lalu menggunakan
bahasa Makassar, dan kembali menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini
tampak pada salah satu tuturan penjual ” Ibu mau juga? Tena antu nakacci
(ketika melihat calon pembeli yang lain) Ibu mau juga? Tidak kecut itu.
Peristiwa campur kode yang dilakukan oleh penjual dipengaruhi oleh
kebiasaan, latar belakang budaya yang menguasai bahasa Makassar, serta
pembeli yang merupakan langganan dan diketahui penutur bahasa
Makassar. Situasi kebahasaan dalam interaksi jual beli seperti tampak pada
data tersebut merupakan suatu peristiwa yang fenomenal yang sering terjadi
65
di pasar Sungguminasa. Sebab, warga yang ada dan sering berbelanja
adalah warga yang berasal dari banyak budaya, termasuk suku Makassar.
2. Pola Interaksi
Pola tuturan yang dimaksud adalah suatu model, situasi (konteks), sifat,
dan tujuan komunikasi seperti sifat organisasi, tujuan interaksi, sifat
hubungan, dan harga. Pola tuturan yang digunakan dalam interaksi jual beli
di pasar Sungguminasa tampak pada uraian berikut ini.
a. Tujuan Transaksi
Tujuan transaksi yang dimaksud tidak terlepas pada transaksi ekonomi
semata tetapi bersifat goal orientid dan juga untuk mengembangkan
interpersonal. Dalam interaksi jual beli di pasar Sungguminasa, selain
bertujuan untuk menjual barang dan memperoleh keuntungan bagi penjual
dan bagi pembeli agar dapat memininimalkan nilai harga suatu barang. Juga
interaksi tersebut untuk mengembangkan hubungan interpersonal di antara
penjual dan pembeli seperti pada tuturan berikut ini.
Peristiwa tutur:
Topik Pembicaraan: Penjualan kain
Penjual : Singgah dulu Puang, itai oloq mega barang tamaqPembeli : Siaga allinna iarehe? (berapa harganya yang ini)Penjual : Murah Cewek hari ini diobral. Eloqki kain aga?Pembeli : Bisa dilihat yang itu, warna merah jambu. Siaga
simetereq?Penjual : Oh ini ya? Magello iye, mau yang mi ?Pembeli : Kalau murah saya mau ambil tiga meter.
66
Penjual : Dua puluh lima ribu.Penjual : Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat aja, nggak nengok-
nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello masempohargana. (memanggil pembeli yang lain)
Pembeli : Kurang sedikit, Puang.Penjual : Alani.
Tuturan di atas yang bertujuan untuk mengembangkan relasi yang
bersifat sosial serta komunikasinya lebih intim dan akrab. Dengan demikian,
ciri-ciri ragam bahasa dalam komunikasi jual beli di Pasar Sungguminasa,
Kabupaten Gowa, dilihat dari pola interaksi penjual dan pembeli, selain pada
tuturan transaksi ekonomi semata juga untuk mengembangkan hubungan
interpersonal dalam arti untuk mengembangkan relasi bersifat sosial dengan
cara menunjukan keakraban pembeli. Ketika datang pembeli, baik yang
belum dikenal atau sudah dikenal oleh penjual, biasanya penjual berusaha
menjalin dan memelihara hubungan sosial dengan memperlihatkan perasaan
bersahabat, solidaritas sosial, sopan santun dengan harapan bahwa suatu
saat akan kembali lagi untuk membeli barang di tempat tersebut karena telah
terjalin hubungan yang baik.
Kesantunan penjual terhadap pembeli sesuai dengan data interaksi
tersebut tampak pada penggunaan sapaan puang sebagai bentuk ungkapan
penghargaan kepada masyarakat yang memiliki strata sosial yang tinggi.
Walaupun penjual belum mengetahui persis status sosial pembeli, akan
tetapi penjual berusaha untuk meninggikan dan mengangkat stata sosial
pembeli agar merasa dihargai, dihormati yang akan berimbas pada
67
kenyamanan pembeli. Pada akhirnya, tujuan penjual tercapai dengan
kesenangan pembeli membeli barang dagangannya.
Adapun tujuan interaksi berikutnya adalah sifat keakraban yang terus
diupayakan dan dipertahankan oleh penjual. Hal ini tampak pada sapaan
penjual terhadap pembeli melalui tuturan “Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat
aja, nggak nengok-nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello
masempo hargana. (memanggil pembeli yang lain)”. Ungkapan tersebut
merupakan bentuk sapaan penjual kepada pembeli yang merupakan
langganan. Akan tetapi, pada saat itu sang langganan (pembeli) tidak
singgah di tempat penjual sehingga penjual menyapa dengan nada santai
dan akrab.
b. Hubungan Penjual dengan Pembeli Bersifat Personal
Hubungan penjual dan pembeli bersifat personal, artinya penjual dan
pembeli sudah saling mengenal, memahami, dan mengetahui latar belakang
sosial sehingga menggunakan bahasa yang akrab dengan model
percampuran bahasa Makassar, bahasa Bugis, dan bahasa Indonesia. Hal ini
dapat dicermati dalam tuturan berikut ini.
Peristiwa tutur:
Topik Pembicaraan:
Penjual : Mau belanja Cewek! Murah-murah, model baru dan enakdi pakai. Eloki, kudung, celana kain, baju panjang? Ada disini.
Pembeli 1 : Eloqka kudung, bunga-bunga.
68
Penjual : Oh itu? ada ini banyak bunganya, dan murahPembeli I : Berapa murahnya?Penjual : Sappulo sabbu. Cariki di tempat lain deqgaga Cewek.Pembeli II : Tujuh ribu saja nah?Penjual : Hargana mi katte, tapi saya kurangi delapan ribumi.Pembeli I : Bungkuskanka yang ini! mauka juga yang itu baju
panjangna.Penjual : Itu tuju puluh lima ribu,Pembeli I : Enam puluh saja nah? saya ambil dua pasang.Penjual : Enam puluh tujuh saja, ambil harga tengahnya di, supaya
samaki untung. Idiq eloq warna aga? banyak ji variasina.Penjual : Tabe kiperiksa baranna, cocokni warnanya, ukurannya,
periksa baek-baeki, makasih banyak ya bu.
Pada tuturan di atas penjual dan pembeli bertujuan untuk memelihara
hubungan sosial antarpenjual dan pembeli. Dengan demikian, ciri-ciri ragam
bahasa dalam komunikasi jual beli di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa
dilihat dari pola interaksi antara penjual dan pembeli memelihara hubungan
sosial yang bersifat positif yang mengarah ke suatu kerjasama yang
bertujuan melakukan pendekatan-pendekatan seperti menawarkan jenis
barang, memberi kebebasan untuk memilih barang, menanyakan barang
yang mau dibelinya sudah mencakup atau belum.
c. Tawar Menawar
Tawar menawar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
transaksi penjual dan pembeli. Faktor tawar-menawar membentuk pola
ragam bahasa dalam interaksi jual beli di pasar Sungguminasa Kabupaten
Gowa. Perhatikan data berikut ini!
69
Peristiwa Tutur:
Topik pembicaraan : Tawar-menawar
Penjual : Ini Bu, murahnya . Pembeli :Banyak rusaknya ini.Penjual : Biasa itu Bu, deqna magaga, dipilih saja yang bagus.Pembeli : Satu ikat berapa? (Sambil mengangkat kacang panjang)Penjual : Seribu,Pembeli : Kurang nah? Maukaq ambil banyak.Penjual : lyeq engka kantongtaq? (Ada kantongnya? )Penjual : Ada, ini. Mauki juga? (bertanya pada pembeli yang lain)Pembeli : Segar ini kacangtaq? Kenapa banyak sekali namakan ulat.
(segarkah ini kacang?, mengapa banyak sekali dimakanulat?)
Penjual :Masih segar Bu? pitu ratu polu sisio. (... tujuh ratus limapuluh satu ikat)
Pembeli : Enam saja.Penjual : Deqna runtui modalaqna. (tidak dapat medalnya)
Ragam bahasa berupa campur kode bahasa Makassar atau bahasa
Bugis dan bahasa Indonesia sesuai dengan data tersebut terjadi dalam
proses tawar menawar. Tawar menawar harga barang terjadi setelah pembeli
memilih dan menentukan barang yang hendak dibelinya. Karena harga yang
ditawarkan penjual dianggap terlalu mahal seperti pada peristiwa tutur.
Dengan demikian, ciri-ciri ragam bahasa dalam komunikasi jual beli antara
penjual dan pembeli di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa dilihat dari
pola interaksi penjual dan pembeli adalah tawar menawar harga barang
setelah pembeli menentukan barang yang hendak dibelinya. Terjadi tawar
menawar karena penjual menginginkan dagangannya terjual dengan harga
tinggi, sedangkan pembeli menghendaki membeli barang dengan harga
murah.
70
d. Penjual di dalam Interaksinya Mengembangkan Persuasi Verbal
Bentuk persuasi verbal dalam tawar menawar dalam interaksi jual beli
di Pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa yang dikembangkan oleh penjual,
seperti terdapat dalam peristiwa tutur berikut ini.
Peristiwa tutur:
Topik Pembicaraan: Penjual ikan
Penjual : Daeng segar, segar, beru battu, Karaeng.(…baru datang)
Pembeli : Berapa ini, Daeng (sambil menunjuk kumpulanikan bolu)
Penjual : Limassabbu na tiga ekor, Karaeng. (limaribu….)
Pembeli I : Empat ribumo na tiga nah? (Empat ribu saja, tigaekor nah?)
Penjual : Tanre antu nissawala, Bu. (tidak dapat untung, Bu)Pembeli II : Appaq assitanggahmo na tallu (empat setengah
saja, tiga)Penjual : Ki allemi, eh kita juga ambil makiq sama ini Ibu.
(silahkan dimbil ......)Pembeli : Anjomo deh, ka tenamo naganna doeqka. (itu
saja, sudah tidak cukup uang)Penjual : Punna eroqkiq teamakiq jukuq bolu, ini saja yang
kecil, Bu. (kalau mau, tidak usah ikanbandeng............)
Pembeli : Patoa-toinna anne, nitawari jukuq na nasareangkijukuq maraengaiignga. (kurang ajarnya ini,ditawari ikannya diberikan yang lain )
Penjual : Tena ni patoa-toi anjo, Bu, ditunjukkanki yangcocok na doeqtaq (tidak kurang ajar itu, Buuangnya)
Pembeli : Tena lalo nalabbusuq jukuqnu, Daeng. (mudahhantidak habis ikanmu)
Penjual : Jangankiq marah, Bu. (ketika pembeli itu sudahjauh)
71
Berdasarkan konteks tuturan tersebut, tampak dominasi penggunaan
bahasa Makassar dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa,
Kabupaten Gowa. Penjulan dan pembeli rata-rata menggunakan bahasa
Makassar. Sesuai dengan data tersebut, bahasa Makassar dijadikan sebagai
sarana komunikasi bagi penjual dan pembeli dalam menjalankan aktivitas
juali belinya.
Peristiwa tutur di atas memiliki arti yaitu bertujuan untuk
mempertahankan harga barang dan agar pembeli terpengaruh untuk
membeli barang yang ditawarkan. Dengan demikian, ciri-ciri ragam bahasa
dalam komunikasi jual beli di pasar Sungguminasa, dengan pola interaksi
penjual dan pembeli adalah penjual mengembangkan persuasi verbal yang
bertujuan untuk mempertahankan harga barang dengan cara menonjolkan
kuwalitas barang dan untuk mempengaruhi pembeli supaya mau membeli
barang yang ditawarkan dengan cara membujuk.
Wujud persuasi penjual dengan ragam bahasa Indonesia dan
Makassar tampak pada tuturan “Daeng segar, segar, beru battu, Karaeng.
(…baru datang)”. Ada dua ragam bahasa yang digunakan oleh penjual untuk
memengaruhi pembeli, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Makassar. Pada
awalnya, penjual menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi, kurang
berhasil maka beralih ke bahasa Makassar dengan penanda persuasi berru
battu karaeng. Tujuannya adalah lebih dekat dan santai dengan pembeli.
Melalui gaya dan variasi bahasa Makassar berru battu dan karaeng
72
menyimpang banyak harapan, yakni pembeli senantiasa membeli barang
yang ditawarkan oleh penjual.
e. Pembeli dalam interaksi mengembangkan Persuasi verbal
Bentuk persuasi verbal yang dikembangkan oleh pihak pembeli
bertujuan untuk menurunkan harga barang yang dijual oleh penjual. Konteks
tuturan seperti terdapat dalam peristiwa tutur berikut ini.
Peristiwa Tutur:
Topik Pembicaraan: Pembelian barang campuran
Pembeli : Berapa sabunta satu bungkusPenjual : Dua ribu asokanya, lamoroji.Pembeli : Tidak kurangmi itu?Penjual : Kalau banyak taambil, kukurangiji. (... .Saya berikan
murah)Pembeli : Maukaq ambil enam bungkus. Mau jakiq?Penjual : Mau banyaki?Pembeli : Tidak, untuk persiapan satu bulanPenjual : Eeh, begini kurangmo dua ribu rupiah.Pembeli : Bungkuskan makaq nah?Penjual : Ada kantong plastiktaq?Pembeli : Tidak ada kasi maka, satu kantongta.Penjual : Tiga ratus ini, Bu, tarik saja.
Data tersebut menunjukkan ragam bahasa dalam komunikasi jual beli
di Pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa. Berdasarkan pola interaksi
penjual dan pembeli adalah pembeli mengembangkan bentuk persuasi verbal
yang bertujuan untuk menurunkan harga barang dengan cara menonjolkan
dan memaparkan frekuensi belanjaan. Pembeli berupaya mengembangkan
persuasi verbal melalui bentuk tuturan “Maukaq ambil enam bungkus”.
Persuasi verbal ini muncul ketika pembeli telah menawar barang yang
73
dimaksud. Akan tetapi, penjual kurang merespon dan menerima penawaran
pembeli. Penolakan penjual ditampik oleh pembeli dengan mengungkapkan
bahwa akan membeli banyak. Persuasi ini berhasil memengaruhi penjual,
sehingga interaksi jual beli dengan prinsip tawar menawar berhasil dilakukan.
Wujud persuasi verbal pembeli tampak pula pada konteks tuturan
berikut ini.
Peristiwa Tutur:
Topik pembicaraan : Tawar-menawar
Penjual : Ini Bu, murahnya . Pembeli :Banyak rusaknya ini.Penjual : Biasa itu Bu, deqna magaga, dipilih saja yang bagus.Pembeli : Satu ikat berapa? (Sambil mengangkat kacang panjang)Penjual : Seribu,Pembeli : Kurang nah? Maukaq ambil banyak.Penjual : lyeq engka kantongtaq? (Ada kantongnya? )Penjual : Ada, ini. Mauki juga? (bertanya pada pembeli yang lain)Pembeli : Segar ini kacangtaq? Kenapa banyak sekali namakan ulat.
(segarkah ini kacang?, mengapa banyak sekali dimakanulat?)
Penjual :Masih segar Bu? pitu ratu polu sisio. (... tujuh ratus limapuluh satu ikat)
Pembeli : Enam saja.Penjual : Deqna runtui modalaqna. (tidak dapat medalnya)
Bentuk persuasi verbal tampak pada tuturan “Maukaq ambil banyak”.
Hal ini dipicu oleh ketidainginan penjual menjual barangnya dengan harga
seribu seperti yang ditawarkan oleh pembeli. Akan tetapi, dengan penyataan
pembeli yang ingin membeli secara partai atau banyak, maka penjual pun
menjual barangnya dengan partai. Peristiwa ini merupakan ragam bahasa
dalam komunikasi jual beli di Pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa.
74
Berdasarkan pola interaksi penjual dan pembeli adalah pembeli
mengembangkan bentuk persuasi verbal yang bertujuan untuk menurunkan
harga barang dengan cara menonjolkan dan memaparkan frekuensi
belanjaan. Pembeli berupaya mengembangkan persuasi verbal melalui
bentuk tuturan “Maukaq ambil enam bungkus”. Persuasi verbal ini muncul
ketika pembeli telah menawar barang yang dimaksud. Akan tetapi, penjual
kurang merespon dan menerima penawaran pembeli. Penolakan penjual
ditampik oleh pembeli dengan mengungkapkan bahwa akan membeli
banyak. Persuasi ini berhasil memengaruhi penjual, sehingga interaksi jual
beli dengan prinsip tawar menawar berhasil dilakukan.
3. Tingkat Tutur yang Digunakan Para Penjual dan Pembeli di Pasar
Sungguminasa, Kabupaten Gowa
a. Tuturan Tingkat Tinggi
Tingkat tutur ini memiliki rasa yang tidak berjarak antara penutur dan
mitra tutur. Hubungan antara keduanya tidak dibatasi oleh rasa segan.
Bentuk ini sering muncul antara percakapan teman sejawat, tidak
memperhatikan kedudukan dan usia. Ragam bahasa dalam interaksi jual beli
di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa yang merupakan tuturan tingkat
tinggi tampak pada data berikut ini.
75
Peristiwa tutur:
Topik Pembicaraan: Penjualan kain
Penjual : Singgah dulu Puang, itai oloq mega barang tamaqPembeli : Siaga allinna iarehe? (berapa harganya yang ini)Penjual : Murah Cewek hari ini diobral. Eloqki kain aga?Pembeli : Bisa dilihat yang itu, warna merah jambu. Siaga
simetereq?Penjual : Oh ini ya? Magello iye, mau yang mi ?Pembeli : Kalau murah saya mau ambil tiga meter.Penjual : Dua puluh lima ribu.Penjual : Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat aja, nggak nengok-
nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello masempohargana. (memanggil pembeli yang lain)
Pembeli : Kurang sedikit, Puang.Penjual : Alani.
Konteks tuturan tersebut menggambarkan tuturan tingkat tinggi bagi
penjual terutama pada tuturan “Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat aja, nggak
nengok-nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello masempo hargana.
(memanggil pembeli yang lain)”. Hal ini dinyatakan dengan model tuturan
penjual terhadap pembeli. Penjual tampak mengenal dan bersahabat dengan
pembeli sehingga bertutur dan menyapa pembeli dengan nada santai,
bersahabat, tidak segan. Pembeli saat itu adalah langganan sehingga
tampak tidak ada jarak strata antara penjual dan pembeli. Fenomena tingkat
tuturan ini tidak mengutamakan kesantunan berbahasa.
Cermati pula data berikut ini yang menggambarkan tuturan tingkat
tinggi.
76
Peristiwa tutur:
Topik Pembicaraan : Membeli barang sembako
Pembeli : Ada beras InsyinyurtaqPenjual : Beras Kepalaji ada, beras Insyinyurnya habis tadi, kenapa
tidak pesan memangki kemarin na lewatji di sini kuliat,kalau mau ki ini mo saja, bagusji juga, eh saya di rumahmakan beras kepalaji, anak-anak pada suka.
Pembeli : Kalau minyak goreng bimolitaq ada?Penjual : Ada Bu, maukiq yang berapa kilo?Pembeli : Yang dua kilo, tapi bukan yang pakai botol nah, yang
kuambil dulu pake botol jeleki kemasannya?Penjual : Adaji.Pembeli : Bungkuskanka juga piksin Siangan kecap ABCtaq.Penjual : yang berapayya Bu?Pembeli : Yang biasayyaji, piksin yang kecil-kecil, ABC botol.Penjual : Anne Bu barangtaq. (Ini Bu, barangnya)Pembeli : Berapa semua? Pakaikan kantong besar!Penjual : Tidak ada kantongnya Bu? Langngalle ki kantong?Pembeli : Ih dede, ini sudah penuhmi, ciniq sai mau jatuh semua
barang belanjaanku, kalau robeki gantikanga. (Coba dilihatmau semua jatuh barang belanjaanku)
Penjual : Yang kecil atau besar?
Data tersebut menggambarkan tuturan tingkat tinggi bagi penjual dan
pembeli. Tuturan penjual yang menggambarkan tuturan tingkat tinggi tampak
pada “Beras Kepalaji ada, beras Insyinyurnya habis tadi, kenapa tidak pesan
memangki kemarin na lewatji di sini kuliat, kalau mau ki ini mo saja, bagusji
juga, eh saya di rumah makan beras kepalaji, anak-anak pada suka”.
Mencermati tuturan ini, penjual tampak santai berbicara kepada pembelinya
yang merupakan langganan, sudah dikenal sehingga tidak ada jarak strata
yang tampak dalam berkomunikasi. Demikian halnya dengan kesantunan
yang kurang diutamakan dalam berinteraksi jual beli.
77
Adapun tuturan pembeli yang merupakan tuturan dengan tingkat tinggi
yakni “Ih dede, ini sudah penuhmi, ciniq sai mau jatuh semua barang
belanjaanku, kalau robeki gantikanga. (Coba dilihat mau semua jatuh barang
belanjaanku)”. Konteks ini merupakan tuturan santai, bercanda, dan tanpa
memperhatikan status keduanya, karena memang penjual dan pembeli
sudah terbiasa bercanda dan sudah akrab. Tuturan ini merupakan tuturan
yang sering diucapkan oleh pembeli kepada penjual yang merupakan
langganan tempat belanjanya.
b. Tingkat Tutur Madya
Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah yang berada di
antara tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kadar kesopanan tigkat tutur madya
tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah atau sedang-sedang saja. Dengan
kata lain, tingkat tutur madya memiliki ciri-ciri setengah sopan dan setengah
tidak sopan. Hal tersebut tampak pada data interaksi jual beli yang terjadi di
pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa seperti berikut ini.
Peristiwa tutur:
Topik Pembicaraan : Penjualan Pakaian
Pembeli : Berapa, Bu dasternya ?Penjual : Lima puluh setengahPembeli : Tena naqkulle kurang? (Tidak bisa kurang)Penjual : Kulleji kurang siqdi. (Bisa kurang sedikit)Pembeli : Kurang siqdi berapa ? (. .sedikit...)Penjual : Kurang lima ribuji. (Ya kurang lima ribu untuk saudara)Penjual : Singgah, Bu! Kain aga disappaq (Singgah dulu, Bu! Kain
apa dicari)
78
Pembeli : Kain beludru, motif bunga-bunga.Penjual : Pilihmi warnana! Meaga ladde motifna. (Silakan dipilih
warnanya! Banyak sekali motif'nya)Pembeli : Siaga allinna. (Berapa harganya)Penjual : Mau berapa meter?Pembeli : Maaf Bu, tidak jadi.
Situasi pembicaraan antara penjual dan pembeli seperti tampak pada
data tersebut menggambarkan tingkat tutur madya atau sedang. Hal ini
dinyatakan sebab, penjual dan pembeli kurang memperhatikan tataran nilai
kesopansantunan. Konten tuturan penjual dan pembeli merupakan tuturan
yang wajar diungkapkan, tidak mengurangi nilai rasa dan tidak menambah
nilai rasa bagi peserta komunikan.
Peluang terjadinya situasi tutur yang santun pada data tersebut
sebenarnya sangat terbuka lebar. Penjual dan pembeli memungkinkan
bertutur dengan tingkat santun yang rendah dari model tuturan madya “Tena
naqkulle kurang? (Tidak bisa kurang) menjadi tuturan tingkat rendah “tabe,
tena naqkulle kurang? (Maaf, tidak bisa kurang). Melalui kata tabe akan
menambah nilai kesantunan.
c. Tingkat Tutur Rendah
Tingkat tutur rendah adalah tingkat yang memancarkan arti penuh
sopan santun antara sang penutur dengan mitra tutur. Penggunaan tingkat
tutur ini menandakan adanya perasaan segan di antara penutur. Sebagai
rasa hormat atau kedua penutur saling menghormati kemungkinan
79
disebabkan karena relasi antara penutur dan mitra tutur belum terjalin baik
(akrab). Hal tersebut tampak pada data berikut ini.
Peristiwa tutur:
Topik Pembicaraan: Penjualan kain/sarung
Penjual : Antamaki bu!Pembeli : Engka, sarung sutrataq?Penjual : Engka, kuitai oloq! Banyak yang baru,Pembeli : Siaga seddi lipaqtaq.Penjual : Magello iya lipagna, de nalunturu.Pembeli : Engka warna mabalo Puang, kiitai oloq?Penjual : lye, cocok ladde dipake pi pesta. Hargana seratus dua
puluh lima ribu.Pembeli : Masoli laddePenjual : Tawarini gare, siaga elota?Pembeli : Siratuna, meloqki?Penjual : Aslina iye ibu, idiq ambil saja seratus sepuluh, dikurangi ki
limabe las ribu.Pembeli : Ajaq nah, kalau teaki.
Konteks tuturan tersebut menggambarkan tingkat tutur rendah sebab
tuturan tersebut rata-rata memancarkan penuh sopan santun antara penjual
dan pembeli. Penggunaan tingkat tutur rendah tersebut menandakan adanya
perasaan segan, terutama penjual yang juga memiliki tujuan persuasif
kepada pembeli. Penanda tuturan rendah dengan konten kesantunan
tampak pada kata antamaki, sarung sutrata, iye, elota, meloki. Kata-kata
yang dungkapkan oleh penjual dan pembeli memiliki kadar kesantunan yang
tinggi dengan tuturan rendah. Kata antamaki ‘kita masuk” dan meloki “kita
mau” memiliki partikel –ki (partikel bahasa Bugis Makassar) merupakan
pengganti partikel ko yang memiliki kesantunan yang kurang. Adapun partikel
80
–ta pada kata sutrata dan elota juga memiliki kesantunan yang tinggi.
Terakhir adalah ungkapan penerimaan iye “iya” merupakan tuturan santun
yang digantikan oleh penerimaan iyo “iya”.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan penyajian data ditemukan ragam bahasa dalam interaksi
jual beli di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa. Dalam peristiwa tutur
penjual dan pembeli dalam berinteraksi di pasar Sungguminasa
menggunakan bahasa Indonesia, Makassar, dan Bugis karena penutur rata-
rata berasal dari latar belakang yang sama sehingga dalam berinteraksi
menggunakaan bahasa bahasa Indonesia, Makassar, dan Bugis secara
bergantian.
Fenomena tersebut merupakan bentuk variasi bahasa dalam wujud alih
kode dengan berbagai situasi kebahasaan oleh penjual dan pembeli. Menurut
Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 106) alih kode adalah gejala
peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi yang disebabkan
oleh datangnya orang ketiga dan dilakukan dengan sadar dan sengaja
dengan sebab tertentu.
Mengacu pada uraian tersebut, maka ragam bahasa yang tampak
adalah penjual dan pembeli dominan menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam periistiwa tutur atara penjual dan pembeli menggunakaan bahasa
Indonesia itu dikarenakan latar belakang yang sama dan letak geografis yang
81
sama yaitu berasal dari daerah Gowa yang keduanya menguasai bahasa
Makassar. Ada juga pembeli yang mengunakan bahasa Indonesia itu
dikarenakan latar belakangnya yang berbeda yaitu berasal dari Kota
Makassar sehingga menggunakaan bahasa Indonesia. Situasi ini diimbangi
oleh penjual yang juga berusaha menggunakan bahasa Indonesia.
Tampak pula bahwa penjual menggunakan bahasa Indonesia alih
bahasa Makassar. Pada peristiwa tutur tersebut menggunakaan bahasa
campuran kode, Indonesia dan Makassar yang disebabkan oleh latar
belakang penjual dan pembeli berbeda dan dialek yang digunakan pun
berbeda. Pada peristiwa tutur ini keduanya mengalami peralihan dialek itu
dikarenakaan bahasa yang digunakaan berbeda. Tetapi komunikasinya tetap
berjalan karena masarakat menguasai dialek lebih dari dua (multylingul).
Dalam interaksi jual beli, tampak pula penjual dan pembeli dominan
menggunakan bahasa campur kode bahasa Makassar dan bahasa Bugis.
Pada peristiwa tutur ini, keduanya mengalami peralihan dan mencampurkan
bahasa dalam komunikasi. Hal tersebut disebabkan oleh bahasa yang
digunakaan berbeda dan latar belakang si penutur berbeda sehingga dalam
berkomunikasi menggunakan bahasa campuran. Tetapi komunikasinya tetap
berjalan karena masarakat yang berbelanja di pasar Sungguminasa
menguasai dialek lebih dari dua multylingul yakni Makassar dan Bugis.
Ragam bahasa yang ditemukan pula adalah penjual dan pembeli
menggunakan bahasa campur kode bahasa Makassar dan bahasa
82
Indonesia. Dengan demikian, wujud tingkat tutur penjual dan pembeli di
Pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa memiliki tuturan yang beragam,
disesuikan dengan lawan tutur (mitra tutur).
Pola terjadinya ragam bahasa yang di pasar Sungguminasa
Kabupaten Gowa memiliki beberapa proses. Dalam hal ini, setiap tuturan
penjual dan pembeli sebagai wujud variasi bahasa memiliki proses dan
alasan terjadinya variasi bahasa itu. Hal tersebut dipengaruhi oleh latar
belakang penjual dan pembeli, tujuan interaksi. Hal ini sejalan dengan teori
yang dinyatakan oleh Suharsono (2003: 5-7) bahwa pola interaksi jual beli di
pasar dapat bersifat sosial, misalnya yang berhubungan dengan diferensiasi
kerja, tujuan interaksi, dan hubungan peranan di antara penjual dan pembeli,
mempengaruhi pola interaksi jual beli, yang pada akhirnya mempengaruhi
pula wujud dan bentuk tuturan. Demikian halnya mengenai model interaksi
antara penjual dan pembeli dapat diihat dari lima segi, yaitu: (a) sifat
organisasi, (b) tujuan interaksi, (c) sifat hubungan, (d) harga.
Pola ragam bahasa terjadi karena penjual dan pembeli memiliki tujuan
transaksi ekonom berupa goal orientid dengan tujuan mengembangkan
interpersonal. Di sini dapat diartikan bahwa penjual dan pembeli melakukan
tawar menawar barang agar dapat meminimalkan barang yang di jual dan
barang yang di beli. Penjual ingin memperoleh keuntungan (laba) begitu pula
pembeli ingin memperoleh harga yang murah, dan juga dapat di artikan untuk
83
mengembangkan relasi bersifat sosial dengan cara menunjukan keakraban
pembeli.
Pola ragam bahasa penjual dan pembeli di pasar Sungguminasa
Kabupaten Gowa adalah adanya hubungan penjual dengan pembeli yang
bersifat personal. Di sini dapat di artikan bahwa interaksi antara penjual dan
pembeli memelihara hubungan sosial yang bersifat positif yang mengarah
kesuatu kerjasasama yang tujuanya melakukan pendekatan-pendekatan
seperti menawarkan jenis barang, memberi kebebasan untuk memilih
barang, menayakan barang yang mau dibelinya sudah mencakup atau
belum.
Pola tawar menawar merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan
dalam transaksi penjual dan pembeli. Di sini dapat diartikan bahwa terjadi
tawar menawar karena penjual menginginkan daganganya terjual dengan
harga tinggi, sedangkan pembeli menghendaki membeli barang dengan
harga murah.
Situasi kebahasaan di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa juga
dipengaruhi oleh penjual dalam interaksi mengembangkan persuasi verbal.
Hal ini dapat diartikan bahwa untuk mempertahankan harga barang dengan
cara menonjolkan kualitas barang dan untuk memengaruhi pembeli supaya
mau membeli barang yang ditawarkan dengan cara membujuk.
Pola ragam bahasa dengan pembeli dalam interaksi mengembangkan
persuasi verbal diartikan pula bahwa pembeli mengembangkan bentuk
84
persuasi verbal yang bertujuan untuk menurunkan harga barang dengan cara
menonjolkan kekurangan barang dan membandingkan harga barang di
tempat tersebut dengan di tempat lain.
Pada tingkat tutur penjual dan pembeli di pasar Sungguminasa
Kabupaten Gowa. Ragam bahasa yang terjadi di pasar Sungguminasa
Kabupaten Gowa memiliki tingkatan-tingkatan. Dalam hal ini, setiap tuturan
penjual dan pembeli sebagai wujud variasi bahasa memiliki konten dan
muatan nilai kesantunan yang variatif. Hal tersebut dipengaruhi oleh latar
belakang penjual dan pembeli serta hubungan di antara keduanya.Tingkat
tutur penjual dan pembeli diklasifikasikan sebagai berikut.
Penjual menggunakan tingkat tutur tinggi. Hal ini diartikan bahwa
penjual dalam berkomunikasi menggunakan tingkat tutur tinggi bertujuan
agar pembeli merasa dihormati sehingga mau membeli barang yang
ditawarkan atau menarik simpatik pembeli, sedangkan pembeli
menggunakaan tingkat tutur tinggi karena pembeli menghormati penjual yang
sudah bersikap sopan dalam melayani. Penjual dan pembeli pun
menggunakan tuturan tingkat tinggi karena faktor keakraban, mereka sudah
saling mengenal satu sama lain tidak hanya itu pembeli menggunakan
bahasa Bugis Makassar tinggi dikarenakan usia penjual setara dengan
pembeli dan dari faktor bahasa daerah yang digunakn sama itu juga bisa
mengakibatkan mereka akrab dan saling menghormati.
85
Penjual dan pembeli dominan menggunakaan bahasa tingkat madya.
Di sini dapat diartikan bahwa penjual dalam melayani pembeli menggunakan
tingkat tutur karena disebabkan ingin menunjukan kesopanan kepada
pembeli dan umur penjual lebih muda dari pada pembeli, pembeli
menggunakan tingkat tutur madya karena umur pembeli lebih tua dari
penjual.
Pada tingkat rendah, penjual dan pembeli mempunyai rasa segan
karena keduanya belum saling mengenal atau belum akrab sehingga
keduanya menggunakan bahasa Makassar halus dalam berinteraksi dan juga
disebabkan faktor umur yang masih sebaya.
86
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penyajian data dan pembahasan, dikemukakan simpulan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Wujud ragam bahasa jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten
Gowa terdiri atas (a) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa
Makassar; (b) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialek
Makassar; (c) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa Bugis; (d)
Penjual menggunakan bahasa Indonesia dialek Makassar dan pembeli
menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta; (e) Penjual dan pembeli
menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta; (f) Penjual menggunakan
bahasa Makassar dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia; (g)
Penjual menggunakan bahasa makassar alih bahasa Indonesia dan
pembeli menggunakan bahasa Indonesia; (h) Penjual menggunakan
bahasa makassar alih bahasa Bugis dan pembeli menggunakan bahasa
Bugis; (i) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa campur kode
bahasa Makassar atau bahasa Bugis dan bahasa Indonesia. Dari semua
ragam bahasa yang digunakan antara penjual dan pembeli, terdapat
penggunaan bahasa yang umum digunakan oleh penjual, yaitu penjual
86
87
mempromosikan barang dengan menggunakan kata lammoroji ‘sangat
murah’, menggunakan kata sambalu ‘langganan’, serta penjual
mempertahankan penggunaan klitik –ki kepada pembeli dengan tujuan
menarik minat dan menghargai pembeli.
2. Pola interaksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa
Kabupaten Gowa terdiri atas (a) tujuan transaksi; (b) hubungan penjual
dengan pembeli bersifat personal: (c) tawar-menawar; (d) penjual di
dalam interaksinya mengembangkan persuasi verbal; (e) pembeli dalam
interaksi mengembangkan persuasi verbal.
3. Tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada interaksi jual beli
di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa terdiri atas tingkat
tinggi, sedang, dan madya.
B. Saran
Sesuai dengan simpulan penelitian diajukan saran sebagai berikut:
1. Penggunaan ragam bahasa di pasar Sungguminasa hendaknya diteliti
pada tataran sosial yang memengaruhi ragam bahasadalam interaksi jual
beli.
2. Penjual hendaknya mempertahankan penggunaan tingkat tutur dalam
interaksi jual beli sebagai salah satu bentuk pemertahanan variasi bahasa
dan sekaligus upaya mengembangkan tingkat kesantunan berbahasa
dalam interaksi jual beli.
88
3. Untuk penelitian-penelitian selajutnya diharapkan mampu
mengembangkan lebih lengkap lagi tentang bentuk - bentuk kebahasaan,
tidak hanya ciri ragam bahasa, tetapi juga mampu mengembangkan
tentang kata, kalimat, frasa, dan klausa yang ditemukan dalam suatu
tuturan.
89
DAFTAR PUSTAKA
Aslinda dan Leni Safyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: RefikaAditama.
Bogdan, R.C. & S. Taylor. 1975. Introduction Qualitative Research Methods.New York: Jhon Wiley& Sons.
Biklen, S. K. and Bogdan, R. C. 1982. Qualitative Research for Education, anIntroduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Chaer, Abdul. 2003. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2004. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: BalaiPustaka.
Dittmar, N. 1976. Sosiolinguistics: A Critical Survey of Theory andApplication. London: Edward Arnold Ltd.
Fishman, J. A. 1972. The Sociology of Language. Rawly Massachusset:Newbury House Publisher.
Halliday dan Hasan Ruqoiya. 1994. Bahasa, Konteks, Teks, dan Aspek-aspek dalam Pandangan Semiotik Sosial. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.
Hasan, M. Z. 1990. Karakterisitk Penelitian Kualitatif: PengembanganPenelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang:Yayasan Asah Asih Asuh.
Hudson, R. A. 1987. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press.
Hymes, Dell. 1972. “Model of Interaction of Language and Social Life” inGumpers and Hymes (Ed.). Directions in Sociolinguistics. New York:Holt, Rinhart and Winston, Inc.
89
90
Ibrahim, Abd. Syukur. 1995. Sosiolinguistik: Sajian, Tujuan, Pendekatan, danProblem. Surabaya: Usaha Nasional.
Keraf, Gorys. 1984. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti. 2007. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Flores:Nusa Indah.
Miles, M. B. & Huberman, A. M. 1992. Qualitative Data Analysis.Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi R, 1992. Jakarta: UniversitasIndonesia.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: RemajaRosdakarya.
Nababan, P.W. J. 1984. Peralihan Pola Perolehan dan Penggunaan BahasaIndonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
Nuraeni. 2010. ”Alih Kode dan Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa padaRanah Keagamaan (Analisis Pemakaian Bahasa Majelis Taklim) diKabupaten Gowa”. Tesis. Makassar: PPs UNM.
Pateda, Mansoer. 1987. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Pateda, Mansoer.1992. Sosiolinguistik. Bandung Angkasa.
Pomiati, Septiaji. 2001. “Ragam Bahasa Transaksi Jual Beli Daging Sapi diPasar Pagi Pemalang Kajian Sosiolinguistik“. Skripsi. Purwokerto:Universitas Muhamadiyah Purwokerto.
Purwadi, dkk. 2005. Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial: Pandangan terhadap Bahasa.Surabaya: Pustaka Eureke dan JP Press.
Sidiq, Subhan. 2004. ”Alih Kode dan Campur Kode dalam Khotbah Jumat diKabupaten Selayar”. Skripsi. Makassar: FBS UNM.
91
Soeparno .2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta:Duta Wacana University Press.
Suharsono. 2003. Register Tawar-menawar pada Warung Penjajah Buah-buahan Yogyakarta: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia(PIBSI) XXV.
Sumarsono dan Paini Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suwito. 1983. Sosiolinguistik: Teori dan Problem. Surakarta: UniversitasSebelas Maret.
Syamsuddin, A.R. dkk., 1997. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori danProblematika. Jakarta: Renary Offset.
Thaha, Zainuddin. 1985. ”Satu Wacana Dua Bahasa: Faktor-faktorSosiolinguistik Alih Kode Bahasa lndonesia.” Disertasi. UjungPandang: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Trudgill, Peter. 1987. Sociolinguistics: An Introduction to Language andSociety. New Zealand: Penguins Books.
Uchjana, Onong dan Effendi. 2007. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Usman, H. dan P. S. Akbar. 2000. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: BumiAksara.
92
Lampiran Data
Percakapan 1
Lokasi/setting : Penjual sayur
Situasi : Santai (pasar)
Topik Pembicaraan : Tawar-menawar
Penjual : Ini Bu, murahnya.
Pembeli : Banyak rusaknya ini.
Penjual : Biasaji anjo Bu, tenaja nanggapa, dipilih saja yang bagus.
Pembeli : Satu ikat berapa? (sambil mengakat kacang panjang)
Penjual : Seribu.
Pembeli : Kurang nah. Maukaq ambil banyak.
Penjual : lyeq niaq kantong taq? (ada kantongnya?)
Penjual : Ada ini. Maukiq juga? (Bertanya pada pembeli yang lain)
Pembeli : Segarji ini kacang taq? Kenapa banyak sekali namakan
ulat.
Penjual : Masih segarkatte, Bu?
Pembeli :Tujuh sitanggahmo nah sisikkoq?. (Tujuh setengah saja
satu ikat)
Penjual : Tena nagappai modalaqna. {tidak dapat modalnya)
93
Percakapan 2
Lokasi/setting : Penjual buah
Situasi :
Topik Pembicaraan : Tawar-menawar
Pembeli I : Boleh dicoba dulu? (Sambil mengambil buah langsat).
penjual : Dua ribu sekilo.
Pembeli : Seqre sitanggah nah? (Satu setengah nah)
Penjual : Ibu mau juga? Tena antu nakacci (ketika melihat calon
pembeli yang lain) Ibu mau juga? Tidak kecut itu.
Pembeli II : Ya, satu kilo mo nah?
Penjual : Coba makiq roloq, Bu (Silahkan dicoba dulu).
Penjual I : Satu setengah nah?
Penjual : Tenamo katte nakurang. (Sudah tidak kurang)
94
Percakapan 3
Lokasi/setting : Penjual Pakaian
Situasi :
Topik Pembicaraan :
Penjual : Sepuluh ribu, sepuluh ribu ….(memperlihatkan pakaian
anak pada pembeli)
Pembeli 1 : Kajjjalaq kamma? Ktirang-kurangngi mi. (mahal sekali,
kurangi)
Penjual : Harga pas katte. –
Pembeli I : Lima nah?
Penjual : Ambil banyak, ada korting.
Pembeli III : Kenapa kaqjalaq sekali?(....mahal...)
Penjual : Halus anjo Bu. Kainnya tidak seperti yang lain Perk hati-
hati Bu, pilih kain karena banyak palsunya, anne
assisalai. (....itu Bu,.,.. ini berbeda)
Pembeli IV : Biasayya, duapuluh. (biasanya,......)
Penjual : Merek yang lain barangkali? teayi anne Bu. ada yang
lebih murah lagi, Tapi hampir samacapnya., kalau man
kiallemi. (......bukan yang ini Bu...,.....ambil saja).
Pembeli III : Anneji deh. (ini saja deli)
Penjual : Siapa nassana, Bu? (berapa yang betulnya, Buk
Pembeli III : laji anjo (itu saja) Penjual: Tidak kurang Bu.
95
Percakapan 4
Lokasi/setting : Penjual ikan
Situasi :
Topik Pembicaraan : Tawar-menawar
Penjual : Marikiq, ini inurahna jukuq katombo a. (…….ikan
katoinbo )
Pembeli I : Sikura yang itu (sambil menunjuk ikan mairo)
(Berapa..........)
Penjual : Murah ji itu Bu. Lima sabbu na sigompo. ( Lima ribu
satu rumpuk)
Pembeli I : Rua nah, (Dua nah)
Penjual : Mau berapa tumpuk? Kiallemi anjo tallu sisabbu. (Man
berapa bagian? Ambil saja yang itu tiga ribu)
Pembeli II : Rua sitanggah. (Dua setengah)
Pembeli III : Kenapa kaqjalaq s6kali?(....mahal...)
Penjual : Halus anjo Bu. Kainnya tidak seperti yang lain Perk hati-
hati Bu, pilih kain karena banyak palsunya, anne
assisalai. (....itu Bu,.,.. ini berbeda).
Pembeli IV : Biasayya, duapuluh. (biasanya,......)
Penjual : Merek yang lain barangkali? teayi anne Bu. ada yang
lebih murah lagi, Tapi hampir samacapnya., kalau man
kiailemi. (......bukan yang ini Bu...,.....ambi saja).
96
Pembeli III : Anneji deh. (ini saja deli) Penjual: Siapa nassana, Bu?
(berapa yang betulnya, Bu?J Pembeli III: laji anjo (itu
saja)
Penjual : Tidak kurang Bu.
97
Percakapan 5
Lokasi/setting : Penjual Sembako
Situasi
Topik Pembicaraan : Tawar-menawar
Penjual : Mauki apa, Bu?
Pembeli : Berapa sekilo gulanya?
Penjual : Lima satu, Bu.
Pembeli : Naikmikah hargana?
Penjual : lyeq Bu, kaqjalaki nenne, ini gula dari luar bu.
Pembeli : Saya kira empat setengah.
Penjual : Tena katte Bu, sekarang naik sekali harganya.
Pembeli : Tarigu siangang mantega taqsiapa seqre kilo?
Penjual : Terigu tiga, mentega lima
Pembeli : Kisare a, taq sikiloi. (beri saya masing-masing satu kilo)
Penjual : Apa lagi, Bu? Pembeli: Itu saja.
98
Percakapan 6Lokasi/setting : Penjual pakaian
Situasi :
Topik Pembicaraan: Tawar-menawar
Pembeli : Berapa Bu dasternya
Penjual : Lima belas setengah
Pembeli : Tena na kurang?
Penjual : Kulleji kurang siqdi. ( Bisa saja kurang sedikit)
Pembeli : Kurang siqdi berapa? (Kurang sedikit berapa?)
Penjual : Limaratus.
Pembeli : Sedikit sekali? Anjo a? ( Sedikit sekali? Yang itu?).
(menunjuk yang lain)
Penjual : Sepuluh (maksudnya sepuluh ribu)
Pembeli : Sampulo? Nggapa nassisala harganya.
Penjual : Memang, itu baguski coraknya sedangkan anne kurang
tiqgalaq makiq.
Pembeli : Tidak tujuh ribu?
Penjual : Delapan, ki ambil mi yang ini, Puang, paling kurang itu.
Kalau jelek kainnya kembalikan.
Pembeli : Saya man dua lembar.
Penjual : Tujuh setengah nah?
Pembeli : lya, ki ambilmi, man makaq pulang, sudah malam.
99
Percakapan 7Lokasi/sefring : Penjual kain
Situasi :
Topik Pembicaraan :
Penjual : Singgah dulu Bu, ciniq makiq jaiji katte barangna.
(Lihatlah) dulu banyak kok barangnya)
Pembeli : Siapa hargana anne? (Berapa harganya yang ini)
Penjual : Murah sekali Cevvek biar can di mana pasti di sini
paling murah, nampa sanna gaqgana cini sai.
palampulollmia, kain
bagus iti. ( barn sangal bagtis silalikan dilihat)
Pembeli : Bisa dilihat yang itu? Warna incrah jambu.
Penjual : Oh ini ya gaqga tonji anne Cewek, man yang ini?
Pembeli : Kalau murah kasiqkaq tiga meter.
Penjual : Kialle mi dua puluh satu meter.
Pembeli : Kamanne Bu, ki kasikaq lima puluhan tiga meter nah?
Penjual : Tambah makiq lima ribu, kasiq, supaya ada sedikit
untungna.
Pembeli : Iya deh, ukurangma! (ya deh, tolong ukurkan saya)
Penjual : Warna anneji? Apalagi? (Wama ini saja? Apalagi?)
Pembeli : Anne mo roloq, nanti pi lagi.
100
Percakapan 8
Lokasi/setting : Penjual pecah-belah
Situasi
Topik Pembicaraan :
Penjual : Silahkan pilih mana suka. Jai ji.
Pembeli : Ada piring plastik?
Penjual : Ada, yang begini ta can? Lima ribu katte.
Pembeli : Empatmo nah, langngalle a limambatu. (empat saja,
nah? Saya mau ambil lima buah)
Penjual : Kialle mi, Bu! Cari saja bagian situ warna yang distika.
(Silakan diambil, Buk)
Pembeli : Ini saja. Penjual: Eh... ambil sai ini piring na Ibu,
bungkuskan (perintah pada pelayan). Teatongko salloi.
(jangan terlalu lama)
Pembeli : Yang besar kantongna. Penjual: Itu yang besar, berikan
sama ibu.
Pembeli : Terima kasih, nah? Salla pisse nakumae.
Penjual : lyeq
Pembeli : Maekiq.
101
Percakapan 9Lokasi/setting : Penjual campuran /serabako
Situasi :
Topik Pembicaraan :
Pembeli : Berapa sabunta satu bungkus
Penjual : Dua ribu asokanya.
Pembeli : Tidak kurangmi itu?
Penjual : Kalau banyak taambil, kukurangiji. (... .Saya berikan
murah)
Pembeli : Maukaq ambil enam bungkus. Mau jakiq?
Penjual : Mau banyaki?
Pembeli : Tidak, untuk persiapan stu bulan
Penjual : Eeh, begini kurangmo dua ribu rupiah.
Pembeli : Bungkuskan makaq nah?
Penjual : Ada kantong plastiktaq?
Pembeli : Tidak ada kasi maka, satu kantongta.
Penjual : Tiga ratus ini, Bu, tarik saja.
102
Percakapan 10Lokasi/setting : Penjual sayur
Situasi :
Topik Pembicaraan :
Penjual : Bu, ada bayam, kangkung, bunga kol, murah
katte, lammoro sikali Bu. (................murah sekali)
Pembeli : Tassiapa bayamlaq, Daeng9 (Bcrapa bayamnya )
Penjual : Sisabbu satu ikat. ( Seribu........)
Pembeli I : Satu setengah na rua, Daeng. ( ...... dua)
Pembeli II : Nakke pole, punna eroqki. ( Saya juga, kalau
mau)
Penjual : Kialle mi eromammotereq, kalaqbusangnami
katte ( silahkan diambil saya sudah mau pulang,
sudah penghabisannya ini.)
103
Percakapan 11
Lokasi/setting
Situasi :
Topik Pembicaraan : Penjual ikan
Penjual : Daeng segar, segar, beru battu, Karaeng.(…baru datang)
Pembeli : Berapa ini, Daeng (sambil menunjuk kumpulanikan bolu)
Penjual : Limassabbu na tiga ekor, Karaeng. (limaribu….)
Pembeli I : Empat ribumo na tiga nah? (Empat ribu saja, tigaekor nah?)
Penjual : Tanre antu nissawala, Bu. (tidak dapat untung, Bu)Pembeli II : Appaq assitanggahmo na tallu (empat setengah
saja, tiga)Penjual : Ki allemi, eh kita juga ambil makiq sama ini Ibu.
(silahkan dimbil ......)Pembeli : Anjomo deh, ka tenamo naganna doeqka. (itu
saja, sudah tidak cukup uang)Penjual : Punna eroqkiq teamakiq jukuq bolu, ini saja yang
kecil, Bu. (kalau mau, tidak usah ikanbandeng............)
Pembeli : Patoa-toinna anne, nitawari jukuq na nasareangkijukuq maraengaiignga. (kurang ajarnya ini,ditawari ikannya diberikan yang lain )
Penjual : Tena ni patoa-toi anjo, Bu, ditunjukkanki yangcocok na doeqtaq (tidak kurang ajar itu, Buuangnya)
Pembeli : Tena lalo nalabbusuq jukuqnu, Daeng. (mudahhantidak habis ikanmu)
Penjual : Jangankiq marah, Bu. (ketika pembeli itu sudahjauh)
104
Percakapan 12Lokasi./setting : Penjual Kain
Sutiasi
Topik Pembicaraan :
Penjual : Kain apa kiqcari, Cewek?
Pembeli : Kain Beludru, vvarna sikolaq, ada? (...coklat..9)
Penjual : Man' masuk dulu, ciniq-ciniqmakiq, vvarna sikolaq
tekammayya? Jai rupanna katte. (...... .....lihat-lihat saja,
coklat yang bagannana9 banyak coraknya)
Pembeli : Anne, sikolaq kamanneyya? Berapa satu meternya?
(Coklal yang begin i, b era pa satu meter0) Penjual:
Sikura metereq kikeroki9 (Berapa meter yang dimaui)
Pembeli : Tallu mo deh, man ji di bikin rok pesta, tapi berapa
penneternya. (tiga saja,.........)
Penjual : Dua puluh lima ribu.
Penjual : Singgah dulu, Bu, ciniqmakiq jaiji katte barangna, murah
harganya. (memanggil pembeli yang lain). (...... .....lihat
dulu, banyak barangnya,......)
Pembeli III : Ki kurangngi saimi siqdi. (Tolong dikurangi sedikit)
Penjual : Bisa saja tapi kurang dua ribu.
Pembeli III : lya deh, ki kasiqma tiga meter
105
Penjual : Cocok mi anne warnana yang kimaui? kalau maukiq yang
lain atau kukasiqki dua warna, supaya kulleki sisambeang
ngangtaq. (mi warna yang dunginkan ? jika mau lain atau
saya berikan warna dua warna, supaya bisa saling ganti
dengan teman).
Pembeli : Janganmi, ka maukaq pakai seragam, kalau ada acara.
Penjual: Singgah dulu! Lihat-lihat baju gaqga. (......
.....bagus)
Pembeli I : Baju terusan ada Bu? eroka seqre. (........? saya man satu)
Penjual : Ada, kiciniqmi roloq warnana. (...., silahkan dilihat dulu
warnanya.)
Pembeli II : Apa kibeli, Pinduka lamanya baru ketemu, bagaimana
kabar di kampung (bertanya pada pembeli I)
Penjual : Baru ketemu, Bu? di mana kampung? Pembeli I: Malakaji,
lewat Jeneponto.
106
Percakapan 13
Lokasi/setting
Situasi :
Topik Pembicaraan : Penjual pecah-belah
Pembeli : Ada hiasan keramiktaq?
Penjual : Ada, ini cantiknya baru datang, lanunoroqji anjo harganna,
tidak sama yang ini. (sambi) inemperlihatkan barang yang
lain). ( ................... murah harganya) 'embeli: Angngapa
naqkuUe berbeda, Puang? kuare assingkammaji.
(mengapa bisa beda. Puang?, saya kira sama saja )
Penjual : Antu ki tiqgalaka ca'di lampa tipisiki kacanna, kalau yang
ini tebaJ dan berat, ki bandingkan mi, assila i toh? ( itu
yang dipegang kecil baru tipis kacanya, silakan
dibandingkan, berbeda toll?) mbeli. Berapa paeng
harganya yang tipis?
Penjual : Dua beias satu lusin, tapi kalau ambil banyak nikurangngiki
ruassabbu nbeli: Kalau yang kipegaiig itu berapa? ijuai :
Oh ini, lima belas ribu satu lusan, beda tallu sabbuji.
Eroqki anne atau anru ki tiqgalaka.
Pembeli : Anne ino deii, bagusk; kulihat warnanya. jual: Berapa man
di ambil, Buc) beli. Dua lusin mo deli, ual: Bungkuskan
108
Percakapan 14
Lokasi/Setting : Penjual Sembako
Situasi
Topik Pembicaraan :
Pembeli : Ada beras Insyinyurtaq
Penjual : Beras Kepalaji ada, beras Insyinyurnya habis tadi, kenapa
tidak pesan memangki kemarin na lewatji di sini kuliat,
kalau mau ki ini mo saja, bagusji juga, eh saya di rumah
makan beras kepalaji, anak-anak pada suka.
Pembeli : Kalau minyak goreng bimolitaq ada?
Penjual : Ada Bu, maukiq yang berapa kilo?
Pembeli : Yang dua kilo, tapi bukan yang pakai botol nah, yang
kuambil dulu pake botol jeleki kemasannya?
Penjual : Adaji.
Pembeli : Bungkuskanka juga piksin Siangan kecap ABCtaq.
Penjual : yang berapayya Bu?
Pembeli : Yang biasayyaji, piksin yang kecil-kecil, ABC botol.
Penjual : Anne Bu barangtaq. (Ini Bu, barangnya)
Pembeli : Berapa semua? Pakaikan kantong besar!
Penjual : Tidak ada kantongnya Bu? Langngalle ki kantong?
109
Pembeli : Ih dede, ini sudah penuhmi, ciniq sai mau jatuh semua
barang belanjaanku, kalau robeki gantikanga. (Coba
dilihat mau semua jatuh barang belanjaanku)
Penjual : Yang kecil atau besar?
110
Percakapan 15
Lokasi/setting : Penjual Pecah-Belah Situasi : Santai (pasar) Topik
Pembicaraan : Pengembalian barang
Penjual : Kenapa dikembalikan?
Pembeli I : Kemarin waktu saya ambil ini pantenta retakki, tidakku
perhatikan.
Penjual : Anggapa memang tena niparessai. (mengapa tidak
diperiksa)
Pembeli I : Jadi, tidak bisa ditukar? untuk apa dibeli kalau pecah
begini.
Penjual : Jangan marah, Bu! kulleji nisambei mingka kitambai,
eroqjaki? (... dapat digantikan tapi menambah, Ibu mau?)
Pembeli II : Biar begitu ditambahji? Biasanya ditukar.
Penjual : Bisa rugi saya Bu. Pabalu ka antu tena tonjana
poterangngi. Kalau pecah, ya pecah.
Pembeli II : Oh begitu, jari annambai siapa. (...jari menambah berapa?)
Penjual: Ya, berapa yang pecah, anjo reppeka nitambai,
satu piring seribu rupiah.
Pembeli I : Teamakiq, bajikangngangi nierang motereq (tidak usah
lebih baik dibawa pulang)
Penjual : Ya, sudah, erammi ammotereq. (Ya sudah, bawa saja
pulang)
111
Percakapan 16
Lokasi/setting : Penjual Pakaian
Situasi :
Topik Pembicaraan :
Pembeli : Berapa, Bu dasternya ?
Penjual : Lima puluh setengah
Pembeli : Tena naqkulle kurang? (Tidak bisa kurang)
Penjual : Kulleji kurang siqdi. (Bisa kurang sedikit)
Pembeli : Kurang siqdi berapa ? (. .sedikit...)
Penjual : Kurang lima ribuji. (Ya kurang lima ribu untuk saudara)
Penjual : Singgah, Bu! Kain aga disappaq (Singgah dulu, Bu! Kain
apa dicari)
Pembeli : Kain beludru, motif bunga-bunga.
Penjual : Pilihmi warnana! Meaga ladde motifna. (Silakan dipilih
warnanya! Banyak sekali motif'nya)
Pembeli : Siaga allinna. (Berapa harganya)
Penjual : Mau berapa meter?
Pembeli : Maaf Bu, tidak jadi.
Penjual : Singgah dulu, Puang! lihat-lihat baju mabbalo.
(.....,..bagus)
Pembeli : Engka, baju terusantaq, Puang? (ada baju terusannya )
Penjual : Ada, ita-itai oloq modeleqna (..., lihat-lihat dulu modelnya)
112
Pembeli II : Berapa hargana yang ini? (sambil memperlihatkan daster
pada penjual) (berapa harganya yang ini)
Penjual : Mau itu Bu? Sempo ladde hargana, asli solo, Bu. (Mau
yang itu Buk Murah sekali harganya, asli Solo, Bu)
Pembeli : Sepuluh saja nah? Saya ambil dua pasang.
Penjual : Cari kain apa, Bu?
Pembeli I : Engka, sarung sutra taq? (Ada, sarung suteranya?)
Penjual : Engka, kuitai oloq, lihat-lihat makiq dulu barang yang lain.
(Ada, saya lihatkan dulu, silakan lihat-lihat barang yang
lain), (hadir calon pembeli lain) Tamaqki, Puang !, Barang
aga tasappaq? (silakan masuk, barang apa dicari)
Pembeli II : Ada baju bodo taq?
Penjual I : Mau ambil berapa lembar, Bu?
Pembeli II : Bisa saya lihat warnanya.
Penjual II : Meaga warna, Bu, engka warna cella cocok sikali dipakai
pergi bawa pengantin. (banyak...... ada warna merah,
cocok sekali dipakai pergi bawa mengantar pengantin)
Pembeli II : Siaga hargana, Puang? (berapa harganya,)
Penjual II : Tiga puluh lima.
Pembeli : Kurang nah?
Penjual : Ambil berapa pasang.
Pembeli II : Tiga lembar.
113
Penjual : Ambil makiq tiga puluh.
Pembeli I : Ini sama dengan yang ini?
Penjual III : Ya. Sama.
Pembeli : Tena nakurang, Pak? (sudah tidak kurang, Pak)
Penjual : Sikura lanu alle, sallona abboya na kain kamanneji naballi.
(berapa yang mau diambil, lamanya mencari, baru kain
begini saja yang diainbil)
Pembeli II : Dua puluh lima saja Penjual: Belum boleh.
Pembeli : Angngapaiq Dua tujuh tidak mau? (Mengapa?....)
Penjual : Siapa lani balli. (Berapa yang mau diambil)
Pembeli : Dua
Penjual : lyeq ki allemi kalabussanna mi anne. (Ya, ambil saja,
sudah penghabisan)
Pembeli IV : Pak, kalau bisa ini satu, itu satu sepuluh ribu. (Baju anak-
anak)
Penjual : Tidak bisa. Tambah makiq dua ribu.
Pembeli : Angngapa na kaqjala kamma, Pak, ajine bodoji. (Mengapa
mahal sekali, Pak sedang yang pendek)
Penjual : Tena nammotere modalaqna. (Tidak kembali modalnya)
114
Percakapan 17
Lokasi/setting : Penjual sayur
Situasi : Santai (pasar)
Topik pembicaraan : Tawar-menawar
Penjual : Ini Bu, murahnya . Pembeli :Banyak rusaknya ini.
Penjual : Biasa itu Bu, deqna magaga, dipilih saja yang bagus.
Pembeli : Satu ikat berapa? (Sambil mengangkat kacang panjang)
Penjual : Seribu,
Pembeli : Kurang nah? Maukaq ambil banyak.
Penjual : lyeq engka kantongtaq? (Ada kantongnya? )
Penjual : Ada, ini. Mauki juga? (bertanya pada pembeli yang lain)
Pembeli : Segar i ini kacangtaq? Kenapa banyak sekali namakan
ulat. (segarkah ini kacang?, mengapa banyak sekali
dimakan ulat?)
Penjual :Masih segar Bu? pitu ratu polu sisio. (... tujuh ratus lima
puluh satu ikat)
Pembeli : Enam saja. Penjual: Deqna runtui modalaqna. (tidak dapat
medalnya)
115
Percakapan 18Lokasi/setting : Penjual buah
Situasi :
Topik Pembicaraan : Tawar-menawar
Pembeli I : Boleh dicoba dulu? (sambil mengambil buah langsat).
penjual : Dua ribu sekilo.
Pembeli II : Satu setengah, nah?
Penjual : Ibu mau juga? tena makacci (ketika melihat calon pembeli
yang lain) (....tidak kecut)
Pembeli I : Ya, satu kilo mo nah?
Penjual : Cobai joloq, Bu (Coba dulu).
Penjual II : Satu setengah saja, nah?
Penjual : Deqna kurang maqkumettoe hargana. (tidak kuran, itu
sudah harganya)
116
Percakapan 19Lokasi/setting : Penjual Pakaian
Situasi :
Topik Pernbicaraan : Tawar-menawar
Penjual : Sepuluh ribu, sepuluh ribu ....... (memperlihatkan pakaian
anak pada pembeli)
Pembeli I : Masoli sannaq? kurang-kurang sedikit kasiqna .
Penjual : Harga pas idiq.
Pembeli 1 : Enam nah?
Peirual : Pitu selengah ambil banyak, ada korlmg.
Pembeli I : Saya ambil lima pasang.
Penjual : Tujuh sitengahpi kasiqna.
Pembeli 1 : Anneng, kalau maukiq saya ambil sckarang.
Penjua] : Eeehh.... Ibu kitambah sedikit.
Pembeli I : Saya tainbah lima ratus rupiah.
Penjual : Bungkuskan ini bajunya Ibu (sambil menyuruh pe'ayan
yang lain)
Pembeli II : Engka baju bodotaq?
Penjual : Mauki can baju bodo warna cella, tidak susah itu Bu, di sini
banyak waraanya
Pembeli II : Siaga hargana?
Penjual : Masempo ladde, empat puluh, eloqki? (Murah sekali....,
Ibu mau ?)
Pembeli : Magana masoli ladde? deqgaga eloq ammalli nakko
masoli.
117
Percakapan 20Lokasi/serting : Penjual kain/sarung
Situasi
Topik Pembicaraan :
Penjual : Cari kain apa, Bu?
Pembeli I : Engka, sarung sutrataq?
Penjual : Engka, kuitai oloq, lihat-lihat makiq dulu baraiig yang lain,
(hadir calon pembeli lain) Tama Puang!, banyak yang
barn.
Pembeli II : Siaga seddi lipaqtaq, (berapa satu sarungnya)
Penjual : Ini sarungnya Bu, tidak luntur enak dipakai.
Pembeli : Warna cella na mabalo Puang, itaiki Joloq?
Penjual : lyeq cocok sekali dipakai pergi pesta. itu hargana seratus
dua puluh lima ribu.
Pembeli : Masoli ladde .
Penjual : Tawar makiq, berapa?
Pembeli : Seratus saja, eloqki?
Pembeli : Itu murah sekali, Bu?
Penjual : Asli ini bu jadi mahal, idiq ambil saja seratus sepuluh,
dikurangi ki lima belas ribu.
Pembeli : Ajaq nah, kalau tidak maukiq.
Penjual : Maukiq sarung bagus, baru tidak mau mahal, susah itu.
118
Percakapan 21
Lokasi/setting : Penjual Pecah-belah
Situasi :
Topik Pembicaraan :
Penjual : Apa ki cari, Buq
Pembeli : Engka piring duralexe, Puang?
Penjual : Cappuni, yang lain saja bu .
Pembeli : Nasional?
Penjual : Deqgaga barang tamaq
Pembeli : Merek apa yang ada Puang0
Penjual : Milinium dan Monalisa
Pembeli : Siaga ellinna satu lusin Milinumlaq
Penjual : Tujuh belas, meloqki?
Pembeli : Tiga belas saja, nah?
Penjual : Lima belas, kitambah sedikit.
Pembeli : Empat belas.
Penjual : Ki ambilmi, Bu ! Apa lagi Bi:?, tidak mauki gelas, sendok?
119
Percakapan 22
Lokasi/setting :
Penjual Sembako :
Situasi :
Topik Pembicaraan :
Penjual : Mie apa yang ki cari, Bu?
Pembeli : Mie goreng.
Penjual : Mie goreng aga?
Pembeli : Engka mie goreng Jawa?
Penjual : Cappuqni stoknya
Pembeli : Mie goreng yang lain?
Penjual : Ada sari mie, gaga 100, sop mie, soto, tarea ki keroki?
siaga dos, Puang?
Pembeli : Siaga seqdi dos sop mie.
Penjual : Delapan belas, mau ki berapa dos.
Pembeli : Tiga dos.
Penjual : Saya kasiq ki tujuh belas.
Pembeli : Kasiqmakaq tiga dos
Penjual : lyeq
120
Percakapan 23
Lokasi/setting
Situasi
Topik Pembicaraan
Penjual kain/sarung
Tawar-menawar
Penjual : Antamaki mai!
Pembeli : Engka, sarung sutrataq?
Penjual : Engka, kuitai oloq! Banyak yang baru,
Pembeli : Siaga seddi lipaqtaq.
Penjual : Magello iya lipagna, de nalunturu.
Pembeli : Engka warna mabalo Puang, kiitai oloq?
Penjual : lye, cocok ladde dipake pi pesta. Hargana seratus dua
puluh lima ribu.
Pembeli : Masoli ladde
Penjual : Tawarini gare, siaga elota?
Pembeli : Siratuna, meloqki?
Penjual : Aslina iye ibu, idiq ambil saja seratus sepuluh, dikurangi ki
limabe las ribu.
Pembeli : Ajaq nah, kalau teaki.
121
Percakapan 24
Lokasi/setting : Penjual Pakaian
Situasi :
Topik Pembicaraan :
Penjual : Mau belanja Cewek! Murah-murah, model baru dan enak
di pakai. Eloki, kudung, celana kain, baju panjang? Ada di
sini.
Pembeli 1 : Eloqka kudung, bunga-bunga.
Penjual : Oh itu? ada ini banyak bunganya, dan murah
Pembeli I : Berapa murahnya?
Penjual : Sappulo sabbu. Cariki di tempat lain deqgaga Cewek.
Pembeli II : Tujuh ribu saja nah?
Penjual : Hargana mi katte, tapi saya kurangi delapan ribumi.
Pembeli I : Bungkuskanka yang ini! mauka juga yang itu baju
panjangna.
Penjual : Itu tuju puluh lima ribu,
Pembeli I : Enam puluh saja nah? saya ambil dua pasang.
Penjual : Enam puluh tujuh saja, ambil harga tengahnya di, supaya
samaki untung. Idiq eloq warna aga? banyak ji variasina.
Penjual : Tabe kiperiksa baranna, cocokni warnanya, ukurannya,
periksa baek-baeki, makasih banyak ya bu.
122
Percakapan 25
Lokasi/setting : Penjual Kain
Situasi
Topik Pembicaraan:
Penjual : Singgah dulu Puang, itai oloq mega barang tamaq
Pembeli : Siaga allinna iarehe? (berapa harganya yang ini)
Penjual : Murah Cewek hari ini diobral. Eloqki kain aga?
Pembeli : Bisa dilihat yang itu, warna merah jambu. Siaga
simetereq?
Penjual : Oh ini ya? Magello iye, mau yang mi ?
Pembeli : Kalau murah saya mau ambil tiga meter.
Penjual : Dua puluh lima ribu.
Penjual : Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat aja, nggak nengok-
nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello
masempo hargana. (memanggil pembeli yang lain)
Pembeli : Kurang sedikit, Puang.
Penjual : Alani.
123
Percakapan 26
Lokasi/setting : Kosmetik
Topik Pembicaraan: Pembelian alat-alat kosmetik
Penjual : Cari apaki mbak?
Pembeli : Mau lihat-lihat dulu.
Penjual : oh, iya silakan dicoba, adaji testernya
Pembeli : Da bedakta yang produksi Wardah
Penjual : Oh, kita ndak jual Wardah, yang ada rata-rata merek
Pondsji