+ All Categories
Home > Documents > Reading 7 (Autosaved)

Reading 7 (Autosaved)

Date post: 05-Dec-2015
Category:
Upload: muhtar-tahir
View: 220 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
Description:
Ringkasan:THE FIELD APPROACH : CULTURE AND GROUP LIFE AS QUASI-STATIONARY PROCESSESBIDANG PENDEKATAN: KEBUDAYAAN DAN KELOMPOK HIDUP SEBAGAI PROSES KUASI-STASIONERKurt LewinMUHTARP0205213310PPW/MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PEMUDA Pertanyaan yang utama adalah apa yang harus diubah dan bagaimana mengubahnya ? Kebiasaan dari satu individu atau kelompok bukanlah sesuatu yang statis dan bukan juga sesuatu yang berada dalam ruangan yang kosong. Kebiasaan dari individu adalah proses yang mengalir dan berjalan atau quasi stationer Contoh budaya atau kebiasaan dari individu yang akan berpengaruh dalam kelompoknya adalah pola makan Pola makan mempengaruhi cara mendapatkan nafkah, bagaimana memproduksi bahan makanan, berapa jumlah dan kecepatan dalam produksi bahan makanan, Penggunaan air sungai, dari mencari nafkah dan bermain; menjadi anggota dari sebuah kota, keluarga, kelas sosial, kelompok agama, bangsa; hidup di iklim yang panas atau dingin, di daerah pedesaan atau kota, di kabupaten dengan bahan makanan yang baik dan restoran, atau di daerah pasokan makanan miskin dan tidak teratur. Pola makan kelompok menyiratkan bahwa konstelasi kekuatan-kekuatan dalam satu negara berjalan dan seimbang selama kebutuhan itu terpenuhi.  Kebiasaan harus dipahami sebagai akibat dari kekuatan dalam organisme dan ruang hidupnya, dalam kelompok dan perubahannya. untuk memprediksi perubahan kita harus memahami kehidupan kelompok sebagai akibat dari konstelasi kekuatan tertentu dalam pengaturan yang lebih besar prediksi ilmiah atau saran untuk metode perubahan harus didasarkan pada analisis salah satu kelompok atau bidang untuk mewakili secara keseluruhan termasuk aspek psikologis dan nonpsychological nya.  Contoh Kasus :Proses Perubahan Pasca Reformasi Birokrasi Tepat pada hari ini, tanggal 21 Mei, Indonesia telah menjalani 15 tahun kehidupan pemerintahan yang baru setelah reformasi. Gerbang kehidupan baru sistem ketatanegaraan, pemerintahan dan kehidupan bangsa Indonesia telah dimulai sejak tanggal
Popular Tags:
32
RINGKASAN Reading 7 The Field Approach : Culture and group life as quasi-stationary processes Kurt Lewin MUHTAR P0205213310 MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PEMUDA PROGRAM STUDI PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
Transcript
Page 1: Reading 7 (Autosaved)

RINGKASAN

Reading 7

The Field Approach : Culture and group life as quasi-stationary processes

Kurt Lewin

MUHTARP0205213310

MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PEMUDAPROGRAM STUDI PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH

PASCA SARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2014

Ringkasan:

Page 2: Reading 7 (Autosaved)

THE FIELD APPROACH : CULTURE AND GROUP LIFE AS QUASI-STATIONARY PROCESSES

BIDANG PENDEKATAN: KEBUDAYAAN DAN KELOMPOK HIDUP SEBAGAI PROSES KUASI-STASIONER

Kurt Lewin

MUHTARP0205213310

PPW/MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PEMUDA

Pertanyaan yang utama adalah apa yang harus diubah dan bagaimana mengubahnya ? Kebiasaan dari satu individu atau kelompok bukanlah sesuatu yang statis dan bukan juga

sesuatu yang berada dalam ruangan yang kosong. Kebiasaan dari individu adalah proses yang mengalir dan berjalan atau quasi stationer Contoh budaya atau kebiasaan dari individu yang akan berpengaruh dalam kelompoknya

adalah pola makan Pola makan mempengaruhi cara mendapatkan nafkah, bagaimana memproduksi bahan

makanan, berapa jumlah dan kecepatan dalam produksi bahan makanan, Penggunaan air sungai, dari mencari nafkah dan bermain; menjadi anggota dari sebuah kota, keluarga, kelas sosial, kelompok agama, bangsa; hidup di iklim yang panas atau dingin, di daerah pedesaan atau kota, di kabupaten dengan bahan makanan yang baik dan restoran, atau di daerah pasokan makanan miskin dan tidak teratur.

Pola makan kelompok menyiratkan bahwa konstelasi kekuatan-kekuatan dalam satu negara berjalan dan seimbang selama kebutuhan itu terpenuhi.

Kebiasaan harus dipahami sebagai akibat dari kekuatan dalam organisme dan ruang hidupnya, dalam kelompok dan perubahannya.

untuk memprediksi perubahan kita harus memahami kehidupan kelompok sebagai akibat dari konstelasi kekuatan tertentu dalam pengaturan yang lebih besar

prediksi ilmiah atau saran untuk metode perubahan harus didasarkan pada analisis salah satu kelompok atau bidang untuk mewakili secara keseluruhan termasuk aspek psikologis dan nonpsychological nya.

Contoh Kasus :Proses Perubahan Pasca Reformasi Birokrasi

Tepat pada hari ini, tanggal 21 Mei, Indonesia telah menjalani 15 tahun kehidupan pemerintahan yang baru setelah reformasi. Gerbang kehidupan baru sistem ketatanegaraan, pemerintahan dan kehidupan bangsa Indonesia telah dimulai sejak tanggal 21 Mei 1998. Hal tersebut terjadi dengan berakhirnya sistem pemerintahan orde baru yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto 15 tahun lalu. Menengok sejarah masa lampau, reformasi Indonesia merupakan salah satu upaya yang dilakukan bangsa Indonesia menuju kehidupan yang dicita-citakan rakyat. Berbagai pergolakan yang terjadi menjadi salah satu bukti kerja

Page 3: Reading 7 (Autosaved)

keras bangsa Indonesia untuk merevitalisasi semua sistem menuju kehidupan rakyat yang lebih baik dan demokratis.

Selama ini Indonesia telah mengalami 6 periodisasi pemerintahan. Mulai dari pemerintahan setelah kemerdekaan (UUD 1945), masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS 27 Desember 1949- 17 Agustus 1950), masa pemerintahan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (17 Agustus 1950- 5 Juli 1959), masa pemerintahan orde lama (5 Juli 1959- 11 Maret 1966), masa pemerintahan orde baru (11 Maret 1966- 21 Mei 1998) dan masa pemerintahan setelah reformasi (21 Mei 1998 sampai saat ini). Dari 6 periodisasi pemerintahan tersebut tentunya terdapat perubahan-perubahan dan perbedaan yang mendasar seperti sistem pemerintahan yang dianut, konstitusi yang digunakan dan sebagainya. Semua itu menjadi sejarah perjalanan hidup bangsa Indonesia.

Gerbang awal kehidupan bangsa Indonesia menuju kehidupan yang lebih demokratis diawali dengan adanya reformasi 1998. Dalam masa reformasi terdapat banyak agenda yang akan dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan reformasi sesuai tuntutan rakyat. Mulai dari agenda reformasi hukum, reformasi birokrasi, reformasi bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Reformasi menjadi salah satu usaha untuk memperbaiki, menata ulang dan merevitalisasi tatanan didalam sistem baik dalam sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan dan sistem kehidupan masyarakat. Usaha tersebut tak lain bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang lebih baik.

Sudah 15 tahun reformasi bergulir. Banyak warna-warni kehidupan yang melengkapi sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Jika kita bertanya sudahkah ada perubahan dari zaman dulu, reformasi hingga saat ini? Jawabannya tentu sudah. Terdapat beberapa perubahan mendasar yang terjadi setelah masa reformasi, antara lain: amandemen UUD 1945, munculnya lembaga baru dalam lingkup kekuasaan kehakiman (Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial), penyelenggaraan pemilu, penyelenggaraan otonomi daerah dan sebagainya. Resistensi dari orang yang tidak menginginkan perubahan (status quo) merupakan  tantangan tebesar reformasi. Mereka akan menggalang kekuatan tandingan untuk melakukan perlawanan terhadap perubahan. Padahal di pihak lain, masyarakat tidak sabar ingin segera menikmati buah reformasi. Pada dasarnya orang tidak ingin berubah,  apalagi bagi mereka yang sedang berada dalam zona nyaman. Kalau diajak berubah selalu mencari berbagai alasan.

Secara konkrit, mungkin belum dapat dirasakan dan dilihat secara nyata hasil dari reformasi ditengah kehidupan masyarakat. Masih banyak kemiskinan, ketidakadilan sosial, ketidakadilan hukum, dan berbagai macam fenomena negatif yang memang nyata dapat kita lihat. Praktik korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran HAM, pelecehan seksual dan penyimpangan yang lain semua itu adalah berita makanan rakyat sehari-hari.

Namun memang itulah fakta konkrit yang terjadi. Tapi ini merupakan proses kuasi stationer yang terus digulirkan dan terus berjalan dan memerlukan waktu lama untuk berubah, tapi minimal sudah pencanangan pondasi yaitu Reformasi tahun 1998 yang semangat ini akan terus bergulir. reformasi birokrasi itu tidak bisa instan, seperti menanam pohon musiman. Reformasi birokrasi seperti menanam pohon tahunan, yang bisa dipetik setelah 15 - 20 tahun mendatang.

Page 4: Reading 7 (Autosaved)

Sebagai perbandingan, di Korea Selatan, reformasi birokrasi  butuh waktu selama 30 tahun. Mereka juga mengakui, bahwa Indonesia ini masih pada reformasi level dasar. Yang kita bangun sekarang, bagaimana mengubah kultur birokrasi, yang jauh lebih sulit daripada melakukan perubahan structural. Kalau kita memulainya sekarang, akan bisa tercapai paling cepat 15 tahun yang akan datang. “Kalau kita menunda maka akan tertunda lagi,”

Tak dapat dipungkiri, masalah-masalah aka ada dalam perjalanannya. Melihat semua fenomena dan permasalahan tersebut, itulah salah satu tugas dan tanggung jawab kita semua sebagai warga negara. Tidak hanya lembaga suprastruktur politik, lembaga infrastruktur politik serta semua rakyat harus saling bersinergi. Memberantas dan menangani masalah-masalah tersebut bukanlah upaya yang mudah. Nilai-nilai Pancasila, cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia sesuai Pembukaan UUD 1945 harus menjadi landasan idealis kita dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Page 5: Reading 7 (Autosaved)

1.2. Pengaruh Penutupan Lokalisasi Kramat Tunggak terhadap masyarakat sekitar.3. Belajar dari Pengalaman Totalitas dalam Meningkatkan Status Gizi Anak melalui

Pendekatan Positive Deviance 4. Kehidupan sosial kader PKS5. Rasulullah Muhammad dalam membentuk pemerintahan islam dimulai dengan

membina kelompok kecil sahabatnya dengan merubah pola hidupnya yang jahiliyah ke kehidupan yang beradab di Makkah dan memperluasnya dengan hijrah ke madinah, dan di madinah mulai dterapkan aturan-aturan kehidupan yang berbeda dengan kehidupan rakyatnya sebelumnya dan menjadi cikal bakal gaya hidup islam yang menguasai bumi ini dan masih bisa dirasakan sampai saat ini.

Pengaruh Penutupan Lokalisasi Kramat Tunggak terhadap masyarakat sekitar.

Dalam sejarahnya, Jakarta pernah memiliki tempat pelacuran yang dikenal dengan nama lokalisasi Kramat Tunggak, di kawasan Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Pada perjalanannya, lokalisasi terbesar di Ibu Kota tersebut berakhir dengan penutupan atas desakan masyarakat karena tingginya masalah kriminalitas dan sosial.

Sejak ditutup pada akhir 1999, kawasan tersebut kini berubah. Di atas lahan bekas tempat prostitusi era 1970-1999 ini, berdiri Jakarta Islamic Centre, sebuah lembaga pengkajian dan pengembangan Islam di Jakarta. Masa lalu yang kelam dampak dari kehidupan malam pun berakhir.

Secara sosiologis, keluarga yang terbatas sumberdayanya cenderung untuk melakukan sosialisasi pekerjaan, profesi, usaha, atau aktivitas kepada generasi berikutnya di sekitar

Page 6: Reading 7 (Autosaved)

lingkunan pekerjaan mereka. Seperti kita ketahui ada jaringan aktivitas atau pekerjaan yang terkonstruksi melalui transaksi seksual seperti PSK, germo, mucikari, tukang pukul atau 'penjaga' keamanan, konsumen, dan sebagainya.

Lingkaran aktivitas atau pekerjaan ini berubah seiring dengan berubahnya lingkungan lokalisasi menjadi Islamic Centre dan merubah pula lingkungan sekitarnya bila dilembagakan keberadaannya terus menerus akan semakin memperbesar kuantitas serta memperluas jaringan aktivitas dalam dunia keislaman dan sampai saat ini hampir kita tidak mengenal kalau tempat ini dan sekitarnya pernah menjadi lokalisasi.

Kebijakan Pemerintah Meningkatkan Status Gizi Anak melalui Pendekatan Positive Deviance

Perkembangan model perubahan sosial (social change) yang menarik perhatian banyak pihak, salah satunya adalah Positive Deviance (Penyimpangan Positif) yang menuntut keterlibatan masyarakat, menggunakan resources yang ada pada masyarakat sehingga sustainability-nya akan terjaga. Namun model Positive Deviance ini harus dimulai pada kelompok kecil yang intensitas interaksi sosial mereka cukup tinggi dan pada akhirnya ditemukan solusi dalam kelompok kecil tersebut, tidak dari luar kelompok. Sehingga model ini memberikan impact yang signifikan bagi komunitas sekitarnya.

Positive Deviance sebagai sebuah model perubahan prilaku telah dibuktikan di puluhan negara berkembang, seperti perubahan prilaku dalam mengurangi malnutrisi di Vietnam, Myanmar, Nepal/Buthan, Bolivia, Bangladesh dan lainnya; pencegahan penyebaran HIV/AIDS di dunia ketiga, pencegahan mutilasi perempuan di Egypt, konflik etnis di Afrika dan lainnya.

Pendekatan Sternin didasarkan dari hasil kerja yang dilakukan oleh Marian Zeitlin di Universitas Tufts pada akhir 1980-an melakukan penelitian di beberapa rumah sakit di komunitas yang sedang berkembang untuk mengetahui mengapa sebahagian kecil anak-anak yang menderita kekurangan gizi (para penyimpang) mengatasi kondisi tersebut dengan lebih baik dibanding dengan sebahagian besar anak-anak penderita kekurangan gizi lainnya, apa yang membuat mereka mampu dengan cepat mengatasinya? (David Dorsey; 2000)

Dari penelitian ini muncul pemikiran untuk memperkuat penyimpangan positif sebagai sebuah teori yang diuji oleh Sternin dan istrinya Monique pada tahun 1990-an dalam situasi yang berbeda. Ide ini muncul sebagai tanggapan dari permintaan pemerintah Vietnam untuk membantu mengurangi angka malnutrisi yang luar biasa.Sternin tidak memakai solusi konvensional karena solusi itu hanya tentang: sistim sanitasi yang buruk, ketidakpedulian, pola distribusi makanan, kemiskinan, dan buruknya akses terhadap air bersih. Sementara ribuan bahkan jutaan anak tidak dapat menunggu sampai masalah tersebut bisa diatasi. Akhirnya Sternin dan istrinya memutuskan untuk memperkuat penyimpangan positif.

Dalam setiap komunitas, organiasi, atau kelompok sosial, terdapat beberapa individu yang mempunyai prilaku dan kebiasaan tersendiri yang membuat mereka mampu mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan orang di sekitarnya meskipun mereka mempunyai sumberdaya yang sama. Tanpa disadari para “penyimpang positif” ini telah menemukan jalur

Page 7: Reading 7 (Autosaved)

keberhasilan untuk seluruh kelompok apabila rahasia mereka dapat dianalisa, diisolasi, dan kemudian dibagikan kepada seluruh kelompok.

Program Positive Deviance Sungai Lasi Kabupaten Solok, dan di kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang.

Seperti halnya setiap kegiatan yang positif, banyak pihak yang ingin mencoba menirunya. Penggunaan pendekatan positive deviance dalam meningkatkan status gizi anak, secara konsep, sudah dirancang sedemikian rupa sehingga kegiatannya menjadi sederhana dan replicable atau bisa dilakukan dalam komunitas lain. Selain di Sungai Lasi Kabupaten Solok, Totalitas juga telah mereplikasi kegiatan ini di kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang.

Positive deviance adalah suatu pekerjaan yang dimulai dengan nilai lokal (local wisdom). Suatu pekerjaan yang dimulai dengan memanfaatkan nilai lokal jauh lebih efektif daripada membawa nilai-nilai baru yang dipaksakan. Bagaimanapun nilai lokal merupakan suatu komitmen dan prilaku yang sudah mengakar di dalam sebuah komunitas, dan hal itu mereka lakukan dan jaga bersama secara terus menerus.

Reading 7The Field Approach : Culture and group life as quasi-stationary processesKurt Lewin

This question of planed change or of any “ social engineering “ is identical with the question : what “ conditions” have to be changed to bring about a given result and how can one change these conditions with the means at hand?

One should view the present situation the status quo as being maintained by certain condition or forces. A culture for instance, the food habits of a certain group at a given time is not a static affair but a live process like a river which moves but still keeps a recognizable form. In other words, we have to deal, in group life as in individual life, with what is known in physics as “quasi stationary” processes.

Food habits do not occur in empty space. They are part and parcel of the daily rhytm of being awake and a sleep; of being alone and in a group; of earning a living and playing; of being a member of a town, a family, a social class, a religious group, a nation; of living in a hot or cool climate, in a rural area or a city, in a district with good groceries and restaurants, or in an

Page 8: Reading 7 (Autosaved)

area of poor and irregular food supply. Samehow all of these factors affect food habits at any given time . they determine the food habits of a group every day arfew just as the amount of water supply and the nature of the river bed determine from day to day the flow of the river, its constancy, or its change.

Food habits of a group, as well as such phenomena as the speed of production in a factory, are the result of a multitude of forces. Some forces support each other, some oppose each other. Some are driving forces. Other restraining forces. Like the velocity of a river, the actual conduct of a group depends upon the level ( for instance, the speed of production) at which these conflicting forces reach a state of equilibrium. To speak of a certain culture pattern for instance, the food habits of a group implies that the constellation of these forces remains the same for a period or at least that they find their state of equilibrium at a constant level during that period.

Neither group “habits” not individual “habits” can be understood sufficiently by a theory which limits its consideration to the processes. Instead, habits will have to be conceived of as a result of forces in the organism and its life space, in the group and its setting. The structure of the organism, of the group, of the setting. Or whatever name the field might have in the given case, has to be represented and the forces in the various parts of the field have to be analyzed if the processes ( which might be either constant “habits” or changes ) are to be understood scientifically. The process is but the epi-phenomenon, the real object of study is the constellation of forces.

Therefore, to predict which changes in conditions will have what result we have to conceive of the life of the group as a result of specific constellation of forces within a larger setting. In other words, scientific predictions or advice for methods of change should be based on any analysis of the “ field as a whole” including both its psychological and nonpsychological aspects.

Membaca 7

Bidang Pendekatan: Kebudayaan dan kelompok hidup sebagai proses kuasi-stasioner

Kurt Lewin

Ini pertanyaan perubahan direncanakan atau apapun "rekayasa sosial" identik dengan pertanyaan: apa "kondisi" harus diubah untuk membawa hasil yang diberikan dan bagaimana seseorang dapat mengubah kondisi ini dengan cara di tangan?

Page 9: Reading 7 (Autosaved)

Orang harus melihat situasi sekarang status quo sebagai yang dikelola oleh kondisi atau kekuatan tertentu. Sebuah budaya misalnya, kebiasaan makanan dari kelompok tertentu pada waktu tertentu bukanlah urusan statis tetapi proses hidup seperti sungai yang bergerak tapi masih menyimpan bentuk dikenali. Dengan kata lain, kita harus berhadapan, dalam kehidupan kelompok seperti dalam kehidupan individu, dengan apa yang dikenal dalam fisika sebagai "quasi stasioner" proses.

Kebiasaan makanan tidak terjadi dalam ruang kosong. Mereka adalah bagian dari ritme harian menjadi terjaga dan tidur; sendirian dan dalam kelompok; dari mencari nafkah dan bermain; menjadi anggota dari sebuah kota, keluarga, kelas sosial, kelompok agama, bangsa; hidup di iklim yang panas atau dingin, di daerah pedesaan atau kota, di kabupaten dengan bahan makanan yang baik dan restoran, atau di daerah pasokan makanan miskin dan tidak teratur. Entah kenapa semua faktor ini mempengaruhi kebiasaan makanan pada waktu tertentu. mereka menentukan kebiasaan makanan dari kelompok setiap hari lagi seperti jumlah pasokan air dan sifat dasar sungai menentukan dari hari ke hari aliran sungai, keteguhan, atau perubahannya.

Kebiasaan makanan dari kelompok, serta fenomena seperti kecepatan produksi di pabrik, adalah hasil dari banyak kekuatan. Beberapa pasukan mendukung satu sama lain, beberapa saling bertentangan. Beberapa penggerak. Pasukan menahan lainnya. Seperti kecepatan sungai, perilaku yang sebenarnya dari kelompok tergantung pada tingkat (misalnya, kecepatan produksi) di mana kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan mencapai keadaan keseimbangan. Untuk berbicara tentang pola budaya tertentu misalnya, kebiasaan makanan kelompok menyiratkan bahwa konstelasi kekuatan-kekuatan ini tetap sama untuk periode atau setidaknya bahwa mereka menemukan negara mereka keseimbangan pada tingkat yang konstan selama periode itu.

Baik kelompok "kebiasaan" bukan individual "kebiasaan" dapat dipahami cukup dengan teori yang membatasi pertimbangan kepada proses. Sebaliknya, kebiasaan akan harus dipahami sebagai akibat dari kekuatan dalam organisme dan ruang hidupnya, dalam kelompok dan setelan. Struktur organisme, kelompok, dari pengaturan. Atau nama apapun lapangan mungkin dalam kasus tertentu, harus diwakili dan kekuatan di berbagai bagian lapangan harus dianalisis jika proses (yang mungkin berupa konstan "kebiasaan" atau perubahan) harus dipahami secara ilmiah . Proses ini tapi epi-fenomena, objek nyata studi adalah konstelasi kekuatan.

Oleh karena itu, untuk memprediksi perubahan dalam kondisi akan memiliki apa hasilnya kita harus memahami kehidupan kelompok sebagai akibat dari konstelasi tertentu kekuatan dalam pengaturan yang lebih besar. Dengan kata lain, prediksi ilmiah atau saran untuk metode perubahan harus didasarkan pada analisis salah satu "lapangan secara keseluruhan" termasuk aspek psikologis dan nonpsychological nya.

Page 10: Reading 7 (Autosaved)

Ringkasan:THE FIELD APPROACH : CULTURE AND GROUP LIFE AS QUASI-

STATIONARY PROCESSES

BIDANG PENDEKATAN: KEBUDAYAAN DAN KELOMPOK HIDUP SEBAGAI PROSES KUASI-STASIONER

Kurt Lewin

Page 11: Reading 7 (Autosaved)

MUHTARP0205213310

PPW/MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PEMUDA

Pertanyaan yang utama adalah apa yang harus diubah dan bagaimana mengubahnya ? Kebiasaan dari satu individu atau kelompok bukanlah sesuatu yang statis dan bukan

juga sesuatu yang berada dalam ruangan yang kosong. Kebiasaan dari individu adalah proses yang mengalir dan berjalan atau quasi stationer Contoh budaya atau kebiasaan dari individu yang akan berpengaruh dalam

kelompoknya adalah pola makan Pola makan mempengaruhi cara mendapatkan nafkah, bagaimana memproduksi

bahan makanan, berapa jumlah dan kecepatan dalam produksi bahan makanan, Penggunaan air sungai, dari mencari nafkah dan bermain; menjadi anggota dari sebuah kota, keluarga, kelas sosial, kelompok agama, bangsa; hidup di iklim yang panas atau dingin, di daerah pedesaan atau kota, di kabupaten dengan bahan makanan yang baik dan restoran, atau di daerah pasokan makanan miskin dan tidak teratur.

Pola makan kelompok menyiratkan bahwa konstelasi kekuatan-kekuatan dalam satu negara berjalan dan seimbang selama kebutuhan itu terpenuhi.

Kebiasaan harus dipahami sebagai akibat dari kekuatan dalam organisme dan ruang hidupnya, dalam kelompok dan perubahannya.

untuk memprediksi perubahan kita harus memahami kehidupan kelompok sebagai akibat dari konstelasi kekuatan tertentu dalam pengaturan yang lebih besar

prediksi ilmiah atau saran untuk metode perubahan harus didasarkan pada analisis salah satu kelompok atau bidang untuk mewakili secara keseluruhan termasuk aspek psikologis dan nonpsychological nya.

"Lokalisasi Dolly ditutup merupakan langkah tepat. Saya memberi apresiasi kepada Walikota Surabaya Ibu Risma yang berketetapan hati menutup lokalisasi pelacuran di Dolly Surabaya," kata Musnir kepada Harian Terbit, Rabu (18/6).

Musnir menuturkan, setidaknya ada beberapa aspek yang akan muncul dari penutupan lokalisasi Dolly ini. Pertama, menurut dia dari aspek sosial, masyarakat menghendaki penutupan pelacuran karena bertentangan dengan kemanusiaan dan HAM. Kedua, bertentangan dengan hukum. Tidak ada UU yang membolehkan pelancuran.

Ketiga, aspek ekonomi. Para gadis terpaksa menjadi pelacur untuk mendapat kehidupan yang layak. "Akan tetapi pekerjaan melacur adalah hina di sisi Tuhan dan manusia. Mendekati pelacuran saja tidak boleh, apalagi melakukannya," tuturnya.

Terkait jalan ke luar yang ditawarkan Pemkot Surbaya, Musnir berpendapat jika Walikota Surabaya itu sudah sangat manusiawi. Dia menjelaskan, bahwa pertama, alih profesi.

Page 12: Reading 7 (Autosaved)

Para pelacur dan germo dilatih dalam berbagai bidang kegiatan sesuai bidang yang diminati. Kedua rehabilitasi mental. Ketiga, pemberdayaan. Keempat, difasilitasi permodalan dan tempat. Kelima, pengawasan.

"Kelima hal tersebut merupakan solusi untuk menutup lokalisasi pelacuran terbesar di Asia Tenggara itu. Mereka yang menghalangi penutupan Dolly merupakan penjahat kemanusiaan," terangnya.

Senada dengan Musnir, pengamat sosial lainnya Erna Karim menyatakan, dengan ditutupnya lokasisasi Dolly oleh Pemkot Surabaya artinya perubahan ke arah kemajuan dan kebaikan untuk masyarakat selalu harus diusahakan oleh pemerintah.

Dia menuturkan, ditutupnya lokalisasi Dolly adalah sebuah usaha struktural melalui kebijakan untuk tidak memperluas atau mencegah entitas keberadaan kantung 'komunitas' masyarakat yang 'berpotensi' semakin kuat melakukan alih generasi profesi yang sama di sekitar transaksi seksual (pelacuran).

"Secara sosiologis, keluarga yang terbatas sumberdayanya cenderung untuk melakukan sosialisasi pekerjaan, profesi, usaha, atau aktivitas kepada generasi berikutnya di sekitar pekerjaan mereka. Seperti kita ketahui ada jaringan aktivitas atau pekerjaan yang terkonstruksi melalui transaksi seksual seperti PSK, germo, mucikari, tukang pukul atau 'penjaga' keamanan, konsumen, dan sebagainya," tutur Erna kepada Harian Terbit, Rabu (18/6).

Dia menjelaskan, lingkaran aktivitas atau pekerjaan ini bila dilembagakan keberadaannya terus menerus akan semakin memperbesar kuantitas serta memperluas jaringan aktivitas transaksi seksual antargenerasi. Sehingga, lanjut Erna, perlu dilakukan perubahan struktural dengan menutup lokalisasi Dolly.

"Namun, pemkot Surabaya harus melakukan usaha pengalihan profesi dan jaringan aktivitas yang ada selama ini dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat keagamaan, pendidikan formal dan non formal (kursus-kursus keterampilan), merekonstruksi jaringan ekonomi masyarakat Dolly ke arah positif untuk alih generasi berdimensi ekonomi," pungkasnya.

Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI, Ali Maschan Musa, menghimbau kepada pemerintah untuk memberikan kompensasi berupa latihan keterampilan kepada para PSK paska Dolly ditutup. "Kami memang setuju jika itu (Dolly) ditutup, tapi kan mereka juga harus dibina serta diberikan skill keterampilan," kata Ali di Gedung DPR, Rabu (18/6).

Karena itu, Ali menegaskan Komisi VIII DPR selaku komisi yang membidangi masalah sosial akan mendorong agar anggaran untuk para PSK disiapkan. Anggaran itu akan digunakan untuk memberi latihan keterampilan, agar setelah keluar dari lokalisasi, mereka tetap mempunyai pekerjaan. "Kami berharap agar Komisi VIII mendukung anggarannya

Page 13: Reading 7 (Autosaved)

lewat menteri sosial," ujarnya.

Di sisi lain, Wakil Dewan Syuro PKB itu mengatakan, tidak ada alasan para PSK di Dolly menolak uang jaminan dari pemerintah meski tidak sebesar pendapatan mereka setiap hari.

"Ya, ukuran nggak cukup standarnya itu apa, itu kan juga harus jelas. Tapi, standar Rp5 juta menurut saya untuk sementara cukup," bebernya.Untuk itu, Ali menyarankan ke depan agar para PSK tak kembali lagi ke habitatnya (Dolly), maka Pemkot harus mampu membangun pusat perbelanjaan. "Kalau perlu dibuatkan pasar, misalnya mal," pungkasnya.

Seperti diketahui, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, menutup lokalisasi Dolly pada 18 Juni 2014 lebih cepat sehari dibandingkan rencana awal.

Risma mengatakan, saat ini Pemkot Surabaya mempersiapkan transfer pekerjaan sehingga eks PSK itu nantinya bisa berusaha dan ke luar dari pekerjaan sebelumnya. "Kita ajarkan buat kue, kerajinan, telor asin dan lain-lain. Artinya kita bisa melakukan itu, kita harus angkat saudara kita yang tertindas," kata Risma.

Lebih lanjut Risma mengatakan, sebanyak 1.200-an eks PSK Dolly sudah diverifikasi dan saat ini jumlahnya bertambah menjadi 1.400 orang. Sebagai antisipasi agar eks PSK itu tidak kembali lagi, maka akan dilakukan pemantauan dan razia rutin.

Karena eks PSK itu 99 persen bukan warga Surabaya, maka Risma meminta bantuan Kementerian Sosial untuk merehabilitasi mereka terutama yang akan kembali ke kampung asalnya. "Kami minta bantuan dari Kemensos untuk uang saku eks PSK, untuk mucikari dari Gubernur Jawa Timur. Pemkot Surabaya merekondisikan alih profesi dan siapkan infrastrukturnya," kata Risma.

Positive Deviance, Sebuah Pendekatan untuk Perubahan Sosial

Belajar dari Pengalaman Totalitas dalam Meningkatkan Status Gizi Anak melalui Pendekatan Positive Deviance

Penulis :Totalitas

Pendahuluan

Perubahan sosial merupakan keniscayaan yang mesti dilakukan dalam evolusioner kehidupan manusia, seiring dengan kebutuhan manusia itu sendiri menuju kehidupan yang lebih layak. Banyak sudah teori-teori dan praktek perubahan sosial yang telah diciptakan, dipromosikan, dan dilakukan. Namun tidak sedikit dari praktek terbaik perubahan sosial tersebut yang

Page 14: Reading 7 (Autosaved)

“harus dipaksakan” demi tercapainya kebutuhan “global” yang pada akhirnya harus masuk ke dalam kantong TBU (True But Useless) atau “benar tapi sia-sia”.

Perkembangan model perubahan sosial (social change) yang menarik perhatian banyak pihak, salah satunya adalah Positive Deviance (Penyimpangan Positif) yang menuntut keterlibatan masyarakat, menggunakan resources yang ada pada masyarakat sehingga sustainability-nya akan terjaga. Namun model Positive Deviance ini harus dimulai pada kelompok kecil yang intensitas interaksi sosial mereka cukup tinggi dan pada akhirnya ditemukan solusi dalam kelompok kecil tersebut, tidak dari luar kelompok. Sehingga model ini memberikan impact yang signifikan bagi komunitas sekitarnya.

Positive Deviance sebagai sebuah model perubahan prilaku telah dibuktikan di puluhan negara berkembang, seperti perubahan prilaku dalam mengurangi malnutrisi di Vietnam, Myanmar, Nepal/Buthan, Bolivia, Bangladesh dan lainnya; pencegahan penyebaran HIV/AIDS di dunia ketiga, pencegahan mutilasi perempuan di Egypt, konflik etnis di Afrika dan lainnya.

Kilas Perjalanan Positive Deviance

“Solutions to community problems already exist within the community”, Jerry Sternin mengadopsi sebuah pendekatan radikal untuk melakukan perubahan dengan pemikiran: perubahan yang sesungguhnya dimulai dari dalam. (David Dorsey; 2000).

Setidaknya menurut Jerry Sternin permasalahannya tidak terletak pada para pakar atau pada komunitas tersebut, penerapan model tradisional untuk melakukan perubahan sosial dan organisasional tidak akan berhasil dan belum pernah berhasil, mungkin permasalahannya terletak pada proses bagaimana perubahan itu terjadi secara holistik, namun esensinya adalah bahwa kita tidak bisa mengimpor perubahan dari luar ke dalam. Solusi yang bijak adalah kita harus mencari kegiatan-kegiatan kecil yang “menyimpang” akan tapi terbukti berhasil yang ada di komunitas dan kemudian memperkuat kegiatan-kegiatan tersebut. Awal perubahan besar akan terjadi ketika kita berhasil menemukannya.

Itu telah dibuktikan Sternin ketika bertugas membantu menyelamatkan anak-anak kelaparan dan mengalami kasus gizi buruk di Vietnam dengan menggunakan pendekatan yang telah terbukti berhasil menumbangkan pemikiran-pemikiran konvensional secara terencana, tegas, dramatis dan sukses.

Pendekatan Sternin didasarkan dari hasil kerja yang dilakukan oleh Marian Zeitlin di Universitas Tufts pada akhir 1980-an melakukan penelitian di beberapa rumah sakit di komunitas yang sedang berkembang untuk mengetahui mengapa sebahagian kecil anak-anak yang menderita kekurangan gizi (para penyimpang) mengatasi kondisi tersebut dengan lebih baik dibanding dengan sebahagian besar anak-anak penderita kekurangan gizi lainnya, apa yang membuat mereka mampu dengan cepat mengatasinya? (David Dorsey; 2000)

Dari penelitian ini muncul pemikiran untuk memperkuat penyimpangan positif sebagai sebuah teori yang diuji oleh Sternin dan istrinya Monique pada tahun 1990-an dalam situasi yang berbeda. Ide ini muncul sebagai tanggapan dari permintaan pemerintah Vietnam untuk membantu mengurangi angka malnutrisi yang luar biasa.Sternin tidak memakai solusi konvensional karena solusi itu hanya tentang: sistim sanitasi yang buruk, ketidakpedulian, pola distribusi makanan, kemiskinan, dan buruknya akses

Page 15: Reading 7 (Autosaved)

terhadap air bersih. Sementara ribuan bahkan jutaan anak tidak dapat menunggu sampai masalah tersebut bisa diatasi. Akhirnya Sternin dan istrinya memutuskan untuk memperkuat penyimpangan positif.

Dalam setiap komunitas, organiasi, atau kelompok sosial, terdapat beberapa individu yang mempunyai prilaku dan kebiasaan tersendiri yang membuat mereka mampu mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan orang di sekitarnya meskipun mereka mempunyai sumberdaya yang sama. Tanpa disadari para “penyimpang positif” ini telah menemukan jalur keberhasilan untuk seluruh kelompok apabila rahasia mereka dapat dianalisa, diisolasi, dan kemudian dibagikan kepada seluruh kelompok.

Dalam melakukan tugasnya di Vietnam, Sternin menjalani langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, jangan beranggapan kalau anda sudah memiliki solusinya; Kedua, jangan mengangggapnya sebagai sebuah pesta makan malam dengan banyak orang dan sumberdaya yang berbeda; Ketiga, biarkan mereka melakukannya sendiri; Keempat, identifikasi kebijakan konfensional; Kelima, identifikasi dan analisa para penyimpang; Keenam, biarkan para penyimpang mengadopsi penyimpangan dengan sendirinya; Ketujuh, amati hasil dan publikasikan; Kedelapan, ulangi langkah satu hingga tujuh. (David Dorsey; 2000)

Konsep Umum Positive Deviance

Dalam positive deviance, secara teoritis ada tahapan yang harus dilakukan yang disebut dengan istilah 6 “D” sebagai langkah yang harus dilalui dengan catatan yang melakukannya adalah komunitas yang bersangkutan yang didampingi oleh fasilitator. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

Define, tetapkan atau definisikan masalah dan solusinya, dengarkan apa penyebabnya (analisis situasi) menurut mereka/komunitas sehingga lahir problem statement dari komunitas. Misalnya, dalam suatu kelompok masyarakat, anak-anak keluarga miskin mengalami kekurangan gizi.

Determine, tentukan apakah ada orang-orang dari komunitas mereka yang telah menunjukkan prilaku yang diharapkan atau menyimpang (deviants) dari keluarga miskin yang lain. Misalnya, ada anak dari keluarga miskin yang gizinya baik, sementara mereka berasal dari tempat yang sama dan menggunakan sumber yang sama

Discover, cari tahu apa yang membuat “penyimpang” mampu menemukan solusi yang lebih baik dari pada tetanggganya. Misalnya, “penyimpang” memberikan makanan secara aktif kepada anaknya, memberikan makanan yang bergizi (bersumber lokal) walau tidak biasa dikonsumsi oleh orang lain, memberi makan lebih sering kepada anaknya. Pastikan “penyimpang“ tidak mendapatkan subsidi dari sanak keluarganya yang mampu, baik yang berada di perkampungan itu maupun di daerah lain, sehingga itu juga merupakan penyebab anak tersebut menjadi lebih sehat.

Design, rancang dan susun strategi yang memampukan orang lain mengakses dan mengadopsi prilaku baru tersebut. Misalnya, membuat program gizi dan peserta diwajibkan membawa food contributions berupa makanan “penyimpang” dan mempraktekkannya secara aktif. Atau ada strategi lain yang bersumber kepada kebiasaan lokal yang bisa mendukung pengadopsian prilaku “penyimpang” yang sehat tadi.

Page 16: Reading 7 (Autosaved)

Discern, amati tingkat efektivitas intervensi melalui pengawasan dan monitoring yang dilakukan secara terus menerus. Misalnya, mengukur status gizi anak-anak yang ikut program gizi dengan penimbangan dan dampaknya kepada anak-anak sepanjang waktu. Juga jangan lupa mengukur tingkat kepedulian anggota masyarakat lain terhadap peningkatan gizi anak, karena ini juga merupakan peningkatan kapasitas masyarakat terhadap kesehatan terutama gizi anak.

Disseminate, sebarluaskan kesuksesan kepada kelompok lain yang sesuai. Misalnya, bentuk sebuah “Universitas Hidup” (laboratorium sosial) sebagai tempat belajar bagi orang lain yang tertarik untuk mengadopsi prilaku mereka sendiri di tempat lain dan siap berpartisipasi dalam program tersebut. Untuk pendukung juga lebih bagus dilakukan kampanye terhadap peningkatan status gizi anak yang lebih efektif dan efisien daripada pola yang konvensional. Jadikan isu ini menjadi isu komunitas, tidak isu pribadi hanya keluarga yang terkena kasus gizi buruk saja.

Implementasi Positive Deviance dalam Konteks Perbaikan Gizi

Membuat design dan melakukan sebuah program ataupun kegiatan berbasis masyarakat dengan memanfaatkan model Positive Deviance adalah merupakan hal yang sederhana walau tidak mudah. Hal ini karena ada beberapa proses pencarian, penggalian dan penyelidikan yang menjadi awal titik kritis yang membutuhkan kehati-hatian dan keseriusan dalam penyaringannya, di samping titik kritis lain seperti pekerjaan ini harus benar-benar partisipatif dan melibatkan komunitas dari awal memulai aktivitas.

Beberapa catatan penting dirasa perlu diungkapkan dari pengalaman Totalitas melaksanakan program Inovasi Gizi Anak Nagari (INGAN) dalam menjalani proses standar implementasi perbaikan gizi dengan model Positive Deviance (PD) di Sungai Lasi Kabupaten Solok, Sumatera Barat adalah sebagai berikut:

1.    Putuskan apakah PD & Hearth memungkinkan untuk masyarakat dampingan

Dalam proses memutuskan apakah kegiatan ini memungkinkan dilakukan dalam sebuah komunitas sebaiknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya prevalensi kekurangan gizi terhadap anak di dalam komunitas yang akan diintervensi di atas 30% (gizi baik dan gizi kurang) karena kalau ternyata kurang dari jumlah tersebut dikhawatirkan solusi ini kurang efektif karena ternyata kondisi gizi anak di komunitas tersebut sudah cukup baik dan solusi lain mungkin lebih efektif dilakukan secara intensif. Di Nagari Taruang-taruang yang di data melalui penimbangan langsung ke rumah-rumah penduduk karena khawatir dari jumlah anak ternyata tidak semuanya yang datang penimbangan di posyandu, didapat 43,7% anak yang mengalami kekurangan gizi, sedangkan di Nagari Sungai Durian ditemukan 51,35% anak yang mengalami kekurangan gizi.

Setelah mendapatkan angka valid dari penimbangan langsung, sebelumnya juga dihindari kendala teknis akan mungkin menghambat proses penimbangan, seperti keakuratan timbangan yang digunakan karena itu dapat membuat pekerjaan yang akan dilakukan menjadi sia-sia. Selanjutnya dilakukan survey tentang ketersediaan sumberdaya makanan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat. Masyarakat 2 nagari di Sungai Lasi ternyata mencukupi kebutuhan makanannya sebagian dari hasil lahan garapan mereka dan sebagian lagi dibeli di pasar dan warung. Artinya, ketersediaan makanan di dua daerah tersebut dalam keadaan normal terjamin. Kondisi normal dimaksud adalah diukur dengan kemampuan daya beli dan

Page 17: Reading 7 (Autosaved)

kondisi hasil pertanian yang ada serta pendapatan masyarakat. Juga perlu diperhatikan bahwa masyarakat tidak dalam mendapatkan bantuan makanan atau yang lainnya yang berhubungan dengan akses makanan dalam jangka pendek dari pihak luar. Apabila masyarakat mendapatkan bantuan dari pihak luar, hal itu berarti masyarakat memang tidak mampu mengakses makanan secara mandiri, Makanya program ini boleh diklasifikasikan kepada masa rehabilitasi, bukan emergency karena dalam keadaan emergency program ini tidak efektif dilakukan.

Survey ini menjadi penting karena program perbaikan gizi akan dilakukan dalam waktu yang panjang oleh masyarakat secara partisipatif, bukan hanya kegiatan jangka pendek dan pastikan bahwa sumberdaya tersebut adalah berasal dari lokal dan tidak didatangkan dari luar komunitas atau dari luar daerah. Apabila sumberdaya tersebut berasal dari daerah lain, maka ketersediaan setiap waktu dan juga kemampuan masyarakat dalam mengaksesnya diragukan, apalagi dengan kondisi perekonomian di Sungai Lasi yang cukup sulit bagi mereka mendatangkan sumberdaya dari luar.

Kondisi lain yang perlu dipantau sehubungan dengan justifikasi dalam memilih program ini sebagai solusi kekurangan gizi adalah adanya faktor penghambat selain yang disebutkan di atas, seperti cacingan pada anak, angka TB yang tinggi, diare, pneumonia, dan KLB penyakit campak yang mengharuskan pihak pelaksana program menuntaskan dulu penyakit tersebut dengan intervensi medis sebelum melakukan program. Di Sungai Lasi tidak ditemukan faktor penghambat di atas, kecuali diare yang dialami oleh beberapa anak dan satu orang anak direkomendasikan harus mendapat perawatan medis secara intensif karena mangalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.

Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah meminta kesediaan dari keluarga yang mempunyai anak, khususnya yang mengalami gangguan gizi (setelah ditimbang) untuk berkomitmen mengikuti program. Hal ini tidaklah mudah, karena seorang fasilitator harus tanggap kepada perasaan dan kebutuhan keluarga, misalnya orang tua akan marah jika anaknya dikatakan kurang gizi (walaupun kenyataannya benar). Carilah bahasa yang lebih halus dan tidak vulgar, seperti, “hasil timbangan anak ibu kurang dari yang seharusnya” atau bahasa lainnya yang tidak akan membuat orang tua tersinggung. Karena ketersinggungan itu berdampak kepada keengganan untuk terlibat dalam program dan menurunkan motivasi untuk memperbaiki gizi anak.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah menumbuhkan kepedulian orang tua (tidak hanya istri, akan tetapi juga suami dang anggota keluarga lainnya) terhadap kesehatan dan gizi anak. Sang istri yang sudah mengetahui urgensi kecukupan gizi anak juga harus memotivasi sang suami dan anggota keluarga lainnya. Pasangan suami istri di Koto Tuo, Sungai Lasi, misalnya. Sang suami membawa anak mereka ke pos gizi -menggantikan istrinya- dan berdiskusi bersama keluarga lainnya.  Sang istri sangat bangga bahwa suaminya punya kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan anak mereka. Sehingga mereka rutin bergantian dan bahkan sering bersama mengikuti sesi gizi di kampung mereka.

Meminta komitmen dari pemuka masyarakat setempat untuk mendukung program ini merupakah keharusan, karena dengan dukungan dalam pertemuan-pertemuan di masyarakat, membuat motivasi masyarakat menjadi lebih tinggi untuk berpartisipasi. Seperti di Pos Gizi Koto Tuo, Wali Jorong, pemuka masyarakat lainnya bersama masyarakat dan pemuda bergotongroyong memperbaiki bangunan yang akan dijadikan sebagai pos gizi bagi anak-

Page 18: Reading 7 (Autosaved)

anak mereka, ini merupakan awal yang sangat baik dalam menjalankan program yang partisipatif.

Dari pengalaman di lapangan, faktor tempat menjadi berpengaruh bagi kelancaran program, pernah dilakukan di beberapa rumah kader atau rumah penduduk, namun peserta merasakan ada kecanggungan. Apalagi bagi yang pernah berkonflik, rata-rata mereka mencari alasan untuk tidak bisa datang dalam kegiatan pos gizi. Bangunan umum ternyata menjadi solusi yang lebih baik karena berbagai kecanggungan akan hilang karena masyarakat merasa sama mempunyai hak memanfaatkannya.

2.    Mobilisasi masyarakat dan pemilihan orang yang akan terlibat dalam program

Sosialisasikan program kepada pemuka masyarakat dan masyarakat luas dengan menggali keinginan mereka terhadap kondisi kekurangan gizi yang dialami anak-anak di daerah mereka. Dukungan dari masyarakat secara luas harus didapat dengan melakukan pendekatan-pendekatan partisipatif, sehingga target partisipasi yang diharuskan program bisa terwujud tidak hanya dari keluarga peserta program, akan tetapi juga dari masyarakat secara luas. Program pos gizi merupakan program masyarakat, sehingga menuntut partisipasi masyarakat dari awal proses program.

Sementara itu, pelaksana program yang datang dari luar berfungsi sebagai fasilitator karena mereka pada dasarnya tidak mengetahui apa yang terjadi di masyarakat, apa nilai-nilai yang hidup dan tumbuh di masyarakat, apa prilaku umum dan khusus masyarakat, dan lain sebagainya yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Satu hal yang pasti harus dilakukan oleh fasilitator program ini adalah menjamin terlaksananya program oleh masyarakat. Ini bukan kerja mudah. Malah pada awal program mobilitas fasilitator dituntut sangat tinggi, karena proses awal ini akan menentukan keberhasilan program. Pastikan semua elemen yang terkait dengan program berjalan dengan baik.

3.    Persiapkan penjajakan Positive Deviance

Seperti halnya setiap memulai sesuatu aktivitas di lapangan, fasilitator/surveyor harus mempersiapkan segala sesuatu hal yang akan berguna untuk mencapai tujuan, begitu juga halnya dengan penjajakan positive deviance ini. Di antara persiapannya adalah :

a. Persiapkan data sekunder; Biasanya data ini ada di posyandu atau polindes dan puskesmas, data sekunder ini bertujuan untuk memudahkan dalam menelusuri keluarga mana yang pantas dikunjungi atau dijajaki.

b. Persiapkan lokasi dan keluarga yang akan dijajaki; Tentukan lokasi dan keluarga mana yang akan dijajaki sehingga penjajakan akan lebih terarah kepada target. Biasanya keluarga yang akan dikunjungi lebih dari 3 (tiga) keluarga, mengingat proses penjajakan yang harus teliti dan sulitnya menemukan perilaku menyimpang dalam sebuah keluarga.

c. Atur waktu pertemuan dengan keluarga; Jangan sampai terlalu menggangu keluarga yang akan dikunjungi. Faktor ini harus diperhatikan dengan serius, walau terlihat hanya remeh-temeh, namun ini merupakan kesan pertama yang ditangkap masyarakat. Jika kesan ini tidak bagus atau dalam artian keluarga yang dikunjungi merasa sangat terganggu, maka masyarakat akan membuat pencitraan tersendiri terhadap fasilitator/surveyor.

Page 19: Reading 7 (Autosaved)

d. Persiapkan alat pendukung; Persiapkan alat-alat pendukung yang nantinya diperlukan, seperti alat tulis, data sekunder, timbangan dan lainnya yang dibutuhkan.

e. Buatkan daftar pertanyaan dan pengamatan sebagai pegangan untuk fasilitator/surveyor yang akan bertugas.

f. Bagi tenaga; Biasanya penjajakan ini dilakukan secara bersama dengan melibatkan kader di desa secara partisipatif, maka tenaga yang tersedia harus dibagi ke berbagai keluarga yang masuk ke dalam list yang akan dikunjungi. Dalam mengunjungi keluarga jangan terlalu ramai dan jangan terkesan fasilitator/surveyor menginterogasi keluarga.

g. Bekali fasilitator/surveyor dengan teknik dan etika penjajakan keluarga.

4.    Lakukan penjajakan Positive Deviance

Mulailah melakukan penjajakan dengan lebih akrab dengan keluarga dan anak, masuklah ke dalam dunia mereka, jangan bawa dunia baru kepada mereka. Usahakan semua keluarga (termasuk pengasuh) yang dijajaki hadir dalam proses penjajakan, karena mereka merupakan sumber informasi. Tanyakan dan amati beberapa hal yang menyangkut bahan makanan dan cara memasak, pola pemberian makanan terhadap anak, pola pengasuhan anak dan penerapan prilaku sehat terhadap anak dan keluarga.

Dalam proses penjajakan, seorang fasilitator/surveyor harus banyak mengamati, tidak hanya bertanya, termasuk kondisi kebersihan dan lingkungan. Sering kali penjajakan tidak bisa dilakukan hanya pada hari itu, tidak jarang fasilitator/surveyor harus kembali mengamati keluarga tersebut pada hari yang lain, misalnya mengamati cara masak keluarga, pola pemberian makanan si anak dan lain sebagainya, sehingga penjajakan akan lebih sempurna.

Konfrontasikan data yang didapat dari keluarga dengan pandangan dan hasil pengamatan tetangga mereka, karena tetangga biasanya banyak tahu sebagai orang yang berada di lingkungan mereka. Jika tetangga merasa keberatan dengan data yang fasilitator/surveyor dapatkan, maka lakukan pengamatan ulang.

5.    Rancang Proses Transformasi Pengalaman

Setelah dilakukan penyimpangan positif, lakukan pertemuan untuk merancang sesi transformasi pengalaman dalam hal (bahan makanan dan cara memasak, pola pemberian makanan terhadap anak, pola pengasuhan anak dan penerapan prilaku sehat terhadap anak dan keluarga) yang sesuai dengan hasil penjajakan positive deviance yang telah dilakukan. Proses transformasi pengalaman ini sering disebut juga sesi hearth.

Buatlah rancangan untuk jangka pendek dan jangka panjang secara bersama dan gali kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap kesehatan anak, keluarga dan lingkungan mereka. Karena pada dasarnya manusia bertahan hidup dengan komunitas, bukan individu. Setidaknya harus ada kepedulian orang lain terhadap dirinya.

6.    Lakukan Proses Transformasi Pengalaman

Setelah membuat rancangan proses transformasi pengalaman secara bersama dengan peserta lainnya, maka selanjutnya lakukan prosesi sesuai dengan rancangan tersebut. Pastikan bahwa dalam proses transformasi pengalaman juga dilakukan sesi memasak bersama dan mempraktekkan prilaku sehat pada anak.

Page 20: Reading 7 (Autosaved)

Pertama, kumpulkan kontribusi dari para peserta, biasanya adalah bahan makanan lokal, peralatan masak beserta kelengkapan, seperti kayu bakan atau minyak tanah jika memasak dengan kompor.

Kedua, terangkan dan berbagilah tentang apa yang akan dimasak (tentu masakan lokal yang pernah/sering dilakukan ibu yang berhasil) oleh ibu yang anaknya sehat. Lalu uraikan komponen yang akan dimasak dan terangkan kadar gizi yang terkandung di dalamnya.Sementara sesi ini berjalan, anak-anak perlu diperhatikan dan diasuh oleh beberapa ibu atau kakak-kakak mereka, sehingga tidak mengganggu proses transformasi dan memasak.

Ketiga, lakukan makan bersama serta memulai dengan mencuci tangan secara bersama (agar menjadi kebiasaan), lalu terapkan prilaku baik lainnya sebelum makan, seperti membaca do’a dan lainnya.

Keempat, setelah makan lakukanlah diskusi seputar gizi, pengasuhan anak, kebersihan personal dan lingkungan, sehingga mereka dapat berbagi dan mendapatkan pengetahuan serta pengalaman baru.

Kelima, sepakati menu dan topik diskusi untuk hari berikutnya secara bersama, dan tetapkan jenis kontribusi yang harus dibawa peserta, sehingga pada hari selanjutnya prosesi ini bisa dilakukan tepat waktu.

Bagilah waktu dengan cermat, dan jangan terlalu lama dalam prosesi tranformasi pengalaman, utamakanlah kwalitasnya, sehingga aktivitas sehari-hari keluarga tidak terlalu terganggu.

7.    Dukung prilaku baru

Dalam melakukan sesi transformasi pengalaman, baik memasak, makan bersama, mempraktekkan kebersihan anak serta berdiskusi, hal yang terpenting dilakukan adalah memberikan penghargaan terhadap setiap pendapat atau tanggapan walaupun remeh. Dukunglah prilaku baru bagi semua peserta yang melakukannya, berikan terus motivasi kepada mereka serta yakinkan mereka bahwa yang mereka lakukan adalah benar dan sangat baik untuk kesehatan anak mereka.

Mendukung prilaku baru ini tidak melulu dilakukan dalam sesi transformasi pengalaman ini, akan tetapi juga akan lebih efektif dan mengena jika mendukung prilaku mereka dengan mendatangi rumah mereka sambil mengamati pola dan prilaku keluarga dalam memasak, mengasuh, memberi makan anak serta kesehatan personal dan lingkungan mereka. Motivasi dan dukung terus prilaku sehat yang mereka lakukan.

8.    Ciptakan kegiatan pendukung agar kegiatan tidak menjemukan

Seperti juga halnya dengan setiap kegiatan rutin, jika tidak ada suatu kondisi yang membuat nyaman, maka semua orang akan mereasa jenuh. Begitu juga halnya dengan kegiatan ini, peserta akan lebih cepat jenuh, apalagi di tengah aktivitas keseharian para ibu-ibu peserta yang cukup sibuk. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan dalam melakukan kegiatan ini, diantaranya adalah seperti yang biasa dilakukan yaitu arisan atau julo-julo, sehingga ada sesuatu yang akan mereka harapkan atau bawa pulang di setiap sesi.

Page 21: Reading 7 (Autosaved)

Selain itu, jika memungkinkan, kelompok pos gizi juga dapat melakukan kegiatan membuat kerajinan tangan yang bisa dipasarkan atau melakukan kegiatan ekonomis lainnya. Sehingga di samping melakukan aktivitas demi kesehatan anaknya, juga mereka mendapatkan penghasilan tambahan dari kegiatan pendukung yang mereka lakukan. Akan tetapi pastikan bahwa kegiatan pendukung ini jangan sampai menjadi kegiatan utama sehingga perlahan akan mengabaikan kegiatan peningkatan status gizi terhadap anak-anak mereka, baik ketika berada di pos gizi maupun di rumah masing-masing.

9.    Ulang sesi Hearth jika diperlukan

Setelah melakukan prosesi langkah pertama sampai dengan langkah kedelapan, akan ada terasa sesuatu hal yang baru dan positif. Namun kegiatan Positive Deviance ini tidaklah seperti mengkonsumsi obat, sekali membeli, meminumnya dan setelah itu langsung sehat, akan tetapi ini adalah suatu proses sosial yang tidak bisa dilakukan hanya sekali jalan.

Banyak anak yang status gizinya meningkat setelah mengikuti satu sesi hearth ini (selama tiga bulan). Namun, ada beberapa kasus status gizi anak tidak mengalami peningkatan yang berarti selama satu sesi itu. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya ada penyakit lain sebagai penyebab.

Jika ternyata setelah mengikuti satu kali sesi hearth (3 bulan) dirasakan peningkatan status gizi anak belum seperti yang diharapkan, maka dianjurkan sekali untuk mengulangi lagi mengikuti sesi hearth berikutnya. Sebab pada dasarya anak-anak suka untuk berkumpul dan bersosialisasi antar sesama mereka, dan tidak sedikit juga anak-anak yang tetap ikut sesi ini walaupun sudah lulus atau status gizinya normal.

10.    Perluas program Positive Deviance & Hearth

Seperti halnya setiap kegiatan yang positif, banyak pihak yang ingin mencoba menirunya. Penggunaan pendekatan positive deviance dalam meningkatkan status gizi anak, secara konsep, sudah dirancang sedemikian rupa sehingga kegiatannya menjadi sederhana dan replicable atau bisa dilakukan dalam komunitas lain. Selain di Sungai Lasi Kabupaten Solok, Totalitas juga telah mereplikasi kegiatan ini di kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang.

Positive deviance adalah suatu pekerjaan yang dimulai dengan nilai lokal (local wisdom). Suatu pekerjaan yang dimulai dengan memanfaatkan nilai lokal jauh lebih efektif daripada membawa nilai-nilai baru yang dipaksakan. Bagaimanapun nilai lokal merupakan suatu komitmen dan prilaku yang sudah mengakar di dalam sebuah komunitas, dan hal itu mereka lakukan dan jaga bersama secara terus menerus.

Di lain sisi, dalam implementasi program dengan model positive deviance menuntut aktivitas partisipatif sebagai roh dari keberlangsungan dan keberlanjutan program di tingkat komunitas. Sangat banyak program atau kegiatan yang positif menjadi sia-sia disebabkan hal sederhana yang terabaikan semenjak aktivitas dimulai. Niat baik dan kegiatan baik akan menjadi kurang berarti jika tidak dilaksanakan dengan cara yang baik pula. Maka tugas selanjutnya adalah menjaga keberlanjutan program/kegiatan.

DAFTAR PUSTAKA

Page 22: Reading 7 (Autosaved)

Deanden, K., N. Quan, M. Do, D. Marsh, D. Schroeder, H. Pachon, L. Tran, Influences on Health Behavior, Child Survival ConnectionsDonna Sillan, Deviasi Positif/Hearth, Child Survival and Collaborations and Resources (CORE) GroupDorsey, David, Positive Deviance, FC, 2000Mercy Corps, Notulensi Training Penyimpangan Positif, Padang, 2003PCI/Indonesia, Training Deviasi Positif (DePo), Jakarta, 2002Positivedeviance.org, Introduction to PD, 2002, Supported by a Grant From The Ford FoundationSave The Children Experience, The Positive Deviance Hearth Nutrition Model, 2002Soelaiman, M. Munawar, Dinamika Masyarakat Transisi Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan, Pustaka Pelajar, 1998Sternin, Jerry and Choo, Robert, The Power of Positive Deviancy, Harvard Bussines Review, 2000The PD Network, Positive Deviance Pendekatan Pemecahan Masalah Masyarakat Berbasis Masyarakat, Vol 1, No 1, 2003


Recommended