+ All Categories
Home > Documents > REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Date post: 01-Nov-2021
Category:
Upload: others
View: 4 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
40
REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT (Studi Kasus: Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan) Diklat Reform Leader Academy (RLA) Angkatan II Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia 2015 Bogor, 28 Oktober 2015
Transcript
Page 1: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

REGULATORY FRAMEWORK

FOR INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT (Studi Kasus: Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan)

Diklat Reform Leader Academy (RLA) Angkatan IILembaga Administrasi Negara Republik Indonesia2015

Bogor,

28 Oktober 2015

Page 2: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena berkat rahmat dankaruniaNya kami dapat menyelesaikan Laporan Diklat RLA Angkatan II Tahun 2015.

Laporan akhir ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh peserta DiklatRLA sebagai bagian kontribusi pemikiran guna mendorong percepatan reformasi birokrasi. Sesuaidengan tema, peserta Diklat RLA Angkatan II Tahun 2015, dengan tema strategik BusinessRegulatory Framework, dengan fokus pembahasan percepatan pembangunan infrastrukturketenagalistrikan.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh Pimpinan dansegenap pejabat serta Penyelenggara Diklat RLA yang telah memberikan kesempatan kepadakami untuk mengikuti Diklat ini sampai dengan selesai dan banyak sekali ilmu pengetahuanyang telah kami dapatkan. Tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih dan penghargaankepada para fasilitator dan mentor yang telah mendampingi dan membimbing kami semuasehingga kami dapat mengikuti setiap tahap pembelajaran, Civil Sevice College (CSC) danTemasek Institute Singapore yang mendukung terlaksananya studi banding, dan juga paranarasumber/instansi sumber yang membantu mendalami kami memahami permasalahan secarakomprehensif.

Akhirnya kami mengharapkan kiranya para alumni dapat meningkatkan danmengembangkan kompetensi yang telah didapatkan selama mengikuti Diklat dan diberikankesempatan mengiplementasikan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang dimiliki gunamenyukseskan refomasi birokrasi pada masing-masing Kementerian/Lembaga pada khususnyadan umumnya untuk membangunan dan mewujudkan birokrasi nasional.

Jakarta, November 2015

Page 3: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

EXECUTIVE SUMMARY

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang

B. Permasalahan

C. Tujuan dan Kegunaan

Bab II Metodologi

Bab III Perencanaan Strategis & Pembiayaan

A. Pengantar

B. Analisis

C. Rekomendasi

Bab IV Perizinan

A. Pengantar

B. Analisis

C. Rekomendasi

Bab V Penyediaan Lahan

A. Pengantar

B. Analisis

C. Rekomendasi

Bab VI Kesimpulan & Rekomendasi

A. Kesimpulan

B. Rekomendasi

Bab VII Penutup

Lampiran-lampiran

Page 4: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

11/20/2018 4

PENDAHULUAN

Page 5: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Reformasi birokrasi merupakan kegiatan strategis dan dilakukan secara berkelanjutan.Guna menjaga kesinambungan proses reformasi birokrasi diperlukan upaya yang terencana,sungguh-sungguh dan komprehensip. Kementerian PAN & RB sebagaimana tugas dan fungsinyamemiliki tugas untuk mendorong terciptanya reformasi birokrasi pada Kementerian/Lembaga danPemerintah Daerah sebagaimana tertuang dalam grand desain dan road map reformasi birokrasi.Agar pelaksanaan reformasi birokrasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka diperlukanpemimpin refromasi birokrasi yang diwujudkan melalui penyelenggaraan Pendidikan dan PelatihanKepemimpinan Reform Leader Academy (RLA). RLA Angkatan 2 Tahun 2015 yang bertujuan untukmencetak Pimpinan yang dapat mengelola perubahan secara terpadu, sistematis dan sinergisdalam rangka mewujudkan pemerintahan kelas dunia. 24 Peserta dari lintas kementerian danPemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah telah terpilih.

Adapun tema Diklat RLA adalah Business Regulatory Framework, dengan tema khususyaitu Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, dengan pendalaman kasusPembangunan PLTU Batang yang menggunakan skema Public Private Partnership (PPP) sebagaikajian kebijakan. Berdasarkan tema tersebut, RLA telah melakukan due process, baik daripemahaman regulasi dan pendalaman permasalahan melalui pemaparan narasumber, diskusidengan institusi sumber/ narasumber, kuesioner kecil, studi pustaka, dan juga pelaksanaan studibanding dengan praktik yang dilakukan pemerintah Singapura. Proses tersebut tersebutditindaklanjuti dengan diskusi mengenai alternatif penyelesaian permasalahan dan rekomendasikebijakan. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah aspek perizinan dan pengadaan lahanyang juga menjadi permasalahan yang sering ditemui dalam proses pembangunan infrastrukturketenagalistrikan.

Page 6: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Aspek perencanaan strategis dan pembiayaan, melihat pelaksanaan Perpres No. 38 Tahun2015 sebagai perubahan dari aturan sebelumnya, Pemerintah harus melihat pelibatan peranbadan usaha dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan melalui skema PPP dalamkacamata yang lebih sederhana tetapi dengan konsepsi yang jelas. PPP adalah kontrak kerjasamaantara Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah(bukan BUMN) atas pengadaan layanan yang merupakan tanggungjawab pemerintah denganpenyedia layanan dari badan usaha dalam kurun waktu tertentu. Pihak badan usaha harusmenyediakan layanan sesuai yang diperjanjikan melalui penyediaan/pembangunan infrastrukturtertentu.

PPP sebagai mekanisme penyediaan (procurement) yang berbeda dengan mekanismepengadaan konvensional sehingga lebih merupakan tanggungjawab pengguna anggaran padatahap pelaksanaan anggaran. Unit-unit yang belum siap melakukan proses procurement secaraValue for Money (VfM) dapat dibantu oleh unit pengadaan di pusat. Kementerian Keuangan harusdapat me-lead kebijakan dan petunjuk teknis PPP, termasuk pengawasan PPP unit yang didukungoleh berbagai ahli keuangan, hukum, dan pengelolaan risiko. PPP unit juga berperan untukmembantu pihak terkait lainnya dalam penilaian usulan project PPP. Secara khusus, MenteriKeuangan harus dapat membangun berbagai skema dan juga mengharmonisasikan skema-skemayang ada sehingga dukungan pembiayaan, yang langsung atau tidak langsung, dapat mempercepatpembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.

Page 7: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Sedangkan dari aspek pengadaan lahan, kajian awal memperlihatkan bahwa pengadaanlahan merupakan permasalahan yang sangat krusial dalam pembangunan infrastrukturketenagalistrikan. UU No 2 Tahun 2012 telah mulai diterapkan. Berdasarkan pendalamanpermasalahan, Pemerintah perlu menegaskan kewenangan dan proses pembebasan lahan. Badanusaha berhak memperoleh hak guna atas lahan dalam kurun waktu tertentu. Apabila terdapatkesulitan pembebasan lahan oleh badan usaha, peran pemerintah melalui unit pembebasan lahanyang ditunjuk untuk dapat melaksanakannya. Kajian juga menyampaikan perlunya pemerintahmengkaji pembentukan Bank (lembaga pembiayaan dan pengelolaan) Tanah berbasis undang-undang untuk tujuan pembangunan infrastruktur nasional.

Selanjutnya apabila dilihat dari aspek Perijinan, Pemerintah telah menggulirkan praktikkantor layanan satu pintu (one stop service) akan tetapi efektifitas kantor layanan tersebut perludidukung dengan kejelasan konsep penempatan tugas kementerian/lembaga teknis ataupemerintah daerah di unit layanan tersebut. Layanan bersama perlu didukung dengan kordinasisecara sistem elektronik dengan unit di masing-masing kementerian/lembaga teknis ataupemerintah daerah sehingga praktik baik one stop service atau one (single) window bagi layananijin operasi usaha ketenagalistrikan sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2009 dapatterwujud. Dalam prakteknya komitmen Pemerintah untuk percepatan perizinan belum dapatberjalan dengan optimal, sehingga perlu upaya lain guna mendorong terwujudnya komitmenpemerintah dalam mendorong investasi melalui penyederhanaan perizinan yang terus berlanjut.

Page 8: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Sebagai bentuk tanggung jawab dan kontribusi , RLA angkatan 2 dengan segalaketerbatasan yang dimiliki berusaha seoptimal mungkin untuk menyusun rekomendasi sebagaibagian dari usulan langkah perbaikan dalam langkah reformasi birokrasi. Kajian ini akanmelengkapi berbagai kajian terkait pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan nasional yangtelah dan sedang dilakukan lembaga lainnya. Rekomendasi Kebijakan yang diberikan akanberpengaruh kepada berbagai ketentuan yang telah dibuat sebelumnya. Yang menjadi pointutama dari RLA ini adalah masing-masing kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerahdapat berkoordinasi dan bersinergi untuk melaksanakan dan menyelesaikan tantangan birokrasiterkait pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan nasional. Langkah ini akan menuju BirokrasiIndonesia yang antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamikaperubahan lingkungan strategis. Semangat RLA ini menjadi dasar untuk penyelesaian programprioritas nasional lainnya, sebagaimana tercantum dalam Nawacita. Terwujudnya kemandiriandan ketahanan energi guna mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan bukanlahmimpi.

Page 9: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Bab I Pendahuluan

Page 10: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

1. REVOLUSI MENTAL

“Dari birokrasi kekuasaan

menjadi birokrasi melayani”

2. STOP PEMBOROSAN

“Melakukan gerakan

Penghematan Nasional”

3. MORATORIUM

“Dilakukan secara selektif

sesuai kebutuhan”

3 PESAN

TERKAIT REFORMASI

BIROKRASI

Page 11: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

11

1. Makro : KerangkaRegulasi Nasional

UU Kementerian NegaraUU Pelayanan PublikUU Aparatur Sipil NegaraUU Administrasi PemerintahanRUU Sistem Pengawasan Internal Pemerintah

9 Program Percepatan Reformasi Birokrasi

1. Penataan Struktur Organisasi Pemerintah

2. Penataan Jumlah dan Distribusi PNS

3. Pengembangan Sistem Seleksi dan Promosi Secara

Terbuka

4. Peningkatan Profesionalisasi PNS

5. Pengembangan Sistem Pemerintahan Elektronik yang

terintegrasi

6. Peningkatan Pelayanan Publik

7. Peningkatan Integritas dan Akuntabilitas Kinerja Aparatur

8. Peningkatan Kesejahteraan Pegawai Negeri

9. Peningkatan Efisiensi Belanja Aparatur2. Mikro : Program/kegiatanpd tingkat Instansi(K/L dan Pemda)

8 Area Perubahan

Manajemen Perubahan, SDM,

Kelembagaan, TataLaksana,

Pengawasan, Akuntabilitas, Peraturan,

Yanlik

Referensi: Deputi SDM Aparatur – KemenPAN&RB

Page 12: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Organisasi

•Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran

Tatalaksana

• Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai prinsip-prinsip good governance

Peraturan Perundang-undangan

•Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif

Sumber Daya Manusia Aparatur

• SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera

Pengawasan

•Meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bebas KKN

Akuntabilitas

•Meningkatnya kapasitas dan kapabilitas kinerja birokrasi

Pelayanan publik

•Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat

Mindset dan cultural Set Aparatur

•Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi

8 AREA PERUBAHAN RB

Page 13: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Kedaulatan energy merupakan salah satu komponen pentingdalam mewujudkan Nawa Cita, yaitu dalam hal meningkatkanproduktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sertamewujudkan kemandirian ekonomi.

Rasio Elektrifikasi (RE) Nasional adalah Salah satu faktor yangberkontribusi terhadap kedaulatan energy.

Pada akhir tahun 2012, rasio tersebut masih 75,56 %, dan targetsasaran 2015-2019 adalah 100% (dibawah negara Singapura,Brunei, Malaysia , Thailand, Vietnam, Filipina dan Laos).

Penyebab belum tercapainya target RE salah satunya adalahterbatasnya infrastruktur energi listrik baik dari segi jumlah,kualitas dan keandalannya.

Kurun waktu 2015-2019, dalam rangka memenuhi kebutuhanenergy nasional, Pemerintah merencanakan penambahankapasitas pembangkit listrik 35.519 MW.

Page 14: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

The Investment Coordinating Board of the Republic of Indonesia

14

Peluang Investasi: RPJMN 2015-2019

Pembangkit ListrikPeluang investasi senilai Rp 435 triliun ditawarkan ke sektor swasta.

Target Pembangunan2015-2019:

35 GW

Sektor SwastaPembangkit: 18.2 GW

Transmisi: 360 km

InvestasiRp 435 trilliun

PT PLNPembangkit: 16.8 GW

Transmisi: 50,000 kmSaluran distribusi: 150,000 km

InvestasiRp 545 triliun

56%

3%

26%

9%6%

Steam

Geothermal

Natural Gas and Steam

Natural Gas/Natural Gas Machine

Hydro/Minihydro

Komposisi Energi

Nasional

2015-2019

Page 15: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

URGENSI REFORMASI REGULASI DI INDONESIA

Page 16: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

KONDISI REGULASI INDONESIA

Jumlah Perda Sejak Era Reformasi hingga saat ini

Sumber : diolah dari situs Kemendagri, per 8 Sept 2015

Page 17: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

STRATEGI NASIONAL

Page 18: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

PETA JALAN (ROAD MAP) STRATEGI NASIONAL

Adapun Peta Jalan merupakan tolok ukur bagi langkah-langkah pelaksanaan

Strategi Nasional yang langsung berdampak bagi pencapaian sasaran

pembangunan nasional. Indikator yang digunakan dalam peta jalan Strategi

Nasional Reformasi Regulasi tersebut didorong untuk membenahi regulatory

quality (kualitas regulasi) dan juga burden of government regulation (beban

regulasi dari pemerintah kepada masyarakat).

1. Beban regulasi dari pemerintah (Burden of government regulations )

2. Besarnya efek perpajakan (Extent and effect of taxation)

3. Kelaziman/kelayakan terkait hambatan perdagangan (Prevalence of Trade Barriers )

4. Intensitas Kompetisi antar Daerah (Intensity of Local Competition )

5. Kemudahan untuk memulai bisnis/usaha (Ease of starting a new business)

6. Efektivitas kebijakan anti-trust (Effectiveness of anti trust policy)

7. Pengetatan regulasi berbasis lingkungan (Stringency of environmental regulations)

Indikator nasional tersebut merupakan penyetaraan dari kedua indikator (regulatory

quality dan burden of government regulation), yang terdiri dari sub-indikator

pengukuran sebagai berikut:

Page 19: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …
Page 20: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Kedaulatan energy merupakan salah satu komponen penting dalammewujudkan Nawa Cita, yaitu dalam hal meningkatkan produktivitas rakyatdan daya saing di pasar internasional, serta mewujudkan kemandirianekonomi. Rasio Elektrifikasi (RE) Nasional adalah Salah satu faktor yangberkontribusi terhadap kedaulatan energy.

Pada akhir tahun 2012, rasio tersebut masih 75,56 %, dan targetsasaran 2015-2019 adalah 100% (dibawah negara Singapura, Brunei, Malaysia ,Thailand, Vietnam, Filipina dan Laos). Penyebab belum tercapainya target REsalah satunya adalah terbatasnya infrastruktur energi listrik baik dari segijumlah, kualitas dan keandalannya. Kurun waktu 2015-2019, dalam rangkamemenuhi kebutuhan energy nasional, Pemerintah merencanakanpenambahan kapasitas pembangkit listrik 35.519 MW.

Program percepatan dan pemenuhan pembangkit listrik nasional dapatberjalan apabila terdapat sinergitas antara perencanaan strategis danpembiayaan, penyediaan lahan dan percepatan proses perizinan. Di beberapatitik dalam kenyataannya ternyata masih ditemui berbagai permasalahan.

Page 21: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Aspek perencanaan strategis dan pembiayaan, masih menujukkanbahwa skema PPP/KPBU belum berhasil sebagaimana yang diharapkan danpemerintah telah menerbitkan berbagai ketentuan tetapi belum dapatmemberikan solusi untuk percepatan pembangunan infrastruktur melaluidukungan perencanaan dan pembiayaan yang baik.

Dari aspek perizinan, pemerintah telah membuat langkah-langkahkebijakan guna mempercepat proses penyelesaian perizinan. Namun langkahkebijakan tersebut belum dapat sepenuhnya dapat memberikan hasil sesuaidengan yang diharapkan, sehingga permasalahan waktu peizinan, tumpangtindihnya perizinan, kewenangan kelembagaan termasuk pengelolaan SDM-nya perlu mendapatkan perhatian secara komprehentif.

Sedangkan dari aspek pengadaan lahan, memperlihatkan bahwapengadaan lahan merupakan masalahan yang sangat krusial dalampembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. UU No 2 Tahun 2012 telah mulaiditerapkan. Namun, kurangnya ketegasan dan peran Pemerintah dalam prosespembebasan lahan pada akhirnya dapat menghambat tujuan pembangunaninfrastruktur nasional.

Page 22: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …
Page 23: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan ReformasiBirokrasi Nomor 21 Tahun 2013 tentang Diklat Kepemimpinan ReformasiBirokrasi/RLA dan ditindaklanjuti oleh Peraturan Kepala Lembaga AdministrasiNegara Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan DiklatKepemimpinan Reformasi Birokrasi/RLA dilaksanakan dalam rangka menjawabkebutuhan kepemimpinan reformasi birokrasi guna membentuk reformers, agenperubahan pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

Dalam pelaksanaan RLA ini sesuai dengan tema dan isu-isu nasional yangberkembang diharapkan dapat melakukan terobosan atau inovasi dalam bidangprogram dan pelayanan publik yang hasilnya diharapkan dapat langsung dirasakanoleh masyarakat. Oleh sebab itu, maka penulisan laporan ini bertujuan untukmenyusun dan mengusulkan proyek perubahan, khususnya terkait dengan temaRLA Angkatan II Tahun 2015 yaitu “Bussiness Regulatory Framework ForInfrastructure Development”, dengan fokus pembahasan “PercepatanPembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan” melalui pendalaman kasusPembangunan PLTU Batang Jawa Tengah.

Tujuan tersebut tentunya sejalan dengan kebijakan pemerintah dalammewujudkan kedaulatan energy melalui pembangunan pembangkit listrik 35.000MW guna memenuhi komposisi kebutuhan energy secara nasional.

Page 24: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Laporan akhir RLA Angkatan II Tahun 2015 diharapkan dapatdigunakan sebagai bahan dan masukan, antara lain :

a. Bagi individu peserta RLA dapat meningkatkan kompetensi danperan dalam memimpin pelaksanaan reformasi birokrasi sebagaimotor penggerak perubahan serta mampu bersinergi denganlingkungan internalnya dan lintas instansional.

b. Sebagai bahan masukan bagi Kementerian PANRB dan LembagaAdministrasi Negara guna secara berkelanjutan dapatmengembangkan strategi nasional percepatan terwujudnyareformasi birokrasi nasional.

c. Memberikan masukan dan mendorong pencapaian programprioritas pemerintah, khususnya terkait dengan kebijakanpercepatan pembangunan inftrastruktur ketenagalistrikan secaranasional.

Page 25: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …
Page 26: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

1 • BKPM/PTSP Pusat dan Daerah

2 • DJK KESDM

3 • Deputi Hukum dan PUU, Kemsetneg

4 • BAPPENAS DAN KEMENPEREKONOMIAN

5 • PT. BPI DAN PT. PLN

6 • BPN Pusat dan BPN Jateng

7 • PEMPROV. JAWA TENGAH

8 • PTUN Semarang dan Mahkamah Agung

Page 27: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

11/20/2018 27

Bab IIIPerencanaan Strategis dan Pembiayaan

Page 28: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Berdasarkan penjelasan di Bab sebelumnya disampaikan bahwa terdapat beberapapermasalahan dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Pada Bab ini akan melihatlebih dalam business regulatory framework untuk pembangunan infrastrukturketenagalistrikan terutama dari sisi perencanaan strategis dan pembiayaan.

Dari sisi ketentuan pengelolaan ketenagalistrikan sendiri telah dipayungi denganditerbitkannya UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Untuk mendorong peranswasta dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, secara khusus Pemerintah telahmenerbitkan Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha(KPBU) dalam pengadaan infrastruktur. Peraturan Pemerintah ini memperbaiki ketentuanyang telah disusun sebelumnya (Figur 3.1). Perpres baru diterbitkan dengan mengakomodirbeberapa perubahan terkait perluasan jenis infrastruktur, peran institusi internasional dalammenyiapkan project, pembiayaan secara hybrid, payung availability payment, sertapembentukan simpul KPBU di PJPK.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 67 TAHUN 2005

TENTANG

KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA

DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. Bahwa ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan merupakan kebutuhan mendesak untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, serta untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam pergaulan global;

b. bahwa untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, dipandang perlu mengambil langkah-langkah yang komprehensif guna

menciptakan iklim investasi untuk mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat;

c. bahwa untuk mendorong dan meningkatkan kerjasama antara

pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dan jasa pelayanan terkait, perlu pengaturan guna melindungi dan

mengamankan kepentingan konsumen, masyarakat, dan badan usaha secara adil;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Presiden

tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Keputusan Presiden...

Perpres No. 67/20052005Perpres No. 13/2010

2010

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 56 TAHUN 2011

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 67 TAHUN 2005

TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA

DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur melalui

kerjasama pemerintah dengan badan usaha untuk mendorong

perluasan pembangunan nasional, dipandang perlu mengubah

Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama

Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 13

Tahun 2010;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang

Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan

Infrastruktur;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);

3. Peraturan …

Perpres No. 13/20112011

Perpres No. 66/20132013

(fig.3.1)

Page 29: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Berbagai perubahan tersebut memunculkan pertanyaan apakah skema KPBU telah dapatberjalan sebagaimana diharapkan untuk mendorong pembangunan infrastrukturketenagalistrikan dan apakah Perpres terbaru telah dapat mengakomodir hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya selama ini.

Berdasarkan pertanyaan besar tadi, pada Bab ini akan dibahas beberapa isu terkait (1)konsep dari PPP, (2) keterkaitan antara strategi, perencanaan dan pembiayaan untuk PPPproject, (3) peran dari masing-masing lembaga dalam pengelolaan PPP project, dan (4)secara khusus, peran Kementerian Keuangan dalam mendukung skema PPP danharmonisasi dengan skema lainnya untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan

Page 30: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Apabila melihat guideline PPP Singapore, petunjuk diawali dengan pertanyaan apa itu PPP (whatis PPP?). Tentunya ini dimaknai perlunya pemahaman secara jelas konsepsi dari PPP itu sendiri.Dalam Perpres 38/2015 dinyatakan bahwa Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha adalahkerjasama antara pemerintah (menteri/kepala lembaga/kepala daerah atau BUMN/ BUMD apabiladiatur dalam peraturan perundang-undangan sektoral) dengan Badan Usaha dalam penyediaaninfrastruktur untuk kepentingan umum. Dari definisi terlihat secara jelas siapa yang melakukankerjasama dan apa yang dikerjasamakan. Apakah perwakilan pemerintah, sebagaimanadisebutkan tadi, telah secara efektif dapat menerapkan skema PPP dalam pembangunanketenagalistrikan tentunya perlu dilakukan kajian lebih dalam.

Permasalahan

Berdasarkan due process pendalaman yang dilakukan, skema PPP belum dapat dikatakanberhasil diterapkan oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, BUMN (PT. PLN)masih mempunyai keraguan antara berperan selaku pemerintah atau selaku badan usaha,dan ketidakjelasan antara kerjasama pembangunan infrastruktur dan kerjasama penyediaanlayanan yang memerlukan pembangunan infrastruktur.

Page 31: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Simpulan

Berdasarkan permasalahan dan kemungkinan potensi permasalahan ke depan dalam memahamikonsepsi PPP dan praktiknya, skema PPP akan lebih mudah dilaksanakan apabila langsung dilakukanantara Pemerintah dengan Badan Usaha (Figure 3.3), bukan dilakukan oleh BUMN/BUMD denganBadan Usaha. Kemudian perlu penegasan, bahwa yang dikerjasamakan adalah penyediaan(kuantitas, kualitas, dan waktu) layanan (misal: listrik, air, pengolahan sampah) dalam jangkapanjang. Badan Usaha bertanggungjawab untuk melakukan penyediaan layanan tersebut dibarengidengan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan.

Kejelasan konsep ini memudahkan pemahaman pentingnya penyediaan anggaran Pemerintahsecara jangka panjang (multi years) untuk kewajiban pembayaran atas layanan tersebut

Pemahaman atas konsep dasar dari PPP ini akan berimplikasi terhadap beberapa ketentuan yangtelah diterbitkan (Figure 3.2).

Analisis

(1) Apabila melihat definisi dari beberapa definisi dan praktik yang dilakukan di Negara Singapuradan juga beberapa negara lainnya, kontrak kerjasama dilakukan oleh entitas pemerintah, yangdalam hal ini dilakukan kementerian/lembaga atau pemerintah daerah (bukan BUMN), denganpihak swasta/badan usaha. Badan usaha sekaligus merasa terjamin ketika melakukan kerjasamadengan pemerintah.

(2) Kemudian, yang dikerjasamakan adalah pengadaan layanan kepada pemerintah, yang biasanyadilakukan dalam jangka panjang, dan pihak swasta harus melakukan investasi atas infrastrukturyang dibutuhkan. Jadi teknologi layanan diberikan kepada pihak badan usaha untuk menyediakandengan harapan dapat disediakan tepat waktu dan sesuai kuantitas dan kualitas yang ditetapkan.

Page 32: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

(fig.3.2)

Penyederhanaan konsepsi

PPP (robust concept &

simplification)

Perpres 38 Tahun

2015

Structuring a PPP

deal

PPP Procurement

process

Intro to PPP

Managing a PPP

relationship

PPP in SingaporeUsulan Perubahan

Regulasi

• What is PPP?

• Typical PPP delivery

models

• Why PPP?

• Roles of Public & Private

sectors in PPP project

• Characteristics of a PPP deal

• Competencies needed to

structure PPP deals

• Structuring win-win PPP deals

• The PPP payment mechanism

• Intro to PPP procurement

process

• Procedures for identifying

the right PPP provider

• Contractual issues in PPP

• Working in partnership with

the PPP provider

• Managing a successful

relationship with the PPP

provider

• PPP sebagai hubungan

kerjasama antara

Pemerintah (1 unit

pemerintahan) dengan

Swasta (1 unit badan usaha

yang dibentuk para investor)

• PPP sebagai hubungan

kerjasama untuk

menyediakan layanan (yang

memerlukan investasi

infrastruktur) dalam jangka

panjang

• PPP sebagai hubungan

kerjasama dimana

pemerintah melakukan

pembayaran atas layanan

yang disediakan sesuai

kualitas layanan yang

disetujui

• PPP sebagai hubungan

kerjasama dimana

perubahan kerjasama

disepakati oleh kedua belah

pihak. Termasuk perubahan

layanan dan harga

1

• Ps 5 (3) KPBU dapat merupakan

penyediaan infrastruktur yang

merupakan gabungan dari 2

atau lebih jenis infrastruktur

• Ps 7 (1) Dlm hal KPBU

merupakan gab dari 2 atau lebih

jenis infrastruktur, menteri/kep

lemb/ kep daerah yg memiliki

kewenangan terhadap sektor

infrastruktur yg dikerjasamakan

berdasarkan peraturan

perundang-undangan bertindak

bersama-sama sbg PJPK

• Ps 8 BUMN dan/atau BUMD

dapat bertindak sbg PJPK

sepanjang diatur dlm peraturan

perundang-undangan sektor

• KPBU sebagai hubungan

kerjasama antara pemerintah

dengan badan usaha untuk

menyediakan layanan dlm

jangka panjang (multiyear),

khususnya layanan yg

memerlukan pembangunan

infrastruktur baru

• KPBU menerapkan mekanisme

pembayaran layanan sesuai

kinerja (performance based

payment mechanism).

Kementerian/lemb/ pemda

bertanggungjawab untuk menilai

secara terus-menerus layanan

sesuai standar yang telah

ditetapkan/ disetujui.

• Apabila BU pelaksana gagal

memberikan layanan,

kementerian/lemb / pemda

dapat memberikan pinalti,

mengambl alih, & memutus

kontrak dgn kompensasi

• Ps 13 (3) Dlm hal BU Pelaksana

tlh mengoperasikan infrastruktur

yg dikerjasamakan sesuai dgn

persyaratan yg ditentukan dlm

perjanjian KPBU, menteri/ kep

lemb/ kep daerah melakukan

pembayaran ketersediaan

layanan kpd BU Pelaksana

melalui angg kem/ lemb/ pemda

• KPBU memberikan BU

pelaksana ruang untuk

melakukan inovasi (teknologi

baru, rekayasa ulang bisnis

proses) selama jangka waktu

kontrak

Page 33: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

• Eksisting • Rekomendasi

BUMN BU as SPV

Lender

Investor

K/LKemenkeu

Penerima

layanan

PII as BUPIBUMN

BU as SPV

Investor

Lender

K/LKemenkeu

Penerima

layanan

Perjanjian

atas layanan

Note:

• Perjanjian KPS dilakukan antara BUMN (entitas badan usaha)

dengan Badan Usaha tertentu sebagai special purpose vehicle

yang dibangun oleh para investor tidak mereflekasikan konsep

partnership antara pemerintah (public) dengan swasta (private)

tetapi lebih kepada konsep principal – agent sehingga memiliki

implikasi yang berbeda

• Investor dan lender akan melihat kemampuan (keuangan )

BUMN sehingga diperlukan penjaminan dari pemerintah untuk

perjanjian layanan dalam jangka panjang

Perjanjian

atas layanan

Public and Private

Partnership (?) Public and Private

Partnership

B2B with Government Guarantee

Note:

• Perjanjian KPS dilakukan antara Pemerintah (diwakili oleh

Kementerian yang bertanggungjawab atas penyedianaan layanan)

dengan Badan Usaha tertentu sebagai special purpose vehicle yang

dibangun oleh para investor sehingga dapat mereflekasikan konsep

partnership antara pemerintah (public) dengan swasta (private).

• Investor dan lender akan melihat kemampuan (keuangan )

Pemerintah sehingga penjaminan (terpisah) dari pemerintah untuk

perjanjian layanan dalam jangka panjang tidak diperlukan

(fig.3.3)

Page 34: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Berdasarkan beberapa literatur dan juga praktik di Singapura, kekhususan dari PPP adalah tahapan

pengadaannya (procurement) dimana berbeda dengan pengadaan konvensional yang merupakan

proses pengadaan aset/infrastruktur, sedangkan pengadaan PPP lebih kepada pengadaan jasa

layanan dalam jangka panjang. Di Indonesia, sesuai Perpres No.38/2015 dan tentunya UU No.30/2009

terdapat beberapa dokumen perencanaan yang akan menjadi acuan pelaksanaan, yaitu Rencana

Umum Ketenagalistrikan Nasional, Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah, Rencana Umum

Pengadaan Tenaga Listrik, Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah, Orange book,

Rencana Kerja Pemerintah, dan Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Mempertimbangkan

banyaknya dokumen perencanaan yang terkait, menimbulkan pertanyaan apakah semua telah

terkoneksi dan terkordinasi dengan baik.

Permasalahan

(1) Unit pengusul/calon PJPK belum dapat merencanakan dengan baik proyek-proyek yang perlu didukung

dengan skema PPP,

(2) Masih banyaknya perubahan kebijakan atas keputusan penetapan pengadaan project melalui PPP, dan

(3) Proses pengadaan PPP yang belum spesifik mengedepankan value for money (VfM) melalui analisis

Public Sector Comparator (PSC)

Page 35: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Analisis

(1) Tidak ada forum sinkronisasi antar perencanaan strategis antara Kementerian ESDM, Bappenas,

Kementerian BUMN, PT.PLN dan Pemda dalam merencanakan strategi pengadaan tenaga listrik

nasional. Hal ini juga berpengaruh kepada pembahasan anggarannya dengan DPR.

(2) Keputusan pengadaan melalui skema PPP tidak ditetapkan lebih awal pada tahap perencanaan

mempengaruhi kesiapan pembiayaan, dan

(3) PPP belum ditekankan kepada pendekatan pengadaan untuk value for money sehingga

mempengaruhi keyakinan atas putusan dan dukungan pembiayaan.

Simpulan

Berdasarkan permasalahan dan kemungkinan potensi permasalahan ke depan dalam memahami

pelaksanaan pengadaan PPP, (1) perencanaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan nasional agar

terkordinasikan dengan baik oleh Bappenas dan mengurangi berbagai dokumen perencanaan di Bappenas

(orange book), (2) menekankan peran kementerian Negara/lembaga/pemda selaku pengguna anggaran

(PA) dan bertanggungjawab untuk tahapan pengadaan (procurement) atas kewajiban layanannnya, (3)

Penetapan project dengan Skema PPP ditetapkan diawal perencanaan oleh Bappenas dan dibantu oleh

unit penilai yang kompeten (Figure 3.4)

Usulan ini membawa skema PPP sebagai tanggung jawab dari masing-masing Menteri/Pimpinan

Lembaga/Kepala daerah. Untuk unit yang belum mampu melakukan pengadaan secara mandiri harus

dapat didukung oleh unit pengadaan di pusat.

Pemahaman atas pelaksanaan dan fleskibilitas PPP ini akan berimplikasi terhadap beberapa ketentuan

yang telah diterbitkan (Figure 3.5).

Page 36: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Kepastian kebijakan dan

fleksibilitas (accountability

& flexibility)

Perpres 38 Tahun

2015

Structuring a PPP

deal

PPP Procurement

process

Intro to PPP

Managing a PPP

relationship

PPP in SingaporeUsulan Perubahan

Regulasi

• What is PPP?

• Typical PPP delivery

models

• Why PPP?

• Roles of Public & Private

sectors in PPP project

• Characteristics of a PPP deal

• Competencies needed to

structure PPP deals

• Structuring win-win PPP deals

• The PPP payment mechanism

• Intro to PPP procurement

process

• Procedures for identifying

the right PPP provider

• Contractual issues in PPP

• Working in partnership with

the PPP provider

• Managing a successful

relationship with the PPP

provider

• Alur proses, waktu dan

kewenangan atas link

antara strategi,

perencanaan, dan

pembiayaan

• Fokus atas pengadaan

oleh Pengelola

Anggaran (PA)

• Dukungan dari unit lain

untuk strategi,

perencanaan, dan

pembiayaan

2

• Ps 21 (1) Menteri/kep

lemb/kep daerah

menidentifikasi

penyediaan infrastruktur

yg akan dikerjasamakan

dgn badan usaha

• Ps 25 (2) Penetapan

daftar rencana KPBU

dilakukan berdasarkan

tingkat kesiapan oleh

menteri yg

menyelenggarakan

urusan pemerintah di

bidang perencanaan

pemb nasional

• Ps 26 Menteri/kep

lemb/kep

daerah/BUMN/BUMD

menganggarkan dana

perencanaan,

penyiapan, transaksi

dan manajemen KPBU

• Rencana KPBU agar

sesuai dengan strategi,

perencanaan, dan

penganggaran di

kementerian/ lemb/ pemda

dlm jangka panjang

• Pengadaan layanan

melakui KPBU memberikan

nilai/ manfaat uang yang

lebih baik (better value for

money)

• Rencana KPBU yang

diusulkan diminati oleh

pihak swasta untuk ikut

berkompetisi dlm proses

pengadaannya

• Skema KPBU merupakan

pengadaan jasa dan bukan

merupakan pengadaan

asset sehingga kem/ lemb/

pemda fokus kepada

spesifikasi keluaran (output)

dibandingkan spesifikasi

masukan (input)

(fig.3.4)

Page 37: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Eksisting Potensi Rekomendasi

Blue book

Visi & Misi

RPJM RKP

Renstra KL Renja KL RKA & DIPAProcurement

(Conventional)

Orange bookRPJM RKP

Renstra KL Renja KL RKA & DIPAProcurement

(VfM – PPP)

Renstra BUMN Renja BUMNRKA & Alokasi

Ang.Procurement

Note:

• Kegiatan/project dengan Skema KPS (PPP) disusun dengan

alur pembahasan dokumen yang berbeda

• K/L tidak akan (beresiko) melakukan eksekusi (procurement)

apabila ada perbedaan antara visi & misi, rencana

pembangunan nasional jangka menengah, rencana kerja

pemerintah, rencana kerja dan anggaran, dan DIPA yang telah

disetujui. Setiap perubahan melalui proses tertentu dan

kewenangan/otoritas tertentu.

Planning

book

Visi & Misi

RPJM RKP

Renstra KL Renja KL RKA & DIPA

Procurement

(Conventional)

Procurement

(VfM – PPP)

Link antara Strategi, Planning, Pembiayaan, dan Pengadaan

Fleksibiltas kurang apabila ada perubahan kebijakan

Linking Strategy, Planning, and Financing

with Flexibility in execution

Note:

• Tetap mengedepankan keterkaitan antara strategi nasional,

perencanaan nasional dan kementerian, serta pembiayaannya.

• Tidak membedakan proses dan tetap memperhatikan

kewenanangan/otoritas persetujuan/perubahan.

• Menempatkan skema PPP sebagai flekasibilitas pengguna

anggaran (KL) untuk mengadakan pelayanan secara value for

money dan meringankan beban anggaran nasional.

1

2

3

(fig.3.5)

Page 38: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Berdasarkan beberapa literatur dan juga praktik di Singapura, menyatakan bahwa kompetensi

berbagai lembaga sangat penting (competensies needed to structure PPP deals) dan pentingnya

satu kementerian me-lead pengelolaan PPP (di singapur, PPP di lead oleh Kementerian

Keuangan). Berdasarkan pengamatan, berbagai instansi terlibat dalam proses PPP di Indonesia

seperti Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur Indonesia, Bappenas (Direktorat

Kerjasama Pemerintah dan Swasta), Kementerian Keuangan (Direktorat Pengelolaan Dukungan

Pemerintah & Pembiayaan Infrastruktur), Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK), Badan

Usaha Penjamin Infrastruktur, dan Simpul KPBU. Pertanyaannya apakah berbagai instansi/unit

tersebut telah memahami peran dan tanggungjawabnya untuk kelancaran pelaksanaan PPP.

Permasalahan

(1) Komite menjadi kurang efektif untuk mengambil keputusan/lama,

(2) Bappenas dan Kementerian Keuangan belum didukung unit penilai terkait aspek teknis,keuangan dan hukum, dan

(3) Kementerian/lembaga dan Pemerintah belum dapat mempersiapkan project PPP yang baik

Page 39: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Analisis

(1) Kemenko sebagai unit koordinasi belum dapat melaksanakan peran untuk lead skema PPP. Keputusan

dikembalikan ke unit terkait sehingga keputusan atas pelaksanaan menjadi lambat. Perlu peran

Kementerian Keuangan untuk me-lead kebijakan/pelaksanaan PPP.

(2) Keputusan yang diambil belum didukung oleh profesional yang kapabel sehingga memperlambat keputusan

kebijakan PPP. Perlu peran PPP unit sebagai kelompok kerja professional untuk mendukung stakeholders

PPP,

(3) PJPK belum dapat mempersiapkan project PPP dengan matang dikarenakan Simpul KPBU tidak dibentuk

dari tahapan pengusulan/perencanaan sehingga tidak terkawal dengan baik

Simpulan

Berdasarkan permasalahan dan kemungkinan potensi permasalahan ke depan dalam memahami peran antar

lembaga dalam pelaksanaan PPP:

(1) Kementerian Keuangan harus bertanggungjawab untuk me-lead kebijakan PPP,

(2) PPP unit perlu dibentuk dan diisi oleh professional yan paham aspek keuangan, aspek hukum, dan aspek

teknis/risiko. PPP unit bertanggungjawab kepada Kementerian Keuangan. Semua lembaga dapat

memanfaatkan ekspertise dari unit ini dalam membantu pengambilan keputusan,

(3) PJPK harus terlibat aktif sejak dini melalui simpul KPBU yang dibentuk (Figure 3.6)

Usulan ini akan mempengaruhi ketidakjelasan peran PPP unit selama ini.

Pemahaman atas peran dan tanggungjawab dari para pemangku kepentingan ini akan berimplikasi terhadap

beberapa ketentuan yang telah diterbitkan (Figure 3.7).

Page 40: REGULATORY FRAMEWORK FOR INFRASTRUCTURE …

Kejelasan peran antar

pemangku kepentingan

(clarity of roles &

responsibility)

Perpres 38 Tahun 2015

Structuring a PPP deal

PPP Procurement

process

Intro to PPP

Managing a PPP

relationship

PPP in SingaporeUsulan Perubahan

Regulasi

• What is PPP?

• Typical PPP delivery models

• Why PPP?

• Roles of Public & Private

sectors in PPP project

• Characteristics of a PPP deal

• Competencies needed to

structure PPP deals

• Structuring win-win PPP deals

• The PPP payment mechanism

• Intro to PPP procurement

process

• Procedures for identifying the

right PPP provider

• Contractual issues in PPP

• Working in partnership with

the PPP provider

• Managing a successful

relationship with the PPP

provider

• Kejelasan peran Pengguna

Anggaran (PA) dalam

kerjasama atau

Penanggungjawab

Perjanjian Kerjasama

(PJPK)

• Kejelasan peran dari

Kemenko, Bappenas, dan

Kemenkeu untuk

menetapkan kebijakan

• Penguatan peran PPP unit

untuk melakukan penilaian

usulan PPP project,

negosiasi, dan monev

pelaksanaan

3

• Ps 14 (1) Menteri/kep lemb/

kep daerah memprakarsai

penyediaan infrastruktur yg

akan dikerjasamakan dgn BU

melalui skema KPBU

• Ps 15 (1) Menteri/kep lemb/

kep daerah dpt memberikan

dukungan pemerintah

terhadap KPBU sesuai dgn

lingkup kegiatan KPBU

• Ps 20 (1) Menteri/Kep

lemb/Kep daerah

merencanakan kegiatan

infrastruktur yg akan

dikerjasamakan dgn BU

• Ps 21 (1) Menteri/Kep

lemb/Kep daerah

mengidentifikasi penyediaan

infrastruktur yg akan

dikerjasamakan dgn BU

• Ps 44 (1) Menteri/kep

lemb/kep daerah menunjuk

unit kerja di lingkungan

kementerian/lemb/ daerah

sebagai simpul KPBU

• Menteri/kep lemb/kep daerah

dapat menunjuk konsultan

(teknis, hukum, dan keuangan)

utk membantu mempersiapkan

proses pengadaan dan pemilihan

BU Pelaksana

• Pemerintah membangun

kompetensi yang memadai

kepada pihak-pihak yang terlibat

dalam KPBU

• KPBU antara kementerian/ lemb/

pemda dengan BU pelaksana

didukung dengan hubungan

formal aspek pengambilan

keputusan strategis, aspek

layanan, dan aspek kontrak

• Simpul KPBU dibentuk kem/

lemb/ pemda semenjak proses

persiapan

• Simpul KPBU bekerjasama

dengan PPP unit

• PPP unit dikelola oleh para ahli

untuk membantu kementerian/

lemb/pemda dlm mendesain dan

mengelola KPBU

(fig.3.6)


Recommended