POPULASI
Volume 19 No. 1,Juni 2009 Halaman:57 - 72
RESOLUSI KONFLIK ETNIK SAMAWA DAN ETNIK BALIDl SUMBAWA
Syaifuddin Iskandar
Abstract
This study aims to understand the background of conflict between Samawaethnic and Balinese that still undercover for more than 25 years. The objective ofthis study are to explore the background of Balinese movement to Sumbawa, toidentify the underlying causes of conflict between Samawa ethnic and Balineseand to address the conflict resolution that had been applied. The study appliedqualitative approach. This study reported that the motivation of Balinese movedto Sumbawa were to increased their standard of live. Domination of the Balinesein social, economic, political and cultural aspects became the underlying factorsof conflict between BalineseandSamawanes. Communitybasedconflict resolutionwere applied through involving the community leaders from both side incoordination process and increased cultural communication for the shake ofharmony and tolerance among society in Kabupaten Sumbawa.
Keywords: factors, resolution, conflict, ethnic
Pendahuluan
Masyarakat Sumbawa termasuk kategorimasyarakat majemuk yang dihuni oleh berbagaimacam etnik, termasuk warga etnik Bali.Kehadiran etnik Bali di Kabupaten Sumbawadilatarbelakangi beberapa faktor, di antaranya
adalah migrasi, transmigrasi, dan terdesakkondisi ekonomi dan geografis di daerah asal.Ada pulayang dengan motivasi ingin merantau,meningkatkan taraf hidup, mencari kerja,menjadi petani, peternak, pedagang/bisnis,bahkan mutasi jabatan pegawai dan pejabat.
Dalam kurun waktu 10 tahun (1970-1980)etnik Bali berhasil unggul dalam mengaksessumber-sumber ekonomi dan jabatan-jabatanpenting di birokrasi (pemerintahan/swasta/BUMN). Lambat laun keberadaan etnik Balimembawa warna tersendiri dalam kehidupanmasyarakat Sumbawa. Warga etnik Bali mulai
menampilkanperilakudan aktivitas adat/budayaBali yang dianggap mencolok oleh warga etnikSamawa. Semua kondisi tersebut akhirnyamenjadi penyebab konflik antara etnik Samawadengan etnik Bali yang puncaknya terjadi pada17 November 1980.
Secara teoretis, sumber dan faktor penyebabkonflik antaretnik yang hidupdalam masyarakatmajemuk biasanya dipicu adanya benturankepentingan maupun karena perbedaanpaham,ideologi,adat istiadat,agama, kepentingan sosialekonomi, sosial politik, dan budaya. Atau dalamlingkup yang lebih luas adalah karena adanya"benturan budaya" (Huntington, 1996) yangbiasanya melekat dengan agama yang dianutoleh suatu kelompok masyarakat. Kesemuanyaini sangat mengganggu sendi-sendi kehidupanmasyarakat yang paling hakiki.
1 Lektor Kepala, Dosen Kopertis Wil. VIII, Dpk pada Univ. Samawa Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat.
Syaifuddin Iskandar
Konteks masyarakat Indonesia yangbhinneka tunggal ika memiliki keanekaragamanetnik dan kebudayaan. Dengan ini seharusnyadikembangkan sistem budaya fundamentalkoordinatif dengan memegang teguh konsepPancasila, bahasa Indonesia, lagu kebangsaan,bendera nasional, hukum nasional, sistem politiknasional, dan sistem pendidikan nasional(Suparlan, 2002). Semua hal ini perluditumbuhkembangkan demi kesatuan danpersatuan bangsa.
Berdasarkan latar belakang masalah danfenomena di lapangan, dapat dirumuskan fokusdan tujuan penelitian sebagai berikut. (1)Mengetahui latar belakang kehadiran etnik Balidi Kabupaten Sumbawa, (2) faktor-faktorpenyebab konflik etnik Samawa dengan etnikBali, dan (3) upaya mengatasi (resolusi) konfliketnik Samawa dengan etnik Bali pasca konflik.
Dalam upaya mengkaji dan menjawab tujuanpenelitian yang berkaitan dengan fenomenakonflik etnik Samawa dengan etnik Bali tersebut,digunakan kerangka analisis atau teori kerjamenurut paradigma sosiologi terpadu (Ritzer,2002). Kerangkatersebut terdiri dari perpaduanantara teori sosiologi makro dan teori sosiologimikro. Adapun teori yang termasuk dalammashab sosiologi makro, antara lain, adalah teorifungsional struktural (Durkheim, Parsons) danteori konflik (Dahrendorf, Coser, Simmel) danyang termasuk ke dalam mashab teori sosiologimikro adalah teori tindakan/aksi (Weber,Cooley, Parsons) dan teori interaksi simbolik(Blumer, Mead). Di samping teori-teori tersebut,digunakan pula beberapa konsep dan teori-teoriumumyang relevan dengan masalah penelitian.
Berbagai konsep/teori yang termasuk dalamparadigma sosiologi terpadu ini digunakan
Skema 1Kerangka Teori Penelitian
Teori Sosiologi Mikro
1r
Teori Aksi (Tindakan)Teori Interaksi Simbolik
1i.
TEORI-TEORISOSIOLOGI TERPADU
Teori-Teori Umum Teori Sosiologi Makro
Konsep/TeoriMasyarakat Majemuk,Konsep/Teori Integrasi
Teori Konflik Fungsional,Teori Konflik Struktural
Konflik Etnik Samawadengan Etnik Bali
58 Populasi, 19(1), 2009, ISSN: 0853 - 0262
ResolusiKonflik Etnik Samawa dan Etnik BalidiSumbawa
Skema 2Kerangka Satuan Pengamatan terhadap Peristiwa Konflik Etnik Samawa dengan Etnik Bali
Latar Belakang KehadiranEtnik Bali
Faktor Sosial BudayaFaktor Sosial Ekonomi Faktor Sosial Politik
Jenis pekerjaan, lokasiusaha/pemukiman,
kepemilikan lahan etnikBali
Posisi/jabatan etnik BalidiBirokrasi (pemerintahan/swasta), BUMM, militer,kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan perbankan
Sikap/Perilaku etnik Balidalam penampilan adat/
budaya di KabupatenSumbawa
Konflik Sosial EtnikSamawa dengan Etnik
Bali
Upaya Mengatasi(Resolusi Konflik)
mengingat fenomena konflik tersebutdipengaruhi oleh berbagai faktor sosial ekonomi,politik,dan budaya masyarakat. Oleh karena itu,diperlukan analisis yang komprehensif denganberstandar pada paradigma sosiologi terpadu(Ritzer, 1992).Paradigma ini meletakkan intinyapada hubungan antara empat tingkat realitassosial, yaitu (1) makro-objektif, sepertimasyarakat, hukum, birokrasi, bahasa, dansimbol-simbol, (2) makro-subjektif, seperti kultur,nilai-nilai, dan norma-norma, (3) mikro-objektif,seperti bentuk-bentuk interaksi sosial dan pola
tingkah laku: kerja sama, persaingan, dankonflik; serta (4) mikro-subjektif, yaitu berbagaikonstruksi sosial masyarakat tentang realitaskonflik,seperti proses berpikir, menginterpretasi,dan memahami peristiwa konflik menurut
konstruksi sosial masyarakat Sumbawa.
Kerangka teoretis yang digunakan dalampenelitian ini dapat dilihat pada Skema 1 danSkema 2. Data yang diperoleh di lapangandianalisis menggunakan modelanalisis interaktifyang dilakukan secara simultan, mulai dari
Populasi, 19(1),2009, ISSN:0853 - 0262 59
Syaifuddin Iskandar
Skema 3Kerangka Analisis Data menurut Teori Grounded
Langkah Analisis Data
Konflik SosialEtnik Samawa
dengan Etnik Bali
Hasil Analisis berupa Proposisitentang:
Latar Belakang dan FaktorPenyebab serta Upaya ResolusiKonflik Etnik Samawa dengan
Etnik Bali
TriangulasiData dalam
Setiap Tahap
The First Order Understandingof Lay Actors.
Pandangan rasionalitas parapelaku/saksi konflik
Data Lapangan meliputi:- Latar belakang kehadiran etnik Bali
di Sumbawa,- Faktor Penyebab Konflik,- Upaya (Resolusi Konflik)
Open coding (pengkodean dataterbuka);
Axial coding (kategori data);Selective coding (seleksi data);
The Second Order Understanding OfSocial Scientist.
Memahami Makna Faktor Penyebabdan Resolusi Konflik Etnik Samawa
dengan Etnik Bali menurutPemahaman Peneliti
pengumpulan data, reduksi data, komparasidata, pemaparan data, dan penarikankesimpulan. Selama pengumpulan data,dilakukan pengodean data secara terbuka (opencoding) untuk merinci, menguji,membandingkan, mengembangkan konsep,dankategorisasi. Beberapa kategori (data) penting
selanjutnya diberi kode khusus (axial coding)untuk menentukan hubungan dan kesesuaianantarkategori untuk kemudian dipadukanmenjadi proposisi-proposisi yang perludikembangkan. Selanjutnya dilakukan seleksidata (selective coding) untuk menyusunkategori inti (core category) secara sistematis
60 Populasi, 19(1), 2009, ISSN:0853 - 0262
ResolusiKonflik Etnik Samawa dan Etnik Balidi Sumbawa
yang dikaitkan dengan kategori-kategori lainnyasehingga menjadi proposisi sebagai temuanpenelitian (Skema 3).
Analisis Data dan Pembahasan
Dengan menggunakan teknik analisiskualitatif groundedtheory, selanjutnya data yangberkaitan dengan fokus penelitian dianalisis dandibahas dengan berbagai konsep/teori sebagaiberikut.
a. Latar Belakang Kehadiran Etnik BaliDiSumbawa
Latar belakang kehadiran etnik Bali diKabupaten Sumbawa erat kaitannya denganproses transmigrasi dan migrasi antarsukubangsa. Proses migrasi dan transmigrasi yangterjadi sejak periode tahun 1970-1980 cukupmembawa dampak positif dan kemajuan bagiwarga pendatang. Para transmigran yangberasaldari Bali diberikan hak menguasai lahandi Kecamatan Lunyuk, Torano/Empang,Plampang, Utan Rhee, Seteluk, Sekongkang,dan juga di beberapa kawasan lainnya diKabupaten Sumbawa. Selain kehadiran wargaBali melalui programtransmigrasi, merekajugadatang secara perorangan maupunberkelompok karena alasan ekonomi, menjadipetani, pedagang atau karena mutasi jabatanbagi pegawai negeri sipil. Dengan modal tekaddan kerja keras, perlahan tetapi pasti etnik Baliterus berkembang, baik dalam jumlah maupundalamjenis usaha. Khususnya keberadaan etnikBali di Kota Sumbawa, sejak periode 1970-1980, mereka mulai menguasai tempat-tempatpermukiman yang terbilang strategis di sekitarKota Sumbawa. Mereka menggunakan daerah-daerah itu untuktempattinggal, hotel, toko, kios-kios di pasar, lahan pertanian. Kebijakanpemerintah pusat kemudian menguatkanpenempatan warga etnis Bali untuk mendudukijabatan-jabatan strategis di pemerintahanmaupun di lembaga-lembaga keuangan, BUMN,dan sebagainya.
Kehadiran etnik Bali ini pun terjadi juga didaerah-daerah lainnya di seluruh Indonesiatidakhanya di Kabupaten Sumbawa. MenurutSuwarsih (2002), dalam sejarah Indonesia,
sejak sebelum tahun 1930-an telah terjadimobilitas penduduk dan kontak antarsukubangsadi berbagai tempat di seluruh nusantara.Mobilitas penduduk dalam bentuk migrasimaupun melalui program transmigrasi yangditerapkan oleh pemerintah Orde Baru sejaktahun 1970-an telah membawaperubahanyangcukup mendasar dalam kehidupan sosialekonomi dan budaya masyarakat di tanah air.Mochtar Nairn (1976) mencoba membuatperkiraan statistik tentang perkembanganmigrasi di antara kelompok-kelompok sukubangsa di Indonesiadari tahun 1930-1961.Darisana dapat disimpulkan bahwa kecenderunganmigrasi pada umumnyaterjadi sejak tahun 1970,kecuali intensitas migrasi di daerahMinangkabau yang meningkat secara cepatdalam jangka waktu 30 tahun. Salah satucontohnya adalah daerah Kabupaten AcehTenggara yang merupakan tempat bertemunyabanyak suku bangsa sebagai akibat migrasi dantransmigrasi.
Kabupaten Sumbawa merupakan salah satudaerah tujuan transmigrasi. Sejak zamankemerdekaandaerah ini sebenarnya telah dihunioleh berbagai macam etnik/suku bangsa dansejak periode tahun 1970-1980 secarabergelombang mulai kedatangan paratransmigran yang berasal dari Pulau Jawa,Lombok, dan juga Bali. Bukan itu saja, migrandari berbagai daerah dan suku bangsa jugabanyak berdatangan, seperti dari etnikTionghoa, Sunda, Banjar, Bugis Makasar, MbojoBima, Madura, Minang Sumatera, Sumba,Timor, dan Arab.
Secara nasional, sebenarnya kontakantargolongan etnik di Indonesia sudahberlangsung sebelum tahun 1930 ( Volkstelling,Vol. VIII, 1930: 94-95). Secara umum, faktorpendorong kedatangan para migran tersebutkarena ingin mencari pekerjaan, memperbaikitaraf kehidupan, berdagang, menjadi buruhtani,ikut keluarga, dan mutasi jabatan dipemerintahan/swasta. Faktor daya tarik migrasiadalah karena luasnya potensi yang dimilikiSumbawa sehingga secara ekonomisdiperhitungkan akan dapat menampung dan
Populasi, 19(1),2009, ISSN: 0853 - 0262 61
Syaifuddin Iskandar
memenuhi kebutuhan para migram maupunwarga transmigrasi. Dalamteori sejarah migrasiterjadi karena keterdesakan suatu pendudukoleh kekerasan alarm atau manusia lainsehingga mereka mencari tempat permukimanlain yang aman untuk kelangsungan hidupnya.
Hasil penelitian Mc Andrew & Rahardjo(1982) menunjukkan program transmigrasimaupun migrasi penduduk dari satu daerah kedaerah lain telah mengakibatkan konflikantaretnik pendatang dengan penduduk asli.Persoalannya selalu terkait dengan hak miliktanah yang semakin langka, keseimbanganekologis daerah perdesaanyang semakin kritis,dan benturan budaya yang kuat antarapenduduk asli dengan para pendatang. Hasilstudi tersebut menunjukkan faktor budayamenjadi bagian penting yang perludipertimbangkan dalam proses perencanaandan pengendalian pembangunan. Motif ekonomimemang akan menciptakan integrasi ataskepentingan yang saling menguntungkan,namun dalam kasus transmigrasi di Sumateramisalnya, konflik yang terjadi di sana siniternyata disebabkan oleh masalah hak miliktanah dan kesenjanganperbedaan cara bertani.Demikian pula contoh kasus dalam prosesinteraksi dan adaptasi budaya Bali yangberagama Hindu di Desa Parigi SulawesiTengah yang penduduknya beragama Islam. Disini orang Bali tetap leluasa memegang adatistiadatnya, melaksanakan upacarakeagamaan, serta melaksanakan kegiatan-kegiatan adat dan budaya lainnya. Orang Balidi tempat asing tetap memiliki ikatan denganleluhurnyayang sebagian diperlihatkan denganpandangan merendahkan kebiasaanmasyarakat setempat (Mc Andrew & Rahardjo,1982).
Kecenderungan untuk melestarikan budayaleluhur juga diperlihatkan oleh transmigran Balidi KalimantanTengah. Meskipun hanyadibatasioleh parit dengan permukiman penduduk asliDayak Ngaju, etnik Bali ini tetap menampilkandan mempertahankan budayanya secara utuh.Dalam berinteraksi dengan penduduk asli tidaksampai terjadi ketegangan budaya karena
kedua model kebudayaan pendatang dankebudayaan lokal yang umumnya petaniberjalan secara seimbang dan masing-masingsaling memberi dalam batas-batas cara bertani(Rusli Lutan,2001). Realitas ini mendukungtesisyang menyatakan daerah yang suku pendatangdan penduduk aslinya berorientasi/hidup padasektor pertanian akan kecil potensi konflik diantara mereka karena mereka berorientasi padanilai budaya petani yang menekankanharmonisasi dengan alam dan lingkungannya.
Fenomena yang terjadi di KabupatenSumbawatentunya berbeda dengan lingkungandaerah transmigran lainnya. KabupatenSumbawa dengan penduduk yang mayoritasberagama Islamdan spesialisasi pekerjaanyangheterogen, mulai dari pegawai, petani, pedagang,peternak, nelayan, sampai pengusaha, cukup
memberi nuansa yang dinamis dalam kehidupanmasyarakatnya. Kabupaten Sumbawamempunyai luas wilayah darat 8.493 km2 danwilayah laut 4912,46 km2, dengan jumlahpenduduk 452.746 jiwa (laki-laki 228.717 jiwadan perempuan 224.029 jiwa). Dari jumlahpenduduk tersebut, jumlah penduduk asli (etnikSamawa) mencapai 68,66 persen danselebihnya adalah berasal dari etnik Bali, Sasak(Lombok), Jawa, Sunda, Madura, Mbojo (Bima/Dompu), Bugis Makasar, Minang, Sumba/Timor,dan Arab (BPS Sumbawa, 2002).
Secara geografis, Kabupaten Sumbawaterletak pada posisi yang cukup strategis, yaituberada pada segi tiga emas kawasan pariwisataantara Pulau Bali, Lombok,dan Pulau Komodo.Kabupaten Sumbawa juga memiliki kekayaansumber daya alam yang cukup potensial berupalahan pertanian dan peternakan serta telahditetapkannya daerah ini sebagai lumbung padidan daerah pengembangan ternak di NTB. Disamping itu,juga terdapat kekayaan hutan, floradan fauna, mineral, pertambangan emas dantembaga, industri, serta sumber daya kelautandengan panjang pantai mencapai 900 km (BPSSumbawa, 2002).
Jika dibandingkan denganjumlah penduduk,Kabupaten Sumbawa dengan luas wilayah duakali Pulau Lombok atau Pulau Bali, terbilang
62 Populasi, 19(1), 2009, ISSN: 0853 - 0262
ResolusiKonflik Etnik Samawa dan Etnik BalidiSumbawa
berpenduduk jarang dengan tingkat kepadatanrata-rata 52 jiwa/km. Atas dasar itu, KabupatenSumbawa sejak periode tahun 1970-1980menjadi daerah tujuan transmigrasi yangmembuka peluang kepada para transmigranmaupun para migranyang berasal dari berbagaidaerah terus berdatangan. KabupatenSumbawa dengan daya tarik yang begitu kuat,baik untuk daerah transmigrasi, tempat tinggal,tempat berusaha, maupun membuka lahanpertanian, yang dipandang sebagai "rumahmasa depan" yang sangat menjanjikan bagisetiap orang. Terlebih lagi dengan kenyataanbahwa dalam sepuluh tahun terakhir daerah inidikenal sebagai tempat investasi perusahaantambang emas dan tembaga.
b. Faktor Penyebab Konflik
Berdasarkan temuan penelitian, faktorpenyebab konflik etnik Samawa dengan etnikBali dapat dikelompokkan menjadi (1) faktorsosial ekonomi, (2) faktor sosial politik, dan (3)faktor sosial budaya. Faktor-faktor tersebut padasaat itu tampaknya didominasi oleh etnik Bali.Keberhasilan etnik Bali di bidang ekonomimaupun dalam menduduki jabatan-jabatanstrategis di pemerintahan/swasta semakinmemengaruhi pola perilaku dan aktivitaskeseharian etnik Bali dalam penampilan adat/budaya yang kental diwarnai oleh adat istiadatdan budayayang melekat dengan agama Hinduyang mereka anut. Segala kebiasaan dan tatacara adat tersebut mulai ditampilkan secaraterbuka di tengah-tengah kehidupanmasyarakat Sumbawa yang mayoritasberagama Islam. Misalnya dalam kegiatanupacara adat di tengah kota, dirangkai denganacara-acara seremonial, seperti sabung ayamdan main kartu, minuman keras, pembakaranmayat (ngaben) di pura dalam kota, dan kawinlari. Sikap dan perilaku etnik Bali di tingkat wargatersebut erat kaitannya dengan dukungan dandominasi orang Bali yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan maupun diBUMN. Semua itudirasakan oleh penduduk aslisangat tidak adil dan mengganggu adat istiadatdan budaya mereka.
Sehubungan dengan fenomena tersebut,secara teoretis perlu dipahami bahwa padadasarnya setiap kelompok etnik memiliki banyakperbedaan, baik dalam pandangan hidup (worldview) dan budaya,termasuk agama dan ideologiyang mereka anut. Ini disebut ruang privasietnisitas (primate domain). Jika nilai-nilai privasiini ditarik dan dibuka ke tingkat publik (publicdomain), maka akan tampak perbedaan-perbedaan mendasar antara tiap-tiap kelompoketnik. Apabila perbedaan ini semakin dipertajam,konflik pasti terjadi. Secara umum, konflikantaretnik ini terjadi akibat watak privasi etnisitasyang terlalu mencolok sehingga terjadilahbenturan etnisitas (budaya). Etnik pribumiumumnya memandang negatif (negativeprejudice)terhadap watak dan perilaku (budaya)etnik pendatang (apalagi didukung oleh adanyaperbedaan agama). Proses ini kemudianmelahirkan penyakit sosial yang dikenal denganetnocentrism, yang artinya sikap satu kelompoketnik yang memandang nilai budaya, institusi,dan sistem kepercayaan mereka lebih benaratau lebih tinggi derajatnya daripada yangdimiliki kelompok etnik lain. Sikap etnosentrismeini semakin berbahaya jika diikuti olehpandangan stereotipe dan prasangka terhadapkelompok etnik lain.
Etnosentrisme tidak muncul dengansendirinya, tetapi ditopang oleh persaingan danperbedaan aksesibilitas terhadap kekuasaan.Konsep ini dalam kenyataannya pernah terjadidi Amerika Serikat antara etnik kulit putih dankulit hitam. Ini juga yang terjadi di Kalimantanmaupun di tempat-tempat lain, dengan terjadipersaingan antara pendatang dengan tuanrumah, terutama terjadi persaingan di bidangekonomi dan dalam pembagian kekuasaanyang lebih banyak dimenangkan oleh kaumpendatang (Rofiq, 2002).
Berikut ini akan dibahas faktor-faktor yangmenyebabkan terjadinya konflik etnik Samawadengan etnik Bali.
1. Faktor SosialEkonomi
Faktor penyebab konflik yang terkait denganaspek sosial ekonomi adalah karena dominasi
Populasi, 19(1),2009, ISSN: 0853 - 0262 63
Syaifuddin Iskandar
etnik Bali dalam bidang pertanian, perdagangan,kepemilikan lahan pertanian, permukiman,rumah, toko, kios di tempat-tempat strategis, dipasar, dan di sekitar jalan raya. Hal inididukungoleh elite-elite kekuasaanyang dominan dijabatoleh etnik Bali sehinga etnik Bali sangat mudahmendapatkan akses ekonomi, sepertimeminjam kredit di bank serta kepemilikan lahanpermukiman, lahan pertanian, tempat usaha,dan kios di pasar. Akibatnya warga etnikSamawa merasa terdesak dalam beberapamata pencaharian dan lapangan kerja.
Menurut Kusnadi (2002), konflik di bidangekonomi adalah konflik yang disebabkan olehadanya perebutan sumber daya ekonomi daripihak-pihak yang berkonflik. Berbagai indikatorfaktor ekonomi tersebut ternyata memberi andildalam peristiwa konflik etnik Samawamerasakan adanya ketidakadilan dankekecewaan. Hal ini dapat dipahami karenatempat berjualan/kios-kios di pasar banyakdimiliki oleh etnik Bali, termasuk lahan-lahanpermukiman/pertanian di tempat-tempatstrategis lainnya. Menyempitnya ruang usaha/lapangan kerja maupun areal permukiman danpertanian tampaknya dirasakan warga etnikSamawa telah mengurangi ruang gerak maupunpenghasilan mereka sehari-hari. Keterdesakandalam hal mata pencaharian dan lapangan kerjayang berdampak pada berkurangnyapenghasilan masyarakat setempat tidak hanyamenimbulkan kerugian secara materi, tetapijuga menyebabkan etnik Samawa merasakehilangan identitas dan harga diri.
Ketidakadilandan kompetisi yang kurangadildalam bidang ekonomi seperti telah disebut diatas secara perlahan-lahan dianggap olehpenduduk setempat sebagai prosespengambilalihan/pemindahan lapangan kerjamaupun asset ekonomi dari tangan etnikSamawa kepada warga etnik Bali. Hal inidiperparah dengan sikap kurang membaurnyawarga etnik Bali dengan anggota komunitassetempat dalam satu permukiman. Tampaknyakondisi ini juga semakin mempersulit terciptanyainteraksi sosial yang serasi di antara mereka.
Warga etnik Samawa menyatakan padadasarnya mereka tidak berkeberatan denganproses migrasi maupun program transmigrasiyang dilancarkan oleh pemerintah pusat.Mereka menginginkan kebijakan pemerintahdalam pemberian lahan garapan kepada wargatransmigrasi dapat dibatasi dan jugamengikutsertakan warga setempat secara adilmelalui programtransmigrasi lokal. Di sampingitu, dalam penentuan daerah transmigrasi ataupermukiman lainnya diharapkanmengikutsertakan masyarakat setempat melaluipemerintah daerah dan kecamatan besertatokoh masyarakat yang ada. Aparatur pemdakabupaten dan kecamatan seharusnyamengadakan sosialisasi yang intensif kepadamasyarakat. Faktor lain yang juga perludipertimbangkan adalah penempatan wargatransmigran agar dibaur dengan warga trans
lokal sehingga pola kerja maupun pola budayamasing-masing kelompok dapat diterima/diadopsi oleh kelompok lain. Hal ini pentingkarena sebagaimana dipahami budaya kerjawarga pendatang biasanya lebih unggul daripada warga setempat, baik secara kulturmaupun secara ekonomi.
Di sisi lain, keberhasilan etnik Bali diKabupaten Sumbawa sesungguhnya jugadipengaruhi oleh motivasi, semangat kerja, danketekunan mereka dalam bekerja sehinggadapat meningkatkan taraf hidupnya besertakeluarganya. Pada akhirnya mereka mampumembeli tanah pertanian maupun tanah tegalanuntuk tempat tinggal, tempat usaha, tempatperibadatan, serta melaksanakanpersembahyangan secara tekun. Dari berbagaipandangan (hasil interviu dan kompilasi data),dapat dipahami bahwa keberhasilanwarga Balidi Kabupaten Sumbawa bukanlah semata-matakarena banyaknya pejabat yang mendudukijabatan penting di birokrasi. Namun dalamfaktanya etnik Bali memang memiliki etos kerjayang lebih baik dibandingkan dengan wargaetnik Samawa di samping adanya bantuanmodal oleh keluarganya yang ada di Bali.
64 Populasi, 19(1),2009, ISSN: 0853 - 0262
ÿ
ResolusiKonflik Etnik Samawa dan Etnik Balidi Sumbawa
2. Faktor SosialPolitik
Faktor penyebab konflik terkait aspek sosialpolitik adalah karena dominasi etnik Bali dalammenduduki jabatan-jabatan strategis dipemerintahan, swasta, dan BUMN. Secarateoretis, menurut Kusnadi (2002), konflik dibidang sosial politik adalah konflik yangdisebabkan oleh adanya perbedaankepentingan individu/kelompok di bidang sosialpolitik dan/atau kekuasaan dari pihak yangberkonflik. Dalam konteks konflik etnik Samawadengan etnik Bali, faktor penyebab konflik terkaitaspek sosial politik ini adalah karenakeberhasilan etnik Bali dalam mendudukijabatan-jabatan penting di birokrasi(pemerintahan/swasta/BUMN).
Dominasi warga etnik Bali dalam mendudukijabatan-jabatan strategis tersebut tidak lepasdari kebijakan pemerintah pusat. MenurutSyamsuddin (2002:10-13), pola kebijakan pusatdi masa Orde Baru menimbulkan beberapakonsekuensi logis bagi daerah sebagai berikut.(1) Hubungan pusat dan daerah yangsentralistis, (2) pejabat-pejabat yang akanmenduduki jabatan-jabatan teras dan strategisdikirim atau didrop dari pusat, serta (3)munculnya dan meningkatnya kemiskinanstruktural. Semua ini menimbulkan rasaketidakadilan dan kecemburuan sosial yangberlarut-larut bagi masyarakat di daerah-daerah.Kondisi ini masih juga dirasakan sampaisekarang, dalam era reformasi dan otonomidaerah seharusnya pemerintah pusat sudahmemberi kesempatan kepada daerah untukberkreasi secara mandiri.
Puncak dari ketidakpedulian dan dominasipusat terhadap hak-hak masyarakat di daerahdapat dilihat palingtidak dari dua hal berikut. (1)Pejabat yang akan menduduki jabatan terasdan strategis, seperti muspida di tingkat provinsimaupun di tingkat kabupaten, gubernur, bupati,kepala dinas, bahkan kanwil dan kandep,sebagian besar dikirim/didrop dari pusat. (2)Hancurnyatata nilai dan tradisi adat masyarakatsetempat karena kurangnya komitmendan rasamemiliki para pejabat yang didrop dari pusat sertaketidakberdayaan masyarakat setempat untuk
melawandan menyuarakan hak-haknya karenakuatnya tekanan dari pemerintah waktu itu.
Dalam konteks konflik karena perebutansumber-sumber kekuasaan yang terjadi diKabupaten Sumbawa waktu itu, pejabat-pejabatSumbawa dominan dipegang oleh etnik Baliyang beragama Hindu. Faktor ini kemudianmemunculkan skenario bahwa Sumbawa harusdibuat kacau. Sasarannya adalah etnik Bali dansasaran kambing hitamnya adalah para elitekader pemimpin Sumbawa yang dikorbankanseolah-olah sebagai sutradara pelaku.
Dalam realitasnya setelah dilaksanakanpemilihan bupati baru, ternyata bupati yangterpilih pasca konflik berasal dari kalanganABRI. Sedangkan sang aktor yang dari awaldicurigai ingin menjadi Bupati Sumbawa ternyatatidak pernah dicalonkan oleh partai mana pun.Kecurigaan terhadap ABRI waktu itu berhasilditepis oleh sang bupati terpilih yang denganusaha dan kerja keras ternyata berhasilmembangun Kabupaten Sumbawa secarasignifikan. Beberapa pendapat mengatakansang bupati yang baru ternyata berhasilmembangun Kabupaten Sumbawa, baikpembangunan di bidang fisik, nonfisik maupundalam bidang keamanan yang waktu itu relatifstabil.
3. Faktor SosialBudaya
Faktor penyebab konflik terkait dengan aspeksosial budaya adalah karena penampilan adat/budaya/agama Hindu Bali yang sangat terbuka.Ini didukung oleh elite-elite kekuasaan yangdominan dijabat oleh etnik Bali sehingga dalamkehidupan sehari-hari etnik Bali begitu mudahmendapatkan akses. Misalnya dalampelaksanaan upacara adat, seperti ngabendan
prosesi upacara keagamaan lainnya, yangselalu diiringi arak-arakan keliling kota,judi, danminuman keras, belum lagi arogansi pemudaBali dan adanya kawin lari dengan gadisSamawa yang sering terjadi sepanjang tahun.Semua ini dianggap oleh etnik Samawa telahmelampaui batas-batastradisi, adat, dan agamaIslamyang mayoritas dianut oleh etnik Samawa.
Populasi, 19(1),2009, ISSN: 0853 - 0262
Syaifuddin Iskandar
Menurut Kusnadi (2002), faktor penyebabkonflik di bidang sosial budaya adalah konflikyang disebabkan oleh adanya perbedaanpaham dan kepentingan budayadari pihak yangberkonflik. Konflik etnik Samawa dengan etnikBalipada aspek sosial budaya ini adalah karenaadanya benturan budaya antarkedua etnik.Warga etnik Bali sebagai pendatang diKabupaten Sumbawa mempunyai kebiasaan,perilaku, dan penampilan adat istiadat danbudaya yang melekat dengan agama Hinduyang dianut. Namunadajuga tradisi yang seringkali dikacaukan dengan adat/budaya Bali yangsering dilakukan oleh sekelompok warga Bali,yaitu kebiasaan sabung ayam sambil judi,minum/jual arak, iring-iringan dalampelaksanaan prosesi upacara adat, dan kawinlari yang menurut warga etnik Samawa telahmelampaui batas-batas tradisi, adat, dan agamaIslam yang mayoritas mereka anut.
Secara umum, faktor sosial budaya inidianggap sebagai faktor dominan yangmemperluas konflik etnik Samawa dengan etnikBali. Hal ini dapat diidentifikasi dari beberapaindikator yang ikut memengaruhi sebagaiberikut. (1) Melibatkan media identifikasi etnikyang bersifat keagamaan (ethnic-religioidentification), (2) karakter gerakan sosial, (3)hubungan antara sikap keagamaan denganpandangan terhadap eksistensi sumber dayaalam dan terhadap martabat manusia, dan (4)adanya kesenjangan antara sistem nilai budayayang dianut dengan realitas kehidupanmasyarakat setempat (Atmaja, 2002).
Yang berkaitan dengan media identifikasikedua etnik yang bersifat keagamaan ternyatamemberikan konstribusi yang cukup besardalam peristiwa konflik di Kabupaten Sumbawa.Dalam penampilan identitas fisik maupunnonfisik, etnik Bali berbeda dengan etnikSamawa, termasuk dalam menentukan cirikelompoknya masing-masing, yaitu dalampengakuan sosial mereka masing-masingmemiliki perbedaan dalam nilai-nilai budaya,termasuk nilai-nilai keagamaan dan bahasa(Narroll, 1964; Barth, 1969). Identifikasidiri etnikSamawa ini menjadi meluas diikuti oleh
kelompok etnik lain yang merasa memilikikepentingandan agama yang sama, yaitu Islam.Di sisi lain warga etnik Bali yang diidentifikasisebagai non-Islam dianggap sebagai kelompokluar (out group) dan ancaman bagi mereka.Islamdalam hal ini dimanfaatkan sebagai mediaidentifikasi yang secara langsung maupun tidaklangsung telah mampu "menarik danmemengaruhi"emosi massa secara meluas dandianggap sebagai wadah/ruang budaya yangefektif bagi anggota kelompok etnik lain yangmerasa Islam ikut membaur dalam gerakanamuk massa tanpa dapat dikenal identitasnyasecara jelas. Faktor sosial budaya denganmemunculkan identifikasi berdasarkan etnik-keagamaan (tekhno-religio identification) inisecara bersama-sama membentuk polapertikaian/konflik dengan meningkatnya rasasolidaritas dan kesadaran dalam kelompok etnikSamawa.
Terkait dengan kehidupan etnik Bali diKabupaten Sumbawa, hampir semua prosesiadat/budaya Bali berkaitan langsung denganajaran agama Hindu yang mereka anut. Dalamhal ini terjadinya apa yang disebut benturanbudaya dengan masyarakat setempat (etnikSamawa), yang kemudian memunculkan segi-segi agama di dalamnya. Namun perlu puladipahami, menurut ajaran agama Hindu,segalaaktivitas yang berkaitan dengan ritual upacarakeagamaan itu merupakan manifestasi dariperintah agama yang mereka anut. Dengandemikian, dapat dipahami adanya pelaksanaanberbagai upacara ritualyang dilakukan oleh umatHindu Bali erat kaitannya dengan fungsi danperan warga umat Hindu yang hidup dalamkomunitas desa adat yang sangat menonjol.Desa adat ini membawahi beberapa banjar adat.Pola hubungan banjar adat dengan desa adatbersifat struktural dan fungsional, namun dalamkonteks tertentu kadangkala masih sukardibedakan.
Menurut Atmaja (2003), perbedaan kulturdan agama dapat pula menimbulkan pemaknaanyang berbeda mengenai sesuatu, misalnyatentang ruang, seperti yang terjadi di Desa BayuPoh. Pada saat desa ini dibentuk oleh kaum
66 Populasi, 19(1), 2009, ISSN: 0853 - 0262
ResolusiKonflik Etnik Samawa dan Etnik BalidiSumbawa
migran dari Jawa, Madura, Bugis dan Bali,mereka sepakat melokasikan kuburan Hindudan Islam pada areal yang sama. Namunkuburan Islam yang terletak di pinggir sungaidisfungsional karena terkikis air banjir yangberlangsung pada setiap musim hujan. Sebagaigantinya, mereka membangun kuburan padasebidang tanah tegalan wakaf yang berlokasidi tengah permukiman. Ketika kuburan ituhendak dipakai, liang telah digali, orang Balimelarangnya karena dianggap menyalahi tataruang yang berlandaskan pada suprastrukturideologi yang mereka miliki,yakni TriAngga danpatokan luan-lehen. Apabila gagasan inidilanggar, mereka yakin desa adat akan letehsehingga terjadilah marabahaya. Umat Islamtentu saja tidak memercayainya karena agamayang mereka anut tidak memberlakukan tataruang seperti yang dikenal oleh umat Hindu.Akibatnya timbul konflik antara umat Hindu danIslam. Kemunculan konflik ini memangberintikan pada masalah kuburan, namunketerlibatan faktor agama sebagai saranabertindak maupun sebagai kerangka berpikirdalam konteks pemberian makna terhadapsesuatu tidak bisa diabaikan. Sampai saat inikebutuhan umat Islam akan kuburan yangterbebas dari bahaya banjir belumterpenuhi danternyata masalah kuburan berpotensi sebagaisumber konflik pada masyarakat Desa BanyuPoh.
Keberadaan etnik Bali di KabupatenSumbawa sebenarnya telah berlangsung lamadan pola interaksi dengan masyarakat setempatberjalan secara harmonis. Bahkan tidak lamaberselang setelah terjadinya konflik 17November 1980, warga Bali sudah mulaimenyesuaikan diri dengan kondisi masyarakatsetempat dengan cara meninggalkan tradisi/kebiasaan yang tidak berhubungan langsungdengan ajaran agamanya. Mereka juga dapatmenekan atau mengalihkan berbagai prosesiadat, seperti ngaben, ke tempat yang agak jauhdari pusat kota.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasanyang berkaitan dengan latar belakang kehadiranetnik Bali di Sumbawa serta faktor-faktor
penyebab konflik etnik Samawa dengan etnikBali, dapat dirumuskan proposisi sebagaiberikut.
"Etnik pendatang cenderung lebih ungguldalam mengakses sumber-sumber ekonomidan jabatan-jabatan penting di birokrasi.Mereka sebagai pendatang memilikisemangat, motivasi, etos kerja yang tinggiuntuk berprestasi dan meningkatkan tarafhidup, sedangkan masyarakat setempatcenderung lamban karena merasa memilikidan dimanjakan oleh alam lingkungannya".
c. Cara Mengatasi (Resolusi) Konflik
Resolusi konflik yang dimaksudkan dalampembahasan ini adalah upaya untukmembangun hubungan baru dan bertahan lamadi antara kelompok etnik Samawa dengan etnikBali yang pernah berkonflik dengan mengacupada berbagai strategi penanganan konflik yangberbasis komunitas etnik. Tujuannya adalahmencapai suatu kesepakatan untuk mengakhirikonflik maupun mencari formula baru karenamasihadanya berbagai perbedaan pemahamanterhadap sumber dan penyebab konflik. Dengankata lain, resolusi konflik adalah upayapengelolaan keharmonisan hubungan di antarakelompok etnik yang pernah berkonflik.
Ada beberapa upaya resolusi konflikberbasis komunitas antara etnik Samawadengan etnik Bali yang ditempuh oleh berbagaikalangan pasca konflik, antara lain sebagaiberikut. (1) Rapat koordinasi di tingkat muspidadengan melibatkan berbagai tokoh etnik yangada di Sumbawa, khususnya dari etnik Balidalam rangka meredam konflik yang lebih luas.(2) Meningkatkan intensitas komunikasiantaretnik dan golongan dalam upayamengantisipasi isu-isuyang sifatnya provokatif.(3) Menindak tegas para pelaku dan otakkerusuhan melalui upaya mencari, menahan/menangkap, dan menghukum sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.(4) Menghimbau kepada etnik Bali agar tetaptenang, sabar, dan untuk masa-masayang akandatang dapat meninjau kembali polapenampilanadat/budaya yang tidak sesuai dengan tradisi/
Populasi, 19(1), 2009, ISSN: 0853 - 0262 67
Syaifuddin Iskandar
adat/budaya orang Sumbawa. (5) Memberikanbantuan santunan untuk kebutuhan hidupsehari-hari kepada etnik Bali yang mengalamikerugian harta benda maupunjiwa.
Menurut Kartono (1994), setiap masyarakatperlu mengembangkan manajemen resolusikonflik. Yang dimaksud manajemen resolusikonflik adalah strategi penanggulangan konflikyang tidak saja mencakup apresiasi terhadapkonflik yang berwujud perilaku menerimaperbedaan dan keanekaragaman, tetapi jugamenstimulasinya dan menyelesaikannya gunamewujudkan perbaikan-perbaikan yangbermanfaat bagi kelangsungan hidup suatusistem sosial.
Penerapan manajemen resolusi konflikberkaitan dengan pemahaman tentang sumberkonflik. Konflik dapat saja bersumber padaperebutan sumber daya ekonomi, sumber dayasosial, prestise, dan/atau sumber dayakekuasaan. Khusus untuk sumber dayakekuasaan, sumber daya ini berbaur dengandualisme kultural yang tercermin daripemberlakuan paham ke-kita-an dan ke-mereka-an yang diperkuat denganetnosentrisme, fanatisme agama, dan elemenkultural yang lainnya, baik sebagai penguatidentitas etnik maupun pelegitimasi konflik.Namundi sisi lain,walaupun ada sumber konflik,mereka belumtentu berkonflik, melainkandapatsaja berintegrasi (bersatu).
Menurut Sjamsuddin (1996), proses integrasiyang ideal pada masyarakat Indonesia yangmultietnik adalah yang bercorak bhineka tunggal
ika, multikultural, atau pluralistik. Pencapaiansasaran itu memerlukan persyaratan, yaknimereka yang berbeda kepentingan, tujuan,agama, maupun etnisitas yang hidup dalamruang dan waktu yang sama harus mampumengembangkan iklim sosial yang akomodatif,kooperatif, bertoleransi terhadap perbedaan,dandisertai dengan kemampuan beradaptasiterhadap kebudayaan dominan. Hal inisebagaimana yang tercermin dari adanya fasihbahasa dan fasih budaya. Pencapaian sasaranini tidak dapat pula dilepaskan dari komponen-komponen dasar sistem sosiokultural yangberlaku dalam masyarakat, yang di dalamnyamencakup kesepakatan mereka akan sistembudaya fundamental koordinatif, ketersediaankelompok sosial yang menyilang dan memotong,serta pola kehidupan yang berkomplementer.
Kearifan lokal juga tidak dapat diabaikan danperlu dihormati sepanjang itu memiliki nilai-nilaikearifan lokal. Misalnya masyarakat Sumbawamengenal nilai adatrapangtanah Samawa (adatistiadat tanah Samawa) atau dikenal juga slogansenap semu nyaman nyawe (sejuk, aman, dandamai). Masyarakat Bali juga memiliki ideologitri hita karana, semboyan desa-kala-patra,linggihmanulsesana dan sesana manut linggih,ajaran suvadharma, dan Iain-Iain, yangkesemuanya sangat menekankan padakeharmonisan dan kerukunan hidupantarsesama. Untuk itu, diperlukan saranakontrol sosial agar kelompok masyarakat tidakberpetualangdengan konflik,yakni budaya maludan budaya takut. (Geertz, 1983; Magnis-Suseno, 2000). Aneka bentuk kearifan lokal itu
Skema 4Kualitas Keharmonisan Hubungan Antaretnik
Kualitas Keharmonisan HubunganAntaretnik Guyub/Serasi
KeharmonisanHubungan
Rukun/Selaras Saling Untung/Seimbang
68 Populasi, 19(1),2009, ISSN: 0853 - 0262
ResolusiKonflik Etnik Samawa dan Etnik BalidiSumbawa
memiliki fungsi yang sama, yakni sebagai resepbertindak agar manusia tidak suka berkonflik.Sebaliknya, mereka berusaha mewujudkankeharmonisan dengan cara bertindak sesuaidengan status dan peranannya dalam suatukehidupan sosial budaya yang pluralistik.
Secara teoretis, keharmonisan hubunganantaretnik dapat diartikan sebagai kondisikehidupan bersama antarkelompok etnik yangdinamis, guyub/selaras, rukun/serasi, dan salingmenguntungkan/seimbang (Hartoyo, 2004:77-78). Kualitas keharmonisan hubungan antaretnikdapat dilihat pada Skema 4.
Skema 4 kemudian dikaitkan dengan polahubungan antara etnik Samawa dengan etnikBali sebelum konflik dan bahkan pasca konfliksetelah keadaan menjadi normal. Dapatdikatakan secara lahiriah tampak suatu polakehidupanyang guyub/serasi dalam kehidupaninteraksional sehari-hari, seperti dalam aktivitasekonomi dan sosial kemasyarakatan, dengansaling mengunjungi, saling bertamu, salingmemberi. Semuanya mengarah pada hubunganpositif (peningkatan kualitas hubungan), salinguntung, seimbang, dan hidup dalam kerukunandan keselarasan.
Sebagai implementasi nyata dari konsep/teori di atas, dapat dilakukan pembentukankelompok sosial antaretnik yang menyilangdanmemotong atau pola kehidupan yangberkomplementer. Hal itu dapat dilakukanmelalui pembentukan forum komunikasiantarbudaya sebagai sarana penyampaianinformasi budaya masing-masing dalam rangkamemelihara saling pengertian dan toleransi.
Berkenaan dengan itu, sebaiknyamasyarakat Sumbawa mengembangkanmanajemen resolusi konflik berbasis komunitas.Seperti disebutkan oleh Giddens (1999),manajemen resolusi konflik berbasis komunitasmerupakan energi lokal yang sangat bermanfaatbagi penanggulangan konflik, baik secarapreventif maupun kuratif. Penerapanmanajemen konflik berbasis komunitas tetaptidak dapat dilepaskan dari kesepakatan akansistem budaya fundamental koordinatif yangbersumber pada budaya nasional, agama, dan
kearifan lokal yang antara lain menekankanpada nilai-nilai universal, seperti toleransi dansolidaritas sosial kasih sayang. Namun apayang ideal secara tekstual belumtentu memadaisecara kontekstual karena masih adanyakendala yang bersumber pada paham ke-kita-an dan ke-mereka-an, politik othering,etnosentrisme eksklusivisme keagamaan, danfundamentalisme agama. Oleh karena itu,konflik antaretnik maupun antaragama, baikyang bersifat konflik laten maupun konflikterbuka masih tetap sulit dihindari.
Dalam hal ini, tujuan resolusi konflik adalahtetap memelihara persatuan dan integrasi antaretnik. Upaya integrasi ini dalam rangkamempertemukan kepentingan antarkelompokyang pernah bertikai agar di masa-masa yangakan datang tetap dapat menjalin harmonisasisecara bersama-sama dalam menjalankanaktivitas keagamaan, kegiatan ekonomi,perkawinan, pendidikan, hidup berkeluarga,danbertetangga. semua hal itu perlu didasarkanpada sikap toleransi antarsesama etnik,golongan, maupunagama. Selain itu, hubunganyang sifatnya sementara dalam membangunhidup bermasyarakat juga perlu dibangunmelalui kegiatan saling bertamu, makanbersama, saling menawarkan, dan tolong-menolong dalam berbagai aktivitaskemasyarakatan.Wadah yang diperlukan untukmemelihara hubungan yang harmonis dapatmelalui pembentukan forum komunikasi lintasetnik/agama sehingga komunikasi budayaantaretnik dapat berlangsung secara efektif.
Dalam upaya terus membangun hubunganyang harmonis dan integrasi antaretnik, perludikemukakan beberapa konsepsi tentangpentingnya integrasi bangsadalam masyarakatyang majemuk. Untuk mencapai keseimbangan(integrasi) dalam suatu masyarakat, Parsons(1981) menunjukkan empat prasyarat yangdisingkat AGIL. (1) Adaptation, yaitu sistemharus menyesuaikandiri dengan lingkungannya.(2) Goal attainment, yaitu setiap sistem harusmemiliki alat untuk memobilisasi sumber dayasupaya dapat mencapai tujuan yang diinginkan.(3) Integration, yaitu sistem harus
Populasi, 19(1),2009, ISSN: 0853 - 0262 69
Syaifuddin Iskandar
dengan yang lainnya, hubungan antaretnikcenderung diwarnai oleh rasa keguyuban,kerukunan, dan saling menguatkan.Sebaliknya, semakin ada prasangka negatifantaretnik yang ditandai dengan adanya jarakhubungan kurang akrab, kurang intim, danmencari kesalahan orang lain, cenderungmenghasilkan hubungan yang salingmerugikan".
Penutup
Latar belakang dan motivasi kehadiran etnikBali di Kabupaten Sumbawa adalah karenaketerdesakan ekonomi dan geografis di daerahasal dengan motivasi ingin merantau danmeningkatkan taraf hidup. Faktor penyebabkonflik adalah karena adanya dominasi etnik Balidalam kehidupan sosial, politik,dan budaya etnikSamawa, yaitu dalam hal mengakses sumber-sumber ekonomi, jabatan-jabatan penting dibirokrasi (pemerintahan, swasta, BUMM), sertaadanya perilaku dan penampilan adat/budayaBali yang dianggap mencolok oleh etnikSamawa. Cara mengatasi (resolusi) konflikadalah dengan mengembangkan manajemenkonflik berbasis komunitas melalui koordinasidengan melibatkan berbagai tokoh etnikSamawa dan etnik Bali yang ada di Sumbawa.Perlu ditingkatkan pula komunikasi budayauntuk tetap menjalin hubungan yang harmonisdan saling pengertian/toleransi antaretnik/umatyang hidup di Kabupaten Sumbawa.
Berdasarkan hasil penelitiandan kesimpulandi atas, dapat disarankan beberapa hal sebagaiberikut. Masyarakat Sumbawa mengharapkanadanya teladan elite yang benar-benar arif,bijaksana, dan menyejukkan. Oleh karena itu,segenap elite penguasa, tokoh masyarakat,dantokoh agama kiranya dapat memberikanteladanyang positif dalam berperilaku dan tetapmengampanyekan pentingnya toleransi dalamkehidupan masyarakat yang majemuk.
mempertahankan koordinasi dan kesatuansecara internal dalam setiap bagian danmembangun cara-cara untuk mengatasigangguan. (4) Latentatau patternmaintenance,yaitu setiap sistem sedapat mungkin harusmempertahankan dirinya dalam keadaan yangseimbang dan harmonis.
Pentingnya masalah integrasi tersebutbukanlah berbicara masalah pengintegrasianketurunan asing semata, melainkan masalahpengintegrasian seluruh penduduk pribumiuntuk menjadi anggota nation Indonesia.Adapunciri-ciri suatu nationadalah adanya kebudayaan,bahasa, identitas sendiri, serta perasaansolidaritas di antara sesama warga bangsa.Hasil penelitian Bruner (1972) menunjukkanbangsa Indonesia jarang sekali berbicara soalsuku bangsa bila mereka sedang berada diantara orang-orang dari suku bangsa lain, namunmereka sering kali mempercakapkan sukubangsanya sendiri. Jadi salah satu masalahserius yang dihadapi Indonesiasebagai bangsamultietnik adalah masalah integrasi nasional.Ekspresi rasa kesukubangsaan tampaknyamasih sering menimbulkan ketegangan dalamhubunganantarsuku bangsasehingga persepsisosial, stereotipe etnik, dan sikap antargolonganetnik masih memegang peranan penting dalammemelihara tingkah laku antar golongan etnikdi Indonesia.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapatdisimpulkan bahwa cara mengatasi (resolusi)konflik etnik Samawa dengan etnik Bali pascakonflik adalah melalui penerapan manajemenkonflik berbasis komunitas. Perlu dilakukankoordinasi dengan melibatkan berbagai tokohetnik yang ada di Sumbawa, meningkatkankomunikasi budaya antara etnik Samawadengan etnik Bali agar tetap menjalin hubunganyang harmonis dan toleransi antaretnik/umatyang hidup di Kabupaten Sumbawa.
Berdasarkan berbagai pembahasan di atas,dapat dirumuskan proposisi yang berkaitandengan cara mengatasi (resolusi konflik) etnikSamawa dengan etnik Bali sebagai berikut.
"Apabila kelompok etnik saling memilikikesadaran dan sikap positif antara satu
Warga etnik Samawa kiranyadapat menjagadan memelihara hubunganyang positif denganetnik Bali dengan cara memahami danmenghargai adat/tradisi yang dimiliki danditampilkan oleh etnik Bali (yang positif). Etnik
70 Populasi, 19(1),2009, ISSN: 0853 - 0262
ResolusiKonflik Etnik Samawa dan EtnikBalidiSumbawa
Bali telah menjadi bagian dari masyarakatSumbawa dan telah memberikan konstribusiyang nyata dalam mengembangkan berbagaipotensi Sumbawa di bidang ekonomi, pertanian,maupun bidang-bidang lainnya.
Warga etnik Bali kiranya dapat belajar daripengalaman pahit peristiwa konflik masa laluyang telah banyak memakan korban moralmaupun material. Oleh karena itu, segalakebiasaan negatif yang tidak berkaitan langsungdengan ritual keagamaan kiranya dapatditinggalkan demi citra diri dan nama besar Balidi mata masyarakat Sumbawa, bahkan di matadunia.
Hasil penelitian ini kiranya dapat menjadiacuan penting bagi pemerintah dalammenentukan kebijakan yang berkaitan dengankepentingan dan keberadaan etnik Samawamaupun etnik Bali serta etnik lainnya yang hidupdi Kabupaten Sumbawa yang multietnik.Dengandemikian, dapat mendukung hubungan(interaksi) yang harmonis bagi setiap etnik yangtinggal dan hidup di Kabupaten Sumbawa.
Pola kebijakan yang perlu dikembangkan,antara lain, adalah pengaturan dan pembagianlokasi lahan transmigrasi maupun lahan usahayang ada di pusat kota. Semuanya agar dapatdiatur secara adil dengan penduduk setempat.Diperlukan pengaturan pola permukiman danpembauran tempat tinggal antara parapendatang (warga Bali) dengan penduduksetempat. Warga etnis Bali perlu diberikan izinlokasi tempat peribadatan yang representatifWarga etnik Bali juga perlu dilibatkan dalamkegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.Penempatan pejabat bagi warga pendatangsebaiknya dilakukan secara proporsional danprofesional serta adanya penegakan hukumyang tegas bagi setiap warga masyarakat yangmelanggar dan melakukan kekerasan akibatkonflik.
Daftar Pustaka
Ahmad, Rofiq.2002. BudayaKepeloporandalamMobilitas Penduduk. Jakarta: Kerja samaPenerbit Puspaswara dengan Deptrans danPPH.
Atmadja, N. B. 2002. Manajemen KonflikpadaMasyarakat Desa Adat Multietnik diKabupaten Buleleng Bali. Singaraja:M.M.S.K., IKIP Negeri Singaraja
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa.2002. Sumbawa Dalam Angka. SumbawaBesar: BPS dan Bappeda Kab. Dati IISumbawa.
Bart, Frederick. 1969. Kelompok Etnik danBatasannya. Jakarta: Indonesia UniversityPress.
Bruner, Edward M. 1972. •The Expression ofEthnicity in Indonesia in A. Cohen, ed.Urbanethicity. London: Ravistock.
Depdikbud. 1977/1978. Sejarah Daerah NusaTenggara Barat. Jakarta: Pusat PenelitianSejarah dan Budaya.
Giddens,Anthony. 1999.BeyondLeftandRight,Tarian "Idiologi Alternatif di atas PusaraSosialisme dan Kapitalisme. Yogyakarta:Penerbit IRCISoD.
Haris. Syamsuddin. 2002. Otonomi Daerah,Demokratisasi dan Pendekatan AlternatifResolusi Konflik Pusat Daerah. Semarang:Makalah Kongres AIPI.
Hartoyo. 2004. Konflik dan KeharmonisanHubunganAntara EtnikAsliLampungdenganEtnikPendatangDalamDinamika KehidupanMasyarakat Lampung Pasca Orde Baru,Makalah Seminar Internasional ke-3,Salatiga: Yayasan PERCIK.
Huntington, Paul T. 1996. The Clash OfCivilization And Remarking Of World Order.New York: Simon and Schuster.
Kusnadi, H. HMA. 2002. Masalah, Kerjasama,Konflik dan Kinerja: Kontemporer & Islam.Malang: Penerbit Taroda.
Lutan, Rusli. 2001. Keniscayaan PluralitasBudaya Daerah: Analisis Dampak SistemNilai Budaya Terhadap Eksistensi Bangsa.Bandung: Angkasa.
Mac.Andrew, Colin and Rahardjo, Ed. 1982.Pemukiman di Asia Tenggara danTransmigrasi di Indonesia: Suatu
Populasi, 19(1),2009, ISSN:0853 - 0262 71
4 •. I,
Syaifuddin Iskandar
Perbandingan. Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press.
Miall, Hygh Oliver Ramsbotham, TomWoodhouse. 2000. Resolusi Damai KonflikKontemporer. Jakarta: PT Rajawali GrafindoPersada.
Pelly, Usman. 1994. Interaksi Antar SukuBangsa dalam Masyarakat Majemuk.Jakarta: Depdikbud R. I.
Ritzer, George. 2002. Sosiologi llmuPengetahuan Berparadigma Ganda.Penyadur:Alimandan. Jakarta: Penerbit CV.Rajawali Pers.
Suparlan, Parsudi. 2002. "Konflik sosial danalternatif pencegahanya", Antropologi
Indonesia, Journal of Socialand CulturalAntropology, 13(59): 1-5.
Suseno, Frans Magnis. 2000. Mencari MaknaKebangsaan. Yogyakarta: Kanisius.
Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Migrasi,Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia.Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Warnaen, Suwarsih, 2002. Stereotip EtnikdalamMasyarakat Multietnik. Yogyakarta: MataBangsa Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPIdan The Ford Foundation.
.72 Populasi, 19(1),2009, ISSN: 0853 - 0262