of 34
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
1/34
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kondisi sosial saat ini berada pada globalisasi, suatu kondisi sosial yang
membawa masyarakat pada tatanan yang mendunia, membuat terhubungnnya setiap
subsistem seperti perdagangan, akses teknologi dan informasi, komunikasi serta
budaya pada sistem yang global atau mendunia. Kondisi seperti ini membuat
seseorang dengan sangat mudah terhubung dengan siapapun dan untuk mendapatkan
segala informasi serta berkomunikasi nyaris tanpa sekat. Begitupun dengan
pembangunan yang selalu berjalan, diselaraskan dengan kondisi globalisasi ini.
Kemajuan dalam berbagai sisi kehidupan memang telah memberikan efek positif
dengan meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik, namun di sisi
lain pembangunan yang sedang berjalan ini juga memberikan efek-efek negatif yang
tak sedikit
Beberapa tahun terakhir ini, angka jumlah perikahan dini Indonesia khususnya
Yogyakarta mengalami peningkatan yang sangat mengejutkan, dan ini telah menjadi
fenomena yang cukup mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Angka
pernikahan dini tertinggi berada di daerah pedesaan yang relative miskin seperti di
Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul, akan tetapi pada dasarnya fenomena ini terjadi
merata di setiap daerah. Penyebab utama dari pernikahan dini ini adalah hamil diluar
nikah, dan pemuda adalah rentang umur yang berada dalam usia dini tersebut.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
2/34
Menurut data dari situs resmi KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia),
jumlah anak-anak yang menjadi korban pernikahan dini sangatlah banyak, menurut
data yang tercatat yaitu 34,5% atau sekitar 2 sampai 2,5 juta pasangan setiap
tahunnya. Kemungkinan masih lebih banyak lagi, hal ini di karenakan jumlah
pernikahan yang tidak tercatat di Indonesia yang masih sangat tinggi, kawin siri
misalnya. Padahal, pernikahan dini mempunyai banyak risiko yang diantaranya
adalah risiko perceraian, risiko tingginya angka kematian bayi dan ibu dan lain-lain.
Dalam setahun di Indonesia terdapat 250.000 kasus perceraian dan 10% nya sebagian
besar adalah mereka yang menikah di usia dini. Selain itu, pernikahan dini
menyebabkan risiko tingginya angka kematian bayi dan ibu, di Indonesia jumlahnya
masih berada pada 34/1000, atau dalam setiap 1000 kelahiran ada 34 orang yang
meninggal.
Dari data hasil Susenas Tahun 2009 dan 2010 dari Badan Pusat Statistik Provinsi
DIY, Kabupaten Gunung Kidul tercatat sebagai daerah di Yogyakarta dengan jumlah
kasus pernikahan dini terbanyak dan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2009
perempuan yang menikah usia dibawah 16 tahun di Daerah Istimewa
Yogyakarta sekitar 8,74% dengan prosentase terbesar di Kabupaten
Gunungkidul (15,40%) diikuti oleh Kabupaten Sleman (7,49%). Prosentase tersebut
meningkat pada tahun 2010 menjadi 10,81% dengan prosentase terbesar di
Kabupaten Gunungkidul (16,24%), diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo (10,81%) dan
Kabupaten Sleman (9,12%). Dalam surat kabar haran digital solopos.com, hingga 21
Oktober 2011 terdapat 118 pengajuan dispensasi nikah dini, angka tersebut
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
3/34
meningkat dibanding tahun 2010 lalu yang hanya mencapai 113 permohonan per 31
Desember. Keputusan memberikan dispensasi nikah berdasar pada pasal 7 Ayat 2 UU
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Berdasar UU tersebut, usia nikah bagi
perempuan minimal 16 tahun, dan jika kurang dari itu maka harus mengajukan
permohonan dispensasi. Sebagian besar pemohon mengajukan dispensasi nikah
disebabkan karena keterpaksaan, yaitu kondisi perempuan yang telah lebih dulu
hamil.
Kondisi tersebut tidak bisa lepas dari kenyataan kehidupan sosial pemuda yang
sebagian berada dalam kelompok usia dini dan remaja. Pada masa remaja ketertarikan
pada lawan jenis adalah hal yang sangat wajar, dan pacaran dikalangan remaja pun
menjadi sangat lumrah. Evi Nur (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Kehamilan
Tidak Diinginkan sebagai Ketimpangan Relasi Kuasa pada Remaja Perempuan
dalam Pacaran” mejelaskan bahwa meskipun tidak ada keharusan berpacaran, akan
tetapi bagi remaja ini berpacaran adalah sebagai keharusan, apabila tidak atau belum
pernah berpacaran maka akan mendapat berbagai cap dari teman-temannya seperti
kuper, nggak gaul, gak laku dan sebagainya. Adanya nilai-nilai tersebut dalam
pergaulan teman sebayanya itu, maka lahirlah dorongan untuk mendekati lawan
jenisnya sebagai tanda ketertarikan dan penunjukkan kemampuan. Pengaruh peer
group terlihat sebagai dorongan untuk mengikuti tren yang ada dalam kelompok usia
mereka, sehingga berpacaran tidak hanya sekedar kebutuhan dan dorongan secara
pribadi, namun juga sebagai tuntutan secara sosial ada disana. Ada tujuan-tujuan
sosial yang ingin mereka capai dalam nilai-nilai pergaulan remaja, pacaran adalah
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
4/34
salah satu indikator nilai dalam pergaulan remaja yang dilakukan untuk mendapat
pengakuan identitas remaja akhil baligh yang mampu mencari pasangan.
Pacaran memang sudah menjadi hal yang lumrah dan telah menjadi hal yang
sangat wajar bagi sebagian besar remaja. Kenyataan hubungan pacaran yang sampai
pada tahap intercourse juga sudah sangat jelas terlihat dari banyaknya kasus hamil
diluar nikah yang terjadi. Teknologi menjadi kambing hitam yang dituduh
menyediakan dan mempengaruhi remaja untuk melakukan tindakan-tindakan negatif
tersebut. Hal tersebut memang cukup beralasan, menurut Nasikun (2005) dalam Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, dalam setiap perkembangannya
teknologi tersebut selain memiliki dampak positif (tonic potentialities) juga memiliki
dampak negative (toxic potentialities). Memang kedatangan teknologi canggih dan
peran negatifnya tidak dapat disangkal lagi, bahwa ia turut memberi pengaruh negatif
bagi perkembangan pemikiran negatif remaja yang memiliki rasa ingin tahu yang
besar. Karena pengetahuan mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksi tidak
mereka dapatkan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat, maka mereka mencari
tahu sendiri melalui teknologi, internet dan handphone adalah solusi yang sangat
membantu bagi mereka. Konten-konten ‘dewasa’ pun bertebaran siap dihisap oleh
rasa penasaran mereka. Masuknya konten-konten ‘dewasa’ seperti gambar dan video
porno misalnya, dapat menjadi masukan negatif bagi perilaku remaja, terlebih saat hal
itu berpengaruh dan menjadi nilai wajib dalam hubungan pacaran remaja. jika
demikian hal itu akan sangat mudah menyebar pada remaja lain melalui peer group.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
5/34
Tingginya kasus kehamilan diluar nikah dalam usia remaja menjadi indikator
bahwa seks bebas dikalangan pemuda yang sangat tinggi pula. Peer group telah
menunjukkan pengaruhnya yang menjadikan pacaran sebagai tren dalam pergaulan
yang kemudian diterima oleh pemuda dan masyarakat. Apabila hal itu benar adanya,
pastinya ada nilai-nilai baru dalam pergaulan remaja yang menjadi dorongan mereka
dalam bergaul atau berpacaran, bisa jadi tren telah bergeser, bukan hanya sekedar
pacaran namun pacaran yang sebenarnya juga harus sampai pada hubungan seks
adalah gaya pacaran saat ini. Pacaran mungkin bisa diterima masyarakat sebagai
sebuah proses pubertas, asalkan masih pada batasnya hal tersebut tidak dilarang oleh
sebagian masyarakat, namun jika pacaran sampai pada tahap intercourse, itu sudah
merupakan pelanggaran terhadap nilai dan norma yang melarang tindakan free sex.
Masyarakat memiliki nilai dan norma yang mengatur setiap anggotanya.
Budaya ketimuran seperti halnya jawa dan Yogyakarta khususnya, masalah seperti ini
sangat sensitif dan sakral. Nilai sopan santun dan norma kesusilaan mengatur
hubungan anggotanya, terutama hubungan laki-laki dan perempuan, tidak ada
peraturan yang membolehkan hubungan seks sebelum resmi sebagai pasangan suami
istri, itu artinya perbuatan tersebut dilarang. Apabila nilai-nilai dalam budaya
ketimuran itu dipegang kuat-kuat, tentunya pelanggaran tidak akan terjadi. Dengan
penerapan nilai-nilai tersebut seakan hubungan laki-laki perempuan disana seakan
menjadi teratur dan selaras dengan tuntunan kebudayaan, namun dengan banyaknya
kasus kehamilan diluar nikah pada remaja disana membuat hal itu dipertanyakan
kembali.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
6/34
Interaksi sosial pelaku seks bebas berperan besar dalam pembentukan makna
mereka terhadap sesuatu sehingga menghasilkan perilaku seks bebas. Pola interaksi
yang terjalin dapat dikategorikan dalam pola interaksi internal dan eksternal. Pola
interaksi internal adalah interaksi yang terjadi dalam keluarga, sedangkan pola
interaksi eksternal adalah interaksi yang terjadi di luar keluarga. Interaksi dalam
keluarga dapat dilihat dari bagaiamana pola asuh yang diterapkan pada pelaku, seperti
pola asuh permisif, dialogis atau koersif. Pola interaksi eksternal dilihat sebagai
perkembangan wilayah sosialisasi yang sudah beranjak keluar tak hanya pada
keluarga yaitu komunitas teman-teman sebaya atau peer group dan juga masyarakat.
Keluarga adalah suatu kelompok primer yang berfungsi dalam membentuk
kepribadian seseorang, karena di dalam keluarga seseorang dari anak-anak
mempelajari pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dari
masyarakat. Semua itu dipelajari dan diperoleh melalui interaksi dan sosialisasi di
keluarga, maka dari itu keluarga juga biasa disebut sebagai agen sosialisasi. Dari
keluarga pula lah seorang pemuda hendaknya mengetahui nilai benar dan tidaknya
suatu perbuatan serta konsekuensi-konsekuensinya. Dengan tertanamnya nilai-nilai
tersebut seharusnya tindakan melanggar seperti halnya perilaku seks bebas pra nikah
tidak terjadi.
Minimnya interaksi sosial pada pemuda dalam keluarga dan masyarakatnya
secara umum menjadi tolok ukur yang menujukkan minimnya pula internalisasi nilai-
nilai sosial kepada pemuda. Tidak banyak waktu yang mereka habiskan bersama
keluarga dan masyarakat umum untuk bersosialisasi, dan mereka lebih banyak
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
7/34
menghabiskan waktunya bersama teman-teman sebayanya. Misalnya saja bagi
pemuda yang masih bersekolah, mereka dari pukul 06:30 sudah beranjak dari rumah,
di sekolah mereka bergaul bersama dengan peer group-nya. Lalu mereka pulang pada
sore hari, belum lagi mereka yang memiliki jadwal les, bimbel, kursus dan
sebagainya. Ketika mereka pulang pun belum tentu bertemu orang tua, karena orang
tua mereka mungkin sedang bekerja diluar rumah, kemudian mereka bermain pun
dengan teman sebayanya pula, malam hari mereka bertemu dengan orang tua pun
tidak terlalu lama. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama peer group.
Dengan kondisi yang sedemikian rupa tidak jarang apabila pemuda merasa lebih
nyaman berada dengan peer group ketimbang bersama dengan orang tuanya, ia
merasa sesamanya adalah yang paling mengerti kondisi mereka.
Apabila kondisi sudah demikian, terjadi proses sosialisasi yang tidak
berimbang, internalisasi nilai dari keluarga dan masyarakat pun menjadi sulit, dan
nilai-nilai dalam bergaul dengan sesama atau peer group adalah nilai yang lebih
mereka perhatikan dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ketika nilai-
nilai negatif masuk dalam peer group, maka akan sangat mungkin menular pada
remaja yang lain, seperti halnya free sex atau hubungan seksual pranikah dalam
berpacaran.
Akan tetapi, kondisi ini sangat tergantung pada kondisi sosial masyarakat dan
institusi yang membingkai mereka. Kondisi seperti itu tentunya tidak berlaku dalam
sebuah masyarakat seperti lingkungan Pondok Pesantren misalnya. Sehingga hal ini
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
8/34
menyimpulkan bahwa adanya faktor eksternal berupa budaya masyarakat yang
membingkai mereka yang bisa mempengaruhi tindakan mereka.
Ketika pacaran sudah menjadi nilai keharusan begi remaja, mereka sudah
memiliki dorongan secara sosial dan alasan akan pentingnya pacaran bagi mereka.
misalnya saja untuk meningkatkan motivasi dalam belajar atau untuk mengikuti tren
kebutuhan dalam usia mereka, atau mungkin alasan-alasan lain, yang pasti alasan
mereka memilih hal tersebut karena memiliki tujuan dan keuntungan dari apa yang
mereka lakukan. Lalu muncul stereotype apabila seusia mereka belum punya pacar
maka mereka dicap gak laku, kuper dan sebagainya. Akan tetapi nampaknya saat ini
pacaran tidak hanya sekedar hubungan biasa yang hanya sampai pada tahap
berpengan tangan, pelukan, kissing, necking dan lain sebagainya, namun sudah pada
tahap intercourse.
Tak hanya sekedar perilaku seks bebas dan pernikahan dini saja yang menjadi
masalah sosial, tetapi dari satu masalah tersebut menimbulkan masalah-masalah yang
lain, berikut adalah beberapa masalah yang dapat ditimbulkannya. Aborsi menjadi
pilihan ketika perilaku seks bebas yang dilakukan dengan tanpa alat kontrasepsi
kemudian terjadi kehamilan yang tak diinginkan pada remaja perempuan. Pernikahan
dini menjadi keharusan ketika pasangan perempuan telah lebih dahulu hamil dan
tidak melakukan pengguguran kandungan. Kondisi tersebut memiliki konsekuensi
yaitu terhentinya pendidikan bagi perempuan karena kondisinya yang tidak
memungkinkan atau penolakan dari sekolah. Kondisi rumah tangga bagi pasangan
pernikahan dini juga sangat rawan terhadap konflik karena usia mereka yang masih
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
9/34
muda sehingga belum matang secara mental, sehingga rawan terjadi kekerasan dalam
rumah tangga dan perceraian. Belum matangnya secara fisik bagi perempuan untuk
hamil dan melahirkan juga memberi banyak risiko, sehingga meningkatkan angka
kematian bayi dan ibu. Usia muda bagi pasangan pemuda dibawah umur tentunya
belum bisa memberi nafkah bagi keluarganya sendiri sehingga perekonomiannya
masih bergantung pada orang tua, dalam kondisi ekonomi orang tua yang sudah sulit
tentunya akan semakin memberatkan.
Pernikahan usia muda juga menjadi salah satu penyebab masalah
kependudukan. Hal ini dikarenakan semakin muda usia pernikahan semakin panjang
masa subur bagi perempuan dan semakin banyak kemungkinan anak yang akan
dilahirkan. Apabila tidak terjangkau program Keluarga Berencana maka kondisi ini
akan menyebabkan masalah semakin banyaknya jumlah penduduk dan berbagai
masalah kependudukan lain.
Keberadaan nilai dan norma dalam masyarakat adalah untuk membimbing dan
mengarahkan tindakan dan perilaku anggota masyarakatnya agar selalu ideal, selaras
dengan keinginan masyarakat tersebut. Keluarga berperan sebagai agen sosialisasi
nilai-nilai tersebut, karena dengan nilai-nilai dari hasil dari interaksi dalam keluarga
itu akan menjadai bekal bagi pemuda dalam berperilaku. Nilai dan norma mengarah
pada perilaku yang dianggap baik berdasarkan budaya yang ada. Apabila nilai dan
norma tersebut dilanggar maka akan ada sanksi-sanksi sosial dan institusional yang
berlaku terhadap setiap anggota yang melanggarnya. Begitu pula dengan perilaku
seks pranikah sampai pada kasus kehamilan tak diinginkan, adalah bentuk
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
10/34
pelanggaran terhadap nilai dan norma tersebut. Secara agama pun tidak membenarkan
perbuatan tersebut, dan apabila nilai dan norma dalam masyarakat yang ada itu selalu
dipegang teguh, meskipun dalam kondisi sosial yang penuh dengan godaan,
seharusnya mereka tidak akan terjerumus pada tindakan yang melanggar. Akan tetapi,
tingginya kasus pernikahan dini yang didahului dengan kehamilan pranikah berawal
dari perilaku seks pranikah pelakunya, menunjukkan bahwa remaja telah
mengabaikan nilai dan norma yang berlaku.
B. MASALAH PENELITIAN
Fenomena sosial pernikahan dini yang dilatar belakangi kehamilan tak diinginkan
telah menjadi masalah bagi hampir seluruh masyarakat secara nasional. Pasalnya, dari
masalah ini melahirkan masalah-masalah sosial lain yang mengkhawatirkan.
Penyebab dari perilaku seks bebas juga banyak, bisa berasal dari internal keluarga
maupun eksternal dari pergaulan, teknologi dan masyarakat yang lebih luas.
Budaya Jawa khususnya masyarakat Gunung Kidul memiliki nilai dan norma
yang mengatur tindakan anggota masyarakatnya, lebih jauh yang mengatur hubungan
antara laki-laki dan perempuan yang melarang perilaku seks pra nikah. Keluarga
adalah sebagai agen sosialisasi nilai-nilai dan norma-norma tersebut kepada para
pemuda. Dengan perannya menanamkan niai dan norma tersebut nantinya pemuda
akan memiliki panduan berperilaku yang sebagaimana diharapkan. Apabila nilai dan
norma tersebut dipegang teguh oleh setiap pemuda, maka tidak akan ada tindakan
yang menyimpang dan melanggar. Akan tetapi nyatanya perilaku seks bebas pranikah
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
11/34
terus saja terjadi meski tindakan tersebut tidak sesuai dengan nilai dan norma budaya
serta agama. Namun sosialisasi dan interaksi mereka tak hanya terjadi dalam
keluarga, namun berkembang pada komunitas lain hingga masyarakat yang lebih
luas.
Dari latar belakang dan uraian diatas, maka masalah penelitian yang dijawab
disini adalah:
1. Bagaimanakah pola interaksi pelaku seks bebas pra nikah di Gunung
Kidul dalam keluarga, peer group dan masyarakat?
2. Bagaiamanakah makna yang terbangun oleh pelaku terhadap seks bebas
pra nikah sebagai hasil interaksi dari keluarga, peer group dan
masyarakat?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mencari tahu dan menggambarkan interaksi-interaksi pemuda pelaku seks
bebas pra nikah yang terjadi baik internal di keluarga maupun eksternal di
peer group dan masyarakat sehingga mempengaruhi pemaknaan mereka
terhadap perilaku seks bebas.
2. Mengetahui makna yang terbentuk dari pengaruh pola interaksi pelaku seks
bebas baik dari internal di keluarga maupun eksternal di peer group dan
masyarakat, sehingga dari pemaknaan tersebut membawa mereka pada
tindakan seks bebas.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
12/34
D. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian dalam tema ini bukanlah penelitian pertama dan satu-satunya yang ada,
beberapa judul dari tema yang mirip telah ada sebelumnya, namun hal ini justru akan
menambah pengayaan dalam menjelaskan permasalahan secara lebih komprehensif
dan mendalam. Hasil penelitian tersebut yang pertama adalah skripsi sosiologi
dengan judul “KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN (KTD) SEBAGAI
KETIMPANGAN RELASI KUASA PADA REMAJA PEREMPUAN DALAM
PACARAN” (Studi kasus terhadap remaja korban KTD di LSM PKBI) karya Evi
Nur Akhidah dalam Perpustakaan Fisipol UGM.
Hasil skripsi tersebut berfokus dalam mencari tahu dan menggambarkan
kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berujung pada kehamilan yang tak
diinginkan, serta masalah-masalah yang menyertainya dikemudian hari. Dimana
penelitian tersebut menekankan adanya ketimpangan gender dalam hubungan remaja
laki-laki dan perempuan. Sedangkan dalam penelitian kami berfokus pada interaksi-
interaksi dalam keluarga menurut informan, dimana interkasi-interaksi dalam
keluarga ini diasumsikan sebagai rujukan-rujukan informan dalam berpikir dan
bertindak.
Hasil penelitian kedua yaitu berjudul “KEHAMILAN TAK DIKEHENDAKI DI
KALANGAN REMAJA”. Yaitu salah satu dari 30 judul penelitian yang didanai oleh
kerjasama Ford Fondation dan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah
Mada (PPK-UGM) yang hasilnya dipublikasikan pada tahun 1996 dan 1997.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
13/34
Penelitian ini dikerjakan oleh Yayah Khisbiyah dan kawan-kawan dan diterbitkan
oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada.
Pada penelitian dijudul kedua ini lebih menekankan pada tindakan-tindakan
remaja terkait dorongan seksual dan pertimbangannya terhadap tendensi-tendensi
kesehatan reproduksi seperti pencegahan penularan penyakit kelamin, serta tindakan-
tindakan penyaluran dorongan seksual yang dipilih terkait dengan masalah tendensi
tersebut. Hasil dari penelitian tersebut menjabarkan bahwa insiden kehamilan tak
dikehendaki dikalangan remaja pra nikah terjadi secara relative proporsional pada
kategori status sosial ekonomi rendah, sedang dan tinggi. Mereka juga berasal dari
latar belakang keluarga yang dipersepsikan sendiri sebagai harmonis. Ditemukan
fakta pengetahuan yang rendah terhadap fungsi dan proses reproduksi sehat. Dalam
kondisi yang terlanjur hamil, remaja dihadapkan pada dua pilihan, melanjutkan
kehamilan atau aborsi. Pada umumnya remaja yang melanjutkan kehamilannya lebih
dikarenakan keterpaksaan. Adapun konsekuensi-konsekuensi secara psikologis dan
sosial ekonomi yang mereka hadapi adalah beban menanggung predikat atau status
ibu lajang, putus pendidikan, sulit mencari kerja, ketergantungan finansial pada
orangtua dan goyahnya perkawinan.
Penelitian-penelitian yang berfokus pada masalah seks bebas memang cukup
banyak, namun penelitian ini mengambil sudut yang berbeda. Meletakkan keluarga
sebagai sosialisasi primer, sumber dari internalisasi berbagai nilai dan norma yang
mengatur pemuda dalam bertindak. Sehingga perilaku seks bebas yang dilakukan
pemuda di Gunung Kidul dipengaruhi oleh pola asuh dan sosialisasi yang ia jalani
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
14/34
dalam keluarga. Selain itu, penelitian ini juga berupaya menemukan nilai-nilai dan
ataupun situasi kondisi tertentu yang ikut mendorong terjadinya perilaku seks bebas
pranikah pada pemuda di Gunung Kidul.
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Setidaknya terdapat tiga paradigma dalam sosiologi yang menyebabkan sosiologi
disebut sebagai “Ilmu Pengetahuna Berparadigma Ganda”. Menurut Ritzer (2011)
Paradigma itu sendiri adalah pandangan mendasar dari ilmuan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh satu cabang imu
pengetahuan. Dari tiga paradigma yang ada paradigma definisi social adalah
paradigma yang digunakan untuk menganalisis masalah ini.
Paradigma definisi sosial memandang hakekat kenyataan sosial bersifat
subyektif, kenyataan social lahir dari motivasi individu dan tindakan-tindakan social
(social actions). Paradigma ini diwakilkan oleh Max Weber yang mengemukakan
paradigma definisi sosial. Menurutnya, pokok persoalan sosiologi adalah proses
pendefinisian sosial dan akibat-akibat dari suatu aksi serta interaksi sosial. Jadi,
pokok perhatiannya adalah menafsirkan dan memahami (interpretatif understanding)
mengenai proses berpikir yang bersifat intersubyektif dan intrasubyektif dengan
melibatkan arti atau makna dan simbol-simbol dalam suatu aksi dan tindakan sosial.
Terdapat beberapa teori yang bernaung di bawah paradigma ini, diantaranya adalah
teori aksi sosial, teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
15/34
Karena penelitian itu bersifat ilmiah, maka dalam penelitian itu memerlukan teori,
meski dalam penelitian kualitatif peran teori tidak sekuat dalam penelitian kuantitatif,
akan tetapi dalam penelitian kualitatif pun juga membutuhkan teori. Dalam penelitian
kualitatif teori digunakan untuk bekal dalam memahami konteks sosial secara lebih
luas dan mendalam, serta mempertajam mengenai fakta lapangan yang dipelajari.
Dari beberapa teori yang ada dalam paradigma defenisis sosial, yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori ‘interaksionisme simbolik’.
Teori atau pendekatan interaksionisme simbolik ini bersumber dari George
Herbert Mead yang pendapat hampir serupa dengan Weber mengenai pokok
perhatian sosiologi, Mead membedakan covert behavior dan overt behavior untuk
menekankan pokok perhatian interkasionisme simbolik. Covert behavior adalah
tingkah laku yang tersembunyi, yaitu proses berpikir yang melibatkan arti dan
simbol-simbol. Sedangkan Overt behavior adalah tingkah laku aktual yang tidak
melibatkan covert behavior atau proses berpikir. Sehingga pokok perhatian dari
interaksionisme simbolik adalah covert behavior, sedangkan overt behavior menjadi
pokok perhatian dari paradigma perilaku sosial.
Penelitian ini berfokus pada tindakan sosial, tindakan pemuda yang melanggar
nilai dan norma dengan melakukan hubungan seks pra nikah. Tindakan sosial tersebut
dipengaruhi oleh beberapa hal, mulai dari diri sendiri (internal), maupun orang lain
(eksternal) melalui interaksi, sosialisasi dan internalisasi. Internalisasi yang
dimaksud disini adalah masuknya nilai-nilai ke dalam kerangka budaya yang dianut
individu (Saptari, 1997). Dalam proses mempengaruhi tersebut terdapat interaksi
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
16/34
sosial di dalamnya, bisa secara timbal balik (aktif) ataupun satu arah (pasif).
Mengutip Kamanto Sunarto, untuk membicarakan tentang interaksi sosial, diperlukan
interactionist perpective (Douglas, 1973). Terdapat beberapa pendekatan untuk
mempelajari interaksi sosial, termasuk teori interaksionisme simbolik yang digunakan
dalam penelitian ini.
Kamanto Sunarto (1993) menyimpulkan tiga pokok pemikiran yang terdapat
dalam interaksionisme simbolik, antara lain:
1. Manusia bertindak (act ) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning)
yang dipunyai sesuatu tersebut baginya.
2. Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi
sosial anatara seseorang dengan sesamanya.
3. Makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran
(interpratative process), yang digunakan seseorang dalam menghadapi
sesuatu.
Seseorang dalam bertindak itu didasarkan oleh pemaknaan seseorang tersebut
terhadap sesuatu yang ia jumpai. Makna dan pemaknaan terhadap sesuatu tersebut
diperoleh seseorang dari adanya interaksi sosial seseorang itu dengan sesamanya.
Selanjutnya seseorang tersebut melakukan proses terhadap makna yang ia peroleh
pada proses selanjutnya, yaitu proses penafsiran. Melalui proses penafsiran inilah
yang nantinya menentukan tindakan apa yang akan ia lakukan terhadap sesuatu yang
ia jumpai. Meski pemuda di Gunung Kidul telah mengetahui makna dan aturan
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
17/34
tentang nilai dan norma yang melarang perilaku seks pra nikah, akan tetapi mereka
tetap melanggar dan melakukan tindakan tersebut.
Ritzer menjelaskan dalam bukunya “Teori Sosiologi Modern” (2004) bahwa,
karena manusia itu hanya memiliki kapasitas untuk berpikir, maka kapasitas tersebut
harus dibentuk dan diperhalus melalui proses interaksi sosial, yaitu sosialisasi.
Kemampuan berpikir dikembangkan sejak dini dan di perhalus selama sosialisasi saat
dewasa, namun proses ini tidak berhenti sampai ia dewasa, tetapi proses ini terjadi
terus-menerus dalam hidupnya. Menurut teoritisi interaksionisme sombolik,
sosialisasi adalah proses yang lebih dinamis, yang memungkinkan manusia
mengembangkan kemampuan untuk berpikir, untuk mengembangkan cara hidup
manusia tersendiri. Sosialisasi bukanlah sebuah proses satu arah dimana aktor hanya
pasif menerima informasi begitu saja, namun sosialisasi merupakan proses dinamis
dimana aktor menyusun dan menyesuaikan informasi itu dengan kebutuhan mereka
sendiri.
Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi
antar individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang
dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses
interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan bersifat langsung
terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya. Tetapi
tindakan itu merupakan hasil dari suatu proses interpretasi dari stimulus. Jadi,
diperlukan proses belajar dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling
menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
18/34
Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu
memberikan batasan-batasan terhadap tindakannya, namun manusia memiliki
kemampuan berpikir, sehingga manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan
tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya (Ritzer, 2011: 58-59). Hal
tersebut didukung oleh pendapat Thomas dalam George Ritzer dan Douglas J.
Goodman (2004), sebenarnya Thomas menekankan bahwa, yang menjadi sumber
definisi sosial kita terutama adalah keluarga dan komunitas. Pada penekanan
selajutnya ia menyebutkan bahwa kemungkinan individu mendefinisikan situasi
secara spontan yang memungkinkan mereka mengubah dan memodifikasi arti dan
simbol. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Robert Bogdan dan Steve J.
Taylor (Bogdan dan Taylor, 1975; 15) yang berpendapat :
“while people may act within the framework of organization, it is theinterpretation and not the organization determines action. Social rules, norms,
values, and goals may set conditions and consequences for action, but do not
determines what person will do.”
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka ketika pemuda melakukan tindakan
hubungan seks pranikah dalam suatu masyarakat yang sejatinya melarang tindakan
tersebut, tindakannya adalah merupakan penafsirannya sendiri dan bukan masyarakat
yang menentukan sikap dan tindakan pemuda tersebut. Aturan sosial, norma-norma,
nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat bisa menciptakan kondisi dan konsekuensi
atas tindakan yang dilakukan oleh pemuda tersebut, namun tidak menentukan apa
oyang akan dilakukan oleh pemuda itu.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
19/34
Teori interaksionisme simbolik memfokuskan pada tindakan dan sikap seseorang,
dalam memutuskan suatu tindakan dan sikap tersebut seseorang melakukan suatu
proses yang melibatkan makna dan kemampuan berpikir yang dibentuk dan
dikembangkan melalui pengaruh oleh interaksi sosial. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Thomas diatas, bahwa sumber dari definisi sosial adalah keluarga
dan komunitas. Keluarga adalah kelmpok primer dalam sosialisasi seseorang, ia
adalah agen sosialisasi inti dari masyarakat, yang mengajarkan berbagai macam nilai,
norma, moral, agama dan lain-lain. Sehingga dari keluarga seseorang memiliki bekal
(nilai, norma, moral dan agama) dalam melakoni interaksi dan sosialisasi yang lebih
luas dari keluarga. Sedangkan komunitas merupakan kelompok sosial yang lebih
besar dari keluarga yang juga merupakan bagian dari masyarakat tempat berinteraksi
dan bersosialisasinya seorang pemuda.
Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat
(Khairuddin, 1985:10). Karena menurut fungsi sosialisasinya, keluarga berperan
dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu anak
mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cinta-cita dan nilai-nilai dalam
masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya (Khairuddin, 1985:60).
Dalam kondisi normal seseorang yang lahir dan tumbuh dalam keluarga, interaksi dan
sosialisasi yang terjadi di dalamnya tentu sangat berpengaruh dalam internalisasi nilai
dan norma serta makna-makna yang ada dalam masyarakat. tidak hanya interaksi
dalam kelompok primer seperti keluarga, dalam kelompok sosial pun interaksi juga
sangat dominan. Robert K. Merton (1965:285), menyebutkan tiga kriteria obyektif
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
20/34
dalam suatu kelompok. Pertama, kelompok ditandai dengan sering terjadinya
interaksi. Kedua, pihak-pihak yang berinteraksi mendefinisikan dirinya sebagai
anggota kelompok. Ketiga, pihak-pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh orang
lain sebagai anggota kelompok.
Keluarga merupakan sumber bagi internalisasi yang utama bagi individu yang
mempengaruhinya dalam berpikir dan bertindak, George H. Mead (Gillin dan Gillin.
Cultural Sociology, 1954;489) berpendapat bahwa struktur-struktur sosial peran-
peran sosial dan institusi-intitusi mempengaruhi perilaku melalui makna-makna
bersama yang terungkap dalam simbol-simbol kelompok dan cara simbol-simbol ini
ditafsirkan dalam pertukaran diantara individu-individu. Sehingga dengan interaksi
yang cukup dan internalisasi nilai dan norma yang memadahi, hendaknya simbol
nilai-dan norma tersebut mampu mempengaruhi pemuda dalam berpikir dan
bertindak. Realitas banyaknya pemuda yang menikah karena latar belakang
kehamilan tak diinginkan mengindikasikan fenomena seks bebas pra nikah yang
signifikan. Kenyataan tersebut mengindikasikan masalah interaksi dalam keluarga
yang berakibat pada kurangnya internalisasi nilai dan norma yang semestinya
menjadi pertimbangan pemuda dalam berpikir dan bertindak.
Di dalam keluarga seseorang mendapatkan makna dasar dari seseuatu seperti
halnya nilai dan norma, misalnya seseuatu itu dikatakan baik untuk dilakukan atau
buruk dan dilarang untuk dilakukan. Dari sini ia belajar mengenai makna mengenai
perilaku-perilaku yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan, mungkin ini
berkaitan dengan pola asuh yang diterapkan orang tua pemuda dalam interkasinya di
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
21/34
dalam keluarga. Kohn (Krisnawaty. 1986: 46) berpendapat bahwa pola asuh
merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua
ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara
orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta
tanggapan terhadap anaknya. Menurut Hourlock dalam Chabib Thoha (1996 : 111-
112) mengemukakan ada tiga jenis pola asuh orang tua terhadap anaknya, yakni: 1.)
Pola asuh koersif, ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturanaturan yang
ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya(orang tua),
kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anakjarang diajak
berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua menganggap bahwa
semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak. Pola
asuh yang bersifat koersif juga ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras,
lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala keperluan
dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan meskipun sudah menginjak
usia dewasa. Anak yang dibesarkan dalam suasana semacam ini akan besar dengan
sifat yang ragu-ragu, lemah kepribadian dan tidak sanggup mengambil keputusan
tentang apa saja. 1.) Pola asuh dialogis, ditandai dengan adanya pengakuan orang tua
terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung
pada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa
yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam
pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak
diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
22/34
sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan
diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya. 3.) Pola asuh
permisif, ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak
dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluasluasnya untuk
melakukan apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah,
juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Semua apa yang
telah dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran, arahan
atau bimbingan.
Akan tetapi, bukan hanya keluarga dan komunitas saja yang menentukan cara
berpikir dan bertindak seseorang. Masih ada masyarakat dan media massa yang juga
memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi tersebut. Karena keluarga merupakan
unit terkecil dalam masyarakat, sehingga setidaknya keluarga juga di pengaruhi oleh
hal-hal yang ada dalam masyarakat seperti halnya nilai norma dan aturan-aturan yang
ada. Masyarakat meliputi hal yang lebih luas dan kompleks daripada keluarga,
diantaranya ada kelompok-kelompok social lain diluar keluarga, lembaga-lembaga
social dan juga terdapat media massa. Luasnya jaringan interaksi social seseorang
dalam masyarakat serta komunitas yang ia ikuti juga berpengaruh terhadap cara pikir
dan pemberian makna terhadap perilaku seks. Semakin luas jalinan interaksi
sosialnya semakin luas pengetahuannya akan semakin membuka pikiran dan cara
pandang yang ia miliki. Komunitas dalam hal ini mudahnya diartikan sebagai peer
group atau teman-teman sebaya. Perkembangan teknologi dalam informasi telah
membawa perubahan sosial yang membuat nilai seks bukan lagi sebagai hal yang
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
23/34
tabu bagi masyarakat. Akan tetapi, pengetahuan dan pembelajaran yang kurang bagi
mereka baik dari keluarga maupun sekolah, ketika berhadapan dengan perubahan
sosial ini akan menjadi masalah. Pasalnya, pendidikan seks dalam keluarga dan
sekolah masih sangat minim, dengan banyaknya pemberitaan yang terbuka mengenai
seks atau yang berbau seksual, menjadi pertanyaan besar bagi mereka yang
membuatnya penasaran. Terlebih karena pemuda telah memliki dorongan secara
seksual. Dalam kondisi yang seperti ini, mereka akan mencari tahu sendiri akan rasa
ketertarikannya tersebut. Media teknologi adalah sarana yang sangat membantunya,
melalui internet dan HP yang canggih kini semua informasi dapat diakses. Akan
tetapi konten porno pun bertebaran yang sangat mudah masuk dalam gadget mereka
yang nantinya menjadi pengaruh buruk bagi perkembangan perilakunya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian diatas adalah bahwa manusia dalam
kehidupannya bermasyarakat itu tidak lepas dari interaksi sosial dan sosialisasi
sepanjang hidupnya. Adanya kemampuan manusia untuk berpikir, dalam proses
interaksi dan sosialisasi ia melakukan penafsiran terhadap sesuatu yang ia hadapi,
sehingga dapat membantunya menentukan perilaku atau tindakan. Bagaimana
penafsiran atau pemaknaan terhadap seseuatu berpengaruh terhadap tindakan yang
akan ia lakukan. Keluarga merupakan sumber bagi internalisasi yang utama bagi
individu yang mempengaruhinya dalam berpikir dan bertindak. Lemahnya nilai dan
norma yang ditanamkan pada pemuda berpengaruh pada semakin permisifnya
tindakan mereka. Hal ini menyebabkan semakin rendahnya moral seseorang hingga
melanggar nilai dan norma yang melarang perilaku seks pranikah. Agama sebagai
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
24/34
salah satu sumber ajaran-ajaran keyakinan dan sumber aturan nilai serta norma pun
pengaruhnya semakin berkurang dengan adanya perubahan sosial di berbagai bidang.
Perubahan sosial juga membawa dampak terhadap nilai tabu terhadap seks menjadi
sesuatu yang umum dan hal yang wajar sampai menjadi perbincangan publik, seperti
halnya banyak diberitakan dalam media massa, serta konten-konten negative (porno)
yang dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja.
F. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus. Pemilihan penelitian secara kualitatif dikarenakan studi kualitatif dapat
menganalisa realita sosial secara lebih mendalam. Pengertian motode penelitian
kualitatif sendiri menurut R. Bogdan dan S. Taylor dalam Introduction to qualitative
reaserch, adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati dilanjutkan dengan
analisa dan interpretasi terhadap data tersebut, sehingga dapat menelaah dan
menganalisa data dengan baik dan sistematis (R.Bogdan dan S.Taylor dalam Partini
dan Raharjo, Aplikasi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, 2008)
Studi kasus sendiri menurut Faisal (1995;22) merupakan tipe pendekatan dalam
penelitian yang penelaahnya kepada satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam,
mendetail dan komprehensif. Lebih lanjut mengenai studi kasus, menurut Yin
(2003;1-21) studi kasus adalah inquiri empiris yang menyelidiki fenomena dan
konteks tak nampak dengan tegas; dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
25/34
Studi kasus lebih dikehendaki untuk melacak peristiwa-peristiwa kontemporer, dan
bila peristiwa-peristiwa yang bersangkutan tidak dapat dimanipulasi. Penelitian ini
menggunakan desain studi kasus tunggal holistik. Penggunaan studi kasus tunggal
dipilih karena penelitian sesuai dengan dua dari tiga kriteria kecocokan yang
disebutkan Yin (2003; 46-54) Pertama, merupakan suatu peristiwa yang ekstrem atau
unik. Kedua, berkaitan dengan tujuan penyingkapan. Rasional lain untuk memilih
desain kasus tunggal dan bukan desain kasus ganda adalah bahwa peneliti memiliki
akses (izin masuk) terhadap suatu situasi yang semula tak memberi peluang bagi
pengamatan ilmiah. Sedangkan dipilihnya desain kasus tunggal holistik dan bukan
kasus tunggal terjalin, dikarenakan kasus perilaku seks bebas pra nikah dengan teori
interaksionisme simbolik yang mendasari adalah sifat yang holistik. Selain itu, desain
holistik dipilih karena analisis berfokus pada satu unit analisis atau beberapa kasus
yang sama dalam satu masyarakat dan data-data lain dikumpulkan dari sekitarnya
untuk mendukung, bukan untuk dianalisis sendiri-sendiri. Desain holistik ini
meminimalisir perubahan fokus penelitian pada subunit analisis yang lain jika
menggunakan studi kasus terjalin, mengingat tema seks bebas adalah tema yang
sangat luas dengan berbagai masalah yang melatarbelakangai dan mengikutinya.
F.1. Penentuan Unit Analisis dan Pemilihan Informan
Dalam penelitian kualitatif penerapan satuan kajian atau unit analisis adalah
penting. Unit analisis dalam penelitian ini adalah perseorangan atau individu dan
bukan kelompok. Individu tersebut adalah pemuda dengan latar belakang pernikahan
yang didahului dengan kehamilan tak diinginkan.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
26/34
Satuan kajian ini pula yang merupakan penentu dari informan dan strategi
pemilihan informan. Pada penelitian kualitatif pemilihan informan tidak dilakukan
secara acak, tetapi secara purposive, yang dimaksud adalah perseorangan atau bagian
yang telah ditunjuk sebagai kajian sesuai dengan kriteria-kriteria yang dibutuhkan,
sehingga pengumpulan data dipusatkan disekitarnya, data yang dikumpulkan adalah
apa yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang mempengaruhi, hingga bagaiamana
pemikirannya (Maleong, 1990).
Penelitian ini berfokus pada pasangan pemuda pelaku seks bebas pranikah untuk
menggambarkan interaksinya dalam keluarga, peer group dan masyarakat. Perilaku
seks bebas tersebut tergambar dalam tingginya angka pernikahan dini yang sebagain
besar dikarenakan keterpaksaan, yaitu kondisi perempuan yang sudah lebih dahulu
hamil. Pasangan pemuda yang dimaksud disini adalah mereka yang telah menikah
(laki-laki dan perempuan) dengan didahului kehamilan tak diinginkan.
Pemuda adalah fokus dari penelitian ini, pemuda itu sendiri memiliki definisi
yang beragam dari berbagai sudut pandang. Menurut sosiologi dan sejarah, mereka
lebih menekankan kepada nilai subyektifnya ─ kepemudaan dirumuskan berdasarkan
tanggapan masyarakat dan kesamaan pengalaman historis. Sedangkan psikologi
membantu dalam memperkirakan periode pertumbuhan kepribadian, yang sangat erat
pula hubungannya dengan latar belakang kebudayaan (Yasin, M. (et al.): 1974;1-2).
Pemuda adalah mereka yang sedang mengalami perkembangan secara fisik dan
secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional. Pemuda adalah individu
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
27/34
dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis, namun belum
memiliki pengendalian emosi yang stabil.
Lembaga internasional WHO menyebut pemuda dengan istilah “ young people”
dengan batasan usia 10-24 tahun, sedangkan mereka yang berusia 10-19 tahun
disebut sebagai “adolescenea” atau remaja. Definisi berdasarkan usia adalah definisi
teknis yang berbeda-beda berdasar pada konsep dan budaya yang melatar belakangi
masyarakatnya. Sedangakan di Indonesia berdasarkan UU No. 40 Tahun 2009
tentang Kepemudaan, pemuda adalah mereka yang dengan rentang usia 16-30 tahun.
Berdasarkan pertimbangan konsep, karakter dan budaya masyarakat Indonesia,
definisi teknis yang akan digunakan adalah definisi berdasarkan UU Kepemudaan.
Informan inti adalah pasangan (suami isteri) dengan rentang usia 16-30 tahun, lebih
lanjut yaitu pasangan yang menikah dengan didahului kehamilan tak diinginkan.
Dengan kriteria informan tersebut, didapat empat pasangan atau delapan orang
pemuda, empat orang laki-laki dan empat orang perempuan. Dalam proses
pengerjaan penelitian ini, salah satu pasangan informan resmi bercerai, namun data
yang didapat dari informan tersebut tetap dipakai dan memperkaya analisis pada bab
IV.
F.2. Lokasi Penelitian
Berdasarkan data yang ada, jumlah kasus pernikahan dini secara keseluruhan
sudah sangat tinggi. Kasus ini terjadi merata pada seluruh daerah, dan tidak hanya
terbatas pada sisi geografis, tetapi juga merata secara sosial dan ekonomi, terjadi pada
orang kaya dan miskin, status sosial tinggi dan rendah, serta tidak berdasar agama.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
28/34
Lokasi penelitian ini berada di sebuah desa di Kabupaten Gunung Kidul, Dearah
Istimewa Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive,
yaitu suatu teknik penentuan lokasi penelitian secara sengaja berdasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Mengingat Gunung Kidul adalah sebagai salah
satu tempat yang kaya budaya dan tradisi, serta sumber dari beberapa kesenian
tradisional seperi Jathilan dan Campur Sari. Tersohornya Gunung Kidul adalah
karena sifat-sifat tradisional dan nilai-nilai luhur yang masih terjaga, akan tetapi seks
bebas yang terjadi bertentangan dengan nilai luhur dan norma masyarakatnya. Hal ini
tentunya akan mengikis budaya masyarakat Gunung Kidul yang senantiasa
menjunjung sifat-sifat ketradisionalannya. Gunung Kidul dirasa cocok sebagai lokasi
penelitian ini guna menyingkap masalah yang bertentangan dengan nilai luhur dan
budaya Ketimurannya.
Selain alasan-alasan tersebut diatas, pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan
atas pertimbangan (1) data hasil Susenas Tahun 2009 dan 2010 dari Badan Pusat
Statistik Provinsi DIY, Kabupaten Gunung Kidul tercatat sebagai daerah di
Yogyakarta dengan jumlah kasus pernikahan dini terbanyak dan terus mengalami
peningkatan ; (2) secara geografis, letaknya tidak terlalu jauh dari kota Yogyakarta
sehingga tidak mengalami kesulitan untuk menjangkau wilayah tersebut ; (3) peneliti
telah memiliki pengalaman tinggal bersama dengan masyarakat dan informan,
sehingga secara empiris telah memiliki pengetahuan tentang kondisi sosialnya,
sehingga memberi nilai tambah bagi interpretasi dan kemudahan dalam melakukan
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
29/34
pengumpulan data ; (4) dalam satu desa dimana lokasi penelitian ini dipilih, hampir
setiap tahunnya selalu terjadi kasus pernikahan yang didahului dengan kehamilan.
F.3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data mengenai pola interaksi remaja dialakukan observasi
terhadap kehidupan informan. Kemudian, dilakukan wawancara untuk menggali
kesadaran remaja tentang seks pranikah. Melaui metode tersebut tergambar makna
yang disusun oleh subjek berdasarkan sudut pandang subjek itu sendiri, namun
peneliti juga membuat penafsiran dengan menggunakan skema konseptual.
a. Observasi atau Pengamatan Langsung
Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk
mngehimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Observasi
langsung telah dilakukan sejak sebelum penelitian dimulai, saat penelitian
berlangsung dan sampai penelitian berakhir, terhitung sejak awal februari hingga
akhir maret 2013. Bukti-bukti observasi bermanfaat untuk memberikan informasi
tambahan untuk topik yang diteliti. Pengamatan langsung dilakukan dengan
mengamati kegiatan warga masyarakat seperti kegiatan pertanian, keagamaan,
pendidikan dan kegiatan sosialisasi masyarakat serta isu-isu yang berkembang terkait
seks dan kehamilan tak diinginkan. Data umum yang diperoleh dari pengamatan
langsung ini menjadi dasar bingkai besar kondisi dan posisi masyarakat.
b. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang menurut Maleong
(1989;112) dimaksudkan untuk mengumpulkan data mengenai sikap, kelakuan,
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
30/34
pengalaman, cita-cita dan harapan manusia seperti yang dikemukakan oleh informan
atas pertanyaan peneliti. Wawancara mendalam dilakukan di rumah informan,
wawancara secara langsung (bertatap muka) dengan informan menggunakan
pedoman wawancara (interview guide). Untuk memperoleh data yang valid dan
mendalam, sebelum wawancara terlabih dahulu melakukan perjanjian waktu kapan
dilakukan untuk mendapat waktu luang informan agar bisa lebih leluasa dan tak
terburu-buru waktu. Kondisi yang dipilih adalah saat informan sedang sendiri atau
jauh dari pengaruh orang lain agar merasa bebas dalam mengatakan sesuatu yang
bersifat pribadi dan rahasisa. Selain itu ada syarat-syarat khusus yang diminta
informan agar nyaman untuk diwawancarai seperti, menyamarkan nama dan alamat,
tidak memberitahukan hasil wawancara pada orang lain yang dikenal, dan ada pula
yang terus terang untuk meminta imbalan atas informasi yang diberikan. Dalam
kondisi lain, syarat-syarat itu diajukan oleh peneliti sendiri untuk membujuk
informan agar mau diwawancarai. Lamanya wawancara bervariasi antara satu jam
hingga dua jam, ada beberapa informan yang dilakukan wawancara sebanyak dua kali
tergantung pada kecukupan informasi dan keterbukaan informan.
Mengingat wawancara adalah pengumpulan data yang bersifat langsung, maka
peneliti melakukan pencatatan dan pemilihan data yang diperlukan dan penting yang
akan digunakan unutuk analisa. Selain itu dilakukan dokumentasi menggunakan alat
rekam untuk memperolah data yang dapat disimpan dengan mudah dan menyeluruh,
serta dapat ditelaah ulang agar lebih meyakinkan. Ini adalah salah satu teknik
pengumpulan data yang masuk dalam metode dokumentasi, rekaman suara yang
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
31/34
masuk. Dalam hal dokumen, Bogdan dalam Sugiyono (2009;240) menyatakan “in
most tradition of qualitative research, the phrase personal document is used broadly
to refer to any first person narrative produced by an individual which describes his
or her own actions, experience and belief”.
c. Rekaman Arsip
Rekaman arsip dalam penelitian ini adalah dengan memanfaatkan data-data hasil
survey dan data sensus yang sebelumnya sudah terkumpul. Dalam hal ini adalah data
mengenai kondisi ekonomi, pendidikan, sosial, dan agama yang diperoleh dari data
yang dirilis BPS (Badan Pusata Statistik) – Gunung Kidul Dalam Angka – dan juga
beberapa data dari BAPPEDA pada situs resminya.
d. Observasi partisipan
Observasi partisipan adalah suatu bentuk obsevasi khusus dimana peneliti tidak
hanya menjadi pengamat yang pasif melainan juga mengambil berbagai peran dalam
situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang diteliti (Yin, 2012:
114). Secara teori peneliti melakukan partial participation atau melakukan partisipasi
pada beberapa kegiatan informan terkait dengan kasus yang mereka alami pada masa
lalunya. Dalam praktiknya, peneliti menjadi bagian dari anggota masyarakat dan
menjalin hubungan spesial dengan seorang pemuda, meski proses ini sudah berjalan
sebelum penelitian, namun diperdalam selama satu bulan penelitian ini. Menjadi
bagian dari anggota masyarakat karena memang telah menjadi membaur dan
memiliki KTP disana. Dengan menjalin hubungan spesial dengan seseorang disana
mendapatkan gambaran mengenai bagaiamana masyarakat menanggapi hubungan
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
32/34
dua orang yang menjalin kasih. Merasakan secara langsung lemahnya kontrol sosial
yang ada, serta merasakan dorongan-dorongan dari masyarakat untuk segera
mengikatkan hubungan pada tingkat yang lebih serius (Nyeksekne). Selain itu
peneliti juga tinggal bersama salah satu informan (Ranto) dan keluarganya dan ikut
membantu kegiatan ekonomi keluarga sebagai petani, sehingga mendapatkan data
lebih mengenai kehidupan petani dan buruh tani. Dikatakan Partial Obsrvation
karena hubungan kasih yang dijalin dengan seorang warga disana tidak sampai pada
tahap pernikahan yang didahului dengan kehamilan.
Dengan menjadi warga dan ikut menjalani kegiatan hariannya serta bergaul
dengan masyarakat mendapatkan berbagai argumen-argumen mengenai isu seks
bebas pra nikah yang terjadi disana. Dari observasi ini pula mendapatkan informasi
pelaku-pelaku lain sehingga mendapatkan informan sejumlah empat pasang atau
delapan orang.
F.4. Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian studi kasus ini adalah dengan
mendasarkan pada proposisi teoritis. Proposisi teoritis tersebut membentuk
pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka dan rencana pengumpulan data. Melalui
proposisi tersebut pula yang membantu memfokuskan perhatian pada data tertentu
dan mengabaikan data yang lain (Yin, 2012:136). Proposisi yang diambil dari teori
interkasionisme simbolik adalah bahwa manusia dalam berperilaku itu didasarkan
pada interpretasi simbol-simbol hasil dari interaksi, sedangkan keluarga adalah
sumber simbol dan interaksi primer. Maka dalam kasus perilaku seks bebas pra nikah,
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
33/34
data-data yang dikumpulkan adalah interaksi-interaksi yang terjadi dalam keluarga
dan sekitar pelaku.
a. Reduksi data
Data-data yang telah terkumpul melalui berbagai teknik pengumpulan,
kemudian direduksi atau memilah-milah data sesuai dengan focus penelitian
yang telah ditentukan, yaitu data tentang interaksi pemuda dalam keluarga.
Data-data yang muncul kemudian adalah mengenai sejarah perkawinan orang
tua, pendidikan orangtua, ekonomi dan yang terpenting adalah pola asuh
orang tua serta penanaman dan pendidikan agama, serta pendidikan seks.
Selanjutnya adalah pemuda itu sendiri, data yang diambil adalah bagaimana
perilaku-perilaku yang mengarah pada tindakan seks bebas seperti sejarah
hubungannya dengan lawan jenis, bagaimana dan mengapa ia bisa sampai
menjadi pelaku seks bebas beserta efek yang dirasakan. Data-data pribadi
yang mendukung tentunya juga termasuk didalamnya.
Pada perjalanannya, berbekal proposisi teoritis bahwa interpretasi dan
pemaknaan akan suatu hal yang berpengaruh terhadap tindakan seseorang itu
adalah proses yang terus berjalan dalam interaksi sepanjang hidupnya,
sehingga membuat pencarian data yang lebih luas. Pencarian data dilakukan
pada hubungan interaksi sosial pelaku di luar keluarga, yaitu pada Peer
Group.
8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)
34/34
b. Display data
Data-data yang telah direduksi kemudian disajikan dalam bentuk
uraian singkat berwujud teks naratif yang tersaji pada Bab II dan sebagian
Bab III yang sekaligus dianalisis disana.
c. Analisis data
Analisis data dilakukan dengan bentuk analisis penjodohan pola, yaitu
dengan menganalisis pola-pola yang terjadi pada hubungan pola asuh,
penanaman nilai agama dan pendidikan seks dengan perilaku pemuda. Dalam
prosesnya, tidak diketemukan pola yang sesuai dengan proposisi teoritis
antara keduanya (keluarga dan pemuda), terdapat pola namun bertentangan
dengan proposisi teoritis yang digunakan. Analisis berikutnya pada interaksi
pemuda diluar keluarga, dari delapan orang informan kemudian ditemukan
pola yang lebih sesuai dengan teori yang digunakan sebagai penjelasan
fenomena perilaku seks bebas pranikah. Dengan mendasarkan pada proposisi
teoritis, telah membantu pengorganisasian keseluruhan studi kasus dan
menetapkan alternatif jawaban yang disajikan dalam Bab III dan Bab IV.