+ All Categories
Home > Documents > SEJARAH BANTEN

SEJARAH BANTEN

Date post: 13-Jul-2015
Category:
Upload: m-ansyori
View: 543 times
Download: 3 times
Share this document with a friend
Popular Tags:

of 41

Transcript

SEJARAH BANTEN : KRONOLOGI WAKTU130 M Berdiri Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak)yang beribukota Rajatapura yang terletak di pesisir barat Pandeglang. Raja pertama Dewawarman I (130 168 M) yang bergelar Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan) Daerah kekuasaannya meliputi : Kerajaan Agrabinta di Pulau Panaitan Kerajaan Agnynusa di Pulau Krakatau Dan daerah ujung selatan Sumatera 165 M Banten (Pulau Panaitan) masuk dalam peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus sebagai bagian dari jalur pelayaran dari Eropa menuju Cina dengan melalui India, Vietnam, ujung utara dan pesisir barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Cina Selatan sampai ke Daratan Cina. Abad 5 M Prasasti Munjul yang diperkirakan berasal dari abad ke V masehi ditemukan di Sungai Cidangiang, Lebak Munjul Pandeglang. Prasasti berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Dalam prasasti tersebut dituliskan juga bahwa negara pada saat itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya. Abad XII XV Banten menjadi pelabuhan dari Kerajaan Pajajaran. Abad XIV Ditemukan prasasti di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata, yang daerah kekuasaannya meliputi seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon. Abad XVI Awal abad ke XVI, Banten dibawah pemerintahan Prabu Pucuk Umun (Dalam Babad Cibeber disebut juga sebagai Ratu Ajar Domas). Pusat pemerintahannya terletak di Banten Girang, yang dihubungkan dengan pelabuhan Banten melalui Sungai Cibanten, dan melalui Klapadua sebagai jalur darat. 1513 M Tome Pires, pelaut Portugis, memberitakan bahwa pelabuhan Banten merupakan pelabuhan kedua terbesar setelah Kalapa. Telah terjadi hubungan perniagaan dengan Sumatera dan Maladewa, dan pelabuhan Banten merupakan pengekspor beras, bahan makanan dan lada. Pada masa ini, diberitakan juga sudah banyak dijumpai orang Islam di daerah Cimanuk, dan kota kota pelabuhan seperti Kalapa dan Banten. 1511-21 M Tanggal 5 Agustus 1511 M, Bangsa Portugis menguasai Malaka dan disusul dengan takluknya Samudera Pasai pada tahun 1521 M. Selain untuk kekuasaan dan kekayaan, bangsa Portugis juga dibebani misi untuk menghancurkan agama Islam. Dengan menguasai Malaka, bangsa Portugis memonopoli perdagangan rempah rempah di Asia Tenggara, dan memberlakukan peraturan peraturan yang memberatkan bagi para pedagang terutama yang beragama Islam. Kondisi ini membuat pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dan bangsa lain enggan untuk berniaga ke Malaka dan mengalihkannya ke Aceh, Banten, Cirebon, dan Demak. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi Pelabuhan Banten yang berkembang semakin pesat dan lama 1

kelamaan menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian barat pulau Jawa. 1521 M Dengan semakin berkembang pesatnya kekuatan Islam di barat dan timur, timbul kekhawatiran raja Pajajaran akan semakin terdesaknya agama Hindu selaku agama resmi kerajaan dan juga lunturnya kekuasaan di di daerah pantai. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata) melakukan : Pembatasan pedagang pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran. Menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama dengan bangsa Portugis di Malaka, agar dapat membantu Pajajaran bila diserang Kerajaan Demak, dengan mengutus putera mahkota Pajajaran Ratu Sangiang atau Surawisesa ke Malaka. 1522 M 21 Agustus 1522 M, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka, menandatangani perjanjian dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri Baduga Maharaja. Perjanjian tersebut berisi antara lain : Portugis dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa Raja Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai penukaran barang barang kebutuhan Pajajaran. Portugis bersedia membantu Pajajaran apabila diserang Demak atau kerajaan lainnya. Sebagai tanda persahabatan, Pajajaran akan memberikan hadiah 1000 karung lada setiap tahunnya kepada Portugis. 1525 M Pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah, Pangeran Cirebon, Dipati Cangkuang, dan Dipati Keling, serta pasukan lokal di bawah pimpinan Hassanudin dapat menguasai Banten. Untuk menjaga stabilitas keamanan di Banten, Hassanudin kemudian diangkat menjadi Adipati Banten dengan pusat pemerintahan di Banten Girang. 1526 M Atas petunjuk dari Sunan Gunung Jati, ibukota Banten dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten, yang kemudian disebut dengan Surosowan. Berdasarkan beberapa data, pemindahan ibukota ini dilakukan pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M. 1527 M Terdengar kabar, Portugis dengan armada dan persenjataan lengkap telah meninggalkan Malaka menuju Sunda Kelapa. Mendengar berita ini, Demak, Banten, dan Cirebon bergerak untuk menguasai Sunda Kelapa. Sunda Kelapa dapat dikuasai pada tahun 1527 M, dan Fatahillah diangkat untuk menjadi Adipati Sunda Kelapa. Sebagai tanda kemenangan, Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta, yang berarti Kota Kemenangan. Armada Portugis yang datang dari Malaka untuk melaksanakan perjanjian tahun 1522 M dengan Kerajaan Pajajaran tiba setelah Sunda Kelapa dikuasai pasukan Islam. Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa melakukan perang terbuka di perairan Sunda Kelapa, dan setelah mendapat perlawanan hebat dari pasukan Islam, Portugis dapat diusir mundur dari Sunda Kelapa. Setelah Jayakarta berhasil diamankan dari serangan Portugis, Hassanudin dan Fatahillah bekerjasama menangani pembangunan di Banten dan Jayakarta. Hassanudin bertanggung jawab dalam masalah pengembangan wilayah dan pendidikan kemasyarakatan, sedangkan Fatahillah bertanggung jawab menangani keamanan dan pertahanan wilayah. Sehingga pada masa itu Islam menyebar dengan pesat 2

dan keamanan negara terjamin. Kedua penguasa di Jawa Barat memerintah atas nama Sultan Demak. 1552 M Kemajuan perkembangan Banten yang sangat pesat, menjadikan status Banten ditingkatkan dari Kadipaten menjadi Kerajaan. Hassanudin ditunjuk sebagai raja pertama. Dan pada tahun yang sama pula, Fatahillah (menantu dari Sunan Gunung Jati) diangkat menjadi raja di Cirebon, mewakili Sunan Gunung Jati, dikarenakan mangkatnya raja Cirebon, Pangeran Pasarean (putera Sunan Gunung Jati) di tahun tersebut. Untuk menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran Bagus Angke, menantu Sultan Hassanudin. 1552-1570 M Masa Pemerintahan Sultan Maulana Hassanudin. Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M. Pada masa pemerintahannya, digambarkan kota Banten telah berkembang sangat pesat. Jumlah penduduk diperkirakan telah mencapai 70.000 jiwa. Terletak di pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal dengan nama Surosowan ini memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten dilewati sungai jernih yang dapat dilalui oleh kapal jung dan gale. Kota Banten dikelilingi benteng bata setebal tujuh telapak tangan. Bangunan bangunan pertahanan dua lantai terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan meriam. Di tengah kota terdapat alun alun yang digunakan untuk kegiatan ketentaraan, kesenian rakyat dan juga sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di sisi selatan alun alun, disampingnya dibangun bangunan datar yang ditinggikan dan diatapi yang disebut srimanganti, sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyat. Di sebelah barat alun alun dibangunlah Masjid Agung Banten. Sultan Hassanudin dalam usahanya membangun dan mengembangkan kota Banten lebih menitik beratkan pada pengembangan sektor perdagangan, disamping memperluas lahan pertanian dan perkebunan. Pada masa pemerintahannya, Banten telah menjadi pelabuhan utama di Nusantara, sebagai persinggahan utama dan penghubung pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dengan kerajaan kerajaan di Nusantara. Cara jual beli saat itu, masih menggunakan sistem barter, dan juga sudah mulai digunakan mata uang sebagai alat tukar. Mata uang yang digunakan adalah Real Banten dan cash cina (caxa). Terjadinya krisis kepemimpinan di Kesultanan Demak pada tahun 1547-1568 M, mendorong Sultan Hassanudin untuk melepaskan diri dari Kesultanan Demak dan menjadikan Banten kerajaan yang berdiri sendiri. Saat itu, wilayah Kesultanan Banten telah meliputi Banten, Jayakarta, Kerawang, Lampung, Inderapura, sampai Solebar. Sultan Hassanudin wafat tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid Agung. Setelah wafatnya, Maulana Hassanudin dikenal dengan sebutan Sedakinking. Sebagai penggantinya, dinobatkanlah Pangeran Yusuf sebagai Raja Banten ke 2. 1570-1580 M Sultan Maulana Yusuf Pada masa kepemerintahan Sultan Maulana Yusuf, strategi pembangunan dititik beratkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Pada saat itu, perdagangan sudah sangat maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang barang dari seluruh dunia yang nantinya akan disebarkan ke seluruh nusantara.

3

Dengan majunya perdagangan maritim di Banten, maka kota Surosowan dikembangkan menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa. Ramainya kota baru ini dengan penduduk pribumi maupun pendatang membuat diberlakukannya aturan penataan dan penempatan penduduk berdasarkan keahlian dan asal daerah penduduk. Perkampungan untuk orang asing biasanya ditempatkan di luar tembok kota, seperti Pekojan yang diperuntukan bagi pedagang muslim dari kawasan Arab ditempatkan di sebelah barat pasar Karangantu, Pecinan yang diperuntukan bagi pendatang dari Cina ditempatkan di sebelah barat Masjid Agung, di luar batas kota. Penataan pengelompokan pemukiman ini selain bertujuan untuk kerapian dan keserasian kota juga untuk kepentingan keamananan, dan merupakan upaya penyebaran dan perluasan kota. Selain penataan pemukiman, juga dilakukan perkuatan dan penebalan tembok keliling kota dan tembok benteng sekeliling istana. Tembok benteng diperkuat dengan lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang dengan parit parit disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga dilakukan dan penambahan bangunan menara dengan bantuan Cek Ban Cut, arsitek muslim asal Mongolia. Untuk kepentingan irigasi bagi persawahan yang berada di sekitar kota dan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih bagi kota Surosowan, di buatlah danau buatan yang dinamakan Tasikardi. Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini, yang kemudian disalurkan ke daerah daerah sekitar danau. Dengan melalui pipa pipa terakota, setelah diendapkan di Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih, air yang sudah jernih dialirkan ke keraton dan tempat tempat lain di dalam kota. Di tengah danau buatan ini juga dibuat pulau kecil yang digunakan sebagai tempat rekreasi keluarga keraton. Sultan Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan dimakamkan di Pakalangan Gede dekat kampung Kasunyatan sekarang, dan karenanya beroleh gelar Pangeran Panembahan Pakalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Sebagai pengganti, diangkatlah putranya, Pangeran Muhammad yang pada waktu itu baru berusia 9 tahun. 1579 M Pasukan Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf berhasil merebut Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran dan menguasai seluruh wilayah bekas kerajaan Pajajaran. Raja terakhir yang memerintah Kerajaan Pajajaran adalah Raga Mulya atau Prabu Surya Kencana, yang juga dijuluki Prabu Pucuk Umun atau Panembahan Pulosari, karena pada akhir masa kepemerintahannya berkedudukan di gunung Pulosari, Pandeglang. Benteng Pulosari dapat dikuasai oleh Sultan Maulana Yusuf pada tanggal 8 Mei 1579/11 Rabiul Awal 987 H. Setelah berhasil dikalahkan, seluruh punggawa kerajaan Pajajaran diislamkan dan dibiarkan kembali memangku jabatannya sehingga dapat menjamin stabilitas keamanan di seluruh wilayah Banten. 1580-1596 M Sultan Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan Keadaan Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai. Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk. 4

Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal. Maulana Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam, beliau banyak mengarang kitab agama Islam dan membangun masjid hingga ke pelosok negeri. Sultan juga menjadi khatib dan imam untuk setiap shalat Jumat dan Hari Raya. Pada masa kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah dengan melapisi dinding dengan keramik dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk tempat shalat perempuan disediakan tempat khusus yang disebut pawastren atau pawadonan. Sultan Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596 pada saat penyerangan ke Palembang, perang yang dimulai akibat bujukan Pangeran Mas, keturunan dari Kerajaan Demak yang ingin menjadi Raja Palembang. Sultan tertembak ketika memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri di Sungai Musi. Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.

1596-1651 M Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir Sultan Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai walinya. Masa awal pemerintahan Sultan yang masih balita ini merupakan masa masa pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena banyaknya perpecahan dalam keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang berbeda serta keinginan untuk merebut tahta kerajaan. Pada saat Mangkubumi Jayanegara wafat di tahun 1602 M, perwalian dikembalikan ke ibunda sultan, Nyai Gede Wanagiri. Nyai Gede Wanagiri yang telah menikah kembali, mendesak agar suami barunya ditunjuk sebagai Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam kenyataannya banyak menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki wibawa dan keputusannya lebih banyak tidak ditaati. Kekacauan di dalam negeri semakin membesar dan tidak dapat ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk mengurus keributan yang ditimbulkan oleh pedagang Belanda dengan pedagang Inggris, Portugis, maupun pedagang dalam negeri. Puncak dari kekacauan itu adalah dibunuhnya Mangkubumi, yang memicu terjadinya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Pailir, yang terjadi di tahun 1608 1609 M. Perang untuk memperebutkan tahta yang dilancarkan oleh Pangeran Kulon, saudara sultan lain ibu ini, dapat dihentikan atas usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat perjanjian perdamaian antara semua pihak. Salah satunya adalah diangkatnya Pangeran Ranamanggala sebagai Mangkubumi dan wali dari sultan muda, semenjak itu Banten menjadi aman kembali. Pangeran Ranamanggala adalah putra Maulana Yusuf, saudara beda ibu dengan Sultan Maulana Muhammad. Selama menjabat sebagai Mangkubumi, tindakan utama yang diambil adalah mengembalikan stabilitas keamanan Banten dan menegakan peraturan untuk kelancaran pemerintahan, yang bahkan Sultan sendiri tidak diperkenankan untuk ikut campur. Dengan cara demikian, Banten dapat terselamatkan dari kehancuran akibat rongrongan dari dalam amupun luar negeri.

5

Mangkubumi dalam menghadapi bangsa asing tidak berat sebelah atau memihak pihak manapun. Beberapa kebijakan penting yang diambil : Penghapusan keharusan bagi pedagang Cina untuk menjual lada kepada pedagang Belanda Penetapan pajak ekspor lada dan pajak impor bagi barang barang yang sebelumnya tidak terkena pajak Pemberlakuan pajak yang lebih tinggi bagi pedagang dari Belanda. Hal ini dilakukan agar pedagang dari Belanda tidak berniaga di Banten karena perilaku pedagang Belanda yang kasar dan mau mencampuri urusan pemerintahan dan dalam negeri Banten. Disarikan dari Buku BANTEN DALAM PERGUMULAN SEJARAH: sultan, ulama, jawara. karangan Nina H Lubis, penerbit LP3ES. Melihat namanya ia rupanya seorang bangsawan, tetapi biarlah kebangsawanan ini sebagai tambahan pengetahuan saja. Yang penting ialah Jonkheer Jan de Rovere van Breugel adalah seorang pejabat VOC di Banten. Pada tahun 1788, ia terpaksa meninggalkan jabatannya pada maskapai dagang Belanda yang semakin lama semakin berfungsi sebagai sebuah negara itu. Peristiwa ini pun tak pula penting. Pulang kampung dan meletakkan jabatan bukanlah pula hal yang harus dibesar-besarkan. Akan tetapi, yang menarik ialah ternyata setahun sebelum ia pulang negeri, raden mas Belanda ini sempat menyelesaikan dua memorandum panjang, yang masing-masing berjudul Berschijving van Banten en de Lampong (Uraian tentang Banten dan Lampung) dan Bedenkingen van den staat van Bantam (Pemikiran tentang Banten). Namun, barulah pada tahun 1857 hampir enam dasawarsa kemudian ringkasan dari kedua memorandum panjang ini diterbitkan dalam majalah Bijdragen tot Taal-,land-,en volkenkunde (biasa dipendekkan dengan BKI saja, terbitan KITLV), sebuah majalah yang sampai sekarang masih terbit bahkan telah semakin bersifat internasional. Pada pengantar dari memorandum yang telah diperpendek itu, redaksi majalah mengatakan bahwa sebenarnya naskah lengkap dari sang bangsawan lokal ini akan diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschaap- sebuah organisasi keilmuan yang tertua di negeri yang kemudian bernama Hindia Belanda ini. Akan tetapi, rencana penerbitan ini dibatalkan karena Gubernur Jenderal Alting menasehati sang pengarang agar mau mengurungkan niatnya. Soalnya kedua naskah memorandum itu-entah sengaja, entah tidak, tetapi lebih mungkin karena keasyikan berkisah saja-ternyata banyak juga membicarakan hal-hal yang mestinya tidak boleh diketahui umum. Jadi rahasia dari masa-masa akhir hidup VOC termuat juga dalam naskah ini. Coba saja pikir pejabat yang bergelar Jonkheer ini antara lain mengusulkan agar VOC menurunkan tingkat administratif Banten hingga dengan begini jumlah tentara yang diperlukan cukup 185 orang saja, tidak lagi 372 orang. Soalnya Banten cukup dekat dari Batavia dan lagi dan ini rupanya penting juga kemiskinan sang raja telah meniadakan kemungkinannya untuk melakukan apapun. Maka dengan pengurangan biaya ini kerugian finansial VOC bisa ditekan. Bukankah sudah umum juga diketahui bahwa salah satu sebab utama VOC dilebur dan daerah-daerah di Kepulauan Indonesia yang telah berada di bawah dominasi VOC dijadikan sebagai bagian dari sebuah negara kolonial yang disebut Hindia Belanda ialah karena VOC telah mengalami kebangkrutan? Tentu sekarang kita bisa berkata bahwa kalau dihitung-hitung umur VOC lebih panjang daripada Hindia Belanda. VOC sempat hidup sampai dua abad kurang dua tahun (1602-1800), sedangkan umur Hindia Belanda hanya 142 tahun saja. Kalaupun ingin berpikir secara legalistik yang kaku palingpaling hanya bisa ditambah empat tahun tambah beberapa bulan sejak menyerahnya Jepang hingga penyerahan kedaulatan. Akan tetapi, yang akan mau mengakui cara berpikir legalistik konyol ini,

6

siapa lagi selain kaum konservatif Belanda? Jadi, tak perlu heran kalau masyarakat awam masih menyebut pemerintah kolonial Belanda kompeni, meskipun Hindia Belanda telah berkuasa. Namun demikian, sudahlah, yang jelas kedua naskah memorandum yang telah diperpendek itu diterbitkan ketika Pemerintah Hindia Belanda telah asyik dengan politik tanam paksa atau cultuurstelsel di Pulau Jawa. Politik ini bukan saja dengan ekstrem mengeksploitasi anak negeri dan menjadikan mereka terpaku pada desa masing-masing, tetapi juga serta merta mengikis tradisi maritim Jawa yang dinamis. Kalau begini keadaannya nilai aktualitas dari memorandum itu telah membuyar. Karena itulah barangkali ikhtisar memorandum kurang begitu menarik perhatian. Apalagi pada waktu diterbitkan, Banten telah pula sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Belanda. Policy apalagi yang akan dijalankan berdasarkan memorandum itu? Bisalah pula dipahami bahwa barulah ketika Ann Kumar, sejarawan Australia yang ahli Jawa, menulis tentang hubungan Jawa dan Belanda (Java and Modern Europe, 1997) ia merasa perlu menjadikan tulisan dari van Breugel ini sebagai bahan kajiannya. Ia pun berbaik hati juga mengikhtisarkan lagi ikhtisar naskah sang Jonkheer, tetapi kali ini dalam bahasa Inggris. Dengan membaca ikhtisar dari ikhtisar ini kita mengetahui juga dasar keinginan van Breugel untuk menerbitkan kedua memorandumnya dan bisa pula memahami pertimbangan majalah BKI untuk menerbitkan ikhtisarnya sekian puluh tahun kemudian. Tampak sekali bahwa sang pengarang berharap agar memorandumnya ini bisa mempengaruhi kebijakan politik kolonial yang dijalankan. Akan tetapi, sayang juga ketika akhirnya diterbitkan tulisannya hanya bermanfaat sebagai salah satu sumber sejarah saja. Soalnya ia sebenarnya melihat masa depan yang cerah juga bagi Banten, jika saja usul-usulnya bisa dipertimbangkan untuk dilaksanakan, tetapi sudahlah, yang jelas tulisan Jonkheer de Rovere van Breugel boleh dikatakan bercorak ensiklopedis tentang Banten. Ia berbicara tentang wilayah dan kota, pemerintahan (raja, bangsawan), penduduk dan adat, hasil bumi dan perdagangan serta hal-hal lain lagi. Meskipun ia sangat menaruh perhatian pada sumber-sumber ekonomis Banten dan Lampung, tetapi ternyata hampir tidak ada aspek kehidupan dan dinamika ekonomi-politik yang tidak dibicarakannya. Dalam tulisannya tampak pula bahwa ia adalah seorang pengamat situasi sosial yang cukup jeli juga. la mungkin tak bisa menerangkan mengapa itu harus begitu dan mengapa ini harus begini, sebagaimana yang mungkin bisa dilakukan oleh ahli anthropologi modern, tetapi ia dapat saja bercerita tentang apa saja yang kebetulan dilihat dan diamatinya. Dalam memorandum ini, van Breugel membayangkan juga suatu saat Banten akan bisa bangkit lagi jika saja VOC menjalankan kebijakan yang baik. Hanya saja, tentu bisa juga dimaklumi kalau dalam melihat dan mengamati masyarakat Banten ia tak bisa melepaskan landasan penilaian yang bercorak Belanda. Maka, janganlah kaget kalau ia mengatakan bahwa menurut pengamatannya laki-laki Banten itu sesungguhnya pemalas. Mereka membiarkan saja para isteri mereka bekerja mengurus rumah tangga. Mereka lebih sibuk minum-minum tentu saja bukan air makan-makan sirih dan menunggangnunggang kuda. Bahkan, kalau saja pengamatannya tidak terlalu bias, laki-laki Banten itu, katanya lagi, membiarkan saja perdagangan dikuasai para pendatang yang disebut Orang dagang . Anakanak umur delapan atau sepuluh telah dipertunangkan, meskipun mereka masih tinggal di rumah orang tua. Pertunangan ini bisa juga dibatalkan, tetapi akibatnya orangtua anak perempuan akan kehilangan pembayaran yang telah mereka lakukan.

7

Pesta perkawinan diadakan di rumah penganten perempuan, sedangkan tamu-tamu datang dengan membawa hadiah, biasanya buah-buahan. Sang pejabat yang bangsawan ini rupanya pernah juga beberapa kali menghadiri upacara pernikahan orang Banten, sebab ia bisa juga berbicara agak panjang lebar tentang situasi dari upacara perkawinan itu, Tentang agama, ia mengatakan bahwa orang Banten itu beragama Islam tetapi orang Lampung menganut kepercayaan yang merupakan percampuran ajaran Muhammad dengan sistem kepercayaan yang masih kafir, dan digabung lagi dengan takhyul yang paling bodoh. Orang Banten mempunyai hukum juga, tetapi, kata van Breugel, pada umumnya mereka lebih suka mengikuti hukum alam saja darah dibayar dengan darah, pencurian dibayar dengan penjara atau perbudakan yang kadang-kadang bisa sebagai hukuman bagi hutang yang tak dibayar. Kalau saja interpretasi sosial boleh diberikan terhadap uraiannya ini maka bisalah dikatakan bahwa masyarakat Banten, yang disaksikan van Breugel, sedang berada dalam situasi kemelut yang parah juga. Bagian yang terpenting dari memorandum ini ialah uraian tentang komoditi perdagangan dari Banten dan Lampung: lada, kopi, ndigo, gula, pinang, kelapa, kayu sandalwood, beras, dan sebagainya. la menguraikan satu persatu komoditi ini. la menguraikannya mulai dari tempat tumbuh dan cara pemeliharaan sampai dengan prospek perdagangannya, la juga bercerita tentang perdagangan candu yang dikuasai Letnan Cina dan berkisah pula tentang betapa maraknya penyelundupan barang haram ini. Cerita yang mengasyikkan juga ialah tentang bajak laut. Orang Mandar, katanya, adalah yang paling aktif dalam penyelundupan, artinya mereka sering berhasil mengelakkan monopoli VOC. Tentang usaha pemberantasan perompakan ia mengusulkan agar kekuatan armada Banten diperkuat, umpamanya dengan memberi bantuan mesiu. Akan tetapi, bagaimanakah keadaan ibu kota Banten? Kalau tentang desa ia mengatakan bahwa desa orang Banten sangat tak beraturan, sedangkan tentang ibu kota, ia melukiskan tentang dindingdinding yang dulu pernah mengitari ibu kota sekarang telah hancur lebur berantakan. Perbentengan telah hancur dan di atas runtuhan itu rumah-rumah baru didirikan karena jumlahnya cukup banyak inilah Banten, katanya, masih bisa disebut kota. Rumah-rumah umumnya terbuat dari bambu, hanya sebagian kecil saja memakai bingkai kayu, sedangkan para pejabat negara, seperti menteri dan pendeta (maksudnya barangkali kadhi kerajaan) dan beberapa orang lain mempunyai rumah batu. Orang Cina tinggal di dua kampung yang dipenuhi oleh rumah tembok batu juga. Istana raja dikelilingi benteng berbentuk setengah bulan, yang diperkuat dengan 58 meriam, tetapi untuk pertahanan istana yang dikelilingi benteng ini tak ada artinya apa-apa. Di sekeliling benteng itu ada perumahan VOC. Ada tiga pasar di Banten, yaitu Karang Antu, Tumanggung, dan sebuah pasar baru. Akan tetapi, semua pasar itu mengalami kemunduran , tidak lagi seperti dulu ketika Banten masih megah. Raja yang memerintah pada waktu itu ialah Sultan Abul Nazar Muhammad, yang menurut van Breugel, sangat dipengaruhi oleh paus-paus orang asing (maksudnya tentu saja ulama-ulama dari negeri lain). Mereka semakin berpengaruh saja di kalangan masyarakat Banten, bukan saja di kalangan kraton. Ketika menyebut paus ini van Breugel sama saja dengan para penulis Belanda lain. Kata paus adalah sebutan ejekan bagi ulama. (Belanda abad ke-18 sangat anti-Katholik rupanya). Van Breugel jengkel juga karena ia melihat sang Sultan tidak menaruh hormat lagi pada VOC. Bukan itu saja, menurut pengamatannya, Sultan asyik dengan segala macam kemewahan, padahal

8

kesultanan telah jatuh miskin. Akibatnya, tentu bisa diduga, Sultan berhutang ke kiri dan ke kanan. Sebenarnya Sultan ini seorang yang baik hati, katanya, sayang ia tidak mempunyai penasehat yang baik, sedangkan para bangsawan sangat tergantung kepada Sultan, yang malah sibuk menghalangi mereka untuk berhubungan dengan orang Eropa. Pada umumnya para bangsawan ini sudah cukup puas dengan tempat tinggal yang menyenangkan, perahu-kesenangan, dan dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Pengawas gudang lada sang raja ialah seorang yang bernama Kiai Aria Astradinata. la adalah anak seorang tukang batu Cina yang telah disunat (maksudnya tentu saja, telah masuk Islam). Jabatan sebagai kepala gudang ini dianggap sebagai sesuatu yang turun temurun. Paman raja, Pangeran Raja Kusuma, kata van Breugel, adalah seorang yang alim, tetapi ia tampaknya agak serakah. Ia telah tua dan uzur dan hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah serta menangisi nasib tanah airnya yang hari demi hari dilanda kemerosotan. Ketika Van Breugel menulis tentang Pangeran Raja Kusuma ini ia mungkin merasa simpati juga. Ia bisa juga merasakan apa artinya hidup ketika kejayaan lama hanya tinggal kenangan belaka. Kesedihan sang pangeran tua ini tentang kemerosotan negerinya tentu bisa dimaklumi. Sang Pangeran yang hidup pada abad ke-18, tentu saja tidak mengalami secara langsung masa ketika Banten adalah kerajaan yang makmur dan disegani dan merupakan salah satu kerajaan yang terkuat di Kepulauan Nusantara ini, tetapi pengetahuan akan masa gemilang yang telah hilang itu tak begitu saja terpupus dalam ingatan kolektif Banten. Bahkan asal usul berdirinya kerajaan pun masih segar dalam ingatan kolektif anak negeri. Bilamana situasi kesekarangan telah dirasakan semakin mencekam bagaimanakah ingatan akan masa lalu yang telah lewat itu akan hilang begitu saja? Bukankah nostalgia kultural itu sesungguhnya tidak lain daripada perlawanan terhadap tirani sang waktu? Dengan bernostagia, perjalanan waktu dijadikan tak berfungsi dalam kesadaran. Ketika perasaan kerinduan ini telah semakin mencekam, karena situasi kesekarangan telah sedemikian menista harga diri, maka masa lalu tiba-tiba bisa saja berubah menjadi masa depan yang harus dirangkul dengan segera. Janganlah pula heran bilamana kepedihan masa kini telah semakin keras dirasakan, maka tarikan masa lalu yang telah dirasakan sebagai masa depan itu semakin keras dan menggetarkan juga. Kalau telah begini, maka terjadilah apa yang harus terjadi. Kita pun berhadapan dengan salah satu irama yang hampir menetap dari sejarah Banten setelah kejayaan kerajaan telah terlepas dari tangan. Asal-usul Banten sebagai sebuah kerajaan Islam agak unik juga. Kerajaan ini tidak bermula dari tumbuhnya dan membesarnya sebuah kekuasaan lokal, tetapi muncul sebagai akibat dari ekspansi kekuasaan dari luar. Dalam usaha untuk meluaskan kekuasaan dan mengembangkan Islam, Sunan Gunung Jati, ulama -penguasa dari Cirebon dan salah seorang Wali Sanga, mendirikan Banten, yang terletak di ujung Barat Pulau Jawa. Setelah itu, Sunan Gunung Jati meninggalkan putranya sebagai penguasa Banten yang pertama. Ketika kemudian Cirebon melepaskan perwaliannya atas wilayah di ujung Barat Pulau Jawa (1552) kesultanan Banten pun resmi berdiri dan Pangeran Adipati Hasanuddin pun menjadi Sultan Hasanuddin. Ternyata ini adalah sebuah keputusan politik yang sangat tepat. Awal abad ke-16 adalah masa yang kritis bagi perairan Asia Tenggara. Pada tahun 1511, Alfonso dAlbuquerque, panglima Portugis yang ingin melumpuhkan Mekah dan Constatinopel dua pusat kekuasaan dan agama Islam, berhasil menaklukkan Malaka. la memperhitungkan bahwa dengan jatuhnya Malaka, maka berarti leher dari

9

kedua pusat Islam itu telah bisa dicekik Portugis. Malaka adalah salah satu pusat perdagangan yang besar dunia pada abad ke-15, tetapi panglima Portugis, yang didorong oleh keuntungan dagang dan kekuasaan agama ini, sama sekali tidak menduga bahwa kejatuhan Malaka bukan saja menyebabkan Malaka menjadi sasaran penyerbuan dari kekuatan Islam di perairan Barat Indonesia, tetapi juga menyebabkan terjadinya pemencaran dari pusat-pusat perdagangan Islam. Maka sementara beberapa negara-kota di pantai Utara Jawa dan Johor, penerus dinasti Malaka, serta Aceh-Darussalam, sibuk berkali-kali menyerang Malaka, di tempat-tempat lain kota-kota dagang baru pun bermunculan pula. Pada waktunya sebagian dari kota-dagang dan pelabuhan persinggahan bagi para pedagang Islam yang baru ini pun tumbuh sebagai pusat kekuasaan besar. Ketika inilah Makassar, Ternate dan Tidore, Aceh-Darussalam serta Banten secara pelan tetapi pasti menjadi kerajaan Islam yang besar. Sementara itu di pedalaman Jawa, Mataram pun tampil pula sebagai pemegang hegemoni di negara-negara kota di pantai Utara. Sejak akhir abad ke-16 dan akhir abad ke-17 boleh dikatakan sebagai the age of Islamic hegemony dalam sejarah Asia Tenggara. Karena itulah Schrieke, seorang ahli filologi Islam, sosiologi dan sejarah Belanda yang terkemuka (yang sempat juga bekerja pada kantor Penasehat Bumiputra) sempat juga membuat teori bahwa penyebaran Islam di Kepulauan Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebutnya sebagai race with Christianity (perlombaan dengan Kristen). Soalnya ialah setelah Vasco da Gama mendarat di Calicut, India (1498), apalagi setelah Portugis berhasil menaklukkan Malaka maka jalan ke Timur untuk mencari rempah-rempah dan menyebarkan agama, telah terbuka pula bagi para pelaut, pedagang, penginjil, dan advonturir Eropa. Perairan Nusantara pun menjadi ranah persaingan dari segala bangsa, baik yang datang dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, kemudian datang Belanda, Inggris, bahkan juga Denmark, apalagi Asia, yang memang telah berdatangan sejak awal abad Masehi. Tradisi sejarah Banten tidak bisa melupakan bahwa Maulana Jusuf tewas ketika ia ingin meluaskan pengaruh dan kekuasaan kesultanan Banten ke Palembang, tetapi dengan memakaikan keuntungan dari tinjauan ke belakang (atau historical hindsight, kata orang sana) kekalahan ini sesungguhnya bisa dilihat sebagai awal dari konsolidasi kekuasaan internal Banten. Dan sejak itu pula Banten semakin tampil sebagai entrepot yang terbesar di Pulau Jawa. Saingan Banten di Nusantara sebagai entrepot pelabuhan yang menerima barang impor, mengirim barang ekspor, dan mengekspor barang imporhanya Aceh di Barat dan Makassar di Timur. Ukuran kebesaran enterpot ini bisa dilihat juga antara lain pada perkiraan jumlah penduduk yang diberikan oleh para pelapor asing. Tentang Banten laporan-laporan asing memperlihatkan bahwa antara tahun 1660-1690 terjadi fluktuasi yang hebat juga dari jumlah penduduk. Sebuah perkiraan pada tahun 1662 mengatakan bahwa penduduk Banten lebih dari 100 ribu, tetapi pada perkiraan pada tahun 1672 telah memperlihatkan lonjakan jumlah yang hebat. Pada waktu itu diperkirakan jumlah penduduk 800 ribu. Sepuluh tahun kemudian 700 ribu. Tetapi pada tahun 1696 telah turun menjadi 125 ribu. Sudah pasti perkiraan jumlah penduduk itu tidak akurat, tetapi dalam perbandingan perkiraan ini memperlihatkan bahwa Banten mempunyai penduduk yang terbesar di Nusantara. Saingannya hanya perkiraan jumlah penduduk Mataram pada tahun 1624. Karena itu bisa jugalah dipahami kalau sumber-sumber tentang sejarah Banten selama abad ke-16 abad ke-17 sangat banyak juga. Penurunan jumlah penduduk yang drastis dari tahun 1682 -1696 tentu masuk akal juga, karena pada tahun 1682 itulah masa akhir kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu sejarah Banten hanyalah berisikan kisah kemerosotan saja sampai akhirnya menjadi residentie Banten.

10

Salah satu laporan yang menarik dibuat oleh orang Belanda, Lodewijk, yang datang ke Banten pada tahun 1596 bersama komandannya, Cornelis de Houtman. Dengan jelas sekali ia menggambarkan sifat internasional entrepot Banten. Antara lain ia bercerita tentang pembagian kerja dari anggota komunitas asing yang berada di Banten. Orang Persia, menurut laporannya, berdagang permata dan obat-obatan. Orang Arab dan Pegu melakukan perdagangan laut yang sibuk membawa barang dari satu tempat ke tempat lain atau, dengan kata lain, menjadi pedagang perantara.Lodewijk tentu saja tidak mengatakannya dan ia pasti juga tidak tahu, tetapi peranan Arab sebagai pedagang di perairan Nusantara ini barangkali telah dimulai sejak abad ke-11 ketika Cina menutup pelabuhannya bagi pedagang asing. Ini pulalah salah satu sebab dari awal terjadinya Islamisasi di kawasan ini. Kalau cerita Lodewijk diteruskan, maka ia pun mengatakan bahwa orang Keling lebih suka mengadakan investasi dengan bunga. Atau kalau dengan istilah yang biasa dipakai sebagai cheti, yang dengan kata lain, tentu bisa disebut rentenir. Ternyata orang Melayu, menurut Lodewijk, mempunyai hobby yang sama pula. jika laporan Lodewijk ini benar, maka kita pun bisa juga mengatakan bahwa ajaran Islam tentang riba tidak masuk perhitungan para pedagang Melayu itu. Jadi, sama saja dengan konglomerat Melayu sekuler zaman sekarang pokoknya keuntungan masuk. Kalau orang Gujarat, mereka pada umumnya adalah pelaut dan, tentu bisa diduga, miskin-miskin. Lodewijk juga bercerita tentang pedagang besar yang bernama Cheti Maluku yang berhubungan dagang dengan orang Belanda dan Inggris; tentang Kojah Rayoan, seorang pedagang Turki yang kaya-raya. Sebagaimana kota pelabuhan lain Sjahbandar Banten juga orang asing. la orang dari Keling. Ketika ia sampai di Banten, kata Lodewijk, ia tak punya apa-apa, maka ia pun menjalankan semua kerja yang hina untuk menghidupi dirinya. Dengan kata lain, Banten di abad ke-16 dan awal abad ke-17 adalah a land of opportunities negeri yang membuka semua kesempatan. Masuk akal juga kalau Cornellis de Houtman, pelopor Belanda ke Nusantara, mendarat di Banten dan kemudian menjadikan Banten sebagai pusat aktivitasnya. Tak lama kemudian Inggris, yang praktis merupakan pengimport tunggal tekstil dari anak benua India, juga menjadikan Banten sebagai pusat aktivitasnya di Nusantara. Ini tentu adalah fakta sejarah biasa saja orang berdagang tentu mencari pusat kegiatannya tetapi sialnya dalam sejarah Indonesia yang diajarkan oleh para pejabat negara Indonesia yang merdeka, tahun kedatangan Cornellis de Houtman ke Banten ini dijadikan sebagai masa awal dari penjajahan Belanda di Indonesia. Maka, kita pun ikut larut dalam pandangan sejarah yang bodoh dan sesat ini dengan mengatakan bahwa Indonesia 350 tahun berada di bawah kolonialisme Belanda. amun, biarlah hal ini tak dilanjutkan, maklum para pejabat itu tidak bisa membedakan mana yang mitos dan mana yang sejarah. Maka, kalau cerita dilanjutkan, bisalah dikatakan bahwa kerap kali juga orang membandingkan Banten dengan Aceh. Salah satu hal yang dibandingkan itu ialah kenyataan bahwa Banten tidak pernah mempunyai penguasa perempuan. Aceh mempunyai empat orang sultanah yang memerintah berturut-turut di abad ke-17 (Sialnya, seorang pelapor Inggris curiga juga, janganjangan sultanah yang berada di belakang tirai ketika menerima perutusan Inggris, seorang laki-laki yang menyamar. la adalah sultanah yang terakhir). Hanya saja dalam perbandingan ini sering terlupakan bahwa tumbuhnya Banten sebagai pusat kekuasaan dan dagang terjadi ketika Sultan Abdul Kadir (1596-1618) masih harus berada di bawah pewalian, karena belum dewasa. Selama lima tahun yang kritis (1600-1605) yang tampil sebagai tokoh utama ialah Nyai Gede Wanagiri. Seorang pelapor Inggris (Scott) menyatakan kekagumannya ketika ia berkata bahwa perempuan tua ini menguasai para wali dan lain-lain,.. walaupun ia bukan berdarah kraton, tetapi karena kearifannya sangat dihargai oleh semua (yang berkuasa) ia memerintah

11

seakan-akan ia adalah satu-satunya ratu di negeri ini. Maka begitulah kalau aturan main dalam pemerintahan telah cukup jelas, pemerintahan bisa dijalankan berdasarkan kearifan yang paling unggul. Kalau De Breugel, yang menulis memorandum pada tahun 1787, sempat mengatakan bahwa orang Banten meskipun punya hukum tetapi lebih suka memakai hukum alam, tidak demikian halnya pada abad ke-17. Seorang pendeta dari Missions Etrangeyes- misi Katholik Prancis- melaporkan bahwa Banten, mempunyai dua hakim utama, yang pertama Syahbandar Besar, yang tahu semua masalah perdagangan; dan yang lain memakai nama Thiaria (Shariah), yang mempunyai jurisdiksi pada semua masalah perdata dan pidana, yang menghukum dengan berat kejahatan pencurian dan perzinaan. De Breugel menggambarkan suasana kemunduran dan kemelut. Ketika itu kraton Banten praktis telah menjadi fiefdom VOC atau berada di bawah suzereniteit maskapai yang-bermain sebagai-negara ini dan harus pula membayar utang kepada VOC, karma telah membantunya menghadapi pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa (1750-52). Nada dari uraiannya hampir sama dengan gambaran para pelapor lain tentang kerajaan-kerajaan Nusantara yang sedang mengalami kemunduran. Bedanya hanyalah pada detail-detail sejarah nama tempat, nama orang dan bentuk peristiwa, serta waktu. Ada kerajaan yang telah mengalami krisis di abad ke-18 umumnya berada di pulau Jawa tetapi ada pula yang bare mengalaminya pada abad ke-19 umumnya di kerajaan-kerajaan di daerah lain (kecuali Maluku). Bahkan kisah yang ditulis Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang dikirim Inggris, yang telah mendirikan dan menguasai Singapura, untuk meninjau kerajaan-kerajaan di pantai Timur Tanah Semenanjung, memperlihatkan suasana yang lama, meskipun yang dikisahkan berbedabeda. Suasana kemelut menjelang kejatuhan selalu membayangkan otoritas kekuasaan yang lemah, masyarakat yang tak peduli, hukum yang kehilangan peran, ekonomi yang kehilangan gairah, serta keamanan yang tak terjamin. Sedangkan laporan-laporan asing tentang Banten abad ke-16 dan abad ke-17 juga tak pula jauh bedanya dengan laporan tentang kerajaan maritim lain yang sedang berkembang. Kisahnya tentu saja berbeda-beda, tetapi suasana sosial-politik dan ekonomi memantulkan gambaran yang tak jauh berbeda. Jika saja nama-nama orang diganti dan nama-nama tempat ditukar pula maka uraian tentang Banten rasanya bisa saja dijadikan tentang Makassar dari abad yang sama. Bahkan juga bisa ditukarkan dengan Riau-Johor abad ke-18, sebagaimana diuraikan oleh kitab Tufhat an Nafis, yang ditulis Raja Ali Haji dan ayahnya Raja Ahmad dari Pulau Penyengat, sebuah pulau kecil dekat Tanjung Pinang, Pulau Bintan. Ciri-ciri umum ialah persaingan dagang internasional yang meriah, sistem hukum berlaku baik, raja yang bijaksana, ilmu pengetahuan berkembang, dan aktivitas keagamaan menjadi pertanda dari kearifan Sultan. Tidak kurang pentingnya ialah suasana ini bukan saja mengundang kedatangan para pedagang dari segala penjuru dunia, tetapi juga para ulama. Dalam hal ini, baik sumber asing maupun sumber lokal, yang disebut historiografi tradisional itu, memberikan kesan yang tidak jauh berbeda. Jadi masuk akal juga kalau van Leur, yang memperkenalkan pendekatan sosiologi Max Weber untuk memahami sejarah, membagi kerajaan di kepulauan Indonesia atas dua kategori, yaitu maritim dan agraris. Banten, Makassar, Aceh dan lain-lain memperlihatkan ciri-ciri yang khas maritim. Dengan pendekatan ideal type membuat bentukan analisis berdasarkan sifat kategori yang paling ekstrim- maka negara maritim berarti kegiatan dagang, kebudayaan dinamis, dan pandangan ke luar. 12

Sedangkan Mataram bersifat agraris keterikatan pada tanah, pertanian, sikap kultural yang konservatif, dan cenderung mempunyai pandangan ke dalam (inward looking). Konon Sultan Mataram pernah mengatakan pada utusan Belanda yang datang menghadap di kratonnya, Tuan-tuan boleh berdagang di negeri saya tanpa bayar pajak, sebab saya bukan pedagang seperti penguasa Banten dan Surabaya, yang harus merasa takut dengan persaingan tuan. Penguasa maritim sejauh mungkin ingin mendapatkan keuntungan dari perdagangan laut, bahkan kalau perlu bahkan biasa sekali-mereka pun ikut berdagang. Mataram tentu lebih suka mendapatkan upeti dari para bangsawan yang telah mendapat lungguh serta menyibukkan diri dengan penghalusan kebudayaan dan sistem status sosial. Dengan segala ciri-ciri kerajaan maritim yang diperlihatkan Banten, tentu mudah juga dipahami kalau di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), seorang ulama besar yang berasal dari Makassar, Syekh Jusuf al Makasari, bukan saja tertarik untuk mendatangi Banten, tetapi bisa merasakannya sebagai negeri sendiri. Di bawah sultan yang bijaksana inilah Banten mencapai tingkat kegemilangannya yang tertinggi. Ia mengirimkan utusan diplomatik ke negeri-negeri Islam dan menyuruh anaknya naik haji sambil mengunjungi Turki. Tetapi di saat ini pulalah VOC sedang berada pada tahap perkembangannya yang agresif dan sedang asyik memperkenalkan serta memaksakan sebuah sistem yang sama sekali tak dikenal oleh tradisi Nusantara yang bertolak dari pemikiran laut bebas (mare liberum). Sistem itu ialah monopoli. Maka perbenturan antara Batavia, yang mempunyai kemampuan teknologi persenjataan yang lebih canggih dan tentara yang telah mengalami suka-duka berbagai macam perang, dengan Banten, yang lebih sibuk menjalin ikatan perdagangan terbuka. Perang terjadi dan Banten kalah. Akan tetapi, lebih dari itu sekadar kekalahan kejatuhan Sultan Ageng bermula dari pengkhianatan sang putra mahkota, Sultan Haji. Sejak itu sejarah Banten adalah rentetan dari kisah yang menunda kekalahan saja. Fakta bahwa Putra Mahkota bisa berkhianat pada ayahandanya serta-merta menyebabkan karisma tradisional yang dipegang kraton pun meluntur pula. Seperti juga halnya dengan Mataram, ketika penetrasi dan pengaruh kekuasaan asing telah semakin dirasakan, maka kraton pun ada kalanya menjadi sasaran pemberontakan. Setelah Sultan Ageng Tirtayasa (Abdulfattah) bisa dikalahkan, independensi Banten mulai setahap demi setahap digerogoti. Sultan Haji memerintah, tetapi hegemoni telah berada di tangan VOC. Kemudian hegemoni ini secara berangsur menjadi dominasi (mulai dari zaman Daendels) sampai akhirnya resmi berada di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda kesultanan telah dihapuskan. Benar, sejarah Banten adalah sejarah tentang sebuah daerah di tanah air kita, tetapi dari sudut pandang lain, sejarah Banten mungkin bisa juga dilihat sebagai sebuah gambaran umum dari lahir dan tumbangnya kekuasaan pribumi lahir, tumbuh, berkembang menjadi pusat dagang, melawan monopoli, perang, kalah, hegemoni asing, dominasi, akhirnya kolonialisme. Jika diartikan secara harfiah ungkapan Prancis lhistoire se repete, sejarah berulang, memang tidak benar. Ungkapan ini tidak benar kalau sejarah diartikan sebagai salinan yang murni dari apa, siapa, di mana, dan bila, tetapi mempunyai validitas relatif kalau yang ingin ditemukan ialah pola umum yang berlaku. Peristiwa sejarah yang biasa dikatakan hanya sekali terjadi, einmalig, itu sesungguhnya mempunyai unsur yang khusus dan umum. Adapun yang khusus dan tak berulang ialah kenyataan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa (siapa) yang melawan usaha penetrasi kekuasaan Belanda (apa) di Banten (di mana) pada tahun 1682 (bila), sedangkan yang merupakan gejala umum itu ialah

13

kecenderungan bahwa raja adalah lembaga yang pertama yang melawan usaha penetrasi Belanda. Kecenderungan umum ini terjadi di manamana, meskipun dalam waktu atau abad yang berbeda-beda. Meskipun dengan memakai konsep pola umum ini Banten unik juga-jika bukan dalam corak peristiwa yang dialaminya, setidaknya begitulah yang terjadi pada struktur kesadaran yang dipantulkan oleh satu-dua pejabat Belanda. Pada gilirannya kesadaran ini memberi akibat juga pada cara sebuah bangsa yang sedang berada dalam proses pembentukannya untuk melihat sejarahnya. Begitulah umpamanya, Onno Zwiervan Haren menulis sebuah drama yang mencekam dengan judul Agon Sulthan van Bantham . Drama ini berkisah tentang bantuan militer Belanda pada anak Sultan Ageng yang durhaka. Dan kemudian, siapakah yang bisa melupakan karya Multatuli, Max Havelaay, yang berkisah tentang penderitaan rakyat dan ketidakberdayaan pejabat yang bermaksud baik? Kolonialisme adalah hubungan internasional yang bercorak subordinatif dan eksploitatif mempunyai akibat sosial yang penting. Di satu pihak, kolonialisme mempunyai kemungkinan untuk menciptakan mental dependensi (terhadap orang asing) dan kesadaran hirarki sosial yang hegemonik (terhadap sesama anak negeri). Akan tetapi, di pihak lain, sifat eksploitatif dari kolonialisme kemudian bisa juga menjadi landasan dari terwujudnya rasa kesamaan sejarah dan nasib yang bersifat translokal. Nasionalisme yang kolonial pun tumbuh juga. Di samping mempunyai pengaruh terhadap sejarah pergerakan kebangsaan, Banten mempunyai tempat khusus juga dalam perkembangan historiografi Indonesia. Ketika Sartono Kartodirdjo (sekarang Prof Dr) menyampaikan disertasinya tentang pemberontakan Cilegon 1888 di Universitas Amsterdam (1966) maka lembaran baru sejarah penulisan sejarah Indonesia pun dibuka. Dengan buku untuk pertama kali seorang sejarawan Indonesia tampil ke depan dengan menyoroti sebuah peristiwa kecil, dengan aktor-aktor orang kecil, ulama lokal dan petani, dengan memakai pendekatan yang bercorak multidimensional. Maka dengan begini sebuah alternatif dalam penulisan sejarah diperkenalkan. Sejarah politik dengan peristiwa besar dan orang besar kini telah didampingi oleh studi yang semakin mendekati pada denyut sejarah sesungguhnya-manusia dengan segala keresahan dan harapannya pada tingkat yang paling intim, yaitu desa. Pemberontakan Cilegon sebenarnya memperlihatkan hal lain lagi. Banten yang telah kehilangan kesultanan ternyata tidak kehilangan beberapa hal yang fundamental, yaitu semangat independen, nasionalisme lokal yang kental, dan keterikatan pada norma keagamaan. Ketika kesultanan telah mengalami proses pelemahan dan kemudian malah dihapuskan dan di saat kedudukan bangsawan semakin terjepit, ketika itu pula para ulama semakin tampil sebagai pemimpin lokal. Banten, di masa krisis politik yang berkepanjangan ini ketika hukum alam (sebagai kata van Breugel) lebih penting dari ketentuan hukum yang berlaku golongan baru pun semakin menampakkan dirinya. Mereka adalah para jawara, pendekar yang selalu siap membela untuk sesuatu yang dianggap benar. Sejak kejatuhan kesultanan hampir tidak ada lagi satu peristiwa di Banten yang bukan dimotori oleh ulama dan jawara. Maka bisalah dimaklumi kalau Aceh kadang-kadang disebut sebagai negeri uleebalang dan ulama, Banten pun dikenal pula sebagai negeri ulama dan jawara . Sejak resmi menjadi salah satu karesidenan yang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda, Banten , kerajaan yang pernah disegani di perairan Nusantara, seakan-akan diharuskan untuk menjadi daerahsampingan saja. Kadang-kadang orang dikejutkan oleh tampilnya hal yang perlu dicatat, seperti tampilnya ulama besar Syekh Nawawi al Bantani, yang menerbitkan buku-buku di pusat-pusat pengetahuan dunia Islam, tetapi pada umumnya tidak lagi berperan apa-apa yang penting.

14

Pemberontakan komunis 1926 seperti juga dengan yang terjadi di Silungkang (Sumatera Barat) memang pantas dikenang, tetapi dalam tinjauan dinamika sejarah secara keseluruhan peristiwa ini tidak lebih daripada deviation belaka. Maka mestikah diherankan kalau sudah lama juga para tokoh Banten telah menginginkan agar Banten bisa mendapatkan kebebasan relatif untuk mewujudkan kembali janji sejarah yang sekian lama seakan-akan terpendam? GEGER CILEGON Sumber data : buku Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Percetakan Pustaka Jaya 1984 Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang dikenal dengan Geger Cilegon, pada tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid. Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya. Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama setelah ia kembali dari Mekkah tahun 1872. Haji Abdul Karim mendirikan pesantren di Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak murid dan pengaruh terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu kepala di Serang serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar pengaruhnya di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal pula sebagai Kiyai Agung bahkan dianggap sebagai Wali Allah. Dalam mengadakan acara dzikiran di rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid, Haji Abdul Karim selalu menganjurkan tentang perlunya perang sabil terhadap pemerintah kolonial yang kafir. Ketika Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada tanggal 13 Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari Tanahara, Tangerang dan sekitarnya berbondong-bondong menunggu di pinggir jalan yang akan dilaluinya. Khawatir akan terjadi huru-hara, pemerintah kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim berangkat langsung menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia. Sebagai ganti pimpinan pesantren dipercayakan kepada muridnya, Kiyai Haji Tubagus Ismail, yang juga gencar menganjurkan perlawanan kepada penjajah kafir. Anjuran itu disambut baik kiyai-kiyai terkenal seperti Kiyai Haji Wasid dari Beji, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Syadeli dari Kaloran, Haji Iskhak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, Haji Asnawi dari Lempuyang dan Haji Muhammad Asyik dari Bendung. Gerakan semacam ini timbul pula di Tanahara yang dipimpin oleh Haji Marjuki, yang dalam waktu singkat pengikutnya bertambah banyak, di samping dari Banten, juga dari daerah lain seperti Tangerang, Bogor dan Batavia. Pra Peristiwa Geger Cilegon Tokoh menentukan dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam dan harus dipraktekan dalam setiap kegiatan sehari-hari. Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib,

15

Haji Haris, Haji Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat. Dengan memahami tiga pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya, akan menjadi muslim yang baik dan taat dalam menjalankan semua perintah agama serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Segala peribadatan, segala ketaatan dan segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan penyembahan yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa besar, tanpa ampunan dari Allah. Tiada takut dan tiada harap; tiada benci dan tiada suka, kecuali semuanya karena Allah. Dalam pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan merajalela. Tanah pertanian, yang sebagian besar berupa "tadah hujan" menjadi kering, sehingga tidak ada tumbuhan yang dapat ditanam penduduk desa. Karena kurangnya makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan. Untuk menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA. Djajadiningrat, menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir sering menemukan bayi di pojokan pasar yang ditutupi selembar daun pisang, sekedar untuk menjaga dari teriknya matahari. Bayi-bayi ini sengaja ditinggalkan ibunya karena ia tidak mampu lagi memberinya makan, dan mengharapkan nanti ada yang mengambil untuk memeliharanya; atau karena ibunya tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak lama kemudian. Istri wedana Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil mengumpulkan sampai 20 orang anak yang kemudian dipeliharanya di Kawedanaan (PAA. Djajadinigrat, 1936:8). Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain. Dengan demikian, kerbau yang tidak terkena penyakit pun turut dibunuh pula. Bagi rakyat petani, ternak kerbau bukan hanya dianggap sebagai hewan peliharaan tapi juga teman/sahabat yang banyak membantu pekerjaannya di sawah, sehingga perlakuan demikian membuat tambah sedih, dianggap suatu kekejian dan kesewenang-wenangan yang membuat makin besar kebencian kepada Belanda dan anteknya; walaupun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan itu. Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari 210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo, 1988:88).

Pemandangan di desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak rumah tidak dihuni, sawah dibiarkan mengering karena tiadanya tenaga. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka kematian anak tinggi sekali. Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan do'a. Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), yang menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang. 16

Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meski pun kehidupan sosial ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa tahun kemudian, namun suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan. Sementara itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu, pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah penderitaan rakyat. Untuk menggambarkan besarnya pajak yang ditanggung rakyat Banten, setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f. 125.000,- Pada tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri dinaikkan, sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar jumlahnya dari jumlah pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk turun 100.000 (Kartodirdjo, 1988:55). Berbagai macam pajak yang dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah. Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka yang lari ke klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai dukun dan benda-benda yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah. Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon itu. Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan penduduk, bahwa perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari. Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden (Hamka, 1982:144). Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan "masyarakat" kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh. Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras, karena 'Tuhan tidak tuli'. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan menumbuhkan perlawanan bersenjata. Jalannya pemberontakan Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju "pemberontakan" di Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:

4 Pebruari 13 Maret 1888, diadakan 3 kali pertemuan di rumah H. Marjuki di Tanara dihadiri oleh para ulama dari Serang, Anyer dan Tangerang; yang kedua di Terate di rumah H. Asngari dihadiri

17

oleh para pemuka masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya di rumah H. Iskak di Saneja. Maret April 1888, pertemuan di rumah K.H. Wasid di Beji, kemudian di rumah H.M. Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di rumah H. Marjuki di Tanara, akhirnya kembali pertemuan di rumah K.H. Wasid. 23 Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para tokoh/ulama seperti H. Marjuki, H. Wasid dan H. Ismail serta H. Iskak. Diduga dalam pertemuan tersebut dibicarakan masalah kesediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan latihan antara lain pencak silat. Pada tanggal itu juga diperingati hari lahir pendiri tarekat Kadiriyah; peringatan tersebut antara lain ditandai dengan kenduri besar. Pada saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day pemberontakan pada tanggal 12 Juli 1888, akhirnya ditetapkan tanggal pastinya adalah 9 Juli 1888. Koinsidensi sejarah pada pematangan situasi tersebut antara lain (1) akhir Juni berlangsung perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra bupati Pandeglang dan putri bupati Serang, di mana banyak hadir para pejabat, (2) awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai bawahan Eropa dan pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer, (3) adanya desas-desus munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di kalangan penduduk, (4) dalam waktu dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara, (5) beredarnya desas-desus larangan berdo'a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban, pesta perkawinan dan khitanan. Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk persiapan terakhir pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa'id dari Jaha, Haji Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon). Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir. Maka setelah lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan dengan muridmuridnya yang lain. Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid di luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari Arjawinangun dan Gulacir yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir pemberontakan. Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke

18

Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di Cilegon. Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai dan murid-murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan. Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat pemerintah kolonial. Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara. Dengan memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen. Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan (Kartodirdjo, 1984:301-303). Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu. Tokoh fenomenal yang menjadi salah seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, wedana Cilegon, yang menurut PPA. Djajadiningrat "tempat kediamannya tidak di dekat-dekat orang Eropah atau di dekat-dekat Ambtenar-ambtenar boemipoetra lain" (1936:55), sehingga ia termasuk "orang yang tidak berdosa" (1936:56) Menurut rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu, adalah ketika ia akan mencoba bermusyawarah dengan para pejuang (peroesoeh). Namun di antara mereka terdapat seorang tahanantitipan kasus pencurian hasil tangkapan Wedana Tjangradiningrat yang sedang menunggu putusan perkara, yang bernama Kasidin. Kasidin keluar penjara ketika penjara dijebol para pejuang. Ketika Tjakradiningrat mendatangi tempat kerusuhan dan dikepung oleh para pejuang terdengar suara: ' ... djangan dianiaja jang seorang itoe, ia tidak berdosa !', tapi Kasidin yang ada pada kerumunan tersebut, melompat ke muka sambil berkata: ' ... ini jang mesti didahoeloekan !' dan pada saat berikutnya Kasidin memarang leher Wedana Tjakradiningrat (PPA. Djajadiningrat. 1936:56) Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang 19

ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran. Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan "pemberontak". Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon. Terjadilah pertempuran hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang. Kejadian "Geger Cilegon" itu mempunyai arti penting dalam sejarah pergerakan nasional, karena setelah kejadian itu Belanda menginstruksikan supaya semua peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan. Walau pun akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa ketidakpuasan dan kebencian seluruh rakyat terhadap penjajah. Rakyat kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan aspirasinya sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam bentuk pemberontakan, kepemimpinannya dipercayakan kepada pemim-pin kharismatik yakni para kiyai dan ulama. Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam di kedua belah pihak. Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah Belanda dan pamongpraja yang menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah juga menaruh kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat militan itu. Banyaknya pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat juga kaitannya dengan politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah. Di samping mereka terlalu meng-eksploitir tanah jajahan tanpa dibatasi rasa kemanusiaan, juga pemerintah kolonial "merambah" dalam kehidupan keagamaan masyarakat; masalah yang dianggap paling mendasar dalam kehidupan manusia. Hal ini tidak lepas dari motivasi pertama pengembaraan orang-orang Eropa, di samping untuk mencari keuntungan perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan permusuhan kepada orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekspansi Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib. VOC, sebagai perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada penduduk di Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat juga pada abad ke-19 dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda. Partai-partai di parlemen Belanda dapat dikelompokkan kepada partai agama dan non agama. Kedua golongan ini saling berebut mempengaruhi semua keputusan parlemen, yang selanjutnya dilaksanakan pemerintah Belanda. Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 kelompok non agama memperoleh kemenangan dalam parlemen. Namun pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada kelompok agama. Dengan keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah mendukung sebanyak mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi swasta. Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas sejalan dengan politik hutang budi; yaitu kemudahan bagi organisasi zending Kristen mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk sedikit demi sedikit melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih kepada agama Kristen.

20

Masalah kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan masalah menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan mengkristenkan sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka pemberontakan akan semakin berkurang. Karena itulah "zending Kristen harus dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang" (Suminto, 1985:18). Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila bangsa Indonesia ini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama dengan penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi pemerintahan Belanda. Tetapi dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi penyebaran agama Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari rakyat Indonesia makin lebih militan lagi menentang penjajah Belanda. Sehingga orang Indonesia dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai "setan", "kapir landa" sebutan yang di samping menggambarkan kebencian mendalam juga menganggap mereka itu adalam musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang mengirimkan anaknya untuk belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah Jawa/Melayu yang didirikan Belanda, sering dituduh menyuruh anak-anaknya masuk agama Kristen. Maka tidak jarang seorang kiyai atau seorang guru mengaji mengeluarkan fatwa bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah haram, atau sekurang-kurangnya menyalahi Islam. Bahkan beredar fatwa yang menyatakan bahwa berpakaian ala Eropa lebih-lebih memakai dasi, celana pantalon dan topi ala Eropa dihukumi haram, dan pemakainya dikatakan kafir. Demikian juga dengan orang Islam yang bekerja menjadi pegawai di kantor pemerintah Belanda, misalnya sebagai pamongpraja, masyarakat mencemooh mereka sebagai "anjing belanda". Keyakinan yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa penduduk asli Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun membuat pemerintah Belanda mengalami kesulitan mengangkat pejabat pamongpraja asli dari Banten yang cakap (baca: pernah belajar di sekolah Belanda). Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan pegawai pamongpraja ini, pemerintah kolonial lebih banyak mengangkat pegawai yang berasal dari Priyangan, seperti dari Bogor dan Bandung. Hal demikian sering menimbulkan konflik tertentu yang saling mencurigai satu sama lain; yang pada hakekatnya berawal mungkin dari perasaan irihati para pamongpraja asli daerah Banten terhadap para pamongpraja pendatang. Ketakutan yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan banyaknya pegawai asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika pasukan Jepang keluar dari Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai pasca kemerdekaan. Rupanya, walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang keislaman, bahkan mungkin bukan termasuk orang yang taat menjalankan agamanya, namun dalam hal rasa sentimen keagamaan mereka cukup tinggi. Peran Kyai dan Jawara di Banten Semenjak pemerintahan kolonial Belanda menaklukan kesultanan Banten, perlawanan dan pemberontakan rakyat Banten terhadap pemerintah kolonial tidak pernah berhenti. Pemerintah kolonial memandang bahwa Banten merupakan daerah yang paling rusuh di Jawa. Karena itu masyarakat Banten sejak dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam hal agama dan bersemangat memberontak. Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang Jawa dan Cirebon yang

21

dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki cultur yang berbeda dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam daerah yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang terkenal sangat taat terhadap agama seperti daerah Banten sudah sewajarnya jika kiyai menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat. Kiyai yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat. Kekuasaannya sering kali melebihi kekuasaan pemimpin formal, terutama di pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan. Kiyai dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kiyai yang khas, seperti bertutur kata lembut, berprilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah, merupakan simbol-simbol kesalehan. Karena itu perilaku dan ucapan seorang kiyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatankekuatan untuk memanifulasi kekuatan supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda tajam. Keunggulan dalam hal fisik dan kemampuanya untuk memanipulasi kekuatan supernatural (magik) telah melahirkan sosok seorang jawara dengan memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Sehingga bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan magik. Seperti halnya kiyai yang memiliki pesantren sebagai tempat para santri menimba ilmu pengetahuan agama Islam, demikian pula kepala jawara memiliki padepokan tempat pengemblengan anak buah. Para jawara pun memiliki jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya. Bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib dan Tjmande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman Rizal. Asal-usul kata jawara pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin dipandang orang yang paling hebat. Memang bahwa salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong), sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata jawara berasal dari kata jaro yang berarti seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan di desa, yang kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah. Menurut Tihami (Dekan IAIN Maulana Hasanudin Banten) bahwa jawara itu adalah murid kiyai. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam tetapi mengajarkan 22

ilmu persilatan atau kanuragan. Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di daerahdaerah terpencil dan kurang aman, karena kesultanan tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat kekuasaan. Murid kiyai yang lebih berbakat dalam bidang intelektual, mendalami ilmu-ilmu agama Islam pada akhirnya disebut santri. Sedangkan murid kiyai yang memiliki bakat dalam bidang fisik lebih condong kepada persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian disebut jawara. Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara yang melawan perintah kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu seorang pengurus persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan salah seorang kiyai di Serang. juwara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya kiyai). Istilah jawara dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banten sekarang ini dipergunakan untuk istilah denotatif dan juga referensi untuk mengidentifikasi seseorang. Istilah jawara yang menunjukan referensi untuk identifikasi seseorang adalah gelar bagi orang-orang yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan orang lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Sedangkan istilah jawara yang bersifat denotatif berisi tentang sifat yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan untuk orang-orang yang berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik terhadap orang untuk kepentingan dirinya semata, seperti melakukan ancaman, kekerasan dan kenekadan. Karena itu kesan orang terhadap istilah jawara cenderung negatif dan derogatif. Maka ada orang yang mendefenisikan jawara dengan jago wadon lan lahur (tukang main perempuan dan tukang bohong), jago wadon lan harta (tukang main perempuan dan tamak harta). Kesan yang kurang baik tentang jawara tersebut yang kemudian yang bagi orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan atau persilatan yang sudah terpelajar tidak mau menamakan dirinya jawara tetapi lebih senang disebut pendekar. Persepsi masyarakat tentang jawara saat ini yang kurang simpatik dan cenderung negatif sebenarnya bisa diterangkan dengan teori bandit sosial di atas. Peranan jawara pada masa lalu yang menonjolkan keberanian untuk melawan musuh bersama masyarakat yakni: pemerintah kolonial Belanda, mendapat penghargaan dan penghormatan di mata rakyat Banten. Karena itu jawara dianggap pahlawan oleh rakyat, sebagai pembela dan pelindung atas kepentinganya. Peran-peran itu yang telah ditampilkan secara baik oleh Mas Jakaria serta tokoh-tokoh jawara masa silam. Namun setelah Indonesia bebas dari kolonialisme, musuh bersama rakyat itu tidak ada. Namun prilakuprilaku jawara, seperti sompral, sombong, kurang taat dalam beragama, justru tidak berubah, sehingga menimbulkan antipati masayarakat terhadap jawara. Tokoh-tokoh agama, kiyai, terutama dari pemimpin tarekat, selain dipandang sebagai orang yang mengerti tentang pesan-pesan dan ajaran-ajaran agama juga dipandang sebagai sosok yang paling dekat pusat kekuatan supernatural, karena itu dipercayai memiliki kekuatan magis dan mistis, yang lebih dikenal dengan ilmu-ilmu hikmah. Karena kharisma seseorang kiyai akan semakin besar apabila ia selain memiliki kemampuan untuk memahami ajaran-ajaran agama, terutama kitab-kitab kuning juga dipercayai oleh masayarakat memiliki kekuatan mistis dan magis yang besar pula, sehingga ia dianggap bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang biasa. Tokoh lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial yang dihormati dan disegani karena dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supra-natural yang merupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan menguasai

23

ilmu persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian (wanten, kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan dirinya dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak memiliki keberanian. Karena kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan elit sosial di masyarakat Banten. Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan yang bertumpu kepada daya tarik pribadi yang melekat pada diri pribadi seorang kiyai atau jawara tersebut. Karena posisinya yang demikian itu maka seorang kiyai atau jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan. Juga karena keunggulan kepribadiannya itu, ia dianggap bahkan diyakini memiliki kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan mengesankan di hadapan khalayak banyak. Munculnya kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten berkaitan dengan kontrol pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat terhadap kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke19. Meskipun pemerintah kolonial masih tetap mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi soalsoal keagamaan masyarakat Banten, seperti Fakih Najamuddin untuk di tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat bawah, namun pengaruh mereka semakin menurun, akibat intervensi pemerintah kolonial yang terlalu besar. Kiyai, yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan tidak bersentuhan langsung dengan pemerintah, muncul sebagai tokoh masyarakat. Apalagi semenjak jabatan Fakih Najamuddin, dihapuskan oleh Belanda. Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan loyalitas penduduk ke para kiyai. Pembayaran zakat pun yang selama kesultanan Banten dan masa-masa awal pemerintahan kolonial diserahkan kepada penghulu, setelah penghapusan jabatan Fakih Najamuddin diberikan kepada para kiyai. Demikian pula jawara, yang pada masa-masa sulit banyak membantu peran para kiyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat, menjadi sosok yang terkadang justru banyak merugikan masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Akhmad Khatib memerintahkan K.H. Syamun untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas gerombolannya. Menurut masyarakat Banten gelar Kiyai diberikan kepada seorang yang terpelajar dalam pemahaman keislamannya dan ia membaktikan hidupnya demi mencari ridha Allah untuk menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan ataupun pesantren, yang menyandang gelar tersebut biasanya memiliki kesaktian dan ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa yang memiliki legitimasi berdasarkan kepercayaan masyarakat. Sedangkan jawara dalam pandangan masyarakat Banten merujuk kepada seseorang atau kelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat (kanuragan) dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Berkat kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.

24

Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang dihormati berkat perannya dalam mengarahkan dan menata kehidupan bermasyarakat. Sedangkan jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang meemiliki pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekuler), kesaktian dan keturunannya. Peranan kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu hikmah (ilmu ghaib) dan sebagai mubaligh. Peranan seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu ia lebih bersifat memberikan pencerahan terhadap masyarakat, semua itu menjadi masyarakat Banten yang madani dan memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih cenderung kepada kekuatan fisik dan batin. Sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu batin atau magi, satuan-satuan pengamanan. Peranan tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, namun demikian peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten saat ini sangat diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para jawara mulai berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai perkembangan zaman. Begitu pula ketika mereka membina hubungannya dengan sesama Kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan sebaliknya kiyai, atas jasanya tersebut, menerima uang shalawat (bantuan material) dari jawara. Tetapi juga banyak kiyai yang tidak senang terhadap berbagai prilaku jawara yang sering menghalalkan segara cara walau dengan cara kekerasaan dalam menyelesaikan masalah. Sejarah Pra Islam Dan Berkembangnya Islam Di Banten Sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam ta


Recommended