+ All Categories
Home > Documents > Skrip Si

Skrip Si

Date post: 27-Sep-2015
Category:
Upload: revy-nduut-vessueariana
View: 213 times
Download: 1 times
Share this document with a friend
Description:
o
Popular Tags:
53
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran pernapasan. Asma masih menjadi masalah kesehatan di negara maju maupun negara berkembang. Asma sering kurang terdiagnosis dan terobati, menimbulkan beban besar untuk individu dan keluarga dan mungkin membatasi aktivitas individu untuk seumur hidup. Asma merupakan salah satu dari lima penyebab kematian di dunia. Sebanyak 80% kematian disebabkan oleh asma terjadi di negara maju dan berkembang. Kematian akibat asma akan meningkat pada 10 tahun mendatang jika tidak segera ditangani. Dengan pengobatan yang tepat seperti penggunaan inhalasi kortikosteroid untuk meringankan inflamasi dapat menurunkan angka kematian akibat asma (WHO, 2011). Berdasarkan data WHO (World Health Organization) 2011 didapatkan bahwa 235 juta orang menderita asma. Prevalensi asma di Indonesia belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan 2-5% penduduk Indonesia menderita asma (Oemiati et al, 2010). Di Indonesia, asma masuk ke dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Data dari Survei Kesehatan Rumah 1
Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran pernapasan. Asma masih menjadi masalah kesehatan di negara maju maupun negara berkembang. Asma sering kurang terdiagnosis dan terobati, menimbulkan beban besar untuk individu dan keluarga dan mungkin membatasi aktivitas individu untuk seumur hidup. Asma merupakan salah satu dari lima penyebab kematian di dunia. Sebanyak 80% kematian disebabkan oleh asma terjadi di negara maju dan berkembang. Kematian akibat asma akan meningkat pada 10 tahun mendatang jika tidak segera ditangani. Dengan pengobatan yang tepat seperti penggunaan inhalasi kortikosteroid untuk meringankan inflamasi dapat menurunkan angka kematian akibat asma (WHO, 2011).

Berdasarkan data WHO (World Health Organization) 2011 didapatkan bahwa 235 juta orang menderita asma. Prevalensi asma di Indonesia belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan 2-5% penduduk Indonesia menderita asma (Oemiati et al, 2010). Di Indonesia, asma masuk ke dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2005 didapatkan 225.000 orang meninggal karena asma. Untuk daerah pedesaan didapatkan prevalensi asma sebesar 4,3% sedangkan di perkotaan 6,5% (Dinkes Yogyakarta, 2010). Prevalensi asma diperkotaan lebih tinggi dari di pedesaan karena pola hidup di kota besar dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya asma (Oemiati et al, 2010). Prevalensi kasus asma di Jawa Tengah pada tahun 2010 sebesar 0,64% mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 0,66% (Dinkes Jateng, 2010). Prevalensi asma di Surakarta didapatkan data sebesar 2,42% (Dinkes Jateng, 2009).

Asma merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan tetapi dengan diagnosis, pengobatan dan edukasi pasien yang tepat dapat menghasilkan manajemen dan kontrol asma yang baik. Dengan terkontrolnya asma maka dapat meningkatkan kualitas hidup penderita asma (WHO, 2011). Penelitian di wilayah Asia Pasifik didapatkan data sebanyak 5% pasien asma terkontrol penuh, 35% terkontrol sebagian, 10% pasien menggunakan inhalasi steroid untuk mengontrol asma dan 68% pasien menggunakan bronkodilator. Di Indonesia belum didapatkan data yang pasti pasien dengan kontrol asma (Priyanto et al, 2011).

Tingkat kontrol asma dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah ekspresi emosi yang berlebihan misalnya kecemasan. Pasien asma cenderung memiliki kecemasan sehingga dapat mempengaruhi kontrol asma dan kualitas hidup ( Urutia et al, 2012). Kecemasan cenderung memperburuk penyakit asma. Kecemasan dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang dapat menimbulkan serangan. Selama periode kecemasan, orang mungkin lupa untuk mengambil obat asma mereka, membuat serangan lebih memungkinkan (Kam, 2009).

Kontrol asma di Indonesia masih rendah. Rendahnya kontrol asma paling tidak dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor dokter dan penderita. Dilihat dari peran dokter dalam penelitian Rabe dkk menunjukkan bahwa penggunaan obat pengontrol asma seperti kortikosteroid inhalasi pada pasien asma masih sangat rendah, yaitu 18-26%. Dokter juga terlalu rendah menilai beratnya asma sehingga memberi resep terapi yang tidak adekuat. Sedangkan dari peran pasien, pasien juga merasa dirinya terkontrol baik. Meskipun masih bergejala 89% orang tua cukup puas dengan obat yang diterima anaknya meskipun asmanya tidak terkontrol. Selain itu, pasien mengobati asma bila mempunyai gejala saja tanpa perlu memakai obat pengontrol (Sundaru, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Marco et al di Italia, pasien dengan kontrol asma yang buruk lebih sering terjadi pada wanita, orang tua, dengan fungsi paru yang buruk, obesitas, cemas dan/ atau depresi. Kecemasan dan asma mempunyai korelasi yang signifikan. Kecemasan berhubungan dengan tingginya pemanfaatan pelayanan kesehatan (Marco et al., 2009). Pada studi cross-sectional yang dilakukan Vieira et al di Brazil, didapatkan hasil bahwa prevalensi kecemasan lebih tinggi pada pasien asma tidak terkontrol yaitu sebesar 78% (Vieira et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Cheng et al di China juga mendapatkan hasil yang sama, yaitu kecemasan umumnya ditemukan pada pasien asma. Semakin buruk kontrol asma maka semakin berat kecemasan yang terjadi, dan sebaliknya (Cheng et al., 2012).

Di Indonesia belum didapatkan data mengenai tingkat kecemasan pada asma. Oleh karena itu perlu diketahui adanya pengaruh tingkat kecemasan terhadap tingkat kontrol asma.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, yang menjadi rumusan masalah adalah Adakah hubungan tingkat kecemasan terhadap tingkat kontrol asma di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya hubungan tingkat kecemasan terhadap tingkat kontrol asma di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tingkat kecemasan penderita asma di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

b. Untuk mengetahui tingkat kontrol asma di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

c. Untuk menganalisa hubungan tingkat kecemasan terhadap tingkat kontrol asma di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

a. Menambah wawasan tentang kecemasan dan tingkat kontrol asma.

b. Peneliti mampu meningkatkan pengetahuan tentang penelitian dan aplikasinya di lapangan.

2. Bagi Pemerintah dan Institusi

a. Dapat mencegah terjadinya kecemasan sehingga menurunkan angka kekambuhan asma.

b. Dapat melakukan penanganan yang tepat terhadap kecemasan yang memicu terjadinya asma.

c. Dapat melakukan penanganan yang tepat terhadap asma terkontrol dan tidak terkontrol.

3. Bagi Masyarakat

a. Dapat meningkatkan motivasi masyarakat untuk mengurangi kecemasan sehingga kekambuhan asma dapat dikontrol.

b. Dapat menyadarkan masyarakat untuk melakukan kontrol asma.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma

1. Definisi Asma

Kata asthma berasal dari bahasa Yunani, yang artinya sukar bernapas. Asma didefinisikan berdasarkan gejala klinis, fisiologis, dan patologis. Gejala klinis yang paling dominan adalah sesak napas episodik terutama pada malam hari disertai batuk, tanda yang sering ditemukan adalah suara mengi atau wheezing. Ciri fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas yang ditandai dengan keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Ciri patologis adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai oleh perubahan struktur saluran napas (Rengganis, 2008).

2. Faktor Risiko Asma

Faktor risiko asma antara lain:

a. Faktor Genetik

1) Alergi/ atopi

Bakat alergi memudahkan penderita terserang penyakit asma apabila terpajan oleh faktor pencetus.

2) Hiperaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap rangsangan alergen dan iritan.

3) Jenis kelamin

Pada anak-anak sebelum usia 14 tahun, laki-laki lebih sering terkena asma dengan perbandingan 1,5-2 kali dengan anak perempuan. Menjelang dewasa perbandingan tersebut hampir sama dan menjelang masa menopause, perempuan lebih banyak.

4) Ras/ etnik

5) Obesitas

b. Faktor Lingkungan

1) Alergen dalam rumah

Alergen dalam rumah yaitu tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang (anjing, kucing).

2) Alergen luar rumah

Alergen luar rumah adalah serbuk sari dan spora jamur.

c. Faktor Lain

1) Alergen makanan

Contoh alergen makanan adalah susu, telur, seafood, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, bahan pengawet dan pewarna makanan.

2) Alergen obat-obatan

Contoh alergen obat-obatan adalah penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik.

3) Bahan yang mengiritasi

Contoh bahan yang mengiritasi adalah parfum, household spray dan lain-lain.

4) Emosi berlebih

Stres dapat mencetuskan serangan asma dan memperberat serangan asma yang sudah ada.

5) Asap rokok

Asap rokok berkaitan dengan penurunan faal paru.

6) Polusi udara

7) Exercise-induced asthma

Pada sebagian besar penderita mendapatkan serangan asma jika melakukan aktivitas yang berat. Serangan asma terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.

8) Perubahan cuaca

Cuaca yang lembab dan hawa dingin pegunungan dapat mempengaruhi asma. Cuaca yang mendadak dingin dapat mencetuskan serangan asma.

9) Status ekonomi (Rengganis, 2008).

3. Gejala Asma

Asma mempunyai interval asimtomatik diantara beberapa serangan asma. Ciri yang khas dari asma yaitu dispnea, suara mengi (wheezing), obstruksi jalan napas reversibel terhadap bronkodilator, bronkus yang hiperesponsif terhadap berbagai stimulus, dan peradangan saluran pernapasan. Ciri-ciri tersebut tidak harus terjadi bersamaan. Serangan asma ditandai dengan batuk, mengi, dan sesak napas. Pada serangan asma sering terlihat penggunaan otot pernapasan tambahan, pulsus paradoksus, dan timbul Kussmauls sign. Biasanya penderita akan mencari posisi yang nyaman, misalnya duduk tegak dengan berpegangan pada sesuatu (misal kursi) agar bahu tetap stabil. Takikardia akan timbul di awal serangan dan diikuti sianosis sentral (Djojodibroto, 2009).

4. Klasifikasi Asma

Asma dibedakan menjadi 2 golongan berdasarkan ada tidaknya riwayat keluarga dengan atopi, yaitu:

a. Asma Ekstrinsik (Alergi)

Asma ekstrinsik adalah asma yang berkaitan dengan riwayat atopi. Mekanisme terjadinya asma ekstrinsik melibatkan sistem imun, terjadi saat kanak-kanak dengan peningkatan kadar IgE serum.

b. Asma Intrinsik (Idiosinkratik)

Asma intrinsik adalah asma yang tidak berkaitan dengan riwayat atopi dan tidak melibatkan sistem imun. Asma intrinsik terjadi saat dewasa dengan kadar IgE serum nornal (Djojodibroto, 2009).

Asma juga dikelompokkan berdasarkan etiologinya, antara lain asma karena obat, asma karena aktivitas, dan asma karena pekerjaan.

a. Asma karena obat (Drug-induced Asthma)

Obat-obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) dan aspirin dapat menimbulkan serangan asma pada 5% penderita asma. Obat tersebut menghambat jalur siklooksigenase (COX) yang mensintesis prostaglandin dan menggeser metabolisme arakidonat dari COX ke jalur lipooksigenase dan produksi LTC4 dan LTD4 (Ward et al, 2006).

b. Asma karena aktivitas (Exercise-induced Asthma)

Aktivitas gerak dapat memicu terjadinya bronkokonstriksi. Yang berperan dalam proses ini adalah pendinginan dan pengeringan saluran pernapasan. Pada orang yang berolahraga, ventilasi menitnya akan meningkat. Sebelum udara masuk ke dalam paru-paru, udara dingin (suhu kamar) dan udara kering harus dipanasi dan dijenuhkan dengan uap air oleh epitel trakeobronkial. Epitel tersebut menjadi dingin dan kering sehingga menyebabkan bronkokonstriksi (Djojodibroto, 2009).

c. Asma karena pekerjaan (Occupational Asthma)

Tenaga kerja yang memiliki riwayat atopi lebih mudah terkena serangan asma karena diinduksi oleh zat-zat yang terdapat di lapangan kerja (Djojodibroto, 2009).

Berdasarkan tingkat kegawatan asma dibagi menjadi 3 tingkat (Rab, 2010) yaitu:

a. Asma Bronkiale

Asma bronkiale adalah bronkospasme yang sifatnya masih reversibel dengan latar belakang alergi.

b. Status Asmatikus

Status asmatikus adalah kegawatdaruratan paru yang disebabkan oleh bronkospasme yang persisten dan sukar disembuhkan dengan obat-obatan konvensional.

c. Asmatikus Emergency (Kegawatdaruratan Asmatikus)

Merupakan asma yang dapat menyebabkan kematian.

Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat kegawatan asma adalah sebagai berikut:

1) Bila asma disertai dengan kegagalan pernapasan.

2) Bila terdapat komplikasi berupa hipoksia serebri atau gangguan hemodinamik maupun gangguan cairan tubuh dan elektrolit.

3) Interval dari beberapa serangan asma. Jika semakin pendek intervalnya, maka semakin tinggi nilai kegawatannya.

4) Derajat serangan asma. Semakin lama serangannya, maka semakin tinggi nilai kegawatannya.

5) Intensitas. Semakin tinggi intensitas serangan dengan rendahnya nilai FEV1, maka semakin tinggi nilai kegawatannya.

6) Bila terdapat komplikasi infeksi.

7) Bila asma tidak memberikan respon terhadap obat-obat konvensional.

Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala antara lain (Rengganis, 2008):

Tabel 1

Klasifikasi Derajat Asma

Derajat Asma

Gejala

Gejala Malam

Faal Paru

Intermiten

Bulanan

Gejala < 1x/ minggu tanpa gejala diluar serangan

Serangan singkat

2 kali sebulan

APE 80%

Persisten ringan

Mingguan

Gejala > 1x/ hari

Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur

> 2 kali sebulan

APE > 80%

Persisten sedang

Harian

Gejala setiap hari

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

Bronkodilator setiap hari

> 2 kali sebulan

APE 60-80%

Persisten berat

Kontinyu

Gejala terus menerus

Sering kambuh

Aktivitas fisik terbatas

Sering

APE 60%

5. Patogenesis Asma

a. Asma sebagai penyakit inflamasi

Asma dianggap sebagai penyakit inflamasi karena dijumpai tanda-tanda inflamasi tanpa membedakan penyebabnya. Inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas dijumpai pada asma alergi dan asma non-alergi. Terdapat dua jalur terjadinya keadaan tersebut yaitu jalur imunologis yang didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur IgE, alergen masuk ke dalam tubuh dan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cell), lalu hasil olahan tersebut dikomunikasikan kepada sel Th (sel T helper). Sel Th akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE dan sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit, serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, PAF (Platelet Activating Factor), bradikinin, tromboksin dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan permeabilitas dinding vaskuler meningkat, edem saluran napas, infiltrasi sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis subepitel. Keadaan tersebut menimbulkan hiperaktivitas saluran napas. Jalur non-alergi merangsang sel inflamasi dan merangsang sistem saraf otonom yang menyebabkan inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas (Sundaru & Sukamto, 2009).

b. Hiperaktivitas saluran napas

Saluran napas penderita asma sangat peka terhadap iritan (debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergi juga sangat peka terhadap alergen spesifik. Sebagian hiperaktivitas saluran napas diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lainnya didapat. Keadaan yang dapat menyebabkan hiperaktivitas saluran napas yaitu:

1) Inflamasi saluran napas

Ditemukan adanya sel inflamasi dan mediator kimia serta dibuktikan dengan adanya fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti inflamasi dapat menurunkan hiperaktivitas saluran napas.

2) Kerusakan epitel

Pada asma kerusakan epitel bervariasi dari ringan sampai berat. Perubahan struktur akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi, dan mengakibatkan iritasi pada ujung-ujung saraf otonom sering mudah terangsang. Kerusakan sel epitel bronkus dapat mempermudah terjadinya bronkokonstriksi.

3) Mekanisme neurologis

Terjadi peningkatan respon saraf parasimpatis.

4) Gangguan intrinsik

Diduga terdapat peran otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos saluran napas.

5) Obstruksi saluran napas (Sundaru & Sukamto, 2009)

6. Patofisiologi Asma

Obstruksi saluran napas merupakan kombinasi dari spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edem dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi akan bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit. Udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak dan tidak bisa diekspirasi. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Hiperventilasi diperlukan otot bantu napas. Hiperventilasi tersebut bertujuan untuk membuka saluran napas dan melancarkan pertukaran gas. Penyempitan saluran napas besar menunjukkan gejala mengi, sedangkan penyempitan saluran napas kecil menunjukkan gejala batuk. Penyempitan saluran napas tidak terjadi secara merata. Terdapat daerah yang mengalami hipoksia karena kapiler darah tidak mendapatkan ventilasi. Penurunan PaO2 kemungkinan merupakan kelainan asma subklinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen maka tubuh melakukan hiperventilasi. Akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PCO2 menurun dan menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma berat terdapat banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga menimbulkan hipoksia, kerja otot menjadi lebih berat, dan terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 disertai penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnea) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas (Sundaru & Sukamto, 2009).

7. Pemeriksaan Asma

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis asma adalah sebagai berikut.

a. Pemeriksaan Sputum

Pada pemeriksaan sputum sering ditemukan:

1) Kristal Charcot Leyden, merupakan degranulasi eosinofil.

2) Spiral Cruschmann, merupakan sel cetakan dari cabang-cabang bronkus.

3) Creole, merupakan fragmen dari epitel bronkus.

4) Neutrofi dan eosinofil, terdapat pada sputum yang bersifat mukoid dengan viskositas tinggi dan kadang terdapat mukus plug.

b. Pemeriksaan Darah

Pada pemeriksaan darah rutin terjadi peningkatan jumlah eosinofil sedangkan limfosit dapat meningkat atau normal. Pada pemeriksaan faktor alergi terjadi peningkatan IgE pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas serangan.

c. Pemeriksaan Faal Paru

Diagnosis asma ditegakkan apabila bronkodilator inhalasi menyebabkan > 15% perbaikan pada volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) atau kecepatan ekspirasi puncak (PEFR). Resistensi jalan napas paling kecil terjadi pada pertengahan hari dan paling berat terjadi pada pukul 3-4 pagi. Pengukuran PEFR di pagi hari, tengah hari, dan saat istirahat digunakan untuk mengidentifikasi peningkatan variasi pembatasan aliran udara pada asma dan menilai respon terhadap terapi. Pada asma tidak terkontrol terjadi penurunan PEFR pagi hari yang khas.

d. Tes Provokasi Bronkus

Tes ini digunakan untuk menentukan hiperresponsivitas bila asma dicurigai tetapi pengukuran PEFR tidak mendukung diagnosis. Pasien diminta untuk menghirup histamin atau metakolin yang dosisnya ditingkatkan sampai FEV1 berkurang 20% (Ward et al, 2006).

e. Tes Tusuk Kulit (Skin Prick Test)

Tes ini untuk mengidentifikasi faktor ekstrinsik. Di sekitar tempat tusukan akan timbul urtikaria yang menunjukkan sensitivitas alergen.

f. Pemeriksaan Radiologi

Gambaran radiologi asma umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru, yaitu radiolusen bertambah dan pelebaran rongga interkostal, serta diafragma tampak menurun (Djojodibroto, 2009).

8. Pengobatan Asma

Penatalaksanaan asma berdasarkan kontrol yaitu sebagai berikut (GINA, 2011).

Tabel 2

Penatalaksanaan Asma Berdasarkan Kontrol

Tahap 1

Tahap 2

Tahap 3

Tahap 4

Tahap 5

Penyuluhan asma dan pengendalian lingkungan

Jika diperlukan berikan agonis 2 aksi cepat

Agonis 2 aksi cepat jika dibutuhkan

Pilihan pengontrol

Pilih salah satu

Pilih salah satu

Tambah satu atau lebih

Tambah satu atau keduanya

ICS dosis rendah

ICS dosis rendah ditambah agonis 2 aksi panjang

ICS dosis sedang atau dosis tinggi ditambah agonis 2 aksi panjang

OCS dosis terendah

Leukotrien modifier

ICS dosis sedang atau dosis tinggi

Leukotrien modifier

Pengobatan anti IgE

ICS dosis rendah ditambah leukotrien modifier

Teofilin lepas lambat

ICS dosis rendah dan teofilin

ICS = inhaled glucocorticosteroids

OCS = oral glucocorticosteroid

Indikasi untuk perawatan di rumah sakit yaitu (Rab, 2010):

a. Detak jantung > 120/menit

b. Takipneu dengan frekuensi > 30/menit

c. Pulsus paradoksus 18 mmHg

d. PEF 120L/menit

9. Komplikasi Asma

a. Pneumotoraks, pneumodiastinum, emfisema subkutis

b. Atelektasis

c. Aspergilos bronkopulmoner alergi

d. Gagal napas

e. Bronkitis

f. Fraktur iga (Sundaru & Sukamto, 2009)

B. Kontrol Asma

1. Definisi Kontrol Asma

Kontrol asma adalah pengendalian terhadap manifestasi klinis penyakit asma. Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and Prevention, kontrol asma berarti seorang penderita asma dengan kriteria:

a. Tidak ada (atau minimal) gejala asma.

b. Tidak terbangun pada malam hari karena asma.

c. Tidak ada (atau minimal) menggunakan obat asma.

d. Mampu melakukan aktivitas fisik normal dan olahraga.

e. Hasil tes fungsi paru (PEF dan FEV1) normal (mendekati normal).

f. Tidak ada (sangat jarang) terjadi serangan asma (GINA, 2011).

2. Tingkat Kontrol Asma

Tujuan penting dalam pengobatan asma adalah mencapai dan mempertahankan kontrol asma. Derajat kontrol asma berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) 2011:

Tabel 3

Derajat Kontrol Asma Berdasarkan GINA

Kriteria Penilaian

Terkontrol

(semua penilaian)

Terkontrol sebagian (minimal salah satu)

Tidak terkontrol

Gejala harian/ siang

Kurang dari 2 kali per minggu

Lebih dari 2 kali per minggu

Didapatkan tiga atau lebih kriteria terkontrol sebagian dalam seminggu.

Gangguan aktivitas

Tidak ada

Kadang

Gejala malam terbangun

Tidak ada

Kadang

Penggunaan obat pelega

Kurang dari 2 kali per minggu

Lebih dari 2 kali per minggu

Fungsi paru (PFR atau VEP1)

Normal

< 60% prediksi atau nilai terbaik (jika diketahui)

Tingkat kontrol asma dapat diukur menggunakan ACT (Asthma Control Test). ACT pertama kali diperkenalkan oleh Nathan dkk. ACT berisi lima pertanyaan dan masing-masing pertanyaan tersebut memiliki skor 1 sampai 5. Nilai terendah ACT adalah 5 dan nilai tertinggi adalah 25. Jika nilai ACT kurang dari atau sama dengan 19 maka menunjukkan bahwa asma tidak terkontrol. Jika nila ACT adalah 20-24 maka menunjukkan bahwa asma terkontrol. Sedangkan jika nilai ACT adalah 25 maka menunjukkan bahwa asma terkontrol total (Sundaru & Sukamto, 2009).

C. Kecemasan

1. Definisi Kecemasan

Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan dan memperingatkan seseorang tentang adanya bahaya yang mengancam serta memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan untuk mengatasi ancaman tersebut. Kecemasan merupakan respon terhadap ancaman yang tidak diketahui sumbernya, internal, samar-samar, atau konfliktual (Kaplan et al., 2010).

2. Etiologi Kecemasan

a. Teori Biologi

Area otak yang diduga terlibat dalam gangguan kecemasan adalah lobus oksipitalis yang memiliki reseptor benzodiazepin tertinggi di otak. Basal ganglia, sistem limbik, dan korteks frontal juga diduga terlibat. Selain itu, ditemukan sistem serotoninergik yang abnormal. Neurotransmitter yang berkaitan adalah GABA, serotonin, norepinefrin, glutamat, dan kolesistokimia. Penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa putih di otak dapat ditemukan pada pemeriksaan PET (Positron Emission Tomography).

b. Teori Genetik

Terdapat hubungan genetik antara pasien gangguan kecemasan dan gangguan depresi mayor pada wanita.

c. Teori Psikoanalitik

Pada teori ini dihipotesiskan bahwa kecemasan adalah gejala dari konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan.

d. Teori Kognitif-Perilaku

Penderita kecemasan memberikan respon yang salah dan tidak tepat terhadap ancaman. Hal ini disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal negatif pada lingkungan, adanya distorsi pada pemrosesan informasi dan pandangan negatiif terhadap kemampuan diri untuk menghadapi ancaman (Elvira & Hadisukanto, 2010).

3. Gejala Kecemasan

Gejala kecemasan terdiri dari dua komponen yaitu komponen psikis/mental dan komponen fisik. Gejala psikis meliputi kecemasan itu sendiri, misalnya khawatir atau was-was. Komponen fisik meliputi manifestasi dari keterjagaan yang berlebihan (hyperarousal syndrome) yaitu jantung berdebar, napas cepat (hiperventilasi atau biasa disebut sesak), mulut kering, keluhan lambung, tangan dan kaki terasa dingin dan ketegangan otot (biasanya di pelipis, tengkuk, atau punggung). Keluhan hiperventilasi biasanya tidak disadari oleh penderita, yang dikeluhkan biasanya merupakan gejala akibat ketidakseimbangan asam-basa dalam darah, terjadi hipokapnea, dan yang paling sering adalah pusing seperti melayang, rasa kesemutan di tangan dan kaki, serta spasme otot tangan dan kaki (Maramis, 2009).

4. Klasifikasi Kecemasan

DSM-IV membagi gangguan kecemasan menjadi:

a. Gangguan panik dengan dan tanpa agorafobia

b. Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik

c. Fobia spesifik dan sosial

d. Gangguan obsesif-kompulsif

e. Gangguan stres pasca traumatik

f. Gangguan stres akut

g. Gangguan kecemasan umum

h. Gangguan kecemasan karena kondisi medis umum

i. Gangguan kecemasan akibat zat

j. Gangguan kecemasan yang tidak dapat ditentukan, termasuk gangguan kecemasan depresif campuran

5. Diagnosis Kecemasan

Kriteria diagnostik gangguan cemas menyeluruh menurut DSM IV-TR adalah:

a. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap hari, sepanjang hari, terjadi selama sekurang-kurangnya 6 bulan, tentang sejumlah aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah)

b. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya.

Kecemasan dan kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala berikut ini (dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak terjadi selama 6 bulan terakhir). Catatan: hanya satu nomor yang diperlukan pada anak.

1) Kegelisahan

2) Merasa mudah lelah

3) Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong

4) Iritabilitas

5) Ketegangan otot

6) Gangguan tidur (sulit tidur atau tetap tidur, atau tidur gelisah, dan tidur tidak memuaskan).

7) Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis I, misalnya kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita suatu serangan panik (seperti pada gangguan panik, merasa malu pada situasi umum (seperti pada fobia sosial), terkontaminasi (seperti pada gangguan obsesif kompulsif), merasa jauh dari rumah atau sanak saudara dekat (seperti gangguan cemas perpisahan), penambahan berat badan (seperti anoreksia nervosa), menderita keluhan fisik berganda (seperti pada gangguan somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada hipokondriasis) serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-mata selama gangguan stres pasca trauma.

8) Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

9) Gangguan yang terjadi adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum (misalnya hipertiroidisme), dan tidak terjadi semata-mata selama suatu gangguan mood, gangguan psikotik atau gangguan perkembangan pervasif (Elvira & Hadisukanto, 2010).

6. Pengobatan Kecemasan

Pengobatannya yaitu dengan farmakoterapi dan psikoterapi.

a. Farmakoterapi

Obat pilihan pertama adalah benzodiazepin, pemberiannya dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan sampai mencapai respon terapi. Lama pengobatan rata-rata adalah 2-6 minggu, dilanjutkan dengan tapering off selama 1-2 minggu.

Busipiron lebih selektif untuk memperbaiki gejala kognitif dibanding gejala somatik pada gangguan kecemasan dan tidak menyebabkan withdrawal. Busipiron bisa digunakan bersama benzodiazepin, kemudian dilakukan tapering benzodiazepin setelah 2-3 minggu, di saat efek terapi busipiron telah mencapai maksimal.

SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) selektif pada pasien gangguan kecemasan dengan riwayat depresi (Elvira & Hadisukanto, 2010).

b. Psikoterapi

Psikoterapi tediri dari terapi kognitif-perilaku, terapi suportif, dan psikoterapi berorientasi tilikan. Terapi kognitif perilaku menggunakan teknik relaksasi dan biofeedback. Terapi suportif dilakukan dengan menggali potensi pasien yang ada dan belum tampak, mendukung egonya, sehingga bisa lebih beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Psikoterapi berorientasi tilikan bertujuan untuk membuat pasien menjadi lebih matur dan memfasilitasi pasien agar dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya (Elvira & Hadisukanto, 2010).

7. Pengukuran Tingkat Kecemasan

Pengukuran tingkat kecemasan menggunakan skala pengukuran TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). TMAS terdiri dari 50 pertanyaan yaitu 13 pertanyaan favourable dan 37 pertanyaan unfavourable. Pertanyaan tersebut memiliki tipe jawaban ya dan tidak. Pertanyaan favourabel antara lain pertanyaan nomor 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49. Jawaban ya pada pertanyaan favourable bernilai 1 dan jawaban tidak bernilai 0. Pertanyaan unfavourable antara lain pertanyaan nomor 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 29, 32, 38, 50. Pada pertanyaan unfavourable jawaban ya bernilai 0 dan jawaban tidak bernilai 1. Jika jumlah nilai 22 maka dinyatakan cemas, sedangkan jika jumlah nilai < 22 maka dinyatakan tidak cemas.

D. Hubungan Tingkat Kecemasan dan Tingkat Kontrol Asma

Kecemasan umumnya terjadi pada orang dengan asma berat dan asma yang sulit dikontrol. Kecemasan adalah respon normal untuk gejala asma seperti dispnea dan dada sesak serta mungkin dalam respon sedang menghasilkan manfaat yaitu meliputi menghindari pemicu yang tepat, penggunaan rutin obat profilaksis, dan kontak yang sesuai dengan tenaga kesehatan yang profesional selama eksaserbasi. Jika kecemasan berlebihan, maka dapat menyebabkan perilaku yang tidak tepat seperti keterampilan manajemen diri yang buruk, terlalu sering menggunakan obat bronkodilator, ketidakpatuhan terhadap kontrol terapi, hubungan yang buruk dengan tenaga profesional kesehatan dan gemar melakukan perilaku berisiko seperti tidak patuh, perilaku manajemen diri yang buruk dan merokok. Kecemasan umumnya terkait dengan hiperventilasi, disfungsi pita suara, dan pernapasan disfungsional (Thomas et al, 2011).

Kecemasan mungkin memperburuk penyakit pada orang yang sudah memilikinya. Selama periode kecemasan, serangan asma lebih sering terjadi dan kontrol asma lebih sulit. Kecemasan sebenarnya dapat membuat gejala asma lebih parah. Kecemasan dapat secara langsung mempengaruhi tubuh atau menyebabkan penderita kurang efektif dalam mengelola asma. Kecemasan dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang dapat menimbulkan serangan. Emosi-emosi yang kuat memicu pelepasan bahan kimia, seperti histamin dan leukotrien, yang dapat memicu penyempitan saluran napas (Kam, 2007).

E. Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep

(AsmaKecemasanTeori biologiTeori genetikTeori psikoanalitikTeori kognitif perilakuAsma tidak terkontrolAsma terkontrolAsma terkontrol totalIgE, sel radangMediator inflamasiHistamin, leukotrien, dll. permeabilitas dinding vaskuler, edem saluran napas, sekresi mukusHiperventilasiEmosi, stresSel Th 2Sel Th 1Interleukin Sel plasmaAPCSel Th Alergen)

Keterangan:

= yang tidak diteliti

= yang diteliti

F. Hipotesis Penelitian

H0: Tidak ada hubungan tingkat kecemasan terhadap tingkat kontrol asma di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

H1: Ada hubungan tingkat kecemasan terhadap tingkat kontrol asma di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

Jika nilai p < 0,05 maka H0 ditolak, H1 diterima.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Peneliti menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan terhadap tingkat kontrol asma di BBKPM Surakarta. Pada pendekatan cross sectional akan didapatkan data yang nantinya akan dianalisa.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Waktu : Bulan Agustus-September 2013

Lokasi : Klinik Asma BBKPM Surakarta

C. Populasi Penelitian

1. Populasi target dari penelitian ini adalah penderita asma usia 18-45 tahun.

2. Populasi aktual dari penelitian ini adalah penderita asma usia 18-45 tahun di Klinik Asma BBKPM Surakarta tahun 2013.

D. Sampel dan Teknik Sampling

Sampel adalah hasil dari cuplikan pada populasi aktual yang akan diteliti dengan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut.

1. Kriteria inklusi:

a. Pasien asma derajat intermiten atau persisten ringan di Klinik Asma BBKPM Surakarta.

b. Pasien berusia 18-45 tahun.

c. Hasil rontgen toraks pasien dalam batas normal.

d. Pasien bersedia untuk mengisi kuesioner.Pasien memahami bahasa Indonesia.

2. Kriteria eksklusi:

a. Pasien TB paru.

b. Pasien PPOK.

c. Pasien bronkitis.

d. Pasien menderita kelainan jantung.

e. Penderita tidak bersedia mengisi kuesioner.

Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling.

E. Estimasi Besar Sampel

n =

n = besar sampel

= Nilai Z pada derajat kemaknaan (biasanya 95% = 1,96)

= proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak diketahui proporsinya, ditetapkan 50% (0,5)

Q = 1-P

= derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10% (0,10), 50% (0,50) atau 1% (0,01)

Berdasarkan data prevalensi asma di Surakarta sebesar 2,42 % (Dinkes Jateng, 2009), maka besar sampel yang diperlukan adalah sebagai berikut.

= 1,96

= 2,42% = 0,0242

= 1-P = 1- 0,0242 = 0,9758

= 5% = 0,05

n =

n =

n =

n = 36,28

Dari penghitungan besar sampel menggunakan rumus di atas didapatkan besar sampel sebanyak 37 orang.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah:

1. Kuesioner ACT (Asthma Control Test) untuk mengetahui tingkat kontrol asma.

2. Kuesioner TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) untuk mengetahui tingkat kecemasan.

G. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas: tingkat kecemasan.

2. Variabel terikat: tingkat kontrol asma di BBKPM Surakarta.

3. Variabel terkendali: umur, foto rontgen, derajat asma.

4. Variabel tidak terkendali: jenis kelamin, BMI, tingkat pendidikan.

H. Definisi Operasional Variabel

1. Variabe bebas: tingkat kecemasan

a. Tingkat kecemasan adalah tingkat respon terhadap ancaman yang tidak diketahui sumbernya, internal, samar-samar, atau konfliktual.

b. Cara penilaian menggunakan kuesioner TMAS.

c. Skala penilaian adalah nominal.

d. Hasil penilaian:

1) Cemas

2) Tidak cemas

2. Variabel terikat: tingkat kontrol asma

a. Tingkat kontrol asma adalah tingkat pengendalian terhadap manifestasi klinis penyakit asma.

b. Cara penilaian menggunakan kuesioner ACT.

c. Skala penilaian adalah ordinal.

d. Hasil penilaian:

1) Tidak terkontrol

2) Terkontrol

3) Terkontrol total

I. Rencana Analisis Data

Data yang didapat adalah data primer, kemudian akan dianalisa dan disajikan dengan analisis komparatif tidak berpasangan Chi-Square menggunakan program SPSS.

J. Kerangka Operasional

Gambar 2. Kerangka Operasional

(Pasien asmaDerajat asma intermiten atau persisten ringanSpirometri (APE 80%)Rontgen toraks (batas normal)ACTAnalisa dataCemas ( 22)Tidak cemas (< 22)Asma terkontrol (20-24)TMASACTAsma terkontrol total (25)Asma tidak terkontrol (< 19))

K. Jadwal Penelitian

Tabel 4

Jadwal Penelitian

Kegiatan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Pengajuan Judul

Penyelesaian dan bimbingan proposal

Seminar proposal

Revisi proposal

Penelitian

Penyelesaian dan bimbingan skripsi

Sidang skripsi

DAFTAR PUSTAKA

Carvalho et al., 2007. Comparing Asthma and Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Terms of Symptoms of Anxiety and Depression. J. Bras. Pneumol. 33(1): 1-6.

Cheng et al., 2012. Relationship Between Anxiety, Depression, and Asthma Control. Zhonghua Yi Xue Za Zhi. 92(30): 2128-30.

Dahlan, M. Sopiyudin, 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Dinkes Jateng, 2009. Daftar Tabel Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009. Diakses dari http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/profil/2009/Profil_2009br.pdf pada 6 April 2013.

Dinkes Jateng, 2010. Daftar Tabel Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010. Diakses dari http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/profil/2010/Profil2010.htm pada 6 April 2013.

Dinkes Jogja, 2010. Hari Asma Sedunia Tahun 2010. Diakses dari http://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detil_berita/225-hari-asma-sedunia-tahun-2010 pada 3 April 2013.

Djojodibroto, Dr. R. Darmanto, Sp. P, FCCP, 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). EGC. Jakarta. pp. 105-115.

Elvira, Sylvia D. & Gitayanti Hadisukanto, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit FK UI. Jakarta. pp. 230-234.

GINA, 2011. At A Glance Asthma Management Reference. Diakses dari http://www.ginasthma.org/At-a-Glance-Asthma-Management-Reference pada 1 April 2013.

GINA, 2011. GINA Guidelines 2011. Diakses dari http://hcp.gsk.ie/content/dam/Health/en_IE/HCP_Home/content/therapy_areas/respiratory_allergy/products/97075/97079/gina_guidelines_2011.pdf pada 3 April 2013.

GINA, 2012. Global Burden of Asthma. Diakses dari http://www.ginasthma.org/Global-Burden-of-Asthma pada 6 April 2013.

Kam, Katherine. Asthma, Stress, and Anxiety: A Risky Cycle. Diakses dari http://www.webmd.com/asthma/features/asthma-stress-and-anxiety-a-risky-cycle pada 5 April 2013.

Kaplan, H.I., et al., 2010. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid Dua. Editor : Dr. I. Made Wiguna S. Bina Rupa Aksara. Jakarta. pp. 17-25.

Katon et al., 2004. The Relationship of Asthma and Anxiety Disorders. Psychosomatic Medicine. 66: 349-355.

Katon et al., 2007. The Prevalence of DSM-IV Anxiety and Depressive Disorders in Youth with Asthma Compared with Control. Journal of Adolescent Health. 41(5): 455-463.

Lavoie et al., 2006. What Is Worse for Asthma Control and Quality of Life: Depressive Disorders, Anxiety Disorders, or Both?. Chest. 130(4): 1039-1047.

Maramis, W. F., 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press. Surabaya. Pp. 308-309.

Marco et al., 2010. Close Correlation Between Anxiety, Depression, and Asthma Control. Respiratory Medichine. Volume 104: 22-28.

Marco et al., 2011. Anxiety and Depression in Asthma. Curr. Opin. Pulm. Med. 17(1): 39-44.

Nathan et al., 2004. Development of The Asthma Control Test. The Journal of Allergy and Clinical Immunologi. 113(1(: 59-65.

Nguyen et al., 2012. The Asthma Control Test (ACT) As An Alternative Tool to Global Initiative for Asthma (GINA) Guideline Criteria for Assesing Asthma Control in Vietnames Outpatients. Prim. Care. Respir. J. 21(1): 85-89.

Notoatmodjo, Prof. Dr. Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka. Jakarta.

Oemiati, R. et al., 2010. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Penyakit Asma di Indonesia. Media Litbang Kesehatan. 20(1).

Priyanto, H. et al., 2011. Studi Perilaku Kontrol Asma Pada Pasien yang Tidak Teratur di Rumah Sakit Persahabatan. J. Respir. Indo. 31(3).

Rab, Prof. Dr. H. Tabrani, 2010. Ilmu Penyakit Paru. Trans Info Media. Jakarta. pp. 377-391.

Ratnawati, 2011. Editorial: Epidemiologi Asma. J. Respir. Indo. 31(4).

Rengganis, Iris, 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj. Kedokt. Indo. 58(11).

Sundaru, Heru, 2007. Kontrol Asma Sebagai Tujuan Pengobatan Asma Masa Kini. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Disertasi.

Sundaru, Heru & Sukamto, 2009. Asma Bronkial, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi ke-5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. pp. 404-414.

Thomas et al.., 2009. The Asthma Control Test (SCT) As A Predictor of GINA Guideline-Defined Asthma Control: Analysis of A Multinational Cross-Sectional Survey. Prim. Care. Respir. J. 18(1): 41-49.

Thomas et al., 2011. Asthma and Psychological Dysfunction. Prim. Care. Respir. J. 20(3): 250-256.

Urrutia et al., 2012. Impact of Anxiety and Depression on Disease Control and Quality of Life in Asthma Patients. J. Asthma. 49(2): 201-8.

Vieira et al., 2011. Anxiety and Depression in Asthma Patients : Impact on Asthma Control. J. Bras. Pneumol. 37(1): 13-8.

Ward, J. P. T., et al, 2007. The Respiratory System at a Glance. Hartanto, dr. Huriawati (Alih Bahasa). Penerbit Erlangga. Jakarta. pp. 54-57.

WHO, 2007. Living in Normal Life With Asthma. Diakses dari http://www.who.int/features/2007/asthma/en/ pada 1 April 2013.

WHO, 2011. 10 Facts on Asthma. Diakses dari http://www.who.int/features/factfiles/asthma/asthma_facts/en/ pada 1 April 2013.

WHO, 2013. WHO : Scope: Asthma. Diakses dari http://www.who.int/respiratory/asthma/scope/en/ pada 1 April 2013.

Zaini, Jamal, 2011. Editorial: Asthma Control Test: Cara Simpel dan Efektif untuk Menilai Derajat dan Respons Terapi Asma. J. Respir. Indo. 31(2).

Lampiran 1

Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS)

Berilah tanda (X) pada kolom ya bila pertanyaan di bawah ini sesuai dengan perasaan/keadaan Anda, berilah tanda (X) pada kolom tidak bila pertanyaan tidak sesuai dengan yang Anda rasakan.

No.

Pertanyaan

Ya

Tidak

1

Saya tidak cepat lelah

2

Saya seringkali merasa mual

3

Saya yakin tidak lebih penggugup dari orang lain

4

Saya jarang sakit kepala

5

Saya sering merasa tegang ketika belajar

6

Saya mengalami kesukaran berkonsentrasi pada masalah

7

Saya khawatir kalau memikirkan masalah

8

Saya sering merasa tangan saya gemetar bila mencoba berbuat sesuatu

9

Jika terjadi sesuatu saya tidak mudah tersipu seperti orang lain

10

Saya mengalami diare dalam satu bulan lebih dari sekali

11

Saya merasa khawatir bila gagal

12

Saya tidak tersipu bila terjadi sesuatu pada diri saya

13

Saya sering takut bila muka merah karena malu

14

Saya sering bermimpi menakutkan saat tidur malam

15

Tangan dan kaki saya biasanya cukup hangat

16

Saya mudah berkeringat meski hari tidak panas

17

Ketika malu keringat saya bercucuran

18

Saya hampir tak pernah berdebar dan jarang tersengal

19

Saya sering lapar terus menerus

20

Saya jarang terganggu sembelit karena sulit buang air besar

21

Saya sering terganggu oleh sakit perut

22

Ketika khawatir saya sering tidak bisa tidur

23

Saya sering terganggu dan tidak nyenyak

24

Saya sering mimpi sesuatu yang tidak saya ceritakan

25

Saya mudah merasa tegar

26

Saya lebih sensitif daripada orang lain

27

Saya sering mengkhawatirkan diri sendiri

28

Saya ingin bahagia seperti orang lain

29

Biasanya saya selalu tenang dan tidak mudah kecewa

30

Saya mudah menangis

31

Saya sering mencemaskan sesuatu atau orang

32

Saya selalu gembira setiap saat

33

Menunggu membuat gelisah

34

Saat tertentu saya tidak senang

35

Kadang saya gembira sekali hingga sulit tidur

36

Kadang saya mengalami kesukaran sehingga tak bisa duduk tenang

37

Saya akui kadang khawatir tanpa alasan

38

Bila dibandingkan dengan teman yang lain, maka saya tidak sepenurut mereka

39

Sering takut terhadap benda atau manusia yang tidak menyakiti saya

40

Saya sering merasa sebagai orang yang tidak berguna

41

Saya sering merasa sulit berkonsentrasi terhadap sesuatu pekerjaan

42

Saya biasanya pemalu

43

Saya biasanya yakin pada diri sendiri

44

Saya sering tegang

45

Hidup ini merupakan beban bagi saya

46

Kadang saya berpikir tidak punya arti

47

Saya benar-benar merasa kurang percaya diri

48

Saya merasa kadang diri saya kacau

49

Saya merasa takut akan kesukaran yang saya hadapi

50

Saya sepenuhnya percaya diri

1


Recommended