SCIENCE STUDY NURSING PROGRAM
HEALTH SCIENCES UNIVERSITY FACULTY OF MEDICINE BATAM
Thesis, September 2013
Name: Riomas Suartini S
NPM: 51109079
Diet relationship with Genesis Dyspepsia in the Work Area Health Center Botania Belian Village District Batam City in 2013
xii + 40 Pages, 7 tables, 1 Scheme, Appendix 7.
ABSTRACT
Dyspepsia or indigestion is a term that is often used for patients to explain a number of symptoms that are commonly perceived as upper abdominal disorders and is often accompanied by food intake. Dyspepsia may occur associated with diseases of the gastrointestinal tract or pathological conditions in other organ systems. From the data pre-incident surveys of dyspepsia is most influenced by diet. This study aims to determine the relationship of diet to the incidence of dyspepsia. Design The design of this study with cross sectional analytic. The samples in this study were 50 respondents. Consecutive sampling technique is sampling the samples were taken within a time frame set by the researchers until the sample size is met. The research was conducted on 1 July to 31 July 2013 in the city of Batam Botania Health Center in 2013. Data were collected using questionnaires. Data were analyzed using univariate to determine the frequency of each outcome variable and bivariate computerized using Chi-square test. The results showed no significant relationship between the diet and the incidence of dyspepsia, evidenced by the results of 0,000 p value <0.05 means that Ho is rejected and no association with the incidence of dyspepsia diet. Health workers are advised to provide clearer information through health education about eating right.
Keywords: Diet, Genesis Dyspepsia
Reading list: 22 (2001 - 2012)
1
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS BATAMSKRIPSI, September 2013
Nama : Riomas Suartini SNPM : 51109079
Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Dispepsia di Wilayah Kerja Puskesmas Botania Kelurahan Belian Kecamatan Batam Kota Tahun 2013
xii + 40 Halaman, 7 tabel, 1 Skema, 7 Lampiran.
ABSTRAK
Dispepsia atau indigesti merupakan istilah yang sering digunakan untuk pasien untuk menjelaskan sejumlah gejala yang umumnya dirasakan sebagai gangguan perut bagian atas dan sering disertai dengan asupan makanan. Dispepsia dapat terjadi berkaitan dengan penyakit pada traktus gastrointestinal atau keadaan patologik pada sistem organ lainnya. Dari data pre-survei kebanyakan kejadian dispepsia tersebut dipengaruhi oleh pola makan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola makan dengan kejadian dispepsia. Desain penelitian ini menggunakan desain analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 50 responden. Teknik pengambilan sampel adalah consecutive sampling yaitu Sampel diambil dalam satu kurun waktu yang telah ditetapkan oleh peneliti sampai jumlah sampel terpenuhi. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 01 Juli – 31 Juli 2013 di Puskesmas Botania Kota Batam Tahun 2013. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisa secara univariat untuk menentukan hasil frekuensi setiap variabel dan bivariat dengan komputerisasi menggunakan uji Chi-square. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan signifikan antara pola makan dengan kejadian dispepsia, dibuktikan dengan hasil p value 0,000< 0,05 artinya Ho ditolak dan ada hubungan pola makan dengan kejadian dispepsia. Disarankan kepada petugas kesehatan memberikan informasi yang lebih jelas melalui penyuluhan kesehatan tentang pola makan yang benar.
Kata kunci : Pola Makan, Kejadian DispepsiaDaftar bacaan : 22 (2001- 2012 )
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dispepsia adalah rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di sekitar ulu hati. Pasien dengan
dispepsia ini biasanya datang dengan keluhan lain seperti kembung, cepat kenyang,
nafsu makan berkurang dan sering bersendawa juga sering muncul (Nurheti, 2009).
Menurut data yang didapat Kasus dispepsia di dunia mencapai 13-40% dari total
populasi setiap tahun. Hasil studi menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Utara, dan
Oseania prevalensi dispepsia bervariasi antara 3% hingga 40%. Dispepsia merupakan
kumpulan gejala yang ditemukan dimasyarakat dunia. Pasien dispepsia merupakan
30% pasien yang berobat pada dokter umum dan 50% yang berobat pada dokter
gastroenterologis. Kondisi ini dilaporkan terjadi pada kira-kira 25% (13-40%)
populasi setiap tahunnya. Di Amerika serikat dan Negara barat ¼ populasi menderita
sindrom ini, dan ¼ populasi yang menderita dispepsia ini mendapatkan pengobatan.
Jones et al (1989) menyimpulkan bahwa Angka kejadian dispepsia dimasyarakat
tergolong tinggi, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada suatu komunitas
tingkat keluhan mencapai 38 % dimana pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa
keluhan dispepsia banyak pada usia muda.
Menurut data dari WHO pada tahun 2007, dispepsia menjadi penyakit yang
menempati urutan ketujuh tertinggi di Yogyakarta dengan proporsi sebesar 5,81%
dan sekitar 5,78% di Jakarta.
3
Sedangkan berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, dispepsia menjadi
penyakit dengan proporsi terkecil di Riau, yaitu sekitar 6,05%. Dan pada tahun 2012
dispepsia merupakan permasalahan yang terbesar di kota Batam. Dari data yang
didapat dari dinas kesehatan kota batam pada tahun 2012 jumlah kasus dispepsia
4,273 jiwa (Dinkes Prov. Kepri , 2012).
Dan dari data yang di dapat dari dinas kesehatan kota batam peneliti menemukan
bahwa data terbanyak untuk kasus dispepsia berada di puskesmas Botania Lokasi ini
merupakan tempat yang banyak terjadinya masalah dispepsia pada tahun 2012
sebanyak 802 orang. Oleh karena itu peneliti melakukan tempat penelitian di
puskesmas botania. Dan dari hasil data yang didapat di puskesmas Botania bahwa
kasus dispepsia merupakan kasus 10 besar masalah kesehatan yang terdapat di
tempat tersebut. Pada saat pre survei pada bulan maret tahun 2013 didapatkan
penderita dispepsia sebanyak 74 orang yang mengalami dispepsia bulan april
sebanyak 73 orang yang mengalami dispepsia dan didapatkan pasien baru sebanyak
51 orang dan pasien lama sebanyak 22 orang sedangkan pada bulan mei sebanyak 36
orang yang mengalami masalah dispepsia dan didapatkan pasien baru sebanyak 26
orang dan pasien lama sebanyak 21 orang, dan dari survey terhadap orang yang
mengalami masalah dispepsia yang sudah ditanya kebanyakan mereka mengatakan
bahwa pemicu dari dispepsia adalah pola makan mereka dan hasil survei dengan tim
kesehatan di puskesmas Botania mengatakan bahwa dispepsia tersebut dipengaruhi
oleh pola makan. Maka dari itu peneliti ingin melakukan penelitian untuk melihat
apakah ada hubungan pola makan dengan dispepsia tersebut.
4
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek
praktis sehari-hari. Diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60%
pada praktek gastroenterologis merupakan kasus dispepsia. Istilah dispepsia mulai
gencar digunakan pada tahun 80an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan
gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh diperut, sendawa, rasa panas yang
menjalar ke dada. Sindrom ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit
lambung.
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami
seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%
orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari data negara barat
didapatkan prevalensinya sekitar 7-41%, tetapi hanya 10-20% yang mencari
pertolongan medis. Angka insiden ini diperkirakan 1-8% (Djojoningrat, 2006).
Surya Sugani dan Lucia Priandarini (2010) menyatakan bahwa Dispepsia adalah
kumpulan gejala yang diakibatkan oleh kelainan saluran makanan bagian atas.
Gangguan pencernaan ini sendiri sebenarnya bukanlah suatu penyakit, melainkan
gejala yang banyak dialami orang pada saat tertentu. Ada orang yang mengalami
gangguan ini sehabis mengkonsumsi makanan atau minuman tertentu, sementara
yang lainnya mengalami saat berada pada kondisi psikologis tertentu.
Keluhan yang menandainya adalah nyeri pada perut atas, perih, mual yang kadang-
kadang disertai muntah, rasa panas di dada dan perut, lekas kenyang, anoreksia (tidak
nafsu makan), kembung, dan banyak mengeluarkan gas asam dari mulut.
5
Dispepsia atau indigesti merupakan istilah yang sering digunakan untuk pasien untuk
menjelaskan sejumlah gejala yang umumnya dirasakan sebagai gangguan perut
bagian atas dan sering disertai dengan asupan makanan (Harrison, 2000).
Haryani Sulistioningsih (2011) menyatakan bahwa Pola makan yang tidak teratur
menjadi masalah yang sering timbul yang menyebabkan terjadinya dispepsia.
Banyaknya aktifitas dilakukan menyebabkan pola makan menjadi terganggu.
Dispepsia menjadi salah satu masalah pada manusia karena kebanyakan orang tidak
menyadari bahwa pola makan yang tidak teratur akan menyebabkan masalah pada
gastroinstestinal mereka.
Banyak orang menganggap bahwa masalah itu hanya hal yang tidak penting sehingga
banyak yang tidak langsung menanganinya padahal jika dibiarkan begitu saja akan
menyebabkan masalah yang besar bagi sistem gastrointestinal. Pada penelitian
terdahulu telah dilakukan penelitian oleh Annisa (2009) dengan judul hubungan
ketidakteraturan makan dengan sindroma dispepsia remaja Perempuan Di SMA Plus
Al- Azhar Medan. Peneliti memperoleh data jumlah responden yang pola makannya
tidak teratur yaitu 39 orang (53,4% ). Angka kejadian sindroma dispepsia dari
keseluruhan responden yaitu 47 orang (64,4 % ). Dari hasil penelitian disimpulkan
bahwa besarnya angka kejadian sindroma dispepsia di SMA Plus Al Azhar Medan
ternyata sesuai dengan pola makan remaja perempuan yang tidak teratur.
Ririn Fitri (2013) dengan judul deskripsi Pola Makan Pada Penderita dispepsia pada
mahasiswa Jurusan Kesejahteraan Keluarga Fakultas Teknik Universitas Negeri
6
Padang. Peneliti memperoleh data mahasiswa yang mengalami dispepsia sebanyak
39 orang. Berdasarkan keteraturan makan responden 38,5% jarang makan teratur,
33% jarang sarapan, 59,0% selalu makan dua kali sehari, 51,3% tidak pernah makan
tepat waktu, 46,1% selalu terlambat makan dan 51,3% selalu makan tunggu lapar
dulu.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara pola makan dengan angka kejadian dispepsia di
wilayah kerja puskesmas botania kelurahan belian kecamatan batam kota?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui apakah ada hubungan antara pola makan dengan angka kejadian
dispepsia di wilayah kerja puskesmas botania kelurahan belian kecamatan
batam kota.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Diketahuinya pola makan di wilayah kerja puskesmas botania kelurahan
belian kecamatan batam kota.
b. Kejadian dispepsia di wilayah kerja puskesmas botania kelurahan belian
kecamatan batam kota.
c. Hubungan pola makan dengan kejadian dispepsia di wilayah kerja
puskesmas botania.
7
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi institusi pelayanan kesehatan Puskesmas Botania
Hasil penelitian ini sebagai masukan bagi perawat di puskesmas untuk dapat
melakukan penyuluhan tentang pola makan yang menjadi penyebab
dispepsia.
1.4.2 Bagi institusi pendidikan Universitas Batam
Menambah wawasan ilmu pengetahuan pada institusi pendidikan tentang
hubungan antara pola makan kejadian dispepsia di Puskesmas Botania Tahun
2013.
1.4.3 Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian tentang penyebab
dispepsia dengan menggunakan fakor – faktor yang lain.
8
BAB IITINJUAN PUSTAKA
2.1 Dispepsia
2.1.1 Pengertian dispepsia
Dispepsia atau indigesti merupakan istilah yang sering digunakan untuk pasien
untuk menjelaskan sejumlah gejala yang umumnya dirasakan sebagai
gangguan perut bagian atas dan sering disertai dengan asupan makanan.
Dispepsia dapat terjadi berkaitan dengan penyakit pada traktus gastrointestinal
atau keadaan patologik pada sistem organ lainnya (Harrison, 2000).
Dispepsia merupakan kumpulan atau gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak atau sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami
kekambuhan (Arif mansjoer, dkk, 2001).
Dispepsia adalah rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di sekitar ulu hati. Pasien
dengan dispepsia ini biasanya datang dengan keluhan mual sampai muntah.
Selain itu, keluhan-keluhan lain seperti kembung, cepat kenyang, nafsu makan
berkurang dan sering sendawa sering juga muncul (Nurheti Yuliarti,2009).
Dispepsia adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen bagian atas
atau dada bagian bawah. (Pierce Dan Neil, 2006). Dalam konsensus Roma II
tahun 2000 disepakati bahwa dispepsia adalah rasa sakit atau
ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas. Dispepsia adalah
kumpulan beberapa sindrom (gejala) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, cepat kenyang,
9
rasa perut penuh, sendawa, dan rasa panas yang menjalar di dada (Djojoningrat,
2006).
2.1.2 Faktor Penyebab Dispepsia (Djojoningrat, 2006)
1. Sekresi asam lambung, kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya
mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun
dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal, Diduga adanya
peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan
rasa tidak enak diperut.
2. Helicobacter Pilory (Hp), pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dipahami dan dimengerti. Dari beberapa laporan kekerapan Hp pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak bermakna dengan angka
kekerapan. Hp pada kelompok orang sehat, mulai ada kecenderungan untuk
melakukan eradikasi Hp pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang
gagal dengan pengobatan konservatif baku.
3. Dismotilitas Gastrointestinal, berbagai studi melaporkan bahwa pada
dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya
hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), tapi harus dimengerti bahwa
proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks,
sehingga ganguan pengosongan lambung tidak dapat mutlak mewakili hal
tersebut.
4. Ambang rangsang persepsi, dinding usus mempunyai berbagai reseptor,
termasuk reseptor kimiawi, mekanik. Berdasarkan studi kasus dispepsia ini
mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon digaster dan
duodenum.
10
5. Disfungsi autonom, disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam
hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya
neuropati vagal juga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal
lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan akomodasi
lambung dan rasa cepat kenyang.
6. Aktivitas miolektrik lambung, adanya disritmia mioletrik lambung pada
pemeriksaan elektrogastrografi terjadi pada kasus dispepsia.
7. Hormonal, penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan
motilitas antroduodenal.
8. Pola makan, adanya pola makan yang tidak baik dan intoleransi makanan
lebih sering terjadi pada kasus dispepsia.
9. Psikologis, adanya stres dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal.
2.1.3 Tanda Dan Gejala Dispepsia
Tanda dan gejala dispepsia ada 2 bagian yaitu :
a. Tanda dan gejala dispepsia menurut Harrison (2000) adalah:
1. Nyeri epigastrik dan rasa tidak enak pada bagian atas abdomen.
2. Rasa penuh setelah makan (sendawa atau aerofagia).
3. Faltulensi atau keadaan penuh gas pada perut.
4. Mual, Muntah dan Heartburn atau pirosis merupakan rasa hangat atau
terbakar yang letaknya substernal atau diatas epigastrium dengan
penjalaran ke bagian leher dan kadang-kadang ke daerah leher.
5. Kehilangan nafsu makan.
6. Berat badan menurun.
b. Tanda dan gejala dispesia menurut Arif Mansjoer et al, (2001) adalah :
1. Nyeri epigastrik dan rasa tidak enak pada bagian atas abdomen.
2. Rasa penuh setelah makan, sendawa dan flatulensi (gas).
11
3. Mual dan muntah, heartburn.
2.1.4 Patologi dan Penyebab Dispepsia (Arif Mansjoer et al, 2001)
a. Penyakit esofagus, lambung dan duodenum termasuk gastritis, ulkus
peptikum, hiatus hernia, esofagritis refluks, dan karsinoma gaster.
b. Penyakit sistem bilier dan pankreas meliputi kolesistitis, kolelitiasis, dan
pankreatitis.
c. Gangguan lain seperti gagal jantung, uremia dan diabetes.
d. Mungkin disebabkan makanan yang mengiritasi mukosa lambung (kafein,
alkohol, makanan yang sulit di cerna, mentimun) atau coklat dan makanan
lain yang menimbulkan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah.
e. Faktor mekanik seperti makan terlalu banyak, makan dengan cepat dan
kesalahan mengunyah mungkin menyebabkan timbulnya gejala-gejala.
f. Penyebab iatrogenik antara lain salisilat, obat antiinflamasi nonsteroid,
steroid dan lain-lain.
g. Dispepsia psikogenik berkaitan dengan ansietas, mudah tersinggung dan
ketegangan.
2.1.5 Pendekatan Diagnostik Pada Pasien Dispepsia
Anamnesis riwayat medis yang cermat harus mencakup penilaian terhadap
kesehatan umum pasien, termasuk kelainan-kelainan ekstraintestinal yang
menyebabkan terjadinya dispepsia. Riwayat diet yang perlu diteliti dinyatakan
dan pasien diminta untuk membuat catatan harian mengenai makanan yang
dimakannya bisa memberikan informasi yang penting (Harrison,2000).
Untuk menegakkan diagnosa diperlukan data dan pemeriksaan penunjang untuk
melihat adanya kelainan organik atau struktural, Adanya keluhan tambahan
12
yang mengancam misalnya penurunan berat badan, anemia, kesulitan menelan,
perdarahan, dan lain-lainnya mengindikasi agar dilakukannya eksplorasi
diagnostik secepatnya. Selain radiologi, pemeriksaan yang biasa dilakukan
adalah pemeriksaan laboratorium, endoskopi, manometri esofago-gastro-
duodenum, dan waktu pengosongan lambung (Djojoningrat, 2006).
2.1.6 Pengobatan dan Pencegahan dispepsia
Pengobatan dan pencegahan dispepsia yaitu :
a.Pengobatan yang dilakukan menurut Arif Mansjoer et al, (2001) adalah :
1. Hindari makanan yang merangsang atau tidak dapat dicerna.
2. Hentikan merokok, kurangi alkohol dan cokelat.
3. Kebiasaan makan teratur dengan makan sedikit-sedikit dan sering, duduk
atau berjalan- jalan setelah makan. Pada saat berbaring kepala dinaikkan.
4. Pemberian antacid secara intensif untuk 2 minggu pertama. Kemudian
kurangi berangsur angsur untuk mengendalikan gejala.
5. Obat kolinergik menolong pada sejumlah penderita dengan esofagitis
peptik.
6. Obat H2-receptor blocker menolong pada penderita tertentu.
7. Hilangkan ansietas dan rasa tegang.
8. Pembedahan penting pada kasus –kasus yang refrakter.
b. Pencegahan pada kasus dispepsia menurut Nurheti Yuliarti (2009), adalah :
1. Menurut para penelitian, makan dalam jumlah kecil tapi sering serta
memperbanyak makan makanan yang mengandung tepung seperti nasi,
jagung, dan roti akan menormalkan produksi asam lambung, kurangilah
makanan yang dapat mengiritasi lambung, misalkan makanan yang pedas,
asam, digoreng dan belemak.
13
2. Hilangkan kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol Tingginya
konsumsi alkohol dapat mengiritasi atau merangsang lambung, bahkan
menyebabkan lapisan dalam lambung terkelupas sehingga menyebabkan
peradangan dan perdarahan di lambung.
3. Jangan merokok. Merokok akan merusak lapisan pelindung lambung. Oleh
karena itu, orang yang merokok juga akan meningkatkan resiko kanker
lambung.
4. Ganti obat penghilang rasa sakit. Jika memungkinkan, jangan gunakan
obat penghilang rasa sakit dari golongan NSAIDs seperti aspirin,
ibuprofen, dan naproxen. Obat-obatan tersebut dapat mengiritasi lambung.
5. Berkonsultasilah dengan dokter. Jika anda menemui gejala tersebut
berkonsultasilah untuk mendapatkan solusi terbaik.
6. Peliharalah berat badan. Problem saluran pencernaan seperti rasa terbakar
di lambung, kembung, dan konstipasi lebih umum terjadi pada orang yang
mengalami kelebihan berat badan (obesitas).
7. Memperbanyak olahraga. Olahraga aerobik dapat meningkatkan detak
jantung yang dapat menstimulasi aktivitas otot usus sehingga mendorong
isi perut dilepaskan dengan mudah.
2.2 Pola Makan
2.2.1 Pengertian Pola Makan
Hariyani Sulistyoningsih (2011) menjelaskan bahwa “Pola makan adalah
berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah
bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri
khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu”. Sedangkan menurut Sri
14
Handajani dalam Haryani sulistyoningsih (2011) menyatakan bahwa pola
makan adalah tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam
memenuhi kebutuhan akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan
pilihan makanan.
Pola makan yang baik selalu mengacu pada gizi seimbang yaitu terpenuhinya
semua zat gizi sesuai dengan kebutuhan yang seimbang. Terdapat 6 unsur zat
gizi yang harus terpenuhi yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral
dan air. Karbohidrat, protein, dan lemak merupakan zat gizi makro sebagai
sumber energi.
Sedangkan vitamin dan mineral merupakan zat gizi mikro sebagai pengatur
kelancaran metabolisme tubuh. Kebutuhan zat metabolisme tubuh hanya dapat
terpenuhi dengan pola makan yang bervariasi dan beragam, sebab tidak ada
satupun bahan makanan yang mengandung makro dan mikro nutrien secara
lengkap.
Maka, semakin beragam, semakin bervariasi, dan semakin lengkap jenis
makanan yang diperoleh maka semakin lengkaplah perolehan zat gizi untuk
memenuhi kebutuhan yang optimal.
Banyak orang mengatakan bahwa sehat berawal dari makanan. Terdapat
beberapa tips sehat yaitu : ( Prita Muliarini, 2010)
a. Makanlah aneka ragam makanan.
b. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi.
15
c. Biasakan makan pagi.
d. Minum air putih yang cukup.
e. Lakukan aktifitas fisik setiap hari.
f. Jangan minum-minuman beralkohol.
g. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan.
h. Bacalah label makanan yang dikemas.
Ada 2 hal yang terkandung dalam pola makan yang sehat yaitu makanan yang
sehat dan pola makannya. Makanan yang sehat yaitu makanan yang
didalamnya terkandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Terlambat
makan karena kesibukan adalah hal yang menjadi faktor yang menyebabkan
banyak orang yang mengalami keluhan pada saluran pecernaan. Keluhan ini
bermuara pada 2 zat yaitu asam lambung dan gas saluran pencernaan. Asam
lambung merupakan cairan yang dihasilkan oleh lambung, bersifat sangat
mengiritasi (merangsang), fungsi utamanya adalah untuk membunuh kuman
yang masuk kedalam lambung bersama makanan. Produksi asam lambung
berlangsung secara terus menerus setiap hari, dan produksinya meningkat pada
malam hari hingga dini hari serta setelah makan (Aep S,2009).
2.2.2 Pola Makan Dan Kebiasaan Makan
a. Pola makan
Pangan bagi manusia merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi
untuk dapat mempertahankan hidup serta menjalankan kehidupan. Pola
makan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain kebiasaan, kesenangan,
budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya. Sejak
16
zaman dahulu kala, makanan selain untuk kekuatan atau pertumbuhan,
memenuhi rasa lapar, dan selera (Soegeng dan Ranti, 2004).
b. Kebiasaan makan
Makan diperlukan untuk memperoleh kebutuhan zat gizi yang cukup untuk
kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan sesudah sakit, aktivitas,
pertumbuhan dan perkembangan. Secara fisiologik, makan merupakan suatu
bentuk pemenuhan atau pemuasan rasa lapar (Soegeng dan Ranti, 2004).
2.2.3 Perhatikan Pola Makan
Untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bagi tubuh, harus mengkonsumsi
berbagai sumber makanan secara bervariasi. Tidak ada satupun jenis makanan
yang dapat menyediakan semua zat gizi yang diperlukan tubuh.
Mengkonsumsi berbagai jenis makanan sekaligus dapat memaksimalkan
manfaat dari suatu makanan.
Mengatur pola makan, yang biasa disebut dengan diet sangat penting bagi
kesehatan. Dalam kehidupan sehari-hari diet diartikan sebagai puasa atau
pengurangan porsi makan. Padahal, arti diet yang benar adalah kombinasi
makanan dan minuman di dalam hidangan yang dikonsumsi sehari-hari.
Agar tetap sehat tubuh manusia memerlukan berbagai zat gizi, zat gizi tersebut
adalah karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin. Selain zat gizi tubuh
juga membutuhkan serat dan juga air sebagai vital kehidupan.
17
a. Sarapan, makan siang, dan makan malam tetap harus terdiri dari sumber
karbohidrat (nasi, kentang, roti), sumber protein (ayam, ikan, tahu, tempe),
sayuran, dan buah.
b. Cara memasaknya sebaiknya ditumis, dipanggang, dipepes, disup atau direbus,
kurangi makanan yang terlalu banyak digoreng ataupun bersantal kental.
Piramida makanan yang mengatur komposisi makanan yaitu :
a. Makananan pokok sumber karbohidrat, seperti padi-padian, pasta, dan serealia
dikonsumsi dalam jumlah paling banyak.
b. Diatas karbohidrat adalah buah dan sayur. Konsumsi sayuran yang dianjurkan
adalah tiga sampai lima bagian, sedangkan buah-buahan dua sampai empat
bagian.
c. Pada tingkatan ketiga adalah kelompok makanan yang merupakan sumber
protein. Termasuk didalamnya susu dan hasil olahannya, kacang-kacangan,
daging, ikan dan unggas, jumlah anjuran yang dikonsumsi lebih sedikit dari
pada sayur-sayuran dan buah-buahan. Untuk susu dan hasil olahannya cukup
dua sampai tiga bagian. Demikian juga kacang-kacangan dan hasil olahan
lainnya.
d. Pada tingkatan yang teratas adalah kelompok minyak dan gula. Pada tingkatan
ini jumlah yang dikonsumsi adalah yang paling sedikit dibandingkan ketiga
jenis makanan yang lain.
(Nurhetti Yulianti, 2009 ).
2.2.4 Syarat- Syarat Makanan Sehat
Irianto dan Waluyo (2004) menyatakan bahwa Apabila kita makan, makanan
pertama kali dicerna di dalam mulut, dengan cara dikunyah. Makanan yang
sehat adalah makanan yang higienis serta banyak mengandung gizi. Makanan
18
higienis yaitu makanan yang tidak mengandung kuman penyakit dan tidak
bersifat meracuni tubuh serta lezat rasanya.
a.Syarat-syarat makanan sehat menurut Irianto dan Waluyo (2004) adalah
sebagai berikut :
1. Harus cukup mengandung kalori.
2. Protein yang dikonsumsi harus mengandung kesepuluh asam amino utama
yaitu lisin, triptopan, penilalanin, leusin, isoleusin, threonin, metionin,
valin, dan arginin.
3. Harus cukup mengandung vitamin.
4. Harus cukup mengandung garam mineral dan air.
5. Perbandingan yang baik antara sumber karbohidrat, protein dan lemak.
b. Selain syarat tersebut, menurut Irianto dan Waluyo (2004) agar memberikan
kesehatan bagi tubuh sebaiknya :
1. Mudah dicerna oleh alat pencernaan.
2. Bersih, tidak mengandung bibit penyakit, karena hal ini tentu akan
membahayakan kesehatan tubuh serta tidak bersifat racun bagi tubuh.
3. Jumlah yang cukup dan tidak berlebihan.
4. Tidak terlalu panas pada saat disantap. Makanan yang terlalu panas
disajikan, mungkin saja dapat merusak gigi dan mengunyah pun tidak
dapat sempurna.
5. Bentuk menarik dan rasanya enak.
2.2.5 Pola makan seimbang (Savitri Sayogo, 2008)
Pola makan seimbang mempunyai ciri sebagai berikut :
a. Memberi energi dalam jumlah cukup, sesuai kebutuhan tubuh.
19
b. Memberikan protein dalam jumlah cukup sesuai kebutuhan tubuh untuk
mekanisme pertahanan tubuh, perbaikan, dan pemeliharaan jaringan.
c. Memberikan lemak dalam jumlah cukup untuk suplai kebutuhan tubuh akan
asam lemak esensial.
d. Menyediakan vitamin dan mineral dalam jumlah cukup.
2.2.6 Pedoman Umum Gizi Seimbang Dari Direktorat Gizi Masyarakat
Direktorat gizi masyarakat RI dalam Sunita Almatzier (2009) menyebutkan
ada 13 pesan dasar yang diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman
praktis untuk mengatur makanan sehari-hari. Ketiga belas pesan tersebut
yaitu :
a. Makanlah aneka ragam makanan.
b. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan gizi.
c. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi.
d. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan
energi.
e. Gunakan garam beryodium.
f. Makanlah makanan sumber zat besi.
g. Berikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sampai berumur enam bulan.
h. Biasakan makan pagi.
i. Minumlah air bersih aman dalam jumlah yang secukupnya.
j. Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur.
k. Hindari minuman beralkohol.
l. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan.
m.Bacalah label pada makanan yang dikemas.
20
2.1.7 Jadwal Makan Yang Benar
Jadwal makan yang benar terbagi dua yaitu :
a. Jadwal makan yang benar menurut Persagi (2000) adalah :
Tabel 1. Jadwal makan yang benar
b. Jadwal makan yang
benar menurut
Sediaoetama
(2004) adalah :
1. Makan pagi dimulai dari : 06.00 -07.00.
2. Makan siang dimulai dari : 13.00-14.00.
3. Makan malam dimulai dari : 20.00.
Tabel 2. Jenis Makanan Yang Harus Dihindari Atau Dikurangi Untuk Mencegah Dispepsia
Orang sehat Penderita penyakit dispepsia
Makanan yangharus
dikurangi
Makanan yang harus dihindari
Makanan yangharus dikurangi
Makanan yang harus dihindari
a. Sayuran yang banyak menghasilkan gas, seperti sawi, kol, kembang kol
b. Buah-buahan yang seratnya terlalu kasar, seperti kedongdong
c. Minuman yang mengandung soda
d. Makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung, seperti kopi, anggur, buah
a. Rokokb. Minuman
beralkohol
a. Ikan,daging kambing
b. daging ayam, c. daging sapid. Tempee. Empingf. Kacangg. Oncomh. Brokolii. bayam,
kangkungj. kol, taugek. Cokelatl. Kejum. kedongdong
a. ketan, jagungb. bir c. wiskid. anggur e. tape, dan tuakf. Seafood khususnya
udang, kerang, remis, tiram, dan kepiting
g. Makanan kaleng seperti sarden, kornet
h. Buah-buahan yang mengandung alkohol seperti
i. nangka, durian serta yang mengandung lemak tinggi seperti alpukat
j. Rokokk. Kopil. cuka, cabai, asam dan
21
Waktu Makan07.00 – 08.00 Makan pagi
10.00 Selingan13.00 -14.00 Makan siang
17.00 Selingan19.00 Makan malam
masame. Makanan yang
sulit dicerna, seperti kue tart atau keju
f. Makanan yang merusak dinding lambung seperti cuka, makanan yang terlalu pedas, merica, dan bumbu lain yang merangsang lambung
g. Makanan yang dapat melemahkan klep kerongkongan bawah seperti cokelat, makanan dengan kadar lemak tinggi, gorengan
h. Beberapa jenis karbohidrat yang sulit dicerna seperti beras ketan, mi, bihun, jagung, ubi, singkong
merica.
Sumber: Nurheti Yuliarti, 2009
2.3 Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Dispepsia
Pada sebagian orang, jenis makanan tertentu tampaknya berhubungan dengan gejala
dispepsia. Sebagian makanan ditolerir dengan baik karena konsistensinya. Makanan
tertentu mungkin tidak ditolerir dengan baik karena pencernaan atau absorbsi
intestinal yang terganggu, seperti makanan berlemak pada pasien penyakit pankreas
22
dan saluran balier. Nutrien-nutrien tertentu dapat menyebabkan efek sistemik yang
intensif akibat defek biokimiawi pada pasien sehingga membuat substansi tersebut
berbahaya, seperti intoleransi galaktosa pada orang-orang yang memiliki
galaktosemia. Pengaruh sefalik, sekresi asam lambung interdingestif atau basal
dapat dipertimbangkan untuk menjadi tahap sekresi. Tahap ini berhubungan dengan
makan, mencapai puncaknya sekitar tengah malam dan titik terendahnya kira-kira
pukul 7 pagi ( Harrison, 2000 ).
2.4 Penelitian Terkait
a. Annisa (2009) dengan judul hubungan Ketidakteraturan Makan Dengan Sindroma
Dispepsia Remaja Perempuan Di SMA Plus Al- Azhar Medan. Peneliti
memperoleh data jumlah responden yang pola makannya tidak teratur yaitu 39
orang (53,4% ). Angka kejadian sindroma dispepsia dari keseluruhan responden
yaitu 47 orang (64,4 % ). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa besarnya angka
kejadian sindroma dispepsia di SMA Plus Al Azhar Medan ternyata sesuai dengan
pola makan remaja perempuan yang tidak teratur.
b. Ririn Fitri (2013) dengan judul deskripsi Pola Makan Pada Penderita dyspepsia
Pada Mahasiswa Jurusan Kesejahteraan Keluarga Fakultas Teknik Universitas
Negeri Padang. Peneliti memperoleh data mahasiswa yang mengalami dyspepsia
sebanyak 39 orang. Berdasarkan keteraturan makan responden 38,5% jarang
makan teratur, 33% jarang sarapan, 59,0% selalu makan dua kali sehari, 51,3%
tidak pernah makan tepat waktu, 46,1% selalu terlambat makan dan 51,3% selalu
makan tunggu lapar dulu.
23
2.5 Skema Kerangka Teori Faktor-Faktor Penyebab Dispepsia
24
Faktor – faktor penyebab dispepsia
1. Sekresi asam lambung
2. Helicobacter Pylori (Hp)
3. Dismotilisasi Gastrointestinal
4. Ambang rangsang persepsi
5. Disfungsi autonom
6. Aktifitas mioelektrik lambung
7. Hormonal
8. Pola makan
9. Psikologis
Sumber : Djojoningrat, (2006)
Dispepsia
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep
yang ingin diamati atau diukur melaui penelitian-penelitian yang akan dilakukan
(Notoatmodjo, 2005).
3.2 Hipotesis Penelitian
Menurut Aziz (2007) Hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan
peneliti yang telah dirumuskan.
Ho: Tidak Ada Hubungan Antara Pola Makan Dengan Kejadian Dispepsia Di
Puskesmas Botania Kecamatan Batam Kota Tahun 2013.
Ha: Ada Hubungan Antara Pola Makan Dengan Kejadian Dispepsia Di
Puskesmas Botania Kecamatan Batam Kota Tahun 2013.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah ukuran ciri yang dimiliki oleh anggota- anggota suatu
kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain
(Notoadmojo,2005).
Adapun variabel dalam penelitian ini, variabel independen adalah pola makan
sedangkan variabel dependen adalah kejadian dispepsia.
3.4 Defenisi Operasional
Tabel 3 Defenisi Operasional Pola Makan Dan Kejadian Dispepsia
25
Pola Makan Kejadian Dispepsia
Variabel Defenisi
operasional
Cara ukur Alat ukur Skala
ukur
Kategori
Pola
makan
Suatu kebiasaan
yang dilakukan
oleh manusia
untuk
memenuhi
kebutuhan akan
makan meliputi
jenis makanan,
frekuensi dan
porsi.
Memberikan
pertanyaan
Kuisioner Nominal 1 = jawaban ya.
Untuk pola
makan baik jika
> mean (51-
100%)
0 = jawaban
tidak
untuk pola
makan tidak
baik < mean (0-
50%)
Kejadian
Dispepsia
Suatu keadaan
yang dialami
oleh pasien
yang
merupakan
gejala yang
mirip dengan
gastritis.
Dispepsia
dibagi dalam 2
Melihat dari
rekam medik
dan data
diambil dari
rekam medik
Rekam
medik
Nominal 1= penderita
dispesia lama
0= penderita
dispepsia baru
26
kategori yaitu
dispepsia lama,
dispepsia yang
dialami sudah
berulang kali,
sedangkan
dispepsia baru,
dispepsia yang
dialami tanpa
ada
pengulangan
dispepsia.
3.5 Desain Penelitian
Rancangan penelitian merupakan petunjuk dalam perencanaan dan pelaksanaan
untuk mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu pertanyaan penelitian
(Nursalam,2008). Desain yang digunakan oleh peneliti adalah desain survei
analitik dengan pendekatan secara cross sectional, karena ingin mengetahui
hubungan sebab akibat keduanya maka keduanya diukur pada saat yang
bersamaan (Rumengan,2008).
3.6 Populasi Dan Sampel
3.6.1 Populasi
27
Populasi adalah sekelompok orang, kejadian, sesuatu yang mempunyai
karakteristik tertentu (Rumengan, 2008). Populasi yang digunakan adalah
seluruh penderita dispepsia yang berobat kepuskesmas botania.
3.6.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi dengan karakteristik yang dianggap
mewakili populasi penelitian (Rumengan, 2008).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah
dengan cara consecutive sampling. Sampel diambil dalam satu kurun waktu
yang telah ditetapkan oleh peneliti sampai jumlah sampel terpenuhi.
3.7 Lokasi Dan Waktu Penelitian
3.7.1 Lokasi
Lokasi penelitian yang akan di lakukan adalah di Puskesmas Botania
Kecamatan Batam Kota.
3.7.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang akan di lakukan pada tanggal 01 sampai 31 Juli
2013.
3.8 Pengumpulan Data
3.8.1 Alat Pengumpulan Data
28
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode survei yaitu dengan
pengumpulan data menggunakan kusioner untuk mendapatkan data berupa
tanggapan atau respon dari sampel penelitian (Rumengan,2008).
Dalam pengambilan data penelitian untuk kategori pola makan
menggunakan 10 pertanyaan. Dimana kategori pertanyaan yang diberikan
adalah “ya” dan “:tidak”, jika responden menjawab “tidak” diberikan
dengan nilai 0 dan jika responden menjawab “ya” diberikan nilai 1.
Pertanyaan 1 sampai 3 merupakan pertanyaan berisikan tentang jenis
makanan yang dikonsumsi, pertanyaan 4 sampai 8 merupakan pertanyaan
yang berisikan frekuensi makan dan 9 sampai 10 merupakan pertanyaan
yang berisikan tentang jumlah makanan yang dikonsumsi.
3.8.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang berupa formulir yang diberikan
kepada responden, dimana responden diminta untuk menjawab kusioner
tersebut dan diambil saat itu juga.
3.9 Pengolahan Data
Pengolahan data adalah proses yang dilakukan setelah data diperoleh. Setelah
melalui tahapan penelitian cleaning, coding, scoring dan entering. maka
pekerjaan berikutnya dari peneliti adalah menyusun data-data tersebut menjadi
sebuah rangkaian yang utuh dan menyeluruh (Rumengan, 2008).
3.9.1 Cleaning
Tahapan ini dilakukan pada saat mengumpulkan data kusioner dari
responden atau ketika memeriksa lembar kusioner. Periksa kembali lembar
29
kusioner apakah ada jawaban responden atau hasil observasi yang ganda
atau belum dijawab, jika ada sampaikan kepada responden untuk diisi atau
diperbaiki jawaban pada kusioner tersebut.
3.9.2 Coding
Tahapan memberikan kode pada jawaban responden sendiri dari :
a. Memberi kode identitas responden untuk menjaga kerahasiaan identitas
responden dan mempermudah proses penelusuran biodata responden jika
diperlukan.
b. Menetapkan kode untuk skoring jawaban responden atau hasil observasi
yang telah dilakukan. Contoh pada kusioner pola makan diberi kode 1
jika ya dan kode 0 jika tidak.
3.9.3 Scoring
Tahapan ini dilakukan setelah ditetapkan kode jawaban atau hasil observasi
sehingga jawaban responden dan hasil observasi dapat diberikan kode.
3.9.4 Entering
Memasukkan data yang telah di skor kedalam komputer seperti ke dalam
spread sheet program excel atau kedalam program komputerisasi.
3.10 Analisa Data
Analisa data juga sering disebut sebagai uji hipotesis yang terdiri dari beberapa
uji statistik tergantung dari desain penelitian.
3.10.1 Analisa Univariat
Analisa ini digunakan untuk menganalisa terhadap suatu variabel.
Untuk melihat distribusi frekuensi variabel hubungan pola makan
30
yang tidak teratur dengan kejadian dispepsia di puskesmas botania
pada tahun 2013.
Tabulasi data ini menggunakan skala guttman, pada skala pengukuran
tipe ini akan didapatkan jawaban yaitu: “ya” dan “tidak”. Jawaban
responden berupa penilaian yang diberikan skor tertinggi diberikan
nilai 1 dan skor terendah diberikan nilai 0.
3.10.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat terdiri dari metode statistik deskriptif yang
dipergunakan untuk mengumpulkan data dari dua variabel penelitian
yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Rumengan, 2008).
Dalam hal ini peneliti ingin mengukur hubungan antara variabel
independen dan variabel dependen dalam hal ini adalah hubungan pola
makan dengan kejadian dispepsia dengan menggunakan uji Chi square
(x2). Penelitian taraf signifikan 95% untuk melihat hubungan pola
makan dengan kejadian dispepsia. Jika p value < 0,05 maka Ho ditolak
dan Ha diterima, berarti ada hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. Begitu sebaliknya bila p value > 0,05 maka
Ho diterima dan Ha ditolak, berarti tidak ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
31
Jadwal Penelitian
No Kegiatan
Waktu/Bulan
Maret April Mei Juni Juli Agustus
01. Pengajuan judul
02. Pembuatan proposal
03. Ujian proposal
04. Surat Izin Penelitian
05. Pengumpulan Data
06. Analisa Data
07. Ujian sidang Skripsi
32
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Pada Bab ini diuraikan tentang hasil penelitian hubungan pola makan dengan
kejadian dispepsia di puskesmas Botania pada tahun 2013, melalui proses
pengumpulan data dengan menggunakan lembar kuesioner yang dilakukan pada
bulan Juli 2013 yang dilakukan terhadap 50 responden. Penyajian data hasil
penelitian meliputi frekuensi untuk melihat variable independen yaitu pola makan
dengan variable dependen yaitu kejadian dispepsia dengan menggunakan uji chi
square.
4.2 Analisa Data
4.2.1 Analisa Univariat
Analisa univariat pada penelitian ini melihat frekuensi variabel bebas pola
makan dan variabel terikat kejadian dispepsia yang akan disajikan dalam
bentuk tabel.
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi dan Persentasi Pola Makan di Puskesmas
Botania Kelurahan Belian Kecamatan Batam Kota
Pola Makan Frekuensi Persent %Pola makan tidak baik 31 62.0
Pola makan baik 19 38.0Total 50 100.0
Tabel 4.1 Dapat dijelaskan bahwa dari 50 responden ada 31 (62,0%)
responden yang mengalami pola makan tidak baik, ada 19 (38,0%)
responden yang pola makannya baik di puskesmas Botania kelurahan belian
kecamatan batam kota pada tahun 2013.
33
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi dan Persentasi Kejadian Dispepsia Yang Baru
Dan Lama Di Puskesmas Botania Kelurahan Belian Kecamatan
Batam Kota
Kejadian Dispepsia Frekuensi Persent %Baru 21 42.0Lama 29 58.0Total 50 100.0
Tabel 4.2 Dapat dijelaskan bahwa dari 50 responden, terdapat 21 (42,0%)
responden yang mengalami dispepsia baru dan terdapat 29 (58,0%)
responden yang dispepsia lama di puskesmas Botania kelurahan belian
kecamatan batam kota pada tahun 2013.
4.2.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan
pola makan dengan kejadian dispepsia di puskesmas Botania kelurahan
belian kecamatan batam kota pada tahun 2013 dengan menggunakan uji chi
square dengan ketetapannya bermakna bila P value < 0,05%, sehingga
diperoleh hasil yang disajikan sebagai berikut :
Tabel 4.3
Hubungan pola makan dengan kejadian dispepsia di wilayah kerja
puskesmas botania tahun 2013
Pola makan
Kejadian dispepsia Total % P value
OR
lama % Baru %Pola
makan baik
17 34,0 2 4,0 19 100 0,000 13
Pola makan tidak baik
12 24.0 19 38,0 31 100
Total 29 21 50
34
Berdasarkan data tabel diatas menunjukkan bahwa kejadian dispepsia yang
yang lama memiliki pola makan yang baik sebanyak 17 (34,0%) responden
dan pola makan yang baik yang mengalami dispepsia baru sebanyak 2
(4,0%) responden, pada kejadian dispepsia yang lama yang memiliki pola
makan yang tidak baik sebanyak 12 (24,0%) responden dan kejadian
dispepsia baru yang pola makan tidak baik sebanyak 19 (38,0%) responden.
Dari hasil perhitungan Chi-Square didapat nilai P value sebesar 0,000
karena P value < 0,05 berarti Ha diterima, dan nilai OR dapat dijelaskan
bahwa pola makan yang tidak baik berpeluang memunculkan 13 kali
terjadinya kejadian dispepsia dibandingkan dengan pola makan yang baik.
Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
hubungan pola makan dengan kejadian dispepsia.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Pola Makan
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan seperti terlihat pada
tabel 4.1 distribusi frekuensi pola makan memiliki 50 orang responden
menunjukkan bahwa sebagian besar pola makan dengan kategori pola
makan tidak baik sebanyak 31 (62,0%) oang responden, dan untuk kategori
pola makan baik sebanyak 19 (38,0%) orang responden. Berdasarkan hasil
penelitian yang didapat bahwa pola makan yang ada di puskesmas botania
pada pasien yang menderita dispepsia baru lebih banyak pola makan yang
35
tidak baik, dan pada pasien dispepsia lama lebih banyak pola makan yang
baik.
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran
mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh
satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat
tertentu (Hariyani Sulistyoningsih, 2011)
4.3.2 Kejadian Dispepsia
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan seperti terlihat pada
tabel 4.2 distribusi frekuensi kejadian dispepsia yang memiliki 50 orang
responden menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian dispepsia yang
dikategorikan lama sebanyak 29 (58,0%) orang responden, dan untuk
kategori kejadian dispepsia baru sebanyak 21 (42,0%) orang responden.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat bahwa kejadian dispepsia yang
lama lebih banyak dari pada kejadian dispepsia yang baru.
Kejadian dispepsia merupakan istilah yang sering digunakan untuk pasien
untuk menjelaskan sejumlah gejala yang umumnya dirasakan sebagai
gangguan perut bagian atas dan sering disertai dengan asupan makanan.
Dispepsia dapat terjadi berkaitan dengan penyakit pada traktus
gastrointestinal atau keadaan patologik pada sistem organ lainnya
(Harrison, 2000).
36
Kejadian Dispepsia ada 2 yaitu dispepsia lama yaitu dispepsia yang dialami
secara berulang oleh pasien, sedangkan dispepsia baru yaitu dispepsia yang
dialami oleh pasien baru tanpa ada pengulangan.
Sesuai teori diatas, dengan adanya pola makan yang tidak baik pada pasien
dispepsia maka perlu diberikan kesadaran dari dalam dirinya untuk
mengubah pola makan yang tidak baik tersebut menjadi pola makan yang
baik agar angka kejadian dispepsia dapat berkurang di puskesmas Botania
Kecamatan Batam Kota Kelurahan Belian pada Tahun 2013.
4.3.3 Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Dispepsia
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat ada hubungan yang signifikan antara
pola makan dengan kejadian dispepsia. Hal ini ditunjukkan berdasarkan
perbandingan probabilitas signifikan dengan (P value 0,000 < 0,05) dengan
nilai OR 13 yaitu pola makan dengan kejadian dispepsia berpeluang 13 kali
ada hubungan pola makan dengan kejadian dispepsia.
Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan bahwa pada sebagian orang,
jenis makanan tertentu tampaknya berhubungan dengan gejala dispepsia.
Sebagian makanan ditolerir dengan baik karena konsistensinya. Makanan
tertentu mungkin tidak ditolerir dengan baik karena pencernaan atau
absorbsi intestinal yang terganggu, seperti makanan berlemak pada pasien
penyakit pankreas dan saluran balier. Nutrien-nutrien tertentu dapat
menyebabkan efek sistemik yang intensif akibat efek biokimiawi pada
pasien sehingga membuat substansi tersebut berbahaya, seperti intoleransi
galaktosa pada orang-orang yang memiliki galaktosemia. Pengaruh sefalik,
37
sekresi asam lambung interdingestif atau basal dapat dipertimbangkan
untuk menjadi tahap sekresi. Tahap ini berhubungan dengan makan,
mencapai puncaknya sekitar tengah malam dan titik terendahnya kira-kira
pukul 7 pagi ( Harrison, 2000 ).
Hal ini sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Annisa (2009)
dengan judul hubungan ketidakteraturan makan dengan sindroma dispepsia
remaja Perempuan Di SMA Plus Al- Azhar Medan. Peneliti memperoleh
data jumlah responden yang pola makannya tidak teratur yaitu 39 orang
(53,4% ). Angka kejadian sindroma dispepsia dari keseluruhan responden
yaitu 47 orang (64,4 % ). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa besarnya
angka kejadian sindroma dispepsia di SMA Plus Al Azhar Medan ternyata
sesuai dengan pola makan remaja perempuan yang tidak teratur.
Ririn Fitri (2013) dengan judul deskripsi Pola Makan Pada Penderita
dispepsia pada mahasiswa Jurusan Kesejahteraan Keluarga Fakultas Teknik
Universitas Negeri Padang. Peneliti memperoleh data mahasiswa yang
mengalami dispepsia sebanyak 39 orang. Berdasarkan keteraturan makan
responden 38,5% jarang makan teratur, 33% jarang sarapan, 59,0% selalu
makan dua kali sehari, 51,3% tidak pernah makan tepat waktu, 46,1%
selalu terlambat makan dan 51,3% selalu makan tunggu lapar dulu.
Dari 50 responden yang diteliti ada 31 (62,0%) responden yang mengalami
pola makan yang tidak baik, Sedangkan pola makan yang baik sebanyak 19
(38,0%) responden, terdapat 21 (42,0%) responden yang mengalami
38
dispepsia baru dan terdapat 29 (58,0%) responden yang dispepsia lama.
Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola makan
dengan kejadian dispepsia di Puskesmas Botania tahun 2013.
39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan pola
makan dengan kejadian dispepsia di puskesmas Botania Kelurahan Belian
Kecamatan Batam Kota tahun 2013 yaitu :
5.1.1 Pola makan responden terhadap kejadian dispepsia di Puskesmas
Botania Tahun 2013 adalah lebih dari setengah pola makan tidak baik
sebanyak 31 (62,0%) responden
5.1.2 Kejadian Dispepsia di Puskesmas Botania Tahun 2013 adalah
mayoritasnya mengalami dispepsia lama sebanyak 29 (58,0%)
responden.
5.1.3 Terdapat hubungan yang signifikan antara pola makan dengan
kejadian dispepsia di puskesmas botania kelurahan Belian kecamatan
Batam kota tahun 2013. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian
didapatkan data analisa pola makan dengan kejadian dispepsia
diperoleh bahwa sebanyak 21 (42,0%) responden yang mengalami
dispepsia baru dan terdapat 29 (58,0%) responden yang dispepsia
lama. Sedangkan responden yang memiliki pola makan yang tidak
baik 31 (62,0%) dan responden yang mengalami pola makan yang
baik 19 (38,0%). Pola makan yang baik. Dan dari hasil analisa dengan
nilai OR=13 artinya pola makan yang tidak baik berpeluang 13 kali
terjadinya kejadian dispepsia.
40
5.2 Saran
5.2.1 Bagi institusi pelayanan kesehatan Puskesmas Botania
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan ataupun
informasi mengenai hubungan pola makan dengan kejadian dispepsia ,
sehingga pasien yang berobat mengetahui tentang pola makan.
5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan (Universitas Batam)
a. Memberikan masukan dan informasi tentang pentingnya pola makan
dengan kejadian dispepsia.
b. Menambah studi kepustakaan tentang hubungan pola makan dengan
kejadian dispepsia sehingga dapat dijadikan masukan bagi peneliti
selanjutnya.
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar dapat meneliti masalah ini
dengan sampel yang lebih luas lagi Dan diharapkan kepada peneliti
selanjutnya untuk dapat meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi
kejadian dispepsia seperti Sekresi asam lambung, Helicobacter Pylori (Hp),
Dismotilisasi Gastrointestinal, Ambang rangsang persepsi, Disfungsi
autonom, Aktifitas mioelektrik lambung, Hormonal dan psikologis.
41