+ All Categories
Home > Documents > Sulawesi A Graphic Journal

Sulawesi A Graphic Journal

Date post: 15-Mar-2016
Category:
Upload: sangaji-riwanto
View: 252 times
Download: 6 times
Share this document with a friend
Description:
A photographic and illustrated journey of the 18-day-adventure across Sulawesi island of Indonesia. From the city of Palu to Lore Lindu National Park in Central Sulawesi. Trekking through the valley of Besoa and Bada. Sailing the Tomini bay from Ampana to Poyalisa and Kadidiri of Togean islands. Crossing the sea to Marisa and Gorontalo cities. Then finally traveling a long road trip to Manado, Tangkoko and Tomohon.
Popular Tags:
86
Transcript
Page 1: Sulawesi A Graphic Journal

18 days of adventure acrossCentral Sulawesi - Gorontalo - North Sulawesi

a g r a p h i c j o u r n a lSULAWESI

B A G U S S A N G A J I R I W A N T O

Page 2: Sulawesi A Graphic Journal

18 days of adventure acrossCentral Sulawesi - Gorontalo - North Sulawesi

a g r a p h i c j o u r n a lSULAWESI

B A G U S S A N G A J I R I W A N T O

Page 3: Sulawesi A Graphic Journal

18 days of adventure acrossCentral Sulawesi - Gorontalo - North Sulawesi

a g r a p h i c j o u r n a lSULAWESIB A G U S S A N G A J I R I W A N T O

Page 4: Sulawesi A Graphic Journal

ACKNOWLEDGMENTS

I would like to express my gratitude to Allah SWT, my family; Mom, Dad, my lil’ bro and my beautiful Novica Dewi for all the guidance, blessings and endless support.

ACI teammates,Farchan and Dinda, for all the friendship and adventure, also Bang Jufe for taking care of us in the wilderness of Sulawesi. Abe, my new friend in Palu. Fellow petualang ACI 2011 and 2010; especially Agus Lahinta and Steven Polapa. Mas Adang and family for giving us a big favor in Gorontalo.

detik.com detik.com for the trip and the photo essay prize. Mba Indri and friends at detik; without you guys, I wouldn’t have been able to experience this amazing adventure.

All the people in Sulawesi. Special thanks to Pak Bhakti and family, Pak Raymond and family, Pak Arnold and all the porters. Pak Ismail for the lovely Poyalisa experience, Ibu Lestari and Eli at Kadidiri Lestari. Kadidiri Paradise family and Mr. Gonza, the divemaster.

Thank you Sulawesi island for this unforgettable adventure.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih saya kepada Allah SWT, keluarga saya, Ibu, Ayah, adik saya, dan Novica Dewi tersayang untuk semua bimbingan, berkat dan dukungan tanpa henti.

Rekan perjalanan ACI; Farchan dan Dinda untuk petualangan tak terlupakan, juga Bang Jufe yang menjaga kita di alam liar Sulawesi. Abe, teman baru saya di Palu. Sesama Petualang ACI 2011 dan 2010; terutama Agus Lahinta dan Steven Polapa. Mas Adang dan keluarga yang dengan baik hati membantu kita saat di Gorontalo.

detik.com untuk perjalanan dan hadiah esai detik.com untuk perjalanan dan hadiah esai foto. Mba Indri dan teman-teman di detik; tanpa kalian, saya tidak akan dapat mengalami petualangan yang menakjubkan.

Semua orang di Sulawesi. Terima kasih khususnya untuk Pak Bhakti dan keluarga, Pak Raymond dan keluarga, Pak Arnold dan semua porter. Pak Ismail untuk pengalaman indah di Poyalisa, Ibu Lestari dan Eli di Kadidiri Lestari. keluarga Kadidiri Paradise dan Mr Gonza sang divemaster.

Terima kasih Pulau Sulawesi untuk petualangan yang tak terlupakan.

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

adventure teammates:FARCHAN NOOR RACHMANtwitter: @efenerrphone : [email protected]

DINDINDA AULIA PUTRI NASUTIONtwitter : @dindadincilfacebook.com/[email protected]

edited byNOVICA DEWI english lecturertwitter: @[email protected]

twitter: @sangajifacebook.com/[email protected]

whydontweliveinblackandwhite.blogspot.com

+BAGUS SANGAJI RIWANTOphotographed, illustrated, designed and written by

i ii

Page 5: Sulawesi A Graphic Journal

FOREWORD p r a k a t a

Free. It is the first word that comes into my mind when I’m writing this. It all starts with a chance to win a free holiday. I mean, come on, there’s quite a short list of free stuffs left in this world. The idea of getting a holiday trip for free is surely tempting. So, when I heard about this “Aku Cinta Indonesia” program from the news portal detik.com, without hesitation I registered. The “Aku Cinta Indonesia” program selects 60 participants only, divided into 20 teams and sent to 20 destinations across Indonesia. Later I was informed that there were 75.000 applicants! SSo, long story short, I was the lucky 60. Couldn’t believe it at first, until I received the confirma-tion email. And with more unbelievable luck, I was chosen to explore the Central Sulawesi-Gorontalo-North Sulawesi regions. I had never set my foot on Sulawesi in my life before, and that’s about to change. I was as happy as a boy with his new toy!

On a serious note though, it would be my first distant journey, way off my comfort zone. I had always been used to travelling, but it’s kind of a laid-back backpacking or short trip, not really an adventure. I often do mountain-cycling on the hills of Bandung, my home city and I’m also a pho-tography enthusiast.

The adventure is an eye-opening journey. I met all these different people and cultures which I have never heard before. I crossed countless rivers, hills and mountains, slept in the middle of a forest, and witnessed endangered wildlife. They were both magical and fantastic.

Such an incredible journey it was that I really want to share it to others. Having had a long thought and encouragement from my loved ones, I started to write this book. It was not easy and it took quite a long time to write and design this book myself, but I do hope that it will not be disappointing. Mind you, I am not a writer and I have never published anything. I just love taking pictures and create some illustrations. BeingBeing a graphic designer, I personally think my skills would help me create a graphic journal, along with photos, illustrations, information and notes which doesn’t only serve as my personal design portfolios, but also a chance to spread my love for Indonesia and travel.

AtAt first, it was only about free holiday, but actually it was more than that. This journey was a chance to be free, free as a human being. It was a once-in-a-lifetime opportunity to discover a little place on earth called Indonesia. Indonesia is what I call home but frankly-speaking, I never fully understand its beauty and potentials. It was such an amazing journey and I want to share my memories to you, the readers.

Bebas. Inilah kata pertama yang terbesit di kepala saya ketika menulis tentang perjalanan ini. Semua ini bermula dari kesempatan untuk memenangkan program liburan gratis. Saya berfikir ini kesempa-tan saya untuk bisa bebas menjelajahi Indonesia. Siapa yang tidak tertarik? Saat saya mendengar tentang program “Aku Cinta Indonesia” (ACI) dari portal berita detik.com, tanpa ragu saya mendaftar. ACI hanya memilih 60 peserta beruntung, terbagi atas 20 tim ke 20 tujuan di seluruh pelosok Indone-sia. Calon peserta ACI saat itu mencapai 75.000 orang dan saya bangga menjadi salah satunya.

Singkat kata, saya terpilih menjadi salah satu dari 60 petualang ACI yang beruntung. Pada awalnya saya tidak percaya, sampai akhirnya surel konfirmasi itu datang. Luar biasanya lagi, daerah yang akan saya jelajahi adalah Sulawesi1: Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Saya merasa berun-tung sekali karena belum pernah sekalipun menjejakkan kaki di tanah Sulawesi. Saya seperti seorang anak yang gembira dengan mainan barunya!

Kemudian saya tersadar, ini pertama kalinya saya akan menempuh perjalanan yang begitu panjang, jauh dari zona nyaman. Saya memang menyenangi travelling, tapi biasanya hanya backpacking santai atau perjalanan pendek, dan belum pernah benar-benar berpetualangan sejauh ini. Biasanya hasrat petualangan saya lampiaskan dengan bersepeda gunung ke bukit-bukit di sekitar kota Bandung, tempat tinggal saya. Dan kebetulan saya juga penggemar fotografi.

PPetualangan kali ini adalah sebuah perjalanan yang membuka mata saya. Saya bertemu begitu banyak orang yang berbeda dengan budaya yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Tak terhitung sudah berapa banyak sungai yang telah saya sebrangi, bukit-bukit dan gunung yang saya lewati, serta perairan yang saya arungi. Menjelajahi laut Indonesia yang jernih, tidur di tengah hutan, dan melihat satwa liar yang terancam punah. Benar-benar perjalanan yang fantastis.

SaSaya berharap perjalanan yang luar biasa ini bisa saya bagi kepada orang lain, terutama orang Indo-nesia. Karena saya adalah seorang desainer grafis, maka saya memutuskan untuk membukukan petu-alangan ini. Tak terhitung hambatan dan tantangan dalam membuat buku ini, namun dengan seman-gat dan dorongan dari orang-orang yang saya cintai, saya terus melaju.

Membuat buku ini tidak mudah dan memerlukan banyak waktu. Semua hal di buku ini mulai dari desain, layout, foto, dan ilustrasi adalah karya saya sendiri. Saya bukan penulis dan belum berpen-galaman sama sekali dalam membuat buku, jadi saya harap buku ini tidak akan mengecewakan anda, para pembaca.

Ya, awalnya ini semua hanya karena liburan gratis, tapi ternyata lebih dari itu. Perjalanan ini adalah kesempatan saya untuk bebas: Bebas sebagai manusia. Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup untuk ‘menemukan kembali’ Indonesia saya. Indonesia yang kita sebut rumah, tapi disaat yang sama juga masih Indonesia yang asing dan jauh dari jangkauan. Inilah saatnya memahami kembali arti keindahan dan potensi negeri kita. Perjalanan kali ini adalah perjalanan yang tak terlupakan, dan saya ingin mengajak anda untuk menikmatinya bersama-sama.

01 02

Page 6: Sulawesi A Graphic Journal

CONTENTS | daftar isi

ACKNOWLEDGMENTS | ucapan terima kasihFOREWORD | prakataJOURNEY MAP | peta perjalanan

DAY 1 & 2 JAKARTA - PALU - LORE LINDUhari 1 & 2 Jakarta - Palu - Lore Lindu

DAY 2 & 3 LORE LINDU & LANGKOhahari 2 & 3 Lore Lindu & Langko

DAY 3 & 4 LAKE LINDU - RAHMAT TREKKING hari 3 & 4 trekking danau Lindu - Rahmat DAY 4 & 5 MEGALITH BESOA hari 4 & 5 megalit Besoa DDAY 5 & 6 TREKKING TO BADA VALLEY hari 5 & 6 trekking ke lembah Bada

DAY 6 & 7 BADA - AMPANA hari 6 & 7 Bada - Ampana

DAY 7 & 8 AMPANA - TOGEAN hari 7 & 8 Ampana - Togean

ii0105

07

15

25

41

55

73

8383

DAY 8 & 9 POYALISAhari 8 & 9 Poyalisa

DAY 10 & 11 POYALISA - WAKAI - KADIDIRI hari 10 & 11 Poyalisa - Wakai - Kadidiri

DAY 11 & 12 KADIDIRIhari 11 & 12 Kadidiri

DDAY 12 & 13 STINGLESS JELLYFISH LAKE & WAKAI hari 12 & 13 danau ubur-ubur tanpa sengat & Wakai

DAY 13 & 14 KADIDIRI - MARISA - GORONTALO hari 13 & 14 Kadidiri - Marisa - Gorontalo

DAY 14 & 15 GORONTALO - MANADO hari 14 & 15 Gorontalo - Manado

DAY 15, 16 & 17 TANGKOKO, TONDANO & TOMOHON hahari 15, 16 & 17 Tangkoko, Tondano & Tomohon

DAY 18 END OF JOURNEYhari 18 akhir perjalanan

93

103

113

125

139

145 145

149

157

Page 7: Sulawesi A Graphic Journal

togean islandskepulauan togeant o m

i n i b a y

t e l u k t

o m i n i

t o l o b a y

t e l u k t o

l o

peling strait

selat peling

m a k a s s a r s t r a i t

s e l a t m a k a s s a r

s u l a w

e s i s

e a

l a u t s u

l a w e

s i

m a l u k u s e a

l a u t m a l u k u

lore lindu

lake lindu

lake poso

tentena

poso

ampana

una una

poyalisa

kadidiriwakai

marisa

lake limboto

lake tondano

batu putih

bitung

lembehtomohon

bunaken

p o s o b a y

t e l u k p o s o

walea strait

selat walea

kamarora

PALU

Banggai islandskepulauan Banggai

GORONTALO

MANADO

langko

sidaunta

besoa

bada

CENTRAL SULAWESISulawesi Tengah

CENTRAL SULAWESISulawesi Tengah NORTH SULAWESI

Sulawesi Utara

GORONTALOGorontalo

equator-khatulistiwa

165 km

Nutara

JOURNEYMAP

PETA PERJALANAN

C e n t r a l S u l a w e s iG o ro n ta loN o r t h S u l a w e s iPalu - Sidaunta (Lore Lindu) - Langko (lake Lindu) - Rahmat - Kamarora - Doda (Besoa) - Bomba (Bada) - Tentena (lake Poso) - Ampana - Kulingkinari (Togean) - Poyalisa - Wakai - Kadidiri - Marisa - Gorontalo - Manado - Tangkoko (Batu Putih) - Tondano - Tomohon - Manado

05 06

Page 8: Sulawesi A Graphic Journal

Kaledo, the traditional cuisine from Palu. Similar to oxtail soup, it is pre-sented not with rice but with sweet potatoes or cassava. The delicious bone is full of marrow.Kaledo, makanan khas kota Palu. Mirip dengan sop buntut, tetapi tidak dihidan-gkan dengan nasi, melainkan dengan singkong atau kentang manis. Makanan lezat ini kaya akan sumsum.

pemandangan kota Palu di pant

ai Talise

kafe-kafe di pingg

ir pantai Talise, ko

ta Palu

jembatan Palu IV di malam hari

aktifitas penambanganpasir di sungai

contoh cara mengemudi

yang berbahaya

penambang p

asir

pemandangan Pa

lu dari

a

tas pesawat

di bandara inte

rnasional Mak

assar

dari Jakarta ke Palu

tiba di Palu

This is the first day of the adventure!

It took 5 hours to get to Palu from Jakarta. The team had time to enjoy the city at night and walked alongside Talise beach.Going across the beautiful landscape of CentGoing across the beautiful landscape of Central Sulawesi to get to Lore Lindu National Park the next morning.

Hari pertama petualangan!

Dari Jakarta ke Palu membutuhkan waktu pener-bangan selama 5 jam. Tim mempunyai cukup waktu untuk menikmati kota Palu di malam hari dan berjalan di pinggir pantai Talise.Tujuan di pagi hari berikutnya adalah Taman Nasi-onal Lore Lindu dimana tim melewati bentang alam Sulawesi Tengah yang indah.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .Central SulawesiPALUt h e c i t y o f

the adventureBEG IN S

07 08

Kaledo, makanan khas kota Palu. Mirip dengan sop buntut, tetapi tidak dihidan-gkan dengan nasi, melainkan dengan singkong atau kentang manis. Makanan lezat ini kaya akan sumsum.

Page 9: Sulawesi A Graphic Journal

09 10

Today our adventure begins. First, let me introduce you to my team: Farchan & Dinda. The three of us would be stuck together for the next 18 days in Sulawesi. Bang Jufe, a seasoned adventurer who would help and guide us throughout our journey, had joined us too.

TheThe destination was the city of Palu in Central Sulawesi. It took 5-6 hours (including airlines delay) to get there from Jakarta. Transit at Makassar’s Sultan Hasanuddin International Airport on South Sulawesi, one of the most modern airports in Indonesia. This new airport is very comfort-able and well designed. Better than the so-called notoriously uncomfortable and hectic Soekarno Hatta airport in Jakarta. At the time we reached Mutiara airport of Palu, it was almost dark, with a glimpse of sunset behind the mountain range surrounding the city. The airport itself is very simple and small. Even the arrival room is maybe just as big as 400m2. Palu is one busy little city, but we didn’t have much time to explore the city since the next morning we would be leaving the city to go to Lore Lindu National Park.

WWe did have some time to spend the night, accompanied by Abe, Farchan’s friend who lived in Palu. After tasting the local culinary soup of Kaledo, we strolled around the shoreline North of Palu, the Talise beach. There were countless beachside cafes in Talise. However, those cafes were more like a row of simple food stalls, or warung. So don’t expect it would be as glamorous as the cafes in Kuta or Legian in Bali. We spent the night walking the long shoreline and I managed to get some very nice photos of the shore with city lights and the sea as background. The big Palu IV Bridge was also an incredible sight.

Hari ini petualangan kami dimulai. Pertama-tama, saya ingin memperkenalkan anda kepada tim kami: Farchan & Dinda. Kami bertiga akan bersama-sama menjelajahi Sulawesi selama 18 hari ke depan. Kami juga ditemani oleh seorang pendamping; Bang Jufe, seorang petualang senior.

TTujuan pertama adalah kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah. Memerlukan waktu 5-6 jam (termasuk menunggu penerbangan yang ditunda) untuk mencapai Palu dari Jakarta. Pesawat transit di bandara Internasional Sultan Hasanuddin di kota Makassar, Sulawesi Selatan. Bandara ini adalah salah satu bandara paling modern dan baru di Indonesia; sangat nyaman dan didesain dengan sangat baik. Jauh lebih baik daripada bandara Soekarno-Hatta di Jakarta yang penuh sesak dan melebihi kapasitas.

PPada saat kami mendarat di bandara Mutiara, kota Palu, hari sudah hampir gelap. Terlihat cahaya matahari tenggelam di antara pegunungan yang mengelilingi kota Palu. Bandaranya sendiri sangatlah kecil dan sederhana. Bahkan ruang kedatangannya mungkin tidak lebih dari 400m2. Sore itu Palu cukup padat dan sibuk, tapi kami tidak punya banyak waktu untuk menjelajahi isi kota karena besok pagi kami sudah harus berangkat menuju Taman Nasional Lore Lindu.

AbAbe, teman Farchan di kota ini menemani kami berjalan-jalan di malam hari. Setelah makan malam dengan menu kuliner local, Kaledo, kami berjalan santai di pinggir pantai Talise. Di pinggir pantai Talise, terdapat deretan kafe yang tak terhitung jumlahnya. Kafe-kafe ini sangat sederhana; lebih me-nyerupai warung pinggir jalan, jadi jangan bandingkan dengan kafe-kafe di Kuta atau Legian di Bali. Kami menghabiskan malam berjalan di sepanjang bibir pantai dan tak lupa untuk mengambil foto-foto keindahan pantai ini. Jembatan Palu IV juga merupakan pemandangan yang bagus untuk dinik-mati di waktu malam

DAY 1&2: JAKARTA-PALU-LORE LINDU HARI 1&2: JAKARTA-PALU-LORE LINDU

Page 10: Sulawesi A Graphic Journal

The workers of Palu Kubula mining sitePara Penambang pasir di Palu Kubula

View from the Gumbasa bridge Pemandangan dari atas jembatan Gumbasa

Page 11: Sulawesi A Graphic Journal

panoramic photograph of Palu Kubula mining site foto panorama tambang pasir Palu Kubula

Early in the next morning we started our journey to Lore Lindu National park using rental car. Our destination was Sidaunta village, the gateway to Lore Lindu national park, approximately 70 km South of Palu. It took ±3 hours from Palu to Sidaunta, but that was probably because we were not in a hurry that we could stop a couple of times just to enjoy the view of the beautiful land-scape of Central Sulawesi.

We stopped for a while at a local sand mining site on the riverside, the Palu Kubula mining site. The miners were very kind and they spared some time to chat with us, they didn’t even mind posing for photographs. It seemed that the local community had been running that small yet prof-itable mining site.

Then there’s the river Palu with incredible scenery and mountains on the background. Another stop was at the Gumbasa Bridge, not so far from Lore Lindu National Park. The bridge itself was nothing special, but the scenery was magnificent.

One unique thing was all houses there use zinc/iron sheeting for their roof, not the ordinary roof tile. That is because ordinary roof is not strong enough for Sulawesi’s sun. Ordinary roof would decay really fast and if they want to use stronger materials, it would be too expensive. Hence the zinc roof is used as a standard building material.

As we approached our destination, the road started going uphill with twist and turns. The view also changed, cliffs and dense trees along the road. Not long after that, we reached our destina-tion, the Sidaunta village.

Pagi berikutnya kami memulai perjalanan ke Taman Nasional Lore Lindu dengan menggunakan angkot sewaan. Tujuan kami adalah desa Sidaunta, pintu gerbang utama ke dalam Lore Lindu, sekitar 70km Selatan dari Palu. Memerlukan sekitar 2 jam lebih untuk mencapai Sidaunta, tapi ini mungkin karena kami tidak terburu-buru dan beberapa kali berhenti untuk menikmati pemandangan Sulawesi Tengah yang indah.

DiDi pinggir jalan menuju Sidaunta, kami melihat sebuah situs penambangan pasir dan memutuskan untuk berhenti. Para penambang sangatlah ramah; tidak segan diajak berbincang-bincang dan difoto oleh kami. Rupanya, tambang pasir Palu Kubula ini dikelola bersama-sama oleh warga desa dan hasil-nya cukup menguntungkan.

Uniknya, pemandangan di tambang ini sangatlah indah, dengan sungai Palu dan deretan pegunungan sebagai latarnya. Kami juga berhenti di jembatan Gumbasa, sebelum pegunungan Lore Lindu. Jem-batan ini tidak begitu spesial, tapi pemandangannya sangatlah indah.

Hal yang unik yang kami jumpai disini adalah penggunaan atap dari bahan seng, bukan genting sep-erti yang lumrah ditemukan di pulau Jawa. Hal ini karena genting biasa tidak cukup kuat untuk mena-han cuaca panas Sulawesi. Genting biasa akan berumur pendek, dan untuk menghemat biaya serta ketahanan, maka seng digunakan sebagai bahan bangunan standar untuk atap.Semakin dekat ke Sidaunta, jalan semakin menanjak dan berkelok kelok. Pemandangan sawah dan la-pangan luas mulai berganti menjadi tebing dan pepohonan raksasa. Tidak lama setelah itu, kami tiba di desa Sidaunta

13 14

Page 12: Sulawesi A Graphic Journal

banyak berdoajangan terjatuh

SID A U N TAo j e k g u i d eThe unique ojek of Sidaunta are the only vehicles available to the national park of Lore Lindu.

Ojek Sidaunta yang unik ini adalah satu-satunya kendaraan menuju ke dalam Taman Nasional Lore Lindu.

Sidaunta, gerbang ke Taman Nasiona

l Lore Lindu

ojek membawaojek di sidaunta

anak-anak bermain :)

sore yang indah di de

sa Langko

Pak Bakti

C

B

A Mr. Muhammadojek driverapprox. 60kg

Carrier 70litreapprox. 16kg

seat for adult+backpackbackpackapprox. 85kg

. . . . . . . . . . . . . . . . . .

national park

L O R EL IN D U This is the lovely Langko village where we stayed in Lore Lindu National Park.

Inilah desa Langko yang asri, tempat kami mengi-nap di dalam Taman Nasional Lore Lindu.

15 16

Page 13: Sulawesi A Graphic Journal

17 18

We arrived at Sidaunta village, the gateway to Lore Lindu National Park. There was only a single option to get inside the Lore Lindu from Sidaunta with a vehicle, that is an ojek, or a motorcycle cab. The other option was to walk, which was not a good option anyway. What really made the ojek ride special was the road, or to be precise, the track. Literally, there was no road there, just a mountain path that’s made as a road for bikes.

YYou could imagine a track for a downhill bicycle race, it was nerve breaking; with very narrow track and cliffs all around you. To add your excitement was the way the ojek driver handled their bike. You might think that with such a dangerous track, they would be careful, but no. They were speed freaks, and you had no choice but to put your life in their hands. Definitely not a ride for the faint hearted. But really, it was so much fun I forgot that I actually wasn’t at the amusement park.

Mind you, they were speeding on this dangerous track while carrying a passenger and luggage. At first, I was not sure if their standard 100cc, 4-stroke bike had enough power to carry my big back-pack carrier and me, but later on, I saw a biker carrying a broken motorcycle. That was such a strange sight, and we really had a hard time to understand what’s going on.

Later on, we were told that the Sidaunta ojek are legendary among the people of surrounding vil-lages because of their skills. This was because there were no other means of transportation for them. So they are used to carrying such heavy and gigantic stuffs with only a motorcycle. Stuffs like furniture, building materials, machines, farm and fishing goods, and even dead human bodies (true story).

After about an hour or so, we finally entered Lore Lindu. The first place we encountered was a small, lively village of Puroo. I thought that with such a difficult access going inside, the villages inside Lore Lindu would not be too attractive or well taken care of, but clearly I was mistaken. I was amazed at how clean and lovely the village was. After Puroo village, we drove through a wide-open space of rice fields and it was stunning. Green and yellow rice fields stretched as far as my eyes could see and the mountain range surrounding this place made it clear that this jour-ney was going to be really fun.

Sidaunta, pintu gerbang menuju Taman Nasional Lore Lindu. Hanya ada satu pilihan kendaraan untuk masuk ke dalam Lore Lindu dari Sidaunta yaitu dengan ojek. Pilihan lain adalah berjalan/trekking, tapi itu bukan pilihan yang bagus, terutama bila harus membawa barang-barang berat sekaligus dikejar waktu. Yang membuat ojek di sini spesial adalah jalanannya, atau lebih tepat disebut trek daripada jalanan. Sebenarnya jalur menuju ke dalam Lore Lindu ini bukanlah jalan untuk kendaraan bermotor, tetapi jalur gunung yang ‘dipaksa’ berfungsi untuk sepeda motor.

BilaBila anda pernah melihat jalur sepeda balap downhill, mungkin anda bisa sedikit mendapatkan ide seperti apa trek ini sebenarnya. Jalur ini sangatlah berbahaya; kami harus melewati tebing-tebing yang curam, jalanan yang tidak rata, belokan tajam, dan sempit. Dan bila anda berpikir bahwa dengan jalur yang berbahaya ini tukang ojek akan berhati-hati dan berjalan pelan, maka anda salah. Mereka menyukai kecepatan, dan anda tidak punya pilihan lain selain mempercayakan kemampuan mereka dalam mengemudikan sepeda motornya. Perjalanan ini bukanlah untuk orang yang lemah jantung. Tapi sebenarnya ini adalah pengalaman yang sangat menyenangkan, dan terlintas dalam fikiran bahwa sasaya sedang berada di salah satu wahana di Dufan.

Hal lain yang luar biasa adalah, mereka terbiasa mengebut sambil membawa barang-barang yang berat, padahal motor mereka adalah hanya bebek 4-tak 100cc standar. Sangat tak mumpuni untuk membawa saya dan carrier berat. Kami sempat menyaksikan pemandangan aneh saat disana; seorang pengemudi motor membawa motor di belakang motornya. Suatu pemandangan yang luar biasa! Di ke-mudian waktu, kami diberitahu bahwa ojek Sidaunta cukup legendaris di kalangan warga desa sekitar Lore Lindu karena kemampuan mereka. Mereka terbiasa untuk membawa barang-barang berat dan besar yang seharusnya tidak bisa dibawa oleh motor bebek, apalagi dengan kondisi jalan yang sangat berbahaberbahaya seperti itu. Barang-barang seperti furnitur, bahan bangunan, mesin, alat pertanian, hasil pertanian, dan bahkan mayat manusia (ini kisah nyata) sudah terbiasa mereka angkut.

Sekitar satu jam kemudian kami akhirnya masuk ke desa kecil yang indah bernama Puroo di dalam Lore Lindu. Sempat terbesit di pikiran saya bahwa mungkin desa-desa di dalam Lore Lindu akan sangat sederhana dan tidak terurus karena jalur transportasi yang sangat sulit, tapi ternyata desa di sini sangatlah indah dan permai. Saya benar-benar kagum oleh betapa bersih dan indahnya desa ini. Setelah desa Puroo, kami melewati beberapa area sawah yang sangat luas dan menakjubkan. Hijau, kuning warna sawah membentang sejauh mata memandang dan pegunungan yang mengelilinginya membuat saya yakin bahwa petualangan ini akan sangat menyenangkan.

DAY 2&3: LORE LINDU & LANGKO HARI 2&3: LORE LINDU & LANGKO

Page 14: Sulawesi A Graphic Journal

desa-desa di Lore Lindu

There are quite a lot of small villages around Lake Lindu. They are not only traditional but also lovely. The people here work as farmers, fishermen, and some of them herd cattles. Once you get here, you can feel the warm atmosphere, no wonder the people are friendly. What impresses me most is that they have great tolerance towards others and they also conserve the environment.

DiDi sekitar danau Lindu terdapat desa-desa kecil. Desa-desa tradisional ini sangatlah asri dan indtah. Masyarakatnya bekerja sebagai petani, pe-ternak dan nelayan tradisional. Begitu tiba di sini, kita dapat langsung merasakan suasana yg hangat dan menyenangkan. Tak heran, orang-orang di sini sangatlah ramah. Yang membuat saya terkesan adalah mereka mempunyai tenggang rasa yang tinggi terhadap sesama dan mereka juga bersahabat dengan alam

19 20

Page 15: Sulawesi A Graphic Journal

Not long after passing several different villages and rice fields, we arrived at the village of Langko. We would then spend the night in Mr. Bakti’s family house, a local forest police. The house itself was quite big, but it’s very basic. One must forget all the comforts of a hotel or even a cheap inn. The walls are built with the mixture of bricks and woods, cement for floors and not so much for the ceiling. It isn’t very well designed, of course. It’s not that clean and is rather dark inside even on daylight. But the warm welcome and nice people make this a lively place to be. I really enjoyed my stay there.

SoonSoon we realized that there were three main problems which kept appearing throughout our journeys. The first is electricity. In most of our journeys, electricity is scheduled for nighttime only from a diesel generator. The second is communication cut-off, and the third is the lack of clean water available.

TheThe lack of electricity was not that big of a problem for we didn’t need to watch TV anyway, and we had all night long to charge our electronic devices, such as cameras. The communication de-vices, or I should say mobile phones were completely useless here in Lore Lindu. There were ab-solutely no cellular services whatsoever. But the real problem was of course, the lack of clean water.

Those problems were relatively trivial for people who like adventure and outdoor activities, but for the average city-dwellers who are spoiled by the comfort of a civilized, modern city, they might be impossible to handle.

Personally, I have no objection to this kind of situation, but it does make me think; this place is really beautiful and rich of natural resources, nevertheless, the government doesn’t pay much at-tention to develop it. I think that these people here deserve more attention and respect.

Anyway, after unpacking our stuff and had a rest for a while, we got the chance to do some short trekking to the hill and forest just behind Mr. Bakti’s house. We hoped to see some wildlife there, because there are observation posts in the forest to watch birds and monkeys. There are also hornbills and black macaca in that area, so we were looking forward to seeing them. However, we were not that lucky. When we almost reached the top, it was raining. Mr. Bakti, who accompanied us, said that there was very little chance to see those wild animals. Alas, we climbed this steep hill for nothing but sweat and mud.

WhatWhat was interesting was that there were some areas where you could find some kind of a warn-ing sign for those who want to loot stones/rock from the river. And on the top, there was a sign that read: “If the last tree has fallen, the last river has dried, only then we know that money can’t be eaten”. It was a short and simple sentence but it pretty much sums all of the problems in the modern world.

We arrived back home just before the sunset, greeted by the high-spirited kids who kept con-stantly begging to be photographed. After cleaning ourselves with freezing water, it’s time for dinner. Another interesting thing before they served us our dinner: knowing three of us are mos-lems, Mr. Bakti, who’s a Christian, offered us to slash the chicken ourselves. As you know, the Moslem has to cite prayers and do the slash properly. We were astounded at how tolerant and respectful he is towards others’ religion. This is very ironic for there were major religious con-flicts in Poso, Central Sulawesi years ago. So we’re really glad that people here are very kind and caring.

LANGKO

21 22

Page 16: Sulawesi A Graphic Journal

Tidak lama setelah melewati desa-desa dan areal persawahan, kami tiba di desa Langko. Disini kami akan menginap di rumah keluarga Pak Bakti, seorang polisi hutan setempat. Rumahnya cukup besar tapi sangat sederhana. Dindingnya campuran atara batu bata dan kayu, serta berlantaikan semen. Semua orang menyambut kami dengan hangat dan tempat tinggal yang sangat sederhana ini seketika menjadi sangat menyenangkan.

KamiKami kemudian menyadari bahwa ada tiga masalah utama yang terus muncul sepanjang perjalanan kami. Yang pertama adalah listrik; sebagian besar tempat di perjalanan kami tidak ada listrik yang memadai, biasanya listrik hanya dinyalakan saat malam hari dengan generator diesel. Yang kedua adalah telekomunikasi, dan yang ketiga adalah kurangnya air bersih.ListListrik tidak menjadi masalah yang besar, karena kami tidak perlu menonton TV disini. Untuk mengisi daya perangkat elektronik juga cukup di malam harinya saat genset dinyalakan. Telepon genggam tidak berguna di sini, karena sama sekali tidak ada sinyal. Tapi masalah utamanya memang keterba-tasan air bersih.

Masalah-masalah di atas relatif kecil untuk para petualang berpengalaman atau orang-orang yang senang berpegian ke alam bebas, namun untuk orang-orang kota yang pada umumnya dimanjakan segala kenyamanan modern, mungkin hal ini akan sangat sulit dijalani.

Saya pribadi tidak keberatan dengan situasi ini, tapi ini membuat saya berpikir; tempat ini benar-benar indah dan kaya akan sumber daya alam, seharusnya lebih banyak perhatian dicurahkan kepada mereka yang memang membutuhkan. Ini masalah yang sangat lumrah ditemukan di seluruh pelosok Indonesia.

Setelah membereskan barang-barang dan beristirahat sejenak, kami mendapat kesempatan untuk trekking singkat ke atas bukit di belakang desa Langko. Kami berharap dapat melihat beberapa satwa liar disana, karena ada pos-pos pengamatan burung dan satwa di atas bukit. Terdapat burung rangkong dan monyet hitam macaca di daerah ini. Tapi nampaknya kami tidak beruntung karena saat itu hujan cukup deras. Pak Bakti mengatakan bahwa saat hujan sangat kecil kemungkinan untuk bisa melihat hewan-hewan itu. Kamipun mendaki bukit yang cukup curam dan penuh lumpur itu dengan sia-sia.

AdaAda beberapa tempat yang menarik perhatian kami, disana kerap ditemukan beberapa tanda perin-gatan bagi para penjarah batu untuk tidak mengambil batu-batu dari sungai atau hutan. Di pos pen-gamatan, ada tulisan yang berbunyi: “Bila pohon terakhir telah tumbang, sungai terakhir telah kering, barulah kita sadar bahwa uang tak dapat dimakan”. Satu kalimat pendek yang menohok cara hidup kita.

Kami pulang ke rumah Pak Bakti sebelum matahari tenggelam. Anak-anak desa menyambut kami dengan bersemangat dan terus-menerus minta untuk difoto. Setelah mandi (dengan air yang sangat dingin), saatnya untuk makan malam. Ada kejadian yang cukup unik saat kami bersiap untuk makan malam; karena saya, Farchan dan Dinda beragama Islam, Pak Bakti mempersilahkan kami untuk memotong ayam hidup yang akan disuguhkan untuk makan malam. Kami terkejut sekaligus lega, karena orang-orang ini sangatlah baik dan toleran terhadap pemeluk agama lain. Ironisnya, beberapa tahun lalu ada konflik besar berlatar belakang agama di daerah Poso, Sulawesi tengah. Sayaberharap tidaktidak akan ada lagi konfilk seperti itu, karena saya percaya bahwa orang-orang di sini sesungguhnya baik hati dan peduli terhadap sesama.

LANGKO

23 24

Page 17: Sulawesi A Graphic Journal

t h e p e a c e f u l

KAMARORAvillage

Tarsius. This small mam-mals is an endangered animal of Sulawesi.Tarsius. Mamalia mungil dari Sulawesi yang teran-cam punah

Kamarora, a village at the foot of Mount Nokilalaki. There are churches, traditional market, and rivers in this wonderful village.KamaroKamarora, desa di kaki gunung Nokilalaki. Terdapat gereja, pasar tradisional dan sungai di desa yang permai ini.

L A K E L I N D UR A H M A TT R E K K I N G

10 hours of heavy trekking from Langko to Rahmat village, c,rossing the Lindu lake, swamp Bamba, climbing the hills, rivers and going down the valley.

Trekking berat selama 10 jam dari Langko ke desa Rahmat. Menyebrangi danau Lindu, rawa Bamba, memanjat bukit, sungai dan turun ke dalam lembah.

tersesat selama 2 jam di rawa-rawa

menyebrangi

danau Lindu

pemandangan d

ari

atas bukit

Page 18: Sulawesi A Graphic Journal

27 28

Today we’re leaving the village. The destination was Kamarora village, on the other side of the mountain. First we had to cross lake Lindu, from the Tolado village, not far from Langko. Mr. Bakti kindly accompanied us to lake Lindu. Lake Lindu is quite large and gorgeous, about 3.488 ha at 1000 m above sea level. After a farewell with Mr. Bakti, we used a small boat, or ketinting in local language, to cross the lake. We didn’t cross the lake to go to a village; we went through the swamp and forest of Bamba.

SoSo our plan was to cross the lake, trek the Bamba swamp, climb the hill, go down to the other side of the hill, and then arrive at Rahmat, a small village near Kamarora, our destination. If you draw a straight line on a map, it’s only about 18-20 km far. Pretty simple.

ApparentApparently, the truth was much more complicated than that. We started our trekking at noon. Each of us had a porter to carry our stuff, the porters also served as guides. The first stage of our journey was to go through the swamp of Bamba. The path was an abandoned one because people doesn’t use it often. The only people using this path were the boar hunters and loggers. An hour or so into the interior of the Jurassic park-like Bamba, we soon realized that our porters weren’t sure where to go. We were in serious trouble.

Our porters were confused because the water buffalos that inhabit this swamp made the path we’re supposed to follow really hard to see. They stomped and damaged the swamp along our path. The dense forest was also very dangerous; sometimes all of a sudden a branch of tree fell down. I had to run like hell just to avoid one; it was a close call. The other annoying things were the swamp muds; we got caught numerous times in the mud and it’s draining our energy fast. It’s been 2 hours and we were completely lost. To make things worst, it’s raining. Hard.

AtAt one point, one of the porters said that we had to go back to the lake because we were com-pletely lost and getting in too deep into the forest wouldn’t help us either. It was a final blow to our already wounded spirit. I realized that this was a terrible situation and we needed to get out of there before it’s going dark. I didn’t want to end up in a missing person news section.

“”

I realized that this was a terriblesituation and we needed to get out of there before it’s going dark

DAY 3&4: LAKE LINDU-RAHMAT TREKKING

Page 19: Sulawesi A Graphic Journal

29 30

Hari ini kami akan meninggalkan desa Langko, dan tujuan kami adalah desa Kamarora, di sisi lain pe-gunungan. Pak Bakti mengiringi kepergian kami sampai di dermaga danau Lindu. Pertama, kami harus menyebrangi danau Lindu dari desa Tolado, tidak jauh dari Langko. Danau ini sangatlah cantik, dengan luas sekitar 3,400 ha dan ketinggian ±1000 meter di atas permukaan air laut. Kami menggu-nakan perahu kecil atau dalam bahasa lokal disebut ketinting untuk menyebrangi danau menuju rawa Bamba.

Rencana trekking kami adalah menyebrangi danau, trekking menelusuri rawa Bamba, mendaki bukit dan kemudian turun di sisi lain bukit untuk mencapai desa Rahmat, desa kecil tidak jauh dari Kama-rora. Jika ditarik garis lurus di peta, jaraknya hanya 18-20km. Sesederhana itu.

Pada kenyataannya, perjalanan ini jauh lebih berat dari itu. Kami memulai trekking menjelang siang hari, dan masing-masing dengan porter yang membawa ransel carrier kami. Para porter juga berfungsi sebagai penunjuk jalan. Tahap pertama trekking adalah melalui rawa Bamba. Jalur yang kami lewati ini sebenarnya sudah mulai ditinggalkan para warga lokal, dan hanya digunakan sedikit orang seperti para pemburu babi hutan dan penebang kayu. Satu jam lebih menyusuri Bamba yang mirip hutan di film Jurrasic Park, kami segera menyadari bahwa para porter mulai tidak yakin kemana jalur yang se-harusnya kami lalui. Di sinilah masalah berawal.

Semakin masuk ke dalam hutan kami semakin tersesat, ini karena kerbau liar yang menghuni rawa ini merusak jalan setapak yang harusnya kami lalui. Kondisi rawa yang penuh lumpur dan beban kerbau yang berat membuat jalur mustahil untuk bisa dilihat. Hutan ini juga sangat berbahaya; be-berapa kali batang pohon jatuh dan pada suatu kesempatan saya harus lari sekuat tenaga saat salah satunya rubuh di atas saya. Hal lain yang sangat menghambat adalah lumpur rawa; beberapa kali kaki kami terjebak di dalamnya, dan ini sangat menguras energi. Sudah 2 jam kami berputar-putar di dalam rawa dan kami benar-benar tersesat. Hujan deras pun datang menghadang dan menambah buburuk keadaan.

Seorang porter sempat mengatakan bahwa kami harus kembali ke danau, karena kami sudah tersesat dan bahaya bila memaksakan masuk ke dalam hutan. Ya, kami benar-benar berada dalam kesulitan sekarang. Tidak ada jalan lain kecuali keluar dari rawa ini sebelum hari mulai gelap.

“”

kami benar-benar berada dalam kesulitan sekarang. Tidak ada jalan lain kecuali keluar dari rawa ini sebelum hari mulai gelap

HARI 3&4: TREKKING DANAU LINDU-KAMARORA

Page 20: Sulawesi A Graphic Journal

31 32

panoramic photograph of lake Lindu foto panorama danau Lindu

Tiba-tiba entah dari mana kami bertemu dengan seorang pembuat perahu lokal, dan beliau kemudian menunjukkan jalur yang benar. Kami benar-benar berhutang banyak kepada beliau.

Kami lalu beristirahat sebentar sambil makan di sebuah sungai (kuala) kecil di tengah hutan. Setelah itu sekarang saatnya untuk mengejar waktu, karena kami tidak siap untuk menghabiskan malam di dalam hutan. Jalur mulai naik dan kami harus banyak mendaki untuk mencapai puncak. Pendakian ini menghabiskan banyak energi dan pada saat kami tiba di puncak, matahari hampir terbenam.

HaHari mulai gelap dan cahaya perlahan menghilang saat jalur menurun. Ini sangat berbahaya, teru-tama saat kami harus menuruni tebing atau lereng yang cukup curam. Batu-batu yang licin dan lumpur juga tidak membantu keadaan. Para porter bahkan tidak membawa senter sama sekali, jadi mereka bergantung pada senter yang kami bawa untuk menembus kegelapan, walaupun beberapa di-antara para porter dapat melihat dengan jelas di dalam kegelapan. Bagaimana caranya, kami tidak mengerti. Masalah lain adalah air minum yang sudah habis.

Setelah kira-kira 2 jam berjalan dan beberapa kali menuruni tebing curam, kami akhirnya mencapai ujung jalan hutan. Di penghujung jalan kami harus melintasi sebuah jurang dengan menggunakan batang pohon besar sebagai jembatan. Kami semua berhasil menyebrang tanpa ada masalah.

SekaSekarang kami sudah keluar dari hutan; tidak ada lagi jurang, rawa, dan panjat-memanjat gunung. Setelah berjalan cukup jauh, kami akhirnya mencapai Rahmat. Stamina terkuras, pegal-pegal, lecet, dan lumpur pun menutupi tubuh kami. Kami beristirahat sebentar di pertigaan Rahmat, dan setelah menemukan ojek untuk menuju ke Kamarora, kami berpisah dengan para porter. Mereka adalah orang-orang yang luar biasa, dan tanpa mereka kami tidak akan bisa mencapai sejauh ini.

Mengenai trekking: Jalur trekking dari danau Lindu ke desa Rahmat cukup sulit dan menuntut kondisi tubuh yang prima. Ini merupakan pertama kali saya trekking dengan kondisi seperti ini. Untungnya saya terbiasa dengan olahraga sepeda gunung; walaupun skill trekking saya termasuk pas-pasan, saya masih bisa menutupi kekurangan saya dengan stamina yang lebih dari cukup (terutama saat mendaki). Sangat disarankan untuk melatih tubuh dan mempelajari aturan-aturan dasar sebelum seorang pemula pergi trekking, apalagi dalam kondisi yang berat seperti ini.

All of a sudden, a local boat builder came out of nowhere, and thank God he led us to the correct path. We never had the chance to properly thank him, but we really owed him a big favor.Having found our path, we really needed to hurry for we’re not prepared to spend the night in the forest. We had some meals before going any further into the forest and climbed onto the peak. It was a hard climb to reach and obviously not easy at all. When we reached the peak, it was almost sundown and by the time we went downhill, the last light of the sun had left us in the dark.

ItIt was very dangerous trekking downhill, especially when there’s a big cliff or steep slope. The slippery rock and mud didn’t help us either. The porters didn’t even bring any flashlight, so they relied on our flashlight to see the path. The other problem was the lack of drinking water, since we drained most of our canteen when climbing.

AfterAfter some difficult steep descend for probably 2 hours, we finally reached the end of the forest path. It’s a dramatic ending because we had to cross a pretty deep cliff by walking on a tree trunk functioned as the bridge. That was quite difficult for me for I’m scared of heights. Luckily, I crossed over without any problem whatsoever.

NNow it’s an easy walk to Rahmat village; no more cliffs, no more swamps, and no more climbing. We had a rest for a while at Rahmat, clearly it was a hard journey and we were wasted; blisters, sore muscle, drained stamina, and mud all over our body. We then said goodbye to our porters after we found motorcycles to carry us to Kamarora village. Many thanks to our incredible por-ters; we couldn’t make it without them for sure.

*A note about trekking: The trekking from lake Lindu to Rahmat village is quite hard and demands proper physical condition. I’m a rookie on trekking and mountaineering, so this is my real first time trekking in a hard environment. I was lucky because I am used to mountain biking and that really helps me going through this ordeal. Even though I’m terrible at reading paths, climbing, or other adventuring skills, I never run out of stamina or out of breath. It’s highly advised that you train your body and learn the basic rules before going trekking into a hard condition like this.

Page 21: Sulawesi A Graphic Journal

Lake Lindu danau Lindu

Page 22: Sulawesi A Graphic Journal

35 36

We finally reached Kamarora village. We were to spend the night at Mr. Raymond’s house in Ka-marora. But soon there’s a major problem; Kamarora’s water service was down! Don’t mind any bath, we couldn’t even wash our hands! So we bought bottled drinking water to at least clean the mud on our body and used talcum powder instead of having a bath. The next morning, we went to the Church and watched the children Sunday choir. It was fun to see those excited children. After taking some pictures of them, we went to Kamarora traditional marketplace. This is a unique market, because it only holds on Sundays. The marketplace is a big band of travelling merchants, so the next day the marketplace is in Rahmat village, then it will move to another village the next day, and so on until it is in Kamarora again the next Sunday.

WhatWhat I really looked forward to was our next destination: the Kuala Rawa (Rawa river). Finally, we could take a bath! The river was very clean and the water was crystal clear. It was one of the best baths I have ever taken. We even had a fresh cacao fruit as a snack before the bath. I never tasted a cacao before, and to my surprise, it’s sweet, tender, and tasty. I really like it.

AfterAfter we took a bath, we went home and spent the day for resting and chatting. We found out that there was a natural hot spring water here in Kamarora, but it was abandoned due to the ownership conflict. There were also some accidents because of the lack of safety and services there, so it was drained and closed ever since. It’s too bad for I think a hot spring in this moun-tainous area would be just perfect for relaxation and tourism.

Later at night we went outside to watch the tarsius dentatus (Dian’s Tarsier). Tarsius is a small nocturnal primate that can only be found in the South East Asia region. These cute little guys are endangered species and are endemic in Central Sulawesi. However, there are quite a lot of tarsius here in Kamarora, you can hear their noise just alongside the main road of Kamarora. It’s too hard to see them in the wild at night, so we went to a Tarsius conservation area. There’s a cage where you can find a pair of tarsius. Mind you, it’s not that they are caged forever; they can’t live long if they spend their lives inside a cage. So this pair of tarsius will only be inside just for a short timtime, for research and conservation purpose. After some time, they will be released into the wild again.

Searching those tarsius inside the cage required a lot of work and it was not easy at all because of their small size and agility. Now I understand why it’s almost impossible to take a picture of them in the wild. But after a while, I managed to get some very clear pictures of these fascinating little creatures.

This was our last night in Kamarora, tomorrow we will leave this village and go to our next desti-nation: Doda village in the Besoa region.

KAMARORA

Page 23: Sulawesi A Graphic Journal

37 38

Sampai di Kamarora, kami menginap di rumah Pak Raymond. Tapi ada masalah besar: air ledeng di seluruh desa sedang mati! Jangankan mandi, kami bahkan tidak bisa mencuci tangan. Jadi kami mem-beli banyak air minum kemasan untuk membersihkan tubuh seadanya. Bedak talek pun menjadi peng-ganti air untuk mandi malam itu.

Keesokan paginya kami menyempatkan diri pergi ke gereja setempat dan melihat sekolah Minggu anak-anak Kamarora. Sangat menyenangkan melihat anak-anak itu bergembira. Setelah itu kami pergi ke pasar Minggu Kamarora. Pasar ini cukup unik, karena ini adalah pasar keliling yang hanya ada di Kamarora di hari Minggu saja, esoknya pasar ini akan ada di desa Rahmat dan hari selanjut-nya berpindah tempat lagi. Terus menerus berpindah sampai akhirnya pada hari Minggu selanjutnya ada di Kamarora lagi.

Yang kami tunggu-tunggu adalah tujuan kami berikutnya: kuala rawa (sungai rawa). Akhirnya kami bisa mandi! Sungai ini sangatlah bersih dan jernih. Arusnya cukup besar di tengah, tapi di pinggir sungai airnya membentuk kolam-kolam yang sangat cocok untuk berendam. Kami juga memakan buah kakao yang masih segar, rasanya manis dan gurih, mirip seperti rasa buah sirsak.

SebenaSebenarnya, ada sebuah pemandian air panas alami di Kamarora, tapi sekarang sudah tidak berop-erasi karena masalah sengketa kepemilikan dan juga beberapa kali terjadi kecelakaan di kolam. Sayang sekali, padahal cuaca Kamarora yang sejuk dan dikelilingi pegunungan sangat cocok untuk berendam air panas. Setelah mandi di sungai, kami pulang dan menghabiskan waktu untuk istirahat dan malam ini kami akan melihat tarsius dentatus.

Tarsius adalah primata kecil yang hanya dapat ditemukan di Asia Tenggara. Tarsius Dentatus yang kami jumpai di Kamarora adalah hewan endemis Sulawesi Tengah yang terancam punah. Untungnya, masih terdapat cukup banyak tarsius liar di Kamarora. Kami bahkan dapat mendengar suara mereka di pinggir jalan raya Kamarora. Sangat sulit melihat mereka di gelapnya malam itu, maka Pak Ray-mond mengajak kami ke kandang konservasi tarsius tidak jauh dari tengah Kamarora.

Di dalam kandang ada sepasang tarsius, tetapi mereka tidak dikurung di kandang ini sepanjang waktu, karena tarsius-tarsius ini tidak bisa bertahan hidup di dalam kandang. Jadi mereka hanya di-tangkap untuk diteliti sementara, dan selanjutnya dilepas kembali ke alam liar.

Mencari 2 tarsius di kandang ini ternyata bukan perkara mudah; mereka makhluk kecil yang sangat gesit. Pantas saja sangatlah sulit mengambil foto tarsius di alam liar. Tetapi setelah beberapa saat, saya berhasil mengambil beberapa foto mereka. Setelah itu kami pulang ke rumah Pak Raymond dan esok pagi kami akan berangkat ke tujuan berikutnya: desa Doda di lembah Besoa.

KAMARORA

Page 24: Sulawesi A Graphic Journal

Kamarora market activities aktifitas di pasar Kamarora

39 40

Page 25: Sulawesi A Graphic Journal

MEGALITH VALLEYl e m b a h m e g a l i t

An incredible sight. Endless landscapes of rice fields, mountains, and beautiful cloud formations that accom-pany our journey from Kamarora to the village of Doda, the center of Besoa valley. Sebuah pemandangan yang luar biasa. Hamparan sawah, gunung, dan formasi awan yang indah menyertai per-jalanan kami dari Kamarora ke desa Doda, lembah Besoa.

42

Page 26: Sulawesi A Graphic Journal

43 44

It’s time to visit the megaliths on the Besoa valley. We rented a car and it took approximately 5 hours from Kamarora to Besoa. The ±80 km journey was never boring because of the lovely views. We took a chance to stop at Tambing Lake, a small lake for bird watching, but we didn’t have much time and there was no one there to guide us, so we continued our journey.

AfterAfter 2 or 3 hours, the landscape changed from mountainous to endless stretch of grasslands and rice fields. We were astonished by how stunning this place was. I was overwhelmed. There are terms in Indonesian that are often used to describe the beauty of Indonesia, like; ‘ijo royo royo’, ‘gemah ripah loh jinawi’, ‘mutu manikam’, or ‘zamrud khatulistiwa’. Here on our journey from Ka-marora to Doda, you don’t need a dictionary to understand what those words mean. You can see it by yourself. And the best part of this striking landscape and scenery is that they seem to never end.

We arrived at Doda village after the exciting journey and we stayed at Berkat inn. This modest inn is probably the most comfortable place to stay in this whole Sulawesi adventure. Running clean water, sufficient electricity, and such a homey place to be. Doda is one of my personal fa-vorite places in Sulawesi; too bad we only got one night there.

Saatnya untuk mengunjungi situs megalitik di Besoa. Kami menyewa mobil untuk pergi menuju desa Doda. Perjalanan memakan waktu sekitar 5 jam dengan jarak ±80km. Perjalanan panjang ini tidak pernah terasa membosankan karena pemandangan yang sangat indah. Kami berhenti sejenak di danau Tambing; danau kecil yang indah dan cocok untuk mengamati burung. Sayangnya tidak ada orang sama sekali disana untuk memandu kami mengamati burung dan karena kami tak punya banyak waktu untuk berhenti lama, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

SetelahSetelah sekitar 2 atau 3 jam, pemandangan berubah dari jalanan pegunungan yang berkelok-kelok menjadi dataran rumput dan bentang sawah yang sangat luas. Pemandangannya benar-benar luar biasa. Anda pasti akrab dengan istilah ijo royo-royo, gemah ripah loh jinawi, mutu manikam, atau zamrud khatulistiwa. Pemandangan hijau bumi dan langit biru yang kami lihat di perjalanan kali ini bisa digambarkan istilah-istilah tersebut. Pemandangan ini harus anda saksikan sendiri untuk mengerti betapa indahnya negeri kita Indonesia. Dan bagian terbaik dari pemandangan ini adalah sepanjang perjalanan mereka seakan tidak pernah berakhir.

KamiKami tiba di desa Doda setelah melalui perjalanan yang sangat mengasyikkan, dan malam ini kami akan menginap di penginapan Berkat. Penginapan sederhana ini mungkin adalah tempat paling nyaman sepanjang petualangan kami di Sulawesi. Air bersih yang banyak tersedia, listrik yang cukup, dan tempatnya membuat kami serasa di rumah sendiri. Untuk saya pribadi, Doda adalah salah satu tempat favorit selama di Sulawesi. Sayang sekali kami hanya bisa menghabiskan waktu semalam saja di sini.

Perjalanan Kamarora ke Doda

HARI 4&5: MEGALIT BESOA

From Kamarora to Doda

DAY 4&5: MEGALITH BESOA

Page 27: Sulawesi A Graphic Journal

from Kamarora to Besoa: Breathtaking view dari Kamarora ke Besoa: Pemandangan yang mempesona

Page 28: Sulawesi A Graphic Journal

landscapes of Lore Lindu bentang alam Lore Lindu

Page 29: Sulawesi A Graphic Journal

panoramic photography of Pokekea site foto panorama situs Pokekea

Now we’re going to the megalith spots around Besoa with Mr. Arnold as our guide. We chartered 2 motorcycles to go to the megaliths. This was supposed to be a simple short trip, but it was more than that. Besoa region is surrounded by such amazing landscapes of prairies, rice fields, hills and mountain range. The sky was amazing with stunning cloud forma-tions and contrast blue sky. I just couldn’t believe my eyes. It is one of the most beautiful places I have ever seen.

Soon we arrived at Pokekea megalith spot. I thought some people would not be that excited to see these megaliths. It’s probably just some rocks, but much older. But I’m sure when you see this site, you’ll be amazed. The ancient people who carved this stone in the first place surely knew where to put them. The sense of being in this far and remote place with such mysterious stones makes me believe that this place is truly magical.

TheThe age, function or the purpose of these megaliths has still been a complete mystery. They say that even the stones are not the same type from this area of Sulawesi. Some of the stones are carved into human face and body, others look like animals or creatures. I do think that these megaliths deserve a proper research. It is a shame that most people never know that this magnificent place really exists.

TheThe other megalith spot is on the Tadulako spot. It’s 15 minutes from Pokekea megaliths using motorcycle. Unfortunately, the sun had already set when we arrived; it was cloudy and drizzling. But it’s still a magnificent place to be. The single Tadu-lako stone is placed on a small hill with amazing scenery of mountain range, rice fields and grassland.

It was already dark when we got back to the inn and it was freezing cold. Tomorrow morning we are going trekking to Bomba village in the Bada valley. It’s going to be one hell of a journey.

Kami bertemu dengan Pak Arnold; beliau yang akan menemani kami selama di Besoa dan Bada. Sekarang kami berangkat menuju ke situs-situs megalit yang tersebar di Besoa. Kami menyewa beberapa motor untuk pergi ke sana. Sebenarnya situs megalit tidak jauh dari penginapan kami, hanya perlu menembus pinggir desa dan areal persawahan saja. Tapi pemandangan lembah Besoa yang luar biasa indah menjadikan perjalanan sore hari itu tak terlupakan.

BesoaBesoa dikelilingi ladang, sawah, bukit-bukit kecil, dan pegunungan. Langit sore hari itu sangat sempurna; matahari sore yang keemasan kontras dengan warna biru langit,dan ditambah formasi awan yang menakjubkan. Benar-benar pemandangan yang memanjakan mata. Ini adalah salah satu tempat paling indah yang pernah saya kunjungi.

KamiKami tiba di situs megalit pokekea. Mungkin sebagian orang tidak akan begitu bersemangat melihat megalit ini; apa men-ariknya batu-batu kuno? Tapi cobalah datang dan lihat sendiri situs megalitik ini. Orang-orang dari masa lampau yang membuat batu-batu ini mengerti betul dimana mereka harus menempatkannya. Keindahan pemandangan tempat terpencil dan batu-batu yang berumur ribuan tahun ini membuat keadaan terasa magis.

Orang hanya bisa menerka-nerka umur, fungsi atau arti megalit ini; dan hal tersebut tetap menjadi misteri sampai sekarang. Konon jenis batunya tidak sama dengan batu di daerah ini. Megalit ini ada yang dibentuk seperti wajah dan tubuh manusia, juga binatang atau makhluk tertentu. Seharusnya diadakan penelitian mendalam mengenai asal usul batu-batu ini. Dan sayang sekali jika banyak orang bahkan tidak mengetahui ada tempat yang mengagumkan seperti ini.

SitusSitus megalitik lainnya adalah Tadulako, sekitar 15 menit dari situs Pokekea dengan menggunakan motor. Tapi sayang sekali, pada saat kami tiba di Tadulako, cuaca berubah mendung dan gerimis. Tidak ada lagi sinar mentari sore hari yang menyinari tempat ini. Megalit Tadulako berada di sebuah bukit kecil dengan pemandangan pegunungan dan sawah ladang yang mena-kjubkan.

MEGALITTHE MEGALITH

49 50

Page 30: Sulawesi A Graphic Journal

Pokekea megalith spot situs megalit Pokekea

Page 31: Sulawesi A Graphic Journal

the megaliths at Pokekeamegalit di Pokekea

Page 32: Sulawesi A Graphic Journal

lembah Bada dari atas bukit

menginap di dalam hutan di ketinggian 2000 meter

di atas

permukaan laut. Cuacanya sangat dingin tapi menyen

angkan!

satu-satunya sumber kehangatan

menunaikan ibadah di tengah hutan

kabut tebal di pagi hari

BESOABA DATREKKINGThe journey from Besoa to Bada valley took about 2 days of trekking through the thick forest and hills.Perjalanan dari besoa ke lembah Bada memerlukan waktu 2 hari mele-wati bukit-bukit dan hutan lebat.

55 56

Page 33: Sulawesi A Graphic Journal

57 58

We got up early in the morning to prepare ourselves for some heavy trekking to Bada valley. This wouldn’t be an easy journey and we were warned that we might spend the night in the forest be-cause of the lengthy and winding path. Actually, there are 3 paths from Doda to Bada; the flat route circling the mountains or 2 paths through the mountain itself. We chose the traditional mountain path, 23 km of length for it would be one day faster than the circling route or the other mountain route.

The plan was to go to the path just outside the village. From there we would cross the river and climb the hill until we reached the top and the first shelter, continue to the second shelter and go down until we reached a village in the Bada valley. Our destination was Ningsih homestay in the Bomba village. The locals obviously had no problem travelling the path in only one day. But we, city dwellers, couldn’t match their strength and pace. So we expected to spend that night in the woods.

ThisThis time we had 5 porters instead of 4 to make it easier to carry our stuffs. The path started from rice fields and into the woods. We didn’t enjoy the flat path for long because it started to go up and we had to climb our way to the top. The climb was quite hard and drained our stamina, but I preferred this than the last trekking to Kamarora. Although this time it’s harder to climb, but at least the path were dry and we never lost our way.

AfterAfter more than 3 hours trekking the deep woods, we reached a wide-open hill called Pobolongo/Powolongan at 1780 meters above sea level. The view was breathtaking with mountain range on the East and the entire Besoa region on the West. After the very hard climb and burning heat, we took a rest for a while on the top of the hill and enjoyed the view. All the pain and fa-tigue seemed to just disappear when I looked at this spectacular scenery. It was priceless.

Kami bangun pagi-pagi sekali dan mempersiapkan diri untuk trekking panjang ke lembah Bada. Ini tidak akan menjadi perjalanan yang mudah, dan kami diperingatkan bahwa ada kemungkinan untuk menginap di tengah hutan karena jauhnya jalur yang harus ditempuh. Sebenarnya ada 3 jalur dari Besoa ke Bada; rute datar memutari gunung atau 2 jalur melewati gunung. Kami memilih jalur tradis-ional gunung yang sering dipakai masyarakat sekitar kira-kira 23 km. Jauh lebih cepat daripada rute memutar atau jalur gunung yang lain.

Rencana perjalanan kami adalah menuju ke jalan setapak di luar desa. Dari sana menyebrangi sungai dan mendaki bukit sampai ke shelter pertama. Melanjutkan perjalanan menyusuri punggung gunung ke shelter kedua dan turun terus sampai tiba di lembah Bada. Tujuan kami adalah penginapan Ning-sih di desa Bomba. Biasanya warga disini hanya membutuhkan waktu sehari saja dari Besoa ke Bada, tapi kami para pemula yang terbiasa hidup di kota tentu tidak dapat menandingi kekuatan dan ke-cepatan orang-orang di sini. Jadi sepertinya kami akan menginap semalam di tengah hutan.

Kali ini kami menyewa jasa 5 porter sekaligus agar lebih mudah membawa barang-barang. Jalur trek-king dimulai dari areal persawahan dan tembus ke dalam hutan. Jalur rata di awal perjalanan tidak berlangsung lama karena jalan mulai menanjak curam sampai ke puncak bukit. Perjalanan mendaki cukup berat dan menguras stamina. Tetapi menurut saya ini lebih baik daripada trekking terakhir ke Kamarora, karena walaupun sekarang lebih jauh dan pendakian lebih curam, tapi setidaknya jalurnya kering dan kami tidak tersesat.

Sekitar 3 jam kami mendaki, akhirnya kami tiba di padang rumput terbuka di atas bukit bernama Pobolongo/Powolongan, 1780 meter di atas permukaan laut. Pemandangan dari atas sini sangatlah indah dengan pegunungan di timur dan seluruh wilayah Besoa di Barat. Setelah pendakian yang pan-jang dan panas yang menyengat, kami beristirahat di atas bukit sambil menikmati pemandangan. Letih dan lesu seakan lenyap ketika saya melihat pemandangan yang luar biasa ini. Benar-benar pen-galaman yang tak ternilai harganya.

trekking hari pertamaHARI 5&6: TREKKING KE LEMBAH BADA

first day trekkingDAY 5&6: TREKKING TO BADA VALLEY

Page 34: Sulawesi A Graphic Journal

the view from pobolongo hillpemandangan dari atas bukit pobolongo

Page 35: Sulawesi A Graphic Journal

setting up the shelter for campingmempersiapkan shelter untuk berkemah

cooking for dinnermemasak makan malam

Time to move on into the woods again. This time the path was not always going uphill, but sometimes descended. After an hour or so, we took a rest and had some lunch in the forest. We then continued our journey and finally ar-rived at the Tabah intersection, the highest spot in our journey at 2022 meters above sea lelevel. We were told that we could continue our journey and head straight to the second shel-ter, but we couldn’t make it to the second shel-ter before sundown with our current pace.

Realizing that it’s impossible to quicken our pace, we went down to the first shelter just below the Tabah intersection. The shelter was very simple; it’s made of small logs for founda-tion and floor with sheets of tarpaulin for the roof. The locals built it, and surely we should thank them. The problem was it was too small ffor all nine of us so the porters quickly pre-pared to improve the shelter by strengthening and enhancing it.

After less than 2 hours, the newly improved shelter had been completed. Then we could place our stuff and were ready to boil some water we had gathered from a small water source nearby. Soon, the night is upon us and it’s freezing cold already. We cooked some in-stant meals for dinner and it was delicious. The nightnight was filled with laughter and singing. It was one of the best moments in this Sulawesi ad-venture.

The night was filled with laughter and singing. It was one of the best moments in this Sulawesi adventure

..merupakan salah satu saat-saat yang terbaik sepanjang pet-ualangan di Sulawesi“”

Perjalanan dilanjutkan kembali ke dalam hutan; kali ini jalur bervariasi naik dan turun menyusuri punggung bukit. Kira-kira sejam di dalam hutan kami beristirahat dan menyantap bekal makan siang di tengah hutan. Setelah beberapa jam berjalan menyusuri hutan, kami tiba di persim-pangan Tabah, titik tertinggi di perjalanan ini: 20002000 meter di atas permukaan laut. Kami bisa saja melanjutkan perjalanan ke shelter kedua yang masih cukup jauh, tapi kami sadar bahwa akan jadi terlalu malam bila kami memaksa melanjutkan perjalanan dengan kecepatan kami sekarang.

Jadi sebelum matahari tenggelam, kami memilih untuk bermalam di shelter pertama; hanya 10 menit dari persimpangan Tabah. Shelternya sendiri sangatlah sederhana; lebih tepat disebut gubuk yang terbuat dari batang kayu dan kain terpal. Shelter ini sengaja dibuat oleh para warga yang sering menggunakan jalur Besoa ke BadaBada. Masalahnya, ukuran shelter ini terlalu kecil untuk rombongan kami yang berjumlah 9 orang. Maka para porter langsung bekerja untuk menambah kapasitas shelter.

Setelah kurang dari 2 jam, shelter tersebut sele-sai diperbaharui. Sekarang kami bisa memberes-kan barang-barang dan beristirahat di dalam. Di dekat shelter juga ada mata air yang bisa digu-nakan untuk membersihkan diri dan untuk minum. Hari mulai malam dan sangat dingin; kami lalu memasak mie instan untuk makan malam. Malam itu kami habiskan dengan men-gobrol, tertawa bersama dan menyanyi. Itu meru-pakan salah satu saat-saat terbaik sepanjang petualangan di Sulawesi

61 62

Page 36: Sulawesi A Graphic Journal

pagi yang dingin di dalam hutan dikelilingi kabut tebal. Saat mengira hari ini akan menjadihari yang mendung kelabu, tiba-tiba pancaran sinar matahari masuk menembus hutan.Menciptakan pemandangan lingkaran pelangi yang menakjubkan. Magis!

Page 37: Sulawesi A Graphic Journal

65 66

We woke up in the morning and it was crazy cold. It’s been raining all night, and our modest shel-ter couldn’t provide enough protection. The tarpaulin roofs were leaking here and there but there were no major problems. Suddenly in that gloomy and foggy morning, the sun shone through the thick fog and forest. I wasted no time to grab my camera and tripod, and started shooting. Sadly, the magical moment only lasted about 3 minutes, and the ray of light was gone.

Time to continue our journey. We started going uphill to go back to the path and it was so much different from yesterday’s trekking. This time it’s very cold and the thick fog refused to leave us alone. But it was a great experience though, trekking the path with such an amazing surroundings. The vegetation was weird and unique, sometimes it felt like walking through a Lilliput garden, or some kind of a fairy tale woods. It felt like I was in some kind of an adventure movie or some-thing.

What surprised me is that today’s trekking was much harder than yesterday. Even though there was no more long hard climbing today, the path was more dangerous and difficult. There were cliffs everywhere with very narrow path. We had to be very careful before taking any step for-ward because one mistake could spell doom. Being afraid of the heights just made things worse for me. It was a constant personal mind battle and thankfully I made it without any major difficul-ties or accidents.

After 4 hours of trekking in the forest, we arrived at a wide-open prairie. The view was just amaz-ing; we could see the entire Bada valley right in front of us. After half an hour we had a rest in the prairie, then continued to descend the hill. More than 2 hours later we arrived at the end of the path, crossing a small waterfall. We finally made it after 2 days of trekking!

*Tips: Having enough drinking water is always a problem, because you’ll need to consume more water than you usually do. I get a helpful tip from Bang Jufe: mix oralit or an Oral Rehydration So-lution (ORS) into our drinking canteen. It tastes weird, but it is effective to prevent dehydration.

There were several villages in the valley of Bada, it’s not that different from Besoa region. The vil-lages here seem to be bigger and more crowded than Besoa, but the main difference is that there is a big river here in Bada valley, and to reach Ningsih homestay, we need to cross the Lariang river. After walking for maybe half an hour, we reached the bridge.

Lariang river is quite big with maybe 100 meters wide, but what really made us worried was the poor condition of the bridge. The old hanging bridge with steel frame and wires seem strong enough, but the problem is the bridge’s wooden floor. I had no idea how long since they last re-paired the bridge, but it is really dangerous. The woods are old and frail with bits of woods miss-ing everywhere. The unbelievable thing is the locals cross this bridge riding a motorcycle! I just hoped that there wouldn’t be any accidents here. It’s quite a high fall to the river if something goes wrong and it made me really nervous.

After crossing the bridge, we arrived at the homestay. I wasted no time to take a bath, the water was freezing but I just didn’t care. After 2 days of trekking, all you ever needed was a good, clean bath. It felt real good.

Bada valley

second day trekkingWe woke up in the morning and it was crazy cold. It’s been raining all night, and our modest shel-ter couldn’t provide enough protection. The tarpaulin roofs were leaking here and there but there were no major problems. Suddenly in that gloomy and foggy morning, the sun shone through the thick fog and forest. I wasted no time to grab my camera and tripod, and started shooting. Sadly, the magical moment only lasted about 3 minutes, and the ray of light was gone.

Page 38: Sulawesi A Graphic Journal

67 68

Kami bangun di pagi hari yang dingin membeku. Malam sebelumnya sempat hujan walaupun tidak deras, dan shelter sederhana ini tidak dapat memberikan perlindungan yang cukup; alhasil atap terpal bocor disana-sini. Tapi untungnya tidak terlalu parah dan tak jadi masalah besar. Di pagi yang dingin menusuk dan berkabut itu, tiba-tiba mentari pagi muncul dibalik pepohonan. Pemandangan yang luar biasa; segera saya siapkan tripod dan kamera dan mulai mengambil foto. Momen magis ini hanya berlangsung selama 3 menit dan akhirnya cahaya mentari itu kembali hilang ditelan kabut tebal dan pepohonan.

WWaktunya untuk memulai trekking di hari kedua. Kami mulai mendaki untuk kembali menuju jalur yang kemarin kami lewati. Kali ini cuaca sangat dingin dan kabut tebal menjadi pemandangan yang biasa. Trekking kali ini lebih menarik karena vegetasinya yang unik dan berbeda-beda; terkadang saya merasa sedang ada di negeri liliput atau hutan di dongeng-dongeng. Ini seperti berada di dalam film petualangan!

TTernyata trekking hari ini lebih sulit daripada kemarin, padahal tidak ada lagi pendakian panjang. Ini karena jalurnya lebih berbahaya dan sulit; banyak jalur yang sangat sempit melewati jurang yang cukup tinggi. Kami harus sangat berhati-hati sebelum mengambil langkah, karena kesalahan kecil saja dapat berujung maut di jalur ini. Untuk orang yang takut ketinggian seperti saya, jalur ini men-jadi tantangan yang cukup berat.

Setelah sekitar 4 jam trekking menembus hutan, kami tiba di sebuah bukit padang rumput seperti padang Pobolongo kemarin. Dari bukit itu kami bisa melihat dengan jelas seluruh pemandangan lembah Bada dari atas. Setengah jam kami beristirahat di bawah pohon besar sambil menikmati pe-mandangan, kemudian kami melanjutkan perjalanan memasuki hutan dan menuruni bukit. 2 jam ke-mudian akhirnya kami tiba di lembah Bada setelah 2 hari trekking!

*Tips: Persediaan air minum bersih akan selalu menjadi masalah karena tubuh membutuhkan banyak mineral, dan anda akan sering merasa haus. Untuk menghemat air, Bang Jufe menyarankan kami untuk mencampur oralit ke dalam botol minuman. Mungkin rasanya menjadi aneh, tapi sangat efektif untuk menjaga tubuh kehilangan mineral dan mencegah haus.

Ada beberapa desa di lembah Bada, seperti juga lembah Besoa. Desa di sini sepertinya lebih luas dan padat daripada di Besoa, tapi perbedaan utama adalah sungai besar yang membelah Bada. Untuk mencapai penginapan Ningsih, kami harus berjalan selama kurang lebih setengah jam sejak keluar dari hutan.

SungaiSungai Lariang ternyata cukup besar; mungkin lebarnya mencapai 100 meter. Saat kami menye-berang, kami khawatir akan kondisi jembatan gantung yang harus kami kami gunakan. Kondisi jem-batan gantung ini sangat mengenaskan; kabel dan tiang pancangnya sepertinya cukup kuat dan ter-buat dari baja, tapi lantai jembatan yang terbuat dari kayu rusak dan bolong dimana-mana. Ada bagian yang benar-benar dalam kondisi darurat dengan hanya selembar kayu menopang badan kami. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, para penduduk menyeberangi jembatan ini dengan sepeda motor mereka. Ini sangat berbahaya dan mudah-mudahan saja tidak terjadi kecelakaan di sini, karena jembatan ini cukup tinggi dan arus sungai cukup deras.

Setelah menyeberangi jembatan, kami tiba di penginapan. Tanpa pikir panjang saya langsung mandi; Cuaca dan airnya sangat dingin, tapi saya tidak peduli. Setelah 2 hari trekking, yang kami perlukan adalah mandi yang segar.

lembah Bada

hari kedua trekkingKami bangun di pagi hari yang dingin membeku. Malam sebelumnya sempat hujan walaupun tidak deras, dan shelter sederhana ini tidak dapat memberikan perlindungan yang cukup; alhasil atap terpal bocor disana-sini. Tapi untungnya tidak terlalu parah dan tak jadi masalah besar. Di pagi yang dingin menusuk dan berkabut itu, tiba-tiba mentari pagi muncul dibalik pepohonan. Pemandangan yang luar biasa; segera saya siapkan tripod dan kamera dan mulai mengambil foto. Momen magis ini hanya berlangsung selama 3 menit dan akhirnya cahaya mentari itu kembali hilang ditelan kabut tebal dan pepohonan.

W

Page 39: Sulawesi A Graphic Journal

view of Bada valley from the hill pemandangan lembah Bada dari atas bukit

Page 40: Sulawesi A Graphic Journal

crossing the fragile bridge to Bomba villagemenyebrangi jembatan yang ringkih menuju desa Bomba

Page 41: Sulawesi A Graphic Journal

megalit raksasa Palindo

danauPoso

The Palindo megalith is the largest one in this area, reaching 4 meters height. And still, nobody knows the origin or history of these ancient stones. The next destination is Ampana. Passing the mountains, lake Poso and shorelines of Tomini bay.

Megalit Palindo adalah megalit yang terbesar di daerah ini, tingginya men-capai 4 meter. Tetapi tidak ada yang tahu asal-usul atau sejarahnya.Perjalanan berikutnya adalah dari Bada ke Ampana. Melewati gunung-gunung, danau Poso dan pesisir teluk Tomini

Arriving at Bada valley after 2 days of trekking. The amazing landscape was a medicine for our exhausted bodies.Tiba di lembah Bada setelah 2 hari trekking. Pemandangan yang menakjub-kan di tempat ini adalah obat bagi

tubuh kami yang lelah.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .

BADAt h e v a l l e y o f

g i a n tM EGALITH

73 74

Page 42: Sulawesi A Graphic Journal

75 76

giant megalith Palindomegalit raksasa Palindo

Our time in the mountain was over. I put aside my trekking shoes, jacket, sleeping bag, and mat-tress. Now it’s time to wear my beach shorts and sunglasses, because our next destination is Ampana city, a harbor city ±250km from Bada valley. This would be a really long journey; the driver of our rental car said maybe we would get to Ampana after 12 hours of road trip. But first, we would visit another megalith spot here in Bada valley: The Palindo/Sepe megalith, the biggest megalith found in this region.

Although the road condition is poor, the megalith, fortunately, is accessible by car. The giant megalith is probably 4 meters tall and like the other megaliths on Besoa and Bada, this one is also positioned in a picturesque prairie with mountain range and wide-open fields surrounding it. This was the place where I realized that it’s already one week since I left Bandung, my hometown in West Java. I had met lots of different people and incredible places and scenery. It’s been such a bliss and one could only be grateful of all this opportunity and luck.

NNow it’s time to go northeast to Ampana city. This was gonna be a very long road trip; first we had to pass through the mountain from Bada to Poso Lake. After the lake, we had to reach the city of Poso and followed the road along the shoreline until we reached Ampana. The hardest, and the longest part of our journey was the first stage when we had to pass through the mountain.

TheThe road was in absolutely terrible and dangerous condition. Or I could just say that there was no road, just a pathway of soil and dirt wide enough for cars and trucks. We spent maybe 4 hours just to travel 30 or 40km. The driver told us that if it’s in raining season, he had to chain the tires because of the unforgiving condition. Now we understand why the rate of the rental car was so expensive from Bada to Ampana; 1 million Rupiahs. Mind you, it was already a bargain for that price.

FinalFinally, we reached Tentena, a small city on the edge of Poso Lake, the second largest lake in Indo-nesia. The water is very clear and the scenery is amazing as always. We stopped for lunch there and continued to the north. Fortunately, the ±50km road from Tentena to Poso city is smooth and well maintained. As we were getting closer to the shore, the scenery changed from mountain-ous and thick forest to wide open space with coconut trees everywhere. We followed the road to the city of Poso, then we turned to the East before we reached the city and followed the road to Ampana.

It was almost dark and raining hard when we reached the shoreline. It’s too bad, since I hoped to see the sunset on the beach along the road. It’s still more than 100km to Ampana and we just had to be patient because it’s boring that we couldn’t enjoy the night scenery. We stopped briefly in the middle of nowhere and suddenly I realized that the sky is full of stars. There’s no moon or clouds, but it was so bright you’d feel like you could touch the sky.

WWe arrived at Ampana later that night. It turned out that Ampana was one busy little city. It’s quite crowded but lively. After having dinner, we took a rest at the Marina cottage. Even in the city, the stars were still visible, especially in the middle of the night. Therefore, I took some night photos of star trails and the sea beyond. It was quite a lovely night in Ampana.

DAY 7&8: JOURNEY TO AMPANA

Page 43: Sulawesi A Graphic Journal

77 78

giant megalith Palindomegalit raksasa Palindo

Selesai sudah perjalanan kami di pegunungan Lore Lindu. Sepatu trekking, jaket, kantung tidur dan matras saya simpan ke dalam ransel. Sekarang saatnya memakai celana pantai dan kacamata hitam; karena tujuan kami berikutnya adalah Ampana, kota pelabuhan sejauh ±250km dari lembah Bada. Ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang; sopir mobil sewaan kami mengatakan bahwa mung-kin kita akan mencapai Ampana setelah 12 jam perjalanan. Tapi sebelum memulai perjalanan ke Ampana, kami akan mengunjungi situs megalit di lembah Bada: Megalit Palindo/Sepe, megalit paling besar yang ditemukan di wilayah ini.

Untungnya lokasi megalit ini dapat dijangkau dengan mobil walaupun kondisi jalannya rusak. Megalit raksasa ini ini kira-kira 4 meter tingginya. Seperti situs megalit yang kami jumpai di Besoa, situs ini juga mempunyai pemandangan yang sangat indah, di tengah padang rumput yang sangat luas dan dikelilingi oleh pegunungan. Tak terasa sudah satu minggu saya meninggalkan kota Bandung, kampung halaman saya di Jawa Barat. Saya bertemu dengan begitu banyak orang dan tempat-tempat yang sangat luar biasa indah. Semua ini merupakan suatu kebahagiaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata dan saya hanya bisa bersyukur.

Sekarang saatnya memulai perjalanan ke kota Ampana. Pertama-tama kami harus melewati pegunun-gan untuk mencapai danau Poso. Dari danau Poso terus ke arah kota Poso dan kemudian mengikuti jalan di pinggir laut sampai akhirnya sampai di Ampana. Bagian paling lama dan sulit di perjalanan ini adalah bagian pertama perjalanan, yaitu menembus gunung untuk mencapai danau Poso. Kondisi jalanan benar-benar hancur, bahkan bisa dikatakan di beberapa bagian tidak ada jalan, hanya jalur tanah dan lumpur yang dapat dilalui kendaraan roda empat. Kami menghabiskan kira-kira 4 jam hanya untuk menempuh 30 atau 40 kilometer. Sopir kami bahkan bercerita bahwa di saat musim hujanhujan, ban mobil harus ditambah rantai karena sulitnya medan. Sekarang kami mengerti kenapa harga rental mobil dari Bada ke Ampana mencapai satu juta rupiah; dan itupun harus ditawar.

Kami akhirnya sampai di Tentena, kota kecil di pinggir danau Poso. Danau Poso adalah danau terbesar ke-2 di Indonesia. Danau ini sangat jernih dan bersih. Pemandangannya juga sangat indah. Kami ber-henti untuk makan siang disana dan kemudian melanjutkan perjalanan kearah utara. Untungnya kondisi jalan ke kota Poso sejauh ±50 kilometer sangatlah mulus. Semakin dekat ke laut, pemandan-gannya juga berubah dari pegunungan dan hutan menjadi terbuka dengan banyak pohon kelapa dimana-mana. Di pinggiran kota Poso, kami berbelok ke arah Timur dan berjalan menelusuri garis pantai menuju Ampana.

Hari sudah gelap dan hujan deras turun membasahi jalanan; saying sekali, kami jadi tidak dapat me-nikmati pemandangan pinggir pantai dan matahari tenggelam. Ampana masih 100 kilometer lagi dan kami harus bersabar, karena tidak ada lagi pemandangan yang bisa dilihat dan kami menjadi bosan dan letih. Sempat berhenti sebentar untuk ke toilet, kami melihat langit yang penuh dengan bintang. Malam itu tidak ada bulan atau awan dan jutaan bintang di langit terasa begitu dekat.

Malam sudah larut dan akhirnya kami tiba di Ampana. Kota ini ternyata cukup ramai dan sibuk, tapi tetap menyenangkan. Setelah makan malam, kami langsung istirahat di Marina cottage, penginapan di pinggir pantai Ampana. Ternyata dari dalam kota pun pemandangan langit dengan jutaan bintang masih dapat dinikmati, terutama saat menjelang tengah malam. Saya menyempatkan diri untuk men-gambil foto jejak bintang di pantai Ampana dan teluk Tomini. Ini adalah malam yang sangat meny-enangkan di Ampana.

HARI 7&8: PERJALANAN KE AMPANA

Page 44: Sulawesi A Graphic Journal

the enchanting lake Poso view pemandangan danau Poso yang mempesona

Page 45: Sulawesi A Graphic Journal

jejak bintang di langit malam kota Ampana

Page 46: Sulawesi A Graphic Journal

p a n t a i K u l i n g k i n a r i y a n g m e n a k j u b k a n ! !

pantai Ampana di pagi hari

Kulingkinari is a small village on the islands of Togean. Although having only a brief stop, the beauty and friendliness of this place will last

forever in one’s memory.KKulingkinari adalah sebuah desa kecil di kepulauan Togean. Meskipun hanya singgah sebentar, keindahan dan keramahan tempat ini akan ter-ukir di dalam kenangan selamanya.

Kulingkinarilovely

. . . . . . . . . . . . . . . . . .t h e g a t e w a y t o

Togean islands

AMPANACITY

Ampana, this busy little town was a perfect place to spend the night before going to Togean islands. The unique stone beach was crystal clear and the view was en-

chanting.Ampana, kota kecil ini adalah tempat yang sempurna untuk menghabiskan malam se-belum pergi ke pulau Togean. Pantainya unik dan berbatu, airnya sangat jernih dan pe-

mandangannya mempesona

Page 47: Sulawesi A Graphic Journal

panoramic photography of Kulingkinari foto panorama Kulingkinari

“”

airnya sangat jernih sampai-sampai koral dan pasir putih di dasar air bisa terlihat

Hari ini kami akan menyeberangi lautan menuju kepulauan Togean. Tujuan kami adalah Poyalisa Cot-tage. Untuk menuju kesana, kami harus menyeberangi teluk Tomini dari Ampana. Sebenarnya tidak ada jadwal ferry atau perahu yang berangkat ke Togean pada hari Jumat, tapi kami beruntung karena ada perahu yang berangkat ke Togean di dekat Marina cottage.

Jarak dari Ampana ke Togean sekitar 30 kilometer dan ditempuh selama kira-kira 2 jam. Kami dibuat terpana akan keindahan tempat ini sepanjang perjalanan di atas perahu. Togean adalah kepulauan unik yang membentang sejauh ±90 kilometer berisi pulau-pulau batu koral. Kepulauan ini berbeda jenisnya dengan pulau tropis seperti Maladewa, yang mempunyai laguna-laguna yang sangat luas dengan bentangan pasir putih. Togean mungkin lebih mirip pulau Phi Phi di Thailand dengan batu koral raksasa yang seakan tumbuh berdiri di atas laut.

PPerahu berhenti sejenak untuk menurunkan penumpang dan barang di desa Kulingkinari. Anak-anak kecil bersemangat menyambut kami di dermaga. Mereka berloncatan ke dalam laut dan berenang mencari perhatian; mungkin mereka senang melihat kami membawa kamera dan ingin difoto. Desa Kulingkinari ini cukup kecil, tapi mempunyai pantai laguna berpasir putih yang sangat luas. Airnya sangat jernih sampai-sampai koral dan pasir putih di dasar air bisa terlihat. Sayang sekali kami hanya berhenti sejenak di tempat yang sangat indah ini.

TidakTidak lama setelah meninggalkan Kulingkinari, kami tiba di Poyalisa. Malam ini akan kami habiskan di pulau kecil ini.

HARI 8&9: AMPANA KE TOGEAN

“”

The water is so clear you can see the corals and white sand in the depth

Today we are going to cross the sea to Togean islands. Our destination is Poyalisa cottage. To go there, we had to cross the Tomini bay from Ampana. There were no usual-scheduled boats or ferry that traveled to Togean on Friday but we got lucky because we found a boat near Marina cottage that was going to Togean.

ItIt took us about ±30km and more than 2 hours from Ampana to Togean. We were amazed by how beautiful this place was. Togean is one unique archipelago that stretches over 90km with coral-rock islands. The islands here are quite different from other tropical paradise islands like the Mal-dives, with its massive lagoons and vast white sandy beach. Togean is more like Phi Phi Island in Thailand with gigantic coral rocks standing tall above the sea.

The boat stopped to drop off passengers and goods at Kulingkinari village. The enthusiastic and happy children of this village greeted us their warm welcome. They jumped into the clear water and swam around repeatedly. Maybe they’re just happy to see us with our cameras and looked forward to be photographed. Kulingkinari is a small village with this really big lagoon in front of it. The water is so clear you can see the corals and white sand in the depth. Too bad we couldn’t spend more time in this divine village.

NotNot long after we left Kulingkinari village, we arrived at the Poyalisa cottage. We spent the night in this small island.

DAY 8&9: AMPANA TO TOGEAN

85 86

Page 48: Sulawesi A Graphic Journal

kulingkinari

poyalisa bomba

palada

wakai

benteng

katupat

paotu

malenge

popoli

dolong

kanari

liang

biga

PULAU BATUDAKA

PULAU TOGEAN

PULAUTALATAKOH

PULAU KADIDIRI

PULAU MALENGE

PULAU WALEA KODI

PULAU WALEA BAHI

PULAU UNA UNA

8 km

Nutara

TOGEAN ISLANDSKEPULAUAN TOGEAN

C e n t r a l S u l a w e s i

j o u r n e y r o u t er u t e p e r j a l a n a nampana - kulingkinari - poyalisa - bomba - wakai - kadidiri - marisa

Page 49: Sulawesi A Graphic Journal

Ampana waterscape in the morningpemandangan pesisir Ampana di pagi hari

Page 50: Sulawesi A Graphic Journal

Kulingkinari kids and beach anak-anak dan pantai Kulingkinari

Togean traditional fishermannelayan tradisional kepulauan Togean

91 92

Page 51: Sulawesi A Graphic Journal

pemandangan desa Bomba

sudut untuk bersantai

kamar peng

inapanlezatnya makan malam!

batu karang

elang mengitari pulau

restoran poyalisa

Poyalisa,probablythehightlightofthisjourney.Atthecenteroftheislandisalagoonwithcrystal-clearwaterandcolorfulunderwaterlife.Theviewoftheoceanfromhereisjustincredible.Whatanunforgeableexperience.Poyalisa, daya tarik utama dari perjalanan ini. Lagunanya luas dengan air yang jernih dan kehidupan bawah air berwarna-warni. Pemandangan laut dari pulau ini luar biasa. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan.

POYALISA ISLANDa quaint little paradise

93 94

Page 52: Sulawesi A Graphic Journal

the beautiful Poyalisa island and lagoon pulau dan laguna Poyalisa yang indah

Poyalisa. How could one describe this island? There are no words to describe this little paradise on earth. Even the photos aren’t enough to tell you how magnificent this place is. The only way to understand is that you must go there and experience it by yourself.

ActualActually, Poyalisa is the cottage’s name, while the original island name is Poya. There is a little bit of history in here; the owner of Poyalisa cottage, Mr. Ismail, used to have a lodge on the nearby Bomba village on the mainland, but most of the tourists who stayed in the lodge prefer to spend their time on Poya island. One particular German girl fell in love with this island and spent every day on the island. She asked Mr. Ismail to just build a cottage there and he did. Her name is Lisa, and thus it’s called Poyalisa cottage.

TheThe island is quite small, maybe less than one hectare. It consists of one big island and a small one connected by a short white sandy beach. Together they form a crescent shape or the letter ‘U’. All the cottages are built on the big island and the restaurant and office on the small island. The inside of the crescent shape island is a shallow lagoon full with healthy corals and fishes.

ItIt’s time for some snorkeling! The underwater of Poyalisa is stunning with various hard corals sur-rounding the island and lots of small fish. The corals are healthy and there are no currents here. Everyone can swim circling the small island with ease. I even spotted a sea snake! Probably a banded sea snake (with its black and white stripes), but they’re very poisonous, so I kept my dis-tance.

*A note about getting underwater: You have to be careful when going underwater. Corals and un-derwater lives are fragile and they need years to recover if damaged. There are dangerous (mostly poisonous) creatures like the obviously dangerous sea snake or the less obvious crown-of-thorns starfish and jellyfish. And don’t forget that some corals do sting (fire corals). To keep it short: Never touch anything when you’re snorkeling or diving! Ever!

Poyalisa. Tidak ada kata yang tepat untuk melukiskan keindahan surgawi pulau ini. Foto-foto juga tidak cukup menggambarkan keindahan sesungguhnya dari tempat yang sangat menakjubkan ini. Satu-satunya cara untuk mengerti adalah dengan datang kesini dan menikmatinya sendiri.

SebenaSebenarnya Poyalisa adalah nama penginapannya, sedangkan nama asli pulau ini adalah Poya. Dahulu, pemilik Poyalisa, Pak Ismail, mempunyai penginapan di desa Bomba, hanya sekitar 5 menit dari pulau Poya. Tapi banyak turis yang menginap lebih memilih untuk bersantai di pulau Poya. Seorang perempuan Jerman benar-benar jatuh cinta kepada pulau Poya, setiap hari dia selalu menda-yung perahu sendirian ke pulau itu. Dia meminta Pak Ismail untuk membuat penginapan di pulau Poya, dan akhirnya Pak Ismail benar-benar membuat penginapan di sana. Nama perempuan Jerman itu adalah Lisa, dan akhirnya penginapan ini dinamakan Poyalisa.

Pulau ini cukup kecil, mungkin luasnya kurang dari satu hektar. Terbagi atas satu pulau besar dan satu pulau yang lebih kecil yang dihubungkan oleh pantai pasir putih. Bentuk keseluruhannya menyerupai bulan sabit, atau huruf ‘U’. Semua kamar/pondok berada di pulau besar dan restoran berada di pulau yang lebih kecil. Bagian dalam Poyalisa adalah sebuah laguna dangkal penuh dengan koral dan ikan-ikan.

Saatnya untuk snorkeling! Dunia bawah air Poyalisa sangatlah indah; ada bermacam jenis koral keras yang mengelilingi pulau ini dan banyak sekali ikan-ikan kecil. Keadaan koralnya cukup sehat dan tidak terdapat arus di perairan ini. Semua orang dapat berenang atau snorkeling berkeliling pulau kecil ini dengan mudah. Saya bahkan melihat seekor ular laut! Mungkin ular laut belang (dengan corak hitam-putihnya), tapi racun mereka sangatlah mematikan, jadi jangan berenang terlalu dekat.

*Mengenai*Mengenai snorkeling: Berhati-hatilah saat masuk ke dalam air. Koral dan kehidupan bawah laut san-gatlah rapuh dan membutuhkan bertahun-tahun untuk tumbuh bila terjadi kerusakan. Ada juga makh-luk laut yang berbahaya (banyak yang beracun) seperti ular laut atau ubur-ubur. Selain binatang, ada pula koral api yang menyengat. Intinya adalah: Jangan pernah menyentuh apapun di dalam air saat snorkeling atau diving!

HARI 9&10: POYALISADAY 9&10: POYALISA

95 96

Page 53: Sulawesi A Graphic Journal

97 98

It’s nearly sundown, I sat down on top of the rock to watch the sunset. It was such a remarkable view as I watched the sun going down in this picturesque waterscape. Night had come and we were ready for dinner. All the guests sat down in the restaurant together as the foods were being delivered to our table. Tonight’s menu is grilled fish; all of them are traditionally fished in the af-ternoon, so it is really fresh and sweet. The unique thing is, there were almost no boundaries be-tween the guests and the employees. It’s like in a big happy family, even though we came from dif-ferent countries. When we were here, there were Italians, Singaporeans, Taiwanese, Chinese,French, Germans and people from other countries. We spent the night chatting and joking around with one another. It was really fun.

We are told that even though this place is secluded, foreign tourists never stop coming here. It seems that this place is very popular among backpackers, and ironically, local Indonesian tourists rarely visit this place. This is the same problem with other tourist destinations we visited in Cen-tral Sulawesi; there are no local Indonesian tourists. Maybe it’s because there are no tourism pro-motion or the lacks of basic things like electricity, clean water, information access and transporta-tion. It can also because it’s cheaper to go to other countries, like Singapore or Hong Kong. Or we are simply just ignorant. I don’t know

I was drowning in my own thoughts as I lay back on the beach in front of the lagoon, facing the night sky full of stars. Then I saw a shooting star, two shooting stars, three, four, five, and eight in total just in one night! I have only seen shoot-ing stars maybe just two times in my whole life, but tonight in this tiny island, I saw 8 shooting stars. I just can’t believe that I’m actually here, in the middle of nowhere, in one of the most beautiful places I have ever been.

tonight in this tiny island, I saw 8 shooting stars“ ”Anyway, the bad news was that the cottage was full-booked. Two other tourists even had to sleep in the employee’s room and the four of us had to sleep on the restaurant’s floor. Fortunately, we were prepared for this kind of situation with our camping mattress and sleeping bag. I personally didn’t use a sleeping bag and just wrap myself in my sarongmy sarong. It was comfortable enough.

Page 54: Sulawesi A Graphic Journal

99 100

Sudah sore hari dan saya duduk di atas batu karang untuk melihat keindahan matahari tenggelam di tempat yang luar biasa ini. Benar-benar indah dan tak terlupakan. Saat malam hari, kami dan seluruh tamu Poyalisa duduk bersama di restoran menunggu makan malam yang disajikan di meja untuk dis-antap bersama-sama. Menu hari ini adalah ikan bakar; ikan segar yang baru saja ditangkap sore ini secara tradisional. Benar-benar manis dan lezat. Suasana kekeluargaan antara para tamu dan pekerja Poyalisa juga merupakan salah satu hal yang unik di sini. Suasana sangat akrab seperti sebuah kelu-arga besar, walaupun tamu-tamu ini berasal dari negara yang berbeda seperti Italia, Singapura, Taiwan, Cina, Prancis, Jerman, dan lainnya. Kami menghabiskan malam dengan mengobrol dan ber-canda bersama-sama. Malam yang sangat menyenangkan.

Walaupun tempat ini sangat terpencil, tapi turis mancanegara tidak pernah berhenti datang ke pulau ini. Nampaknya Poyalisa cukup populer, terutama bagi para backpacker. Tapi ironis, karena turis do-mestik dari Indonesia jarang sekali datang ke sini. Ini masalah yang selalu kami temui sepanjang per-jalanan kami di Sulawesi; ketiadaan turis lokal. Mungkin karena tidak ada promosi. Mungkin karena fasilitas seperti listrik, air dan transportasi kurang. Mungkin karena lebih murah dan mudah pergi ke luar negeri seperti ke Singapura atau Hong Kong. Mungkin karena kita, orang Indonesia tidak peduli. Saya tidak tahu.

Banyak pikiran dan pertanyaan di kepala saat saya berbaring di tepi pantai, memandang langit malam yang dipenuhi jutaan bintang yang terang. Lalu saya melihat satu bintang jatuh, dua bintang jatuh, tiga, empat, lima, dan total delapan bintang jatuh hanya dalam satu malam! Seumur hidup saya hanya melihat sekali-dua kali saja bintang jatuh, tapi malam ini saya melihat delapan bintang jatuh! Saya hampir tak percaya bahwa saya benar-benar berada di sini, di salah satu tempat paling indah yang pernah saya kunjungi.

KabarKabar buruknya, kami tidak mendapat kamar karena penuh. Dua turis lain juga bernasib sama dan harus tidur di kamar karyawan. Kami akhirnya tidur di lantai restoran; untungnya kami sudah siap dengan situasi seperti ini. Matras dan kantong tidur pun dikeluarkan. Saya sendiri hanya mengandal-kan matras untuk alas tidur tanpa kantong tidur. Sarung sudah sangat cukup membuat saya tidur nyaman dan pulas.

Seumur hidup, saya hanya melihat sekali-dua kali saja bintang jatuh, tapi malam ini saya meli-hat 8 bintang jatuh“

Page 55: Sulawesi A Graphic Journal

jejak bintang di langit malam Poyalisa

Page 56: Sulawesi A Graphic Journal

orang suku Bajo

feri di Wakai

pulau-pulau batu karang yang unik

A 3-hour-trip from Poyalisa to Kadidiri island using a small fisherman boat. A lovely short trip with amazing scenery. There are countless small, uninhabited islands with beautiful beaches and lagoons. There are also the Bajos, the legendary sea gypsies.Perjalanan selama 3 jam dari Poyalisa ke pulau Kadidiri menggunakan perahu nelayan kecil merupakan sebuah perjalanan singkat yang menyenangkan dengan pemandangan yang memukau. Ada banyak sekali pulau kecil tak berpenghuni dengan pantai yang indah. Ada juga orang-orang Bajo, gipsi laut yang legendaris.

TOGEAN WATERSa journey along the blue sky and the calm sea of Togean

103 104

Page 57: Sulawesi A Graphic Journal

It was still morning in Poyalisa when we prepared to go to Kadidiri island, about ±30km from Poy-alisa and ±3 hours journey with a small fishing boat. There were 4 or 5 eagles (probably red-backed sea eagles) circling above the island, such wonderful scenery for a farewell.

First stop was the Bomba village, the neighboring village just 5 minutes from Poyalisa. We went there to do some brisk walking to see a bat cave. Yes, a real bat cave with hundreds of bats cir-cling inside. It smelled funny and they made frightening noises. Next destination is Wakai, a small city just before Kadidiri which would be a long journey; fortunately, the weather was good, just perfect to enjoy this remarkable archipelago.

We traveled along the shoreline of Togean, which is an amazing experience. There are so many small-uninhabited islands, beautiful beaches, and lagoons. The whole place is so gorgeous and un-spoiled; it’s the definition of tropical paradise. It was interesting when we passed several Bajo (Bajau) villages on our way to Wakai. The Bajos are indigenous people of the sea, they are commonly known as ‘sea gypsies’. They were originally from the South Philippines; spread to some parts of Malaysia and Indonesia, all the way to the Timor Sea just before Australia. The traditional Bajos live their lives on their boat in the open seas, and rarely set their foot on land. The Bajos on Togean are already settled on land, but the unique thing is, they never seem to part from water and the sea. Their houses stand on top of the water or reefs near the water. Even inland inside Wakai, they still build their house on a flood tidetide area. There are myths about the Bajos, saying they are able to breathe underwater and sail the oceans using traditional boat only. But one thing is for sure: They are the masters of seafaring. No doubt about that.

We arrived at Wakai just before the afternoon. There was a quite big dock for ferries from the cities of Gorontalo, Ampana and Pagimana. We took a rest and had lunch, but more importantly, we searched for information about how to go to Gorontalo in the next 3 days. It’s quite a bit tricky to understand the boat or ferry schedules here in Togean.

Some tips: Don’t ask only one person for information because sometimes their answers can be misleading. The best way is to find the officials in the government office or police station. I even had to call the ASDP Indonesia Ferry (The naval transportation service company) in Luwuk and Gorontalo just to get the correct schedule and ticket price.

After all the business in Wakai finished, we went to Kadidiri Island, just about 7km or half an hour using the boat from Wakai. It was already afternoon when we got there. We checked in at the Ka-didiri Paradise resort and enjoyed the sunset at the dock in front of the resort.

DAY 10: JOURNEY TO KADIDIRI

105 106

Page 58: Sulawesi A Graphic Journal

Pagi hari berikutnya kami bersiap-siap untuk pergi ke pulau Kadidiri, sekitar 30 kilometer dari Poy-alisa dan ±3 jam perjalanan dengan perahu ketinting kecil. Ada 4 atau 5 elang (mungkin elang bondol) berputar-putar di atas pulau. Pemandangan yang mengagumkan; mereka seperti melepas ke-pergian kami dari Poyalisa.

Pemberhentian pertama adalah desa Bomba, hanya 5 menit dari Poyalisa. Kami akan masuk ke dalam goa kelelawar di pinggir desa. Ya, goa yang dihuni ratusan kelelawar yang beterbangan di dalamnya. Baunya menyengat dan suara yang dibuat kelelawar-kelelawar ini cukup menakutkan. Tujuan selanjut-nya adalah Wakai, kota kecil sebelum pulau Kadidiri. Ini akan menjadi perjalanan yang cukup pan-jang; untungnya, cuacanya cerah dan sangat pas untuk menikmati indahnya kepulauan Togean.

Kami mengarungi pesisir Togean, yang merupakan pengalaman luar biasa. Ada banyak sekali pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, pantai-pantai yang indah, dan laguna yang kami lewati. Kepu-lauan Togean benar-benar memanjakan mata dan tak terjamah; inilah definisi surga tropis.

Kami melewati beberapa perkampungan suku Bajo (Bajau) dalam perjalanan menuju Wakai. Orang Bajo adalah orang laut, yang dikenal di mancanegara sebagai gipsi laut. Konon mereka berasal dari Filipina bagian selatan; menyebar ke beberapa wilayah Malaysia dan Indonesia, sampai sejauh laut Timor, dekat Australia. Orang Bajo asli hidup di atas kapal mereka, jarang sekali menyentuh daratan. Orang Bajo di Togean sudah menetap di daratan, tapi mereka tetap tinggal di dekat air; seperti mem-buat rumah di atas perairan dangkal atau batu karang di tepi laut. Bahkan di daratan seperti Wakai, mereka masih membangun rumah di daerah banjir. Ada banyak mitos mengenai suku Bajo; mereka bisabisa berjam-jam menyelam tanpa alat selam dan berlayar ke laut lepas sendirian dengan perahu tradisional. Tapi satu hal yang pasti: mereka adalah pelaut handal. Tidak diragukan lagi.

Kami tiba di Wakai menjelang sore hari. Wakai memiliki dermaga yang cukup besar untuk menam-pung feri dari kota Gorontalo, Ampana dan Pagimana. Kami makan sambil beristirahat sejenak di sini. Kami juga mencari informasi tentang jadwal keberangkatan ferry ke Gorontalo. Jadwal ferry dari atau ke Togean sendiri ternyata cukup rumit dan tidak pasti harinya. Saran saya, carilah informasi kepada orang-orang yang bisa kita temui. Jangan mengandalkan informasi hanya dari satu orang saja, karena kadang jawaban mereka dapat menyesatkan. Cara terbaik adalah mencari petugas di kantor yang bersangkutan atau pos polisi. Saya bahkan harus menelepon kantor ASDP di Luwuk dan Gorontalo untuk mendapatkan jaduntuk mendapatkan jadwal yang benar.

Setelah semua urusan di Wakai selesai, kami melanjutkan perjalanan ke pulau Kadidiri; hanya sekitar 7 kilometer atau setengah jam dari Wakai. Hari sudah sore saat kami tiba di Kadidiri. Setelah check-in di resor Kadidiri Paradise, kami bersantai menikmati matahari terbenam di dermaga resor

HARI 10: PERJALANAN KE KADIDIRI

107 108

Page 59: Sulawesi A Graphic Journal
Page 60: Sulawesi A Graphic Journal

uninhabited islands on Togeanpulau-pulau tak berpenghuni di Togean

Page 61: Sulawesi A Graphic Journal

. . . . . . . . . . . . . . . . . .t h e u l t i m a t eescape

KADIDIRIISLAND

This is Kadidiri island, surrounded by beau-tiful white sandy beaches and a vast ex-panse of corals, which are clearly visible during low tide. A perfect escape to get lost and forget all your troubles.

Inilah pulau Kadidiri, dikelilingi oleh pantai indah berpasir putih dan hamparan koral yang sangat luas, yang terlihat jelas saat air laut surut. Sebuah tempat yang sempurna untuk tersesat dan melupakan semua ma-

salah.

p a n t a i k a d i d i r i y a n g b e n i n g d a n a s r i

113 114

Page 62: Sulawesi A Graphic Journal

The beach of Kadidiri is just stunning! It’s a long stretch of white sandy beach with vast shallow water in front of it, full of coral reef. There is a long wooden dock in front of Paradise resort, a perfect place to enjoy the magnificent view of the island and the waterscapes. There are only 3 resorts in Kadidiri: Kadidiri Paradise, Black Marlin, and Pondok Lestari. The dive centers are only available at Kadidiri Paradise and Black Marlin resort.

TheThe biggest and the first resort here is Paradise Kadidiri. Built 14 years ago with only 2 simple bungalows and Mr. Gonza, the divemaster from Switzerland, founded the dive center. The great thing about the Paradise Kadidiri is the location; in addition to the white sandy beach in front of the resort, there is a vast, beautiful turquoise-colored lagoon in the backyard.

ThereThere are quite a lot of dive sites here in Togean, some of them are too far and so the cost is quite expensive. Today Dinda and I would dive in Batu Pancing & Dominick Rock dive sites, not far from Kadidiri Island. Farchan and Jufe didn’t dive because they didn’t have dive license. After the equipment had been checked and having pre-dive brief at the dive center, we went to the Batu Pancing dive site using a small speedboat modified for diving activities. The rental gears are good enough with plenty of options for different types of body size.

TheThe current was quite strong in this first dive, but it’s not a problem. The underwater life is healthy and rich. Mostly hard corals are scattered everywhere with one or two large soft corals. There are a lot of different fish, unfortunately, we didn’t encounter many large fish there, just a giant barracuda at the end of the dive that was too far away to be photographed.

AfterAfter the dive, we went back to the resort for lunch and some rest. Before the afternoon, we went to dive at Dominick Rock dive site. The coral and marine lives here is not that different from Batu Pancing, but the underwater view is really amazing. Dominick Rock is a long layered wall of gigantic reefs. It was a really good dive. Too bad we only got just one day of diving. They said that the best dive site here are the ones near Una Una Island or the shipwreck that’s really far from Kadidiri. So I can’t really give you a detailed or fair review for the dive sites in Togean.

DAY 11&12: KADIDIRI

Pantai Kadidiri benar-benar menakjubkan! Pantai berpasir putih terbentang luas, dengan laut dangkal penuh dengan koral di depannya. Ada sebuah dermaga kayu panjang di depan resor Paradise, tempat yang sangat pas untuk menikmati keindahan pulau dan lautan. Hanya terdapat 3 penginapan di Ka-didiri: Paradise, Black Marlin, dan Pondok Lestari. Dive center hanya tersedia di Paradise dan Black Marlin.

Resor terbesar dan sekaligus pertama dibangun adalah Paradise Kadidiri. Dibangun 14 tahun yang lalu, dengan 2 pondok sederhana dengan Mr. Gonza sebagai divemaster mendirikan dive center-nya. Yang menyenangkan dari Paradise adalah lokasinya; selain pantai pasir putih di depan resor, di be-lakang resor juga terdapat laguna berwarna hijau toska yang sangat indah.

Ada cukup banyak dive spot di Togean, tapi kebanyakan sangat jauh dan menyebabkan membeng-kaknya biaya. Hari ini saya dan Dinda akan menyelam di situs penyelaman Batu Pancing dan Domi-nick Rock, tidak jauh dari Kadidiri. Farchan dan Bang Jufe tidak bergabung karena mereka belum mempunyai dive license. Setelah memeriksa peralatan selam dan briefing pra-penyelaman, kami pergi ke situs Batu Pancing menggunakan speedboat kecil yang dimodifikasi untuk kegiatan scuba diving. Peralatan diving yang disewakan di sini cukup lengkap dengan banyak pilihan untuk berbagai ukuran tubuh.

Arus di dalam laut cukup kuat pada penyelaman pertama, tapi tak masalah. Kehidupan bawah laut-nya cukup sehat dan bervariasi. Sebagian besar terdiri atas koral keras yang tersebar di mana-mana dengan beberapa koral lunak yang besar. Ada banyak jenis ikan berbeda di sini, tapi sayangnya kami tidak menjumpai ikan-ikan besar; hanya satu barakuda besar di akhir penyelaman yang terlalu jauh jaraknya untuk difoto.

Setelah penyelaman pertama, kami kembali ke resor untuk makan siang dan istirahat. Sebelum sore hari kami kembali menyelam di situs selam Dominick Rock. Kehidupan bawah laut di sini tidak jauh berbeda dengan situs Batu Pancing, tapi pemandangannya sungguh luar biasa. Di sini kami bisa me-nyelam di antara dinding karang yang berlapis-lapis. Sayangnya, kami hanya punya waktu sehari saja untuk scuba diving. Padahal situs penyelaman yang benar-benar istimewa ada di pulau Una Una atau kapal karam yang jauh dari pulau Kadidiri. Jadi saya tidak bisa memberikan tinjauan yang lebih rinci mengenai pengalaman menyelam di Togean.

HARI 11&12: KADIDIRI

115 116

Page 63: Sulawesi A Graphic Journal

visible corals in Kadidiri beach batu koral di pantai Kadidiri

Page 64: Sulawesi A Graphic Journal

scuba diving in Togean menyelam di bawah laut Togean

Page 65: Sulawesi A Graphic Journal

panoramic photography of Kadidiri Paradise foto panorama Kadidiri Paradise

Sore ini kami check out dari Kadidiri Paradise dan pindah ke Pondok Lestari. Ini karena kami ingin merasakan tipe penginapan yang berbeda. Konon Pondok Lestari sangat populer di kalangan back-packer mancanegara. Pondok Lestari adalah penginapan yang termurah dan paling sederhana dari semua penginapan di Kadidiri. Tapi bukan berarti ini akan menjadi pengalaman yang buruk.

Justru sebaliknya, di tempat ini kita serasa di rumah sendiri. Semua orang di sini sangatlah ramah dan kami bahkan mengobrol dengan turis asing lainnya sampai tengah malam. Suasana ini mirip dengan suasana kekeluargaan di Poyalisa.

Pemiliknya adalah ibu Lestari, warga asli Togean. Beliau sangatlah baik dan perhatian kepada tamu-tamunya. Kamipun sangat berterima kasih kepada beliau karena telah banyak membantu perjalanan kami. Kami juga berteman dengan Elly, pemandu (sekaligus anak pantai) di Pondok Lestari. Kami mengobrol dengannya mengenai keaadaan di Togean; seperti pulau gunung berapi Una Una.

Masalah lain yang kami bahas masih sama dengan sebelumnya; dari semua wisatawan di pulau Ka-didiri, total hanya ada 6 atau 8 orang dari Indonesia. Hari ini bahkan hanya kami berempat, karena yang lain telah meninggalkan Kadidiri. Para turis asing yang kami ajak mengobrol mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu tempat terindah di dunia. Untuk penggemar scuba diving, negara kita adalah yang terbaik di dunia. Beberapa turis asing bahkan sudah berkali-kali datang dan menjelajahi Indonesia, lebih sering daripada orang Indonesia sendiri. Saya yakin, ini bukan masalah orang kita sangat miskin dan tidak mampu traveling. Toh, turis asing yang kami temui juga bukan orang kaya. BahkanBahkan kebanyakan dari mereka memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja; guru, tukang kayu atau penjaga toko. Tak terasa hampir tengah malam dan akhirnya kami kembali ke pondok masing-masing. Hari ini sangat menyenangkan dan saya tidak sabar menunggu esok hari.

Today we checked out from Kadidiri Paradise and switched to Pondok Lestari. This was because we wanted to experience a different kind of resorts, and people said that Pondok Lestari is very popular among backpackers. Lestari is the cheapest and modest of all the resorts here in Kadidiri. But it doesn’t mean it will be a bad experience.

On the contrary, this place feels just like home. Everybody here is friendly and we even chat with other tourists until midnight. I get the same friendly vibes like the last time we visited Poyalisa cottage.

TheThe owner of Pondok Lestari is Mrs. Lestari from Togean, very kind and caring; she really helped us a lot. We also became friends with Elly, the guide, he’s a local beach boy. We talked about a lot of things with them; like the fascinating volcano island of Una Una.

AnotherAnother issue we discussed was the classic one; of all the tourists here in Kadidiri, there are only 6 or 8 local Indonesian tourists. And today it’s just the 4 of us, since the others had left Kadidiri. The foreign tourists said that Indonesia is one of the best places on earth and definitely the best country for divers. Some of the tourists I met in this journey had already traveled across Indone-sia more than Indonesian did. I’m pretty sure that it’s not because we Indonesians are so poor we can’t afford travelling, and not all the foreigners here are rich too. Even most of them have ordinary jobs like teacher, carpenter, or even clerk.

It’s almost midnight and we end our chat. I returned to my bungalow and rest. Today was great and I couldn’t wait for the next day’s adventure.

121 122

Page 66: Sulawesi A Graphic Journal

enjoying the picturesque Togean sunsetmenikmati matahari terbenam Togean yang indah

Page 67: Sulawesi A Graphic Journal

elly. pemandu, kapten kapal, teman

danau ubur-ubur

Wakai sebelum matahari terbenam

Last day in Togean was spent at the stingless jel-

lyfish lake on a distant island and the city of

Wakai, the main city on Togean islands.

Hari terakhir dihabiskan di danau ubur-ubur tak

bersengat di sebuah pulau dan kota Wakai, kota

utama di kepulauan Togean.

T O G E A Nl a s t d a y o n

125 126

Page 68: Sulawesi A Graphic Journal

pantai sepi&terpencil di Togeana quite&remote beach on Togean

STINGLESS JELLYFISH LAKE

This is our last day in Togean. We decided to go to a lake that is inhabited by stingless jellyfish. As far as I know, there are only 2 well-known stingless jellyfish lakes in the world: in the Derawan/Kakaban island of Borneo, Indonesia and in Palau, Micronesia. Actually, very few people here know that there is a stingless jellyfish lake in Togean. Elly only took 2 groups before us to this jellyfish lake, so the lake is still in pristine condition and literally untouched.

TheThe lake is quite big and we don’t know the exact depth, but it surely is very deep. There is only one or two jellyfish at the edge of the lake, but the more you swim to the middle of the lake, the more jellyfish you’ll encounter. There are countless jellyfish here, and they surround us from all directions. It is such a fantastic feeling to be able to swim with these creatures; it feels like I’m in a strange, psychedelic dream.

ThereThere are at least 2 types of jellyfish in the lake. The most common is the one with visible body and tentacle, and the other one is the simpler, translucent jellyfish. Their size differs from only 2 to 20 cm long. We didn’t explore the lake far out to the other side of the lake because it’s too far and to tell you the truth, it is kind of scary. And I think this place is the perfect setting for the kind of horror movie with monster fish or giant crocodile.

AsAs we were preparing to go back, the low tide made our boat blocked on the beach. Without higher surface, we couldn’t get anywhere so we waited for the water to rise. By the time we got back to Pondok Lestari, it was already afternoon and so we had a late lunch.

DAY 12&13: TOGEAN STINGLESS JELLYFISH & WAKAIDANAU UBUR-UBUR TANPA SENGAT

IniIni adalah hari terakhir kami di Togean. Kami memutuskan untuk pergi ke sebuah danau terpencil yang dihuni oleh ubur-ubur yang tak bersengat. Setahu saya, hanya ada 2 danau ubur-ubur tak ber-sengat yang terkenal di dunia ini: di Derawan/Kakaban, Kalimantan, Indonesia. Dan satu lagi di Palau, Mikronesia. Sebenarnya, sedikit sekali orang yang tahu bahwa ada danau ubur-ubur di Togean. Bahkan Elly baru pernah membawa 2 rombongan turis ke danau ini sebelum kami, jadi danau ini benar-benar masih dalam kondisi yang alami dan tak tersentuh.

Danau ini cukup besar dan kami tidak tahu seberapa dalam, tapi yang jelas cukup dalam. Di tepi danau hanya ada satu atau dua ubur-ubur, tetapi semakin ke tengah maka ubur-uburnya semakin banyak. Ubur-ubur di sini tak terhitung jumlahnya, dan mereka mengeliulingi kami dari berbagai arah. Berenang dengan ubur-ubur ini benar-benar pengalaman yang fantastis. Rasanya seperti berada di dalam mimpi.

SetidaknSetidaknya ada 2 jenis ubur-ubur di danau ini. Yang paling banyak adalah ubur-ubur dengan tubuh berwarna dan bertentakel pendek, sedangkan satu lagi ubur-ubur yang tembus pandang. Ukurannya berbeda-beda, dari yang sangat kecil sampai berukuran 20 sentimeter. Kami tidak terlalu jauh menje-lajahi danau itu karena terlalu luas, dan sejujurnya agak menyeramkan. Danau ini sangat sepi, cocok untuk setting film horor.

Ketika kami selesai snorkeling di danau dan bersiap-siap untuk kembali ke Kadidiri, air laut telah surut, dan sayangnya perahu kami terjebak di pantai. Tidak mungkin kami bisa mendorongnya dan kami pun menunggu sampai air pasang. Akhirnya sebelum sore hari kami bisa kembali ke Kadidiri dan menyantap makanan.

HARI 12&13: UBUR UBUR TOGEAN & WAKAI

127 128

Page 69: Sulawesi A Graphic Journal

magnificent waterscapes of Togean islands pemandangan laut Togean yang luar biasa

anchored in Wakaiberlabuh di Wakai

129 130

Page 70: Sulawesi A Graphic Journal

landscape of Wakaipemandangan di Wakai

131 132

Page 71: Sulawesi A Graphic Journal

WAKAIThereThere was this problem about the fact that we hadn’t taken a proper bath since we arrived at Togean. Yes, fresh water is always a problem here no matter where you stay in Togean. At Pondok Lestari, fresh water has to be transported all the way from Wakai, the same with Poyalisa’s water which has to be transported from Bomba. Kadidiri Paradise is different; they search for water source from inside the island and pump it to the resort. But that still doesn’t solve the water shortage problems either. The point is one must be very efficient when using water in these is-lands.

So since this is our last day, we got this idea to go to the Tanimpo waterfall in Wakai to take a nice, refreshing bath. The special thing about this waterfall is it’s 7 levels. From the first level, you have to climb the hills all the way to the seventh. People rarely reach the seventh level because of the extreme difficulty, and they usually stop at the fourth or fifth level. We didn’t climb any be-cause we just wanted to take a bath, and the first level had plenty of water for us. Getting used to the warm water of the beach had made us forget that the water here comes from the hills and it is very cold. But still it is one of the most refreshing baths I’ve ever taken. We had such a great time at the waterfall and itgreat time at the waterfall and it’s time to get back before it’s getting dark.

The row of Bajo houses standing on top of the flooded wetlands is such wonderful scenery. Wakai is very captivating with all the friendly people. There is this river basin that forms a large pool, like some kind of small lake on the edge of Wakai. There are a lot of houses on it edges and we watched the scenery and people’s activity as the sun went down. The local masjid broadcasted the adzan (Muslim call to prayer) with the breathtaking sunset sky as the background. What an unforgettable spiritual moment. This is the perfect farewell to the wonderful piece of heaven called Togean.

WAKAISebenaSebenarnya kami belum bisa mandi secara normal sejak tiba di Togean. Ya, air bersih menjadi ma-salah utama bila bepergian ke kepualauan Togean. Di Pondok Lestari, air bersih harus diangkut setiap hari dari Wakai, begitu juga di Poyalisa yang mengangkut air dari Bomba. Hanya Kadidiri Paradise yang mengambil mata air dari dalam pulau Kadidiri dan dipompa ke dalam resor. Tapi itu pun masih sangat terbatas. Intinya, semua orang harus sangat efisien dalam menggunakan air bersih di kepu-lauan ini.

Karena ini adalah hari terakhir di Togean, kami memutuskan untuk pergi ke air terjun Tanimpo di Wakai untuk mandi. Yang menarik dari air terjun ini adalah ia memiliki 7 tingkat air terjun yang ber-jauhan. Dari air terjun pertama, orang harus mendaki ke dalam hutan untuk menuju tingkat ke-7. Jarang orang yang menuju tingkat paling atas karena medan yang berat, dan biasanya berhenti di tingkat 4 atau 5 saja. Kami hanya ingin mandi, dan tingkat pertama sudah cukup untuk kami. Ter-biasa dengan hangatnya air di laut sempat membuat kami lupa bahwa air sungai di sini berasal dari bukit dan sangat dingin. Dan mandi kali ini menjadi salah satu yang paling menyegarkan yang pernah saya rasakan. Hari sudah sore setelah kami selesai mandi dan waktunya kembali ke Kadidiri sebelum hari menjadi gelap.

Deretan rumah suku Bajo yang berdiri di atas lahan basah merupakan pemandangan yang unik dan indah sore itu. Semua orang di sini juga sangat ramah. Di pinggir kota Wakai ada sebuah kolam besar yang menyerupai danau. Ada banyak rumah yang berdiri di tepian air dan kami menyaksikan peman-dangan indah matahari terbenam. Mesjid mengumandangkan adzan dengan langit senja sebagai latarnya, menandakan waktu sholat Magrib dan. Saat-saat itu merupakan momen yang tak terlu-pakan. Ini adalah perpisahan yang sempurna dengan tempat yang sangat menakjubkan ini. Sebuah surga kecil bernama Togean.

133 134

Page 72: Sulawesi A Graphic Journal

sunset in Wakaimatahari terbenam di Wakai

Page 73: Sulawesi A Graphic Journal

matahari telah terbenam. suara samar adzan bergema di kejauhan.. Wakai setelah matahari terbenam; sebuah momen yang tepat untuk perpisahan. ini adalah malam terakhir di Kepulauan Togean yang tak terlupakan.

Page 74: Sulawesi A Graphic Journal

Crossing the Tomini bay and are back to Sulawesi mainland, this is the Gorontalo province; one of the youngest provinces in Indonesia. The capital city is Gorontalo, a modern urban city surrounded with beautiful landscape.Menyebrangi teluk Tomini dan kembali ke daratan Sulawesi, ini adalah provinsi Gorontalo, salah satu provinsi termuda di In-donesia. Ibukotanya adalah Kota Gorontalo, sebuah kota modern yang dikelilingi dengan pemandangan indah khas Sulawesi.

GORONTALOj o u r n e y t o

pesisir pantai Marisa

benteng otahana

pemandangan kota Gorontalo dari gedung Gubernur

danau Limboto

139 140

Page 75: Sulawesi A Graphic Journal

panoramic photography of lake Limbotofoto panorama danau Limboto

DAY 13&14: GORONTALO HARI 13&14: GORONTALOWe chartered a small speedboat from Kadidiri Island to Marisa, a small city on Gorontalo prov-ince, in mainland North Sulawesi. The boat departed at 6 AM because of the sea condition was relatively calm before midday. The journey is ±90km and about 4 hours depends on the weather condition. It can only carry 5 to 6 people and luggage. It cost us more than 2 million rupiahs in total. We chose this option because if we had taken the cheap ferry to Gorontalo, we would have waited for the day after tomorrow and it would take us 2 days and 1 night to reach Gorontalo. It’s not an option if you’re on a tight schedule.

Marisa has a vast white sandy beach with shallow water. Too bad that it’s not that clean because of all the garbage and waste from the settlement. It could have been really beautiful. Again, we chartered an angkot to go to the city of Gorontalo, and it woulds be a ±140km and 5 hours jour-ney. Yes, one must endure the long road trip. It’s not a small world here in Sulawesi.

The scenery along the road of Gorontalo is somewhat different from that of Central Sulawesi. There are a lot of plantations and farm everywhere you see. But it’s still beautiful nonetheless. We passed the Limboto tower just before Gorontalo; it’s like the Eiffel tower with much smaller size.

WWe arrived at Gorontalo, and we were going to spend the night in Mas Adang’s house, a friend of Farchan’s. We then accompanied by him to explore Limboto Lake and Otanaha fort. Otanaha is an old fortress built in 1522 on top of the hill facing Limboto Lake. The view was incredible and we visited this fortress at the perfect time: just before the sunset. But from the top of the fort, we realized that the lake was not in a good condition anymore. Limboto Lake is shrinking and it’s in danger of being lost forever. The fort itself was also vandalized by spray paints. People should do something to save this beautiful place.

AgusAgus Lahinta and Steven Polapa, our friends from “Aku Cinta Indonesia” program who live in Gorontalo, accompanied us for dinner that night. We also went to the Governor’s office on top of the hills of Gorontalo. There was a clear view of Gorontalo city lights from the top of the building and we enjoyed it. We had a really fun day, but the next day we had to leave at dawn to go to Manado city in North Sulawesi.

Kami menyewa speedboat kecil dari Kadidiri ke Marisa, kota kecil di provinsi Gorontalo, di daratan Sulawesi bagian Utara. Kami harus berangkat sebelum pukul 6 pagi agar kondisi laut lebih tenang. Perjalanan dengan speedboat kira-kira sejauh 90 kilometer dan memakan waktu selama 4 jam, ter-gantung cuaca dan kondisi laut. Speedboat ini hanya cukup menampung 5 sampai 6 orang sekaligus barang bawaan dengan biaya total 2 juta lebih. Kami memilih opsi ini karena kami tidak punya waktu untuk menunggu jadwal feri murah yang baru akan berangkat 2 hari kemudian ke Gorontalo. Lagipula waktu yang diperlukan feri dari Wakai ke kota Gorontalo mencapai 2 hari 1 malam. Ini bukan pilihan yyang terbaik bila anda dikejar jadwal.

Pantai Marisa berpasir putih bersih yang sangat luas dengan perairan yang dangkal; sayang sekali bahwa pantai ini tidak bersih karena banyak sampah dan limbah dari pemukiman, padahal tempat ini sangatlah indah. Kami lalu menyewa angkot untuk mencapai kota Gorontalo, dengan jarak ±140km dan 5 jam perjalanan. Ya, Sulawesi bukanlah tempat yang sempit, dan kami harus sabar mengarungi perjalanan panjang.

Pemandangan sepanjang jalan ke Gorontalo agak berbeda dari Sulawesi Tengah. Ada banyak perkebu-nan dan pertanian di sini, tapi masih tetap indah. Kami melewati menara Limboto yang mirip dengan menara Eiffel ukuran kecil sebelum mencapai kota Gorontalo.

Kami akan menginap di rumah Mas Adang, rekan Farchan di Gorontalo. Kami kemudian ditemani beliau untuk mengunjungi danau Limboto dan benteng Otanaha. Otanaha adalah benteng tua yang dibangun tahun 1522 di atas bukit yang menghadap ke danau Limboto. Kami mengunjungi benteng ini di waktu yang tepat; persis sebelum matahari terbenam. Pemandangannya sangat indah dan men-gagumkan. Tapi dari atas benteng, kami menyadari bahwa kondisi danau sudah mengkhawatirkan. Danau Limboto sudah mulai mongering dengan cepat dan terancam hilang selamanya. Benteng Ota-naha juga dirusak oleh coretan-coretan di dindingnya. Sayang sekali.

Malam harinya, Kami ditemani makan malam oleh Agus Lahinta dan Steven Polapa, teman-teman program Aku Cinta Indonesia dari Gorontalo. Kami juga bersama-sama pergi ke kantor gubernur Gorontalo di atas bukit. Gedungnya bagus dan kami bisa menikmati pemandangan kota Gorontalo dari atas gedung. Hari ini sangat menyenangkan, tapi esok kami harus pergi saat fajar ke kota Manado di Sulawesi Utara.

141 142

Page 76: Sulawesi A Graphic Journal

view on the journey to Gorontalo citypemandangan dalam perjalanan menuju kota Gorontalo

Page 77: Sulawesi A Graphic Journal

GORONTALOMANADO

kambing yang malang di atas bus

motor di belakang bus

tiba di Manado

a 12 hour journey across North Sulawesi

. . . . . . . . . . . . . . . . . . .

145 146

Page 78: Sulawesi A Graphic Journal

Today is the epic ±350km and 10 hours bus trip to Manado city. And yet, we still had ±60km jour-ney to Tangkoko/Batu Putih National Park. The bus departed at 5am from Gorontalo bus terminal. It was a mini-bus, and apparently it doesn’t only carry people and luggage, but also animals and motorcycle. Personally I don’t agree with the idea of restraining 12 sheep on the top of the bus with only rope and sack. They were toasted in the heat of equator. This is because maybe there are no alternatives for cheap transportation.

The bus wasn’t fully occupied. Thank God for that. It was no way near comfortable and there was no air cons. But hey, you get what you pay for. It was never a smooth journey because the road condition was bad and there were road repairs everywhere. Many of the bridges we had to cross were in poor condition also. It seems that the trans-Sulawesi roads aren’t strong enough to toler-ate heavy vehicles and traffic.

I strongly suggest you to sleep in the back row of the bus in this trip, because even though some-times the scenery may be beautiful, the bus driver much prefer speed than safety. This will make you really uncomfortable and worried. It’s not once or twice the bus almost hit other vehicles in this trip. Just try to sleep and pray a lot.

It’s 3 pm and we finally arrived at Manado bus terminal. It’s near the shore and we could see Bu-naken Island in the distance. But we’re not here to go to the island which is famous for its diving spots; we’re going to Tangkoko National Park. By the time we arrived at Tangkoko, it was already dark and we’re really tired of the long journey. We chose Tarsius Homestay for our stay in Tang-koko and it was quite comfortable and nice.

DAY 14&15: ROAD TRIP TO MANADO & TANGKOKO

Hari ini adalah perjalanan panjang ±350 km dan 10 jam menggunakan bus ke kota Manado. Dan kami masih harus menempuh ±60 km lagi ke Taman Nasional Tangkoko/Batu Putih. Bus kami berang-kat pukul 5 pagi dari terminal Gorontalo. Semua bus menuju Manado adalah mini-bus, jadi ukuran dan kapasitasnya tidak begitu besar. Selain membawa penumpang dan barang, bus ini juga membawa sepeda motor dan hewan. Tapi jujur saja, saya kurang setuju saat mereka menaikkan 12 ekor kambing yang diikat dan dimasukkan ke karung ke atas atap bus. Mereka akan tersiksa oleh panasnya ma-tahari khatulistiwa selama 10 jam. Mungkin karena tidak ada lagi alternatif untuk transportasi murah.

Untunglah bus ini tidak penuh, karena bus ini jauh dari kata nyaman dan tanpa AC. Tapi ini sesuai dengan harga tiketnya yang murah. Perjalanan panjang ini tidaklah mulus karena kondisi jalan raya yang tidak mulus, dan dimana-mana ada proyek perbaikan jalan. Jembatan-jembatan yang harus di-lalui juga banyak yang berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Nampaknya jalur Trans-Sulawesi ini tidak kuat menanggung beban banyaknya kendaraan besar yang lewat.

Saran saya adalah sebaiknya tidur di barisan belakang bus sepanjang perjalanan ini. Karena supir bus lebih memilih faktor kecepatan daripada keselamatan. Ini akan membuat anda tidak nyaman. Bukan sekali atau dua kali bus hampir menabrak kendaraan lain dalam perjalanan ini. Jadi cobalah untuk tidur dan banyak berdoa.

PukulPukul 3 sore hari akhirnya kami tiba di terminal bus Manado. Tempatnya berada di dekat pesisir dan kami dapat melihat pulau Bunaken di kejauhan. Sayangnya kami ke sini tidak untuk pergi ke pulau yang terkenal akan situs divingnya tersebut, tujuan kami adalah Taman Nasional Tangkoko. Hari sudah larut malam saat kami mencapai Tangkoko dan kami benar-benar kelelahan akibat perjalanan yang panjang ini. Di Tangkoko, kami menginap di Tarsius Homestay. Tempat yang cukup nyaman dan menyenangkan.

HARI 14&15: PERJALANAN KE MANADO DAN TANGKOKO

147 148

Page 79: Sulawesi A Graphic Journal

t a n g k o k oThe forest of Tangkoko offers plenty of interesting wildlife. You can find the endangered species of macaca nigra and tarsius.

HutanHutan Tangkoko menawarkan banyak satwa liar yang menarik. Anda dapat menemukan monyet hitam Macaca dan Tarsius yang ter-ancam punah.

tarantula raksasa

macaca hitam

danau Tondano

makam waruga

Pak Rudi Panda, supir kami

North Sulawesi, the last stage of our adven-ture. We visited the forest of Tangkoko, wit-nessed the magnificent wildlife. There are the ancient tombs in North Minahasa and at lake Tondano. We also enjoyed the unique traditional market of Tomohon.

Sulawesi Utara merupakan tahap terakhir dari petualangan ini. Kami mengunjungi hutan Tang-koko dan menyaksikan satwa liarnya yang luar biasa. Ada juga makam kuno di Minahasa Utara dan danau Tondano. Kami juga menikmati pasar tradisional unik di Tomohon.

&TANGKOKOTOMOHONTONDANO

150

Page 80: Sulawesi A Graphic Journal

TangkokoNorth Sulawesi is the final stage of our journey. After 2 full weeks of adventure and road trip, we were kind of laid back and enjoy our time. In Tangkoko, I didn’t leave the homestay until it’s afternoon because of yesterday’s really long road trip. Tangkoko, or Batu Putih is a small National Park with forest and beach. Ironically, there’s a gold mine near the protected forest.

TheThe main reason we visited Tangkoko was to see the Tarsius Spectra, a different kind of Tarsius from the one we saw in Kamarora village in Lore Lindu National Park. There are also Macaca Nigra monkeys, the endangered black monkey of North Sulawesi. You can see the monkeys easily since they’re all over the forest. There was an internet buzz of a monkey who took pictures of himself with a camera. Yes, it’s the very same monkey from Tangkoko.

AAnyway, to see the tarsius is a little bit tricky. They’re wild and not in a cage like in Kamarora, but luckily our Tangkoko guide knew exactly how to meet the tarsius family. One family of tarsius lives inside of a big tree in the middle of the forest. We had to wait until the sun set to see them. The unique and almost eerie moment is that some kind of bug made this creepy noises like an alarm when it’s sundown, that is the time for the tarsius to wake up. The tarsius are shy and afraid of going out because we’re waiting for them outside, but I managed to get some picture of them in the trees. It’s a great experience.

DAY 15,16&17: TANGKOKO, TONDANO & TOMOHON

TangkokoSulawesi Utara adalah tahap terakhir dari petualangan ini. Setelah 2 minggu penuh perjalanan dan perjuangan, kami memutuskan untuk lebih bersantai dan menikmati waktu. Di Tangkoko, saya beristi-rahat penuh sampai tidak meninggalkan homestay sama sekali untuk memulihkan tubuh karena per-jalanan panjang kemarin. Tangkoko atau Batu Putih adalah Taman Nasional kecil dengan hutan dan pantai. Ironisnya, di dekat kawasan yang dilindungi ini terdapat pertambangan emas.

Tujuan utama kami ke Tangkoko adalah Tarsius Spectra, jenis tarsius yang berbeda dari tarsius yang kami lihat di Kamarora, di Taman Nasional Lore Lindu. Ada juga monyet Macaca Nigra, monyet hitam khas Sulawesi Utara yang juga terancam punah. Ada cukup banyak macaca nigra di hutan ini, dan mereka tidak sulit dijumpai. Tahukah anda beberapa waktu lalu sempat ada berita mengenai monyet yang mengambil kamera dan memotret dirinya sendiri? Ya, monyet itu adalah monyet di hutan ini.

MelihatMelihat tarsius di sini lebih rumit karena mereka masih liar dan tidak ada di dalam kandang seperti di Kamarora. Tapi untungnya, pemandu kami tahu persis bagaimana caranya mencari mereka. Ada satu keluarga tarsius yang tinggal di sebuah pohon besar di tengah hutan. Kami harus menunggu sampai matahari tenggelam sampai mereka menampakkan diri. Ada momen yang cukup unik dan menakutkan saat sejenis serangga membuat suara nyaring seperti alarm ketika matahari terbenam. Suara ini seperti isyarat agar para tarsius bangun dan keluar dari sarangnya. Ada beberapa tarsius yang akhirnya menampakkan diri, tapi mereka ketakutan untuk keluar karena kami menunggu di luar. Untunglah ada satu taUntunglah ada satu tarsius yang keluar dari pohon, dan kami berhasil mengambil fotonya.

HARI 15,16&17: TANGKOKO, TONDANO & TOMOHONTangkokoSulawesi Utara adalah tahap terakhir dari petualangan ini. Setelah 2 minggu penuh perjalanan dan perjuangan, kami memutuskan untuk lebih bersantai dan menikmati waktu. Di Tangkoko, saya beristi-rahat penuh sampai tidak meninggalkan homestay sama sekali untuk memulihkan tubuh karena per-jalanan panjang kemarin. Tangkoko atau Batu Putih adalah Taman Nasional kecil dengan hutan dan pantai. Ironisnya, di dekat kawasan yang dilindungi ini terdapat pertambangan emas.

151 152

Page 81: Sulawesi A Graphic Journal

Tondano

We left Tangkoko and headed to Tomohon the next day. But we chose to take our time and had a little bit of road trip across North Sulawesi to visit the ancient tomb of Waruga, Kyai Mojo’s graveyard complex and Tondano Lake.

TheThe Waruga tomb is an ancient and mysterious tomb of the Minahasa ancestors. Located in Sawa-ngan village, Airmadidi, North Minahasa. Waruga, or tombstone is a common funeral practice in ancient Indonesia and there are several Waruga tombs in Minahasa.

We then headed to Kyai Mojo’ graveyard complex. Kyai Mojo is Pangeran Diponogoro’s trusted companion, the National Hero of Indonesia from Java. They fought the Dutch colonials in 1800’s. When they’re finally defeated and captured by the Dutch in 1828, Kyai Mojo and his 63 followers were sent to Tondano, North Sulawesi. We went to Tondano Lake just to enjoy the view and then head straight to Tomohon city, our last adventure destination.

Tondano

Kami meninggalkan Tangkoko dan menuju Tomohon esok harinya, tapi kami memilih untuk meluang-kan waktu untuk sedikit menjelajahi Sulawesi utara dengan mengunjungi makam kuno Waruga, kom-pleks kuburan Kyai Mojo, dan danau Tondano.

Makam Waruga adalah makam kuno leluhur Minahasa. Terletak di desa Sawangan, Airmadidi, Mina-hasa Utara. Waruga, atau nisan batu, merupakan praktek pemakaman yang cukup umum di Indonesia kuno. Ada beberapa kuburan Waruga di Minahasa.

Kemudian kami menuju kompleks makam Kyai Mojo. Kyai Mojo adalah orang kepercayaan Pangeran Diponegoro, pahlawan nasional dari Jawa. Mereka melawan penjajahan Belanda di tahun 1800-an. Ketika mereka akhirnya dikalahkan dan ditangkap Belanda pada tahun 1828, Kyai Mojo dan 63 pengikutnya diasingkan ke Tondano. Kami juga berkesempatan untuk menunaikan ibadah shalat Jumat di masjid Kyai Mojo, tidak jauh dari komplek pemakaman. Selanjutnya kami menuju danau Ton-dano hanya untuk menikmati pemandangan dan kemudian langsung pergi ke kota Tomohon.

153 154

Page 82: Sulawesi A Graphic Journal

Tomohon

HapHappy Flower inn was the place where we would spend the night in Tomohon. This is my personal favorite place to stay. It has a cozy, homey feeling about it, with a big garden and ponds. It also has great value for money. This is definitely the place you want to spend your time in Tomohon.

TTomohon is a mountainous city. It’s cold es-pecially when it’s raining and nighttime. To-mohon has a unique market and we’re going there the next morning. ‘Pasar Beriman To-mohon’ or Faithful Tomohon Market is a big traditional market near the city centre.

The unique thing about this market is that they have a ‘culinary animal’ section. In this part of the market, you’ll find bat, snake, mouse, and dog meat for sale. It was literally a bloody market. I don’t recommend you to visit this part of the market if you have a weak stomach or you support animal rights. I I took some nasty and disturbing pictures in this market. For the sake of decency, I won’t show you these pictures. It was a new and unique experience nevertheless and it’s time to say goodbye to the city of Tomohon.

In this part of the market, you’ll find bat, snake, mouse, and dog meat for sale

Tomohon

KamiKami memilih penginapan Happy Flower untuk menghabiskan malam di Tomohon. Ini juga merupakan tempat favorit saya. Suasananya sangat nyaman dan tenteram, serasa di rumah sendiri. Ada pekarangan yang cukup luas dan juga kolam-kolam di sini. Menginap di sini pun sangat murah; ini tempat yang cocok bila anda ingin menginap di kotaingin menginap di kota Tomohon.

Tomohon adalah kota yang berada di pegunun-gan. Udaranya dingin, terutama bila hujan atau malam hari. Pagi hari berikutnya kami men-gunjungi Pasar Beriman Tomohon, pasar unik yang berada di tengah kota Tomohon.

Yang unik dari pasar ini adalah bagian ‘hewan kuliner’ di dalam pasar. Di bagian ini, anda akan menemukan kelelawar, ular, tikus, dan daging anjing untuk dijual. Darah hewan ada di mana-mana dan baunya cukup menyengat. Saya tidak menyarankan bagi anda yang gam-pang mual untuk masuk ke bagian pasar ini, bbegitu juga bagi para penyayang hewan. Saya mengambil beberapa gambar yang cukup sadis di pasar ini. Demi kesopanan, saya tidak akan menunjukkannya. Tapi bagaimanapun juga mengunjungi pasar ini merupakan pengalaman baru yang unik. Setelah selesai berkeliling pasar, saatnya kami mengucapkan selamat tinggal tinggal ke kota Tomohon.

anda akan menemu-kan kelelawar, ular, tikus, dan daging anjing untuk dijual

155 156

Page 83: Sulawesi A Graphic Journal

AKHIR DARI PERJALANAN KAMI

KamiKami menghabiskan hari terakhir kami di kota Manado, ibu-kota Sulawesi Utara. Saya menghabiskan waktu dengan ber-santai dan istirahat di hotel. Besok adalah hari terakhir kami di Sulawesi, dan kebetulan juga berbarengan dengan hari Idul Adha. Saya, Farchan dan Dinda melaksanakan sholat Ied di Masjid belakang hotel. Akhir yang sempurna untuk menutup perjalanan ini.

Setelah berpisah dengan Bang Jufe, kami meninggalkan hotel dan pergi ke bandara Internasional Sam Ratulangi. Tujuan kami adalah kota Jakarta, dan ini adalah akhir perjalanan kami.

THE END OF OUR JOURNEY

WWe spent the last day of our journey in Manado city, the capital city of North Sulawesi. I took my time in the hotel just to rest and didn’t go anywhere. The next day was our last day in Sulawesi, and also the Muslim religious holiday of Ied al-Adha, or Idul Adha. In the morning of Idul Adha, every Moslem in the world will perform shalat Idul Adha (prayer), Farchan, Dinda and me also perform the prayer in a a Masjid at the back of our hotel in Manado. It was the per-fect ending for this journey.

After the farewell with Bang Jufe, we then left the hotel to go to the Sam Ratulangi International Airport. Our desti-nation was Jakarta and that was the end of our journey

GOODBYESULAWESIs e l a m a t t i n g g a l S u l a w e s i

157 158

Page 84: Sulawesi A Graphic Journal

Thank you for reading!

farchan

dinda

sangaji

poyalisa familydinner with abe

bang Jufe

sidaunta ojek

Ibu Lestari of Kadidiri

children of Langko

Page 85: Sulawesi A Graphic Journal

ABOUT ME twitter: @sangaji

facebook.com/sangaji

email: [email protected]

whydontweliveinblackandwhite.blogspot.com

t e n t a n g s a y a

Graphic designer, illustrator, amateur photographer, diver, and mountain cycling enthusiast. Also one of the luckiest ‘Aku Cinta Indonesia’ 2011 adventurers.

Desainer grafis, ilustrator, fotografer amatir, diver, dan penggemar sepeda gunung. Juga salah satu orang berun-tung yang terpilih sebagai petualang ‘Aku Cinta Indonesia’ 2011

Page 86: Sulawesi A Graphic Journal

Aphotographicandillustratedjourneyofthe18-day-adventureacrossSulawesiislandofIndonesia.FromthecityofPalutoLoreLinduNaonalParkinCentralSulawesi.TrekkingthroughthevalleyofBesoaandBada.SailingtheTominibayfromAmpanatoPoyalisaandKadidiriofTogeanislands.CrossingtheseatoMarisaandGorontalocies.Thenfi-nallytravelingalongroadtriptoManado,TangkokoandTomohon.

Perjalanan fotograi dan ilustrasi petualangan 18 hari di pulau Sulawesi, Indonesia. Dari Sulawesi Tengah, Kota Palu, ke Taman Nasional Lore Lindu. Trekking melalui lembah Besoa dan Bada. Berlayar di teluk Tomini seiring perjalanan dari Ampana ke Poyalisa sampai pulau Kadidiri, Togean. Menyeberangi laut ke kota Marisa dan Gorontalo. Lalu perjalanan panjang ke Manado, Tomohon dan Tangkoko.


Recommended