TANIAN LANJANG
Pola Tata Ruang dan Kekerabatan Masyarakat Madura
Abdul Sattar
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Email: [email protected]
Abstract
This study is intended to describe the meaning of the architectural pattern and family
relationship among Madurese society. There are three points that will be discussed in this
article. The first, the meaning behind Madurese choice in building their home in tanian
lanjang. The second, the vital role of kobhung on the pattern of tanian lanjang. The third,
the metamorphosis of tanian lanjang: changable and unchangable pattern. To describe all of
these aspects and to know what is really meant by Madurese society, it is extremely needed to
be part of this society; living with them for a temporal time is a must. The result of this
research consists of three important points. The first, the meaning of house building in tanian
lanjang is to present the seniority of the inhabitants. The oldest always stays in the west
position and the youngest always stay in the east position. A house also becomes a private
place for women and kids. Women are also the inhabitants and the owners of houses. The
second, kobhung has a vital role in tanian lanjang. It is used to become the centre of all
activities done by men. The third, the existence of tongghuh and kobhung is one of
unchangable pattern of tanian lanjang.
K ey wo rd s : p a t t e rn o f a r ch i t e c t ur e , f a mi l y r e la t io ns h i p , Ma du r e se
s o c i e t y , t an ia n la n ja n g .
1. Pendahuluan
Tulisan ini menyajikan tradisi yang hidup dalam masyarakat Madura yang disebut
tanian lanjang. Masyarakat Madura yang dimaksud dalam tulisan ini adalah masyarakat yang
tinggal di Pulau Madura yang terdiri dari 4 kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang,
Pamekasan dan Sumenep. Namun, karena tradisi ini hidup di hampir semua masyarakat
Madura, maka untuk kepentingan tulisan ini, penulis hanya mempelajari dan mengenal tradisi
ini dari masyarakat yang tinggal di Dusun Aeng Penai Desa Berbatoh, Kecamatan
Blumbungan, Kabupaten Pamekasan Madura.1
Tulisan ini disajikan berdasarkan apa yang masyarakat Aeng Penai pahami mengenai
tanian lanjang dan alasan mengapa mereka masih mempertahankannya hingga saat ini.
Meskipun dalam proses bergaul dengan mereka penulis lebih intensif menggunakan bahasa
1Daerah Aeng Penai ini berada di wilayah utara, tepatnya sekitar 30 KM dari kota Kabupaten
Pamekasan. Untuk sampai ke daerah ini, penulis memerlukan waktu jarak tempuh sekitar 11 jam perjalanan
darat dari tempat tinggal penulis saat ini di Semarang. Jarak tempuh ini semakin lancar dengan difungsikannya
jembatan Surabaya-Madura (Suramadu).
Madura, namun untuk kepentingan tulisan ini – kecuali untuk kata-kata yang memang sulit
diterjemahkan – penulis sudah menuangkannya dalam tuturan Bahasa Indonesia.
Sudah barang tentu, apa yang penulis tuangkan dalam tulisan ini tidak dimaksudkan
untuk membahas berbagai pola arsitektur perumahan yang ada di Aeng Penai baik dari aspek
cara bagaimana rumah-rumah itu dibangun maupun bagaimana harusnya rumah-rumah itu
dibangun, tetapi lebih kepada apa makna bangunan rumah itu bagi penghuninya. Sebenarnya,
tulisan mengenai tanian lanjang sudah banyak dilakukan orang dari berbagai disiplin ilmu
yang berbeda. Bahkan dengan search di Google dengan mengetik kata “tanian lanjang,
tanean lanjang, tanian lanjhang, tanean lanjhang atau tanian lanjeng”, maka akan banyak
data yang bisa ditemukan mengenai tulisan-tulisan yang tampak mirip dengan apa yang
penulis lakukan. Lintu Tulistyanto (2005), misalnya, menulis tentang Makna Ruang Pada
Tanean Lanjang di Madura. Dosen jurusan desain interior Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen Petra Surabaya ini mengemukakan uraian panjang lebar mengenai desain
ruang pada bangunan-bangunan yang ada pada tanean lanjang. Ada juga tulisan dari Jekhi
Heng dan Aji Bayu Kusuma (2013) yang berjudul “Konsepsi Langgar Sebagai Ruang Sakral
Pada Tanean Lanjang.” Keduanya menyajikan paparan mengenai peran dan fungsi langgar
(mushalla) dalam tradisi tanean lanjang masyarakat Madura.
Selain beberapa penulis tersebut, ada pula tesis dari Rosalia Niniek Srilestari pada
program pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang yang berjudul “Bentukan Arsitektur
Tropis Dalam Kaitannya Dengan Kenyamanan Thermal Pada Rumah Tinggal Tradisional
(Studi Kasus Rumah Tinggal di Sumenep Madura).” Tesis yang lahir dari Program Magister
Tehnik Arsitektur Undip tahun 1997 ini juga membahas mengenai rumah tinggal yang ada di
tanian lanjang di Kabupaten Sumenep. Sudah barang tentu – sesuai dengan konsentrasi
studinya – thesis ini juga membahas desain rumah-rumah tersebut dalam perspektif tehnik
arsitektur.
Apa yang dikemukakan para penulis tersebut memberikan gambaran mengenai desain
tata ruang dan astitektur bangunan yang ada di tanian lanjang. Namun tulisan-tulisan itu
tidak cukup memberikan informasi mengenai beberapa hal berikut. Pertama, makna di balik
pilihan orang Madura dalam mendirikan bangunan di area tanian lanjang. Kedua, setelah
penulis berinteraksi dengan masyarakat yang menjadi obyek tulisan ini, ternyata ada
perbedaan siginfikan antara langgar (mushalla) dan kobhung yang ada pada tanian lanjang.
Ketiga, tentang apa yang berubah dan apa yang tidak berubah dari pola tanian lanjang dari
dulu hingga kini. Dua butir pertama terkadang masih sedikit disinggung oleh penulis-penulis
tentang tanian lanjang. Namun, butir ketiga justru belum banyak dieskplorasi oleh penulis-
penulis sebelumnya. Tulisan ini diharapkan menjadi pengisi kekosongan itu.
2. Keluarga Nyi Murinti
Keluarga Murinti adalah salah satu keluarga di mana penulis tinggal selama satu bulan
di Aeng Penai.2 Keluarga ini penulis kenal dari rekomendasi kawan asli Bangkalan Madura,
M. Zakariya. Di usianya yang sudah senja, Nyi (Mbah) Murinti yang tidak sempat
mengenyam sekolah ini tinggal dengan empat orang putrinya, yaitu Rohimah, Samsidah,
Samsiah dan Judik. Keempat putrinya ini tinggal bersama suami dan anak-anak mereka di
rumah-rumah yang berada dalam satu halaman yang sama dengan rumah yang ditinggali Nyi
Murinti. Sementara dua orang putra Nyi Murinti sudah tidak tinggal bersamanya karena telah
menikah. Keluarga inilah yang menjadi sumber pertama penulis dalam rangka merekam apa
yang mereka pahami mengenai tanian lanjang.
Pergaulan penulis dengan keluarga ini tidak terlalu banyak mengalami hambatan karena
tidak ada kendala bahasa antara penulis dengan mereka karena – meskipun sudah tidak
tinggal di Pulau Madura – bahasa ibu penulis adalah Bahasa Madura.3
Foto 1: Nyi Murinti sedang berpose di depan Kobhung
(Koleksi Abdul Sattar)
3. Tanian Lanjang
Saat penulis menanyakan apa yang mereka pahami dengan tanian lanjang, Nyi Murinti
berujar bahwa tanian lanjang adalah halaman panjang. Rohimah, putri tertua Nyi Murinti
menjelaskan bahwa tanian lanjang itu tersusun dari dua kata, yaitu tanian dan lanjang.
2 Penulis tinggal di keluarga ini dari tanggal 17 Januari-14 Pebruari 2015.
3 Penulis adalah etnis Madura yang sudah tidak tinggal lagi di Pulau Madura. Sejak penjajahan Jepang
kakek buyut penulis sudah migrasi ke daerah Curahnongko Kecamatan Tempurejo Jember, Jawa Timur.
Meskipun tinggal di daerah dengan komunitas Jawa, tetapi Bahasa Madura tetap digunakan sebagai bahasa
komunikasi dalam keluarga.
Tanian berarti “halaman” dan lanjang berarti “panjang”. Artinya, tambah Rohimah, tanian
lanjang adalah halaman yang memanjang dari barat ke timur di mana ada beberapa rumah
yang menjadikan halaman ini sebagai halaman bersama. Halaman ini dimanfaatkan bersama
sebagai ruang komunal: anak-anak bermain, menjemur pakaian dan aktivitas lainnya.
Yang menarik dari tradisi tanian lanjang ini adalah bahwa susunan rumah berdasarkan
hirarki dalam keluarga. Barat-Timur adalah arah yang menunjukkan urutan tua muda. Sistem
yang demikian mengakibatkan ikatan kekeluargaan menjadi sangat erat. Dari pengamatan
dan hasil observasi selama di lapangan, pemukiman masyarakat Madura diawali dengan
sebuah rumah induk yang disebut dengan tongghuh,4 yakni rumah cikal bakal atau leluhur
suatu keluarga. Tongghuh dilengkapi dengan kobhung, kandhang, dan dapor. Apabila sebuah
keluarga memiliki anak yang berumah tangga, khususnya anak perempuan, maka orang tua
akan membuatkan rumah bagi anak perempuan. Penempatan rumah untuk anak perempuan
berada persis di sebelah timur rumah tongghuh. Hal ini terbukti di mana Nyi Murinti saat ini
tinggal di rumah paling barat di deretan utara. Saat ini beliau tinggal sendiri karena suaminya
sudah meninggal pada tahun 2007. Kemudian, Rohimah sebagai putri tertua dibuatkan rumah
tepat di sebelah timurnya. Selanjutnya Samsidah sebagai putri keduanya juga dibangunkan
rumah di sebelah timur rumah Rohimah.
Foto 2: Tongghuh, rumah putri 1 dan kobhung
(Koleksi Abdul Sattar)
Menurut penuturan Nyi Murinti, pada awalnya begitu rumah tongghuh dibangun, maka
akan dibangun pula kobhung yang posisinya berada di ujung paling barat menghadap ke
timur sebagai akhiran dari bangunan yang ada. Posisi tongghuh selalu ada di ujung barat
4Tangghuh semakna dengan “tunggu” atau “penunggu”. Artinya inilah rumah yang pertama kali
dibangun sekaligus menjadi cikal bakal terbentuknya tanian lanjang.
Tanian
Lanjang
Putri 1
Kobhung
Tongghuh
sebelah kiri kobhung. Selain itu dibangun pula di bagian selatan menghadap ke utara dua
bangunan lain, yaitu dapor (dapur) dan kandhang (kandang hewan).
Apabila jumlah anak perempuan yang ada banyak sementara lahan yang tersedia
terbatas, susunan tanian lanjang berubah menjadi berhadapan. Urutan susunan rumah tetap di
mulai dari ujung barat kemudian berakhir di ujung timur. Jadi, untuk melacak satu alur
keturunan dapat dilacak melalui susunan penghuni rumahnya. Dengan urutan seperti itu,
maka orang akan dengan mudah mengetahui urutan usia antara saudara perempuan yang ada
dalam sebuah keluarga. Yang tinggal di posisi paling barat berarti anak perempuan paling
tua. Jika demikian halnya, maka bagaimana dengan kandhang dan dapor yang semula di
sebelah selatan? Ternyata, begitu anak perempuan semakin bertambah dan harus segera
disiapkan rumah buat mereka, kandhang dan dapor dipindah ke belakang rumah atau
dipindah tepat di sebelah kanan atau kiri kobhung.
4. Mengapa Anak Perempuan?
Dalam tradisi masyarakat Madura, perempuan memiliki posisi yang istimewa. Ketika
anak perempuan menikah, maka orang tua mempunyai “keharusan” untuk membuatkan
rumah buat mereka. Para orang tua biasanya menerima menantunya untuk tinggal di rumah
yang disiapkan buat putrinya. Dengan kata lain, orang tua mempersiapkan tempat untuk
menantu mereka. Hal ini yang penulis lihat di keluarga Nyi Murinti. Putri pertamanya,
Rohimah, tinggal bersama suaminya, Abdul Kholik. Putri keduanya, Samsidah juga tinggal di
rumah yang disiapkan di sebelah timur rumah Rohimah dan menghadap ke selatan bersama
suaminya, Mad Bahri. Selanjutnya putri ketiganya, Samsiah tinggal di rumah yang disiapkan
di sebelah timur rumah Samsidah bersama suaminya, Mukhtar.
Akhirnya dapat dimaklumi mengapa dua putra laki-laki Nyi Murinti yang bernama
Syamsuri dan Supardi tidak ada di komplek tanian lanjang yang saat ini ditinggali Nyi
Murinti. Dua putranya yang juga sudah menikah itu justru ikut istrinya dan tinggal di rumah
yang sudah dibuatkan oleh mertua mereka masing-masing.
Garis keturunan masyarakat Madura adalah matrilineal. Hal ini tampak pada tata atur
dan kepemilikan rumah. Rumah identik dengan perempuan, artinya perempuan adalah
pemilik sekaligus pemakai rumah. Akan tetapi suatu saat pemakaian rumah bisa berpindah
saat yang lebih tua meninggal, maka yang muda akan menempati rumah yang lebih tua.Yang
menentukan urutan sebenarnya adalah hari perkawinan, tetapi jarang seorang
anak perempuan lebih muda menikah lebih dahulu daripada anak perempuan yang lebih tua.
Biasanya orang tua sudah mencarikan calon ketika anaknya masih sangat muda. Setelah
orang tuanya meninggal, mereka berpindah tempat, anak perempuan tertua menempati rumah
kediaman orang tuanya, dan seterusnya. Menantu laki-laki yang pertama menjadi kepala
tanian lanjang.
Penasaran dengan model yang diberlakukan untuk anak perempuan, penulis mencoba
bertanya “Bagaimana dengan anak laki-laki? Apa yang mereka dapatkan?” Mendengar
pertanyaan ini, Nyi Murinti menjelaskan bahwa anak laki-laki mendapat bagian berupa
kebhun dan teghalan (kebun dan ladang). Merekalah yang bertanggung jawab terhadap
garapan kebun dan ladang. Oleh karena itu, dalam tradisi masyarakat Madura, ketika orang
tua meninggal, maka anak perempuan akan mendapat warisan rumah sementara anak laki-
laki mendapat lahan garapan berupa kebhun atau teghalan.
5. Barat dan Timur ?
Posisi susunan perumahan di Madura mengikuti pola-pola yang demikian, di mana
keluarga yang berkedudukan lebih tua selalu menempati posisi paling barat. Rumah tongghuh
selalu berada paling barat dan ditempati cikal bakal perumahan tersebut atau yang
menggantikannya yang paling tua dalam hubungan kekeluargaan. Sementara itu, bila orang
yang paling tua meninggal maka rumah tersebut akan ditempati keturunan yang paling tua,
yaitu perempuan yang paling tua dan lagi-lagi dia akan menempati rumah yang paling barat.
Mengapa rumah-rumah itu harus dibangun secara berderet dari sebelah barat ke sebelah
timur? Nyi Murinti tidak memberikan penjelasan yang memadai mengenai hal ini, akan tetapi
penulis mencoba mencari tahu misteri ini kepada putra-putri Nyi Murinti dan penghuni
tanian lanjang lainnya yang dengan mudah penulis temui. Mudah, karena memang hampir
setiap komplek perumahan yang ada selalu dibangun dengan konsep tanian lanjang.
Samsiah, putri Nyi Murinti yang ketiga menjelaskan bahwa dibangunnya deret rumah
di tanian lanjang dari barat ke timur karena menurutnya, Pulau Madura itu memanjang dari
timur ke barat, yaitu dari Kabupaten Sumenep sampai Kabupaten Bangkalan. Sementara
matahari, tambahnya, berjalan dari timur ke barat. Dengan dibangunnya rumah berderet dari
barat ke timur dan menghadap ke selatan dan ke utara, maka akan menghindari masuknya
sinar matahari langsung ke dalam rumah.5
Penjelasan tersebut cukup masuk akal, namun penjelasan lebih detail penulis dapatkan
dari Nyi Maryam, penghuni paling tua di komplek tanian lanjang yang bertetangga dengan
Nyi Murinti. Menurutnya, timur adalah lambang hidup baru atau kelahiran dan barat lambang
senja atau kematian. Itulah sebabnya orang yang lebih tua tinggal di barat, yang muda di
5 Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 22 Januari 2015.
bagian timur.6 Terlihat dengan jelas bahwa sumber kehidupan atau kelahiran adalah berasal
dari timur, yaitu tempatnya manusia muda. Sementara ke barat mengarah kepada bagian yang
menuju kematian yaitu yang semakin tua. Konsep ini yang terus berlangsung hingga saat ini
(Jakub, 2002).
6. Ruang Pada Tanian Lanjang
6. 1. Rumah Tinggal
Ruang tinggal atau rumah adalah ruang utama, memiliki satu pintu utama dan hanya
terdiri atas satu ruang tidur yang dilengkapi serambi. Ruang bagian belakang atau bagian
dalam sifatnya tertutup dan gelap. Bagian terbuka hanya didapati pada bagian depan saja,
baik berupa pintu maupun jendela, bahkan rumah yang sederhana tidak memiliki jendela.
Ruang dalam ini adalah tunggal, artinya ruang ini hanya terdiri atas satu ruang dan tanpa
sekat sama sekali. Fungsi utama ruang tersebut adalah untuk mewadahi aktivitas tidur bagi
perempuan dan anak-anak. Serambi memiliki dinding setengah terbuka, pembukaan hanya
ada di bagian depan. Fungsi utama ruang serambi ini adalah sebagai ruang tamu bagi
perempuan. Dengan desain seperti ini, maka perempuan selalu punya tempat terpisah dengan
laki-laki. Bisa jadi konsep ini lahir dari nilai-nilai Islam sebagai agama yang mengajarkan
bahwa laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak dibenarkan bercengkrama berdua.
Laki-laki hanya akan menerima tamu di Kobhung, tidak di serambi.
Tanian sifatnya terbuka dengan pembatas yang tidak permanen, tetapi untuk memasuki
tanian harus melalui pintu yang tersedia. Apabila memasuki tanian tanpa melewati pintu
maka akan dianggap tidak sopan. Orang luar, khususnya laki laki, akan berada di luar tanian
apabila dalam tanian tersebut tidak ada laki laki. Gambar berikut akan memberikan gambaran
di mana perempuan saat menerima tamu perempuan mereka dan di area itulah sesama
perempuan bisa bercengkerama. Sementara laki-laki akan ditemui oleh pihak laki-laki yang
ada di tanian lanjang.
6 Wawancara dilakukan pada Sabtu, 24 Januari 2015 di kediaman Nyi Maryam.
Foto 3: Gambar 1: Serambi rumah 1 pintu bercendela tempat perempuan menerima tamu
Gambar2: Serambi rumah 1 pintu tanpa cendela tempat perempuan menerima tamu
(Koleksi Abdul Sattar)
Kepemilikan rumah jelas sekali adalah milik keluarga perempuan. Karena
pembangunan rumah oleh perempuan, jadi apabila terjadi perceraian maka pihak laki-laki
yang harus keluar dari rumah. Prinsip ini sangat jelas terlihat pada kebiasaan atau aturan yang
berlaku, yaitu saat seorang laki laki menikah maka laki lakilah yang akan tinggal bersama di
dalam lingkungan keluarga perempuan. Artinya, laki laki adalah pihak luar karena dia
pendatang. Sistem yang demikian oleh Koentjaraningrat (1980) disebut sebagai adat
uxorilokal, yaitu sistem kekeluargaan dalam satu tempat dihuni oleh satu keluarga senior dan
keluarga batih dari anak-anak perempuannya.
Tanian lanjang itu mencerminkan uxorilokalitas dan matrilokalitas. Rumah pertama
yang terletak di barat laut merupakan rumah asal dan menjadi tempat terpenting. Rumah ini
dihuni oleh orang tua. Di rumah-rumah berikutnya, tinggal anak perempuan yang telah
menikah dengan suaminya menurut urutan umur. Yang menentukan urutan sebenarnya
adalah hari perkawinan, tetapi jarang seorang anak perempuan lebih muda menikah lebih
dahulu daripada anak perempuan yang lebih tua. Biasanya orang tua sudah mencarikan calon
ketika anaknya masih sangat muda. Setelah orang tuanya meninggal, mereka berpindah
tempat, anak perempuan tertua menempati rumah kediaman orang tuanya, dan seterusnya.
Menantu laki-laki yang pertama menjadi kepala tanian lanjang.
Dari pertimbangan tersebut jelas sekali bahwa masyarakat Madura dapat
dikelompokkan kepada masyarakat yang sebenarnya mengikuti pola garis keturunan ibu, atau
mengikuti paham matrilineal. Kemungkinan sistem ini berubah karena hadirnya pengaruh
Gambar
1 Gambar
2
Islam yang memperkenalkan paham patrilineal. Namun artefak yang tersisa tidak mengalami
perubahan.
Pertimbangan tersebut sangat masuk akal jika ditinjau berdasarkan perkembangan garis
keturunan. Menurut Koentjaraningrat (1980), perkembangan garis keturunan ibu jauh lebih
tua dibanding dengan sistem kekeluargaan dari garis keturunan laki laki. Jadi kedudukan
perempuan sangatlah penting dan istimewa bagi masyarakat Madura. Oleh sebab itu,
penghargaan yang tinggi terhadap perempuan tercermin dalam pemberian rumah kepada
anak-anak perempuannya sebagai suatu bentuk perlindungan.
Rumah dihuni oleh perempuan dan anak-anak kecil, laki laki dewasa memiliki ruang
yang berada di luar dan sifatnya sangat umum seperti kobhung. Rumah adalah milik
perempuan, keluarga memiliki kewajiban untuk membuatkan rumah bagi anak perempuan.
Perempuan adalah awal kehidupan. Demikian penting arti perempuan sehingga carok
kerapkali terjadi di Madura, salah satunya juga karena persoalan yang berhubungan dengan
perempuan. Laki laki Madura dapat memaklumi dan memaafkan kesalahan karena masalah di
luar perempuan.Tetapi bila masalahnya menyangkut perempuan, istri utamanya, maka carok
akan terjadi. Gangguan dari pihak luar terhadap perempuan menurut Ke Marhasan, tokoh
yang dituakan di Aeng Penai, merupakan penodaan terhadap kehormatan keluarga. Maka,
tambahnya, orang Madura mengenal semboyan “tembhang pote matah angok pote tolang”,7
dari pada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, dari pada menanggung malu karena
tidak bisa menjaga kehormatan keluarga lebih baik mati karena mempertahankan kehormatan
keluarga.
Bangunan rumah berdiri di atas tanah, dengan peninggian kurang lebih 40-50 cm.
Bahan lantai sangat bervariasi mulai dari tanah yang dikeraskan sampai dengan pemakaian
bahan lain seperti plesteran dan terakota. Pemakaian bahan tergantung kepada kemampuan
ekonomi masing-masing keluarga yang menempati. Bahan untuk dinding dan struktur terdiri
dari kayu, tembok, bamboo atau bidik.8 Penutup atap menggunakan genteng. Sementara
bahan pintu utama rumah selalu terbuat dari kayu, sedangkan ukiran hanya digunakan pada
masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi.
7 Penulis beruntung bisa bertemu dengan Ke Marhasan ini karena selain tokoh yang dituakan di Aeng
Penai, beliau sangat komunikatif. Wawancara dilakukan pada 25 Januari 2015 di kediaman beliau. 8 Bidik atau dinding rumah yang terbuat dari bambu yang dianyam, dalam masyarakat Madura sering
disebut “tabing.”
Foto 4: Rumah yang berdiri di atas tanah yang sudah ditinggikan 40-50 CM
(Koleksi Abdul Sattar)
6. 2. Kobhung
Kobhung, sebagaimana dinyatakan Mansurnoor (1990) berada di ujung barat (kiblat)
yang merupakan bangunan ibadah keluarga. Berfungsi sebagai pusat aktivitas laki laki yaitu
transfer nilai religi kepada juniornya, sebagai tempat bekerja pada siang hari, tempat
menerima tamu, tempat istirahat dan tidur bagi laki laki, serta dipakai untuk melakukan ritual
keseharian, dan juga sebagai gudang hasil pertanian.
Secara umum, apa yang dinyatakan Mansurnoor tersebut benar karena dari pengamatan
penulis, terlihat bahwa kobhung merupakan tempat dengan multifungsi. Sholat, berkumpul,
istirahat siang hari, dan menerima tamu adalah aktivitas rutin yang selalu digelar laki-laki
Madura di tempat ini. Selain untuk tempat ibadah, Kobhung juga menjadi tempat bagi lelaki
dewasa sekaligus menjadi kamar tidur bagi remaja laki-laki karena mereka tidak punya
tempat untuk tidur di dalam rumah. Namun, sejauh pengamatan penulis terhadap 109
kobhung yang ada di Aeng Penai, tidak ditemukan satu kobhung pun yang digunakan sebagai
tempat untuk menyimpan hasil pertanian. Hasil pertanian seperti jagung dan padi tadah hujan
justru disimpan di dapur atau kandang.
Kobhung selalu terbuka, seandainya ada tutupnya pun bukanlah berbentuk pintu seperti
halnya rumah hunian, melainkan sekedar pintu rakitan yang biasanya terbuat dari bambu
yang tersusun jarang-jarang. Mengenai desain pintu kobhung yang seperti ini, salah satu cucu
Nyi Murinti, Abdul Hamid, menjelaskan agar bagian dalam kobhung yang biasa dipakai
Tempat perempuan
terima tamu
untuk shalat tidak dimasuki ayam. Namun, tambah Abdul Hamid, desain terbuka itu lebih
dimaksudkan agar laki-laki bisa mengawasi semua anggota keluarganya, khususnya
perempuan.9
Kobhung berukuran relatif kecil dibandingkan dengan rumah, berstruktur panggung
dengan tiang-tiang kayu atau bambu setinggi 40-50 cm. Semua kobhung yang ada di Aeng
Penai pun berstruktur panggung. Sangger atau lantai terbuat dari bambu, kayu, ataupun
perkerasan bila tidak berstruktur panggung, memiliki dinding belakang, kanan dan kiri.
Bahan dinding terbuat dari bambu, kayu, atau tembok. Penutup atap rata-rata genteng, namun
ada pula yang terbuat dari daun siwalan (di Madura dikenal dengan sebutan daun trebung).
Semua ini tergantung pada kemampuan ekonomi pemiliknya. Tiang penyangga bisa empat
bisa juga delapan, dengan bahan utama dari kayu atau bambu yang kuat, atau biasa disebut
perreng tongga’an.10
Foto 5: Penulis bersama Nyi Murinti, putrinya dan cucunya di Kobhung
(Koleksi Abdul Sattar)
6. 3. Kandhang dan Dapor
Tata letak kandhang (kandang) dalam permukiman tidak memiliki posisi yang pasti,
artinya letaknya dapat berubah sesuai dengan kebutuhan. Pada pemukiman awal perletakan
kandang cenderung di sisi selatan berhadapan dengan rumah tinggal. Kandang terbuat dari
bahan bambu atau kayu dengan atap daun siwalan atau genteng. Sementara itu, dinding
terdiri atas bamboo atau kayu. Masing masing keluarga memiliki kandang sendiri-sendiri.
9 Wawawancara dilakukan tanggal 26 Januari di Kediaman Abdul Hamid yang sekarang sudah menikah
dan tinggal di rumah istrinya. 10
Perreng tonggaan adalah ruas pohon bambu yang bagian bawah.
Kobhung
Bahan bangunan yang digunakan juga sangat variatif sesuai dengan kemampuan ekonomi
keluarga tersebut.
Saat ini banyak masyarakat yang tidak memiliki ternak sehingga tidak semua tanean
memiliki kandang. Ternak adalah satu kebutuhan utama bagi mereka yang kehidupannya
menggantungkan pada pertanian. Dapor (dapur) bagi masyarakat Madura selain sebagai
tempat untuk mempersiapkan makanan bagi keluarga, berfungsi juga sebagai tempat
menyimpan hasil panen seperti jagung, umbi-umbian, dan lain lain. Dapor identik dengan
aktivitas perempuan karena aktivitas perempuan banyak dilakukan di tempat ini. Tata letak
dapor dalam tanean tidak tetap, pada susunan awal dapur kebanyakan bersebelahan dengan
kandang, tetapi bisa juga di sebelah kobhung, di samping rumah maupun di belakang rumah.
Foto 6: Posisi dapor dan kandhang dalam tanian lanjang
(Koleksi Abdul Sattar)
7. Metamorfosis Tanian Lanjang
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pola tanian lanjang tidak selamanya mengikuti
pola permanen dan kaku. Akan tetapi, ada beberapa pola yang selalu ada dan menjadi ciri
utama tanian lanjang. Ciri utama ini tetap dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat
Madura bahkan oleh komunitas Madura yang telah melakukan migrasi ke beberapa wilayah
lain seperti Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Probolingo. Begitu tanian lanjang
terbentuk, maka ciri-ciri ini selalu melekat di dalamnya. Ciri-ciri utama yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
Pertama, selalu ada rumah tongghuh yang dibangun di ujung paling barat pada deretan
utara dan menghadap ke selatan. Sampai saat ini belum pernah terjadi rumah tongghuh
D
a
p
o
r K
a
n
d
h
a
n
g
berubah tempat atau digeser ke selatan menghadap ke utara atau berubah menjadi bangunan
rumah baru yang dibangun di timur menghadap ke barat dan berhadap-hadapan dengan
kobhung. Kedua, rumah tongghuh maupun rumah-rumah lain yang dibangun berikutnya tetap
menjadi wilayah privat bagi perempuan karena mereka tetap menjadi penghuni sekaligus
pemilik rumah-rumah itu sebagai warisan dari orang tua mereka. Ketiga, selalu ada kobhung
yang dibangun di ujung barat tanian lanjang dan tetap dibangun dengan desain terbuka dan
menghadap ke timur.
Di luar ketiga hal tersebut, pola tanian lanjang sudah bermetamorfosis dengan berbagai
ragam bentuk dan pola. Kandhang dan dapor yang pada pola tanian lanjang tempo dulu
dibangun di sebelah selatan tanian lanjang menghadap ke utara, maka begitu jumlah anak
perempuan bertambah banyak dan lahan yang tersedia tidak cukup luas, maka kandhang dan
dapor seringkali dipindah ke samping kanan atau kiri kobhung. Lahan di selatan yang semula
buat kandhang dan kobhung berubah menjadi bangunan rumah baru untuk anak perempuan
yang baru menikah. Bahkan untuk banyak kasus, deretan selatan sama sekali tidak didirikan
bangunan apapun. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, termasuk di Aeng Penai otomatis
lahan yang tersedia semakin sempit. Dengan terbatasnya lahan, saat ini sudah banyak
bermunculan rumah-rumah baru yang tidak lagi dibangun berdasarkan konsep tanian
lanjang, tetapi cukup disesuaikan dengan lebar lahan yang tersedia.
8. Simpulan
Tanian lanjang adalah komplek permukiman dengan halaman yang memanjang dari
barat ke timur di mana ada beberapa rumah yang menjadikan halaman ini sebagai halaman
bersama. Pemukiman ini diawali dengan sebuah rumah induk yang disebut dengan tongghuh
sebagai rumah cikal bakal atau leluhur suatu keluarga. Tongghuh dilengkapi dengan kobhung,
kandhang, dan dapor. Apabila sebuah keluarga memiliki anak yang berumah tangga,
khususnya anak perempuan, maka orang tua akan membuatkan rumah bagi anak perempuan
dan dibangun persis di sebelah timur rumah tongghuh. Bila ada anak perempuan lagi yang
menikah, maka rumah baru akan dibangun lagi disebelah timurnya. Begitu seterusnya.
Susunan rumah tanian lanjang adalah berdasarkan hirarki dalam keluarga dan dari arah
barat ke timur sesuai urutan tua-muda. Untuk mengetahui urutan tua-muda dalam tanian
lanjang cukup dengan melihat penghuni yang menempati urut-urutan rumah yang ada.
Semakin ke barat semakin tua. Timur adalah lambang hidup baru atau kelahiran dan barat
lambang senja atau kematian. Itulah sebabnya orang yang lebih tua tinggal di bagian barat,
yang muda di bagian timur.
Perempuan memiliki posisi yang istimewa dalam tradisi masyarakat Madura. Ketika
anak perempuan menikah, maka orang tua mempunyai “keharusan” untuk membuatkan
rumah buat mereka. Para orang tua biasanya menerima menantunya untuk tinggal di rumah
yang disiapkan buat putrinya. Garis keturunan masyarakat Madura adalah matrilineal. Hal ini
tampak pada tata atur dan kepemilikan rumah. Rumah identik dengan perempuan, artinya
perempuan adalah pemilik sekaligus pemakai rumah yang sekaligus menjadi warisan bagi
mereka saat orang tua meninggal.
Kobhung sebagai bagian dari bangunan selalu berdiri di ujung barat tanian lanjang dan
tetap dibangun dengan desain terbuka dan menghadap ke timur. Dengan desain terbuka ini
laki-laki bisa mengawasi semua anggota keluarganya, khususnya perempuan. Kobhung
merupakan tempat dengan multifungsi. Sholat, berkumpul, istirahat siang hari, dan menerima
tamu adalah aktivitas rutin yang selalu digelar laki-laki Madura di tempat ini. Selain untuk
tempat ibadah, kobhung juga menjadi tempat bagi lelaki dewasa sekaligus menjadi kamar
tidur bagi remaja laki-laki karena mereka tidak punya tempat untuk tidur di dalam rumah.
Pola tanian lanjang tidak selamanya mengikuti pola permanen dan kaku. Akan tetapi,
ada beberapa pola yang selalu ada dan menjadi ciri utama tanian lanjang. Ciri utama yang
dimaksud terdiri dari tiga hal, yaitu 1) adanya rumah tongghuh yang dibangun di ujung paling
barat pada deretan utara dan menghadap ke selatan; 2) rumah tongghuh maupun rumah-
rumah lain yang dibangun berikutnya tetap menjadi wilayah privat bagi perempuan karena
mereka tetap menjadi penghuni sekaligus pemilik rumah-rumah itu sebagai warisan dari
orang tua mereka; dan 3) selalu ada kobhung yang dibangun di ujung barat tanian lanjang
dan tetap dibangun dengan desain terbuka dan menghadap ke timur. Di luar ketiga hal ini,
pola tanian lanjang sudah bermetamorfosis dengan berbagai ragam bentuk dan pola. Bahkan
dengan bertambahnya jumlah penduduk dan terbatasnya lahan, saat ini sudah banyak
bermunculan rumah-rumah baru yang tidak lagi dibangun berdasarkan konsep tanian
lanjang, tetapi cukup disesuaikan dengan lebar lahan yang tersedia.
Daftar Pustaka
Heng, Jekhi dan Aji Bayu Kusuma. 2013. “Konsepsi Langgar Sebagai Ruang Sakral Pada
Tanean Lanjang.” Jurnal Astitektur Komposisi, Program Arstektur Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
Jakub, Sumarjo. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogjakarta: Kalam.
Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Mansurnoor, Iik Arifin. 1990. Islam: In Indonesian World Ulama of Madura. Yogjakarta:
Gadjahmada Press.
Srilestari, Rosalia Niniek. 1997. Bentukan Arsitektur Tropis Dalam Kaitannya Dengan
Kenyamanan Thermal Pada Rumah Tinggal Tradisional (Studi Kasus Rumah Tinggal
di Sumenep Madura).” Tesis Program Magister Tehnik Arsitektur Universitas
Diponegoro, Semarang.
Tulistyanto, Lintu. 2005. “Makna Ruang Pada Tanean Lanjang di Madura” dalam Dimensi
Interior, Vol. 3, No. 2, Desember 2005. Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni dan
Desain, Universitas Kristen Petra Surabaya. http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/
(Diakses pada tanggal 15 Pebruari 2015).
Wijaya, A. Latief. 2002. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.
Yogjakarta: LKIS.
Dari jaringan internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanean_Lanjhang
http://kurratulainie25.blogspot.com/2013/04/kebudayaan-tanean-lanjhang.html
http://lodyvaliant.blogspot.com/2014/03/tulisan-bebas-mengenai-ilmu-budaya.html
http://pindotutuko.blogspot.com/2008/12/pengaruh-pola-hunian-tanean-lanjang.html
http://puslit.petra.ac.id/journals/interior
http://roykusuma28md.blogspot.com/2014/11/tanean-lanjhang-budaya-perumahan-khas.html
http://video.kompas.com/read/2014/04/04/1111/exotic.living.tanean.lanjang.madura.bagian.1
http://www.berita86.com/
http://www.eastjava.com/tourism/situbondo/ina/tanian-lanjang.html
http://www.lontarmadura.com/tanean-lanjeng-nilai-kekerabatan-masyarakat-
madura/#ixzz3SClBAbKu
Lampiran
Galeri Variasi Pola Tanian Lanjang
Tanean Lanjang
Rumah
Kobhung
Kandhang+Dapor