Panalungtik: Jurnal yang memuat kajian gagasan dan informasi tentang budaya dan kehidupan masa lalu e-ISSN: 2621-928X
Vol. 1(1) , Juli 2018, pp 41-60 DOI : https://doi.org/10.24164/pnk.v1i1.5
41
TATA RUANG KOTA CIAMIS
PASCAPERDAGANGAN DUNIA ABAD KE-19 – 20
Spatial City of Ciamis after the World Trade of the 19th - 20th Century
Nanang Saptono
Balai Arkeologi Jawa Barat, Jalan Raya Cinunuk km 17, Cileunyi, Bandung 40623
E-mail: [email protected]
Naskah diterima 15 April 2018 – Revisi 30 Juni 2018
Disetujui terbit 27 Juli 2018 – Diterbitkan secara online 31 Juli 2018
Abstract
The capital of Ciamis Regency has experienced several displacements. During the reign of Raden
Adipati Aria Kusumadiningrat the development of the capital was encouraged to develop into a
city. After the kulturstelsel era, many European capitalists invested in Ciamis. At the beginning of
the 20th century economic infrastructure, especially the means of distribution of commodities is
much needed. Building economic facilities have sprung up in several locations in Ciamis. Such
conditions result in the development of the city. This study aims to get a picture of the spatial
layout of Ciamis and the city development process. The research method applied descriptive
research. Data collection is done through direct observation in the field and accompanied by the
utilization of instrument in the form of ancient maps. In the area of Ciamis City there are still some
old building objects that can be used as a spatial bookmark of the city. At a glance the city's
development spontaneously, but visible on the basis of existing infrastructure, in the 20th century
the city of Ciamis showed a planned city. The growth of Ciamis city is of course influenced by
several factors including economic and geographical factors.
Keywords: city, layout, planned, industrial area
Abstrak
Ibukota Kabupaten Ciamis telah mengalami beberapa kali perpindahan. Pada masa pemerintahan
Raden Adipati Aria Kusumadiningrat pembangunan ibukota digalakkan hingga berkembang
menjadi kota. Sesudah masa kulturstelsel, kaum kapitalis Eropa banyak yang menanamkan modal
di Ciamis. Pada awal abad ke-20 prasarana perekonomian khususnya sarana distribusi barang
komoditi banyak diperlukan. Bangunan fasilitas perekonomian bermunculan di beberapa lokasi di
Ciamis. Kondisi seperti itu berakibat pada perkembangan kota. Kajian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran tata ruang kota Ciamis dan proses perkembangan kota. Metode penelitian
menerapkan penelitian deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung di
lapangan dan disertai pemanfaatan instrument berupa peta-peta kuna. Di wilayah Kota Ciamis
masih terdapat beberapa objek bangunan lama yang dapat dijadikan penunjuk tata ruang kota.
Secara sepintas perkembangan kota berjalan secara spontan, tetapi yang terlihat berdasarkan
tinggalan infrastruktur yang ada, pada abad ke-20 kota Ciamis menunjukkan kota yang terrencana.
Pertumbuhan kota Ciamis tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor ekonomis
dan geografis.
Kata kunci: kota, tata ruang, direncanakan, kawasan industri
Panalungtik Vol. 1, No. 1, Juli 2018: 41-60
42
PENDAHULUAN
Permukiman merupakan
kebutuhan pokok bagi masyarakat yang
berada pada tingkat budaya menetap.
Kondisi geomorfologis suatu wilayah
merupakan salah satu syarat dalam
pertimbangan pembentukan permukiman.
Pada masyarakat Sunda terdapat
semacam pedoman untuk memilih suatu
lokasi yang cocok dijadikan permukiman.
Pemilihan lahan dengan memperhatikan
bagaimana letaknya, kemiringannya,
riwayat pemakaiannya, warna dan aroma
lahan, serta bentuk alamiah lahan. Salah
satu naskah kuna yang menjelaskan hal
tersebut adalah Teks Warugan Lemah.
Pada teks ini diterangkan kondisi
geomorfologis suatu daerah yang cocok
dan tidak cocok untuk dijadikan
permukiman. Sebagai contoh, lokasi
dengan geomorfologis berada pada lereng
timur bukit dengan kontur miring ke arah
utara merupakan lahan yang cocok untuk
permukiman. Lahan seperti itu disebut
talaga hangsa. Selain itu tanah yang
membentuk bukit dengan lahan datar di
atasnya (ngalingga manik), lahan
memotong bukit (singha purusa), dan
lahan yang datar (sumara dadaya) juga
merupakan lahan yang bagus untuk
permukiman (Gunawan, 2010). Salah
satu contoh kota di Jawa Barat yang
secara geomorfologis sesuai dengan
konsep Warugan Lemah adalah
Majalengka. Lahan kota Majalengka
condong ke arah utara yang merupakan
lahan talaga hangsa yang baik untuk
permukiman (Saptono, 2014, hal. 48).
Kondisi geografis dan
geomorfologis suatu wilayah memang
sering dijadikan dasar pertimbangan
untuk dijadikan permukiman. Kota-kota
kuna di seluruh dunia kebanyakan berada
di dekat aliran sungai. Sebagaimana
masyarakat Sunda, masyarakat Jawa juga
mempunyai dasar-dasar pertimbangan
untuk menjadikan suatu lahan menjadi
permukiman. Kota Yogyakarta yang
dibangun oleh Sultan Hamengku
Bhuwana I pada tahun 1755, dalam
pemilihan lokasinya juga
mempertimbangkan faktor
geomorfologis. Lokasi Kota Yogyakarta
berada di antara Gunung Merapi dan
Lautan Hindia, dan diapit enam sungai
(Sungai Progo, Bedog, Winongo di barat
serta Sungai Code, Gajah Wong dan
Opak di timur). Menurut kajian Revianto
dan Sri Suwito (2008) sebagaimana yang
dikutip Suryanto dan kawan-kawan,
lokasi Kota Yogyakarta dinilai sebagai
lokasi yang istimewa, karena memenuhi
syarat-syarat sebagai kedudukan ibu kota
kerajaan (Suryanto, Djunaedi, &
Sudaryono, 2015, hal. 237).
Selain lokasi, kota-kota
tradisional di Indonesia juga dibangun
mengikuti pola-pola tataruang tertentu.
Pada masa pertumbuhan kerajaan-
kerajaan Islam syarat-syarat pada
tataruang kota adalah adanya rumah
untuk raja (keraton), alun-alun, pasar, dan
masjid. Kota-kota tradisional yang
merupakan warisan dari tradisi India
merupakan cerminan kemauan jagad raya
(cosmic pretentions) sang raja
(Basundoro, 2016, hal. 41). Meskipun
pada masa prasejarah sudah terbentuk
adanya koloni-koloni masyarakat, namun
perkembangan kota di Indonesia secara
tegas dimulai sejak adanya pengaruh
budaya India. Secara umum berdasarkan
sejarah pertumbuhan aglomerasi di
Tata Ruang Kota Ciamis…..( Nanang Saptono )
43
Indonesia dapat dibagi dalam empat
periode. Periode I (abad ke-3 – 9 M),
sudah ada bukti hubungan antara Asia
Tenggara dengan Cina dan sudah tumbuh
aglomerasi namun belum ditemukan
bukti. Tinggalan arkeologis yang
mengarah kepada adanya aglomerasi
adalah kompleks percandian Batujaya di
Karawang, percandian Dieng, Borobudur,
dan percandian di sekitar Prambanan.
Periode II (abad ke-9 – 14 M),
peninggalan tertulis menyebutkan adanya
pemerintahan Kadhiri, Singhasari, hingga
Majapahit. Pada periode ini kota pertama
yang ditemukan adalah bekas ibukota
Majapahit di Trowulan. Hingga abad ke-
14 banyak diberitakan pada prasasti
pusat-pusat pemerintahan tradisional di
pinggiran sungai yang dapat dilayari.
Periode III (abad ke-15 – 18 M), sejak
runtuhnya Kerajaan Majapahit berdiri
kerajaan baru di pesisir. Kota-kota seperti
Gresik, Demak, Cirebon, dan Banten
bermunculan. Kota-kota tersebut berada
pada semenanjung atau delta sungai yang
dapat dilayari. Masa ini merupakan masa
perdagangan dunia yang dipelopori oleh
bangsa-bangsa Eropa. Sejak sekitar 1780
beberapa kota di utara Jawa sudah
dikuasai bangsa Eropa. Kota-kota di
pedalaman seperti Yogyakarta, Kartasura,
dan Surakarta masih tetap berdiri sebagai
pusat pemerintahan pribumi. Periode IV
(abad ke-19 – 20 M), merupakan babak
baru bagi kota-kota di Indonesia
khususnya Jawa. Revolusi industri di
Eropa mengakibatkan meningkat
tajamnya kebutuhan bahan mentah seperti
produk perkebunan, rempah-rempah, dan
bahan mineral. Kebijakan kulturstelsel
masa pemerintahan Van den Bosch dan
kebijakan politik etis berpengaruh besar
pada perkembangan kota-kota (Pontoh &
Kustiwan, 2009, hal. 66-72).
Di kawasan Ciamis gejala
aglomerasi hingga membentuk suatu kota
sudah muncul sejak masa Kerajaan
Sunda. Prasasti Kawali I menyebutkan
nama Prabu Raja Wastu yang berkuasa di
kota Kawali. Raja ini yang memperindah
keraton Surawisesa. Di sekeliling Kota
Kawali terdapat parit yang dapat
memakmurkan desa (Nastiti & Djafar,
2016, hal. 108). Parit dimaksud mungkin
berupa saluran irigasi. Surutnya
kekuasaan Kerajaan Sunda dan mulai
berpengaruhnya pemerintahan
berlatarkan budaya Islam membawa
perubahan di Ciamis. Pada 1595
Panembahan Senopati dari Mataram
berhasil menanamkan kekuasaannya di
Ciamis, yang ketika itu disebut Galuh,
dengan cara mengangkat Wedana
Mataram di Galuh. Pada masa
pemerintahan Raden Adipati Aria
Kusumadiningrat yang lebih dikenal
dengan sebutan Kangjeng Prabu,
pembangunan ibukota Galuh digalakkan
hingga Galuh berkembang menjadi kota
Ciamis sekarang. Pembangunan dimulai
pada 1853 yaitu dengan pendirian
Keraton Selagangga. Pada 1872 dibangun
Jambansari dan kompleks pemakaman
keluarga bupati. Antara 1859 – 1877
beberapa gedung dibangun antara lain
gedung kabupaten. Sesudah itu dibangun
gedung untuk Asisten Residen Galuh.
Selain itu juga dibangun tangsi militer,
penjara, masjid agung, gedung untuk
kontrolir, dan kantor telepon (Lubis,
2013).
Selain tekanan dari Mataram,
Galuh atau Ciamis juga mendapat
Panalungtik Vol. 1, No. 1, Juli 2018: 41-60
44
tekanan dari pemerintah kolonial. Pada
1729 melalui Residen Cirebon para
bupati diperintahkan untuk
mengharuskan rakyatnya menanam kopi.
Di Kabupaten Galuh, rakyat selain
dipaksa menanam kopi juga diharuskan
menanam nila. Pada abad ke-19 – 20 di
kawasan Ciamis selatan terdapat
perkebunan milik kalangan swasta Eropa
(Breman, 2014).
Penelitian tentang Ciamis sudah
beberapa kali dilakukan. Oerip
Bramantyo Boedi melakukan penelitian
tentang perkembangan pusat-pusat
pemerintahan Kabupaten Ciamis.
Perkembangan dimaksud adalah berkisar
pemerintahan sebelum disatukan menjadi
Ciamis. Beberapa lokasi pusat
pemerintahan di Ciamis adalah Kawasen,
Imbanagara, Utama atau Ciancang, dan
Bojong Lopang (Boedi, 2016). Pusat-
pusat pemerintahan pada masa itu belum
dapat dikatakan sebagai kota.
Selanjutnya, Lia Nuralia
mengadakan penelitian tentang
permukiman emplasemen perkebunan.
Pada masa pemerintah kolonial Belanda
di Ciamis terdapat beberapa perkebunan
yaitu perkebunan Batulawang, Cisaga,
Mandalareh Warnasari, Pangandaran,
Putrapinggan, dan perkebunan
Cikencreng. Pada perkebunan tersebut
terdapat permukiman emplasemen yang
secara fisik ditandai dengan perumahan
dan fasilitas pabrik (Nuralia, 2016). Pada
awalnya di kawasan Ciamis terdapat
beberapa pusat pemerintahan berupa
permukiman kecil. Selanjutnya, pada
awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20
di Ciamis terdapat pemodal yang
membuka beberapa perkebunan.
Di antara awal perkembangan dan
era revolusi industri, kota Ciamis
mengalami perkembangan hingga dapat
disebut sebagai kota. Dalam konteks ini,
Ciamis sebagai kota dipandang bahwa
pemukiman tersebut sebagai lingkungan
artifisial di mana elemen-elemen fisik,
sosial, dan ideologis saling berinteraksi
dengan cara-cara khas. Di samping itu,
Ciamis bila dilihat dalam kaitannya
dengan beberapa pemukiman di
sekitarnya merupakan bagian dari sistem
yang lebih luas, karena pada dasarnya
kehidupan kota tidak dapat dipisahkan
dari wilayah penyangganya. Penduduk,
energi, informasi, barang, dan jasa bebas
keluar masuk melalui perbatasan agar
kota dapat mempertahankan atau
mengembangkan dirinya. Keseimbangan
gerak antara masukan (input) dan
keluaran (output) terkendali melalui
transportasi (Rahardjo, 2007).
Berdasarkan latar belakang tersebut,
terdapat permasalahan yang perlu
diaungkap yaitu bagaimana tata ruang
kota Ciamis serta sumberdaya atau
komoditas apa yang ada pada waktu itu
sehingga kota Ciamis dapat berkembang.
METODE
Kehidupan sehari-hari manusia
seperti halnya makhluk hidup lainnya
dipengaruhi dan mempengaruhi
lingkungannya. Berbeda dengan makhluk
hidup lainnya, hubungan timbal balik
manusia dengan lingkungan sekitarnya
dipengaruhi oleh sistem budaya yang
dimilikinya. Dengan demikian faktor
budaya ini sangat penting bagi manusia
untuk melakukan proses adaptasi dengan
lingkungannya (Iskandar, 2001, hal. 7).
Antara kebudayaan dan lingkungan alam
Tata Ruang Kota Ciamis…..( Nanang Saptono )
45
terdapat hubungan timbal balik.
Kontinyuitas perkembangan kebudayaan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
alam dan begitu pula sebaliknya. Menurut
Koentjaraningrat culture (kebudayaan)
berasal dari kata Latin colere yang berarti
“mengolah, mengerjakan,” terutama
mengolah tanah atau bertani. Berdasarkan
arti kata tersebut, kebudayaan dapat
dimaknai “segala daya upaya serta
tindakan manusia untuk mengolah tanah
dan mengubah alam.”
Dalam perkembangannya,
kebudayaan tidak hanya diartikan seputar
bercocok tanam. Kebudayaan merupakan
berbagai hal yang merupakan hasil cipta,
rasa, dan karsa manusia. Pada masyarakat
yang kehidupannya sangat kompleks,
wujud budayanya akan meliputi juga
sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni
bangunan, seni rupa, dan sistem
kenegaraan. Wujud kebudayaan seperti
itu disebut peradaban atau civilization
(Koentjaraningrat, 1990, hal. 182).
Tingginya tingkat peradaban manusia
tersebut dipengaruhi oleh faktor interaksi
dan strategi adaptasi dengan lingkungan.
Ketergantungan manusia terhadap air
terjadi sepanjang masa. Salah satu teori
menyebutkan bahwa perkembangan
peradaban manusia juga dipengaruhi oleh
adanya sistem tata kelola air. Teori
Oriental Despotism (Wittfogel, 1967),
berisi tentang hydraulic society yang
diambil dari studi tentang adanya
despotisme dalam masyarakat pengguna
air sungai - di sekitar sungai-sungai Nil,
Indus, dan Yang Tse Kiang. Di sana bisa
timbul raja yang berkuasa mutlak untuk
membagikan air. Secara tradisional,
masyarakat Bali mengenal sistem
organisasi subak untuk mengatur air.
Ciamis merupakan wilayah
penghasil padi yang banyak bergantung
dengan masalah air. Selain padi, Ciamis
juga menghasilkan produk hasil
perkebunan tanaman keras.
Perkembangan permukiman di Ciamis
berkaitan dengan proses distribusi hasil
produksi ke wilayah lain. Dalam hal ini
teori tentang berkembangnya suatu kota
didorong oleh perdagangan dapat
diujicobakan di Ciamis. Pada mulanya
kota hanya berupa tempat pertemuan
pedagang. Karena lokasi yang strategis
disertai perkembangan perdagangan jarak
jauh mendorong munculnya suatu kota.
Dapat dikatakan sebagai faktor utama
yang menyebabkan tumbuhnya
permukiman hingga munculnya kota
adalah adanya kerjasama dan persaingan
antar individu atau kelompok, sehingga
masyarakat berkembang dari homeostatis
menjadi masyarakat heterogen (Flannery,
1979, hal. 32).
Ciamis resmi menjadi daerah
otonom sejak berdiri sendiri sebagai
kabupaten pada 1642. Mulai pertengahan
abad ke-19 Ciamis yang masih disebut
Galuh merupakan sentra produksi
perkebunan khususnya kelapa (minyak)
yang terus berlangsung hingga sekarang.
Di antara sentra produksi juga terdapat
permukiman yang menjalankan proses
produksi hingga distribusi. Proses
produksi berkembang dengan pesat mulai
pemerintah Hindia Belanda menjalankan
politik preangerstelsel dengan
membangun jaringan irigasi dan
prasarana transportasi berupa jaringan
kereta api lokal. Oleh karena itu
pengetahuan seputar perkembangan
permukiman dalam kaitannya dengan
pembangunan prasarana fisik menjadi
Panalungtik Vol. 1, No. 1, Juli 2018: 41-60
46
kebutuhan untuk dimengerti. Agar kajian
lebih terarah maka ruang lingkup dibatasi
pada pengetahuan tentang unsur fisik
pemukiman kota beserta penunjangnya.
Pengetahuan ini tidak terbatas pada objek
fisik tetapi menyangkut juga dengan latar
belakang sejarah. Oleh karena itu ruang
lingkup kajian adalah pengamatan
kondisi umum dan penggalian peristiwa
sejarah yang berkaitan dengan kota
Ciamis.
Data yang diperlukan dalam
mencakup data arkeologis yang terdapat
di wilayah Ciamis terutama yang
berhubungan dengan permukiman. Data
yang dimaksud adalah kondisi
lingkungan, fasilitas jaringan transportasi,
bangunan-bangunan, dan unsur
permukiman lain. Berdasarkan data
tersebut selanjutnya ditarik satu sintesa
mengenai pola kota Ciamis.
Penelitian ini menerapkan metode
deskriptif. Langkah penelitian melalui
observasi langsung di lapangan.
Pengumpulan data melalui observasi
permukaan sangat tepat digunakan untuk
jangkauan yang luas sehingga sesuai bagi
studi kawasan (Manamon, 1984, hal.
242). Dalam rangka mengumpulkan data
selain pengamatan terhadap objek juga
dilakukan wawancara dengan nara
sumber yang dinilai mengetahui berbagai
keterangan berkaitan dengan objek yang
ada. Berdasarkan objek yang ada di
lapangan kemudian dilakukan analisis
untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Data primer tidak hanya diharapkan dari
observasi lapangan tetapi juga melalui
arsip dan peta-peta lama. Selain data
primer, juga akan dikumpulkan data
sekunder melalui penelaahan hasil
penelitian terdahulu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Ciamis
Sejarah Ciamis dapat diawali
dengan Kerajaan Galuh (Lubis, Falah,
Nugraha, Saringendyanti, Darsa, &
Kartika, 2013). Sebelumnya di daerah
Ciamis memang sudah pernah bediri
kerajaan yang kemudian dikenal dengan
Kerajaan Sunda Galuh. Pada tahun 1579
Kerajaan Sunda runtuh. Sejak itulah
Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh
tampil sebagai penguasa Kerajaan Galuh
yang berdiri sendiri. Pada tahun 1595,
Mataram di bawah pimpinan
Panembahan Senopati berhasil
menancapkan pengaruh politiknya di
Kerajaan Galuh. Pada waktu itu Maharaja
Sanghyang Cipta Di Galuh memberikan
kekuasaan kepada kedua anaknya.
Rangga Permana berkuasa di Kertabumi
dan Sanghyang Permana di Kawasen.
Pada tahun 1601 Sultan Agung
menggantikan Panembahan Senopati di
Mataram (Graaf, 2002). Perubahan
kekuasaan ini berdampak pula pada
suasana di Galuh. Sultan Agung mulai
memperkuat kekuasaannya di Galuh
dengan mengangkat Adipati Panaekan
sebagai Wedana Mataram di Galuh. Pada
tahun 1625 Adipati Panaekan dibunuh
oleh Adipati Singaperbangsa. Sebagai
penggantinya kemudian Sultan Agung
mengangkat Mas Dipati Imbanagara.
Ketika Mataram berusaha merebut
Batavia dari tangan VOC, Mas Dipati
Imbanagara memberikan bantuan
pasukan di bawah pimpinan Bagus
Sutapura. Karena jasa-jasanya, pada
tahun 1634 Bagus Sutapura diangkat
menjadi Bupati Kawasen. Tahun 1653
Bagus Sutapura meninggal dunia dan
kedudukan bupati digantikan oleh
Tata Ruang Kota Ciamis…..( Nanang Saptono )
47
Tumenggung Sutanangga. Bupati baru ini
memerintah hingga tahun 1676. Wilayah
Kawasen kemudian disatukan dengan
Kabupaten Galuh Imbanagara.
Pada tahun 1636 terjadi peristiwa
penting di Imbanagara. Mas Dipati
Imbanagara dituduh melakukan
pembangkangan terhadap Mataram. Pada
tahun itu Bupati Mas Dipati Imbanagara
dihukum mati. Mas Bongsar yang masih
berusia 13 tahun kemudian ditunjuk
menggantikan Mas Dipati Imbanagara
menjadi Bupati Galuh yang
berkedudukan di Gara Tengah. Karena
belum cukup dewasa maka pelaksanaan
pemerintahan dipegang secara perwalian
oleh Patih Wiranangga. Ketika pulang
dari Mataram untuk menerima piagam
pengangkatan, Patih Wiranangga
mengubah piagam sehingga dialah yang
diangkat sebagai Bupati Galuh Gara
Tengah. Pemalsuan piagam ini akhirnya
terbongkar dan Patih Wiranangga
kemudian dihukum mati. Pelaksanaan
hukuman mati tidak berlangsung karena
Mas Bongsar memohonkan ampun. Pada
5 Rabiul Awal tahun Je (6 Agustus 1636)
Mas Bongsar diangkat sebagai Bupati
Galuh Gara Tengah bergelar Raden Panji
Aria Jayanagara dan nama kabupatennya
dikembalikan menjadi Imbanagara.
Raden Panji Aria Jayanagara menilai
bahwa Gara Tengah merupakan ibukota
yang banyak menyimpan kenangan pahit.
Orang tua dan kakeknya terbunuh karena
konflik politik. Untuk menghilangkan
kenangan itu Raden Panji Aria
Jayanagara memindahkan pusat
pemerintahan ke Calingcing. Tidak lama
kemudian ibukota pindah lagi ke
Panyingkiran dan kemudian pada tanggal
14 Mulud tahun He (12 Juni 1642)
pindah lagi ke Barunay. Selama beberapa
tahun kemudian, kabupaten-kabupaten di
sekitar Imbanagara dihapuskan dan
bergabung dengan Imbanagara. Dengan
bergabungnya kabupaten-kabupaten
tersebut, wilayah Imbanagara meliputi
daerah dari Ci Jolang hingga pantai
selatan dan dari Ci Tanduy hingga
Sukapura. Beberpa tahun kemudian
wilayah di sebelah timur Ci Tanduy
seperti Dayeuh Luhur, Nusa Kambangan,
Cilacap, dan Banyumas masuk wilayah
Imbanagara.
Pada tanggal 19 – 20 Oktober
1677 Mataram melakukan perundingan
dengan VOC dan mencapai kesepakatan
bahwa Mataram akan menyerahkan
Priangan Timur. Penyerahan ini sebagai
balas jasa kepada VOC karena telah
membantu Mataram dalam mengatasi
intrik di istana. Pada tanggal 15
November 1684 Gubernur Jenderal
Johannes Camphuijs memerintahkan
Jacob Couper dan Joachum Michael
menangani Priangan. Pada tahun 1685
Jacob Couper meninggal. Gubernur
Jenderal Johannes Camphuijs
mengangkat Francois Tack sebagai
Komisaris Priangan. Pada November
1685 Francois Tack memerintahkan
Letnan Benyamin van der Meer
mempersiapkan rencana pengambilalihan
Priangan secara resmi dari Mataram.
Pada waktu pergantian kekuasaan
ini, bupati yang berkuasa di Imbanagara
adalah R. A. Angganaya. Pada 1693
VOC mengangkat R. Adipati Sutadinata
menggantikan R. A. Angganaya karena
meninggal dunia. VOC mewajibkan
Galuh (Imbanagara) untuk menanam
lada, kapas, dan indigo serta harus
menyerahkan hasilnya sebanyak yang
Panalungtik Vol. 1, No. 1, Juli 2018: 41-60
48
telah ditentukan. Pada 1695 Bupati R.
Adipati Sutadinata menyerahkan lada
sebanyak 180 pikul. Penyerahan hasil
bumi ini berlangsung terus pada masa-
masa kemudian.
Kekuasaan VOC di Galuh
semakin dipertegas dengan adanya
perjanjian antara Mataram dengan VOC
pada 5 Oktober 1705. Mataram harus
menyerahkan Cirebon dan Priangan.
Melalui resolusi tanggal 9 Februari 1706,
VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon
sebagai opziener para bupati di wilayah
Galuh dan Priangan. Pada waktu itu
Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh
Raden Adipati Kusumadinata I.
Pada 31 Desember 1799 VOC
dibubarkan dan kekuasaan di nusantara
diambil alih langsung oleh Kerajaan
Belanda. Gubernur Jenderal pertama
Hindia Belanda adalah Herman Wilhelm
Daendels (1808 – 1811). Pada awal masa
pemerintahan Daendels, Tatar Sunda
dibagi menjadi dua bagian. Kabupaten
Galuh dimasukkan ke dalam
Cheribonsche Preangerlanden. Pada Mei
1811 Daendels digantikan oleh Jan
Willem Jansens. Pada Agustus 1811
Belanda menyerah kepada Inggris
melalui Kapitulasi Tuntang 17 September
1811. Inggris menunjuk Thomas
Stamford Raffles sebagai Letnan
Gubernur Jenderal. Pada masa Raffles, di
Galuh terjadi tiga kali pergantian bupati.
Raden Adipati Surapraja digantikan
Raden Tumenggung Jayengpati
Kartanegara, dan selanjutnya digantikan
Raden Tumenggung Natanagara. Pada
tahun 1814 Raden Tumenggung
Natanagara digantikan oleh Pangeran
Sutajaya.
Pada 13 Agustus 1814
berdasarkan Traktat London, pemerintah
Inggris harus menyerahkan Jawa ke
pemerintah Belanda. Pada 5 Januari 1819
Komisaris Jenderal Hindia Belanda
menetapkan bahwa Galuh merupakan
bagian dari Karesidenan Cirebon. Pada
waktu itu Kabupaten Galuh dipimpin
oleh Raden Adipati Adikusuma. Pada
tahun 1839 – 1886 Kabupaten Galuh
dipimpin oleh Raden Adipati Aria
Kusumadiningrat. Pada masa ini pusat
pemerintahan Kabupaten Galuh berada di
Ciamis sekarang ini. Pada tahun 1915,
Kabupaten Galuh dimasukkan ke
Keresidenan Priangan, dan secara resmi
namanya diganti menjadi Kabupaten
Ciamis.
Unsur Pembentuk Kota Ciamis
Kota Ciamis berpusat di alun-alun
kota. Di sekeliling alun-alun terdapat
beberapa unsur bangunan dan kawasan
pembentuk kota. Di sebelah barat alun-
alun terdapat Masjid Agung, di sebelah
utara Masjid Agung terdapat kompleks
pemerintahan yang terdiri kantor Bupati
Ciamis dan Gedung Negara. Di sebelah
utara alun-alun terdapat kompleks
Pecinan yang ditandai dengan beberapa
bangunan beraksitektur Cina dan
kelenteng. Selain objek-objek tersebut
terdapat beberapa objek bangunan lama
yang merupakan unsur pembentuk kota.
a. Situs Jamban Sari
Situs Jamban Sari berada di
sebelah baratdaya alun-alun Ciamis,
secara administratif berada di wilayah
lingkungan Rancapetir, Kelurahan
Linggasari. Secara geografis berada pada
Tata Ruang Kota Ciamis…..( Nanang Saptono )
49
Gambar 1. Persebaran objek bangunan lama di Kota Ciamis (dibuat berdasarkan citra
Google Earth dan ploting lokasi)
posisi 07°19’50,5” LU dan 108°20’53,6”
BT. Geomorfologis kawasan situs berupa
pedataran. Situs berada pada lingkungan
permukiman yang tidak begitu padat.
Lahan situs Jamban Sari berdenah empat
persegi panjang, semula luasnya sekitar 5
ha. Karena sesuatu alasan sebagian lahan
dipindahtangankan oleh pewaris dan
lahan yang tersisa sekarang luasnya
sekitar 3,7 ha.
Situs Jamban Sari semula
merupakan taman untuk istirahat para
kerabat dan abdi dalem. Taman dibangun
pada tahun 1872 masa pemerintahan
Raden Adipati Aria Kusumadiningrat
(Kanjeng Prabu). Ketika Kanjeng Prabu
Wafat kemudian dijadikan kompleks
pemakaman. Kompleks situs dilengkapi
gerbang yang terdapat di sisi timur dan
selatan, sebagai gerbang utama berada di
sisi timur. Dari gerbang utama di sisi
timur terdapat jalan beraspal menuju
kompleks makam kemudian berbelok ke
selatan menuju gerbang samping di sisi
selatan. Lahan kompleks situs terdiri tiga
bagian. Lahan bagian timur terdapat
sawah yang merupakan sawah bengkok
bagi para juru kunci. Sebelum dijadikan
persawahan berupa empang ikan. Lahan
bagian baratdaya merupakan kolam yang
disebut “balong ageung”. Sebagian
kolam, yaitu yang terdapat di sebelah
barat sudah dipindahtangankan dan
sekarang berdiri bangunan pabrik. Lahan
bagian baratlaut merupakan kompleks
makam. Lahan bagian kompleks makam
lebih tinggi dari sekitar kira-kira 2,5 m.
Di bagian depan kompleks
makam, yaitu di sisi timur terdapat
gerbang paduraksa. Bagian bawah
gerbang terdapat tangga. Jalan keluar
masuk gerbang berada di tengah pada
bagian atas melengkung. Pada dinding
gerbang sebelah kiri (selatan) jalan
terdapat hiasan berbentuk oval
bertuliskan “RIDDERDER ORDE VAN
Panalungtik Vol. 1, No. 1, Juli 2018: 41-60
50
DEN NEDERLAND SCHEN LEEUW
MEDALIMAS PAJOENG KOENING”.
Pada dinding gerbang di atas jalan
terdapat hiasan medalion bertuliskan
“RADEN ADIPATIARIA
KOESOEMADINGRAT”, dan pada
dinding gerbang sebelah kanan (utara)
jalan terdapat hiasan berbentuk oval
bertuliskan aksara Arab.
Makam utama, yaitu makam
Raden Adipati Aria Kusumadiningrat
berada di ujung barat bagian tengah. Jirat
makam berada pada cungkup berdenah
segi delapan. Lantai cungkup ditinggikan
sekitar 1,5 m. Jalan menuju cungkup
berada di sisi selatan dilengkapi dengan
tangga. Pada ujung tangga terdapat rana
dengan hiasan ukiran krawangan dengan
motif matahari, pohon kelapa, bendera
merah putih, dan harimau.
Jirat makam Raden Adipati Aria
Kusumadiningrat berbentuk jirat
bertingkat. Kondisi jirat kelihatannya
sudah dipugar. Setiap sisi jirat dilapis
keramik putih. Nisan berbentuk pipih
dengan puncak berbentuk kurawal. Nisan
berhias motif flora. Pada bagian tengah
nisan terdapat bentuk medalion
bertuliskan nama tokoh degan aksara
Arab dan angka tahun.
Di sebelah utara cungkup makam
Raden Adipati Aria Kusumadiningrat
terdapat lahan melingkar yang ditumbuhi
kumpulan pohon waregu (Rhapis
excelsa). Pada lahan tersebut terdapat
beberapa benda arkeologis antara lain
berupa batu berdiri (menhir), batu bundar
dengan bagian dasar dan atas rata, dan
bejana terbuat dari tembikar. Di sebelah
timur agak ke selatan lahan melingkar
terdapat bangunan semacam museum
kecil. Di dalam bangunan ini dahulu
tersimpan 13 arca di antaranya berbentuk
arca megalitik, arca tipe pajajaran, nandi,
ganesa, dan lingga. Selain itu juga
terdapat lumpang batu dan lapik arca
(Widyastuti, 2006: 58 – 62). Arca-arca
yang terdapat di lokasi ini dikumpulkan
oleh Raden Adipati Aria
Kusumadiningrat. Pengumpulan ini
dilakukan dalam rangka dakwah agama
Islam, sehingga bagi yang mempunyai
arca atau berhala diharuskan untuk
dikumpulkan di lokasi tersebut (Sukardja,
2004: 155). Arca-arca tersebut sekarang
sudah dipindahkan ke Museum Galuh
Pakuan, Yayasan Koesoemawinata Jalan
K.H. Ahmad Dahlan No. 40, Ciamis. Di
sebelah timur cungkup makam Raden
Adipati Kusumadiningrat terdapat
bangunan cungkup yang di dalamnya
terdapat makam isteri Raden Adipati Aria
Kusumadiningrat dan beberapa
kerabatnya.
b. Kewadanaan Ciamis
Bangunan bekas Kewadanaan
Ciamis berada di sisi selatan ruas Jalan
Jenderal Sudirman No. 43, Ciamis.
Lokasi ini tepatnya berada pada posisi
geografis 7°19’35,48 LS dan
108°20’53,00” BT. Kompleks
kawadanaan dibatasi dengan ruas Jalan
Jenderal Sudirman di sebelah utara, jalan
kampung di sebelah barat, dan
permukiman di sebelah selatan dan timur.
Bangunan berada di tengah lahan. Pada
bagian depan merupakan pendapa dan
bagian belakang merupakan bangunan
untuk aktivitas wedana. Bangunan ini
sekarang dimanfaatkan untuk kantor
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Ciamis.
Bangunan pendapa di depan
berupa bangunan terbuka. Dinding
Tata Ruang Kota Ciamis…..( Nanang Saptono )
51
sebagai pembatas berupa tembok bata
berplester setinggi 1 m. Jalan keluar
masuk terdapat di sisi utara, timur, dan
barat. Lantai terbuat dari bahan ubin abu-
abu. Lantai bagian tengah ruangan
pendapa lebih tinggi 10 cm. Konstruksi
atap ditopang tiang-tiang kayu dan
konstruksi kuda-kuda. Bagian atap
berbentuk piramida berpenutup genteng.
Bagian belakang berdinding
tembok berplester. Pintu dan jendela
berukuran tinggi. Jendela dengan daun
rangkap. Daun jendela bagian luar terbuat
dari bahan kayu berbentuk jalusi,
sedangkan jendela bagian dalam kaca
berbingkai kayu. Bagian atap berbentuk
limas berpenutup genteng.
c. Pecinan dan Kelenteng Hok Tek Bio
Kawasan di sebelah timur laut
alun-alun Ciamis, berdasarkan sisa-sisa
bangunan lama yang masih ada
menunjukkan kawasan pecinan. Beberapa
bangunan lama bergaya campuran Cina –
Eropa di antaranya dapat dijumpai di ruas
Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan
Ahmad Yani, Jalan Yos Sudarso, dan
jalan raya menuju Kawali. Arsitektur
Cina tampak pada bagian atap berupa
atap pelana dengan ujung melengkung
keatas yang disebut sebagai model Ngang
Shan. Pada ruas jalan menuju Kawali
terdapat deretan rumah toko berarsitektur
Cina. Beberapa bangunan di antaranya
ada juga yang menunjukkan perpaduan
antara arsitektur Cina dengan Eropa.
Di Jalan Akhmad Yani pernah ada
kelenteng dengan altar utamanya Kongco
Hok Tek Ceng Sien. Di lokasi ini
sebelumnya pernah digunakan Kantor
Chung Hoa Chung Hwee dan sekolah
Tionghoa (Chung Hoa Sie Siauw)
sekarang terdapat Gedung Puspita.
Seorang penguasa Jepang bernama
Fukuyama, seorang Tionghoa suku
Hokian yang sejak remaja dibawa ke
Negeri Jepang dan dilatih menjadi
serdadu Jepang serta sudah tidak tahu
tentang keadaan orang tua maupun
saudara-saudaranya di negeri asalnya,
memindahkan kelenteng di lingkungan
Pecinan (sekarang Jalan Ampera II No.
17 Ciamis). Di lokasi baru dibangunlah
sebuah kelenteng dengan empat altar,
yaitu Altar Nabi Khong Cu (sebelah
barat) sekarang dipakai tempat Joli yang
baru; Altar Khongco Hok Tek Ceng Sien
pada tempatnya yang sekarang; Altar
Kongco Kwan Kong, di tempat yang
sekarang ditempati Altar Wu Lu Cai Sen,
sedang Altar Maco Kuan Im, pada tempat
yang sekarang ditempati Altar Hian
Thian Siang Tee. Altar Khongco Hok
Tek Ceng Sien merupakan pindahan dari
Chung Hoa Chung Hwee.
Pada Januari 1981 atap bangunan
Kelenteng Hok Tek Bio runtuh menimpa
altar Kongco Hok Tek Ceng Sien. Setelah
dibersihkan, Kimsin Kongco Hok Tik
Ceng Sien tidak mengalami kerusakan
sedikit pun. Bangunan yang runtuh
langsung diperbaiki. Sampai akhir tahun
1990 Kelenteng Hok Tek Bio Ciamis
mengalami masa-masa yang cukup berat.
Sumber dana sangat minim, satu-satunya
sumber dana yang rutin adalah dari
pelelangan sumbangan sembahyang King
Hoo Ping (rebutan). Itu pun kalau
penyumbangnya cukup banyak dan
barangnya habis terlelang.
Menjelang akhir tahun 1990,
dibangun pagar keliling halaman.
Perubahan situasi politik di tahun 1990
membawa Kelenteng Hok Tek Bio
Panalungtik Vol. 1, No. 1, Juli 2018: 41-60
52
Ciamis kembali mendapat perhatian dari
umat yang percaya dan mulai dihadiri
umat yang percaya dan simpatisan dari
Ciamis, Tasikmalaya, Bandung, Banjar
dan lain-lain, sehingga sedikit demi
sedikit kondisi Kelenteng Hok Tek Bio
Ciamis dapat dibenahi. Sembahyang
King Hoo Ping (rebutan) acara lelang
sumbangan persembahan sembahyang
ditiadakan diganti dengan kegiatan amal.
Mulai Oktober 2000 sampai
Pebruari 2001 dilakukan renovasi gapura
pintu gerbang dan tungku pembakaran
kertas sembahyang. Peresmian
dilaksanakan pada Jie Gwee Che Ji 2552
(24 Pebruari 2001). Pada April 2005
dimulai renovasi altar dan bangunan.
Ritual pemberkatan altar baru,
penempatan sekaligus peresmian
selesainya renovasi pada Pek Gwee Cap
Go 2556 (17 September 2005).
Bangunan Kelenteng Hok Tek
Bio Ciamis berada di sudut barat laut
simpang tiga. Di sebelah timur kelenteng
terdapat ruas Jalan Pemuda dan di
sebelah selatan (depan) merupakan ruas
Jalan Ampera II. Gerbang berada di sisi
selatan. Di kanan dan kiri jalan terdapat
arca kilin. Atap gerbang bersusun dua.
Pada puncak gerbang terdapat naga api.
Bangunan utama kelenteng terdapat di
bagian ujung utara. Di sisi barat terdapat
bangunan untuk pengurus kelenteng. Di
sudut tenggara halaman terdapat
bangunan tempat pembakaran kertas
sembahyang. Seluruh bangunan
didominasi warna merah.
d. Stasiun Kereta Api
Stasiun Kereta Api Ciamis berada
di sebelah tenggara alun-alun. Secara
geografis berada pada posisi 7°19'44.72"
LS dan 108°21'21.93" BT. Bangunan
utama stasiun berdenah empat persegi
panjang memanjang arah timur-barat.
Bangunan stasiun berarsitektur Eropa.
Unsur arsitektur Eropa terlihat pada
bentuk jendela dan pilaster yang terdapat
pada kanan kiri jalan masuk. Bangunan
utama terdiri tiga ruangan utama. Ruang
tengah merupakan ruang tunggu
penumpang. Ruang di bagian barat
berfungsi untuk operasional teknik,
sedangkan ruangan yang di bagian timur
berfungsi untuk ruang administrasi.
Di sebelah timur bangunan utama
terdapat bangunan gudang. Bangunan ini
berdenah empat persegi panjang
memanjang barat-timur. Pada sisi selatan
dilengkapi tiga pintu berdaun pintu kayu
dengan sistem buka-tutup dengan cara
digeser. Pada dinding sisi timur dan barat
dilengkapi jendela berukuran lebar dan
tinggi. Daun jendela terbuat dari kayu
berbentuk jalusi.
Di sebelah selatan bangunan
utama, pada seberang rel terdapat
bangunan tower air berdenah empat
persegi panjang. Bangunan terdiri dua
bagian, yaitu bagian bawah merupakan
tempat peralatan sumur artesis dan bagian
atas merupakan bak pengumpul air.
Bangunan bagian bawah berdinding
tembok berplester. Pintu terdapat di sisi
timur. Pada sisi utara dan selatan terdapat
jendela dengan daun jendela berbentuk
jalusi. Pada bagian atas jendela terdapat
lubang ventilasi yang pada bagian atas
berbentuk lengkung. Bak air yang
terdapat di bagian atas berbentuk persegi
terbuat dari bahan plat baja. Sambungan
antar plat dengan sistem paku keling.
e. Pabrik Bedak Sari Pohaci
Tata Ruang Kota Ciamis…..( Nanang Saptono )
53
Pabrik Bedak Sari Pohaci berada
di sisi barat Jalan Ir. H. Juanda tepatnya
berada pada posisi geografis 7°19’37,9
LS dan 108°20’14,6” BT. Pabrik berdiri
pada tahun 1927, didirikan oleh S.
Marijah. Bangunan yang tampak
sekarang dibangun tahun 1950-an.
Bangunan pabrik menyatu dengan
bangunan rumah tinggal. Bangunan
rumah tinggal berarsitektur gaya post
modern. Bagian depan dilengkapi teras.
Tiang penyangga atap teras berbentuk
persegi, bagian bawah kecil dan pada
bagian atas lebih besar. Tiang berlapis
teraso.
Bagian pabrik berada di belakang.
Bagian ini juga berarsitektur gaya post
modern. Dinding bagian bawah dihias
dengan tempelan batu. Bagian atap
berupa beton datar yang dibuat tahun
1970. Bagian atap ini berfungsi untuk
tempat menjemur bedak. Pada teras
bagian barat terdapat lumpang batu
merupakan perkakas proses pembuatan
bedak dan hingga sekarang masih
difungsikan.
Di sebelah barat bangunan rumah
tinggal terdapat bangunan masjid.
Bangunan ini diresmikan penggunaannya
pada 20 Oktober 1969 bertepatan dengan
tanggal 22 Rajab 1389 H. Bangunan
masjid dilengkapi menara yang terdapat
di sudut timur laut masjid. Puncak masjid
dan menara berbentuk kubah bawang.
f. Pabrik Tembakau Cap Gajah
Di Desa Imbanegara, Kecamatan
Ciamis terdapat tiga kompleks bangunan
bekas pabrik tembakau. Pabrik tembakau
tersebut adalah Pabrik Tembakau Cap
Gajah, Pabrik Tembakau Cap Onta, dan
Pabrik Tembakau Cap Angur. Salah satu
bangunan bekas pabrik tembakau, yaitu
Pabrik Tembakau Cap Gajah berada di
sebelah utara jalan raya yang
menghubungkan Tasikmalaya – Ciamis.
Secara geografis berada pada posisi
07°18’58,1” LS dan 108°18’17,6” BT.
Menurut keterangan pabrik ini mengolah
tembakau yang bahannya berasal dari
Kuningan dan Garut.
Lahan pabrik berdenah empat
persegi panjang memanjang arah utara –
selatan. Pada bagian depan terdapat
bangunan memanjang arah barat-timur.
Arsitektur bangunan bergaya post
modern. Lantai dari bahan ubin abu-abu.
Pada bagian belakang unit bangunan
terdapat bagian bangunan dilengkapi
dengan teras. Tiang penyangga atap teras
berlapis teraso. Lantai dari bahan ubin
berhias motif flora.
Di sebelah utara unit bangunan ini
terdapat unit bangunan lainnya yang
berdenah empat persegi panjang.
Bangunan ini dahulu berfungsi untuk
tempat pengrajang. Antara unit bangunan
depan dan belakang terdapat runtuhan
bangunan. Dengan adanya runtuhan
bangunan ini menunjukkan bahwa dahulu
antara unit depan dan belakang
merupakan satu kesatuan. Di sebelah
utara bangunan ini terdapat sisa pondasi
bangunan.
Pada ujung utara lahan terdapat
kolam ikan (balong). Di sebelah selatan
kolam pada sisi timur terdapat kompleks
makam keluarga. Makam dengan tulisan
pada nisan yang paling tua adalah makam
Abah Saleh Sarkawi berangka tahun
1949. Di sebelah selatannya lagi terdapat
kebun.
Panalungtik Vol. 1, No. 1, Juli 2018: 41-60
54
Gambar 2. Situasi bendungan Nagawiru
(dibuat berdasarkan citra Google Earth dan ploting lokasi)
g. Bendungan Nagawiru
Bendungan Nagawiru merupakan
dam lama yang membendung Ci Leueur.
Secara adminsitratif, dam ini berada di
perbatasan antara Desa Sukajadi di
sebelah utara sungai dengan Desa
Imbanegara di sebelah selatan sungai,
Kecamatan Imbanegara. Secara geografis
berada pada posisi 07°18’20,7” LS dan
108°19’06,7” BT. Struktur bendungan
berupa check dam yang membendung
sungai sehingga permukaan air naik. Di
bagian selatan sungai terdapat bangunan
spill way yang berfungsi untuk
mengarahkan dan mengatur aliran air.
Pada bagian spill way dilengkapi
pintu air (gates) untuk mengatur,
membuka dan menutup aliran air. Bagian
pintu air terdiri daun pintu (gate leaf),
rangka pengatur arah gerakan (guide
frame) yang terbuat dari baja atau besi.
Komponen ini dipasang masuk ke dalam
beton yang digunakan untuk menjaga
agar gerakan dari daun pintu sesuai
dengan yang direncanakan. Daun pintu
digerakkan melalui hoist (alat untuk
menggerakkan daun pintu air agar dapat
dibuka dan ditutup dengan mudah) yang
terpasang di bagian atas. Bagian
bendungan yang merupakan komponen
lama hanya bagian check dam yang
dibangun pada 1843. Struktur check dam
dari susunan batu kali berbentuk persegi.
Dahulu fungsi utama bendungan untuk
mengairi sawah. Pada saat ini selain
untuk mengairi sawah juga difungsikan
sebagai Bangunan Penyadap Air Bersih
untuk keperluan Perusahaan Daerah Air
Minum.
h. Rumah Tinggal di Desa Cimari
Rumah tinggal di Desa Cimari
berada pada lingkungan pemukiman yang
tidak begitu padat. Letak rumah pada sisi
barat jalan desa, tepatnya pada posisi
geografis 7°18’43,20 LS dan
108°17’00,68” BT. Menurut keterangan
masyarakat setempat, rumah ini dibangun
Tata Ruang Kota Ciamis…..( Nanang Saptono )
55
sekitar tahun 1933 dan pernah dipakai
untuk markas tentara Belanda.
Berdasarkan papan nama yang
terdapat di atas pintu utama, rumah ini
merupakan milik H. Mh. Machdi.
Menurut keterangan masyarakat, rumah
ini dibangun tahun 1933. Denah rumah
empat persegi panjang memanjang barat-
timur menghadap ke arah timur. Pada sisi
depan bagian selatan dilengkapi rotunda.
Dinding terbuat dari tembok berplester.
Bagian bawah merupakan dinding batu.
Lantai ditinggikan, sehingga untuk
memasuki rumah harus melalui tangga.
Dinding rumah bagian depan hampir
dipenuhi bukaan berupa jendela dan
pintu. Daun jendela dan pintu berupa
kaca berbingkai kayu.
Secara umum, arsitektur
bangunan mengandung unsur arsitektur
Eropa. Pengaruh Eropa tampak pada
konstruksi besi penyangga kanopi. Selain
itu, kolom pada dinding berbentuk
persegi di bagian tengah terdapat lapisan
teraso. Pada bagian atas rotunda terdapat
bentuk segitiga (tympanon). Atap
berbentuk limas memanjang.
i. Pabrik Rukun Batik
Sejarah pabrik Rukun Batik
diawali pada awal tahun 1939, para
pengrajin batik di Ciamis mendirikan
Koperasi Rukun Batik yang berbadan
hukum Oprichtings Acte Batik
Cooperatie Rukun Batik. Koperasi ini
didirikan oleh H Abdul Majid, Sasmita,
Suganda, dan H. Tamim. Masa keemasan
batik Ciamis berlangsung pada era tahun
1960-an hingga awal 1980-an. Batik
Ciamis mampu bersaing di antara
dominasi tradisi batik Sala, Yogyakarta,
maupun Pekalongan. Namun, sejak tahun
80-an keberadaan batik Ciamis
mengalami kemunduran kerana berbagai
dampak perubahan ekonomi yang tidak
menguntungkan para pengrajin batik di
Ciamis. Puncaknya terjadi saat krisis
moneter pada tahun 1997 yang
menghentikan hampir seluruh kegiatan
membatik di Ciamis.
Bangunan bekas pabrik batik
“Rukun Batik” berada di sisi selatan ruas
Jalan Jenderal Sudirman, Ciamis. Secara
geografis berada pada posisi 7°19’31,80
LS dan 108°19’51,93” BT. Bangunan ini
sekarang sudah tidak difungsikan lagi.
Pada beberapa bagian sudah mengalami
kerusakan. Secara umum, bangunan
berdenah segi empat menghadap ke utara.
Dinding bangunan bagian bawah terbuat
dari bahan batu putih, sedang bagian atas
tembok berplester.
Pada sisi depan dilengkapi empat
pintu. Pintu utama berada di tengah
dilengkapi dengan kanopi. Di sebelah
timur pintu utama terdapat dua pintu lagi
berukuran lebih kecil. Di sebelah barat
pintu utama, pada ujung barat, terdapat
satu pintu. Kesemua daun pintu berupa
pintu geser terbuat dari plat baja. Antara
pintu utama dengan pintu barat terdapat
jendela. Di sebelah timur pintu utama
juga terdapat jendela. Bagian atap
berbentuk deretan atap miring ke arah
utara terdiri empat baris. Penutup atap
terbuat dari bahan seng.
j. Pabrik Minyak Gwan Hien
Pada sekitar tahun 1860-an Rd.
Adipati Aria Koesoemadiningrat
mewajibkan kepada setiap pengantin laki-
laki yang akan menikah untuk membawa
tunas kelapa (kitri) pada saat seserahan.
Tunas kelapa tersebut kemudian ditanam
Panalungtik Vol. 1, No. 1, Juli 2018: 41-60
56
di halaman rumah mereka. Dalam waktu
yang tidak terlalu lama, Galuh-Ciamis
tersohor menjadi gudang kelapa paling
makmur di Priangan timur. Banyak
pabrik minyak kelapa didirikan oleh para
pengusaha terutama Cina. Di antara yang
paling tersohor adalah Gwan Hien di
Kertsari dan Haoe Yen di Pawarang.
Pabrik Minyak Gwan Hien berada
di sisi selatan ruas Jalan Ahmad Yani 142
Ciamis. Secara geografis berada pada
posisi 7°19’34,59 LS dan 108°21’49,16”
BT. Kompleks pabrik berada pada lahan
yang sangat luas. Sisa bangunan yang ada
sekarang tinggal di bagian depan serta
samping kanan dan kiri. Bangunan di
samping kanan (barat) merupakan bekas
pabrik pengolahan minyak. Bangunan
samping kiri berfungsi untuk
administrasi. Bangunan yang ditengah
merupakan kantor pusat.
Bentuk bangunan yang berada di
tengah berdenah segi empat. Lantai
ditinggikan sehingga untuk memasuki
harus melewati tangga. Pada setiap sisi
terdapat teras. Tiang penyangga atap teras
berbentuk persegi berlapis teraso. Bagian
atap berbentuk pelana berpenutup
genteng.
Perkembangan Kota Ciamis
Suatu negara dikatakan ideal bila
wilayahnya memiliki tiga sifat yaitu
memiliki potensi sumberdaya
lingkungan, merupakan satu kesatuan
wilayah yang kompak yang tidak dipisah-
pisahkan oleh batas alam yang sulit
ditembus, dan terdiri dari sejumlah
penduduk dengan ciri budaya yang relatif
homogen dengan persebaran penduduk
yang relatif merata. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa jantung dari
negara adalah penduduk dan sumber-
sumber ekonomi yang menghidupinya.
Negara dalam bentuk yang lebih kecil
adalah kota. Sebagaimana negara, kota
juga akan bertahan hidup bila didukung
oleh sumberdaya lingkungan. Dalam
hierarki kekuasaan, daerah-daerah inti
produktif memasok kebutuhan pusat
kekuasaan induk yang kurang produktif,
sedangkan inti daerah yang kurang
produktif menjadi konsumen dari daerah-
daerah yang produktif. Secara ideal
daerah-daerah inti ekonomi yang bersifat
produktif berdekatan dengan pusat
pemerintahan atau di bawah dominasi
pemerintah pusat. Beberapa kasus
menunjukkan adanya daerah-daerah inti
produktif yang terletak jauh di pinggiran.
Bila terjadi hal yang demikian maka
daerah ini cenderung berkembang ke arah
yang lebih otonom. Jarak jauh sebenarnya
mengandung makna biaya ekonomi dan
energi juga berarti hambatan dan resiko.
Untuk mengatasi masalah tersebut
diperlukan pembangunan sarana-sarana
komunikasi dan transportasi, serta
penyediaan kekuatan militer yang bersifat
reguler (Rahardjo, 2007, hal. 121).
Kawasan Ciamis yang
berkembang dari Kabupaten Galuh pada
masa awal pertumbuhan mempunyai
wilayah yang sangat luas. Sumber-
sumber potensi yang berasal dari alam
tersebar hingga seluruh pelosok wilayah.
Pada masa pemerintahan kolonial
Belanda, kawasan ini dijadikan area
produsen perkebunan melalui kebijakan
preanger stelsel. Untuk mengatasi
kelambanan arus barang dan jasa dari
wilayah produsen di luar maka dibuatlah
prasarana transportasi berupa jalur kereta
api. Dengan adanya jalur-jalur
transportasi ini berdampak pada
Tata Ruang Kota Ciamis…..( Nanang Saptono )
57
perkembangan kota Ciamis dan
pemukiman-pemukiman kecil di daerah-
daerah produsen.
Kota Ciamis sebagai pusat
pemerintahan di Kabupaten Galuh yang
kemudian menjadi Kabupaten Ciamis
mengalami perkembangan berkaitan
dengan pola ekonomi. Diasumsikan
bahwa aglomerasi dan perkembangan
kota ditandai dengan adanya bangunan-
bangunan lama yang mempunyai nilai
arsitektur menonjol. Berdasarkan
keletakan bangunan-bangunan lama
berikut fungsinya di Kota Ciamis terdapat
semacam pola bahwa kawasan yang
berkembang terjadi di wilayah barat.
Beberapa bangunan lama yang berfungsi
untuk mendukung sektor ekonomi antara
lain terlihat pada bangunan pabrik
tembakau, pabrik batik, dan pabrik bedak.
Kesemua bangunan ini terdapat di
wilayah barat Ciamis. Hal ini terjadi
karena ada kaitan dengan keletakan yang
berada di antara dua kota yaitu Ciamis
dan Tasikmalaya. Selain sektor industri,
sektor pertanian/perkebunan juga ikut
andil terjadinya perkembangan kota.
Pembangunan bendungan Nagawiru di
kawasan barat akan mendukung produksi
padi yang kebanyakan diusahakan oleh
masyarakat. Beberapa rumah tinggal
dengan nilai arsitektur tinggi terlihat di
kawasan tersebut seperti misalnya rumah
tinggal di Cimari. Di kota, sektor
ekonomi juga berperan penting terhadap
pertumbuhan kota. Hal yang sudah umum
terjadi pelaku ekonomi kebanyakan oleh
masyarakat Tiong Hoa. Di bagian utara
kota terlihat kompleks pemukiman
masyarakat etnis Tiong Hoa. Lokasi ini
menjadi pilihan karena berada pada tepi
sungai yang pada waktu itu juga
berfungsi sebagai prasarana transportasi.
Pembangunan kota Ciamis
dilakukan pada masa pemerintahan
Raden Adipati Aria Kusumadiningrat
(1839 – 1886). Kota dibangun mengikuti
pola tata kota Islam di Jawa (Mataram)
yaitu berpusat di alun-alaun. Bangunan-
bangunan penting sebagai pusat
pemerintahan (kabupaten), pusat religi
(mesjid agung), dan pusat perekonomian
(pasar) berada di sekeliling alun-alun. Di
sini alun-alun mengandung arti dan
fungsi bermacam-macam yaitu pertama,
sebagai lambang ditegakkannya sistem
kekuasaan sekaligus menggambarkan
tujuan dari penegakan terhadap sistem
kekuasaan tersebut. Alun-alun berfungsi
sebagai harmonisasi antara dunia dan
universum. Kedua, alun-alun berfungsi
sebagai tempat semua perayaan ritual
atau upacara keagamaan dan kenegaraan.
Ketiga, sebagai tempat untuk
mempertunjukkan kekuasaan militer yang
bersifat profan dan merupakan instrumen
kekuasaan dalam mempraktekkan
kekuasaan sakral dari sang penguasa
(Santoso, 2008, hal. 176). Melalui pusat
pemerintahan inilah Raden Adipati
Kusumadingrat mengatur kehidupan
rakyat dalam bernegara dan
bermasyarakat.
Tindakan yang dilakukan Raden
Adipati Kusumadingrat dalam
membangun wilayahnya, terutama dalam
memajukan hasil bumi dengan
mengadakan sistem irigasi, secara politis
berusaha untuk menunjukkan
kekuasaannya baik kepada rakyat
maupun pihak pemerintah kolonial
Hindia. Dalam geomantik Jawa, seorang
penguasa yang membina suatu kota harus
Panalungtik Vol. 1, No. 1, Juli 2018: 41-60
58
dapat menunjukkan kemampuannya di
bidang irigasi dan drainase. Hal ini
merupakan tantangan bagi penguasa
untuk menaklukkan alam bebas guna
menguji kemampuan sang penguasa yang
sangat menentukan bagi kesejahteraan
rakyatnya, di mana pertanian (dan
perkebunan) menjadi dasar penghidupan
(Santoso, 2008, hal. 167).
SIMPULAN
Runtuhnya Kerajaan Sunda pada
tahun 1579 di kawasan timur muncul
Kerajaan Galuh. Kerajaan ini kemudian
menjadi cikal bakal Ciamis. Pusat
pemerintahan Galuh telah mengalami
beberapa kali perpindahan. Ketika Sultan
Agung (Mataram) melakukan ekspansi ke
wilayah ini, Kerajaan Galuh berubah
kedudukan menjadi Kabupaten Galuh.
Pada masa kepemimpinan berada di
tangan Raden Adipati Aria
Kusumadiningrat (1839 – 1886), pusat
pemerintahan Galuh berkedudukan di
Ciamis sekarang. Pada masa itu kota
Ciamis dan beberapa pemukiman di
sekitarnya mengalami pembangunan dan
perkembangan dengan pesatnya. Kota
Ciamis dibangun mengikuti pola tata kota
Islam di Jawa yang berpusat di alun-alun.
Pembangunan prasarana transportasi dan
irigasi menjadikan perkembangan
pemukiman semakin pesat. Kawasan kota
Ciamis bagian barat berkembang menjadi
kawasan industri. Beberapa bangunan
lama sebagai penanda berkembangnya
pemukiman pada waktu itu masih ada
yang bertahan hingga sekarang. Beberapa
bangunan tersebut ada pula yang tinggal
reuntuhannya saja.
DAFTAR PUSTAKA
Basundoro, P. (2016). Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Ombak.
Boedi, O. B. (2016). Perkembangan Pusat-pusat Pemerintahan Kabupaten Ciamis, Jawa
Barat. Laporan Penelitian Arkeologi. Bandung: Balai Arkeologi Jawa Barat.
Breman, J. (2014). Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam
Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Flannery, K. V. (1979). The Cultural Evolution of Civilization. Dalam G. L. Possehl,
Ancient Cities of the Indus. Durhan: Carolina Academic Press.
Graaf, H. d. (2002). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta:
PT Pustaka Utama Grafiti.
Gunawan, A. (2010). Warugan Lemah: Pola Permukiman Sunda Kuna. Seri Sundalana 9,
147-181.
Iskandar, J. (2001). Manusia Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora Utama Press.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Lubis, N. H., Falah, M., Nugraha, A., Saringendyanti, E., Darsa, U. A., & Kartika, N.
(2013). Sejarah Kabupaten Ciamis. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Provinsi Jawa Barat.
Manamon, F. P. (1984). Discovering Sites Unseen. Dalam M. B. Schiffer, Advances in
Archaeological Method and Theory Volume 7. London: Academic Press Inc.
Nastiti, T. S., & Djafar, H. (2016). Prasasti-prasasti dari Masa Hindu Buddha (Abad ke-12
- 16 Masehi) di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jurnal Purbawidya 2 (5)
November, 101 - 116.
Tata Ruang Kota Ciamis…..( Nanang Saptono )
59
Nuralia, L. (2016). Permukiman Emplasemen Perkebunan Batulawang di Afdeling
Lemahneundeut di Ciamis, Jawa Barat. Purbawidya 5 (1), 29-48.
Pontoh, N. K., & Kustiwan, I. (2009). Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung:
Penerbit ITB.
Rahardjo, S. (2007). Kota-kota Prakolonial Indonesia: Pertumbuhan dan Keruntuhan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Santoso, J. (2008). Arsitektur Kota-kota Jawa: Kosmos, Kultur, dan Kuasa. Jakarta:
Centropolis.
Saptono, N. (2014). Geografi Kota Majalengka Dalam Kaitannya Dengan Konsep Bentuk
Lahan dan Tata Kota. Purbawidya 1 (3), 27-40.
Suryanto, Djunaedi, A., & Sudaryono. (2015). Aspek Budaya Dalam Keistimewaan Tata
Ruang Kota Yogyakarta. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 3 (XXVI), 230-
252.
Wittfogel, K. A. (1967). Oriental Despotism: A Comparative Study of Total Power. New
Haven and London: Yale University Press.
Panalungtik Vol. 1, No. 1, Juli 2018: 41-60
60