Teori Kebudayaan Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
Saiful Anwar Matondang Yuda Setiawan
Teori Kebudayaan Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global Saiful Anwar Matondang, Yuda Setiawan © 2015, CV. Perdana Mitra Handalan, Medan Editor: Febry Ichwan Butsi, Vinsensius Sitepu Tata letak visual: MahapalaMultimedia Hak cipta dilindungi undang-undang Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Perdana Mitra Handalan Jl. Puyuh II No. 19 Komplek Rajawali Indah Medan 20122 | +6281360933347 [email protected] ISBN: 978-602-73405-0-3
Penerbitan buku ini dibiayai oleh DIPA Kopertis Wilayah 1 pada tahun anggaran 2015 dengan nomor kontrak, 027/K1.1.1/AT.1/2015
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi uku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Daftar Isi
Pengantar Penulis i
Bab 1 Pendahuluan 1
Bab 2 Teori Antropologi Seni Budaya & Wisata 9
Bab 3 Antropologi Urban & Studi Lintas Budaya 17
Bab 4 Kebudayaan Etnik Kota Medan
& Wisata Global
31
Bab 5 Kesimpulan & Saran 61
Daftar Pustaka 64
Tentang Penulis 68
Pengantar Penulis Buku ini adalah hasil penelitian empiris terhadap pertumbuhan dan perkembangan potensi seni budaya etnik yang pluralis di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Proses pembentukan Kota Medan dari hasil interaksi penduduk asli (Karo, Simalungun, Melayu, Toba, dan Mandailing) dengan budaya transmigran dari Jawa serta peradaban asing (India, Arab, Tionghoa, Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang), menciptakan mosaik warisan budaya tak benda (intangible heritage) yang sangat fenomenal dan memiliki nilai epistemologis (teori dan metode penelitian budaya) dan pragmatis (kebijakan kebudayaan pemerintah, industri wisata berskala global, ekonomi kreatif, dan pendidikan seni budaya). Teori kebudayaan klasik: evolusionis, difusionis, struktur fungsional dan urban anthropology (Chicago dan Manchester School), memberikan fondasi ilmiah yang kokoh tentang budaya dan masyarakat secara etnologis. Pada buku-buku etnografi tentang teori kebudayaan yang telah dikembangkan para pendiri etnologi dan antropologi: evolusionis E.B. Taylor (Inggris) dan L.H.. Morgan (Amerika Serikat); difusionis Adolf Bastian, Graber (Jerman) dan Wilhem Schmidt (Austria-Swiss) serta Franz Boaz (Jerman Amerika); struktural fungsionalis B. Malinowski dan E.E. Prichards (Inggris); strukturalisme mitologi C. Levi Strauss (Perancis); prosesual konflik dramatik Manchester School of Anthropology, Max Gluckman, Fortes Meyers, Edmund Leach, dan Victor W. Turner; simbolik interpretatif Weberian oleh Clifford Geertz (Harvard -USA), dan M Singer telah memberikan
5
dasar-dasar sebagai acuan kerangka berpikir tentang perubahan sosial budaya yang disertai dengan interaksi kultural yang unik, berproses, dan berkesinambungan. Realitas sosial budaya menunjukkan, proyek modenisme Eropa dan globalisasi Anglo-Amerika berintekasi secara kultural dengan budaya lokal, sebagaimana ditemukan di India oleh Arjun Appadurai Global Scapes dan Glocal dari Robertson. Selanjutnya, proyek antropologis Manchester di bawah Max Gluckman (1950-an), telah memrediksi perubahan sosial budaya masif, yang sudah masuk sejak Kolonialisme Inggris, khususnya di Afrika. Senada dengan urban anthropology dari Chicago School yang meneroka blood ties etnisitas di kota-kota besar di Amerika Serikat, Max Gluckman dari Manchester Inggris memberikan analisa kritis terhadap munculnya gejala metropolitan yang membuat adaptasi budaya lokal dengan modernise dan globalise. Buku ini menunjukkan, setiap etnik yang bermukim di Kota Medan, secara dinamis dan adaptif meneruskan tradisi kultural yang terkait dengan religi, hubungan sosial dan hubungan dengan alam sekitar. Dengan pendekatan antropologi seni dan pariwisata, buku ini berfokus pada dunia ide yang direalisasikan secara kultural dalam bentuk ritual dan pertunjukkan budaya. Seni budaya etnik dalam bentuk perilaku budaya yang terkait dengan kepercayaan dan tradisi kultural etnik Melayu, Jawa, Aceh, Minang, Batak Toba dan Mandailing serta Tionghoa yang bermukim di kota Medan masih
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
6
meneruskan seni pertunjukkan dari warisan budaya masing masing etnik. Kegiatan ritual dan tradisi kultural pada perayaan hari besar agama, hari besar nasional, peresmian gedung/rumah baru, festival, pesta perkawinan dan acara etnik lainnya, merupakan realisasi dari kepercayaan dan tradisi. Dari berbagai seni budaya etnik Kota Medan yang masih berlanjut, maka seni pertunjukan (performance art) merupakan fokus utama dari penelitian fundamental ini. Alasan pemilihan seni pertunjukan adalah, karena kandungan nilai-nilai humanisme yang lebih kompleks (complexity of sensory) jika dibandingkan dengan artefak. Setiap etnik mengembangkan seni pertunjukan dari kepercayaan (beliefs), yang terwujud dalam berbagai rupa ritual (ritual enactments) dan pengaturan hubungan sosial (social relations) dalam makna simbolis (symbolic meaning) yang lebih mencerminkan perilaku sosial dalam konteks budaya. Misalnya, Pertunjukan Tari Persembahan Melayu, Tortor Somba Batak Toba dan Tortor Onang Onang (Persembahan) Mandailing dan Tarian Barongsai Tionghoa Medan bersumber dari ritual. Sedangkan Tarian Zapin Melayu, Tari Kijom-kijom /Endeng Endeng Mandailing dan Tortor Hata Sopisik Batak Toba merupakan tarian pergaulan sosial yang dapat menghibur pada berbagai acara-acara kultural. Data kebudayaan etnik Kota Medan dari hasil survei seni budaya etnik di kota Medan sebagai potensi wisata global, yang dilanjutkkan dengan observasi lapangan, wawancara dan studi pustaka menghasilkan data dasar tentang
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
7
Kebudayaan etnik Kota Medan. Data terkumpul atas dukungan berbagai pihak, yakni pengelola Istana Maimoon, Vihara Maitreya Cemara Asri, sanggar seni, para penari, perpustakaan T. Luckman Sinar, tokoh masyarakat, pengelola biro perjalanan dan hotel di Kota Medan saling bertukar informasi dan pengetahuan dalam sebuah perjalanan studi empiris di lapangan. Dari semua kebaikan para pemangku kepentingan (stakeholder) pada bidang seni budaya etnik dan wisata di kota Medan, kami menghaturkan banyak terima kasih, sehingga kami mendapatkan data empiris tentang seni budaya kota Medan yang sangat berguna untuk merumuskan teori ilmu humaniora yang berguna untuk bidang bidang ilmu terapan dan kebijakan pemerintah dalam bidang pariwisata (tourism). Pada kesempatan ini juga kami secara khusus mengucapkan terimakasih kepada: Bapak Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Dirjen Dikti- Menristek & Dikti, Bapak Kordinator Kopertis Wilayah 1 Medan, Kadis Pariwisata Provinsi Sumatra Utara, Bapak Rektor UMN Al Washliyah, Bapak Ketua LP2M UMN Al Washliyah, dan Dekan FKIP UMN Al Washliyah. Penulis Medan, Oktober 2015
8
9
Bab 1 Pendahuluan
Merujuk pada Convention of the
Safeguard of Intangible Cultural
Heritage UNESCO tahun 2003
dan rekomendasi Konvensi
UNESCO tahun 2008, identifikasi
dan inventarisasi warisan budaya
tak benda yang meliputi oral
traditions (tradisi tradisi lisan)
dan ekspresi budaya melalui
bahasa, seni pertunjukan,
praktik sosial, ritual, perayaan,
festival, pengetahuan lokal
tentang alam, dan tradisi
kerajinan adalah warisan budaya
vital karena terkait diversitas
budaya dan kreatifitas manusia.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
10
PENGKAJIAN warisan budaya tak benda (intangible cultural
heritage) yang menjadi tradisi dari masing masing etnik di Kota
Medan, belum banyak dipublikasikan, baik di tingkat regional
maupun global. Dari sudut aspek warisan budaya tak benda,
potensi seni budaya Medan dapat dihubungkan secara teoritis
dalam kajian-kajian wisata global yang terus berkembang. Seni
budaya lokal dan wisata global adalah dua variabel penting
untuk terciptanya grounded theory dalam penelitian humaniora
ini.
Jikalau kita merujuk pada Convention of the Safeguard
of Intangible Cultural Heritage, UNESCO, tahun 2003 dan
rekomendasi Konvensi UNESCO tahun 2008, identifikasi dan
inventarisasi warisan budaya tak benda yang meliputi oral
traditions (tradisi-tradisi lisan) dan ekspresi budaya melalui
bahasa, seni pertunjukan, praktik sosial, ritual, perayaan,
festival, pengetahuan lokal tentang alam, dan tradisi kerajinan
adalah warisan budaya vital, karena terkait diversitas budaya
dan kreatifitas manusia. Misalnya, warisan budaya Melayu
seperti paket tarian Mak Inang, Kuala Deli, dan Serampang
Dua Belas, dan etnis Tionghoa Medan mewariskan ritual ziarah
Cheng Beng dan pertunjukan Barongsai (dragon and lions dances)
pada Hari Raya Imlek yang masih ditradisikan oleh masing-
masing etnik. Akan tetapi, kekayaan seni budaya etnik Kota
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
11
Medan masih belum dikaji secara holistik pada ilmu
humaniora, guna menghasilkan pengetahuan dasar.
Penelitian fundamental bidang humaniora berfaedah
sebagai pengetahuan dasar dan kerangka teori dan diperlukan
untuk menopang bidang ilmu lainnya, seperti ilmu pendidikan
seni, pengelolaan wisata, ekonomi dan industri kreatif, serta
kebijakan pemerintah dan publik.
Terkait dengan kelangkaan data empiris dan teori-teori
yang dihasilkan oleh ilmuwan humaniora tentang potensi seni
budaya untuk wisata global, maka masih dibutuhkan kajian
yang berkelanjutan agar tersedia pengetahuan dasar. Kondisi
ilmu humaniora kini masih berkutat pada hal falsafah normatif
(yang diadaptasi dari Yunani Kuno dan Eropah Barat Modern),
dan belum dikembangkan sesuai dengan warisan budaya lokal
dan perkembangan ilmu yang semakin pesat, telah
menyebabkan kekeringan pengetahuan dasar humaniora bagi
mahasiswa, peneliti, dan pemangku kepentingan di Indonesia.
Dengan kata lain, penelitian dan pengembangan seni budaya
untuk budaya wisata global masih minim, dan belum banyak
dikaji secara ilmiah dan berkelanjutan.
Mengingat minimnya penelitian dasar terhadap
kekayaaan seni budaya Kota Medan seperti tradisi lisan,
pantun, lagu, cerita rakyat, dan seni drama, dan tari, penelitian
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
12
fundamental ini dimaksudkan untuk mendapatkan modal
ilmiah dalam upaya pengembangan budaya wisata global dari
seni budaya etnik sebagai tambang budaya yang merupakan
identitas nasional di tingkat global, sehingga penelitian
fundamental yang menjadikan arena penelitian adalah kekayaan
budaya yang dimiliki kelompok etnik yang ada di Kota Medan
sangat mendesak untuk dilakukan, agar dapat memberikan
sumbangan pada pengembangan dasar dalam bidang
humaniora.
Penelitian ini menelisik lebih jauh kekuatan dan peluang
seni budaya Kota Medan yang potensial untuk
ditumbuhkembangkan menjadi wisata global. Berdasarkan
penelitian Antropology of Tourism yang dilakukan oleh Storanza
(2001), terungkap penelitian holistik dapat mengeksplorasi
budaya lokal dan kaitan turisme dengan peningkatan
keuntungan sosial ekonomi dan lingkungan pada daerah tujuan
wisata. Kemudian, sejak tahun 1970-an, proses reinvensi
(reinvention) dan dinamika sosial terhadap tradisi budaya lokal
akibat industri wisata, menjadi perhatian pengkajian
humaniora.
Cangia (2012:40-41) menyelidiki proses konstruksi sosial
dalam seni pertunjukan seni, Buraku oleh suatu kelompok
etnik minoritas di tengah-tengah budaya modern Jepang.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
13
Kelompok itu kerap bernegosiasi dengan pemerintah terkait
perubahan kebijakan melestarikan budaya bangsa. Penelitian
itu memberikan basis pemikiran untuk meneliti lebih jauh
potensi seni pertunjukan oleh komunitas lokal pada situasi kota
modern.
Kemudian, Gonzales (2008: 807) mengusulkan adanya
penelitian terbaru yang berfokus pada identitas budaya lokal
dan globalisasi industri wisata. Dengan kata lain, penelitian
fundamental seperti ini adalah tindakan intelektual untuk
melahirkan pengetahuan dasar humaniora dari data empiris
seni budaya etnik sebagai potensi wisata global.
Beragam persoalan
Seni budaya etnik Kota Medan yang pluralis memiliki
keragaman dan berpotensi menjadi wisata global. Buku ini
menjawab mengenai warisan budaya tak benda (intangible
cultural heritage) apa sajakah yang masih dikenal, dimiliki, dan
ditransmisikan, serta diteruskan oleh kelompok etnik sebagai
identitas budaya di Kota Medan?
Lagi, prosesi ritual agama, upacara adat dan pertunjukan
hiburan rakyat adalah potensi seni budaya yang sangat berharga
jika dipetakan (mapping out) secara sistematik. Kita bisa
membawa persoalan ini ke dalam pertanyaan: seni budaya apa
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
14
sajakah yang masih ditansmisikan oleh kelompok-kelompok
etnis yang bermukim di Kota Medan?
Kemudian, jikalau menilik dari berbagai prosesi ritual
agama, upacara adat dan pertunjukan hiburan rakyat yang
masih ditradisikan dan dipertahankan di Kota Medan pada
masa sekarang, akan dapat dijadikan sebagai sasaran penelitian
humaniora. Dari situ kita dapat menggali ritual, upacara dan
pertunjukan seperti apakah yang sangat mendasar untuk
grounded theory pada ilmu humaniora.
Hal penting lainnya adalah data empiris dan rumusan
grounded theory yang ditemukan dalam ilmu humaniora, terkait
potensi seni budaya Kota Medan yang dapat dijadikan sebagai
sumber rujukan. Data dan teori seni budaya manakah yang
tepat untuk disarankan dan dipublikasikan sebagai pengetahuan
dasar untuk pengembangan wisata global?
Mengapa penelitian ini penting
Penelitian fundamental humaniora terhadap potensi seni
budaya Kota Medan bagi pengembangan wisata global,
merupakan terobosan mendasar, dan secara khusus penelitian
fundamental ini bertujuan untuk:
Mengindentifikasi dan menginventarisasi prosesi ritual,
upacara adat, dan pertunjukan hiburan rakyat sebagai seni
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
15
budaya etnik Kota Medan sebagai sumber elaborasi ilmiah
dan grounded theory.
Membuat pemetaan (mapping out) seni budaya etnik yang
dapat dimanfaatkan secara sinambung dan invensi budaya
berbasis masyarakat untuk pengembangan wisata global,
melalui kebijakan kebudayaan oleh pemerintah.
Memublikasikan potensi seni budaya etnik Kota Medan di
jurnal internasional, dan dalam bentuk buku serta artikel
di media massa yang dapat digunakan sebagai
pengetahuan dasar bagi ilmu terapan dan kebijakan.
Urgensi penelitian
Berkenaan dengan pentingnya sumbangan data empiris
dan rumusan teoritis (grounded theory) tentang seni budaya yang
berasal dari budaya lokal melalui kajian humaniora untuk
pengetahuan dasar bagi ilmu terapan dan kebijakan, penelitian
fundamental ini memiliki fungsi dan peran yang urgen sebagai
fondasi ilmiah.
Pijakan yang berasal dari pengetahuan dasar dan teori
yang dihasilkan penelitian fundamental ini, menunjang
pendidikan seni budaya, pengelolaan wisata, ekonomi, industri
kreatif dan kebijakan pemerintah dan publik. Penelitian
fundamental lebih mendalami fenomena seni budaya etnik di
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
16
perkotaan yang diperlukan untuk mendapat data empiris dan
menghubungan potensi seni budaya etnik dan budaya wisata
global.
Seni budaya etnik ini diinterpretasikan berasaskan kaidah
ilmu humaniora, sehingga data empiris atas budaya tak benda
(intangible culture heritage) dan interaksi identitas antar budaya,
mampu membangun teori yang mendasar bagi penelitian
terapan dan praktik seni budaya dan wisata. Lebih jauh, ini
menjadi kerangka dasar hasil penelitian yang eksploratif
prinsipil.
Pada prinsipnya, fenomena seni budaya yang dielaborasi
terhadap keaslian dan kreatifitas seni budaya, dapat menjadi
rujukan yang sangat berguna. Kontribusi kekayaan tak benda
Kota Medan, seperti drama sosial, teater, seni tari, folksong, dan
pertunjukan hiburan rakyat dalam perhelatan ritual keagamaan,
upacara adat, dan festival atau karnaval untuk pengembangan
wisata, terpetakan. ●
17
Bab 2 Teori
Antropologi
Seni Budaya
& Wisata
Pada seni pertunjukan,
seperti Zapin, Joget ataupun
Rongeng masyarakat Melayu
di Sumatera Timur,
menawarkan sebuah jalan
cemerlang dalam
memahami proses kreatifitas
budaya lokal dan regional
untuk melahirkan identitas
bangsa.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
18
Kajian seni budaya dalam antropologi
Kajian seni budaya dalam ilmu antropologi dapat kita
jumpai dalam dua bentuk, yakni karya etnografi (deskripsi dan
interpretasi kebudayaan) dan etnologi (perbandingan dua atau
beberapa budaya). Baik etnografi dan etnologi telah melahirkan
teori mendasar (grounded theories) tentang fungsi seni dan
maknanya dalam kontek sosial politik yang lebih luas.
Seorang antropolog Amerika Serikat kelahiran Inggris,
Victor W. Tuner, mengembangkan Anthropology of Performance
(1987) yang berfokus pada drama sosial dengan menggunakan
terminologi seni teater untuk meneroka hubungan seni
pertunjukan dengan kegiatan simbolik religius, tradisi, siklus
hidup manusia (rites of passage), dan konflik sosial pada
masyarakat.
Kaeppler membuat elaborasi ilmiah dari festival yang
menyertai seni puisi, musik, membuat pewangi, tari, busana,
dan drama yang bermuatan sosial politik pada wilayah budaya
Polinesia. Penampilan seni drama dan tari masyarakat Pasifik
merupakan refleksi dari legenda, mitos, dan kepercayaan
mereka yang dikreasikan dalam struktur, estetika, gaya, simbol
dan makna dalam konteks sosial budaya yang luas (Kaeppler:
2002:12).
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
19
Dalam Deep Play: Notes on Balinese Cockfight (1972), karya
antropolog terkemuka, Clifford Geetz, membuat sebuah teori
yang diangkat dari makna budaya sabung ayam di Pulau
Dewata, Bali. Geertz (1973:412-428), memberikan gambaran
bagaimana hubungan antara dramaturgical sabung ayam di Bali
dengan simbolisasi identitas pemilik ayam, dan pendukung
yang sedang bertarung. Meskipun sabung ayam adalah ilegal,
namun bagi masyarakat, pertunjukan ini adalah sebuah
pertarungan harga diri dan uang.
Richard Schechner telah membangun teori performance
studies (2008) yang membahas persamaan seni pertunjukan
dengan ritual keagamanan. Setelah Schechner membandingkan
budaya Amerika-Eropa dengan tradisi Hindu-India, ia
menjelaskan, baik ritual maupun seni untuk hiburan
berorientasi pada hati jemaat/penonton agar tetap menjaga
perilaku dalam kehidupannya. Schechner menemukan adanya
upaya kelompok untuk membangun dan mempertahankan
restored behavior melalui wahana teatrikal dalam ritual dan seni
pertunjukan.
Dalam The Malay Dance (1995) dijelaskan, seni
pertunjukan dalam kebudayaan Melayu terkait dengan
ritualistik, folkloristik dan tarian istana (Nasuriddin, 1995:1).
Dan sebagai bagian yang terintegrasi dan berguna bagi
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
20
masyarakat Melayu, seni pertunjukan memiliki dua fungsi,
yakni spiritual dan hiburan. Antropolog Italia, Flavia Cangia
menyatakan, seni pertunjukkan adalah hasil rekreasi,
interpretasi yang dinamis oleh kelompok etnik melalui proses
interaksi sosial yang berkelanjutan (Cangia, 2012:26-27).
Sejalan dengan pendapat Cangia, Tengku Luckman
Sinar, menegaskan, bahwa sejatinya seni tari, drama, dan musik
adalah hasil kreasi seni dan juga menjadi bagian dari sistem
sosial dalam masyarakat Melayu (Sinar, 2012). Pada Seni
pertunjukan, seperti Zapin, Joget ataupun Ronggeng,
masyarakat Melayu di Sumatera Timur menawarkan sebuah
jalan cemerlang dalam memahami proses kreatifitas budaya
lokal dan regional untuk melahirkan identitas bangsa.
Seni menggerakan tubuh melalui tarian memiliki makna
simbolis, baik secara konteks budaya, estetika maupun identitas
kelompok etnik (Wulf, 2010) dan seni pertunjukan
memberikan role of model bagi pemilik kebudayaan dan
penonton yang hadir pada saat ritual, upacara, dan peringatan
serta ajang festival/karnaval.
Kajian warisan budaya tak benda
Warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage)
adalah obyek kajian baru dalam penyelamatan kekayaan budaya
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
21
dunia. Jikalau The World Heritage Sites UNESCO selama empat
dekade (sejak 1972) telah melakukan proyek benda material
(tangible heritage) seperti museum, candi, situs-situs etnik di 157
negara (Meskell, 2013) untuk pelestarian budaya, sarana
pendidikan dan industri wisata, maka sejak tahun 2003
perhatian pada kekayaan etnik berupa tradisi mulai
dilaksanakan pada beberapa negara. Kekayaan budaya tak
benda terkait dengan the human body as medium (Wulf 2010),
berupa tradisi lisan dan modus ekspresi dalam bahasa dan
gerakan, seni pertunjukan, praktik sosial dalam ritual dan
perayaan, pengetahuan lokal tentang gejala alam, keterampilan
dan pengetahuan tentang seni lukis, seni rupa, dan kerajinan.
Kekayaan budaya tak benda berimplikasi pada
penguatan budaya lokal dan memberikan sumbangan pada
diversitas budaya global (Kaufman, 2013 dan Shankar, 2010).
Hasil riset Grunewald (2006) memberikan data tentang
kekuatan budaya etnik untuk reproduksi seni. Lebih lanjut
Grunewald (2006:7) menegaskan, "The ethnicity exercised in the
terms of a cultural production of traditions, to be exhibited as distinctive
features within the touristic ambit, that would signify the ethnic character
of the interaction.”
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
22
Budaya etnik dalam kontelasi wisata global
Kekayaan budaya lokal untuk masuk pada tingkat global
telah menjadi kenyataan, karena didorong oleh arus imigrasi,
teknologi informasi, dan industri kreatif dan pengembangan
wisata. Identifikasi terhadap hibrida budaya pada global yang
terjadi di Asia, menurut Pieterse (2009:115-116) mengalami
difusi budaya Timur dan Barat.
Metateori yang dipaparkan oleh Pieterse (2009),
perbedaan budaya etnik sebagai bagian dari kebijakan negara,
konvergensi budaya dalam penyebaran agama, revitalisasi dan
pembaharuan budaya etnik yang didorong oleh industri. Pada
artikel Tourism et confiance: un lien peu explore, yang ditulis seorang
antropolog Swiss, Andrea Boscobonik (2010) disebutkan,
industri wisata global beinteraksi mutual dengan pelestarian
budaya lokal (hal. 267). Kajian pariwisata dalam The
Anthropology of Tourism terdapat berbagai pendekatan dalam
melihat fungsi budaya lokal dalam kerangka wisata global.
Ada teori antropologi yang menghubungkan keagamaan
dan turisme, perubahan sosial budaya akibat kunjungan wisata,
globalisasi dan budaya, komoditisasi budaya untuk turisme, dan
interaksi pelancong dengan masyarakat lokal di tujuan wisata.
Kirshenblatt-Gimblett dalam Destination Culture: Tourism,
Museums, and Heritage (1998) menjelaskan, nuansa warisan
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
23
budaya migran ke Amerika Serikat terwujud pada pusat budaya
the new heritage centre di Ellis Island, New York. Nilai diversitas
etnik dari berbagai bangsa yang bermigrasi ke Amerika Serikat
hadir dan dirayakan pada pusat budaya tersebut.
Senada dengan temuan Kirshenblatt-Gimblett pada Ellis
Island, hasil pengembangan Celia Lury (1997:767) tentang
makna budaya wisata bukan sekadar menikmati tempat tujuan
wisata, tetapi memberikan pengalaman akan nilai-nilai yang
dimiliki manusia. Budaya wisata global menurut Freitas Santos
(2013) pada masa sekarang ini, tumbuh dan berkembang
melampaui bangunan fisik dari museum dan situs-situs etnik ke
arah pembentukan citra artistik warisan budaya tak benda, yang
meliputi kesenian, dan drama yang masih terus tumbuh dalam
festival budaya yang dikelola oleh kelompok etnik.
Destinasi turis, Logas Portugal, menurut Santos (2013)
memberikan daya tarik wisata, karena seluruh kegiatan seni
pertunjukan dilakukan sebagai ekspresi kultural atas anugerah
keindahan laut yang teduh. ●
24
Lapangan Merdeka
(Saiful Anwar Matondang)
25
Bab 3 Antropologi
Urban & Studi
Lintas Budaya
Jika antropolog Amerika
mengambil area penelitian di
Amerika Utara, dengan
membandingkan budaya
kulit putih dengan suku asli
Amerika, sebaliknya,
antropolog Inggris lebih
banyak bekerja di Afrika,
Australia & Polinesia, India
dan beberapa di Asia
Tenggara. The Manchester
School membidik budaya
urban yang tumbuh atas
proyek modenisasi penjajah
dan kapitalis di negeri
jajahan.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
26
Dari model klasik menuju model prosesual
Pemikiran (mentalitas), etos, dan perilaku setiap etnik
atau kelompok suku yang bermukim di wilayah perkotaan,
sejak modernisasi Eropah merebak dari zaman kolonial pada
akhir abad ke-20 di beberapa kota besar di negeri-negeri
jajahan, menarik perhatian para sosiolog dan antropolog.
Perhatian terhadap kajian urban anthropology di sekitar
perubahan sosial budaya dan difusi kebudayaan yang terjadi di
wilayah perkotaan, meliputi beberapa faktor, yakni: sistem
pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem kesenian, sistem
hukum dan moral serta kemajuan teknologi kelompok suku
yang berimigrasi dari benua atau negara lain atau kelompok
etnik yang berurbanisasi dari pedesaan ke wilayah urban.
Terdapat pula perubahan penelitian lapangan model
klasik evolusionis, E.B. Taylor atau struktur fungsionalis,
Malinowski dan Radcliff-Brown (Inggris), yakni dari suku
terpencil menuju perkotaan, mengubah teori dan metodologi
antropologi sosial-budaya yang sangat fenomenal. Antropologi
urban tidak lagi berfokus pada satu etnik, juga bukan pada
komunitas yang terisolasi dari transportasi dan komunikasi
modern. Sebaliknya, antropologi urban menerapkan a multi-sited
ethnography model George E. Marcus dan rebellion & processual
social drama ala Manchester School untuk penelusuran adaptasi
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
27
kelompok etnik dan keberlangsungan identitas etnik di
berbagai kota dalam berbagai kegiatan sosial budaya.
Berbagai kegiatan ritual dan festival budaya
diselenggarakan untuk mengukuhkan solidaritas kelompok,
yang dibingkai sistem kepercayaan dan nilai nilai yang
diamalkan dan dipraktikkan, menjadi arena riset antropologi
urban.
Berbeda dengan perintis antropologi urban dari
Chicago School, Amerika Serikat, yang menelusuri jejak
kelompok etnik pada tatanan multikulturalisme Amerika
dengan pendekatan sosiologis, tim antropologi dari The
Manchester School (Max Gluckman, Darryl Forde, Meyer
Fortes, dan Victor W. Turner) dari Inggris lebih banyan
berfokus pada perubahan sosial budaya (adat istiadat),
kelompok suku di beberapa kota yang menjadi lokasi proyek
industrialisasi Inggris.
Jika antropolog Amerika mengambil area penelitian di
Amerika Utara dengan membandingkan budaya kulit putih
dengan suku asli Amerika, sebaliknya, antropolog Inggris lebih
banyak bekerja di Afrika, Australia & Polinesia, India dan
beberapa di Asia Tenggara. The Manchester School membidik
budaya urban yang tumbuh atas proyek modenisasi penjajah
dan kapitalis di negeri jajahan. Max Gluckman berfokus pada
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
28
hubungan sosial antar suku dan bangsa (ritual of social relations)
bukan perilaku individu, karena seseorang terikat pada budaya
di mana dia tumbuh dan dibesarkan (1956). Murid Max
Gluckman di University of Manchester, Victor W. Turner
dengan terminologi social drama (1974), secara operasional
melakukan pengamatan langsung terhadap makna ritual bagi
komunitas dan proses struktur dan anti-struktur (1969) dalam
dinamika internal kelompok etnik melalui sistem simbol.
Model social drama Victor W. Turner
mengombinasikan alur rites de passage Eropa yang
dikembangkan Arnold Van Gannep (1909) dengan tradisi
drama Elizabethan Theater karya William Shakespeare sebagai
fondasi dasar untuk mengobservasi ritual dan prosesi (drama
sosial) suku Ndembu di Afrika dan membangun teori dasar
yang baru dalam antropologi simbolik.
Antropologi simbolik membantu penelitian lapangan
lintas budaya (bertemunya tradisi besar) pada sebuah lokasi.
Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1975)
dengan lugas menyatakan, adaptasi manusia dengan
lingkungannya terealisasi dalam sistem simbol dan makna.
Selanjutnya, Geertz, antropolog interpretatif simbolik ternama
dari Amerika Serikat ini, memberikan alasan logis atas sistem
sistem budaya yang saling terkait dalam kelompok suku.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
29
Sebagai penganut Verstehen Weberian dari Jerman (manusia
sebagai makhluk yang hidup pada laman-laman makna sosial
budaya), Clifford Geertz (1973: 48) menyatakan:
“The increasing reliance upon systems of significant symbols (language, art, myth, ritual) for orientation, communication, and self-control all created for man a new environment to which he was then obliged to adapt. As culture, step by infinitesimal step, accumulated and developed, a selective advantage was given to those individuals in the population most able to take advantage of it-the effective hunter, the persistent gatherer, the adept toolmaker, the resourceful leader-until what had been a small-brained, protohuman Australopithecus became the large brained fully human homo sapiens”.
Pada saat sekarang antropologi urban sudah menjadi
subdisplin antropologi yang mapan di Eropa Barat dan para
antropolog urban sudah menjadi anggota pada Union
Antropologi dan Etnologi Dunia (IUAES) yang berpusat di
Jepang. Berbagai studi etnografi dilakukan di Eropa Timur
pasca runtuhnya komunisme Rusia oleh, tim antropologi
Guilina Prato dari Universitas Kent di Inggris dan Presiden
Institute of Interdisciplinary for East & Central Europe
(Christian Giordano) dari Universite de Fribourg Swiss serta
Paula Rubel (University of Columbia USA). Sejak tahun 2008
penelitian antropologi urban terhadap posisi budaya China di
silicon city, Pulau Pinang, Malaysia yang dipimpin antropolog
Swiss, Christian Giordano.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
30
Bentuk budaya urban Kota Medan
Gerakan revitalisasi dan kesadaran kultural dari akar
rumput seiring dengan putaran globalisasi dan regionalisasi
(Giordano, 2009), menguatkan karakter budaya Kota Medan
yang unik. Upaya beberapa seniman, kelompok sanggar seni
dan perguruan tinggi juga memberikan angin positif bagi setiap
etnik di Kota Medan untuk menampilkan potensi budaya Kota
Medan. Strategi untuk merekonstruksi pertunjukkan budaya
dalam bentuk ritual, seni pertunjukan, dan kreasi seni, bukan
hanya memberikan fondasi bagi ilmu pengetahuan, juga
memberikan informasi bagi pengambil kebijakan (pemerintah)
dan pelaku usaha pariwisata.
Teori antropologi telah banyak menyediakan elaborasi
tentang sistem kepercayaan dan kaitannya dengan identitas
budaya. Misalnya, perilaku budaya yang terkait dengan
kepercayaan dan tradisi. Pada realitas sosial budaya Kota
Medan, etnik Melayu, Batak Toba dan Mandailing serta
Tionghoa yang bermukim di Kota Medan masih meneruskan
seni pertunjukan warisan budaya masing-masing pada perayaan
hari besar agama, hari libur nasional, peresmian gedung atau
pun rumah baru. Berbagai festival untuk perayaan-perayaan
pesta perkawinan dan acara etnik lainnya berevolusi dengan
lingkungan budaya urban Kota Medan.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
31
Selain Kota Medan yang plural bertipe polyethnic city
(Judith Nagata, 1979), Medan lahir dari sejarah budaya yang
panjang, mulai dari Kerajaan Haru, Kesultanan Deli dan
Modernisasi Penjajah Belanda (1860), hingga menjadi kota
metropolitan seperti sekarang ini. Hal itu termasuk realitas
sosial budaya yang terlihat melalui berbagai bangunan
bersejarah sebagai simbol perpaduan Islam, etnik dan
modernitas (Mesjid Raya, Istana Maimoon, Balai Kota, Stasiun
Kereta Api, dan Rumah Tjong A Fie) dan ritual festival agama
(Ramdhan Fair & Imlek) dan budaya suku-suku (Tari
Persembahan dan Tortor) yang bermukim di Kota Medan serta
berbagai urban arts and culinary. memberikan modal budaya yang
vital bagi pertumbuhan kota.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
32
Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) di Medan 2014
(Saiful Anwar Matondang)
Wajah budaya urban Kota Medan dari berbagai seni
budaya etnik yang masih berlanjut, seni pertunjukan (performance
art), merupakan primadona budaya urban dalam konstelasi
wisata global. Inovasi dan invensi tradisi budaya etnik terus
tumbuh dan berkembang dengan sentuhan teknologi dan
pemikiran seni budaya untuk kegiatan ritual dan festival
tahunan seni pertunjukan, merupakan realisasi nilai-nilai
humanisme yang lebih kompleks (complexity of sensory).
Modal budaya berupa sistem kepercayaan dan nilai
budaya yang berinteraksi di Kota Medan, memberikan modal
kultural yang khas, apalagi jikalau kita sandingkan dengan
artefak. Kekayaan nilai-nilai religi dan kultural Kota Medan
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
33
telah banyak berekonstruksi secara inovatif menjadi
pementasan seni budaya, misalnya, tarian Barongsai oleh
Masyarakat Tionghoa yang dipertunjukkan di Sun Plaza, Yuki,
Center Point, Polonia BD, dan Kompleks Cemara Asri setiap
Hari Raya Imlek. Semua itu adalah dunia ide yang diwujudkan
secara kultural dalam bentuk ritual dan pertunjukkan budaya
untuk memperkokoh identitas dan solidaritas suku Tionghoa
yang bermukim di Kota Medan.
Agama dan adat membuat Kota Medan memiliki
kekayaan budaya. Kota Medan muncul sebagai wilayah urban
yang paling heterogen di Pulau Sumatera, karena setiap etnik
memiliki ruang dan kesempatn untuk mengembangkan seni
pertunjukkan dari kepercayaan (beliefs) yang terwujud dalam
berbagai rupa ritual (ritual enactments). Keberlangsungan tradisi
untuk pengaturan hubungan sosial (social relations) dalam makna
simbolis (symbolic meaning) yang lebih mencerminkan perilaku
sosial dalam konteks budaya ada pada kantong kantong budaya
suku-suku yang bermukim di Medan.
Suku Melayu menunjukkan keseniannya di Istana
Maimon, suku Mandailing di Jalan Letda Sujono Medan
Tembung, dan suku Tionghoa di sekitar Jalan Asia atau Vihara
Maitreya Cemara Asri. Misalnya, kita dapat menyaksikan
Pertunjukan Tari Persembahan Melayu,Tortor Somba Batak
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
34
Toba dan Tortor Onang Onang (Persembahan) Mandailing
dan Tarian Barongsai Tionghoa Medan.
Berbagai atraksi ritual dan kultural adalah bersumber
dari sistem kepercayaan dan nilai-nilai yang masih diyakini.
Tradisi budaya etnik yang masih berlanjut dengan penuh
inovasi dapat dinikmati dari Tarian Zapin Melayu, Tari Kijom-
kijom/Endeng Endeng Mandailing dan Tortor Hata Sopisik
Batak Toba. Tari-tarian tersebut merupakan tarian pergaulan
sosial yang dapat menghibur pada berbagai acara budaya.
Simbol dan Tepak Sirih dalam Tari Persembahan Melayu 2014
(Saiful Anwar Matondang)
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
35
Simbol dan ikon memperkuat karakter budaya Kota
Medan. Istana Maimoon adalah salah satu yang menjadi
magnet dan ikon kota ini. Istana bukan hanya merupakan
warisan dari Sultan Deli dan menyuguhkan live music, tarian
tarian Melayu seperti Mak Yong, Mak Inang, dan Serampang
XII, tetapi merupakan pusat peradaban Melayu modern dan
Islam. Sebagai pusat peradaban dengan kekayaan budaya
Melayu dan Islam, di kompleks Istana Maimoon dan
Kompleks Mesjid Raya adalah warisan budaya yang sudah
masuk kategori obyek wisata global. Tempat itu membuat
lokasi Ramadhan Fair yang diadakan setiap tahun menjadi
fenomenal. Karakter Melayu Islam dan modernisasi
menjadikan potensi budaya dan Vihara Maitreya bagi suku
Tionghoa mengekalkan Kota Medan sebagai kota wisata rohani
global. Simbol-simbol kultural yang agung dan ikon pluralistik
memiliki magnitude luas, menjadikan Kota Medan sebagai pusat
peradaban yang sangat berguna bagi pembangunan wisata
global.
Karakter yang kokoh dan berakar pada sistem
kepercayaan dan nilai nilai budaya urban yang disertai
modernisasi dan aplikasi teknologi, adalah modal yang tak
habis walaupun berbagai acara budaya dihadirkan setiap tahun.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
36
Potensi karakter budaya yang kokoh dan kemampuan
membuat jaringan dan bentuk-bentuk paket wisata budaya
adalah faktor yang penting bagi Kota Medan untuk meraih
pasar wisata regional dan global. Agenda ritual, festival, dan
karnaval budaya yang terorganisir adalah kunci sukses bagi kota
wisata. Modal kultural yang sangat kaya dan juga unik
membuka jalan dan peluang besar bagi Kota Medan untuk
menjadi kota wisata budaya berskala global. Kerjasama sinergis
dari berbagai pihak agar Kota Medan dapat memanfaatkan
berkah budaya yang sangat bernilai.
Medan, dengan potensi sistem kepercayaan dan nilai-
nilai budaya yang dipadukan dengan modenisasi serta
teknologi. berpotensi besar menjadi destinasi wisata global di
kawasan Selat Melaka. Upaya-upaya kolaboratif agar kekayaan
budaya Kota Medan melalui penelitian budaya urban dan
pendidikan budaya secara informal dan formal untuk
mewariskan budaya etnik, masih memerlukan tangan-tangan
profesional dan kreatif. Modal tradisi kultural melahirkan
suasana Kota Medan lebih berkarakter.
Diversitas kultural Melayu, Karo, Simalungun, Toba,
Mandailing, Jawa, India, dan China yang dilakukan dengan
pengetahuan dan keterampilan, melambungkan Kota Medan
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
37
menjadi future polyethnic city di antara kota-kota di kawasan Asia
Tenggara.
Kota Medan yang pluralis secara etnisitas, memiliki
kekayaan budaya etnik untuk wisata global. Selain posisi
geografis yang sangat strategis, potensi budaya Kota Medan
jika dikembangkan secara maksimal, baik berdasarkan praktik
yang sistematis, maupun pengkajian ilmiah yang berkelanjutan,
akan membuat Kota Medan sebagai destinasi wisata berskala
global. Mengacu pada rekomendasi Convention of the
Safeguard Intangible Heritage UNESCO tahun 2003, potensi
seni budaya etnik Kota Medan, seperti narasi oral, musik, seni
tari dan drama, dan tradisi lisan lainnya, memerlukan upaya
upaya sustainability yang konkret dari masyarakat, akademisi,
pemerintah, dan pelaku usaha wisata. ●
38
Pagelaran Barongsai di Komplek Cemara Asri
(Saiful Anwar Matondang)
39
Bab 4 Kebudayaan
Etnik Kota
Medan &
Wisata Global
Seni pertunjukan
mengandung makna
simbolis yang memberikan
kesempatan bagi komunitas
untuk menafsirkan ide dari
kepercayaan dan tradisi,
agar dapat berinteraksi
secara kreatif dan dinamis.
Terkait dengan seni
pertunjuukan etnik Kota
Medan, data penelitian
fundamental ini memberikan
modal ilmiah bagi
pengembangan wisata
global.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
40
Potensi seni budaya etnik Kota Medan dan wisata global
Seni pertunjukan (performance art) adalah fokus utama
penelitian fundamental ini, sebab seni pertunjukan adalah
mengandung nilai-nilai humanisme yang lebih kompleks jikalau
dibandingkan dengan artefak. Dunia ide (fikiran) yang
direalisasikan secara kultural dalam bentuk ritual dan
pertunjukkan budaya, adalah perilaku budaya yang terkait
dengan kepercayaan dan tradisi dalam bentuk simbol.
Pertunjukan seni dalam kegiatan ritual dan kultural
Melayu, Aceh, Minang, Karo, Simalungun, Batak Toba,
Mandailing, serta Tionghoa yang bermukim di Kota Medan
adalah sumber data. Sekitar 35 kegiatan seni budaya masih
terus dilaksanakan. Seni pertunjukkan, dari warisan budaya
masing-masing etnik pada perayaan hari besar, peresmian
gedung/rumah baru, festival, pesta perkawinan, dan acara etnik
lainnya memiliki nilai luhur dan dapat dikemas untuk
dipromosikan untuk pengembangan sektor pariwisata.
Kemudian, dalam interaksi budaya, setiap etnik
mengembangkan seni pertunjukkan dari kepercayaan (beliefs)
yang terwujud dalam berbagai rupa ritual (ritual enactments) dan
pengaturan hubungan sosial (social relations) dalam makna
simbolis (symbolic meaning) yang lebih mencerminkan perilaku
sosial dalam konteks budaya. Misalnya, Pertunjukan Tari
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
41
Persembahan Melayu, Tortor Somba Batak Toba dan Tortor
Onang-Onang (Persembahan) Mandailing dan Tarian
Barongsai Tionghoa Medan bersumber dari ritual. Sedangkan
Tarian Zapin Melayu, Tari Kijom-kijom/Endeng Endeng
Mandailing, dan Tortor Hata Sopisik Batak Toba merupakan
tarian pergaulan sosial yang dapat menghibur pada berbagai
acara kultural.
Menurut Donald V. Kurtz, konseptualisasi prosessual
analysis melibatkan deskripsi dan verifikasi perubahan sosial
budaya dalam sebuah even atau situasi, di mana para aktor
sosial dalam kompetisi untuk meraih tujuan khusus.
Selanjutnya, ia menjabarkan metodologi yang diterapkan dalam
prosessual analysis sebagai berikut:
“The conceptualization of process derived from this methodology is concerning with describing the empirical and verifiable changes inherent in an event or situation while role players within that situation are competing for specific goals. „Change‟ in this context refers to the alternation in alignments of personnel within an encapsulated time dimension, the period involved covering the inception of the process to it termination: „process‟ seems to refer to an endlessly unfolding development or to a series of overlapping and inextricably intertwined process. Change in the structural sense is simply not a concern since formal structures are presumed to be nonexistent.” (1979: 42)
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
42
Seni pertunjukan mengandung makna simbolis yang
memberikan kesempatan bagi komunitas untuk menafsirkan
ide kepercayaan dan tradisi agar dapat berinteraksi secara
kreatif dan dinamis. Terkait dengan seni pertunjukan etnik
Kota Medan, data penelitian fundamental ini memberikan
modal ilmiah bagi pengembangan wisata global.
Dalam pembahasan pada tiga subpokok berikut,
disajikan hasil studi lapangan terhadap seni pertunjukan dengan
ekspresi budaya sebagai dasar ilmu humaniora. Data empiris
dikelompokkan menjadi tiga, meliputi: (1) hasil survei pada seni
budaya etnik Kota Medan yang sering dipertunjukkan oleh
responden, (2) hasil pengamatan lapangan tentang fungsi sosial
dan potensi seni yang dipilih untuk penggembangan wisata
global (global tourism) Kota Medan, dan (3) hasil pengamatan
untuk lokasi potensial bagi pengembangan wisata global di
Kota Medan.
Hasil survei: Seni budaya etnik Kota Medan
Survei terhadap seni budaya yang sering dipertunjukkan
kelompok etnik yang bermukim di Kota Medan bersumber
dari religi, interaksi sosial, dan adaptasi lingkungan/dengan
alam. Hasil survei menunjukkan tiga puluh lima daftar seni
pertunjukan yang dikenal oleh para responden. Hasil survei ini
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
43
menunjukkan, kepercayaan (beliefs), dan hubungan sosial adalah
referensi utama kegiatan ritual dan kultural. Terkait dengan
simbolisasi religi dan hubungan sosial dalam kajian
antropologi, maka pengembangan konsepsi seni sebagai
perwujudan kebudayaan dalam dunia ide dan kaitannya dengan
kesenian, identitas etnik merupakan modal dasar ilmiah/teoritis
dan praktik sosial dalam ruang publik. Selain esensi
kebudayaan mengandung eternalitas, genuitas, dan orisinalitas,
kebudayaan yang juga menunjukkan identitas etnik semakin
menguat pada kelompok komunitas di perkotaan.
Dari hasil survei, terdapat 35 seni pertunjukan budaya
etnik Kota Medan yang masih diteruskan oleh komunitas dan
sanggar seni. Data tersaji pada tabel 5.1 adalah seni yang cepat
diingat kelompok etnik dan dipertunjukkan pada kegiatas religi
dan kultural. Dari kelompok seni etnik tersebut, pada kegiatan
religi dan interaksi sosial, ada kegiatan seni pertunjukkan tari
persembahan dan tari pergaulan sosial (tabel 5.2) yang dapat
dikembangkan menjadi modal kultural bagi pengembangan
wisata global di Kota Medan.
44
Tabel 5.1
Hasil Survei: Tiga Puluh Lima Seni Budaya Etnik Kota Medan
No. Nama Fungsi Asal Etnik
1. Makyong Religi Siam Melayu
2. Ronggeng/Joget Pergaulan Sosial Portugis Melayu
3. Serampang XII Pergaulan Sosial Melayu Serdang Melayu
4. Hadrah Religi Timur Tengah Melayu/ Mandailing
5. Dzikir Religi Timur Tengah Melayu/ Mandailing
6. Mahaban Religi Timur Tengah Melayu/ Mandailing
7. Zapin/Gambus Religi Timur Tengah Melayu/ Mandailing
8. Tarian Naga Religi Tiongkok Tionghoa
9. Tarian Singa Religi Tiongkok Tionghoa
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
45
10. Tari Persembahan Religi Melayu Melayu
11. Tortor Somba Religi Melayu Batak Toba
12. Tortor Raja/ Onang-Onang
Religi Melayu Mandailing
13. Toping Huda Huda Religi Simalungun Simalungun
14. Gundala Gundala Religi Karo Karo
15. Tari Kijom Kijom Pergaulan Sosial Mandailing Mandailing
16 Tari Sitogol Pergaulan Sosial Mandailing Mandailing
17. Tari Hata Sopisik Pergaulan Sosial Batak Toba Batak Toba
18. Tari Nelayan Hubungan Alam Austronesia Melayu/ Pesisir
19. Zapin Pergaulan Sosial Timur Tengah Melayu
20. Sihutur Sanggul Pergaulan Sosial Batak Toba Batak Toba
21. Tari Endeng Endeng Pergaulan Sosial Mandailing Mandailing
22. Tari Saman Religi Aceh Aceh
23. Tari Rapa’i Religi Aceh Aceh
24. Tari Pasembahan Religi Minang Minang
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
46
25. Tari Piring Religi Minang Minang
26. Tari Inai Religi Melayu/ Minang
Melayu/ Minang
27. Tari Lilin Religi Minang Minang
28. Tari Mak Inang Pergaulan Sosial Melayu Melayu
29. Pencak Silat Pergaulan Sosial Melayu/ Minang
Melayu/ Minang
30. Wayang Religi India/ Hindu
Jawa/ Melayu
31. Kuda Kepang Religi Timur Tengah Jawa
32. Opera Batak Hiburan Batak Toba Batak Toba
33. Sam Pek Eng
Hiburan Tionghoa Tionghoa
34. Bangsawan Hiburan Persia Melayu
35. Stambul/ Tonil
Hiburan Turki Melayu/ Jawa
47
Kota Medan yang pluralistik secara etnik budaya dan
religi, memiliki sejarah yang panjang, sehingga terbentuk
budaya perkotaan yang dinamis dari zaman penjajahan hingga
kini. Menurut Luckman Sinar (2009:65):
“...tata kota di Medan mula-mula diatur melalui lembaga Commissie Tot Het Beheer Van Het Gemeente Fonds (Komisi untuk mengurus dana-dana gemeente) yang lebih dikenal dengan nama Negorijraad, tetapi masih diperintah dan dicampuri oleh Residen Sumatera Timur/Asisten Residen Deli Serdang dan Kontrolir Deli. Tetapi bagaimanapun dengan adanya Negorijraad ini ia telah menjadi pelopor yang baik dalam menuju suatu pemerintahan otonomi kotapraja. Berdasarkan “Decerttralisatie Wet Stbl. 1903 No. 329” dibentuklah lembaga lain yang dinamakan “Afdeelingsraad Van Deli” yang berjalan di samping Negorijraad tadi sampai dihapuskannya pada tanggal 1 April 1909 dibentuklah Cultuurraad untuk wilayah luar kota, yang menerima penyerahan baten en lasten dari bekas Negorijraad. Susunan keanggotaan Gemeente Raad tahun 1909 itu terdiri dari 15 orang (sebagian besar Belanda) yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda dan diambil dari anggota-anggota, Afdeelingsraad van Deli. Dengan adanya acte van schenking (akte hibah), tanah-tanah Kota Medan oleh Sultan Deli kepada Gemeente Medan di depan Notaris J.M. de Hondt Junior tanggal 30 November 1918 Akte No. 97, maka tanah-tanah itu masuk menjadi wilayah langsung (rechstreeks bestuurd gebied) Hindia Belanda...”
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
48
Dari sejarah Kota Medan kita dapat mengetahui,
pertumbuhan Kota Medan sejak tahun sejak 1909 sebagai
kotapraja yang otonom, membuat Kota Medan lebih modern.
Pembangunan Kota Medan membuat migrasi penduduk
semakin pesat, sehingga setiap etnik membentuk komunitas
yang dapat meneruskan tradisi budaya yang mereka miliki.
Selanjutnya T. Luckman Sinar (2009:65) menuliskan:
“Ketua dari Gemeente Raad Medan masa pembentukannya tanggal 1 April 1909 (Stbld 1909 No. 180) adalah tuan E.F.TH. Maier, yang menjabat Asisten Residen Deli dan Serdang ketika itu dan sidangnya yang pertama dilangsungkan tanggal 6 April 1909. Tapi ini belum berwujud Kotapraja karena syaratnya harus ada seorang Walikota yang khusus untuk itu.”
Baru pada tanggal 1 April 1918 Medan mendapat
walikotanya yang pertama, yaitu Baron Daniel Mackay. Pada
masa awal ini Kotapraja Medan terdiri dari 4 buah kampung,
yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sei Rengas, Kampung
Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir. Belakangan baru
tumbuh Kampung Aur, Kampung Keling dan lain-lain. Di
samping kampung-kampung asli Melayu itu, ada lagi tempat
pemukiman khusus untuk orang-orang kulit putih (Eropa) dan
wijk-wijk (pemukiman etnik) perdagangan orang Cina. Masing-
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
49
masing terpisah dengan kehidupannya, bahkan di kalangan
penduduk bumiputera ada pula kelompok-kelompok yang
berdiam eksklusif seperti kampung Mandailing (Sinar,
2009:67).
Kemunculan kelompok-kelompok etnis yang mediami
wilayah pengembangan Kota Medan sejak tahun 1918, Kota
Medan memiliki wijk-wijk. Etnis Melayu mendiami wilayah
Maimoon, Mandailing di Sungai Mati, Batak Toba tinggal di
kampung Durian, dan Tionghoa mendiami wilayah pasar dan
Jalan Asia. Kemudian, kelompok-kelompok etnik meneruskan
kepercayaan/religi, dan sosialisasi tradisi kepada generasi muda
secara dinamis.
Setelah dilakukan survei pada sepuluh sanggar seni dan
beberapa lokasi pertunjukan di Kota Medan, maka kami
mengamati dan melakukan wawancara untuk mendapatkan 10
seni budaya etnik Kota Medan yang memiliki potensi
berkategori tinggi untuk dikembangkan menjadi modal
pengembangan wisata global. Hasilnya menunjukkan, seni
persembahan dan pergaulan sosial lebih memiliki tingkat yang
relatif lebih tinggi, jika dikemas dan dipromosikan sebagai
produk wisata yang dapat dirancang menjadi agenda tahunan
bagi pemerintah dan stakeholder.
50
Hasil observasi: seni budaya etnik potensial bagi sektor wisata
Tabel 5.2.
Hasil Pengamatan Lapangan: Seni Budaya Etnik Potensial untuk Pengembangan Wisata Global
No. Nama Fungsi Sosial Fungsi Wisata Potensi
1. Tari Persembahan Melayu Ritual Religi Menyambut Tamu Tinggi
2. Tortor Somba Batak Ritual Religi Menyambut Tamu Tinggi
3. Tortor Raja/ Onang onanang Mandailing Ritual Religi Menyambut Tamu Tinggi
4. Tarian Naga (dragon dance) Tionghoa Ritual Religi Menyambut Tamu Tinggi
5. Tarian Singa (lion dance) Tionghoa Ritual Religi Meyambut Tamu Tinggi
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
51
6. Tarian Zapin Melayu Pergaulan Sosial Hiburan Tinggi
7. Tarian Hata Sopisik
Pergaulan sosial Hiburan Tinggi
8. Tari Endeng Endeng Pergaulan Sosial Hiburan Tinggi
9. Serampang XII Pergaulan sosial Hiburan Tinggi
10. Tari Saman Religi Hiburan Tinggi
52
Terdapat tiga subpokok bahasan yang bersumber dari
data empiris tentang potensi seni budaya etnik Kota Medan
yang dilakukan melalui survei, observasi, wawancara, dan
sumber bacaan (buku dan jurnal). Dari berbagai seni budaya
etnik Kota Medan yang masih berlanjut, maka seni pertunjukan
(performance art) merupakan fokus utama penelitian fundamental
ini. Alasan pemilihan seni pertunjukan, karena kandungan nilai
nilai humanisme yang lebih kompleks (complexity of sensory) jika
kita membandingnya dengan artefak.
Dunia ide yang direalisasikan secara kultural dalam
bentuk ritual dan pertunjukkan budaya adalah perilaku budaya
yang terkait dengan kepercayaan dan tradisi dalam bentuk
simbol. Pertunjukan seni dalam kegiatan ritual dan kultural
oleh etnik Melayu, Aceh, Minang, Karo, Simalungun, Batak
Toba dan Mandailing serta Tionghoa yang bermukim di Kota
Medan adalah sumber data. Sekitar 35 kegiatan seni budaya
masih terus dilaksanakan. Seni pertunjukkan dari warisan
budaya masing masing etnik pada perayaan hari besar,
peresmian gedung/rumah baru, festival, pesta perkawinan dan
acara etnik lainnya memiliki nilai luhur dan dapat dikemas
untuk dipromosikan untuk pengembangan sektor pariwisata.
Dalam interaksi budaya, setiap etnik mengembangkan
seni pertunjukkan dari kepercayaan (beliefs) yang terwujud
dalam berbagai rupa ritual (ritual enactments) dan pengaturan
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
53
hubungan sosial (social relations) dalam makna simbolis (symbolic
meaning) yang lebih mencerminkan perilaku sosial dalam
konteks budaya. Misalnya, Pertunjukan Tari Persembahan
Melayu, Tortor Somba Batak Toba dan Tortor Onang Onang
(Persembahan) Mandailing dan Tarian Barongsai Tionghoa
Medan adalah bersumber dari ritual. Sedangkan Tarian Zapin
Melayu, Tari Kijom-kijom /Endeng Endeng Mandailing dan
Tortor Hata Sopisik Batak Toba merupakan tarian pergaulan
sosial yang dapat menghibur pada berbagai acara kebudayaan.
Dalam teori drama sosial (social drama) yang
dikembangkan Victor W. Turner (1969, 1967), route dari rites of
passage dikembangkan menjadi empat (4) proses, yakni: (1)
Breach (kehidupan normal), (2) Liminality (transisi), (3) Redress
(pemulihan), dan (4) Reintegration (penyatuan kembali),
memberikan fondasi bagi penelitian dan pengkajian ritual dan
seni pertunjukkan dari sudut pandang etnologi dan
antropologi.
Disertasi doktoral Victor W. Turner di Universitas
Manchester Inggris tentang ritual dan simbol-simbol
seremonial dan kaitannya dengan struktur sosial suku Ndembu
Rhodesia, Afrika yang dibimbing oleh Max Gluckman,
memberikan sebuah fondasi teori antropologi secara khusus
dan metode ilmu sosial humaniora untuk menemukan makna
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
54
dari upacara inisiasi bagi anak yang akan akil balig, kesuburan
wanita yang akan berumah tangga, pengobatan bagi pasien,
bimbingan kepada anggota suku Ndembu Rhodesia yang akan
pergi berburu ke hutan, serta sistem kekerabatan dalam tatanan
matrilineal.
Richard Schehner menambahkan, teori social drama
Victor W. Turner yang bersifat ritual process, lebih aplikatif
dalam mengalisis seni pertunjukan yang berkonsentrasi pada
publik. Pertunjukan sosial dibandingkan dengan pendekatan
semiotika yang bersifat strukturalisme (1986).
Lokasi potensial untuk agenda wisata budaya
Lokasi pertunjukan seni budaya etnik Kota Medan
memberikan modal yang sangat prospektif untuk
pengembangan wisata global Kota Medan. Pusat kebudayaan
etnik Kota Medan tersebar di beberapa lokasi yang mudah
dijangkau turis domestik dan mancanegara. Istana Maimoon di
Jalan Brigjen Katamso, Medan menyuguhkan tarian-drama-
musik Melayu Deli bagi para pengunjung. Para pengelola
wisata dan hotel telah memiliki kemitraan dengan Istana
Maimoon untuk menumbuhkan kegiatan seni budaya Melayu.
Pekan Raya Sumatera Utara dan Lapangan
Merdeka/Merdeka Walk merupakan lokasi pertunjukan seni
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
55
budaya etnik Kota Medan yang menghadirkan seniman
seniman Kota Medan untuk perayaan hari besar, hari raya
keagamaan, festival, karnaval, dan pameran dagang. Selain itu,
Vihara Maitreya Cemara Asri Medan secara khusus
menampilkan seni tari Naga dan Singa/Barongsai untuk
menyemarakkan hari raya besar agama bagi komunitas
Tionghoa di Medan.
Beranjak dari pemikiran utama dari Mazhab
Antropologi Manchester, yakni The Network Process Analysis
dalam ritual dan hubungan sosial, pada intinya merevisi
paradigma The British Structure-Functionalism-London
School of Economic (LSE), pasca kejayaan bapak antropolog
modern Inggris B. Malinowski dan Radcliff-Brown.
Maka, interpretasi makna interaksi sosial dan simbol-
simbol dalam perhelatan ritual dan seni pertunjukan
berkembang menjadi analisis yang lebih rasional dan sekular:
(1) mengontrol penyelewengan (rebillions) perilaku anggota
komunitas, (2) memastikan (confirm) perilaku sosial anggota
komunitas berlangsung sesuai dengan siklus kehidupan, dan (3)
idealisasi simbol dalam hirarki sosial komunitas, seperti suku
Zulu di Afrika atau Karnaval yang diikuti oleh ritual Ash
Wednesday dalam tradisi budaya Eropah (Gluckman, 1956).
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
56
Drama Sosial, bagi Victor W. Turner, atau lebih rinci
lagi: kegiatan seremonial ritual rite of passages dalam komunitas
bertujuan untuk membebaskan setiap anggota dari ikatan-
ikatan menuju taraf yang lebih tinggi, misalnya Saturnalia dan
Lupercalia dalam tradisi budaya Romawi.
Pengembangan teori Les Rites de Passage (Van Gannep,
1909) untuk mempertanyakan rasionalisasi ritual oleh
komunitas pada setiap transisi musim dan perubahan status
sosial individu oleh The Manchester School of Anthropology,
ditandai dengan munculnya karya-karya etnografi yang
bertujuan untuk mengumpulkan data lapangan tentang tiga fase
siklus hidup dari teori Van Gannep, yakni:
a). Separation (pemisahan), seperti upacara kelahiran bayi
dan kematian,
b). Marginal or Transition (penyisihan), seperti upacara
inisiasi sunatan dan puberitas,
c). Aggregation (menuju situasi baru) atau incorporation,
seperti pernikahan, penobatan raja dan pemberian gelar.
57
Tabel 4.3
Hasil Pengamatan Lapangan: Lokasi Potensial untuk Wisata Budaya Global di Kota Medan
No. Lokasi Etnik Kegiatan Tingkat Potensi
1. Istana Maimoon Melayu Deli Tari, drama & musik
Tinggi
2. Pekan Raya Sumatera Utara
Melayu, Batak Toba, & Mandailing
Tari, drama & musik
Tinggi
3. Taman Sri Deli Melayu Deli Tari, drama & musik
Tinggi
4. Lapangan Merdeka/ Merdeka Walk
Melayu, Batak Toba, Mandailing & Tionghoa
Tari, drama & musik
Tinggi
5. Vihara Maitreya Tionghoa Tari, drama & musik
Tinggi
6. Hotel & Restoran Melayu, Batak Toba, Tari, drama Tinggi
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
58
Mandailing & Tionghoa
& musik
7. Taman Budaya Melayu/ Batak &Jawa Tari,drama & music
Tinggi
59
Data seni budaya enik Kota Medan terkait dengan seni
pertunjukan, berikutnya dianalisis dari konteks sejarah
peradaban dan konteks masa kini. Beberapa kegiatan ritual dan
tradisi kultural pada masa animisme, dengan pemujaan pada
kekuatan yang Maha Kuasa (dewa-dewa) atau animisme dan
hubungan sosial, telah mengalami adaptasi setelah Islam
menjadi agama dominan di Kota Medan. Sejarah peradaban
memberikan sumber rujukan dalam analisa data budaya.
Jika pada awalnya seni pertunjukkan bertujuan untuk
mempertunjukkan keterkaitan kehidupan manusia dengan
keagamaan (drama as ritual to show religioustic) dan tata hubungan
individu dalam komunitas, maka setelah Islam masuk ke
wilayah Sumatera, ada perubahan yang dinamis dan kreatif.
Penjelasan relasi agama dengan seni pertunjukan,
dipresentasikan Etnolog Inggris, Sir James G. Frazer (1922).
Dalam sebuah koleksi folklore (The Golden Bough: A Study of
Magic and Religion) mendeskripsikan ritual Arktika yang
dilakukan oleh suku Eskimo di Utara Kanada.
Peserta upacara terbagi ke dalam dua kelompok, yakni:
yang pertama memegang bebek jantan (ptarmigan) adalah
peserta yang lahir di musim dingin (winter) dan yang kedua
memegang bebek betina (duck) dari kelompok yang
kelahirannya pada musim panas (summer). Ptramigan
menyimbolkan musim dingin, sebaliknya duck simbol dari
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
60
musim panas. Pada ritual ini, suku Eskimo membuat lomba
tarik tali tambang yang terbuat dari kulit singa laut dan bersifat
seremonial ritual, yang menunjukkan gaya tarik menarik
kelompok ptarmigan versus duck. Upacara ini untuk
menghormati pergantian dari musim dingin ke musim panas.
Pada bagian berikutnya, Sir James Frazer juga
menganalisis ritual meminta hujan pada suku Omaha. Upacara
ini dimulai dengan melubangi tanah yang dipersiapkan bagi
bibit jagung yang basah dan kering. Kemudian, kelompok
orang suci dari Buffalo Society membawa tong besar yang
bersisikan air, lalu mereka menari dan mengitari tong air,
meminum isinya, dan memuntahkannya ke lubang-lubang itu,
sehingga seluruh area upacara penuh dengan awan air dan
berlumpur. Mereka kemudian mengusapkan lumpur ke wajah
mereka, berharap mampu menciptakan awan hujan di angkasa.
Interpretasi makna
Kajian antropologi mengaitkan ritual dengan seni
pertunjukan sebagai pemujaan kepada Tuhan, Dewa, dan
benda-benda magis. Ritual bertujuan untuk mempertunjukkan
keterkaitan kehidupan manusia dengan keagamaan (drama as
ritual to show religioustic). Secara konseptual, Max Gluckman
(1966:30) menyatakan: “Ritual, that is to say, is associated with
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
61
notions that its performance in some mysterious way, by process out of
sensory control, affects the well-being of the participants: it is believed to
protect them or in other ways achieve their well- being.”
Ritual adalah upaya sekelompok komunitas untuk
meraih keberhasilan dan menghindari bencana serta kerugian.
Lanjut Gluckman, perhatian pada keselamatan, misalnya
keberhasilan panen ubi, istri-istri yang subur, keberlanjutan
generasi muda, serta terhindar dari kebakaran dan kebanjiran
adalah upaya kolektif komunitas untuk mempertahanankan
stabilitas organisasi sosial dalam sebuah desa (1966:32).
Interpretasi data untuk mengungkap makna pertunjukan
tradisional berupa tarian dan opera dalam perwujudan
simbolisme kultural, sangat berkaitan dengan konteksnya. Pada
bagian interpretasi data seni budaya etnik Kota Medan, yang
menjadi rangkanya, dengan tema religi dan hubungan sosial,
pertunjukan sesuai dengan konteks situasi, melibatkan tafsiran
dari perspektif emik (native eyes).
Perhelatan ritual dan kultural, sesuai peristiwa adat yang
menjadi motif dari aktifitas seni budaya, ditafsirkan menjadi
karya etnografi (Geertz, 1973 dan Cohen, 1985). Proses
penulisan etnografi melibatkan mentalitas budaya, perilaku
sosial, dan sikap manusia terhadap Tuhan dan lingkungannya.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
62
Perilaku sosial budaya yang dibingkai oleh kepercayaan
pada Yang Maha Kuasa, seperti pada pertunjukan Tari
Persembahan Melayu, Tortor Somba dan Tarian Singa
Tionghoa terkait dengan upaya manusia untuk mendapat
perlindungan.
Perumusan teori dasar ilmu humaniora dari data yang
terkumpul melalui pola-pola dan ramuan kreatif dari
interpretasi makna simbol-simbol budaya dalam tradisi,
dilakukan untuk menjangkau nilai-nilai universal (yang tak
terikat lagi pada batas etnik). Selain perspektif emik, rumusan
teori dasar (grounded theory) dikaitkan dengan beberapa fungsi
dari seni pertunjukkan, yakni: sebagai media religi/ritual,
pengatur tata pergaulan sosial dan hiburan.
Formulasi teori juga dikaitkan dengan upaya kreatif dan
kemampuan adaptif pemilik budaya, setelah bermukim di
wilayah perkotaan. Sinar (1987:46-47) dalam Kebudayaan Melayu
Sumatera Timur , menyatakan:
“Upacara atau istiadat ritual Tolak Bala dalam masyarakat Melayu Sumatera Timur berhubungan dengan sistem pencarian penduduk daerah sebagai petani atau peladang padi. Upacara itu kewujudannya dari kepercayaan tradisional masyarakat, yaitu kepentingan keselamatan kampung, menangkal penyakit, meminta pertolongan kepada kekuatan supernatural, agar wujud keberhasilan
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
63
terhadap pelaksanaan persemaian, sehingga masa menuai padi. Para petani padi dalam masyarakat Melayu Sumatera Timur menganggap bahwa Dewi Seri yang menjelmakan diri sebagai benih padi. Sebelum masa menuai padi, ia selalunya bepergian kemana kehendak ia suka.”
Interpretasi ritual dan seni pertunjukan dalam perspektif
antropologi, sebagaimana dikembangkan oleh the Manchester
School of Anthropology, menggunakan dua kutub yang saling
bertentangan (paradox of rituals) (Gluckman, 1956), namun
bertujuan untuk menafsirkan perilaku aktor-aktor utama ritual
dan pertunjukkan seni, sebagai aktualisasi nilai ideologis
kultural dalam praktik sosial budaya dalam sebuah komunitas
(Turner, 1957).
Keberlangsungan dan rekonstruksi pertunjukkan ritual
dan seni dalam masyarakat adalah untuk memberikan
penghormatan kepada yang Maha Kuasa (Tuhan/Dewa-dewa)
berdasarkan pergantian musim (season cycles), dan panen
(harvest/vintage), serta ritus perjalananan individu (rites de passage)
mulai kelahiran, pubertas, masa dewasa, dan perkawinan,
hingga kematian. Itu semua adalah wahana bagi anggota
komunitas dan sebagai cermin atas perjalanan hidup dalam
interaksi sosial.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
64
Upaya pengembangan teori ritual dalam hubungan sosial
(pada awalnya oleh ahli folklore Flemish Perancis, Arnold Van
Gannep), dalam Les rites de Passage (1909) dan diterjemahkan ke
dalam Bahasa Inggris, Rites of Passage (2004), mengalami
dinamika yang menyebabkan meluasnya hipotesis dan
metodologis, serta cakupan ritual dalam hubungan sosial. Teori
tentang tradisi rite de passage di the Manchester School of
Anthropology oleh Max Gluckman dan Victor W. Turner,
memberikan epistemologi antropologis tentang ritual dan seni
pertunjukkan yang lebih dinamis dan metodologis, setelah
Victor W. Tuner melakukan fieldwork di Afrika dan
membandingkannya dengan tradisi ritual dan seremonial di
Eropa.
Jikalau The Manchester School of Anthropology
memberikan teori dasar tentang pertunjukan ritual dan seni
dalam masyarakat untuk memberikan penghormatan pada yang
Maha Kuasa berdasarkan perubahan musim (season cycles), dan
rasa syukur atas hasil panen, juga ritus perjalanan individu (rite
of passages), maka kita dapat menerima hasil laporan etnografi
antropolog Mazhab Manchester yang menunjukkan, berbagai
macam bentuk dan tujuan ritual dan pertunjukan. Meskipun
kerap memunculkan paradoks, di mana muncul upaya
meningkatkan soliditas dalam tatanan sosial (social order).
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
65
Direktur Institute of Rhodes & Livingstones, atau yang
lebih popular disebut The Manchester School of
Anthropology, Max Gluckman, menyatakan, ritualisasi peran-
peran hubungan sosial yang telah ada dan hubungan antar
anggota dalam sebuah komunitas, melalui simbol-simbol yang
paradoks, adalah upaya untuk mencapai harmonisasi alamai
antara anggota, selain konflik dan lembaga-lembaga sosial akan
menjadi harmonis. Tujuan utama ritual-ritual adalah
harmonisasi sebuah komunitas (Gluckman, 1977).
Max Gluckman (1966) memberikan ulasan tentang ritual
dan seremonial dalam hubungan sosial, dengan
mengembangkan teori Van Gennap dan beberapa karya
etnografi yang berafliasi dengan The Manchester School of
Anthropology, sebagai berikut:
Ritual and Office in Tribal Society (Meyer Fortes),
Death and Succession: An Analysis of Yakő Mortuary Ritual
(Daryll Forde),
Three Symbols of Passage in Ndembu Circumcision Ritual: An
Interpretation (Victor W. Turner),
The Devine Kingship of the Shilluk of the Anglo-Egyptian
Sudan (E. Evans. Pritchard),
Rituals of Rebellion in Southeast Africa (Max Gluckman),
The Fate of the Soul (Sir Raymond Firth),
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
66
Devine Kingship and The Breath of Men (Gofrey Wilson).
Pertunjukan seni drama Romawi sudah mulai
mementaskan cerita kepahlawanan. Tokoh-tokoh kuat dan
berani dipentaskan untuk meningkatkan rasa kebangsaan,
misalnya The Sword of King Arthur. Pada perkembangan berikut,
drama adalah sebagai sarana hiburan. Di zaman modern,
drama mengangkat fenomena kehidupan yang penuh dengan
keganjilan, aneh, absurd. Teater modern sudah banyak
digantikan oleh film, dan televisi. Produksi besar-besaran oleh
perusahaan kapitalis modern cenderung berorientasi bisnis..
Perusahaan film Amerika bergabung dengan usaha musik
dalam membuat film. Kita mengenal perusahaan raksasa
seperti, Colombia Pictures, 21th Century Fox, BMG, MGM,
Warner Bross, dan lain sebagainya.
Dalam laporan penelitian disertasi W.H. Rassers De
Pandji-Roman (1922) disebutkan, mite Jawa kuno memberikan
ide tentang federasi (macapat) desa dan empat subdesa dalam
struktur sosial Jawa kuno. Selanjutnya, Rassers menjelaskan:
“Mite-mite kuno yang menjadi prototype atau contoh dan
sumber asli dari cerita Pandji, adalah cerita sejarah keramat
mengenai kelahiran dan perjuangan hidup para nenek moyang
dari kedua paruh masyarakat. Mite-mite itu didongengkan
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
67
dalam bentuk nyanyian pada upacara inisiasi anak-anak muda
dari kedua itu masing masing.” (Koentjaraningrat, 1987: 204-
205).
Kemudian, antropolog Belanda lainnya, De Josselin de
Jong (1935) menggunakan cerita Pandji sebagai model untuk
penelitian struktur sosial suku-suku lainnya di nusantara. Pada
buku De Maleische Archipel als Ethnologisch Studievld (1935 dalam
Koentjaraningrat, 1987), De Josselin de Jong membuat
mitologi sebagai sumber penyelidikan struktur sosial dan
menganjurkan teori ini untuk mengumpulkan data dari
berbagai suku di Nusantara.
Analisis prosesual (processual analysis) pada dasarnya
dikembangkan dari pendekatan fenomenologi (Turner, 1977:
63), sebagai reaksi terhadap pendekatan positivisme kuantitatif.
Pandangan Emily Durkheim dan pengikutnya, menyatakan
social fact adalah sebuah benda, gagal dalam menganalisis
perilaku simbolik, bahasa tubuh, dan kias. Sehingga Victor W.
Turner sebagai penganut fenomenolis, seperti Shutz, Husserl,
Garfinkel memperlakukan segala bentuk ritual dan seni
pertunjukkan dalam prosesual analisis sebagai inti budaya yang
melibatkan sebuah intersystemic analysis.
Itu bermakna kebudayaan muncul dari interaksi dan
sosialisasi makna, terintegrasi antara sistem biotik dan ekologis
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
68
yang dinamis dan saling terinteraksi (Turner, 1977). Makna
hidup, menurut Victor Turner, pada masyarakat yang dominan
hidup dalam situasi tradisi lisan, hadir dalam myths (cerita suci),
yang terealisasi dalam perhelatan ritual. Sedangkan dalam
budaya modern, ada rekonstruksi teks tertulis dan simbol-
simbol. ●
Istana Maimoon
(Saiful Anwar Matondang)
69
Bab 5 Kesimpulan
& Saran
Pengembangan teori dasar
ilmu humaniora dari data
empiris, dapat dilakukan
dengan merumuskan nilai
nilai universal melampau
batas etnik dan wilayah Kota
Medan menjadi warisan
dunia. Kota Medan juga
memiliki beberapa tempat
potensial untuk diagendakan
sebagai pusat budaya etnik
secara global.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
70
Kesimpulan
Setelah dilakukan survei terhadap seni budaya etnik
Kota Medan, terdapat 35 pertunjukkan ritual dan kultural yang
masih menjadi tradisi etnik yang bermukim di Kota Medan.
Kami memilih 10 seni budaya etnik yang memiliki tingkat
potensi tinggi untuk dikemas dan dipromosikan sebagai modal
kultural dalam pengembangan wisata global.
Pengembangan teori dasar ilmu humaniora dari data
empiris dapat dilakukan dengan merumuskan nilai-nilai
universal melampaui batas etnik dan wilayah Kota Medan
menjadi warisan dunia. Kota Medan juga memiliki beberapa
tempat potensial untuk diagendakan sebagai pusat budaya etnik
secara global.
Potensi seni budaya etnik Kota Medan bersumber dari
kecepercayaan (beliefs) dan adat yang memberikan tata
pergaulan sosial memiliki kekuatan yang prospektif untuk teori
dasar dan pengembangan bidanng seni dan sektor pariwisata.
Tari Persembahan dan tari pergaulan, seperti Zapin Melayu,
Serampang XII dan Tari Endeng Endeng Mandailing,
memberikan nilai luhur, nilai identitas kultural dan nilai
ekonomi yang berguna bagi pertumbuhan Kota Medan sebagai
pusat wisata global.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
71
Saran-saran
Mengingat persaingan regional ASEAN dan global
dalam sektor wisata budaya, peran peneliti dari perguruan
tinggi untuk melakukan penelitian fundamental bidang ilmu
humaniora perlu mendapat dukungan dari pemerintah dan
dunia usaha agar potensi seni budaya etnik Kota Medan dapat
memiliki nilai kultural dan ekonomi.
Kerjasama sinergis dan kolaboratif antara perguruan
tinggi, pemerintah dan pelaku usaha wisata yang masih kurang
optimal, memerlukan terobosan baru dari pimpinan lembaga
perguruan tinggi, agar para peneliti bidang ilmu humaniora
dapat memiliki akses yang lebih luas untuk melakukan
penelitian fundamental, sehingga mengahsilkan data emipiris
lebih rinci dan komprehensif.
Mengingat penelitian fundamental humaniora memiliki
prospek modal ilmiah bagi kebijakan pemerintah dalam
pembangunan insan berbudaya, warisan budaya dan sektor
pariwisata, maka disarankan adanya upaya konsisten untuk
meneliti budaya lokal dalam hubungannya dengan regional dan
global.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
72
DAFTAR PUSTAKA
Boscobonik, Andrea (2010),Tourism et confiance: un lien peu explore, From Palermo to Penang, A journey into Political Anthropology, LIT Verlag: Vienna –Berlin Cangia, Flavia (2012) Performing the Buraku, narratives on cultures and everyday life in contemporary Japan, Lit Verlag: Zurich Cohen, Anthony P (2005) Symbolic Community, Cambridge University Press Frazer, Sir James (1922) The Golden Bough: A Study of Magic and Religion, London & New York : Macmillan Gannep, Arnold A (1909) Le Rites de Passage.Etude Systematique des Rites. Libraire Critique:Paris Geertz, Clifford (1975) Deep Play: notes on Baliness cockfight, dalam The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc: New York. Geertz, Clifford (1975) The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc: New York. Gluckman, Max (1965) Custom and Conflict in Africa, Oxford Gluckman, Max (1966) Essay on the Ritual of Social Relations, Manchester University Press Gluckman, Max (1977) On Drama, Games, and Athletic Contests, dalam S.F Moore dan B.G Myerhoff (eds), Secular Ritual, Assen: Amsterdam
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
73
Gonzales, Miguel V (2008) Intagible heritage tourism and identity, Tourism Management, no 29. Grunewald, Rodrigo de Azeredo (2006) Tourism and Ethnicity, Horiz.antropol. vol.1 no.se Porto Alegre, The Federal University in Campina Grande – Brazil Kaufman, Ned (2013) Putting Intangible Heritage in its Place(s): Proposal for Policy and Practice, International Journal of Intangible Heritage, Vol 3 Kirshenblatt-Gimblett, B. (1998) Destination Culture: Tourism, Museums, and Heritage. Berkeley: University of California Press. Koentjaraningrat, (1987) Sejarah Teori Antropologi, Universitas Indonesia Press: Jakarta Kurtz, Donald V (1979) Political Anthropology: Issues and Trends on Frontier, dalam Seaton, L & Claessan (1979), Political Anthropology, the State of the Art, Mouton Publishers: The Hague, Paris & New York. Lury, C. (1997) The objects of travel in C. Rojek and J. Urry (eds),Touring Cultures. London: Routledge. Meskell, Lynn (2013) UNESCO's World Heritage convention at 40, Current Anthropology, 3/53 August, Nasuriddin, M G (1995) The Malay Dance, Dewan Bahasa dan Pustaka: Selangor Malaysia Perret, Daniel (2010) Kolonialisme & Etnisitas: Batak dan Melayu d Sumatera Timur Laut, Jakarta: Gramedia
http://no.se/
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
74
Pieterse, J N (2009) Globalization & Culture Global Melange, Rowman: Maryland USA Schechner, Richard (2008) Performance Studies, Routledge: London Schehner, Richard (1986) Magnitudes of Performance, dalam Turner VW & Bruner E (1986), Anthropology of Experience, Urbana- Champa: University of Illinois Press Shankar, Guha (2010) From subject to producer: reframing the indigenous heritage through cultural documentation training, International Journal of Intangible Heritage, Vol 5 Sinar, Luckman T (2009) Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan: Sinar Budaya Group. Sinar, Luckman T (2010) Kebudayaan Sumatera Timur, Medan: Sinar Budaya Group Sinar, Luckman T (2012) Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu, Sinar Budaya Group: Medan Turner, W Victor (1957) Schism and Continuity in an African Society, Manchester: Manchester University Press. Turner, W Victor (1967) From Ritual to Theaters: The Human Seriousnees of Play, London& New York: PAJ Publication Turner, W Victor (1969) The Ritual Process, London& New York: PAJ Publication UNWTO (2012) Tourism and Intangible Cultural Heritage, Madrid, Spain.
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
75
Santos, Freitas (2013) Tourism Peceptions of World Heritage Destination: the case of Gumares, Minho University:Portugal Stonza, Amanda (2001) Anthropology of tourism: forging new ground for ecotourism and other alternatives, Annual Rev. Anthropology, 30 Tuner, Victor W (1987) The Anthropology of Performance, PAJ Publication: New York Tuner, Victor W (1976) Drama, Fields and Metaphores: Symbolic action in Human Society, Ithaca New York Wulf, Ch (2010) Ritual and Identity, The Staging and Performing of Rituals in the lives of young people, London: Tufnell Press
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
76
TENTANG PENULIS
Saiful Anwar Matondang, M.A M.A (UH), Ph.D (Cand)
Saiful Anwar Matondang lahir di Tapanuli Selatan, 26 Juli 1968. Ia adalah PNS Kopertis Wilayah 1 Medan angkatan tahun 1993, dan sejak tahun 2014 berpangkat Pembina Utama Muda (IV-C) berdasarkan SK Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.
Saiful Matondang memenangkan Ford Foundation Fellow New York dan East West Center dari tahun 2010-2012. Menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika (PERMIAS) Chapter Hawaii 2010-2011, dan Asian Studies Representative di Honololu.
Saiful Matondang melakukan riset “Hybrid and Cultural Differences of Multicultural Writers of Australia” di Melbourne 1996 atas biaya The Institute of Australia Indonesia untuk memperoleh gelar Master Ilmu Sastra. Risetnya: “Interethnic Perceptions of Ethnicity of Georgetown Penang, Malaysia” dilakukan untuk memperoleh gelar Master of Arts (M.A) dari University of Hawaii USA.
Pada saat ini, Saiful Matondang sedang menyelesaikan disertasi antropologi, berfokus pada “Social Dramas & Ethnoregional in Globalizing World” di University of Fribourg Swiss. Dalam pengembangan karir dosen metodologi penelitian budaya, Saiful Matondang telah beberapa kali memenangkan hibah dosen dari Dirjen DIKTI, seperti: Kajian Multikulturalisme Australia, Analisis Wacana Perkawinan Angkola Mandailing, Analisis Myth Suku
Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global
77
Peublo Mexico pada Ceremony, Potensi Seni Budaya Kota Medan untuk Pengembangan Wisata Global (2015), dan untuk tahun anggaran 2016 & 2017, Proposal Fundamental Kompetitif Nasional, berjudul, “Perhelatan Ritual, Festival, dan Karnaval Kultural Polyethnic City Kota Medan untuk Pembangunan Wisata Global” mendapat penilaian Peringkat Tinggi dari Kemenristek-Dikti RI.
Yuda Setiawan, S.Pd, M.Hum
Dosen Tetap Bahasa Inggris FKIP UMN Al-Washliyah, alumnus S2 Linguistik Terapan Bahasa Inggris.