+ All Categories
Home > Documents > Teori Kebudayaanpenelitian.uisu.ac.id/.../B01-Buku_Teori_Kebudayaan_2015.pdfTeori kebudayaan klasik:...

Teori Kebudayaanpenelitian.uisu.ac.id/.../B01-Buku_Teori_Kebudayaan_2015.pdfTeori kebudayaan klasik:...

Date post: 07-Feb-2021
Category:
Upload: others
View: 15 times
Download: 1 times
Share this document with a friend
77
Teori Kebudayaan Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global Saiful Anwar Matondang Yuda Setiawan
Transcript
  • Teori Kebudayaan Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    Saiful Anwar Matondang Yuda Setiawan

  • Teori Kebudayaan Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global Saiful Anwar Matondang, Yuda Setiawan © 2015, CV. Perdana Mitra Handalan, Medan Editor: Febry Ichwan Butsi, Vinsensius Sitepu Tata letak visual: MahapalaMultimedia Hak cipta dilindungi undang-undang Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Perdana Mitra Handalan Jl. Puyuh II No. 19 Komplek Rajawali Indah Medan 20122 | +6281360933347 [email protected] ISBN: 978-602-73405-0-3

    Penerbitan buku ini dibiayai oleh DIPA Kopertis Wilayah 1 pada tahun anggaran 2015 dengan nomor kontrak, 027/K1.1.1/AT.1/2015

    Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi uku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

  • Daftar Isi

    Pengantar Penulis i

    Bab 1 Pendahuluan 1

    Bab 2 Teori Antropologi Seni Budaya & Wisata 9

    Bab 3 Antropologi Urban & Studi Lintas Budaya 17

    Bab 4 Kebudayaan Etnik Kota Medan

    & Wisata Global

    31

    Bab 5 Kesimpulan & Saran 61

    Daftar Pustaka 64

    Tentang Penulis 68

  • Pengantar Penulis Buku ini adalah hasil penelitian empiris terhadap pertumbuhan dan perkembangan potensi seni budaya etnik yang pluralis di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Proses pembentukan Kota Medan dari hasil interaksi penduduk asli (Karo, Simalungun, Melayu, Toba, dan Mandailing) dengan budaya transmigran dari Jawa serta peradaban asing (India, Arab, Tionghoa, Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang), menciptakan mosaik warisan budaya tak benda (intangible heritage) yang sangat fenomenal dan memiliki nilai epistemologis (teori dan metode penelitian budaya) dan pragmatis (kebijakan kebudayaan pemerintah, industri wisata berskala global, ekonomi kreatif, dan pendidikan seni budaya). Teori kebudayaan klasik: evolusionis, difusionis, struktur fungsional dan urban anthropology (Chicago dan Manchester School), memberikan fondasi ilmiah yang kokoh tentang budaya dan masyarakat secara etnologis. Pada buku-buku etnografi tentang teori kebudayaan yang telah dikembangkan para pendiri etnologi dan antropologi: evolusionis E.B. Taylor (Inggris) dan L.H.. Morgan (Amerika Serikat); difusionis Adolf Bastian, Graber (Jerman) dan Wilhem Schmidt (Austria-Swiss) serta Franz Boaz (Jerman Amerika); struktural fungsionalis B. Malinowski dan E.E. Prichards (Inggris); strukturalisme mitologi C. Levi Strauss (Perancis); prosesual konflik dramatik Manchester School of Anthropology, Max Gluckman, Fortes Meyers, Edmund Leach, dan Victor W. Turner; simbolik interpretatif Weberian oleh Clifford Geertz (Harvard -USA), dan M Singer telah memberikan

  • 5

    dasar-dasar sebagai acuan kerangka berpikir tentang perubahan sosial budaya yang disertai dengan interaksi kultural yang unik, berproses, dan berkesinambungan. Realitas sosial budaya menunjukkan, proyek modenisme Eropa dan globalisasi Anglo-Amerika berintekasi secara kultural dengan budaya lokal, sebagaimana ditemukan di India oleh Arjun Appadurai Global Scapes dan Glocal dari Robertson. Selanjutnya, proyek antropologis Manchester di bawah Max Gluckman (1950-an), telah memrediksi perubahan sosial budaya masif, yang sudah masuk sejak Kolonialisme Inggris, khususnya di Afrika. Senada dengan urban anthropology dari Chicago School yang meneroka blood ties etnisitas di kota-kota besar di Amerika Serikat, Max Gluckman dari Manchester Inggris memberikan analisa kritis terhadap munculnya gejala metropolitan yang membuat adaptasi budaya lokal dengan modernise dan globalise. Buku ini menunjukkan, setiap etnik yang bermukim di Kota Medan, secara dinamis dan adaptif meneruskan tradisi kultural yang terkait dengan religi, hubungan sosial dan hubungan dengan alam sekitar. Dengan pendekatan antropologi seni dan pariwisata, buku ini berfokus pada dunia ide yang direalisasikan secara kultural dalam bentuk ritual dan pertunjukkan budaya. Seni budaya etnik dalam bentuk perilaku budaya yang terkait dengan kepercayaan dan tradisi kultural etnik Melayu, Jawa, Aceh, Minang, Batak Toba dan Mandailing serta Tionghoa yang bermukim di kota Medan masih

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    6

    meneruskan seni pertunjukkan dari warisan budaya masing masing etnik. Kegiatan ritual dan tradisi kultural pada perayaan hari besar agama, hari besar nasional, peresmian gedung/rumah baru, festival, pesta perkawinan dan acara etnik lainnya, merupakan realisasi dari kepercayaan dan tradisi. Dari berbagai seni budaya etnik Kota Medan yang masih berlanjut, maka seni pertunjukan (performance art) merupakan fokus utama dari penelitian fundamental ini. Alasan pemilihan seni pertunjukan adalah, karena kandungan nilai-nilai humanisme yang lebih kompleks (complexity of sensory) jika dibandingkan dengan artefak. Setiap etnik mengembangkan seni pertunjukan dari kepercayaan (beliefs), yang terwujud dalam berbagai rupa ritual (ritual enactments) dan pengaturan hubungan sosial (social relations) dalam makna simbolis (symbolic meaning) yang lebih mencerminkan perilaku sosial dalam konteks budaya. Misalnya, Pertunjukan Tari Persembahan Melayu, Tortor Somba Batak Toba dan Tortor Onang Onang (Persembahan) Mandailing dan Tarian Barongsai Tionghoa Medan bersumber dari ritual. Sedangkan Tarian Zapin Melayu, Tari Kijom-kijom /Endeng Endeng Mandailing dan Tortor Hata Sopisik Batak Toba merupakan tarian pergaulan sosial yang dapat menghibur pada berbagai acara-acara kultural. Data kebudayaan etnik Kota Medan dari hasil survei seni budaya etnik di kota Medan sebagai potensi wisata global, yang dilanjutkkan dengan observasi lapangan, wawancara dan studi pustaka menghasilkan data dasar tentang

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    7

    Kebudayaan etnik Kota Medan. Data terkumpul atas dukungan berbagai pihak, yakni pengelola Istana Maimoon, Vihara Maitreya Cemara Asri, sanggar seni, para penari, perpustakaan T. Luckman Sinar, tokoh masyarakat, pengelola biro perjalanan dan hotel di Kota Medan saling bertukar informasi dan pengetahuan dalam sebuah perjalanan studi empiris di lapangan. Dari semua kebaikan para pemangku kepentingan (stakeholder) pada bidang seni budaya etnik dan wisata di kota Medan, kami menghaturkan banyak terima kasih, sehingga kami mendapatkan data empiris tentang seni budaya kota Medan yang sangat berguna untuk merumuskan teori ilmu humaniora yang berguna untuk bidang bidang ilmu terapan dan kebijakan pemerintah dalam bidang pariwisata (tourism). Pada kesempatan ini juga kami secara khusus mengucapkan terimakasih kepada: Bapak Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Dirjen Dikti- Menristek & Dikti, Bapak Kordinator Kopertis Wilayah 1 Medan, Kadis Pariwisata Provinsi Sumatra Utara, Bapak Rektor UMN Al Washliyah, Bapak Ketua LP2M UMN Al Washliyah, dan Dekan FKIP UMN Al Washliyah. Penulis Medan, Oktober 2015

  • 8

  • 9

    Bab 1 Pendahuluan

    Merujuk pada Convention of the

    Safeguard of Intangible Cultural

    Heritage UNESCO tahun 2003

    dan rekomendasi Konvensi

    UNESCO tahun 2008, identifikasi

    dan inventarisasi warisan budaya

    tak benda yang meliputi oral

    traditions (tradisi tradisi lisan)

    dan ekspresi budaya melalui

    bahasa, seni pertunjukan,

    praktik sosial, ritual, perayaan,

    festival, pengetahuan lokal

    tentang alam, dan tradisi

    kerajinan adalah warisan budaya

    vital karena terkait diversitas

    budaya dan kreatifitas manusia.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    10

    PENGKAJIAN warisan budaya tak benda (intangible cultural

    heritage) yang menjadi tradisi dari masing masing etnik di Kota

    Medan, belum banyak dipublikasikan, baik di tingkat regional

    maupun global. Dari sudut aspek warisan budaya tak benda,

    potensi seni budaya Medan dapat dihubungkan secara teoritis

    dalam kajian-kajian wisata global yang terus berkembang. Seni

    budaya lokal dan wisata global adalah dua variabel penting

    untuk terciptanya grounded theory dalam penelitian humaniora

    ini.

    Jikalau kita merujuk pada Convention of the Safeguard

    of Intangible Cultural Heritage, UNESCO, tahun 2003 dan

    rekomendasi Konvensi UNESCO tahun 2008, identifikasi dan

    inventarisasi warisan budaya tak benda yang meliputi oral

    traditions (tradisi-tradisi lisan) dan ekspresi budaya melalui

    bahasa, seni pertunjukan, praktik sosial, ritual, perayaan,

    festival, pengetahuan lokal tentang alam, dan tradisi kerajinan

    adalah warisan budaya vital, karena terkait diversitas budaya

    dan kreatifitas manusia. Misalnya, warisan budaya Melayu

    seperti paket tarian Mak Inang, Kuala Deli, dan Serampang

    Dua Belas, dan etnis Tionghoa Medan mewariskan ritual ziarah

    Cheng Beng dan pertunjukan Barongsai (dragon and lions dances)

    pada Hari Raya Imlek yang masih ditradisikan oleh masing-

    masing etnik. Akan tetapi, kekayaan seni budaya etnik Kota

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    11

    Medan masih belum dikaji secara holistik pada ilmu

    humaniora, guna menghasilkan pengetahuan dasar.

    Penelitian fundamental bidang humaniora berfaedah

    sebagai pengetahuan dasar dan kerangka teori dan diperlukan

    untuk menopang bidang ilmu lainnya, seperti ilmu pendidikan

    seni, pengelolaan wisata, ekonomi dan industri kreatif, serta

    kebijakan pemerintah dan publik.

    Terkait dengan kelangkaan data empiris dan teori-teori

    yang dihasilkan oleh ilmuwan humaniora tentang potensi seni

    budaya untuk wisata global, maka masih dibutuhkan kajian

    yang berkelanjutan agar tersedia pengetahuan dasar. Kondisi

    ilmu humaniora kini masih berkutat pada hal falsafah normatif

    (yang diadaptasi dari Yunani Kuno dan Eropah Barat Modern),

    dan belum dikembangkan sesuai dengan warisan budaya lokal

    dan perkembangan ilmu yang semakin pesat, telah

    menyebabkan kekeringan pengetahuan dasar humaniora bagi

    mahasiswa, peneliti, dan pemangku kepentingan di Indonesia.

    Dengan kata lain, penelitian dan pengembangan seni budaya

    untuk budaya wisata global masih minim, dan belum banyak

    dikaji secara ilmiah dan berkelanjutan.

    Mengingat minimnya penelitian dasar terhadap

    kekayaaan seni budaya Kota Medan seperti tradisi lisan,

    pantun, lagu, cerita rakyat, dan seni drama, dan tari, penelitian

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    12

    fundamental ini dimaksudkan untuk mendapatkan modal

    ilmiah dalam upaya pengembangan budaya wisata global dari

    seni budaya etnik sebagai tambang budaya yang merupakan

    identitas nasional di tingkat global, sehingga penelitian

    fundamental yang menjadikan arena penelitian adalah kekayaan

    budaya yang dimiliki kelompok etnik yang ada di Kota Medan

    sangat mendesak untuk dilakukan, agar dapat memberikan

    sumbangan pada pengembangan dasar dalam bidang

    humaniora.

    Penelitian ini menelisik lebih jauh kekuatan dan peluang

    seni budaya Kota Medan yang potensial untuk

    ditumbuhkembangkan menjadi wisata global. Berdasarkan

    penelitian Antropology of Tourism yang dilakukan oleh Storanza

    (2001), terungkap penelitian holistik dapat mengeksplorasi

    budaya lokal dan kaitan turisme dengan peningkatan

    keuntungan sosial ekonomi dan lingkungan pada daerah tujuan

    wisata. Kemudian, sejak tahun 1970-an, proses reinvensi

    (reinvention) dan dinamika sosial terhadap tradisi budaya lokal

    akibat industri wisata, menjadi perhatian pengkajian

    humaniora.

    Cangia (2012:40-41) menyelidiki proses konstruksi sosial

    dalam seni pertunjukan seni, Buraku oleh suatu kelompok

    etnik minoritas di tengah-tengah budaya modern Jepang.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    13

    Kelompok itu kerap bernegosiasi dengan pemerintah terkait

    perubahan kebijakan melestarikan budaya bangsa. Penelitian

    itu memberikan basis pemikiran untuk meneliti lebih jauh

    potensi seni pertunjukan oleh komunitas lokal pada situasi kota

    modern.

    Kemudian, Gonzales (2008: 807) mengusulkan adanya

    penelitian terbaru yang berfokus pada identitas budaya lokal

    dan globalisasi industri wisata. Dengan kata lain, penelitian

    fundamental seperti ini adalah tindakan intelektual untuk

    melahirkan pengetahuan dasar humaniora dari data empiris

    seni budaya etnik sebagai potensi wisata global.

    Beragam persoalan

    Seni budaya etnik Kota Medan yang pluralis memiliki

    keragaman dan berpotensi menjadi wisata global. Buku ini

    menjawab mengenai warisan budaya tak benda (intangible

    cultural heritage) apa sajakah yang masih dikenal, dimiliki, dan

    ditransmisikan, serta diteruskan oleh kelompok etnik sebagai

    identitas budaya di Kota Medan?

    Lagi, prosesi ritual agama, upacara adat dan pertunjukan

    hiburan rakyat adalah potensi seni budaya yang sangat berharga

    jika dipetakan (mapping out) secara sistematik. Kita bisa

    membawa persoalan ini ke dalam pertanyaan: seni budaya apa

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    14

    sajakah yang masih ditansmisikan oleh kelompok-kelompok

    etnis yang bermukim di Kota Medan?

    Kemudian, jikalau menilik dari berbagai prosesi ritual

    agama, upacara adat dan pertunjukan hiburan rakyat yang

    masih ditradisikan dan dipertahankan di Kota Medan pada

    masa sekarang, akan dapat dijadikan sebagai sasaran penelitian

    humaniora. Dari situ kita dapat menggali ritual, upacara dan

    pertunjukan seperti apakah yang sangat mendasar untuk

    grounded theory pada ilmu humaniora.

    Hal penting lainnya adalah data empiris dan rumusan

    grounded theory yang ditemukan dalam ilmu humaniora, terkait

    potensi seni budaya Kota Medan yang dapat dijadikan sebagai

    sumber rujukan. Data dan teori seni budaya manakah yang

    tepat untuk disarankan dan dipublikasikan sebagai pengetahuan

    dasar untuk pengembangan wisata global?

    Mengapa penelitian ini penting

    Penelitian fundamental humaniora terhadap potensi seni

    budaya Kota Medan bagi pengembangan wisata global,

    merupakan terobosan mendasar, dan secara khusus penelitian

    fundamental ini bertujuan untuk:

    Mengindentifikasi dan menginventarisasi prosesi ritual,

    upacara adat, dan pertunjukan hiburan rakyat sebagai seni

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    15

    budaya etnik Kota Medan sebagai sumber elaborasi ilmiah

    dan grounded theory.

    Membuat pemetaan (mapping out) seni budaya etnik yang

    dapat dimanfaatkan secara sinambung dan invensi budaya

    berbasis masyarakat untuk pengembangan wisata global,

    melalui kebijakan kebudayaan oleh pemerintah.

    Memublikasikan potensi seni budaya etnik Kota Medan di

    jurnal internasional, dan dalam bentuk buku serta artikel

    di media massa yang dapat digunakan sebagai

    pengetahuan dasar bagi ilmu terapan dan kebijakan.

    Urgensi penelitian

    Berkenaan dengan pentingnya sumbangan data empiris

    dan rumusan teoritis (grounded theory) tentang seni budaya yang

    berasal dari budaya lokal melalui kajian humaniora untuk

    pengetahuan dasar bagi ilmu terapan dan kebijakan, penelitian

    fundamental ini memiliki fungsi dan peran yang urgen sebagai

    fondasi ilmiah.

    Pijakan yang berasal dari pengetahuan dasar dan teori

    yang dihasilkan penelitian fundamental ini, menunjang

    pendidikan seni budaya, pengelolaan wisata, ekonomi, industri

    kreatif dan kebijakan pemerintah dan publik. Penelitian

    fundamental lebih mendalami fenomena seni budaya etnik di

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    16

    perkotaan yang diperlukan untuk mendapat data empiris dan

    menghubungan potensi seni budaya etnik dan budaya wisata

    global.

    Seni budaya etnik ini diinterpretasikan berasaskan kaidah

    ilmu humaniora, sehingga data empiris atas budaya tak benda

    (intangible culture heritage) dan interaksi identitas antar budaya,

    mampu membangun teori yang mendasar bagi penelitian

    terapan dan praktik seni budaya dan wisata. Lebih jauh, ini

    menjadi kerangka dasar hasil penelitian yang eksploratif

    prinsipil.

    Pada prinsipnya, fenomena seni budaya yang dielaborasi

    terhadap keaslian dan kreatifitas seni budaya, dapat menjadi

    rujukan yang sangat berguna. Kontribusi kekayaan tak benda

    Kota Medan, seperti drama sosial, teater, seni tari, folksong, dan

    pertunjukan hiburan rakyat dalam perhelatan ritual keagamaan,

    upacara adat, dan festival atau karnaval untuk pengembangan

    wisata, terpetakan. ●

  • 17

    Bab 2 Teori

    Antropologi

    Seni Budaya

    & Wisata

    Pada seni pertunjukan,

    seperti Zapin, Joget ataupun

    Rongeng masyarakat Melayu

    di Sumatera Timur,

    menawarkan sebuah jalan

    cemerlang dalam

    memahami proses kreatifitas

    budaya lokal dan regional

    untuk melahirkan identitas

    bangsa.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    18

    Kajian seni budaya dalam antropologi

    Kajian seni budaya dalam ilmu antropologi dapat kita

    jumpai dalam dua bentuk, yakni karya etnografi (deskripsi dan

    interpretasi kebudayaan) dan etnologi (perbandingan dua atau

    beberapa budaya). Baik etnografi dan etnologi telah melahirkan

    teori mendasar (grounded theories) tentang fungsi seni dan

    maknanya dalam kontek sosial politik yang lebih luas.

    Seorang antropolog Amerika Serikat kelahiran Inggris,

    Victor W. Tuner, mengembangkan Anthropology of Performance

    (1987) yang berfokus pada drama sosial dengan menggunakan

    terminologi seni teater untuk meneroka hubungan seni

    pertunjukan dengan kegiatan simbolik religius, tradisi, siklus

    hidup manusia (rites of passage), dan konflik sosial pada

    masyarakat.

    Kaeppler membuat elaborasi ilmiah dari festival yang

    menyertai seni puisi, musik, membuat pewangi, tari, busana,

    dan drama yang bermuatan sosial politik pada wilayah budaya

    Polinesia. Penampilan seni drama dan tari masyarakat Pasifik

    merupakan refleksi dari legenda, mitos, dan kepercayaan

    mereka yang dikreasikan dalam struktur, estetika, gaya, simbol

    dan makna dalam konteks sosial budaya yang luas (Kaeppler:

    2002:12).

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    19

    Dalam Deep Play: Notes on Balinese Cockfight (1972), karya

    antropolog terkemuka, Clifford Geetz, membuat sebuah teori

    yang diangkat dari makna budaya sabung ayam di Pulau

    Dewata, Bali. Geertz (1973:412-428), memberikan gambaran

    bagaimana hubungan antara dramaturgical sabung ayam di Bali

    dengan simbolisasi identitas pemilik ayam, dan pendukung

    yang sedang bertarung. Meskipun sabung ayam adalah ilegal,

    namun bagi masyarakat, pertunjukan ini adalah sebuah

    pertarungan harga diri dan uang.

    Richard Schechner telah membangun teori performance

    studies (2008) yang membahas persamaan seni pertunjukan

    dengan ritual keagamanan. Setelah Schechner membandingkan

    budaya Amerika-Eropa dengan tradisi Hindu-India, ia

    menjelaskan, baik ritual maupun seni untuk hiburan

    berorientasi pada hati jemaat/penonton agar tetap menjaga

    perilaku dalam kehidupannya. Schechner menemukan adanya

    upaya kelompok untuk membangun dan mempertahankan

    restored behavior melalui wahana teatrikal dalam ritual dan seni

    pertunjukan.

    Dalam The Malay Dance (1995) dijelaskan, seni

    pertunjukan dalam kebudayaan Melayu terkait dengan

    ritualistik, folkloristik dan tarian istana (Nasuriddin, 1995:1).

    Dan sebagai bagian yang terintegrasi dan berguna bagi

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    20

    masyarakat Melayu, seni pertunjukan memiliki dua fungsi,

    yakni spiritual dan hiburan. Antropolog Italia, Flavia Cangia

    menyatakan, seni pertunjukkan adalah hasil rekreasi,

    interpretasi yang dinamis oleh kelompok etnik melalui proses

    interaksi sosial yang berkelanjutan (Cangia, 2012:26-27).

    Sejalan dengan pendapat Cangia, Tengku Luckman

    Sinar, menegaskan, bahwa sejatinya seni tari, drama, dan musik

    adalah hasil kreasi seni dan juga menjadi bagian dari sistem

    sosial dalam masyarakat Melayu (Sinar, 2012). Pada Seni

    pertunjukan, seperti Zapin, Joget ataupun Ronggeng,

    masyarakat Melayu di Sumatera Timur menawarkan sebuah

    jalan cemerlang dalam memahami proses kreatifitas budaya

    lokal dan regional untuk melahirkan identitas bangsa.

    Seni menggerakan tubuh melalui tarian memiliki makna

    simbolis, baik secara konteks budaya, estetika maupun identitas

    kelompok etnik (Wulf, 2010) dan seni pertunjukan

    memberikan role of model bagi pemilik kebudayaan dan

    penonton yang hadir pada saat ritual, upacara, dan peringatan

    serta ajang festival/karnaval.

    Kajian warisan budaya tak benda

    Warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage)

    adalah obyek kajian baru dalam penyelamatan kekayaan budaya

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    21

    dunia. Jikalau The World Heritage Sites UNESCO selama empat

    dekade (sejak 1972) telah melakukan proyek benda material

    (tangible heritage) seperti museum, candi, situs-situs etnik di 157

    negara (Meskell, 2013) untuk pelestarian budaya, sarana

    pendidikan dan industri wisata, maka sejak tahun 2003

    perhatian pada kekayaan etnik berupa tradisi mulai

    dilaksanakan pada beberapa negara. Kekayaan budaya tak

    benda terkait dengan the human body as medium (Wulf 2010),

    berupa tradisi lisan dan modus ekspresi dalam bahasa dan

    gerakan, seni pertunjukan, praktik sosial dalam ritual dan

    perayaan, pengetahuan lokal tentang gejala alam, keterampilan

    dan pengetahuan tentang seni lukis, seni rupa, dan kerajinan.

    Kekayaan budaya tak benda berimplikasi pada

    penguatan budaya lokal dan memberikan sumbangan pada

    diversitas budaya global (Kaufman, 2013 dan Shankar, 2010).

    Hasil riset Grunewald (2006) memberikan data tentang

    kekuatan budaya etnik untuk reproduksi seni. Lebih lanjut

    Grunewald (2006:7) menegaskan, "The ethnicity exercised in the

    terms of a cultural production of traditions, to be exhibited as distinctive

    features within the touristic ambit, that would signify the ethnic character

    of the interaction.”

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    22

    Budaya etnik dalam kontelasi wisata global

    Kekayaan budaya lokal untuk masuk pada tingkat global

    telah menjadi kenyataan, karena didorong oleh arus imigrasi,

    teknologi informasi, dan industri kreatif dan pengembangan

    wisata. Identifikasi terhadap hibrida budaya pada global yang

    terjadi di Asia, menurut Pieterse (2009:115-116) mengalami

    difusi budaya Timur dan Barat.

    Metateori yang dipaparkan oleh Pieterse (2009),

    perbedaan budaya etnik sebagai bagian dari kebijakan negara,

    konvergensi budaya dalam penyebaran agama, revitalisasi dan

    pembaharuan budaya etnik yang didorong oleh industri. Pada

    artikel Tourism et confiance: un lien peu explore, yang ditulis seorang

    antropolog Swiss, Andrea Boscobonik (2010) disebutkan,

    industri wisata global beinteraksi mutual dengan pelestarian

    budaya lokal (hal. 267). Kajian pariwisata dalam The

    Anthropology of Tourism terdapat berbagai pendekatan dalam

    melihat fungsi budaya lokal dalam kerangka wisata global.

    Ada teori antropologi yang menghubungkan keagamaan

    dan turisme, perubahan sosial budaya akibat kunjungan wisata,

    globalisasi dan budaya, komoditisasi budaya untuk turisme, dan

    interaksi pelancong dengan masyarakat lokal di tujuan wisata.

    Kirshenblatt-Gimblett dalam Destination Culture: Tourism,

    Museums, and Heritage (1998) menjelaskan, nuansa warisan

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    23

    budaya migran ke Amerika Serikat terwujud pada pusat budaya

    the new heritage centre di Ellis Island, New York. Nilai diversitas

    etnik dari berbagai bangsa yang bermigrasi ke Amerika Serikat

    hadir dan dirayakan pada pusat budaya tersebut.

    Senada dengan temuan Kirshenblatt-Gimblett pada Ellis

    Island, hasil pengembangan Celia Lury (1997:767) tentang

    makna budaya wisata bukan sekadar menikmati tempat tujuan

    wisata, tetapi memberikan pengalaman akan nilai-nilai yang

    dimiliki manusia. Budaya wisata global menurut Freitas Santos

    (2013) pada masa sekarang ini, tumbuh dan berkembang

    melampaui bangunan fisik dari museum dan situs-situs etnik ke

    arah pembentukan citra artistik warisan budaya tak benda, yang

    meliputi kesenian, dan drama yang masih terus tumbuh dalam

    festival budaya yang dikelola oleh kelompok etnik.

    Destinasi turis, Logas Portugal, menurut Santos (2013)

    memberikan daya tarik wisata, karena seluruh kegiatan seni

    pertunjukan dilakukan sebagai ekspresi kultural atas anugerah

    keindahan laut yang teduh. ●

  • 24

    Lapangan Merdeka

    (Saiful Anwar Matondang)

  • 25

    Bab 3 Antropologi

    Urban & Studi

    Lintas Budaya

    Jika antropolog Amerika

    mengambil area penelitian di

    Amerika Utara, dengan

    membandingkan budaya

    kulit putih dengan suku asli

    Amerika, sebaliknya,

    antropolog Inggris lebih

    banyak bekerja di Afrika,

    Australia & Polinesia, India

    dan beberapa di Asia

    Tenggara. The Manchester

    School membidik budaya

    urban yang tumbuh atas

    proyek modenisasi penjajah

    dan kapitalis di negeri

    jajahan.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    26

    Dari model klasik menuju model prosesual

    Pemikiran (mentalitas), etos, dan perilaku setiap etnik

    atau kelompok suku yang bermukim di wilayah perkotaan,

    sejak modernisasi Eropah merebak dari zaman kolonial pada

    akhir abad ke-20 di beberapa kota besar di negeri-negeri

    jajahan, menarik perhatian para sosiolog dan antropolog.

    Perhatian terhadap kajian urban anthropology di sekitar

    perubahan sosial budaya dan difusi kebudayaan yang terjadi di

    wilayah perkotaan, meliputi beberapa faktor, yakni: sistem

    pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem kesenian, sistem

    hukum dan moral serta kemajuan teknologi kelompok suku

    yang berimigrasi dari benua atau negara lain atau kelompok

    etnik yang berurbanisasi dari pedesaan ke wilayah urban.

    Terdapat pula perubahan penelitian lapangan model

    klasik evolusionis, E.B. Taylor atau struktur fungsionalis,

    Malinowski dan Radcliff-Brown (Inggris), yakni dari suku

    terpencil menuju perkotaan, mengubah teori dan metodologi

    antropologi sosial-budaya yang sangat fenomenal. Antropologi

    urban tidak lagi berfokus pada satu etnik, juga bukan pada

    komunitas yang terisolasi dari transportasi dan komunikasi

    modern. Sebaliknya, antropologi urban menerapkan a multi-sited

    ethnography model George E. Marcus dan rebellion & processual

    social drama ala Manchester School untuk penelusuran adaptasi

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    27

    kelompok etnik dan keberlangsungan identitas etnik di

    berbagai kota dalam berbagai kegiatan sosial budaya.

    Berbagai kegiatan ritual dan festival budaya

    diselenggarakan untuk mengukuhkan solidaritas kelompok,

    yang dibingkai sistem kepercayaan dan nilai nilai yang

    diamalkan dan dipraktikkan, menjadi arena riset antropologi

    urban.

    Berbeda dengan perintis antropologi urban dari

    Chicago School, Amerika Serikat, yang menelusuri jejak

    kelompok etnik pada tatanan multikulturalisme Amerika

    dengan pendekatan sosiologis, tim antropologi dari The

    Manchester School (Max Gluckman, Darryl Forde, Meyer

    Fortes, dan Victor W. Turner) dari Inggris lebih banyan

    berfokus pada perubahan sosial budaya (adat istiadat),

    kelompok suku di beberapa kota yang menjadi lokasi proyek

    industrialisasi Inggris.

    Jika antropolog Amerika mengambil area penelitian di

    Amerika Utara dengan membandingkan budaya kulit putih

    dengan suku asli Amerika, sebaliknya, antropolog Inggris lebih

    banyak bekerja di Afrika, Australia & Polinesia, India dan

    beberapa di Asia Tenggara. The Manchester School membidik

    budaya urban yang tumbuh atas proyek modenisasi penjajah

    dan kapitalis di negeri jajahan. Max Gluckman berfokus pada

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    28

    hubungan sosial antar suku dan bangsa (ritual of social relations)

    bukan perilaku individu, karena seseorang terikat pada budaya

    di mana dia tumbuh dan dibesarkan (1956). Murid Max

    Gluckman di University of Manchester, Victor W. Turner

    dengan terminologi social drama (1974), secara operasional

    melakukan pengamatan langsung terhadap makna ritual bagi

    komunitas dan proses struktur dan anti-struktur (1969) dalam

    dinamika internal kelompok etnik melalui sistem simbol.

    Model social drama Victor W. Turner

    mengombinasikan alur rites de passage Eropa yang

    dikembangkan Arnold Van Gannep (1909) dengan tradisi

    drama Elizabethan Theater karya William Shakespeare sebagai

    fondasi dasar untuk mengobservasi ritual dan prosesi (drama

    sosial) suku Ndembu di Afrika dan membangun teori dasar

    yang baru dalam antropologi simbolik.

    Antropologi simbolik membantu penelitian lapangan

    lintas budaya (bertemunya tradisi besar) pada sebuah lokasi.

    Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1975)

    dengan lugas menyatakan, adaptasi manusia dengan

    lingkungannya terealisasi dalam sistem simbol dan makna.

    Selanjutnya, Geertz, antropolog interpretatif simbolik ternama

    dari Amerika Serikat ini, memberikan alasan logis atas sistem

    sistem budaya yang saling terkait dalam kelompok suku.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    29

    Sebagai penganut Verstehen Weberian dari Jerman (manusia

    sebagai makhluk yang hidup pada laman-laman makna sosial

    budaya), Clifford Geertz (1973: 48) menyatakan:

    “The increasing reliance upon systems of significant symbols (language, art, myth, ritual) for orientation, communication, and self-control all created for man a new environment to which he was then obliged to adapt. As culture, step by infinitesimal step, accumulated and developed, a selective advantage was given to those individuals in the population most able to take advantage of it-the effective hunter, the persistent gatherer, the adept toolmaker, the resourceful leader-until what had been a small-brained, protohuman Australopithecus became the large brained fully human homo sapiens”.

    Pada saat sekarang antropologi urban sudah menjadi

    subdisplin antropologi yang mapan di Eropa Barat dan para

    antropolog urban sudah menjadi anggota pada Union

    Antropologi dan Etnologi Dunia (IUAES) yang berpusat di

    Jepang. Berbagai studi etnografi dilakukan di Eropa Timur

    pasca runtuhnya komunisme Rusia oleh, tim antropologi

    Guilina Prato dari Universitas Kent di Inggris dan Presiden

    Institute of Interdisciplinary for East & Central Europe

    (Christian Giordano) dari Universite de Fribourg Swiss serta

    Paula Rubel (University of Columbia USA). Sejak tahun 2008

    penelitian antropologi urban terhadap posisi budaya China di

    silicon city, Pulau Pinang, Malaysia yang dipimpin antropolog

    Swiss, Christian Giordano.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    30

    Bentuk budaya urban Kota Medan

    Gerakan revitalisasi dan kesadaran kultural dari akar

    rumput seiring dengan putaran globalisasi dan regionalisasi

    (Giordano, 2009), menguatkan karakter budaya Kota Medan

    yang unik. Upaya beberapa seniman, kelompok sanggar seni

    dan perguruan tinggi juga memberikan angin positif bagi setiap

    etnik di Kota Medan untuk menampilkan potensi budaya Kota

    Medan. Strategi untuk merekonstruksi pertunjukkan budaya

    dalam bentuk ritual, seni pertunjukan, dan kreasi seni, bukan

    hanya memberikan fondasi bagi ilmu pengetahuan, juga

    memberikan informasi bagi pengambil kebijakan (pemerintah)

    dan pelaku usaha pariwisata.

    Teori antropologi telah banyak menyediakan elaborasi

    tentang sistem kepercayaan dan kaitannya dengan identitas

    budaya. Misalnya, perilaku budaya yang terkait dengan

    kepercayaan dan tradisi. Pada realitas sosial budaya Kota

    Medan, etnik Melayu, Batak Toba dan Mandailing serta

    Tionghoa yang bermukim di Kota Medan masih meneruskan

    seni pertunjukan warisan budaya masing-masing pada perayaan

    hari besar agama, hari libur nasional, peresmian gedung atau

    pun rumah baru. Berbagai festival untuk perayaan-perayaan

    pesta perkawinan dan acara etnik lainnya berevolusi dengan

    lingkungan budaya urban Kota Medan.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    31

    Selain Kota Medan yang plural bertipe polyethnic city

    (Judith Nagata, 1979), Medan lahir dari sejarah budaya yang

    panjang, mulai dari Kerajaan Haru, Kesultanan Deli dan

    Modernisasi Penjajah Belanda (1860), hingga menjadi kota

    metropolitan seperti sekarang ini. Hal itu termasuk realitas

    sosial budaya yang terlihat melalui berbagai bangunan

    bersejarah sebagai simbol perpaduan Islam, etnik dan

    modernitas (Mesjid Raya, Istana Maimoon, Balai Kota, Stasiun

    Kereta Api, dan Rumah Tjong A Fie) dan ritual festival agama

    (Ramdhan Fair & Imlek) dan budaya suku-suku (Tari

    Persembahan dan Tortor) yang bermukim di Kota Medan serta

    berbagai urban arts and culinary. memberikan modal budaya yang

    vital bagi pertumbuhan kota.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    32

    Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) di Medan 2014

    (Saiful Anwar Matondang)

    Wajah budaya urban Kota Medan dari berbagai seni

    budaya etnik yang masih berlanjut, seni pertunjukan (performance

    art), merupakan primadona budaya urban dalam konstelasi

    wisata global. Inovasi dan invensi tradisi budaya etnik terus

    tumbuh dan berkembang dengan sentuhan teknologi dan

    pemikiran seni budaya untuk kegiatan ritual dan festival

    tahunan seni pertunjukan, merupakan realisasi nilai-nilai

    humanisme yang lebih kompleks (complexity of sensory).

    Modal budaya berupa sistem kepercayaan dan nilai

    budaya yang berinteraksi di Kota Medan, memberikan modal

    kultural yang khas, apalagi jikalau kita sandingkan dengan

    artefak. Kekayaan nilai-nilai religi dan kultural Kota Medan

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    33

    telah banyak berekonstruksi secara inovatif menjadi

    pementasan seni budaya, misalnya, tarian Barongsai oleh

    Masyarakat Tionghoa yang dipertunjukkan di Sun Plaza, Yuki,

    Center Point, Polonia BD, dan Kompleks Cemara Asri setiap

    Hari Raya Imlek. Semua itu adalah dunia ide yang diwujudkan

    secara kultural dalam bentuk ritual dan pertunjukkan budaya

    untuk memperkokoh identitas dan solidaritas suku Tionghoa

    yang bermukim di Kota Medan.

    Agama dan adat membuat Kota Medan memiliki

    kekayaan budaya. Kota Medan muncul sebagai wilayah urban

    yang paling heterogen di Pulau Sumatera, karena setiap etnik

    memiliki ruang dan kesempatn untuk mengembangkan seni

    pertunjukkan dari kepercayaan (beliefs) yang terwujud dalam

    berbagai rupa ritual (ritual enactments). Keberlangsungan tradisi

    untuk pengaturan hubungan sosial (social relations) dalam makna

    simbolis (symbolic meaning) yang lebih mencerminkan perilaku

    sosial dalam konteks budaya ada pada kantong kantong budaya

    suku-suku yang bermukim di Medan.

    Suku Melayu menunjukkan keseniannya di Istana

    Maimon, suku Mandailing di Jalan Letda Sujono Medan

    Tembung, dan suku Tionghoa di sekitar Jalan Asia atau Vihara

    Maitreya Cemara Asri. Misalnya, kita dapat menyaksikan

    Pertunjukan Tari Persembahan Melayu,Tortor Somba Batak

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    34

    Toba dan Tortor Onang Onang (Persembahan) Mandailing

    dan Tarian Barongsai Tionghoa Medan.

    Berbagai atraksi ritual dan kultural adalah bersumber

    dari sistem kepercayaan dan nilai-nilai yang masih diyakini.

    Tradisi budaya etnik yang masih berlanjut dengan penuh

    inovasi dapat dinikmati dari Tarian Zapin Melayu, Tari Kijom-

    kijom/Endeng Endeng Mandailing dan Tortor Hata Sopisik

    Batak Toba. Tari-tarian tersebut merupakan tarian pergaulan

    sosial yang dapat menghibur pada berbagai acara budaya.

    Simbol dan Tepak Sirih dalam Tari Persembahan Melayu 2014

    (Saiful Anwar Matondang)

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    35

    Simbol dan ikon memperkuat karakter budaya Kota

    Medan. Istana Maimoon adalah salah satu yang menjadi

    magnet dan ikon kota ini. Istana bukan hanya merupakan

    warisan dari Sultan Deli dan menyuguhkan live music, tarian

    tarian Melayu seperti Mak Yong, Mak Inang, dan Serampang

    XII, tetapi merupakan pusat peradaban Melayu modern dan

    Islam. Sebagai pusat peradaban dengan kekayaan budaya

    Melayu dan Islam, di kompleks Istana Maimoon dan

    Kompleks Mesjid Raya adalah warisan budaya yang sudah

    masuk kategori obyek wisata global. Tempat itu membuat

    lokasi Ramadhan Fair yang diadakan setiap tahun menjadi

    fenomenal. Karakter Melayu Islam dan modernisasi

    menjadikan potensi budaya dan Vihara Maitreya bagi suku

    Tionghoa mengekalkan Kota Medan sebagai kota wisata rohani

    global. Simbol-simbol kultural yang agung dan ikon pluralistik

    memiliki magnitude luas, menjadikan Kota Medan sebagai pusat

    peradaban yang sangat berguna bagi pembangunan wisata

    global.

    Karakter yang kokoh dan berakar pada sistem

    kepercayaan dan nilai nilai budaya urban yang disertai

    modernisasi dan aplikasi teknologi, adalah modal yang tak

    habis walaupun berbagai acara budaya dihadirkan setiap tahun.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    36

    Potensi karakter budaya yang kokoh dan kemampuan

    membuat jaringan dan bentuk-bentuk paket wisata budaya

    adalah faktor yang penting bagi Kota Medan untuk meraih

    pasar wisata regional dan global. Agenda ritual, festival, dan

    karnaval budaya yang terorganisir adalah kunci sukses bagi kota

    wisata. Modal kultural yang sangat kaya dan juga unik

    membuka jalan dan peluang besar bagi Kota Medan untuk

    menjadi kota wisata budaya berskala global. Kerjasama sinergis

    dari berbagai pihak agar Kota Medan dapat memanfaatkan

    berkah budaya yang sangat bernilai.

    Medan, dengan potensi sistem kepercayaan dan nilai-

    nilai budaya yang dipadukan dengan modenisasi serta

    teknologi. berpotensi besar menjadi destinasi wisata global di

    kawasan Selat Melaka. Upaya-upaya kolaboratif agar kekayaan

    budaya Kota Medan melalui penelitian budaya urban dan

    pendidikan budaya secara informal dan formal untuk

    mewariskan budaya etnik, masih memerlukan tangan-tangan

    profesional dan kreatif. Modal tradisi kultural melahirkan

    suasana Kota Medan lebih berkarakter.

    Diversitas kultural Melayu, Karo, Simalungun, Toba,

    Mandailing, Jawa, India, dan China yang dilakukan dengan

    pengetahuan dan keterampilan, melambungkan Kota Medan

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    37

    menjadi future polyethnic city di antara kota-kota di kawasan Asia

    Tenggara.

    Kota Medan yang pluralis secara etnisitas, memiliki

    kekayaan budaya etnik untuk wisata global. Selain posisi

    geografis yang sangat strategis, potensi budaya Kota Medan

    jika dikembangkan secara maksimal, baik berdasarkan praktik

    yang sistematis, maupun pengkajian ilmiah yang berkelanjutan,

    akan membuat Kota Medan sebagai destinasi wisata berskala

    global. Mengacu pada rekomendasi Convention of the

    Safeguard Intangible Heritage UNESCO tahun 2003, potensi

    seni budaya etnik Kota Medan, seperti narasi oral, musik, seni

    tari dan drama, dan tradisi lisan lainnya, memerlukan upaya

    upaya sustainability yang konkret dari masyarakat, akademisi,

    pemerintah, dan pelaku usaha wisata. ●

  • 38

    Pagelaran Barongsai di Komplek Cemara Asri

    (Saiful Anwar Matondang)

  • 39

    Bab 4 Kebudayaan

    Etnik Kota

    Medan &

    Wisata Global

    Seni pertunjukan

    mengandung makna

    simbolis yang memberikan

    kesempatan bagi komunitas

    untuk menafsirkan ide dari

    kepercayaan dan tradisi,

    agar dapat berinteraksi

    secara kreatif dan dinamis.

    Terkait dengan seni

    pertunjuukan etnik Kota

    Medan, data penelitian

    fundamental ini memberikan

    modal ilmiah bagi

    pengembangan wisata

    global.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    40

    Potensi seni budaya etnik Kota Medan dan wisata global

    Seni pertunjukan (performance art) adalah fokus utama

    penelitian fundamental ini, sebab seni pertunjukan adalah

    mengandung nilai-nilai humanisme yang lebih kompleks jikalau

    dibandingkan dengan artefak. Dunia ide (fikiran) yang

    direalisasikan secara kultural dalam bentuk ritual dan

    pertunjukkan budaya, adalah perilaku budaya yang terkait

    dengan kepercayaan dan tradisi dalam bentuk simbol.

    Pertunjukan seni dalam kegiatan ritual dan kultural

    Melayu, Aceh, Minang, Karo, Simalungun, Batak Toba,

    Mandailing, serta Tionghoa yang bermukim di Kota Medan

    adalah sumber data. Sekitar 35 kegiatan seni budaya masih

    terus dilaksanakan. Seni pertunjukkan, dari warisan budaya

    masing-masing etnik pada perayaan hari besar, peresmian

    gedung/rumah baru, festival, pesta perkawinan, dan acara etnik

    lainnya memiliki nilai luhur dan dapat dikemas untuk

    dipromosikan untuk pengembangan sektor pariwisata.

    Kemudian, dalam interaksi budaya, setiap etnik

    mengembangkan seni pertunjukkan dari kepercayaan (beliefs)

    yang terwujud dalam berbagai rupa ritual (ritual enactments) dan

    pengaturan hubungan sosial (social relations) dalam makna

    simbolis (symbolic meaning) yang lebih mencerminkan perilaku

    sosial dalam konteks budaya. Misalnya, Pertunjukan Tari

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    41

    Persembahan Melayu, Tortor Somba Batak Toba dan Tortor

    Onang-Onang (Persembahan) Mandailing dan Tarian

    Barongsai Tionghoa Medan bersumber dari ritual. Sedangkan

    Tarian Zapin Melayu, Tari Kijom-kijom/Endeng Endeng

    Mandailing, dan Tortor Hata Sopisik Batak Toba merupakan

    tarian pergaulan sosial yang dapat menghibur pada berbagai

    acara kultural.

    Menurut Donald V. Kurtz, konseptualisasi prosessual

    analysis melibatkan deskripsi dan verifikasi perubahan sosial

    budaya dalam sebuah even atau situasi, di mana para aktor

    sosial dalam kompetisi untuk meraih tujuan khusus.

    Selanjutnya, ia menjabarkan metodologi yang diterapkan dalam

    prosessual analysis sebagai berikut:

    “The conceptualization of process derived from this methodology is concerning with describing the empirical and verifiable changes inherent in an event or situation while role players within that situation are competing for specific goals. „Change‟ in this context refers to the alternation in alignments of personnel within an encapsulated time dimension, the period involved covering the inception of the process to it termination: „process‟ seems to refer to an endlessly unfolding development or to a series of overlapping and inextricably intertwined process. Change in the structural sense is simply not a concern since formal structures are presumed to be nonexistent.” (1979: 42)

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    42

    Seni pertunjukan mengandung makna simbolis yang

    memberikan kesempatan bagi komunitas untuk menafsirkan

    ide kepercayaan dan tradisi agar dapat berinteraksi secara

    kreatif dan dinamis. Terkait dengan seni pertunjukan etnik

    Kota Medan, data penelitian fundamental ini memberikan

    modal ilmiah bagi pengembangan wisata global.

    Dalam pembahasan pada tiga subpokok berikut,

    disajikan hasil studi lapangan terhadap seni pertunjukan dengan

    ekspresi budaya sebagai dasar ilmu humaniora. Data empiris

    dikelompokkan menjadi tiga, meliputi: (1) hasil survei pada seni

    budaya etnik Kota Medan yang sering dipertunjukkan oleh

    responden, (2) hasil pengamatan lapangan tentang fungsi sosial

    dan potensi seni yang dipilih untuk penggembangan wisata

    global (global tourism) Kota Medan, dan (3) hasil pengamatan

    untuk lokasi potensial bagi pengembangan wisata global di

    Kota Medan.

    Hasil survei: Seni budaya etnik Kota Medan

    Survei terhadap seni budaya yang sering dipertunjukkan

    kelompok etnik yang bermukim di Kota Medan bersumber

    dari religi, interaksi sosial, dan adaptasi lingkungan/dengan

    alam. Hasil survei menunjukkan tiga puluh lima daftar seni

    pertunjukan yang dikenal oleh para responden. Hasil survei ini

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    43

    menunjukkan, kepercayaan (beliefs), dan hubungan sosial adalah

    referensi utama kegiatan ritual dan kultural. Terkait dengan

    simbolisasi religi dan hubungan sosial dalam kajian

    antropologi, maka pengembangan konsepsi seni sebagai

    perwujudan kebudayaan dalam dunia ide dan kaitannya dengan

    kesenian, identitas etnik merupakan modal dasar ilmiah/teoritis

    dan praktik sosial dalam ruang publik. Selain esensi

    kebudayaan mengandung eternalitas, genuitas, dan orisinalitas,

    kebudayaan yang juga menunjukkan identitas etnik semakin

    menguat pada kelompok komunitas di perkotaan.

    Dari hasil survei, terdapat 35 seni pertunjukan budaya

    etnik Kota Medan yang masih diteruskan oleh komunitas dan

    sanggar seni. Data tersaji pada tabel 5.1 adalah seni yang cepat

    diingat kelompok etnik dan dipertunjukkan pada kegiatas religi

    dan kultural. Dari kelompok seni etnik tersebut, pada kegiatan

    religi dan interaksi sosial, ada kegiatan seni pertunjukkan tari

    persembahan dan tari pergaulan sosial (tabel 5.2) yang dapat

    dikembangkan menjadi modal kultural bagi pengembangan

    wisata global di Kota Medan.

  • 44

    Tabel 5.1

    Hasil Survei: Tiga Puluh Lima Seni Budaya Etnik Kota Medan

    No. Nama Fungsi Asal Etnik

    1. Makyong Religi Siam Melayu

    2. Ronggeng/Joget Pergaulan Sosial Portugis Melayu

    3. Serampang XII Pergaulan Sosial Melayu Serdang Melayu

    4. Hadrah Religi Timur Tengah Melayu/ Mandailing

    5. Dzikir Religi Timur Tengah Melayu/ Mandailing

    6. Mahaban Religi Timur Tengah Melayu/ Mandailing

    7. Zapin/Gambus Religi Timur Tengah Melayu/ Mandailing

    8. Tarian Naga Religi Tiongkok Tionghoa

    9. Tarian Singa Religi Tiongkok Tionghoa

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    45

    10. Tari Persembahan Religi Melayu Melayu

    11. Tortor Somba Religi Melayu Batak Toba

    12. Tortor Raja/ Onang-Onang

    Religi Melayu Mandailing

    13. Toping Huda Huda Religi Simalungun Simalungun

    14. Gundala Gundala Religi Karo Karo

    15. Tari Kijom Kijom Pergaulan Sosial Mandailing Mandailing

    16 Tari Sitogol Pergaulan Sosial Mandailing Mandailing

    17. Tari Hata Sopisik Pergaulan Sosial Batak Toba Batak Toba

    18. Tari Nelayan Hubungan Alam Austronesia Melayu/ Pesisir

    19. Zapin Pergaulan Sosial Timur Tengah Melayu

    20. Sihutur Sanggul Pergaulan Sosial Batak Toba Batak Toba

    21. Tari Endeng Endeng Pergaulan Sosial Mandailing Mandailing

    22. Tari Saman Religi Aceh Aceh

    23. Tari Rapa’i Religi Aceh Aceh

    24. Tari Pasembahan Religi Minang Minang

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    46

    25. Tari Piring Religi Minang Minang

    26. Tari Inai Religi Melayu/ Minang

    Melayu/ Minang

    27. Tari Lilin Religi Minang Minang

    28. Tari Mak Inang Pergaulan Sosial Melayu Melayu

    29. Pencak Silat Pergaulan Sosial Melayu/ Minang

    Melayu/ Minang

    30. Wayang Religi India/ Hindu

    Jawa/ Melayu

    31. Kuda Kepang Religi Timur Tengah Jawa

    32. Opera Batak Hiburan Batak Toba Batak Toba

    33. Sam Pek Eng

    Hiburan Tionghoa Tionghoa

    34. Bangsawan Hiburan Persia Melayu

    35. Stambul/ Tonil

    Hiburan Turki Melayu/ Jawa

  • 47

    Kota Medan yang pluralistik secara etnik budaya dan

    religi, memiliki sejarah yang panjang, sehingga terbentuk

    budaya perkotaan yang dinamis dari zaman penjajahan hingga

    kini. Menurut Luckman Sinar (2009:65):

    “...tata kota di Medan mula-mula diatur melalui lembaga Commissie Tot Het Beheer Van Het Gemeente Fonds (Komisi untuk mengurus dana-dana gemeente) yang lebih dikenal dengan nama Negorijraad, tetapi masih diperintah dan dicampuri oleh Residen Sumatera Timur/Asisten Residen Deli Serdang dan Kontrolir Deli. Tetapi bagaimanapun dengan adanya Negorijraad ini ia telah menjadi pelopor yang baik dalam menuju suatu pemerintahan otonomi kotapraja. Berdasarkan “Decerttralisatie Wet Stbl. 1903 No. 329” dibentuklah lembaga lain yang dinamakan “Afdeelingsraad Van Deli” yang berjalan di samping Negorijraad tadi sampai dihapuskannya pada tanggal 1 April 1909 dibentuklah Cultuurraad untuk wilayah luar kota, yang menerima penyerahan baten en lasten dari bekas Negorijraad. Susunan keanggotaan Gemeente Raad tahun 1909 itu terdiri dari 15 orang (sebagian besar Belanda) yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda dan diambil dari anggota-anggota, Afdeelingsraad van Deli. Dengan adanya acte van schenking (akte hibah), tanah-tanah Kota Medan oleh Sultan Deli kepada Gemeente Medan di depan Notaris J.M. de Hondt Junior tanggal 30 November 1918 Akte No. 97, maka tanah-tanah itu masuk menjadi wilayah langsung (rechstreeks bestuurd gebied) Hindia Belanda...”

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    48

    Dari sejarah Kota Medan kita dapat mengetahui,

    pertumbuhan Kota Medan sejak tahun sejak 1909 sebagai

    kotapraja yang otonom, membuat Kota Medan lebih modern.

    Pembangunan Kota Medan membuat migrasi penduduk

    semakin pesat, sehingga setiap etnik membentuk komunitas

    yang dapat meneruskan tradisi budaya yang mereka miliki.

    Selanjutnya T. Luckman Sinar (2009:65) menuliskan:

    “Ketua dari Gemeente Raad Medan masa pembentukannya tanggal 1 April 1909 (Stbld 1909 No. 180) adalah tuan E.F.TH. Maier, yang menjabat Asisten Residen Deli dan Serdang ketika itu dan sidangnya yang pertama dilangsungkan tanggal 6 April 1909. Tapi ini belum berwujud Kotapraja karena syaratnya harus ada seorang Walikota yang khusus untuk itu.”

    Baru pada tanggal 1 April 1918 Medan mendapat

    walikotanya yang pertama, yaitu Baron Daniel Mackay. Pada

    masa awal ini Kotapraja Medan terdiri dari 4 buah kampung,

    yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sei Rengas, Kampung

    Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir. Belakangan baru

    tumbuh Kampung Aur, Kampung Keling dan lain-lain. Di

    samping kampung-kampung asli Melayu itu, ada lagi tempat

    pemukiman khusus untuk orang-orang kulit putih (Eropa) dan

    wijk-wijk (pemukiman etnik) perdagangan orang Cina. Masing-

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    49

    masing terpisah dengan kehidupannya, bahkan di kalangan

    penduduk bumiputera ada pula kelompok-kelompok yang

    berdiam eksklusif seperti kampung Mandailing (Sinar,

    2009:67).

    Kemunculan kelompok-kelompok etnis yang mediami

    wilayah pengembangan Kota Medan sejak tahun 1918, Kota

    Medan memiliki wijk-wijk. Etnis Melayu mendiami wilayah

    Maimoon, Mandailing di Sungai Mati, Batak Toba tinggal di

    kampung Durian, dan Tionghoa mendiami wilayah pasar dan

    Jalan Asia. Kemudian, kelompok-kelompok etnik meneruskan

    kepercayaan/religi, dan sosialisasi tradisi kepada generasi muda

    secara dinamis.

    Setelah dilakukan survei pada sepuluh sanggar seni dan

    beberapa lokasi pertunjukan di Kota Medan, maka kami

    mengamati dan melakukan wawancara untuk mendapatkan 10

    seni budaya etnik Kota Medan yang memiliki potensi

    berkategori tinggi untuk dikembangkan menjadi modal

    pengembangan wisata global. Hasilnya menunjukkan, seni

    persembahan dan pergaulan sosial lebih memiliki tingkat yang

    relatif lebih tinggi, jika dikemas dan dipromosikan sebagai

    produk wisata yang dapat dirancang menjadi agenda tahunan

    bagi pemerintah dan stakeholder.

  • 50

    Hasil observasi: seni budaya etnik potensial bagi sektor wisata

    Tabel 5.2.

    Hasil Pengamatan Lapangan: Seni Budaya Etnik Potensial untuk Pengembangan Wisata Global

    No. Nama Fungsi Sosial Fungsi Wisata Potensi

    1. Tari Persembahan Melayu Ritual Religi Menyambut Tamu Tinggi

    2. Tortor Somba Batak Ritual Religi Menyambut Tamu Tinggi

    3. Tortor Raja/ Onang onanang Mandailing Ritual Religi Menyambut Tamu Tinggi

    4. Tarian Naga (dragon dance) Tionghoa Ritual Religi Menyambut Tamu Tinggi

    5. Tarian Singa (lion dance) Tionghoa Ritual Religi Meyambut Tamu Tinggi

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    51

    6. Tarian Zapin Melayu Pergaulan Sosial Hiburan Tinggi

    7. Tarian Hata Sopisik

    Pergaulan sosial Hiburan Tinggi

    8. Tari Endeng Endeng Pergaulan Sosial Hiburan Tinggi

    9. Serampang XII Pergaulan sosial Hiburan Tinggi

    10. Tari Saman Religi Hiburan Tinggi

  • 52

    Terdapat tiga subpokok bahasan yang bersumber dari

    data empiris tentang potensi seni budaya etnik Kota Medan

    yang dilakukan melalui survei, observasi, wawancara, dan

    sumber bacaan (buku dan jurnal). Dari berbagai seni budaya

    etnik Kota Medan yang masih berlanjut, maka seni pertunjukan

    (performance art) merupakan fokus utama penelitian fundamental

    ini. Alasan pemilihan seni pertunjukan, karena kandungan nilai

    nilai humanisme yang lebih kompleks (complexity of sensory) jika

    kita membandingnya dengan artefak.

    Dunia ide yang direalisasikan secara kultural dalam

    bentuk ritual dan pertunjukkan budaya adalah perilaku budaya

    yang terkait dengan kepercayaan dan tradisi dalam bentuk

    simbol. Pertunjukan seni dalam kegiatan ritual dan kultural

    oleh etnik Melayu, Aceh, Minang, Karo, Simalungun, Batak

    Toba dan Mandailing serta Tionghoa yang bermukim di Kota

    Medan adalah sumber data. Sekitar 35 kegiatan seni budaya

    masih terus dilaksanakan. Seni pertunjukkan dari warisan

    budaya masing masing etnik pada perayaan hari besar,

    peresmian gedung/rumah baru, festival, pesta perkawinan dan

    acara etnik lainnya memiliki nilai luhur dan dapat dikemas

    untuk dipromosikan untuk pengembangan sektor pariwisata.

    Dalam interaksi budaya, setiap etnik mengembangkan

    seni pertunjukkan dari kepercayaan (beliefs) yang terwujud

    dalam berbagai rupa ritual (ritual enactments) dan pengaturan

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    53

    hubungan sosial (social relations) dalam makna simbolis (symbolic

    meaning) yang lebih mencerminkan perilaku sosial dalam

    konteks budaya. Misalnya, Pertunjukan Tari Persembahan

    Melayu, Tortor Somba Batak Toba dan Tortor Onang Onang

    (Persembahan) Mandailing dan Tarian Barongsai Tionghoa

    Medan adalah bersumber dari ritual. Sedangkan Tarian Zapin

    Melayu, Tari Kijom-kijom /Endeng Endeng Mandailing dan

    Tortor Hata Sopisik Batak Toba merupakan tarian pergaulan

    sosial yang dapat menghibur pada berbagai acara kebudayaan.

    Dalam teori drama sosial (social drama) yang

    dikembangkan Victor W. Turner (1969, 1967), route dari rites of

    passage dikembangkan menjadi empat (4) proses, yakni: (1)

    Breach (kehidupan normal), (2) Liminality (transisi), (3) Redress

    (pemulihan), dan (4) Reintegration (penyatuan kembali),

    memberikan fondasi bagi penelitian dan pengkajian ritual dan

    seni pertunjukkan dari sudut pandang etnologi dan

    antropologi.

    Disertasi doktoral Victor W. Turner di Universitas

    Manchester Inggris tentang ritual dan simbol-simbol

    seremonial dan kaitannya dengan struktur sosial suku Ndembu

    Rhodesia, Afrika yang dibimbing oleh Max Gluckman,

    memberikan sebuah fondasi teori antropologi secara khusus

    dan metode ilmu sosial humaniora untuk menemukan makna

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    54

    dari upacara inisiasi bagi anak yang akan akil balig, kesuburan

    wanita yang akan berumah tangga, pengobatan bagi pasien,

    bimbingan kepada anggota suku Ndembu Rhodesia yang akan

    pergi berburu ke hutan, serta sistem kekerabatan dalam tatanan

    matrilineal.

    Richard Schehner menambahkan, teori social drama

    Victor W. Turner yang bersifat ritual process, lebih aplikatif

    dalam mengalisis seni pertunjukan yang berkonsentrasi pada

    publik. Pertunjukan sosial dibandingkan dengan pendekatan

    semiotika yang bersifat strukturalisme (1986).

    Lokasi potensial untuk agenda wisata budaya

    Lokasi pertunjukan seni budaya etnik Kota Medan

    memberikan modal yang sangat prospektif untuk

    pengembangan wisata global Kota Medan. Pusat kebudayaan

    etnik Kota Medan tersebar di beberapa lokasi yang mudah

    dijangkau turis domestik dan mancanegara. Istana Maimoon di

    Jalan Brigjen Katamso, Medan menyuguhkan tarian-drama-

    musik Melayu Deli bagi para pengunjung. Para pengelola

    wisata dan hotel telah memiliki kemitraan dengan Istana

    Maimoon untuk menumbuhkan kegiatan seni budaya Melayu.

    Pekan Raya Sumatera Utara dan Lapangan

    Merdeka/Merdeka Walk merupakan lokasi pertunjukan seni

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    55

    budaya etnik Kota Medan yang menghadirkan seniman

    seniman Kota Medan untuk perayaan hari besar, hari raya

    keagamaan, festival, karnaval, dan pameran dagang. Selain itu,

    Vihara Maitreya Cemara Asri Medan secara khusus

    menampilkan seni tari Naga dan Singa/Barongsai untuk

    menyemarakkan hari raya besar agama bagi komunitas

    Tionghoa di Medan.

    Beranjak dari pemikiran utama dari Mazhab

    Antropologi Manchester, yakni The Network Process Analysis

    dalam ritual dan hubungan sosial, pada intinya merevisi

    paradigma The British Structure-Functionalism-London

    School of Economic (LSE), pasca kejayaan bapak antropolog

    modern Inggris B. Malinowski dan Radcliff-Brown.

    Maka, interpretasi makna interaksi sosial dan simbol-

    simbol dalam perhelatan ritual dan seni pertunjukan

    berkembang menjadi analisis yang lebih rasional dan sekular:

    (1) mengontrol penyelewengan (rebillions) perilaku anggota

    komunitas, (2) memastikan (confirm) perilaku sosial anggota

    komunitas berlangsung sesuai dengan siklus kehidupan, dan (3)

    idealisasi simbol dalam hirarki sosial komunitas, seperti suku

    Zulu di Afrika atau Karnaval yang diikuti oleh ritual Ash

    Wednesday dalam tradisi budaya Eropah (Gluckman, 1956).

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    56

    Drama Sosial, bagi Victor W. Turner, atau lebih rinci

    lagi: kegiatan seremonial ritual rite of passages dalam komunitas

    bertujuan untuk membebaskan setiap anggota dari ikatan-

    ikatan menuju taraf yang lebih tinggi, misalnya Saturnalia dan

    Lupercalia dalam tradisi budaya Romawi.

    Pengembangan teori Les Rites de Passage (Van Gannep,

    1909) untuk mempertanyakan rasionalisasi ritual oleh

    komunitas pada setiap transisi musim dan perubahan status

    sosial individu oleh The Manchester School of Anthropology,

    ditandai dengan munculnya karya-karya etnografi yang

    bertujuan untuk mengumpulkan data lapangan tentang tiga fase

    siklus hidup dari teori Van Gannep, yakni:

    a). Separation (pemisahan), seperti upacara kelahiran bayi

    dan kematian,

    b). Marginal or Transition (penyisihan), seperti upacara

    inisiasi sunatan dan puberitas,

    c). Aggregation (menuju situasi baru) atau incorporation,

    seperti pernikahan, penobatan raja dan pemberian gelar.

  • 57

    Tabel 4.3

    Hasil Pengamatan Lapangan: Lokasi Potensial untuk Wisata Budaya Global di Kota Medan

    No. Lokasi Etnik Kegiatan Tingkat Potensi

    1. Istana Maimoon Melayu Deli Tari, drama & musik

    Tinggi

    2. Pekan Raya Sumatera Utara

    Melayu, Batak Toba, & Mandailing

    Tari, drama & musik

    Tinggi

    3. Taman Sri Deli Melayu Deli Tari, drama & musik

    Tinggi

    4. Lapangan Merdeka/ Merdeka Walk

    Melayu, Batak Toba, Mandailing & Tionghoa

    Tari, drama & musik

    Tinggi

    5. Vihara Maitreya Tionghoa Tari, drama & musik

    Tinggi

    6. Hotel & Restoran Melayu, Batak Toba, Tari, drama Tinggi

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    58

    Mandailing & Tionghoa

    & musik

    7. Taman Budaya Melayu/ Batak &Jawa Tari,drama & music

    Tinggi

  • 59

    Data seni budaya enik Kota Medan terkait dengan seni

    pertunjukan, berikutnya dianalisis dari konteks sejarah

    peradaban dan konteks masa kini. Beberapa kegiatan ritual dan

    tradisi kultural pada masa animisme, dengan pemujaan pada

    kekuatan yang Maha Kuasa (dewa-dewa) atau animisme dan

    hubungan sosial, telah mengalami adaptasi setelah Islam

    menjadi agama dominan di Kota Medan. Sejarah peradaban

    memberikan sumber rujukan dalam analisa data budaya.

    Jika pada awalnya seni pertunjukkan bertujuan untuk

    mempertunjukkan keterkaitan kehidupan manusia dengan

    keagamaan (drama as ritual to show religioustic) dan tata hubungan

    individu dalam komunitas, maka setelah Islam masuk ke

    wilayah Sumatera, ada perubahan yang dinamis dan kreatif.

    Penjelasan relasi agama dengan seni pertunjukan,

    dipresentasikan Etnolog Inggris, Sir James G. Frazer (1922).

    Dalam sebuah koleksi folklore (The Golden Bough: A Study of

    Magic and Religion) mendeskripsikan ritual Arktika yang

    dilakukan oleh suku Eskimo di Utara Kanada.

    Peserta upacara terbagi ke dalam dua kelompok, yakni:

    yang pertama memegang bebek jantan (ptarmigan) adalah

    peserta yang lahir di musim dingin (winter) dan yang kedua

    memegang bebek betina (duck) dari kelompok yang

    kelahirannya pada musim panas (summer). Ptramigan

    menyimbolkan musim dingin, sebaliknya duck simbol dari

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    60

    musim panas. Pada ritual ini, suku Eskimo membuat lomba

    tarik tali tambang yang terbuat dari kulit singa laut dan bersifat

    seremonial ritual, yang menunjukkan gaya tarik menarik

    kelompok ptarmigan versus duck. Upacara ini untuk

    menghormati pergantian dari musim dingin ke musim panas.

    Pada bagian berikutnya, Sir James Frazer juga

    menganalisis ritual meminta hujan pada suku Omaha. Upacara

    ini dimulai dengan melubangi tanah yang dipersiapkan bagi

    bibit jagung yang basah dan kering. Kemudian, kelompok

    orang suci dari Buffalo Society membawa tong besar yang

    bersisikan air, lalu mereka menari dan mengitari tong air,

    meminum isinya, dan memuntahkannya ke lubang-lubang itu,

    sehingga seluruh area upacara penuh dengan awan air dan

    berlumpur. Mereka kemudian mengusapkan lumpur ke wajah

    mereka, berharap mampu menciptakan awan hujan di angkasa.

    Interpretasi makna

    Kajian antropologi mengaitkan ritual dengan seni

    pertunjukan sebagai pemujaan kepada Tuhan, Dewa, dan

    benda-benda magis. Ritual bertujuan untuk mempertunjukkan

    keterkaitan kehidupan manusia dengan keagamaan (drama as

    ritual to show religioustic). Secara konseptual, Max Gluckman

    (1966:30) menyatakan: “Ritual, that is to say, is associated with

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    61

    notions that its performance in some mysterious way, by process out of

    sensory control, affects the well-being of the participants: it is believed to

    protect them or in other ways achieve their well- being.”

    Ritual adalah upaya sekelompok komunitas untuk

    meraih keberhasilan dan menghindari bencana serta kerugian.

    Lanjut Gluckman, perhatian pada keselamatan, misalnya

    keberhasilan panen ubi, istri-istri yang subur, keberlanjutan

    generasi muda, serta terhindar dari kebakaran dan kebanjiran

    adalah upaya kolektif komunitas untuk mempertahanankan

    stabilitas organisasi sosial dalam sebuah desa (1966:32).

    Interpretasi data untuk mengungkap makna pertunjukan

    tradisional berupa tarian dan opera dalam perwujudan

    simbolisme kultural, sangat berkaitan dengan konteksnya. Pada

    bagian interpretasi data seni budaya etnik Kota Medan, yang

    menjadi rangkanya, dengan tema religi dan hubungan sosial,

    pertunjukan sesuai dengan konteks situasi, melibatkan tafsiran

    dari perspektif emik (native eyes).

    Perhelatan ritual dan kultural, sesuai peristiwa adat yang

    menjadi motif dari aktifitas seni budaya, ditafsirkan menjadi

    karya etnografi (Geertz, 1973 dan Cohen, 1985). Proses

    penulisan etnografi melibatkan mentalitas budaya, perilaku

    sosial, dan sikap manusia terhadap Tuhan dan lingkungannya.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    62

    Perilaku sosial budaya yang dibingkai oleh kepercayaan

    pada Yang Maha Kuasa, seperti pada pertunjukan Tari

    Persembahan Melayu, Tortor Somba dan Tarian Singa

    Tionghoa terkait dengan upaya manusia untuk mendapat

    perlindungan.

    Perumusan teori dasar ilmu humaniora dari data yang

    terkumpul melalui pola-pola dan ramuan kreatif dari

    interpretasi makna simbol-simbol budaya dalam tradisi,

    dilakukan untuk menjangkau nilai-nilai universal (yang tak

    terikat lagi pada batas etnik). Selain perspektif emik, rumusan

    teori dasar (grounded theory) dikaitkan dengan beberapa fungsi

    dari seni pertunjukkan, yakni: sebagai media religi/ritual,

    pengatur tata pergaulan sosial dan hiburan.

    Formulasi teori juga dikaitkan dengan upaya kreatif dan

    kemampuan adaptif pemilik budaya, setelah bermukim di

    wilayah perkotaan. Sinar (1987:46-47) dalam Kebudayaan Melayu

    Sumatera Timur , menyatakan:

    “Upacara atau istiadat ritual Tolak Bala dalam masyarakat Melayu Sumatera Timur berhubungan dengan sistem pencarian penduduk daerah sebagai petani atau peladang padi. Upacara itu kewujudannya dari kepercayaan tradisional masyarakat, yaitu kepentingan keselamatan kampung, menangkal penyakit, meminta pertolongan kepada kekuatan supernatural, agar wujud keberhasilan

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    63

    terhadap pelaksanaan persemaian, sehingga masa menuai padi. Para petani padi dalam masyarakat Melayu Sumatera Timur menganggap bahwa Dewi Seri yang menjelmakan diri sebagai benih padi. Sebelum masa menuai padi, ia selalunya bepergian kemana kehendak ia suka.”

    Interpretasi ritual dan seni pertunjukan dalam perspektif

    antropologi, sebagaimana dikembangkan oleh the Manchester

    School of Anthropology, menggunakan dua kutub yang saling

    bertentangan (paradox of rituals) (Gluckman, 1956), namun

    bertujuan untuk menafsirkan perilaku aktor-aktor utama ritual

    dan pertunjukkan seni, sebagai aktualisasi nilai ideologis

    kultural dalam praktik sosial budaya dalam sebuah komunitas

    (Turner, 1957).

    Keberlangsungan dan rekonstruksi pertunjukkan ritual

    dan seni dalam masyarakat adalah untuk memberikan

    penghormatan kepada yang Maha Kuasa (Tuhan/Dewa-dewa)

    berdasarkan pergantian musim (season cycles), dan panen

    (harvest/vintage), serta ritus perjalananan individu (rites de passage)

    mulai kelahiran, pubertas, masa dewasa, dan perkawinan,

    hingga kematian. Itu semua adalah wahana bagi anggota

    komunitas dan sebagai cermin atas perjalanan hidup dalam

    interaksi sosial.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    64

    Upaya pengembangan teori ritual dalam hubungan sosial

    (pada awalnya oleh ahli folklore Flemish Perancis, Arnold Van

    Gannep), dalam Les rites de Passage (1909) dan diterjemahkan ke

    dalam Bahasa Inggris, Rites of Passage (2004), mengalami

    dinamika yang menyebabkan meluasnya hipotesis dan

    metodologis, serta cakupan ritual dalam hubungan sosial. Teori

    tentang tradisi rite de passage di the Manchester School of

    Anthropology oleh Max Gluckman dan Victor W. Turner,

    memberikan epistemologi antropologis tentang ritual dan seni

    pertunjukkan yang lebih dinamis dan metodologis, setelah

    Victor W. Tuner melakukan fieldwork di Afrika dan

    membandingkannya dengan tradisi ritual dan seremonial di

    Eropa.

    Jikalau The Manchester School of Anthropology

    memberikan teori dasar tentang pertunjukan ritual dan seni

    dalam masyarakat untuk memberikan penghormatan pada yang

    Maha Kuasa berdasarkan perubahan musim (season cycles), dan

    rasa syukur atas hasil panen, juga ritus perjalanan individu (rite

    of passages), maka kita dapat menerima hasil laporan etnografi

    antropolog Mazhab Manchester yang menunjukkan, berbagai

    macam bentuk dan tujuan ritual dan pertunjukan. Meskipun

    kerap memunculkan paradoks, di mana muncul upaya

    meningkatkan soliditas dalam tatanan sosial (social order).

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    65

    Direktur Institute of Rhodes & Livingstones, atau yang

    lebih popular disebut The Manchester School of

    Anthropology, Max Gluckman, menyatakan, ritualisasi peran-

    peran hubungan sosial yang telah ada dan hubungan antar

    anggota dalam sebuah komunitas, melalui simbol-simbol yang

    paradoks, adalah upaya untuk mencapai harmonisasi alamai

    antara anggota, selain konflik dan lembaga-lembaga sosial akan

    menjadi harmonis. Tujuan utama ritual-ritual adalah

    harmonisasi sebuah komunitas (Gluckman, 1977).

    Max Gluckman (1966) memberikan ulasan tentang ritual

    dan seremonial dalam hubungan sosial, dengan

    mengembangkan teori Van Gennap dan beberapa karya

    etnografi yang berafliasi dengan The Manchester School of

    Anthropology, sebagai berikut:

    Ritual and Office in Tribal Society (Meyer Fortes),

    Death and Succession: An Analysis of Yakő Mortuary Ritual

    (Daryll Forde),

    Three Symbols of Passage in Ndembu Circumcision Ritual: An

    Interpretation (Victor W. Turner),

    The Devine Kingship of the Shilluk of the Anglo-Egyptian

    Sudan (E. Evans. Pritchard),

    Rituals of Rebellion in Southeast Africa (Max Gluckman),

    The Fate of the Soul (Sir Raymond Firth),

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    66

    Devine Kingship and The Breath of Men (Gofrey Wilson).

    Pertunjukan seni drama Romawi sudah mulai

    mementaskan cerita kepahlawanan. Tokoh-tokoh kuat dan

    berani dipentaskan untuk meningkatkan rasa kebangsaan,

    misalnya The Sword of King Arthur. Pada perkembangan berikut,

    drama adalah sebagai sarana hiburan. Di zaman modern,

    drama mengangkat fenomena kehidupan yang penuh dengan

    keganjilan, aneh, absurd. Teater modern sudah banyak

    digantikan oleh film, dan televisi. Produksi besar-besaran oleh

    perusahaan kapitalis modern cenderung berorientasi bisnis..

    Perusahaan film Amerika bergabung dengan usaha musik

    dalam membuat film. Kita mengenal perusahaan raksasa

    seperti, Colombia Pictures, 21th Century Fox, BMG, MGM,

    Warner Bross, dan lain sebagainya.

    Dalam laporan penelitian disertasi W.H. Rassers De

    Pandji-Roman (1922) disebutkan, mite Jawa kuno memberikan

    ide tentang federasi (macapat) desa dan empat subdesa dalam

    struktur sosial Jawa kuno. Selanjutnya, Rassers menjelaskan:

    “Mite-mite kuno yang menjadi prototype atau contoh dan

    sumber asli dari cerita Pandji, adalah cerita sejarah keramat

    mengenai kelahiran dan perjuangan hidup para nenek moyang

    dari kedua paruh masyarakat. Mite-mite itu didongengkan

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    67

    dalam bentuk nyanyian pada upacara inisiasi anak-anak muda

    dari kedua itu masing masing.” (Koentjaraningrat, 1987: 204-

    205).

    Kemudian, antropolog Belanda lainnya, De Josselin de

    Jong (1935) menggunakan cerita Pandji sebagai model untuk

    penelitian struktur sosial suku-suku lainnya di nusantara. Pada

    buku De Maleische Archipel als Ethnologisch Studievld (1935 dalam

    Koentjaraningrat, 1987), De Josselin de Jong membuat

    mitologi sebagai sumber penyelidikan struktur sosial dan

    menganjurkan teori ini untuk mengumpulkan data dari

    berbagai suku di Nusantara.

    Analisis prosesual (processual analysis) pada dasarnya

    dikembangkan dari pendekatan fenomenologi (Turner, 1977:

    63), sebagai reaksi terhadap pendekatan positivisme kuantitatif.

    Pandangan Emily Durkheim dan pengikutnya, menyatakan

    social fact adalah sebuah benda, gagal dalam menganalisis

    perilaku simbolik, bahasa tubuh, dan kias. Sehingga Victor W.

    Turner sebagai penganut fenomenolis, seperti Shutz, Husserl,

    Garfinkel memperlakukan segala bentuk ritual dan seni

    pertunjukkan dalam prosesual analisis sebagai inti budaya yang

    melibatkan sebuah intersystemic analysis.

    Itu bermakna kebudayaan muncul dari interaksi dan

    sosialisasi makna, terintegrasi antara sistem biotik dan ekologis

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    68

    yang dinamis dan saling terinteraksi (Turner, 1977). Makna

    hidup, menurut Victor Turner, pada masyarakat yang dominan

    hidup dalam situasi tradisi lisan, hadir dalam myths (cerita suci),

    yang terealisasi dalam perhelatan ritual. Sedangkan dalam

    budaya modern, ada rekonstruksi teks tertulis dan simbol-

    simbol. ●

    Istana Maimoon

    (Saiful Anwar Matondang)

  • 69

    Bab 5 Kesimpulan

    & Saran

    Pengembangan teori dasar

    ilmu humaniora dari data

    empiris, dapat dilakukan

    dengan merumuskan nilai

    nilai universal melampau

    batas etnik dan wilayah Kota

    Medan menjadi warisan

    dunia. Kota Medan juga

    memiliki beberapa tempat

    potensial untuk diagendakan

    sebagai pusat budaya etnik

    secara global.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    70

    Kesimpulan

    Setelah dilakukan survei terhadap seni budaya etnik

    Kota Medan, terdapat 35 pertunjukkan ritual dan kultural yang

    masih menjadi tradisi etnik yang bermukim di Kota Medan.

    Kami memilih 10 seni budaya etnik yang memiliki tingkat

    potensi tinggi untuk dikemas dan dipromosikan sebagai modal

    kultural dalam pengembangan wisata global.

    Pengembangan teori dasar ilmu humaniora dari data

    empiris dapat dilakukan dengan merumuskan nilai-nilai

    universal melampaui batas etnik dan wilayah Kota Medan

    menjadi warisan dunia. Kota Medan juga memiliki beberapa

    tempat potensial untuk diagendakan sebagai pusat budaya etnik

    secara global.

    Potensi seni budaya etnik Kota Medan bersumber dari

    kecepercayaan (beliefs) dan adat yang memberikan tata

    pergaulan sosial memiliki kekuatan yang prospektif untuk teori

    dasar dan pengembangan bidanng seni dan sektor pariwisata.

    Tari Persembahan dan tari pergaulan, seperti Zapin Melayu,

    Serampang XII dan Tari Endeng Endeng Mandailing,

    memberikan nilai luhur, nilai identitas kultural dan nilai

    ekonomi yang berguna bagi pertumbuhan Kota Medan sebagai

    pusat wisata global.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    71

    Saran-saran

    Mengingat persaingan regional ASEAN dan global

    dalam sektor wisata budaya, peran peneliti dari perguruan

    tinggi untuk melakukan penelitian fundamental bidang ilmu

    humaniora perlu mendapat dukungan dari pemerintah dan

    dunia usaha agar potensi seni budaya etnik Kota Medan dapat

    memiliki nilai kultural dan ekonomi.

    Kerjasama sinergis dan kolaboratif antara perguruan

    tinggi, pemerintah dan pelaku usaha wisata yang masih kurang

    optimal, memerlukan terobosan baru dari pimpinan lembaga

    perguruan tinggi, agar para peneliti bidang ilmu humaniora

    dapat memiliki akses yang lebih luas untuk melakukan

    penelitian fundamental, sehingga mengahsilkan data emipiris

    lebih rinci dan komprehensif.

    Mengingat penelitian fundamental humaniora memiliki

    prospek modal ilmiah bagi kebijakan pemerintah dalam

    pembangunan insan berbudaya, warisan budaya dan sektor

    pariwisata, maka disarankan adanya upaya konsisten untuk

    meneliti budaya lokal dalam hubungannya dengan regional dan

    global.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    72

    DAFTAR PUSTAKA

    Boscobonik, Andrea (2010),Tourism et confiance: un lien peu explore, From Palermo to Penang, A journey into Political Anthropology, LIT Verlag: Vienna –Berlin Cangia, Flavia (2012) Performing the Buraku, narratives on cultures and everyday life in contemporary Japan, Lit Verlag: Zurich Cohen, Anthony P (2005) Symbolic Community, Cambridge University Press Frazer, Sir James (1922) The Golden Bough: A Study of Magic and Religion, London & New York : Macmillan Gannep, Arnold A (1909) Le Rites de Passage.Etude Systematique des Rites. Libraire Critique:Paris Geertz, Clifford (1975) Deep Play: notes on Baliness cockfight, dalam The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc: New York. Geertz, Clifford (1975) The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc: New York. Gluckman, Max (1965) Custom and Conflict in Africa, Oxford Gluckman, Max (1966) Essay on the Ritual of Social Relations, Manchester University Press Gluckman, Max (1977) On Drama, Games, and Athletic Contests, dalam S.F Moore dan B.G Myerhoff (eds), Secular Ritual, Assen: Amsterdam

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    73

    Gonzales, Miguel V (2008) Intagible heritage tourism and identity, Tourism Management, no 29. Grunewald, Rodrigo de Azeredo (2006) Tourism and Ethnicity, Horiz.antropol. vol.1 no.se Porto Alegre, The Federal University in Campina Grande – Brazil Kaufman, Ned (2013) Putting Intangible Heritage in its Place(s): Proposal for Policy and Practice, International Journal of Intangible Heritage, Vol 3 Kirshenblatt-Gimblett, B. (1998) Destination Culture: Tourism, Museums, and Heritage. Berkeley: University of California Press. Koentjaraningrat, (1987) Sejarah Teori Antropologi, Universitas Indonesia Press: Jakarta Kurtz, Donald V (1979) Political Anthropology: Issues and Trends on Frontier, dalam Seaton, L & Claessan (1979), Political Anthropology, the State of the Art, Mouton Publishers: The Hague, Paris & New York. Lury, C. (1997) The objects of travel in C. Rojek and J. Urry (eds),Touring Cultures. London: Routledge. Meskell, Lynn (2013) UNESCO's World Heritage convention at 40, Current Anthropology, 3/53 August, Nasuriddin, M G (1995) The Malay Dance, Dewan Bahasa dan Pustaka: Selangor Malaysia Perret, Daniel (2010) Kolonialisme & Etnisitas: Batak dan Melayu d Sumatera Timur Laut, Jakarta: Gramedia

    http://no.se/

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    74

    Pieterse, J N (2009) Globalization & Culture Global Melange, Rowman: Maryland USA Schechner, Richard (2008) Performance Studies, Routledge: London Schehner, Richard (1986) Magnitudes of Performance, dalam Turner VW & Bruner E (1986), Anthropology of Experience, Urbana- Champa: University of Illinois Press Shankar, Guha (2010) From subject to producer: reframing the indigenous heritage through cultural documentation training, International Journal of Intangible Heritage, Vol 5 Sinar, Luckman T (2009) Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan: Sinar Budaya Group. Sinar, Luckman T (2010) Kebudayaan Sumatera Timur, Medan: Sinar Budaya Group Sinar, Luckman T (2012) Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu, Sinar Budaya Group: Medan Turner, W Victor (1957) Schism and Continuity in an African Society, Manchester: Manchester University Press. Turner, W Victor (1967) From Ritual to Theaters: The Human Seriousnees of Play, London& New York: PAJ Publication Turner, W Victor (1969) The Ritual Process, London& New York: PAJ Publication UNWTO (2012) Tourism and Intangible Cultural Heritage, Madrid, Spain.

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    75

    Santos, Freitas (2013) Tourism Peceptions of World Heritage Destination: the case of Gumares, Minho University:Portugal Stonza, Amanda (2001) Anthropology of tourism: forging new ground for ecotourism and other alternatives, Annual Rev. Anthropology, 30 Tuner, Victor W (1987) The Anthropology of Performance, PAJ Publication: New York Tuner, Victor W (1976) Drama, Fields and Metaphores: Symbolic action in Human Society, Ithaca New York Wulf, Ch (2010) Ritual and Identity, The Staging and Performing of Rituals in the lives of young people, London: Tufnell Press

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    76

    TENTANG PENULIS

    Saiful Anwar Matondang, M.A M.A (UH), Ph.D (Cand)

    Saiful Anwar Matondang lahir di Tapanuli Selatan, 26 Juli 1968. Ia adalah PNS Kopertis Wilayah 1 Medan angkatan tahun 1993, dan sejak tahun 2014 berpangkat Pembina Utama Muda (IV-C) berdasarkan SK Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.

    Saiful Matondang memenangkan Ford Foundation Fellow New York dan East West Center dari tahun 2010-2012. Menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika (PERMIAS) Chapter Hawaii 2010-2011, dan Asian Studies Representative di Honololu.

    Saiful Matondang melakukan riset “Hybrid and Cultural Differences of Multicultural Writers of Australia” di Melbourne 1996 atas biaya The Institute of Australia Indonesia untuk memperoleh gelar Master Ilmu Sastra. Risetnya: “Interethnic Perceptions of Ethnicity of Georgetown Penang, Malaysia” dilakukan untuk memperoleh gelar Master of Arts (M.A) dari University of Hawaii USA.

    Pada saat ini, Saiful Matondang sedang menyelesaikan disertasi antropologi, berfokus pada “Social Dramas & Ethnoregional in Globalizing World” di University of Fribourg Swiss. Dalam pengembangan karir dosen metodologi penelitian budaya, Saiful Matondang telah beberapa kali memenangkan hibah dosen dari Dirjen DIKTI, seperti: Kajian Multikulturalisme Australia, Analisis Wacana Perkawinan Angkola Mandailing, Analisis Myth Suku

  • Teori Kebudayaan: Interaksi Lokal dengan Wisata Regional dan Global

    77

    Peublo Mexico pada Ceremony, Potensi Seni Budaya Kota Medan untuk Pengembangan Wisata Global (2015), dan untuk tahun anggaran 2016 & 2017, Proposal Fundamental Kompetitif Nasional, berjudul, “Perhelatan Ritual, Festival, dan Karnaval Kultural Polyethnic City Kota Medan untuk Pembangunan Wisata Global” mendapat penilaian Peringkat Tinggi dari Kemenristek-Dikti RI.

    Yuda Setiawan, S.Pd, M.Hum

    Dosen Tetap Bahasa Inggris FKIP UMN Al-Washliyah, alumnus S2 Linguistik Terapan Bahasa Inggris.


Recommended