+ All Categories
Home > Documents > TINGKAT KEMATIAN DAN PERTUMBUHAN PEDET SAPI...

TINGKAT KEMATIAN DAN PERTUMBUHAN PEDET SAPI...

Date post: 24-Aug-2018
Category:
Upload: ngoxuyen
View: 215 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
10
10 TINGKAT KEMATIAN DAN PERTUMBUHAN PEDET SAPI BALI MELALUI PERBAIKAN MANAGEMEN DENGAN INTERVENSI PAKAN KONSENTRAT BERBAHAN LOKAL (Mortality and Growth Rates of Calf Preweaning for Bali Cattle Through the Improvement of Management by Intervention of Concentrate Ration from Local Matter) Sudirman Baco, Basit Wello, Ratmawati Malaka dan Muhammad Hatta Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar 9024, e-mail : [email protected] ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui tingkat kematian dan pertumbuhan pedet sapi Bali sebelum penyapihan. Managemen pedet dilakukan dengan 2 sistem yaitu 1) managemen dengan intervensi pakan konsentrat berbahan lokal (intensive management) dan 2) managemen tanpa intervensi pakan konsentrat sebagai pembanding, yang pada umumnya dilakukan oleh petani ternak dimasyarakat (existing management). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan managemen pada fase pedet dapat: 1) menekan tingkat kematian pedet sampai 9,0%, 2) meningkatkan pertumbuhan secara signifikan yaitu meningkatkan bobot badan pedet sekitar 50% dan 14 – 21% dimensi tubuh dibandingkan dengan sistem pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat tanpa pemberian pakan tambahan fase pedet (existing management), 3) kecepatan perubahan pertumbuhan dan bagian dimensi tubuh ternak yang diberi pakan yang berkualitas pada fase pedet bervariasi antara satu bagian dengan bagian lainnya. Kata Kunci: Tingkat kematian pedet, pertumbuhan pedet, Sistem managemen, sapi Bali. PENDAHULUAN Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang banyak dipelihara oleh petani di Sulawesi Selatan. Hal tersebut disebabkan bangsa sapi ini memiliki beberapa keunggulan yang antara lain, tidak selektif dan mampu memanfaatkan pakan yang berkualitas rendah, memiliki tingkat adaptasi terhadap lingkungan yang cukup tinggi bahkan dapat hidup dan berproduksi baik di lahan kritis sedangkan bangsa sapi lainnya tidak demikian (Murtidjo, 1990 dan Saputra, 2008), dan mempunyai persentase karkas tinggi, daging yang sedikit lemak serta keempukan dagingnya tidak kalah dengan daging sapi impor (Ngadiyono, 1997). Dengan demikian sapi Bali memberikan kontribusi penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga sapi Bali dijadikan komoditas unggulan Sulawesi Selatan pada bidang peternakan dengan target pertumbuhan populasi pada tahun 2013 sebesar 1 juta ekor melalui Program Aksi Pencapaian Sejuta ekor sapi untuk mendukung Program Swasembada Daging (PSDS) tahun 2014 dan Program Nasional Kecukupan Daging yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Bahkan diwacanakan dilakukan gerakan pencapaian populasi 2 juta ekor pada tahun 2015. Berdasarkan Rencana Induk Penelitian Universitas Hasanuddin, sapi Bali merupakan proritas utama dalam pengembangan komoditas unggulan pada
Transcript

10

TINGKAT KEMATIAN DAN PERTUMBUHAN PEDET SAPI BALI MELALUI PERBAIKAN MANAGEMEN DENGAN INTERVENSI PAKAN KONSENTRAT

BERBAHAN LOKAL

(Mortality and Growth Rates of Calf Preweaning for Bali Cattle Through the Improvement of Management by Intervention of Concentrate Ration from Local

Matter)

Sudirman Baco, Basit Wello, Ratmawati Malaka dan Muhammad Hatta

Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar 9024, e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui tingkat kematian dan pertumbuhan pedet sapi Bali sebelum penyapihan. Managemen pedet dilakukan dengan 2 sistem yaitu 1) managemen dengan intervensi pakan konsentrat berbahan lokal (intensive management) dan 2) managemen tanpa intervensi pakan konsentrat sebagai pembanding, yang pada umumnya dilakukan oleh petani ternak dimasyarakat (existing management). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan managemen pada fase pedet dapat: 1) menekan tingkat kematian pedet sampai 9,0%, 2) meningkatkan pertumbuhan secara signifikan yaitu meningkatkan bobot badan pedet sekitar 50% dan 14 – 21% dimensi tubuh dibandingkan dengan sistem pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat tanpa pemberian pakan tambahan fase pedet (existing management), 3) kecepatan perubahan pertumbuhan dan bagian dimensi tubuh ternak yang diberi pakan yang berkualitas pada fase pedet bervariasi antara satu bagian dengan bagian lainnya.

Kata Kunci: Tingkat kematian pedet, pertumbuhan pedet, Sistem managemen, sapi Bali.

PENDAHULUAN

Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang banyak dipelihara oleh petani di Sulawesi Selatan. Hal tersebut disebabkan bangsa sapi ini memiliki beberapa keunggulan yang antara lain, tidak selektif dan mampu memanfaatkan pakan yang berkualitas rendah, memiliki tingkat adaptasi terhadap lingkungan yang cukup tinggi bahkan dapat hidup dan berproduksi baik di lahan kritis sedangkan bangsa sapi lainnya tidak demikian (Murtidjo, 1990 dan Saputra, 2008), dan mempunyai persentase karkas tinggi, daging yang sedikit lemak serta keempukan dagingnya tidak kalah dengan daging sapi impor (Ngadiyono, 1997). Dengan demikian sapi Bali memberikan kontribusi penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga sapi Bali dijadikan komoditas unggulan Sulawesi Selatan pada bidang peternakan dengan target pertumbuhan populasi pada tahun 2013 sebesar 1 juta ekor melalui Program Aksi Pencapaian Sejuta ekor sapi untuk mendukung Program Swasembada Daging (PSDS) tahun 2014 dan Program Nasional Kecukupan Daging yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Bahkan diwacanakan dilakukan gerakan pencapaian populasi 2 juta ekor pada tahun 2015. Berdasarkan Rencana Induk Penelitian Universitas Hasanuddin, sapi Bali merupakan proritas utama dalam pengembangan komoditas unggulan pada

11

bidang peternakan. Oleh karena itu perlu kajiantentang ”Perbaikan Manajemen melalui Intervensi Pakan Berprotein Tinggi pada Fase Pedet untuk Menekan Tingkat Kematian dan pertumbuhan Pedet untuk Meningkatkan Mutu Bibit Sapi Bali”. Tema ini diusulkan dengan pertimbangan bahwa meskipun sapi Bali memiliki keunggulan sebagaimana tersebut di atas tetapi perlu diperbaikan penampilannya atau tingkat produktifitasnya. Dengan melihat kondisi dan penampilan sapi Bali di Sulawesi Selatan saat ini oleh beberapa peneliti telah mensinyalir bahwa sapi Bali terjadi penurunan mutu genetik dan produktifitasnya (Sonjaya dan Abustam, 1993). Hal ini dapat dilihat bahwa sangat sulit untuk mendapatkan sapi bibit betina dengan tinggi pundak melebihi dari 104 cm. Penurunan performansi sapi Bali mungkin disebabkan karena faktor bibit yaitu terjadinya inbreeding (silang dalam) dan tidak adanya pejantan unggul di dalam kelompok ternak masyarakat yang digunakan sebagai pemacek sehingga terjadi perkawinan acak tanpa kontrol dalam kelompok (Baco, 2000 dan 2001). Selain itu, manajemen penanganan induk pada saat musim breeding atau kawin dan penanganan/manajemen pemeliharan pedet sebelum sapih (pre-weaning) kurang mendapat perhatian dengan baik. Namun demikian hasil penelitian Baco dan Rahim (2007) tentang analisis keragaman genetik sapi Bali di Sulawesi Selatan menunjukkan keragaman genetik masih tinggi. Hal ini memberikan indikasi bahwa sangat memungkin perbaikan performans dan produktifitas sapi Bali melalui perbaikan genetik dan lingkungan atau manajemen. Secara teoritis bahwa penentu tingkat produktifitas dan performans ternak adalah faktor genetik (ternak) dan lingkungan (pakan, manajemen pemeliharaan, kesehatan, iklim dan sebagainya).

Pada umumnya manajemen pemeliharaan sapi Bali di masyarakat masih bersifat tradisional dan akibatnya produktifitas ternak rendah. Dengan sistem pemeliharaan seperti itu, tidak mampu mengekspoitasi potensi ternak meskipun secara genetik ternak tersebut memiliki potensi produktifitas tinggi (Basit dan Ismartoyo, 2010; Baco, 2011a). Survei di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan ternak sapi di peternakan rakyat masih rendah 20 – 40%, umur melahirkan pertama 3 – 4 tahun, interval kelahiran panjang 1,5 – 2 tahun dan berat sapih pedet rendah 70 – 80 kg bahkan tingkat kematian pedet sangat tinggi (30 – 50%). Jika dibanding dengan potensi sapi Bali, produktifitas tersebut masih sangat rendah (Baco, 2010). Hal ini didasari atas pengalaman penulis melakukan kajian-kajian pendahuluan di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, terlihat bahwa sapi Bali yang dipelihara secara Semi-Intensif di Laboratorium Ternak Potong Unhas hasil sementara menunjukkan tingkat kebuntingan dan kelahiran dapat mencapai 95% (Baco, 2011b), akan tetapi tingkat kematian pedet masih tinggi 20 -30% dan pertumbuhan pedet sebelum sapih rendah 0,1 – 0,2 kg per ekor per hari. Sebagai kesimpulan sementara hasil pengalaman pengelolaan di Laboratorium Ternak Potong tersebut sebagai berikut;

Dengan perbaikan manajemen melalui pola pemeliharaan Semi-Intensif dengan pemberian pakan tambahan hanya dedak padi secara terbatas sudah dapat meningkatkan tingkat kebuntingan dan kelahiran pedet tetapi belum mampu menekan tingkat kematian pedet 0 – 3%,

Pertumbuhan pedet sebelum sapih masih rendah sehingga berat pedet pada saat sapihan (weaning weight) rendah pula, dengan demikian waktu pubertas, bunting dan kelahiran pertama tertunda, interval kelahiran menjadi panjang, akibatnya biaya produksi menjadi tinggi dan tidak efisien.

Dengan melihat permasalahan tersebut dapat diduga bahwa salah satu penyebabnya adalah kualitas pakan ternak dan pola manajemen yang diterapkan.

12

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian bagaimana pengaruh perbaikan manajemen melalui perbaikan pakan terhadap tingkat produktifitas dan performans sapi Bali yang dipelihara secara Intensif. Dengan perbaikan pakan pada saat periode breeding atau pembiakan dan fase pedet diharapkan tingkat produktifitas induk dan pertumbuhan pedet meningkat, maka percepatan penyapihan dengan berat pedet yang tinggi tercapai, sehingga umur pembiakan pertama dan umur kelahiran pertama (firt calving age) lebih cepat atau lebih muda. Dengan demikian terjadi efisiensi biaya produksi sehingga peternak mendapatkan keuntungan yang optimal.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh perbaikan manajemen melalui intervensi pakan konsentrat pada fase pedet terhadap tingkat kematian pedet dan tingkat produktifitas sapi Bali yang dipelihara secara Intensif.

MATERI DAN METODE

Tempat penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Ternak Potong Universitas Hasanuddin Makassar dan di peternakan Rakyat Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros. Materi dan bahan penelitian

Materi penelitian yang digunakan adalah sebanyak 25 ekor pedet telah berumur 1 bulan (10 ekor pedet perlakuan dan 15 pedet sampel dari masyarakat (existing manajemen di petani ternak). Materi penelitian dan parameter yang diukur berdasarkan waktu penelitian lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Bahan pakan ternak (bahan konsentrat) yang digunakan adalah bahan lokal dari hasil sisa (limbah) pertanian dan industri. Bahan pakan hijauan yang digunakan adalah rumput gajah dan alam.

Alat yang digunakan adalah timbangan digital elektronik, timbangan khusus untuk ternak sapi yang memiliki kapasitas 2000 kg, digunakan untuk mengukur bobot ternak. Pita meter dan tongkat ukur masing-masing digunakan untuk mengukur dimensi tubuh ternak.

Tabel 1. Materi penelitian dan parameter yang diukur berdasarkan tahun penelitian

Materi Penelitian Parameter Penelitian

Perlakuan Existing Manajemen (Peternak) atau pembanding

Perlakuan : - Pakan berprotein tinggi

selama 4 bulan (sampai umur sapihan)

- Jumlah konsentrat 3% dari bobot badan pedet

- Hijauan adlibitum - Materi : 10 ekor Pedet

Kontrol - Existing manajemen di

masyarakat peternak - 15 ekor pedet (sample)

Tingkat kematian, Pertumbuhan pedet (Bobot badan, PBB), Dimensi Tubuh Pedet,

13

Intervensi/pemberian pakan dan manajemen pemeliharaan

Perbaikan pakan dilakukan dengan memberikan pakan konsentrat pada fase pedet dengan komposisi sebagaimana tertera pada Tabel 2. Bahan pakan konsentrat berbasis bahan lokal, murah dan mudah diperoleh serta ketersedian sepanjang waktu (LEISA). Sistem pemeliharaan dilakukan secara Insensif. Pakan konsentrat diberikan sebanyak 3% dari bobot badan pedet dan diberikan pada pagi hari dan sore. Setelah konsentrat habis kemudian diberikan pakan hijauan 2 – 3 kali per hari dan diberikan secara ad-libitum. Selain pemberian pakan, kesehatan ternak tetap selalu terkontrol melalui sanitasi kandang yang baik, pemberian obat-obatan dan vaksinasi. Pemeliharaan ternak juga dilakukan exercising pada pagi hari selama 3 jam bersama induknya dan sekaligus member kesempatan untuk menyusui pada induknya. Setelah itu Pedet dimasukkan kembali ke dalam kandang pemeliharaan. Pemeliharaan ternak baik induk maupun pedet secara umum tetap menerapkan Good Management Practice (GMP) dan Good Breeding Practice (GBP). Untuk melihat pengaruh dari perlakuan pada penelitian ini, maka dilakukan pembanding dengan kondisi seadanya yang dilakukan oleh peternak/masyarakat di lapangan (existing management) dengan managemen secara extensif tanpa melakukan perlakuan apapun.

Tabel 2. Komposisi Bahan Konsentrat penelitian

No. Bahan Komposisi (%)

1. Dedak Padi 35,0 2. Ampas Tahu 50,0 3. Bungkil Kelapa 7,0 4. Molases 5,0 5. Mineral 1,0 6. Urea 0,5 7. Garam 1,0 8. Probiotik 0,5

Prosedur penelitian

Perlakuan dilakukan terhadap anak sapi pada fase pedet untuk melihat tingkat kematian dan pertumbuhan pedet. Pedet sapi tetap dipelihara bersama induknya. Perlakuan hanya diberikan pada pedet dengan model creep feeding. Pakan konsentrat pedet diberikan sebanyak 3% dari berat badan pedet sedangkan hijauan diberikan secara ad-libitum. Makanan tambahan/konsentrat diberikan dalam bentuk comboran/cair sampai umur 3 bulan dan setelah itu pakan tambahan sama dengan sapi sapihan(weaner). Perlakuan pemberian pakan konsentrat/tambahan dan komposisi bahan pakan konsentrat pada penelitian masing-masing dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Pembanding dari perlakuan ini adalah metode pemeliharaan pedet dimasyarakat, yang dilakukan tanpa pemberian pakan konsentrat. Cara ini yang disebut existing management (seadanya dilakukan petani ternak di lapangan). Parameter Penelitian

Parameter penelitian yang diukur adalah tingkat kematian pedet, pertumbuhan ternak dan dimensi tubuh ternak pedet, dan lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

14

Lokasi antomi pengukuran dimensi tubuh dilakukan berdasarkan metode yang digunakan oleh Wagyu Registry Association (1992), sebagaimana yang terlihat pada Gambar 1. Penimbangan bobot badan dan pengukuran dimensi tubuh sapi dilakukan bersamaan pada pagi hari sebelum ternak diberikan makanan konsentrat.

Gambar 1. Lokasi Anatomi Pengukuran Dimensi Tubuh Ternak Berdasarkan Metode yang Dipakai oleh Wagyu Registry Assosiation (1992)

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis parametrik dan non-parametrik. Parameter dengan jenis data kuantitatif interval atau rasio dianalisis dengan menggunakan t-test. Sedang parameter dengan data kuantitatif nominal atau data kualitatif dianalisis dengan analisis deskritif. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini juga dilakukan pembandingan dengan data-data yang diperoleh dari peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan seadanya (tradisional) yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan produktifitas dan performans sapi Bali dari pengaruh perbaikan pakan. Pengolahan data menggunakan komputer paket program SPSS Versi 12 for Windows (Anonim, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat kematian pedet

Rata-rata umur, tingkat kematian, bobot badan dan dimensi tubuh pedet sapi Bali pada kondisi awal penelitian, yang mendapat latarbelakang managemen berbeda (intensif/perlakuan dan kondisi lapang di masyarakat) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat kematian pedet sapi Bali yang di pelihara dengan managemen secara intensif sangat nyata lebih rendah (9,0%) dibandingkan dengan kondisi lapang di masyarakat (49,5%). Hasil ini menunjukkan bahwa perbaikan managemen pemeliharaan ternak sangat nyata menekan tingkat kematian pedet dan dengan demikian pertumbuhan populasi dapat ditingkatkan. Tingkat kematian pedet

15

yang tinggi merupakan awal kegagalan suatu usaha peternakan oleh karena untuk menghasilkan seekor pedet membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang banyak. Minimal dibutuhkan waktu 9 bulan untuk memelihara kebuntingan. Oleh karena itu penyebab kematian pedet harus ditelusuri lebih mendalam. Selama ini diduga bahwa penyebab kematian pedet salah satunya adalah tatakelola/managemen yang kurang baik pada saat pedet. Managemen yang kurang baik atau tidak tepat dapat menyebabkan kondisi induk dan pedet kurang baik sehingga ternak tersebut rentan terhadap penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian.

Tabel 3. Umur, tingkat kematian,berat Badan dan dimensi tubuh pedet pada kondisi awal penelitian

Sifat Perlakuan Kondisi lapang

Umur (Bln) 5,41,4 6,63,1

Tingkat Kematian (%) 9,0a 49,5b

Berat Badan (Kg) 57,913,7a 37,514,7b

Lingkar Dada (cm) 92,97,5a 81,510,8b

Tinggi Pundak (cm) 83,85,6a 69,58,0b

Panjang Badan (cm) 72,57,7a 59,88,8b Superskrip berbeda pada kolom berbeda menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01)

Pertumbuhan dan dimensi tubuh

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata bobot badan, lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan pedet dengan managemen intensif yang mendapat perlakuan pakan baik sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan managemen seadanya di masyarakat (existing management). Pada umur yang relatif sama (5,4 – 6,6 bulan), bobot badan pedet pada perlakuan 20,4 kg (54,4%) lebih tinggi dari tanpa perlakuan (37,5 kg), lingkar dada 11,4 cm (14,0%) lebih tinggi dari tanpa perlakuan (81,5 cm), tinggi pundak 14,3 cm (20,5%) dari tanpa perlakuan (69,5 cm) dan panjang badan 12,7 cm (21,2%) lebih tinggi dari tanpa perlakuan (59,8 cm). Akan tetapi keragaman setiap parameter penelitian pada pedet tanpa perlakuan atau existing management pada masyarakat lebih besar dibanding dengan perlakuan (dapat dilihat besaran standard deviasi pada Tabel 3). Dengan demikian memberikan indikasi bahwa faktor managemen/tatakelola sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan pedet sebelum penyapihan.

Penelitian ini juga melakukan perbandingan performansi pedet antara sebelum melakukan perlakuan dan setelah perlakuan dengan penambahan pakan berprotein tinggi/konsentrat pada sistem managemen secara intensif sebagaimana tertera pada Gambar 2. Pada Gambar 2, menunjukkan bahwa pedet yang mendapat perlakuan dengan intervensi pakan berprotein tinggi pada awal/bulan pertama penelitian mempunyai pertambahan bobot badan harian (PBBH) cenderung meningkat kemudian menurun pada bulan ke dua. Peningkatan PBBH pedet pada bulan pertama perlakuan sebesar 0,30 kg relatif sama dengan PBBH pedet 1 bulan pertama post partus yang hanya mendapatkan air susu induk. Sedangkan jika dibandingkan dengan

16

pedet umur setelah 1 – 4 bulan, PBBH bulan pertama lebih tinggi pada perlakuan. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pedet pada bulan pertama post partus relatif lebih tinggi setelah itu berfluktuasi sesuai dengan lingkungannya. Oleh karena itu perbaikan manajemen melalui intervensi pakan berkualitas dapat mempertahankan pertumbuhan pedet sebelum penyapihansama halnya dengan pertumbuhan pedet yang hanya mendapat air susu induk pada bulan pertama setelah kelahiran pedet. Meskipun diketahui bahwa air susu induk sangat penting peranannya pada fase ini. Disisi lain produksi air susu induk terutama sapi Bali sangat terbatas pada fase setelah 2 bulan post partus sehingga untuk pemenuhan kebutuhan akan gizi pedet diperlukan pakan tambahan dari bahan lain yang sesui dengan kebutuhan pedet. Hal ini terlihat pada Gambar 2, bahwa rata-rata PBBH meningkat kembali setelah diberikan pakan tambahan pada fase setelah umur 1-4 bulan sebesar 8,0% dari rata-rata PBBH sebelumnya.

Gambar 2. Rataan Pertambahan bobot badan harian pedet sapi Bali sebelum perlakuan dan pada saat perlakuan penelitian

Penurunan PBBH pedet pada bulan ke dua perlakuan disebabkan oleh rasio perubahan atau perkembangan bagian tubuh lain mengalami persentase peningkatan lebih tinggi dibandingkan dengan PBBH sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Hal ini menunjukkan bahwa indikator pertumbuhan pedet bukan saja pertambahan bobot badan tetapi perubahan dimensi tubuh (morfometrik) harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi pertumbuhan. Hal ini berbeda dengan ternak dewasa yang mempunyai indikator pertumbuhan lebih terfokuskan pada pertambahan bobot badan. Pada bulan ke-3 perlakuan PBBH kembali meningkat sebesar 0,34 kg, melampaui PBBH pada 1 bulan pertama post-partus.

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0,33

0,25

0,30

0,19

0,34

0,27

Pert

amba

han

Bobo

t Bad

an H

aria

n (k

g)

17

Gambar 3. Perubahan bobot badan dan dimensi tubuh pedet sapi Bali sebelum penyapihan

Gambar 4. Rasio perubahan bobot badan dimensi tubuh pedet sapi Bali sebelum penyapihan

Pada Gambar 3, menunjukkan perubahan bobot badan dan dimensi tubuh pedet sapi Bali sebelum penyapihan. Hasil ini memberikan indikasi bahwa perbaikan managemen dapat meningkatkan pertumbuhan pedet dengan kecepatan pertumbuhan pada bagian-bagian tubuh berbeda. Perbedaan kecepatan pertumbuhan bagian tubuh tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan masing-masing bagian tubuh merespons

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

Awal P-2 P-3 P-4Bobot Badan (kg) Lingkar Dada (cm)Tinggi Pundak (cm) Panjang Badan (cm)

14.8

3.6 3.23.9

9.0

5.6

2.7

4.2

13.9

6.6

2.63.2

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

Bobot Badan (%) Lingkar Dada (%) Tinggi Pundak (%) Panjang Badan (%)

Bulan I Bulan II Bulan III

18

asupan pakan yang sesuai dengan pola pertumbuhan masing-masing bagian dimensi tubuh tersebut. Perubahan pertumbuhan lingkar dada diikuti perubahan yang linear dengan bobot badan, sedangkan tinggi pundak dan panjang badan, perubahannya relatif secara konsisten dan gradual. Oleh karena itu, pendekatan untuk menentukan volume atau bobot ternak sapi tanpa melakukan penimbangan maka pendekatan yang lebih sesuai adalah melakukan pengukuran lingkar dada dan panjang badan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: perbaikan managemen pada fase pedet dapat: 1. Menekan tingkat kematian pedet sampai 9,0% 2. Meningkatkan pertumbuhan secara signifikan yaitu meningkatkan bobot badan

pedet sekitar 50% dan 14 – 21% dimensi tubuh dibandingkan dengan system pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat tanpa pemberian pakan tambahan pada fase pedet (existing management).

3. Kecepatan perubahan pertumbuhan dan bagian dimensi tubuh ternak yang diberi pakan yang berkualitas pada fase pedet bervariasi antara satu bagian dengan bagian tubuh lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini disponsori oleh Dana DIPA BLU Universitas Hasanuddin tahun 2012 dengan Kontrak Nomor 64/UN4-LK.26/2012 tanggal 6 Agustus 2012. Oleh karena itu terima kasih sedalam-dalamnya kepada LP2M Universitas Hasanuddin yang telah memfasilitasi untuk mendapatkan pendanaan penelitian berbasis Program Studi Unhas. Kepada anggota Tim pelaksana dan seluruh elemen yang telah mengambil bagian dalam pelaksanaan penelitian ini diucapkan banyak terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Anomim. 2011. Sulawesi Selatan dalam Angka tahun 2010. Badan Pusat Statistik, Sulawesi Selatan.

Anonim. 2009. Panduan Lengkap SPPS 12,0 for Windows. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Baco, S. 2000. Genetic Parameters for Performance Traits of Bali Cattle on Smallholders in South Sulawesi. Laporan Penelitian URGE Dikti.

Baco, S. 2001. Perbandingan Bobot Badan dan Beberapa Ukuran Dimensi Tubuh Sapi Bali Betina yang Dipelihara Secara Ekstensif pada Daerah Dataran Rendah dan Pegunungan Di Kabupaten Bone. Laporan Penelitian Proyek DPP Universitas Hasanuddin.

Baco, S. 2010. Performansi sapi Bali pada Kawasan Instalasi populasi dasar Breeding Center di Kabupaten Bone. Prosiding Seminar Nasional Peternakan. Hal. 236 - 245.

19

Baco, S. 2011a. Konservasi Sapi Bali sebagai Plasma Nutfah Ternak Indonesia. Buletin Peternakan. 40 : 12 – 21.

Baco, S. 2011b. Arah dan strategi pengembangan sapi bali secara berkelanjutan. Buletin Peternakan. 42 : 1 – 8.

Baco, S., H. Harada and R. Fukuhara. 1998a. Genetic Relationships of Body Measurements at Registration to a Couple of Reproductive Traits in Japanese Black Cows. Anim. Sci. Technol. (Jpn.), 69(1): 1-7.

Baco, S., dan L. Rahim. 2007. Analisis Keragaman Genetik Sapi Bali Di Sulawesi Selatan Berdasarkan Perbedaan Performans dan Topografi Menggunakan RAPD-PCR. Laporan Penelitian Fundamental DIKTI.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Murtidjo. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.

Ngadiyono, N. 1997. Kinerja dan Prospek Sapi Bali di Indonesia. Seminar Environmental Pollution and Natural Product and Bali Cattle in Regional Denpasar, Bali.

Saputra, E. D. 2008. Sapi Bali sebagai plasma nutfah dan peranannya bagi petani. [terhubung berkala]. http://balivetman.wordpress.com. [28 Agustus 2010].

Sonjaya, H. dan E. Abustam. 1993. Penampilan dan kondisi peternakan sapi Bali di daerah pedesaan Propinsi Sulawesi Selatan. Bull. Ilmu Peternakan dan Perikanan Vol. II (6) : 54-71.

Wagyu Registry Association. 1992. Hand Book of Wagyu Improvement. Wagyu Registry Association, Kyoto

Wello, B. dan Ismartoyo. 2010. Strategi Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi Bali di Sulawesi Selatan. [terhubung berkala]. http://disnaksulsel.info/index. php?option=com_docman&task=doc..[ 28 Agustus 2010).


Recommended