+ All Categories
Home > Documents > TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM...

TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM...

Date post: 07-Dec-2020
Category:
Upload: others
View: 6 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
13
TOLERANSI BERAG (UPAYA MENGUN Ko Abstract: Religious Tolerance in mass media recently has inform conflicts occured in many places disharmony. All religions actuall to be really well to all, and to awareness and plurality which mean that all religions are equ also means freedom to worship each religion. In Islamic history, Besides the prophet Muhammad culture communities in the midd Persian at that time. Keywords: religious tolerance, h Abstrak: Toleransi Beragama da Dari pemberitaan di media ma mengatasnamakan agama. Beg belakang perbedaan agama, seh agama mengajarkan kedamaian perbedaan dan merdeka untuk kemajemukan yang merupakan agama sama dan mesti mengak makna kebebasan untuk menja terhadap kebenarannya. Dalam saw. di Madinah. Ini terbukti da lain. Selain itu, Nabi Muhammad budaya yang berlaku secara dom itu seperti Romawi dan Persia. Kata kunci: toleransi beragama, Pendahuluan Islam adalah agama perda sayang. Tidak sulit untuk membu ini. Salah satu buktinya adalah ay Alquran berbunyi: “ Allah yang Maha Pengasih Maha P kemudian dijadikan sebagai pe surat yang lain kecuali surat al ayat ini menjadi simbol dan pr Islam yang membawa rahmat, m GAMA DALAM PRAKTEK NEGA NGKAP REALITA SEJARAH NA Ardiansyah omisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara Jl. Dr. Sutomo Ujung No. 3 Medan 20212 Email: [email protected] n Medina: An Effort to Find out Reality of Nabawiyah His med that there are many violences occured on behalf of re s due to interfaith gaps so that the religion is sometimes re ly give peace and tolerance. The religious tolerance, howev respect different religion that they believe. Such attitude has been given by Allah naturally. The tolerance, on the o ual and true in the context of worshiping the God. It is b p the God based on their religious belief, not based on rec , the religious tolerance used to practice when Muhammad ad saw interacted intensively and on dominant with various dle Arabian societies, as well as with the strongest power p history, Medina, freedom of interfaith alam Praktek Negara Madinah (Upaya Mengungkap Realita assa, sering kali diperoleh informasi betapa banyaknya tin gitu juga konflik-konflik horisontal yang terjadi di masyaraka ehingga agama seolah-olah sebagai pemicu ketidak harmon dan toleransi. Toleransi beragama berarti sikap saling meng k memeluk suatu agama yang diyakini. Sikap ini muncul n suatu keniscayaan dari sunnatullah. Toleransi beragama kui kebenaran semua agama. Sebab toleransi beragama itu alankan ibadah menurut keyakinan agama masing-masing m sejarah Islam, toleransi beragama sudah dipraktekkan o dari penyampaian ajaran Islam lewat dakwah tanpa pemak ad saw juga berinteraksi secara intensif dengan berbagai k minan di tengah masyarakat Arab, serta kekuatan-kekuatan sejarah, Madinah, kebebasan beragama amaian dan kasih buktikan semboyan yat pertama dalam dengan nama Penyayang. Ayat ini embuka dari surat- l-Taubah. Ruh dari rinsip dasar ajaran mengandung pesan toleran dan perdamaian Alquran banyak menekan beragama yang penjabaran praktek kehidupan nabi M Namun dewasa ini, Islam dan umatnya seb dan tindakan anarkis se semakin sering dilontark di luar Islam. Hal ini tentu dengan emosional apalag ARA MADINAH ABAWIYAH) story. Mostly news of eligion. The horizontal egarded as a trigger of ver, means to behave, e will come from the other hand, does not because the tolerance cognizing the truth of d saw was in Medina. s interfaith and cross– politic like Roman and a Sejarah Nabawiyah). ndak kekerasan yang at, tak jarang berlatar nisan. Padahal, semua ghormati, menghargai dari kesadaran akan a tidak berarti semua u sendiri mengandung g, bukan pengakuan oleh Nabi Muhammad ksaan terhadap orang kelompok agama dan politik terbesar masa dunia. Ayat-ayat suci nkan urgensi toleransi nnya didapatkan dalam Muhammad saw. , tudingan terhadap bagai agen kekerasan erta tuduhan teroris, kan oleh orang-orang tidak perlu ditanggapi gi kekerasan. Sebab, 173 |
Transcript
Page 1: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

TOLERANSI BERAGAMA DALAM PRAKTEK NEGARA MADINAH(UPAYA MENGUNGKAP REALITA SEJARAH NABAWIYAH)

ArdiansyahKomisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara

Jl. Dr. Sutomo Ujung No. 3 Medan 20212Email: [email protected]

Abstract: Religious Tolerance in Medina: An Effort to Find out Reality of Nabawiyah History. Mostly news ofmass media recently has informed that there are many violences occured on behalf of religion. The horizontalconflicts occured in many places due to interfaith gaps so that the religion is sometimes regarded as a trigger ofdisharmony. All religions actually give peace and tolerance. The religious tolerance, however, means to behave,to be really well to all, and to respect different religion that they believe. Such attitude will come from theawareness and plurality which has been given by Allah naturally. The tolerance, on the other hand, does notmean that all religions are equal and true in the context of worshiping the God. It is because the tolerancealso means freedom to worship the God based on their religious belief, not based on recognizing the truth ofeach religion. In Islamic history, the religious tolerance used to practice when Muhammad saw was in Medina.Besides the prophet Muhammad saw interacted intensively and on dominant with various interfaith and cross–culture communities in the middle Arabian societies, as well as with the strongest power politic like Roman andPersian at that time.

Keywords: religious tolerance, history, Medina, freedom of interfaith

Abstrak: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah (Upaya Mengungkap Realita Sejarah Nabawiyah).Dari pemberitaan di media massa, sering kali diperoleh informasi betapa banyaknya tindak kekerasan yangmengatasnamakan agama. Begitu juga konflik-konflik horisontal yang terjadi di masyarakat, tak jarang berlatarbelakang perbedaan agama, sehingga agama seolah-olah sebagai pemicu ketidak harmonisan. Padahal, semuaagama mengajarkan kedamaian dan toleransi. Toleransi beragama berarti sikap saling menghormati, menghargaiperbedaan dan merdeka untuk memeluk suatu agama yang diyakini. Sikap ini muncul dari kesadaran akankemajemukan yang merupakan suatu keniscayaan dari sunnatullah. Toleransi beragama tidak berarti semuaagama sama dan mesti mengakui kebenaran semua agama. Sebab toleransi beragama itu sendiri mengandungmakna kebebasan untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan agama masing-masing, bukan pengakuanterhadap kebenarannya. Dalam sejarah Islam, toleransi beragama sudah dipraktekkan oleh Nabi Muhammadsaw. di Madinah. Ini terbukti dari penyampaian ajaran Islam lewat dakwah tanpa pemaksaan terhadap oranglain. Selain itu, Nabi Muhammad saw juga berinteraksi secara intensif dengan berbagai kelompok agama danbudaya yang berlaku secara dominan di tengah masyarakat Arab, serta kekuatan-kekuatan politik terbesar masaitu seperti Romawi dan Persia.

Kata kunci: toleransi beragama, sejarah, Madinah, kebebasan beragama

Pendahuluan

Islam adalah agama perdamaian dan kasihsayang. Tidak sulit untuk membuktikan semboyanini. Salah satu buktinya adalah ayat pertama dalamAlquran berbunyi: “ ” dengan namaAllah yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Ayat inikemudian dijadikan sebagai pembuka dari surat-surat yang lain kecuali surat al-Taubah. Ruh dariayat ini menjadi simbol dan prinsip dasar ajaranIslam yang membawa rahmat, mengandung pesan

toleran dan perdamaian dunia. Ayat-ayat suciAlquran banyak menekankan urgensi toleransiberagama yang penjabarannya didapatkan dalampraktek kehidupan nabi Muhammad saw.

Namun dewasa ini, tudingan terhadapIslam dan umatnya sebagai agen kekerasandan tindakan anarkis serta tuduhan teroris,semakin sering dilontarkan oleh orang-orangdi luar Islam. Hal ini tentu tidak perlu ditanggapidengan emosional apalagi kekerasan. Sebab,

173 |

TOLERANSI BERAGAMA DALAM PRAKTEK NEGARA MADINAH(UPAYA MENGUNGKAP REALITA SEJARAH NABAWIYAH)

ArdiansyahKomisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara

Jl. Dr. Sutomo Ujung No. 3 Medan 20212Email: [email protected]

Abstract: Religious Tolerance in Medina: An Effort to Find out Reality of Nabawiyah History. Mostly news ofmass media recently has informed that there are many violences occured on behalf of religion. The horizontalconflicts occured in many places due to interfaith gaps so that the religion is sometimes regarded as a trigger ofdisharmony. All religions actually give peace and tolerance. The religious tolerance, however, means to behave,to be really well to all, and to respect different religion that they believe. Such attitude will come from theawareness and plurality which has been given by Allah naturally. The tolerance, on the other hand, does notmean that all religions are equal and true in the context of worshiping the God. It is because the tolerancealso means freedom to worship the God based on their religious belief, not based on recognizing the truth ofeach religion. In Islamic history, the religious tolerance used to practice when Muhammad saw was in Medina.Besides the prophet Muhammad saw interacted intensively and on dominant with various interfaith and cross–culture communities in the middle Arabian societies, as well as with the strongest power politic like Roman andPersian at that time.

Keywords: religious tolerance, history, Medina, freedom of interfaith

Abstrak: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah (Upaya Mengungkap Realita Sejarah Nabawiyah).Dari pemberitaan di media massa, sering kali diperoleh informasi betapa banyaknya tindak kekerasan yangmengatasnamakan agama. Begitu juga konflik-konflik horisontal yang terjadi di masyarakat, tak jarang berlatarbelakang perbedaan agama, sehingga agama seolah-olah sebagai pemicu ketidak harmonisan. Padahal, semuaagama mengajarkan kedamaian dan toleransi. Toleransi beragama berarti sikap saling menghormati, menghargaiperbedaan dan merdeka untuk memeluk suatu agama yang diyakini. Sikap ini muncul dari kesadaran akankemajemukan yang merupakan suatu keniscayaan dari sunnatullah. Toleransi beragama tidak berarti semuaagama sama dan mesti mengakui kebenaran semua agama. Sebab toleransi beragama itu sendiri mengandungmakna kebebasan untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan agama masing-masing, bukan pengakuanterhadap kebenarannya. Dalam sejarah Islam, toleransi beragama sudah dipraktekkan oleh Nabi Muhammadsaw. di Madinah. Ini terbukti dari penyampaian ajaran Islam lewat dakwah tanpa pemaksaan terhadap oranglain. Selain itu, Nabi Muhammad saw juga berinteraksi secara intensif dengan berbagai kelompok agama danbudaya yang berlaku secara dominan di tengah masyarakat Arab, serta kekuatan-kekuatan politik terbesar masaitu seperti Romawi dan Persia.

Kata kunci: toleransi beragama, sejarah, Madinah, kebebasan beragama

Pendahuluan

Islam adalah agama perdamaian dan kasihsayang. Tidak sulit untuk membuktikan semboyanini. Salah satu buktinya adalah ayat pertama dalamAlquran berbunyi: “ ” dengan namaAllah yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Ayat inikemudian dijadikan sebagai pembuka dari surat-surat yang lain kecuali surat al-Taubah. Ruh dariayat ini menjadi simbol dan prinsip dasar ajaranIslam yang membawa rahmat, mengandung pesan

toleran dan perdamaian dunia. Ayat-ayat suciAlquran banyak menekankan urgensi toleransiberagama yang penjabarannya didapatkan dalampraktek kehidupan nabi Muhammad saw.

Namun dewasa ini, tudingan terhadapIslam dan umatnya sebagai agen kekerasandan tindakan anarkis serta tuduhan teroris,semakin sering dilontarkan oleh orang-orangdi luar Islam. Hal ini tentu tidak perlu ditanggapidengan emosional apalagi kekerasan. Sebab,

173 |

TOLERANSI BERAGAMA DALAM PRAKTEK NEGARA MADINAH(UPAYA MENGUNGKAP REALITA SEJARAH NABAWIYAH)

ArdiansyahKomisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara

Jl. Dr. Sutomo Ujung No. 3 Medan 20212Email: [email protected]

Abstract: Religious Tolerance in Medina: An Effort to Find out Reality of Nabawiyah History. Mostly news ofmass media recently has informed that there are many violences occured on behalf of religion. The horizontalconflicts occured in many places due to interfaith gaps so that the religion is sometimes regarded as a trigger ofdisharmony. All religions actually give peace and tolerance. The religious tolerance, however, means to behave,to be really well to all, and to respect different religion that they believe. Such attitude will come from theawareness and plurality which has been given by Allah naturally. The tolerance, on the other hand, does notmean that all religions are equal and true in the context of worshiping the God. It is because the tolerancealso means freedom to worship the God based on their religious belief, not based on recognizing the truth ofeach religion. In Islamic history, the religious tolerance used to practice when Muhammad saw was in Medina.Besides the prophet Muhammad saw interacted intensively and on dominant with various interfaith and cross–culture communities in the middle Arabian societies, as well as with the strongest power politic like Roman andPersian at that time.

Keywords: religious tolerance, history, Medina, freedom of interfaith

Abstrak: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah (Upaya Mengungkap Realita Sejarah Nabawiyah).Dari pemberitaan di media massa, sering kali diperoleh informasi betapa banyaknya tindak kekerasan yangmengatasnamakan agama. Begitu juga konflik-konflik horisontal yang terjadi di masyarakat, tak jarang berlatarbelakang perbedaan agama, sehingga agama seolah-olah sebagai pemicu ketidak harmonisan. Padahal, semuaagama mengajarkan kedamaian dan toleransi. Toleransi beragama berarti sikap saling menghormati, menghargaiperbedaan dan merdeka untuk memeluk suatu agama yang diyakini. Sikap ini muncul dari kesadaran akankemajemukan yang merupakan suatu keniscayaan dari sunnatullah. Toleransi beragama tidak berarti semuaagama sama dan mesti mengakui kebenaran semua agama. Sebab toleransi beragama itu sendiri mengandungmakna kebebasan untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan agama masing-masing, bukan pengakuanterhadap kebenarannya. Dalam sejarah Islam, toleransi beragama sudah dipraktekkan oleh Nabi Muhammadsaw. di Madinah. Ini terbukti dari penyampaian ajaran Islam lewat dakwah tanpa pemaksaan terhadap oranglain. Selain itu, Nabi Muhammad saw juga berinteraksi secara intensif dengan berbagai kelompok agama danbudaya yang berlaku secara dominan di tengah masyarakat Arab, serta kekuatan-kekuatan politik terbesar masaitu seperti Romawi dan Persia.

Kata kunci: toleransi beragama, sejarah, Madinah, kebebasan beragama

Pendahuluan

Islam adalah agama perdamaian dan kasihsayang. Tidak sulit untuk membuktikan semboyanini. Salah satu buktinya adalah ayat pertama dalamAlquran berbunyi: “ ” dengan namaAllah yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Ayat inikemudian dijadikan sebagai pembuka dari surat-surat yang lain kecuali surat al-Taubah. Ruh dariayat ini menjadi simbol dan prinsip dasar ajaranIslam yang membawa rahmat, mengandung pesan

toleran dan perdamaian dunia. Ayat-ayat suciAlquran banyak menekankan urgensi toleransiberagama yang penjabarannya didapatkan dalampraktek kehidupan nabi Muhammad saw.

Namun dewasa ini, tudingan terhadapIslam dan umatnya sebagai agen kekerasandan tindakan anarkis serta tuduhan teroris,semakin sering dilontarkan oleh orang-orangdi luar Islam. Hal ini tentu tidak perlu ditanggapidengan emosional apalagi kekerasan. Sebab,

173 |

Page 2: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

tindakan itu malah semakin memojokkan Islamdan membenarkan tudingan mereka. Oleh sebabitu, umat Islam mestilah menemukan formulasitepat untuk menjawabnya dengan sikap terbaik,guna mematahkan stigma tersebut. Sikap yangbijak adalah menjawab tudingan itu dengansikap toleran sesuai dengan praktek yang pernahdilakukan nabi Muhammad saw baik di Mekahmaupun Madinah. Bukankah ketika Nabi sawhidup di dua kota suci itu berinteraksi secaralangsung dengan kaum yang berbeda aqidahdengan akidah yang dibawa Nabi saw. Dalampada itu, mengkaji ulang sejarah toleransiberagama yang dipraktekkan Nabi saw menjadikebutuhan mendesak saat ini. Hal ini dapatdilakukan dengan merujuk kepada Alquran dantafsirnya serta hadis-hadis sahih sebagai sumberinformasi akurat dan terpercaya. Tulisan inimemaparkan sekelumit dari al-sîrah al-nabawiyahberkenaan dengan praktek toleransi beragamadi negara Madinah.

Meluruskan Pengertian Toleransi Beragama

Secara etimologis, kata toleransi berasaldari kata “toleran” yang berarti sifat atausikap menenggang, menghargai, menghormati,membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat,pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuanyang berbeda atau bertentangan denganpendirian sendiri.1 Adapun dalam bahasa Arab,padanan katanya adalah “ ” yang berartimenghargai dan menerima perbedaan.2 Daripengertian kata tersebut, maka makna toleransiberagama berarti sikap saling menghormati danmenghargai perbedaan serta merdeka untukmemeluk suatu agama yang diyakini. Sikap inimuncul dari kesadaran akan kemajemukan yangmerupakan suatu keniscayaan dari sunnatullah.Tidak dapat dipungkiri akan kehadiran perbedaandalam kehidupan ini, dan yang terpentingadalah bagaimana cara dan metode yang tepatuntuk mengelola perbedaan itu agar kehidupansenantiasa harmonis.

1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2001), h. 1204.

2 M. Rawas Qal`aji, Mu`jam Lughât al-Fuqahâ’, (Beirut: Dâral-Nafâ’is, 1988), h. 129.

Pengertian di atas juga menunjukkan bahwasikap toleran menjadi instrumen terpenting dalammemelihara harmonisasi antar umat beragama.Konflik antar umat beragama telah berlangsungsejak kehadiran agama-agama itu sendiri.Membela agama kerap dijadikan alasan untukmelegitimasi tindak kekerasan dan anarkisme.Hal ini tentunya dapat dihindarkan manakalaanak bangsa ini memahami dan menjalankanajaran agamanya dengan baik. Terkadang, kondisiini semakin diperparah dengan berita-berita dimedia masa, baik cetak maupun elektronik, yangterkesan memblow-up permasalahan tersebut,sehingga semakin memanaskan suasana. Di sisilain, bermunculannya ‘pahlawan kesiangan’yang memiliki kepentingan untuk menjadikankonflik antar umat beragama ini sebagai ajangkampanye dirinya sebagai ‘tokoh HAM’ yangmembela kaum tertindas. Sehingga berbagaiteori tentang kebebasan beragama pun dijadikanlandasan pemikirannya. Padahal, sebenarnyaapa yang ia kemukakan itu bukanlah toleransiberagama akan tetapi kebebasan tanpa batasdalam memaknai ajaran agama. Kebebasan tanpabatas itulah yang menyebabkan penodaan danpenistaan Ahmadiyah terhadap agama Islamterjadi, yang akhirnya memancing kemarahanumat Islam.

Oleh sebab itu, perlu didalami suatu per-masalahan secara objektif dan komprehensif agarakar permasalahan sebenarnya dapat ditemukan.Sebab, boleh jadi suatu tindakan kekerasan munculkarena segelintir orang yang menafsirkan ajaranagama dengan penafsiran akal dan hawa nafsunyasendiri. Penafsiran itu berbeda jauh dari penafsiranyang dipahami mayoritas pemeluk agama tersebut,sehingga ia dianggap telah menodai agama itudengan penafsiran aneh dari akalnya. Atau bolehjadi permasalahan muncul karena penghinaan ataupenistaan terhadap agama tertentu baik dengansengaja maupun tidak sengaja. Ketika salah satudari dua kemungkinan itu terjadi, maka konflik sulitdihindari. Dalam pada itulah, toleransi beragamadalam artian menghargai dan menghormati ke-bebasan beragama dalam bingkai aturan danbatasannya, wajib ditegakkan di tengah-tengahmasyarakat beragama itu sendiri.

| 174

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

tindakan itu malah semakin memojokkan Islamdan membenarkan tudingan mereka. Oleh sebabitu, umat Islam mestilah menemukan formulasitepat untuk menjawabnya dengan sikap terbaik,guna mematahkan stigma tersebut. Sikap yangbijak adalah menjawab tudingan itu dengansikap toleran sesuai dengan praktek yang pernahdilakukan nabi Muhammad saw baik di Mekahmaupun Madinah. Bukankah ketika Nabi sawhidup di dua kota suci itu berinteraksi secaralangsung dengan kaum yang berbeda aqidahdengan akidah yang dibawa Nabi saw. Dalampada itu, mengkaji ulang sejarah toleransiberagama yang dipraktekkan Nabi saw menjadikebutuhan mendesak saat ini. Hal ini dapatdilakukan dengan merujuk kepada Alquran dantafsirnya serta hadis-hadis sahih sebagai sumberinformasi akurat dan terpercaya. Tulisan inimemaparkan sekelumit dari al-sîrah al-nabawiyahberkenaan dengan praktek toleransi beragamadi negara Madinah.

Meluruskan Pengertian Toleransi Beragama

Secara etimologis, kata toleransi berasaldari kata “toleran” yang berarti sifat atausikap menenggang, menghargai, menghormati,membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat,pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuanyang berbeda atau bertentangan denganpendirian sendiri.1 Adapun dalam bahasa Arab,padanan katanya adalah “ ” yang berartimenghargai dan menerima perbedaan.2 Daripengertian kata tersebut, maka makna toleransiberagama berarti sikap saling menghormati danmenghargai perbedaan serta merdeka untukmemeluk suatu agama yang diyakini. Sikap inimuncul dari kesadaran akan kemajemukan yangmerupakan suatu keniscayaan dari sunnatullah.Tidak dapat dipungkiri akan kehadiran perbedaandalam kehidupan ini, dan yang terpentingadalah bagaimana cara dan metode yang tepatuntuk mengelola perbedaan itu agar kehidupansenantiasa harmonis.

1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2001), h. 1204.

2 M. Rawas Qal`aji, Mu`jam Lughât al-Fuqahâ’, (Beirut: Dâral-Nafâ’is, 1988), h. 129.

Pengertian di atas juga menunjukkan bahwasikap toleran menjadi instrumen terpenting dalammemelihara harmonisasi antar umat beragama.Konflik antar umat beragama telah berlangsungsejak kehadiran agama-agama itu sendiri.Membela agama kerap dijadikan alasan untukmelegitimasi tindak kekerasan dan anarkisme.Hal ini tentunya dapat dihindarkan manakalaanak bangsa ini memahami dan menjalankanajaran agamanya dengan baik. Terkadang, kondisiini semakin diperparah dengan berita-berita dimedia masa, baik cetak maupun elektronik, yangterkesan memblow-up permasalahan tersebut,sehingga semakin memanaskan suasana. Di sisilain, bermunculannya ‘pahlawan kesiangan’yang memiliki kepentingan untuk menjadikankonflik antar umat beragama ini sebagai ajangkampanye dirinya sebagai ‘tokoh HAM’ yangmembela kaum tertindas. Sehingga berbagaiteori tentang kebebasan beragama pun dijadikanlandasan pemikirannya. Padahal, sebenarnyaapa yang ia kemukakan itu bukanlah toleransiberagama akan tetapi kebebasan tanpa batasdalam memaknai ajaran agama. Kebebasan tanpabatas itulah yang menyebabkan penodaan danpenistaan Ahmadiyah terhadap agama Islamterjadi, yang akhirnya memancing kemarahanumat Islam.

Oleh sebab itu, perlu didalami suatu per-masalahan secara objektif dan komprehensif agarakar permasalahan sebenarnya dapat ditemukan.Sebab, boleh jadi suatu tindakan kekerasan munculkarena segelintir orang yang menafsirkan ajaranagama dengan penafsiran akal dan hawa nafsunyasendiri. Penafsiran itu berbeda jauh dari penafsiranyang dipahami mayoritas pemeluk agama tersebut,sehingga ia dianggap telah menodai agama itudengan penafsiran aneh dari akalnya. Atau bolehjadi permasalahan muncul karena penghinaan ataupenistaan terhadap agama tertentu baik dengansengaja maupun tidak sengaja. Ketika salah satudari dua kemungkinan itu terjadi, maka konflik sulitdihindari. Dalam pada itulah, toleransi beragamadalam artian menghargai dan menghormati ke-bebasan beragama dalam bingkai aturan danbatasannya, wajib ditegakkan di tengah-tengahmasyarakat beragama itu sendiri.

| 174

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

tindakan itu malah semakin memojokkan Islamdan membenarkan tudingan mereka. Oleh sebabitu, umat Islam mestilah menemukan formulasitepat untuk menjawabnya dengan sikap terbaik,guna mematahkan stigma tersebut. Sikap yangbijak adalah menjawab tudingan itu dengansikap toleran sesuai dengan praktek yang pernahdilakukan nabi Muhammad saw baik di Mekahmaupun Madinah. Bukankah ketika Nabi sawhidup di dua kota suci itu berinteraksi secaralangsung dengan kaum yang berbeda aqidahdengan akidah yang dibawa Nabi saw. Dalampada itu, mengkaji ulang sejarah toleransiberagama yang dipraktekkan Nabi saw menjadikebutuhan mendesak saat ini. Hal ini dapatdilakukan dengan merujuk kepada Alquran dantafsirnya serta hadis-hadis sahih sebagai sumberinformasi akurat dan terpercaya. Tulisan inimemaparkan sekelumit dari al-sîrah al-nabawiyahberkenaan dengan praktek toleransi beragamadi negara Madinah.

Meluruskan Pengertian Toleransi Beragama

Secara etimologis, kata toleransi berasaldari kata “toleran” yang berarti sifat atausikap menenggang, menghargai, menghormati,membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat,pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuanyang berbeda atau bertentangan denganpendirian sendiri.1 Adapun dalam bahasa Arab,padanan katanya adalah “ ” yang berartimenghargai dan menerima perbedaan.2 Daripengertian kata tersebut, maka makna toleransiberagama berarti sikap saling menghormati danmenghargai perbedaan serta merdeka untukmemeluk suatu agama yang diyakini. Sikap inimuncul dari kesadaran akan kemajemukan yangmerupakan suatu keniscayaan dari sunnatullah.Tidak dapat dipungkiri akan kehadiran perbedaandalam kehidupan ini, dan yang terpentingadalah bagaimana cara dan metode yang tepatuntuk mengelola perbedaan itu agar kehidupansenantiasa harmonis.

1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2001), h. 1204.

2 M. Rawas Qal`aji, Mu`jam Lughât al-Fuqahâ’, (Beirut: Dâral-Nafâ’is, 1988), h. 129.

Pengertian di atas juga menunjukkan bahwasikap toleran menjadi instrumen terpenting dalammemelihara harmonisasi antar umat beragama.Konflik antar umat beragama telah berlangsungsejak kehadiran agama-agama itu sendiri.Membela agama kerap dijadikan alasan untukmelegitimasi tindak kekerasan dan anarkisme.Hal ini tentunya dapat dihindarkan manakalaanak bangsa ini memahami dan menjalankanajaran agamanya dengan baik. Terkadang, kondisiini semakin diperparah dengan berita-berita dimedia masa, baik cetak maupun elektronik, yangterkesan memblow-up permasalahan tersebut,sehingga semakin memanaskan suasana. Di sisilain, bermunculannya ‘pahlawan kesiangan’yang memiliki kepentingan untuk menjadikankonflik antar umat beragama ini sebagai ajangkampanye dirinya sebagai ‘tokoh HAM’ yangmembela kaum tertindas. Sehingga berbagaiteori tentang kebebasan beragama pun dijadikanlandasan pemikirannya. Padahal, sebenarnyaapa yang ia kemukakan itu bukanlah toleransiberagama akan tetapi kebebasan tanpa batasdalam memaknai ajaran agama. Kebebasan tanpabatas itulah yang menyebabkan penodaan danpenistaan Ahmadiyah terhadap agama Islamterjadi, yang akhirnya memancing kemarahanumat Islam.

Oleh sebab itu, perlu didalami suatu per-masalahan secara objektif dan komprehensif agarakar permasalahan sebenarnya dapat ditemukan.Sebab, boleh jadi suatu tindakan kekerasan munculkarena segelintir orang yang menafsirkan ajaranagama dengan penafsiran akal dan hawa nafsunyasendiri. Penafsiran itu berbeda jauh dari penafsiranyang dipahami mayoritas pemeluk agama tersebut,sehingga ia dianggap telah menodai agama itudengan penafsiran aneh dari akalnya. Atau bolehjadi permasalahan muncul karena penghinaan ataupenistaan terhadap agama tertentu baik dengansengaja maupun tidak sengaja. Ketika salah satudari dua kemungkinan itu terjadi, maka konflik sulitdihindari. Dalam pada itulah, toleransi beragamadalam artian menghargai dan menghormati ke-bebasan beragama dalam bingkai aturan danbatasannya, wajib ditegakkan di tengah-tengahmasyarakat beragama itu sendiri.

| 174

Page 3: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

Ardiansyah: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah

Pemahaman Ulang terhadap ArgumentasiToleransi Beragama.

Membicarakan toleransi beragama, makaIslam lewat Alquran dan sunah sangat kayadengan prinsip dasar yang dapat dijadikanstandart dalam implementasinya. Karena itu, baikAlquran maupun sunah, haruslah dikaji denganbenar secara mendalam dan komprehensif denganmerujuk kepada pendapat ulama terdahulu danselanjutnya dielaborasi guna memenuhi kebutuhankontemporer. Terdapat sejumlah ayat Alquranyang selalu dijadikan argumen toleransi beragama,namun sering kali pula pemahaman terhadap ayattersebut diselewengkan dan dipaksakan. Sehinggakesimpulan yang dihasilkan pun menyimpang danterkesan dipaksakan untuk mendukung pemikirankelompok tertentu.

Di antara ayat Alquran yang kerap dijadikanargumentasi toleransi beragama adalah firmanAllah Swt:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benardaripada jalan yang sesat…”. (QS. al-Baqarah[2]: 256).

Menurut Imam al-Qurthubi (w. 671 H), paraulama berbeda pendapat dalam memahamipengertian “Tidak ada paksaan untuk (memasuki)agama (Islam)…”. Pendapat pertama, riwayatdari Ibnu Mas`ud ra. dan merupakan pendapatmayoritas mufassirîn bahwa ayat ini mansûkhdengan ayat-ayat yang memerintahkan nabiMuhammad saw untuk memerangi orang kafirdan munafik yang menolak masuk Islam. Adapunayat yang menasakhnya antara lain firman-Nya:

“Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafirdan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslahterhadap mereka...”(QS. al-Taubah [10]: 73).

Adapun pendapat kedua, bahwa ayat tersebutditujukan khusus kepada Ahli Kitab, dengan

al-Sya`bi, Qatadah, dan al-Hasan al-Bashri dan al-Dhahhâk. Ketiga, bahwa ayat tersebut dikhususkankepada kaum Anshar saja. Hal ini berdasarkansebab turun ayat tersebut bahwa ada seorangwanita Anshar yang setiap kali melahirkan anak,maka anaknya itu meninggal dunia. Sehinggaia bernazar sekiranya kelak ia memiliki anak,maka ia akan menjadikannya seorang Yahudi.Namun, ketika Bani Nadhir memeluk Islam danmereka pun masuk Islam, anak-anak mereka masihberagama Yahudi. Maka mereka bertekad untuktidak membiarkan begitu saja agama anak-anakmereka tersebut. Maka turunlah ayat ini. (HR.Abu Daud).3 Pendapat ini didukung oleh Sa‘îdbin Jubair dan Mujâhid.

Sementara pendapat keempat, yaitu pendapatImam al-Suddi, bahwa ayat ini turun karenaperistiwa yang terjadi menimpa keluarga Abu al-Husain. Ia memiliki dua orang anak yang berprofesisebagai pedagang minyak wangi. Ketika pedagangdari Syam datang ke Madinah membawa barangdagangannya, salah seorang dari pedangangitu berhasil membujuk kedua anaknya tersebutmemeluk Nashrani dan membawa merekake Syam. Maka sang ayah sangat sedih danmengadukan prihal kejadian tersebut kepadaNabi saw. Ketika Nabi saw hendak mengutusseseorang untuk mengembalikan kedua anaktersebut, maka turunlah ayat ini.

Pendapat kelima, adalah pendapat ImamMalik bahwa ayat ini ditujukan kepada tawananperang yang berasal dari Ahli Kitab (Yahudi atauNashrani), maka mereka tidak boleh dipaksamemeluk Islam. Namun, jika mereka dari kalanganpaganis (penyembah berhala) atau Majusi, baikdari golongan muda maupun tua, maka merekaboleh dipaksa untuk memeluk Islam. Denganasumsi bahwa mereka belum memiliki agama,sehingga mereka boleh dipaksa untuk memelukagama yang benar yaitu Islam, dan agar merekatidak memeluk agama yang batil. Adapun AhliKitab baik dari Arab maupun `ajam, maka merekatidak boleh dipaksa memeluk Islam selama mereka

demikian mereka tidak boleh dipaksa untukmemeluk Islam selama mau membayar jizyah(retribusi). Pendapat ini didukung oleh Imam

3 Abû Dâud Sulaimân ibn al-Asy’ats ibn Ishâq al-Sijistâni,Sunan Abî Dâud, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Arabi, t.th), Juz VII, h.291.

175 |

Ardiansyah: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah

Pemahaman Ulang terhadap ArgumentasiToleransi Beragama.

Membicarakan toleransi beragama, makaIslam lewat Alquran dan sunah sangat kayadengan prinsip dasar yang dapat dijadikanstandart dalam implementasinya. Karena itu, baikAlquran maupun sunah, haruslah dikaji denganbenar secara mendalam dan komprehensif denganmerujuk kepada pendapat ulama terdahulu danselanjutnya dielaborasi guna memenuhi kebutuhankontemporer. Terdapat sejumlah ayat Alquranyang selalu dijadikan argumen toleransi beragama,namun sering kali pula pemahaman terhadap ayattersebut diselewengkan dan dipaksakan. Sehinggakesimpulan yang dihasilkan pun menyimpang danterkesan dipaksakan untuk mendukung pemikirankelompok tertentu.

Di antara ayat Alquran yang kerap dijadikanargumentasi toleransi beragama adalah firmanAllah Swt:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benardaripada jalan yang sesat…”. (QS. al-Baqarah[2]: 256).

Menurut Imam al-Qurthubi (w. 671 H), paraulama berbeda pendapat dalam memahamipengertian “Tidak ada paksaan untuk (memasuki)agama (Islam)…”. Pendapat pertama, riwayatdari Ibnu Mas`ud ra. dan merupakan pendapatmayoritas mufassirîn bahwa ayat ini mansûkhdengan ayat-ayat yang memerintahkan nabiMuhammad saw untuk memerangi orang kafirdan munafik yang menolak masuk Islam. Adapunayat yang menasakhnya antara lain firman-Nya:

“Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafirdan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslahterhadap mereka...”(QS. al-Taubah [10]: 73).

Adapun pendapat kedua, bahwa ayat tersebutditujukan khusus kepada Ahli Kitab, dengan

al-Sya`bi, Qatadah, dan al-Hasan al-Bashri dan al-Dhahhâk. Ketiga, bahwa ayat tersebut dikhususkankepada kaum Anshar saja. Hal ini berdasarkansebab turun ayat tersebut bahwa ada seorangwanita Anshar yang setiap kali melahirkan anak,maka anaknya itu meninggal dunia. Sehinggaia bernazar sekiranya kelak ia memiliki anak,maka ia akan menjadikannya seorang Yahudi.Namun, ketika Bani Nadhir memeluk Islam danmereka pun masuk Islam, anak-anak mereka masihberagama Yahudi. Maka mereka bertekad untuktidak membiarkan begitu saja agama anak-anakmereka tersebut. Maka turunlah ayat ini. (HR.Abu Daud).3 Pendapat ini didukung oleh Sa‘îdbin Jubair dan Mujâhid.

Sementara pendapat keempat, yaitu pendapatImam al-Suddi, bahwa ayat ini turun karenaperistiwa yang terjadi menimpa keluarga Abu al-Husain. Ia memiliki dua orang anak yang berprofesisebagai pedagang minyak wangi. Ketika pedagangdari Syam datang ke Madinah membawa barangdagangannya, salah seorang dari pedangangitu berhasil membujuk kedua anaknya tersebutmemeluk Nashrani dan membawa merekake Syam. Maka sang ayah sangat sedih danmengadukan prihal kejadian tersebut kepadaNabi saw. Ketika Nabi saw hendak mengutusseseorang untuk mengembalikan kedua anaktersebut, maka turunlah ayat ini.

Pendapat kelima, adalah pendapat ImamMalik bahwa ayat ini ditujukan kepada tawananperang yang berasal dari Ahli Kitab (Yahudi atauNashrani), maka mereka tidak boleh dipaksamemeluk Islam. Namun, jika mereka dari kalanganpaganis (penyembah berhala) atau Majusi, baikdari golongan muda maupun tua, maka merekaboleh dipaksa untuk memeluk Islam. Denganasumsi bahwa mereka belum memiliki agama,sehingga mereka boleh dipaksa untuk memelukagama yang benar yaitu Islam, dan agar merekatidak memeluk agama yang batil. Adapun AhliKitab baik dari Arab maupun `ajam, maka merekatidak boleh dipaksa memeluk Islam selama mereka

demikian mereka tidak boleh dipaksa untukmemeluk Islam selama mau membayar jizyah(retribusi). Pendapat ini didukung oleh Imam

3 Abû Dâud Sulaimân ibn al-Asy’ats ibn Ishâq al-Sijistâni,Sunan Abî Dâud, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Arabi, t.th), Juz VII, h.291.

175 |

Ardiansyah: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah

Pemahaman Ulang terhadap ArgumentasiToleransi Beragama.

Membicarakan toleransi beragama, makaIslam lewat Alquran dan sunah sangat kayadengan prinsip dasar yang dapat dijadikanstandart dalam implementasinya. Karena itu, baikAlquran maupun sunah, haruslah dikaji denganbenar secara mendalam dan komprehensif denganmerujuk kepada pendapat ulama terdahulu danselanjutnya dielaborasi guna memenuhi kebutuhankontemporer. Terdapat sejumlah ayat Alquranyang selalu dijadikan argumen toleransi beragama,namun sering kali pula pemahaman terhadap ayattersebut diselewengkan dan dipaksakan. Sehinggakesimpulan yang dihasilkan pun menyimpang danterkesan dipaksakan untuk mendukung pemikirankelompok tertentu.

Di antara ayat Alquran yang kerap dijadikanargumentasi toleransi beragama adalah firmanAllah Swt:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benardaripada jalan yang sesat…”. (QS. al-Baqarah[2]: 256).

Menurut Imam al-Qurthubi (w. 671 H), paraulama berbeda pendapat dalam memahamipengertian “Tidak ada paksaan untuk (memasuki)agama (Islam)…”. Pendapat pertama, riwayatdari Ibnu Mas`ud ra. dan merupakan pendapatmayoritas mufassirîn bahwa ayat ini mansûkhdengan ayat-ayat yang memerintahkan nabiMuhammad saw untuk memerangi orang kafirdan munafik yang menolak masuk Islam. Adapunayat yang menasakhnya antara lain firman-Nya:

“Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafirdan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslahterhadap mereka...”(QS. al-Taubah [10]: 73).

Adapun pendapat kedua, bahwa ayat tersebutditujukan khusus kepada Ahli Kitab, dengan

al-Sya`bi, Qatadah, dan al-Hasan al-Bashri dan al-Dhahhâk. Ketiga, bahwa ayat tersebut dikhususkankepada kaum Anshar saja. Hal ini berdasarkansebab turun ayat tersebut bahwa ada seorangwanita Anshar yang setiap kali melahirkan anak,maka anaknya itu meninggal dunia. Sehinggaia bernazar sekiranya kelak ia memiliki anak,maka ia akan menjadikannya seorang Yahudi.Namun, ketika Bani Nadhir memeluk Islam danmereka pun masuk Islam, anak-anak mereka masihberagama Yahudi. Maka mereka bertekad untuktidak membiarkan begitu saja agama anak-anakmereka tersebut. Maka turunlah ayat ini. (HR.Abu Daud).3 Pendapat ini didukung oleh Sa‘îdbin Jubair dan Mujâhid.

Sementara pendapat keempat, yaitu pendapatImam al-Suddi, bahwa ayat ini turun karenaperistiwa yang terjadi menimpa keluarga Abu al-Husain. Ia memiliki dua orang anak yang berprofesisebagai pedagang minyak wangi. Ketika pedagangdari Syam datang ke Madinah membawa barangdagangannya, salah seorang dari pedangangitu berhasil membujuk kedua anaknya tersebutmemeluk Nashrani dan membawa merekake Syam. Maka sang ayah sangat sedih danmengadukan prihal kejadian tersebut kepadaNabi saw. Ketika Nabi saw hendak mengutusseseorang untuk mengembalikan kedua anaktersebut, maka turunlah ayat ini.

Pendapat kelima, adalah pendapat ImamMalik bahwa ayat ini ditujukan kepada tawananperang yang berasal dari Ahli Kitab (Yahudi atauNashrani), maka mereka tidak boleh dipaksamemeluk Islam. Namun, jika mereka dari kalanganpaganis (penyembah berhala) atau Majusi, baikdari golongan muda maupun tua, maka merekaboleh dipaksa untuk memeluk Islam. Denganasumsi bahwa mereka belum memiliki agama,sehingga mereka boleh dipaksa untuk memelukagama yang benar yaitu Islam, dan agar merekatidak memeluk agama yang batil. Adapun AhliKitab baik dari Arab maupun `ajam, maka merekatidak boleh dipaksa memeluk Islam selama mereka

demikian mereka tidak boleh dipaksa untukmemeluk Islam selama mau membayar jizyah(retribusi). Pendapat ini didukung oleh Imam

3 Abû Dâud Sulaimân ibn al-Asy’ats ibn Ishâq al-Sijistâni,Sunan Abî Dâud, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Arabi, t.th), Juz VII, h.291.

175 |

Page 4: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

mau membayar jizyah.4 Penjelasan pendapat-pendapat ulama ini juga ditemukan dalam tafsirIbnu Katsir (w. 774 H).5

Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkanbahwa pada prinsipnya Allah Swt memerintahkankepada “Pemerintahan Islam” untuk memaksaorang-orang kafir dan munafik memeluk Islam.Namun, khusus bagi Ahli Kitab (Yahudi danNasrani) yang mau membayar jizyah, tidakboleh dipaksa masuk Islam, sebaliknya hak-hakmereka wajib dilindungi. Sedangkan penganutkepercayaan dan agama lain boleh untuk dipaksamemeluk Islam, dengan asumsi bahwa merekabelum memiliki agama, sekalipun mereka maumembayar jizyah.

Namun demikian, dalam proses mengajakmanusia ke jalan Allah, umat Islam haruslahmenggunakan strategi dakwah yang menyentuhdan damai serta menghindari kekerasan dantindakan anarkis. Dakwah yang santun dan hikmahakan mendapatkan sambutan positif dan sekaligusmenghindarai pencitraan negatif terhadap Islamitu sendiri. Sesuai dengan firman-Nya:“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu denganhikmah dan nasehat yang baik dan bantahlahmereka dengan cara yang baik. SesungguhnyaTuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentangsiapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yanglebih mengetahui orang-orang yang mendapatpetunjuk.” (QS. al-Nahl [16]: 125).

Hal ini menjadi sangat penting khususnyapada masa kini. Tindakan kekerasan danpemaksaan yang dilakukan oleh penganut suatuagama dengan dalih apa pun dapat menyebabkankontra produktif. Dengan kata lain, sikap itudapat menimbulkan kebencian dan penolakansekalipun yang disampaikan adalah benar. Dalampada itu, strategi dakwah dengan pendekatanhumanis serta makruf ternyata lebih efektif dalammengajak umat manusia ke jalan Allah.

Menyampaikan ajaran Islam lewat dakwah

4 Abû `Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakr al-Anshâri al-Qurthûbî, al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân, (Riyâdh: Dâr`Âlam al-Kutub, 2003), Juz III, h. 280-281.

5 Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyial-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm, (al-Madinah al-Munawwarah: Dâr al-Thaibah, 1999), Juz I, h. 683.

tanpa pemaksaan terhadap orang lain tidak-lah bertentangan dengan prinsip toleransi ber-agama atau kebebasan beragama. Jika toleransiberagama dimaknai dengan meninggalkandakwah karena menghargai dan menghormatiagama yang lain, maka hal tersebut bertentangandengan perintah Allah pada ayat di atas. Sebab,Allah Swt telah memerintahkan kepada NabiMuhammad saw dan umatnya untuk mengajakmanusia ke jalan Allah dengan cara yang baikdan bijaksana. Dakwah yang dilakukan dengancara yang damai dan simpatik tanpa kekerasandan paksaan telah dipraktekkan Nabi saw ketikapembebasan kota Mekah yang menghasilkanprestasi gemilang yaitu seluruh penduduk Mekahmemeluk Islam. Demikian pula dengan perjanjiandamai dengan kaum Yahudi di Madinah yangtertuang dalam Piagam Madinah merupakanpraktek nyata dari toleransi beragama, tanpameninggalkan dakwah. Bahkan sikap arif danbijaksana Nabi saw yang tertuang dalam PiagamMadinah menarik simpatik kaum Yahudi danPaganis di Madinah, sehingga mereka mengakuieksistensi kepemimpinan beliau. Jadi, dapatdisimpulkan bahwa umat Islam memiliki tugasuntuk mendakwahkan ajaran Islam dengan caradamai dan bijaksana serta tidak mencederaikebebasan beragama itu sendiri.

Catatan penting lainnya berkenaan dengantoleransi beragama adalah bahwa toleransiberagama tidak berarti semua agama sama danmesti mengakui kebenaran agama yang berbedadengan keyakinannya. Bahkan jika itu harusdilakukan, maka hal tersebut bertentangandengan toleransi beragama itu sendiri. Toleransitercipta karena ada perbedaan, jika semuanyasama, maka tidak perlu lagi ada toleransi. Selainitu, toleransi beragama itu sendiri mengandungmakna kebebasan untuk menjalankan ibadahmenurut keyakinan agama masing-masing,bukan pengakuan terhadap kebenaran semuaagama.

Terkesan dari wacana yang dibangun olehsebagian tokoh Islam Liberal, adanya upaya untukmenyamakan pengertian toleransi beragamadengan pengakuan kebenaran terhadap agama-agama khususnya Yahudi dan Nasrani sebagai

| 176

Page 5: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

Ardiansyah: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah

agama samawi.6 Upaya itu mereka lakukandengan dengan menyetir penafsiran terhadapayat suci Alquran seperti dalam surah al-Baqarah[2]: 62 dan al-Mâidah [5]: 44-48 dan ayat 69. Ayat-ayat ini ditafsirkan sebagai bentuk pengakuanAlquran terhadap kebenaran dan kesinambunganagama Yahudi dan Nasrani sekalipun telah datangagama Islam yang dibawa nabi Muhammad saw.Pemikiran seperti ini mengarah kepada pluralismeberagama bukan toleransi beragama.

Pluralisme agama tidaklah mencerminkandan berbeda dengan pengertian toleransiberagama. Sebab toleransi beragama berartibahwa setiap orang berhak dan merdeka untukmenyatakan bahwa agama yang dianutnya benar.Berbeda dengan wacana pemikiran yang kerapdisuarakan kelompok pluralisme agama bahwaseluruh agama sama dan mengajarkan kebaikan.Karena itu, menurut mereka, bagian daritoleransi beragama adalah pengakuan bahwapengikut agama selain Islam masuk surga danboleh mengikuti kebaktian agama lain sepertimengikuti perayaan natal.7 Oleh sebab itu,tidak mengherankan jika kaum liberal itu adalahkelompok terdepan dalam membela penistaanagama Islam yang dilakukan oleh Ahmadiyah,dengan dalih kebebasan dan toleransi beragama.Apakah jika terdapat penafsiran berbeda denganmainstream penafsiran mayoritas ulama tentang

6 Wacana pengakuan dan keselamatan umat non Muslimserta non muslim masuk surga dipaparkan oleh Abd. MoqsithGhazali dalam bukunya dengan pernyataan sebagai berikut:“Agama yang satu tidak membatalkan agama yang lain, karenasetiap agama lahir dalam konteks historis dan tantangannyasendiri. Walau begitu, semua agama terutama yang beradadalam rumpun tradisi Abrahamik, mengarah kepada tujuan yangsama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat.Dengan memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaaneksoterik agama-agama mestinya tidak perlu dirisaukan.Kesamaan tujuan ini pula yang menyebabkan Islam disampingmelakukan afirmasi terhadap prinsip-prinsip ajaran agamasebelumnya, sekaligus memberi pengakuan teologis mengenaikeselamatan para pengikut agama lain itu.” Lihat Abd. MoqsithGhazali, Argumentasi Pluralisme Agama; Membangun Toleransi

suatu ayat, misalnya tentang kedudukan nabiMuhammad saw sebagai penutup para nabidan rasul, dianggap perbedaan itu sesuatuyang harus diterima atas nama toleransi internumat beragama? Tentu jawabannya, tidak! Jadi,toleransi bukan berarti kebebasan beragamatanpa batasan dan aturan. Segala sesuatumestilah ada aturannya. Ketika aturan danbatasan itu dilampaui, maka meluruskannyatidaklah bertentangan dengan makna kebebasanberagama dan tidak pula disebut denganpemaksaan berkeyakinan.

Penafsiran ayat-ayat di atas dengan pe-ngakuan keselamatan bagi umat di luar Islam,tentunya keliru. Sebab, penafsiran seperti ituakan menafikan ayat-ayat Alquran lainnya sepertifirman Allah: “Sesungguhnya agama (yang diridhai)di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab (Yahudi danNasrani) kecuali sesudah datang pengetahuankepada mereka, karena kedengkian (yang ada)di antara mereka. Siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepathisab-Nya.” (QS. Âli Imrân [3]: 19). KeabadianIslam sebagai satu-satunya syariat yang benar jugaditegaskan baginda Nabi saw dalam sabdanya:“Kelak akan turun ‘Isa anak Maryam saw yangakan menjadi pemimpin yang adil, mematahkansalib dan membunuh babi”. (HR. Muslim). ImamMuslim menyebutkan beberapa riwayat hadis lainyang menjelaskan bahwa kelak ketika nabi ‘Isaturun ke bumi akan melaksanakan syariat nabiMuhammad saw dan berhukum dengan Alquran.8

Menurut al-Zamakhsyari, ayat di atas me-rupakan publikasi Allah Swt kepada manusiabahwa Islam adalah agama keadilan dan tauhid.Islam adalah satu-satunya ajaran yang diakuikebenarannya oleh Allah Swt.9 Senada denganpenyataan tersebut, Imam Ibnu Katsîr menegaskanbahwa keimanan kaum Yahudi dan Nasraniberakhir dengan kehadiran agama Islam yang

Berbasis al-Qur’an, (Depok: Penerbit KataKita, 2009), h. 240-241.7 Dalam hal ini Abd. Moqsith menegaskan bahwa me-

rayakan natal bagi umat Islam dibolehkan, maka apalagisekedar mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani.Mengucapkan selamat natal tak hanya diberikan kepada umatKristiani, melainkan juga kepada orang-orang yang mengimanikenabian Isa al-Masih, termasuk umat Islam. Abd. MoqsithGhazali, Argumentasi Pluralisme…, h. 269.

8 Lebih lanjut lihat Kitab Shahîh Muslim ibn Hajjâj padakitab al-Îmân; bab Nuzul ‘Isa ibn Maryam Hâkiman bi Syarî’atiNabiyyina Muhammad saw, hadis no. 220-225.

9 Abû al-Qâsim Mahmud ibn `Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf `an Haqâ’iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts al-`Arabi,t.th.), Juz I, h. 373.

177 |

Page 6: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

dibawa nabi Muhammad saw. Keimanan merekahanya dapat diterima hingga datang priode nabiMuhammad saw. Pada masa Muhammad saw,orang-orang yang tidak mengikuti ajarannya dantidak pula mau meninggalkan sunnah Isa as. dankitab Injil, maka mereka akan binasa.10

Dari kedua pendapat ulama tafsir ter-kemuka tersebut, jelaslah bahwa kehadiranIslam mengakhiri masa berlaku agama samawisebelumnya yaitu Yahudi dan Nasrani. AgamaIslam yang dibawa nabi Muhammad saw adalahsatu-satunya agama yang benar dan diridhai AllahSwt. Keyakinan seperti ini tentunya sama sekalitidak bertentangan dengan toleransi beragamadan tidak pula mengekang kebebasan beragamaseseorang. Sebab, sekali lagi, toleransi beragamabukan berarti pengakuan terhadap kebenaranseluruh agama atau yang sering disebut denganistilah pluralisme agama.

Adapun ayat lain yang sering dijadikanlandasan toleransi beragama adalah firman-Nya:

Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,tentulah beriman semua orang yang di muka bumiseluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksamanusia supaya mereka menjadi orang-orang yangberiman semuanya? (QS. Yûnus [10]: 99).

Menurut Syaikh Mutawalli al-Sya`rawibahwa ayat ini menegaskan hanya Allah Swtyang mampu memaksakan keimanan masuk kedalam hati seseorang. Namun, Allah Swt tidakmelakukan pemaksaan itu, sebab pemaksaankeimanan seperti itu mencerminkan sifat “al-qudrah” dan “al-qahhâr” (kekuasaan danpemaksaan) bukan mencerminkan sikap “al-mahabbah” (cinta dan kasih sayang). Padahal,Allah Swt hanya menghendaki keimanan yangmuncul dari kecintaan bukan paksaan kekuasaan.Karena itu pula, Allah membiarkan hamba-hamba-Nya untuk memilih antara beriman atau tidak.Sebab, dengan keimanan yang tidak dipaksakanitulah muncul keimanan yang tulus.11 Menurut Al-

10 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân…, Juz. I, h. 284.11 Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi, Tafsîr al-Sya`râwi,

Biqâ’î (w. 885 H) bahwa ayat ini bertujuan untukmenghibur (tasliyah) Nabi saw yang merasakankesedihan yang mendalam apabila dakwah yangia sampaikan ditolak. Sebab, beliau senantiasamengharapkan kesediaan mereka untuk mengikutiajaran agama yang disampaikannya.12

Dalam pada itu, dari ayat di atas juga dapatdipahami bahwa perbedaan agama merupakankeniscayaan dalam kehidupan ini, sehinggamustahil terjadi penyatuan akidah manusia dalamsatu masa. Sebab, Allah Swt tidak menghendakihal itu terjadi. Hal ini terbukti, Nabi saw sekalipuntidak mampu mengislamkan pamannya AbuThalib, Allah berfirman:

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberipetunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapiAllah memberi petunjuk kepada orang yangdikehendaki-Nya” (QS. al-Qashash [28]: 56).

Nabi Saw hanyalah penyampai ajaran agamaAllah Swt dan memberikan peringatan, sedangkanperkara hidayah adalah milik-Nya semata. Hal iniditegaskan dalam firman-Nya:

“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnyakamu hanyalah orang yang memberi peringatan.Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”(QS. al-Ghâsyiyah [88]: 21-22) .

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa ayattersebut lebih menegaskan kekuasaan Allah Swtdalam menguasai alam semesta ini dan sekaligussebagai hiburan kepada kekasih-Nya, bukanbentuk larangan kepada Nabi saw untuk memaksamanusia mengikuti ajarannya. Dengan demikian,penggunaan ayat ini dalam konteks toleransiberagama tidaklah tepat sepenuhnya. Sebab,ketidakmampuan Nabi saw dalam menyatukanmanusia dalam satu akidah dikarenakan AllahSwt tidak menghendakinya. Sekiranya Allah

(Mesir: Akhbâr al-Yaum, t.th), Juz XI, h. 4085.12 Al-Biqâ’î Ibrahim ibn Umar ibn Hasan al-Ribâth, Nazhm

al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 2003), Juz IV, h. 117.

| 178

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

dibawa nabi Muhammad saw. Keimanan merekahanya dapat diterima hingga datang priode nabiMuhammad saw. Pada masa Muhammad saw,orang-orang yang tidak mengikuti ajarannya dantidak pula mau meninggalkan sunnah Isa as. dankitab Injil, maka mereka akan binasa.10

Dari kedua pendapat ulama tafsir ter-kemuka tersebut, jelaslah bahwa kehadiranIslam mengakhiri masa berlaku agama samawisebelumnya yaitu Yahudi dan Nasrani. AgamaIslam yang dibawa nabi Muhammad saw adalahsatu-satunya agama yang benar dan diridhai AllahSwt. Keyakinan seperti ini tentunya sama sekalitidak bertentangan dengan toleransi beragamadan tidak pula mengekang kebebasan beragamaseseorang. Sebab, sekali lagi, toleransi beragamabukan berarti pengakuan terhadap kebenaranseluruh agama atau yang sering disebut denganistilah pluralisme agama.

Adapun ayat lain yang sering dijadikanlandasan toleransi beragama adalah firman-Nya:

Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,tentulah beriman semua orang yang di muka bumiseluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksamanusia supaya mereka menjadi orang-orang yangberiman semuanya? (QS. Yûnus [10]: 99).

Menurut Syaikh Mutawalli al-Sya`rawibahwa ayat ini menegaskan hanya Allah Swtyang mampu memaksakan keimanan masuk kedalam hati seseorang. Namun, Allah Swt tidakmelakukan pemaksaan itu, sebab pemaksaankeimanan seperti itu mencerminkan sifat “al-qudrah” dan “al-qahhâr” (kekuasaan danpemaksaan) bukan mencerminkan sikap “al-mahabbah” (cinta dan kasih sayang). Padahal,Allah Swt hanya menghendaki keimanan yangmuncul dari kecintaan bukan paksaan kekuasaan.Karena itu pula, Allah membiarkan hamba-hamba-Nya untuk memilih antara beriman atau tidak.Sebab, dengan keimanan yang tidak dipaksakanitulah muncul keimanan yang tulus.11 Menurut Al-

10 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân…, Juz. I, h. 284.11 Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi, Tafsîr al-Sya`râwi,

Biqâ’î (w. 885 H) bahwa ayat ini bertujuan untukmenghibur (tasliyah) Nabi saw yang merasakankesedihan yang mendalam apabila dakwah yangia sampaikan ditolak. Sebab, beliau senantiasamengharapkan kesediaan mereka untuk mengikutiajaran agama yang disampaikannya.12

Dalam pada itu, dari ayat di atas juga dapatdipahami bahwa perbedaan agama merupakankeniscayaan dalam kehidupan ini, sehinggamustahil terjadi penyatuan akidah manusia dalamsatu masa. Sebab, Allah Swt tidak menghendakihal itu terjadi. Hal ini terbukti, Nabi saw sekalipuntidak mampu mengislamkan pamannya AbuThalib, Allah berfirman:

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberipetunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapiAllah memberi petunjuk kepada orang yangdikehendaki-Nya” (QS. al-Qashash [28]: 56).

Nabi Saw hanyalah penyampai ajaran agamaAllah Swt dan memberikan peringatan, sedangkanperkara hidayah adalah milik-Nya semata. Hal iniditegaskan dalam firman-Nya:

“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnyakamu hanyalah orang yang memberi peringatan.Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”(QS. al-Ghâsyiyah [88]: 21-22) .

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa ayattersebut lebih menegaskan kekuasaan Allah Swtdalam menguasai alam semesta ini dan sekaligussebagai hiburan kepada kekasih-Nya, bukanbentuk larangan kepada Nabi saw untuk memaksamanusia mengikuti ajarannya. Dengan demikian,penggunaan ayat ini dalam konteks toleransiberagama tidaklah tepat sepenuhnya. Sebab,ketidakmampuan Nabi saw dalam menyatukanmanusia dalam satu akidah dikarenakan AllahSwt tidak menghendakinya. Sekiranya Allah

(Mesir: Akhbâr al-Yaum, t.th), Juz XI, h. 4085.12 Al-Biqâ’î Ibrahim ibn Umar ibn Hasan al-Ribâth, Nazhm

al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 2003), Juz IV, h. 117.

| 178

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

dibawa nabi Muhammad saw. Keimanan merekahanya dapat diterima hingga datang priode nabiMuhammad saw. Pada masa Muhammad saw,orang-orang yang tidak mengikuti ajarannya dantidak pula mau meninggalkan sunnah Isa as. dankitab Injil, maka mereka akan binasa.10

Dari kedua pendapat ulama tafsir ter-kemuka tersebut, jelaslah bahwa kehadiranIslam mengakhiri masa berlaku agama samawisebelumnya yaitu Yahudi dan Nasrani. AgamaIslam yang dibawa nabi Muhammad saw adalahsatu-satunya agama yang benar dan diridhai AllahSwt. Keyakinan seperti ini tentunya sama sekalitidak bertentangan dengan toleransi beragamadan tidak pula mengekang kebebasan beragamaseseorang. Sebab, sekali lagi, toleransi beragamabukan berarti pengakuan terhadap kebenaranseluruh agama atau yang sering disebut denganistilah pluralisme agama.

Adapun ayat lain yang sering dijadikanlandasan toleransi beragama adalah firman-Nya:

Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,tentulah beriman semua orang yang di muka bumiseluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksamanusia supaya mereka menjadi orang-orang yangberiman semuanya? (QS. Yûnus [10]: 99).

Menurut Syaikh Mutawalli al-Sya`rawibahwa ayat ini menegaskan hanya Allah Swtyang mampu memaksakan keimanan masuk kedalam hati seseorang. Namun, Allah Swt tidakmelakukan pemaksaan itu, sebab pemaksaankeimanan seperti itu mencerminkan sifat “al-qudrah” dan “al-qahhâr” (kekuasaan danpemaksaan) bukan mencerminkan sikap “al-mahabbah” (cinta dan kasih sayang). Padahal,Allah Swt hanya menghendaki keimanan yangmuncul dari kecintaan bukan paksaan kekuasaan.Karena itu pula, Allah membiarkan hamba-hamba-Nya untuk memilih antara beriman atau tidak.Sebab, dengan keimanan yang tidak dipaksakanitulah muncul keimanan yang tulus.11 Menurut Al-

10 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân…, Juz. I, h. 284.11 Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi, Tafsîr al-Sya`râwi,

Biqâ’î (w. 885 H) bahwa ayat ini bertujuan untukmenghibur (tasliyah) Nabi saw yang merasakankesedihan yang mendalam apabila dakwah yangia sampaikan ditolak. Sebab, beliau senantiasamengharapkan kesediaan mereka untuk mengikutiajaran agama yang disampaikannya.12

Dalam pada itu, dari ayat di atas juga dapatdipahami bahwa perbedaan agama merupakankeniscayaan dalam kehidupan ini, sehinggamustahil terjadi penyatuan akidah manusia dalamsatu masa. Sebab, Allah Swt tidak menghendakihal itu terjadi. Hal ini terbukti, Nabi saw sekalipuntidak mampu mengislamkan pamannya AbuThalib, Allah berfirman:

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberipetunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapiAllah memberi petunjuk kepada orang yangdikehendaki-Nya” (QS. al-Qashash [28]: 56).

Nabi Saw hanyalah penyampai ajaran agamaAllah Swt dan memberikan peringatan, sedangkanperkara hidayah adalah milik-Nya semata. Hal iniditegaskan dalam firman-Nya:

“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnyakamu hanyalah orang yang memberi peringatan.Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”(QS. al-Ghâsyiyah [88]: 21-22) .

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa ayattersebut lebih menegaskan kekuasaan Allah Swtdalam menguasai alam semesta ini dan sekaligussebagai hiburan kepada kekasih-Nya, bukanbentuk larangan kepada Nabi saw untuk memaksamanusia mengikuti ajarannya. Dengan demikian,penggunaan ayat ini dalam konteks toleransiberagama tidaklah tepat sepenuhnya. Sebab,ketidakmampuan Nabi saw dalam menyatukanmanusia dalam satu akidah dikarenakan AllahSwt tidak menghendakinya. Sekiranya Allah

(Mesir: Akhbâr al-Yaum, t.th), Juz XI, h. 4085.12 Al-Biqâ’î Ibrahim ibn Umar ibn Hasan al-Ribâth, Nazhm

al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 2003), Juz IV, h. 117.

| 178

Page 7: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

Ardiansyah: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah

menghendaki hal itu terjadi, pastilah Nabi sawmampu mengislamkan seluruh umat manusiapada masa itu.

Selain itu, fakta sejarah yang tidak ter-bantahkan adalah bahwa Nabi saw senantiasaberdakwah kepada kaumnya agar merekamengikuti ajaran yang dibawanya. SekiranyaNabi saw memahami makna toleransi beragamadengan mengakui kebenaran ajaran agama selainIslam, niscaya beliau tidak mengajak merekamemeluk Islam. Kalaupun dikatakan bahwa seruandakwah Nabi saw tersebut lebih disebabkanpenyelewengan kandungan Taurat dan Injil yangdilakukan kaum Yahudi pada masa itu. Maka halini semakin menguatkan bahwa selain ajaranIslam, tidaklah selayaknya dianut atau diyakini.Sebab, sumbernya sudah tidak otentik dan tidakvalid lagi. Setiap orang yang menggunakan akalsehatnya, pastilah memilih ajaran agama yangterjamin otentisitas dan validitas sumbernya(Alquran), daripada agama yang sumbernya telahtercemar dengan tangan jahil manusia (Tauratdan Injil).

Dari paparan seputar argumentasi toleransiberagama, maka dapatlah disimpulkan beberapaprinsip dasar toleransi beragama sebagai berikut:

1. Bahwa toleransi beragama berarti meng-hormati dan menghargai kemerdekaanberagama bagi pemeluknya. Sesuai denganfirman-Nya: “Untukmu agamamu, dan untuk-kulah agamaku.” (QS. al-Kâfirûn [109]: 6).

2. Toleransi beragama berarti menjaminkemerdekaan setiap individu untuk memilihsuatu keyakinan tanpa ada paksaan dantekanan, serta berhak meyakini bahwa agamayang dipeluknya adalah benar.

3. Seruan dakwah yang disampaikan kepadamanusia tidaklah bertentangan denganpengertian toleransi beragama, selamadakwah yang disampaikan dengan cara damaidan tidak memaksa serta anarkis.

4. Prinsip toleransi beragama bukan berartibahwa umat beragama harus mengakuikebenaran seluruh agama yang ada. Jikademikian, maka hal itu bertentangan denganprinsip toleransi beragama itu sendiri. Setiap

orang berhak mempercayai bahwa agamayang dia peluk adalah agama yang benar.Dengan demikian, orang harus menghormatikepercayaan dan pilihan orang lain yangberbeda. Namun perlu dicatat bahwa sungguhsangat aneh lagi naif, jika ada seorang muslimyang mau mengakui kebenaran agama laindengan sukarela.

5. Bahwa dakwah yang disampaikan dengandamai dan bijaksana akan menghasilkan simpatidan melestarikan harmonisasi beragama itusendiri. Terbukti dengan keteladanan yangdipraktekkan Nabi saw di negara Madinahyang akan dibahas berikut ini.

Piagam Madinah dan Praktek NyataToleransi Beragama.

Dewasa ini, banyak kalangan yang me-nyuarakan kebebasan beragama dengan dalihHak Asasi Manusia (HAM). Mereka lupa kalauNabi Muhammad saw telah mempraktekkantoleransi beragama itu lebih dari 14 abad yanglalu. Toleransi beragama tersebut tertuang dalam“Piagam Madinah” yang ditetapkan pada tahun622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satunegara pun yang memiliki peraturan bagaimanacara mengatur hubungan antara umat beragama.Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sudahjelas mengatur hubungan tersebut:

Pasal 16: “bahwa sesungguhnya kaum-bangsaYahudi yang setia kepada (negara) kita, berhakmendapat bantuan dan perlindungan, tidakboleh dikurangi haknya dan tidak bolehdiasingkan dari pergaulan umum.”

Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudimemikul biaya bersama-sama dengan kaumberiman, selama negara dalam peperangan.”

Pasal 25: “(1) Kaum Yahudi dari suku Banu`Auf adalah satu bangsa negara (ummah)dengan warga yang beriman. (2) Kaum Yahudibebas memeluk agama mereka, sebagai kaummuslimin bebas memeluk agama mereka. (3)Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan dirimereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yangmengacaukan dan berbuat kejahatan, yangmenimpa diri orang yang bersangkutan dankeluarganya”.

179 |

Page 8: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Menurut Munawir Sjadzali bahwa batu-batudasar telah diletakkan oleh Piagam Madinahsebagai landasan bagi kehidupan bernegara untukmasyarakat majemuk di Madinah adalah:

1. Semua pemeluk Islam, meskipun berasaldari banyak suku, tetapi merupakan satukomunitas.

2. Hubungan antar sesama anggota komunitasIslam dan antara anggota komunitas Islamdengan anggota komunias lain didasarkanatas prinsip-prinsip: a) bertetangga baik; b)saling membantu dalam menghadapi musuhbersama; c) membela mereka yang teraniaya;d) saling menasehati; e) menghormati ke-bebasan beragama.13

Disebut piagam atau charter karena isinyamengakui hak-hak kebebasan beragama danberkeyakinan, kebebasan berpendapat dankehendak umum warga Madinah supaya keadilanterwujud dalam kehidupan mereka, mengaturkewajiban-kewajiban kemasyarakatan semuagolongan, menetapkan pembentukan persatuandan kesatuan semua warga dan prinsip-prinsipnyauntuk menghapuskan tradisi dan peraturankesukuan yang tidak baik. Disebut konstitusi(constitution) karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepemimpinan umumdan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untukmembentuk suatu masyarakat dan pemerintahansebagai wadah persatuan penduduk Madinah.14

Nabi Muhammad saw telah berinteraksisecara intensif dengan seluruh kelompok agamaseperti Paganis (penyembah berhala), Yahudidan Nasrani, budaya-budaya yang berlaku secaradominan di tengah-tengah masyarakat Arab, sertakekuatan-kekuatan politik terbesar ketika ituseperi Romawi dan Persia. Ayat-ayat Alquran yangberbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia,Romawi, menggambarkan bagaimana kaummuslim telah digembleng dan diberi pedomanyang sangat gamblang dalam menyikapi budayadan agama di luar Islam. Bahkan, Alquran juga

tidak melarang kaum Muslimin untuk berbuatbaik terhadap kaum agama lain selama merekatidak memusuhi umat islam. Sejak awal, umatIslam sudah diajarkan untuk menerima kesadaranakan keberagaman dalam agama (pluralitas).Misalnya firman Allah Swt berikut ini: “Allah tidakmelarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adilterhadap orang-orang yang tiada memerangimukarena agama dan tidak (pula) mengusir kamudari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukaiorang-orang yang berlaku adil. SesungguhnyaAllah hanya melarang kamu menjadikan sebagaikawanmu orang-orang yang memerangimu karenaagama dan mengusir kamu dari negerimu, danmembantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dansiapa menjadikan mereka sebagai kawan, makamereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahanah [60]: 8-9).15

Paling tidak, ayat di atas menjelaskan bahwaAllah Swt tidak melarang nabi-Nya dan kaummuslimin untuk berbuat baik dan menjalinhubungan baik dengan orang-orang di luar Islamselama mereka tidak memerangi umat Islam.Ketika mereka memerangi atau mengusir dan/atau membantu mengusir umat Islam dari tanahairnya, maka Allah Swt melarang umat Islamuntuk menjadikan mereka sebagai teman. Dengandemikian, toleransi hanya tercipta ketika keduabelah pihak saling menghormati dan menghargaiajaran agama yang lain. Ketika salah satu pihaktidak menghormati apalagi sampai melecehkanajaran agama yang lain, maka akan terjadi konflikdan tidak terhindarkan lagi. Di sinilah ulama dantokoh agama memiliki peran penting dalammenjaga toleransi beragama di tengah-tengahmasyarakat.

Dalam menjalankan fungsi sebagai Rasulutusan Allah Swt dan pemimpin negara Madinah,nabi Muhammad saw telah memberikan suriteladan terbaik dalam hal toleransi beragama.Hal ini dapat dicermati dari kepemimpinan beliaudan segala aspek kehidupannya yang tercantumdalam sabdanya berikut ini:

13 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarahdan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 15-16.

14 Misrah, “Kebebasan Beragama dalam PerspektifHadis”, dalam Miqot Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. XIV No. 2,2010, h. 190.

15 Adian Husaini, “Piagam Madinah dan ToleransiBeragama”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari dengantema: “Implementasi Akhlak Rasulullah Saw dalam KehidupanBerkeluarga, Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara” diSasana Amal Bakti Kementerian Agama RI, 17 Maret 2010. h. 3.

| 180

Page 9: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

Ardiansyah: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah

“(Imam al-Bukhâri berkata) bahwa Qais bin Hafshtelah menyampaikan kepada kami (ia berkata) AbdulWahid telah menyampaikan kepada kami (ia berkata)al-Hasan bin Amru telah menyampaikan kepadakami (ia berkata), Mujâhid telah menyampaikankepada kami dari Abdullah bin `Amru ra. dari Nabisaw bersabda: “Siapa pun yang memerangi (kafir)mu`âhad, dia tidak akan mendapatkan wangi surga.Sesungguhnya wangi surga itu dapat dijangkau dariempat puluh tahun perjalanan” (HR. al-Bukhâri).16

Dalam hadis ini Nabi saw dengan tegasmelarang umatnya untuk membunuh mu`âhadatau dalam hadis lain disebut dengan ahlu al-dzimmah (Dzimmi). Adapun mu`âhad berarti orangatau kelompok di luar Islam yang mengadakanperjanjian damai dalam kurun waktu tertentu baikdengan membayar jizyah (retribusi) atau adanyajaminan dari sultan yang berkuasa atau merekahidup di wilayah kekuasaan umat Islam.17 Merekaberhak mendapatkan perlindungan sebagaimanakaum muslimin dan tidak boleh disakiti apalagidibunuh tanpa sebab yang benar. Bahkan jikamereka dibunuh tanpa sebab yang benar, makadiyah (dendanya) sama dengan membunuhseorang muslim. Hal ini ditegaskan dalam sabdaNabi saw berikut ini:

“Dari Ibnu `Umar ra. bahwasanya Nabi sawbersabda: “Diyah seorang dzimmi sama dengandiyah seorang muslim”. (HR. al-Baihaqi danAbdurrazzâq).18

16 Hadis ini diriwayatkan imam al-Bukhâri dalam kitabShahîhnya; kitâb al-Jizyah, bâb itsm man qatala mu`ahidanbighairi jurmin, hadis no. 2930.

17 Ibnu Hajar al-`Asqalâni Ahmad ibn `Ali Abû Fadhl al-Syâfi’î, Fath al-Bâri fî Syarhi Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1379H), Juz XII, h. 259.

18 Hadis ini diriwayatkan imam al-Baihaqi Abû Bakr Ahmad

Dalam kedua hadis diatas memaparkanbetapa kuat perlindungan Nabi saw terhadapkaum non Muslim yang hidup di wilayah Islam. Halini menegaskan praktek langsung dari toleransiberagama yang diajarkan Nabi saw di negaraMadinah kepada seluruh umat manusia. Nabi sawmenjalankan fungsinya sebagai nabi pemimpinagama, sekaligus pemimpin negara Madinah.Law inforcement menjadi agenda utamanyadengan menegakkan prinsip persamaan derajat dihadapan hukum. Rasulullah saw tidak membeda-bedakan hukum atas penduduk Madinah baikdari kalangan umat Islam maupun non Muslim.Menariknya, setelah dokumen perjanjian itudisosialisasikan kepada kaum Yahudi danlainnya, Nabi saw tidak membentuk polisi untukmengawasi dan menegakkan hukum atas orang-orang yang melanggarnya. Di sinilah kelebihanPiagam Madinah tersebut dimana Nabi sawmemberdayakan peran aktif dan kekuatanmasyarakat dalam menjaga keamanan. Hal inipula yang menumbuhkan rasa tanggung jawabsecara kolektif yang memperkokoh ketahananmasyarakat itu sendiri. Setiap orang bertanggungjawab memelihara keamanan dan mewujudkankeadilan dalam masyarakat Madinah. Namun,ketika terjadi perselisihan di tengah-tengahmasyarakat Madinah, maka dikembalikan kepadahukum Allah dan Rasul-Nya.19

Masyarakat Madani adalah “lukisan ideal”Islam masa lalu yang dikenal dengan masyarakatsalaf, yang telah melahirkan sebuah negara(state), yang sudah sangat maju dibandingkandengan negara-negara pada masanya atauyang pernah ada dalam sejarah sebelumnya. Inidigambarkan oleh Robert N. Bellah, sosiologAmerika terkemuka:

“Tidak lagi dapat dipersoalkan bahwa dibawah Nabi Muhammad saw, masyarakat

ibn al-Husain ibn Ali, Sunan al-Baihaqi al-Kubrâ, (India: MajlisDâ’irah al-Ma`ârif al-Nizhâmiyah al-Kâ’inah, 1344H), Juz VIII, h.102; dalam kitâb al-Diyât, bâb diyah ahl al-dzimmah, hadis no.16788. Sedangkan riwayat Abd al-Razzâq ibn Humam al-Shan’âni,Mushannaf Abd al-Razzâq, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1403 H),tahqiq Habiburrahman al-A`zhami, Juz VI, h. 128; dalam kitâb Ahlal-Kitâb, bâb Diyah al-Yahudi wa al-Nashrani, hadis no. 10226.

19 Akram Dhiyâ al-Dîn `Umari, Masyarakat Madani: TinjauanHistoris Kehidupan Zaman Nabi, terj. Mun’im A. Sirry, (Jakarta:Gema Insani Press, 1999), h. 130.

181 |

Ardiansyah: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah

“(Imam al-Bukhâri berkata) bahwa Qais bin Hafshtelah menyampaikan kepada kami (ia berkata) AbdulWahid telah menyampaikan kepada kami (ia berkata)al-Hasan bin Amru telah menyampaikan kepadakami (ia berkata), Mujâhid telah menyampaikankepada kami dari Abdullah bin `Amru ra. dari Nabisaw bersabda: “Siapa pun yang memerangi (kafir)mu`âhad, dia tidak akan mendapatkan wangi surga.Sesungguhnya wangi surga itu dapat dijangkau dariempat puluh tahun perjalanan” (HR. al-Bukhâri).16

Dalam hadis ini Nabi saw dengan tegasmelarang umatnya untuk membunuh mu`âhadatau dalam hadis lain disebut dengan ahlu al-dzimmah (Dzimmi). Adapun mu`âhad berarti orangatau kelompok di luar Islam yang mengadakanperjanjian damai dalam kurun waktu tertentu baikdengan membayar jizyah (retribusi) atau adanyajaminan dari sultan yang berkuasa atau merekahidup di wilayah kekuasaan umat Islam.17 Merekaberhak mendapatkan perlindungan sebagaimanakaum muslimin dan tidak boleh disakiti apalagidibunuh tanpa sebab yang benar. Bahkan jikamereka dibunuh tanpa sebab yang benar, makadiyah (dendanya) sama dengan membunuhseorang muslim. Hal ini ditegaskan dalam sabdaNabi saw berikut ini:

“Dari Ibnu `Umar ra. bahwasanya Nabi sawbersabda: “Diyah seorang dzimmi sama dengandiyah seorang muslim”. (HR. al-Baihaqi danAbdurrazzâq).18

16 Hadis ini diriwayatkan imam al-Bukhâri dalam kitabShahîhnya; kitâb al-Jizyah, bâb itsm man qatala mu`ahidanbighairi jurmin, hadis no. 2930.

17 Ibnu Hajar al-`Asqalâni Ahmad ibn `Ali Abû Fadhl al-Syâfi’î, Fath al-Bâri fî Syarhi Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1379H), Juz XII, h. 259.

18 Hadis ini diriwayatkan imam al-Baihaqi Abû Bakr Ahmad

Dalam kedua hadis diatas memaparkanbetapa kuat perlindungan Nabi saw terhadapkaum non Muslim yang hidup di wilayah Islam. Halini menegaskan praktek langsung dari toleransiberagama yang diajarkan Nabi saw di negaraMadinah kepada seluruh umat manusia. Nabi sawmenjalankan fungsinya sebagai nabi pemimpinagama, sekaligus pemimpin negara Madinah.Law inforcement menjadi agenda utamanyadengan menegakkan prinsip persamaan derajat dihadapan hukum. Rasulullah saw tidak membeda-bedakan hukum atas penduduk Madinah baikdari kalangan umat Islam maupun non Muslim.Menariknya, setelah dokumen perjanjian itudisosialisasikan kepada kaum Yahudi danlainnya, Nabi saw tidak membentuk polisi untukmengawasi dan menegakkan hukum atas orang-orang yang melanggarnya. Di sinilah kelebihanPiagam Madinah tersebut dimana Nabi sawmemberdayakan peran aktif dan kekuatanmasyarakat dalam menjaga keamanan. Hal inipula yang menumbuhkan rasa tanggung jawabsecara kolektif yang memperkokoh ketahananmasyarakat itu sendiri. Setiap orang bertanggungjawab memelihara keamanan dan mewujudkankeadilan dalam masyarakat Madinah. Namun,ketika terjadi perselisihan di tengah-tengahmasyarakat Madinah, maka dikembalikan kepadahukum Allah dan Rasul-Nya.19

Masyarakat Madani adalah “lukisan ideal”Islam masa lalu yang dikenal dengan masyarakatsalaf, yang telah melahirkan sebuah negara(state), yang sudah sangat maju dibandingkandengan negara-negara pada masanya atauyang pernah ada dalam sejarah sebelumnya. Inidigambarkan oleh Robert N. Bellah, sosiologAmerika terkemuka:

“Tidak lagi dapat dipersoalkan bahwa dibawah Nabi Muhammad saw, masyarakat

ibn al-Husain ibn Ali, Sunan al-Baihaqi al-Kubrâ, (India: MajlisDâ’irah al-Ma`ârif al-Nizhâmiyah al-Kâ’inah, 1344H), Juz VIII, h.102; dalam kitâb al-Diyât, bâb diyah ahl al-dzimmah, hadis no.16788. Sedangkan riwayat Abd al-Razzâq ibn Humam al-Shan’âni,Mushannaf Abd al-Razzâq, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1403 H),tahqiq Habiburrahman al-A`zhami, Juz VI, h. 128; dalam kitâb Ahlal-Kitâb, bâb Diyah al-Yahudi wa al-Nashrani, hadis no. 10226.

19 Akram Dhiyâ al-Dîn `Umari, Masyarakat Madani: TinjauanHistoris Kehidupan Zaman Nabi, terj. Mun’im A. Sirry, (Jakarta:Gema Insani Press, 1999), h. 130.

181 |

Ardiansyah: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah

“(Imam al-Bukhâri berkata) bahwa Qais bin Hafshtelah menyampaikan kepada kami (ia berkata) AbdulWahid telah menyampaikan kepada kami (ia berkata)al-Hasan bin Amru telah menyampaikan kepadakami (ia berkata), Mujâhid telah menyampaikankepada kami dari Abdullah bin `Amru ra. dari Nabisaw bersabda: “Siapa pun yang memerangi (kafir)mu`âhad, dia tidak akan mendapatkan wangi surga.Sesungguhnya wangi surga itu dapat dijangkau dariempat puluh tahun perjalanan” (HR. al-Bukhâri).16

Dalam hadis ini Nabi saw dengan tegasmelarang umatnya untuk membunuh mu`âhadatau dalam hadis lain disebut dengan ahlu al-dzimmah (Dzimmi). Adapun mu`âhad berarti orangatau kelompok di luar Islam yang mengadakanperjanjian damai dalam kurun waktu tertentu baikdengan membayar jizyah (retribusi) atau adanyajaminan dari sultan yang berkuasa atau merekahidup di wilayah kekuasaan umat Islam.17 Merekaberhak mendapatkan perlindungan sebagaimanakaum muslimin dan tidak boleh disakiti apalagidibunuh tanpa sebab yang benar. Bahkan jikamereka dibunuh tanpa sebab yang benar, makadiyah (dendanya) sama dengan membunuhseorang muslim. Hal ini ditegaskan dalam sabdaNabi saw berikut ini:

“Dari Ibnu `Umar ra. bahwasanya Nabi sawbersabda: “Diyah seorang dzimmi sama dengandiyah seorang muslim”. (HR. al-Baihaqi danAbdurrazzâq).18

16 Hadis ini diriwayatkan imam al-Bukhâri dalam kitabShahîhnya; kitâb al-Jizyah, bâb itsm man qatala mu`ahidanbighairi jurmin, hadis no. 2930.

17 Ibnu Hajar al-`Asqalâni Ahmad ibn `Ali Abû Fadhl al-Syâfi’î, Fath al-Bâri fî Syarhi Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1379H), Juz XII, h. 259.

18 Hadis ini diriwayatkan imam al-Baihaqi Abû Bakr Ahmad

Dalam kedua hadis diatas memaparkanbetapa kuat perlindungan Nabi saw terhadapkaum non Muslim yang hidup di wilayah Islam. Halini menegaskan praktek langsung dari toleransiberagama yang diajarkan Nabi saw di negaraMadinah kepada seluruh umat manusia. Nabi sawmenjalankan fungsinya sebagai nabi pemimpinagama, sekaligus pemimpin negara Madinah.Law inforcement menjadi agenda utamanyadengan menegakkan prinsip persamaan derajat dihadapan hukum. Rasulullah saw tidak membeda-bedakan hukum atas penduduk Madinah baikdari kalangan umat Islam maupun non Muslim.Menariknya, setelah dokumen perjanjian itudisosialisasikan kepada kaum Yahudi danlainnya, Nabi saw tidak membentuk polisi untukmengawasi dan menegakkan hukum atas orang-orang yang melanggarnya. Di sinilah kelebihanPiagam Madinah tersebut dimana Nabi sawmemberdayakan peran aktif dan kekuatanmasyarakat dalam menjaga keamanan. Hal inipula yang menumbuhkan rasa tanggung jawabsecara kolektif yang memperkokoh ketahananmasyarakat itu sendiri. Setiap orang bertanggungjawab memelihara keamanan dan mewujudkankeadilan dalam masyarakat Madinah. Namun,ketika terjadi perselisihan di tengah-tengahmasyarakat Madinah, maka dikembalikan kepadahukum Allah dan Rasul-Nya.19

Masyarakat Madani adalah “lukisan ideal”Islam masa lalu yang dikenal dengan masyarakatsalaf, yang telah melahirkan sebuah negara(state), yang sudah sangat maju dibandingkandengan negara-negara pada masanya atauyang pernah ada dalam sejarah sebelumnya. Inidigambarkan oleh Robert N. Bellah, sosiologAmerika terkemuka:

“Tidak lagi dapat dipersoalkan bahwa dibawah Nabi Muhammad saw, masyarakat

ibn al-Husain ibn Ali, Sunan al-Baihaqi al-Kubrâ, (India: MajlisDâ’irah al-Ma`ârif al-Nizhâmiyah al-Kâ’inah, 1344H), Juz VIII, h.102; dalam kitâb al-Diyât, bâb diyah ahl al-dzimmah, hadis no.16788. Sedangkan riwayat Abd al-Razzâq ibn Humam al-Shan’âni,Mushannaf Abd al-Razzâq, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1403 H),tahqiq Habiburrahman al-A`zhami, Juz VI, h. 128; dalam kitâb Ahlal-Kitâb, bâb Diyah al-Yahudi wa al-Nashrani, hadis no. 10226.

19 Akram Dhiyâ al-Dîn `Umari, Masyarakat Madani: TinjauanHistoris Kehidupan Zaman Nabi, terj. Mun’im A. Sirry, (Jakarta:Gema Insani Press, 1999), h. 130.

181 |

Page 10: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Arab telah membuat lompatan jauh ke depandalam kecanggihan sosial dan kapasitaspolitik. Tatkala struktur yang telah terbentukdikembangkan oleh para khalifah pertamauntuk meyediakan prinsip penyusunan suatuimperium dunia, hasilnya sesuatu masa dantempat yang sangat modern. Ia moderndalam hal tingginya tingkat komitmen,keterlibatan dan partisipasi yang diharap-kan dari kalangan rakyat jelata sebagaianggota masyarakat. Ia modern dalam halketerbukaan kepemimpinannya untuk dinilai,kemampuan mereka untuk landasan-landasanuniversalitas dan dilambangkan dalam upayamelembagakan kepemimpinan yang tidakbersifat turun temurun… Upaya orang-orang muslim modern untuk melukiskanmasyarakat dini tersebut sebagai contohyang sesungguhnya terlihat dari nilai-nilainasionalisme, partisipatif, dan egaliter yangsama sekali bukanlah suatu pembentukanideologis yang tidak historis, eksperimen ituterlalu modern pada masa itu.20

Nabi Muhammad saw sangat menyadarikemajemukan masyarakat kota Madinah padamasa itu, sehingga isi piagam tersebut, bukanhanya memperhatikan kepentingan umat Islamakan tetapi juga umat di luar Islam. Piagam itumenjadi landasan bagi tujuan utama beliau,yaitu mempersatukan penduduk Madinahsecara integral yang terdiri dari unsur-unsurheterogen. Kerja besar yang dibangun Nabisaw beserta para sahabatnya berupaya untuktidak hanya mempersatukan kaum Muslimin sajasecara eksklusif, akan tetapi membangun suatumasyarakat majemuk yang saling menghormatidalam perbedaan dan saling membahu dalamkebersamaan. Piagam ini sekaligus merupakankontrak sosial (contract social) pertama dalamsejarah umat manusia.

Prinsip dasar dari piagam ini perlu untukdikembangkan sehingga tidak sebatas catatansejarah, akan tetapi terimplementasi dalamkehidupan masyarakat dunia. Dengan caratersebut semboyan Islam rahmatan lil‘alamîntidak hanya tertulis sebatas semboyan akan

tetapi menjadi sikap yang dapat dirasakan olehumat lain.

Jika dicermati pasal-pasal dalam PiagamMadinah, maka dapat disimpulkan bahwapiagam ini memiliki tiga pilar utama; pertama,keadilan yaitu persamaan derajat dihadapanhukum. Kedua, toleransi beragama, dan ketigakebersamaan dalam senang maupun susah. Dalamimplementasi pilar-pilar tersebut, keterbukaanNabi saw dan partisipasi masyarakat merupakankunci keberhasilan baginda Nabi saw dalammemimpin penduduk Madinah yang selamaini terus berkecamuk dalam perang saudara.Ketetapan pasal demi pasal dalam piagam itu,menjamin hak semua kelompok sosial memperolehpersamaan dalam masalah-masalah umum, sosialdan politik sehingga dapat diterima oleh semuapihak, termasuk kaum Yahudi. Menurut Philip K.Hitti, fakta historis ini merupakan bukti nyatakemampuan Nabi Muhammad saw melakukannegosiasi dan konsolidasi dengan berbagaigolongan dan bangsa di Madinah.21

Prestasi Rasulullah saw dalam membangunperadaban yang unggul di Madinah dalam soalmembangun toleransi beragama kemudian diikutioleh Umar bin Khattab ra. yang pada tahun 636M menandatangani “Perjanjian Aelia” dengankaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yangmenang Perang, Umar bin Khattab ra. tidakmenerapkan politik pembantaian terhadap pihakKristen. Karen Armstrong memuji sikap Umarbin Khattab dan ketinggian sikap Islam dalammenaklukkan Jerusalem, yang belum pernahdilakukan para penguasa mana pun sebelumnya.

Karen Armstrong menegaskan:

“Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasihsayang dari penganut (agama) monoteistik,dibandingkan dengan semua penaklukJerusalem lainnya, dengan kemungkinanperkecualian pada Raja Daud. Ia memimpinsatu penaklukan yang sangat damai dan tanpatetesan darah, yang kota itu belum pernahmenyaksikannya sepanjang sejarahnya yangpanjang dan sering tragis. Saat kaum Kristenmenyerah, tidak ada pembunuhan di sana,

20 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi,(Jakarta: Paramadina, 1999). h. 92-93.

21 K. Ali, Sejarah Islam: Tarikh Pra-Modern, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 42

| 182

Page 11: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

Ardiansyah: Toleransi Beragama dalam Praktek Negara Madinah

tidak ada penghancuran properti, tidak adapembakaran simbol-simbol agama lain, tidakada pengusiran atau pengambil-alihan, dantidak ada usaha untuk memaksa pendudukJerusalem memeluk Islam. Jika sikap respekterhadap penduduk yang ditaklukkan dariKota Jarusalem itu dijadikan sebagai tandaintegritas kekuatan monoteistik, maka Islamtelah memulainya untuk masa yang panjangdi Jerusalem, dengan sangat baik tentunya”.22

Demikianlah pengakuan akan toleransiberagama telah dipraktekkan Nabi saw danpara khulafaur rasyidin. Fakta sejarah ini tidakterbantahkan, dan menjadi catatan manis sejarahperadaban Islam yang terukir dengan tintaemas. Jadi, ajaran dan tradisi Islam dipenuhidengan berbagai catatan tentang toleransiantar umat manusia. Ketinggian peradabanIslam pernah membawa rahmat bagi seluruhdunia. Karena itu pula, generasi Islam saatini harus mengkaji kembali peradaban Islamyang sesungguhnya guna menjawab berbagaitantangan kontemporer.

Penutup

Dewasa ini, hidup berdampingan denganberbagai perbedaan suku bangsa, agama,dan bahasa merupakan suatu keniscayaan.Kemajemukan ini tidak mungkin terbendungdan akan terus berkembang seiring dengankemajuan zaman. Islam telah memberikanpedoman untuk mengatur kemajemukanitu dan telah pula dipraktekkan oleh nabiMuhammad saw sebagimana tertuang dalamPiagam Madinah yang merupakan UUD dariNegara Madinah. Kemajemukan suku bangsa danagama juga ditemukan pada masa itu, dan Nabisaw mampu mengelola perbedaan itu menjadikekuatan. Banyak kalangan, bahkan di luar Islamsekalipun, mengakui bahwa Piagam Madinahmerupakan perjanjian politik pertama yangdisepakati antara berbagai kelompok masyarakatdi Madinah. Perjanjian ini menjadi rule modelbagi pemimpin yang berkuasa setelah itu untukmembangun kerjasama dan kesepahaman antara

22 Karen Armstrong, A History of Jerusalem: One City, ThreeFaiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), h. 228.

masyarakat. Tiga pilar keberhasilan Nabi sawdalam membangun negara Madinah ditengah-tengah kemajemukannya meliputi keadilan yaitupersamaan derajat dihadapan hukum, toleransiberagama, dan rasa tanggungjawab sertakebersamaan dalam senang maupun susah.

Pustaka Acuan`Asqalânî, Ahmad ibn `Ali Abû Fadhl al-Syâfi’î

ibn Hajar al-, Fath al-Bâri fî Syarh Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1379 H.

Ali, K., Sejarah Islam: Tarikh Pra-Modern, Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2000.

Armstrong, Karen, A History of Jerusalem: OneCity, Three Faiths, London: Harper CollinsPublishers, 1997.

Baihaqi, Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-,Sunan al-Baihaqi al-Kubrâ, India: Majlis Da’irahal-Ma`ârif al-Nizhâmiyah al-Kâ’inah, 1344 H.

Biqâ’î, Ibrahim ibn Umar ibn Hasan al-Ribâth al-,Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar,Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 2003.

Dhiyâ al-Dîn, Akram, Umari, Masyarakat Madani;Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, terj.Mun’im A. Sirry, Jakarta: Gema Insani Press,1999.

Ghazali, Abd. Moqsith, Argumentasi PluralismeAgama; Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, Depok: Penerbit KataKita, 2009.

Husaini, Adian, “Piagam Madinah dan ToleransiBeragama”, Makalah disampaikan dalamSeminar Sehari dengan tema: “ImplementasiAkhlak Rasulullah saw dalam KehidupanBerkeluarga, Bermasyarakat, Berbangsa danBernegara” di Sasana Amal Bakti KementerianAgama RI, pada tanggal 17 Maret 2010.

Katsîr, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn Umar ibn, Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm, al-Madînah al-Munawwarah:Dâr al-Thaibah, 1999.

Madjid, Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam EraReformasi, Jakarta: Paramadina, 1999. Misrah,

“Kebebasan Beragama dalam PerspektifHadis”, dalam Miqot, Jurnal Ilmu-ilmuKeislaman, Vol. XIV No. 2, 2010.

Qal`aji, M. Rawas, Mu`jam Lughât al-Fuqahâ’,Beirut: Dâr al-Nafâ’is, 1988.

Qurthûbî, Abû `Abdillâh Muhammad ibn Ahmad

183 |

Page 12: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

ibn Abî Bakr al-Anshâri al-, al-Jâmi‘ li Ahkâmal-Qur’ân, Riyâdh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 2003.

Shan`âni, Abd al-Razzaâ ibn Humam al-, MushannafAbd al-Razzâq, Beirut: al-Maktab al-Islâmi,1403 H.

Sijistâni, Abû Dâud Sulaimân ibn al-Asy`ats ibnIshâq al-, Sunan Abî Dâud, Beirut: Dâr al-Kitâbal-`Arabi, t.th.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran,

Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.Sya`râwi, Muhammad Mutawalli, Tafsîr al-Sya`râwi,

Mesir; Akhbâr al-Yaum, t.th.Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka, 2001.Zamakhsyari, Abû al-Qâsim Mahmud ibn Umar

al-Khawarizmi al-, al-Kasysyâf `an Haqâ’iq at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl,Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-`Arabi, t.th.

Page 13: TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH … · 2019. 10. 27. · TOLERANSI BERAGAMADALAM PRAKTEK NEGARAMADINAH (UPAYAMENGUNGKAP REALITASEJARAH NABAWIYAH) Ardiansyah Komisi Fatwa

Recommended