86 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
Diserahkan: 19 April 2020 Diterima: 20 April 2020 Diterbitkan: 07 Mei 2020
Ucapan Bahagia dan Hubungannya dengan
Khotbah di Bukit Secara Keseluruhan
Naomi Sapan, M.A.
Sekolah Tinggi Teologi Injil Bhakti Caraka
Abstract
The Beatitude is often misunderstood as a beautiful words yet irrelevant and impossible to
practice in daily life. However, in the context of the rest of the Sermon on the Mount and
Discourses of the entire book of Matthew, the Beatitude is important because the beatitude is
the fundamentally values of the citizens of the Kingdom of God. The happiness as the citizen of
God’s Kingdom is very began in their inner life because they are be connected to God, so the
happiness is only possible when the people have a fellowship with God. When the people of
the Kingdom of God be connected to the world and living in the daily life, their function as
salt and light to be realized in practical ethics that relating to all aspects of the social and
religious community where they are. Happiness is not related to ownership of something and also
not determined by the promise that follows it. Regarding that promise, it must be understood
eschatologically that is "already but not yet", it has begun but its fulfillment is towards the
future.
Keywords: Beatitude; Hope Eschatology; Sermon on the Mount; Ethics of the Kingdom of
God; already but not yet eschatology.
Abstrak
Ucapan Bahagia kerap disalah-pahami sebagai kata-kata yang indah dan ideal namun tidak
relevan dan musthail untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam konteks
bagian dari Khotbah di Bukit dan dari diskursus-diskursus Injil Matius secara keseluruhan,
Ucapan Bahagia menjadi penting karena Ucapan Bahagia adalah nilai-nilai mendasar dari
umat Kerajaan Allah. Kebahagiaan sebagai umat Kerajaan Allah adalah dimulai pertama
dalam batin mereka yang terhubung dengan Allah, sehingga kebahagiaan tersebut hanya
mungkin jika mereka ada dalam hubungan persekutuan dengan Allah. Ketika umat Kerajaan
Allah terhubung dengan dunia dan hidup dalam kehidupan keseharian mereka, maka fungsi
mereka sebagai garam dan terang dinyatakan dalam etika praktis yang terhubung dengan
seluruh aspek sosial dan komunitas agama dimana mereka berada. Kondisi “bahagia” tidak
terkait dengan kepemilikan pada sesuatu tetapi kebahagiaan ini adalah identitas mereka
sebagai warga Kerajaan Allah. Kebahagiaan tersebut juga tidak ditentukan oleh janji-janji
yang mengikuti. Berhubungan dengan janji-janji tersebut itu harus dipahami sebagai sebuah
pengharapan eskatologis “already but not yet”. Dia sudah terjadi tetapi pemenuhannya
mengarah ke masa depan yang menjaga mereka hidup sebagai orang yang berbahagia..
Kata Kunci: Ucapan Bahagia; Pengharapan Eskatologi; Khotbah di Bukit; Etika Kerajaan
Allah; eskatologi already but not yet
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
87 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
PENDAHULUAN
Adalah sesuatu yang tidak terbantahkan bahwa Matius 5-7 adalah bagian terpopuler
dari ajaran-ajaran Yesus dalam arti dampaknya melampaui batas-batas kekristenan, gereja
atau denominasi1 dan kepentingannya pada tema utama Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Pengajaran ini juga adalah khotbah terpanjang Yesus yang tercatat dan dikenal sebagai
Khotbah di Bukit. Nama yang diperkenalkan oleh Agustinus dari Hippo yang hidup tahun
354-430 Masehi. Namun konteks dari Khotbah di Bukit adalah Kerajaan Allah2 maka tidaklah
heran diskursus ini juga disebut Kunci Kebahagiaan atau Magna Carta Kerajaan. Juga disebut
Ringkasan dari Pengajaran Yesus.3 Tulisan ini akan memberikan pembahasan tentang
hubungan antara Ucapan Bahagia (5:3-12) dengan sisa Khotbah Yesus di Bukit (5:13-7:29).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Khotbah di Bukit
Khotbah di Bukit adalah bagian pertama dari lima diskursus dalam kitab Matius.4
Diskursus ini terbagi menjadi dua bagian besar yang didahului oleh Matius 4:23-5:1-2 sebagai
pendahuluan kepada diskursus Khotbah di Bukit seperti yang tampak berikut5:
1. Pendahuluan kepada Khotbah di Bukit (4:23-5:1-2)
2. Ucapan Bahagia sebagai Pengharapan Eskatologis Kerajaan Allah (5:3-12)
3. Kerajaan Allah: Manifestasi dari warga Kerajaan Allah (5:17-7:1-29).
Bagaimana memahami diskursus pertama dalam Matius ini mendapatkan tanggapn
berbeda dari berbagai kelompok Kristen. Singkatnya pandangan yang berbeda jatuh pada dua
sudut yang bertentangan; melihat bahwa Khotbah di Bukit dapat dilakukan oleh anugerah
Tuhan sementara yang lain mengatakan bahwa adalah sebuah kemustahilan untuk
1 Kita dapat melihat bagaimana khotbah ini menginspirasi Mohatman Gandi dari India. Dia banyak
mengutip ajaran Yesus dalam diskursus ini ketika menyampaikan perjuangan politik tanpa kekerasan atau
Ahimsa.
2 Matius dan Lukas memakai istilah yang berbeda. Matius memakai Kerajaan Surga, sementara Lukas
memakai Kerajaan Allah. Pada prinsipnya makna kedua istilah ini adalah sama bisa dipakai bergantian yang
mana Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga adalah hukum sekaligus pemerintahan Allah sebagai penyataan
kemurahan kehendak-Nya yang berdaulat. Sinclair B. Ferguson, Khotbah di Bukit: Cermin Kehidupan Sorgawi
di Tengah Dunia Berdosa. Surabaya: Penerbit Momentum, 2005), 2
3 David Iman Santoso. Teologi Matius. Intisari dan Aplikasinya. Malang: Literatur SAAT, 2009), 60
4 Kelima diskursus Matius adalah Khotbah di Bukit, Misi Yesus, Ucapan Parabola Yesus yang diambil
Yesus dari bangsa Israel, Kehidupan Gereja dan penghakiman terakhir, John P. Meier, Matthew (Wilmington,
Delware: Michael Glazier, Inc, 1985), vii-viii. 5 Diadaptasi dari beberapa sumber {Frank E. Gaebelein, TEBC: Matthew, Mark, Luke. Vol 8 (Grand
Rapid, Michigan: Regency, 1984), 51-52; W. D. Davies and Dale C. Allison. Matthew: A Shorter Commentary
(London-New York: T & T Clark International, 2004), 60}
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
88 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
melakukannya. David Iman Santoso meringkaskan lima pandangan tentang kemungkinan atau
kemustahilan ajaran ini diterapkan. Pandangan pertama adalah Pandangan Idealistik yang
mengatakan bahwa walaupun indah dan ideal tapi tidak realistis dan tidak relevan. Kedua,
Pandangan Lutheran, sebuah pandangan yang senada dengan Idealistik tapi bergeser sedikit
bahwa anugerah Tuhan akan memampukan. Namun pembacaan literalistik membawa pada
keputusasaan karena ketidaksabaran. Pandangan ketiga disebut Pandangan
Dispensasionalisme, yang melihat Khotbah di Bukit tidak diperuntukkan dengan zaman ini
tetapi sebuah etika untuk masa eskatologis. Namun demikian tetap melihat keterkaitan secara
moral kepada masa kini. Pandangan keempat adalah Pandangan Liberal yang menurut
Santoso meskipun menerima Khotbah di Bukit sebagai intisari agama Kristen namun
menghapuskan ajaran pertobatan, pengampunan dosa atau kelahiran baru dari ajaran ini.
Hanya perlu dan berusaha menjalankanya untuk mendapatkan manfaat dan faedahnya.
Pandangan terakhir adalah Pandangan Interim Etik,sebuah pandangan yang tidak popular.
Pandangan ini mendasarkan pada keyakinan bahwa akhir zaman sudah dekat oleh sebab itu
kita dipanggil untuk melakukan dan mentaati dalam waktu sementara saja sesuai dengan kata
„interim‟ yang artinya sementara.6
Pendahuluan Khotbah di Bukit (4:23-5:1-2)
Ayat-ayat di Matius 1:1-5:1-2 menjadi latar belakang dari diskursus-diskursus Matius
secara keseluruhan yang menyajikan tema utama yaitu Kerajaan Allah. Dimulai pasal 1
sebagai silsilah Kerajaan yang melacak sampai kepada Abraham dan Daud sebagai sebuah
penegasan Yesus, Sang tokoh utama memiliki legimitasi menghadirkan Pemerintahan Allah
karena Dialah Benih yang menjadi berkat; Dia juga adalah Tunas Daud yang meneruskan
pemerintahan Daud. Melalui inkarnasi-Nya menjadi manusia Matius 4:23 menyajikan
kegiatan misi Yesus ketika Dia pergi berkeliling ke seluruh daerah Galilea untuk
mengabarkan Kabar Baik tentang Kerajaan Allah dan melakukan tindakan penyembuhan bagi
orang-orang yang sakit. Tema utama dari pemberitaan-Nya adalah Kerajaan Surga atau
Kerajaan Allah. Oleh karena tidak adanya pembedaan mendasar secara teologis untuk kedua
istilah ini, maka
Pasal 4:23-5:1-2 juga merupakan bagian pendahuluan dari Khotbah. Pertama,
pengkhotbah adalah Yesus. Kalimat dalam pasal 5:2 “Maka Yesuspun mulai berbicara dan
mengajar mereka” adalah pembukaan dari diskursus dengan sebuah nada penghormatan yang
memperkenalkan siapa Yesus kepada pembaca. Dalam pasal 1-4, para pembaca telah
6 Santoso (Theologi Matius:2009), 65-73
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
89 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
mendapatkan informasi melalui nubuatan Perjanjian Lama dalam silsilah Yesus dan kisah
kelahiran-Nya oleh Allah melalui malaikat dan Yohanes Pembaptis; bahkan oleh Iblis dalam
pasal 4 mengakui bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Daud dan Anak Allah.7 Kedua, para
pendengar adalah orang banyak dan para murid. Dalam 5:1 “… datanglah murid-murid-Nya
kepada-Nya.” Kesan yang diciptakan oleh anak kalimat ini dan anak kalimat sebelumnya
“Ketika Yesus melihat orang banyak itu ….” bahwa Yesus naik ke gunung untuk menjauhkan
diri dari orang banyak tersebut, sehingga para pendengar hanyalah para murid. Gaebelein
menegaskan bahwa dalam saat itu Yesus berada pada puncak popularitas-Nya. Walaupun
pelayanan-Nya menyentuh ribuan orang, Dia melihat kebutuhan untuk mengajar murid-murid-
Nya dengan cermat.8 Namun dengan melihat pasal 7:28 kita tampaknya harus beranggapan
bahwa orang banyak tersebut juga menjadi pendengar dari diskursus Khotbah di Bukit. Davies
dan Allison melihta bahwa ada dua lapis lingkar di sekeliling Yesus, lapis dalam adalah para
murid dan lapis luar adalah orang banyak.9 Ketiga, lokasinya di gunung. Walaupun tidak ada
topografi yang jelas disebut, namun pada umumnya memandang gunung dalam Matius 5:1
adalah Sinai.10
Pembahasan berikutnya mengenai hubungan antara diskursus Khotbah di
Bukit dan Perjanjian Lama khususnya terkait dengan Musa akan menjelaskan pandangan
bahwa gunung yang dimaksud adalah Gunung Sinai.
Ucapan Bahagia sebagai Nilai-Nilai Kerajaan Allah dan Pengharapan Eskatologi (5:3-
12)
Kerajaan Allah
Konsep Kerajaan Allah atau Surga bukanlah sebuah konsep yang baru di masa Yesus,
tetapi dapat dirunut ke Perjanjian Lama. Konsep Kerajaan Allah tampak dalam pelayanan
Tuhan Yesus dalam pengajarannya yang terhubung dengan pengajaran-pengajaran dalam
Perjanjian Lama khususnya dalam kaitan dengan konsep apokaliptik Yudaisme.
Konsep ini adalah tema utama para nabi Perjanjian Lama bahwa Kerajaan Mesianik adalah
Kerajaan Ilahi yang mana Allah akan memerintah sebagai raja atas Israel dan seluruh bumi
(Kel 15:18; Ul 22:5; Yes 43:15; Yer 46:18). Dan Raja Mesianik secara geneologis merupakan
keturunan dari Raja Daud. Silsilah memberikan keabsahan akan silsilah Yesus namun berita
dan seruan “bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 4:17) menarik kita
7 Davies and Allison (Matthew: 2004), 63
8 Gaebelein (TEBC: 1984), 128 9 Davies and Allison (Matthew: 2004), 62-63.
10 Ibid., 63.
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
90 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
langsung kepada Khotbah di Bukit dalam pasal 5-7 bahwa model Kerajaan dan cara
pemerintahan-Nya serta bagaimana warga Kerajaan Allah hidup adalah seperti apa yang akan
digambarkan dalam pasal-pasal tersebut.
Namun menjumpai orang-orang pada jaman Yesus, pemahaman tentang Kerajaan
Mesianik lebih kepada pemahaman politik dan bahwa raja yang akan memerintah akan
memerintah selayaknya kerajaan-kerajaan politik pada saat itu. Di mana dengan kehadiran
Kerajaan Allah, maka Sang Raja Mesianik tersebut akan mengalahkan penjajah Romawi dan
juga raja boneka Roma, Herodes dari bangsa Edom, dan akan membawa Israel kepada
kegemilangan yang melebihi Kerajaan Daud. Hal yang justru sangat ditentang oleh Yesus.
Sedari awal pelayanan-Nya, Yesus memperkenalkan Kerajaan yang nilai-nilainya sungsang
dengan nilai-nilai dunia. Dalam peristiwa pengadilan di hadapan Pilatus, Injil Yohanes
memaparkan sebuah percakapan yang menarik antara Yesus dan Pilatus. Yesus menegasakan
bahwa sekalipun Dia bisa menjadi penguasa dalam pemerintahan yang bersifat politik, Dia
sama sekali tidak tertarik. Dalam Yohanes 18:36 Yesus berkata, “Kerajaan-Ku bukan dari
dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku
jangan diserahkan kepada orang Yahudi akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.”
Itulah sebabnya Yesus harus memperkenalkan konsep semula tentang Kerajaan Allah
yang telah terkontaminasi dengan mempromosikan melalui sosialisasi langsung tentang
Kerajaan Allah. Dalam Matius 4:23 merangkum empat hal sebagai persiapan untuk
pengajaran Khotbah di Bukit. Pertama, Yesus berkeliling ke seluruh Galilea menjumpai
sebanyak mungkin orang; kedua, menemukan tempat paling strategis, yaitu rumah-rumah
ibadat. Tempat orang Yahudi berkumpul dan paling ideal untuk menyampaikan ajaran-Nya.
Ketiga, isi pengajaran-Nya, walau frase „Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan
memberitakan Injil Kerajaan Allah‟ mengisyaratkan Yesus tidak langsung memulai dengan
berita tentang Kerajaan Allah, Ia mengajar topik yang lain, namun pengajaran-Nya menjadi
jembatan untuk mencapai maksud-Nya, berita Kerajaan Allah diperdengarkan. Bagian
keempat adalah tanda yaitu tindakan penyembuhan sakit dan kelemahan yang meneguhkan
berita Yesus tentang Kerajaan Allah.
Dengan demikian promosi tampaknya berhasil oleh karena dengan segera berita
sampai kepada daerah yang mungkin tidak secara fisik Yesus kunjungi, sampai ke seluruh
daerah Siria, lalu juga berita tentang Yesus tersiar sampai ke Selatan, Yudea dan Yerusalem,
bahkan melampaui sunga Yordan di sebelah timur (Mat 4:24-25). Sebuah panorama yang
menghubungkan kita dengan Khotbah di Bukit.
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
91 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
Kepentingan Gunung dalam PL dan PB
Sebagaimana yang disinggung sebelumnya bahwa gunung dalam Matius 5:1 adalah
counterpart atau padanan dari Sinai. Artinya bahwa ketika Yesus naik ke gunung tersebut
untuk menyampaikan Khotbah di Bukit; dia sedang berbicara sebagai Mesias Mosaik dan
menyampaikan Taurat Mesianik. Allison memaparkan susunan dari peristiwa-peristiwa di
Matius sejajar dengan susunan kronologis dari peristiwa-peristiwa dalam Pentateukh, sebagai
berikut:
Keluaran pembunuhan pahlawan perjalanan pencobaan gunung
bayi-bayi kembali melewati pemberian
hukum
Matius pembunuhan pahlawan perjalanan pencobaan gunung
bayi-bayi kembali melewati pemberian
hukum11
Melihat pola ini maka letak geografis gunung tersebut tidak lagi menjadi penting
sebagaimana Caragounis mengatakan “there are several important aspects in it, namely that
the concept is more to things that are dynamic rather than pointing to things that are
geographically”.12
Satu hal yang kita sepakati bahwa gunung dalam Matius cukup penting
sebagai tempat pewahyuan karena menjadi latar dari beberapa peristiwa penting seperti
Khotbah di Bukit, peristiwa transfigurasi Yesus (17:1), dan pemberian Amanat Agung
(28:16). Hal inipun memiliki kesejajaran dengan Musa bahkan kepada para patriakh atau
lebih jauh kepada Nuh. Bukit atau gunung pada jaman Nuh berkaitan dengan tindakan
pemeliharaan dan penyelamatan manusia yang diwakili kelurga Nuh. Masuknya Nuh ke
bahtera mengambil latar gunung dimana Kejadian 7:17 “empat puluh hari lamnya air bah itu
meliputi bumi; air itu naik dan mengangkat bahtera itu, sehingga melampung tinggi dari
bumi”, secara implisit memberitahukan bahwa tempat bahtera itu pasti cukup tinggi sehingga
membutuhkan 40 hari dari limpahan air yang tanpa henti untuk mencapai posisi bahtera
tersebut. Ayat 11-12 menggambarkan kedahsyatan keluarnya simpanan air di bumi
“terbelahlah segala mata air samudera raya” dan juga hujan yang dahsyat ditumpahkan dar i
“tingkap-tingkap di langkit”. Demikian juga akhir air bah melabuhkan bahtera Nuh di
Gunung Ararat (Kej 8:4) dan membawa kepada Perjanjian Allah tidak akan menghukum bumi
11 Davies and Allison (Matthew: 2004), 64.
12 C.C. Caragounis, “Kingdom of God/Heaven”. Dictionary of Jesus and the Gospel , (Downers Grove:
Intervarsity, 1992), hal 420.
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
92 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
seperti itu lagi (Kej 8:21-22). Abraham mempertunjukkan ketaatan kepada Firman Tuhan
untuk mempersembahkan Ishak, anaknya di Gunung Moria yang dipercayai adalah lokasi Bait
Allah kelak dibangun oleh Salomo (Kej 22:2; 2 Taw 3:1). Musa menerima Taurat di Gunung
Sinai (Keluaran 19:1-20:1-21). Di sebuah gunung yang tidak diketahu namanya, Musa
bersama Harun dan Hur, menjadi pensyafaat bagi peperangan yang sedang terjadi di Lembah
Rafidim antara orang Amalek melawan orang Israel yang dipimpin oleh Yosua. Perang
dimenangkan dan membawa Israel kepada pengenalan akan TUHAN sebagai panji
kemenangan (Kel 17:8-16); Gunung menjadi latar rencangan kejahatan kutuk kepada bangsa
Israel yang dirancang oleh Balak, raja Midian yang masih saudara dengan Israel, diubah
menjadi berkat.13
Mereka membayar Bileam, si petenung agar mengutuk bangsa Israel. Di
gunung atau bukit, Bileam mengambil keputusan apakah mengutuk atau memberkati Israel.
Sedikitnya ada 3 gunung yang berbeda sebagai tempat Balak membujuk Bileam; bukit yang
gundul dan berbatu-batu, puncak gunung Pisga, dan puncak gunung Peor, (Bil 23:3, 9, 14, 28)
Namun berakhir menjadi berkat atas bangsa Israel dalam Bilangan 24. Kematian tokoh utama
Keluaran dari Mesir, Harun dan Musa juga tidak dilepaskan dari gunung; Harun meninggal di
gunung Hor dan Musa di gunung Nebo (Bil 33:38-39; Ul 34:1). Dalam hal ini gunung Nebo
dengan puncaknya bernama Pisga menjadi tempat dua peristiwa penting; kutuk menjadi berkat
oleh Bileam atas Israel dan tempat Musa mati. Dengan demikian kepentingan gunung dalam
beberapa peristiwa penting dalam Perjanjian Lama memberikan kita kesan bahwa apa yang
akan disampaikan dalam Matius pasal 5-7 juga adalah penting sejak latar geografisnya juga
adalah gunung.
Kesejajaran Yesus dan Musa
Dari pasal pertama, Matius memberikan latar belakang dari tokoh yang akan
diperkenalkan sampai pasal 28, yaitu Yesus. Dirunut sampai ke Abraham melalui silsilah-
Nya. Janji kepada Abraham bahwa keturunannya akan menjadi berkat bagi banyak (Kej 12:2-
3). Keterkaitan dengan Raja Daud penerima janji tahta untuk selamanya (2 Sam 715-16).
Secara umum baik Matius maupun tulisan-tulisan Perjanjian Baru menghubungkan Yesus
dengan Perjanjian Lama dengan frase „seperti yang tertulis…‟, „ada tertulis…‟, „genaplah‟ (lih
Mat 2:5; 4:4-13;12:13;22: 42-46; 26:24; 26:31,56).
13 Bangsa Midian adalah keturunan Abraham dari isteri ketiganya, Ketura (Kej 25:1-4) yang kembali
bersentuhan dengan keturunan Ishak dalam peristiwa Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya kepada pedagang
Midian (35:28.36). Musa melarikan diri ke Midian ketika pembunuhan yang dilakukan atas orang Mesir
terbongkar. Menikah dengan Zipora, orang Midian dan menetap selama 40 tahun di sana sebelum
pemanggilannya kembali ke Mesir (Kel 2:15-4:19);
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
93 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
Demikian juga hubungan-Nya dengan Musa. Taurat Musa adalah dasar dari seluruh
kehidupan agama dan sosial orang Yahudi dan seluruh ajaran para nabi Perjanjian Baru di
letakkan atasnya. Yesus tidak pernah menghapuskan Taurat “…satu iota atau satu titikpun
tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat…(Mat 5:18)”. Dalam sepanjang Matius kita
bertemu dengan frase yang menunjukkan persetujuan Yesus terhadap Musa dan Taurat (8:4;
17:1-4; 19:7-8; 22:1-4).
Kesejajaran juga dapat dilihat dalam kehidupan dan pelayanan Yesus dan Musa. Lahir
untuk sebuah tujuan penyelamatan sebuah bangsa dan umat manusia Kisah penyelamatan bayi
Musa dan Yesus dari ancaman pembunuhan; kisah pembunuhan bayi-bayi (Kel 1-2 bdn
Matius 1-3). Kondisi bangsa Israel yang berada dalam perbudakan bangsa asing, Mesir dan
Romawi. Tanda-tanda yang menyertai pelayanan mereka melimpah sepanjang kitab Keluaran-
Ulangan untuk Musa dan kelima kitab Injil untuk Yesus.
Khotbah di Bukit pada dasarnya adalah Etika Perjanjian yang memiliki kesejajaran
dengan Taurat yang menjadi dasar etika bangsa Israel dalam Perjanjian Sinai. Perjanjian
mendahului Taurat demikian juga Etika dalam Khotbah di Bukit didahului oleh panggilan
pertobatan sebagai pintu masuk Perjanjian Baru. Kedua Perjanjian diinisiasi oleh Allah sendiri
dan respon kepada panggilan membawa mereka kepada hubungan Perjanjian Allah yaitu
Kerajaan Allah, dimana Allah memerintah sebagai raja mereka. Dalam perjanjian tersebut,
etika diberikan.
Namun kesejajaran Yesus dengan Musa memiliki perbedaan dalam hal kewibawaan
berita atau ajaran-Nya. Musa menerima hukum yang dituliskan untuk disampaikan kepada
umat Israel tetapi Tuhan Yesus menyampaikan ajaran yang mentransformasi hukum Taurat;
terlihat dalam ucapan-ucapan “…Aku datang untuk menggenapinya”, “kamu telah mendengar
…jangan membunuh..tetapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang marah…” (5:17, 21,
27, 31-32, 33-34).14
Pertobatan sebagai Pintu Masuk Kerajaan Allah
Di Matius 4:17, Yesus memproklamirkan bahwa untuk dapat masuk Kerajaan Allah,
kita harus bertobat. Dalam arti setiap orang harus mengambil keputusan atau memberi respon
kepada kehadiran Kerajaan Allah. Selanjutnya dalam pasal 5-7, Yesus memberikan hukum
14 Martin Harun, Matius Injil Segala Bangsa (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2017), 95.
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
94 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
bagaimana manusia hidup dalam Kerajaan Surga. Mereka harus hidup dalam etika-etika yang
baru dari Kerajaaan tersebut dan menunjukkannya dalam seluruh aspek hidup mereka secara
praktis sebagaimana yang Yesus telah ajarkan dalam Matius 5:3-7:1-29. Dengan kata lain
diskursus Khotbah di Bukit adalah hukum yang berlaku bagi orang yang sudah berada dalam
Kerajaan Surga yang diawali dengan pertobatan. Dalam hal ini sejajar dengan Taurat yang
menjadi hukum bagi umat Allah dalam lingkup Perjanjian.
Ucapan Bahagia
Khotbah di Bukit dimulai dengan sebuah rangkaian dari ucapan bahagia atau ucapan
berkat (3-10) yang semua disampaikan dalam bentuk orang ketiga.15
Namun dalam ayat 11-
12 disampaikan dalam bentuk orang kedua, yang mana Yesus tidak lagi berbicara dalam
istilah umum tentang karakter moral, namun dari situasi para murid dalam hubungan dengan
dunia yang mana mereka hidup dalam terang status mereka sebagai umat Kerajaan Allah
menjadi saksi, yaitu menjadi garam dan terang dunia dalam ayat 13-16 yang menjadi
perantara antara .16
“Berbahagialah” berasal dari kata Latin beatus, artinya „diberkati‟.17
Dalam Bahasa Inggris kata ini juga disebut macarism dari Bahasa Yunani makarios18
yang
biasanya berkorespondensi dengan LXX yang dimaksudkan untuk sebuah kebahagiaan yang
mengalir dari hubungan dengan Allah.19
Sedangkan kata Ibrani yang sepadan dengannya
adalah ‘ašrê. Baik kata „berbahagialah‟ atau „diberkati‟ dapat dipakai dalam makna bahwa hal
berbahagia yang hakiki ada dalam hubungan antara umat Allah dengan Allah dan kondisi
hubungan ini adalah sebuah berkat ilahi juga. Kata kunci adalah Allah. Orang diberkati karena
hubungan dengan Allah dan dipastikan dari kondisi tersebutlah kebahagiaan sejati mengalir.
15 Ini berbeda dengan catatan Lukas. Dalam Lukas 6:20-22 dengan sebuah urutan empat ucapan
bahagia, semua diberikan dalam bentuk orang kedua “berbahagialah kamu”.
16 Francis Wright Beare, The Gospel According to Matthew (San Fransisco: Harper 7 Row, 1981), 26.
17 Terjemahan Baru LAI menterjemahkan “berbahagialah”, namun terjemahan beberapa Alkitab
berbahasa Inggris menterjemahkan “be blessed” atau „diberkatilah‟.
18 Makarios (makarios @adjective normal nominative masculine plural no gender). Bentuk
„diberkatilah/berbahagialah‟ sering muncul di Perjanjian Lama dalam literature Hikmat dan Mazmur. Meskipun
dimodifikasi oleh Matius, namun ucapan pertama, kedua, keempat dan kesembilan memiliki kesejajaran dengan
catatan Lukas (Mat 5:3; Luk 6:20; Mat 5:4; Luk 6:21,22; Mat 5:6; Luk 6:21a; Mat 5:11-12; Luk 5:22-23). Yang
lainnya ditambahkan oleh penginjil dan mungkin komposisi pribadi Matius. Beberapa manuskripsi, Barat dan
Alexandrian, dan banyak versi dan kutipan-kutipan Bapa Gereja memasukan ucapan kedua dan ketiga dalam
urutan terbalik. Miskin di hadapan Allah (the poor in spirit): dalam PL, kata „miskin‟ (anawim) adalah mereka
yang tidak memilki harta material dan yang memiliki kepercayaan kepada Tuhan (lih Yes 61:1; Zef 2:3; dalam
NAB kata tersebut diterjemahkan „lowly‟ and „humble‟, masing-masing, dalam kedua teks tersebut). Matius
menambahkan „di hadapan Allah‟ untuk mengindikasikan bahwa hanya orang miskin yang taat yang didapati ketergantungan mereka total kepada TUHAN yang dimaksudkan terhubungan dengan „Kebahagian‟ tersebut.
Frase yang sama “miskin di hadapan Allah‟ ditemukan dalam literature Qumran (1QM 14:7. AB Notes diunduh
dari Biblewords 11 pada 25 Februari 2020 19 Beare, (The Gospel according to Matthew: 1981), 127. Lih Mazmur 1:1; 84:4.
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
95 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
Dengan kata lain, „kebahagiaan‟ adalah sebuah ciri dari orang percaya ketika mereka memiliki
hubungan pribadi dengan Allah, jadi kebahagiaan yang dimaksud dalam pasal 5 adalah norma
atau etika yang berlaku dalam Kerajaan Allah. Menarik bahwa Mazmur 1 dibuka dengan
macarism dan pasal 2 ditutup dengan macarism juga. Dalam dua Mazmur ini berbicara
tentang kondisi dari orang-orang yang dalam hubungan dengan Tuhan menunjukkan
kerendahan dan ketergantungan total kepada Tuhan.
John F. MacArthur juga menyajikan bahwa kata „berbahagia‟ atau „diberkati‟ kerap
digunakan untuk Allah sendiri. Disayangkan bahwa terjemahan LAI mengganti kata tersebut dengan
“terpujilah”. Sebagai contoh, Pemazmur menyatakan “be blessed God” atau „diberkatilah Allah‟ oleh
TB LAI diterjemahkan „terpujilah Allah‟ (Mazmur 68:35): Salomo bernyanyi “diberkatilah Tuhan
Allah, Allah Israel” (Mazmur 72:18); Paulus berbicara tentang kemuliaan Injil dari “the blessed God”
atau Allah yang terberkati (1Tim 1:11.20
Sekali lagi menegaskan sumber kebahagiaan itu adalah Allah
sendiri dan akan dimiliki dan dialirkan oleh orang-orang yang memiliki hubungan dengan Allah dalam
sikap kerendahan hati dan ketergantungan kepada Allah, Sang Sumber Kebahagiaan tersebut.
R.A.Guelich menyajikan dalam bukunya “The Matthean Beatitudes: Entrance-
Requirements of Eschatological Blessings”, bahwa Matius 5:3-5 mengandung gaung atau
gema dari Yesaya 61:1-3 yang disengaja yang dalam orientasinya adalah sebuah eskatologi
tertentu dan menekankan penggenapan nubuat Yesaya 61 tentang janji „masa keselamatan”
dalam pribadi dan berita proklamasi Yesus, jadi Yesus datang dalam terang janji atau nubuat
Perjanjian Lama.21
Formula “berbahagialah+subyek+karena" 22
tampaknya bertentangan karena kondisi
mereka dan hubungan dengan berkat atau kebahagiaan sangatlah tidak cocok. Dalam standar
manusiawi apa yang didaftarkan dalam Matius 5:3-12 bukanlah sesuatu yang bisa
menciptakan kebahagiaan. Bagaimana mungkin yang miskin itu bisa disebut berbahagia atau
diberkati; Dapatkah orang yang berduka disebut berbahagia. Atau orang yang kelaparan
dilihat sebagai orang yang diberkati? Namun dalam terang Kerajaan Allah formula Ucapan
Bahagia menyodorkan nilai-nilai yang baru dari kebahagiaan; bahwa kebahagiaan tidak
didasarkan kepada pemenuhan kebutuhan fisik atau muncul dari hal-hal yang bersifat duniawi.
Ucapan Bahagia sebagai Pengharapan Eskatologis
20 John F. MacArthur, MacArthur Commentaries I (Chicago: The Moody Bible Institue, 1985), 142. 21 Gaebelein, (TEBC:1984), 130.
22 Davies and Allison (Matthew: 2004), 64
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
96 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
Cukup banyak diskusi tentang bagaimana melihat Ucapan Bahagia dalam konteks
Kerajaan Allah. Ada yang melihat sebagai syarat untuk masuk Kerajaan Allah; ada juga yang
melihat ini sebagai sesuatu yang baru akan tercapai setelah kedatangan Kristus yang kedua;
sebagian lagi mengklaim bahwa kebahagiaan dan janji yang mengikuti dapat dialami secara
harafiah pada masa kini. Pendekatan yang berbeda ini tentu akan membawa kepada cara
menafsirkan ucapan-ucapan tersebut dengan cara yang berbeda pula; sebagai sebuah
spiritualitas yang tidak perlu ditafsirkan harafiah atau ucapan-ucapan itu harus ditafsir secara
harafiah.23
Namun dalam paper ini akan menyajikan adanya hubungan yang
berkesinambungan sebagai sebuah realita warga Kerajaan Allah dan pengharapan yang
bersifat eskatologis.
Davies dan Allison membagi Ucapan Bahagia ini terbagi menjadi tiga bagian. Separuh
pertama dari ucapan bahagia menggambarkan keadaan komunitas pada saat itu (5:3-6):
Separuh kedua adalah ucapan yang berkaitan dengan nubutan dari masa depan komunitas
(5:7-10); dan posisi kesejajaran dari dua situasi yang berbeda memungkinkan pencobaan-
pencobaan setiap hari dikalahkan melalui kontemplasi kepada firman Tuhan (5:11-12).24
Tetapi semua ucapan bahagia ini adalah norma bagaimana komunitas memiliki hubungan
pribadi dengan Tuhan dan yang direfleksikan kepada dunia yang bersifat horizontal. Norma
ini juga memberikan dasar bagaimana menghadapi dunia yang membenci dan menganiaya
mereka.
Ada beberapa perbedaan pandangan tentang berapa jumlah sebenarnya dari ucapan
bahagia; apakah tujuh, delapan, atau sembilan ucapan. Polikarpus dan Agustinus, keduanya
adalah Bapa Gereja mula-mula, menyatukan ucapan pertama dan kedelapan karena adanya
kesejajaran dari apa yang akan dimiliki oleh orang miskin dan yang dianiaya, yaitu akan
memiliki Kerajaan Sorga. Selain itu alasan angka tujuh sebagai simbol kesempurnaan juga
menjadi pertimbangan pada posisi ini. Namun pada umumnya penafsiran modern setuju
dengan delapan. Mereka melihat bahwa ada dua bagian besar dari ucapan ini yang terdiri dari
masing-masing empat ucapan bahagia dalam paralelisme yang identik.25
Posisi delapan
ucapan bahagia melihat ayat 11-12 hanya sebagai tambahan pada ucapan bahagia ke delapan
di ayat 10. Pandangan yang melihat ada sembilan ucapan bahagia didasarkan pada kehadiran
23 Marno Boshoff, “The Beatitudes: an exegetical study on the Beatitudes in Matthew 5:3-12,” South
African: SATS, 2014 [Jurnal on-line] diambil dari
https://www.academia.edu/10196468/The_Beatitudes_an_exegetical_study_on_the_Beatitudes_in_Matthew_5_3
-12; Internet; (diakses 15 Maret 2020)
24 Davies and Allison (Matthew: 2004), 65. 25 John DelHousaye, “A Pardes Reading of The Beatitude,” [Jurnal on-line] diambil dari
https://www.academia.edu/7066498/A_Pardes_Reading_of_the_Beatitudes_Matt_5_2-10_par._ (diundu pada 10
Maret 2020)
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
97 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
sembilan ucapan bahagia secara literal dan melihat bahwa ucapan kesembilan adalah ucapan
khusus kepada para murid dalam hubungannya dengan Yesus secara pribadi dan perubahan
dari sapaan orang ketiga menjadi orang kedua “kamu” menegaskan bagian ini perlu
diperhitungkan sebagai poin tersendiri.26
Pandangan ini tetap melihat sebuah inklusio antara
ucapan bahagia pertama dan kedelapan karena similaritas “empunya Kerajaan Sorga”.27
Sembilan ucapan bahagia ini adalah sikap batin yang harus ada dalam warga Kerajaan
Allah dan bisa dikatakan sebagai buah pertobatan batin dan nantinya akan terefleksi dalam
tindakan nyata. Sejak kata bahagia yang diterjemahkan dari kata Anglo-Saxon hap yang
merujuk pada perasaan emosional ketika sesuatu terjadi atas seseorang, saya lebih setuju
memakai makna dari kata “diberkatilah” dari be blessed yang bermakna “a very happy state
because of his position or connectedness with God. This is not a circumstantial meaning but a
permanent place of dwelling with God” 28
karena yang pertama bisa bersifat temporal karena
situasi dari luar sedangkan kata kedua dikaitkan kepada kondisi permanen dari sebuah
identitas warga Kerajaan Allah. Namun karena LAI menerjemahkan sebagai “berbahagialah”
istilah ini tetap dipertahankan namun harus dipahami dalam makna sebagai sebuah identitas
dan bukan sekedar perasaan emosional.
Mengikuti pandangan bahwa ada ucapan bahagia terdiri dari sembilan ucapan bahagia,
maka pembagian stanza menjadi tiga bagian, yaitu: pasal 5:3-6; pasal 5:7-10; dan pasal 5:11-
12. 29
Kebahagiaan Mereka yang Menderita (5:3-6)
Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
26 Harun (Matius:2017),98; Boshoff, The Beatitudes,39
27 Inklusio adalah perangkat sastra yang biasa dipakai dalam studi biblika berdasarkan prinsip
konsentrik atau dua hal berbagi pusat yang sama, juga dikenal sebagai bracketing atau struktur amplop yang
merupakan bingkai di awal dan di akhir sebuah struktur yang memiliki kesamaan bisa dalam sebuah kata, frase
atau teks yang lebih besar dengan tujuan mengingatkan pembaca kepada sebuah tema penting atau
memperlihatkan bagaimana sebuah materi dalam sebuah inklusio terhubung dengan inklusio itu sendiri. Dalam
hal ini bagaimana ucapan bahagaia kepada yang miskin di hadapan Allah terhubung dengan ucapan bahagia
kepada mereka yang dianiaya oleh karena kebenaran. https://findwords.info/term/inclusio (diakses 29 April
2020) 28 James Montgomery Boice dikutip dari Boshoff, the Beatitudes, 32
29 Harun, 96-100.
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
98 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
Empat ucapan bahagia pertama ditujukan kepada mereka yang dalam keadaan
menderita karena miskin, berdukacita, lemah, dan lapar-haus. Atas kondisi ini janji yang
kontras dengan kondisi mereka diberikan. Berbeda dengan catatan Lukas, Matius memperluas
makna kondisi mereka yang menunjukkan pergeseran dari penderitaan nyata kepada sikap
batin mereka. Janji yang diberikan juga mencakup pemenuhan eskatologis yang menyangkut
masa depan yang melampaui hidup di dunia ini. 30
31
Kebahagiaan Mereka yang Menunjukkan Kebaikan (5:7-10)
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya
Kerajaan Sorga.
Empat ucapan bahagia bagian kedua ini ditujukan kepada sikap yang murah hati, hati
yang suci, pembawa damai, dan orang yang teraniaya karena kebenaran. Ganjaran yang
diberikan adalah kebaikan Allah yang serupa dengan apa yang mereka lakukan.32
Kebahagiaan Mereka yang Teraniaya Karena Yesus (5:11-12)
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan
segala yang jahat.
Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah
dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu
Bagian terakhir dari ucapan bahagia merupakan klimaks dari 9 rangkaian ucapan
bahagia. Boshoff salah satu penulis yang membedakan bagian ayat 11-12 dengan delapan
bagian pertama di ayat 3-10 dengan tiga alasan. Pertama, terjadi perubahan dari orang ketiga
jamak ke orang kedua jamak dan ini merujuk kepada para murid. Kedua, perubahan
penekanan antara bagian kedelapan dan kesembilan dari “oleh sebab kebenaran” kepada
30 Idem, 96.
31 Tiga artikel yang sangat baik membahas delapan atau sembilan ucapan bahagia ini adalah John
DelHousaye, “A Pardes Reading of The Beatitudes”; Phillip J. Long, “Jesus and Social Justice: Matthew 5:1-12,”
Journal of Grace Theology 6.1 (2017): 29-47,[Jurnal on-line] diambil dari
https://www.academia.edu/39743830/_Jesus_and_Social_Justice_Matthew_5_1-
12_Journal_of_Grace_Theology_6.1_2019_29-47 (diakses 20 Maret 2020); dan Korinna Zamfir, “Who Are
(The) Blessed?Reflections on The Relecture of The Beatitudes in The New Testament And The Apocrypha,”
Sacra Scripta, V, 2007/1 Hal 75-100, [Jurnal on-line] diambil dari https://www.academia.edu/1470714/Who_Are_The_Blessed_Reflections_On_The_Relecture_Of_The_Beatitude
s_In_The_New_Testament_And_The_Apocrypha (diakses 20 Maret 2020)
32 Harun, 98.
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
99 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
“jika karena AKu”. Ketiga, pemenuhan janji adalah bersifat eskatologis namun bagian
kesembilan memiliki sifat eskatologis “upahmu besar di sorga” namun di saat yang sama
bersifat langsung, mereka “bersukacita dan bergembira” dalam aniaya tersebut. Keempat,
bentuk penganiayaannya juga mengambil bentuk yang berbeda. Dua bentuk pertama, pertama
dan kedelapan, mengambil bentuk penolakan dan penghinaan verbal, sedangkan yang terakhir
mengacu kepada kemungkinan penganiayaan fisik. 33
Walaupun bagian ini merupakan sebuah klimaks tetapi Ferguson melihatnya lebih
seperti sebuah anti-klimaks yang membawa kita kembali kepada titik awal ucapan ini, yaitu
Kerajaan Allah.34
Kerajaan Allah yang sungsang karena melihat kebahagiaan berbeda dengan
ukuran dunia. Dan karena nilai-nilai warga Kerajaan Allah itu, mereka harus siap menerima
penganiayaan yang disebabkan penolakan dunia kepada Kerajaan Allah.
Namun jika nilai-nilai yang didaftarkan memang telah menjadi hati warga Kerajaan
Allah maka mereka dalam kondisi apapun tetap bahagia. Kebahagiaan itu tidak tergantung
kepada pemenuhan janji “karena” karena titik berangkatnya adalah dalam realita sekarang
mereka sudah berada dalam Kerajaan Allah melalui kehadiran Yesus dan pelayanan-Nya
“Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan
Allah sudah datang kepadamu (Mat 12:28)”. “Mereka yang dalam keadaan susah tetap
bersikap baik dan berbuat kasih, dikatakan bahagia karena sekarang sudah menjadi bagian dari
Kerajaan Allah, dari keluarga Yesus, Dia yang membawa mereka ke masa depan yang
dijanjikan,” 35
Menjadi benar bahwa Ucapan Bahagia adalah sebuah pengharapan eskatologis dalam
pemenuhannya namun sudah dimulai melalui proklamasi Yesus dan tindakan-Nya dan melalui
identitas kita sebagai warga Kerajaan Allah. Kita berbahagia bukan karena pemenuhan janji
tetapi karena itu adalah hasil dari pertobatan. Ucapan Bahagia pada puncaknya menjadi anti
klimaks yang membawa kita kembali ke titik awal lalu menguji diri melalui rentetan Ucapan
Bahagia yang ada untuk melihat apakah kita memang berbahagia.
Perwujudan Ucapan Bahagia dalam Etika Praktis sebagai Warga Kerajaan Allah (5:17-
7:1-29)
Pasal 5:17-7:1-29 adalah bagian kedua dari Khotbah di Bukit yang merupakan etika
praktis dari norma Kerajaan Allah. Kebahagiaan mereka harus direfleksikan ke dunia yang
oleh Yesus diidentifikasi sebagai garam dan terang dunia. Dengan kata lain hanya orang
33 Boshoff, 39 34 Ferguson, 47
35 Harun, 101
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
100 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
berbahagialah yang dapat menjadi saksi Kerajaan Allah. Mat 5:13-16 adalah peralihan dari
penjabaran nilai-nilai Kerajaan Allah dalam bentuk Ucapan Bahagia kepada etika atau
tindakan praktis keseharian orang percaya. Menjadi saksi diidentifikasi sebagai garam dan
terang. Gaebelein menjelaskan bahwa garam dan cahaya dalam arti bahwa garam
menjalankan fungsi negatif menunda pembusukan dan memperingatkan murid-murid akan
bahaya kompromi dan kesesuaian dengan dunia, kemudian cahaya berbicara secara positif
tentang menerangi dunia yang gelap dosa dan memperingatkan terhadap penarikan diri dari
dunia. 36
Dalam 5:17-19, Yesus menegaskan bahwa berita-Nya adalah penggenapan dari
kebenaran Hukum Taurat dan berita para nabi Perjanjian Lama. Namun sekalipun ada
kesinambungan ajaran etika di Perjanjian Lama, Yesus juga memberikan berbagai koreksi dan
penjelasan tentang maksud sebenarnya dari tuntutan etis Allah terhadap umat-Nya. Ini terbukti
dari kata-kata-Nya ketika Dia berkata, “Kamu telah mendengar apa yang dikatakan kepada
nenek moyang kita …Tetapi Aku berkata kepadamu…(Mat 5:21, 27, 31, 33, 38, 43)”.
Peneguhan fakta ini diwujudkan dalam paasal 5:20-48 dimana Yesus menyajikan sebagai
sebuah antitesis. 37
Ada enam antithesis dalam bagian ini; masing-masing diawali dengan sebuah formula:
“Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek kita … Tetapi Aku berkata
kepadamu…” Antitesisnya adalah kemarahan dan rekonsiliasi (5:21-26), perzinahan dan
kesucian (5:27-30), perceraian dan pernikahan ulang (5:31-32), sumpah dan kejujuran (5:33-
37), pembalasan dendam dan pengorbanan (5:38-42), kebencian dan kasih (5:43-47).
Di pasal berikutnya (6:1-18), Yesus memperingatkan bahaya dari roh kemunafikan.
Yesus pergi melampau sikap yang hanya sebuah seremonial atau ritual belaka kepada motif
batin yaitu untuk menyenangkan Allah dan tidak mencari hadiah atau balasan selain yang
mungkin diberikan-Nya.38
Yesus memberikan tiga contoh dari kesucian ala Yahudi, yaitu
sedekah (6:2-4), doa (6:5-15), dan soal berpuasa (6:16-18).39
Setelah mengajar vis-à-vis Taurat dan isu perintah tentang sedekah, doa dan puasa,
pasal 6:19-7:1-12 Yesus mengajar isu-isu yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Ada
dua bagian. Pertama, perspektif Kerajaan tentang peringatan Yesus melawan dosa
36 Gaebelein,140.
37 Dictionary.com describe „antitheses is‟ as the placing of a sentence or one of its parts against another
to which it is opposed to form a balanced contrast of ideas, as in “Give me liberty or give me death.” It derived
from Latin word from original word of greek anti + tithenai = to set against http://dictionary .reference.com/broese/anthitheses (diakses12 Desember 2019).
38 Beare, 65
39 Ibid., 164-179
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
101 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
keserakahan, materialisme, dan kekuatiran yang muncul dari prioritas yang salah dan duniawi
(6:19-34). Kedua, soal bagaimana memperlakukan sesama. Seluruh bagian ini, persoalan-
persoalan sosial, ditutup oleh Yesus dengan prinsip yang disebut Hukum Emas atau the
Golden Rule : “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi , kamu akan
dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu (7:12)”.40
Akhir dari Khotbah di Bukit ditutup dengan dorongan, nasehat dan perumpamaan
tentang dua dasar. Lalu ayat 28-19 memberitahukan reaksi dari pendengar.41
Perumpamaan
Dua Dasar adalah sebuah tantangan bahwa Kerajaan Allah masuk jauh ke dalam motif paling
dalam. Sejauh mana hati melekat kepada kebenaran dan mengembangkan nilai-nilai Kerajaan
Allah, sejauh itulah kehidupan yang dibangun di atasnya kokok atau tidak. Dengan demikian
sekali lagi pendengar ditantang untuk memberikan respon yang sejati.
KESIMPULAN
Pengajaran Yesus yang dikenal sebagai Khotbah di Bukit mengandung aspek yang
sangat fundamental atau mendasar. Pertama , tentang Kerajaan Allah yang merupakan inti dari
seluruh pemberitaan-Nya. Matius sangat perduli dan dengan serius mencatat bahwa Yesus
pergi berkeliling ke seluruh Galilea, mengajar di rumah-rumah ibadat orang Yahudi,
mengabarkan Injil atau Kabar Baik Kerajaan Allah. Setiap orang diminta untuk merespon
dengan bertobat karena Kerajaan Allah sudah dekat (Mat. 4:17). Dan Kerajaan Allah itu
dihadirkan oleh Yesus melalui diri-Nya sendiri, berita dan tanda-tanda mujizat. Setiap orang
yang percaya atau bertobat akan masuk dalam Kerajaan-Nya. Semua orang yang bertobat
adalah warga Kerajaan Allah dan memasuki dalam tatanan yang baru sebagai ciptaan baru
dalam Kristus. Merekalah orang yang disebut “berbahagia” atau “diberkati”. Kondisi
diberkati adalah sebuah kondisi yang sungsang dengan nilai-nilai dunia. Tidak cocok dengan
apa yang dipahami oleh dunia tentang kebahagian.
Kedua, Ucapan Bahagia merupakan sikap batin yang seharusnya muncul sebagai buah
peertobatan dari warga Kerajaan Allah. Sikap batin yang menunjukkan sebuah kondisi
diberkati atau berbahagia bukan karena kepemilikan barang tertentu namun hal menjadi
bahagia atau diberkati adalah identitas baru mereka yang didasarkan kepada hubungan dengan
Allah. Sikap batin ini membawa terus menerus orang percaya kepada pengharapan yang
bersifat eskatologi terhadap pemenuhan janji-janji yang mengikuti.
40 Davies and Allison, 98.
41 Formula atau pola di ayat 28 digunakan oleh Matius sebagai sebuah penilaian pada setiap akhir dari
lima diskursus atau pengajarannya. Beare, 193-200.
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
102 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
Ketiga, penekanan diskursus Khotbah di Bukit tidak hanya konseptual atau doktrinal
belaka. Tetapi merupakan perwujudan konkret dari setiap orang percaya kepada apa yang
diajarkan oleh Yesus. Dimensi spiritual dari hidup baru yang tertuang dalam ucapan bahagia
harus diekspresikan melalui karakter Kristen yang nyata ke dunia menjadi garam dan terang
melalui perilaku yang perilaku nyata baik bersifat keagamaan maupun dalam perlaku sosial.
Dengan kata lain Khotbah di Bukit adalah ajaran Yesus bagaimana orang percaya
harus hidup yang dimulai dari identitas batiniah merespon kepada dunia dan bergerak keluar
sebagai garam dan terang yang diekspresikan dalam tindakan nyata secara etis dan praktis
dalam hidup keseharian sebagaimana yang tertuang dalam bagian praktis diskursus Khotbah
di Bukit (5:17-7:29) dan seterusnya kepada diskursus-diskursus yang lain dari Matius (8:1-
28:1-20). Orang percaya yang menolak ajaran ini berarti mengabaikan hal paling mendasar
dari imannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Khotbah di Bukit dimaksudkan
untuk menunjukkan kuasa Tuhan Yesus dimana pengajaran-Nya adalah manifestasi dari diri-
Nya sendiri. Sehingga setiap warga Kerajan Allah dapat mewujudkan gaya hidup atau etika
baru dari Kerajaan yang mana mereka ambil bagian. Dalam pengharapan eskatologi kita
berdoa setiap hari “datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-MU”.
DAFTAR PUSTAKA http://dictionary .reference.com/broese/anthitheses 12 Des 2019
AB Notes. Bible work. 8
Barclay, William, PASH Injil Matius Pasal 1-10. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
Beare, Francis Wright, The Gospel according to Matthew. San Fransisco: Harper & Row,
1981.
Boshoff, Marno. The Beatitudes: an exegetical study on the Beatitudes in Matthew 5:3-12,
South African:SATS), 2014. [Jurnal on-line] diambil dari
https://www.academia.edu/10196468/The_Beatitudes_an_exegetical_study_on_the_B
eatitudes_in_Matthew_5_3-12; Internet; diakses 15 Maret 2020
Caragounis, C.C., Kingdom of God/Heaven: Dictionary of Jesus and the Gospel. Downers
Grove: Intervasity Press, 1992.
Davies, W.D. and, Allison Dale C., Matthew: A. Shorter Commentary. London-New York: T
& T Clark International, 2004.
DelHousaye, John. A Pardes Reading of The Beatitudes,[Jurnal on-line] diambil dari
https://www.academia.edu/7066498/A_Pardes_Reading_of_the_Beatitudes_Matt_5_2-
10_par._ diundu pada 10 Maret 2020
Caraka: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2020
103 | Copyright© 2020, Caraka, ISSN 2722-1407 (Cetak), 2722-1393 (Online)
Ferguson Sinclair B., Khotbah di Bukit: Cermin Kehidupan Sorgawi di Tengah Dunia
Berdosa. Surabaya: Penerbit Momentum, 2005
Gaebelein, Frank E., TEBC: Matthew, Mark, Luke vol 8. Grand Rapids, Michigan: Regency,
1984
Harun, Martin. Matius Injil Segala Bangsa. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2017
Ladd, George Eldon, The Gospel of the Kingdom: Scriptural studies in the Kingdom of God.
Malang: Penerbit Gandum Mas, 2013
Ladd, George Eldon, Teologi Perjanjian Baru Jilid. Bandung: Kalam Hidup, 2014
Long, Phillip J. Jesus and Social Justice: Matthew 5:1-12 Journal of Grace Theology 6.1
(2017): 29-47,[Jurnal on-line] diambil dari
https://www.academia.edu/39743830/_Jesus_and_Social_Justice_Matthew_5_1-
12_Journal_of_Grace_Theology_6.1_2019_29-47 diundu 20 Maret 2020
Long, Phillip J. Jesus and Social Justice: Matthew 5:1-12. Journal of Grace Theology 6.1
(2017): 29-47,[Jurnal on-line] diambil dari
https://www.academia.edu/39743830/_Jesus_and_Social_Justice_Matthew_5_1-
12_Journal_of_Grace_Theology_6.1_2019_29-47 diundu 20 Maret 2020
MacArthur, John F., MacArthur Commentaries I. Chicago: The Moody Bible Institute, 1985
Meier, John P., Matthew. Wilmington, Delware: Michael Glazier, Inc, 1985
Santoso, David Iman, Teologi Matius. Intisari dan Aplikasinya. Malang: Literatur SAAT,
2009
Stassen, Glen H., and Gushee, David P. Etika Kerajaan: Mengikuti Yesus dalam Konteks
Masa Kini. Surabaya: Penerbit Momentum, 2013
Weaver, Dorothy Jean. Inheriting the Earth: Towards a Geotheology of Matthew’s Narrative.
The Journal of Inductive Biblical Studies© 2015 Asbury Theological Seminary,[Jurnal
on-line] diambil dari
https://www.academia.edu/28788864/Inheriting_the_Earth_Towards_a_Geotheology_
of_Matthew_s_Narrative
Zamfir, Korinna. Who Are (The) Blessed?Reflections on The Relecture of The Beatitudes in
The New Testament And The Apocrypha. Sacra Scripta, V, 2007/1 Hal 75-100, [Jurnal
on-line] diambil dari
https://www.academia.edu/1470714/Who_Are_The_Blessed_Reflections_On_The_Re
lecture_Of_The_Beatitudes_In_The_New_Testament_And_The_Apocrypha diakses
20 Maret 2020.