+ All Categories
Home > Documents > Ushul Fiqih Metode Istinbat

Ushul Fiqih Metode Istinbat

Date post: 07-Mar-2016
Category:
Upload: novia1711
View: 301 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
Description:
ushul fiqih

of 32

Transcript

SISTEMATIKA DALIL DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAMKirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke PinterestAbstractThe necessary of ijtihad is required to be on going continuity. It is stated that society as an object is always changeable, and also the changing of developing technology, social interaction, etc. Thus, the area of ijtihad has been more complex than before. Ijtihad is very important to be done by Muslim today, because it is a comprehensive method to solve a particular issues that are found in modern Muslim life. Even Islamic law was developed byFiqhSchool(Madzhab) in the past, but it needs to be reformed today. The article clarify that new approaches and methodologies from the other traditions are also part of new spirit of ijtihad in Islamic legal thoughtKeywords: ijtihad, kehidupan masyarakat, kaidah ushuliyyah, perkembangan tekhnologi.A. PendahuluanSecara khusus dapat dikatakan bahwa materi-materi yang dibahas dalam disiplin ilmu ushul fikih adalah hal-hal yang berhubungan dengan tata cara atau metode-metode istinbath (penetapan) hukum Islam yang harus dikuasai oleh para mujtahid dengan bersandarkan pada dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan secara umum, obyek yang dikaji dalam ushul fikih meliputi empat pembahasan pokok, yaitu:1.Pembahasan mengenai kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengistinbathkan hukum syara. Kaidah dimaksud adalah kaidah-kaidahushuliyah al-lughawiyahdan kaidah-kaidahushuliyah al-tasyriiyah.2.Pembahasan mengenai berbagai materi yang dipergunakan dan berhubungan dengan metodologi istinbath hukum. Materi dimaksud berupa uraian mengenaihukum syara,hakim,mahkum fihdanmahkum alaih.3.Pembahasan mengenai tata cara dan langkah-langkah istinbath hukum dari dalil-dalilnya. Termasuk dalam pembahasan ini adalah materi tentang ijtihad dan hal-hal yang berkaitan dengannya.4.Pembahasan mengenai sumber hukum, dalil hukum dan permasalahan yang berhubungan dengannya.Obyek pembahasan ushul fikih di atas dibahas oleh para ulama ushul dengan sistematika yang berbeda-beda, sesuai dengan fokus perhatian individu masing-masing. Oleh karenanya, ada ulama yang membahasnya dalam satu jilid buku saja, seperti yang dilakukan oleh Abdul Wahab Khallaf dan M. Abu Zahrah, ada juga yang membahasnya dalam bentuk berjilid-jilid.Adaulama yang mengawali pembahasannya dengan hukum syara, ada juga yang mengawali uraiannya dengan dalil-dalil syara sebagaimana yang dilakukan oleh Ali Hasaballah dalamUshul al-Tasyri al-Islamy.Bagi penulis, cenderung sependapat dengan para penulis yang mengedepankan pembahasan dalil dari pada pembahasan yang lainnya, karena jika merujuk pada substansi kajian ushul fikih, maka sebenarnya ia adalah mengkaji dasar-dasar dan dalil-dalil fikih (hukum Islam) secara umum. Dengan memahami berbagai dalil hukum syara ini, para mujtahid akan lebih mudah dalam menetapkan dan menganalogikan materi hukum syara sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan (syarat-syarat menggunakan dalil-dalil tersebut).Dalil menurut bahasa berarti menunjukkan dan menuntun;1atau sesuatu yang menunjukkan kepada hal-hal yang dapat ditangkap secara inderawi atau maknawi kepada yang baik dan yang buruk.2Menurut Istilah dalam ushul fikih, dalil adalah sesuatu yang dengan penelitian yang benar dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menetapkan hukum-hukum syara yang bersifat praktis baik dengan jalanqathiy(pasti) maupun dengan jalan yangdhanniy(dugaan kuat).Adasebagian ulama yang mengartikan dalil dengan sesuatu yang diambil dari padanya hukum syara yang bersifat praktis dengan jalan qathi saja. Sedangkan petunjuk yang bersifat dhanni dinamakanamarah(tanda), bukan dalil. Meskipun demikian, menurut pendapat yang populer di kalangan ahli ushul, dalil adalah sesuatu yang diambil dari padanya hukum syara yang bersipat praktis baik dilakukan dengan cara qathi maupun dhanni. Dalam ungkapan yang sederhana, ia merupakan petunjuk yang bersifat qathi atau dhanni akan adanya hukum syara.Uraian di atas menunjukkan, bahwa dalil hukum berarti segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai landasan atau dasar pijakan yang digunakan oleh para mujtahid di dalam menemukan dan menetapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan akurat.Dalam proses penetapan hukum syara, penggunaan dalil sangat berperan. Karena di dalam menetapkan suatu hukum atas berbagai permasalahan yang dihadapi harus dilandaskan pada alasan atau suatu dalil tertentu. Ketepatan seorang mujtahid di dalam menggunakan suatu dalil dalam proses istinbath hukum akan melahirkan sebuah ketetapan hukum yang benar. Sebaliknya, jika seorang mujtahid kurang tepat dalam penggunaannya, maka akan melahirkan sebuah ketetapan hukum yang kurang valid.Di dalam ushul fikih, dalil hukum sering pula disebut dengan istilahadillat al-ahkam(dalil-dalil hukum),ushul al-ahkam(pokok-pokok hukum),mashadir al-ahkam(sumber-sumber hukum),adillat al-Syariah(dalil-dalil syariat),asas al-tasyri(dasar-dasar penetapan hukum syara), atauushul al-syariah(pokok-pokok hukum syara). Selain itu dikenal pula istilahmashadir al-syariahdanmashadir al-tasyri(sumber-sumber hukum syara).Dari istilah-istilah dalil di atas, yang mudah dipahami oleh kita adalah istilahadillat al-ahkam(dalil-dalil hukum). Sebab jika menggunakan istilah yang berhubungan dengan sumber hukum sepertimashadir al-ahkam,ataumashadir al-syariah,maka dalam pemahaman kita diIndonesia, semua dalil dapat berarti sumber hukum. Padahal sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Quran dan Sunnah. Sedangkan dalil, mengacu pada pengertian atas sesuatu yang dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk selanjutnya dapat dianggap sebagai dasar pijakan atau dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusuf Qardlawi, diketahui bahwa terjadinya berbagai penyimpangan dalam menetapkan suatu hukum salah satunya diakibatkan oleh penggunaan dalil yang bukan pada tempatnya. Jika pernyataan ini benar, maka dapat dipastikan terdapat beberapa ketetapan hukum yang landasan dalilnya tidak tepat. Konsekuensi dari langkah berpikir seperti ini adalah lahirnya produk hukum yang bisa saja menimbulkan kontroversial di tengah-tengah masyarakat.Di sinilah letak pentingnya uraian mengenai sistematika penggunaan dalil dalam menetapkan hukum syara.1.Macam-Macam Dalil Hukum SyaraDilihat dari segi asalnya, dalil dibagi kepada dua bagian, pertama; dalil yang bersumber dari wahyu, dan kedua; dalil yang bersumber dari rayu (penalaran). Dalil yang bersumber dari wahyu berupa al-Quran dan Sunnah, sedangkan yang bersumber dari rayu sangat beragam, di antaranya adalah ijma, qiyas, istihsan, dan maslahat mursalah.Dalil yang bersumber dari wahyu dikenal juga dengan istilahdalil manshush,yaitudalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat di dalam nash. Sedangkan dalil yang bersumber dari rayu dikenal dengan istilahdalil ghairu manshush, yakni dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan di dalam nash al-Quran dan al-Sunnah.Kedua macam dalil tersebut pada prakteknya (ketika digunakan) saling berhubungan satu sama lain, karena dalam menggali suatu dalil yang bersumber dari wahyu, pada hakekatnya membutuhkan penalaran akal di dalamnya. Begitu juga sebaliknya, hasil penalaran akal tidak dianggap sebagai dalil syara kecuali bila disandarkan kepada wahyu.3Mengenai pembahasan dalil syara ini, Hasbi al-Shiddieqy mengemukakan, bahwa dalil syara yang pernah digunakan oleh para ulama ushul jumlahnya mencapai 46 (empat puluh enam) macam dalil.4Dalil dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut:1. 1. al-Quran2. al-Sunnah3. Ijma seluruh mujtahid4. Ijma shahabat5. Ijma ulama Madinah6. Ijma ulama Kufah7. Ijma Khulafa al-Rasyidin8. Ijma al-Syaikhaini9. Ijma al-Itrah10. Fatwakhalafa al-arbaahapabila mereka sepakat pendiriannya11. Fatwa shahabi (madzhab shahabi)12. Fatwa Shahabi yang menyalahi qiyas13. Madzhab Kibari al-Tabiin14. Qiyas15. Istidlal16. Istishhab17. Maslahat mursalah18. Baraah al-Ashliyah19. Saddu al-Dzarai20. Istihsan21. Adat22. Urf23. Taamul24. Istiqra25. Al-Taharri26. Al-Ruju ila al-Manfaah wa al-Madlarrah27. Al-Qaulu bi al-Nushush wa al-Ijma fi al-Ibadat wa al-Muqaddarati, wa al-Qaul bi Itibari al-Mashalih fi al-Muamalat wa Baqi al-Ahkam28. Taghyir al-Ahkam bi Taghayyuri al-Achwal wa al-Azman29. Al-Akhdzu bi al-Akhaffi maa Qila30. al-Ishmah31. Syaru man qablana32. Al-Amal bi al-Dhahir aw al-Adhhar33. Al-Akhdzu bi al-Ihthiyat34. AL-Qurah35. Al-Amal bi al-Ashli36. Maqul al-Nash37. Syahadat al-Qalbi38. Tahkimu al-Hal39. Umum al-Balwa40. Al-Amal bi Aqwa al-Shabahaini41. Dalalat al-Iqtiran42. Dalalat al-Ilhami43. Ruya al-Nabiy saw44. Al-Akhdzu bi aisari ma Qila45. Al-Akhdzu bi Aktsari ma Qila46. Faqdu al-Dalil bada al-fihshi.5Semua dalil di atas oleh sebagian ulama dapat dikembalikan kepada empat dalil saja, yaitu:1. 1. 1. Al-Kitab2. Al-Sunnah3. Ijma4. Al-RayuSecara umum dapat pula dikembalikan kepada tiga macam dalil, yaitu al-Quran, al-Sunnah, dan dalil ijtihadi.Dalam prakteknya, dalil di atas tidak digunakan secara keseluruhan oleh para ulama ushul. Misalnya dalam madzhab Hanafi, dalil yang dijadikan pegangan dalam menginstinbathkan hukum hanya ada delapan, yaitu; Quran, Sunnah, atsar, ijma, qiyas, istihsan, dan urf. Madzhab Maliki dalam menetapkan suatu hukum berpegang pada dalil Quran, Sunnah, ijma, qiyas, perbuatan ahli Madinah, maslahat mursalah, istihsan, dzarai, urf, dan istishhab. Sedangkan pada kalangan al-Syafii, dalil yang digunakan pada umunya berupa Quran, Sunnah, ijma, dan qiyas.6Dengan demikian, meskipun dalil-dalil hukum itu jumlahnya banyak, tetapi dalam penerapannya para ulama berpegang pada dalil-dalil yang diyakininya saja sebagai dalil hukum yang dianggapnya dapat dijadikan sebagai hujjah.Dalil-dalil tersebut dilihat dari segi kualitasnya dapat dibagi kepada dua macam, yaitu dalil qathi dan dalil dhanni. Dalil qathi adalah dalil yang menunjukkan pada sesuatu yang jelas, tidak mungkin ditawilkan dan dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil qathi ialah ayat-ayat Quran yang dalalahnya sangat jelas dan hadits-hadits mutawatir. Sedangkan dalil dhanni berarti sebaliknya, ia menunjukkan sesuatu yang belum jelas, sehingga ada kemungkinan untuk ditawilkan atau dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil ini adalah selain dari kedua jenis dalil di atas.Dengan demikian, istilah dalil qathi dan dhanni berhubungan dengan nilai dan kualitas sesuatu dalil, hal-hal yang qathi atau tegas tidak diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dhanni baik dalam fungsinya maupun di dalam tempatnya. Mengenai kehujjahannya, dalil yang bernilai qathi baik dari segiwurudnyamaupun dari segidalalahnya(penunjukannya) adalah dalil yang tertinggi nilainya dan merupakan pegangan yang mutlak untuk dijadikan dasar suatu hukum, ia juga bukan lapangan ijtihad. Sedangkan dalil yang dhanni merupakan lapangan ijtihad, dan hasil ijtihadnya pun bernilai dhanni pula.Dilihat dari segi cakupan maknanya, dalil-dalil hukum syara dibagi kepada dalilkullydan daliljuziy.dalilkullyadalah dalil yang maknanya mencakup keseluruhan dan bersifat umum, ia tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukallaf. Sedangkan dalil yang juziy ialah dalil yang menunjuk kepada suatu persoalan dan suatu hukum tertentu.7Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat al-Quran, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah yang kully. Contoh dari ketiganya ialah:1. Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29: Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.Ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk dipergunakan oleh manusia. Kata (segala sesuatu yang ada di bumi) bersifat umum mencakup semua yang ada di darat dan di laut.Dari ayat ini diambil dasar kaidah: Pokok hukum segala sesuatu adalah membolehkan.1. Hadist Nabi yang berbunyi: : Dari Abu Said bin Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: Tidak boleh memadlaratkan diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain (H.R. Ibnu Majah dan Daru Quthniy).Hadits di atas melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan dibangun atas dasar kemaslahatan.1. Kaidah fikih yang berbunyi: Kesukaran itu mendatangkan kemudahan.Di antara contoh dalil yang juziy adalah ayat: Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian.Dalam pembahasan mengenai kedua dalil ini harus dibedakan antara dalil yang kully dengan lafadzam,dan dalil yang juziy dengan lafadzkhas.Istilahamdankhas,dikenal di dalam kajian lafadz atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap ayat-ayat al-Quran, di mana yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut pandang kata perkata.1.Tugas Mujtahid dalam Menetapkan HukumProses penetapan hukum dalam Islam disebut dengan ijtihad. Secara lengkap al-Syaukani mengemukakan pengertian ijtihad sebagai berikut: Mengerahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara yang bersifat opersasional dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan).Secara rinci definisi di atas diuraikannya sebagai berikut:1.Kata (mencurahkan kemampuan), hal ini engecualikan huku-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan makna pencurahan kemampuan adalah sampai dirinya merasa tidak mampu lagi untuk menambah usahanya.2. (hukum syara) mengecualikan hukum bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karenanya orang yang mencurahkan kemampuannya dalam bidang hukum tadi tidak disebut mujtahid menurut istilah ushul fikih.3.Begitu juga mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah atau itiqadiyah, walaupun menurut ilmu kalam hal yang demikian itu disebut ijtihad.4.Kata (dengan cara mengambil istinbath) mengecualikan pengambilan istinbath hukum dari nash yang dhahir atau penghafalan beberapa permasalahan, atau menanyakan pada seorang mufti ataupun dengan mencari hukum permasalahan dari buku-buku. karena yang demikian itu tidak termasuk dalam ijtihad menurut istilah meskipun termasuk ijtihad dari segi bahasa.8Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan proses penggalian hukum Islam yang dilakukan oleh seorang fakih dengan suatu upaya yang bersifat maksimal yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.Istilah ijtihad dalam periode awal dipergunakan dengan pengertian yang lebih sempit dan lebih spesifik daripada yang kemudian digunakan pada masa al-Syafii dan di masa sesudahnya. Istilah ini mengandung arti pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli. Sebagai contoh, ada satu riwayat mengenai Umar bin Khattab bahwa pada suatu hari pada bulan Ramadlan, ia mengumumkan tibanya saat berbuka ketika matahari tampaknya telah terbenam. Setelah beberapa saat, ia diberitahu orang bahwa matahari terlihat kembali di ufuk Barat (karena sebenarnya belum terbenam). Atas hal ini dikabarkan ia menyatakan: Bukan soal yang gawat, kami sudah berijtihad (qad ijtahadna).9Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Orang yang dianggap sebagai mujtahid adalah orang yang sudah dianggap memiliki beberapa persyaratan dan keahlian sebagai berikut:1.ilmu yang memungkinkannya mengetahui berbagai macam dalil dan syarat-syarat dalil yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.2.mengetahui bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, sehingga memungkinkan bagi simujtahid untuk memahami dengan baik perkataan Arab dan cara-cara mereka menggunakan bahasanya. Dengan pengetahuan ini, diharapkan dapat diketahui; makna-makna lafadzdi dalam al-Quran atau Sunnah, seperti makna lafadz yangwadhih,dhahir,mujmal, haqiqat, majaz,dan sebagainya.3.mengetahuinasikhdanmansukhdalam al-Quran dan Sunnah. Sehingga simujtahid dapat mengetahui mana ayat yangmahkumdalam arti masih diakui keberadaannya, dan mana ayat atau hadits yang sudahmansukhdalam arti sudah tidak efektif lagi.4.mengetahui ilmu riwayat dan dapat memdekan mana yangshahih,mana yanghasan,dan mana yangdhaif.10Mengenai persyaratan mujtahid ini, memang para ulama ushul memiliki kriteria yang berbeda-beda. Berbeda dengan uraian di atas, Yusuf Qardlawi mencatat sekitar delapan syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Syarat-syarat dimaskud ialah:1.mengetahui al-Quran.2.mengetahui al-Sunnah.3.mengetahui bahasa Arab.4.mengetahui tempat-tempat ijma.5.mengetahui ilmu ushul fikih.6.mengetahuimaqashid al-syariah(maksud-maksud syariat).7.mengenal kondisi sosial dan problematika kemasyarakatan di sekitarnya.8.memiliki sifat adil dan taqwa.11Meskipun persyaratan mujtahid yang dikemukakan oleh para ulama ushul beragam, namun pada hakekatnya persyaratan tersebut merupakan sebuah upaya agar orang-orang yang berijtihad memiliki standar keilmuan tertentu. Di samping itu, tidak memberi peluang kepada orang yang tidak memiliki persyaratan di atas untuk melakukan ijtihad terhadap permasalahan yang belum ditetapkan hukumnya di dalam masyarakat.Lebih lanjut Yusuf Qardlawi mengemukakan, bahwa syarat-syarat ijtihad di atas adalah syarat-syarat yang harus dimiliki oleh siapa saja yang hendak mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam arti ijtihad dalam semua cabang fikih dan permasalahannya. Adapun seorang mujtahid yang berijtihad dalam beberapa masalah, menurut mayoritas ulama ia tidak diwajibkan untuk memiliki semua persyaratan tersebut karena ijtihad itu dapat dibagi ke dalam beberapa bagian.Mengenai hal ini Qardlawi mengutif pernyataan al-Ghazali sebagai berikut:terkumpulnya delapan macam pengetahuan ini hanya disyaratkan atas seorang mujtahid mutlak, yang memberi fatwa dalam berbagai cabang hukum. Menurut saya (al-Ghazali), ijtihad merupakan martabat yang bisa dibagi. Bahkan boleh dikatakan bahwa seorang alim itu mencapai derajat mujtahid di bidang sebagian hukum saja. Maka barang siapa yang mengetahui cara mencari dalil dan menggunakan qiyas, boleh baginya berfatwa dalam masalah-masalah qiyas, walaupun ia kurang menguasai ilmu hadits. Dan barang siapa membahas masalah-masalahmusytarakah(salah satu jenis pembagian harta pusaka) cukuplah bila ia adalah seorang fakih dan mengetahui pokok-pokok ilmu faraidl dan pengertian-pengertiannya, walaupun dia belum mengerti hadits-hadits yang menjelaskan larangan minuman keras atau masalah nikah tanpa wali, karena ia tidak memerlukan hadits tersebut dan tidak ada hubungannya dengan masalahmusytarakahtadi...12Predikat mujtahid memiliki empat tingkatan, yaitu:1.Mujtahid mutlak. Mereka adalah mujtahid yang membangun madzhab hukum tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad bin Hanbal, beserta orang-orang yang setaraf dengan para imam madzhab seperti Zaid bin Tsabit, Jafar al-Shadiq, al-Tsauri,al-Auzai,dan sebagainya.2.Mujtahidfi al-madzhab(mujtahid madzhab). Mereka adalah mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya akan tetapi bila terdapat sesuatu permasalahan yang tidak ditemukan dalam pendapat imamnya, mereka berijtihad menurut kaidah yang dipergunakan dalam madzhabnya, lalu mengeluarkan pendapatnya menurut cara-cara yang dipergunakannya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Hasan, dan Zufar dalam madzhab Hanafi; al-Muzany dalam madzhab Syafii.3.Mujtahidfi al-masail(mujtahid fatwa). Mereka adalah mujtahid yang mendalami madzhab imamnya dan mampu menentukan pendapat mana yang kuat dan mana yang lemah, serta mampu menetapkan cara berdalil yang kuat dan cara berdalil yang lemah yang dipergunakan para shahabat dan para imam madzhabnya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Thahawi dalam madzhab Hanafi, al-Ghazali dalam madzhab Syafii, dan al-Khiraqi dalam madzhab Hanbali.4.Mujtahidmuqayyadatauashhab al-Takhrij(Ahli takhrij).Mereka adalah orang-orang yang mengikatkan diri dengan pendapat-pendapat salaf dan mengikuti pendapat mereka. Hanya saja mereka mengetahuimadarik al-ahkamdan memahami dalalah-dalalahnya. Mereka juga memiliki kemampuan untuk menentukan mana yang lebih utama dari pendapat-pendapat yang berbeda dalam suatu madzhab dan dapat membedakan riwayat yang kuat dari riwayat yang lemah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Karakhi dan al-Qaduri dalam madzhab Hanafi, al-Rafii dan al-Nawawi dalam madzhab Syafii.Kembali pada uraian di atas, ijtihad merupakan sebuah proses kerja yang dilakukan oleh seorang mujtahid dengan upaya yang maksimal dalam menemukan dan menetapkan hukum syari.Dalam Istilah ushul fikih, hukum syari didefinisikan sebagai: Firman Syari (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau berupa ketetapan.Dari definisi di atas dapat diketahui bahwaSyariatau pembuat hukum adalah Allah, karena hukum Islam adalah peraturan-peraturan agama yang bersumber pada kewahyuan. Wahyu di sini ada yang redaksinya langsung dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw, dan ada yang redaksinya disampaikan langsung oleh Nabi. Jenis wahyu pertama disebut dengan al-Quran, dan jenis wahyu yang kedua disebut dengan al-Sunnah.Kedua wahyu tersebut selanjutnya dikenal secara familiar sebagai sumber hukum Islam. Keduanya mengandung makna sebagai tempat atau rujukan utama dan asal dari segala hukum Islam. Dalam hal ini, Ahmad Hasan menyatakan bahwa sumebr materi pokok hukum Islam adalah al-Quran dan Sunnah. Otoritas keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan. Sementara itu, qiyas dan ijma sesungguhnya adalah alat atau jalan untuk menetapkan suatu hukum mengenai masalah-masalah baru di mana tidak ada bimbingan atau petunjuk langsung dari Quran dan Sunnah untuk menyelesaikannya.13Oleh karenanya, qiyas dan ijmatidak dipandang sebagai sumber hukum, ia lebih tepat disebut dengan dalil hukum. Kebenaran dalil-dalil ini akan ditentukan oleh sejauh mana kedua dalil ini sesuai dengan ruh dan syariat yang terdapat dalam Quran dan Sunnah.Berkenaan dengan Syari atau pembuat hukum, para ulama sepakat bahwa hak untuk menentukan hukum syari adalah hak mutlak Allah. Hukum yang dibuat-Nya disampaikan kepada manusia melalui wahyu, baik secara langsung melalui perantaraan malaikat maupun secara tidak langsung, yakni disampaikan melalui kebijakan Nabi. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk menciptakan hukum syari berdasarkan pada keinginan dan pertimbangan kemanusiaannya semata.Tugas manusia dalam kaitannya dengan hukum syari, secara teknis terbatas pada penafsiran terhadap kehendak Tuhan dalam menentukan hukum-hukumnya. Secara rinci tugas manusia (yang lebih kompeten; para mujtahid) dalam kerangka istinbath hukum adalah:1.menerangkan wahyu Allah baik berupa al-Quran maupun al-Sunnah apabila dirasakan tidak cukup jelas, sehingga dapat diketahui apa isi perintahnya atau apa norma-norma yang terkandung di dalamnya.2.memperluas hukum atau norma yang ada, sehingga dapat diterapkan pada berbagai perbuatan atau masalah sejenis yang tidak ditemukan aturannya (tidak di atur secara rinci dalam al-Quran dan Sunnah).14Dari uraian di atas kiranya perlu dipahami bahwa tugas para mujtahid dalam menetapkan hukum Islam secara substantif adalah menerangkan wahyu Allah yang dianggap belum jelas isi dan kandungan perintahnya, dan memperluas hukum syara atas semua peristiwa atau masalah sejenis yang tidak diatur secara jelas di dalam wahyu-Nya. Kata memperluas hukum di sini dapat dilakukan dengan melalui analogi dan semisalnya.Dengan demikian tugas mujtahid dapat diarahkan pada dua hal, yaitu menafsirkan ayat-ayat hukum yang belum diketahui dengan pasti ketetapan hukumnya, dan menerapkan hukum yang telah ada serta menjadikannya sebagai sandaran di dalam menetapkan hukum atas permasalahan yang baru di mana ketetapan hukumnya belum diketahui.Oleh karena itu masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah hukum syara yang tidak ada padanya dalil qathi (dalil yang sudah jelas maknanya). Dalam kalimat lain, lapangan ijtihad adalah masalah-masalah hukum yang dalil-dalilnya bersifat dhanni, terutama masalah-masalah furu (cabang) yang bersifat praktis.Dalam hal iniijtihadtidak terbatas pada ruang lingkup masalah yang baru saja, tetapi ia memiliki kepentingan lain yang berkaitan dengan khazanah hukum Islam, yaitu dengan mengadakan peninjauan kembali masalah-masalah yang ada di dalamnya berdasarkan kondisi yang terjadi pada masa sekarang dan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memilih mana pendapat yang terkuat dan yang paling cocok, dengan merealisasikan tujuan-tujuan syariat dan kemaslahatan manusia. Sesuai dengan kaidah fiqih bahwa, perubahan fatwa itu disebabkan karena perubahannya zaman, tempat dan keadaan.Dalam kaitannya dengan ruang lingkup ijtihad di atas, maka tugas mujtahid sekarang diarahkan pada dua hal, yang pertama; tugas yang berhubungan dengan masa lalu yakni dengan melakukan upaya-upaya peninjauan kembali atas masalah-masalah yang sudah dibahas oleh para mujtahid sebelumnya kemudian disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa kini; serta melakukan upaya-upayatarjih(mencari pendapat yang terkuat) dan pendapat yang dianggap sesuai dengan kondisi sekarang yang didasarkan padamaqashid al-syariahdan kemashlahatan umum. Yang kedua; tugas yang berhubungan dengan masa kini, yakni menemukan dan menetapkan hukum serta menerapkannya pada masalah-masalah baru yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf.Itulah sebabnya (barangkali), kenapa mujtahid jika ketetapannya salah dia masih mendapatkan pahala. Setidaknya ada dua alasan; pertama: masalah yang diijtihadi adalah masalah-masalah dhanni, dan kedua: ia diberi pahala karena pengabdiannya atas usahanya itu secara maksimal, akan tetapi ia tidak mencapai kebenaran itu lantaran kurangnya bukti-bukti dan dalil-dalil atau minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh mujtahid yang bersangkutan tentang permasalahan yang dibahasnya.C. Langkah-langkah Penetapan Hukum IslamDi dalam perkembangan sejarahnya, para mujtahid dalam melaksanakan tugasnya sebagai penafsir wahyu Allah telah menyusun seperangkat pola dan metode penetapan hukum syara. Salah satunya adalah metode penetapan dalil-dalil hukum syara.Secara umum metode penetapan dalil-dalil hukum syara ini diketahui dari dialog Nabi dengan Muadz bin Jabal ketika ia dikirim ke Yaman sebagai qadli. Secara lengkap dialog tersebut diriwayatkan oleh al-Baghawi sebagai berikut:Dari Muadz bin Jabal bahwasanya Rasulullah ketika mengutusnya ke Yaman bersabda: bagaiman engkau menghukum jika engkau berkewajiban memberi hukum? jawab Muadz: Saya menghukum dengan kitabullah. Jika tidak kau dapati? Jawab Muadz: saya menghukum dengan Sunnah Rasulullah. Jika tidak kau dapati? Jawab Muadz: saya berijtihad menurut pendapatku dengan tidak mengurangi daya ikhtiarku. Kemudian Rasulullah menepuk nepuk dadanya sambil bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan rasululah (yakni: Muadz), bagi apa yang diridhai Rasulullah.Dari dialog tersebut dapat dipahami bahwa tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam menetapkan hukum Islam secara umum adalah sebagai berikut:1.Mencari dalil yang terdapat di dalam nash-nash al-Quran2.mencari dalil yang terdapat di dalam sunnah Rasul (baik yang bersifatfily, qauly,maupuntaqriry)3.melakukan ijtihad dengan tetap memperhatikan ruh syariat yang terdapat dalam Quran dan Sunnah Nabi.Tentu saja masing-masing tahapan harus dilalui dengan penelitian yang sungguh-sungguh. Sebab bukan tidak mustahil ada sebagian mujtahid yang tanpa penelitian mendalam cepat mengambil kesimpulan bahwa masalah yang dihadapinya tidak disinggung dalam al-Quran dan Sunnah Nabi.Senada dengan pernyataan hadits di atas, adalah pernyataan Umar bin Khattab yang dituangkan dalamsuratyang kirimkan kepada Syureih dan lain-lain, sebagai berikut: .Hendaknya kamu memberi hukum dengan kitab Allah (al-Quran), jika kamu tidak mendapatkannya, maka dengan Sunnah Rasulullah, bila tidak kamu dapatkan maka hendaklah dengan apa-apa yang telah diputuskan oleh orang-orang shalih, dan bila tidak ada maka hendaknya berijtihad dengan pendapatmu.Pernyataan Umar di atas dapat dikatakan sebagai perluasan atas riwayat mengenai dialog Nabi dengan Muadz bin Jabal. Ini bisa dimaklumi karena proses penetapan hukum setelah Nabi wafat (masa shahabat) pada umumnya menempuh langkah-langkah sebagai berikut:1.Mencari ketentuan hukum dalam al-Quran;2.Mencari ketentuan hukumnya dalam Sunnah Rasulullah;3.Memusyawarahkan masalah itu, di mana khalifah mengundang para tokoh shahabat untuk dimintai pendapatnya tentang hukum sesuatu masalah yang dihadapinya. Bila mereka mendapatkan kata sepakat, khalifah melaksanakan hasil musyawarah itu. Apabila tidak mendapatkan kata sepakat, maka khalifah mengambil alih dan menentukan atau mengemukakan suatu pendapat yang dipandang lebih maslahat.Dengan demikian, pernyataan Umar: hendaklah harus dengan apa-apa yang telah diputuskan oleh salaf al-shaleh. Mengandung arti bahwa sebelum melakukan ijtihad secara individu, hendaknya seorang mujtahid melihat terlebih dahulu hal-hal yang sudah dibahas oleh para tokoh shahabat. Pendapat para tokoh shahabat ini, pada perkembangan selanjutnya ada yang memaknai sebagai sebuah konsensus atau ijma.Pada masa ini, proses ijtihad menempuh dua cara, yaitu: mengeluarkan hukum dengan cara menggunakanrayu(pendapat pribadi secara mendalam), dan mengeluarkan hukum dengan cara mengadakan ijma (kesepakatan kelompok secata mendalam).Pada masa selanjutnya, dikenal pula langkah-langkah lain seperti; qiyas (analogi), istihsan, maslahat mursalah, dan istishhab.Mengenai hal ini, secara rinci Hasbi al-Shiddieqy menyatakan bahwa langkah-langkah yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam menyelesaikan maslah-masalah hukum adalah:1.Hendaklah ia memperhatikan nash-nash al-Quran, lalukhabar mutawatir.Sesudah itukhabar ahad.2.Jika tidak ditemukan, hendaknya berpegang padadhahir-dhahiral-Quran dan Sunnah, serta darimantuq dan mafhumkeduanya.3.Jika tidak ditemukan, hendaknya memperhatikan perbuatan-perbuatan Nabi, lalu ketetapan-ketetapannya (taqrirnya).4.Jika tidak ditemukan, hendaknya memperhatikan fatwa-fatwa shahabat.5.Jika tidak ditemukan, barulah ia menetapkannya dengan qiyas atau salah satu dalil yang dibenarkan syara dengan memperhatikan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan.Di dalam menghadapi dalil-dalil yang dianggap berlawanan, Hasbi menyatakan: Hendaknya mendahulukan sistem mengumpulkan atau mengkompromikan dalil-dalil itu menurut cara-cara yang dibenarkan kaidah. Jika tidak mungkin dikompromikan dan dikumpulkan, barulah dicari cara menguatkan salah satu dari dalil itu.15Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa langkah-langkah penerapan suatu dalil dalam menemukan dan menetapkan hukum syara secara makro ada tiga, pertama; menjadikan al-Quran sebagai dalil hukum yang pertama, kedua; menjadikan Sunnah Rasulullah sebagai dalil yang kedua; dan ketiga; menjadikan ijtihad sebagai metode dalam menemukan dalil hukum sesudah al-Quran dan Sunnah dengan berpegang pada prinsip sesuai dengan ruh keduanya serta bepijak pada tujuan syariat (maqashid al-syariah).Dalil yang dihasilkan dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah dalam istilah ushul fikih disebutdalil al-nash(petunjuk tekstual), sedangkan dalil yang dihasilkan melalui proses ijtihad disebutdalil al-ijtihad(petunjuk yang bersifat ijtihadiyah). Dalil ijtihad ini merupakan dalil yang dilahirkan melalui proses pemikiran ulang dan penafsiran ulang atas suatu hukum secara independen. Alat pokok yang digunakan dalam berijtihad adalahrayu(pertimbangan mendalam dari suatu pendapat pribadi).Dalam perjalanan sejarahnya, jumlah dalil ijtihad ini mencapai sekitar empat puluhan bahkan lebih. Dari jumlah ini, yang populer sekitar delapan dalil saja, yaitu: ijma, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, istishhab,urf, madzhab shahaby,syaru man qablana. dua dalil yang pertama; ijma dan qiyas, disepakati penggunaannya sebagai dalil oleh jumhur ulama, sedangkan yang lainnya para ulama masih berselisih di dalam penggunaannya.16Mengenai kedudukan dalil ijtihad apakah ia menjadi hujjah dalam menetapakan hukum sesutu masalah atau tidak?- akan ditentukan oleh seberapa dekat kesesuainnya dengan kedua sumber hukum pokok dalam Islam, yakni al-Quran dan Sunnah.D. PenutupMakalah ini salah satu upaya pelurusan kembali tentang beberapa langkah yang semestinya dijadikan sebagai tolok ukur dalam penerapan dalil pada proses ijtihad hukum.Upaya ini dilakukan karena masalah-masalah baru baik berhubungan dengan masalah ekonomi, sosial, kedokteran, politik dan sebagainya terus bermunculan di tengah-tengah masyarakat dan secara naluri membutuhkan kepastian hukum. Bila langkah-langkah yang dilakukan oleh para mujtahid dalam menemukan dan menetapkan hukum atas sesuatu masalah dimaksud keluar dari ketentuan-ketentuan yang semestinya, maka bisa jadi produk hukum yang ditetapkannya akan keluar dari ruh syariat Islam. Bahkan lebih dari itu, ia juga dapat menjadi sebuah produk hukum yang membingungkan dan kontroversial, menyesatkan dan membahayakan.Oleh karena itu, memahami kembali sistematika penerapan dalil dalam menemukan dan menetapkan hukum adalah sesuatu yang esensial. Setidaknya, para mujtahid atau ulama memahami secara mendalam teori umum dari langkah-langkah yang harus ditempuh ketika mereka dihadapkan pada permasalahan baru yang membutuhkan kepastian hukumnya dalam Islam.Langkah-langkah penerapan dalil dalam menemukan dan menetapakan hukum dimaksud adalah mula-mula mencari jawaban di dalam al-Quran melalui ayat-ayatnya yang sangat beragam baik yang bersifat qathi maupun dlanni, yangkullymaupunJuziy; jika tidak didapati, mencari jawaban di dalam Sunnah Nabi; jika masih belum ditemukan, mencari jawaban dari ijma; jika masih belum ditemukan, mencari jawaban dangan menggunakan qiyas; jika masih belum ditemukan jawabannya, maka mencari jawaban dengan menggunakan dalil-dalil lainnya yang dihasilkan melalui ijtihad.Dalil-dalil yang dihasilkan melalui ijtihad ini jumlahnya sangat banyak, yang populer selain dalil di atas ialahistihsan,maslahat mursalah,istshhab, urf,madzhab shahabi, dansyaru man qablana.Dalil-dalil hukum di atas dibedakan menjadi dua bagian, yaitudalil manshus(tertulis) dan dalilijtihadi(dalil tidak tertulis).Dengan melalui langkah-langkah di atas, diharapkan agar produk hukum Islam yang berkembang di masyarakat akan terus sesuai dengan syariat Islam dan sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan ummat manusia.Wallahu Alam.DAFTAR PUSTAKAA. Wahab Khallaf,Ilmu Ushul al-Fiqh.Kairo: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1990.Ahmad Warson Munawwir.Kamus Arab-Indonesia.Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.Ahmad Hasan.Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup.Terj.Agah Garnadi.Bandung: Pustaka, 1993.Al Yasa Abubakar.Ke Arah Ushul Fiqih Kontemporerdalam Majalah Ar-Raniry No. 68 tahun 1990.A. Wahab Khlallaf.Ilmu Ushul al-Fiqh.Beirut: Dar al-Fikri, 1990.Al-Syatibi.Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, Juz III.Mesir: Dar al-Fikri al-Araby, t.t.A. Djazuli dan I. Nurol Aen.Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam.Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.Fazlur Rahman.Membuka Pintu Ijtihad.Bandung: Pustaka,1984.Hasbi al-Shiddieqy.Pengantar Hukum Islam I.Jakarta: Bulan Bintang, 1980.Muhammad al-Hudlary.Tarikh al-Tasyri al-Islamy.Jeddah: al-Haramain li al-thibaah wa al-nasyri wa al-Tauzi, t.t.Nicolas P. Aghnides.Pengantar Ilmu Hukum Islam.Terj. Roesli DMB. Solo: Ramadhani, 1984.Yusuf Qardlawy.Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan.Surabaya: Risalah Gusti, 1995.Romli SA.Muqaranah Madzahib fi al-Ushul.Jakarta:GayaMedia Pratama, 1999.Yusuf Qardlawi.Ijtihad dalam Syariat Islam.Terj. Achmad Syathori.Jakarta: Bulan Bintang, 1987.1Ahmad Warson Munawwir,Kamus Arab-Indonesai,(Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), h. 450.2A. Wahab Khlallaf,Ilmu Ushul al-Fiqh,(Beirut: Dar al-Fikri, 1990), h. 20.3Al-Syatibi,Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, Juz III,.(Mesir: Dar al-Fikri al-Araby, t.t), h. 41.4Hasbi Ash Shiddieqy,Pengantar Hukum Islam I,Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hal. 1855 Uraian lebih lanjut mengenai dalil-dalil ini, lihat Hasbi, Pengantar,h. 185-186.6 Lihat Romli SA,Muqaranah Madzahib fi al-Ushul,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 47-49.7 A. Djazuli dan I, Nurol Aen,Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam.(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 86.8 Yusuf Qardlawi,Ijtihad dalam Syariat Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 2-4.9Ahmad Hasan,Pintu Ijtihad Sebelum tertutup,Terj. Agah Garnadi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h. 103-104.10Hasbi Ash Shddieqy,Pengantar Hukum ..,h. 140-141.11Uraian lebih lanjut mengenai persyaratan mujtahid ini dapat dilahat dalam Yusuf Qardlawi,Ijtihad dalam Syariat Islam.Hal. 6-67.12Yusuf Qardlawi.Ijtihad .. h. 76.13Ahmad Hasan,Pintu Ijtihad,h. 38.14Al Yasa Abubakar,Ke Arah Ushul Fiqih Kontemporer,dalamMajalah Ar-RaniryNo. 68 tahun 1990, h.13.15Hasbi Ash Shiddieqy,Penganta,h. 152.16A. Wahab Khallaf,Ilmu Ushul al-Fiqh,(Kairo: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1990), h. 22.

KATA PENGANTARBismillahirrahmanirrahimAssalamualaikum wr wbSegala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada Baginda Rasulullh SAW, keluarga serta para sahabat dan mereka yang menyeruh dengan seruannya serta berpedoman dengan petunjuknya.Alhamdulillah syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala kasih sayangNya makalah tentang Akal Dan Wahyu ini telah selesai, semua itu tak lepas dari dukungan serta motivasi dari beberapa pihak, maka tak lupa kami ucapkan terimakasih atas semua bantuan serta keikhlasannya sehingga makalah ini bisa selesai meskipun masih banyak sekali kekurangan baik dari segi pembahasan maupun tulisan, manusia tempatnya salah dan lupa, namun sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang mau bertobat dan berusaha memperbaiki kesalahannya, dari situlah kami harapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan kelancaranproses pembelajaran kami dan demi kebaikan kita bersama.Harapan kami semoga makalah ini dapat membawa manfaat baik bagi diri kami sendiri maupun kita semua serta bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin ya robbal alamin . .Wassalamualaikum wr wbPenulis,PENDAHULUANSebagaimana yang telah diketahui bersama bahwasanya Jumhur Ulama dalam masalah dalil-dalil Syariat(adillah Syariyah)membagi dua bagian. Pertama adalahAdillah Muttafaq alaihayaitu Al quran, As Sunnah, Al Ijma dan Al Qiyas. Yang kedua adalahadillah mukhtalaf fihayaitu Al Istishab, Al Mashalih Mursalah, Qaulus Shahabi, Al Istihsan,As Syaru Man Qablana,As Syaddud Dzarai, Al Urf, dan Al Istiqra.Pada pembahasan kali ini saya tidak akan membahas secara keseluruhan masalahadillah mukhtalaf fihakarena telah dikaji pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Istiqra yang merupakan salah satu bagian dariadillah mukhtalaf fiha.Istqra adalah sebuah metode penelitian atau pemeriksaan atas berbagai hal dalam sebuah masalah. Ynag menghasilkan sebuah kesimpulan hukum untuk keseluran. Metode ini banyak digunankan ulama dalam menyimpulkan hukum-hukum yang tidak memiliki landasan hukum yang tertulis secara jelas di dalam Al Quran atau al Hadist. Misalnya ulama menyimpulkan bahwa usia yang paling kecil seorang wanita haid adalah umur sembilan tahun. Atau kesimpulan seorang ulama yang mengatakan masa ideal haid adalah antara seminggu hingga sepuluh hari. kesemua dari kesimpulan hukum itu tidak berdasarkan atas nash namun berdasarkan penelitian dan riset. Inilah yang biasa disebut istiqra.1. A.DefinisiDalam artian secara bahasa Al Istiqra adalah yang berarti: meminta untuk dibaca, diselidiki, dan diteliti. Sedangkan dalam artian secara istilah ialah: Meneliti permasalahan-permashan cabang (juz-i) dengan mendetail guna menemukan sebuah hukum yang diterapkan pada seluruh permasalahan (kulli). Atau biasa diartikan dengan sebuah pengambilan dalil dengan menetapkan suatu hukum pada hal-hal yang(Juz-i)yang kemudian diberlakukan pada hal-hal yang(Kulli), atau dalam artian lain adalah pengambilan dalil hukum dengan cara metode induktif.1. B.Pembagian IstiqrDalam pembahasan kaedah ini, Istiqr dibagi menjadi dua macam bentuk didalam penerapannya, sesuai dengan metode penelitian yang delakukan. antara penelitian yang dilakukan secara menyeluruh atau penelitian yang hanya dilakukan pada sebagian besar permasalahan. Pembagian itu adalah:Pertama, Istiqr yang lengkap(Tmm)yaitu penelitian pada seluruh bagian-bagian permasalahan tanpa tersisa kecuali permasalahan yang berlawanan untuk menetapkan hukum atasnya. Seperti seorang meneiliti seluruh anggota badannya agar mengetahui apakah dia sehat atau sakit. Dan penelitian ini harus benar-benar diyakini bahwa semua cabang permasalahan yang diteliti tanpa tertinggal satupun. Sehingga menghasilkan sebuah keputusan hukum yang pasti(qathi)bukan hukum yang samar atau sekedar persangkaan(dzanni).Adapun contohIstiqr Tamyang biasa disebutkan dalam kitab-kitab fiqh adalah shalat terdiri dari shalat wajib atau shalat sunah, dan setiap dari kedua macam shalat ini tidak terlepas dengan adanya bersuci. Karena bersuci adalah merupan sebuah syarat sah seorang mengerjakan shalat. Maka setiap orang melakukan shalat harus senantiasa bersuci (thaharah). atau dengan artian lain; bahwasannya tidak akan sah solat seseorang jika sekiranya tanpa dibarengi dengan Wudlu(Thahrah).Kedua, Istiqr yang kurang(Nqish)yaitu: Penelitian yang dilakukan hanya pada sebagian besar dari permasalahan yang menjadi obyek pembahasan untuk mendapat sebuah kesimpulan hukum keseluruhan. Dalam metode ini tidak didapatkan permaslahan permasalhan yang berlawanan hukum. Sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkan dariistiqra naqishini hanya secara keumuman(hasbi dhohir). Karena tidak semua permasalahan diteliti satu-persatu. Maka kekuatan hukum yang dihasilkan juga bersifat persangkaan(dzonni)bukan bersifat pasti(qathi). Sebagaimana hasil penelitian bahwa hewan adalah mengunyah makanan dengan geraham bawah. Namun hasil penelitian ini tidak berlaku untuk semua jenis hewan, karena ada beberapa hewan yang memakan mangsanya tidak dengan gerakan geraham bawah, contohnya adalah buaya. Disebut dengan naqish karena hukum yang dihasilkan pada penelitian ini tidak berlaku untuk keseluruhan. Berbeda dengan istiqra tam yang berlaku untuk semua cabang permasalahan.Seorang ulama syafiiah menyontohkan istiqra naqish ini adalah dengan kesimpulan imam syafii tentang tidak wajibnya hukum shalat witr, berdasarkan perbuatan Nabi Saw yang melakukan shalat witr diatas hewan kendaraan. Karena berdasarkan istqra (penelitihan) yang imam lakukan bahwasanya Nabi Saw tidak pernah melaksanakan shalat fardu diatas hewan kendaraan. Dan contoh ini masih patut dikoreksi ulang menurut beberapa ulama.Istiqra (Induktif); antara Syathibi dan Ibnu Hazm.Menetepkan sebuah hukum atau yang dikenal dengan Istinbath ahkam dan pengenalan terhadap maqashid syariy, ulama tak akan lepas dengan cara dan metode yang dipergunakannya. Salah satu metode itu dikenal dengan metode Istiqra (Induktif). Sebuah cara yang dipergunakan oleh banyak ulama sebut saja Imam Syathibi, Ibn Qayyim, Ibnu Hazm dan lain sebagainnya. Istiqhra dalam arti terminologinya adalah meneliti teks-teks parsial mengandung hukum-hukum syariy, kemudian berkesimpulan dari hasil penelitian tersebut guna mendapatkan hukum yang universal.Imam Syathibi yang banyak dikenal sebagai konseptor, dan revolusioner ulung dalam berbagai bidang ilmu utamanya pada bidang ushul fiqh memiliki andil dalam membangun metodologi ini. Bahkan dikatakan menjadi salah satu karakteristik tersendiri metode ushul terapannya dalam beberapa karyanya dan juga urgen untuk diketahui oleh penuntut ilmu pada zaman setelahnya.Syathibi memperkenalkan metode istiqra-nya dengan nama istiqra manawy, yaitu menelusuri point-point parsial pada makna untuk menetapkan hukum yang lebih universal, secara qathiy atau dzanniy. Dan bersifat tidak ditetapkan dengan dalil tertentu tapi dengan dalil-dalil yang berkaitan satu sama lain namun berbeda maksud. Selanjutnya dengan satu tujuan itu dapat menghasilkan satu cakupan hukum.Hal ini berbeda yang diterapkan oleh para ahli Mantiq dalam defenisi dan bagian Istqra ini pada naqish, tam dan seterusnya. Syathibi dengan pengamatan positif dan pendekatan makna guna menghasilkan tujuan yang dimaksud, mampu membentuk satu metode tertentu. Salah satu contoh, ungkapan mengenai Rasulullah SAW telah diberikan banyak keistimewaan dan kelebihan yang juga sama diberikan kepada umat islam secara umum ditetapkan dengan metode Istqra (versi Syathibi). Beliau menyebutkan lebih dari 30 contoh yang menguatkan hal itu, diantaranya :1. Shalawat Allah SWT; Allah berfirman mengenai shalawatNya pada nabi dan Allah juga menyebutkannya untuk umat islam 2. Rasulullah adalah makhuk yang termuliah di sisi Allah SWT, dan juga dikatakan pada umat 3. pemberian Allah adalah Ridha-Nya; Allah berfirman dan juga sama disebutkan pada umat Islam .Metode Istiqra khusus yang dikaji oleh Syathibi memiliki beberapa karakter tertentu antara lain :Pertama : Syathibi dalam memaknai dalil mencakup hukum furu berbeda dengan metode Mutakallimin atau Syafiiy yang hanya menggunakan kajian teoritis tanpa hukum furu.Kedua : Syathibi juga tidak mengikut pada satu mazhab fiqh berlawanan dengan kaedah Hanafiy yang mesti mengikut pada mazhab tertentuKetiga : teori furu yang merupakan kaedah dasar Syatibiy bukan merupakan teori konvensi atau nonkonvensi tapi teori induktif universal yang menghasilkan satu ketetapan hukum.Lain halnya dengan Ibnu Hazm, menurut Abu Zahra ia juga menetepkan teori istiqhra sebagai metode kajiannya. Namun dalam kajian ushul fiqh ia tidak mengisyaratkan untuk sepenuhnya menetapkan teori ini. Dalam berbagai kajian bahkan didapati bahwa ibnu Hazm tidak menggunakan teori Istiqra yang benar. Ini dapat dilihat dari metode yang dipakainya dalam beberpa hal, diantaranya/: sisi itsbat; ia tidak memberikan dalil yang kuat untuk satu hukum. Misalnya; ketika membatalkan teori Qiyash yang notabenenya memiliki kekuatan dalil berdasar Alquran dan Hadits. Sisi nafy; menurutnya merupakan argumen terkuat untuk menentukan sebuah hukum, namun lagi-lagi tanpa dalil yang tegas untuk menafikkan hukum itu. Misalnya; kewajiban mengambil hadits ahad, ketika ia menafikkan semua sahabat dan thabiin, salah seorang mereka berkata jangan mengamalkan apa yang saya ceritakan dari Rasulullah kecuali telah disampaikan hal itu oleh orang Kuffah.Berbeda dengan Syathibi, ibnu Hazm tidak menggunakan teori Istiqrai dengan sempurna, banyak kekurangan dan kelemahannya serta cederung hanya sekedar berdalil guna menguatkan argumennya.tentang Metode Induksi (al Istiqra) dalam pemikiran Asyatibi, ada beberapa catatan:1. Sejak awal beliau menolak pendekatan atomis Aristotelian dengan metode sylogismenya.2. Sebenarnya beliau tidak keluar dari mainstream limuwan yang memetakan metode induksi ke dalam dua klasifikasi: sempurna-tidak lengkap.Istiqra versi Syafiiy.Al-Imam Asy-Syafiiy dianggap sebagai pembaharu (mujaddid) abad kedua. Hal ini tidak berlebihan karena beliau mampu mengkompilasikan ilmu hadits dan ilmu logika dari ilmu yang ia peroleh dari guru-gurunya. Selain itu beliaulah yang telah mengokohkan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqih lewatRisalahnya guna membuka gembok-gembok kokoh kerumitan ilmu ini.Mengenai teori induktivitas, beliau memposisikannya sebagai metode dasar pengkonklusian hukum dari teks-teks yang ada menurut mazhabnya (mazhab Syafiiy). Menurut beliau istiqra adalah statement mengenai observasi dalil-dalil parsial guna mendapatkan hukum; dari dalil-dalil persial tadi.Hal ini dapat dilihat dari persoalan mengenai hukum Shalat Witir. Hukumnya adalah sunnah sebagai hasil observasi terhadap dalil-dalil yang mendukungnya dan berkaitan dengan hukum itu; dalam sebuah statement Rasulullah Saw shalat witir itu perna dilakukan di atas punggung hewan (unta) ketika dalam perjalanan dan selanjutnya mencoba mengkomparasikannya dengan statement-Nya yang lain bukanlah shalat fardhu ketika dilaksanakan di atas punggung hewan melainkan shalat sunnah saja, maka kita segera mengetahui bahwa hukum shalat witir itu adalah sunnah dengan jalan metode induktivitas.1. Perbedaan Ulama tentang Setatus Hukum Istiqra NaqishUlama berbeda pendapat tentang hasil kesimpulan dari istiqra naqish kepada dua pendapat:Pendapat pertama adalah pendapat Ulama Jumhur yang berpendapat bahwa istiqra naqish menetapakan hukum keseluruhan secara dzhan (persankaan).Dalil yang dipakai oleh kelompok ini dalah dalil aqli, yaitu kita dapat menemukan sebagian besar dari bagian-bagian permasalahn yang diteliti kemudian menyimpulkan sebuah hasil. Maka hasil ini berlkaku untuk bagian-bagian lain yang belum diteliti, yang biasa kita anggap sebagian besar adalah mewakili keseluruhan secara persangkaan.Pendapat kedua adalah pendapat imam Fahrur Razi mengatakan bahwasanya istiqra naqish tidak dapat menghasilkan sebuah kesimpulan hukum baik secara pasti atau secara persangkaan.Alasan pendapat kedua adalah penelitian yang dilakukan sebagian dari seluruh permasalahan adalah tidak dapat menyimpulkan sebuah hukum yang dapat deberlakukan secara keseluruhan, karena bisa jadi permasalahnan yang belum diteliti memiliki hukum yang berbeda dan bertentangan dengan kesimpulan hukum yang diputuskan.Pendapat ini dibantah oleh beberapa ulama bahwasanya yang belum diteliti adalah sebagian kecil, sedangkan sebagian besar telah diteliti dan menemukan kesimpulan hukum. Maka bagian kecil ini terikut oleh hasil kesimpulan yang lebih banyak. Maka oleh sebab itu kesimpulan yang dihasilkan ini adalah kesimpulan dzhanni bukan qathi.1. D.KesimpulanJika kita menemukan cabang permasalahn yang belum diketahui apakah hukum kesimpulan umumnya pasti(qathan)atau samar(dzhonnan).Maka yang patut kia lakukan adalah melihat kembali dari metode istiqra apakah yang digunakan. Jika metode istiqra yang dipakai adalahistiqra taammaka hasil hukumnya bersifat pasti. Adapun jika metode istqra yang dipakai adalahistiqra naqishmaka hasil kesimpulan hukumnya bersipfat samar atau belum pasti.Dalam penetapan hukum islam secara umum dapat di kelompokkan kepada dua macam: yaitupertama,metode verbal (at-turuq al-lafzdiyah) yaitu metode penetapan hukum yang bertumpu kepada analisis kebahasaan. semisal, lafaz-lafaz amm, khas, muthlaq, muqayyad, amar, nahi.Kedua,metode substansial (at-turuq al-manawiyah), yaitu metode penetapan hukum yang bertumpu kepada pengertian implisit nash dengan menggali substansi-substansi hukum islam (al-iltifatila al-maaniwa al-maqasid).Secara garis besar, ditemukan dua aliran usul al-fiqh, usul al-fiqh, yang berbeda delam perumusan kaidah-kaidah usul. Pertama, aliran Mutakallimun atau Syafiiyah. Mereka membangun kaidah-kaidah usul al-fiqh secara teoretis, logis dan rasional, dengan di dukung oleh alasan kuat baik naqli maupun aqli. Kedua, aliran Hanafiyah atau Fuqoha. Mereka membangun dan merumuskan kaidah-kaidah usul dengan beranjak dari masalah-masalah cabang dalam mazhab, setelah meneliti dan manganalisis masalah-masalah cabang tersebut.Untuk memadukan dan menyatukan kedua aliran dalam hukum islam di atas maka lahirlah aliran konvergensi, yaitu yang dipelopori oleh Asy-Syatibi dengan metode Istiqrai. dan dalam bukunya Duski Ibrahim yang berjudul Metode Penetapan Hukum Islam : Membongkar Konsep al-istiqra al-Mannawi Asy-Syatibi sangat menarik untuk dibaca. Pada buku ini dijelaskan berbagai konsep tentang al-istiqra al-Mannawi oleh Asy-Syatibi. Dengan kerangka teoretis perumusan kaidah-kaidah usul dan metode dan konsep penetapan hukum yang ditawarkan oleh Asy-Syatibi.Asy-Syatibi dengan nama lengkap Abu ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad Al-Lakhmi Al Garnati yang dilahirkan di Granada (belum jelas tahun kelahirannya), merumuskan konsep al_istiqra adalah penelitian terhadap partikular-partikular makna nash, hukum-hukum spesifik (fariyah), dan realitas sejarah (tradisi) untuk di tetapkan suatu hukum umum, baik sifatnya pasti (qoti) maupun dugaan kuat (zhanni). Al_istiqra al-Mannawi yang merupakan suatu metode penetapan hukum tidak saja menggunakan satu dalil tertentu, melainkan dengan sejumlah dalil yang digabungkan antara satu dengan yang lain yang mengandung aspek dan tujuan berbeda, sehingga terbentuklah suatu perkara hukum berdasarkan gabungan dalil-dalil tersebut.al_istiqra al-Mannawi yang merupakan metode penetapan hukum asy-Syatibi dalam prosedurnya memanfaatkan kolektivitas dalil dalam berbagai bentuknya, mempertimbangkan qarain ahwal (indikasi-indikasi keadaan tertentu) baik yang berkaitan dengan nash tersebut secara langsung (manqulah) maupun tidak berkaitan secara langsung (ghairu manqulah), termasuk mempertimbangkan kondisi sosial dan memerankan akal dalam merespon perkembangan atau perubahan yang terjadi dalam dinamika masyarakat.Mengingat tujuan asy-syari dalam penetapan hukum adalah untuk merealisasi kemaslahatan umat manusia dari berbagai segi yang tersimpul dalam prinsip dharururiyah, hajjiyah, dan tahsiniyah. Jadi dengan metode yang dipaparkan dalam buku ini mengulas banyak tentanga l_istiqra al-Mannawi yang dikonsepkan oleh Asy-Syatibi, bertujuan memberikan alternatif yang signifikan untuk menetapkan hukum atau kaidah hukum dan memverifikasikannya dibanding dengan metode-metode yang lain yang dilakukan secara parsial, yakni menggunakan dalil secara terpisah-pisah, sehingga terkadang mengabaikan dalil-dalil yang lain yang sebenarnya relevan diterapkan dalam menyelesaikan berbagai problem hukumtertentu.1. E.PenutupDalam pengambilan metode Istiqr, golongan Syafiiyah, Malikiah dan Hambaliah menetapkannya sebagai sebuahHujjahdan dipakai oleh mereka. sedangkan golongan Hanafiah, mereka tidak mengakuinya sebagai kaedah hukum yang mutlak, akan tetapi metode tersebut menurut mereka kembali kepada dalil Qiyas dan bisa juga kembali kedalam dalil Urf dan(dah)kebiasaan.Wallahu Alam Bisshawab.DAFTAR PUSTAKAlAl ayatul Bayinat, Syarhu Jamul Jawami. Imam jalauddin Al Mahalli.lSyarhul Kaukabus Sathi, Nadzam Jamul Jawami. Abu Bakar As Syuyuti.lAl Ilmam Bil Mukhtalaf Fih min Ushulil Ahkam. Hamdi Shubhi Thaha.l Makalah Kelompok Kajian Andalus. Ade Budiman.l Ibrahim Duski, Juli 2008. Metode Penetapan Hukum Islam :Membongkar Konsep al istiqra al-Mannawi Asy-Syatibi. Penerbit : AR-Ruzz Media, Jogjakarta.

makalah usl fiqh

PENDAHULUANA.Latar BelakangSejak wafatnya Nabi Muhammad SAW., hingga masa Imam Syafii terdapat kelompok fuqaha yang masyhur dengan pendapatnya. Di sisi lain, ada sekelompok fuqaha yang populer dengan periwayatan hadisnya. Di antara para fuqaha dari kalangan sahabat, terdapat mereka yang terkenal dengan pendapatnya, sebagaimana sahabat lain yang masyhur dengan hadis dan periwayatannya. Demikian pula dengan generasitabiindantabi tabiin, para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik dan para fuqaha lain di berbagai negeri Islam yang terkenal dengan pendapatnya sebagaimana banyak dari mereka yang dikenal dengan periwayatan hadisnya.Al-Syahrastani dalam kitabnya yang berjudulal-Milal wa al-Nihalmengatakan:sesungguhnya berbagai peristiwa dan kasus dalam masalah ibadah dan kehidupan sehari-hari banyak sekali. Kita juga mengetahui dengan pasti bahwa tidak setiap kejadian atau permasalahan terdapat keterangannya di dalam nash. Bahkan dapat dikatakan ada kejadian-kejadian yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Jika nash-nash yang ada terbatas jumlahnya, sementara peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak terbatas dan sesuatu yang terbatas tidak dapat dihukumi oleh sesuatu yang terbatas. Maka dapat diambil satu kesimpulan dengan pasti bahwa ijtihad dan qiyas merupakan sesuatu yang harus ditempuh, sehingga setiap permasalahan selalu dapat ditemukan solusinya.Sementara itu, terbentuknya hukum syari tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia Musthofa Dib al-Bugho mengatakan dalam karyanyaUshul al-Tasyri al-Islamiy: Atsar al-Adillah al-Mukhtalif Fiha:pada dasarnya hukum Islam dibentuk berdasarkan kemaslahatan manusia. Setiap segala sesuatu yang mengandung maslahah, maka terdapat dalil yang mendukungnya, dan setiap ada kemadharatan yang membahayakan, maka terdapat pula dalil yang mencegahnya. Para ulama sepakat bahwa semua hukum-huum Allah dipenuhi kemaslahatan hamba-Nya di dunia dan di akhirat. Dan sesungguhnya maqshid al-syariah itu hanya ditujukan untuk merealisasikan kebahagiaan yang haiki bagi mereka.Mayoritas ulama sepakat bahwaal-Syari(yang menetapkan syariat) tidak akan menetapkan hukum atas kenyataan yang dihadapi oleh manusia dan tidak akan memberikan petunjuk pada jalan yang akan mengantarkan kepada penetapan hukum kecuali untuk merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia.Dalam penetapan hukum Islam sumber rujukan utamanya adalah al-Quran dan Sunnah. Sedang sumber sekundernya adalah ijtihad para ulama. Setiapistinbath(pengambilan hukum) dalam syariat Islam harus berpijak atas al-Quran dan Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara ada dua macam, yaitu:nashdangoiru al-nash.Dalam menetapkan suatu hukum, seorang ahli hukum harus mengetahui prosedur cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath)darinash.Cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath)darinashada dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan makna (thuruq al-manawiyah)dan pendekatan lafazh(thuruq al-lafzhiyah).Pendekatan makna adalah(istidlal)penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung, seperti menggunakanqiyas, istihsan, istislah (mashalih al-mursalah), dan lain sebagainya.Di antaraistinbath al-ahkamgoiru al-nashtersebut di atas, ada beberapa yang telah disepakati oleh para ulama seperti ijma dan qiyas dan ada yang masih diperselisihkan kehujjahannya sebagai salah satu sumber hukum Islam, salah satunya adalahmashalih al-mursalah (istislah).Dalam hal ini penulis mencoba untuk mengeksplorasi mengenaimashalih al-mursalahmeliputipengertianmaslahah serta macam-macamnya,danpengertian mashlalih al-Mursalah serta kehujjahannya.Untuk lebih melengkapi kajian ini penulis menyertakan pendapat ulama terhadapmashalih al-mursalahsebagai sumber hukum Islam.B.Rumusan MasalahHal- hal yang dapat dijadikan rumusan masalah adalah:1.Apakah pengertianMaslahah Al Mursalah?2.Bagaimanakah pendapat golongan yang menolak dan menerimaMaslahah Al Mursalah?3.Bagaimanakah syarat- syaratMaslahah Al Mursalah?4.Ada berapakah macam- macamMaslahah Al Mursalah?

PEMBAHASANA.PengertianMaslahah al MursalahMaslahah secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan, Sedangkan menurut istilah atau epistemology,maslahahdiartikan oleh para ulama Islam dengan rumusan yang hampir bersamaan, di antaranya al-Khawarizmi (w. 997 H.) menyebutkan,maslahahadalahal-marodu bil-maslahatil-mukhaafazatu ala maqsudi-syari bidafi-l mufaasidi ani-l- kholqi,yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluq).Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan.Tidak jauh berbeda dengan al-Khawarizmi di atas, al-Ghazali merumuskanmaslahahsebagai suatu tindakan memelihara tujuansyaraatau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali adalah memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal di atas disebutmaslahah,dan setiap hal yang meniadakannya disebutmafsadah,dan menolakmafsadahdisebutmaslahah.Sedangkan menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah sebagai orang yang paling popular dan kontropersi pendapatnya tentangmaslahah-mursalahmengatakan bahwamaslahahitu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan tindakansyara.Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa maslahah al mursalah adalah suatu metodeijtihaddalam menggali sumber hukum yang tidak ada dalil nassnya dengan berdasarkan pada pendekatan memelihara hukum syara(maqosid asysyariah)B. Macam-macamMaslahah1.Macam-MacamMaslahahBerdasarkan Tingkatannya.Berdasarkan pandangan syari dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashid al-syariah, para ulama menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan:a) Maslahah DhoruriyyatYaitu maslahah yang ditetapkan demi keberlangsungan hidup manusia di dunia maupun diakherat. Sekiranya maslahah ini tidak terealisisir, maka hilanglah kehidpan manusia di dunia, hilanglah kenikmatan dan tersiksalah di akherat. Maslahah ini meliputi lima hal yang telah disebutkan di atas, yang menjadi maqasid al-syariah.b) Maslahah HajiyyatYaitu maslahah yang dibutuhkan oleh manusia hanya untuk menghilangkan kesulitan pada dirinya. Sekiranya maslahah tersebut tidak tercapai, maka hidup manusia akan merasa kesulitan dan kesusahan, tidak sampai menghilangkan kehidupannya. Maslahah ini terdapat pada masalah furu yang bersifat muamalah, seperti jual beli serta berbagai macam keringanan (rukhsoh) yang telah ditetapkan oleh syari, misalnya menjama dan menqashar shalat bagi musafir, berbuka bagai orang orang hamil dan menyusui dan lain sebagainya.c) Maslahah TahsiniyyatYaitu maslahah yang dimaksudkan untuk memperbaiki adat kebiasaan dan memulyakan akhlak manusia. Seperti bersuci ketika akan melakukan shalat, memakai perhiasan, wangi-wangian, haramnya makanan yang kotor danlain sebagainya.Oleh karena itu hukum-hukum yang mengandung kemashlahatandhorurymenjadi lebih penting untuk didahulukan dan dijaga daripada hukum-hukum yang bersifat hajjiyat apalagi yang bersifattahsiniy/takmily.2. Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Pandangan SyariBerdasarkan adanya pengakuan dan penolakan dalil terhadap suatu maslahah, maka para ulama membagi maslahah menjadi tiga macam, yakni:a) Maslahah MutabarohYaitu kemaslahatan yang diakui oleh syari dan terdapat dalil yang menetapkannya. Maslahah ini dapat dijadikan hujjah hukum, tidak diragukan lagi keabsahannya, serta tidak ada perselisihan dalam mengamalkannya. Pengamalan maslahah ini disebut qiyas.b) Maslahah MulghohYaitu maslahah yang tidak didukung oleh syari, akan tetapi ditolak dan ditentang oleh syari. Artinya tatkala nash menghukumi suatu peristiwa karena adanya kemslahatan di dalamnya, kemudian sebagian orang menghukumi peristiwa tersebut dengan merubah ketetapan syari karena kemaslahatan yang mereka perkirakan (wahm). Hukum semacam ini ditolak, karena maslahah yang mereka perkirakan tesebut ditentang oleh syari. Penetapan suatu hukum tidak dapat didasarkan pada maslahah terebut karena hal itu bertentangn dengan maqashid al-syariah. Misalnya persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian warisan dengan alasan maslahah yang mereka perkirakan. Hal itu bertentangan dengan firman Allah dalam surat al-nisa ayat 11:c) Maslahah MursalahYaitu maslahah yang tidak ditemukan dalil yang mendukungnya dan tidak ada pula yang menentangnya. Suatu peristiwa yang belum terdapat hukumnya di dalam nash, dan tidak ada pula illat yang dapat diqiyaskan dengan nash, akan tetapi terdapat sesuatu yang sesuai dengan nash dalam pensyariatannya artinya pensyariatan hukum tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan/manfaat dan menolak kemadharatan yang kemudian hal ini oleh para ulama diistilahkan denganmashalih al-mursalah.Dinamakan maslahah karena mendatangkan manfaat dan kebaikan serta menolak kemadharatan; dan dinamakan mursalah karena tidak terdapat nash (dalil) yang mendukung ataupun menentangnya.Jadi pada hakikatnya maslahah mursalah adalah segala sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan yang telah termaktub dalam maqashid al-syari akan tetapi tidak didukung oleh adanya dalil.

C.Pendapat Golongan Yang Menolak Dan Menerima Maslahah Al MursalahMasalah al Mursalahtidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas penganut mazhab asy-Syafiiah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa argumen yang mereka ajukan di antaranya yaitu;Pertama,masalahat itu ada yang dibenarkan olehsyara,ada yang ditolak olehsyaradan ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua (yang dibenarkan dan yang ditolak olehsyara) tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak sebagai dasar penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan, sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang lain menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah yang menjadi kajian darimaslahah-mursalahatauistislah. Dengan demikian menurut kelompok umat Islam yang tidak menerimamaslahah-mursalahsebagai dasar penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandangmaslahah-mursalah(kategori ketiga) sebagaihujjahberarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan.Kedua,memandangmaslahah-mursalahsebagaihujjahberarti menodai kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepadanass-nasstertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat.Dengan dalih maslahat dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan hawa nafsu.Ketiga, Bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang.Keempat,memandang maslahat sebagaihujjahakan membawa dampak terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum IslamAlasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahat (kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan hukum Islam di atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan.Pertama,dengan memandang maslahat sebagaihujjahtidak berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkanzannyang kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal istilahyakfi al-amal biz-zann,beramal berdasarkan kepadazanndianggap cukup karena semua fiqih adalahzann.Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga sebagaihujjahberarti memilih dua kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang dibenarkan olehsyaradengan maslahat yang ditolak olehsyara, maka maslahat yang dibenarkan olehsyarajauh lebih banyak jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak olehsyara. Dengan demikian jika ada suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya, maka maslahat tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak.Kedua,tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metodeistislahataumaslahah-mursalahberarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagaihujjah, maslahah-mursalahharus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.Jadi tidak asal maslahat. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.Ketiga,Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-lasalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh al-Quran dan as-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melaluiijtihad.Keempat,tidak benar kalau memandangmaslahah-mursalahsebagaihujjahakan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metodemasalah-mursalahdalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan.Dengan demikian terlihat bahwa beberapa alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerimamaslahah-mursalahsebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, sama sekali tidak logis dan tidak realistis.

D.Syarat- Syarat Maslahah Al MursalahAgarmaslahah al mursalahdapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam maka para Imam Mujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali, asy-Syatibi fan at-Tufi membuat persyaratan dan ruang lingkup operasionalmaslahah al mursalah. Persyaratan yang mereka buat berbeda satu sama lain, namun ruang lingkup operasionalnya mereka mempunyai pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah ini.Al-Ghazali membuat batasan operasionalmaslalah al mursalahuntuk dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam adalah sebagai berikut :Pertama,maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan.Kedua,maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah danijma.Ketiga,maslahat tersebut menempati leveldaruriyah(primer) atauhajiyah(sekunder) yang setingkat dengandaruriyah.Keempat,kemaslahatannya harus berstatusqatiatauzannyang mendekatiqati.Kelima,dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifatqatiyah, daruriyah,dankulliyahBerdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak memandangmaslahah-mursalahsebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari al-Quran, as-Sunnah danijma.Imam al-Ghazali memandangmaslahah-mursalahhanya sebagai sebuah metodeistinbath(menggali/ penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam.Sedangkan ruang lingkup operasionalmaslahah-mursalahtidak disebutkan oleh Imam al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Munif Suratmaputra terhadap contoh-contoh kasusmaslahahmursalahyang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam buku-bukunya (al- Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat disimpulkan bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasionalmaslahah-mursalahyaitu hanya di bidang muamalah saja.Agak berbeda dengan Imam al-Ghazali, asy-Syatibi hanya membuat dua kriteria agar maslahat dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam yaitu:Pertama,maslahat tersebut harus sejalan dengan jenis tindakansyara,karena itu maslahat yang tidak sejalan dengan jenis tindakansyaraatau yang berlawanan dengan dalilsyara(al-Quran, as-Sunnah danijma) tidak dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam.Kedua,maslahat seperti kriteria nomor satu di atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang menunjukkannya maka itu menurut asy-Syatibi termasuk dalam kajianqiyas.

PENUTUPKesimpulanDari berbagai macam uraian diatas dapat disimpulkan bahwaMaslahah Al Mursalahmerupakansuatu metodeijtihaddalam menggali sumber hukum yang tidak ada dalil nassnya dengan berdasarkan pada pendekatan memelihara hukum syara(maqosid asysyariah).Ternyata ada golongan yang menolakMaslahah Al Mursalahsebagai hujjah dengan berbagai maca argumen.Menerima maslahat sebagaihujjahharuslah melalui persyaratan tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah danijma,harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka memilihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan.Sedangkan ruang lingkup operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang ibadah.Para ulama juga telah membagi maslahah dari beberapa segi diantaranya: dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, dari segi kandungan maslahah, dari segi berubah atau tidaknya maslahah, dan dari segi keberadaan maslahah.

DAFTAR PUSTAKAMiftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997http://muchad.info/muchad/dalil-syari-bag-2-al-maslahah-al-mursalah.htmlAbdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Usul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 8, 2002Mahmuzar ,maslahah-mursalah; suatu methode istinbath hukum,artikel pdf

Diposkan olehYASINdi21.03


Recommended