MAKALAH ORAL BIOLOGI – 6
PENGARUH OBSTRUKSI JARINGAN LIMFOID TERHADAP MALOKLUSI
Disusun oleh:
Amalia Virgita (04111004061)
Dosen Pembimbing:
drg. Shanty Chairani, M.Si
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
Pengaruh Obstruksi Jaringan Limfoid terhadap
Maloklusi
Amalia Virgita
NIM. 04111004061
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Universitas
Sriwijaya
Abstract
The system of lymphoid tissue that surrounds the pharynx is known as
Waldeyer’s ring. It includes the adenoids, the palatine tonsils, and the
lingual tonsils. Lymphoid tissue is normally not apparent during the early-
infant stage of life. Marked signs of adenoid development are most
commonly observed between the ages of three and 12. During
adolescence, a decrease in adenoid size takes place concurrently with the
growth of the nasopharynx. However, in children often occurs adenoid
hypertrophy. In case of adenoid and tonsillar hypertrophy, it will cause
respiratory obstruction. Children with adenoid/tonsils hypertrophy have a
bad habit, that is mouth breathing, and often found the posterior cross
bite, anterior open bite and class II malocclusion Angle.
Key Words: Malocclusion, lymphoid tissue, adenoids,
tonsils, mouth breathing.
Pendahuluan
Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari
oklusi normal karena adanya ketidaksesuaian antara
lengkung gigi dan lengkung rahang pada masa
perkembangan gigi. Pada maloklusi, terjadi
ketidakteraturan gigi-gigi di luar ambang normal atau
malrelasi rahang pada ketiga bidang yaitu bidang
sagital, vertikal atau transversal [1,2].
Prevalensi maloklusi di Indonesia mencapai 80% dan
menduduki urutan ketiga setelah karies dan penyakit
periodontal. Penelitian tentang prevalensi maloklusi
pada remaja usia 12-14 tahun di sekolah menengah
pertama di Indonesia menyatakan 83.3% responden
mengalami maloklusi [3].
Maloklusi mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap
kualitas hidup seseorang. Maloklusi dapat menimbulkan
berbagai dampak diantaranya dapat dilihat dari segi
fungsi yaitu jika terjadi maloklusi yang berupa gigi
berjejal akan berakibat gigi sulit dibersihkan ketika
menyikat gigi. Maloklusi yang parah dapat menimbulkan
kesulitan menggerakkan rahang (gangguan TMJ dan nyeri).
Dari segi fonetik, salah satu maloklusi yaitu distooklusi,
dapat mempengaruhi kejelasan pengucapan huruf p, b, m,
sedangkan mesiooklusi dapat mempengaruhi kejelasan
pengucapan huruf s, z, t dan n. Selain itu, maloklusi
juga mempengaruhi estetis dan penampilan seseorang [4].
Menurut Moyers yang dikutip oleh Suminy, maloklusi
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
yaitu faktor keturunan; gangguan pertumbuhan; penyakit
sistemik maupun lokal; serta adanya trauma prenatal dan
postnatal. Selain itu, kebiasaan buruk (bad habits)
seperti menghisap jari, menjulurkan lidah, menggigit
kuku, menghisap bibir dan bernafas melalui mulut juga
dapat menyebabkan terjadinya maloklusi [5].
Kebiasaan Bernafas Melalui Mulut (Mouth Breathing)
Kebiasaan bernafas melalui mulut ini dipicu oleh
tersumbatnya hidung sebagai saluran pernapasan normal.
Hal ini dapat terjadi karena adanya kelainan anatomi
hidung atau penyakit-penyakit hidung, antara lain polip
hidung, sinusitis, rhinitis kronis dan pembesaran
tonsil di belakang hidung. Pada beberapa orang,
kebiasaan ini biasanya disertai lemahnya tonus bibir
atas [1].
Kegagalan hidung untuk berfungsi sebagai saluran
pernafasan utama, akan menyebabkan tubuh secara
otomatis beradaptasi dengan menggunakan mulut sebagai
saluran untuk bernafas. Kegagalan ini biasanya
disebabkan oleh karena adanya hambatan atau obstruksi
pada saluran pernafasan atas. Obstruksi pada saluran
pernafasan atas dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
salah satunya yaitu faktor sistemik yang berupa
obstruksi jaringan limfoid [5].
Jaringan Limfoid
Jaringan limfoid merupakan jaringan yang
memproduksi, menyimpan dan memproses limfosit. Jaringan
limfoid akan membentuk sistem imun yang berguna
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor.
Adenoid adalah kelompok jaringan limfoid yang
terletak pada atap dan dinding posterior nasofaring.
Adenoid terletak diantara tuba auditori dan dinding
posterior nasofaring. Selain adenoid, tonsila palatina
dan tonsila lingual juga merupakan jaringan limfoid.
(Gambar 1). Adenoid bersama tonsila palatina dan
tonsila lingual membentuk cincin jaringan limfe pada
pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan yang
dikenal sebagai cincin Waldeyer [6].
Gambar 1. Adenoid, tonsila palatina dan tonsila lingual
Secara fisiologis, ukuran adenoid dapat berubah
sesuai dengan perkembangan usia. Menurut Havas et al,
adenoid membesar secara cepat setelah lahir dan
mencapai ukuran maksimum pada saat usia 3-7 tahun,
kemudian menetap sampai usia 8-9 tahun. Setelah usia 14
tahun, adenoid secara bertahap mengalami involusi. Jika
terjadi hipertrofi pada adenoid, maka nasofaring
sebagai penghubung udara inspirasi dan sekresi
sinonasal yang engalir dari kavum nasi ke orofaring
akan mengalami penyempitan. Hipertrofi adenoid,
terutama pada kanak-kanak, muncul sebagai respon
multiantigen virus, bakteri, alergen, makanan, dan
iritasi lingkungan [7,8].
Gambar 2. Ukuran adenoid
Efek Hipertrofi Tonsil/Adenoid terhadap Maloklusi
Volume adenoid/tonsil diklasifikasikan berdasarkan
hasil pemeriksaan radiografi, sesuai dengan tingkat
obstruksi nasofaring. Skor berkisar dari 1 sampai 4,
yang didefinisikan sebagai: tingkat 1 (obstruksi 0% -
25%), tingkat 2 (25% -50%), tingkat 3 (50% -75%), dan
tingkat 4 (75% -100 %).
Menurut Berjis et al [9], obstruksi jalan napas
akibat hipertrofi adenoid membuat pasien meletakkan
kepalanya ke belakang dan membuka mulutnya saat
bernafas, sehingga mandibula menyimpang kebawah dan
kebelakang serta ditemukan overjet yang besar, gigitan
terbuka di anterior (anterior open bite) dan penurunan
overbite.
Hipertrofi adenoid merupakan salah satu gangguan
yang sering terjadi pada anak. Anak-anak dengan
hipertrofi adenoid cenderung bernafas melalui mulut,
memiliki overjet yang besar dan overbite yang kurang
dari normal. Selain itu juga ditemukan posterior cross
bite, anterior open bite, serta maloklusi.
Hipertrofi adenoid adalah salah satu penyebab
obstruksi jalan nafas yang menyebabkan perubahan
dentofacial. Anak-anak yang bernafas lewat mulut
cenderung memiliki rahang atas yang sempit yang
berbentuk V (Gambar 3). Rahang yang sempit ini timbul
akibat bibir penderita yang tidak menutup saat bernafas
lewat mulut serta dikarenakan posisi lidah mereka
rendah. Ketidakseimbangan antara tekanan lidah dan
tekanan yang diberikan oleh otot-otot pipi menyebabkan
kompresi prosesus alveolar di sekitar regio premolar
dan molar oleh otot-otot pipi. Kondisi ini sering
dikaitkan dengan posterior cross bite [10].
Gambar 3. Pasien dengan hipertrofi adenoid memiliki rahang atas
berbentuk V
Kristina et al [11] melalui penelitiannya menemukan
posterior cross bite pada 12 pasien dari 49 anak
(24.5%) yang mengalami kesulitan bernafas melalui
hidung. Pada kasus hipertrofi adenoid tingkat 1, cross
bite terdeteksi pada 14.3% subyek; pada kasus
hipertrofi adenoid tingkat 2, cross bite ditemukan pada
45.5% subyek; serta ditemukan cross bite pada 50%
pasien yang mengalami hipertrofi adenoid tingkat 3.
Hasil penelitian yang serupa yang dilakukan Walter
et al [12] juga menunjukkan bahwa prevalensi posterior
cross bite secara signifikan lebih tinggi (36.8%) bila
dibandingkan dengan grup kontrol yang bernafas melalui
hidung (6.9%). Posterior cross bite ini ditemukan pada
semua kasus hipertrofi, baik itu hipertrofi tonsil
maupun hipertrofi adenoid (Gambar 4).
Gambar 4. Pasien mengalami posterior cross bite pada sisi sebelah
kiri (tanda panah).
Selama periode gigi bercampur dan periode gigi
permanen, keadaan anterior open bite dan maloklusi
kelas II cenderung ditemukan pada pasien yang bernafas
melalui mulut akibat hipertrofi tonsil/adenoid. Para
peneliti menarik suatu hipotesis bahwa semakin lama
paparan fungsi otot yang tidak seimbang karena bernafas
melalui mulut, maka semakin besar risiko terjadinya
maloklusi kelas II.
Pada penelitian Kristina et al [11], didapat hasil
yang menunjukkan hubungan antara molar pertama atas dan
bawah sesuai dengan klasifikasi Angle, dimana maloklusi
kelas I ditemukan pada 42,86% subyek yang mengalami
hipertrofi adenoid tingkat 1 dan ditemukan pada 27,27%
subyek yang mengalami hipertrofi adenoid tingkat 2.
Sedangkan maloklusi kelas II ditemukan pada 57,14%
subyek yang mengalami hipertrofi adenoid tingkat 1,
72,73% subyek yang mengalami hipertrofi adenoid tingkat
2 serta ditemukan pada 100% subyek yang mengalami
hipertrofi adenoid tingkat 3 (Gambar 5).
Gambar 5. Grafik yang menunjukkan hubungan antara maloklusi kelas
I dan II
dengan hipertrofi adenoid
Walter et al [12] pun juga menyebutkan bahwa
hipertrofi adenoid dan tonsil berhubungan dengan
terjadinya maloklusi kelas II, karena dalam
penelitiannya dideteksi insiden maloklusi kelas II yang
cukup tinggi (43,2%) pada pasien dengan hipertrofi
adenoid dan tonsil dibandingkan dengan populasi umum
(12,6%) pada usia yang sama.
Hubungan kelas II ini dapat disebabkan karena
protrusi maksila dan atau retrusi mandibula. Selain
itu, keadaan palatum yang sempit dan dalam akan
mempengaruhi keseimbangan lidah. Posisi lidah juga
memainkan peranan penting dalam perkembangan mandibula.
Perpindahan lidah ke bawah pada pasien dengan
hipertrofi adenoid/tonsil dapat menyebabkan retrusi
mandibula (Gambar 6).
Gambar 6. Maloklusi kelas II (disto-oklusi) pada pasien yang
mengalami hipertrofi tonsil/adenoid
Kesimpulan
Adenoid, tonsila palatina dan tonsila lingual
merupakan jaringan limfoid yang membentuk cincin
Waldeyer. Apabila terjadi hipertrofi adenoid/tonsil,
dapat mengakibatkan obstruksi pernafasan sehingga
penderita akan cenderung memiliki kebiasaan bernafas
melalui mulut. Pada anak-anak yang mengalami hipertrofi
adenoid/tonsil akan ditemukan adanya posterior cross
bite, anterior open bite serta maloklusi Angle kelas
II.
Referensi
[1] Foster TD. Buku Ajar Ortodonsi. Edisi 3. Jakarta:
EGC; 1993.
[2] Harty FJ. Kamus Kedokteran gigi. Alih bahasa:
Narlan S. Jakarta: EGC; 1995.
[3] Finn SB. Clinical Pedodontics. 4th ed. Birmingham:
WB Sounders Company; 2003.
[4] Bisara SE. Textbook of Ortodontics. Philadelphia:
WB Sounders Company; 2001.
[5] Suminy D, Zen Y. Hubungan antara maloklusi dan
hambatan saluran pernapasan. Kedokteran Gigi
Scientific Journal in Dentistry; FKG Trisakti;
2007; 22(1): 32-3.
[6] John H, David C. Tonsils and adenoids. In: Scott-
Brown WG, Kerr AG. Paediatric otolaryngology (Scott
Brown’s otolaryngology). 6th ed. Oxford:
Butterworth-Heinemann.
[7] Havas T, Lowinger D. Obstructive adenoid tissue: an
indication for powered-shaver adenoidectomy. Arch
Otolaringol Head Neck Surg. 2002:128(7):789-91.
[8] Soepardi EA, Iskandar N. Hiperplasia adenoid. In:
Soepardi EA, Iskandar NH, editors. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok-kepala leher.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2007. p. 224-5.
[9] Berjis N, Sonbolestan M, Jabbarifar E, Farokh K.
Evaluation the effects of adenoidal hypertrophy on
occlusion and indexes of face and jaw in 6-12 years
old children. Shiraz E-Medical Journal Vol. 6, No.
3 & 4, 2005.
[10] Kevin LW, Derek M. The Effects of Enlarged
Adenoids on a Developing Malocclusion. Full Face
Orthodontics, Sydney, Australia.
[11] Kristina L, Algis B. Malocclusion and upper airway
obstruction. MEDICINA Vol. 38, No. 3.
[12] Walter RN, Renata C. Variation of Patterns of
Malocclusion by Site of Pharyngeal Obstruction in
Children. Arch Otolaryngol Head Neck Surg; Vol 136
No. 11; 2010.