Date post: | 24-Feb-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
7
BAB II
EFEKTIVITAS TEORI HUMANISTIK CARL R. ROGERS “BELAJAR
BERPENGALAMAN” DAN KEMANDIRIAN BELAJAR
2.1. Teori Humanistik Carl R. Rogers
2.1.1. Teori Belajar Humanistik
Menurut aliran humanistik, teori belajar humanistik mengarahkan para pendidik
sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan kurikulum untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa
manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar
(Sulistyarini, 2011 : 35). Jadi sekolah harus berhati-hati supaya tidak membunuh insting ini
dengan memaksakan anak belajar sesuatu sebelum mereka siap, bukan hal yang benar
apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan juga
punya keinginan. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu siswa
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai konselor seperti
dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada behaviorisme (Dantes, 2012 : 76-
77).
Menurut Arthur W. Combs dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 23) menyatakan teori
belajar humanistik adalah proses belajar akan terjadi bila mempunyai arti bagi individu,
guru tidak bisa mamaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan
kehidupan siswa
Abraham Maslow dalam skripsi Mahendra (2010 : 67) mengatakan bahwa teori
belajar humanistik adalah proses belajar yang mengaktualisasikan diri. Sedangkan menurut
Jarvis dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 97) menyatakan belajar humanistik adalah suatu
kegiatan belajar terjadi ketika peserta belajar menyadari relevansi pelajaran tersebut
dengan dirinya.
Dari pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa dalam Teori Belajar Humanistik, belajar dianggap berhasil jika si
pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan
dari sudut pandang pengamatnya, hal itu dapat dilihat dari tujuan utama pendidik dalam
teori belajar humanistik yaitu membantu siswa mengembangkan dirinya, yaitu membantu
8
masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagaimana manusia yang
unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka.
2.1.2. Teori Belajar Carl R. Rogers
Humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun
1950-an dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada
abad pertengahan. Humanistik berkembang menjadi a third force atau a third power atas
reaksi terhadap dua aliran psikologi sebelumnya yaitu behaviorisme dan psikoanalisme/
psikoanalisa, dan salah satu tokoh aliran teori humanistic adalah Carl R.Rogers dengan
teori humanistik "belajar berpengalaman" (Hakim, 2012 : 89)
Menurut Rogers dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 96) ada tiga unsur penting dalam
belajar :
1) Peserta belajar hendaknya dihadapkan pada masalah nyata yang ingin dicari
penyelesaiannya.
2) Apabila kesadaran akan masalah telah terbentuk, maka terbentuk pulalah sikap terhadap
masalah tersebut. Pada tahap ini, sikap terbentuk melalui proses kenyataan-penerimaan-
pengertian-empatik.
3) Adanya sumber belajar, baik manusia maupun bahan tertulis atau cetak.
Keberhasilan belajar yang dikemukakan oleh Rogers terletak pada sumbangannya
(peserta didik) terhadap kesadaran akan kemampuan diri sendiri karena pada dasarnya
manusia memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Menurut Jarvis dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 99) belajar yang dikembangkan
oleh Rogers mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
1) Manusia memiliki potensi alamiah untuk belajar
2) Kegiatan belajar terjadi ketika peserta menyadari relevansi pelajaran tersebut bagi
dirinya.
3) Kegiatan belajar melibatkan perubahan dalam organisasi dan persepsi diri.
4) Kegiatan belajar terjadi ketika peserta tidak merasa takut.
5) Kebanyakan pelajaran penting diperoleh dengan cara melakukan.
6) Kegiatan belajar lebih mudah apabila peserta belajar berpartisipasi secara
bertanggung jawab dalam proses belajar.Rasa bebas, sifat kreatif, dan percaya diri
memudahkan berlangsungnya proses belajar apabila peserta belajar berani
mengkritik dan menilai diri sendiri
Gagasan Rogers mengenai prinsip-prinsip belajar meliputi (Syifa’a, 2008 : 101-103) :
1) Hasrat untuk belajar
Menurut Rogers manusia itu mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini
dikarenakan manusia memiliki naluri rasa ingin tahu yang tinggi.
2) Belajar yang berarti
9
Prinsip kedua ini adalah belajar yang berarti, yang mempunyai makna. Dengan
belajar yang berarti maka siswa tidak akan merasa rugi jika belajar sesuatu.
3) Belajar tanpa ancaman
Belajar tanpa ancaman akan memberi kesempatan anak mengeksplor imajinasi
siswa sehingga dapat membuat siswa mampu berfikir kreatif.
4) Belajar atas inisiatif sendiri
Bagi para humanistik, belajar itu paling bermakna manakala hal itu dilakukan atas
inisiatif sendiri dan apabila melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu
memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan
kesempatan kepada siswa untuk belajar.
5) Belajar dan perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling
bermanfaat itu ialah belajar tentang proses belajar. Karena dalam proses belajar
akan terjadi interaksi yang berhubungan dengan sikap, tindakan dan yang pastinya
akan membawa perubahan sikap kearah yang lebih baik.
Dari pernyataan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Teori Belajar Carl
R. Rogers suatu teori yang tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi dan
dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-
pengalaman mereka sendiri.
2.1.3. Model Pembelajaran Berpengalaman
Menurut Carl R. Rogers dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 101) menyatakan;
Model pembelajaran berpengalaman, proses pembelajarannya student center, siswa
dihadapkan pada pengalaman dan masalah nyata yang ingin dicari penyelesaiannya,
dan apabila kesadaran akan masalah telah terbentuk, maka terbentuk pulalah sikap
terhadap masalah tersebut, jadi bisa dikatakan pembelajarannya sesuai dengan
kebutuhan mereka, selain itu Keberhasilan belajar yang di kemukakan oleh Rogers
terletak pada sumbangannya (peserta didik) terhadap kesadaran akan kemampuan
diri sendiri karena pada dasarnya manusia memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri.
Adapun ciri-ciri model pembelajaran berpengalaman menurut Carl R. Rogers dalam
Anisah dan Syamsu (2011 : 103) meliputi :
1) Merespon perasaan siswa
2) Materi pembelajarannya dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari
3) Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
4) Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
5) Menghargai siswa
6) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
7) Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan
kebutuhan segera dari siswa)
8) Tersenyum pada siswa
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berpengalaman secara
jelas menunjukkan bahwa belajar dipengaruhi oleh bagaimana siswa berpikir, bertindak,
dan dipengaruhi serta diarahkan oleh arti pribadi dan perasaan-perasaan yang mereka
ambil dari pengalaman belajar mereka.
10
2.1.4. Aplikasi Dalam Pembelajaran Matematika
Pada prinsipnya kebutuhan peserta didik tidaklah tunggal, walaupun ada kebutuhan-
kebutuhan dasar yang sama seperti kebutuhan rasa nyaman, rasa aman, rasa diperhatikan,
rasa dihargai dan lain sebagainya namun tingkat kebutuhan tersebut tidaklah sama. Karena
itu, sudah seharusnya para pendidik benar-benar memperhatikan jenis dan tingkat
kebutuhan siswa didalam kelasnya. Pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan siswa
ini mengarah kepada pembelajaran yang humanistik.
Pembelajaran yang humanistik merupakan pembelajaran yang memperhatikan sisi-
sisi manusiawi dari semua pelaku pendidikan. Sisi-sisi manusiawi yang dimaksudkan
adalah adanya keterlibatan otak dan emosi dalam setiap kegiatan pembelajaran. Oleh
karena itu, guru harus selalu memperhatikan keberagaman siswa dalam melaksanakan
pembelajaran agar mampu memanusiakan siswa dalam kelasnya. (Muniroh, 2011 : 48).
Salah satu tokoh kunci dalam teori pembelajaran humanistik adalah Carl Rogers.
Menurut Rogers dalam dalam Susilo (2009 : 49), experiaental-learning adalah jenis
pembelajaran yang membuat perbedaan individu dalam prilaku, sikap dan kepribadian
lebih lengkap, tidak hanya menyangkut otak atau ranah kognitif tetapi juga menyangkut
ranah afektif karena telah melibatkan perasaan dan emosi jiwa. Masih menurut Rogers,
pada prinsipnya setiap individu secara alamiah memiliki potensi untuk belajar demikian
juga dalam matematika (Zimring, 1999 : 56).
Mengutip pendapat Haglund dalam Siswono (2007 : 45) menyatakan aplikasi
humanistik pada pembelajaran matematika kurang lebihnya ada 10 macam yaitu:
1) Menempatka siswa sebagai penemu (inquiry) buka hanya penerima fakta-fakta
dan prosedur-prosedur
2) Memberi kesempatan siswa untuk saling membantu dalam memahami masalah
dan pemecahan masalah yang lebih mendalam
3) Belajar berbagai macam cara untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya dengan
pendekatan aljabar
4) Menunjukkan latar belakang sejarah bahwa matematika sebagai suatu penemuan
atau usaha keras dari seorang manusia
5) Menggunakan masalah-masalah yang menarikdan pertanyaan terbuka (open-
ended), tidak hanya latihan-latihan
6) Menggunakan berbagai teknik penilaian, tidak hanya menilai siswa berdasar
pada kemampuan mengingat prosedur-prosedur saja
7) Mengembangkan suatu pemahaman dan apresiasi terhadap ide-ide besar
matematika yang membentuk sejarah dan budaya
8) Membantu siswa untuk melihat matematika sebagai studi terhadap pola-pola,
termasuk aspek keindahan dan kreativitas
9) Membantu siswa mengembangkan sikap-sikap percaya diri, mandiri dan
penasaran
11
10) Mengajarkan materi-materi yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari
seperti dalam sains, ekonomi, bisnis ataupun teknik
Seperti yang diungkapkan oleh Haglund di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa pembelajaran akan berlangsung secara humanistik jika pembelajaran disesuaikan
dengan kebutuhan dan keinginan siswa.manakala guru mampu memperlakukan siswa
secara manusiawi. Artinya percaya bahwa pada dasarnya siswa itu dapat belajar,
Menurut Haglund dalam Siswono (2007 : 47) Manfaat dari diberlakukannya humanistik
pada pembelajaran matematika ini sangatlah banyak. Hal-hal tersebut meliputi:
1) Kegiatan siswa yang saling bekerja sama satu sama lain dapat beroptensi
membangun karakter tanggung jawab, toleransi dan demokratis
2) Kegiatan siswa dalam menemukan sesuatu berpotensi membangun karakter rasa
ingin tahu, kreatif dan mandiri
3) Kegiatan siswa dalam memecahkan masalah berpotensi membangun karakter
tidak mudah menyerah. Dan jika permasalahan diambil dari kehidupan sehari-
hari seperti budaya dan bangsa sendiri maka hal ini akan menimbulkan karakter
cinta tanah air, peduli masalah sosial dan masyarakat serta lingkungan hidup
4) Kegiatan siswa dalam menghargai keindahan dan kegunaan matematika dapat
berpotensi membangun karakter religiusnya dengan pemberian motivasi.
Dari pernyataan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa humanistik dalam
pembelajaran matematika akan mampu memperhatikan sisi-sisi manusiawi siswa. Sisi-sisi
manusiawi yang dimaksud adalah adanya keterlibatan otak dan emosi dalam setiap
kegiatan pembelajaran.
2.2. Kemandirian Siswa Pada Pembelajaran Matematika
2.2.1. Kemandirian Siswa
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata "mandiri" mempunyai arti
keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Sedangkan pengertian
mandiri secara istilah diartikan oleh beberapa ahli antara lain :
a. Fatimah (2006 : 141) mendefinisikan mandiri (berdiri diatas kaki sendiri dengan
kemampuan seseorang untuk tidak bergantung dengan orang lain serta bertanggung
jawab atas apa yang dilakukannya.
b. Dradjat (1976 : 130) menyatakan bahwa mandiri menyangkut kecenderungan anak
untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya tanpa minta tolong kepada orang lain.
Juga mengukur kemampuannya untuk mengarahkan kelakukannya tanpa tunduk kepada
orang lain. Biasanya anak yang berdiri sendiri lebih mampu memikul tanggung jawab,
dan pada umumnya mempunyai emosi yang stabil.
12
Kata “mandiri” diambil dari dua istilah yang pengertiannya sering disejajarkan silih
berganti, yaitu autonomy dan independence karena perbedaan sangat yang tipis dari kedua
istilah tersebut (Astuti, 2006 : 57). Independence dalam arti kemerdekaan atau kebebasan
secara umum menunjuk pada kemampuan individu melakukan sendiri aktivitas hidup,
tidak menggantungkan diri kepada orang lain (Setiawan, 2012 : 86).
Widjaja (1986 : 59) istilah kemandirian menunjukan kepercayaan akan kemampuan
diri untuk menyelesaikan masalah. Individu yang mandiri sebagai individu yang dapat
berdiri sendiri, dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, mampu
mengambil keputusan sendiri, mempunyai inisiatif dan kreatif, tanpa mengabaikan
lingkungan dimana ia berada (Haerudin, 2013 : 87).
Menurut Watson dan Lindgren dalam Setiawan (2012 : 43) mmenyatakan
kemandirian berarti kebebasan untuk mengambil inisiatif, mengatasi hambatan, melakukan
sesuatu dengan tepat, gigih dalam usaha, dapat melakukan sendiri tanpa menggantungkan
diri terhadap bantuan orang lain. Menurut Johnson dan Medinus dalam Widjaja (1986 : 59)
menyatakan kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan
individu berfungsi otonom dan berusaha kearah prestasi pribadi dan tercapainya tujuan.
Dari beberapa pendapat tersebut dalam mengartikan kemandirian, dapat disimpulkan
bahwa kemandirian mengindikasikan adanya unsur-unsur tanggung jawab, percaya diri,
berinisiataif, memiliki motivasi yang kuat untuk maju demi kebaikan dirinya, mantap
mengambil sendiri, berani menanggung resiko dan keputusannya, mampu menyelesaikan
masalah sendiri, tidak menggantungkan diri kepada orang lain, memiliki hasrat
berkompetensi, mampu mengatasi hambatan, melakukan sesuatu dengan tepat, gigih
dalam usaha, melakukan sendiri sesuatu tanpa menggantungkan bantuan orang lain,
mampu mengatur kebutuhan sendiri, tegak dalam bertindak, dan menguasai tugas-tugas.
Menurut Mu’tadin (2002 : 59) Menyatakan kemandirian mengandung makna:
1) Suatu keadaan dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan
dirinya
2) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
3) Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugas dan bertanggung jawab
terhadap apa yang dilakukannya.
13
2.2.2. Pembelajaran Matematika
2.2.2.1. Pembelajaran
Proses pembelajaran memungkinkan seseorang menjadi lebih manusiawi sehingga
disebut dewasa dan mandiri, tumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti semakin
mengenaldiri, semakin jujur dengan diri sendiri, semakin otentik, dan menjadi semakin
unik (Harefa, 2005 : 37). Pembelajaran menjadikan manusia berubah dari yang tidak
mampu menjadi mampu atau dari tidak berdaya menjadi sumber daya. Perubahan itu tidak
terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang disebut belajar. Belajar merupakan
kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap jenjang
pendidikan.
Menurut Moh. Surya dalam Rumini, dkk (1995 : 59) pembelajaran adalah suatu
proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya
dengan lingkungan. Sedangkan menurut Gagne dalam Riyanto (2009 : 5) pembelajaran
merupakan kecenderungan perubahan diri manusia yang dapat dipertahankan selama
proses pertumbuhan yang terjadi dalam kondisi tertentu yang dapat diamati, diubah, dan
dikontrol.. Muhaimin dalam Riyanto (2009 : 131) menyatakan pembelajaran adalah upaya
membelajarkan siswa untuk belajar. Kegiatan pembelajaran akan melibatkan siswa
mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Dalam hal ini pembelajaran yang
disangkutkan.
Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran adalah
suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa
berubah kearah yang lebih baik. Dalam hal ini pembelajaran yang disangkutkan adalah
pembelajaran matematika.
2.2.2.2. Matematika
Menurut Abraham S. Lunchins dan Edith N. Luchins dalam Suherman (2001 : 65)
menyatakan matematika dapat dijawab secara berbeda-beda tergantung pada bilamana
pertanyaan itu dijawab, dimana dijawabnya, siapa yang menjawabnya, dan apa sajakah
yang dipandang termasuk dalam matematika.
Mustafa dalam Wijayanti (2011 : 67) menyebutkan bahwa matematika adalah
ilmu tentang kuantitas, bentuk, susunan, dan ukuran, yang utama adalah metode dan
proses untuk menemukan dengan konsep yang tepat dan lambang yang konsisten, sifat
14
dan hubungan antara jumlah dan ukuran, baik secara abstrak, matematika murni atau
dalam keterkaitan manfaat pada matematika terapan.
Menurut Elea Tinggih dalam Suherman (2001 : 66) menyatakan matematika
berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Hal ini dimaksudkan
bukan berarti ilmu lain diperoleh tidak melalui penalaran, akan tetapi dalam matematika
lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran), sedangkan dalam ilmu lain
lebih menekankan hasil observasi atau eksperiment disamping penalaran.
Berdasarkan penadat pendapat yang telah dikemukakan di atas maka penulis dapat
menyimpukan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan
bernalar dan proses untuk menemukan dengan konsep yang tepat dan lambang yang
konsisten, dalam menjawab suatu permasalahan matematika.
Menurut Asep Jihad dalam Prastiwi (2011 : 33-34) dapat diidentifikasi bahwa
matematika jelas berbeda dengan mata pelajaran lain dalam beberapa hal berikut,
yaitu :
1) Objek pembicaraannya abstrak, sekalipun dalam pengajaran di sekolah anak diajarkan
benda kongkrit, siswa tetap didorong untuk melakukan abstraksi.
2) Pembahasan mengandalkan tata nalar, artinya info awal berupa pengertian dibuat
seefisien mungkin, pengertian lain harus dijelaskan kebenarannya dengan tata nalar
yang logis.
3) Pengertian/konsep atau pernyataan sangat jelas berjenjang sehingga terjaga
konsistennya;
4) Melibatkan perhitungan (operasi).
5) Dapat dipakai dalam ilmu yang lain serta dalam kehidupan sehari-hari.
Dari definisi-definisi diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa matematika
adalah ilmu yang diperoleh dengan bernalar yang menggunakan istilah yang didefenisikan
dengan cermat, jelas dan akurat refpresentasinya dengan lambang-lambang atau simbol
dan memiliki arti serta dapat digunakan dalam pemecahan masalah yang berkaitan
dengan bilangan.
Menurut James dalam Skripsi Almaududi (2014 : 16) matematika adalah ilmu
tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang saling
berhubungan satu sama lain yang terbagi dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, serta
geometri. Matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena
15
dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia
memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.
Adapun beberapa definisi/pengertian matematika menurut Soedjadi (2000 : 11)
sebagai berikut:
1) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan teroganisir secara sistematik.
2) Matematika adalah pengetahuan bilangan dan kalkulasi.
3) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan
bilangan.
4) Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang
ruang dan bentuk.
5) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik.
6) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.
Dari pemaparan diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa matematika adalah
ilmu tentang penalaran logik, fakta-fakta kuantitatif dan tentang ruang da bentuk.
Menurut Suherman dalam Skripsi Komariah (2014 : 20-22) fungsi mata pelajaran
matematika sebagai berikut:
1) Alat
Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk
memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaan-
persamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan
penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya.
Bila seorang siswa dapat melakukan perhitungan tetapi tidak tahu alasannya,
maka tentu ada yang salah dalam pembelajarannya atau ada sesuatu yang
belum dipahami.
2) Pola Pikir
Belajar matematika bagi para siswa, juga merupakan pembentukan pola pikir
dan pemahaman suatu pengertian maupun penalaran dalam suatu hubungan di
antara pengertian-pengertian itu. Di dalam proses penalaran siswa,
dikembangkan pola pikir induktif maupun deduktif. Namun semuanya harus
disesuaikan dengan perkembangan kemampuan siswa, sehingga pada akhirnya
akan sangat membantu kelancaran proses pembelajaran matematika di sekolah.
3) Ilmu Pengetahuan
Fungsi matematika sebagai ilmu pengetahuan, dan tentunya pengajaran
matematika di sekolah harus diwarnai oleh fungsi yang ketiga ini. Guru harus
mampu menunjukkan betapa matematika selalu mencari kebenaran, dan
bersedia meralat kebenaran yang sementara diterima, bila ditemukan
kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang
mengikuti pola pikir yang sah. Menurut Sukayati (2003 : 11) menyatakan
bahwa belajar matematika merupakan proses membangun atau mengkonstruksi
konsep-konsep matematika dan prinsip-prinsip matematika, tidak sekedar
bersifat pasif dan statis, namun belajar matematika itu harus aktif dan dinamis.
16
Setyono (2007 : 15) ada urutan-urutan yang harus dilalui agar seorang anak
atau siswa menguasai dengan matang suatu konsep matematika. Langkah-
langkah pembentukan konsep dasar matematika dalam otak dan memori siswa
haruslah memperhatikan aspek-aspek fisiologis dan fungsional otak,
kematangan emosional, gaya belajar, kepribadian, dan tahap-tahap
perkembangan siswa itu sendiri. Aspek-aspek lain yang juga sangat vital
adalah proses penyampaian pelajaran matematika itu sendiri. Bagaimana guru
menyampaikan pelajaran matematika di kelas menjadi suatu faktor penentu.
Apakah disampaikan dengan cara yang penuh kegembiraan tanpa tekanan atau
dengan cara diktator. Agar kegiatan pembelajaran matematika dapat terwujud
dengan baik, maka perlu adanya perubahan yang harus ditunjukkan oleh
seseorang. Perubahan tersebut ditunjukkan dalam bentuk seperti perubahan
pengetahuan pemahaman, sikap, dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan,
kemampuan, dan aspek lain yang ada pada diri individu tersebut dengan pola
pikir dan pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis yang
berkenaandengan ide-ide atau gagasan-gagasan, konsep-konsep, dan
strukturyang terdapat dalam matematika yang pada akhirnya siswa dapat
mengembangkan kemampuan berpikir matematis serta dapat
mengkomunikasikan konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut sehingga
proses pembelajaran matematika dapat berkembang secara optimal. Hal itu pun
tidak terlepas dari adanya perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru
sebelum kegiatan pembelajaran berlangsung.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa dengan adanya perubahan serta
perencanaan yang baik dan teratur maka kegiatan pembelajaran matematika dapat terwujud
dengan baik.
Sedangkan pembelajaran matematika merupakan upaya penataan lingkungan agar
proses belajar atau pembentukan pengetahuan dan pemahaman matematika oleh siswa
berkembang secara optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Wuryastuti,
2008 : 10). Pembelajaran matematika bagi para siswa merupakan pembentukan pola
pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan
diantara pengertian-pengertian itu (Suherman, 2001 : 60). Dalam pembelajaran
matematika, para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman
tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek
(abstraksi). Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk
memahami atau menyampaikan informasi misalnya melalui persamaan-persamaan, atau
tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal-
soal cerita atau soal- soal uraian matematika lainnya (Soedjadi, 2000 : 76).
Dari penjelasan diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran
matematika dalah proses mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran yang dapat
17
membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Simbol-simbol itu penting untuk membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi
yang ditetapkan.
Tujuan pembelajaran matematika di sekolah dalam Suherman (2001 : 58) mengacu
kepada fungsi matematika serta kepada tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Diungkapkan dalam Garis-garis Besar
Program Pengajaran (GBPP) matematika, bahwa tujuan umum diberikannya matematika
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi dua hal yaitu:
1).Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam
kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar
pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien.
2) Merpersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika
dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Mathematics
instructional programs should enable all students to understand and use mathematics
(program pengajaran matematika harus memberi kesempatan kepada semua siswa untuk
memahami dan menggunakan matematika).
Dari pernyataan yang telah tersebut maka peneliti dapat mengambil kesimpulan
bahwa tujuan pembelajaran adalah mempersiapkan siswa agar dapat menghadapi masalah
dan menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari.
2.2.3. Kemandirian Siswa Pada Pembelajaran Matematika
Kemandirian belajar sebagai kemampuan diri mengambil tanggung jawab belajarnya.
Kemandirian belajar juga diartikan sebagai relasi psikologis pembelajar dengan proses dan
materi pembelajaran. Kemandirian belajar juga didefinisikan sebagai suatu situasi dimana
pebelajar bertanggung jawab penuh mengambil keputusan dan menerapkan dalam
pembelajaran.
Mujiman (2005 : 11) berpendapat bahwa kemandirian siswa pada pembelajaran
adalah kegiatan belajar aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu
kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dibangun dengan bekal pengetahuan atau
kompetensi yang dimiliki, baik dalam menetapkan waktu belajar, tempat belajar, irama
belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar yang dilakukan oleh pelajar
sendiri.
Menurut Kozma, Belle dan Williams dalam Sugandi (2013 : 89) menyatakan
kemandirian siswa pada pembelajaran merupakan bentuk belajar yang memberikan
18
kesempatan kepada pelajar untuk menentukan tujuan, sumber, dan kegiatan belajar sesuai
dengan kebutuhan sendiri. Dalam proses belajar, pelajar dapat berpartisipasi secara aktif
menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya (Widiarni, 2014
: 27).
Menurut Miarso (2004 : 66) kemandirian siswa dalam belajar adalah pengaturan
program yang diorganisasikan sedemikian rupa sehingga setiap pebelajar dapat memilih
atau menentukan bahan dan kemajuan belajar sendiri. Kemandirian belajar diartikan
sebagai aktivitas belajar yang berlangsung lebih didorong oleh kemampuan, pilihan, dan
tanggung jawab sendiri dari pebelajar (Aini dan Taman, 2012 : 48). Wedmeyer dalam
Masitoh (2013 : 23) menjelaskan, kemandirian siswa dalam pembelajaran adalah cara
belajar yang memberikan kebebasan, tanggung jawab, dan kewenangan yang lebih besar
kepada pelajar dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan belajarnya.
Rowntree dalam Julianto (2012 : 97) menjelaskan bahwa ciri utama pendidikan yang
menekankan kemandirian siswa dalam belajar adalah adanya komitmen institusi untuk
membantu pelajar memperoleh kemandirian menentukan keputusan sendiri dalam hal:
1) Tujuan belajar yang ingin dicapainya
2) Mata ajar, tema, topik atau issu yang akan dipelajari
3) Sumber-sumber belajar dan metode yang akan digunakan
4) Kapan, bagaimana, dan dalam hal apa keberhasilan belajarnya akan dinilai.
Aristo (2008 : 68), taraf kemandirian dapat dilihat dari seberapa besar inisiatif dan
tanggung jawab pebelajar untuk berperan aktif dalam hal:
1) Perencanaan belajar
2) Pelaksanaan proses belajar
3) Evaluasi hasil belajar
Di beberapa pendapat para ahli maka peneliti dapat menyimpulkan, kemandirian
siswa dalam pembelajaran dapat dilihat dari tanggung jawab siswa dalam merencanakan,
melaksanakan dan evaluasi hasil akhir.
Menurut Thoha (1996 : 123-124) menyatakan beberapa ciri-ciri kemandirian siswa
dalam belajar:
1) Mampu berfikir secara kritis,creative dan inovatif
2) Tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
3) Tidak lari atau menghindari masalah.
4) Memecahkan masalah dengan berfikir secara mendalam.
19
5) Apabila menjumpai masalah dipecahkan sendiri tanpa meminta bantuan orang lain.
6) Tidak merasa rendah diri apabila berbeda dengan orang lain.
7) Berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan.
8) Bertanggung jawab atas tindakannya.
Menurut Basri (1994 : 54) menyatakan kemandirian siswa dalam belajar dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu :
1) Faktor yang terdapat di dalam dirinya sendiri (faktor endogen)
Faktor endogen (internal) adalah semua pengaruh yang bersumber dari dalam
dirinya sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak
dilahirkan dengan segala perlengkapan yang melekat padanya. Segala sesuatu
yang dibawa sejak lahir adalah merupakan bekal dasar bagi pertumbuhan dan
perkembangan individu selanjutnya. Bermacam-macam sifat dasar dari ayah dan
ibu mungkin akan didapatkan didalam diri seseorang, seperti bakat, potensi
intelektual dan potensi pertumbuhan tubuhnya, serta jenis kelamin.
2) Faktor-faktor yang terdapat di luar dirinya (faktor eksogen).
Faktor eksogen (eksternal) adalah semua keadaan atau pengaruh yang berasal dari
luar dirinya, sering pula dinamakan dengan faktor lingkungan. Lingkungan
kehidupan yang dihadapi individu sangat mempengaruhi perkembangan
kepribadian seseorang, baik dalam segi negatif maupun positif. Lingkungan
keluarga dan masyarakat yang baik terutama dalam bidang nilai dan kebiasaan-
kebiasaan hidup akan membentuk kepribadian, termasuk pula dalam hal
kemandiriannya.
Menurut Surya (2003 : 114) menyatakan kemandiri siswa adalah proses
menggerakan kekuatan atau dorongan dari dalam diri individu yang belajar untuk
menggerakan potensi dirinya mempelajari objek belajar tanpa ada tekanan atau pengaruh
asing di luar dirinya. Dengan demikian belajar mandiri lebih mengarah pada pembentukan
kemandirian dalam cara-cara belajar.
Dari pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kemandirian siswa pada
pembelajaran matematika adalah aktivitas belajar yang didorong oleh kemauan sendiri,
pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri tanpa bantuan orang lain serta mampu
mempertanggung jawabkan tindakannya. Siswa dikatakan telah mampu belajar matematika
secara mandiri apabila ia telah mampu melakukan tugas belajar matematika tanpa
ketergantungan dengan orang lain.
Menurut penelitian Eko & Kharisudin (2010 : 79) menyebutkan beberapa indikator
kemandirian belajar diantaranya:
1) Yakin pada kemampuan sendiri.
2) Tidak menyandarkan diri pada orang lain.
3) Mengendalikan sendiri kegiatan belajar
4) Bertanggung jawab
5) Mengevaluasi kegiatan belajar.
20
6) Melalukan kegiatan belajar atas keinginan sendiri pada pembelajaran.
Menurut Danuari (1990 : 9) menyatakan indikator kemandirian belajar adalah:
1) Adanya tendensi untuk berperilaku bebas dalam berinisiatif atau
bersikap atau berpendapat.
2) Fokus dalam kegiatan belajar
3) Adanya tendensi percaya diri
4) Adanya kesiapan belajar
5) Mengetahui kegunaan atau fungsi belajar
6) Adanya kedisiplinan dalam kegiatan belajar.
Berdasarkan kajian teoritis di atas peneliti merumuskan delapan indikator
kemandirian belajar siswa yang digunakan untuk penelitian, yaitu: 1) yakin pada
kemampuan sendiri, 2) mengendalikan sendiri kegiatan belajar, 3) Melalukan kegiatan
belajar atas keinginan sendiri pada pembelajaran, 4) adanya kedisiplinan dalam kegiatan
belajar, 5) adanya kesiapan belajar, 6) fokus dalam kegiatan belajar, 7) mengetahui
kegunaan atau fungsi belajar, 8) mengevaluasi kegiatan belajar.
2.2.4.Hubungan Antara Teori Humanistik Carl R. Rogers “Belajar Berpengalaman”
Dengan Kemandirian Siswa Pada Pembelajaran Matematika.
Menurut Carl R. Rogers dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 85-90) Teori humanistik
memandang tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap
berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses
belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah
membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu
dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik
melihat adanya dua bagian pada proses belajar, Rogers (Anisah dan Syamsu, 2011 : 94) :
1) Proses pemerolehan informasi baru,
2) Personalia informasi ini pada individu.
Ratu (2014 : 10) Carl R. Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago,
sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama
tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas
Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja
klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.Gelar profesor diterima
di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and
21
Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd
Therapy.Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1) Kognitif (kebermaknaan)
2) Experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning
menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential
learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa
sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa (Manyu, 2004 : 34). Menurut Rogers
yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip
pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus
belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan
pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna
bagi siswa
3) Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar
humanistik yang penting diantaranya ialah (Prayito, 2012 : 87-88) :
1) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2) Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri
diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5) Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan
berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
8) Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan
maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam
dan lestari.
9) Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai
terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan
penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
22
10) Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah
belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan
itu.
Menurut Carl R. Rogers dalam Sanusi (2013 : 95) menyatakan bahwa salah satu
model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang
dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai
kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati,
penghargaan dan umpan balik positif.
. Implikasi teori belajar humanistik guru sebagai fasilitator psikologi humanistik
memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk
memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar
yang sangat singkat dari beberapa guidenes (petunjuk) (Nugraha, 2011 : 87):
1) Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi
kelompok, atau pengalaman kelas
2) Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di
dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3) Mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-
tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di
dalam belajar yang bermakna tadi.
4) Mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5) Menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6) Dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik
isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi
dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
7) Cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan
sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut
menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8) Mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya
dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara
pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
23
9) Harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan
yang dalam dan kuat selama belajar.
10) Dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali
dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Terhadap pembelajaran Siswa
aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam
pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center)
yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami
potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi
diri yang bersifat negatif. Menurut Surya (2003 : 110) menyatakan tujuan pembelajaran
lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya
dilalui adalah dalam (Jayanti, 2012 : 48-49):
a) Merumuskan tujuan belajar yang jelas
b) Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur
dan positif.
c) Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif
sendiri
d) Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara
mandiri
e) Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,
melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang
ditunjukkan.
f) Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak
menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala
resiko perbuatan atau proses belajarnya.
g) Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
h) Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-
materi pembelajaran yang bersifat sistematis, logika, perubahan sikap, dan analisis
terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa
24
senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan
sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak
terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika
yang berlaku.
Dari pemaparan di atas ternyata teori humanistik relevan dengan ciri-ciri dan faktor-
faktor yang bisa membuat siswa menjadi mandiri dalam pembelajaran terutama
pembelajaran matematika, karena Menurut Suherman (2001 : 56-57) menyatakan
kemandirian pada pembelajaran matematika adalah aktivitas belajar yang didorong oleh
kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri tanpa bantuan orang lain serta
mampu mempertanggung jawabkan tindakannya. Siswa dikatakan telah mampu belajar
matematika secara mandiri apabila ia telah mampu melakukan tugas belajar matematika
tanpa ketergantungan dengan orang lain.
2.3. Efektivitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2003 : 284) menyatakan
“efektif adalah ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), manjur atau
mujarab (tt obat), dapat membawa hasil, dan berhasil guna’ (tt usaha, tindakan).
Sementara itu, efektivitas memiliki pengertian ‘keefektifan’. keefektifan adalah
keadaan berpengaruh, hal berkesan, kemanjuran, kemujaraban, keberhasilan”
(Miarso, 2004 : 34).
Kata efektivitas berasal dari Bahasa Inggris, yaitu effective yang berarti berhasil,
tepat atau manjur (Kusmana, 2013 : 29). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat
yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha
atau tindakan (Wicaksono, 2009 : 93).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan dikatakan efektif bila
kegiatan tersebut dapat diselesaikan pada waktu yang tepat dan mencapai tujuan yang
diinginkan.
Menurut Said (1981 : 83) bahwa efektivitas berarti berusaha untuk dapat mencapai
sasaran yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik
dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya atau berusahan melalui aktivitas
tertentu baik secara fisik maupun non fisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan menurut Purwadarminta (1994 : 32)
25
menyatakan didalam pengajaran efektivitas berkenaan dengan pencapaian tujuan, dengan
demikian analisis tujuan merupakan kegiatan pertama dalam perencanaan pengajaran.
Dari pernyatan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa efektivitas adalah
berusaha mencapai tujuan sesuai rencana sehingga memperoleh hasil yang maksimal.
2.3.1. Ciri-Ciri Efektivitas
Slavin dalam skripsi Deski (2007 : 8) menyatakan bahwa keefektifan pembelajaran
ditunjukkan dengan empat indikator, yaitu:
1) Kualitas pembelajaran, yakni banyaknya informasi atau ketrampilan yang ada.
2) Kesesuaian tingkat pembelajaran, yaitu sejauh mana guru memastikan tingkat
kesiapan siswa untuk mempelajari materi baru.
3) Insentif, yaitu seberapa besar usaha guru memotivasi siswa untuk mengajarkan
tugas belajar dan materi belajar yang tersedia
4) Waktu, pembelajaran akan efektif jika siswa dapat menyelesaikan pelajaran tepat
waktu.
Menurut Eggen dan Kauchak dalam skripsi Deski (2007 : 8) menyatakan :
Pembelajaran dikatakan efektif jika siswa secara aktif dilibatkan dalam
pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan), sehingga dalam
pembelajaran siswa tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru
secara pasif. Dengan demikian diharapkan hasil pembelajaran tersebut selain
dapat meningkatkan pemahaman siswa juga dapat meningkatkan kemampuan
berfikirnya.
Senada dengan pendapat tersebut di atas, Harry Firman menyatakan bahwa
keefektifan program pembelajaran ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut (Wicaksono,
2009 : 97) :
1) Berhasil mengantarkan siswa mencapai tujuan-tujuan instruksional yangb telah
ditentukan. 2) Memberikan pengalaman belajar yang atraktif, melibatkan siswa secara aktif
sehingga menunjang pencapaian tujuan instruksional. 3) Memiliki sarana-sarana yang menunjang proses belajar mengajar. Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan tersebut di atas, maka
keefektifan program pembelajaran tidak hanya ditinjau dari segi tingkat prestasi belajar
saja, melainkan harus pula ditinjau dari segi proses dan sarana penunjang.
2.3.2. Kriteria Efektivitas
Menurut Diamond dalam skripsi Deski (2007 : 9) Menyatakan: keefektifan dapat
diukur dengan melihat minat siswa terhadap kegiatan pembelajaran. Jika siswa tidak
berminat untuk mempelajari sesuatu, maka tidak dapat diharapkan ia akan berhasil
dengan baik dalam mempelajari materi pelajaran. Sebaliknya, jika siswa belajar sesuai
dengan minatnya, maka dapat diharapkan hasilnya akan lebih baik.
Kriteria efektivitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah apabila tiga dari empat
aspek yang meliputi: 1) Kemampuan guru mengoneksikan materi matematika dengan
26
kehidupan sehari-hari, 2) Siswa mampu berpikir kreatif masalah matematika dan kritis
pada pembelajaran matematika , 3) Keterlibatan siswa secara personal pada pembelajaran
dan diskusi saat pembelajaran matematika, dan 4) Adanya kesiapan belajar pada
pembelajaran matematika.
Untuk mengukur tingkat efektivitas peneliti menggunakan “Skala Lima”, yang
dikemukakan oleh Nurkancana dan Sunartana (1992 : 93). Yang dimaksud dengan norma
absolut “Skala Lima” menurut I Wayan Nurkancana dan PPN Sunartana adalah
berdasarkan pada Efektivitas Penerapan Teori Humanistik Carl Rogers. Tingkt Efektivitas
Penerapan Teori Humanistik Carl Rogers t dinyatakan dengan huruf: A = sangat efektif; B
= efektif; C = cukup efektif; D = kurang efektif atau rendah dan E = sangat kurang efektif
atau sangat rendah.
Tingkat efektivitas dalam penelitian ini mengacu pada kategorisasi yang dikemukakan
Nurkancana dan Sunartana (1992 : 93) sebagai berikut:
Tabel 2.1 Skor Standar Dan Kategori
Efektivitas Penerapan Teori Humanistik Carl Rogers Dalam Meningkatkan Kemandirian Siswa Pada Pembelajaran Matematika
No Tingkat Efektivitas Skor Standar
1 90% -100% A
2 80% - 89% B
3 65% - 79% C
4 55% - 64% D
5 0% - 54% E
Sumber : I Wayan Nurkancana dan PPN Sunartana. 1992. Evaluasi Hasil Belajar.
Surabaya: Usaha Nasional. hal 93
Dengan mengacu pada tabel diatas, maka tingkat efektivitas penerapan Teori
Humanistik Carl Rogers dalam meningkatkan kemandirian siswa pada pembelajaran
matematika dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Tingkat efektivitas 90% - 100% di kategorikan sangat efektif atau Teori Humanistik
Carl Rogers sangat efektif dalam meningkatkan kemandirian siswa dan mendapat skor
A.
b. Tingkat efektivitas 80% - 89% di kategorikan efektif atau Teori Humanistik Carl
Rogers efektif dalam meningkatkan kemandirian siswa dan mendapat skor B.
27
c. Tingkat efektivitas 65% - 79% di kategorikan cukup efektif atau Teori Humanistik
Carl Rogers cukup efektif dalam meningkatkan kemandirian siswa dan mendapat skor
C.
d. Tingkat efektivitas 50% - 64% di kategorikan kurang efektif atau Teori Humanistik
Carl Rogers kurang efektif dalam meningkatkan kemandirian siswa dan mendapat skor
D.
e. Tingkat efektivitas 0% - 54% di kategorikan sangat kurang efektif atau Teori
Humanistik Carl Rogers sangat kurang efektif dalam meningkatkan kemandirian siswa
dan mendapat skor E.
2.4. Kerangka Pemikiran
Pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) membuat siswa kurang
berkembang dan pasif dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini berdampak pada kurangnya
kemandirian belajar siswa, sehingga perlu adanya perubahan paradigma yang dapat
merubah sistem pembelajaran (teacher centered) menjadi sistem pembelajaran yang lebih
memberdayakan siswa (student centered). Namun, pola pembelajaran student centered
tersebut belum berlaku di SMA N 5 Cirebon khususnya kelas XI. Oleh karena itu, perlu
diterapkan model pembelajaran untuk mengubah proses belajar siswa sehingga tercipta
kemandirian pada diri siswa.
Kemandirian belajar siswa merupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu
ditumbuh kembangkan pada siswa sebagai individu yang diposisikan sebagai peserta didik.
Karena dengan adanya kemandirian akan terbentuk usaha-usaha belajar yang giat, penuh
kesungguhan, tanpa merasa harus terpaksaan.
Kemandirian siswa dalam belajar akan membawa siswa untuk terus menerus mencari
ilmu tanpa harus menunggu pemberian dari guru di sekolah. Oleh karena itu kemandirian
belajar menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar matematika.
Kemampuan siswa menyelesaikan berbagai tugas dan latihan, merupakan salah satu
gambaran bahwa siswa tersebut memiliki kemandirian belajar. Kemauan belajar yang
sungguh, tekun dan pantang menyerah akan berdampak positif bagi siswa kedepannya.
Untuk menyelesaikan persoalan yang dikemukakan diatas salah satunya dengan
menerapkan Teori Humanistik Rogers "Belajar Berpengalaman" untuk meningkatkan
kemandirian siswa pada pembelajaran matematika karena proses pembelajarannya siswa
dihadapkan pada masalah nyata yang ingin dicari penyelesaiannya, dan apabila kesadaran
28
akan masalah telah terbentuk, maka terbentuk pulalah sikap terhadap masalah tersebut, jadi
bisa dikatakan pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan mereka, selain itu Keberhasilan
belajar yang di kemukakan oleh Rogers terletak pada sumbangannya (peserta didik)
terhadap kesadaran akan kemampuan diri sendiri karena pada dasarnya manusia memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Berikut digambarkan bagan kerangka pemikiran tentang penerapan teori humanistik
Carl R, Rogers “Belajar Berpengalaman” dalam meningkatkan kemandirian siswa pada
pembelajaran matematika.
Bagan 2.1
Kemandirian siswa
2.5. Tinjauan Yang Relevan
Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti telah menelusuri beberapa hasil penelitian
terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Berikut hasil
penelitian terdahulu yang ditemukan :
Experiential
Keterlibatan
siswa secara
personal.
berinisiatif
Aspek Kognitif
Kemampuan
koneksi
Kemampuan
berfikir kreatif
Kemampuan
berfikir kritis
Teori humanistik Carl R.
Rogers “belajar
berpaengalaman”
Proeses pembelajaran
1) Mampu berfikir secara kritis,creative dan inovatif
2) Tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
3) Tidak lari atau menghindari masalah.
4) Memecahkan masalah dengan berfikir secara mendalam.
5) Apabila menjumpai masalah dipecahkan sendiri tanpa meminta
bantuan orang lain.
6) Tidak merasa rendah diri apabila berbeda dengan orang lain.
7) Berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan.
8) Bertanggung jawab atas tindakannya
29
1). Desi Susilawati (2009)
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Desi Susilawati dalam skripsinya yang
berjudul “Upaya Meningkatkan Kemandirian Belajar dan Kemampuan Matematika
Siswa Kelas X SMA N 1 Gamping dengan Menggunakan LKS” pada tahun 2009.
Penelitian ini dilakukan untuk kepentingan skripsi, hasil penelitian ini mengalami
peningkatan (Susilawati, 2009 : 54). Peningkatan kemandirian siswa ditandai dengan
persentase jumlah siswa yang tergolong dalam kategori minimal baik dari 40,91%
menjadi 72,73%. Sedangkan kemampuan matematika ditandai dengan meningkatnya
persentase pada siklus I dari 81,82% menjadi 100% pada siklus II (Susilawati, 2009 :
49).
2). Kurnia Putri (2010)
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Putri dalam skripsinya yang berjudul
“Pengaruh Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan Recriprocal Teaching untuk
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Kemandirian Belajar Siswa.” Penelitian
ini dilakukan pada tahun 2010 pada Siswa Kelas VII SMPN 4 Cimahi. Penelitian ini
dilakukan untuk kepentingan skripsi. Dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
melalui pendekatan reciprocal teaching, kemandirian belajar matematis siswa kelas VII
sebesar 19,45% (Dirgantoro, 2010 : 67)
3). Siti Nuraisah (2010)
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Siti Nuraisah dalam skripsinya yang
berjudul, “Pengaruh Program Pelatihan Terhadap Peningkatkan Kemandirian Belajar
Siswa Sekolah Menengah Kejuruan”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 pada
Siswa Kelas XI SMK N 2 Sumedang Tahun Ajaran 2010/2011. Penelitian ini dilakukan
untuk kepentingan skripsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) adanya keragaman
tingkat pencapaian kemandirian belajar siswa; 2) secara umum pencapaian kemandirian
belajar siswa tersebar dalam lima kategori yaitu sangat tinggi sebesar 9,09%, tinggi
sebesar 12,12%, sedang sebesar 51,51%, rendah sebesar 18,18% dan sangat rendah
sebesar 9,09%; dan 3) terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kemandirian belajar
siswa setelah dilaksanakan program pelatihan untuk meningkatkan kemandirian belajar
siswa SMK (Aisah, 2010 : 59)
Dari hasil penelitian di atas terdapat kaitan dengan penelitian yang akan dilakukan
oleh penulis. Desi Susilawati dalam skripsinya yang berjudul “Upaya Meningkatkan
Kemandirian Belajar dan Kemampuan Matematika Siswa Kelas X SMA N 1 Gamping
30
dengan Menggunakan LKS” pada tahun 2009., terdapat kesamaan variabel Y (variabel
terikat) dengan penelitian yang penulis lakukan. Kurnia Putri S. Dirgantoro dalam
skripsinya yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan
Recriprocal Teaching untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Kemandirian
Belajar Siswa.” Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 pada Siswa Kelas VII SMPN
4 Cimahi, terdapat kesamaan variabel Y (variabel terikat) dengan penelitian yang
penulis lakukan. Siti Nur Aisah dalam skripsinya yang berjudul, “Pengaruh Program
Pelatihan Terhadap Peningkatkan Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah
Kejuruan”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 pada Siswa Kelas XI SMK N 2
Sumedang Tahun Ajaran 2010/2011, terdapat kesamaan variabel Y (variabel terikat)
dengan penelitian yang penulis lakukan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya relevansi dengan penelitian yang
akan dilakukan penulis .berjudul “Efektivitas Penerapan Teori Humanistik Carl R.
Rogers”belajar berpengalaman” Dalam Meningkatkan Kemandirian Siswa Pada
Pembelajaran Matematika”. Dan penelitian tersebut benar-benar bukan merupakan
penelitian hasil duplikasi dari beberapa penelitian yang di atas. Oleh karenanya penelitian
tersebut layak dilakukan.
2.6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat dirumuskan hipotesisnya bahwa, “Jika
teori humanistik Carl R. Rogers”belajar berpengalaman” diterapkan dengan baik, maka
kemandirian siswa pada pembelajaran matematika dapat meningkat”.