+ All Categories
Home > Documents > 7 BAB II EFEKTIVITAS TEORI HUMANISTIK CARL R ...

7 BAB II EFEKTIVITAS TEORI HUMANISTIK CARL R ...

Date post: 24-Feb-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
24
7 BAB II EFEKTIVITAS TEORI HUMANISTIK CARL R. ROGERS “BELAJAR BERPENGALAMAN” DAN KEMANDIRIAN BELAJAR 2.1. Teori Humanistik Carl R. Rogers 2.1.1. Teori Belajar Humanistik Menurut aliran humanistik, teori belajar humanistik mengarahkan para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar (Sulistyarini, 2011 : 35). Jadi sekolah harus berhati-hati supaya tidak membunuh insting ini dengan memaksakan anak belajar sesuatu sebelum mereka siap, bukan hal yang benar apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan juga punya keinginan. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai konselor seperti dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada behaviorisme (Dantes, 2012 : 76- 77). Menurut Arthur W. Combs dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 23) menyatakan teori belajar humanistik adalah proses belajar akan terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa mamaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan siswa Abraham Maslow dalam skripsi Mahendra (2010 : 67) mengatakan bahwa teori belajar humanistik adalah proses belajar yang mengaktualisasikan diri. Sedangkan menurut Jarvis dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 97) menyatakan belajar humanistik adalah suatu kegiatan belajar terjadi ketika peserta belajar menyadari relevansi pelajaran tersebut dengan dirinya. Dari pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam Teori Belajar Humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya, hal itu dapat dilihat dari tujuan utama pendidik dalam teori belajar humanistik yaitu membantu siswa mengembangkan dirinya, yaitu membantu
Transcript

7

BAB II

EFEKTIVITAS TEORI HUMANISTIK CARL R. ROGERS “BELAJAR

BERPENGALAMAN” DAN KEMANDIRIAN BELAJAR

2.1. Teori Humanistik Carl R. Rogers

2.1.1. Teori Belajar Humanistik

Menurut aliran humanistik, teori belajar humanistik mengarahkan para pendidik

sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan kurikulum untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa

manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar

(Sulistyarini, 2011 : 35). Jadi sekolah harus berhati-hati supaya tidak membunuh insting ini

dengan memaksakan anak belajar sesuatu sebelum mereka siap, bukan hal yang benar

apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan juga

punya keinginan. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu siswa

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai konselor seperti

dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada behaviorisme (Dantes, 2012 : 76-

77).

Menurut Arthur W. Combs dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 23) menyatakan teori

belajar humanistik adalah proses belajar akan terjadi bila mempunyai arti bagi individu,

guru tidak bisa mamaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan

kehidupan siswa

Abraham Maslow dalam skripsi Mahendra (2010 : 67) mengatakan bahwa teori

belajar humanistik adalah proses belajar yang mengaktualisasikan diri. Sedangkan menurut

Jarvis dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 97) menyatakan belajar humanistik adalah suatu

kegiatan belajar terjadi ketika peserta belajar menyadari relevansi pelajaran tersebut

dengan dirinya.

Dari pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas maka penulis dapat

menyimpulkan bahwa dalam Teori Belajar Humanistik, belajar dianggap berhasil jika si

pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus

berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.

Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan

dari sudut pandang pengamatnya, hal itu dapat dilihat dari tujuan utama pendidik dalam

teori belajar humanistik yaitu membantu siswa mengembangkan dirinya, yaitu membantu

8

masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagaimana manusia yang

unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka.

2.1.2. Teori Belajar Carl R. Rogers

Humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun

1950-an dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada

abad pertengahan. Humanistik berkembang menjadi a third force atau a third power atas

reaksi terhadap dua aliran psikologi sebelumnya yaitu behaviorisme dan psikoanalisme/

psikoanalisa, dan salah satu tokoh aliran teori humanistic adalah Carl R.Rogers dengan

teori humanistik "belajar berpengalaman" (Hakim, 2012 : 89)

Menurut Rogers dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 96) ada tiga unsur penting dalam

belajar :

1) Peserta belajar hendaknya dihadapkan pada masalah nyata yang ingin dicari

penyelesaiannya.

2) Apabila kesadaran akan masalah telah terbentuk, maka terbentuk pulalah sikap terhadap

masalah tersebut. Pada tahap ini, sikap terbentuk melalui proses kenyataan-penerimaan-

pengertian-empatik.

3) Adanya sumber belajar, baik manusia maupun bahan tertulis atau cetak.

Keberhasilan belajar yang dikemukakan oleh Rogers terletak pada sumbangannya

(peserta didik) terhadap kesadaran akan kemampuan diri sendiri karena pada dasarnya

manusia memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Menurut Jarvis dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 99) belajar yang dikembangkan

oleh Rogers mengandung ciri-ciri sebagai berikut:

1) Manusia memiliki potensi alamiah untuk belajar

2) Kegiatan belajar terjadi ketika peserta menyadari relevansi pelajaran tersebut bagi

dirinya.

3) Kegiatan belajar melibatkan perubahan dalam organisasi dan persepsi diri.

4) Kegiatan belajar terjadi ketika peserta tidak merasa takut.

5) Kebanyakan pelajaran penting diperoleh dengan cara melakukan.

6) Kegiatan belajar lebih mudah apabila peserta belajar berpartisipasi secara

bertanggung jawab dalam proses belajar.Rasa bebas, sifat kreatif, dan percaya diri

memudahkan berlangsungnya proses belajar apabila peserta belajar berani

mengkritik dan menilai diri sendiri

Gagasan Rogers mengenai prinsip-prinsip belajar meliputi (Syifa’a, 2008 : 101-103) :

1) Hasrat untuk belajar

Menurut Rogers manusia itu mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini

dikarenakan manusia memiliki naluri rasa ingin tahu yang tinggi.

2) Belajar yang berarti

9

Prinsip kedua ini adalah belajar yang berarti, yang mempunyai makna. Dengan

belajar yang berarti maka siswa tidak akan merasa rugi jika belajar sesuatu.

3) Belajar tanpa ancaman

Belajar tanpa ancaman akan memberi kesempatan anak mengeksplor imajinasi

siswa sehingga dapat membuat siswa mampu berfikir kreatif.

4) Belajar atas inisiatif sendiri

Bagi para humanistik, belajar itu paling bermakna manakala hal itu dilakukan atas

inisiatif sendiri dan apabila melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu

memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan

kesempatan kepada siswa untuk belajar.

5) Belajar dan perubahan

Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling

bermanfaat itu ialah belajar tentang proses belajar. Karena dalam proses belajar

akan terjadi interaksi yang berhubungan dengan sikap, tindakan dan yang pastinya

akan membawa perubahan sikap kearah yang lebih baik.

Dari pernyataan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Teori Belajar Carl

R. Rogers suatu teori yang tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi dan

dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-

pengalaman mereka sendiri.

2.1.3. Model Pembelajaran Berpengalaman

Menurut Carl R. Rogers dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 101) menyatakan;

Model pembelajaran berpengalaman, proses pembelajarannya student center, siswa

dihadapkan pada pengalaman dan masalah nyata yang ingin dicari penyelesaiannya,

dan apabila kesadaran akan masalah telah terbentuk, maka terbentuk pulalah sikap

terhadap masalah tersebut, jadi bisa dikatakan pembelajarannya sesuai dengan

kebutuhan mereka, selain itu Keberhasilan belajar yang di kemukakan oleh Rogers

terletak pada sumbangannya (peserta didik) terhadap kesadaran akan kemampuan

diri sendiri karena pada dasarnya manusia memiliki kemampuan untuk

menyelesaikan masalahnya sendiri.

Adapun ciri-ciri model pembelajaran berpengalaman menurut Carl R. Rogers dalam

Anisah dan Syamsu (2011 : 103) meliputi :

1) Merespon perasaan siswa

2) Materi pembelajarannya dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari

3) Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang

4) Berdialog dan berdiskusi dengan siswa

5) Menghargai siswa

6) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan

7) Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan

kebutuhan segera dari siswa)

8) Tersenyum pada siswa

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berpengalaman secara

jelas menunjukkan bahwa belajar dipengaruhi oleh bagaimana siswa berpikir, bertindak,

dan dipengaruhi serta diarahkan oleh arti pribadi dan perasaan-perasaan yang mereka

ambil dari pengalaman belajar mereka.

10

2.1.4. Aplikasi Dalam Pembelajaran Matematika

Pada prinsipnya kebutuhan peserta didik tidaklah tunggal, walaupun ada kebutuhan-

kebutuhan dasar yang sama seperti kebutuhan rasa nyaman, rasa aman, rasa diperhatikan,

rasa dihargai dan lain sebagainya namun tingkat kebutuhan tersebut tidaklah sama. Karena

itu, sudah seharusnya para pendidik benar-benar memperhatikan jenis dan tingkat

kebutuhan siswa didalam kelasnya. Pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan siswa

ini mengarah kepada pembelajaran yang humanistik.

Pembelajaran yang humanistik merupakan pembelajaran yang memperhatikan sisi-

sisi manusiawi dari semua pelaku pendidikan. Sisi-sisi manusiawi yang dimaksudkan

adalah adanya keterlibatan otak dan emosi dalam setiap kegiatan pembelajaran. Oleh

karena itu, guru harus selalu memperhatikan keberagaman siswa dalam melaksanakan

pembelajaran agar mampu memanusiakan siswa dalam kelasnya. (Muniroh, 2011 : 48).

Salah satu tokoh kunci dalam teori pembelajaran humanistik adalah Carl Rogers.

Menurut Rogers dalam dalam Susilo (2009 : 49), experiaental-learning adalah jenis

pembelajaran yang membuat perbedaan individu dalam prilaku, sikap dan kepribadian

lebih lengkap, tidak hanya menyangkut otak atau ranah kognitif tetapi juga menyangkut

ranah afektif karena telah melibatkan perasaan dan emosi jiwa. Masih menurut Rogers,

pada prinsipnya setiap individu secara alamiah memiliki potensi untuk belajar demikian

juga dalam matematika (Zimring, 1999 : 56).

Mengutip pendapat Haglund dalam Siswono (2007 : 45) menyatakan aplikasi

humanistik pada pembelajaran matematika kurang lebihnya ada 10 macam yaitu:

1) Menempatka siswa sebagai penemu (inquiry) buka hanya penerima fakta-fakta

dan prosedur-prosedur

2) Memberi kesempatan siswa untuk saling membantu dalam memahami masalah

dan pemecahan masalah yang lebih mendalam

3) Belajar berbagai macam cara untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya dengan

pendekatan aljabar

4) Menunjukkan latar belakang sejarah bahwa matematika sebagai suatu penemuan

atau usaha keras dari seorang manusia

5) Menggunakan masalah-masalah yang menarikdan pertanyaan terbuka (open-

ended), tidak hanya latihan-latihan

6) Menggunakan berbagai teknik penilaian, tidak hanya menilai siswa berdasar

pada kemampuan mengingat prosedur-prosedur saja

7) Mengembangkan suatu pemahaman dan apresiasi terhadap ide-ide besar

matematika yang membentuk sejarah dan budaya

8) Membantu siswa untuk melihat matematika sebagai studi terhadap pola-pola,

termasuk aspek keindahan dan kreativitas

9) Membantu siswa mengembangkan sikap-sikap percaya diri, mandiri dan

penasaran

11

10) Mengajarkan materi-materi yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari

seperti dalam sains, ekonomi, bisnis ataupun teknik

Seperti yang diungkapkan oleh Haglund di atas, maka penulis dapat menyimpulkan

bahwa pembelajaran akan berlangsung secara humanistik jika pembelajaran disesuaikan

dengan kebutuhan dan keinginan siswa.manakala guru mampu memperlakukan siswa

secara manusiawi. Artinya percaya bahwa pada dasarnya siswa itu dapat belajar,

Menurut Haglund dalam Siswono (2007 : 47) Manfaat dari diberlakukannya humanistik

pada pembelajaran matematika ini sangatlah banyak. Hal-hal tersebut meliputi:

1) Kegiatan siswa yang saling bekerja sama satu sama lain dapat beroptensi

membangun karakter tanggung jawab, toleransi dan demokratis

2) Kegiatan siswa dalam menemukan sesuatu berpotensi membangun karakter rasa

ingin tahu, kreatif dan mandiri

3) Kegiatan siswa dalam memecahkan masalah berpotensi membangun karakter

tidak mudah menyerah. Dan jika permasalahan diambil dari kehidupan sehari-

hari seperti budaya dan bangsa sendiri maka hal ini akan menimbulkan karakter

cinta tanah air, peduli masalah sosial dan masyarakat serta lingkungan hidup

4) Kegiatan siswa dalam menghargai keindahan dan kegunaan matematika dapat

berpotensi membangun karakter religiusnya dengan pemberian motivasi.

Dari pernyataan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa humanistik dalam

pembelajaran matematika akan mampu memperhatikan sisi-sisi manusiawi siswa. Sisi-sisi

manusiawi yang dimaksud adalah adanya keterlibatan otak dan emosi dalam setiap

kegiatan pembelajaran.

2.2. Kemandirian Siswa Pada Pembelajaran Matematika

2.2.1. Kemandirian Siswa

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata "mandiri" mempunyai arti

keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Sedangkan pengertian

mandiri secara istilah diartikan oleh beberapa ahli antara lain :

a. Fatimah (2006 : 141) mendefinisikan mandiri (berdiri diatas kaki sendiri dengan

kemampuan seseorang untuk tidak bergantung dengan orang lain serta bertanggung

jawab atas apa yang dilakukannya.

b. Dradjat (1976 : 130) menyatakan bahwa mandiri menyangkut kecenderungan anak

untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya tanpa minta tolong kepada orang lain.

Juga mengukur kemampuannya untuk mengarahkan kelakukannya tanpa tunduk kepada

orang lain. Biasanya anak yang berdiri sendiri lebih mampu memikul tanggung jawab,

dan pada umumnya mempunyai emosi yang stabil.

12

Kata “mandiri” diambil dari dua istilah yang pengertiannya sering disejajarkan silih

berganti, yaitu autonomy dan independence karena perbedaan sangat yang tipis dari kedua

istilah tersebut (Astuti, 2006 : 57). Independence dalam arti kemerdekaan atau kebebasan

secara umum menunjuk pada kemampuan individu melakukan sendiri aktivitas hidup,

tidak menggantungkan diri kepada orang lain (Setiawan, 2012 : 86).

Widjaja (1986 : 59) istilah kemandirian menunjukan kepercayaan akan kemampuan

diri untuk menyelesaikan masalah. Individu yang mandiri sebagai individu yang dapat

berdiri sendiri, dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, mampu

mengambil keputusan sendiri, mempunyai inisiatif dan kreatif, tanpa mengabaikan

lingkungan dimana ia berada (Haerudin, 2013 : 87).

Menurut Watson dan Lindgren dalam Setiawan (2012 : 43) mmenyatakan

kemandirian berarti kebebasan untuk mengambil inisiatif, mengatasi hambatan, melakukan

sesuatu dengan tepat, gigih dalam usaha, dapat melakukan sendiri tanpa menggantungkan

diri terhadap bantuan orang lain. Menurut Johnson dan Medinus dalam Widjaja (1986 : 59)

menyatakan kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan

individu berfungsi otonom dan berusaha kearah prestasi pribadi dan tercapainya tujuan.

Dari beberapa pendapat tersebut dalam mengartikan kemandirian, dapat disimpulkan

bahwa kemandirian mengindikasikan adanya unsur-unsur tanggung jawab, percaya diri,

berinisiataif, memiliki motivasi yang kuat untuk maju demi kebaikan dirinya, mantap

mengambil sendiri, berani menanggung resiko dan keputusannya, mampu menyelesaikan

masalah sendiri, tidak menggantungkan diri kepada orang lain, memiliki hasrat

berkompetensi, mampu mengatasi hambatan, melakukan sesuatu dengan tepat, gigih

dalam usaha, melakukan sendiri sesuatu tanpa menggantungkan bantuan orang lain,

mampu mengatur kebutuhan sendiri, tegak dalam bertindak, dan menguasai tugas-tugas.

Menurut Mu’tadin (2002 : 59) Menyatakan kemandirian mengandung makna:

1) Suatu keadaan dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan

dirinya

2) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

3) Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugas dan bertanggung jawab

terhadap apa yang dilakukannya.

13

2.2.2. Pembelajaran Matematika

2.2.2.1. Pembelajaran

Proses pembelajaran memungkinkan seseorang menjadi lebih manusiawi sehingga

disebut dewasa dan mandiri, tumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti semakin

mengenaldiri, semakin jujur dengan diri sendiri, semakin otentik, dan menjadi semakin

unik (Harefa, 2005 : 37). Pembelajaran menjadikan manusia berubah dari yang tidak

mampu menjadi mampu atau dari tidak berdaya menjadi sumber daya. Perubahan itu tidak

terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang disebut belajar. Belajar merupakan

kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap jenjang

pendidikan.

Menurut Moh. Surya dalam Rumini, dkk (1995 : 59) pembelajaran adalah suatu

proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku

yang baru secara keseluruhan, sebagai pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya

dengan lingkungan. Sedangkan menurut Gagne dalam Riyanto (2009 : 5) pembelajaran

merupakan kecenderungan perubahan diri manusia yang dapat dipertahankan selama

proses pertumbuhan yang terjadi dalam kondisi tertentu yang dapat diamati, diubah, dan

dikontrol.. Muhaimin dalam Riyanto (2009 : 131) menyatakan pembelajaran adalah upaya

membelajarkan siswa untuk belajar. Kegiatan pembelajaran akan melibatkan siswa

mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Dalam hal ini pembelajaran yang

disangkutkan.

Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran adalah

suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa

berubah kearah yang lebih baik. Dalam hal ini pembelajaran yang disangkutkan adalah

pembelajaran matematika.

2.2.2.2. Matematika

Menurut Abraham S. Lunchins dan Edith N. Luchins dalam Suherman (2001 : 65)

menyatakan matematika dapat dijawab secara berbeda-beda tergantung pada bilamana

pertanyaan itu dijawab, dimana dijawabnya, siapa yang menjawabnya, dan apa sajakah

yang dipandang termasuk dalam matematika.

Mustafa dalam Wijayanti (2011 : 67) menyebutkan bahwa matematika adalah

ilmu tentang kuantitas, bentuk, susunan, dan ukuran, yang utama adalah metode dan

proses untuk menemukan dengan konsep yang tepat dan lambang yang konsisten, sifat

14

dan hubungan antara jumlah dan ukuran, baik secara abstrak, matematika murni atau

dalam keterkaitan manfaat pada matematika terapan.

Menurut Elea Tinggih dalam Suherman (2001 : 66) menyatakan matematika

berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Hal ini dimaksudkan

bukan berarti ilmu lain diperoleh tidak melalui penalaran, akan tetapi dalam matematika

lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran), sedangkan dalam ilmu lain

lebih menekankan hasil observasi atau eksperiment disamping penalaran.

Berdasarkan penadat pendapat yang telah dikemukakan di atas maka penulis dapat

menyimpukan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan

bernalar dan proses untuk menemukan dengan konsep yang tepat dan lambang yang

konsisten, dalam menjawab suatu permasalahan matematika.

Menurut Asep Jihad dalam Prastiwi (2011 : 33-34) dapat diidentifikasi bahwa

matematika jelas berbeda dengan mata pelajaran lain dalam beberapa hal berikut,

yaitu :

1) Objek pembicaraannya abstrak, sekalipun dalam pengajaran di sekolah anak diajarkan

benda kongkrit, siswa tetap didorong untuk melakukan abstraksi.

2) Pembahasan mengandalkan tata nalar, artinya info awal berupa pengertian dibuat

seefisien mungkin, pengertian lain harus dijelaskan kebenarannya dengan tata nalar

yang logis.

3) Pengertian/konsep atau pernyataan sangat jelas berjenjang sehingga terjaga

konsistennya;

4) Melibatkan perhitungan (operasi).

5) Dapat dipakai dalam ilmu yang lain serta dalam kehidupan sehari-hari.

Dari definisi-definisi diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa matematika

adalah ilmu yang diperoleh dengan bernalar yang menggunakan istilah yang didefenisikan

dengan cermat, jelas dan akurat refpresentasinya dengan lambang-lambang atau simbol

dan memiliki arti serta dapat digunakan dalam pemecahan masalah yang berkaitan

dengan bilangan.

Menurut James dalam Skripsi Almaududi (2014 : 16) matematika adalah ilmu

tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang saling

berhubungan satu sama lain yang terbagi dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, serta

geometri. Matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena

15

dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia

memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.

Adapun beberapa definisi/pengertian matematika menurut Soedjadi (2000 : 11)

sebagai berikut:

1) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan teroganisir secara sistematik.

2) Matematika adalah pengetahuan bilangan dan kalkulasi.

3) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan

bilangan.

4) Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang

ruang dan bentuk.

5) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik.

6) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.

Dari pemaparan diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa matematika adalah

ilmu tentang penalaran logik, fakta-fakta kuantitatif dan tentang ruang da bentuk.

Menurut Suherman dalam Skripsi Komariah (2014 : 20-22) fungsi mata pelajaran

matematika sebagai berikut:

1) Alat

Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk

memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaan-

persamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan

penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya.

Bila seorang siswa dapat melakukan perhitungan tetapi tidak tahu alasannya,

maka tentu ada yang salah dalam pembelajarannya atau ada sesuatu yang

belum dipahami.

2) Pola Pikir

Belajar matematika bagi para siswa, juga merupakan pembentukan pola pikir

dan pemahaman suatu pengertian maupun penalaran dalam suatu hubungan di

antara pengertian-pengertian itu. Di dalam proses penalaran siswa,

dikembangkan pola pikir induktif maupun deduktif. Namun semuanya harus

disesuaikan dengan perkembangan kemampuan siswa, sehingga pada akhirnya

akan sangat membantu kelancaran proses pembelajaran matematika di sekolah.

3) Ilmu Pengetahuan

Fungsi matematika sebagai ilmu pengetahuan, dan tentunya pengajaran

matematika di sekolah harus diwarnai oleh fungsi yang ketiga ini. Guru harus

mampu menunjukkan betapa matematika selalu mencari kebenaran, dan

bersedia meralat kebenaran yang sementara diterima, bila ditemukan

kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang

mengikuti pola pikir yang sah. Menurut Sukayati (2003 : 11) menyatakan

bahwa belajar matematika merupakan proses membangun atau mengkonstruksi

konsep-konsep matematika dan prinsip-prinsip matematika, tidak sekedar

bersifat pasif dan statis, namun belajar matematika itu harus aktif dan dinamis.

16

Setyono (2007 : 15) ada urutan-urutan yang harus dilalui agar seorang anak

atau siswa menguasai dengan matang suatu konsep matematika. Langkah-

langkah pembentukan konsep dasar matematika dalam otak dan memori siswa

haruslah memperhatikan aspek-aspek fisiologis dan fungsional otak,

kematangan emosional, gaya belajar, kepribadian, dan tahap-tahap

perkembangan siswa itu sendiri. Aspek-aspek lain yang juga sangat vital

adalah proses penyampaian pelajaran matematika itu sendiri. Bagaimana guru

menyampaikan pelajaran matematika di kelas menjadi suatu faktor penentu.

Apakah disampaikan dengan cara yang penuh kegembiraan tanpa tekanan atau

dengan cara diktator. Agar kegiatan pembelajaran matematika dapat terwujud

dengan baik, maka perlu adanya perubahan yang harus ditunjukkan oleh

seseorang. Perubahan tersebut ditunjukkan dalam bentuk seperti perubahan

pengetahuan pemahaman, sikap, dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan,

kemampuan, dan aspek lain yang ada pada diri individu tersebut dengan pola

pikir dan pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis yang

berkenaandengan ide-ide atau gagasan-gagasan, konsep-konsep, dan

strukturyang terdapat dalam matematika yang pada akhirnya siswa dapat

mengembangkan kemampuan berpikir matematis serta dapat

mengkomunikasikan konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut sehingga

proses pembelajaran matematika dapat berkembang secara optimal. Hal itu pun

tidak terlepas dari adanya perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru

sebelum kegiatan pembelajaran berlangsung.

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa dengan adanya perubahan serta

perencanaan yang baik dan teratur maka kegiatan pembelajaran matematika dapat terwujud

dengan baik.

Sedangkan pembelajaran matematika merupakan upaya penataan lingkungan agar

proses belajar atau pembentukan pengetahuan dan pemahaman matematika oleh siswa

berkembang secara optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Wuryastuti,

2008 : 10). Pembelajaran matematika bagi para siswa merupakan pembentukan pola

pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan

diantara pengertian-pengertian itu (Suherman, 2001 : 60). Dalam pembelajaran

matematika, para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman

tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek

(abstraksi). Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk

memahami atau menyampaikan informasi misalnya melalui persamaan-persamaan, atau

tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal-

soal cerita atau soal- soal uraian matematika lainnya (Soedjadi, 2000 : 76).

Dari penjelasan diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran

matematika dalah proses mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan

menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran yang dapat

17

membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Simbol-simbol itu penting untuk membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi

yang ditetapkan.

Tujuan pembelajaran matematika di sekolah dalam Suherman (2001 : 58) mengacu

kepada fungsi matematika serta kepada tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan

dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Diungkapkan dalam Garis-garis Besar

Program Pengajaran (GBPP) matematika, bahwa tujuan umum diberikannya matematika

pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi dua hal yaitu:

1).Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam

kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar

pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien.

2) Merpersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika

dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Mathematics

instructional programs should enable all students to understand and use mathematics

(program pengajaran matematika harus memberi kesempatan kepada semua siswa untuk

memahami dan menggunakan matematika).

Dari pernyataan yang telah tersebut maka peneliti dapat mengambil kesimpulan

bahwa tujuan pembelajaran adalah mempersiapkan siswa agar dapat menghadapi masalah

dan menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari.

2.2.3. Kemandirian Siswa Pada Pembelajaran Matematika

Kemandirian belajar sebagai kemampuan diri mengambil tanggung jawab belajarnya.

Kemandirian belajar juga diartikan sebagai relasi psikologis pembelajar dengan proses dan

materi pembelajaran. Kemandirian belajar juga didefinisikan sebagai suatu situasi dimana

pebelajar bertanggung jawab penuh mengambil keputusan dan menerapkan dalam

pembelajaran.

Mujiman (2005 : 11) berpendapat bahwa kemandirian siswa pada pembelajaran

adalah kegiatan belajar aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu

kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dibangun dengan bekal pengetahuan atau

kompetensi yang dimiliki, baik dalam menetapkan waktu belajar, tempat belajar, irama

belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar yang dilakukan oleh pelajar

sendiri.

Menurut Kozma, Belle dan Williams dalam Sugandi (2013 : 89) menyatakan

kemandirian siswa pada pembelajaran merupakan bentuk belajar yang memberikan

18

kesempatan kepada pelajar untuk menentukan tujuan, sumber, dan kegiatan belajar sesuai

dengan kebutuhan sendiri. Dalam proses belajar, pelajar dapat berpartisipasi secara aktif

menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya (Widiarni, 2014

: 27).

Menurut Miarso (2004 : 66) kemandirian siswa dalam belajar adalah pengaturan

program yang diorganisasikan sedemikian rupa sehingga setiap pebelajar dapat memilih

atau menentukan bahan dan kemajuan belajar sendiri. Kemandirian belajar diartikan

sebagai aktivitas belajar yang berlangsung lebih didorong oleh kemampuan, pilihan, dan

tanggung jawab sendiri dari pebelajar (Aini dan Taman, 2012 : 48). Wedmeyer dalam

Masitoh (2013 : 23) menjelaskan, kemandirian siswa dalam pembelajaran adalah cara

belajar yang memberikan kebebasan, tanggung jawab, dan kewenangan yang lebih besar

kepada pelajar dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan belajarnya.

Rowntree dalam Julianto (2012 : 97) menjelaskan bahwa ciri utama pendidikan yang

menekankan kemandirian siswa dalam belajar adalah adanya komitmen institusi untuk

membantu pelajar memperoleh kemandirian menentukan keputusan sendiri dalam hal:

1) Tujuan belajar yang ingin dicapainya

2) Mata ajar, tema, topik atau issu yang akan dipelajari

3) Sumber-sumber belajar dan metode yang akan digunakan

4) Kapan, bagaimana, dan dalam hal apa keberhasilan belajarnya akan dinilai.

Aristo (2008 : 68), taraf kemandirian dapat dilihat dari seberapa besar inisiatif dan

tanggung jawab pebelajar untuk berperan aktif dalam hal:

1) Perencanaan belajar

2) Pelaksanaan proses belajar

3) Evaluasi hasil belajar

Di beberapa pendapat para ahli maka peneliti dapat menyimpulkan, kemandirian

siswa dalam pembelajaran dapat dilihat dari tanggung jawab siswa dalam merencanakan,

melaksanakan dan evaluasi hasil akhir.

Menurut Thoha (1996 : 123-124) menyatakan beberapa ciri-ciri kemandirian siswa

dalam belajar:

1) Mampu berfikir secara kritis,creative dan inovatif

2) Tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.

3) Tidak lari atau menghindari masalah.

4) Memecahkan masalah dengan berfikir secara mendalam.

19

5) Apabila menjumpai masalah dipecahkan sendiri tanpa meminta bantuan orang lain.

6) Tidak merasa rendah diri apabila berbeda dengan orang lain.

7) Berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan.

8) Bertanggung jawab atas tindakannya.

Menurut Basri (1994 : 54) menyatakan kemandirian siswa dalam belajar dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu :

1) Faktor yang terdapat di dalam dirinya sendiri (faktor endogen)

Faktor endogen (internal) adalah semua pengaruh yang bersumber dari dalam

dirinya sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak

dilahirkan dengan segala perlengkapan yang melekat padanya. Segala sesuatu

yang dibawa sejak lahir adalah merupakan bekal dasar bagi pertumbuhan dan

perkembangan individu selanjutnya. Bermacam-macam sifat dasar dari ayah dan

ibu mungkin akan didapatkan didalam diri seseorang, seperti bakat, potensi

intelektual dan potensi pertumbuhan tubuhnya, serta jenis kelamin.

2) Faktor-faktor yang terdapat di luar dirinya (faktor eksogen).

Faktor eksogen (eksternal) adalah semua keadaan atau pengaruh yang berasal dari

luar dirinya, sering pula dinamakan dengan faktor lingkungan. Lingkungan

kehidupan yang dihadapi individu sangat mempengaruhi perkembangan

kepribadian seseorang, baik dalam segi negatif maupun positif. Lingkungan

keluarga dan masyarakat yang baik terutama dalam bidang nilai dan kebiasaan-

kebiasaan hidup akan membentuk kepribadian, termasuk pula dalam hal

kemandiriannya.

Menurut Surya (2003 : 114) menyatakan kemandiri siswa adalah proses

menggerakan kekuatan atau dorongan dari dalam diri individu yang belajar untuk

menggerakan potensi dirinya mempelajari objek belajar tanpa ada tekanan atau pengaruh

asing di luar dirinya. Dengan demikian belajar mandiri lebih mengarah pada pembentukan

kemandirian dalam cara-cara belajar.

Dari pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kemandirian siswa pada

pembelajaran matematika adalah aktivitas belajar yang didorong oleh kemauan sendiri,

pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri tanpa bantuan orang lain serta mampu

mempertanggung jawabkan tindakannya. Siswa dikatakan telah mampu belajar matematika

secara mandiri apabila ia telah mampu melakukan tugas belajar matematika tanpa

ketergantungan dengan orang lain.

Menurut penelitian Eko & Kharisudin (2010 : 79) menyebutkan beberapa indikator

kemandirian belajar diantaranya:

1) Yakin pada kemampuan sendiri.

2) Tidak menyandarkan diri pada orang lain.

3) Mengendalikan sendiri kegiatan belajar

4) Bertanggung jawab

5) Mengevaluasi kegiatan belajar.

20

6) Melalukan kegiatan belajar atas keinginan sendiri pada pembelajaran.

Menurut Danuari (1990 : 9) menyatakan indikator kemandirian belajar adalah:

1) Adanya tendensi untuk berperilaku bebas dalam berinisiatif atau

bersikap atau berpendapat.

2) Fokus dalam kegiatan belajar

3) Adanya tendensi percaya diri

4) Adanya kesiapan belajar

5) Mengetahui kegunaan atau fungsi belajar

6) Adanya kedisiplinan dalam kegiatan belajar.

Berdasarkan kajian teoritis di atas peneliti merumuskan delapan indikator

kemandirian belajar siswa yang digunakan untuk penelitian, yaitu: 1) yakin pada

kemampuan sendiri, 2) mengendalikan sendiri kegiatan belajar, 3) Melalukan kegiatan

belajar atas keinginan sendiri pada pembelajaran, 4) adanya kedisiplinan dalam kegiatan

belajar, 5) adanya kesiapan belajar, 6) fokus dalam kegiatan belajar, 7) mengetahui

kegunaan atau fungsi belajar, 8) mengevaluasi kegiatan belajar.

2.2.4.Hubungan Antara Teori Humanistik Carl R. Rogers “Belajar Berpengalaman”

Dengan Kemandirian Siswa Pada Pembelajaran Matematika.

Menurut Carl R. Rogers dalam Anisah dan Syamsu (2011 : 85-90) Teori humanistik

memandang tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap

berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses

belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan

sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang

pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah

membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing

individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu

dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik

melihat adanya dua bagian pada proses belajar, Rogers (Anisah dan Syamsu, 2011 : 94) :

1) Proses pemerolehan informasi baru,

2) Personalia informasi ini pada individu.

Ratu (2014 : 10) Carl R. Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago,

sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama

tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas

Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja

klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.Gelar profesor diterima

di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and

21

Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd

Therapy.Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:

1) Kognitif (kebermaknaan)

2) Experiential ( pengalaman atau signifikansi)

Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti

memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning

menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential

learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa

sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa (Manyu, 2004 : 34). Menurut Rogers

yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip

pendidikan dan pembelajaran, yaitu:

1) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus

belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.

2) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan

pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna

bagi siswa

3) Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru

sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.

4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.

Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar

humanistik yang penting diantaranya ialah (Prayito, 2012 : 87-88) :

1) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.

2) Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid

mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.

3) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri

diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.

4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan

diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.

5) Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan

berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.

6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.

7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut

bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.

8) Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan

maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam

dan lestari.

9) Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai

terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan

penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.

22

10) Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah

belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap

pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan

itu.

Menurut Carl R. Rogers dalam Sanusi (2013 : 95) menyatakan bahwa salah satu

model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang

dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai

kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati,

penghargaan dan umpan balik positif.

. Implikasi teori belajar humanistik guru sebagai fasilitator psikologi humanistik

memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk

memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar

yang sangat singkat dari beberapa guidenes (petunjuk) (Nugraha, 2011 : 87):

1) Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi

kelompok, atau pengalaman kelas

2) Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di

dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.

3) Mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-

tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di

dalam belajar yang bermakna tadi.

4) Mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas

dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.

5) Menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat

dimanfaatkan oleh kelompok.

6) Dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik

isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi

dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok.

7) Cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan

sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut

menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.

8) Mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya

dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara

pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.

23

9) Harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan

yang dalam dan kuat selama belajar.

10) Dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali

dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Terhadap pembelajaran Siswa

aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses

pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam

pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru

memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru

memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk

memperoleh tujuan pembelajaran.Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center)

yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami

potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi

diri yang bersifat negatif. Menurut Surya (2003 : 110) menyatakan tujuan pembelajaran

lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya

dilalui adalah dalam (Jayanti, 2012 : 48-49):

a) Merumuskan tujuan belajar yang jelas

b) Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur

dan positif.

c) Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif

sendiri

d) Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara

mandiri

e) Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,

melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang

ditunjukkan.

f) Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak

menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala

resiko perbuatan atau proses belajarnya.

g) Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya

h) Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.

Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-

materi pembelajaran yang bersifat sistematis, logika, perubahan sikap, dan analisis

terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa

24

senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan

sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak

terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab

tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika

yang berlaku.

Dari pemaparan di atas ternyata teori humanistik relevan dengan ciri-ciri dan faktor-

faktor yang bisa membuat siswa menjadi mandiri dalam pembelajaran terutama

pembelajaran matematika, karena Menurut Suherman (2001 : 56-57) menyatakan

kemandirian pada pembelajaran matematika adalah aktivitas belajar yang didorong oleh

kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri tanpa bantuan orang lain serta

mampu mempertanggung jawabkan tindakannya. Siswa dikatakan telah mampu belajar

matematika secara mandiri apabila ia telah mampu melakukan tugas belajar matematika

tanpa ketergantungan dengan orang lain.

2.3. Efektivitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2003 : 284) menyatakan

“efektif adalah ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), manjur atau

mujarab (tt obat), dapat membawa hasil, dan berhasil guna’ (tt usaha, tindakan).

Sementara itu, efektivitas memiliki pengertian ‘keefektifan’. keefektifan adalah

keadaan berpengaruh, hal berkesan, kemanjuran, kemujaraban, keberhasilan”

(Miarso, 2004 : 34).

Kata efektivitas berasal dari Bahasa Inggris, yaitu effective yang berarti berhasil,

tepat atau manjur (Kusmana, 2013 : 29). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat

yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha

atau tindakan (Wicaksono, 2009 : 93).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan dikatakan efektif bila

kegiatan tersebut dapat diselesaikan pada waktu yang tepat dan mencapai tujuan yang

diinginkan.

Menurut Said (1981 : 83) bahwa efektivitas berarti berusaha untuk dapat mencapai

sasaran yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik

dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya atau berusahan melalui aktivitas

tertentu baik secara fisik maupun non fisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik

secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan menurut Purwadarminta (1994 : 32)

25

menyatakan didalam pengajaran efektivitas berkenaan dengan pencapaian tujuan, dengan

demikian analisis tujuan merupakan kegiatan pertama dalam perencanaan pengajaran.

Dari pernyatan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa efektivitas adalah

berusaha mencapai tujuan sesuai rencana sehingga memperoleh hasil yang maksimal.

2.3.1. Ciri-Ciri Efektivitas

Slavin dalam skripsi Deski (2007 : 8) menyatakan bahwa keefektifan pembelajaran

ditunjukkan dengan empat indikator, yaitu:

1) Kualitas pembelajaran, yakni banyaknya informasi atau ketrampilan yang ada.

2) Kesesuaian tingkat pembelajaran, yaitu sejauh mana guru memastikan tingkat

kesiapan siswa untuk mempelajari materi baru.

3) Insentif, yaitu seberapa besar usaha guru memotivasi siswa untuk mengajarkan

tugas belajar dan materi belajar yang tersedia

4) Waktu, pembelajaran akan efektif jika siswa dapat menyelesaikan pelajaran tepat

waktu.

Menurut Eggen dan Kauchak dalam skripsi Deski (2007 : 8) menyatakan :

Pembelajaran dikatakan efektif jika siswa secara aktif dilibatkan dalam

pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan), sehingga dalam

pembelajaran siswa tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru

secara pasif. Dengan demikian diharapkan hasil pembelajaran tersebut selain

dapat meningkatkan pemahaman siswa juga dapat meningkatkan kemampuan

berfikirnya.

Senada dengan pendapat tersebut di atas, Harry Firman menyatakan bahwa

keefektifan program pembelajaran ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut (Wicaksono,

2009 : 97) :

1) Berhasil mengantarkan siswa mencapai tujuan-tujuan instruksional yangb telah

ditentukan. 2) Memberikan pengalaman belajar yang atraktif, melibatkan siswa secara aktif

sehingga menunjang pencapaian tujuan instruksional. 3) Memiliki sarana-sarana yang menunjang proses belajar mengajar. Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan tersebut di atas, maka

keefektifan program pembelajaran tidak hanya ditinjau dari segi tingkat prestasi belajar

saja, melainkan harus pula ditinjau dari segi proses dan sarana penunjang.

2.3.2. Kriteria Efektivitas

Menurut Diamond dalam skripsi Deski (2007 : 9) Menyatakan: keefektifan dapat

diukur dengan melihat minat siswa terhadap kegiatan pembelajaran. Jika siswa tidak

berminat untuk mempelajari sesuatu, maka tidak dapat diharapkan ia akan berhasil

dengan baik dalam mempelajari materi pelajaran. Sebaliknya, jika siswa belajar sesuai

dengan minatnya, maka dapat diharapkan hasilnya akan lebih baik.

Kriteria efektivitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah apabila tiga dari empat

aspek yang meliputi: 1) Kemampuan guru mengoneksikan materi matematika dengan

26

kehidupan sehari-hari, 2) Siswa mampu berpikir kreatif masalah matematika dan kritis

pada pembelajaran matematika , 3) Keterlibatan siswa secara personal pada pembelajaran

dan diskusi saat pembelajaran matematika, dan 4) Adanya kesiapan belajar pada

pembelajaran matematika.

Untuk mengukur tingkat efektivitas peneliti menggunakan “Skala Lima”, yang

dikemukakan oleh Nurkancana dan Sunartana (1992 : 93). Yang dimaksud dengan norma

absolut “Skala Lima” menurut I Wayan Nurkancana dan PPN Sunartana adalah

berdasarkan pada Efektivitas Penerapan Teori Humanistik Carl Rogers. Tingkt Efektivitas

Penerapan Teori Humanistik Carl Rogers t dinyatakan dengan huruf: A = sangat efektif; B

= efektif; C = cukup efektif; D = kurang efektif atau rendah dan E = sangat kurang efektif

atau sangat rendah.

Tingkat efektivitas dalam penelitian ini mengacu pada kategorisasi yang dikemukakan

Nurkancana dan Sunartana (1992 : 93) sebagai berikut:

Tabel 2.1 Skor Standar Dan Kategori

Efektivitas Penerapan Teori Humanistik Carl Rogers Dalam Meningkatkan Kemandirian Siswa Pada Pembelajaran Matematika

No Tingkat Efektivitas Skor Standar

1 90% -100% A

2 80% - 89% B

3 65% - 79% C

4 55% - 64% D

5 0% - 54% E

Sumber : I Wayan Nurkancana dan PPN Sunartana. 1992. Evaluasi Hasil Belajar.

Surabaya: Usaha Nasional. hal 93

Dengan mengacu pada tabel diatas, maka tingkat efektivitas penerapan Teori

Humanistik Carl Rogers dalam meningkatkan kemandirian siswa pada pembelajaran

matematika dapat dikategorikan sebagai berikut :

a. Tingkat efektivitas 90% - 100% di kategorikan sangat efektif atau Teori Humanistik

Carl Rogers sangat efektif dalam meningkatkan kemandirian siswa dan mendapat skor

A.

b. Tingkat efektivitas 80% - 89% di kategorikan efektif atau Teori Humanistik Carl

Rogers efektif dalam meningkatkan kemandirian siswa dan mendapat skor B.

27

c. Tingkat efektivitas 65% - 79% di kategorikan cukup efektif atau Teori Humanistik

Carl Rogers cukup efektif dalam meningkatkan kemandirian siswa dan mendapat skor

C.

d. Tingkat efektivitas 50% - 64% di kategorikan kurang efektif atau Teori Humanistik

Carl Rogers kurang efektif dalam meningkatkan kemandirian siswa dan mendapat skor

D.

e. Tingkat efektivitas 0% - 54% di kategorikan sangat kurang efektif atau Teori

Humanistik Carl Rogers sangat kurang efektif dalam meningkatkan kemandirian siswa

dan mendapat skor E.

2.4. Kerangka Pemikiran

Pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) membuat siswa kurang

berkembang dan pasif dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini berdampak pada kurangnya

kemandirian belajar siswa, sehingga perlu adanya perubahan paradigma yang dapat

merubah sistem pembelajaran (teacher centered) menjadi sistem pembelajaran yang lebih

memberdayakan siswa (student centered). Namun, pola pembelajaran student centered

tersebut belum berlaku di SMA N 5 Cirebon khususnya kelas XI. Oleh karena itu, perlu

diterapkan model pembelajaran untuk mengubah proses belajar siswa sehingga tercipta

kemandirian pada diri siswa.

Kemandirian belajar siswa merupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu

ditumbuh kembangkan pada siswa sebagai individu yang diposisikan sebagai peserta didik.

Karena dengan adanya kemandirian akan terbentuk usaha-usaha belajar yang giat, penuh

kesungguhan, tanpa merasa harus terpaksaan.

Kemandirian siswa dalam belajar akan membawa siswa untuk terus menerus mencari

ilmu tanpa harus menunggu pemberian dari guru di sekolah. Oleh karena itu kemandirian

belajar menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar matematika.

Kemampuan siswa menyelesaikan berbagai tugas dan latihan, merupakan salah satu

gambaran bahwa siswa tersebut memiliki kemandirian belajar. Kemauan belajar yang

sungguh, tekun dan pantang menyerah akan berdampak positif bagi siswa kedepannya.

Untuk menyelesaikan persoalan yang dikemukakan diatas salah satunya dengan

menerapkan Teori Humanistik Rogers "Belajar Berpengalaman" untuk meningkatkan

kemandirian siswa pada pembelajaran matematika karena proses pembelajarannya siswa

dihadapkan pada masalah nyata yang ingin dicari penyelesaiannya, dan apabila kesadaran

28

akan masalah telah terbentuk, maka terbentuk pulalah sikap terhadap masalah tersebut, jadi

bisa dikatakan pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan mereka, selain itu Keberhasilan

belajar yang di kemukakan oleh Rogers terletak pada sumbangannya (peserta didik)

terhadap kesadaran akan kemampuan diri sendiri karena pada dasarnya manusia memiliki

kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Berikut digambarkan bagan kerangka pemikiran tentang penerapan teori humanistik

Carl R, Rogers “Belajar Berpengalaman” dalam meningkatkan kemandirian siswa pada

pembelajaran matematika.

Bagan 2.1

Kemandirian siswa

2.5. Tinjauan Yang Relevan

Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti telah menelusuri beberapa hasil penelitian

terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Berikut hasil

penelitian terdahulu yang ditemukan :

Experiential

Keterlibatan

siswa secara

personal.

berinisiatif

Aspek Kognitif

Kemampuan

koneksi

Kemampuan

berfikir kreatif

Kemampuan

berfikir kritis

Teori humanistik Carl R.

Rogers “belajar

berpaengalaman”

Proeses pembelajaran

1) Mampu berfikir secara kritis,creative dan inovatif

2) Tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.

3) Tidak lari atau menghindari masalah.

4) Memecahkan masalah dengan berfikir secara mendalam.

5) Apabila menjumpai masalah dipecahkan sendiri tanpa meminta

bantuan orang lain.

6) Tidak merasa rendah diri apabila berbeda dengan orang lain.

7) Berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan.

8) Bertanggung jawab atas tindakannya

29

1). Desi Susilawati (2009)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Desi Susilawati dalam skripsinya yang

berjudul “Upaya Meningkatkan Kemandirian Belajar dan Kemampuan Matematika

Siswa Kelas X SMA N 1 Gamping dengan Menggunakan LKS” pada tahun 2009.

Penelitian ini dilakukan untuk kepentingan skripsi, hasil penelitian ini mengalami

peningkatan (Susilawati, 2009 : 54). Peningkatan kemandirian siswa ditandai dengan

persentase jumlah siswa yang tergolong dalam kategori minimal baik dari 40,91%

menjadi 72,73%. Sedangkan kemampuan matematika ditandai dengan meningkatnya

persentase pada siklus I dari 81,82% menjadi 100% pada siklus II (Susilawati, 2009 :

49).

2). Kurnia Putri (2010)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Putri dalam skripsinya yang berjudul

“Pengaruh Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan Recriprocal Teaching untuk

Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Kemandirian Belajar Siswa.” Penelitian

ini dilakukan pada tahun 2010 pada Siswa Kelas VII SMPN 4 Cimahi. Penelitian ini

dilakukan untuk kepentingan skripsi. Dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

melalui pendekatan reciprocal teaching, kemandirian belajar matematis siswa kelas VII

sebesar 19,45% (Dirgantoro, 2010 : 67)

3). Siti Nuraisah (2010)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Siti Nuraisah dalam skripsinya yang

berjudul, “Pengaruh Program Pelatihan Terhadap Peningkatkan Kemandirian Belajar

Siswa Sekolah Menengah Kejuruan”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 pada

Siswa Kelas XI SMK N 2 Sumedang Tahun Ajaran 2010/2011. Penelitian ini dilakukan

untuk kepentingan skripsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) adanya keragaman

tingkat pencapaian kemandirian belajar siswa; 2) secara umum pencapaian kemandirian

belajar siswa tersebar dalam lima kategori yaitu sangat tinggi sebesar 9,09%, tinggi

sebesar 12,12%, sedang sebesar 51,51%, rendah sebesar 18,18% dan sangat rendah

sebesar 9,09%; dan 3) terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kemandirian belajar

siswa setelah dilaksanakan program pelatihan untuk meningkatkan kemandirian belajar

siswa SMK (Aisah, 2010 : 59)

Dari hasil penelitian di atas terdapat kaitan dengan penelitian yang akan dilakukan

oleh penulis. Desi Susilawati dalam skripsinya yang berjudul “Upaya Meningkatkan

Kemandirian Belajar dan Kemampuan Matematika Siswa Kelas X SMA N 1 Gamping

30

dengan Menggunakan LKS” pada tahun 2009., terdapat kesamaan variabel Y (variabel

terikat) dengan penelitian yang penulis lakukan. Kurnia Putri S. Dirgantoro dalam

skripsinya yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan

Recriprocal Teaching untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Kemandirian

Belajar Siswa.” Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 pada Siswa Kelas VII SMPN

4 Cimahi, terdapat kesamaan variabel Y (variabel terikat) dengan penelitian yang

penulis lakukan. Siti Nur Aisah dalam skripsinya yang berjudul, “Pengaruh Program

Pelatihan Terhadap Peningkatkan Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah

Kejuruan”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 pada Siswa Kelas XI SMK N 2

Sumedang Tahun Ajaran 2010/2011, terdapat kesamaan variabel Y (variabel terikat)

dengan penelitian yang penulis lakukan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya relevansi dengan penelitian yang

akan dilakukan penulis .berjudul “Efektivitas Penerapan Teori Humanistik Carl R.

Rogers”belajar berpengalaman” Dalam Meningkatkan Kemandirian Siswa Pada

Pembelajaran Matematika”. Dan penelitian tersebut benar-benar bukan merupakan

penelitian hasil duplikasi dari beberapa penelitian yang di atas. Oleh karenanya penelitian

tersebut layak dilakukan.

2.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat dirumuskan hipotesisnya bahwa, “Jika

teori humanistik Carl R. Rogers”belajar berpengalaman” diterapkan dengan baik, maka

kemandirian siswa pada pembelajaran matematika dapat meningkat”.


Recommended