Date post: | 12-Jan-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 1 times |
Download: | 0 times |
ISSN:2089 -6654
Daftar Isi
IFTITAH - 5 .,,-
FOKUS Geraksinambung Perjuangan Para lmam - 7
Sayid Ali Khamenei
Tablig dan Bahasa Agarna - 23
Prof. Abdullah lawadi Amuli
Membincang HakAsasi - 39
Prof. M.Taq Mishbah Yazd:
Manusia Sempurna dalam Antropologi Mulla Shadra - 63
Dr. Sayid Muhsin Miri
Takfiriah dalam Kilas Sejarah (Bagian 3J - 87
Sayid Murtadha Musawi
catatan Al-Quds - 97
Ihlau Bukan pada Muhammad, kepada Siapa Lagi - 103
Abu Thalib Beriman: Pandangan Ta8ir Slcldr Naraawi al-JawiAzam Bahtiaa M.Sl.
Kenalilah Akalmu: Sebuah lnterpretasi - 131
A. Marzuki Amin, M.A.
Sekali lagi, Belaiar pada Ustadz Muthahhari - 139
Nurani vs Kebiadaban: Pergulatan Seorang cilad AgmoDd - 153
Mos Abbas
Rindr Kampung Halaman - 159
EMBUN
TAFSIR
HADIS
TOKOH
RtrSENSI
RENUNGAN
Bayanl Vol.ll,No.rTahun2oi2 3
TAFSIR
Abu Thalib Beriman: Pandangan Tafsir
Syekh Nawawi al-Jawil
Azam Bahtiar€
Pembelaan atas keimanan Abu Thalib pada
dasarrya adalah penolakan atas klaim-klaimangkuh dan arogan dalem beragama, yaitudalam menunjuk dan m€ngdentrfikasi status"iman" dan "kufur" seseorang secara sembrono.Penegasan ini sebagai poslulatumum merupakanpemyataan sikap untuk memberikan kata putusatas kasusl€sus serupa yangmungkifi mengadapada waktu dan tempat yang berbeda. Olehkarena keimanan adalah jantung keberagamaan,
Tulisan ini adalah revisi baghn kedua dsri hasil pen€lilian lilab taht yang penulis
pEs€nlasikan di kelas pascarjana Ulumul Ouran dan Tafsir, umvercilas SainsAlQuran Jawa
Tengah, Wonosobo, Jaleng, pada 26 November 2010.
Azan BahUar, Lllusan Magislei Sludi lslatn, kons€ntasi UhJmul Ouran dan Tafsir,
Univ€rsihs Sains Al{uran (UNSIQ) Jawa Tengah, di Wonosobo (2010-2011). sebelumrya
menyelesaiksn S1 di STAI Madlnahil llmi, D€pok (2009). Kini aklii di Lingkar Studi lslam,
Banyu$angi,
maka segala bentuk upaya takfiri yang hanya berasaskan eksprcsiekpresi luaran t€ntulah sangat menyesatkan. Karenanya, harussegera diakhlri.
Persoalan "iman" dan "kutur" tetap menjadi isu yang hangat
dibicarakan dalam wacana agama. Tema ini sedng dimunculkan
sebagai penunjuk terhadap garis demarkasi yang tegas antardua
identitas yang berbeda, di mana masilg-masing memilikikonsekuensi teologis dan sosialyangberbeda. wajar jika perebutan
dalam menentukan dan menunjuk dua identitas itu menjadi ajang
Bayan I Vol.lr, No.lrahh zoD 111
TAFSIR: AZAM BANTIAR
yang tak pernah selesai diminati dan dinikmati, terlepas dari segala motif yang
melatarlnya,
Pada gilimnnya, hal itu kadang nlemjcu lahirnya sikap beragama yang tidak
sehat, bahkan arogan. Kitt tentu masih ingat sejarah kelam Khawarij, yang dengan
penuh percaya diri mengafirkan Ali bin Abj Thalib dan semua orang yang ada
cli barisannya, semata_mata karena Ali menerima taikim atau arbitrasi dengan
Mu'awiyah. Tidak hanya memunculkan stigma ncgatif semacam itu, pengkafiran
tersebut ditindaklanjuti dengan pembunuhan atas khalifah keempat itu lni di
masa lalu. Tragis.
Di ela belakangan ini, semangat menggalakkan tdklr [selanjutnya disebul:
takfir] kian menjadi-jadi. Takfir adalah penilaian dan pemberian status atau
predikatterhadap kelompok ataupun individu tertentu sebagai kafir' Dalam bahasa
agama, terma kafir merujuk pada kegelapan iika agama adalah pencerahan, maka
kufur adalah sisi kegelapan yang harus dilenyapkan dari sebuah peradaban Tidak
heran jil<a l<emualian gerakan takfiri menyedot banyak korban nyawa Muhammad
Husain Dzahabi, penulis A1fty.ir \va ol'MuJAssirun, misalnya, pada tahun 1977
dibunuh oleh kelompok yang menamakan diri-r:rya Jana'ah dl?hk-fir (Aliansi
lPegiat] Takfirl di Mesir Belakangan fenomena serupa berrnunculan di negerj
kita, In.lonesia, meski dalam intensitasnya yang berbeda Di kampung-kampung'
sejumlah kultur relijius yang berwatak lokal banyak di-bidhh_sesat'kan, sepert
ziarah kubur, tawasul, bahkan srokald,'? dan tdhll/dr' Perilalu beragama semacar'
jni, yang menan{lakan arogansi sikap beragam4 sungguh sangat disayangkan Hal
itu dapat memicu konflik sosial, yang melenyapkan keharmonisan beltetangga
Dengan d€mikian, peritaku takfiri sesungguhn}? memiliki akaf historis dan
mata rantai yang panjang. Hal ini mengingatkan kita pada tulisan teolog_teolog
muslim ktasik soal penegasan kekafiran Abu Thalib, paman Nabi saw Apakah
pengafimn Abu Thalib memiliki basjs teologis yang beralasan? Apa perlunya
mengungkit tagi isu klasik ini? Tulisan ini akan mengeksplorasi pemikilan tafsil'
Syekh Nawawi Banten, yang lebih dikenal dengan sebutan dryat'1, terkait isu iman
atau kufurnya Abu Thalib. Pandangan kritis Nawawi atas penilaian sejumlah teolog
muslim klasik tentang masalah ini' menarik untuk diperhaiil<an Sehingga, penulis
juga akan meDunjukkan persamaan atau kontinuitas dan pergeseran pandangan
tafsir Nawawi dari tokoh-tokoh sebelumnya, sesuai prinsip chdnge ond continui\)
Urgensi atau nilai penting dari tulisan ini adalah untuk mengetahui sikap tegas
112 Bayan I vo. Lr, No.lrahun:oD
ABU THALIB EERIMAN: PANDANGAN TAFSIR SYEKH NAwAw AL_lAwl
Nawawi, yang pada dasarnya apllicoble dan relevan dengan kasus-kasus yang
mengada dewasa ini terkait status iman atau kufurnya seseorang.
sketsa Biogafis Nawawi al-lawi
Muhammad Nawawi, tokoh yang kita kaji ini,lahirpada tahun 1230 H, di Desa
Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten Utara. Posisi Tanam terletak kira-kira 30 km
di sebelah utara kota Serang tepatnya di pesisir pantai yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Tangerang. Desa Tanara termasuk dalam wilayah Kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Seran& Banten.3
Penetapan tahun kelahiran Nawawi al'Jawi berdasar kalender Hijriah, tidak
diperselisihkan oleh para penulis biografinF. Berbeda dalam kalender Masehi,
di mana perdebatan mengemuka Menurut Chaidat tahun kelahiran Nawawi al_
lawi pada 1230 H itu bertepatan dengan 1813 M Hanya, menurut Yuyun Rodiana,
dalam penetapan tersebut terdapat mis-kalkulasi Dengan merujuk yergleichungs-
Tabellen der Muhommedenischen und Chritlichen zeitrechhung, karya Ferdinand
Wustenfeld, menurut Rodian4 kalkulasi yang tepat adalah tahun 1814 M dan
1815 M. Sebab, iika dilihat dari persesuaian antara tahun Hijriah dan Masehi
bulan Muharam 1230 H itu sama dengan Desember 1814 M, sementara bulan
Safar 1230 H sudah masuktahun baru dalam kalender Masehi, yaitu Januari 1815
H. Biar demikian, tak ada data-data historis yang menginformasikan pada bulan
apa Nawawi al-Jawi dilahirkan. Jika ia lahir pada Muharam 1230 H, artinla sama
dengan Desember 1814 M. Namun, iika ia lahir pasca Muharam, tentu saja sudah
masuk 1815 M.'
Nawawi al-Jawi lahir saat Banten mengalarni kemunduran sultan Banten
yang memerintah kala itu adalah Sultan Muhammad Rafiuddin, sultan terakhir
dalam Kesultanan Banten, yang memedntah pada tahun 1813'1820. Sejak abad
sebelumnya, kemunduran Banten ini sudah mulai terlihat, khususnya dalam
pemerintahan Sultan Haji pada 1680, yang merebut kekuasaan ayahnya sendid,
Sultan Ageng Tirtayas4 di mana sanganaklebih berkoalisi dengan pihak Kompeni
hingga Voc menguasai Banten. Di masa penjajahan Belanda semacam itulah
Nawawi al-Jawi lahirs
A}?h Nawawi, Kyai Umat adalah seorang ulama di desanya, sementara
ibunya, Nyai zubaidah, adatah wanita salihah yang tak pernah berhenti berdoa
Samsul MuniAm n, Sayid lllarna Hijaz Biograf Syekh Nawawi alEanlani, cet l (Yogy€kana: Pustaka Pesanlren'
2009), hal.9.Di sini. Samsul Munir lebih memilih 1830 H sama dengan 1815 M. Tapi, ini hanya $le€'yang [dak didukung oleh
data hisioris. Lihat, Samsul MunfAmin, Sayid Ulama Hijaz, hal. 1G11
SamsulMuniAmin, Sayid Ulama Hiiaz, hal. 1213.
3
4
5
Baran I vol. tl, No. r Tahun 2o1z 113
TAFSIR: AZAM BAHT AR
untuk anak pertamanya itu sejak dalam kandungan. Sejak usia 5 tahun, Nawawi
belajar agama kepada ayahnya. Tiga tahun kemudian, ia belajar kepada Haji
Sahal, ulama terkemuka di Banten kala itu. Setelah itu, bersama dua saudaranya,
Tamim dan Ahmad, mereka bertiga nyantri ke Raden Haji Yusuf, ulama terkenal
yang berdomisili di daerah Purwakarta dekat Karawang. Seusai nyantri pada R. H.
Yusuf, ketiganya hiilah mencari pesantren di daerah Cikampek karena belum ada
balasan dari ibunya yang memperkenankan mereka pulang atau tidak. Sesampai
di cikampek, mereka diuji oleh kyai barunya ini. Lulus seleki, mereka langsung
disuruh puiang oleh sang kyai, tanpa sempat mencicipi pengalaman belajar
di Cikampek. Mereka pun pulang ke Banten. Sesampainya di Banten, Nawawi
menggantikan ayahnya memimpin pesantren. Saat itu ia berusia 13 tahun; usia
yang masih sangat belia untuk posisi kyai. Namun hal itu tidak berlangsung lama,
sebab 2 tahun kemudian ia menunaikan haji ke Mekah- Kesempatan ini digunakan
juga untuk menuntut ilmu, dan 3 tahun kemudian ia pulang ke Banten. Tapi tidak
lama kemudian, karena merasa tak betah di Banten, ia memutuskan untuk hijrah
ke Mekah untuk selamalamanya hingga meninggal di sana pada tahun 1897 M.u
Di Mekah, ia belajar kepada sejumlah guru, seperti Sayid Ahmad al-Nahmwi,
Sayid Ahmad Dimyathi, Sayid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh M. Khathib al-Hanbali,
Syekh Abdut Ghani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, dan Syekh Abdul Hamid al-
Daghastani.T
Belajar ke Mekah ini membuahkan hasil yang berarti; Nawawi menjadi
ulama besar di sana. Al-Zirikli memberinya predikat sebagai M&/dssir [penafsir],Mutashawwif (penempuh jalan tashawuf), dan min Fuqaha' al-Syafi'iryah (ahlifikih mazhab Syafi'i), sementara Timur menyebutnya Aim al'Hijaz [sang pakar
di Hijazl. Ada banyak kary? bermutu, di berbagai sekor ilmu keislaman, yang
ditinggalkan oleh Nawawi. Di antaranya, Maraqi al'Ubudyyah, elaborasi atas
Bidayah al-Hidayah-nya al-Ghazalii Nihayat al'Zain, elabomsi atas Qurrat al'Ainkarya Zainuddin al-Mallbari; Kosyifat al'Sajd, elaborasi atas tdfnot al'Naia karyaSalim al-Hadhrami, dan lainlain.s
sekilas Tafsir Mardh ldbidTafsir Marafi Labid ata\ Wng berjudul lengkap Morah Labid li-Kasyf Ma'na
Qur'an Majide ini dirampungkan oleh Nawawi auawi pada malam Rabo, 5 Rabiul
6 SamsulMun rAm n, Sayd U ama Hilaz, hal.19-24 dan 117
7 SamsulMun rAm n, Sayd U ama Huaz, hal.40-41.
I Kha rudd n al-zirikll, A-Alam, cet. XV (Beirul Dar arln ll.MaLayin,2002),6:318.
9 Dernikian iudul htuif ini tanpa a la rit pada dua kala lerakhir, sebagainana lercanlum dalam Mukadimah
oenulsnva. Lihat, Muhammad b. umar Nawawi alJaw' Marah Labid li_Kas)'f Ma'na al'oufan afMajid' edisi
Muhammad Amin al-Dhinnawi, cel.lll(B€irut Dar al'Kulub al-'llmiyyah, 2006), l: 5
114 e"ran I vot. rr, No. rr"hunzoe
ABU THALIB BER|MANT PANDANGAN TAFSTRSYEKH NAWAWTAL-JAWI
Akhir 1305 H.10 Tafsir ini ditulis dengan mediuh bahasa Arab, dan terdiri dari 2jilid (setebal 1358 halamanl.l' Karya tafsir ini populer juga dengan judul raFirMunir li-Ma'alim al-Tanzil, yang sebelnm dicetah naskahnya disodorkan kepadapara ulama Mekah dan Madinah untuk diteliti, baru kemudian diterbitl{an setelahmelalui proses tersebut. Atas kecermelangannya dalam menulis tafsir ini, olehulama Mesit Nawawi al-Jawi diberi gelar "Sayid Ulama al-Hijaz" (pemimpin UlamaHijaz).l'z Boleh jadi, Morah Labid adalah tafsir terbesar berbahasa Arab yangdihasilkan oleh penulis Nusantara hingga saat ini,
Sumber TafsirDalam pengakuanny4 untuk penulisan tafsir ini, Nawawi al-Jawi merujuk
pada seiumlah kitab tafsir bergengsi, antara lai Al-Futuhot al"llahiryah, Mafatihal-Ghaib, Al-Siruj al-Munir, Tanwir al- Miqbas, dan Taftir Abi Sr1'ud,13
Ada sejumlah karya beiudul Ai-Futuhdt al-llahwah, nafiun dalam kontekstafsit dugaan terkua! boleh iadi yang dimaksud Nawawi alJawi adal ah Al-Futuhatal-llahiylah bi-Taudhih Tofsir al-lalaldyn lid-Daqa'iq al-Khafyyah,karya Sulaimanbin 'Umar al-Jamal.1a Di dalam dunia pesantren, kitab ini populer dengan sebutanHasyuat al-JomaL Buku kedua, Mafatih a|-Ghaib atau Al-Tafsir al-Kabir adatahensiklopedia Islam karya Fal'truddin alRazi;1s sedangkan Al-Siraj al-Munir disini, tentu saia, buah karya Khathib al-Syarbini,l6 seorang pemuka Syafi,iyyah dimasanya. Di pesantren-pesanhen yang berlatar NU, karya Khathib ini, di sampingkarya lainnF di bidang Fikih, cukup terkenal. Bagaimana pun, nama l(hathib al-SFrbini ini kelap disebut di sejumlah forum Bahsul Masa,il NU, khususnya JawaTimur; karena memang sebagian karyanya dinilai mu,taborah. Seftentara Tanwiral-Miqbas min Tafs r lbnu Abbas, pseudo-tafsir Ibnu Abbas ini,17 adalah karya Al-Fairuzabadi, penulis kamus Arab terkenal .{l-Muftith.13
10 Nawawial'Jawi MaEh Labid, ll: 684.11 Bsda$*anlebiEn Darat-Kutub at.'ttmiyyah, 2006, edisi lvtuhamnad Anin at-Dhinnawi.12 lslah Gusmian, Khazanah Tahk Indonesia, Cet. | (Jakariar Teraju,2003), hal. 55.13 Nawawial-Jawi, Marah Labid. l:5.14 Sulaiman bin 'Umaf alJamai, Al-Fuluial alllahiyyah bi-Taudhl! Tafsir sualatayn tid.Daqa,iq at.Khafiyyeh, ed.
lbrahin Syafisuddin (Beirut Dar aLKulub aliqrabiyyah, 2006), I volume.15 Fakhruddin Muhamnad bin 'Umar al"Razi, Tafsk alFakhr al-p€zi at"irusylahir bi alTahk a!(sbir wa Mafalih al-
Ghaib, cet. I (Beirut0 at-Fikr. 1981i.16 Syamsuddin Muhammad bif Aimad bin afKhatlrib alsyabini, Al-Sirai al-Munt fi at-t,anah .ata
Ma rifat BadhMaa{ Kalam Rsbbira al.Hakim al-Kraoir, ed tb€h.m Sr.ms.ddin (Beirrr:Dar at.Kutub at- AEbiyyah. 2004), 4
17 Lihat penilaian Ma ritat terhadap tafsi ini datam, Muhammad Hadi Ma ilat, At-Tafsir wa ai]\rufassirun f Tsaubihiai-Qasyjb, c€l. lll (Masyhad:Al-Jamiah al-Ridhawiyyah ttt-'Utum at-tstamiyyah, 1429 H/1386 S), t:255-256.
18 Abu Thahir Mlhammad bin Ys qub a |,Fajruza bsdi al,Syafi i, Tanwt at-Miqbas nin Taisk tbnll ,Abbas {Beirut Dar
al.Kutub al- Arabiyyah, 2010).
Baya. I vor. rr, No. r rahun rol: 115
TAFS R: AZAM BAHIIAR
Sampai di sini, jika kita perhatikan, kitab kitab tafsir yang dijadikan referensi
oleh Nawawi al-iawi, sebagian besar merupakan karya tokoh-tokoh berhaluan
Syafi'ilyah. Boleh jadi, hal ini merupakan efek dari posisi sentralnya sebagai
pemuka Mazhab Syafi'i kala itu. Hanya tafsir Abu Su'ud saja, yang selengkapnya
berjudul kiyad al-Aql olsalim ila Mazaya al'Kitab al'Karim, dari seiumlah
rcferensi tersebut, yang dihasilkan oleh seomng Qadhi Mazhab Hanafi, yaitu Abu
Su'ud Muhammad bin Muhammad bin Mustbafa al-Amadi al-Hanafi [w.982 HJ rwalau demikjan, dalam konteks teologi, tidak berbeda dengan nama-nama yang
disebut sebelurnnya, Abu Su'ud juga pengikut Asy'ariyah-'zo
Iman dan Kufur
Sebelum membedah problem iman atau kufurnya Abu Thalib, hal pertama
yangharus dituntaskan dulu adalah apayangdimaksud iman dan kufur?Apa relasi
antarkeduanya?
Tidak mudah membidik pandangan Nawawi mengenaimasalah ini, mengingat
tidakbanyakkarya-karya klasikyang ditulis sistematis sesuai topik atautema-tema
tertentu secaramendalam dantuntas. Hanya saja,seiumlah informasi sporadis dari
karya-karyanya akan coba dijadikan sebagai acuan [ntuk menegaskan pandangan
Nawawi tentang problem ini.
Boleh jadi, bagi Nawawi, iman lebih meruiuk pada aktivitas pembenaran
dalam kalbu (tdsfidiq, asensi] Jika dikatakan "iman kepada Muhammad", maka
maksudnya adalah membenarkan seluruh ajaran yang dibawa oleh Muhammad.
Tentu saja, pembenaran ini harus diikuti dengan pelaksanaan terhadap ajaran-
ajarannya. setidaknya ini yang, secara semantik, terepresentasikan d a(ikata amana
Iri fiman kepada]. Misalnya, ketika menafsirkan kata yu'minuna bil'ghaib, Nawawi
mengatakan 'lnembenarkan segala yang tidak tampak bagi mereka, seperti surga,
neraka, shirot,r, timbangan, kebangkitan, pengadilan, dan yang lain':zl Tentu saja
tafsir ini tidak dimaksudkan sebagai pembatasan, karena memang baru merujuk
pada hal-hal yang benr'atak sam'iryat, yakni ajalan-ajaran yang diketahui lewat
berita da seorang nabi, bukan hasil nalar on sicl, dan belum menyentuh wilayah
ilahwat dan nabawiyyat. Namun, yang penting diga sbawahi adalah bahwa
,eriman di sini dijelaskan otehnya sebagai keimanan dengan dan dalam hati [bil
19
2A
21
Abu Suud l,-4uhammad bn Muh€mmad bin lvlushlhsfa afAmad a-Eaiali lrsyad al'Aq a-Salim la filazaya al'
Klabal-Karrn,ed.'AbdulalhfAbdurabmEn(BeiruliDaral"KutubarArabiyyah l999).
Muhammad Had l\,lalifai.Al-Tabirwa afMufasslrun, ll: 896
Nawawi a -Jaw . Mamh Lab d,l:9.
116 eayrn lvot. . No.i rahun 2or2
ABU THALIB BERII\4AN: PANDANGAN TAFSIR SYEKH NAWAWIAL-lAWl
qdibJ, bukan sepelti iman orang-orang munafikyang hanya berbentuk bualan dan
celoteh mulut saia.2'z
Sebaliknya, dalam karya kecil tentang ushuluddin dan fikih, Kasyfah alsa-/a'
Nawawi menukil pandangan Svarbini tentang L_Llfur. Menurutnyd kufur-yang
secara linguistik bermakna 'menutupi karunia-dalam bahasa agama lebih
meruiuk pada bentuk pengingkaran atas ajamn-ajaran rasul yang diketahui
secam pasti [mc 'ulima bid-dhaturah) Knflrl sendiri ada empat macam Pertoma'
kufur rnkor, yaitu tidak mengetahui dan tidak mengakui Allah secara mutlak'
Kedua, k\rfur juhud, mengenal dan mengetahui Allah dengan hati, namun tidak
mewujudkannya dengan pengakuan lisan, seperti kufur Iblis dan Yahudi Ketiga'
lefur lnod, mengenal-Nya dengan hati, mengakui dengan lisan, namun enggan
memeluk agamanya, seperti kufur Abu Thalib. Keempat,kxfur nifaq,yaitu mengakui
dengan lisan namun hatinya tidak'z3 Dalam pengutipan tersebut, Nawawi tidak
mengiringi dengan komentar. Dalam standar modern, hal semacam ini menunjuk
pada kesepakatan dan pembenamn atas sebuah opini dari pengutip
Hanya saja, usai mengutip opini Syarbini di atas, Nawawi menukil opini yang
cenderung mitis, yang dinukil oteh Abdul wahab Sya'rani dari Subki, bahwa Abu
Thatib dihidupkan kembali oleh Allah pascakematiannya Dalam "kehidupan
kedua'ini, Abu Thalib menyatakan iman '?4
Nawawi pun,lagi-lagi, tidakmemberikan
komentar atas pandangan dhisforis semacam ini. Hanya saja, dapat kita katakan,
pengutipan ini menanalakan "keberatan moral" seomng Nawawi atas klaim
kekufuran Abu Thalib, setidalarya kufrrr Inad, seperti dalam kategori al-Syarbini
di atas. Sikap tegas Nawawi akan kita dapati dalam tafsit yang akan diurai nanti
Tentang relasi antara iman dan kufut Nawawi mengutip opini Bajud, bahwa
oposisi iman vs kutur lebih berbentuk tdqabu I altadam wa al-malaka"r (kontradiksi
negasi dan ,orifus), bnkan taqabul al'dhiddain [kontradiki dua wujudJ Sebab,
baginy4 iman mensyaratkan terkumpulnya sejumlah sifat dalam diri, sehingga
dengan itu seseorang sah disebut be man M alakah ala\t habitus di sini dipahami
sebagai karakter yang sedemikian bemkar dalam jiwa [shfali /osikhdi) Artinya'
selama iiwa tidak mengakomodir karakter atau sifat-sifat itu, selama ji\ ? tidak
menghiasi dirinya dengan sifat-sifat tersebut, ia tidak dapat disebut beriman'z5
Dengan kerangka pemikinn semacam ini, kita dapati Nawawi menafsirkar_
kata ula'ika dalam QS. al-Mu'minun [23]110 sebagai, orang'orang beriman yong
Nawawial-Jawi. Marah Labid, L: LAbu Abdil Mu t Muhammad Nawawi alJawi, Kasyifah alsaja (Su€baya: l\rlahkota Surabaya, fi ) ha 33'
Nawawi a .Jaw , Kasyifah afsala, ha 33
Nawawi alJawi, Kasyifah alsaja, hal.33.
2223
25
BayaD I vol. rr, No. 1 rahun 2012 Il7
TAFSIR: AZAM BANTIAR
melakukan interhalisdsi sifat-sifat tersebut fdalam dirinya].'z6 Maksudnya, orang-
orang beriman yang mendapat kebahagiaan di akhirat kelak adalah orang-orangyang telah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat atau karaker yang disebutkan
dalam sembilan ayatsebelumnya, dari potensial menjadi aktual.
Pemahaman semacam ini tentu saja berbeda dengan, misalnya, Penilaian
Murtadha Muthahhari,yangmenilai relasi iman dengankufurberben|.tktaqabulal'diiddain. Bagi Muthahhari, kufur bukanlah ketiadaan iman, bukan pula ketiadaan
kemungkinan beriman, namun kufur adalah ekistensi yang mandiri di luar iman.
sederhananya, kufur adalah pengingkaran dan perlawanan terhadap iman.'z7
Bercermin pada kerangka pemikiran semacam ini, sesungguhnya ldaim-klaimtaKir haruslah berdi di atas bangun konseptual yang memadai, walau tetap
sah diperdebatkan. Maksudnya, atribusi "kafir" kepada seseorang harus melalui
tahap-tahap analisis yang teruji dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentunya,
diatog harus dikedepankan, Jika tidak, yang ada hanyalah sebentuk arogansi naifdalam beragama. Namun bagaimaha pun, takfir yang semena-mena tidak dapat
dibenarkan.
Formalitas lslam? Pembelaan Terhadap Abu ThalibOleh sebagian pihak, Abu Thalib dinilai kafii Di sini muncul ldaim takfiri.
Asumsi ini tentu saja muncul akibat sejumlah data historis yang melaporkan
betapa hingga akhir hayatnya, Abu Thalib belum sempat mengucapkan syahadat,
di sampin& tentu saja, terkait dengan problem tafsir atas bebempa ayat al-Qumn
}?ng dianggap menjustifikasi klaim tersebut.
Sejumlah penafsir Sunni menegaskan kekafiran Abu Thalib dengan
mengasalkan opini tersebut pada ayat berikut:
Tiadalah sepatutnya bag[ nabi dan orang-orang yang beriman memintdkan
ampun ftepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang'orang
musyrik itu ailalah kaum kerabat-(nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasarrya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.
Di antara penafsir yang menganut mazhab ini, misalnya, adalah Fakhruddin al-
Razi {w 604 Hl, teolog dan penulis Sunni terkemuka. Selain itu, ada Abu al-Hasan
26 "ula ika ay al-mu'minun al-multashifun bi-t lka afshifal". Lihat, Nawawial-Jrwi, Marah Labid,lli83. Disinidenganjelasdigunakan kata itishal yafg menunjukkan pada iniemalhasihabllus dalamjiwa. Demikianiuga, kaia ula'ika
dalam OS.A|-Baqalah Pl:5 dilafsirkan olehnya sebagai'ahlu hadzihiafshifah". NawawialJawi. Marah Labid,l:
27 lihat Mudadha Mulhahhari, A rAdl al-llahi, tei. Mlhammad 'Abdul M(ln'im al_Khaqani, c€|. lll (Beirut al-Dar al'lslamiyyah,1417 H/1997 M), h.33t336. Buku inisudahdiindonesiakan dan le6il dengan judulKeadilan llahi, terj.
Agus Efendi, cel. | (Bandung: Mizan dan Tle hlamic College, 2009), edisibatu.
118 Bayd l vol. ll, No. r rahun 2012
ABU THALIB BERIAIAN: PANDANGAN TAFS R SYEKH NAWAWIAL-JAWI
al-Wahidi (w. 468 HJ, yang namanya cukup dikenal dalam belantara pemikiran
tafsir Demikianjuga dengan p enafsir-p enafsir lain yang datang setelahnla, seperti
Qurthubi (w.671HJ,lbnu Katsir (w.774 H),Alusi [w.1270 HJ, ataupun yanglain'z3
Tentu saja, ada oposisi terhadap mazhab ini, seperti muncul dalam sikap Nawawi
dan beberapa penafsir lainnya. Untuk itu, kita harus menetiti lebih seksama lagi
atas penafsiran-penafsiran terhadap ayat di atas
Ada sejumlah informasi terkait asbab al'nuzui QS Al{aubah [9]: 113 di atas
Hal inijugayangpadagilimnn}?turutmemengaruhi simpulan teologis di kemudian
hari. Dalam catatan al-Wahidi, ayat di atas turun berkenaan dengankasus istiqhlor
Nabi untuk paman betiau, Abu Thalib (no 548 dan 5491, atau saldah Aminah'
ibunda beliau (no. 5501." Sementara laporan-laporan Suyuthi selain bermuara
pada dua nama tersebut, menujukkan betapa ayat tersebuttunrn untuk merespon
satu atau sekelompok omng yang memintakan ampun untukleluhur mercka yang
mati dalam keadaan musyrik3o Dari penelusuran penulis, seiumlah laporan dsba'
al-nuzul terkalt ayat di atas, kesemuanya bermuara pada tiga kasus tersebut
terlepas dari validitas transmisi dan detil-detilkisah yang disampaikan'
Di sini akan dianalisis terkait kasus paman Nabi, AbuThalib' Riwayat da lbnu
Abi syaibatL Ahmad, Bulhari, Muslim, al-Nasa'i, Ibnu Jarif, lbnu al-Mundzir' Ibnu
Abi Eatim, Abu Syekh, Ibnu Marduwaih, dan B alhaqi dalan AI-Dala'i1-kesemuanya
bermuara pada Sa'ial bin Musatyab, dariAyahnya-menalasikan, ketika Abu Thalib
mau meninggal, Nabi datang menemuinya Di situ ada Abu Jahl dan Abdullah bin
Abi Umalyah. Nabi meminta pamannya, "Pdman, ucapkan La llaha llla Allah, oku
kon membelamu kelak di hadapan Atlah!". Namun Abu Jahl dan Abdullah bin Abi
Umatyah tak mau tinggal diam, keduanya menyahut,'.4'4 Thalib, apa kau mulai
tak suka ilengdn agama Abdul Muthattib?",Keduanya terus mendesak, hingga Abu
Thatib meninggal tanpa sempat mengucapkan kalimat syahadat Sampai di sini'
Nabi berucap, "Sungg uh, aku akan mintakan ampun untukmu, selama hal itu tak
;-iiiultia,nraai-iun.z, *-ruttir al-Kabir, XVI: 213-214i Abu a -Hasan Ali bin Ahmad alwahidi al-Nisabui' Taftit
aL-Wasith, ed. 'Ad l A. Abdul Maujud, dl , cet. l (Belruh Dar a -K!tub al llmiyvah' 1415 Wl9S4 M)' ll: 527-52Ji Abu
al-Fadhl l4ahmud al-Alusi al-Baghdad , Ruh al_I4a ani i Tafsir al4u/an al Azhim wa alsab' al_ilatsani (Beirut
Dar Lhya'al-Tlmls a!'Arabj,lt.), XL, a:l m, ',qUilan vrnutmad binAhmad binAbiBakr afQurthubi' AlJamf Ii-
,Chkar; a'Our'an, eC.'nbduffah bin AbdulMuhsin afTuft, cet.l(8eirut Mu'assasah alRisalah' 1427 H2006 M)'
X: 398; Abu al-Fida' lsma'il bin Kaisf al'Dimasyqi Talsf aLQulan ai Azhim' ed Mushlhafa alsayid Muhammad -
dll. (Jiza: Mu assasah Ounnubah dan Maklabah Aulad al-sv€kh lifTu€ls' ti ), Vlli 29&299
29 Ab; al.Hasan Ali b. Aimad al-wabidi, Asbab al-Nuzul ed. Ajman Shalih S)€'ban (f€hor Dat al'Eadils, 2003)' ha
198-203.
30 Jalaluddin alsuyuhi, AI-Dun al-Mantsur t aLTalsir bilMalsur. ed. Abdullah b' Abdul Muhsin alTu*i cel l (Kairo:
Mad€z Hat lil-Buhuh rllad-Di|asal al-Ambivvah al-lslamiyyah, 2003) 7: 550_559'
BayaDlvol.ll,No.lrahun!012 719
TAFSIR: AZAM BAHTIAR
dilorangl'1 Maka turunlah ayat di atas. Suyuthi menambalkan, terkait Abu Thalibini, Allah menurunkan Q5. at-Qashash [28]: S6.3r
Narasi kisah di atas dengan jelas meneguhkan posisi Abu Thalib sebelurr-meninggaldunia. Tak heran jika kemudian para teologmuslim berselisih, Abu Thalibmuslim ataukah tidak. Kita juga tak pernah tau, apa motifdasar dan kepentinganmereka mengkaji soal islam dan tidaknya Abu Thalib dalam diskursus teologi,kecuali karcna-kemungkinan besar-dipicu olehfiwaFt-riwaFtsemacam ini.32
Terlepas dari itu, berbeda dengan sebagian pendahulunya, kita dapati Nawawial-Jawi mengajukan sejumlah keberatan atas pemahaman semacam ini. palinstidak ada seiumah catatan yang perlu diperhatikdn. .
Pertama, terkait riwayat asbab al-nuzul ayat di atas, Nawawi at_jawi lebihmemilih wayat dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka,ab al,Qurazhi, dan Amr bin Dinaf yang kesemuanya mengindikasikan bahwa ayat diatas merlrpakan respon terhadap istighfar \maI musiim untuk kerabat merekayang musyrik. Singkatnya, ayat ini sama sekali tidakditurunkan berkenaan deneankematian Abu Thalib.3a
Menurutpenulis, dsbqb ol-n&2l,/lversi ini lebih tepat untuk ayat terkait. Sebab,dalam redaksi ayat tersebut, sebutan "Nabi', disandingkan dengan ,,orang_orang
beriman" secara bersamaan. Karenanya, jika larangan dalam ayattersebutmemangdituiukan kepdda sikap Nabi saja (rerkair ibunda maupun pamannyal, tentu taiada alasan yang tepat untuk menyertakan "orang-orang beriman,' dalam sasarankhidro, ayat di atas.35
Penulis percaya, Nawawi al-Jawi mengetahui betul keberadaan dwayatBukhari dan Muslim di atas, yang seringkali diasumsikan tak perlu diklarifikasiulang validitasnya. Penolakan Nawawi atas otoritas Bukhari dan Muslim, untukkasus ini tentu bukan tanpa alasan. Ada sejumlah keberatan dan pertimbanganatas sikap yang dipilihnya ini, sebagaimana akan diulas setelah ini. Alhasil, di sinikita dapati Nawawi al-Jawi cukup berani melawan mainstream pemikiran Fngada; menolak otoritas Bukhari dan Musliml. Sebagai sariana yang terdidik di
31
32
33
34
35
Lhat,a-Wahidi,Asbabal-Nuzut,hal.199ai-Suyuthi,At,Durra-t!tantsur,7550.Ini sarna anehnya dengsn kajian atas mash al-khuffain yang dise ipkan datam diskursus leotooi. dan kasls*asuslai yang ld0dro tal ada {orerci-yd sdma sek€t oe.qdr <onr.u,c leooq tsa11. kecudt {rrer oelimbarqanaias r wayalNayal yang dinia oleh sebagian kotonpoksebagai rnutawatir,, sehngga berimpikas pada,stafus
Pemelaan keberatan-kebeElan in sepenuhnya berasa dari penu is.Nawawi alJawi, [4aah Labid, ti471.Bandingkan dengan Muharnnad Had Ma'ital At-Tamhid ti Utum a -eur an cei. [ (eom:]\.tu'assasatat,Tanrhid,1389 HS/1432 H/2011 lV) tr249.
120 rayan I vor. n, ro. rrarunron
AgU TH,{LIB BERIMAN: PANDANGAN TAFSIR SYEKH NAWAWI AL-JAW
lingkup hadisionalisme Sunni, tentu sikapnya tersebut telah melampaui sebagian
rekan-rekannya. Di sini berlaku prinsip crrdnge, yal'.ni pergesemn pemikiran dan
opinitafsir
Kedua, iwayat asbab ol-nuzul versi Bukhari dan Muslim terkait ayat ini tidakcukup kuat untuk dipertahankan, sebab ia berlawanan dengan data-data historisyang lebih logis.36 Kata Nawawi, seluruh komponen QS. al-Taubah tergolong
madaniwah, yang ditttrunkan pasca perang Tabuk. Artinya, selang waktu antara
kematian Abu Thalib dan turunnya ayat di atas kumng lebih 12 tahunl. Tentu inimengejutkan, 12 tahun bukanlah masa yang singkat untuk menengahi antara
sab ab dengan musab b o b -nya.
MenurutMuhammad Hadi Ma'rifat (w 2007], pakar tafsir Syi'ah kontemporetayat di atas turunpada tahunke-9 Hijriah, sementaraAbu Thalib meninggal3 tahunsebelum Nabihijrah.Artinya, ada selisih 12 tahun,37 sama persis seperti kesimpulan
Nawawi. Menurut penulis, keberatan ini cukup beralasan. 'Tahun Berduka' atau'am al-hazan, di mana Nabi kehilangan dua orang paling berjasa dalam hidupnya,yaitu Abu Thalib dan Sayidah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi, terjadi pada
tahun ke-10 pasca ri'trdh, sementara perang Tabuk dimulai pada Musim Panas,
bulan Rajab, 9 Hijriah.3s jadi, dalam persoalan ini, Nawawi al-Jawi memilih sikapyang tepat berdasar argumen historis yang logis dan dapat dipercaya.
Berbeda dengan Nawawi, Razi [w. 604 H) dalafi Malatih ol-Ghaib-karyayang diakui Nawawi sebagai salah satu referensi penulisan Mdrah Lobid
iushu menuiukkan sikap sebaliloya dengan argumen yang rancu. Razi menolak
statement Eusain bin Fadhl seperti dikutip Wahidi, yang menganggap asbab al-
nuzul di atas mustahil te4adi Usro'ada). Kata Razi, penilaian 'mustahil' itu justru
lebih mustahil. Apa salahnya mengasumsikan bah&a Nabi terus ber-ishgfirft/untukAbu Thalib, sejak kematiannya hingga turunnya ayat ini? Bukankah sikap keras
terhadap orang-orang kafir muncul pada suratal{aubah ini, yang boleh jadi kaum
beriman saat itu diperkenankan isrg,h/ar untuk orang tua mereka yang kafi4 dan
Nabi juga melakukan hal itu hingga turun larangan dalam surat ini? Secara umum,
kemungkinan-kemungkinan te$ebut, kata Razi, tidaklah mustahil:e
36
37
38
39
Nawawi alJawi. Marah Labid. l: 471 .
lMuhammad Hadi Malifat. Al-Tamhld. l: 263.
Lihal, ltluhammad Sa id Ramadhan al-Bulhi, Fiqh alsilah, c€t. Vll (t9.: Dn al-Fikr, 1978). hal- 105dan 308.
Sebelulny€, ftase yang ada s*up menb;ngungkan. Hal ini kaena kdipan Razi dari Wahidi lidat penuljs temukan
dalam karya Wahidi, Tatk Al-Wasih maupun Asbab al-Nuzul, kecuali ,ika Razi mengutp kar,€ lain Wahidi.
Sehingga tidak ielas, wahidi alau Razj kah yang mengajukan aqumeftargumen dial6hik di abs. Lihat, Faldruddin
Muhammad bin 'Umar al-Razi. Al-Taffi al-Kabir. XVI: 214.
sey.n I vol. n, No. r Tahun zoD 727
TAFS|Rr AZAM BAHTIAR
Sayang sekali kita tidak mendapati argumen ,ang memadai dari Razi Untuk
persoalan kesejaGhan, Razi mengaiukan pembelaan tafsir dengan argumen
dialektik oddolil, seperti terbaca dari frase di atas, tentu hal itu tidak memberikan
jawaban yang memuaskan dan pengetahuan yang cukup. Di sini terjadi kesalahan
prosedur dalam inferensi. Sekiranya ia mengatukan data historis lain yang dapat
menguatkan atau menafsirkan klaim riwayat Bukhari dan Muslim di atas, tentu
dapat diterima. Misalnya, sepertilang dilakukan Su,'uthi dengan menukil riwayal
dad lbnu Sa'ad dan Ibnu Asakir. Keduanya melaporkan dari Ali bin Abi Thalib, ia
berkata:
Aku sampaikan kepada Nabi saw tentang kematian Abu Thalib. Nabi pun
menangis. 'lekar manclikan, kafani, dan kuburkan Abu Thalib Semoga AIIah
mengampuni don merahmatinyo', pesa\ Nabi kepadaku. Aku pun merealisasikan
tugas tercebut. Kematian Abu Thalib membuat Nabi ber-istlgifar untuknya sekian
hari, dan tidakkeluar rumah hingga Jibrilturun menyampaikan ayat di atas.4o
Riwayat yang dikutip suyuthi ini, pada dasamya dapat kita gunakan untuk
menafsirkan riwayat Bukhari dan Muslim sebelumnya, sekiranya validitasnya
dapat dipertahankan. Hanya, riwayat yang dikutip Suyuthi ini justru lebih tak
masuk akal secara historis. Sebab, jika riwayat ini kita terima, konsekuensinya,
12 tahun dari perjalanan hidup Nabi yang berseiarah itu, harus kita hapus dan
ganti dengan mengurung diri di dalam rumah selama 12 tahun untuk istighfarb'rat
Abu Thalib saja. Ini jelas menyalahi data-data historis lain yang tak terbantahkan.
Kecuali, iika turunnya ayat di atas kita maiukan danmundur 12 tahun ke belakang
Ada upaya lain untuk membela riwayat Bukhari dan Muslim di atas, yang
ditakukan oleh sejumlah pakar termasuk Suy'uthi. SuyLtthi, yang kewalahan
menghadapi kejanggalan semacam ini, mengajukan satu tesis yang menuruhlya
dapat melerai masalah ini,"ta'addudal nuzul wa takarruruhul" al K\airn bahwa ayat
semacam ini turun berulangkali, menurut penulis,a'zlebih karena ketidakmampuan
40 Al-Suyulh Al-Durr al-l',{aftsut, 7: 553
41 Jalaluddin AbdlrEhman al'Suvulh Afllqan i'lJ m alouan ed Fawwaz A. Zamarli(Beirul Dar al_Kiiab a!'Ambi.2007l. ha.94.
42 Nashr Hanid Abu Zid juga mengajukan kritik tehadap keianggaan inidalan uraiannya mengenaiasbab an_
nuzul. Hanya saja, terhadap problem tkrar nuzrlafayah Abu Zaid lidak mengaiukan klik dengan pendekalan
hlslors. Kfiliknya ebilr diarahkai pada persoalan bunyal an_nashsh (struklur leks) Sebab' menurutiya'
pengakuan terhadap tikar nuzul afayah enimbulkan k€kacauan dalam konsepsi teks (malium an_nashsh)
yakn pemisahan antara teks dengan signifrkansnya (aljashlbaina an-nashsh wa dalalatihi) Walau demikian,
bagi Abu Zaid, irvayat lentang Abu Thalib d! alas diniai sebagai sabab an_nlzul yang paling tepat bag QS.
Al'Taubah l9l: 113 d atast blkan riwayal teniang bunda Rasuulah saw maupun fespon atas pebuatan kaum
Musim kala tu. MenLrrul penuls, cukup aneh kejanggalan sernacam n nrunculdariAbu Zaid Padaha, untuk
mengukuhkan teor leksila itas A-Qumn yan! ia serukan selama ini, Abu Zaid banyak rnenyoroli dLrnensl
historislasA-Quran Pei€nyannya, mengapa dalam kasus asbab an-nuzulOS Al-Taubah l9l: 113 ini--vang {enlu
saja sangat sedefianaJnengapa ja bisa enqah dan mengabaikan kemncuan data historis dlalas?? L hat Nashr
722 n^van I vol. rr, No. r rahln 2oi2
ABU TilALlB EERIM.AN: PANDANGAN TAFSIR 5YEKH NAwawl aL lAwl
melakukan rekonsiliasi antar-riwayat yang bermasalah dan ketidakberanian
Suyuthi menolak otoritas riwayat Bukhari dan Muslim; tidak seperti Nawawi al-
lawi yang, walau terkesan "malu-malu", berani menolaknya. Dalam konteks ini kita
dapati Nawawi bertleda dengan para pendahulun,'a; Razi dan Khathib Syarbini,
}?ng diakui sebagai referensi penulisan tafsirnya,43 Lagi'lagi, dengan caranya
sendiri, Nawawi melakukan change,
Ketiga, menolak analogi dengan pendekatah munasabat al-dlat (prinsip
keterpaduan antar-aFtl.14 Ayat 113 Surat. Al-Taubah di atas, yang disusul dengan
pembelaan Allah atas lstgilar lbrahim as, lantaran suatu'ianji' (QS AlTaubah [9]:1141, menurut Nawawi, menjadi basis kuat untuk menolak analogi yang salah.
Paman Ibrahim, Aza4 menyembah berhala; sementara tidak pernah dinukilbahwa
Abu Thalib pernah menyembah berhala, atau Nabi saw melarangnya menyembah
Tuhan-nya. AbuThalib hanya tidakmengucapkan syahadat, bukan karena menolak,
namun karena pertimbangan-pertimbangan sosio-kultural yang tak terelakkan.
Walau demikian, dalam hatinya yang terdalam, seperti akan dibuktikan nanti,
Abu Thalib membenarkan risalah Muhammad. Secara lantang Nawawi auawimengatakan, "rt!' g-5L ule !JA!l jel-j $ !f^ ! (di akhirat kelala sosok
seperti ini jelas mendapat keselamototL sesuai ketentuan agama kita). Tentu sangat
tidak adil memosisikan Abu Thalib-yang mengurus, mendidih membesarkan,
mentaga, dan membela Muhammad hingga mati. plus memerintahkan khalaFkagar mengikutinjra-satu level sama persis dengan paman Ibrahim as., Azar, yang
menyembah berhala dan menantang Ibrahim as. 0ihat QS. al-An'am [6]:74 dan
Maryam [19]:46).
I(eempat, sejumlah data meyakinkan kita bahwa Abu Thalib beriman.as Dalam
konteks ini, Nawawi al-lawi menggunakan dua argumen, yaitu: dalil negatif dan
indikasi. Pertdmd, dalil negatif. Menurutnya, tidak ada argumen meyakinkan t?ngmengafirmasi kemusyrikan dan kekafiran Abu Thalib. Riwayat yang menyatakan,
suatu ketika Abu Thalib mendapati Nabi saw dan Ali bin Abi Thalib salat di Bathn
Nakhlah." Apayang kalion IakukanT',tanya AbuThalib . Maka Nabi pun mengajaknya
masuk Islam, tetapi Abu Thalib menjawab, ""lrl3 4S-r cr"{+ c.r- d-.:f 9:!l-1ulll eq {rj}"! )" tapa yang kalian sampaikan sungguh tak mengapa [baik],
namun sungguh hal itu tak akan menggeser keyokind,ki./). Kata Nawawi, peristiwa
itu terjadi di masa awal Islam, di mana salat belum diwajibkan. Artinya, itu adalah
43
45
Hamid Abu Zaid, L,laftum alNashsh Dirasah i Ulum al-Qu/an lftp.i Al-Hal'ah al.ilashtiyyah d-Anmah lil-Kilab,
1993), hal.127130.Syamsuddin Muhammad bin Ahnad bin alKnahib al-Syarbini, Al-Siraj al-Munir, | 715.746.
Nawau/i alJawi. Marah Lanid. l:472.Lihat, Nawawi aLjari. [,larah Labid, 1472 dan ll:201-202, flG&1.
Bayan I vol.ll,No. trahun !o12 123
TAFS R: AZAM BAHTIAR
salat sunnah, bukan shalat wajib. Karenanya, penolakan Abu Thalib tidak dapat
digolongkan "kufi.rr". Walau demikian, tidak ada indikasi dari statement tersebut
bahwaAbu Thalib menolak tauhid. la hanya menolakshalat sunnah.
Kemudian, pernyataan Nabi saw, "d.'J J'&l ,ljl x dr& rar ".i rglj! Jiil-l(lbrahim memintakan ampun untuk pamonnya, sementara ia musyrik; maka aku tok
pernah lelah beristighfar untuk Abu fl?a/ib ) lAhmad dan al-Turmudzi], menurut
Nawawi, kim-kira bermakna, kalau lbrahim saja memintakan ampun untuk
pamannya yang musyrik, bagaimana saya tidak memintakan ampun untuk Abu
Thalib yang tidak musyrik?l Demikian iues -ketika tunrn QS al-Taubah [9]:113 di
atas,lt"bi blrtomenta;, 'l.Jits iJK 0J J,iii"i ) Oi n,i'i'ldku dilara ng beristighfar
untuk orong kolir), di fiana menurut Nawawi, lustru statement tersebul secara
fersiral mengindikasikan Abu Thalib tidak musvrik Sebab jika ayat tersebut
memang turun berkenaan dengan Abu Thalib, mestinya Nabi menyebut "nama",
bukan "sifat".
Dalil kedua yang diaiukan oleh Nawawi adalah indikasi, yaitu sejumlah fakta
historis yang mengindikasikan keimanan Abu Thalib. Tentu saja penelusuran
terhadap argumen ini sangat melelahkan, sebab ia berupa bentangan sejarah
panjang relasi antara Abu Thalib dengan Nabi saw sejakdalam asuhannya. Karena
itu, persoalan ini kita serahkan saja pada penelitian kesejarahan.
Hanya saja, selain pembacaan atas riwayat_riwayat yang disinggung
sebelumnF, ada sejumlah argumen yang bisa diajukan di sini
Pertama harus segera ditegaskan bahwa QS. al-Qashash [r^]rrl, "cF q'$ Y '4jl
?t{ ;F €i(+.nl osl-9 .:jrr-.J" (sesungguhnyo engkau fMuhammad] tidak
ilapat memberi petunjuk pada orang yang engkau cintai, namun Allah lah yang
berkenan memberi hidayah kepada siapa pun), yang oleh Zajjaj diklaim telah
te{adi konsensus di antara ahli tafsir bahwa ia diturunkan untuk Ab|t Thalib
{sabab al-nuzul,a6 menurut Nawawi, ayat tersebut secara lahiriah (zhahir) sar$a
sekali tidak mengindikasikan kekufuran Abu Thalib Penilaian Nawawi semacam
ini jelas diilhami dari tafsir Razi, sebagai satu bentuk conti,'?&iry pemikiran tafsir'4'
Dengan demikian, menegaskan kekufuran Abu Thalib dengan mengasalkan pada
ayat ini adalah suatu upaya yang tidak didukung oleh prinsip ds,roloh al-zhuhur,
mengingat dimensi zldhir ayat ini tidak memberi indikasi pada simpulan tersebut
jadi, kesimpulan semacam itu hanya bergantung pada informasi sabdb aLnuzul
saja, yangberwatak afiad dan dapat diperdebatkan kontennya
ALwahidi,Asbab al'Nuzul, hal. 260.
Lihat Fakhruddin Mohammad bin ljmal al-Razi, Al_Tafsi al'(abir' Xxv: 3.4T
124 8.yan I vol. tt, No.l rahun 20,
ABU THALIB BERIMAN: P,ANDANGAN tAFslR SYEKH NAWAW AL-lAwl
Selain i ! syairAbu Thalibyangdituiukan pada Rasulullah saw, sesaatsebelum
meninggal, menunjukkan betapa ia betul'betul beriman dari relung hatinya yang
terdalam. Ungkapan ketundukan semacam ini harus dilibatkan dalam proses
menakar iman atau kufurnya Abu Thalib, Berikut syair Abu Thalib dalam ktrtipan
Nawawi.'3 r'! I &l ,-,t<r 6!rE $L * 6lL. s[i .".-Lr .".nJ'*t:+r 4jt ;t+l 2;, e. * r- ;j ..1L c"J' rile
Ur*. .tllrr la* \rrl+-rf * 'i Jlr- JI L)'ll YJ
Kau ajakku, sedang aku tau Engkau dapatdipercaya
Engkaubenar, sebelumnya pun Engkau dikenal sebogai ol'Amin
Sungguh telah aku dapati agama Muhammad
Seboga i aga m o I erba ik bo g i u maa manu sia
Kalau bukan karena cacian dan menghindari olokan
Tentulah Engkau dapati oku menyatakannya secara terbuka
Ungkapan seperri di atas jelas menandakan pemberdran dalam kalbu; sebuah
ungkapan yang lahir dari kesadaran dan ketundukan. Hanya saia, karena fakor_
faktor sosio-kultural dan politit Abu Thalib tidak dapat menyatakan syahadat
secara terbuka. Tentu saja, hal itu didasari pertimbangan untuk kepentingan-
kepentingan stl?tegls terkait dakwah Islam pada masa sepeninggalnya. Malahan,
selain syair di atas, penulis menemukan syair lain dari Abu Thalib yang jelas
menuniul,4.an keiman annw, tanpa tealing allng"alirg, seperti syair berikut4e
{,:sI ;;j 9.i 6- ,j! a;. * a-Lj ,l,l Jr*J JJs..,'ll cllEngkou sang utusan, utusan Allah, kamitohu itu
Kepadamu tutun Kitab-kitab dari Diayang memiliki keagungan
48 Nawawjal-Jawi MamhLabid,lL20l.KulipansyakAbuThalbdsnganrodaksdemikiansangatpopuler'Dengansedikitporbedaan, meskipun kontennya sama, bo kul€dakilebih lengkap haslliemuan dan penelusuran p€nulis-
!r ter.Jr ,i!)f }- i, * a! J-..1' srL-t L)zs| r.jr q,rlr ! jjii S- ' r.'-a rrJ r/-,r J iirr
.,. - ,,:.' ., r:.,,,., | \itl u'r.!' :',j.'t'vL!,.i!,1, jJr.l L&ri
L",l ;.i.,tJ ,.j.l- ,nJ'C.!.r.ll i:"r,ePt
Lihai liluhammd al-Tuniji, Diwan Abi Thalib Amm al-Nabi saq cel. | (Beitul Dal al'Kitab aL'Arabi, 1414 H/1994 M),
hal.91 (syar ke42).49 Muhammad al-Tuniji, DiwanAniThalib, hal. 21 (syan ke4).
B.y.n I vol. lt, No 1 Tahln :orr L25
TAFS R: AZAM BAHTIAR
Selain data historis, untuk mengukuhkan keimanan Abu Thalib, Nawawi ,uga
mengutip sejumlah hadis, seperti harapan kebaikan dari Nabi untuk Abu Thalib,
dan syafaat terhadapnya kelak di hari kiamat. Ishaq bin Abdullah bin Harts
meriwayatkan, Abbas pernah bertanya kepada Rasulullah saw
"'Apakah Engkau
mengharapkan kebaikan untuk Abu ThatibT'. Rasul pun menjawab, "Selurui
kebaikan aku harop da Tuhdnku funfuknlo./" Menurut Nawawi, doa Nabi pasti
dikabulkan dan terealisil dan mustahil Nabi berharap kebaikan penuh kecuali
untuk mereka yangberiman so
Dengan demikian, tidak ada alasan yang dapat dipeftahankan lagi untuk
membenarkan klaim kekufuran Abu Thalib Setidaknya, bangun inferensi untuk
mengafirkan Abu Thalib dengan dalil Qs. al-Taubah [9]1113 dan Qs al-Qashash
[28]:56 di atas, tidak lepas dari keberatan-keberatan yang dapat diajukan secara
itmiah. Dalam hal ini, Nawawi telah me[unjukkan beberapa poin pemikiran yang
patut dipertimbangkan dengan baik.
lman dan Kufuri Problem Identita!
Dari catatan-catatan di atas, sesungguhnya penegasan status atau identitas
iman dan kufur atas individu tertentu bukanlah persoalan yang sederhana'
Karenanya, semangat menggalakkan takfiradatah upayayangtidak dapatditolerir
dan harus segera diakhiri. Memang, dengan ucapan "syahadat" seseorang dapal
dihukumi sebagai "Muslim" secara formal-sosiologis, yang artinya kepadanya
berlaku konsekuensi-konsekuensi teologis di hadapan hukum lslam Hanya saja'
bukankah secarahakiki keimanan tidak dapatdiukurdari ungllapan-ungkapan dan
ekspresi luaran saia? Bukankah ekspresi luaran sarat akan tipuan dan kepalsuan?
Dalam konteks ini, dengan memerhatikan muatan-muatan iman dalam syair
Abu Thalib yang dikutip sebelumnya, menarik untuk menyimak komentar dan
catatan Nawawi selanjutnya, yang menggariskan postulat umum soal iman dan
kufu i Nawawi mengataLan:
u. ci! U ,rl rljJ !-, p)-)l ep el.r) ) l,l. u.lt + #J-eiir dil'jll Lr-!i dj i ril dolr
fs rl -! ,.!r .*1r9 rJls uA X ita)U .,LL {Er .Jb ++ i ic i- ,l 'L}- a}" rr $"J.a ) "rA
:.1|ll1 JiSll
Ketauhilah, sekiranyo seseorang tidak mengucapkan dua kalimat syohadat
ketikd diminto, namun bukan karena enggan atau menentang' tetapt
karena takut kepoda oftng zolim qtau caciah' atau olokan bagi orahg
yang menganggapnya betbohaya' semehmra hatinya tztap teguh dalam
50 Na$€wi alJawi, l/atah Labid, ll: 202.
126 Bayar I vol- ll, No.lrahun ror,
ABUTHALIB BERIMANT PANDANGAN TAFSTR SYEKH NAwAWtAL JAWI
keimanan ia tidaklah kafir kepada Allah, Bahkankalimat kufur sekalipunt sementara kondisi yangtidaklah mengapa.sl
sekiranya ia mengucapd i h a dap inya sep erti itu,
Tentu saja, ini merupakan kata putus dan sikap tegas Nawawi yang berlakuuntuk semua kalangan, bukan hanya Abu Thalib, Maksudnya, prinsip ini berlakuuntuk kasus-kasus partikular lainnya secara sama. Jika dewasa ini ada orang yangmengalami kasus sebagaimana yang dialamiAbu Thalib, postulat dt at , l".tatbaglnya.
Mal<a, terkait formalitas keislaman seseoran& dari uEian_uraian di atas,agaknya Nawawi al-iawi berpandangan, tanpa ,,ucapan,, syahadat sekalipun_sebagai pintuawalmasuklslamsecara formal_asalhalitu didasarkan prda
"lrsao_alasan Fng dapat dibenarkan, seseorang dapat dinilai berislam dan beriman, jikadi relung hatinya yang terdalam terdapat pengakuan, ketunduka4 dan penerimaantotal pada KebenaaanAbsolut, yaitu Allah Swt,lni merupakn postulat unum yangdapat diberlakukan pada kasus-kasus partikular di bawahnya, kapan aan ai man)pun,
Hanya saja, terlepas dari soal iman atau tidaknya Abu Thalib, menurut hematpenulis, ada kesalahan prosedur berpikir dalam togika yang dibangun Nawawi al_Iawi, yaitu terkait dalil pertama pada catatan keempat (dalil negahf).Iman adalahpersoalan alirmasi bukan negasi.5z Karenanya, mengafirmasi iman berdasarkandalil-dalil negatii tidak dapat diterima, meminjam kaidah fikih, a1_ashlbaqa,u makana 'dla ma kana ltukum asal sesuatu adalah apa yang sudah ada). pembuktianiman seharusnya berdasar pada dalil_dalil afirmatif, dalam berbagai bentuk danvariannya, bukan dengan dalil negatif. Walau demikian, penulis sepakat dengankesimpulanyang dicapai Nawawi di atas, apalagi terkait kerancuan asbab al-nizulayat ini.
Alhasil, pembelaan atas keimananAbu Thalib pada dasarnya adalah penolakanatas klaim-ldaim angkuh dan arogan dalam beragama, yaitu dalam menunjuk danmengidentifikasi status ,,iman,
dan ,.kufur
ini sebasai posturat um.,'' -".up,run p"ffi:1ffiXffiilnffi:ilfi:Tputus atas kasus-kasus serupa yang mungkin mengada pada waktu dan tempatyang berbeda. OIeh karena keimanan adalah jantung keberagamaan, mak segrtabentuk upaya taldri yang hanya berasaskan ekspresi-ekpresi tuaran tentrilahsangat menyesatkan. Karenany4 hams segera dial<hiri, Wo-AIahu a.lam.n
51
52
Nawawial-Jawi, Marah Labid, It 201.Jangan teftecoh oteh katimat .La
itaha i[a Alatf, di mana frase awahya adatai negasi.
BayaD I vot. tr, No. 1 rahln ro12 727
TAFSIR: AZAM BAHTIAR
Senarai Bacaan
Abu zai4 Nashr Hamid. 7993, Malhum ol'Nashsh Dirasah f 'Ulum al'Qur'on. ttp: Al'
Hai'ah al-Mishriyyah al-Ammah lil-Kitab.
Amin, Samsul Munin 200 9. Sayid Ulama Hijaz Biogml Svekh Nawawi al'Bantoni ' cet l
Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Baghdadi, Abu afFadhl Mahmud al-Alusi al- Tt Ruh al'Mo'ani fi Tafsir al'Qur'an ali|zhim wa al-Sab' a\-Matsoni. B€irut Dar lhya al-Turats al_Arabi.
Buthi, Muhammad Sa'id Ramadhan al'.1978 Fiqh al-Strdfi, cet VII ttp.: Dar al-Fikr'
Dimasyqi, Abu al"Ftda'lsma il bin Katsir al- Tt IdFira|'Qur'an al'Azhim,ed Mnshrhafa
al-Sayid Muhammad, dll. ti?ar Mu'assasah Qurthubah dan Maktabah Aulad al-syekh lit-
Turats.
Gusmian, lslah. 2 00 3. Kft azanah Tafsir Indonesia, Cet l. Jakarta: Teraju
Eanafi, Abu Su'ud Muhammad bin Muhammad bin Mushthafa al-iqmadi al- 1999
Irsyad al-Aql al-Satim its Mazaya al'Kltdb al'Karim, ed Abdullathif Abdurrahmarl Beirut:
Dar al-Kutub al-Arabiyyah.
Hidayat, Komaruddin. 2004 Menafsirkon Kehenddk Tulan, cet. lI.lakarta: Teraju'
lawi, Muhammad b.'Umar Nawawi al- 2006. Marah Labid li'KasyfMa'na al-Qur'an al-
Md]rd edisi Muhammad Amin al-Dhinnawi, cet.lll. Beirut Dar al'Kutub al-'Ilmiyyah'
-.'tt.
Kasyifah al-Saro. Surabaya: Mahkota Surabaya-
lamal,Sufaimanbin'Umaral'.2o16.Al'Futubatal- ahiryah bi'TaudhihTafsir al'lalalavn
lid -Doqa'iq al-Rhafrwah, ed. Ibrahim sJ'amsuddin B€irut Dar al-Kutub al-Arabilyah'
Ma'nfat, Muhammad Hadi. 142A H/13A6 S. Al'Tafsir wa al'Mufassirun Ji Tsaubihi al'
Qdqnb, cet.lll. Masyhad: Al-Jami'ah al'Ridhawiyyah lil"'Ulum al-Islami)'yah'
-.
Al-Tanhid li 'IIlum al-Qufan, cet. III. Qom: Mu'assasat al-Tamhid, 1389
HS/1432 H /2011 M.
Muthahhari, Murtadha.A/-Adl ot-Idhi, terj Muhammad Abdul Mun imalKhaqani, cet
IIL Beirut al-Dar al-lslamiryah,\417 H/7997 M.
Razi, Fakhruddin Muhammad bin'Umaral'.1981.Tafst al'Fakhral'Razi al'Musttahir
bit-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al'Ghalb, .et l Beirutr Dar al-Fikr'
Suyuthi, lalatuddin al- 2 OOS AI'Durr al-Mantsur Ji al'Tofsir bil'Ma'tsur, ed 'Abdttllah
b. hbdut Muhsin al-Turki, cet. I Kairol Markaz Hajr lil'Buhuts wa al-Dirasat al-iArabiyyah
al-lslamiyyah.
128 Bayan I vol.ll, No.l fahqn?ot
al-Arabi.
S,'af i, Abu Thahir Muharnmad bin Ya'qub al-Fairvzabadi al-,2010. Tanwir al-Miqbas
min Tofsiir lbnu Abba'Beirutr Dar al-Kutub alArabiw?h.
Syarbini, Syamsuddin Muhammad bin Ahnad bin alKhathib al-. 2oo4. Al-Sirui al-
MunirJi al I'anah'ala Ma'rifat Ba'dh Ma'ani KalanRabbina al-Hakim ol-Khorir, ed.Ibrahim
Syamsuddin. Beirur Dar al-Kutub al-Arabiyyah.
Qurthubi, Abu Abdilfah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-.1427 H/20o6M.A1-
lani'li-Abkam a|-Qur'an, ed. Abdutlahbin AbdulMuhsin al{urki, cet. L Beiruti Mu'assasah
al-Risalah.
Tuniji, Muhammad a1-. 7414 H/1994 M. Diwan Abi Thalib Anm al-Nahi saw, cet. l.
Beirutr Dar al-Kitab al-Arabi.
Wahidi, Abu al-Hasan Ali b. Almad al-.1415 H/1994 M. Tafsir ol-wosith, ed.'Adil A.
Abdul Maujud, dll., cet. I. Beirut Dar al Kutub al-'llmirl'ah.
_.2003.Asbab al-Nuzul ed. Aiman Shalih sla'ban. Kairor Darai-Hadits.
Zirikli, Khairuddin al-. 2002. Al-A'hm, cet Xy. Beirut: Dar al-'Ilm lil-Malayin.
ABU THAL B BER lvlAN: PANDANGAN TAFSIR SYEKH NAWAWI AL'lAWl
2007. Alltqan fi 'UIum al-Qur'an, ed.Fawwaz A.Zamarli. Beirue Dar al'Kitab
Bayd lvol.ll, No.,Iahun2oD 129