+ All Categories
Home > Documents > Affair - Repository Institut Kesenian Jakarta

Affair - Repository Institut Kesenian Jakarta

Date post: 18-Mar-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
285
Transcript

AffairObrolan Urban

Seno Gumira Ajidarma

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak CiptaPasal 2

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pe megang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72

1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara ma sing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng edarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

AffairObrolan Urban

Seno Gumira Ajidarma

AffairObrolan Urban

Penulis: Seno Gumira AjidarmaPenyunting: Ipank PamungkasPenyelaras Akhir: Ipank PamungkasTata Letak: WerdiantoroIlustrasi Sampul: Rancang Sampul:

Hak Cipta Dilindungi Undang-UndangCetakan Pertama, 2019

ISBN:xii+268 halaman13,5 x 20 cm

Diterbitkan olehPabrik TulisanJl. Dersono, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta [email protected]

Didistribusikan olehSolusi Mitra MediaJl. Anggajaya II No. 112A Condongcatur,Depok, Sleman, Yogyakarta. Telp 0274-2831331www.solusibuku.com

Homo Jakartensis

Catatan Penulis

SEBUAH kota bukan hanya landmark—dan itu berarti Jakarta bukan cuma Monas; bahkan bagi saya, meskipun Monumen Nasional adalah simbol kota Jakarta, tidaklah merepresen-tasikan Jakarta sama sekali. Jakarta tidaklah tinggi, kokoh, kuat, dan tak tergoyahkan. Jakarta itu rapuh, kalau dibung-kus dalam kardus mesti ditulisi: Fragile—Handle with Care. Hujan sebentar, jalanan macet, banjir, dan ada saja warga kota mengungsi, musim kemarau debu di mana-mana, got mampet, dan bila malam tiba gerombolan Kapak Merah mengincar perempuan yang menyetir sendirian di lampu me-rah perempatan. Sebuah kota, begitulah, bisa berkembang, dan bisa juga menghancurkan dirinya sendiri.

Meskipun begitu, saya kira Jakarta bukanlah jenis kota yang akan ditinggalkan penduduknya, karena Jakarta bukanlah kota kuno seperti dalam sejarah peradaban yang terhadapkan sebagai lawan dari desa. Jakarta adalah sintesis kota dan desa. Jika secara teoretis penduduk kota dan desa itu kategorisa-sinya terbedakan dengan jelas, tidak begitu dengan Jakarta. Urbanisasi berarti mengalirnya orang-orang daerah (dari desa maupun dari kota) masuk Jakarta, sehingga budaya urban yang merupakan karakter Jakarta tentunya adalah budaya campur aduk, di sebuah kota yang bukan cuma terdiri dari

vi | Affair

gedung-gedung, ganggang dalam kampung, dan mega mall dengan segenap jualannya, tapi juga jaringan teknologi media komunikasi, penemuan manusia yang memberi alternatif dimensional. Disebut sintesis, karena memang lahir sesuatu yang baru, belum jelas seperti apa—dan mungkin tak akan pernah terlalu jelas, karena akan selalu berubah, dengan kece-patan yang belum pernah ada dalam sejarah.

Bagaimana semua itu berlangsung? Jika Jakarta adalah impi-an tentang kemajuan, maka kemajuan itu sudah pasti sesuatu yang mengorbankan. Bukan saja karena segala kelebihan kita selalu berarti pengambilan jatah yang termiskinkan dalam persaingan, ketika berebutan kue ekonomi; tapi juga betapa bagi yang kaya maupun yang miskin, jiwanya telah menjadi begitu rudin. Di satu pihak kasihan, tapi di lain pihak meng-harukan, karena dengan kerudinan jiwa seperti itu masih juga orang bisa bahagia. Itulah para Homo Jakartensis, manusia Jakarta, sosok-sosok yang mengembara dalam pencarian, dalam sebuah kota yang telah menjadi situs pasar wacana, dengan pilihan yang terus-menerus berganti.

Menulis tentang Jakarta berarti juga menulis tentang orang-orang Jakarta, para Homo Jakartensis yang dipertemukan nasib di belantara makna, yang terus-menerus merayap dan meraba, bukan dalam gelap tapi dalam silau cahaya dan bising jalanan menggema, sehingga kemungkinan juga tak kunjung tiba kepada sesuatu yang dikenalnya. Dalam posisi itulah saya sering merasa, sepertinya tahu tapi nyatanya belum teruji, sepertinya paham, tapi hanya sibuk dengan dugaan—toh saya tidak menghindar dari tanggung jawab jika mengatakan: memang ini hanya sebuah obrolan. Seperti bisa diandaikan

Seno Gumira Ajidarma | vii

berlangsung di sebuah kafe sambil minum kopi, sembari me-mandang senja di luar jendela, yang sedang berubah menjadi malam bermandi cahaya ...

SGA Pondok Aren—Kebayoran Lama,

Minggu, 13 Juni 2004

Daftar Isi

Homo Jakartensis vBerhala Jakarta: Semoga Sukses! 1Luar Negeri 5The Art of Nasi Uduk 9Seni dan Air Seni Sopir Taksi 13How to Read Pos Kota 17Keramahan Jakarta 21Jiwa Kosong & Instant Wisdom 25Kampungan yang Mesra 29Konsumen Agung 33Air Terjun di Dalam Rumah 37“Buntil! Buntil! Buntilililililiililllllll!!!” 41Jelangkung dan Penonton Jakarta 45Penyanyi Dangdut di Tepi Jalan 49Sedia Sampan Sebelum Banjir 53Jakarta yang Lain 57Konstruksi Duka 61Wacana Kasihan 65Agenda 69Bunga, atawa Jakarta Romantis 73Pembokat 77Hiburan Adalah Panglima 81Jakarta Tidak Gemerlapan 85Antara Cinta dan Kopi Instant 89Hidup Bersama Teror 93

x | Affair

Setengah Meja dan Kursi untuk Satu Orang 97Ramadan yang Gemerlapan 101Remote Control & TV 105C(S)eleb atawa Pesohor 109Ruang Tunggu di Rumah Sakit 113Dimensi dalam Konstruksi 117Di Radio ... 121Kepribadian Sandal Jepit 125Gaya dalam Potret Wanita Menjilat Es Krim 129Affair: Jalan Buntu 133Bayi dalam Gendongan: Sebuah Teater Jalanan 137My Pembokat and Her Cellphone 143Doi Panggil Ogut Nyomet! 147Ngelmu Forward 151Senja di Jakarta 155Orang-Orang yang Tidak Tenang 159Bandungia 163Antiglobalisasi? 167Maestro Kibul 171Ilmu Maksa’ dan Senyum Profesional 175Nasi Goreng Rp211.000,- 179Antara Dua Kota 183Cicak, Buaya, Gurita: Politik Fabel 187Kapitalisme Kerupuk 191“Selamat Pagi!” 195Sedemikian Rupa Sehingga 199Sederhana = Mewah 203Berdebat dan Berpikir 207Kesambet 211Siapa Suka Menciptakan Hantu? 215Rasialisasi 219

Seno Gumira Ajidarma | xi

Balada Jalur Busway 223Balada Wacana Androgini 227“Lagi Nge-trend.” 231Suatu Senja di Bakoel Koffie 235Tentang Bertemu Muka 239Ketersamaran 243Keseharian Metropolis 247Paimo, the Punker 253Petai Kencana 257Dunia dalam Seketuk Klik 261

Berhala Jakarta: Semoga Sukses!

Ukuran sukses di Jakarta sudah terkontaminasi penyakit sosial yang parah. Reformasi mengubah pemerintahan, bisakah reformasi mengubah mentalitas?

MASIH sangat sering saya mendengar ucapan: “Semoga sukses!” Dalam benak saya terpikir, “Wah, kalau tidak suk-ses bagaimana?” Sangat sering saya mengamati pembukaan pameran, peluncuran buku, pemutaran film, bahkan acara diskusi yang mendapat kiriman karangan bunga segede gajah. Dalam karangan bunga itu biasanya juga terdapat tulisan “Selamat dan Sukses” atau “Semoga Berhasil” atau juga lagi-lagi “Semoga Sukses”.

Kisah sukses di Jakarta adalah kisah sukses dengan ukuran-ukuran baku yang ajaib, alias tidak masuk akal. Kalau Anda seorang Guru Teladan yang berangkat ke sekolah untuk meng-ajar naik sepeda motor, yang mogok-mogok pula, kategori apa pun sangat sulit menyebut Anda seorang yang sukses. Setelah menyetir selama 30 tahun, seorang sopir mempunyai reputasi tidak pernah secuil pun menyerempet mobil lain, tidak pernah ditilang, tidak pernah terlambat, dan hanya membunyikan

2 | Affair

klakson dalam keadaan sangat terpaksa ini pun tidak akan pernah dipuji sebagai sukses. Di Jakarta, kategori sukses di-takar melalui ukuran-ukuran yang kategorinya keliru.

Andaikan Anda diangkat jadi menteri. Meskipun Anda belum mulai bekerja, Anda sudah dianggap orang sukses. Jabatan Anda adalah sukses Anda, bahwa sebagai menteri Anda rada-rada bego, itu bukan persoalan besar. “Dia pernah jadi men-teri” adalah ucapan yang menunjukkan bahwa jabatannya jauh lebih penting dari prestasi kerjanya. Sedangkan dalam ucapan “Dia menteri yang jujur” kita memang mendengar penghormatan dan pujian, tapi sekali lagi bercampur rasa kasihan. Karena menteri yang jujur diterima sebagai menteri yang tidak mempergunakan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, dan tidak mempergunakan kesempatan dalam ukuran-ukuran sukses Jakarta adalah suatu kebodohan.

Begitulah, sukses di Jakarta telah menjadi berhala. Kalau Anda tidak sukses dalam ukuran-ukuran ajaib itu: bukan di-rektur, tidak berdasi, datang naik bus, bekerja di perusahaan gurem, tidak doyan lasagna yang rasanya seperti sabun, se-lalu berkeringat, dan tidak bisa bahasa Inggris—seolah-olah Anda bukan manusia, atau tetap manusia tapi tergolong orang-orang kasihan. Tentu saja ini tidak benar, tapi Jakarta telah menjadi kota salah kaprah. Akan menjadi ajaib kalau di sampul depan majalah bisnis misalnya terpampang eksekutif bengkel mobil, meskipun ia bengkel mobil yang sukses, hanya karena eksekutifnya tidak berdasi, selain karena citra tukang dalam keahlian bermesin ria juga tidak merupakan represen-tasi orang sukses.

Seno Gumira Ajidarma | 3

Jakarta seolah-olah hanya menjadi tempat memburu kesuk-sesan. Orang yang dianggap tidak sukses, tidak didatangi, ti-dak disalami, tidak ditegur, tidak dilirik, apalagi diingat-ingat. Orang-orang tanpa kisah sukses, meski cuma sukses secuil-secuil, seperti tidak ada, karena hidup tanpa kesuksesan bu-kanlah kehidupan yang bermakna. Sedangkan ukuran-ukuran sukses sudah terkontaminasi penyakit sosial yang parah. Reformasi mengubah pemerintahan, tapi apakah reformasi mengubah mentalitas? Lihatlah undangan kartu perkawin-an, sering kita lihat pejengan gelar yang campur aduk. Gelar akademis bercampur gelar darah biru maupun gelar agama. Padahal gelar-gelar tersebut tidak mempunyai relevansi apa pun terhadap substansi perkawinan tersebut. Ini sebuah kon-disi sosial budaya yang sangat sulit direformasi, karena hanya kesuksesan yang membuat manusia dianggap ada. Akibatnya, dalam kartu undangan perkawinan, kalau bukan Doktor, Raden Mas pun jadi.

Kesuksesan hanya berhubungan dengan prestise. Pemain sepak bola yang hebat diandaikan sukses karena dengan keterampilannya ia menjadi kaya, sebaliknya pemain sepak takraw nomor satu di dunia pun tak akan pernah dilirik, ka-rena sepak takraw tidak menempati posisi prestisius dalam hierarki sosial olahraga. Hierarki sosial ini menunjukkan ke-kacauan persepsi kita. Perhatikan: tenis elite—tinju kampun-gan, squash elite—karambol kampungan, spa elite—jogging sok merakyat. Begitu juga dalam musik, jazz dan opera eli-te—dangdut kampungan. Semua ini menjadi kesalahan yang sebetulnya disadari, tapi juga dinikmati karena kenyamanan prestise sosial yang menjadi bayaran.

4 | Affair

Celakanya, untuk menggapai sukses-sukses salah kaprah ini, karena begitu pentingnya kesuksesan dalam hidup, dilaku-kanlah segala cara. Mereka yang bekerja di media massa tahu betapa tebal tipisnya amplop sering ikut berperan membuat seseorang sukses atau tidak sukses. Buku-buku Cara Cepat Jadi kaya dan Sukses dalam Wawancara (untuk diterima kerja) dibaca bagaikan menelan pil, supaya kesuksesan bisa diraih dengan secepat-cepatnya. Pada gilirannya ini melahirkan fal-safah kesuksesan macam Sepuluh Cara Rumah Tangga Bahagia, Selusin Cara Mempertahankan Cinta, Kiat-Kiat Bahagia Sepanjang Masa. Begitulah. Mau bahagia kok maksa!

Masalahnya, boleh kan di Jakarta ini seseorang tidak usah ikut-ikut berburu kesuksesan? Boleh kan jadi orang-orang biasa saja yang cukup puas asal bisa hidup mandiri, tidak jadi parasit, dan bisa berekspresi secara merdeka? Boleh kan tidak usah berkom-petisi dan santai-santai menjadi juara nomor enam saja, atau nomer dua belas, tidak usah pakai dasi, tidak usah pakai batik, tidak usah membungkuk-bungkuk rindu order, tidak usah cari muka, menjadi warga kelas dua saja yang tidak usah nonton opera dan cukup puas (meski sering sebel juga) dengan sinetron sambil terkantuk-kantuk di muka televisi? Boleh kan menjadi manusia biasa yang sedang-sedang saja? Berbahagialah orang yang tidak sukses, selama mereka tidak punya beban. Bagi yang memberhalakan kesuksesan, tapi gagal, boleh ditunggu di la-pangan parkir: siapa tahu meloncat dari lantai 20.

Itulah sebabnya, kalau orang berkata, “Semoga sukses!”, saya berpikir, “Wah, kalau tidak sukses bagaimana?”

Majalah Djakarta!, November 2000.

Luar Negeri

Jakarta telah menjadi semu dan tidak nyata, karena impian-impian “seperti luar negeri” yang menjadi konkret.

DI Indonesia, kata luar negeri mendapatkan maknanya yang khusus dan unik. Kalimat sekolah di luar negeri misalnya, tidak mungkin berarti sekolah di Papua Nugini. Kenapa? Karena hal ini tidak mungkin, mustahil, tidak masuk akal. Bagi Indonesia, bisa diandaikan Papua Nugini bukan panutan dan teladan, meski dalam kenyataannya pasti ada saudara-sauda-ra dari Papua dan Papua Barat yang mencari ilmu di negeri itu, termasuk ilmu perang gerilya. Luar negeri boleh dibilang tidak pernah mendapatkan kodrat denotatifnya, yakni negeri mana pun yang bukan Indonesia. Luar negeri adalah suatu konotasi: lebih maju, lebih unggul, lebih mewah, lebih modern, dan ujung-ujungnya lebih bergengsi.

Maka liburan ke Iuar negeri sudah hampir pasti tidak berarti li-buran ke Bangladesh. Negeri eksotik bagi orang Barat seperti Nepal dan India, kecuali bagi pendaki gunung sama sekali ti-dak merupakan tujuan wisata yang ditawarkan biro-biro per-jalanan di Jakarta. Liburan ke luar negeri pasti berarti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Australia. Baru kemudian ada

6 | Affair

pilihan alternatif, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Jelas terlihat, luar negeri yang dimaksud di sini adalah “ke-majuan”. Baru setelah itu, akan ditawarkan Eropa Timur dan Cina, sebagai eksotisme baru. Turis-turis Indonesia ditawar-kan untuk gumunan, “mari mengagumi kemajuan.”

Dengan begitu kalimat beli di Iuar negeri tidak akan dimaksud sebagai kebanggaan atas industri lokal Chiang Mai atau Ipoh, melainkan barang-barang bermerek internasional, mungkin Nike, mungkin pula Guess, yang ternyata dijahit di Tangerang dan Pulo Gadung, yang buruhnya demo melulu karena upah terlalu rendah. Kalimat bikinan Iuar negeri sudah pasti tidak dimaksudkan sebagai produk Polandia atau Uzbekistan, melainkan Jerman, Jepang, dan lagi-lagi Amerika Serikat. Betapa pun hebatnya industrialisasi Korea Selatan atau Kanada, mitos luar negeri sudah dikuasai ikon-ikon tertentu. Konstruksi luar negeri dalam peradaban Indonesia memang sungguh-sungguh mengandung bias. Itulah bias inferioritas suatu bangsa terjajah. Menyebalkan dan memuakkan, tapi itu merupakan kenyataan. Kemerdekaan Indonesia baru berada di atas kertas, secara mental orang Indonesia mencari dan mengabdi keterjajahan itu sendiri, dengan mengagungkan dan memuja segala sesuatu yang luar negeri. Bahkan produk domestik pun harus dibilang “kualitas ekspor” supaya dibeli bangsa sendiri karena mengacu kepada luar negeri.

Dampaknya terlihat dengan orientasi “kemajuan” dalam pertumbuhan Jakarta. Meskipun Indonesia beberapa kali mendapat hadiah arsitektur Aga Khan Award untuk bangun-an yang mempertimbangkan hubungan lingkungan hidup dan penghuninya, gedung-gedung, rumah tinggal, dan ruang

Seno Gumira Ajidarma | 7

publik di Jakarta tetap saja mengacu citra luar negeri yang me-ngenaskan itu. Perhatikan saja wilayah bisnis Segitiga Emas. Citra kemajuan seolah tidak bisa lain dari gedung-gedung jangkung. Seperti dilupakan bahwa Amsterdam yang masih setia kepada kanal-kanal abad XVII-nya pun banyak duitnya, dan tidak berdiri di atas utang. Melewati Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin, para penghamba luar negeri akan berkata, “Lihat, sudah seperti di luar negeri!” Busyet. Padahal, Segitiga Emas hanyalah ujung sebuah piramid, satu-satunya enclave “luar negeri” di Indonesia. Sisanya hanyalah kemiskinan dan keterbelakangan, kalau memang kegemerlapan jadi ukuran.

Ini membuat Jakarta menjadi absurd. Lewatilah perumahan mewah Pondok Indah, maka akan terlihat tiang-tiang rumah bak bangunan Romawi, di mana bisa kita bayangkan Romeo berlutut dan menengadah dengan tangan terulur untuk me-muja Juliet di jendela loteng. Di Kemang kita bisa masuk kafe-kafe yang interiornya sudah mirip dengan kafe mana pun di New York, London, atau Paris, hanya untuk keluar lagi meng-hadapi realitas Jakarta: pengemis-pengemis cilik di lampu merah dan bus-bus kota yang mendemonstrasikan bagaima-na caranya mengubah manusia menjadi ikan sarden. Jakarta telah menjadi semu dan tidak nyata, karena impian-impian seperti luar negeri yang menjadi konkret. Kalau melihat iklan raksasa rokok Marlboro, kita sering lupa bahwa koboi-koboi impian itu tidak nyambung dengan hentakan dangdut dari radio kios rokok di bawahnya. Tapi keduanya ada dan hidup bersama di Jakarta sebagai paradoks yang ironis. Koboi-koboi dan kuda berlari yang terang benderang dalam kemuraman krisis Indonesia, membuat Jakarta seperti Iuar negeri. Gedung-gedung, lampu-lampu interior mewah, semuanya mengacu

8 | Affair

kepada seperti luar negeri. Betapa bersemangat dan bangganya warga kota ingin menjadi seperti Iuar negeri itu.

Berorientasi ke luar negeri sih boleh-boleh saja, karena kita tidak boleh menjadi manusia kuper. Masalahnya, luar negeri dengan kualitas apakah yang dipuja-puja itu? Banyak orang cas cis cus berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, dan Mandarin, tapi diam seribu bahasa ketika ditanya siapa James Joyce, Baudelaire, Gunter Grass, Kawabata, dan Li Tai Po. Luar negeri di Jakarta cuma sebatas dengkul. Mereka adalah pengguna dasi dan kafe-kafe yang mengaku pragmatis, tapi jangan tanya apakah mereka tahu pragmatisme William James. Itulah kualitas luar negeri-nya Jakarta, impian yang dibangun di atas comberan berbau petai. Selamat.

Majalah Djakarta!, Februari 2001.

The Art of Nasi Uduk

Nasi uduk mengembalikan orang Jakarta sebagai manusia.

PURA-puranya Jakarta adalah kota kosmopolitan. Setidaknya banyak usaha pencitraan ke arah sana. Banyak orang lebih suka ngomong meeting ketimbang rapat, lebih afdol ngomong keep in touch, ketimbang jaga hubungan, dan semakin sering berucap “Oh, my God” ketimbang “Masyaallah.” Haibat. Tiada heran, sinisme dan kecaman bertubi-tubi sering dialamatkan kepada pendukung kosmopolitanisme Jakarta, yakni para pe-muja merek, penganut gaya hidup flamboyan, dan penyembah berhala kesuksesan. Mulai dari tudingan mementingkan diri sendiri, tidak peka terhadap penderitaan rakyat, snob, kaya tapi kampungan, sampai bego, dengan tiada semena-mena diberondongkan kepada stereotip “orang Jakarta” yang me-mang sudah begitu rumit dilacak akar identitasnya, kecuali terseret ke sana kemari oleh kuasa tren mutakhir yang cepat sekali berganti. Alhasil, dalam wacana intelektualitas pada dasarnya kosmopolitanisme Jakarta itu babak belur. Serba-mehong, konyol, dan jadi bahan tertawaan—sampai tiba saat-nya kita memasuki warung nasi uduk.

Di tenda kaki lima mana pun di Jakarta, warung nasi uduk selalu penuh, bukan oleh orang miskin yang hanya mampu

10 | Affair

beli nasi bungkus, melainkan justru oleh para pendukung kosmopolitanisme yang mencitrakan dirinya melalui merek mobil, potongan rambut, dan baju tali yang memamerkan punggung dan bahu serbamemesona. Bila tercium harum parfumnya, sering citra yang keluar tidak bisa nyambung. Sulit rasanya menghubungkan nama Christian Dior dengan kata uduk. Namun itulah realitasnya. Telepon genggam Nokia yang “bisa motret” berdering diangkat oleh tangan bermi-nyak, “Sorry, gue baru makan nasi uduk nih, I call you back?” Kosmopolitanisme kini mendapatkan wajahnya yang manusi-awi. Seperti juga kosmopolitanisme Tanah Abang: pedagang-pedagang kelas menengah bawah dari berbagai negara Afrika bercampur baur dengan penduduk di dalam gang. Inilah kos-mopolitanisme yang sebenarnya, yang juga berlangsung abad XVI ketika di warung nasi uduk Sunda Kelapa bertemulah orang-orang Portugis, Cina, Arab, India, Bugis, dan Banten membicarakan berbagai peluang bisnis dengan lingua franca bahasa Melayu.

Untuk sebuah kosmopolitanisme, tidak diperlukan setting semacam kafe, yang dipersis-persiskan Paris, yang untuk memasukinya seseorang dituntut kursus bahasa Inggris, su-paya tidak menyebut orange juice sebagai es jeruk. Kalau kita membaca sebuah studi tentang sastra Iran, melalui literatur berbahasa Inggris, yang merupakan terjemahan dari bahasa Prancis, sebetulnya kita sudah memasuki jaringan kosmopo-litan, meski kita tidak doyan bir-plethok. Ketika mengetahui bahwa P.J. Zoetmulder, mahapakar Jawa Kuno, bersahabat dengan penulis cerita detektif ternama John Le Carré, saya mengalami sebuah kejutan besar menyadari betapa pertapa-an Romo Zoet di gereja Kemetiran, Yogya, ternyata bukanlah

Seno Gumira Ajidarma | 11

pertanda keterpencilan. Betapa kosmopolitnya Romo Zoet meskipun ia tidak menyambangi kafe, lebih suka berbahasa Jawa ketimbang Inggris, dan sepanjang hidupnya hanya ber-gulat dengan huruf dari detik ke detik sampai meninggal, un-tuk menyusun kamus yang menembuskan dunia Jawa Kuno ke jaringan bahasa internasional.

Dalam dunia nasi uduk, seperti kata Nietzsche, berlangsung-lah kembalinya segala sesuatu. Di meja terdapat pilihan yang manusiawi, bungkus-bungkus nasi uduk yang kecil, memberi kesempatan Homo Jakartensis untuk tidak terpaksa menelan segala hidangan atau menyisakan tanpa termakan. Pilihan-pilihan di etalase lauk juga sangat demokratis sekaligus hi-gienis karena takaran bisa diukur sesuai kemampuan perut, kondisi kesehatan, dan tebal tipisnya dompet untuk kemu-dian sreng-sreng-sreng langsung digoreng dan terhidang panas membara. Melalui bungkus daun pisang yang digelar Homo Jakartensis kosmopolitanisme terhubungkan dengan lingkungan hidup, di mana ekologi budi daya pohon pisang mendapatkan makna budaya. Nasi putih yang gurih tergelar menanti gorengan sayap ayam kampung yang mungil, atau dada dan paha yang kurus, sambal terasi, tahu dan tempe, pi-lihan sekunder ati, ampela dan sate jantung, disegarkan oleh lalap dengan aroma daun kemangi yang eksotis. Belum lagi ditambah The Scent of the Great Petai.

Semua itu akan dimakan menggunakan tangan telanjang. Homo Jakartensis yang kosmopolit dikembalikan kepada masa Homo Pithecantropus Erectus melahap kerang mentah di tepi pantai. Yeah. Saya kira sea food kerang rebus dan udang rebus pun boleh dipertimbangkan dalam konsep kembalinya

12 | Affair

segala sesuatu Nietzsche itu. Apabila kemudian Homo Jakartensis sudah kenyang, sambil bersendawa ia mencuci ta-ngannya dengan olesan jeruk, yang menurut saya merupakan persembahan eksotis nan mewah. Dunia nasi uduk adalah dunia yang bebas dari unsur kimia. Hoooiiikk.

Melalui nasi uduk orang Jakarta dikembalikan sebagai ma-nusia yang memiliki dirinya sendiri, dan tidak sekadar di-miliki oleh kuasa-kuasa industri. Melalui nasi uduk manusia Jakarta, Homo Jakartensis itu, dibebaskan dari penjara citra yang menjebaknya, yakni citra kosmopolitan salah kaprah, yang terpaksa ditelannya demi suatu survival, dalam jiwa ma-upun dalam pergaulan-tak-bebas. Dengan begitu, memang, makan nasi uduk menjadi suatu pembebasan, dari kelaparan maupun ketertindasan hegemonik.

Majalah Djakarta!, Maret 2001.

Seni dan Air Seni Sopir Taksi

Kalau ada bau pesing di tempat kering, boleh jadi bekas kencing sopir taksi.

Bermobil di Jakarta adalah salah satu cara tersiksa. Namun seberat apa pun manusia Jakarta mengeluh, penderitaannya tidak akan seberat sopir taksi, karena kehidupan sopir taksi justru berada dalam kemacetan itu. Supaya selamat, sopir taksi melakukan pekerjaannya dengan suatu seni. Manusia Jakarta perlu AC di mobilnya, supaya baju putih lengan pan-jangnya tidak basah kuyup oleh keringat. Bagi sopir taksi, AC malah jadi siksaan, sehingga AC itu ada hanya demi service penumpang. Begitu penumpang turun, apalagi kalau malam, langsung dia matikan AC-nya, dan membuka jendela. Jangan kaget kalau Anda melambai taksi, dan masuk ke dalamnya, udaranya masih terasa “hangat”. Ini tentu karena sebelum ada penumpang, sopir kita membuka jendela dan mematikan AC. Begitulah, menyopir taksi adalah suatu seni.

Sepintas lalu kerja sopir taksi itu enak, seolah-olah cuma duduk-duduk di depan hotel atau bandara, lantas dapat pe-numpang. Dunianya seolah-olah hanya AC dan penumpang-penumpang kelas atas. Jelas itu keliru. Sudah berapa sopir

14 | Affair

taksi ditemukan tewas dengan pisau menancap? Kejahatan itu berasal dari penumpang jua adanya. Belum lagi betapa sering ia ditipu. “Tunggu sebentar, Bang, nyalakan saja argonya,” kata seorang perempuan cantik sebelum masuk bar. Ternyata ia tak pernah keluar lagi, dan ketika dicari, menyublim tanpa wujud seperti kapur barus. Busyet. Kalau sudah begitu, sopir taksi hanya bisa gigit jari berjaing-jaing ria.

Paling mengenaskan kalau melihat sopir taksi terkantuk-kan-tuk. Saya pernah mengalami kecelakaan, karena sopir taksi yang mengantuk menghantarkan mobilnya untuk mencium moncong sebuah bus. Saya yang duduk di depan tanpa pa-sang seat belt, terbanting ke dashboard, sehingga copotlah tulang panggul sebelah kiri. Yeah. Puas juga menggendong tangan berbulan-bulan. Akibatnya, begitu ada sopir taksi mengantuk, saya tawarkan diri untuk menyetir. Pernah suatu pagi, sopirnya langsung setuju. Begitu saya pegang setir, ia turunkan sandaran sampai rata, langsung mendengkur. Nah, karena menyetir sendirian, selalu disangka kosong, dan ter-bingung-bingung melihat orang selalu melambai saya. Haha! Begitu sampai kantor, saya bangunkan dia, dan merogoh kan-tong... untuk membayarnya! “Terima kasih,” katanya, “nggak apa-apa nih?” Saya terpaksa berlagak dermawan. Habis, mau bagaimana lagi?

Begitulah para sopir taksi ini keliling kota, menemui berma-cam-macam manusia. Saya pernah membaca laporan seorang wartawan, bahwa ada seorang penumpang tante-tante yang merayunya untuk tidur. Hmm. Ramah betul tante seperti itu.

Tentu tak kuranglah sopir taksi yang terpaksa mengelus dada, ketika begitu banyak orang diajak penumpang dari daerah ke

Seno Gumira Ajidarma | 15

dalam mobilnya, bertumpuk-tumpuk besar kecil tua muda, sampai 17 orang. Sedangkan, sopir taksi yang menunggu para perempuan penghibur pulang menjelang pagi harus siap dengan dua hal: atau suara-suara memanaskan badan dari pasangan yang berciuman habis-habisan, atau orang muntah. Kesepian adalah pemandangan yang sering bisa kita temukan dialami sopir taksi. Dalam malam-malam berhujan, mereka bicara lewat radio taksi mereka kepada operator. Biar operator itu lelaki atau perempuan, omongan jorok tak pernah luput dilontarkan untuk mengatasi kesepian.

Benar-benar mereka pengembara jalanan, memasuki hari-hari dan malam-malam yang fana dalam kesendirian. Kalau kita teringat film Taxi Driver (Martin Scorsese, 1976), kita teringat bagaimana lampu-lampu kota membayang di kaca depan, bagai sungai cahaya dan warna yang mengalir, meng-hanyutkan lamunan. Sopir taksi pastilah orang yang banyak merenung dan karena itu menjadi bijak, karena pengalaman mereka macam-macam. Pernah terjadi, ada dua koran di kantong kursi belakang, Pos Kota dan Kompas. “Tergantung siapa penumpangnya,” kata sopir kita yang bekerja dengan semangat pelayanan.

Duduk terus raun-raun dalam mobil, membuat tubuh mereka rawan dengan aneka sakit pinggang dan ginjal, semacam ken-cing batu dan entah apa lagi. Akibatnya mereka harus banyak minum, berbotol-botol liter air mineral mereka tenggak seti-ap hari tanpa kenikmatan selain menjaga kesehatan. Dalam udara dingin karena AC, meski selalu berjaket tebal, kehendak kencing selalu sulit ditahan. Mau kencing di mana? Sangat sering kita lihat pemandangan: sopir taksi menggunakan

16 | Affair

pintu mobil sebagai penutup, demi rasa susila ketika kencing di tepi jalan. Tentu saja. Mau kencing di mana? Terlalu sedikit WC Umum di Jakarta, WC Umum yang tidak usah nebeng di masjid, hotel, atau pertokoan. WC Umum yang mandiri. Kata orang, sebuah rumah jangan dinilai dari ruang tamunya yang penuh pernik, melainkan dari dapur dan WC-nya. Nah, bagai-mana dengan rumah kita yang bernama Jakarta? WC pun tak punya! Ini membuat air seni sopir taksi bertebaran di mana-mana, menguap dan membubung ke udara untuk jatuh lagi sebagai hujan di kepala kita. Haha!

Majalah Djakarta!, April 2001.

How to Read Pos Kota

Bacalah Pos Kota dengan metode Pembuktian Terbalik.

BARANGKALI Anda merasa diri sebagai warga kota kosmo-politan Jakarta, dan karena kata “kosmopolitan” yang hanya dipahami sebagai gemerlap, wangi, dan luar negeri itu, maka Anda tidak merasa sahih untuk membaca koran bernama Pos Kota. Jika hal ini terjadi, setidaknya Anda telah melanggar satu dari Tiga Ojo yang keramat (ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh = jangan mudah kagum, jangan gampang terkejut, jangan mentang-mentang), yakni yang terakhir, karena men-tang-mentang biasanya langsung berujung kepada pelecehan, dan sungguh tiada kebodohan yang lebih besar daripada sebuah pendapat yang dinyatakan tanpa berpikir, selain ber-dasarkan prasangka-prasangka arogan.

Koran atawa harian Pos Kota sering dicitrakan seperti ko-munitas pembaca maupun sumber berita yang dimuatnya, seperti “koran tukang sayur”, “bacaan tukang becak”, atau “koran preman”—dan karena itu mereka yang tidak sudi dianggap sekelas, seselera, dan apalagi secitra dengan ma-syarakat golongan bawah ini, membedakan diri dengan cara melecehkannya. Padahal (menurut Asmuni: pe-de-hel), jika

18 | Affair

Anda memang warga kosmopolitan yang membuka diri, ser-ba ingin tahu, dan mau mengenal lingkungan sosial di mana Anda hidup, dan itu termasuk mengenal warga Jakarta lain yang hanya terlihat sepintas kilas di pinggir jalan dari kenya-manan AC mobil Anda, maka Pos Kota adalah sebuah media yang representatif untuk mengenal jiwa dan jalan pikiran saudara-saudara kita itu.

Adalah Pos Kota pula yang menjadi media untuk mengenal jenis urban baru kelas bawah Jakarta ini, misalnya oleh para Indonesianis di Universitas Cornell, dan cara bagaimana Pos Kota dibaca bukan hanya membuktikan koran ini sangat berguna, tapi sekaligus yang melecehkannya adalah sangat-sangat-sangat bego. Seorang peneliti seperti James T. Siegel misalnya, membangun argumennya yang memikat untuk buku A New Criminal Type in Jakarta (1998: diterjemahkan ta-hun 2000 sebagai Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kejahatan—LKiS, Yogyakarta) berdasarkan pengamatan atas bagaimana berita-berita kriminalitas dalam Pos Kota di-tulis. Menarik untuk mengamati, bagaimana Siegel memanfa-atkan Pos Kota untuk sebuah babakan sejarah kriminalitas di Indonesia yang penting, yakni fenomena Penembak Misterius 1983-1984.

Melalui Pos Kota, yang bermodalkan kriminalitas, Siegel mene-mukan sebuah pola, betapa berita-berita peristiwa kejahatan tidak pernah sampai ke pengadilan. Bagi Pos Kota, cukuplah pelakunya sudah tertangkap, dan diserahkan kepada polisi. Dalam hal ini, polisi diandaikan sebagai representasi negara. Para penjahat melakukan perbuatan ilegal, tapi cara mereka ditampilkan di Pos Kota lebih sebagai orang aneh. Kejahatan

Seno Gumira Ajidarma | 19

hadir sebagai fait divers, keanehan yang menimbulkan rasa penasaran saja. Sehingga jenis kejahatan pun menjadi spesi-fik: atau keponakan membunuh paman: atau ayah mengha-mili anak perempuannya sendiri—Pos Kota sangat tertarik dengan penyimpangan dan pembacanya sangat suka. Dalam hampir semua kasus, tak pernah posisi paman atau anak perempuan itu yang bersalah—meski beritanya tak pernah sampai ke reportase pengadilan. Dengan diserahkan kepada polisi, mereka yang aneh itu seolah-olah sudah terhukum. Yang salah itu yang aneh. Para penjahat tidak menakutkan, tapi merupakan keanehan.

Pada masa Penembak Misterius merajalela, tampak bahwa ketakutan itulah yang justru dibutuhkan. Bukan untuk takut kepada penjahat, tetapi kepada negara. Dari cara bagaimana mayat-mayat kaum preman itu ditemukan dalam laporan Pos Kota, terlihat suatu mistifikasi atas kekuatan dan kemampuan para preman itu, hanya untuk mengukuhkan betapa perlunya negara membasmi mereka. Dengan teliti diulas cara bagaima-na Pos Kota menggambarkan rajah (tattoo), dan bagaimana peluru diberondongkan untuk membungkam kekuatan itu. Artinya, ketakutan itu diperlukan untuk ada, tetapi kepada negara. Kaum gali dibasmi karena dianggap merebut wilayah ketakutan yang seharusnya dikuasai oleh negara itu. Sangat menarik bahwa korelasi penulisan berita Pos Kota antara yang pra dan pasca Penembak Misterius bisa sampai kepada kesim-pulan, yang masuk akal untuk dipertimbangkan, untuk tidak mengatakannya mencengangkan.

Jadi, tidak usah dengan cara Siegel, dengan cara Anda sendiri Pos Kota bisa dibaca lewat metode Pembuktian Terbalik: bu-kan kita membaca berita untuk menelan informasi tertulisnya

20 | Affair

mentah-mentah, melainkan untuk menafsirkan dunia di balik cara berita itu ditulis dan dibaca dalam komunitasnya, sehing-ga bisa menemukan seabrek informasi yang tidak—dan tidak akan pernah—tertulis. Dengan cara begini, Pos Kota yang perwajahannya disebut Circus Make-up itu (2000: Pos Kota, 30 Tahun Melayani Pembaca) akan menjadi sangat menarik. Bagaimana cara mereka mencitrakan apa yang disebut Kapak Merah? Bagaimana pandangan masyarakat kelas bawah atas seksualitas dalam rubrik Nah, Ini Dia...!? Mengapa comic strip seperti Doyok atau Ali Oncom ternyata bisa begitu kritis se-kaligus orisinal? Apa yang bisa dilihat dari banyaknya iklan mini yang kadang-kadang menggusur Lembaran Bergambar kegemaran pembaca itu? Warga Jakarta yang kosmopolitan tidak usah malu membaca Pos Kota.

Majalah Djakarta!, Mei 2001.

Keramahan Jakarta

Kalau ada orang terlalu ramah, itu artinya menjilat, jitak saja kepalanya.

KALAU kita sebut humas, seperti pegawai negeri berseragam di ruangan panas terkantuk-kantuk, kalau kita sebut “pi-ar” langsung terbayang seorang perempuan berbaju blazer, de-ngan sepatu tinggi yang melangkah tak-tak-tak-tak—perem-puan “pi-ar” seperti itulah yang suatu kali mengantar saya ke pintu lobi sebuah hotel bintang lima, seolah saya adalah tamu di rumahnya sendiri. Mengingat ilmu kibul kehumasan atawa public relations yang sering membuat saya terkecoh itu, segera saya menukasnya, “Sudahlah, tidak usah bergaya pi-ar, saya bisa jalan sendiri,” dan ia tertawa kaget, “Telek bener sih ngomongnya?” Haha! Jadi benar, ia mempraktikkan ke-pi-ar-annya, yakni sok ramah, seperti diajarkan entah di mana. Tapi bagi saya, a kibul is a kibul and it is just only a kibul, betapa pun ramah orangnya, renyah tawanya, manis senyumnya, wangi parfumnya, dan langkahnya tak-tak-tak-tak. Saya tahu betul, itulah model-model keramahan yang sering saya temui di Jakarta, suatu keramahan bisnis, keramahan profesional, keramahan demi relasi—nah, public relations.

22 | Affair

Kadang-kadang enak juga dielus-elus dengan keramahan se-macam itu, apalagi kalau kita sedang dibutuhkan, hmm, aduh asyik betul melihat orang melayani kita. Tapi kalau sedang tidak dibutuhkan, o, jangan tanya. Keramahan pi-ar-nya itu akan lenyap menguap raib ke udara. So, menerima keramahan seperti itu jangan terlalu lugu, jangan cepat ge-er. Terimalah, tapi dengan reserve—bahwa itu semua adalah kegombalan dunia. Memang, keramahan service itu bisa ditemukan de-ngan mudah di restoran dan hotel mewah, yang seluruh pe-gawainya keluaran akademi hotel dan restoran. Perhatikanlah caranya bertanya, caranya berdiri, caranya mencatat, caranya membungkuk, caranya menunjukkan dan menjelaskan sesu-atu, caranya mengucapkan selamat makan, caranya menuang minuman dan lain-lain, tapi itu semua adalah bagian dari atmosfer pelayanan. Celakanya, ilmu ramah ini dipraktikkan oleh semua profesional—tak ada yang salah dengan etiket tentunya, tetapi kecenderungan ini lama-lama mengendap ke dalam jiwa, bergerak dalam bawah sadar Homo Jakartensis.

Maksud saya, bahwa keramahan semu ini kemudian menjadi bagian hidup sehari-hari, seperti orang mengenakan pakaian: tidak berpura-pura lagi, tapi tetap semu. Aduhai. Adakah yang lebih gawat dalam korupsi jiwa selain ini? Banyak orang merasa sudah semestinyalah senyum disetel meski hati ogah sekali. Kasihan. Semua itu bukannya berlangsung mulus, me-lainkan sangat kentara, menjadi tampak sebagai kepalsuan—sehingga menimbulkan rasa muak dan mual sekaligus. Coba bayangkan jika dua profesional bertemu, dan mempraktikkan ilmu ramah ini habis-habisan, yang terus berlanjut ketika keduanya sudah sama-sama mau muntah, karena sama-sama akrab dengan ilmu kibul tersebut. Hmm. Saya berdoa Anda tidak pernah menjadi korban situasi seperti itu.

Seno Gumira Ajidarma | 23

Tapi yang tampak bisa dilecehkan, ternyata dipuja-puja. Suatu ketika di Istana Merdeka saya pernah bertemu dengan pemimpin “sekolah kepribadian” yang mengajarkan “ilmu sukses bergaul” itu, dan ilmunya ternyata memang jalan: meski tak kenal, ia memanggil nama saya, dan meminta saya memotretnya. Rupanya “ilmu panggil nama” ini bagian dari kursus-kursusnya. Teman saya, seorang dosen teater, konon diminta mengajarkan cara berbicara, sikap berwibawa, dan lain sebagainya—alamak, susah sekali hidup ini ya? Ternyata betapa banyak orang minder di dunia ini, sehingga begitu percaya bahwa dirinya tidak mampu berbicara, tidak punya sikap tubuh yang mengesankan, dan banyak hal lagi yang ajaib. Betapa ngebetnya manusia Jakarta ingin sukses dalam pergaulan.

Dengan demikian, dunia menjadi terbalik sekarang, yang tadinya kita pikir sebagai para profesional penuh keyakinan, ternyata orang-orang yang selalu takut gagal, sehingga me-lengkapi dirinya dengan perangkat-perangkat yang dimaksud sebagai penanda orang sukses. Takut gagal ini sudah sama de-ngan takut mati, seperti bayang-bayang kecemasan dalam diri manusia pada teori Heidegger. Bisakah Anda hidup bersama orang-orang ini? Kalau bisa, bahkan termasuk yang begitu, Anda masih lebih selamat ketimbang yang tidak bisa tapi tak mampu keluar, sehingga ilmu-ilmu kibul itu tetap terinterna-lisasikan ke dalam dirinya. Dari sinilah lahirnya robot-robot ramah, para zombies yang tersenyum dan berdasi, tapi jiwanya tandus dan gersang. Sekali lagi, oh kasihan.

Tapi jika semuanya sudah ada di sekitar kita, mau apa? Kita bisa menjadi orang aneh yang diasingkan, dilainkan begitu

24 | Affair

rupa sehingga betul-betul merasa terasing. Menjadi pribadi di luar seragam adalah sebuah risiko. Seperti orang berkaos singlet di tengah banyak orang yang semuanya mengena-kan batik. Persoalannya, apa salahnya menjadi lain, seperti juga apa salahnya menjadi seragam? Di dalam dunia politik Indonesia kita melihat bahwa menjadi lain dan menjadi sera-gam betul-betul merupakan persoalan, karena berada dalam seragam yang satu pasti berarti tidak termasuk seragam yang lain. Menjadi lain salah, berseragam juga dianggap lain. Serba salah. Ciri-ciri dunia mehong.

Majalah Djakarta!, Juni 2001.

Jiwa Kosong & Instant Wisdom

Mungkinkah justru dibutuhkan masyarakat kosong jiwa, supaya bisa dikibuli dengan ilusi-ilusi spiritual?

SEDANG memarkir mobil di depan Nur Frame di Kemang, da-lam persiapan untuk pameran foto, terdengar suara radio yang disetel sekencang badai: rupa-rupanya ceramah Zainuddin MZ. “Istri cantik itu berbahaya,” katanya, “apalagi kalau su-aminya kere.” Seketika saya terbahak-bahak, membayangkan seorang suami pengangguran yang merana, siang hari masih di rumah bergelung sarung, sementara istri yang wangi be-rangkat kerja dengan cerah, meyakinkan, dan ujung- ujung-nya menerbitkan cemburu buta—padahal sungguh-sungguh kerja membela keluarga. Saya tidak akan mengomentari ceramah yang hanya saya dengar sekilas itu, melainkan lentik gagasan yang tersirat dari sana: betapa banyaknya manusia Jakarta yang membutuhkan nasihat.

Bahkan sebelum reformasi, dalam dunia perbukuan ter-jemahan sajak-sajak Kahlil Gibran telah menjadi marak. Buku-buku Gibran, bajakan maupun dengan copyright, dicari di mana-mana dan bisa dicetak ulang lebih dari sepuluh kali. Busyet. Apakah terjadi kemajuan dalam apresiasi sastra?

26 | Affair

Ternyata tidak. Manusia Jakarta tetap tidak mengenal siapa Tatengkeng siapa Amir Hamzah. Ketika seorang wartawan bertanya, saya jawab fenomena itu tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan sastra, melainkan menjadi bukti adanya kekosongan jiwa. Sajak-sajak Gibran yang filosofis, argumen-tatif, dan tentu saja puitis itu, menjadi semacam resep dokter yang diandaikan bisa membereskan kekosongan jiwa secara hewes-hewes-hewes bablas angine, Secara instant?—dengan seketika.

Ada suatu pengandaian, dengan membaca sajak-sajak Gibran itu, diri kita bisa mendadak jadi arif, dan itu penting untuk menghadapi gelombang kehidupan yang tak terduga. Sajak-sajak tidak dibaca sebagai puisi, melainkan sebagai seberkas nasihat, pedoman, pegangan hidup. Kalau perlu baris-baris tertentu dihafalkan, dikutip-kutip, dituliskan kembali di buku-buku catatan, di potongan kertas yang di- laminating supaya bisa dibawa-bawa dalam dompet seperti jimat, bahkan ada juga yang menjadikannya kaligrafi dan digantung di din-ding kamar tidur atau ruang tamu. Hmm. Orang-orang kota mulai merasa hidup mencari uang saja salah, hidup mendaki jabatan atau kelas-kelas sosial saja keliru, dan menjadi sukses tiada dirasa lengkap tanpa pendalaman akan makna hidup. Hmm.

Dibutuhkan suatu kearifan dalam kepala, dibutuhkan isi untuk jiwa yang kosong, tapi untuk belajar filsafat atau agama secara rasional bertahun-tahun dan memamah biak buku-buku berat ogahlah yaw! Yang dibutuhkan adalah suatu instant wisdom, sekali telan langsung arif budiman.

Seno Gumira Ajidarma | 27

Bagaimanakah caranya memaklumi ini? Saya kira ini bagian dari gelombang besar kekosongan jiwa yang tumbuh seiring dengan mekanisasi pertumbuhan Jakarta. Strategi pendaki-an karier dan kompetisi perebutan sukses yang serba taktis, penuh perhitungan, dan ambisi serta energi yang total, bukan hanya menguras waktu, tapi juga membuat hidup menjadi ke-ring. Setelah punya uang, jabatan, dan prestise, rasanya kok cuma begitu-begitu saja. Sudah naik BMW, deposito aman, dan impian terwujudkan, kok kebahagiaan datang dan pergi seperti angin. Hati sempat senang sebentar, kok lantas jeng-kel lagi, menderita lagi, sengsara lagi, nestapa lagi, dan yang serba tidak enak ini selalu terasa lebih lama dari yang menye-nangkan. Setelah satu dua helai rambut putih tumbuh, Homo Jakartensis mulai berpikir: aku mendapatkan semua hal yang kuinginkan, tapi aku tidak mendapat apa-apa. Kalkulasi me-nunjukkan sukses, tapi kebahagiaan masih saja jadi obsesi.

Lantas, mengira kebahagiaan itu seperti harta karun ter-sembunyi di suatu gua rahasia, terjadilah perburuan ke mana-mana. Bukan gold rush, tapi happiness rush. Inilah yang membuat buku-buku Anand Krishna dan Sop Ayam laris berat. Para kapitalis jua yang akhirnya menangguk keuntungan. Kursus-kursus yoga, meditasi, kasepuhan dan lain-lain menjadi trendy, waiting list memanjang seperti ular naga panjangnya, kaset-kaset santapan rohani digandakan berulang kali, damai di bumi menjadi commodity. Manusia betul-betul kreatif, termasuk dalam hal memanfaatkan keko-songan jiwa orang lain. Mengagumkan. Uang tidak membawa kebahagiaan, tapi ketidakbahagiaan membawa uang. Haha! Sekadar data, yang terpaksa saya sembunyikan identitasnya, dari sebuah penerbit besar, dalam periode Januari-Mei 2001

28 | Affair

buku-buku Chicken Soup Hewes-Hewes dan buku-buku Oom Anand Krishna, menyabet kelipatan sepuluh kali lipat penju-alan rata-rata buku lain.

Pertanyaannya: apakah semakin berkembang industri spiri-tual ini berarti pula semakin banyak orang kurang bahagia? Tentu saja kita boleh mempertimbangkan kekacauan zaman pula (ngomong-ngomong, kapan sih nggak kacau?) sebagai indikasi kebutuhan orang mencari pedoman. Masalahnya: mungkinkah justru dibutuhkan masyarakat kosong jiwa ini, supaya bisa dikibuli dengan ilusi-ilusi spiritual? Apakah tidak mungkin masyarakat yang mudah dikibuli ini diharu biru saja dengan kebingungan, kegelisahan, dan ketakutan akan derita di masa depan supaya industri spiritual berkembang? Artinya, mungkinkah satu-satunya jaminan di masa depan hanyalah jaminan bahwa kita semua tidak akan terlalu bahagia? Hehe! Jangan khawatir, ini semua kan cuma pertanyaan-pertanyaan saya, seorang musafir lata pengamen kata-kata.

Majalah Djakarta!, Juli 2001.

Kampungan yang Mesra

Keramaian itu selalu diterima dengan sukarela, kecuali oleh mereka yang elite dan kosmopolit,yang selalu melafazkan kata privacy dengan fasih.

DI manakah letak Jakarta yang sebenarnya? Di Segitiga Emas dengan gedung-gedung tinggi menjulang tanpa ruang pere-sapan air yang menghasilkan banjir, di sepanjang Kemang dengan kafe-kafe gemerlap tapi pasti tiruan, ataukah di pinggiran yang dianggap kampungan, karena orang kawinan memenuhi jalanan?

Kata kampungan adalah kata yang diucapkan untuk meren-dahkan sesuatu yang lain, sekaligus juga berarti meninggikan diri sendiri. Orang Jakarta yang merasa dirinya elite dan kos-mopolit lumayan sering mengucapkan kata itu, jarang untuk menunjukkan diri sendiri: maksudnya pasti orang lain. Jika Sartre berkata orang lain adalah neraka, maka orang elite dan kosmopolit selalu berkata orang lain itu kampungan—mak-sudnya, kurang beradab. Begitulah. Tapi, seberapa kampung-ankah kampungan itu?

30 | Affair

Jika adegan perkawinan tadi diulang kembali, kita akan mengetahui bahwa ritual itu dimulai pagi hari dengan suara mercon yang meledak-ledak. Ketika pertama kali mendengar-nya di daerah pinggiran Jakarta itu, saya sempat mengira itu tentara latihan menembak. Ternyata itulah “kawinan orang Betawi”. Dengan begitu bisa dipastikan bahwa malam harinya dari arah suara mercon bin petasan itu akan berlangsung aca-ra layar tancap, yakni pemutaran film di tempat terbuka. Bisa lapangan, bisa kebon kosong, bisa pula di pinggir jalan saja, pokoknya cukup untuk layar yang akan menampilkan film India, Mandarin, atau Indonesia.

Film itu sendiri tidak penting, yang penting adalah banyak orang berkumpul. Gagasannya luar biasa mulia: karena kami gembira dengan perkawinan anak-anak kami, maka kami juga ingin orang-orang lain bergembira pula. Sehingga acara itu sungguh merupakan syukuran bersama, suatu upacara sosial religius, dengan kesenian produk teknologi sinematografi. Sehingga sinema di sini bukanlah ekstensi fotografi (dulu diam sekarang bergerak) atau radio (dulu hanya suara seka-rang bergambar), melainkan ekstensi seni rakyat—lenong atau wayang demi keramaian dilanjutkan oleh film: teknologi mengabdi kepada tradisi, dan tidak sebaliknya.

Maka di lapangan itu berkumpul segala jenis penjaja pengan-an, gorengan, bakso, es puter, ketoprak, siomay, balon, es dawet ayu, jagung rebus, kacang rebus, dan masih banyak lagi. Begitu pula dengan khalayak sekitar kampung yang punya ha-jat, mereka tak harus kenal dengan sang pengantin, tak harus kenal dengan siapa pun dari kerabat keduanya untuk hadir di sana, meramaikan pesta sampai menjelang subuh. Pada dasarnya suara mercon pada pagi hari itu merupakan suatu

Seno Gumira Ajidarma | 31

undangan, jadi siapa pun yang mendengar suara mercon itu berhak datang sebagai tamu yang terhormat. Apakah ini tidak luar biasa?

Para muda mudi akan hadir di lapangan atawa kebon kosong itu dengan penampilan mereka yang terbaik, meski semua mereknya adalah palsu. Levi’s palsu, Gucci palsu, Moschino palsu, Dagadu palsu, dan sebagainya. Perhatikan pula ke-dahsyatan sandal-sandal tujuh sentimeter para gadis, yang berjuang tetap tegak di tanah berlumpur. Mereka berserak di lapangan sampai ke tepi jalan. Berdiri saja di sana saling melirik dan saling menatap, pergunjingan riuh luar biasa. Film itu sendiri mengalir tanpa harus ditonton. Jangan tanya suaranya yang peleat-peleot. Film baru diperhatikan ketika memasuki adegan perkelahian atau joget.

Dari luar wilayah, suara film itu terdengar keras, lagu-lagunya menembus jendela kamar-kamar tidur para pekerja, namun yang tidak akan pernah dianggap tidak etis apalagi meng-ganggu. Keramaian itu diterima dengan sukarela, kecuali oleh mereka yang merasa dirinya elite dan kosmopolit, yang selalu melafazkan kata ‘privacy’ dengan fasih. Sama sukarelanya de-ngan mereka yang di jalanan itu harus memberi kesempatan mobil lewat perlahan-lahan, menyeberangi sepotong hajatan yang mengambil jalan, sembari mendengar sedikit dialog dari film. Perbenturan ruang pribadi dalam mobil dengan ruang publik yang dipribadikan itu (jalanan jadi arena pesta kawin) terkadang sangat menegangkan. Wajah-wajah begitu lekat di kaca mobil, tapi mereka maklum mengapa mobil lewat ini terpaksa “Mengganggu” mereka ...

32 | Affair

Segala sesuatu yang kampungan ini bagi saya terasa intim, mengharukan, dan mesra. Dengan kata lain, kampungan itu tidak harus menjadi kosakata berkonotasi negatif saja, justru yang kampungan bisa menyelamatkan Anda dari keterasingan yang menggigit, dan kesepian yang menghunjam. Berbaurlah dengan penonton layar tancap di pinggiran Jakarta, dan ra-sakan bedanya. Manakah Jakarta yang sebenarnya? Standing party (“berdiri-berdiri” dengan tujuan tidak jelas) sembari memegang gelas anggur di tangan dengan senyum hewes-hewes yang sangat terjaga, atau berjongkok di tepi jalan se-perti rakyat menyaksikan penari-penari India dengan mulut bengong terbuka dan perasaan bebas?

Kita pasti sering menjumpai adegan semacam itu, orang-orang berbaju mengilat seperti penyanyi dangdut, melangkah di tepi jalan sambil saling berpegangan keluar masuk gang, memegang kado dengan bungkus kertas emas, sementara lampu antrean mobil yang rutin menyoroti mereka. Mereka seperti berada di tempat yang asing, di pinggiran, tapi saya yakin mereka tidak terasing, karena yang kampungan itu me-mang selalu akrab dan selalu mesra ...

Majalah Djakarta!, Agustus 2001.

Konsumen Agung

Seleranya bagus. Pilihannya berkelas. Tapi nggak bikin apa-apa. Yang beginian banyak di Jakarta.

MUNGKIN dia bukan Anda. Berdiri di lobi Gedung Kesenian Jakarta dengan baju seperti mau ke pesta. Mungkin sebuah komposisi busana warna hitam, dengan scraf transparan yang dibentangkan menutup punggung terbuka. Menunggu suami, atau kekasih—atau kawan-kawan dengan selera yang sama, selera yang berkelas—untuk menonton sebuah resital piano, yang akan memainkan karya-karya Grieg dan Schubert. Ia berdiri di sana, memeriksa jam lewat arloji Cartier, menanti dengan resah dan gelisah, sembari menggigit bibir yang di-poles lipstik merah darah. Ia tak bisa lagi menunggu sambil membaca Che, atau buku Yoga Menuju Bahagia.

Musik klasik dan cap dagang ternama, keduanya menunjuk kepada sebuah kelas, dan kata kelas menunjukkan adanya la-pisan-lapisan kelas sosial dalam masyarakat, tempat di mana ia harus berada di tempat teratas. Menjadi orang terkaya di negeri ini mungkin ia tak sanggup, karena menjadi terkaya hanya bisa digeber melewati bisnis, dan tidak ada bisnis suk-ses tanpa kecurangan di negeri ini—yang mana bagi tokoh kita bukanlah sikap dan tindakan berkelas. Barangkali ia seorang karieris dengan gaji tinggi, yang bekerja di sebuah

34 | Affair

perusahaan asing, atau juga seorang ibu rumah tangga biasa saja, tapi yang suaminya lebih dari kaya, untuk membuatnya menjadi seorang Konsumen Agung.

Maka ia menyaksikan segenap suguhan Art Summit, men-dengarkan opera di mobil yang tidak usah Audi, dan tidak akan luput berpura-pura miskin nonton “art beneran” di Teater Utan Kayu. Semua itu akan memberi citra beradab dan berbudaya kepadanya. Lanjutan yang baik dari semua kon-sumsinya yang lain: ledeng emas dari Jakarta Design Center, mozaik transparan di dinding luas yang mengopi Guernica Picasso, kaus oblong Esprit untuk lari pagi, dan mungkin kumpulan puisi Twenty Love Poems and Song of Despair Pablo Neruda untuk menunggu jam penerbangan di bandara. Ia akan senang membaca baris: Tonight I can write the saddest lines—karena berpura-pura sedih adalah romantik, dan romantisisme adalah suatu gaya.

Itulah masalahnya: gaya. Setiap orang membutuhkan sebuah pose untuk dirinya sendiri. Pose yang kira-kira akan dilihat orang dan bagaimana pose itu tidak hanya akan memberi kesan yang baik, melainkan juga mengesankan. Semacam konstruksi citra diri yang agak ngotot, sehingga kejujuran hi-lang, dan kesan orang lain lebih penting ketimbang seleranya sendiri. Maka, sebetulnya ia melamun saja ketika mendengar lantunan Debussy, lha wong ia kagak kenal repertoir, dan mes-kipun ia sangat getol sarapan lontong sayur, ia memilihkan sarapan “gaya Amerika” untuk anak-anaknya, yang mungkin memang higienis tapi sungguh tawar tanpa rasa.

Setiap gaya personal adalah sahih, tetapi bagaimana jadinya kalau gaya personal itu disesuaikan dengan selera massa?

Seno Gumira Ajidarma | 35

Artinya gaya yang dikonsumsi dipilih yang tidak kodian, justru untuk membedakannya dengan selera massa. Dengan begitu para Konsumen Agung ini tidak melawan arus, melainkan berselancar di atas arus. Para Konsumen Agung harus me-nunjukkan dirinya lebih: lebih berbudaya, lebih berselera, dan lebih berkelas. Jadi, pilihan itu harus betul-betul sesuatu yang secara sosial sudah mapan alias established. Mengharukan juga menilik bagaimana semua itu dipelajari. Dari kursus table manner (mana sendok sop, mana pisau ikan) sampai kliping rubrik etiket di majalah-majalah.

Maka sungguh terlihat pancaran bangga jika membuka daf-tar menu di resto eksklusif, dan tampak betapa mengerti makna daftar itu, sementara yang lain mungkin tidak. Hmm. Berbahagialah mereka yang mampu menikmatinya dan mo-hon maaf untuk yang merasa tersiksa. Sudah terlalu sering saya melihat manusia Indonesia berkata: “Maaf saya sudah makan,” ketika terlihat stress tidak tahu cara memilih makan-an, padahal barangkali luar biasa lapar. Jangan khawatir, para Konsumen Agung tidak akan pernah terlihat jumawa. Mereka akan keluar dari Times dengan menenteng buku yang harga-nya melebihi gaji guru SD, membicarakan isinya berdasarkan kecap di sampul belakang, dan dengan sangat sopan tidak membicarakan harganya.

Persoalannya, setelah beruntung menikmati semua kelebihan, apa hasilnya? Apakah cultural profit yang diterima Konsumen Agung akan terkembalikan menjadi suatu kontribusi kepada masyarakatnya? Apakah dengan menjadi seorang Konsumen Agung, seseorang juga akan menjadi Produsen Agung?

36 | Affair

Para Konsumen Agung yang menjadikan Konsumsi Agung sebagai tujuan dan bukan sarana sebenarnya adalah orang-orang yang “kena kibul”. Itulah kibul-kibul konstruksi citra kemapanan: kemapanan peradaban, kemapanan intelektual, dan kemapanan kelas sosial. Padahal kemapanan yang sebe-narnya hanya bisa didapatkan dengan Produksi Agung, itu-pun kemapanan yang bersedia digoyang-goyang.

Mungkin dia bukan Anda. Tapi mungkin pula Anda. Konsumen Agung yang tenggelam dalam citra mengibul.

Majalah Djakarta!, September 2001.

Air Terjun di Dalam Rumah

Dengan membeli air terjun apakah manusia Jakarta menciptakan semesta dalam dirinya?

ADA sebuah cerita tentang Syuman Djaya (1934-1985), su-tradara film Indonesia yang kontroversial. Di dalam rumah-nya, Jalan Kotabumi No. 1 terdapat sebuah air terjun kecil yang berkericik. Konon setiap bangun, dan biasanya siang, ia menyempatkan diri duduk diam di depan air terjun itu, me-renung. “Memikirkan hal yang baik,” sebelum akhirnya teng-gelam dalam kontrak sosialnya di dunia yang fana. Saya lupa, kutipan itu saya ambil dari mana, tapi pastilah dari wawanca-ra di suatu majalah. Ternyata air terjun kecil itu terdapat juga di sebuah artikel:

Waktu diminta masuk, ternyata dia sedang merenung dekat dinding yang membersitkan air ke kolam kecil di bawahnya. Gemercik air bagaikan di alam bebas pegunungan. Ah, masih tetap romantis dia. (S.M. Ardan “Mengenang Seorang Sobat”, Sinema Indonesia No. 5—Juli 1986).

Itulah yang selalu saya ingat, apabila di abad XXI ini saya lihat orang menjual air terjun di pinggir jalan. Menjual air terjun. Saya kira istilah ini cukup surealistis, bayangkan: menjual air

38 | Affair

terjun! Tapi, hal ini rupanya sudah menjadi barang biasa di Jakarta. Air terjun dari berbagai jenis dan berbagai ukuran dijual begitu saja di tepi jalan, sama seperti menjual kacang rebus atau pisang goreng. Barang biasa, tapi tetap saja luar biasa. Manusia Jakarta ingin menelan semesta di dalam ke-palanya. Bagi saya, sensasi jual beli air terjun ini sama dengan sensasi pemindahan Taman Sriwedari dari kahyangan ke Maespati oleh Sukasrana.

“Berikan aku Taman Sriwedari,” kata Dewi Citrawati kepada Arjuna Sasrabahu. Maka sang raja memerintah Patih Suwanda alias Sumantri, dan kesatria rupawan itu pada gilirannya me-minta tolong kepada adiknya yang buruk rupa, si raksasa cebol Sukasrana. Hal itu memang terjadi, Taman Sriwedari di kah-yangan, tempat permukiman para dewa, pindah ke Maespati, lengkap dengan kolam, air terjun, dan burung-burungnya. Hanya Sukasrana yang sakit hati mampu memindahkannya, meski ia akhirnya terbunuh oleh panah Sumantri, yang tak se-ngaja terlepas ketika berusaha mengusirnya, karena Sumantri malu oleh wajah Sukasrana yang buruk rupa.

Namun bagi orang Jakarta, tidak diperlukan keajaiban untuk memindahkan air terjun, mereka cukup membayar suatu harga, dan pindahlah air terjun yang gemericik di bebatuan ke sebuah rumah dalam gang entah di mana. Di luar rumah, anak kecil berlari-lari, penjual otak-otak menggenjot sepeda, perempuan-perempuan berlilit mejeng dipotret Mat Kodak, dan di dalam rumah terdapat air terjun. Apakah manusia Jakarta mencoba memecahkan masalah ruang? Air terjun di pinggir jalan ini tidak dibeli orang kaya, karena orang kaya di Jakarta bisa membeli hutan, gunung, dan pulau. Air terjun

Seno Gumira Ajidarma | 39

di pinggir jalan itu dibeli warga Jakarta yang belum mampu membeli hutan, gunung, dan pulau. Mereka bekerja keras, merelakan dirinya diperkuda mekanisme Jakarta, dan kalau ada sedikit uang bisa disisihkan, mereka membeli air terjun.

Saya teringat taman Zen di rumah Jepang yang serba sempit. Tempat tidur mereka tergulung dalam lemari sejajar dinding, kamar mandinya cuma seukuran orang berdiri, dan ada taman Zen itu yang terkadang hanya berukuran 40 cm x 1 meter saja luasnya—dan katanya itu semesta, lengkap dengan pun-cak gunung dan awan mega-mega. Busyet. Bukankah usaha manusia itu sungguh luar biasa? Taman Zen, seperti juga Sjuman dengan air terjunnya, adalah sumber permenungan yang membuat seseorang jadi manusia. Perkara bahwa di luar rumah para perenung kembali menjadi manusia memble, barangkali ia meninju rekannya di parlemen, itu perkara lain.

Hakikat akuarium berisi ikan sebetulnya seperti itu. Seseorang berusaha melihat dan belajar dari sebuah dunia. Terkadang kita terkejut melihat seekor ikan memburu dan memangsa ikan lain, sampai tewas dan perutnya dhedhel dhuwel—tapi apakah manusia tidak melakukan hal yang sama? Dengan air terjun di rumah, manusia Jakarta bagaikan ingin merengkuh alam semesta ke dalam gua garbanya. Rumah-rumah sempit di dalam gang atau kompleks yang warganya tak saling bertutur sapa mengepam air terjun dalam dirinya. Seberapa jauhkah semua ini berpengaruh kepada kontrak-kontrak sosiokultural di luarnya?

Barangkali, air terjun yang sebenarnya, yang berada di gu-nung dan hutan, sudah bukan referensi yang kontekstual lagi di sini. Air terjun di dalam rumah adalah suatu karya baru,

40 | Affair

ketika manusia Jakarta yang terpaksa hidup berdesak-desak menerjemahkan alam dalam dirinya yang merindukan sesuatu, menjadi gemericik air yang membawanya ke suatu tahap kon-templatif. Menarik bagi saya, bahwa air terjun yang dijual di pinggir jalan itu merupakan suatu jalan masuk ke ruang dalam manusia Jakarta. Bukan sekadar masalah ruang yang sedang dihadapi di sini, melainkan kejiwaan—dan seterusnya ...

Majalah Djakarta!, Desember 2001.

“Buntil! Buntil! Buntilililililiililllllll!!!”

A Thought on the Soundscape of Jakarta.

DI depan rumah saya, setidaknya seminggu sekali, selalu lewat penjual buntil: parutan kelapa, teri, dan cabai yang dibungkus daun singkong atau daun pepaya, yang dimasaknya entah diapakan, lantas dibungkus lagi dengan daun pisang dan dikunci dengan lidi. Semuanya ekologis, kalau dibuang bisa larut ke dalam tanah. Sebetulnya, pedagang itu tidak hanya menjual buntil, tapi juga botok: adonan parutan kelapa, teri, petai cina; dan ayam panggang, masih ditambah sate usus dan hati ampela. Tetapi sambil menyunggi semua itu di atas ke-palanya, ia meneriakkan satu kata sambil berjalan berkeliling kompleks: “Buntil! Buntil! Buntilililililiililllllll!!!”—dan tentu saja saya hampir selalu membelinya.

Suara dan lagunya begitu khas (sayang tak mampu saya not balokkan), sehingga setiap kali suara itu terdengar, saya selalu teringat Otto Sidharta—pemusik kontemporer yang modalnya rekaman suara-suara. Saya berpendapat, jika Otto merekam suara itu dan memperdengarkannya kembali di Gedung Kesenian Jakarta tanpa harus diolah lagi, itu pun sudah merupakan musik yang dahsyat. Apa yang sehari-hari

42 | Affair

menjadi “seni”, hanya dengan memindahkannya dari jalanan ke gedung kesenian, dan memang begitu. Bukan karena ndob-hos (ngibul) dengan teori-teori selangit, tapi karena suara promosi buntil itu sungguh-sungguh unik—sehingga tak ha-rus minder dengan suara-suara kemapanan yang keluar dari kerongkongan penyanyi opera.

Merenungkan suara tukang buntil itu, membuat saya pasang telinga terhadap suara-suara peradaban yang lain: ternyata bukan hanya suara burung-burung dan kericik aliran sungai yang layak didengar dengan mata terpejam, melainkan juga suara kecrek tukang air, seruan tukang sayur, ungkapan malas tukang siomay (seperti tidak niat jualan), maupun suara-sua-ra lembut tukang asah pisau. Kalau kita kurang peduli, suara tukang-tukang ini hanya terposisikan sebagai suara burung yang tak pernah kita ketahui jenisnya apa. Namun mereka yang bekerja di rumah, atau menganggur karena PHK, akan bisa membedakan suara pembeli barang bekas, penjual abu gosok, tukang cukur keliling, tukang hamburger, tukang bak-so, dan tukang dawet ayu.

Saya pikir, perbendaharaan suara di Jakarta ini sungguh-sungguh dahsyat: itulah yang disebut soundscape—lingkung-an suara yang menjadi bagian kekayaan manusia yang mampu menikmatinya, sehingga bisa dibayangkan betapa miskin dan kering lingkungan suara yang hanya menyisakan dengung AC di apartemen-apartemen mewah. Saya pikir, kalau disusun sebuah rekaman yang dimaksudkan sebagai ensiklopedi su-ara-suara di Jakarta, pasti akan menjadi benda budaya yang berharga, karena konon perubahan zaman akan menggusur, mengubah, dan kemungkinan juga melenyapkan suara-suara itu.

Seno Gumira Ajidarma | 43

Dengan kata lain, suara-suara itu, untuk pura-pura objektif, ternyata bukanlah sekadar suara yang tersimpan sebagai energi dalam udara, melainkan sesuatu yang secara subjektif bisa sangat bermakna. Bukankah tukang es krim meminjam komposisi Beethoven yang disebut Lonely Lover Symphony? Ini bukan berarti Beethoven direndahkan, melainkan kreasi tukang buntil pun sama nilainya dengan komposisi kelas dunia: bahwa manusia menyampaikan sesuatu kepada dunia. Sehingga dunia ini cukup bermakna bagi manusia yang hidup di dalamnya.

Barangkali Anda tinggal di gang, tempat seribu satu penjual lewat setiap hari, tapi Anda tidak pernah memperhatikannya. Sungguh mati, sebenarnya Anda berada di sebuah tempat yang sungguh-sungguh berbudaya. Untuk menjadi manusia berbudaya Anda tidak harus nonton Art Summit, atau mem-budayakan diri dengan berziarah ke pusat-pusat kebudayaan, galeri-galeri, dan apalagi cuma restoran serta kafe, bukan ob-jek melainkan subjek yang menentukan: Anda bisa menerima suara-suara di depan gang sebagai konserto agung peradaban manusia.

Jadi, dengarlah: pasang telinga Anda bagaikan radar yang peka terhadap setiap gerak gelombang udara. Maka, Jakarta barangkali akan menjadi cukup berbeda. Kita akan jadi tahu betapa ngehe’ mereka yang menggeber mesin sepeda motor-nya seperti mau balapan, betapa mengganggunya memanas-kan mesin mobil tanpa perhitungan itu mengganggu atau ti-dak, dan sungguh terasa betapa banyak radio dan teve disetel tanpa ada perlunya. Kemudian, di balik itu semua, terdengar suara tokek, cicak, kucing menggeram-geram mau kawin, dan

44 | Affair

lolong anjing yang dikirim ke bulan. Angin lewat, dering HP yang macam-macam, dan suara tukang koran sepanjang gang.

Dengan memisah-misahkan suara dan mendengar salah sa-tunya, seseorang kembali kepada dirinya sendiri. Kesunyian, memang, tidak usah diburu ke gunung. Anda bisa melakukan meditasi di tengah kebisingan, dengan menciptakan ruang Anda sendiri, bukan dengan membangun tembok dan menu-tup telinga, melainkan dengan mendengar secara jernih. Pada saat itulah suara-suara hadir sebagai makna, dan lingkungan suara hadir sebagai suatu dunia.

“Buntill Buntil! Buntilililililiililllllll!!!”

Mengapa tidak? Pejamkan mata, dan dengarkan suara-suara Jakarta, saya kira Anda akan mendapatkan lebih banyak da-ripada saya.

Majalah Djakarta!, Maret 2002.

Jelangkung dan Penonton Jakarta

Remaja kelas menengah akhirnya melahirkan film mereka sendiri.

SEBUAH film adalah sebuah teks dengan konteks, dan ketika sebuah film menjadi kontekstual, misalnya bertahan lima bulan di bioskop-bioskop Jakarta seperti Jelangkung (Rizal Mantovani-Jose Poernomo, 2002), padahal dilemparkan ke pasar tanpa kiat promosi yang diajarkan teori pemasar-an (berbeda dari Petualangan Sherina dan Ada Apa Dengan Cinta?), sebuah jawaban harus dicari. Menjadi kontekstual artinya menjadi bermakna. Adapun bermakna maksudnya: gelombang penonton itu, yang keberlimpahannya luput dari prediksi produser ataupun pemilik bioskop, mencerminkan adanya kehendak penonton itu sendiri untuk membuat Jelangkung punya arti yang berhubungan dengan hidup, peng-alaman, kebutuhan, dan gagasan-gagasan mereka (Grossberg, 1992).

Pertama kali mungkin bisa diperbincangkan soal genre, atau jenis film, yang secara teoretis berada dalam genre film horor atau mistik. Pertanyaan yang segera muncul, apa bedanya Jelangkung dengan film-film seperti Sundel Bolong (Sisworo Gautama Putra, 1981), Malam Jumat Kliwon (Sisworo

46 | Affair

Gautama Putra, 1980), Wanita Jelmaan (Nyupang) (Sofyan Sharna, 1990)? Film Jelangkung berkisah tentang empat anak muda Jakarta yang ingin melacak keberadaan hantu-hantu, seperti yang selalu dihubungkan dengan tempat-tempat ter-tentu. Ternyata, sama seperti film-film pendahulunya, dalam film Jelangkung digambarkan bahwa hantu itu ada, bahkan menelan korban pula, yang membuat Ferry (satu dari empat anak muda di atas) membunuh Gita, pacarnya.

Dengan demikian, sebetulnya tidak terdapat lompatan para-digmatik dalam penalaran, untuk sebuah film yang diproduksi pada 2002, meski sikap kritis telah diperlihatkan dalam per-bincangan antar Ferry dan seorang kawannya. Dalam wacana filsafat, bahkan juga filsafat agama, faktor kehantuan dalam dunia manusia diterima sebagai makna dalam pengertiannya yang simbolik karena berada dalam tataran metafisis: tidak bisa dibuktikan ada, tidak pula bisa dibuktikan tidak ada—tapi bisa dipikirkan. Dengan begitu sahih juga difilmkan, sebagai imajinasi manusia. Dalam perbincangan itu, Ferry dipojokkan sebagai penganut empirisme, yang mensahihkan segala berdasarkan bukti-bukti konkret, seperti fakta dan data. Obsesi ini bagaikan pasang naik Empirisme Logis yang, mengikuti klaim Popper, sudah digugurkan oleh Rasionalisme Kritis.

Namun, membaca sebuah teks juga berarti membaca bagai-mana teks itu ditulis, dan dalam hal ini Jelangkung melaku-kan lompatan dibanding film-film mistik Indonesia yang berpretensi menghadirkan misteri secara meyakinkan—tapi tidak pernah berhasil. Perbedaan Jelangkung bukanlah bahwa penggambarannya menjadi lebih meyakinkan, meski dalam

Seno Gumira Ajidarma | 47

hal ini segenap spektakelnya berhasil menimbulkan efek menakutkan, melainkan justru kesantaiannya dalam menam-pilkan efek-efek itu. Terdengarnya musik seperti yang biasa tersiar sebagai klip-video, untuk adegan yang dimaksudkan seram, ternyata bukan saja tidak mengurangi keseramannya, tapi memberikan nuansa semangat muda dan ke-Jakarta-an yang merepresentasikan juga komunitas penontonnya, yakni remaja Jakarta.

Demikian pula dengan ekspresi rasa takut dalam adegan se-ram, sama sekali berbeda dengan stereotip ketakutan dalam film-film mistik: ketakutan di sini tampil lebih realistis—meski ada jeritan, tidak harus menjerit-jerit seperti mau mati, seperti ekspresi Gita yang diliatin Hantu Ngesot. Penonton tidak akan melihatnya sebagai tidak takut, tetapi sebagai eks-presi yang sangat khas: antara ketakutan dan kemanjaan dari warga kelas menengah Jakarta. Ciri etnografik inilah yang membalut Jelangkung: gaya bicara para pemain jelas tidak seperti sedang berperan, atau ‘main drama’ seperti film-film Indonesia, tetapi seperti ngomong sehari-hari dengan baha-sa Jakarta. Perbedaan ini juga akan membedakan penonton Jelangkung dari penonton kisah-kisah misteri sinetron. Jika yang pertama lebih cenderung main-main dengan idea hantu, yang kedua cenderung percaya betul dengan eksistensi hantu.

Bahwa kemudian para muda Jakarta memenuhi bioskop, dan menontonnya berkali-kali sambil menikmati rasa takut dalam kegembiraan-penghayatan bersama, mengingatkan kepada suatu teori dalam Kajian Budaya, bahwa mengonsum-si artinya juga memproduksi makna (Hall, 1985): penonton bukanlah objek pasif yang tergiring, melainkan subjek aktif

48 | Affair

yang memberi makna kepada tontonannya, sehingga tercer-minkan pula ideologi di baliknya—persetujuan dan peneri-maan penonton kepada Jelangkung adalah penolakan kepada misteri sinetron. Mereka yang di Jakarta ingin menunjukkan identitas ke-Jakarta-annya, membedakan diri dari komunitas ‘mistik kampung’ yang menjadi pendukung hidupnya kisah-kisah misteri di televisi itu.

Komunitas penonton Jelangkung dengan begitu boleh diang-gap sama dengan komunitas pembincang klip-video, sekali-gus juga komunitas back-packers yang suka berpetualang ala kadarnya dengan berkemah di alam bebas ke luar kota—tem-pat pertemuan dengan mitos hantu-hantu ini berlangsung. Ini juga berarti Jelangkung merupakan film komunitas, yakni komunitas para kaum muda kelas menengah Jakarta yang menikmati perbincangan tentang hantu, dengan penghayat-an takut tapi suka’, yang pada gilirannya melahirkan sineas mereka sendiri. Para penonton Jelangkung sebetulnya sedang menonton, menikmati, dan menghayati diri mereka, karena perbincangan dalam Jelangkung adalah perbincangan yang mereka lahirkan sendiri. Itulah artinya bahwa Jelangkung adalah film komunitas.

Majalah Djakarta!, April 2002.

Penyanyi Dangdut di Tepi Jalan

Kesenian yang tidak peduli kepada penderitaan adalah dekaden.

SETIAP kali pulang dari luar negeri, begitu meninggalkan bandara, saya harus segera keluar dari jalan tol menuju rumah saya—itulah selalu pertemuan saya kembali dengan Jakarta, dan Jakarta di pinggiran itu bukanlah Jakarta seperti yang se-lalu terdapat dalam ‘impian daerah’ tentang Jakarta. Apalagi kalau pulangnya malam.

Malam itu, masih dalam keadaan jet lag karena penerbangan panjang, saya dengar suara seorang penyanyi dangdut, diiringi gitar listrik dengan pengeras suara dalam kotak di boncengan sepeda. Saya mencari-cari suara itu, dan melihat seorang pe-rempuan bergoyang-goyang di kegelapan malam. Memang, itulah Jakarta kita, meski secara administratif termasuk Tangerang: jalan arteri tanpa lampu merah, alang-alang dan kubangan di antara dua jalan, gedung-gedung dengan dinding masih pecah, tak terurus semenjak kerusuhan Mei 1998—dan seorang penyanyi dangdut bergoyang sendirian.

Pemandangan seperti itu memberi saya perasaan yang rawan. Di manakah penontonnya? Mengapa penyanyi itu bergoyang sendirian? Hari sudah tengah malam. Di sekitarnya terdapat

50 | Affair

tukang-tukang ojek. Sepeda motor mereka berderet setengah lingkaran, dan di tengah malam seperti itu tidak ada obyekan bagi tukang ojek. Jadi, mereka duduk dan menonton penyanyi dangdut itu bergoyang-goyang sendirian. Ia hanya ditonton tukang-tukang ojek, tapi tukang-tukang ojek itu tampaknya tidak menganggap diri mereka sebagai penonton. Mereka duduk di atas sepeda motornya masing-masing dengan beku, tidak memberi uang, tidak bergoyang, tidak berbuat apa-apa: mereka pun loyo didera Jakarta.

Di pojok, saya sempat melihat teman penyanyi dangdut itu memetik gitar listrik, yang suaranya membahana di kegelapan malam. Dia memang bukan Gary Moore, tapi saya kira Gary Moore juga tidak akan mampu memetik gitar dengan cengkok dangdut seperti itu. Penyanyi itu memang bukan Krisdayanti, tetapi sejauh saya mampu menilai, usaha Krisdayanti untuk ‘pura-pura menyanyi dangdut’ untuk iklan McDonald’s, ia tak secanggih penyanyi di tepi jalan tersebut dalam melafazkan sengau lembut lewat hidungnya. Namun, mengapa dua ma-nusia yang istimewa itu bisa terlantar di pojok gelap tanpa penghargaan, bahkan juga oleh kawan-kawan sekelas pekerja di sekitarnya? Tak seorang produser rekaman meliriknya dan tak juga sebelah mata seorang kritikus akan mengabarkan kemampuannya.

Nasib memang tidak datang dari langit, nasib dibentuk oleh sistem, oleh konstruksi ketidakadilan yang dilahirkan oleh kuasa politik yang dominan. Para kritikus memang tidak kri-tis karena mata mereka dibutakan oleh estetisme yang tidak peduli kepada penderitaan. Keindahan menjadi ornamen yang lahir tanpa konteks. Asal dia memenuhi selera indahlah

Seno Gumira Ajidarma | 51

dia, menjadi seni-lah dia, walau dia hanyalah garis, warna, atau gerak tak jelas atas nama kesenian. Ibarat kata, ada mayat tergeletak, maka kepedulian para kritikus bukanlah penindasan yang dialami manusia yang telah menjadi mayat itu, melainkan apakah posisi tertelungkup mayat itu dramatis atau tidak, apakah ceceran darahnya sesuai dengan komposisi Golden Section atau tidak.

Para kritikus telah menjadi buta, dan lembaran kebudayaan di berbagai koran hanyalah berisi kebohongan, tapi Jakarta adalah teater yang terbuka. Pindahkan pandangan Anda dari pusat-pusat kesenian dan menyuruklah ke pojok jalan di malam yang kelam, dan akan Anda temukan kesenian dalam pengertian yang sebenarnya: kesenian sebagai bentuk perju-angan hidup, kesenian sebagai bentuk perlawanan, kesenian sebagai yang dilahirkan dari pergulatan konkret dengan kehi-dupan—bukan mahkota hiasan pemanis penampilan dalam kata-kata para social climbers, tempat para kritikus pasang omong serta ngibul dengan kalimat pinjaman.

Itulah yang melintas di kepala saya ketika melihat penyanyi dangdut yang bergoyang sendirian di kegelapan malam. Pasti ada yang salah dalam cara kita memandang kebudayaan, jika orang-orang di pinggiran tidak akan pernah tampak di mata, padahal berada di depan kita. Orang-orang di pinggiran itu sebenarnya mayoritas, dan para unggulan yang lolos seleksi sosial budaya untuk mengangkangi berbagai pusat kebudaya-an adalah minoritas, tapi bukankah legitimasi keindahan di-gantungkan kepada para pengendali kuasa? Para budayawan terpilih menentukan mana yang puncak, yang dengan satu cara boleh dianggap menentukan mana yang rendah: itulah

52 | Affair

legitimasi suatu pelecehan—cara berpikir seperti ini tidak akan pernah menemukan ekspresi penderitaan kelas bawah dan golongan tertindas di balik kegelapan malam.

Jakarta tumbuh dan berkembang dalam dinamikanya sendiri. Orang-orang Jakarta mengembangkan dirinya agar semakin beradab dan berbudaya, dan orang-orang Jakarta mengira bahwa dengan semangkin memahami kesenian, maka kua-litas mereka sebagai manusia berbudaya sudah bertambah. Bagi saya, tidak ada standar atau peringkat dalam kualitas kesenian, kecuali perang kuasa-kuasa—tapi, saya kira ada semacam moralitas yang sahih untuk melibatkan Anda dalam perbincangan: kesenian yang tidak peduli kepada penderitaan adalah dekaden.

Majalah Djakarta!, Mei 2002.

Sedia Sampan Sebelum Banjir

Jika banjir belum teratasi sampai 50 tahun mendatang, mengapa tidak membangun rumah panggung dan menyiapkan sampan?

SUDAH dialami bahwa setiap tahun Jakarta kebanjiran, dan diperkirakan setiap lima tahun Jakarta akan mengalami ban-jir besar. Dengan prestasi selama Indonesia merdeka dalam 57 tahun terakhir, yakinkah Anda bahwa dalam 50 tahun mendatang banjir ini akan teratasi?

Dalam hal penaklukan air, selalu disebut pencapaian Belanda yang negerinya lebih rendah dari laut, tapi berhasil memben-dung dan mengendalikan laut itu. Akan bisakah Indonesia, tepatnya Pemda DKI, mengikuti kemampuan bekas penjajah itu sekian abad lalu? Yakinkah Anda bahwa setidaknya 25 ta-hun mendatang sudah tidak ada lagi setetes air tak diundang di Jakarta tercinta?

Apakah hari ini, jam ini, detik ini misalnya, ada orang yang siang malam tidak tidur karena memikirkan cara mengatasi banjir itu? Yakinkah Anda bahwa orang itu ada, dan jika toh ada pun apakah dia mampu? Adakah seorang local genius

54 | Affair

yang mampu menaklukkan gangguan alam bernama banjir tersebut? Pertanyaan ini mungkin pesimistis, tapi jawaban-nya tetap saja bisa iya dan bisa tidak—sehingga kita belum mempunyai kepastian.

Yang menjadi masalah bagi saya, apakah air harus selalu ditaklukkan? Venezia yang terkenal dengan kanal-kanal dan gondola, membuktikan dirinya sebagai kota yang mengak-rabkan diri dengan air—tapi yang belakangan mendapat masalah, karena air tidak menjadi ramah lagi. Dalam laporan utama International Herald Tribune, 26 Maret 2002, disebut-kan betapa sebagian besar penduduk Venezia sudah pindah karena setiap tahun lantai paling bawah rumah mereka se-lalu kebanjiran. Permukaan air laut di kota asal Marco Polo itu sering meninggi, kadang-kadang dengan dampak cukup parah. Lapangan San Marco yang terkenal itu sudah menjadi langganan banjir.

Apakah ini berarti solusi Belanda yang membendung laut akan menjadi pilihan? Ternyata tidak. Direncanakan untuk mengeruk dasar laut dan membangun saluran air di bawah laut yang mengantisipasi meningginya permukaan air laut pada musim banjir. Artinya bahwa keunikan Kota Venezia akan dipertahankan. Mengakrabi air merupakan pilihan di-banding menaklukkannya.

Bagaimanakah pilihan Jakarta? Dengan terendamnya jalan tol ke bandara dan terowongan Dukuh Atas, sekadar contoh, bisa diduga bahwa pembangunannya tidak mempertimbangkan banjir, dan ini bisa ditafsirkan sebagai bukti bahwa air bukan saja tidak bisa ditaklukkan, melainkan juga memang tidak berusaha diakrabi. Mungkinkah orang Jakarta mengakrabi

Seno Gumira Ajidarma | 55

air (baca: banjir), sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari? Mungkinkah banjir tidak dianggap sebagai bencana alam, tapi sebagai bagian dari pergantian musim saja? Mungkinkah Jakarta menjadi kota yang siap menampung banjir sebagai bagian dari kecantikannya?

Saya teringat rumah-rumah terapung di tepi Mahakam, ru-mah-rumah panggung di Palembang dan Bulukumba, yang begitu tingginya, sehingga andaikan banjir tiba dan air me-ninggi, nyaris tidak ada masalah sama sekali karena orang bisa pergi ke mana pun dengan sampan. Di tempat sungai sebagai urat nadi kehidupan di Indonesia ini, pompa mesin telah dimodifikasi menjadi mesin tempel berbaling-baling, yang di Mahakam disebut ces atau ketinting. Seingat saya, di Pulau Tanjung Selor, seberang Tarakan, orang terbiasa ber-ganti-ganti kendaraan, dari mobil ke ketinting, karena setiap tahun air menggenangi pulau meski tidak sampai merendam mobil. Dengan kata lain, suatu cara hidup yang menyesuaikan diri dengan banjir adalah mungkin. Apalagi jika membendung dan mengendalikan banjir masih merupakan mimpi.

Tentu menjadi pertanyaan besar: mungkinkah orang Jakarta mengubah gaya hidupnya? Mungkinkah kaum yuppies berdasi berangkat ke kantor naik sampan bermesin tempel, atau pe-rahu motor kalau mau keren sedikit? Anak-anak orang kaya bisa ngebut dengan jetski, tapi apakah pemerintah siap mem-bangun RSS (rumah sangat sederhana) bagi kelas bawah yang berorientasi kena banjir—yakni rumah panggung? Dunia me-mang bisa berubah dan harus berubah, karena lantai terba-wah rumah susun misalnya harus dikosongkan, jika memang disiapkan untuk banjir yang pasti tiba.

56 | Affair

Maka bayangkanlah Jakarta yang berubah. Para yuppies lalu-lalang di atas sampan bermesin tempel, dan gedung-gedung bertingkat menyediakan dermaga tempat parkir sampan-sampan itu. Kompleks perumahan yang semua rumahnya adalah rumah panggung, dilengkapi dengan jalanan kayu di atas air seperti yang bisa ditemukan di berbagai perkampung-an orang Bajo atau Suku Laut, dan pasarnya tentu saja adalah juga pasar terapung seperti para pedagang di Banjarmasin. Tapi, karena Jakarta adalah kota metropolitan, kita boleh mempunyai imajinasi sendiri tentang bagaimana kota yang terapung itu bisa menjadi bercahaya.

Barangkali seperti omong kosong dan mimpi, tapi memang begitu. Pertanyaannya: adakah alternatif yang lebih baik? Betulkah tanpa rumah panggung warga bisa tetap tinggal di rumah ketika banjir?

Maafkan guyonan saya, namun siaplah mengikuti pepatah baru: sedia sampan sebelum banjir.

Majalah Djakarta!, Juni 2002.

Jakarta yang Lain

Jakarta yang semu adalah bagian dari realitas, tapi setiap orang mampu melahirkan Jakarta-nya sendiri.

BARANG siapa menyaksikan film ELIANA, eliana (Riri Riza, 2002), akan merasa seperti dibawa berputar-putar naik taksi keliling Jakarta—tapi tidak menemukan dunia yang gemer-lapan. “Saya ingin menampilkan Jakarta yang lain,” ujar sutradaranya dalam berbagai wawancara, “Jakarta di balik gedung-gedung yang megah.” Jakarta yang lain, itulah soal-nya, karena selama ini kita selalu mendapatkan Jakarta yang sama: Jakarta yang itu-itu saja. Jakarta yang selalu sama ada-lah Jakarta yang stereotip, dan segala sesuatu yang stereotip adalah semu, meski lebih bijak menerimanya sebagai bagian dari kenyataan itu sendiri. Tapi dunia yang semu adalah du-nia yang mengecoh, dan sekali hidup di dunia yang fana, kita tidak mau terkecoh.

Persoalannya, seberapa jauh kita bisa lari dari Jakarta yang semu? Seberapa jauh kita bisa terhindar dari kegemerlapan lampu-lampu, bayangan gedung-gedung, dan sukarela menca-ri gang-gang kumuh, atas nama ingin menggauli kenyataan? Saya mengenal seorang musisi yang sudah 20 tahun lebih

58 | Affair

mencari nafkah dari kehidupan malam Jakarta. Ia mampu memainkan semua instrumen, kalau perlu bahkan menyanyi, mampu membaca dan menulis partitur, dan dengan semua itu ia bisa bergabung dengan berbagai home band di hotel-hotel bintang lima. Sepintas lalu, kehidupannya gemerlapan. Namun jika kita ikuti ke mana ia pulang dengan kendaraan omprengan, jelaslah kehidupannya penuh kontras. Sembari menenteng saxophone dalam kotak, ia akan kembali ke rumahnya di pinggiran Jakarta, minta permisi kepada para pemuda yang berjongkok sambil main gitar di depan gang—kembali kepada sebuah rumah kontrakan yang tiap tahun harganya dinaikkan, dan kepada seorang istri dan dua anak dengan masa depan yang belum jelas. Bagi saya, dunia bin-tang lima dan dunia gang kumuh adalah dua sisi dari realitas sang musisi.

“Jadi, apakah ELIANA, eliana menggambarkan realitas?” Tanya sang penyiar RCTI. Baik saya maupun Riri Riza membe-ri jawaban yang persis sama: realitas itu macem-macem. Jika ELIANA, eliana menampilkan gambar serbasuram, seperti Jakarta mati listrik, itu tidak berarti dunia “asal terang” film-film televisi yang tidak bosan-bosannya menampilkan tokoh ayah dan ibu di sebuah rumah megah dengan tangga menuju sebuah balkon di dalam rumah itu hanyalah mimpi. Rumah-rumah megah, mobil-mobil mewah, wajah-wajah terindah, dalam konstruksi tertentu adalah impian yang menjadi nya-ta. Rumah-rumah itu ada, keluarga macam itu—kaya tapi bego—justru memang ada, dan orang-orang cakep itu juga kenyataan—sehingga yang jadi masalah bukanlah penggam-baran film televisi itu mimpi atau nyata (bukankah sering kita temui kenyataan seperti melodrama?), tapi apakah dunia ini

Seno Gumira Ajidarma | 59

isinya hanya itu? Apa iya Jakarta itu hanya berisi keluarga kaya dan manusia cakep yang kebodohan serta kecengengan-nya serba amit-amit?

Dengan demikian Jakarta yang lain menjadi sebuah gagas-an yang penting. Film ELIANA, eliana sebetulnya bahkan bercerita tentang “orang daerah”—dan siapakah yang tidak berasal-usul dari daerah di Jakarta ini? Tentu saja saya ti-dak sedang berbicara tentang film, tapi bagaimana Homo Jakartensis bisa memberi makna bagi hidupnya dengan me-lihat, mencari, dan menemukan Jakarta yang lain. Tak cukup menemukan, kita bisa mengadakan Jakarta yang lain itu. Para fotografer yang karya-karyanya dimuat dalam majalah Djakarta! misalnya, seperti bisa disaksikan dari rubrik Panca Indra, mampu melahirkan kembali Jakarta, menjadi sesuatu yang lain, karena cara pandang mereka yang baru. Di sudut-sudut Jakarta yang sama, mereka menemukan puisi, dan para pembaca bisa menghayati Jakarta sebagai dunia yang tidak selalu sama. Pelajaran pentingnya: Anda tidak harus menjadi fotografer untuk menemukan dunia yang seperti itu, Anda hanya perlu menerima dan memandang dunia dengan sikap dan semangat baru. Maka dunia yang sama akan menjadi ber-beda, dan akan Anda temukan Jakarta yang lain—yang akan membuat hidup tidak terlalu terasa sia-sia.

Majalah Djakarta!, Agustus 2002.

Konstruksi Duka

Banyak orang di Jakarta melayat dengan semangat mengisi absensi.

HIDUP ini seperti upacara. Bahkan jauh sebelum dilahirkan seseorang sudah terseret untuk melangsungkan suatu upaca-ra yang tak terhindarkan. Kelahiran dan kematian. Pertemuan dan perpisahan. Kebahagiaan dan perkabungan. Itulah ritus manusia. Semua ini pasti—meski tak pernah pasti kapan waktunya. Namun pada saat waktunya tiba, tercipta sebuah ruang, di mana makna mengada. Di tengah ruangan terda-pat jenazah, dan para pelayat tertunduk mengenang makna kehidupan almarhum atau almarhumah semasa hidupnya. Jenazah memang manusia yang sudah mati, tapi dengan menjadi mati ia tidak kehilangan makna hidup—kematian-nya menjadi bagian dari kehidupannya, rangkaian upacara yang dijalani manusia.

Maka, pada saat yang ditentukan, diberangkatkanlah jenazah itu ke kuburan—atau ke mana pun adat atau agama menga-turnya, dan apabila hal itu terjadi di Jakarta, besar kemung-kinan upacara ini memasuki atmosfer kemacetan. Di Jakarta, sangat sering jalanan menjadi bertambah macet dengan le-watnya konvoi para pelayat dalam upacara perkabungan atas meninggalnya seseorang. Kematian, ternyata, tidak bisa men-jadi milik si mati sendiri. Kematian menjadi sebuah peristiwa

62 | Affair

sosial. Duka tidak menjadi masalah pribadi. Duka menjelma sebagai upacara, dan karena itu duka kemudian jadi resmi. Tidak heran jika duka kemudian ternyata bisa struktural.

Jika seseorang meninggal adalah sangat masuk akal jika ke-luarga, handai tolan, dan orang-orang tercinta di sekitarnya menjadi sangat berduka. Sehingga sangat masuk akal juga jika orang-orang yang berduka ini tidak peduli dengan waktu, energi, dan biaya yang diberikannya bagi sebuah upacara per-kabungan yang semestinyalah diandaikan harus berlangsung khusyuk.

Namun kematian seseorang rupanya adalah juga kematian sebuah jaringan. Manusia yang paling soliter pun terikat oleh jaringan sosial tertentu dalam kehidupannya—bahkan orang gila di jalanan pun meski barangkali hidup dalam kepalanya sendiri, tetap menjadi bagian dari konstruksi sosial yang mengesahkan keberadaannya. Tak heran, jika dalam suatu ja-ringan sosial dengan suatu struktur dalam dirinya, duka pun hadir secara konstruktif.

Ini membuat konvoi menjadi panjang, karena terdiri dari orang-orang yang berduka beneran plus orang-orang yang ter-libat hanya dalam konteks kedukaan struktural. Orang mela-yat karena jabatan misalnya, dan hubungan-hubungan resmi lain, bukan karena kedukaan personal. Tidak berarti orang yang berhubungan dengan almarhum atau almarhumah ha-nya dalam konteks pekerjaan tak boleh berduka, karena toh hubungan profesional pun adalah hubungan antarmanusia, yang tak terhindarkan dari nuansa emosionalnya sendiri—melainkan karena sering terjadi orang melayat dengan se-mangat mengisi absensi. Bukanlah hubungan emosionalnya

Seno Gumira Ajidarma | 63

dengan si mati yang membuatnya seolah-olah berkabung, melainkan alasan-alasan seperti tidak enak dengan tetangga atau teman kantor lain yang melihatnya tidak melayat, tidak enak dengan adik atau kakak si mati, tidak enak karena kepala kantor mengawasi, dan lain sebagainya—yang ujung-ujung-nya memenuhi jalan.

Di lain pihak, wajib duka ini terkadang dihayati secara luar biasa serius dan fanatik, sehingga mengakibatkan drama di jalanan. Mereka yang berlayar di lautan kemacetan Jakarta akan mengalami bagaimana orang-orang bersepeda motor melambai-lambaikan bendera kuning kertas minyak dengan wajah garang, dan untuk sementara melakukan kudeta ke-kuasaan lalu lintas agar konvoi perkabungannya bisa lancar. Polisi pun biasanya toleran. Namun Homo Jakartensis bukan-lah jenis manusia yang selalu bisa toleran dengan duka dipak-sakan macam itu, sehingga sering terjadi konvoi perkabungan itu tetap saja ikut macet, jika tidak mengakibatkan kemacetan baru. Melihat semua ini, kadang saya berpikir: bagaimana duka bisa menjadi khusyuk? Saya pikir, untuk berduka pun perlu suasana. Itulah sebabnya di desa-desa kita sering meli-hat lokasi kuburan yang teatral dan artistik, terletak di kelu-asan tanah lapang dengan pohon kemboja dan beringin yang singup. Atau di gunung atau di gua atau di manalah—kalau perlu dengan nuansa mistis. Itu bukan servis bagi si mati, melainkan bagi yang ditinggalkan dan ingin selalu menghi-dupkannya dalam kenangan mereka.

Apakah masih mungkin berduka secara ideal di Jakarta? Yakni berduka yang tidak hanya sedih dan kehilangan, tapi kontemplatif dan penuh penghargaan kepada makna kehi-dupan manusia? Saya sering menyaksikan betapa kesibukan

64 | Affair

yang mengiringi kematian lebih berkisar kepada kepenting-an duniawi, seperti prestise keluarga sampai prestise korps dari profesi salah satu anggota keluarga, yang sering tidak ada hubungannya dengan gagasan-gagasan tentang akhirat yang diajarkan oleh berbagai agama. Jangan lagi kita bicara tentang kericuhan yang bisa ditinggalkan dalam pembagian warisan, yang sudah pasti tidak dinginkan orang yang pergi. Keridlaanmu menerima segala tiba—tulisan Chairil Anwar, memang memperlihatkan keanggunan manusia menghadapi maut. Tapi yang ditinggal itu suka lupa merenung—karena Jakarta memang terlalu sering tidak memberi kesempatan berduka secara khusyuk. Duka orang Jakarta adalah duka sambil lalu.

Majalah Djakarta!, September 2002.

Wacana Kasihan

Dijual: kelas sosial. Siapa mau beli?

BERITA kasihan ini saya baca di sebuah koran bisnis. Isinya menyangkut pengembangan usaha suatu kafe, yang berusaha membidik (ini istilah koran tersebut) 150 pengunjung setiap Selasa malam, dengan tema wine & cigar’s night (malam ang-gur dan cerutu), dengan iringan musik jazz.

Saya mulai merasa kasihan dengan kalimat berikut:

... peluncuran produk itu untuk mengantisipasi trend eksekutif dan warga Ibukota yang mulai menjadikan minuman anggur sebagai bagian penting gaya hidup mereka.

Uji coba produk itu sudah dilakukan pada Juli dan Agustus, dengan pertunjukan jazz yang menampilkan Syaharani dan Bubi Chen. Soal gaya hidup itu diulang lagi oleh seorang mu-sisi jazz:

... menikmati wine & cigar yang diiringi alunan musik jazz su-dah menjadi paduan yang cocok bagi para penggemar anggur di Jakarta.

Dengan tumbuhnya kelas menengah baru di Jakarta, maupun kota-kota besar lain, tumbuh pula suatu gaya hidup yang di-andaikan bisa menjadi representasi kelas yang dilahirkan oleh pertumbuhan ekonomi tersebut. Dengan istilah pertumbuhan

66 | Affair

ekonomi, jelas kelas ini ditumbuhkan oleh investasi modal asing maupun utang negara. Barangkali utang alias kredit me-rupakan kewajaran dalam kapitalisme pasar, karena menjadi kebutuhan ekonomis. Namun konstruksi ini sering berlaku terbalik: kebutuhan akan gaya hidup yang mentereng, sebagai representasi kisah sukses, menghasilkan utang berlimpah-limpah. Representasi artinya dia bukanlah materi itu sendiri, dia hanyalah tanda untuk menunjuk suatu nilai, yakni sukses. Namun representasi kemudian menjadi otonom, sukses atau tidak sukses, perusahaan belum menangguk profit dan ber-status utang, gaya hidup sudah harus sukses. Gaya hidup tidak mewakili kesuksesan lagi, karena gaya hidup adalah ideologi itu sendiri, sedangkan ideologi merupakan kesadaran palsu.

Citra seorang tauke yang berkaus singlet di pojok pasar pe-ngap, dengan keuntungan berlipat juta, bukanlah citra yang ideal—karena seluruh keuntungan mestilah dipersembahkan kepada gaya hidup, dan betapa pentingnya gaya hidup ini se-hingga mesti diberlangsungkan meski keuntungan Rp1,- pun belum tercapai. Tidak terlalu keliru jika dikatakan betapa kita hidup dalam era representasi. Artinya, identitas mereka yang sesungguhnya adalah kebalikannya: mereka yang sukses tidak perlu membuktikan apa-apa lagi, yang belum sukses sibuk merepresentasikan imaji yang kosong. Sudono Salim cukup menghibur diri dengan menyedot mie rebus di rumah, tapi para manajernya yang belum setahun menduduki jabatan itu membiasakan diri mampir di kafe sebelum tiba di rumah. Representasi menjadi penanda yang menunjukkan petanda sebaliknya.

Anggur adalah minuman canggih yang tidak dianjurkan mem-buat orang mabuk, tapi terlalu banyak yang tak tahu-menahu

Seno Gumira Ajidarma | 67

mengenai ratusan perbedaan rasa anggur itu, yang biasa dira-yakan para pencicip. Cerutu juga bukan sembarang tembakau dibakar, mengapresiasi cerutu artinya juga menghayati aroma yang bukan sekadar ngebul. Sedangkan musik jazz, jelas pada mulanya merupakan representasi pembebasan kulit hitam atas dominasi estetika kulit putih, tapi sebaliknya kini musik jazz merupakan legitimasi kemapanan suatu kelas. Inilah bentuk hegemoni ekonomi pasar kapitalis, di mana posisi IMF dan Bank Dunia menjadi jauh lebih penting ketimbang negara. Inilah masa di mana massa digerus untuk menjadi para konsumer, dan seluruh industri imajinatif, mulai dari periklanan, pemasaran, dan pengemasan melulu berjuang untuk ngibul dan menghasilkan profit.

Dampak situasi ini saya baca dalam suatu surat pembaca, yang mengeluh atas pelayanan suatu hotel, atas keduduk-annya sebagai pemegang kartu gold member yang dibelinya dari agen pemasaran. Sampai sekarang saya tidak mengerti, bagaimana manusia bisa berniat membeli keanggotaan suatu kelas sosial, hanya dengan membayar harga tertentu. Dalam kasus keluhan tersebut, saya cenderung menertawakan sang pembeli kartu, yang kena kibul agen pemasaran, karena se-mangatnya dalam membeli gaya. Tidur di hotel adalah suatu gaya, makan di hotel adalah suatu gaya, dan memegang kartu keanggotaan suatu kelas sosial tertentu juga suatu gaya—di-kiranya keanggotaan kelas sosial itu tidak merupakan suatu proses budaya. Sekali lagi representasi menjadi ideologi itu sendiri. Gaya hidup lebih penting dari hidup.

Terus terang, setiap kali penawaran macam itu sampai kepada saya, tanpa basa-basi telepon langsung saya taruh kembali.

68 | Affair

Beratus-ratus tawaran pernah mampir ke telinga, seolah-olah manusia berada di surga kalau memasuki kamar hotel ber-bintang, dan kelas sosialnya langsung jadi utama. Saya tahu sikap kritis saya sudah klise, tapi nyatanya tetap saja saya mau muntah. Hueeeekkk!!

Kita boleh kasihan kepada manusia pengabdi gaya, tapi ja-ngan lupa, bagi mereka itu sangat bermakna. Artinya: bahagia dalam menjalaninya. Alias: menderita kalau tak mencapainya. Terpulang kepada para guru SD sekarang, bagaimana akan mendidik murid-muridnya, ketika segenap konstruksi kibul-kibul di televisi lebih menjadi panutan ketimbang segala pel-ajaran tentang dunia.

Majalah Djakarta!, November 2002.

Agenda

Di sebuah kota seperti Jakarta, perhatikanlah agenda hidup Anda.

SEBUAH pesan SMS masuk ke telepon genggam saya: seorang kawan terkapar di rumah sakit karena kanker di lambungnya. Pesan itu diawali dengan kata mengabarkan—jadi, ingin mem-beri tahu, bahwa seorang kawan sakit, dan barangkali usianya tinggal beberapa hari. Maksudnya tentu agar saya menengok-nya, tapi pesan itu memang tidak menganjurkan, menyuruh, apalagi menugaskan. Pesan itu hanya mengabarkan, sehingga tergantung kepada putusan etis saya, apakah saya merasa wajib berangkat menengok atau tidak—dan betapa baru saya sadari makna dari kata kabar itu sekarang.

Terus terang, pemberitahuan itu adalah yang kedua bagi saya, dan saya was-was juga bahwa saya tidak akan sempat menengoknya. Meskipun begitu saya juga bertanya-tanya kepada diri saya sendiri, benarkah saya ingin menengoknya? Kepada diri saya sendiri, tega-teganya saya memberi alasan, bahwa kawan saya itu tidak mendapat prioritas waktu, tetapi barangkali ini bukan alasan yang tepat. Kalau mau, saya akan mampu meluncur dari rumah, langsung ke kamar kawan itu. Kenapa hal itu tidak saya lakukan? Apakah karena saya termasuk orang yang tidak peduli kepada penderitaan orang lain, ataukah karena hubungan saya dengan orang itu mem-buat saya tidak punya alasan kuat untuk berangkat?

70 | Affair

Dalam film Frankie and Johnny (Garry Marshall, 1991) yang sangat manusiawi, diperlihatkan tokoh Johnny yang dimain-kan Al Pacino datang melayat atas kematian seseorang yang belum dikenalnya. Orang-orang heran, dan apa jawabannya? “Kita tidak perlu mengenal seseorang untuk ikut berduka atas kematiannya—itu disebut empati,” katanya. Di Jakarta, saya kira, empati adalah bagian tersisa yang masih bisa kita selamatkan, karena adalah empati yang menurut saya meng-galang solidaritas antarmanusia, sehingga kita sadar untuk tidak dikibuli Orde Baru, yang meng-orang-lain-kan kaum ko-munis dan keluarganya, membuat kita ikut merogoh kantong demi nasi bungkus untuk mendukung para mahasiswa dalam demonstrasi yang menggulingkan Soeharto, membuat kita ikut marah, prihatin, sekaligus jijik kepada ulah terorisme yang mengorbankan nyawa ratusan tamu kita di Bali. Empati mengatasi koneksi. Kita tidak perlu mengenal seseorang un-tuk ikut merasakan penderitaannya.

Waktu di Jakarta memang kejam, waktu di Jakarta sangat sering tidak memberi ruang, bahkan sekadar untuk bertemu teman, dan akibatnya pertemanan itu sangat mungkin terko-rupsi—kita menjadi jauh, kurang mengenalnya, dan akibat-nya seperti yang saya alami: saya masih harus berpikir tentang kabar mengenai orang yang sakit itu, siapakah dia dan apakah hubungannya dengan saya yang membuat saya harus mene-ngoknya? Menyedihkan kemudian untuk berpikir: di Jakarta ini, siapakah kawan seseorang di Jakarta? Dalam berbagai penengokan orang sakit, saya sering melihat handai tolan si sakit memenuhi ruang, meski si sakit tidak pernah akrab lagi dengan mereka. Mereka datang karena kebetulan dalam hidup ini jadi keluarga, si sakit kemudian jadi orang terasing di tengah kerumunan sosok-sosok yang tidak diakrabinya.

Seno Gumira Ajidarma | 71

Kemudian saya berpikir, memang ada orang sakit yang sangat butuh didampingi, karena sudah tidak bisa apa-apa, tapi ada juga saya kira orang sakit yang lebih suka menyendiri. Hubungan yang hanya terbina karena kepentingan, seperti yang terbangun di Jakarta, cenderung membuat seseorang kurang menjadi dirinya sendiri. Seseorang terpaksa melakukan hal-hal yang ti-dak disukainya jika berhadapan dengan orang lain, ataukah itu membiarkan diri tertindas, atau terpaksa menindas, sehingga menyendiri untuk bertemu dengan dirinya sendiri, sebagai diri-nya sendiri, merupakan privacy yang bisa dimaklumi. Lagi pula, sekali-kalinya menjadi diri sendiri, tanpa atribut sosial, tapi ter-kapar dalam keadaan malang, hanya memiliki tubuh yang rapuh, di mana semua orang melihatnya tak berdaya, saya kira bisa saja membuat seseorang bukannya butuh ditengok, melainkan betul-betul ingin sendiri, berjuang menguatkan diri sendiri. Akan ka-sihan baginya untuk masih harus berbasa-basi, apalagi melayani penengokan yang juga basa-basi. Waktu seseorang menjelang kematian terlalu berharga untuk itu bukan?

Jadi, bisa saja saya beranggapan, dengan menulis catatan se-perti ini, meski tidak akan sempat menengoknya, saya telah membuat keterkaparannya bermakna lebih daripada sekadar menengoknya, yang toh tidak akan terlalu berarti bagi kawan saya itu. Situasi ini menyadarkan saya kepada berbagai ke-putusan etis yang harus kita buat dalam hidup. Demikianlah hidup kita ter-berhingga-kan oleh waktu, bukanlah waktu yang membatasi kita, tetapi seberapa jauh waktu hidup yang kita punyai telah kita hidupkan sampai kepada totalitas ke-berhinggaannya. Dalam apresiasi kepada waktu itulah, kita harus membuat pilihan-pilihan etis, di sebuah kota yang sa-ngat menguras waktu seperti di Jakarta.

72 | Affair

Semakin tambah umur saya, semakin saya pikirkan apakah sisa waktu yang saya miliki masih cukup, untuk member-langsungkan segala sesuatu yang saya pikir harus saya laku-kan—untuk diri saya atau orang lain. Hidup ternyata sebuah agenda.

Majalah Djakarta!, Desember 2002.

Bunga, atawa Jakarta Romantis

Bahkan bunga mengenal kelas sosial. Bagaimana dengan cinta?

“TEMPAT terindah bagi bunga adalah di pohonnya,” ujar se-orang perempuan yang juga terindah. Tapi, pasti Anda juga sudah tahu, belakangan ini di sejumlah perempatan jalan, seperti di Blok M misalnya, muncul para penjual bunga-bunga yang dicabut dari pohonnya. Ada kanak-kanak, anak-anak remaja, bahkan seorang ibu muda, tapi tidak pernah bapak-bapak. Ya, mereka menjual bunga, bunga merah biasanya, dibungkus plastik, dengan tangkai panjang, seperti siap di-persembahkan kepada seseorang. Pasti saya bukan wartawan yang baik, karena tidak pernah membuka jendela mobil dan bertanya, “Bunga-bunga itu dijual dengan maksud apa?”—kemudian, tentunya saya bisa melacak, dari mana datangnya bunga-bunga itu, bagaimana mengelola pemasarannya, dan yang terpenting: gagasan apa yang ada di balik penjualan bu-nga-bunga itu?

Bunga yang dijual sebagai “setangkai bunga” itu (bukan seber-kas atau sehimpun bunga) tentunya tidak akan dibeli oleh se-seorang untuk dirinya sendiri, misalnya saja untuk ditanam, lha wong tidak ada akarnya, haha! Bunga itu dibeli tampaknya

74 | Affair

untuk dipersembahkan kepada seseorang, semacam pacarlah begitu. Biasanya yang membeli itu laki-laki, dan dipersem-bahkan kepada seorang perempuan. Segera terbayang seo-rang pemuda yang berpakaian rapi mengetuk pintu, seorang perempuan muncul dari balik pintu itu, dan sang pemuda segera memberikan bunga yang dibelinya di perempatan jalan itu dari balik punggungnya, tentu dengan senyuman harap-harap cemas.

Persoalannya, seberapa ampuhkah jurus bunga ini mampu memikat hati seorang perempuan? Bukankah bisa saja pe-rempuan yang menerima bunga tersebut bertanya dengan jujur, “Lho, ini maksudnya apa?”. Masih untung perempuan itu tidak berkomentar, “O, yang seperti di film-film itu! Apa maksudnya kamu cinta ya?” Itu memang perkara yang bisa lucu. Bahasa bunga untuk menyatakan cinta itu cara mana? Mau dibuka kitab adat istiadat dari Sabang sampai Merauke, tentu tidak akan ketemu rumusan: jika dikau mencintai se-orang perempuan, dan berharap perempuan itu mencintai kamu juga, berikanlah setangkai bunga sambil tersenyum dan agak membungkukkan badan, tepat setelah perempuan itu membuka pintu. Tidak ada. Sekalinya ketemu sesuatu tentang bunga, bagi orang Jawa ternyata bunga mawar cocok untuk disebar di kuburan.

Bunga-bunga itu muncul di jalanan pada akhir pekan (“Weekend”, kata Homo Jakartensis) dan tentu saja setelah hari mulai malam. Maksudnya mungkin mencegat orang berangkat apel (apakah zaman sekarang masih ada—yakni ngobrol di ruang tamu orang tua si pacar?), atau menjemput pacar untuk pergi ke suatu tempat entah ke mana. Jadi, meski

Seno Gumira Ajidarma | 75

tanpa investigasi, mungkin saya tidak terlalu keliru, bunga itu dijual agar dimanfaatkan sebagai pernyataan cinta. Bahwa da-lam adat istiadat Nusantara tradisi itu tak pernah ada, bukan-lah masalah besar, karena “adat istiadat” sekarang bersumber dari media massa. Memberikan bunga untuk pacar bukanlah sesuatu yang tidak dikenal. Minimal hampir selalu terlihat dalam film, juga yang diputar TV—bukan cuma film bikinan Hollywood, juga film-film India. Ada indikasi kuat pemberian bunga kepada pacar ini sudah menjadi gejala, buktinya sang pedagang yang jeli membaca gelagat, berani mempertaruhkan modal dengan menjualnya: ia percaya Homo Jakartensis itu romantis.

Di tengah krisis tak habis-habis, pemandangan orang menjual bunga-bunga cinta ini melegakan dan menyenangkan. Orang masih berani mencintai dengan terang-terangan, dan alang-kah hebatnya ia jika terbayangkan bahwa pada saat yang sama ia siap ditolak. Tentu saja, memangnya hati boleh dibeli de-ngan bunga? Tapi, bagi yang beranggapan bahwa cinta berarti memberi dan hanya memberi saja, ditolak atau tidak ditolak sama saja artinya bukan? Katanya mencintai saja sudah me-rupakan sesuatu yang membahagiakan. Atau saya keliru?

Begitulah, bahkan ketika hari telah menjadi larut malam, masih saja anak-anak itu mengacungkan bunga ke kaca-kaca jendela, seperti menawarkan untuk mencintai seseorang. Mungkinkah mereka tahu banyak orang sudah kehilangan cinta? Saya tidak membayangkan anak-anak muda dengan rambut dicat dan celana belel pura-pura jebol dengan musik di mobilnya berdebum-debum yang akan membelinya. Saya bayangkan orang yang ingin membelinya bahkan banyak juga

76 | Affair

yang cukup malu—tapi tentu ada yang cukup demonstratif dengan langsung mempersembahkan kepada pacar di sebe-lahnya. Rupa-rupanya, Homo Jakartensis mulai belajar baha-sa bunga, yang sebelumnya hanya berarti bunga bank.

Namun sementara itu terbayang juga bahwa bunga itu tidak dijual di dalam bus kota, tidak juga di kereta api Jabotabek, dan pasti tidak dititipkan di warung Tegal. Tidak terbayang-kan oleh saya ada seorang pemuda turun dari bus kota, berja-lan menyusuri gang kumuh dengan comberan beraroma khas, sembari susah payah menjaga agar bunga itu tidak tertekuk-tekuk. Tidak terbayangkan oleh saya.

Bunga itu ternyata berpihak. Apakah cinta juga harus berpi-hak?

Shalom.

Majalah Djakarta!, Maret 2003.

Pembokat

Memudarnya Ndoro-ndoro, dan memudarnya Mbok-mbok.

INILAH yang selalu terjadi di rumah itu: begitu majikannya pergi, para pembokat berpesta. Mereka memasang kaset, menyetelnya, dengan suara yang tidak kira-kira kerasnya. Adapun maknanya seperti berkata: “Dengar, dengarlah lagu-lagu selera kami yang tidak ketinggalan zaman.” Tentu saja. Apa salahnya? Para pembokat juga manusia, dan setiap ma-nusia mempunyai hak untuk bergaya. Apakah gaya itu enak dilihat atau tidak adalah soal lain, yang penting mereka tentu melihat dirinya sendiri dalam pose yang bisa-bisa saja patut dibanggakan. Mereka datang dari desa bukan tanpa cita-cita. Semua orang ingin meraih sesuatu yang bisa disebut kemaju-an bukan?

Maka bukan saja mereka akan menirukan lagu-lagu itu de-ngan penuh perasaan, seolah-olah mereka sendirilah yang patah hati ditinggal kekasih, dan butuh cinta sampai mampus lebih dari membutuhkan nasi; tapi juga berbahasa Indonesia kepada majikan, sebagai ganti bahasa daerah asal, meskipun majikan mereka berasal dari daerah yang sama, bahkan juga berbahasa Indonesia kepada sesama pembokat di sekitarnya. Bahasa Indonesia tentu maksudnya bukan bahasa Indonesia seperti yang digunakan bapak-bapak cendekiawan yang

78 | Affair

kebanyakan omong di televisi, melainkan bahasa Indonesia penyiar radio dan presenter ABG di televisi yang lumayan kacau balau walau barangkali dianggap resmi bergengsi, ber-gaya, en bergaul.

Gaul memang adalah segala-galanya bagi para pembokat muda (masih adakah mereka yang dipanggil “Mbookkk!”?). Apabila sore hari tiba, bersama anak majikan yang masih kecil-kecil, dengan alasan jalan-jalan, para pembokat akan keluar dengan dandanan sempurna, tentu saja karena mereka itulah yang ingin jalan-jalan, menikmati status sebagai “orang yang be-kerja di kota” yang tentu dianggapnya lebih baik dari sanak kerabat mereka yang pada jam yang sama masih memandikan kerbau atau bekerja di ladang, tentu orang lain punya.

Sering kali dandanan ini sangat mengagetkan karena tak kalah berani dengan artis dan entah siapa saja yang dilihat di televisi. Di luar rumah para pembokat menggandeng anak majikan yang kecil-kecil dan manis-manis seolah mereka adalah kakaknya, dengan selop berhak tinggi dan berbaju tali, pantaslah nyonya majikan sering sewot kalau kebetulan saja tuan majikan “tak sengaja” ngapain kepada para pembokat muda.

Kekuasaan yang cuma secuil bukan hanya membuat anak majikan remaja, tapi juga tuan majikan terjerumus dalam program penghamilan pembokat yang baju talinya melambai-lambai minta dibuka karena memang bisa menaikkan status. Pembokat adalah pembokat, dan majikan adalah majikan, tapi kisah tentang pembokat yang lantas jadi istri kedua bukan barang langka, yang tentu lebih adil dan manusiawi ketim-bang mengembalikannya ke desa bersama calon bayi dalam

Seno Gumira Ajidarma | 79

perutnya, yang masih sangat amat sering terjadi sejak zaman dahulu kala. Yang jelas harmoni kemapanan antarkelas tetap terguncang karenanya, menciptakan “sinetron” alias rangkai-an gosip yang naik turun keliling dunia di dalam kompleks antara pembokat-pembokat lain dan ibu-ibu rumah tangga yang bergosip dari pagar ke pagar.

Perhatikanlah juga betapa sebutan ndoro kakung dan ndoro putri mulai hilang, karena majikannya yang bukan lagi de-mang atawa tumenggung melainkan yuppies tentu risih juga dipanggil seperti itu, bahkan tuan dan nyonya dan sinyo pun seperti tak lagi berlaku karena takut dikira sedang main sandiwara padahal memang sandiwara hegemoni kelaslah namanya jika pembokat suka. Tapi biasanya sang pembokat yang berinisiatif memanggil bapak dan ibu karena tak sudi berndoro-ndoro ria. Tersadarlah kiranya betapa demokratis bahasa Indonesia, yang para pembicaranya berhadapan da-lam, setidaknya, posisi kebahasaan yang setara. Tersadarlah lagi-lagi feodalisme terbuka bahasa Jawa, yang tidak me-mungkinkan pembokat bicara ngoko kepada penghuni rumah tempat dia bekerja, kecuali boleh dianggap kurang-ajar; dan sebaliknya tak memungkinkan majikan bicara kromo inggil kepada pembantunya kecuali ingin dianggap berambisi mem-balikkan dunia, karena memang hanya mungkin dilakukan Basiyo sang pelawak genius Yogyakarta yang suka mengejek kemapanan dunia.

Tak lebih dan tak kurang adalah perubahan zaman yang mem-buat semuanya sungguh berbeda. Apa yang disebut zaman adalah representasi media yang menyampaikan segala sesua-tu dari berbagai ujung dunia, sehingga di desa maupun di kota semua orang berubah betapa pun kacau balaunya proses per-ubahan itu, Suatu proses yang akan terus-menerus berproses,

80 | Affair

karena kebudayaan memang merupakan situs perjuangan ideologis di mana kelas yang terbawahkan akan selalu dan se-lalu melawan, menegosiasi, atau terhegemoni nilai kelas yang dominan: sehingga bisa terjadi mereka bukannya ingin punya identitas sendiri, melainkan ingin punya identitas seperti majikannya, meski tetap sudi menjadi pembokat. Atas nama proses semacam itulah para pembokat masa kini lebih ber-gaya ketimbang pembokat zaman simbok-simbok. Melawan, menegosiasi, dan terhegemoni itu sendiri tidak selalu, bahkan lebih sering, tidak merupakan pilihan yang sadar. Ada suatu konstruksi yang membentuk formasi-formasi diskursif itu.

Majalah Djakarta!, April 2003.

Hiburan Adalah Panglima

Hiburan bukan lagi selingan, hiburan telah jadi tujuan.

APABILA Anda pergi ke Yogyakarta, pada malam hari pergilah ke Alun-alun Utara atau boleh juga Alun-alun Selatan, maka Anda akan temukan lentera berkelap-kelip dalam kerema-ngan, dari warung-warung penjual wedang ronde yang meng-gelar tikar di kaki lima, dan kita lihat orang-orang yang dari bahasa tubuh, ritme percakapan, dan barangkali juga tema dialognya, terlihat sangat menikmati suasana itu, dan tampak sama sekali tidak seperti dikejar waktu. Lesehan itu bisa ber-tahan sampai pukul 04.00 pagi. Orang-orang bercakap ngalor-ngidul dengan ronde, kopi, atau supermi dihadapannya, de-ngan becak-becak yang sudi menanti dan bersedia mengantar Anda ke mana pun Anda menginginkannya. Sesekali datang pengamen yang barangkali mahasiswa ISI, yang tentu akan dibayar terlalu murah atas repertoar mereka yang canggih.

Cara suasana itu dinikmati, dengan cara yang sungguh mat-matan, membuat saya berpikir bahwa klangenan atawa hiburan semacam ini, agaknya bukanlah sekadar suatu se-lingan, melainkan telah menjadi tujuan: bagaimana caranya kita hidup agar tidak bekerja, atau bekerja sesedikit mungkin dan bersenang-senang sesering-seringnya. Untuk sebuah

82 | Affair

kota kasur tua seperti Yogyakarta, makin apek makin enak untuk tidur siang, di mana falsafah semacam alon-alon waton kelakon dihayati dengan intensitas yang tinggi, lentik gagasan semacam ini tidak mengherankan—meski dibayangi oleh bias stereotip tentang orang Jawa, yang sering kali memang tidak benar adanya. Tentu saja saya akan lega, jika ternyata orang Jawa telah menjadi begitu workaholicnya, sehingga lupa ma-kan dan tidur jika sedang bekerja.

Namun gagasan tentang hiburan sebagai tujuan ini ternyata saya lihat juga di Jakarta. Di kota yang hampir selalu berubah ini, orang-orang memang bekerja keras, bukan demi kesejahte-raan umat manusia seperti diajarkan guru SD kita, melainkan untuk dirinya sendiri dong: bagaimana caranya mempunyai cukup uang supaya bisa menenggak bir plethok tiap malam di Kemang. Ideologi ini menembus segenap strata sosial, tak ada Kemang, televisi butut di rumah pun jadi—hiburan telah menjadi industri yang ditumbuhkan oleh ideologi hiburan se-bagai panglima. Bahkan informasi pun harus dikemas sebagai infotaintment bukan? Mungkinkah suatu hari seorang sarjana mempertahankan tesis sambil membawa DJ?

Menjamurnya stasiun TV sering dihubungkan dengan refor-masi politik, keterbukaan informasi, dan pengembangan de-mokratisasi—namun coba-cobalah kalkulasi dan bandingkan antara waktu dan energi yang diberikan antara informasi dan hiburan, maka akan Anda temukan betapa TV kita nan maju ini sangat ngedhen dalam penggalangan hiburan. Tak cukup tari dan nyanyi, lawak dan film, tapi bahkan acara yang pura-pura berat seperti debat dan diskusi dijaga dan dikemas agar tetap tampil menghibur. Presenter tak perlu terlalu pintar,

Seno Gumira Ajidarma | 83

yang penting bisa tampil pura-pura serius, dengan selingan lagi-lagi hiburan, seolah-olah berpikir itu pasti membosan-kan. Termasuk dalam kategori pura-pura serius ini adalah quiz, yang lebih tepat untuk mengukur keberuntungan seseo-rang ketimbang kecerdasan atawa keluasan pengetahuannya.

Milik siapakah mentalitas klangenan ini? Jika generasi tua yang suka berpura-pura filosofis memanjakan diri dengan da-lang-dalang yang seperti ingin menyaingi pelawak, generasi muda memiliki MTV yang 24 jam—saya sering dengan rasa prihatin melihat manusia segala rupa terbengong-bengong di depan TV seperti tidak punya pekerjaan. Adakalanya memang sihir TV ini memukau, sehingga mungkin saja seseorang rela melupakan sejenak pekerjaannya, tapi sering kali karena Homo Jakartensis yang terhormat memang tidak punya dan tidak tahu mau mengerjakan apa. Mendengar kritik ini-itu terhadap TV, seseorang berusia pensiunan berkata kepada saya, “Buat saya sih untung ada TV, sebagai hiburan dia murah dan dari sana kita bisa mengetahui banyak hal,” Tentu saja ini bagus. Tapi bagaimana kalau yang belum pensiun, bahkan baru mulai mengenal dunia, mendapatkan pengetahuan dan hiburan hanya dan sekali lagi hanya bersumber dari TV—dan itu hanya TV di Indonesia?

Saya jadi maklum dengan gagasan nausea atau kemualan da-lam filsafat eksistensialis Prancis, khususnya Sartre: apakah kita akan hidup hanya untuk mengarungi keberulangan-keberulangan yang tidak bermakna? Kalau Anda tidak tahan mendengar Beethoven dua kali saja, apakah itu berarti kita sahih menelan lagu-lagu atau iklan yang sama dua juta kali saja? Kalau saya bicara tentang penindasan hiburan dalam

84 | Affair

kehidupan sehari-hari kita, saya tidak sedang bicara tentang TV, tapi tentang ideologi hiburan sebagai panglima yang telah merasuki dunia kita, di mana dua hari liburan akhir pekan telah menjadi jauh lebih penting ketimbang lima hari kerja di depannya. Kegembiraan kerja hanya bermakna karena imbal-an hiburan yang bisa didapatkannya. Hiburan macam apakah itu? Tentu saja hiburan seringan-ringannya. Akibatnya, jenis hiburan yang berkembang adalah jenis hiburan yang hanya bisa memberi keuntungan, karena memenuhi kebutuhan ba-nyak orang atas hiburan yang jangan sampai memberi beban. Itulah kibul yang disebutkan sebagai peradaban.

Majalah Djakarta!, Mei 2003.

Jakarta Tidak Gemerlapan

Kegemerlapan Jakarta adalah cermin kepahitan yang gagal diredamnya.

BARANGKALI sudah waktunya menyadari, Jakarta bukan-lah kota gemerlapan seperti yang ditampilkan oleh kemasan media massa. Segitiga Emas hanyalah suatu kaveling terba-tas, sisanya adalah keremangan yang sia-sia berusaha mem-pertahankan mimpi dengan kegemerlapan semu. Kafe-kafe memang tertata dengan nyaman, dengan nama makanan yang susah diucapkan dan gaya para pemakan yang menguji coba table manner ajaran majalah-majalah gaya hidup, tetapi gang-gang di belakangnya tidak menyembunyikan bau got yang mampet, dan nasib orang-orang di sekitarnya yang juga mampet. Para ekonom sering berkata betapa krisis sudah lewat, tapi itu hanya perhitungan angka. Secara konkret me-reka tidak menyaksikan anak-anak berak di atas comberan di depan pintu rumah mereka, tidak menyaksikan para pemu-da bertato menjadi preman di pojok jalan karena tidak ada pilihan, dan meski tangan orang-orang mengemis di jendela mobil mereka, bukankah waktu lebih baik digunakan untuk menganalisis dampak konflik Aceh terhadap perilaku bisnis?

Jakarta tidak gemerlapan, Jakarta itu kelam, dan semakin kelam karena terlalu sedikit di antara mereka yang survive

86 | Affair

mencoba berbuat sesuatu untuk lingkungan yang semakin tenggelam dalam kemiskinan berkepanjangan. Masuklah bus kota dan perhatikanlah wajah-wajah lesu darah dan kurang zat asam yang kelelahan. Tentu mereka adalah para pejuang, tapi jangan lagi menipu diri dengan mengira Jakarta kota gemerlapan, yang harus dihidupkan dengan gaya yang juga harus gemerlap tiada ketulungan. Turunlah Anda dari BMW Anda dan berjalanlah masuk gang, berhenti di masjid, dan dengarkan apa yang disebut khotbah, maka akan Anda te-mukan betapa keras perjuangan para pengkhotbah itu untuk memperkuat iman mereka yang tertekan oleh nasib, yang sekali lepas dari penjagaan hanya akan menjelma penjarahan. Kegemerlapan Jakarta adalah kegemerlapan yang menyakit-kan, di mana banyak orang hanya bisa menyaksikan dari balik kaca benderang.

“Kami kan bekerja keras, kami berhak juga dong bersenang-senang.”

Justru itulah yang menjadi pertanyaan, semua orang be-kerja keras di Jakarta, tapi kenapa tidak semua orang bisa bersenang-senang? Kaum buruh bangun pukul 05.00 pagi dan pulang pukul 07.00 malam, setelah melaksanakannya bertahun-tahun, persentase peningkatan gaji mereka meng-giriskan perasaan—kalau dipersoalkan malah terancam pe-mecatan. Adapun sang juragan, hmmm, yang dipikirkannya adalah memperbesar jarak antara ongkos produksi dan harga pasaran. Karena situasi pasar biasanya di luar kekuasaan, ongkos produksi alias upah buruh yang paling mungkin dite-kan—dan itulah perjuangannya sehari-hari yang disebutnya sebagai pekerjaan.

Seno Gumira Ajidarma | 87

“Upah buruh sesuai dengan standar minimum,” katanya—ya sudah, minimum saja selama-lamanya, selama situasi mengi-zinkan. Kalau buruh berdemo, baru upah sedikit-sedikit dina-ikkan. Semakin rendah upah buruh semakin baik, supaya ada cadangan ketika terjadi tuntutan: kerendahan upah meru-pakan strategi yang dilaksanakan dengan kesadaran, karena dari margin ongkos produksi dan harga penjualan, kaum ju-ragan pemilik modal hidup bagai benalu pengisap darah yang menciptakan kesengsaraan, dan itulah yang disebut sebagai kerja keras sepanjang hayat dikandung badan. Bukan hanya di pabrik, tapi di mana pun ada pegawai dan juragan.

Mohon maaf Puan-Puan dan Tuan-Tuan, itulah struktur kapitalisme, dan struktur itu agak kurang mengenal keadil-an: bahwa para pekerja keras berlari bagaikan bajing dalam kandang yang dasarnya berputar. Selama masih berada dalam struktur, perubahan nasib alias kenaikan gaji hanya meru-pakan soal belas kasihan, mereka yang progresif memang berjuang menuntut keadilan, tetapi itu hanyalah bagian dari permainan. Semua tuntutan kenaikan ongkos produksi sudah dicadangkan. Tak ada soal nasib manusia jadi perhatian, yang ada hanyalah strategi tawar-menawar dalam perundingan. Mereka yang beruntung untuk meloncat jadi juragan, menja-di juragan taksi atau bakso, sikap mereka tetap sama dengan mereka punya bekas juragan.

Apa yang bisa dilakukan dengan sedikit uang hasil kerja keras pada akhir pekan? Bukankah masyarakat kelas bawah perlu hiburan sama dengan kaum juragan? Hiburan macam apakah kiranya yang begitu murah semurah-murahnya tapi bisa men-datangkan kegembiraan? Adakah kiranya hiburan yang begitu

88 | Affair

murah tetapi mendatangkan rasa kekayaan? Inilah yang ingin dinikmati kelas penderita dan kelas korban, sesuatu yang tampak sebagai suatu kebahagiaan. Tidakkah ini justru meru-pakan suatu tanda kepahitan?

Begitulah struktur ekonomi dan politik kapitalistis memenga-ruhi kesehatan jiwa, dan begitukah masyarakat dikibuli oleh berbagai macam kegemerlapan: dalam kebijakan pemerintah, perusahaan, maupun apa yang disebut hiburan. Betapa semu-nya kegemerlapan, dan betapa pahitnya kenyataan, terutama ketika nasib bagai ditakdirkan, bukan oleh Tuhan—tetapi struktur sosial yang dibentuk kebijakan ekonomi dan politik, yang menjadikan manusia hanya eksemplar dari apa yang disebut sumber daya atau massa, dan hanya dihargai dari segi kegunaan.

Apakah kegemerlapan Jakarta mencerminkan kegemerlapan jiwa warga kota? Saya kira tidak. Kegemerlapan Jakarta men-cerminkan kepahitan yang bagaikan sia-sia diredamnya.

Majalah Djakarta!, Agustus 2003.

Antara Cinta dan Kopi Instant

Masih adakah “cinta sejati” di Jakarta?

SEMENJAK saya menjadi “orang Amerika”, yakni hidup tanpa pembokat, saya menjadi akrab dengan segala sesuatu yang serba-instant. Kopi instant, bakmi instant, sup asparagus in-stant, nasi goreng instant, bahkan air panas dan dingin pun instant—tentu saja atas jasa dispenser. Hanya jus tomat dan telor setengah matang saja yang tidak bisa instant. Terpaksa menunggu 3 menit. Tiadalah saya pernah mengira bahwa menyendok bubuk kopi ditambah gula itu, kalau sekali dua kali mungkin eksotis, tapi kalau mungkin terjadi sepanjang sisa hidup, rasanya bagaikan mengangkut batu untuk mem-bangun Tembok Besar alias bagaikan tiada habis-habisnya. Rupa-rupanya saya telanjur jadi “orang kota” yang tidak mau rugi barang sedetik pun: pekerjaan sehari-hari yang tidak per-nah menjadi tujuan hidup mesti dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, demi terbukanya ruang dan wak-tu untuk diri kita sendiri.

Saya kira itulah maunya efisiensi, teknologi membantu manusia untuk mencuci baju, mencuci piring, menghitung belanja, mengirim surat dan segala macam, supaya kita lebih

90 | Affair

berpeluang mengerjakan segala sesuatu yang lebih membaha-giakan—tapi apakah yang masih bisa membahagiakan dalam dunia yang telah menjadi serba-instant alias langsung jadi? Kebahagiaan itu bagaikan sudah dikemas, sudah ada tanpa diperjuangkan. Artinya, saya sedang bertanya-tanya, dalam dunia di mana gula, merica, dan garam telah dikemas pas terbungkus kertas berdesain iklan, supaya manusia bisa me-nuangnya tanpa mengorbankan sel-sel otak kelabu, tidakkah pandangan hidup terhadap segala sesuatu di luar tetek bengek urusan praktis sehari-hari juga terpengaruh? Perkara instant ini misalnya, saya bisa tidak melihatnya dari segi cepat atau hemat waktu, melainkan bahwa segala sesuatu dalam hidup, mungkin juga hidup itu sendiri, sudah ditakar, pas, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk setiap perkara terdapat ukuran yang sudah ditentukan.

Maka saya berpikir, jika segala sesuatu hanya bisa memba-hagiakan kalau dikerjakan dengan penuh cinta, apakah cinta pun masih bisa membahagiakan dalam dunia yang telah di-kuasai sikap hidup serba-instant? Barangkali, semoga hanya barangkali, cinta pun telah menjadi instant.

Bagaimanakah kiranya cinta yang instant itu? Barangkali saya boleh merumuskannya sebagai cinta tanpa proses. Itulah cinta yang hanya berarti kebahagiaan tanpa penderitaan, ekstase tanpa luka, rindu tanpa dendam, pacaran tanpa per-tengkaran, hanya senang, senang, dan senang. Mungkinkah? Barangkali tidak, tapi saya melihat betapa Homo Jakartensis memperjuangkannya: agar cinta hadir secara instant. Cinta boleh ajaib sedikit, tapi jangan sampai bikin orang menangis.

Seno Gumira Ajidarma | 91

Cinta jangan datang berkelebat dari langit ketika tidak diha-rapkan, tapi hanya ada ketika dibutuhkan saja.

Dalam dunia dagang, “seolah-olah sesuatu seperti cinta” bah-kan telah dikemas dan bisa dibeli setiap saat kapan pun sese-orang menghendakinya, mau berbentuk suara lewat telepon boleh, dengan orangnya juga boleh, tergantung permintaan dan seberapa jauh bisa bayar. Tapi itu “cinta malam hari”, sedangkan saya bicara tentang “cinta pagi hari” alias praktik cinta tanpa jual beli dalam dunia yang terbangun oleh sikap hidup yang memuliakan falsafah instant. Homo Jakartensis telah semangkin siap menangkap denyar-denyar cinta dari langit, untuk mengemasnya sebagai praktik cinta instant di mana cinta menjadi pertemuan sesaat yang seolah-olah bu-kan bagian dari sebuah proses. Cinta seolah-olah tanpa awal dan tanpa akhir yang bukan berarti abadi, melainkan terke-mas secara instant. Cinta macam ini maunya hanya membawa suka tanpa duka, cinta seperti sudah dipatok, terbatas, berada dalam suaka: cinta sebatas minum kopi.

Kemudian minum kopi ini bisa berkembang ke kamar motel, namun prinsipnya tidak berubah, karena inilah cinta instant, cinta yang diinginkan hadir tanpa konsekuensi. Apakah itu bernama konsekuensi mencari nafkah, apakah itu berarti ke-setiaan, apakah itu berarti pengorbanan, pokoknya cinta yang semakin kurang repotnya semakin indahlah kiranya. Betul-betul cinta instant habis manis sepah dibuang. Pertanyaannya: apakah ini masih bisa disebut cinta? Entahlah. Cinta itu saja sudah seribu satu wacana perumusannya, seperti bisa dibaca dalam A Lover’s Discourse: Fragments (1977) yang disusun Roland Barthes misalnya—tapi seingat saya belum ada yang bicara tentang cinta instant.

92 | Affair

Karena itu, izinkan saya memberi ingat, mereka yang tidak pernah memahami cinta instant ini bisa terjebak dalam penderitaan yang sia-sia, karena menghayatinya sebagai hubungan romantik yang konvensional. Saya tidak sedang bicara tentang cinta di luar nikah, karena hal ini juga bisa ber-langsung di dalam kehidupan rumah tangga yang seolah-olah bahagia. Cinta yang dihayati selama 25 tahun bisa saja hanya merupakan hubungan dari kontrak ke kontrak yang memba-wa kepentingan di dalamnya, seperti hubungan kita dengan kopi instant. Dalam hal ini Jakarta adalah sebuah kota yang dingin dan tidak peduli.

Majalah Djakarta!, Agustus 2003.

Hidup Bersama Teror

Perang kontemporer adalah perang di dalam kota, siapkah warga Jakarta?

BARANGKALI dia duduk di samping Anda. Bisa di dalam bus, di dalam ruang diskusi, di dalam bioskop—jangan-jangan malah indekos di rumah Anda. Bukankah hampir semua in-vestigasi atas kelompok yang disebut secara sepihak sebagai teroris itu mengungkap: mereka semua hidup seperti orang baik-baik, tenang-tenang, tidak kampungan, tidak petentang-petenteng, dan wajahnya pun tidak ganas seperti makhluk haus darah? Kita memang tidak sedang berhadapan dengan musuh yang menantang perang di tengah lapangan Kurusetra seperti perang Bharatayudha—namun adalah Mahabharata itu pula yang mengingatkan: musuh adalah kerabat kita sendiri, dan para pengebom yang mengendap di balik bayang-bayang itu bagaikan Aswatama, yang menyobek tenda di ma-lam buta, membunuh lelaki maupun perempuan yang tidur nyenyak di dalamnya.

Inilah perang tanpa ultimatum, tanpa prosedur, bahkan tanpa klaim sama sekali—artinya, kita hidup dalam suatu formasi diskursif baru, dan ketahuilah betapa kita betul-betul berada

94 | Affair

di dalamnya. Jangan terlalu cepat menyimpulkan perilaku pemboman sebagai kelainan, karena makin lama semakin dilaksanakan ibarat kelaziman: dahulu ada Beirut, sekarang ada Tepi Barat dan Jalur Gaza, di mana aksi bom bunuh diri telah menjadi peristiwa sehari-hari. Bukankah pasar tetap buka, ibu-ibu tetap masak, orang-orang sarapan, dan di balik puing reruntuhan kaum lelaki bersenjata Kalashnikov tetap menonton pertandingan sepak bola lewat televisi? Fenomena perang kota sudah lama diantisipasi film-film futuristik, di mana rudal tak menjadi berguna, kecuali ingin membunuh diri sendiri. Bukankah jumlah korban tentara Amerika dalam Perang Teluk II melewati angka Perang Teluk I, justru ketika perang di padang gurun resminya sudah selesai?

Perang gerilya di dalam kota, yang wujudnya adalah bom di sana-sini, bukan sekadar suatu taktik bertempur: terorisme adalah produk kegagalan komunikasi dalam masyarakat, ka-rena hampir semua ruang untuk mengekspresikan diri bagi golongan tertentu sudah tertutup. Jadi, pertanyaan besarnya adalah: masyarakat macam apa yang telah terbangun selama ini, sehingga ada golongan yang hanya mempunyai ruang ekspresi dalam tindakan anarkis? Masyarakat macam apakah kiranya yang telah membuat suatu golongan (setidaknya merasa) begitu sulit eksis: tertolak dalam jalur kompetisi, ter-bantah dalam diskusi, tertutup segenap alternatifnya untuk berpartisipasi dalam pergaulan dunia? Fenomena global yang dijajah kapitalisme, dengan segenap kesadaran semu yang ditanamkannya, adalah juga fenomena Indonesia, dengan Jakarta sebagai simbol yang paling merepresentasikan kapi-talisme itu. Pilihan atas hotel JW Marriot jelas merupakan suatu pilihan semiotik—korban-korban hanyalah sarana bagi

Seno Gumira Ajidarma | 95

suatu pesan. Ada penolakan terhadap struktur kapitalistik, yang menjadikan liberalisme perdagangan sebagai sumber segala pertimbangan, dan ujung-ujungnya menciptakan go-longan terpinggirkan. Apakah kita akan mempertahankan, meneruskan, dan membenarkan masyarakat semacam ini?

Kemudian seseorang akan bertanya: “Tapi, bukankah pilihan untuk melakukan tindakan teror itu bukan suatu pilihan yang logis?” Justru di situlah masalahnya: logika dalam cara berpi-kir rasionalistik terbukti tidak memberi ruang bagi pemikiran mereka, karena segenap daya rasional mengabdi kepada suatu kuasa dalam formasi diskursif tertentu, yang hampir selalu membenarkan iklim demokrasi liberal yang melegitimasi ka-pitalisme. Mereka yang ingin survive dalam pertarungan ideo-logi ini harus memanfaatkan formasi diskursif yang tersedia, untuk melawan atau bernegosiasi, atau terhegemoni sama sekali—tapi pemboman jelas membuktikan, bahwa formasi diskursif yang tersedia ternyata tidak bisa dimanfaatkan. Mereka menggunakan formasi diskursif lain, yang lahir akibat keterpinggiran dalam kuasa hegemonik formasi diskursif ter-tentu. Artinya, para teroris adalah anak kandung Ibu Pertiwi, yakni dilahirkan oleh sistem yang ada. Anak kandung, tapi karena mbeling, dianaktirikan. Situasi ini ada, dan fenomena teror tidak akan pernah pergi, jika tidak ada perubahan, yak-ni kebebasan berekspresi. Ini bukan urusan pemerintah, ini urusan masyarakat yang melahirkan pemerintah itu, supaya jangan melain-lainkan orang—tapi siapa pun melain-lainkan diri, yang jangan merasa dirinya paling dong!

Sebelum masyarakat—termasuk kita (kami dan mereka) di dalamnya—memeriksa diri sendiri, kita harus siap hidup

96 | Affair

bersama dengan satu-satunya cara berekspresi yang membu-at orang terpinggirkan bisa eksis: teror. Kalau tidak siap, kita akan jadi takut, padahal ketakutan itulah yang diharapkan. Di satu pihak kita memang jangan sudi takut, karena itulah tujuan teror, di lain pihak, mengapa kita tidak mendobrak masyarakat yang munafik ini agar menjadi terbuka atas ke-beradaan setiap cara hidup, apalagi jika keberagaman adalah suatu kekayaan. Ketika pembunuhan orang tak berdosa menjadi halal untuk dilaksanakan segolongan orang, pasti ada yang gawat dalam masyarakat yang secara tidak lang-sung melahirkan golongan dengan cara berpikir seperti itu. Bukankah masih lekat dalam ingatan kita, bagaimana teror dan berbagai bentuk kekerasan juga dilakukan negara terha-dap warganya sendiri—hanya karena menjadi lain? Sekarang kita bisa menghayati kata pepatah: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari—dan berdetiklah bom waktu di bawah tempat duduk kita.

Majalah Djakarta!, September 2003.

Setengah Meja dan Kursi untuk Satu Orang

Jika Anda harus makan sendiri tiap hari dengan uang pas-pasan.

DI berbagai kota besar dunia, kalau kita kelaparan dan men-cari makan, restoran fast food adalah jalan keluar yang praktis. Harganya standar, untuk tidak mengatakannya paling mu-rah—dan rasanya sudah ketahuan, paling-paling seperti itu. Untuk sekadar menghindari maag, ketika perut menggerus tapi tidak ada makanan, sepotong hamburger tipis bisa dima-kan sambil jalan. Tapi, saya paling malas bergaya tak punya waktu seperti itu, jadi saya memilih untuk tidak keluar dan mencari tempat duduk—maka saya tahu yang tersedia untuk saya adalah setengah meja dan kursi untuk satu orang, alias makan menghadap tembok atau dinding kaca.

Karena bukan bebek yang suka ke mana-mana dalam rom-bongan, saya selalu memilih dan menempati meja dan kursi semacam itu: hamburger, french fries, dan orange juice—mungkin terasa steril, tapi kita tidak bisa romantik setiap saat, bukan? Lagi pula, siapa bilang suasana romantik hanya bisa dipatok oleh makan malam dengan lampu lilin, apalagi jika itu lilin yang terpaksa ada karena oglangan alias listrik

98 | Affair

mati? Setengah meja dan kursi untuk satu orang. Bagi yang romantik mungkin terasa getir, tapi bagi saya hal itu hanya perkara efisiensi. Sang pemilik restoran tentu merasa mubazir untuk memberikan ruang dengan empat kursi dan dua meja untuk satu orang. Ini bisa terjadi ketika restoran penuh, dan serombongan orang tak jadi masuk hanya karena malas du-duk di dekat orang-orang yang tak dikenalnya.

Di Jakarta, seingat saya, di restoran fast food, jarang kita temukan setengah meja dan kursi untuk satu orang. Satuan unit terkecil di sini adalah satu meja dan dua kursi. Rupanya tidak pernah dibayangkan kalau Homo Jakartensis akan da-tang dan makan sendirian, meskipun sebetulnya tak kurang-kurangnya orang yang kelaparan makan sendiri tanpa teman. Pertanda apakah ini? Apakah ada unsur ketidaktegaan untuk mempersiapkan setengah meja dan satu kursi untuk seseo-rang yang datang tiada berkawan? Ataukah tidak terbayang-kan betapa Homo Jakartensis itu mampu hidup sendiri dan seumur hidup barangkali hanya sendiri saja?

Sebegitu jauh, restoran fast food di Jakarta bukanlah tempat makan yang boleh dianggap paling murah, sehingga kalau harus dianggap standar, maka itu berarti standar kelas me-nengah, bukan kelas pekerja yang butuh makan cepat-cepat supaya bisa segera kembali bekerja. Di restoran fast food di Jakarta ini, saya lihat orang justru makan pelan-pelan, me-nikmatinya, bak sebuah rekreasi, dan tampaknya memang begitulah adanya. Di Jakarta, makan yang hanya untuk makan bisa dilakukan di warung Tegal, lebih cepat saji dari-pada restoran fast food, apa saja ada, pasti lebih murah, dan bukannya tidak enak, malah dengan rasa “seperti makanan

Seno Gumira Ajidarma | 99

rumah”—hanya saja tidak ber-AC. Jadi memang bukan untuk berlama-lama seperti para Homo Jakartensis yang ngobrol sambil berpegangan tangan di restoran fast food—dan perha-tikanlah bangkunya, atau bangku kayu panjang yang bisa me-nampung lima sampai enam orang, atau bangku plastik tanpa sandaran yang sendiri-sendiri alias hanya untuk satu orang. Sebetulnya, warung Tegal inilah “the real fast food” di Jakarta. Anda bahkan tak perlu antre, tinggal duduk dan main tunjuk, maka makanan akan datang sendiri, lengkap dengan buahnya untuk dessert. Di tempat seperti ini, saya lihat orang cende-rung datang sendiri-sendiri, meski bangkunya adalah bangku komunal, yakni bangku-bangku tanpa privacy.

Jadi, mengapa jarang ada setengah meja dan kursi untuk satu orang di restoran fast food, sementara perilaku makan sendiri secepat-cepatnya bukanlah monopoli kelas warung Tegal, me-lainkan juga para pekerja berdasi di Kuningan—yang ternyata lebih sering mencari warung Tegal juga?

Pertama, karena restoran fast food di Jakarta bukan dilahir-kan oleh kebutuhan efisiensi, yakni makan secepat-cepatnya, melainkan untuk rekreasi, yang bisa berarti makan berlama-lama, kedua, ternyata para kelas pekerja, yang blue collar maupun white collar, tidak berdasi maupun berdasi, pengha-silannya belum sepadan untuk makan di restoran fast food sebagai kebutuhan sehari-hari. Restoran fast food itu untuk rekreasi keluarga, bisa seminggu sekali atau sebulan sekali: kalau untuk makan setiap hari, meski cuma sendiri, harus menghitung dulu anggaran belanja, alias berpikir dua tiga kali. Taraf mampir dan menyambar hamburger tanpa berpi-kir belumlah dicapai oleh Homo Jakartensis. Fasilitas drive

100 | Affair

through sebetulnya dilahirkan oleh kesibukan tingkat tinggi yang membuat orang terpaksa makan sambil menyetir, tapi di Jakarta itu hanya menjadi fashion—makan sambil parkir di larut malam, dengan musik keras tek-jing-tek-jing ....

Barangkali itulah sebabnya, di restoran fast food di Jakarta, jarang terdapat setengah meja dan kursi untuk satu orang.

Majalah Djakarta!, Oktober 2003.

Ramadan yang Gemerlapan

Alih-alih berhemat, pengeluaran meningkat, karena kibul kapitalisme ...

PUASA, seperti terdengar dalam ujaran para pengkhotbah, dan seperti saya hayati sebagai orang yang berusaha untuk berpuasa dalam bulan Ramadan, adalah usaha keras untuk menahan diri: meskipun lapar jangan makan, meskipun haus jangan minum, meskipun emosi jangan disalurkan, tahan diri sedikit dong, meskipun tidak ada yang punya jangan diram-pok—pokoknya segala sesuatu yang menantang kemampuan kita untuk menerima derita sebagai derita, dengan tidak berusaha mengatasinya. Terimalah derita sebagai derita, sampai tiba waktunya berbuka, karena pada saat menghayati penderitaan itulah kita bagaikan ikut mengalami penderitaan mereka yang betul-betul mengalaminya: tidak bisa makan karena tidak mampu, tidak bisa minum karena tidak ada yang diminum, marah saja tidak bisa karena suara pun tidak punya—tepatnya mereka yang betul-betul tertindas tanpa ada yang sengaja menindas, miskin harta dan miskin budaya, ibarat kata mencari ketenangan dan pencerahan dari agama pun tidak tahu caranya, karena ketertindasan mereka adalah ketertindasan struktural.

102 | Affair

Dalam konteks Indonesia, struktur itu adalah kapitalis-me yang mendasarkan gerak kehidupan kepada daya-daya modal, di mana profit yang diandaikan memberi nilai lebih kepada manusia, ternyata mempunyai akibat langsung (saya tidak suka mengapologikannya sebagai “akibat sampingan”) berwujud termiskinkannya orang-orang. Cita-cita mulia me-makmurkan semua orang, jika kapitalisme menjadi pilihan, tidak bisa berhasil tanpa mengambil jatah orang-orang yang kemudian akan termiskinkan—kalaupun kapitalisme itu begitu suksesnya, tetap saja akan terbentuk kontruksi antara “yang punya” dan “yang kurang punya”, artinya tetap melahir-kan kelompok-kelompok, yang meskipun memang masih bisa makan nasi goreng, tapi tetap saja terbawahkan. Kapitalisme mengandalkan kesuksesan konstruktifnya pada kompetisi liberal, namun di Indonesia, kompetisi yang dari sononya memang akan melahirkan pemenang dan pecundang, masih diruwetkan oleh korupsi dan kolusi yang tak berujung pang-kal. Para pecundang yang termiskinkan, orang-orang kalah, bahkan tak punya peluang untuk menerima kekalahannya, karena dalam kenyataannya kekalahan itu tidak berlangsung dalam kompetisi yang “adil”, setidaknya dalam konteks libe-ral.

Puasa sebagai solidaritas sosial kepada mereka yang tertin-das di Indonesia, mempunyai tambahan beban moral: bukan hanya karena kapitalisme berarti jatah si miskin termakan si kaya, tapi juga bahwa rebutan kue kapital itu berlangsung dengan sangat tidak adil. Namun apa yang terjadi? Bulan Ramadan dalam mata saya terlalu sering sekadar menjadi trick baru untuk menjual barang dagangan. Seperti biasa, teknik menjual ini memanfaatkan semua ilmu kibul produksi untuk

Seno Gumira Ajidarma | 103

memperdaya konsumer, lagi-lagi anak kandung kapitalisme: bahwa modal harus kembali, dengan untung sebanyak bisa digali. Kibul-kibul produksi ini sering membuat konsumer percaya, seolah-olah berbuka puasa yang tidak lebih dari biasanya (untuk tidak mengatakannya mewah) itu “salah”. Mereka yang mengurusi rumah tangga tahu betul, alih-alih secara teoretis biaya makan dua kali sehari (sahur dan buka) berkurang, pada praktiknya biaya yang hanya dua kali ini lebih besar dari makan sehari-hari yang tiga kali, karena citra sahur dan buka puasa yang bagaikan suatu pesta, karena memang selalu istimewa—tentu dengan puncak pengeluaran pada hari Lebaran.

Artinya, puasa bagi Homo Jakartensis bukan lagi untuk menghayati penderitaan, terutama penderitaan orang lain yang mengalaminya sepanjang tahun, dari tahun ke tahun, tapi justru menjadi teknik untuk melupakan penderitaan itu. Saya sendiri sangat sering tergoda untuk “melupakan lapar” ini dengan giat bekerja, sehingga menjadi lebih produktif, dan menanti berbuka puasa dengan semangat “balas dendam” ter-hadap derita yang teralami sebelumnya, seolah-olah penderi-taan akibat berpuasa itu salah. Kalau boleh kritis kepada diri sendiri, puasa bagi saya lantas hanya jadi latihan kuat-kuatan badan: tak pernah lupa vitamin, gizi terjaga, bahkan—demi-kianlah kata pengkhotbah—sakit maag pun sembuh.

Nah, bagaimana saya merasakan penderitaan, jika yang saya rasakan hanyalah “nikmat puasa”: saya tak pernah tergoda untuk makan, karena restoran tutup dan yang terbuka de-ngan sopan selalu berpenutup, saya tak usah keluar biaya berbuka yang mewah, karena selalu diundang ke acara buka

104 | Affair

bersama yang nyaris selalu berkualitas kenduri, selama pua-sa pun selalu berada di ruang ber-AC, sedangkan yang tidak berpuasa berusaha makan jauh-jauh entah di mana karena “menghormati orang berpuasa”, sementara semua media menggandakan lipat nasihat para ustaz untuk mempertebal iman mereka yang berpuasa—tepatnya, begitu banyak rambu masyarakat yang melindungi orang-orang berpuasa supaya jangan tergoda untuk batal puasa.

Saya tahu, bahwa saya yang kurang terpelajar barangkali saja terlalu naif, karena puasa bagi setiap orang mempunyai godaan dan ujian imannya sendiri. Saya tak bisa mengatakan misalnya, bahwa mereka yang berpuasa di atas gunung, di padang pasir, di pulau terpencil, di desa miskin, di kampung kumuh (banyak juga di Jakarta), yang tidak mungkin ber-buka puasa dengan “yang manis-manis dahulu” adalah lebih teruji imannya dari mereka yang berpuasa dengan penuh perlindungan. Bisa saja terjadi yang sebaliknya bukan? Tapi saya bisa katakan bahwa puasa di sebagian tempat di Jakarta lebih mewah dari daerah mana pun di Indonesia, jauh lebih gemerlapan, alias sama sekali tidak sederhana—dan untuk itu, kapitalisme bukan tidak punya peran.

Selamat Lebaran ...

November 2003.

Remote Control & TV

Aku memegang remote control, karena itu aku ada ☺

HARUS diterjemahkan sebagai apakah remote control? Pengatur jarak jauh? Entahlah. Biarlah mereka yang bekerja di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa saja yang memi-kirkan sinonimnya dalam bahasa Indonesia. Saya lebih suka memikirkan makna keberadaannya dalam kehidupan kita.

Sepintas lalu, remote control hanya mewakili obsesi kehidupan modern, yakni mempermudah kehidupan praktis sehari-hari. Daripada berjalan satu sampai tiga meter untuk urusan off dan on, lebih baik tetap duduk di sofa, dan biarkan denyar elektronik bertenaga baterai itu bekerja untuk kita. Sampai di sini, remote control masih tersejajarkan dengan modernisasi yang berarti percepatan: daripada beranjak memijit tombol, lebih baik melakukannya di tempat. Apakah ini membuat orang malas? Yang jelas, ia memang menghemat energi tubuh sehingga kita bisa memanfaatkannya untuk kegiatan lain. Hal yang sama berlaku juga untuk pemanas kopi, penghangat nasi, pencuci gelas dan piring, mesin cuci, dispenser, dan ten-tunya kalkulator—Anda bisa menambahkannya sendiri.

Namun, dalam hubungannya dengan siaran televisi—remote control ini bagi saya berbicara lain, karena TV berfungsi dan

106 | Affair

bermakna lebih dari sekadar mesin cuci atau penghangat nasi. Pertama, remote control seolah berlaku sebagai pusat kendali atas dunia. Terutama di dalam atau di antara pemirsa di depan TV, pemegang remote control ini berada dalam posisi menentukan, karena apa yang dipilihnya akan menjadi ton-tonan bagi yang lain. Posisi subjek pemegang remote control ini menjadi dominan dan mereka yang menolaknya harus pindah atau membeli pesawat TV sendiri. Makna remote control di sini lebih dari sekadar simbolik, dalam pengertian yang sebenar-nya, setidaknya di depan kotak TV terkait, remote control telah menjadi pusat kekuasaan. Program TV nan dahsyat boleh jutaan banyaknya, melayang-layang seperti roh yang mencari tubuh di atas langit—tapi hanya jari yang memijit-mijit remo-te control itulah yang akan menentukan roh mana yang boleh menjelma di kotak gelas. Remote control menjadi metafor yang menarik tentang tangan siapa yang berkuasa, dengan sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, dan akan berperan dalam membentuk formasi diskursif, tanpa perlu bertanya kepada subjek mana pun apakah ia setuju atau tidak. Tepatnya, remote control bagi TV adalah suatu tantangan bagi demokrasi dalam rumah tangga: apakah yang memegang remote control itu demokratis atau seenak udelnya sendiri?

Jika pembermaknaan pertama menafsirkan remote control se-bagai pusat dunia, pembermaknaan kedua justru sebaliknya, yaitu dengan keberadaan remote control itu manusia menjadi pengembara ruang dan waktu, tapi selalu terpental dan ter-lontar ke sana kemari dalam suatu dunia yang terpecah belah. Remote control tidak menjadi pusat yang menyatukan dunia, melainkan memecah belahnya, karena dengan adanya remote control itu kesatuan ruang dan waktu yang utuh sudah tidak

Seno Gumira Ajidarma | 107

dimungkinkan lagi. Jika dengan siaran satu saluran yang mo-nologis saja TV sudah mengubah konsep ruang dan waktu, apalagi dengan sekian puluh, siaran langsung maupun tak langsung, yang interaktif pula. Masalahnya, betapa manusia tidak pernah betah untuk berada di satu tempat.

Andaikan ia bertahan untuk menonton satu film secara utuh, lalu ketika iklan tiba, kemungkinan besar ia pindah, bertua-lang dari saluran satu ke saluran lain, dan berhenti agak lama kalau tertarik, dan ketika kembali ke film yang ditontonnya, ia sudah agak terlambat. Kalau ia tidak pindah saluran pun, iklan demi iklan yang nyelonong jelas merupakan penghancur dunia yang telah dibangun bersama film yang ditontonnya. Mungkin karena itulah ia lebih suka pindah saluran dengan kemauan sendiri, atau mungkin untuk tidak menemukan apa-apa. Remote control tidak lagi menjadi sarana pemusatan, melainkan penghancuran dunia yang utuh, ibarat desentra-lisasi, tapi tidak membuat subjek jadi mandiri. Saya memba-yangkannya lebih sebagai keterpecahan yang schizophrenic, di mana ketika manusia berada pada dunia yang satu, ia ke-hilangan kontrol atas dunianya yang lain. Keterpercahan ini nyaris tak terukur, sesuai dengan daya jangkau antena yang mungkin saja tak terbatas.

Saya pernah berada di depan TV dengan 90 saluran yang re-mote control-nya dipegang orang lain dan berpindah hampir setiap detik. Jangan tanya rasanya jadi korban tanpa seorang pun bermaksud mengorbankan kita. Dalam dunia seperti ini, usaha membangun dunia kita sendiri adalah suatu per-juangan yang mahaberat, ketika kita dalam banyak hal juga terhegemoni berbagai formasi diskursif yang dominan.

108 | Affair

Di depan TV, sambil memegang remote control, bagaikan Descartes di depan pediangan yang merenungkan kepastian atas keraguannya sendiri, demikianlah manusia postmodern yang subjektivitasnya telah dihancurkan, mencari-cari iden-titas yang cocok, sebagai produk sahih pihak konsumen, dari saluran satu ke saluran lain, yang tidak kunjung dan tidak akan pernah ketemu, karena setiap kali selalu diubah-ubah-nya sendiri.

Majalah Djakarta!, Desember 2003.

C(S)eleb atawa Pesohor

Ada ketersohoran kosong, ada ketersohoran isi. Tapi, keduanya bernegosiasi.

MENGIKUTI penerjemahan community yang menjadi komu-nitas, mestinya celebrity juga menjadi selebritas. Akan tetapi, di negeri yang terdiri dari orang-orang cerdas (percaya? ☺), segala sesuatu yang salah kaprah bukannya dikritik dan di-koreksi, melainkan dibenarkan. Dan pembenaran, apa boleh buat, memang terdengar akrab di telinga siapa pun yang telah hidup cukup lama di negeri di mana apa pun seperti bisa ter-jadi ini. Maka, kita dengar selebriti yang maksudnya celebrity: bahasa Indonesia lafal luar negeri? Kenapa tidak pesohor, ter-jemahan resmi dari celebrity? Wah, ya kurang bergayalah, yaw!

Lantas, seperti salah kaprah pengucapannya, berlangsung sa-lah kaprah pula pembermaknaannya: ketersohoran seseorang bukan lagi merupakan akibat. Misalnya, karena pandai ber-bicara, dia memikat perhatian banyak orang dan jadi terke-nal, bukanlah sesuatu yang terandaikan secara alamiah akan terjadi, melainkan di balik: karena ingin terkenal, dia melatih kepandaiannya berbicara dan mengusahakan segala sesuatu supaya bisa terkenal. Tentu saja, tidak ada yang alamiah alias

110 | Affair

“dengan sendirinya” di sini karena ketersohoran menjadi se-buah konstruksi, dengan sebuah kepentingan di dalamnya.

Akibatnya, sering terdengar kalimat lugu (tanpa harus berarti bodoh): “Saya ingin menjadi selebriti.” Nah, ketersohoran bukanlah akibat, melainkan tujuan. Dalam formasi diskursif munafik, tujuan ingin terkenal sangat tidak sahih, malah se-perti tabu, sedangkan dalam formasi diskursif liberal (baca: terus terang akan kenaifannya), ambisi ini dihalalkan: kalau ingin terkenal, raihlah dengan segala cara, terutama manfaat-kanlah media massa. Nah, selera media massa ini yang sering terkibulkan menjadi alamiah karena media massa nyaris iden-tik dengan konstruksi budaya dominan. Tentu saja, dominan adalah dominan, tapi dominan bukanlah segala-galanya, dia hanya hegemonik.

Dengan kata lain, ketersohoran yang dikonstruksi melalui rekayasa media massa (halaman dan jam tayang yang dibeli, sensasi yang mengundang liputan, dan gosip yang dicari dan diada-adakan), yang dalam pemahaman moralistik adalah ketersohoran kosong (beda dong, misalnya, terkenal karena terpilih jadi presiden ☺—sebagai ketersohoran isi) ternyata memiliki kesahihannya sendiri: karena dominan dia bermak-na. Ibarat baterai yang mengisi dirinya sendiri, ketersohoran lantas mempunyai nilai ekonomi kultural karena makna yang diberikan massa padanya bisa dijual. Dengan mengacu pada John Fiske, seorang pemikir Kajian Budaya, makna, kenik-matan, dan identitas sosial yang melekat dalam ketersohoran lantas menjadi daya modal yang tertawarkan dalam jual beli.

Karena itulah, Krisdayanti memang menjadi KD, suatu brand name, tapi itu bukanlah dirinya sendiri. Itu adalah dirinya

Seno Gumira Ajidarma | 111

seperti dikonstruksi media yang diperkenalkan, dipromo-sikan, dan dijual, seolah-olah menjadi “diva” milik orang banyak, padahal itu adalah kesan yang dipompakan alias di-rekayasa. Dalam hal KD, isi ketersohoran itu ada: katakanlah itu berseni peran dan menyanyi. Akan tetapi, kekosongannya lebih berkuasa ketika KD lebih terhubungkan dengan identifi-kasi sebuah wajah, proporsi suatu tubuh, dan idealisasi suatu karakter, bukan lagi seni suara. Dampaknya, ketersohoran seseorang memisahkan subjek dari dirinya sendiri, dan keter-sohoran inilah yang kemudian menjadi subjek virtual, subjek seperti yang direpresentasikan media massa—di mana selalu terdapat kisah (baca: konstruksi kisah) sukses.

Dengan cara ini, ketersohoran mendapatkan “sastra”-nya sen-diri. Dia menjadi makna tersendiri yang bisa diperjuangkan, alias dikonstruksi setiap orang yang ingin mencapai “suk-ses”—dan tidak penting benar “semacam isi” ketersohoran itu: tidak main sinetron, menyanyi pun boleh, tidak peragawati, ya ikut kuis pun jadi, tidak presenter, pokoknya apa pun, asal wajah tertayangkan ke seluruh Indonesia. Dengan menulis bisa jadi pesohor? Ah, sayang sekali nulis kok rada-rada susah, apalagi satu buku, tapi kalau yang dianggap tulisan hebat itu “waton seks yang seperti sastra”—ah, siapa tahu, ya?

Ini berarti, ketersohoran kosong (terkenal karena cantik atau sensasional) yang semula inferior terhadap superioritas ke-tersohoran isi (terkenal karena jasa dan pengabdian terhadap masyarakat) rupa-rupanya terposisikan sebagai resistensi maupun negosiasi “sang tabu” yang terbawahkan terhadap “sang sahih” yang dominan. Pada gilirannya, “sang tabu” kini jadi dominan dan sahih, dan “sang sahih” kini terbawahkan

112 | Affair

dan terposisikan untuk bernegosiasi. Ini yang membuat kita melihat bagaimana rekayasa konstruksi media massa kemu-dian tidak hanya berlaku bagi “hartis-hartis” yang memburu ketersohoran, tapi juga dimanfaatkan oleh politisi, intelektu-al, maupun rohaniwan. Yang Tabu telah dilakukan oleh Yang Sahih agar menjadi Pesohor karena ketersohoran memang te-lah menjadi sahih, bukan sebagai tujuan, tapi kali ini sebagai aset atawa modal.

Demikianlah kisah dunia ini, seperti yang (hanya) direpresen-tasikan oleh media massa, bukan mata kepala sendiri.

Selamat siang kecanggihan!

Majalah Djakarta!, Januari 2004.

Ruang Tunggu di Rumah Sakit

TV di ruang tunggu rumah sakit bikin orang tambah sakit.

KETIKA mendengar kata hospital, kita bisa menghubungkan-nya dengan kata hospitality yang artinya keramahtamahan dan tahu semangat macam apa yang berada di balik kata itu: terda-pat suatu dorongan agar seseorang tidak melihatnya sebagai tempat yang mengerikan. Tentu saja itu agak berbeda dengan kata rumah sakit yang hanya berarti tempat orang-orang sakit: mereka yang sakit diresmikan kesakitannya—“Ketahuilah, kamu itu orang sakit”. Suka atau tidak suka, kalimat “masuk rumah sakit” tidak membayangkan suatu hospitality, melain-kan pembakuan kesakitan. Celakanya, ini tidak hanya berlaku bagi yang sakit dan berpenyakit, tapi juga bagi mereka yang masih sehat dan datang ke rumah sakit.

Seperti bisa diperiksa sendiri, di rumah sakit selalu terdapat ruang tunggu. Di ruang tunggu ini terdapat orang-orang sa-kit, orang-orang yang baru ingin tahu apakah dirinya sakit atau tidak sakit, maupun orang-orang sehat yang belum sakit dan barangkali hanya mengantarkan mereka yang menda-patkan gejala sakit. Ada pun ruang tunggu di rumah sakit bukanlah sekadar ruang untuk menunggu, melainkan suatu

114 | Affair

ruang yang diandaikan bisa menjadi bagian dari terapi, alias penyembuhan seseorang yang sakit. Dengan demikian, tata ruang dan suasana diarahkan untuk penyembuhan, dan bi-asanya itu berbentuk penciptaan suasana yang memberikan ketenangan.

Ada pun ketenangan tidak harus berarti sepi karena kesepian bisa mencekam dan memberikan perasaan tertekan. Itulah sebabnya kini dinding rumah sakit tidak harus putih dan di atas meja bisa saja terdapat vas bunga. Artinya, meski rumah sakit harus steril dari kuman penyakit, tetapi suasananya tidaklah harus steril juga. Saya pernah mengetahui adanya seleksi musik untuk ruang tunggu di rumah sakit, .yang akan terdengar juga di lift atau kamar bila perlu, dengan perhitung-an bahwa musik yang terdengar lembut itu akan baik bagi kondisi kejiwaan orang sakit.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, saya selalu melihat adanya pesawat TV di ruang tunggu rumah sakit. Terdapatnya pesawat TV ini menunjukkan perubahan orientasi: dari jangan sampai orang sakit terganggu menjadi jangan sampai orang menjadi bosan, sedangkan bosan itu sendiri sudah merupa-kan suatu bentuk kesakitan. Mengapa orang bisa bosan di ruang tunggu tempat praktik dokter, klinik, dan juga rumah sakit? Tentu karena ruang tunggu itu sekadar menjadi tem-pat menunggu, bukan bagian dari suatu proyek atau arahan terapi yang mengandaikan ketenangan sebagai bagian mutlak dari penyembuhan. Di ruang tunggu itu sering terdapat kursi yang jebol-jebol, koran yang lusuh, majalah usang yang ke-mungkinan bisa jadi sumber penyakit, dan yang merupakan gejala umumnya adalah pesawat TV.

Seno Gumira Ajidarma | 115

Biasanya, program yang disiarkan lebih mengandalkan selera para pegawai administrasi saja. Selain itu, seperti diketahui, program-program itu jangankan kepada orang sakit, kepada orang sehat pun sering membuat kepala sakit: bisa karena berita buruk yang seperti tiada habisnya, atau bisa karena ke-bodohan yang tercerminkan di sana. Lebih parah lagi, volume suara biasanya ditancap begitu keras sehingga suasana jadi gerah, melelahkan, dan tentu saja tidak ada lagi hubungannya dengan teori ketenangan sebagai bagian dari konsep terapi. Ini tidak hanya terjadi di klinik kumuh di mana kadang terjadi praktik ilegal, tetapi juga di rumah sakit bertaraf internasional yang memasang TV di depan setiap pintu kamar praktik dok-ter. Bayangkanlah apa yang terjadi bila setiap pesawat TV yang menyiarkan program berbeda-beda itu disetel sama kerasnya. Saya tidak bisa membayangkan derita mereka yang betul-betul sudah dalam keadaan sakit. Mending kalau hanya sakit flu, tapi mereka yang sedang berusaha melawan kanker pasti tidak ter-bantu oleh TV yang menyala bersama dan sama kerasnya itu.

Tentu saja terdapat udang di balik semua ini: puluhan TV (dan ratusan jika kamar pasien juga dihitung) mungkin hasil kerja sama dengan sponsor, seperti juga segenap koran lusuh dan majalah kumuh yang ada di sana, hubungan dokter dan pasien yang nyaris hanya merupakan hubungan fungsional, dan orientasi rumah sakit yang tentu saja hanya komersial—semakin banyak yang sakit semakin baik karena bisnis hanya bisa berjalan atas banyaknya jumlah orang sakit yang datang berobat. Rumah sakit tidak lagi merupakan lembaga sosial, melainkan lembaga bisnis yang menjanjikan banyak keun-tungan, dan ini erat hubungannya dengan mafia perdagangan obat yang sungguh bikin kita geleng-geleng kepala.

116 | Affair

Demikianlah kepadatan pasien di ruang tunggu yang digasak volume keras TV menjadi pemandangan menggembirakan, tetapi yang sesungguhnya sangat menyakitkan: jangan lagi bi-cara betapa untuk semua itu si sakit harus membayar mahal. Kuasa TV di ruang tunggu rumah sakit merupakan penanda intervensi penyakit sosial ke dalam lembaga sosial, menjadi-kannya secara ideologis tidak lagi steril—tetapi orang sakit tidaklah mempunyai pilihan, bahkan terjadi konstruksi inter-nal sehingga diterima sebagai suatu kewajaran. Itu namanya dua kali kasihan!

Majalah Djakarta!, Februari 2004.

Dimensi dalam Konstruksi

Jakarta sepintas lalu ruwet, tapi seragam dalam ideologi duit.

SAYA pernah menyinggung soal ini: Berapa puluh tahun pun Anda tinggal di Jakarta, barangkali bahkan lahir di kota ini, selalu ada wilayah yang belum kita akrabi—karena kota ini terdiri dari berbagai lapis dimensi. Setiap hari kita melihat bangunan-bangunan tertentu, tapi ada kemungkinan sampai mati pun kita tidak akan pernah memasuki ruang-ruang di dalamnya karena perbedaan dimensi itu. Jadi, misalnya, pem-bantu rumah tangga seorang menteri belum pernah masuk mal adalah sesuatu yang mungkin saja terjadi. Kedekatan jarak geografis dirinya dengan sang menteri tidak memberi kelebihan apa pun, yakni bahwa hidupnya bisa mendekati kehidupan sang menteri, karena perbedaan dimensinya tidak akan pernah mendekatkan kehidupan mereka. Banyak pem-bantu rumah tangga bisa mengasuh anak majikan mereka sampai ke New York, tapi kalau Lebaran langsung pulang ke kampung mereka di Grobogan tanpa mampir ke toko buku QB—itulah akibat perbedaan dimensi.

Memandang lapis-lapis dimensi ini sering mencengangkan. Saya pernah berpikir tentang para pelaut Bugis di Sunda

118 | Affair

Kelapa. Mereka tiba di Jakarta setelah mengarungi laut-an dengan gagah berani menggunakan perahu pinisi dari Sulawesi. Namun, meski jarak ke TIM atau ke TUK tak se-banding dengan jarak Bulukumba—Sunda Kelapa, mengapa pula mereka harus nonton seni kontemporer yang gratisan sekalipun? Tentu tak juga ke kafe V.O.C atau kafe Batavia yang hanya beberapa menit dari pelabuhan kosmopolit masa lalu itu. Perbedaan dimensi telah mementahkan jarak geogra-fis, sehingga meskipun Anda lahir di Jakarta tiada jaminan akan agak mengerti adat istiadat Betawi. Meskipun begitu, keterpisahan dimensi ini tidak begitu mutlak, karena dalam kenyataannya lapis-lapis dimensi ini sering menembus satu sama lain, saling bersilang dengan ajaib dalam komedi kehi-dupan, dan suka menertawakan nasib manusia dengan segala ketertakdirannya.

Pertanyaannya sekarang, apakah silang sengkarut itu berlangsung secara sembarang ataukah terkonstruksi? Pertumbuhan yang sepintas lalu campur aduk itu, benarkah tidak mempunyai arah? Tepatnya, dorongan apakah kiranya yang mengondisikan perubahan di seluruh Jakarta, dalam skala makro maupun mikro, yang barangkali saja mempunyai kecenderungan tertentu?

Dengan kata lain, pemandangan Jakarta adalah suatu teks yang bisa dibaca. Pemandangan kota penuh dengan tanda-tanda ikonik yang bisa dibaca sebagai suatu sistem dan dite-mukan ideologi di baliknya. Dalam hal Jakarta, adakah sesu-atu yang tidak terhubungkan dengan kapitalisme, misalnya? Bahkan penerbitan buku (yang sebelumnya selalu dianggap proyek rugi) marak, tak lebih dan tak kurang karena memang

Seno Gumira Ajidarma | 119

laku. Penerbit yang paling gurem pun menangguk profit lu-mayan atas nama kegilaan akan “pengetahuan” itu—meski tetap saja berlaku hukum pasar: petunjuk merawat ikan lohan akan lebih diprioritaskan ketimbang beternak kadal, misal-nya, meski dari segi ilmu pengetahuan segenap pengetahuan itu setara.

Tidak ada yang lugu, tidak ada yang murni—selalu terdapat ideologi di baliknya, meski ideologi itu bernama “idealisme” karena ujung-ujungnya toh dijual juga. Buku-buku “kiri” yang isinya mengecam kapitalisme dan laku keras, sebetulnya diterbitkan dalam ideologi kapitalistik: mendapat untung sebanyak-banyaknya. Memang itulah yang akhirnya terjadi. Bahwa ideologi ini akan mendapat perlawanan, memang begitulah adanya. Kita boleh curiga bahwa pembakaran buku-buku kiri akan ditanggapi pasar dengan buku-buku lain yang tidak-kiri, tapi berpeluang menggantikannya sebagai mesin uang. Jangan tanya perkara solidaritas ideologis, karena “kiri” di sini hanya dilihat kemungkinannya sebagai komoditas. Kalau primadona pasar hilang harus ada gantinya.

Sampai di sini, lapis-lapis dimensi yang tampaknya tidak saling mempertemukan itu bisa dilihat dalam kesamaan ka-tegori: pembantu rumah tangga datang dari daerah mencari uang, pembantu rumah tangga dibutuhkan majikan yang tidak akan sempat mengepel lantai karena juga mencari uang. Krisis ekonomi bisa mengubah kondisi sosial ini—majikan di-PHK, maka pembantu rumah tangga pun di-PHK. Dengan segala variasinya, kondisi ekonomi menciptakan kondisi sosi-al budaya: terdapat tawar-menawar antara profesi pilihan dan kebutuhan akan uang, karena hegemoni dominan akan selalu mengalami negosiasi maupun perlawanan.

120 | Affair

Dengan cara pandang seperti ini, kita akan melihat bah-wa pembantu rumah tangga dari New York yang pulang ke Grobogan tanpa mampir ke QB, mungkin saja bukan tidak punya uang, tapi konstruksi budaya yang telah membentuk-nya adalah konstruksi budaya yang hanya akan membawa langkahnya ke Pasar Tanah Abang.

Segala sesuatu yang semula simpang siur, lapis-lapis dimensi yang bisa bertumpuk-undung secara absurd, ternyata selapis demi selapis bisa disingkap dan dibongkar, untuk menemu-kan konstruksi kapitalisme: hidup manusia tertentukan oleh roda ekonomi dan perdagangan. Tentu saja ini tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan, kecuali bagi yang cukup bodoh untuk tergantung (hanya) kepada uang.

Majalah Djakarta!, April 2004.

Di Radio ...

Radio adalah contoh demokrasi media, jauh sebelum reformasi.

SAYA teringat lagu Gombloh yang populer:

di radioooo aku dengar lagu kesayanganku

Banyak dari kita sekarang menerima radio sebagai taken for granted saja. Seolah-olah radio itu bagian dari langit: sudah ada di sana sejak dahulu kala untuk selama-lamanya. Kalau kita masuk mobil dan menyetel radio, maka itu nyaris tidak pernah jadi tujuan sebelum masuk, “Nanti aku akan menyetel radio di dalam mobil.” Tidak. Radio, apa pun stasiunnya, dise-tel hanya karena daripada sepi.

Tapi itulah kata kuncinya: daripada sepi ...

Homo Jakartensis selalu berada di tengah kemacetan, situasi yang diakibatkan karena “terlalu ramai”, dan ia menyetel ra-dio daripada sepi. Di tengah kemacetan ia kesepian, ruangan mobil ber-AC bagaikan penjara yang mewah—nyaman dan menyelamatkan dari kegerahan Jakarta, tapi tidak menghu-bungkannya dengan siapa pun juga.

122 | Affair

Jadi, kenapa tidak menikmati sepi saja? Hoho—Homo Jakartensis kalau latihan meditasi pun harus rame-rame. Hanya mati saja terpaksa sendiri-sendiri. Kalau mati itu bisa seperti tur ke mana begitu, so pasti mati pun mereka maunya bareng-bareng.

Ketika sendiri itulah mereka mendengar radio—dan feno-mena radio di Jakarta adalah radio di dalam mobil. Di rumah ada TV, dan radio tak bisa berkompetisi dengan gambar, meskipun di rumah radio juga bergerilya—masih sering kita temukan mahasiswa yang belajar sambil ditemani suara radio lamat-lamat.

Satu lagi kata kunci: ditemani ...

Kalau sudah begini, saya teringat Nien Lesmana, suaranya lembut dan sapaannya di Suara Irama Indah begitu teduh—tapi para penyiar sekarang maunya tek-jing-tek-jing terus, ka-rena yang mereka hadapi adalah para ABG, atau orang dewasa berjiwa ABG. Bahkan “diskusi” yang pura-pura serius pun hampir selalu “full canda”. Radio kini tak cuma menemani, tapi “meramaikan”, seperti tak senang lihat orang tenang-tenang. Dengar saja para penyiar yang suka berteriak histeris, screaming banget gitu deh! Tepatnya, radio di Jakarta adalah fenomenal. Ingat, radio sekarang tak melulu berurusan de-ngan “lagu kesayanganku”, melainkan terutama penyiar yang ngocol. Itulah makanya Marshall McLuhan menggolongkan-nya sebagai hot medium, kita lupa ke-media-annya, kita lupa ke-radio-annya, suara penyiar yang ketawanya mengikik-ngi-kik seperti Mak Lampir itu seperti seorang teman di telepon yang cerewet—dan kalau udah ngomong soal seks, hiiiii ...

Seno Gumira Ajidarma | 123

Saya pasti tergolong pendengar kuno, karena yang saya dengar hanyalah RRI ☺ (baca: Mozart), tapi “sebagai pengamat” ada-kalanya saya sapu juga siaran radio itu satu per satu di tengah kemacetan, dan Mao Zedong atau HB Jassin tentu senang mendengar ini: biarkan seribu bunga mekar di taman. Saya kagum dengan demokratisasi dunia radio. Berbeda dengan TV atau koran, yang nyaris seragam, radio ini sungguh ben-ten-benten karakternya, yang dangdut tidak minder dengan yang pop, yang rap tidak minder dengan yang nge-jazz, ada yang berani tampil berita doang, ada yang maunya feminis, ada yang tetap kekeh konservatif, ada yang modalnya info jalan tol, dan tak sedikit yang sungguh-sungguh serius secara jurnalistik, memburu topik-topik aktual dan unik, dengan mobil yang siap menjemput narasumber pukul 4 pagi. Bener-bener kerja gitulah. Dengan semua itu, radio tetap tampil low profile. Kecuali Ida Arimurti (mungkin karena pernah kenal?), bukankah tak banyak tokoh radio terselebritikan?

Sekitar 20 tahun lalu, radio swasta disebut “radio amatir” antara lain karena siarannya “cuma lagu-lagu”. Kalau Anda sebut itu sekarang, tentu dianggap penghinaan. Saya kira memang citra itu telah terhapus, dan secara profesional, dalam jurnalisme maupun bisnis, radio telah menunjukkan pencapaiannya: mengambil jatah kue di pasar, memberi makna kepada berita, dan memberhargakan kemediaannya. Saya baru sadar belakangan, betapa tinggi standar jurnalisme radio, karena “tak ada suara, tak ada berita”—artinya peliput radio memang harus ketemu sendiri dengan sumber berita, dan merekam suaranya. Ini membuat wartawan media ce-tak, yang selalu merasa dirinya “paling wartawan”, sebagian besar hanyalah tukang kutip. Tentu banyak kutap-kutip sana sini di radio yang kita dengar sekarang, seperti tinggal baca koran—tapi ini membuktikan, menjadi wartawan beneran di

124 | Affair

radio juga tidak gampang, tanpa imbalan maupun imbasan popularitas pula. Radio kurang sexy ditunggangi. Mereka yang bekerja di sana bolehlah dibilang dengan hormat bekerja sebagai pengabdian.

Kolom ini mestinya ditulis oleh Arthur John Horoni, satu-satunya “pakar radio” dengan tulisan yang sangat enak di-kunyah. Namun, beliau, seperti radio, rupa-rupanya juga low profile, karena tak pernah menampakkan batang tulisannya. Dengan ini saya undang dia untuk mewacanakan radio de-ngan tulisannya, supaya nggak cuma politik dan ekonomi saja yang jadi primadona wacana. “Arthur, di mana kau Arthur?”

Majalah Djakarta!, Mei 2004.

Kepribadian Sandal Jepit

Mengenakan sandal jepit di kantor adalah negosiasi terhadap hegemoni sepatu.

LEE Iacocca tidak mengenakan sandal jepit. Donald Trump juga tidak. Sekretaris mereka juga pasti tidak. Tapi wanita itu—cantik, wangi, dan mengenakan blazer hitam—mema-kai sandal jepit, karena ia memang bukan sekretaris Akio Morita. Ia seorang sekretaris yang kalau malam pulang ke Gang Bluntas.

Ia memang bekerja di sebuah gedung dahsyat di Segitiga Emas Jakarta. Sebuah kantor modern: pasti ber-AC, desain interior yang elegan, dengan wallpaper berwarna lembut, dan lukisan yang memberi cita rasa artistik. Ia sedang menelepon sambil memijit-mijit keyboard komputer. Di sekelilingnya, semua wanita berblazer hitam, semua pria berbaju putih lengan pan-jang. Tentu tidak semuanya mengenakan sandal jepit, sepatu pria disemir mengilat, sepatu wanita haknya tinggi, tapi di ba-wah setiap meja tampaklah sepasang sandal jepit. Kalau ada ninja masuk sebuah kantor di Segitiga Emas pada malam hari, ia bisa mengangkut sekarung sandal jepit dari setiap lantai.

126 | Affair

Dalam teori apa pun yang berhubungan dengan etiket perkantoran modern, tentu saja sandal jepit tidak pernah disebut-sebut. Kalau tidak percaya, tanya saja John Robert Powers. Toh dengan mata tertutup kita boleh memastikan, sandal jepit adalah bagian yang tak terpisahkan dari dunia perkantoran di Segitiga Emas, dunia kaum yuppies Indonesia. Secara konkret, orang memakai sandal jepit di kantor karena tidak betah memakai sepatu. Kalau pakai sepatu lebih dari sekian jam, apalagi sepatu tinggi, untuk berjalan-jalan pula, kaki rasanya terbakar. Apa boleh buat, sang sekretaris pun mondar-mandir dengan sandal jepit.

Peradaban sepatu sejarahnya memang belum lama di Indonesia. Sampai hari ini, masih sering kita dengar betapa anak-anak sekolah di desa berangkat memakai sepatu, namun ketika pulang mencangkingnya. Sepatu ada-lah suatu siksaan, sepatu hanya suatu formalitas. Begitulah formalitas mengajar kita berangkat ke kantor pakai sepatu. Sesampai di kantor kita mengenakan sandal jepit. Jadi, dike-nakan ke tempat formal bernama kantor hanya untuk diganti sandal jepit. Aneh. Absurd malah. Tapi nyata. Dengan logika itu, seharusnya kita berangkat memakai sandal.

Lee Iacocca memang tidak memakai sandal jepit. Toh itu tidak harus berarti derajatnya lebih tinggi dari yuppies Indonesia. Karena memakai sandal jepit di kantor, betapa pun tidak cocoknya dengan teori etiket perkantoran modern, adalah sebuah kejujuran, sebuah pengakuan, atas ketidakbetahan memakai sepatu: yakni pengakuan atas asal-usul kebudayaan agraris, kebudayaan para petani. Banyak orang mengingkari asal-usul yang memalukan, namun bersandal jepit di kantor,

Seno Gumira Ajidarma | 127

betapa pun mulut tiada berucap, adalah sebuah pengakuan yang bersahaja: “Saya tidak betah memakai sepatu.”

Ketidakbetahan memakai sepatu, memang, adalah perilaku yang diwarisi dari tradisi petani tanpa sepatu. Sandal jepit, bagi para petani, sebetulnya sudah merupakan sepatu. Biasanya berjalan ke mana-mana tanpa alas kaki. Supaya lebih sopan, dikenakanlah sepatu. Ini semua hanya menunjukkan, bahwa begitu banyak benda dikonsumsi tidak sebagai fungsi, melainkan simbol. Itulah tingkat peradaban kepribadian san-dal jepit, yang bertebaran di Segitiga Emas, puncak piramida kisah sukses di Jakarta. Ini juga menunjukkan kejujuran se-jarah, betapa masa lalu tak bisa dibunuh—apalagi diingkari.

Majalah Berita Bergambar Jakarta Jakarta No. 393, 15-21 Januari 1993.

Gaya dalam Potret Wanita Menjilat Es Krim

Pada mulanya adalah gaya.

KALAU pada suatu hari Anda menjumpai seorang wanita menjilat es krim, sambil berjalan-jalan di sebuah plaza gemer-lapan, Anda boleh memikirkan suatu persoalan: hal itu me-rupakan kebiasaan sejak kecil, sepertinya ditirunya dari sang ibu, atau dilakukannya setelah dewasa, karena dianggapnya sebagai suatu gaya.

Begitulah, waktu kecil kita sering diajari, “Jangan makan sambil jalan, itu bukan kelakuan priyayi.” Dari kalimat ini kita pun tahu, makan dalam kebudayaan manusia sudah menja-di lebih dari sekadar urusan perut—ada soal etiket, yang di dalamnya implisit perkara nilai sosial dan gaya. Kalimat lain dari masa lalu adalah: “Kalau sedang makan jangan ngobrol, nanti keselak.” Sebenarnya, kita tahu, bukan keselak itu benar masalahnya, melainkan kalau makan sambil nyerocos, hal itu biasa dianggap kampungan, barbar, dan ndesit.

Tapi, seperti mode busana, kriteria etiket bisa berubah ber-sama dengan menggelindingnya waktu. Maka, kini di pu-sat-pusat pertokoan pun menjadi tidak terlalu aneh melihat

130 | Affair

seorang wanita melihat-lihat etalase, sembari lidahnya menji-lat-jilat es krim. Bukan, sekali lagi dia bukannya masih kanak-kanak, dia bisa saja seorang ibu, yang menggandeng anak. Tentu, dalam hal ini, etiket sudah berubah: makan sambil jalan, meski es krimnya menetes-netes, boleh. Soal ini, dalam dunia yang makin sempit, dan pertukaran nilai budaya ma-kin gencar, bisa saja diterima. Masalahnya baru timbul, jika ternyata kelakuan menjilat-jilat es krim di muka umum itu bukan pertanda perubahan perilaku, melainkan suatu gaya.

Dengan kata lain, penjilatan es krim itu tidak dilakukan karena kebutuhan alami, seperti lapar dan haus, melainkan kebutuhan sosial: biar tampak gaya. Kenapa begitu? Karena orang yang hidupnya sukses menjilat es krim sambil melihat-lihat baju dengan tenang. Buruh pelabuhan tidak mungkin menjilat es krim sambil melihat-lihat baju—boro-boro! Maka, gaya menjilat es krim itu, bolehlah ditiru. Untung yang dise-but gaya itu menjilat es krim, bagaimana kalau mengunyah cabe rawit?

Menjilat es krim bukanlah satu-satunya gaya. Yang lain ada-lah: It’s finger lickin’ good! Jadi, kita disuruh menjilat jari-jari kita, seolah-olah terlalu sayang rasa enak yang tinggal rasa itu terbuang. Dahulu kala orang mengangkat martabatnya sendi-ri dengan menganut falsafah kesehatan dunia beradab—ma-kan pakai sendok dan garpu yang steril, bukan sekadar untuk menjaga supaya kuman penyakit tidak menggasak perut, tapi karena hanya orang desa yang makan pakai tangan. Perbedaan kota dan desa, ningrat dan batur, Belanda dan inlander, ada-lah sendok dan garpu. Tapi, kini keadaan sudah jauh berubah bukan?

Seno Gumira Ajidarma | 131

Sekarang gaya itu bercampur baur. Kalau makan sop sendoknya ini, kalau puding sendoknya itu, kalau tidak, Anda salah. Bayangkan, betapa repotnya yang disebut peradaban itu. Padahal, orang-orang yang sama, dengan mudah bisa berakomodasi dengan gaya lain, yakni gaya me-rakyat: lesehan ala Malioboro. Memang, makan pakai tangan, menjilat jari, dan nongkrong di pinggir jalan juga sudah men-jadi gaya, yang harus dibeli—apalagi kalau bukan demi gaya itu juga. Jadi, ada gaya borjuis, ada gaya proletar. Dua-duanya gaya.

Soal gaya ini bisa jadi sangat mengharukan. Contoh paling gampang adalah warung fast food. Barang siapa pernah mam-pir atau melewati kota-kota kosmopolit akan tahu, warung makan kilat itu tergolong junk food atau kodian dan murahan. Ia hadir untuk memenuhi kebutuhan perut kita dengan sege-ra. Untuk tangsel. Kita lapar, kita antre sebentar, kita caplok, dan kita segera pergi. Tiada gaya dalam soal itu. Mana sem-pat? Tempatnya saja tidak pernah terlalu besar, nyelempit di pojok. Kalau perlu orang makan sambil berdiri. Namun apa yang terjadi di Jakarta? Pada hari libur orang membawa kakek neneknya ke warung fast food. Warung fast food di kota kos-mopolitan lahir karena iklim industri yang serba memburu. Di sini warung fast food lahir karena kebutuhan untuk bergaya kosmopolitan. Bedanya sangat jelas.

Pada mulanya adalah gaya, lama-lama jadi kebutuhan. Generasi yang lahir tahun ‘80-an misalnya, tidak terlalu salah jika memandang french fries seolah-olah makanan warisan ne-nek moyang. Pada suatu hari mereka akan menganggap ma-kan nasi itu eneg, dan lebih akrab pada black pepper ketimbang

132 | Affair

sambel. Barangkali ini bukan bencana. Hanya lucu saja. Suatu ketika seorang kakek akan menunjukkan tanaman singkong pada cucunya, sambil berkata, “Lihatlah Nak, dulu kakek ma-kan daun-daun singkong seperti itu, seperti kambing. Cuma direbus saja, tidak pakai apa-apa. Primitif ya?”

Padahal, bukankah yang “primitif ” ini dianggap paling sehat sekarang? Nah, apakah kita telah menjadi korban suatu gaya?

Majalah HR/Hotel & Restoran, November 1993.

Affair: Jalan Buntu

Kalau Anda terlibat affair, Anda menjadi orang pinggiran. Jelaslah affair yang menjadi modus operandi, masyarakat kota besar, mengacu kepada hukum dagang ini.

CINTA adalah bahaya yang lekas jadi pudar. Larik yang ditulis Chairil Anwar ini menggambarkan dengan tepat, apa yang biasanya terjadi dengan affair. Apalagi kalau kita baca larik-larik sebelumnya: Aku seperti juga kau, semua lekas berlalu / Aku dan Tuti + Greet + Amoi ... hati terlantar. Maka, jika Anda sedang terlibat suatu affair, dalam kata-kata Goenawan Mohamad, sebaiknya Anda bersiap untuk kecewa, bersedih tanpa kata-kata. Kenapa? Karena affair adalah jenis hubung-an cinta yang pasti berakhir, tentu, dalam pengertian bahwa perasaan berbunga-bunga yang sejuta itu menyurut, memu-dar, dan akhirnya menghilang sama sekali. Mereka yang ingin mempertahankan hubungan cinta, menjadikan cinta mereka “abadi”, akan harus melanjutkan hubungan itu tanpa perasa-an berbunga-bunga lagi, menjadi persahabatan agung yang mengandung setengah komitmen. Disebut setengah, karena dalam persahabatan tidak ada saling menuntut, mewajibkan, apalagi memiliki.

134 | Affair

Affair sebetulnya sama seperti cinta pertama. Mata ber-temu mata. Senyum bertemu senyum. Lantas halilintar menyambar. Rembulan dan durian jatuh ke pangku-an bersamaan. Dunia berubah. Hati berdegup-degup. Bedanya: affair adalah hubungan yang dalam sistem nilai sosial tidak dilembagakan. Peradaban memberikan lokalisa-si bagi pelacuran, tetapi tidak ada lokalisasi affair. Dengan demikian, memang affair menjadi marjinal. Kalau Anda terlibat affair, Anda menjadi orang pinggiran. Hubungan cinta antara seorang suami dan istri orang lain, bagaimana mungkin dilembagakan? Bagaimana mungkin diresmikan sebagai “boleh”? Mereka yang nekat, dari pinggiran menuju ke tengah, tentu harus membayar suatu “harga sosial” juga—misalnya harus rela dimamah gosip.

Sebuah affair bisa terjadi, dan akan selalu terjadi, karena me-rupakan misteri cinta yang tak terpahami. Dalam bahasa fil-suf Blaise Pascal (1623-1662) yang termasyhur: Le coeur a ses raisons gue la raison ne connait point—The heart has its reasons which the reason does not understand. Ini memang misterius, karena itu terasa indah, menjadi sumber inspirasi segala jenis karya besar, namun keajaiban ini tidak akan bertahan lama. Cinta yang jatuh kepada yang beruntung ini seperti komet, lewat sekejap lantas menghilang, impiannyalah yang menjadi melankoli abadi. Namun hal ini biasanya dilupakan, sehingga berlangsunglah fatal attraction. Mereka yang kejatuhan cinta, dan lantas mabuk, tak terbiasa dengan kekosongan menda-dak tiba-tiba, dari posisi menerima mereka jadi penuntut. Apa boleh buat, dari sini sebuah affair akan jadi neraka.

Seno Gumira Ajidarma | 135

Memandang cinta sebagai datang dari langit memang berbahaya, karena seolah-olah manusia tidak ber-tanggung jawab. Cinta adalah juga konstruksi budaya. Segenap tindakan dan pilihan seseorang dibentuk oleh pengalaman kulturalnya. Dengan demikian, terhadap kondisi percintaan yang tak memungkinkan pelem-bagaan sosial, seperti affair, manusia juga harus ber-sikap fair: tahu risikonya dan tidak menyalahkan tak-dir. Karena toh situasi sulit itu (“Ia sudah bersuami”, “Ia sudah beristri”) bisa dipositifkan menjadi hubungan yang produktif. Tidak ada lagi perselingkuhan, melainkan sebuah kerja bersama yang kreatif. Kimia-kreativitas inilah bentuk cinta yang matang dan tidak kekanak-kanakan—dan harus diterima sistem nilai mana pun.

Dalam bukunya yang populer, The Art of Loving (1962), Erich Fromm menyebutkan dampak kapitalisme, yang mengakibat-kan pandangan atas cinta seperti hubungan dagang. Kalau aku memberi, harus ada imbalannya. Cinta yang adil adalah adil menurut hukum dagang, kalau aku memberi, aku harus juga menerima. Kalau aku memberi dan tidak menerima, aku berkorban. Dalam pengertian ini berkorban seperti pen-deritaan, karena kehilangan sesuatu. Memberi berarti suatu pemiskinan, suatu kehilangan, suatu pengorbanan. Ini tidak produktif dan tidak matang. Lain kalau memberi sebagai orang yang mempunyai kelebihan, aku memberi karena aku mampu. Tindakan memberi membuat si pemberi bertambah kaya, karena artinya bertambah mampu. Ini baru matang, dan produktif. Hilangnya kesadaran seperti ini membuat orang memburu cinta seperti kehausan di padang pasir.

136 | Affair

Jelaslah affair yang menjadi modus operandi masyarakat kota besar, mengacu kepada hukum dagang ini. Aku tidak mendapatkan cinta dalam dunia yang terlembaga, dalam perkawinanku, mengapa aku tidak bisa menerimanya di luar lembaga ini? Kebahagiaan yang tidak kudapat di dalam rumah, mengapa harus kutolak jika mendapatkannya di luar rumah? Masalahnya, ketika keajaiban cinta memudar, apakah itu harus berarti mencari lagi dan mencari lagi? Anda bisa kecanduan affair. Mereka yang terlontar dari affair ke affair, bisa membuktikan bahwa affair selalu ber-akhir. Sampai di sini, affair bukan sebuah jalan keluar. Ya, betul, affair adalah jalan buntu.

Majalah Néo, Juli 2000.

Bayi dalam Gendongan: Sebuah Teater Jalanan

Mengemis barangkali bukan lagi potret kemiskinan, melainkan kreativitas.

SEORANG ibu membawa bayi di perempatan. Siapakah me-reka? Dari manakah mereka? Seorang ibu membawa bayi di perempatan. Tangannya menengadah dengan wajah meme-las, tangan itu menyentuh kaca jendela mobil yang tertutup. Namanya jendela, tapi belum tentu seseorang bisa menengok ke dalam mobil, karena kaca film penahan panas bisa begitu tebal, barangkali sampai 80 persen, nyaris gelap—tapi para ibu yang membawa seperti tahu kalau orang-orang di balik kaca gelap itu bisa melihat mereka. Seorang ibu membawa bayi di perempatan. Ia sadar sedang ditatap, setidaknya mungkin saja sedang ditatap, karena meski kelas menengah bermobil berusaha mengingkari pemandangan kemiskinan, seperti mengingkarinya sebagai bagian diri mereka juga, ba-gaimanakah kemiskinan akan bisa dihindari jika kita semua toh berkubang di dalamnya? Perilaku khas kelas menengah baru: pura-pura tidak melihatnya kemiskinan itu.

138 | Affair

Tetapi sang ibu tidak pernah menyerah. Ia mempertimbang-kan bahwa barangkali saja dalam sepertiga detik seorang war-ga kelas menengah baru akan meliriknya, sebelum membuang pandang, jadi ia tetap memasang wajah sememelas-memelas-nya. Dalam taktik ini, sering terlihat sensasi luar biasa: sang ibu menyusui bayinya, menyodokkan pemandangan itu ke dekat jendela seolah-olah tiada sengaja, tapi dengan maksud sejelas-jelasnya—agar sang pemandang jatuh kasihan. Sering terjadi, jendela nan gelap itu turun secara otomatis, dan se-lembar uang ribuan, muncul dari balik jendela. Dengan sebat sang ibu akan segera mengambilnya, lantas berpindah ke jen-dela lain, dalam antrean kemacetan yang luar biasa panjang.

Seorang ibu membawa bayi di perempatan. Siapakah dia? Dari manakah dia? Ada baiknya kita membaca Ketika Lampu Berwarna Merah (1981), sebuah novel karya Hamsad Rangkuti. Karena dalam ilmu surat tidak ada juara nomor satu, saya tidak bisa mengatakan Hamsad adalah penulis yang terbaik dalam penggambaran kemiskinan, tetapi saya masih berhak mengatakan penggambarannya sebagai yang paling saya sukai. Saya teringat, ada kisah tentang seorang anak yang dibawa berganti-ganti oleh para gelandangan di perempatan, setiap kali lampu berwarna merah. Diceritakan pula selintas, bagaimana mereka berbagi keuntungan, dan de-ngan itu terlihat sikap mereka terhadap tindakan mengemis sebagai pekerjaan.

Ini mengubah sikap saya terhadap pemandangan kemiskinan. Mereka yang membuka jendela dan mengulurkan selembar atau sekoin uang, mempunyai alasan masing-masing dalam tindakannya: ada yang mau pahala, ada yang kasihan saja, ada

Seno Gumira Ajidarma | 139

yang melakukan identifikasi diri—bayangkan kalau perempu-an itu ibuku, dan bayi itu adalah diriku sendiri. Pemandangan ibu menyusui bayi di perempatan itu memang absurd: sang bayi tertidur nyenyak dalam selendang, dalam kedamaian du-nia yang terlindung, sementara terik matahari memancar tak kenal ampun dan asap knalpot menyelubunginya. Sedikit ba-nyak hal ini mengecoh mata yang terlalu cepat jatuh kasihan dari suatu kenyataan: bayi itu bukan anaknya sendiri, karena bayi itu bayi sewaan. Adakalanya memang tidak jelas bayi itu anak siapa. Mula-mula memang jelas siapa ibunya, karena tentu harus ada yang melahirkan dong, tapi bisa saja ibunya tak peduli, dan membiarkan bayi itu beredar dari tangan ke ta-ngan. Seorang agen akan menguasai bayi itu, dan memungut uang sewa dari para pengemis yang akan memanfaatkannya. Bisakah dibayangkan akan bagaimana jadinya bayi itu nanti setelah dewasa?

Tentu saja hal itu hanya bisa terjadi di kota besar, karena mengemis rupa-rupanya telah menjadi spesialisasi. Mengemis adalah pekerjaan, bukan karena tidak bisa mencari peker-jaan, dan dengan begitu menjadi seorang pengemis adalah suatu kerja profesional. Di bawah sebuah jembatan layang di Jakarta, terdapat seorang perempuan pengemis berkaki satu, yang ternyata mempunyai tiga rumah di desanya. Ini bukan keajaiban, karena perhitungan akurat bisa dilakukan dengan menghitung jumlah mobil yang lewat dalam sekian jam, kali berapa rupiah, kali berapa hari kerja dalam sebulan. Karena pengemis tidak mengenal hari libur, bisa dibayangkan peng-hasilan mereka berlipat ganda. Dengan kata lain, mengemis barangkali bukan lagi potret kemiskinan, melainkan kreativi-tas. Bukan rahasia lagi cerita tentang kekayaan para pengemis

140 | Affair

itu di desa mereka, sawah, ladang, rumah—mereka hanya mengemis untuk menunggu panen. Busyet. Orang-orang kota telah dikibulinya.

Persewaan bayi, dengan begitu, bisa dianggap sebagai contoh kreativitas yang lahir dari budaya kemiskinan. Bukan ekono-mi yang jadi soal, melainkan ketiadaan alternatif, dan usaha menciptakan peluang dalam budaya kemiskinan ini mengha-lalkan eksploitasi bayi sebagai aset dalam bisnis-mengemis yang menguntungkan. Para pengemis ini tidak berasal dari cerita-cerita Charles Dickens atau Balai Pustaka yang meme-las, mereka adalah para aktor, dan bayi itu ibarat bayi dalam film yang tak tahu sedang terlibat dalam urusan apa. Saya kira ini suatu fenomena yang masuk akal, dari sebuah negeri yang dirinya sendiri adalah pengemis kelas dunia. Fenomena pura-pura miskin supaya bisa kelihatan kaya. Sebuah paradoks Indonesia.

Majalah Latitudes, Desember 2001

sebagai “A Baby in a Sling: A Street Theatre”, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh John MacDougall.

Affair 2

My Pembokat and Her Cellphone

Betapa ruang dan waktu memang relatif.

TRADISI pembokat mengabdi para majikan sudah memudar, tentu bukan sekadar karena mengabdi selama 24 jam bergaji terlalu kecil, tetapi juga karena konsep pengabdian lebih di-terima generasi baru dari desa sebagai perbudakan, sehingga memperbudakkan diri dengan sukarela bukanlah politik iden-titas yang membanggakan.

Kaum urban dari luar Jakarta lebih bangga bekerja sebagai buruh daripada pembantu rumah tangga, karena dalam iden-titas buruh tidak terdapat kesan perbudakan. Bekerja seperti mesin mungkin iya, tetapi seorang buruh, meskipun gajinya bisa lebih kecil dari pembantu rumah tangga (di Pondok Indah tentunya), adalah manusia merdeka. Pada jam kerja tidak menjadi dirinya, tapi setelah “bubaran pabrik” dan se-habis mandi, dapat dengan kepala tegak memandang dunia.

Pembantu rumah tangga tentu juga manusia merdeka, teta-pi manusia merdeka tanpa kontrak kerja yang hidup 24 jam demi majikannya. Ia bangun pagi subuh dalam rumah tangga yang “dibantu”-nya, menyiapkan sarapan dan menata meja sebelum terang tanah tiba, disusul menyapu dan mengepel

144 | Affair

pula, tak jarang lantas mengantar anak-anak majikannya ke sekolah. Jika Tuan dan Nyonya bekerja, jelas segala tanggung jawab sepanjang siang sampai sore berada di tangannya. Nah, pada malam hari, jika Tuan dan Nyonya entah pukul berapa baru tiba, karena selain tugas kantor, di Jakarta bersosialisasi adalah “pekerjaan” pula, tugas-tugas bagi sang pembokat seo-lah baru dimulai. Meski sudah terkantuk-kantuk, tiada dapat diterima jika ada kata “tidak” pada saat kewajiban buka pintu pagar tiba, yang masih bisa disambung bawakan barang ini-itu dari mobil dan lain sebagainya.

Dalam pengabdian, segala sesuatu dilakukan dengan sukare-la dan bahagia, tetapi zaman pengabdian di dunia ini telah berlalu. Jadi para pembokat akan menggerutu saat dipanggil untuk ini dan itu ketika nonton Tukul Arwana, ketika ngobrol dengan pacarnya yang pembokat tetangga sebelah di pagar, dan tentu saja ketika asyik sms-an atau menerima telepon entah siapa dari kampung. Atas ruang kemerdekaan semacam itu, kaum majikan biasanya juga akan mencibir dengan kesal, “Coba lihat pembokat zaman sekarang ...”, dengan lanjutan kalimat yang dapat ditebak: intinya menyesali memudarnya zaman pengabdian ketika para abdi terbongkok-bongkok me-manggil diri mereka sebagai Tuan dan Nyonya atawa ndoro.

Namun sesal kemudian tiada berguna bukan? Nasi telah men-jadi bubur. Di televisi mereka saksikan pembokat boleh ku-rang ajar seperti dalam Srimulat. Tidaklah mereka kemudian menjadi kurang ajar pula kepada majikannya sendiri, tetapi provokasi gagasan liberal dan progresif tak terbendung lagi mengajak mereka berdialog, lantas memperkaya wacana me-reka, sehingga setiap usaha pembebanan makna (imposition of meaning) seperti “pembokat wajib mengabdi” dapat mereka

Seno Gumira Ajidarma | 145

negosiasikan, bahkan bukan tak mungkin mereka tolak pula.

Salah satu bentuk negosiasi dalam penolakan beban makna itu adalah memiliki telepon genggamnya sendiri, seperti mengejek kecenderungan majikan gaya lama yang suka me-ngunci pesawat telepon di rumahnya, karena dalam hatinya sudah terdapat bulu-bulu penuduhan: kalau tidak dikunci pasti dipakai interlokal. Maka saksikanlah betapa benda pipih bernama telepon genggam itu ternyata memberikan ruang tak terbatas kepada para pembokat di kamar belakang. Berarti “orang belakang” ini dengan telepon genggamnya telah mela-kukan lompatan kuantum ke depan, tetapi sementara ruang waktunya memecah batas-batas tradisional, tak berarti waca-na tradisional yang telah membentuknya sebagai subjek sosial dapat segera ditinggalkannya pula.

Pembantu rumah tangga saya pada hari pertamanya, meski ringing tone telepon genggamnya teracu ke Beethoven, de-ngan tenang cuci tangan menggunakan air cucuran kloset. Memang, bersih sih bersih saja bukan? Namun wacana yang dikenalnya dalam cara membaca teks air mengucur tidak memberitahukan kepadanya bahwa air mengucur di dalam kloset itu tidak sama fungsinya dengan air mengucur dari ke-ran. Ini menegaskan betapa lompatan kuantum dalam ruang dan waktu yang telah dialaminya tidak membawa ia ke mana-mana, karena seluruh komunikasi yang dilakukan pun, mene-lepon atau ditelepon, adalah dengan keluarga di kampungnya.

Betapa pun, ruang dan waktu yang diberikan telepon genggam telah membuat ruang dan waktu dunia ini menjadi semakin relatif, sehingga sambil menyapu dan mengepel di Jakarta, dengan telepon genggam terus-menerus menempel di telinga,

146 | Affair

ia tetaplah hadir dan eksis di kampungnya, di Parakan, Jawa Tengah sana.

Atas relativitas ruang-waktu yang telah diberikan telepon genggam itu, terkuak ruang baru dalam waktu yang bersama-an, sebagai posisi satu waktu dua ruang, yang telah menjadi ruang kebebasan dan kemerdekaannya. Ruang pertama ada-lah tempat tubuhnya berada di Jakarta, ruang kedua adalah kehadiran suaranya dalam telepon genggam sanak saudaranya di Parakan, yang notabene adalah suara hatinya. Dalam posisi keterbawahannya sebagai pembokat yang membutuhkan penghasilan, telepon genggam memperkuat daya perlawanan maupun negosiasinya, menghadapi sisa-sisa tekanan ideologi masa lalu, bahwa pembantu rumah tangga yang baik mengab-di majikan selama 24 jam.

Tabloid Djakarta!, No. 116, 21 Januari 2009.

Doi Panggil Ogut Nyomet!

Topeng monyet di jalan raya.

TOPENG-monyet adalah pertunjukan tanpa topeng. Semacam “sirkus minimalis” bermodal satu atau dua monyet, tentu lengkap dengan terban atau tambur kecil yang ditabuh untuk mengiringi ujaran sang juru cerita, sepeda supermini, kursi kecil, papan tulis kecil, senapan mainan, topi kecil, dan entah apa lagi yang jadi properti teater kecil itu.

Cerita yang dibawakannya adalah tema “monyet meniru ma-nusia”. Monyet bersekolah di atas kursi kecil sambil memba-wa papan tulis, monyet jadi tentara yang menembak, monyet naik sepeda santai pakai topi koboi, dan banyak lagi perilaku yang akan membuat manusia tertawa. Apakah ini harus berar-ti manusia menertawakan dirinya sendiri? Yang berlangsung manusia bertopeng monyet atau monyet bertopeng manusia?

Betapa pun, menurut saya, para pekerja topeng-monyet mes-tinya termasuk manusia kelas “ekonomi kreatif” yang sedang diunggul-unggulkan untuk menyelamatkan dunia itu. Mereka memanggul propertinya dengan sang monyet bertengger di punggung, keluar masuk kampung menghibur kanak-kanak dengan atraksi sehat. Bukankah melatih monyet bisa main topeng-monyet memang bukan kerja sembarangan?

148 | Affair

Namun itulah masalahnya sekarang: kelas ekonomi kreatif ini belakangan sering saya lihat mengemis di jalan raya! Mengemis? Ya, mengemis! Manusia dan monyet sama-sama mengemis—tepatnya tentu manusia mengemis melalui mo-nyet. Tiada lagi pesona dramatik ujaran naratif juru cerita, hanya tambur dipukul agar monyet naik sepeda dan jungkir balik sedikit, sebelum memunguti koin yang dilempar ke kaki lima.

Teringat kemeriahan setiap kali topeng-monyet ini bermain di gang-gang kampung, pemandangan ini mengenaskan dan tiadalah membanggakan. Monyet ini tidak jungkir balik di ha-dapan penonton kanak-kanak maupun dewasa yang tertawa-tawa gembira. Di bawah lampu merah di kaki lima hanya ada deretan mobil dengan jendela tertutup. Kadang-kadang saja terbuka sebentar untuk melemparkan koinnya …

Keahlian istimewa digunakan untuk melatih monyet agar mengambil koin! Ketika deretan mobil berhenti di lampu me-rah, monyet-monyet ini memandang ke arah jendela berkaca film, seperti mereka tahu tentang uang. Orang-orang dari balik jendela mobil ber-AC memandang diam di tengah seribu satu persoalannya sendiri. Mungkin peduli mungkin kasihan. Hanya knalpot menyemburkan asap pembakaran ke jalanan.

Saya berpikir tentang perubahan. Di gang-gang kampung maupun kompleks perumahan, suami dan istri sudah lazim bekerja sampai malam, dan kanak-kanak maupun pembokat tidak diberi anggaran topeng-monyet. Atraksi itu memang biasa diborong seseorang untuk anaknya, dan para tetangga ikut bahagia menontonnya. Kini, seandainya pun ada anggar-an, mungkin juga habis di play-station saja bukan?

Seno Gumira Ajidarma | 149

Tergusurnya topeng-monyet ke pinggir jalan raya yang bising dan tak peduli menunjukkan bagaimana ekonomi berpenga-ruh langsung kepada konstruksi kebudayaan, karena memang menjadi bagian tak terpisahkan. Kombinasi variabel (1) tek-nologi, (2) media, dan (3) finansial sebagai faktor determinan globalisasi telah mendorong tumbuhnya bentuk permainan mekanis yang dapat digandakan secepat-cepatnya dan seba-nyak-banyaknya.

Reproduksi video game dan film cerita dalam dvd (bajakan ma-upun “asli”) jelas tak dapat disaingi oleh teater kecil dengan segenap monyet yang entah dari mana mendapatkannya, dan bagaimana pula melatihnya itu. Keberadaan topeng-monyet adalah keberadaan variabel (4) etnik, tetapi yang mitologinya mengalami perubahan: perilaku monyet beneran yang meni-rukan perilaku manusia, yang sebetulnya membuka peluang bagi permainan filosofis, yakni apakah bukan manusia yang berperilaku seperti monyet, tidak dianggap sebagai kekayaan budaya yang perlu dipelihara.

Tidak dianggap dan tidak diperlukan. Faktor (5) ideologis yang kini hegemonik, yang mana pun itu, yang dalam teori disjuncture Arjun Appadurai termasuk faktor determinan da-lam kombinasi lima variabel pembentuk arus budaya global yang telah disebutkan, buktinya juga tidak melahirkan prak-sis apa pun atas runtuhnya kehormatan topeng-monyet itu. Sehingga tergusurnya topeng-monyet seolah-olah menjadi suatu perubahan yang wajar, dan “alamiah” adanya.

Padahal penurunan derajat sosial dari kelas ekonomi kreatif sirkus-minimalis menjadi kelas ekonomi pengemisan bukan-lah peristiwa alam, melainkan peristiwa kebudayaan: meski

150 | Affair

globalisasi selain membentuk kesamaan, juga menumbuhkan kebedaan, tetapi yang-berbeda itu akan berada dalam posisi terbawahkan yang masih harus berjuang melawan pembeban-an makna wacana dominan.

Entahlah makna apa yang masih dapat diperlawankan topeng-monyet di pinggir jalan, sebagai titik kecil dalam arus besar ratusan ribu mobil di bawah jalan layang dengan latar bela-kang gedung-gedung bertingkat. Teori Bertolt Brecht tentang teater: bukanlah tiruan dan kemiripan atas kenyataan yang penting, karena itu adalah ilusi, melainkan “efek pengasingan (Verfremdung)”-nya, agar penonton mendapatkan jarak kritis untuk merenungkan situasi. Brecht menuntut aktor tidak melebur dengan peran, melainkan jelas seperti bersandiwara sahaja.

Bahwa topeng-monyet mengandalkan monyet dan bukan manusia untuk memperlihatkan kehidupan, tentu memenuhi syarat bagi pembuyaran ilusi dalam tujuan realisme untuk meniru manusia—dan penonton dari dalam mobil boleh mempertimbangkan, kesahihan apa yang membuat derajat-nya memang lebih tinggi dari monyet bercelana jeans itu .

Tabloid Djakarta!, No. 117, 21 Februari 2009.

Ngelmu Forward

PARA Homo Jakartensis pasti mengenal “forward segitiga” seperti ini: A menulis sms kepada B, kamu tahu kan C itu emang mehong? Lantas B memang menjawab, ember, C mah mehong berat. Namun sementara B menjawab A, doi forward pula sms A kepada C, dengan “pengantar” : A kirim sms ini, sehingga C pun nge-forward lagi sms tersebut kepada A, juga dengan “pengan-tar”: elu mangsudnye ape ngomong beginian tentang gue? A pun, karena sebel kepada B, segera nge-forward sms jawaban B tadi, tentu dengan “pengantar” lagi: eh, jangan sale, semue orang juga ngomongin elu kayak gitu. Nah, C pun menyampaikannya kem-bali ke B, dengan pengantar yang sudah bisa ditebak! Nah!

Saya tidak sedang berbicara tentang prestasi “teknologi for-ward” itu, melainkan etika yang tidak cocok dengan keberada-an teknologi tersebut. Jelas, kemangkus-sangkilan merupa-kan ideologi di balik “teknologi forward”. Ketimbang menulis teks yang sama, kan tinggal di-forward saja. Namun kalimat yang dimaksud tentunya merupakan urgensi perusahaan, seperti semua kurir jangan melewati Kampung Melayu. Banjir setinggi pinggang; atau urgensi kemanusiaan, seperti para demonstran aksi damai di depan Gedung DPR dianiaya aparat. Sebarkan segera. Jadi jelas bukan urusan rumpi merumpi ma-salah pribadi mehong yang pantas disebut urgen atawa pen-ting dan mendesak, melainkan urusan teknis profesional atau

152 | Affair

tentu saja masalah yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak.

Adalah penting bagi orang banyak untuk tahu, betapa aparat yang dibeayai pajak mereka telah menganiaya anak-anak muda yang menyuarakan kepentingan mereka sendiri. Nyang beginian tentu justru wajib di-forward-keun karena teori ke-maslahatan orang banyak itu tadi. Dalam hal beginian, “tek-nologi forward” bagaikan ada memang untuk dimanfaatkan kepentingan seperti itu. Jadi etika yang mengatakan “tekno-logi forward” tak layak untuk rumpi merumpi, justru menjadi wajib bagi kepentingan orang yang lebih banyak. Ini berarti etika mestinya mendahului keberadaan barang itu di pasar. Jika tidak, bukan sekadar “forward segitiga” yang akan ber-langsung, melainkan rekaman adegan-adegan personal tanpa ada yang suruh disebarkan ke mana-mana. Seperti diketahui, peristiwa seperti ini menimbulkan korban di pihak yang tidak bersalah …

Dalam hal ini teori mesti mendahului praksis teknologi baru, karena yang personal dan yang publik bukan sekadar akan menjadi kabur, melainkan betapa kekaburan itu akan menga-kibatkan jatuhnya banyak korban yang tidak perlu. Kira-kira seperti penghuni baru apartemen atau rumah susun, yang akan mendapat pengantar sekitar kode etik yang berlaku: ja-ngan membuang sampah dari atas, jangan pelihara ayam, dan lain sebagainya; demikian pula sebelum “teknologi forward” ini menyebar dengan amat sangat luasnya sebagai perleng-kapan telepon genggam. Terbukti, tanpa perbincangan etis terlebih dahulu, semakin tak layak wacana yang berlangsung, semakin tersebar sebagai sensasi menjijikkan.

Seno Gumira Ajidarma | 153

Kita mungkin kagum dan setuju bahwa dengan canggihnya KPK telah menembus alias menyadap, mencuri dengar, mere-kam, mentranskrip, dan menyebarkan perbincangan antarko-ruptor, sehingga menjadi bukti tidak terelakkan. Namun ba-gaimana jika teknologi yang sama jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, dan digunakan untuk memeras demi keuntungan sendiri, atas aib yang menyangkut pribadi tetapi tidak merugikan orang banyak sama sekali?

Majalah Djakarta!, No. 118, 21 Maret 2009.

Senja di Jakarta

Atawa kisah representasi.

SUATU ketika di jalanan Jakarta, saya melihat senja. Adapun artinya, dalam kemacetan saya saksikan langit yang bergum-pal-gumpal jingga, tetapi yang mendapatkan cahayanya dari bawah. Di tengah kota Jakarta, tidaklah terlalu jelas apakah matahari masih seperti setengah bulatan besi membara yang sedang tenggelam perlahan-lahan ke dalam lautan, yang membuat permukaan laut seluruhnya jingga; ataukah sudah tenggelam seluruhnya dan hanya tersisa cahayanya yang cemerlang menyepuh mega-mega, dan itulah yang saya lihat dari bawah, saya tidak tahu.

Jika saya katakan di tengah kemacetan Jakarta, maka ten-tulah bisa dibayangkan terdapatnya gedung-gedung di kiri kanan jalan, tiang listrik, jembatan penyeberangan, dan pa-pan-papan iklan yang centang perenang, yang semuanya itu menghalangi pandangan. Matahari tenggelam setiap hari, senja terjadi setiap hari, tetapi dari jalanan Jakarta, senja adalah suatu wacana yang tertunda. Bukan seperti di gu-nung atau di pantai, tepatnya di tengah alam terbuka, senja di Jakarta adalah wacana yang nyaris tidak bekerja, karena ia memang tidak pernah tertampakkan dengan sepenuhnya. Di pantai misalnya, matahari senja adalah primadona yang setiap kali membenamkan diri menjadi atraksi yang dinanti

156 | Affair

pengunjung pantai seluruh dunia—sementara pada saat yang sama, tiada yang memedulikannya di dalam kota.

Namun kali ini saya memperhatikannya, mega-mega sembu-rat jingga karena cahaya dari bawahnya. Di tengah kemacetan Jakarta, langit senja yang kemerah-merahan bagi saya selalu luar biasa. Maka saya pun mengirim pesan ke telepon geng-gam seseorang di luar kota. Dengan sebisa-bisanya saya me-nuliskan deskripsi senja dengan cara sesingkat-singkatnya, lantas mengirimkannya. Mungkinkah?

Rasanya saya telah menggunakan banyak kata untuk meng-ungkapkan kembali gemilang senja yang dalam kemerahan-nya akan segera berubah menjadi kegelapan—kefanaan pedih kehidupan, yang dengan anggun menerima kekalahan pada puncak kejayaan; tetapi seberapa banyak kata pun rasanya tiada akan pernah mencukupinya; maka apalah kiranya yang dapat tersampaikan dalam sepotong sms sahaja? Dengan kepercayaan diri seorang penyair, yang memang bertugas mengungkap makna berada dalam dunia, melalui kata-kata secukupnya saja, saya kirimlah sebuah pesan pendek.

Ternyata, meski senja di tempatnya hanyalah kelabu yang rata, barangkali mendung tentunya, saya pun tidak melihatnya sendiri, dikatakannya berdasarkan sms saya, bahwa tentunya senja yang saya saksikan itu indah sekali. Hmm. Bukankah ini kisah tentang representasi? Saya berusaha memproses peristiwa “mentah” bernama senja, dengan berbagai penanda dalam bahasa yang harap saja dikenal, dan ternyata dalam wacana penerimanya tertafsirkan sebagai, “Wah, indah sekali.” Mungkinkah? Mungkinkah langit semburat jingga yang saya tatap sebagai suatu peristiwa senja visual, terwakili

Seno Gumira Ajidarma | 157

sepenuhnya oleh langit semburat jingga sebagai teks literer? Yang terpandang dan “mentah” (raw) diproses sampai “ma-tang” dengan kata-kata yang berusaha keras menerjemahkan pemandangan “sepersis-persisnya”, seolah terdapat rumusan bahwa yang literer sama saja dengan yang visual, sementara yang berlangsung adalah sebaliknya: literer itu bukan alias tidak sama dengan visual—sehingga bahkan dijamin, bahwa pengertian yang diterima pastilah tidak akan sama.

Jadi bagaimanakah kiranya yang bagi saya luar biasa, diterima oleh seseorang yang lain di kota lain sebagai luar biasa juga, padahal “melihat saja juga tidak” kiranya? Secara praktis tentu karena “percaya” kepada saya, tetapi secara teoretis kata “per-caya” saja tidak cukup, melainkan karena penanda-penanda yang saya sampaikan sebagai kata-kata yang membentuk kalimat, dalam wacananya memang memenuhi kritreria luar biasa.

Perhatikan: yang dibacanya adalah representasi senja, dan bukan senja itu sendiri. Begitu pula halnya jika representasi senja yang saya kirimkan adalah gambar hasil jepretan kame-ra pada telepon genggam. Namun yang belakangan ini, mes-kipun ikonik (gambarnya mirip pemandangan yang tertatap mata), dan bukan simbolik (bahwa aksara s-e-n-j-a disepakati sebagai representasi senja), belum tentu akan menjadi repre-sentasi senja yang diterima sebagai luar biasa, karena gambar atas senja yang luar biasa itu, sekali lagi gambarnya, dalam kriteria yang mendapat kiriman, memang biasa-biasa saja.

Dengan kata lain, untuk menerima representasi senja luar bi-asa sebagai senja yang luar biasa juga, ternyata diperlukan pe-ran yang menerima atawa membacanya sebagai teks, sebagai

158 | Affair

pihak yang memberi makna—tepatnya, melakukan produksi makna. Ini juga berlangsung ketika saya sendiri seolah-olah juga paham saja dengan senja sebagai kekelabuan yang rata, yang begitu saja tersepakati sebagai senja yang tidak luar biasa, atau bahkan seperti judul kumpulan cerpen Arswendo Atmowiloto, Senja yang Paling Tidak Menarik (2000). Padahal, tentu bukanlah harga mati pula bahwa senja dengan kekela-buan yang rata itu tidak bisa menjadi menarik.

Variabel perbedaan tafsir atas representasi peristiwa “men-tah” mana pun bergradasi sangat halus, nyaris tak terurai, tetapi dengan keluasan begitu rupa, sehingga melahirkan polarisasi ekstrem, dan karena itu perlu dibagi menjadi tiga posisi hipotetis: terdominasi, bernegosiasi, dan beroposisi.

Majalah Djakarta!, No. 119, 21 April 2009.

Orang-Orang yang Tidak Tenang

Dan hanya tenang dalam tempurung

DALAM dunia kesenian ada yang disebut kegelisahan kreatif, kegelisahan semacam inilah yang membuat siapa pun orang-nya, dalam dunia apa pun, seniman maupun bukan seniman, akan terus berkarya. Dengan kata lain, bolehlah kita sebut sebagai kegelisahan produktif.

Namun bukan kegelisahan produktif ini yang ingin saya bi-carakan, melainkan kegelisahan jiwa mengenaskan, sejenis kegelisahan orang-orang yang membuat buku-buku “spiritual pop” laris manis tanjung kimpul. Sesuai dengan semangat za-man serba-instant buku-buku ini memberikan jawaban atau “solusi” (ini juga kosakata yang bikin muntah) praktis, ten-tang apa yang harus dilakukan dan bagaimana mesti bersikap, kepada umat manusia yang sudah merasa hidupnya keliru hanya karena kurang bahagia sedikit saja.

Inilah orang-orang yang jiwanya kosong, mencari “panutan”, tokoh-tokoh yang bisa mereka kagumi sesuai dengan selera, yang kata-katanya menyejukkan dan menenangkan, agar

160 | Affair

hidup bisa dijalani dengan tenang, antara lain karena ada ha-rapan besar masuk surga. Namun “kegelisahan spiritual” yang bagi orang kreatif melahirkan “pengembaraan spiritual”, bah-kan “petualangan spiritual”, bagi orang-orang yang mendapat tradisi pendidikan salah (baca: bertanya dan mendebat guru atau orang tua adalah kurang ajar; patuh dan menurut adalah teladan) akan terasa sebagai neraka dunia. Orang-orang ini mencari kepastian praktis dan bahkan formal, tentang apa yang baik dan benar.

Dengan kata lain, kebenaran seolah-olah terang seperti siang, dan bagi mereka sebaiknya begitu, karena ketidakjelasan akan hal ini sungguh akan amat sangat menggelisahkan. Maka jika ada buku yang menjelaskan tentang “40 sebab” kenapa sebuah rumah tidak didatangi malaikat misalnya, sungguh-sungguhlah mereka akan memastikan bahwa “40 sebab” ini tidak terdapat pada rumah mereka. Bahwa pemahaman teks kitab suci sebenarnyalah menghasilkan ilmu-ilmu penafsiran tersendiri, yang tentunya teoretis, tidak formal dan tidak praktis, sebelum sampai kepada makna tersepakati, dan kare-na itu bisa gugur setiap kali argumennya terbongkar, tidaklah terlalu sudi mereka ambil pusing.

Jiwa-jiwa kosong hanya bisa dipuaskan oleh jawaban instant dari sumber autoritatif top markotop. Mereka tidak mampu bertanggung jawab untuk dan demi dirinya sendiri, dan kare-na itu tentu tidak merasa perlu mencari jawaban atas kegeli-sahannya; kebenaran ingin dicapai seolah-olah tanpa proses: harus pasti mana yang salah dan mana yang benar. Tentu saja mereka juga lebih suka dan lebih tenang, jika yang benar ini adalah yang banyak, yang “umum”, yang “biasa-biasa saja”, yang diikuti oleh orang banyak. Ini juga berarti mereka terlalu

Seno Gumira Ajidarma | 161

mudah untuk menjadi gelisah, jika terdapat pendapat apa pun yang berbeda perihal kebenaran tersebut.

Tepatnya, kurang mampu menerima perbedaan. Nah, ngo-mong-ngomong, sebetulnya apa lagi yang lebih berbahaya dari ini? Celakanya, massa seperti inilah yang paling mudah dan paling sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang jauh lebih cerdas sebetulnya, tetapi rupanya juga cukup jahat. Betapa pun, mereka bisa dimanfaatkan karena terlalu jelas betapa ideologinya terkait dengan wacana dominan yang te-lah memberi ketenangan, melalui resep-resep simplistis ten-tang kebahagiaan tertinggi satu dimensi itu. Terganggunya ketenangan inilah yang akan membuat mereka terusik—dan sebetulnya atas nama keterusikan, dan bukan “kebenaran”, maka suatu inkorporasi (baca: penindasan) dilakukan. Dalam permainan kekuasaan, keduanya hanyalah dua pelanduk yang diadu gajah, yang bermaksud melenyapkan faktor perlawan-an, tanpa melalui tangannya sendiri.

Persoalannya bukanlah adanya penghasutan, melainkan be-tapa jenis-jenis hasutan tertentu mudah sekali ditelan dan dipercaya, karena cara berpikir dalam wacana stereotip yang memang menerima segala sesuatu yang keliru sebagai kebe-naran itu. Dengan kata lain, meski ada penghasut, saya tetap menyesalkan para terhasut yang sangat cepat bersetuju dengan segala pengutukan, penghujatan, penyerangan, penjarahan, pembakaran, pemerkosaan, dan pembunuhan atas nama ide-ologi apa pun namanya. Tentu wacana stereotip tidak datang secara instant, melainkan melalui proses hegemonisasi, tetapi dengan faktor resistensi, pada komunitas tersebut, yang cukup terbatas.

162 | Affair

Justru di sanalah masalahnya: spiritualitas macam apakah kiranya, yang telah mengimani manusia untuk hanya bisa tenang dalam tempurung kebudayaannya, dalam strata ke-luhurannya sendiri, dan tidak dapat menerima tradisi kebu-dayaan orang lain, komunitas lain, suku lain, bangsa lain, ras lain, agama lain, dalam kesetaraan hubungan antarmanusia? Hasutan adalah jahat, tetapi kepicikan dan kebodohanlah yang mengizinkan berlangsungnya kejahatan tersebut. Jadi suatu kebersalahan juga. Memang ajaib jika demi ketenangan batin pihak yang satu, maka eksistensi pihak yang lain harus dilenyapkan.

Terus terang, tanda-tanda zaman semacam itu dalam kenya-taannya beredar di sekitar kita. Meski sering ke luar negeri, menguasai berbagai bahasa, dan instrumen otaknya men-cukupi pula, wacana kebudayaannya tercerminkan sebagai kasur tua: enak untuk tidur karena sudah kenal lama. Segala sesuatu yang baru, yang lain, yang berbeda, mengusik kete-nangan, menggelisahkan, bahkan lantas menakutkan—dan seperti ketakutan kepada ular, tak perlu alasan untuk meng-gebuknya!

Majalah Djakarta!, No. 120, 7 Juni 2009.

Bandungia

Sekali waktu, pusat dunia adalah Bandung.

MESKIPUN “sudah ada Google”, saya masih peduli dengan buku-buku tua; karena memang tidak segala hal bisa di-klik begitu saja seperti lampu Aladin. Namun dari buku-buku tua, bukan hanya informasi langka yang kita cari akan ketemu, melainkan informasi lama pun akan menjadi baru, justru karena meskipun kita tidak mencarinya, ternyata ia memunculkan dirinya sendiri, seperti ketika saya menemukan istilah Bandungia ini.

Saya memang tidak mencari istilah apa pun ketika menemu-kan buku berjudul The Nature of the Non-Western World (Vera Micheles Dean, 1957) bersama buku-buku lain dari lemari buku tua di rumah warisan di Yogya. Buku berdebu yang su-dah hilang sampulnya itu saya ikat dengan tali ravia bersama buku-buku Margaret Mead, Ruth Benedict, Arnold Toynbee dan sejenisnya, lantas lempar begitu saja ke bagasi mobil, dan baru saya pegang lagi setahun kemudian, ketika memilih-milih buku yang rusak sebagai “kelinci percobaan” reparasi kondisi fisiknya ke penjilid profesional. Setelah jadi, barulah buku itu “layak pegang” dan bisa dibuka-buka kembali—toh masih saja remah-remah dari pinggir lembarannya kadang jatuh ke lantai.

Teringatlah saya, bahwa bukan nama penulisnya, yang tidak saya kenali, melainkan judul bukunya, yang menggiring saya

164 | Affair

untuk curiga, jangan-jangan ini salah satu buku “bodoh” dan “kurang ajar”, yang menganggap segala perumusan tentang dunia ini baru sahih dari kacamata yang disebut Western atawa Barat itu. Semenjak diperkenalkan kepada pemikiran Edward Said, terutama ketika membongkar wacana para Orientalis, bahwa cara berpikir mereka sungguh mengandung bias superioritas sebagai dampak kolonialisme, saya jadi se-lalu berprasangka, bahwa semua pandangan Barat atas Non-Barat pastilah “salah”.

Begitu juga prasangka saya ketika membaca judul buku itu. Namun saya tetap mengambil buku itu dengan tujuan: ba-rangkali akan bisa menggunakannya sebagai “contoh kesa-lahan” dalam suatu kajian yang berhubungan dengan topik semacam itu. Maka saya pun membuka-bukanya, dan terkejut melihat isinya yang peka terhadap “globalisasi” ketika wacana itu bahkan belum menjadi mimpi sama sekali.

Dengan mengutipkan saja judul-judul babnya, bagi pem-baca masa kini isinya saya rasa jelas: (1) Many Centuries in One; (2) Russia: Non-Western Communism; (3) Middle East: Islam versus Westernism; (4) India and Pakistan: Anglo-Asian Synthesis; (5) China: Confucius and the Commissars; (6) Japan: Asian Westernism; (7) Southeast Asia Non-Western Pluralism in Transition; (8) Africa: The Impact of the West; (9) Latin America: Where Westernism Stopped—dan seterusnya. Bagi penulis buku ini, dalam konteks Barat-Non-Barat, justru hampir semua bangsa Non-Barat itu tidak bisa menjadi Non-Barat sepenuhnya, karena penyerapan atas Barat itulah justru yang telah menumbuhkan bangsa-bangsa tersebut dalam waktu.

Seno Gumira Ajidarma | 165

Dengan kata lain, topik buku ini penting juga, dengan banyak rincian yang masih dapat dibaca, dan justru karena sebagian besar pembaca masa kini tentunya sudah “merdeka” dari bias pandangan kolonial, alias “sadar bias”, maka bias pandangan penulisnya dengan mudah dapat dihindari, bahkan sudut pandangannya itulah yang menarik dipelajari secara kritis. Namun ini belumlah penemuan yang saya maksudkan, kare-na yang mau saya sampaikan adalah judul pengantarnya: The Land of Bandungia. Apa maksudnya?

Ternyata maksudnya memang Bandung! Ya, onze Bandoeng zeg! Barulah saya sadar, buku itu terbit tahun 1957, artinya dua tahun setelah Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955 yang merupakan awal Gerakan Non-Blok di dunia itu. Agaknya, manuver Soekarno, Nehru, Nasser, dan para pemimpin lain yang lebih merupakan strategi politik kontem-porer, yakni berkonteks situasi politik internasional sesaat dan saat itu (saja), telah dipandang lebih jauh, yakni sebagai peristiwa kebudayaan, yang sekali mengubah, memang akan membuat segalanya juga berubah sebagai one way ticket, yakni tidak akan pernah kembali lagi. Dalam proses kebudayaan, perubahan bisa dikoreksi, tetapi tidak mungkin dikembalikan seperti semula.

Dengan Bandungia, Vera Micheles Dean memaksudkannya sebagai wilayah baru yang belum dikenal, terra incognita, yang terdiri dari 29 negara Asia-Afrika waktu itu, yang jumlah pen-duduknya lebih kurang 56 persen dari seluruh penduduk du-nia, dan semuanya non-kulit putih. Namun sebetulnya bukan peserta konferensi saja yang dirujuknya, karena Bandungia disebutnya peripatetic, yakni mengelilingi dunia: Asia, Afrika,

166 | Affair

Timur Tengah, Amerika Selatan, bahkan disebutnya juga se-bagian Eropa Timur. Dari Bandungia, yang untuk waktu itu masih disebutnya “sebagian besar penduduknya buta huruf” muncul kesadaran pentingnya perubahan sosial, politik, dan ekonomi—dengan segala kendala dari tradisi kebudayaannya sendiri seperti feodalisme—terutama dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan dari yang disebut “Barat” itu.

Saya belum membaca dengan cermat, adakah nada dan pera-saan “terancam” dalam perbincangannya yang argumentatif, tetapi yang masih minus teori-teori globalisasi, hibrida, dan mimikri yang tentunya akan memberi jalan pintas itu. Betapa pun, jalan pintas maupun jalan panjang, keduanya dimulai dengan Bandungia …

Majalah Djakarta!, No. 121, 7 Juli 2009.

Antiglobalisasi?

Globalisasi melahirkan perlawanan global yang beragam.

ISTILAH culture jamming sebetulnya datang dari anak-anak band Negativland pada 1984 di San Francisco, tetapi setelah antara lain Naomi Klein merumuskannya sebagai “writing theory on the streets” maka masuklah istilah ini sebagai salah satu entry dalam Communication, Cultural and Media Studies: The Key Concepts (2002) susunan John Hartley yang akan sering saya rujuk. Culture jamming kemudian memiliki nama lain, seperti guerilla art atau citizens art, yang jika contoh da-lam buku itu ditengok, apa yang tercontohkan di kota-kota besar Amerika Serikat, sebetulnya berlangsung juga di kota-kota besar Indonesia, bahwa wajah kota dengan papan iklan centang perenang bukanlah kekacauan melainkan perayaan.

Mengutip Kalle Lasn, disebutkan, “Para profesor komunikasi mengajari mahasiswa segalanya tentang kesalahan monopoli media global, tetapi tidak satu kata pun tentang bagaimana memperbaikinya.” Teks dalam culture jamming adalah pandu-an how-to yang merayakan hak khalayak untuk memanfaat-kan ruang publik dalam rangka menyodok dan mengganggu gugat pesan-pesan—yang semula dimaksudkan—searah dari korporasi raksasa. Agaknya inilah yang dimaksudkan juga oleh John Fiske sebagai semiotic guerilla warfare, yang

168 | Affair

sebetulnya tidak hanya berlangsung di ruang publik, tetapi di segala media.

Fenomena culture jamming hanya mungkin dipahami dengan menyimak kembali pengertian globalisasi, bahkan tepatnya antiglobalisasi. Di sini, di Indonesia, biasanya globalisasi di-keluhkan dari sudut kebudayaan, seolah-olah tradisi dan adat istiadat terdesak begitu rupa dan akan terhapus seluruhnya, berganti dengan kebudayaan tek-jing-tek-jing yang membuat para orang tua khawatir betapa anak-anaknya tidak akan ber-laku sopan lagi kepada mereka, dan kalau menghilang seben-tar saja jangan-jangan sedang melakukan perbuatan “amoral” dengan anak tetangga.

Namun baiklah kita catat, dengan merujuk Hartley (2002, 6-8) bahwa protes pertama atas globalisasi, dalam hal ini pen-dekatan global dalam kapitalisme, justru meruyak di tempat asalnya sendiri. Di negeri-negeri industri belahan utara itu, ketika sekadar karena utak-atik untung rugi segenap modal teralihkan ke negeri mana pun yang buruhnya bisa dibayar murah, sehingga ketika di sini buruh menjadi profesi baru yang jelas lebih prestisius daripada pembantu rumah tangga tradisional, di negeri-negeri asal modal itu terjadi pengang-guran besar-besaran.

Di sini globalisasi hanya dipandang sebagai gerakan kebuda-yaan, sebagai akibat terbentuknya jaringan komunikasi dalam teknologi elektronik, tetapi justru sebagai gerakan ekonomi kelompok-kelompok antikapitalis, relawan hak asasi manusia dan lingkungan hidup tidak pernah berhenti menyodok per-temuan dunia para pemimpin negeri-negeri industri ini sejak di Seattle tahun 1999—tak jarang dengan cara-cara yang

Seno Gumira Ajidarma | 169

lumayan anarkis. Perjuangan utamanya adalah jangan sampai dunia dikuasai sejumlah korporasi.

Maka seperti bertentangan dengan namanya, bukanlah kese-ragaman yang telah diakibatkan oleh globalisasi, melainkan ketidakseimbangan yang ditentukan oleh faktor pengetahu-an, lingkup ekonomi, pemerintah, dan watak kebudayaan atas ruang dan waktu dalam menanggapi peleburan teknologi. Arus sumber daya dan modal yang muncul sebagai hasil glo-balisasi bersifat strategis, diskriminatoris, dalam pengaruh negeri, industri dan perseorangan yang berkuasa. Tepatnya globalisasi itu di samping menguntungkan yang satu juga secara ekonomis merugikan yang lain.

Dengan kata lain, rakyat negeri-negeri terbawahkan sebetul-nya bisa mengalami eksploitasi bukan oleh modal asing, me-lainkan pemerintahnya sendiri. Musuh bersama itu bukanlah modal atau kebudayaan asing, tetapi persekutuan culas antara korporasi multinasional dengan rezim penindas yang disebut Naomi Klein sebagai pusat konsekuensi negatif dari globalisasi.

Ini berarti cap “antiglobalisasi” sendiri merupakan istilah yang keliru. Tuntutannya sendiri tak pernah antiglobalisasi, melainkan pemapanan hukum internasional, lembaga yang organisasinya berlangsung demokratis dalam menata kapital global, dan dalam beberapa hal, serikat dagang internasional yang akan menyelesaikan ketidaksetaraan distribusi. Ini je-las bukan usaha menghentikan globalisasi, melainkan lebih pada pemecahan setara bagi masyarakat globalisasi tersebut. Dalam bahasa Klein, kemenangan globalisasi ekonomik telah mengilhami suatu gelombang aktivis investigatif techno-savvy

170 | Affair

yang sama global pemikirannya dengan korporasi yang mere-ka lacak.

Sama seperti globalisasi, antiglobalisasi pun tidak seragam. Ada yang sekadar ngeyel saja, yang disebut sebagai skeptisis-me konservatif atas peningkatan dan hibriditas kilat dalam pilihan budaya akibat globalisasi. Sikap ini yang tampaknya menumbuhkan lokalisme dalam usaha mempertahankan otentisitas dan komunitas “alamiah”, memujikan hubungan bermuka-muka dalam perbandingannya dengan hubungan melalui perantaraan teknologi komunikasi. Memang pengeye-lan macam ini membuat antiglobalisasi menyempit, bahkan secara geografis terkucil sebagai komunitas terpusat, yang boleh dikhawatirkan menjadi kelewat eksklusif, dan ujung-ujungnya menjadi ekstrem.

Kelompok seperti ini memiliki mimpi nostalgik atas mitos masa lalu, yang tidak melihat keuntungan dari perluasan dan keberagaman dalam kebudayaan. Sebaliknya selalu curiga terhadap perbedaan dan demen bener membatasi hak-hak orang—nggak lucunya, kalau perlu dengan teks berwujud ledakan bom.

Mereka ini buta terhadap peluang yang diberikan dalam cultu-re jamming. Maunya dunia hanya sewarna, warna mereka!

Majalah Djakarta!, No. 122, 7 Agustus 2009.

Maestro Kibul

Tukang tipu gentayangan, waspadalah!

SEBETULNYA dia seorang aktor yang baik. Saya pernah me-lihatnya bermain di atas panggung, dan dia memang bukan sembarang pemain teater. Namun ia tidak pernah menjadi terkenal, bukan sekadar karena seseorang tidak akan menjadi terkenal hanya karena bermain teater, kecuali begitu geme-rincing seperti Rendra dan Putu Wijaya, melainkan karena tidak pernah lagi mengembangkan bakat seni perannya di atas panggung.

Ia memang tetap “mengembangkan” bakatnya itu, bukan se-bagai aktor teater, tetapi sebagai tukang tipu!

Tentu, ini seni peran juga namanya, dan bukan sekadar seni peran, karena doi juga harus mengarang sebuah cerita untuk membuat pemeranannya meyakinkan. Itulah suatu seni tipu daya, yang akan selalu mengena bagi mangsanya yang lugu, atau siapa pun dia yang cukup kurang waspada. Jadi tukang tipu adalah gabungan kemampuan seorang aktor dan seorang pengarang, tetapi dengan ideologi maling!

Memasang jerat tipu daya, memang merupakan suatu “seni” tersendiri. Misalnya tukang tipu kita ini, ketika menipu ba-nyak orang dengan berperan sebagai wartawan, ia mencoba

172 | Affair

berperan dengan meyakinkan, sesuai dengan harapan banyak orang tentang sosok wartawan. Maka, sebagai contoh, tas kulit yang selalu dicangklongnya bertuliskan kata PRESS. Bahkan di dompetnya ada pula kartu pers dengan foto dirinya di situ.

Bukanlah suatu rahasia bahwa dalam jurnalisme kuning, ada-kalanya wartawan tidak digaji, tapi diberi kartu pers sebagai modal “cari uang sendiri-sendiri”. Tentu saja ia akan berlagak mewawancarai orang, meyakinkan yang diwawancarainya bahwa akan dimuat jika ada sejumlah uang, yang agaknya co-cok saja dengan pemahaman banyak orang, bahwa wartawan amplop adalah jenis pekerjaan yang “normal”. Bedanya, da-lam hal tokoh kita, meski uang sudah diterima tiada jaminan beritanya muncul.

Demikianlah dengan kemampuan seni perannya yang meya-kinkan, ia bukan hanya pernah menjadi wartawan, melainkan juga orang bisnis, terutama dalam fungsi perantara, maupun penulis cerita bagi kelompok sandiwara lawak yang harus berpentas setiap hari. Yang terakhir ini bukan penipuan, tetapi menunjukkan imajinasi ngibul-nya yang tinggi, dan ketika mendengarnya saya anggap sebagai prestasi—tetapi sayangnya berujung dengan membawa lari uang kelompok sandiwara itu juga.

Tidakkah manusia menjadi tukang tipu karena mentalitas jalan pintas, tempat pepatah seperti “hemat pangkal kaya” atau “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” hanya dianggap pepesan kosong?

Peran favoritnya yang lain adalah “panitia” ini dan itu, yang ujung-ujungnya selalu menghilang bersama uang sponsor.

Seno Gumira Ajidarma | 173

Baru-baru ini seseorang bercerita kepada saya, bahwa dirinya pernah menjadi “asisten” tukang tipu kita tersebut, ketika ia ternyata berani berperan sebagai “orang pintar”. Busyet dah! Banyak orang yang percaya lho! Bahkan ketika perintahnya yang aneh-aneh dituruti, ada yang permintaannya terkabul!

Sang asisten ini bercerita bahwa seorang jenderal bermobil Mercy pernah dikerjain, yakni disuruh mencari batu berben-tuk telur yang hitam mulus, yang akhirnya memang dibawa-kannya dan diserahkan dengan sungguh-sungguh. Setelah batu itu “diberi doa”, jenderal itu disuruh untuk membawanya pulang, lantas melemparkannya ke belakang tanpa melihat, setelah berjalan tujuh langkah memasuki halaman rumahnya. Haha! Ajaib bukan? Namun lebih ajaib lagi adalah kenyataan bahwa jenderal ini datang kembali beberapa hari kemudian, menyampaikan “tanda terima kasih”, karena masalahnya su-dah berhasil diatasi!

Benar-benar maestro kibul!

Saya pernah menyaksikannya sendiri, ketika kami berjalan bersama dengan kantong yang kosong, cara ia menjual cincin berbatu akik ke tukang jual-beli batu akik itu di kaki lima. “Warisan,” ujarnya, dengan wajah seperti menahan sesu-atu yang berat, padahal orang tuanya masih ada! Cincin itu akhirnya dibeli juga, dan perut kami yang keroncongan segera kenyang di rumah makan Minang.

Itu cerita lebih dari 30 tahun lalu. Namun dari saat itu sampai sekarang, ternyata masih juga saya dengar, lihat, dan temu-kan, para tukang kibul gentayangan mengerahkan segala daya seni peran dan seni mengarangnya, menjadi suatu seni tipu

174 | Affair

daya yang akan sangat berhasil menjebak mangsanya, siapa pun dari kelas mana pun, bahkan meski pendidikannya tinggi.

Sebegitu jauh, menarik bagi saya justru mengamati para kor-ban tipu daya ini, yang sebetulnya berhasil ditipu bukan se-kadar karena suatu kelengahan, melainkan karena mentalitas jalan pintas yang sama, sehingga dapat terpikat untuk masuk ke dalam jebakan tanpa bisa keluar lagi. Seni tipu daya adalah tiadanya pemaksaan. Seseorang menjadi korban penipuan karena kebodohannya sendiri.

Kibul itu sendiri kemudian melembaga dalam berbagai strate-gi dagang, taktik dalam manajemen dan pemasaran, maupun juga kegiatan mencari pengikut dalam terorisme, yang pada dasarnya memainkan kode yang berlaku dalam perjuangan semiotik, dengan pemahaman yang sangat baik atas sistem tanda yang dikenal para calon korban. Sekali lagi, sama se-perti seni peran dan seni mengarang—tetapi dengan ideologi maling—maka tukang kibul itu juga memberlangsungkan kebudayaan .

Majalah Djakarta!, No. 123,

7 September 2009.

Ilmu Maksa’ dan Senyum Profesional

Peradaban sebagai simulasi kebudayaan.

HOMO Jakartensis ke sana kemari naik pesawat terbang, ke-cuali di tempat tujuan tiada lapangan terbang . Sedangkan kalau naik pesawat terbang, sesekali kita akan mendapat tempat duduk di deretan kursi dekat pintu darurat. Di sini kaki bisa selonjor, santai, dan sebentar kemudian, sebelum pesawat take off, akan mendekatlah seorang pramugari ke tempat duduk kita dan segera bertanya: “Maaf, Bapak dan Ibu sekalian, bisa minta waktunya sebentar?” Namun belum sempat menjawab pun, mulut pramugari itu biasanya sudah langsung nerocos seperti mitraliur… dudududududududududud!

Lantas doi akan bertanya, “Ada pertanyaan?”, dan tentu saja tidak ada pertanyaan, meski semua orang yang duduk di deretan kursi tidak memahami sepatah kata pun dari mulut mitraliur itu.

“Kalau ada yang kurang jelas silakan melihat petunjuk di kan-tung kursi,” katanya lagi.

Kemudian, sebelum kita mengangguk, doi sudah menghilang …

176 | Affair

Dalam petunjuk di kantung kursi itulah memang, secara praktis semuanya jadi jelas, tentang apa yang harus dilakukan ketika pesawat terbang berada dalam keadaan darurat, tepat-nya adalah cara membuka pintu darurat bila pesawat sudah mendarat, apakah itu di lapangan terbang, di atas sungai, atau di persawahan.

Kadang-kadang saya berpikir, bagaimana kalau kita berlagak pilon dan mengacungkan tangan, dan bertanya terus sampai kita “betul-betul mengerti”? Karena tidakkah ini “betul-betul penting”?

Kita tidak pernah tahu kapan pesawat akan mengalami kea-daan darurat, tetapi kita boleh memastikan bahwa jika terjadi tentu suasana penuh kepanikan. Dalam kepanikan, akan su-sahlah mengingat-ingat, bagaimana tadi petunjuk pramugari tentang membuka pintu ya?

Dalam keadaan darurat, bagaimana kalau kita cuma ingat dudududududud-nya doang?

***

Ilmu “ngomong cepet-cepetan” ini bukan hanya monopoli pramugari, karena berkali-kali saya alami ternyata juga dip-raktikkan oleh para pelayan restoran, terutama tentu restoran yang branded dan jaringan franchise-nya merambah ke seluruh dunia.

Ilmu “ngomong cepet-cepetan” ini rupanya adalah bagian dari ilmu maksa’. Coba perhatikan. Begitu kita ambil menu, baru mau memperhatikan apa maksudnya nama-nama ajaib ber-bagai makanan yang tentu bukan asli Indonesia itu, doi sudah

Seno Gumira Ajidarma | 177

langsung nerocos dan menganjurkan supaya kita “sebaiknya” memesan makanan menu spesial hari itu (yang tentunya su-dah dipersiapkan lebih banyak dari yang lain).

Yang paling ngeselin adalah jika doi berdiri di dekat meja pa-sang kuda-kuda siap mencatat—jelas ilmu maksa’ supaya kita cepat-cepat pesan.

Bila kita bertanya itu makanan apa, nah segeralah dudududu-dududud mulutnya “menjelaskan” bagaimana daging cincang bercampur bawang diolesi mostar dengan irisan daun selada dan taburan keju serta lada hitam. Entahlah bagaimana per-sisnya, karena ketika makanan tiba tetap saja kita akan berpi-kir, “Lho kok gini?”.

Dengan cepat pula ia akan mendorong-dorong, bahwa ma-kanan yang ini pasangannya adalah yang itu, dan kita “main iya” saja karena percaya, padahal si doi berbuat begitu hanya supaya segera selesai. Perhatikan saja caranya membaca selu-ruh menu yang kita pesan untuk memastikan, memang akan dududududududud lagi.

***

Cara ngomong cepet-cepetan seperti itu bukanlah bakat tu-runan, melainkan bagian dari suatu paket yang dilatih secara khusus, bahkan diuji untuk menentukan lulus tidaknya, agar bisa mendapat ijazah untuk bekerja. Dalam hubungannya dengan kepentingan komersial, maka bentuk kesopanan ten-tu adalah mutlak—cara bicara itu sudah satu paket dengan seragam, logo, dan komoditas jasa pelayanannya. Bahkan saya perhatikan, tubuh para pelayan restoran ini juga dipilih dan dijaga yang serba langsing, make-up pun seragam, gaya

178 | Affair

rambut pelayan laki-laki juga jelas tertata sesuai peraturan—itulah bisnis pelayanan dengan suatu gaya.

Nah, justru itu maka dipastikan bahwa etiket pelayanan leng-kap dengan senyuman dahsyat tersebut sama sekali lepas dari hatinya. Sikap profesional menuntut senyuman, tetapi kesan pribadi atau perasaannya sama sekali tidak terikat dengan se-mua itu. Maka di sanalah akan kita saksikan celah dan lubang pada benteng senyuman profesionalnya, yang sebetulnya tidak boleh terlihat, tetapi mata dan ekspresi wajahnya secara tersamar mengatakan segalanya. Apakah itu kesel karena re-pot sendiri ketika customer mengira senyuman itu betul-betul datang dari hatinya; atau juga sebel karena dengan segala ke-anggunan mesti melayani manusia yang tidak tahu bedanya kopi tubruk dengan Turkish coffee—yang sebetulnya memang sama .

Peradaban telah dijalankan sebagai simulasi kebudayaan; dari yang hanya dipelajari sebagai etiket, kemudian terha-yati sebagai bagian dari makna hidup, karena sebenarnyalah ideologi tidak abstrak melainkan konkret seperti kehidupan sehari-hari. Di satu pihak pramugari dan pelayan restoran akhirnya menjadikan instrumen profesi sebagai bagian hidup untuk membedakan diri; di lain pihak khalayak memanfaat-kan etiket dalam jasa pelayanan untuk menegaskan identitas, untuk menunjukkan siapa dirinya yang sedang dilayani.

Majalah Djakarta!, No. 124, 7 Oktober 2009.

Nasi Goreng Rp211.000,-

Tentang angka sebagai penanda kelas.

SUDAH hampir 1000 hari saya menjadi penulis cerita ber-sambung di sebuah koran. Artinya di mana pun saya berada, saya bertanggung jawab untuk selalu menyambung cerita itu, tidak peduli panas atau hujan, sakit atau tidak sakit, sibuk atau tidak sibuk, tetap saja akan disibukkan oleh penulisan sambungan cerita itu, baik di Barus maupun di Paris. Artinya pula, jika sedang mengerjakan ini dan itu di luar Jakarta, kondisi hotel menjadi sangat strategis bagi saya, bukan dalam pengertian lokasi, melainkan tiada lebih dan tiada kurang bisa atau tidak untuk nginternet dan kirim e-mail—tepatnya, ada sinyal atau tidak.

Dengan begitu, di luar Jakarta, kalau ingin nulis pakai sarung, dan itulah seenak-enaknya kondisi menulis, saya pun kerja di kamar hotel. Semakin lama ngamar-nya semakin produk-tiflah saya—dan berarti sebaiknyalah saya makan juga di kamar hotel saja. Nah, baru sekarang saya masuk ke dalam topik tulisan ini, suatu hari saya pun pesan nasi goreng ketika menginap atas undangan di sebuah resort mahal di Ubud, Bali. Tentu saja atas makanan standar bagi orang Indonesia itu, karena bukan sarapan gratisan, saya pun siap sesiap-siapnya

180 | Affair

untuk membayar nasi goreng tersebut dengan harga di atas “harga standar”. Jika harga nasi goreng terdahsyat di Jakarta versi Djakarta! antara Rp10.000,- sampai Rp25.000,- , maka saya tahu diri bahwa harga di atas standar ini mungkin saja berkisar antara Rp50.000,- sampai Rp100.000,-

Karena dompet lagi ada isinya, saya pikir ini “keciiiil” saja—yang penting siang itu saya bisa menyambung cerita bersam-bung. Bahkan membuka buku menu di kamar pun malas saya rasanya. Sambil menunggu pesanan, mulailah saya mengetik. Baru sebentar, terdengar bel berbunyi. “Room service!” kata pelayan hotel yang mengantar nasi goreng itu dengan aksen Bali. Lantas tentu saja ada yang harus ditandatangani. Dengan cuek saya terima uluran pulpen, siap menorehkan paraf de-ngan malas. Kemudian terliriklah angka itu. Ha? Pikir saya.

“Nasi goreng Rp211 ribu?!” Sampai terucap pula apa yang saya pikirkan itu.

Pelayan hotel itu cengengesan dengan lugu.

“Kalau saya lebih baik makan di luar saja, Pak,” ujarnya, tentu dengan aksen Bali lagi.

Begitu dia pergi saya tatap nasi goreng yang bersama pi-ringnya dibungkus plastik itu. Melihat bentuknya saja saya sudah pesimis. Ini model nasi goreng yang baru kita makan tiga sendok saja perut kita sudah eneg. Namun saya masih menyimpan harapan, bahwa selain barangkali saja “ada har-ga ada rupa”, betapa pun bagi orang lapar apa pun jadi enak. Namun setelah menyuapnya, ternyata tidak juga. Rasa nasi goreng yang jauh “di atas standar” ini bagi saya, dengan segala hormat, cukup “di bawah standar”—tetapi sungguh mati saya

Seno Gumira Ajidarma | 181

tidak menyesal, melainkan justru terpesona. Alamak! Pikir saya, alangkah terkesannya saya dengan angka Rp211.000,- tersebut, apakah sebetulnya yang berada di balik semua itu?

Saya mencoba berpikir. Dilihat dari bahannya, sudah jelas harga Rp25.000,- pun masih terlalu mahal untuk nasi go-reng itu, apalagi dari rasanya! Dari segi rasa, bagi saya harga Rp5.000,- masih terlalu mahal. Itu sekadar “penghargaan” atas kerja menggoreng. Jadi, tentu harus ada suatu alasan kuat dan masuk akal, yang membuat angka Rp211.000,- itu tertera dan terterapkan pada sang nasi goreng dengan rasa di bawah standar tersebut, tanpa menimbulkan kemarahan khalayak.

Saya pun mencoba berspekulasi, agaknya harga di atas stan-dar itu justru wajib, karena dianggap menyesuaikan diri de-ngan harga kamar hotel (yang paling murah mendekati Rp2 juta), atau tepatnya kelas hotel, yang tentu dimaksudkan juga di atas standar. Lagi pula ini memang bukan sembarang hotel, ini resort yang modalnya bukan hanya kamar, melainkan juga hutan, sungai, dan jurang. Harus saya akui, lingkungan alam resort ini tergolong oke punya. Sambil sarapan di terasnya yang menjorok di atas jurang, kita seperti berada di tengah alam liar, dengan burung-burung dan bajing di sebuah hutan sungguhan. Artinya, angka Rp211.000,- itu tiada lebih dan tia-da kurang adalah sekadar penanda untuk menyatakan “kelas” dari resort tersebut.

Maka jika Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979) berteori tentang fungsi makanan dan seni yang pembedaannya merupakan reproduksi perbe-daan sosial dan ketidaksetaraan dalam kuasa, dalam hal ini

182 | Affair

bukan nasi gorengnya melainkan angka-angkanya yang men-jadi reproduksi—yang saya kira telah “diperbaiki” para pemi-kir berikutnya sebagai representasi—pembedaan kelas sosial dan ketidaksetaraan kuasa tersebut. Karena nasi goreng itu sendiri, dalam konteks turisme “non-backpackers” pastilah hanya pajangan “sok akrab” dalam menu saja.

Namun ketika penanda lokalitas ini dimakan beneran, betapa angka Rp211.000,- itu pun terasa sebagai uang pembayaran yang konkret.

Majalah Djakarta!, No. 125, 7 November 2009.

Antara Dua Kota

Konstruksi kota dalam posisi subjek.

BANYAK teman telah membeli tanah di Yogyakarta. Katanya untuk tempat tinggal di hari tua. Jika teman ini bukan orang yang pernah tinggal lama di sana, saya justru maklum jika Yogya masih saja tampak eksotik, dengan sesekali tampak seorang tua mengenakan surjan dan blangkon, mengayuh se-peda pelan-pelan di antara bayangan tembok-tembok kraton berlumut menjelang akhir hari. Meski pemandangan macam ini tak akan lengkap tanpa arus sepeda motor, yang jelas men-desak dan meminggirkannya, sehingga yang semula eksotik menjadi ironis—karena bahkan di Yogya siapakah kiranya yang benar-benar peduli dengan nasib abdi dalem yang kehi-dupannya menjadi tumbal eksotisme tersebut?

Namun sudah jelas itu tidak berlaku bagi diri saya, yang karena menempuh masa taman kanak-kanak sampai seko-lah menengah atas di kota itu, telanjur mengenalnya dalam konstruksi seperti yang berada di dalam kepala, yakni “Yogya saya” antara 1963-1976. Kuatnya konstruksi kota dari masa lalu itu begitu nyata, sehingga setiap kali berada di Yogya saya selalu mengalami disorientasi.

184 | Affair

Di depan Kantor Pos Besar misalnya, meski gedungnya masih sama, saya selalu merasa di depannya masih ada kios kantor pos yang buka sore setelah kantor pos tutup, tempat saya se-telah mengelem amplop bikinan sendiri, selalu mengirimkan puisi-puisi yang masih ditulis dengan mesin tik ke berbagai koran dan majalah di Jakarta. Juga saya selalu merasa bahwa bundaran air mancur di depan kantor pos itu masih selalu ada, meski jelas-jelas mata saya terbuka menatap bekas tempat air mancur yang sudah rata dengan aspal. Semuanya sudah berubah. Semua rumah di tepi jalan bagaikan selalu “wajib” diberi makna komersial: showroom, salon, guest house, wartel, warnet, mini market, kios pulsa, warung lesehan … Jangan ditanya pula bagaimana Ngayogyakarta Hadiningrat telah menjadi rimba raya papan iklan.

Masalahnya, ternyata di Jakarta pun belakangan di berbagai tempat saya mengalami disorientasi yang sama. Apakah yang telah terjadi? Jika dalam hal Yogya memang telah terbentuk suatu jarak, karena ruang dan waktu yang telah menciptakan jarak itu; maka apakah kiranya yang terjadi jika disorientasi itu terjadi di Jakarta sendiri, tempat saya berdiam dan hidup selama ini?

Pemekaran Jakarta yang masif tentu menjadi salah satu faktor, sehingga ke mana pun kita melewati tempat yang jarang apalagi tak pernah dilewati, maka akan selalu seperti menemukan bagian kota baru. Namun bahkan tempat-tem-pat yang selalu dilewati pun sebetulnya selalu berubah, dan hanya karena selalu dilewati sajalah maka seolah-olah tiada yang berubah. Meskipun begitu, ternyata ada juga yang tetap tinggal bertahan dan menentukan. Apakah itu? Tak lain tak

Seno Gumira Ajidarma | 185

bukan adalah wacana yang telah membentuk cara berpikir dan cara kita memandang dunia itu.

Dalam hal saya, itu selalu terjadi ketika berbelok dari arah Kramat ke Salemba Tengah. Dahulu kala di pojok kiri jalan ada kios majalah yang juga selalu menggantungkan buku serial Api di Bukit Menoreh karya S. H. Mintardja di situ. Seperti di-ketahui, cerita silat Jawa bersambung itu sebenarnya dimuat tiap hari di koran Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat, yang popu-ler dengan sebutan inisialnya, KR, sejak berpuluh tahun yang lalu, yang bahkan ketika pengarangnya meninggal pun belum lagi tamat. S. H. Mintardja mempunyai banyak penggemar di seluruh Indonesia, melalui koran di Yogya maupun bukunya yang juga terbit bersambung tiap bulan dan beredar keluar Yogya, termasuk Jakarta, dengan cara seperti itu.

Saya memang membaca episode awal dan mengenal tokoh-tokohnya sejak masih tinggal di Yogya. Namun kemudian perhatian kepada hal-hal lain, dari jurnalistik sampai sinema-tografi, yang saya gumuli di Jakarta, membuat saya tak dapat lagi mengikutinya. Agaknya dengan cara semacam itu Yogya terlepaskan dari kehidupan saya, dan dengan suatu cara, buku Api di Bukit Menoreh yang tergantung-gantung dalam plastik itu, yang dari jauh tampak jelas sampulnya: para pendekar yang mengenakan surjan dan blangkon, telah menjadi suatu jalan untuk menghubungkan saya kembali dengan Yogya saya yang lama, pada masa terbitnya seri pertama, yang saya ikuti bersama kawan-kawan sekelas di sekolah dasar dengan sangat antusiasnya.

Kini tak ada lagi sambungan Api di Bukit Menoreh, tak ada lagi buku bergambar sampul “orang Jawa” yang tergantung dan

186 | Affair

tertiup angin pada kios di pojok Salemba Tengah itu, bahkan kios koran dan majalah itu pun sudah pula tergusur entah ke mana—tetapi setiap kali melewatinya, selalu saja merasa betapa buku seri dalam plastik itu masih tergantung-gantung di sana.

Demikianlah kota-kota berubah, tetapi dalam diri saya sebagai subjek sosial, terbangun mitos kota-kota saya sendiri. Sebagai subjek di dalam—yang memandang—kota, saya tertentukan oleh keberadaan awal dalam posisi keterwacanaan saya.

Majalah Djakarta!, No. 126, 7 Desember 2009.

Cicak, Buaya, Gurita: Politik Fabel

Semiotik dalam praksis.

BENARKAH orang yang disebut dan mengaku awam, dijamin tidak mengenal semiotik atawa ilmu tentang tanda-tanda? Menyangkut teori, barangkali yang disebut awam memang tidak—dan mengapa pula harus merasa perlu—mempelajari atau menguasainya. Namun kasus Cicak lawan Buaya menjadi contoh semiotik dalam praksis, seperti dapat dipelajari seba-gai berikut.

“Cicak kok berani lawan buaya,” begitu dikatakan seorang pejabat kepolisian, memandang pelacakan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terhadap suatu dugaan kasus kolusi.

Kalimat ini jelas tidak memaksudkan kata cicak dan buaya yang terhubungkan dengan makna denotatifnya, yakni cicak dan buaya sebagai binatang melata alias reptil; melainkan makna konotatifnya, yakni bahwa buaya itu merupakan metafor bagi superioritas atas pihak yang dianggap inferior, dan karena itu sekaligus dianggap “kurang ajar”, ketika berani-beraninya melacak (dugaan) jaringan kolusi tersebut. Menurut Barthes, konotasi terbentuk karena terdapatnya mitos, sedangkan mi-tologi itu sendiri ideologis. Penyebutan buaya terhubungkan

188 | Affair

dengan mitos kekuatan yang terdapat di dalamnya, yang da-lam konteks cicak-buaya, berarti lebih kuat, lebih besar, dan secara ideologis seharusnyalah lebih superior.

Dalam kasus ini juga bekerja teori identitas: Identitas hanya bisa ditandai dalam perbedaan, sebagai suatu bentuk representasi dalam sistem simbolik maupun sosial, untuk melihat diri sendiri tidak seperti yang lain (Woodward, 1997: 8-15). Dalam hal ini, pihak yang berkepentingan menegaskan metafor buaya sebagai identitas yang membedakan dirinya dengan yang lain—tentu saja pihak yang disebutnya sebagai cicak, yang layaklah dalam sudut pandangnya dianggap kecil, lemah, dan karenanya dalam posisi inferior.

Pemahaman itulah agaknya yang dikenali, tetapi yang tidak mengakibatkan pengukuhan atawa legitimasi, justru seba-liknya, karena dikenali oleh kelompok terbawahkan yang ke-pentingannya terwakili dalam kegiatan KPK, yang dianggap cicak, maka dilawan melalui wacana yang sama: Saya cicak, berani melawan buaya. Luar biasa. Bukan hanya karena si kecil dan lemah berani melawan si besar dan kuat, tetapi bahwa ajakan dan tantangan bertarung semiotik dilawan secara se-miotik pula, yakni metafor dilawan metafor. Cicak ini banyak, memang lantas “mengeroyok” buaya tersebut, seperti yang selalu terjadi ketika rakyat kecil ditindas, tetapi tidak anarkis. Sama sekali tidak. Pertarungan metafor ini menunjuk kepada suatu tingkat keberadaban tertentu.

Dongeng tentang bagaimana yang kecil melawan yang besar, dan menang, juga terdapat dalam fabel Sang Kancil, yang meskipun cerdik, ternyata bisa dikalahkan oleh kekompakan siput dalam lomba lari, karena kesombongan telah menyelaputi kecerdasan

Seno Gumira Ajidarma | 189

otaknya: saat start memang kancil hanya melawan satu siput yang merayap lamban, tetapi setiap kali ia bertanya siput itu sudah sampai di mana, adalah siput lain yang menjawab di de-pannya, “Aku sudah sampai di sini!” Maka seberapa pun cepat-nya kancil lari sampai teler, tetap saja akan selalu terdapat seekor siput di depannya.

Dengan satu dan lain cara, mitos yang lemah akan mampu melawan, bahkan menang, ketika berhadapan dengan yang kuat ini, sebetulnya dikenal oleh kanak-kanak di seluruh dunia, termasuk kanak-kanak Indonesia, sebagai ajaran atas pentingnya menggunakan otak dan tak hanya mengandalkan otot. Ingat atau tidak ingat dengan cerita Sang Kancil, ujaran “Cicak kok berani melawan buaya” itu jelas membangunkan kembali dikotomi kuat/bodoh >< lemah/cerdas yang telah men-jadi mitos tersebut, dan bentuk kecerdasannya kali ini adalah melawan metafor dengan metafor. Maka buaya itu pun babak belur, tanpa sang pejabat kepolisian perlu disentuh seujung rambut pun.

Ini juga membuktikan bahwa tidak ada makna yang akan tinggal tetap, meski telah menjadi mitos. Dalam hal Cicak-Buaya, terbukti betapa kuat dan besar yang seolah otomatis bermakna kuasa, ternyata dapat berubah, karena makna memang merupakan konstruksi sosial, bukan esensi. Dalam proses konstruksi itulah berlangsung konsensus sosial, keti-ka kelompok dominan terpaksa melakukan negosiasi dalam pembebanan maknanya terhadap kelompok terbawahkan (saya buaya, kamu cicak), yang ternyata melakukan perlawan-an (saya cicak, berani lawan buaya), dengan pernyataan, bahwa kata buaya itu tidak berhubungan dengan lembaga kepolisian.

190 | Affair

Buaya sebagai metafor kuat dan besar, makna kuasa—nya te-lah berpindah. Cicak yang lemah dan kecil, dalam pertarungan semiotik terbukti bertiwikrama menjadi sama besarnya, bah-kan mungkin lebih besar, dibanding buaya—rupanya cicak ini juga mau bermakna superior.

Tentu pertarungan semiotik semacam ini terus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Kata gurita dalam kasus Gurita dari Cikeas jelas sangat mengganggu (baca: menarik) karena konotasinya, sebagai mitos kuasa suatu jaringan yang berpu-sat pada suatu kepala, dengan nada bahwa hal itu keliru. Akan lain halnya jika judulnya lebih “netral” atau bahkan “steril”, seperti misalnya Yayasan-Yayasan Keluarga Presiden dan Sumber Dananya, yang meskipun “objektif” (memang tentang hal itu), tetapi barangkali tidak dengan segera menunjuk hidung seperti mitos gurita tersebut.

Tabloid Djakarta!, No. 127, Januari 2010.

Kapitalisme Kerupuk

“Kriuk” dan “kraus” sebagai identitas sosial.

PRINSIPNYA adalah prinsip kerupuk: renyah, artinya kalau dimakan berbunyi kriuk-kriuk. Hanya itu. Tentu rasa juga pen-ting. Namun meski dengan rasa yang sama, kalau tidak berbu-nyi kriuk-kriuk, misalnya karena melempem, jatuhlah sudah kredibilitas sang kerupuk. Jangan bicara soal gizi, bahkan juga soal higienik tidaknya, karena penyedap yang menjamin rasanya, yakni MSG tercinta, reputasinya sudah jelas sebagai pembahagia lidah yang menuntut bayaran terlalu besar, se-perti misalnya potensial menumbuhkan kanker otak. Nah!

Namun sudahlah kita lupakan soal MSG, karena andaikanlah tiada yang berbahaya daripadanya, dan tetap sehat walafiat setelah memakannya, kerupuk dan teman-teman kriuk serta kraus-kraus-nya itu bukanlah satu dari sembilan bahan ke-butuhan pokok bukan? Artinya bukan makanan pokok yang dibutuhkan tubuh agar manusia dapat melanjutkan sisa hi-dupnya. Bukan vitamin, bukan pula protein. Hanya golongan kerupuk, yang sebagai makanan tubuh mau dibolak-balik tidaklah akan membuat manusia meninggal dunia jika tidak menelannya.

192 | Affair

Meski begitu, berbeda lagi halnya sebagai makanan jiwa. Bukan, bukan maksudnya untuk menyatakan keberadaan kerupuk sebagai pengganti guru spiritual, melainkan bahwa dalam kenyataannya makanan tanpa bobot yang serba kriuk-kriuk dan kraus-kraus itu membuat manusia berbahagia, dan karena itu lantas membutuhkannya. Tidak bervitamin dan bukan pula protein, omzet seorang produsen nyamikan (bukan nasi bukan pula lauk) kriuk-kriuk ini per harinya bisa miliaran lho. Tidak bergizi barangkali, tetapi omzet itu menunjukkan betapa bermakna makanan super ringan golongan kerupuk ini bagi para pembeli yang memakannya dengan suara kraus-kraus-kraus.

Konsumen adalah produsen makna bukan? Kelas pekerja yang menurut kibul Marx terasing dari dirinya, karena tidak dapat memiliki produknya sendiri, dengan kerupuk hiburan ini dapat merasa memiliki sesuatu di luar keterbakuan makan tiga kali yang sederhana, karena kondisi sosialnya menentu-kan demikian. Tentu saja kelas penguasa pun memiliki nyami-kan-nya sendiri, dengan tajuk bahasa Inggris dan berkemasan bak tempat bola tenis mewah bergaya semacam potato chips, tetapi yang bagi kelas penguasa tentu merupakan penanda identitas, yang tak akan mampu dibeli kelas di bawahnya.

Tidak mampu beli, tetapi mampu memproduksi yang murah “untuk kalangan sendiri”. Saya tidak melihat mobil boks satu pun di pabriknya yang hanyalah sebuah rumah, rata-rata mengambil bungkusan kriuk setinggi gunung untuk berakro-bat di jalan dengan sepeda motor—yang akan habis sore itu juga diserap warung-warung kecil dan toko makanan kelas sederhana.

Seno Gumira Ajidarma | 193

Dalam ekonomi budaya, makna yang diberikan konsumen memberi dampak langsung kepada ekonomi finansial, meski cara bekerjanya tentu tidaklah sama. Dalam hal ini konsumen memang memperkaya produsen sang kriuk, yang dengan segera tergolongkan sebagai kapitalis baru, tetapi para konsu-men makanan renyah riuh rendah ini juga merasa dirinya ter-perkaya, karena dapat melakukan sesuatu di luar keterbakuan sosialnya—itulah makna yang diproduksinya. Konsumsi itu merupakan artikulasi perasaan memiliki identitas untuk menghasilkan perbedaan. Bourdieu menyatakan betapa se-lera terhadap makanan merupakan representasi kelas sosial. Urusan makanan, memang, menjadi politis.

Begitu berlaku bagi konsumsi musik dangdut, dan begitu pula berlaku bagi para konsumen barang-barang branded yang membacanya pun sering salah itu. Masalahnya, jika musik dangdut dan barang-barang bermerek dagang terkenal betapa pun memiliki kualitas dalam dirinya, maka apalah yang mau dipertaruhkan oleh golongan kerupuk bertabur MSG ini? Bahkan dalam dirinya sendiri sebagai makanan super ringan yang dimasukkan mulut dan ditelan, betapa pun dahsyat kriuk dan kraus-nya, tiadalah akan pernah mengenyangkan. Apalagi bagi perut orang miskin yang kelaparan. Justru di sana konotasi maknanya menjadi penting: betapa kerupuk itu ada. Omzetnya per hari berbilang miliar. Sedangkan makna merupakan produksi sosial.

Mengingat keterjangkauan harganya, tentulah kriuk tanpa gizi ini telah mencapai pasar dan konsumen yang luas, yang menjelaskan bagaimana tindakan sehari-hari dapat men-jadi suatu taktik kelas bawah meraih kebahagiaan dalam

194 | Affair

ketertindasan, kemiskinan, atau lebih tepat keapaadaannya. Golongan kerupuk itu banyak ragamnya, bukan hanya keru-puk sahaja, melainkan beragam kriuk dan kraus yang meski sama-sama ber-MSG, bersama kenikmatan dalam maknanya, membuat seseorang membelinya—itulah yang berlaku dalam ekonomi budaya.

Dalam ujaran John Fiske, dorongan homogenisasi yang selalu dilakukan ideologi dominan, kelompok terbawahkan dalam kapitalisme telah mempertahankan keragaman identitas so-sialnya dengan luar biasa—dan ini mempersyaratkan kapital-isme memproduksi suara-suara sepadan yang beragam pula. Keberagaman suara-suara kapitalisme adalah bukti pendirian keras dan penolakan untuk menyerah yang komparatif dari kelompok-kelompok terbawahkan. Maka setiap perbincangan tentang popularitas (= kemerakyatan, dari popularity) me-mang mestilah mempertimbangkan kekuatan perlawanan di dalamnya.

Jadilah suara kriuk dan kraus dalam penyantapan golongan kerupuk tanpa gizi “full MSG” ini sebagai suara-suara perla-wanan dalam alternatif kebahagiaan, yang telah menyelamat-kan, mempertahankan, dan akhirnya tetap menguntungkan kapitalisme pula.

Majalah Djakarta!, No. 128, Februari 2010.

“Selamat Pagi!”

Atawa optimisme di gerbang tol.

INI rumus yang biasa. Kalau tidak ingin macet, usahakan sampai ke gerbang tol sebelum pukul 6 pagi, karena jika tidak, bahkan jalan tol pun bukan jaminan untuk dapat sampai ke tujuan tanpa hambatan.

“Selamat pagi!”, ujar penjaga gerbang tol itu.

Hah? Kagak sale?

Saya termasuk orang yang beruntung karena tidak mesti tiba di gerbang jalan tol sebelum pukul 6 pagi setiap hari, tetapi saya juga tahu betapa beruntungnya siapa pun yang menda-pat salam itu setiap hari.

Saya memang kaget, karena penjaga gerbang tol biasanya be-kerja seperti mesin. Malah sejujurnya, tugas mereka sebetul-nya sudah bisa diganti mesin. Hanya kebijakan mengurangi pengangguran sajalah kiranya yang membuat mereka berada di tempatnya sekarang.

Mesin yang menggantikan manusia jelas tidak punya, dan tidak perlu, punya hati. Namun manusia yang menggantikan mesin, meski dalam pekerjaan semacam itu boleh diandai-kan tak perlu, tetap saja punya hati—dan juga otak. Adalah kata hati yang dibenarkan otak inilah, setelah menghayati

196 | Affair

pekerjaannya sebagai pekerjaan mesin, membuat wajah para penjaga gerbang tol ini lebih sering dingin tanpa ekspresi, persis seperti mesin, tetapi mesin yang setelannya dipasang berwajah kuyu.

Para pengguna jalan tol tahu benar keharusan jadi mesin, sehingga boleh dibilang pengembalian uang mereka dalam kecepatan kilat itu nyaris tidak pernah keliru. Di negeri full koruptor ini, sudah pasti para penjaga gerbang tol berada di garda depan barisan orang jujur. Setidaknya pada jam-jam yang memesinkan mereka itu, roda kehidupan dunia antara lain tentu sangat ditentukan oleh kejujuran mereka. Ya, ke-jujuran yang dikondisikan oleh kemesinan dalam pekerjaan sebagai penjaga (atau kasir, atau teller?) gerbang jalan tol ter-sebut. Bisakah dibayangkan jika seorang sopir truk turun dan memaki-maki karena pengembaliannya kurang? Para penjaga gerbang jalan tol mengemban juga tanggung jawab moral, agar jalan tanpa hambatan itu tidak menjadi berhambatan karena ulah mereka sendiri.

Maka suka atau tidak suka, mereka akan bekerja seperti me-sin, dan betapa pun ingin tetapi para penjaga gerbang tol tia-da berdaya mematikan hatinya. Betapa pun hati dan pikiran melebur sebagai mesin, tetap saja hati adalah hati dan kepala manusia tak bisa berhenti berpikir. Pikiran yang menyetujui betapa dirinya bekerja seperti mesin itulah yang membentuk ekspresi wajah dingin tanpa perasaan, yang jika sempat ter-lihat perasaannya maka hanya kekuyuan dalam kebosanan tiada terkira yang akan tampak daripadanya.

Namun hati yang melebur dalam kerja otak juga mela-hirkan kehendak. Dari sinilah manusia memperjuangkan

Seno Gumira Ajidarma | 197

kemanusiaannya. “Aku tak sudi menjadi mesin,” kata hatinya. Maka otaknya pun berpikir untuk memenuhi sang kehen-dak—dan langkah termurah adalah bekerja dengan hati, tepatnya dengan hati yang riang.

Itulah sebabnya ucapan “Selamat pagi!” itu terdengar begitu menggugah bukan sekadar karena terdengar riang, melain-kan karena diucapkan sebagai tindakan berkesadaran.

Kini, bukan sang penjaga gerbang tol yang hidup seperti mesin, karena siapa pun yang menjadi kaget oleh keramah-tamahan “normal” itu, yakni yang bukan basa-basi dan lang-sung dari hati, boleh dianggap kaget karena telanjur terbiasa dengan kondisi penjaga gerbang tol sebagai mesin. Artinya, para pengguna jalan tol pun sudah menyesuaikan diri dengan kemesinan para penjaga gerbang tol, alias dirinya pun sudah menjadi mesin, dan karena itu tersentak oleh “normalitas” yang jadi membingungkan ketika kondisi kemesinan itulah yang telah diterima sebagai normal.

Artinya manusia berpotensi kehilangan orientasi untuk me-misahkan antara “normal” dan “tak normal”, apalagi ketika konsep normalitas sebagai kebenaran tertinggi sudah hancur lebur oleh “pluralisme normalitas” yang memberagamkan segenap usaha penyeragaman ukuran itu.

Namun di gerbang jalan tol, kata hati ternyata menyeruak dan memilih tindakannya sendiri. Maka, bukan hanya ucapan “Selamat pagi!” yang riang di pagi berembun yang akan dapat terdengar dari dalam rumah-monyet di gerbang tol tersebut, melainkan juga lagu dangdut yang seru, sandiwara radio yang dramatik, atawa sorak-sorai pertandingan sepak bola Liga

198 | Affair

Inggris dari sebuah pesawat televisi. Ya, manusia dapat dan mampu melakukan negosiasi terhadap hegemoni wacana dominan yang mengungkungnya. Meskipun dilanda keter-mesinan, ia tak dapat mengundurkan diri dan nekat mengadu nasib di Indonesian Idol, tetapi ia dapat menawar dan melawan kondisi ketermesinannya, dengan memperjuangkan dirinya agar tetap jadi manusia.

Begitu di gerbang tol, begitu pula di segenap seluk-beluk per-juangan mempertahankan hidup di belantara beton yang ti-dak peduli ini, yang telah membuat seseorang dengan sangat optimis dan riang gembira sungguh-sungguh berkata dari dalam hatinya: “Selamat pagi!”

Bukankah kita semua harus bersyukur dengan itu? Karena begitu sampai di tempat kerja masing-masing, bukan tak mungkin kita juga akan mendengar ucapan “Selamat pagi …” (ya, tanpa tanda seru), yang lemes, memble, dan tanpa gairah, seperti mesin karatan, yang hanya menunjukkan sikap me-nyerah atas keterpurukan nasib yang tidak ingin dilawannya sama sekali. Huh!

Majalah Djakarta!, No. 129, Maret 2010.

Sedemikian Rupa Sehingga

Antara penalaran dan hasilnya.

BAHASA menunjukkan bangsa? Baiklah. Jadi ungkapan ba-hasa Indonesia yang berbunyi sedemikian rupa sehingga ini menunjukkan bangsa Indonesia yang kayak apa?

Dalam kasus matematika, potongan kalimat tersebut kiranya sahih jika dianggap dapat menunjukkan gagasan, bahwa tidak penting benar untuk mengetahui bagaimana jalannya suatu perhitungan mencapai hasil, karena yang penting adalah ha-silnya doang. Padahal, dalam matematika, jalan perhitungan jauh lebih penting daripada hasilnya, meski hasilnya juga jangan keliru dong.

Ibarat kata bagaimana 4 bisa menjadi 2, bukanlah hasil 2 itu yang penting, tetapi bahwa 2 itu adalah kemungkinan yang bisa dihasilkan dari perhitungan 4:2 maupun 4-2, meskipun hasilnya sama-sama 2.

Jadi 4 tersebut, sedemikian rupa sehingga menjadi 2-nya itu mempunyai dua kemungkinan, yakni 4:2 maupun 4-2. Nah, yang mana?

Dalam hal ketika kata-kata sedemikian rupa sehingga itu digu-nakan, sudah jelas tidak penting benar apakah 2 itu datang

200 | Affair

dari 4:2 atau 4-2, yang penting adalah bahwa hasilnya 2.

Persetujuan atas penalaran macam inilah kiranya yang dise-but pragmatisme. Tidak peduli apakah 2 datang dari 4:2, 4-2, atau bahkan 5-3, 7-5, dan 1+1, yang penting hasilnya 2.

Ketika Mao Zedong meninggal pada 1976, dan Deng Xiaoping tampil kembali di Republik Rakyat China yang sampai hari ini resminya menganut komunisme, untuk mengangkat pereko-nomian negerinya, lupa-lupa ingat saya pernah membaca ia berkata: “Tidak penting benar kucing itu hitam atau belang, yang penting bisa menangkap tikus.” Itulah penanda bahwa bagi Deng mengundang modal asing bukanlah tabu, meski-pun dalam pandangan komunis tentu saja investasi pihak swasta sama saja dengan kapitalisme yang selalu dihujat. Deng Xiaoping terbukti diamini dan perekonomian China menggeliat (April 2010: pertumbuhan 12 persen), meski kebebasan berpikir tetap saja—dengan sia-sia—dibatasi; ka-rena pasar bebas betapa pun tidak dapat berhenti hanya pada ekonomi finansial sahaja, melainkan juga segala pertukaran dalam ekonomi budaya.

Bagi pragmatisme bukanlah apakah sesuatu itu benar atau tidak yang menjadi masalah, melainkan apakah sesuatu itu berguna atau tidak. Pragmatisme memang lahir setelah usa-ha mencapai “kebenaran” jelas tidak akan pernah mencapai kesepakatan.

Dalam kasus ideologi Deng, penggemar croissant Prancis ka-rena antara 1921 dan 1926 pernah jadi buruh kereta api di Lyon, sedemikian rupa sehingga dalam teka-teki kucing hitam dan kucing belang itu ternyata bisa dijelaskan dan diperiksa,

Seno Gumira Ajidarma | 201

apalagi ketika kemudian ada buktinya. Ketika penggusur Revolusi Kebudayaan ini bicara tentang kucing, rupanya ia berbicara bukan hanya tentang ideologi, melainkan terutama suatu praksis yang seharusnyalah menjadi suatu hasil—sekali lagi bukan yang benar, melainkan yang berguna. Ini berarti ketika mengucapkannya Deng sudah mengetahui apa yang akan dilakukannya.

Betapa pun, saya pun tidak tahu apakah dalam bahasa Mandarin terdapat ungkapan semacam sedemikian rupa se-hingga.

Dalam bahasa Indonesia ungkapan itu sering terdengar ada, dan ketika mengucapkannya itu berarti bahwa peluang untuk menjelaskan maupun membuktikan disingkirkan dari waca-na. Kalau sudah sedemikian rupa sehingga tentunya tidak usah dijelaskan dan dibuktikan lagi, tidak perlu penalaran dan argumentasi lagi.

Dalam ungkapan sedemikian rupa sehingga terbebankan makna: pokoknya percaya aja bahwa ada suatu cara, tidak penting apa, pokoknya ada. Nah, ungkapan pokoknya juga kiranya bermakna sama dengan sedemikian rupa sehingga, bahkan dalam ungkapan pokoknya tersebut dapatlah kiranya disepakati terdapatnya nuansa “per-ngeyel-an” yang sangat kuatnya. Bukankah dalam kata pokoknya terdapat ketidak-pedulian pula tentang benar dan salahnya? Dipandang dari sudut ini, sedemikian rupa sehingga jelas lebih manipulatif daripada pokoknya, karena sementara dalam kata pokoknya ada keterusterangan untuk tidak peduli benar atau salah yang menjadi jalan ke arah suatu hasil; dalam kata-kata sedemikian rupa sehingga terandaikan atau diminta untuk percaya bahwa

202 | Affair

selain ada jalan itu, jalan itu pun tentu baik dan benar, sehing-ga “dengan sendirinya” terdapat suatu hasil.

Jadi, pokoknya memang ngeyel dan berpeluang untuk meng-halalkan segala cara; tetapi sedemikian rupa sehingga bahkan setidaknya sudah menghalalkan suatu cara, karena penalaran dan argumentasi semu yang sudah dilakukannya, yakni bah-wa tampaknya seperti sudah dilakukan, tapi bisa saja ternyata belum sama sekali.

Dalam teori De Saussure, pemeriksaan tentang bahasa me-nunjuk kepada segala sesuatu di dalam kepala manusia, ka-rena memang terdapat keakraban antara bahasa dan pikiran, tempat bahasa dianggap fakta sosial yang dipandang sebagai bagian dari konvensi dan nilai-nilai, yang membuat manusia dapat hidup dalam lingkungan sosialnya. Makna dalam cara berbahasanya adalah makna perilaku sebagai anggota masya-rakatnya.

Nah, bangsa macam apakah yang tertunjukkan melalui per-bendaharaan bahasa semacam sedemikian rupa sehingga itu? Mampukah kita menjawabnya sedemikian rupa sehingga (hehe!) kita tidak perlu menggunakan ungkapan sedemikian rupa sehingga pula?

Majalah Djakarta!, No. 130, April 2010.

Sederhana = Mewah

Tidak ada makna yang tetap.

BAGAIMANA cara kita memahami arti kata? Biasanya kita mencari sinonim—kata lain yang (artinya) sama. Namun jika kamus jadi rujukan, artinya ternyata tidak selalu sama. Perhatikanlah persamaan kata sederhana dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko, 2006) berikut ini: ada bi-asa, bersahaja, dan prasaja, tapi ada juga terbelakang, primitif, dan dangkal. Kita ambil prasaja dan hadapkan dengan dangkal, sungguh mati artinya sudah berlawanan, karena sementara prasaja menunjukkan kematangan, sudah jelas dangkal hanya terujukkan kepada kementahan—sedangkan matang dan mentah sudah pasti tak sama.

Kenapa bisa begitu? Tak lebih dan tak kurang karena makna adalah produk kebudayaan, ketika kebudayaan itu sendiri merupakan situs perjuangan ideologi, tempat pergulatan se-tidaknya tiga sistem dalam pembermaknaan: yang dominan, yang terbawahkan (subordinated), dan radikal—yang pertama merupakan eksistensi kuasa, yang kedua memiliki daya ne-gosiasi, yang ketiga akan selalu menolak dan memberi alter-natif oposisional terhadap sistem dominan (Parkin, 1972). Tidak heran makna bisa berubah-ubah.

Mungkin bagus juga kita lakukan exercise dengan kata seder-hana tadi. Perbedaan maupun pertentangan maknanya tak

204 | Affair

hanya dapat dirujuk dari kamus, melainkan justru dalam ke-hidupan sehari-hari—memang dari kehidupan sehari-harilah makna suatu kata sering dan sebaiknya terbakukan, selain tentunya “usulan” para pakar Pusat Bahasa.

Dalam kehidupan di jalanan Jakarta, jika Homo Jakartensis menengok ke kiri dan ke kanan, niscaya setiap sekian kilo-meter akan selalu menemukan restoran masakan Padang bernama SEDERHANA. Rumah makan ini sudah berkembang sebagai bisnis franchise, yakni mampu menjual cap dagang SEDERHANA-nya, tentu dengan persyaratan bahwa pembe-linya memenuhi “kaidah” SEDERHANA: bukan hanya rasa yang jika tidak sama tentulah wajib “mirip”, tetapi juga desain interior maupun eksteriornya yang khas sebagai restoran Minang—yang tampaknya justru tidak boleh sederhana dalam arti bersahaja.

Maka, di seantero Jakarta dan sekitarnya, bahkan di kota-kota besar lain juga, restoran SEDERHANA menjadi simbol prestise franchise lokal makanan “asli Indonesia” dalam penghadapan terhadap franchise global makanan “tidak asli Indonesia”. Disebut prestisius karena sebagai citra, restoran SEDERHANA jelas menampilkan citra dirinya sebagai rumah makan yang mewah: lampunya terang benderang, ruangan-nya bersih, megah, dan besar, wajib ber-AC, tempat parkir luas, dan terutama resep masakannya yang (tentu) diandai-kan sebagai jaminan memenuhi selera kuliner nan canggih. Konsekuensinya, restoran SEDERHANA menjadi rumah ma-kan yang mahal . Jatah tempat parkirnya itu bukan untuk sepeda motor, melainkan mobil.

Seno Gumira Ajidarma | 205

Nama Sederhana bagi rumah makan, Minang maupun bukan-Minang, sebetulnya sudah sangat umum, di samping nama seperti Sudi Mampir maupun Murah—dan dalam nama-nama ini terkandung kerendahhatian dan kekurang-pede-an atas masakan yang ditawarkan, karena jika orang hanya mampir karena sudi, bisa saja berarti hanya kasihan. Seperti dapat dipastikan tiada kelayakan berlebihan, apalagi masakan yang dapat dibanggakan sebagai andalan. Sedangkan dalam jamin-an harga makanan murah, sangat masuk akal ditafsirkan seba-gai mengenyangkan, tetapi tentang rasanya janganlah terlalu banyak tuntutan. Hal yang sama sebetulnya juga berlaku atas nama Sederhana.

Namun, begitulah, ternyata memang tidak ada makna yang berlaku abadi. Restoran SEDERHANA yang kita diskusikan ini jauh maknanya dari sederhana dalam pengertian bersahaja maupun biasa; sebaliknya, rumah makan ini mau dibolak-balik tergolong—dan memang ber-tongkrongan—sebagai mewah. Tidak ada restoran SEDERHANA yang harga makan-annya murah. Bahwa dalam kenyataannya restoran masakan Padang SEDERHANA ini selalu penuh dengan pengunjung dan franchise-nya terus berkembang biak secara fenome-nal, menunjukkan betapa citra SEDERHANA yang mewah ini bukan hanya tidak menimbulkan keberatan, sebaliknya bahkan mengundang kebanggaan. Menjamu tamu di resto-ran SEDERHANA dapat diartikan sebagai penghormatan, sekaligus memberikan juga suatu prestise bagi pihak yang menjamu, justru karena citra tidak sederhana dari restoran SEDERHANA tersebut.

206 | Affair

Jadi, kata sederhana dalam konteks restoran masakan Padang SEDERHANA ini tidak ada hubungannya dengan kesederhanaan sama sekali. Sebaliknya berlaku dengan sahih sebagai kemewahan prestisius itu sendiri. Orang tidak mener-tawakan, orang tidak mempertanyakan, orang tidak protes atas ketidakcocokan makna dari kata sederhana pada rumah makan franchise yang sangat populer ini, yang dengan begitu boleh kita artikan bahwa hegemoni makna kata sederhana sebelumnya, yakni sebagai bersahaja, adalah suatu kondisi yang tidak tetap, melainkan selalu berada dalam proses.

Kita menjadi saksi dari suatu proses kebudayaan, bahwa mak-na sederhana bukan lagi hanya bersahaja dan biasa saja, me-lainkan representasi suatu citra yang mewah. Terdapat suatu praksis berkesadaran yang menegaskan, bahwa sederhana itu tidak harus berarti kere dan tidak harus bermakna seder-hana seperti yang selama ini dikenal. Kini sederhana adalah citra kesuksesan yang diraih oleh kombinasi kemewahan dan kebanggaan, maka SEDERHANA pun tidak lagi dan tidak per-lu berarti sekadar sederhana sahaja.

Bahasa, kiranya, bukanlah suatu entitas yang independen, melainkan produk hubungan-hubungan sosial.

Majalah Djakarta!, No. 131, Mei 2010

Berdebat dan Berpikir

Jika keterampilan debat mengabdi pesanan.

SAYA pernah menyaksikan adegan yang mengharukan, ketika menerima kehormatan untuk menyaksikan dan memberi komentar atas sebuah peristiwa, yakni kompetisi debat di sebuah perguruan tinggi di Surabaya.

Mengapa mengharukan? Tentu karena seperti semua orang yang mengalami masa kemahasiswaan dalam kemapanan Orde Baru, saya tahu betul betapa mustahil memperdebatkan segenap topik yang dilombakan secara terbuka seperti itu da-hulu. Dalam kompetisi ini, selalu terdapat dua kelompok yang berhadapan, sebagai pihak pro dan kontra, sehingga setiap topik itu, dari masalah sosial, politik, hukum, ekonomi, dan kesenian, dapat diandaikan terkupas secara kritis, karena pe-nilaian atas bobot perdebatan ini, antara lain, adalah susunan argumentasi. Disebutkan, dalam perdebatan ini tidak dicari yang kalah dan menang.

***

Mengharukan bagi saya, karena sebagai bekas mahasiswa dan kemudian sebagai wartawan yang telanjur akrab dengan

208 | Affair

kondisi hati-hati bin paranoid semasa Orde Baru, kini saya sempat menyaksikan betapa para muda ini bisa berdebat se-cara terbuka dan kritis tanpa perlu secuil pun merasa takut sama sekali. Maka demikianlah saya saksikan berbagai ung-kapan kritis dengan semangat menggebu-gebu, yang memang diucapkan dengan berbagai teknik seni orasi itu, disambut oleh penonton maupun pendukung setiap kelompok dengan tepuk tangan dan sorak-sorai yang sama serunya.

Seni orasi? Ya, saya kira dalam sebuah perdebatan yang dilom-bakan dan dipertontonkan, menjadi penting seseorang itu mampu atau tidak meyakinkan pendengarnya, bukan hanya karena gagasannya tersampaikan dengan jelas, tetapi juga bahwa yang mendengarkan itu menyetujuinya. Jadi, bukan hanya argumentasi, melainkan juga persuasi—ini pun tentu dinilai. Dalam kenyataan bahwa orasi sebagai bagian dari perdebatan ini ditonton, maka persuasi berlangsung bukan sekadar terhadap lawan debatnya, melainkan juga terhadap penonton, yang tampaknya dimaksud agar diandaikan seba-gai massa.

Dalam tahap inilah saya melihat percabangan antara berdebat dan berpikir, yang dalam seni orasi tentulah semestinya tidak terpisahkan. Dalam hal para mahasiswa yang berlomba, saya menganggap sewajarnyalah mereka tampak kurang peng-alaman, dan hanya tinggal latihan seribu kali sambil terus memperdalam pemahaman—tetapi yang ingin saya ungkap-kan di sini, adalah hubungannya dengan debat terbuka dan seni orasi yang menjadi gejala dalam dunia politik, terutama ketika disorot media massa.

Seno Gumira Ajidarma | 209

***

Atas penjelasan para juri, saya ketahui bahwa tradisi debat beregu ini telah dibangun sebelum Reformasi 1998, tetapi di dalam dunia pendidikan bahasa Inggris, sebagai kegiatan untuk mendukung peningkatan keterampilan berbicara dan sosialisasi bahasa Inggris itu sendiri. Dengan pertimbangan bahwa yang memahami bahasa Inggris jauh lebih sedikit da-ripada yang memahami bahasa Indonesia, dapat saya bayang-kan bahwa topik yang sensitif pun akan lolos maupun dilolos-kan dalam pengamatan intelijen, karena persuasi sehebat apa pun tentu dianggap tidak akan memengaruhi rakyat jelata.

Maka apabila sekarang debat beregu yang sungguh-sungguh bagaikan tontonan itu berlangsung dalam bahasa Indonesia, mengingat topik-topiknya yang membuka peluang untuk bersikap kritis terhadap apa saja dan kepada siapa saja, tentu bolehlah itu dianggap sebagai penanda keterbukaan. Betapa pun, itulah salah satu penanda perubahan dari masa Orde Baru ke masa setelah Reformasi 1998. Namun seperti telah saya sebutkan, dalam sifatnya sebagai tontonan, unsur persuasi dalam gaya debat sebagai seni orasi menjadi lebih menonjol daripada unsur argumentasi, itu pun terbatas pada gaya “mengamuk”, emosional, memaksakan pendapat, dan tak jarang bahkan ngotot binti ngeyel, membuat kejernihan argumentasi tertutup, atau hilang sama sekali.

Debat dalam konteks kompetisi yang saya hadiri adalah suatu game, suatu permainan saja, sehingga jika undian menentu-kan bahwa suatu regu yang salah seorang anggotanya kebetul-an pro kepada suatu “mosi” mendapat bagian kontra, maka ia tetap harus menyusun argumen dan berorasi sebagai anggota

210 | Affair

regu seolah-olah berpihak kepada yang kontra. Semula bagi saya tidak masuk akal, tetapi saya ingatkan diri saya betapa ini memang hanya permainan. Pun permainan ini menurut saya turut menumbuhkan iklim demokrasi.

Namun bagi saya akan menjadi masalah besar, jika gejala ini berlangsung pada lembaga demokrasi yang formal dalam dunia politik dan kehidupan bernegara. Bukan sekadar akan menjadi pertanyaan, bahwa seseorang bisa bersikap pro atau kontra terhadap “mosi” apa pun sesuai pesanan, tetapi juga menjadi mubazir bahwa persuasi dalam perdebatan menjadi lebih dominan daripada argumentasi, yang didorong oleh ke-sadaran sedang ditonton. Ketika media massa menggantikan massa secara berlipat ganda, segenap seni orasi terarahkan kepada persuasi, sedangkan argumentasi hanya tampak se-bagai opini dan asumsi stereotipikal, demi persetujuan dari sebanyak-banyaknya massa, yang menjauhkannya dari proses berpikir inovatif itu sendiri—apalagi dari “seni”.

Mungkin karena kemenangan telah menjadi terlalu penting.

Majalah Djakarta!, No. 133, Juli 2010.

Kesambet

Sekitar dosa para pengelola media.

KESAMBET, istilah Betawi, seperti kemasukan setan. Namun dalam catatan ini, media sebagai “setan” tidak sekadar saya maksudkan sebagai “memasuki”, melainkan “merusak” se-gala-galanya. Adapun tanda kutip itu perlu pada kata merusak tersebut, karena merusak memang tentu saja bukan “hakikat” media, melainkan bahwa media sebagai ekstensi manusia yang semestinya dapat berfungsi produktif sebagaimana tu-juan pengadaannya, daya pembergandaannya juga sekaligus termungkinkan mengacau dunia.

Ekstensi adalah tujuan praktisnya, kebergandaan adalah ke-mampuannya, sehingga kurang cerdas sedikit saja pesan yang disampaikannya, kekurangcerdasan segera tergandakan seca-ra luar biasa, sedangkan kekurangcerdasan itulah yang sangat potensial dalam perusakan dunia. Dalam hal inilah media yang semula berfungsi baik-baik sahaja berubah menjadi penyambet. Dalam hal media cetak seperti koran, itu masih hanya berbilang 500 sampai 600 ribu eksemplar. Andaikanlah rata-rata setiap koran dibaca lima orang, itu masih “hanya” 2,5 sampai 5 juta orang, itu pun dengan sifat bacaan yang masih memberi ruang untuk kritis; tetapi dalam media audio visual, tentu maksudnya yang bersifat massal, jelas angka ratusan juta sahaja masihlah tidak terlalu mencengangkan—yang

212 | Affair

mencengangkan adalah sensasi kebergandaan dalam penggi-ringan naratifnya.

Celakanya sensasi kebergandaan hanya berfungsi optimal ketika menyampaikan pesan yang buruk-buruk saja, karena pesan yang baik-baik saja meskipun terproduksi dalam kuan-titas kebergandaan yang sama, akan diterima tanpa sensasi, atau tidak dengan sensasi yang setara dengan pesan buruk nan kurang cerdas tersebut. Pesan seperti PAIMO MEREBUT MEDALI EMAS OLYMPIADE FISIKA misalnya, meskipun bagi bangsa seperti Indonesia ini merupakan prestasi “di luar tra-disi” yang menyeruak keterkungkungan, tidak akan diterima sebagai sensasi seperti VIDEO ADEGAN SEKS SELEBRITAS. Dalam hal ini, media tenggelam dalam wacana, meski jumlah stasiun televisi yang menyiarkan, jumlah pemirsa, dan jang-kauan wilayahnya sama persis, dalam keberlisanannya waca-na VIDEO ADEGAN SEKS yang kurang cerdas, kurang bijak, dan menghancurkan ruang pribadi korban yang menjadi ob-jeknya, menenggelamkan wacana OLYMPIADE FISIKA yang kode kecerdasannya sangat jelas, tetapi yang lantas terhenti bagaikan sebuah pengumuman belaka.

Mau ikut ngomong fisika susah, ikut ngomong adegan seks dan perselingkuhan, tanpa harus jadi seksolog maupun psi-kolog pun, sungguh gampang sekali. Maka manusia lantas menjadi lebih “produktif” dalam wacana adegan seks dan perselingkuhan daripada ilmu pengetahuan. Pada saat itulah manusia kesambet media. Manusia tertawa-tawa karena pe-rempuan peselingkuh melakukan adegan seks mengenakan cincin kawin, manusia tertawa-tawa karena peselingkuh pria seperti kecanduan seks menubruk siapa pun perempuan yang

Seno Gumira Ajidarma | 213

lewat di depannya. Ketika tertawa-tawa itu manusia lupa, betapa media itu bersama kontribusi keberlisanan manusia sendiri, sudah menghancurleburkan bukan saja keharmoni-san sebuah keluarga, tetapi juga ruang jiwa sebuah pribadi yang telah diperlakukan dengan tiada semena-mena.

Perselingkuhan adalah suatu kegiatan sangat pribadi, yang salah dan benarnya tidak mungkin dihakimi sesama manusia, tapi dalam produksi wacana yang berlangsung tanpa kecer-dasan, penghakiman berlangsung dengan semangat pemban-taian, hanya demi menunjukkan nilai moral kelompok mana yang berkuasa. Tidak pernah menjadi pertimbangan bahwa sensasi media yang menyangkut manusia-manusia berjiwa ini adalah suatu drama getir, yang sebenarnyalah bukan urusan siapa pun jua. Namun ketika kesambet media, manusia tidak bisa berpikir, karena terserap dalam kenikmatan menyaksi-kan kesialan dan kemalangan manusia lain.

Manusia tidak berpikir bahwa para korban ini adalah bagian dari jaringan sebuah keluarga. Ada bapak yang jadi risih meng-hadapi sorotan mata tetangga, ada ibu yang prihatin dengan nasib anaknya yang babak belur dalam penindasan media, ada kakek-nenek yang sudah jelas menjadi sangat menderita, dan bukankah sangat mengerikan jika anak-anak di bawah umur yang tak bersalah juga diburu media untuk dijadikan sumber berita? Media telah menjadi monster, setan penyambet, dan manusia menikmatinya bagaikan semut berenang di lautan gula. Media, kepanjangan manusia, telah menenggelamkan manusia itu sendiri. Media bukan dunia nyata, tetapi diteri-ma sebagai dunia nyata itu sendiri. Manusia lupa bahwa dunia yang diberikan media hanyalah konstruksi manusia sendiri,

214 | Affair

yang terhadapnya sungguh dapat dilakukan dekonstruksi atawa pembongkaran, demi pemeriksaan kritisnya.

Apabila pembongkaran ini dilakukan, jelas akan ditemukan manusia pula di baliknya, para produsen yang sudah tak mampu lagi mengambil jarak dari dunianya. Jadi, media se-bagai penyambet, tak hanya menyambet pemirsa, melainkan juga produsennya sendiri. Sensasi menjadi berhala atas nama fakta, yang dalam kekurangcerdasan itulah langsung menda-pat pembenarannya. Para pemakan bangkai, itulah sebutan bagi manusia yang mengambil keuntungan dari kemalangan manusia lain.

Para manusia media itu, para pengabdi jurnalisme yang mungkin saja sarjana, mengapa bisa lupa? Karena mereka kesambet, kerasukan “setan media” yang mempersembahkan kepada mereka pesta pora sensasi tak tahu diri. Mereka yang menganggap pesan OLYMPIADE FISIKA sama sekali bukan prioritas dibanding pesan VIDEO ADEGAN SEKS. Sungguh mereka bertanggung jawab atas berlangsungnya kekurang-cerdasan massal ini.

Majalah Djakarta!, No. 134, Agustus 2010.

Siapa Suka Menciptakan Hantu?

Dulu “komunis”, sekarang “teroris” (pokoknya “musuh”).

DALAM sebuah film, The Enemy of the State (Tony Scott,1998), terdapatlah suatu isyu: seberapa jauh negara boleh nyelonong ke dalam kehidupan pribadi, meskipun itu atas nama keaman-an; yang jika di Amerika Serikat konteksnya adalah teknologi canggih, dari satelit sampai DNA, maka di Indonesia penye-lonongan tangan-tangan negara sudah lama berlangsung di setiap RT: Tamu 1 X 24 jam Harap Lapor.

Meskipun telah diketahui betapa para ketua RT tidak pe-duli juga, apakah anak-anak remaja tetangganya menerima teman-teman mereka 1 x 24 jam ataukah 5 x 48 jam, entah belajar bersama entah main gitar, telah diketahui pula betapa mentalitas semacam itu, selalu curiga bin paranoid, memang selalu ada. Dulu hantunya “komunis”, sekarang “teroris”—po-koknya hantu itu siapa dan bagaimana ditentukan oleh pihak yang berkuasa, yang merasa paling berkepentingan dengan keamanan negara.

Jangan terlalu cepat tertawa, karena hantu-hantu yang di-ciptakan sendiri ini sungguh dipercaya. Saya pernah mende-ngar alasan untuk menggugurkan pengakuan, bahwa ketika

216 | Affair

Gerakan 30 September berlangsung tahun 1965 “saya masih kecil”, dengan argumen bahwa terdapat organisasi di bawah tanah yang disebut “PKI Muda”. Bujubusyet. Mana? Mana? Kalau cuma orang yang berpikir “kekiri-kirian” tentu saja selalu ada, malahan banyak, seperti yang pernah diucapkan David Albert Peransi ketika menjawab pertanyaan Taufiq Ismail dalam suatu wawancara tahun 1973:

- Agaknya kau menunjukkan engagement politik juga?

+ Mungkin lebih tepat kalau dibilang engagement sosial. Sebagaimana seniman aku akan berpihak pada minoritas yang tertindas, apa pun keyakinan politiknya. Yang aku tentang ada-lah cara-cara politik yang tidak insaniah. Kira-kira begini: aku akan bersikap kiri dalam suatu masyarakat yang kapitalistis dan akan bersikap kanan dalam masyarakat yang komunistis. [“Seni Modern Pertanda Kematian Kebudayaan” dalam Film/Media/Seni (2005: 170-1)]

Mohon maklum dengan konteks tahun wawancara yang jadul tersebut, ketika pengertian seperti pascamodernisme belum pernah keluar dari mulut siapa pun di Indonesia, tetapi yang justru menegaskan bahwa sejak dahulu kala pun menguasai, menekan, dan apalagi menindas pikiran di dalam kepala adalah tidak mungkin. Dominasi wacana kekuasaan macam apa pun, meski segenap aparatur negara sudah dikerahkan untuk memastikannya, seperti militer, polisi, sistem penjara, dan lain sebagainya, akan selalu mendapat perlawanan. Maka meskipun hegemoni menunjuk terdapatnya masyarakat de-ngan konsensus tinggi, tidak berarti harus dipahami sebagai masyarakat tempat segala konflik harus disingkirkan.

Sebaliknya, justru konflik kelas dapat disalurkan ke su-atu wilayah ideologis yang aman. Itulah yang harus dan

Seno Gumira Ajidarma | 217

terus-menerus dipertahankan oleh suatu hegemoni sebagai proses yang sedang berjalan, tempat kelompok-kelompok dan kelas dominan melakukan negosiasi—dan membikin konse-si—dengan kelompok-kelompok dan kelas terbawahkan.

Dengan memahami ini, siapa pun yang ingin menjadi dominan dalam masyarakat sebaiknya melakukan negosiasi terhadap suara-suara oposisional, menuju ke suatu wilayah yang aman bagi diri mereka sendiri jika ingin meneruskan posisi kepe-mimpinannya. Itulah hegemoni sebagai suatu kondisi dalam proses—masalahnya, apakah Pak RT, atau siapa pun yang bera-da di posisi dominan, membaca Gramsci?

Maksud saya, jika pengertian terdapatnya kesetimbangan kompromis ini dikenal, tidak perlu ada konflik mubazir un-tuk menindas siapa pun yang melakukan resistensi, karena bagi kelompok terbawahkan pun suatu inkorporasi atawa penggabungan akan tetap jadi pertimbangan—justru demi perjuangan ideologis.

Adakalanya kita memang terheran-heran melihat “kemajuan” seperti ditindasnya kelompok minoritas, hanya sekadar kare-na berbeda, yang pada masa lalu tidak pernah terjadi. Bukan karena “hanya sekadar berbeda” ini menjadi masalah besar, melainkan memang seolah-olah harus dibesar-besarkan, supaya “syukur-syukur” tampak sebagai ancaman, sehingga masuk akal jika dijadikan musuh, tepatnya “hantu” yang layak ditakuti. Jika tidak ada musuh dicarilah musuh, dan jika mu-suh tidak tampak sebagai hantu alangkah ruginya! Kasus semacam ini bertebaran, dan tampak menyodok-nyodok di medan regulasi, menyangkut urusan spiritual, susila, dan gender.

218 | Affair

Ideologi selalu mau membuat alamiah apa yang merupakan konstruksi kebudayaan. Seolah-olah pandangan politik meru-pakan anasir genetik. Jadi meski bukan “komunis” dan bukan pula “teroris”, dalam diri anak, keponakan, sepupu, apalagi kakak dan adik, dianggap sahih dicurigai betapa dalam darah-nya mengalir pula cara pandang bersangkutan.

Ketika Pramudya Ananta Tur menulis Rumah Kaca, ia menceri-takan pengawasan pemerintah kolonial terhadap orang-orang pergerakan pada awal abad XX, tetapi arahnya sudah tentu kepada Orde Baru juga. Perilaku kekuasaan memang selalu sama: bukankah telah menjadi perdebatan tentang seberapa jauh hamba wet dan pihak “keamanan” mana pun berhak me-nyadap telepon, memeriksa rekening bank, memasang CCTV di wilayah pribadi—dan tentu juga hak kelompok dominan untuk memeriksa dan mengatur moralitas seseorang maupun kelompok terbawahkan yang tidak sama dengan sistem nilai moralnya, karena selalu merasa ada hantu yang mengancam, tepat seperti yang dibayangkan sendiri.

Majalah Djakarta!, No. 135, September 2010.

Rasialisasi

Atawa pikiran berbahaya.

MUDAH-mudahan Anda setuju, bahwa pikiran yang menye-babkan berlangsungnya pembunuhan, terlebih lagi pembu-nuhan massal, adalah pikiran yang berbahaya. Saya tidak bica-ra tentang kriminalitas, karena kriminalitas telah diresmikan sebagai kebersalahan. Saya bicara tentang sesuatu yang lebih gawat, amat sangat gawat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih gawat, karena kebersalahan dalam kasus ini terterima sebagai keterbenaran.

Tidakkah gawat dan berbahaya jika kita menilai manusia dari warna kulit, ciri-ciri biologis, garis keturunan, dan “jenis orang”, termasuk untuk menilai kecerdasan dan kemampuan, lantas langsung menggunakannya untuk menyusun peringkat superioritas dan pembawahan sosial (“suku gurem”) maupun material (“bibir tebal itu buruk”). Proses inilah yang disebut rasialisasi: yakni kuasa untuk melakukan klasifikasi rasial dengan “menjadikan” sekelompok manusia sebagai suatu ras. Jadi harus segera dipahami sekarang, kalau kita mendengar kata seperti “Cina”, “Madura”, “Betawi”, “Manado”, “Batak”, “Jawa” dan “Ambon”, itu merupakan konstruksi sosial—bu-kan kategori biologi yang esensial maupun universal.

Namun siapa yang melakukan “perang suci” atas nama “suku” membaca acuan saya kepada entri Race dalam The

220 | Affair

SAGE Dictionary of Cultural Studies (2004) susunan Chris Barker itu? Apalagi jika pemahaman tersebut bisa sangat “mengecewakan”, karena “kebenaran” yang terbongkar sama dengan ambruknya suatu rumah jiwa, yang akan membuat penghuninya terlontar dalam keterasingan, dan pada gilir-annya hanya membuat si doi gelisah. Jika tidak ada “Cina”, “Madura”, “Ambon”, “Manado”, “Jawa”, “Betawi”, dan apa pun namanya dengan stereotip (baca: klasifikasi simplistis) akrab yang telanjur mapan, Kaum Rasis ini (biarlah dan izinkanlah saya melakukan “rasialisasi” ini, karena dalam kenyataannya memang eksis) tentu akan kehilangan kambing hitam yang sangat perlu untuk membuat posisi dirinya sendiri menjadi kambing putih, alias menjadi lebih tinggi.

Mengacu Barker lagi, itulah politik kebudayaan atas ras seba-gai politik representasi. Tentu, sebagai konstruksi diskursif-performatif, ras tidak merupakan “sesuatu” yang dimengerti secara absolut (“sekali Sunda tetap Sunda”), melainkan se-bagai kategori kontingen (hanya terhubungkan) dan tidak tetap. Kategori rasial itu sendiri memang tidak sepenuhnya sembarang dan tiada hubungan, tetapi hanyalah untuk se-mentara saja dimapankan oleh praksis sosial, karena memang terkukuhkan oleh simbolisasi dalam konteks perjuangan sosi-al dan politik (“Batak tegas” / “Jawa tenang”). Sebagai bentuk identitas, ras tidak bisa “ada” di luar representasi, bahkan terhadirkan oleh penanda-penanda ras, termasuk daya tarik semu perbedaan biologis (“Manado putih-putih”). Dengan kata lain, formasi ras yang “positif” pun sudah rasis, ketika melibatkan pembentukan subordinasi sosial, ekonomi, dan politik melalui kategori dan wacana atas ras.

Seno Gumira Ajidarma | 221

Maka, benarkah mustahil sesama manusia tidak memandang hubungan sosial antarmanusia dalam struktur pember-maknaan karakter biologis (“orang Papua menakutkan”)? Pandangan semacam ini membentuk semangat pembawahan, yang dalam catatan Barker juga telah meminggirkan peluang kehidupan orang-orang Afro-Karibia Inggris, Afro Amerika, dan Aborijin Australia hampir dalam semua dimensi. Tidak mungkinkah manusia menghidupkan pandangan anti-esensi-alis, dengan memahami juga bahwa pengenalan ras selalu juga dalam artikulasi atas kategori lain seperti kelas, gender, dan etnisitas?

Masalah besarnya tentu bukan sekadar karena pembawahan ras berakibat kepada sikap tidak adil, tetapi bahwa pemba-wahan ini disertai dengan semangat pemusnahan dalam wujud pembunuhan massal. Banyak orang mengutuk Hitler yang kebenciannya terhadap Yahudi menjelma Holocaust, tetapi sungguh mati sampai hari ini terlalu banyak orang, apakah orang itu bukan orang baik-baik atau orang baik-baik, pikirannya sungguh sama saja dengan Hitler. Hannah Arendt, dalam analisisnya tentang Nazi, tidak mengibliskan atau menjahatkan para petugas seperti Adolf Eichmann sebagai monster, tetapi sekadar manusia tanpa imajinasi, yang patuh saja kepada administrasi Nazi. Jadi Eichmann hanya merasa dirinya melakukan tugas “pembersihan” secara mangkus dan sangkil (efektif dan efisien). Mirip siapakah itu semasa 1965-1966 di Jawa, yang secara sistematis menciduk “jenis orang” komunis dari malam ke malam?

Begitulah pikiran-pikiran berbahaya yang merajalela, dan se-cara teknis disebut prasangka ini, masih saja selalu terdengar

222 | Affair

di sekitar kita dengan berbagai varian—yang namanya masih tetap rasialisasi. Jangan terlalu cepat menghubungkannya dengan kebodohan, karena adalah para ilmuwan pula yang menyumbang kepada kebersalahan yang sungguh-sungguh kaprah ini, mulai dari disiplin antropologi, yang membagi-bagi ras manusia sebagai Kaukasian, Negroid, dan Mongoloid, sampai kepada terminologi etnik lengkap dengan asumsi ka-rakteristik budayanya sebagai sesuatu yang esensial.

Pemahaman konstruktivis, bahwa identitas etnik hanyalah konstruksi sosial, jelas telah menggugurkan antropologi klasikal itu, artinya menghapus sama sekali legitimasi keber-adaan ras. Namun meski ras sudah tidak ada, rasisme tetap bertahan, yakni pelembagaan kebijakan prasangka dan diskri-minasi yang terarah kepada minoritas, yang ditandai dengan pembedaan-pembedaan oleh kelompok dominan dan mapan. Sedikit sekali yang telah dilakukan negeri bhinneka tunggal ika ini untuk melawan ideologi rasis. Hanya dipikirkan kem-bali sedikit-sedikit, setiap kali muncul kekerasan massal de-ngan korban sia-sia yang nyawanya telanjur melayang.

Majalah Djakarta!, No. 136, Oktober 2010.

Balada Jalur Busway

Cermin kebangsaan nan luar biasa.

JIKA bahasa telah tersepakati menunjukkan bangsa, apakah jalanan juga boleh menunjukkan bangsa? Di antara banyak cerita dari Jakarta, cerita tentang busway jelas cerita yang termasuk ajaib. Maksudnya?

Saya justru baru ngeh dengan keajaiban busway ini ketika berada di Hawai’i, tepatnya Honolulu, ketika mendengar seo-rang Indonesianis dengan penuh keheranan berkisah kepada seorang temannya, bahwa jalan untuk busway itu pemba-tasnya adalah “benar-benar batu”. Maksudnya tentu, bahwa separator alias pemisah yang tentu juga berfungsi pembatas itu tidak cukup berupa penanda batas berupa garis pembatas dari cat, melainkan “pembatas timbul” tiga dimensional yang benar-benar akan “membatasi”, bahwa jalur busway memang hanya untuk bus yang sah melaluinya itu sahaja.

Namun, di Indonesia, yang sah dan tidak sah, bukan sekadar terlihat rancu, melainkan memang dengan sengaja terlalu sering dirancukan bukan?

Perbincangan Indonesianis ini jelas menyiratkan ketersu-ratan: keterlaluan sekali orang Indonesia ini, penanda garis

224 | Affair

pembatas saja tidak cukup, pembatas harus betul-betul “pem-batas” tiga dimensional yang konkret, supaya mobil-mobil “tahu betul” jalur itu tidak sahih bagi dirinya.

Apa yang terjadi kemudian? Mobil dan sepeda motor nan per-kasa tenang-tenang saja melanggarnya, karena tinggi pemba-tas yang sekian sentimeter itu tiada artinya bagi mobil dan sepeda motor yang mana pun jua. Bahwa batas itu menjadi “terasa” secara fisik karena persentuhan dengan roda sudah jelas tiadalah bermakna, baik sebagai terjemahan pesan “ini pembatas lho” maupun sebagai sindiran “sudah jelas ada pem-batas elu langgar juga”.

Usaha lanjutan dari pembatas konkret ini adalah peninggian jalan busway, sehingga semangkin jelaslah pembedaan bahwa “ini jalur gue” dan “jalur elu yang itu”. Terlihat usaha keras pi-hak penanggungjawab busway untuk membuat mereka yang berusaha masuk ke jalur busway ini merasa “sungkan”, saat membelokkan setir dan mobilnya naik ke jalur yang bukan haknya, setidaknya “tahu diri”—tetapi “hatsil”-nya pun su-dah jelas: para Homo Jakartensis itu tidak sungkan dan juga tidak tahu diri.

Apabila kemudian dipasang pula tanda-tanda tertulis yang da-pat dibaca dengan jelas KECUALI BUSWAY (di bawah penan-da STOP warna merah dengan garis putih) dan SEPARATOR BUSWAY (kuning mencolok dengan tanda seru: !)—masing-masing 2, jadi semuanya 4 di satu tempat!—dan tetap ada manusia bersepeda motor dan bermobil melalui jalur terse-but, kiranya semangkin jelas “peristiwa kebudayaan” macam apa yang sedang berlangsung.

Seno Gumira Ajidarma | 225

Namun apa yang sudah jelas bisa kembali membingungkan, ketika dalam kondisi yang memang macet berat, polisi lalu lintas yang terhormat justru mempersilakan para pengguna jalan memasuki jalur busway tersebut. Akibatnya, jalur yang memang cuma satu jalur itu segera pula penuh sesak dan macet—dan bus ber-AC TransJakarta yang mangsud-nya di-istimewakan dengan adanya jalur cepat pun pada saat yang sama menjadi sama saja seperti bus MetroMini yang jende-lanya tiada berkaca: terjebak macet. Jika terdapat argumen ini toh demi kelancaran bersama, hasilnya justru sebaliknya: kemacetan bersama .

Kiranya para ideolog “pokoknya busway” tiada pernah putus asa. Setelah segala sindiran lewat penanda konkret maupun tulisan KECUALI BUSWAY dan SEPARATOR BUSWAY tidak mempan, maka seperti terjadi sepanjang Mampang Prapatan dan Warung Buncit, sekarang jalur busway itu diberi portal! Busyet! Ya, portal besi yang ditutup agar tiada mobil maupun sepeda motor yang nekat masuk dari depan (meski kalau mau tentu bisa dari samping juga kan?). Betapa pun, terda-patnya portal ini tentulah seharusnya tidak sekadar menjadi penanda, melainkan usaha konkret untuk membentengi jalur busway, agar tiada pejuang jalan raya yang bergerilya meng-ganggu lagi kelancaran halus mulus bus ber-AC TransJakarta. Suatu usaha yang betul-betul amat sangat luar biasa kerasnya! Portal! Aje gile!

Keajaiban ini belum berakhir, karena setiap portal itu pun ternyata ada penjaganya! Tentu saja, karena portal perkasa ini selain harus ditutup supaya para penyelonong tidak masuk ke jalur busway, harus juga dibuka ketika sang bus yang jadi

226 | Affair

perkara mau lewat! Hehe! Nah, siapakah juru hitung yang bisa membandingkan penjumlahan beaya plus persentase korup-sinya dari (1) cat separator, (2) batu separator, (3) peninggian jalur busway, (4) tiang dan penanda KECUALI BUSWAY dan SEPARATOR BUSWAY, (5) portal, (6) penjaga portal; dengan hanya kalau menggunakan jasa cat separator sahaja, yang mestinya lebih dari cukup untuk bisa dimengerti?

Celakanya, justru ketika dalam pengertian JANGAN MELALUI JALUR BUSWAY sebetulnya tiada masalah, “kebijakan” yang diambil justru adalah tetap melakukan pelanggaran segala pembatas dengan penuh kesadaran, juga ketika di bagian be-lakang setiap bus TransJakarta itu ditempelkan stiker besar dengan tulisan seperti: Nyerobot Jalur Busway? MALU DONG!

Dengan segala hormat, jika seperti bahasa, jalanan sahih untuk dimanfaatkan sebagai pencerminan bangsa, bangsa semacam apakah Indonesia ini rupanya? Bukan main!

Majalah Djakarta!, No. 137, November-Desember 2010.

Balada Wacana Androgini

Jika terhadap kebergandaan kelamin bisa dilakukan operasi, kebergandaan dalam budaya keberagaman lebih baik dirayakan.

JIKA Puan-Puan dan Tuan-Tuan Homo Jakartensis yang Budiman memperhatikan hasil “arkeologi komik” saya ini, yang berasal dari harian Simphoni antara 1987-1988, yakni satu panil baris komik (comic strip) Trah Para Dewa karya maestro Teguh Santosa (1942-2000), maka sudah jelas kita menemukan suatu peristiwa androginetik.

Baiklah diketahui bahwa baga adalah kelamin perempuan dan purus adalah kelamin lelaki.

Namun bagi Homo Jakartensis yang tidak mengenal wayang, tentu masih harus saya jelaskan konteks panil komik tersebut:

Perempuan tersebut dalam khazanah wayang purwa adalah Dewi Umayi atau Dewi Uma, dari mana aktris Uma Thurman mendapatkan namanya, meski yang diacunya tentu “asli”-nya yang dari Jambhudvipa atawa India. Alkisah, Uma adalah

228 | Affair

anak Umaran, orang kaya dari Merut, dan Dewi Nurweni, put-ri dari raja jin Kalingga yang bernama Prabu Nurangin. Ketika dilahirkan dari rahim, ujudnya bukan bayi, melainkan cahaya yang berkelebat kian kemari, tak bisa dikejar sampai hinggap di Gunung Tengguru yang dikuasai jin peri genderuwo setan alas bekakrakan. Di sanalah Umaran melakukan samadhi, memohon kepada Tuhan agar anaknya tersebut menjadi bayi manusia.

Ia memang tidak menyebutkan, meski dalam hati, yang di-mintanya anak lelaki atau perempuan. Mungkin bisa diterima, bahwa mestinya ia akan pasrah saja diberi anak lelaki atau pe-rempuan, karena dalam konteks permohonan anak, tentunya terserahlah Yang Berkuasa mau memberikan anak macam apa.

Ternyata bahwa anaknya, meski berwujud perempuan, kela-minnya ganda.

Maka, demikianlah dalam “hukum pewayangan”, ia tergolong manusia sukerta (orang malang) yang harus diruwat. Apalagi jika cerita menentukan bahwa ia akan menjadi permaisuri Batara Guru, “perwakilan Tuhan” dalam mengatur sejarah umat manusia.

Sampai di sini, dengan kata ruwat yang berarti pembebasan dari roh jahat, jelas urusannya bukan sekadar “alat kelamin” sebagai perkara biologis, melainkan “kemenduaan” atau “ke-bergandaan” sebagai representasi “salah” dalam penghadap-annya dengan “ketunggalan” sebagai representasi “benar”. Tepatnya, dalam wacana ruwatan, “aneh” atau “berbeda” dianggap bernasib sama malangnya dengan kemasukan roh jahat, dan karena itu harus diruwat alias terhadapnya diber-langsungkan pembebasan.

Seno Gumira Ajidarma | 229

Oposisi binernya jelas: Kebergandaan Makna vs Kebenaran Tunggal.

Namun jika dalam dunia klasikal pramodern wacana Kebenaran Tunggal jelas berkuasa penuh, maka ketika mo-dernisasi memberi jalan emansipasi atawa kesetaraan atas setiap ragam, kuasa yang menentukan siapa perlu dan siapa tidak perlu diruwat tentu mendapat perlawanan. Artinya, wacana kebergandaan tidak lagi berada dalam posisi “salah”, apalagi harus diruwat; sebaliknya justru segala wacana yang memaksakan kebenaran tunggalnya masing-masing bukan hanya tampak sebagai “jahat”, melainkan juga “bodoh”.

Persoalannya, berada di dunia manakah para Homo Jakartensis sekarang? Kita semua berada dalam situasi pas-camodern, yang ketika di satu pihak terdapat pembelaan terhadap lesbian, gay, bisexual (kenapa saya berpikir yang ini hanya “teruntungkan” sahaja adanya? ), dan transgender atas hak hidupnya; di pihak lain hak hidup para penghayat ku-asa Kebenaran Tunggal yang kerdil, sempit, dan berkacamata kuda, tidak dapat dihapuskan dan memang berhak mendapat tempat juga.

Nah, di antara keduanya terdapat “massa mengambang”.

Massa mengambang ini sering tersesat dalam kata “umum” atau “normal”, yang mau dibolak-balik tidak mungkin men-jadi “netral”, karena normalitas memang ditentukan oleh kuasa wacana kelompok dominan. Ya, kelompok dominan yang hampir selalu lupa betapa androginitas terdapat dalam diri setiap orang. Dalam diri lelaki terdapat keperempuan-an, dalam diri perempuan terdapat kelelakian. Tanpa harus

230 | Affair

menghubungkannya dengan “cacat kelamin”, representasi an-droginitas lebih banyak bermakna produktif, ketika seorang lelaki tidak usah merasa bersalah memiliki naluri keibuan, dan seorang perempuan berlaku tangkas perkasa bagaikan kepala keluarga, tidaklah perlu dianggap sebagai kelainan. Apalah salahnya seorang lelaki menjadi perancang busana dan seorang perempuan menjadi juara dunia angkat besi bukan?

Betapa pun, persoalan konseptual androginitas manusia ini tidak pernah menjadi materi “penyuluhan”, karena antara ke-miskinan dan kebodohan, rupa-rupanya kemiskinan dianggap lebih merupakan prioritas untuk ditangani daripada kebo-dohan, dan dilupakan bahwa dengan terhapusnya kebodohan sebetulnya kemiskinan material secara konsisten akan lebih berpeluang terentaskan. Dengan terbatasnya kecerdasan, jelas massa mengambang tersesat-pikir dalam wacana bahwa yang “umum” adalah yang “normal”, dan sekaligus berarti yang “benar”. Dalam keadaan seperti ini, kelompok terbawah-kan pasti akan tertindas, karena keberagaman makna adalah virus bagi penghayat ideologis kebenaran tunggal.

Demikianlah saya melihat androgini bukan dalam konteks psikologis, apalagi biologis, melainkan secara politis: betapa kemenduaan dan keberagaman selalu salah dalam paham monolitik atas kebenaran, padahal merupakan bagian tak terlepaskan dari kemanusiaan itu sendiri. Sebegitu jauh, kita harus selalu percaya, perlawanan terhadap kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok dominan, sama tuanya de-ngan kebudayaan itu sendiri.

Majalah Djakarta!, No. 139, Februari 2011.

“Lagi Nge-trend.”

Atawa hegemoni dalam proses.

“LAGI nge-trend.”

Ya, kalau mendengar bahasa Jakarta semacam ini, kita bisa langsung membedahnya.

Pertama, pengertian lagi bukanlah tambah atau lebih lanjut seperti dalam bahasa Indonesia, melainkan sedang. Adapun kata sedang ini dapat dipahami sebagai: terdapat sesuatu yang telah dimulai, tetapi pasti akan berakhir. Wah. Seperti kehidupan kita semua dong . Bedanya, pada saat kita meng-ucapkan goodbye kepada dunia ini, maka kebudayaan masih akan selalu ada, tetapi tidak dalam bentuk yang sama selama-lamanya, universal dan abadi, melainkan kebudayaan sebagai suatu proses—apalagi jika bukan pergulatan antarwacana, yang salah satu gejalanya adalah memperlihatkan trend yang satu muncul dan menghilang untuk digantikan trend yang lain. Bukan sekadar sebagai kontestasi antara dua subjek untuk menjadi trend-setter, melainkan kontestasi seribu satu subjek semiotik, yang membawa beban makna ideologisnya masing-masing, yang telah membuat dunia kita seperti pasar wacana.

Kedua, awalan nge- tentu menunjukkan jejak bahasa Betawi dalam bahasa Jakarta kontemporer, yang merupakan praksis

232 | Affair

dari kata lagi sebelumnya, yang secara denotatif tetap berarti sedang, tetapi secara konotatif menekankan betapa secara konkret subjek termaksud sedang berjalan. Tentu saja dalam pemahaman ini terdapat “kodrat” yang masih sama, yakni cepat atau lambat trend telah dimulai dan pasti akan berakhir.

Ketiga, trend itu sendiri yang secara denotatif dalam bahasa Inggris berarti (1) kecenderungan dan (2) jurusan, arah geja-la, dan jalan itu (Echols & Shaddily, 1975: 603) yang dengan enaknya kita lebur ke dalam bahasa Jakarta, tetap saja mem-pertegas konotasi betapa subjek bersangkutan sedang berjalan atau bolehlah sedang berlangsung. Tentu dalam pengertian trend secara intertekstual dapat dijajarkan dengan pengertian populer dan musim, sehingga ucapan “Lagi nge-trend.” memang dapat digantikan dengan “Sedang populer.” atau “Lagi mu-sim.”—meski pengucapnya akan terlihat“rada old-fashioned” . Kalau mau gaul, ya yang lagi nge-trend adalah “Lagi nge-trend.”.

Dari kata, kita masuk ke makna, bahwa proses ada-untuk-diganti-yang-lain

ini merupakan proses hegemoni. Maksudnya? Bahwa yang lagi nge-trend memang adalah lagi dominan atawa bisa juga lagi hegemonik, tetapi yang beban makna dalam wacananya (“nangkring di Starbucks itu bergaya elite”) akan selalu men-dapat resistensi kelompok terbawahkan, yang tidak punya cukup uang untuk sekadar ngopi di Starbucks (“nangkring di 7-Eleven, meski pinggiran, tak kalah gaya dari yang elite”).

Jadi, kita memang dapat menandai terdapatnya suatu medan pertempuran semiotik (semiotic battlefield) tempat Hermes

Seno Gumira Ajidarma | 233

sebagai atribut elitisme, kekayaan, dan kemapanan, ibarat kata dilawan oleh Converse sebagai atribut kemudaan (“be-lum mapan”), kebebasan (“tidak terikat simbol status”), dan keceriaan (“jiwa, bukan benda”)—meskipun atribut Converse itu bisa jadi akan terlihat rada maksa’ pada orang-orang tua berjiwa muda .

Justru dalam konteks industri budaya, tempat yang dijual sebetulnya adalah penanda-penanda (jam Rolex memang secara objektif bermutu, tetapi subjek makna “Rolex” bagi pembelinya itulah yang sebetulnya dijual dan bersedia diba-yar), maka akan selalu berlangsung negosiasi dalam wacana kelompok dominan untuk menghadapi wacana perlawanan kelompok terbawahkan tersebut: Starbucks akan menggelar strategi identifikasi, bahwa betapa pun Starbucks itu bukan panti jompo, layak juga bagi remaja ber-Converse, bercelana jengki, dan kancing bajunya dibuka semua karena di dalamnya ada kaos oblong—meski harga kopinya tidak—perlu—turun sama sekali.

Yang ingin saya tunjukkan, industri budaya melahirkan ko-moditas budaya dengan dua sisi ekonomi, yakni ekonomi finansial yang tidak akan dibicarakan di sini, dan ekonomi budaya. Dalam ekonomi budaya, proses “lu jual, gua beli” ti-dak berhenti pada neraca untung rugi, karena prosedurnya jauh lebih kompleks: bahwa setidaknya terdapat tiga posisi hipotetis terhadap komoditas budaya mana pun, yakni yang terdominasi (suka, bahkan fanatik), bernegosiasi (dari yang “pengin tahu aja” sampai “nggak rugi juga dianggap trendy”), dan yang ber-resistensi (“pokoknya gua empet”)—yang bela-kangan ini tentu pasar terbaik bagi komoditas budaya dengan

234 | Affair

tanda-tanda “perlawanan” (reggae, rap, dan hip-hop sebagai alternatif “lagu cengeng” generasi melankolis-sentimental?); yang dalam proses hegemoni (bahwa selalu berlangsung negosiasi antarwacana ketiga posisi) membuat yang lagi nge-trend itu berubah, berganti, dan bisa saja kembali lagi, seperti bell-bottom dan rok mini.

Yang ingin saya tekankan, yang lagi nge-trend ini bukanlah peristiwa alamiah, melainkan suatu peristiwa budaya berke-sadaran. Jika dalam ekonomi finansial, pandangan atas stra-tegi pemasaran adalah wajar untuk melakukan inkorporasi demi homogenitas konsumen, maka dalam ekonomi budaya terdapatnya wacana perlawanan menciptakan heterogeni-tas, karena mengubah ketiga posisi dari konsumen menjadi produsen makna. Ini dimungkinkan karena kesenangan dan makna yang saling bertimbal balik dalam konsumsi komo-ditas budaya, dilakukan dengan politik identitas kelompok sosial masing-masing. Ini yang membuat hegemoni, sebagai kondisi dalam proses, tidak pernah tetap dan menetap—me-lainkan hanyalah lagi nge-trend.

Majalah Djakarta!, No. 141, April 2011.

Suatu Senja di Bakoel Koffie

Peristiwa kebudayaan dalam kafe.

ADA sebuah kafe di Cikini, Bakoel Koffie namanya, sebagai bagian dari maraknya banyak kafe ‘khusus kopi’ di Jakarta, tak mau ketinggalan dengan eksotisme kopi yang semenjak Starbucks telah menjadikannya sebagai fenomena sosial—dan komersial—baru di berbagai kota besar dunia.

Tentu bukan untuk kopi itu sendiri, maka kafe—yang artinya memang tempat minum kopi—didatangi orang, melainkan untuk bersosialisasi. Maka bukan hanya sekadar kopi yang ditawarkan kafe semacam Bakoel Koffie, melainkan suasa-na yang diandaikan akan mendukung kehidupan sosial itu. Apakah itu dari konsep interior kafe tersebut, sampai kepada jenis musik dan komposisi menu.

Dalam hal Bakoel Koffie, tampak nyata betapa konsep yang di-pilihnya adalah konsep tata ruang kejadul-jadulan, konsisten dengan ejaan OE untuk bunyi “u” (ejaan Van Ophuysen yang berlaku antara 1901-1947) yang agaknya sesuai pula dengan pilihan hiasan dinding dan mebel demi rasa eksotiknya.

Dengan pertimbangan bahwa kopi selalu ditemani rokok, Bakoel Koffie di Cikini itu memanfaatkan ruang terbuka dari konstruksi bangunan lama. Dengan kebebasan berasap ria,

236 | Affair

justru ruang tak ber-AC itulah yang dominan dan menjadi favorit di Bakoel Koffie.

Bagi saya, sebuah pojok menjadi favorit tergantung berbagai faktor determinan yang mendukungnya, mulai dari siapa orangnya sampai kapan waktunya, apakah pagi, siang, sore, atau malam, dan demi kepentingan apa. Misalnya kadang-kadang saya melakukan tugas pembimbingan skripsi dengan beberapa mahasiswa di tempat itu, maka jelas yang saya perlukan adalah ‘meja konferensi’ luas di ruang atas, tempat segala lembaran kertas, buku-buku, dan laptop bisa tersebar dengan bebas, di samping rasanya lantas jadi sahih berdiskusi dengan suara yang agak lebih keras.

Pertemuan terbatas antarteman dalam urusan pekerjaan, meskipun pagi hari, lebih sreg di ruangan AC, tempat susunan kursi bisa menampung empat sampai lima orang dalam sua-sana santai; tetapi jika malam, untuk pertemuan dua orang, jelas meja kecil dengan hanya dua kursi berhadapan yang ha-nya berbatas kaca dari ruang non-AC, urusan sosial maupun personal, adalah yang paling tepat—dan jika yang kita tunggu belum datang, tempat itu dekat dengan colokan jika laptop kita daya baterainya habis.

Bagaimana jika menjelang senja tiba? Suatu ketika tanpa se-ngaja saya berada di jendela kaca besar yang memperlihatkan trotoar, orang lewat tanpa harus bergegas, lalu lintas di balik motor dan mobil yang parkir, dan sepotong langit senja di atas kompleks pertokoan di seberangnya. Di balik kaca jen-dela yang bertuliskan Bakoel Koffie dengan gambar perem-puan menggendong bakul itu, terdapat dua kursi yang ber-hadapan dengan meja marmer yang agak bergoyang-goyang

Seno Gumira Ajidarma | 237

perlu ganjel. Sembari menunggu, saya sadar bahwa berada di tempat itu artinya diri saya menjadi bagian dari rancangan tampak depan kafe, yang akan terlihat oleh siapa pun yang lewat, karena saya pun pernah berada dalam posisi di luar dan memandang ke dalam melalui jendela kaca tersebut.

Seingat saya, saya selalu mendapat kesan bahwa dua manusia yang bercakap-cakap sambil berhadapan di balik kaca jendela itu tampak bahagia—apakah lelaki dan perempuan, lelaki dan lelaki, ataupun perempuan dan perempuan. Dari balik kaca, posisi berhadapan dengan wajah riang dan berseri, dengan secangkir kopi maupun lemon tea di atas meja itu, tampak sebagai pemandangan yang manis. Namun sekarang sayalah yang berada di posisi itu, sendirian menunggu seseorang, apa-kah saya juga akan tampak sebagai bagian dari kebahagiaan?

Senja membuat tempat itu bagi saya paling tepat, karena bias cahayanya yang lamat-lamat menyepuh kaca jendela. Bahwa para pejalan kaki yang lewat tak bergegas, memberikan suasana yang berbeda jika dibandingkan berada di tempat yang sama ketika matahari sedang terik-teriknya. Pada senja menjelang akhir hari, segalanya tampak melembut, bagaikan saya sedang tidak berada di Jakarta, padahal saya jelas sedang berada di Jakarta. Mungkinkah ini sekadar pembuktian se-derhana bahwa ruang dan waktu itu memang relatif adanya? Bila Einstein telah membuktikannya dalam fisika, bahwa ru-ang dalam kereta api yang berjalan memang tak sama dengan ruang di luarnya, apakah ini merupakan gejala yang sama?

Tercium bau harum kopi, sudah jelas pengalaman dengan relativitas ruang dan waktu Jakarta yang dialami siapa pun di Bakoel Koffie, bahwa mereka bagaikan tidak sedang berada

238 | Affair

di Jakarta bukanlah peristiwa fisika, melainkan peristiwa kultural: bahwa adanya dunia terdapat dalam cara kita me-nafsirkannya. Dalam pengertian itu, senja di Bakoel Koffie bukanlah sekadar peristiwa alam antara pukul 17.30 sampai 18.30, sama sekali bukan, karena dalam pengalaman manusia waktu bukanlah sekadar detak mekanis pada arloji, melainkan bagian dari ruang di dalam—dan bukan di luar—diri manusia itu sendiri.

Sampai pada titik ini, kawan yang saya tunggu pun tiba.

Majalah Djakarta!, No. 142, Mei 2011.

Tentang Bertemu Muka

Jakarta tetap (bisa) berdenyar dalam keparahannya.

SUDAH dua tahun ini saya sering mendengar pernyataan, “Menurut prediksi, dua tahun lagi, jika kita naik mobil keluar rumah, maka hanya beberapa meter kemudian sudah macet. Itu pun bukan macet. Melainkan berhenti. Mandeg-greg!”.

Jika pernyataan itu terbukti, seharusnya sekarang inilah mobil kita berhenti begitu keluar rumah. Namun saya tidak menganggap sepele pernyataan itu: saya merasakan betapa jalanan memang semangkin parah kemacetannya, rasanya se-perti ‘dua kali macet’. Sebagai manusia yang lebih beruntung, mendapat kesempatan berkantor di dalam laptop daripada di dalam empat dinding tembok, saya termasuk yang tergolong selamat dari perhitungan lebih banyak hidup di jalan daripa-da bekerja atau menikmati hidup—tetapi masih saja tersiksa setiap kali keluar rumah, dan pengertian tersiksa ini bukan basa-basi, justru karena saya sangat menghargai waktu (ma-sih) hidup yang berguna dan bermakna.

Tepatnya, manusia dilahirkan tidak untuk mengalami kema-cetan, karena hidup memang sangat singkat. Seberapa jauh Jakarta menjadi tempat hidup yang layak dalam konteks

240 | Affair

itu? Anehnya, kalau kita sedikit belajar sejarah, tidak ku-rang-kurangnya peradaban runtuh ketika mencapai taraf yang tinggi, karena pertumbuhannya berkembang menjadi kemacetan segala fungsi kehidupan: pada peradaban Angkor di abad ke-11, sistem pengairannya yang canggih—dan mem-buat kota kuno itu bergantung kepadanya—adalah sumber keambrukannya, antara lain karena mudah diracuni. Juga bahwa peradaban yang canggih—sibuk dengan sastra, seni, dan agama—menjadikannya rapuh terhadap serbuan bangsa asing, seperti Viet dari Annam yang berjiwa perang.

Jakarta kita sekarang tak punya masalah dengan serbuan ten-tara asing, tetapi jelas bahwa ketergantungan air bersih yang mengandalkan teknologi tinggi, sudah sangat sering disebut terancam. Apabila kemudian banjir dan kemacetan terpaksa diakrabi, ternyata tidak menghentikan sama sekali akan terus bertumbuhannya gedung-gedung tinggi. Regulasi tak membatasi produksi maupun kepemilikan mobil dan sepeda motor, alternatif kendaraan umum yang ditawarkan terbukti hanyalah memperparah kemacetan itu. Masalahnya, seperti sajak Rendra, hidup bukanlah untuk mengeluh dan mengaduh. Catatan keparahan situasi Jakarta masih banyak, sehingga isyu pindahnya ibu kota bagaikan masuk akal: benarkah pen-duduknya terjamin akan menderita?

Sepuluh tahun lalu, ketika mulai menulis kolom tentang Jakarta bersama terbitnya Djakarta!, saya sudah mencatat sejumlah usaha Homo Jakartensis untuk tetap hidup ma-nusiawi, antara lain mengamati pemanjaan telinga di dalam mobil, sebagai satu-satunya kesempatan mendengarkan mu-sik; bagaimana memasukkan air terjun mini ke dalam rumah

Seno Gumira Ajidarma | 241

demi terciptanya semesta jiwa; dan juga bahwa soundscape berbagai ‘suara orang jualan’ sebenarnyalah sama indah de-ngan musik yang terindah—juga saya sebutkan bagaimana cara menghayati Jakarta dengan pandangan khusus dari jalan tol pada senja hari, yang tidak mustahil memberikan kepada kita sebuah puisi dari pemandangan kota.

Ya, ini soal sudut pandang, dalam cara mengakali dan meng-akrabi Jakarta, agar tetap menjadi tempat tinggal yang semakin baik bagi kita, ketika bermacet-macet menjadi kenis-cayaan tak terhindarkan. Namun yang saya tawarkan kali ini adalah pilihan bukan dalam keniscayaan, melainkan pilihan untuk menghindari keniscayaan tersebut, berdasarkan ke-mungkinan yang diberikan media komunikasi baru. Maksud saya, kita bisa saja bekerja sama tanpa pernah bertemu muka bukan? Banyak orang mengira saya pegawai Djakarta!, tapi dalam sepuluh tahun saya baru dua kali bertemu perwakilan Djakarta!, pun setelah staff redaksi tampaknya sudah ber-ganti-ganti, saya tak sempat mengenal siapa pun lagi selain tiga orang yang bertemu dalam dua kali kesempatan—karena secara teknis memang tidak perlu: terdapat suatu sistem yang didukung teknologi media komunikasi baru.

Dunia masa kini sangat memungkinkan untuk dihidupi seca-ra lain, kecuali yang meski hidupnya di masa kini tetap hidup dengan cara-cara masa lalu, yakni ‘harus kelihatan tampang-nya’; bahkan masih ada perusahaan yang merasa dirugikan jika pegawainya absen, padahal waktu 6 jam yang pasti diha-biskannya pergi-pulang kantor-rumah, jika digantikan fung-sinya dengan media baru, jelas akan lebih produktif dan lebih menguntungkan bagi perusahaan. Media baru dilahirkan

242 | Affair

bukan bagi penyair, tapi bagi kaum profesional, memang un-tuk menggantikan tubuh manusia yang belum bisa berpindah ruang seperti dalam film Star Trek.

Teknologi baru dilahirkan oleh kebutuhan baru, tanpa pema-haman konseptual seperti itu, teknologi baru hanya terfung-sikan ½ % dalam kebutuhan lama: manajemen feodal, tempat pegawai tunduk sebagai tanda hormat kepada pemilik, harus digantikan manajemen profesional, tempat status kepegawai-an dan kepemilikan tidak berpengaruh kepada harkat pro-fesional yang hanya teracu kepada ukuran daya, fungsi, dan kualitas pekerjaannya.

Jakarta secara fisik mungkin parah, meskipun orang-orang yang bersepeda tetap ngeyel mencari kebahagiaan di antara semburan carbon monoxide dari knalpot tercinta. Namun siapa yang tahu bahwa 90% transaksi dan solusi apa saja di Jakarta, diselesaikan dari dalam mobil-mobil yang macet dan mandeg-greg itu? Dengan tampang di layar laptop .

Majalah Djakarta!, No. 143, Juni 2011.

Ketersamaran

Atawa Jakarta Kelabu.

SETIAP kali berpikir tentang Jakarta, kadang terlintas di benak saya tulisan Mochtar Lubis di Jurnal Prisma bulan Mei 1977, “Jakarta Kota Penuh Kontras”, yang saat itu saya cermati karena saya mau juga bisa menulis tentang Jakarta. Tidak terlalu keliru jika mereka yang belum pernah mem-bacanya menebak, bahwa Mochtar Lubis, sebagai wartawan maupun novelis, akan sangat peka terhadap ironi: ketika segelintir manusia bergelimang kemewahan, sebagian besar yang lain tenggelam dalam lumpur kemiskinan. Dengan kata ‘kontras’, sudah jelas bahwa Jakarta dipandang secara hitam-putih, seperti memang bisa dibaca dari esai itu sendiri.

Kini, pada 2011, apakah Jakarta masih dapat dipandang dengan cara yang sama? Mochtar Lubis misalnya, membuka esainya dengan kalimat: Sebuah gedung mewah di tengah per-kampungan rakyat biasa—dan perbincangan seterusnya diba-ngun berdasarkan oposisi tersebut. Jika kita tengok sekarang, saya kira pemandangan penuh kontras memang masih sangat mungkin kita temukan, dan tentu saja juga masih ironis, teta-pi ingin saya tambahkan di sini, bahwa ironi kini hadir dengan cara yang tak hanya mengandalkan kontras kaya-miskin.

Ini saya sadari ketika tanpa sengaja harus berputar-putar di depan Grand Indonesia, dan menemukan pemandangan

244 | Affair

agak ajaib di warung-warung kaki lima di depannya, yang pada jam makan siang penuh sesak dengan wajah-wajah dan sosok-sosok ‘keren’. Adapun yang saya maksud ‘keren’ adalah wajah-wajah secantik fotomodel dan setampan bintang si-netron, yang disebabkan bukan terutama oleh bawaan sejak lahir, tetapi oleh kosmetik, gaya rambut, dan busana—dan yang terakhir ini, meski memang ‘keren’, segera ketahuan adalah seragam pekerjaan mereka dalam bidang jasa pelayan-an (baca: pelayan).

Dara-dara dengan mascara dan eye-shadow dahsyat ‘sesuai pe-tunjuk’, dengan stocking hitam, rok span, high heels, dan tata rambut yang jelas bukan ekor kuda; sementara para pemuda-nya dengan rambut ‘basah abadi’, njegrak, dan jambul fashio-nable, makan dengan lahap sembari mengantungi ujung dasi agar tidak tercelup ke dalam mangkuk soto Betawi. Seragam para pemuda ini kadang menyertakan rompi, dan pada jam makan siang di warung kaki lima tentu saja rompi sebagai lapisan baju kedua ini lebih bijak dijinjing saja, seperti orang menjinjing atau menyampirkan sajadah ke bahu kalau mau pergi ke masjid.

Siapakah mereka? Ya, mereka antara lain adalah para pelayan counter kecantikan perempuan maupun pelayan resto di da-lam Grand Indonesia tersebut, dan itulah ironinya—mereka tidak merupakan konsumen dari komoditas yang mereka ikut menjualnya sendiri. Akan halnya para beauty consultant, saya percaya tentu ada harga potongan bagi kosmetika yang se-mestinyalah juga mempercantik para sales girls sebagai ujung tombak penjualannya; tetapi untuk para pelayan resto penuh gaya yang makanan termurahnya masih jauh lebih mahal

Seno Gumira Ajidarma | 245

dari makanan termahal di kaki lima, sudah jelas di depan mata bahwa pilihannya adalah makan di warung kaki lima! Mau dipotong berapa persen ‘bistik wagyu’ yang harganya Rp350.000,- agar termakan oleh karyawan restonya sendiri yang setiap hari makan di kaki lima itu?

Itulah ironi yang saya maksud: bukan hitam-putih, kaya-mis-kin, dalam bentuknya yang kontras, seperti antara gedung tinggi dan gubuk reyot pinggir kali, melainkan ironi bahwa ketersamaran fashion para pelayan yang bukan hanya up-to-date atawa ‘lagi in’ itu justru sesuai dengan posisi komoditas yang diwakilinya, karena memang sebagai image sungguh se-tara dengan ke-Grand-Indonesia-annya—tetapi ketersamaran yang sama sekali tidak mampu menutupi ketidakmampuan un-tuk menjadikan komoditas jualannya menjadi bagian dirinya. Mereka memang bekerja di Grand Indonesia, tetapi masih menjadi bagian dari warung kaki lima. Tampaknya setara, dandanannya ‘keren’, tapi bukan penanda yang setara dengan status sosial maupun—apalagi—status ekonominya.

Begitulah ketersamaran menghapus kontras hitam-putih menjadi kelabu. Jakarta tentu masih penuh dengan ironi, tetapi tidak lagi dalam penggambaran Mochtar Lubis yang menunjukkannya sebagai dan secara kontras, melainkan tersamar. Dengan kata lain, ketersamaran memberikan jarak terhadap realitas, bahkan bisa juga memutarbalikkan realitas, karena realitas sebenarnyalah tidak mungkin diketahui.

Saya dapat menemukan ketersamaran itu, hanya karena wa-rung kaki lima yang gerah merupakan penanda yang tidak setara dan tidak sepadan dengan mascara dan teman-teman-nya—sehingga menjadikannya terbongkar sebagai hanya

246 | Affair

suatu gaya tempelan, bukan gaya hidup yang sesungguhnya. Dalam padan oposisional Mochtar Lubis, warung kaki lima ini akan berisi manusia kumuh, lecek, dan belel. Meskipun begitu, tempelan itu, tetap sebagai tempelan, adalah bagian dari kehidupan yang dijalani mereka juga, sukarela maupun setengah terpaksa. Maka, jika harus memilih satu kata, keter-samaran itulah yang paling mungkin diperjuangkan sebagai representasi yang me-nyata-kan kehidupan di baliknya.

Jakarta tidak lagi hitam-putih, Jakarta sudah menjadi kelabu. Namun dengan segenap kekelabuannya, Jakarta tetap tam-pak gemerlapan bukan?

Majalah Djakarta!, No. 144, Agustus 2011.

Keseharian Metropolis

Paimo di dalam apartemen.

FAKTOR apa saja yang membuat seseorang, sebuah keluar-ga, atau segolongan manusia tinggal di apartemen?

Tentu jangan mencari jawaban dari iklan, antara lain karena pengarahan iklan-iklan ini begitu menyesatkannya, sehing-ga mereka yang cukup naif bisa saja tak dapat membedakan apartemen dengan pertapaan!

Namun saya juga belum dapat menjawab pertanyaan terse-but.

Saya baru bisa berancang-ancang mencari jawaban dengan jalan memutar, yakni (1) menengok jiwa manusia metropo-lis, yang terandaikan menghuni apartemen; dan (2) mene-ngok latar teoretik perbincangan tentang kehidupan sehari-hari dalam pandangan pascamodern, yang berlaku terhadap aktor sosial penghuni apartemen, maupun apartemen itu sendiri.

Dari Georg Simmel yang menuliskan The Metropolis and Mental Life (1903) saya mendapatkan cerita tentang usaha manusia untuk membebaskan diri dari semua ikatan sejarah dalam negara, agama, moral, dan ekonomi pada abad XVIII;

248 | Affair

sementara pada abad XIX tuntutan pembebasan menghasil-kan spesialisasi fungsional manusia dan pekerjaannya, yang membuat seseorang tak terbandingkan dengan seseorang yang lain, yang membuat setiap orang sangat dibutuhkan sampai pada kemungkinannya yang tertinggi—yang berarti pula setiap orang lebih tergantung secara langsung kepada kegiatan tambahan dari semua yang lain.

Dengan segala konsekuensinya, ketika suatu pribadi menga-komodasi dirinya sendiri dalam penyesuaian terhadap daya-daya dari luar dirinya, berdasarkan penelusuran psikologis, Simmel sampai kepada simpulan: ekonomi uang yang telah menggantikan barter dan penyelamatan terakhir produksi domestik, merupakan faktor dominan yang membentuk perilaku, karena minimalisasi beban kerja dari hari ke hari (huruf sengaja saya bikin bold) yang berhubungan dengan itu.

Tentu tak bisa dikatakan, manakah yang lebih dulu, antara mentalitas intelektualistik yang mempromosikan ekonomi uang, ataukah ekonomi uang yang menentukan mentalitas semacam itu. Yang pasti, uang peduli hanya kepada yang sama terhadap semua, yakni menuntut pertukaran nilai—dan dengan itu melakukan reduksi segenap kualitas dan individualitas dengan satu pertanyaan: berapa?

Sampai di sini, saya menyambungkan istilah dari hari ke hari Georg Simmel yang tidak diberi pengertian khusus, dengan pengertian kehidupan sehari-hari yang menjadi topik utama Andy Bennet dalam Culture and Everyday Life (2005).

Seno Gumira Ajidarma | 249

Pertama, kehidupan sehari-hari adalah istilah menjebak, karena apa pun dalam lingkup pengertian tersebut tanpa dipertanyakan lagi disepakati sebagai asli, dan ‘benar’; sehingga kajian atas kehidupan sehari-hari melibatkan per-lunya mempersoalkan kegiatan pribadi seseorang dalam hu-bungannya dengan pengetahuan praktis dan rutinitas, yang heterogenitas dan kurangnya sistemisitas jarang diteorikan.

Kedua, debat perihal permainan-antara (interplay) anta-ra ‘kebudayaan’ dan ‘struktur’ dalam penciptaan sosial, memperlihatkan bagaimana kehidupan sehari-hari menjadi bermakna sebagai situs fisik tempat permainan-antara itu berlangsung.

Apartemen tentu adalah situs fisik, tetapi yang dimaksud-kan situs fisik di situ adalah makna kehidupan sehari-hari tempat apartemen dapat dimasukkan ke dalamnya.

Proses dialogik antara yang individual dan yang sehari-hari, dipertimbangkan hanya sejauh memungkinkan permenung-an memerankan kembali rentetan terlarang atas peran dan harapan, atau, sebagai alternatif, menyediakan ruang bagi subversi peristiwa-peristiwa minor. Perhatikan kata ruang, dan seandainya ruang itu konkret, yakni berupa apartemen.

Benarkah citra apartemen sebagai barang komoditas, mem-benarkan pandangan negatif Sekolah Frankfurt kepada abad XX, bahwa pertumbuhan dan pencapaian media kapitalis dan industri media hanya menjadi muslihat dan eksploitasi massa atas kelas pekerja di balik samaran hiburan dan waktu senggang populer?

250 | Affair

Namun sepanjang akhir abad XX dan awal abad XXI, para teoretisi sosial dan budaya mulai membangun konsep bahwa kesehari-harian merupakan wilayah yang jauh lebih dinamis dan lebih menantang. Maka disebutkan, yang sehari-hari tidak bisa lagi dirumuskan sebagai keseluruhan yang ser-basama (homogenous) tetapi harus lebih dimengerti sebagai wilayah sangat pluralistik dan dapat tertandingi.

Kehidupan sehari-hari adalah wilayah yang terkonstruksi secara budaya dan sangat terkontestasi. Fragmentasi da-lam pengalaman kehidupan sehari-hari telah lebih jauh dipersangat oleh berkembangnya pola mobilitas global dan gagasan-gagasan akan ruang dan tempat, yang secara kon-stan dirumuskan dan dirumuskan kembali melalui proses relokasi dan hibridisasi budaya.

Jelas telah berlangsung perkembangan teoretik, dari pema-haman strukturalis bahwa posisi subjek individual ‘terjerat’ di dalam sistem sosial yang tak dapat dipengaruhi atau dikontrolnya, sebagai naratif modern; menuju teori pasca-modern yang melakukan penghancuran keterpusatan sang aktor sosial, menjadikannya sekadar refleksi dekontekstua-lisasi citra dan benda yang menggambarkan pascamoderni-tas.

Dalam program baru teori kebudayaan yang disebut ‘pemu-taran budaya’, yakni rekonsiliasi interpretasi tak memuaskan baik dalam teori strukturalis dan pascamodern, kehidupan sehari-hari dipandang sebagai proses dinamik serta interak-tif, di sekitar penggunaan kreatif individual atas media dan produk konsumsi, dalam konstruksi dari identitas refleksif terartikulasi dan proyek gaya hidup.

Seno Gumira Ajidarma | 251

Dengan konteks teoretik semacam itulah, dari Simmel mau-pun Bennet, gaya hidup apartemen menarik dipertimbang-kan, ketimbang sekadar menyerangnya dengan stereotip kebencian terhadap kebudayaan massa.

Lagi pula, pertimbangkan jika bukan ekspat, tetapi Paimo yang menghuni apartemen .

Majalah Djakarta!, No. 145, September 2011.

252 | Affair

Paimo, the Punker

Punkers di jalanan Jakarta.

KITA tidak tahu apa maunya Paimo, katakanlah 18 tahun, yang mengamen di dalam bus kota dengan mode busana punk. Nah, nyang pegimane tuh?

Kita tahu mode busana seperti apa itu: selalu hitam-hitam, tetapi hitam belel; atasan kaos oblong nyaris tak pernah polos, kadang gambarnya tengkorak meringis; celana jengki super ketat yang pasti merepotkan jika mendadak terserang diare, yang sengaja dirobek di atas paha atau dengkulnya; sepatu juga hitam, tak pernah menyerah tanpa gaya, hampir selalu gagah, sehingga bahkan pipa celana bagian bawahnya harus masuk ke dalam pipa sepatunya yang tinggi; ikat ping-gang berpaku-paku perak juga tampak dengan jelas—sampai di sini, segalanya masih sering terlihat seperti banyak anak muda yang juga membawa gitar di mana-mana.

Halnya baru berbeda apabila tertengok rambutnya yang mesti ‘gimanaaaaaa’ gitu. Gaya Mohawk masih tergolong umum, biasanya ‘botak sebelah’, atau ‘pasca-Mohawk’ yang merah, tinggi, dan pura-pura basah—tapi yang terpenting adalah anting-anting yang mangsudnya tak hanya di kuping, mela-inkan di hidung, bibir, puting, udel, dan juga ‘mutiara palsu’

254 | Affair

pada lidah yang semoga tiada pernah lepas lantas tertelan!

Dengan segala hormat, pemandangan itu memang saya sak-sikan di jalanan dari balik kaca mobil, artinya saya tak tahu mereka membawakan punk rock dalam bus kota atawa Iwan Fals. Mereka terlihat di jalanan ketika turun dari bus kota di tengah kemacetan. Kadang jumlah yang cukup banyak terlihat di tepi jalan, yang rupa-rupanya memang merupakan tempat pertemuan mereka sebelum pergi ke—dan setelah kembali dari—segenap pelosok Jakarta sepanjang jalur bus kota. Kadang saya lihat mereka mencegat mobil bak yang kosong seperti anak SMP dan SMU dan berlompatan menaikinya, un-tuk turun di suatu tempat dengan ucapan terima kasih yang sok akrab. Ya, banyak orang memandangi mereka, dan saya tahu belaka betapa bahasa tatapan itu begitu tipikal sebagai tatapan ketika melihat Yang-Lain, Yang-Berbeda—lebih tepat lagi Yang-Dibedakan.

Namun jangan salah, meski pandangan ‘umum’ seperti itu, kaum punkers ini bukan golongan tertindas, sebaliknya malah termasuk golongan merdeka, karena mereka memang sengaja membedakan diri, bahkan secara mencolok seperti sengaja mengganggu kenyamanan—meski hanya sebatas dalam pandangan—segala ‘orang baik-baik’ dengan dandanan yang sudah jelas berkebijakan ‘merusak diri’ itu.

Segitu-gitunya? Yo-i!

Kalau kita klak-klik-klak-klik sebentar saja, akan ketemu bah-wa ideologi punk yang bermula dari wilayah budaya musik punk-rock pada pertengahan 1970-an di Inggris, Amerika Serikat, dan Australia itu terlabelkan sebagai kebebasan

Seno Gumira Ajidarma | 255

individual, antikemapanan, antiotoritarianisme, memegang etik DIY (bukan Daerah Istimewa Yogyakarta, tapi Do It Yourself ), nihilisme, sosialisme, antimiliterisme, antikapi-talisme, antirasisme, antiseksisme, antinasionalisme, antiho-mofobia, environtalisme, vegetarianisme, veganisme (keber-pihakan pada hak hidup seluruh makhluk hidup, termasuk menolak makan telur maupun memperjualbelikan binatang), dan tentunya mengakui hak asasi binatang.

Sebagai sempalan, tampang serupa tapi isi kepala berbeda, tercatat pandangan sayap-kanan (Conservative Punk), neo-Nazi (Nazi punk), maupun yang apolitis (misalnya horror punk—entah apa pula ini).

Lupakanlah sempalannya, maka tampang yang berkesan brangasan ini rupanya bergagasan pinandhita sekali, seperti orang suci—sejauh pengalaman saya apabila tanpa sengaja melewati pos-pos berkumpulnya kaum punkers ini di Eropa Barat dan Amerika Utara. Memang meski dandanannya bagai melakukan teror terhadap mata, tetapi mereka tidak meng-ganggu siapa pun, hanya ‘berdiri-berdiri’ saja, dan cukup santun serta halus budi bahasanya. Lain sekali dengan punk neo-Nazi yang berciri kepala plontos. Di Berlin saya diingat-kan untuk menghindar jika sendirian saja bertemu mereka, karena tidak perlu alasan bagi mereka—jika tidak ketahu-an—menggebuki orang Asia .

Namun bagaimana dengan Paimo asal Nganjuk yang ‘jadi punker’ di Jakarta? Mungkinkah beliau misalnya saja menolak makan sate kambing atas dasar menghargai hak hidup sang kambing? Hehe . Saya kira tidak. Meski begitu, jangan terla-lu cepat mengira, bahwa kebersamaan sedunia kaum punkers

256 | Affair

yang memasuki dekade keempat itu bisa menjadi fenomena sosial, tanpa sesuatu yang sepertinya ideologis sama sekali.

Perkara punk sebagai subculture, wacana teoretiknya cukup jelas: tumbuh dalam konteks budaya dominan kelas berkuasa yang tidak memberi ruang kepada kelompok terpinggirkan, sehingga subculture tumbuh sebagai suatu usaha memberi ruang kepada diri mereka sendiri. Juga bahwa sebutan ‘yang muda yang menyimpang’ bagi pendukung subculture me-ngandung bias sudut pandang budaya nyokap-bokap (parents culture) alias budaya dominan; yang cenderung hanya melihat aspek perlawanan dan ancaman, yang seolah menghadap-kannya kepada faktor kenyamanan—siapa lagi kalau bukan dari kelas yang teruntungkan oleh konstruksi kemapanan (O’Sullivan, et.al., 1994: 307-8).

Yang belum terlalu jelas adalah ke-Paimo-annya: andaikanlah doi Jawa, Muslim, tak bisa berbahasa Inggris, dari keluarga petani, dan makanannya sayur nangka—tapi nge-punk; ba-gaimana penjelasan intertekstualnya? Silakan ambil untuk proposal skripsi, tesis, maupun disertasi .

Salam.

Majalah Djakarta!, No. 147, November 2011.

Petai Kencana

Pembelaan bagi Parkia speciosa.

KEPADA wartawan Koran Tempo, Anggun C. Sasmi mengaku lebih suka jengkol daripada petai. Saya lebih suka petai dari-pada jengkol. Tiada yang lebih salah atawa lebih benar dari keduanya, tetapi bolehlah kita sepakati bersama, terdapat beban suatu mitos pada jengkol maupun petai, yang dapat dipastikan tidak terdapat dalam dirinya sendiri, yakni mitos ‘kampung (an)’ atawa ‘ndesa’, yang terutama ditimpakan bukan kepada rasa, melainkan kepada baunya, konon dari mulut, te-tapi yang tergawat ketika meruap bersama air seni! Saya ingat betapa bahagia saya, setelah pada suatu malam makan petai, masih bisa menyumbangkan bau khas Indonesia keesokan harinya di Bandara Schippol, Amsterdam .

Aroma petai adalah gejala alamiah, mitos petai adalah gejala kebudayaan—dan karena tiada makna yang abadi dalam pro-ses kebudayaan, maka beban makna perendahan kelas pun sangat amat dapat dilawan, seperti dapat diperiksa dari hasil klak-klik-klak-klik saya berikut.

Pertama, jika aroma petai menjadi masalah yang mengganggu citra dalam proyek identitas, maka Sumarno dalam “Khasiat Besar di Balik Baunya Petai” menyatakan: “Meskipun belum memiliki bukti ilmiah secara pasti, menghindarkan bau petai

258 | Affair

dapat dilakukan dengan mengunyah sedikit bubuk kopi se-lama beberapa menit, kemudian minum air putih dingin. Konsumsi mentimun juga dapat mengurangi bau petai. Proses pemasakan dengan panas juga sering dilakukan ibu rumah tangga untuk mengurangi bau petai.”

Belum jelas apakah ‘solusi’ ini berpengaruh kepada air seni juga, tetapi aroma air seni tidak ikut ke ruang rapat direksi, kecuali klosetnya terdapat di ruang rapat!

Kedua, dalam Forum Bebas Indonesia, tanpa menyebut perkara aroma, setidaknya sejak November 2008 tercatat petai telah diekspor 1,5 ton setiap minggu ke Singapura dari Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, diikuti dalam jumlah yang lebih sedikit ke Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Hongkong. PT Alamanda Sejati Utama yang melayani permintaan ini, saat itu berharap tahun berikutnya bisa mengekspor ke Eropa.

Pada Juli 2011, menurut bisnis-sumatra.com/Bisnis Indonesia, pengusaha Richard Simbolon di Medan harus me-ngerahkan tetangga-tetangganya untuk mengupas petai yang didatangkan dari Humbahas, Sibolga, Parlilitan, bahkan juga Aceh, Padang, dan Bandung, dalam jumlah beratus-ratus kilo setiap harinya. Bekerjasama dengan Apeng, mereka melayani permintaan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Harga jual petai yang sudah dikupas adalah Rp50.000,- per kilogram. Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Sayur dan Buah Indonesia Hasan Johnny Widjaja dalam detikfinance.com, pada 2011 harga jual petai di Singapura hanya Sing $4 alias Rp30.000,-. Dengan dugaan, lain pengimpor lain pula penjual di Indonesia, berarti dunia perdagangan petai ini

Seno Gumira Ajidarma | 259

cukup ramai. Faktanya, di Singapura saja terdapat 180.000 TKI. Mungkinkah petai bermakna sebagai bagian dari politik identitasnya di negeri orang? (“Aku orang Indonesia, karena itu aku makan petai.” ).

Ketiga, fakta materialnya sendiri, sebagai anugerah Tuhan yang menurut World Agroforestry Centre bernama Latin Parkia speciosa dari keluarga tanaman Fabaceae-Mimosoideae, petai memiliki banyak fungsi bagi umat manusia, mulai dari biji, kulit, sampai kayu dari pohonnya. Di sini, saya batasi pada buah petai yang dimasak itu sahaja, dengan mengacu riset kepustakaan Sumarno: sumber energi instant (142 kal per 100g biji), hilangkan depresi (mengandung triptofan), obat hati dan ginjal (70% membersihkan superoksida, ber-kandungan alkaloid, vitamin A & C sebagai antioksidan), mengatasi tekanan darah, mengurangi risiko stroke sampai 40%, meningkatkan kemampuan otak (Vitamin B6, zat besi, kalium), menjaga saluran pencernaan (kandungan serat dia-tery fibers), dan masih banyak lagi, dengan penjelasan ilmiah.

Dengan sedikit data ini, patutkah petai dihina dan direndah-kan, atau membawa-bawa manusia yang memakannya ke dalam penggolongan hina dan rendah yang dibahasakan se-bagai ndesa dan kampung(an)? Jika dalam Mythologies (1957), Roland Barthes menunjukkan bahwa semua mitos dalam ke-hidupan modern Prancis adalah tata-pembermaknaan tahap kedua yang diberlakukan kaum borjuis, yakni membuat yang ideologis seolah alamiah, sehingga representasi kebudayaan disamakan dengan kodrat alam, posisi petai di Indonesia ter-nyata serupa: menolak petai atas nama aroma, menjadi cara lazim meninggikan kelas sosial-budaya untuk melampaui kelas yang selama ini doyan petai.

260 | Affair

Tak dapat diingkari, mengacu Sumarno lagi, dominasi asam amino yang berunsur sulfur, ketika terpecah-pecah menjadi komponen yang lebih kecil, akan menghasilkan berbagai komponen flavor, antara lain gas H2S (hidrogen sulfida) yang memang ‘tajam’ dan disebut ‘bau petai’ tersebut. Namun jika dalam kasus minuman anggur (wine) di Prancis, Barthes me-ngatakan, “Secara objektif anggur adalah bagus, dan pada saat yang sama kebagusan anggur adalah mitos,” yang menem-patkan peradaban anggur sebagai pengesahan berbudayanya suatu kelas sosial, bagi petai berlaku yang sebaliknya: bahwa yang doyan petai pasti lebih kurang beradab maupun berbu-daya daripada yang menolaknya.

Hanya mitos, yang meski telah digugurkan, masih tetap di-percaya.

Majalah Djakarta!, No. 148, Desember 2011—Januari 2012.

Dunia dalam Seketuk Klik

BERAPA digit? Kalau angka 0-nya cuma satu ya satu digit. Mainnya jutaan ya enam digit. Miliaran ya sembilan digit. Supaya tidak usah menjelas-jelaskan secara keliru sebagai “se-ribu juta” apalagi “sejuta juta” . Dari penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, “berhubungan dengan penomoran” adalah penjelasan tersingkat tentang arti kata digital, ataupun penje-lasan sebelumnya “berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu” (2008: 327). Pokoknya, berhu-bungan dengan disi plin kebersusunan tertentu.

Justru karena itu, pengertian dari kamus lain, Kamus Inggris-Indonesia, “berhubungan dengan jari”, sebagai kata sifat, yang menemani pengertian digital computer sebagai “mesin hitung yang mempergunakan angka untuk sistem-sistem perhitung-an tertentu” (Echols & Shadily, 1975: 182) menjadi penting. Jari yang menghitung, dan meng-klik salah satu sistem per-hitungan tertentu itu jari milik siapa? Seperti apakah ideologi yang berada di dalam kepala dan hatinya? Faktor-faktor kon-struksi kuasa apa saja yang mendorong tangannya menjulur, dan ujung jarinya bergerak mengetuk angka-angka ataupun huruf-huruf tertentu—ya, “tertentu” saja, yakni dengan sua-tu kepentingan tertentu di baliknya?

Untuk itu jawaban dari kamus bahasa saja tidak seperti cukup—yang dibutuhkan adalah suatu “kamus konsep”

262 | Affair

seperti Key Contemporary Concepts: From Abjection to Zeno’s Paradox (Lechte, 2003), yang juga mengungkap soal jari itu: Bahwa digital berasal dari Bahasa Latin yang berbunyi digitus. Artinya juga jari, yang gunanya untuk menghitung, maupun berbagai kebutuhan arithmetik lain. Ternyata digital erat hu-bungannya dengan angka. Namun dalam konteks masa kini, perhitungan digital dalam prinsipnya mesti dibedakan dari prinsip menghitung dengan jari tangan yang analog. Dalam pemahaman budaya digital, pengetahuan perbedaan ini per-lu, karena memang akan memperlihatkan wajah budaya yang cukup berbeda.

Dasar perhitungan digital adalah prinsip either/or, on/off, yang merupakan prinsip non-kontradiksi. Tidak seperti bentuk analog, negasi dan bilangan nol yang abstrak adalah integral bagi proses digital. Jika dalam yang analog tiada jarak dalam rangkaian kesatuan atas kenyataan, bentuk digital jus-tru tergantung kepada jarak-jarak dan ketakhadiran (gagasan tentang no-thing atau bukan-sesuatu). Dalam linguistik struk-tural, tanda menyiratkan ketakhadiran sesuatu yang ditandai, sedangkan dalam psikoanalisis, pengebirian menyiratkan ketidakhadiran penis—keduanya membangkitkan (gagas-an tentang) format digital. Negasi seperti “bukan-A” dapat diterima karena berlangsung “fungsi kebenaran dari logika simbolis”—komputer analog tentu tak mampu melaksanakan tugas seperti itu.

Jadi, jika digital prinsipnya either/or, maka analog itu both … and. Apa pun yang konkret, beroperasi secara fisik, adalah analog. Komunikasi yang menunjuk langsung pada konteks, seperti perubahan nada, ritme, dan irama, maupun segenap

Seno Gumira Ajidarma | 263

sikap non-linguistik seperti ungkapan wajah, gerak tangan, sosok, dan cara bersikap pun analog. Maka komunikasi ber-dasarkan prinsip analog, tak seperti komunikasi digital, tidak akan dapat dimengerti di luar konteks yang terhadapnya dila-kukan artikulasi—yang analogis terhubung dengan konteks, seperti yang digital terhubungkan dengan dekontekstualisasi. Ini menyiratkan bahwa tiada ikatan-konteks dari ujaran ana-logis dapat diulang.

Bagi yang analog, kemiripan dari sesuatu adalah ikonik, su-atu tiruan—yang bisa lebih buruk maupun lebih baik. Bagi yang digital, reproduksi tidak secuil pun kehilangan atau menambah kualitas sumbernya. Budaya baru? Ternyata bu-kan. Fenomena digital sudah hadir dalam kebudayaan Barat sejak masa abjad Phoenicia, sekitar abad ke-13 sampai ke-17 Sebelum Masehi—yang belakangan itu dipertimbangkan se-bagai asal tulisan fonetis. Orang Yunani lantas memperbaiki sistem Phoenicia pada 500-400 SM. Bagaimana abjad menen-tukan jalan pikiran, lantas membentuk kebudayaan?

Abjad fonetik Barat faktanya adalah fenomena digital. Setiap huruf dari yang 26 itu (A sampai Z) identitasnya hanya akan mulai bekerja dalam hubungannya dengan huruf-huruf lain dalam seri itu. Keterhubungan antara huruf yang berbeda-beda, memberikan abjad ini ciri-ciri suatu struktur, sehingga huruf-huruf abjad pun membentuk kode digital. Sebagai kode digital, abjad itu sederhana dan abstrak, tidak kompleks dan konkret seperti fenomena analogis.

Perhatikan, abjad memungkinkan makna terkomunikasi melampaui ruang dan waktu, tanpa makna itu memiliki hu-bungan esensial dengan sifat abjad itu sendiri. Abjad adalah

264 | Affair

teknologi. Dimaksudkan mencapai sesuatu yang bukan diri-nya sendiri. Pencapaian orang Yunani ini adalah peningkat-an intelektual, karena sistem penulisan berbasis abjad yang membuatnya fonetik, memungkinkan sistem penulisan bersi-fat otonom. Abjad sebelum ini, yang analogis, terhubungkan dengan kehidupan dunia. Penemuan ini merupakan demo-kratisasi, selain karena mudah dipelajari, juga dalam interna-sionalisasinya, dapat menjadi dasar untuk menerjemahkan bahasa-bahasa lain.

Abjad ini, dengan demikian, mengaktifkan otak kiri: Pemikiran abstrak dan analitis. Dominasi penulisan fonetik dan pemikiran analitis dalam kebudayaan Barat, tidak usah terlalu mengejutkan, jika lantas mendorong lahirnya tek-nologi digital. Teknologi digital ini berperan penting dalam globalisasi dunia, yang menjadi kebangkitan berkembangnya jaringan berbagai jenis media. Artinya, semakin banyak feno-mena analogis yang diterjemahkan ke format digital, sehing-ga dapat tersebar tanpa kehilangan makna apa pun.

Pada abad ini, kepedulian dan kepentingan atas asal sega-la sesuatu cenderung menurun. Menyaksikan lukisan La Gioconda karya Leonardo DaVinci yang dikenal sebagai Mona Lisa, langsung di Museum Louvre di Paris, tidak akan tampak lebih indah dibanding melihatnya dalam sekali klik, pada lap-top anak kos di Gang Kernolong, Kalipasir. Apa yang disebut reproduksi, salah satu ciri teknologi digital, memang meng-hilangkan sifat sakral, jika yang sakral tergantung kepada konteks materialitas, sebagai orisinalitas karyanya.

Misalnya saja lukisan asli S. Sudjojono masih menghasilkan uang besar dalam pelelangan, begitu besar uangnya sampai tak

Seno Gumira Ajidarma | 265

mungkin akan diberikan dalam karung, melainkan transfer secara elektronik—itulah fenomena digital. Uang tanpa uang, tetapi ada nilainya—yang analog mendapatkan terjemahan digitalnya. Kasus transfer uang elektronik ini merupakan contoh, betapa dunia digital itu, demikian menurut Lechte, ciri-ciri kuncinya terdapat pada meningkatnya kecepatan, ketika segalanya menjadi, atau berkemungkinan, mengalami dekontekstualisasi.

Konteksnya muncul dari jari yang ngeklik: tombol ATM atau rudal nuklir?

5 Tahun merdeka.com (2017).


Recommended