+ All Categories
Home > Documents > alam kebudayaan \u0026 yang ilahi.pdf

alam kebudayaan \u0026 yang ilahi.pdf

Date post: 10-Dec-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
280
Transcript

Alam, Kebudayaan & yang llahi, Jilid 1Turunan, Percabangan, dan pengingkaran daiam Teori-Teori Sosial Budava

O pada penuiis

penulis: lbny RudyansjahEditor: Faisal Kamandobat

perancang sampul : Geger RiyantoPenata Letak: Mapa

Gambar Cover: "sanrpah Marah" Karya Nasirun

Diterbitkar.r olehTitian Budaya

Jaian Cakra Raya No. L-3, Limo,Depok 16515, retp (021) 7531688

Bckerjasama dengan:

_ Program Pascasarjana DepartemenAntropologlFakultas l lnru Sosial dan I lmu poi i t ik Universitas lnclonesia

I lak cipta di l indungi oleh undang-undangAl/ Rights ReservedDilarang mengutip atau i lemperbanyak sebagian

atau seluruh isi bukr: ini tanpa izin tertul is dari penerbit

Cetakan Pertama, Juni 20 1 ixvi i i +255 hlm.; l5 x 23 cm

ISBN: 978-602-990 1 3-t -3

~i~

Alam, Kebudayaan& Yang Ilahi

Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran dalam Teori-Teori Sosial Budaya

~ii~

~iii~

Titian BudayaBekerjasama dengan:

Program Pascasarjana Departemen AntropologiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Tony Rudyansjah

Alam, Kebudayaan& Yang Ilahi

Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran dalam Teori-Teori Sosial Budaya

~iv~

Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi, Jilid 1Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran dalam Teori-Teori Sosial Budaya

© pada penulis

Penulis: Tony Rudyansjah Editor: Faisal Kamandobat

Perancang sampul : Geger RiyantoPenata Letak : Mapa

Gambar Cover: “Sampah Marah” Karya Nasirun

Diterbitkan olehTitian Budaya

Jalan Cakra Raya No. L-3, Limo, Depok 16515, telp (021) 7531688

Bekerjasama dengan:Program Pascasarjana Departemen Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights ReservedDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Cetakan Pertama, 2011xvi +212 hlm.; 15 x 23 cm

ISBN:

To my teacher, Raymond Smith

A Small Gift to Offer

~vi~

vii

Kata Pengantar

Iwan Gardono Sujatmiko Ph.D1

Buku berjudul Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi, jilid 1, hasil karya Dr. Tony Rudyansjah, seorang antropolog, merupakan buku yang unik. Jika dilihat dari judulnya maka buku ini membahas berbagai topik yang bukan menjadi fokus yang lazim para antropolog. Demikan pula ilmuwan yang dibahas dalam jilid 1 lebih banyak berasal dari disiplin ilmu filsafat, politik, ekonomi dan sosiologi seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Karl Marx. Selain itu pada jilid 2 (akan terbit) akan dibahas pula Max Weber, Emile Durkheim, dan Pierre Bourdieu. Namun penulis juga tetap membahas antropolog terkemuka seperti Frans Boas, Clifford Geertz, Gregory Bateson, dan David Schneider.

Dalam buku ini sepertinya penulis berusaha menyampaikan pesan dan harapan pada komunitas akademis dan juga publik. Penulis, walaupun berasal dari disiplin antropologi, sangat ingin untuk menembus batas-batas kaku yang terbuat dan dibuat secara sadar maupun tidak sadar oleh para ilmuwan pada disiplin masing masing. Buku Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi ini sebenarnya dapat dikatakan dipengaruhi oleh buku sebelumnya yakni Kekuasaan, Sejarah & Tindakan (2009). Dalam buku tersebut penulis mencoba mengkombinasikan Antropologi dan

1 Ph.D dalam bidang Sosiologi dari Harvard University. Sekarang bekerja sebagai dosen Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (catatan dari Penerbit)

viii alam, Kebudayaan & yang IlahI

Sejarah namun otonomi dan kelebihan masing masing tetap dijaga. Dalam hal ini telah terjadi sinergi—bukan sintesis—dan penulis tidak menggunakan lensa Antropologi Sejarah melainkan Antropologi dan Sejarah.

Dalam buku Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi dapat kita temukan berbagai hal yang menarik dan dapat mengundang para ilmuwan sosial dan humaniora untuk lebih reflektif dan mencoba alternatif baru. Dengan kata lain, ilmuwan ditantang untuk keluar dari “sarang” mereka (“out of the box”) guna memajukan pengetahun dan sekaligus menawarkan solusi dan kebijakan bagi publik. Rasa ragu ragu yang dapat muncul hendaknya disikapi bahwa kita perlu untuk berpikir positif dan optimistik (“benefit of the doubt”).

Dalam buku ini terdapat tiga pokok pikiran yang menarik untuk diperhatikan. Pertama, buku ini mencoba menjembatani fokus pemikiran yang sangat berjarak seperti kosmos yang jauh dan abstrak dengan dinamika masyarakat di mana manusia berada. Penulis mencoba membuat peta untuk memahami gejala tersebut dan dalam peta tersebut terdapat tiang penunjuk jalan yang didirikan oleh para pelopor ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial dan humaniora dari berbagai disiplin. Dalam buku ini akan kita dapati para pemikir sosial dan humaniora yang pada saat itu seringkali tidak terkotak kotakkan dalam displin ilmu yang sempit. Mereka mempelajari filsafat, agama, dan budaya serta beragam ilmu lainnya. Dalam buku ini penulis membahas fokus lintas disiplin yakni bagaimana ”kosmologi teologis berubah menjadi pandangan yang evolusionis tentang alam dunia” dan ”filsafat teologis yang materialis mempengaruhi gagasan bahwa masyarakat manusia menjadi subyek yang tunduk pada hukum alam” (halaman 3). Dalam membahas fokus tersebut mereka dapat berdialog dengan rekan mereka yang berasal dari ilmu lain, namun mereka dapat pula berdialog dengan diri mereka sendiri yang menguasai berbagai ilmu. Sebagai seorang antropolog,

Tony Rudyansjah ix

penulis tidak hanya membatasi dan mendalami penunjuk jalan yang dibuat oleh para antropolog baik yang berada pada masa lalu (mereka yang berkarya seperti antropolog) maupun masa kini. Dalam buku ini dibahas bagaimana kaitan antara ilmu pengetahun alam yang membahas kosmos dan fisika (Newton), biologi (Darwin) dan ilmu sosial (Marx). Pembagian fokus ilmu antara manusia-masyarakat dengan alam maupun tuhan menjadi cair dan masing masing disiplin dapat saling memberi manfaat. Hendaknya kerjasama pada awal perkembangan ilmu modern tersebut tidaklah diartikan hanya sebagai sejarah ilmu. Proses kerjasama tersebut yang terjadi pada masa lampau seringkali terlupakan untuk dilanjutkan dengan berbagai format baru pada masa kini. Singkatnya buku ini membahas multi tokoh ilmu pengetahuan yang mempunyai fokus yang saling terkait.

Kedua, buku ini membahas multi disiplin dan dapat membantu mendekatkan berbagai disiplin ilmu atau beragam “logos” beserta metodologinya. Pembahasan topik yang biasanya dilakukan dari sudut analisis disiplin tertentu sebenarnya akan menjadi lebih kaya jika dibantu dengan teori dan pemikiran dari berbagai disiplin ilmu lainnya. Pola seperti ini relatif jarang dilakukan di Indonesia karena egoisme sektoral maupun lemahnya percaya diri para ilmuwan. Dalam realitanya ilmu yang tadinya tergabung berkembang terpecah pecah menjadi berbagai cabang ilmu dan sebenarnya memerlukan upaya reintegrasi untuk lebih utuh menjelaskan beragam gejala yang kompleks. Sebagai contoh, masalah lingkungan menunjukkan bagaimana peran ilmuwan dari berbagai disiplin dari ilmu pengetahuan alam, sosial dan budaya perlu bekerjasama untuk menghasilkan penjelasan dan kebijakan yang paling optimal bagi manusia dan alam.

Pesan ini sepertinya sangat tepat untuk komunitas ilmu sosial dan humaniora di Indonesia di mana seringkali tidak terjadi interaksi yang sinergis sehingga kurang menghasilkan kualitas data, metode, dan teori yang lebih baik. Sebenarnya di

x alam, Kebudayaan & yang IlahI

berbagai negara upaya ini dilakukan dengan adanya major dan minor sehingga wawasan mahasiswa lebih luas. Demikian juga beberapa negara telah mengembangkan pusat penelitian (Research Center atau Institute) yang mempunyai fokus pada berbagai topik lintas disiplin di mana para peneliti, dosen dan mahasiswa dari berbagai disiplin bekerjasama dan saling melengkapi.

Ketiga, buku ini menyumbang dengan menunjukkan bahwa studi dan ilmuwan pada disiplin antropologi mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Buku ini menegaskan kembali bahwa antropologi bukanlah hanya disiplin ilmu tentang studi masyarakat sederhana yang seringkali dibayangkan oleh publik maupun sebagian komunitas akademis. Penulis mencoba menunjukkan bahwa antropologi dapat membahas manusia (anthropos) dalam memaknai dan merespon alam yang abstrak dan misterius maupun masyarakat yang empirik dan kompleks. Studi tentang manusia dapat dilihat dari aspek kejiwaan (psikologi) atau kesehatan (kedokteran) namun dapat pula dilihat secara lebih luas dengan relasi yang saling melintas dan mempengaruhi dari berbagai disiplin. Antropologi dapat menjadi “hub” bagi studi yang “anthropocentric”, yang saling terkait dengan “cosmocentric” maupun “ecocentric.” Keragaman analisis dalam kesatuan ini sepertinya semakin langka. Kita dapat belajar hal ini dari kearifan lokal seperti Tri Hita Karana di Bali yang melihat hubungan kompleks antara manusia, alam dan tuhan dalam suatu kesatuan.

Upaya memperkenalkan antropologi sebagai ilmu tentang manusia (anthropos) yang dapat hadir dalam setiap pembahasan ilmu merupakan upaya yang bermanfaat walaupun tidak mudah. Hal ini telah dilakukan oleh Clifford Geertz yang menunjukkan bagaimana antropologi—dengan analisis simbolnya—mempunyai potensi yang besar dalam menjelaskan dinamika manusia dan masyarakat. Usaha ini meningkatkan penggunaan antropologi diluar komunitas antropolog dan sumbangan Geertz

Tony Rudyansjah xi

(antropologi simbolik)—dengan berbagai kritik padanya—dirasakan oleh para ilmuwan dalam disiplin seperti sosiologi, ilmu politik dan ekonomi. Mereka menjadi lebih mampu untuk memahami perilaku masyarakat baik yang sederhana maupun yang kompleks.

Pengantar singkat ini hanya mencoba untuk melihat berbagai potensi yang bermanfaat bagi pembaca dan komunitas akademis. Pembahasan yang lebih mendalam dengan mengkritisi buku ini serta melihat sumbangannya dan keterbatasannya sangat dinantikan dalam bentuk tinjauan buku dan diskusi. Kegiatan tersebut diharapkan akan dapat mengembangkan pesan dan harapan penulis tentang pentingnya kerjasama antar disiplin ilmu guna merespon dan mengantisipasi gejala dalam masyarakat dan alam yang telah, sedang (dan selalu akan) dijelaskan dan dimaknai oleh manusia.

~xii~

xiii

PraKata

Buku ini merupakan jilid pertama dari dua buah buku yang saling berkaitan namun dapat dibaca secara terpisah. Kedua buku tersebut berusaha menelusuri akar dari perkembangan teori-teori sosial dan budaya dari masa klasik hingga masa modern beserta berbagai turunan dan percabangannya. Usaha tersebut saya lakukan karena adanya dorongan yang terus mengganggu kesadaran saya sebagai pengajar yang menyaksikan sebuah kecenderungan yang halus namun kian meluas di kalangan para mahasiswa di masa kini, yaitu kegemaran bermain-main dengan kecanggihan teori-teori paling mutakhir namun sayangnya acapkali tidak memiliki pemahaman tentang landasan dari berbagai pemikiran teoritis yang sedang mereka gemari, baik asal muasal kelahirannya maupun turunan dan percabangannya, sehingga mereka seringkali sangat canggih dalam membahas tema-tema khusus yang menjadi “barang jualan” (stock-in-trade) dari teori-teori mutakhir tersebut, namun celakanya menjadi sangat gagap ketika ditantang untuk menganalisis dan memahami persoalan-persoalan kemanusian secara utuh dan padu, sekaligus tanpa kehilangan pijakan fundamentalnya. Ibarat menikmati sebuah pohon, kita telah dibuat terlelap oleh satu atau dua jenis daun yang sedang mekar di musim tertentu namun melupakan keseluruhan unit-unit lain yang menumbuhkan daun tersebut seperti cabang, batang, dan terlebih kekuatan dan daya jalar akar-akarnya.

xiv alam, Kebudayaan & yang IlahI

Tanpa sepenuhnya disadari, kita pun menjadi terkungkung ke dalam pandangan yang spesifik dan seringkali kehilangan pandangan yang lebih bersifat mendasar dan komprehensif. Pandangan yang bersifat spesialisasi bukannya keliru, namun hal itu harus dibarengi dengan pandangan yang bersifat utuh dan padu, sehingga manusia yang tengah digambarkan dapat hadir dengan segala keseluruhan manusiawinya dan bukan malah diringkus dalam kesempitan optikal para akademisi spesialis. Atas dasar itu, kita memerlukan sebuah buku yang mampu memberikan peta bagaimana berbagai disiplin ilmu pengetahuan pada hakekatnya berangkat dari beberapa persoalan yang sama, baik yang lahir dari perenungan teoritis, spekulatif dan aspirasi manusia maupun yang lahir dari hasil pengamatan atas berbagai persoalan praktis dan konkrit di sekitar mereka, dan lalu dijawab secara berulang-ulang dan berbeda-beda oleh para pemikir dari satu zaman ke zaman lain sesuai aspirasi, kebutuhan, keprihatinan dan perspektifnya masing-masing, namun itu semua masih berpijak dan lahir sebagai respon terhadap pemikiran sebelumnya dari berbagai disiplin ilmu. Pemikir-pemikir di masa itu tidak terkotak-kotak dalam spesialisasi yang sempit, melainkan masih berpikir lintas disiplin. Pengertian seperti itu akan sangat membantu bagaimana keterkaitan berbagai disiplin ilmu itu akan menjadi lebih mudah dipahami, dan sekaligus membekali kita dengan semacam pelajaran bagaimana upaya integratif antar disiplin ilmu itu pernah dicapai di masa lampau, dan dengan begitu sangat mungkin untuk bisa diupayakan kembali di masa kini dengan konteks dan dimensi yang sudah pasti jauh lebih rumit dan kompleks daripada di masa lampau itu. Secara pribadi saya meyakini petunjuk yang telah dibuat oleh para pemikir di masa lalu bukannya diabaikan apalagi dibuang begitu saja, melainkan mesti tetap dicermati relevansinya untuk mengetahui batas-batas di mana sebuah teori dapat terus dikembangkan, dan ruang di mana sebuah proposisi teoritis lawas mesti ditinggalkan dan suatu teori yang anyar mesti dikreasi lagi dalam rangka mampu menjelaskan dan menjawab persoalan

Tony Rudyansjah xv

dan isu kemanusian di masa kini yang semakin sulit dan rumit. Penjelajahan bagaimana proses pemikiran seperti itu dilaksanakan oleh pemikir-pemikir di masa lampau, dengan segala keunggulan dan kelemahannya, merupakan satu pelajaran berharga yang seharusnya senantiasa kita pahami untuk kita petik pelajarannya di masa kini. Sejauh pengamatan saya cukup teliti, buku yang menguraikan bagaimana penjelajahan pemikiran itu dilakukan oleh pemikir-pemikir di masa lampau sangat langka di tanah air kita. Dan berangkat dari keprihatinan itulah saya berusaha membaca dan membongkar ulang berbagai bahan bacaan yang pernah saya geluti ketika mengambil program doktoral di Departemen Antropologi Universitas Chicago, dan lalu membaca kembali dan sekaligus merefleksikan ulang berbagai materi bacaan tersebut untuk dapat dituangkan ke dalam buku yang sekarang sedang Anda simak.

Akhir kata, sebagai penulis buku ini, saya merasa tidak mungkin dapat merampungkan buku ini tanpa dorongan, bantuan dan saran berbagai pihak, sama seperti daun yang tidak mungkin tumbuh dan mekar tanpa sari-sari yang diserap oleh akar dari kedalaman tanah. Pertama, ucapan terima kasih saya haturkan untuk sosok yang di balik kesederhanaan dan kerendahan hatinya tersimpan kedalaman dan keluasan pemikiran yang tak habis diselami, yang bagi saya hampir seperti menyimak bait-bait dalam puisi Rainer Maria Rilke: Prof. Raymond Smith yang banyak membimbing saya untuk dapat memahami peta teori-teori sosial budaya dari masa klasik hingga masa modern. Kedua, saya ucapan terima kasih saya sampaikan kepada kolega saya yang hangat dan tekun dari Departemen Sosiologi UI, Dr. Iwan Gardono Sudjatmiko, yang telah banyak meluangkan waktu untuk membaca, mengkritisi dan memberikan kata pengantar untuk buku ini, sehingga membuat buku ini dapat lebih mudah dipahami. Ketiga, kepada sahabat saya Dr. Iwan Tjitradjaja selaku Ketua Departemen Antropologi, dan Prof. Dr.

xvi alam, Kebudayaan & yang IlahI

Sulistyowati Irianto, yang keduanya dengan kearifannya telah memberi kelonggaran waktu di sela-sela kesibukan saya sebagai tenaga struktural di program pascasarjana Antropologi FISIP-UI untuk menyelesaikan buku ini; untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih. Keempat, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada rekan saya Geger Riyanto dan Irfan Zakki Ibrahim, yang dengan ketekunan dan kreativitasnya telah banyak membantu proses pengeditan dan penerbitan buku ini. Kelima, kepada dua mahasiswa saya, yakni Faisal Kamandobat ( si penyair “liar”) dan Sarah Monica (si lugu dengan kemampuan berbahasa yang indah–begitu kata teman-temannya), yang banyak membantu memperbaiki kalimat saya yang cenderung terlalu panjang dan rumit menjadi lebih gampang dibaca dan dipahami. Dan yang terakhir, kepada anggota keluarga saya, istri saya tercinta Mieke Zuraida dan dua anak saya, Muhammad Emilio Valeri dan Natasya Soraya Syahrizad, yang tidak pernah bosan dan lelah mendorong saya untuk menyelesaikan dan merampungkan buku ini. Dan terakhir, ucapan terimakasih saya sampaikan kepada para pembaca, yang kebesaran hatinya telah merelakan buku ini hadir di tengah kehidupan mereka, dan yang kecerdasan pikirannya memberi dorongan kritis yang dapat menghindarkan buku ini agar tidak menjadi dogma melainkan hasil kerja ilmiah yang dapat terus diperbaiki dan menjadi lebih sempurna.

Depok, Maret 2011Tony Rudyansjah

xvii

Kata PengantarIwan Gardono Sujatmiko ..................................................vii

Prakata ...................................................................................xiiDaftar Isi .............................................................................. xvii

Bab 1Jatuh dari Langit, Mengangkasa dari Bumi: Kelahiran Ilmu Alam Tentang Masyarakat ..............................................1

Pendahuluan ......................................................................1Mitos Tentang Penelitian Lapangan ...................................4Beberapa Oposisi yang Timbul dalam Pemikiran Antropologi Karena Adanya Perbedaan Antara Masyarakat Eropa Dengan Masyarakat di Luar Eropa .........................6Oposisi-Oposisi Yang Lahir dari Perhatian Teoritis ............9Rasio, Hukum Alam dan Perubahan Kosmologi Dunia Barat ................................................................12Kelahiran Ilmu Alam Tentang Masyarakat .......................25

Bab 2Konsepsi Tentang Masyarakat dan Kebudayaan: Transformasi dari Agama Menuju Moralitas, Politik dan Ekonomi .........................................................................56

Ekonomi Sebagai Satu Keutuhan yang Menyeluruh .........61Emansipasi dari Politik ....................................................72Dari Sifat Buruk menjadi Kebajikan Sosial ......................83Akhirnya Ekonomi, Sebuah Emansipasi dari Moralitas ....88

Daftar IsI

xviii alam, Kebudayaan & yang IlahI

Bab 3Karl Marx: Ketegangan Antara Kebebasan dan Keniscayaan Tindakan Manusia ..................................118

Pendahuluan ..................................................................118Latar Belakang Pemikiran Marx .....................................120Masa Studi dan Pengaruhnya Terhadap Karl Marx .........133Teori Marx tentang Religi, Politik, Ekonomi: Kritik terhadap Hegel ..........................................................135Alienasi, Gattungswesen dan Konsepsi Materialis tentang Sejarah .........................................................152Ideologi dan Hakekat Manusia ......................................180

Daftar Pustaka .....................................................................241Indeks...................................................................................251

1

1

Jatuh DarI LangIt, MengangKasa DarI BuMI:

KeLahIran ILMu aLaM tentang MasyaraKat

P e n d a h u l u a nSatu subjek dari aktivitas ilmiah lazimnya tidak dapat

dikatakan sudah memiliki satu otonomi sebagai ilmu pengetahuan sebelum subyek itu diajarkan di universitas. Demikian kurang lebih pernyataan yang diberikan E.E. Evans-Pritchard dalam sebuah kuliah umum di Universitas Oxford, Inggris, berkenaan dengan masa depan disiplin antropologi.1 Namun apabila kita sepakat dengan Clifford Geertz bahwa untuk memahami perkembangan satu disiplin ilmu pengetahuan, yang dalam konteks kita tentu saja adalah ilmu sosial pada umumnya dan antropologi pada khususnya, maka yang perlu diperhatikan terutama bukan pada teori ataupun temuan-temuan para teorisinya, dan bukan juga pada apa yang dikatakan oleh para apologists yang menelurkan dan mengembangkan teori ataupun temuannya itu, melainkan

1 E.E. Evans-Pritchard, ‘Social Anthropology: Past and Presents’, dalam Essays in Social Anthropology, London: Faber and Faber, 1962, hlm. 14

2 alam, Kebudayaan & yang IlahI

lebih pada apa yang dilakukan oleh para praktisinya di lapangan.2 Apa yang dilakukan praktisi dalam disiplin antropologi adalah melakukan etnografi, dan di aspek inilah kita dapat memahami apa sesungguhnya antropologi itu sebagai satu disiplin ilmu pengetahuan.

Memang sulit untuk dapat mengatakan kapan disiplin antro-pologi secara difinitif dilahirkan, namun kebanyakan penulis mene gaskan bahwa ilmu-ilmu sosial, termasuk antropologi, meru pakan “anak” dari Zaman Pencerahan (Enlightenment), dan dengan demikian dianggap berasal dari abad ke-18. Di Perancis orang-orang seperti Montesquieu, d’Alembert, Condorcet, Turgot (kesemuanya terkenal sebagai the Encyclopædists) sampai kepada Saint-Simon (pemikir yang pertama kali menggagas secara cukup jelas satu ilmu mengenai masyarakat) seringkali dilihat sebagai penggagas awal dari ilmu sosial. Sedangkan di Inggris para filosof moral dari Skotlandia seperti David Hume, Adam Smith, Thomas Reid, Frances Hutcheson, Dugald Steward, Adam Ferguson, Lord Kames dan Lord Monboddo, yang kesemuanya terinspirasi oleh Bacon, Newton dan Locke disamping oleh Descartes, adalah para tokoh yang dianggap sebagai penggagas kelahiran ilmu-ilmu sosial.

Namun apabila kita kembali lagi kepada butir yang dikemukakan Geertz bahwa yang penting dalam disiplin antropologi adalah doing ethnography, yang sebetulnya sudah dilakukan orang jauh sebelum abad ke-18, maka sangatlah bermanfaat apabila pembahasan bab ini dimulai dengan satu diskusi mengenai lahirnya satu pandangan tentang masyarakat manusia sebelum akhir abad ke-18. Tentu saja sangat menarik apabila kita bisa membahas secara terperinci tulisan-tulisan para ahli pada abad ke-15 dan ke-16. Manfaat utama yang dapat diambil dari diskusi semacam itu adalah pemahaman mengenai apakah di dalam kajian dan pandangan ilmiah tentang manusia terdapat

2 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, 1973, hlm. 5

Tony Rudyansjah 3

penelitian di masa kini yang sungguh-sungguh dapat dikatakan baru dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kendati demikian, konsultasi langsung kepada karya Arthur O. Lovejoy The Great Chain of Being, karya Margaret T. Hodgen Early Anthropology in the 16th & 17th Century, ataupun karya Clarence J. Glacken Traces on the Rhodian Shore akan sangat bermanfaat bagi para pembaca yang ingin secara lebih rinci dan lebih mendalam mengetahui (1) antikuitas dari persoalan-persoalan yang ada di dalam ilmu-ilmu sosial; dan (2) konteks sosial dan budaya yang menjadi dasar landasan dari pengaruh–pengaruh pemikiran terhadap persoalan-persoalan itu. Karya-karya tersebut, selain memberikan perspektif mengenai antikuitas dari perhatian dan persoalan yang ada di dalam ilmu-ilmu sosial, juga memberikan kita pemahaman tentang berbagai oposisi yang senantiasa muncul dalam ilmu-ilmu sosial hingga masa kini, sehingga oposisi-oposisi tersebut penting untuk selalu kita perhatikan dan ditelusuri kembali. Dua di antaranya adalah: (1) oposisi antara satu konsepsi yang bersifat teologis tentang rasionalitas dengan satu konsepsi ilmu alam tentang rasionalitas tersebut; dan (2) oposisi antara positivisme dengan romantisisme yang merupakan reaksi atasnya.

Dalam pembahasan di buku ini saya hanya akan mendis-kusikan dua pertanyaan utama, yakni: (1) bagaimana satu kosmologi yang bersifat teologis bisa berubah menjadi satu pandangan yang bersifat evolusionis tentang alam dunia; dan (2) bagaimana satu filsafat yang bersifat materialis bisa mempengaruhi munculnya satu gagasan bahwa masyarakat manusia dapat diperlakukan sebagai satu entitas yang alami sekaligus bersifat “pasti”, atau, dengan kata lain, sebagai satu subyek yang tunduk pada hukum-hukum alam. Untuk bisa menjawab dua pertanyaan kunci itu, kita perlu untuk terlebih dahulu memahami sedikit tentang latar belakang dari perkembangan ilmu-ilmu sosial, terutama disiplin antropologi.

4 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Mitos Tentang Penelitian LapanganPandangan bahwa dalam ilmu sosial dan terutama

antropologi, kegiatan penelitian lapangan3 dimulai oleh Bronislaw Malinowski di kepulauan Trobriand dan Franz Boas di Indian Eskimo sesungguhnya merupakan juga satu mitos. Adam Kuper, misalnya, ketika membahas Malinoski, mengungkapkan bahwa Malinowski beserta murid-muridnya merasa bahwa diri mereka adalah pendiri dari profesi antropologi sosial.

“… Malinowski, and many of his students, felt that he was much more than a pioneer in method…. He claimed to be the creator of an entirely new academic discipline…. A whole generation of his followers were brought up to believe that social anthropology began in the Trobriand islands in 1914.”4

[“… Malinowski dan banyak dari murid-muridnya merasa bahwa ia lebih dari sekedar seorang pelopor di dalam ranah metode… Ia menyatakan dirinya sebagai pencipta dari satu disiplin akademik yang baru…. Keseluruhan generasi dari para pengikutnya dididik untuk percaya bahwa antropologi sosial dimulai di kepulauan Trobriand pada tahun 1914.”]

Tanpa mengecilkan sumbangan yang diberikan oleh Malinowski dan Boaz, Pandangan dan kepercayaan seperti itu perlu dipertanyakan ulang. Kita dapat mengetahui melalui catatan-catatan yang dibuat oleh Joseph Marie Degerando yang hidup dari tahun 1771 hingga 1842 bahwa usaha mengamati dan mencatat secara ilmiah adat-istiadat berbagai macam masyarakat manusia di luar Eropa sudah dilakukan oleh banyak ahli jauh

3 satu usaha mencatat secara hati-hati dan terperinci mengenai adat-istiadat masyarakat manusia, yang kemudian membentuk klaim ilmiah disiplin antropologi, dan secara umum disepakati oleh para ilmuwan sosial khususnya antropolog sebagai etnografi, sekaligus yang membedakan disiplin antropologi dari disiplin ilmu-ilmu sosial-humaniora lainnya.

4 Adam Kuper, Anthropology and Anthropologist, 1983, hlm. 1.

Tony Rudyansjah 5

sebelum masa hidup Degerando sendiri.5 Bahkan pendapat bahwa Auguste Comte dan Edward Burnett Tylor masing-masing adalah the founding father dari sosiologi dan antropologi patut untuk dipertanyakan kembali. Margaret T. Hodgen dalam bukunya mendiskusikan bagaimana para penjelajah dunia seperti Caius Julius Solinus, Pomponius Mela, Pliny, Berosus, Isodore, Fransiscan Bartholomaeus Anglicus, dan Marco Polo melakukan perjalanan mereka, dan bagaimana laporan-laporan yang mereka tulis tersebar secara luas di Eropa, terutama baik di kalangan para ahli agama yang tertarik melakukan usaha-usaha misionaris, maupun di kalangan para usahawan yang tertarik akan dunia perdagangan di Timur Jauh dan Timur Tengah.

Semua informasi historis di atas tentu sudah pernah kita dengar, namun satu hal perlu diingat adalah bahwa pengamatan dan pencatatan secara ilmiah itu sudah dilakukan jauh sebelum abad ke-19, tepatnya sejak abad ke-13, atau bahkan sejak abad ke-5 sebelum Masehi, seandainya Anda tidak keberatan dengan memasukkan Herodotus sebagai salah seorang etnografer. Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan para penjelajah dunia pada abad ke-13 itu tidak jauh berbeda dengan pertanyaan-pertanyaan yang seringkali diajukan oleh para ilmuwan sosial “modern”—khususnya antropologi—di masa kini.6 Di antaranya, bagaimana kebudayaan masyarakat itu? Bagaimana pakaian yang mereka kenakan? Bagaimana tempat tinggal mereka dibangun? Apa yang mereka makan? Bagaimana makanan disiapkan? Bagaimana mereka hidup, dari bertani, dari beternak, atau dari menangkap ikan sebagai nelayan? Dari mana pasangan hidup diambil? Berapa banyak istri yang bisa dimiliki seorang laki-laki? Dari kategori kerabat bagaimana seorang istri atau suami

5 Catatan Joseph Marie Degerando diterbitkan kembali pada tahun 1969 di London oleh Routledge & Kegan Paul dengan judul The Observation of Savage Peoples.

6 Margaret T. Hodgen Early Anthropology in the 16th & 17th Century,1971, hlm. 60.

6 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dipilih? Apakah seorang janda dikawinkan kembali? Bagaimana warisan dilimpahkan? Bagaimana kepercayaan keagamaan yang mereka miliki? Kesemua pertanyaan itu mirip dengan daftar Notes and Inquiries in Anthropology, yang biasanya dijadikan pegangan pokok bagi setiap ahli antropologi yang mau melakukan penelitian lapangan. Namun apabila kita menyadari bahwa kesemua itu telah ditulis lebih dari 700 tahun yang lalu, atau sekitar tahun 1250-an, maka bisa dimaklumi bahwa di dalam ilmu ilmu sosial, sesungguhnya kita belum terlalu banyak membuat kemajuan yang berarti. Jauh sebelum Colombus melakukan perjalanan perdagangan ke Timur Jauh, Marco Polo sudah melakukan perjalanan untuk satu ekspedisi perdagangan ke Mongolia, Cina dan sebagian dari India pada saat ia masih berusia 21 tahun.7 Meskipun laporan yang diterbitkan Marco Polo pada hakekatnya merupakan buletin ekonomis dan komersial, ia sudah secara sungguh-sungguh belajar bahasa-bahasa lokal dari masyarakat-masyarakat yang disinggahinya supaya bisa memahami dan mengamati secara baik kebiasaan-kebiasaan dari masyarakat-masyarakat itu.

Beberapa Oposisi Yang Timbul Dalam Pemikiran Antropologi Karena Adanya

Perbedaan Antara Masyarakat Eropa Dengan Masyarakat Di Luar Eropa

Tradisi untuk membuat eksiklopedia etnologis dan upaya mengumpulkan bahan-bahan peragaan untuk meseum mulai berkembang dengan pesat dan subur pada pertengahan abad ke-16, ketika laporan-laporan tentang dunia baru di luar Eropa banyak diterbitkan orang. Kesemua laporan itu pada dasarnya merupakan satu konstelasi berbagai macam sumber mengenai kehidupan dan kebudayan dari berbagai bangsa di dunia masa

7 Marco Polo The Travels of Marco Polo, 1946 [1559]. Diterjemahkan dan diedit oleh William Marsden, London: Everyman’s Library.

Tony Rudyansjah 7

itu. Namun sebagaimana dikemukakan Margaret T. Hodgen, minat utama pada masa itu masih sebatas kategori di dalam mana bahan-bahan etnologis itu mungkin untuk bisa disusun. Dengan kata lain, para pengamat Eropa pada masa itu masih menekankan perbedaan-perbedaan yang ada antara masyarakat mereka sendiri dengan masyarakat di luar Eropa yang sedang mereka amati dalam hal perkawinan, rumah tangga, ritus-ritus upacara dan agama, peperangan, senjata, pengertian keadilan, maupun mas kawin. Dalam konteks ini, kita sudah dapat menemukan asumsi yang kemudian muncul dalam diri ahli-ahli seperti Adam Fergusson dan bahkan Henry Sumner Maine pada abad ke-19, bahwa keluarga merupakan dasar dan bentuk yang paling awal dari masyarakat manusia. Perhatian para pengamat di masa itu sudah diarahkan pada perbedaan antara masyarakat yang anggota-anggotanya kawin dengan anggota dari dalam kelompoknya sendiri di satu sisi dibandingkan dengan masyarakat yang anggota-anggotanya kawin dengan anggota dari luar kelompoknya di sisi lain. Dengan demikian, perhatian sesungguhnya sudah dicurahkan kepada masyarakat yang bercorak endogamis, eksogamis, monogamis, poligamis, maupun poliandris, walaupun istilah-istilah itu sendiri sebagai satu istilah teknis belum ditemukan pada masa itu.

Hal lain yang juga sudah diamati secara serius adalah perbedaan antara masyarakat di mana mas kawin merupakan satu hal yang umum dilaksanakan dengan masyarakat di mana mas kawin tidak lazim dikenal. Bahkan sejak awal abad ke-16, para penjelajah Eropa itu sudah mencatat arti penting teori tentang konsepsi dalam masyarakat Arab. Dalam masyarakat Arab, konsepsi mengenai ketidaksahan anak tidak dikenal orang, karena apa yang selalu diperhitungkan orang dalam melihat keturunan adalah si ayah, sedangkan si ibu hanya dianggap sebagai sesuatu yang memberi wadah perlindungan dan makanan bagi sang bayi. Dengan demikian, setiap bayi merupakan anak yang sah dari si ayah (si lelaki), meskipun si bayi tersebut dilahirkan dari seorang

8 alam, Kebudayaan & yang IlahI

budak wanita. Hal ini merupakan satu situasi yang sangat kontras berbeda dengan situasi yang berkembang di daerah koloni-koloni Eropa dari abad ke-17 hingga abad ke-19, di mana status dari anak selalu diperhitungkan melalui garis ibunya. Yang patut dicatat di sini adalah bahwa perbedaan-perbedaan itulah yang justru menarik perhatian orang-orang Eropa ketika mengamati masyarakat-masyarakat di luar Eropa kala itu. Teori tentang arti penting konsepsi terhadap legitimasi dan ilegitimasi keturunan sudah dikembangkan lebih kurang 400 tahun jauh sebelum Malinowski mengembangkan satu teori yang disebutnya dengan istilah ‘ignorance of physiological paternity’ di kalangan masyarakat kepulauan Trobriand.

“The correlation of the mystical with the physiological aspects in pregnancy belief—of the origin of the child in Tuma and its journey to the Trobriands with the subsequent processes in the maternal body, the welling up of the blood from the abdoment to the head and down again from the head to the womb—provides a co-ordinated and self-contained, though not always consistent, theory of the origin of human life. It also gives a good theoretical foundation for matriliny; for the whole process of introduction new life into a community lies between the spirit world and the female organism. There is no room for any sort of physical paternity.” 8

[Korelasi antara aspek mistik dengan aspek fisiologis dalam soal kepercayaan tentang kehamilan—seperti asal usul bayi dari Tuma dan pengembaraan si bayi di kepulauan Trobriand yang diikuti oleh proses selanjutnya di dalam badan si ibu, termasuk mengalirnya darah dari perut ke kepala dan dari kepala ke rahim—memberikan satu teori yang terkoordinasikan dan berdiri sendiri tentang asal usul kehidupan manusia, meskipun teori itu tidak selalu bersifat konsisten. Hal ini memberikan juga satu landasan teoritis yang baik tentang matrilini, karena keseluruhan proses penghantaran sebuah kehidupan baru ke dalam komunitas terletak di antara dunia roh dan organisme wanita. Dalam konsepsi ini tidak terdapat ruang bagi paternitas fisikal.”]

8 Bronislaw Malinoski, The Sexual Life of Savages, 1987, hlm. 153

Tony Rudyansjah 9

Masalah ini (baca: ‘ignorance of physiological paternity’) pernah menjadi satu topik pembicaraan yang popoler dalam pesta-pesta mewah kalangan jetset di London pada tahun 1920-an, dan Malinowski senantiasa menjadi bintang yang selalu menarik perhatian banyak orang manakala menceritakan subyek itu di dalam berbagai cocktail parties. Perbedaan-perbedaan observasi biasa inilah yang justru menarik perhatian para pengamat Eropa yang memperhatikan masyarakat di luar Eropa. Disamping masalah-masalah yang bersifat empiris tersebut, ada juga oposisi-oposisi yang lahir dalam pemikiran antropologi karena keasyikan yang bersifat teoritis.

Oposisi-Oposisi Yang Lahir Semata-Mata dari Perhatian Teoritis

Di halaman atas kita telah mendengar nama si petualang Marco Polo. Seperti lazim diketahui, ia tertarik terhadap eksplorasi etnografis dan etnologis, namun juga perlu dicatat—dan ini yang jarang ditekankan—Marco Polo juga seorang yang giat dalam mengumpulkan keterangan-keterangan ekonomis masyarakat, dan hal ini ada hubungannya dengan situasi yang ada di Eropa semasa hidupnya Marco Polo sendiri. Di Eropa, prinsip-prinsip ekonomi yang dicoba dipahami orang pada dasarnya sudah berkembang jauh sebelum masa monastery (kebiaraan) terjadi. Pada dasarnya seluruh sejarah perkembangan ilmu ekonomi menempatkan Aristoteles di posisi yang sangat terhormat sebagai seorang tokoh pemikir yang meletakkan dasar bagi kategori analitis ekonomi, seperti perbedaan antara berbagai bentuk pertukaran, yang pada hakekatnya dapat disamakan dengan perbedaan yang lebih terkenal di masa kemudian sebagai ‘use- value’ dan ‘exhange-value’. Telah sejak lama gereja Kristiani di Eropa sudah berperan sebagai “penjaga” dari teori sosial dan ekonomi. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa teori sosial dan ekonomi sudah sejak dari dahulu kala telah terkristalisasi ke dalam dogma-dogma moral dan agama.

10 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Sebagaimana lazimnya semua gerakan yang bersifat kharismatik, maka gereja awal Kristiani menentang juga berba gai macam bentuk kekayaan yang bersifat duniawi. Namun sebagaimana semua gerakan kharismatik, gereja pun harus bersentuhan dengan dunia nyata dan sekaligus harus menjadikan dirinya satu organisasi yang kompeten dan profesional. Dalam sebuah buku yang terbit pada tahun 1983 berjudul The Development of Family and Marriage in Europe, Jack Goody berusaha menunjukkan bagaimana gereja pada sekitar tahun 580 Masehi berhasil memiliki sebagian besar tanah di Eropa, melalui monopoli yang dipegangnya berkenaan dengan proses penyelamatan jiwa manusia. Dapat dikatakan bahwa gereja menjadi tuan tanah terbesar di Eropa pada masa itu terutama dikarenakan para janda yang saleh mengalihkan segala perhatian dan tenaganya yang semula untuk urusan dan kepentingan keluarga menjadi dicurahkan untuk kepentingan gereja pada saat ditinggal pergi oleh suaminya pada saat sang suami meninggal dunia. Dengan demikian, gereja tidak hanya menjadi pusat teoritis pemikiran ekonomis, namun sekaligus menjadi juga pusat praktis kegiatan ekonomis, atau praktek-praktek ekonomi praktis, yang pada awalnya sangat erat berkaitan dengan urusan-urusan intern tatanan monastik. Dan barang siapa menyimak tulisan Max Weber Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, akan diingatkan dengan pernyataannya yang sangat dramatis saat menyatakan bahwa adalah semangat dari ketentuan-ketentuan monastik yang menyusup ke dalam kehidupan sekuler dan pasar itulah yang menjadi dasar utama dari masyarakat burjuis yang kapitalis. Tak dinyana lagi sangat banyak praktek-praktek dan teori-teori sosial dan ekonomi yang berkembang dalam konstilasi serupa itu. Kesemua itu telah terlebih dahulu mengumandangkan bagaimana pemikiran-pemikiran yang lebih kemudian berkembang pada dasarnya lahir dari praktek-praktek yang bersifat praktis. Dua permasalahan utama yang menarik perhatian saya di sini adalah: (1) peranan unsur-unsur ideologis, kultural dan intelektual yang secara mendalam bergulir dalam sistem konsepsual masyarakat

Tony Rudyansjah 11

Barat, dan (2) interpretasi mengenai praktek sosial yang sedang mengalami perubahan itu. Unsur-unsur ideologis, kultural dan intelektual itulah yang mengalir sebagai pokok bahasan utama di dalam buku Hodgen yang telah saya sebut. Hal serupa muncul kembali di dalam analisisnya George W. Stocking mengenai sejarah pemikiran antropologis.9

Semua topik permasalahan di atas itu merupakan isu yang didiskusikan dengan brilyan oleh Lovejoy dalam opusnya, The Great Chain of Being. Tercakup dalam isu-isu tersebut pertanyaan-pertanyaan mengenai (1) hubungan antara Ilahi yang sempurna dan transcenden di satu sisi, dengan ketidak-sempurnaan dan kompleksitas yang beranekaragam dari dunia nyata di sisi lain; (2) hubungan antara cerita biblikal tentang asal usul dunia dengan fakta yang didasarkan atas pengamatan tentang adanya perbedaan-perbedaan rasial, linguistik dan agama umat manusia; dan (3) oposisi abadi antara hirarki dan kesetaraan. Pertanyaan-pertanyaan ini secara tak terhindarkan selalu dihadapi oleh setiap umat Kristen di Eropa pada saat mereka mulai memperluas cakrawala kosmosnya sekaligus mulai bertemu dengan orang-orang yang berasal dari kebudayaan yang berbeda: Siapakah orang-orang ini sebenarnya? Apakah mereka pria dan wanita? Apakah mereka hamba-hamba Allah (children of God)? Produk dari berbagai percobaan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tersebar kembali di pusat-pusat kaum terpelajar Eropa di mana pertanyaan-pertanyaan teologis mulai menjadi bahan perdebatan masyarakat. Di sana—di pusat kalangan terpelajar itu—berbagai pertanyaan tersebut dihubungkan satu sama lain, dan kesemuanya dikaji kembali sebagai tujuan inti dari minat intelektual kaum terpelajar Eropa ketika itu. Dengan kata lain, kesemua itu terkemas ke dalam satu konsep yang terkenal sebagai, dalam frasa yang anggun dari Lovejoy, “the great chain of being” (mata rantai raksasa dari segala yang ada) dari semesta ini.

9 Lihat George W. Stocking, Race, Culture, and Society, 1982

12 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Rasio, Hukum Alam dan Perubahan Kosmologi Dunia Barat

Diskusi yang dipaparkan Lovejoy tentang cara bagaimana masyarakat Eropa mengkonfrontir pertanyaan mengenai hubungan antara Tuhan yang Maha Sempurna dengan dunia yang tidak sempurna, dan cara bagaimana problema ini menjadi sesuatu yang konstan dalam proses pemikiran tradisi Kristen di pusat kebudayaan Eropa, merupakan satu model bagaimana satu analisis kultural dapat kita lakukan. Di sini kita berhadapan dengan apa yang oleh Braudel disebut sebagai struktur dari longue durée.

“For us historians, a structure is of course a construct, an architecture, but over and above that it is a reality which time uses and abuses over long periods. Some structures, because of their long life, become stable elements for an infinite number of generations: they get in the way of history, hinder its flow, and in hindering it shape it…. As hindrances they stand as limits (“envelopes,” in the mathematical sense) beyond with man and his experiences cannot go. Just think of the difficulties of breaking out of certain geographical framework, certain biological realities, certain limits of productivity, even particular spiritual constrains: mental frameworks too can form prisons of the longue durée.”10

[Bagi kita sejarawan, sebuat struktur tentu saja merupakan sebuah konstruksi, sebuah arsitektur, namun di atas segalanya, ia merupakan sebuah realitas yang memperlakukan waktu dalam sebuah periode yang panjang. Beberapa struktur, karena memiliki kehidupan yang panjang, menjadi elemen yang bersifat stabil untuk beberapa generasi dengan cakupan waktu yang panjang: stuktur dengan demikian mempengaruhi sejarah dan bahkan menjadi tembok penghalang arah geraknya, dan dalam menghalanginya, ia juga mempengaruhi bentuk sejarah. Sebagai tembok penghalang, mereka berperan sebagai pembatas (amplop dalam pengertian matematis) di luar mana manusia dan pengalaman manusia tidak mungkin untuk bisa melakukan

10 Fernand Braudel, On History, 1980, hlm. 31.

Tony Rudyansjah 13

penjelajahan. Pikirkan saja bagaimana sulitnya kita bisa keluar dari bingkai geografis, realitas biologis tertentu, batas-batas produktivitas tertentu, atau bahkan hambatan-hambatan spiritual tertentu: kerangka mentalpun dapat membentuk penjara dari longue durée.]

Dengan begitu struktur dari longue durée dapat disimpulkan juga sebagai sistem gagasan yang tetap stabil dalam bentangan waktu yang panjang sekaligus berperan menjadi unsur-unsur yang stabil dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tentu saja persoalan bagaimana sistem gagasan semacam itu diproduksi dan diproduksi kembali dari satu generasi ke generasi berikutnya merupakan sebuah tugas yang lebih sulit daripada sekedar menelusuri kontinuitas dari sistem gagasan tersebut. Kecuali kita percaya bahwa gagasan bisa mempunyai kehidupan tersendiri yang lepas dari kehidupan manusia, maka persoalan bagaimana sistem gagasan diproduksi dan diproduksi kembali dari satu generasi ke generasi berikutnya mau tak mau merupakan sebuah pokok permasalahan penting yang harus dijawab.

Pada dasarnya masalah intelektual yang dihadapi insan Kristiani di Eropa sangat sederhana, yaitu bagaimana Sesuatu yang Maha Sempurna dan Maha Kuasa dapat menciptakan satu dunia yang tidak sempurna dengan berbagai macam makhluk hidup yang “dungu” dan “perusuh”—satu dunia yang membutuhkan reproduksi/kelahiran dan kematian. Kesemua ini merupakan pertanyaan yang dihadapi banyak agama, sebuah masalah yang disebut Max Weber sebagai the problem of evil. Masalah ini tetap menghantui banyak orang hingga sekarang.

Salah satu solusi yang ditawarkan untuk menjawab pertanyaan yang menghantui itu adalah dengan cara mengajukan satu gagasan akan adanya dekadensi dan fallen angel dalam kehidupan umat manusia. Dengan meminjam gagasan St. Augustine (354 – 430 Masehi), pertanyaan bagaimana Tuhan yang bersifat absolut bisa menciptakan satu dunia yang tidak sempurna dijawab pada akhir Abad Pertengahan dengan seperangkat gagasan yang mempunyai

14 alam, Kebudayaan & yang IlahI

baik konsekuensi logis maupun praktis. Seperangkat gagasan awal dari St. Augustine inilah yang menjadi dasar bagi gagasan-gagasan yang kemudian berkembang dalam pemikiran modern. Salah satu yang paling penting dari sistem gagasan ini adalah apa yang disebut Lovejoy sebagai principle of plenitude, yang mengandung rumusan di mana Satu hal yang Maha Sempurna mempunyai keharusan memperluas dirinya sendiri ke dalam berbagai bentuk kehidupan yang ada dengan cara menghasilkan dunia pengalaman dan inderawi yang beragam dan yang kelihatannya tidak begitu sempurna. Pernyataan ini kelihatannya tidak begitu logis, namun hal itu selama beberapa abad mewujudkan konsep rasionalitas.

Rasionalitas, sebagaimana dapat kita lihat, merupakan satu konsep yang sangat sulit, meskipun menduduki posisi yang sangat sentral dalam berbagai teori sosial. Konsep rasionalitas diselimuti oleh sebuah kompleks persoalan yang sangat beragam dan rumit. Reason atau akal diargumentasikan terdapat dalam pikiran Yang Maha Sempurna. Oleh sebab itu, reason dipahami harus terungkap di dalam semua karyaNya. Memahami reason berarti memahami Yang Ilahi itu sendiri. Reason merupakan sebuah prinsip di mana segala hal dapat dikembalikan dan dipahami. Sebagai sebuah ilustrasi, maka dapat dikemukakan di sini bahwa rasionalitas me-rupakan satu bagian yang hakiki dari doktrin gereja Kristen yang menegaskan bahwa nilai dari segala hal yang ada di dunia sudah pasti dan tetap di hadapan hukum-hukum alam. Hukum-hukum alam diartikan sebagai hukum Tuhan. Dengan demikian, nilai segala sesuatu merupakan satu nilai yang sudah adil adanya, bahkan dengan mengacu kepada reason, karena reason pada hakekatnya merupakan sesuatu yang terdapat dalam pemikiran Ilahi.

Dengan begitu, pertanyaan sosial di atas (baca: kenapa Tuhan yang Maha Kuasa dapat menciptakan sebuah dunia yang tidak sempurna), sebagai satu pokok penelaahan, merupakan suatu hal yang pada dasarnya bersifat teologis dan hakiki bagi makna Ilahi yang ada di balik berbagai penampilan dari segala

Tony Rudyansjah 15

apa yang ada di alam semesta. Tentu saja uraian ini biasanya merupakan juga bukti yang diajukan dalam argumentasi bahwa kapitalisme sesungguhnya sudah ada jauh sebelum timbulnya Reformasi Protestanisme yang dipelopori oleh Martin Luther dalam perlawanannya terhadap hegemoni gereja Romawi pada tahun 1517. Di samping hal-hal yang bersifat teoritis, seperti konsep teologis tentang nilai yang adil, maka kota Florence sudah merupakan pusat perbankan dan perdagangan jauh sebelum adanya Reformasi Protestantisme itu sendiri. Meskipun begitu, terdapat sebuah perbedaan yang sangat hakiki antara penyesuaian hukum-hukum agama dalam pengakomodasian barang-barang perdagangan di satu sisi dan di sisi lain, dukungan sepenuhnya hukum-hukum agama terhadap pengejaran keuntungan materiil itu sendiri. Santo Thomas Aquinas (1225-1274) dalam bukunya Summa Theologica berupaya merumuskan hukum-hukum alam Abad Pertengahan. Menurutnya, oleh karena segala sesuatu tunduk kepada Amanat Ilahi, dan diatur serta diukur oleh hukum-hukum abadi sesuai dengan faktanya, maka segala sesuatu mengambil bagian di dalam hukum-hukum abadi, sejauh mereka semua mengarahkan kecenderungan-kecenderungan masing-masing pada tindakan yang tujuannya merupakan tindakan dan tujuan mereka yang sebenarnya. Di antara semuanya yang lain, makhluk yang rasional tunduk kepada Amanat Ilahi dalam cara yang paling sempurna sejauh mereka sebagai makhluk yang rasional mengambil bagian dalam Amanat itu dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai Amanat itu baik buat dirinya sendiri maupun buat yang lainya. Dengan demikian, makhluk yang rasional mengambil bagian dalam eternal reason yang menyebabkannya mempunyai kecenderungan alami menuju kepada tindakan dan tujuannya yang semestinya. Partisipasi dari makhluk-makhluk rasional dalam hukum-hukum yang abadi inilah yang disebut sebagai hukum alam. Menurut theodisi ini, segala hal, termasuk apa yang kelihatannya buruk (evil), harus dipahami sebagai bagian yang hakiki dari Yang Maha Tahu. Di dalam Abad Pertengahan, nama

16 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Aristoteles (384 - 322 Sebelum Masehi) sangat dihormati karena sudut pandang filosofisnya dapat secara elok dikombinasikan dengan pikiran Kristiani masa itu—satu sintesa yang kemudian dapat disempurnakan secara mengagumkan oleh Thomas Aquinas. Carl Becker dalam bukunya The Heavenly City of the Eighteenth Century Philosophers (1932) menegaskan bahwa Santo Thomas Aquinas menulis berpuluh-puluh buku hanya untuk meyakinkan dunia terhadap persoalan theologis yang rumit ini.

Lovejoy mengutip Macrobuis untuk menyimpulkan teori Neoplatonis mengenai principle of plenitude, yang rumit itu, dengan rumusannya:

“Since, from the Supreme God Mind arises, and from Mind, Soul, and since this in turn creates all subsequent things and fills them all with life, and since this single radiance illuminate all and is reflected in each, as a single face might be reflected in many mirrors places in a series; and since all things follow in continues succession, degenerating in sequence to the very bottom of the series, the attentive observers will discover a connection of parts, from the Supreme God down to the last dregs of things, mutually linked together and without a break.”11

[Oleh karena, dari Yang Maha Ilahi lahir Akal, dan dari Akal lahir Roh, dan oleh karena hal ini pada gilirannya menciptakan segala hal yang berikutnya ada, dan memenuhi kesemuanya itu dengan kehidupan, dan oleh karena cahaya yang tunggal ini memancarkan segala hal dan dipantulkan kembali dalam hal itu masing-masing bak sebuah wajah yang bisa dipantulkan kembali di dalam sejumlah kaca-kaca yang ditempatkan secara berurutan; dan oleh karena segala hal yang ada terdapat dalam sebuah rangkaian yang berkesinambungan menurun sampai pada dasarnya yang paling bawah dari rangkaian itu, maka pengamat yang jeli akan menemukan adanya satu koneksi dari bagian-bagian itu yang berasal dari Yang Maha Ilahi menurun sampai pada ampas-ampas terakhir dari segala hal yang ada itu, kesemuanya berkaitan satu sama lain tanpa terputus.]

11 Arthur O. Lovejoy, The Great Chain of Being. 1964, hal. 63.

Tony Rudyansjah 17

Kutipan ini mengingatkan kita akan cerita yang sering dikutip oleh para ahli antropologi, seperti Clifford Geertz12, ketika seorang Indian ditanya oleh seorang Inggris mengenai bagaimana alam raya dibangun di dalam berbagai macam tingkat di mana dunia bertengger di atas sebuah panggung yang pada gilirannya berada di atas pundak seekor gajah, yang mana gajah itu pada gilirannya berada di atas punggung kura-kura. Si Inggris itu bertanya di mana kura-kura itu berdiri, dan dijawab oleh si Indian bahwa kura-kura itu berdiri di atas kura-kura yang lain. Si Inggris bertanya lagi, bagaimana dengan kura-kura yang lain itu, dan dijawab oleh si Indian bahwa kura-kura itu tumpah tindih ke bawah sampai pada dasar yang paling dalam. Cerita ini mirip dengan gambaran tentang ampas-ampas terakhir dari segala yang ada dalam kutipan dari Lovejoy di atas.

Pemahaman Kristiani mengenai plenitude dan rasionalitas menuntut bahwa dunia yang nyata berisi juga dengan berbagai tingkat ketidak sempurnaan. Meskipun kita mudah tergoda untuk mengkaji topik ini secara panjang lebar, namun untuk memotong cerita yang panjang ini menjadi lebih singkat, maka kita dapat menyimpulkan bahwa dunia nyata berisi segala tingkat ketidaksempurnaan, karena telah merupakan bagian yang hakiki dari segala keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan yang dihasilkan oleh Yang Maha Kuasa yang pada hakekatnya adalah menghasilkan keanekaragaman (diversitas) itu sendiri. Yang Ilahi mengisi segala sesuatu dari yang paling tinggi turun sampai kepada ampas terakhir dari segala yang ada itu. Tidak ada celah pemisah di antara ciptaanNya. Terdapat satu mata rantai raksasa dari segala yang ada mulai dari Ilahi turun ke ampas terakhir itu. Tidak terdapat ruang pemisah antara satu jenis keberadaan dengan satu jenis keberadaan lainnya. Dengan lain perkataan, Allah yang Maha Kuasa memperluas dirinya menuju kepada segala hal, bahkan kepada planet-planet lain yang dipercayai juga

12 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, 1973, hlm. 28-29.

18 alam, Kebudayaan & yang IlahI

berisi berbagai makhluk hidup. Tidaklah kebetulan bila orang bisa berpendapat bahwa gagasan mengenai plenitude belum habis riwayatnya pada masa kini, karena beberapa ahli ekologi modern masih menganut pendapat bahwa yang paling beranekaragam adalah bentuk-bentuk dari kehidupan, namun yang paling stabil adalah ekosistem di mana semua bentuk kehidupan itu mungkin untuk bisa dihadirkan. Gagasan mengenai prinsip plenitude masih ada dan hadir hingga masa kini. Meskipun gagasan mengenai the great chain of being dan gagasan plenitude yang menyertainya bisa saja menimbulkan banyak kebingungan, segala hal yang ada dalam mata rantai raksasa itu tertata ke dalam satu hirarki dari yang paling bawah dari bentuk-bentuk kehidupan yang paling rendah sampai kepada berbagai aneka macam manusia naik ke atas menuju malaikat yang sampai kemudian kepada Yang Ilahi itu sendiri.

Namun, dan ini yang ganjil, meskipun gagasan-gagasan ini merupakan sesuatu yang sudah ada sejak dahulu kala, dan secara mendalam tertanam dalam pemikiran Kristiani, gagasan-gagasan ini ironisnya baru pada abad ke-18 digunakan di dalam pembentukan pandangan dunia abad ke-18, yakni satu pandangan dunia yang dalam banyak hal sangat ilmiah dan sangat anti agama. Perkembangan gagasan ini sangatlah mengagumkan apabila kita ingat bahwa konsepsi the great chain of being dan plenitude itu tidak mendapat dukungan apapun dari pengamatan empiris. Sekali saja dunia diamati, kita dengan cepat menyadari bahwa terdapat satu lubang besar yang menganga di antara segala hal yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, kajian untuk mencari mata rantai yang hilang (missing link) di antara segala hal yang ada di dunia ini menjadi sebuah lahan kajian yang sangat popular pada abad ke-19. Hal ini memdemonstrasikan kekuatan teori di atas pengamatan. Salah satu solusi yang acapkali diajukan adalah bahwa mata rantai yang hilang di dalam the great chain of being berada di planet-planet lain di dalam alam raya ini.

Tony Rudyansjah 19

Yang Maha Kuasa barangkali meletakkan mereka di planet lain itu, dan bahkan mungkin ada di Mars, sehingga kita tidak bisa menemukan beberapa rangkaian dalam mata rantai itu di planet bumi kita ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencarian mata rantai yang hilang itu pada dasarnya dirangsang bukan oleh ilmu pengetahuan, melainkan oleh semata-mata doktin agama.

Gagasan tentang the great chain of being pada awalnya merupakan seperangkat asumsi tidak ilmiah mengenai hakekat dari alam dunia. Gagasan ini mempunyai pengaruh yang bersifat merangsang pencarian pengetahuan dengan cara mendorong para pengamat untuk mendekomentasikan catatan-catatan yang lengkap mengenai pokok kajian yang dilakukan, dan sekaligus bisa memberikan sebuah prinsip yang bisa digunakan untuk menata berbagai hasil pengamatan itu. Tanpa prinsip itu, maka hasil pengamatan itu menjadi sangat tidak konsisten. Dengan demikian, gagasan paling utama dari hirarki dalam the great chain of being adalah untuk memberikan sebuah prinsip penataan.

Salah satu hasil yang bisa dikatakan kebetulan dari prinsip plenitude, yang sangat menarik perhatian saya, adalah pandangan tentang konflik yang terdapat di dalam prinsip plenitude itu sendiri. Para pengamat biasa sudah pasti suatu saat akan menemukan bahwa dunia yang nyata penuh berisi berbagai macam aktivitas yang sulit sekali untuk dapat dicocokkan dengan gagasan mengenai Tuhan yang Maha Sempurna. Meskipun begitu, senantiasa diargumentasikan oleh orang-orang pada abad ke-18, seperti William King and Alexander Pope, bahwa segala sesuatu yang ada adalah untuk yang terbaik di antara yang terbaik dari apa-apa yang mungkin ada di dalam alam semesta ini. Perputaran dari segala apa yang ada di alam semesta ini tentu saja menyebabkan kita akan mempertanyakan dasar dari benturan dan konflik yang terjadi itu. Si jenius Bishop King yang pernah menjadi gurubesar filsafat di Universitas Cambridge mengemukakan argumentasi sebagai berikut:

20 alam, Kebudayaan & yang IlahI

“There necessarily follows a division and disparity of parts, clashing and opposition, comminution, concretion and repulsion, and all those evils which we behold in generation and corruption…. The mutual clashing of these concretions could therefore not be avoided, and as they strike upon one another a concussion of the parts and a separation from each other would be necessarily produced.”13

[Sudah merupakan keniscayaan bahwa terdapat satu divisi dan kesenjangan di antara berbagai bagian yang ada di alam, sekaligus perben turan dan pertentangan, perceraiberaian, peleburan dan peno lakan, dan segala ketidakbecusan itu yang kita lihat dalam kelahiran dan kerusakan…. Perbenturan dari massa-massa itu satu sama lain dengan demikian tidak dapat dihindari, dan sebagaimana mereka berbenturan satu sama lain, maka goncangan dan pemisahan satu sama lain niscaya senantiasa terjadi.]

Dalam argumentasi ini kita sudah dapat melihat adanya satu teori dialektik mengenai the great chain of being yang ditangkap dalam pergolakannya. Namun meskipun terdapat gagasan mengenai gerakan semacam itu, pandangan dunia mengenai the great chain of being masih tetap bersifat statis sampai pada abad ke-18. Dunia masih digambarkan stabil di mana segala hal dan semua manusia ditanggapi mempunyai sebuah status yang statis sifatnya.

Tahap selanjutnya dalam perkembangan gagasan mengenai the great chain of being mulai muncul dalam abad ke-19 dengan adanya apa yang disebut Lovejoy sebagai the temporalizing of the great chain of being. Tahap selanjutnya ini terjadi ketika gagasan tentang hirarki dari segala apa yang ada dimasukkan ke dalam sebuah proses perkembangan dalam bentangan waktu. Perubahan gagasan ini membawa beberapa dampak penting buat ilmu sosial modern, dan persoalan itu akan menjadi bahasan kita.

Sebelum mencapai tahap the temporalizing of the great chain of being, satu-satunya makna yang dapat diberikan terhadap progress (kemajuan) adalah melalui kemungkinan naiknya suatu

13 Lovejoy, op.cit, hlm. 217-218.

Tony Rudyansjah 21

hal (individu) dalam hirarki akibat adanya sesuatu hal/individu lain yang punah atau mati. Ini merupakan sebuah masalah yang besar, karena meskipun teologi Kristiani menempatkan seluruh alam raya, termasuk berbagai makhluk hidup dan, bahkan, berbagai makhluk supernatural, ke dalam satu hirarki dengan satu tempat yang pasti, teologi semacam ini tidak mempunyai satu mekanisme yang menyediakan satu logika menakjubkan, seperti reinkarnasi dalam Hinduisme, yang mempunyai fungsi mempertahankan satu tatanan sosial yang statis melalui sebuah dinamika kosmologi. Persoalan ini akan kita bahas secara lebih rinci dalam bagian mengenai Max Weber dalam kajiannya tentang agama di dalam jilid kedua dari buku ini. Perlu disampaikan di sini bahwa Lovejoy pernah membahas dengan panjang lebar bagaimana masalah yang dihadapi satu masyarakat yang menerima ketidakberdayaan pandangan hidup serupa itu. Ia, Lovejoy, memberikan argumentasi bahwa dalam masyarakat Barat, keburukan/kejahatan (evil) ditanggapi merupakan bagian yang hakiki dan penting dari Kesempunaan itu sendiri, dan oleh karenanya merupakan sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Namun dalam pembahasan Lovejoy itu, sangat sulit untuk bisa memahami kenapa masalah ini secara tiba-tiba menjadi sebuah persoalan yang khas abad ke-19, dan kenapa satu jawaban buat persoalan itu secara tiba-tiba saja bisa ditemukan. Meskipun ia sudah menyentuh pokok-pokok yang relevan, faktor-faktor langsung yang berperan dalam usaha masyarakat Barat memecahkan persoalan itu tidak dikemukakannya secara jelas.

Carl Becker, di dalam bukunya The Heavenly City of the Eighteenth Century Philosopher,14 membuat satu poin penting mengenai gagasan-gagasan tersembunyi di balik istilah-istilah

14 Buku ini sebetulnya merupakan kumpulan bahan kuliah yang diberikan Carl Becker di Universitas Yale, Amerika Serikat, yang kemudian dipublikasikan tahun 1932, atau 2 tahun sebelum buku Lovejoy The Great Chain of Being diterbitkan.

22 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang kelihatannya begitu nyata sehingga berbagai gagasan itu jarang atau hampir tidak pernah diperiksa keberannya secara teliti. Ia mengemukakan bahwa dalam setiap kurun waktu tertentu terdapat sejumlah karya-karya yang lahir dari pengulangan-pengulangan sejumlah gagasan secara terus menerus yang mengakibatkan kekayaan makna metaforikal dari gagasan-gagasan itu sedikit demi sedikit tergerus dan kemudian menjelma menjadi “ideologi”, sehingga tanpa disadari gagasan-gagasan tersebut pada akhirnya ditanggapi sebagai sebuah kenyataan obyektif tanpa banyak dipertanyakan lagi. Dalam abad ke-13, kata kunci yang diterima secara alami tanpa pernah diperiksa keberanannya tak pelak lagi adalah kata-kata seperti penyelematan (salvation) dan surga (heaven). Dalam abad ke-19, kata-kata kunci itu adalah fakta, evolusi dan kemajuan (progress). Dalam abad ke-20. kata-kata kunci itu adalah penyesuaian (adjustment), konflik, fungsi dan proses. Dalam abad ke-21, kata-kata kunci itu barangkali adalah borderless, world system dan connectivity. Sedangkan dalam abad ke-18, yang menurut Carl Becker merupakan satu dunia yang masih dikungkung oleh teori teologi, maka kata-kata kunci itu adalah kata-kata seperti alam (nature), hukum-hukum alam, penyebab pertama (first cause), akal (reason), sentimen, humanitas, dan perfektibilitas (kesempurnaan). Tiga kata-kata yang terakhir, yakni sentimen, humanitas dan perfektibilitas, memang sangat diperlukan pada saat itu buat perkembangan pemikiran humanitarian yang sedang menguasai abad itu.

Konsep mengenai hukum alam sudah ada sejak lama sekali. Sejauh yang saya tahu konsep mengenai hukum alam pertama kali dikemukakan oleh Saint Augustine yang hidup dari tahun 354 hingga tahun 430. Namun pada abad ke-18, konsep ini mengalami pergeseran makna karena logika deduktif yang digunakan untuk membangun konsep itu harus berhadapan dengan hasil observasi dan eksperimen yang tumbuh subur pada abad ke-18, yang hasilnya sangat bertentangan dengan apa-apa

Tony Rudyansjah 23

yang disimpulkan dari logika deduktif. Sebelum abad ke-18, akal dan makna dari alam (meaning of nature), yang keduanya merupakan unsur penting dalam konsep mengenai hukum-hukum alam, terbelenggu dalam Pikiran Ilahi (mind of God). Kita bisa melihat jelas hal ini dalam diskusi bahwa dunia sensasi yang misterius hanya bisa dipahami melalui ekskursi teologis (theological excursion) ke alam theistik yang lebih tinggi, seperti melalui meditasi, kontemplasi, disiplin religius dan doa. Dalam abad ke-18, alam kemudian ditransformasikan menjadi seakan sebuah mesin yang nampak lebih jelas dan lebih bisa dipahami, sekaligus bisa diukur, diamati, dan bahkan, dikalkulasi, sebelum kemudian, dijelajahi and ditaklukkan. Sebagaimana Carl Becker menegaskan, dengan mengutip David Hume, bahwa sejak abad ke-18 itu tidak mungkin lagi untuk menyimpulkan bahwa alam harus rasional semata-mata karena Tuhan adalah akal yang abadi (eternal reason). Hume lebih suka menyimpulkan bahwa Tuhan sudah pasti adalah seorang Insinyur atau Perancang Maha Besar; oleh karena itu alam adalah sebuah mesin :

“…ancient God of miracles, grace, exclusive revelations, and inexplicable mysteries was largely abandoned in favour of the Great Designer.”15 […Tuhan masa purba yang penuh dengan keajaiban, keanggunan dan berbagai misteri yang tak terjelaskan ditinggalkan sepenuhnya dan digantikan oleh Tuhan sebagai Perancang Maha Besar.]

John Locke, sebagai pemikir besar berikutnya di pertengahan antara abad ke-17 dan ke-18, memberikan penghargaan atas perubahan pandangan mengenai dunia seperti itu kepada Newton yang digambarkannya telah menuntaskan kontribusinya terhadap teologi dengan cara mengungkapkan rahasia-rahasia kreasi Tuhan yang begitu mengagumkan. Ungkapan penyair Alexander Pope

15 Peter Millican dalam pengantarnya untuk buku David Hume berjudul An Enquiry Concerning Human Understanding, 2007, hlm. xxiv.

24 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang begitu terkenal dapat secara gamblang menggambarkan suasana hati dan alam pikiran zaman itu

“Nature and Nature’s laws lay hid in night:God said, Let Newton be! and all was light.”16

[Alam dan hukum Alam bersemayam di balik gelapnya malam:Kemudian Tuhan bersabda, Newton, lahirlah! Dan segalanya menjadi terang.]

Untuk merekapitulasi apa yang ingin disampaikan di sini maka dapat dikatakan bahwa hukum-hukum alam mengalami transformasi dari hasil sebuah logika deduktif menjadi sebuah perilaku harmonis dari kaidah-kaidah dari berbagai obyek material yang diamati. Hal itu melahirkan satu kontras yang sangat menyolok antara gagasan tentang kebenaran yang lazimnya dikemukakan pada Abad Pertengahan sebagai satu titik cahaya yang bersinar dari ufuk cakrawala lembah surgawi yang hanya dapat diraih melalui kontemplasi, doa serta disiplin religius di satu sisi dan di sisi lain, gagasan tentang kebenaran yang hanya dapat dicapai sebagai sebuah dalil yang dihasilkan dari arus pengalaman manusia ( panta rhei of human experience), sehingga kebenaran kemudian mirip sepotong roti yang harus senantiasa diperbaharui setiap pagi. Akal (reason) ditinggalkan orang sebagai pembenaran terhadap teologi, dan kebenaran tertinggi/wahyu (revelation) yang tadinya dicapai melalui kepercayaan atau keyakinan, pada abad ke-18 harus dicapai melalui observasi. Perubahan yang nampak jelas ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan perubahan teori yang sebenarnya sudah berlangsung sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-18, yang awalnya ditandai oleh penemuan teoritis dan eksperimental dari Galileo dan Newton. Pada abad ke-18 itu, nama Newton begitu terkenal sama seperti nama Darwin pada abad ke-20. Banyak

16 Peter Millican dalam pengantarnya untuk buku David Hume berjudul An Enquiry Concerning Human Understanding, 2007, hlm. xxiv.

Tony Rudyansjah 25

orang pada abad ke-20 yang merasa tidak canggung menerima teori Darwin tanpa pernah membaca satupun karyanya. Hal yang serupa juga berlaku buat abad ke-18. Banyak orang pada abad ke-18 yang merasa tidak perlu harus membaca karya Newton untuk menerima gagasan bahwa ada sebuah cara baru untuk mengenali Tuhan, yaitu melalui cara memahami karyaNya. Pada saat yang bersamaan, orang mulai menoleh kepada Galileo dan Newton dalam menyimpulkan berbagai gagasan tentang moral yang mengalami paralelisme dengan apa yang terjadi terhadap bidang astronomi, yaitu mengalami perubahan dari mistisisme ke agama dan akhirnya menjadi ilmu pengetahuan.

Kelahiran Ilmu Alam Tentang MasyarakatThomas Hobbes (1588 –1679) dan John Locke (1632-

1704) seringkali diberikan penghargaan sebagai tokoh yang meletakkan dasar bagi perkembangan ilmu sosial. Thomas Hobbes merupakan salah seorang pertama yang mengembangkan teori tentang moral dalam sebuah cara yang sepenuhnya bersifat mekanistik. Sangatlah berguna dalam konteks ini apabila kita membaca bukunya Leviathan17 bukan dalam rangka memahami teorinya tentang negara dan peranan penguasa, namun dalam kerangka memahami teorinya tentang kognisi dan persepsi, atau persoalan bagaimana pancaindera mengolah informasi dan menentukan cara yang dapat dilakukan individu dalam mengejar apa yang disebut oleh Hobbes sebagai felicity: maksimalisasi dari kenikmantan (pleasure) dan minimalisasi dari kesengsaraan (pain).

Pada awal abad ke-17, susunan dan struktur masyarakat Eropa Abad Pertengahan mulai mengalami gonjangan. Berbagai gagasan baru, bentuk organisasi ekonomi baru, penemuan dunia baru, dan doktrin religius yang baru, kesemuanya mulai bergabung menjadi satu dalam rangka meruntuhkan tradisi di Eropa. Hobbes

17 Pertama kali dipublikasikan pada tahun 1651 dan kemudian diterbitkan oleh Pelican Books pada tahun 1968.

26 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dilahirkan tahun 1588. Ia dibesarkan oleh seorang pamannya yang kaya, dan disekolahkan di Oxford sebelum memutuskan dirinya menjadi guru pribadi satu keluarga bangsawan tinggi di Inggris, yakni William Cavendish dari Devonshire. Pekerjaan ini memberikan kesempatan besar baginya untuk menulis, karena ia seringkali diajak bepergian oleh keluarga bangsawan itu, sehingga ia mempunyai banyak kesempatan mengunjungi banyak perpustakaan di berbagai negara di Eropa. Pengabdian terhadap keluarga bangsawan ini menyebabkannya dekat dengan jantung politik baik di daratan Eropa maupun di Inggris. Ia berhasil mempertahankan hidupnya selama perang saudara dan restorasi di Inggris, walaupun tulisannya tentang politik sangat provokatif. Selama perang saudara dari tahun 1640 hingga 1651, ia meninggalkan Inggris dan baru kembali setelah unsur-unsur radikal kekuatan revolusi berhasil ditumpas. Thomas Hobbes, dengan demikian, dapat dikatakan bukan seorang akademisi melainkan seorang man of affairs.

Pada masa hidup Hobbes, anggapan bahwa dunia material dija lankan dan dikendalikan oleh Tuhan masih kuat dianut masyarakat Eropa. Meskipun demikian, sudah mulai terjadi perubahan dalam rancang bangun dari masyarakat Inggris. Sebagai contoh, perasaan takut terhadap penguasa masih kuat mengungkung, dan masyarakat masih mengabdikan dirinya untuk melayani penguasa, namun pada saat yang bersamaan gagasan mengenai kesetaraan (equality) sudah mulai tumbuh dan menyebar dalam kehidupan masyarakat. Meskipun begitu, gagasan tentang ranking dan tatanan dalam hirarki the great chain of being tidak secara otomatis menghilang.

Buku Leviathan tidak diterbitkan hingga tahun 1651 manakala Thomas Hobbes telah mencapai usia 63 tahun, atau hanya berselang 2 tahun setelah raja Charles I dihukum mati—sebuah peristiwa penting dalam sejarah Inggris yang secara tegas memperlihatkan mulai timbulnya penolakan terhadap doktrin

Tony Rudyansjah 27

tentang hak raja yang dianggap berasal dari Tuhan. Peristiwa sejarah ini menandai dimulainya sebuah era baru di Inggris. Sebelumnya adalah merupakan hal yang lumrah apabila seorang raja memenggal kepala seorang rakyat biasa. Sebaliknya, rakyat kebanyakan memenggal kepala seorang raja sudah pasti merupakan satu peristiwa yang besar. Hal itu menandai dimulainya penolakan terhadap gagasan tentang hak berkuasa raja atas nama Tuhan.

Sesungguhnya buku Leviathan Thomas Hobbes sudah mengandung gagasan serupa. Leviathan sudah menolak gagasan mengenai hak istimewa raja yang berasal dari Tuhan, namun Hobbes dalam buku itu tetap mendukung gagasan tentang arti penting monarki. Dengan cara serupa itu, Hobbes secara cerdik bisa melayani situasi yang ada dalam paruh pertama abad ke-17 di Inggris. Dengan cara itu, ia dapat bermain di dalam dua sisi, yakni melayani kepentingan monarki di satu sisi dan menolak gagasan tentang hak istimewa raja yang berasal dari Tuhan yang mulai lahir di kalangan orang banyak di sisi lain.

Lepas dari pokok persoalan itu, kalau kita kembali kepada teori sosial yang dikembangkan Hobbes, maka dapat dikatakan bahwa minat utama kita terhadap Thomas Hobbes terletak pada pandangannya yang bersifat revolusioner tentang hakekat manusia dan masyarakat. Barangkali hanya Machiavelli yang mendekati posisi Thomas Hobbes mengenai gagasan realisme sosial dan penolakan terhadap tatanan normatif hak istimewa raja yang berasal dari Tuhan. Berkenaan dengan realisme sosial, Hobbes pernah menyatakan bahwa:

“(there is no conception in a mans mind which hath no at first, totally, or by parts, been begotten upon the organs of sense.) The rest are derived from that originall.”18

[(tidak ada konsepsi dalam pikiran manusia, baik secara kese-lu ruhan maupun secara sebagian, yang awalnya tidak berasal dari organ panca indera). Kesemua hal lain berasal dari itu]

18 Thomas Hobbes, Leviathan, 194, hlm. 85.

28 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Setiap konsepsi dalam pikiran manusia, dengan demikian, bermuasal dari hal berikut: obyek menimbulkan sejumlah gerakan (motions) terhadap badan kita, dan gerakan-gerakan itu ditangkap oleh panca indera dan kemudian ditransmisikan ke otak. Karena proses itu, maka ada obyek yang bisa diraba, dirasa/dikecap, dilihat, didengar, dicium, atau beberapa kombinasi darinya. Satu konsep paling penting tentang pandangan ini adalah ide me-ngenai prudence, yaitu tinjauan ke masa depan yang berasal dari kombinasi antara ingatan mengenai sensasi yang pernah terjadi di masa lampau di satu sisi dengan antisipasi terhadap masa depan di sisi lain. Berkenaan dengan ini, terdapat seperangkat gerakan dalam otak yang disebut Hobbes sebagai passion (gairah), yang sesungguhnya merupakan respons kita terhadap pencitraan ingatan.

Apabila pencitraan ingatan menghasilkan gerakan mendekat kepada obyek pencitraan itu, maka hal itu disebut sebagai hasrat (desire). Sebaliknya, apabila sejumlah pencitraan ingatan mengha-silkan sebuah gerak yang menjauh dari obyek pencitraan itu, maka hal itu disebut keengganan (aversion). Obyek-obyek yang menim-bulkan hasrat pada satu individu disebut sebagai sesuatu yang baik (good), dan sebalik obyek-obyek yang menimbulkan keengganan bagi individu yang bersangkutan disebut buruk (evil).19

Hobbes menjelaskan pengertian baik dan buruk sepenuhnya secara mekanistik tergantung pada bagaimana reaksi seorang individu terhadap keengganan atau hasrat yang timbul atas obyek-obyek yang ada di sekelilingnya. Bagi Hobbes, tidak ada satupun hal yang sepenuhnya baik atau buruk, tidak ada satupun yang secara intrinsik baik atau buruk, karena baik atau buruk itu sesungguhnya adalah sesuatu derivasi dari sikap seseorang yang sangat pribadi sifatnya. Sejumlah laki-laki dan perempuan yang berbeda-beda bisa menginginkan atau menolak berbagai hal yang berbeda pada saat yang berbeda-beda. Apa yang seseorang

19 Ibid, hlm. 120.

Tony Rudyansjah 29

kehendaki hari ini bisa jadi sangat ia benci keesokan harinya. Bagi Hobbes sama sekali tidak ada satu etika yang mutlak sifatnya, ataupun moralitas yang menyeluruh sifatnya. Ia mengemukakan di bagian awal dari bukunya bahwa pada hakekatnya tidak mungkin untuk mengetahui pikiran dan hasrat orang lain. Yang dapat kita ketahui adalah pengetahuan kita sendiri mengenai pikiran dan hasrat orang lain setelah memperbandingkannya dengan apa yang terjadi pada diri kita sendiri.

“But there is another saying not of late understood, by which they might learn truly to read one another, if they would take the pains; and that is, Nosce teipsum, Read thy self: which was not meant, as it is now used, to countenance, … But to teach us, that for the similitude of the thoughts and Passions of one man, to the thoughts, and Passions of another, whosoever looketh into himself, and considereth what he doth, when he does think, opine, reason, hope, feare, &c, upon what grounds; he shall thereby read and know, what are the thoughts, and Passions of all other men, upon the like occasions. I say the similitude of Passions, which are the same in all men, desire, feare, hope, &c; not the similitude of the objects of the Passions, which are the things desired, feared, hoped, &c: for these the constitution individuall, and particular education do so vary, and they are so easie to be kept from our knowledge, that the characters of mans heart, blotted and confounded as they are, with dissembling, lying, counterfeiting, and erroneous doctrines, are ligible onely to him that searcheth hearts. And though by mens action wee do discover their designe sometimes; yet to do it without comparing them with our own, and distinguishing all circumstances, by which the case may come to be altered, is to decipher without a key, and be for the most part deceived,..”20

[Namun terdapat kata bijak lain, yang tidak terlambat untuk dipahami, yang dapat membantu mereka untuk belajar satu sama lain, seandainya bersedia menanggung kesulitannya, yakni Nosce teipsum, Bacalah Dirimu Sendiri, yang bukan berarti, sebagaimana biasanya diartikan sekarang ini,

20 Thomas Hobbes, Ibid, hlm. 82-83

30 alam, Kebudayaan & yang IlahI

sebagai persetujuan moral kita, …. Melainkan untuk mengajari kita, bahwa bagi penampakan luar dari pikiran dan gairah seseorang hingga pikiran dan gairah orang lain, barangsiapa melihat ke dalam dirinya sendiri apa-apa yang telah ia lakukan dan sedang pikirkan, nalarkan, harapkan, takutkan dan lain sebagainya, dan bentangkan kesemuanya ke dalam pijakan yang sama, maka kita dapat membaca dan mengetahui apa yang menjadi pikiran dan gairah semua orang lain pada saat berada dalam kondisi yang serupa. Kutegaskan bahwa penampakan luar dari gairah, yang sama bagi semua orang, yakni hasrat, ketakutan dan harapan, dan bukannya obyek dari gairah itu, hal-hal yang dihasrati, ditakuti, diharapkan dan lain sebagainya, dan karena kesemua itu merupakan hal-hal yang yang individual sifatnya, hasil pendidikan yang sifatnya sangat bervariasi, dan karena hal-hal itu mudah untuk disembunyikan dari pengetahuan kita, dan karena karakter dari hati nurani manusia, sebagaimana acapkali dinodai dan dikacaukan dengan dusta, ketertutupan, tipu muslihat, dan doktrin yang keliru, maka kesemua itu hanya dapat dijangkau oleh orang yang melihat hati nuraninya sendiri. Meskipun begitu, dengan jerih payah usaha kita, kita dapat kadangkala menemukan rancang bangun hal tersebut. Namun melakukan itu tanpa memperbandingkannya dengan apa yang ada dalam diri kita, dan membedakan situasi-situasinya yang dalam banyak kasus sangat mudah berubah, adalah merupakan satu upaya memecahkan teka-teki tanpa kunci petunjuk apapun, dan untuk sebagian besar hasilnya adalah satu tipu daya semata…]

Lebih lanjut Hobbes mengemukakan “But let one man read another by his actions never so perfectly, it serves him onely with his acquaintance, which are but few. He that is to govern a whole Nation, must read in himself, not this, or that particular man; but Man-kind: which though it be hard to do, harder than to learn any Language, or Science; yet, when I shall have set down my own reading orderly, and perspicuously, the pains left another, will be onely to consider, if he also find not the same in himself. For this kind of Doctrine, admitteth no

Tony Rudyansjah 31

other Demonstration.”21

[Tetapi biarkan seorang makhluk manusia membaca makhluk manusia lainnya dengan upayanya yang tidak pernah sepenuhnya sempurna. Hal itu hanya melayaninya dengan sesuatu yang sudah diketahuinya, yang sebenarnya juga tidak terlalu mengungkapkan banyak hal. Pemimpin satu bangsa harus membaca bukan dalam diri individu ini atau individu itu, melainkan membaca di dalam Umat Manusia, yang meskipun sangat sulit untuk bisa dilakukan, bahkan lebih sulit daripada belajar satu bahasa ataupun ilmu pengetahuan; namun manakala saya berusaha mengkaji “bacaan” saya sendiri secara teratur dan secara tajam, maka berbagai kesulitan itu akan lenyap, dan sebagai gantinya bertahan sesuatu yang patut untuk dipertimbangkan, seandainyapun ia tidak menemukan hal yang sama di dalam dirinya sendiri. Karena doktrin semacam ini tidak mengakui pembuktian lain apapun.]

Apa yang dicoba dikemukakan oleh Hobbes adalah bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui pemahaman mengenai psikologi umum tentang egoisme dan hakekat yang bersifat acak dari tujuan yang ingin dicapai diri kita sebagai manusia. Pencapaian pemahaman yang dikemukakan Hobbes seperti itu berasal dari pergulatan pemikiran Hobbes yang pada dasarnya sangat dipengaruhi, pertama, oleh metode tentang kepastian dalam geometri dari Euclid, dan kedua oleh hipotesa dari ilmu alam mengenai ‘gerak’ (motion) yang dikembangkan oleh Galileo dalam kaidahnya tentang kelembaman (inertia).

Metode tentang kepastian dalam geometri Euclid membekali Hobbes dengan satu metode yang memungkinkan seseorang untuk membuktikan kebenaran berbagai hal yang tadinya sangat komplek, dan pada awalnya merupakan satu proposisi yang tidak mungkin, berdasarkan pada beberapa proposisi yang pada dasarnya sangat sederhana kendati memiliki kebenaran yang tak terbantahkan bagi setiap orang.

21 Thomas Hobbes, Ibid, hal 83

32 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Sedangkan Galileo mengajarkan Hobbes bahwa segala sesuatu, termasuk sensasi manusia, disebabkan oleh gerak, atau lebih tepatnya, perbedaan dalam gerak. Sebelum Galileo mengemukakan itu, diam dianggap merupakan keadaan alami dari segala hal di alam semesta. Galileo menjungkirbalikkan konsepsi ini dan merumuskan prinsip inertia-nya yang terkenal, yakni bahwa gerak merupakan keadaan alami dari segala hal. Segala sesuatu senantiasa bergerak kecuali ada sesuatu lain yang menghentikannya.22 Tanpa ada gaya tarik bumi maka segala benda yang ada di sana akan terhambur lepas dari pusat tarikannya dan melayang bebas di angkasa.

Prinsip bahwa segala sesuatu senantiasa dalam gerak, menurut Hobbes, merupakan semacam doktrin yang tidak membutuhkan pembuktian (demonstration) lain apapun, seperti dikemukakannya dalam kutipan di atas, karena hal itu merupakan satu kebenarannya yang tak terbantahkan buat siapapun. Kaidah Galileo itulah yang diambil-alih oleh Hobbes dan diaplikasikannya lebih lanjut untuk bisa memahami dan menjelaskan dunia, manusia dan masyarakat.

Dengan menerapkan prinsip itu, Hobbes mengembangkan satu sistem yang memungkinkannya menjelaskan gerak manusia satu sama lain, sekaligus mengemukakan satu kesimpulan mengenai bentuk pemerintahan yang memungkinkan manusia untuk mempertahankan dan memaksimalkan geraknya. Berkenaan dengan itu, Hobbes merancang satu filsafat sistematis yang sangat ilmiah yang dibaginya ke dalam tiga bagian besar, yakni: (1) tentang body—dalam pengertian sebagai wujud materiil, di mana ia membentangkan prinsip pertama yang dikembangkannya tentang gerak; (2) tentang manusia, yang diperlakukannya sebagai wujud materiil (body) dalam gerak,

22 Untuk rincian lebih mendalam mengenai pengaruh metode geometri Euclid dan Fisika Galileo dalam pemikiran Thomas Hobbes, lihat Kata Pengantar (Introduction) yang diberikan oleh C.B. Macpherson untuk karyaThomas Hobbes, ibid, hlm. 17-20.

Tony Rudyansjah 33

sehingga berbagai sensasi manusia, hasrat dan perilaku manusia dianggap berasal baik dari berbagai gerak yang sifatnya internal dalam diri manusia maupun pengaruh dari berbagai gerak dari luar diri manusia terhadap gerak yang ada dalam diri manusia; dan (3) tentang warga masyarakat, di mana Hobbes menguraikan bagaimana berbagai gerak tersebut akan mengarah ke arah-arah tertentu dan bagaimana pengetahuan mengenai itu semua bisa digunakan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik (baca: kehidupan warga masyarakat yang damai).

Menurut Hobbes, satu-satunya pijakan yang tak terbantahkan adalah pengetahuan kita tentang diri sendiri. Berbagai gerak dalam pikiran menjadi pencitraan ingatan tentang sesuatu, baik buruk maupun baik, yang secara berurutan seringkali disepadankan oleh Hobbes dengan istilah penderitaan (pain) dan kenikmatan (pleasure). Berdasarkan pemahaman itu, ia mengembangkan sebuah gambaran tentang manusia sebagai satu makhluk yang senantiasa mengejar kesenangan, yang diistilahkannya sebagai felicity, melalui kekuasaan yang ada ditangannya. Kerumitannya adalah bahwa makhluk manusia tidak selalu bisa mengejar kenikmatan itu di dalam kenyataannya, karena seorang makhluk manusia selalu berhadapan dengan makhluk manusia lain yang juga mengejar tujuan serupa, sehingga yang terjadi adalah perbenturan di antara mereka dan menjadikan mereka berubah sebagai musuh satu sama lainnya. Di dalam kenyataan hidupnya, manusia seringkali berhadapan dengan keharusan menggunakan makhluk manusia lainnya sebagai alat untuk mencapai felicity yang dikejarnya. Oleh karena mereka relatif berukuran sama dan memiliki kekuatan yang lebih kurang setara, maka mereka satu sama lain berupaya menundukkan yang lainnya. Makhluk manusia memang memiliki rasio, namun rasio itu menjadi pelayan, dan bukan tuan, dari gairah nafsunya. Situasi inilah yang disebut oleh Hobbes sebagai kondisi manusia yang senantiasa dicirikan oleh perang antara yang satu dengan yang lainnya. Satu

34 alam, Kebudayaan & yang IlahI

kondisi di mana dalam keadaan alaminya manusia, menurut Hobbes, adalah makhluk yang kasar, egois, penyendiri (solitaire) dan menjijikkan. Hobbes berpendapat kondisi serupa itu bukan karena terlemparnya umat manusia keluar dari surga atau the fall of race, melainkan satu kondisi alami dari manusia yang tidak mungkin dapat disembuhkan melulu dengan doa.

Berpijak pada posisi teoritis seperti itu, maka Hobbes dapat mengajukan kerumitan kehidupan manusia itu secara gamblang. Menurutnya, terdapat satu konflik yang radikal antara hakekat dari manusia dan kondisi alami dari manusia itu sendiri. Dan oleh karena itu, bukanlah karena dosa asal atau kebejatan moral manusia yang menyebabkan kerumitan kemanusian itu, keadaan alami manusia sendiri sudah merupakan pencipta dari kehancuran dirinya. Masalah utama bagi Hobbes, dengan demikian, adalah bagaimana menciptakan satu keteraturan dalam masyarakat, apabila masyarakat itu sendiri terdiri dari berbagai individu yang masing-masing menggunakan pihak lainnya sebagai alat untuk mengejar tujuan pribadinya.

Jawaban terhadap masalah itu adalah keteraturan, yang menurut Hobbes, yang terjadi sebagai akibat dari kesepakatan yang dicapai setiap orang untuk bersedia menahan tindakannya masing-masing terhadap satu sama lain, sehingga gangguan terhadap yang lain dapat dihentikan. Anehnya dalam pikiran Hobbes itu, tidak terdapat satupun usulan bahwa manusia pada dasarnya mungkin untuk melakukan kerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam logika Hobbes, manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang solitaire (menyendiri), dan oleh karenanya, masyarakat adalah sesuatu yang bersifat artificial yang berdasarkan semata-mata atas satu kontrak yang berasal dari rasa ketakutan makhluk manusia satu sama lain, sehingga mereka bersedia meyerahkan kekuasaan yang ada di tangan mereka masing-masing kepada seorang penguasa tunggal. Hobbes terdorong baik oleh logika dari argumentasinya maupun

Tony Rudyansjah 35

kecenderungan politiknya kepada satu solusi yang bersifat mutlak di mana monarki dianggap merupakan satu representasi valid bagi setiap warga dalam satu masyarakat sipil sekaligus sumber dari berbagai pertimbangan moral, hukuman maupun doktrin dari pemerintahan.

Solusi itu tentu saja tidak hanya memiliki banyak implikasi terhadap teori tentang masyarakat, yang dianggap terbentuk dari individu-individu yang pada hakekatnya setara satu sama lainnya, dan yang hidup dalam ruang yang sama, namun tidak memiliki satupun tujuan dan nilai sosial bersama yang mungkin untuk dianut insan manusia. Masalah inilah yang kemudian menjadi perhatian John Locke yang berupaya menjawabnya dengan cara merumuskan pengertian tentang bahasa dan sekaligus satu ideologi tentang nilai kepemilikan (property value) yang berdasarkan pada satu prinsip material yang sama seperti yang diajukan oleh Thomas Hobbes.

Locke hidup semasa dengan Hobbes, meskipun berusia jauh lebih muda. Ia lahir pada tahun 1632 saat Hobbes telah mencapai umur 44 tahun dan belum banyak dikenal orang. Pada saat menjadi sarjana di Oxford, Locke menulis sebuah artikel, yang meskipun jelas mendapat pengaruh dari Hobbes, ia menyatakan secara jelas di sana bahwa ia bukan seorang Hobbesian (pengikut Hobbes). Locke tidak menganut pandangan Hobbes yang suram tentang kehidupan manusia manakala hakekat manusia dibiarkan berkembang secara leluasa tanpa satupun penguasa absolut yang membatasi kecenderungan alaminya.

Berangkat dari satu prinsip mengenai manusia yang kurang lebih sama seperti Hobbes, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan senantiasa melakukan sebuah kalkulasi untuk mencapai tujuan pribadinya, Locke mengemukakan pendapat bahwa apabila kita menyingkirkan berbagai kondisi khusus dari lingkungan manusia dan sejarahnya, maka yang kita temukan dibalik rupa manusia adalah seorang insan alami yang tidak

36 alam, Kebudayaan & yang IlahI

sepenuhnya buruk seperti gambarannya Hobbes. Mahkluk manusia jauh lebih cerdik daripada apa yang dibayangkan oleh Hobbes. Ia tidak pergi ke sana ke mari untuk bertengkar dan berkelahi dengan yang lainnya, hanya untuk mengejar tujuan pribadinya, karena manusia adalah insan yang cukup cerdik dan cukup rasional untuk memahami bahwa ia dapat mengejar kepentingan pribadinya dengan tetap pada saat yang bersamaan menghargai kepentingan orang lain.

Tentu saja Hobbes juga tidak menyangkal bahwa rasionalitas merupakan satu hal yang utama dalam kehidupan manusia. Bahkan Hobbes berpendapat bahwa manusia tidak hanya rasional dalam mengejar tujuan pribadinya, mereka juga mengambil satu keputusan yang rasional untuk menyerahkan kekuasaan yang dimiliki masing-masing kepada seorang penguasa yang bisa menjamin kedamaian mereka semua. Dalam membahas perkara ini, Hobbes dapat dikatakan bahkan jauh lebih cermat dan lebih teliti daripada Locke.

Sebaliknya dalam menjelaskan persoalan itu, Locke hanya mengandalkan kepada satu pendapat bahwa terdapat pada dasarnya satu identitas alami dari berbagai kepentingan manusia dalam masyarakat yang memungkinkan mereka untuk merancang satu cara hidup bersama yang damai. Untuk membuktikan itu, Locke mengutip satu tulisan mengenai orang Indian Amerika yang memperlihatkan bahwa manusia “primitif ” pada dasarnya adalah makhluk yang cinta damai meskipun mereka adalah makhluk yang pada hakekatnya penyendiri (solitaire). Dalam buku The Structure of Social Action, Talcott Parsons memaparkan sebuah diskusi yang sangat menarik mengenai isu tentang pengaruh Hobbes dan Locke terhadap doktrin utilitarian dalam ilmu-ilmu sosial.23 Di sana Parsons mengemukakan bahwa Hobbes meskipun

23 Doktrin Utilitarian adalah dokrin yang cukup dominan meresapi pikiran ilmu-ilmu sosial di awal perkembangannya dan beranggapan bahwa tujuan dari segala tindakan moral, sosial maupun politik adalah

Tony Rudyansjah 37

merupakan seorang pemikir yang jauh lebih cermat dan teliti, namun Locke lebih berpengaruh di dalam pembentukan doktrin utilitarian.24

Tentu saja terdapat berbagai elemen pemikiran yang menarik di dalam pandangan Locke mengenai hakekat makhluk manusia. Locke adalah salah seorang pakar teori tentang Revolusi 1688 di Inggris25, dan ia secara tegas menyatakan bahwa tujuan dari penulisannya adalah untuk memantapkan sebuah prioritas moral dari otoritas penguasa yang dikondisikan dan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban terhadap individu-individu makhluk manusia serta kemaslahatan umum (the Good of the publick).

“the difference betwixt a King and a Tyrant (consists) only in this, That one makes the Laws the Bounds of his Power, and the Good of the Publick, the end of his Government; the other makes all give way to his own Will and Appetite.”26

[Perbedaan antara seorang Raja dan seorang Tirani terdapat hanya dalam hal ini, yaitu yang pertama membuat hukum sebagai batas dari kekuasaannya, dan Kemaslahatan Umum, termasuk batas dari tujuan Pemerintahannya; sedangkan yang kedua atau tirani membuat segalanya untuk melancarkan semua kepentingan pribadi dan hawa nafsunya.]

Serupa dengan Hobbes, Locke juga banyak terlibat dengan banyak persoalan politik di negaranya. Relevansi dari keterlibatannya ini tercermin di dalam watak dari logikanya yang

keseimbangan terbesar yang paling mungkin antara kesenangan/kenikmatan di atas penderitaan; atau, dengan kata lain, dalam rangka kebahagian terbesar dari sebagian besar umat manusia. Dokrin ini dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John John Stuart Mill di bawah pengaruh dari John Locke.

24 Talcott Parson, The Structure of Social Action, Vol 1, 1968, hlm. 9725 Revolusi 1688 di Inggris adalah revolusi yang terjadi di Inggris

pada tahun 1688, yang diprakarsai oleh Persatuan antara anggota Parliamentarian dengan tentara yang dipimpin oleh Penguasa Belanda Willian III dari Orange-Nassau. Revolusi ini berhasil menjatuhkan Raja James II dari Inggris tanpa adanya pertumpahan darah.

26 John Locke, Two Treatises of Government, 1988, hlm. 418

38 alam, Kebudayaan & yang IlahI

lugas dalam berargu mentasi dengan menggunakan akal sehat yang secara politis bisa sangat bermanfaat meskipun acapkali tak begitu konsisten. Hal itu terlihat dalam argumentasi yang dihasilkannya, yang seringkali realistik dan sangat bermanfaat secara politis, namun kelihatan tidak begitu logis manakala ditinjau dari sisi konstruksi teoritisnya. Dan itu tercermin tidak hanya dalam interpretasinya mengenai pemerintahan, namun juga dalam argumentasinya tentang manusia, kerja (labour) dan hak milik (property). Yang lebih relevan untuk dibahas saat ini adalah teori Locke mengenai ide dan bahasa sebagaimana hal-hal itu dikemukakannya di dalam An Essay concerning Human Understanding.

Teorinya tentang ide dan bahasa itu telah menjadi satu topik dari banyak perdebatan filsafat yang menyoalkan apakah Locke percaya bahwa kita mungkin atau, sebaliknya, tidak mungkin untuk mengetahui obyek-obyek materiil sebagaimana apa adanya, karena ia secara tegas menyatakan bahwa apa yang dapat kita ketahui adalah apa yang dapat kita amati, dan pengetahuan kita tentang obyek materiil yang dapat kita amati itupun selalu melalui perantaraan ide atau gagasan. Jadi tidak ada hubungan yang sifatnya langsung (immediate) antara obyek materiil dengan pengetahuan yang kita miliki tentangnya. Biarkanlah kepastian soal topik ini menjadi tugas para ilmuwan yang lebih kompeten untuk menjawabnya. Satu pokok persoalan yang lebih relevan untuk pokok bahasan kita adalah persoalan bahwa Locke sangat menentang doktrin ide-ide bawaan (innate ideas), yaitu pendapat bahwa semua makhluk manusia dilahirkan dengan ide-ide bawaan—berbagai gagasan yang ditanamkan dalam pikiran kita oleh Tuhan atau hanya dapat kita peroleh dengan melakukan komunikasi denganNya. Bahkan ide mengenai Tuhan sendiri, buat Locke, bukan merupakan sesuatu yang bersifat bawaan (innate), melainkan lebih sebagai sesuatu yang akan ditemukan atau diperoleh oleh sebuah pikiran rasional yang secara serius melakukan refleksi terhadap berbagai kreasi-kreasiNya yang ada

Tony Rudyansjah 39

di alam semesta. Menurutnya, mengapa Tuhan menyia-nyiakan upayaNya melengkapi diri manusia dengan pengetahuan yang bersifat bawaan (innate knowledge) manakala manusia dapat memperoleh pengetahuan serupa melalui kemampuan yang sang Pencipta itu sendiri telah anugrahkan kepada manusia sebagai hakekat utama dari diri mereka.

Bagi Locke, pengetahuan dan kebenaran terbuka bagi setiap orang yang diperoleh melalui pengamalan bersama atas refleksi, sensasi, nalar pikiran dan pengolahan pancaindera yang dapat dilakukan oleh setiap insan manusia. Doktrin bawaan ini bersifat esoterik, oleh karenanya berpeluang mengandung kecenderungan eksploitasi represif dari orang-orang yang berada dalam posisi memiliki autoritas berdasarkan satu klaim bahwa mereka adalah penjaga terarkhir dari kebenaran tersembunyi itu—satu poin yang seringkali ditegaskan oleh Locke dalam pembukaan dari bukunya Essay concerning Human Understanding. Hume, dalam nada suara yang lebih ekstrim, pernah secara keras menegaskan bahwa nalar manusia (human reason) pada dasarnya sama dengan yang dimiliki makhluk hidup lainnya (seperti binatang), yakni lebih berdasarkan pada insting daripada suatu pemahaman yang bersifat kuasi ilahi (quasi-divine insight) terhadap benda-banda yang ada di dunia sekeliling manusia. Oleh karena itu, menurut Hume, ilmu pengetahuan harus lebih bekerja berdasarkan landasan eksperimen dan sistimasi pengamatan daripada spekulasi apriori ataupun metaphysical theorizing.27

Penolakan terhadap ide bawaan ini secara langsung melibatkan Locke dalam satu kontroversi yang panas dengan para teolog yang berpendapat bahwa argumentasi Locke merupakan bidah (ancaman) bagi keyakinan agama dan keutuhan disiplin gereja. Locke menegaskan bahwa klaim kebenaran melalui wahyu

27 Untuk pendapat Hume itu, lihat pengantar dari Peter Millican dalam buku David Hume An Essay concerning Human Understanding, 2007, hlm. ix.

40 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang bersifat pribadi (personal) merupakan sesuatu yang kosong dan secara sosial bersifat merusak. Merupakan sesuatu pendapat yang lazim pada abad ke-17 untuk mengemukakan bahwa para malaikat, dan bahkan, nabi Adam sebelum dikeluarkan dari surga, adalah makhluk dengan pengetahuan yang sempurna karena hal itu bersifat bawaan. Dalam pendapat itu, model dari kebenaran hanya terdapat di masa lampau—di masa awal dunia—dan kemajuan pengetahuan, dengan demikian, hanya dimungkinkan dengan mengembalikan makna/tujuan moral dan spiritual di balik keluarnya manusia dari surga dan terlemparnya mereka ke bumi. Kebenaran, dengan kata lain, menjadi satu isu yang religius sifatnya. Locke menolak keterkaitan antara masa awal sebelum kejatuhan manusia dari surga (prelapsarian beginning) dengan masa kini. Sebagai ganti dari isu ‘kembali ke situasi stasis yang hampa waktu (timeless stasis), Locke menawarkan proses dan kemajuan sebagai alternatif yang ia anggap lebih masuk akal. Ia secara tegas menyatakan bahwa pengalaman merupakan sumber dari semua pengetahuan. Semua ide, menurutnya, datang dari sensasi manusia.

“Let us then suppose the Mind to be, as we say, White Paper, void of all Characters, whithout any Ideas; How comes it to be furnished? Whence comes it by that vast store, which the busy and boundless Fancy of Man has painted on it, with an almost endless variety? Whence has it all the material of Reason and Knowledge? To this I answer, in one word, From Experience: In that, all our knowledge is founded; and from that it ultimately derives it self. Our Observation employ’d either about external, sensible Objects; or about the internal Operation of Our Minds, perceived and reflected on by our selves, is that, which supplies our Understandings with all the materials of thinking. These two are the Fountains of Knowledge, from whence all the Ideas we have, or can naturally have, do spring.”28

[Marilah kita anggap bahwa Pikiran, sebagaimana kita bisa katakan, sebagai secarik kertas putih bersih, tanpa tulisan

28 John Locke, An Essay concerning Human Understanding, 1985, hlm. 104.

Tony Rudyansjah 41

apapun, tanpa gagasan apapun. Bagaimana pikiran itu dapat terisi dan dilengkapi? Darimana datangnya tempat penyimpanan yang begitu besar dengan berbagai variasi yang tak terhingga, yang fantasi tak terbatas manusia telah goreskan atasnya? Darimana datangnya semua material dari Akal dan Pengetahuan itu? Atas pertanyaan ini, saya jawab, dengan satu kata, Dari Pengalaman. Dari Pengalaman, semua pengetahuan itu mendapatkan dasarnya, dan dari Pengalamanlah pengetahuan berasal. Pengamatan kita yang ditujukan baik mengenai berbagai obyek eksternal yang dapat diamati pancaindera, maupun mengenai cara kerja pikiran yang internal sifatnya, dirasakan dan direfleksikan oleh diri kita sendiri, itu semualah yang menyediakan pemahaman kita dengan berbagai materi dari pemikiran. Kedua hal itu merupakan sumber dari pengetahuan, darimana datangnya semua gagasan yang kita miliki, dan, tentu saja, yang bisa kita miliki berasal.]

Lebih lanjut Locke mengemukakan bahwa ide/gagasan adalah apa-apa yang pikiran dapat bayangkan atau nalarkan dalam dirinya sendiri, atau sebagai sesuatu obyek yang secara langsung ada dalam persepsi, pikiran dan pemahaman makhluk manusia. Sebuah bola salju, sebagai contoh, dapat menghasilkan dalam diri Anda semua satu gagasan tentang putih, dingin atau bundar; dan kesemua itu, sebagaimana mereka adalah sensasi, persepsi di dalam pemahaman diri Anda, adalah ide.29

Dari konsepsi serupa itu Locke kemudian mengembangkan satu klasifikasi yang sangat rinci mengenai hakekat dari ide dan cara bekerjanya pikiran manusia, yang dikembangkannya di bagian buku II (mengenai kata-kata dan bahasa) di dalam An Essay concerning Human Understanding, yang tentu saja sangat menarik banyak perhatian para ahli linguistik. Pokok kajian yang lebih relevan untuk pembahasan di sini adalah bagaimana Locke mengkaitkan bahasa dengan gagasan dan pengalaman individual manusia. Meskipun Locke bukan seorang yang religius, ia tetap

29 John Locke, op.cit, hlm. 134.

42 alam, Kebudayaan & yang IlahI

memberi penghormatan yang tinggi terhadap agama, dan ini terlihat dalam argumentasinya tentang bahasa sebagai satu pertalian sosial.

“GOD having designed Man for a sociable Creature, made him not only with inclination, and under a necessity to have fellowship wih those of his own kind; but furnished him also with Language, which was to be the great Instrument, and Common Tye of Society.”30

[TUHAN telah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, menjadikan manusia tidak hanya dengan satu kecenderungan dan, bahkan, di bawah satu keharusan, untuk menjalin persahabatan dengan sesama jenisnya, melainkan dilengkapi juga dengan satu Bahasa, yang merupakan satu instrument utama sekaligus satu pertalian bersama yang penting dari satu Masyarakat.]

Bunyi di dalam dirinya sendiri memang merupakan sesuatu yang bersifat acak, namun bunyi yang diciptakan manusia merupakan satu tanda (sign) dari satu konsepsi dari dalam diri manusia, sehingga dengan itu seorang makhluk manusia mungkin untuk menyampaikan pemikiran yang ada dalam pikirannya kepada orang lain. Namun apabila setiap kata yang diucapkan manusia hanya ada untuk hal-hal khusus yang ada pada satu manusia itu saja, maka komunikasi pada dasarnya tidak mungkin bisa terjadi. Oleh karena itu, manusia harus mengembangkan sejumlah istilah umum (general terms), di dalam mana setiap kata yang dirancang bisa digunakan untuk menandai sejumlah besar eksistensi khusus manusia. Dan meskipun istilah umum telah ada, masih banyak berbagai hal lain yang harus dipersiapkan manusia untuk bisa mempertahankan basis pengalaman dari kata-kata yang diciptakannya. Lebih banyak lagi yang harus dipersiapkan untuk kata-kata yang memiliki pemaknaan yang bersifat musykil atau sulit dipahami, seperti roh atau spirit.

30 John Locke, op.cit, hlm. 402.

Tony Rudyansjah 43

Situasi akan semakin rumit apabila diingat bahwa meskipun pemaknaan yang musykil seperti spirit merupakan pemaknaan primer, dalam arti sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh riil bagi orang yang mengalaminya, tetap saja cara kerja internal dari pikiran manusia harus dikomunikasikan dengan sejumlah kata-kata, yang bermuasal pada derivasi asal dari pengalaman inderawi masing-masing individu yang sedang menggunakannya.

Kata-kata, dengan lain perkataan, tidak pernah memiliki satu pertalian yang bersifat intrinsik dengan gagasan yang diacunya. Apabila terdapat pertalian intrinsik semacam itu, maka yang ada hanyalah satu bahasa untuk seluruh umat manusia. Meskipun pertalian antara kata dengan gagasan bersifat acak, tetap saja terdapat satu pertalian yang bersifat langsung (immediate) antara sebuah kata yang digunakan seseorang dengan gagasan yang ada dalam pikiran orang yang sedang menggunakan kata itu, sehingga Locke berusaha untuk tetap mempertahankan bahwa individu harus tetap dilihat sebagai titik pijakan utamanya. Ia menegaskan bahwa kata-kata merupakan tanda-tanda inderawi bagi sejumlah gagasan dari individu yang menggunakannya. Kata-kata tidak mewakili apa-apa selain sejumlah gagasan dalam pikiran orang yang mengucapkan kata-kata itu. Bagi Locke, tidak terdapat pemaknaan sosial yang bersifat abstrak dari kata-kata. Kata ‘hantu” hanya mengacu kepada apa yang ada dalam pikiran dari orang yang mengunakannya. Apabila Anda mendengar orang lain mengujarkan kata itu, maka apa yang dikomunikasikan oleh kata itu adalah apa yang Anda ketahui mengenai “hantu” dari pengalaman diri Anda sendiri.

Locke mengembangkan satu diskusi yang sangat menarik berkenaan dengan perbedaan antara kata-kata yang kita gunakan untuk mencatat pikiran kita sendiri dengan kata-kata yang dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Untuk kasus yang pertama, saat kita berbicara dengan diri sendiri, maka kata-kata apapun dapat digunakan. Oleh karena bunyi bersifat

44 alam, Kebudayaan & yang IlahI

acak sepanjang yang dipersoalkan adalah tentang maknanya, maka kita semua dapat mengujarkan bunyi apapun kepada diri kita sendiri. Namun pada saat berkomunikasi dengan orang lain, kata-kata menjadi tidak effektif apabila kata-kata itu tidak menimbulkan gagasan yang sama seperti yang dimaksudkan oleh si pembicaranya di dalam pikiran si pendengarnya.

Lebih lanjut, Locke membentangkan berbagai sumber dari berbagai kesulitan komunikasi antar manusia. Meskipun apa yang disebutnya sebagai propriety, yakni penggunaan bersama dari bahasa, dapat memiliki manfaat untuk tujuan percakapan bersama (common conversation), hal itu tetap memiliki kekurangan untuk wacana filsafat dan ilmu pengetahuan yang membutuhkan ketepatan makna yang sangat tinggi dari apa-apa yang ingin disampaikan. Masalah utamanya adalah bahwa tidak terdapat satu standar yang ada di alam di dalam mana ide dapat mengacu. Meskipun sejumlah kata manakala digunakan bagi diri sendiri mungkin untuk tidak menimbulkan kesalahan (error) sejauh penggunaan individual kata-kata itu dimaksudkan semata-mata untuk mencatat pikiran individu yang bersangkutan, penggunaan bahasa untuk komunikasi dengan orang lain memiliki kecenderungan kuat untuk keliru karena kata-kata hanya memiliki pertalian yang sifatnya konvensional dengan gagasan kita sendiri, di samping tidak adanya hubungan langsung antara kata-kata itu dengan hal-hal yang diacunya.

The Chief End of Language in Communication being to be understood, Words serve not well for that end, neither in civil, nor philosophical Discourse, when any Word does not excite the Hearer, the same Idea which it stand for in the Mind of the Speaker. Now since Sounds have no natural connexion with our Ideas, but have all their signification from the arbitrary imposition of Men, the doubtfulness and uncertainty of their signification, which is the Imperfection we here are speaking of, has its cause more in the Ideas they stand for, than in any incapacity there is in one Sound, more than in another, to signify any Idea:...Words having

Tony Rudyansjah 45

naturally no signification, the Idea which each stands for, must be leaned, and retained by those, who would exchange Thoughts, and hold intelligible Discourse with others.”31

[Tujuan utama dari bahasa dalam komunikasi adalah agar dapat dipahami, dan Kata-kata tidak begitu baik untuk tujuan itu, tidak hanya bagi diskursus publik namun juga bagi diskursus filsafat, manakala sebuah kata tidak dapat membangkitkan di telinga Pendengarnya sebuah gagasan yang sama seperti yang dimaksudkan di dalam pikiran si Pembicaranya. Oleh karena bunyi tidak memiliki hubungan alami dengan gagasan-gagasan, melainkan karena semua pemaknaan dari bunyi itu berasal dari imposisi (ketentuan) acak yang datang dari manusia, maka ketidaksempurnaan dari apa yang sedang kita bicarakan ini, lebih bermuasal pada Ide yang bunyi dapat wakilkan, ketimbang pada ketidakmampuan satu kata, manakala dibandingkan dengan kata-kata lainnya, untuk mewakili satu gagasan tertentu. Kata-kata yang secara alami tidak mengandung pemaknaan apapun, dan oleh karena itu, pemaknaan yang kata-kata itu representasikan harus dipelajari sekaligus dipertahankan bagi siapa-siapa yang mau menukarkan berbagai pikirannya ataupun melakukan satu percakapan yang dapat dipahami dengan pihak lain.]

Justru karena tidak terdapat satu hubungan alami antara satu kata dengan gagasan yang diwakilinya, dan juga karena secara a fortiori tidak terdapat hubungan langsung antara kata yang bersangkutan dengan benda (hal) yang diacunya, maka kita tidak dapat secara mudah mengandaikan bahwa pihak yang lain akan memberi pemaknaan yang sama terhadap kata-kata yang sedang kita gunakan. Dan karena kata-kata kita tidak memiliki pertalian alami dengan benda-benda yang sedang dibicarakan, melainkan menampikan pemaknaannya hanya melalui perantaraan ide-ide dari kata-kata yang menjadi wakil dari benda-benda yang bersangkutan—di mana kata-kata itu sendiri merupakan sesuatu yang ditentukan secara sukarela oleh manusia, dan sedangkan ide-ide itu sendiri berada tersembunyi di balik pikiran individu masing-

31 John Locke, op.cit, hlm. 476-477.

46 alam, Kebudayaan & yang IlahI

masing, maka meskipun bahasa dapat dianggap merupakan satu-satunya alat untuk mengkomunikasikan gagasan/ide, kita tidak dapat dengan serta merta menanggapinya sebagai satu medium yang bersifat transparan: ia tidak dapat memberikan kita satu akses langsung terhadap ide dari orang lain.

Meskipun begitu, satu hal perlu diingat bahwa bahasa juga memiliki satu pengertian lain, yaitu sebagai satu imposisi/ketentuan yang bersifat sukarela atas realitas. Dengan kata lain, dalam rangka dapat berkomunikasi dengan orang lain, kita harus setuju menggunakan satu skema klasifikasi yang sama; namun sayangnya alam tidak pernah mendikte kita tentang skema klasifikasi apa yang harus digunakan, dan oleh karenanya, kita dengan berbagai upaya yang dilakukan harus dapat menjamin terwujudnya satu kesepakatan bersama mengenai satu skema klasifikasi yang serupa.

Subyek bahasan seperti itu tentu saja sangat relevan bagi para ahli antropologi yang biasanya tertarik untuk mempelajari dan memahami skema klasifikasi dari komunikasi antar manusia dalam satu masyarakat. Sayangnya Locke tidak banyak mendiskusikan bagaimana hal ini dapat dilakukan. Pelajaran utama dari bahasan yang dilakukannya adalah bahwa bahasa adalah sesuatu yang diimposisikan secara sukarela, oleh karena itu kita harus secara cermat dan teliti mengontrol dan menggunakannya. Tersurat dalam kajiannya bahwa pemecahan atas masalah propriety atau penggunaan bersama dari bahasa adalah dengan cara penggunaan bahasa yang bermuara kepada gagasan dari pemaknaan bersama, atau bahkan menuju kepada pemaknaan kultural bersama (shared cultural meaning)

“For Words, especially of Languages already framed, being no Man’s possession, but the common measure of Commerce and Communication, ‘tis not for any one, at pleasure, to change the Stamp they are current in; nor alter

Tony Rudyansjah 47

the Ideas they are affixed to…”32

[Oleh karena kata-kata, dan terutama Bahasa-Bahasa merupakan sesuatu yang sudah terbingkaikan, maka kesemua hal itu tidak berada di bawah satu kepemilikan seseorang individu saja, melainkan menjadi alat ukur bersama dari perdagangan dan komunikasi, maka hal tersebut tidak terserah kepada satu orangpun untuk dapat secara sesukanya merubahnya maupun mengganti Ide-ide yang melekat dengannya…]

Dengan pendapat serupa itu maka Locke berusaha meyakinkan kita semua bahwa tidak cukup bagi insan manusia hanya menentukan secara hati-hati kata-kata yang menjadi tanda dari gagasan yang mau disampaikan, kita semua juga harus mengaplikasikan setiap kata-kata yang kita sedang gunakan sedekat mungkin dengan berbagai gagasan yang mau ditampilkannya dalam kerangka sebagai satu penggunaan bersama bagi perluasan diri kita semua di dalam berhadapan dengan berbagai realitas yang ada di dunia. Pendapat Locke, bahwa sangat bermanfaat untuk melakukan satu kompilasi raksasa dari berbagai definisi mengenai berbagai nama-nama dari substansi yang ada di alam semesta, yang diakuinya memang merupakan satu proyek yang tidak mungkin dilakukannya oleh satu orang individu saja, sangat menginspirasi para pembuat kamus dan para French Encyclopedia, seperti d’Alembert, Diderot dan Voltaire.

Setelah satu uraian yang panjang tentang berbagai tingkat dari kepastian pengetahuan, yang berdasarkan pada pengetahuan yang bersifat langsung, inferensi, probabilitas, kesepakatan bersama, dan lain sebagainya, Locke akhirnya sampai pada satu diskusi tentang analogi, yang sekaligus dipilihnya untuk memberikan semacam contoh pada apa yang telah kita sebut sebagai the Great Chain of Being.

“Thus finding in all parts of the Creation, that fall under Humane Observation, that there is a gradual connexion

32 John Locke, op.cit, hlm. 514

48 alam, Kebudayaan & yang IlahI

of one with another, without any great or discernable gaps between, in all that great variety of Things we see in the World, which are so closely linked together, that, in the several ranks of Beings, it is not easy to discover the bounds betwixt them, we have reason to be perswaded, that by such gentle steps Things ascend upwards in degrees of Perfection. “tis an hard Matter to say where Sensible and Rational begin, and where Insensible and Irrational end: and who is there quick-sighted enough to determine precisely, which is the lowest Species of living Things, and which the first of those which have no life? Things, as far as we can observe, lessen, and augment, as the quantity does in a regular Cone, where though there be a manifest odds betwixt the bigness of the Diameter at remote distance: yet the difference between the upper and under, where they touch one another, is hardly discernable. The difference is exceeding great between some Men, and some Animals: But if we will compare the Understanding and Abilities of some Men, and some Brutes, we shall find so little difference, that ‘twill be hard to say, that that of the Man is either clearer or larger. Observing, I say, such gradual and gentle descents downwards in those parts of the Creation, that are beneath Man, the rule of Analogy may make it probable, that it is so also in Things above us, and our Observation; and that there are several ranks of intelligent Beings, excelling us in several degrees of Perfection, ascending upward towards the infinite Perfection of the Creator, by gentle steps and difference, that are every one at no great distance from the next to it.”33

[Jadi menemukan di dalam semua bagian dari penciptaan, yang dapat diamati manusia, terdapat satu koneksi yang bertingkat-tingkat antara yang satu dengan yang lainnya tanpa adanya jarak yang besar atau dapat dilihat di antara keanekaragaman yang begitu besar dari benda-benda di dunia, yang begitu dekat bertalian satu sama lain, dan bahwa di antara beberapa tingkatan dari makhluk hidup, tidak dapat ditemukan adanya batas pembeda di antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dengan adanya pentahapan yang begitu halus kita tergoda untuk berpikir bahwa benda-benda itu juga naik ke atas di dalam

33 John Locke, op.cit, hlm. 666.

Tony Rudyansjah 49

tahap-tahap kesempurnaannya. Merupakan perkara sulit mengatakan di mana makhluk dengan akal sehat dan rasional di mulai dan di mana makhluk irasional dan tidak dengan akal sehat berakhir: dan siapa dengan pengamatan cukup cepat dan tangkas menentukan secara tepat apa yang merupakan jenis terendah dari makhluk hidup dan apa yang pertama-tama di antara berbagai hal yang ada yang tidak memiliki kehidupan. Sejauh dapat kita amati, benda-benda bertumbuh dan berkurang layaknya sejumlah horen es krim biasa yang meskipun terdapat dari kejauhan keganjilan-keganjilan yang nyata di antara besaran-besaran garis tengahnya, namun perbedaan antara yang di atas dengan yang di bawah hampir tidak kelihatan mata manakala mereka saling bertumpang-tindih satu sama lain. Perbedaan menjadi semakin kentara antara sejumlah manusia dengan sejumlah binatang. Tetapi manakala kita bandingkan pemahaman dan kemampuan beberapa manusia dengan beberapa binatang, kita akan menemukan perbedaan yang begitu kecil, sehingga sulit untuk bisa mengatakan bahwa manusia adalah yang lebih halus dan lebih baik. Mengamati proses menurun ke bawah yang begitu halus dan begitu bertahap-tahap di dalam bagian-bagian dari penciptaan itu yang berada di bawah tingkatan manusia, maka dengan aturan analogi serupa dimungkinkan satu probabilitas bahwa gejala yang sama terdapat di antara benda-benda di atas kita, bahwa terdapat beberapa tingkatan makhluk intelejen, yang jauh mengungguli kita di beberapa tingkat kesempurnaan, menaik ke atas menuju kesempurnaan tak terhingga dari sang Pencipta, yang dengan tahapan yang begitu halus dan bertingkat-tngkat hampir tidak memperlihatkan adanya perbedaan di antara yang satu dengan yang lainnya.]

Berdasarkan analogi seperti itu Locke mencoba meyakinkan kita semua bahwa sangat mungkin terdapat makhluk hidup yang jauh lebih cerdas dan lebih sempurna daripada kita makhluk manusia, dan barangkali kita bisa dengan mudah terjebak membuat satu analogi lain bahwa makhluk yang lebih cerdas itu hidup dan berada sekarang ini di planet-planet lain yang ada selain planet Bumi di hamparan alam raya yang maha luas. Hipotesa

50 alam, Kebudayaan & yang IlahI

seperti itu dibangun berdasarkan pada prinsip probabilitas, dan Locke menyebutnya sebagai ‘a wary Reasoning from Analogy’ (satu penalaran berdasarkan analogi yang dilakukan secara cermat).

“This sort of Probability, which is the best conduct of rational Experiments, and the rise of Hypothesis, has also its Use and Influence; and a wary Reasoning from Analogy leads us often into the discovery of Truth, and useful Productions, which would otherwise lie concealed.”34

[Probabilitas semacam ini, yang merupakan satu prak-tek eksperimen rasional terbaik, dan hipotesa yang diha-silkannya, memiliki juga kegunaannya dan pengaruhnya; dan penalaran berdasarkan analogi yang dilakukan secara cermat sering membawa kita pada satu penemuan mengenai Kebenaran-Kebenaran beserta berbagai manfaat ikutannya, yang tanpanya barangkali akan tetap tersembunyi sela-manya.]

Lepas dari persoalan benar atau tidaknya pendapat yang ditarik Locke dari azas probabilitas yang dikembangkannya mengenai apa yang disebut Lovejoy sebagai the Great Chain of Being, serta kesimpulan yang bisa ditarik orang dari prinsip probabilitas Locke ini tentang adanya makhluk yang lebih cerdas daripada manusia yang hidup di planet lain di alam semesta, satu hal patut dicatat bahwa Locke secara tegas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus memiliki manfaat bagi kehidupan bersama manusia. Ia dapat dikatakan merupakan seorang tokoh dalam ilmu-ilmu sosial yang memiliki percampuran yang unik antara empirisisme and rasionalisme. Bahkan, ia dapat juga dikatakan memiliki pengaruh yang jauh lebih besar daripada Hobbes ataupun Descartes. Bagi Locke, alam semesta diatur oleh akal pikiran (reason), oleh karena itu, ketrampilan menerapkan pengetahuan dimaksudkan tidak hanya untuk mengejar tujuan-tujuan demi kepentingan diri pribadi secara sempit, seperti yang dikembangkan oleh Hobbes, melainkan yang lebih penting lagi ditujukan untuk menemukan prinsip dan

34 John Locke, op.cit, hlm. 666-667

Tony Rudyansjah 51

azas tentang hak alami dari orang lain. Locke beranggapan telah menemukan prinsip dan azas itu

di dalam rumusan yang disebutnya sebagai the natural identity of interest. Namun sebagaimana telah saya sebutkan, Parsons menegaskan the natural identity of interest itu tidak lebih dari sekedar seperangkat alat yang digunakan di dalam berbagai pemikiran utilitarian untuk menghilangkan problema Hobbes, yakni war of all against all dari makhluk homo homini lupus—perang semua terhadap semua dari makhluk manusia yang merupakan serigala bagi manusia lainnya. Bagi Parsons, Locke merupakan contoh yang baik dari seorang pemikir yang memiliki pengetahuan yang jauh lebih unggul daripada teori yang berhasil dikembangkannya. Meskipun Locke jauh lebih berpengaruh daripada Hobbes, Parsons beranggapan bahwa Hobbes jauh lebih cermat dan konsisten di dalam pemikiran yang dikembangkannya.

Hobbes, yang berbeda secara kontras dengan Locke dalam perkara ini, membentangkan secara konsisten tentang prinsip-prinsip beroperasinya pikiran manusia serta perilaku mereka dalam keadaan alaminya. Ia membentangkan semua prinsip-prinsip itu tanpa mengambil satu kesimpulan apapun. Bagi Hobbes, tidak terdapat satupun dalam kehidupan manusia yang bisa menyatukan mereka untuk hidup bersama, kecuali oleh sesuatu yang bersifat buatan (artificial) yang berasal dari luar diri mereka sendiri. Di dalam teorinya, Hobbes tidak memberikan satupun petunjuk akan adanya elemen sociability dari manusia. Locke juga menggunakan elemen-elemen teori yang serupa dengan Hobbes, namun perbedaannya adalah ia berupaya menyeludupkan berbagai bentuk sociability manusia di dalam narasi dari teori yang dikembangkannya.

Perkembangan besar selanjutnya dalam teori sosial di Inggris adalah dengan mengambil-alih bagian-bagian tertentu dari karya Hobbes dan Locke tanpa memecahkan berbagai kesulitan yang telah diwariskan dan disisakan oleh teori dari kedua tokoh besar ini.

52 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Persoalan ini akan dibicarakan secara mendalam di bab 2. Dalam kesempatan yang tersisa di sini, saya mencoba menyampaikan dua hal lain, yakni kemajuan dan evolusi, yang menurut saya sangat berkaitan juga dengan pokok persoalan utama yang sudah kita bahas sejauh ini. Perspektif yang lebih kemudian di dalam aliran evolusi misalnya, yang juga masih terilhami oleh Materialisme dan filsafat alam abad ke-17 dan 18, nampaknya mengangkat lagi sudut pandang serupa yang menganggap keburukan (evil) merupakan suatu keniscayaan dan sekaligus merupakan bagian yang tak terpisahkan dan intrinsik dari kehidupan manusia. Temuan terakhir dari ilmu eksperimental memperlihatkan bahwa dalam tingkat tertentu semua yang ada di alam semesta adalah harmonis dan teratur, oleh karena itu seharusnya tidak ada alasan untuk mengangap bahwa hakekat sosial dan spiritual manusia sangat berbeda dengan dunia fisik alam semesta. Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kemakmuran tidak dengan sendirinya menghilangkan berbagai keburukan (evil) yang ada di dunia. Apabila dunia seharusnya harmonis dan baik, bagaimana mungkin keburukan (evil) masih bisa tetap bertengger di dunia. Di sinilah isu tentang the Great Chain of Being menjadi kembali relevan, sebagaimana hal itu pernah diutarakan oleh Carl Becker

“…maybe the world was after all neither completed drama nor perfected machine, but rather something is still in the making, something that is still being created. The Great Chain of Being was not something stretching from God down the the lowest dregs of creation in here and now, with everything and everybody having an assigned place in hierarchy; but it was something laid down through time.”35

[..barangkali dunia bukanlah drama yang tuntas maupun mesin yang sempurna, melainkan lebih sebagai sesuatu yang masih dalam proses pembuatan, sesuatu yang masih mengalami proses penciptaan. Mata Rantai Raksasa dari Segala yang ada bukan sesuatu yang membentang dari

35 Carl Becker, The Heavenly City of the Eighteenth Century Philosophers, 1932, hlm. 102.

Tony Rudyansjah 53

Tuhan turun ke bawah sampai pada tangga terendah dari Pencintaan di dunia saat ini dan di sini, dengan berbagai hal dan berbagai orang mendapatkan tempat khusus masing-masing dalam hirarki itu, melainkan lebih sebagai sesuatu yang dihamparkan dalam bentangan waktu.]

Perspektif yang lebih mutathir tentang hakekat alam dan kaidah-kaidah alam seperti itu nampaknya masih berjalan beriringan dengan pendapat para leluhur dan pendiri ilmu sosial dunia maupun para ahli filsafat Abad Pencerahan pada abad ke-18, seperti d’Alembert, Voltaire, Montesquieu, Rousseau, Diderot, dan Condorcet di Perancis, serta Adam Ferguson dan Adam Smith di Inggris, dan Jefferson dan Franklin di Amerika, maupun Liebniz, Lessing dan Herder di Jerman. Walaupun perbedaan terwujud di antara mereka, semuanya masih asik dan terpaku pada sejumlah pertanyaan yang sama, dan yang essensial dari semua pertanyaan itu adalah masalah bagaimana satu masyarakat yang baik bisa diwujudkan. Salah satu kalimat pembuka dalam buku Rousseau Social Contract adalah

“..man is born free; and everywhere he is in chains.”36

[…manusia terlahirkan bebas, namun di mana-mana mereka terbelunggu.]

Bagaimana perubahan drastis seperti yang diutarakan Rousseau itu mungkin terjadi? Suasana opini yang berkembang pada Abad Pencerahan dalam menjawab persoalan itu terlihat dari jawaban retoris yang diberikan oleh Rousseau sendiri dalam buku yang sama.

“I don’t know.”37

[Saya tidak tahu.]

Meskipun begitu jawaban yang disampaikannya, Rousseau sangat mungkin tidak terlalu peduli terhadap pertanyaan itu, karena dalam kenyataannya ia tidak pernah menaruh ketertarikan

36 Jean-Jacques Rousseau The Social Contract and Discourses, 1979, hlm. 165.37 Jean-Jacques Rousseau, op.cit, hal 165.

54 alam, Kebudayaan & yang IlahI

pada isu tentang asal-usul manusia sebagaimana hal itu kemudian menjadi tujuan utama kajian ilmiah abad ke-19.

Para pemikir Abad Pencerahan pada dasarnya sudah mengantungi jawaban atas pertanyaan itu: manusia memang terlahir bebas, namun terbelenggu di mana-mana; dan hal itu dikarenakan akal manusia dirusak oleh agama, pencerahan pikiran manusia dihancurkan oleh takhyul, dan manusia sendiri diperbudak oleh persepsi yang sangat tidak jelas dan kabur sifatnya. Pemikir abad ke-18 menganggap dirinya sudah mengetahui permasalahannya, sehingga mereka lebih tertarik untuk bisa memisahkan fakta-fakta yang umum dari fakta-fakta yang khusus di dalam kehidupan makhluk manusia, serta berusaha memahami bagaimana manusia mulai tercemar oleh berbagai keburukan sosial (social evils) yang berlawanan dari hakekat manusia sesungguhnya, dan sekaligus menemukan jawaban bagaimana keburukan sosial itu dapat dihilangkan atau paling tidak dikurangi.

Rousseau, sebagai contoh lagi, pernah mengutarakan bahwa kita harus memisahkan apa-apa yang menjadi variasi dari hakekat manusia dengan apa-apa yang merupakan unsur essensial dari makhluk manusia. Makna dari pernyataan ini sama dengan kiasan yang sudah lama dikenal di negeri kita, yakni ‘lain ladang lain belalang’: hakekat manusia di manapun sama saja, yang berbeda hanyalah adat istiadatnya. Pada poin inilah kita sesungguhnya sampai pada konsep tentang hakekat manusia dan konsep tentang akal pikiran manusia dari Abad Pencerahan, yang begitu tajam diperolok-olokkan oleh Geertz dalam artikel ‘The Impact of Culture on the Concept of Man’.38 Keasyikan para pemikir abad ke-18 pada hakekat manusia yang universal—dengan keseragaman/kesamaan dibalik berbagai perbedaan yang terwujud antar manusia—sangat drastis berbeda dengan perhatian para pemikir abad sebelumnya yang sangat tertarik justru pada

38 Clifford Geertz The Interpretation of Cultures. 1973

Tony Rudyansjah 55

perbedaan, yang menghasilkan bukan hakekat manusia yang paling dasar melainkan apa yang disebut oleh Lovejoy the Great Chain of Being: berbagai makhluk hidup yang masing-masing memiliki ceruk berbeda dan sekaligus tempat yang sudah ditentukan di dalam keanekaragaman alam semesta.

Para pemikir abad ke-18 memang tidak naik turun menjelajahi kontur permukaan bumi hanya dalam rangka memahami bagaimana bekerjanya hakekat kemanusiaan, melainkan lebih terdorong oleh misi memperlihatkan bahwa dibalik berbagai perbedaan dalam adat istiadat dan kebiasaan manusia terdapat satu hakekat kemanusiaan yang berlaku umum. Hal itu sangat gamblang terlihat ketika Hume menegaskan bahwa makhluk manusia begitu serupa di berbagai belahan muka dunia, sehingga sejarah dan ilmu pengetahuan sebetulnya tidak terlalu banyak bisa memperlihatkan sesuatu yang sesungguhnya betul-betul baru di bawah kolong langit dunia. Tujuan utama ilmu pengetahuan, katanya lagi, adalah untuk menemukan prinsip-prinsip yang konstan dan universal mengenai hakekat manusia.

Satu hal penting yang perlu dicatat dalam konteks ini adalah isu mengenai bagaimana gagasan tentang penciptaan dan diversitas manusia itu kemudian bisa melahirkan gagasan rasisme, yang merupakan salah satu bahasan kita tentang evolusi di jilid kedua dari buku ini. Namun izinkanlah saya di bab 2 mendiskusikan terlebih dulu beberapa karya sejumlah ahli filsafat, ekonomi politik dan sosial pada abad ke-18 dan 19 dalam rangka memperlihatkan perbedaan pandangan yang begitu beraneka ragam dan luas mengenai manusia serta kebudayaan dan masyarakat yang dihasilkan mereka. Variasi pandangan yang beraneka ragam dan luas tentang manusia itu tercermin dalam pergeseran pandangan mereka tentang masyarakat dan kebudayaan yang tadinya dilihat sebagai refleksi dari satu entitas yang bersifat religius dan moral, menjadi politik dan akhirnya ekonomi.

56

2

transforMasI DarI agaMa Ke MoraLItas, PoLItIK

Dan eKonoMI

“Who now reads Spencer? It is difficult for us to realize how great a stir he made in the world.”1

[Siapa yang sekarang membaca Spencer?Sulit bagi kita bisa menyadari kekuatan gunjangan yang ia buat di dunia.]

Pernyataan di atas dipaparkan oleh Crane Brinton dalam buku English Political Thought in the Nineteenth Century untuk mengambarkan dampak besar yang dibuat Herbert Spencer terhadap pemikiran politik Inggris pada abad ke-19. Talcott Parsons dalam nada yang hampir serupa memilih Spencer sebagai contoh tahap perkembangan sistem pemikiran utilitarian dan positivistik mengenai manusia dan masyarakat, yang memainkan begitu banyak peranan dalam sejarah intelektual masyarakat-masyarakat yang berbahasa Inggris.2 Parsons tidak menyebutkan nama Spencer

1 Crane Brinton, English Political Thought in the Nineteenth Century. 1933, hlm. 226.

2 Talcott Parsons, Structure of Social Action, vol. I, 1968, hlm. 3.

Tony Rudyansjah 57

dalam buku The Structure of Social Action dalam rangka mengulas secara mendalam bagaimana dampak ataupun kontribusi yang telah diberikan Spencer terhadap pemikiran politik pada abad ke-19, tidak juga dalam rangka mendiskusikan bagaimana hal itu bisa dilakukannya, melainkan lebih mengulas tokoh ini dalam rangka menampilkan sebuah contoh dari tradisi pemikiran utilitarian dan positivistik. Parsons berupaya menemukan batas dari positivisme sebagai satu cara analisa teoritis dan sekaligus memperlihatkan bagaimana berbagai kontradiksi yang ada di dalam positivisme kemudian mendorong kelahiran dari apa yang disebutnya sebagai teori voluntaristik mengenai tindakan manusia.3

Hal inilah yang menjadi tema sentral Parsons dalam buku itu. Saya tidak akan mengulang kembali di sini apa yang telah diulas Parsons dengan begitu baik, melainkan lebih memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana tradisi pemikiran yang tadinya sangat naturalistik dan mekanistik, seperti yang dilakukan Hobbes dan Locke, kemudian bisa bertransformasi atau bergeser menjadi utilitarian dengan tokoh-tokohnya seperti Herbert Spencer dan Adam Smith. Menggambarkan bagaimana transformasi atau pergeseran itu terjadi tentu saja merupakan suatu perkara yang jauh lebih kompleks daripada sekedar menggambarkan secara terpisah dan sendiri-sendiri kepudaran sesuatu yang lama dan usang, serta kemunculan sesuatu yang baru. Pergeseran tradisi pemikiran itu tentu saja tidak berlangsung dalam sekejap, melainkan lebih berproses melalui akumulasi sejumlah sistem gagasan yang dikembangkan oleh sejumlah banyak tokoh pemikir sebelumnya.

3 Teori voluntaristik mengenai tindakan manusia beranggapan bahwa manusia bertindak secara sukarela karena nilai yang diyakininya secara kuat. Jadi tindakan manusia dilihat berorientasi dan ditujukan pada nilai itu sendiri, dan bukannya pada pertimbangan pragmatis maupun ekonomis lainnya. Teori voluntaristik ini sangat bertentangan dengan pemikiran utilitarian yang membingkai tindakan manusia di dalam azas guna.

58 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Saya ingin mendiskusikan masalah tersebut, sekaligus memperlihatkan beberapa dimensi penting dari teori sosial tentang masyarakat dan kebudayaan yang berdasarkan pada tradisi pemikiran utilitarian tersebut. Secara ringkas dapat disebutkan di sini, sebagai pengantar awal dari satu pembahasan yang panjang, bahwa pemikiran positivistik dan utilitarian kemudian mengalami perkembangan ke berbagai arah. Pertama adalah teori positivistik yang melihat masyarakat dan kebudayaan manusia dengan menekankan pada para anggota masyarakat sebagai aktor yang rasional (rational actors). Kedua adalah teori positivistik yang memandang masyarakat dan kebudayaan sebagai entitas yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dan yang ketiga, melihat masyarakat dan kebudayaan sebagai perwujudan dari prinsip evolusi. Ketiga arah perkembangan dari tradisi pemikiran positivistik dan utilitarian seperti itu sesungguhnya tidak sungguh-sungguh berbeda satu sama lain, dan hal ini akan menjadi pokok bahasan kita dalam bab-bab selanjutnya dari buku ini. Untuk memperjelas persoalan ini mari kita mulai pembahasan ini melalui tiga isu penting berkaitan dengannya, yakni uang, kekuasaan dan tuhan.

Pada masa kini di mana uang, ketenaran, dan kekuasaan begitu dipuja-puja orang, sangat sulit untuk dapat memahami bagaimana Santo Augustine bisa begitu keras mengutuk: (1) nafsu akan kekayaan materiil (uang), (2) nafsu akan kekuasaan, dan (3) nafsu akan birahi seksual, sekaligus memperlakukan semuanya sebagai dosa besar bagi manusia. Hampir tidak ada seorangpun di masa kini yang berpendapat bahwa uang dan kekuasaan adalah dosa. Transformasi nilai sosial mengenai pengejaran keuntungan dari yang tadinya ditanggapi sebagai satu dosa besar menjadi sebuah kebajikan moral tentu saja merupakan sebuah revolusi besar di dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan industri dan sikap mengejar keuntungan ataupun membuat uang sebanyak-banyaknya memang tak dapat disangkal mendapatkan

Tony Rudyansjah 59

dukungan dari teori mekanistik tentang masyarakat sebagaimana dikembangkan Hobbes maupun Locke. Meskipun demikian, perubahan sikap itu mengandung hal yang jauh lebih kompleks daripada apa yang sering dibayangkan orang.

Pemikiran ekonomik klasik di masa awal zaman modern pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 mencakup hal-hal yang jauh lebih luas dan kompleks daripada apa-apa yang dicakup oleh gagasan ekonomik modern pada abad ke-20. Tercakup dalam perkembangan pemikiran ekonomik klasik itu adalah keseluruhan total dari pemikiran tentang masyarakat, moral, dan manusia pada umumnya—satu cara berpikir yang sekarang telah menjadi bagian integral dari common sense, tidak hanya dari dunia Barat namun juga dari banyak masyarakat dunia pada abad ke-21. Apa yang terkandung dalam tulisan-tulisan para komentator ekonomi politik pada abad ke-18 adalah gagasan psikologi yang agak sederhana bahwa manusia dikendalikan oleh gairah nafsu (passion), dan permasalahan yang dihadapi oleh setiap masyarakat manusia adalah bagaimana kemungkinan untuk tetap dapat mempertahankan berbagai gairah nafsu manusia dengan cara menekan mereka atas nama satu kebajikan yang lebih tinggi. Banyak orang meyakini bahwa, meskipun sulit untuk dapat dikendalikan, berbagai gairah nafsu manusia itu justru harus digunakan satu sama lain agar dapat melahirkan berbagai hasil yang bermanfaat.

Hobbes dengan psikologi materialistik yang sangat deterministik tetap saja menyediakan ruang bagi gairah nafsu manusia. Bahkan dalam perkembangan pemikirannya, ia percaya bahwa gairah nafsu dapat diarahkan untuk melahirkan hasil sosial yang bermanfaat bagi keseluruhan masyarakat, yang sebelumnya tidak dapat diantisipasi hanya dengan melihat tindakan individunya semata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan dan pembenturan satu per satu berbagai gairah nafsu manusia dalam rangka untuk dapat melahirkan suatu hasil yang

60 alam, Kebudayaan & yang IlahI

didambakan merupakan dasar di balik berbagai teori rasionalitas yang berbeda-beda itu.

Teori rasionalitas itulah, melalui tokoh-tokohnya seperti Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, Adam Smith dan, yang sebelumnya tidak pernah saya sebutkan, François Quesnay, dapat memunculkan satu cara baru dalam melihat gejala masyarakat dan kebudayaan, sekaligus menggoreskan satu bidang tersendiri yang sekarang ini disebut dengan istilah ekonomi dalam kanvas percaturan dunia ilmu pengetahuan manusia.

Apabila kita cermati kesinambungan antara para pemikir Kristiani dari Abad Pertengahan (biasanya disebut sebagai Scholastics dan Canonists) dengan penulis berikutnya pada abad ke-18, maka baru pada abad ke-18 apa yang saat ini kita sebut sebagai ilmu ekonomi mulai memperoleh wuju dnya yang definitif, meskipun belum dapat dikatakan telah memiliki status otonom yang terpisah sama sekali dari sudut pandang dan disiplin pengetahuan yang telah ada sebelumnya, dan yang sekaligus telah berperan serta dalam mendorong kelahirannya ilmu ekonomi, seperti filsafat, teologi, dan politik. Oleh karena itu, tidak begitu mengherankan meski para Scholastics dan Canonists telah mengajukan sejumlah pertanyaan tentang kemaslahatan umum (public good) dari berbagai benda yang mengandung hajat hidup orang banyak, seperti lahan tanah, yang sekarang ini dapat didefinisikan sebagai ekonomi, namun pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak begitu berhubungan satu sama lainnya dan masih diperlakukan bukan dari satu sudut pandang yang lebih spesifik ekonomis melainkan hanya dari satu sudut pandang yang umum sifatnya. Hal serupa terjadi pada para Mercantilists4 pada abad ke-

4 Mercantilists adalah para teoritisi dan praktisi yang mengembangkan satu sistem ekonomi pada masa terjadinya sentralisasi kekuasaan menyusul gejala kehancuran feodalisme di Eropa pada Abad ke-17 dan ke-18, dan yang bertujuan terutama untuk menyatukan dan memperkuat kemampuan kekayaan moneter satu bangsa melalui peraturan pemerintah bagi seluruh ekonomi nasional, misalnya

Tony Rudyansjah 61

17 dan ke-18 yang masih mencampuradukkan kajian ekonomi dengan politik dan mengistilahkannya sebagai ‘political economy’.

Dalam sudut pandang Mercantilist, tujuan dari kajian political economy adalah kesejahteraan dan kekuatan satu negara. Jadi politial economy merupakan suatu kajian yang dianggap masih terfokus hanya pada cara-cara ekonomis untuk mencapai tujuan tersebut. Baru pada era Adam Smith (1723-1790) dengan buku The Wealth of Nations, kajian ekonomi memperoleh bentuknya yang lebih definitif. Salah seorang yang mempengaruhi Smith dalam soal pentingnya memperhatikan konsistensi internal dari kajian ekonomis adalah Quesnay, dan poin ini menghantarkan kita untuk dapat memahami bagaimana ekonomi mampu meraih satu keutuhan yang menyeluruh.

Ekonomi Sebagai Satu Keutuhan Yang Menyeluruh

François Quesnay lahir di Merey, satu kota kecil dekat Paris, Perancis, pada tahun 1694, dari suatu keluarga tuan tanah yang cukup berpengaruh. Ayahnya seorang ahli hukum, sedangkan Quesnay sendiri menuntaskan pendidikannya dalam bidang kedokteran. Awalnya ia berkarier sebagai sekretaris dari satu lembaga yang cukup bergensi di Perancis saat itu, yakni the academy of surgery (akademi bedah), lalu bekerja sebagai dokter ahli bagi raja-raja di istana Versailles. Ketertarikannya dalam bidang ekonomi muncul pada sekitar tahun 1750 pada saat Perancis menghadapi kebankrutan perbankan dalam skala nasional. Dalam pandangan Quesnay, kebankrutan perbankan nasional Perancis itu bisa terjadi karena orang tidak memahami bahwa pada dasarnya, peredaran ekonomis berbagai komoditas berjalan serupa

kebijakan yang menjamin akumulasi emas dan perak dalam jumlah yang besar, keseimbangan perdagangan yang didambakan, perkembangan perdagangan dan manufaktur, serta pemantapan monopoli perdagangan.

62 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dengan cara bekerjanya peredaran darah yang dipompa paru-paru manusia. Inspirasi dari analogi semacam itu tentu saja berasal dari bidang keahlian kedokteran yang digelutinya, dan persoalan inilah yang menghantarkan ketertarikan dan pergelutan pemikirannya atas masalah ekonomi yang kemudian mendorongnya melahirkan karya besar Tableau économique (Economic Table) yang diterbitkan pada tahun 1758. Karya ini kemudian dinilai telah memberikan dasar pemikiran bagi para Physiocrats.5 Quesnay sendiri kemudian wafat pada 16 Desember 1774.

Kembali pada pokok permasalahan utama kita, maka perlu ditegaskan di sini bahwa pemisahan disiplin “ekonomi” dari disiplin lainnya, seperti teologi, politik, dan filsafat, baru dapat terwujud apabila pokok bahasan ekonomi sudah dapat dirasakan dan dipandang orang sebagai satu sistem dengan satu keutuhan tersendiri yang bersifat menyeluruh. Untuk dapat memenuhi ketentuan sebagai suatu sistem dengan suatu keutuhan tersendiri yang bersifat menyeluruh itu, maka sistem tersebut harus bisa dilihat orang sudah memiliki suatu konsistensi internal di dalam dirinya sendiri. Apabila tidak, maka hal itu tidak dapat memenuhi persyaratan sebagai suatu sistem yang berdiri sendiri dan terpisah dari yang lain. Dalam sejarah perkembangan disiplin ekonomi, para ahli sepakat bahwa Quesnay dan para pengikutnya, Physiocrat, adalah para pemikir yang banyak meletakkan dasar penting bagi konsitensi internal bagi disiplin ekonomi.6

5 Pengikut dari pemikiran Quesnay kemudian terkenal dengan istilah Physiocrats. Sistem dari doktrin politik dan ekonomi mereka berdasarkan pada supremasi tatanan alami yang sangat menekankan kemampuan alam sebagai sumber dari kesejahteraan publik dan nasional sekaligus sebagai satu-satunya sumber yang tepat bagi pendapatan publik. Selain itu, mereka juga sangat menekankan agar pemerintah tidak turut campur terhadap jalannya hukum-hukum alam yang mempengaruhi hubungan dan proses antara masyarakat dan industri.

6 Lihat, misalnya, buku Gunnar Myrdal (1953) dan Joseph Schumpeter (1954).

Tony Rudyansjah 63

Figur Quesnay sebagai seorang tokoh pemikir menampilkan begitu banyak paradoks dalam dirinya. Sebagaimana telah disebutkan, ia dilahirkan di Perancis—satu negara yang bukan paling progresif secara ekonomi masa itu di Eropa apabila dibandingkan dengan Inggris—namun pemikiran “ekonomi” yang dilahirkannya justru merupakan satu langkah maju yang sangat luar biasa di zamannya. Di samping itu, paradoks juga terlihat dalam doktrin “ekonomi” yang dikembangkannya: berbeda dengan pandangan umum yang dianut orang, industri dan perdagangan dipandang Quesnay sebagai sesuatu yang rendah, sedangkan pertanian ia pandang berada dalam posisi yang sangat tinggi. Paradoks dalam diri dan pemikiran Quesnay sebagai penggagas dari Physiocracy dilihat dan ditangkap oleh banyak para ahli, dan Marx adalah salah seorang di antaranya yang beranggapan bahwa Quesnay merupakan kombinasi antara feodalisme dan borjuis/modern.

“Physiocracy is in a direct sense the economic decomposition of feudal property, but for this reason it is equally directly the economic transformation, the reestablishment of this same feudal property, with the difference that its language is no longer feudal but economic. All wealth is reduced to land and cultivation [agriculture].”7

[Dalam pengertian yang lugas, Physiocracy merupakan satu pembusukan ekonomis ciri-ciri feudal, namun berdasarkan nalar serupa, Physiocracy secara langsung merupakan juga transformasi ekonomis, pemantapan kembali ciri-ciri feudal, namun dengan pembeda yang terletak dalam bahasanya yang tidak lagi feudal namun ekonomis. Semua kekayaan direduksi ke tanah dan pertanian.]

Mengembalikan semua kekayaan pada lahan tanah dan pertanian tentu saja menampilkan secara gamblang unsur tradisi-onal atau feudal. Pertanyaannya kemudian adalah: apakah elemen

7 Karl Marx, The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, diterjemahkan oleh T.B.Bottomore, dalam Erich Fromm, ed., Marx’s Concept of Man, 1961, hlm. 121.

64 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang tradisional dalam pemikiran Quesnay itu merupakan satu kebetulan, atau, sebaliknya, merupakan satu keniscayaan yang me-ngandung kontribusi penting bagi perkembangan disiplin ekono-mi? Jawabannya tentu saja bersifat afirmatif, dan saya menam pilkan di sini apa yang dikutip Dumont dari satu kalimat panjang Marx untuk mengemukakan arti penting sumbangsih Quesnay.

“… this ettempt: to represent the whole process of production of capital as process of reproduction, and circulation as the mere form of this process of reproduction, the circulation of money only as an element [Moment] of the circulation of capital; to encompass within this process of reproduction the origin of revenue, the exchange between capital and revenue, the relation between reproductive consumption and definitive consumption; to encompass within the circulation of capital the circulation between consumers and producers [actually between capital and revenue]; finally to represent the circulation between two great divisions of productive labor, production of raw materials and industry, as moments in the process of reproduction; to group all that, in the second third [Marx: “first third’] of the eighteenth century, in the infancy of political economy, in a table of five lines with six points of departure or arrival, this was an extremely genial idea, no doubt the most genial idea that economics has put to its account until now.(Translated from Werke, 26. 1:319)”8

[…upaya ini: untuk menampilkan keseluruhan proses produksi modal sebagai suatu proses reproduksi, dan peredaran sebagai bentuk proses reproduksi ini semata, peredaran uang hanya sebagai satu elemen [momen] dari peredaran modal; untuk memayungi asal usul pendapatan, pertukaran antara modal dan pendapatan, serta relasi antara konsumsi reproduksi dengan konsumsi definitif ke dalam proses reproduksi ini; melingkupi peredaran antara konsumer dan produser [sesungguhnya antara modal dan pendapatan] ke dalam peredaran modal; kemudian pada akhirnya menampilkan peredaran antara dua pembagian besar dari tenaga produktif di satu sisi dengan produksi dari bahan-bahan mentah dan

8 Louis Dumont, From Mandeville to Marx, 1983, hlm. 40-41.

Tony Rudyansjah 65

industri di sisi lainnya, sebagai peristiwa di dalam proses reproduksi; untuk mengelompokkan semua itu di kwartal kedua [Marx: kwartal pertama] abad ke-18, di masa awal lahirnya ekonomi politik, ke dalam tabel lima garis dengan enam titik keberangkatan dan titik kedatangan berbagai peredaran ekonomis merupakan satu gagasan cemerlang, tak diragukan lagi merupakan satu gagasan cemerlang yang disiplin ekonomi harus masukkan ke dalam perhitungannya hingga sekarang.]

Paparan di atas merupakan gambaran Marx mengeni sumbangsih tabel ekonomis (Tableau économique) yang dibuat oleh Quesnay. Schumpeter dengan nada yang hampir serupa, menyatakan bahwa Quesnay dengan Tableau économique-nya merupakan tokoh pemikir yang pertama kali merumuskan secara eksplisit masalah dasar disiplin ekonomi (the fundamental problems of economics) sebagai masalah keseimbangan statis antara sejumlah kuantitas yang saling tergantung satu sama lain.9

Melalui pemikiran Quesnay itu, sudut pandang ekonomis untuk pertama kalinya ditampilkan bukan sebagai satu seri dari sejumlah hasil pengamatan, sejumlah korelasi ataupun sejumlah aspek yang tidak berhubungan satu sama lain, melainkan sebagai satu keseluruhan yang tertata, satu sistem inter-relasi logis yang melingkupi keseluruhan wilayah kajiannya. Sudut pandang holistik semacam itu tentu saja awalnya tidak dapat muncul hanya dari sudut pandang ekonomis itu sendiri, melainkan harus berasal dari sesuatu yang berada di luar sudut pandang ekonomis, yakni konsepsi umum tentang alam semesta sebagai suatu tatanan apik menyeluruh yang kemudian diproyeksikan ke dalam tataran ekonomis. Hal inilah yang sesungguhnya terjadi pada sudut pemikiran Quesnay, oleh sebab itu, pemikirannya secara jelas mengandung pula suatu komponen yang sangat tradisional sifatnya.

9 Joseph Schumpeter, History of Economic Analysis, 2006, hlm. 245-247.

66 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Apabila kita cermati secara lebih dalam lagi, maka apa sesungguhnya yang dikembangkan Quesnay dengan Tableau économique adalah suatu teori “hukum alam”, atau lebih tepatnya, suatu teori sosial-cum-politik yang berlaku umum dan berazaskan pada hukum alam yang lazim dianut di dalam sudut pandang pikiran zaman itu dengan sebuah penambahan baru, yakni suatu penekanan kuat pada dimensi ekonomisnya, yang pada keseluruhannya kemudian dirajut ke dalam suatu sistem yang logis. Dengan kata lain, Quesnay berupaya menggambarkan suatu masyarakat yang lama dengan satu sudut pandang yang baru. Teori sosiologi dan politiknya dalam banyak hal sesungguhnya tradisional, namun ia memasukkan ke dalam kerangka teori itu sebuah sistem ekonomi yang agak modern. Aspek tradisionalnya terutama tampak jelas di dalam pendirian yang ia kemukakan bahwa kekayaan yang sebenarnya (real wealth) terletak pada tanah yang pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan pemiliknya atas sejumlah manusia yang menempati tanah tersebut—sesuatu yang sangat kontras dengan harta bergerak lainnya. Tanah merupakan sumber satu-satunya dari kekayaan, dan pemilik tanah di masa Quesnay selalu mengembangkan fungsi politik yang diikuti sejumlah hak, tanggungjawab serta beban, termasuk di dalamnya pengadministrasiaan berbagai persoalan keadilan bagi rakyat. Oleh sebab itu wajar apabila pajak atas tanah merupakan suatu bentuk pemasukan bagi sang pemilik. Atas dasar sudut pandang tersebut, maka dapat dimengerti apabila pertanian dipandang sebagai sesuatu yang bersifat sangat nasional, sedangkan perdagangan sebagai sesuatu yang bersifat internasional dan karenanya, dianggap sebagai suatu kepentingan yang anti nasional.

Di dalam tatanan kosmis yang dianggap alami sifatnya, raja dipandang sebagai pemilik tertinggi dari tanah: pemasukan raja berasal dari hak berbagai pungutan pajak atas tanah miliknya. Dengan demikian, hukum alam dianggap dan diperlakukan

Tony Rudyansjah 67

sebagai satu-satunya pengatur tertinggi di atas segala-galanya. Negara tidaklah boleh ikut campur dalam perkara hukum alam, dan harus menjadi tugas negara untuk menjadikan hukum alam sebagai subyek yang wajib diajarkan kepada publik. Melalui pokok pikiran itu, para Physiocrats tanpa ragu-ragu menyebut rejim politik yang didukungnya dengan istilah “legal despotism”.

Kerangka pemerintahan semacam itu menjelaskan kekayaan beredar melalui cara yang sangat teratur dan harmonis. Sumber tunggal dari kekayaan adalah alam, atau lebih tepatnya, lahan tanah yang telah mendapatkan sentuhan aktivitas dan inisiatif manusia. Kondisi paling dasar dari tatanan ekonomi dalam tatanan politik seperti itu adalah hak milik pribadi, dan sebagai hasilnya adalah kebebasan dalam arti tidak adanya campur tangan maupun peraturan secara langsung ataupun tidak langsung dari negara. Apa yang dapat kita temukan di sini merupakan satu kombinasi dari holisme dan individualisme, yakni holisme dalam pengertian bentuk religius dan politiknya yang sangat tradisional, serta individualisme pada tataran ekonomisnya. Dengan kata lain, perolehan status ekonomi sebagai suatu sistem yang konsisten justru dicapai dengan menempatkannya ke dalam suatu sistem yang sesungguhnya tradisional, yaitu suatu holisme yang berdasarkan pada suatu tatanan kosmis yang sangat tradisional sifatnya. Pada konteks ini ada satu poin penting yang perlu dicatat bahwa negara atau kerajaan memainkan peranan di satu sisi dan hukum alam di sisi lainnya. Di satu sisi, negara atau kerajaan dianggap berfungsi sebagai batasan moral maupun fisik dari sistem ekomoni itu, sehingga hasil bumi setiap tahun ditampilkan dalam Tableau économique-nya Quesnay layaknya sebuah peredaran makanan (nutrisi) ke seluruh kerajaan (negara) —ibarat peredaran darah di dalam tubuh manusia. Sedangkan hukum alam, yang dalam pemahaman Quesnay mencakup pengertian moral maupun fisik, merupakan keteraturan atau tatanan dunia sebagaimana telah ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Dengan demikian, dapat

68 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dikatakan bahwa sistem atau tatanan ekonomi seperti itu sangat tergantung pada wujud politik maupun orientasi teleologis yang berlaku umum, sekaligus telah merasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat pada masa itu.

Berdasarkan pada kerangka pikir itu, maka dapat dimengerti apabila ranah dari sistem ekonomi mungkin bisa dipahami sebagai sesuatu yang bersifat utuh menyeluruh di satu sisi, sekaligus sebagai sesuatu yang otonom di sisi lainnya. Hal itu sesuai dengan konsepsi tentang keteraturan sebagaimana Quesnay merumuskannya di dalam definisinya mengenai hukum alam.

“Natural laws are either physical or moral. We understand here by physical law the regular course [cours réglé] of any physical event of the natural order obviously the most advantageous to the human genus. We understand here by moral law the rule [la réglé] of any human action of the moral order in conformity with [conforme á] the physical order obviously the most advantageous to the human genus. These laws together form what is called the natural law.”10

[Hukum-hukum alam bersifat fisik maupun moral. Kita mengartikan hukum fisik di sini sebagai peredaran biasa dari berbagai peristiwa fisik tatanan alam yang memberikan begitu banyak keuntungan bagi makhluk manusia. Dan kita mengartikan hukum moral sebagai aturan bagi setiap tindakan manusia dari satu tatanan moral yang sesuai dengan tatanan fisik yang memberikan begitu banyak keuntungan bagi makhluk manusia itu. Kesemua hukum ini membentuk apa yang diistilahkan sebagai hukum alam]

Konsepsi keteraturan seperti itu sejalan dengan pemikiran para Scholastics yang berpendapat bahwa meskipun ia merupakan satu subyek yang bebas manusia di dalam tatanan teleologis tetap merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari alam; dan oleh karenanya, kepatuhan dan persetujuan makhluk manusia terhadap perkara itu merupakan suatu keharusan agar

10 Dikutip dari terjemahan Dumont (1983, hlm. 43) dari bahasa Perancis ke bahasa Inggris.

Tony Rudyansjah 69

keteraturan alam itu dapat juga menaungi berbagai perkara manusia. Hukum alam hanya akan terwujud manakala tindakan manusia selaras dengannya. Buku Tableau économique merupakan suatu gambaran ideal tentang perkara itu. Quesnay menelusuri berbagai konsekuensi buruk dari pengabaian keharusan hukum alam tersebut. Kebijakan yang tepat dari negara merupakan suatu kondisi yang tidak dapat dihindari demi terwujudnya suatu keteraturan ekonomis. Perlu ditambahkan di sini bahwa yang dimaksudkan Quesnay dengan kebijakan yang tepat dari negara adalah justru ketidak-turut campuran negara atas jalannya ekonomi. Negara hanya memiliki segelintir kecil tugas, yakni memberikan dan menjamin perlindungan terhadap gangguan yang datang dari luar, memelihara jaringan komunikasi, merawat orang-orang miskin, menarik pajak atas pendapatan dari tanah, menyediakan pendidikan tentang hukum alam bagi rakyat.

Apa yang menjadi pusat perhatian utama Quesnay adalah berupaya mereformasi praktek-praktek negara yang tercela, sehingga reformasi baginya, berarti suatu situasi di mana negara tidak ikut andil di dalam perkara-perkara ekonomi. Di aspek inilah paradoks dari figur Quesnay tampak jelas: konsistensi dari ranah ekonomi itu secara eksplisit dirumuskan untuk pertama kalinya tidak oleh seorang pemikir yang memisahkan ekonomi dari politik, moral maupun agama, melainkan oleh seseorang yang justru mengajukan argumen dari konsistensi menyeluruh alam dunia (termasuk perkara-perkara manusia dan moral) menuju kepada konsistensi kondisional dari satu ranah khusus tertentu. Dengan begitu, perumusan tatanan ekonomi Quesnay bukan bermuasal dari satu subyek individual, maupun dari suatu terminologi prinsip-prinsip sebab-akibat, melainkan dari suatu keteraturan atau tatanan teleologis yang menaungi sekaligus menjamin kebebasan setiap makhluk manusia sebagai seorang individu.

Tak dapat disangkal bahwa Adam Smith sangat berhutang budi pada Quesnay dalam butir pikiran semacam itu, meskipun

70 alam, Kebudayaan & yang IlahI

tetap perlu dicatat di sini bahwa Smith kemudian melangkah lebih jauh lagi dibandingkan Quesnay sendiri. Adam Smith tidak puas hanya dengan menyatakan bahwa negara tidak mesti turut andil dalam perkara-perkara ekonomi. Ia mengajukan sebuah argumentasi penting lain bahwa keteraturan ekonomis di dalam substansinya jauh lebih mandiri dan otonom dari keputusan-keputusan manusiawinya. Hal ini berarti jauh melampaui apa yang dibayangkan oleh Quesnay.

Suatu unsur mendasar di mana ekonomi klasik berhutang budi pada Quesnay adalah pemahaman bahwa sangat esensial untuk memisahkan produksi dari sirkulasi, karena sejauh nilai surplus (“surplus value”) hanya ditelusuri ke dalam ranah produksi dan dianggap tidak terpisah dari sirkulasi, maka kemajuan tidak mungkin dapat diharapkan terjadi dalam disiplin ekonomi. Pemisahan itu pada awalnya hanya mungkin dilakukan di dalam sektor pertanian. Hanya di dalam sektor pertanianlah nilai surplus nampak jelas terlihat manakala produksi atau reproduksi hasil bumi kotor setiap tahunnya dapat dibedakan secara jelas dari hasil bumi bersih atau netto setelah hasil bumi kotor dikurangi semua biaya investasi untuk menggarap tanah itu, sehingga nilai surplusnya kemudian dapat ditentukan. Karena alasan itulah maka pertanian menduduki tempat yang sangat penting di kala pemisahan antara produksi dan sirkulasi pertama kali dicetuskan orang.

Quesnay-lah yang secara cermat memisahkan dua proses utama dalam perkara ini: pertama, hasil bumi per tahun haruslah mengandung nilai yang lebih besar daripada nilai keseluruhan nilai investasi, sehingga hasil bumi netto—dalam terminologi Marx dapat disamakan dengan nilai surplus—dapat diperoleh melalui pengurangan hasil bumi oleh keseluruhan nilai investasi. Kedua adalah proses distribusi atau sirkulasi dari produk. Pengertian itu secara drastis sangat berseberangan dengan semangat para Mercantilist yang menjunjung tinggi perdagangan. Bagi Quesnay sangat penting untuk menekankan apa yang menjadi unsur utama

Tony Rudyansjah 71

dari kekayaan sesungguhnya (real wealth), yang adalah pertanian. Pertanian, menurut Quesnay, merupakan pencipta kekayaan

yang sesungguhnya. Atas dasar itu, ia menyebutkan pertanian sebagai suatu hal yang produktif, sedangkan usaha-usaha lainnya dianggap tidak produktif. Dengan merancang pemisahan seperti itu, tentu saja Quesnay membuat sebuah value judgement berdasarkan pendangan hidup yang ada pada masanya, yaitu bahwa alat subsistensi manusia serta obyek-obyek konsumsi manusia merupakan barang-barang yang sangat esensial. Quesnay sesungguhnya telah memodifikasi ajaran dari Cantilon dan Petty yang hidup sebelum masanya, di mana mereka memisahkan tanah dan tenaga kerja sebagai sumber “kembar” dari kekayaan, dengan mengembalikan penciptaan kekayaan sesungguhnya (the creation of real wealth) pada pertanian. Ketimbang memperhitungkan berbagai persamaan dan derajat korespendensi dari kedua faktor itu (tanah dan tenaga kerja), Quesnay secara cerdik mengungkapkan keduanya ke dalam salah satu terminologi darinya, yaitu tanah, sekaligus menempatkannya ke dalam suatu tatanan yang bersifat hirarki: tanah merupakan faktor produktif—kesuburan alami tanah itu sendiri yang menyebabkan pertambahan di dalam kekayaan sesungguhnya (real wealth) melalui proses pertumbuhan alami dari benih menjadi panen—sedangkan tenaga kerja dan inisiatif manusia hanya merupakan faktor yang memfasilitasi proses tersebut. Kerangka pikir semacam itu sejalan dengan gagasan mengeai hukum alam sebagai hukum moral sekaligus fisik. Secara keseluruhan proses ekonomi pada dasarnya merupakan sebuah proses pertambahan dalam kekayaan, atau dengan kata lain, produksi. Rahasia dari pertambahan itu terletak pada tanah sebagai seperangkat kekuatan alam: sebuah entitas berdiri sendiri (self-sufficeint) yang mampu melanggengkan dan menjamin rationale dari proses ekonomi.

Di dalam Tableau économique, pembicaraan tentang ekonomi sesung guhnya pembicaraan mengenai produksi, dan

72 alam, Kebudayaan & yang IlahI

pembicaraan tentang produksi sesungguhnya pembicaraan mengenai tanah. Melalui satu proses hirarkisasi yang tradisional, yaitu alam memiliki kemampuan medikte moralitas, sedangkan tanah mendikte tenaga kerja, maka kemudian kita pada dasarnya sampai pada suatu langkah awal dalam mengindentifikasikan ekonomi melalui satu faktor esensial (satu substansi) dengan suatu kehidupan penyebab tersendiri, atau sui generis dalam istilah Durkheim.11 Perkembangan selanjutnya dalam disiplin ekonomi tetap berkisar pada batu pijakan ini. Cara pemikiran seperti itu tentu saja sangat individualistik. Individu ditanggapi sebagai satu entitas atau substansi yang self-sufficient. Namun karena segi ini baru separuh jalan dikembangkan, maka meskipun Quesnay telah dapat melihat ekonomi sebagai satu kesatuan yang utuh, disiplin itu relatif masih belum sungguh-sungguh modern apabila dibandingkan dengan perkembangannya yang kemudian.

Ciri yang sangat menonjol dalam pemikiran Quesnay adalah bahwa keteraturan mendikte hak milik, kemudian hak milik mendikte kebebasan; sehingga kesimpulannya, keteraturan mendikte hak milik dan kebebasan. Konfigurasi semacam itu nampak semakin jelas apabila kita beralih melihat pemikiran John Locke, dan hal itu tidak mengherankan karena John Locke memang sangat mempengaruhi pikiran Quesnay.

Emansipasi dari PolitikDari kecenderungan cara pikir di mana individualisme masih

terkungkung di dalam tatanan tradisi seperti yang terjadi dalam pemikiran Quesnay, kita sekarang menuju pada titik pembahasan tentang cara pikir di mana tataran tradisi yang bersifat holisme mulai terurai dan digantikan oleh individualisme. Karena alasan itulah maka saya mulai membahas Quesnay sebelum Locke, meskipun itu tidak berarti, sebagaimana telah saya kemukakan

11 Akan dibahas dalam bagian Durkheim yang merupakan bab tersendiri dari jilid kedua buku ini.

Tony Rudyansjah 73

sebelumnya bahwa Quesnay tidak dipengaruhi oleh Locke. Urutan pembahasan seperti ini dilakukan semata-mata untuk mempermudah pemahaman bahwa baik pemikiran Locke maupun Quesnay pada dasarnya menjadi komponen yang sangat penting dalam pemikiran Adam Smith yang akan saya bahas di bagian akhir bab ini.

Tidak ada satupun tuntutan terhadap pembebasan dimensi ekonomi dari politik pada abad ke-17 yang memperoleh pengejawantahannya yang lebih jelas daripada buku Locke Two Treatises of Government. Meskipun pada abad ke-17 istilah ekonomi sebagai satu disiplin ilmu belum lahir, kita secara retrospeksi dapat mengatakan bahwa buku itu penuh dengan berbagai ulasan mengenai dimensi ekonomi yang diupayakan secara keras oleh Locke agar bisa dipisahkan dari dimensi politik. Apabila perkara itu merupakan isu sentralnya, maka ulasan mengenai ekonomi merupakan hanya satu aspek dari sebuah konfigurasi gagasan-gagasan yang jauh lebih luas cakupannya. Oleh sebab itu, sangatlah beresiko menghilangkan pemahaman yang lebih utuh apabila kita memisahkan buku Two Treatises of Government dari pokok pikiran filsafat umum Locke lainnya, yang mencakup juga moralitas dan agama. Hal ini menjadi sangat penting mengingat moralitas sangat lekat dengan kelahiran disiplin ekonomi, sebagaimana hal itu akan semakin jelas dipahami dalam pembahasan tentang Mandeville di bawah nanti.

Seperti yang telah saya uraikan pada bab sebelumnya, dimensi politik sangat erat berkaitan dengan dimensi agama, yang lalu diikuti oleh sebuah tahap di mana politik kemudian justru memisahkan diri dari agama. Pada poin inilah kita sampai pada tahap selanjutnya dari proses pemisahan itu, yakni pemisahan antara ekomoni dari politik. Proses ini dapat kita lihat secara gamblang dalam polemik yang dilakukan Locke terhadap seorang tokoh yang bernama Sir Robert Filmer di dalam buku Two Treatises of Government.

74 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Ketika menyatakan bahwa Adam merupakan seorang raja patriarkal yang pertama, Filmer sesungguhnya merumuskan sebuah kesinambungan antara otoritas seorang ayah dalam keluarga dengan otoritas raja dalam masyarakat. Tersirat dalam rumusan Filmer itu sebuah pandangan tentang satu tatanan sosial yang utuh menyeluruh dengan sejumlah komponen sebagai berikut: • Suatu penekanan pada masyarakat/kelompok sebagai suatu

kesatuan menyeluruh yang dibangun atas dasar subordinasi, di mana seorang raja ataupun ayah memerintah berdasarkan sebuah delegasi dari Sang Pencipta sebagai Penguasa Tertinggi Dunia.

• Gagasan tentang subordinasi diaplikasikan tidak hanya kepada makhluk manusia, melainkan kepada semua makhluk yang berada di atas permukaan bumi, yang secara eksplisit telah diperintahkan oleh Tuhan untuk tunduk kepada perintah manusia (nabi Adam, atau lebih tepatnya, nabi Nuh). Nabi Adam yang diberikan kekuasaan atas segala makhluk hidup ditafsirkan Filmer sebagai seorang raja/ayah dengan kekuasaan yang mencakup baik terhadap makhluk manusia maupun terhadap makhluk hidup lainnya. Hubungan manusia dengan binatang dan benda lainnya dipikirkan di sini berdasarkan kerangka sebuah model hubungan seorang raja dengan rakyat bawahannya maupun subyek lainnya yang lebih rendah. Hal ini menampilkan sebuah pandangan tradisional di mana ekonomi belum terpisahkan dari ranah politik (atau tepatnya, ranah politik-ekonomi) yang bercirikan adanya sebuah subordinasi. Dengan demikian subordinasi ditanggapi sebagai suatu keniscayaan alami, sebuah prinsip utama yang melampui pembedaan antara manusia dan non manusia, serta sekaligus menaungi hubungan yang ada di antara keduanya.

Berbeda dengan tradisionalisme Filmer, inovasi Locke terletak pada upayanya menyingkirkan subordinasi serta relasi

Tony Rudyansjah 75

antara manusia dengan manusia lainnya, dan sekaligus mengurai lebih lanjut relasi antara manusia dengan makhluk hidup lebih rendah lainnya. Dalam pikiran Locke, pemisahan di antara keduanya diupayakan untuk dimantapkan, atau lebih tepatnya, diinstitusionalisasikan. Hubungan antara manusia dengan makhluk hidup lebih rendah lainnya dimantapkan sebagai sebuah pertalian yang bersifat kepemilikan (ownership). Artinya Tuhan dibayangkan telah menganugrahkan bumi kepada manusia untuk dimanfaatkan—sebagaimana dalam kerangka pikir yang sama, manusia juga dianggap sebagai ciptaan dan menjadi hak milik dari Tuhan. Namun dalam kerangka pikir Locke ini, hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dilihat tidak mengandung adanya sebuah perbedaan apapun: tidak ada satu hirarki apapun di dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya. Tidak ada satupun perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya; mereka semua bebas sekaligus setara di mata Tuhan. Hirarki baru terwujud ketika adanya perbedaan dalam status antara manusia dengan makhluk hidup lainnya yang menyebabkan timbulnya kepemilikan manusia atas makhluk hidup lebih rendah lainnya itu.

“…there cannot be supposed to be any such Subordination among us, that may Authorize us to destroy one another, as if we were made for another’s uses, as the inferior ranks of Creature are for ours.12

[tidak dapat dianggap terdapat satu Subordinasi semacam itu di antara kita, yang memberikan otoritas kepada kita untuk menghancurkan satu sama lain, sebagaimana layaknya kita diciptakan untuk digunakan oleh yang lainnya sebagai hal itu terjadi dalam tingkatan makhluk yang lebih rendah yang merupakan hak milik kita semua.]

Namun karena beberapa macam subordinasi di antara manusia secara empiris memang tidak dapat terhindarkan, maka hal tersebut harus dibangun berdasarkan persetujuan suara

12 John Locke, Two Treatises of Government, 1988, II, $ 7: 16-19 (hlm. 271).

76 alam, Kebudayaan & yang IlahI

bulat dari keseluruhan konstituen dari satu tatanan kehidupan bersama manusia. Pandangan hukum tentang dunia dari Locke menggambarkan alam semesta di bagi ke dalam tiga tingkatan: Tuhan, makhluk manusia, dan makhluk hidup rendah lainnya, di mana kesetaraan hanya terdapat di dalam lapis tingkatan makhluk manusia, sedangkan pertalian antara lapis yang lebih tinggi dengan lapis yang lebih rendah ditanggapi berazaskan pada hubungan kepemilikan. Tatanan serupa ini tentu saja lebih simplistik dan reduksionis daripada hirarki alam dunia dan surgawi abad pertengahan maupun abad kuno sebelumnya. Tatanan dari Locke itu semata-mata lebih berpusat hanya pada proses penguatan dan unifikasi species manusia manakala dihadapkan dengan alam dan makhluk hidup lainnya di muka bumi, atau dualisme manusia versus alam yang dijamin berdasarkan kerangka rujukan kepada Sang Penciptanya.

Transformasi yang dilakukan Locke ini pada hakikatnya merupakan pergeseran pemahaman yang cukup menyeluruh tentang kehidupan sosial dan politik yang sebelumnya berbasiskan pada suatu pandangan holistik dengan satu titik pusat pada subordinasi yang berperan menangkupi segalanya, termasuk fenomena ekonomi, yang kemudian berubah menjadi suatu pandangan yang berpusat pada ekonomi, atau lebih tepatnya, pada individu dan ekonomi, di mana politik kemudian ditanggapi hanya sebagai elemen tambahan yang bersifat marjinal.

Konsep kepemilikan (property) menempati posisi penting dalam pemikiran politik Locke. Teori Locke berkenaan dengan kepemilikan yang berkaitan erat dengan kerja, terdapat dalam buku Two Treatises of Government:

“though the Earth, and all inferior Creatures be common to all men, yet every Man has a Property in his own Person. This no Body has any Right to but himself. The Labour of his Body, and the work of his Hands, we may say, are properly his. Whatsoever then he removes out the State that Nature hath provided, and left it in, he hath mixed

Tony Rudyansjah 77

his labour with, and joined to it something that is his own, and thereby makes it his Property. It being by him removed from the common state Nature placed it in, it hath by this labour something annexed to it, that excludes the common right of other Men. For this labour being unquestionable Property of the Labourer, no Man but he can have a right to what is once joined to, at least where there is enough, and as good left in common for others.”13 [Meskipun bumi dan semua makhluk lebih rendah lainnya, dimiliki bersama oleh semua makhluk manusia, setiap insan manusia memiliki satu hak milik di dalam dirinya sendiri. Tidak ada orang lain yang berhak atasnya, kecuali dirinya sendiri. Hal itu adalah kerja dari badannya, dan kerja dari tangannya, yang dapat kita tegaskan, merupakan hak miliknya. Barangsiapa telah mengambil dari apa-apa yang alam telah sediakan, mengolah dengan kerjanya, dan menggabungkannya dengan sesuatu yang merupakan hak miliknya, maka hal itu dengan demikian telah menjadi hak miliknya. Dengan melepaskan dari keadaan bersama yang alam telah sediakan, dan menaikkan nilainya dengan kerja yang dicurahkan untuk mengolahnya, maka hal itu telah menyingkirkan kepemilikan orang lain atasnya. Karena kerja tak dinyana lagi merupakan hak milik dari insan yang bersangkutan, maka tidak ada orang lain selain dirinya sendiri yang memiliki apa yang telah dihasilkan oleh kerjanya, sejauh barang-barang yang diolahnya dari alam itu masih cukup persediannya dan tetap tersisa secara baik untuk yang lainnya]

Kalimat di atas itu kemudian dipandang banyak orang memberikan inspirasi terhadap teori nilai yang dikembangkan Adam Smith. Berdasarkan atas kalimat itu, Locke nampaknya mendukung gagasan bahwa hak milik merupakan sebentuk nilai yang telah diolah dari kerja atas alam, sebagaimana segala sesuatu yang terdapat pada alam itu dianugerahkan kepada manusia secara bersama-sama, dan nilai itu sendiri berasal dari kerja yang telah mereka curahkan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut sebagai hak milik itu sendiri. Tidak ada seseorangpun yang

13 John Locke, Two Treatises of Government, 1988, hlm. 287-288.

78 alam, Kebudayaan & yang IlahI

berhak merampas apa yang telah menjadi hak miliknya—tidak juga monarki atau raja. Satu hal terpenting bahwa dalam tahap awal perkembangan pemikirannya, Locke masih mengaitkan kepemilikan yang berasal dari kerja individu untuk perlu dibatasi dan sekaligus diorientasikan pada kebutuhan sosial secara keseluruhan, yakni harus tetap mempertimbangkan kepentingan individu lain secara merata. Konteks pemikiran Locke ini masih sejalan beriringan dengan konsepsi Abad Pertengahan, di mana pada abad ke-14 Paus menjelaskan kepada para rahib dari Ordo Fransiskus bahwa sop dan keju yang mereka hasilkan dari keringat kerja mereka adalah hak milik mereka, apa yang mereka hasilkan dari alam merupakan milik mereka, untuk itu mereka harus bertanggungjawab atas keberlangsungan apa-apa yang telah mereka ambil dari alam tersebut.14

Pemikiran Locke mengalami perkembangan di tahap berikutnya ketika ia memberi pembenaran terhadap hak kepemilikan yang tak terbatas. Pada kedua tahap perkembangan pemikirannya, Locke sama-sama mendasarkan pengertian hak milik pada kerja yang dilakukan individu, bukan pada kebutuhannya individu, hal ini sesungguhnya merupakan suatu yang bersifat sangat modern. Perbedaan tahap awal dengan tahap selanjutnya dari pemikiran Locke soal hak milik hanya terletak pada soal pembatasan penggunaan langsungnya yang terdapat pada tahap awal konsepsinya Locke. Sehingga sejak saat itu, benih-benih perbedaan antara ‘hak pakai’ dan ‘hak kepemilikan’ dalam pengertian modern sudah mulai tumbuh dan muncul dalam pemikiran Locke. Kembali ke pokok persoalan, maka bukannya jauh dari sikap skeptis maupun anti terhadap kapitalisme, individualisme dari Locke dalam kenyataannya justru sangat mendukung ideologi kapitalis. Berkenaan dengan ini, Karl Marx menjadi pengkritik Locke maupun Adam Smith yang paling keras, kendati di saat yang bersamaan ia juga sangat

14 Louis Dumont, From Mandeville to Marx, 1883, hlm. 51.

Tony Rudyansjah 79

berhutang budi pada mereka. Locke sendiri tidak terlalu peduli untuk mendamaikan teori kerjanya tentang nilai (labour theory of value) dengan kesimpulan lain yang bisa disimpulkan orang, yakni sesuatu yang kontradiktif antara hakekat legal dari nilai kepemilikan dengan hak untuk memiliki lahan tanah melebihi dari apa dibutuhkan oleh seorang individu. Secara khusus, kesimpulan semacam itu tentu saja dapat mendukung nilai kepemilikan yang melimpah dan berkelebihan. Ia memang telah berupaya membuat berbagai variasi, dengan menggunakan berbagai rekaan historis, tentang penemuan uang sebagai alat tukar, yang telah juga didiskusikan oleh Hobbes dan Aristoteles. Akan tetapi bahasan ini akan kita diskusikan di bab lain mengenai teori kerja dari nilai dalam pikiran Marx.

Jika dikembalikan pada pokok pembahasan utama, maka Locke menjadi seorang pioner inovator dengan menempatkan kembali pengertian kepemilikan pada keadaan alaminya, yang mendasarkan hal itu pada aktivitas hasil kerja manusia. Atas dasar itu, maka tidak mengherankan apabila Macpherson memberi label terhadap teori Locke sebagai possessive individualism.15 Secara lebih rinci, kepemilikan dalam pemikiran Locke meliputi pengertian yang sangat luas dan mencakup: kehidupan, kebebasan, dan estate (tingkatan hidup yang telah dimiliki) seseorang. Menurutnya, sejumlah orang yang bergabung masuk ke dalam suatu himpunan yang disebut masyarakat adalah dalam rangka:

“mutual Preservation of their Lives, Liberties and Estates, which I call by the general Name, Property”16

[pelestarian bersama kehidupan, kebebasan, dan tingkatan hidup yang sudah dimiliki mereka, yang kesemuanya saya dapat sebut dengan satu nama yang umum sebagai Kepemilikan]

15 C.B Macpherson The Political Theory of Possesive Individualism. 196216 John Locke, 1988, II, $ 123: 14-16 (hlm. 350).

80 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Lebih lanjut Locke menguraikan bahwa:“By Property I must be understood here, as in other places, to mean that Property which men have in their Persons as well as Goods.”17

[Dengan menyebutkan Kepemilikan, saya harus dipahami mengar tikannya, sebagaimana juga di tempat-tempat lainnya, sebagai Kepe milikan yang dimiliki orang-orang atas dirinya dan barang-barangnya.]

Peter Laslett dalam pengantarnya untuk buku Locke Two Treatises of Government, mendiskusikan bahwa meskipun pendefinisian yang dibuat Locke itu kelihatannya lazim dan normal bagi para pembacanya pada abad ke-17, hal itu sesungguhnya berperan sangat fungsional bagi kerangka pemikiran yang hendak dikokohkan Locke.18 Dengan cara itu, Locke, menurut Laslett, berhasil mendasarkan kepemilikan atas barang-barang pada tenaga kerja manusia, dan dengan demikian, memberi jusfifikasi bagi adanya hak atas hal-hal yang berada di luar diri seseorang justru berdasarkan pada apa yang sesungguhnya berada dalam diri individu yang bersangkutan, yaitu badan dan usaha jerih payahnya. Berdasarkan pokok pikiran itu, maka relasi juridis antara manusia dengan barangnya dilihat bukan lagi berasal dari keniscayaan tatanan sosial, melainkan lebih berasal pada ciri instrinsik manusia sebagai seorang individu yang mandiri. Kepemilikan di sini bukan merupakan suatu kategori ekonomi yang murni dalam dirinya sendiri, melainkan lebih menjadi suatu kategori ekonomi yang belum terputus pertaliannya dengan pusatnya yang religius dan politis. Dengan kata lain, hal itu telah menampilkan suatu esensi yang penting, yaitu bahwa dengan pengertian kepemilikan seperti itu maka sesuatu yang sepenuhnya tergantung pada seorang individu ditempatkan dalam posisi sentral di dalam suatu tatanan sosial yang sebelumnya sangat holistik dan hirarkis. Poin

17 John Locke, 1988, II, $ 173: 4-6 (hlm. 383).18 Peter Laslett di dalam John Locke, 1988, Introduction, hlm. 100-

102.

Tony Rudyansjah 81

ini menegaskan bahwa kepemilikan bukan merupakan suatu hasil kebetulan historis semata dari suatu gejala permanen yang kita sebut dengan individualisme, melainkan justru dari balik topeng kepemilikan itulah individualisme muncul, menerobos, bahkan menghancurkan dinding pertahanan lawan tandingnya yang berasal dari tatanan kepatuhan dan hirarki sosial dunia lama yang nampaknya sudah mulai usang, sehingga individualisme pada akhirnya berhasil meneguhkan dirinya sebagai penguasa tunggal di atas takhta kosong yang telah ditinggalkan penguasa lamanya.

Ada semacam suatu sintesa orisinil antara moralitas dengan politik, dan juga antara politik dengan ekonomi di dalam pemikiran Locke di atas. Kecerdikan Locke terletak pada kelihaiannya dalam mereduksi politik hanya menjadi elemen tambahan yang marjinal sifatnya dari moralitas dan ekonomi. Moralitas dan ekonomi menopang sekaligus menjadi basis yang kokoh di mana politik harus dikonstruksikan. Sebagaimana telah saya diskusikan, subordinasi sebagai satu prinsip sosial kehilangan tumpuannya dalam pemikiran politik Locke, yang mana kemudian posisi tersebut ia gantikan dengan kewajiban moral. Dengan cara itu, Locke berhasil mencegah jatuhnya kebebasan manusia (liberty)—yang ditanggapinya sebagai suatu hak milik manusia yang sangat berharga—ke dalam derajat hina, karena moralitas mampu menyediakan satu macam padanan dari keteraturan sosial, yakni internalisasi secara langsung ke dalam diri individu masing-masing berbagai nilai sosial yang ada, sehingga kehidupan bersama sejumlah individu manusia dalam satu sistem sosial mungkin untuk tetap dijamin keberlangsungannya. Pergantian ini, mengubah manusia sebagai makhluk sosial (social being) menjadi makhluk individual (individual being) dimungkinkan, karena Kristianiti (agama panutan Locke) menjamin individu sebagai makhluk moral (moral being).

Dalam argumentasinya, Locke berpendapat bahwa manusia pada dasarnya bersifat sudah terlahirkan dalam relasinya dengan

82 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Tuhan dan sesamanya. Manusia ini dicirikan baik oleh sejumlah relasi fisik yang terhubungkan dengan berbagai hal di luar dirinya, maupun oleh sejumlah relasi batiniah di dalam dirinya. Oleh sebab adanya relasi manusia dengan Tuhannya—suatu relasi yang sesungguhnya bersifat abstrak—, maka padanan semacam itu dapat juga digunakan untuk menjadi pengganti dari berbagai pertautan konkrit yang sebelumnya ada dalam komunitas manusia, sehingga masyarakat kemudian dapat lebih mudah ditanggapi sebagai himpunan yang lebih bersifat abstrak dari sejumlah individu-individu. Dasar dari kesepakatan sejumlah individu untuk hidup dalam satu sistem bersama itu tentu saja tetap sama, yakni berdasarkan pada keyakinan (faith) atas adanya suatu pertalian semua manusia di hadapan mata Tuhan, sehingga kewajiban moral setiap individu tetap terjaga dengan baik, yang pada gilirannya memungkinkan untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia secara bersama.

Pergulatan rumit dari pemikiran Locke tersebut sebetulnya menggambarkan benturan antara ideologi lama (hirarki sosial) yang mulai runtuh dengan ideologi baru (individualisme) yang belum sepenuhnya terbentuk. Arti penting ideologi baru ini akan semakin jelas terlukiskan dalam pembahasan mengenai Adam Smith di akhir bab ini. Satu aspek yang sangat menonjol dari konfigurasi pemikiran politik Locke adalah bahwa dengan mengartikan semua kepemilikan dalam arti yang luas (termasuk kehidupan dan kebebasan) berasal dari dalam diri individu, ia tidak hanya mensejajarkan atau menyamakan ekonomi dengan politik, melainkan membuat ekonomi menduduki tingkatan yang lebih tinggi daripada politik. Pada hakekatnya hal itu—meski tidak terlalu banyak disinggung orang—memiliki banyak kemiripan dengan pemikiran Karl Marx yang menganggap bahwa infrastruktur jauh lebih penting daripada superstruktur.

Tony Rudyansjah 83

Dari Sifat Buruk menjadi Kebajikan SosialSebelumnya ulasan mengenai Hobbes dan Locke telah

disajikan untuk memperlihatkan bagaimana pengaruh mereka di dalam merumuskan dan menyebarkan suatu ideologi individualistik yang berdasarkan pada sebuah filsafat materialis. Namun hanya tulisan Bernard Mandeville yang barangkali dapat dilihat sebagai contoh paling dramatis dari cara bagaimana abad ke-18 mulai menganut gagasan yang merubah individual selfishness menjadi sebuah kebajikan sosial.

Mandeville adalah seorang dokter kelahiran Belanda yang kemudian tinggal di Inggris. Ia seorang dokter ahli dalam bidang amnesia psikosomatik. Karya kecilnya, sebuah sajak dengan judul The Fable of the Bees; or, Private Vices, Publick Benefits sangat menggemparkan masyarakat Inggris sewaktu diterbitkan pada tahun 1714. Karya ini pada awalnya berasal dari sebuah sajak satire yang berjudul The Grumbling Hive; or, Knaves Turn’d Honest, yang diterbitkan pada tahun 1705. Sajak yang pada edisi berikutnya menjadi semakin tebal dalam bentuk The Fable of the Bees; or, Private Vices, Publick Benefits dengan banyaknya penambahan catatan kaki dalam rangka menjawab berbagai kritik yang datang atas karya sebelumnya. Sajak tersebut bercerita mengenai sekawanan sarang lebah yang hidup layaknya manusia. Beberapa baris sajak Mandeville yang banyak dikutip orang ialah sebagai berikut:

Vast Numbers throng’d the fruitfull Hive;Yet those vast numbers made ‘em thrive;Millions endeavoring to supplyEach other’s Lust and Vanity;19

[Sejumlah besar kawanan mengerumuni sarang yang subur;Namun sejumlah besar kawanan itu membuat mereka sejahtera;Berjuta-juta berupaya memenuhiKeserakahan dan Keangkuhan masing-masing;]

19 Bernard Mandeville, The Fable of the Bees, Vol. 1, the Online Library of Liberty, 2005, hlm. 67.

84 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Mandeville kemudian mengulas berbagai macam profesi seperti tentara, ahli hukum, dokter, juru tulis, tukang besi, pendeta, dan bahkan, pencopet, layaknya sekerumunan lebah di dalam mana berbagai kecurangan, korupsi, kekeliruan, kerakusan, dan ketamakan bisa timbul dalam sarangnya. Namun ia akhirnya menyimpulkan:

THUS every Part was full of Vice,Yet the whole Mass a Paradise;20

[Jadi setiap bagian penuh dengan sifat buruk,Namun keseluruhannya adalah sebuah surga;]

Sajak ini juga mengulas bahwa manakala Tuhan memutuskan untuk mengakhiri semua sifat buruk dan kelicikan manusia, maka yang kemudian terjadi justru bencana. Dengan sangat gamblang, Mandeville ingin menyampaikan pesannya bahwa hal-hal yang kita anggap sebagai sifat buruk individu, seperti kerakusan, hawa nafsu, ketamakan, cinta kemewahan, dan bahkan, sifat jahat, merupakan sesuatu yang esensial bagi perkembangan dan kesejahteraan suatu masyarakat maupun bangsa. Reformasi yang dibangun dengan maksud melenyapkan sifat buruk manusia tersebut, menurut Mandeville, hanya akan mendatangkan kerugian.

THEN leave Complains: Fools only striveTo make a Great an Honest HiveT’ enjoy the World’s Conveniencies,Be fam’d in War, yet live in Ease,Without Great Vices, is a vainEutopia seated in the Brain.Fraud, Luxury and Pride must liveWhile we the Benefits receive:21

[Kemudian daun mengeluh: si dungu hanya berupayamembuat sarang yang jujur menjadi besarMenikmati keademan duniaTerkenal di medan perang, namun hidup dalam kesahajaan

20 Bernard Mandeville op.cit, hlm. 69.21 Bernard Mandeville, op.cit, hlm. 74.

Tony Rudyansjah 85

Tanpa Sifat Buruk adalah kesia-siaanUtopia hanya mendekam di dalam PikiranKecurangan, Kemewahan dan Keangkuhan harus ada Manakala kita yang menerima berbagai manfaatnya:]

Pesan Mandeville dalam sajak itu jelas bahwa mengenyahkan sifat buruk manusia hanya akan mengakibatkan kehancuran. Karenanya, tidak diperlukan adanya reformasi moral. Dengan kata lain, biarkan kelicikan, cinta kemewahan, dan sifat buruk tetap ada sepanjang masa apabila kita semua pada akhirnya justru menerima manfaatnya. Melalui sajaknya, Mandeville secara eksplisit mengungkapkan keyakinannya bahwa pengejaran kesenangan pribadi yang dilakukan seorang individu akan membawa kebaikan serta kebahagiaan bagi sejumlah besar orang lain, bahkan kesejahteraan manusia seluruhnya.

Sajak itu secara jelas mengeluarkan pengejaran kepentingan pribadi dari cangkang moralitas, sekaligus menggeser penekanan yang biasanya hadir dalam teori-teori sosial sebelumnya, yaitu pergeseran dari keutamaan relasi manusia dengan manusia ataupun relasi manusia dengan tuhan menuju kepada keutamaan relasi manusia dengan barang, karena pesan yang terkandung dalam sajak tersebut mengungkapkan bahwa apabila seorang individu selalu berupaya memburu kepentingan materiilnya, maka moral dari satu masyarakat akan tetap terjamin.

Pergeseran penekanan keutamaan hubungan semacam itu diulas oleh Albert O. Hirschman dalam buku The Passions and the Interests saat menyatakan bahwa hanya dibutuhkan satu langkah yang sangat kecil untuk menggantikan kata-kata seperti gairah (passions) dan sifat buruk (vice) dengan kata-kata seperti kepentingan (interests) dan keuntungan (advantages). Begitu populernya kata-kata kepentingan dan keuntungan, sehingga istilah-istilah itu kemudian memenuhi berbagai halaman tulisan dari ilmu ekonomi klasik.

Hirschman juga menegaskan bahwa pandangan tentang

86 alam, Kebudayaan & yang IlahI

masyarakat sebagai hasil dari pengejaran kepentingan pribadi seorang individu merupakan sebuah pandangan mengenai suatu dunia yang lebih terprediksi, yang pada masa sebelumnya tidak pernah dialami manusia.22 Sejak saat itu, gairah dari setiap orang berperan menggantikan gairah absolut sang raja. Gairah seorang raja yang absolut digantikan oleh gairah komersial para individu di dalam masyarakat yang berlangsung di satu institusi perdagangan dan komersialisasi yang justru jauh lebih kompleks daripada institusi feodalisme yang telah ada sebelumnya. Di dalam monarki absolut yang ditopang oleh gereja, ideologi mengejar kepentingan pribadi yang individualistik tidak pernah memperoleh tempatnya. Setiap individu harus bekerja dan berbakti kepada raja maupun para bangsawan sebagai tuan mereka. Selain itu, penggunaan istilah kepentingan (interests) adalah untuk bisa menggambarkan manusia secara lebih konstan, dan, oleh karenanya, menjadi lebih dapat diprediksi daripada istilah gairah manusia. Sebagaimana perkara tersebut pernah dinyatakan oleh Spinoza:

“Men may differ in nature from one another insofar as they are agitated by…passions, and insofar as one and the same man is agitated by passions is he changeable and inconstant.”23

[Manusia dapat berbeda satu sama lainnya sejauh mereka digerakkan oleh… gairah, dan sejauh seseorang, dan seorang yang sama, digerakkan oleh gairah maka dia berubah-rubah dan tak konstan.]

Bandingkan kontras yang terjadi pada abad ke-17 ketika kepentingan (interests) dibayangkan banyak orang di Eropa sebagai suatu pepatah politik yang populer masa itu, yakni ‘Interest Will Not Lie’.24 Kepentingan tidak akan berbohong, sehingga ia pun ditanggapi tidak akan bisa menipu siapapun, dan karena tidak bisa menipu siapapun, maka ia dapat dianggap aset untuk kehidupan

22 Albert O. Hirschman, The Passions and the Interest, 1981, hlm. 48-55.23 Benedict Spinoza, The Political Works, 1958, Prop. 33.24 Albert O. Hirschman, op.cit, hlm. 49.

Tony Rudyansjah 87

politik maupun kehidupan sosial bersama, sebagaimana hal itu tercermin dalam pernyataan Sir James Steuart:

“Were miracles wrought every day, the laws of nature would no longer be laws: and were everyone to act for the public, and neglect himself, the statesman would be bewildered….… were people to become quite disinterested: there would be no possibility of governing them. Everyone might consider the interest of his country in a different light, and many might join in the ruin of it, by endeavoring to promote its advantages.25

[apabila berbagai keajaiban bertahta setiap hari, maka hukum alam tidak akan bisa lagi sebagai hukum alam, dan apabila setiap orang bertindak demi publik, dan mengabaikan dirinya sendiri, maka negarawan akan menjadi bingung….…apabila berbagai orang menjadi tidak berkepentingan, maka menjadi tidak mungkin untuk memerintah mereka. Setiap negarawan bisa menganggap kepentingan negaranya dalam cara yang berbeda-beda, dan banyak orang akan bergabung di dalam kehancurannya, melalui cara berupaya memajukan keuntungannya sendiri-sendiri.]

Berdasarkan pernyataan di atas, tentu saja individualisme Mandeville tidak dapat dikatakan menjelma menjadi satu teori sosial hanya dalam semalam. Permasalahan teoritis yang rumit ialah memperhitungkan “fakta ajaib” yang diungkapkan oleh Mandeville, bahwa setiap bagian penuh dengan sifat buruk, namun keseluruhannya merupakan sebuah surga; bagaimana hal tersebut bisa berlangsung seperti itu? Suatu tradisi panjang di mana suatu macam sentimen sebelumnya yang jauh berbeda dibandingkan suatu sentimen baru yang sedang muncul, tidak akan lenyap begitu saja dari suatu komunitas. Oleh sebab itu tentu banyak terdapat berbagai ketidak-konsistenan dalam rumusan awal teori ilmiah tentang masyarakat berdasarkan sudut pandang

25 Sir James Steuart, Inquiry into the Principles of Political Oeconomy, 1767 [1966], hlm. 143-144.

88 alam, Kebudayaan & yang IlahI

sentimen yang baru itu. Adam Smith adalah tokoh pemikir lain yang dapat disebut sebagai wakil utama pendukung sentimen yang berdasarkan pada the virtue of selfishness dari Mandeville.

Akhirnya Ekonomi, Sebuah Emansipasi dari Moralitas

Dalam pembahasan tentang Locke di atas, kita telah mendiskusikan bahwa ekonomi tidak mungkin dapat menegaskan dirinya tanpa membebaskan dirinya sendiri dari politik. Perkara yang serupa juga berlaku pada ekonomi dalam kaitannya dengan moralitas. Namun dalam konteks moralitas ini, persoalan emansipasi yang dihadapi ekonomi jauh lebih kompleks, karena yang dihadapi ekonomi tidak melulu hanya soal moralitas. Tindakan ekonomi harus bisa dibuktikan memiliki orientasi tidak hanya kepada sesuatu yang menguntungkan secara materiil, tetapi mengandung juga suatu kebajikan moral, atau dengan kata lain, mengandung suatu karakter moral tersendiri. Hanya melalui cara itulah, ekonomi mampu menghindarkan dirinya dari gugatan penilaian moral yang diluncurkan orang kepadanya dengan tuduhan tidak mengandung satu kebajikan apapun.

Perkembangan pemikiran Adam Smith, yang menulis tidak hanya The Theory of Moral sentiments, namun juga The Wealth of Nation, harus didiskusikan di sini untuk memahami bagaimana masalah pelik tersebut dapat diatasi. Dalam The Theory of Moral sentiments, Smith masih sangat menegaskan bahwa ciri utama dari manusia adalah melekatnya sentiment dalam diri manusia. Berdasarkan pada sentimen itulah, bentuk simpati antara satu individu dengan individu lainnya sesungguhnya dapat ditumbuh-kembangkan.

…how selfish soever man may be supposed, there are evidently some principles in his nature, which interest him in the fortune of others, and render their happiness necessary to him, though he derives nothing from it except

Tony Rudyansjah 89

the pleasure of seeing it.26

[bagaimanapun egoisnya manusia diasumsikan, tetap saja terdapat beberapa prinsip di dalam hakekat dirinya, yang menyebabkannya memiliki ketertarikan pada kebahagiaan orang lain, sehingga kebahagiaan orang lain itu merupakan juga satu keniscayaan bagi dirinya, meskipun ia tidak mendapatkan apapun selain kesenangan semata dalam melihat kebahagiaan orang lain.]

Berdasarkan kalimat itu, yang mana sering dikutip orang dengan tujuan membuktikan Smith sebagai penganut social individuality, para ilmuwan pada umumnya sepakat bahwa konsep paling dasar dalam The Theory of Moral sentiments adalah simpati. Berdasarkan konsep inilah Smith mengembangkan pandangan antropologisnya mengenai individualitas sosial manusia. Dalam teorinya tentang tindakan komunikatif (theory of communicative action)—yang meskipun Smith sendiri tidak pernah menggunakan kata itu (baca: theory of communicative action) —, namun istilah tersebut tetap digunakan di sini, karena Smith memang dapat dianggap mengembangkan teori semacam itu. Smith menegaskan bahwa setiap bentuk individualisme egoistik (egoistic individualism) pada akhirnya harus runtuh karena adanya fakta bahwa setiap pemahaman antara satu individu terhadap individu lainnya mempersyaratkan adanya pertukaran situasi yang senantiasa berubah antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, yang dimungkinkan terwujud melalui perantaraan imajinasi masing-masing.

Dengan demikian, prakondisi mutlak bagi seseorang untuk bisa menempatkan dirinya di dalam situasi orang lain adalah penanggalan terlebih dahulu berbagai kepentingan, perasaan, dan hasrat pribadinya. Tanpa prakondisi seperti itu, tidak mungkin dapat terjalin pemahaman satu orang terhadap orang lainnya (mutual understanding), dan tanpa adanya pemahaman satu

26 Adam Smith, The Theory of Moral Sentiment, 2004, hlm. 11.

90 alam, Kebudayaan & yang IlahI

terhadap lainnya tidak mungkin dapat terwujud komunikasi antar manusia. Singkat kata, Smith berpendapat bahwa manusia harus mengembangkan simpati satu sama lain. Berdasarkan prinsip awal ini, pandangan antropologis tentang makhluk manusia dalam kerangka pikir Smith dilihat sebagai social individuality (individualitas sosial). Menurut prinsip awal tersebut, manusia akan merasakan dan mencapai kebahagian manakala melihat sesamanya bahagia. Manusia menikmati kebahagiaan orang lain tanpa mengharapkan apapun, kebahagiaan itu sendiri diperoleh saat melihat sesamanya bahagia. Pandangan Smith ini tentu saja seakan-akan begitu simplistik, namun dibaliknya terdapat persoalan teoritis yang sangat rumit dan kompleks.

Pandangan antropologis mengenai manusia sebagai social individuality, di mana sentimen menduduki posisi yang utama, adalah satu pandangan yang memang bersifat normatif tentang hakekat manusia. Hal itu lebih merupakan satu asumsi antropologis yang dikembangkan Smith dalam The Theory of Moral Sentiments tentang konstitusi diri manusia (constitution of self). Smith mengembangkan teori tentang konstitusi diri seperti itu sebagai satu upaya menjawab persoalan dualisme antara individu dan masyarakat, yang kemudian menjadi persoalan utama filsafat modern sejak kemunculan buku Edmund Husserl Cartesian Meditation, terkenal dengan istilah constitution of self. Persoalan utama filsafat modern jika dijelaskan secara lebih tepat adalah persoalan kemampuan kita untuk bisa memberikan jawaban bagaimana kognisi dan pengetahuan seorang individu, atau bagaimana sudut pandang seorang subjek yang sedang melakukan kemampuan kognisi, dapat dikatakan sahih atau valid secara objekfif.

Sejak masa Descartes, permasalahan utama yang dihadapi filsafat modern ialah permasalahan tentang constitution of self dan pertanyaan tentang impartiality (tanpa kepentingan atau nir pamrih), keduanya menduduki posisi sentral sebagai permasalahan utama. Artinya, di satu sisi apa yang dapat kita katakan sebagai

Tony Rudyansjah 91

fondasi dan perangkat dari kognisi tentang diri sendiri dan diri orang lain, serta di sisi lain, apa yang dapat kita katakan menjadi fondasi dan perangkat dari penilaian mengenai diri sendiri dan diri orang lain. Sehingga penilaian kita itu pada akhirnya dapat dikatakan tanpa pamrih atau nir kepentingan, yang dengan demikian dapat dikatakan sahih. Smith berupaya menjawab persoalan utama filsafat modern itu dengan suatu cara yang sangat unik melalui sebuah deskripsi yang sangat komprehensif mengenai kondisi manusia di tingkat mikro dari relasi sosialnya.

Dalam teori tentang konstitusi diri, Smith menggunakan suatu pendekatan inter-subjektif. Ia memulai eksplorasinya dengan sejumlah pertanyaan berkenaan dengan konstitusi diri orang lain. Pertanyaan Smith perihal bagaimana kita mengenali dan memahami orang lain, mau tidak mau mencakup juga pertanyaan apa yang kita pahami dari orang lain. Kedua pertanyaan itu, dengan demikian, tak mungkin dipisahkan. Dalam tradisi teoritis berkenaan dengan konstitusi diri, kita dapat membedakan para ahli filsafat yang mengembangkan teorinya dengan mengetengahkan diri sendiri sebagai titik pijakannya di satu sisi, dengan para ahli filsafat yang menjadikan diri orang lain sebagai titik pijakan utamanya, di sisi lain.

Untuk memahami dua tradisi yang berbeda ini ada baiknya apabila kita mengikuti pembedaan yang dibuat oleh Jacques Lacan, yakni yang pertama adalah tradisi Cogito yang dikembangkan oleh Rene Descartes,27 dan yang kedua adalah tradisi Cermin (Mirror) yang dikembangkan oleh Gottfried Leibniz. Pembedaan antara kedua tradisi inilah yang sesungguhnya merupakan persoalan epistemologis sekaligus ontologis tentang kondisi manusia yang dicoba diatasi Smith, dan dalam hal tertentu apa yang dilakukan Smith jauh lebih kompleks daripada apa yang dikembangkan Lacan. Bagaimana kompleksnya pendekatan metodologis yang

27 Tradisi Cogito dari Descartes ini sering juga disebut dengan istilah tradisi Cartesian.

92 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dikembangkan Smith dalam menjawab persoalan rumit ini dapat kita dipahami dengan memulai pembahasan tentang tradisi Cogito beserta berbagai kesulitan yang menyertainya.

Titik pijakan Descartes dalam teorinya tentang konstitusi diri (constitution of the self) berangkat dari dalil cogito ergo sum, yang berarti ‘saya berpikir, oleh karena itu saya ada’. Titik pijakan awalnya adalah diri sendiri (self), sedangkan Smith, adalah orang lain (other self). Teori Descartes, karenanya dapat dikatakan merupakan self-referential theory tentang konstitusi diri. Dalam rangka mengkonstitusikan dirinya, seseorang tidak membutuhkan referensi apapun dari orang lain, termasuk pengertian tentang jati dirinya. Tradisi Cartesian itu pada abad ke-18 kemudian diambil-alih oleh Kant, yang pada gilirannya tertarik untuk mengembangkan suatu fondasi pengetahuan murni (foundation of pure knowledge), yaitu suatu bentuk pengetahuan yang merupakan abstraksi dari setiap bentuk pengalaman dan persepsi inderawi. Berdasarkan dalil Descartes tersebut, maka dapat diutarakan bahwa kesulitan yang dihadapi self-referential theory tentang konstitusi diri ialah:• Apa yang semata-mata menjadi subjek tidak mungkin dapat

menjadi objek dari refleksi, karena apa yang bisa diperlakukan sebagai objek membutuhkan eksistensinya dari sesuatu yang lain yang berada jauh melampui keberadaannya melulu hanya sebagai sesuatu yang sedang dipikirkan dalam benak semata.

• Bagaimana subjek yang berpikir dapat memikirkan dirinya tanpa dunia yang bersifat eksternal. Atau dengan kata lain, bagai mana subjek mungkin untuk dapat menegaskan bahwa ‘saya adalah saya, karena saya adalah saya’ tanpa mengaitkan kebe naran penegasan itu dengan relasinya dengan pihak/orang lain.

• Bagaimana mungkin seorang subjek yang sedang berpikir bisa memastikan bahwa apa yang sedang dipikirkannya bukan merupakan sesuatu ilusi atau khayalan semata.

Tony Rudyansjah 93

Bagi Descartes, berbagai kerumitan itu tidak relevan, karena apa yang menjadi permasalahan utamanya adalah ‘saya berpikir, dan sejauh saya berpikir, maka saya dapat memastikan diri saya bahwa saya ada’. Semua pertanyaan lain, seperti isu benar tidaknya dan kepastian penilaian seorang subjek merupakan persoalan yang sekunder bagi Descartes. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Descartes berpendapat cogito ergo sum (‘saya berpikir, oleh karena itu saya dapat menyatakan diri saya ada’) tanpa peduli apakah saya berpikir secara benar atau sesungguhnya sedang keliru. Apa yang dipentingkan Descartes adalah fakta bahwa diri sedang dikonstitusikan, sedangkan bagaimana diri itu dikonstitusikan merupakan satu persoalan yang dianggapnya tidak penting. Dalam kenyataan sesungguhnya di dunia riil, pertanyaan tentang apakah saya berpikir hampir tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan apa yang sedang saya pikirkan, dan lebih lanjut bagaimana saya melakukan pemikiran itu.

Kerumitan utama tradisi Cartesian adalah penyingkiran orang lain di dalam kerangka teori yang dikembangkan Descartes. Persoalan bagaimana seorang subjek yang bersifat absolut di dalam dirinya sendiri mungkin untuk bisa memiliki keprihatinan dan sadar akan orang lain manakala subjek melulu bersifat self-referential merupakan persoalan penting yang harus dijawab dalam sejarah filsafat Eropa sejak masa Descartes: bagaimanakah seorang subjek seharusnya melihat orang lain apabila subjek itu telah menetapkan dan meneguhkan dirinya sendiri sebelum mengkonstitusikan diri orang lain dengan berbagai kerangka nilai, kriteria, dan tastes yang semata-mata berasal dari diri subjek itu sendiri? Singkatnya, tradisi Cartesian tidak mampu memberikan sebuah transmisi terhadap orang lain. Apabila diri subjek mendekati diri orang lain hanya berdasarkan nilai dari diri subjek sendiri, maka subjek itu akan memaksakan nilainya sendiri terhadap orang lain itu tanpa mampu meraih nilai apapun dari orang lain dalam pertimbangannya. Konsekuensi logis dari tradisi Cartesian ini adalah gambaran

94 alam, Kebudayaan & yang IlahI

homo humini lupus dari Hobbes: keadaan alami manusia bukanlah toleransi dan pengakuan satu sama lain, melainkan suatu keadaan dari hasrat manusia untuk senantiasa berupaya memperoleh kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri, sehingga yang terjadi kemudian adalah perang semua terhadap semua.

Selanjutnya Smith merumuskan teorinya tentang konstitusi diri sebagai argumentasi terhadap tradisi Cogito dari Descartes di atas. Prinsip utama teori Smith adalah melihat diri sendiri sebagaimana layaknya orang lain melihat diri kita.

“When we have to give up our cogito-principle as soon as we are confronted with the other selves and therefore must see ourselves as others would or likely to see us, then, cogito cannot serve as the point of departure. Therefore, why do we not put this principle of to see ourselves as others would see us at the begin of our theory of the constitution of the self, which would provide to our judgements more solid, that is, more objective foundation and by this we may be prevented from passing subjectivist judgements upon others and upon us.”28

[Sewaktu kita menanggalkan prinsip cogito kita manakala kita berhadapan dengan orang lain, dan dengan demikian, harus melihat diri kita sendiri sebagaimana orang lain melihat diri kita, maka cogito tidak dapat digunakan sebagai titik pijakan. Oleh karena itu, kenapa kita tidak meletakkan prinsip melihat diri sendiri sebagaimana orang lain melihat diri kita sebagai awal dari teori kita tentang konstitusi diri, yang mampu memberikan satu landasan yang lebih solid dan objektif pada penilaian kita, dan dengan demikian dapat melindungi kita dari penilaian yang bersifat subjektif baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri.]

Teori Smith itu pada dasarnya adalah Teori cermin tentang diri. Kebanyakan para ahli kemudian menelusuri asal usulnya pada pengaruh David Hume terhadap Smith. Di buku Hume dengan judul A Treatise of Human Nature, Hume memang menegaskan bahwa:

28 Adam Smith, The Theory of Moral Sentiment, 2004, hlm. 5-6.

Tony Rudyansjah 95

“In general we may remark, that the minds of men are mirrors to one another, not only because they reflect each others emotions, but also because those rays of passions, sentiments and opinions may be often reverberated, and may decay away by insensible degrees.”29

[Umumnya kita dapat menyatakan pikiran-pikiran orang pada dasarnya merupakan cermin satu sama lain, tidak hanya karena pikiran-pikiran itu merefleksikan emosi masing-masing satu sama lain, melainkan juga karena untaian kegairahan, sentimen dan opini tersebut seringkali bisa dikumandangkan dan sekaligus bisa menghilang dalam taraf yang tidak sepenuhnya dapat disadari.]

Editor dari buku Smith The Theory of Moral Sentiments merujuk kutipan ini sebagai bukti bagi asal muasal pengaruh Hume terhadap pemikiran Smith.30 Meskipun begitu, saya berpendapat bahwa pengaruh Hume terhadap Smith dalam soal ini sangat minimal berdasarkan pada dua alasan utama:• Referensi Hume terhadap Teori Cermin sangat kebetulan

sifatnya, karena apabila kita cermati agnosticisme dan individualisme epistemologis Hume, maka kita dapat mengatakan bahwa Hume nampaknya tidak sepenuhnya sadar atas arti penting Teori Cermin bagi epistemologi, filsafat moral, maupun teori politik dan sosialnya yang lain. Sangat berbeda kontras dengan Hume, Smith justru menggunakan dan mene rapkan Teori Cermin secara sangat konsisten pada keseluruhan karyanya.

• Terlepas dari fakta bahwa Teori Cermin berasal dari filsafat Yunani Kuno, di zaman modern Teori Cermin ini telah dimantapkan jauh sebelum Hume melalui tokoh-tokoh pemikir seperti Leibniz berdasarkan satu prinsip metafisikal idealis, maupun oleh Locke berdasarkan pada landasan yang sifatnya materialis.

29 David Hume, A Treatise of Human Nature, 1978, hlm. 365.30 Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, 2004, hlm. 110n.

96 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Di bawah ini kita akan fokus membahas pengaruh Teori Cermin Leibniz terhadap Smith.

Leibniz merumuskan Teori Cermin dalam tingkat yang sangat metafisik dan sangat mendasar. Ia memperlakukan teori ini sebagai suatu prinsip penting bagi landasan utama semua ilmu pengetahuan. Kesamaan utama antara Teori Cermin Leibniz dan Smith terletak pada perhatian mereka berdua terhadap preposisi dialektik Stoik yang menegaskan bahwa semua substansi, termasuk monad, adalah bersifat partikular, namun berinterrelasi dan saling tergantung satu sama lain. Liebniz memformulasikan Teori Cermin dalam kerangka konsepsinya tentang monad dan substansi. Teorinya diandaikan bisa diterapkan dalam arti seluas-luasnya baik kepada ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.

Liebniz nampaknya bekerja dengan dua konsepsi yang bersifat kontradiktoris tentang monad, yaitu segala sesuatu yang memiliki kapasitas figurasi31 dan perluasan (extension) di satu sisi, dan segala sesuatu yang tidak memiliki kapasitas figurasi dan perluasan di sisi lain. Perbedaan antara kedua konsepsi ini berasal dari konsepsi Leibniz tentang substansi. Serupa dengan monad, Leibniz nampaknya juga bekerja dengan dua konsepsi yang bersifat kontradiktoris tentang substansi, yakni substansi yang bersifat corporeal (fisikal/materiil) dan substansi yang bersifat inkorporeal (non fisikal/non materiil). Pendefinisian seperti itu tentu saja memiliki dampak terhadap seluruh sistem pemikirannya, dan mengantarkan ia ke dalam sistem pemikiran tentang satu dikotomi yang tidak begitu nampak terlihat antara materialisme dan idealisme, yang merupakan suatu persoalan yang sesungguhnya dicoba atasi oleh Leibniz.

Dalam eksplorasinya tentang konsepsi substansi dan monad, Leibniz tidak berada hanya dalam tingkat abstrak seperti di atas. Dalam artikelnya yang berjudul Discourse on Metaphysics,

31 Kapasitas figurasi artinya kapasitas suatu benda atau hal memiliki pola, bentuk atau figur.

Tony Rudyansjah 97

ia menggunakan istilah substansi dan monad dalam pengertian serupa, yakni dalam arti ‘benda’ yang mengimplikasikan sesuatu yang riil. Leibniz menggunakan juga istilah substansi atau monad dengan pengertian yang sama untuk subjek dan diri pribadi (person), yakni dalam arti sebagai seorang agen atau satu pribadi manusia. Di konteks ini Leibniz secara jelas mendefinisikan manusia sebagai substansi dan monad, yang tentu saja sangat relevan juga bagi kita untuk melihat dan memahami pengaruh Liebniz terhadap Teori Cermin Smith, sebagaimana hal itu kemudian diaplikasikan Smith ke dalam kerangka teori sosialnya. Perbedaannya dengan Leibniz, Smith menerapkan Teori Cermin-nya semata-mata hanya bagi makhluk hidup, dan membatasinya hanya kepada makhluk hidup yang telah mengembangkan sedikit banyaknya suatu kapasitas intelektual. Dengan lain perkataan, Smith tidak menerapkan Teori Cermin kepada alam inorganik, bahkan ia menerapkan teorinya itu kepada makhluk binatang non-human hanya kalau sangat terpaksa karena tuntutan komparatif.

Di dalam filsafat alamnya, sebagaimana juga di dalam teori sosial dan politiknya, Smith menggunakan satu pendekatan relasional sebagai satu perangkat metodologis yang universal sifatnya, meskipun harus dicatat di sini bahwa pendekatan relasional itu diterapkan dalam bentuk yang sepenuhnya sangat kontras ketika digunakan dalam ranah filsafat alam dengan dibandingkan saat digunakan dalam ranah sosial dan politik dunia makhluk manusia.32 Dalam filsafat alamnya, Smith mendefinisikan relasi antara objek alam dalam tradisi Aristotelian, yakni dengan cara memperhatikan baik kualitas eksternal maupun internal fisiknya. Sedangkan dalam ranah teori sosial dan politiknya, termasuk juga epistemologinya, pendekatan relasional itu menjadi berbeda dan sekaligus menjadi semakin kompleks manakala konsepsi tentang agen mulai memainkan satu peranan penting. Dalam konteks

32 Pendekatan relasional ini juga sangat penting untuk Karl Marx, lihat, misalnya, pembahasan Bertell Ollman, Alienation, 1988.

98 alam, Kebudayaan & yang IlahI

terakhir ini, pendekatan relasional Smith lebih berdasarkan pada prinsip simpati.

Kesamaan antara Leibniz dan Smith, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, berasal dari ketertarikan dan perhatian mereka berdua terhadap keunikan dan kesalingtergantungan substansi dan monad satu sama lain, sesuatu yang pada hakekatnya berasal dari preposisi dialektikal kalangan Stoik di masa Yunani kuno. Preposisi dialektikal Stoik itu diungkapkan Leibniz di dalam penegasannya sebagai berikut:

“this mutual dependence consists in the fact that everything is linked everything else, like a chain.”33

[Kesalingtergantungan ini terdapat dalam fakta bahwa segala sesuatu terhubungkan kepada suatu yang lain laksana satu rantai.]

Smith tentu saja menganut pula tradisi dialektikal Stoik itu. Namun berbeda dengan Leibniz, Smith lebih menegaskan afirmasi dan sekaligus kritiknya terhadap tradisi Stoik itu:

“The Ancient Stoics were of the opinion, that as the world was governed by the all-ruling providence of a wise, powerful, and good God, every single event ought to be regarded, as making a necessary part of the plan of the universe, and as tending to promote the general order and happiness of the whole: that the vices and follies of mankind, therefore, made as necessary a part of this plan as their wisdom or their virtue; and by that eternal art which educes good from ill, were made to tend equally to the prosperity and perfection of the great system of nature.”34

[Stoik kuno berpendapat bahwa dunia diatur oleh perintah yang mengatur segalanya yang berasal dari Tuhan yang maha baik, maha kuasa dan maha bijaksana, sehingga segala peristiwa yang terjadi harus ditanggapi sebagai satu keniscayaan dari satu perencanaan alam semesta, dan cenderung mendorong keteraturan umum dan kebahagian

33 Gottfried W. Leibniz, On Destiny or Mutual Dependence’, di dalam Selections, 1951, hlm. 570.

34 Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, 2004, I. ii. 3.4.

Tony Rudyansjah 99

bagi semua: bahwa sifat buruk dan kedunguan makhluk manusia, dengan demikian, diciptakan sebagai keniscayaan satu bagian dari satu perencanaan sebagaimana juga kebijaksanaan dan kebaikan sifat manusia; dan melalui seni abadi yang akan melahirkan kebaikan dari keburukan, kesemuanya dibuat secara merata untuk kesejahteraan dan kesempurnaan dari satu sistem maha besar dari alam semesta.]

Kalimat itu tentu saja mengingatkan kita kembali tentang konsepsi the Great Chain of Being-nya Lovejoy yang telah kita bahas di bab pertama buku ini. Berkenaan dengan tradisi Stoik ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Smith memiliki dua posisi yang berbeda. Di satu sisi, ia menyetujui pendapat bahwa terdapat satu interrelasi universal antara sesuatu dengan sesuatu yang lain, dan terdapat satu kesalingtergantungan universal antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Di sisi yang lainnya, Smith sangat menolak keyakinan Stoik tentang predestinasi sifat buruk (vice) dan kebajikan (virtue). Para Stoik, dalam hemat Smith, beranggapan bahwa sifat buruk dan kebajikan merupakan suatu bagian yang tak terhindarkan dan menjadi keniscayaaan bagi perencanaan alam semesta, serta memiliki kecenderungan mendorong tata tertib dan kebahagian yang berlaku umum bagi semua. Terhadap keyakinan Stoik seperti ini, Smith dengan kritis menolaknya, ia menegaskan bahwa:

“No speculation of this kind’, how deeply soever it might be rooted in the mind, could diminish our natural abhorrence for vice.”35

[Tidak ada spekulasi semacam ini, meskipun hal itu sangat kuat berakar dalam pikiran, yang dapat menghilangkan kebenciaan alami kita terhadap sifat buruk manusia.]

Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa Smith dan Liebniz menganut pendapat yang serupa tentang posisi Stoik terhadap interrelasi dan kesalingtergantungan universal. Namun

35 Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments. 2004, I, ii, 3.4.

100 alam, Kebudayaan & yang IlahI

berbeda dengan Leibniz, Smith sangat menolak konsepsi Stoik tentang Pradestinasi (takdir) maupun tentang harmoni yang telah terberikan dan termantapkan sebelumnya.

Seandainya kita mau menguraikan persoalan di atas terlepas dari implikasi kosmologis dan filsafat alam, serta menurunkan uraian Leibniz dan Smith ke dalam kerangka yang lebih antropologis, maka mereka berdua pada dasarnya dapat dikatakan sedang menegaskan bahwa keseluruhan kemanusiaan saling berrelasi dan saling bergantung satu sama lain. Smith merujuk pada semua manusia yang kontemporer maupun dari masa lampau—sebagai bagian dari satu species yang sama. Judul dari karya utamanya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations menegaskan asumsi tersebut bahwa terdapat hubungan yang essensial di antara semua manusia dan bangsa (ingat ketika Smith menggunakan kata Nations dalam bentuk jamak), sehingga pengalaman mereka semua sepanjang sejarah dapat dihubungkan satu sama lain melalui suatu mediasi yang menghubungkan semua yang ada. Tanpa adanya asumsi dasar seperti itu tidak mungkin ada Teori Cermin. Interrelasi dan saling ketergantungan inilah yang memungkinkan berbagai monad menampilkan sekaligus mencerminkan kembali semesta dunia ke dalam kekhususan dan keunikan sudut pandang masing-masing. Liebniz menegaskan gagasan tersebut dalam tulisannya ‘Monadology’:

“this connection, or this adaptation, of all created things to each and of each to all, brings it about that each simple substance has relations which express all the others, and that, consequently, it is a perpetual living mirror of the universe.’36

[koneksi atau adaptasi dari semua hal yang diciptakan antara yang satu dengan yang lainnya, maupun antara yang satu dengan kesemuanya yang lain, menyebabkan bahwa satu substansi yang sederhana tetap memiliki berbagai relasi yang mengekspresikan kesemuanya yang lain, dan dengan

36 Gottfried W. Leibniz, ‘The Monadology’, hlm. 544, §56.

Tony Rudyansjah 101

demikian merupakan cermin hidup yang langgeng dari alam semesta.]

Oleh karena mengeskpresikan semua yang lain, maka itu juga berarti mencerminkan semua yang lain. Dari perspektif khususnya, berbagai monad secara keseluruhan merefleksikan dunia, atau lebih tepatnya, semesta dunia secara utuh dan padu. Leibniz kemudian menguraikan apa yang dimaksudkannya dengan pernyataan bahwa melalui perspektif khususnya berbagai monad merefleksikan semesta dunia secara utuh dan padu melalui metaphor sebagai berikut:

“the same city looked at from different sides appears entirely different, and is as if multiflied perspectively; so also it happens that, as a result of the infinite universes, which are nevertheless only the perspectives of a single one, according to the different points of view of each monad.”37

[Kota yang sama yang dilihat dari sudut yang berbeda akan terlihat secara berbeda, dan nampak dilipatgandakan berdasarkan perspektifnya; demikian juga akan terjadi bahwa sebagai akibat dari semesta yang tak terhingga yang sesungguhnya hanya merupakan berbagai perspektif dari sesuatu yang tunggal sifatnya, yang dipandang dari berbagai sudut pandang yang berbeda dari masing-masing monad.]

Smith menguraikan gagasan yang sama di dalam konteks yang lebih antropologis dalam buku The Theory of moral Sentiments:

“If the very appearances of grief and joy inspire us with some degree of the like emotions, it is because they suggest to us the general idea of some good or bad fortune that has befallen the person in whom we observe them: and in these passions this is sufficient to have some little influence upon us.”38

[apabila penampakan kepedihan dan keceriaan menginspi-rasikan kita dengan sejumlah emosi yang sama, itu disebabkan karena kesemua hal itu mengesankan dalam diri kita satu gagasan yang berlaku umum dari sejumlah nasib baik atau nasib buruk yang menimpa seseorang yang

37 Gottfried W. Leibniz, op.cit, hlm. 544, §57.38 Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, 2004, I.i.1.8.

102 alam, Kebudayaan & yang IlahI

sedang kita amati: dan di dalam semua kegairahan itu sangatlah mungkin menimbulkan sejumlah pengaruh kecil tertentu terhadap diri kita.]

Kutipan di atas mesti dicermati secara hati-hati, karena Smith tidak bermaksud mengatakan bahwa kita dapat memahami penderitaan dan keceriaan orang lain semata-mata karena ekspresi khususnya sebagai efek langsung dari penderitaan dan keceriaan yang sedang berlangsung atau sedang akan berakhir dalam diri seseorang yang merasakan perasaan itu. Kita juga tidak memahami hal tersebut dengan cara menyimpulkannya dari perasaan khusus yang muncul dalam diri kita sendiri sebagai efek langsung dari berakhirnya perasaan itu dalam diri kita. Melainkan Smith lebih menegaskan bahwa kita dapat memahami satu sama lain, ataupun kita akan dapat memahami perasaan, emosi, dan kegairahan orang lain, dengan cara menyimpulkannya dari suatu gagasan umum (general idea) yang mendapatkan ekspresi khususnya dari berbagai perasaan, emosi dan kegairahan tertentu dari diri orang lain tersebut.

Gagasan umum (general idea) dengan keniscayaannya senantiasa terejawantahkan dalam perasaan, emosi, dan kegairahan khusus tertentu yang memungkinkan kita semua bisa berkomunikasi satu sama lain berdasarkan perspektif khusus dari masing-masing sudut pandang pelaku. Berbeda dengan Leibniz yang berpendapat bahwa semua monad, termasuk makhluk manusia, dapat berhubungan dan berkomunikasi satu sama lain, dan bisa memperoleh kekhususan masing-masing berdasarkan satu landasan yang sama di mana mereka semua disatukan dan dipadukan karena adanya pengaruh dari Tuhan, maka Smith tidak merujuk kepada Tuhan sebagai mediasi untuk komunikasi antar manusia, melainkan lebih merujuk kepada kemampuan manusia untuk berimajinasi dan bersimpati.

Makhluk manusia, menurut Smith, mampu untuk berko-munikasi satu sama lainnya dengan bantuan kemampuan simpati yang dimilikinya, yang dalam kerangka teori Smith selalu ia kaitkan

Tony Rudyansjah 103

dengan konsepsi tentang persepsi dan imajinasi. Pembahasan tentang pokok permasalahan ini membawa kita pada satu diskusi tentang ‘impartial spectator’ atau ‘impartiality’ sebagai satu konsep penting untuk memahami dasar bagaimana proses pengkonsitusian diri manusia satu sama lain mungkin untuk diwujudkan, serta bagaimana penilaian kita terhadap diri sendiri ataupun orang lain dapat dikatakan tanpa kepentingan (‘impartiality’), dan oleh sebab itu dapat dikatakan juga sahih (valid).

Konsepsi Smith tentang ‘impartiality’ sangat berkaitan dengan konsepsi tentang interest, yang pada gilirannya juga berkaitan erat dengan konsepsi tentang situasi dan simpati. Teori Smith mengenai situasi mempertimbangkan tidak hanya situasi langsung dari tindakan komunikatif dalam arti luas, namun mencakup pula keseluruhan proses bagaimana makhluk manusia disosialisasikan. Dengan demikian, kata ‘situasi’ dalam teori Smith mengandung tiga komponen yang saling melengkapi. Menurut Smith, di dalam relasi sosialnya, makhluk manusia senantiasa terlekatkan ke dalam satu situasi yang bersifat: (1) umum, (2) konkrit, dan (3) aktual. Situasi umum dan konkrit mencakup keseluruhan totalitas, baik tindakan manusia dalam ruang dan waktu, maupun kondisi pengalaman subjektif dan objektifnya para pelaku. Situasi umum dan konkrit, dengan demikian, merujuk pada baik kondisi sosial dan material, tingkat sosial (social rank) dan kelas sosial, maupun sosialisasi dalam arti luas termasuk pendidikan. Kedua situasi ini membentuk kapasitas emosional dan intelektual yang bisa bertahan lama, sekaligus mengaktualisasikan dirinya sendiri di setiap situasi tindakan baru dalam perwujudan penilaian tentang benar atau kelirunya suatu tindakan tertentu. Situasi kedualah (baca: konkrit) yang memberikan suatu peralihan khusus tertentu kepada kecenderungan-kecenderungan emosional dan intelektual yang bertahan lama, dan menempatkannya ke dalam suatu hubungan saling mempengaruhi terhadap suatu tindakan komunikatif seketika dan unik, yang jarang dapat kembali diulangi para pelakunya.

104 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Berdasarkan kecenderungan-kecenderungan emosial dan intelektual yang bertahan lama ini, setiap orang melakukan tindakannya sesuai dengan situasi konkrit dan aktual dari tindakan komunikatif masing-masing, serta berupaya memenuhi pemuasan kebutuhan dan kegairahan yang bersifat jasmani maupun intelektual dari masing-masing pelakunya. Smith menegaskan bahwa makhluk manusia mampu melakukan kognisi dan memahami satu sama lain secara penuh dan otentik berdasarkan pada latar belakang keseluruhan total dari situasi yang terpadu secara dialektik dan sekaligus kompleks ini. Pemahaman komprehensif tentang orang lain merupakan sebuah prakondisi untuk bisa mengenali dan memahami diri sendiri.

Smith lebih lanjut mendefinisikan dunia internal manusia sebagai cermin dunia sosial maupun dunia alami yang bersifat historis dan eksternal. Ia mendefinisikan hal ini dalam konteks teorinya tentang karakter. Menurutnya, karakter individual setiap makhluk manusia mencerminkan baik situasi material, situasi relasi sosial, maupun situasi alami yang terdapat dalam suatu masyarakat pada satu masa tertentu. Serupa dengan monad dalam pengertian Leibniz, karakter makhluk manusia, di dalam pendekatan Smith, mencerminkan relasi sosial dan relasi alami historis dari sudut pandang perspektif khusus para pelaku masing-masing. Perspektif khusus tertentu dari setiap pelaku lahir dan berasal dari situasi masing-masing.

Uraian di atas tidak boleh diartikan bahwa dunia internal (dunia batiniah) manusia identik atau hanya merupakan tiruan naïf dari dunia eksternal. Dunia internal manusia bisa sangat berbeda dari dunia eksternalnya atau, bahkan, sangat kontradiktif dengannya. Meskipun begitu, hal ini tidak dengan sendirinya menggugurkan pandangan bahwa dunia eksternal manusia merupakan satu-satunya dasar objektif dari berbagai perasaan, emosi, kegairahan, dan pikiran dari manusia. Pada saat kita berupaya memahami orang lain dan memberi penilaian terhadap

Tony Rudyansjah 105

orang lain, atau dengan kata lain, mengkonstitusikan orang lain pada satu dasar yang sedikit banyak bisa dikatakan objektif, maka kita tidak dapat melakukannya hanya dengan melihat pada kegairahan, perasaan, dan emosi manusianya, melainkan kita harus melakukannya dengan cara mengembalikan hal itu semua kepada landasan-landasan yang bersifat objektif dari situasi di dalam mana berbagai kegairahan, perasaan dan emosi manusia tersebut muncul dan terrefleksikan. Simpati, dengan demikian, tidak muncul hanya dengan memperhatikan perasaan dan kegairahan manusia semata, melainkan lebih muncul dan berkembang dari situasi yang menyebabkan timbulnya perasaan dan kegairahan tersebut.

Untuk dapat memahami orang lain dan mengkonstitusikan orang lain, dalam kerangka teori Smith, kita harus menempatkan diri kita ke dalam situasi orang lain melalui kemampuan imajinasi yang kita miliki. Dengan kemampuan imajinasi yang dimiliki setiap manusia, kita memiliki kemampuan untuk membawa kasus-kasus mereka ke dalam ranah batiniah kita. Dengan demikian mengambil-alih perspektif dari cerminan dunia relasi sosial dan dunia alami mereka yang historis sifatnya. Kita harus berupaya memandang segala sesuatu dari looking-glass mereka, dan mampu melihat dunia dari perspektif mereka. Hanya melalui cara itu kita dapat menempatkan diri kita ke dalam situasi mereka—setelah membawa “pulang” untuk diri kita sendiri berbagai keadaan rinci di dalam mana mereka semua ditempatkan, atau setelah mengambil-alih keseluruhan kasus-kasus dengan berbagai kejadian detilnya, kita mulai dapat merasakan perasaan, emosi dan kegairahan yang sama, serta mampu berpikir dalam pikiran yang sama dan juga memiliki berbagai project yang sama sesuai dengan situasi yang dihadapi pelakunya sendiri.

Ini, menurut Smith,merupakan satu-satunya cara di mana kita dapat berfungsi sebagai suatu cermin bagi yang lainnya. Smith menyimpulkan proses pengambil-alihan perspektif ini, atau

106 alam, Kebudayaan & yang IlahI

menempatkan diri ke dalam looking-glass dari si pelaku, dengan istilah ‘simpati’ atau ‘fellow-feeling’ dalam pengertian deskriptif, yaitu dalam arti bahwa hal itu menggambarkan proses menempatkan diri seseorang ke dalam situasi orang lain dan dengan demikian mampu menjadi pribadi yang serupa dengan diri orang lain tersebut. Manakala di dalam imajinasi, kita menempatkan diri kita sendiri ke dalam situasi seorang pelaku yang lain, lalu sewaktu kita pada saat yang bersamaan menjadi pribadi yang sama dengan pelaku itu, dan berupaya memandang berbagai hal dengan penalaran dan penilaian si pelaku yang bersangkutan pada saat itu, maka akan timbul suatu korespondensi antara sang pelaku itu dengan dunia internal atau dunia batiniah kita. Pada saat itulah akan muncul di antara si pelaku dan si pengamat sejumlah sentimen simpatetik (sympathetic sentiments), emosi simpatetik (sympathetic emotions), dan kegairahan simpatetik (sympathetic passions).

Hanya setelah kita mampu memperoleh ini semua baru kita bisa memulai mengkonstitusikan orang lain, yaitu dengan kata lain, mengkognisi, memahami dan memberikan penilaian terhadap orang lain. Apabila semua persyaratan ini setidak-tidaknya sudah sedikit banyak terpenuhi, baru kita dapat menyatakan bahwa kita telah mulai mengkonstitusikan orang lain di dalam empat dimensi dari ruang dan waktu mereka, yakni mengkonstitusikan pihak lain (orang lain) dalam keterkaitannya dengan masa lampau, masa kini, dan masa depan mereka sendiri melalui sudut pandang khusus mereka dalam keseluruhan totalitasnya. Ini merupakan sebuah pandangan yang sangat penting bagi para ahli antropologi yang mau memahami tindakan manusia melalui sudut pandang si pelakunya (subjective actor’s point of view), yang dalam disiplin antropologi seringkali disebut dengan pendekatan emik. Menurut Smith, hal ini merupakan tingkat pertama dari proses mengkonstitusikan orang lain.

Tingkat yang kedua berkenaan dengan kognisi dan pemahaman tentang diri sendiri dalam kaitannya dengan orang

Tony Rudyansjah 107

lain. Tentu saja Smith mengusulkan bahwa setelah tingkat pertama di atas dilalui, maka kita harus mengembalikannya pada perspektif diri kita sendiri, agar kita dapat mengenali dan memahami diri kita sendiri secara objektif. Meskipun begitu usulannya, hal itu tidak berarti bahwa kita mesti kembali kepada prinsip Cartesian tentang cogito. Smith tetap sangat konsisten dengan pendekatan teoritis cermin beserta segala aplikasinya. Dengan demikian, hal itu, menurut Smith, tidak berarti semata-mata hanya kembali kepada perspektif diri kita sendiri. Itu lebih merupakan upaya kembali ke perspektif diri kita melalui sudut pandang orang lain. Melalui orang lain, atau lebih tepatnya sudut pandang orang lain, kita menjadi sadar akan kualitas diri kita.

Di dalam pendekatan teoritisnya tentang cermin, Smith membuat dua penegasan penting. Pertama, ia mendefinisikan orang lain sebagai sumber dari berbagai nilai yang kita anut. Semua nilai yang kita anut, menurutnya, tidak dihasilkan dari dalam diri sendiri secara pribadi sebagaimana diimplikasikan oleh prinsip Cogito, melainkan lebih diperoleh dari luar diri pribadi seorang dan diinternalisasikannya melalui proses kritisisme yang berasal dari orang lain. Kritisisme kita terhadap penampilan dan perilaku orang lain tidak hanya berakhir dalam diri kita semata. Kritisisme kita itu akan direfleksikan kembali dalam diri seorang pelaku lain sehingga si pelaku yang bersangkutan dapat mengembangkan pencitraan tentang diri pribadinya sendiri dalam kaitannya dengan diri kita. Kedua, proses yang sama terjadi juga dalam kaitannya dengan diri kita sendiri. Orang yang lain mengembangkan nilai mereka dengan cara mengamati bentuk, perilaku dan penampilan kita. Berdasarkan kritisisme terhadap diri kita yang berasal dari kritisisme mereka terhadap kita, yakni dengan cara merefleksikan kembali diri kita sendiri melalui kritisisme orang lain yang kemudian dikembalikan kepada diri kita sendiri, kita mengembangkan pencitraan tentang diri kita dalam kaitannya dengan orang lain.

108 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Smith mengambarkan proses dari pengembangan pencitraan diri satu sama lain ini dalam satu prinsip yang cukup unik, dan bahkan untuk sudut pandang masa kini, yakni prinsip melihat diri sendiri sebagaimana pihak lain mau melihat diri kita. Ini merupakan satu perangkat di dalam mana kita mungkin untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai objek dari penilaian kita: melihat diri sendiri sebagaimana orang lain melihat diri kita. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kita dapat mengkognisi, memahami dan memberikan penilaian terhadap diri sendiri secara metodologis serupa dengan bagaimana kita mengkognisi, memahami dan memberikan penilaian terhadap orang lain. Melalui perspektif yang bersifat dialektikal dan dialogikal inilah memungkinkan proses sosial dari objektifikasi pengetahuan dapat secara terbuka sungguh-sungguh terjadi dalam realitas kehidupan kita sehari-hari. Hal ini tentu saja penting bagi setiap ahli antropologi yang ingin mengetahui bagaimana satu kebudayaan yang dianut bersama (a shared culture) mungkin untuk terwujud dan terobjektifikasikan ke dalam berbagai tindakan dan interaksi para pelaku yang menjadi pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Tanpa hal itu, menurut Smith, tidak mungkin akan terjadi komunikasi antar manusia. Sebagai satu contoh, ujaran diri kita merupakan suatu bentuk tindakan yang dikeluarkan dari dalam diri kita, yang mana berarti menjadi suatu upaya membuka dunia batiniah kita dan berusaha memediasikannya kepada orang lain. Ini yang disebut sebagai suatu dorongan kepada sebuah kebenaran dalam istilahnya Feuerbach, atau, dalam istilahnya Smith, suatu dorongan bersimpati kepada orang lain yang bisa menyatukan kita semua.

Terlepas dari pandangan antropologis mengenai konstitusi diri manusia sebagaimana yang digambarkan oleh Smith itu, tetap saja penafsiran dominan orang terhadap pemikiran Smith adalah pandangan tentang situasi makhluk manusia dalam masyarakat komersial, yang digambarkan Smith sebagai makhluk yang sangat

Tony Rudyansjah 109

egoistik, individualistik dan hanya peduli kepada diri sendiri. Maka dari itu tidak sulit untuk memahami bagaimana mudahnya pemikir seperti Milton Friedman dan Rose Friedman memahkotai Adam Smith dengan penafsiran neo-liberal mereka sendiri, dan menegaskan Smith sebagai tokoh pemikir yang mendukung egoistic individualism, pasar bebas, privatisasi pelayanan publik, privatisasi sistem pendidikan, maupun privatisasi pelayanan kesehatan.39

Perkembangan pemikiran Smith dari The Theory of moral Sentiments ke Wealth of Nation jelas menampakkan perbedaan yang sangat drastis, tatkala ia membeberkan bahwa aktivitas ekonomi merupakan suatu aktivitas manusia yang tidak membutuhkan apapun selain kecintaan terhadap diri sendiri (self-love): hanya dengan mengejar kepentingan khusus demi diri sendiri itulah, manusia sesungguhnya tanpa sengaja telah bekerja demi kebaikan bersama. Dalam The Wealth of Nations, Smith memulai uraiannya tentang deskripsi dari “universal opulence” (kekayaan universal) yang menurutnya merupakan ciri utama dari bangsa-bangsa yang telah “beradab” (“civilized’). Kekayaan atau kemakmuran itu, menurutnya, menembus hingga lapisan terendah dalam masyarakat, dan itu sesungguhnya merupakan konsekuensi dari produktivitas tenaga kerja manusia (labour).

Di dalam kerangka pemikiran Smith, kerja merupakan sebuah konsep yang berperan sebagai fondasi dari semua relasi sosial, karena meskipun kebutuhan (needs) dapat dianggap sebagai pendorong bagi tindakan manusia, yang mungkin pemenuhannya bisa melalui pertukaran dari komoditas yang dibutuhkan masing-masing, akan tetapi dalam beberapa kasus tertentu kebutuhan-kebutuhan di dalam diri sendiri itu tidak dapat dipertukarkan satu sama lain dengan yang orang lain miliki. Sebagai ilustrasi: jadi meskipun saya memiliki kebutuhan untuk minum karena haus, dan orang lain memiliki kebutuhan untuk makan karena

39 Lihat misalnya buku M. dan Rose Friedman, Free to Choose, 1980.

110 alam, Kebudayaan & yang IlahI

lapar, maka saya tidak dapat begitu saja mengatakan kepada orang lain itu: “Berikan hausmu kepadaku, dan aku akan berikan laparku kepadamu”. Dalam banyak kasus, dibutuhkan unsur ketiga yang bisa berperan sebagai mediasi di atara berbagai komoditas yang saling dipertukarkan. Dengan demikian, apabila kita ingin menemukan fondasi baik untuk perbedaan maupun juga kesetaraan di antara relasi-relasi pertukaran, maka kita harus mencarinya di dalam labour atau kerja manusia.

“Labour, therefore, it appears evidently, is the only universal, as well as the only accurate measure of value, or the only standart by which we can compare the values of different commodities at all times and at all places.”40 [kerja, dengan demikian, nampak secara jelas merupakan satu-satunya alat ukur yang universal dan akurat dari nilai, atau satu-satunya standar melalui mana kita dapat membandingkan berbagai komoditas yang berbeda di semua tempat dan waktu.]

Smith menegaskan lebih lanjut bahwa meskipun labour dengan pembagian kerjanya tidak hanya menyebabkan pemisahan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya, bahkan menye-babkan semacam isolasi ekonomik dari para individu satu sama lainnya, di mana masing-masing dari mereka kemudian hanya bekerja secara individual demi kepentingannya sendiri-sendiri. Sehingga relasi harta pribadi antar individu akan muncul sebagai konsekuensinya, division of labour secara keseluruhan tetap akan membawa kesejahteraan universal bagi semua. Lapisan masyarakat yang termiskin dalam masyarakat “beradab” melalui pembagian kerjanya akan jauh lebih berkecukupan bila dibandingkan dengan para bangsawan ataupun raja di masyarakat yang belum “beradab”.

“[A] common day labourer in Britain or in Holland is superior in luxury to many Indian Prince.”41

40 Adam Smith, The Wealth of Nations, I, v. hlm. 17.41 Adam Smith, Early Draft of Part of The Wealth of Nations, I, hlm. 5.

Tony Rudyansjah 111

[Seorang buruh harian biasa di Inggris atau di Belanda berada jauh lebih mewah daripada seorang pangeran India.]

Dalam konteks pemikiran seperti inilah, konsep “Invisible Hand” yang terkenal muncul ke permukaan. Di dalam doktrin ini—yang kemudian lebih dikenal orang dengan istilah natural harmony of interests—penilaian moralitas mulai dimungkinkan untuk diabaikan dan digantikan oleh self-love. Sebelum pengabaian ini terjadi, moralitas mengajarkan bahwa self-love haruslah tunduk kepada tujuan-tujuan yang lebih baik dan tinggi. Invisible Hand-nya Adam Smith memainkan peranan penting yang tidak terlalu banyak diperhatikan orang. Peranannya itu seolah-olah dapat dilafalkan dalam metafor sebagai berikut: “HambaKu, janganlah takut untuk melanggar apa yang nampaknya menjadi perintahKu. Aku telah mengatur segalanya agar kamu-kamu sekalian dibenarkan untuk melanggar moralitas dalam perkara ini.”

Konsep Invisible Hand dan doktrin natural harmony of interests memperoleh singgasana dalam kerangka pikir Smith. Menurutnya, dalam interaksinya dengan manusia lain, manusia menggunakan dua modus dalam mengkonstitusikan diri orang lain. Yang pertama adalah apa yang disebut Smith dengan istilah ‘impartial spectator within’, lalu yang kedua adalah ‘impartial spectator without’. Perbedaan kedua mode ini terdapat di dalam fakta bahwa pelaku yang berperilaku sebagai impartial spectator without menggunakan penilaiannya berdasarkan pada prinsip what is, atau apa yang secara kenyataannya terjadi; sedangkan impartial spectator within berdasarkan pada prinsip what ought to be, atau apa yang seharusnya. Smith mempermudah penjelasan ini dengan menggunakan ilustrasi yang disebutnya sebagai ‘kelayakan pujian’ (‘praise worthiness). Orang yang menggunakan impartial spectator without, ialah orang-orang yang terpaku pada kecenderungan untuk mendapatkan pujian semata, sedangkan orang yang menggunakan impartial spectator within ialah orang yang memiliki kecenderungan tidak hanya untuk mendapatkan pujian, melainkan

112 alam, Kebudayaan & yang IlahI

juga ingin mewujudkan dirinya sebagai suatu objek yang tepat dari pujian tersebut. Dengan kata lain, impartial spectator within ingin mengejewantahkan kualitas dari apa yang menjadi pujian orang terhadap dirinya; ia tidak hanya ingin mendapat pujian ataupun dihormati sebagai pengusaha sukses, melainkan juga ingin mewujudkan dirinya sebagai kualitas dari suskes itu sendiri. Ia ingin dihormati karena nilai sukses itu sendiri telah melekat di dalam dirinya. Sebaliknya, apabila impartial spectator within membenci sebuah perilaku yang ditampilkan seseorang pada saat tertentu, maka hal itu lebih disebabkan oleh perilaku yang memang mewujudkan nilai dari sesuatu yang patut dibenci.

MAN naturally desires, not only to be loved, but to be lovely; or to be that thing which is the natural and proper object of love. He naturally dreads, not only to be hated, but to be hateful; or to be that thing which is the natural and proper object of hatred. He desires, not only praise, but praise-wothiness; or to be that thing which, though it should be praised by nobody, is, however, the natural and proper object of praise. He dreads, not only blame, but blame-worthiness; or to be that thing which, though it should be blamed by nobody, is, however, the natural and proper object of blame.42

[Manusia tentu saja mengidamkan, tidak hanya dicintai, melainkan juga menjadi satu perwujudan cinta itu sendiri, jadi sesuatu yang merupakan objek yang tepat dan alami dari cinta itu sendiri. Ia tentu saja tidak saja takut dibenci, melainkan juga takut menjadi kebenciaan itu sendiri, atau menjadi sesuatu yang merupakan objek yang tepat dan alami dari kebencian itu. Ia mengidamkan tidak hanya diagungkan, melainkan juga memang patut diagungkan, atau jadi sesuatu yang merupakan objek yang tepat dan alami dari keagungan itu sendiri, meskipun tidak ada seorangpun yang mengagungkannya. Ia takut tidak hanya disalahkan, melainkan juga memang patut disalahkan, atau jadi sesuatu yang merupakan objek yang tepat dan alami dari apa yang disebut kesalahan itu sendiri.]

42 Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, III.2.1.

Tony Rudyansjah 113

Di sinilah Smith merujuk kepada konsep authenticity, menegaskan bahwa kita semua tidak hanya berkeinginan dicintai orang lain, melainkan berkeinginan juga memang patut dicintai karena kita memang memiliki kualitas cinta itu sendiri. Begitu pula hal bahwa kita tidak hanya mengidamkan untuk dihormati orang, melainkan mengidamkan juga memiliki kualitas kehormatan itu sendiri, sehingga kita sekaligus dapat menghormati diri sendiri pula—mengidamkan dihormati dalam dirinya sendiri (in themselves) dan bagi dirinya sendiri (for themselves). Apabila rasa hormat yang disampaikan orang lain tidak diikuti oleh adanya nilai kehormatan dalam diri kita sendiri, maka kita tidak akan mungkin mendapatkan kepuasan dari hal tersebut dalam jangka panjang. Smith menegaskan bahwa pujian yang sangat tuluspun tidak akan membawa kepuasan batin sedikitpun apabila pujian tulus itu tidak dapat dianggap semacam bukti dari ‘kelayakan pujian’ itu sendiri.

Pada saat kita hanya mengikuti apa yang orang lain puji terhadap diri kita, maka kita bisa terjebak mengikuti dan melakoni kehidupan yang ditentukan serta diarahkan oleh orang lain. Akhirnya, oleh sebab itu kita tidak dapat dikatakan sungguh-sungguh menjalani kehidupan kita, karena kehidupan semacam itu merupakan kehidupan yang sesungguhnya asing buat kita, atau dengan kata lain, tidak otentik. Melakoni suatu kehidupan yang sesungguhnya, dan dihormati karena adanya kualitas yang memang didambakan untuk dihormati di dalam diri kita sendiri—kehidupan yang digerakkan oleh dorongan authenticity—maka kita mesti menoleh kepada impartial spectator within di dalam diri kita. Untuk menghindari hidup yang tidak otentik, kita harus mendengar pada hati nurani (conscience) kita. Atas dasar alasan inilah maka Smith beranggapan bahwa penilaian hati nurani (impartial spectator within) harus ditempatkan lebih tinggi daripada penilaian impartial spectator without. Setiap anggota masyarakat, menurut Smith, harus bisa melepaskan dirinya dari

114 alam, Kebudayaan & yang IlahI

jeratan standar-standar umum yang ada dalam masyarakat, dan mereka semua mesti bisa mempertanyakan moralitas konvensional yang ada dalam masyarakat di mana mereka disituasikan. Melalui cara ini, manusia tidak hanya mampu memeriksa dan menilai tindakan-tindakan individual seorang pelaku, melainkan juga mampu untuk mempertanyakan berbagai aturan yang berlaku umum dan sudah mapan dalam suatu masyarakat tertentu. Dengan the impartial spectator within, kita dapat menemukan sejumlah kriteria normatif lainnya dalam menilai intensionalitas situasi yang sedang dihadapi, yang memungkinkan kita semua mengatasi kekangan dan batasan dari what is. Karena adanya mekanisme seperti itu maka berbagai kepentingan egoistik manusia dapat dicek dan dikendalikan, sehingga peningkatan diri (self-betterment) untuk perbaikan (improvement) senantiasa terjadi dan terealisasikan dalam kehidupan manusia.

Lebih lanjut, Smith tidak mendeskripsikan situasi manusia dalam masyarakat komersial, seperti masyarakat Barat, ke dalam satu terminologi tunggal, melainkan mengejewantahkan dalam satu pergerakan yang sangat kompleks sekaligus rumit. Smith belajar dari Stoikisme, yang kemudian digunakannya untuk mengkritisi Hutcheson dan Plato, bahwa psikologi diri manusia tidak secara hirarkis tertata, sehingga tidak mungkin untuk mengatakan bahwa beberapa aspek psikologis seperti nalar atau kebajikan menguasai semua aspek psikologis lainnya. Sumber motivasi dari perilaku manusia bersifat heterogen, yang berarti tidak dapat dengan secara mudah direduksi kepada hanya beberapa prinsip tertentu saja. Tidak mungkin terwujudnya tindakan kebajikan tanpa kegairahan; tanpa rasa takut, tidak mungkin dapat dijelaskan dorongan untuk pertahanan diri (self-defense) dan kehati-hatian; tanpa rasa marah (resentment), tidak mungkin dapat dijelaskan dorongan untuk menghukum (to punish); tanpa kehormatan (pride), tidak dapat dijelaskan harga diri (self-esteem); tanpa kekaguman (wonder,) tidak akan timbul pengetahuan

Tony Rudyansjah 115

(knowledge). Sangat tidak masuk akal menyatakan bahwa berbagai kegairahan jiwa di atas mungkin untuk dapat ditata secara hirarkis tanpa mengaburkan dan mereduksi kompleksitas warna warni kehidupan manusia yang sangat unik itu. Cara seperti itu akan menjauhkan masyarakat dari suatu sumber yang sangat esensial bagi tindakan para anggota masyarakatnya.

Tujuan utama Smith adalah untuk mendemonstrasikan bahwa hakekat alam dunia mendorong kita untuk menemukan berbagai kebaikan di dalam semua kegairahan jiwa manusia, dan tidak ada satu percermatan terhadap kebaikan tatanan hidup masyarakat yang dapat mengabaikan pertimbangan tersebut. Di samping itu, semua kegairahan jiwa dan unsur-unsur psikologi alami pada dasarnya bersifat ambigu dan bercampur-aduk. Beberapa kebajikan tertentu mungkin untuk dikatakan tidak terkualifikasi sebagai sesuatu yang mengandung kebaikan; sebaliknya ada sesuatu lain yang tidak terkualifikasi sebagai sesuatu yang mengandung kebaikan dianggap merupakan suatu keniscayaan. Dengan kata lain, arti penting berbagai kegairahan jiwa manusia, yang dalam kerangka Smith disebut sebagai kegairahan mementingkan diri sendiri dan tidak sosial (unsosial and selfish passions): seperti rasa marah, jengkel dan cinta diri (self-love), tidak dapat ditentukan semata-mata pada deskripsi kegairahan jiwa itu sendiri, melainkan harus dicermati dengan mempertimbangkan keterkaitannya pada situasi spesifik tertentu. Menurut Smith, setiap kegairahan jiwa adalah unik, sehingga jika hanya mendeskripsikannya kembali dalam kerangka kepentingan diri saja sangat mengaburkan hakekatnya yang sebenarnya. Memang benar bahwa arus pergerakan dari kehidupan ekonomi sangat tergantung pada kepentingan diri (self-interest): pembeli merespon tingkat harga, tenaga kerja merespon perubahan dalam upah, kewiraswastaan merespon kesempatan, karena mereka semua dipedomani oleh kepentingan diri (self-interest). Meskipun demikian, dalam Wealth of Nations, Smith menegaskan bahwa

116 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dalam masyarakat komersial ada semacam dorongan lain terhadap self-betterment yang memiliki fungsi memberikan suatu dasar yang baik bagi perluasan sistem perdagangan dan manufaktur.

Prinsip tersebut mengayomi lahirnya pembagian kerja, yang kemudian memberikan dinamika bagi kehidupan sosial melalui cara menyediakan energi yang dapat menimbulkan sumber daya demi keberlangsungan kesejahteraan sosial bagi semua orang. Prinsip ini merupakan pusat dari equilibrium kehidupan ekonomi, yang diistilahkan orang sebagai ‘Invisible Hand’. Meskipun memang dapat diargumentasikan bahwa modal bergerak ke arah di mana tingkat marjin keuntungan tertinggi berada, atau bahwa kompetisi mengembalikan harga ke tingkat keberlangsungan alaminya, namun demikian tetap saja terdapat dorongan terhadap self-betterment yang bekerja mendukung kemajuan alami berbagai hal menuju kepada titik penyempurnaan (improvement). Wealth of Nations, maka dari itu dapat dikatakan berupaya mendemonstrasikan bahwa usaha menghilangkan berbagai hambatan terhadap tenaga kerja, harga, dan persediaan barang akan melahirkan kebebasan serta keluasan kepentingan diri (self-interests). Hal ini pada akhirnya akan dapat melahirkan kesejahteraan bagi semua.

Apabila kita perbandingkan Adam Smith dengan pemikir-pemikir yang telah kita bicarakan sebelumnya, akan nampak sejumlah perbedaan mencolok. Pada Hobbes yang menjadi motif kuat dari pembahasan spekulasi politiknya adalah artificialism, yaitu gagasan bahwa kita hanya dapat mengetahui secara benar apa yang kita buat, karena segala sesuatu pada dasarnya senantiasa bergerak, sehingga hanya prinsip dan akibat dari gerak-gerak itu yang dapat dipahami secara natural dan mekanistik. Sedangkan pada Locke, motif dari spekulasi politiknya lebih berdasarkan pada gagasan: hanya ide di dalam pikiran kita yang dapat kita ketahui. Kedua pendekatan tersebut, meskipun berbeda, mengandung kesamaan: hal-hal yang bersifat normatif senantiasa hadir dari

Tony Rudyansjah 117

awal sampai akhir pembahasan.Hal yang kontradiktif muncul ketika ilmu ekonomi lahir

sebagai semacam ilmu alam (natural science), yakni ketika ilmu itu berusaha mempelajari apa yang terjadi di luar sana sebagai suatu fenomena alam. Dengan demikian, ia menuntut pergeseran dari norma ke fakta. Namun karena pergeseran itu, sebagaimana seringkali lazim terjadi dalam setiap bidang keilmuan, tidak dapat sepenuhnya direalisasikan. Maka ilmu ekonomi harus dapat merekayasa normanya sendiri, dan hal itu hanya dapat dipenuhi dengan baik melalui doktrin natural harmony of interests yang kemudian berjaya dalam disiplin ekonomi.

Sebagai penutup pembahasan bab 2 ini, sebuah paragraf terkenal dalam Wealth of Nation cukup kiranya ditampilkan di sini untuk mendemonstrasikan bagaimana kekuatan norma dan argumentasi doktrin tersebut:

“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interests.”43

[Bukanlah berasal dari kebajikan tukang daging, pembuat bir, ataupun tukang roti, kita mengharapkan mendapatkan makan malam kita, melainkan lebih berasal dari kepentingan mereka masing-masing hal itu bisa kita dapatkan.]

43 Adam Smith, Wealth of Nation, I, ii; 1904, hlm. 16.

118

3

KarL Marx: Ketegangan antara KeBeBasan

Dan KenIscayaan tInDaKan ManusIa

“…Marxism has become the accepted creed or religion for countless millions of mankind, and The Communist Manifesto must be counted as a holy book, in the same class as the Bible or the Koran. Nearly every sentence is a sacred text, quoted or acted on by devotees, who often no doubt do not know the source of their belief.”1

[…Marxisme sudah menjadi sebuah keyakinan atau religi bagi jutaan umat manusia, dan buku Communist Manifesto mesti diperlakukan sebagai sebuah kitab suci, sama seperti Alkitab dan Al Qur’an. Hampir semua kalimatnya merupakan teks suci, yang dikutip dan dipatuhi oleh para penghayatnya, yang tak dinyana lagi acapkali tidak mengetahui sumber dari kepercayaannya itu.]

P e n d a h u l u a nSebagaimana diutarakan oleh A.J.P. Taylor dalam pengantar

untuk buku dari Marx dan Engels The Communist Manifesto, tulisan-tulisan Karl Marx diperlakukan orang laksana kitab suci

1 ‘Introduction’ yang diberikan oleh A.J.P. Taylor dalam Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, 1985, hlm. 7

Tony Rudyansjah 119

agama. Banyak sekali komentar serta ulasan yang cukup subjektif bermunculan dari berbagai pihak, baik dari para pengikutnya, para ilmuwan, para ahli filsafat, dan bahkan para ahli agama. Satu pembahasan menyeluruh tentang keseluruhan interpretasi pemikiran Marx, dengan demikian, tidak mungkin dapat saya lakukan dalam ruang terbatas di hanya satu buku, yang mencakup juga banyak hal selain hanya membicarakan pemikiran Marx. Apa yang mungkin bisa saya lakukan di sini adalah mencoba mengulas secara rinci pemikiran Marx tentang hakekat manusia, tindakan manusia dan relavansinya bagi antropologi.

Sebagai satu kesatuan yang bersifat menyeluruh, tulisan Marx dapat dikatakan meliputi banyak sekali ulasan mengenai beranekaragam pokok permasalahan, dan beberapa di antaranya memang tidak dimaksudkan pada masa hidup Marx (1818–1883) untuk dipublikasikan kepada khalayak ramai. Tulisan-tulisan Marx tersebut memperoleh berbagai macam ulasan maupun tanggapan dengan beranekaragam perspektif, penafsiran dan pendekatan, dan apabila tetap bersikukuh berkeinginan mengerjakannya, seseorang tentu saja dapat menghabiskan seluruh masa hidupnya hanya untuk mengulas dan mempelajari berbagai ulasan dan tulisan tentang Marx itu. Mengingat komplesitas perkara itu, maka dengan resiko melakukan semacam simplifikasi dan reduksi, kita dapat mengatakan bahwa terdapat dua macam cara penting dalam membaca tulisan-tulisan Marx. Pertama adalah cara membaca dari sejumlah ahli yang melihat Marx pernah mengalami masa muda yang penuh dengan romantisisme dan idealisme, sehingga perhatiannya terhadap agama, ide, harta kekayaan manusia (human wealth) dan alienasi merupakan keasyikan utama Marx dalam tulisan-tulisannya. Para ahli itu kemudian menegaskan bahwa Marx dalam periode tertentu mengubah secara drastis dan fundamental arah dari pemikirannya, dan sekaligus berupaya mengembangkan satu posisi teoritis yang konsisten dan sangat ketat terstrukturkan.

120 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Meskipun terdapat pandangan yang berbeda-beda mengenai apa dan bagaimana posisi teoritis Marx yang lebih kemudian tersebut, namun posisi teoritis itu biasanya diistilahkan sebagai historical materialism (materialisme historis)—sesuatu yang kemudian, menurut mereka, mencapai puncaknya saat dikembangkan lebih lanjut oleh Friedrich Engels (1820–1895) melalui satu sudut pandang yang sangat gamblang dan jelas, meskipun pada saat yang bersamaan menjadi sangat deterministik.

Aliran cara membaca kedua berpendapat dan sekaligus membe rikan argumentasi bahwa Marx tidak pernah sematerialistik seperti apa yang nampak dalam tafsiran dan tulisan Engels. Mereka yang berasal dari aliran cara membaca kedua ini menegaskan bahwa Marx tidak pernah meninggalkan posisi idealismenya. Dengan demikian, mereka beranggapan bahwa Marx tidak pernah menanggalkan beberapa aspek tertentu dari Hegelianisme, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat sebuah kesinambungan antara tulisan-tulisan Marx di masa muda dengan di masa tuanya. Secara pribadi saya lebih dekat dengan pandangan aliran kedua ini, meskipun saya masih bisa mengapresiasi berbagai pandangan yang beranggapan bahwa terdapat satu epistemological break di antara tulisan Marx di masa awalnya dibandingkan dengan masa akhirnya2, dan ini, menurut hemat saya, tidak berarti sebagai satu keterputusan pemikiran Marx masa awal dengan masa akhir hidupnya.

Latar Belakang Pemikiran MarxAda baiknya pembahasan di sini dimulai dengan satu uraian

ringkas mengenai latar belakang pemikiran yang mempengaruhi Marx, karena ia memang berangkat dari satu tradisi pemikiran yang banyak memiliki perbedaan dibandingkan tradisi pemikiran yang kita telah bahas dalam bab-bab sebelumnya. Latar belakang

2 Lihat misalnya Louis Althusser, For Marx, 1979.

Tony Rudyansjah 121

pemikiran Marx itu perlu diketahui untuk mempermudah pemahaman kita tentang konsep-konsep penting dalam teori Marx, seperti tindakan sosial, ideologi, alienasi, dan praxis. Pembahasan serupa itu sudah tentu meliputi juga kajian terhadap apa yang pada masa kini disebut sebagai karya-karya awal Marx, sebelum kita kemudian beralih pada karyanya yang lebih materialistik pada saat ia mulai mengkaji transformasi yang terjadi dalam masyarakat Eropa. Melalui cara seperti itu, kita memiliki kesempatan memahami berbagai teori lain sebagaimana dikembangkan Marx dalam magnum opusnya Capital3, seperti teori tentang asal usul kapitalisme, fetisisme komoditas, dinamika konsentrasi modal, siklus produksi, dan jatuhnya tingkat keuntungan, di samping teori-teori di masa awal karyanya, seperti agama, ide, harta kekayaan manusia dan alienasi, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Meskipun Karl Marx seringkali ditampilkan sebagai penggagas dan penulis dari a natural theory of society (sebuah teori alam tentang masyarakat), masalah yang dihadapinya bukanlah mengembangkan satu teori tentang a natural science of society á la Auguste Comte, Herbert Spencer, Emil Durkheim maupun Alfred Reginald Radcliffe-Brown. Pemikiran Marx harus dilihat dan dipahami dalam kerangka perkembangan pemikiran sosial dan filsafat Jerman. Titik pijakan dan sumber inspirasi pikiran Marx adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Untuk memahami perkembangan pemikiran sosial dan filsafat Jerman secara cukup utuh, termasuk pemikiran Hegel, kita mau tidak mau harus memulai pembahasan dengan Immanuel Kant (1724-1804).

3 Karl Marx hanya menyelesaikan jilid I dari buku Capital, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1867. Jilid II dan III diselesaikan oleh Engels dari draft yang ditinggalkan Marx, dan diterbitkan pada tahun 1885 untuk jilid II dan tahun 1895 untuk jilid III.

122 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Buku terkenal Critique of Pure Reason, yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman tahun 1781, ditulis Kant untuk memerangi empirisisme dan menyelamatkan penalaran (reason) sebagai pedoman bagi pengalaman, dan sekaligus tentu saja sebagai satu kemampuan di dalam mana pengalaman mungkin dihasilkan manusia. Kant sependapat dengan John Locke yang menyatakan bahwa pengalaman adalah fondasi dari berbagai pengetahuan manusia. Perbedaannya dengan Locke adalah bahwa Kant mengajukan juga sebuah argumentasi tambahan melalui satu cara yang sangat kuat dan meyakinkan di tempat mana ia menegaskan bahwa pengalaman manusia ditata dan diatur oleh sejumlah prinsip atau kategori, seperti ‘ruang’, ‘waktu’, ‘bilangan’ (number), efek, kausalitas, resiprositi, kontinyuitas, substansi, dan ‘daya’ (force), yang kesemuanya merupakan ciri-ciri universal dari penalaran manusia. Prinsip-prinsip atau kategori-kategori ini disebut Kant dengan istilah a priori principles atau a priori categories.

Lebih lanjut, Kant tidak hanya berpendapat bahwa prinsip-prinsip atau kategori-kategori—di dalam mana kita dimungkinkan untuk berpikir— sudah terberikan sebelum pengalaman, karena a priori categories itulah yang sesungguhnya memungkinkan kita dapat mengapresiasi, memahami dan mengalami kaidah-kaidah yang mengatur dunia material, namun ia juga mengajukan sebuah argumentasi tambahan lainnya bahwa a priori principles itu tidak mungkin untuk dapat menyediakan basis bagi penilaian moral (moral judgement). Penilaian moral itu, menurutnya, harus berlandaskan pada hati nurani (conscience).

Kant menegaskan bahwa tidak mungkin ada satu ilmu pengetahuan tentang moral (a science of moral), ataupun pengetahuan tentang masyarakat sebagai sesuatu yang juga bersifat moral, karena moralitas berada dan berlangsung dalam sebuah ranah kebebasan (a realm of freedom), sehingga prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah pengetahuan ilmiah tidak mungkin untuk bisa diaplikasikan pada bidang itu. Dengan lain perkataan,

Tony Rudyansjah 123

Kant membuat sebuah pemisahan radikal antara teori, atau dalam istilah yang digunakannya theoretical reason di satu sisi, yang merupakan cara untuk memahami realitas fenomenal melalui ilmu pengetahuan, dengan praktis, atau dalam istilah yang digunakannya practical reason di sisi lain, yang merupakan ranah dari filsafat moral, dan oleh karenanya tidak mungkin dapat berlandaskan pada teori. Perlu untuk ditegaskan bahwa istilah practical reason di sini jangan disalah-artikan menurut kerangka teori positivistik tentang utility sebagaimana pernah diulas Marshall Sahlins dalam buku Culture and Practical Reason.

Dengan demikian, apa yang dilakukan Kant adalah menggeser ‘pengejaran yang dilakukan setiap individu manusia akan kebahagiaan’—‘a pursuit of felicity’ (dalam istilah Thomas Hobbes)4—yang tadinya bersifat sepenuhnya materialistik menjadi suatu prinsip moral yang terbebaskan sepenuhnya dari kendali alam, dan sekaligus ditempatkan Kant sebagai sesuatu yang bersifat universal, meskipun pada saat yang bersamaan bersifat kosong dari kandungan khusus apapun, yang tidak lebih dari sekedar tindakan manusia yang sepenuhnya diatur hanya oleh sejumlah prinsip yang bersifat universal (universal principles), sehingga hal itu dapat dilihat semata-mata sebagai sekedar ekpresi dari sejumlah kaidah-kaidah yang bersifat universal (universal laws). Argumentasi Kant itu dapat ditelusuri dalam karyanya Critique of Pure Reason maupun dalam tulisannya yang lebih pendek dan padat dengan judul ‘The Metaphysical Foundation of Morals’.5

Pemisahan radikal antara theoretical reason dan practical reason dalam kerangka pemikiran Kant itu diikuti lagi dengan sebuah pemisahan radikal lainnya antara ilmu pengetahuan analitis (analytic science) dan pengertian kultural subjektif (subjective cultural understanding). Hal ini sangat drastis berseberangan dengan pemikiran Abad Pertengahan di mana dunia fenomenal

4 Sudah kita bahas di bab sebelumnya.5 Diterbitkan Immanuel Kant dengan edisi bahasa Jerman tahun 1785.

124 alam, Kebudayaan & yang IlahI

(dunia riil) dianggap dihuni oleh sebuah spiritualitas, sehingga alam dianggap digerakkan oleh kekuatan-kekuatan mistis. Namun sebagaimana telah didiskusikan di bab sebelumnya, cara berpikir dari Abad Pertengahan itu mulai memudar dan mulai usang, dan sebagai gantinya satu pandangan baru tentang dunia mulai muncul sejak abad ke-18. Dalam pandangan baru ini, alam ditanggapi sebagai sebuah mesin raksasa yang dilepaskan dan ditanggalkan dari berbagai paham animisme dan sejumlah pemaknaan intrinsiknya, sehingga individu manusia kemudian dilihat sebagai satu-satunya wadah (locus) dari pemaknaan—satu-satunya sumber dari subjektivitas yang masih tersisa di dunia. Pandangan baru ini tentu saja melahirkan satu pandangan tentang individualisme yang sangat radikal, dan sekaligus menjadi satu pokok permasalahan yang memaksa setiap pemikir dan ahli filsafat harus menentukan sikap dan pandangannya.

Kita dapat melihat bahwa Johann Gottfried von Herder (1744-1803) adalah justru seorang wakil dari para pemikir yang sangat kuat menentang teori ilmiah abad ke-18 tentang masyarakat manusia serta kebudayaan dan etika itu, seperti yang juga digambarkan Kant, yang memisahkan secara radikal dunia objektif dari makhluk subjektif/subjective being (baca: makhluk manusia) yang melakukan kontemplasi terhadap dunia. Bagi Herder, kebudayaan adalah sebuah kesatuan ekspresif yang padu sekaligus menyeluruh di dalam wadah mana manusia terlekatkan dan mewujudkan dirinya. Teori-teori, pemaknaan-pemaknaan dan tujuan-tujuan hidup dari manusia dianggap tidak hanya berada dan berlangsung di dalam pikiran individu, melainkan diberlangsungkan juga dalam satu kebudayaan tertentu. Dengan demikian, kebudayaan, di satu sisi, merupakan ekspresi menyeluruh penuh makna dari keberadaan yang bersifat total, sedangkan manusia, di sisi lain, merupakan makhluk ekspresif yang diasuh, dibentuk dan diberlangsungkan oleh kebudayaan dari satu komunitas di mana manusia itu berada. Dengan kata

Tony Rudyansjah 125

lain, setiap kebudayaan, di mana kita dimungkinkan untuk dapat menggapai satu entitas fisik, seperti ras atau bangsa (nation), memiliki sebuah konfigurasi unik yang harus dipahami sebagai sebuah pola yang bersifat padu serta menyeluruh. Di dalam pandangan Herder, dunia manusia (the world of man) dan dunia alam (the world of nature) tidak secara radikal terpisahkan—setiap kebudayaan merupakan gabungan dan perpaduan antara alam dan spirit ke dalam satu konfigurasi unik di wadah mana bahasa, musik, puisi, dan kesenian merupakan ekspresi tertingginya. Berdasarkan pandangan ini, maka sejarah manusia tidak lagi dipahami sebagai bidang (realm) dari berbagai anak tangga yang sedang menapaki kemajuan, seperti dipahami para ahli evolusionis, melainkan lebih dipahami sebagai sebuah perpaduan dari beraneka ragam ekspresi spirit manusia ke dalam beranekaragam bentuk budaya yang dianggap tergantung pada bahasa, yang pada gilirannya bahasa itu juga diberlangsungkan di dalam satu kebudayaan unik yang sesungguhnya merupakan sebuah wahana di mana setiap insan manusia dimungkinkan untuk memperoleh realisasi dirinya. Pandangan Herder itu memiliki beberapa kesamaan dan sekaligus perbedaan dengan pemikiran Hegel.

Hegel dilahirkan tahun 1770 di Jerman. Ia menghabiskan usia mudanya pada saat atmosfir intelektual Jerman sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran Kantian6 maupun pikiran romatisisme á la Herder. Apa yang dicoba dilakukan Hegel kemudian adalah berupaya menyingkirkan pemisahan radikal antara apa yang diistilahkannya sebagai what is dengan what ought to be. Atau, secara lebih tepat, ia berupaya menyingkirkan pemisahan yang dibuat Kant antara theoretical reason dan practical reason.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Kant berupaya mengatasi problema individualisme radikal itu ke dalam bentuk materialistik, namun, di saat yang bersamaan, ia meninggalkan

6 Pikiran Kantian adalah tradisi pikiran yang dikembangkan oleh Immanuel Kant

126 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dan membiarkan moralitas menjadi sesuatu yang kosong tanpa kandungan apapun, dan sekaligus sepenuhnya terpisahkan dari masyarakat dan dimensi politik. Dalam latar belakang konteks pemikiran Kant seperti itu, Hegel berupaya pada hakekatnya menghapuskan pemisahan radikal yang dibuat Kant itu, dan pada saat yang bersamaan Hegel juga tidak ingin membiarkan penalaran (reason) terpendam dan tersingkirkan ke dalam kekumuhan ekspresionisme subjektif sebagaimana digambarkan para pemikir romantis seperti Herder.

Hegel mengemukakan argumen bahwa pemahaman tentang pemisahan radikal antara subjek dan objek, atau antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, pada dasarnya merupakan satu bentuk alienasi di tempat mana pikiran manusia menjadi sesuatu yang terasing dan bahkan terpisahkan dari realitas yang diciptakan manusia sendiri. Oleh karena itu penalaran, dalam pemikiran Hegel, tidak dipandang semata-mata sebagai sesuatu yang dihasilkan analisis sebagai pemahaman teoritis, melainkan lebih sebagai sebuah proses melalui cara mana subjek manusia bisa masuk merasuki alam dan sejarah.

Menurut Hegel, sejauh penalaran, di satu sisi, masih terlekatkan di dalam alam, dan sejauh manusia masih bersifat alami, maka manusia tidak akan reflektif dan masih menjadi subjek dari hukum alam. Sedangkan, di sisi lain, esensi dari kemanusiaan adalah perpindahan dari alam ke kebudayaan, dan perpindahan ini mencakup satu perubahan politik yang sangat mendasar sebagaimana diargumentasikan Herder juga. Tulisan Herder dan para tokoh romantis lainnya melihat kebudayaan sebagai tahap ekspresif dari keberadaan yang dikaruniai secara spiritual, sedangkan Hegel mengajukan argumentasi bahwa penalaran menjadi terbelah dan terbagi-bagi, pemikiran manusia menjadi sesuatu yang terpisahkan, terasing dan teralienasi, dan meskipun manusia sudah sadar akan dirinya sendiri namun ia masih tetap berada dan terbelenggu ke dalam bentuk-bentuk

Tony Rudyansjah 127

kultural yang dangkal. Konsep reason seperti ini berbeda kontras dengan apa yang

dikemukakan Sahlins dalam karyanya yang disebutkan di atas, di mana ia mengutip pendapat para filosof zaman Pencerahan di Perancis, dan para ahli ilmu sosial yang lahir daripadanya, yang mengemukakan argumentasi bahwa penalaran (reason) memiliki kemampuan rasionalitas karena penalaran mampu mengungkapkan dan menyingkirkan berbagai kekeliruan dan keputusasaan manusia.

Sedangkan bagi Hegel, penalaran adalah proses realisasi atau manifestasi bertahap di dalam realitas, dan bukannya sebuah proses manifestasi tentang realitas (manisfestation in reality, and not manifestation about reality), sehingga penalaran lebih merupakan sebuah modus dari satu keberadaan objektif dan subjektif sekaligus.

Lebih lanjut, Hegel menegaskan bahwa penalaran mencakup kebebasan, yang sebenarnya merupakan aspek terpenting dari penalaran, dan kebebasan sendiri berarti kemampuan yang dimiliki manusia untuk bertindak dan membentuk realitas, tidak hanya berdasarkan hakekat di mana alam dibayangkan berdasarkan kaidah-kaidah deduktif ilmu pengetahuan, melainkan lebih merupakan kemampuan manusia untuk membentuk alam berdasarkan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, penalaran mesti dilihat dan ditemukan di dalam suatu proses tiada henti melalui cara mana manusia berusaha memahami apa yang ada (what exists) dan berubahnya. Penalaran adalah daya diri kreatif yang bertalian erat dengan alam, yang sekaligus dikaruniai dengan satu dorongan untuk sepenuhnya sadar akan dirinya sendiri. Penalaran yang sadar akan dirinya sendiri itu disebut dengan istilah spirit, mind ataupun geist. Berdasarkan pada pengertian itu maka penalaran merupakan satu kekuatan sejarah, dan sedangkan sejarah manusia harus dilihat sebagai proses manifestasi—atau membuat riil—berbagai pertarungan melalui

128 alam, Kebudayaan & yang IlahI

cara mana spirit merealisasikan dirinya sendiri, terutama untuk mencapai kebebasan dan sekaligus kesadaran diri total (total self-consciousness), yang merupakan satu tahap keberadaan di tempat mana alienasi dapat sepenuhnya tersingkirkan.

“Spirit is self-creative energy imbued with a drive to become fully conscious of itself as spirit. Nature is spirit in its self-objectification in space; history is spirit in its self-objectification as culture—the succession of world-dominant civilizations from the ancient Orient to modern Europe. Spirit actualizes its nature as self-conscious being by the process of knowing. Through the mind of man, philosophical man in particular, the world achieves consciousness of itself as spirit. This process involves the repeated overcoming of spirit’s “alienation” (Entfremdung) from itself, which takes place when spirit as the knowing mind confronts a world that appears, albeit falsely, as objective, i.e., as other than spirit. Knowing is recognition, whereby spirit destroys the illusory otherness of the objective world and recognizes it as actually subjective or selbstisch. The prosess terminates at the stage of “absolute knowledge,” when spirit is finally and fully “at home with itself in its otherness,” having recognized the whole of creation as spirit …”7

[Spirit adalah daya kreatif diri yang dikaruniai dengan satu dorongan menjadi sepenuhnya sadar akan dirinya sendiri sebagai spirit. Alam adalah spirit dalam bentuk objektifikasi dirinya di dalam ruang; sejarah adalah spirit dalam objektifikasi dirinya sebagai kebudayaan—urut-urutan dari peradaban dunia yang dominan dari Timur Kuno hingga Eropa Modern. Spirit mengaktualisasikan hakekatnya sebagai sebuah makhluk yang sadar akan dirinya melalui proses pengetahuan. Melalui pikiran manusia, atau pikiran ahli filsafat pada khususnya, dunia mencapai kesadaran akan dirinya sebagai spirit. Proses ini mencakup upaya yang berulang-ulang untuk mengatasi keterasingan spirit dari dirinya sendiri, yang terjadi manakala spirit sebagai pikiran yang mengetahui berhadapan dengan satu dunia yang nampak sebagai sesuatu yang objektif, yakni sebagai

7 Robert C. Tucker, The Marx-Engels Reader,1978, hlm. xxi.

Tony Rudyansjah 129

sesuatu yang berbeda dari spirit itu sendiri, meskipun hal itu sebenarnya keliru. Mengetahui sebetulnya berarti mengenali, sehingga dengan itu spirit bisa menghancurkan ilusi mengenai aspek otherness dari dunia objektif dan mengenalinya sebagai sesuatu yang sesungguhnya subjektif. Proses ini baru berakhir di tahap pengetahuan absolut manakala spirit akhirnya sepenuhnya berasa ‘at home” dengan dirinya sendiri di dalam “otherness’ itu, dan mengenali keseluruhan penciptaan sebagai spirit… ]

Ini merupakan sebuah pandangan tentang sejarah dunia yang pada dasarnya sangat religius dan sekaligus sangat berbeda dengan pandangan positivistik seperti yang digambarkan teori evolusionis. Di sini sejarah dunia bukanlah pengejawantahan dari hukum-hukum alam, yang sekali ditemukan oleh investigasi ilmiah, maka akan berlaku sahih (valid) bagi semua waktu dan tempat, dan sekaligus tidak berubah-ubah. Sejarah dunia lebih dilihat sebagai sebuah proses di tempat mana alam merupakan hanya wahana material untuk tempat manusia berkarya dan bekerja, dan melalui mana kebebasan manusia diekspresikan dan dicapai. Dengan demikian, penalaran bukanlah sesuatu seperti yang dipresentasikan oleh prinsip-prinsip effesiensi, karena penalaran sangat mungkin dieskpresikan dalam berbagai cara yang berbeda-beda dan sepotong-potong (parsial), sehingga setiap tahap dari sejarah dunia harus dilihat sebagai fase atau momen di dalam realisasi atau perwujudan final dari penalaran, gagasan ataupun spirit.

Berdasarkan pandangan itu, setiap fase dari sejarah memiliki satu tahap integral sebuah keberadaan tersendiri dengan institusi, pengetahuan, agama dan filsafat tersendiri, atau, dalam istilah antropologi, memiliki kebudayaannya tersendiri. Tidak dinyana lagi, ini mengandung hakekat teoritis yang pada`dasarnya bersifat sangat religius, metafisik dan sekaligus mengandung progresivisme, karena pada ujungnya produk akhir (realisasi absolut) dari spirit adalah perpaduan dan penyatuan dunia dengan spirit dalam bentuknya yang final.

130 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Pandangan sejarah dan penalaran seperti itu dipancarkan bersamaan dengan satu pandangan tentang realitas yang sangat berbeda dari positivisme ataupun ilmu pengetahuan positivistik. Dalam ilmu pengetahuan positivistik, seperti ilmu pasti dan ilmu alam, fakta adalah dasar paling penting bagi pengetahuan—realitas yang mempresentasikan dirinya sendiri pada observasi merupakan data paling final bagi verifikasi, atau, dengan kata lain, skeptikisme ilmu pasti dan ilmu alam semacam itu mempersyaratkan kita menunda dahulu penilaian kita (our judgement) sampai observasi yang kita lakukan berakhir, dan baru setelah itu kita bisa mengembangkan atau melakukan verifikasi atas hipotesa secara lebih rinci dan tepat.

Apa yang dilakukan Hegel adalah sebaliknya. Seperti diargumentasikan Herbert Marcuse, filsafat Hegel bukanlah bersifat positivistik, melainkan negatif, dalam arti sangat ditekankan adanya sebuah perbedaan antara penampakan dari segala objek yang nampak, di satu sisi, dan sumber hakiki sebenarnya, di sisi lainnya. Dengan lain perkataan terdapat satu perbedaan di antara kedua hal itu, sehingga apa yang harus kita pikirkan adalah negasi atas destruksi berbagai fakta sebagaimana mereka nampak terlihat—negasi (penolakan) terhadap pengrusakan ataupun pengkaburan berbagai fakta sekedar sebagai penampakannya saja. Kebenaran bukannya harus ditemukan melalui akumulasi berbagai fakta sebagaimana mereka nampak, melainkan kebenaran lebih merupakan satu proses melalui mana semua fakta, yang merupakan hanya penampakan bersifat parsial, dihubungkan satu sama lain di dalam sebuah proses menyeluruh dari negasi dan transformasinya, sehingga apa yang nampak sebagai fakta sesungguhnya hanyalah satu bagian dari satu totalitas sebenarnya, yang hanya dapat kita capai melalui satu proses yang bersifat progresif. Sebagaimana setiap cerita mengandung banyak sisi, maka fakta juga mengandung banyak oposisinya, dan hanya melalui totalitasnya sebuah pemahaman yang menyeluruh dapat

Tony Rudyansjah 131

dilahirkan. Di sini kita sampai pada satu perbedaan terkenal yang dibuat Hegel antara realitas, yang bersifat parsial, dan aktualitas, yang merupakan realisasi final berbagai kemungkinan dari realitas-realitas melalui sejumlah manifestasi yang berurutan, serta transformasi yang berbeda-beda, sehingga gejala seperti Kristianiti, baik Lutherian, Calvinisme, atau Keuskupan, merupakan hanya sebuah realisasi dari secuil manifestasi yang masih bersifat parsial dalam proses sejarah.

Berkenaan dengan pokok pikiran di atas, dua butir utama tentang sejarah dunia dari Hegel perlu disinggung di sini. Pertama, tidak seperti Herder, yang melihat dunia laksana sebuah kebun maha besar yang secara subur ditumbuhi beranekaragam perpaduan dan persilangan dari berbagai kebudayaan dan bahasa di dalam sebuah tatanan yang sangat unik dan sekaligus beranekaragam, Hegel mengembangkan satu pandangan tentang sejarah dunia, di mana berbagai kebudayaan manusia bermunculan, berkonflik satu sama lain, dan digantikan satu sama lain oleh sebuah kebudayaan yang telah mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi melalui cara menginkorporasikan berbagai tingkat perkembangan kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Pandangan Hegel itu bukanlah merupakan sebuah pandangan yang statis tentang pluralisme kebudayaan dan relativisme kebudayaan, seperti Herder, melainkan lebih merupakan sebuah teori yang sangat dinamik di tempat mana berbagai figur sejarah dunia memainkan peranan penting dalam sejarah manusia—sebuah spirit yang absolut telah ada jauh sebelum perwujudannya terrealisasi di dalam realitas, dan proses perwujudan hal itu sejatinya merupakan bahan utama dari sejarah itu sendiri.

Kedua, Hegel banyak memberikan pendapat tentang negara. Dalam pandangan romantik tentang kebudayaan sebelum Hegel, dunia atau komunitas manusia yang memiliki bahasa yang sama menduduki satu posisi penting, dan hal itu dapat kita pahami sebagai reaksi terhadap pandangan Abad Pencerahan tentang

132 alam, Kebudayaan & yang IlahI

manusia universal. Salah satu konsekwensi dari pandangan romantik itu adalah tersingkirkannya pandangan tentang negara ke latar belakang, dan sekaligus terkaburkan oleh berbagai pembahasan utama lainnya, sehingga pandangan tentang peranan negara menjadi sangat problematik di dalam pemikiran para romantisisme. Problematik ini juga terkandung dalam pemikiran Herder. Hegel-lah yang gencar mulai mengemukakan isu negara dalam pandangannya tentang kebudayaan. Sedangkan problema yang dihadapi Hegel adalah mengidealisasikan negara dan menganggap negara birokratik modern sebagai perwujudan tertinggi dari penalaran (the highest embodiment of reason)—satu posisi yang banyak ditantang oleh pengikut Hegel sendiri. Perkara ini tidak dapat kita diskusikan lebih jauh di sini, karena hal itu membutuhkan pembahasan dalam sebuah buku tersendiri.

Kembali ke isu pokok diskusi semula, maka hal penting dari Hegel yang perlu ditekankan di sini dalam rangka memahami lebih mudah pemikiran Marx adalah bahwa Hegel telah menyelamatkan penalaran praktis (practical reason) dari satu macam abstraksi spekulatif Immanuel Kant melalui cara memperlakukan moralitas sosial sebagai sebuah proses aktual dari realitas sosial politik sebagaimana realitas sosial politik itu berkembang melalui sebuah proses historis tertentu. Meskipun memang benar bahwa Hegel menfokuskan konsentrasinya baik pada spirit atau ide, sebagai sebuah penalaran yang sadar akan dirinya sendiri dan sekaligus bebas, maupun pada institusi sosial dan politik untuk suatu maksud dan tujuan yang transenden dalam dirinya sendiri, namun konsentrasi spekulatifnya tetap ditujukannya baik pada proses historis, maupun berbagai rincian dari organisasi negara modern dan masyarakat sipil, sehingga pemikiran Hegel menjadi tetap menarik perhatian kalangan terpelajar yang tertarik pada politik dan ilmu sosial. Hegel meletakkan dasar bagi masyarakat birokratis, yang pada hakekatnya merupakan satu pemutusan radikal dari tradisi Kantian, dan yang sekaligus sangat berbeda dari pandangan ilmu pengetahuan alam

Tony Rudyansjah 133

yang telah kita diskusikan panjang lebar sebelumnya. Lebih penting lagi, Hegel juga mendobrak pandangan akal sehat (common-sense idea) tentang kedalaman objek dalam kehidupan sosial, dan sekaligus memperkenalkan sebuah prinsip untuk tidak hanya melihat fakta sosial sebagai sebuah “benda” (thing), melainkan sebagai sebuah totalitas yang rancang bangunnya tidak hanya terdiri dari “benda-benda” sebagaimana mereka nampaknya, tetapi sebagaimana mereka akan menjadi—sebuah totalitas yang terdiri dari kontradiksi dan transformasi. Ia menegaskan perlunya kita bersikap kritis dalam arti beranggapan bahwa penalaran dan rasionalitas harus ditemukan bukan pada spekulasi yang bersifat abstrak, melainkan pada proses aktual dari berbagai praktek sosial dan politik manusia.8

Masa Studi dan Pengaruh terhadap Karl Marx

Karl Marx dilahirkan tanggal 5 Mei tahun 1818 di Tier, ibu kota provinsi Rhineland yang kala itu masih merupakan bagian dari kerajaan Prussia (sebuah kerajaan yang berada di wilayah Jerman Barat). Pada tahun 1818 itu jugalah Hegel diangkat sebagai professor filsafat di Universitas Berlin. Masa tua Marx dihabiskan di London dan meninggal di sana tanggal 14 Maret 1883. Pendidikan pada tingkat sekolah menengah Atas diselesaikan di Tier sebelum Marx melanjutkan kuliah dalam ilmu hukum di Universitas Bonn tahun 1835, dan kemudian pindah untuk belajar bidang yang sama (ilmu hukum) ke Universitas Berlin tahun 1836. Kala Marx pindah ke Universitas Berlin itu, Hegel telah sekitar 5 tahun wafat, meskipun “ruh” intelektual Hegel masih kuat bergentayangan di lorong-lorong dan ruang-ruang kuliah di sejumlah universitas utama di Jerman, termasuk salah satunya Universitas Berlin.

8 Untuk uraian tentang Hegel dan negara modern, baca Charles Taylor, Hegel and Modern Society, 1988.

134 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Di Universitas Berlin itu, Marx, selain belajar hukum, menekuni juga dengan intensitas yang sama berbagai bidang lain, seperti filsafat, sejarah, bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Itali. Dan di kota inilah Marx bergabung ke dalam ‘Berlin Doctor’s Club’, sebuah kelompok belajar bagi para siswa doktoral yang banyak mengkaji pemikiran Hegel. Marx tidak pernah menyelesaikan doktornya dalam bidang Hukum di Universitas Berlin, karena ia pindah ke Universitas Jena dari tahun 1839 sampai tahun 1841, dan menulis di sana sebuah disertasi dalam subjek filsafat Yunani dengan judul The Difference Betwen the Democritean and Epicurean Philosophies of Nature.

Dalam disertasi itu, Marx memperbandingkan dua ahli filsafat Yunani Kuno dan menunjukkan bahwa Demokritus membangun sebuah teori fisika yang sangat deterministik sifatnya berdasarkan sebuah pemahaman bahwa atom bergerak hanya dalam garis yang linear, sedangkan Epikurus merancang sebuah pandangan dunia yang lebih utuh dan lengkap, yang memberikan ruang tidak hanya bagi determinisme melainkan juga kebebasan, berdasarkan sebuah pemahaman bahwa atom mungkin untuk melakukan sebuah pergerakan yang menyimpang dari garis lurus.9 Menurut Marx, pandangan Epikurus memberikan sebuah filsafat kehidupan yang lebih dalam dan luas daripada yang diberikan Demokritus. Berdasarkan biografi seperti itu, tidaklah terlalu sulit bagi kita memahami bahwa masalah kebebasan dan keniscayaan—determinisme merupakan juga satu bentuk lain dari keniscayaan—merupakan masalah utama yang telah menarik perhatian Marx sejak masa awal karier akademisnya. Bagaimana kuatnya pergulatan pemikiran Marx dalam rangka menjawab ketegangan antara dua hal itu, yakni kebebasan dan keniscayaan, merupakan sebuah leitmotiv yang mewarnai keseluruhan karya

9 Dirk J. Struik, dalam pengantar yang diberikannya dalam buku Karl Marx, The Economic & Philosophic Manuscripts of 1844, 1973, hlm. 14.

Tony Rudyansjah 135

Marx, dan pemahaman tentang perihal ini hanya bisa semakin jelas dengan berjalannya uraian-uraian yang akan dipaparkan di keseluruhan bab ini.

Setelah memperoleh tingkat doktoral, Marx pindah ke Universitas Bonn dengan harapan bisa mendapatkan posisi sebagai pengajar, yang tidak berhasil diperolehnya karena teman dekat dan sekaligus mentornya, Bruno Bauer, yang kala itu menjadi pengajar teologi di sana dipecat dari jabatannya sebagai pengajar karena kritik tajam yang ia lontarkan terhadap status quo religius kerajaan Prussia, sehingga Marx pada akhirnya meninggalkan keinginan tersebut dan memilih menjadi penulis pertama dan kemudian redaktur dari majalah Rheinische Zeitung. Profesi itu memungkinkan Marx relatif lebih mudah menghindari sensor pemerintah Prussia Jerman dengan cara mengelana dan hidup di beberapa negara di Eropa.

Jalan karier seperti itu barangkali sangat menguntungkan bagi sejarah ilmu pengetahuan, karena dengan begitu Marx bisa sangat aktif menulis beranekaragam subjek pembahasan dengan cakupan yang sangat luas variasinya—satu aktivitas yang sulit bisa dilakukannya apabila ia sebagai pemikir demokrasi yang radikal kala itu menjadi seorang pengajar tetap dengan berbagai tugas mengajar yang padat di satu universitas yang menganut tradisi pemikiran idealisme yang konservatif. Seandainya menempuh karir sebagai pengajar tetap di universitas, Marx sudah tentu harus tunduk dan patuh pada ketentuan kontrol dan sensor sangat ketat pemerintah Prussia terhadap pengajar universitas yang dituntut harus senantiasa membela propaganda dan status quo pemerintah kerajaan Prussia.

Teori Marx tentang Religi, Politik, Ekonomi: Kritik terhadap Hegel

Teori Marx yang pertama kali dilontarkan merupakan sebuah kritik terhadap Hegel, yang dikembangkan pada tahun 1843 ketika ia menulis sebuah komentar tentang karya Hegel Philosophy

136 alam, Kebudayaan & yang IlahI

of Right.10 Kritik terhadap Hegel ini dirangsang oleh sebuah inspirasi yang Marx peroleh dari pemikiran Ludwig Andreas Feuerbach (1804–1872), atau persisnya, yang terutama berasal dari tulisan-tulisan Feuerbach dengan judul ‘Provisional Theses for the Reformation of Philosophy’11, The Essence of Christianity12 dan Principles of the Philosophy of the Future13. Dalam salah satu tulisannya, Feuerbach mengemukakan argumentasi bahwa filsafat Hegel hanyalah satu bentuk lain dari religi, hanya satu proyeksi fantastik tentang Tuhan (absolute being) ke dalam ranah pemikiran tentang kekuasaan dan realitas.

“And, according to Hegel, only the negation of the negation is the true affirmation. In the end, we are again at the point from which we started—in the bosom of Christian theology. Thus, we already have in the main principle of Hegel’s philosophy the principle and outcome of his philosophy of religion, namely, that philosophy does not negate the dogmas of theology, but only restores and mediates them through the negation of rationalism. The secret of the Hegelian dialectic lies, in the last analysis, only in the fact that it negates theology by philosophy and then, in turn, negates philosophy by theology. Theology constitutes the beginning and the end … ”14

[Dan, menurut Hegel, hanya negasi dari negasi yang merupakan afirmasi sesungguhnya. Pada akhirnya kita sampai lagi pada titik di mana kita mulai—dalam pangkuan dada teologi Kristen. Jadi, kita telah memiliki prinsip dan hasil akhir filsafat agamanya di dalam prinsip utama dari

10 Buku Hegel’s Philosophy of Right merupakan terjemahan dari buku pada tahun 1821 dengan judul ganda dalam bahasa Jerman Naturrech und Staatswissenschaft im Grundrisse dan Grundlinien der Philosophie des Rechts.

11 Diedit dan diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Lawrence C. Stepelvitch dalam sebuah buku dengan judul The Left Hegelians: An Anthology, 1983.

12 Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman tahun 1841.13 Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman tahun 1983.14 Ludwig Feuerbach, Principles of the Philosophy of the Future, 1957,

hlm. 33.

Tony Rudyansjah 137

filsafat Hegel, yaitu bahwa filsafat Hegel itu tidak menegasi dogma teologi, melainkan hanya meneguhkan kembali dan memediasikannya melalui negasi rasionalisme. Rahasia dialektik Hegel terdapat, pada akhirnya, pada fakta bahwa ia menegasi teologi melalui filsafat, dan, pada gilirannya, menegasi filsafat melalui teologi. Teologi merupakan titik awal dan titik akhir…]

Dalam kerangka filsafat antropologis Feuerbach15, proyeksi fantastik itu pada dasarnya hanyalah proyeksi esensi manusia sendiri.

“In short, man transforms his thoughts and even his emotion into thoughts and emotions of God, his essence and his viewpoint into the essence and viewpoint of God … God is self-contradictory, for he is supposed to be a non-human and superhuman being; yet in truth he is—according to all his determination—a human being.”16

[Singkatnya, manusia mentransformasikan pikiran dan bahkan emosinya menjadi pikiran dan emosi Tuhan, esensi dan sudut pandang dirinya menjadi esensi dan sudut pandang Tuhan… Tuhan bersifat kontradiktif, karena Ia diandaikan bukan manusia melainkan lebih sebagai makhluk superhuman; namun di dalam kenyataan sesungguhnya, Ia, berdasarkan keseluruhan ketentuannya, adalah seorang makhluk manusia]

Dengan rumusan yang agak berbeda Feuerbach menegaskan poin yang sama dalam The Essence of Christianity.

“Man—this is the mystery of religion—projects his being (Wesen) into objectivity and then again makes himself an object of this projected image of himself thus converted into a subject, a person; he thinks of himself, is an object

15 Karena sudut pandangnya yang sangat antropologis, maka pendekatan filsalat Feuerbach biasa juga disebut dengan istilah ‘antropologisme’ (lihat misalnya “Introduction” yang diberikan Thomas E. Warterberg di buku Principles of the Philosophy of the Future dalam edisi bahasa Inggris, 1986, hlm. xvii).

16 Ludwing Feuerbach, Principles of the Philosophy of the Future, 1986, hlm. 11.

138 alam, Kebudayaan & yang IlahI

to himself, but as the object of an object, of another being than himself.”17

[Manusia—inilah misteri dari agama—memproyeksikan keberadaannya sendiri ke dalam objektivitas, lalu membuat dirinya sendiri sebagai objek dari citra yang diproyeksikan itu dan mengubahnya menjadi seorang subjek, seorang pribadi. Ia memikirkan tentang dirinya sendiri sebagai sebuah objek bagi dirinya, sebagai objek dari sebuah objek yang berbeda dari dirinya sendiri]

Pada akhirnya yang terjadi, menurut kritik materialistik Feuerbach terhadap agama, adalah:

“… men have created God in their own idealized image and then treated their own creation as their lord and master and fallen down before it.”[manusia menciptakan Tuhan sesuai dengan citra ideal mereka sendiri, dan lalu memperlakukan ciptaan mereka sendiri sebagai tuhan mereka dan berlutut dihadapannya.]

Untuk mengatasi kekurangan pemikiran sosial dan filsafat Jerman seperti itu, yang terutama sangat dipengaruhi pemikiran Hegel, maka apa yang harus dilakukan, menurut Feuerbach, adalah membalik prioritas Hegel, dan mencermati pertama-tama apa yang sungguh-sungguh terjadi di dalam diri manusia dan masyarakat modern di Jerman saat itu.

“What in religion is a predicate we must make into a subject, what is a subject, into a predicate … that is, invert the oracles of religion while at the same time seizing them as counter-truth—thus do we arrive at the truth.”18 [Apa yang dalam agama adalah kata sifat, kita harus jadikan subjek, dan apa yang subjek harus kita jadikan kata sifat…yakni dengan cara membalik keajaiban agama dan di saat yang bersamaan mengambil counter-truth, lalu meraih kebenarannya]

Dengan metode pembalikan seperti itu, maka apa yang

17 Ludwing Feuerbach, The Essence of Christianity, 1957, hlm. 29-30.18 ibid, hlm. 60.

Tony Rudyansjah 139

kita temukan bukanlah perwujudan final dari Absolut dan Penalaran (reason) seperti dibayangkan Hegel, melainkan sebuah keadaan penderitaan dan kesengsaraan manusia modern, yang sesungguhnya disembunyikan oleh semacam mesin raksasa yang bernama agama. Apa yang dilakukan Hegel, dalam hemat Feuerbach, adalah melestarikan keadaan itu dengan cara merekayasa satu pencitraan yang diproyeksikan tentang spirit absolut yang dianggap akan merealisasikan dirinya sendiri ke dalam pranata negara modern. Cara kerja filsafat seperti itu, menurut Feuerbach, adalah keliru: kita harus memulainya dengan manusia dan pengalaman inderawi riilnya, dan bukan memulainya dengan sebuah konsep á priori tentang kebenaran absolut dan universal yang dianggap telah ada sebelum realitas itu sendiri.

“The real in its reality and totality, which is the object of the new philosophy, is also the object only of a real and complete being. The new philosophy has, therefore, as its principle of cognition and as its subject, not the ego, the absolute, abstract mind, in short, not reason for itself alone, but the real and whole being of man. Reality, the subject of reason, is only man. Man thinks, not the ego, not reason. Thus, the new philosophy does not rest on the divinity, that is, the truth, of reason for itself alone; it rests on the divinity, that is, the truth, of the whole man. Or, to put it in another way, the new philosophy does indeed rest also on reason, but on that reason whose essence is the human being; namely, it rests not on a beingless, colorless and nameless reason, but on reason saturated with the blood of man. Hence, whereas the old philosophy declared that only the rational is the true and real, the new philosophy, on the other hand, declares that only the human is the true and real, for only the human is the rational; man is the measure of reason.”19 [Kenyataan dalam realitas dan totalitasnya, yang merupakan objek dari filsafat baru, adalah hanya objek dari makhluk yang utuh dan sebenarnya. Dengan demikian, filsafat baru

19 Ludwig Feuerbach, Principles of the Philosophy of the Future, diterjemahkan oleh Manfred Vogel, 1986, hlm. 66-67.

140 alam, Kebudayaan & yang IlahI

menegaskan keberadaan manusia yang sebenarnya dan seutuhnya, dan bukannya ego ataupun pikiran abstrak dan absolut, dan bukan juga nalar dalam dirinya sendiri, yang merupakan prinsip kognisi dan subjek kajiannya. Kenyataan, ataupun subjek penalaran, hanyalah manusia itu sendiri. Manusialah yang berpikir, bukannya ego dan bukan juga nalar dalam dirinya sendiri. Singkatnya, filsafat baru tidak tergantung pada keilahiaan atau kebenaran dari nalar dalam dirinya sendiri, melainkan tergantung pada keilahian atau kebenaran dari manusia yang dilihat secara utuh. Atau dengan kata lain, filsafat baru tentu saja tergantung pada nalar, namun dalam pengertian sebagai nalar yang esensi utamanya adalah makhluk manusia. Dengan begitu, ia tidak tergantung pada nalar yang tak beraga, nalar yang tak berwarna, ataupun nalar yang tak bernama, melainkan nalar yang dijejali dengan darah manusia. Apabila filsafat lama menegaskan hanya yang rasional yang merupakan kebenaran dan kenyataan, maka filsafat baru menegaskan hanya manusia yang merupakan kebenaran dan kenyataan, karena hanya manusialah yang rasional dan hanya manusialah yang menjadi tolak ukur dari penalaran]

Berdasarkan prinsip itu, yang sesungguhnya adalah prinsip ke-50 dari sejumlah 65 prinsip yang dicetuskannya, Feuerbach menegaskan bahwa pemikiran timbul dari keberadaan (being), dan keberadaan tidak timbul dari pemikiran. Pandangan ini memiliki banyak kemiripan dengan positivistisme yang kita telah bicarakan dalam bab-bab sebelumnya. Dan fakta bahwa Marx pernah menegaskan bahwa “kehidupan tidaklah ditentukan oleh kesadaran, melahirkan kesadaran yang ditentukan oleh kehidupan”20, menyebabkan Marx kelihatan nampak bagi kebanyakan orang sebagai penganut positivisme—suatu pendapat umum yang tidak sepenuhnya benar. Pandangan yang nampak seperti positivism itu dikembangkan Marx lebih lanjut dalam bukunya Capital.

20 Karl Marx & Frederick Engels, The German Ideology, 1988, hlm. 47.

Tony Rudyansjah 141

“The sum total of these relations of production constitute the economic structure of society… the real foundation, on which rises a legal and political superstructure and to which correspond definite forms of social consciousness.”21

[Keseluruhan berbagai relasi produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat…fondasi sesungguhnya di tempat mana lahir sebuah superstruktur legal dan politik, dan padanyalah berkaitan berbagai bentuk kesadaran sosial tertentu]

Meskipun begitu, Marx berbeda dari Feuerbach, dan dalam hal tertentu bahkan lebih dekat dengan Hegel daripada dengan Feuerbach. Marx memang menerima prioritas apa yang riil di atas ide/gagasan—prioritas pada aktivitas di atas kontemplasi--sebagaimana yang diajukan Feuerbach, tetapi Marx menolak upaya Feuerbach untuk menciptakan a natural philosophy berdasarkan pengalaman inderawi individual manusia semata (individual sense experience)—sebuah cara yang dianut Feuerbach untuk mendekati posisi positivisme.

Pada tahun 1843 Marx menulis sebuah naskah yang tidak pernah selesai dituntaskan dengan judul ’A Critique of Hegel’s philosophy of Right’, dan dalam karya itu, dibahas pandangan Hegel bahwa negara modern adalah perwujudan final dari prinsip universal sebenarnya yang akan menandai berakhirnya proses dialektik dari sejarah—produk akhir dari instansiasi penalaran. Menurut Marx, konsepsi Hegel seperti itu adalah sebuah konsepsi yang berasal dari pandangan religi tradisional. Negara modern, yang dianggap Hegel merupakan sebuah bentuk yang representatif dari pemerintahan, serta konstitusi dan demokrasi dengan berbagai fungsi apparatus birokratik dan instrument yang sempurna untuk mencapai finalisasi orang banyak menjadi citizen sebagai satu kesatuan yang menyuluruh (masyarakat sipil/civil society), dalam hemat Marx, tidak lebih dari satu bentuk lain

21 Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, 1904 (1859), hlm. 11-12.

142 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dari alienasi yang menyebabkan atribut manusia sebagai satu keseluruhan ditransformasikan kepada hanya satu kelas khusus tertentu saja.

Kritik terhadap hubungan antara negara modern, civil society dan konstitusi demokrasi dari Hegel seperti itu juga tercantum dalam tulisan Marx yang lain ‘On the Jewish Question’ dan ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’. Dalam salah satu karya itu, Marx mengatakan bahwa untuk Jerman, kritik terhadap religi pada garis besarnya memang nyaris rampung, namun ia menegaskan agar kita tidak berpuas diri hanya dengan mengatakan bahwa manusia menciptakan religi, serta religi tidak menciptakan manusia, dan hanya berhenti di situ, seperti yang dilakukan Feuerbach. Fakta yang harus lebih diperhatikan, menurut Marx, adalah

“… man is not an abstract being, squatting outside the world. Man is the human world, the state, society. This state, this society, produces religion which is an inverted world consciousness, because they are an inverted world. Religion is the general theory of this world, its encyclopedic compendium, its logic in popular form, its spiritual point d’honneur, its enthusiasm, its moral sanction, its solemn complement, its general basis of consolation and justification. It is the fantastic realization of the human being inasmuch as the human being possesses no true reality. The struggle against religion is, therefore, indirectly a struggle against that world whose spiritual aroma is religion.”22

[bahwa manusia bukanlah makhluk abstrak yang sedang berlenggang di luar dunia, manusia adalah dunia manusia seperti negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat menghasilkan religi yang berada dalam sikap yang berbalikan dari dunia manusia, karena religi dalam dirinya sendiri merupakan dunia yang terbalik. Religi adalah teori umum tentang dunia manusia itu, kompedium ensiklopediknya, logikanya dalam bentuk yang popular,

22 Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’, di dalam Robert C. Tucker, The Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 53-54.

Tony Rudyansjah 143

titik pijakan kehormatan spiritualitasnya, entusianismenya, sangsi moralnya, komplemasi khusuknya, dasar umum dari konsolasi dan justifikasinya. Ini merupakan realisasi fantastik makhluk manusia sejauh makhluk manusia tidak memiliki realitas sesungguhnya. Pertarungan terhadap religi, dengan demikian, secara tidak langsung merupakan pertarungan terhadap sebuah dunia yang aroma spiritualitasnya adalah agama.]

Menurut Marx, penderitaan religius pada saat yang bersamaan merupakan sebuah ekspresi dari, dan sekaligus sebuah protes terhadap, penderitaan manusia yang sesungguhnya.

“Religion is the sigh of the oppressed creature, the sentiment of a heartless world, and the soul of soulless condition. It is the opium of the world.”23

[Agama adalah keluh-kesah dari makhluk yang tertindas, sentimen dari dunia tanpa hati, jiwa dari kondisi tak berjiwa, itu adalah candu dunia]

Dengan kritik itu, Marx sesungguhnya tidak menyerang agama, melainkan menyerang kondisi masyarakat yang menawarkan bukannya kebahagian sejati, melainkan hanya sebuah ilusi dari kebahagian manusia. Seruan untuk meninggalkan ilusi yang menawarkan kebahagian semu itu sebetulnya merupakan juga sebuah seruan untuk meninggalkan kondisi yang melahirkan ilusi tersebut. Dengan perkataan lain, kita pada akhirnya, menurut Marx, harus dapat mengatakan bahwa

“The criticism of religion is, therefore, the embryonic criticism of this vale of tears of which religion is the halo.”24

[Kritik terhadap agama, dengan demikian, merupakan kritik awal terhadap mayapada penderitaan ini di mana agama merupakan lingkaran keramatnya.]

23 Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’, di dalam Robert C. Tucker, The Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 54.

24 ibid, hlm. 54.

144 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Berdasarkan sudut pandangan itu, maka tugas filsafat adalah melucuti kedok alienasi manusia dalam bentuk sekulernya, yang sampai sejauh ini masih hingga tahap melucuti kedok alienasi manusia dalam bentuk sakralnya, dan oleh karenanya, menurut Marx, harus dilanjutkan ke berbagai ranah lainnya.

“Thus the criticism of heaven is transformed into the criticism of earth, the criticism of religion into the criticism of law, and the criticism of theology into the criticism of politics.”25

[Jadi kritik terhadap surga diubah menjadi kritik terhadap dunia, kritik terhadap agama menjadi kritik terhadap hukum, dan kritik terhadap teologi menjadi kritik terhadap politik.]

Marx memberikan sebuah argumentasi bahwa filsafat Jerman membutuhkan sebuah praxis dalam rangka menandingi kemampuan kritisnya, karena, menurutnya, tidak cukup hanya pikiran yang berusaha mewujudkan realisasi dirinya, namun realitas itu sendiri harus diupayakan agar sesuai dengan pemikiran manusia. Dalam ‘On the Jewish Question26, ia mengajukan argumentasi bahwa emansipasi masyarakat Yahudi dari diskriminasi politik tidak dengan sendirinya membebaskan mereka dari agama. Dengan kata lain, membuat semua orang setara dihadapan hukum sebuah negara—yang merupakan alasan kenapa Hegel berpendapat negara modern demokratik merupakan perwujudan final dari penalaran manusia—tidak dengan serta merta membuat manusia bebas dari berbagai perbedaan yang penuh dengan ketidaksetaraan, karena apa yang sesungguhnya dilakukan oleh negara pada saat yang bersamaan adalah membiarkan masyarakat sipil tetap ada dengan berbagai perbedaan yang memisahkan satu manusia dari manusia lainnya, satu kelas dengan kelas lainnya, satu profesi dengan profesi lainnya, satu pendidikan dengan pendidikan lainnya, pemilikan atas

25 ibid, hlm. 54.26 Karl Marx, ‘On the Jewish Question’, di dalam Robert C. Tucker, The

Marx_Engels Reader, 1978, hlm. 26-52.

Tony Rudyansjah 145

sejumlah harta tertentu dengan pemilikan sejumlah harta tertentu yang lain, ataupun satu agama dengan agama lainnya, sehingga apa yang sesungguhnya dilakukan negara dengan menciptakan superstruktur birokratik itu, yang kelihatannya menjamin kesetaraan, dalam kenyataannya adalah relasi dominasi dan konflik.

Dengan kata lain, apa yang kita lakukan sepertinya menghilangkan perbedaan di dalam arena politik formal, namun dalam kenyataan sesungguhnya perbedaan itu tetap berlangsung terus, sehingga pada akhirnya masyarakat dan hakekat sesung-guhnya dari manusia sebagai species being (gattungswesen)27 menjadi suatu yang terpisah dari diri manusia sebagaimana tercermin dalam teori klasik tentang kontrak yang menempatkan individu sebagai unit utama dari citizen sebuah negara. Selain itu, Marx juga mengajukan argumentasi bahwa perbedaan itu tak ayal lagi akan mempengaruhi apa yang seharusnya merupakan relasi yang setara di dalam masyarakat politik, karena apa yang terjadi di dalam kenyataan sesungguhnya adalah hanya orang

27 Istilah species being (bahasa Jermannya: gattungswesen) berasal dari Feuerbach. Dalam buku The Essence of Christianity, Feuerbach mendiskusikan hakekat dari manusia yang harus dibedakan dari makhluk hidup lainnya (binatang) tidak hanya berdasarkan pada kesadaran secara umum, melainkan lebih pada satu bentuk khusus dari kesadaran manusia. Dengan kata lain, manusia tidak hanya sadar akan dirinya sebagai seorang individu, melainkan ia juga sadar akan dirinya sebagai anggota dari species manusia, sehingga ia dapat memahami esensi manusia yang serupa tidak hanya terdapat dalam dirinya melainkan juga dalam diri orang lain. Kondisi atau situasi kehidupan bersama manusia yang didasarkan pada kesadaran serupa itu disebut dengan istilah gattungsleben. Menurut Feuerbach, kemampuan memahami hakekat species being itu merupakan unsur fundamental dari kemampuan penalaran manusia: ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah kesadaran akan species serupa itu. Marx menggunakan istilah dari Feuerbach itu dalam konteks yang lebih luas, karena dalam definisi Marx, kesadaran akan species itu (“species consciousness) menentukan hakekat dari manusia: manusia hanya hidup dan bertindak secara autentik, atau dengan kata lain, sesuai dengan hakekatnya, manakala ia hidup dan bertindak secara sungguh-sungguh sebagai species being, yakni sebagai seorang makhluk sosial.

146 alam, Kebudayaan & yang IlahI

kaya yang dapat memiliki dan meraih berbagai medium untuk persuasi politik, dan hanya orang yang berpendidikan yang dapat memahami politik secara sungguh-sungguh. Dengan demikian, negara sebagai locus dari kesetaraan dapat dikatakan merupakan sebuah ilusi semata.

Dalam karya awalnya, Marx mengajukan pertanyaan tentang relasi antara ideologi dan praktik sosial (social practice). Dalam pembahasan perkara itu, ia mengindikasikan relasi dua hal itu jauh lebih kompleks dari sekedar hanya sebuah refleksi. Atau, dengan kata lain, ideologi mengandung pengertian jauh lebih kompleks daripada hanya sekedar refleksi dari praktik sosial. Ketika membahas relasi dua hal itu, ia menghubungkannya dengan diskusi mengenai problem tentang transformasi masyarakat Jerman.

Tidak seperti Perancis, Jerman di masa lampaunya, menurut Marx, tidak pernah mengalami revolusi. Atau, dengan kata lain, kelas revolusioner Jerman sebelum masa ia hidup hanya bersifat teoritis. Mereka, atau kelas revolusioner yang bersifat teoritis itu, misalnya pada periode Reformasi di Jerman, hanya merupakan sebuah reklamasi atau upaya protes. Menurut Marx, pada masa lampau (baca: periode reformasi28) revolusi berasal dan berlangsung hanya dalam pikiran para rahib atau monk, sedangkan pada masa hidup Marx sendiri revolusi terjadi dalam pikiran para filosofnya. Martin Luther dengan Protestanismenya tanpa dinyana lagi memang berhasil mengatasi perbudakan yang berdasarkan pada pengabdian keagamaan (devotion). Namun sayangnya Luther berhasil mengatasi hal itu dengan menggantikannya kemudian dengan sebuah perbudakan lain berdasarkan pada keyakinan (conviction). Luther, menurut Marx,

28 Periode Reformasi keagamaan di Eropa terjadi pada abad ke-16, yang berupaya mengoreksi pandangan yang dianggap keliru dari gereja Katolik Roma, dan yang pada akhirnya sampai pada upaya melepaskan diri dari supremasi Kepausan Roma dan lahirnya gereja Protestan.

Tony Rudyansjah 147

sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengatasi problema tersebut, namun ia menunda merampungkannya. Marx secara keras mengajukan argumentasi bahwa Luther

”… shattered the faith in authority by restoring the authority of faith. He transformed the priests into laymen by turning laymen into priests. He liberated man from external religiosity by making religiosity the innermost essence of man. He liberated the body from its chains because he fettered the heart with chains.”29 […menghancurkan keyakinan terhadap otoritas dengan cara mene guhkan kembali otoritas terhadap keyakinan. Ia berubah pendeta menjadi orang biasa dan orang biasa menjadi pendeta. Ia membebaskan manusia dari religiusitas yang bersifat eksternal dengan cara menjadikan religiusitas sebagai esensi yang paling batiniah dari manusia. Ia membe-baskan badan manusia dari belenggu (agama) karena ia membelenggu hati manusia dengan belenggu (agama).]

Luther dengan Protestantismenya memang berhasil mengubah setiap orang awam Jerman menjadi pendeta (priest)—orang awam menjadi pendeta untuk dirinya sendiri—dengan cara menggugat serta menghan curkan keyakinan dan kepatuhan orang terhadap otoritas kepausan, dan menggantikannya dengan cara mematri otoritas terhadap keyakinan di dalam batin manusia. Ketika setiap orang Jerman biasa yang berperilaku ibarat seorang pendeta (priestly German layman) dibebaskan, maka mereka seharusnya akan juga membebaskan seluruh masyarakat Jerman. Namun revolusi ternyata lebih merupakan satu proses yang sangat dipengaruhi dan, sedikit banyaknya, ditentukan oleh kelas-kelas yang ada dalam masya rakatnya, dan masyarakat Jerman saat itu tidak memiliki satu kelas dengan keberanian yang cukup untuk melaksanakan dan mengemban misi revolusi tersebut.

29 Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’, di dalam Robert C. Tucker, The Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 60.

148 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Pertanyaan yang kemudian menghantui Marx adalah bagai-mana proses revolusi itu bekerja dan apa-apa yang menjadi prakon-disi yang harus dipenuhinya. Pertama, sebuah revolusi politik, yang berarti sebuah revolusi yang hanya bersifat parsial, memang bisa saja terjadi manakala satu segmen dari masyarakat sipil bangkit secara massal dalam satu momen yang penuh dengan entusianisme di mana mereka dapat mengasosiasikan dan menyatukan diri mereka dengan masyarakat secara keseluruhan, serta dapat merasakan dirinya sebagai representasi dari masyarakat, dan sekaligus mampu dikenali orang lain dalam pengertian yang serupa itu.

“Its aims and interests must genuinely be the aims and interests of society itself, of which it becomes in reality the social head and heart. It is only in the name of general interests that a particular class can claim general supremacy.”30

[Tujuan dan minatnya harus secara tulus merupakan tujuan dan minat masyarakat itu sendiri, sehingga ia dapat menjadi “pikiran” dan “nurani” sosial. Hanya atas nama itu, sebuah kelas tertentu dapat menegaskan supremasi umumnya.]

Meskipun begitu, kelas dengan klaim seperti itu, yang memiliki daya revolusi dan kesadaran atas kekuatan diri sendiri, sekaligus mempunyai arah politik atas nama keseluruhan segmen masyarakatnya, tidak mencukupi untuk bisa menduduki sebuah posisi yang mampu membebaskan keseluruhan masyarakat. Sebuah prakondisi lain (prakondisi kedua) harus juga dipenuhi, agar sebuah revolusi populer dan sebuah emansipasi yang dilancarkan satu kelas khusus tertentu yang berasal dari satu masyarakat sipil dapat menyelaraskan dan mempresentasi dirinya atas nama keseluruhan masyarakat, maka diperlukan adanya satu kelas lain yang dianggap mengonsentrasikan ke dalam dirinya berbagai keburukan dan kejahatan dari masyarakat, sehingga ada kelas lain yang kemudian lebih mempresentasikan dirinya sebagai penghambat dan pembatas kemaslahatan umum.

30 ibid, hlm. 62.

Tony Rudyansjah 149

“A particular social sphere must be regarded as the notorious crime of the whole society, so that emancipation from this sphere appears as a general emancipation. For one class to be the liberating class par excellence, it is necessary that another class should be openly the oppressing class.”31

[sebuah bidang sosial khusus tertentu harus dianggap sebagai kejahatan besar bagi seluruh masyarakat, sehingga sebuah pembebasan darinya nampak sebagai sebuah pembebasan yang berlaku bagi semua. Agar sebuah kelas dapat menjadi sebuah kelas yang secara sempurna membebaskan, maka dibutuhkan satu kelas lain yang secara terbuka menjadi kelas yang bersifat menindas.]

Apabila dua prakondisi di atas dapat dipenuhi, maka kelas yang berfungsi membebaskan itu akan dapat meraih ideologi yang dikembangkan mereka atas nama revolusi, dan sekaligus mencapai tujuan dari revolusi itu sendiri. Meskipun begitu, dan ini yang diperingatkan Marx secara keras, manakala tujuan revolusi tercapai, maka kelas khusus itu tentu saja membebaskan masyarakat secara keseluruhan, namun dengan satu persyaratan bahwa setiap orang yang dibebaskannya memiliki posisi yang serupa dengan kelas khusus yang membebaskan tersebut. Dalam kasus revolusi borjuis Perancis, sebuah kasus yang dikemukakan Marx untuk menegaskan poin ini, semua orang memang dibebaskan ke dalam sebuah kesetaraan formal, dan satu negara yang dihasilkan daripadanya adalah satu negara dengan sebuah kesetaraan formal. Namun kesetaraan formal itu baru akan menjadi sesuatu yang riil atau sungguh-sungguh nyata ada, manakala semua orang yang bersangkutan memiliki situasi finansial dan sosial yang sama dengan kelas borjuis Perancis itu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebuah proses perubahan melalui revolusi kelas sesungguhnya tidaklah terlalu rumit dan mengandung pengertian berikut: (1) sebuah kelas revolusioner bangkit; (2) bergabung dengan keseluruhan

31 ibid, hlm. 63.

150 alam, Kebudayaan & yang IlahI

masyarakatnya; (3) mempresentasikan dirinya sebagai seorang jawara atas nama masyarakat secara keseluruhan dalam rangka menghadapi dan melawan kelas lain yang menindas; (4) dan manakala mereka atas nama masyarakat secara keseluruhan berhasil menghancurkan kelas yang menindas, maka kesetaraan hanya akan terwujud apabila kita semua berada dalam posisi yang sama dengan kelas yang dominan itu, yakni kelas revolusioner yang tadinya berhasil melakukan revolusi. Meskipun begitu, Marx menawarkan sebuah solusi lain paling hakiki bagi Jerman dalam rangka merespon antusiasme akan revolusi itu. Solusi lain ini ditawarkan Marx, karena Jerman tidak memiliki kelas dengan ciri-ciri seperti kelas borjuis di Perancis, yang siap untuk bangkit atas nama masyarakat secara keseluruhan, serta tidak ada kelas yang bisa mewujudkan dirinya dan bangkit dengan logika di dalam dirinya sebagai representasi keseluruhan masyarakat, dan tidak ada juga kelas lainnya yang bisa mewakili seluruh keburukan dan kejahatan masyarakatnya. Marx merancang satu kemungkinan baru bagi formasi masyarakat Jerman:

“… is there, then, a real possibility of emancipation in Germany? This is our reply. A class must be formed which has radical chains, a class in civil society which is not a class of civil society, a class which is the dissolution of all classes, a sphere of society which has a universal character because its sufferings are universal, and which does not claim a particular redress because the wrong which is done to it is not a particular wrong but wrong in general. There must be formed a sphere of society which claims no traditional status but only a human status, a sphere which is not assumptions of the German political system; a sphere, finally, which cannot emancipate itself without emancipating itself from all the other spheres of society, without, therefore, emancipating all these other spheres, which is, in short, a total loss of humanity and which can only redeem itself by a total redemption of humanity. This dissolution of society, as a particular class, is the proletarian. (susunan paragraph diubah)”32

32 ibid, hlm. 64

Tony Rudyansjah 151

[… terdapatkah satu kemungkinan sesungguhnya bagi emansipasi di Jerman? Inilah jawaban kami. Sebuah kelas, yang memiliki belenggu keradikalan mesti dibentuk, sebuah kelas dalam masyarakat sipil yang bukan sebuah kelas dari masyarakat sipil, sebuah kelas yang merupakan pemusnahan semua kelas yang ada, satu ranah dari masyarakat yang mengandung karakter universal, karena penderitaan yang dialaminya bersifat universal, sebuah kelas yang tidak mengklaim satu kedok khusus apapun, karena kesalahan yang ditimpakan kepada mereka bukanlah kesalahan yang khusus, melainkan kesalahan pada umumnya. Mesti dibentuk satu ranah dari masyarakat yang mampu mengklain bukannya status tradisional, melainkan status kemanusiaan, sebuah ranah yang bukan merupakan asumsi sistem politik Jerman, sebuah ranah, yang pada akhirnya, tidak akan dapat membebaskan dirinya sendiri tanpa membebaskan dirinya dari semua ranah yang ada dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak dapat membebaskan dirinya sendiri, tanpa membebaskan semua ranah lain yang ada dalam masyarakat, atau, yang singkatnya, merupakan kehilangan total kemanusiaan. Dan yang hanya dapat membebaskan dirinya sendiri melalui pembebasan total kemanusiaan. Pemusnah masyarakat, sebagai satu kelas khusus, adalah kaum proletariat.]

Pernyataan di atas itu kedengarannya tentu sangat masuk diakal dan sangat menawan. Namun tentu saja sangat penting untuk mencermati kenyataan kenapa Marx memilih proletariat sebagai “pembebas” dari masyarakat Jerman. Namun sayangnya Marx tidak terlalu menjelaskan bagaimana mekanisme “pembebasan” seperti itu bisa terjadi. Satu perkara penting yang perlu dicermati dari usulan emansipasi yang ditawarkan Marx adalah bahwa berdasarkan pemikiran seperti itu, Marx menegaskan posisinya untuk mempertahankan keutuhan dan kesatuan antara teori/pemikiran dengan tindakan.

“Just as philosophy finds its material weapons in the proletarian, so the proletarian finds its intellectual weapons in philosophy…. Philosophy is the head of this emancipation and the proletarian is its heart. Philosophy

152 alam, Kebudayaan & yang IlahI

can only be realized by the abolition of the proletarian, and the proletarian can only be abolished by the realization of philosophy. (sususan paragraph diubah)”33

[Sebagaimana filsafat mendapatkan senjata materiilnya dalam proletariat, maka proletariat mendapatkan senjata intelektualnya dalam filsafat…Filsafat merupakan kepala dari emansipasi ini dan proletariat merupakan hatinya. Filsafat hanya dapat diwujudkan dengan menghilangkan proletariat, dan proletariat hanya dapat disingkirkan dengan merealisasikan filsafat.]

Alienasi, GattunGswesen dan Konsepsi Materialistik tentang Sejarah

Tahun 1843 merupakan tahun yang sangat menyibukkan bagi Marx, dan salah satu kesibukannya adalah menikah dengan Jenny von Westphalen, putri seorang Baron di Jerman yang sekaligus merupakan seorang sahabat dan mentor dari Marx sendiri. Keluarga besar von Westphalen adalah keluarga Protestan, sedangkan Marx sendiri berasal dari satu keluarga Yahudi Jerman yang awalnya menganut agama Judaisme dan kemudian beralih menjadi Protestan. Ini relevan dan penting untuk dipahami bahwa Marx sesungguhnya mengalami sendiri apa-apa yang dibicarakan, dipikirkan dan dibahasnya. Pada bulan Oktober 1843, Marx dan istrinya pindah ke Paris, Perancis, dan selama di sana ia menulis banyak sekali karya. Banyak dari karya yang ditulisnya selama periode itu tidak diterbitkan sebelumnya, dan baru ditemukan kembali tahun 1931 pada saat industri tentang penafsiran atau interpretasi tulisan-tulisan Marx mulai menjamur subur, yang pada akhirnya diterbitkan dengan judul ‘Economic and Philosophical Manuscript of 1844’.34

Mengenai perpindahan Marx ke Paris itu, terdapat sebuah diskusi sangat menarik yang diberikan Jeffrey C. Alexander dalam

33 ibid, hlm. 65.34 Naskah ini dapat ditemukan dalam Robert C. Tucker, The Marx-

Engels Reader, 1978, hlm. 66-125.

Tony Rudyansjah 153

bukunya yang berjudul The Antinomies of Classical Thought: Marx and Durkheim. Pembahasan Alexander mengenai alienasi sangat menarik di dalam buku itu. Ia menyampaikan pendapat bahwa pada tahap perpindahannya ke Paris, Marx mengolah pengertian alienasi bukan dalam arti sebagai sesuatu yang berasal dari keberadaan private property, melainkan lebih bermuasal pada tahap subjektif para pekerja itu sendiri, yang pada kenyataannya kemudian menghasilkan kapitalis (baca: pihak pemodal), namun diproyeksikan para pekerja sebagai sesuatu yang terasing dan sekaligus memiliki kekuasaan terhadap diri mereka (baca: para pekerja/buruh).

“… although private property appears to be the basis and cause of alienated labour, it is rather a consequences of the latter…Alienation ultimately depends, therefore, on the perception of the actor himself. In defining “what constitutes the alienation of labor,” Marx’s analysis depends heavily on whether or not an actor actually feels estranged… it is the self-alienation of the worker himself that actually allows this capitalist to come into being. Psychologically and morally degenerated, the worker creates the capitalist as a projection of his own internal need for domination.” (susunan paragraph diubah)35

[… meskipun harta pribadi nampak sebagai dasar dan penyebab dari kerja yang teralienasi, sesungguhnya hal itu merupakan konsekwensi daripadanya… Alienasi pada akhirnya tergantung, dengan demikian, pada persepsi dari si pelakunya sendiri. Dalam menentukan “apa yang merupakan alienasi dari sebuah aktivitas kerja,” Marx menganalisisnya sangat tergantung pada apakah seorang pelaku merasakan terasing… adalah alienasi diri si pekerja itu sendiri yang sesungguhnya menyebabkan lahirnya si kapitalis itu. Terendahkan secara psikologis dan moral, si pekerja menciptakan para kapitalis sebagai sebuah proyeksi akan kebutuhan batinnya sendiri atas dominasi.]

35 Jeffrey C. Alexander, The Antinomies of Classical Thought: Marx and Durkheim, 1982, hlm. 36-37.

154 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Analogi paragraf di atas sama halnya seperti manusia menciptakan citra tentang Tuhan, lalu manusia berlutut di hadapannya dan menyembah citra yang diciptakannya sendiri. Marx mengajukan argumentasi bahwa dalam dirinya sendiri penghapusan private property tidak akan menyebabkan berakhirnya alienasi. Berakhirnya alienasi membutuhkan sebuah transformasi ide atau gagasan—sebuah transformasi tidak hanya dari sudut pandang objektif kondisi dan situasi kerja melainkan juga dari sudut pandang subjektif si pekerja sendiri, sehingga pekerja tersebut memperoleh kembali arti penting dan harkat kemanusiaan dirinya.

“If capitalism and private property rest upon alienation, and if alienation is the result of self-estrangement, then the transformation of capitalism cannot depend upon the elimination of private property alone….it is not enough simply to reform external environment of action; rather, it is the nature of action itself which must be transformed…The problem, then, with the demand for the “abolition of private property’ is that it focuses only on mere ‘”physical possession” rather than on “the personality of man.” To transform personality is to transform “all his [man’s] human relations to the world,” his powers of thinking, feeling, observing, and acting. It is the “subjective aspect,” then, which must become the focus of activity in creating a communist society. (susunan paragraph diubah)36 [Apabila kapitalisme dan harta pribadi bermuasal pada alienasi, dan apabila alienasi merupakan akibat dari keterasingan diri sendiri, maka transformasi terhadap kapitalisme tidak bisa bergantung pada pemusnahan harta milik pribadi semata… adalah tidak mencukupi hanya mereformasi lingkungan eksternal dari tindakan; melainkan, hakekat dari tindakan itu sendirilah yang harus diubah… Masalahnya, kemudian, adalah bahwa tuntutan akan penghapusan harta milik pribadi hanya memfokuskan pada “pemilikan fisik” semata, dan bukannya pada “kepribadiaan manusianya”. Mengubah kepribadian berarti mengubah “semua relasi manusia terhadap dunianya”, daya pikiran, perasaan, pengamatan dan tindakannya. Adalah

36 Jeffrey C. Alexander, op.cit, hlm. 37-38.

Tony Rudyansjah 155

aspek subjektif ini, dengan demikian, yang mesti menjadi focus semua aktivitas dalam rangka menciptakan sebuah masyarakat komunis.]

Tahap berikutnya dari pemikiran Marx mulai terjadi pada bulan Januari 1845, saat Marx diusir keluar dari Paris lalu menetap di Brussel, Belgia. Pada fase inilah Marx mengembangkan pemikirannya yang tertuang dalam karya ‘German Ideology’ dan ‘Theses on Feuerbach’. Naskah pendek yang terkenal sekarang sebagai ‘Theses on Feuerbach’ ditemukan Engels dari kumpulan naskah yang ditinggalkan Marx pada saat meninggal dunia, sebelas tesis singkat dan padat ini kemudian bertransformasi ibarat sebuah teks sakral yang harus dibaca dan dipahami para mahasiswa yang hendak menguasai pemikiran Marx. Dalam sebuah kuliah yang diberikannya,37 Raymond Smith pernah menyampaikan bahwa di Universitas Manchaster, manakala Departemen Antropologi baru didirikan dan diketuai oleh Max Gluckman, ‘Theses on Feuerbach’38 menjadi bacaan wajib bagi seluruh mahasiswa yang masuk ke departemen antropologi itu. Para mahasiswa itu, menurut Smith, harus membaca dan memahami kesebelas tesis itu ke dalam berbagai cara dan metode penafsiran layaknya teks dari God’s Commandments (Sepuluh Perintah Allah). Beberapa dari tesis itu yang sering dikutip orang adalah:

“… human essence is no abstraction inherent in each single individual. In its reality it is the ensemble of the social relations”39 […esensi manusia bukanlah sebuah abstraksi yang inheren terdapat di dalam setiap individu manusia secara sendiri-sendiri. Dalam realitasnya, esensi manusia itu adalah himpunan dari relasi-relasi sosial manusia.]

37 Kuliah itu saya ikuti di Universitas Chicago ketika saya menjadi mahasiswa tingkat doktoral di sana pada tahun 1987.

38 Naskah dapat ditemukan dalam Robert C. Tucker, The Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 143-145.

39 ibid, hlm. 145.

156 alam, Kebudayaan & yang IlahI

“Social life is essentially practical. All mysteries which lead theory to mysticism find their rational solution in human practice and in the comprehension of this practice.”40

[semua kehidupan sosial pada hakekatnya adalah bersifat praktikal. Semua misteri yang mengarahkan teori pada mistisisme memperoleh pemecahan rasionalnya di dalam praktek manusia dan di dalam pemahamanan akan praktek itu.]

“The philosopher have only interpreted the world, in various ways; the point is to change it.”41

[Para filosof hanya menafsirkan dunia dalam berbagai cara; masalah sebenarnya adalah mengubahnya.]

Gagasan dari teks Theses on Feuerbach itu lalu diinkorporasikan ke dalam sebuah naskah lain yang lebih panjang, yaitu ‘German Ideology’, yang sesungguhnya berisi lebih kurang 700 halaman, namun hanya bagian pertamanya yang terdiri dari lebih kurang 56 halaman yang kemudian diterbitkan.42 Dalam karya ini, Marx dan Engels menentang para ahli filsafat yang berpendapat bahwa filsafat spekulatif dapat mengabaikan situasi materiil di tempat mana pikiran filsafat spekulatif tersebut dilahirkan dan dikembangkan. Di karya inilah Marx dan Engels menegaskan secara jelas dan gamblang mengenai arti penting produksi materiil dalam kehidupan sosial manusia.

Althusser mengemukakan argumentasi bahwa tahun 1845 merupakan tahun yang penting bagi perkembangan pemikiran Marxis, karena pada saat itulah Marx melakukan sebuah pemutusan drastis dari pemikirannya sebelumnya—sebuah pemutusan yang merefleksikan “penemuan” Marx (Marx’s discovery) akan kelas buruh yang terorganisir secara baik di Perancis. Penemuan Marx ini bersamaan juga waktunya dengan penemuan Engels mengenai

40 ibid, hlm. 145.41 ibid, hlm. 145.42 Bagian I dari ‘German Ideology’ dapat ditemukan dalam Robert C.

Tucker, The Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 146-200.

Tony Rudyansjah 157

kelas buruh di Inggris. Melalui penemuan mereka masing-masing inilah, Marx dan Engels memulai kolaborasi yang berlangsung hingga akhir hayat mereka.

Secara singkat, penemuan akan kelas buruh ini menandai pemahaman baru Marx bahwa kelas proletariat adalah sebuah kekuatan politik, bukan sekedar sebuah kategori hipotetis. Berdasarkan perkara inilah, maka Althusser berpendapat bahwa Marx membawa kembali berbagai pengalaman dan pemahaman baru yang diperolehnya dari negara-negara lain ke Jerman, yang sekaligus berupaya melakukan sebuah penetrasi ke dalam kehidupan masyarakat berdasarkan sebuah asumsi bahwa masyarakat dapat diperbaharui atau direformasi melalui sebuah tindakan penalaran (act of reason), yang akan menyingkirkan mitos tentang abstraksi ideologis dalam rangka mencapai materialisme historis. Althusser lebih lanjut menegaskan bahwa bersamaan dengan penulisan Theses on Feuerbach dan German Ideology, Marx menemukan sebuah teori baru tentang politik dan sejarah yang berdasarkan pada konsep-konsep baru yang radikal, yakni konsep seperti social formation, relation of production, productive forces, superstructure, ideology, determination of life by economy, dan lain sebagainya. Kita tentu saja tidak dapat membahas semua konsep baru Marx tersebut, namun satu poin penting yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa dalam karya German Ideology itu, Marx dan Engels menolak gagasan filsafat spekulatif a la Hegel yang mengabaikan situasi materiil yang merupakan wahana di tempat mana pikiran filsafat itu sendiri dilahirkan dan dikembangkan. Secara lebih tegas, Marx dan Engels mengatakan bahwa manusia

“… produce their means of subsistence… This production only makes its appearance with the increase of population. In its turn this presupposes the intercourse [Verkehr] of individuals with one another. The form of this intercourse is again determined by production.” (susunan paragraf

158 alam, Kebudayaan & yang IlahI

diubah)43 [… menghasilkan peralatan untuk hidup. Produksi peralatan untuk hidup ini hanya dapat muncul dengan bertambahnya jumlah penduduk, yang pada gilirannya juga sangat tergantung pada interaksi antara satu individu dengan individual lainnya. Bentuk dari interaksi ini juga ditentukan pada akhirnya oleh produksi.]

Jadi kehidupan manusia sangat terikat dengan proses sirkulasi dari produksi, social intercourse dan relasi sosial yang mendasarinya. Berdasarkan kerangka pikir itu, banyak para ahli yang berpendapat bahwa Marx sampai pada sebuah tahap penting dalam pengembangan sebuah teori yang sangat instrumental sifatnya di mana tindakan individu sebagai suatu elemen yang sesungguhnya merupakan sebuah ranah yang bersifat otonom dan mandiri, menjadi terbelenggu ke dalam sebuah kerangka means and ends dalam pencapaian effisiensi produksi semata. Menurut Alexander, dalam tahap ini Marx melihat bahwa hakekat individu sangat tergantung oleh kondisi materiil yang sangat menentukan produksi yang dihasilkan individu. Intensionalitas subjek menjadi terpinggirkan dari kerangka utama analisisnya, dan tindakan individu sebagai sesuatu yang bersifat instrumental dalam rangka mencapai efisiensi produksi menjadi satu hal yang menonjol secara dominan. Dengan kata lain, Marx menggeser dan sekaligus mentransformasi alienasi sebagai sebuah ciri dari individu, sebagaimana dilakukannya dalam karya awalnya, menjadi suatu bagian yang bersifat intrinsik dari analisis materiil itu sendiri. Perkara ini memberikan kerumitan tersendiri bagi arsitektur pemikiran seorang tokoh lain, yaitu Durkheim, mengenai pembagian kerja, sehingga Durkheim terpaksa harus merekayasa satu istilah tersendiri untuk mengatasi masalah itu, yakni ‘abnormal division of labour—satu pokok persoalan yang akan kita bicarakan secara lebih rinci dalam bab tentang Durkheim dalam jilid kedua buku ini.

43 Karl Marx dan Frederick Engels, The German Ideology, 1988, hlm. 42-43.

Tony Rudyansjah 159

Poin yang perlu ditegaskan di sini adalah memahami bagaimana historical materialism ditampilkan dalam bentuknya yang paling vulgar dan kasar (rude) yang seringkali diambilalih orang lain dari pernyataan dan analisis yang dilakukan Marx di atas.

Tentu saja harus diingat bahwa Marx tidak membuat sebuah interpretasi materialistik tentang sejarah, dan harus diingatkan pula di sini bahwa dalam kenyataannya Marx sangat banyak menghabiskan pikiran dan tenaganya untuk memerangi materialisme. Kejeniusannya justru terletak dalam cara Marx menghasilkan sebuah arsitektur teori yang mengombinasikan dengan baik berbagai dimensi materialistik dan kemudian memadukannya dengan keseluruhan pemikiran filsafat Jerman. Apa yang sesungguhnya dilakukan Marx adalah mengambilalih berbagai kategori dari political economy (yang untuk sebagian besar berasal dari pikiran para ahli di Inggris), sebagai sebuah rujukan bagaimana memahami bekerjanya kapitalisme, lalu memodifikasi sesuai dengan kebutuhannya, dan kemudian mengejawantahkannya ke dalam sebuah pandangan yang lebih bersifat komprehensif akan sebuah totalitas mengenai sejarah manusia.

Meskipun demikian, teori Marxis tentang perubahan acapkali direduksi orang ke dalam beberapa proposisi atau prinsip berikut di bawah ini—dapat kita istilahkan barangkali sebagai vulgar materialist theory of history—yang tentu saja memang dapat ditemukan dalam berbagai pernyataan yang dibuat Marx, namun harus diperhatikan bahwa semua pernyataan Marx yang diambil dan dipilih orang itu belum tentu secara keseluruhan merupakan pernyataan yang memadai untuk diperlakukan sebagai teori yang utuh dari Marx sendiri:• Sejarah dari masyarakat manusia di manapun merupakan

sejarah dari pertarungan kelas.• Kelas sosial terdiri dari himpunan berbagai person/pribadi

yang memiliki fungsi yang serupa dalam pengorganisasian produksi.

160 alam, Kebudayaan & yang IlahI

• Hakekat relasi produksi dari satu masyarakat dijelaskanberdasarkan tingkat perkembangan dari daya/kekuatan produksinya (productive forces), yang biasanya diartikan sebagai peralatan teknologi.

• Konflik antar kelas sosial melekat secara inheren dalam masyarakatnya, karena masing-masing kelas sosial memiliki tingkat kontrol yang berbeda atas berbagai alat produksi.

• Setiap pola tertentu dari relasi produksi dan kekuatanproduksi menghasilkan pola kelas dan relasi sosial tertentu yang keseluruhannya membentuk satu formasi sosial tertentu juga. Jadi formasi sosial merupakan pola dari kelas sosial yang dihasilkan dari pengaplikasian seperangkat alat produksi dan kekuatan produksi dalam sebuah relasi sosial tertentu.

• Perubahanterjadidalamtingkatrelasiproduksidanmanakalaini terjadi maka relasi sosial dan kelas menjadi kadaluwarsa, sehingga sebuah kelas revolusioner akan tampil ke muka untuk melaksanakan sebuah tindakan politik dalam rangka mengenyahkan si penindas yang berasal dari kelas yang dominan.44 Dalam versi vulgar Marxis ini jelas apa yang meru-pakan perubahan dan apa yang merupakan keteraturan: sebuah kelas memperoleh kekuasaan, karena kelas yang bersangkutan lebih diuntungkan oleh kekuatan produksi yang ada. Ini serupa dengan pandangan sosialisme dari Saint-Simon.

• Padaakhirnyakelas revolusioner itu pada gilirannya menjadi kelas yang menindas sampai revolusi final dari kelas pekerja industrial tersebut menjelma menjadi sebuah instrumen yang berhasil menyingkirkan kelas itu sendiri untuk selama-lamanya.

Meskipun disebut sebagai versi Marxis yang vulgar, argu-mentasinya tetap sangat kompleks, sekaligus dimaksudkan

44 Untuk uraian lebih rinci tentang perkara ini, lihat pembahasan di halaman 147-150 buku ini.

Tony Rudyansjah 161

untuk bisa menjelaskan sejarah manusia di masa lampau, di masa kini dan di masa depan. Sudut pandang vulgar Marxis ini agak berbeda dengan perhitungan yang ditampilkan Marx di dalam karya awalnya ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’. Dalam hemat saya, sudut pandang vulgar Marxis ini sangat mudah dipadukan dengan kebutuhan sudut pandang fungsionalisme struktural melalui cara mentransformasikan analogi organiknya fungsionalisme struktural tentang masyarakat, lalu membungkusnya ke dalam terminologi-terminologi Marxisme, dan sekaligus menampilkan Marx sendiri pada akhirnya sebagai seorang structural functionalist. Peter M. Worsley, misalnya, menyampaikan bahwa ia pernah bertemu dengan seorang Profesor Sosiologi dari Leningrad di Rusia yang berupaya keras meyakinkannya bahwa Marx merupakan seorang structuralist-functionalist yang pertama di dalam ilmu-ilmu sosial.45 Raymond Firth juga pernah mengemukakan bahwa Godelier, seorang antropolog Perancis, pernah menyatakan bahwa

“…the essence of the treatment of Capital is its perception of structure in terms not of visible relationships but of their hidden logic; hence Marx is clearly a forerunner of the modern structuralist movement.”46

[… esensi dari ulasan Capital adalah persepsi akan struktur bukan dalam terminologi relasi yang nampak kelihatan, melainkan lebih dalam terminologi dari logika yang tersembunyinya; Dengan demikian, Marx secara gamblang adalah pencetus dari gerakan strukturalis modern.]

Celah penafsiran terhadap Marxisme seperti itu sangat dimungkinkan, karena Engels dalam tahun-tahun terakhir hidupnya memang mengembangkan teorinya ke arah fung-sionalisme evolusionis, dan Marx-pun tidak pernah secara keras

45 Peter M. Worsley, Marxism and Culture: The Missing Concept, dalam Dialectical Anthropology, 1981, 6(2), catatan kaki no. 9, hlm 120.

46 Raymond Firth, ‘TheSceptical Anthropology? Social Anthropology and Marxist View on Society’, dalam Maurice Bloch, editor, Marxist Analyses and Social Anthropology, 1984, hlm. 46.

162 alam, Kebudayaan & yang IlahI

menentangnya. Meskipun demikian, pada saat Marx dan Engels menulis karyanya Comunist Manifesto, di tempat mana mereka menegaskan pernyataan bahwa sejarah masyarakat manusia adalah sejarah pertarungan antar kelas, maka pernyataan itu berangkat dari satu asumsi filosofis yang sangat jauh berbeda daripada apa yang diasumsikan oleh fungsionalisme seperti yang dapat kita temukan dalam Herbert Spencer dan A.R. Radcliffe-Brown.

Pertimbangan semacam itu menyertakan beberapa komplikasi bagi teori yang bersifat vulgar tentang Marxisme. Ideologi borjuis yang berkembang pada abad ke-18 menggambarkan bahwa kelas borjuasi terbentuk dari tindakan individu yang terisolasikan dari yang lain, yang semata-mata mengolah apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia, yakni alam, dan karena aktivitas dari kerjanya maka apa yang dihasilkan mereka dari alam dapat dianggap menjadi haknya dan dilepaskan dari kepemilikan pihak lainnya, atau menjadi hak milik pribadi mereka—inilah pendapat yang dapat kita temukan pada John Locke. Pandangan Locke itu berbeda dengan pandangan para mercantilists di era sebelumnya yang menganggap logam berharga, seperti emas dan perak, sebagai sumber harta kekayaan, dan sekaligus berbeda juga dengan para physiocrats, dengan François Quesnay sebagai tokoh utamanya, yang memandang lahan tanah sebagai sumber dari harta kekayaan.

Menurut Marx, hanya melalui para ahli ekonomi modern, seperti Adam Smith, kerja (labour) diakui sebagai sumber dari harta kekayaan, yang tidak lagi dikaitkan dengan sebuah elemen khusus lain seperti logam berharga dan lahan tanah. Dalam kerangka pikiran Adam Smith, semua harta kekayaan adalah harta kekayaan industrial, dan industri sesungguhnya adalah tenaga kerja dalam bentuk perkembangannya yang paling tinggi. Jadi sangat berbeda dengan para mercantilist dan physiocrats yang mendudukkan dan memperlakukan esensi harta kekayaan berada di luar diri manusia, seperti pada logam berharga bagi

Tony Rudyansjah 163

mercantilist maupun pada lahan tanah bagi physiocrats, sehingga para mercantilist dan physiocrats nampak di mata Marx sebagai fetish worshippers yang menyembah hasil kreasi manusia sendiri dan mengganggapnya sebagai sesuatu yang asing di luar dirinya.

Adam Smith disebut Marx sebagai ‘Luther dari disiplin Ekonomi Politik, karena serupa dengan Protestanisme yang menentang paganism Katolik dan mengembalikan agama kepada diri manusia sendiri, maka Adam Smith menyerang dan menghancurkan berbagai pengertian tipologi harta kekayaan yang dianggap berasal dari luar diri manusia, lalu menginkorporasikan kembali harta kekayaan ke dalam diri manusia sendiri.47 Sangat erat berkaitan dengan ini adalah pendapat para ahli classical political economy yang memandang bahwa kesejahteraan manusia semakin berkembang ke arah yang lebih baik karena adanya pembagian kerja yang menyebabkan bertambahnya juga efisiensi dalam mengolah produksi. Senasib dengan Luther yang berhasil membuat agama menjadi urusan batin diri manusia secara pribadi, tetap saja Luther tidak berhasil menghapuskan institusi agama yang bobrok dan menyebarkan berbagai delusi kepada kehidupan sosial manusia, maka Adam Smith juga tidak berhasil menghapuskan harta kekayaan pribadi. Adam Smith hanya berhasil menjadikan harta kekayaan sebagai perkara di dalam diri manusia dalam bentuk tenaga kerja. Pencapaian yang sudah dilakukan Smith adalah meletakkan manusia di dalam bingkai harta kekayaan pribadi, sehingga ia sudah mampu mengenali peranan tenaga kerja yang bisa menjurus kepada proses dehumanisasi, karena di dalam sistem kapitalisme manusia pada akhirnya dilihat semata-mata hanya sebagai esensi dari harta kekayaan.

Classical political economy memang berhasil mengungkapkan “kerangkeng” yang memenjarakan manusia akibat dari adanya harta kekayaan pribadi, namun ia tetap menampilkan horor dari harta

47 Karl Marx, Early Writings, terjemahan T.B. Bottomore, 1963, hlm. 147-148.

164 alam, Kebudayaan & yang IlahI

kekayaan pribadi itu sebagai sesuatu keniscayaan alami kehidupan modern manusia, sehingga mereka pada saat yang bersamaan masih bisa mengungkap berbagai kebebasan, kemandirian dan esensi kemanusiaan di dalam sistem kapitalisme. Namun alienasi dalam kerangka pemikiran Marx dapat dikatakan terlekatkan pada pembagian kerja, serta tak terpisahkan daripadanya, sehingga menelurkan gugatan-gugatan dan komplikasi-komplikasi teoritis cukup berat bagi pandangan dan ideologi borjuis seperti itu. Dengan kata lain, Marx memutuskan pertaliannya dengan classical political economy, dan mengambil-alih sebuah sudut pandang yang sepenuhnya berasal dari kelas pekerja. Ketimbang memberi justifikasi pada bentuk masyarakat sipil ataupun borjuis, Marx bahkan menyerangnya, dan mengungkapkan karakter tidak manusiawinya dengan cara melakukan analisis terhadap tiga bentuk pendapatan dalam sistem kapitalisme yang sangat tidak adil, yakni upah kerja yang sangat merugikan namun ditanggapi sebagai sesuatu yang alami; keuntungan modal yang cenderung menurun (falling rate of profit); dan penyewaan tanah. Namun sebelum membahas dua hal utama dari tiga hal itu, yakni upah kerja dan keuntungan modal yang semakin menurun, mari kita lihat dulu perkara alienasi secara lebih dalam.

Dalam kerangka pemikiran Marx, alienasi adalah sebuah proses di mana manusia memproyeksikan satu kekuasaan (power) yang berada pada suatu yang sesungguhnya merupakan hasil ciptaannya sendiri, dan lalu menganggap kreasinya itu sebagai suatu benda yang berada di luar dirinya. Awal dari alienasi dimulai dengan lahirnya harta pribadi (private property) yang muncul akibat adanya pembagian kerja. Dalam analisis finalnya Marx, private property tidak lain adalah alienated labour. Dengan mendefinisikan alienasi seperti itu, Marx berhasil melakukan dua hal utama. Pertama, ia berhasil mentransformasikan alienasi dari suatu kualitas individu dan mengubahnya menjadi suatu fakta sosial. Dan kedua, ia juga mentransformasi property menjadi suatu fenomena yang jauh

Tony Rudyansjah 165

lebih kompleks dan komprehensif daripada apa yang dilakukan oleh vulgar Marxists, dan sekaligus memperlakukan property tidak hanya sebagai objek, melainkan, dan ini yang lebih penting, mengkaitkannya dengan aktivitas manusia.

Berkenaan dengan asal usul kekayaan (property) terdapat satu konsep penting dalam berbagai penafsiran yang dilakukan orang terhadap Marxisme, yakni labour theory of value—sebuah konsep yang sesungguhnya tidak berasal dari Marx, melainkan lebih sebagai satu kategori political economy dari Adam Smith, yang menganggap bahwa kerja adalah sesuatu yang memberikan nilai pada satu objek. Konsep labour theory of value itu dalam kenyataan sesungguhnya merupakan sebuah konsep yang tidak terlalu diminati Marx sendiri.

Labour theory of value merupakan sebuah “currency” yang sangat populer dalam konsepsi pemikiran orang pada permulaan abad ke-19, dan dalam satu pertemuan para anggota Communist League di London pada bulan November 1847, yang kebetulan juga dihadiri oleh Marx, dicetuskan sebuah resolusi bahwa kerja (labour) adalah sumber dari segala harta kekayaan (property). Tanpa adanya pelayanan yang diberikan oleh tenaga kerja tidak mungkin akan muncul kekayaan yang dihasilkan dan akumulasi dari harta kekayaan, sehingga hasil akhir dari setiap peraturan legislasi haruslah menjamin hak yang ada dari pekerja terhadap setiap harta kekayaan yang sesungguhnya mengandung juga hasil jerih payah para pekerja.

Jadi Marx sesungguhnya tidak menemukan atau menciptakan gagasan tentang keterkaitan antara harta kekayaan dan kerja, karena perkara itu sudah merupakan currency pemikiran akal sehat orang biasa pada saat itu—sebuah pertanda dari kuatnya pengaruh pemikiran Adam Smith di Eropa kala itu. Hal yang lebih menarik bagi Marx adalah perkara alienasi manusia.

Meskipun alienasi merupakan sebuah konsep yang tidak terlalu berarti bagi para pekerja saat itu, dan Marx sendiri

166 alam, Kebudayaan & yang IlahI

baru berusia 20 tahun kala itu, namun konsep alienasi yang dikembangkan Marx merupakan sebuah modifikasi penting bagi a simple materialist labour theory of value, dan ini tercermin dalam dua hal berikut. Pertama, Marx memiliki sebuah pandangan yang sangat jelas bahwa manusia dan kehidupannya merupakan gattungswesen dan gattungsleben. Sepasang konsep itu sesungguhnya berasal dari Feuerbach,48 dan digunakan Marx untuk mengacu pada pengertian manusia yang sadar bahwa dirinya sebagai bagian dari satu jenis (species) yang sama dengan makhluk manusia lainnya. Oleh karena itu Gattungswesen dalam edisi terjemahan dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai species being, generic being atau social being. Kehidupan manusia yang didasarkan pada kesadaran sebagai species being disebut dengan istilah gattungsleben, dan inilah saat di mana manusia tidak merasa terasing dengan dirinya sendiri, sesamanya, dan dunia di sekelilingnya.

Jadi, dengan kata lain sepasang konsep ini digunakan Marx dalam arti sebagai sebuah kondisi di mana manusia tidak mengalami alienasi. Jadi beranggapan bahwa manusia tidak mengalami alienasi merupakan satu perkara bagi Marx, dan mengembangkan sebuah konsep tentang alienasi merupakan sebuah perkara yang lain lagi. Bagi Marx, manusia pada dasarnya adalah social being dan keberadaan dari situasi mahluk manusia seperti itu akan terwujud dalam bentuknya yang paling final dalam masyarakat komunis di mana harta pribadi, pembagian kerja dan alienasi diri akan sepenuhnya tersinggirkan dari kehidupan manusia, yang dianggap Marx merupakan kembalinya manusia secara sadar kepada dirinya sendiri, yang sesungguhnya adalah social being. Gagasan penting yang dibangun Marx adalah bahwa diperlukan sebuah proses perkembangan dari masyarakat komunis primitif, melalui alienasi dan perkembangan harta

48 Robert C. Tucker, The Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 33, catatan kaki nomor 1.

Tony Rudyansjah 167

kekayaan pribadi, menuju kepada masyarakat komunis paska kapitalis di mana alienasi akan hilang, yang kesemuanya dapat dianggap merupakan sebuah proses transformasi menuju kepada ranah kebebasan sosial dan individual manusia. Dan Marx mengingatkan bahwa kelas merupakan sebuah kekuatan sentral yang dinamis dalam proses itu. Diskusi mengenai alienasi akan kita bahas lebih mendalam di akhir bab ini.

Tahun 1848 merupakan tahun yang sangat menyibukkan Marx, karena setahun sebelumnya, yakni 1847, Eropa dilanda depresi ekonomi yang sangat mendalam. Depresi ekonomi Eropa itu dipicu oleh krisis besar akibat terjadinya kelaparan di seluruh pelosok Eropa berkaitan dengan gagalnya panen gandum dan kentang di seluruh Eropa pada akhir tahun 1847. Meskipun ada beberapa faktor penting lainnya yang turut bermain, keruntuhan ekonomi Eropa merupakan satu alasan utama kenapa Eropa dalam periode tahun 1848 sampai dengan tahun 1851 ditandai dengan berbagai gejolak revolusioner yang terjadi dari Austria dan Jerman sampai ke Perancis dan Italia.

Dalam kondisi seperti itu, Marx memainkan peranan penting sebagai salah seorang pemimpin dalam Comunist League yang memiliki anggota-anggota yang cukup radikal dalam menggalang gerakan-gerakan revolusi di beberapa kota besar di Eropa. Marx dan Engels sebagai intelektual radikal dari Communist League menantikan bahwa revolusi akan terjadi pada tahun 1848, dan revolusi 1848 itu diramalkan mereka akan menghilangkan kelas borjuis dan menghapuskan harta pemilikan pribadi. Serupa dengan

168 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Revolusi Perancis tahun 1830,49 yang berhasil menghancurkan kelas bangsawan (aristocrat) dan menggantikan masyarakat feudal dengan masyarakat kapitalis, maka Marx memprediksi bahwa revolusi 1848 akan berhasil menghilangkan kelas borjuis dan kepemilikan pribadi atas modal, sekaligus menggantikannya dengan satu masyarakat komunis—satu masyarakat tanpa kelas yang dicirikan dengan kepemilikan bersama atas modal/kapital.

Dalam kaitan dengan antisipasi datangnya revolusi di tahun 1884, yang diramalkan Marx dan Engels akan menggantikan masyarakat kapitalis dengan masyarakat komunis, Marx menulis sebuah pamflet yang kemudian terkenal sebagai Communist Manifesto. Pamflet itu diselesaikan Marx di Brussel pada tanggal 1 Februari 1848, pada hari batas waktu di mana ia harus menuntaskan dan menyerahkan tulisannya kepada Komite Liga Komunis di London untuk diterbitkan pada akhir bulan Febuari itu juga di kota London.

Pamflet itu ditulis Marx untuk publik dalam rangka menegaskan peranan yang dimainkan Communist League dalam revolusi tahun 1848. Secara lebih tepat, The Communist Manifesto terdiri dari 2 bagian utama: (1) penjelasan tentang bagaimana masyarakat manusia telah berkembang dan bagaimana ia akan berkembang di masa depan; (2) Penjelasan tentang siapa komunis itu dan peranan apa yang harus mereka mainkan di dalam perkembangan masyarakat manusia. Ketika gegap gempitanya gejolak-gejolak revolusioner dan panasnya aktivitas di Eropa pada

49 Di penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19, beberapa gejolak dengan dampak yang besar melanda Eropa. Jatuhnya istana Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 mengakhiri masa monarki absolut, dan tanggal 10 Agustus 1792 menandai berakhirnya monarki konstitusional di Perancis. Selanjutnya Revolusi Perancis tahun 1830 berhasil menghancurkan kelas aristokrat dan sistem masyarakat feodalisme, dan menggantikannya dengan kelas borjuis dan sistem masyarakat kapitalis. Sedangkan Reform Bill tahun 1832 di Inggris menandai kemenangan kelas menengah atas kelas dengan hak istimewa dari para aristokasi Inggris.

Tony Rudyansjah 169

tahun 1848 itu berakhir dengan sebuah “babak penutup sunyi” dari sebuah kegagalan revolusi tanpa perubahan sosial apapun dalam masyarakat, hal itu tentu saja merupakan sebuah pukulan telak bagi Marx. Tulisan-tulisan politik dan jurnalistik Marx setelah tahun 1848 memperlihatkan bagaimana ia berusaha keras menjelaskan kegagalan revolusi tahun 1848 itu.50

Terlepas dari prediksi yang dikemukakan Marx, The Communist Manifesto telah menampilkan penjelasan mengenai kemunculan dari kapitalisme, suatu penjelasan yang juga diberikan Marx dalam bentuk yang lebih canggih dalam The German Ideology. Klasifikasi tentang perkembangan sejarah masyarakat manusia yang diajukan Marx dalam The Communist Manifesto sangat sederhana. Marx memulai dengan masyarakat tribal (tribal society), yang dianggap merupakan perluasan dari keluarga, yang kemudian diikuti oleh masyarakat komunal kuno (ancient communal society) dan state ownership yang mengkombinasikan beberapa sukubangsa (tribe) menjadi kota, seperti kota Yunani dan Roma, lalu masyarakat feudal, masyarakat borjuis, masyarakat kapitalis dan akhirnya masyarakat komunis. Dalam fase pemikiran berikutnya, Marx memasukkan kategori Asiatic society atau Oriental society sebagai perkembangan khusus dari masyarakat tribal sebagaimana ditemukan di Asia, seperti China dan India. Marx menganggap bahwa gerakan masyarakat kapitalis bersifat progresif. Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan bahwa masyarakat kapitalis akan berkembang sampai titik puncaknya, dan kemudian digantikan oleh masyarakat komunis.

Berdasarkan pada kerangka perkembangan masyarakat manusia seperti itu, dapatkah kita melihat Marx sebagai seorang evolusionis? Jawaban atas pertanyaan itu, bisa afirmatif dan bisa juga tidak. Marx memang sangat terkesan akan tulisan Charles Darwin The Origin of Species. Jilid pertama dari buku Marx dengan

50 Lihat karya-karya Karl Marx dengan judul The Class Struggles in France dan The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.

170 alam, Kebudayaan & yang IlahI

judul Capital memperlihatkan banyak sekali pengaruh Darwin. Marx, bahkan, pernah berusaha untuk mendedikasikan bukunya Capital kepada Charles Darwin.51 Namun Darwin, yang sudah memperoleh banyak kritikan dan sekaligus masalah dari berbagai kalangan politikus dan gereja, karena kontroversi yang ditimbulkan bukunya The Origin of Species, tidak lagi mau mendapatkan tambahan beban masalah dan menolak permohonan Marx. Dokumen Capital dibiarkan Darwin tergeletak rapi di atas meja kerjanya tanpa pernah dibuka dari bungkusannya, sebagai tanda tak pernah dibaca oleh Darwin sendiri sampai akhir hayatnya.

Kendati Marx berpendapat bahwa The Origin of Species-nya Darwin penting untuk memahami biologi, sebagaimana karyanya sendiri Capital merupakan satu karya yang penting untuk memahami masyarakat, Marx tetap sadar bahwa teori dari Darwin itu masih merupakan, dalam pengertian tertentu, satu proyeksi dari kategori masyarakat kapitalis ke dalam alam dunia. Marx tidak melihat The Origin of Species sebagai sebuah studi yang sepenuhnya objektif terhadap alam dunia. Pada tahun 1862, ia menulis surat kepada Engels dan mengutarakan bahwa:

“It is remarkable how Darwin recognizes among beasts and plants his English society with its division of labor, competition, opening up of new markets, “inventions,” and the Malthusian “struggle for existence.” It is Hobbes’s “bellum omnium contra omnes,” and one is reminded of Hegel’s Phenomenology, where civil society is decribed as a “spiritual animal kingdom,” while in Darwin the animal kingdom figures as civil society.”52

[Sangatlah mengagumkan bahwa dengan melihat berbagai satwa liar dan tanaman, Darwin dapat mengenalinya sebagai perwujudan dari masyarakat Inggrisnya dengan berbagai pembagian kerja, kompetisi, dan pembukaan pasar-pasar baru, “penemuan-penemuan baru” dan “struggle for

51 Maurice Bloch, Marxism and Anthropology, 1985, hlm. 5.52 Dikutip dari Alfred Schmidt, The Concept of nature in Marx, 1971,

hlm. 46.

Tony Rudyansjah 171

existence” Malthus. Itu merupakan “bellum omnium contra omnes”-nya Hobbes, dan seseorang diingatkan akan fenomenologinya Hegel, di mana masyarakat sipil digambarkan sebagai “kerajaan makhluk binatang yang bersifat sangat spiritual”, sedangkan dalam Darwin, kerajaan binatang digambarkan sebagai masyarakat sipil.]

Menurut Marx, kategori dari masyarakat borjuis modern memunculkan diri ke permukaan dengan cukup jelas di dalam konsep Darwin the struggle of existence.

Sebagaimana kita telah sebutkan di atas, penafsiran Marxis terhadap masyarakat non-Eropa tidak terlalu menarik dan mengesankan, dan klasifikasi yang ditawarkan Marx untuk menganalisis masyarakat non Eropa itu masih sangat sederhana. Lepas dari kekurangan seperti itu, cara terbaik untuk menilai hakekat dari teori Marxis tentang perkembangan sosial dan historis dari masyarakat, menurut hemat saya, adalah dengan cara mencermati bagaimana Marx menganalisis masyarakat modern kapitalis di Eropa, dan sekaligus memperhatikan bagaimana Marx mengangkat isu tentang peranan dari perkembangan teknologi terhadap masyarakat Eropa—satu hal penting bagi antropologi dan arkeologi, karena teori ‘technological determination’ memainkan peranan vital di dalam kedua disiplin ini. Melalui cara itu, kita dapat lebih mudah memahami Marx bukanlah seorang evolusionis seperti dalam pengertian Herbert Spencer.

Apabila kita cermati isi dari jilid pertama Capital, maka kita dapat memahami bahwa proses perkembangan masyarakat Eropa dari masyarakat feudal menuju ke masyakat kapitalis tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan oleh para penganut vulgar Marxist version of historical materialism. Kemunculan masyarakat kapitalis dari masyarakat feudal dan prakapitalis, bukanlah disebabkan oleh pengenalan teknologi baru dalam masyarakat Eropa, melainkan lebih disebabkan oleh perubahan yang terjadi dalam pengorganisasiaan produksi (changing in the organization of production) yang meliputi hal-hal seperti komoditas, modal,

172 alam, Kebudayaan & yang IlahI

uang dan inilah yang menjadi faktor kunci utama dalam proses perubahan masyarakat Eropa itu. Jilid pertama dari Capital sangat penting dan relevan buat disiplin antropologi, bukan karena ia mengimplementasikan prinsip-prinsip dari vulgar Marxist version of historical materialism, sebagaimana saya telah gambarkan garis besarnya,53 melainkan lebih pada pelajaran yang harus dipetik darinya tentang bagaimana sebuah analisis yang baik mengenai satu proses perubahan sosial, seperti yang terjadi di Eropa, harus dilaksanakan.

Jilid pertama dari Capital dimulai dengan sebuah diskusi mengenai komoditas dan uang, dan analisis ini berisi berbagai ciri-ciri teoritis penting mengenai bagaimana satu analisis tentang masyarakat kapitalis seharusnya dilakukan. Komoditas, menurut Marx, adalah satu benda atau objek yang dengan segi-segi yang dimilikinya akan memuaskan atau memenuhi keinginan manusia (human wants). Dibandingkan dengan bentuk masyarakat yang mendahuluinya, masyarakat kapitalis, dengan satu kekhususan modus produksi (mode of production) yang dimilikinya, memungkinkannya untuk menampilkan dirinya secara mencolok sebagai sebuah pengakumulasian besar-besaran dari komoditas. Hal ini kedengarannya sangat sederhana dan biasa, namun sesungguhnya merupakan satu hal yang sangat rumit dan kompleks. Dalam masyarakat kapitalis, komoditas memiliki dua sisi: (1) di satu sisi, ia merupakan objek yang memiliki nilai guna (use-value), karena ia dinilai berguna dan (2) di sisi lain, ia memiliki juga nilai di dalam pertukaran, sehingga ia memiliki nilai tukar (exchange-value). Ini memang merupakan sebuah pembedaan yang penting dan mendasar dalam pandangan ekonomi politik klasik. Selain itu, Marx juga sependapat dengan Adam Smith dan David Ricardo yang menyatakan bahwa nilai satu komoditas setara jumlah kerja yang dicurahkan untuk menghasilkan objek dari komoditas itu. Dengan cara pandang seperti itu, maka

53 Lihat halaman 159-162 buku ini.

Tony Rudyansjah 173

nilai setiap komoditas dimungkinkan memiliki alat ukur karena adanya kerja (labour) yang dapat dianggap merupakan sumber dari segala nilai dan sekaligus sebagai alat ukur universal dari semua nilai. Marx menyetujui pandangan ekonomi politik klasik itu, namun memodifikasinya sedikit dengan cara memasukkan elemen alienasi di dalamnya.

Dalam konteks itu, alienasi mesti dipahami setidak-tidaknya dalam dua cara. Pertama, dalam masyarakat sebelum masyarakat kapitalis, objek senantiasa dihasilkan manusia untuk digunakan secara langsung, dan terdapat relasi yang padu dan unik antara si pembuat (producer) dengan objek yang dihasilkannya. Karakteristik dari masyarakat kapitalis terletak pada adanya karakteristik baru yang terdapat pada komoditas, yakni komoditas memiliki tidak hanya nilai guna, melainkan juga, dan ini yang menjadi lebih penting, nilai tukar, dan ini dimungkinkan muncul karena komoditas itu kemudian dipisahkan dan diasingkan dari si pembuatnya (the producer). Dalam masyarakat kapitalis, tindakan manusia, disatu sisi, berhenti sebagai satu keterlibatan yang sepenuhnya bersifat subjektif dengan objek dari tindakan manusia itu, dan, di sisi lain, tindakan manusia diubah menjadi semata-mata bersifat utilitarian dan instrumental.

Dalam masyarakat borjuis, sebagaimana ditampilkan dalam pandangan Thomas R. Malthus, James Mill, dan Jeremy Bentham, semua relasi sosial menjadi relasi yang semata-mata bertumpu pada azas manfaat (utility)—menjadi semata-mata satu abstraksi yang dijauhkan dari hakekat sebenarnya dari interaksi manusia, dan diproyeksikan kembali kepada dirinya, agar supaya dapat dijelaskan, sebagai sesuatu yang sepenuhnya bersifat rasional dan instrumental. Subjektivitas, dengan demikian, diasingkan dari tatanan sosial yang deterministik, dan berjalan berdasarkan hal lain yang memiliki gerak dan kaidahnya tersendiri. Pendapat Marx ini sangat tepat untuk menggambarkan masyarakat borjuis kapitalis, karena ia mengambil teori yang berasal dari

174 alam, Kebudayaan & yang IlahI

kategori masyarakat borjuis itu sendiri (baca: dari kategori yang berasal dari ekonomi politik klasik, seperti Smith dan Ricardo), dan secara memadai menggunakannya untuk menganilisis dan menjelaskan masyarakat borjuis itu sendiri. Setiap pelaku dalam masyarakat borjuis kapitalis, baik yang mengeksploitasi maupun yang dieksploitasi, berperilaku sebagaimana yang mereka lakukan, karena mereka tidak memiliki pilihan lainnya dan harus berperilaku secara demikian. Alienasi dari perasaan subjektif hanya dapat dilenyapkan ketika sebuah kekuatan sosial melakukan sebuah revolusi di tempat mana manusia akan memperoleh kembali kebebasannya.

Namun dalam buku Capital itu ada hal yang lebih luas daripada hanya isu di atas. Capital membahas juga pertanyaan mengenai mekanisme yang sesungguhnya dari perkembangan kapitalisme. Setiap objek yang dimaksudkan untuk pertukaran (komoditas), memiliki nilai yang berasal dari kerja yang dicurahkan untuk menghasilkan objek itu. Melalui cara seperti itu, berbagai objek yang berbeda bisa dihasilkan, namun terdapat satu pengecualian dari kaidah umum ini. Pengecualian ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kerja itu sendiri dalam prosesnya kemudian menjelma menjadi komoditas, sehingga ketika para pengusaha (employers) membeli dan mendapatkan kerja (labour) di pasar bebas, mereka memperoleh nilai yang lebih besar daripada nilai yang dibelanjakannya, karena apa yang sesungguhnya mereka beli bukanlah kerja (labour), melainkan tenaga kerja (labour power). Kerja yang sesungguhnya sangat bermacam-macam dengan berbagai keunikan dan kekhususan pribadinya masing-masing, namun yang menarik ketika kerja masuk ke dalam pasar, maka kerja harus diabstraksikan dan disingkirkan dari keunikannya dan kekhususan pribadinya masing-masing yang sesungguhnya, dan dijadikan kerja yang abstrak dan homogen sebagai suatu komoditas yang bisa dipertukarkan, sehingga yang dibeli pengusaha di pasar bukanlah

Tony Rudyansjah 175

berapa jam dari seorang pembuat sepatu atau berapa jam dari seorang pembuat keju, melainkan satuan tenaga kerja (unit of labour). Jadi yang didapatkan seorang pengusaha adalah tenaga kerja (labour power) yang memiliki nilai guna (use-value) yang dapat pada gilirannya menghasilkan nilai tukar (exchange-value) yang lebih besar daripada nilai yang dibayar oleh si pengusaha itu.54

Yang menarik dari konteks itu adalah bahwa proses yang aktual dari produksi itu sendiri sesungguhnya tidak harus berbeda antara apa yang terjadi dalam masyarakat kapitalis dengan masyarakat sebelum kapitalis. Sebagai ilustrasi yang baik untuk perihal itu adalah proses aktual dari produksi yang terjadi pada alat pemintalan benang, di mana di satu tahap masyarakat (baca: masyarakat sebelum kapitalis) kita menemukan orang memintal benang dan di tahap masyarakat berikutnya (baca: masyarakat kapitalis) kita tetap melihat orang memintal benang. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu yang berubah dalam proses produksi antara masyarakat kapitalis dengan masyarakat sebelum kapitalis, karena yang kita lihat adalah orang melakukan hal yang sama. Yang sesungguhnya berubah adalah spirit pembuatan katun itu telah berubah menjadi sebuah spirit produksi komoditas, karena relasi di mana produksi itu dilangsungkan telah berubah, dan bukannya teknologinya itu sendiri. Dengan demikian, eksploitasi, dalam pikiran Marx, mendapatkan parameter dan ekspresi yang sesungguhnya dalam bentuk pengambilan nilai lebih (surplus value) yang diberikan oleh kerja, dan hal ini mungkin terjadi karena adanya pergeseran spirit dalam proses produksi yang dilakukan manusia.

Dengan demikian, kapitalisme tidak hanya berkenaan dengan tahap perkembangan teknologi, melainkan lebih berkenaan dengan cara bagaimana masyarakat dikelola dan diatur, atau, dengan kata

54 Pembahasan tentang pokok permasalahan ini dapat juga ditemukan dalam tulisan liannya, yakni Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 267, 272, 282, 293.

176 alam, Kebudayaan & yang IlahI

lain, modus produksi (mode of production). Marx menggunakan istilah fetishism of commodity untuk mendeskripsikan proses misterius bagaimana objek biasa yang tadinya hanya memiliki nilai guna menjadi satu komoditas.

“The mysterious character of the commodity-form consists therefore simply in the fact that the commodity reflects the social characteristics of men’s own labour as objective characteristics of the products of labour themselves, as the socio-natural properties of these things. Hence it also reflects the social relation of the producers to the sum total of labour as a social relation between objects, a relation which exists apart from and outside the producers. …the commodity-form, and the value-relation of the products of labor within which it appears, have absolutely no connection with the physical nature of the commodity and the material (dinglich) relations arising out of this. It is nothing but the definite social relation between men themselves which assumes here, for them, the fantastic form of a relation between things. In order, therefore, to find an anology we must take flight into the misty realm of religion. There the products of the human brain appear as autonomous figures endowed with a life of their own, which enter into relations both with each other and with the human race. …So it is in the world of commodities with the products of men’s hands. …this fetishism of the world of commodities arises from the peculiar social character of the labour which produces them.”(susunan paragraph diubah)55

[Karakter misterius bentuk komoditas semata-mata terdapat pada kenyataan bahwa komoditas itu merefleksikan karakter sosial tenaga kerja manusia sebagai karakter objektif dari produk tenaga kerja itu sendiri, sebagai ciri sosial-alami dari benda itu sendiri. Dengan demikian, ia merefleksikan relasi penciptanya dengan keseluruhan total tenaga kerja sebagai sebuah relasi antar barang, sebuah relasi yang berada di luar dan terpisah dari para penciptanya. … bentuk komoditas, dan relasi makna produk kerja di tempat mana ia menampakkan dirinya, tidak memiliki pertalian dengan hakekat fisik dan relasi materiil yang muncul darinya. Ia

55 Karl Marx, Capital Volume 1, 1982, hlm. 164-165.

Tony Rudyansjah 177

bukanlah apa-apa selain relasi sosial antar manusia itu sendiri, yang di sini terandaikan dihadapan mata manusia sebagai bentuk fantastik dari sebuah relasi antar barang. Dalam rangka menemukan sebuah analoginya maka kita mesti menjelajah ke dalam ranah agama yang penuh kabut. Di sanalah hasil pikiran otak manusia nampak sebagai satu figur mandiri yang memiliki kehidupannya sendiri, dan sekaligus merasuk baik ke dalam relasi antara figur itu dengan figur lainnya, maupun ke dalam relasi antara figur itu dengan ras manusia. … Begitulah yang terjadi di dalam dunia komoditas dengan produk hasil tangan manusia. …fetisisme dunia komoditas ini muncul dari karakter khusus dan sosial tenaga kerja yang menghasilkannya.]

Sebagaimana saya telah sampaikan sebelumnya, dalam teori yang sangat deterministik mengenai revolusi seperti itu, sangatlah fundamental sifatnya bahwa tanpa adanya mediasi dalam bentuk apapun semua pelaku yang terlibat dalam masyarakat kapitalis itu memainkan peranannya masing-masing dalam menyumbangkan terjadinya revolusi. Atau, dengan kata lain, sistem kapitalisme itu sendirilah yang menggiring kepada munculnya revolusi itu yang berjalan dengan sendirinya sesuai dengan kaidahnya tersendiri.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana hal itu bisa terjadi, dan untuk bisa menjawab pertanyaan itu, kita harus mendiskusikan teori tentang siklus dagang (trade cycle) dan falling rate of profit. Secara garis besar, berjalannya sistem tersebut dapat kita uraikan sebagai berikut. Dalam situasi pada masyarakat borjuis kapitalis terdapat para produsen sebagai pemilik modal yang menghasilkan barang-barang, dan pada satu tingkat tertentu timbul jumlah permintaan yang besar terhadap barang. Manakala itu terjadi, maka timbullah permintaan yang besar terhadap tenaga kerja, sehingga sebagai akibatnya akan terdapat juga semakin banyak orang yang mendapatkan pekerjaan. Sebagai akibat dari semakin banyaknya orang yang mendapatkan pekerjaan, maka kesejahteraan semakin banyak orang juga semakin meningkat, yang pada gilirannya menimbulkan pengkonsentrasiaan para

178 alam, Kebudayaan & yang IlahI

pekerja yang kemudian memilih tinggal di kota. Akibat dari peningkatan kesejahteraan orang banyak itu,

terjadi juga peningkatan permintaan terhadap barang-barang yang harus tersedia di pasar bebas. Dan sebagai akibat adanya permintaan yang semakin besar, maka para produsen menghasilkan barang dalam jumlah yang semakin besar lagi, sehingga persediaan barang di pasar menjadi berlebih, dan pasar kemudian mengalami kejenuhan, sehingga keuntungan dari barang-barang yang dijual ke pasar kemudian mengalami penurunan. Pada saat itu terjadi, maka kompetisi antar para produsen menjadi semakin ketat, dan mereka pada gilirannya dipaksa berusaha sekuat mungkin untuk mendapatkan cara berproduksi seefesien dan seintensif mungkin. Cara-cara yang bisa ditempuh para produsen adalah dengan cara memperpanjang waktu kerja bagi para buruhnya; membuat koperasi di mana berbagai pekerja yang tadinya mandiri dan terpisah-pisah dimungkinkan bekerja di bawah satu atap sehingga proses produksi dapat lebih mudah dikontrol secara lebih ketat; dan pengenalan pembagian kerja dengan kontrol dan otoritas yang hirarkis sifatnya.

Pada tahap adanya kompetisi yang semakin keras antara para produsen, maka akan timbul situasi di mana hanya produsen yang paling efisien yang bertahan hidup, sebaliknya produsen yang tidak dan kurang efisien dengan sendirinya akan bangrut dan tersingkirkan. Sedangkan yang paling efisien adalah para produsen yang menginvestasikan secara progresif kapitalnya lebih kepada mesin-mesin produksi daripada kepada tenaga kerja. Akibat dari hal ini, maka akan terjadi konsentrasi kapital yang semakin besar di satu pihak pada sejumlah pemilik modal yang makin lama makin sedikit dengan tersingkirnya para produsen yang tidak efisien dari gelanggang kompetisi. Dan kapitalis yang paling efisien adalah mereka-mereka yang lebih banyak menginvestasikan kapitalnya pada mesin-mesin, dan ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penurunan dalam keuntungan, karena, di satu sisi, keuntungan pada hakekatnya

Tony Rudyansjah 179

lebih mudah diperoleh dari eksploitasi tenaga kerja, dan, di sisi lain, tindakan para produsen menginvestasikan modalnya pada mesin menyebabkan mereka terperangkap ke dalam situasi di mana mereka harus secara terus menerus menginvestasikan semakin banyak modalnya pada mesin-mesin tersebut—satu kaidah yang disebut Marx dengan istilah ‘law of the progressive increase in constant capital’56, yang mengakibatkan penurunan pada tingkat keuntungan yang bisa diperoleh si produsennya.

Penurunan keuntungan ini mengakibatkan adanya sema-kin banyak pengurangan dan pemecatan para pekerja, yang menyebabkan semakin besarnya jumlah ‘industrial reserve army’ yang tidak hanya bisa berfungsi sebagai ‘back-up’ untuk mengisi kebutuhan yang secara drastis bersifat naik turun dari tenaga kerja di sektor industri, melainkan juga sebagai cadangan tenaga kerja yang bisa dipekerjakan dengan upah yang sangat murah. Hukum besi dari perkembangan kapitalisme—di mana baik pihak yang mengeksploitasi maupun pihak yang dieksploitasi (baca: para kapitalis dan para pekerja) suka atau tidak suka harus berperilaku sebagaimana mereka harus berperilaku tanpa ada pilihan lain—menyebabkan pada satu titik tertentu dinamika masyarakat borjuis kapitalis menimbulkan sebuah kondisi kehidupan yang sangat menyengsarakan para proletariatnya ke tingkat yang demikian sulit dan berat, sehingga para proletaris itu kemudian semakin memiliki kesadaran akan posisi dan kondisi buruk kehidupan bersama mereka yang difasilitasi oleh adanya komunikasi yang semakin intensif di antara mereka karena adanya konsentrasi pemukiman mereka di wilayah yang sama, yakni daerah terkumuh di kota-kota industri, dan semua ini pada akhirnya berujung pada sebuah kebangkitan dalam diri mereka untuk melakukan sebuah revolusi sosial dalam masyarakatnya.

Cukup kiranya kita memahami secara garis besar bagaimana

56 Karl Marx, Capital Volume 1, hlm. 480.

180 alam, Kebudayaan & yang IlahI

teori dinamik tentang masyarakat kapitalis itu diuraikan Marx. Sekarang yang lebih perlu kita cermati adalah persoalan apakah peranan ideologi dalam teori Marx, dan sekaligus berupaya memahami bahwa apa yang dikembangkan Karl Marx pada hakekatnya bukanlah sebuah natural science of society sebagaimana digambarkan oleh pengikut vulgar Marxist, dan bukan juga sebuah teori utilitarian tentang manusia sebagaimana ditafsirkan oleh Marshal Sahlins dan Jeffrey C. Alexander. Untuk memahami itu semua, maka kita mau tidak mau harus mendiskusikan bagaimana hakekat dari manusia digambarkan Marx dalam teorinya.

Ideologi dan Hakekat ManusiaPokok persoalan utama yang mau secara cermat kita bahas

di sini adalah konsepsi Marx mengenai hakekat manusia, peranan ideologi sebagai satu kekuatan untuk transformasi sosial, dan sekaligus memahami bagaimana konsep ideologi dalam kerangka pemikiran Marx mengalami beberapa pergeseran pengertian, yang gaungnya mengandung relevansi dan dampak yang cukup penting bagi antropologi komtemporer. Dua pertanyaan penting yang saya mau ajukan berkenaan dengan pokok pembahasan ini adalah: (1) apakah Marx dalam karyanya yang lebih materialistik (baca: Capital) mengalami sebuah pergeseran dan pemutusan dengan pemikirannya yang lebih awal; dan (2) apakah dalam tahap yang lebih akhir ini, Marx mengembangkan sebuah teori di mana subjektivitas disingkirkan dari kerangka konsepsi materialisme historisnya.

Dalam bukunya The Antinomis of Classical Thought: Marx and Durkheim, Jeffrey C. Alexander mengatakan bahwa

“Despite his utopian explorations and his critical description of capitalism’s moral bankruptcy, Marx has not developed a theory that transcends the limitations of utilitarian thought.

Tony Rudyansjah 181

He has described the broader human ramifications of the laws of capitalism but not denied in any way their causal efficacy.”57

[terlepas dari eksplorasi utopis dan deskripsi kritisnya terhadap kebankrutan moral kapitalisme, Marx tidak mengembangkan sebuah teori yang mampu melampui sekat-sekat dari pemikiran utilitarian. Ia memang telah menggambarkan berbagai percabangan dan persimpangan arah kemanusian yang cukup luas dari hukum-hukum kapitalisme, namun ia pada akhirnya sama sekali tidak menyangkal efektivitas kausal dari hukum-hukum kapitalisme tersebut.]

Mengikuti argumentasi yang disampaikan Alexander dalam buku itu, Marx digambarkan sama sekali tidak memberikan sebuah landasan teoritis apapun yang dapat berfungsi sebagai jalan tengah yang mampu menjembatani kekangan (coercions) yang merupakan hambatan total bagi tindakan manusia yang berasal dari kondisi-kondisi di luar diri manusia, di satu sisi, dan, di sisi lain, kebebasan, yang dalam teori Marx didefinisikan tidak lebih daripada ketiadaan menyeluruh dari kekangan terhadap tindakan manusia. Dengan kata lain, menurut Alexander, Marx, dalam teori yang dikembangkannya, menolak memberikan ruang bagi elemen apapun selain elemen-elemen penentu tindakan manusia yang berasal dari kekangan-kekangan eksternal hukum besi sistem kapitalisme.

Marshal Sahlins, dalam cara yang agak berbeda, juga sampai pada kesimpulan yang serupa bahwa Marx adalah seorang utilitarian. Sahlins mengajukan argumentasi bahwa teori Marx tentang pengetahuan adalah cacat karena teori tersebut tidak sepenuhnya berhasil menjadi simbolik.

“Yet the paradigm was never fully symbolic. One way of seeing this incompleteness is to note that by determining the concept (the idea, the category) as a representation of

57 Jeffrey C. Alexander, The Antinomis of Classical Thought: Marx and Durkheim, 1985, hlm. 202.

182 alam, Kebudayaan & yang IlahI

concrete experience, as the actuality of the world as worked-upon, Marx generates meaning by a property specifically opposite to its symbolic quality; that is, as “stimulus free.” The experiential process by which, in Marx’s view, the concept comes into being is just the reverse of what characterizes its existence as meaning—that it is not bound to any concrete objective situation. When Marx turned in his later work to the analysis of society and history per se, when he developed his materialistic conception of history, this theory of knowledge could become a serious defect. For meaning would then turn into a variety of naming, and cultural concepts would be referred on one hand to a logic of instrumental effectiveness and on the other to a pragmatics of material self-interest (class ideology).”58

[Namun paradigmanya tidak pernah sepenuhnya simbolik. Salah satu cara melihat ketidaklengkapan ini adalah mencatat bahwa dengan konsep/gagasan/kategori sebagai sebuah representasi pengalaman konkrit, sebagai sebuah aktualitas dunia sebagaimana digarap manusia, Marx menghasilkan pemaknaan dari sebuah ciri yang secara spesifik berlawanan dengan kualitas simboliknya, yakni sebagai “sesuatu yang bebas dari stimulus luar”. Di dalam pandangan Marx, proses pengalaman di tempat mana konsep-konsep memperoleh perwujudannya merupakan kebalikan dari apa yang merupakan karakter keberadaannya sebagai makna—yakni tidak terikat oleh situasi objektif konkrit apapun. Saat Marx di dalam karya berikutnya beralih kepada analisis masyarakat dan sejarah, manakala ia mengembangkan konsepsi materialistiknya tentang sejarah, teori pengetahuan ini menjadi sangat keliru. Karena pemaknaan kemudian berubah menjadi sejumlah variasi penamaan, dan konsep-konsep budaya dirujuk, di satu sisi, kepada logika sebuah keefektifan instrumental, dan, di sisi lain, kepada pragmatik kepentingan diri yang bersifat materiil (ideologi kelas).]

Sangatlah menarik untuk memperhatikan bagaimana dalam kutipan kalimat itu Sahlins menyamakan ideologi kelas—sebuah konsep penting dari Marx yang akan kita bahas di bawah ini—

58 Marshall Sahlins, Culture and Practical Reason, 1976, hlm. 127-128.

Tony Rudyansjah 183

dengan pragmatik kepentingan diri yang bersifat materiil, tanpa adanya penjelasan tambahan apapun. Namun perlu dicatat di sini bahwa sebelum sampai pada kesimpulan bahwa Marx adalah seorang utilitarian, Sahlins mengutip banyak sekali kalimat-kalimat dari Marx dalam rangka memperlihatkan bukti bahwa Marx sangat menentang teori mekanistik yang melihat tindakan manusia bermuasal dan ditentukan oleh ketentuan dan tuntutan teknologi, hambatan dunia material, termasuk populasi penduduk, maupun pencapaian kepentingan individual (economistic individualism) yang diandaikan sudah ada sebelum tindakan manusia. Dengan kata lain, Sahlins berupaya menampilkan bahwa Marx bukanlah vulgar Marxist, bukan technological determinist, bukan economistic individualist dan bukan juga social ecologists, dengan cara mengutip banyak sekali kalimat-kalimat dari Marx untuk membuktikan poin tersebut.

Sadar sepenuhnya akan resiko pengutipan kalimat-kalimat Marx keluar dari konteksnya, maka Sahlins mengemukakan berbagai argumentasi yang disusun secara hati-hati dalam rangka membuktikan bahwa Marx bukanlah hal itu semua (baca: bukan vulgar Marxist, bukan technological determinist, bukan economistic individualist dan bukan juga social ecologists). Dengan argumentasi yang disusun secara hati-hati itu, Sahlins pada akhirnya sampai pada posisi mendiskualifikasi Marx sebagai antropolog dengan alasan bahwa Marx tidak memiliki perspektif Boasian tentang mediasi logika budaya antara manusia dan alam.

“It proves incorrent to suppose that Marx’s concept of the historical mediation between men and nature amounts to an interposed cultural logic, as in the Boasian perspective.”59

[Terbukti keliru menganggap bahwa konsep Marx tentang mediasi historis antara manusia dan alam serupa dengan logika budaya sebagaimana di dalam perspektif Boas.]

Dengan kesimpulan seperti itu, Sahlins mendiskualifikasi

59 ibid, hlm. 134.

184 alam, Kebudayaan & yang IlahI

keanggotaan Marx sebagai seorang antropolog. Menurut Sahlins, mediasi historis yang bekerja di dalam kerangka teori materialistik Marx bukanlah sesuatu yang bersifat kultural. Berdasarkan penafsiran Sahlins, mediasi yang ada dalam tahap/momen akhir dari kerangka teori Marx

“… is the rational and material logic of effective production brought to bear by reason in the service of her own intentions, whatever the historical character of these intentions.”60

[… adalah logika rasional dan material dari produksi efektif yang muncul oleh penalaran dalam rangka melayani berbagai maksudnya, apapun ciri historis dari berbagai maksud tersebut.]

Posisi dan momen Marx seperti itu, menurut Sahlins lagi, membawa konsekwensi yang sangat dalam dan membatalkan janji-janji yang bisa diberikan disiplin antropologi.

“At this moment the promise of a cultural anthropology seems undone. Marx’s paradigm is metamorphosed into the reverse of the cultural. Now organization grows out of behavior, and the language of men is the voice of their concrete experience. The cultural concept appears as the consequence rather than the structure of productive activity. Use-values—those desires and pleasures which spring from society—lose out to the objective means of their achievement. And ‘history” is accordingly dissolved by the acid logic of practicality, to exchange its theoretical position of sedimented being for a transcended past and a fugitive becoming. The decisive grounding of historical materialism in work, and of work in its material specifications, robs the theory of its cultural properties and leaves it to the same fate as the anthropological materialism. The practical experience of men is untranscendable, and from it they construct a world.”61

[Pada momen ini janji antropologi budaya nampaknya tidak jadi terampungkan. Sejak saat itu, organisasi muncul dari perilaku, dan bahasa manusia menjadi hanyalah suara

60 ibid, hlm. 134.61 ibid, hlm. 134-135.

Tony Rudyansjah 185

pengalaman konkrit manusia. Konsep budaya nampak lebih sebagai sebuah akibat daripada sebagai sebuah struktur aktivitas produksi manusia. Nilai guna—hasrat-hasrat dan kesenangan-kesenangan yang berasal dari masyarakat—jadi menghilang ke dalam makna-makna objektif dari pencapain-pencapaiannya. Dan sejarah, dengan demikian, dilarutkan ke dalam logika praktikalitas yang hambar, dan dengan demikian mengganti baik masa lampau transenden maupun proses mengada yang diburu makhluk manusia dengan sebuah posisi teoritis mengenai makhluk yang tersedimentasikan. Landasan utama materialisme historis di dalam kerja, dan mengenai kerja di dalam kekhususan materiilnya, menjarah ciri-ciri kultural dari teorinya, dan membiarkannya berada dalam sebuah takdir yang sama dengan materialisme antropologis. Pengalaman praktikal manusia menjadi tak terlampaui, dan darinya sebuah dunia dikonstruksikan.]

Permasalahan yang penting untuk dicermati di sini adalah bagaimana Sahlins menemukan bukti untuk bisa sampai pada penafsiran mengenai Marx seperti itu, yang sangat jauh berbeda dengan penafsirannya yang pertama saat menyimpulkan bahwa Marx bukanlah vulgar Marxist, bukan technological determinist, bukan economistic individualist dan bukan juga social ecologists. Sahlins mengemukakan buktinya dengan cara mengemukakan pendapat Marx yang menyatakan bahwa organisasi memiliki ketentuannya sendiri, dan ini ditemukan Sahlins dalam tulisannya Marx dan Engels dalam The German Ideology di halaman 46-47.

“Empirical observation must in each separate instance bring out empirically, and without any mystification and speculation, the connection of the social and political structure with production. The social structure and the State are continually evolving out of the life-process of definite individuals, but of individuals, not as they may appear in their own or other people’s imagination, but as they really are; i.e., as they operate, produce materially, and hence as they work under definite material limits, presuppositions and

186 alam, Kebudayaan & yang IlahI

conditions independent of their will.”62 (penekanan garis miring berasal dari Marshall Sahlins)[Observasi empiris di setiap perwujudannya masing-masing semestinya secara empiris menghasilkan, tanpa mistifikasi dan spekulasi, pertalian antara struktur sosial dan politik, di satu sisi, dengan produksi, di sisi lain. Struktur sosial dan negara secara terus menerus bergerak dari proses hidup individu-individu tertentu, tetapi individu-individu yang bukan nampak di dalam imajinasi diri sendiri ataupun diri orang lain, melainkan sebagaimana mereka sebenarnya; yakni sebagaimana mereka beroperasi, berproduksi secara materiil, dan, oleh karenanya, sebagaimana mereka bekerja dalam kungkungan materiil tertentu, rekaan dan kondisi tertentu yang tidak terikat dengan kemauan mereka.]

Lebih dari itu, Sahlins berupaya menegaskan konsekwensi lebih lanjut dari analisis Marx dalam momen/tahap kedua ini, dan mengistilahkannya sebagai momen natural dalam teori Marx.

“… in the context of the concrete analysis of social order, Marx’s pragmatic notion of meaning would be positivized and functionalized. The categories as well as relations of production embody the instrumental logic of a given state of the productive forces, a logic that also has a secondary reincarnation as the functional ideology maintaining a given type of class domination. This combined play of continuity and discontinuity helps account for what I have called “cultural and natural moments” in Marx’s theory and, more important, for the evident contradiction between the social constitution of the material logic, which follows from Marx’s permanent conception of a humanized nature, and his material constitution of the social logic—which became the dominant notion of the “historical materialism.”63

[Dalam konteks analisis konkrit tatanan sosial, pemahaman pragmatis Marx tentang pemaknaan menjadi positivistik dan fungsionalistik. Kategori-kategori dan relasi-relasi produksi mewujudkan logika instrumental keadaan daya produktif tertentu, sebuah logika yang mengandung juga sebuah

62 ibid, hlm. 135.63 ibid, hlm. 137.

Tony Rudyansjah 187

reinkar nasi sekunder sebagai ideologi yang secara fungsional mempertahankan tipe dominasi kelas tertentu. Kombinasi pertarungan antara kontinyuitas dan diskontinyuitas mem-ban tu memahami baik apa yang saya istilahkan sebagai momen kultural dan momen alami dalam teori Marx, ma-upun, dan ini yang lebih penting, kontradiksi yang jelas nam pak antara konstitusi sosial logika material, yang bermu asal dari konsepsi permanen Marx tentang alam yang dimanusiawikan, dengan konstitusi material logika sosial, yang bermuasal dari pengertian meterialisme historis yang dominan.]

Berdasarkan penafsiran terhadap Marx seperti itu, Sahlins menegaskan juga bahwa Marx mendahului Durkheim dalam mengemukakan konsepsi tentang kemungkinan terjadinya derivasi antara kategori pemikiran dengan pengalaman sosial manusia. Persoalannya buat Marx dan para pengikut Marxisme kemudian adalah bahwa kategori pemikiran manusia bisa terwujud dalam bentuk ideologi yang bisa mengaburkan hakekat realitas sosial sebenarnya, yang dalam kehidupan riil sebuah masyarakat bisa mengandung banyak sekali kontradiksi. Ini akan kita bahas di dalam diskusi mengenai ideologi di bagian akhir bab ini.

Kembali kepada pokok persoalan utama kita, maka analisis Sahlins mengenai aspek kultural dan aspek materialistik dari tulisan-tulisan Marx di atas, menurut hemat saya, merupakan proyeksi antropologis dari diri Sahlins sendiri di dalam mengenali komplesitas teoritis dalam tulisan-tulisan Marx, sebuah komplesitas teoritis yang menurut Sahlins berujung kepada apa yang disebutnya sebagai anthropological disappointment.64 Pertanyaan yang patut kita kemukakan di sini adalah kekecewaaan (disappointment) siapa? Tentu itu bukan kekecewaan seluruh antropolog, sebagaimana dituduhkan Sahlins. Atau, itu barangkali lebih tepat merupakan kekecawaan Sahlins sendiri? Lepas dari isu anthropological disappointment itu, perkara yang ingin didiskusikan

64 ibid, hlm. 138.

188 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Sahlins, yang merupakan topik dari perdebatan yang hangat di kalangan ilmuwan, adalah penegasan Marx mengenai prioritas produksi di atas komsumsi karena alasan tidak adanya kepastian dari bentuk dan isi dari konsumsi manusia.

“The former imply an indeterminacy of form and content that allows Marx to find the true definition of the object, and the real beginning of the process, in the production rather than consumption.”65

[yang awal mengimplikasikan sebuah ketidakpastian bentuk dan isi yang memungkinkan Marx untuk menemukan sebuah definisi sesungguhnya mengenai objek, dan awal sesungguhnya dari sebuah proses, yakni di dalam produksi daripada di dalam konsumsi.]

Kontras dengan prioritas yang diberikan Marx terhadap produksi dengan akibat mengabaikan konstitusi simbolis dari konsumsi, Sahlins menegaskan prioritas tatanan simbolis di atas produksi.66 Sahlins memang masih mengakui, dan berutang budi kepada insight yang diberikan Marx, bahwa berbeda dengan binatang yang hanya menghasilkan dan memanfaatkan apa yang memang secara langsung dibutuhkan mereka, maka apa yang dikerjakan dan dihasilkan manusia mengandung pengertian yang jauh lebih dalam daripada apa yang dihasilkan dan dimanfaatkan binatang. Sahlins mengemukakan pendapat tersebut di halaman 149 dalam karyanya Culture and Practical Reason dengan mengutip kalimat Marx yang ada dalam Economic and philosophical manuscripts of 1844.

“An animal produces only itself, whilst man reproduces the whole of nature. An animal’s product belongs immediately to its physical body, whilst man freely confronts his product. An animal forms things in accordance with the standart and the need of the species to which it belongs, whilst man knows how to produce in accordance with the standart of every species, and knows how to apply everywhere the

65 ibid, hlm. 154.66 ibid, hlm. 148-149.

Tony Rudyansjah 189

inherent standard to the object. Man therefore also forms things in accordance with the laws of beauty.”67

[Seekor binatang menghasilkan dirinya sendiri, sedangkan manusia menghasilkan kembali keseluruhan dunianya. Apa yang dihasilkan seekor binatang termaktub secara langsung kedalam jasad fisiknya, sedangkan manusia bisa secara bebas menghadapi apa yang dihasilkannya. Seekor binatang membentuk barang-barang sesuai dengan standar dan kebutuhan spesies di mana ia termasuk, sedangkan manusia mahfum bagaimana menghasilkan barang menurut standar spesies apapun, mengetahui bagaimana menerapkan standar inheren dari objeknya di manapun adanya. Manusia, dengan demikian, membentuk benda-benda menurut kaidah keindahan.]

Dengan cara mengutip pendapat Marx di atas itu, Sahlins lebih lanjut mendeklarasikan bahwa ia (baca: Sahlins) lebih tertarik dan memusatkan perhatian pada konstitusi simbolik dari budaya.

“It is not to the beauty that I appeal, but to the determination of a production that is undertaken within a symbolic order, within culture.”68

[bukanlah kepada keindahan saya tertarik, melainkan kepada perkara ketentuan sebuah produksi yang dilaksanakan di dalam sebuah tatanan simbolik, dalam sebuah kebudayaan]

Menurut Sahlins lagi, kebudayaanlah—sebagai sebuah konsti-tusi simbolik dari semua keinginan (wants)—yang pada akhirnya menentukan dan mengendalikan proses-proses produksi manusia.

Berbeda dengan Habermas, yang beranggapan bahwa analisis praxis Marx dalam Capital memperhitungkan baik kerja maupun interaksi sosial yang diatur oleh elemen normatif yang berasal dari sebuah tradisi budaya, Sahlins berpendapat bahwa jika kita membaca tulisan Marx dengan cermat maka kita akan

67 Karl Marx, The Economic & Philosopic Manuscripts of 1844, 1973, hlm. 113-114.

68 Marshall Sahlins, Culture and Practical Reason, 1976, hlm. 149.

190 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dapat menemukan sebuah benang merah yang merupakan satu kontinuitas yang dapat menghubungkan semua karya Marx dari awal sampai yang paling akhir, dan itu tidak lain daripada rasionalitas utilitarianisme (rationality of utilitarianism) dan bourgeois economizing.69 Dalam hatinya Marx tidak lebih daripada seorang bourgeois utilitarian, menurut Sahlins.70 Posisi Sahlins tentu saja sangat berbeda dari Marx. Sahlins menganut pandangan yang bersifat relativistik. Sahlins memiliki pendapat bahwa praktikalitas dan efektivitas material dari proses-proses produksi tidak terdapat dalam satu pengertian yang mutlak, namun hanya ada dalam bentuk dan tolak ukur yang diproyeksikan oleh sebuah tatanan budaya. Apa yang dimaksudkan Sahlins dengan pendapat yang dirumuskan secara hati-hati itu adalah bahwa praktikalitas memang tetap diperhatikan, dipertimbangkan dan diwujudkan dalam setiap tindakan manusia, namun tidak dalam satu pengertian yang absolut. Lebih lanjut Sahlins menegaskan:

“Selecting its material means and ends from among all possible ones, as well as the relations under which they are combined, it is society which sets productive intentions and intensities, in a manner and measure appropriate to the entire structural system.”71

[Memilih tujuan dan cara yang dapat diambilnya dari berbagai kemungkinan yang ada, sebagaimana juga pilihan berbagai relasi di mana mereka sebaiknya dikombinasikan, tetap saja pada ujungnya masyarakat yang menentukan bagaimana maksud-maksud dan intensitas berproduksi seharusnya ditata dalam cara dan tolak ukur yang seharusnya sesuai dengan keseluruhan sistem strukturalnya.]

Kutipan dari Sahlins itu semestinya dibaca dalam dua cara. Pertama, apabila yang dimaksudkan Sahlins itu dengan kata ‘sistem struktural’ itu, di mana semua maksud dan prakarsa berproduksi harus disesuaikan, sama artinya dengan cultural gestalt, maka

69 ibid, hlm. 161.70 ibid, hlm. 163-164.71 ibid, hlm. 164.

Tony Rudyansjah 191

pandangan itu tentu saja sangat berbeda dengan pandangan Marx. Namun apabila hal itu dimaksudkan, dan ini adalah cara kedua, adalah sebuah sistem strukural yang sedikit banyak dikekang oleh efektivitas material dan logika dari relasi produksi, maka pengertian itu sesungguhnya sama dengan pengertian Marx. Namun yang dimaksudkan Sahlins cukup jelas adalah dalam pengertian yang pertama, karena bagi Sahlins, satu-satunya yang bisa dianggap sebagai logika untuk kesemua hal itu hanyalah sistem pemaknaan dari sebuah kebudayaan tertentu, yang dalam kasus masyarakat Barat adalah logika dari kebudayaan borjuis yang memayungi dan melingkupi setiap orang. Pandangan seperti itu tentu saja sangat merefleksikan pandangan khusus literati yang tidak pernah puas dengan ‘stubborn polity’ dari materialisme natural dengan berupaya melakukan sesuatu. Kritik Sahlins terhadap Marx itu, yang menukik pada isu yang paling mendasar dari struktur konsepsi dari pemikiran Marx, sesungguhnya bermuara pada adanya pemisahan yang dibuat Marx antara ide dengan apa yang riil, atau idealisme dan realisme, yang dalam diskusi Sahlins melalui kedok simbol dan aktivitas/tindakan.

Gagasan abstrak Marxis mengenai relasi sosial yang diekspre-sikan secara sangat abstrak sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk menyingkirkan subjektivitas dari relasi sosial. Sejak dari awal, subjektivitas sesungguhnya telah diinkorporasikan dalam sistem dari relasi produksi yang terbentuk secara historis. Namun dalam kasus masyarakat Barat, hal itu terwujud dalam bentuk kreativitas yang teralienasi di satu sisi, dan dalam bentuk kesadaran palsu (false consciousness) di sisi lain. Sahlins berpendapat lagi bahwa Marx dengan membuat pernyataan bahwa subjektivitas dalam masyarakat kapitalis terwujud dari adanya kreativitas yang teralienasi di satu sisi dan, di sisi lain, kesadaran palsu, sesungguhnya telah mentransformasikan suatu pembedaan struktural antara aktivitas, di satu sisi, dengan kesadaran, di sisi lain, menjadi suatu hipotesa yang bersifat temporal.

192 alam, Kebudayaan & yang IlahI

“…”history” here consists of the speculative transformation of a structural relation between base and superstructure into a temporal priority. The procedure actually involves several logical phases, beginning essentially in a functional priority. Marxt first transposes the human necessity of gaining a livelihood into the structural dominance of production, then posit the primacy of production as an actual precedence in time. Marx would thus draw from the functional imperative that “man must be able to live in order to make history” the conclusion that “life involves before everything else eating and drinking,” and thereupon project this temporal sequence into a real historical event—“the first historical act is thus the production of means to satisfy these needs.” In brief, Marx turns a theoretical space into a hypothetical time.”72

[…”sejarah” di sini mengandung arti transformasi spekulatif relasi struktural antara base dan superstructure ke dalam sebuah prioritas temporal. Prosedurnya, pada kenyataannya, melibatkan beberapa fase logis, yang pada hakekatnya dimulai dari sebuah prioritas fungsional. Pertama-tama, Marx berubah urutan keniscayaan manusia memperoleh kehidupan ke dalam dominasi produksi yang bersifat struktural, lalu mengandaikan keutamaan produksi sebagai sesuatu yang secara aktual lebih utama dalam urutan waktu. Jadi, Marx menarik kesimpulan bahwa “kehidupan melibatkan makan dan minum sebelum yang lainnya” dari sebuah tuntutan fungsional bahwa “manusia mesti bisa hidup dalam rangka bisa menciptakan sejarah”, dan dengan demikian, memproyeksikan urutan temporal ke dalam sebuah peristiwa sejarah yang sebenarnya—tindakan historis pertama adalah produksi alat-alat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Singkatnya, Marx mengubah ruang teoritis menjadi sebuah waktu hipotetis.]

Pendapat Sahlins dalam kutipan di atas mengenai Marx itu barangkali ada benarnya, namun sangatlah berlebihan untuk mengatakan bahwa Marx, sebagaimana diutarakan Sahlins dalam kutipan berikut di bawah, terjerebab ke dalam kekusutan teoritis seperti yang dialami fungsionalis dan dualis.

72 ibid, hlm. 146.

Tony Rudyansjah 193

“There is again the fault, shared by Marx with certain functionalist-dualists, of limiting symbol to “ideology,” thus allowing action to slip into the kingdom of the pragmatic. Dealing with meaning only in its capacity as the expression of human relations, Marx lets escape through the theoretical mesh the meaningful constitution of these relation.”73

[Terdapat sekali lagi kesalahan, yang dianut oleh Marx bersama-sama dengan sejumlah fungsionalis dan dualis, yang membatasi simbol hanya pada “ideologi”, sehingga mengakibatkan tindakan terjerebab ke dalam kekuasaan pragmatis. Mengkaji pemaknaan hanya dalam kapasitasnya sebagai ungkapan relasi manusia, Marx membiarkan kaburnya konstitusi penuh makna relasi-relasi manusia ke dalam sebuah kekusutan teoritis.]

Hanya karena Marx tidak memiliki sebuah teori yang eksplisit mengenai simbol, ataupun tidak mengembangkan sebuah teori tentang semiotik, sangatlah tidak adil kalau kita kemudian menganggap Marx terjatuh ke dalam sebuah kekusutan teoritis, sebagaimana dituduhkan Sahlins. Lepas dari tuduhan itu, saya mendiskusikan Sahlins panjang lebar di sini karena Sahlins mengemukakan isu penting yang harus kita perhatikan ketika membaca tulisan Marx, yaitu isu mengenai relativitas dan praxis.

Kritik Sahlins sesungguhnya merupakan satu kritik khas yang acapkali dilontarkan kepada Marx, yang sebenarnya merupakan satu analisis mengenai dinamika internal dari kapitalisme, namun orang memperlakukannya lebih sebagai sebuah teori yang bersifat menyeluruh mengenai tindakan sosial ketimbang sebagai sebuah teori kritis dialektikal yang secara khusus memusatkan perhatiannya untuk mengungkapkan kontradiksi yang secara internal terdapat dalam kapitalisme yang pada akhirnya tak terhindari akan bermuara pada negasi terhadap sisten kapitalisme itu sendiri. Menurut hemat saya, isu krusial untuk dipertanyakan adalah: apakah status teori Marx itu sendiri dalam historical materialism?

73 ibid, hlm. 139.

194 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Saya memang tidak berniat menjawab pertanyaan yang sulit dan jelimet itu di sini, namun dengan hanya mempertimbangkannya saja kita segera dapat menyadari bahwa pertanyaan itu mencakup banyak sekali aspek persoalan, dan kita dapat memulainya dengan menyoal apa status kebudayaan dan ideologi dalam teori Marxis, dan ini merupakan pokok bahasan utama kita berikut ini.

Steurt Hall, seorang India yang kemudian tinggal dan berkarier di Inggris, mengatakan bahwa ideology merupakan sebuah kata yang tidak terlalu mudah dicocokkan dengan lidah orang Inggris, sehingga mungkin karena alasan itu para ahli antropologi lebih suka menggunakan kata culture (kebudayaan), dan kadang-kadang menyamakan keduanya serta mengaburkan berbagai pemaknaan yang mungkin dari ideologi. Berbagai komplikasi pemaknaan antara ideologi dan kebudayaan berkaitan dengan pengertian pertama dari istilah ideologi yang diungkapkan secara baik olah Raymond Geuss dalam buku kecilnya dengan judul The Ideas of A Critical Theory, yaitu ideologi dalam pengertian deskriptif yang mencakup sebuah pandangan umum dan empiris mengenai cara hidup sekelompok orang yang seringkali dibagi ke dalam ekonomi, teknologi, struktur sosial dan ideologi. Dengan demikian, ideologi dapat juga dibagi ke dalam ideologi kekerabatan, dan ideologi ekonomi. Oleh karena itu, ideologi dan kebudayaan seringkali disamakan ketika para ahli antropologi menyoal prinsip-prinsip paling generatif dari satu budaya. Louis Dumont, misalnya, menggunakan kedua kata itu secara bergantian karena ia percaya ia sedang mendiskusikan aspek yang paling fundamental dari kehidupan sosial manusia (social structuring of human life), yakni hirarki dan egalitarian individualistik.

Untuk menghindari redundancy seperti itu, maka sangat masuk akal pembedaan ideologi dalam arti pejoratif (negatif ) dan ideologi dalam arti positif, sebagaimana diusulkan Geuss. Contoh klasik dari ideologi dalam arti pejoratif adalah kesadaran palsu

Tony Rudyansjah 195

(false consciousness), yaitu sebuah bentuk kesadaran yang tidak hanya mengaburkan keadaan aktual dari berbagai hal, melainkan dipergunakan juga untuk memberikan legitimasi dan sekaligus memungkinkan adanya dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Ideologi bisa juga diartikan dalam arti negatif saat mengacu kepada berbagai hal yang berasal dari kesalahan dan kekeliruan manusia (human false and errors). Sedangkan ideologi dalam arti positif adalah sesuatu yang secara sengaja direkayasa untuk tujuan memenuhi tujuan dan kebutuhan satu kelompok tertentu. Tulisan What is to be done dari Lenin, misalnya, merupakan sebuah upaya yang dilaksanakan secara sengaja dan sadar untuk menciptakan seperangkat keyakinan dan sikap yang dianggap cocok untuk situasi aktual yang dihadapi para proletarian. Contoh lainnya adalah inovasi keagamaan yang dilakukan sekelompok orang, sebagaimana digambarkan Weber mengenai spirit dari Calvinism. Berbagai pengertian ideologi seperti itu penting dikemukan di sini untuk memahami komplikasi pemikiran Marx saat membicarakan hal-hal tersebut, sehingga kita tidak keliru dalam mengartikan apa yang sesungguhnya dimaksudkan Marx.

Sekarang saya ingin membicarakan hakekat manusia, dan ini mengandung makna yang penting mengingat konsepsi Marx mengenai hakekat manusia itu dapat memperlihatkan kepada kita bahwa titik pijak analitis Marx sangat berbeda dari pandangan utilitarian. Saya telah menjelaskan pandangan Marx mengenai manusia sebagai makhluk kolektif yang menggarap dan menghasilkan dunia material berdasarkan modus produksi tertentu, yang merupakan sebuah kehidupan yang lebih daripada hanya sekedar reproduksi dari keberadaan fisikal semata—sebuah pandangan yang ia kemukakan dalam The German Ideology. Dalam pandangan Marx itu, tenaga kerja merupakan ciri esensial yang sangat menentukan hakekat manusia. Kerja (labour) adalah sebuah proses yang menjembatani manusia dengan alamnya, di mana melalui kerja itu manusia merubah alam sekelilingnya,

196 alam, Kebudayaan & yang IlahI

namun pada saat yang bersamaan ia juga merubah hakekat dari diri manusia itu sendiri.

Pandangan yang serupa mengemukan kembali dalam tulisan-tulisan Marx yang lain, yakni Pre-Capitalist Economic Formations dan Grundrisse—tujuh buku catatan Marx yang ditulisnya di British Mesum pada periode 1857-1858. Dalam tulisan itu, terutama Pre-Capitalist Economic Formations, Marx menguraikan bahwa reproduksi niscaya pada saat yang bersamaan adalah produksi hal-hal baru, dan sekaligus penghancuran dari bentuk-bentuk yang lama:

“The act of reproduction itself changes not only the objective conditions—e.g. transforming village into town, the wilderness into agricultural clearings, etc. —but the producers change with it, by the emergence of new qualities, by transforming and developing themselves in production, forming new powers and new conceptions, new modes of intercourse, new needs, and new speech.”74

[tidak hanya kondisi objektif diubah dalam aktivitas produksi, misalnya desa berubah menjadi kota, atau lahan kosong tak bertuan menjadi lahan pertanian, melainkan diri si pelaku yang melakukan aktivitas produksi itu pada saat yang bersamaan juga diubah, dan itu memunculkan berbagai kualitas baru dalam dirinya, melalui transformasi dan perkembangan dirinya dalam berproduksi, si pelaku membentuk berbagai kemampuan politik yang baru, konsepsi-konsepsi baru, modus interaksi yang baru, kebutuhan-kebutuhan baru, dan logat berbahasa yang baru.]

Kemampuan manusia untuk mentransformasikan dunia sekelilingnya, dan bahkan melampaui bentuk-bentuk fenomenal konkritnya inilah yang disebut Marx dengan istilah aufhebung.75 Dunia, dan termasuk didalamnya manusia sendiri, dimusnahkan dan sekaligus dilampaui melalui cara mengangkatnya ke

74 Karl Marx, Pre-Capitalist Economic Formations, 1984, hlm. 93.75 Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx, 1980,

hlm. 36-38 dan 84.

Tony Rudyansjah 197

tingkat yang lebih tinggi, meskipun pada saat yang bersamaan tetap mempertahankan kandungan utamanya. Dialektika dari aufhebung inilah yang menjamin kontinum yang bersifat semakin meluas dan progresif dari kemampuan manusia untuk tidak hanya mengalami dan mengenali dunianya, melainkan juga untuk secara sadar menciptakan dan membentuknya. Dengan demikian, Marx tidak menganut satu pandangan yang statis mengenai hakekat manusia, karena hakekat manusia itu sendiri ditransformasikan di dalam proses produksi sosial dan reproduksi sosial.

Dengan kata lain, Marx membuat pembedaan antara natural man dan species being (generic being) untuk memperlihatkan bahwa pandangannya mengenai hakekat manusia bukanlah sebuah reduksi dari makhluk sosial manusia menjadi hanya sebagai natural man semata-mata, dan bukannya juga sebuah pemutlakan manusia hanya semata-mata sebagai makhluk yang memiliki pemikiran dan konsep, dan dengan begitu melupakan bahwa manusia juga adalah makhluk biologis yang memiliki kebutuhan yang sama dengan makhluk hidup lainnya. Secara singkat, natural man adalah sekumpulan kebutuhan dan fungsi fisikal yang manusia miliki bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya, namun manusia membedakan dirinya dengan makhluk hidup lainnya, karena manusia sadar akan dirinya sendiri sebagai species being dengan kemampuan khusus yang berbeda dan jauh lebih besar daripada hanya natural power. Species power (gattung power), sama seperti natural power, memantapkan relasi manusia dengan alam di sekelilingnya, dan antara manusia dengan manusia lainnya di dalam proses kehidupan sosialnya.

Dengan demikian, kita tidak dapat melihat manusia hanya sebagai himpunan dari individu yang terisolasi satu sama lainnya, sehingga hal-hal yang nampak alami, seperti seks dan lapar—kebutuhan dasar yang dijadikan Malinowski sebagai fondasi dari teorinya mengenai kebudayaan—mesti dilihat hanya sebagai satu elemen, di antara elemen-elemen lainnya, di dalam kerangka

198 alam, Kebudayaan & yang IlahI

pemahaman manusia sebagai species being (generic being). Apa yang membedakan Marx dari Feuerbach adalah penekanan yang diberikan Marx pada keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran sebagai makhluk kolektif.

Pendapat yang menyatakan bahwa Marx pada periode setelah 1845 adalah seorang materialistik yang memindahkan ide mengenai pemikiran manusia ke dalam tempat yang derivatif sebagai semata-mata sebuah superstructure, yang dikendalikan berdasarkan relasi ekonomis riil, seperti proses produksi dan relasi lingkungan teknologis, adalah sangat keliru.

Konsep kunci dalam pandangan Marx tentang proses sosial adalah praxis, di tempat mana ia berupaya mensintesakan antara idealisme dengan materialisme—sejauh mana ia berhasil merupakan suatu hal yang bisa dapat diperdebatkan orang. Di satu sisi, praxis berarti practice sebagai lawan dari teori. Namun di sisi lain, Marx juga memberikan arti yang jauh lebih luas cakupannya daripada hanya pengertian seperti itu. Marx memberikan argumentasi bahwa pandangan meterialistik mengenai sejarah mesti mengalami perubahan, baik karena adanya perubahan dari kondisi di mana tindakan berlangsung, maupun karena adanya perubahan yang disebabkan oleh pendidikan, atau perubahan dalam kedewasaan dan kematangan diri manusia akibat adanya akumulasi dari pengetahuan. Meskipun begitu, kita tidak mesti lupa, sebagaimana Marx kemukakan dalam tesis ke 3 dari ‘Theses on Feuerbach”, bahwa manusialah yang mengubah situasi itu, dan oleh karenanya para pendidik juga harus dididik.

“The materialist doctrine concerning the changing of circumstances and upbringing forgets that circumstances are changed by men and that it is essential to educate the educator himself.”76

[Doktrin materialistik mengenai perubahan lingkungan

76 Karl Marx & Frederick Engel, The German Ideology, dalam ‘Theses on Feuerbach’ dalam supplementary text, 1988, hlm. 121.

Tony Rudyansjah 199

dan pengasuhan melupakan bahwa lingkungan diubah oleh manusia, dan bahwa esensial bagi para pendidik untuk mendidik dirinya sendiri.]

Kalimat dari Marx itu tidak muncul hanya dari fantasi Marx belaka, melainkan sesuatu yang sangat cermat dipikirkan. Jadi perubahan harus sebaiknya dilihat sebagai sebuah proses di mana tindakan merupakan baik sebagai cara memformulasikan gagasan, maupun sebagai cara menguji gagasan dengan cara membentangkannya ke dalam tindakan. Henri Lefebvre dalam bukunya The Sociology of Marx mengulas bahwa praxis dalam pemikiran Marx terdiri dari tiga level, yakni repetitive praxis dan innovative praxis, serta sebuah perantara di antara keduanya yang disebut Lefebvre sebagai mimetic praxis.77

Repetitive praxis terdiri dari peragaan berulang dari tindakan dalam sebuah siklus tertentu—sebuah konsep yang sangat diakrabi para ahli antropologi, dan biasanya disebut mereka dengan istilah ‘tradisi’. Memetic praxis merupakan sebuah modus tindakan yang lebih disadari daripada repetitive praxis, dan meskipun sudah lebih kreatif namun tetap saja masih bersifat peniruan (imitative), misalnya peragaan kembali berbagai bentuk kepatuhan politik dan sosial melalui seragam, gesture dan retorics. Sedangkan creative praxis atau innovative praxis melibatkan transformasi total keseluruhan cara hidup, yang bisa terjadi dalam sebuah kebudayaan maupun pengetahuan, namun memperoleh ekspresinya yang paling jelas dalam sebuah revolusi politik.

Dalam revolusi politik seperti itu, praxis merupakan sebuah transformasi sosial dengan dampak yang besar yang mengeja-wantahkan baik gagasan Hegel mengenai proses sejarah melalui oposisi dialektik, maupun gagasan Saint-Simon mengenai kontra-diksi yang semakin lebar antara ide dan bentuk pengaturan sosial (social arrangement). Melalui praxis yang bersifat revolusioner

77 Henry Lefebvre, The Sociology of Marx, 1982, hlm. 52.

200 alam, Kebudayaan & yang IlahI

seperti itu, perubahan dengan dampak yang luas dan mendalam, di tempat mana masyarakat mempresentasikan dirinya sendiri, dibawa Marx ke dalam berbagai aktualitas dari relasi sosial. Dalam pengertian praxis dengan berbagai level seperti itu, Marx melihat praxis sebagai sebuah pengejawantahan yang kompleks baik dari berbagai ide/gagasan maupun berbagai tindakan yang diikuti oleh berbagai kontradiksi, polarisasi, tingkatan, dan resolusi berbagai konflik.

Tony Rudyansjah 201

Dalam Grundrisse, Marx menegaskan bahwa makhluk manusia hanya bisa menjadi individu melalui sebuah proses sejarah, dan, secara lebih tepat, pertukaran yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri merupakan cara utama untuk dapat mencapai individuasi diri manusia.78 Dengan kata lain, species being dari makhluk manusia merupakan sebuah konsepsi yang membedakan keberadaan makhluk manusia dari keberadaan binatang ataupun tanaman, karena hanya sebagai akibat dari pertukaran yang dilakukan antar manusia, maka manusia sejatinya dapat menjadi seorang individu.

Kita, dengan demikian, tidak dapat memulai analisis mengenai hakikat manusia dengan semata-mata hanya melihat keseluruhan penjumlahan dari individu, sebagaimana terlihat dalam novel karangan Defoe yang menggambarkan tokoh utama yang bernama Robinson Crusoe, yang tanpa sengaja terlempar ke dalam sebuah himpunan sosial melalui sebuah pertukaran.

Pemikiran Marx mengenai hakikat manusia lebih mirip dengan pandangan Fergusson daripada Defoe. Dalam kerangka pemikiran serupa itu, kebutuhan manusia tidak hanya dipuaskan manusia melalui sebuah proses historis penciptaan berbagai bentuk kehidupan yang berbeda-beda, melainkan kebutuhan manusia juga diciptakan dalam proses historis itu sendiri. Kebutuhan manusia tidak secara serta merta terberikan dengan sendirinya di dalam alam semesta. Oleh karena itu, keinginan dan kebutuhan manusia harus diukur dalam terminologi dari modus produksi di tempat mana keinginan dan kebutuhan manusia itu muncul.

Dalam konteks pemahaman seperti itu, Marx pernah juga mendiskusikan teori mengenai populasi dan mengemukakan argumentasi bahwa kita tidak mungkin memiliki teori yang berlaku umum mengenai populasi tanpa mempertimbangkan berbagai tahap perkembangan khusus dari masyarakat-masyarakat yang

78 Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 83-84.

202 alam, Kebudayaan & yang IlahI

sedang kita bahas.79 Pemikiran Marx mengenai hakikat manusia mewariskan kepada kita dua problema penting berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan manusia. Dua problema tersebut, yang sedikit banyak mencuat ke permukaan akibat diskusi Sahlins mengenai Marx dalam Culture and Practical Reason, sangat penting untuk antropologi Marxis kontemporer masa kini.

Problema pertama berkaitan dengan derivasi dari kemampuan manusia untuk memenuhi kebutuhannya manakala kebutuhan itu sendiri dihasilkan dalam proses aktivitas praktis. Nampak dalam pengertian teori Marxis seperti itu, kebutuhan dan keinginan manusia dihasilkan dalam kesadaran manusia melalui aktivitasnya. Jika begitu kasusnya, bagaimana kesadaran mungkin untuk dapat menentukan kebutuhan dan keinginan manusia? Dan bagaimana kesadaran mungkin memiliki kapasitas untuk beroperasi sebelum tindakan atau aktivitas itu sendiri terjadi? Atau dengan kata lain, apabila kesadaran merupakan produk dari tindakan, dan bukannya prasyarat dari tindakan, bagaimana kesadaran bisa menentukan kebutuhan atau keinginan manusia sebelum tindakan manusia itu sendiri berlangsung dan terwujud dalam kenyataan?

Diskusi mengenai isu ini memiliki relevansi yang sangat tinggi bagi antropologi sebagaimana terlihat di dalam pertukaran gagasan yang terjadi dalam perdebatan melalui korespondensi antara Clifford Geertz dan David M. Schneider mengenai prioritas relatif dari kebudayaan di atas tindakan bagi Geertz dan prioritas tindakan sosial di atas kebudayaan bagi Schneider.80 Marx sendiri pernah mendiskusikan problema ini dalam berbagai tulisannya, dan dalam manuskripnya yang berjudul ‘Preface to A Contribution to the Critique of Political Economy’, Marx mengemukakan

79 Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 100-101.80 Untuk ulasan mengenai perdebatan ini, lihat tulisan Richard Feinberg

dengan judul ‘Schneider’s Symbolic Cultural Theory: An Appraisal’ dalam Current Anthropology, Vol. 20, No. 3, September 1979.

Tony Rudyansjah 203

“… mankind always sets itself only such tasks as it can solve; since looking at the matter more closely, it will always be found that the task itself arises only when the material conditions for its solution already exist or are at least in the process of formation.”81 [… umat manusia senantiasa menetapkan dalam dirinya sendiri hanya berbagai macam tugas yang dapat diatasinya, karena manakala diamati secara lebih cermat, maka selalu dapat ditemukan bahwa tugas itu sendiri hanya muncul manakala kondisi material untuk pemecahan tugas itu sudah tersedia atau setidaknya sudah dalam proses pembentukannya.]

Atau dalam Volume 1, Marx lebih lanjut mengemukan sebuah argumentasi yang juga sudah sangat terkenal, dan karenanya sangat sering dikutip orang.

“Labour is, first of all, a process between man and nature, a process by which man, through his own actions, mediates, regulates and controls the metabolism between himself and nature. He confronts the materials of nature as a force of nature. He sets in motion the natural forces which belong to his own body, his arms, legs, head and hands, in order to appropriate the materials of nature in a form adapted to his own needs. Through this movement he acts upon external nature and changes it, and in this way he simultaneously changes his own nature. He develops the potentialities slumbering within nature, and subjects the play of its forces to his own sovereign power. We are not dealing here with those first instinctive forms of labour which remain on the animal level. An immense interval of time separates the state of things in which a man brings his labour-power to market for sale as a commodity from the situation when human labour had not yet cast off its first instinctive form. We presuppose labour in a form in which it is an exclusively human characteristic. A spider conducts operations which resemble those of the weaver, and a bee would put many a human architect to shame by the construction of its

81 Karl Marx, Preface to A Contribution to the Critique of Political Economy, dalam Robert C. Tucker, The Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 5.

204 alam, Kebudayaan & yang IlahI

honeycomb cells. But what distinguishes the worst architect from the best of bees is that the architect builds the cell in his mind before he constructs it in reality. At the end of every labour process, a result emerges which had already been conceived by the worker at the beginning, hence already existed ideally. Man not only effects a change of form in the materials of nature; he also realizes (verwirklicht) his own purpose in those materials.”82

[Kerja merupakan sebuah proses di antara manusia dan alam semesta, sebuah proses di mana manusia melalui tindakannya mampu untuk memediasi, mengatur dan mengendalikan metabolisme antara dirinya dengan alam. Ia menghadapi materi-materi di alam sebagai daya-daya dari alam. Ia memanfaatkan melalui gerakannya berbagai daya alam, yang termasuk juga badannya sendiri, lengannya sendiri, kakinya sendiri, kepalanya sendiri dan tangannya sendiri dalam rangka memanfaatkan materi-materi di alam ke dalam sebuah bentuk yang disesuaikan dengan kebutuhan diri manusia. Melalui pergerakan itu, ia bertindak terhadap dunia eksternal dan mengubahnya, dan melalui cara ini, ia secara bersamaan juga mengubah hakekat dirinya sendiri. Ia mengembangkan potensi-potensi yang masih tertidur di dalam alam semesta, dan menundukkan permainan daya alam demi kedaulatan manusia. Di sini kita tidak bersinggungan dengan bentuk instingtif awal dari kerja yang masih berada dalam level binatang. Sebuah interval waktu yang luas sekali memisahkan keberadaan hal-hal yang menjadi wahana di mana manusia membawa tenaga kerja ke pasar untuk dijual sebagai komoditas, di satu sisi, dengan, di sisi lain, situasi di mana tenaga manusia masih belum menanggalkan bentuk instingtif awalnya. Kita mengandaikan kerja dalam sebuah bentuk yang secara ekslusif bercirikan manusia. Seekor laba-laba menyelenggarakan kegiatannya yang menyerupai apa yang dilakukan seorang tukang tenun, dan seekor tawon membuat sangat malu para arsitek dengan konstruksi sel sarang tawon yang dibuatnya. Namun apa yang membedakan seorang arsitek yang paling buruk dengan seekor tawon yang paling baik adalah bahwa si

82 Karl Marx, Capital Volume 1, hlm. 283-284.

Tony Rudyansjah 205

arsitek membangun selnya di dalam pikiran dulu sebelum mengkonstruksikannya dalam kenyataan. Pada akhir setiap proses kerja, muncul satu hasil yang sudah dibayangkan di awalnya oleh si pekerjanya, dan, dengan demikian, sudah ada secara ideal. Manusia tidak hanya mempengaruhi sebuah perubahan bentuk materi-materi di alam semesta, namun ia juga merealisasikan tujuan dirinya di dalam materi-materi itu.]

Dengan mengalih-maksudkan dan hanya mengutip sebagian dari paragraf terakhir di atas, Sahlins mengemukakan bukti dari apa yang disebutnya sebagai ‘cultural moment’ dari Marx, yakni ketika Marx dianggap Sahlins sebagai seorang ahli antropologi yang baik. Pertanyaan yang merupakan permasalahan penting yang kemudian dapat kita diskusikan di sini adalah bagaimana makhluk sosial manusia mungkin untuk dapat mengembangkan sebuah model dari aktivitas kerja di dalam imajinasinya sebelum hal itu ia ciptakan secara aktual dalam kenyataan riil di dunia, apabila diingat kesadaran manusia itu sendiri ditentukan oleh keberadaan sosial makhluk manusia. Jawaban bahwa kesadaran bukanlah merupakan refleksi semata-mata dari suatu hal, meskipun barangkali memang ditentukan oleh keberadaan sosial manusia itu, dan bukannya sesuatu yang sudah ada sebelum tindakan mengada, melainkan bahwa kesadaran lebih merupakan sebuah kekuatan yang aktif dalam tindakan dan, dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari tindakan itu sendiri, sudah tentu sangat jelas bagi kita. Namun dengan menjawab begitu, kita tetap saja belum dapat memecahkan problema bagaimana menterjemahkan analisis mengenai praktis tindakan manusia seperti itu ke dalam kenyataan riil. Dan sayangnya lagi, Marx dalam berbagai tulisannya juga tidak menguraikan secara jelas prosedur bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan.

Problema kedua terkandung dalam pandangan Marx lainnya mengenai hakekat manusia, yakni yang berkaitan dengan perkembangan dari kategori pemikiran manusia. Problema ini

206 alam, Kebudayaan & yang IlahI

bermuasal dari diskusi Marx tentang kemungkinan penerapan dari kategori teoritis para ahli political economics klasik. Marx mengajukan sebuah argumentasi bahwa kategori teoritis yang telah dikembangkan dalam rangka menjelaskan masyarakat borjuis, yakni kategeori dari Classical Polical Economics sebagaimana hal itu dikembangkan oleh Smith dan Ricardo, tidak dapat digunakan untuk menjelaskan masyarakat di luar masyarakat borjuis tanpa dilakukan modifikasi terlebih dahulu.

Pandangan Marx seperti itu berkaitan dengan gagasannya mengenai hakekat manusia yang memiliki kesadaran, dan kesadaran itu sendiri merupakan sebuah produk dari tindakan sosial dalam sebuah kondisi historis khusus tertentu. Kecuali kita adalah penganut setia paham evolusi yang sangat kuat meyakini adanya akumulasi pengetahuan, maka sangat sulit bagi kita untuk dapat memahami bagaimana gagasan dari satu zaman tertentu bisa digunakan untuk memahami formasi sosial satu zaman lain yang berbeda. Berdasarkan pemikiran Marx itu, maka gagasan mengenai harta milik atau kekayaan (property) tidak mungkin dapat dipahami dengan memisahkannya dari formasi sosial ekonomi di mana kategori dari harta milik itu terlekatkan.

Dalam Grundrisse, Marx kembali mendiskusikan pokok permasalahan ini dengan mencermati kemungkinan pengaplikasian kategori kerja (labour) yang diberlakukan secara umum. Ia mengemukan sebuah teori bahwa

“As a rule, the most general abstractions arise only in the midst of the richest possible concrete development, where one thing appears as common to many, to all. Then it ceases to be thinkable in a particular form alone. On the other side, this abstraction of labour as such is not merely the mental product of a concrete totality of labours. Indifference towards specific labours corresponds to a form of society in which individuals can with ease transfer from one labour to another, and where the specific kind is a matter of chance

Tony Rudyansjah 207

for them, hence of indifference.83

[Sebagai sebuah aturan, abstraksi yang paling umum hanya muncul di tengah-tengah perkembangan konkritnya yang paling mungkin, di tempat mana satu hal nampak sebagai sesuatu yang umum bagi banyak hal yang lainnya, bagi semua hal lainnya. Saat itulah, ia berhenti terpikirkan dalam bentuk khususnya saja. Di sisi lain, abstraksi kerja semacam ini bukanlah produk mental dari totalitas kerja konkrit semata. Tak tertarik terhadap kerja khusus yang berkaitan dengan sebuah bentuk masyarakat di tempat mana para individunya dapat dengan mudah mempertukarkan satu kerja dengan kerja lainnya, dan di tempat mana sebuah macam yang khusus lebih merupakan persoalan kebetulan bagi mereka, dan, dengan demikian, tak berbeda.]

Marx tegaskan lagi bahwa hanya di Amerika Serikat, kerja berkembang menjadi tidak hanya sebuah kategori dengan keberlakuan yang paling umum, melainkan juga kerja di dalam kenyataan sehari-hari telah menjadi sebuah cara yang secara konkrit paling berkembang untuk menghasilkan kekayaan yang berlaku bagi siapa saja, dan tidak lagi secara organik hanya berlaku bagi individu tertentu saja. Meskipun begitu, Marx tetap mengingatkan kita semua bahwa kemungkinan aplikasi kategori kerja itu harus diperlakukan secara hati-hati, karena meskipun kerja merupakan kategori yang paling abstrak, dan sekaligus mengandung kesahihannya, ia tetap saja merupakan produk dari relasi historis tertentu, dan oleh karenanya, kesahihannya secara mutlak hanya untuk dan di dalam kerangka relasi historis tertentunya tersebut. Lebih lanjut Marx menegaskan bahwa

“Bourgeois society is the most developed and the most complex historic organization of production. The categories which express its relations, the comprehension of its structure, thereby also allows insights into the structure and the relations of production of all vanished social formations out of whose ruins and elements it built itself up, whose partly still unconquered remnants are carried along within

83 Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 104.

208 alam, Kebudayaan & yang IlahI

it, whose mere nuances have developed explicit significance within it, etc. Human anatomy contains a key to the anatomy of the ape. The intimation of higher development among the subordinate animal species, however, can be understood only after the higher development is already known. The bourgeous economy thus supplies the key to the ancient, etc. But not at all in the manner of those economists who smudge over all historical differences and see bourgeois relations in all forms of society. One can understand tribute, tithe, etc., if one is acquainted with ground rent. But one must not identify them.”84 [Masyarat borjuis adalah organisasi historis paling berkembang dan paling kompleks dari produksi. Kategori-kategori yang mengekspresikan relasinya, pemahaman akan strukturnya, dengan demikian memungkinkan juga sebuah pemahaman ke dalam struktur dan relasi produksi semua formasi sosial yang telah punah, yang dari reruntuhan dan berbagai unsurnya masyarakat borjuis membangun dirinya, dan yang sebagian sisanya yang tak tertundukkan masih terbawa bersamanya, yang nuansa-nuansanya telah mengembangkan arti penting tersurat di dalam dirinya, dan seterusnya. Anatomi manusia mengandung sebuah kunci bagi anatomi kera. Dengan demikian, keintiman terhadap perkembangan lebih tinggi di kalangan spesies binatang yang lebih rendah hanya dapat dipahami setelah perkembangan yang lebih tinggi telah diketahui. Jadi, ekonomi borjuis memberikan kunci ke masa purba, dan seterusnya. Namun tidak sama sekali dalam cara para ahli ekonomi yang menodai semua perbedaan historis dan melihat relasi borjuis di dalam semua bentuk masyarakat. Seseorang hanya dapat memahami upeti, zakat bagi gereja, dan seterusnya, manakala seseorang telah mengetahui sewa tanah. Namun seseorang mestinya tidak menyamakannya.]

Dalam rangka menghindari sebuah posisi yang bersifat relativistik, Marx melakukannya dengan cara mengadopsi pandangan Hegel mengenai sejarah sebagai sebuah proses realisasi diri yang mengandung di dalam dirinya semua tahap keberadaan manusia sebelumnya di dalam sebuah bentangan

84 Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 105.

Tony Rudyansjah 209

pencapaian utuh yang bersifat universal. Pada konteks inilah Marx memperlihatkan kontinyuitas pemikirannya dengan tradisi pemikiran Hegelian. Melalui kalimat dalam paragraf di atas, yang sulit dipahami karena merupakan buku catatan pribadi yang tidak dimaksudkan untuk publikasi, Marx tidak mengatakan bahwa masyarakat borjuis modern mengandung di dalam dirinya sendiri semua tahap keberadaan masyarakat sebelumnya tanpa sedikitpun mengalami perubahan, sehingga seorang anggota masyarakat borjuis dapat dengan mudah memahami berbagai bentuk masyarakat sebelumnya yang sangat spesifik sifatnya, tanpa mengeluarkan jerih payah apapun, misalnya hanya dengan mengandaikan terdapatnya berbagai prinsip universal yang sahih di segala waktu.

Andaikan saja Marx mengatakan hal itu, maka posisi Marx persis sama dengan Auguste Comte dan Herbert Spencer dalam melihat hakekat manusia dan sejarah masyarakat manusia. Di dalam Grundrisse, meskipun mengkritik masyarakat borjuis secara keras, Marx secara spesifik mengemukakan bahwa masyarakat borjuis masih mungkin meraih kemampuan untuk bisa memahami relasi mereka dengan bentuk masyarakat sebelumnya, namun bukan dalam pengertian seperti metafor seseorang menapaki tahap-tahap berbagai anak tangga menuju kepada kemajuan (progression), melainkan lebih merupakan upaya panjang dan berliku-liku yang menghabiskan banyak tenaga dan waktu melalui sebuah sikap self-criticism yang tinggi. Berikut inilah pernyataan Marx mengenai hal tersebut

“… since bourgeois society is itself only a contradictory form of development, relations derived from earlier form will often be found within it only in an entirely stunted form, or even travestied. For example, communal property. Although it is true, therefore, that the categories of bourgeois economics possess a truth for all other forms of society, this is to be taken only with a grain of salt. They

210 alam, Kebudayaan & yang IlahI

can contain them in a developed, or stunted, or caricatured form etc., but always with an essential difference. The so-called historical presentation of development is founded, as a rule, on the fact that the latest form regards the previous ones as steps leading up to itself, and, since it is only rarely and only under quite specific conditions able to criticize itself – leaving aside, of course, the historical periods which appear to themselves as times of decadence – it always conceives them one-sidely. The Christian religion was able to be of assistance in reaching an objective understanding of earlier mythologies only when its own self-criticism had been accomplished to a certain degree… Likewise bourgeois economics arrived at an understanding of feudal, ancient, oriental economics only after the self-criticism of bourgeois society had begun. In so far as the bourgeois economy did not mythologically identify itself with altogether with the past, its critique of the previous economies, notably of feudalism, with which it was still engaged in direct struggle, resembled the critique which Christianity leveled against paganism, or also that of Protestantism against Catholicism.”85

[… oleh karena masyarakat borjuis hanya merupakan sebuah bentuk perkembangan yang kontradiktif, maka berbagai relasi yang berasal dari bentuk yang lebih awal dapat ditemukan di dalamnya hanya dalam bentuk kerdilnya, atau bahkan, karikaturnya. Sebagai satu contoh adalah harta milik komunal. Dengan demikian, meskipun benar bahwa kategori ekonomi borjuis memiliki kebenaran bagi semua bentuk masyarakat lainnya, kebenaran itu mesti diraih secara susah payah. Kategori ekonomi borjuis memang dapat mengandung mereka dalam bentuk yang telah berkembang, atau bentuk yang kerdil, atau bentuk karikatur, namun selalu dengan sebuah perbedaan yang esensial. Apa yang disebut orang sebagai presentasi perkembangan yang historis didasarkan, sebagai sebuah tolak ukur, pada kenyataan bahwa bentuk yang lebih akhir akan memperlakukan bentuk yang lebih awal sebagai tahapan-tahapan menuju dirinya, dan oleh karena sangat jarang dan hanya dalam kondisi yang sangat khusus mampu mengkritisi dirinya sendiri—dan menyingkirkan,

85 Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 105-106.

Tony Rudyansjah 211

untuk sementara, sejumlah periode historis yang nampak bagi mereka sebagai masa-masa kemunduran—maka kebenaran itu selalu mereka bayangkan hanya satu sisi. Agama Kristiani memang dapat membantu memperoleh pemahaman objektif tentang mitologi-mitologi masa sebelumnya apabila sebuah kritik terhadap diri sendiri telah dilakukan. … begitu juga ekonomi borjuis dapat menggapai pemahaman mengenai ekonomi feudal, ekonomi masa purba, atau ekonomi masyarakat Timur hanya setelah kritik diri terhadap masyarakat borjuis telah mulai dilakukan. Sejauh ekonomi borjuis tidak mengidentifikasikan dirinya sendiri secara mitologis dengan masa lampau, maka kritiknya terhadap ekonomi masa lampau, terutama ekonomi feudalism, di mana mereka masih melakukan pertarungan secara langsungnya, menyerupai kritik yang dilancarkan agama Kristiani terhadap paganisme, atau agama Protenstan terhadap agama Katolik.]

Atau penegasan lainnya yang diberikan Marx di halaman berikutnya dari buku catatan yang sama.

“It would therefore be unfeasible and wrong to let the economic categories follow one another in the same sequence as that in which they were historically decisive. Their sequence is determined, rather, by their relation to one another in modern bourgeois society, which is precisely the opposite of that which seems to be their natural order or which corresponds to historical development. The point is not the historic position of the economic relations in the succession of different forms of society.”86 [Dengan demikian, tidak layak dan keliru membiarkan kategori-kategori ekonomis beriringan satu sama lain dalam sebuah urutan yang sama layaknya mereka memang begitu meyakinkan secara historis. Urutannya semestinya lebih ditentukan oleh pertalian mereka satu sama lain di dalam masyarakat borjuis modern, yang justru berada dalam posisi yang berlawanan dengan apa yang nampak sebagai tatanan alaminya, atau yang berkenaan dengan perkembangan historisnya. Pokok persoalannya bukanlah posisi historis sejumlah relasi ekonomi dalam urutan bentuk-bentuk

86 Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 107.

212 alam, Kebudayaan & yang IlahI

masyarakat yang berbeda.]

Lebih lanjut Marx mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat atau kebudayaan terdapat satu macam produksi khusus tertentu yang menentukan dan sekaligus memberi warna pada berbagai macam hal lainnya.

In all forms of society there is one specific kind of production which predominates over the rest, whose relations thus assign rank and influence to the others. It is a general illumination which bathes all the other colours and modifies their particularity. It is a particular ether which determines the specific gravity of every being which has materialized within it. For example, with pastoral peoples (mere hunting and fishing peoples lie outside the point where real development begins). Certain forms of tillage occur among them, sporadic ones. Landed property is determined by this. It is held in common, and retains this form to a greater or lesser degree according to the greater or lesser degree of attachment displayed by these people to their tradition, e.g., the communal property of the Slavs. Among peoples with a settled agriculture – this settling already a great step – where this predominates, as in antiquity and in the feudal order, even industry, together with its organization and the forms of property corresponding to it, has a more or less landed-proprietary character; is either completely dependent on it, as among the earlier Romans, or, as in the Middle Ages, imitates, within the city and its relations, the organization of the land. In the Middle Ages, capital itself – apart from pure money-capital – in the form of the traditional artisans’ tools etc., has this landed proprietary character. In bourgeois society it is the opposite. Agriculture more and more becomes merely a branch of industry, and is entirely dominated by capital. Ground rent likewise.”87 [Dalam semua bentuk masyarakat, ada satu macam produksi khusus tertentu yang lebih dominan di atas yang lainnya, yang pertaliannya menentukan tingkatan dan pengaruh terhadap yang lainnya tersebut. Itu adalah penerangan umum yang menyinari berbagai warna lainnya,

87 Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 106-107.

Tony Rudyansjah 213

dan yang memodifikasi kekhususannya. Itu merupakan eter yang menentukan gravitasi khusus setiap benda yang mewujudkannya. Sebagai contoh adalah masyarakat peternak (masyarakat nelayan dan masyarakat pemburu dikeluarkan dari pokok persoalan ini, karena telah terjadi perkembangan sebenarnya). Beberapa bentuk persemaian tanah telah terjadi di antara mereka, meskipun dalam bentuknya yang sporadis. Hak milik atas tanah ditentukan oleh hal ini. Hak milik atas tanah dikuasai secara bersama-sama, dan sampai tingkat-tingkat tertentu dipertahankan demikian sesuai dengan besar atau tidaknya pertalian orang-orang bersangkutan pada tradisinya, misalnya hak milik komunal masyarakat Slav. Di kalangan masyarakat dengan pertanian menetap—ini telah mencapai tahap yang penting—saat mereka dominan sebagaimana dalam tatanan kuno atau feudal, atau, bahkan, industri bersamaan dengan berbagai pengorganisasian dan bentuk hak milik yang bertalian dengannya, maka sedikit banyaknya terdapat karakter pemanfaatan tanah. Bisa sepenuhnya tergantung padanya, seperti pada masyarakat Romawi kuno, atau seperti masyarakat Abad Pertengahan, dengan kota-kotanya beserta berbagai pertaliannya, meniru pengorganisasian lahan tanah. Di masa Abad Pertengahan, bahkan kapital dalam bentuk peralatan pertukangan tradisional, dan lain sebagainya, mengandung karakter pemanfaatan tanah itu. Di masyarakat borjuis yang terjadi kebalikannya. Pertanian semakin lama semakin menjadi hanya cabang dari industri, dan sepenuhnya didominasi oleh modal. Begitu juga sewa tanah.]

Paragraf Marx di atas itu tidak hanya memberikan pencerahan tentang sebuah argumentasi mengenai kemungkinan beberapa modus produksi secara bersamaan hidup berdampingan dalam satu masyarakat, melainkan meresonansikan apa yang satu abad kemudian dirapalkan Dumont di era modern masa kini sebagai sebuah struktur hirarki yang dominan di India, yang meskipun memiliki berbagai bentuk pengorganisasian lainnya, tetap saja

214 alam, Kebudayaan & yang IlahI

menentukan dan mewarnai berbagai hal lainnya di India, karena semua hal lain itu pada dasarnya dilingkupi oleh sebuah prinsip hirarki yang bersifat encompassing.

Meskipun terdapat berbagai ketidaksepakatan di kalangan para ahli mengenai pandangan Marx tentang proses historis manusia, dan bahkan ada beberapa ahli Marxis yang mengatakan bahwa Marx adalah seorang evolusionis88, namun satu hal jelas dari berbagai uraian mengenai kemunculan berbagai kategori dan bagaimana bentuk kemunculannya dalam masyarakat kontemporer bahwa Marx beranggapan semua kategori itu hanyalah sebuah pemahaman yang bersifat satu sisi dan parsial dibandingkan pemahaman awalnya di masa lampau. Marx lebih lanjut mengemukakan argumentasi bahwa apa yang tersisa dalam masyarakat Eropa di masa kapitalisme seperti ‘zakat untuk gereja’ memiliki pemaknaan yang sangat berbeda dengan pengertian ‘zakat untuk gereja’ di masyarakat Eropa prakapitalisme.

Dalam rangka menghindari sebuah pandangan yang bersifat evolusionis, dan sekaligus berupaya pada saat yang bersamaan menghindari juga posisi yang bersifat relativistik, Marx mengartikan sejarah sebagai sebuah proses yang senantiasa mengalami perubahan di mana manusialah yang sesungguhnya merupakan si pencipta (creator) dari proses itu, dan sekaligus diciptakan (created) oleh proses itu. Satu-satunya faktor yang senantiasa konstan dalam setiap proses historis adalah kemampuan sosial manusia untuk berkreasi itu sendiri (socially creative ability). Dengan demikian, kerja itu sendiri (labour) merupakan sumber, daya dan sekaligus isi dari kehidupan historis manusia. Mengenai pandangan Marx tentang sejarah seperti itu, Avineri secara menawan merumuskannya

“What is not changing and not modified is historical creation as constant anthropogenesis, deriving from man’s ability to

88 Pandangan seperti itu dianut oleh, sebagai contoh, Marvin Harris.

Tony Rudyansjah 215

create objects in which he realizes his subjectivity.”89

[Apa yang tidak berubah dan tidak dimodifikasi adalah kreasi historis sebagai antropogenesis yang bersifat konstan, yang berasal dari kemampuan manusia menciptakan objek melalui wadah mana mereka merealisasikan dirinya sendiri.]

Meskipun pandangan Marx mengenai sejarah itu merupakan satu langkah maju yang jauh melampui gagasan positivis tentang perkembangan mental manusia, dan meskipun barangkali dapat membekali kita untuk dapat menghargai dan memahami beberapa insight yang jauh melampui daripada sekedar kaidah-kaidah yang bersifat deterministik mengenai alam semesta, namun tetap saja meninggalkan banyak masalah lain di hadapan kita yang belum terjawab sepenuhnya. Dan saya sendiri tentu saja tidak memiliki pretensi untuk mampu memecahkannya. Apa yang dapat saya lakukan hanyalah sekedar mencatat problema tersebut di sini untuk pemikiran selanjutnya.

Hal lain yang perlu dicatat di sini adalah bahwa pandangan Marx mengenai alienasi sesungguhnya memiliki pertalian yang sangat erat dengan problema tersebut. Sebagaimana kita telah diskusikan sebelumnya, Marx mempertentangkan konsep alienasi dengan hakekat manusia sebagai gattungswesen di mana kebebasan merupakan ciri utama manusia, dan sekaligus membentangkan keseluruhan perkembangan masyarakat manusia dari primitive communism menuju kepada masyarakat kapitalis dan akhirnya komunis.

Menurut Marx, sejarah manusia hanya dimulai dengan alienasi, dan sejarah, dengan demikian, merupakan catatan mengenai perkembangan dari alienasi manusia, di mana manusia pada awalnya berada dalam kondisi yang bebas dan tidak teralienasi (free and unalienated), kemudian menjadi tidak bebas dan teralienasi (unfree and alienated), dan lalu berupaya

89 Shlomo Avineri, The Social & Political Thought of Karl Marx, 1980, hlm. 85.

216 alam, Kebudayaan & yang IlahI

untuk meraih kembali kebebasannya (freedom). Oleh karena itu, problema utama bagi Marx bukanlah menjelaskan relasi antara manusia dengan alam, melainkan menjelaskan kenapa dan bagaimana dua hal itu, yakni manusia dan alam, mungkin untuk bisa dipikirkan sebagai hal yang terpisah dan tidak berkaitan.

Keterasingan atau alienasi manusia itu, menurut Marx, tidak diakibatkan oleh adanya pembagian kerja itu sendiri, melainkan lebih diakibatkan adanya satu bentuk khusus yang melekat dalam proses kerja yang ada dalam masyarakat dengan kelas sosial. Dan untuk memahami hal itu dengan baik, kita pertama-tama mesti mengajukan pertanyaan apa yang tercakup dalam proses historis dari alienasi dan realisari diri manusia melalui kerja di dalam masyarakat kapitalis, dan pokok ini membawa kita kembali pada pembahasan tentang ideologi.

Dalam bagian sebelumnya, saya telah mendiskusikan dinamika dari konsentrasi modal dan menurunnya tingkat keuntungan (the falling rate of profit) yang berujung pada hancurnya sistem kapitalis dan peneguhan kembali ranah kebebasan manusia. Satu hal yang menyolok dari berbagai diskusi yang dilakukan orang terhadap Marx, seperti yang terlihat dalam pembahasan yang diberikan Sahlins dan Alexander tentang aspek utilitarianisme pemikiran Marx, adalah besarnya peranan begitu fundamental dari teori tentang revolutionary praxis dalam pemikiran Marx. Untuk dapat memahami hal itu, kita mesti memperhitungkan kontradiksi tersembunyi yang dapat kita temui baik dalam pemikiran fungsionalisme struktural maupun utilitarianisme tentang masyarakat.

Semua masyarakat dalam sejarah manusia, kecuali masyarakat primitif, memiliki kelas, dan kelas adalah komunitas di mana anggotanya memiliki perasaan solidaritas terhadap sesama anggota lain di dalam kelasnya, dan karena alasan itulah mengapa kita dapat memahami mereka semua termasuk ke dalam satu kelas yang sama. Marx nampaknya tidak terlalu memperhatikan

Tony Rudyansjah 217

bentuk solidaritas lain yang terdapat dalam entitas seperti bangsa, agama, bahasa dan pertetanggaan, namun jelas dapat dipahami, dari terminologi diskusi teoritisnya, kenapa Marx tidak terlalu menekankan bentuk solidaritas lain tersebut, karena ia bermaksud melihat semua bentuk solidaritas itu, termasuk kelas, baik sebagai satu bentuk terselubung sebuah kesadaran palsu (disguised form of false consciousness) maupun sebagai sebuah ideologi hegemonik yang berfungsi menyembunyikan realitas kelas sesungguhnya. Oleh karena adanya antagonisme inheren di dalam dirinya sendiri, kelas hanya mungkin mencapai stabilitas manakala ideologi kelas dominan diterima sebagai sesuatu yang alami, yakni pada saat ideologi kelas dominan itu diterima sebagai kebudayaan bagi seluruh anggota masyarakat.

Untuk dapat memahami bagaimana hal itu mungkin terjadi, kita mesti melihat proses perubahan di tempat mana satu pengaturan kelas seperti itu dapat dicapai. Saya tidak hendak mengulang uraian sebelumnya di mana untuk bisa mencapai proses itu sebuah segmen dari masyarakat yang menjadi motor dari perubahan sadar akan kondisi sosial yang dihadapinya, dan lalu bangkit, menantang dan menggulingkan posisi dominan kelas yang berkuasa, kemudian memproklamirkan diri mereka sendiri sebagai representasi dari seluruh masyarakat, dan dilihat orang lain juga sebagai representasi dari diri mereka semua. Apa yang saya ingin lebih tekankan di sini adalah bahwa manakala esensi dari semua kehidupan sosial adalah kelas yang berdasarkan pada relasi produksi, maka kasus yang solid dari sebuah bentuk kehidupan semacam itu senantiasa dihiasi oleh berbagai institusi, yang mewujudkan gagasan mengenai dunia, tuhan, dan kehidupan, dan yang sekaligus berdampingan bersama dengan bentuk-bentuk politik lainnya, mulai dari berbagai kesenian, organisasi politik sampai organisasi agama, berperan sebagai superstructure, sehingga realitas dari berbagai struktur ekonomi ditampilkan di hadapan orang banyak sebagai sebuah bentuk kebudayaan

218 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang pada akhirnya dianggap memiliki kehidupan tersendiri lepas dari kendali manusia, dan sekaligus mampu memainkan pengaruh terhadap tindakan manusia, meskipun basis dari relasi ekonomisnya sendiri sesungguhnya telah berubah. Inilah yang dimaksudkan Saint-Simon sebagai adanya kesenjangan antara gagasan (ideas) dengan berbagai bentuk pengaturan sosial (social arrangement), yang sesungguhnya juga menjadi salah satu pusat perhatian utama Marx.

Sebagaimana didiskusikan sebelumnya, sebuah segmen dari masyarakat mulai sadar akan peranan politiknya dan bangkit sebagai sebuah kelas baru yang siap menantang kelas yang dominan, dan manakala mereka berhasil, maka mereka akan menyingkirkan sistem yang lama, dan sekaligus memantapkan sebuah superstructure dari pemerintahan mereka sebagai sebuah institusi yang baru. Lepas dari persoalan bagaimana posisi itu dapat dicapai sebuah kelas yang baru, maka kesuksesan dari sebuah superstructure harus diukur dalam konteks seberapa jauh superstructure itu nampak sebagai sesuatu yang alami tidak hanya bagi anggota-anggota dari kelas yang dominan, namun bagi setiap orang yang ada dalam sistem itu.

Dalam karyanya Capital, Marx mendiskusikan bagaimana keseluruhan sistem dari upah (wages) dan relasi pasar diinstitusionalisasikan sedemikian rupa, sehingga semua orang berperilaku berdasarkan pada sistem itu, dan anehnya kemudian ditanggapi mereka semua sebagai bagian dari alam itu sendiri. Dengan lain kata, kita sampai di sini pada sebuah pembahasan bagaimana ide dari superstructure itu menjelma menjadi sebuah institusi yang terintegrasi secara utuh, dan kemudian mempunyai kemampuan untuk memproduksi, memperkuat dan memproduksi kembali keseluruhan sistem relasi sosial tersebut.

Ketidak-integrasian sistem itu hanya terjadi pada dua hal,

Tony Rudyansjah 219

yakni saat: (1) dinamika dari sistem itu sendiri mengarah pada instrumentalitas dari siklus perdagangan yang berujung pada munculnya kontradiksi di dalam sistem itu, dan pada akhirnya kehancuran sistem itu sendiri; dan (2) meskipun realitas tempat kerja dikedoki oleh apa yang nampak sebagai kesetaraan di dalam ranah pasar melalui tampilan masyarakat sipil, realitas dari sistem itu sendiri pada akhirnya cenderung memihak pada kaum proletariat ketika mereka menjadi lebih terorganasir, lebih disiplin, dan lebih sadar akan peranan historisnya, yang mendorong mereka pada akhirnya untuk melakukan sebuah tindakan politis yang penting.

Pertanyaan besar kemudian adalah bagaimana hal itu dapat terjadi, dan apa peranan yang dimainkan oleh teori Marxis dalam keseluruhan proses dari transformasi sosial tersebut. Pertanyan ini menghadirkan beberapa isu teoritis dengan pengaruh yang sangat besar. Karl Marx sendiri meninggalkan pokok permasalahan ini tanpa terlalu banyak dikembangkan, dan menjadi tugas para pengikutnya untuk menuntaskan dan menjawab pokok permasalahan tersebut. Dan nampaknya sudah menjadi takdir dari seorang pemikir dengan kreativitas sekaliber Marx apabila berbagai ungkapan dan pernyataan dalam karyanya mungkin untuk bergerak dan berkembang ke berbagai arah yang berbeda, sehingga para pengikutnya bisa menggunakan aspek-aspek tertentu dari tulisan Marx, dan sekaligus menganut berbagai titik pijakan yang berbeda sebagai titik tolak pemikiran mereka, yang kesemuanya pada akhirnya seringkali bisa saling berkontradiksi satu sama lainnya.

Salah satu pokok permasalahan yang pada dasarnya sangat relevan untuk antropologi, misalnya isu tentang relasi antara kebudayaan dengan perilaku sosial, relasi antara struktur gagasan dengan struktur relasi sosial, ataupun relasi antara struktur dan sejarah. Tradisi yang dominan dalam pemikiran Marxisme berkenaan dengan pokok permasalahan ini secara ketat adalah Materialisme Historis yang melihat ideologi dalam terminologi

220 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Marxisme mengenai citra yang terbalik (a la Feuerbach), yang sudah dibahas,90 yaitu bahwa ideologi adalah distorsi yang direkayasa untuk mengaburkan hakekat sebenarnya dari realitas sosial, dan sekaligus menutupi kontradiksi. Meskipun sudah cukup banyak residu Hegelian dalam pemikiran Marx yang mungkin untuk melahirkan lagi beberapa arah pemikiran berbeda mengenai pokok permasalahan ini, saya masih ingin menyebutkan di sini beberapa pemikir Marxis yang memberikan lagi gaung ke arah yang berbeda-beda mengenai pokok permasalahan ini. Dan saya ingin memulainya dengan pembahasan mengenai kesadaran palsu.

Orang mengalami penderitaan karena kesadaran palsu ideologis, seperti saat kaum proletarian menerima kealamian (naturalness) dari sistem relasi komoditas, yang pada hakekatnya sangat menipu dan mendelusikan mereka mengenai kepentingan mereka sesungguhnya (their true interests). Dengan demikian, sudah merupakan tujuan dari analisis kritis mengenai ideologi untuk memberikan pencerahan akan kepentingan mereka sesungguhnya itu. Meskipun begitu, tujuan ini secara serta merta menimbulkan satu permasalahan pelik, yakni bagaimana bisa memastikan sesuatu sebagai kepentingan sebenarnya. Ini merupakan permasalahan umum yang dihadapi para peneliti sosial, terutama ahli antropologi, ketika mereka bermaksud di dalam penelitiannya lebih daripada hanya sekedar melaporkan fakta mengenai masyarakat yang sedang dipelajarinya. Dan permasalahan itu dapat secara lebih kurang dirumuskan sebagai berikut: memperhatikan tidak hanya apa yang masyarakat maui, melainkan lebih memperhatikan juga apa sesungguhnya yang mereka butuhkan? Apa yang masyarakat maui dapat ditelusuri dengan mengamati apa yang menjadi preferensi (preferences), keinginan (wants), gagasan (ideas), hasrat (desires) dan keyakinan (beliefs) mereka. Namun apa yang seringkali ditemui para peneliti di lapangan adalah bahwa hal itu semua, seperti preferensi dan

90 Lihat halaman 136-140 dari buku ini.

Tony Rudyansjah 221

keyakinan yang diutarakan secara lisan, sangat bertentangan dengan perilaku masyarakatnya. Inilah kepelikan utama yang seringkali dihadapi para peneliti.

Tidak jarang apabila kita membaca literaty reflective anthropology maka kita akan mendapatkan banyak sekali uraian yang mengkritisi bagaimana para peneliti memaksakan konsepsi yang berasal dari diri mereka sendiri kepada masyarakat yang sedang ditelitinya, sehingga kita pada akhirnya bisa berkesimpulan bahwa mereka pada kenyataannya tidak pernah melakukan penelian yang sesungguhnya. Dalam kondisi rumit serupa itu, maka yang seringkali dilakukan peneliti, sebagaimana diutarakan Geuss91, adalah merancang sebuah konstruksi teoritis yang mampu baik menutupi berbagai bukti yang fragmentaris sifatnya, maupun mengatasi berbagai kontradiksi antara apa yang dikatakan masyarakat secara lisan dengan apa yang ditampilkan mereka dalam perilakunya, meskipun konstruksi ini pada akhirnya dapat berujung pada sebuah deskripsi mengenai sebuah masyarakat berdasarkan pada perilaku, keinginan dan hasrat yang tidak ada satupun anggotanya sadar maupun secara lisan dan tegas menyatakan persetujuannya. Sesuatu hal yang dapat dimaklumi, karena para peneliti biasanya tidak mungkin untuk bisa menyangkal apa yang secara lisan dikatakan masyarakat, dan tidak juga bisa mengatakan bahwa masyarakat itu bersifat hipokrit, karena adanya perbedaan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan, sehingga para peneliti itu biasanya terperangkap dengan sebuah konstruksi teoritis seperti di atas, dan itu terpaksa dilakukan mereka dalam rangka membuat masuk akal (make sense) apa yang mereka lihat dan dengar di lapangan. Konstruksi teoritis semacam itu mereka rekaciptakan melalui sebuah agenda fungsionalis yang biasanya menggunakan secara dominan metafor oganisme yang berfungsi secara sehat manakala mendeskripsikan sebuah masyarakat. Dan ini terutama terlihat

91 Raymond Geuss, The Ideas of a Critical Theory, 1982, hlm. 45-45.

222 alam, Kebudayaan & yang IlahI

pada kecenderungan kita semua, termasuk para peneliti, ketika menyatakan bahwa

“’Needs’ are defined relavite to the successful functioning of an individual or social organism; if the ‘needs’ of the organism are not satisfied, it will malfunction.”92 [‘Kebutuhan’ didefinisikan relatif pada kesuksesan fungsi individu atau organisme sosial; manakala ‘kebutuhan organisme tidak terpenuhi, maka ia tak berfungsi.]

Dan tentu saja sangat sulit bagi kita untuk dapat menentukan apakah satu organisme itu sehat, atau, sebaliknya, sedang tidak sehat, dan lebih sulit lagi bisa menentukan apakah sebuah masyarakat sehat atau tidak sehat, namun secara pasti apa yang diangkat kembali oleh Geuss dalam karyanya adalah pertanyaan penting berkenaan dengan relasi antara keinginan (wants) dan pemikiran orang setempat (native wants and think), atau antara hasrat individual dengan kesejahteraan sosial (social well-being). Pertanyaan penting tersebut, diuraikan dalam karya Geuss, sebagai satu pembahasan yang dilakukan ‘Teori Kritis’ (Critical Theory) mengenai ideologi, yang pada hakekatnya sangat mirip dengan pembahasan tentang pokok permasalahan serupa yang jauh sebelumnya telah dilakukan oleh Jeremy Bentham. Meskipun di permukaan Geuss nampaknya menguraikan sebuah argumentasi yang bersifat fungsionalisme mengenai sebuah varian dari teori Marxis, ia pada hakekatnya berupaya mengemukakan gagasan Frankfurt School mengenai Critical Theory—sebuah aliran pemikiran, yang berasal dari Marxisme, dan sekaligus lebih merupakan sebuah kritik yang berupaya mencari dan mampu memberikan pedoman bagi tindakan sosial yang “benar” (“correct”), sehingga dilihat dari maksud/tujuannya aliran ini memiliki kedekatan tertentu dengan positivisme klasik, terlepas dari hutang budinya yang sangat besar terhadap Marx.

Daripada hanya sekedar menginkorporasikan hasil observasi

92 Raymond Geuss, op.cit., hlm. 45.

Tony Rudyansjah 223

ke dalam kerangka teori seperti lazimnya dilakukan aliran positivisme, posisi teoritis aliran pemikiran Frankfurt membedakan dirinya dari positivisme melalui cara yang mereka lakukan dalam menginkorporasikan self-reflection serta intersubjective discussion and agreement ke dalam kerangka teorinya. Saya tidak memiliki ruang cukup untuk mendiskusikan kompleksitas yang menarik dari pemikiran Frankfurt School, namun pelajaran penting yang dapat ditarik dari aliran ini, sebagaimana dikemukan Geuss, adalah sangat tidak mungkin bagi para peneliti untuk menerima begitu saja the self-evidence of interests, dan aliran ini pada akhirnya menyimpulkan bahwa real interests adalah kepentingan yang hanya dapat dicapai manusia manakala ia berada dalam satu kondisi pengetahuan yang sempurna (perfect knowledge) dan kebebasan yang sempurna (perfect freedom). Dan oleh karena manusia tidak hidup dalam utopia seperti itu, maka cukup kiranya bagi kita untuk mengenali bagaimana kita mesti bertindak untuk bisa menghindari sejumlah kekangan (coercions) yang membuat kita mengalami penderitaan, dan sekaligus mampu bergerak ke arah menuju satu kondisi pengetahuan dan kebebasan yang optimal, dan tugas utama dari teori kritis (critical theory) adalah untuk menunjukkan kepada kita cara/jalan mana yang harus kita tempuh. Dalam konteks ini, relevan dan menarik untuk memperhatikan bagaimana teori Marxis melihat dan menilai dirinya sendiri.

Bagi anggota dari Frankfurt School, setiap teori sosial dituntut harus reflektif—satu pandangan yang semakin lama semakin menjadi sebuah orthodoxy dalam disiplin antropologi. Oleh karena itu, teori Marxis dianggap merupakan satu macan ilmu baru yang berbeda dengan ilmu empiris justru karena teori

224 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Marxis, sebagaimana dikemukakan Frankfurt School, merupakan sebuah critical theory yang bercirikan oleh self-reflective, dan yang sekaligus mampu membekali setiap pelaku dalam masyarakat dengan sebuah pengetahuan yang dalam dirinya sendiri mampu menghasilkan sebuah emansipasi dan pencerahan diri.

Dengan kata lain, Marx dianggap memberikan sebuah teori yang mengakomodasikan baik struktur sosial yang ada secara objektif maupun kepercayaan yang dianut masyarakat, serta memaparkan sejumlah perhitungan mengenai teknologi dan mengantisipasi penggunannya oleh masyarakat—ia membekali semacam model tentang apa yang ideal itu seharusnya. Atau dengan kata lain, teori Marx itu sendiri adalah sebuah critical theory, dan sekaligus sebuah transisi dari tahap yang ada sekarang menuju ke sebuah tahap final yang mungkin secara objektif terwujud hanya apabila si pelaku transformasi sosial (baca: anggota masyarakat yang melakukan transformasi sosial) mengadopsi critical theory mengenai kesadaran diri sendiri, sehingga menjadi sadar akan keberadaan sebenarnya dari dirinya sendiri, dan lalu mengambil tindakan sesuai dengannya. Itulah esensi dari kesadaran diri yang mengandung emansipasi dan pembebasan diri. Sedangkan, kesadaran palsu (false consciousness) merupakan hal yang sebaliknya.

Kesadaran palsu merupakan sebuah proposisi yang penting dalam teori Marxis, dan mengandung pengertian yang jauh berbeda daripada apa yang dimaksudkan oleh proposisi ini di dalam teori sosial lainnya yang biasanya mengartikannya ke dalam kerangka relativisme budaya di mana segala sesuatu secara merata dianggap sahih dan bermanfaat. Dan justru inilah yang merupakan keberatan utama teori Marxis. Marx mengartikan kesadaran palsu dalam kerangka problema relasi antara kebudayaan dan konteks tindakan dari kebudayaan tersebut. Itulah problema utama yang dikemukakan Marx secara gamblang ketika ia menyatakan di salah satu tulisan masa mudanya bersama Engels.

Tony Rudyansjah 225

“It is not a question of what this or that proletarian, or even the whole proletarian, at the moment regards as its aim. It is a question of what the proletarian is, and what, in accordance with this being, it will historically be compelled to do. Its aim and historical action is visibly and irrevocably foreshadowed in its own life situation as well as in the whole generation of bourgeois society today. There is no need to explain here that a large part of the English and French proletarian is already conscious of its historic task and is constantly working to develop that consciousness into complete clarity.93

[Perkaranya bukanlah pertanyaan apakah yang dianggap menjadi tujuan dari proletariat ini atau itu, atau bahkan kaum proletariat secara keseluruhan pada satu masa tertentu. Poinnya adalah pertanyaan apa proletariat itu, dan berdasarkan keberadaannya itu, apa yang hal itu paksa mesti dilakukan mereka secara historis. Tujuan dan tindakan historis mereka secara gamblang dan tak terhindari tergambarkan baik di dalam situasi kehidupan mereka sendiri maupun di dalam keseluruhan generasi masyarakat borjuis hari ini. Tidak ada kebutuhan untuk menjelaskan di sini bahwa sebagian terbesar kaum proletariat Inggris dan Perancis telah sadar akan tugas historis mereka, dan secara terus menerus menggarap perkembangannya ke tahap kejelasan yang utuh.]

Georg Lukács mengambil isu ini sebagai judul utama dari bukunya yang terkenal History and Class Consciousness: Studies in Marxist Dialectics, dan mengulas secara rinci problema mengenai kesadaran maupun status teoritis dari ideologi. Dalam karyanya yang lebih awal, Theory of the Novel, ia secara sangat keras mengkritisi peradaban Barat modern. Karya awal ini ditulis Lukács pada masa Perang Dunia Pertama manakala masyarakat Barat sangat kuat diselimuti pesimisme situasi dunia dan masa

93 Karl Marx dan Frederick Engels, The Holy Family, 2000, Chapter 4, hlm. 13. Lihat juga Loyd D. Easton dan Kurt h. Guddat (editor dan penterjemah), Writing of the young Marx on Philosophy and Society, 1967, hlm. 368; dan Robert C. Tucker (editor), The Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 134-135.

226 alam, Kebudayaan & yang IlahI

depannya, dan pesimisme inilah yang diungkapkan Lukács di situ berdasarkan temuannya mengenai situasi komunisme di Rusia. Kendati ia sangat kuat dipengaruhi oleh Hegel, prosedur metodologis dan teoritis dari Lukács, terutama di karya awalnya ini, sangat penting dan menarik dilihat dari sudut pandang antropologi, karena prosedur itu dilakukannya berdasarkan sebuah intepretasi yang intuitif mengenai kebudayaan—sebuah intepretasi yang mengambil satu atau lebih ciri kebudayaan yang diperoleh secara intuitif, dan lalu menarik kesimpulan dan pandangan yang bersifat komprehensif mengenai kebudayaan atau peradaban itu, tanpa menghiraukan apa yang disebut Lukács sendiri sebagai fondasi subjektif pelaku kebudayaannya sendiri.

Pengaruh Hegel nampak kuat terlihat bila kita perhatikan modus totalitas dari Hegel saat Lukács mengkaji dan mendiskusikan etika, seni drama dan dunia orang Yunani dalam bab 1 dari buku Theory of the Novel yang berjudul ‘Integrated Civilisations’. Ia menghasilkan sebuah parodi mengenai penilaian antropologis tentang keutuhan yang padu (perfection) sebuah kebudayaan, karena ia secara meyakinkan berhasil mendemontrasikan bagaimana susahnya bagi seorang pemikir modern untuk bisa menangkap dan memahami hakekat pemikiran orang Yunani, sehingga si pemikir yang bersangkutan acapkali memaksakan dan memproyeksikan pertanyaan dirinya sendiri, drama dirinya sendiri, dan penderitaan dirinya sendiri ke dalam dunia pemikiran orang Yunani. Nasib serupa masih sering terjadi pada ahli antropologi di masa modern yang memaksakan kategorinya sendiri pada masyarakat yang ditelitinya, sehingga Franz Boas terdorong melontarkan kritiknya terhadap rekan-rekan sejawatnya di dalam disipilin antropologi yang acapkali memperlakukan masyarakat yang dikajinya sebagai proyeksi dari masyarakatnya sendiri, kategorinya sendiri dan problemanya sendiri.94 Hal itu melahiran bukannya pemahaman yang lebih

94 Franz Boas, ‘History and Science in Anthropology: a Reply’ dalam

Tony Rudyansjah 227

baik, melainkan sebuah distorsi yang sangat mengaburkan hakekat dari kenyataan sosial masyarakat yang mau dipelajarinya. Bagi Lukács, dunia orang Yunani adalah

It is a homogeneous world, and even the separation between man and world, between ‘I’ and ‘you’, cannot disturb its homogeneity. Like every other component of this rhythm, the soul stands in the midst of the world; the frontier that makes up its contours is not different in essence from the contours of things: it draws sharp, sure lines, but it separates only relatively, only in relation to and for the purpose of a homogeneous system of adequate balances. For man does not stand alone, as the sole bearer of substantiality, in the midst of reflexive forms: his relations to others and the structures which arise therefrom are as full of substance as he is himself, indeed they are more truly filled with substance because they are more general, more ‘philosophic’, closer and more akin to the archetypal home: love, the family, the state.95

[sebuah dunia yang homogen, dan pemisahan yang ada antara diri manusia dengan dunianya, antara “saya” dan “kamu”, tidak merusak dunia yang bersifat homogenous dari orang Yunani. Serupa dengan setiap komponen lain dari ritme ini, jiwa berdiri di tengah-tengah dunia, pinggiran yang membentuk konturnya tidak berbeda dalam esensinya dengan kontur dari berbagai benda, itu menarik garis yang tegas dan pasti, namun pemisahannya hanya bersifat relatif pada maksud dari sistem perimbangan memadai yang homogen. Oleh karena manusia tidak berdiri sendiri di atas dunia ini sebagai satu-satunya pemilik substantialitas di tengah-tengah bentuk refleksif: pertaliannya dengan orang lain, dan struktur yang muncul darinya, merupakan sebuah substansi yang utuh sebagaimana diri mereka sendiri. Tentu saja mereka utuh secara substansi, karena mereka lebih bersifat umum, lebih filosofis, lebih dekat dan berkerabat dengan rumah lama mereka: cinta, keluarga, negara.]

Lukács mendeskripsikan secara panjang lebar baik tentang

American Anthropologist, n.s., XXXVIII, 1936.95 Georg Lukács, The Theory of the Novel, 1971, hlm. 3.

228 alam, Kebudayaan & yang IlahI

koherensi yang sempurna dari dunia orang Yunani, maupun tentang kurangnya individuasi diri dalam dunia orang Yunani itu. Ia lalu menggambarkan sebuah kontras antara dunia masyarakat Yunani dengan dunia masyarakat Barat modern, dan akhirnya menguraikan kenapa dunia Barat modern berbeda dari dunia masyarakat Yunani itu

…the circle whose closed nature was the transcendental essence of their life has, for us, been broken; we cannot breathe in a closed world. We have invented the productivity of the spirit: that is why the primaeval images have irrevocably lost their objective self-evidence for us, and our thinking follows the endless path of an approximation that is never fully accomplished. We have invented the creation of forms: and that is why everything that falls from our weary and despairing hands must always be incomplete. We have found the only true substance within ourselves: that is why we have to place an unbridgeable chasm between cognition and action, between soul and created structure, between self and world, why all substantiality has to be dispersed in reflexivity on the far side of that chasm; that is why our essence had to become a postulate for ourselves and thus create a still deeper, still more menacing abyss between us and our ownselves. Our world has become infinitely large and each of its corners is richer in gifts and dangers than the world of the Greeks, but such wealth cancels out the positive meaning— the totality—upon which their life was based. (susunan paragraph diubah).96

[… lingkaran yang hakekat tertutupnya adalah esensi transcendental kehidupan mereka, bagi kita, telah terputus dan rusak; kita tidak dapat lagi bernafas dalam sebuah dunia yang tertutup. Kita telah menemukan produktivitas jiwa: inilah alasan kenapa pencitraan masa kuno tak dapat dihindari lagi telah kehilangan bagi kita bukti objektif dirinya, dan pemikiran kita mengikuti jalur perkiraan tanpa henti yang tidak pernah mencapai bentuknya. Kita telah menemukan kreasi berbagai bentuk: itulah sebabnya mengapa semua yang terjatuh dari tangan kita yang letih dan putus asa mesti tidak pernah lengkap dan rampung.

96 Georg Lukács, The Theory of the Novel, 1971, hlm. 3.

Tony Rudyansjah 229

Kita menemukan substansi sebenarnya hanya di dalam diri sendiri: itulan sebabnya kenapa kita mesti menempatkan sebuah pemisah yang tak terjembatani antara kognisi dan tindakan, antara jiwa dan struktur yang direkayasa, antara diri dan dunia, itulah sebabnya kenapa semua substansialitas mesti disebarkan ke dalam refleksivitas di berbagai sisi terjauh dari pemisahan itu. Itulah sebabnya kenapa esensi kita harus menjadi postulat/rumusan bagi diri sendiri, dan, dengan demikian, melahirkan sebuah lubang menganga yang semakin dalam dan semakin mengancam antara kita dan diri kita. Dunia kita semakin membesar, dan setiap sudutnya semakin kaya dengan anugrah dan bahaya daripada dunia orang Yunani, tetapi kekayaan semacam itu menunda pemaknaan positif—yakni totalitas—di tempat mana dunia orang Yunani bersandar.]

Dengan memahami bahwa kata ‘kita’ (we) dalam paragraf di atas mengacu kepada masyarakat Barat modern, maka apa yang sesungguhnya Lukács ingin sampaikan adalah bahwa masyarakat Barat modern telah kehilangan pemahaman dari totalitas itu (a sense of totality), di tempat mana masyarakat Yunani justru dapat menempatkan individuasi dirinya. Gambaran Lukács itu tentu saja sangat idealistis, namun ia berhasil menghindari kemutlakan relativisme, dan mempertahankan argumentasinya melalui sebuah cara yang disebutnya sebagai dialectic of literary genre yang dihasilkan layaknya oleh seorang seniman kreatif yang tak berumah,97 ketimbang dengan cara membentangkan jalinan satu simpul dengan simpul lainnya di dalam satu kebudayaan sebagaimana dilakukan oleh ahli antropologi Ruth Benedict dalam karyanya Patterns of Culture.

Saya menyinggung semua di atas itu, karena hal itu mengandung relevansi yang tinggi dengan buku Lukács lainnya, History and Class Consciousness. Lukács menganut sebuah teori

97 Lukács pada saat menulis The Theory of the Novel hidup layaknya seorang seniman yang berpindah-pindah dari satu negera ke negara lain.

230 alam, Kebudayaan & yang IlahI

tentang kebudayaan yang sangat erat berkaitan dengan konsepsinya tentang totalitas dan sejarah, dan ia menggunakan pengertian semacam itu dalam rangka menafsirkan pemikiran Marx. Lukács mengajukan sebuah argumentasi bahwa pengetahuan sejarah tentang kaum proletariat mesti berdasarkan pada pengalaman kaum proletariat, dan berupaya mengaplikasikan kategori yang bersifat menentukan bagi pengalaman mereka itu sendiri ke dalam analisisnya. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa pengetahuan empiris masyarakat borjuis adalah sebuah kesadaran palsu (false consciousness)—sebuah sistem yang kompleks dari berbagai kategori bersifat reifikasi yang lahir dari fetisisasi komoditas.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, berbagai kategori dan pengetahuan dalam masyarakat kapitalis bermuasal dari aktivitas kerja manusia.98 Dengan demikian kategori itu, sebagai sebuah kategori, sesungguhnya merupakan sebuah abstraksi yang berasal dari aktivitas manusia. Namun hasil dari aktivitas kerja itu, yang dalam kasus masyarakat kapitalisme telah berubah fungsi menjadi komoditas, ditanggapi sebagai sesuatu yang berada di luar diri manusia, dan sekaligus dianggap bahkan memiliki suatu kekuatan yang mampu memainkan peranan mempengaruhi serta mengendalikan tindakan manusia. Dengan mengutip Marx, Lukács menegaskan kembali problema kesadaran palsu masyarakat borjuis.

“To them, their own social action, … takes the form of the action of objects which rule the producers instead of being ruled by them.”99

[Bagi mereka, tindakan sosial mereka sendiri mengambil bentuk sebagai tindakan dari objek yang mampu menguasai si penciptanya, ketimbang, sebaliknya, dikuasai oleh si penciptanya.]

Oleh karena itu, berbagai kategori dalam masyarakat borjuis

98 Lihat halaman124-126 buku ini.99 Georg Lukács, History and Class Consciousness, 1985, hlm. 49.

Tony Rudyansjah 231

menjadi bersifat reifikasi dan sangat menyesatkan, karena anggota masyarakat didelusikan olehnya. Ini merupakan ciri utama dari kapitalisme. Meskipun demikian, berbagai tipologi, rasionalisasi, generalisasi dan berbagai pencarian lainnya terhadap kaidah-kaidah berlaku umum yang kita temukan dalam masyarakat borjuis tidak sekedar kekeliruan semata, atau kesadaran yang terreifikasi, melainkan berbagai pemikiran borjuis itu merupakan juga sebuah prakondisi yang memang dibutuhkan bagi kemunculan kesadaran kaum proletarian. Dan bagi Lukács, akhir dari periode alienasi yang memang dibutuhkan ini, atau akhir dari dominasi dari kaidah-kaidah ilmiah abstrak borjuis, hanya akan tiba manakala kaum proletariat berhasil meraih pengetahuan diri mereka sesungguhnya yang diperoleh dari kesadaran kelas mereka. Ini tentu saja tak lazim karena kaum borjuislah yang nampaknya memiliki berbagai macam keuntungan dari semua bentuk organisasi dan pengetahuan yang ada, dan kenapa kemudian justru kaum proletariat yang bisa berperan sebagai wahana bagi perubahan. Jawabannya, menurut Lukács, adalah karena kaum proletariat-lah yang mampu melihat masyarakat dari titik pusatnya sebagai sebuah keutuhan yang koheren.

“As the bourgeoisie has the intellectual, organizational and every other advantage, the superiority of the proletarian must lie exclusively in its ability to see society from the center, as a coherent whole. This means that it is able to act in such a way as to change reality; in the class consciousness of the proletarian theory and practice coincide and so it can consciously throw the weight of its actions onto the scales of history…100

[Oleh karena kaum borjuis memiliki keunggulan intelektual, organisasi dan keunggulan lainnya, kelebihan kaum proletariat secara ekslusif mesti terdapat di dalam kemampuan mereka melihat masyarakat dari titik pusatnya sebagai sebuah keutuhan yang koheren. Ini berarti bahwa mereka mampu bertindak sedemikian rupa sehingga bisa mengubah realitas; di dalam kesadaran kelas kaum

100Georg Lukács, History and Class Consciousness, 1985, hlm. 69.

232 alam, Kebudayaan & yang IlahI

proletariat, teori dan praktek menjadi satu, sehingga mereka bisa secara sadar mengungkit tindakan mereka ke tingkatan-tingkatan sejarah]

Kutipan di atas menampilkan secara jelas bahwa Lukács menekankan kembali semacam pemahaman tentang totalitas yang didapatnya dari totalitas dunia orang Yunani. Ia mengemukakan argumentasi bahwa kaum proletariat mengada bukanlah dalam rangka untuk bertindak bagi kepentingan dirinya sendiri, melainkan kaum proletariat senantiasa bertindak dalam keterkaitannya dengan kaum borjuis, dan sekaligus mampu menghindarkan dirinya dari tindakan parsial yang hanya merupakan pengejaran kepentingan ekonomi diri mereka semata. Dalam konteks ini, ideologi, dalam bentuknya sebagai kesadaran kelas kaum proletariat, memainkan peranan sentral dalam sebuah perubahan sosial. Jadi ideologi di sini tidak sekedar hanya gagasan keliru, yang melekat dalam diri kaum proletariat, dalam rangka menghancurkan berbagai rintangan yang menjadi benteng pertahanan kekuatan kaum penindas. Kesadaran kelas yang sebenarnya dari kaum proletariat bukanlah sebuah ideologi yang bersifat parsial, melainkan lebih merupakan sebuah kesadaran tentang totalitas dari berbagai relasi sosial yang ada.

Pemikir Marxis banyak yang beranggapan bahwa kesadaran kelas kaum proletariat adalah kesadaran final dan akhir dari sejarah manusia—ideologi Marx terakhir yang terejawantahkan dalam kesadaran kelas kaum proletariat, dan bahkan ada beberapa ahli Marxis yang tergoda mengatakannya sebagai ‘kebenaran yang final’. Sedangkan Lukács sendiri merapalkannya sebagai berikut.

“For that reason its consciousness, the last class consciousness in the history of mankind, must both lay bare the nature of society and achieve an increasingly inward fusion of theory and practice. ‘Ideology’ for the proletarian is no banner to

Tony Rudyansjah 233

follow into battle, nor is it a cover for its true objectives: it is the objective and the weapon itself.”101

[Untuk alasan itu kesadarannya, kesadaran kelas terakhir di dalam sejarah umat manusia mesti mengungkapkan baik hakekat masyarakat maupun mencapai perpaduan yang semakin baik antara teori dan praktis. ‘Ideologi’ bagi kaum proletariat bukanlah panji yang harus diusung dalam medan perang, bukan juga sebuah kedok bagi tujuan sebenarnya, melainkan tujuan dan senjata itu sendiri.]

Bagi Lukács, ideologi adalah kesadaran sebagai satu totalitas yang mampu menciptakan sebuah tatanan yang baru. Ini adalah dasar pijakan utama Lukács dalam karyanya History and Class Consciousness di tempat mana kemauan dan motif individu yang aktif dalam sejarah dilihatnya hanya menempati arti penting yang sekunder. Dan inilah maksudnya kenapa ia tidak terlalu memperhatikan fondasi subjektif dari para pelaku kebudayaannya sendiri, sebagaimana saya telah sebutkan di atas.

“the many individual wills active in history for the most part produce results quite other than those intended—often quite the opposite; their motives, therefore, in relation to the total result are likewise of only secondary importance.”102

[banyaknya kemauan individual yang aktif dalam sejarah, untuk sebagian besar, membuahkan hasil yang sangat berbeda daripada yang dimaksudkan—dan acapkali bahkan sangat berlawanan dengannya; motif-motif mereka, dengan demikian, dalam kaitannya dengan hasil keseluruhannya hanyalah menempati arti penting yang sekunder sifatnya]

Apa yang mesti dilakukan, menurut Lukács, adalah menemukan berbagai daya historis yang mentransformasikan dirinya sebagai motif utama di dalam pikiran para pelaku sejarah.

“… the historical causes which transform themselves into these motives in the brain of the actors … driving forces ought themselves to be determined, in particular those

101ibid, hlm. 70.102ibid, hlm. 47.

234 alam, Kebudayaan & yang IlahI

which “set in motion great masses, whole peoples and again whole classes of the people; and which create a lasting action resulting in a great transformation.” The essence of scientific Marxism consists, then, in the realization that the real motor forces of history are independent of man’s (psychological) consciousness of them.”103

[… sebab-sebab historis yang mentransformasikan dirinya sendiri menjadi motif di dalam pikiran para pelaku sejarah… daya-daya penggerak ini mesti ditemukan, khususnya daya-daya penggerak yang mendorong massa secara luas, keseluruhan masyarakat dan keseluruhan kelas-kelas dalam masyarakat, yang mampu menghasilkan tindakan abadi yang mengakibatkan sebuah transformasi besar.” Hakekat dari Marxisme ilmiah terdapat, dengan demikian, di dalam pengakuan bahwa daya penggerak sesungguhnya dari sejarah tidak berkaitan dan tergantung pada kesadaran psikologis manusia tentang sejarahnya.]

Kesemua pengertian di atas tentu saja sangat menarik, namun persoalannya adalah apa yang harus dilakukan orang saat Lukács di masa Perang Dunia I, di satu sisi, telah menuliskan dan merapalkan “amanah pembebasan” yang akan dilakukan kaum proletariat bagi kemanusian, sedangkan, di sisi lain, kaum proletariat tidak memperlihatkan tanda-tanda melakukan “terobosan” (breakthrough) menuju kepada tahap selanjutnya itu. Pada situasi seperti itu, apa yang harus dilakukan? Apakah hanya diam dan menunggu saja hingga kaum proletariat menemukan kesadaran kelas mereka sebenarnya? Berkenaan dengan isu pelik ini, Lukács mengajukan argumentasi bahwa

“… the essence of history lies pricesely in the changes undergone by those structural forms which are the focal points of man’s interaction with environment at any given moment and which determine the objective nature of both his inner and outer life.”104 [… hakekat dari sejarah justru terletak di dalam perubahan-

103ibid, hlm. 47.104ibid, hlm. 153.

Tony Rudyansjah 235

perubahan yang dialami oleh bentuk-bentuk struktural yang merupakan titik sentral dari interaksi manusia pada waktu tertentu dengan lingkungannya, dan yang menentukan hake-kat objektif dari kehidupan lahiriah dan batiniah manusia.]

Dan rahasia yang harus dipecahkan orang dalam rangka mengatasi persoalan pelik di atas, menurut Lukács, adalah dengan cara menemukan bentuk-bentuk struktural itu. Namun persoalan lainnya adalah bagaimana hal itu dapat ditemukan? Orang tidak dapat melakukannya melalui sebuah proses aprehensi/pemahaman langsung. Lukács sendiri secara jelas menyebutkan bahwa

“… neither the people who experience it nor the historians have direct access to immediate reality in these, its true structural forms.”105

[… bukan orang-orang yang mengalaminya dan bukan juga sejarawan yang dapat memiliki akses kepada kenyataan langsung dari bentuk-bentuk struktural sesungguhnya ini.]

Oleh karena bentuk-bentuk struktural ini sangat sulit untuk dapat secara langsung diketahui dan ditemukan orang, maka Lukács memberikan petunjuk bagaimana itu mesti dilaksanakan.

“It is first necessary to search for them and to find them—and the path to their discovery is the path to a knowledge of the historical process in its totality.”106

[Adalah pertama penting untuk mencari dan menemukannya—dan jalan untuk penemuannya adalah jalan kepada satu pengetahuan dari proses historis dalam totalitasnya.]

Kemudian ia mengemukakan uraian yang menarik mengenai bentuk perubahan sosial yang pada dasarnya tergantung pada apakah kita melihatnya dalam kerangka sebagai satu bentuk yang secara langsung terberikan dari objeknya semata, sebagaimana dipahami oleh para ahli positivisme borjuis, atau apakah lebih berdasar pada sebuah pandangan bersifat total/menyeluruh

105ibid, 1985, hlm. 153. 106ibid, hlm. 153.

236 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang mampu mengungkapkan relasi sebenarnya dari semua objek yang ada. Dalam kerangka konsepsi Lukács, kaum borjuis didiskualifikasi sebagai kelompok yang mampu menggapai pandangan yang bersifat total itu. Oleh karena posisi historisnya, yang sangat kuat terlekatkan dengan sebuah kesadaran yang terreifikasi, maka kaum borjuis hanya dapat melihat berbagai hal secara parsial. Ini secara khusus sangat ironis, karena justru kaum borjuis satu-satunya kelas dalam sejarah yang menginkorporasikan faktor-faktor ekonomi secara langsung ke dalam ideologinya, namun sayangnya kesadaran mereka itu sendiri terdistorsi oleh idologi individualitasnya. Sebaliknya hanya kaum proletariat, yang meskipun digerakkan oleh kepentingan kelas tertentu yang khusus, mampu mencapai satu moral dari masa kini, yang pada saat bersamaan merupakan sebuah moral totalitas sejarah—dan mulai pada momen itulah segala sesuatu dalam sejarah manusia mulai bergerak ke tahap selanjutnya.

Masalahnya kemudian adalah bahwa Lukács sendiri bukanlah anggota dari kelas proletariat, dan dalam kenyataan ia adalah anak dari seorang bankir di Hungaria. Begitu juga Marx sendiri bukanlah anggota dari kelas proletariat. Namun orang dapat mengambil bagian dalam sesuatu hal yang lain, meskipun orang yang bersangkutan tidak berasal dari sesuatu hal yang lain itu. Jadi untuk memasuki kesadaran kaum proletariat, orang tidak mesti menjadi kaum proletariat terlebih dahulu. Lukács mengajukan argumentasi bahwa filsafat Jerman Klasik berhasil mengangkat diri mereka ke satu tingkat kemajuan dari berbagai pokok persoalan sekarang ini dengan berangkat dari sejumlah pokok persoalan yang tidak dapat diangkat oleh dunia orang Yunani ke tahap kesadaran mereka (baca; orang Yunani). Lukács lebih lanjut sampai pada sebuah kesimpulan bahwa melalui sebuah refleksi filosofis yang cermat, kita akan dapat mempertalikan ke dalam kelas proletariat sebuah kesadaran—sebuah kesadaran sebenarnya, yang bukan merupakan penjumlahan keseluruhan dan bukan juga nilai rata-

Tony Rudyansjah 237

rata dari unsur-unsur individualnya. Tentu saja teori Lukács di atas itu dapat dilihat sebagai

sesuatu yang bersifat sirkuler. Ia menganut pendapat bahwa kelas proletariatlah yang dapat membawa dampak terhadap akhir dari sejarah manusia, karena teorinya mengenai sejarah adalah teori Marxis, dan Marx-lah yang mempertalikan kesimpulan mengenai akhir sejarah manusia seperti itu terhadap kelas proletariat. Dan orang mengetahui bahwa kaum proletariat merupakan kelas revolusioner sebenarnya, karena Marx mengatakannya begitu. Singkatnya, di sini kita sampai pada sebuah sirkularitas yang komplit dari sebuah teori. Lukács mengkaji kembali gagasan seperti itu pada saat Stalin memulai propagandanya untuk kepentingan rejim pemerintahannya (baca: Stalin) di Rusia. Satu-satunya kesalahan Stalin, menurut Lukács, adalah menggantikan sebuah apresiasi sesungguhnya mengenai satu determinasi ekonomi dengan sebuah determinasi yang bersifat totalitas bagi segala-galanya. Satu poin perlu disampaikan di sini bahwa karya Lukács History and Class Consciousness merupakan sebuah case study yang penting mengenai apa yang di dalam disiplin antropologi disebut sebagai analisis kultural. Dan analisis kultural seperti itu sesungguhnya ditulis Lukács dalam rangka melawan ‘scientific historical materialism’ di akhir abad ke-19, yang berupaya mengkaji kesadaran manusia semata-mata dari basis materiilnya saja.

Lawan yang lebih radikal dari teori praxis justru lebih mencurahkan perhatian dan serangannya terhadap korpus Hegelian mengenai proses pengejawantahan ide/gagasan sebagai suatu bentangan metafisik murni tentang satu keniscayaan historis yang tak dapat dihindari, ketimbang memberikan perhatian kepada apa yang disebut Sahlins sebagai logika instrumental murni dari tindakan berkreasi manusia. Bagi para penganut setia pemikiran Marx yang lebih materialistik, teori praxis ditanggapi dapat juga mengakomodasikan citra tentang manusia yang menciptakan dirinya sendiri di dalam satu kerangka voluntarisme

238 alam, Kebudayaan & yang IlahI

individualistik tak-berstruktur. Hasil pengakomodasian itu acapkali tidak lebih daripada sebuah varian Marxisme mengenai subjektivisme borjuis, yang biasanya ditampilkan dalam wujud “keputus-asaan” (“despair”) yang sama halnya seperti dalam karya awal Lukács, dan bagi mereka ideologi tidak lebih daripada sebuah kesadaran palsu yang hanya dapat dienyahkan oleh sebuah correct science. Sebuah posisi yang membuat mereka lebih dekat dengan ilmu positif, sebagaimana diperlihatkan oleh Frankfurt School.

Penulis Marxis lain yang jauh berbeda dari Lukács adalah Louis Althusser. Ia adalah seorang ahli Marxisme Struktural Perancis yang sangat banyak terpengaruh oleh Antonio Gramsci. Dalam rangka mempermudah rangkaian argumentasi dari bab ini, maka sangat bermanfaat apabila kita mendiskusikan sumber pemikirannya lansung dari Gramsci.

Karya Gramsci sangat besar menarik perhatian pada ahli antropologi, karena Gramsci mengkaji baik gagasan mengenai formasi sosial sebagai sebuah totalitas ekspresif seperti Lukács, maupun gagasan mengenai reduksionisme ekonomik dan, ini yang lebih menarik, ia mengkombinasikan keduanya dengan cara membentangkan secara cermat dan teliti komplesitas relasi antara base dan superstructure, atau relasi antara produksi dan elemen-elemen superstrukturnya, sekaligus mengeksplorasi fungsi ideologi sebagai perekat keutuhan sosial tanpa terperangkap ke dalam “bui” ideologi dominan a la Lukács, yang dianggap Lukács mampu menyelimuti berbagai kesadaran semua kelas sosial yang lalu diperlakukan hanya ibarat selimut peraduan putih bersih yang sebelumnya tak terkena sentuhan berbagai kesan dan pengaruh luar apapun layaknya tabula rasa dari Locke.

Lebih jauh Gramsci juga mengeksplorasi realitas resistensi terhadap dominasi ideologis. Masalah dalam karya Lukács, apabila diteropong melalui kacamata pemikiran Gramsci, adalah tidak adanya sesuatu yang berperan menjadi mediasi di antara kesadaran borjuis yang terreifikasi, yang cenderung menyelimuti

Tony Rudyansjah 239

keseluruhan anggota masyarakat, dan kesadaran kelas sebenarnya dari kelas pekerja yang aktif secara politik, yang meskipun berada dalam posisi yang terbelakang, namun mampu mencapai kesadaran yang sesungguhnya. Dengan kata lain, pemikiran Lukács tidak memberikan ruang akan adanya konsepsi mengenai ideologi yang terstrukturkan dan lalu terdiferensiasikan ke dalam sebuah himpunan formasi sosial yang kompleks beserta segala varian kelasnya, fragmentasi kelasnya, tingkat kesadaran ideologinya, struktur simbolisnya, yang kesemuanya terlekatkan pada berbagai situasi kehidupan yang berbeda-beda. Gramsci melakukan kajian mengenai semua problema itu, dan meskipun menggunakan kata ideologi dalam pengertian sebagai sistem pemikiran, bentuk kesadaran dan konsepsi mengenai dunia, ia mengabstraksikannya sebagai common-sense. Dengan kata lain, Gramsci mengambil-alih gagasan Marx dan mengembangkan seperangkat kategori yang lebih canggih, seperti berbagai kategori mulai dari Global Weltanshauung (Pandangan Hidup Global) hingga berbagai bentuk kesadaran yang spesifik dan terdiferensiasi, dan ia pada akhirnya puas dengan pendapat bahwa ideologi, melalui berbagai aspek hegemonisnya, telah menjadi satu kekuatan materiil dalam sejarah manusia.

Konsep hegemoni mengandung sebuah pengertian yang jauh lebih kompleks daripada yang biasanya dipahami orang hanya sebagai satu dominasi gagasan dari kelas penguasa terhadap semua gagasan dari kelas lainnya—sebuah konsepsi yang pada hakekatnya bersumber dari Marx. Gramsci tidak selalu jelas dengan apa yang dimaksudkannya dengan hegemoni. Namun apa yang membuat Gramsci menarik bagi para ahli antropologi adalah perhatian yang diberikannya terhadap kompleksitas gagasan-gagasan di dalam berbagai relasi sosial di seputar berbagai kehidupan aktual yang nyata, misalnya, persoalan bagaimana berbagai gagasan dimanfaatkan, diformulasikan dan dijadikan bagian dari common-sense. Selain itu, ia juga sangat prihatin

240 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dengan keseluruhan susunan berbagai bentuk sosial di antara negara dan kelas-kelas sosial, seperti, misalnya, keluarga (family), persekutuan dagang, organisasi keagamaan, konsepsi feminitas, posisi dari wanita dan pers, dan di dalam keseluruhan susunan itu, Gramsci melihat bahwa kelas sesungguhnya merupakan satu kontestasi kekuasaan. Ia menganut pendapat bahwa common-sense bukanlah satu entitas yang terartikulasi secara koheren dan sistematis, sebagaimana orang biasanya menganggap kebudayaan dengan cara serupa itu, ataupun dalam cara orang biasanya memahami kata ideologi.

Common-sense, menurut Gramsci, mengandung berbagai kebenaran yang kontradiktif sifatnya, sehingga masing-masing bisa memiliki status yang berdiri sendiri berdasarkan situasi historisnya, yang bisa jadi dicirikan oleh ketiadaannya sebuah kesadaran kesejarahan atau historisitas tertentu. Dan relasi antara common-sense dan ideologi dominan bukanlah dalam pengertian sebagai satu imposisi simplistik dari ideologi dominan terhadap common-sense, sebagaimana hal itu lazim dipahami dalam banyak teori yang lain, melainkan lebih di dalam pengertian bahwa relasi keduanya, dan serta bentuk rancang bangunnya, pada dasarnya digerakkan dan ditentukan oleh kontradiksi yang ada dalam ideologi dominan itu sendiri, dan common-sense dari para anggota kelas pekerja bereaksi secara berbeda-beda terhadap ideologi dominan, karena reaksi mereka lebih didasarkan oleh pengalaman langsung dari masing-masing para pekerja itu sendiri. Dan kesemua ini didiskusikan Gramsci dalam konteks kehidupan riil ketimbang sebuah diskusi abstrak tentang teori. Di poin inilah, Gramsci berada dalam posisi yang berseberangan dengan Althusser, karena Althusser lebih bergerak ke arah yang berbeda, yaitu keluar dari jalur Marx yang diistilahkan baik sebagai momen humanisme Marx maupun sebagai momen historisitas Marx. Althusser lebih memilih untuk mengembangkan satu pandangan yang sangat strukturalis sifatnya.

241

Apa yang dapat kita simpulkan dari diskusi di atas adalah bahwa tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikiran Marx lebih berkisar disekitar problema antara kehendak bebas (free will) versus determinisme, dan sekaligus mengangkat berbagai isu turunannya, seperti relasi pemikiran dengan tindakan, atau kebudayaan dengan praktek-praktek sosial, dan kesemua hal itu dilakukan oleh Marx dengan menggunakan satu pendekatan yang sangat ketat terdisiplinkan. Pertanyaan apakah Marx dapat ditafsirkan sebagai seorang yang menganut paham utilitarian dalam melihat tindakan manusia, yang kemudian ditinggalkannya, dan lalu beralih menganut satu posisi yang lebih semiotik, sebagaimana diuraikan Sahlins, menurut saya, bukanlah satu persoalan yang krusial.

Dalam hemat saya, isu yang lebih krusial adalah apakah kita dapat mempertahankan sebuah konsep tentang ideologi yang tidak mesti disamakan sepenuhnya dengan kebudayaan sebagai satu totalitas gagasan-gagasan—kekeliruan inilah yang justru dilakukan Sahlins ketika mengkritisi Marx—dan pada saat yang bersamaan tetap dapat secara efektif dipergunakan untuk memahami tindakan sosial manusia. Dalam konteks inilah Gramsci memperoleh perhatian besar di kalangan ahli antropologi. Dan saya mendiskusikan juga Lukács di sini karena ia memiliki afinitas yang erat dengan modus pemikiran antropologis sebagaimana ada di masa kini. Dan apabila Lukács pada akhirnya mempertautkan kesadaran kelas pada kaum proletariat yang tadinya tercerai-berai, dan tidak memiliki landasan untuk memahami proses pemikiran mereka sendiri, maka hal ini sangat mirip dengan ahli antropologi yang dengan prosedur kerja dan metode yang berasal dari, atau setidak-tidaknya terinspirasi, oleh metode dan prosedur kerja ilmu-ilmu alam, berupaya mengkonstruksikan kembali sebuah sistem pemaknaan bagi satu masyarakat, yang tentu saja memang ada di kenyataan masyarakat di lapangan, namun karena subjek dari sistem pemaknaan yang dicoba direkonstruksikan oleh ahli antropologi itu memiliki hakekat yang sangat jauh berbeda

242

dari objek kajian dan analisis dari ilmu-ilmu alam, maka hasil konstruksi kembali sistem pemaknaan itupun menjadi sesuatu hal yang sangat problematis secara metodologis, dan tak jarang tidak dipahami lagi oleh anggota masyarakatnya sendiri.

Semua problema ini merupakan hal yang sangat serius, dan tidak hanya suatu hal teoritis dalam pengertian abstrak, melainkan lebih merupakan satu pokok persoalan pelik yang senantiasa dihadapi setiap peneliti saat terlibat dalam satu proses penginvestigasian satu masyarakat. Akhirulkalam, pembahasan tentang perkara rumit ini membawa kita pada satu pokok persoalan yang berada di luar ruang lingkup kajian utama diskusi kita disini, dan sekaligus membutuhkan diskusi tersendiri dalam sebuah buku yang berbeda.107 Oleh karena itu, diskusi panjang kita mengenai bab terakhir dari buku ini dapat kiranya penulis sudahi sampai di sini.

107 Diskusi tentang pokok persoalan ini akan menjadi topik kajian dari jilid kedua buku ini.

243

Daftar PustaKa

Alexander, Jeffrey C. 1982. The Antinomies of Classical Thought: Marx and Durkheim. Berkeley: the University of California Press.

Althusser, Louis. 1979. For Marx, London: Verso Editions.Atkins, E.M dan R.J. Dodaro. 2001. Augustine Political Writings.

Cambridge: Cambridge University PressAugustine, St. 1930. Select Letters. London: William Heinemann

Ltd.______________, 2004. The Confessions. Ebook:

Collegebookshelf.NetAquinas, St. Thomas. 1949. On Spiritual Creatures. Diterjemahkan

ke dalam bahasa Inggris oleh Mary. C. Fitzpatrick. Milwaukee: Marquette University Press.

_____________, 2005. Disputed Questions on the Virtues. Cambridge: Cambridge University Press.

Avineri, Shlomo. 1980. The Social & Political Thought of Karl Marx. Cambridge: Cambridge University Press.

Becker, Carl. 1932. The Heavenly City of the Eighteenth-Century Philosophers. New Haven: Yale University Press.

Benedict, Ruth. 1961. Pattern of Culture. Boston: Houghton Mifflin.

Berlin, Isaiah. 1976. Vico and Herder: Two Studies in the History of Ideas. London: Chatto & Windus.

244 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Bloch, Maurice, editor. 1984. Marxist Analyses and Social Anthropology, London: Tavistock Publications.

Bloch, Maurice. 1985. Marxism and Anthropology, Oxford: Oxford University Press.

Boas, Franz. 1936. ‘History and Science in Anthropology: a Reply’ dalam American Anthropologist, n.s., XXXVIII, 1936.

Braudel, Fernand. 1980. On History, Chicago: the Univ of Chicago Press.

Brinton, Crane. 1933. English Political Thought in the Nineteenth Century. London: Ernest Benn

Cassirer, Ernst. 1981. Kant’s Life and Thought, New Haven: Yale University Press

Chappell, Vera (ed.). 1999. The Cambridge Companion to Locke. Cambridge: Cambridge UP

Degerando, Joseph Marie. 1969. The Observation of Savage Peoples. London: Routledge & Kegan Paul

Descartes, Rene. 1977. Keys Philosophical Writings. Hertfordshire: Wordsworth editions

Dumont, Louis. 1983. From Mandeville to Marx: The Genesis and Triumph of Economic Ideology. Chicago: the Univ of Chicago Press

Durkheim, Émile. 1956. Education and Sociology. Glencoe: the Free Press

___________, 1958. Socialism and Saint-Simon. Ohio: the Antioch Press

___________, 1960 Émile Durkheim, 1858-1917: A Collection of Essays, with Translations and a Bibliography, edited by Kurt H. Wolff. Ohio: Ohio State University Press.

___________, 1961. Moral Education. New York: the Free Press___________, 1965. Sociology and Philosophy. London: Cohen

& West

Tony Rudyansjah 245

___________, 1969. The Division of Labor in Society. New York: the Free Press

___________, 1975. Suicide. London: Routledge & Kegan Paul___________, 1976. The Elementary Forms of the Religious Life.

London: George Allen & Unwin.___________, 1982. The Rules of Sociological Methods and Selected

Texts on Sociology and its Method. New York: the Free PressDurkheim, Émile dan Marcel Mauss. 1963. Primitive Classification.

Chicago: the University of Chicago PressDyson, R.W. 2004. Aquinas: Political Writings. Cambridge:

Cambridge University Press.Evans-Pritchard, Edward Evan. 1962. ‘Social Anthropology: Past

and Presents’, dalam Essays in Social Anthropology, London: Faber and Faber, 1962.

Feinberg, Richard. 1979. ‘Schneider’s Symbolic Cultural Theory: An Appraisal’ dalam Current Anthropology, Vol. 20, No. 3, September 1979.

Feuerbach, Ludwig. 1957. The Essence of Christianity, New York: Harper Torchbooks

___________, 1986. Principles of the Philosophy of the Future. Indianapolis: Hackett Publishing Company.

Firth, Raymond. 1984. ‘TheSceptical Anthropology? Social Anthropology and Marxist View on Society’, dalam Maurice Bloch, editor, Marxist Analyses and Social Anthropology, London: Tavistock Publications.

Friedman, Milton and Rose.1980. Free to Choose, Harmondsworth: Penguin Books

Fromm, Erich, ed. 1961. Marx’s Concept of Man. New York: Frederick Ungar

Gadamer, Hans-Georg. 1976. Hegel’s Dialectics. New Haven: Yale University Press.

246 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books

Geuss, Raymond. 1982. The Idea of a Critical Theory. Cambridge: Cambridge University Press

Giddens, Anthony. 1978. Durkheim. Glasgow: Fontana/CollinsGoody, Jack. 1983. The Development of Family and Marriage in

Europe. Cambridge: Cambridge University Press.Gramsci, Antonio. 1987. The Modern Prince & Other Writings.

New York: International Publishers._____________, 1987. Prison Notebooks. New York: International

Publishers.Hanneman, Samuel. 2010. Émile Durkheim. Depok: Kepik UnguHegel, Ludwig Friedrich. 1967. Hegel’s Philosophy of Right,

Oxford: Oxford University Press___________, 1956. The Philosophy of History. New York: Dover

Publications, Inc._____________-, 1967. The Phenomenology of Mind. New York:

Harper Torchbooks._____________, 1968. Hegel’s Science of Logic. Atlantic

Highlands: Humanities Press International, Inc.Hirschman, Albert O. 1981. The Passions and the Interests: Political

Arguments for Capitalism before Its Triumph. Princeton: Princeton University Press

Hobbes, Thomas. 1985. Leviathan. New York: Penguin Books

Hodgen, Margaret T. 1971, Early Anthropology in the 16th & 18th Century. Philadelphia: University of Pennsylvania Press

Hume, David. 1978. A Treatise of Human Nature. London: Oxford University Press

___________, 2007. An Essay concerning Human Understanding. Oxford: Oxford UP

Tony Rudyansjah 247

Husserl, Edmund. 1999. Cartesian Meditation. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher

Jay, Martin. 1984. Marxism & Totality, Berkeley: University of California Press.

Kant, Immanuel. 1949. The Philosophy of Kant: Immanuel Kant’s Moral and Political Writings, diedit oleh Carl J. Friedrich, New York: The Modern Library.

___________, 1951. Critique of Judgement, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh J.H. Bernard, New York: Harper Press

___________, 1959. Critique of Pure Reason, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh J.M.D. Meiklejohn, London: J.M. Dent & Sons Ltd.

___________, 1997. Critique of Practical Reason. Cambridge: Cambridge University Press

Kuper, Adam. 1983. Anthropology and Anthropologist. London: Routledge & Kegan Paul.

Lacan, Jacques. 2001. ‘The Mirror Stage as Formative of the Function of the I as Revealed in Psycho Analytic Experience’, dalam Écrits: A Selection. New York: Norton

Lefebvre, Henri. 1982. The Sociology of Marx. New York: Colombia University Press.

Lenzer, Gertrud. 1975. Auguste Comte and Positivism. New York: Harper Torchbooks

Lévi-Strauss, Claude. 1987. Introduction to the Works of Marcel Mauss. London: Routledge & Kegan Paul.

Liebniz, Gottfried W. 1951. ‘Discourses on Metaphysics’, dalam Selections. New York: Scribner’s

___________, 1951. ‘On Destiny or Mutual Dependence’, dalam Selections. New York: Scribner’s

___________, 1951. ‘The Monadology’, dalam Selections. New

248 alam, Kebudayaan & yang IlahI

York: Scribner’sLocke, John. 1985. An Essay concerning Human Understanding.

Oxford: Clarendon Press___________, 1988. Two Treatises of Government. Oxford:

Clarendon PressLovejoy, Arthur O. 1964. The Great Chain of Being. Cambridge:

Harvard University PressLukács, Georg. 1971. The Theory of the Novel. London: The

Merlin Press.___________, 1985. History and Class Consciousness. Cambridge:

The MIT Press.Lukes, Steven. 1981. Émile Durkheim. New York: Penguin BooksMacpherson, C.B. 1962. The Political Theory of Possessive

Individualism: Hobbes to Locke. Oxford: Oxford University Press

Maine, Henry Sumner. 1986 [1864]. Ancient Law. Tucson: University of Arizona Press

Malinowski, Bronislaw. 1987. The Sexual Life of Savages. Boston: Beacon Press

Mandeville, Bernard. 2005. The Fable of the Bees, Vol. 1, the Online Library of Liberty

Marx, Karl. n.d. [1869] The eighteenth bruimaire of Louis Bonaparte. Moscow: Foreign Languages Publishing House (2d ed., Hamburg, 1869).

___________, 1904 [1859] A Contribution to the Critique of Political Economy, Chicago: Kerr.

___________,1962. The Class Struggles in France, 1848-1850, dalam Marx dan Engels: Selected Works I, Moscow: Foreign Languages Publishing House

___________, 1963. Early Writings, terjemahan T.B. Bottomore, London: Mcgraw-Hill

Tony Rudyansjah 249

___________, 1970. A Contribution to the Critique of Political Economy, Moscow: Progress Publishers.

___________, 1973. The Economic & Philosophic Manuscripts of 1844, New York: International Publishers

___________, 1973. Grundrisse. New York: Vintage Books___________, 1978. Preface to A Contribution to the Critique of

Political Economy, dalam Robert C. Tucker, The Marx-Engels Reader, New York: W.W. Norton & Company

___________, 1982. Capital, 3 jilid, Harmondsworth: Penguin Books

___________, 1984[1964]. Pre-Capitalist Economic Formations. New York: International Publishers

___________, 1988. The German Ideology, New York: International Publishers.

___________, 2000. The Holy Family. Diunduh dari www.marxists.org

Marx, Karl dan Frederick Engels.1985. The Communist Manifesto, Harmondsworth: Penguin Books.

Maula, Rudyansjah, Prahara, dan Ratri. 2011. Kesepakatan Tanah Wolio: Ideologi Kebhinekaan dan Eksistensi Budaya Bahari di Buton. Jakarta: Titian Budaya

Maurer, Armand A. 1979. St. Thomas and Historicity. Milwaukee: Marquette University Press.

Mauss, Mauss. 1954. The Gift. London: Cohen & WestMyrdal, Gunnar. 1953. The Political Elements in the Development

of Economic Theory. London: Routledge & Kegan Paul LtdO’Connell, Robert. 1994. Soundings in St. Augustine’s Imagination.

New York: Fordham University Press.Parsons, Talcott. 1968. The Stucture of Social Action, Volume I,

New York: The Free PressPasnau, Robert. 2004. Thomas Aquinas on Human Nature.

250 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Cambridge: Cambridge University Press.Polo, Marco. 1946 [1559]. The Travels of Marco Polo, diterjemahkan

dan diedit oleh William Marsden, London: Everyman’s Library.

Rousseau, Jean-Jacques. 1979. The Social Contract and Discourses. New York: Anchor Books

Rudyansjah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah & Tindakan. Jakarta: Rajawali Press

___________, 2009. ‘Umstrittene Indentitäten, Hierarchische Beziehungen und Machtdiskurse auf Buton, Südost-Sulawesi’ dalam Martin Slama, ed. Konflikte–Mächte–Indentitäten. Wien: Österreichischen Akademie der Wissenschaften.

Sahlins, Marshall. 1976. Culture and Practical Reasons. Chicago: the University of Chicago Press

Schmidt, Alfred. 1971. The Concept of nature in Marx, London: NLB.

Schumpeter, Joseph A. 2006 [1954]. History of Economic Analysis. London: Routledge

Smith, Adam. 1904. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Indianapolis: Liberty Fund

___________, 1982. Lectures on Jurisprudence. Indianapolis: Liberty Fund

___________, 1985. Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Indianapolis: Liberty Fund

___________, 2004 [1759]. The Theory of Moral Sentiments. Cambridge: Cambridge University Press

Spinoza, Benedict. 1958. The Political Works, Oxford: Clarendon Press.

Stepelvitch, Lawrence C. 1983. The Left Hegelians: An Anthology, London: Cambridge University Press.

Steuart, Sir James.1966 [1767]. Inquiry into the Principles of

Tony Rudyansjah 251

Political Oeconomy, Chicago: Univ of Chicago PressStocking, George W. 1982. Race, Culture, and Society, Chicago:

the Univ of Chicago PressTaylor, Charles. 1988. Hegel and Modern Society, Cambridge:

Cambridge University Press.___________, 1988 Hegel, Cambridge: Cambridge University

PressTucker, Robert C. 1978. The Marx-Engels Reader, New York:

W.W. Norton & Company.Vico, Giambattista. 1975. The New Science of Giambattista

Vico, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Thomas Goddard dan Max Harold Fisch, Ithaca: Cornell University Press.

Wartofsky, Marx W. 1982. Feuerbach, Cambridge: Cambridge University Press

Weber, Max. 1976. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. London: George Allen & Unwin Ltd.

William, Raymond. 1977. Marxism and Literature. Oxford: Oxford University Press.

Worsley, Peter M. 1981. ‘Marxism and Culture: The Missing Concept,’ dalam Dialectical Anthropology, 6(2), hal. 103-121.

~252~

Tony Rudyansjah 253

A

Abnormal division of labour 129Absolut 11, 29, 70, 76, 105, 106,

108, 113, 114, 136, 154Absolute being 111Action 24, 30, 46, 55, 73, 125, 156,

180, 183, 185, 187, 199Aktualitas 107, 148, 162Alexander, Jeffrey C. 16, 20, 124,

125, 128, 146, 147, 174, 195Alienasi xvi, 98, 99, 103, 105, 116,

117, 124, 125, 129, 133, 134, 135, 140, 141, 173, 185

Althusser, Louis 99, 127, 128, 191, 193, 195

Analytic science 101A priori categories 100Aquinas, Thomas 12, 13Aufhebung 159Augustine, St. 11, 19, 48Aversion 23Avineri, Shlomo 159, 172, 195

B

Benedict, Ruth 70, 184, 195, 200Berlin, Isaiah 109, 110, 195Bloch, Maurice 131, 138, 195, 196Boas, Franz vii, 3, 149, 182, 195Bottomore, Tom B. 52, 132, 198Braudel, Fernand 10, 195Brinton, Crane 46, 195

CCassirer, Ernst 195Category 147Chappell, Vera 195Civil society 115, 116, 122, 138

InDeKs

Class 97, 120, 121, 122, 147, 137, 151, 181, 184, 185, 186, 187, 190, 198

Cogito 75, 76, 77, 87, 88Commodity 143, 164Comte, Auguste 4, 100, 168, 198Consciousness 105, 115, 116, 118,

155, 157, 174, 180, 181, 184, 185, 186, 187, 190, 198

Constitution of self 73, 74

D

Degerando, Joseph Marie 4Descartes, Rene 2, 41, 74, 75, 76,

77, 195Desire 23, 24Despotism 54Determinisme 110, 193Division of labour 90, 129Dumont, Louis 52, 56, 64, 157,

171, 196Durkheim, Émile vii, 59, 100, 124,

125, 129, 146, 147, 151, 195, 196, 197, 198

E

Emansipasi xvi, 59, 72, 118, 121, 122, 123, 180

Engels, Frederick 97, 98, 99, 105, 115, 116, 117, 119, 124, 126, 127, 128, 131, 135, 136, 138, 150, 163, 180, 181, 198, 199, 200

Eternal reason 13, 19Evans-Pritchard, Edward Evan 1,

196

254 alam, Kebudayaan, dan yang IlahI

Exchange-value 140, 142

F

False consciousness 155, 157, 174, 180, 184

Feinberg, Richard 163, 196Felicity 21, 27, 101Fergusson, Adam 6, 162Fetishism of commodity 143Feuerbach, Ludwig Andreas 89,

111, 112, 113, 114, 115, 116, 118, 126, 127, 128, 135, 160, 161, 176, 196, 200

Firth, Raymond 131, 196Freedom 101, 173, 179Friedman, Rose 89, 196 Friedman, Milton 89, 196Fromm, Erich 52, 197

G

Gairah nafsu 48, 49Galileo 20, 26Geertz, Clifford vii, x, 1, 2, 14, 44,

163, 197Geist 104Generic being 135, 159, 160Gerak 23, 26, 27, 95, 141Giddens, Anthony 197Glacken, Clarence J. 2Goody, Jack 8Great Chain of Being 2, 9, 18, 38,

40, 42, 44, 81

H

Hak kepemilikan 64Hak pakai 64Hanneman, Samuel 197Hegel, Wilhelm Friedrich 100, 103,

104, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 128, 131, 138, 161, 168, 181, 197, 200

Herder, Johann Gottfried von 43,

102, 103, 104, 107, 108, 195Highest embodiment of reason 108Hirarki 9, 15, 16, 17, 22, 42, 58,

61, 62, 66, 67, 157, 172Hirschman, Albert O. 70, 71Historical materialism 98, 129, 139,

149, 151, 157, 190Hobbes, Thomas vii, 21, 22, 23, 24,

25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 41, 42, 47, 48, 49, 64, 67, 76, 95, 101, 138, 197

Hodgen, Margaret T. 2, 4, 5, 9Holisme 55, 59Homo humini lupus 76Hukum alam viii, xv, 3, 10, 12, 13,

18, 19, 20, 51, 53, 54, 55, 56, 58, 71, 104, 106

Hume, David 2, 19, 20, 32, 44, 49, 77, 78, 197

Husserl, Edmund 74, 197

I

Ideologi xvi, 18, 29, 64, 67, 70, 99, 119, 121, 132, 133, 146, 148, 151, 152, 156, 157, 158, 173, 174, 176, 177, 179, 181, 186, 187, 191, 192, 193

Ideologi borjuis 133Ideology 115, 126, 127, 128, 137,

147, 150, 151, 156, 157, 158, 161, 187, 196, 199

Ignorance of physiological paternity 6, 7

Impartiality 74, 84Impartial spectator 84, 91, 93Impartial spectator within 91, 93Impartial spectator without 91, 93Individualism 55, 59, 64, 65, 66,

67, 71, 73, 78, 89, 102, 103, 148

Inertia 26Innovative praxis 161Interests 70, 71, 90, 91, 95, 96,

Tony Rudyansjah 255

120, 177, 179Inverted world consciousness 116Invisible Hand 90, 91, 95

J

Jay, Martin 197

K

Kant, Immanuel 75, 100, 101, 102, 103, 108, 195, 197

Kebahagiaan 69, 72, 73, 101Kebahagian semu 117Kebudayaan iv, vii, xv, 4, 9, 10, 45,

47, 49, 88, 102, 103, 104, 105, 107, 108, 153, 154, 157, 160, 161, 163, 170, 174, 175, 176, 180, 181, 182, 184, 192, 193

Kebutuhan xii, 63, 85, 89, 90, 125, 131, 145, 153, 156, 158, 159, 160, 162, 163, 164, 178, 181

Kehendak bebas 193Keinginan 110, 140, 153, 162, 163,

177, 178Kelas borjuasi 132Kelas pekerja 130, 133, 192, 193Kelas revolusioner 119, 122, 130,

190Kelas sosial 84, 130, 173, 191, 192Keniscayaan xvi, 97Kuper, Adam 3, 197

L

Labour 63, 90, 134, 164Labour theory of value 64, 134, 135Lacan, Jacques 74, 75, 197Law of the progressive increase in

constant capital 145Lefebvre, Henri 161, 197Legal despotism 54Lenzer, Gertrud 198Lévi-Strauss, Claude 198

Liebniz, Gottfried W. 43, 78, 79, 81, 82, 198

Locke, John vii, 2, 19, 21, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 47, 48, 49, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 72, 78, 95, 100, 132, 191, 195, 198

Longue duree 10, 11Lovejoy, Arthur O. 2, 9, 10, 11, 13,

14, 16, 17, 18, 40, 44, 81Lukács, Georg 181, 182, 183, 184,

185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 194, 198

Lukes, Steven 198

M

Malinowski, Bronislaw 3, 4, 6, 7, 160

Mandeville, Bernard 52, 60, 64, 68, 69, 71, 196, 198

Marx, Karl vii, viii, xvi, 51, 52, 53, 57, 64, 67, 80, 97, 98, 99, 100, 105, 108, 109, 110, 111, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 184, 185, 186, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200

Masyarakat xv, xvi, 1, 5, 21, 34Masyarakat kapitalis 136, 137, 138,

139, 140, 142, 144, 146, 155, 173, 185

256 alam, Kebudayaan, dan yang IlahI

Masyarakat komunis 126, 135, 136, 137

Masyarakat sipil 28, 108, 115, 118, 120, 121, 123, 133, 138, 176

Materialisme 42, 79, 98, 128, 129, 146, 150, 155, 160, 176

Materialist theory of history 129Mauss, Marcel 196, 198, 199Mercantilists 50, 132Metode pembalikan 113Mimetic praxis 161Mind 13, 19, 23, 33, 36, 81, 104,

105, 114, 164Mind of God 19Monad 78, 79, 80, 82, 83, 85Moral judgement 100Myrdal, Gunnar 51, 199

N

Natural harmony of interests 90, 91, 96

Natural man 159, 160Negara ix, 21, 50, 51, 54, 55, 56,

57, 108, 109, 111, 113, 115, 116, 118, 119, 121, 127, 150, 183, 184, 192

Negasi 107, 112, 157Negation 111, 112Nilai guna 140, 142, 143Nilai kepemilikan 29, 64

P

Parsons, Talcott 30, 41, 46, 47, 199Pemikiran utilitarian 41, 46, 47,

147Perubahan sosial 137, 139, 186,

189Physiocrats 132Physiocrats 51, 54Plenitude 11, 13, 14, 15, 16Polo, Marco 4, 5, 7, 8, 199Positivisme 3, 47, 106, 115, 179,

189Possessive individualism 65

Practical reason 101, 103, 108, 147, 152, 153, 163

Praxis 99, 117, 153, 156, 160, 161, 162, 174, 190, 191

Principle of plenitude 11, 13Proletarian 122, 123, 158, 177,

180, 181, 185, 186, 187Property 29, 31, 52, 62, 63, 65,

124, 125, 134, 147, 166, 169, 170, 171

Property value 29Propriety 36, 38Prudence 23Psikologi materialistik 49Pursuit of felicity 101

Q

Quesnay, François 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 132

R

Radcliffe-Brown, Alfred Reginald 100, 132

Rasionalitas 3, 12, 14, 29, 49, 104, 109, 153

Rationality 154Realitas 10, 26, 37, 38, 88, 101,

103, 104, 106, 107, 108, 111, 114, 116, 117, 151, 174, 175, 176, 186, 191

Real wealth 54, 58Reason 12, 13, 18, 19, 20, 24, 32,

33, 39, 41, 52, 100, 101, 103, 104, 108, 113, 114, 128, 147, 149, 152, 153, 163, 186, 197

Repetitive praxis 161Revolusi 22, 30, 48, 119, 120, 121,

122, 130, 136, 137, 141, 144, 146, 161

Revolusi kelas 122Revolutionary praxis 174Rousseau, Jean-Jacques 43, 44, 199

Tony Rudyansjah 257

Rudyansjah, Tony i, iii, iv, xiv, 207

S

Sahlins, Marshall 101, 104, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 163, 165, 174, 191, 193, 194

Saint-Simon 2, 130, 161, 175, 196Schmidt, Alfred 138, 199Schneider, David vii, 163, 196Schumpeter, Joseph A. 51, 53, 199Science of moral 100Self 7, 24, 33, 58, 59, 73, 74, 75,

76, 77, 89, 91, 93, 94, 95, 105, 112, 124, 125, 147, 168, 169, 179, 180, 183

Self-consciousness 105Self-love 89, 91, 94Self-referential theory 75Sentiments 72, 73, 77, 87Sentiments 73, 78, 80, 81, 83, 89,

92, 199Smith, Adam 2, 43, 47, 49, 50, 57,

59, 63, 64, 67, 71, 72, 77, 78, 80, 81, 83, 89, 90, 91, 92, 95, 96, 132, 133, 134, 140

Smith, Raymond v, xiii, 126Sociability 41Social 1, 3, 30, 43, 44, 46, 66, 72,

73, 84, 115, 119, 120, 121, 126, 128, 131, 135, 143, 148, 150, 151, 157, 159, 161, 167, 172, 175, 178, 185, 196, 199

Social being 66, 135Social formation 128Social relation 143Species being 118, 135, 159, 160,

162Species consciousness 118Spencer, Herbert 46, 47, 100, 132,

139, 168Spinoza, Benedict 70, 200

Spirit 8, 7, 35, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 113, 142, 158, 183

Stepelvitch, Lawrence C. 111, 200Steuart, Sir James 71, 200Stocking, George W. 9, 200Subjective cultural understanding

101Surplus value 57, 142Sympathetic sentiments 87

T

Taylor, Charles 97, 109, 200Temporalizing of the great chain of

being 17Teori Cermin 78, 79, 82Teori “hukum alam” 53Teori mekanistik tentang masyarakat

48Teori positivistik 47, 101Teori rasionalitas 49Teori voluntaristik mengenai tinda-

kan 47Theoretical reason 101, 103Theory of communicative action 73Totalitas 84, 107, 109, 129, 166,

181, 184, 186, 187, 189, 190, 191, 193

Transformasi sosial 146, 161, 176, 180

True interests 177Tucker, Robert C. 105, 116, 117,

119, 124, 126, 127, 135, 163, 181, 199, 200

U

Utilitarianism 154Utilitarianisme 154, 174

V

Value 8, 29, 57, 58, 64, 90, 134, 135, 140, 142, 143

Vico, Giambattista 195, 200Voluntarisme 191

258 alam, Kebudayaan, dan yang IlahI

W

Wartofsky, Marx W. 200Wealth 50, 52, 54, 58, 72, 82, 89,

90, 94, 95, 96, 98, 183, 199Weber, Max vii, 8, 11, 17, 158Wolff, Kurt H. 196Worsley, Peter M. 131, 200

Rernr

l . Halaman 49 baris ke-10 dari bawah, ditulis: ..begitu halus danbertiingkat-mgkat... . Seharusnya:. . . begitu halus dan bertingkat-tingkat... .

Halaman 50 baris ke-8 dan ke-7 dari bawah, ditulis: ...antaraempirisisme and rasionalisme. Seharusnya: ...anrara empirisismedan rasionalisme.

Halaman 53, baris ke-10 dari bawah ditulis: merekaterbelunggu. Seharusnya: ... ia terbelenggu.

Halaman 71 baris ke-9 dari bawah, ditulis: ... gagasan mengeaihukum alam.. . Seharusnya: ... gagasan mengenai hukum alam...

Haiaman 88 baris ke-8 dari bawah, ditulis, kata: ... melekatnyasentiment.. . Seharusnya: ... melekatnya sentimen .. .

Halaman 92, baris ke-l dan ke-2 dari atas ditulis: ... dapat kitadipahami dengan ... . Seharusnya: ...dapat kita pahami dengan ...

Halaman 137, baris ke-6 dan ke-7 dari atas, ditulis: Teologimerupakan titik awal dan titik akhir ... . Seharusnya: Teologimembentuk titik awal dan titik akhir... .

Halaman 141, baris ke-5 dan ke-6 dari atas, ditulis: Keseluruhanberbagai relasi produlai ini merupakan struktur ekonomimasyarakat ... Seharusnya: Keseluruhan berbagai relasi produksiini membentuk struktur ekonomi masyarakat...

Halaman L47, baris ke-ll dari atas ditulis: ... meneguhkankembali otoritas terhadap keyakinan. Seharusnya: .... meneguhkankembali otoritas keyakinan.

2.

3.

Ia.

5.

6.

7.

8.

9.

l0.Halaman 148, baris ke-16 dari bawah, ditulis: Hanya atas nama

itu, ... Seharusnya: Hanya atas nama berbagai kepentingan

umum itu, ... .

11.Halamanl53, baris ke-8 danke-7 dari bawah, ditulis: Dalam

menentukan "apa yang merupakan alienasi dari sebuah aktivitas

kerja," .. . Seharusnya: Dalam menentukan "apa yang membentuk

alienasi dari sebuah aktivitas kerja," .. .

i2. Halaman 183, baris ke-14 dari bawah, ditulis: "It proves incorrent

to suppose that ... . Seharusnya: "It proves incorrect to supPose

that ... .


Recommended