+ All Categories
Home > Documents > ANALISIS KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS DITINJAU DARI GAYA BELAJAR SISWA DALAM PROBLEM BASED LEARNING...

ANALISIS KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS DITINJAU DARI GAYA BELAJAR SISWA DALAM PROBLEM BASED LEARNING...

Date post: 27-Nov-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
48
ANALISIS KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS DITINJAU DARI GAYA BELAJAR SISWA DALAM PROBLEM BASED LEARNING (PBL) Proposal Skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika oleh Alifa Muhandis Sholiha Afif 4101412084 JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016
Transcript

ANALISIS KEMAMPUAN PENALARAN

MATEMATIS DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

SISWA DALAM PROBLEM BASED LEARNING

(PBL)

Proposal Skripsi

disusun sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

oleh

Alifa Muhandis Sholiha Afif

4101412084

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2016

KEMENTERIAN RISTEK DAN PERGURUAN TINGGI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROPOSAL SKRIPSI

Nama : Alifa Muhandis Sholiha Afif

NIM : 4101412084

Prodi : Pendidikan Matematika

Jurusan : Matematika

1. JUDUL

Analisis Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau Dari Gaya Belajar

Siswa dalam Problem Based Learning (PBL)

2. PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

Pendidikan adalah upaya sadar yang dirancang untuk mencapai suatu

tujuan dan tidak dapat dilepaskan dari proses kehidupan manusia.

Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Bab II Pasal 3 dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan nasional tersebut terintegrasi dalam mata pelajaran

yang harus ditempuh oleh siswa. Salah satu mata pelajaran tersebut adalah

matematika. Menurut BSNP (2006), matematika merupakan ilmu universal

yang memiliki peranan penting dalam berbagai disiplin. Hal ini dapat dilihat

dengan ditetapkannya matematika sebagai salah satu mata pelajaran wajib

dalam setiap Ujian Akhir Nasional (UAN) dalam setiap jenjang pendidikan.

Matematika menurut Soedjadi (2000:13), merupakan suatu ilmu yang

didasarkan atas akal (rasio) yang berhubungan benda-benda dalam pikiran

yang abstrak atau matematika memiliki objek kajian yang abstrak.

Selanjutnya, matematika merupakan ilmu dasar yang terus mengalami

perkembangan karena proses berpikir (Suherman, 2001). Menurut Lestari

dkk (2012), menyatakan bahwa matematika adalah ilmu yang mempelajari

tentang bagaimana cara berpikir (way of thinking) untuk menemukan

strategi dalam menghadapi masalah sehari-hari. Matematika sangat berperan

dalam segala bidang kehidupan manusia, sehingga wajar adanya

pembelajaran matematika agar siswa dapat memahami matematika secara

utuh. Menurut BSNP (2006: 139), mata pelajaran matematika perlu

diberikan kepada semua siswa mulai sekolah dasar untuk membekali siswa

dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif,

serta kemampuan bekerjasama.

Menurut Fitri et al (2014), pembelajaran matematika adalah suatu

aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta

simbol-simbol kemudian diterapkan pada situasi nyata. Tujuan mempelajari

matematika menurut BSNP (2006), agar siswa memiliki kemampuan

sebagai berikut.

(1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar

konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes,

akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

(2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan

manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun

bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

(3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami

masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model

dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

(4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau

media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

(5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam

kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat

dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri

dalam pemecahan masalah.

Selain itu, tujuan pembelajaran matematika sebagaimana dirumuskan

National Council of Teacher of Mathematics (2000) yaitu: (1) belajar untuk

berkomunikasi (mathematical comminication), (2) belajar untuk bernalar

(mathematical reasoning), (3) belajar untuk memecahkan masalah

(mathematical problem solving), (4) belajar untuk mengaitkan ide

(mathematical connections), (5) pembentukan sikap positif terhadap

matematika (positive attitudes toward mathematics).

Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika tersebut, kemampuan

penalaran merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki peserta

didik dalam proses pembelajaran matematika. Prinsip-prinsip dan standar

matematika sekolah dari National Council of Teacher Mathematics

(2000:56) menyatakan:

Being able to reason is essential to understanding mathematics. By

developing ideas,exploring phenomena, justifying results, and using

mathematical conjectures in all content areas and with different

expectations of sophistication at all grade levels,students should see

and expect that mathematics makes sense.

Menurut Ross (dalam Lithner, 2000: 165) menyatakan bahwa salah

satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan

kepada siswa tentang penalaran. Rohmad (2008) menambahkan bila

kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa

matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian

prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya.

Istilah penalaran (reasoning) dijelaskan oleh Keraf yang dikutip oleh

Shadiq (2004) sebagai proses berpikir yang berusaha menghubung-

hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada

suatu kesimpulan. Menurut Copi yang dikutip oleh Shadiq “Reasoning is a

special kind of thinking in which conclusions are drawn from premises”

yang artinya penalaran adalah jenis dari kemampuan berpikir untuk menarik

kesimpulan berdasarkan premis-premis. Dengan demikian penalaran

merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik

kesimpulan atau membuat suatu pernyataan yang kebenarannya telah

dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.

Begitu pentingnya kemampuan penalaran pada pembelajaran

matematika sebagaimana dikutip Shadiq (2004) dari Depdiknas bahwa

materi matematika dan penalaran matematis merupakan dua hal yang tidak

dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan

penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.

Kemampuan penalaran dapat secara langsung meningkatkan hasil belajar

siswa. Siswa dengan kemampuan penalaran yang rendah akan menyebabkan

siswa kesulitan dalam memahami konsep matematika (Tim Puspendik,

2012). Pentingnya kemampuan penalaran matematis juga dikemukakan oleh

Suryadi (2005) dan Mullis et al (2000) (dalam Saragih, 2007: 4) yang

menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada aktivitas

penalaran dan pemecahan masalah sangat erat kaitannya dengan pencapaian

prestasi siswa yang tinggi.

Meskipun penalaran matematis merupakan aspek penting, tetapi masih

banyak siswa lemah dalam hal penalaran matematis. Kelemahan

kemampuan penalaran matematis siswa dapat dilihat dari survei PISA

seperti yang dikutip dari Litbang, rata-rata skor prestasi siswa di Indonesia

belum mencapai skor rata-rata internasional. Hal tersebut ditunjukkan

dengan hasil pada tahun 2000 menduduki peringkat 39 dari 41 negara

dengan skor 367, sementara pada tahun 2003 menduduki peringkat 38 dari

40 negara dengan skor 360, pada tahun 2006 menduduki peringkat 50 dari

57 negara dengan skor 391, dan pada tahun 2009 menduduki peringkat 61

dari 65 negara dengan skor 371. Ini berarti kemampuan penalaran siswa

Indonesia berdasarkan survei PISA masih berada di bawah siswa dari

negara-negara lain. Begitu pula menurut Mullis (dalam Rosnawati, 2013),

berdasarkan data dari Trends in Internasional Mathematics and Science

Study (TIMSS) tahun 2011, kemampuan rata-rata siswa Indonesia masih

jauh dibawah negara Malaysia, Thailand dan Singapura. Rata-rata

persentase paling rendah dicapai oleh siswa Indonesia adalah pada domain

kognitif pada level penalaran (reasoning) yaitu 17%. Dengan demikian, dari

hasil PISA dan TIMSS dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran

matematis siswa Indonesia masih kurang.

Berdasarkan pengalaman saat Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di

SMP Negeri 2 Batang pada bulan Agustus-Oktober 2015, kemampuan

penalaran matematis siswa masih tergolong kurang. Pembelajaran

ekspositori yang diterapkan mengakibatkan siswa kurang aktif dalam proses

pembelajaran sehingga siswa cenderung menghafalkan rumus tanpa

memahami dan menalar rumus yang didapatkannya. Dari hasil Ulangan

Harian bab relasi dan fungsi kelas VIII-D tahun 2015/2016, rata-rata kelas

hanya 52,4 dari KKM 70. Sedangkan yang mencapai nilai ketuntasan hanya

9 siswa dari jumlah siswa 34 siswa. Hal ini menunjukkan bahwa hasil

belajar matematika siswa masih rendah.

Sejalan dengan pentingnya kemampuan penalaran matematis, maka

kemampuan penalaran matematis siswa perlu ditingkatkan. Berbagai upaya

dapat diusahakan oleh guru, diantaranya dengan memberikan pembelajaran

yang sesuai bagi siswa. Menurut Rusman (2010: 229), salah satu model

pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan

keterampilan berpikir (penalaran, komunikasi, dan koneksi) dalam

memecahkan masalah adalah Problem Based Learning (PBL).

Savoie dan Hughes (1994) dikutip dari Wena (2009; 91) menjelaskan

bahwa Problem Based Learning (PBL) memiliki karakteristik yang mana

pembelajarannya dimulai dari permasalahan yang berhubungan dengan

dunia nyata siswa. Problem Based Learning (PBL) berpusat kepada siswa

sehingga siswa secara aktif terlibat dalam proses belajar. Problem Based

Learning (PBL) tidak mengharapkan siswa hanya sekedar mendengarkan,

mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui

Problem Based Learning (PBL) siswa aktif berpikir, berkomunikasi,

mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.

Kurangnya kemampuan penalaran matematis siswa juga dipengaruhi

oleh beberapa faktor seperti gaya belajar, kecemasan matematika instruksi,

kurangnya rasa percaya diri, kepercayaan guru, lingkungan, kurangnya

perhatian orang tua, serta jenis kelamin. Salah satu karakteristik belajar yang

berkaitan dengan menyerap, mengolah, dan menyampaikan informasi

tersebut adalah gaya belajar siswa (Kartika, 2014).

Gaya belajar menurut Gunawan (2012) merupakan cara yang lebih

disukai dalam melakukan kegiatan berpikir, memproses dan mengerti suatu

informasi. Gaya belajar masing-masing siswa tentunya berbeda satu sama

lain. Oleh karena gaya belajar siswa yang berbeda, maka penting bagi guru

untuk menganalisis gaya belajar siswanya sehingga diperoleh informasi

yang dapat membantu guru untuk lebih peka dalam memahami perbedaan di

dalam kelas dan dapat melaksanakan pembelajaran yang bermakna.

Jika seorang anak menangkap informasi/materi sesuai dengan gaya

belajarnya, maka tidak akan ada pelajaran yang sulit. Menurut Barbara

Prashning dalam Chatib (2014:171) bahwa penyerapan informasi

bergantung pada cara orang mengusahakannya. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa karakteristik gaya belajar yang dimiliki peserta didik

merupakan salah satu modalitas yang berpengaruh dalam pembelajaran,

pemrosesan, dan komunikasinya. Hal serupa juga diungkapkan Chatib

(2014:171) bahwa gaya belajar anak seperti pintu pembuka. Setiap butir

informasi yang masuk lewat pintu terbuka lebar, akan memudahkan anak

memahami informasi itu. Pada puncak pemahaman, informasi itu akan

masuk ke memori jangka panjang dan tak terlupakan seumur hidup.

Menurut Deporter & Henacky (2000:112), gaya belajar terbagi

menjadi tiga jenis. Ketiga jenis tersebut ialah gaya belajar visual, auditorial,

dan kinestetik. Ketiga jenis gaya belajar tersebut dibedakan berdasarkan

kecenderungan mereka memahami dan menangkap informasi lebih mudah

menggunakan penglihatan, pendengaran, atau melakukan sendiri.

Kemampuan penalaran matematis siswa perlu dikaji lebih lanjut untuk

mengetahui bagaiamana kemampuan penalaran matematis siswa

berdasarkan gaya belajar siswa yang berbeda-beda. Agar deskripsi

kemampuan penalaran matematis siswa dapat diketahui dengan baik, maka

dalam penelitian ini siswa diberikan materi melalui pembelajaran generatif.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, perlu adanya penelitian lebih

lanjut berjudul “Analisis Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau Dari

Gaya Belajar Siswa dalam Problem Based Learning (PBL)”.

2.2 Fokus Masalah

Penelitian ini akan menganalisis kemampuan penalaran matematis

siswa kelas VIII dalam Problem Based Learning (PBL). Kemampuan

penalaran matematis siswa dianalisis berdasarkan tipe gaya belajar mereka.

Tipe gaya belajar dalam penelitian ini menggunakan penggolongan Deporter

dan Henacky yaitu visual, auditorial, dan kinestetik.

2.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,

dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.

1. Apakah kemampuan penalaran matematis siswa dalam Problem Based

Learning (PBL) dapat mencapai ketuntasan belajar?

2. Apakah Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan

kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII?

3. Bagaimana kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII ditinjau

dari gaya belajar siswa dalam Problem Based Learning (PBL)?

4. Bagaimana keterkaitan kemampuan penalaran matematis siswa dengan

Problem Based Learning (PBL)?

2.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi, maka tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui kemampuan penalaran matematis siswa dalam

Problem Based Learning (PBL) mencapai ketuntasan belajar.

2. Untuk mengetahui Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan

kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII.

3. Untuk mendeskripsikan kemampuan penalaran matematis siswa kelas

VIII ditinjau dari gaya belajar siswa dalam Problem Based Learning

(PBL).

4. Untuk mengetahui keterkaitan kemampuan penalaran matematis siswa

dengan Problem Based Learning (PBL).

2.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat sebagai berikut.

2.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan

pemikiran terhadap upaya peningkatan kemampuan penalaran matematis

siswa berdasarkan gaya belajar siswa.

2.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai pengalaman dalam melaksanakan

tugas pembelajaran di sekolah yang dapat digunakan sebagai dasar

untuk mengajar serta mengembangkan pembelajaran.

2. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan referensi atau masukan tentang model pembelajaran yang dapat

digunakan sebagai alternatif dalam mengajar dalam rangka upaya

peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa dengan gaya

belajar siswa yang berbeda.

3. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

menemukan cara belajar agar mudah mempelajari dan menyerap

informasi sesuai dengan gaya belajar mereka.

4. Bagi sekolah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam rangka perbaikan dan pengembangan proses

pembelajaran di sekolah guna meningkatkan prestasi belajar siswa

dalam pembelajaran matematika.

2.6 Penegasan Istilah

Penegasan istilah dimaksudkan untuk menghindari salah pengertian

serta memberikan batas ruang lingkup penelitian. Istilah-istilah yang perlu

dijelaskan penegasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

2.6.1 Analisis

Menurut KBBI Daring (dalam jaringan), analisis adalah penyelidikan

terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan) untuk mengetahui keadaan

yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya). Secara umum analisis

ialah kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah objek secara mendalam.

Dalam penelitian ini analasis yang dimaksudkan adalah penguraian

kemampuan penalaran matematis siswa secara kuantitatif maupun kualitatif

ditinjau dari gaya belajar siswa dalam Problem Based Learning (PBL).

2.6.2 Kemampuan Penalaran Matematis

Istilah penalaran (reasoning) dijelaskan oleh Keraf yang dikutip oleh

Shadiq (2004) sebagai proses berpikir yang berusaha menghubung-

hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada

suatu kesimpulan. Indikator penalaran matematis dalam penelitian ini

menggunakan indikator penalaran menurut Depdiknas.

2.6.3 Problem Based Learning (PBL)

Menurut pendapat Schmidt, 1993; Savery dan Duffy, 1995; Hendry

dan Murphy, 1995 (dalam Rusman, 2013: 231), bahwa Problem Based

Learning (PBL) merupakan pmbelajaran yang didasarkan pada teori belajar

kontruktivisme. Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran yang

diawali dengan penyajian masalah kontekstual untuk memahami konsep dan

menguasai keseluruhan kemampuan matematik lainnya (Sumarmo, 2015).

2.6.4 Gaya Belajar

Gaya belajar menurut Gunawan (2012) merupakan cara yang lebih

disukai dalam melakukan kegiatan berpikir, memproses dan mengerti suatu

informasi. Dalam penelitian ini gaya belajar yang dibahas adalah gaya

belajar berdasarkan cara menerima informasi dengan mudah (modalitas)

yang digolongkan oleh Deporter dan Henacky (2000) menjadi tiga tipe gaya

belajar yaitu gaya belajar tipe visual, tipe auditorial, dan tipe kinestetik.

3. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Belajar

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar

merupakan kegiatan yang paling pokok. Berikut beberapa definisi belajar

menurut beberapa ahli.

1) Slameto (2010: 2) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha

yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah

laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri

dalam interaksi dengan lingkungannya.

2) Abin Syamsudin (dalam Rohmah, 2012) menjelaskan bahwa belajar

adalah suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang

berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu.

3) Gagne (dalam Basleman dan Syamsu, 2011) menuturkan “Learning is a

change in human disposition or capability, which persists over a period

of time, and which is not simply ascribable to process of growth.”

Artinya bahwa belajar adalah suatu perubahan dalam disposisi atau

kapabilitas manusia yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu dan

bukan proses pertumbuhan.

4) Rifa’i (2012), menuturkan bahwa belajar merupakan proses penting bagi

perubahan perilaku setiap orang dan belajar itu mencakup segala sesuatu

yang dipikirkan dan dikerjakan oleh seseorang.

5) Uno (2011), menjelaskan belajar sebagai perubahan tingkah laku secara

relatif permanen sebagai hasil dari praktik yang dilandasi tujuan untuk

mencapai tujuan tertentu.

Dari beberapa pengertian belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa

belajar merupakan suatu proses yang ditandai adanya perubahan tingkah

laku pada seseorang yang disebabkan sebagai hasil pengalaman yang

mempengaruhi tingkah laku individu tersebut.

3.1.1 Teori Belajar

3.1.1.1 Teori Belajar David Ausubel

David Ausubel (Rusman, 2013) membedakan antara belajar bermakna

dan belajar menghafal. Belajar bermakna merupakan penerimaan informasi

yang disesuaikan dengan struktur kognitif yang dimiliki seseorang.

Sedangkan belajar menghafal merupakan pengolahan informasi yang tidak

disesuaikan dengan struktur kognitif siswa dan tidak ada kaitannya dengan

pengetahuan yang ia miliki sebelumnya (Arianto, 2012).

Problem Based Learning (PBL) dimulai dengan memberikan masalah

yang mengaitkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Hal ini

yang sejalan dengan teori belajar Ausubel mengenai belajar bermakna.

3.1.1.2 Teori Belajar Vigotsky

Vigotsky (Rifai dan Anni, 2012) meyakini bahwa kemampuan

kognitif berasal dari hubungan sosial dan kebudayaan. Dia juga meyakini

bahwa perkembangan memori, perhatian dan nalar, melibatkan

pembelajaran dengan menggunakan alat yang ada dalam mayarakat, seperti

bahasa dan sistem matematika. Inti teori Vygotsky adalah menekankan

interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan

penekanannya pada lingkungan social pembelajaran.

Keterkaitan teori belajar Vigotsky dalam penelitian ini adalah

penerapan Problem Based Learning (PBL) dalam hal mengaitkan informasi

baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa melalui interaksi sosial.

Selain itu Problem Based Learning (PBL) dalam matematika dapat

mengembangkan kemampuan penalaran siswa.

3.1.1.3 Teori Belajar Piaget

Piaget sebagai salah satu tokoh penting dalam teori perkembangan

kognitif mengemukakan tiga prinsip utama dalam pembelajaran yaitu

belajar aktif, belajar melalui interaksi sosial, dan belajar melalui

pengalaman. (Rifai, 2012: 170)

Belajar aktif. Proses pembelajaran merupakan proses aktif, karena

pengetahuan terbentuk dari dalam subjek belajar. Untuk membantu

perkembangan kognitif anak, kondisi belajar perlu dibuat seoptimal

mungkin sehingga memungkinkan anak melakukan percobaan,

memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan, menjawab, dan

membandingkan penemuan sendiri dengan penemuan teman.

Belajar melalui interaksi sosial. Belajar perlu diciptakan suasana yang

memungkinkan terjadi interaksi di antara subjek belajar. Piaget percaya

bahwa belajar bersama akan membantu perkembangan kognitif anak.

Dengan interaksi sosial, anak akan diperkaya dengan berbagai macam sudut

pandang dan alternatif, sehingga perkembangan kognitif anak akan

mengarah ke banyak pandangan.

Belajar melalui pengalaman sendiri. Perkembangan kognitif anak akan

lebih berarti apabila didasarkan pada pengalaman nyata dari pada bahasa yang

digunakan untuk berkomunikasi. Jika hanya menggunakan bahasa tanpa

pengalaman sendiri, perkembangan kognitif anak cenderung mengarah ke

verbalisme.

Berdasarkan uraian di atas, pengalaman siswa dalam proses

pembelajaran sangat penting untuk perkembangan kognitif. Dengan

demikian, pengalaman belajar harus dimunculkan dalam proses belajar di

kelas sehingga pembelajaran matematika dapat diterima sesuai dengan

perkembangan kognitif siswa.

3.2 Problem Based Learning (PBL)

Menurut pendapat Schmidt, 1993; Savery dan Duffy, 1995; Hendry

dan Murphy, 1995 (dalam Rusman, 2013: 231), bahwa Problem Based

Learning (PBL) merupakan pembelajaran yang didasarkan pada teori belajar

kontruktivisme. Esensi pembelajaran konstruktivistik adalah siswa secara

individu menemukan dan mentransfer informasi yang dikehendakinya (Rifai

dan Anni, 2012).

Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model

pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami suatu

konsep pembelajaran (Utomo Tomi et.al, 2014). Ciri-ciri PBL menurut

beberapa ahli (Barrows dan Kelson, 2003; Ibrahim dan Nur, 2000; Stephen

dan Gallagher, 2009) dalam Sumarmo (2015) antara lain: diawali dengan

masalah kontekstual, siswa terlibat aktif dalam membangun

pengetahuannya, dan guru sebagai motivator dan fasilitator.

Karakteristik atau ciri-ciri Problem Based Learning (PBL) menurut

Akınoglu dan Tandogan (dalam Wardono et al, 2016) sebagai berikut:

(1) proses pembelajaran harus dimulai dengan masalah yang

didominasi masalah nyata; (2) bahan dan kegiatan belajar harus memperhatikan keadaan agar

dapat menarik perhatian siswa; (3) guru adalah seorang supervisor selama proses pembelajaran; (4) siswa perlu diberi waktu untuk berpikir atau mengumpulkan

informasi dan mengembangkan strategi untuk

pemecahan masalah; (5) tingkat kesulitan dari materi yang dipelajari tidak pada tingkat

tinggi yang dapat membuat siswa putus asa; (6) lingkungan belajar nyaman, tenang dan aman harus dibangun

sehingga mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir dan

menyelesaikan masalah.

Tujuan Problem Based Learning (PBL) menurut Ibrahim dan Nur

(Rusman, 2013) adalah untuk (1) membantu siswa mengembangkan

kemampuan berpikir dan memecahkan masalah, (2) belajar berperan sebagai

orang dewasa dengan melibatkan siswa dalam pengalaman nyata, dan (3)

menjadi siswa yang otonom. Ibrahim dan Nur menambahkan bahwa

langkah-langkah Problem Based Learning (PBL) adalah sebagai berikut:

Fase Tingkah Laku Guru

1

Orientasi siswa

pada masalah

Menjelaskan tujuan pembelajaran,

menjelaskan kebutuhan logistik yag

diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat

2

3

4

5

Mengorganisasi

siswa untuk

belajar

Membimbing

pengalaman

individu/kelompok

Mengembangkan

dan menyajikan

hasil karya

Menganalisis dan

mengevaluasi

proses pemecahan

masalah

dalam kegiatan pemecahan masalah.

Membantu siswa mendefinisikan tugas

belajar yang terkait dengan masalah

tersebut

Mendorong siswa untuk mengumpulkan

informasi yang sesuai, melaksanakan

eksperimen, dan mencari penjelasan dan

solusi

Membantu siswa dalam merencanakan dan

menyiapkan bahan-bahan untuk

dipresentasikan dan membantu mereka

untuk berbagi tugas dengan temannya.

Membantu siswa merefleksi atau

mengevaluasi proses penyelidikan yang

mereka gunakan dalam menyelesaikan

masalah.

3.3 Kemampuan Penalaran Matematis

Penalaran merupakan salah satu standar proses matematika di samping

komunikasi, koneksi matematika, dan pemecahan masalah. Menurut

Lithner, J. (2008:257), “reasoning is the line of though adopted to produce

assertions and reach conclusions in task solving.” Selanjutnya, menurut

Keraf, sebagaimana dikutip oleh Shadiq (2004: 2) penalaran (jalan

pikiran/reasoning) merupakan proses berpikir yang berusaha

menghubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju

kepada suatu kesimpulan.

Ross (dalam Lithner, 2000: 165) menyatakan bahwa “One of the most

important goals of mathematics courses is to teach student logical

reasoning”. Ini berarti penalaran merupakan hal penting yang harus

diajarkan pada siswa. Rochmad (2008) menambahkan bahwa bila

kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa

matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian

prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya.

Menurut Depdiknas sebagaimana dikutip Shadiq (2004) materi

matematika dan penalaran matematis merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan

penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.

Sehingga dengan kemampuan penalaran matematis yang dimiliki oleh

siswa, maka mereka dapat menarik kesimpulan dari beberapa fakta yang

mereka ketahui dengan lebih mudah. Sumarmo (2015) menggolongkan

penalaran menjadi dua jenis berdasarkan cara penarikan kesimpulannya

yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif (Amir

Almira, 2014) adalah suatu aktivitas berpikir untuk menarik suatu

kesimpulan dari pernyataan khusus yang diketahui dan bersifat umum.

Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh khusus menuju

konsep atau generalisasi. Beberapa kegiatan yang tergolong penalaran

induktif (Sumarmo, 2012) di antaranya adalah:

(1) Transduktif, yaitu menarik kesimpulan dari satu kasus (khusus) yang

diterapkan pada kasus khusus lainnya.

(2) Analogi, yaitu penarikan kesimpulan berdasarkan kemiripan data atau

proses.

(3) Generalisasi, yaitu penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah

data yang diamati.

(4) Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan (interpolasi atau

ektrapolasi).

(5) Memberi penjelasan terhadap model,fakta, sifat, hubungan, atau pola

yang ada.

(6) Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi dan menyusun

konjektur.

Sedangkan penalaran deduktif (Amir Almira, 2014) yaitu kebenaran

suatu konsep atau pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari

kebenaran sebelumnya. Proses pembuktian secara deduktif akan melibatkan

teori atau rumus matematika lainnya yang sudah dibuktikan kebenarannya.

Beberapa kegiatan yang tergolong penalaran deduktif (Sumarmo, 2012) di

antaranya adalah:

(1) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu.

(2) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa

validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argument yang valid.

(3) Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan

pembuktian dengan induksi matematika.

Tentunya penalaran tidak hanya digunakan dalam belajar matematika

saja, tetapi juga diperlukan untuk membuat keputusan atau dalam

penyelesaian masalah kehidupan sehari-hari.

3.3.1 Indikator Penalaran Matematika

Pada Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor

506/C/Kep/PP/2004 sebagaimana dikutip Wardhani (2008: 14), indikator

siswa memiliki kemampuan penalaran matematis, yaitu:

(1) Mengajukan dugaan,

(2) Melakukan manipulasi matematika,

(3) Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau

bukti terhadap kebenaran solusi,

(4) Menarik kesimpulan dari pernyataan,

(5) Memeriksa kesahihan suatu argument, dan

(6) Menentukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat

generalisasi.

Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan hanya 3 indikator yang

sesuai dengan KD perbandingan, yaitu (1) mengajukan dugaan, (2)

melakukan manipulasi matematika, (3) menyusun bukti, dan (4) menarik

kesimpulan.

3.3.2 Tingkat Kemampuan Penalaran Matematis

Tingkat kemampuan penalaran matematis dalam penelitian ini adalah

pengelompokkan tingkat kemampuan penalaran matematis siswa didasarkan

pada hasil perolehan tes kemampuan penalaran matematis yang

dikonversikan pada kategori atas, tengah, dan bawah. Kriteria

pengelompokkan kemampuan penalaran matematis menurut Suherman dan

Sukjaya (Riyanto, 2011) adalah sebagai berikut:

(1) Kelompok penalaran tinggi: nilai ≥ �� + 1𝑆

(2) Kelompok penalaran sedang: �� − 1𝑆 ≤ nilai < �� + 1𝑆

(3) Kelompok penalaran rendah: nilai < �� − 1𝑆

Keterangan:

�� : rata-rata hasil tes kemampuan penalaran matematis

𝑆 : simpangan baku hasil tes kemampuan penalaran matematis

3.4 Gaya Belajar

Cara siswa dalam memahami dan menyerap informasi sudah pasti

berbeda satu sama lainnya. Sebagian siswa lebih suka bila guru mengajar

dengan menuliskan materi di papan tulis, sehingga mereka dapat membaca

dan memahaminya. Tetapi sebagian siswa lain lebih suka guru

menyampaikan materi secara lisan sehingga mereka dapat mendengarkan

dan memahami. Ada juga siswa yang lebih suka dengan pembelajaran yang

menggunakan alat peraga. Cara siswa dalam belajar ini lebih kita kenal

dengan gaya belajar.

Ada beberapa pendapat tentang definisi gaya belajar. Beberapa

pendapat tersebut antara lain.

1. Gunawan (2012: 139) menjelaskan gaya belajar adalah cara yang lebih

kita sukai dalam melakukan kegiatan berkiri, memproses, dan mengerti

suatu informasi.

2. Cahtib (2014: 100) menerangkan gaya belajar adalah respon yang

paling peka dalam otak seseorang untuk menerima data atau informasi

dari pemberi informasi dan lingkungannya.

3. DePorter dan Hernacki (2000: 110) merumuskan bahwa gaya belajar

merupakan kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di

sekolah, dan dalam situasi-situasi antar pribadi.

4. Kolb, Honey, dan Mumford (dalam Abidin et al, 2011)

menggambarkan gaya belajar sebagai cara yang disukai atau kebiasaan

individu dalam mengolah dan mentransformasi pengetahuan.

5. Dunn dan Dunn (dalam Pashler et al, 2009) menjelaskan bahwa gaya

belajar adalah cara dimana setiap siswa mulai berkonsentrasi,

memroses, menyerap, dan mempertahankan informasi baru.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan bahwa

gaya belajar ialah cara yang lebih disukai untuk memperoleh informasi yang

dipelajari.

DePorter dan Hernacki (2000: 112) menggolongkan gaya belajar

berdasarkan cara menerima informasi dengan mudah (modalitas) ke dalam

tiga tipe yaitu gaya belajar tipe visual, tipe auditorial, dan tipe kinestetik.

Berikut ini pembahasan mengenai tiga tipe gaya belajar.

3.4.1 Gaya Belajar Visual

Gaya belajar visual yaitu gaya belajar dimana seseorang merasa paling

baik dengan melihat, memperhatikan, dan mengamati benda-benda yang

dipelajarinya. Menurut Felder and Henriques (dalam Abidin et al, 2011),

pelajar visual adalah mereka yang memilih untuk menerima informasi

dalam bentuk gambar, diagram, film, dan dokumentasi. Terkadang siswa

dengan gaya belajar visual lebih menyukai duduk di depan kelas dan

mencatat deskripsi materi yang disajikan (Gilakjani, 2012).

Menurut De Potter & Hernacky (2000: 116-167), ciri-ciri orang yang

mempunyai gaya belajar visual sebagai berikut.

1. Rapi dan teratur.

2. Berbicara dengan cepat.

3. Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik.

4. Teliti terhadap detail.

5. Mementingkan penampilan, baik dalam pakaian maupun

presentasi

6. Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya

dalam pikirannya

7. Mengingat dengan asosiasi visual

8. Biasannya tidak terganggu denga keributan

9. Mempunyai masalah untuk mengingat intruksi verbal kecuali jika

ditulis, dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya.

10. Pembaca cepat dan tekun

11. Lebih suka membacakan daripada dibacakan.

12. Membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan

bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang

suatu masalah atau proyek.

13. Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam

rapat.

14. Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain.

15. Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban yang singkat ya

atau tidak.

16. Lebih suka melakukan demontrasi daripada berpidato.

17. Lebih suka seni daripada musik.

18. Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak

pandai memilih kata-kata.

19. Kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin

memperhatikan.

3.4.2 Gaya Belajar Auditori

Gaya belajar visual yaitu gaya belajar dimana seseorang merasa paling

baik belajar dari suara dengan bercerita (mempresentasikan sesuatu),

berdiskusi, dan mengemukakan pendapat. Seperti penuturan Gilakjani

(2012), siswa dengan gaya belajar auditori menemukan informasi melalui

mendengarkan dan menafsirkan informasi dari lapangan. Biasanya siswa

dengan gaya belajar ini mendapatkan pengetahuan dengan cara membaca

dengan keras dan diperkirakan kurang memiliki pemahaman penuh dari

informasi yang tertulis.

Menurut DePorter & Henacky (2000: 117), ciri-ciri orang yang

mempunyai gaya belajar auditori sebagai berikut.

1. Berbicara kepada dirinya sendiri saat bekerja.

2. Mudah terganggu keributan.

3. Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku

ketika membaca.

4. Senang membaca dengan keras dan mendengarkan.

5. Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan

warna suara

6. Merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita

7. Bebicara dalam irama yang terpola

8. Biasanya fasih dalam berbicara

9. Lebih suka musik daripada seni.

10. Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang

didiskusikan daripada dilihat.

11. Suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang

lebar.

12. Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat

visualisasi, seperti memotong bagian-bagian sehingga sesuai satu

sama lain.

13. Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya.

14. Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik.

3.4.3 Gaya Belajar Kinestetik

Gaya belajar kinestetik mengandalkan kepada sentuhan seperti gerak

dan emosi untuk dapat mengingat suatu informasi.

Menurut DePorter & Henacky (2000: 117), ciri-ciri orang yang

mempunyai gaya belajar kinestetik sebagai berikut.

1. Berbicara dengan perlahan

2. Menanggapi perhatian fisik

3. Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka

4. Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang.

5. Selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak.

6. Mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar.

7. Belajar melalui manipulasi dan praktek

8. Meghafal dengan cara berjalan dan melihat.

9. Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca.

10. Banyak menggunakan isyarat tubuh

11. Tidak dapat duduk diam untuk waktu yang lama

12. Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang

telah pernah berada di tempat itu.

13. Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot dengan

mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca.

14. Ingin melakukan segala sesuatu.

3.5 Ketuntasan Belajar

Ketuntasan belajar adalah pencapaian suatu tingkat penguasaan

minimal dalam tujuan pembelajaran pada setiap satuan pelajaran.

Ketuntasan belajar dapat dilihat dari membandingkan nilai ulangan harian

peserta didik melalui tes dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

KKM di SMP Negeri 2 Batang kelas VIII pada mata pelajaran matematika

adalah 70. Indikator ketuntasan belajar pada penelitian ini adalah sebagai

berikut.

(1) Ketuntasan Belajar Individual

Dalam penelitian ini, ketuntasan belajar individual ditandai dengan

pencapaian nilai tes penalaran matematis sesuai dengan kriteria ketuntasan

minimal.

(2) Ketuntasan Belajar Klasikal

Dalam penelitian ini, suatu kelas dikatakan telah mencapai ketuntasan

belajar klasikal jika banyaknya siswa yang telah mencapai ketuntasan

belajar individu sekurang-kurangnya adalah 75%.

3.6 Tinjauan Materi Prisma

3.6.1 Standar Kompetensi

5. Memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, limas, dan bagian-

bagiannya, serta menentukan ukurannya.

3.6.2 Kompetensi Dasar

5.1 Mengidentifikasi sifat-sifat limas serta bagian-bagiannya.

5.2 Membuat jaring-jaring limas.

5.3 Menghitung luas permukaan dan volume limas.

3.7 Penelitian yang Revelan

1. Zaenab (2015) dengan penelitiannya “Analisis Kemampuan Penalaran

Matematis Siswa Melalui Pendekatan Problem Posing di Kelas X IPA

1 SMA Negeri 9 Malang” diperoleh bahwa kemampuan penalaran

siswa melalui pendekatan Problem Posing telah mencapai 6 dari 7

indikator penalaran Problem Posing dengan baik. Indikator yang

belum terpenuhi tersebut adalah siswa menyajikan pernyataan

matematika dalam bentuk diagram. Data kemampuan penalaran siswa

ini diperoleh melalui analisis terhadap hasil tes yang telah dilakukan

siswa.

2. Kusmaryono (2013) dengan penelitiannya “Analisis Kemampuan

Penalaran Matematika pada Model Pembelajaran Numbered Heads

Together dengan Pendekatan Snowball Throwing Terhadap Siswa

SMP” diperoleh bahwa pembelajaran model Numbered Heads

Together dengan pendekatan Snowball Throwing dapat melatih

kemampuan penalaran siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil tes

kemampuan penalaran siswa secara klasikal mencapai 76,01%.

3. Zainol (2011) dalam penelitian yang berjudul “learning Styles and

Overall Academic Achievement in a Spesific Educational System”

diperoleh bahwa siswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda dari

tujuh gaya belajar utama yaitu auditorial, visual, reflektif, analitik,

global, kinestetik, dan gaya belajar kelompok. Gaya belajar

memberikan dampak pada prestasi secara keseluruhan.

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah peneliti ingin

menganalisis kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII ditinjau dari

gaya belajar siswa meliputi gaya belajar visual, gaya belajar auditorial, dan

gaya belajar kinestetik dalam Problem Based Learning (PBL).

3.8 Kerangka Berfikir

Penalaran merupakan salah satu kemampuan matematika yang harus

dikuasi siswa dalam pembelajaran matematika. Hal ini karena materi

matematika dan penalaran matematis merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan

penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.

Kemampuan penalaran dapat secara lansung meningkatkan hasil belajar

siswa. Siswa dengan kemampuan penalaran yang rendah akan menyebabkan

siswa kesulitan dalam memahami konsep matematika.

Meskipun penalaran matematis sangat penting, tetapi kemampuan

penalaran matematis siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil TIMSS

dan PISA, hasil observasi dan wawancara dengan salah satu guru

matematika. Hasil TIMSS menunjukkan rata-rata persentase paling rendah

dicapai oleh siswa Indonesia adalah pada domain kognitif pada level

penalaran (reasoning). Sedangkan menurut survei PISA menunjukkan

bahwa rata-rata skor prestasi siswa di Indonesia belum mencapai skor rata-

rata internasional. Berdasarkan observasi dan juga wawancara dengan salah

satu guru matematika, diperoleh bahwa siswa masih mengalami kesulitan

dalam menyelesaikan masalah penalaran matematis.

Sejalan dengan pentingnya kemampuan penalaran matematis, maka

kemampuan penalaran matematis siswa perlu ditingkatkan. Berbagai upaya

dapat diusahakan oleh guru, diantaranya dengan memberikan pembelajaran

yang sesuai bagi siswa. Salah satu model pembelajaran yang

memungkinkan siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir

(penalaran, komunikasi, dan koneksi) dalam memecahkan masalah adalah

Problem Based Learning (PBL). Problem Based Learning (PBL) berpusat

kepada siswa sehingga siswa secara aktif terlibat dalam proses belajar.

Problem Based Learning (PBL) tidak mengharapkan siswa hanya sekedar

mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi

melalui Problem Based Learning (PBL) siswa aktif berpikir, berkomunikasi,

mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.

Kurangnya kemampuan penalaran matematis siswa juga dipengaruhi

oleh beberapa faktor seperti gaya belajar, kecemasan matematika instruksi,

kurangnya rasa percaya diri, kepercayaan guru, lingkungan, kurangnya

perhatian orang tua, serta jenis kelamin. Adapun gaya belajar merupakan

salah satu faktor yang penting dan berkaitan erat dengan diri siswa. Karena

setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Hal inilah yang

kemudian menjadi sangat penting bagi guru untuk menganalisis dan

mengetahui gaya belajar siswa yang menyebabkan kurangnya kemampuan

penalaran matematis siswa. Karena tipe gaya belajar yang berbeda dapat

menyebabkan kemampuan penalaran matematis yang berbeda pula.

Kemampuan penalaran matematis siswa yang kurang serta perbedaan tipe

gaya belajar siswa perlu dikaji lebih lanjut.

3.9 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berfikir diatas, hipotesis penelitian dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Siswa yang diajarkan dengan model Problem Based Learning (PBL)

pada materi bangun ruang limas mencapai ketuntasan pada kemampuan

penalaran matematis.

2. Model Permbelajaran Berbasis Masalah (PBM) pada materi bangun

ruang limas dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis.

4. METODE PENELITIAN

Analisis kemampuan penalaran matematis berdasarkan gaya

belajar siswa kelas VIII F dalam PBM

KEMAMPUAN PENALARAN

MATEMATIS

Kemampuan penalaran

matematis sebagian besar siswa

rendah

Gaya belajar siswa yang berbeda

menyebabkan kemampuan

penalaran matematis yang berbeda

Penerapan pembelajaran

Problem Based Learning

(PBL)

Analisis tipe gaya belajar siswa

kelas VIII F

Analisis kemampuan penalaran

matematis dalam Problem

Based Learning (PBL)

Tes kemampuan penalaran

matematika

4.1 Jenis dan Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixed methods

atau metode penelitian kombinasi. Menurut Creswell sebagaimana dikutip

dalam Sugiyono (2013;404), menyatakan metode penelitian campuran

adalah suatu model pendekatan dalam penelitian yang mengkombinasikan

atau menghubungkan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif

untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih valid, reliabel, dan objektif.

Model metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

concurrent embedded design (model campuran tidak berimbang). Seperti

yang dijelaskan Creswell dalam Sugiyono (2013;412) bahwa concurrent

embedded design merupakan metode penelitian yang mengkombinasikan

metode kualitatif dan kuantitatif secara bersama-sama dengan bobot metode

yang tidak seimbang. Dalam penelitian ini menggunakan 30% metode

kuantitatif dan 70% metode kualitatif. Pembagian ini dikarenakan metode

kualitatif sebagai metode primer dan metode kuantitatif sebagai metode

sekunder yang berperan untuk menunjang hasil penelitian sehingga data

yang diperoleh menjadi lebih akurat.

Dalam penelitian ini, pendekatan kuantitatif digunakan untuk

menganalisis kualitas Problem Based Learning (PBL) dan pendekatan

kualitatif digunakan untuk menganalisis kemampuan penalaran matematis

berdasarkan gaya belajar siswa.

4.2 Populasi, Sampel, dan Subjek Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di SMP Negeri 2 Batang yang beralamat

di Jalan RE Martadinata, Sekalong, Kabupaten Batang. Pemilihan lokasi ini

karena peneliti pernah melakukan kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan

(PPL) di SMP Negeri 2 Batang sehingga telah mengetahui gambaran awal

tentang karakter siswa. Sehingga populasi dalam penelitian ini adalah siswa

kelas VIII di SMP Negeri 2 Batang tahun ajaran 2015/2016.

Dengan menggunakan nilai hasil Ulangan Tengah Semester (UTS)

genap diperoleh data awal untuk menentukan bahwa sampel dalam

penelitian ini berasal kondisi populasi yang berdistribusi normal dan

homogen, setelah ini dipilih kelas eksperimen yang akan diberi perlakuan

berupa pemberian Problem Based Learning (PBL) dan kelas kontrol yang

akan diberi perlakuan berupa pemberian pembelajaran ekspositori. Sampel

adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

(Sugiyono, 2012: 62). Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan tekni cluster random sampling. Tekni cluster random

sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan melakukan randomisasi

terhadap subjek secara kelompok (Azwar, 2005: 87). Sampel yang terpilih

dalam penelitian ini adalah kelas eksperimen VIII-F dan kelas kontrol VIII-

A.

Menurut Sugiyono (2010:314) actor, pelaku atau orang-orang yang

sedang memainkan peran tertentu. Ia juga berpendapat bahwa actor adalah

semua orang yang terlibat dalam situasi sosial. Dalam penelitian ini, subjek

penelitian yang menjadi sumber informasi adalah minimal 18 siswa kelas

VIII-F SMP Negeri 2 Batang. Berikut disajikan alur penentuan subjek

penelitian.

Agar kemampuan penalaran matematis diketahui berdasarkan tipe

gaya belajar siswa, maka dilakukan wawancara. Teknik pemilihan subjek

wawancara dilakukan dengan teknik purposive sampling. Menurut

Sugiyono (2010: 300), teknik sampling yang sering digunakan pada

penelitian kualitatif adalah:

… purposive sampling, dan snowball sampling. Seperti telah

dikemukakan bahwa, purposive sampling adalah teknik pengambilan

sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan

tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu

tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa

sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial

yang diteliti.

4.3 Variabel Penelitian

4.3.1 Variabel Bebas

Variable bebas adalah variable yang memengaruhi atau menjadi

penyebab terjadinya perubahan atau munculnya vaiabel terikat (Sugiyono,

dipilih

Siswa kelas VIII-F (kelas eksperimen) diberi perlakuan berupa Problem

Based Learning (PBL)

Tes kemampuan penalaran matematis

Tes penggolongan gaya belajar

2 siswa tipe gaya

belajar visual

2 siswa tipe gaya

belajar auditorial

2 siswa tipe gaya

belajar kinestetik

Tinggi Sedang Rendah

dipilih

2 siswa tipe gaya

belajar visual

2 siswa tipe gaya

belajar auditorial

2 siswa tipe gaya

belajar kinestetik

dipilih

2 siswa tipe gaya

belajar visual

2 siswa tipe gaya

belajar auditorial

2 siswa tipe gaya

belajar kinestetik

2013). Dalam penelitian ini yang menjadi variable bebas adalah

pembelajaran matematika dengan Problem Based Learning (PBL) dan

pembelajaran matematika dengan pembelajaran ekspositori.

4.3.2 Variabel Terikat

Variable terikat merupakan yang dipengaruhi atau menjadi akibat

karena adanya variable bebas (Sugiyono, 2013). Dalam penelitian ini

variabel terikatnya adalah kemampuan penalaran matematis siswa kelas

VIII.

4.4 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil pengamatan

kinerja guru, hasil pengamatan aktivitas siswa, hasil angket gaya belajar,

hasil pre-test, dan hasil post test untuk membantu analisis kualitas

pembelajaran. Hasil pre-test juga digunakan untuk menentukan tingkat

kemampuan penalaran matematis siswa dan data hasil wawancara untuk

menganalisis kemampuan penalaran matematis berdasarkan gaya belajar

siswa.

4.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

4.5.1 Metode Dokumentasi

Dalam penelitian ini, metode dokumentasi digunakan untuk

mendapatkan data yang berupa hasil UAS semester genap dan daftar nama

siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Batang tahun ajaran 2015/2016.

4.5.2 Metode Tes

Metode tes yang diberikan merupakan tes tertulis yang berbentuk

uraian. Tes yang diujikan telah divalidasi oleh para validator sebelumnya.

Metode ini digunakan untuk mendapatkan data mengenai kemampuan

penalaran siswa.

4.5.3 Metode Angket

Menurut Sugiyono (2010: 199), metode angket (kuesioner) adalah

cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat

pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk menjawabnya.

Pada penelitian ini, metode angket digunakan untuk memperoleh data gaya

belajar siswa kelas.

Metode angket yang digunakan dalam angket ini ialah metode angket

langsung. Metode angket langsung yaitu metode angket yang jawaban dari

pertanyaan-pertanyaan diperoleh secara langsung dari subjek penelitian

tanpa melalui perantara. Metode angket ini dilakukan untuk memperoleh

informasi mengenai gaya belajar dari subjek penelitian.

4.5.4 Metode Wawancara

Metode wawancara yang dilakukan diperlukan untuk mendapatkan

informasi yang mendalam dan mendukung mengenai apa yang telah

didapatkan dari tes tertulis. Wawancara yang dilakukan adalah mengenai

jawaban yang dikerjakan oleh siswa. Untuk menghindari agar tidak ada data

yang terlewatkan maka digunakan recorder untuk merekam semua

informasi selama wawancara.

Setelah ditentukan sebanyak enam subjek untuk setiap gaya belajar,

maka diadakan wawancara terhadap subjek tersebut. Wawancara bersifat tak

terstruktur dengan tujuan menemukan masalah dengan terbuka, artinya

subjek diajak mengemukakan pendapat dan ide-idenya tentang penyelesaian

masalah yang telah dituliskan dalam lembar jawaban tes penalaran

matematis.

4.5.5 Catatan Lapangan

Catatan lapangan dimaksudkan untuk melengkapi data yang tidak

ditentukan dalam tes tertulis dan wawancara yang bersifat penting.

4.6 Instrumen Penelitian

4.6.1 Peneliti

Peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan instrumen utama.

Peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis,

penafsir data, dan membuat kesimpulan.

Menurut Nasution sebagaimana dikutip oleh Sugiyono (2010: 307),

peneliti sebagai instrumen utama memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus

dari lingkungan

2. peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek

keadaan

3. tiap situasi merupakan keseluruhan

4. suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami

dengan pengetahuan semata

5. peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang

diperoleh

6. hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan

berdasarkan data yang dikumpulkan

7. dengan manusia sebagai instrumen, respon yang aneh, yang

menyimpang justru diperhatikan.

4.6.2 Instrumen Angket Gaya Belajar

Dalam meneliti karakter siswa yang terbentuk dibutuhkan instrumen

untuk penelitian kualitatif. Instrumen dalam penelitian kualitatif utamanya

adalah peneliti sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi

jelas maka akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang

diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang

telah ditemukan melalui observasi dan wawancara (Sugiyono, 2010: 307).

Angket ini disusun berdasarkan kisi-kisi dan indikator yang merujuk

teori gaya belajar menurut Deporter & Hernacki.

4.6.3 Instrumen Tes Penalaran Matematis

Tes merupakan serentetan pertanyaan atau latihan yang digunakan

untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau

bakat yang dimiliki individu atau kelompok (Arikunto, 2006: 150).

Instrumen tes yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tes penalaran

matematis yang berupa tes uraian untuk mengetahui sejauh mana

kemampuan penalaran matematis siswa.

Penyusunan kisi-kisi tes disesuaikan dengan Kompetensi Dasar dan

indikator kemampuan penalaran matematis. Setelah perangkat instrumen

tersusun, kemudian diujicobakan terlebih dahulu pada kelompok uji coba

yaitu kelompok di luar kelompok subjek penelitian. Dengan soal yang sama

dan tenggang waktu yang cukup untuk diuji apakah butir-butir soal tersebut

valid dan dapat digunakan.

Setelah dilakukan uji coba, dilakukan analisis terhadap validitas,

reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda butir soal. Soal yang

diberikan pada kelas subjek adalah soal-soal yang telah diperbaiki dengan

melihat hasil uji coba sebelumnya.

1. Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan

atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2006: 168). Suatu instrumen

yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Rumus yang digunakan

adalah rumus yang dikemukakan oleh Pearson, yang dikenal dengan rumus

korelasi product moment sebagai berikut

𝑟𝑥𝑦 =𝑁 ∑ 𝑋𝑌 − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌)

√{𝑁 ∑ 𝑋2 − (∑ 𝑋)2

}{𝑁 ∑ 𝑌2 − (∑ 𝑌)2

}

Keterangan :

𝑟𝑥𝑦 : Koefisien korelasi skor butir soal dan skor total.

𝑁 : Banyaknya subjek.

𝛴𝑋 : Banyaknya butir soal.

𝛴𝑌 : Jumlah skor total.

𝛴𝑋𝑌 : Jumlah perkalian skor butir dengan skor total.

𝛴𝑋2: Jumlah kuadrat skor butir soal.

𝛴𝑌2 : Jumlah kuadrat skor total.

Hasil perhitungan 𝑟𝑥𝑦 dikonsultasikan pada tabel product moment

dengan 𝛼 = 5%, jika 𝑟𝑥𝑦 > 𝑟tabel maka butir soal tersebut valid.

2. Reliabilitas

Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa suatu instrumen

cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data

(Arikunto, 2006: 168). Reliabilitas instrumen dianalisis dengan

menggunakan rumus Alpha. Rumus Alpha digunakan untuk mencari

reliabilitas instrumen yang skornya bukan 0 dan 1, misalnya angket atau

soal bentuk uraian.

𝑟11 = (𝑘

𝑘 − 1) (1 −

∑ 𝜎𝑖2

𝜎𝑡2 )

Dengan 𝜎𝑡2 =

∑ 𝑋2−(∑ 𝑋)

2

𝑁

𝑁

Keterangan :

𝑟11 : Reliabilitas instrumen yang dicari

𝑘 : Banyaknya butir soal

𝑁 : Jumlah siswa

𝑋 : Skor tiap butir soal

𝑡 : Nomor butir soal

∑ 𝜎𝑖2: Jumlah varians skor tiap-tiap butir soal

𝜎𝑡2 : Varians total

Perhitungan reliabilitas akan sempurna jika hasil tersebut

dikonsultasikan dengan tabel 𝑟 product moment. Jika 𝑟11 > 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka

soal tersebut reliabel.

3. Daya Pembeda

Analisis daya pembeda digunakan untuk mengetahui kemampuan soal

tersebut dalam membedakan siswa yang pandai dengan siswa yang kurang

pandai. Signifikansi daya pembeda tes berbentuk uraian ditentukan dengan

menggunakan uji t dengan rumus sebagai berikut.

𝑡 =𝑋1 − 𝑋2

√∑ 𝑋1

2 + ∑ 𝑋22

𝑛𝑖(𝑛𝑖 − 1)

Keterangan :

𝑡 = daya pembeda

𝑋1 = rata-rata kelompok atas

𝑋2 = rata-rata kelompok bawah

∑ 𝑋12

= Jumlah kuadrat deviasi individual dari kelompok atas

∑ 𝑋22

= Jumlah kuadrat deviasi individual dari kelompok bawah

𝑛𝑖 = 27% × 𝑁

Jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dengan derajat kebebasan = (n – 1) + (n – 2)

dengan taraf signifikan 5% maka daya pembeda soal tersebut signifikan.

(Arifin, 2012 :141)

4. Tingkat Kesukaran

Bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal disebut

indeks kesukaran. Besarnya indeks kesukaran antara 0,0 sampai 1,0. Indeks

kesukaran ini menunjukkan taraf kesukaran soal. Soal dengan indeks

kesukaran 0,0 menunjukkan bahwa soalnya mudah. Soal yang baik adalah

soal yang tidak terlalu mudah atau terlalu sukar.

Teknik perhitungan tingkat kesukaran butir soal uraian adalah dengan

menghitung berapa persen peserta tes yang gagal menjawab benar atau ada

di bawah batas lulus (passing grade) untuk tiap-tiap item. Rumus yang

digunakan adalah:

𝑇𝐾 =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑠𝑒𝑟𝑡𝑎 𝑡𝑒𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑔𝑎𝑔𝑎𝑙

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑠𝑒𝑟𝑡𝑎 𝑡𝑒𝑠× 100%

(Arifin, 2012 : 135).

Interpretasi nilai tingkat kesukaran itemnya dapat digunakan tolak

ukur sebagai berikut.

(1) Jika jumlah testi yang gagal ≤ 27%, termasuk mudah.

(2) Jika 27% < jumlah testi yang gagal ≤ 72%, termasuk sedang.

(3) Jika jumlah testi yang gagal > 72%, termasuk sukar.

(4) Batas lulus ideal adalah 6 untuk skala 0-10.

4.6.4 Instrumen Pedoman Wawancara

Penyusunan instrumen pedoman wawancara diawali dengan

mempelajari dan mengkaji indikator kemampuan penalaran matematis yang

dijadikan pedoman dalam menyusun pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan

yang disusun didasarkan pada tujuan untuk menganalisis kemampuan

penalaran matematis subjek penelitian dalam menyelesaikan masalah.

Instrumen pedoman wawancara ini selanjutnya divalidasi oleh ahli

yang terdiri atas dua orang. Yang dimaksud ahli dalam hal ini adalah dosen

pendidikan matematika. Dipilihnya dosen karena dosen dipandang sebagai

pakar dan praktisi yang telah ahli dan berpengalaman dalam

mengembangkan instrumen penelitian.

Validasi intrumen wawancara diarahkan pada kejelasan butir

pertanyaan dan apakah pertanyaan sudah mengungkap kemampuan

komunikasi matematis subjek penelitian dalam menyelesaikan masalah

matematika.

4.7 Teknik Analisis Data

4.7.1 Analisis Data Kuantitatif

Analisis data kuantitatif dilakukan dua tahap, yaitu analisis data awal

dan analisis data akhir. Analisis data awal dilaksanakan sebelum diberikan

perlakuan. Hal ini dilaksanakan untuk mengetahui kedua kelas yang akan

dibandingkan memiliki kondisi yang sama. Data yang digunakan pada

analisis awal adalah data hasil Ulangan Tengah Semester (UTS) genap kelas

VIII SMP Negeri 2 Batang. Sedangkan analisis data akhir yaitu analisis data

nilai hasil tes kemampuan penalaran matematis yang dilakukan setelah

pembelajaran matematika.

4.7.1.1 Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk menentukan data dalam kelompok

sampel berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini, pengujian

normalitas data menggunakan uji chi-kuadrat.

Adapun rumus yang digunakan adalah rumus Chi Kuadrat, yaitu:

𝜒2 = ∑(𝑓0 − 𝑓ℎ)2

𝑓ℎ

Keterangan:

𝜒2 : harga chi kuadrat,

𝑓0 : Frekuensi hasil pengamatan,

𝑓ℎ : Frekuensi yang diharapkan.

Langkah-langkah yang dilakukan.

a. Merumuskan hipotesis

𝐻0 : Data berdistribusi normal

𝐻1 : Data tidak berdistribusi normal

b. Menentukan taraf nyata (𝛼)

c. Menentukan nilai uji statistik.

𝜒2 = ∑(𝑓0 − 𝑓ℎ)2

𝑓ℎ

Keterangan:

𝜒2 : harga chi kuadrat,

𝑓0 : Frekuensi hasil pengamatan,

𝑓ℎ : Frekuensi yang diharapkan.

d. Kriteria pengujiannya: tolak 𝐻0 jika 𝜒2ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

< 𝜒2𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙

, dengan

𝜒2𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙

= 𝜒21−𝛼;𝑑𝑘

derajat kebebasan dk = (k–1) dan taraf signifikan

5%. (Sugiyono, 2010: 81).

4.7.1.2 Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk memperoleh asumsi bahwa sampel

penelitian berasal dari kondisi awal yang sama atau homogen yaitu dengan

menyelidiki varians dari kelas eksperimen dan kelas kontrol sama atau

tidak. Untuk menguji homogenitas dari dua kelompok data digunakan uji

Fisher (uji F).

Langkah-langkah pada Uji F adalah sebagai berikut.

1) Merumuskan hipotesis pengujian

H0: 𝜎12 = 𝜎2

2, (dua sampel homogen)

H1: 𝜎12 ≠ 𝜎2

2 , (dua sampel tidak homogen)

2) Menentukan taraf signifikan yang dalam penelitian ini diambil taraf

signifikan sebesar 10%.

3) Melakukan perhitungan statistik

𝐹 =𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟

𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙

4) Kriteria pengujian.

Tolak H0 jika 𝐹 ≥ 𝐹12⁄ 𝛼(𝑣1,𝑣2), dengan 𝐹1

2⁄ 𝛼(𝑣1,𝑣2)diperoleh dari daftar

distribusi 𝐹 dengan peluang 12⁄ 𝛼 dan derajat kebebasan 𝑣1 = 𝑛1 − 1

dan 𝑣2 = 𝑛2 − 1.

4.7.1.3 Uji Ketuntasan

Uji ketuntasan dalam penelitian ini untuk mengetahui apakah hasil

belajar kemampuan penalaran matematis siswa dalam Problem Based

Learning (PBL) mencapai ketuntasan klasikal atau tidak. Ketuntasan

individual didasarkan pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM di

SMP Negeri 2 Batang untuk mata pelajaran matematika pada kelas VIII

adalah 70. Sementara kriteria ketuntasan klasikal yaitu persentase siswa

yang mencapai ketuntasan individual minimal sebesar 75%. Uji ketuntasan

klasikal menggunakan uji proposi satu pihak, maka akan dilakukan uji

ketuntasan klasikal hasil tes sebagai berikut:

1. Merumuskan hipotesis

𝐻0 ∶ 𝜋 ≤ 0,75 (proporsi ketuntasan hasil tes kemampuan penalaran

matematis kurang dari atau sama dengan 75%)

𝐻1 ∶ 𝜋 > 0,75 (proporsi ketuntasan hasil tes kemampuan penalaran

matematis lebih dari dengan 75%)

2. Menentukan taraf signifikan yang dalam penelitian ini diambil taraf

signifikan sebesar 5%.

3. Melakukan perhitungan statistik

𝑧 =𝑥

𝑛⁄ − 𝜋0

√𝜋0(1 − 𝜋0)𝑛

Keterangan:

𝑧 : nilai 𝑧 hitung;

𝑥 : banyaknya siswa yang tuntas;

𝜋0 : nilai ketuntasan klasikal minimal yang telah ditentukan;

𝑛 : jumlah seluruh siswa

4. Kriteria

Tolak 𝐻0 jika 𝑧 ≥ 𝑧0,5−𝛼 dan pada hal lainnya terima 𝐻0 (Sudjana,

2005: 234).

4.7.1.4 Uji Gain Score Ternormalisasi

Untuk melihat peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa

dilakukan analisis terhadap gain ternormalisasi. Menurut Hake sebagaimana

dikutip oleh Susanto (2012) gain ternormalisasi dapat dihitung dengan

rumus:

< 𝑔 > =< 𝑆𝑝𝑜𝑠𝑡 > −< 𝑆𝑝𝑟𝑒 >

100%−< 𝑆𝑝𝑟𝑒 >

Keterangan :

< 𝑔 > : gain score ternormalisasi

< 𝑆𝑝𝑜𝑠𝑡 > : skor post test

< 𝑆𝑝𝑟𝑒 > : skor pre-test

Adapun untuk kriteria indeks gain menurut Hake adalah sebagai

berikut.

Indeks gain Kriteria

𝑔 ≥ 0,7 Tinggi

0,3 ≤ 𝑔 < 0,7 Sedang

𝑔 < 0,3 Rendah

Dalam penelitian ini, gain score ternormalisasi kelas eksperimen akan

dibandingkan dengan gain score ternormalisasi kelas kontrol yang telah

dipilih. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kepastian bahwa terdapat

peningkatan kemampuan penalaran siswa yang signifikan dalam Problem

Based Learning (PBL). Untuk itu dilakukan uji perbedaan rata-rata gain

score ternormalisasi. Namun sebelumnya dilakukan uji normalitas dan uji

homogenitas varians.

4.7.1.5 Uji t Gain Score Ternormalisasi

Untuk mengetahui bahwa peningkatan kemampuan penalaran

matematis siswa kelas eksperimen lebih signifikan dari kelas kontrol, maka

digunakan uji perbedaan rata-rata gain score ternormalisasi dengan

menggunakan uji perbedaan rata-rata pihak kanan. Setelah dilakukan uji

normalitas dan uji homogenitas data, maka uji perbedaan rata-rata yang

digunakan adalah uji-t.

Langkah-langkah pada uji-t adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan hipotesis

𝐻0 ∶ 𝜇1 = 𝜇2 (peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa

pada kelas eksperimen sama dengan peningkatan

kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas

kontrol)

𝐻1 ∶ 𝜇1 > 𝜇2 (peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa

pada kelas eksperimen lebih baik daripada peningkatan

kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas

kontrol)

2. Menentukan taraf signifikan yang dalam penelitian ini diambil taraf

signifikan sebesar 5%.

3. Melakukan perhitungan statistik

Apabila data berdistribusi normal dan homogen, maka

𝑡 =𝑥1 − 𝑥2

𝑠√1

𝑛1+

1𝑛2

Dengan

𝑠2 =(𝑛1 − 1)𝑠1

2 + (𝑛2 − 1)𝑠22

𝑛1 + 𝑛2 − 2

Keterangan:

𝑡 : nilai 𝑡 hitung;

𝑥1 : rata-rata gain score ternormalisasi kelas eksperimen

𝑥2 : rata-rata gain score ternormalisasi kelas kontrol

𝑠 : simpangan baku gabungan

𝑠1 : simpangan baku kelas eksperimen

𝑠2 : simpangan baku kelas kontrol

𝑛1 : jumlah seluruh siswa kelas eksperimen

𝑛2 : jumlah seluruh siswa kelas kontrol

4. Kriteria pengujian

Tolak 𝐻0 jika 𝑡 ≥ 𝑡1−𝛼 dan pada hal lainnya terima 𝐻0 dengan derajat

kebebasan untuk table distribusi t ialah (𝑛1 + 𝑛2 − 2) dan peluang (1 −

𝛼). (Sudjana, 2005: 243).

4.7.2 Analisis Data Kualitatif

Menurut Miles dan Huberman (1992:16) analisis data pada penelitian

kualitatif dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut.

4.7.2.1 Reduksi data (data reduction).

Reduksi data didefinisikan sebagai proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang

muncul dari catatan-catatn tertulis di lapangan. Reduksi data juga berperan

sebagai upaya agar tidak terjadi penumpukan data atau informasi yang

diperoleh karena data yang sudah direduksi datanya lebih tajam tentang

hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencari kembali data

yang diperoleh bila diperlukan.

Tahap-tahap reduksi data dalam penelitian ini adalah

a. Mengelompokkan siswa-siswa berdasarkan tipe gaya belajarnya

b. Mengoreksi hasil pekerjaan siswa

c. Hasil pekerjaan dari subjek penelitian dengan nilai tertinggi dan

memenuhi tipe gaya belajar merupakan data mentah kemudian

ditransformasikan pada catatan sebagai bahan untuk wawancara.

d. Hasil wawancara disederhanakan menjadi susunan bahasa yang baik

dan rapi, kemudian ditransformasikan ke dalam catatan. Kegiatan ini

dilakukan dengan mengolah hasil wawancara menjadi data yang siap

untuk digunakan.

4.7.2.2 Penyajian data (data display)

Penyajian data dilakukan dengan memunculkan dan menunjukkan

kumpulan data atau informasi yang sudah terkategori yang memungkinkan

suatu penarikan kesimpulan atau tindakan. Pada tahap ini hal-hal yang

dilakukan meliputi:

(1) Menyajikan penggolongan siswa berdasarkan gaya belajarnya

(2) Menyajikan hasil pekerjaan siswa yang dijadikan bahan untuk

wawancara.

(3) Menyajikan hasil wawancara yang telah direkam pada tape recorder.

(4) Menyajikan hasil analisis yang berupa kemampuan setiap subjek

penelitian (data ini merupakan data temuan) yang mewakili jenis gaya

belajarnya.

4.7.2.3 Verifikasi (Penarikan Kesimpulan)

Verifikasi atau penarikan kesimpulan pada penelitian ini dilakukan

dengan cara membandingkan hasil pekerjaan siswa dan hasil wawancara. Dari

kegiatan ini dapat diambil kesimpulan mengenai kemampuan penalaran

matematis siswa untuk tiap tipe gaya belajar.

Kesimpulan akhir mungkin tidak muncul hingga pengumpulan data

berakhir. Penarikan kesimpulan berkaitan dengan besarnya kumpulan catatan

lapangan, pengkodean, penyimpanan dan kecakapan peneliti. Apabila ada data

baru akan mengubah kesimpulan sementara hingga segera melakukan

perbaikan data yang diperoleh. Hal ini terus dilakukan sampai seluruh data

dikumpulkan.

4.8 Keabsahan Data

Peneliti menggunakan teknik pemeriksaan keabsahan data untuk

mendapatkan keabsahan data dengan menggunakan teknik sebagai berikut.

4.8.1 Derajat Kepercayaan (Credibility)

Derajat kepercayaan atau kredibilitas mengacu pada pertanyaan

apakah data yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada dalam kenyataan di

lapangan atau tidak. Pada penelitian ini untuk memenuhi kredibilitas data

dilakukan dengan mewawancarai subjek secara teliti dan mengadakan

perulangan pertanyaan pada waktu berbeda apabila informasi yang

diperoleh masih kurang jelas atau berbeda dengan data yang telah diperoleh.

Peneliti juga mengadakan teknik triangulasi untuk menvalidasi data.

Triangulasi dalam penelitian ini adalah membandingkan data hasil pekerjaan

siswa dengan data hasil wawancara dan membandingkan serta memeriksa

data wawancara dari subjek yang berbeda dalam satu tipe gaya belajar yang

sama.

4.8.2 Kriteria Keteralihan

Keteralihan adalah upaya membangun generalisasi seperti yang

dilakukan dalam penelitian kuantitatif. Keteralihan dilakukan dengan

mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks

serta menguraikannya secara rinci. Hal tersebut digunakan agar diperoleh

laporan hasil fokus penelitian dilakukan seteliti dan secermat mungkin. Pada

penelitian ini yang dilakukan adalah menguraikan secara rinci deskripsi

kemampuan penalaran matematis pada masing-masing gaya belajar siswa.

4.8.3 Kriteria Kebergantungan (Dependability)

Pemeriksaan kebergantungan (dependability) merupakan substitusi

istilah reliabilitas atau keajegan hasil pengukuran dalam penelitian

kuatitatif. Pada penelitian ini agar memenuhi kriteria kebergantungan, maka

peneliti berusaha memeriksa kembali proses penelitian secara keseluruhan

agar data yang diuraikan dalam hasil penelitian tidak menyimpang dari data

pada saat proses penelitian.

4.8.4 Kriteria Kepastian (Confirmability)

Kriteria kepastian (confirmability) berasal dari konsep objektivitas

dalam penelitian kuantitatif. Dalam penelitian ini untuk memenuhi kriteria

kepastian maka peneliti berusaha agar data yang diuraikan dalam hasil

penelitian ini benar-benar data yang diperoleh peneliti selama proses

penelitian.

4.9 Prosedur Penelitian

Secara umum prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini dapat

digambarkan seperti berikut.

Melihat latar subjek

Mempersiapkan instrumen angket gaya belajar siswa, instrumen tes kemampuan

penalaran matematis, dan pedoman wawancara

Validasi instrumen angket gaya belajar siswa, instrumen tes kemampuan

penalaran matematis, dan pedoman wawancara

Pengisian angket gaya belajar siswa kelas VIII F

Klasifikasi tipe gaya belajar siswa

Pelaksanaan pre-test kemampuan penalaran matematis

Penentuan subjek wawancara kemampuan penalaran matematis

Analisis Data

Pelaksanaan wawancara subjek terpilih

Pendeskripsian kemampuan penalaran matematis siswa ditinjau dari gaya belajar

siswa dalam Problem Based Learning (PBL)

M0

Penarikan kesimpulan

Klasifikasi kemampuan penalaran matematis sesuai tingkat kemampuan

penalaran matematis siswa

Pelaksanaan Problem Based Learning (PBL) dan ekspositori

Pelaksanaan post test kemampuan penalaran matematis

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, M. J. Z., A. A. Rezaee, H. N. Abdullah, & K. K. B. Singh. 2011. Learning

Styles and Overall Academic Achievement in a Specific Educational

System. International Journal of Humanities and Social Science. 1(10):

143-152.

Amir, A. 2014. Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Dalam Pembelajaran

Matematika. Logaritma. 2(1): 18-33.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. 2005. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Basleman, A. & Syamsu M. 2011. Teori Belajar Orang Dewasa. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

BSNP. 2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:

BSNP.

Chatib, Munif. 2014. Orangtuanya Manusia: Melejitkan Potensi Kecerdasan

dengan Menghargai Fitrah Anak. Bandung: Kaifa.

DePorter, Bobbi.& Mike Hernacki. 2000. Quantum Learning: Membiasakan

Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

Fitri, R., Helma, & H. Syarifuddin. 2014. Penerapan Strategi The Firing Line pada

Pembelajaran Matematika Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Batipuh.

Jurnal Pendidikan Matematika. 3(1): 18-22.

Gilakjani, Abbas P. 2012. Visual, Auditory, Kinaesthetic Learning Style and

Their Impact on English Language Teaching. Journal of Studies in

Education. 2(1): 104-113.

Gunawan, Adi. 2012. Genius Leraning Strategy: Petunjuk Praktis untuk

Menerapkan Accelarated Learning. Jakarta: Gramedia.

Kartika, S. Ariesta. 2014. Analisis Karakteristik Gaya Belajar VAK (Visual,

Auditorial, Kinestetik) Mahasiswa Pendidikan Informatika Angkatan 2014.

Jurnal Ilmiah Edutic. 1(1): 1-12.

Kusmaryono, Imam. 2013. Analisis Kemampuan Penalaran Matematika pada

Model Pembelajaran Numbered Heads Together dengan Pendekatan

Snowball Throwing terjadap Siswa SMP. Tesis Universitas Sultan Agung.

[diakses di

http://research.unissula.ac.id/research/pages/penelitian.php?id=MjA2YXBh

eWFlbmtyaXBzaW55YT8=]

Lestari, A., Yarman, & Syafriandi. 2012. Penerapan Strategi Pembelajaran

Matematika Berbasis Gaya Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestik).

Jurnal Pendidikan Matematika, 1(1): 1-7.

Lithner, J. 2000. Mathematical Reasoning in Task Solving. Educational Studies in

Mathematics. 41(2): 165 – 190.

Lithner, J. 2008. A Reseacrh Framework for Creative and Imitative Reasoning.

Educational Studies in Mathemathics. 67(3): 255-276.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. United State of

America: Library of Congress Cataloguing.

Pashler, H., M. McDaniel, D. Rohrer, & R. Bjork. 2009. Learning Styles:

Concepts and Evidence. A Journal of The Association for Psychological

Science. 9(3): 105-119.

Rifai, Ahmad & Anni. 2012. Psikologi Pendidikan. Semarang: Unnes Press.

Riyanto, B. 2011. Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Matematika

dengan Pendekatan Konstruktivisme pada Siswa Sekolah Menengah Atas.

Jurnal Pendidikan Matematika. 5(2): 111-128.

Rochmad. 2008. Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran

Matematika Beracuan Kontruktivisme. Makalah telah disampaikan pada

Seminar Nasional Pendidikan Matematika: Sertifikasi Guru: Meningkatkan

Kualitas Matematika di Indonesia. Di Kampus Pascasarjana UNNES

Semarang, tanggal 16 Januari 2008

Rohmah, Noer. 2012. Psikologi Pendidikan. Malang: Teras.

Rosnawati, R. 2013. Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Indonesia

Pada TIMSS 2011. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan

Penerapan MIPA, Fakultas MIPA. UNY.

Rusman. 2013. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme

Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi.

Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Shadiq, Fajar. 2009. Kemahiran Matematika. Yogyakarta: Dinas Pendidikan

Nasional.

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:

Rineka Cipta.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2011. Statistka untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, E. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:

JICA. UPI.

Sumarmo, U. 2012. Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berfikir dan

Disposisi Matematik dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan

dalam Seminar Pendidikan Matematika, NTT, 25 Februari.

Sumarmo, U. & Ade M. 2015. Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik

dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Problem Based Learning

(PBL). Jurnal Ilmiah STKIP Siliwangi Bandung. 9(1): 40-51.

Sumarsih. 2009. Implementasi Teori Pembelajaran Konstruktivistik Dalam

Pembelajaran Mata Kuliah Dasar-Dasar Bisnis. Jurnal Pendidikan

Akuntansi Indonesia. 8(1): 54-62.

Susanto, Joko. 2012. Pengembangan Perangkar Pembelajaran Berbasis Lesson

Study Dengan Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Untuk

Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA di SD. Journal of Primary

Educational. 1(2): 71-77.

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Grafindo.

Tim Puspendik. 2014. Kemampuan Matematika Siswa SMP Indonesia: Menurut

Benchmark Internasional TIMSS 2011. Jakarta: Balitbang.

Uno, B. Hamzah. 2011. Teori Motivasi dan Pengukurannya: Analisis di Bidang

Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Utomo, T., D. Wahyuni, & S. Hariyadi. 2014. Pengaruh Model Problem Based

Learning (PBL) (Problem Based Learning) Terhadap Pemahaman Konsep

dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa (Siswa Kelas VIII Semester Gasal

SMPN 1 Sumbermalang Kabupaten Situbondo Tahun Ajaran 2012/2013).

Jurnal Edukasi Unej. 1(1): 5-9.

Wardhani, Sri. 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs

untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat

Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Matematika.

Wardono, et. all,. 2016. Mathematics Literacy on Problem Based Learning with

Indonesian Realistic Mathematics Education Approach Assisted E-Learning

Edmodo. Journal of Physics: Conference Series. 693(1).

Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan

Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.


Recommended