Date post: | 22-Apr-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
ASBAB AL- NUZUL (SEBAB-SEBAB TURUN AL-QUR’AN)
A. Pendahuluan
Al- Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui
perantaraan malaikat jibril ke dalam kalbu Rasulullah
saw.dengan menggunakan bahasa arab dan disertai dengan
kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal
pengakuannya sebagai rasul, dan agar dijadikan sebagai dustur
(undang-undang) bagi seluruh umat manusia, disamping merupakan
amal ibadah jika membacanya. AL-Qur’an itu ditadwinkan di
antara dua ujung yang dimulai dari surat Al- Fatihah dan
ditutup dengan surat An-Nas, dan sampai kepada kita secara
tertib dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh
atau terpelihara dari perubahan dan pergantian.1
Kandungan Al-Qur’an meliputi berbagai macam hal yang
berkaitan dengan hukum, ibadah, akhlak, akidah, muamalah,
sains, sejarah dan kisah-kisah masa lalu dan cerita-cerita
tentang masa depan. Al- Qur’an yang diturunkan kepada
Rasulullah tidak diturunkan secara sekaligus namun secara
berangsur-angsur. Ada hikmah yang terkandung dalam hal ini
yaitu agar para sahabat dan umat Islam saat itu dapat
menghapal, menghayati dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an
dengan mudah.
1 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh, (Kairo : Maktabah Al-Da’wah al- Islamiyyah, 1956), hal.23.
Diturunkannya ayat Al-Qur’an tersebut ada yang
berdasarkan suatu peristiwa dan kondisi tertentu. Inilah yang
menjadi pembahasan dalam makalah ini, yaitu tentang sebab-
sebab turunnya Al- Qur’an yang sering disebut dengan Asbab Al-
Nuzul atau Asbabun Nuzul. Dalam makalah ini kita akan membahas
pengertian asbabun nuzul berdasarkan pendapat para ulama,
bagaimana kita mengetahui asbabun nuzul dan apa faedah
mengetahui asbabun nuzul tersebut. Selain itu kita akan
mengetahui ungkapan-ungkapan yang menunjukkan adanya sebab
turunnya ayat. Dan terakhir akan ada penjelasan dari ketentuan
lafaz yang umum dan sebab yang khusus dari suatu ayat yang
memiliki asbabun nuzul.
B. Pengertian Asbab Al -Nuzul
Ungkapan asbab an-nuzul terdiri dari dua kata yaitu asbab
dan an nuzul. Kata asbab merupakan jama dari sabab dan an
nuzul dari masdar nazala. Secara harfiah, sabab berarti sebab
atau latar belakang, maka asbab berarti sebab-sebab atau
beberapa sebab atau beberapa latar belakang, sedangkan an
nuzul berarti turun. Shubhi Al- Shalih mendefinisikannya
sebagai sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau
beberapa ayat atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab
turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelas yang
diturunkan pada waktu terjadi suatu peristiwa.2
Sedangkan Qathan mendefinisikan asbab al-nuzul sebagai
sesuatu hal yang karena Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan
status hukum, pada masa hal terjadi, baik berupa peristiwa
atau suatu pertanyaan. Jadi latar belakang yang melingkungi
dan menjadi penyebab Allah SWT menurunkan suatu wahyu kepada
Nabi Muhammad SAW.3 Secara isitilah asbab an nuzul dapat di
definisikan kepada “suatu ilmu yang mengkaji tentang sebab-
sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-
Qur’an. Menurut Az-Zarqani, asbab an nuzul adalah peristiwa
yang menjadi sebab turunnya suatu ayat atau beberapa ayat,
dimana ayat tersebut berceritaa atau menjelaskan hukum
mengenai peristiwa tersebut pada waktu terjadinya.
Apabila dilihat dari sisi asbabun nuzul, ayat Al-Qur’an
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu ayat-ayat yang memiliki
sebab atau latar belakang turunnya. Dan yang kedua adalah
tidak memiliki latar belakang peristiwa. Umumnya ayat-ayat
yang memiliki asbabun nuzul adalah ayat-ayat hukum, namun
dalam beberapa ayat yang tidak berkaitan dengan hukum juga
memiliki asbabun nuzul namun tidak terlalu banyak.
Dalam kitab lubabunnuqul fi asbaabin nuzuul yang ditulis oleh
ulama Imam Jalaluddin As-Syuyuti, terdapat pendapat-pendapat2 Shubhi al-Shalih, Mabahits fii Ulum Al- Qur’an (Beirut : Dar al-‘Ilm al-
Malayin, 1985), h.160.3Manna Khalil Qathtan, Mabahits fii Ulum Al- Qur’an (Riyadh : Mansyurat al- ‘Asr
al-Hadits 1973), hal.110.
ulama tentang pentingnya asbabun nuzul dalam memahami Al-
Qur’an, yaitu :4
1. Al- wahidi mengatakan tidak mungkin dapat mengetahui tafsir
sebuah ayat tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya. Serta
tidak boleh berbicara tentang sebab turunnya ayat-ayat Al-
Qur’an, kecuali dengan periwayatan yang dinukil dari mereka
yang menyaksikan saat turunnya ayat, mengetahui sebab-sebab
turunnya, dan meneliti ilmunya.
2. Ibnu Daqiqil mengatakan penjelasan tentang sebab turunnya
ayat merupakan cara ampuh untuk memahami makna-makna Al-
Qur’an
3. Ibnu Taimiyah mengatakan pengetahuan tentang sebab turunnya
ayat membantu memahami kandungan ayat tersebut. Karena
dengan mengetahui sebab turunnya ayat, seseorang dapat
mengetahui akibat yang merupakan buah dari sebab tersebut.
Dengan memahami sebab turunnya ayat, hilanglah kesulitan
yang menghalangi pemahaman.
4. Al Hakim mengatakan jika seorang sahabat yang menyaksikan
saat turunnya ayat memberitahukan bahwa ayat Al-Qur’an
tersebut turun pada peristiwa tertentu, maka itu adalah
sebuah hadits yang musnad.
Menurut As-Suyuthi sebab turunnya ayat dalam kategori
musnad adalah berasal dari sahabat. Jika sebab turun ayat itu
berasal dari tabi’I, maka ia juga mempunyai criteria
4 Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an Terj.Tim Abdul Hayyie (Jakarta : Gema Insani 2013), hal.13.
marfu’,hanya saja statusnya mursal. Riwayat tentang asbabun
nuzul yang berasal dari tabi’I ini kadang diterima, jika sanad
hingga tabi’I tersebut shahih, dan tabi’I tersebut termasuk
imam tafsir yang mengambil dari para sahabat seperti mujahid,
ikrimah, dan sa’id ibnuz zubair atau riwayat itu bisa diterima
jika didukung oleh riwayat lainnya yang mursal dan
sebagainya.5
C. Cara Mengetahui Asbab Al- Nuzul
Bentuk asbabun nuzul ada dua macam, yang pertama adalah
dalam bentuk peristiwa atau kejadian, misalnya terjadi suatu
peristiwa dan ayat turun untuk merespon kejadian tersebut.
Yang kedua dalam bentuk pertanyaan, misalnya para sahabat atau
orang kafir yang bertanya kepada Rasulullah kemudian turun
ayat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Para mufassir membagi peristiwa kepada tiga macam,
yaitu :6
1. Perdebatan (jadal) yaitu perdebatan antara sesame umat Islam
atau antara umat Islam dengan orang-orang kafir, seperti
perdebatan antara sahabat nabi dengan orang yahudi yang
menyebabkan turunnya surah Ali Imran (3) ayat 96.
Artinya : Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk(tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah
5 Ibid hal.14.6 Kadar M. Yusuf, Studi Al- Qur’an, (Jakarta : Sinar Grafika 2009), hal.91.
(Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semuamanusia.
Mujahid berkata suatu ketika umat Islam dan Yahudi
saling membanggakan kiblat mereka. Orang Yahudi berkata
Baitul Maqdis lebih utama dari Ka’bah karena disanalah
tempat berhijrahnya para nabi dan ia terletak pada tanah
suci. Umat Islam berkata pula, ka’bah lah yang paling mulia
dan utama. Maka kemudian turunlah ayat tersebut untuk
merespon perdebatan mereka.
2. Kesalahan, yaitu peristiwa yang merupakan perbuatan salah
yang dilakukan oleh sahabat kemudian turun ayat guna
meluruskan kesalahan tersebut agar tidak terulang lagi,
seperti kejadian yang menyebabkan turunnya surah An-Nisa (4)
ayat 43, yaitu
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamushalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamumengerti apa yang kamu ucapkan.
Pada suatu ketika Abdurrahman bin Auf melakukan
kenduri, dia mengundang para sahabat Nabi dan menjamu mereka
dengan makanan dan minum Khamr. Mereka pun berpesta sampai
mabuk dan waktu magrib pun tiba. Mereka shalat dengan
diimami oleh salah seorang mereka, sang imam membaca surah
al kafirun dengan tidak membaca huruf nafi. Kemudian
peristiwa ini disampaikan kepada Nabi, maka turunlah ayat
diatas.
3. Harapan dan keinginan, seperti turunnya QS. Al- Baqarah ayat
144
Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah kelangit. Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblatyang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.
Al- Barra’ mengatakan setelah sampai di Kota Madinah,
Rasul shalat menghaap baitul maqdis selama 16 bulan padahal
dia lebih suka berkiblat ke Ka’bah. Maka setiap kali shalat,
nabi selalu menengadah ke langit mengharap turunnya wahyu
yang memerintahkan beliau menghadap ke Ka’bah. Maka turunlah
ayat diatas.
Asbabun nuzul dalam bentuk pertanyaan dikategorikan
kepada tiga macam yaitu pertanyaan tentang hal-hal berkaitan
dengan masa lalu, masa yang berlangsung, dan pertanyaan yang
berkaitan dengan kejadian masa datang. Asbabun nuzul
sangatlah sulit untuk diketahui dan dipahami, para ulama
terdahulu tidak mencatat semua permasalahan yang menjadi
pembahasan, kecuali hanya beberapa saja. Banyak sekali
riwayat tentang asbabun nuzul yang lemah dan tidak bisa
dipercaya. Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ada tiga hal
yang tidak memiliki dasar yang benar. Pertama, riwayat-
riwayat yang berkaitan dengan peperangan pada awal Islam.
Kedua, riwayat-riwayat tentang fitnah akhir zaman. Ketiga,
riwayat-riwayat tentang tafsir dan takwil Al- Qur’an. Imam
badruddin Zarkasyi berpendapat bahwa kebanyakan riwayat
terkait dengan masalah asbabun nuzul tidak bisa dipercaya
namun bukan berarti semua riwayat tidak bisa dipercaya.7 Hal
ini mengharuskan untuk merujuk dan mempelajari kembali
sanad-sanad yang meriwayatkan asbabun nuzul, mempergunakan
metode jarh wal ta’dil padanya, atau kembali kepada imam-
imam hadits yang terpercaya dan kepada pendapat-pendapat
mereka yang kuat dalam hal itu. Dan tidak ada diagnosis yang
lebih kuat, selain diagnosis orang yang ahli.8
Berkaitan dengan hal tersebut periwayatan asbabun nuzul
dari para sahabat mempunyai ketetapan hukum marfu’, karena
di dalamnya dipandang tidak terdapat pendapat pribadi dan
sangat jauh dari ucapannya sendiri serta periwayatannya
berdasar atas pendengaran dan persaksian sendiri.9
D. Faedah Mengetahui Asbab Al Nuzul
Kalau kita pahami tentang klasifikasi nuzul-nya Al-Qur’an
mungkin kita bertanya, pada zaman sekarang ini, apa faedah
kita mempelajari tentang asbabun nuzul, sementara nuzulnya itu
7 M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al- Qur’an terj.Thoha Musawa (Jakarta : Al Huda 2007) hal.97
8Yusuf Al- Qardhawi, Berinteraksi Dengan Al-Qur’an melalui Pemahaman terj.Abdul Hayyie al- Kattani, (Jakarta : Gema Insani 1999) hal.1371
9Syubhah, Al- Madkhal, hal.124
sendiri telah lama berlangsung. Apa relevansinya dengan
kehidupan kaum muslimin zaman sekarang. Para ulama berbeda-
beda cara dalam mengemukakan faedah mempelajari ilmu Asbab Al
Nuzul ini.
Menurut As-Suyuthi dalam kitabnya Al- Itqan li’ Ulumil Qur’an
seperti yang dikutip oleh Muhammad Amin Suma, ada beberapa
kegunaan yang bisa dipetik dari mengetahui sabab nuzul ini,
diantaranya adalah :10
1. Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas
pensyariatan hukum
2. Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan
kaidah “bahwasanya ungkapan (teks) Al-Qur’an itu didasarkan
atas kekhususan sebab, dan
3. Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-
Qur’an itu bersifat umum, dan terkadang memerlukan
pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru
terletak pada pengetahuan tentang sabab turun ayat.
Lebih rinci dari al- Buthi, bahkan juga dari as-Suyuthi,
az-Zarkasyi dan az-Zarqani masing-masing menyebutkan enam
hingga tujuh macam faedah (akseologi) dari mempelajari ilmu
Asbabun Nuzul, yaitu :11
1. Mengenali hikmah bagaimana cara Allah swt.menerangkan hukum-
hukum yang disyariatkan-Nya dengan melibatkan sabab nuzul10 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2013), hal.212. 11 Ibid hal.213.
2. Sangat membantu memahami ayat dalam rangka menghidari dari
kemungkinan timbul kesulitan daripadanyam serta menolak
kemungkinan dengan pembatasan (al-hashr) dari redaksi ayat
yang secara literal mengisyaratkan pembatasan itu;
3. Membatasi hukum dengan sebab tertentu bagi mereka yang
menganut kaidah ungkapan (ibarat) itu didasarkan atas
kekhususan sabab, bukan pada keumuman teks
4. Mengetahui bahwa sabab nuzul itu tidak akan keluar dari
koridor hukum ayat tatkala ditemukan pengkhususan
(mukhashshishnya)
5. Mengetahui secara jelas kepada siapa turunnya ayat itu
ditujukan (dialamatkan)
6. Mempermudah pemahaman dan mengkokohkan lintasan wahyu Allah
ke dalam hati orang-orang yang mendengar ayat-ayat Al –
Qur’an
7. Meringankan hafalan, mempermudah pemahaman dan semakin-makin
menguatkan keberadaan wahyu Al-Qur’an di dalam hati setiap
orang yang mendengarkan ayat Al –Qur’an manakala dia
mengetahui sabab nuzulnya.
Beberapa contoh dari pentingnya mengetahui sabab nuzul
ayat Al- Qur’an adalah sebagai berikut : QS.2:115
Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapunkamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah MahaLuas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
Pengertian langsung tekstual dari ayat ini menunjukkan
bahwa menghadapkan wajah ke arah mana pun di waktu salat itu
tetap sah hukumnya. Akan tetapi, jelas akan menjadi lain
pemahaman dan kesimpulannya ketika kita mengetahui sabab nuzul
ayat tersebut. Ayat ini sama sekali tidak mengesahkan ke mana
pun arah kiblat seorang yang sedang shalat dala keadaan dan di
seluruh tempat, akan tetapi terbatas ketika hanya mengakui
kesahan shalat seseorang jarena satu dan lain hal (‘Udzur
syar’i) tidak bisa mengenali arah kiblat yang tepat yakni
menghadap ke arah Ka’bah Baitullah di Masjid al-Haram
sebagaimana diperintahkan oleh sekian banyak ayat Al -Qur’an.
E. Bentuk-Bentuk Ungkapan Asbab Al Nuzul
Ada tiga ungkapan yang menunjukkan asbabun nuzul suatu
ayat. Dua diantaranya dapat dipastikan sebagai asbabun nuzul.
Dan satu lainnya tidak secara pasti menunjukkan kepada asbabun
nuzul mungkin asbabun nuzul dan mungkin juga tidak. Ungkapan
itu adalah:12
1. )sebab turunnya ayat ini adalah) apabila
suatu peristiwa didahului oleh ungkapan ini, maka tidak
diraykan lagi bahwa peristiwa itu merupakan asbabun nuzul
ayat yang disebutkan sebelumnya atau ungkapan lain seperti
2. Ungkapan yang tidak menggunakan kedua kalimat diatas tetapi
menggunakan ungkapan ini tidak secara
12Kadar M Yusuf, Studi Al- Qur’an, hal.94
tegas, tetapi ada dua kemungkinan, mungkin ada asbabun nuzul
dan mungkin juga tidak ada.
F. Ketentuan Lafaz Yang Umum Dan Sebab Yang Khusus
Jika terdapat ayat yang turun karena sebab yang khusus
sedangkan lafazh yang terdapat dalam ayat tersebut bersifat
umum, maka hukum yang diambil adalah mengacu pada keumuman
lafazh bukan pada kekhususan sebab. Atau dengan kata lain
adalah bahwa dalil al-qur’an yang menjadi acuan hukum adalah
bukan mengacu pada kekhususan sebab atau kejadian yang menjadi
penyebab diturunkannya ayat tersebut. Hal itu disebabkan
karena kejadian yang menjadi penyebab diturunkannya ayat itu
hanyalah sekedar isyarat (petunjuk) saja bukan sebuah
kekhususan.
Namun ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah
yang dianggap keumuman lafadznya atau kekhususan sebabnya?
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya mencakup semua unsure
dari lafaz tersebut, baik unsure-unsur sebab maupun unsure-
unsur selain sebab
Contohnya ayat tentang saling mengutuk (li’an) yang
menjadi acuan hukum syar’I yang bersifat umum bagi setiap
suami yang menuduh istrinya telah berkhianat meskipun
sebenarnya ayat tersebut turun untuk menjelaskan kejadian yang
khusus yaitu kejadian yang terjadi pada Hilal bin Umayyah yang
menuduh istrinya berzina. Saat terjadi peristiwa itu turun
Surah An-nur ayat 6 :
Artinya : Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina),
Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri.
Kita melihat bahwa sebabnya bersifat khusus akan tetapi
ayat yang turun bersifat umum yaitu kata “Alladzina” yang
merupakan isim mausul yang termasuk shighat umum. Ketentuan yang
berlaku dalam ayat ini berlaku umum dan tidak ditakshiskan.
Karena itu, keumumannya mencakup semua unsure, yakni siapa
saja yang menuduh istri berzina, baik Hilal maupun bagi selain
Hilal. Dan untuk memberikan ketentuan tersebut bagi selain
hilal, kita tidak memerlukan dalil lainnya, baik berupa qiyas
ataupun lainnya. Telah maklum, bahwa bila ada nash, maka tidak
ada qiyas dan ijtihad, inilah pendapat jumhur ulama.13
Atas dasar inilah maka para ulama bersepakat bahwa yang
menjadi acuan hukum adalah keumuman isi kandungan al-qur’an
dan keumuman lafazh teks tersebut. Sedangkan asbabun nuzul
ayat tersebut hanyalah sekedar penyebab turunnya ayat yang
menjadi acuan hukum secara umum bukan hanya diperuntukkan bagi
pelaku yang menjadi penyebab turunnya ayat itu saja.14
13Syekh Muhammad Abdul Adzim Al- Zarqani, Manahil Al-‘Urfan Fi’ulum Al-Qur’an terj.Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), hal.135.
14 M.Baqir Hakim, Ulumul Quran terj. Nashirul haq dkk, (Jakarta : Al Huda 2006) hal.45
Para ulama telah menetapkan dua kaidah dalam
mengistinbathkan hukum berkaitan dengan asbabun nuzul ini
yaitu,
dan Para ulama dalam mengistibathkan
hukum dari suatu ayat, tidak sepakat dalam menggunakan kedua
kaidah ini. Kebanyakan mereka menggunakan kaidah pertama,
dengan alasan :15
a. Realitasnya, hujah yang terdapat dalam lafal bukanlah
diambil dari pertanyaan atau sebab
b. Kaidah dasar menunjukkan, bahwa lafal-lafal itu
ditanggungkan atas makna yang segera dipahami darinya,
selama tidak ada dalil yang memalingkan.
c. Para sahabat dan mujtahid berhujah dengan umum lafal yangmuncul.
Sedangkan para ulama yang berpegang dengan kaidah keduaberhujah dengan :
a. Lafal umum itu terbatas pada person sebab, ia tidak mencakup
lainnya
b. Kisah atau pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat
menunjukkan khususnya berlaku pada sebab
c. Dalam ilmu balaghah dinyatakan bahwa antara pertanyaan dan
jawaban mesti berhubungan.
G. Beberapa Riwayat Mengenai Asbab Al- Nuzul
Kebanyakan ulama mengharuskan syarat perawi harus
menyaksikan sendiri peristiwa yang melatarbelakangi turunnya15Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, hal.100
ayat. Alasannya, sebab turunnya ayat, sanadnya tidak boleh
terputus dengan peristiwa yang melatarbelakangi. Wahidi
berpendapat bahwa tidak diperbolehkan berbicara asbabun nuzul
kecuali dengan menggunakan riwayat atau setelah mendengar
kesaksisan pelaku peristiwa tersebut. Namun beberapa ulama
berpendapat bahwa pengetahuan perawi tentang asbabun nuzul
sudah dianggap nuzul, sehingga dia tidak harus menyaksikan
sendiri peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat.
Untuk mengidentifikasi riwayat-riwayat shahih di antara
riwayat-riwayat yang tidak benar, bisa menggunakan cara
sebagai berikut :16
Hendaknya sanad riwayat, khususnya perawi terakhir adalah
orang yang bisa dipercaya, yakni harus orang maksum, atau
seorang sahabat yang bisa dipercaya, seperti Abdullah bin
Mas’ud, Ubay bin Ka’b dan Ibnu Abbas yang memang menguasai
Al- Qur’an dan diterima oleh umat atau dari kalangan tabi’in
yang mulia, seperti mujahid, Said bin Jubair dan Said bin
Musayyid yang tak pernag menulis hadis palsu dan tak pernah
memiliki motivasi untuk berbohong
Hendaknya kemutawatiran dan istifadhah (banyaknya) riwayat-
riwayat diteliti sejeli mungkin, meskipun teksnya berbeda-
beda namun satu kandungannya satu. Jika kandungannya
berbeda, masih memungkinkan untuk dipadukan sehingga
membuahkan keyakinan bahwa riwayat-riwayat yang berkaitan
16 M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al- Qur’an,hal. 103-104
dengan pengalihan kiblat dan asbabun nuzul ayat-ayat Al-
Qur’an lainnya.
Riwayat-riwayat yang berhubungan dengan sababun nuzul ayat-
ayat Al-Qur’an, harus memiliki relasi yang kuat dan
menjelaskan. Hal ini bisa menjadi bukti bahwa hadis itu
benar, meski dari segi sanad ilmu hadis,hadis itu tidak
shahih atau hasan. Dengan mengetahui relasi antara beberapa
peristiwa yang terekam oleh sejarah, kita bisa mengetahui
otentisitas kebenaran peristiwa itu. Jika tidak dengan cara
demikian, maka sulit untuk memastikan jalur kebenaran sanad.
Beginilah cara mengetahui peristiwa yang terkait ayat yang
diturunkan.
Berikut adalah beberapa contoh riwayat mengenai asbabun
nuzul, yaitu :
1. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas,
misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”; sedang
riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang
berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan
adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas;
dan riwayat lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat.
Contohnya ialah riwayat tentang sebab nuzul firman Allah:
Artinya : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamubercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-
tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah(amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allahdan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. danberilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Riwayat yang menjelaskan hal ini adalah hadist yang
diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dari Jabir
yang mengatakan : orang Yahudi berkata,”barang siapa
menggauli isterinya dari dubur akan mendapatkan anak yang
cacat.”kemudian turunlah ayat diatas. Sedangkan Imam Bukhari
meriwayatkan dari Ibn Umar yang mengatakan bahwa turunnya
ayat adalah dalam rangka menetapkan hukum haram terhadap
perbuatan menggauli Istri dari dubur. Dari dua riwayat
tersebut diatas, riwayat yang dianggap kuat adalah yang
datang dari Jabir, karena ia mengemukakan sebab yang tegas,
dan riwayat yang kedua dipandang sebagai penjelas terhadap
makna ayat.
2. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas,
seperti: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “Aku
mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”. Maka dalam hal
ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu;
sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan
penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan
disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali
bila ada qarinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa
maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
3. Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab
nuzul, sedang salah satu riwayat di antaranya shahih, maka
yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih. Misalnya,
apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan ahli
hadits lainnya, dari Jundub al-Bajali: “Nabi menderita
sakit, hingga dua atau tiga malam tidak bangun malam.
Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata:
‘Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu.’ Maka Allah
menurunkan firman ini
“Demi waktu dhuha; dan demi malam apabila telah sunyi; Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidaklah benci kepadamu.”
Sementara itu Tabarani dan Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan, dari Hafs bin Maisarah, dari ibunya, dari
budak perempuan pembantu Rasulullah: “Bahwa seekor anak
anjing telah masuk ke dalam rumah Nabi, lalu masuk ke kolong
tempat tidur dan mati. Karenanya selama empat hari tidak
turun wahyu kepadanya. Nabi berkata: ‘Khaulah, apa yang
telah terjadi di rumah Rasulullah ini? Sehingga Jibril tidak
datang kepadaku.’ Dalam hati aku berkata: ‘Alangkah baiknya
andai aku membenahi rumah ini dan menyapunya.’ Lalu aku
menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak
anjing. Lalu datanglah Nabi sedang janggutnya tergetar.
Apabila turun wahyu kepadanya ia tergetar. Maka Allah
menurunkan (Demi waktu dluha) sampai dengan (lalu hatimu
menjadi puas).” Ibnu Hajar dalam Syarah Bukhari berkata:
“Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anak anjing itu
cukup masyur. Tetapi bahwa kisah itu dijadikan sebab turun
ayat adalah suatu hal yang ganjil (gharib). Dalam isnad
hadits itu terdapat orang yang tidak dikenal. Maka yang
menjadi pegangan adalah riwayat dalam shahih Bukhari dan
Muslim.
4. Apabila riwayat itu sama-sama shahih namun terdapat segi
yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi
dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat
itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang
didahulukan. Contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Aku berjalan
dengan Nabi di Madinah. Ia berpegang pada tongkat dari
pelepah pohon kurma. Dan ketika melewati serombongan orang-
orang Yahudi, seseorang di antara mereka berkata: ‘Coba kamu
tanyakan sesuatu padanya.’ Lalu mereka menanyakan:
‘Ceritakan kepada kami tentang ruh.’ Nabi berdiri sejenak
dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu tengah turun
kepadanya. Wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia
berkata: (“Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku; dan
kamu tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit).” (al-
Isra’: 85).
Diriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan: “Orang-orang Quraisy berkata kepada
orang Yahudi: ‘Berikan kami suatu persoalan untuk kami
tanyakan kepada orang ini (Muhammad).’ Mereka menjawab:
‘Tanyakan kepadanya tentang ruh.’ Lalu mereka tanyakan
kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: (Dan mereka bertanya
kepadamu tentang ruh. Katakanlah ruh itu termasuk urusan
Tuhanku).” Riwayat pertama diketahui penanyanya adalah
seorang Yahudi dan turunnya di Madinah, sedang yang kedua
penanyanya seorang kafir dan turunnya ayat di Mekkah. Maka
yang dipandang kuat adalah yang pertama dengan alasan
perawinya adalah al-Bukhari, yang periwayatannya dipandang
lebih shahih daripada al- Tirmidzi. Kedua karena perawinya
yaitu Ibnu Mas’ud yang langsung hadir dalam peristiwa itu
dan menyaksikannya17
H. Penutup
Asbabun Nuzul adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang
sebab-sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi turunnya ayat
Al-Qur’an. Mustahil bagi ahli tafsir dalam memahami ayat tanpa
melihat latar belakang ayat tersebut. Dengan mengetahui sebab
turunnya ayat dapat membantu memahaminya dengan baik dan
memahami apa maksudnya. Dalam mengistibathkan hukum juga tidak
akan ada kesalahan, karena memahmi asbabun nuzul merupakan
jalan kuat dalam memahami makna Al-Qur’an.
Para ulama bersepakat bahwa yang menjadi acuan hukum
adalah keumuman isi kandungan al-qur’an dan keumuman lafazh
17Syubhah, Al- Madkhal, hal.134-135
teks tersebut. Sedangkan asbabun nuzul ayat tersebut hanyalah
sekedar penyebab turunnya ayat. Untuk melihat keshahihan suatu
asbabun nuzul adalah dilihat siapakah perawi dari hadist
tersebut. Selain itu perawi tidak diperbolehkan berbicara
asbabun nuzul kecuali dengan menggunakan riwayat atau setelah
mendengar kesaksisan pelaku peristiwa tersebut. Syarat mutlak
adalah perawi harus menjadi saksi dan ada ditempat saat
terjadinya peristiwa atau kondisi tertentu kemudian turunlah
ayat.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-Qur’an melalui Pemahaman
terj.Abdul Hayyie al- Kattani, Jakarta : Gema Insani 1999
Al- Zarqani, Syekh Muhammad Abdul Adzim, Manahil Al-‘Urfan Fi’ulum Al-
Qur’an terj.Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2001
Al-Shalih, Shubhi ,Mahabits fii Ulum Al- Qur’an, Beirut : Dar al-‘Ilm
al- Malayin, 1985
As-Suyuthi, Jalaluddin, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an Terj.Tim Abdul
Hayyie, Jakarta : Gema Insani 2013
Hakim, M.Baqir, Ulumul Quran terj. Nashirul haq dkk, Jakarta : Al
Huda 2006
Khallaf,Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul Fiqh, Kairo : Maktabah Al-Da’wah
al- Islamiyyah, 1956
Ma’rifat, M. Hadi, Sejarah Al- Qur’an terj.Thoha Musawa Jakarta : Al
Huda 2007
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an Kritik terhadap Ulumul Qur’an,
Terj. Khoiron Nahdliyin, Cet V Edisi Revisi,
Yogyakarta, : LKiS, 2005
Qathtan, Manna Khalil, Mahabits fii Ulum Al- Qur’an, Riyadh : Mansyurat
al- ‘Asr al-Hadits 1973
Shahab, Husein, Mengenal Asbabun Nuzul (Studi Khazanah Ilmu Al-Qur’an),
Jakarta : Lentera 2002
Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2013
Yusuf, Kadar M. Studi Al- Qur’an, Jakarta : Sinar Grafika 2009