Date post: | 08-Jan-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu unsur kehidupan yang sangat
dibutuhkan oleh individu atau sebagian besar masyarakat di Yogyakarta karena
pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan kehidupan masa
depan generasi muda yang secara tidak langsung juga akan menentukan nasib
kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Kehidupan berbangsa dan bernegara
masyarakat Indonesia memiliki kaitan erat dengan kualitas pendidikan di
Indonesia dimana kualitas pendidikan ditentukan oleh mutu para pelaku
penerima pendidikan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta seharusnya memiliki andil yang besar dalam meningkatkan kualitas
penerima pendidikan untuk kelangsungan kehidupan masyarakat Yogyakarta
terutama dalam mengembangkan beberapa aspek dasar pendidikan dibidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selanjutnya, pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam mencanangkan pengembangan kualitas generasi muda dalam
bidang pendidikan juga harus memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat
Yogyakarta meliputi kondisi perekonomian perseorangan, kelompok masyarakat
dan lembaga atau institusi yang terkait dengan pendanaan keuangan untuk
menunjang kelangsungan pendidikan di Yogyakarta. Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta melalui perannya dalam mengevaluasi kondisi
2
perekonomian di Yogyakarta dapat direalisasikan dalam bentuk
penyelenggaraan program Kartu Menuju Sejahtera (KMS).
KMS merupakan sebuah identitas pelayanan sebagai bentuk pelaksanaan
dari program jaminan pendidikan daerah (JPD) dan kesehatan dari Pemerintah
Kota (Pemkot) Yogyakarta. KMS tersebut dapat dipergunakan sebagai sarana
jaminan layanan kesehatan (askeskin), program pemerintah dalam pembagian
beras miskin (raskin), serta penyaluran beasiswa bagi siswa tidak mampu
(Nurrochmah, 2015).
Sedangkan menurut Bayu Pradhana (2015), KMS adalah program
pemberian bantuan dari pemerintah kepada peserta didik dengan kriteria kurang
mampu secara ekonomi dengan pemberian kuota tertentu yang berada di
kawasan daerah Kota Yogyakarta dengan memberikan beasiswa. KMS memiliki
fungsi sebagai upaya pemerintah dalam memeratakan akses pendidikan yang
bermutu.
Berdasarkan pernyataan Nurrochman dan Bayu tersebut, KMS adalah
program Pemerintah Kota Yogyakarta yang sangat efektif dan efisien dalam
menunjang perkembangan mutu pendidikan di Yogyakarta. Sehubungan dengan
hal tersebut, Pemerintah Kota Istimewa Yogyakarta perlu mencanangkan
program dalam mengembangkan kualitas para generasi muda terutama pelajar
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Mengah Atas atau
yang sederajat dari segi pengawasan mutu pengajaran dan pembelajaran di tiap
sekolah, pemberian dana kesehatan kepada para pelajar serta pemberian dana
pendidikan kepada para pelajar tersebut.
3
Dalam penelitian ini dapat terlihat bahwa peran Pemerintah Kota
Yogyakarta dalam memberikan dana pendidikan lebih diperlukan oleh
masyarakat Yogyakarta terutama para orang tua atau wali murid karena dana
pendidikan yang dicanangkan oleh masing-masing sekolah baik sekolah formal
maupun non formal dirasa semakin mahal dari tiap periode. Hal ini membuat
para orang tua atau wali murid merasa resah mengingat beberapa faktor yang
mempengaruhi kemampuan mereka dalam pengeluaran biaya sekolah yang
kurang mendukung.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kemampuan para orang tua
atau wali murid untuk mengeluarkan biaya pendidikan kepada anak-anak
sekolah mereka adalah penghasilan yang belum mampu memenuhi besaran
biaya pendidikan untuk kebutuhan kegiatan belajar dan mengajar anak-anak
sekolah. Peran Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mendukung terciptanya
kelangsungan mutu atau kualitas pendidikan di Yogyakarta dapat dicapai
melalui program pemberian JPD kepada peserta didik terutama para pelajar
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas atau
yang sederajat. JPD yang dimaksud sangat diharapkan oleh sebagian besar
masyarakat Yogyakarta dalam rangka mewujudkan kelancaran periode
pendidikan bagi para orang tua atau wali murid terutama orang tua murid yang
berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Menurut J. Satrio (2007), jaminan merupakan peraturan yang
berlandaskan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara pemberi
dan penerima jaminan untuk tujuan yang positif dari kedua belah pihak.
4
Merujuk pada pernyataan Satrio tersebut, JPD sangat diperlukan oleh sebagian
besar pelajar di Yogyakarta karena JPD tersebut dapat diharapkan memacu
motivasi belajar para peserta didik dalam menjalani kegiatan belajar baik
pembelajaran di kelas maupun di luar kelas berupa kegiatan ekstrakulikuler
yang diadakan oleh masing-masing sekolah. Pemberian JPD oleh Pemerintah
Kota Yogyakarta dapat diwujudkan dalam bentuk KMS di bidang pendidikan
yang diberikan kepada para peserta didik yaitu pelajar sekolah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah Yogyakarta melalui
Peraturan Walikota menunjang diadakannya program JPD yang tertuang pada
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016 Tentang Pedoman
Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) khususnya di Kota Yogyakarta
yang menyatakan bahwa tujuan diberikannya JPD adalah agar tidak ada anak
usia sekolah dari keluarga pemegang KMS tidak bersekolah karena alasan biaya.
Selanjutnya, JPD diberikan kepada peserta didik yang bersekolah di Daerah dan
di Luar Daerah yang masih dalam kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dari
anggota keluarga pemegang KMS, dan peserta didik penghuni panti asuhan
swasta di Daerah.
Pemerintah Kota Yogyakarta melalui program pemberian JPD kepada
peserta didik para pemegang KMS di bidang pendidikan menuai berbagai kritik
dari sebagian besar masyarakat Yogyakarta terkait dengan persebaran para
penerima KMS di bidang pendidikan yang kurang merata di beberapa area Kota
Yogyakarta. Peserta didik yang dimaksud adalah para siswa yang menempuh
pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan pada perguruan tinggi dimana
5
mereka diketahui masih memiliki hak dan kewajibannya dalam menyelesaikan
proses belajar serta mengikuti kegiatan atau aktivitas yang berhungan dengan
objek studi untuk mendukung kualitas pembelajaran.
Dalam penelitian ini menemukan beberapa permasalahan yang terkait
dengan persebaran jumlah penerima JPD pada peserta didik yang kurang merata
di Yogyakarta. Penelitian ini juga menemukan kasus terkait dari permasalahan
persebaran pemberian JPD kepada para peserta didik di Yogyakarta seperti yang
dinyatakan oleh Fauzan Nur Rokhim (2015) dalam penelitiannya yaitu angka
putus sekolah diketahui masih tinggi di Yogyakarta dan cenderung meningkat
tiap periode. Hal ini dikarenakan karena beberapa hal seperti terdapat
ketidaktepatan sasaran dalam menentukan keluarga KMS sehingga tidak semua
anak sekolah pemegang KMS menerima JPD, hal kedua adalah adanya
kesenjangan kompetensi yang cukup jauh di sekolah-sekolah negeri sehingga
mempengaruhi peningkatan mutu dan kualitas sekolah dimana hanya anak
sekolah negeri saja yang menerima JPD, dan yang ketiga adalah tidak
tercapainya tujuan dari JPD yaitu untuk mengurangi angka putus sekolah. Hal
ini dapat dilihat setelah program pemberian JPD dilaksanakan di Yogyakarta.
Kasus serupa yang terkait dengan persebaran JPD pada pemegang KMS
telah diteliti oleh Fajar Sidik (2014) dimana dalam penelitiannya dinyatakan
bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan
KMS di bidang pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota
Yogyakarta. Faktor-faktor tesebut diketahui menyebabkan belum efektifnya
kinerja para Petugas Sosial Masyarakat (PSM) dalam melakukan pendataan
6
KMS di bidang pendidikan terkait dengan pemberian JPD oleh Pemerintah Kota
terhadap masyarakat Yogyakarta. Salah satu faktor penyebabnya adalah
kurangnya pemahaman dan kejelasan mengenai pelatihan pendataan KMS. Hal
ini berpengaruh pada kualitas persebaran atau pemerataan penerima JPD.
Faktor berikutnya adalah tingginya subjektivitas Petugas Sosial
Masyarakat (PSM) dalam pendataan KMS, sehingga peran nepotisme sangat
tinggi dalam menentukan siapa yang menerima JPD. Faktor berikutnya adalah
unsur komunikasi dan koordinasi yang sulit dilakukan antara penyelenggara
JPD dengan pelaksananya sehingga besar kemungkinan terjadi kesalahpahaman
antara keduanya yang berakibat pada tidak meratanya jumlah penerima JPD.
Sedangkan sebagai faktor pendukung terkait dengan kuantitas penerima JPD
adalah masih rendahnya kesadaran diri dari warga Yogyakarta yang masuk
dalam kategori ekonomi menengah ke atas dalam memahami fungsi JPD yang
ditujukan pada masyarakat miskin sehingga mereka menggunakan KMS untuk
motif memperoleh status pendidikan di sekolah negeri.
Kasus serupa sebagai dampak dari pelaksanaan program JPD yang
kurang efektif di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah angka putus sekolah yang
terus terjadi hingga saat ini. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 2016,
disebutkan bahwa jumlah angka putus sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta
hingga tahun 2016 sebanyak 792 siswa lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Angka tersebut merupakan jumlah total dari semua kabupaten dan kotamadya
Yogyakarta. Jumlah angka anak putus sekolah meliput beberapa sekolah yang
didirikan oleh Dinas Pendidikan seperti SD, SMP, SMA, dan SMK serta sekolah
7
yang didirikan oleh Non Dinas Pendidikan seperti SD-MI, SLTP-MTS, dan
SLTA-MA. Sehubungan dengan uraian di atas, dapat dilihat dalam tabel berikut
:
Tabel 1.1 Jumlah Murid Putus Sekolah menurut Jenjang Sekolah dari
Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta 2016
Tingkat
Sekolah
Kabupaten
Kulon
Progo
Bantul Gunung
Kidul
Sleman Yogyakarta D.I
Yogyakarta
Dibawah
Dinas
Pendidikan
1. SD 33 12 10 29 1 85
2. SM
P
152 37 52 23 14 278
3. SM
A
15 16 13 11 7 62
4. SM
K
28 46 53 31 162 320
Non Dinas
Pendidikan
1. SD-
MI
8 3 2 0 0 13
2. SLT
P-
MT
S
3 5 6 5 0 19
3. SLT
A-
MA
1 2 0 6 6 15
Jumlah/To
tal
240 121 136 105 190 792
Sumber website: www.bps.go.id
Pada tabel 1.1 diatas, menunjukan jumlah angka putus sekolah terbanyak
adalah siswa dari Kabupaten Kulon Progo sebanyak 240 siswa, Kota
Yogyakarta berada pada urutan kedua sebanyak 190 siswa, Kabupaten Gunung
Kidul pada urutan ketiga sebanyak 136 siswa, Kabupaten Bantul pada urutan
keempat sebanyak 121 siswa dan Kabupaten Sleman pada urutan terakhir
8
sebanyak 105 siswa. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, semua jumlah
siswa putus sekolah tersebut sebagian besar adalah pemegang KMS, sehingga
dapat disimpulkan bahwa belum sepenuhnya para peserta didik pemegang KMS
menerima JPD dari pemerintah.
Merujuk pada Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016
Tentang Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) bahwa para pemegang KMS berhak
memperoleh JPD, namun pada kenyataannya bahwa angka putus sekolah di
Kota Yogyakarta justru menempati urutan kedua, maka pelaksanaan dari isi
Keputusan Walikota tersebut perlu dilakukan evaluasi sebagaimana semestinya.
Berdasarkan uraian di atas, penyusun tertarik untuk mengevaluasi isi
Keputusan Walikota Nomor 271 Tahun 2016 terkait dengan persebaran
penerima JPD bagi peserta didik pemegang KMS yang kurang merata di setiap
Kabupaten dan Kota Yogyakarta.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, penyusun merumuskan
masalah yaitu: “Bagaimana Evaluasi Penerapan Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016 Tentang Pemberian Jaminan
Pendidikan Daerah Terhadap Persebaran Penerima Jaminan Pendidikan
Bagi Peserta Didik Pemegang KMS di Kota Yogyakarta 2016?”.
9
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk
Mengevaluasi Penerapan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 271 Tahun
2016 Tentang Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) Terhadap
Persebaran Penerima Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) Bagi Peserta Didik
Pemegang KMS di Kota Yogyakarta.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memperdalam kajian monitoring dan evaluasi dalam program
KMS.
b. Memberikan sumbangan pikiran dalam studi ilmu pada umumnya,
memberikan sumbangan ilmu yang berhubungan dengan program JPD
kepada masyarakat terutama keluarga penerima bantuan KMS.
c. Memberikan bahan referensi bagi pengembangan penelitian selanjutnya
dalam topik yang sama.
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat dapat mengetahui apa tujuan dari program JPD dalam
program KMS.
b. Diharapkan dapat mengetahui mengenai pelaksanaan program JPD bagi
penerima KMS agar bisa memberikan pengetahuan bagi masyarakat.
c. Memberikan kontribusi pada pelaksanaan KMS dalam bidang
pendidikan khususnya di Kota Yogyakarta.
10
d. Dapat mengembangkan kinerja pemerintah dalam melayani masyarakat
untuk pelaksanaan program JPD bagi pemegang KMS dengan
memberikan gambaran umum kepada masyarakat mengenai JPD.
e. Memberikan saran, masukan dan kritik kepada pemerintah mengenai
pelaksanaan program KMS bidang pendidikan terutama di Kota
Yogyakarta serta memberikan kontribusi pemikiran dan inovasi kepada
pemerintah untuk pengembangan program KMS.
1.5. Kerangka Teori
Sugiarto (2015) menjelaskan bahwa kerangka dasar teori merupakan
uraian atau penjelasan yang menjelaskan variabel-variabel dan hubungan antar
variabel yang di dasari konsep serta definisi tertentu. Menurutnya kerangka dasar
teori itu sangatlah penting dan mempunyai peranan dalam menjelaskan
permasalahan yang akan dipecahkan. Secara sederhana penelitian ini menjelaskan
bahwa kerangka dasar teori merupakan suatu landasan yang penting untuk
melakukan sebuah penelitian, seperti apa yang berkaitan dengan apa yang akan
diteliti.
Adapun kerangka dasar teori sebagai pendukung dalam melakukan
penelitian tersebut sebagai berikut:
1.5.1. Evaluasi Program
1. Pengertian Evaluasi
Pada dasarnya evaluasi merupakan suatu pemeriksaan terhadap
pelaksanaan suatu program yang telah dilakukan yang akan digunakan untuk
meramalkan, memperhitungkan dan mengendalikan pelaksanaan program
11
kedepannya agar jauh lebih baik. Dengan demikian evaluasi lebih bersifat
melihat kedepan daripada melihat kesalahan-kesalahan di masa lalu, dan
diarahkan pada upaya peningkatan kesempatan demi keberhasilan program.
Evaluasi merupakan suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai
secara objektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan sebelumnya
dimana hasil evaluasi tersebut dimaksudkan menjadi umpan balik untuk
perencanaan yang akan dilakukan di depan (Yusuf, 2000 : 3).
Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing
menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan
program. Secara umum, istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran
(appraisal), pemberian angka (ratting) dan penilaian (assesment) kata-kata yang
menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan
nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi
informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan
pada kenyataan mempunyai nilai, hal ini kerena hasil tersebut memberi
sumbangan pada tujuan atau sasaran. Dalam hal ini dikatakan bahwa kebijakan
atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa
masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi (Dunn, 2000 : 11).
Anderson memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil
yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung
tercapainya tujuan. Sedangkan Stufflebeam, mengungkapkan bahwa evaluasi
merupakan proses penggambaran, pencarian dan pemberian informasi yang
bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan
12
(Arikunto, 2002 : 1). Patton dan Sawicki (1991) mengklasifikasikan metode
pendekatan yang dapat dilakukan dalam penelitian evaluasi menjadi 6 yaitu :
a. Before and after comparisons, metode ini mengkaji suatu objek
penelitian dengan membandingkan antara kondisi sebelum dan kondisi
sesudahnya suatu kebijakan atau program diimplementasikan.
b. With and without comparisons, metode ini mengkaji suatu objek
penelitian dengan menggunakan pembandingan kondisi antara yang
tidak mendapat dan yang mendapat kebijakan atau program, yang telah
di modifikasi dengan memasukan perbandingan kriteria-kriteria yang
relevan di tempat kejadian peristiwa (TKP) dengan program terhadap
suatu TKP tanpa program.
c. Actual versus planed performance comparisons, metode ini mengkaji
suatu objek penelitian dengan membandingkan kondisi yang ada (actual)
dengan ketetapan-ketetapan perencanaan yang ada (planned).
d. Experimental (controlled) models, metode ini mengkaji suatu objek
penelitian dengan melakukan percobaan yang terkontrol atau
dikendalikan untuk mengetahui kondisi yang diteliti.
e. Quasi experimental models, metode ini mengkaji suatu objek penelitian
dengan melakukan percobaan tanpa melakukan pengontrolan atau
pengendalian terhadap kondisi yang diteliti.
f. Cost oriented models, metode ini mengkaji suatu objek penelitian yang
hanya didasarkan pada penelitian biaya terhadap suatu rencana
(Arikunto, 2002 : 14).
13
Fungsi utama evaluasi, yang pertama memberi informasi yang valid dan
dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan,
nilai dan kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan public. Kedua,
evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai
yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nugroho (2004) mengatakan
bahwa evaluasi akan memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya
mengenai kinerja kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan
kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan publik (Nugroho, 2004 :185).
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan evaluasi program adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi
tentang bekerjanya sesuatu program pemerintah yang selanjutnya informasi
tersebut digunakan untuk menentukan alternative atau pilihan yang akan
ditemukan fakta pelaksanaan kebijakan publik dilapangan yang hasilnya bisa
positif maupun negatif. Sebuah evaluasi yang dilakukan secara professional
akan menghasilkan temuan yang obyektif yaitu temuan apa adanya baik data,
analisis dan kesimpulannya tidak dimanipulasi yang pada akhirnya akan
memberikan manfaat kepada perumus kebaikan, pembuat kebijakan dan
masyarakat.
2. Jenis-jenis Evaluasi Program
Secara umum evaluasi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Evaluasi dalam Tahap Perencanaan
Kata evaluasi sering digunakan dalam tahap perencanaan dalam rangka
mencoba memilih dan menentukan skala prioritas terhadap berbagai alternatif dan
14
kemungkinan terhadap cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Untuk itu diperlukan berbagai teknik yang dapat dipakai oleh perencana. Suatu
hal yang patut dipertimbangkan dalam kaitan ini adalah bahwa metode-metode
yang ditempuh dalam pemilihan prioritas tidak selalu sama untuk setiap keadaan,
melainkan berbeda menurut hakekat dari permasalahannya sendiri.
b. Evaluasi dalam Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini evaluasi adalah suatu kegiatan dengan melakukan analisa
untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan dibanding dengan rencana.
Terdapat perbedaan antara evaluasi menurut pengertian ini dengan monitoring.
Mentoring menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai sudah tepat dan bahwa
rencana tersebut sudah tepat untuk mencapai tujuan. Sedangkan evaluasi melihat
sejauh mana proyek masih tetap dapat mencapai tujuannya, apakah tujuan tersebut
sudah berubah, apakah pencapaian hasil program tersebut akan memecahkan
masalah yang ingin dipecahkan. Evaluasi juga mempertimbangkan faktor-faktor
luar yang mempengaruhi keberhasilan proyek tersebut, baik membantu atau
menghambat.
c. Evaluasi dalam Tahap Paksa Pelaksanaan
Dari sini pengertian evaluasi hampir sama dengan pengertian pada tahap
pelaksanaan, hanya perbedaannya yang dinilai dan dianalisa bukan lagi tingkat
kemajuan pelasanaan dibanding rencana, tetapi hasil pelaksanaan dibanding
dengan rencana yakni apakah dampak yang dihasilkan oleh pelaksanaan kegiatan
tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Nugroho, 2009 : 637).
15
3. Tujuan Evaluasi Program
Seperti yang disebutkan oleh Sudjana (2006 : 48) tujuan khusus evaluasi
program terdapat 6 hal, yaitu untuk :
a. Memberikan masukan bagi perencanaan program
b. Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan
tindak lanjut perluasan atau penghentian program.
c. Memberikan masukan bagi pengambil keputusan tentang modifikasi atau
perbaikan program.
d. Memberikan masukan bagi pengambil keputusan tentang modifikasi atau
perbaikan program.
e. Memberikan masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan
(pengawasan, supervisi dan monitoring) bagi penyelenggara, pengelola
dan pelaksana program.
f. Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program
pendidikan luar sekolah.
Selanjutnya Sudjana berpendapat bahwa tujuan evaluasi adalah untuk
melayani pembuat kebijakan dengan menyajikan data yang diperlukan untuk
pengambilan keputusan secara bijaksana. Oleh karenanya evaluasi program dapat
menyajikan 5 jenis informasi dasar sebagai berikut :
a. Berbagai data yang dibutuhkan untuk menentukan apakah
pelaksanaan suatu program harus dilanjutkan.
b. Indikator-indikator tentang program-program yang paling berhasil
berdasarkan jumlah biaya yang digunakan.
16
c. Informasi tentang unsur-unsur setiap program dan gabungan antar
unsur program yang paling efektif berdasarkan pembiayaan yang
diberikan sehingga efisiensi pelaksanaan program dapat tercapai.
d. Informasi untuk berbagai karakteristik sasaran program-program
pendidikan sehingga para pembuat keputusan dapat menentukan
tentang individu, kelempok, lembaga atau komunitas mana yang
paling menerima pengaruh dari pelayanan setiap program.
e. Informasi tentang metode-metode baru untuk memecahkan berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan evaluasi pengaruh program
(Sudjana, 2006 : 50).
1.5.2. Kebijakan Pendidikan
1. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang pendidikan.
Ensiklopedia menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan
kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang
tercakup di dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut
(Riant Nugroho, 2008). Sebagaimana di kemukakan oleh Mark Olsen & Anne-
Maie O’Neil kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan
eksistensi bagi negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan
perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi membawa nilai
demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung
oleh pendidikan (Riant Nugroho, 2008).
17
Marget E. Goertz mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan
dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan (Riant Nugroho, 2008).
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan pendidikan dipahami dalam
penelitian ini sebagai bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan publik di
bidang pendidikan. Dengan demikian kebijakan pendidikan harus sebangun
dengan kebijakan publik. Di dalam konteks kebijakan publik secara umum, yaitu
kebijakan pembangunan, maka kebijakan merupakan bagian dari kebijakan
publik. Kebijakan pendidikan dipahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan,
untuk mencapai tujuan pembangunan negara di bidang pendidikan, sebagai salah
satu bagian dari tujuan pembangunan negara secara keseluruhan.
2. Aspek Kebijakan Pendidikan
Dalam kebijakan pendidikan juga terdapat aspek-aspek yang perlu
diperhatikan agar proses kebijakan pendidikan dapat berjalan dengan baik dan
benar. Aspek-aspek yang tercangkup dalam kebijakan pendidikan menurut H.A.R
Tilaar & Riant Nugroho dalam Arif Rohman (2009) :
a. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan mengenai
hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam
lingkungan kemanusiaan. Kebijakan pendidikan merupakan
penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat
tertentu
b. Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu
praktis yaitu kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Kebijakan
18
pendidikan meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan,
pelaksanaan dan evaluasi.
c. Kebijakan pendidikan haruslah mempunyai validasi dalam
perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan
itu. Bagi perkembangan individu, validasi kebijakan pendidikan
tampak dalam sumbangannya bagi proses pemerdekaan individu
dalam pengembangan pribadinya.
d. Keterbukaan (opennes). Proses pendidikan sebagai proses
pemanusiaan terjadi dalam interaksi sosial. Hal ini berarti bahwa
pendidikan itu merupakan milik masyarakat. Apabila pendidikan itu
merupakan milik masyarakat maka suara masyarakat dalam berbagai
tingkat perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pendidikan
perlu mendengar suara-suara atau saran dari masyarakat.
e. Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan. Suatu
kebijakan bukanlah suatu yang abstrak tetapi yang dapat
diimplementasikan. Suatu kebijakan pendidikan merupakan pilihan
dari berbagai alternatif kebijakan sehingga perlu dilihat dari output
dari kebijakan tersebut dalam praktik.
f. Analisis kebijakan sebagaimana pula dengan berbagai jenis
kebijakan seperti kebijakan ekonomi, kebijakan pertahanan nasional
dan semua jenis kebijakan dalam kebijakan publik memerlukan
analisis kebijakan.
19
g. Kebijakan pendidikan pertama-tama ditunjukan kepada kebutuhan
peserta didik. Kebijakan pendidikan seharusnya diarahkan pada
terbentuknya para intelektual organik yang menjadi agen-agen
pembaharuan dalam masyarakat bangsanya.
h. Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat
demokratis. Peserta didik akan berdiri sendiri dan mengembangkan
pribadinya sebagai pribadi yang kreatif pendukung dan pelaku dalam
perubahan masyarakatnya. Kebijakan pendidikan haruslah
memfasilitasi dialog dan interaksi dari peserta didik dan pendidik,
peserta didik dengan masyarakat, peserta didik dengan negaranya
dan pada akhirnya peserta didik dengan kemanusiaan global.
i. Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan
dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Apabila visi pendidikan
mencakup rumusan-rumusan yang abstrak, maka misi pendidikan
lebih terarah pada pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang
konkret. Kebijakan pendidikan merupakan hal yang dinamis yang
terus menerus berubah namun terarah dengan jelas.
j. Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efisiensi. Kebijakan
pendidikan bukan semata-mata berupa rumusan verbal mengenai
tingkah laku dalam pelaksanaan praksis pendidikan. Kebijakan
pendidikan yang baik adalah kebijakan pendidikan yang
memperhitungkan kemampuan di lapangan, oleh sebab itu
pertimbangan-pertimbangan kemampuan tenaga, tersedianya dana,
20
pelaksanaan yang bertahap serta didukung oleh kemampuan riset dan
pengembangan merupakan syarat-syarat bagi kebijakan pendidikan
yang efisien.
k. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi
kepada kebutuhan peserta didik. Telah kita lihat bahwa pendidikan
sangat erat dengan kekuasaan. Menyadari hal itu, sebaiknya
kekuasaan itu diarahkan bukan untuk menguasai peserta didik tetapi
kekuasaan untuk memfasilitasi dalam pengembangan kemerdekaan
peserta didik. Kekuasaan pendidikan dalam konteks masyarakat
demokratis bukannya untuk menguasai peserta didik, tetapi
kekuasaan untuk memfasilitasi tumbuh kembang peserta didik
sebagai anggota masyarakat yang kreatif dn produktif.
l. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intuitif atau kebijakan
yang irasional. Kebijakan pendidikan merupakan hasil olahan
rasional dari berbagai alternatif dengan mengambil keputusan yang
dianggap paling efisien dan efektif dengan memperhitungkan
berbagai jenis resiko serta jalan keluar bagi pemecahannya.
Kebijakan pendidikan yang intuitif akan tepat arah namun tidak
efisien dan tidak jelas arah sehingga melahirkan pemborosan-
pemborosan. Selain itu kebijakan intuitif tidak perlu ditopang oleh
riset dan pengembangannya. Verifikasi terhadap kebijakan
pendidikan intuitif akan sulit dilaksanakan dalam jangka waktu
21
tertentu sehingga bersifat sangat tidak efisien. Kebijakan intuitif
akan menjadikan peserta didik menjadi kelinci percobaan.
m. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang tepat.
Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya akan
mengorbankan kepentingan peserta didik. Seperti yang telah
dijelaskan, proses pendidikan adalah proses yang menghormati
kebebasan peserta didik. Peserta didik bukanlah objek dari suatu
projek pendidikan tetapi subjek dengan nilai-nilai moralnya.
3. Teori Persebaran Program JPD
Program JPD merupakan salah satu inovasi program di Bidang Pendidikan
yang telah diinisiasi oleh Pemkot Yogyakarta sejak tahun 2007/2008. Lahirnya
Program JPD ini merupakan wujud komitmen Pemkot Yogyakarta dalam
mendukung pelaksanaan wajib belajar tidak hanya 9 tahun, akan tetapi wajib
belajar 12 tahun. Adapun yang dimaksud dengan Program JPD adalah program
khusus di bidang pendidikan berupa pemberian bantuan dana sosial kepada warga
miskin yang terdaftar dalam KMS. Program JPD ini membuka kesempatan
kepada para siswa dari keluarga miskin untuk mendapatkan akses pendidikan
yang berkualitas dari jenjang pendidikan SD/SDLB/MI, SMP/SSMPLB/MTs,
hingga SMA/SMALB/MA/SMK baik bersekolah di Swasta maupun Negeri.
Tujuan diberikan JPD adalah agar tidak ada anak usia sekolah dari keluarga
pemegang KMS yang putus sekolah karena alasan ketiadaan biaya.
22
1.5.3 Kesejahteraan Masyarakat
1. Pengertian Kesejahteraan Masyarakat
Istilah kesejahteraan bukanlah hal yang baru, baik dalam wacana global
maupun nasional. Dalam membahas analisis tingkat kesejahteraan, tentu kita
harus mengetahui pengertian kesejahteraan terlebih dahulu. Kesejahteraan itu
meliputi keamanan, keselamatan, dan kemakmuran. Pengertian sejahtera menurut
W.J.S Poerwadarminta adalah suatu kedaan yang aman, santosa, dan makmur.
Dalam arti lain jika kebutuhan akan keamanan, keselamatan, dan kemakmuran ini
dapat terpenuhi, maka akan terciptalah kesejahteraan.
Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan materi,
spritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dari
Undang-Undang di atas dapat kita cermati bahwa ukuran tingkat kesejahteraan
dapat dinilai dari kemampuan seorang individu atau kelompok dalam usahanya
memenuhi kebutuhan material dan spritualnya. Kebutuhan material dapat kita
hubungkan dengan pendapatan yang nanti akan mewujudkan kebutuhan akan
pangan, sandang, papan dan kesehatan. Kemudian kebutuhan spritual kita
hubungkan dengan pendidikan, kemudian keamanan dan ketentraman hidup.
Menurut konsep lain, kesejahteraan bisa di ukur melalui dimensi moneter
maupun non moneter, misalnya ketimpangan distribusi pendapatan, yang
didasarkan pada perbedaan tingkat pendapatan suatu daerah. Kemudian masalah
kerentanan (vulnerability), yang merupakan suatu kondisi dimana peluang atau
kondisi fisik suatu daerah yang membuat seseorang menjadi miskin atau akan
23
menjadi lebih miskin pada masa yang akan datang. Hal ini merupakan masalah
yang cukup serius karena bersifat struktural dan mendasar yang mengakibatkan
resiko-resiko sosial ekonomi dan akan sulit untuk memulihkan diri (recover).
Kerentanan merupakan suatu dimensi kunci dimana perilaku individu dalam
melakukan investasi, pola produksi, strategi penanggulangan dan persepsi mereka
akan berubah dalam mencapai kesejahteraan.
Kesejahteraan merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan hidup
yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan dapat
melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial (Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2009 pasal 1 dan 2).
Kesejahteraan merupakan suatu hal yang bersifat subjektif, sehingga setiap
keluarga atau individu di dalamnya yang memiliki pedoman, tujuan dan cara
hidup yang berbeda akan memberikan nilai yang berbeda tentang faktor-faktor
yang menentukan tingkat kesejahteraan (BKKBN 1992, diacu oleh Nuryani
2007).
Kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (2007) adalah suatu kondisi
dimana seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga dapat dipenuhi
sesuai dengan tingkat hidup. Keluarga yang Sejahtera adalah keluarga yang
dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan
hidup spritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar
keluarga dengan masyarakat dan lingkungan (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 52 Tahun 2009).
24
Kemenkokestra (Kementrian Koordinator Bidang Ekonomi, Kesejahteraan
Rakyat) menggambarkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan kondisi dan
realitas ke-Indonesia-an dengan menggunakan tiga dimensi, yaitu dimensi
keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan demokrasi. Di dalamnya terdapat dua
puluh dua indikator yaitu akses listrik, akses berobat, rekreasi, lama sekolah,
pemanfaatan jaminan sosial, usia harapan hidup, akses air bersih, akses sanitasi,
tingkat pengeluaran perkapita, tingkat pemerataan pendapatan, kepemilikan rumah
sendiri, bekerja, rasio pengeluaran terhadap garis kemiskinan, rasio PAD terhadap
APBD, akses terhadap sumber daya ekonomi, rasio biaya pendidikan terhadap
total pengeluaran, rasio biaya kesehatan terhadap total pengeluaran, akses
informasi, rasa aman, kebebasan sipil, hak politik dan lembaga demokrasi.
2. Indikator Kesejahteraan
Indikator kesejahteraan merupakan cara untuk mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat. Masyarakat dapat digolongkan kedalam katagori
masyarakat yang sejahtera dimana masyarakat tersebut dapat mencakup beberapa
konsepsi.
Adapun kesejahteraan pada intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu :
1. Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial.
2. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga
kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang
menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.
25
3. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang
terorganisir untuk mencapai sejahtera.
Badan Pusat Statisik D.I.Yogyakarta (2016), menerangkan bahwa melihat
tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang
dapat diajadikan ukuran, antara lain :
1. Tingkat pendapatan kerja
2. Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan
pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan
3. Tingkat pendidikan keluarga
4. Tingkat kesehatan keluarga terlihat dari kenaikan angka harapan
hidup dan tingkat keluhan kesehatan
5. Tingkat sosial ekonomi dapat diamati dari kondisi dan kualitas
rumah yang ditempati serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah
tangga. Dimana semakin baik kondisi dan kualitas rumah yang
ditempati, menggambarkan semakin baik keadaan sosial ekonomi
suatu rumah. Seperti penggunaan air bersih, rumah beralaskan
lantai atau tanah.
1.6. Definisi Konseptual
1.6.1. Evaluasi Keberhasilan JPD
JPD adalah salah satu program didalam sebuah kebijakan berupa
pemberian bantuan dana pendidikan bagi peserta didik pemegang KMS,
dimana dana yang diberikan bagi peserta didik tersebut dibagi menjadi dua
yaitu berupa dana personal dan dana operasional. Evaluasi keberhasilan
26
JPD adalah kegiatan yang sedang berlangsung yang akan dievaluasi guna
untuk mengetahui apakah kegiatan yang sudah berlangsung telah sesuai
dengan perencanaan dan prosedur yang telah disepakati atau direncanakan.
1.6.2. Kebijakan Pendidikan
Pengertian Konsep Kebijakan Pendidikan adalah aturan-aturan tertulis
yang diputuskan oleh pemerintah yang berfungsi untuk mengatur dalam
bidang pendidikan atau yang berkaitan dengan pendidikan.
1.6.3. Persebaran Penerima JPD
Persebaran penerima JPD adalah persebaran peserta didik pemegang
KMS yang sedang menempuh pendidikan pada jenjang SD/MI/SDLB,
SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB dan SMK yang mendapatkan
bantuan JPD secara merata.
1.6.4. Kesejahteraan Masyarakat
Kesejahteraan masyarakat adalah dimana masyarakat sudah dirasa
mampu untuk memenuhi kebutuhan finansial atau kebutuhan pribadinya.
Seperti halnya dimana orang tua atau kepala keluarga mampu mencukupi
kebutuhan sehari-hari dan mampu membiayai anak dari segi pendidikan.
1.7. Definisi Operasional
1.7.1. Evaluasi Keberhasilan JPD
a. Persebaran JPD
b. Kesesuaian target atau sasaran dengan tujuan JPD
c. Output JPD
d. Manfaat Program JPD
27
1.7.2. Kesejahteraan Berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta
Nomor 271 Tahun 2016
a. Kesejahteraan untuk peserta didik penerima JPD
b. Kesejahteraan untuk sekolah dasar hingga menengah di Kota
Yogyakarta
c. Kesejahteraan untuk keluarga pemegang KMS
1.7.3. Indikator Kerja Utama Dalam Program JPD
28
Tabel 1.2 Teknik Pengumpulan Data
No. Teknik
Pengumpulan
Data
Data Yang
Dibutuhkan
Sumber Data
1. Wawancara -Nama narasumber
-Daftar pertanyaan
diajukan ke Dinas
Pendidikan:
1. Bagaimana
mekanisme
pelaksanaan JPD?
2. Persebaran JPD
a. Bagaimana
kesesuaian target
atau sasaran
dengan tujuan
JPD?
3. Apa indikator
keberhasilan JPD?
Apakah program
JPD sudah
berhasil?
4. Apakah IKU
(Indikator Kerja
Utama) dalam
program JPD ?
5. Evaluasi JPD
a. Apa output JPD?
b. Apa indikator
keberhasilan JPD?
Apakah program
JPD sudah
berhasil?
c. Apa manfaat
JPD bagi Kota
Yogyakarta?
6. Apakah dinas
pendidikan
memberikan
kebijakan
pemberian JPD
kepada peserta
didik yang putus
sekolah, sakit
menahun, napi,
bermasalah hukum
-Dinas
Pendidikan
-Orang tua siswa
penerima JPD
29
dan sosial serta
penghuni panti
asuhan negeri dan
swasta?
7. Kriteria
mahasiswa yang
seperti apa yang
menerima bantuan
JPD?
8. Berapa besaran
rupiah yang
diterima dinas
pendidikan dalam
pemberian JPD
oleh walikota
Yogyakarta
tahun2016?
- Daftar pertanyaan
diajukan kepada
orang tua siswa
penerima JPD
2. Dokumentasi -LKIP 2016
-RENSTRA 2016
-Data penerima
KMS per
Kecamatan 2016
-Dinas
Pendidikan Kota
Yogyakarta
-Dinas Sosial
Kota Yogyakarta
-DIKPORA DIY
1.8. Metode Penelitian
Penelitian mengenai Evaluasi Penerapan Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016 Tentang Pemberian Jaminan Pendidikan
Daerah terhadap Persebaran Penerima Jaminan Pendidikan Bagi Peserta Didik
Pemegang KMS di Kota Yogyakarta akan menghasilkan suatu kesimpulan yang
mana dalam penelitian ini akan menggunakan metode penelitian dalam rangka
memperoleh hasil kesimpulan tersebut.
30
Metode penelitian menurut Sugiyono (2010) merupakan cara yang
bersifat natural atau ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh suatu data dalam
menunjang tujuan serta kegunaan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1.8.1. Jenis Penelitian
Penelitian mengenai Evaluasi Penerapan Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016 Tentang Pemberian Jaminan Pendidikan
Daerah (JPD) di Kota Yogyakarta diharapkan dapat mengembangkan kinerja
pemerintah dalam melayani masyarakat untuk pelaksanaan program JPD bagi
pemegang KMS secara deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif.
Menurut Sugiyono (2008) penelitian deskriptif kualitatif adalah suatu
metode penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk mempelajari kondisi suatu
objek yang alamiah, dimana peran peneliti dalam hal ini adalah sebagai
instrumen pokok. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan pola triangulasi (gabungan), kemudian dilanjutkan
dengan proses analisis data yang bersifat induktif. Berdasarkan hal tersebut,
peneliti menggunakan data induktif untuk mendapatkan hasil penelitian yang
bersifat kualitatif yaitu peneliti akan lebih mengutamakan makna kejadian
secara keseluruhan. Jika dilihat dari teknik penyajian datanya, penelitian
tersebut merupakan penelitian yang menggunakan sistem deskriptif yaitu
menggambarkan suatu kejadian terkait dengan permasalan yang diangkat dalam
penelitian ini.
31
Pola penelitian deskriptif menurut Sugiono (2009) merupakan metode
penelitian yang mana peneliti akan menggambarkan serta menginterpretasikan
suatu objek sesuai dengan realita yang sebenarnya. Berdasarkan pernyataan
Sugiono tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian kualitatif yang
dilakukan secara deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan suatu fakta dan
karakteristik dari objek dan atau subjek secara tepat dan akurat.
Hal ini berarti bahwa dalam melakukan penelitian ini akan
menggambarkan kejadian atau masalah di lapangan yaitu Evaluasi Penerapan
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016 Tentang Pemberian
Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) di Kota Yogyakarta diharapkan dapat
mengembangkan kinerja pemerintah dalam melayani masyarakat untuk
pelaksanaan program JPD bagi pemegang KMS terkait dengan kinerja
pemerintah dalam menetapkan. Selanjutnya dalam penelitian ini akan
mengumpulkan data-data mengenai persebaran penerima JPD menggunakan
instrumen tertentu kemudian dilanjutkan pada aktivitas analisa data dengan
menggunakan instrumen penelitian.
1.8.2. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian ini penyusun menggunakan beberapa metode untuk
memperoleh data dari lapangan, antara lain :
a) Wawancara
Sugiyono (2013) mengatakan dalam bukunya, wawancara
merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam
32
suatu topik tertentu. Pada tahapan wawancara subjek sasaran
wawancara merupakan orang-orang di anggap mampu memberikan
informasi dan memiliki kedudukan di dalam struktur terkait
pengelolaan keuangan desa sehingga data yang di hasilkan akurat.
Pada penelitian ini wawancara dilakukan secara terperinci dengan
Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Dinas Sosial Kota Yogyakarta,
DIKPORA DIY sekaligus penerima JPD pemegang KMS di Kota
Yogyakarta. Pewawancara selalu menjadi pihak yang bertanya, dan
narasumber selalu menjadi pihak yang menjawab pertanyaan. Dalam
pelaksanaannya, pewawancara membawa pedoman yang merupakan
garis besar mengenai hal-hal yang akan ditanyakan.
b) Dokumentasi
Moleong (2009) dalam bukunya menjelaskan dokumentasi adalah
salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau
menganalisisi dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh
orang lain tentang subjek, dan mencari data mengenai hal-hal berupa
catatan, gambar, notulen rapat, dan lain-lain.
Pada penelitian ini penyusun akan melakukan dokumentasi berupa
data-data yang terkait guna memperkuat penelitian dan dokumentasi
berupa gambar guna melengkapi penelitian.
1.8.3. Lokasi Penelitian
Dalam pengembangan penelitian terkait Evaluasi Penerapan Keputusan
Walikota Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016 Tentang Pemberian Jaminan
33
Pendidikan Daerah (JPD) Terhadap Persebaran Penerima Jaminan Pendidikan
Bagi Peserta Didik Pemegang KMS di Kota Yogyakarta, penulis mengambil
lokasi di Kota Yogyakarta.
1.8.4. Jenis dan Sumber data
Dalam melakukan penelitian suatu objek, memerlukan data sebanyak
mungkin. Karena data memberikan kekuatan dan kelancaran dalam penelitian
tersebut. Data yang terkait penelitian sangat banyak dan luas.
a) Data primer
Terkait data primer merupakan data yang dapat diperoleh langsung
dari lapangan atau tempat penelitian. Penulis menggunakan data ini
untuk mendapatkan informasi langsung terkait Evaluasi Penerapan
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016. Berikut data
primer dalam penelitian:
Tabel 1.3. Data Primer Penelitian
Nama Data Sumber Data Teknik Pengumpulan
Data
Mekanisme pelaksanaan
JPD
Dinas Pendidikan Kota
Yogyakarta
Wawancara
Persebaran kebijakan JPD Dinas Pendidikan Kota
Yogyakarta
Wawancara
Indikator keberhasilan
program JPD
Dinas Pendidikan Kota
Yogyakarta
Wawancara
Indikator kerja utama
dalam program JPD
Dinas Pendidikan Kota
Yogyakarta
Wawancara
Evaluasi JPD Dinas Pendidikan Kota
Yogyakarta
Wawancara
34
b) Data sekunder
Data sekunder adalah data yang mendukung penelitian atau
pelengkap dari data primer. Data sekunder merupakan data yang
diperoleh secara tidak langsung serta dapat dihasilkan oleh media,
dokumen atau informasi lainnya yang dapat membantu dalam
penelitian Evaluasi Penerapan Keputusan Walikota Yogyakarta
Nomor 271 Tahun 2016 terdiri dari :
Tabel 1.4 Data Sekunder Penelitian
Nama Data Sumber
Data penerima KMS per Kecamatan Dinas Sosial Kota Yogyakarta
LKIP 2016 Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta
RENSTRA 2016 Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta
Angka kelulusan per jenjang sekolah
dasar hingga menengah
Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dan
DIKPORA D.I.Y
1.8.5. Teknik Analisa Data
Menurut Sugiyono (2010) analisis data merupakan proses pencarian dan
penyusunan data secara sistematis yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi. Peneliti akan mengelompokkan data-data tersebut
dalam bentuk katagori yang dilanjutkan dengan menguraikannya ke dalam suatu
unit-unit kemudian melakukan hipothesis yang disusun ke dalam pola. Peneliti
selanjutnya menyeleksi data yang penting dan yang akan dipelajari kemudian
membuat kesimpulan yang mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain
atau pembaca penelitian.
35
Berdasarkan pernyataan Sugiono di atas, penelitian mengenai Evaluasi
Penerapan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016 Tentang
Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) di Kota Yogyakarta, peneliti akan
menganalisa data hasil wawancara dengan kepala Dinas Pendidikan terkait
pelaksanaan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016 Tentang
Pemberian Jaminan Pendidikan di Kota Yogyakarta dan persebarannya pada para
orang tua pemegang KMS dimana peneliti akan menganalisa isi hasil wawancara
dengan kebijakan pemerintah pusat berdasarkan isi Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 271 Tahun 2016.